Sebatang saja bisa dua puluh ribu. Dua puluh ribu kalau dibawa ke gramedia pada masa cuci gudang, bisa dapat 4 buku komik. Atau beli buku di toko buku Indonesia dan Baraqbah yang dekat Masjid Raya Magat Sari, bisa dapat dua buku panduan shalat lengkap. Kita sering mendengar pepatah, “apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai”. Bang Ali memang bukan menanam, ia hanya memupuk. Baba dan Emak Arsyad telah menanam bibit unggul masa depan, Bang Ali memberi pupuk agar bibit yang ditanam Baba dan Emak tumbuh subur. Kelak, daun rindangnya bisa tempat berteduh, pohonnya yang besar bisa tempat bersandar, dan buah manisnya bisa dinikmati oleh orang banyak. Hasilnya, yang menanam dan memupuk mendapatkan pahala jariyah, yang ditanam dan dipupuk dapat membawa manfaat bagi umat. Arsyad berkata, “terimo kasih Bang Ali”. Bang ali wafat pada tahun 1968. 37
Pindah Sekolah di Sekolah Rakyat (SR) 2 Simpang Bata “Tidak peduli apa pun situasi dan kondisinya, pendidikan tetaplah yang utama.” – Kemas Arsyad Somad 38
Pada awal tahun 1954, Arsyad naik kelas dua. Kemas Abdul Razak, yang akrab disapa Bangsak Razak, mengajak Arsyad untuk pindah ke Pasar, tepatnya di Kampung Manggis. Tidak jauh dari kampung Enclek. Karena pindah dan tinggal bersama Bangsak di Kampung Manggis, Bangsak pun memindahkan Arsyad ke Sekolah Rakyat 2, di Simpang Bata. Ajakan itu karena Bangsak melihat sekolah di Seberang kurang kondusif. Kelasnya masuk sore, ruangan kelas masih menumpang dan alasan-alasan lainnya. Arsyad yang memang masih kecil dan belum tau banyak tentang sekolah, mengikut saja arahan dari Bangsak. Arsyad memanggilnya Bangsak saja, tidak berani menambahkan nama Razak dibelakangnya. Bangsak adalah anak paling tua dari empat belas bersaudara. *** Dengan pindahnya Arsyad ke Kampung Manggis, ada kemungkinan ia akan kembali bertemu dengan Sargawi. Teman duetnya metet burung sewaktu di Seberang dan di Sipin. Burung-burung cicap mendengar kabar kepindahan Arsyad, mereka cemas. Kawanan burung tengkek pemakan ikan juga mendapat kabar kalau Arsyad pindah ke Pasar. Secara jarak tempuh, dari Sipin ke Simpang Bata tidak terlalu jauh. Burung Tengkek berucap, “gawat”. Maka sejak saat itu Arsyad tinggal bersama Bangsak Razak di Kampung Manggis dan sekolahnya pun juga pindah ke SR 2, Simpang Bata. Tentu saja ia bersedih karena harus berpisah dengan kawan-kawannya di SR 8. Padahal ia sudah naik kelas dua. Ia pun sudah akrab dan terbiasa dengan pelajaran dari Guru Ibrahim. Rasa haru berpisah dengan kawan-kawan sempat membuat hati Arsyad bersedih tapi tak lama. Ia sempat menyalami tangan Guru Ibrahim dengan takzim dan menjabat tangan rekan sekolahnya satu per satu. Termasuk Usman dan Anang Hamid. Arsyad harus beradaptasi dengan tempat baru, kawan baru, sekolah 39
baru, guru baru, lingkungan baru. Begitulah kehidupan, terus berputar layaknya waktu, jam yang terus berdetak tak berhenti. Ia terus berkelana melintasi angka-angka, pun manusia terus berkelana melintasi waktu itu sendiri. Alat betet burung dan alat pancing Arsyad mungkin akan disimpan dalam museum. Karena sepertinya, di kota, aktivitas itu tidak bisa lagi dilakukan. Burung-burung memang ada, tapi hanya burung layang-layang dan burung gereja. Burung layang-layang sulit dibidik, karena terlalu “lasak”. Burung gereja memang jinak, tapi posisi mainnya tidak strategis, salah-salah betet, peluru menyasar ke kening para pedagang, atau melesat ke lubang hidung para pembeli. Arsyad tak berani. *** Pagi itu suasana Kota Jambi khidmat seperti biasa. Mentari bersinar seperti adanya. Seorang anak hebat mengenakan baju seragam, memakai topi merah dan memasang sepatunya. Hari itu adalah hari pertamanya di sekolah baru, SR 2 Simpang Bata. Arsyad memasuki ruangan kelas dengan senyum terkembang. Tangannya memegangi sebuah buku dan pensil yang telah dirautkan oleh Bangsak Razak semalam. *** “Anak-anak, iko ado murid baru di sekolah kito,” ucap Bu Guru sambil mempersilahkan Arsyad untuk berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. “Namo sayo Kemas Arsyad Somad, panggilan sayo Arsyad.” Arsyad berbicara di depan kelas. “Sayo asli orang seberang, kini tinggal samo abang sayo di Kampung Manggis, dekat bioskop Alhamra.” Lanjut Arsyad. Kemudian Bu Guru mempersilakan Arsyad duduk di bangku kosong yang posisinya agak belakang. Sebenarnya Arsyad tidak mau duduk di belakang, tapi hanya itulah kursi yang masih kosong. Ia duduk bersebelahan dengan seorang anak berkulit coklat dan bertubuh agak gempal, rambut lurus. Anak itu adalah Sargawi. Arsyad terkejut, rupanya Sargawi juga sekolah di SR 2. “nah, siko jugo ruponya kau Wi”, ucap Arsyad. Sargawi tersenyum, tidak menjawab pertanyaan Arsyad. Karena memang pertanyaan Arsyad tak butuh jawaban. Tapi dalam hati mereka berdua sama-sama menyusun strategi, memetakan kemungkinan-kemungkinan untuk melanjutkan duet maut metet burung 40
lagi. Bu guru sesekali heran melihat Arsyad dan Sargawi. Dalam hatinya berkata “ini anak baru ketemu anak lama, tapi lagaknya macam sudah kenal puluhan tahun. Ada aura chemistry dalam sorot mata mereka berdua.” Kadang sekilas Bu guru menafsirkan bahwa dalam chemistry itu menyiratkan ada rencana-rencana bulus dan kejam. Bu Guru tak tau persis apa yang sedang mereka berdua rencanakan. Takdir berkata lain, mereka menyangka bahwa akan berpisah dan tidak bisa berduet lagi, ternyata tidak begitu. Mereka akan kembali melanjutkan perburuan yang “kejam”. Alat-alat betet burung dan pancing tidak jadi di museumkan. Arsyad senang, Sargawi girang. Meski kembali berburu burung, Arsyad tetap akan menjadi anak yang rajin ke sekolah. Di SR 2, sekolahnya masuk pagi. Jadi jadwal metet burung diubah menjadi sore. Bersama dengan Sargawi, mereka kembali melakukan aktivitas metet burung. Kadang metet burung di Sipin, kadang di sekitar Kampung Manggis. Bergantian. Kalau sekiranya bosan metet burung, Arsyad main bola kaki, bergabung dengan kawan-kawan yang jauh lebih besar darinya. Sementara Sargawi, kurang hobi main bola. Ia takut di bully. *** Pindah ke Kampung Manggis, buku yang dibelikan oleh Bang Ali juga dibawanya. Karena memang, buku itu sudah menjadi semacam jimat baginya. Andai buku itu hilang, hilang pula kekuatannya untuk membaca buku. Kelas dua, Arsyad mulai bisa membaca meski kadang salah sedikitsedikit. Huruf yang tadinya terlihat menari-nari kini tenang dan tentram dalam kendalinya, khidmat. Setiap ada tulisan ia eja. Tulisan di spanduk caleg, ia baca. Di rumah makan, dibacanya juga. Pokoknya di mana ada tulisan, Arsyad berhenti, lalu membacanya. Bila bertemu tulisan berbahasa Inggris, kening Arsyad mengerenyit. Dalam hatinya, “Guru Ibrahim belum pernah mengajarkan itu. Dalam buku Bang Ali jugo dak ado. Mungkin ayuk Fauziah tau”. Di Kampung Manggis, Arsyad terkadang merasa rindu pada kakakkakaknya. Biasanya mereka semua berkumpul setiap hari di rumah dan menjadi ramai sekali rumah itu. Arsyad tentu paling senang karena banyak teman, apalagi makanan. Waktu itu, Emak sering membuat makanan Arab 41
seperti nasi Briyani, Mandi, Kebuli lengkap dengan lauk pauknya. Tidak lupa, satu makanan yang paling sering dibuatnya adalah “Muhalal”. Muhalal adalah pregmentasi dari buah-buahan dan dicampur dengan kunyit, garam, gula jeruk nipis dan bumbu-bumbu lainnya. Campuran itu lalu dimasukkan ke dalam “molo” atau toples. Setelah beberapa bulan, makanan itu barulah bisa disantap sebagai psangan dari makanan pokok atau utama. Namun kini semua kakaknya terpisah, ada yang masih di Seberang, ada yang sudah di Jawa, terpisah oleh waktu dan ruang di tanah yang berbeda. Ingin rasanya mengumpulkan mereka semua dalam satu rumah lagi dan Arsyad bisa bermanja ria. 42
