The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Antologi puisi ini memuat 154 Penyair Indonesia dalam rangka memperingati Hari Puisi Indonesia 2022 yang diselenggarakan oleh Masyarakat Literasi Jember

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by lubetarestengah, 2022-11-18 03:05:29

Upacara Tanah Puisi

Antologi puisi ini memuat 154 Penyair Indonesia dalam rangka memperingati Hari Puisi Indonesia 2022 yang diselenggarakan oleh Masyarakat Literasi Jember

Keywords: Antologi Puisi

Kutipan Pasal 72 terkait Ketentuan Pidana Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta:

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

ii | Masyarakat Literasi Jember

Upacara Tanah Puisi | iii

Antologi Puisi 154 Penyair Indonesia
Upacara Tanah Puisi

Penulis
Muhammad Lefand, dkk.

Editor
Siswanto, M.A.
Lubet Arga Tengah

Desain Sampul dan Tata Letak
KSK Design

Penerbit
Krajan Pustaka
Kp: Krajan RT/RW 003/001
Kertosari Asembagus Situbondo
Email: [email protected]

Bekerjasama dengan

Masyarakat Literasi Jember

QRCBN: 62-135-8844-562
Ukuran 14 X 20
Jumlah hlm. xxviii + 205
Cetakan pertama, September 2022
------------------------------------------
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang
memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

iv | Masyarakat Literasi Jember

SEKERAT KATA

SIHIR-SIHIR BAHASA
DAN KISAH CINTA

“Sesungguhnya dari retorika bahasa bisa berakibat sihir.
Dari ilmu bisa menimbulkan kebodohan. Dan sesungguhnya
dari sebait syair banyak mengandung hikmah.” (HR. Abu
Daud)

Berjumlah 154 judul puisi yang lahir dari rahim-rahim
kesunyian, dan riuhnya menggema di lorong-lorong ingatan,
menghujam kelopak subuh tempat penyair menimang
mendaras imaji dan diri: dari religiusitas, kisah cinta,
intertekstualitas, alusi, hingga narasi-narasi kegetiran. Selalu
ada katarsis dalam keheningan puisi sebagai tempat wajah ini
menepi bukan meratapi.

Selain ekplorasi tematis yang majemuk, puisi-puisi dalam
buku ini lahir dengan teknik yang menarik. Sebut saja teknik
akrostik, dramatik, lirik, dan sebagainya. Selain itu, ada ―sihir-
sihir‖ bahasa—sarana retorika (diksi, style, metafora, titik
kisah, dan lain-lain)—yang menarik, rapi, dan harmoni. Hal
ini tentunya dapat dimanfaatkan sebagai pemantik kegiatan
apresiasi sastra untuk masyarakat luas, bahwa menulis puisi
itu ada tekniknya. Minimal tidak ada lagi pertanyaan,
mengapa menulis puisi itu sulit? Mari selalu kabarkan bahwa,
sastra itu bukan pilihan, tetapi kebutuhan batiniah, salah satu
dimensi manusia yang tidak dapat diabaikan begitu saja.

Upacara Tanah Puisi | v

Semoga anak-anak imaji dalam buku ini, menjadi ruang titik
temu kreativitas dan produktivitas lainnya. Amin.

Sekara kata, setangkup hormat kami atas nama Masyarakat
Literasi Jember bekerjasama dengan Komunitas Sastra Krajan
menghaturkan beribu terima kasih tak terhingga kepada
penyair Indonesia yang terhimpun dalam antologi puisi ini,
semoga apa yang kita ikhtiarkan mampu menjadi panah-panah
batin dan jiwa musim yang kadang sulit dimaknai.
Berdasarkan hasil penilaian kurator dari 234 peserta yang
mengirim naskah, dipilih sebanyak 152 penulis dan ditambah
dua koordinator acara. Jadi Total ada 154 penulis yang dimuat
dalam antologi ―Upacara Tanah Puisi‖.

Tak lupa jua, kami haturkan terima kasih kepada Bapak
Mashuri, MA., penulis pengantar buku ini. Kepada dewan
kurator: Siswanto, M.A., dan Lubet Arga Tengah. Semoga
kesejukan selalu bersemi dalam hari-hari beliau semua, selalu
mendapat kemudahan dan kelancaran. Amin.

Kepada seluruh kawan-kawan juga komunitas kami ucapkan
terima kasih karena telah ikut menyebarluaskan poster,
sehingga banyak yang ikut terlibat di dalamnya. Khususnya
kawan-kawan media suarakrajan.com, sutera.id,
ngewiyak.com, dan negerikertas.com.

Hingga titik sunyi ini, kami meyakini bahwa tidak ada musim
dalam menulis, sebab riak dan gelisah selalu menghampiri
tepian diri. Kami menunggu kepulangan anak-anak imaji, di
musim yang berganti. Tabik!

Salam Literasi!

Muhammad Lefand
Koord. Kegiatan Hari Puisi Indonesia 2022
Masyarakat Literasi Jember

vi | Masyarakat Literasi Jember

PENGANTAR

BILA BERPUISI
SEBAGAI UPACARA

Oleh: Mashuri, M.A.
Sastrawan & Peneliti BRIN

“Puisi adalah pesta, sebuah guyuran waktu murni”
Octavio Paz

Mukaddimah. Upacara Tanah Puisi dijadikan judul antologi
puisi ini tentu bukan tanpa alasan. Mungkin salah satu
alasannya yang dapat saya tangkap --meski sekilas-- adalah
membaptis puisi sebagai sebuah upacara. Upacara dalam alam
pikir ketimuran, dapat berupa ritual atau pesta sakral, yang
kadangkala berwatak temporal/siklus ---Dengan sedikit
memaksa, yang bila mengacu pada fatwa almukarom Octavio
Paz yang dinukil di awal nggedabrus ini bahwa niat yang
dimaksud sesuai dengan taklimat Paz bahwa puisi adalah
pesta, sebuah guyuran waktu murni. Sebagai kelaziman, yang
namanya murni mengarah pada sublimitas, spiritualitas dan
sakralitas.

Namun, membedah soalan yang berbau sundul langit tersebut
diperlukan piranti yang juga berbau langit. Untunglah, dalam
rangkaian judul buku ini terselip kata ‗tanah‘, yang dalam
bingkai rezim strukturalis, tanah merupakan bagian dari bumi
yang kerap diperlawankan dengan langit. Hanya saja, soal
kesakralan, tanah juga punya wilayah sendiri. Dengan kata

Upacara Tanah Puisi | vii

lain, bila bicara langit otomatis sakral, bukan berarti tanah itu
menempati wilayah nonsakral, profan dan berdebu –yang
terakhir ini tentu akan berbeda jika mendekatinya dari sudut
pandang fikih. Tanah juga mengandung nilai-nilai kesakralan,
apalagi diawali dengan kata upacara, yang dalam tradisi
ketimuran tanah adalah pertaruhan kehidupan itu sendiri.

Paz, sebagai penyair modernis yang mengalami dan sempat
menatap senjakala Barat dan menangkap sisi gelap
modernitas, termasuk puisi yang menjelma hantu, ia pun
merasakan keterpencilan puisi dalam arus zaman yang riuh.
Mungkin karena itu, penyair Meksiko itu mencanangkan
bahwa berpuisi adalah sebentuk pesta. Pesta yang diangankan
adalah pesta bawah tanah –yang di situ guyuran waktu murni
dapat dirasakan sebagai pengalaman tak ternilai, untuk
mengenal kembali sisi-sisi manusiawi –yang sempat mencapai
titik nadir dalam puncak-puncak modernitas, dengan arus
zaman yang memiuhkan kemanusiaan dan kekudusan.

