Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 35 3. Isteri mulai wajib berbakti kepada suami serta membahagiakannya. 4. Suami isteri mulai memikirkan biaya hidup anak-anak mereka agar kelak menjadi lahir anak-anak yang saleh dan salehah. 5. Suami isteri mulai menjadi jembatan untuk mempersaudarakan kedua keluarga besar dari pihak isteri, dan sebaliknya. 6. Suami isteri dituntut untuk dapat hidup bertetangga dan bermasyarakat dengan baik. Selanjutnya para pakar ilmu berkaitan dengan keluarga telah mengungkapkan beberapa kriteria keluarga sakinah atau keluarga ideal, diantaranya Nurcholish Madjid, menjelaskan makna-makna Q.S. (30): 21, yang berkaitan dengan kriteria-kriteria keluarga sakinah sebagai berikut:56 a. Keluarga sakinah harus (wajib) didahului dengan pernikahan sesuai dengan tuntutan ajaran Islam, sehingga persahabatan antara dua orang yang berlainan jenis didahului dengan pernikahan sangat terpuji disisi Allah. Dua orang yang mengadakan ikatan pernikahan (laki-laki dan perempuan) yang tak ternoda sebelumnya, mempunyai makna yang mulia dihadapan Allah swt. b. Keluarga sakinah bisa dibentuk jika terdapat mahabbah di dalamnya, secara alami seorang tertarik kepada lawan jenisnya, mula-mula karena pertimbangan kejasmanian. Suasana saling tertarik sebab pertimbangan lahiriyah, membuat keduanya jatuh cinta, baik sepihak (bertepuk sebelah tangan) atau kedua belah pihak (gayung 56 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 72-73.
36 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H bersambut). Tingkat cinta ini adalah tingkat permulaan yang biasa disebut primitif. c. Dalam keluarga sakinah ini ada mawaddah, yaitu dua lawan jenis yang jatuh cinta, bukan saja karena pertimbangan kebutuhan biologisnya melainkan yang paling diutamakan adalah pertimbangan kepribadiannya, dan lain sebagainya atau sejenisnya. d. Keluarga sakinah itu terdapat di dalamnya rahmah yaitu sifat ilahi karena bersumber dari Yang Maha Rahman dan Rahim, yang diberikan kepada setiap hamba-Nya yang dirahmati. Hubungan cinta dua manusia yang berlainan jenis ini dapat mencapai tingkat kualitas yang paling tinggi dan tak terbatas yang serba meliputi; murni dan sejati, hal ini sejalan dengan makna firman Allah swt Q. S (7): 15657 ‚R[bg[neo g_fcjonc m_mo[no‛. Islam sangat lekat dengan tatanan rumah tangga. Rumah dalam pandangan Islam merupakan tempat berhimpun dan tempat menetap. Di dalamnya beberapa orang bertemu atas dasar saling mengasihi, saling menyayangi, saling berlemah lembut, menutup rahasia, bermurah hati, menjaga dan melindungi. Hubungan dalam lingkup rumah tangga ini mencerminkan gambaran yang lembut dan halus, yang dari sana memancar perasaan kasih dan sayang. Pandangan fundamental bahwa membina rumah tangga bukanlah persoalan yang mudah. Terkadang rumah tangga 57 Q.S al-A‟raf; 7:15
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 37 yang diharapkan di dalamnya ada kebahagiaan justru malah menciptakan malapetaka, anggapan bahwa hidup sendiri jauh lebih baik atau menjalin hubungan tidaklah harus dengan ikatan pernikahan, agar terbebas dari tanggung jawab dan jeratan komitmen, dan lain-lain adalah pandangan yang sangat jauh dari semangat prinsip al-Quran. Surat ar-Rum; 30: 21 justru menganjurkan bagi umatnya untuk membina rumah tangga yang di dalamnya ada ketenangan, kasih sayang dan rahmat serta tanda-tanda kebesaran Allah swt. Islam adalah agama yang memberikan perhatian besar terhadap pentingnya institusi keluarga. Secara normatif memberikan aturan-aturan yang komprehensif. Begitu juga mengenai pola relasi dan berbagai pembagian kerja di dalam institusi keluarga tersebut. Karena keluarga merupakan jiwa dan tulang punggung sebuah suatu Negara, kesejahteraan yang dirasakan adalah merupakan gambaran dari keadaan keluarga yang hidup ditengah-tengah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, jika kita ingin menciptakan Negara yang sejahtera, damai dan sentosa (baldatun thayyibatun) landasan yang harus kita bangun adalah masyarakat yang baik (thayyibah). Ketidak fahaman adalah salah satu penyebab terbesar tidak tercapai apa yang diinginkan. Islam membebani tuntunan secara mendetail dalam mengelola rumah tangga agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Tuntunan tersebut tentu saja bersumber dari al-Qol’[h y[ha `ohamchy[ sebagai pedoman hidup bagi manusia, tentunya penjelasan atau penafsiran yang bisa memberikan pemahaman dan dimengerti oleh kita sebagai orang Indonesia.
38 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H III KONKRITISASI ATURAN TENTANG MAHAR DALAM PERNIKAHAN Q.S AN-NISA [4]: 4 DAN KHI ERNIKAHAN merupakan akad yang menghalalkan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim. Perkawinan adalah suatu akad antara seorang mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan my[l[n y[ha n_f[b ^cn_n[je[h my[l[’ ohnoe g_hab[f[fe[h percampuran antara keduanya sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.58 Tujuan perkawinan menurut agama Islam adalah untuk 58 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.9. P
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 39 memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera serta merasakan kasih sayang antara anggota keluarga.59 Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita dengan memberi hak-hak kepadanya, salah satunya berupa menerima Mahar (maskawin) pada saat dinikahi. Mahar bukanlah pembayaran yang seolah-olah menjadikan perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang, namun j_g\_lc[h g[b[l ^[f[g my[lc’[n Imf[g ^cg[emo^e[h ohnoe mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya mahar, maka status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjual belikan. Ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang membahas tentang mahar, salah satunya dalam surah An-Nisa ayat 4. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa salah satu usaha Islam adalah memperhatikan dan mengusahakan hak perempuan, sebab pada zaman jahiliyah hak-hak perempuan dihilangkan dan disia-siakan sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri bahkan walinya pun dengan semenamena menghabiskan hak-hak kekayaannya. D[f[g my[lc’[n Imf[g q[hcn[ diangkat derajatnya, salah satunya dengan cara diwajibkannya bagi kaum laki-laki membayar Mahar jika menikahinya.60 A. Ayat dan Tafsir Q.S an-Nisa ayat 4 59 Ibid 60 Lihat, Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 262.
