Muhammad Hafis.,S.H.,M.H
KONKRITISASI ATURAN MUNAKAHAT DI INDONESIA (Keselarasan antara “Hukum Islam” dan “Hukum Nasional”) Copyright© PT Penamudamedia, 2024 Penulis: Muhammad Hafis.,S.H.,M.H ISBN: 978-623-88927-4-7 Desain Sampul: Tim PT Penamuda Media Tata Letak: Enbookdesign Diterbitkan Oleh PT Penamuda Media Casa Sidoarium RT 03 Ngentak, Sidoarium Dodeam Sleman Yogyakarta HP/Whatsapp : +6285700592256 Email : [email protected] Web : www.penamuda.com Instagram : @penamudamedia Cetakan Pertama, Januari 2024 xvi + 210, 15x23 cm Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin Penerbit
v KATA PENGANTAR بسً اهلل اىرحمَ اىرحيً ْ َ َ ت ٌ َ تَِِ َ ٍ ْ ْ َ ت ِِ أ َ َئ ّ ِ ي سَ ْ ٌَِ َ ت و َ ِسِ ُ ف ْ ُ َ أ ِ ر ْ و ُ ر ُ ش ْ ت ِهلل ٌَِ ِ ب ُ ٔذ ُ ع َ ُ َ و ُ ه ِفرُ ْ غ َ ج س ْ َ ن َ و ُ ّ ُ ِ ْ ِعي َ ج س ْ َ ن َ و ُ ه ُ د َ ٍ ْ ح َ ِ ن َّ ِهلل َ د ْ ٍ َ ح ْ ال َّ ِن إ ُ د َ ٓ ْ ش َ أ َ و ُ ه َ ل َ م ْ ي ِ ر َ ش َ لا ُ ه َ د ْ ح َ و اهللُ َّ لا ِ إ َ ه َ ل ِ إ َ لا ْ ن َ أ ُ د َ ٓ ْ ش َ أ ُ ه َ ل تِديَ َ ْ َ لا َ ف ْ ِلو ضْ ُ ي ْ َ َ ٌ َ و ُ ه َ ل َّ ِضو ُ ٌ َ لا َ ف ِدِه اهللُ ْ ٓ َ ي ه ُ ُ ل ْ ٔ سُ َ ر َ و ُ ه ُ د ْ ب َ ا ْ ً د َّ ٍ َ ح ُ م َّ ن َ أ د ُ ْ ع َ ت ب َّ ٌ َ ٍد أ ُ ٍ َ ح ُ ت م َ ِدُ ِ ّ ي ِ سَ ى آل ٰ ل َ ع َ ٍد و ُ ٍ َ ح ُ ت م َ ِدُ ِ ّ ي ى سَ ٰ ل َ ع ِ ّ و صَ ُُ .َّللَا َُ lhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah subhanahu W[ T[’[f[, y[ha n_f[b g_g\_lce[h e_m_gj[n[h ^[h kesehatan, sehingga penulis bisa menyelesaikan buku ini, dengan judul: Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia (K_m_f[l[m[h Ahn[l[ ‚Hoeog Imf[g‛ ^[h ‚Hoeog N[mcih[f‛). A
vi Shalawat dan salam tidak lupa penulis kirimkan buat Nabi Mob[gg[^ S[ff[ff[bo ‘Af[cbc q[ S[ff[g. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia bukan saja diterpa aksi-aksi radikalisme dan terorisme, tetapi juga dikagetkan dengan banyaknya laporan mengenai praktik hukum keluarga (munakahat) yang mengarah pada konservatisme pemikiran hukum yang bertentangan dengan cita-cita Negara mewujudkan keadilan bagi seluruh anggota masyarakat. Sikap mendua masyarakat dalam memandang hukum keluarga (Islam) masih menonjol dari waktu ke waktu. Mereka memahami hukum keluarga (Islam) harus dipisahkan dari hukum positif/nasional. Dalam membicarakan suatu kasus, mereka berulang kali g_hy[n[e[h, gcm[fhy[, ‚Ihc m[b g_holon boeog Imf[g n[jc nc^[e sah menurut pandangan h_a[l[‛ [n[o m_\[fcehy[. Mcm[f f[ch j_le[n[[h, ‚Y[ha j_hncha m[b g_holon [a[g[, m_^[hae[h boeog h_a[l[ b[hy[ j_g\_h[l[h [^gchcmnl[nc` \_f[e[‛. Aec\[nhy[, ketakpastian hukum hampir tak terhindarkan. Berbagai usaha yang dilakukan oleh para intelektualintelektual dan cendikiawan Muslim di dunia, terlebih-lebih di Indonesia untuk melakukan pengembangan maupun pembaharuan-pembaharuan hukum keluarga Islam sudah banyak dilakukan, baik secara individual, kolektif maupun dengan menelaah-menelaah hasil putusan pengadilan, melakukan edukasi hukum kepada masyarakat guna untuk menyadarkan, bahwa apa yang diatur Negara dalam perundang-undangan adalah merupakan bentuk wujud menciptakan kemaslahatan, keadilan dan kepastian hukum. Trend kodifikasi hukum keluarga (munakahat) di dunia Muslim berkembang fenomenal sejak awal abad ke-20. Tujuan utama kodifikasi adalah menyatukan rujukan dalam hukum keluarga Islam atau menciptakan kerangka acuan tunggal bagi pemecahan masalah-masalah keluarga yang harus diselesaikan
vii lewat proses pengadilan (due process of law). Pada saat yang sama, kodifikasi dimaksudkan untuk menyusun referensi penerapan hukum Islam dalam format dan sistem modern dengan bahasa-bahasa nasional (setempat), agar mudah diakses oleh para hakim, pengacara, individu-individu terkait, dan masyarakat awam. Indonesia sendiri sejak tahun 1974 telah membuat sebuah regulasi berupa Undang-Undang yang mengatur khusus perihal perkawinan, mulai dari pasal yang menjelaskan dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, sampai tentang hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan campuran, termasuk diatur tentang hal yang berkaitan dengan perempuan dan anak, sebut saja misalnya Pasal 7 yang menjelaskan tentang usia perkawinan untuk pria diizinkan menikah jika sudah mencapai umur 19 tahun dan perempuan 16 tahun, yang kemudian untuk perempuan menjadi 19 tahun setelah dikeluarkannya revisi terhadap UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Selain Undang-Undang di atas, usaha untuk menciptakan kepastian hukum dan usaha melahirkan keadilan bagi setiap elemen masyarakat pemerintah juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (selanjutnya disebut KHI), yang mengkodifikasi aturan-aturan materil terkait perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Melalui kodifikasi ini, misalnya, adanya keharusan pencatatan nikah, keharusan perceraian di hadapan majelis hakim, poligami dibatasi, hak suami atas perceraian sepihak dipangkas, ketentuan pembagian harta bersama dengan bagi sama rata, hak asuh anak, nafkah anak pasca perceraian dan gagasan tentang wasiat wajibah diterapkan bagi anak angkat. Kehadiran KHI ini menyempurnakan usaha Negara dalam menafsirkan hukum
viii keluarga yang tertuang dalam Undang-Undang perkawinan dan memperkukuh sistem kelembagaan Peradilan Agama yang telah termuat dalam Undang-Undang Peradilan Agama No. 9 tahun 1989 Pada akhir abad ke-20 yang lalu, pembicaraan tentang aktualisasi hukum Islam banyak dibicarakan oleh para ahli hukum Islam, bahkan juga oleh para ahli hukum non-Islam. Hal ini disebabkan karena umat Islam di dunia ini di satu pihak memerlukan hukum Islam sebagai hukum agama yang dapat mengayomi kehidupan dunia dan akhirat, tetapi di sisi lain pakar hukum Islam melihat bahwa hukum Islam yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih oleh para mujtahid beberapa abad yang lalu dalam beberapa hal tidak lagi dapat mengayomi kehidupan mereka. Atau, sebagian hukum Islam tersebut tidak mungkin lagi dilaksanakan secara praktis dan aktual karena kondisi zaman yang telah berubah karena globalisasi dalam segala bidang. Mengutip apa yang disampaikan oleh Dr. Zulfahmi dalam disertasinya, bahwa kehadiran Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan hasil ijtihad yang dapat dipertanggungd[q[\e[h, f_\cb n_j[nhy[ \_fc[o g_hy[gj[ce[h ‚B[bq[ penyusunan dan perumusan kandungan Pasal demi Pasal dalam Kompilasi Hukum Islam, dilakukan dengan manhaj istinbat yang dapat dipertanggungjawabkan serta dapat pula diuji kebenarannya. Dalam penyusunannya tidak mengabaikan asas hukum Islam serta tidak memaksakan kepada satu mazhab tertentu, agar hukum Islam tetap wujud dan dapat dipergunakan untuk menyelesaikan segala masalah umat dalam era globalisasi saat ini. Dalam kaitan ini, prinsip yang harus dilaksanakan adalah prinsip maslahat yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan, dalam rangka menjauhkan rakyat daripada keburukan dan kerusakan. (Lihat, disertasi Zulfahmi Bustami, hlm. 317)
ix Bahkan beliau dalam disertasinya dengan tegas menyatakan, bahwa perdebatan yang mengarahkan kepada bahwa penyusunan Kompilasi Hukum Islam tidak selaras dengan konsep hukum Islam yang berujung kepada penolakan terhadap pembaharuan hukum perkahwinan, hukum pewarisan (termasuk wasiat dan hibah), dan hukum wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak dapat dibuktikan, dengan demikian maka ucapan-ucapan m_j_lnc ‚Ihc m[b g_holon boeog Imf[g n[jc nc^[e m[b g_holon j[h^[ha[h h_a[l[‛ [n[o m_\[fcehy[. An[o j_le[n[[h m_j_lnc, ‚Y[ha j_hncha m[b g_holon [a[g[, m_^[hae[h boeom negara b[hy[ j_g\_h[l[h [^gchcmnl[nc` \_f[e[‛ nc^[e \if_b n_ld[^c ^c tengah-tengah masyarakat apalagi di tengah-tengah diskusi para akademisi. Buku yang di tangan para pembaca ini merupakan kajian yang masih sederhana dengan menggunakan landasan ayat-ayat al-Quran dan penjelasannya, baik pendapat ulama mazhab maupun ulama kontemporer, kemudian penulis menyelaraskan dengan aturan yang ada seperti Undang-Undang Pernikahan 1974 yang direvisi menjadi Undang-Undang tahun 2019 tentang pernikahan, namun penulis lebih banyak mengacu pada Kompilasi Hukum Islam lengkap dengan penjelasannya, setelah membaca dari berbagai perspektif dalam buku ini, maka penulis lampirkan juga buku I KHI pernikahan, dengan begitu pembaca akan lebih mudah memahami bagaimana keselarasan pembahasan buku ini dengan pasal-pasal yang ada di KHI, oleh sebab itu penulis lebih juga banyak mengutip bukunya Prof. Ahmad Rofiq tentang hukum perdata Islam di Indonesia. Saya sangat berharap buku ini dapat menjadi referensireferensi yang dapat mendorong perkembangan hukum keluarga (munakahat), baik lewat pendekatan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di kampus-kampus Islam di Indonesia. Besar harapan penulis, dengan hadirnya buku-buku referensi, maupun
