139 atau iseng-iseng, menjatuhkan pesaing (kampanye hitam), promosi dengan penipuan, atau undangan untuk melakukan praktik baik yang sebenarnya tidak memiliki argumen jelas di dalamnya. Namun, ini menyebabkan banyak penerima hoaks segera menyebar ke rekanrekan mereka sehingga akhirnya hoaks cepat menyebar (Rahadi, 2017). Dalam hal ini, jika penyebar hoaks memiliki sedikit pengetahuan dalam menggunakan internet untuk menemukan informasi yang lebih dalam atau hanya untuk memeriksa dan memeriksa kembali fakta-fakta. Ada beberapa jenis informasi yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan, yaitu: 1. Berita palsu, berita mengarahkan berita yang berasal dari sumber aslinya. 2. Menghubungkan jebakan, menghubungkan yang ditempatkan strategis di dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs lain. 3. Bias konfirmasi, menggerakkan untuk menginterpretasikan kasus yang baru. 4. Informasi yang salah atau tidak akurat, sebagian besar yang ditanyakan tentang. 5. Tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal yang dibesarbesarkan untuk mengkomentari kejadian yang sedang hangat. 6. Pasca-kebenaran, kejadian di mana yang lebih banyak diperbanyak fakta untuk menyusun opini publik. 7. Aktivitas menyebar luaskan informasi, fakta, argumen, gosip, setengah-kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk mempengaruhi opini publik. B. Problematika Hoaks Hoaks pada dasarnya sudah ada sejak dulu dan terus berkembang hingga saat ini di era digital terus berkembang dengan begitu cepat sesuai perkembangan zaman dan teknologi. Hoaks sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa, karena hoaks manusia
140 jatuh ke dalam dosa dan manusia kehilangan kemuliaan Allah. Artinya Hoaks di ciptakan oleh manusia, disebarkan oleh manusia dan menghancurkan manusia itu sendiri. Semakin berkembang zaman dan semakin berkembang teknologi hoaks pun semakin berkembang dan meningkat. Oleh sebab itu, manusia harus selalu waspada dengan hoaks karena hoaks bisa menghancurkan manusia dan bahkan bisa membunuh tubuh dan jiwa manusia. Hoaks atau berita palsu ibarat virus yang terus berkembang, menyebar dan menyerang kehidupan manusia. Penyebaran informasi/berita bohong (hoaks) saat ini makin berkembang di indonesia dan tidak dapat dipungkiri bahwa masyrakat setiap hari selalu menerima hoaks. Saluran yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoaks adalah media sosial. Fenomena hoaks di Indonesia saat ini menimbulkan keraguan terhadap masyarakat untuk menerima informasi karena informasi yang diterima sangat meragukan. Hal ini dimanfaatkan olah pihakpihak yang tidak bertanggung jawab untuk menanamkan fitnah dan kebencian melalui penyebaran berita palsu atau hoaks. Menurut Christiany Juditha hoaks merupakan informasi atau berita yang berisi hal-hal yang belum pasti atau yang benar-benar bukan merupakan fakta yang terjadi (Christiany Juditha, 2018). Hoaks juga merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi nyata, dengan kata lain hukum diartikan sebagai upaya mendistorsi fakta dengan menggunakan informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi, juga dapat diartikan sebagai tindakan mengaburkan informasi aktual, dengan membanjiri media dengan pesan yang salah sehingga dapat menutupi informasi yang benar (B. Mansyah, 2017). Hoaks atau tipuan juga merupakan bentuk Cyber crime yang tampaknya sederhana, mudah dilakukan tetapi sangat besar untuk komunitas sosial (Henri Septanto, 2018). Kehadiran era digital, teknologi berkembang seiring perkembangan zaman, dengan berbagai media termasuk media online. Dalam hal ini, kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan oleh media online dalam penggunaannya membuat media ini
141 menjadi sarana penyebaran informasi yang sangat berpengaruh pada masyarakat. Media online tidak hanya mengubah cara informasi dikirimkan tetapi juga mengubah cara orang mengonsumsi informasi itu. Saat ini penyebaran informasi atau berita melalui media online tidak hanya dilakukan oleh situs-situs berita yang sudah dikenal oleh publik, tetapi oleh siapa saja yang merupakan pengguna internet dapat berperan dalam penyebaran informasi. Sayangnya banyak informasi atau berita yang didistribusikan secara individu atau dalam kelompok lebih banyak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai indikasi kebenaran atau tipuan. Menurut Yanti, Dwi Astuti mendapatkan momentum besar di era digital ini, di mana "kecepatan" menjadi yang utama, informasi menjadi mudah dibagikan tanpa melalui proses verifikasi, sehingga siapa pun, di mana saja, dan kapan saja dapat menghasilkan, mereproduksi, dan mengonsumsi hoaks konten semudah memindahkan ujung jari di gadget (Yanti Dwi Astuti, 2017). Dalam hal ini, di era digital hampir setiap orang dapat menggunakan internet di mana saja dan kapan saja sehingga orang dapat berkreasi dengan gadget mereka. Dalam penggunaan internet itu membuat semuanya serba cepat dan kurangnya pemahaman dalam penggunaan internet sehingga membuat sebagian orang menggunakan internet untuk membuat konten atau berita yang tidak benar (hoaks) kemudian menyebar melalui media sosial. Hoaks pada jaringan medis sosial di Indonesia meningkat setiap hari dengan masalah apa yang berkembang di masyarakat saat ini, pihakpihak tertentu menggunakan situasi ini untuk memperburuk keadaan. Ini, tidak hanya untuk pembuat konten, tetapi untuk orang-orang yang menyebarkannya tanpa menyaring berita, mereka juga terlibat dalam penyebaran hoaks. Dalam hal ini, berdasarkan laporan digital tahunan yang dirilis oleh We is Social and Hoots pada Januari 2018, pengguna Facebook masih mendominasi dua pertiga dari semua media sosial yang tersedia. Masih menurut sumber yang sama, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 130 juta akun aktif. Ini berarti bahwa Indonesia
142 menempati urutan keempat di dunia setelah India, Amerika, dan Brasil. Jumlah ini juga mencatat nama Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna Facebook terbesar. Bekasi dan Jakarta adalah kota ketiga dan keempat dengan pengguna Facebook terbesar di dunia, setelah Bangkok dan Dhaka. Sesuai dengan fakta dan kondisi yang terjadi di Indonesia, merupakan tantangan bagi pemerintah untuk mengatur penyebaran informasi. Penyebaran berbagai jenis berita yang mencakup politik, ekonomi, dan agama dibagikan oleh netizen (pengguna media sosial). Saat ini tidak ada lagi hambatan jarak dan waktu dalam menyebarkan berita. Yang lebih berbahaya, gambar dan video jenis berita dapat diedit dengan mudah seperti aslinya (Leo Willyanto Santoso, 2018). Penyebarluasan berita atau deposito palsu yang terus berkembang di Indonesia dan sangat bermanfaat bagi masyarakat akhirnya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dianggap tidak sesuai untuk diterapkan pada saat ini mengingat perkembangan pesat teknologi informasi. Pemerintah akhirnya merevisi undang-undang pada 2016 kemarin. Ini rupanya tidak mengurangi penyebaran hoaks. Sebagai warga negara yang baik, tidak pantas bagi kita untuk menyebarkan berita palsu (Leo Willyanto Santoso, 2018). Dalam hal ini, ada dua hal yang menjadi berita utama, yaitu: pertama, berita palsu harus memiliki nilai subjek objek yang merugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Pasal 28 ayat 2 berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak untuk menyebarkan informasi yang dimaksudkan untuk menghasut kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok orang tertentu berdasarkan etnis, agama, ras, dan antar kelompok (SARA). Hal ini bertujuan untuk Mencegah penipuan yang terus beredar di media sosial dan digunakan untuk umum. Berita bohong atau hoaks telah ada sejak manusia pertama dan manusia terus menciptakan hoaks, menyebar, dan berkembang sesuai perkembangan zaman, sehingga di era digital saat ini hoaks
143 berkembang begitu cepat melalui media sosial. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana mengantisipasi hambatan yang terjadi dan yang akan terjadi melalui pengajaran pendidikan agama Kristen di lingkungan keluarga, gereja dan sekolah. Dalam hal ini, keluarga, gereja dan sekolah harus mengetahui dan menyadari tugas dan tanggung jawab mereka melalui peran masing-masing untuk membantu pemerintah dalam memutus mata rantai hoaks melalui pengajaran pendidikan agama Kristen di lingkungan keluarga, gereja dan sekolah setiap hari. C. Pandangan Alkitab terhadap Hoaks Berita bohong atau hoaks sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa yang berarti bahwa berita bohong telah ada sejak zaman Perjanjian Lama. Dalam hal ini, manusia menciptakan hoaks, manusia yang menyebar dan berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Dampak dari menciptakan, menyebarkan, dan mengembangkan lingkaran adalah membuat orang jatuh dalam dosa dan setiap hari selalu hidup dalam dosa. Ketika manusia jatuh dalam dosa karena godaan Iblis, manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal sesuai dengan keinginan pribadi walaupun itu bertentangan dengan firman Allah. Dengan potensi hoaks yang sudah ada pada manusia, terus manusia membuat hoaks, menyebarkan hoak hingga sekarang. Dalam Alkitab kita dapat menemukan contoh-contoh pesan palsu atau hoaks yang dibuat dan disebarkan pada waktu itu. Dalam Perjanjian Lama diceritakan tentang nabi-nabi palsu, misalnya nabi Hananya (Yer. 28: 1-17). Dalam cerita ini, ada perselisihan antara nabi Hananya dan nabi Yeremia, di mana nabi Hananya memberikan nubuat 'gembira' yang menentang pesan nabi Yeremia tentang bencana. Dalam hal ini, nabi Hananya menjadi nabi palsu yang meramalkan kekalahan Babel dan kembalinya orang buangan dan harta bait suci dalam waktu dua tahun. Nabi Yeremia
144 menanggapi dengan 'Amin'. Ini berarti bahwa ia juga menginginkan kembalinya para tawanan; Namun, ia menubuatkan bencana lebih lanjut bagi orang-orang Yehuda. Lain kali buktikan bahwa Hananah adalah nabi palsu. Ketika para nabi bernubuat, tidak ada tanda yang membedakan nabi-nabi palsu dari nabi-nabi otentik. Seorang nabi sejati, nubuatnya akan muncul, sementara seorang nabi palsu menubuatkan pesan palsu (Ul. 18: 21-22). Dalam Perjanjian Baru, kita dapat jumpai di zaman Yesus, di mana Yesus dianggap sebagai "penyesat" oleh orang-orang Farisi (Mat. 27: 62-66). Ini sangat bertentangan dengan kenyataan yang diberikan oleh Yesus yang selalu menyangkal. Dalam hal ini, yang dikompilasi oleh para imam dan orang Farisi kepada Pilatus untuk disetujui oleh pintu kuburan Yesus, mereka takut para murid akan menyelamatkan tubuh Allah, karena Yesus berkata bahwa Ia akan bangkit pada hari ketiga. Bahkan, orang-orang Farisi sangat khawatir tentang apa yang sebenarnya diminta oleh Yesus. Karena itu adalah lawan yang menentang Yesus dengan berbagai berita palsu. Dalam hal ini, di dalam Alkitab hoaks memiliki sinonim dengan kebohongan atau berdusta yang dilarang oleh Allah kepada umat-Nya untuk tidak menyebarkan hoaks yang telah lama dikenal oleh umat manusia. Larangan itu tercantum dalam Alkitab, Keluaran 20:16 dijelaskan "jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu." Dampak manusia menyebarkan hoaks adalah dosa. Tindakan manusia secara individu atau kolektif yang menyimpang dari kehendak dan hukum Allah. Tindakan-tindakan ini menimbulkan keadaan berdosa. Dengan demikian dampak hoaks dari sudut pandang Alkitab adalah dosa dan orang berdosa tidak dapat menyelamatkan diri dari kuasa dosa (Rizky Karo Karo: 2018). D. Mengatasi Hoaks melalui PAK 1. PAK di Keluarga Antisipatif Hoaks Keluarga adalah tempat pertama dan terpenting untuk pendidikan agama Kristen. Dalam keluarga, orang tua
145 bertindak sebagai guru, pendidik, dan pendamping bagi anakanak. Dalam hal ini, anak-anak memiliki moral dan spiritualitas yang baik tergantung pada peran orang tua dalam keluarga. Peran orang tua dalam keluarga untuk mengantisipasi hoaks adalah tindakan yang sangat tepat untuk mencegah anak-anak dalam menyebarkan berita bohong atau hoaks melalui media sosial. Keluarga Kristen adalah hadiah yang tak ternilai dari Tuhan. Keluarga Kristen, yang memainkan peran penting dalam Pendidikan Agama Kristen, bahkan lebih penting daripada jalan lain yang biasa digunakan oleh gereja untuk Pendidikan Agama Kristen. Dalam hal ini bukan berarti pendidikan yang diajarkan oleh gereja tidak penting, tetapi yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang diajarkan gereja adalah bagian dari pendidikan yang harus diajarkan dalam keluarga. Karena jika dilihat dari ukuran waktu pendidikan yang lebih efektif adalah pendidikan dalam keluarga dibandingkan dengan pendidikan di gereja, pendidikan keluarga memiliki lebih banyak waktu daripada pendidikan yang dilakukan di gereja.(Gulo, 2017a). Pendidikan agama dimulai dari keluarga dan anak-anak harus dididik dan didorong untuk menerapkan semua nilai yang diajarkan oleh firman Tuhan, dan dijauhkan dari segala sesuatu yang dilarang oleh firman Tuhan. Dalam hal ini, berita bohong adalah sesuatu yang dilarang oleh Tuhan dan menyebarkan kebohongan seperti berbohong kepada orang lain. Itu berarti menciptakan dan menyebarkan hoaks adalah sesuatu yang melanggar perintah dan larangan Tuhan. Larangan berbohong ditulis dalam Sepuluh Perintah "Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu (Keluaran 20:16). Tuhan secara konsisten dan tegas membenci bahasa dusta (Amsal 6:17). Semua pembohong akan mendapat bagian dalam danau api dan belerang (Wahyu 21: 8 Jadi, Alkitab menekankan keseriusan konsekuensi rohani sebagai hasil dari bermain dengan ketidakbenaran.