Rumah Bangsak Razak Dekat Bioskop Alhamra “Dahulu, banyak tontonan bagi anak-anak yang bisa diambil pelajaran. Sekarang, sudah berbeda.” – Kemas Arsyad Somad 43
Rumah Bangsak Razak tak jauh dari bioskop Alhamra. Bioskop Alhamra menjadi satu diantara banyak alasan Arsyad mau pindah ke Pasar tinggal bersama Bangsak. Bagi Arsyad, nonton bioskop sangat menyenangkan. Ada kebahagiaan yang berbeda. Hanya saja, kurang mendebarkan, kurang menguji adrenalin. Berbeda dengan metet burung cicap, ia serasa menjadi detektif. Metet burung tengkek, ia seolah-olah seperti seorang intelejen yang mengintai mafia kelas kakap. *** Pada zaman itu, pekerjaan yang membuat lelaki tampak keren, berbeda, tangguh, rahasia dan maskulin, ialah seorang instalatur listrik. Dan Bangsak Razak adalah orangnya. Pekerjaannya bukan seperti pekerja biasa yang masuk pagi pulang sore, Bangsak masuk malam hari. Saat semua orang pulang kerja, ia baru berangkat. Seragamnya berubah-ubah sekehendaknya saja. Ada satu seragam yang memang sering dipakai, warnanya biru dan ada kombinasi warna orange, dan ada garis-garisnya. Kalau terkena lampu, bercahaya. Arsyad terpana melihat seragam abangnya. Sempat terlintas, begitulah nanti cita-citanya. Bekerja di perusahaan listrik memang cukup beresiko. Kalau salah sedikit, mungkin saja pulang hanya nama karena tersengat tegangan ribuan megawatt. Namun itulah kenapa pekerjaan instalatur listrik dianggap pekerjaan orang tangguh, karena memang mereka tak terlalu jauh dari kematian. Pasal itu, Arsyad kurang paham. Setiap senin sampai Jum’at Arsyad bersekolah dan Bangsak bekerja. Namun sesekali mereka kembali berkumpul bersama keluarga menikmati ramainya persaudaraan dan hangatnya ikatan cinta sedarah di rumah Seberang – rumah orang tua mereka. Cengkerama itu syahdu, bagi orang Jambi berkumpul dengan keluarga memang sudah jadi kebiasaan yang mengakar. Di dalamnya mereka berkelakar. Setelah berkumpul bersama keluarga di rumah orang tua, Arsyad 44
dibonceng naik sepeda oleh Bangsak, pulang ke rumah mertuanya di dekat bioskop Alhamra, sekarang dekat Hotel Novita yang terbakar, yang dulunya Hotel Novita adalah penjara peninggalan Belanda. Perjalanan naik sepeda kala itu menjadi transportasi yang paling efektif dan efisien, karena belum banyak orang yang menggunakan motor, pun mobil hanya beberapa orang yang mampu saja. *** Kota Jambi riuh dengan berbagai macam kicauan burung tiap sabtu sore. Arsyad duduk mantap di bocengan sepeda belakang, sementara Bangsak mengayuh sepeda, tidak terlalu cepat. Langit sore berubah jingga melembayung di ujung ufuk. Mentari mulai turun meredup ditandai dengan beberapa kalong terbang tinggi mengangkasa, berimigrasi ke tempat di mana kembang durian mulai mekar dan menggantikan elang-elang tadi siang yang telah kenyang mendapat mangsa ayam betina yang tak siaga. Semilir angin memainkan daun-daun syahdu. Tak terasa, laju sepeda Bangsak telah sampai di Kampung Manggis, pertanda rumahnya sudah dekat. tepat sebelum maghrib, mereka pun tiba di rumah. Hari mulai gelap. 45
Kenangan Bioskop Alhamra dan Capitol “Ajak dan ajari lah anak-anak mu banyak hal, karena kelak ia akan mengingatnya sebagai kenangan yang paling berharga.” – Kemas Arsyad Somad 46
Memang, Nonton bioskop tidak se-seru metet burung, mancing, dan main bola. Tapi bagi Arsyad ada kesan mewah dan elegan jika pergi menonton bioskop. Dulu, agaknya begitulah yang dirasakan oleh orang-orang di Eropa sana. Pergi metet burung, mancing dan main bola, persiapan Arsyad biasa saja. Bajunya kaos, celana pendek. Berbeda dengan nonton bioskop, Arsyad lebih rapi. Ia memakai kemeja berwarna, kadang polos. Celananya juga pendek, hanya saja celana pendeknya adalah celana pilihan. Khusus untuk dipakai ketika moment-moment penting saja. Nonton bioskop merupakan acara penting. Celana pilihanlah yang dipakai. Setidaknya, ada dua bioskop yang sering didatangi Arsyad. Bioskop Alhamra dan Capitol. Bioskop Alhamra, dulu posisinya tepat di depan penjara yang dibangun oleh Belanda, yang dulu dinding penjara itu berada pada deretan ruko-ruko Tropi-Mandala sampai ke SMP 2. Sekarang bioskop Alhamra sudah berganti dengan Hotel Wisata. Sedangkan Capitol adalah bioskop duta. Sekarang menjadi Hotel Duta. Sebenarnya masih ada lagi bioskop lainnya, seperti bioskop Centrum, lalu berubah menjadi bioskop Ria. Tapi Arsyad tidak pernah ke bioskop Ria. Hampir setiap hari sabtu Arsyad pergi menonton bioskop. Bergantian antara bioskop Alhamra dan Capitol. Film favorit yang memang tidak pernah ketinggalan ditonton oleh Arsyad adalah Film yang dibintangi Mahipal Singh atau Manipal Bhandari dan Shakila. Dua sejoli yang memainkan peran dengan sangat menjiwai. Penonton memang dibuat tergila-gila. Puluhan film yang sudah tayang di dua bioskop itu. Film yang paling diingat oleh Arsyad adalah Alibaba and 40 Thieves, Son Of Alibaba dan Al Hilal and Shakila. Dua aktor ini ibarat Shah Ruhk Khan dan Kajol. Ada hal yang menarik, setiap kali Arsyad selesai menonton film Mahipal, Ayuk-ayuknya, Nyimas Darwisyah, Nyimas Jawahir, Nyimas Zainab, Nyimas Fauziah dan Nyimas Ramziah menanti kehadiran Arsyad di Seberang. Sebenarnya bukan murni karena rindu dengan adik bungsunya 47
itu, namun karena menunggu Arsyad menceritakan kisah-kisah heroik Mahipal dan Shakila. Dulu, gadis-gadis di Seberang tidak boleh keluar rumah terlalu jauh, apalagi pergi nonton bioskop. Kalau coba-coba berani melanggar aturan itu, bisa dihukum berbulan-bulan. Tidak seperti gadis-gadis sekarang yang bebas pergi kemana saja termasuk nonton bioskop. Oleh karena itulah, kedatangan Arsyad memang ditunggu-tunggu. Mendengar kisah Arsyad, ayuk-ayuknya sangat antusias. Mereka menyimak dengan khusu’ setiap alur cerita, terkadang mereka bertepuk tangan dan mengeluarkan suara gemuruh, geram, Arsyad pun dicubit-cubit. Tak sengaja, saking serunya mendengar kisah, cubitan mereka lumayan membuat Arsyad mengerenyit. Bila Arsyad menceritakan kisah yang sedih, mereka menangis. Lalu marahmarah. Marah ke Arsyad. Kenangan itu tidak akan terlupakan bagi mereka sampai maut memisahkan. Banyak cerita, kisah dan kehangatan dalam keluarga mereka. 48
Diajak ke Lumajang “Kirimlah anak-anak mu jauh ke perantauan. Lebih baik tumpah air mata rindu daripada air mata penyesalan.” – Kemas Abdussomad 49
Pada tahun 1955, Kemas Muhammad Saleh dan Kemas Abdul Fattah, anak dari Kemas Abdussomad dari Ibu Mardiyah datang dari Lumajang ke Jambi tepat di musim hujan. Hujan mengguyur Jambi dari hulu ke hilir, membuat tampungan air di sungai-sungai menjadi penuh. Aliran air menembus paritarit menuju sungai kecil, berkumpul dan bermuara di sungai Batanghari yang membentang. Batanghari kemudian tak sanggup menahan serangan air yang begitu besar hingga tiap hari titik air naik. Menjamah daratan, jalanjalan, memasuki got-got dan pekarangan. Hingga menyentuh teras-teras rumah penduduk yang rendah. Menggenang di bawah rumah-rumah kayu panggung. Perahu-perahu yang biasanya hanya beroperasi di sungai Batanghari saja kini berfungsi menjadi pengganti transportasi sepeda. Daratan berubah jadi genangan air membentang. Perahu masuk ke pekarangan rumah warga. Termasuk rumah orang tuanya. Orang-orang menyebutnya banjir. Sebagian besar menganggap itu adalah musibah. Namun beberapa pihak justru menganggapnya anugerah. Tukang pembuat perahu misalnya, pesanan perahu yang biasanya sebulan hanya beberapa saja, kini meningkat tiga kali lipat. Penghasilan naik. Rezeki melimpah. Juga orang-orang yang pandai menangkap ikan, biasanya harus mengarungi dan menerjang aliran deras sungai Batanghari untuk mendapatkan ikan, kini mereka cukup berjalan ke pekarangan atau paritparit yang dalam karena banjir, melemparkan jala atau bagi yang tak punya jala, sekedar melempar umpan di ujung pancing, maka pulangnya mereka membawa lauk untuk nanti malam. Kalau banyak, separonya dijual. Yang agak kasihan karena merugi adalah para pelaku industri. Pasalnya, selama banjir, listrik harus dipadamkan. Diesel tak boleh dinyalakan. Usaha tak berjalan kalau tak ada listrik. Tiap hari hanya melongo, termangumangu melihat mereka yang pandai menangkap ikan. Yang tak kuat iman, menyumpah sepanjang hari. Kadang menyalahkan gubernur, terkadang juga pak Walikota yang salah, sesekali menyinggung presiden. Karena masih ada 50