Lalu bagaimana dengan fenomena kekinian? Apakah puisi
juga merupakan pesta bawah tanah, suara-suara terpencil yang
mewakili kemurnian? Ataukah puisi telah menjelma keriuhan
sendiri yang tidak berbeda dengan suara-suara yang demikian
hingar dan gaduh? Entahlah, tetapi saya selalu mengimani
bahwa puisi yang menakik diri demi kemurnian adalah puisi
yang tak mudah terseret arus zaman. Puisi yang selalu setia
sebagai penjaga gawang, memberi ruang pada yang sementara
dan kelak hilang, juga merupa inkubasi suara-suara lirih
sebagai ikhtiar mengingat bahwa yang tak terpahami, tak
berarti, dan tak terdengar kini, bukan berarti tanpa makna.

Semacam Metodologi. Agar saya dapat mendekati puisi-puisi
dalam buku ini dengan sudut pandang tertentu, dan mohon
maaf tidak semua puisi saya eksplorasi karena keterbatasan
saya dan begitu melimpahnya karya, izinkan saya sedikit
taklid dan mengekor pada Paz ihwal puisi sebagai pesta, yang
dalam bingkai kekudusan dan konteks kita kini dan di sini

viii | Masyarakat Literasi Jember

disebut sebagai upacara. Saya pun harus mawas diri untuk
tidak terjerumus pada lobang hitam bin laten berupa sisi gelap
dari upacara, yakni ihwal kerutinan, ritual tanpa kedalaman,
ala kadarnya dan sebagainya dan seagianya, yang sebenarnya
dapat pula dibaca dengan cerdas sebagai titik balik kutukan,
sebagaimana Albert Camus membaca mitos Sisifus --dikutuk
untuk menggelindingkan batu ke puncak Olimpus meskipun
sesampainya di puncak, batu itu menggelinding ke bawah
lagi---dengan sebuah aksentuasi bahwa kita harus
membayangkan Sisifus bahagia, karena apapun upacara dan
rutinitas itu tak kalah absurdnya!

Yeah, terlepas soalan itu, sebagaimana upacara yang
menyaran pada semacam ritual, ada hal-ihwal yang bernuansa
campur aduk: sakralitas bergandeng tangan dengan profanitas,
mitos menggandeng logos, sunyi-bunyi, dan lain sebagainya.
Kadangkala berupa karnaval, seringkali merupa dengung
mantra dan dupa kemenyan. Ada aksi hingar, di sisi lain ada
diam yang terkapar. Apalagi buku puisi ini menghimpun
begitu banyak puisi, dengan ragam, gaya, dan suara-suara
yang berbeda, bahkan tumpang-tindih. Terus terang, membaca
satu puisi ke puisi lainnya saya merasakan sebuah chaos.
Namun, begitu saya membacanya dalam bingkai semacam
karnaval dari sebuah ritual, saya pun lebih dapat
memahaminya: ini sebuah perayaan, sebuah upacara. Sebagai
pembaca yang gandrung dangdut, saya pun mendekati puisi-
puisi tersebut sebagai perayaan pembacaan, sebagaimana yang
pernah difatwakan almukarom Roland Barthes: plessure the
text, tentu ala saya.

Mengetuk Pintu Langit. Sebagaimana yang diungkap pada
awal nggedabrus perihal posisi langit dalam sebuah upacara,
ihwal langit disuguhkan Arther Panther Olii dengan sebuah
padanan frase yang ciamik ―Menggendong Langit‖. Hal itu
karena upacara seringkali dimaknai sebagai ikhtiar untuk
merayu langit ---dan menggendongnya adalah laku yang
kelewat takzim untuk sebuah ikhtiar. Mungkin karena

Upacara Tanah Puisi | ix

terpengaruh oleh tanah, langit yang dimaksud memang tak
dapat kalis dari kehidupan. Dan hari-hari pun menjadi rutin,
tetapi sebagai upaya untuk memahami. Sebagaimana kutukan
Sisifus dengan rute bawah—atas—bawah—atas, awal-akhir
tanpa batas --tentu siklus itu tanpa menyimpan harapan.
Kutukan itu begitu menyeramkan dan menggendong langit
pun begitu berat dan menyaru sebagai hukuman ---dan harus
dijalankan.

hari ke harimu adalah perjalanan memahami kerja ekskavator
cinta, rindu, benci, dan letih dikeruk berulang-ulang dari
timbunan kehidupan

di batas senja ini di ujung jembatan soekarno engkau adalah
waktu-waktu sarat berat hasrat dan dugaan perihal meluruskan
pandangmu memberi rindang pada bayangmu adalah sebuah
ketertautan hati sepasang nusa penuh kepasrahan serupa klabat
yang membiarkan puncaknya tercuri awan

Agar hukuman itu berubah menjadi harapan, tentu diperlukan
pemaknaan pada rutinitas. Apapun itu, selain dengan langkah
menggendong langit, Mochammad Asrori mencoba
―Mengetuk Pintu‖, yang menjadi semacam laku. ―Aku‖ yang
di luar menyaru sebagai tamu mencoba bertemu dengan
‗engkau‘ yang di dalam sebagai tuan rumah. Adakah ini
semacam simbolisasi: bertamu pada diri sendiri. Sebagai
sebuah upacara, ritual bertamu pada diri sendiri adalah sebuah
langkah untuk menghikmati kedirian dalam pusaran
keterasingan ---meskipun ketika bertamu pada diri sendiri
bukan berarti bahwa jaminan antara ‗aku‘ di luar dan ‗kamu‘
di dalam, untuk saling memahami, bahkan ancaman saling
asing juga sangat genting.

terkadang kita memang terlalu lemah untuk mengembangkan
senyum saat pintu terbuka, saat sebuah rahasia meloncat ke
angkasa

x | Masyarakat Literasi Jember

Doa. Dalam sebuah upacara, posisi mantra atau doa adalah
kunci. Ia menjadi semacam ‗pengetuk pintu langit‘ yang
sebenarnya sebagaimana pemahaman kultural ketimuran kita.
Begitu pula karya Bambang Widiatmoko berjudul ―Mantra
Rengganis‖ yang menyaran pada sebuah lokus tertentu dan
khusus. Namun, saya mencoba memberikan sebuah
pemaknaan tersendiri pada konteks upacara tanah puisi, terkait
dengan posisi gunung bahwa menulis puisi seringkali berupa
laku pendakian –yang berparalel dengan mitos Sisifus, tentu
dengan aksentuasi berbeda.

Setelah melewati jalanan terjal dan berbatu Kita terjebak
dalam hujan menjelang malam Tak seorang pun lewat sebab
tak bersahabat dengan gelap Dan kita bergegas seolah ada
mata mengawasi Ingin bertanya tentang keinginan dan
maksud kedatangan.

