The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Fajri Al-Mughni, 2023-12-14 10:28:09

KEMAS ARSYAD SOMAD 1

KEMAS ARSYAD SOMAD 1

Keywords: fajri al mughni

berjalan, pun kawan-kawannya tidak bisa ditinggal begitu saja. Apalagi ia merupakan penggerak utamanya. Ditambah lagi memang program yang sedang dijalankan Arsyad dan kawan-kawan merupakan program penting. Yaitu mengenalkan UNJA ke masyarakat luas. Pada waktu itu UNJA masih belum seperti sekarang, lokasinya masih berada di Pasar Kota Jambi dengan fasilitas yang seadanya. Hal ini kemudian memunculkan image bahwa UNJA masih jauh tertinggal dengan perguruanperguruan Tinggi yang ada di luar Provinsi Jambi. Arsyad sadar dan paham konsekuesinya. Ia tidak bisa mengikuti ujian kenaikan tingkat dua pada gelombang pertama. Ia menjelaskan dengan lemah lembut, tidak sama-sekali ada unsur melawan apalagi melanggar aturan kampus. “Mohon maaf bapak, program sosialisasi kami tinggal sedikit lagi, izinkan kami untuk menyelesaikannya. Soal ujian kenaikan tingkat gelombang pertama ini, tidak apa-apa saya ketinggalan. Jika diizinkan, insya Allah saya akan ikut perkuliahan dan ujian kenaikan pada gelombang kedua”. Begitu pinta Arsyad kepada Dekan Fakultas Hukum. Mendengar itu, pak Dekan pun mengizinkannya untuk melanjutkan kegiatan sosialisasi dan memberi peluang kepada Arsyad untuk mengikuti ujian kenaikan pada gelombang kedua. Satu persoalan diselesaikan dengan bijak oleh Arsyad. Namun dalam perjalanan tour keliling Jambi, dalam hatinya Arsyad tetap merasa bersalah. Karena Babanya selalu berpesan bahwa organisasi harus terus sejalan dengan kegiatan akademik. Organisasi jalan, prestasi akademik harus juga baik. Tapi program ini harus ia selesaikan. Ia kembali menjelaskan kepada Baba dan Emak tentang kondisinya, dan berjanji akan segera mengganti ketertinggalannya. “Ba, Mak, ujian kenaikan tingkat di gelombang duo, Arsyad insya Allah ikut. Sudah ngomong jugo samo dosen-dosen dan dekan Fakultas Hukum”. Arsyad menjelaskan pelan-pelan denga penuh kesopanan kepada Baba, terutama kepada Emak yang pada waktu itu sedang sakit. Arsyad kembali fokus pada program-program sosialisasinya. Setelah semua program berjalan sesuai dengan rencana, ia kembali kepada tugas inti sebagai seorang mahasiswa. Ia belajar dengan rajin dan menghapal untuk menghadapi ujian kenaikan tingkat gelombang kedua. Alhamdulilah, pihak 137


kampus pun memberi kesempatan kepada Arsyad untuk bisa mengikuti ujian periode berikutnya. Musim ujian sudah dekat, sementara kondisi Emak semakin kurang baik. Sambal melanjutkan kuliah, Arsyad tetap fokus menjaga dan merawat Emak yang sedang sakit kangker leher. Emak banyak memberikan nasihat kepada Arsyad. Apalagi Emaknya tau betul anak bungsunya itu. Kepada Emak, Arsyad mengatakan bahwa kuliahnya akan diselesaikan dengan cepat. Kalau ada rizki dan kesempatan, Insya Allah setelah selesai Sarjana Muda, ia akan melanjutkan ke jenjang Strata Satu. Emak tersenyum bangga mendengar itu, kemudian meminta Arsyad untuk terus rajin berjalar dan kelak bisa melanjutkan perjuangan Datuk dan Babanya, yaitu sebagai guru atau pendidik, serta mengabdikan diri untuk negeri. Kabar tentang kondisi kesehatan Emak yang semakin hari semakin menurun sampai kepada sanak keluarga. Mereka pun berdatangan untuk menjenguk dan mendokan kesembuhan Emak. Namun, Allah SWT sebagai pemilik semuanya berkehendak lain, anak-cucu dan keluarga menyayangi Emak, tapi Allah lebih menyayangi Emak Arsyad. Pada hari semua keluarga berkumpul, Hj Kaltum Bin Sayyid Syaikh H. Zaini Hasan dipanggilnya menghadap Allah SWT. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Arsyad sangat terpukul, bahkah sempat terlintas tidak akan mengikuti ujian kenaikan tingkat. Tapi Baba, keluarga, abang dan ayuk-ayuknya bersama-sama saling menguatkan adik bungsunya itu agar tetap kuat, semangat dalam menggapai cita-citanya. *** Setelah beberapa minggu kepergian Emak, Arsyad banyak mendapat nasihat dari sanak-keluarga bahwa tidak boleh terus-terusan bersedih. Cita-cita dalam mencari ilmu dan pengalaman harus terus dilanjutkan. Oleh karena itulah, Arsyad kembali bersemangat dan termotivasi. Ia mulai kembali melihat-lihat buku pelajaran. Karena tidak lama lagi Kampus akan melaksanakan ujian kenaikan tingkat. Sambil belajar dan membaca buku, ia selalu terkenang pesan Emak. Tergenang air matanya di dalam, lalu menetes. Mengingat pesan Emak, Arsyad tambah semangat. Tibalah harinya Arsyad mengikuti ujian kenaikan semester. Ia mengikuti proses ujian dengan baik. Hasilnya, Arsyad lulus dan naik ketingkat dua. 138


Setelah lulus dan naik ketingkat dua, Arsyad kembali aktif berorganisasi. Pada tingkat dua itu, ia dan kawan-kawan membentuk Badan Kerjasama Dewan dan Senat Mahasiswa. Gabungan dari beberapa perguruan Tinggi yang ada di Jambi, diantaranya adalah APDN, IKIP, UNJA dan AAN. Kemas Arsyad Somad kembali diplot untuk menjadi ketuanya, sekretarisnya Junaedi T. Noor dari APDN. Setelah dilantik, mereka langsung berangkat Kongres Dewan-Dewan Mahasiswa di Bali. Yang berangkat waktu adalah Kuris, Hasan, Arsyad, Junaedi T. Noor dan kawan-kawan yang lain. Waktu terus berlalu, Arsyad naik ke tingkat tiga. Kiprahnya sebagai mahasiswa kian diperhitungkan. Terutama pada PMII. Bersama PMII Arsyad benar-benar menjadi seorang mahasiswa yang aktif pada semua lini. Budaya akademisnya sebagai mahasiswa terbilang sukses dan lancar. Begitu juga dengan pergerakan organisasinya, ia dikenal sebagai mahasiswa yang pandai berorasi dan melakukan komunikasi lobi internasional. Arsyad tidak sendiri, ia bersama-sama dengan kawan seperjuangan. Diantaranya adalah Anwar Kertopati, Zaharudin, Yulian Ahmad, Tabrani Kasma dan lain-lain. Karena keaktifan dalam berorganisasi dan kesuksesannya dalam dunia akademis, ketika masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat 4, pada tahun 1970, ia diangkat menjadi asisten dosen dan mengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum untuk mahasiswa tingkat 1. Honornya dari mengajar sebesar 5 ribu perbulan. Diantara dosen-dosen Fakultas Hukum yang sangat membekas dalam ingatan Arsyad adalah Ansori Ahmad, Amri Payung, Idris Djakfar, Teuku A Rahman (Kajati), Kajati Sasongko, Pangdam V Tengku Sulaiman, Amran (Kepala Kantor Pajak), Mahasyim (Kepala Agraria), Rusli Ram (Polisi) dan Amir Paturusi (Jaksa). Pada tahun 1971, Arsyad menyelesaikan Sarjana Muda. Meski sudah tamat, bukan berarti lalu ia meninggalkan UNJA, namun sebaliknya, ia tetap dipercaya untuk menjadi bagian dari UNJA. Ia tetap mengajar sebagai dosen dan membimbing adik-adik mahasiswa dalam berorganisasi. Pada bulan Januari 1971, Arsyad dan kawan-kawannya di Dewan Senat juga mengikuti kegiatan Musyawarah Nasional Mahasiswa Fakultas Hukum Negeri yang dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Mashuri, SH yang dilaksanakan di Semarang, Januari 1971. Dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang ia ikuti selama menjadi asisten dosen dan menjadi dosen. Tidak hanya mengajar dan berorganisasi, 139


Arsyad juga pernah ikut mencalonkan diri menjadi calon legislatif DPRD Kotamadya dan Provinsi Jambi dari partai NU pada pemilu 5 juli 1971, waktu itu umurnya baru 26 tahun. Ia tidak terpilih dan dapat nomor urut 3 (Kotamadya), Nomor urut 10 (Provinsi Jambi). Karena telah mendapatkan gelar dan melihat prestasinya, ia pun diminta untuk menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum UNJA. Terhitung, pada tanggal 1 Desember 1971, SK PNS nya keluar dengan pangkat 2 B dan gaji 15 ribu perbulan. *** Waktu terus berjalan, Kemas Arsyad Somad muda mulai beranjak dewasa. Meski masih muda, tapi perjalanan organisasinya telah lebih dari tua. Hari-harinya diisi dengan aktivitas organisasi, belajar, bersilaturahim dengan keluarga dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya. Selain itu, pada waktu senggang Arsyad sering berdiskusi dengan sepupu ayahnya Pakndek Kemas Zahari yang saat itu wakil ketua DPRD-GR Kota Madya Jambi. Tahun-tahun berlalu, Arsyad kemudian merasa perlu melanjutkan kuliahnya pada jenjang Strata Satu. Namun pada waktu itu, Strata Satu belum ada di UNJA. Karena UNJA masih termasuk golongan Universitas Madya, kesarjanaan akhir adalah Sarjana Muda. Untuk tingkatan Strata Satu hanya ada di Palembang, UNSRI. Karena motivasi Baba dan Emak adalah pendidikan, Arsyad pun berniat melanjutkan kuliah di Palembang. 140


Ke Singapura “Sebaik-baiknya perjalanan, adalah merantau mencari ilmu dan pengalaman.” – Kemas Arsyad Somad 141