40 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.61 Surah An-Ncm[’ n_l^clc [n[m 176 [y[n ^[h n_laifiha surah Madaniyyah. Dinamakan An- Nisa (wanita) karena dalam surah ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita serta merupakan surah yang paling membicarakan hal itu dibanding dengan surah-surah yang lain. Surah yang lain banyak juga yang membicarakan tentang hal wanita ialah surah At-Talaq. Dalam hubungan ini biasa disebut surah An-Nisa dengan sebutan: Surah An-Nisa Al Kubra (surah An-Nisa yang besar), sedang surah At-Talaq disebut dengan sebutan: Surah An-Nisa As-Sughra (surah AnNisa yang kecil). Ibn Abi Hatim mentakhrij riwayat dari Abu Shalih, ia berkata. Ada seorang laki-laki ketika menikahkan anak perempuannya maka ia mengambil maharnya tanpa diberikan kepadanya. Kemudian Allah melarang mereka dari perbuatan tersebut dan Allah g_holohe[h [y[n, ‘W[ ānoh hcmā’[ mb[^okāncbchh[ hcbf[b. 62 Surat an-Nisa ayat di atas mengandung dua hal pokok. Pertama, kewajiban suami memberi maskawin kepada istri yang ditunjukkan frasa: 61 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 77. 62 Jalaluddin As-Suyuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, (Beirut, Muassasatul Kutub At-Tsaqafah: 1422 H /2002 M), Cet ke-1, hlm. 71.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 41 Berikanlah wanita-wanita kalian nikahi maskawinnya secara sukarela, namun ulama mufassir berbeda pendapat dalam memaknai kata nihlah. Apakah maknanya sebagai kewajiban, sebagai pemberian dan hibah, atau dari kesenangan hati. Mahar dalam penafsiran al-Raghib Al-Asfihani kata shadaq dan nihlah dianalogikan dengan sifat lebah yang selalu memberi manfaat dan tidak pernah menjadi sesuatu yang mudharat (bahaya). Dalam kehidupannya, lebah membantu penyerbukan, (proses pernikahan) yang terjadi antar bunga. Selain bertindak sebagai penghulu yang mengawinkan manusia, lebah memiliki manfaat besar untuk penyembuhan berupa madu yang dihasilkannya. Segala bentuk perilaku tersebut merupakan suatu pengorbanan yang dilakukannya dengan tidak mengharapkan balasan jasa. Sekalipun lebah menghisap madu bunga, tetapi pada hakikatnya akan dikembalikan dalam bentuk manfaat yang lain (madu). Persamaan shadaq dengan lebah terletak pada sifatnya yang merupakan pemberian tanpa mengharapkan suatu imbalan.63 Menurut Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) kata shadaqat digunakan untuk istilah pemberian perempuan sebelum dukhul (hubungan seksual) atas dasar kesadaran diri. Pemahaman Rasyid Ridha terhadap penafsiran shadaqat menunjukan bahwa kedudukan mahar lebih tinggi dan mulia dari sekedar alat tukar seperti yang dipahami oleh sebagian fuqaha. Apalagi ditinjau dari aspek hubungan suami istri, mahar dalam kacamata murid Muhammad Abduh ini merupakan simbol kasih sayang yang berfungsi untuk 63 Al-Husein bin Muhammad bin Al-Mufadhal Al-Raghib Al-Isfihani, Al-Mufradat fi Gharib al- Quran (Riyadh, Dar Al-Wathan, 2003),III, hlm. 1095
42 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H merekat tali kekerabatan dan membangun kehidupan keluarga yang harmonis. Oleh karena itu, kewajiban memberikan mahar tidak dapat dinegosiasi (tawar menawar) layaknya dalam hal jual beli.64 Kata yang menunjukkan makna perintah memberikan mahar pada ayat diatas menurut Rasyid Ridha mengandung dua pengertian. Pertama, artinya pemberian yang dilakukan secara kontan. Konsekuensi dari pengertian ini adalah munculnya silang pendapat sebagian ulama fiqih yang mengatakan bahwa mahar termasuk rukun nikah. Kedua, yaitu pemberian yang harus dilaksanakan dengan bentuk dan kadar yang diketahui. Pengertian kedua yang disampaikan murid tokoh modernisme Muhammad Abduh ini mengindikasikan bahwa mahar harus disebutkan dalam akad sekalipun tidak diberikan secara langsung.65 Dari beberapa pendapat ahli tafsir yang dinukil dalam kitab tafsir al-Manar, Rasyid Ridha memberikan sebuah kesimpulan terkait makna kata shadaqah yaitu istilah untuk mengungkapkan suatu pemberian sukarela kepada orang lain tanpa adanya balas jasa. Kedua, permasalahan pokok yang dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 4 adalah kebolehan suami memakan atau memanfaatkan maskawin yang telah diberikan kepada istri bila memang diperkenan olehnya secara sukarela. ‚L[fo \cf[ mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai g[e[h[h) y[ha m_^[j f[ac \[ce [ec\[nhy[‛. Imam Ahmad As-Shawi menjelaskan, maksud ‚g[e[hf[b‛ ^[f[g [y[n [^[f[b j_g[h`[[n[h m_][l[ gonf[e, tidak terbatas pada makan. Artinya suami dapat 64 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran al-Hakim (tafsir al-Manar), (Mesi, al-Haiah al- Misriyyah al‟amah, 1990) IV, hlm 308. 65 Ibid., hlm. 309.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 43 memanfaatkan mahar yang telah diberikannya kepada istri untuk berbagai kepentingan asal mendapatkan kerelaan dari istri. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.66 Kata Mahar berasal dari bahasa Arab dan termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar yakni mahran atau kata kerja yakni `c’cf dari Maharayamhuru-mahran. Lalu dibakukan dengan kata benda mufrad yakni al-mahr dan kini sudah sudah diindonesiakan dengan kata yang sama yakni Mahar atau karena kebiasaan pembayaran Mahar dengan emas maka Mahar diidentikkan dengan maskawin. Dikalangan fuqaha kata Mahar memiliki kata sinonim yaitu shadaqah, nihlah dan faridhah yang maksudnya adalah Mahar. Dengan pengertian etimologis tersebut istilah Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai lakilaki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib tetapi tidak disebutkan bentuk dan jenisnya, besar dan kecilnya baik dalam al-Qol’[h g[ojoh ^[f[g H[^cnm.67 Merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam, bahwa Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (Ps. 1 huruf d KHI). Hukumnya wajib, yang menurut kesepakatan para ulama merupakan salah satu syarat sahnya nikah.68 Referensinya adalah perintah Allah seperti pada ayat tersebut di atas. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia g_logome[hhy[ j[^[ P[m[f 30 y[ha \_l\ohyc: ‚C[fih mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon 66 Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Amelia, t.t.), 269 67 Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam & Undang-Undang (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 93 68 Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, juz 2, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.), hlm. 14.
44 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya ^cm_j[e[nc if_b e_^o[ \_f[b jcb[e‛. P_h_hno[h \_m[lhy[ mahar didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam (Ps. 31 KHI), atau dalam bahasa agama, disebut dengan patut (ma'ruf). B. Dasar Hukum Mahar Dasar kewajiban memberi mahar bagi calon suami kepada calon istri sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Rusyd adalah Nash al-Qol’[h, Sohh[b ^[h Idg[’.69 Lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut: 1. Dalil Nash a) Al-Quran surah an-Ncm[’ [y[n 4: ‚B_lce[hf[b g[me[qch (g[b[l) e_j[^[ q[hcn[ (y[ha kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.‛70 Asbab al-nuzul ayat tersebut sebagaimana diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Salih, adad 69 Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid….1269. Menurut sebagian ulama menyatakan bahwa mahar bukan merupakan syarat dalam pernikahan. Oleh karenanya pernikahan dihukumi sah walaupun tanpa harus menyebutkan terlebih dahulu maharnya. Lihat selengkapnya, Abu Zahra‟, Ahwal al-Syakhsiyyah, (T.Tp: Dar al-Fikr al-„Araby, T.Th),171. Lihat pula, Taqy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Hashny, Kifayat al- Akhyar, Vol.II (Surabaya: al-Hidayah, T.th.), 60-61. 70 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 77.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 45 seorang laki-laki mengawinkan putrinya kemudian maskawinnya diambil oleh orang tuanya tanpa diberikan pada fihak pengantin wanita maka Allah melarang mereka berbuat demikian dengan menurunkan ayat 4 surat an-Ncm[’.71 b) Al-Quran surah an-Nisa ayat 24 ‚D[h (^cb[l[ge[h doa[ e[go g_ha[qchc) q[hcn[ yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bcd[em[h[.‛ 72 71 Imam Jalaluddin al-Mahalli & Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Terj. Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010),hlm 396. 72 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 82.