Di kawah Rengganis, daun-daun membisikkan tangis Dan sisa
gerimis membuat tubuh menggigil Malam terasa panjang dan
sunyi menjadi menakutkan Tatapan mata yang mengikuti
mungkin telah pergi Tahu maksud kedatangan sekadar
mencari jati diri Atau keinginantahu, mengapa Cantigi tahan
hidup di sini Bunganya menjadi mantra pemikat untuk datang
kembali.

Ritus Peralihan. Posisi doa pun menjadi sumbu karya Dwi
Firda Aulia ―Pelayaran Teluk Benggala‖, yang membicarakan
tentang jalan pulang atau semacam ritus peralihan. Ketika
sabda nasib tak bisa ditawar dan diri harus terus berlayar,
seringkali kita memang mematri harapan di ingatan perihal
perjalanan untuk kembali. Meskipun perjalanan itu pun tak
juga sampai ---tetapi harapan pada doa menjadi semacam
pengendali, pelipur lara, dari sebuah keterbatasan diri di
hadapan sabda Sang Nasib, yang tak dapat diterka dan dibuhul
kepastiannya.

Upacara Tanah Puisi | xi

di waktu entah kapan di pesisir laut kidul itu akan tiba sebuah
kapal yang ia layarkan dari seluruh penjuru doa berdatangan
namun, ia tak juga sampai.

Puisi lainnya yang berbicara tentang ritus peralihan tampa
pada puisi Isbedy Stiawan ZS, ―Stasiun Tanjungkarang‖. Puisi
tersebut membicarakan tentang kepulangan, yang mendapat
simbolisasinya dengan keberadaan stasiun: sebuah
tempat/ruang untuk pulang—pergi.

ke mana pagi ini ingin pergi?

rel kereta yang masih dingin dengan gigil bertanya. aku tak
sanggup menjawab; perjalanan masih jauh, tebaktebakkan
belum tentu tertebak

Samsudin Adlawi dalam ―Kelok Rindu‖ juga membuhul hal
senada, tentang rahasia dan misteri perjalanan. Rindu menjadi
benang merah yang membuhul beberapa pengalaman yang
dilalui, meski berkelok. Meski demikian, Samsudin tidak
membicarakan keberangkatan/kepulangan. Ia bersibuk dengan
kondisi batin, dengan tali pengikat kerinduan, pada hal-ihwal
sepanjang perjalanan dengan mata yang tetap memandang ke
depan ---meskipun rayuan untuk kembali merupa ―senar
ingatan‖.

aku percaya ada taman paling indah di ujung kelok rindu kita
menoleh ke belakang pun pantang

Agak berbeda dengan karya Wirja Taufan, meskipun memiliki
kesepadanan dalam perspektif, ihwal yang di depan. Serupa
―Pelayaran Teluk Benggala‖ yang berbicara tentang
kepulangan abadi, Wirja Taufan ―Seperti Yang Kau
Inginkan‖, juga memberikan notasi pada ihwal kepulangan.
Namun, sebagaimana penyair yang begitu terobsesi dengan
maut, seringkali penyair juga menolak mati, sebagaimana
Chairil Anwar ―aku ingin hidup seribu tahun lagi‖. Namun,

xii | Masyarakat Literasi Jember

sebagai sebuah ritus peralihan, kematian tidak hanya hadir
dalam wujud eksistensial belaka dan ‗sajak-sajak‘ sering
dijadikan sebagai penanda kehadiran sebagai usaha untuk
tidak menyerah.

Aku belum mati, aku masih hidup dalam desah nafasmu. Di
labirin dan misteri penuh auroramu Sajak-sajakku berenang di
kedua matamu
Seperti yang kau inginkan Aku terus melangkah ketika
kematian mengejar semua jejak kakiku Berlindung dengan
bunga dan daun-daun

Sajian. Sudah menjadi kelaziman, meski upacara itu diniatkan
utuh, tetap saya terdapat rumpang, bahwa kita tak dapat
menangkap semuanya dengan sempurna. Dan, wilayah puisi
adalah menangkap yang rumpang, ‗menerka yang setengah‘,
sebagaimana puisi Ahmad Rizki, ―Sebuah Jaz‖. Ada hal-hal
yang luput dan tidak terbaca dari sebuah perayaan, karena
‗setengah nada adalah makam –sepi‘. Dalam puisinya, Rizki
berusaha untuk mendialogkan antara suara di luar diri dengan
gejolak diri ---dengan aroma luka, sepi, tapi tak kunjung bisu.
Sebuah perayaan bawah tanah yang menarik.

Sebuah jaz menggelinjang di matamu— menjadi air mata
yang terpancar ke bulan merah—tapi yang tak tercapai
hanyalah kebisuan. Dan, jaz menerka setengahnya.

Sementara itu, puisi Effendi Kadarisman ―Sejoli Sendok &
Garpu‖ menarik kita pada sebuah upacara, sekaligus pesta
yang intim. Upacara yang telah menjadi rutin, dan kita anggap
terlalu biasa, tetapi mendapatkan notasinya sebagai ritual yang
paling mendasar ketika kita berada di atas tanah. Kita dapat
menyimaknya.

Sejoli Sendok & Garpu

Upacara Tanah Puisi | xiii

Sejoli sendok & garpu. Sepasang kekasih. Mendampingi
piring di atas meja bertaplak putih ―Kenapa kau lembab dan
sembab, sayang?‖ ―Aku ingat lubang gelap, liang tambang—
rumah asal kita. Bukankah itu negeri dongeng?‖ Begitulah,
bagai sepasang kutilang Keduanya terbang dan hinggap di
tengah pesta Cinderela merayakan cinta

Ketika sendok itu menghirup aroma sup, Ia ragu, merenung ...
(Apa ya kabar sepupuku, sendok plastik? Mungkin sedang
lapar gelisah berbaring, atau menyantap nasi aking.)

Tanyakan pada sejoli itu, Apa doamu kepada Langit? ―Ingin
satu hati, sehidup semati. Jadikanlah kami sepasang sumpit ...‖

Malang, 17 Juni 2022

Saya melihat puisi tersebut adalah inti dari pada upacara kita.
Bait pamungkas pun memberikan notasi tersendiri perihal
yang rutin itu menjadi demikian sublim terkait dengan doa,
harapan dan makna rutinitas yang seringkali luput dari
tangkapan karena dianggap sebagai kebiasaan.

Waktu. Sajak Lubet Arga Tengah ―Tarikh Siti Jenar‖
memberikan pada kita perihal kunci lain dari sebuah upacara,
yaitu waktu. Apalagi sajak ini menyeret beban referensial
yang sudah terlanjur kondang dalam alam ketimuran kita,
yaitu Siti Jenar. Ada irisan menarik sebenarnya dengan puisi
Effendi Kadarisman, meskipun puisi Kadarisman terkesan
profan dan puisi lubet seolah-olah sakral, yakni irisan yang
menjelaskan adanya kutub yang berbeda, perihal penyatuan
dan penolakan untuk manunggal.

