The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Antologi puisi ini memuat 154 Penyair Indonesia dalam rangka memperingati Hari Puisi Indonesia 2022 yang diselenggarakan oleh Masyarakat Literasi Jember

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by lubetarestengah, 2022-11-18 03:05:29

Upacara Tanah Puisi

Antologi puisi ini memuat 154 Penyair Indonesia dalam rangka memperingati Hari Puisi Indonesia 2022 yang diselenggarakan oleh Masyarakat Literasi Jember

Keywords: Antologi Puisi

Asikin Hidayat
DI MENARA SEBUAH MESJID
dari puncak menara
aku larut bersama bulir-bulir air
bersiturun seperti hendak berjamaah
merilis dingin menjadi alunan do'a
wahai, Rabbku, Engkau Yang Maha Punya hujan
Engkau pula Yang Maha Memiliki terik
labuhkan aku di bawah teduh surgamu
koor itu makin lirih
masuk ke dalam kekhusyukan terdalam
ah, lembab di sajadahku ini bukan hujan semata
tetapi adalah air mata
lebih deras mengalirkan beribu rasa bersalah
dari puncak menara
lewat bulir hujan
makin kuimani
betapa kecil aku di hadapan-Mu
140322

Upacara Tanah Puisi | 23

Bambang Kariyawan Ys
TENTANG SECALUNG NIKMAT

Kita pernah menikmati segala sempurna
Kala remaja dengan bebas menghirup waktu
Tak peduli tentang segantang beban
Kita berlari mengejar berlarik mimpi
Raga bergerak lentur
Jiwa mengembara pada berbagai rasa
Saat itu kita hirup segala sempurna
Kini ...
Saat kita akan berlari
Saat kita akan bergerak
Saat kita akan mengembara
Ada makhluk yang bernama pasangan hidup
Ada buah hati yang memberi sinar
Menyekat tapak-tapak kebebasan seperti kala remaja
Dan itu membuat diri kita menikmati sempurna
Dengan cara yang lebih bersahaja
Kita nikmati lembaran pada lekuk tubuh kita
Lekut itu menjadi satu tanda
Bahwa kita sudah senja.

24 | Masyarakat Literasi Jember

Bambang Widiatmoko
MANTRA RENGGANIS
: bersama Yogira Yogaswara

Setelah melewati jalanan terjal dan berbatu
Kita terjebak dalam hujan menjelang malam
Tak seorang pun lewat sebab tak bersahabat dengan gelap
Dan kita bergegas seolah ada mata mengawasi
Ingin bertanya tentang keinginan dan maksud kedatangan.

Udara menyebarkan bau belerang makin terasa
Seperti bau tubuh bumi yang tersembunyi dalam api
Lalu kita hempaskan tubuh kita di bangku panjang
Mengatur napas dalam keheningan kaki gunung Patuha
Menghormat pada para leluhur Sunda berabad lalu.

Di kawah Rengganis, daun-daun membisikkan tangis
Dan sisa gerimis membuat tubuh menggigil
Malam terasa panjang dan sunyi menjadi menakutkan
Tatapan mata yang mengikuti mungkin telah pergi
Tahu maksud kedatangan sekadar mencari jati diri
Atau keinginantahu, mengapa Cantigi tahan hidup di sini
Bunganya menjadi mantra pemikat untuk datang kembali.

2022

Upacara Tanah Puisi | 25

Bety C. Rumkoda
HUJAN DI KAMPUNG

Musim penghujan gugurkan dedaun
Melayang dalam rimba dan laut
Sampah-sampah menari bersama dirus air meluap
Benam rindu berbetah di cela kamar dan ruang hampa

Titik-titik air jatuh bergerimis tak sisakan segelintir cahaya
Kelam mendung sunyi dalam deru derap hujan
Kampung berselimut kebekuan
Anak-anak kecil lebarkan tawa

Tanpa spasi turun menyapa kampung
Memintal perenungan jiwa angin dan hujan
Pada ombak di bibir pantai, pada nyiur di rimba
Lahir harapan lafaskan doa

Oh hujan kau cinta kampungku
Setia bawakan nyanyian betahkan diri
Barangkali aku ke sana sekadar mengintip
Usir pergi dengan sejuta mantra

Aku tak bisa menyandingkan engkau , biarkan terpulas
ditelan mimpi,
Sebab di sini penuh harap, kau pergi berganti musim