46 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Mengenai hukum boleh dan tidaknya suami memakan atau meminta Maskawin yang telah diberikan kepada istrinya, dalam buku karya Syibli Syarjaya disebutkan bahwa Haram hukumnya bagi suami memakan maskawin yang telah diberikan kepada istrinya tanpa seizin dan sepengetahuannya.73 Bahkan agama tidak membolehkan laki-laki meminta kembali Mahar yang telah diberikan kepada istrinya.74 Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ncm[’ *04+ [y[n 20 2. Al-Sunnah Terdapat beberapa teks hadits yang dapat dijadikan sebagai dalil disyariatkannya memberi Mahar kapada istri: a) H[^cmn y[ha \_l[m[f ^[lc S[b[f \ch S[’[^ [f-S[’c^c. أُ رس٘ه هللا - ملسو هيلع هللا ىلص - جبءتٔ اٍزأة فقبىت : يب رس٘ه هللا إّي قد ٕٗبت ّفسي ىل . فقبٍت قيبٍب ط٘يال . فقبً رجو ، فقبه : يب رس٘ه هللا سٗجْيٖب إُ ىٌ تنِ ىل بٖب حبجت . فقبه رس٘ه هللا ، ملسو هيلع هللا ىلص : " ٕو عْدك ٍِ شيء تصدقٖب إيبٓ ؟ " فقبه : ٍب عْدي إال إساري ٕذا . فقبه رس٘ه هللا ، ملسو هيلع هللا ىلص : " إُ أعطيتٖب إيبٓ ، جيست ال إسار ىل . فبىتَس شيئب " فقبه : ٍب أجد شيئب . قبه : " اىتَس ٗى٘ خبتَب ٍِ حديد " فبىتَس فيٌ يجد شيئب . فقبه ىٔ رس٘ه هللا ، ملسو هيلع هللا ىلص : " ٕو ٍعل ٍِ اىقزآُ ٍِ شيء ؟ " فقبه : ّعٌ . ٍعي س٘رة مذا ، ٗس٘رة مذا ، ىس٘ر سَبٕب . فقبه ىٔ رس٘ه هللا ، ملسو هيلع هللا ىلص : " قد أّنحتنٖب بَب ٍعل ٍِ اىقزآُ ‚R[mofoff[b S[q. ^c^[n[hac m_il[ha j_l_gjo[h, e_go^c[h g_ha[n[e[h: ‚W[b[c R[mofoff[b S[q. mohaaob [eo n_f[b g_hy_l[be[h ^clceo e_j[^[ _hae[o‛, g[e[ berdirilah wanita itu agak lama, tiba-tiba berdiri seorang laki-f[ec ^[h \_le[n[: ‚W[b[c R[mofoff[b S[q. di^ibe[h 73 H.E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.186. 74 A. Khairul Anam, Studi analisis Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia (Skripsi, IAIN Walisongo Semarang, 2011), hlm. 17.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 47 saja dia dengan aku sekiranya engkau kurang berkenan". R[mofoff[b S[q. \_lm[\^[: ‚Aj[e[b e[go g_gjohy[c sesuatu, untuk kamu berikan kepadanya (sebagai g[b[l)?‛ L[ec-laki itu menjaq[\: ‚S[y[ nc^[e g_gcfcec apa-[j[ m_f[ch m[lohaeo chc‛. R[mof \_lm[\^[: "K[f[o kamu berikan sarung itu kepadanya, tentu kamu duduk n[hj[ \om[h[, e[l_h[ cno ][lcf[b m_mo[no‛= L[ec-laki itu \_le[n[: ‚Aeo nc^[e g_h^[j[nc m_mo[no‛. R[mof \_lm[\^[ (f[ac): ‚C[lcf[b, q[f[ojoh m_e[^[l ]ch]ch \_mc‛= M[e[ laki-laki itu mencari, dan tidak mendapati sesuatu. Lalu R[mof g_h[hy[e[h f[ac: ‚Aj[e[b e[go [^[ m_mo[no ^[lc Al-kol'[h?‛. M[e[ c[ g_hd[q[\: ‚Y[, mol[n chc, ^[h mol[n chn, g_hy_\on \_\_l[j[ mol[n‛. M[e[ R[mofoff[b Saw. \_lm[\^[: ‚Sohaaob [eo [e[h g_hce[be[h e[go dengannya, dengan (mahar) apa yang kamu miliki dari Al-kol'[h.‛ (Rcq[y[n Momfcg).75 Hadits di atas menunjukkan bahwa mahar sangat penting, maka setiap mempelai laki-laki wajib memberi mahar sebatas kemampuannya. Hadits ini juga menjadi indikasi bahwa agama Islam sangat memberi kemudahan dan tidak bersifat memberatkan, sekaligus menjelaskan bahwa Tidak ada ketentuan hukum yang disepakati Ulama tentang batas maksimal pemberian mahar, demikian juga batasan minimalnya." Yang jelas, meskipun sedikit, pemberian mahar tersebut wajib ditunaikan. Dasarnya adalah Hadits Sahl bin Sa'ad alSa'idy yang disepakati kesahihannya. C. Ketentuan dan Macam-Macam Mahar Dalam kitab Syarah at-Tahir disebutkan bahwa jenis mahar ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar 75 Muslim, Shahih Muslim, Jilid 1, (Jakarta: Dar Ihya al-Kutub al-„Arabiyah, tt), hlm. 596.
48 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H mitsil. 76 Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1. Mahar Musamma: Mahar Musamma adalah Mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad.77 Mahar musamma ada dua macam, yaitu a). Mahar Mom[gg[ Mo’[dd[f yaitu Mahar yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya pada saat akad nikah dan kedua disebut b). M[b[l Mom[gg[ Gb[clo Mo’[dd[f yakni Mahar yang pemberiannya ditangguhkan (hutang).78 Mahar Musamma sebaiknya diserahkan langsung secara tunai pada waktu akad nikah supaya selesai pelaksanaan kewajiban. Meskipun demikian dalam keadaan tertentu dapat saja tidak diserahkan secara tunai bahkan dapat pembayarannya secara cicilan.79 2. Mahar mitsil (Mahar sepadan) Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan, atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang telah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya. Mahar mitsil ini terjadi dalam keadaan sebagai berikut:80 a). Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya 76 Zakarya al-Anshori, Syarh at-Tahrir „Ala Tuhfah al-Thullab (t.t.: t.p., t.t.), hlm. 100. 77 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Masyhur A.B., Afif Muhammad & Idrus al-Kaff (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), hlm. 364. 78 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 110. 79 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat & Undang- Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 98. 80 Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin, Imam al‟ Alamah, Penerjemah Rusnan Yahya, Hukum Hukum Perkawinan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1997), Cet. Ke-1. hlm 58.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 49 ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur (bersenggama). b). Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri ternyata nikahnya tidak sah. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur Ulama dibolehkan. Fclg[h Aff[b So\b[h[ q[ T[’[f[ ^[f[g mol[b [f-Baqarah ayat 236: ‚Tc^[e [^[ e_q[dc\[h g_g\[y[l (g[b[l) [n[m e[go, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-il[ha y[ha \_l\o[n e_\[dce[h.‛ 81 Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya (Ps. 32 KHI). Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Namun apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh 81 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 38.
50 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Karenanya, mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria (lihat Ps. 33 KHI). Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai mahar ini. Hal ini karena mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan (Ps. 34 2). Apabila perceraian terjadi sebelum dukhul akan tetapi besarnya mahar betum ditentukan, maka suami wajib membayar mahar mitsil (Ps. 35 ayat (3) KHI) Mahar mitsil adalah mahar yang besarnya dipertimbangkan atas dasar kelayakan yang umum di mana mempelai wanita itu tinggal. Karena kepatutan ditetapkan berdasarkan umumnya masyarakat setempat. Namun jika suami meninggal sebelum dukhul, seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya (Ps. 35 ayat 3). 1. Apabila Mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. 2. Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar. D. Syarat-Syarat Mahar Dalam Islam tentu sudah ada aturan main yang diatur oleh hukum Islam itu sendiri baik permasalahan ibadah, jinayah, siyasah, munakahat dan lain sebagainya. Dalam fiqh munakahat telah disebutkan ada beberapa macam syarat sahnya mahar yang diberikan kepada calon istri, adapun syarat tersebut sebagai berikut: Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 51 tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi bernilai tetap sah disebut mahar. 1. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga/suci. 2. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang ghasab tidak sah. 3. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.82 E. Hikmah Disyariatkannya Mahar Adapun hikmah disyariatkannya mahar adalah sebagai berikut 1. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang mencari wanita. Lakilaki yang berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus mengorbankan hartanya. 2. Mengangkat derajat perempuan dan memberikan hak kepemilikannya. Sehingga diberi hak menerima mahar dari suaminya saat menikah, dan menjadikan mahar sebagai kewajiban bagi suami untuk menghormati perempuan dengan memberikan mahar tersebut. 82 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), ed. 1, Cet. Ke-1. Hlm 56