Tarikh Siti Jenar

seperti membaca dongeng, kelahiran dan kematianmu
dirahasiakan dari waktu. berlembar-lembar tarikh digaris.

xiv | Masyarakat Literasi Jember

enam belas nama menyusup di kepala. entah dari semenanjung
malaka, anak ampel atau dari persia.

kaujahit tuhan dalam tubuhmu. menjadi jubah baru. dikibas-
kibaskan dari krendhasawa. anginnya sampai ke kudus, tempat
terakhir menyerah diri. sebagai perjanjian ruh pada takdir
hitungan almanakmu.
penglihatan hanya sejengkal. ke mana hendak dijumpai.
syahadat dalam gamelan kali jaga, takbir dan fatihah dari bibir
gunung jati, kauganti bunyi-bunyi langit. diajak menari ke
dalam hati. meski tak semua mengenal diri.

murid-murid datang dan mengamini. bahwa tubuh-tubuh yang
tumbuh adalah nyata kematian. sementara dari lariklarik
caruban nagari, pangeran wangsakerta menulis ―tuhan tidak
manunggal‖

Aroma. Bila ritual pada umumnya adalah asap dupa dan
minyak wangi sejenisnya, ritual puisi memang tak dapat luput
dari kata. Karena itu, sajian Vito Prasetyo ―Aroma Kata‖
mendapatkan koordinatnya, apalagi puisi pendek ini ditujukan
bagi raksasa perpuisian Indonesia, Chairil Anwar. Yeah,
konon sebagian besar penyair Indonesia kadung diamini di
bawah ketiak Sang Binatang Jalang tersebut dan tantangan
terbesarnya adalah mencoba untuk lolos dari bayang-
bayangnya, meskipun itu membutuhkan kerja dan upaya yang
tidak main-main ---karena haul Chairil Anwar terus dirayakan
dan dikekalkan tanpa memunculkan pembacaan baru yang
dapat membuat puisi Indonesia semakin trengginas, bahkan
cenderung lemas, plus cemas.

pelaminan kata adalah aroma cemas tertuang dalam bunga
mimpi layu, ketika air tak menghampirinya adalah kata-kata
serupa suluk kitab tertuang dalam bait-bait sajak untuk
menghidupkan kembali aromanya meski harus mengarungi
seribu tahun diam dan bisu di telatah angin

Upacara Tanah Puisi | xv

Memori yang Kembali. Apa yang hendak dikekalkan dalam
sebuah upacara? Memori! Memori merupakan sumbangan
terbesar dari sebuah upacara meskipun ringkih dan rapuh.
Karena itulah, upacara diulang-ulang agar yang mudah retak
itu kekal, meskipun kekal sementara. Nur Komar dalam
―Kembang Desa‖ berbicara tentang memori, meskipun
tekniknya mirip Pagar Kenabian, atau nazaman.
setiap terbit mentari # bayangmu turut kemari menyibak kabut
putih # sampaikan salam kasih

lembut sapa sekuncup # dada dirundung degup hanya
selayang pandang # tersimpan dalam kenang

Memori yang sering kali nangkring dalam ingatan juga
menjadi perhatian Wawan Kondo dalam ―Mengenang Masa
Kecilku‖, dan itu dapat dilihat dari judulnya. Masa kecil
sering menjelma menjadi film kenangan yang selalu berputar
dalam memori kita, dengan kehadiran yang tanpa
direncanakan dan diduga. Wawan Kondo memberi notasi
tersendiri perihal masa kecil itu sebagai sebuah tahap, perihal
kehidupan imajiner dan ada peristiwa yang berlaku di kepala.
masa kecilku adalah monster sore di antara gedung pencakar
tiang sutet ambruk listrik menyembur seperti kembang api
gedung bertingkat remuk lalu muncul seorang pahlawan super
entah siapa namanya dan esoknya semua rapi kembali

Epilog. Perayaan pembacaan saya pada buku puisi ―Upacara
Tanah Puisi‖ mungkin terjebak pada klise, karena saya begitu
sulit lepas dari klise. Saya berharap para penulis dalam buku
ini tidak seperti saya. Pasalnya, penggembur tanah puisi itu
bertumpu pada cangkul kreativitas dan benih kreativitas itu
terkandung dalam rahim kebaruan. Dengan demikian,
diharapkan ―upacara‖ puisi tidak sekedar mengulang dan
terjebak pada klise, nganga absurditas belaka, tetapi sebagai
sebentuk upacara yang mengarah pada pesta, meski
berlangsung di bawah tanah, dengan dipenuhi guyuran waktu
murni ---yang tentu saja, meski upacara itu mungkin semacam

xvi | Masyarakat Literasi Jember

kutukan, tapi itu sebuah kutukan yang membahagiakan dan
mencerahkan.
Demikianlah pengantar sekadarnya dari saya. Karena
pengantar ini hanyalah sebuah jembatan yang ringkih &
rapuh, tentu alangkah bijak bila pembaca segera menyeberang
dan mendarat pada karya-karya yang tersaji. Bila pembaca
berlama-lama di sini, risiko harap ditanggung sendiri. Wallahu
waliyyut thariq!
On Sapu Jagat, September 2022

Upacara Tanah Puisi | xvii

DAFTAR ISI

Sekerat Kata Ѻv
Pengantar Ѻ vii

A. Machyoedin Hamamsoeri Ѻ1
 ADA YANG BISA DICERMATI Ѻ2
Ѻ3
A.Rahim Eltara Ѻ4
 GELAK TAWA DI RUMAH ANGIN Ѻ5
Ѻ6
Ag Andoyo Sulyantoro Ѻ7
 DI CIKINI INI Ѻ8
Ѻ9
Agoes Andika, Ask. Ѻ 10
 BERNYANYI DI ATAS GELOMBANG Ѻ 11
Ѻ 12
Agus Yulianto Ѻ 13
 PEREMPUAN BERSELIMUT TANAH Ѻ 14

Ahmad Fatoni Ѻ 15
 JENDELA

Ahmad Rizki
 SEBUAH JAZ

Akhmad Sekhu
 CATATAN KECIL UNTUK CHAIRIL

Ali Ibnu Anwar
 PRENDUAN SETELAH MENUNGGU

Ali Imron
 TENTANG AKU DAN TUAK

Ali Surakhman TS
 MONOLOG PENYAIR

Aloeth Pathi
 RAHARTI

Amini
 RIUH DI WAKTU SUBUH

Andi Dollo
 ANGIN BULAN JUNI

Andi Jmaluddin, AR. AK.
 WAJAH DAN MATA :
ANTARA TATAP KOTA DAN DESA

xviii | Masyarakat Literasi Jember

Anto Narasoma

 TERBANGLAH KATA-KATA Ѻ 16

Antoinette Wiranadewi

 BUNGA ILALANG Ѻ 17

Ardhi Ridwansyah

 MENATAP KALENDER Ѻ 18

Aris Setiyanto

 AKU TENGGELAM DI LAUT MATAKU Ѻ 19

Arnita

 PATAH HATI PALING HEBAT Ѻ 20

Arther Panther Olii

 MENGGENDONG LANGIT Ѻ 21

Asih Suwarsih

 TERBANG BEBAS Ѻ 22

Asikin Hidayat

 DI MENARA SEBUAH MESJID Ѻ 23

Bambang Kariyawan Ys

 TENTANG SECALUNG NIKMAT Ѻ 24

Bambang Widiatmoko

 MANTRA RENGGANIS Ѻ 25

Bety C. Rumkoda

 HUJAN DI KAMPUNG Ѻ 26

BH. Riyanto

 SISIR Ѻ 27

Christya Dewi Eka

 CATATAN TENTANG LAUT Ѻ 28

Dedi Wahyudi

 SELAKSA SELASA YANG TAK BIASA Ѻ 29

Denting Kemuning

 KACAMATA AYAH Ѻ 30

Dian Rennuati

 SESAAT SEBELUM TIDUR Ѻ 31

Diana Ries

 SECANGKIR KOPI Ѻ 32

Dormauli Justina

 PULANG Ѻ 33

Upacara Tanah Puisi | xix

Dwi Firda Aulia Ѻ 34
 PELAYARAN TELUK BENGGALA Ѻ 35
Ѻ 36
Dwita Utami Ѻ 37
 ANAK-ANAK DUSUN Ѻ 38