Kampung, 17 Juli 2022

26 | Masyarakat Literasi Jember

BH. Riyanto
SISIR
Dengan jemari manjaku
akan kurapikan rambutmu
yang mulai ngotot
menjadi dua kemungkinan
; hitam dan putih
Dengan jemariku yang tabah
kembali
akan kurapikan rambutmu
yang mulai luruh satu demi satu
digempur waktu
(2020)

Upacara Tanah Puisi | 27

Christya Dewi Eka
CATATAN TENTANG LAUT

Sebuah catatan menjelma,
dari percakapan laut dengan pantai,
aku dan purnama adalah saksi paling bisu,
yang tak kuasa mengubah keadaan,
ini berita terbaru,
bagaimana anak-anak karang terdampar di pasir lengang,
sunyi menghitung butir-butir keemasan,
kesulitan menghirup oksigen,
dadanya gembung oleh penyesalan,
bukan kekalahan,
akankah mereka terlahir kembali,
sebagai dewa-dewi pengisi alam,
atau berakhir menjadi jasad yang dilupakan dunia,
seperti reruntuhan kastil di puncak bukit,
menjadi puing,
begitulah jadinya bila nama-nama,
dihapus dari legenda agung,
bila malam turun,
nelayan datang melempar jaring,
sedangkan penyair pulang dengan pena dalam saku,
selesai mencatat kenangan

Semarang, 19 Juli 2022

28 | Masyarakat Literasi Jember

Dedi Wahyudi
SELAKSA SELASA YANG TAK BIASA
Aku tak mengerti
Apa yang terjadi
Di hari selasa yang biasa
Tanpa kabar berita
Adikku yang jauh di pulau
Datang melalui sambungan telepon
Kiriman buku dan kaos puisi
Tiba hari ini lewat bunyi gawaiku
Berarak awan awan mendung hitam
Menurunkan rintik rintik hujan
Hingga basah seluruh alam
Hadir tanpa pesan apapun padaku
Karimun, 05 Juli 2022
Pukul 13.52 wib

Upacara Tanah Puisi | 29

Denting Kemuning
KACAMATA AYAH
Ketajamannya tak bisa diragukan
Lebih tajam dari pisau dapur
Mengiris bagian-bagian yang keras
Mencacah hingga lembut
Kilaunya menembus lapis demi lapisan
Keras terdengar mengelegar
Lebih dari gemuruh ombak samudra
Terkadang juga lembut bak salju
Kacamata ayah yang mengilhami segala mimpi
Surabaya, 16 Juli 2021

30 | Masyarakat Literasi Jember

Dian Rennuati
SESAAT SEBELUM TIDUR
berbaring diam sebelum tidur,
aku mengingat-ingat matamu
yang menaungi seperti randu
yang mekar seperti bunga sepatu
sebelum kupejamkan mata
ingin kurasai lagi napasmu
serupa jemari mengusap wajah
serupa kehangatan sebuah rumah
mengapa harus di akhir waktu
dan begitu terburu-buru
kau mendekat pada Tuhanmu?
barangkali ini hanya sekadar mimpi
yang kupesan dini hari tadi
bersama sepilihan doa
dan sekuntum kata-kata
(Juli 2022)

Upacara Tanah Puisi | 31

Diana Ries
SECANGKIR KOPI

Di antara serpihan kaca
Ada sebuah kenangan masa muda
Di mana celoteh canda tawa suka duka
Terekam meninggalkan jejak meluka

Darah menetes dari ruang dada
Tenggelam dalam pengap kesengsaraan
Ikatan kasih terlepas tanpa aksara
Warna dunia jadi hitam tak bermakna

Teriakmu tak ada yang mau dengar
Singgasana tempat dudukmu terlempar
Kuasa hilang jatuh terkapar
Kini kau bukan siapa-siapa

Secangkir kopi penebus gundah
Menghapus duka masa silam
Warna langit terlihat tak ramah
Kau hanya ingin rebah dengan mata
terpejam

Semarang, 02 Juli 2022

32 | Masyarakat Literasi Jember

Dormauli Justina
PULANG

Dengan langkah tergesa berburu masa
Hampir saja sengalku tergantung di sengatnya mentari
Bila saja tak kuingat dua pasang mata menanti penuh
damba
Kusembunyikan dua bungkus nasi setengah menganga di
bawah baju

Derit pintu tertahan menyambut kepulanganku
Dua tubuh mungil terbaring lelap lelah bahkan mungkin
menahan lapar
Kedua pipi dingin kaki kurus terpapar tanpa kehangatan
selimut
Kutangkup wajah ini yang meregang menutup lelah hari ini