beberapa helai iman, mereka tak berani menyalahkan Tuhan. Adapun yang senang lainnya adalah anak-anak seperti Arsyad dan sahabat serta familinya. Mereka adalah Sargawi, Usman, Anang Hamid, Ali, Anwar Nawawi, Husin Syafii, Syukur, Sihabudin, Fahmi, Usman Sofyan, Rusdi dan siapa pun lah yang masih anak-anak. Mereka tak perlu jauh-jauh ke Batanghari untuk berenang menyenangkan diri. Di jalan-jalan depan rumah pun bisa main air macam di waterboom, sarana permainan air yang lagi ramai di ibukota negara Indonesia. Sore, sepulang sekolah anak-anak melepas baju mereka, hanya mengenakan celana pendek saja, lalu pergi ke Jembatan Tanjung Pasir, terjun, berenang, kemudian berguling-guling berteriak riang mandi air banjir yang warnanya lebih mirip dengan air perahan kain lap lantai. Apa pedulinya, yang penting senang. Saat banjir pula buaya-buaya sungai kebagian berkah. Ikan-ikan santapan berkembangbiak beranak pinak hingga induk-induknya jadi makam malam. Tak jarang pula ada babi hutan sial yang terjerumus dalam air banjir tepi sungai, berkecipak-kecipuk di dalam air, hingga tersangkut di salah satu akar bakau yang ternyata adalah jebakan yang sengaja dipasang para buaya untuk santapannya. Maka malam itu juga babi itu kehilangan kesempatan bertaubat di dunia. Yang selamat mengumpat, “hidup salah, mati pun salah”. Setelah banjir mulai surut, seseorang yang juga dekat dengan Arsyad, tak lain dan tak bukan adalah abangnya yang bernama Kemas Muhammad Saleh, pulang dari Lumajang dan sampai di Jambi. Bang Kemas Saleh memberikan oleh-oleh Sambal Udang Petis, makanan khas Lumajang untuk keluarga dan adik bungsunya itu. Sekolah di Jawa sedang libur panjang, maka Kemas Saleh dan Kemas Fatah kembali ke Tanjung Pasir untuk bertemu dengan keluarga dan si bungsu Arsyad. “Lah tambah besak be adik ko.” Kata Kemas Saleh mengusap-usap kepala Arsyad saat pertama bertemu. Arsyad menyalami dan mencium tangan abangnya. “Mano oleh-olehnyo, Bang?” tanya Arsyad. Mereka kemudian terkekeh hangat. Kemas Saleh mengeluarkan plastik makanan yang berada dalam tas pakaiannya dan menyodorkan ke Kemas Arsyad. Arsyad senang. Setelah berlibur seminggu lebih di Jambi, Kemas Saleh dan Kemas 51
Fattah harus kembali lagi ke Lumajang untuk melanjutkan pendidikannya. Saat itulah ia meminta kepada orang tuanya untuk mengajak si bungsu Kemas Arsyad Somad agar ikut bersamanya ke Lumajang. Setelah dirunding-runding untuk membawa Arsyad ke Lumajang dan sempat mendapat penolakan, Baba akhirnya mengizinkan. Sementara Emak tidak tau karena masih di Tanah Suci melaksanakan ibadah haji bersama Bangsak Razak dan rombongan yang lain. Arsyad bersiap-siap pergi bersama abang-abangnya meninggalkan Baba, abang dan ayukayuknya. Yang membuat Arsyad berat meninggalkan Jambi kala itu karena Emaknya, Hj. Kaltum, tidak ada di rumah, beliau sedang berada di Tanah Suci melaksanakan ibadah haji. Arsyad awalnya ragu dan bersedih hati, karena ia tak pernah berpisah dengan kedua orang tuanya itu sejauh itu. Namun Kemas Fatah dan Kemas Saleh ikut menyemangatinya dan memberi pengertian pelan-pelan hingga ia pun mau berangkat ke Lumajang. Kali ini, Sargawi benar-benar tinggal. Alat betet burung dan pancingan, sah dimuseumkan. Burung-burung cicap, berebah, kutilang dan burung tengkek pemakan ikan akan hidup damai selamanya. Memang ada beberapa anak lainnya yang juga metet burung macam Arsyad dan Sargawi, tapi mereka masih amatir. Betetan mereka tak dianggap oleh burung-burung itu. “anjing menggonggong, peluru berlalu”. *** 52
Naik Pesawat Dakota RI 001 “Terbanglah setinggi-tingginya, agar kau tahu bahwa bumi dan seisinya sangat kecil di mata Tuhan.” – Guru Ibrahim 53
Hari-H keberangkatan Kemas Arsyad bersama abang-abangnya ke Lumajang. Tak banyak yang dapat mengantar waktu itu. Emaknya juga tidak ikut mengantar karena sedang berada di Tanah Suci melaksanakan ibadah haji beserta keluarga-keluarga lainnya. Bandara ramai oleh calon penumpang lainnya dan para keluarga atau sanak famili yang hendak mengantar kepergian, sebagian pula menjemput kedatangan. Suara pesawat Dakota menderu dan gesekan roda dengan aspal landasan menimbulkan gemuruh tersendiri. Sesekali, pengeras suara mengeluarkan bunyi dari petugas yang mengumumkan penerbangan ke tujuan tertentu, yang paling banyak di dominasi ke bandara Kemayoran. Bandara Soekarno Hatta di Tangerang-Jakarta belum ada. Pun Kemas Arsyad dan abangabangnya sedang menunggu penerbangan mereka menuju ibukota, disana mereka pindah naik kereta api menuju Lumajang. Kalau tidak kereta api, bus antar kota pun dapat menjadi pilihan lain. Arsyad memeluk tubuh Baba sekali lagi sebelum ia masuk ke ruang tunggu bandara. Ayuk-ayuknya pun ia peluk bahkan lebih lama, air matanya tak dapat ia bendung. Ada yang riuh bertalu-talu dalam hati ketika mereka saling melepaskan pelukan. Ada yang ngilu di dada untuk sebuah perpisahan. “Makan yang banyak yo, jangan lupo sembayang”. Pesan ayuk-ayuk kepada Arsyad. “Ngaji jugo jangan sampe tinggal, tiap hari.” Lanjut Bangsak Razak yang ikut mengantar kepergian Arsyad di bandara. Arsyad hanya mengangguk. Ia tidak berani mengeluarkan suara, karena sekali bersuara, akan menangis. Dalam keluarga Arsyad ada dua orang yang bernama Kemas Abdul Razak. Kemas Abdul Razak yang pertama adalah pamannya, yang akrab panggil dengan Pakte, ada juga yang memanggilnya “Pakte Gudang”. Satu lagi, Kemas Abdul Razak abang paling tua. Bangsak Razak. Arsyad memanggilnya Bangsak saja. Bangsak menetap di Jambi dan tidak pernah ke Lumajang, sedangkan Pakte Razak sudah di Lumajang. Arsyad menciumi tangan ayuk-ayuk dan keluarga bergantian lalu 54
masuk ke dalam bandara, ia toleh keluarganya sekali lagi sebelum pintu batas ruang tunggu tertutup. Panggilan dari pengeras suara di bandara itu pun tiba. Arsyad membawa barang bawaannya menuju pesawat Dakota. Kecuali koper, karena koper telah diletakkan di bagasi bawah. Hari itu merupakan pertama kali Arsyad naik pesawat, hatinya bukan main senang, tapi bercampur sedih. Selama ini ia selalu bermimpi untuk bisa terbang seperti burung-burung cicap yang ia bidik. Sebentar lagi ia akan merasakan terbang dengan pesawat. Semua orang duduk di kursi masing-masing, memasang sabuk pengaman dan berdoa untuk keselamatan penerbangan. Suara arahan dari kru pesawat terdengar nyaring. Butuh tiga puluh menit kemudian untuk pesawat itu lepas landas. Pertama terbang, Arsyad merasa tak dapat mengendalikan tubuhnya. Ia berpegangan pada kursi penumpang di depannya. Lalu pesawat Dakota itu mencapai ketinggian ribuan kaki. Kendaraan, rumah-rumah, pohon-pohon, tampak kecil. Arsyad lalu teringat nasihat guru Ibrahim, bahwa semua makhluk di dunia ini adalah kecil sekali. Dan kini perkataan guru Ibrahim itu ia rasakan dan saksikan sendiri. Selama perjalanan Arsyad tertidur, dan tiba-tiba sudah mendarat di bandara Kemayoran. Bandara itu ramai seperti biasanya. Orang-orang berlalu lalang hendak pergi ke tujuan mereka masing-masing, sambil menenteng koper atau tas besar mereka. Keluar dari bandara, Kemas Arsyad, Kemas Saleh dan Kemas Fattah mencari tumpangan untuk menuju rumah dari sahabat Babanya. Bus bandara sebenarnya cukup baik untuk ditumpangi, atau malah kalau bisa taksi lebih baik pula. Mereka berempat rencananya akan menginap selama satu malam terlebih dahulu di rumah sahabat Babanya di Jakarta. Mereka bisa melihat-lihat ibukota, terutama Arsyad yang masih berusia sembilan tahun. Ini pertama kalinya ia melihat kota besar, ibukota. Ini pengalaman paling teringat nantinya, karena tentu saja semua yang ia lihat sekarang menjadi kesan tersendiri. Berkeliling ibukota, Arsyad melihat bangunan-bangunan peninggalan Belanda, Istana negara, pasar baru, kawasan kota tua, stasiun kota sampe pelabuhan sunda kelapa. Gedung-gedung yang banyak membuat Arsyad senantiasa melempar pandangan jauh, menyusuri tiap gedung-gedung itu. Kondisi kota Jakarta sudah padat, meski belum se-padat sekarang. 55