Pada tahun 1971, Kemas Arsyad Somad lulus Sarjana Muda. Ia berniat untuk melanjutkan kuliah jenjang Strata Satu di UNSRI-Palembang. Tapi, sebelum ke Palembang, Arsyad berencana merantau dulu ke Luar Negeri. Ia juga berniat untuk dapat menunaikan haji. Karena niatnya merantau telah kuat, Luar Negeri pertama yang akan dikunjungi Arsyad adalah Singapura. Niatnya sudah bulat untuk berangkat ke Singapura sebelum nanti melanjutkan kuliah di Palembang. Bekal disiapkan, identitas seperti paspor dan lain-lain juga sudah ada. Waktu itu pembuatan paspornya dibantu oleh Naswen, mahasiswa UNJA dan juga sebagai kepala Imigrasi Jambi. Setelah semuanya siap, Arsyad meminta izin kepada Baba dan keluarga. Karena Baba sudah paham dan yakin dengan anak bungsunya ini, beliau mengizinkan dan memberi uang saku tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Tepat di bulan Ramadhan, tahun 1971 Arsyad berangkat ke Singapura naik kapal Amba Batua. Karena berangkatnya di bulan ramadhan, Arsyad bisa berhemat uang saku. Dalam kapal Arsyad menikmati keindahan laut, berpikir dan berhayal. Satu diantara banyak hayalannya adalah ingin bekerja menjadi guru di Singapura atau Malaysia. Anak muda ini sepertinya memang haus akan ilmu dan pengalaman. Usut punya usut, Arsyad muda memang terobsesi dengan Negeri Seberang, Malaysia dan Singapura. Hal tersebut berawal dari kesukaannya mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh artis-artis malaysia. Utamanya P. Ramlee dan Saloma. Memang pada tahun-tahun itu, anak muda Jambi sedang tergila-gila dengan lagu-lagu Malaysia. Sampai-sampai membuat pendengarnya ingin hidup dan menetap di sana. Bahkan hayalan Arsyad tidak hanya sampai di Malaysia dan Singapura, di tengah laut itu, hayalannya pun jauh ke negeri tempat lahir Nabi Muhammad Saw. Mekah al Mukarromah. Tidak lama setelah berhayal tentang negeri Mekah, tiba-tiba muncul Belanda, Jerman, Turki dan negera-negara lain dalam benaknya. Hayalan calon pemimpin 142


memang beda. Selain dari hayalan-hayalan indahnya itu, Arsyad juga menyimpan banyak keraguan. Betapa tidak, ini merupakan kali pertama Arsyad ke Luar Negeri. Ke Singapura pun tak tentu hendak kemana. Nekad. Arsyad memang ragu dan bimbang, tapi sedikitpun tidak terlintas rasa takut. Cikal bakal jiwa kepemimpinan memang sudah ada sejak ia masih kecil, remaja hingga menjelang dewasa. Dalam kapal Amba Batua ada pedagang yang menjual koran dan majalah-majalah. Arsyad melihat majalah-majalah itu dan membeli beberapa majalah. Majalah itu sama sekali tidak ia baca, tapi langsung dimasukkan dalam tas. Dalam hatinya, “Agek sayo baco dan bisa jadi ado manfaatnyo. Yaa paling tidak ketika sampai di Singapura daripado bingung, mending baco majalah”. Arsyad kembali ke tempat duduk dan menikmati lagi perjalanannya. Sesekali ia tertidur, tapi tak nyenyak. Dalam tidur ia pun berhayal. Sebenarnya tidak jelas juga apakah itu berhayal atau bermimpi. Sekira dua hari perjalanan dalam kapal, Arsyad banyak belajar dan “menguping” pembicaraan orangorang dalam kapal. Kadang ikut nimbrung pembicaraan. Tidak lain, hal itu merupakan cara Arsyad belajar bagaimana nanti hidup di Singapura. Hampir dua hari dua malam dalam perjalanan, akhirnya kapal Amba Batua tiba di pelabuhan Singapura waktu subuh. Penumpang lainnya langsung bergegas keluar kapal dengan cepat. Karena bisa dipastikan mereka sudah jelas maksud dan tujuannya. Berbeda dengan Arsyad yang santai saja, karena dalam santai itu ia berpikir. “Sayo ni nak kemano”. Meski lambat Arsyad berjalan keluar kapal, tetap saja kakinya sampai ke daratan Singapura. Akhirnya Arsyad tiba di Kota Singa, sebuah Kota yang konon sejarahnya tidak ada singa, namun Sang Nila Utama, pendiri dan pemberi nama Singapura mungkin dahulu kala melihat harimau, tapi ia kira seekor singa. Jadilah ia Kota Singa. Ketika tiba di Kota Singa, Arsyad yang memang dikenal pemuda cerdas, tidak kehabisan akal. Ia coba mencari alamat kedutaan Republik Indonesia di Singapura. Arsyad berjalan dipinggir Kota dan menyetop taksi. Tapi ia merasa aneh, mengapa semua taxi yang ia setop tidak mau mengantarnya. Ya jelas tidak maulah, karena semua taxi yang distop ia tawar harga, sementara semua taxi standarnya adalah kilo meter, taximeter atau argometer yang 143


biasa disingkat dengan argo. Pikir Arsyad, daripada kering berjemur di tengah Kota Singa, ia pun ikut aturan main taxi. Pokoknya naik saja, entah uangnya cukup atau tidak, soal nanti. Kalau tidak cukup, minta saja di kedutaan. Kalau bukan bermental pejuang, mungkin Arsyad sudah berenang pulang ke Jambi. Begitu sampai di kedutaan, supir taxi meminta bayaran. Arsyad yang sudah menukarkan uang rupiahnya ke uang Singapura ketika di kapal lalu membayar taxi, alhamdulilah uangnya cukup. Tiba di kedutaan jam depalan pagi waktu Singapura. 144


Majalah Sebagai Senjata Utama “Manusia dilengkapi dengan pikiran, siapa saja yang mengabaikannya, bersiaplah merugi.” – Kemas Arsyad Somad 145


Setibanya di dalam kedutaan, Arsyad melihat-lihat situasi, ia duduk pada tempat antrian orang-orang Indonesia yang mengurus berbagai macam administrasi. Tidak jauh dari tempat duduknya, Arsyad melihat seorang laki-laki dewasa yang beranjak tua duduk sambil menunggu antrian. Raut wajahnya jelas kelihatan bahwa orang itu penuh dengan pengalaman. Garisgaris keningnya menunjukkan bahwa ia merupakan pekerja keras. Jaket yang dikenakannya menggambarkan jati diri seorang lelaki tangguh. Celana jeansnya memunculkan aura tegas. Sepatu kets yang dipakainya tidak begitu jelas mereknya, warnanya sudah pudar digerus alam, dan kondisi itu bisa ditafsirkan bahwa ia telah melakukan perjalanan panjang yang melelahkan. Arsyad merasa tertarik untuk mendekatinya dan mencoba menyusun strategi bagaimana cara agar bisa berkomunikasi dengan lelaki itu. Arsyad berpindah tempat duduk tepat disebelahnya, tapi belum berani memulai percakapan. Ia masih mencari-cari strategi yang tepat. Sekira dua menit berdiam diri, Arsyad teringat dengan majalah yang ia beli di kapal Amba Batua. Cepat ia keluarkan beberapa majalah dari dalam tas, strategi pertama dimainkan, Arsyad mulai berakting. Ia menyilangkan kaki kanan ke kaki kiri, sambil membuka lembar demi lembar majalahnya. Sambil membaca majalah, matanya melirik ke sebelah kiri. Menunggu respon dari lelaki yang berada disebelahnya. Strategi ini berhasil, lelaki itu menyapa Arsyad; “wah banyak mas majalahnya”. Arsyad menjawab cepat, karena memang jawaban itu sudah ia siapkan. “ia Pak, Bapak mau baca silahkan”. Siasat perang orang Jambi Seberang memang jitu. Keduanya saling membuka tiap lembar majalah dan sesekali bertanya. Arsyad bertanya, “Datang dari mana pak?” “Saya dari Jogja mas, sampean darimana? “Saya dari Jambi” Dari majalah inilah Arsyad memulai banyak percapakan dengan lelaki 146


itu. Ia juga menunjukkan dan mengajari Arsyad tentang administrasi apa saja yang harus dilengkapi dan diurus. Arsyad mengikuti lelaki itu dan bersama-sama mengurus semua kelengkapan di kedutaan. Tidak sampai di sana, Arsyad pun ikut dengan lelaki itu untuk mencari penginapan selama di Kota Singa. Secara kebetulan, rumah tempat menginap yang diarahkan oleh lelaki itu adalah rumah Haji Nawawi, warga negara Singapura keturunan Indonesia-Bugis yang biasa mengurus orang-orang Jambi yang berada di jalan pisang-Singapura. Rumah itu menyediakan kamar untuk menginap dengan biaya sewa satu dolar Singapura untuk satu hari. Sore harinya menjelang berbuka puasa, datang lagi dua orang dari Indonesia untuk menyewa kamar sama seperti Arsyad. Satu orang dari Medan, namanya Efendi Siregar, satu lagi orang Minang, Arsyad lupa siapa namanya. Beberapa hari di penginapan itu, Arsyad dekat dengan Efendi Siregar, karena memang latar belakang Efendi Siregar juga Sarjana Muda sama seperti Arsyad. Efendi Siregar Sarjana Perkebunan. Orang-orang memanggil Ronal dengan banyak panggilan. Kadang Efendi Siregar, Siregar, kadang disingkat Regar saja. Kadang juga Regen. Pernah juga Arsyad mendengar Ronal dipanggil “Lae”. Dari sekian banyak panggilan Efendi Siregar, Arsyad memilih “Siregar” atau kadang menyingkatnya dengan “Regar”. Hari-hari berlalu, Arsyad mulai mengenal orang-orang sekitar dan juga akrab dengan pemilik rumah, Pak Haji Nawawi. Waktu itu, Haji Nawawi adalah Bos Travel Haji dan Umroh di Singapura. Selama bulan ramadhan Arsyad dan Siregar tak sempat mencari kerja. Mereka benar-benar menikmati ibadah puasa di Kota Singa. Mencari menu berbuka berdua, sahur berdua, tidur Arsyad sendirian di kamar, Siregar berdua dengan kawannya yang dari Padang. Bulan ramadhan pun sudah diujung, sampai kepada hari lebaran idul fitri, Arsyad bersama masyarakat bersama melaksanakan shalat idul fitri di Masjid Sultan yang berada di jalan Arab Street, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Setelah shalat Idul Fitri, Arsyad diundang makan ketupat oleh Pak Haji Nawawi. Undangan makan khusus untuk Arsyad sendiri. Sambil makan, mereka saling berkenalan dan berbincang-bincang tentang pendidikan dan cara bisa berangkat ke Mekah. Haji Nawawi sangat antusias ketika mendengarkan Arsyad berbicara tentang dunia pendidikan, pemerintahan dan keorganisasian. Arsyad pun begitu, bersemangat mendengarkan Haji Nawawi menceritakan tentang Kota 147