52 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H 3. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, karena mahar itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh al-Qur`an diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga wanita. 4. Menunjukkan kesungguhan diri karena menikah dan berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan. 5. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung jawab dan tidak sewenangwenang terhadap isterinya. Pada akhirnya perlu disampaikan, bahwa mahar merupakan salah satu hak mutlak perempuan (hak istri) akibat terjadinya perkawinan. Mahar diberikan oleh pihak calon suami sebagai ungkapan keinginan seorang pria terhadap seorang perempuan, sebagai salah satu tanda kasih sayang seorang calon suami kepada calon istrinya. Mahar merupakan suatu simbol penghargaan untuk memuliakan, menghormati, dan simbol keinginan untuk membahagiakan perempuan yang akan menjadi istrinya. Disebutkan dalam surah an-Nisa ayat 4 ini bahwasaanya mahar di istilahkan dengan kata nihlah yaitu istilah untuk mengungkapkan suatu pemberian suka-rela kepada orang lain tanpa adanya balas jasa. Dalam ayat tersebut juga di jelaskan kebolehan suami memakan atau memanfaatkan maskawin yang telah diberikan kepada istri bila memang diperkenan olehnya secara sukarela.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 53 IV MITSAQAN GHALIZA DALAM TATANAN PERNIKAHAN DAN TUJUAN PERNIKAHAN Q.S AN-NISA AYAT 21 ERNIKAHAN adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum,dan norma sosial.83 Menurut imam Nawawi dalam kitabnya berjudul Nihaya az-zain disebutkan bahwa nikah adalah sebuah akad yang didalamnya mengandung hukum diperbolehkannya ber-setubuh, nikah secara haqiqi mengandung arti akad, sedangkan secara majaz mengandung arti bersetubuh.84 83https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pernikahan=Pernikahanadalahupacarapengikatanjanji,bu dayamaupunkelas osial. diakses tgl 2 april 2021 84 Syeikh Nawawi bin Umar Al-Bantani, Nihayah Az-Zain, penerjemah Hasan Fadhli, (Surabaya: Haromain, 2007), hlm. 298 P
54 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Sedangkan menurut fiqh, nikah berarti suatu akad antara seorang pria dengan wanita atas dasar kerelaan atau kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.85 Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sakral, yang dalam istilah agama disebut "Mcnm[k[h Gb[fczb[h‛ yaitu suatu perjanjian yang sangat kokoh dan luhur, yang ditandai dengan pelaksanaan sighat ijab dan qabul antara wali nikah dengan mempelai pria, dengan tujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia, sejahtera, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa .4 A. Ayat dan Konteks Ayat tersebut terdapat dalam surah an-Nisa ayat 21 sebagai berikut: ‚B[a[cg[h[ e[go [e[h g_ha[g\cfhy[ e_g\[fc, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat". 86 Surat An-nisa terdiri atas 176 ayat dan tergolong surah Madaniyyah. Dinamakan An- Nisa (wanita) karena dalam 85 Ibid., hlm. 299. 86 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 81.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 55 surah ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita serta merupakan surah yang paling membicarakan hal itu dibanding dengan surah-surah yang lain. Surah yang lain banyak juga yang membicarakan tentang hal wanita ialah surah At- Talaq Dalam hubungan ini biasa disebut surah An-Nisa dengan sebutan: Surah An-Nisa Al Kubra (surah An-Nisa yang besar), sedang surah At-Talaq disebut dengan sebutan: Surah An- Nisa As-Sughra (surah AnNisa yang kecil).87 Dan dalam kata (Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali) artinya dengan alasan apa (padahal sebagian kamu telah bergaul luas dengan sebagian yang lain) atau telah berhubungan sebagai suami istri dengan bercampur yang telah mensahkan maskawin (Dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat) yakni berupa perintah ilahi agar mempertahankan dengan cara baik-baik atau melepas mereka dengan cara baik-baik pula.88 Menurut ibnu katsir yang dimaksud kalimat Allah di dalam pernikahan yaitu syahadat yg ada di prosesi khutbah nikah, syariat ini diberlakukan untuk umat Nabi muhammad setelah Nabi melakukan isra mi'raj.89 Dalam tafsiran Ibnu Katsir kata أفض yang berarti (bercampur) sebagian kamu telah bergaul luas dengan sebagian yang lain ,dalam hal ini merupakan salah satu sebab mengapa maskawin yang telah dijanjikan atau diberikan tidak boleh diambil kembali. Ini karena suami- istri telah bergaul luas satu sama lain. Pergaulan luas itu dilukiskan 87 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya Al-Jumanatul 'Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur, (Bandung: J-Art, 2007). 88 https://ibnothman.com/quran/surat-an-nisa-dengan-terjemahan-dan-tafsir/3. Diakses 23 April 2021. 89 Abil Fida Ismail Bin Umar Bin Katsir ,Tafsir Ibnu Katsir Juz II, (Riyat, Saudi Arabia : Darutthoyibah, 1997), hal. 245.
56 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H oleh ayat di atas dengan kata afdha yang berarti luas. Ruang angkasa dinamai fadha karena luasnya. Ayat di atas tidak menjelaskan batas keluasan, bermaksud agar pikiran dapat bebas merantau ke mana saja tentang keluasan pergaulan itu hingga mencapai akhirnya. Sementara ulama ahli tafsir mengartikan dengan percampuran yang telah mencapai batas akhir, dengan alasan bahwa yang mencapai akhir telah menghapus batas antara dua pihak yang berhubungan. Sayyid Qutb menulis bahwa lafaz tersebut tidak disertai dengan objek (maf'ul bih) yang memiliki kaidah agar seluruh makna yang dapat terlintas dalam benak dapat ditampungnya.Tidak hanya terbatas pada hubungan jasad, tetapi mencakup aneka emosi dan perasaan, rahasia, keresahan, serta sambutan timbal balik yang beraneka ragam. Demikian kata itu mencakup puluhan gambaran kehidupan bersama suami istri sepanjang hari dan malam, puluhan kenangan yang dirangkum oleh hari-hari pernikahan, sehingga setiap kebersamaan dalam senang dan susah , harapan dan cemas, pikiran masa kini dan masa datang, setiap kerinduan menyangkut masa lalu, setiap pertemuan dalam merangkul anak, semuanya dicakup oleh kata afdho yang berarti luas itu. Jika ini terbayang dalam benak suami-istri, agaknya suami bukan hanya akan membatalkan niatnya menuduh, tetapi juga tidak akan mengambil kembali apa yang telah diberikannya sehingga, kalaupun harus bercerai, perceraian itu secara baik lagi tidak melupakan hari-hari indah, walau hanya sebentar dan jasa masing- masing walau hanya sedikit. B. Pengertian Mitsaqan Ghaliza Kata mitsaq (ميثاق (terambil dari kata watsaqa (وثك (yang berarti mengikat dengan kukuh. Yang dimaksud adalah
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 57 perjanjian yang diikat dengan kukuh. Banyak ulama memahami mitsaq yang pertama sama dengan mitsaq yang kedua, yakni, Allah mengambil perjanjian yang kukuh itu dengan sangat kukuh lagi kuat.90 Menurut para fuqaha, ada beberapa definisi mitsaqan ghaliza yang dikemukakan oleh para fuqaha, namun pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang berarti dengan perkawinan karena semuanya mengarah kepada makna akad kecuali pada penekanan redaksi yang digunakan.91 Jika berkumpul ini setelah akad, maka tidaklah berdosa, jika ini dilakukan sebelum akad walaupun setelah peminangan dan pinangannya diterima, maka ini-pun tidak boleh. Perbuatan ini haram baginya, karena wanita ini masih tergolong orang lain, hingga ia mengikatnya dengan ikatan pernikahan (mitsaqan ghaliza).92 Ayat ini tidak berhenti di sana, lanjutannya menyatakan akhazna minkum mitsaqan ghaliza dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Ketika seorang ayah atau wali menikahkan anak perempuannya, dia pada hakikatnya mengambil janji dari calon suami agar dapat hidup bersama rukun dan damai. Rasulullah saja, ketika menikahkan putrinya Fatimah r.a., bersabda kepada calon suami anaehy[ cno \[bq[ ‚W[b[c Afc, ^c[, y[ehc F[nbcg[b, untukmu, dengan harapan engkau berbaik-baik menemanihy[.‛ Kesediaan seorang wanita untuk hidup bersama seorang lelaki meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya dan mengganti semua itu dengan penuh 90 M.Quraish Shihab, Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, No.1 Vol.10, Journal Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati), hlm.421. 91 Bakri A. Rahman Dan Ahmad Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UndangUndang Pekawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), hlm.13. 92 Bakri A. Rahman Dan Ahmad Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UndangUndang Pekawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), hlm.17.