x penelitian-penelitian yang mengarahkan kepada terciptanya ketaatan hukum (keluarga) di Indonesia dapat menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan bahagia. Rampungnya penulisan ini tentunya tidak lepas dari bantuan keluarga, dosen dan lain-lain, karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada: 1. Ayahanda tercinta Muluk dan Ibunda tercinta Sapinah beserta seluruh abang dan kakak penulis. Terutama kepada abanganda Solahuddin S.E.,M.E yang sering memotivasi dan menjadi tempat bercerita tentang pendidikan dan terlebih-lebih tentang proses penerbitan buku, sebab beliau hingga saat ini fokus bekerja di salah satu percetakan buku. 2. Bapak Drs. H. Abdul Aziz, M.H yang sudah memberikan motivasi kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan strata 2 ke Yogyakarta, beliau saya kenal pertama kali saat masih kuliah strata 1 di UIN Pekanbaru dan pada saat itu penulis magang di Pengadilan Agama Pekanbaru dimana tempat beliau bertugas sebagai hakim, sejak saat itu hingga sekarang beliau masih sering menghubungi penulis terkait proses pendidikan meskipun beliau sudah dimutasi tugas dari Pekanbaru ke Jakarta, dan data penulisan buku ini juga merupakan hasil bantuan dari beliau, serta beliau sudah bersedia memberikan kata pengantar buku ini. 3. Ibu Dr. Jumni Nelli., M.Ag yang merupakan dosen penulis di strata 1 dan hingga sekarang masih sering memberikan wejangan kepada penulis, terutama terkait hal-hal yang berkaitan kepenulisan, dan terima kasih yang tidak terhingga bu Dr. Jumni Nelli.,M.Ag bersedia
xi ikut serta dalam penulisan buku ini, sehingga isi buku ini lebih baik dan saya lebih yakin untuk menuntaskan tulisan ini. 4. Ibu Prof. Euis Nurlaelawati, MA., yang merupakan guru besar hukum keluarga UIN Yogyakarta dimana penulis menyelesaikan magister hukum (konsentrasi hukum keluarga Islam), beliau sangat berpengaruh dalam meningkatkan kualitas penulis tentang bagaimana berpikir secara konstruktif dan berpikir kritis, terutama bagaimana cara menganalisa hukum dengan baik dan up to date, penulisan buku ini juga merupakan salah satu arahan dari beliau, beliau mengajarkan kepada penulis beberapa hal di saat beliau memperbaiki revisian tesis penulis yang mana beliau adalah pengujinya. 5. Terima kasih juga yang tidak terhingga kepada bapak Dr. Zulfahmi Bustami., M.A yang sudah mengizinkan sebagian isi dari disertasi beliau untuk penulis jadikan bahan dalam penulisan buku ini dan terima kasih juga kepada bapak Dr. Malik Ibrahim.,M.Ag serta terima kasih kepada teman-teman satu konsentrasi magister hukum keluarga Islam UIN Yogyakarta yang sudah menjadi teman baik diskusi di dalam kelas-kelas perkuliahan, sehingga menjadi source inspiration kepada penulis untuk menyelesaikan buku ini dan beberapa jurnal ilmiah lainnya. Semoga setiap kontribusi, dukungan dan partisipasi yang telah diberikan bernilai ibadah jariyah dan diberikan ganjaran yang berlipat ganda oleh Allah Azza Wa Jalla. Akhirnya penulis tentunya tidak menapikan bahwa buku ini masih terdapat
xii kekurangan yang membutuhkan kritikan yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan. J[z[eogoff[bo [bm[hof d[z[’. Yogyakarta, 19 Januari 2024. Penulis
xiii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................ v DAFTAR ISI ....................................................................... xiii BAB I. POSISI KAJIAN MUNAKAHAT DALAM RUANG LINGKUP KAJIAN HUKUM ISLAM: PERBEDAAN SYARI’AH DAN FIKIH ........................................................................ 1 A. Asas dan Ruang Lingkup Kajian Hukum Keluarga Islam (Munakahat) ...................................................................7 BAB II. TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM: KELUARGA SAKINAH, KELUARGA MAWADDAH DAN KELUARGA RAHMAH (AL-QURAN SURAH AR-RUM [30]:21) ............ 14 A. Ayat dan Konteks........................................................... 15 B. Konsep Keluarga Sakinah, Yang Mawaddah, dan Rahmah Dalam Tafsir Q.S. ar-Rum; 30: 21..................................... 20 C. Kriteria-Kriteria Keluarga Ideal dalam Q.S ar-Rum;30:21... 33 BAB III. KONKRITISASI ATURAN TENTANG MAHAR DALAM PERNIKAHAN Q.S AN-NISA [4]: 4 DAN KHI .................. 38
xiv A. Ayat dan Tafsir Q.S an-Nisa ayat 4 ...................................39 B. Dasar Hukum Mahar......................................................44 C. Ketentuan dan Macam-Macam Mahar .............................47 D. Syarat-Syarat Mahar.......................................................50 E. Hikmah Disyariatkannya Mahar .....................................51 BAB IV. MITSAQAN GHALIZA DALAM TATANAN PERNIKAHAN DAN TUJUAN PERNIKAHAN Q.S AN-NISA AYAT 21 ....... 53 A. Ayat dan Konteks...........................................................54 B. Pengertian Mitsaqan Ghaliza ..........................................56 BAB V. ASAS-ASAS HUKUM MONOGAMI DALAM TATANAN PERNIKAHAN DI INDONESIA ..................................... 61 A. Ayat dan Tafsir ..............................................................63 B. Paradigma.....................................................................67 C. Monogami sebagai Asas Hukum Pernikahan....................70 D. Penutup ........................................................................73 BAB VI. KESETARAAN HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PERNIKAHAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI .................. 75 A. Hak Dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga ......78 BAB VII. KONKRITISASI ATURAN NAFKAH DALAM PERNIKAHAN Q.S AL-BAQARAH [2]: 233 DAN KHI........ 88 A. Ayat dan Konteks...........................................................89 B. Macam-Macam Nafkah Keluarga ....................................92 C. Nafkah sebagai Kewajiban Suami....................................94 D. Nafkah Pasca Perceraian................................................97
xv E. Nafkah Anak ................................................................. 99 F. Hikmah Pensyariatan Nafkah....................................... 100 BAB VIII. ATURAN KONKRIT TENTANG HUKUM NUSYUZ AL QUR AN AN-NISA [3]: 34 ............................................ 103 A. Ayat dan Konteks......................................................... 104 B. Pengertian Nusyuz....................................................... 108 C. Bentuk perbuatan Nusyuz ............................................ 110 D. Penyelesaian Nusyuz ................................................... 112 BAB IX. ATURAN KONKRIT TENTANG TALAK: Q.S AT-THALAQ [65]: 1 DAN KHI ........................................................ 122 A. Dasar Hukum Talak ..................................................... 131 B. Bentuk-Bentuk Talak ................................................... 135 C. Tujuan dan Hikmah Pensyariatan Talak ........................ 138 BAB X. KONKRITISASI ATURAN RUJU’ DALAM Q.S AL-BAQARAH [2]: 228 DAN KHI ...................................................... 141 A. Ayat dan Konteks......................................................... 142 B. Paradigma .................................................................. 145 C. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Masa ‘I^^[b......... 147 D. Pandangan Ulama tentang Rujuk dalam Masa ‘I^^[b...... 148 E. Iddah Talak Wanita yang Subur .................................... 151 F. Hukum Rujuk.............................................................. 152 G. Rukun dan Syarat Rujuk dalam Islam ............................ 153 H. Prosedur Pelaksanaan Rujuk ........................................ 154