Sejujurnya hati memanggil tuk pulang
Namun mimpi belum terajut sempurna selayak impian
masa kecil
Seringkali atmaku menggigil dalam perih hinaan
Padahal atap kami yang setengah langit tiada menertawai

Mama pulang, kakak adik
Tanpa seikat uang untuk membeli sepeda baru
Besok kita pinjam lagi milik tetangga semoga mereka tak
bosan bermurah hati
Tahun depan masih panjang akan kita buat daftar hadiah
buat kalian
(Sesungguhnya catatan sedari dua tahun lalu masih
tersimpan rapi bersama air mata)

Yk, Februari 2021

Upacara Tanah Puisi | 33

Dwi Firda Aulia
PELAYARAN TELUK BENGGALA
—untuk Adtmojo, dan jalan pulang.

meski sesekali ia simpan diam-diam
isak sederas Tumpak Sewu di matanya
lalu jatuh di seluruh lereng-lereng nadi
ketika burung-burung gagak dari Tempurejo
tiba dini hari tadi di ujung mimpinya
ketika nasib menyeretnya jauh-jauh
hingga ke sebelah utara Teluk Benggala
namun, jalan pulang sungguhlah dekat
kadang pun Nella Kharisma ataupun
dangdut koplo lainnya atau paling mudah
berbahasa kampung halaman di rantau
ialah cara jitu baginya untuk mencari
rute pulang paling dekat dan nekat.
di waktu entah kapan di pesisir laut kidul itu
akan tiba sebuah kapal yang ia layarkan
dari seluruh penjuru doa berdatangan
namun, ia tak juga sampai.

Jambi, 25 Juni 2022

34 | Masyarakat Literasi Jember

Dwita Utami
ANAK-ANAK DUSUN

pagi mengulum senyum
disambut riang anak-anak dusun
riuh kata-kata saling menyapa
berkejaran sepanjang bibir sungai Ciraja

hangat cahaya surya
memeluk mesra tubuh-tubuh mungil
berlarian di atas kerikil
serupa rona bunga wedelia
kemuning ceria

di pucuk angsana
burung-burung bercengkrama
cericit cuit cericit cuit
renyah kicau burung emprit
di hati terbersit

duh, bahagia anak-anak desa
bermandi-mandian, menangkap ikan
disaksikan kawanan mega-mega
nun jauh di sana

Tayem, 03 Juli 2022

Upacara Tanah Puisi | 35

E. P. Albatiruna
RIWAYAT ALAS PURWO

Merupa tanah ujung timur Jawa. Belantara wingit. Semak
belukar keghaiban. Riwayat dan cerita-cerita
purba. Samudera raya melingkari tubuhmu: laut selatan
yang rawan adalah sabuk azimat.

Alas purwo adalah jantung alam raya. Berdegub suwuk dan
mantra pertapa, diamini para peziarah menghatur sembah
khusyuk, bersembahyang di situs kawitan dan pura luhur
Giri Salaka.

Alas purwo senantiasa ijinkan aku tertidur dan bermimpi
dalam rimbun tubuhmu, berselimut kedamaian. Di tepian
kesunyian. Duhai, aku ingin bernyanyi bebas di tengah
hamparan padang savanamu bersama burung burung
berkicau, diiringi siul angin yang menggesek bambu
bambu, dedaun rimbun, dahan pohonan, reranting kayu,
juga debur ombak pantai pancur, dan orkestra gelombang
di pantai pelengkung.

Oh para leluhur leluhur alam semesta yang semadi dan
semayam di kedalaman goa, yang rebah berselimut tanah;
sebagai makam-makam tak bernisan. Oh, wariskan kepada
kami keluhuran cinta kasihmu, sembah bhakti yang sejati,
agar kami sanggup melestarikan kewarasan akal budi
dalam merawat serta melayani kehidupan.

Oh, bersama kemelut asap kemenyan kuhaturkan munajat.
Membumbunglah doa-doa dan segenap pengharapan ke
angkasa. Kemudian turunlah kerahmatan sebagai rimbun
hujan membasahi semesta raya.