Mekah dan Madinah. Arsyad tertarik, lalu meminta kepada Haji Nawawi untuk mengurus dan memberangkatkannya ke Mekah. 148


Dilema Kemas Arsyad; Berangkat ke Malaysia Bersama Siregar atau ke Mekah dengan Haji Nawawi “Nabi telah memberi contoh dengan berhijrah. Setelah dirasa siap segala sesuatunya, baru lah pulang ke kampung halaman untuk mengabdi.” – Kemas Arsyad Somad 149


Setelah kurang lebih satu bulan di Singapura, beberapa kali Arsyad ditawari berangkat ke Malaysia oleh Siregar. Kata Regar, “Amanlah kau Syad, di Malaysia aku punya kenalan. Kenalan ku itu bukan orang sembarangan. Datuk Tun Musa bin Hitam, namanya. Kalau dah jumpa nanti dengannya, aku pintakan pekerjaan. Buat kau juga. Kau cari dulu duit banyak-banyak, barulah berangkat ke Mekah.” Sebenarnya, Regar tak kenal-kenal amat dengan Datuk Tun Musa Hitam. Hanya saja, Regar dan Datuk Musa Hitam sama-sama dari Sumatera Utara. Dengan begitu, mereka memiliki rasa kekeluargaan karena satu daerah. Bab itu Arsyad sebenarnya tidak terlalu peduli, ia percaya saja dengan Regar. Arsyad yang tak biasa menggunakan kata “Aku”, dengan Regar ia pakai kata itu. “Aku maulah ikut kau ke Malaysia, tapi bisa gak kau carikan aku pekerjaan menjadi guru di sana?” “Ah.. amanlah itu. Nanti ku bilang sama Datuk Musa Hitam.” *** Nama Aslinya Tun Musa bin Hitam. Regar memanggil cepat menjadi Datuk Musaitam. Datuk yang dimaskud bukan karena ia sudah tua, tapi Datuk sebagai gelar penghormatan. Di Malaysia ditulis dengan Dato’. Datuk Musaitam waktu itu seorang Anggota Parlemen di Malaysia dari partai UMNO. Kelak, beliau menjadi Wakil Perdana Menteri Malaysia, Abdul Rozak, juga dari partai UMNO. Pada saat itu yang menjabat Duta Besar di Malaysia adalah Mayjend A. Thalib. Orang Kerinci. Mayjend A. Thalib sempat mengikuti pemilihan Gubernur Jambi tahun 1974, namun kalah. Ajakan Siregar membuat bimbang hati Arsyad. Karena beberapa hari sebelum lebaran, Arsyad telah bicara kepada Haji Nawawibahwa ia ingin berangkat ke Mekah untuk melaksanakan haji. Oleh Pak Azis, nama Arsyad langsung didaftarkan untuk berangkat haji dua bulan ke depan dan telah membayar uang muka sebesar seratus tiga puluh ribu rupiah. Satu sisi, Arsyad memang sangat ingin datang ke Malaysia. Karena selama ini ia 150


memang selalu memimpikan malaysia. Apalagi kalau sudah mendengar lagu-lagu Malaysia, seolah-olah ia sedang berada di negeri Jiran. Di sisi lain, Arsyad juga ingin sekali mengunjungi Kota Mekah. Karena Baba dan Emaknya dulu selalu bercerita tentang keindahan Mekah dengan Ka’bahnya. Di Mekah juga ada datuk, paman dan keluarganya. Mereka pun sudah tau niat Arsyad untuk berangkat ke Mekah. Setelah dipikir-pikir, ke Mekah masih menunggu dua bulan lagi. Sementara ajakan Siregar berangkat ke Malaysia dua hari lagi. Ditambah lagi, cerita Regar sangat meyakinkan. Arsyad mengiyakan ajaka Siregar. Mereka berangkat ke Malaysia. Di Malaysia, Siregar dan Arsyad tinggal di masjid yang berada di Johor Baru, di sana ada perkampungan orang Medan. Nginap di masjid, tapi makan di rumah kenalan Siregar, sesama orang Medan, selama dua hari. Setelah itu mereka berdua naik Bus menuju Kuala Lumpur dan langsung menemui Datuk Musaitam di kantornya. Memang, sebelum berangkat ke Malaysia, Siregar bermaksud meminta carikan pekerjaan kepada Datuk Musaitam. Setelah sampai di Kantor Parlemen dan bertemu dengan Datuk Musaitam, mereka disambut baik oleh Datuk dan diajak makan. Sambil makan itu mata Regar melirik Arsyad, lirikannya menyimpan kalimat, “apa ku bilang Syad, disambutnya kita. Diajak makan pula”. Arsyad balas melirik. Dalam lirikan itu Arsyad membalas, “hebat kau Gar, bakalan kerja kita di Malaysia”. Setelah makan bersama, tanpa berlama-lama, Datuk Musaitam paham bahwa dua anak muda dihadapannya itu pasti sudah tak sabar mendengar cerita tentang pekerjaan. Sebelum menjelaskan, Datuk bertanya; “Siapa nama kau tadi?” “Kemas Arsyad Somad, panggil saja Arsyad, Datuk” “Kau dari Jambi ya? Pernah datang ke Malaysia sebelum ini?” “Iya datuk, dari Jambi Seberang, baru kali ini ke Malaysia” Setelah itu Datuk langsung menjelaskan pekerjaan apa yang akan diberikan kepada Arsyad dan Siregar. “Tempat kerjanya di Serawak, dalam hutan” “Berapa jauh dari sini, Datuk?”. Tanya Siregar “Lumayan jauh, nyeberang pulau” “Ai mak.. bukan lumayannya itu Datuk”. 151


“Itulah tempat kerja yang bisa ku bantu. Klen kan masih muda, cari pengalaman saja”. Kata Datuk Musaitam memotivasi. Mendengar itu, dahi Arsyad mengerenyit. Ia tak banyak bicara. Mendengar Datuk Musaitam bercerita, Arsyad mengangguk saja. Begitulah Arsyad diajarkan oleh Baba dan Emaknya. Dihadapan orang yang lebih orang tua, apa saja cakapnya, iyakan saja. Meski sebenarnya Arsyad dan Regar secara umur tidak terlalu jauh dengan Datuk Musaitam. Sekira 3 atau 4 tahun lebih tua Datuk Musaitam. Berbeda dengan Siregar, banyaklah protes daripada mengangguk. Meski sebenarnya Arsyad paham, Siregar bukan tak sopan. Cuma memang begitulah kalau orang Medan sudah bertemu. Setelah beberapa puluh menit berbicara dengan Datuk Musaitam, dua anak muda ini akhirnya berpamitan dan meminta tempo untuk berpikir terkait pekerjaan tadi. Sambil meninggalkan kantor Datuk Musaitam, dalam hati Arsyad berujar, “kalau ke Malaysia kerjonyo dalam hutan, elok sayo balek ke Jambi. Masih banyak hutan jugo. Apolagi ini di Serawak, masih berbatasan dengan Kalimantan.” Setelah selesai ngobrol dengan Datuk Musaitam, Siregar dan Arsyad jalan-jalan ke kantor pemerintahan Malaysia dan beberapa tempat yang terjangkau. Tejangkau biayanya. Anggap jalan-jalan seperti orang liburanlah. Setelah kurang lebih enam hari di Malaysia, Siregar dan Arsyad memutuskan untuk kembali lagi Kota Singa, Singapura. Sebelum kembali ke Singapura, Siregar memastikan lagi kepada Arsyad; “Cemana Syad, ke Serawak kita?” “Celako kau Gar, ke Serawak itu tidak ada jalan darat. Kapal laut pun belum masuk. Nak ngayuh perahu?” meski pun kuat kita mengayuh perahu, di tengah laut bersiaplah di tangkap Poilsi Laut. Ilegal kita Gar” “Wah, paham kau rupanya Syad”. “Kalau kau mau ke Serawak, pergilah. Di tengah laut, mati kau ditelan ombak. Aku balek ke Singapura sajalah” Gagal mendapat pekerjaan di Malaysia, Arsyad pun kembali ke Singapura. Siregar yang tak mau mati dan hanyut di tengah laut, lalu ikut Arsyad ke Singapura. Mereka berdua tertawa lepas di halaman kantor pemerintahan Malasysia. Tidak Saling menyalahkan. Begitulah perjalanan hidup. Tak puas kalau belum mencoba. 152


Kata Efendi Siregar, di Singapura Banyak Biawak “Terdakang teori tidak sejalan dengan praktik. Tapi setidaknya jangan biarkan teori itu terkatung-katung di awang-awang”. – Kemas Arsyad Somad 153


Di Singapura, mereka kembali kerumah Haji Nawawi. Karena keuangan semakin menipis, Arsyad dan Siregar mencari pekerjaan. Arsyad berharap bisa menjadi guru di Singapura, sedangkan Siregar berharap bisa kerja di kantor kehutanan atau perkebunan. Tapi nyatanya, lowongan pekerjaan itu tak kunjung dapat. Setelah dua hari berselang, mereka mendapatkan pekerjaan, tapi bukan guru atau karyawan kantor kehutanan, melainkan menjadi tukang potong kayu menggunakan mesin di perusahaan Geylang milik orang Cina Singapura. Bagi Arsyad dan Siregar, tidak ada pilihan lain selain menerima pekerjaan itu. Gajinya perminggu 10 Dolar Singapura. Pikir Arsyad, “Jadilah”. Belum seminggu, dua orang anak muda yang tidak terbiasa kerja seperti itu, kompak demam, meriang dan seluruh badan sakit-sakit. Kata Siregar, “badan awak macam dikunyah biawak”. Sambil menggigil, Arsyad tertawa mendengar ucapan Siregar. Karena tak sanggup kerja seperti itu, setelah gaji mereka terima, langsung mengundurkan diri. Arsyad berucap kepada Siregar, “Gar, kita cari pekerjaan lain yang bukan macam dikunyah biawak”. Tapi kali ini, Siregar belum siap bekerja. Arsyad mencari sendiri dibantu oleh kawan-kawannya yang lain. Arsyad mendapat informasi bahwa di daerah Jurong ada lowongan pekerjaan. Jurong adalah kawasan industri yang ada di Singapura. Ia pun berangkat dengan kawan-kawannya. Sampai di Jurong, ternyata lowongan pekerjaannya tidak kalah dengan pekerjaan sebelumnya, yaitu menjadi tukang bangunan. Kerjanya memindahkan batu bata dan mengangkat kerikil untuk pengerjaan gedung bertingkat. Mendengar lowongan pekerjaan itu, Arsyad narik napas panjang. “Benar kata Siregar, ternyata banyak biawak di Singapura”. Karena tidak ada pilihan, daripada tidak dapat uang, Arsyad pun mencoba pekerjaan baru mengangkat batu batu. Gajinya mirip, 10 dolar Singapura satu minggu. Arsyad hanya kuat bekerja seminggu saja. Di Kota Singa, dua kali badannya dikunyah biawak. 154