xvi BAB XI 158KONKRITISASI ATURAN POLIGAMI DALAM ALQURAN AN-NISA [4]:3 TEORI MAKRO DAN MIKRO ...... 158 A. Ayat dan Konteks......................................................... 159 B. Paradigma................................................................... 160 C. Munasabah ................................................................. 164 D. Konsep adil dalam poligami.......................................... 166 BAB XII. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA (HARTA GONO GINI) PASCA PERCERAIAN ................................................ 169 A. Penggunaan Harta Bersama oleh Suami Istri................. 175 BAB XIII. PROSEDUR DAN PROBLEM PENGAJUAN ITSBAT NIKAH DI INDONESIA .............................................. 182 A. Prosedur Pengajuan Itsbat Nikah .................................. 185 BAB XIV. KESIMPULAN DAN SARAN .................................... 192 A. Kesimpulan................................................................. 192 B. Saran.......................................................................... 195 DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 196 TENTANG PENULIS ............................................................ 207
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 1 I POSISI KAJIAN MUNAKAHAT DALAM RUANG LINGKUP KAJIAN HUKUM ISLAM: PERBEDAAN SYARI’AH DAN FIKIH ADA poin ini penulis merasa penting menjelaskan terlebih dahulu tentang posisi hukum keluarga dalam kajian-kajian hukum Islam. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam, sebagai-mana yang sudah penulis singgung sedikit di dalam pendahuluan, dengan banyaknya istilah-istilah yang diguna-kan dalam kajian hukum Islam tidak sedikit yang bingung mana hukum Islam yang disebut (hukum) syariat dan mana hukum Islam yang disebut (hukum) fikih, apalagi mendengar kata Islamic law atau kata Islamic Jurisprudence. Sejak ratusan tahun yang lalu di kalangan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengalami ketidak-jelasan persepsi tentang syariah, fiqih dan hukum Islam. Kekacauan P
2 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H persepsi ini meliputi arti dan ruang lingkup pengertian syariah Islam yang kadang-kadang diartikan sama dengan fiqih, bahkan adakalanya disamakan dengan ad-din. Oleh karena itu, adanya kekacauan dalam mengartikan syariat Islam ini, terjadilah berbagai masalah dalam penerapannya dan timbulnya saling menyalahkan dalam melaksanakan kehidupan dalam berbagai bidang, baik kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di samping itu, dengan tidak jelasnya persepsi tentang syariah Islam timbul ketidak-seragaman dalam menentukan apa yang disebut hukum Islam dan bagaimana melaksanakan syariat Islam itu. Syari'ah secara bahasa dalam kamus Ilmu Ushul Fikih adalah jalan menuju sumber air.1 Yang berarti Jalan menuju air dapat diartikan jalan menuju kehidupan.2 Disebutkan dalam al-Qur an di beberapa surah seperti dalam surah al-Maidaah ayat 48, asSyuara ayat 13, dan al-Jasiyah ayat 18 yang mengandung arti jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan, hal ini saat Allah So\b[h[bo q[ T[’[f[ g_hy[n[e[h ^alam Q.s al-Jasiyah ayat 18: ‚K_go^c[h K[gc d[^ce[h e[go \_l[^[ ^c [n[m mo[no my[lc[n (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak g_ha_n[boc‛.3 Selain pengertian di atas juga muncul definisi syariah yang f[ch. my[lc[b g_holon Mob[gg[^ S[c^ Amg[qc \_l[lnc“ d[f[h g_hodo Aff[b ‘Azz[ q[ J[ff[‛. Menurutnya pengertian ini mencakup aturan-aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur 1 Lihat Ibnu Mansur al-Afriqi, lisan a-„Arab, (Beirut: Dar al-Sadrm t.th), hlm. 175. 2 Fazlurrahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, (Banung: Pustaka, 1948), hlm. 140. 3 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 500.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 3 an dan aturan-aturan yang termuat dalam hadits, dan selanjutnya tafsir, pendapat, ijtihad, fatwa serta putusan hakim.4 Sedangkan menurut Muhammad Syaltut sebagai-mana yang dikutip oleh Aibak, syariah adalah aturan-aturan yang diciptakan pedoman bagi manusia dalam mengatur hubungan Tuhan, dengan manusia baik sesama muslim maupun non muslim, alam dan seluruh kehidupan.5 Hasbi ash-Shiddiqie menjelaskan pula, bahwa syariah merupakan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetap-kan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan sesama manusia.6 Begitu juga yang dijelaskan lebih lanjut oleh Mohammad Daud Ali dalam bukunya hukum Islam, bahwa syariah adalah hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan Iman yang berkaitan dengan akhlak baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Karena itu, syariat terdapat di dalam Al-quran dan di dalam kitabkitab Hadis. Menurut sunnah (al-qauliyah atau perkataan) Nabi Muhammad, umat Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada Al-quran dan Sunnah Rasulullah. Dengan perkataan lain, umat Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama ia mempergunakan pola hidup, pedoman hidup, tolok ukur hidup dan kehidupan yang 4 Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Na‟im: Epistemologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 85-86. 5 Kutbhuddin Aibak, Metodologi Hukum Islam, (tt. th ), hlm. 52. 6 Hasbi ash-Shiddiqi, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 29.
4 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H terdapat dalam Al-quran dan kitab-kitab hadis yang sahih (sahih otentik, benar).7 Karena norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al-quran itu masih bersifat umum, demikian juga halnya dengan aturan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad terutama mengenai muamalah, maka setelah Nabi Muhammad wafat, norma-norma hukum dasar yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut. Perumusan dan penggolongan norma-norma hukum dasar yang bersifat umum itu ke dalam kaidah-kaidah yang lebih konkret agar dapat dilaksanakan dalam praktik, memerlukan disiplin ilmu dan cara-cara tertentu. Muncullah ilmu pengetahuan baru yang khusus menguraikan syariat dimaksud. Dalam kepustakaan, seperti telah disebut juga di muka, ilmu tersebut dinamakan 'ilmu fiqih yang ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ilmu hukum (fikih) Islam. "Ilmu fiqih [^[f[b cfgo y[ha g_gj_f[d[lc [n[o‛ g_g[b[gc my[lc[n ^_ha[h memusatkan perhatiannya?" pada perbuatan (hukum) manusia mukallaf, yaitu manusia yang ber-kewajiban melaksanakan hukum Islam karena telah dewasa dan berakal sehat. Orang yang `[b[g n_hn[ha `cecb ^cm_\on ^_ha[h `ok[b[’ [lnchy[ [bfc boeog (fikih) Islam.8 Untuk menunjukkan hukum Islam ada dua istilah yang sering digunakan, pertama Syariat Islam dan yang kedua Fiqih Islam. Dalam literatur-literatur yang menggunakan bahasa inggris, maka kita dapati kata Islamic law untuk menunjukkan Syariat Islam, sedangkan kata fiqih Islam digunakan kata Islamic Jurisprudence. Fikih Islam (Hukum Islam/ Islamic Jurisprudence), wajar kalau kemudian dikatakan bahwa hukum Islam itu pada hakikatnya produk ulama (fuqaha'/mujtahidin), meskipun dengan tetap mendasarkan sumber utamanya berupa al-Qur'an dan hadits Nabi, Dan ketika memahami nashsh itu, maka diperlukan 7 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 49. 8 Ibid
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 5 perangkat metodologi, seperti giyas, Istihsan, maslahah, dan lain sebagainya. Namun yang tetap tampak adalah ciri independensi/keswastaan dan keindividualan para pemikir hukum Islam tersebut. Jutaan buku mengenai hukum Islam telah beredar dan berkembang sebagai produk individual, meskipun kemudian ada buku mengenai hukum Islam yang ditulis secara resmi oleh pemerintah sebagai kodifikasi hukum Islam yang dinyatakan berlaku secara resmi di negara tertentu. Yang terkodifikasi ini seperti al-Fatawa al-Amiriyah di India, Majallat al Ahkam al-Adliyah di Turki, sampai dengan Undang-Undang Perkawinan (termasuk Kompilasi Hukum Islam) di Indonesia, dengan kenyataan seperti wajarlah kalau kemudian dikatakan bahwa hukum Islam itu merupakan hukum produk fuqaha' (mujtahid).9 Berikut ini penulis akan kutip tentang perbedaan yang mendasar antara Syariat dan Fiqih, agar pembaca lebih memahami secara baik dan benar, dan akan memahami dengan mudah dimana posisi hukum keluarga dalam kajian-kajian hukum Islam. Sebab seorang ahli atau yang mempelajari hukum Islam harus memahami mana hukum Islam yang disebut (hukum) syariat dan mana hukum Islam yang disebut (hukum) fikih. Pada pokok perbedaan antara keduanya adalah dapat dilihat berikut ini: 1. Syariat, seperti telah disinggung dalam uraian terdahulu, terdapat di dalam Al-quran dan kitab-kitab hadis. Kalau kita berbicara tentang syariat, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Kalau kita berbicara tentang figih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat dan hasil pemahaman Itu. 9 Lihat A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional-Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 26.