E. P. Albatiruna Ѻ 39
 RIWAYAT ALAS PURWO Ѻ 40
Ѻ 41
Eddie MNS Soemanto Ѻ 42
 PANTAI PASIR Ѻ 43
Ѻ 44
Edi S Febri Ѻ 45
 API DENDAM MASA SILAM Ѻ 46
Ѻ 47
Edy Priyatna
 RENUNGAN SAWAH Ѻ 48
LADANG KERING Ѻ 49
Ѻ 50
Edy Susanto
 KELELAWAR DAN BURUNG HANTU

Effendi Kadarisman
 SEJOLI SENDOK & GARPU

Ekawati
 GELOMBANG BIRU

Eko Prasetyo
 DI KERUT SENJA

Elje Story
 JAKARTA DI LAGU KOES PLUS

EM Yogiswara
 SETETES AIR MATA

Ema Afriyani
 DIALOG DOA HARI LAHIR

Ence Sumirat
 UNTUK WAKIL RAKYAT

Endry Sulistyo
 ELEGI SEPEDA BUTUT DAN
BALON UDARA

Erfin Wijayanti
 SECANGKIR KOPI

Firman Wally
 KAMI DAN LAUT

xx | Masyarakat Literasi Jember

Gambuh R Basedo Ѻ 51
 ADA APA DENGAN DADAMU Ѻ 52
Ѻ 53
Gurit Asmara Ruci Ѻ 54
 MEMBIAK SAJAK-SAJAK Ѻ 55
Ѻ 56
H.Shobir Poer Ѻ 57
 HUJAN ITU TEDUH Ѻ 58
Ѻ 59
Hafney Maulana Ѻ 60
 EMBUN YANG FANA Ѻ 61
Ѻ 62
Heni Hendrayani Ѻ 63
 SEKUNTUM KEMBANG KANGKUNG Ѻ 64
Ѻ 65
Henny Purnawati Ѻ 66
 CERMIN RETAK Ѻ 67
Ѻ 68
Hermawan
 TAMBO

Heru Patria
 BISIK-BISIK JANGKRIK

I Ketut Aryawan Kenceng
 SEPASANG CANANG SARI

I Putu Gede Pradipta
 HUJAN

I Wayan Sastra Gunada
 NUSA PENIDA

Ibnu Wahyudi
 PAMERIYA

Iis Singgih
 IBU DEWI KUNTHI TALIBRATA

Imron Bintang
 ANAK-ANAK PENGHAFAL FIRMAN

Irawan Sandhya Wiraatmaja
 MENUJU ROKOT

Irna Novia Damayanti
 MENYELAMI LAUT

Isbedy Stiawan ZS
 STASIUN TANJUNGKARANG

Joe Mawar
 PUCUK-PUCUK TEMBAKAU

Upacara Tanah Puisi | xxi

L Surajiya

 ADA SEGUMPAL RINDU, UNTUKMU Ѻ 69

Lenny Flo Ѻ 70
 MATI SURI

Lilin

 PADA APA MEREKA INGAT? Ѻ 71

Lubet Arga Tengah Ѻ 72
 TARIKH SITI JENAR

Lukas Jono

 HUJAN Ѻ 73

Made Aripta Wibawa

 PETILASAN SENDANG Ѻ 74
DI BUMI ALAS PURWO

Marjuddin Suaeb

 GEDUNG KACA PONDOK PABELAN Ѻ 75

Marwanto

 MEREKA PUISIKU Ѻ 76

Matroni Musèrang Ѻ 77
 SUNGAI KEMARAU

Merry Alianti

 AKU PERNAH BILANG Ѻ 78

MH. Dzulkarnain Ѻ 79
 KISAH KASIH PETANI DIKSI

Mizniwati

 PUISI-PUISI BERMEKARAN KINI Ѻ 80

Mochammad Asrori

 MENGETUK PINTU Ѻ 81

Moh. Ghufron Cholid

 AYAH NAMA LAIN RINDU Ѻ 82

Mohammad Saroni

 POHON YANG TINGGAL PUCUKNYA Ѻ 83

Muhammad Achmar

 SAJAK NIRWANA Ѻ 84

Muhammad Alfariezie

 BENTUK YANG MENGERING Ѻ 85

xxii | Masyarakat Literasi Jember

Muhammad Fatkhul A.

 I LOVE YOU, AINUN Ѻ 86

Muhammad Lefand

 TANAH AIR PUISI Ѻ 87

Muhammad Tauhed Supratman

 SANDAL JEPIT ITU Ѻ 88

Mukhotib MD

 PEREMPUAN PEREMPUAN RINDUKU Ѻ 89

Mulyadi J. Amalik

 PENUMPANG TANAH AIR Ѻ 90

Mustiar Ar

 TEUKU UMAR JOHAN PAHLAWAN Ѻ 91

Nanang R. Supriyatin

 SAJAK PERAHU KERTAS Ѻ 92

Ngadi Nugroho

 TASBIH Ѻ 93

Ngakan Made Kasub Sidan

 MENDEKAP PERBURUAN SUNYI Ѻ 94

Ni Nengah Ariati

 SITUS GOOK SESAPI Ѻ 95

Novia Rika Perwitasari

 SEPOT EKOR TUPAI Ѻ 96

Nur Hikmah A.M

 PANTAI SLILI Ѻ 97

Nur Indah Sutriyah

 BALADA LARUNG SESAJI Ѻ 98

Nur Komar

 KEMBANG DESA Ѻ 99

Nur Sodikin

 JARUM JAM Ѻ 100

Nurdiana Simbolon

 AKU BERKEMBARA LAUT Ѻ 101

Nurhayati

 PERBINCANGAN DI BAWAH HUJAN Ѻ 102

Piet Yuliakhansa

 FLAMBOYAN Ѻ 103

Upacara Tanah Puisi | xxiii

Porman Wilson Manalu Ѻ 104
 TUNGKOT DAN PRESIDENKU Ѻ 105
Ѻ 106
Pulo Lasman Simanjuntak Ѻ 107
 BIDAK CATUR BERGERAK Ѻ 108
Ѻ 109
Purwati Ningsih Ѻ 110
 KARENA SEPOTONG SENJA Ѻ 111
Ѻ 112
R. S. Tawari Ѻ 113
 TRAGEDI KEIKHLASAN Ѻ 114
Ѻ 115
Refdinal Muzan Ѻ 116
 MAHKOTA YANG HILANG Ѻ 117
Ѻ 118
Ribut Achwandi Ѻ 119
 JIKA YANG LALU
Ѻ 120
Riki Utomi
 BAHASA GAMIS

Riska widiana
 MENCARI NASIB PADA TAKDIR

Rissa Churria
 BERMANDI CAHAYA

Rosyidi Aryadi
 MEMBACA NYANYIAN SEMESTA

S. A. W. Notodihardjo
 MELEWATI JALAN

Saif LH.
 FANA’