Berangkat Ke Mekah “Sebelum memutuskan untuk bermimpi keliling dunia, azamkan dalam hati agar dapat berkunjung ke Kota Mekah terlebih dulu.” – Kemas Arsyad Somad 155


Selepas shalat ‘Isya, Haji Nawawi memanggil Arsyad ke rumahnya. Pak Haji mengabarkan bahwa mereka akan segera berangkat ke Mekah untuk melaksanakan haji. Bagi Arsyad, informasi ini sangat menggembirakan. Setelah mimpinya untuk berkunjung ke Malaysia terwujud, sekarang ia akan berangkat menggapai mimpi utamanya, yaitu pergi ke Tanah Suci. Semua persiapan sudah lengkap. Tepat pukul sembilan malam waktu Singapura, Arsyad, Pak Haji Nawawi dan rombongan jamaah Thailand berangkat ke Mekah menggunakan pesawat. Kurang lebih delapan jam perjalanan, rombongan tiba di Jeddah jam 4 subuh, tanggal 27, bulan Januari, tahun 1972. Semua rombongan dibawa ke asrama “Madinatul Hujjaj”. Sebelum berangkat ke Mekah, Arsyad telah menghubungi datuknya Syaikh Zaini Hasan yang sudah sejak lama tinggal di Mekah. Setelah ashar, Syaikh Zaini datang bersama dengan anaknya Abdul Kabir dan keponakannya, Nuruddin. Arsyad kemudian dijemput dan tinggal di apartemen milik Syaikh Zaini Hasan sambil menunggu masa pelaksanaan ibadah haji. Selama di Mekah, Arsyad selalu bersama dengan Abdul Kabir, Nuruddin dan Abdurrahman. Waktu itu, Syaikh Zaini Hasan berprofesi sebagai muthawwif atau pendamping pribadi Syaikh Jum’ah. Seorang imam dan ulama terkemuka pada waktu itu. Tidak hanya menjadi muthawif, Syaikh Zaini Hasan juga memiliki beberapa usaha seperti restoran dan memiliki empat apartemen yang masing-masing terdiri dari enam dan delapan lantai. Dengan kondisi seperti itu, Syaikh Zaini Hasan termasuk kalangan orang-orang yang kaya dan dermawan. Satu diantara empat apartemennya berada di daerah Syam’iyah, tidak jauh dari pasang seng, tempat yang biasa dilalui oleh jamaah haji dan umroh. Sekarang pasar seng sudah tidak ada lagi. Disebut Syam’iyah karena jalur itu dulu dilalui oleh para pedagang yang hendak berangkat ke negeri Syam (Syiria) Pada waktu itu, sekira bulan Desember tahun 1971, rombongan jamaah haji yang dari berbagai negara sudah berdatangan, termasuk dari Provinsi 156


Jambi. Jamaah yang berasal dari Provinsi diantara beberapa yang dikenal oleh Arsyad adalah Pak Wahab Nasution dan MO. Bafadhal. Selain itu, paman, bibi dan kakak sepupu Arsyad yang datang dari Lumajang, yaitu Kemas Abdul Razak, Fatimah dan Faishal juga berangkat haji dan mereka bertemu di Mekah. Mereka juga tinggal di apartemen milik Syaikh Zaini Hasan. Alhamdulilah Arsyad bisa melaksanakan haji bersama-sama dengan keluarganya. Pelaksanaan haji tahun itu terasa sangat istimewa bagi Arsyad, bukan hanya karena berkumpul bersama keluarga di Mekah dan keluarga yang datang dari Indonesia, tapi Arsyad juga bisa bertemu dan melihat langsung Raja Faishal (Raja yang memimpin Arab Saudi ketika itu) pada saat melaksanakan tawaf di Ka’bah. Semula, Arsyad dan rombongan jamaah tidak mengetahui mengapa banyak polisi yang berjaga di sekitaran Ka’bah, ternyata setelah menunggu, Raja Faishal dan rombongannya juga melaksanakan tawaf bersama para jamaah haji lainnya. *** Kurang lebih empat bulan di Mekah, selain melaksanakan ibadah haji, umroh dan ziarah ke makam-makam para nabi, sabahat dan ke tempattempat bersejarah lainnya, Arsyad juga sering diajak pergi ke Thaif. Sebuah kota yang dulunya merupakan tempat di mana masyarakatnya paling keras menolak dakwah nabi Muhammad Saw. Kini, kota Thaif berubah menjadi sebuah kota nan sejuk, indah dan menjadi daerah yang paling subur. Di Mekah juga, Arsyad banyak bertemu dengan beragam suku dan mazhab. Ia mulai belajar bagaimana menyikapi perbedaan dalam menjalankan agama. Tidak ada Nahdhatul Ulama, tidak ada Muhammadiyah di sana. Semuanya beribadah di masjid yang sama, di sanalah Arsyad menyaksikan keindahan agama Islam yang menyatu meskipun berbeda. Kedewasaan sikap beragama Arsyad pun terbangun dengan baik. Ia belajar tidak boleh menghujat, mencaci-maki, menyalahkan satu sama lainnya, apalagi saling menyesatkan. Di Kota Mekah, Arsyad belajar menjadi bijak. Sebenarnya dengan kondisi datuknya, Syaikh Zaini Hasan yang kuat secara finansial, meminta Arsyad untuk tetap tinggal di Mekah. Tapi Arsyad tidak mau. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, Arsyad merasa bahwa kuliahnya belum selesai. Ia masih seorang Sarjana Muda. Datuknya, Syaikh 157


Zaini Hasan juga sering memotivasinya, bahwa pendidikan sangatlah penting. Dengan pendidikan, seseorang akan menjadi sangat dihormati dan tidak akan dipandang rendah. Oleh karena itulah, Arsyad tidak ingin berlamalama di Mekah, ia harus terus bergerak mencari ilmu dan pengalaman. 158


Dari Mekah Lanjut ke BeirutLebanon; Sebuah Negeri di Timur Tengah yang Tak ada Gurun Pasir “Banyak orang bilang kalau mimpi lebih indah dari kenyataan. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, karena percayalah, bahwa kenyataan akan jauh lebih indah dari mimpi jika kita mampu merealisasikannya.” – Kemas Arsyad Somad 159


Arsyad mengira Lebanon sama saja dengan negara-negara Timur Tengah lainnya yang terkenal dengan hamparan gurun pasir. Rupanya di Lebanon tidak ada gurun pasir. Ia terkejut, malah di Lebanon banyak hutan belantara. “Wah ini unik. Ternyato Timur Tengah ado hutan”. Ucap Arsyad sambil menikmati pemandangan dari dalam Bus ketika berkeliling Beirut. Di Beirut, Arsyad mencari penginapan. Tentu yang paling murah. Ia meninap di Hotel Le Parte. Karena penginapan itu bukan untuk istirahat dan tidur-tiduran. Tapi sebenarnya hanya untuk meletakkan barang-barang. Hari-harinya dihabiskan di luar menikmati kota Beirut. Arsyad mulai berkomunikasi dengan masyarakat Beirut menggunakan bahasa Inggris, sesekali berbahasa Arab. Bahasa Arab yang dulu sering diajarkan oleh Guru Ibrahim. Dari komunikasi itu Arsyad terkejut untuk yang ketiga-kalinya. Yang pertama adalah karena di Lebanon tidak ada gurun pasir, kedua, karena di Lebanon banyak hutan yang luas, dan di kali yang ketiga ini, ia terkejut karena di Lebanon ada delapan belas agama yang dianut oleh penduduknya. Sungguh Lebanon benar-benar menjadi negeri Timur Tengah yang paling tinggi tingkat keragaman agamanya. Pada masa itu, Suleiman Frangieh adalah presidennya. Arsyad sempat bertanya kepada orang-orang Beirut apa saja agama yang ada. Beberapa orang merincinya, menghitung dengan jari, sambil mengulang-ulang yang sudah disebutnya. Akibatnya, Arsyad tak hapal agama apa saja yang depalan belas itu. Tapi setidaknya ada beberapa yang ia ingat. Yaitu Islam Sunni, Islam Syiah, Kristen Katolik maronit, Ortodoks Yunani, Protestan, Hindu, Budha. Hanya itu yang Arsyad ingat. Berbeda dengan beberapa negara Timur Tengah, Lebanon lebih kosmopolitan. Masyarakatnya lebih modern dan terbuka. Bahkan orangorang di sana menyebut Lebanon dengan “Paris of the East” atau “Paris di Timur Tengah”. Penyebutan ini setidaknya karena dua alasan. Pertama, karena Lebanon pernah dikuasai oleh Paris selama 60 tahun. Kedua, karena sistem pemerintahan yang republik dan kosmopolitan. Bahkan menjadi 160


pemerintahan republik pertama diantara negara-negara Timur Tengah lainnya. Di Lebanon, Arsyad bertemu dengan ragam budaya, adat, suku, agama, bangsa, bahasa dan lain-lainnya. Sungguh begitu, ia masih tak puas. Dalam kamar penginapannya, ia membuka peta dunia yang memang sudah disiapkan dalam tas. Dengan peta itu Arsyad bisa menentukan ke mana lagi ia harus pergi hingga bisa sampai ke Belanda setelah satu bulan di Lebanon. 161


Perjalanan Arsyad Berlanjut ke Syria “Mendengar atau membaca berita merupakan aktivitas yang paling saya suka, tapi menyaksikan fakta secara langsung di lapangan jauh lebih gembira.” - Kemas Arsyad Somad 162