58 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H kerelaan untuk hidup bersama seorang lelaki yang menjadi suaminya serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam semua itu mustahil kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiaan bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya bersama ibu bapak dan keluarganya, dan pembelaan suami terhadap dirinya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara kandungnya. Keyakinan bahkan syarat tidak tertulis itulah yang dituangkan seorang istri kepada calon suami dan yang tersirat ketika dilakukan ijab dan Kabul.Itu pulalah yang dilukiskan oleh ayat di atas dengan mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.93 Didalam Kitab Maroh Labid dijelaskan bahwa menurut Ibnu Abbas dan Mujahid yaitu lafadz mitsaqan ghaliza mempunyai maksud sebuah kalimat pernikahan yang diakad dengan sebuah mahar dan dengan kalimat itu bisa menghalalkan farji seorang perempuan, seperti hadist nabi : ّي َْ جغفر بَ ثنت أبٔ بهر ابَ شيبة وإسحق بَ إبرْيً جميعت َْ حتثً اىٍدن ّ حد ّ هً اخذ ثٍَْٔ ّ د َْ أبيّ.....اثلٔااهلل فى اىنستء فإن ّ محٍ بأٌتُة اهلل واسجحليجً بكلٍة اهلل )رواه ٌسيً( ّ فروجَٓ 94 ‚B_ln[eq[f[b e_j[^[ Aff[b ^[f[g j_l_gjo[h g[e[ sesungguhnya kalian akan mengambilnya dengan amanah Aff[b ^[h g_hab[f[fe[h `[ldchy[ ^_ha[h e[fcg[n Aff[b‛ Isnadnya hadits ini adalah majas aqli dari isnat sabab, karena lafadz alahdu mempunyai arti ikatan secara haqiqi (Allah) tetapi redaksi tersebut penyampaiannya seakan-akan perempuan itu menjadi sasaran yang diikat untuk Allah, 93 Abu Hamid Al-Ghozali, Ihya Ulumuddin Juz II, Penerjemah Hasan Fadhli, (Beirut : Dar Al-Fikr, 2014), hlm. 151. 94 Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Jilid 6, (Jakarta: Darus Sunnah, 2013), hlm. 186.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 59 padahal Allah mengambil janji kalian semua dengan sebab para Perempuan.95 Dalam hadits tersebut mengandung majaz aqli yang tujuanya adalah sebab yaitu secara haqiqi adalah Allah, menjelaskan bahwa perempuan itu menjadi perantara seorang laki-laki untuk mengambil amanah Allah dengan kalimah tauhid, guna untuk mengambil ridhonya. Jadi sebuah pernikahan tidak hanya sekedar halalnya sebuah hubungan laki-laki dan perempuan saja, namun ada hikmah dibalik proses pernikahan yaitu untuk menjaga amanah tuhan dan mencari ridhonya. Menurut Imam Ibnu Sirin, kata mitsaqon gholidhon itu adalah ungkapan wali ketika menikahkan anaknya " saya menikahkanmu dengan putriku atas apa yang diamanahkan Allah padamu untuk putriku dengan cara imsak bi ma'ruf / tasyrik bi ihsan".96 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa : Pernikahan adalah sebuah ikatan yang dijalin untuk hubungan suami- istri , didalamnya terkandung ikatan yang suci dimana akad tersebut merupakan simbol bagi seorang laki-laki mengambil janji serta amanah untuk tuhan lewat perantara yaitu wanita. Di dalam Surat An- Nisa ayat 21 memberi isyarat bahwa pernikahan itu sebuah janji suci atau disebut mitsaqon gholidhon, yang mana seorang yang sudah menikah harus menjaga amanah tersebut dengan cara imsak bi ma'ruf ( menjaga kebaikan) yaitu menggauli istri dengan cara baik dan saling mengerti seperti ibarat dalam bersikap selembut rambut, dalam berkata seindah syair dan sempurna seperti angka 10. Dan jika di dalam berumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi dengan alasan yang diperbolehkan syar'i 95 Syeikh Nawawi Al-Bantani, Muroh Labib, Penerjemah Hasan Fadhli, (Beirut Lebanon: Dar Al Kutub Ilmiah, 2004), hlm. 190. 96 Abi Muhammad Husen Bin Mas'ut Al Baghowi , Tafsir Al Baghowi Juz II, Penerjemah Hasan Fadhli, (Makkah: Dar Al Toyibah , 1989), hlm. 187.
60 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H seperti mandul , gila, maka salah satu pasangan memiliki hak hiyar (memilih) untuk mempertahankan atau melepas (cerai), jika hal tersebut terjadi maka bercerailah dengan cara tasrihin bi ihsan ( melepas dengan baik).
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 61 V ASAS-ASAS HUKUM MONOGAMI DALAM TATANAN PERNIKAHAN DI INDONESIA L-QURAN merupakan mukjizat teragung yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berlaku hingga akhir zaman kelak. Kemukjizatannya tidak dapat dipastikan sampai dimana, mulai dari susunan kalimat, bahasa, jumlah huruf, susunan kata, kandungan, dan seterusnya. Kemukjizatannya ada yang sudah diketahui, dan banyak yang belum diketahui. Siapa pun yang memper-hatikannya, ia akan menemukan begitu banyaknya keajaiban yang ada dalam alquran. Segala problematika yang dihadapi manusia, solusinya sudah dipecahkan dalam al-quran.97 97 Dewi Murni, “Tafsir Al-Azhar (Suatu Tinjauan Biografis dan Metodologis)”, Jurnal Syahadah Vol. 3 No. 2, 2015. hlm 22. A
62 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Tak terkecuali masalah perkawinan, perkawinan apabila ditinjau lebih jauh terbagi menjadi dua, yaitu perkawinan poligami dan monogami. Dewasa ini, apabila membahas perkawinan monogami tidak bisa dilepaskan dari pembahas-an poligami di dalamnya. Praktik yang telah berlangsung sangat lama dan sempat menjadi tradisi ini menjadi pembahasan yang seolah tak ada habisnya. Menurut Morteza Mutahhari, kebahagiaan dan kesejahteraan rumah tangga terletak dalam kesucian, kesabaran, pengorbanan, kesatuan dan hal-hal ini akan terancam rusak jika suami melakukan poligami. Kebahagiaan sebagai tujuan ideal perkawinan pun bisa berubah menjadi penderitaan. Dalam tradisi Arab sebelum datangnya Islam, seorang suami bisa memiliki belasan atau puluhan istri beserta para budak atau gundiknya. Tidak terbatas. Ketika Islam datang, poligami memang tidak langsung dihapus, tetapi mengaturnya. Jumlah istri yang sebelumnya bisa sebanyak-banyaknya, Islam membatasinya hingga empat saja. Selain pembatasan jumlah, Islam juga mensyaratkan sikap adil. Ini menjadi prinsip yang paling berat. Bagaimana mengukur keadilan suami dan apakah hanya diukur dari perspektif suami saja sebagaimana yang sudah umum terjadi.98 Dilain hal, monogami sebagai asas perkawinan berdasar-kan UU No. 1 Tahun 1974 memberikan pemahaman bahwa seorang pria hanya diperbolehkan memiliki seorang istri dan begitupun sebaliknya. Namun, monogami yang diterapkan di Indonesia merupakan monogami tidak mutlak (terbuka) yang artinya memberikan peluang bagi seseorang untuk melakukan poligami dengan syarat dan ketentuan yang berlaku pada perundangundangan yaitu syarat alternatif dan kumulatif. 3 Berangkat dari al-quran surah annisa ayat 3 dan 129, peneliti mencoba untuk menakar bagaimana kemudian asas hukum perkawinan yaitu monogami merupakan salah satu konsep perkawinan yang secara 98 Morteza Mutahhari, Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam, (Cet I; Bandung: Penerbit Pustaka, 1985) hlm. 30.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 63 hakikat ingin disampaikan oleh ayat tersebut. Sehingga hal ini memberikan konotasi dilematis dalam konsep monogami maupun poligami di ranah hukum perkawinan Islam. A. Ayat dan Tafsir Al Quran surah an-Nisa ayat 3: ‚D[h dce[ e[go n[eon nc^[e [e[h ^[j[n \_lf[eo [^cf terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu [^[f[b f_\cb ^_e[n e_j[^[ nc^[e \_l\o[n [hc[y[‛. 99 Menurut kebanyakan ulama ahli tafsir, latar belakang turunnya ayat ini disinyalir merespon ketidakadilan para pengasuh (wali) anak-anak yatim, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Aisyah, isteri Nabi. Bahwa berkenaan dengan salah seorang sahabat Urwah bin Az-Zubair, dia \_ln[hy[ e_j[^[ Acmy[b n_hn[ha `clg[hhy[, ‚D[h dce[ e[go takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) j_l_gjo[h y[ha y[ncg (\cf[g[h[ e[go g_ha[qchchy[)‛. Acmy[b \_le[n[, ‚W[b[c e_jih[e[heo, [h[e y[ncg chc \_l[^[ dalam perawatan walinya, yang hartanya bergabung dengan dengan harta walinya, lalu walinya tertarik terhadap 99 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 77.