Kendaraan berlalu lalang tiada henti penuh hingar bingar. Langitnya kelabu, seperti mengandung rintik air namun tak jatuh. Malamnya, jutaan titik lampu menghiasi kota Jakarta. Berkelap-kelip berkombinasi menjadi rangkaian pemandangan indah. Layaknya bintangbintang yang gemerlapan di atas sana. Malam itu Arsyad menggantungkan cita-citanya di dekat bintang yang paling terang. “Gantungkan cita-citamu setinggi langit, kalau pun jatuh, kau jatuh di antara bintang.” Begitu kata Guru Ibrahim dulu saat mengajar penuh keikhlasan. Setelah menginap semalam di rumah sahabat Babanya di Jakarta, Kemas Arsyad bersama dua Abangnya berangkat menuju stasiun kereta api untuk melanjutkan perjalanan ke Lumajang. 56
Berebut Duduk Dipinggir Kaca Kereta Api “Banyak hal yang bisa daur ulang, namun tidak dengan waktu. Untuk itu, jadikanlah semua waktu mu sebagai pengalaman yang berharga.” – Kemas Arsyad Somad 57
Mereka melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Gambir, lalu membeli tiket jurusan Surabaya, dan berangkat hari itu juga. Sambil melangkah, terbayangbayang dalam benak Arsyad kawan-kawannya di Seberang sedang menikmati genangan air sisa banjir kemarin. Sargawi mungkin sedang melihat-lihat burung berebah yang hendak pulang ke sarang menjelang maghrib. Belum sampai, Arsyad sudah rindu. Perjalanan masih jauh, sela beberapa menit Arsyad bertanya kepada Bang Fattah, “masih lamo kito sampe bang?”. “Masih”. Jawab abangnya singkat. Dalam kereta Arsyad bertanya lagi kepada Bang Saleh, “masih lamo sampenyo bang yo?”.“Masih, Arsyad tiduk be dulu yo”. “Macamano nak tiduk, rindu ini mengganggu”. Jawab Arsyad dalam hati. Agak tenang hati Arsyad ketika kereta mulai berjalan. Matanya dimanjakan berbagai pemandangan sawah hijau dan perkebunan yang cantik, sedap di mata. Namun di satu sisi, perjalanan juga membosankan karena duduk terlalu lama, jauh lebih lama dari naik pesawat. Mendengar obrolan Bang Fattah dan Bang Saleh, Arsyad tak nyambung. Ia menunggu kalau-kalau ada pembicaraan tentang sepak bola, mancing atau metet burung. Tapi tidak ada. Di kereta api Arsyad dan abangnya sempat berebut duduk di pinggir jendela untuk melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. “Bang Fatah, Arsyad nak nengok pemandangan, baik Arsyad bae lah yang dekat kaco,” ujar Arsyad merengek pada abangnya. “Abang duluan duduk sini, Syad. Abang nak nengok pemandangan jugo ni.” “Aii Bang, Arsyad belum pernah. Arsyad nak nengok.” Seketika Kemas Saleh menengahi. “Fattah, bagilah tempat duduk tu ke Arsyad. Biaklah dio masih kecik, belum pernah nengok pemandangan pulak. Kau lah sering nengok, kan? Biaklah dio.” Kemas Saleh memarahi Kemas Fattah yang tak mau mengalah. Akhirnya, Kemas Fattah mengalah dan membiarkan Asryad duduk di dekat jendela. 58
Dari kaca jendela, di luar tampak indah sepanjang jalan mata memandang. Perjalanan panjang yang berdurasi dua puluh lima jam itu akhirnya berakhir. Tiga beradik itu merasakan letih bukan main. Pasalnya, di kereta api tak bisa tidur bebas. Tidur harus sambil duduk. Jangan kira nyaman, yang ada badan pegal-pegal dan leher pun tegang. Kalau sial, bisa jadi barang bawaan sering menghilang saat tidur. Sinar matahari pagi bersinar cerah dan terlihat indah terbit di ufuk timur. Pemandangan sawah terhampar hijau yang disinari mentari menjadi semakin elok jelita. Kereta api itu terus membawa empat anak manusia itu menuju perantauan di tanah Jawa. Hingga akhirnya perjalanan itu sampai di tempat tujuan beberapa jam kemudian. Tanah Jawa begitu sejuk di pagi hari, panas di siang hari dan menggigil di waktu malam. Namun baiknya, orang Jawa merupakan sosok yang ramah dan suka membantu orang lain. Seperti halnya keramahan orang melayu, maka anak-anak rantau itu, terutama Kemas Arsyad Somad yang memang baru pertama kali, mudah beradaptasi di sana. Di perjalanan saja, mereka sesekali bercengkerama dengan penumpang lain. Arsyad, Bang Saleh dan Bang Fattah turun dari kereta api dalam keadaan kusut karena perjalanan tidak bisa langsung, harus transit dahulu beberapa kali. Dari Jambi Arsyad mengenakan baju kemeja kotak-kotak, rapi. Tiba di Jawa, corak kotak-kotak kemejanya berubah menjadi segi lima, segi empat dan ada yang tidak bersegi lagi. Kancing baju bagian bawah sudah tidak terpasang, kerah bajunya naik sebelah. Tas sandang yang tadinya ringan menjadi terasa berat. Arsyad berjalan tidak tegap. Letihnya perjalanan dari Jambi ke Jawa seribu kali lipat dari letihnya metet burung dari pagi sampai sore. Dua abangnya membawa tas-tas besar dan beberapa kardus dari kota asal, Jambi. Suara mesin kereta api hendak kembali berjalan terdengar nyaring di stasiun. Mereka bertiga melangkah menuju pintu keluar stasiun dan mencari tumpangan untuk sampai ke Lumajang. Di Lumajang, Arsyad akan tinggal bersama Pakte Razak. Sedangkan tiga abangnya di rumah paman-pamannya yang lain. Rumah Pakte lah yang nantinya akan menjadi saksi perjuangan bersusah payah mencari ilmu dan pengalaman untuk bekal masa depan dalam meraih impian dan cita-cita. Karena baru, Arsyad merasa canggung tinggal di rumah Pakte Razzak. 59
Ia hanya menatapi langit-langit rumah sambil bengong sekaligus bingung. Sebaliknya, Pakte sangat senang dengan kehadiran Arsyad. Karena memang Pakte belum dikarunia anak. Di rumah Pakte, Arsyad benar-benar seperti anak kandung. Ia disayangi, dididik dan diajarkan bagaimana caranya hidup merantau. *** Suatu hari, setelah beberapa bulan di Lumajang, Pakte berniat untuk menjadikan Arsyad sebagai bendahara atau tukang catat keuangan hasil penjualan beberapa usaha miliknya. Bukan tak percaya, tapi Pakte ingin menguji dulu keponakannya itu. Pakte menyelipkan uang dalam kantong baju Arsyad secara diam-diam dan menunggu respon. Ketika Arsyad hendak memakai bajunya itu, ia merasa ada sesuatu dalam kantong bajunya. Setelah dikeluarkannya, ternyata isi kantongnya adalah beberapa lembar uang kertas. Melihat itu, Arsyad langsung menemui istri Pakte Razak, Nyimas Fatimah. Arsyad memanggilnya, “Bite Timah” dan memberikan uang itu kepada Bite. Pada waktu yang bersamaan, Pakte baru pulang dari bekerja dan melihat Arsyad memberikan uang itu. Setelah menguji keponakannya, Pakte langsung meminta Arsyad untuk membantunya mencatat keuangan dan hasil penjualan barang-barang pada usaha Pakte. Dari sanalah, Arsyad banyak belajar bagaimana caranya mengatur keuangan dan menjaga amanah. Pokoknya, selama Arsyad tinggal bersama Pakte Razak, beliau lah yang mengingatkan dan menasihati Arsyad untuk selalu berada pada niat yang baik dan jalan yang lurus. Bukan hanya itu, ia juga selalu memotivasi mereka agar lebih giat belajar tiap hari. Nasihatnya yang paling membekas adalah soal istiqomah. Bahwa istiqomah itu penting dalam menuntut ilmu, meski pun sedikit atau pada hal kecil. Apa lagi kalau pada hal besar. 60