146 Oleh karena itu, orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga untuk menagantisipasi hoaks di era digital sehingga anak tidak menjadi pencipta dan penyebar hoaks melalui media sosial. Peran yang harus orang tua lakukan pada anak untuk mengantisipasi hoaks yaitu: (a) orang tua berperan sebagai pengarjar, sebagai pengajar orang tua menjelaskan pada anak bahwa membuat berita hoaks atau memyebarkan berita hoaks merupakan hal yang tidak benar dihadapan Allah dan melanggar perinta dan larangan Allah (b) orang tua berperan sebagai pendidik, sebagai pendidik orang tua harus mendidik anak dalam penggunaan media sosial untuk sebelum menyebarkan berita yang tersebar di media sosial harus mengecek dari mana sumber berita untuk memastikan kebenaran berita tersebut (c) orang tua berperan sebagai mentor, orang tua sebagai mentor harus mengontrol dan mendapingi anak adalam penggunaan media sosial dalam memposting berita berupa teks atau gambar di media sosial yang digunkan oleh anak misalnya media sosial Wikipedia, Friendster, Facebook,Youtube, Twitter, Tumblr, WhatsApp, Instagram, SnapChat, Pheed, dan banyak media sosial lainnya. (d) orang tua menjadi teladan, orang tua yang berperan sebagai pengajar, pendidik, pendampingan bagi anak dalam mengantisipasi hoaks maka orang tua juga harus menjadi teladan dalam keluarga. Dalam hal ini, keteladanan orang tua merupakan media pembelajaran yang di munculkan kepada anak sehingga akan terekam dalam diri anak. Artinya jika orang tua munculkan hoaks maka anak juga akan mencermin hoaks dalam dirinya karena apa yang tercermin dari orang tua itulah yang akan tercermin dalam diri anak. 2. PAK di Gereja Antisipatif Hoaks Peran pendidikan agama Kristen yang dilakukan digereja untuk mengantisipasi hoaks pada era digital merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal ini, gereja yang berperan sebagai pembentuk iman jemaat, gereja juga harus berperan
147 dalam pembentukan moral yang dimana gereja harus dengan tegas menyatakan bahwa membuat berita bohong dan menyebarkan berita bohong adalah hal yang berbohong kepada diri sendiri, kepada sesame dan juga kepada Allah. Hal itu akan sangat merusak moral dan spiritual sehingga terjerumus ke dalam dosa dan Allah sangat menentang hal itu karena berbuat dusta. Oleh sebab itu, gereja harus debngan tegas melarang jemaat agar tidak menyebarkan berita hoaks tetapi menyebarkan berita-berita yang benar. Dalam hal ini, sebagai orang Kristen harus belajar untuk selalu berpikir kritis dan tidak mudah percaya pada sesuatu yang pada pandangan pertama dipandang sebagai "kebenaran". Pembuat "hoaks" bukanlah orang bodoh. Pesan "hoaks" dibuat dengan teori dan pendekatan psikologis yang bahkan dapat mencapai pikiran bawah sadar manusia untuk mencapai tujuan mereka secara efektif. Ini bukan hanya karya "orang iseng". Dalam berita "hoaks" sangat sering ditemukan unsurunsur yang faktual dan benar. Mereka pandai mengumpulkan fakta dengan hal-hal palsu yang mereka tempel dengan sangat hati-hati. Ingat peringatan Yesus: "Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur, karena dia telah bertindak dengan cerdik. Karena anak-anak di dunia ini lebih licik daripada tetangga mereka daripada anak-anak terang" (Kel 16:18). Peran pendidikan agama Kristen di sekolah merupakan hal yang sangat penting dan tepat untuk mengantisipasi hoak di sekolah. Dalam hal ini, yang bertanggung jawab untuk mengantisipasi adalah guru karena guru sebagai garda terdepan yang bisa melindungi dan memerangi dari siswa-siswa. Peran guru pendidikan agama Kristen sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi hoaks pada siswa-siswa di media sosial. Guru mempunyai hak untuk mendidik, membimbing, serta mengarahkan siswa-siswi dalam penggunaan media sosial. Guru pendidikan agama Kristen adalah pribadi yang bertanggung jawab untuk mengajar, membimbing, dan
148 mengarahkan siswa-siswa dalam penggunaan media sosial sehingga mereka tidak menyebarkan hoaks melalui media sosial. Guru pendidikan agama Kristen harus memahami bahwa pendidikan agama Kristen di sekolah tidak hanya sebatas memberikan memberikan ilmu kepada siswa-siswa, tetapi juga harus mengarahkan mereka dalam penggunaan media sosial sehingga mereka tidak penyebar berita bohong atau hoaks (Ermindyawati, 2019). Guru pendidikan agama Kristen memiliki Peran untuk mengantisipasi berita hoaks terhadap siswa mutlak dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran pendidikan agama krusten guru harus mampu menyelipkan himbauan tentang bahaya berita hoaks. Selain itu, penanaman pendidikan agama Kristen pada siswa juga harus diperkuat. Dengan demikian, untuk mengantisipasi hoaks di sekolah, ada beberapa cara yang bisa digunakan, yaitu: (a) mengajar siswa untuk mengidentifikasi berita yang termasuk hoaks atau tidak (b) mengajak para siswa untuk tidak begitu saja percaya pada berita hoaks. Selain itu, mengajak siswa mencari referensi lain dari situs online dan membandingkan isinya dari berita ia terima sebelum di sebarkan.