64 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H kecantikan dan hartanya. Kemudian walinya ingin mengawininya tanpa berlaku adil dalam maharnya, maka memberikan kepadanya tidak seperti dia memberikan kepada yang lainnya. Maka menikahi mereka terlarang, kecuali jika dia berlaku adil kepada mereka dalam menyempurnakan maharnya, lalu mereka disuruh untuk menikahi wanita-wanita yang disenangi para lelaki selain wanita- wanita itu.100 Menurut Ibnu Jarir al-Tabari bahwa turunnya ayat ini berkaitan dengan kasus seorang laki-laki yang menjadi wali anak yatim yang kaya. Dia ingin mengawininya demi kekayaannya, dan memperlakukannya dengan tidak wajar. Padahal anak yatim tersebut tidak menyukainya.101 Dalam ayat ini Allah menyerukan agar para pengasuh anak-anak yatim memberikan perlindungan, pengasuhan, dan pemeliharaan secara serius dengan memperlakukan mereka secara baik dan adil. Karena saat itu praktek pengasuhan anak-anak yatim cenderung tidak adil. Para wali tidak mengelola hak-hak sosial dan ekonomi anak yatim secara proporsional. Kebanyakan para wali ingin mengawini anakanak yatim yang diasuhnya dengan tidak membayarkan maskawin sebagaimana layaknya hak perempuan yang dinikahi, atau membayar tapi diluar layaknya maskawin. Ketika hal ini marak terjadi, maka al-quran membolehkan para wali mengawini perempuan yang sah selain anak-anak yatim dua, tiga, atau empat.102 Dengan mengetahui latar belakang spesifik turunnya ayat ini, telah jelas bahwa maksud dan misi utama ayat ini adalah memberikan peringatan sekaligus penekanan kepada 100 Ibn Hajar al-Asqalaniy, Fathul Bari, (Beirut: Darul Fikr. t.th.), Jilid 5, No.Hadits: 2494, hlm. 430. 101 Ibnu Jarir al-Tabari, Jami‟ al-Bayan „an „Tawili Ayi al-Quran, (Beirut: Darul Fikr. 2001), cet. Ke-1, Jilid 1, hlm. 280. 102 Ibid
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 65 para pengasuh anak yatim untuk melindungi mereka. Jadi ayat ini bukan untuk menganjurkan poligami, tegasnya poligami bukanlah tujuan dari ayat ini, dan bukan pula inisiatif al-quran. Karena sesungguhnya poligami telah berlangsung lama ditengah masyarakat Arabia kala itu.103 Al Quran Surah An-Nisa Ayat 129: ‚D[h e[go m_e[fc-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung- katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Aff[b M[b[ P_ha[gjoh f[ac M[b[ P_hy[y[ha‛ 104 Dalam tafsirnya Al-Misbah, Quraish Shihab memberikan pandangan bahwasanya dalam ayat ini setelah menganjurkan ihsan kepada pasangan, atau paling tidak berlaku adil, dijelaskannya di sini betapa keadilan harus ditegakkan, walaupun bukan keadilan mutlak, apalagi dalam kasus-kasus poligami. Poligami seringkali menjadikan suami berlaku tidak adil, di sisi lain kerelaan wanita untuk dimadu dapat juga merupakan bentuk perdamaian demi memelihara pernikahan. Kepada suami setelah dalam berbagai tempat diingatkan agar berlaku adil, lebih-lebih jika berpoligami, maka melalui ayat ini para suami diberi semacam 103 Didi Sumardi, “Poligami Perspektif Keadilan Gender”, Jurnal „Adliya, Vol. 9 No. 1, 2015, hlm 194. 104 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), hlm. 99.
66 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H kelonggaran sehingga keadilan yang dituntut bukanlah keadilan mutlak.105 Ayat ini menegaskan bahwa kamu wahai para suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, yakni tidak dapat mewujudkan dalam hati kamu secara terus-menerus keadilan dalam hal cinta di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena cinta di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya. Karena itu, berlaku adillah sekuat kemampuan kamu, yakni dalam halhal yang bersifat material, dan kalaupun hatimu lebih mencintai salah seorang atas yang lain, maka aturlah sedapat mungkin perasaan kamu sehingga janganlah kamu terlalu cenderung kepada istri yang kamu cintai dan mendemonstrasikan serta menumpahkan semua cintamu kepadanya, sehingga kamu biarkan istrimu yang lain terkatung-katung tidak merasa diperlakukan sebagai istri dan tidak juga dicerai sehingga bebas untuk menikah atau melakukan apa yang dikehendakinya dan jika kamu setiap saat dan bersinambung mengadakan perbaikan dengan menegakkan keadilan yang diperintahkan Allah dan bertakwa, yakni menghindari aneka kecurangan serta memelihara diri dari segala dampak buruk, maka Allah akan mengampuni pelanggaran pelanggaran kecil yang kamu lakukan karena sesungguhnya Allah selalu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.106 Penggalan ayat ini menunjukkan kebolehan poligami walau keadilan mutlak tidak dapat diwujudkan. Seperti terbaca di atas, keadilan yang tidak dapat diwujudkan itu adalah dalam hal cinta. Bahkan cinta atau suka pun dapat dibagi. Suka yang lahir atas dorongan perasaan dan suka yang atas dorongan akal. Obat yang pahit, tidak disukai oleh siapa 105 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) Cet.1 Vol. 2 hlm. 606. 106 Ibid, hlm. 607.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 67 pun, ini berdasarkan perasaan setiap orang, tetapi obat yang sama, akan disukai dicari dan diminum karena akal si sakit mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian suka atau cinta dapat berbeda yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka berdasarkan perasaan, sedang suka yang berdasarkan akal, dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri dengan kekurangankekurangannya, memandang semua aspek yang padanya, bukan hanya aspek keburukannya. Inilah yang dimaksud dengan janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) dan jangan juga terlalu cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai.107 B. Paradigma Asas-asas perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut: 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal 2. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing 3. Asas monogami 4. Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya 5. Mempersulit terjadinya perceraian 6. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.108 107 Ibid, hlm. 608 108 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
68 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Menarik untuk dianalisis, asas-asas perkawinan ini memiliki landasan yang tegas seperti yang termuat dalam alQol’[h ^[h H[^cnm. S_j_lnc y[ha ^col[c if_b M. R[`ck, [m[m yang pertama dan keempat dapat dilihat rujukannya pada firman Allah SWT: "Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih saying. Sesugguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berfikir" (QS. Al Rum: 21). Berkenaan dengan prinsip kedua, sesuatu yang telah jelas dimana hukum yang ingin ditegakkan harus bersumber pada al-Quran dan al-Hadits. Prinsip ketiga dapat dilihat pada firman Allah SWT: ‚D[h dce[ e[go n[eon nc^[e akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah dengan wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinlah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat [hc[y[‛. (QS.an-Nisa: 3). Asas kelima sesuai dengan Hadits Rasulullah yang berbunyi: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian". (HR. Abu Daud dan atTirmidzi). Asas keenam sejalan dengan firman Allah SWT: ‚(e[l_h[) \[ac il[ha f[ec-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan dan bagi para wanitapun ada bagian dari [j[ y[ha g_l_e[ om[b[e[h‛. Dari sisi ini bisa dipahami, perkawinan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga yang selanjutnya akan membentuk warga masyarakat yang pada kompilasi hukum islamnya membentuk sebuah negara. Dapatlah dikatakan jika perkawinan itu dilangsungkan sesuai dengan peraturan
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 69 agama dan perundang-undangan maka bisa dipastikan akan terbentuk keluarga-keluarga yang baik.109 Terkait asas monogami, dalam kehidupan sekarang, sudah banyak suami istri yang melakukan perkawinan lebih dalc m[no e[fc [n[o ecn[ m_\on ‚jifca[gc‛. B_l^[m[le[h [f[m[h mereka melakukan misalnya karena tidak dapat memiliki keturunan secara biologis, si istri tidak dapat melayani suami dengan baik, atau si istri mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga si istri mau tidak mau harus mengizinkan suaminya menikah lagi dengan wanita lebih muda. Untuk alasan ini, biasanya si istri menyetujui suaminya menikah lagi sehingga menutup kemungkinankemungkinan adanya dorongan melakukan perzinahan atau berselingkuh dengan wanita lain. Perizinan atau berbagai term lainnya bagi perselingkuhan, dianggap sesuatu yang umum terjadi dalam suatu perkawinan. Sesungguhnya suatu kemunduran bagi pelaku apabila kebiasaan tersebut sebagai jalan keluar dari suatu masalah sosial yang dihadapinya. Perilaku yang demikian hanya akan menunjukan kebodohan dan kecerobohan manusia sebagai ciptaan Allah SWT.110 Kalau saja manusia mau sadar dan mau terbuka melihat masalah dalam perkawinan, maka asas monogami tidak mutlak (terbuka) dapat dipahami sebagai suatu kelembagaan alternatif untuk solusi permasalahan sosial tersebut. Bukan hanya semata-mata untuk memuaskan nafsu. Akan tetapi, karena pada dasarnya seorang laki-laki dapat menikah lebih dari seorang dengan maksud mengangkat derajat si wanita yang bersangkutan. Oleh karena itu, dasar-dasar hukum yang ada diharapkan dapat membatasi kaum pria yang akan 109Ach. Puniman, “Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”, Jurnal Yustitia, Vol. 19 No. 1 Mei 2018, hlm. 90. 110 Dahlan Hasyim, “Tinjauan Teoritis Asas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan”, Jurnal Mimbar, Vol. 23, No. 2007, hlm. 301