Pindah ke Sekolah Rakyat Jogowidan-Lumajang “Melepaskan anak untuk pergi jauh merantau merupakan langkah paling tepat untuk mengajarkannya tentang hakikat kehidupan.” – Kemas Arsyad Somad 61
Pada tahun 1955, di Lumajang, Arsyad tidak langsung bisa masuk kembali ke sekolah. Arsyad harus menunggu tahun pelajaran berikutnya untuk menyambung sekolahnya karena Arsyad datang dipertengahan tahun ajar. Setelah beberapa bulan, akhirnya kesempatan itu kembali datang. Arsyad pindah sekolah lagi. Terhitung sudah tiga kali Arsyad pindah sekolah. Dari Sekolah Rakyat 8 di Seberang Kota Jambi pindah ke Sekolah Rakyat 2 Simpang Bata, kini ia pindah lagi ke Sekolah Rakyat 3 Jogowidan, LumajangJawa Timur. Karena ketertinggalannya, ia harus mengulang lagi dari kelas dua. Harusnya Arsyad sudah di kelas tiga. Namun apa mau dikata, ia harus menjalani lagi apa yang seharusnya telah ia selesaikan. Tentu saja ada rasa down di hati Arsyad ketika tak bisa langsung lanjut kelas tiga. Apakah ia malu dan putus asa? Tentu saja tidak. Ia tetap menjalani perlahan dan tidak mengeluh sama-sekali, malah ia terus bersemangat setiap hari menjemput ilmu yang ia impikan. Di SR 3 Jogowidan itu, Arsyad harus kembali beradaptasi pada lingkungan. Tanah baru, pulau baru, kota baru, suasana baru, sekolah baru, kawan-kawan baru dan bahasa baru. Pertama kali masuk, bukan main Arsyad cemas dan kebingungan karena tak cakap berkomunikasi berbahasa Jawa di sekolahnya. Buku-buku ajar memang berbahasa Indonesia, tapi guru-guru lebih banyak menjelaskan menggunakan bahasa daerah. Kawan-kawannya yang baru juga begitu, lebih banyak berbicara menggunakan bahasa Jawa. Arsyad banyak mengangguk, meski dalam hati menggeleng. Semua hal terasa asing. Pokoknya, dari semua yang dianggap bagus dan menyenangkan oleh orang-orang di Lumajang, sama sekali Arsyad tidak tertarik. Dalam dirinya hanya ada rasa rindu. Rindu kampung halaman, Baba, Emak, keluarga, dan Sargawi. Apalagi kalau malam tiba, rindu yang ia rasakan semakin memuncak. Jika hujan turun, jiwa Arsyad berontak, “Aku nak balek ke Jambi bae lah”. Tapi ketika hujan berhenti, motivasi merantau dan menuntut ilmu hadir kembali. 62
Beberapa bulan di Lumajang, Arsyad mulai menyesuaikan diri. Baru saja Arsyad mulai betah, Bang Kemas Saleh tiba-tiba berpamitan dengan Pakte Razak. Katanya, dia akan berangkat ke Malang untuk melanjutkan sekolahnya di sana. Mendengar itu sebenarnya Arsyad ingin protes, karena di Lumajang ia belum menemukan kawan dekat. Hanya keluarga-keluarganya lah tempat bercerita dan mengadukan perihal rindu. Belum ketemu kawan dekat, Bang Kemas Saleh mau pergi meninggalkannya. Tapi Arsyad sadar untuk yang kesekian kalinya bahwa merantau memang sudah tradisi dalam keluarga besarnya. Ia pun berbesar hati ditinggal Bang Kemas Saleh. Kepada anak-anaknya, Kemas Abdussomad memang menekankan agar semuanya menjadi terdidik. Entah kelak mau jadi seperti apa, yang penting sekolah dan merantau dulu. Keluarga Kemas ini dalam bab sekolah, tak puas dengan satu kota saja. Tak puas di Jambi, pergi ke Lumajang, tak puas di Lumajang, pergi pula ke Malang. Tak ada habisnya. Bahkan nanti, Kemas Arsyad Somad berkeliling melintasi Asia, Timur Tengah hingga Eropa. Bang Kemas Saleh berangkat ke Malang, Arsyad pura-pura tidak peduli dengan kepergiannya. Ia tak mau menambah beban rindu, rindu dengan Sargawi saja belum selesai. Tidak lama, jeda tiga hari saja Arsyad sudah lupa dengan Bang Kemas Saleh. Maksudnya, tidak terlalu rindu lagi. Apalagi masih ada Bang Kemas Fattah dan Bang Kemas Fakhruddin. Arsyad pun mulai terbiasa dengan kawan-kawannya di sekolah yang baru. 63
Belajar Bahasa Jawa, Tidak Naik Kelas “Jika semua yang kau usahakan belum berhasil, gantilah formatnya. Jangan tujuannya.” – Kemas Arsyad Somad 64
Hidup adalah tantangan yang harus dilalui. Dan tantangan itu bisa berupa macam-macam. Ada tantangan seorang pemuda bujang yang harus segera menjemput jodohnya yang katanya di tangan Tuhan, kalau tak segera diambil, ia akan tetap di tangan Tuhan. Ada juga tantangan orang tua yang susah hatinya melihat anak gadis mulai remaja. Setiap melihat anak bujang lewat depan rumah, bawaannya curiga. Ada lagi tantangan lain, orang tua punya cita-cita agar anaknya menjadi orang sukses, namun ia tak tau caranya agar anak sukses. Dan tantangan hidup lainnya. Tantangan pertama Arsyad saat beradaptasi di Sekolah Rakyat Jogowidan adalah salah satu penemuan canggih yang pernah ditemukan manusia, yakni tak lain dan tak bukan adalah Bahasa Jawa. Sekolah di Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantarnya. Maka dari itu Arsyad hanya masuk ke kelas, termenung mendengar penjelasan gurunya yang entah apa, lalu purapura mengerti dengan manggut-manggut lima kali, namun menggeleng enam belas kali. Pulang sekolah dan tiba di rumah Pakte Razak, Arsyad tak paham apapun yang dijelaskan guru di sekolah tadi. Kalau pun ada yang ia paham, paling-paling hanya angka-angka yang ditulis di papan tulis dengan kapur putih. Karena memang di Indonesia ini, apapun bahasanya, angka lima tetap ditulis dengan angka lima. Di awal-awal pertemuan, itu saja sudah cukup membuat hati Arsyad senang. Bahasa Jawa bukannya mudah. Banyak kata-kata yang tak selaras dengan bahasa Melayu Jambi, bahkan berbeda dengan format Bahasa Indonesia. Misalnya, untuk menyatakan kata “sangat” atau “benar-benar”, Bahasa Jawa tidak memiliki diksi yang selaras dengan itu. Bahasa Jawa malah menyisipkan prefiks di tengah-tengah kata sifat untuk menekankan hal yang berlebihan. Contoh, kata pintar. Kalau kita ingin menyebutkan sangat pintar dalam Bahasa Jawa maka akan jadi, puintar. Kata cantik, untuk menyatakan sangat cantik dalam Bahasa Jawa, cuantik. Kalau bagian ini, Arsyad paham. “ah bisolah, cuma ditambah huruf ‘u’ bae”. Hebat, huebat. Tampan, tuampan. 65
Begitu pikirnya. Kurang lebih selama tiga bulan Arsyad merasa kesulitan memahami percakapan masyarakat, guru dan kawan-kawannya. Tiga bulan itu ia hanya ikut kelas saja. Paham tak paham, nomor sekian. “yang penting sayo sekolah”. Untungnya, Arsyad adalah tipe anak yang suka bergaul, pandai berkawan, tahan banting, setia kawan dan ‘luwes’. Karena itulah intentsitas hubungan atau interaksi dengan kawan-kawannya – anak-anak Jawa, sangat membantu proses akuisisi Bahasa Jawa-nya. Hingga dalam tiga bulan saja, Arsyad sudah mengerti apa yang dibicarakan lingkungannya dalam Bahasa Jawa, sehingga ia bisa masuk sekolah sekaligus mengerti materi yang dijelaskan guru, meski sangat sedikit. “jadilah”. Ucap Arsyad. Karena keterbatasan tersebut, Arsyad harus menelan kekecewaan lagi. Pertama ia dipaksa kecewa karena harus mengulang dari kelas dua. Dikali yang kedua, Arsyad kecewa lagi, karena ia tidak naik kelas tiga. Pada masa itu, tidak naik kelas merupakan aib besar bagi seorang murid dan orang tuanya menahan malu. Ia akan mendapat cemoohan dari semua lini. Kawan-kawannya memandang sinis dan para tetangga mendapat bahan gosip baru. Jika si anak tak kuat-kuat hati, tahun depan alamat tak naik kelas lagi. Apabila orang tuanya tak sanggup mengendalikan diri, yang keluar dari mulut adalah caci-maki. Semua pihak disalahkan. Alhamdulilah, orang tua Arsyad tidak selemah itu. Sehingga anaknya, Kemas Arsyad Somad tumbuh menjadi anak yang pemberani dan bermental baja yang siap melanjutkan akselerasi kesekian dari para nabi. Bukan Arsyad namanya jika hanya dengan tidak naik kelas lalu menjadi pemalas. Baginya, dalam hidup ini yang harus dipahami adalah “apa adanya”, bukan “apa seharusnya”. Prinsip ini jauh-jauh hari telah diajarkan oleh Bertrand Russel. Sang Filosof asal Inggris. Sementara itu, orang tua Arsyad di Jambi tidak susah hatinya. Karena memang dalam menjalani hidup harus seperti pohon yang berbuah. Di mana orang-orang melemparinya dengan batu, tapi ia membalasnya dengan buah. Setidaknya begitulah yang diajarkan oleh Imam Besar Abu Hamid AlGhazali. Tahun berikutnya, Arsyad menyimpan “dendam” dalam arti yang positif. Jika anak-anak lain belajar hanya lima sampai enam jam perhari, Arsyad belajar sepuluh jam. Rasa rindu ke kampung halaman sudah jarang melintasi 66