Salman Yoga S.
 HIJAIYAH MEURAH JOHANSYAH

Sami‟an Adib
 NYANYIAN ANAK LAUT

Samsudin Adlawi
 KELOK RINDU

Sapto Wardoyo
 SAMPAN

Saunichi Agus Sauchi
 KITA HANYA BERJUMPA
DALAM PUISI

xxiv | Masyarakat Literasi Jember

Shafwan Hadi Umry Ѻ 121
 NEGERI BIJAK BESTARI Ѻ 122
Ѻ 123
Siamir Marulafau Ѻ 124
 REMBULAN DI BULAN JUNI Ѻ 125
Ѻ 126
Slamet Suryadi
 DI PESISIR PANTAI Ѻ 127
Ѻ 128
Suhandayana Ѻ 129
 TERPERANGKAP SEBUAH KATA Ѻ 130
Ѻ 131
Suheri Simoen Ѻ 132
 PEREMPUAN PILU 4 Ѻ 133
Ѻ 134
Sukardi Wahyudi Ѻ 135
 JEJAK NEGERI LEGENDA Ѻ 136
Ѻ 137
Sukma Putra Permana
 KEHIDUPAN PAGI DI SEPANJANG
NEGERI BANTARAN KALI

Sulistyo
 DAGING KURBAN

Sunardi
 APLIKASI DAN HATI

Suni Abdul Salam
 ANGIN

Sus S. Hardjono
 SPORA

Sutrisno Subagio
 RIAK GAWAI

Suyitno Ethex
 KENANGAN SAAT DI PANTAI KUTA

T. Reza Muhammad
 MENANTIKAN PANAS

Thomas Sutasman
 PERCAKAPAN (1)

Tpm Siddiq
 LAMAN KENANG

Tri Wulaning Purnami
 PEREMPUAN MATAHARI

Upacara Tanah Puisi | xxv

Uun Purnasih Ѻ 138
 KISAH ASMARA LARANTUKA*) Ѻ 139
Ѻ 140
Vito Prasetyo Ѻ 141
 AROMA KATA Ѻ 142
Ѻ 143
Wahyu Agustin Ѻ 144
 NYANYIAN LEMBAH Ѻ 145
Ѻ 146
Warsono Abi Azzam Ѻ 147
 DANDELION Ѻ 148
Ѻ 149
Wasto Pujawiatna Ѻ 150
 TATAR SUNDA KINI Ѻ 151
Ѻ 152
Wawan Kondo Ѻ 153
 MENGENANG MASA KECILKU
Ѻ 154
Winar Ramelan Ѻ 155
 RIMPANG LENGKUAS

Wirja Taufan
 SEPERTI YANG KAU INGINKAN

Wisnu Pamungkas
 KUNANG-KUNANG SUMBA

Y.P.B.Wiratmoko
 PANTAI KUTA

Yahya Andi Saputra
 RINDU SEPEKAT KOPI

Yin Ude
 TAMAN KOTA TENGAH HARI

Yoannes Bowo
 PUING

Yuliani Kumudaswari
 DI WAECICU MATAHARI TERBIT

Zabidi Yakub
 KE LUAR JENDELA

Zaini Dawa

 MASAKAN IBU PERTIWI

Zham Sastera

 YANG LEKAT DI BATU-BATU

BIOGRAFI PENYAIR

xxvi | Masyarakat Literasi Jember

Selamat Hari Puisi Indonesia 2022
Upacara Tanah Puisi | xxvii

Antologi Puisi

154 Penyair Indonesia

xxviii | Masyarakat Literasi Jember

A. Machyoedin Hamamsoeri
ADA YANG BISA DICERMATI

Ada yang bisa dicermati
Ketika seseorang bersikap
Dalam menghadapi sesuatu
Yang tiba-tiba menimpa dirinya

Ada yang bereaksi
Begitu cepat tanpa berpikir
Apakah itu merugikan diri sendiri
Atau bahkan juga merugikan orang lain

Ada yang menanggapi
Secara tenang dan bertindak
Sesuai dengan pikirannya yang jernih

Masalah memang selalu ada
Dan itu sangat tidak menyenangkan
Tinggal bagaimana kita bersikap bijak

Sebetulnya itu
Sebuah cara untuk kita
Bisa memahami tentang hidup
Yang pastinya membuat kita: bahagia.

Sri Anggur, 18 Juli 2022

Upacara Tanah Puisi | 1

A.Rahim Eltara
GELAK TAWA DI RUMAH ANGIN

Di rumah angin itu,
tak pernah sepi diksi-diksi, tumbuh subur di jemari
mahardika.
Senda gurau kian akrab menetes dari di tepi bibir
perempuan-perempuan
yang lagi menyangrai kopi.

Suara alat tenun menenun tradisi leluhur. Warna warni
benang menjelma alam
semesta. Flora dan fauna riang memanjat sulur-sulur jiwa,
merawat budaya
yang hampir kehilangan kapur sirih.

Di sana, kusaksikan selaksa kutilang berkencan dengan
senja. Siulnya yang
gelisah menyimpan bait-bait puisi dalam sarang. Rimbun
pohon kersen
di halaman meneduhkan hati. Buahnya ranum dicicipi pipit
dalam diksi-diksi yang manis.

Di rumah angin itu,
kutitip gelak tawa dalam segelas kopi yang bercitra fuity.
Pahit dan gurih kehidupan kunikmati dalam baris-baris
gurindam dan lawas
disenandungkan perempuan-perempuan yang merawat
tradisi.

Sumbawa,4/07/2022

2 | Masyarakat Literasi Jember

Ag. Andoyo Sulyantoro
DI CIKINI INI

Di Cikini ini
Sambaran petir membombardir langit Jakarta
Hujan sore ini seperti jarum-jarum jatuh
Bumi dikerumuni oleh malaikat
Mencabut hati yang sakit
Dicubles-cubles lubang menganga
Bagai sayatan belati semiliar

: anak menangis menjerit-jerit
Dahaga ingin menyusu Puting mami

Di Cikini ini.
Darah dan nanah mu deras mengucur
Menggenangi seisi kolam yang mancur
Dari lubang perut mu
―Mami, Kekasihku lekas sembuh
Anugerah Tuhan ini adalah ujian sabar dan tawakalmu
Adalah tes percobaan tabahku
Akan berbuah-buah manis kelak yang kau petik, Mi!‖
bisikku
Sembari ku kecup mesra keningmu yang hangat

Upacara Tanah Puisi | 3

Agoes Andika, Ask.
BERNYANYI DI ATAS GELOMBANG
Ombaklah berirama pada jantung ini
memilih sunyi pada musim tersembunyi
sambil mendayung ingatan
dimana riaknya menggulung usia
menepi jalanan ke pinggir kisah
tetaplah bersenandung
walau lagu tak bertuan
disana gemuruh mencatat detaknya
dengan api tersulut
mengasap sekujur
darah makin memerah
mewarna panggung bergoyang
baleagung, akhir nop 2021

4 | Masyarakat Literasi Jember

Agus Yulianto
PEREMPUAN BERSELIMUT TANAH

Ada perempuan berselimut tanah
Diinjak injak kaki gajah
Menjerit suara berpaut pada sebatang kayu
Hangus terbakar melepuh di mataku
Suara itu bagaikan klakson keras sekerasnya
Menggugurkan gunung merbabu pecah tanpa tersisa.