149 12 Pendidikan Agama Kristen Berwawasan Majemuk A. Permasalahan dalam Masyarakat Majemuk Konflik antar umat beragama di Indonesia merupakan masalah yang sangat merisaukan semua pemeluk agama dan tentu hal ini menjadi pergumulan kita semua. Buyung Syukron mengatakan bahwa permasalahan agama merupakan fenomena transnasional yang diibaratkan seperti dua sisi mata uang berpotensi menghadirkan harmoni dan konflik.(Syukron, 2017) Selaras dengan ini, Firdaus M Yunus menjelaskan bahwa konflik antar umut beragama disebab oleh cara pandang seseorang terhadap agama itu sendiri yang akan memunculkan banyak permasalahan.(Yunus, 2014) Menurut St. Aisyah BM konflik antar umat beragama
150 disebabkan oleh ketidakmampuan seseorang untuk menerjemahkan pesan wahyu yang mengakibatkan hilangnya orientasi atau ketidakpastian dan bahkan putus asa. Bagi Aisyah penyebab konflik juga disebabkan oleh faktor politik, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, sentiment etnis dan agama (BM, 2014). Dengan demikian, konflik umat antar beragama di Indonesia dapat disebabkan oleh cara pandang yang salah, memiliki pemahaman yang sempit dalam beragama, kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok lainnya. Terkait dengan Konflik antar umat beragama yang sering terjadi di indonesia, maka berikut ini beberapa permasalahan yang terjadi yaitu sebagai berikut: Pertama penyerangan terhadap kelompok Islam Syi„ah terjadi pada Minggu, 26 Agustus 2012 di Dusun Nanggernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura sekitar pukul 11.00 WIB. Akibat dari peristiwa ini, seorang warga dinyatakan tewas, lima orang luka, dan empat diantara korban luka dalam kondisi kritis. Kedua pembakaran Gereja di Aceh Singkil (13 Oktober 2015) yang terjadi Bentrok antarwarga di Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Nangroe Aceh Darussalam (NAD) berimbas pada pembakaran sebuah gereja dan menewaskan dua orang warga serta empat orang luka-luka. Dari dugaan sementara pihak kepolisian, motif peristiwa tersebut berkaitan dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) di wilayah tersebut (Syukron, 2017). Keiga konflik/kekerasan sosial Tolikara (17 Juli 2015). Pada tanggal 17 Juli 2015 pukul 07.00 WIT bertempat di lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga distrik karubaga kabupaten Tolikara telah berlangsung kegiatan shalat idul fitri 1436H yang dipimpim oleh Ustad Junaedi dan berujung pada keributan antara Jemaat Gidi yang sedang melaksanakann seminar internasional yang dipimpin oleh Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) dengan Umat muslim yang sedang melaksanakan shalat Ied (Retnowati, 2018). Keempat konflik Sara di Tanjung Balai Asahan (30 Juli 2016). Konflik anarkis terjadi juga di Tanjungbalai, Asahan, Sumatera Utara yang bernuansa SARA ini bermula dari seorang
151 wanita keturunan Tionghoa M (41) yang mengajukan protes pada takmir Masjid Al-Makhsum, untuk mengecilkan volume suara azan di Masjid, karena merasa terganggu. Teguran tersebutkatanya telah dilayangkan beberapa kali. Beberapa waktu kemudian datang takmir masjid bersama jamaah mendatangi M di rumahnya, Jalan Karya, Tanjung Balai, pada Jumat 29 Juli 2016 (Z. S. Rahmana, 2018). Kelima pembubaran Kebaktian Gereja Pra-Natal di Bandung (06 Desember 2016). Pembubaran acara pra-Natal di Sabuga, Bandung, Selasa (06/12) malam oleh kelompok intoleran lagi-lagi menggunakan alasan perizinan yang belum lengkap, dan ini menurut aktivis keberagaman dinilai sebagai alasan 'mengada-ada' (Muqoyyidin, 2012). B. Kemajemukan Beragama di Indonesia Indonesia merupakan sebuah negara yang bangsanya sangat majemuk. Dalam hal ini, Indonesia terdiri dari beragam agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha Khonghucu, dan agamaagama lokal. Untuk memahami secara lebih dalam kemajemukan atau keanekaraman itu, tidak cukup hanya dengan mengetahui angka-angka yang secara umum dipakai sebagai indikator kemajemukan, tidak pula cukup hanya dengan mengetahui namanama agama, suku atas ras dan seni budaya (F. M. Boiliu, Widjaja, et al., 2021b). Sebab, kemajemukan itu sangatlah kompleks. Misalnya, kemajemukan agama. Untuk memahami kompleksitas dan dinamika di dalamnya, perlu diketahui dan dipahami, bahwa di dalam agamaagama itu terdiri pula dari aliran, kelompok dan pemikiran serta tradisi yang pada hal-hal tertentu ia menyangkut identitas yang beragam. Jadi, akhirnya kemajemukan agama itu menyangkut juga kepelbagaian dan perbedaan sejarah, konteks budaya, dan tradisi masyarakat di mana masing-masing agama itu hadir (F. M. Boiliu, 2021). Oleh sebab itu, kemajemukan yang semakin kompleks ketika dibicarakan di tataran doktrinal. Kemajemukan agama, misalnya selalu berhadapan dengan masalah klaim kebenaran. Artinya tentu
152 dalam sebuah agama, terdiri dari kelompok-kelompok aliran sehingga di antara kelompok-kelompok itu, meskipun memiliki sejarah dan membaca kitab suci yang sama, namun masing-masing kelompok meiliki potensi untuk saling mendominasi. Identitas atau kepentingan kelompok adalah keniscayaan dalam relasi antar kelompok pada sebuah masyarakat majemuk (Rantung, 2017). C. Problematika Keberagaman Agama 1. Eklusivisme Eklusivisme merupaan paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masayakarat dan tidak mengakui yang lain, menutup orang lain untuk menjadi bagian dari sebuah ruangan. Artinya eklusivisme merujuk pada cara pandang, paham atau ideologi kelompok mayarakat berhadapan dengan kelompok yang lain. Dalam hal ini, kelompok mayarakat itu bisa berdasar suku, agama, budaya, ras, afiliasi, politik, gender/orientasi seksual dan strata sosial ekonomi. Selain itu, ekslusivisme kelompok menunjuk pada cara pandang atau ideologi yang merasa lebih khusus, lebih benar, lebih superior, lebih agung, lebih murni dari kelompok yang lain (Zamakhsari, 2020). Ekslusivisme juga merupakan salah satu masalah di dalam masyarakat majemuk. Dalam hal ini, masyarakat majemuk yang terdiri dari orang-orang atau kelompok yang berasal dari latar belakang yang berbeda, akan mengalami masalah dalam berelasi, berkomunikasi, bergaul, bekerjasama, jika diantara kelompok saling mengklaim „kekhususannya‟ (Rantung, 2017). Ekslusivisme adalah sikap keagamaan yang memandang bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang dipeluknya, yang lainnya sesat. Eklektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik eklektik.
153 Ekslusivisme dalam konteks Kristen mengasumsikan bahwa hanya orang Kristen yang mengakui Kristus yang diselamatkan. Artinya bahwa dalam ekslusivisme Kristen keselamatan hanya melalui Kristus dan Yesus Kristus satu-satunya jalan keselamatan. Dalam konteks Islam, eksklusivisme memberian pandangan bahwa HANYA satu cara pandang atau satu cara penafsiran yang benar. Artinya pandangan yang benar itu adalah, sebagaimana diklaimnya, pandangannya sendiri, sementara pandangan yang lain salah dan sesat (Hanaf, 2011). 2. Prasangka, seteoretip dan diskriminasi Permasalahan lain yang sering timbul dalam permasalahan agama juga adalah tipe prasangka. Dalam hal ini, tipe prasanka ini dapat terjadi sebagian atau secara kolektif dan prasangka akan bermula dari "perasaan" belaka yang bila ditemukan bukti maka akan berubah. Namun, jika tidak ada upaya untuk mengetahui, itu akan berubah menjadi "kebenaran". Misalnya, prasangka dimulai karena ada perbedaan realitas dari kelompok A ke kelompok B dan perbedaan itu terkait dengan agama. Dengan demikian, jika dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi maka pada tahap tertentu akan diterima sebagai "kebenaran" (Rantung, 2017). Dalam hal ini, akan dirasionalisasi, dikonstruksi kebenaran logisnya sehingga menjadi semacam isu yang terus hidup dalam logika kelompok. “Kebenaran” yang terus dikembangkan, dirasionalisasi dalam banyak kasus akan secara ekstrim berubah menjadi diskriminasi. Prasangka merupakan keyakinan subjektif, sedangkan seteoretip merupakan respon emosional kelompok tertentu terhadap kelompok lain. Diskriminasi merupakan tindakan sebagai manifestasi dari prasangka dan stereotip tersebut. Dengan demikian, kita mendapat gambaran bahwa prasangka, stereotip dan diskiriminasi adalah masalah dalam relasi antara kelompok dalam sebuah masyarakat majemuk (F. M. Boiliu, Harefa, Simanjuntak, et al., 2021).
154 Artinya bahwa prasangka, stereotip dan diskriminasi berpotensi untuk memicu konflik dalam masyarakat majemuk khususnya keberagaman agama. 3. Beban-beban sejarah Terkait dengan permasalahan antarumat beragama di Indonesia maka beban-beban sejarah juga merupakan faktor terjadinya permasalahan sebab masyarakat majemuk terjadi melalui proses yang panjang. Dalam konteks Indonesia, beberapa wilayah dulunya merupakan unit berbasis suku dengan adat istiadat yang sama. Namun transmigrasi, pertukaran ekonomi, hingga era desentralisasi dengan pembentukan daerah pemerintahan baru menjadi beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya pluralisasi. Studi postkolonial, misalnya, ingin menunjukkan apakah hubungan atau bentuk identitas yang ada, terutama di bekas jajahan, dalam banyak hal merupakan warisan kolonial. Agama Kristen di Indonesia, misalnya, diidentifikasikan oleh sebagian nonKristen sebagai agama kolonial. Orang-orang Tionghoa dan penganut agama Konfusianisme juga menanggung beban sejarah mereka sendiri, terkait dengan periode revolusi dan persaingan ekonomi. Hubungan Islam dan Kristen seringkali tidak harmonis karena sekelompok orang mencoba menghubungkannya dengan sejarah Perang Salib yang sangat jauh (Hardianto, 2012). Dengan demikian, sejarah pertemuan antar kelompokkelompok yang berbeda dalam konteks keagamaan merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi pendapat dan cara pandang antar kelompok dalam suatu hubungan sekarang ini. Artinya mewarnai ketegangan, konflik dan kerusuhan hubungan antar kelompok yang berbeda selain dari faktor sosial, politik dan ekonomi yang faktual saat ini, trauma masa lalu dan dendam dalam perjumpaan sejarah merupakan faktor
155 penting yang menentukan kualitas hubungan masyarakat yang majemuk. D. Model Pendidikan Agama Kristen Berwawasan Majemuk 1. Model inklusifisme Model PAK yang Inklusif merupakan keterbukaan sikap dalam menerima keberbedaan dengan tetap berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks agama yang beraneka ragam, atau disebut multikultural. Model PAK yang Inklusif juga merupakan sikap bagaimana seseorang dapat menerima keberbedaan dengan ikut aktif dalam kehidupan kebinekaan. Hal ini akan memberikan sikap pada semua orang dalam tataran menghargai dan menghormati antar sesame (F. M. Boiliu, 2018). Oleh sebab itu, untuk membangun kesadaran dalam perbedaan yang ada dan menjadi bagian dari upaya mengelola keragaman serta upaya bina damai maka model PAK yang inklusif merupakan proses transformasi dari masa krisis dimana kelompok-kelompok masyarakat belum memahami pentingnya membina sikap toleransi beragam di Indonesia (Rumahuru, 2018). Dalam hemat penulis model PAK yang inklusif ini bisa dapat di terapan di lingkungan keluarga, sekolah, gereja dan di lingkungan masyarakat majemuk. Sebab akan sangat efektif dalam membina sikap toleransi beragama. Model PAK yang inklusif dapat dijadikan sebagai alternatif solusi menggantikan pembelajaran agama konfensional yang eksklusif sebab memiliki tujuan untuk mengubah paradigma PAK yang melihat diri sendiri ke melihat diri dalam keberadaannya dengan orang lain, sebagai strategi pembelajaran mengutamakan penghargaan dan penggelolaan keragaman, untuk membina sikap toleransi beragama dalam lingkup masyarakat majemuk dan dapat membangun
156 kehidupan bersama yang harmoni dalam perbedaan. Model PAK yang iklusif dalam tataran pelaksaannya tidak membedabedakan individu berdasarkan latar belakang agama, pendekatan ini untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan yang ada (F. M. Boiliu, 2018). Model ini, dapat mengajarkan tentang bagaimana menghargai perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain dan peka akan nilai-nilai kemanusiaan secara universal, memberikan wawasan tentang kehidupan secara utuh dan memberikan kesadaran bahwa tujuan hidup tertinggi adalah mengabdi kepada sesama, mengajak untuk merefleksikan realitas kemajemukan dan menekankan nilai-nilai pluralisme serta kebersamaan dan dapat membebaskan kita dari sekat-sekat primodial dan jangan sampai melemahkan kemampuan bertoleransi dan menguatkan fanatisme(Messakh & Boiliu, 2021) 2. Model Multikultural PAK Multikultural konteks Indonesia terletak pada kesiapan mengerjakan perilaku moderat untuk membangun kebermartabatan hidup. Keadaan ini, sekaligus menjadi penghormatan terhadap setiap agama yang ada, yang juga memiliki upaya memaknai kehidupan. Prinsip penghormatan terhadap agama dengan nilai-nilai yang dikembangkan di dalamnya tentu tidak serta merta membuat PAK tidak boleh mengkritisi setiap agama yang ada. Menurut I Made Saurdana PAK multikultur merupakan wilayah atau wadah untuk membangun solidaritas dan intimitas dalam berbagai keragaman yang ada (Suardana, 2020). Selaras dengan ini, Fransiskus Irwan Widjaja PAK multikultural menekankan bahwa setiap individu dalam seluruh aspek kehidupannya, perkembangan hidupnya difokuskan pada upaya menolong atau menghidupkan atau menumbuhkan setiap orang bertumbuh dalam pola Yesus Kristus (Widjaja, 2019a). Bagi