Dari Lebanon Arsyad ke Damaskus-Syria atau Suriah. Dulu, ketika Kemas Arsyad Somad yang mulai beranjak dewasa pergi ke Syria, negeri itu sangat indah. Benteng-benteng peninggalan sejarah Islam ada di sana. Kehidupan malam di Syria sangat semarak. Malamnya diisi dengan cengkrama keluarga, minum teh bersama, makan hasil panen anggur, dan menikmati masakan para perempuannya. Sama-sekali tidak ada unsur dan aktivitas yang negatif. Pada waktu itu pemerintah Syiria dikuasai oleh partai Sosialis Ba’ath yang memiliki orientasi sekulerisme, dipimpin presiden Hafiz Assad yang sering bersilih paham dengan Ikhwanul Muslimin. Tercatat bahwa Syiria sejak merdeka tahun 1944 mengalami 21 kali kudeta hingga 1972. Meski begitu, Syria belum terlalu mencekam. Arsyad sempat menikmati situasi kondusif dan relative aman. Syria begitu terkenang dalam ingatannya. Ketika ia baru saja sampai di Syria, ia berjalan masuk gang-gang dalam kampung dan menjadi tontonan anak-anak. Terdengar anak-anak Syria menyebut-nyebut “Jepang.” Mereka pikir Arsyad orang Jepang. Iya, dalam pandangan orang-orang Arab, semua orang Asia itu kalau tidak Cina, Jepang. Mendengar itu, Arsyad tak tau harus bangga atau sedih. Ia senang dipanggil Jepang. Tapi orang Jepang yang ia tau bermata sipit dan berkulit putih. Paduan dari dua ini membuat orang Jepang terlihat tampan. Dari fakta itu, ia sedih. Karena matanya tak sipit dan kulitnya juga tidak putih. Meski sebenarnya juga tidak hitam. Di Syria Arsyad meninap dipenginapan, juga mencari yang murah. Ia menikmati malam-malam indah. Langitnya berbintang, bulan juga hadir menemani perjalan Arsyad. Begitulah Syria waktu itu. Sekarang sudah berubah. Terutama semenjak konflik pada tahun 2011. Kehidupan masyarakat Syria yang semulanya damai dan tentram, berubah drastis 180 derajat. Masyarakatnya turun ke jalan meminta hak dan kebebasan berpolitik, kesetaraan dan lain-lain. Demo yang tadinya berjalan damai, disusupi oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab dan memiliki bebagai 163


kepentingan. penyusup itu membuat demo menjadi anarkis dan menelorkan para pemberontak. Akibatnya, warga-warga itu ditangkap, disiksa dan dipenjara. Bahkan ada yang tidak kembali lagi ke keluarganya. Tidak lama ia di Syria, karena perjalanannya masih jauh. Tujuan utamanya adalah Negeri Kincir Angin, Belanda. Setelah beberapa hari menikmati indahnya Syria, ia berangkat lagi ke Kuwait. 164


Bertolak ke Kuwait “Berkunjung ke negeri orang bukan semata-mata jalan-jalan. Tapi berburu ilmu dan pegalaman.” – Kemas Arsyad Somad 165


Sebelum melanjutkan perjalanan ke Kuwait, Arsyad banyak membaca dan bertanya tentang negara minyak itu. Dulu pada tahun 1937, Kuwait merupakan negara yang gersang dan tidak diperhitungkan oleh dunia. Tidak ada yang mau berkunjung ke sana. Masyarakatnya pada waktu itu hanya mengandalkan dari hasil penangkapan ikan dan sedikit batu-batu perhiasan. Hal ini disebabkan oleh imbas perang dunia kedua. Memang pada tahun 1937 titik minyak telah ditemukan, akan tetapi Kuwait belum bisa memanfaatkannya. Barulah setelah 14 tahun kemudian, potensipotensi minyak itu bisa dimulai eksplorasinya. Pada tahun 1951 Kuwait telah memulai mengekspor minyak, puncaknya tahun 1952, Kuwait benar-benar menjadi negara pengekspor minta terbesar di wilayah Teluk Persia. Dengan begitu, Kuwait menjelma menjadi sebuah negara monarki yang kaya raya dengan potensi minyak di Pesisir Teluk Persia. Kuwait berbatasan dengan Arab Saudi di Selatan dan Irak di Utaranya. Menurut penelusuran Arsyad, penduduk Kuwait lebih banyak diisi oleh para pendatang dibanding dengan penduduk asal. Hal ini menjadi informasi penting baginya, dan membawa harapan baru untuk bisa berkunjung dan mungkin saja bekerja di sana. Setibanya di Kuwait pada tahun 1972, tentu kondisi negara telah mengalami perubahan yang sangat pesat dan menjadi negara maju di dunia. Di sana Arsyad mencari penginapan yang biayanya terjangkau. Karena memang sebenarnya penginapan itu hanya untuk meletakkan barangbarang saja. Hari-harinya lebih banyak di luar menikmati keindahan Kota, mempelajari budaya dan sosial orang-orang Kuwait. Arsyad tak sempat mencari pekerjaan, ia fokus menikmati keindahan negara Kuwait. Sesekali ia membandingkan dengan negaranya dan Kota Asalnya. Sebagai seorang aktivis, pikirannya berselancar ke mana-mana. Mengapa Kuwait bisa seperti ini? Rasa-rasanya Indonesia tak kekurangan orang-orang pintar, orang baik dan orang jujur. Tapi mengapa masih kalah maju dengan Kuwait? Oh.. Arsyad menerka, mungkin jumlah orang yang 166


pintar, baik dan jujur lebih sedikit dibanding jumlah orang-orang bingung. Arsyad tidak lama di Kuwait, hanya beberapa hari saja. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan menuju Baghdad-Iraq. 167


Landing di Baghdad-Iraq; Negeri Seribu Satu Malam “Tulis dan catatlah setiap kisah dan perjalanan hidupmu. Dengan begitu, kelak anak menjadi inspirasi dan motivasi bagi anak-cucu.” – Kemas Arsyad Somad 168


Dari Kuwait landing di Baghdad-Iraq. Sampai di Baghdad jam 10 malam, supir taxi tidak dapat menemukan alamat asrama mahasiswa, oleh karena itu Arsyad pergi ke KBRI Iraq. Disana ia bertemu dengan salah satu staff bernama Asrun. Asrun mengarahkan Arsyad ke kamar dan menyuruhnya untuk istirahat. Keesokan harinya Arsyad bertemu Hamdan temannya A. Muis orang Banjar dan bertemu dengan Nawawi, Atase KBRI dan ia diarahkan lagi untuk menginap di Guest House selama 15 hari menunggu terbitnya visa ke eropa. *** Baghdad merupakan kota terbesar kedua di Timur Tengah setelah Kairo. Arsyad tampak begitu terkesan ketika tiba di Baghdad. Terbayang olehnya bahwa di sinilah dulu Bani Abbasiyah mendirikan pemerintahan yang berjalan selama lima abad. Certatat dalam buku-buku sejarah Islam yang dikenal dengan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah. Orang-orang menyebutnya dengan negeri “seribu satu malam”. Sebuah negeri yang dulunya sebagai tolok ukur keberhasilan dan modernitas yang mendahului zaman. Eropa dan Asia belum ada apa-apanya waktu itu. Bahkan jumlah penduduk Baghdad pada masa itu lebih dari satu juta jiwa. Hal itu merupakan berkat perjuangan dua orang Sultan, yaitu Sultan Harun Al Sargawi dan Khalifah Al Ma’mun. Arsyad duduk di bangku yang berada di atas trotoar jalanan kota Baghdad, sambil memegang segelas kopi dan buku catatan, ia membayangkan bahwa dihadapannya ada sebuah lembaga penting sebagai tempat pusat peradaban dan transfer ilmu pengetahuan yang datang dari berbagai penjuru dunia. Terutama orang-orang Yunani, Persia, Syiria dan India. Lembaga itu bernama Bait Al Hikmah yang dibangun oleh Sultan Harun Al Sargawi. Pada tahun itu Irak dipimpin oleh Ahmed Hassan al-Bakr yang memiliki latar belakang seorang militer dan maju menjadi presiden melalui Partai Ba’ath. Bait Al Hikmah menjadi tempat belajar dan memulai peradaban dunia. 169


Semula, Sultan Harun memfasilitasi para penerjemah untuk menerjemahkan teks-teks keilmuan yang berbahasa asing dari berbagai bahasa di dunia ke dalam Bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemah bukan hanya terkait dengan sejarah atau filsafat saja. Namun buku-buku eksak seperti fisika, matimatika, biologi, kedokterran, geografi, astronomi dan pemikiran-pemikiran juga dipelajari. Bait Al Hikmah semakin dikenal oleh dunia ketika Khalifah Al Ma’mun diamanahi untuk melanjutkan perjuangan ayahnya sebagai pemimpin di Baghdad. Ia merubah Bait Al Hikmah dari yang sebelumnya perpustakaan menjadi Perguruan Tinggi. Dengan begitu, semakin besar minat orangorang Eropa untuk datang ke Baghdad. Ditambah lagi para pejalar yang datang tersebut mendapatkan beasiswa dari Khalifah Al Ma’mun. Untuk meningkatkan kualitas keilmuan para pelajar di Bait Al Hikmah, Khalifah Al Ma’mun menyarankan kepada para pakar untuk belajar bagaimana caranya membuat kertas seperti Cina. Lalu mereka mengadopsi ilmu-ilmu itu dari negeri Cina. Dari sinilah banyak orang-orang Arab yang bisa mengakses tentang sejarah Socrates, Plato, Aristoteles, Phytagoras, Hipocrates dan para filosof lainnya. Para pakar yang berada dibalik kesuksesan Bait Al Hikmah diantaranya adalah sang penemu AlJabar dan Algoritma, Ibnu Al Khawarizmi dan Ibnu Al Haytami, penemu Optik Modern. Arsyad merasa tidak percaya bahwa ia sedang berada di negeri seribu satu malam. Penamaan “Seribu satu malam” terinspirasi dari sebuah novel yang ditulis oleh Abu Abdullah bin Abdul Al Jasyayari yang dalam novelnya digambarkan kisah seorang raja hebat yang telah membawa Baghdad menuju keemasan dan menjadi kota paling maju di dunia. Novel itu berjudul “Alf Laylah wa Laylah”. Di Baghdad, Arsyad juga tidak lupa mengunjungi masjid Umayah, makam Sayyidah Zaenab, cucu Nabi, makam Syaikh Abdul Qadir Jailani dan makam Abu Nawas. Lima belas hari di Baghdad, Arsyad merasa seolah telah berada di sana selama seribu satu malam. Setelah dari Beirut ke DamascusSyria kemudian ke Kuwait, Baghdad dan Arsyad melanjutkan perjalanan ke Istanbul menggunakan kereta api Nusa Yabin kemudian pindah KA ke Gazi menuju Istanbul diantar oleh Irfan dan Marzuki yang merupakan mahasiswa di Baghdad dan berasal dari Jambi. 170


Selat Bosporus-Turki “Banyak tempat yang indah, tapi Turki tidak hanya indah, namun juga istimewa.” – Kemas Arsyad Somad 171