36 | Masyarakat Literasi Jember

Eddie MNS Soemanto
PANTAI PASIR

tenggelam matahari
barisan bangau putih
pulang bergegas
tak ada tersisa cahaya
dari reruntuhan waktu

aku tulis bayanganmu
di jilatan ombak, pasir yang lengket
keringat yang asin
angin membenamkan rindu di dermaga
lalu lambaian pohon-pohon di kejauhan
semuanya sayup-sayup di balik senja

mirip lukisan kuusung tema-tema usang
tentang cinta, kesendirian, juga keterpurukan
persis jelaga kutuang ke kesunyian
ke kedalaman lautan
karang-karang terhempas
dari buih-buih sampan memutih
di ujung hari yang basah
pantai pasir

Ujung Batu, 2014

Upacara Tanah Puisi | 37

Edi S Febri
API DENDAM MASA SILAM
Pada hujan aku titipkan pesan
Tentang kenangan masa silam yang belum tersampaikan
Prahara di ujung jalan telah memupus impian
kenangan tentangmu masih menari
di puncak Gunung Tidar
menyelip di bebatuan dan juntai akar cemara
lantunkan puja
altar sesembahan sesaji butiran biji saga
Masihkah kenangan itu menyala di ingatanmu juga?
Jangan pernah kau buang
Biarkan tetap menjadi api dendam
Bawa itu ke masa depan
Sematkan pada derai hujan
Dan lihatlah
Semesta telah mendengar janji kita untuk tak saling
melupakan

Magelang, 02 Februari 2022

38 | Masyarakat Literasi Jember

Edy Priyatna
RENUNGAN SAWAH LADANG KERING

Persoalan terhempas pada batu. Terpecahkan oleh dalam
waktu. Padahal baru kemarin pendulang kembali. Setelah
desa di landa gempa. Kumandang suara pujian pun. Masih
sayup terdengar. Menjadi hiasan batang pohon. Berasap
wangian kayu. Kini saat saat hantu bumi datang. Orang tua
menyambutnya gembira. Ular menari serentak di atas
bumi. Bersama mengajak rongga nan taboga.

Semuanya penjuru belahan dunia. Panduan bunga rampai.
Merah hijau hitam kuning emas. Putih perak tanpa adanya
resesi. Maka disinilah aku sendiri sekarang. Menatap
cakrawala menitipkan sebuah doa. Debu butiran arang
melekat sandang lusuh. Mentari menyoroti sinarnya jauh.
Menghitung noktah titik demi titik. Hingga menyerap rasa
panas. Dari kejauhan kembali terlihat. Para petani mulai
membersihkan lahan.

Air mengalir suatu angan-angan. Merasuk ke dalam tubuh
tumbuhan. Mengingatkan aku lagi. Sungguh amat
mengherankan. Tak peduli nan kasatmata. Meneropong
jauh keliling dunia. Renungan sawah ladang kering.
Berjoget rentak dengan paculnya. Menjadi renungan suatu
angan. Tanah bagi penyair adalah seluruh hidup batin. Air
bagi penyair adalah unsur bahasa tulisan. Tedung
menembus jantung gunung.

(Pondok Petir,10 Pebruari 2021)

Upacara Tanah Puisi | 39

Edy Susanto
KELELAWAR DAN BURUNG HANTU

Kepada Sivimika Institut Kesenian Jakarta

Terbersit gua tempat bersarangnya kelelawar-kelelawar.
Mengisi otaknya dengan makanan berasupan gizi bercita
rasa seni dengan elegan melihat mendengar bimbingan
burung-burung hantu bersahaja. Para kelelawar meski
masih bersarang dalam gua telah berunjuk gigi menjulang.
Nyata kali seusai keluar sarang, gigi-gigi itu ditunjukkan
dengan menerima apresiasi baik lingkup kancah nasional
maupun global.

Gua sarang berkerumunnya para kelelawar juga para
burung hantu yang saling berkolaborasi menampilkan gigi-
gigi unggulan. Kini telah mencapai angka kelima puluh
dua.

Meski asupan gizi yang terberi telah banyak berubah oleh
sebab di atas gua. Ada penguasa lagi yang berkepentingan
mengatur lalu lalang. Namun para kelelawar dan burung
hantu tiada peduli. Terus terbang tinggi tanpa melupakan
pohon hayat akar jati diri berekpresi.