157 Slamet Sentoso PAK Multikultual tidak pernah terbatas pada pengajaran teoretis melalui kata-kata dan ide-ide abstrak, juga bukan hanya sarana untuk menyebarkan pengetahuan tentang agama Kristen (S. Santoso, 2018). Dengan demikian, PAK Multikultual menjadi upaya yang dibangun dalam kesadaran bersama, berprilaku moderat dengan menempatkan pemberdayaan kehidupan menjadi bingkai utamanya. Boiliu mengatakan bahwa Model PAK multikultural merupakan kesadaran bersama untuk mewujudkan pembangunan dan pemberdayaan hidup yang berkelanjutan melalui upaya menyinergikan tujuan PAK dalam perspektif iman Kristen dengan kemajemukan dalam bingkai inklusif-rekonstruktif secara berkesinambungan (F. M. Boiliu, 2018). Selaras dengan ini, menurut Rolina A.E Kaunang, Sylvana Talangamin pendidikan multikultural harus dapat membangun paradigm peserta didik agar terbiasa dengan kehidupan yang majemuk dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka guru PAK sebagai ujung tombok untuk membentuk generasi emas yang mampu bekerja sama dengan sesama dalam berbagai perbedaan (Kaunang & Sylvana, 2021). Yanice Janis dan Gerry Nelwan mengatakan sebagai salah satu upaya strategis dalam membangun masyakarakat multikultural di Indonesia. Bagi mereka pendidikan multicultural harus dikembangan mulai dari gereja-gereja di Indonesia melalui lima dimensi yaitu dimensi intigrasi isi, pereduksian prasangka, konstruksi ilmu pengetahuan, pendidikan yang adil dan pembedayaan budaya sekolah (Janis & Nelwan, 2021). Fajar Setyaning Dwi Putra dan Sapriya menegaskan bahwa pendidikan multikultural sangata penting untuk diterapkan dalam pembelajaran di sekolah untuk mengajarkan siswa menjadi manusia Indonesia yang pancasilais, mampu mengerti dan memahami pluralitas di Indonesia, menanamkan cara hidup untuk menghormati dengan tulus, dan hidup toleran dalam keberagaman agama yang ada (F. S. D. Putra & Sapriya, 2021). Dengan demikian, pendidikan
158 multikultural penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dimulai dari lingkungan gereja dan sekolah karena kedua lembaga ini memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat majemuk. 3. Model dialog Dalam konteks kemajemukan agama se-Asia istilah dialog dipakai sebagai metafora inklusif bagi hubungan antar agama yang positif diantara masyarakat yang berbeda tradisi imannya, yang sudah menjadi praktik aktual diantara kelompok masyarakat yang berbeda (Antoni, 2012). Dalam hal ini, dialog antar agama telah terjadi di Asia dengan berbagai bentuk yaitu: a. Dialog menjadi suatu kehadiran yang positif diantara yang lain demi kebersamaan atau berada dengan yang lainnya. b. Dialog melakukan aksi bersama dalam menjawab persoalan yang menjadi keprihatinan masyarakat tanpa memandang latarbelakang kepercayaan dan agama. c. Dialog berbagi dan bertukar pikiran melalui studi bersama agar saling memahami, demi memperluas wawasan dan perspektif. d. Dialog pengalaman yakni membagikan kedalam pengalaman kemanusiaan dan keagamaan yang mendalam untuk saling memperkaya iman dan spiritualitas. Model dialog digunakan untuk membangun komunikasi yang baik antar umat beragama dan menjadikan keberagaman agama sebagai kesempatan dimana setiap umat beragama dapat saling diperkaya dan memperkaya. Selain itu, umat beragama juga berusaha meninggalkan sikap arogansi dan intoleransi yang banyak terjadi dalam sejarah serta mengoreksi ekslusivisme dalam semua agama secara kritis (Wahyuni, 2019). Sikap terbuka dan dialog bersama harus dibangun dan dikembangkan karena dengan berdialog kita bisa menerima perbedaan untuk saling menghormati dan saling menghargai sehingga dapat menghasilkan kedewasan iman semua pihak
159 serta menjadi katalisator yang kuat untuk kebaikan. Dalam pelaksanaan dialog, setiap umat beragama berupaya untuk saling mengerti dan berbicara atas dasar komitmen komitmen bersama terhadap kesejahteraan umat manusia dan lingkungan (GP, 2012). Masing-masing umat beragama berpikir untuk melakukan hal yang dapat mensejahterakan kehidupan manusia keseluruhan bukan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu. Dialog antar umat beragama akan gagal bila salah satu agama secara apriori memandang dirinya lebih unggul dari segala hal sehingga agama tersebut tidak mau dan tidak mampu belajar dari agama lain. 4. Model Damai Damai merupakan sebuah istilah yang sudah sering diucapkan dan didengar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “damai” diartikan sebagai “tidak ada perang, keadaan yang aman dan rukun”. Kedamaian secara luas yaitu ketenangan tiada gangguan. Terkait dengan pengertian damai di atas, maka dapat dipahami bahwa model damai sebagai rujukan untuk digunakan dalam membina sikap toleransi beragama di Indonesia. Feryanto (Feryanto, 2018) mengatakan bahwa hidup damai merupakan suatu bentuk pemberdayaan manusia dengan keterampilan tingkah laku dan pengetahuan yang meliputi beberapa hal yaitu: a. Membangun, menegakan dan memperbaiki hubungan dalam segal aspek kehidupan. b. Mengembangkan pendekatan-pendekatan yang bersifat positif. c. Menciptakan lingkungan yang aman secara fisik dan emosional. d. Membangun kehidupan yang aman secara berkelanjutan. Selaras dengan ini, Agus Akhmadi mengatakan bahwa hidup damai dalam lingkungan masyarakat majemuk merupakan untuk saling menghargai dengan penuh
160 kedamaian pada semua anggota komunitas dengan menerapkan prinsip kesetaraan dan tidak diskriminatif (Akhmadi, 2019). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tujuan dari hidup damai adalah memahami dan mengerti orang lain dalam keberbedaan dari hal-hal yang mendasari pemikiran mereka supaya bermanfaat sebagai jalan kehidupan secara universal dalam mengembangkan fondasi kerja sama di tengah keberagaman yang ada. Menurut Kresbinol Labobar model damai harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pendekatan untuk membina sikap toleransi beragama (Kresbinol Labobar, 2021). melalui beberapa hal yaitu: a. Menciptakan Koinonia (persekutuan). Secara umum Koinonia diartikan sebagai persekutuan. Dalam iman Kristen, istilah koinonia memberi penekanan makna bahwa sesungguhnya umat manusia adalah keluarga besar Allah. Sebagai satu keluarga besar Allah manusia harus mampu menyatakan kehidupan yang rukun dan damai. Artinya sebagai keluarga besar Allah, manusia harus bertanggungjawab untuk menghadirkan bentuk kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang antar pribadi dan golongan yang terdapat dalam masyarakat majemuk. b. Menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah. Kehidupan yang damai adalah gaya hidupan yang bebas dari perseteruan, perselisihan atau yang dikenal dengan konflik maka sesungguhnya melalui damai akan hadir kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia. Artinya manusia harus bertanggungjawab untuk dalam menghadirkan kehidupan aman, tentram dan harmonis dalam masyarakat majemuk. Dalam penerapan model damai untuk membina sikap toleransi beragama maka ada beberapa prinsip yang harus diterapkan yaitu:
161 a. Dialog (menciptakan komunikasi) b. Adil bersikap adil c. Mengasihi (menjalin kasih) d. Aman (rasa tentram) (Kresbinol Labobar, 2021). Dengan demikian, model damai digunakan untuk kerukunan hidup sebagai umat Tuhan dengan mewujudkan kehidupan manusia yang beragama. Sebab sesungguhnya setiap agama mengajarkan agar manusia senantiasa berusaha untuk hidup saling mengasihi, mencintai, menghargai, menghormati, menjalin kerja sama, bertoleransi dan melakukan perbuatan baik lainnya dalam bergaul dengan sesama. E. Sikap Toleransi Beragama di Indonesia Toleransi beragama merupakan toleransi yang dilakukan menyangkut dengan keyakinan-keyakinan yang berhubungan dengan ajaran-ajaran agama, yakni memunculkan sikap untuk memberikan kesempatan kepada umat selain agamanya, juga untuk beribadah sesuai dengan yang diyakini.Toleransi antar umat beragama juga merupakan suatu mekanisme sosial yang dilakukan manusia dalam menyikapi keragaman dan pluralitas agama. Dalam kehidupan sehari-hari, toleransi dapat dilihat secara nyata dari aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan sehari-hari di lingkungan masyarakat secara gotong royong baik itu kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum maupun kepentingan perseorangan (Ika Fatmawati Faridah, 2013). Hakikat toleransi intinya yaitu usaha dalam hal kebaikan, khususnya pada kemajemukan agama yang memiliki tujuan tercapainya kerukunan, baik intern agama maupun antar agama. Dalam hal ini, tujuan kerukunan antar umat beragama dibagi menjadi empat, yaitu:(Khotimah, 2014) 1. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap masingmasing agama. 2. Mewujudkan stabilitas nasional yang mantap. 3. Menjunjung dan menyukseskan pembangunan.
162 4. Memelihara dan mempererat rasa persaudaraan antar umat beragama. Prinsip toleransi antar umat beragama untuk mencapai keadaan yang tentram. Dalam hal ini, ada beberapa prinsip dalam perlu diperhatikan terkait dengan toleransi beragama di Indonesia, yaitu: 1. Kebebasan beragama, merupakan hak asasi manusia yang paling penting dalam kehidupannya. Artinya dalam kehidupan beragama, manusia sebagai mahluk yang beragama bebas memilih kepercayaan/agama yang dianutnya. Kebebasan beragama yang dimaksud disini ialah tidak menuntut namun bebas menganut yang dirinya menganggap paling benar. 2. Penghormatan pada eksistensi agama lain, menunjukkan sikap yang toleransi dengan memberikan kebebasan dan saling menghormati kepada perbedaan ajaran yang dianut. 3. Setuju di dalam perbedaan, menunjukkan sikap saling menerima dan mendukung dalam perbedaan yang ada (Jamaludin & Nasrullah, 2015). Terkait dengan sikap toleransi beragama di Indonesia, dalam membina sikap toleransi yang baik dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat majemuk perlu pendidikan agama yang berwawasan majemuk. Oleh sebab itu, model PAK berwawasan majemuk sangat tepat untuk membina sikap toleransi beragama di Indonesia. Model PAK yang berwawasan majemuk dapat dilaksanakan melelui beberapa hal yaitu: 1. Memiliki sikap yang membangun kesadaran seseorang atau kelompok terhadap keberbedaan agama untuk memiliki kehidupan bersama yang damai. Dalam membina sikap toleransi beragama melalui PAK berwawasan mejemuk dengan model ilklusif harus diterapkan pada lingkunga keluarga, sekolah, gereja dan masyarakat majemuk. Model ini, dapat mengajarkan tentang bagaimana menghargai sesame manusia dalam perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain dan sadar akan nilai-nilai kemanusiaan secara universal,
163 memberikan wawasan tentang kehidupan secara utuh dan memberikan pemahaman. 2. Memiliki kesadaran bersama merupakan model PAK yang multicultural, di laksana untuk mewujudkan pembangunan dan pemberdayaan hidup yang berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari ditengah perbedaan yang ada dalam membina sikap torensi beragama. Model ini juga, dilaksanakan untuk membangun kesadaran bersama, berprilaku moderat dengan menempatkan pemberdayaan kehidupan menjadi bingkai utamanya dengan saling menhormati, menghargai, mengasihi dan membantu. Hal ini harus terus menerus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, gereja dan masyarakat majemuk. 3. Membangun komunikasi merupakan model dialog dalam PAK berwawasan majemuk yang dilakukan pada kehidupan seharihari antar umat beragama untuk membangun sikap toleransi beragama. Model ini, menjadikan keberagaman agama sebagai kesempatan dimana setiap umat beragama dapat saling belajar satu sama lain. pelaksanaan model dialog dilakukan dalam kehidupan sehari-hari di tengah perbedaan yang ada untuk meninggalkan sikap arogansi yang tidak saling menghargai, tidak menghormati dan tidak mengasihi satu sama lain dan juga memperbaiki pemahaman yang menganggap agamanya paling benar dan agama yang lain tidak benar. 4. Meiliki kehidupan bersama yang keadaan aman dan rukun dalam kehidupan sehari-hari. PAK berwawasan mejemuk dengan model damai dilaksanakan untuk menghadirkan bentuk kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang antar agama yang terdapat dalam masyarakat majemuk. Model damai ini juga berusaha untuk hidup saling mengasihi, mencintai, menghargai, menghormati, menjalin kerja sama, bertoleransi dan melakukan perbuatan baik lainnya dalam bergaul dengan sesama.