Arsyad turun di Istanbul sekira jam lima sore dan menginap di daerah Fatih. Malam itu ia dan dua orang kawannya hanya beristirahat di penginapan. Sambil melihat-lihat peta dan sesekali menoleh keluar jendela penginapan. Dari banyak kota dunia yang sudah ia kunjungi, Istanbul membawa kesan tersendiri baginya. Nasionalisme masyarakat Istanbul sangat kuat. Di setiap sudut kota Arsyad bisa melihat bendera Turki yang tidak hanya berkibar pada tiangtiang besar atau di kantor-kantor pemerintahan saja, tapi juga banyak ditempel pada pintu-pintu rumah, toko, pembatas jalan, bahkan tong sampah pun ditempel bendera Turki. Dengan begitu, alam bawah sadar orang-orang yang melihatnya akan merekam dan mencatat otomatis nama Turki dan Istanbul. Hal ini berbeda dengan beberapa kota negara yang telah Arsyad datangi. Setelah satu malam menginap di Istanbul, esok harinya Arsyad dan dua orang kawannya bersiap menuju selat Bosporus. Selat Bosporus merupakan satu diantara banyak tempat wisata di dunia yang ingin dikunjungi oleh semua orang. Karena tiga orang perantau ini belum tau rute perjalanan, mereka mengambil langkah aman saja, yaitu mencari tumpangan taxi. Tentu mencari taxi di sebuah kota besar negara maju tidaklah sulit. Belum satu menit berdiri menunggu, taxi pun berhenti. Sebelum masuk, Arsyad bertanya, “How much does it cost to bosporus strait?” Supir taxi menjawab “fifty dolars”. Yang terdengar oleh Arsyad “fifteen dolars”. Perjalanan pun berlanjut. Arsyad bersama temannya melewati jembatan yang paling unik di Turki. Bahkan bisa dikatakan paling unik di dunia. Jembatan ini dinamai dengan Jembatan Bosphorus. Fungsinya bukan sebagai penghubung antar desa atau kota, tapi penghubung antar dua benua. Benua Asia dan Eropa. Ortakoy berada pada sisi Eropa Istabul dan Betlerbeyi di Anatolia, sisi Asia Istanbul. Waktu itu, Jembatan ini baru dibangun, belum dibuka secara luas. Tapi beberapa jenis kendaraan sudah diizinkan untuk melintas. 172


Sekira kurang lebih empat puluh lima menit, Arsyad dan tiga orang temannya tiba di Selat Bosporus. Ketika turun dari taxi, Arsyad mengeluarkan uang lima belas dolar. Si supir protes, katanya bukan fifteen, tapi fifty. Lima puluh dolar. Sempat terjadi debat dengan supir taxi. “Kita harus memanggil polisi untuk menyelesaikannya”. Gertak Arsyad. “Oke. Kita kekantor polisi”. Jawab supir taxi dengan santai dan penuh keyakinan. Karena si supir menjawab, oke. Arsyad berbalik tidak oke. Ia mengalah, lalu membayar lima puluh dolar. Dua orang temannya menahan tawa. Sudah salah, sok jago pulak. Mereka berdua meledek Arsyad ketika taxi sudah pergi. Arsyad menjawab, “Ngetes bae. Kalu dio salah pasti takut ke polisi.” Sampai di selat Bosphorus, bergegas mereka mencari tempat duduk yang nyaman untuk menghabiskan malam sebelum berangkat ke Belanda. Arsyad memesan ikan bakar dan roti Turki. Sambil menikmati makanan, pandangan mereka jauh ke seberang selat Bosporus. Tepat di Seberang mereka duduk adalah perbatasan Eropa. Setelah bermalam di Selat Bosporus, keesokan harinya mereka memesan tiket kereta menuju Eropa. Perjalan eropanya dimulai. Dari Turki Arsyad mampir di BulgariaSofia. Tepat pada tanggal 19 April 1972, jam 3.30 masuk perbatasan Austria, perbatasan Yugoslavia. Jam 4 pagi dari dalam Kereta Api di Austria Arsyad melihat keindahan alam dihiasai oleh gumpalan salju, rumah-rumah kecil tersusun rapi, bukit-bukit, lereng-lereng yang memutih dipenuhi sajlu. Pukul 08.30 pagi berhenti di Zalbarg-Austria. Setelah melewati Yugos. Jam 09.30 kereta api mulai memasuki Kawasan Zeindeling, perbatasan Austri Jerman. Tempat pemeriksaan paspor Jerman. Para pemeriksa adalah orang-orang militer yang tegas, namun baik. Perjalanan asik, memasuki Lorong-lorong kecil bersih dan rapi di Jerman. Pada tanggal 20 april 1972, jam 11.15 siang Arsyad berangkat dari Munich naik kereta api Gurutson van holan menuju Rotterdam. Dan begitulah seterusnya. Arsyad melanjutkan perjalanan paling bersejarah dalam hidupnya. 173


Menikmati Indahnya Eropa Praha-Republik Ceko; Kota Paling Romantis, Lanjut ke SofiaBulgaria; Negeri Kuntum Mawar, Bertolak ke StuttgartJerman; Fatherland, dan berlanjut ke Belgia-Brussel 174


Arsyad memang pandai, petualangannya di Benua Eropa bukan sembarang petualangan. Kota-kota yang ia tuju merupakan kota-kota pilihan dan impian semua manusia. Sebelum sampai ke Rotterdam, Arsyad mampir dibanyak kota negara. Misalnya di Praha, Kota paling romantis di Rebulbik Ceko. Kota Praha menyuguhkan pemandangan nan indah dan penuh magis. Siapa saja yang memandang, pasti terpana dan terbuai. Apalagi kalau berjalan di malam hari melintasi jembatan Charles Bridge sambil melihat-lihat lampu Kastil Praha yang memancar menambah keindahan Kota Praha. Di kota Praha Arsyad tidak lama, ia hanya mampir dua malam saja. Meski hanya dua malam, Praha telah berhasil mencatatkan kesan indah dalam benak Arsyad. Ia berazam, “kelak, jika Allah mengizinkan, ada umurnya, bertemu jodoh dan memiliki anak, akan ku ajak anak-istri berkunjung ke kota Praha”. Mendengar itu, secara pribadi saya juga termotivasi untuk bermimpi seperti Dr. Kemas Arsyad Somad muda. Tapi kok ada rasa tak yakin dalam hati. Jalan-jalan ke Padang saja belum kesampaian. Dalam keadaan tidak yakin itu, saya paksakan saja mimpi-mimpi berkeliling Eropa. Setidaknya pernah berniat. Setelah dua hari dua malam di Praha, Arsyad kembali melanjutkan perjalanan ke kota Sofia-Bulgaria. Sebuah kota yang pernah menjadi ibu kota Bulgaria. Di Bulgaria ia menyaksikan uniknya aliran sungai Yantra yang berkelok-kelok. Untuk yang kesekian-kalinya Arsyad dibuat terpana. Belum selesai disana, setelah satu hari dua malam menyatu dengan keindahan Negeri Kuntum Mawar, ia melanjutkan perjalanan ke Kota Stuttgart-Jerman atau yang dikenal dengan “Fatherland” yang berarti “Tanah Air”. Dan Rusia adalah “Motherland”nya. Dari sana, ia melanjutkan lagi perjalanan dan mampir di Belgia-Brussel. Seperti di kota-kota lainnya, di Belgia Arsyad banyak belajar tentang budaya dan kebiasaan masyarakatnya. 175


Berkunjung ke Utrecht dan Bermukim Empat Bulan di Rotterdam - Belanda “Banyak orang yang berpenampilan rapi dan mempesona. Tapi saya rasa, mereka semua masih kalah dengan gaya orang Belanda.” – Kemas Arsyad Somad 176


Dari sekian banyak informasi, Arsyad hanya intens berkomunikasi dengan dua orang yang berasal dari Suku Banjar terkait bagaimana caranya bisa berangkat ke Belanda. Mereka berdua mengajak Arsyad untuk ikut bersamasama berangkat ke Belanda. Karena keduanya memiliki relasi dan keluarga di Belanda. Arsyad pun tertarik dan menghubungi Babanya di Jambi. Baba dan keluarga mengizinkan. Bahkan Datuknya, Kemas Hasan bin Kemas Abdul Rozak menyarankan agar Arsyad berangkat ke Belanda naik pesawat. Arsyad merasa jika naik pesawat kurang seru, kurang menguji adrenalin. Ia memutuskan untuk berangkat ke Belanda jalan darat melalui pintu Turki. Dari Turki itulah Arsyad melanjutkan perjalanannya menyusuri Eropa. Anak muda yang satu ini banyak sekali mimpinya. Tak tanggungtanggung, satu diantara banyak impiannya adalah bisa berkeliling dunia. Arsyad memang banyak membaca, dari travelling literasi itulah Arsyad menemukan Utrecht-Roterdam-Belanda. Kali ini mimpi dan keinginannya menyasar ke Negeri Kincir Angin. Orang-orang biasanya kalau ke Belanda tujuannya Amsterdam, tapi Arsyad ingin ke Utrecht dan Rotterdam. Ternyata keinginan Arsyad hendak ke Utrecht sangat beralasan. Selain spesialisasi keahlian akademisnya pada bidang hukum, Arsyad juga sangat menyukai sejarah. Untuk itu alasan utama ia ingin ke Utrecht karena sejarah mencatat bahwa Utrecht merupakan kota yang terkenal dengan sistem perdagangan paling penting di Belanda. Selain itu, Utrecht juga memiliki kanal yang tertua, bernama kanal Oudegracht, yang dibangun pertama kali pada zaman Romawi. Hingga kini, kanal tersebut telah berusia kurang lebih 2.000 tahun. Mimpi Arsyad ingin berkunjung ke Utrecht bukan sembarang impian. Ia pernah membaca bahwa masyarakat Utrecht sangat gemar bersepeda. Membaca kata “sepeda”, Arsyad terkenang dengan pengalamannya mengayuh sepeda dari rumah Mbok Njang di Lumajang ke Kecamatan Tempeh kilo meter 11. Hal itu ia lakukan kurang lebih selama tiga sampai empat tahun. “Kalu sayo dapat ke Utrecht, sayo nak nyubo test drive sepeda orang Belando 177