Bersatulah para kelelawar dan burung hantu. Tunjukkan
gigi-gigi unggulanmu

40 | Masyarakat Literasi Jember

Effendi Kadarisman
SEJOLI SENDOK & GARPU

Sejoli sendok & garpu. Sepasang
kekasih. Mendampingi piring
di atas meja bertaplak putih
―Kenapa kau lembab dan sembab, sayang?‖
―Aku ingat lubang gelap, liang tambang—
rumah asal kita. Bukankah itu negeri dongeng?‖
Begitulah, bagai sepasang kutilang
Keduanya terbang dan hinggap
di tengah pesta
Cinderela merayakan cinta

Ketika sendok itu menghirup aroma sup,
Ia ragu, merenung ... (Apa ya kabar sepupuku,
sendok plastik? Mungkin sedang lapar
gelisah berbaring, atau menyantap nasi aking.)

Tanyakan pada sejoli itu,
Apa doamu kepada Langit?
―Ingin satu hati, sehidup semati.
Jadikanlah kami sepasang sumpit ...‖

Malang, 17 Juni 2022

Upacara Tanah Puisi | 41

Ekawati
GELOMBANG BIRU
Telah kukubur rasa pada laut biru
Agar lenyi tak lagi merayu
Biar saja ombak kembali
Menghempas malam beku
Pada karang-karang rindu
Yang menarasikan pilu
Senja tak lagi berpeluk jingga
Kelabu telah lebih dulu menyapa
Senyum tak pernah lila legawa
Lengang tanpa aura cinta
Biarkan aku tetap tenggelam
Pada samudra kasihmu
Menyatu dengan riak gelombang
Lebur menjadi diksi bisu
Bercakap antara bibir pantai dan pepasir
Padang Lawas, 14.06.2022

42 | Masyarakat Literasi Jember

Eko Prasetyo
DI KERUT SENJA
lirih sekali
melodi seorang bapak bertopi
mengakrabi sepi
matanya pada deretan pigura
mengeja cerita di kerut senja
entah untuk siapa
laras senjata tanpa rangka
lupa siapa tuannya
tergeletak begitu saja
tanpa lencana
di luar sana
lenggak lenggok kain bendera
tepuk riuh anak muda
upacara dan pesta
Way Kanan, 2020

Upacara Tanah Puisi | 43

Elje Story
JAKARTA DI LAGU KOES PLUS

Jakarta begitu gemilang dalam angan
Segala hal yang nomer satu berbaur akur
Gedung-gedung menjulang; hiburan malam membuka
pintu bagi pembawa uang
Hingga kepada tonggak ukur kesukesan; perubah arah
hidup -- dan itu keyakinan iman
beberapa orang hingga hari ini,
namun apakah seperti itu?

Jakarta oh, Jakarta
Berapa juta kehidupan telah berjudi bahagia?
mengejar yang tak terkejar; jungkir balik mencari idetitas,
eksistensi dan pengakuan!
―Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang kan
terjadi‖
Melantun berulang urai gerah siang
Koes Plus kisahkan Jakarta yang penuh tekad
Rumah dalam kabut asap yang seolah biru -- kekasih
menunggu dalam debar harapan.

Sukolilo, Mei 2022

44 | Masyarakat Literasi Jember

EM Yogiswara
SETETES AIR MATA

"Siapa dirimu?" Tegur setetes air mata yang jatuh dari
mata
batin. "Aku adalah cahaya matamu. Izinkan hatiku
berbicara
di depan kesuramanmu, karena sinar hatimu ditutupi
khianat."

"Siapa cahayamu?" Bisik setetes air mata yang jatuh dari
masa silam. "Aku adalah air tempatmu berkaca. Izinkan
kucuci matamu dengan air mata kasih, agar kemelut diri
berangsur terang saat menatap keabadian-Nya."

" Dimana airmu?" Tanya setetes air mata yang jatuh dari
kerinduan yang terkunci, lalu membeku menjadi batu.
"Aku
adalah sisa duka dari kecipak harapanmu. Izinkan
kualirkan
kenangan dari berbagai pesan yang tak disampaikan air
mata di sungai yang menyimpan wewangian-Nya."

Setetes air mata tak lagi memilin gelisah pada cahaya
tapi ia kekal mencari genangan air mata yang mengering
di kelopak harapan yang pernah terlupakan bola mata.
"Aku tak sanggup membendung kebahagiaan air mata
yang memberikan sukaduka, kecuali masuk dan berdiam
di bola mata yang dilahirkan di rumah-Nya."