164 13 Pendidikan Agama Kristen Antisipatif Radikalisme A. Permasalahan Radikalisme Indonesia adalah pertemuan sekaligus perkumpulan berbagai agama yang membawa pengaruh bagi sejumlah agama dunia. Pemilihan pancasila sebagai dasar Negara mencerminkan adanya pluralisme agama di Indonesia. Oleh sebab itu, pencantuman sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lain berakar pada realitas kemajemukan agama yang dianut bangsa Indonesia. Dalam konteks berbangsa, bermasyarakat, dan beragama di Indonesia dengan dasar Pancasila, ada enama agama yang di akui di bangsa Indonesia. Keenam agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konhucu. Dalam hal ini, pluralism agama di negeri ini merupakan realitas empiris yang tidak bias dipungkiri, itulah yang
165 membuat para pendiri bangsa ini memilih pancasila sebagai dasar Negara yang secara implisit memberikan dasar-dasar yang kuat bagi warga bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai keragaman dan menjujung tinggi perbedaan, termasuk pluralism agama (GP, 2012). Persolan yang terjadi saat ini dalam pluralisme keagamaan di Indonesia, yang satu menerima dan mengafirmasi keragaman agama sebagai fakta sejarah di indobesia, sedangkan yang lain menolaknya. Dalam hal ini, yang satu mengakui adanya pelbagai pandangan keagamaan yang sudah teruji waktu dan semuanya dapat diakomodasi di Indonesia, sedangkan yang lain mengklaim bahwa di anatara pandangan keagamaan itu hanya ada satu jalan kebenaran dan berupaya mendesakan pandanganya kepada pihak lain (AdeneyRisakotta, 2015). Agama radikal atau ekstremis adalah respon terhadap konflik sosial dan politik. Konflik yang ditimbulkan memicu dan menyuburkan pertumbuhan agama radikal yang lebih sering menciptakan kekerasan. Radikalisme agama merupakan reaksi terhadap berbagai konflik dan perebutan kekuatan/kekuasaan di antara perbedaanperbedaan yang dibentuk oleh agama. Dalam hal ini, Tindakan radikalisme keagamaan sebagai tindakan seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan atas dasar keyakinan agama. Oleh karena itu, sikap radikalisme keagamaan merupakan kecenderungan untuk membenarkan, mendukung, atau menoleransi paham atau tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan tersebut atas dasar klaim paham keagamaan. Komponen ini mencakup dari pengalaman partisipan atau ketersediaan untuk turut berpartisipasi dalam tindakan radikal keagamaan, pembenaran, dukungan, atau persetujuan terhadap tindakan-tindakan radikal, pemahaman terhadap agama di dasari dengan pola pikir yang sempit tentang agama. Secara semantik, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dengan cara kekerasan atau
166 drastis (Nasional, 1999). Kata radikalisme di ambil dari bahasa inggris “radical” maka ia bermakna sampai ke akar-akar (Echols & Shadily, 1975). Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix yang berarti akar. Dengan demikian,berpikirsecara radikal sama artinya dengan berpikir hingga ke akar-akarnya, hal tersebutlah yang kemudian besar kemungkinan bakal menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004). Menurut Simon Tormey radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat kontekstual dan posisional, dalam hal ini kehadirannya merupakan antitesis dari ortodoks atau arus utama (mainstream), baik bersifat sosial, sekuler, saintifik, maupun keagamaan. Dalam hal ini, menurutnya radikalisme tidak mengandung seperangkat gagasan dan argumen, melainkan lebih memuat posisi dan ideologi yang mempersoalkan atau menggugat sesuatu (atau segala sesuatu) yang dianggap mapan, diterima, atau menjadi pandangan umum. Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastik. Marx Juergensmeyer menjelaskan bahwa radikalisme dapat dipahami sebagai suatu sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan penghancuran secara total, dan menggantikannya dengan yang sama sekali baru dan berbeda (Zuhdi, 2010). Biasanya cara yang digunakan bersifat revolusioner, yakni menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem (Juergensmeyer, 2002). Secara sederhana radikalisme diartikan sebagai segala perbuatan yang berlebihan dalam beragama. Radikalisme dengan demikian berarti radikal yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran, yang biasanya menjadi radikal secara permanen. Sedangkan radikalisasi adalah (seseorang yang) tumbuh menjadi reaktif, saat terjadi ketidakadilan di masyarakat. Dengan demikian, berpikir radikal berpotensi menjadi ideologi radikal (radikalisme), kemudian tumbuh secara reaktif menjadi radikalisasi (Rokhmad, 2016). Menurut Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, radikalisme sebenarnya tidak menjadi masalah, selama ia
167 hanya dalam bentuk pemikiran ideologis dalam diri penganutnya. Tetapi saat radikalisme ideologis itu bergeser ke wilayah gerakan, maka ia akan menimbul-kan masalah, terutama ketika semangat untuk kembali pada dasar agama terhalang kekuatan politik lain. Dalam situasi ini, radikalisme tak jarang akan diiringi kekerasan atau terorisme (Turmudzi & Sihbudi, 2005). Dari pergeseran inilah radikalisme dimaknai dalam dua wujud, radikalisme dalam pikiran yang disebut fundamentalisme; dan radikalisme dalam tindakan yang disebut terorisme (Sabirin, 2004). B. Fenomena Radikalisme Fenomena radikalisme agama tercermin dari tindakan-tindakan destruktif-anarkis atas nama agama dari sekelompok orang terhadap kelompok pemeluk agama lain (eksternal) atau kelompok seagama (internal) yang berbeda dan dianggap sesat. Tindakan radikalisme agama adalah aktifitas untuk memaksakan pendapat, keinginan, dan cita-cita keagamaan dengan jalan kekerasan. Dalam hal ini, radikalisme agama bisa menyakiti semua pemeluk agama, tidak terkecuali di kalangan pemeluk agama tersebut (Munip, 2012). Radikalisme dalam beragama di Indonesia terjadi dalam kehidupan bergama yang mayoritas dan minoritas. Hal ini kita dapat melihat gejala sikap superior, agresif dan mau menang sendiri dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Oleh sebab itu, gejalagejala tersebut nampak dalam hubungan antar umat beragama di mana salah satunya menjadi yang mayoritas dalam kehidupan bersama, sementara yang lainnya menjadi yang minoritas. Dengan demikian, sikap yang seringkali ditunjukkan oleh kelompok mayoritas inilah yang jelas merusak kehidupan bersama dalam beragama. Dalam hal ini, jika kelompok mayoritas itu bersifat eksklusif (dikatakan eksklusif, sebab dalam kelompok-kelompok agama sering ada klaim mengenai kebenaran (truth claim) yang hanya ada pada kelompoknya sendiri), punya fanatisme tinggi, dan militan, maka kekacauanlah yang akan terjadi.
168 Radikalisme keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai dengan berbagai aksi kekerasan dan terror, dll. Aksi tersebut telah menyedot banyak potensi dan energi kemanusiaan serta telah merenggut hak hidup orang banyak, termasuk orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai permasalahan ini. Fenomena tindak radikalisme dalam beragama memang bisa dipahami secara beragam, namun secara esensial, radikalisme beragama umumnya memang selalu dikaitkan dengan pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Dalam hal ini, adanya pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep dari radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan kekerasan fisik dan juga beberapa karakteristik yang dapat dikenali dari sikap dan pemahaman radikal, yaitu, intoleransi (tidak mau menghormati pendapat dan kepercayaan orang lain), fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), eksklusif (menganggap agama mereka adalah yang paling benar) dan revolusioner (cenderung menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan). Dengan demikain, realitas inilah yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini dengan sangat mendukung dan semakin memperkuat munculnya pemahaman seperti itu. Dalam memahami apa itu radikalisme agama, penting juga untuk mengetahui atau memahami agama baik dalam etimologi maupun terminologinya. Bahasa kata ágama berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti arah, aturan, jalan, atau penyembahan kepada Tuhan. Pendapat lain mengatakan bahwa agama terdiri dari dua kata, yaitu "A" berarti tidak dan "GAMA" berarti kacau, tidak teratur sehingga ketika digabungkan, "agama" berarti tidak kacau dan teratur (Hamidi, 1991). Dalam hal Harun Nasution memberikan beberapa makna termasuk: 1. Agama adalah ajaran yang diungkapkan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
169 2. Agama adalah pengakuan kewajiban yang diyakini berasal dari kekuatan gaib. 3. Agama adalah kepercayaan pada kekuatan gaib yang memunculkan cara hidup tertentu. 4. Agama adalah penyembahan kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan takut akan kekuatan misterius yang ditemukan di dunia alami di sekitar manusia (Nasution, 1985). Menurut Jirhanuddin agama adalah cara hidup umat manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidup, baik dimensi hidup jangka pendek di dunia ini maupun dimensi hidup jangka panjang di akhirat (Jirhanuddin, 2010). Thomas Groome mendefinisikan agama sebagai upaya manusia untuk transendensi di mana hubungan seseorang dengan dasar keberadaan absolut dibawa ke dalam kesadaran dan diberikan ekspresi. Unsur-unsur ini, yaitu pengakuan transenden (melampaui manusia) atau disebut sebagai dasar eksistensi absolut. Dasar dari keberadaan absolut ini dapat bervariasi tergantung pada agama, dapat disebut Tuhan atau Tuhan, dewa, dewa, roh dan lain-lain (Groome, 2011). Dalam hal ini, agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena agama tidak dimiliki oleh manusia, sehingga secara alami akan timbul konflik yang mengklaim klaim yang benar dari setiap agama yang dimiliki oleh semua orang. Dengan demikian, agama adalah pedoman untuk mempercayai halhal gaib untuk mencapai dunia dan kebahagiaan di akhirat. Di bidang agama, fenomena radikalisme agama tercermin dalam tindakan destruktif-anarkis atas nama agama dari sekelompok orang terhadap kelompok agama lain (eksternal) atau kelompok agama yang berbeda (internal) dan dianggap sesat. Dalam hal ini, termasuk tindakan radikalisme agama adalah kegiatan untuk memaksakan pendapat, keinginan, dan cita-cita agama melalui kekerasan. Radikalisme agama dapat melukai semua penganut agama, tidak terkecuali di antara penganut agama tersebut (Munip, 2012). Meningkatnya radikalisme dalam agama di Indonesia menjadi
170 tentang mayoritas-minoritas, dalam hal ini, kita dapat melihat gejala superioritas, agresi dan penentuan nasib sendiri mayoritas terhadap kelompok minoritas. Gejala-gejala ini juga terlihat dalam hubungan antara komunitas agama di mana salah satu dari mereka menjadi mayoritas dalam kehidupan bersama, sementara yang lain menjadi minoritas. Sikap inilah yang sering ditunjukkan oleh kelompok mayoritas yang jelas-jelas merusak kehidupan bersama. Jika kelompok mayoritas bersifat eksklusif (dikatakan eksklusif, karena dalam kelompok agama sering ada klaim tentang kebenaran (klaim kebenaran) yang hanya ada dalam kelompok mereka sendiri), memiliki fanatisme yang tinggi, dan militan, maka kekacauan akan terjadi. Dengan demikian radikalisme agama adalah suatu faham yang merujuk pada keyakinan sekelompok tertentu, yang menginginkan dan melakukan perubahan terhadap tata nilai agama yang dianggap bertentangan dengan pemahaman mereka. Hal tersebut ditempuh dengan cara meruntuhkan sistem dan struktur yang sudah ada sampai ke akar-akarnya dengan cepat atas pertimbangan kebenaran yang subyektif (Syam, 2001). C. PAK Antisipasi Radikalisme dalam Keluarga Melihat fenomena radikalisme dalam beragam yang sedang terjadi di Indonesia saat ini maka keluarga haru menjadi tempat yang strategis untuk menanamkan fondasi pemikiran yang damai, toleran, dan ramah tergadap anak. Dalam hal ini, keluarga adalah lingkungan sosial pertama yang akan sangat mempengaruhi pembentukan karakter, mentalitas, dan spiritual anak. Karena itu, orangtua harus memahami, salah satu faktor penyebab pemikiran keagamaan radikal adalah pemahaman agama yang sempit. Faktor penyebab radikalisme dalam beragama juga muncul dari keluarga, dalam hal ini anak memiliki sikap radikal dalam bergama tergantung pada didikan, pengajaran dan teladan orang tua dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, orang tua harus berusaha menanamkan pemahaman damai tentang agama pada anak-anak dalam kehidupan keluraga (Chandra, 2006). Pendidikan agama Kristen dalam keluarga memiliki