kelapanya. Nama Sargawi pun tak muncul lagi. Dalam hatinya seolah terukir kalimat radikal, “mati atau belajar”. Arsyad menjelma menjadi prajurit pendidikan sebelum kelak menjadi pemimpin dalam banyak pertempuran. Hari berlalu, minggu berganti, bulan demi bulan berpindah, dan akhirnya tahun pun menjemputnya. Arsyad keluar sebagai pemenang, naik kelas tiga dengan mengantongi juara kelas. “bendera Jambi Seberang berkibar di Jogowidan”. 67
Mengembangkan Sayap; Pramuka dan Sepak Bola “Pendidikan melalui buku saja belum cukup. Manusia harus melengkapinya dengan belajar dari alam semesta.” – Kemas Arsyad Somad 68
Pergaulan Arsyad bukan hanya sebatas di kelas saat sekolah saja, tetapi lebih dari itu. Memang dasar anak Jambi putra Bungsu Kemas Abdussomad itu suka sekali berinteraksi dan bergaul dengan orang lain di sekitarnya. Sehingga ia tak kehabisan aktivitas dan ikut aktif dalam komunitas berbasis pendidikan formal dan non formal. Arsyad ikut dalam kegiatan organisasi Pramuka yang memang menjadi kegiatan organisasi yang diakui dunia. Di Pramuka, ia bertemu dengan kakakkakak Pembina, dan kawan-kawan sebaya pula. Susah payah ia hafal Dhasa Dharma Pramuka, atau Tri Satya, atau sekedar nyanyian yel-yel penyemangat di organisasi pemuda itu. Selain itu, diajarkan juga cara membuat tandu dari tali dan toyak (tongkat dari kayu). Tali dibuat seperti jaring penyanggah tubuh, diikatkan kepada dua tongkat kayu. Setelah jadi, praktik pertolongan pertama pada kecelakaan pun dilatih oleh kakak Pembina. Pramuka baginya adalah rumah kedua, rumah yang bukan berbentuk bangunan dari bata dan semen. Rumah yang bersifat abstrak tapi tetap begitu nyata dan terasa. Semakin kuat pula lah jiwa patriotnya. Jadwal latihan pramuka seminggu sekali. Setiap hari sabtu. Apa yang Arsyad lakukan di pelatihan pramuka? Sebagian besar adalah permainan yang seru. Sebagian besar bernyanyi riang. Pelajaran yang sering diberikan adalah tentang tali-temali, ikat mengikat, simpul menyimpul. Pelajaran baris-berbaris pun tak luput. Hingga sering berjemur di matahari sore yang hangat. Berjemur? Berlari? Jungkir-balik? Jangan ditanya. “Melintangpukang pun ia siap”. Kakak-kakak pembina tak tau bahwa di Jambi Arsyad telah melakukan semua aktivitas menguji adrenalin semacam itu. Kuat-kuatan tahan napas dalam sungai Batanghari, Arsyad suhunya. “Bekarang” nyari betok, “ngecal” nangkap belut, berpelukan erat dengan induk gabus, bahkan siasat menangkap ikan limbat pun Arsyad lihai. Perlu para pembaca ketahui, ikan limbat memiliki patil tajam nan berbisa. Sedikit saja terkena patilnya, bisa demam dua hari dua malam. Dan Arsyad paham teori serta praktiknya. Oleh 69
karena itu, di pramuka ia diminta untuk memahami urusan tali-menali. “kecil lah itu”. “Butiran rinso”. Selain aktif mengikuti latihan pramuka tiap hari sabtu, hampir setiap hari Arsyad bermain bola bersama kawan-kawannya setelah pulang sekolah. Sekarang, mendengar komentator berbahasa Jawa, Arsyad biasa saja. Sudah paham. Komunikasi dengan kawan-kawan di lapangan bola menggunakan bahasa Jawa, Arsyad telah seirama. Hanya saja intonasinya saja yang agak sumbang. Di lapangan bola, ada teman sebaya, ada pula yang lebih tua, pun juga yang lebih muda. Anak Jawa bermain bola serampangan. Jangan tanya soal strategi, pelatih terhebat dari tim-tim Eropa pun akan kuwalahan melawan kerumunan anak Jawa. Apa yang bisa disepak, disepak. Kadang, tiada bola pun, kaki teman ikut disepak. Kalau tiada kaki teman, cukup pura-pura menyepak saja. Tutup botol yang berserak-serak di lapangan, tidak dianggap. Apalagi hanya sekedar bekas botol air mineral, remeh sekali. Duri-duri rumput pemalu benar-benar malu di hadapan anak-anak itu. Harga dirinya diinjak-injak. Tak berarti sama-sekali. Bahkan bongkot batang senduduk, anak-anak di Jawa menyebutnya “kluruk”, juga dihantam kaki pemain bola amatir anak-anak di Lumajang. Dari kelompok sepak bola anak-anak tanpa nama itu Arsyad mulai bergaul dan memiliki banyak kawan. Bahasa Jawa-nya pun semakin lancar dan terasah. Minimal lancar menurut Arsyad. Hingga ia pun fasih berbahasa Jawa sepenuhnya, (juga menurut Arsyad), terutama Bahasa Ngoko yang biasa sehari-hari dipakai. Namun untuk Bahasa Kromo yang tingkat kehalusannya lebih tinggi, Arsyad belum mendalami. Sepak bola adalah hal wajib yang harus dilakukan Arsyad setiap hari. Rasanya, bagi Arsyad, tiada hari yang indah tanpa sepakbola. Ia bisa berteriak sepuasnya tanpa ada yang memarahi. Lari-lari kesana kemari. Keringat yang mengucur deras dari seluruh tubuh yang aromanya melebih dari aroma belut sawah, lalu keseruan berteriak goal dan serasa jadi pahlawan yang mengharumkan nama negara. Semua itu jadi kegemaran yang tak luput dari aktivitasnya setiap hari. Lumajang telah memberi kesan tersendiri baginya. 70
Rajin ke Sawah “Yang namanya membantu, tidak boleh dipandang seberapa besar dan kecilnya. Tapi nilai lah dari usaha dan keinginannya untuk membantu.” – Kemas Arsyad Somad 71
Sejak tinggal di Jawa, selain pandai bergaul, Arsyad juga anak yang rajin membantu Pakte Razak dan Bite Timah. Seringkali ia membantu bekerja di sawah. Libur terutama, pagi-pagi ia sudah bermandikan panas mentari, kaki penuh lumpur, dengan pakaian yang biasa ia pakai ke sawah, membantu mengurusi sawah. Meskipun sebenarnya kehadiran Arsyad lebih kepada mengacau. Tapi bagi orang-orang yang bekerja di sawah, Arsyad rajin membantu dan mengurusi keperluan-keperluan untuk menanam, menjaga dan memanen. Suasana sawah di Jawa jangan ditanya. Keindahannya asli, tidak ada kepura-puraan dalam keindahan itu. Hijau padinya membentang sepanjang mata memandang. Aroma tanah yang begitu menenangkan. Semilir angin selatan yang bertiup kesana-kemari memainkan dedaunan dan batang padi. Sungguh tiada ternilai perasaan menikmatinya. Ditambah lagi ketika musim panen tiba, menghalau burung merupakan aktivitas yang paling menarik. Anak kota tak paham dan tidak tau bagaimana cara menikmatinya. Kalau pun datang ke sawah, paling-paling berjalan menyusuri tepiannya. Sedikit saja tersentuh lumpur sawah, langsung pulang ke rumah. “Lemah”. Selain rajin ke sawah, Arsyad juga rajin beternak membantu Bite Timah. Bite sudah seperti Emaknya. Bite mengasuh dan mendidik Arsyad sejak ia berumur sembilan tahun sampai umur tiga belas tahun. Arsyad diajar oleh Bite bagaimana caranya berternak ayam, bebek, entok dan itik. Bukan hanya berternaknya, tapi Bite juga mengajari Arsyad cara membuat kandangkandang ternaknya itu. Tiap hari memberi makan ternaknya dengan nasi sisa semalam. Ditambah dedak padi yang memiliki kadar karbohidrat dan protein yang cukup bagus untuk hewan. Maka tak heran hewan ternak Arsyad banyak jumlahnya. Sebenarnya itu hewan ternak milik Pakte Razak dan Bite Timah. Arsyad mengaku-ngaku saja. Pakte Razak dan Bite Timah juga mendukung pengakuan keponakannya itu. Kalau sedang ingin makan daging, cukup ambil satu yang besar dan sembelih di belakang rumah Pakte Razak. Lalu direndam air panas dan 72