Teater AiR Jambi, 05062021

Upacara Tanah Puisi | 45

Ema Afriyani
DIALOG DOA HARI LAHIR

selamat menikmati sepotong usia
yang kian berkurang angkanya
di makan kesibukan
dari pagi hingga bulan menjemput malamnya

tengadah sepuluh jari
menadah rupa-rupa permohonan
aku menghirup aroma kesedihan
teringat jatah hidupku
makin berkurang
sedangkan kebahagiaan
hanya serupa roti tawar
yang biasa aku makan saat awal bulan
itu pun tanpa selai

semangat menikmati sepotong usia
yang kian berkurang angkanya
hingga nanti dia akan berhenti
entah pada detik ke berapa
dari arloji yang melingkar di pergelangan tanganku

Semarang, 20 Juli 2022

46 | Masyarakat Literasi Jember

Ence Sumirat
UNTUK WAKIL RAKYAT
Sebuah jembatan emas
Yang rancangan, bahan, dan upahnya
Telah diberikan rakyat kepadamu
―Apakah telah kau selesaikan, setidaknya kalian kerjakan?‖
Atau kini punya jalan baru
Yang dibangun dengan cara melagu
Sambil merobohkan rambu-rambu
Hanya demi kepuasan anak isteri dan cucu
Wahai saudaraku anggota dewan
Kami kini menunggu jawaban
Bukan slogan-slogan meninabobokan
Apalagi janji muak membosankan
Dari dubur paling dalam
2022

Upacara Tanah Puisi | 47

Endry Sulistyo
ELEGI SEPEDA BUTUT DAN BALON UDARA
setiap tikungan pulang
kujumpai balon balon menjulang
aneka karakter kartun menghias angkasa
kegemaran anak anak manusia dijajakan
di sepanjang jalanan kota
ibu yang menghampar di trotoar
entah belas entah balon yang dijual
sepeda butut sebagai penambat harap
sedangkan di pangkuannya terbaring anak
yang kepananan terbakar siang
mendekap gigil jika hujan menerjang
hidup semisal balon yang mengangkasa banyak harap
kerap menjulang sesaat sebelum udara mengempis tak
bersisa
lunglai rebah ke tanah
kembali pada tali tuhannya
Samarinda, 2021-2022

48 | Masyarakat Literasi Jember

Erfin Wijayanti
SECANGKIR KOPI
Gemericik air di pagi hari
Menunaikan janji
Kepada langit dan kabut
Tengadah embun di pucuk perdu
Bersiul
Uap panci di tungku
Lalu aku adalah secangkir kopi
Setia pada sepimu
Biar menua segala cakap di atas meja
Umpu Kencana, 27 Oktober 2021

Upacara Tanah Puisi | 49

Firman Wally
KAMI DAN LAUT
Ombak yang pecah bukan saja menghasilkan gemuruh
juga mendatangkan rindu
akan kita yang setia selalu
bersama laut di masa lalu
Ombak yang datang kali ini
begitu tinggi setinggi ingatan
mungkin hanya pelaut yang berhasil
mengelus dadanya yang mampu
meredam terjangnya ombak
Ombak yang menggulung bibir pantai
menguji nyali berkali-kali
Bagi sebagian orang laut adalah maut
Bagi anak-anak yang matanya membiru seperti kami
Ombak dan laut adalah teman bagi kami
bak sapatu yang bila salah satu hilang
rasanya ada saja yang mencuri kesempurnaan
Tahoku, 30 April 2022

50 | Masyarakat Literasi Jember

Gambuh R. Basedo
ADA APA DENGAN DADAMU
Tanyaku pada laut
Kenapa tak pernah mengeluh
Meruah tumpah busuk sampah
Mengapa pula tak mengaduh
Bermukim ribuan perbedaan
Tersebab dadaku luas bernyawa ikhlas
Ribuan jenis ikan
Tak ribut mencaci maki
Atau pongah pamer warna warni
Karena ia pun adalah puisi
Aneka ragam terumbu karang
Tak saling silang
Intan mutiara bercahaya
Tak jua jumawa
Rembang, 09.03.2022

Upacara Tanah Puisi | 51

Gurit Asmara Ruci
MEMBIAK SAJAK-SAJAK

setidaknya masih ada sisa hujan
rela bangkitkan yang pernah ada
walau tak kunjung mengada

tanpa tanda hanya isyarat remang
jelajahi rimba ke jantung kata-kata
musim baik membiak sajak-sajak
menyemai ruh kata yang matang
tumbuhkan rimbun rumah peradaban
tempat tetirah senja-senja kita
sambil menyiapkan segala kelengkapan
sebuah prosesi upacara keberangkatan

di luar, langit gemintang
sajak-sajak layang berarak
serupa mega-mega makna
merintikkan anak-anak kata
pembasuh jejak tapak
batu-batu duka kita