yang katonyo setiap hari hampir 100.000 pesepeda hilir mudik, lalu lalang dalam Kota yang paling bersejarah itu.” Ucap Arsyad pada dirinya sendiri. Sebenarnya niat awal Arsyad ke Belanda bukan hanya untuk jalan-jalan, tapi melanjutkan kuliah Strata Satu di Utrecht University, Fakultas Hukum. Namun setiap relasi dan kenalan yang ditemui kebanyakan menyarankan agar Arsyad mencari perkerjaan saja di Belanda, bukan kuliah. Hanya beberapa orang saja yang mendukungnya untuk melanjutkan kuliah. Arsyad sempat goyah dengan godaan-godaan tersebut. *** Setelah berkunjung ke Utrecht dan melewati banyak kota dan negara, akhirnya Arsyad berlabuh di Rotterdam. Di Rotterdam inilah ia menginap lebih lama, empat bulan. Selama empat bulan di Rotterdam Arsyad bersama dengan dua orang kawannya yang sama-sama dari Indonesia menyewa flat dan mulai belajar Bahasa Belanda serta budayanya. Flat yang mereka sewa beralamat di Claes de Vrieselaan, 71 B. lantai 3. Rotterdam. Sekira 1,5 km dari Stasiun Central. Sewa flat selama satu bulan 350 Gulden untuk tiga kamar. Flat itu milik orang Portugis. Arsyad bersama dua temannya tiba di kota Rotterdam pertengahan bulan april 1972. Rotterdam berada di bagian barat negara Belanda, salah satu kota terbesar selain Amsterdam dan Den Haag. Ketika mereka tiba di Rotterdam, di Stasiun Centraal, cuaca memasuki musim semi setelah berakhirnya musim salju selama 3 bulan, temperatur cuaca suhu berkisar 10 derajat Celcius karena sepertiga wilayahnya berada dibawah permukaan laut. Di Belanda, Arsyad menyaksikan keunikan negaranya. Sebuah negara yang memiliki tanah datar, tidak ada perbukitan, bahkan tanjakan saja sulit ditemukan. Pada umumnya setiap keluarga pasti memiliki sepeda dan paying. Sepeda menjadi alat transportasi utama masyarakat, sedangkan payung menjadi wajib karena perubahan musim hujan, salju, dan panas. Oleh karenanya, agar bisa melanjutkan tinggal di Rotterdam lebih lama, Arsyad berusaha mencari pekerjaan di Kota Pelabuhan itu. Hampir setiap hari ia berjalan kaki menyusuri Kota Rotterdam. Berjalan kaki melewati tepian muara sungai besar Nieuwe Mass yang membagi sisi utara dan selatan kota, sungai yang mengarah ke sungai Rhein-Meuse-Scheldt dan memiliki 178


pelabuhan terbesar di Eropa Bernama Oude Haven. Ia memberanikan diri untuk mengetuk toko-toko, bertanya kepada siapa saja yang meresponnya, mendatangi pabrik-pabrik dan sampai tooktoko kecil pun ia datangi dan bertanya apakah ada lowongan pekerjaan. Berhari-hari Arsyad berjalan kaki mencari pekerjaan, tapi semua yang didatanginya menjawab tidak ada lowongan pekerjaan. Kalau pun ada, Arsyad belum masuk kriteria yang mereka butuhkan. Arsyad ditolak. Sepatu Arsyad menjadi saksi atas banyak penolakan itu. Ia hampir putus asa dan sempat ingin menyudahi pencarian itu. Tapi bukan Kemas Arsyad Somad namanya jika mudah putus asa. Ia mendapat informasi bahwa ada satu pabrik mentega yang sedang membuka lowongan pekerjaan. Mendapat informasi itu ia segera mendatangi pabrik mentega tersebut dan memasukkan lamaran. Pabrik mentega ini dibawah naungan perusahan Unilever. Kali ini lamarannya diterima. Pada tanggal 2 Mei 1972 Arsyad resmi dan mulai bekerja di pabrik mentega yang sangat terkenal di dunia, Blue Band. Pabrik mentega itu jaraknya sekira 2-3 km dari tempatnya tinggal. Di pabrik ini, Arsyad menerima gaji perminggu sebesar 250 Gulden, alhamdulilah cukup untuk membayar sewa flat dan hidup di Rotterdam. Kerjanya adalah memasukkan produk ke dalam kotak yang sudah disediakan dari mesin. Dari flat ke tempat kerja, Arsyad melewati City Hall dan menyebrang jembatan Koningshaven. Keberadaan Arsyad di Rotterdam bukan hanya untuk bekerja, namun lebih dari itu, ia menggali pengalaman sebanyak-banyaknya. Ia banyak belajar dan membaca buku-buku literatur tentang hukum internasional. Berbekal itulah kelak ia akan menjadi seorang pengacara profesional yang membantu banyak persoalan masyarakat, terutama masyarakat Jambi. Setelah tiga bulan di Rotterdam, sebenarnya Arsyad masih ingin tinggal lebih lama lagi, tapi wajah dan nama Sutrisyah lalu-lalang setiap malam. Meski begitu, ketika Arsyad mengabarkan tentang aktivitasnya di Rotterdam, Sutrisyah bukannya meminta Arsyad pulang ke Jambi. Malah ia mensuport agar Arsyad memaksimalkan peluang dan mencari pengalaman di Belanda. Pada akhirnya, sebuah kejadian menarik dan mendebarkan yang terjadi di tempat tinggal Arsyad. Yang dengan kejadian itu, ia lebih memilih untuk segera pulang ke Tanah Kelahirannya. Malam itu, sepulangnya dari bekerja dan berkeliling Kota Rotterdam 179


dengan mengayuh sepeda, Arsyad langsung pulang ke flat hendak beristirahat sambil membaca buku-buku. Belum sempat ia membaca buku-bukunya, terdengar pintu flatnya diketuk dari luar. Tanpa berpikir dan curiga, ia langsung menuju pintu dan membukanya. Betapa terkejutnya Arsyad karena orang yang mengetuk pintunya adalah aparat kepolisian Kota Ratterdam. Arsyad mempersilahkan mereka masuk dan duduk ditempat seadanya saja. Maklum, tempat tinggal yang ia sewa merupakan flat standar mahasiswa dengan fasilitas ala kadarnya. Karena melihat orang yang dirumah adalah orang asing, polisi itu bertanya menggunakan bahasa Inggris. Mereka menanyakan identitas Arsyad berikut dengan izin tinggal dan lain-lain. Selama introgasi, jatung Arsyad berdetak sangat kencang. Napasnya hilang timbul, telapak tangannya basah, telapak kakinya tidak merasakan sedang berpijak, betisnya kesemutan, jari-jari kakinya dingin, kumis dan jenggotnya yang tidak bergitu lebat, protes kenapa tidak dicukur. Meski begitu, Arsyad tetap tenang. Karena ia merasa tidak bersalah. Identitasnya lengkap. Bahkan selama di Rotterdam setiap harinya ia memuji keindahan kota itu. Dalam hatinya, tak mungkin seorang Arsyad datang ke Belanda ingin berbuat jahat. Jauh sekali dari niat seperti itu. Pihak kepolisian kota Rotterdam menjelaskan kepada Arsyad bahwa mereka sedang mencari seorang mafia kelas kakap, orang Portugis, yang informasinya pernah tinggal di flat yang sedang ditempati Arsyad. Setelah bertanya panjang-lebar, mengintrogasi dan memastikan bahwa bukan Arsyad lah yang dicari, mereka meminta maaf karena telah mengganggu waktu istirahat Arsyad. Mereka keluar dari flat dan meninggalkan rasa cemas. Meski mereka telah pergi, Arsyad tetap belum tenang. Niatnya ingin bertahan lebih lama di Rotterdam tampaknya akan berubah. Malam itu Arsyad bertafakkur dan istikhoroh, antara bertahan di Belanda atau pulang ke Indonesia. Arsyad tidak bisa tidur, ia membuka jendela dan melihat-lihat keindahan Kota Rotterdam yang mungkin malam itu adalah malam terakhirnya menikmati keindahan Negeri Kincir Angin. Puas-puas ia memandangi kota Rotterdam. Malam itu rembulan tampak sehati dengan Arsyad, cahayanya tidak terlalu terpancar. Bintang-bintang pun sepakat dengan rembulan, “mereka” juga bersedih karena akan berpisah dengan Arsyad. Setelah shalat subuh, 180


Arsyad memutuskan untuk meninggalkan kota Rotterdam. Kota yang penuh dengan kenangan, Kota yang terletak di Provinsi Zuid Holland (Belanda Selatan). Arsyad harus meninggalkan kawan-kawannya orang Swedia, Denmark dan Belgia. Kawan-kawan yang selalu bercanda dan mengejeknya kecil, karena memang mereka memiliki postur tubuh yang tinggi, rata-rata 185 cm. Sebelum meninggalkan Kota Rotterdam, Arsyad menyempatkan diri untuk yang terakhir kalinya melihat-lihat kanal-kanal sungai yang hampir setiap sungainya terdapat kincir angin (windmollen) yang berfungsi untuk pengurasan air dan pengairan berbagai jenis sayuran, buah, bunga tulip, ternak sapi yang diolah, diekspor daging, susu dan keju. Arsyad juga mampir melihat kincir tertua yang berada 15 km dari pusat kota Rotterdam. Belum puas, ia kemudian mendatangi Kinderdijk, sebuah desa tertua di Belanda. Belanda menjadi sangat berkesan bagi Arsyad, apalagi ia merupakan seorang anak yang suka dengan sejarah. Ia paham betul bagaimana sejarah VOC yang mendarat tahun 1602 di Batavia dan berkuasa selama 350 tahun. Bahkan sampai hari ini peninggalan Belanda di Indonesia sangat banyak dan mudah diakses. Peninggalan yang bisa diketahui dan dirasakan oleh semua warga negara Indonesia adalah kosa kata serapan dari Bahasa Belanda, seperti kantor, bioskop, handuk, wortel, karcis, saklar, selang, asbak, tas, buncis, dan lain-lainnya. Setelah puas menikmati keindahan kota Roterdam, ia bersiap pulang ke Tanah Air tercinta dan mengakhiri petualangannya di Benua Eropa. Pulang ke Indonesia Arsyad naik pesawat KLM dan mendarat di Roma-Italy jam 1.15. Penumpang yang menuju Roma turun. Arsyad dan penumpang baru, melanjutkan perjalanan lalu mendarat lagi di pangkalan Udara di Pakistan jam 10.20 malam kemudian melanjutkan lagi perjalanan menuju Singapura, lalu melanjutkan perjalanan ke Jambi naik kapal. 181


Pulang ke Indonesia, Lanjut Strata Satu di UNSRI-Palembang “Jika ada kata ‘pergi’, maka tentu ada kata ‘pulang’. Untuk itu, manfaatkanlah umur ketika sedang pergi agar ada bekal yang dibawa ketika pulang.” – Kemas Arsyad Somad 182