70 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H menikah lebih dari satu karena dihadapkan pada beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu harus memperoleh izin dari istri pertama, pengadilan agama, dan harus ada jaminan dari si suami bahwa dia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Akan tetapi, realita yang terjadi sekarang ini ialah adanya ketidaksamaan nilai dari pernikahan yang dipahami masyarakat dalam tujuannya yang ingin berpoligami, sehingga menimbulkan kemerosotan terhadap asas-asas hukum perkawinan.111 C. Monogami sebagai Asas Hukum Pernikahan Monogami adalah perkawinan hanya dengan satu isteri, kalimat ini berasal dari bahasa Yunani nesos yang berarti satu dan gamos kawin. Monogami merupakan salah satu asas didalam hukum perkawinan Islam berdasarkan Undangundang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sehingga suami boleh menikah lebih dari satu asalkan ia berbuat adil, sedangkan keadilan adalah hal yang sulit untuk ditegakkan maka Allah menetapkan, jika kamu tidak dapat berbuat adil, maka cukup nikahilah seorang perempuan saja.112 Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan menyatakan bahwa pada dasarnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang suami. Dengan kata lain, perkawinan menganut asas monogami. Hukum perkawinan Islam menganut asas monogami tidak mutlak (terbuka), yaitu pada dasarnya berkonsep monogami, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, suami boleh melakukan poligami atau beristri lebih dari satu orang dan paling banyak empat orang istri.17 Sebagaimana ditentukan dalam surah annisa ayat 3 di atas. 111 Ibid, hlm. 302. 112 Abdillah Mustari, “Poligami dalam Reinterpretasi”, Jurnal Sipakalebbi, Vol 1 No. 2 Desember 2014, hlm. 251.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 71 Poligami diberikan tempat dalam perkawinan yaitu terlihat dari beberapa pasal dan ayat yang mengaturnya. Namun demikian, walaupun poligami tersebut diberi tempat, tetapi itu bukan berarti bahwa poligami dijadikan sebagai asas dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Hal tersebut merupakan pengecualian saja, yang ditujukan khusus kepada orang yang menurut hukum dan agama atau kepercayaan mengizinkan untuk itu, atau dengan kata lain, poligami dibolehkan tetapi dengan pembatasan yang cukup berat, yaitu berupa suatu pemahaman syarat dengan alasan tertentu dan izin pengadilan. Bila diartikan secara kumulatif, agaknya sulit didapat wanita yang dengan sukarela memberikan persetujuan kepada suaminya untuk beristri lebih dari satu orang. Oleh karena itu, suami yang ingin beristri lebih dari seorang wanita harus memiliki syarat berdasarkan pasal 5 ayat 1 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu: 1. Adanya persetujuan dari istri 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.113 Menurut al-Maraghi dalam tafsirnya asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Karena keluarga yang monogami merupakan pondasi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Sekalipun demikian, dia tidak mengharamkan poligami dan tidak menganggap poligami mubah secara mutlak, dimana orang dapat memilih antara melakukan atau tidak. Dia sependapat dengan Muhammad Abduh dan Rasyid 113 Dahlan Hasyim, “Tinjauan Teoritis Asas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan”, Jurnal Mimbar, Vol. 23, No. 2007, hlm. 308
72 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H Ridha bahwa poligami merupakan rukhsah yang diberikan Allah dalam keadaan darurat dan benar-benar dibutuhkan. Al-Maraghi tidak mengharamkan poligami. Menurutnya, poligami merupakan sesuatu yang dibolehkan oleh Allah (bima ahallahuh lakum minaj tazwij bighorn). Makna boleh di sini rukhsah, di mana tidak ada jalan lain kecuali poligami itu dilakukan untuk kemaslahatan, dan disyaratkan dia mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.114 Al-Maraghi memandang adil dalam poligami (seperti ^[f[g mol[b [hhcm[’ [y[n 129) [^[f[b [^cf g[n_lc[f, y[cno memberi perhatian yang sama terhadap istri-istri, seperti tempat tinggal, nafkah, giliran malam, dan giliran musafir. Bentuk adil seperti ini bisa diukur dan masih dalam kemampuan manusia melakukannya. Sedangkan mempersamakan kebutuhan seksual dan rasa cinta terhadap istri-istrinya bukan kewajiban dalam poligami, karena seorang suami tidak akan mampu membagikannya sama rata rasa cinta. Kendatipun keadilan immaterial tidak diwajibkan, tapi tetap dituntut untuk melakukan semaksimal mungkin. Al-Maraghi melihat bahwa poligami lebih banyak membawa risiko dan darurat dari maslahat. Karena watak manusia secara fitrah cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Poligami dapat menjadi sumber konflik dalam keluarga yang mungkin terjadi antara suami- istri, istri satu dengan istri yang lain, dan anak-anak dari masing-masing istri.115 114 Usman, “Perdebatan Masalah Poligami Dalam Islam (Kajian Tafsir Al-Maraghi QS. al-Nisa‟ ayat 3 dan 129)”, Jurnal An-Nida, Vol. 39, No. 1 Tahun 2014, hlm. 140 115 Ibid, hlm. 141
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 73 D. Penutup Asas-asas perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut: (1) tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal; (2) sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing; (3) asas monogami; (4) calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya; (5) mempersulit terjadinya perceraian; (6) hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang. Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa pada dasarnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang suami. Dengan kata lain, perkawinan yang dimaksud menganut asas monogami. Monogami adalah perkawinan hanya dengan satu isteri, kalimat ini berasal dari bahasa Yunani nesos yang berarti satu dan gamos kawin. Monogami adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan. Akan tetapi yang perlu digaris bawah adalah hukum perkawinan Islam disini menganut asas monogami tidak mutlak (terbuka), yaitu pada dasarnya berkonsep perkawinan hanya dengan satu isteri, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, suami boleh melakukan poligami atau beristri lebih dari satu orang dan paling banyak empat orang istri. Dilain hal, adanya surah an-nisa ayat 3 dan 129 juga memberikan penjelasan secara hakikat dari konsep asas perkawinan Islam. Hal ini berdasarkan pada beberapa tafsir seperti Al-Maraghi yang memberikan pandangan didalam tafsirnya bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Karena konsep keluarga monogami merupakan pondasi keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Al-Maraghi melihat bahwa poligami lebih banyak membawa risiko dan darurat dari maslahat. Karena watak manusia secara fitrah cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Poligami dapat
74 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H menjadi sumber konflik dalam keluarga yang mungkin terjadi antara suami-istri, istri satu dengan istri yang lain, dan anak-anak dari masing-masing istri.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 75 VI KESETARAAN HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PERNIKAHAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI LLAH SWT menciptakan seluruh makhluk berpasangpasangan tanpa kecuali, sekecil apapun ciptaan Allah SWT pasti mempunyai pasangannya masing-masing tidak terkecuali manusia. Sebagai makhluk Allah SWT yang paling sempurna dan juga sebagai khalifah di muka Bumi, manusia mempunya tanggung jawab mematuhi ketentuan-ketentuan yang Allah SWT. telah tetapkan baik melalui Firman-Nya maupun melalui Sabda Rasul-Nya. Salah satu ketentuan-Nya adalah tentang pernikahan dan tanggung jawab yang timbul akibat adanya pernikahan tersebut. Menikah bukan hanya bertujuan untuk meneruskan keturunan, namun seyogyanya menikah merupakan ikatan sah dari dua insan berbeda, dua karakter yang berbeda, dua A
76 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H pikiran yang berbeda, dan dua sifat yang berbeda yang kemudian disatukan dalam bahtera rumah tangga sebagai suami isteri. Penyatuan tersebut tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya, sehingga Allah SWT sebagai Sang Maha Pencipta dalam Firmannya telah memberikan aturan-aturan bagi manusia, agar manusia menyadari akan hak dan kewajibannya sebagai suami istri sehingga pada akhirnya dapat mengantarkan rumah tangganya sebagai suatu lingkungan yang harmonis sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Al- Qur‟an. Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya, dan bagi yang belum menjalaninya juga akan menyiapkan bekal baik dari kesiapan mental, ekonomi, dan agama demi mencapai keluarga yang bahagia, impian seluruh manusia. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah disebutkan bahwa tujuan diadakannya nikah itu untuk membentuk keluarga yang harmonis, kekal dan penuh cinta. Bunyi UU tersebut terdapat dalam Pasal 1 m_\[a[c \_lceon: ‚P_le[qch[h [^[f[b ce[n[h f[bcl \[nch [hn[l[ seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia ^[h e_e[f \_l^[m[le[h K_nob[h[h Y[ha M[b[ Em[.‛ Perkawinan yang sah di suatu negara adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku. Seperti halnya di Negara Indonesia, dimana perkawinan yang dianggap sah itu berdasarkan tuntunan agama masingmasing serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini termuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 2 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 2, yang berbunyi: ‚(1) P_le[qch[h [^[lah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing- masing dan kepercayaannya itu. (2)