Perempuan itu menjerit hingga ditelan api lancip
Hingga tulang belulang berceceran di tanah merah darah
Suara hati terdengar pilu
hilang lenyap

Perempuan itu berjamjam berselimut tanah merah
Merunduk berpayung caping gunung
di sebuah ruang yang bergema suara gemuruh
terlihat orang-orang berdasi dan beradu pasal demi
sekeping logam.

Perempuan menjerit tanpa lelah
Bersuara lantang demi segumpal tanah yang direbut paksa
hingga merah darah
Perempuan berjejer merapat merayap
Entah sampai kapan?

Karanganyar, 10 September 2020

Upacara Tanah Puisi | 5

Ahmad Fatoni
JENDELA

aku melihat remang-remang
mengepung jendela dan segala ruang
di luar, malam jumpalitan
memanggul birahi bulan
bunga desa lunglai sendirian
menggantungkan nasib pada rintik hujan
sang perawan kini terbelah di halaman
***
terkuak jendela tua
dari pengembaraan penuh nista
lirih bayu mengusap seraut wajah
mengelus pipi tak lagi indah
hujan tiba-tiba tumpah
mengguyur sumpah serapah
***
sayup-sayup malam bersenandung ratapan
pada bebunga dan rerumputan
aku risih, menunggui jendela sendirian.

Malang, Juli 2022

6 | Masyarakat Literasi Jember

Ahmad Rizki
SEBUAH JAZ
: Dipengaruhi Miles Davis
Sebuah Jaz di samping jiwamu
berceceran di kerut dahimu,
menjelma tanya—menjadi lagu
hutan rimba.
Katakanlah, bahwa setengah
nada adalah makam—sepi.
Sebuah jaz
menggelinjang di matamu—
menjadi air mata yang
terpancar ke bulan merah—tapi
yang tak tercapai hanyalah
kebisuan. Dan, jaz menerka
setengahnya.
2019

Upacara Tanah Puisi | 7

Akhmad Sekhu
CATATAN KECIL UNTUK CHAIRIL

Bangunlah Chairil!
Ini negeri telah menjadi sampah kata-kata
Tak ada lagi seleksi pilihan kata-kata terbaik
Semua kata langsung dimakan tanpa pernah
Dikunyah. Mulut-mulut hanya mengobral
Janji-janji manis dan tak pernah dipikirkan
Meski saat moment menikmati kopi pahit

Jangan menangis, Chairil!
Jika pelabuhan kini hanya untuk keluh kesah
Seperti dinding medsos tempat orang-orang
Ngerocos. Puisi katanya sudah menjadi basi
Yang laku hanyalah hujatan dan caci maki
Saling serang tanpa ada rasa kasih sayang
Cinta hanya sekedar isapan jempol belaka

Pahamilah, Chairil!
Tak ada makna yang abadi dalam puisi
Yang ada hanyalah orang-orang pembual
Di negeri yang penuh dengan ingar-bingar.
Hujatan dan caci maki menjadi komoditi
Pameran harta kekayaan sebagai andalan
Tragisnya kini berujung menjadi tahanan

Chairil, haru-biru aku mengingatmu!

Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, 2022

8 | Masyarakat Literasi Jember

Ali Ibnu Anwar
PRENDUAN SETELAH MENUNGGU

yang bisa kulakukan hanya pindah. lalu menunggu. pindah
dari rumah ke sekolah. dari sekolah ke meja makan.
menunggu berkemeja dan bekerja. pindah dari satu tanah
ke lain tanah. menggeser pantat masa depan, ke sebelah
entah. berlari atau berjalan. berdiri atau tiduran. pindah
harus tetap bertahan untuk mencipta bayangan, sekalipun
dalam gelap atau di luar gelap

dan prenduan (sebuah tempat yang tak mungkin pindah
dari madura) juga menunggu bayangan tentang pindah.
bayangan berwarna legam. rengginang gosong,
bayanganku. dan seorang perempuan sedang membuat
bayangan dari guntingan masa depanku. masa depan yang
kencang berlari ke belakang menuju hilang. lalu
perempuan itu pindah ke arah menunggu. ke sebelah
pindah yang juga menyimpan aku

usai menunggu, perempuan itu pun ikut pindah. dan setelah
pindah, aku pun ikut menunggu, untuk bertanya ke mana
larinya jam-jam berdetakan, saat memindahkan jarumnya
setelah detik meninggalkanku? dan prenduan, setelah
menunggu, memintaku pindah ke tempat menunggu
selanjutnya

mengikuti arah cahaya

madura 2022

Upacara Tanah Puisi | 9

Ali Imron
TENTANG AKU DAN TUAK
Segelas tuak yang ku tenggak
Bukan untuk membuatku tegak
Sekedar lari dari rasa muak
Keadaan masih saja buatku penat
Jangan lekas marah Tuhan
Ini minuman tak memabukkan
Terlebih menghilangkan iman
Aku bukan hamba kacangan
Ijinkan aku untuk menikmati
Segelas tuak yang tak seberapa ini
Aku tak akan mabuk terlebih mati
Tenang saja Tuhan, kau tetap di hati
(Pekalongan, 2 juli 2021)

10 | Masyarakat Literasi Jember

Ali Surakhman TS
MONOLOG PENYAIR

Di alam semesta ini kucoba merangkum buku-buku
kehidupan tentang semua hal.Semakin dirangkum semakin
membias dalam cakrawala yang membentang di segala
kehidupan

Perlahan-lahan : semua yang terjadi adalah bianglala
kehidupan yang terus berpacu menatap awan hingga terbit
matahari di waktu yang berbeda.
Lumajang,Juli 2022

Upacara Tanah Puisi | 11

Aloeth Pathi
RAHARTI

Pembawa pesan rahasia di tengah revolusi
menyelundup diantara gerilyawan perang
seorang istri pejuang tentara letnan dua
berlari diantara desingan peluru

Tertangkap serdadu Belanda saat sholat
terpojok dicap begundal pemberontak
berapa kali bogem mendarat diwajah
memilih diam tak buka suara demi perjuangan

Meski satu pleton tentara musuh mengepung
bentakan caci maki tamparan bertubi tubi
tak gentar meski puluhan pelor menembus tubuh
pekik merdeka serta teriakan takbir "Allahu Akbar"

Raharti
Taruna muda pejuang kemerdekaan negeri ini
betapa pedih melihat kawan gugur di medan juang

Raharti
perempuan pemberani pembela tanah air
namamu harum menjadi ratna kusuma bangsa.

Semarang, 21 april 2022

12 | Masyarakat Literasi Jember

Amini
RIUH DI WAKTU SUBUH
Suara azan masih jauh
Derita hati ingin segera berlabuh
Sajadah panjang kian terbentang
Merangkum kisah seharian
Bulir-bulir air mata pun menerjang
Barisan sesal tak berkesudahan
Sunyi yang terus meriuh
Jadi gegap-gempita atas gemuruh
Selipkan rasa indah yang kian tangguh
Aku merindukan tenggelammu
Membersamai langkah di keabadianmu
Namun aku tersadar
Oleh suara azan yang sudah di hadapan
Nganjuk, 13/04/2022

Upacara Tanah Puisi | 13

Andi Dollo
ANGIN BULAN JUNI

Angin berhembus dengan kencangnya hari ini, langit ceria
tanpa awan
padahal masih di bulan Juni,
yang kadang kala hujan turun menggenang bersama
kenangan.