6 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H 2. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena ke dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak. 'Fikih' bersifat instrumental, ruang-lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum. 3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi/tidak akan berubah, 'fikih' adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa, baik itu perubahan lingkungan ataupun faktor sosio kultural. 4. Syariat hanya satu, sedang 'fikih' mungkin lebih dari satu seperti (misalnya) terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab itu. 10 5. Syariah mengandung kebenaran mutlak/absolut, sedangkan fikih mengandung kebenaran zhanni/nisbi. Syariah adalah subjeknya Allah, sedangkan fikih mo\d_ehy[ godn[bc^ch/`ok[b[’.11 Dengan memahami penjelasan maupun perbedaan antara syariah dan fikih di atas, maka fiqih atau hukum Islam mempunyai cakupan yang sangat luas, seluas aspek perilaku manusia dengan segala macam jenisnya. Dalam bahasan bukubuku fikih pada umumnya setidaknya mencakup hal-hal yang \_le[cn[h ^_ha[h: c\[^[n (`cecb c\[^[n), go’[g[f[n, goh[e[b[n (hukum keluarga), dan jinayat (hukum pidana: masalah peradilan atau qadha' masuk di sini). Namun sebenarnya akan lebih mudah dan lebih tepat untuk dikelompokkan pada dua bagian saja: 10 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 50-51. 11 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional-Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm.56-57.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 7 Ibadat dan muamalat. Yang pertama: Ibadat, mencakup perilaku manusia yang secara langsung berhubungan dengan Allah. Di sini terjadi hubungan subordinasi antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai Khalik. Kelompok yang pertama ini tidak dijangkau oleh ilmu hukum umum (sekular) dan ilmu-ilmu yang lain yang berkembang di dunia Barat, sebagai hasil penemuan manusia. Yang kedua: meliputi seluruh aspek kehidupan manusia selain yang berkaitan dengan ibadah. Cakupan kelompok yang kedua ini juga sangat luas, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan negara dan politik juga tidak terlewatkan menjadi objek pembahasan dalam fiqih. Dengan kata lain, dari kandungan yang ada dalam buku-buku fikih, sasaran kajian meliputi semua hal y[ha \_le[cn[h ^_ha[h j_l\o[n[h g[homc[ (‚[g[fcy[b) [n[o selain hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tasawuf.12Selanjutnya hal-hal tersebut berkembang yang kemudian tidak jarang mempunyai nama tersendiri, meskipun masih selalu menyebut fiqih. Di sinilah lalu muncul istilah seperti: fiqih politik, fiqih munakahat (hukum keluarga), fikih ekonomi, fikih siyasah yang diterjemahkan dengan ilmu tata Negara dalam Islam, fiqh dakwah, dan lain-lain. A. Asas dan Ruang Lingkup Kajian Hukum Keluarga Islam (Munakahat) Penulis merasa perlu juga membahas terkait apa saja asas-asas yang terdapat dalam hukum perkawinan di Indonesia, hal ini sering dihiraukan di dalam kajian-kajian hukum keluarga sehingga tidak jarang terjadi apa yang kita dapati sebuah pondasi hubungan kekeluargaan begitu rapuh, baik hubungan antara suami istri, maupun hubungan antara anak dan ayah di dalam ikatan kekeluargaan, sebut saja misalnya asas kemitraan suami istri tidak dihiraukan di dalam hubungan rumah tangga, sehingga ketiadaan asas ini 12 Ibid, hlm. 39-40.
8 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H yang terjadi adalah saling menuntut satu sama lain, suami merasa raja/penguasa di dalam rumah tangga yang harus mencukupi semua kebutuhan tanpa ada ikut campur tangan istri sama sekali, di sisi lain istri merasa diperbudak yang hanya memenuhi semua keinginan suami, tentunya tanpa asas ini tujuan dari rumah tangga tidak terpenuhi. Sebagaimana yang sudah disampaikan, bahwa di dalam hubungan kekeluargaan ada hukum atau Undang-undang yang mengatur perihal hubungan internal anggota keluarga (internalisasi kekeluargaan) dalam keluarga tertentu yang berhubungan ihwal kekeluargaan, atau hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, selain aturan yang tertulis ada juga aturan yang tidak tertulis dan hal ini sangatlah dasar untuk diketahui dalam hubungan kekeluargaan, dalam hal ini disebut dengan asas.13 Mengutip dari bukunya Prof. Mohammad Daud Ali dalam \oeohy[ ‚boeog Imf[g‛ g_hy_\one[h, Am[m (1) g_loj[e[h 'kesukarelaan', asas ini merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami-istri, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Ke-(suka)-relaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi asasi perkawinan Islam. Dalam berbagai hadis nabi, asas ini dinyatakan dengan tegas. Asas (2) persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas pertama tadi. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus diminta lebih dahulu oleh wali atau 13 Lihat, Muhammad Hafis dan Jumni Nelli, Hukum Keluarga Islam Indonesia (Konsep Maslahah terhadap Perkembangan Hukum Hukum Keluarga Islam di Indonesia), (Yogyakarta: Deefublish, 2023), hlm. 32.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 9 orang tuanya. Menurut Sunnah nabi, persetujuan itu dapat disimpulkan dari diamnya gadis tersebut. Dari berbagai Sunnah nabi dapat diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dapat dibatalkan oleh pengadilan. Asas (3) 'kebebasan memilih pasangan," juga disebutkan dalam Sunnah nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan Orang lain yang disukainya. Asas (4)'kemitraan suami-istri' dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut dalam Al-quran surat Al-Nisa' (4) ayat 34: dan surat Al-Baqarah (2) ayat 187. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami-istri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda: suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga, misalnya. Asas (5) 'untuk selama-lamanya,' menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (OS AlRum (30):21). Karena asas ini pula maka perkawinan mut'ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad. Asas (6) 'monogami terbuka," disimpulkan dari Alquran surat Al-Nisa' (4) ayat 3 jo ayat 129. Di dalam ayat 3 dinyatakan
10 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H bahwa seorang pria Muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, di antaranya adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi istrinya. Dalam ayat 129 surat yang sama Allah menyatakan bahwa manusia tidak mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian. Oleh karena ketidakmungkinan berlaku adil terhadap istri-istri itu maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan seorang wanita saja. Ini berarti bahwa beristri lebih dari seorang merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki Muslim kalau terjadi bahaya, antara lain, untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, kalau, istrinya misalnya, tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri.14 Dapat difahami begitu pentingnya asas-asas dalam kekeluargaan ini diperhatikan setiap pasangan yang ingin hendak melangsungkan pernikahan, dengan faham apa saja asas-asas yang harus dipegang atau diketahui, dengan taunya [^[ [m[m j_le[qch[h ‚m_f[g[-f[g[hy[‛, g[e[ mo[gc cmnlc dengan sendirinya tervisualisasi dalam pikiran mereka, bawah pernikahan tidak untuk main-main yang hanya bisa begitu saja ditinggalkan apabila tidak lagi merasakan kenyamanan yang disebabkan sebuah permasalahan yang mungkin bisa dicarikan solusi-solusinya. Ruang lingkup kajian hukum keluarga (munakahat) dapat kita lihat dari Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan dapat juga dilihat ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 14 Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 139-141.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 11 Undang-Undang Perkawinan adalh aturan yang digunakan untuk secara umum, baik yang beragama Islam maupun yang tidak Beragama Islam di Indonesia, yang terdiri dari 14 bab dan terdapat 67 pasal, bab terdapat beberapa bagian: 1. Dasar Perkawinan 2. Syarat-Syarat Perkawinan 3. Pencegahan Perkawinan 4. Batalnya Perkawinan 5. Perjanjian Perkawinan 6. Hak Dan Kewajiban Suami Istri 7. Harta Bersama Dalam Perkawinan 8. Putusnya Perkawinan Dan Akibatnya 9. Kedudukan Anak 10. Hak Dan Kewajiban Antara Anak Dan Orang Tu 11. Perwalian 12. Ketentuan-Ketentuan Lain 13. Ketentuan Peralihan 14. Ketentuan Penutup Dengan begitu cakupan kajian hukum keluarga (munakahat) dari Undang-Undang Perkawinan ini adalah, yang berkaitan dengan: Syarat-Syarat Perkawinan, Pencegahan Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak Dan Kewajiban Suami Istri, Harta Bersama Dalam Perkawinan, Putusnya Perkawinan Dan Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak Dan Kewajiban Antara Anak Dan Orang Tua dan Perwalian.
12 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Sedangkan yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam adalah ketentuan yang dikhususkan untuk orang-orang Islam saja, meliputi tiga buku, buku yang pertama diberi judul perkawinan, buku yang kedua diberi judul kewarisan, dan buku ketiga adalah perwakafan. Buku I perkawinan terdiri dari 19 bab dan 170 pasal: 1. Ketentuan Umum 2. Dasar-Dasar Perkawinan 3. Peminangan 4. Rukun Dan Syarat Perkawinan 5. Mahar 6. Larangan Perkawinan 7. Perjanjian Perkawinan 8. Kawin Hamil 9. Beristri Lebih Dari Satu Orang 10. Pencegahan Perkawinan 11. Batalnya Perkawinan 12. Hak Dan Kewajiban Suami Istri 13. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan 14. Pemeliharaan Anak 15. Perwalian 16. Putusnya Perkawinan 17. Akibat Putusnya Perkawinan 18. Rujuk 19. Masa Berkabung
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 13 Dapat disimpulkan, bahwa cakupan kajian hukum keluarga Islam di Indonesia adalah hal yang berkaitan dengan perkawinan, yang meliputi Peminangan, Rukun Dan Syarat Perkawinan, Mahar, Larangan Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Kawin Hamil, Beristri Lebih Dari Satu Orang, Pencegahan Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Hak Dan Kewajiban Suami Istri, Harta Kekayaan Dalam Perkawinan (^[f[g UU j_le[qch[h ^cm_\on ‚b[ln[ \_lm[g[ ^[f[g j_le[qch[h‛), P_g_fcb[l[[h Ah[e (^[lam UU perkawinan ^cm_\on ‚e_^o^oe[h [h[e‛), P_lq[fc[h, Ponomhy[ Perkawinan, Akibat Putusnya Perkawinan, Rujuk, Masa Berkabung dan tambang hal yang berkaitan dengan warisan serta hal-hal yang bersinggungan dengan perwakafan.