dicabuti bulunya. Tak perlu beli daging ke pasar. Malamnya sudah jadi gulai atau opor. Anak kota bisa begitu? Ku rasa, tidak. Bentuk asli entok dan itik saja masih samar dalam kepalanya. Beda dengan Arsyad, ia paham secara mendalam. Arsyad paham tabiat entok, mengerti adat itik, dan hapal gerak-gerik ayam. Terutama ayam jantan. Kalau tabiat ayam betina, Arsyad kurang terlalu paham. Ternyata, tidak hanya manusia perempuan yang sulit dipahami, ayam betina pun susah diterka. Kalau hari raya tiba, lebih banyak hewan ternak yang disembelih untuk disantap makan. Gule jadi menu utama, kadang opor, kadang pula disate dengan bumbu kacang yang menggoda. Rasanya tak tertahankan di tenggorokan. Rasa itu menjadi semakin istimewa karena ayam, entok dan itik milik sendiri dan prosesnya juga dilakukan sendiri. Sebenarnya, makanan pavorit Arsyad adalah menu ikan sungai. Seperti gulai tempoyak, pindang, sambal terasi, dan lain-lain. Meski begitu, di Lumajang ia tetap bisa menikmati makanan-makanan khas Lumajang. Termasuk rawon, sambal petis, cingur dan tahu tek. Di Lumajang, Arsyad tak pernah metet burung lagi. Mungkin karena burung-burung di Jawa terlalu sopan, sehingga Arsyad tak tega. 73
Tahun 1957-1957, Lumajang Banjir Besar “Alam semesta juga ciptaan Tuhan, maka janganlah dirusak. Ketika alam dipandang indah, syukuri lah.” – Kemas Arsyad Somad 74
Musim penghujan datang tanpa diundang ketika sepanjang tahun dilalui oleh bulan yang berakhiran–ber. Tuhan punya kehendak, siapapun tak kuasa membantah. Yang coba-coba membantah, bersiaplah menerima serangan dari makhluk se-isi bumi. Air hujan mengguyur sebebas-bebasnya. Tidak peduli tempat dan waktu. Kalau hujan mau turun, turun saja. Tidak harus memberi tahu penduduk dunia. Kadangkala memberi tanda mendung, tapi nyatanya hanya sebatas tanda. Terserah Tuhanlah. Air punya Dia, bumi juga punya Dia. Pawang hujan boleh beraksi, tapi otoritas ‘pengkabulan’ ada pada Tuhan. Air menderas menghunjam atap-atap rumah, lalu melimpah-limpah memenuhi selokan tiap rumah warga Lumajang. Dari selokan ia kembali mengalir menuju parit-parit. Tak mampu menampung, parit menyerahkan ke sungai-sungai kecil. Sungai kecil itu pun tak punya cukup ‘kamar’, volume air yang berkembang-biak setiap waktu. Centi demi centi ketinggian air meningkat, menderas, membawa lari barang-barang yang tertinggal di pekarangan, termasuk sampah-sampah yang dibuang sembarangan di belakang rumah. Ketika sampah transit di halaman, pemilik rumah, menyumpah. Segala macam disalahkan dan dikambing-hitamkan. Pemerintah menjadi bulan-bulanan bully warga masyarakat. Burung-burung dari atas merasa heran pada manusia-manusia yang begitu. “Dia yang salah, malah menyalahkan yang lain”. Begitu gumam burung-burung. Tidak hanya manusia yang gaduh, tikus got juga panik. Istana mereka terendam. Stok makanan hanyut dibawa arus. Anak-cucu terpisah. Saat itu, lawan jadi kawan. Terbalik dengan manusia, kawan jadi lawan. Saling menyalahkan dan melepas tanggung-jawab. Cacing tanah bangkit dari kubur dan numpang hidup sela-sela pelepah yang mengapung. Cacing gila mendadak sadar, mendadak kalem, tidak melenting-lenting seperti biasa. Di pelepah kelapa yang mengapung, mereka rukun dengan cacing tanah. Tapi cemas dan merasa terancam, karena 75
ternyata kala jengking dan kelabang alias lipan juga menumpang di pelepah yang sama. Untung saja ular-ular tidak disitu juga. Ular lebih senang menepi, melingkar di pagar-pagar rumah warga. Di pagar itu, mereka juga cemas seperti cacing yang berdampingan dengan kala jengking. Cemas ditangkap pemilik rumah, lalu di arak keliling gang atau dihukum dengan cara digilas ban mobil di jalan-jalan yang belum tergenang air. Yang sedikit aman, adalah burung-burung. Kata mereka, “aku sekarang di atas”. Burung-burung itu baru berani bilang begitu, padahal selama ini mereka memang di atas. Tak butuh waktu lama air itu menyentuh lantai-lantai rumah terendah terlebih dahulu. Jalan-jalan yang dilalui kendaraan pun harus terendam. Di anak sungai dekat rumah Pakte Razak yang ditinggali Arsyad, sebuah jembatan penghubung dari kayu itu tak kuat menahan keperkasaan air. Ia menyerah dan roboh, lalu puing-puingnya kabur disapu banjir. Bukan hanya satu, jembatan lain pun banyak yang roboh, namun yang satu itu penting. Mengapa? Karena itu jembatan satu-satunya menuju sekolah Arsyad. Seperti biasa, banjir membuat listrik tak bisa dinyalakan. Malam gelap dan sepi seperti kuburan dikampung-kampung. Kuburan di kota tidak segelap itu. Malah kuburan di kota berada di tengah-tengah. Maka orang kota sudah tidak ada lagi yang ‘ngelok’ cari nomor untuk dipasang main judi. Orang kampung sebagian masih ada yang begitu. Karena suasananya mendukung. Orang kota sekarang main judinya di ruang tamu, dengan penerangan lampu ber-watt besar. Main judi terang-terangan ditempat terang benderang. Gelap saja malaikat nampak, apalagi terang. Seminggu kemudian air perlahan surut. Keperkasaannya menyusut dan mengalir, bermuara ke ujung laut. Hingga sungai itu hanya menyisakan batu-batu besar. Air mengalir di sela-selanya. Tempat ikan mengajari anakanaknya mencari makan. Atau sekedar bermain-main melawan arus yang menderu. Ladas. Karena jembatan itu roboh, dan jalan terputus, maka setiap pagi anak-anak harus menjinjing sepatu, menyingsing celana dan berhatihati melompati batu demi batu menuju seberang. Pasalnya, mereka harus berangkat ke sekolah. Kalau menunggu jembatan diperbaiki, butuh berbulanbulan lamanya, bahkan bisa jadi memakan tahun. Maka dari itu, Arsyad dan kawan-kawannya harus mengarungi sungai. Anak kota paham itu? Mungkin paham, tapi kurang meresapi. 76
Hebatnya Arsyad dan anak-anak Lumajang, mereka tetap bersekolah dan tidak terpengaruh sama-sekali. 77
Bermain Pedang-Pedangan Hingga Latihan Boxing “Dahulu, anak-anak bermain pedang-pedangan menyalurkan imajinasinya. Sekarang, imajinasi anak-anak menjadi kaku karena orang tuanya tidak paham dunia anak.” – Kemas Arsyad Somad 78
Jika ada teman yang paling sering berkelahi dengan Arsyad, Isnan adalah orangnya. Tapi mereka bukan berkelahi karena saling membenci. Berkelahi terkadang adalah ekspresi lain dari hubungan perteNawawi yang akrab. Mereka berkelahi dengan pedang-pedangan, berlagak jadi pendekar yang kala itu sering diceritakan oleh tetua kampung. Kisah Mahabharata, kisah perang Bharatayudha antara Pandawa Lima dan Kurawa, kisah Ramayana dan kisah Purwa. Imajinasi kolaboratif sebagai bentuk praktik kongkrit mengingat sejarah masa lalu. Karena sering berkelahi itu, akhirnya mereka ikut salah satu cabang olahraga keras, tinju. Kebetulan, di belakang rumah, memang ada latihan tinju. Arsyad yang memang suka bergaul tak melewatkan kesempatan untuk mengikutinya pula. Arsyad tak heran dengan dunia tinju-meninju. Di Kampung halamannya di Tanjung Pasir, ia sering melihat orang-orang ‘betinju’. Bahkan di Tanjung Pasir waktu itu kalau ada perlombaan sepak bola, para penonton seolah-olah membeli dua tiket. Tiket sepak bola dan tiket nonton tinju. Sebelum laga sepak bola dimulai, betinju dulu. Dipertengahan laga, betinju lagi. Diujung laga, juga ditutup dengan tinju. Di Eropa, kalau warganya mau menyaksikan dua olah raga sekaligus, harus membayar tiket mahal. Di Kampung Arsyad, gratis. Olah raga boxing sepertinya tidak terlalu meresap ke dalam hati Arsyad. Segan-doyan juga ia mengikuti. Ikut latihan kalau sedang mood saja. Sepak bola lebih menarik. Namun begitu, makna-makna tersirat dan pelajaran hidup dari boxing dapat dipahami dengan baik oleh Arsyad. Misalnya, sebelum berlaga, yang harus dilawan adalah diri sendiri. Tidak boleh ego dan harus tenang. Agar strategi yang diajarkan oleh palatih bisa diterapkan. “Lawan terberatku adalah diri saya sendiri”, ujar Mike Tyson. Dalam latihan tinju atau ketika laga dimulai, bersiaplah merasakan sakit. Tapi jika sakit itu bisa ditahan dan dilalui dengan baik, akan menjadi juara. Kata Muhammad Ali, “Saya membenci setiap menit dari latihan, tapi jangan berhenti. Menderitalah sekarang dan jalani sisa hidup sebagai juara”. 79