171 peran yang sangat penting untuk dapat mengatasi paham radikalisme yang sedang terjadi saat ini dan yang akan terjadi. Orang tua sebagai mediator utama harus dapat menjadi tempat yang aman dan mampu memenuhi kebutuhan anak sehingga keluarga dapat hidup dan menjadi keluarga yang terpenuhi sehingga anak menjadi dewasa serta mampu menerima pendidikan agama Kristen dengan baik dari orang tuanya. Keluarga memiliki bentuk peran, yaitu: membangun persekutuan keluarga, melayani kehidupan dan mendidik anak-anak pada siswa Kristen melalui nasihat dan teguran Alkitab. Dalam hal ini, orang tua sebagai objek dalam pendidikan agama Kristen harus menghabiskan lebih banyak waktu di keluarga untuk memberikan pendidikan agama Kristen kepada anak-anak dan diharapkan dapat mendorong orang untuk bertanya secara kritis dan memberikan jawaban tentang pluralisme, agama dan masalah dalam masyarakat dari sudut pandang iman Kristen (Harianto GP, 2012). Keluarga adalah institusi pertama yang didirikan oleh Tuhan di bumi. Tuhan mendirikan keluarga sehingga anak-anak belajar dari orang tua. Dalam hal ini, dasar terpenting dalam mendidik anak-anak adalah keluarga yang berpusat pada Kristus (Ef.6: 4). Orang tua bertindak sebagai guru dan penginjil yang terus mengarahkan, membimbing, dan mendorong anak-anak untuk hidup dalam Kristus (Ul. 6: 6-7). Pola asuh yang patut dicontoh adalah Injil yang dapat dilihat, dirasakan dan dinikmati oleh anak-anak. Perilaku yang ditunjukkan oleh orang tua dan cara mereka memperlakukan anak-anak akan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Dengan demikian, perlu diketahui bahwa pengasuhan dan teladan orang tua akan menentukan kehidupan anak-anak di keluarga dan di masyarakat. Karena itu, apa yang perlu dilakukan orang tua untuk mengajar anak-anak adalah, Takut akan Allah (Ams. 1: 7; 9: 1), Menjaga pikiran mereka (Ams. 4:23), Mematuhi orang tua (Ams. 1: 8) (GP, 2012). Oleh karena itu, orang tua harus memegang tanggung jawab utama dalam keluarga. Dalam hal ini, keluarga bertanggung jawab untuk memberi contoh kepada anak-anak,
172 mendidik mereka dalam kasih dan ajaran Allah (EF.6: 4) dan menerima semua keadaan anak-anak mereka. Dengan demikian, orang tua harus tetap tegas dalam mengajar dan mendisiplinkan anak (Sagala Mangapul, 2006). Keluarga adalah anugrah Allah yang tidak ternilai harganya. Keluarga Kristen adalah tempat pendidikan pertama dan terutama bagi anak. Keluarga kristenlah memegang peranan yang terpenting dalam pendidikan agama Kristen. Keluarga adalah sebagai suatu kesatuan pokok bagi seluruh masyarakat. Apa bila keluarga kuat dan sehat, maka masyarakat umumpun akan kuat. D. PAK Antisipasi Radikalisme dalam Gereja Pendidikan agama Kristen di gereja memiliki peran yang sangat penting untuk dapat mengatasi radikalisme beragama di Indonesia saat ini. Dalam hal ini, tugas dan tanggung jawab gereja, selain memberitakan Firman Tuhan pada jemaat untuk bertumbuh secara iman kepada Yesus Kristus, gereja juga harus mengajarkan kepada jemaat untuk tidak bersikap radikal dalam beragama. Artinya gereja mengajarkan mengajarkan kepada warga gereja agar menghargai perbedaan dalam beragama dan tidak bersikap fanatik, intoleran dan ekslusif terhadap agama lain. Pendidikan agama Kristen yang dilakukan oleh gereja juga berkaitan dengan pembangunan masyarakat sehingga menolong setiap warga gereja untuk memahami kewajiban mereka dalam masyarakat. oleh sebab itu, gereja perlu berteologi secara penuh dan mengajarkannya karena Tuhan memberikan kewajiban kepada gereja untuk mengabarkan dan mengajarkan semua yang di anggap penting dalam Alkitab (Brownlee, 2005). Namun disisi lain perlu mengajarkan kepada jemaat cara hidup yang baik dalam masyarakat majemuk karena jemaat bukan hidup dalam realitas yang vakum, dan kosong tetapi jemaat berada dalam tatanan kehidupan tertentu dengan semua bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama di sekitarnya. Dalam hal ini, berarti jemaat turut ditentukan oleh kehidupan dalam masyarakat, sekaligus ajakan untuk melakukan sesuatu di kehidupan masyarakat (Nee, 2005).
173 Pendidikan agama Kristen di gereja, adalah: 1. Proses menemukan kebenaran Firman Allah yang pada gilirannya jemaat mengalami pembaharuan perilaku dan menjalani kebenaran. 2. Membuat umat Allah menjadi individu yang bijak dengan menjalaninya dengan iman di dalam Kristus. 3. Dengan pendidikan kepada jemaat, diharapkan anggota gereja akan diperlengkapi dan mengalami perubahan perilaku menuju kesempurnaan hidup (Daniel Nuhamara, 2007). Dalam hal ini, tujuan utama pendidikan agama Kristen di Gereja adalah untuk membimbing anggota gereja untuk percaya dan mengenal Alkitab, memperbarui perilaku, menjadi orang-orang bijak di dalam Kristus yang menuntun pada kesempurnaan hidup. Dengan demikian memperlengkapi mereka untuk pelayanan yang efektif. Dalam hal ini, Pendidikan Agama Kristen di gereja ditujukan untuk anak-anak, remaja dan orang dewasa. Pendidikan agama Kristen dimulai dari anak-anak. Dalam hal ini, target utama adalah anak yang mengetahui dan menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadinya. Dengan demikian, pendidikan Kristen anak-anak menjadi sangat penting. Secara sosial, anak-anak belajar berhubungan dengan orang lain dalam konteks sosial. Secara spiritual, anak-anak dapat memahami dan menggunakan konsep dan prinsip Alkitab dalam kehidupan mereka sesuai dengan konsep yang diajarkan sesuai dengan tingkat intelektual mereka dan terkait dengan pengalaman sehari-hari mereka. Secara fisik, anak-anak tumbuh dengan cepat ketika mereka menerima makanan bergizi dan kesehatan mereka terjaga dengan baik. secara mental, anak-anak berkembang secara bertahap dari lahir hingga usia 11 tahun. Secara intelektual, anak-anak mengalami kesulitan memahami pemikiran dan simbol-simbol abstrak (Kristianto, 2006). Tujuan pendidikan agama Kristen kepada anakanak di gereja adalah untuk membahwa mereka mengenal Tuhan sebagai pencipta dan pemerintahan seluruh alam semesta ini, dan Yesus Kristus sebagai penebus, pemimpin dan penolong mereka,
174 dan mengasihi sesama mereka dan bertobat karena dosanya (Homrighausen, 2012b). Pendidikan agama Kristen remaja adalah pendidikan yang berupaya membantu kaum muda untuk hidup dalam terang Injil, menemukan kepribadian yang tepat dan menerima tanggung jawab atas makna dan nilai-nilai yang menjadi jelas bagi mereka ketika mereka mengidentifikasi diri mereka dengan tujuan dan misi dari gereja di dunia. Pendidikan ini bertujuan untuk membuat remaja tumbuh sebagai anak-anak Allah dalam persekutuan Kristen, memenuhi panggilan umum sebagai murid Yesus di dunia dan tetap dalam harapan Kristen. Pendidikan agama Kristen untuk orang dewasa menjangkau orang dewasa untuk dapat hidup di usia dewasa karena pendidikan formal yang mereka terima di sekolah pada dasarnya telah selesai, dicapai, dan diwujudkan. Dalam hal ini, mereka dapat tumbuh, berubah, dan kadang-kadang secara emosional, mental, sosial dan spiritual dan mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk menetapkan dan mencapai tujuan hidup mereka. Dengan demikian, pendidikan agama Kristen adalah persyaratan yang sangat diperlukan untuk perkembangan dan pertumbuhan orang dewasa. Bagi orang dewasa, mempelajari dan menerapkan Alkitab tidak pernah berakhir karena pendidikan agama Kristen adalah upaya terus menerus sepanjang hidup. E. PAK Antisipasi Radikalisme dalam Sekolah Pendidikan agama Kristen di sekolah memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatasi paham radikalisme beragama yang sedang terjadi dan yang akan terjadi dalam kehidupan masyarakat indonesia. Dalam hal ini, akar penyebab terjadinya paham radikalisme dalam beragama di Indonesia muncul juga dari pengajaran pendidikan agama yang di ajarkan oleh guru agama kepada siswasiswi disekolah. Sehingga siswa-siswa memiliki sikap yang fanatik, intoleran dan ekslusivisme dalam beragama. Radikalisme agama
175 yang terus berkembang saat ini di Indonesia, sumber pemikiran radikal agama berasal dari pendidikan agama di sekolah. Dalam hal ini, benih radikalisme agama tertanam ketika anak-anak mendapatkan informasi palsu dari guru agama. Ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan wawasan guru yang sempit, dan kadang-kadang juga ada kelompok radikal yang sengaja ingin menyusup ke pemikiran radikal siswa melalui pengembangan lembaga pendidikan mereka sendiri, atau mengirim guru agama dari antara mereka ke sekolah. Peran pendidikan agama Kristen di sekolah memiliki tanggung jawab untuk mendidik anti-radikalisme, hal ini ada pada guru yang bisa dilakukan melalui pembelajaran di kelas, terutama studi agama Kristen dan melalui berbagai bentuk interaksi di lingkungan sekolah. Oleh Karena itu, guru PAK diharapkan menanamkan pemahaman agama yang damai dan toleran pada siswa disekolah. Selain itu, guru PAK juga diharapkan menjadi mitra bagi orang tua yang dapat membantu memperkuat dan mengasah sikap toleran siswa-siswi dalam beragama. Pendidikam agama Kristen di sekolah harus membentuk siswa untuk beriman dan percaya kepada Yesus Kristu sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dan juga mampu membenuk siswa untuk menjaga kerukunan hubungan intern dan antar umat beragama. Pendidikan agama Kristen berfungsi memperkuat iman dan keyakinan siswa sesuai dengan agama yang dianutnya dan juga dapat membina, mendidik dan mengajar siswa untuk menghormati agama lain demi kerukunan atar umat beragama dalam masyarakat serta mewujudkan persatuan nasional (Harianto GP, 2012). Menurut Andar Ismail pendidikan agama Kristen di sekolah-sekolah Kristen atau sekolah negeri dan swasta lainnya, diperlakukan sebagai bidang studi atau pengetahuan. Dalam hal ini, tujuan pendidikan agama Kristen tidak hanya untuk mengetahui atau mengetahui tentang agama, tetapi agar siswa memiliki iman kepada Tuhan, bahkan mencapai kepribadian yang dewasa dan lengkap. Dengan demikian, pendidikan agama Kristen yang dilakukan di kelas perlu diikuti dengan kegiatan lain yang mengasuh, merawat, dan membina, baik di lingkungan sekolah
176 dan di luar sekolah seperti di jemaat, sekolah, dan masyarakat majemuk (Ismail, 1998). Pendidikan Agama Kristen memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah radikalisme di sekolah dengan mengajarkan nilainilai kasih, toleransi, dan perdamaian yang merupakan ajaran dari Kristus. Dengan adanya kurikulum yang menyeluruh, PAK mampu memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang betapa pentingnya menghargai keberagaman dan hidup bersama dengan damai. Guru-guru agama Kristen harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mengenali tanda-tanda awal radikalisme dan juga untuk menggunakan strategi pembelajaran yang mempromosikan dialog dan kerja sama antaragama. Program ekstrakurikuler seperti diskusi kelompok, kegiatan pelayanan sosial, dan kunjungan ke tempat-tempat ibadah lain dapat memperkaya pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan berbagai keyakinan dan budaya. Hal ini dapat meningkatkan sikap toleransi dan penolakan terhadap kekerasan. Kerjasama antara sekolah, gereja dan masyarakat sangat diperlukan dalam upaya mencegah radikalisme. Para orang tua perlu terlibat secara aktif dalam pendidikan agama anak-anak mereka dan memberikan dukungan terhadap nilai-nilai yang diajarkan di sekolah. Pembelajaran dan seminar mengenai ancaman radikalisme dan upaya pencegahannya dapat dijadwalkan secara berkala untuk pendidik, murid, dan wali murid. Selain itu, menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga terkait, seperti organisasi keagamaan dan pemerintah, bisa membantu menciptakan suasana yang mendukung bagi pertumbuhan spiritual dan moral anak-anak. Dengan pendekatan komprehensif dan kerjasama, PAK bisa menjadi pertahanan yang tangguh dalam melawan radikalisme dan membentuk generasi yang lebih toleran dan penuh cinta.