14 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H II TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM: KELUARGA SAKINAH, KELUARGA MAWADDAH DAN KELUARGA RAHMAH (AL-QURAN SURAH AR-RUM [30]:21) SLAM adalah agama yang memberikan perhatian besar terhadap pentingnya institusi keluarga. Secara normatif memberikan aturan-aturan yang komprehensif. Begitu juga mengenai pola relasi dan berbagai pembagian kerja di dalam institusi keluarga tersebut. 15 Dalam konteks al-Quran menyebut pernikahan sebagai ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghaliza). Istilah ini hanya tiga kali Allah sebutkan dalam al-Qol’an (yaitu, an-Ncm[[’;4:21, 154 ^[h [f-Ahzab [33]: 7). Hal-hal yang diharamkan 15 Lihat Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas Kajian Hadis-Hadis Monogini (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 96. I
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 15 sebelum pernikahan berubah menjadi sebuah kehalalan yang wajib dilaksanakan. Rumah tangga dalam era modern ini mengalami banyak tantangan dan masalah, sehingga tidak sedikit rumah tangga dalam perjalanannya berujung dengan perceraian. Pengadilan Agama Pekanbaru saja contohnya mengeluarkan 5-8 putusan cerai dalam satu hari, dari data pengadilan selama tahun 2018 tercatat 1.919 perkara, tahun 2019 terdapat 1.873 perkara dan pada tahun 2020 sampai pada bulan juni sudah terdapat 865 perkara.16 Salah satu faktor yang menjadi penyebab dari sebuah perceraian adalah karena ketidak fahaman tentang tujuan dari sebuah perkawinan itu sendiri. Q.S ar-Rum; 30: 21 menyebutkan, bahwa pernikahan itu untuk memperoleh sakinah, mawaddah, warahmah. Artikel ini akan menjelaskan secara mendalam dengan bertitik tolak dari ayat yang secara tegas menyatakan, bahwa tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah tersebut. A. Ayat dan Konteks Ayat tersebut terdapat dalam Q.S. ar-Rum; 30: 21 sebagai berikut: ‚D[h ^c [hn[l[ n[h^[-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. 16 SIPP Kepaniteraan Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas 1A diakses pada tanggal 1 Mei 2021.
16 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-n[h^[ \[ac e[og y[ha \_l`cecl‛. 17 Surat Ar-Rum termasuk surat Makkiyah yang diwahyukan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Ketika Nabi Muhammad s.a.w. masih dalam perjuangan yang sulit di negeri Makkah sebelum pindah ke Madinah, terutama karena tantangan-tantangan yang begitu hebat dari pihak kaum Musyrikin Quraisy, terjadilah perang hebat di antara bangsa Romawi (Bizantium) di bawah pimpinan kaisarnya sendiri dengan bangsa Persia (Iran). Dalam peperangan itu kalahlah bangsa Rum dan menang bangsa Persia. Karena kekalahan bangsa Rum yang dianggap oleh kaum Muslimin di Makkah ‚^_e[n‛ ^_ha[h g_l_e[, e[l_h[ m[g[-sama percaya kepada Allah dan mempunyai kitab suci Injil, dan menghormati Nabi Isa, meskipun kaum Muslimin tidak mengakui bahwa Nabi Isa itu Tuhan, anak-anak Tuhan, namun kaum Muslimin di Makkah merasa sedih atas kekalahan bangsa Rum itu. Sedang kaum Musyrikin Quraisy bila mendengar berita kekalahan Rum dan kemenangan Persia itu mereka sangat bergembira. Di waktu demikianlah turun ayat-ayat yang pertama daripada Surat ar-Rum ini, Surat yang ke 30 menurut susunan Sayyidina Usman bin Affan, yang mengandung 60 ayat.18 Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya al-Misbah, bahwa ayat 11-27 berbicara tentang bukti-bukti keesaan Allah swt, serta kekuasaan-Nya dalam mencipta dan mengatur seluruh wujud dari yang terkecil hingga yang terbesar. Dia yang mencipta, memberi kehidupan dan sarananya, dan Dia pula yang mematikan dan memberi masing-masing makhluk mukallaf balasan dan ganjaran.19 Ayat-ayat yang sebelum ar- 17 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 406. 18 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 5477. 19 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 11 (Cet.III: Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 22.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 17 Rum ayat 21 ini berbicara tentang kejadian manusia hingga mencapai tahap basyariyah yang mengantarnya berkembang biak sehingga menjadikan mereka bersama anak cucunya berkeliaran di persada bumi ini. Kini ayat yang di atas menguraikan pengembangbiakan manusia serta bukti kuasa dan rahmat-Nya dalam hal tersebut. Ayat di atas melanjutkan pembuktian yang lalu dengan menyatakan bahwa: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir tentang kuasa dan nikmat Allah. 20 Jadi sangat tepat yang dikemukakan sesudah uraian tentang kekalahan dan kemenangan Byzantium, karena kaum Musyrikin Makkah menjadikan kekalahan itu sebagai pertanda kebenaran kepercayaan mereka dan bahwa mereka akan mengalahkan kaum muslimin, sebagaimana penyembah api/berhala yang tidak mempercayai hari Kebangkitan mengalahkan umat beragama yang memiliki kitab suci (Ahlu al-Kitab) yang mempercayai Kebangkitan. Ayat di atas menegaskan pernikahan adalah salah satu bentuk dari bukti ayat-ayat atau tanda-tanda kebesaran Allah Azza Wa Jalla, dan dijadikan-Nya daintaramu rasa kasih sayang dengan menjalin hubungan kekeluargaan perkawinan di antara kamu, dijadikan-Nya kasih sayang di antara kamu. Dengan itulah kamu menjalin hubungan. Dengan itu pula Dia jadikan rahmat di antara kamu, sehingga kamu saling menyayangi.21 20 Ibid., hlm. 34. 21 Ibnu Jariri Ath-Thabari, Jami‟ al-Bayan an Ta‟wil Ayi Al Qur an, Jilid 20 ( Jakarta: Pustaka Azam, 2007), hlm. 625-626.
18 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Sering kita dengar bahwa membina rumah tangga bukanlah persoalan yang mudah. Terkadang rumah tangga yang diharapkan di dalamnya ada kebahagiaan justru malah menciptakan malapetaka. Banyaknya terjadi perceraian disebabkan oleh satu dan banyak sebab.22 Sehingga tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa hidup sendiri jauh lebih baik atau menjalin hubungan tidaklah harus dengan ikatan pernikahan, agar terbebas dari tanggung jawab dan jeratan komitmen, dan lain-lain. Paradigma atau pandangan fundamental (miqyas) seperti di atas tentunya sangat jauh dari prinsip-prinsip teologis Imf[g l[bg[n[h fcf ‘[f[gch. Imf[g nc^[e j_lh[b g_ha[d[le[h untuk membenci pernikahan, apalagi memilih hidup membujang atau menjalin hubungan terlarang. Lewat alQuran surat ar-Rum; 30: 21 di atas justru menganjurkan bagi umatnya untuk membina rumah tangga yang di dalamnya ada ketenangan, kasih sayang dan rahmat serta di dalamnya ada tanda-tanda kebesaran-Nya. Adapun persoalan yang timbul itu semata-mata diakibatkan oleh kita sendiri tidak memahami tujuan pernikahan yang sesungguhnya. Cinta dan rumah tangga merupakan salah satu kebutuhan psikis, yang bersifat primer atau pokok bagi semua orang. Karena setiap dari kita pasti membutuhkan cinta dan rumah tangga yang nyaman. Maka, orang yang paling beruntung adalah siapa saja yang menemukan seorang kekasih yang pantas dinikahi atau menikah dengan seorang yang dicintai. Ayat di atas (ar-Rum;30 : 21) diperkuat lagi dengan adanya penjelasan dalam surat an-Nahl;16 : 80 sebagai berikut: 22 Asman, “Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam dan Perundang-Undangan Volume 7 No 2, Desember 2020 hlm. 100.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 19 ‚D[h Aff[b g_hd[^ce[h \[acgo log[b-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai q[eno (n_ln_hno)‛. 23 Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar menyebutkan dalam ayat (pangkal ayat 80 An-Nahl) dijuruskan perhatian kita kepada rumah tangga kita sendiri, tempat kita mendidik anak, tempat kita beristirahat, tempat teduh kehujanan dan bernaung ketika kepanasan. Dan tempat kamu bertekun ibadat kepada Tuhan dan mensyukuri nikmat-Nya. 24 Untuk mewujudkan keluarga seperti yang di atas, haruslah bersamasama antara suami dan istri untuk mengekalkan cinta yang merupakan anugerah dari Allah, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas hubungan suami dan istri dalam rumah tangga sangat mempengaruhi menjadikan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. 23 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 276. 24 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 14 Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 3944.