Setelah puas menimba ilmu dan pengalaman di banyak negeri, Arsyad kembali ke Indonesia dan langsung pulang ke Tanah Kelahiran, Kota Jambi. Ia tidak lama di Jambi, karena harus segera menyelesaikan kuliahnya untuk melengkapi gelar sarjana Strata Satu di Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, UNSRI-Palembang. Kawan-kawan Arsyad sesama alumni UNJA telah tersebar di berbagai Perguruan Tinggi melanjutkan kuliah. Ada yang melanjutkan kuliah di Jakarta, Semarang, Malang, dan lain-lain. Mengapa Kemas Arsyad Somad memilih UNSRI? Suatu ketika, Arsyad hadir dalam kegiatan Kongres Mahasiswa Hukum di Semarang. Di sana ia bertemu dengan ketua senat mahasiswa hukum UNSRI, Palembang. Arsyad lupa namanya. Mereka berkenalan dan banyak berdiskusi tentang perkuliahan, terutama di jurusan hukum. Arsyad banyak mendengarkan dari kawannya itu tentang UNSRI. Semenjak itu ia mulai mencari informasi tentang UNSRI. Setelah mempelajari dan pencarian informasi selesai dan dirasa lengkap, Arsyad semakin tertarik dan yakin untuk melanjutkan kuliah di UNSRIPalembang. Dan yang paling terpenting adalah restu dari Baba dan keluarga. Semua persyaratan dan administrasi telah ia siapkan. Ia pun diterima di UNSRI Fakultas Hukum. Di Palembang Kemas Arsyad Somad tinggal di Jalan Kapten A. Rivai, Bukit Kecil. Sebenarnya ketika menjadi sarjana muda, Kemas Arsyad Somad telah mendapat SK dosen dan sudah diizinkan untuk mengajar. Namun ia merasa tak enak hati. Karena secara aturan ia belum boleh mengajar mahasiswa, karena belum sarjana satu atau Strata Satu. Oleh karena itulah, ia berangkat terlebih dahulu ke banyak negara untuk mencari ilmu dan pengalaman. Berawal dari Singapura hingga sampai ke Belanda. Sepulangnya dari Belanda, Kemas Arsyad Somad melanjutkan Strata Satu ke UNSRI Palembang. Di UNSRI Arsyad kembali dikenal sebagai mahasiswa yang aktif. Ia mampu berkomunikasi dengan lintas semester. Mulai dari kawan-kawan satu angkatan, adik-adik tingkat dan bahkan dosen-dosen mengenal dan 183


mengetahui kemampuan Arsyad. Karena keaktifan itulah, Arsyad terpilih menjadi ketua PERMAJAWIJAYA (Persatuan Mahasiswa Jambi Sriwijaya). Di PERMAJAWIJAYA inilah beliau bertemu dan mengenal Musthafa Abdullah yang waktu itu baru diterima menjadi dosen di UNSRI. Tapi Arsyad tidak pernah diajar oleh Musthafa Abdullah. Karena beliau masih dosen baru. Kelak, Musthafa Abdullah akan menjadi serorang Profesor. Prof. Dr. H. Musthafa Abdullah, MH. Seorang tokoh hebat, pakar hukum, dosen dan menjadi Anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia. Banyak kenangannya bersama Musthafa Abdullah. Mereka sering pergi untuk sekedar berkeliling Kota Palembang, mencari makanan dan melakukan beberapa kegiatan bersama-sama. Dalam hal makan, mereka berdua memiliki kesamaan selera. Jika malam hari, makanan favorit yang sering mereka beli adalah Martabak Har yang berada di dekat Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I. Kalau makan siang, Arsyad dan Musthafa memilih makan nasi lauk ikan Belido di Rumah Makan Mahkota. Mereka saling traktir. Kadang Arsyad yang bayar, terkadang Musthafa. Tergantung keuangan mereka masing-masing. Waktu itu, transportasi Arsyad untuk melakukan aktivitasnya menggunakan motor Yamaha. Motor Yamaha itu merupakan hasil menjual mobil Jepp Wilis. Sebenarnya Arsyad sangat sayang dengan Jepp Wilisnya itu. Karena Jepp itu penuh kenangan. Terutama kenangan dengan Sutrisyah. Lalu mengapa ia jual.? Begini kisahnya; Dulu, sebelum Jepp Wilis, Arsyad menggunakan mobil Landrover keluaran tahun 1949. Setelah beberapa lama memakai Landrover, ia tertarik dengan mobil milik kawannya, Jepp Wilis keluaran tahun 1959. Kawannya itu sepakat tapi tukar tambah, 100 ribu. Dengan Jeep Wilis itulah ia pergi ke berbagai tempat melakukan aktivitasnya. Sesekali ia mengajak Sutrisyah. Tahun pun berlalu, Arsyad berangkat mencari pengalaman ke berbagai negara. Jepp Wilis kesayangannya tinggal di Jambi. Sepulangnya ia dari perjalanan mencari ilmu dan pengalaman, Arsyad terkejut karena Jepp Wilisnya yang dulu gagah dan penuh karisma, kondisinya sudah mulai kurang fit dan sering sakit-sakitan. Oleh karena itulah, sebelum ia berangkat ke Palembang, Jeep Wilis itu ia jual dengan harga 700 ribu. Hasil dari menjual Jepp Wilis itu, ia sisihkan sebagaian untuk biaya berangkat ke Palembang dan membeli motor Yamaha untuk transportasinya di Palembang. 184


Di Palembang, Arsyad akrab dengan keluarga di sana. Ia bertemu dengan Kemas Baijuri, keponakan Kemas Zahari (kepala akuntan pajak). Waktu itu Kemas Zahari tinggal di rumah dinas daerah Skip. Arsyad sering datang ke kantor Kemas Zahari yang bersebelahan dengan kantor Gubernur Sumateras Selatan untuk menumpang mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Dua tahun di UNSRI dari tahun 1973-1975, Arsyad telah banyak diajar oleh dosen-dosen terbaik, seperti Bapak Nata Baya, Amra Muslimin, Sulaiman dan dosen-dosen lainnya. Masa penantian itu pun sampai, Arsyad mampu menyelesaikan Strata Satu dan tepat waktu dengan hasil yang memuaskan. Tamat dari UNSRI Arsyad pulang ke Jambi dengan membawa gelar Sarjana Hukum. H. Kemas Arsyad Somad, SH. Dengan gelar akademik itu pulalah beliau dipanggil untuk kembali mengabdi di Universitas JambiUNJA dan langsung menjadi dosen. Ia menerima tawaran itu karena merasa sudah siap dan syarat pun terlah terpenuhi. Tidak lama berselang, karena para dosen dan unsur pimpinan di UNJA melihat bahwa beliau layak untuk mendapatkan jabatan strategis agar bisa mengembangkan ilmu dan pengalamannya di UNJA, beliau di lantik untuk menjadi Pembantu Dekan Fakultas Hukum. Pada waktu yang bersamaan, beliau juga aktif sebagai pengacara. Ada hal yang menarik ketika Kemas Arsyad Somad menjadi pengacara, yaitu menggratiskan semua layanan kepada orang Jambi yang sedang butuh bantuan dalam menyelesaikan berbagai kasus. Azam Arsyad ingin menjadi pengacara bukan tanpa sebab, satu alasan utamanya adalah beliau ingin membela dan membantu masyarakat Jambi yang dizholimi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, terutama dalam hal kepemilikan tanah. Pada masa itu, tidak sedikit tanah-tanah milik masyarakat yang diakui oleh orang lain. Tapi masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka tidak paham tentang surat-menyurat dan admnistasi tentang itu. Melihat kondisi inilah, Arsyad memang bertekad kuat untuk menjadi pengacara secara resmi dan memiliki legalitas. Puncaknya, setelah beliau menyelesai kuliah S1 nya dan aktif menjadi dosen, Arsyad juga mendaftar resmi menjadi pengacara yang sebelumnya sudah dirintisnya. Selama menjadi pengacara, Arsyad telah banyak menjalani berbagai macam persidangan. Mulai dari kasus-kasus tanah, kasus pemilu, pembunuhan dan kasus-kasus lainnya. Pada kasus pemilu, Arsyad menjadi 185


pengacara dari tersangka yang bernama Syarifah. Syarifah adalah seorang pemuda yang pada waktu pemilu merobek bendera partai Golkar. Oleh karena itu ia dilaporkan ke polisi dan naik ke persidangan. Dalam kasus ini, Arsyad memenangkan persidangan. Alasan kuatnya adalah karena Syarifah merobek itu secara spontan dan tidak ada niatan untuk menghina partai golkar. Selain itu, ia juga pernah menghadapi sidang perdata sebagai pembela dari Surbekti terhadap gugatan toko Sinar Harapan, dan menang. Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang dimenangkan oleh Kemas Arsyad Somad. *** Kemas Arsyad Somad tidak hanya aktif mengajar sebagai dosen, pembantu dekan dan pengacara, beliau juga bergabung dengan partai Golkar dan ditunjuk menjadi anggota DPRD. Amanah menjadi anggota DPRD beliau jalankan selama tiga periode. Setelah mengabdi menjadi wakil rakyat, Kemas Arsyad Somad kembali melanjutkan kuliah Strata Dua di Surabaya. Pada masa inilah ia sering mengunjungi Pakte Razak, Nyimas Jawahir dan keluarga di Lumajang. Ia juga tidak lupa mendatangi sahabat lamanya, Miftah, Atiq dan Bambang untuk bernostalgia tentang perjuangan mereka ketika menjadi aktivis di Lumajang dan sesekali mengenang dan menghitung siapa yang paling banyak menang main catur. Selesai mendapatkan gelar magister hukum, setelah reformasi, beliau diminta oleh Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin untuk menjadi kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Pada masa kepemimpinan Kemas Arsyad Somad, ada tiga program dan gebrakannya. Pertama; beliau membuat program kelas unggul bagi anak-anak yang memiliki kemampuan lebih menonjol di kelasnya. Pertimbangan membuat kelas unggul lebih realistis dibanding membuat sekolah unggul atau berstandar Internasional. Anak-anak yang dianggap unggul akan digabungkan satu kelas pada kelas dua sampai mereka tamat. Kedua; Arsyad memberi peluang kepada anak-anak yang berasal dari Suku Kubu (Suku Anak Dalam) yang ingin sekolah akan diberikan beasiswa sampai menjadi seorang sarjana. Adapun program ketiga; Arsyad mengeluarkan kebijakan agar anak-anak sekolah di Jambi menggunakan seragam batik pada hari-hari tertentu. Kemas Arsyad Somad juga dikenal aktif di berbagai lembaga, komunitas dan sosial. Ditengah-tengah kesibukannya menjabat dan kegiatan-kegiatan 186


Click to View FlipBook Version