2022

52 | Masyarakat Literasi Jember

H.Shobir Poer
HUJAN ITU TEDUH
Hujan itu teduh- anugrah jiwa
Rintiknya lantunkan nyanyian asma Allah
Meretas bulirbulir keteduhan
Bermesra dengan bunyian zikir
Yang turun deras di atap genting rumah
Berlarian- mengintip sunyi
Memburu rindu dan cinta
Jadi selimut kemesraan
Hujan juga sanggup marah
Ketika gelegarnya membabi buta
Apalagi jika hujan tak disapa
Dan hatinya terluka,
Amuknya – sanggup kirimkan petir yang menyala
Tumpahkan pedih hingga banjir air mata
Oh, hujan yang tumpah
Temani aku selalu dengan keteduhan.
Tangerang Selatan, 17 Juli 2022

Upacara Tanah Puisi | 53

Hafney Maulana
EMBUN YANG FANA
embun yang enggan beranjak
di daun, menjadi ulat merayap
mencari hatinya sendiri,
antara pagi dan siang
"aku ingin menjadi naga," bisiknya pada angin
matahari pun memecah embirionya, menguap ke langit
menemukan takdirnya, selintas pintas menjadi naga
yang melengkung di langit
hanya selintas, tubuh dan jiwanya meniti akhir
kembali ke asal mula, embun yang fana.
2022

54 | Masyarakat Literasi Jember

Heni Hendrayani
SEKUNTUM KEMBANG KANGKUNG

di antara lembar daun-daun
ikan-ikan berenang mengitari kolam
bersembunyi di balik daun

sekuntum kembang kangkung
tersembul malu di segagang kangkung
menghias kolam dengan langit berarak mega putih
yang memantul di permukaan kolam

sekuntum kembang kangkung
bukan bunga teratai yang anggun
yang kelopaknya dipuja sebagai lambang

sekuntum kembang kangkung
dimekarkan Sang Maha Indah
di antara ruas-ruas gagang kangkung
dan pucuk daun yang tersisa

sekuntum kembang kangkung
hanya punya kelopak seputih mega
dapatkah turut memahat indah langit hari

17 Juli

Upacara Tanah Puisi | 55

Henny Purnawati
CERMIN RETAK

Cermin kehidupan kita terlihat buram
Bingkainya mulai kusam dimakan waktu
Seiring hari-hari yang telah kita lewati
Jejak yang tertinggal semakin jauh
Hanya ada ilalang terus bertumbuh subur
Menutup jalan untuk kembali

Cermin kehidupan kita tak lagi sama
Karena ruang rindu kita telah lama kosong
Entah kemana rindu itu pergi
Mungkinkah jarak menjadi penyebabnya
Aku tak tahu ke mana harus bertanya
Semua jawaban berlalu terbawa angin

Cermin kehidupan kita akhirnya retak
Menyisakan cinta yang semakin rapuh
Retakkan itu terus bertambah seiring waktu yang pergi
Tak lagi kita dapat bersama-sama berkaca
Merekatkannya hanyalah kesia-siaan
Hati kita tak lagi mampu mengukur ruang dan waktu atas
nama cinta

2 Juli 2020

56 | Masyarakat Literasi Jember

Hermawan
TAMBO

Di ketinggian puncak itu
Angin semilir menerpa wajah
Dedaunan berbisik sapaan angin
Dikrarkan janji ‘tuk masa depan
Mencapai asa yang digantungkan
Melihat seputar indah menawan

Camar melayang membawanya
Meliuk-liuk dan menukik saat ombak memecah
Menukik memecah riak
Sampai di pinggir pantai
Menyampaikan salam itu

Kini hanya lembaran demi lembaran
Tertata huruf demi huruf
Menguap dan terbang entah ke mana
Aku mencari dalam susunan lipatan
Sehelai batik peninggalan
Berkisah tentang masa lalu
Tak perang seperti sejarah
Hanya ingatan berdebu

Tambo itu mengabarkan hidupnya
Menelusuri asal usulnya
Menjadi nyata dengan membaca kearifan
Selesai

Padang, 1472022

Upacara Tanah Puisi | 57

Heru Patria
BISIK-BISIK JANGKRIK

Di atas panggung politik, dalam mimbar antik
Seseorang cari simpatik dengan berbagai trik
Janjikan kehidupan membaik, buat masyarakat tertarik
Tapi kenyataan terbalik, bikin rakyat kecelik