20 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H B. Konsep Keluarga Sakinah, Yang Mawaddah, dan Rahmah Dalam Tafsir Q.S. ar-Rum; 30: 21 Keluarga merupakan jiwa dan tulang punggung sebuah suatu Negara, kesejahteraan yang dirasakan oleh merupakan gambaran dari keadaan keluarga yang hidup ditengah-tengah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, jika kita ingin menciptakan Negara yang sejahtera, damai dan sentosa (baldatun thayyibatun) landasan yang harus kita bangun adalah masyarakat yang baik (thayyibah) adapun pilar yang harus ditegakkan untuk mewujudkannya adalah sakinah, mawaddah, dan warahmah. Dengan figur seorang ayah yang bijaksana, ibu penyantun, lembut dan bisa mendidik serta membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang akan membentuk karakter anak menjadi baik dan kuat. Inilah arti dari األولى مدرسة البيث melalui didikan seorang ibu. Perasaan yang berbeda-beda antara laki-laki dan perempuan baik bentuk dan arahnya dapat menggerakkan langkah-langkahnya serta mendorong aktivitasnya. Namun, sedikit sekali mereka mengingat kekuasaan Allah yang telah menciptakan bagi mereka dan pasangan mereka itu, dan menganugerahkan perasaan-perasaan dan rasa cinta itu dalam jiwa mereka. Juga menjadikan dalam hubungan itu rasa tenang bagi jiwa dan sarafnya, rasa tenang bagi tubuh dan hatinya, memberikan kedamaian bagi kehidupan dan penghidupannya, penghibur bagi ruh dan hatinya, serta membuat tenang lelaki dan wanita.25 Mempunyai keluarga yang sakinah menjadi idaman setiap orang. Kenyataan menunjukkan banyak orang yang merindukan rumah tangga menjadi sesuatu yang teramat indah, penuh bahagia, penuh dengan berkah. Kenyataan 25 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Quran, terj. As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 348.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 21 membuktikan tidak sedikit keluarga yang hari demi harinya hanyalah berpindah dari kecemasan kegelisahan, dan penderitaan. Bahkan tidak jarang diakhiri dengan kenistaan, perceraian, dan juga derita. Ternyata merindukan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah itu tidak asal jadi yang hanya berbekal cinta dan harapan, tapi butuh kesungguhan. Mengerahkan segala kemampuan kemampuan untuk mewujudkannya. Butuh kerja keras dan kemauan yang kuat.26 Namun demikian, upaya membentuk keluarga sakinah jelas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ketidak fahaman adalah salah satu penyebab terbesar tidak tercapai apa yang diinginkan. Dari uraian tersebut dapat dipahami betapa besar perhatian Islam dalam urusan berkeluarga. Islam membebani tuntunan secara mendetail dalam mengelola rumah tangga agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Tuntunan tersebut tentu saja bersumber dari al-Qol’[h ^c g[h[ `ungsinya sebagai pedoman hidup bagi manusia. Untuk bisa memahami sakinah, mawaddah dan rahmah yang terkandung dalam Q.S ar-Rum ayat 21 diatas, tentunya kita sebagai umat Islam memerlukan penjelasan atau penafsiran yang bisa memberikan pemahaman dan dimengerti oleh kita sebagai orang Indonesia. 1. Keluarga Sakinah Terkait dengan istilah sakinah memunculkan bermacam defenisi. Di antaranya adalah Al-Isfahan mengertikan sakinah dengan tidak adanya rasa gentar dalam menghadapi sesuatu. Menurut al-Jurjani sakinah adalah adanya ketenteraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu yang tidak diduga, dibarengi satu nur 26 Lihat BP4, Perkawinan & Keluarga, dalam Membangun Keluarga Sakinah, majalah bulanan. No. 451/XXXVIII/2010, Diterbitkan Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Pusat. 2010, 16.
22 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H (cahaya) dalam hati yang memberi ketenangan dan ketenteraman pada yang menyaksikannya. Ada pula yang menyamakan sakinah itu dengan kata rahmah dan thuma’hch[b, artinya tenang tidak gelisah dalam melaksanakan ibadah.27 Namun kalau dilihat dari terma etimologi dari sakina yaskunu berarti sesuatu yang tenang atau tetap setelah bergerak (tsubutu as-my[’[ \[’^[ n[b[lloe).28 dalam bahasa arab pisau disebut sikin, dikatakan sikin karena ia adalah alat yang menyebabkan hewan yang disembelih jadi tenang, tidak bergerak yang sebelumnya merontaronta. Kata sakinah ditemukan di dalam al-Quran sebanyak 69 kali dalam berbagai bentuk: litaskunu(4); liyaskuna(2); masakinuhum(3); maskunah(2); askunu(2); sakanun(3); sakinah (2); sakinatahu(3)29antara lain yang maknanya sesuai dengan sakinah yaitu: QS.Ar-Rum:21; alBaqarah:248; an-Nur: 29; an-Nahl:80; al-A’l[`: 189; [fTaubah:40. Berikut ini akan dijelaskan tafsir dari kata sakinah dalam surat an-Nur;30 :21 Quraish Shihab menjelaskan kata ( جسكونوا (taskunu terambil dari kata (سكن (sakana yaitu diam, tenang setelah sebelumnya goncang dan sibuk. Dari sini, rumah dinamai sakan karena dia memperoleh tempat ketenangan setelah sebelumnya si penghuni sibuk diluar rumah. Perkawinan melahirkan ketenangan batin. Setiap jenis kelamin pria atau wanita, jantan atau betina dilengkapi Allah dengan alat kelamin, yang tidak dapat berfungsi secara sempurna jika ia berdiri sendiri. 27Lihat Hukum Islam: Keluarga Sakinah, Mawaddah, warahmah, Dalam https: //www. facebook.com/ BelajarHukum Islam, diaskes 1 Mei 2021. 28 Al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharibil-Qur'an, (Beirut: Dārul-Ma„rifah, t.th), hlm. 236. 29 M. Fuad Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahraz li Alfad Alquran, (Beirut:Dar al-Fikr, 1980), hlm. 353.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 23 Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya masing-masing pasangan dengan pasangannya. Dari sini Allah menciptakan pada diri mereka naluri seksual. Karena itu, setiap jenis tersebut merasa perlu menemukan lawan jenisnya, dan ini dari hari ke hari memuncak dan mendesak pemenuhannya. Dia akan merasa gelisah, pikirannya akan kacau, dan jiwanya akan terus bergejolak jika penggabungan dan kebersamaan dengan pasangan itu tidak terpenuhi. Karena itu, Allah mensyariatkan bagi manusia perkawinan, agar kekacauan pikiran dan gejolak jiwa itu mereda dan masing-masing merasakan ketenangan. Itulah antara lain maksud kata litaskunu ilaiha. 30 Dalam ayat 21 Q.S. ar-Rum itu Allah menegaskan \[bq[ Aff[b ‚menciptakan untukmu isteri-isteri dari d_hcmgo m_h^clc,‛ maksudnya adalah Allah telah menciptakan kepada kalian perempuan-perempuan yang e[fc[h n_hn_l[g e_j[^[hy[. M[emo^ ‚dari jenismu sendiri‛ [^[f[b [cl g[hc e[og f[ec-laki dan dari jenis kalian. Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah hawa yang Allah ciptakan dari tulang rusuk Adam. 31 f_\cb f[hdon H[ge[ g_hd_f[me[h, \[bq[ ‚dari jenismu m_h^clc‛ adalah buat seluruh manusia, bukan untuk satu orang nenek yang bernama Adam. Teranglah bahwa yang diambil dari bahagian badannya untuk istrinya itu hanyalah Nabi Adam saja. Adapun keturunan Nabi Adam, anak cucu dan cicit Nabi Adam yang telah bertebaran di seluruh permukaan bumi ini, tidaklah istrinya diambilkan Tuhan dari bahagian badannya. Di dalam Surat 32, as-Sajadah ayat 7 dan 832 jelas sekali 30 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 11 (Cet.III: Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 35. 31 Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, jilid. 14, terj. M. Masrida, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), hlm. 39. 32 Q.S. as-Sajadah;32 :7 dan 8
24 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H bahwa yang dijadikan langsung dari tanah hanya Adam (ayat 7). Adapun keturunan Adam diciptakan dari saripati yang lemah, yaitu mani (ayat 8).33 M_ha_h[c j_h[`mcl[h ‚anfusikum‛ Qol[cmb Sbcb[\ memiliki penjelasan tersendiri lewat tafsirnya al-Misbah yang khas tentang Pesan, Kesan dan Keserasian alQol’[h. M_holonhy[, ‚[h`omceog‛ adalah bentuk jamak dari kata nafs yang antara lain berarti jenis atau diri atau totalitas sesuatu. Pernyataan bahwa pasangan manusia diciptakan dari jenisnya menjadikan sementara ulama menyatakan bahwa Allah swt, tidak membolehkan manusia mengawini selain jenisnya, dan jenisnya itu adalah merupakan pasangannya. Dengan demikian, perkawinan antara lain jenis, atau pelampiasan nafsu seksual melalui makhluk lain, bahkan yang bukan pasangan, sama sekali tidak dibenarkan Allah. Di sisi lain, penggunaan kata nafs/anfus mengandung makna bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi nafs/diri yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalam cinta dan harapannya, dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan menghembuskan nafasnya. Itu sebabnya perkawinan dinamai zawaj yang berarti keterpasangan disamping nikah yang berarti penyatuan ruhani dan jasmani.34 ”Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.. kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina”. 33 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 5501. 34 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 11 (Cet.III: Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 35.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 25 Kata sakinah (ketenangan) dalam ayat di atas sudah melekat pada penciptaan manusia yang secara berpasang-pasangan tersebut, oleh karena itu sakinah ini otomatis terpenuhi jika pernikahan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Itulah sebabnya Allah jadikan ketenangan (dalam ayat: supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya) disandingkan dengan kata penciptaan (kata khalaqa) dari yang belum ada menjadi ada. Untuk memperoleh sakinah atau perasaan tenteram yang dirasakan laki-laki pada perempuan dari gejolak kekuatan yang dirasakan oleh laki-laki. Sebab, apabila alat kelamin ditahan maka meletuslah air sulbi, maka kepada perempuanlah dia merasa tenteram dan dengan perempuanlah laki-laki terbebas dari akibat letusan tersebut. Imam al-Qurthubi menafsirkan surat Asy-Syo’[l[’;26: 166 ‚D[h e[go nchaa[f[e[h cmn_lc-isteri yang dijadikan if_b Tob[hgo ohnoego‛. Maksudnya, Allah swt memberitahukan kepada kaum laki-laki bahwa tempat itu diciptakan untuk kaum laki-laki, oleh karena itu isteri wajib menyerahkannya di setiap waktu saat suami membutuhkannya. Jika istri tidak menyerahkannya maka dia telah berlaku zalim dan bersalah besar. 35 Cukup sebagai dalil akan hal ini apa yang termaktub dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah ra. Dia berkata, Rasulullah bersabda: ذي ّ طظن ال ّ ذي بيده ٌت ٌَ رجو يدْٔ اٌرأثّ إلى فراشٓت فجأبي عليّ إلا ّ وال ف ى يرضى ِْٓت ّ ٍتء ستخطت عييٓت حت . ي اىس ّ 35 Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, jilid. 14, terj. M. Masrida, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), hlm. 41.