177 F. PAK Antisipasi Radikalisma dalam Masyarakat Majemuk Pendidikan agama Kristen dalam masyarakat majemuk, memiliki peranan yang sangat penting untuk mengatasi radikalisme dalam beragama yang sedang terjadi saat ini dan yang akan terjadi dalam kehidupan masyakat yang mejemuk. Fenomena radikalisme ibarat virus yang sedang menyebar dalam kehidupan masyarkat, hal ini perlu vaksinasi dari pendidikan agama Kristen untuk mencegah virus tersebut. Pengajaran pendidikan agama Kristen dalam masyarakat majemuk, dapat dilakukan melalui pendidikan agama yang iklusif yaitu tidak membeda-bedakan individu berdasrkan latar belakang agama, membangung dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan agama, menerima perbedaan dengan tetap berinteraksi dalam kehidupan dan menghargai dan menghormati sesama. Pendidikan agama yang iklusif adalah pendidikan yang mengajarkan tentang bagaimana menghargai perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain dan peka akan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Pendidikan agama yang iklusif juga harus memberi wawasan tentang kehidupan secara utuh dan memberikan kesadaran bahwa tujuan hidu tertinggi ialah mengabdi kepada sesama. Tujuan pendidikan agama yang inklusif adalah mengajak semua orang untuk merefleksikan realitas kemajemukan dan menekankan nilai-nilai pluralisme serta kebersamaan, selain itu dapat membebaskan sekatsekat primodial, memperkuat toleransi, membangun kerukanan dan menjauhkan fanatisme, intoleransi dan ekslusivisme (F. M. Boiliu, 2019). Pengajaran pendidikan agama Kristen dalam masyarakat majemuk, dapat dilakukam melalui pendekatan pendidikan agama yang multicultural. Pendidikan agama yang multikulturakl merupakan pendidikan yang diimplementasikan dalam rangka menciptakan sikap saling menerima, mengakui keberagaman, perbedaan dan
178 kemajemukan beragama sehingga internalisasi nilai-nilai ini dalam konsep pendidikan multicultural adalah sebagai upaya mewujudkan kerukunan dan kedamaian. Pendidikan agama yang multicultural juga merupakan pebdidikan yang berusaha menjaga keberagaman agama dalam suatu masyarakat dan menumbuhkan tata nilai, memupuk persahabatan anatara sesame yang beraneka ragam agama, dan mengembangkan sikap saling memahami serta mengajarkan keterbukaan dan dialog. Tujuan pendidikan agama yang multikultural dalam masyarakat mejemuk adalah gerekan pembaharuan dan inovasi pendidikan agama dalam rangka menanamkan kesadaran pentingnya hidup bersama dalam keberagaman dan perbedaan agama-agama dengam spirit kesetaraan dan kesederajataan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan agama-agama, dalam suatu relasi dan interdenpendensi dalam situasi saling mendengar dan menerima perbedaan perspektif agama-agama dalam satu dan lain masalah dengan pikiran terbuka, untuk menemukan jalan terbaik dalam mengatasi konflik antar agama dan menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan tindakan antikekerasan (F. M. Boiliu, 2019).
179 14 Edukasi Pendidikan Agama Kristen Antikorupsi A. Korupsi Hampir setiap saat selalu bermunculan kasus korupsi baru dengan pemain baru ataupun pemain lama sehingga menimbulkan kesan bahwa Indonesia sangat sarat dengan korupsi dan korupsi seperti budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia (Widhiyaastuti & Ariawan, 2018). Pekembangan korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari segi kuantitas atau jumlah keunagan Negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih dan cakupannya semakin meluas di seluruh aspek masyarakat (A. F. Rahmana & Rahayu, 2013). Dalam hal ini, yang terjadi di Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu mengakar dalam setiap sandi kehidupan
180 sehingga persoalan korupsi di Indonesia yang tiada henti ini memang sangat memprihatinkan. Korupsi telah menjadi perilaku dalam keseharian masyarakat dan telah tumbuh menjadi suatu kebiasaan, suatu budaya. Perkembangan kasus korupsi di Indonesia telah menjadi suatu fenomena yang sulit untuk dijelaskan. Perilaku menyimpang ini sudah terjadi secara sistematis dan cenderung institusional, dimana juga terjadi di institusi yudisial yang seharusnya berperan sebagai benteng terakhir. Korupsi sudah seperti penyakit yang menular dan secara perlahan menyebar ke dimensi lainnya. Praktek korupsi dapat ditemukan dari tingkat yang paling kecil seperti level individu dan berkembang lagi di level yang lebih tinggi seperti kaum pebisnis dan aparat pemerintahan. Korupsi dapat dibedakan menjadi korupsi kecil dan korupsi besar (Pakpahan & Albert Triwibowo, 2013). Terkait dengan permasalahan korupsi yang terus meningkat di Indonesia, berikut ini data statistik permasalahan korupsi dari tahun 2007-2019. Situasi ini tentu tercermin dari tren Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia. Dalam hal ini, walaupun secara perlahan mengalami kenaikan skordi mana indonesia masih berada pada peringkat 85 dengan skor 40 ditahun 2019, namun secara tren kenaikan tersebut cukup lambat.Lahirnya berbagai perangkat dan kebijakan anti korupsi sejak tahun 2006 nampaknya belum menunjukkan hasil
181 yang cukup signifikan, dimana kenaikan skor hanya berkisar antara 1,05 poin pertahun. Perbaikan-perbaikan disektor ekonomi dan bisnis memang nampaknya menyumbangkan hasil positif, namun akan sangat sulit jika tidak diikuti pemberantasan korupsi secara massif disektor politik, penegakan hukum hukum dan birokrasi (Supandi & Vernia, 2015). Kondisi pemberantasan korupsi pun dapat dilihat secara umum di dalam laporan Rule of Law Index tahun 2020. Secara umum, Indonesia berada pada peringkat 59 dari 128 negara dengan skor sebesar 0,53 poin dengan skala 0-1. Semakin rendah nilainya maka indeks negara hukumnya makin buruk ataupun sebaliknya. Tahun 2019, Indonesia berada pada peringkat 62 dari 126 negara dengan skor 0,52 poin. Secara peringkat mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Sedangkan secara poin Indonesia hanya meningkat sebesar 0,01 poin. Salah satu indikator di dalam ROLI yakni tidak adanya korupsi. Dari indikator tersebut terdapat 4 (empat) variabel yakni: 1. Tidak adanya korupsi di cabang eksekutif 2. Tidak adanya korupsi di yudisial. 3. Tidak adanya korupsi di polisi/militer. 4. Tidak adanya korupsi di legislatif. Berdasarkan indikator ketiadaan korupsi dalam ROLI pada tahun 2020, Indonesia berada pada peringkat 92 dari 128 negara dengan skor 0,39. Sedangkan pada tahun 2019 Indonesia berada peringkat 97 dari 126 negara dengan skor 0,38.Baik peringkat ataupun poin, Indonesia tidak mengalami peningkatan yang signfikan (Widyastono, 2013). Terkai dengan pendidikan antikorupsi, maka penelitian ini merujuk pada beberapa penelitian terdahu sebagai penelitian relavan yaitu: 1. Penelitian Hendrik Vallen Ayomi tentang “Gereja dan Korupsi: Analisis isi khotbah (content analisys) terkait praktek korupsi di Papua.” Penelitian ini menggunakan metode
182 kualitatif dengan pendekatan analisis isi dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kepedulian pimpinan gereja terhadap korupsi bukanlah prioritas utama (Ayomi, 2021). 2. Penelitian Bestian Simangunsong tentang “Gereja Melawan Korupsi: konstruksi nilai-nilai spiritualitas antikorupsi dalam konteks masyarakat batak.” Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan literatur dan hasil penelitian menunjukkan bahwa gereja dalam konteks masyarakat batak harus mengedepankan keterbukaan, kejujuran dan keadilan sebagai sikap antikorupsi (Simangunsong, 2018). 3. Penelitian Nuzus Sakinah dan Nuhasnah Baktiar “tentang model pendidikan antikorupsi di Sekolah Dasar dalam mewujudkan generasi yang bersih dan berintegritas sejak dini.” Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu adanya penerapan pendidikan antikorupsi di sekolah sejak dini untuk membentuk perilaku siswa (Sakinah & Baktiar, 2019). 4. Penelitian Dayu Rika Perdana, Muhammad Mona Adha dan Nur Ardiansyah tentang “model dan strategi penamaan nilainilai anti korupsi di Sekolah Dasar.” Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan hasil penelitian menunjukkan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator dalam memberikan pendidikan antikorupsi di sekolah pada siswa sejak dini (Perdana et al., 2021). 5. Penelitian Eko Siam Muwardi dan Ali Mushon tentang “pengaruh lingkungan keluarga, efikasi diri dan prestasi belajar ekonomi terhadap perlaku antikorupsi.” Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga memililiki pengaruh sangat besar dalam pendidikan antikorupsi (Muwardi & Mushon, 2020).