Aku duduk menikmati hari ini,
menimang-nimang mimpi dan kenyataan:
di tengahnya menyusup kamu yang tak lagi hadir seperti
biasanya. Kering.

Jarak bukan lagi alasan: sebab tak ada lagi tentang kita
yang berjuang saban hari, menenun temu via udara.
Padahal aku berharap sekali ini saja,
Angin datang sambil meniupkan kabar darimu,
meski hanya sebuah ucapan salam: Hallo kak, apa
kabarmu?

Sementara di sini, aku masih duduk.
Diam: angin bulan Juni ini.

BTN 5, 14:17

14 | Masyarakat Literasi Jember

Andi Jamaluddin, AR. AK.
WAJAH DAN MATA :
ANTARA TATAP KOTA DAN DESA

Aku jelajah wajah kota
yang setiap saat bercermin
dikecipak air laut

Sepanjang siring harapan
raut wajahmu
selalu menggoda mata lelakiku
mendekatimu
membawakan bekal cerita desa
yang setia mendetakkan nafas
kapanpun

Aku kayuh keringat pagi
yang mengucur dalam tubuh
antara sapa angin
dan teriak gelombang Gunung Bamega
wajah dan mataku
menjadi hingar

//ajarak/05.06.22/21.01/pgt.tanbu//

Upacara Tanah Puisi | 15

Anto Narasoma
TERBANGLAH KATA-KATA

terbanglah kekasih
malayang dan membumbung ke dunia
sastra yang luas tak bertepi

dari balik kepak sayapmu
ribuan bidadari mengucap
kata-kata, setelah mengusung
sejumlah kalimat dalam diksimu

melayanglah, Kekasih
di atas percik air danau yang jernih dan biru
karena untaian cahaya memanjang dalam kalimat
setelah kau tulis dengan kekuatan diksimu
yang sejuk dan sunyi

ayunan dan berayun dari balik kalimat puisimu,
mekukis kecantikan itu yang
berkilau jauh ke dalam sajakku, Kekasih

maka terbanglah
karena kekuatan puisi,
ada di balik kata-katamu yang menyimpan makna,
setelah air dan tanah membentuk kehidupan
atas dirimu yang lebur
ke dalam firman-Nya, Kekasih

Palembang, 3 Juli 2022

16 | Masyarakat Literasi Jember

Antoinette Wiranadewi
BUNGA ILALANG
Baru saja hujan reda
gemuruh geluduk masih tersisa
Ah, seharian ini alam muram parasnya
Sebentar sekali tersenyum tanpa pesona
seperti asal saja
Baru saja tirai air hujan terbuka
Bunga ilalang jadi terlihat eloknya
Aku kembali memungut asa
memilin jadi kalung bahagia
lalu mengenakannya.
Elang Malindo, 31 Maret 2022

Upacara Tanah Puisi | 17

Ardhi Ridwansyah
MENATAP KALENDER
Detik-detik menggelitik,
Tawamu merobek kesunyian,
Mencincang kebencian,
Pada mataku yang memanas.
Tak lekang oleh waktu,
Senyum mentari mengetuk pintu hati,
Menyapa lalu pergi,
Menyisakan sebuah puisi:
Kita terpaku menatap kalender,
Berisi angka-angka digilas waktu,
Menjadi debu, menjadi ingatan masa lalu,
Membasuh wajah dengan air mata,
Berlinang di pipi gersang tanpa rindu.
Jakarta, 8 Juli 2022

18 | Masyarakat Literasi Jember

Aris Setiyanto
AKU TENGGELAM DI LAUT MATAKU
: mendiang K. Solihin
Langkahmu menyigi
hatiku, kerontang musim ini
ketika bunga-bunga itu menjelma
aku tenggelam di laut
yang lahir dari mataku sendiri
: melepasmu ke keabadian
bagaimana tungkai-tungkai ini membuat bayangan
sedang dianku telah padam
tak di altar kenduri maupun 'srakalan',
kau tak berada di manapun
teringat, kini kau dibaringkan
disiram 'banyu kembang'.
Temanggung, 17 Juni 2022

Upacara Tanah Puisi | 19

Arnita
PATAH HATI PALING HEBAT

Suara-suara bising menyelinap dalam ruangan itu
Sementara lelaki muda berbadan tegap selalu
mengumpulkan teori-teori
Untuk mengungkap sebuah peristiwa dalam putaran waktu
Ia lelah, tumpukkan kertas selalu saja mengikat pikirannya
Jam raksasa itu berdentang dengan lambat tepat pada pukul
dua belas malam
Namun mimpi tak mampu membawa waktu untuk kembali
Ingatannya terusik ketika menikmati lagu melankolis
Take My Breath Away dari perempuan bersuara emas
bernama Berlin
Kisah itu terlintas dalam pikirannya ketika dua tahun
bertemu seorang perempuan cantik
Ia duduk di depan meja dengan hidangan istimewa
Lobster bordelaise, roti kering, asparagus setengah matang
dan sebotol Whisky
Sepasang mata perempuan itu telah menawan hati
Sebelum membahas masa depan lelaki itu mengungkapkan
cintanya
Dengan senyum simpul dan kata-kata romantis
Cintanya tak terbalas
Perempuan berdarah Belanda itu lebih memilih lelaki
tambun berkumis tebal
Meskipun aroma tubuhnya begitu menyengat tapi wangi
uang lebih menggiurkan
Lelaki muda itu berlalu dengan dada yang remuk
Sepotong hatinya telah beku

Bandung, 2022.

20 | Masyarakat Literasi Jember

Arther Panther Olii
MENGGENDONG LANGIT

engkau adalah hari-hari larat
berat sabar dan tabah
perihal menata awan-awanmu
memberi gradasi pada pelangimu
adalah sebuah persetujuan semesta
tak ada penyangkalan meski
muara kali jengki kian dangkal

hari ke harimu adalah perjalanan
memahami kerja ekskavator
cinta, rindu, benci, dan letih
dikeruk berulang-ulang
dari timbunan kehidupan

di batas senja ini
di ujung jembatan soekarno
engkau adalah waktu-waktu sarat
berat hasrat dan dugaan
perihal meluruskan pandangmu
memberi rindang pada bayangmu
adalah sebuah ketertautan hati sepasang nusa
penuh kepasrahan serupa
klabat yang membiarkan
puncaknya tercuri awan

Manado, 2021

Upacara Tanah Puisi | 21

Asih Suwarsih
TERBANG BEBAS
Aku ingin bebas terbang
Seperti pipit - pipit kecil itu
Mengepakkan sayap - sayap kecilnya
Terbang bebas di antara awan - awan putih
Tanpa aturan yang begitu memenjarakan raga dan jiwa
Atau aturan yang menjerat hakiki manusia
Aku ingin terbang bebas
Seperti pipit - pipit kecil melawan angin
Atau bertarung dengan derasnya hujan
Bahkan bergulat dengan topan badai
Tapi dia tetap tenang terbang
Karena mereka tidak terjerat aturan
Manakala mereka terbang mengepakkan sayapnya
Kulonprogo , 24-2-2022

22 | Masyarakat Literasi Jember


Click to View FlipBook Version