26 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H ‚Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang suami pun yang mengajak istrinya ke kasur, namun isterinya enggan memenuhi ajakan suaminya itu kecuali yang berada di langit marah terhadap isteri tersebut sampai suaminya ridha terhadapnya. 36 Inilah tanda kekuasaan Allah pertama yang dapat kita ambil dari sebuah pernikahan berdasarkan ayat di atas lewat penjelasan dan penafsiran ulama, jadi setiap pernikahan yang dilakukan oleh siapapun, baik itu yang memahami ayat al-Quran ataupun tidak memahami, atau bahkan baik perkawinan itu dilakukan oleh non muslim sesama non muslim, pada fitrahnya perasaan ketenangan itu secara otomatis ia dapati (ayat: litaskunu ilaiha). Maka, setiap pernikahan didapati dalamnya rasa ketenangan, akan tetapi belum tentu mendapatkan rasa mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu ada pernikahan sakinah, pernikahan sakinah mawaddah, pernikahan sakinah warahmah, dan pernikahan sakinah mawaddah warahmah. 2. Keluarga Sakinah yang Mawaddah Kata mawaddah berasal dari kata wadda-ya wadduwuddan-wawadatan-wa mawaddatan (cinta; kasih; persahabatan) yakni menyukai, senang, mengasihi, menyayangi.37 Di dalam al-Quran kata mawaddah dalam beberapa bentuk wadda (2); yawuddu (1); wuddan (1); wadud (1); mawaddah (6) antara lain yang maknanya sesuai dengan mawaddah yaitu: QS.Ar-Rum:21; AsSyura:23; Al-mumtahanah:7; An-Ncm[’:73; Af-Maidah:82.38 36 HR. Muslim dalam pembahasan tentang nikah, bab: Keengganan Isteri Memenuhi Ajakan Suami (2/1059) 37 Aḥmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia (Jakarta: Pustaka Progresif, 1984), hlm. 1547. 38 Lihat M. Fuad Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahraz li Alfad Alquran, h. 747
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 27 As-Suddi mengatakan sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munir, bahwa kata ( هّالمود ( artinya adalah (ةّالمحب (cinta. 39 lebih lanjut Hamka menjelaskan, bahwa cinta yang dimaksud adalah kerinduan seorang laki-laki kepada seorang perempuan dan seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang dijadikan Allah tabiat atau kewajaran dari hidup itu sendiri. Tiap laki-laki yang sehat dan perempuan yang sehat, senantiasa mencari teman hidup yang disertai dengan keinginan menumpahkan kasih sayang yang disertai dengan kepuasan bersetubuh. Oleh karena itu untuk meningkatkan rasa cinta antara suami dan istri Islam menganjurkan kedua belah pihak membersihkan badan, bersolek, ber harum-haruman, wangi-wangian, hingga kasih sayang mesra mawaddatan itu bertambah mendalam kedua belah pihak.40 Quraish Shihab mengatakan bahwa mawaddah mengandung arti kekosongan dan kelapangan. Ia adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak \oloe. L_\cb f[hdon \_fc[o g_hd_f[me[h ‚K[f[o [h^[ menginginkan kebaikan dan mengutamakannya untuk orang lain, maka anda telah mencintainya. Tetapi jika Anda menghendaki untuknya kebaikan, serta tidak menghendaki untuknya selain itu, apapun yang terjadi maka mawaddah telah menghiasi hati Anda. Oleh karena itu, maka siapa yang memilikinya, dia tidak akan pernah akan memutuskan hubungan apapun yang terjadi.41 Demikian Ibnu Faris dalam buku Maqayis-nya. Al-B[k[’I dalam menafsirkan al-Ankabut; 29:25 berpendapat 39 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, jilid. 11, terj. Al-Kattani dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 89. 40 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 5503. 41 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 11 (Cet.III: Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 36.
28 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H makna kata mawaddah mirip dengan makna rahmat, hanya saja mawaddah adalah cinta yang harus terbukti dalam sikap dan tingkah laku, sedang rahmat tidak harus demikian.42 Berikut ini akan dijelaskan makna ayat Allah menjadikan diantara kamu rahmatan. Pendeknya, pernikahan sakinah mawaddah adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan, kemudian menerapkan konsep mawaddah di atas, yaitu menikah dengan keinginan menumpahkan kasih sayang, menjaga kebersihan badan, bersolek, ber harum-haruman, wangi-wangian, hingga kasih sayang mesra mawaddatan itu bertambah mendalam kedua belah pihak, dengan pernikahan itu ada kelapangan dada, kekosongan jiwa dari kehendak buruk, juga menghendaki untuknya kebaikan, serta tidak menghendaki untuknya selain itu, dengan mawaddah juga pasangan tidak akan pernah ada keinginan memutuskan hubungan apapun yang terjadi. Meskipun ada perpisahan yang terjadi karena sudah di luar kemampauan suami isteri, perpisahan itu tetap karena cinta bukan karena kebencian dan perpisahan itu bukan untuk saling menghinakan. Oleh karena itu tidak heran jika laki-laki (suami) siap membela istrinya habis-habisan setelah dia menikahi seorang perempuan, dan seorang perempuan siap hidup bersama suaminya yang merupakan laki-laki asing sebelum terjadi pernikahan, serta perempuan tersebut rela meninggalkan orang tua yang membesarkannya, bahkan bersedia membuka rahasianya yang paling dalam. Hal ini tidaklah mudah kecuali tanpa adanya kekuasaan Allah Swt yang mengatur hati suami istri 42 Ibid., jilid 2, h. 477.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 29 tersebut, disinilah juga terdapat salah satu bukti kasih kekuasaan Allah dalam sebuah pernikahan. 3. Keluarga Sakinah yang Rahmah Selain mawaddah yang Allah jadikan di dalam sebuah pernikahan sebagai bukti kebesaran-Nya dalam sebuah pernikahan, kita juga dimotivasi oleh Allah swt untuk mendapatkan dan merawat rasa rahmat yang Dia (Allah) siapkan Allah swt tidak hanya memberikan sakinah, dan mawaddah, akan tetapi Dia juga menjadikan rasa rahmah diantara suami-istri. Sebab, dengan berlanjutnya usia bahwa syahwat bersetubuh, berhias, bersolek yang dengannya bisa menjaga sifat mawaddah tidaklah terus-menerus selama hidup. Apabila badan sudah mulai tua, laki-laki sudah lebih dari 60 tahun dan perempuan sudah mencapai 50 tahun, syahwat bersetubuh itu dengan sendirinya mulailah mengendur dan kulit yang selalu dijaga itu mulai keriput. Tetapi karena bersuami-istri bukanlah semata-semata mawaddatan, bertambah usia (tua), bertambah dalamnya rasa kasih mesra antara keduanya. Itulah dia rahmatan, yang kita artikan dengan kasih sayang. Kasih sayang (rahmatan) lebih dalam dari cinta (mawaddatan). Dengan begitu jelaslah bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah satu di antara ayat-ayat Allah, atau satu diantara berbagai ragam kebesaran-Nya.43 As-Suddi sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah Zuhailai dalam tafsir al-Munir mengatakan, bahwa kata (رحمن ّال (artinya adalah (شفقة ّال (belas kasihan, welas asih).44 Imam Muhammad menyebutkan rahmah timbul karena kasih sayang dan kelembutan, terutama karena ada ikatan 43 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 5503. 44 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, jilid. 11, terj. Al-Kattani dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 89.