Pelajaran-pelajaran itulah yang melekat dalam diri Arsyad. Sebagai anak lelaki, ia sadar kelak akan sendiri. Jika bukan diri sendiri, siapa lagi yang akan diandalkan? Kalau hidup mengandalkan orang lain, bersiaplah kecewa setiap hari. Olah raga tinju telah mengajarkan Arsyad untuk siap menjalani hidup yang masih jauh dan panjang. Mentalitasnya sebagai juara, kelak akan mengantarkannya sebagai pemenang yang sebenarnya. 80
Naik Kelas 5 SR, Pulang Ke Jambi “Jika boleh diberi hukum, merantau itu hukumnya harus. Dan pulang ke kampung halaman untuk mengabdikan diri hukumnya wajib.” – Kemas Arsyad Somad 81
Tahun 1959, empat tahun berlalu, Arsyad sudah seperti asli orang Lumajang. Ia hapal Budaya Jawa, tata krama, sopan santun, makanan, musim, bahasa dan hal-hal lain yang tidak ada di Kampung halamannya di Tanjung Pasir. Meski sudah lama dan mampu beradaptasi dengan baik, rasa rindu kampung halaman, rindu memeluk Baba dan Emak, tidak bisa hilang. Arsyad tiba-tiba ingin pulang ke Jambi. Bohong kalau anak sekecil Kemas Arsyad tak pernah menangis karena jauh dari orang tua. Waktu itu umur Arsyad tiga belas tahun, empat tahun merantau mengikuti abangnya di Pulau Jawa, tepatnya di Lumajang, kini ia merasakan rindu yang amat berat. Dua hari sebelum keinginannya diutarakan ke Pakte Razak, tiap malam ia menangis. Akhirnya Sang Petinju itu menangis juga. Bukan menangis karena ditinju, tapi karena rindu. Dalam kamarnya di Lumajang, sambil menahan rindu, Arsyad memanggil Emak dan Baba. Tapi suaranya pelan. Takut didengar Pakte Razak dan Bite Timah. Wajar, usia tiga belas tahun masih usia anak-anak. Normalnya di usia itu masih dekat dengan orang tua. Masih mengadu, masih dipangku kadangkadang. Lain waktu kadang makan juga disuapi. Empat tahun Arsyad kecil tidak merasakan itu. Jangan kan Arsyad, mahasiswa umur dua puluh tahun saja masih menangis rindu dengan Emak. Waktu demi waktu terus berlalu, kini Arsyad telah duduk di kelas lima Sekolah Rakyat Jogowidan. Karena sudah tak kuat menahan rindu, Arsyad pun mengatakan hal itu pada Bite Timah dan Pakte Razak. Bite paham, ia tersenyum melihat keponakannya itu. Sebenarnya Pakte dan Bite telah berencana menyuruh Arsyad pulang dulu ke Jambi. Tapi karena melihat Arsyad kuat dan biasa-biasa saja, rencana itu tak disampaikannya. Sekarang, keponakannya telah mengutarakan ingin pulang. Bite dan Pakte memeluk Arsyad sambil berkata, “Besiaplah, besok Te belikan karcis yo”. Mendengar itu, Arsyad merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. “hah, iyo nian Te yo? Mokase banyak Te”. Ucap Arsyad, senang. Pelukan Arsyad semakin kuat, lalu dilepaskannya. Begitu lepas pelukan itu, Arsyad 82
melenting, berlari, melesat menuju kamar. Dalam kamar ia mengambil tas ransel agak besar, lebih besar darinya, membuka lemari sambil bersenandung lagu-lagu Jambi. Bukan main ladasnya. Besoknya Arsyad diantar oleh Pakte Razak ke terminal kereta api. Pakte menunggu di terminal sampai kereta api yang membawa Arsyad berangkat. Arsyad berangkat, Pakte Razak pulang ke rumahnya. Dalam kereta Arsyad tidak sendiri, ia berangkat bersama para perantau lainnya yang punya kepentingan dan tujuan masing-massing. Ada yang pergi untuk kembali bekerja di Jakarta, ada yang baru ingin mencari pekerjaan, ada yang nekad pergi tanpa tujuan, ada yang pergi karena merajuk ditinggal nikah oleh pacarnya, ada yang sengaja ke Jakarta hanya untuk sedekar menghabiskan uang, ada yang macam Arsyad, ke Jakarta hanya transit, lalu melanjutkan perjalanan ke Aceh, Medan, Pekan Baru, Palembang, Lampung dan daerah-daerah lainnya. Arsyad yakin, mungkin sebagian besar dari penumpang-penumpang itu adalah orang-orang yang rindu. Sama seperti dirinya. Penumpang kereta api memang banyak, tapi Arsyad merasa sendirian. Bang Kemas Fattah dan Bang Kemas Fakhruddin di Lumajang, Bang Kemas Saleh di Malang melanjutkan sekolah. Arsyad pulang ke Jambi sendirian. Meski begitu, sedikit pun tidak ada rasa khawatir dalam dirinya. Didikan Baba, Emak dan abang-abangnya telah membuat mental Arsyad kuat macam baja. Terutama Babanya, telah banyak memberikan wejangan dalam menjalani hidup. Baba Arsyad telah banyak memberikan bekal kepadanya. Bab merantau, Baba telah mengajarkan triknya. Pasal tentang cara berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal, Arsyad telah tamat 16 SKS. Cara bergaul dengan kawan-kawan, Baba mengajarkan teori serta praktikkan. Dari bayi sampai umur delapan tahun, dua puluh empat jam Arsyad dibreefing oleh Baba dan Emak tentang kesopanan, tata krama, cara berbahasa, cara menghargai, menerima kekurangan dan menyikapi kelebihan. Maka wajar saja Arsyad tumbuh menjadi anak yang pemberani. Tiba di Jakarta, ia menginap di rumah Te Mukhtar di daerah Mangga Besar, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jambi. Ia menginap semalam di sana. Malam itu di rumah Te Mukhtar, ternyata juga ada Busu Kemas Abdullah yang waktu itu adalah anggota DPRD Kota Madya-Jambi sedang 83
ada kegiatan ke Jakarta. Arsyad dan Busu Abdullah sama-sama menginap di sana sebelum esok harinya akan berangkat ke Jambi. 84
Jakarta-Palembang Naik Pesawat, Palembang-Jambi Naik Ambulan “Perencanaan, penting. Tapi aksi jauh lebih penting.” – Kemas Arsyad Somad 85
Busu Kemas Abdullah juga akan pulang ke Jambi. Busu Kemas Abdullah adalah anak dari Kemas Muhammad Saleh bin Kemas Muhammad Yasin pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam Tanjung Pasir Seberang Kota Jambi. Mendengar bahwa Busu Kemas Abdullah juga akan pulang ke Jambi, Arsyad merasa lega, tenang dan senang. Pagi hari, Arsyad berpamitan kepada Te Mukhtar, Busu pun begitu. Mereka berdua naik taxi ke bandara Kemayoran. Tiket pesawat telah dipesan, Jakarta-Palembang dan landing di bandara Talang Betutu. Sedangkan rute ke Jambi langsung belum ada. Dalam perjalanan dari Lumajang ke Jakarta Arsyad hanya menghayal sambil menahan rindu, kali ini perjalanan Jakarta menuju Jambi ditemani oleh Busunya. Busu adalah panggilan untuk seorang paman yang paling bungsu. Setelah duduk manis dalam pesawat, tak lain dan tak bukan, isi perasaan Arsyad hanya senang, girang dan senyum-senyum sendiri. Selain Busu Kemas Abdullah, tidak ada yang tau sebabnya. Sedang senang itu, Arsyad langsung menghayal lagi sambil mendengarkan arahan dari pramugari melalui ‘toa’ canggih dalam pesawat. “Ladies and gentlemen, welcome onboard Flight... with service from Jakarta to Palembang We are currently third in line for take-off and are expected to be in the air in approximately ten minutes time. We ask you to please fasten your seatbelts at this time, and secure all baggage underneath your seat or in the overhead compartments.” “We also ask that your seats and folding trays are in the upright position for takeoff. Thank you for choosing The Airlines. Enjoy your flight.” Begitu kira-kira. Arsyad menjawab pramuragi itu dalam hati, “you’re welcome. Sayo enjoy kalu lah sampe di rumah Emak dan Baba”. Dalam pesawat, sesekali Busu bertanya tentang pengalaman Arsyad selama empat tahun di Lumajang. Pantang ditanya, satu pertanyaan Busu, empat belas jawaban Arsyad. Mulai dari susahnya belajar Bahasa Jawa, tidak 86