183 B. Problematika Korupsi Korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan uangnegara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Hadin & Fahlevi, 2016). Menurut Lubis dan Scott, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batasbatas hukum atas tingkah laku tersebut (Arsyad, 2017). Dalam Ensiklopedia Antikorupsi Indonesia, “Korupsi” (dari bahasa Latin: corruption (penyuap); corruptore (merusak) merupakan gejala dimana pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenangnya dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya (Wutsqha, 2019). Korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan uangnegara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Uswantu, 2018). Menurut Lubis dan Scott, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batasbatas hukum atas tingkah laku tersebut (Arsyad, 2017). Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan sepertiitu karena korupsi menyangkut segisegi moral, sifat dan keadaan yang buruk,jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya (Kadir, 2018). Sejarah mencatat bahwa korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia, dimana organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Kepustakaan lain mencatat korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma, sampai pada abad pertengahan, hingga sekarang. Pada zaman Romawi korupsi dilakukan oleh para jenderal dengan cara memeras daerah jajahannya, untuk memperkaya dirinya sendiri. Pada abad perte-
184 ngahan para bangsawan istana kerajaan juga melakukan praktek korupsi. Pendek kata, korupsi yang merupakan benalu sosial dan masalah besar sudah berlangsung dan tercatat di dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno (Sulistio & Wardani, 2020). Penyebab terjadinya korupsi dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu: (a) faktor penyebab dari diri individu itu sendiri. Hal ini itu bisa disebabkan oleh keinginan, niat atau kesadaran individu untuk melakukannya. Oleh sebab itu, ada beberapa hal faktor pendorong yan mendorong seseorang untuk melakukan korupsi (Salama, 2010) yaitu: Pertama sifat tamak manusia merupakan doronga yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan korupsi walaupun sudah kaya atau memiliki banyak penghasilan. Kedua memiliki moral yang tidak kuat dalam godaan adalah dorong yang mudah mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Ketiga berpenghasilan kecil yang tidak mencukupi kebutuhan adalah faktor penyebab yang mendorong seseorang melakukan kurupsi untuk memenuhi kebutuhan. Keempat kebutuhan hidup yang mendesak seperti membayar hutang, biaya pengobatan, biaya sekolah anak menjadi faktor pendorong yang mendorong seseorang melakukan korupsi. Kelima gaya hidup konsumtif, berpenghasil kecil tapi hidup mewah mendorang seseorang untuk melakukan korupsi. Keenam malas bekerja mendorong seseorang melakukan korupsi untuk mendpat hasil yang besar dengan menghalalkan segala cara. Ketujuh minim spiritual memiliki pemahaman tentang ajaran agama tapi tidak sanggup mengaplikasikan sehingga tidak takut melakukan korupsi. C. Korupsi dalam perpspektif Alkitab Dalam Perjanjian Lama dijelaskan istilah praktek korupsi adalah suap atau sogok (Ibr.,ששש shd, Ing.: bribe, bribery). Artinya suap atau sogok merupakan tindakan korupsi yang sama dengan korupsi. Dalam kehidupan umat Israel, suapa atau sogok (kurupsi) merupakan hal yang sering terjadi dan menyebabkan sorotan atau
185 kritikan dari para nabi. Hal ini dinyatakan dalam kitab Keluaran 23:8 “suap janganlah kau teriama, sebab suap membuat buta mata orangorang yang melihat dan memutarbalikan perkara oang-orang yang benar.” Ayat ini menasehatkan untuk waspada terhadap suap dan memperingatkan kepada umat Israel mengenai dampak buruk dari praktek suap adalah membutakan seseorang terhadap keadilan dan kebenaran. Kitab Ulangan juga memberikan peringatan tentang suap dengan menegaskan dalam Ul.10:17 “sebab Tuhan, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dasyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap” (Hetharia, 2012). Artinya dalam Perjanhjian Lama sangat menantang praktek suap yang bukan berarti masalah sosial tetapi juga masalah teologis yang menjadi larangan terhadap umat Israel untuk melakukan hal tersebut sebab Allah tidak melakukan atau mengajar hal itu. Dalam Perjanjian Baru (PB) persoalan korupsi kurang mendapat sorotan disbanding dengan Perjanjian Lama. Sebab keadaan sosial-politik dan pemerintah di zaman PB berbeda dengan zaman PL. Selain itu, sosial-politik sistem pemerintahan umat Israel di PL masih berbentuk kerajaan sedangkan di PB umat Israel tidak lagi memiliki pemerintahan sendiri tetapi mereka dibawa kekuasaan kekaisaran Romawi. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada persoalan terkait korupsi yang dijelaskan dalam PB. Oleh sebab itu, ada beberapa contoh ayat alkitab dalam kita PB yang dapat dijelaskan praktik-prakti korupsi yaitu: Pertama, di kalangan para pemungut cukai dan prajurit Romawi (Luk.3:1-20). Dapat diketahui bahwa para pemungut cukai dan prajurit Romawi melakukan praktik korupsi dengan menyalahgunaan kekuasaan untuk merampas rakyat. Dalam hal ini, di PB dijelaskan praktek korupsi pada kekaisaran Romawi tidak hanya terjadi pada level atas seperti kaisar, wali negeri, pengadilan, sehat, tetapi juga di level bawa seperti pemungut cukai dan prajurit Romawi. Praktik korupsi yang dilakukan oleh para pemungut cukai dan prajurit Romawi adalah menagih lebih banyak daripada yang tentukan dan memeras untuk mencari keuntungan sehingga masyarakat yang berada pada zaman
186 kekaisaran Romawi pada saat itu pasti sangatlah menderita. Kedua, kasus Yudas Iskareot (Yoh.12:1-8). Yudas Iskareot adalah seorang bendahara (pemegang khas) yang menyalahgunaan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dalam hal ini, sebagai bendahara Yudas sangat dekat dan bergaul dengan Tuhan, mengetahui kehendak Tuhan namun ia tidak luput dari godaan jabatannya sehingga ada kesemptan ia melakukan korupsi. Ketiga, kasus Ananias dan Safira (Kis.5:1-11) merupakan kasus korupsi yang terjadi di kalangan orang dalam komunitas Kristen mula-mula. Dalam hal ini, keduanya menjual sebidang tanah dan bersekongkol untuk menahan sebagian dari hasil penjualan itu, dan sebagiannya diserahkan pada para rasul (ay.1, 2). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam (Kis. 4:32-37) bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama dan dijual untuk menyerahkan semuanya pada para rasul untuk dibagikan kepada semua orang sesuai dengan keperluannya. Tetapi Ananias dan Safira tidak melakukan hal demikian di mana mereka menahan sebagian dari hasil penjulan tanah dan hanya menyerahkan sebagian saja pada para rasul. Dengan dengan demikian, tindakan Ananias dan Safira merupakan tindakan yang mementingkan diri sendiri atau mencari keuntungan dan tidak mementingkan orang lain. D. Korupsi dalam Perspektif PAK Dalam perspektif pendidikan agama Kristen korupsi merupakan masalah sosial yang berdampak pada seluruh lapisan masyarakat. Artinya dampak dari korupsi merusak karakter, moral dan spiritual seseorang. Oleh sebab itu, permasalahan korupsi yang terus berkembang di Indoenesia saat ini mejadi tantangan bagi PAK. Untuk mengatasi tantangan ini, Hardi Budiyana mengatakan PAK hadir untuk memberikan pengajaran pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai Kristen, dan nilai-nilai moral yang sesuai firman Tuhan (Budiyana, 2011). Selaras dengan ini, Thomas Groom mengatakan PAK adalah kegiatan politisi bersama para peziarah dalam waktu yang secara sengaja untuk memberikan perhatian pada kegiatan Allah dimasa kini, pada cerita komunitas iman Kristen, dan
187 Visi kerajaan Allah dengan benih-benih yang telah hadir (Groome, 2010). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa PAK memiliki peran penting untuk mengatasi permasalahan korupsi yang terjadi dalam kehidupan masayarakat. Sebab korupsi merupakan persoalan yang tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan dan Allah sangat menentang hal tersebut. Dapat dipahami bahwa persoalan korupsi sebagai tanggung jawab PAK dalam proses-prosesnya. Harianto GP menjelaskan bahwa PAK adalah usaha sadar dan terencana untuk meletakan Yesus Kristus dalam pertumbuhan iman Kristen dengan cara mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan yaitu melandaskan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Harianto GP, 2012). Menurut Homrighausen PAK harus merujuk pada pandangan hidup secara Kristen bagi semua orang yang belajar untuk memandang dan menilai segala gejala di dunia sekitar sesuai kebenaran firman Tuhan (Homrighausen, 2012b). Bagi Sentot Sadono pendidikan Kristen merupakan upaya ilahi dan manusiawi yang harus dilakukan secara bersehaja dan berkesinambungan untuk memberikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, ketrampilan, sensitivitas, tingkah laku yang konsisten dengan iman Kriaten. Dengan demikian, PAK merupakan pendidikan sosial yang berperan untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Korupsi sebagai masalah sosial yang dilakukan seseorang untuk merugikan orang lain dan mencari keutungan bagi dirinya sendiri. E. Edukasi PAK dalam Keluarga Antikorupsi Problematika korupsi yang terus meningkat hingga saat ini, perlu edukasi pembelajaran agama sejak dini ada anak dalam keluarga untuk mengantisipanya. Oleh sebab itu, edukasi PAK dalam keluraga merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tujuan untuk
188 mengajar, mendidik dan membina anak-anak sejak dini sehingga mereka memahami dan mengetahui bahwa korupsi meruapakan hal yang tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Menurut Djoys A Rantung PAK dalam keluarga sebagai subjek atau basis edukasi antikorupsi (Rantung, 2020). Selaras dengan ini, Rifai mengatakan bahwa PAK harus mampu memberikan perubahan transformatif dan menanamkan nilai-nilai positif pada anak melalui pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, ada beberapa hal penting perlu orang tua mengajarkan kepada anak dalam keluarga untuk memiliki sikap anti korupsi yaitu: 1. Jangan bersaksi dusta. 2. Hukum harus ditegakan 3. Bertindak adil. 4. Berbelas kasihan. 5. Jangan menjadi pemeras 6. Jangan menduakan Tuhan Allah. Hal-hal ini sangat penting untuk orang tua mengajarkan kepada anak sejak dini sebagai dasar atau dalam kehidupan mereka (Rifai, 2018). Menurut Sri Sulistyawati keluarga perlu menerapkan nilai-nilai karakter yang kaitannya dengan antikorupsi pada anak dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai karakter tersebut adalah religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, menghargai prestasi, sikap dan tindakan yang berdampak di masyarakat, bersahabat dan komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan dan peduli sosial (Sulistyawati et al., 2017). Dalam hal ini, pembelajaran PAK dalam keluarga sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual pada anak sihingga mereka memiliki perilaku yang antikorupsi sejak dini. Menurut Utami Hasnat, dan Tarma keluarga merupakan lingkungan utama yang menentukan masa depan anak, demikian juga karakter yang baik di mulai dari keluarga (M. N. Utami et al., 2016). Oleh sebab itu, keluarga harus menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual pada anak sejak dini sehingga kelak mereka memandang perilaku