30 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H cinta antar orang yang beraliran darah, cinta orang tua terhadap anaknya, atau sebaliknya, sejalan dengan yang dijelaskan oleh Imam al-Suyuti dalam tafsir Dzur Mantsur. 45 Rahmah disuburkan dengan kesadaran bahwa tidak seorangpun yang sempurna. Kekurangan yang dimiliki istri boleh jadi dimiliki suami dalam bentuk yang lain. Kesadaran demikian dapat memelihara dan menyuburkan kasih. Cinta, mawaddah, wa rahmah merupakan perekat perkawinan. Sehingga apabila cinta pupus, kasih pupus, masih ada rahmah, kalaupun ini tidak tersisa maka masih ada amanah, selama pasangan itu beragama maka amanah terpelihara sebagaimana termaktub dalam surat an-Ncm[’:19.46 Tahap rahmat juga dapat diartikan pada suami istri bersama lahirnya anak, atau ketika pasangan suami istri itu telah mencapai usia lanjut. Ini karena rahmat tertuju kepada yang dirahmati, sedang yang dirahmati itu dalam keadaan butuh, dan dengan demikian rahmat tertuju kepada yang lemah, dan kelemahan, kebutuhan itu sangat diarasakan di masa tua, betapapun baik rahmat dan mawaddah keduanya adalah anugerah Allah yang sangat nyata.47 Inilah pernikahan sakinah yang ada di dalamnya perasaan rahmah, adapun pernikahan sakinah mawaddah dan, warahmah yang sering kita sebut adalah merupakan gabungan antara kriteria keluarag sakinah yang di dalam 45 Imam Muhammad Bin Ismail al-Bukhori, al-Adabul Mufrad, (Jakarta: Buana Ilmu Ilami, 2005), hlm. 67. 46 Q.S. an-Nisa;3:19 “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. 47 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 11 (Cet.III: Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 36.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 31 pernikahan itu ada perasaan mawaddah dan perasaan rahmah. Dengan Allah ciptakan manusia berpasang-pasangan, sehingga adanya rasa sakinah (ketenangan), dan perasaan saling mencintai (mawaddah), juga perasaan sayang (rahmah) sehingga dunia ini seperti ini, karena itulah Allah menyuruh kita untuk berfikir kembali. Kenangkan baik-baik, cobalah pikirkan bagaimana jadinya dunia ini, kalau kiranya manusia berhubungan di antara satu dengan yang lain, lakilaki dengan perempuan sesuka hatinya saja. Tidak ada peraturan yang bernama pernikahan, dan tidak ada peraturan yang bernama talak. Lalu jika bertemu orang lalu berhubungan saja (mengawan) laksana binatang, sampai perempuan itu hamil. Lalu laki-laki pergi dan melakukan hal sama dengan perempuan lain, dan perempuan pula menyerahkan dirinya kepada segala laki-laki yang disukai atau menyukai dia. Kalau terjadi demikian, niscaya tidaklah ada ketenangan, tidaklah ada kebudayaan, dan tidaklah ada rasa cemburu, layaknya dunia sekarang.48 Hubungan keluarga ini sangat mendapat perhatian dalam Islam. Sebab di dalam keluarga itulah terdapat jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat atau bangsa tersebut. Itulah antara lain yang menjadi sebab sehingga agama Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pembinaan keluarga, perhatian yang sepadan dengan perhatiannya terhadap kehidupan individu serta kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Terkait hal ini, bisa ditemukan dalam puluhan ayat al-Qur an dan hadits Nabi 48 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 5504.
32 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Muhammad saw, petunjuk-petunjuk yang sangat jelas menyangkut hakikat tersebut. Allah swt menganjurkan agar kehidupan keluarga menjadi bahan pemikiran setiap insan dan hendaknya darinya dapat ditarik pelajaran berharga.49 Kebahagiaan sebuah keluarga (keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah) akan muncul dalam rumah tangga jika didasari ketakwaan, hubungan yang dibangun berdasarkan percakapan dan saling memahami, urusan yang dijalankan dengan bermusyawarah antara suami, istri, dan anak-anak. Semua anggota keluarga merasa nyaman karena pemecahan masalah dengan mengedepankan perasaan dan akal yang terbuka. Apabila terjadi perselisihan dalam hal apa saja, tempat kembalinya berdasarkan kesepakatan dan agama,50 karena syariat dalam hal ini bertindak sebagai penengah. Konsep keluarga dalam Islam cukup jelas, bahkan Islam sangat mengutamakan pembinaan individu dan keluarga. Hal ini wajar karena keluarga merupakan prasyarat baiknya suatu bangsa dan negara. Apabila semua keluarga mengikuti pedoman yang disampaikan agama, maka Allah akan memberikan hidayah kepadanya. Karenanya dalam Islam wajar disebut baiti jannati (rumah ku adalah surgaku).51 49 M.Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat), (Bandung Mizan, 1994), hlm. 253. 50 Q.S. an-Nisa;4: 59. 51 A.m Ismatullah, “Mazahib Jurnal Pemikiran Islam,Konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahmah Dalam al-Quran” (Perspektif Penafsiran al-Quran dan Tafsirnya), Vol. XIV, No. 1 Juni 2015
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 33 C. Kriteria-Kriteria Keluarga Ideal dalam Q.S ar-Rum;30:21 Manusia sebagai makhluk yang berakal diberi kebebasan dan kelengkapan fisik dan psikis serta kecenderungan untuk memilih jalan yang akan ditetapkannya dalam meniti kehidupan, antara jalan kebenaran yang akan mengantarkan pada kebahagiaan hidup hakiki berdasarkan petunjuk Allah atau jalan kesesatan yang seakan-akan mengantarkannya ke jalan kebahagiaan sehingga kehidupan keluarga yang harmonis terganggu. Keluarga harmonis adalah suatu keadaan keluarga yang terdapat hubungan komunikasi dengan baik (g[’lo`) dan saling melindungi. Bila suatu keluarga dikatakan harmonis bila terjadi komunikasi yang baik antara anggota keluarga. Segala persoalan dapat dipecahkan secara internal bersama.52 Ternyata melemparkannya ke jurang kenistaan, unit keluarga merupakan lingkungan terkecil dan terutama dalam hidup manusia, maka pembinaan pribadi dan lingkungan keluarga yang harmonis adalah tugas dan kewajiban utama dalam menghadapi seluruh problematika kehidupan. Fenomena keluarga yang harmonis dapat terlihat dari kehidupan yang terhindar dari konflik.53 Sebagai bentuk keluarga sakinah atau keluarga ideal, maka ada kriteria yang mesti dipenuhi yaitu: pertama, keteguhan niat, kedua, keteguhan pada tujuan pernikahan, ketiga, keteguhan pada pembinaan keluarga, keempat, keteguhan pada pencapaian kualitas dalam pembinaan keluarga dari hasil pernikahan. Pencapaian cita ideal hidup berkeluarga, tidak mungkin tanpa niat yang tulus yang 52 Zainal Arifin, "Tantangan Membentuk Keluarga Sakinah Pada Generasi Milenial." Wahana Islamika: Jurnal Studi Keislaman 6.2 (2020): 203. 53 R. Zainul Mushthofa dan Siti Aminah. "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Kafa‟ah Sebagai Upaya Membentuk Keluarga Sakinah." UMMUL QURA 15.1 (2020): 48
34 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H dijelmakan dalam usaha keras untuk meningkatkan kualitas demi kehidupan berkeluarga itu sendiri dalam rangka untuk mencapai cita-cita kebahagiaan hidup sejati. Keluarga yang dimaksud adalah suami istri yang terbentuk melalui suatu perkawinan. Disini ada titik penekanan melalui perkawinan, kalau tidak melalui perkawinan maka bukan dinamakan keluarga. Maka seorang laki-laki yang hidup bersama dengan seorang perempuan tidak dinamakan keluarga jika keduanya tidak diikat oleh sebuah perkawinan.54 Maka dalam membina keluarga sakinah atau keluarga ideal harus benar-benar dipahami, sebab calon istri dan suami semestinya memahami dan menghayati apa pengertian keluarga, bagaimana menurut ajaran Islam, apa tujuannya, serta apa hikmah yang diperoleh setelah melangsungkan pernikahan dan menciptakan keharmonisan antara suami dan isteri. Sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh para mufassir terhadap maksud Q.s ar-Rum ayat 21 diatas. Juga perlu diketahui, bahwa setelah menikah pasangan suami istri akan mengalami kehidupan yang benar-benar baru, berbeda dengan kehidupan sebelum menikah, antara lain:55 1. Dituntut untuk memulai hidup mandiri, lepas dari ketergantungan kepada orang tua masing-masing. 2. Suami mulai diminta pertanggung jawaban untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batin bagi dirinya dan istrinya. 54 Dwi Runjani Juwita, Konsep Sakinah Mawaddah Warrahmah Menurut Islam. Jurnal AnNuha. Vol 4 Nomor 2, Desember 2017. 205 55 Lihat Machfud, Keluarga Sakinah Membina Keluarga Bahagia (Surabaya: Citra Fajar, 2008), 1314.