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 77 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangoh^[ha[h y[ha \_lf[eo.‛ Pasal 2 KHI berbunyi: ‚P_le[qch[h g_holon boeog cmf[g [^[f[b j_lhce[b[h, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan c\[^[b.‛ Sesuai dengan pasal 80 Kompilasi Hukum Islam (KHI) n_hn[ha e_q[dc\[h mo[gc y[ha \_l\ohyc ‚mo[gc q[dc\ melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup dalam rumah tangga sesuai dengan e_g[gjo[hhy[.‛116 Dengan ketentuan tersebut keduanya dapat mengetahui mana hak suami maupun hak istri dan mana kewajiban suami maupun kewajiban istri. Hak-hak istri merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami karena peran istri sangat penting dalam hidup berumah tangga. Apabila pihak istri mendapatkan haknya secara penuh dalam kehidupan rumah tangga, secara otomatis kebutuhan hidup dalam rumah tangga akan tercukupi. Karena istri dalam kehidupan rumah tangga adalah jantung keluarga. Setelah istri mendapatkan haknya dari suami maka istri juga mempunyai suatu kewajiban ^[f[g log[b n[haa[ y[ha b[lom ^cj_hobc. ‚Imnlc q[dc\ g_ha[nol log[b n[haa[ m_\[ce \[cehy[.‛117 Kewajiban ini merupakan hak seorang suami, maka dari itu sangat penting bagi pasangan suami istri untuk mengerti akan hak dan kewajiban yang harus dijalankan. Salah satu kebutuhan dalam berumah tangga yang harus dipenuhi oleh suami adalah kebutuhan ekonomi (nafkah). Nafkah adalah pemberian dari suami kepada istri untuk 116 Pasal 80 ayat 2, Kompilasi Hukum Islam 117 Pasal 34 ayat 2, Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
78 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H diinfakkan untuk keperluan keluarga. Nafkah merupakan kewajiban material yang harus dipenuhi oleh suami kepada istrinya, nafkah seorang suami bermacam macam wujudnya bisa berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan maupun perlindungan.118 Al-Quran meletakan tanggung jawab pada suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya dalam keadaan bagaimanapun, karena pada hakikatnya derajat suami lebih tinggi satu tingkat dari pada istri. Oleh sebab itu dalam hidup berumah tangga baik istri kaya, maupun istri mempunyai pendapatan tersendiri, istri tidak diwajibkan memberikan kepada suami. Bahkan apabila istri adalah seorang yang kaya dan suami adalah orang miskin, maka suami tetap wajib memberi nafkah sesuai kemampuannya. Selain wajib menafkahi seorang istri, suami juga menjadi pemimpin dan kepala rumah tangga dalam keluarga. Suami juga memikul tanggung jawab untuk selalu senantiasa membina serta mengembangkan kehidupan keluarga menuju taraf yang lebih baik lagi. A. Hak Dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga Yang dimaksud dengan hak disini adalah apa-apa yang di terima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang di maksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan begitu pula istri mempunyai hak.119 118 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, ..., 374. 119 Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan di Indonesia,( Jakarta: Prenada Media,2006), hlm. 159.
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 79 Hak suami merupakan kewajiban bagi istri, sebaliknya, kewajibansuami merupakan hak bagi istri. Dalam kaitan ini ada empat hal: 1. Kewajiban suami terhadap istrinya, yang merupakan hak istri dari suaminya. 2. Kewajiban istri terhadap suaminya, yang merupakan hak suami dari istrinya. 3. Hak bersama suami istri 4. Kewajiban bersama suami istri Masalah hak dan kewajiban suami Istri dalam UndangUndang Perkawinan diatur di dalam Bab VI Pasal 30-34, Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XII Pasal 77-84. Pasal 30 UU Perkawinan menyatakan: "Suami Istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah n[haa[ y[ha g_hd[^c m_h^c ^[m[l ^[lc momoh[h g[my[l[e[n‛. Dalam rumusan redaksi yang berbeda Kompilasi Pasal 77 ayat (1) berbunyi: "Suami Istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat". Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah surat Al-Rum (30):21: Dalam Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Bagian Kedua tentang Kedudukan Suami Istri Pasal 79 menyatakan: 1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat. 2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Pasal 32 UU Perkawinan jo. Pasal 78 KHI menegaskan:
80 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H a. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. b. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama. Pasal 34 UU Perkawinan menegaskan: 1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperiuan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya. Adapun ayat (3) isi dan bunyinya sama dengan ayat (5) Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Pengaturan ketentuan hak dan kewajiban suami istri dalam kompilasi lebih sistematis dibanding dalam Undangundang Perkawinan. Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena kompilasi dirumuskan belakangan, setelah 17 tahun sejak Undang-undang Perkawinan dikeluarkan. Dalam Undangundang Perkawinan pengaturan hak suami dan istri lebih bersifat umum. Di bawah ini akan dikutip ketentuanketentuan yang lebih rinci dari Kompilasi Hukum Islam. 1. Hak Istri (Kewajiban Suami) Hak istri adalah suatu kewajiban mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang suami. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi suami yaitu mahar, nafkah, pendidikan dan pengajaran, memimpin dan melindungi keluarga, serta memperlakukan istri dengan baik. Pasal 79 KHI a. Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga. b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 81 tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Kandungan Pasal 79 KHI tersebut didasarkan kepada OS Al-Nisa' (4)-32. Pasal 80 Kompilasi mengatur kewajiban suami terhadap istri dan keluarganya, sebagai berikut: a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama. b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. c. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa d. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: 1) Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri. 2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. 3) Biaya pendidikan bagi anak. e. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. f. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
82 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H g. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz. Dasar hukum dari ketentuan Pasal 80 Kompilasi adalah surat Al-Nisa' (4:34) Tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat kediaman, Kompilasi mengaturnya dalam Pasal 81 sebagai berikut: a. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah. b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. c. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. d. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. Pasal 81 KHI tersebut sejalan dengan apa yang dijelaskan Allah dalam surat Al-Talaq (65):6:
Konkritisasi Aturan Munakahat di Indonesia 83 ‚T_gj[ne[hf[b g_l_e[ (j[l[ cmn_lc) ^c g[h[ e[go bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteriisteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anakanak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) ohnoehy[‛. 120 2. Hak Suami (Kewajiban Istri) Hak dari suami adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan dan dipenuhi seorang istri. Sehingga selain menuntut haknya terpenuhi, kewajiban yang melekat pada dirinya pun juga harus terlaksana. Ada beberapa hal yang harus dilakukan seorang istri untuk suaminya yaitu patuh dan memperlakukannya dengan baik, memberikan ketentraman pada suami, berkabung untuk suaminya yang meninggal, dan memahami posisi suami. Seorang istri harus taat kepada suaminya, selagi tidak diperintahkan dalam kemaksiatan karena mentaati makhluk untuk barmaksiat terhadap sang khaliq adalah perbuatan yang salah. Hal itu hak kepemimpinan suami yang telah ditetapkan Allah swt. 120 Departemen Agama RI, al-Hikmah Al-Qur an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), h. 559.
84 Muhammad Hafis.,S.H.,M.H ‚K[og f_f[ec [^[f[b j_gcgjch \[ac e[og q[hcn[‛ 121 a. Menjaga kehormatan Seorang istri tidak boleh mengizinkan laki-laki lain yang masuk ke dalam rumah, kecuali setelah mendapat izin dari suami.15 Rasulullah saw. Bersabda: Shahih Muslim 1704: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih ia berkata: ini adalah hadits yang telah diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami, dari Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam -ia pun menyebutkan beberapa hadits, di antaranya adalah- Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang wanita janganlah berpuasa (sunnah) ketika suaminya ada, kecuali dengan seizinnya. Dan jangan pula ia membolehkan orang lain masuk ke rumahnya melainkan dengan izin suaminya. Dan sesuatu yang disedekahkan oleh sang isteri dari usaha suaminya tanpa perintah suami, maka setengah dari pahala sedekah itu bagi suaminya." (Hadis ini Shahih). b. Menjaga harta suami Istri mempunyai tanggung jawab menjaga harta suaminya. Ia tidak boleh membelanjakan atau menggunakan kecuali sudah mendapat izin dari sang suami. R[mofoff[b m[q. \_lm[\^[, ‚[j[\cf[ mo[gc m_^[ha pergi maka ia(istri) bertanggung jawab untuk menjaga 121 Q.S An Nisa‟ (4): 34