Harga sembako kian naik, termasuk tarif listrik
Pajak terasa mencekik, bikin rakyat panik
Lapangan kerja jungkir balik, generasi tak berkutik
Simpan wajah burik bertopeng muka licik

Sungguh berisik, sudah salah alergi kritik
Tak mau diulik, takut posisi bakal terusik
Persetan orang sirik, yang penting dirinya asyik
Biar kata orang mendelik, mereka tetap tertawa ngikik

Pemuisi sembunyi dalam bilik hanya sekadar melirik
Berceloteh bisik-bisik takut ada kuping terkilik
Barisan diksi bergidik, ngeri mengumpat jangkrik
Seperti kuda meringkik aku teriak, bajingan tengik

Dasar licik di atas mimbar menebar intrik
Dasar picik derita sesama dianggap klenik

Blitar, 2022

58 | Masyarakat Literasi Jember

I Ketut Aryawan Kenceng
SEPASANG CANANG SARI
Sepasang canang sari
Melayarkan cahaya terang hari
Di padang -padang pengembaraan
Di sela -sela penggal pertikaian
Sepasang canang sari
Persembahan mungil kemilau hati
Segala kerinduan purba yang gemuruh
Untuk terus berdesing sampai jauh
Sepasang canang sari
Abadi wangi menari
Nb :Canang sari adalah nama salah satu sesaji di bali

Upacara Tanah Puisi | 59

I Putu Gede Pradipta
HUJAN
barangkali hujan jatuh
setelah sekian lama menahan keluh
yang penuh dikandung seluruh
hujan akan menebar
setiap kabar yang dibawa angin liar
dingin menjadi bunga lalu mekar
Dps, 26 Juni 2022

60 | Masyarakat Literasi Jember

I Wayan Sastra Gunada
NUSA PENIDA
Lama tidur, ditidurkan, tenggelam dalam mimpi berlumpur
Ada namun tiada
Hanya pelengkap peta berwindu-windu
Terlupakan, seolah tak kasat mata
Dimata pemegang tongkat yang lamur
Kini, pulauku berkemilau menyilaukan
Lezat nan memikat bak telur emas
Semerbak bau pantai Penida, Kelingking,
Atuh, dan Diamond
Menelusup indera hingga sukma
Diendus
Diserbu
Diburu
Dan ia pun terus merayu
Pun karena pemegang tongkat yang luhur
Akankah kita melacur di tanah leluhur?

Upacara Tanah Puisi | 61

Ibnu Wahyudi
PAMERIYA
pameriya menyekutui raga
jiwa meradang tak bertelaga
yang ada tak lebih nafsu
nafsu rendah dikemas wah
tipu daya menyihir kenyataan
kenyataan dipermak instan
demi tampil dalam kenorakan
kenorakan terus memimpin
tanpa disadari sebagai mimpi
bahwa mimpi itu kefanaan
lekas lenyap lantaran maya
bagai halusinasi yang gegas
lemas menghadapi realitas
lenyap disapu bengis dunia
8 April 2022

62 | Masyarakat Literasi Jember

Iis Singgih
IBU DEWI KUNTHI TALIBRATA

aku ingin sekali menepi di dalam kenanganmu
tegak menghunjamkan diri pada malam yang selalu rapuh
sebelum angin gugurkan dingin

ceritakan padaku, ibu
bagaimana cinta tak akan mati tetap memandang hormat
pada setiap kesedihan bahkan juga tangisan

aku mendera, terus mendera air mata ini
harusnya bukan milikku
aku takut kehilangan rindu
sebab malam begitu hening
: hati ini begitu lemah

kubaca lagi kisah juangmu yang lekat erat di bahu kenang
kata-kata itu bening seperti kaca
masuk sebagai bunga cahaya
meski tubuhmu tak bisa kukenal

katakan padaku, ibu
mantra apa yang sering kau ucap?
kau terus mencari kata-kata
meski langkahmu ditumbuhi sunyi
: tertutup segala jalan dendam juga jalan kematian

Lawang, 20 Juli 2022

Upacara Tanah Puisi | 63

Imron Bintang
ANAK-ANAK PENGHAFAL FIRMAN

anak-anak penghafal firman itu
menyediakan sentong kosong
buat kehadiran semburat cahaya suci
untuk diendapkan di dasar sanubari
sebagai Kalam bertintakan kata-kata
mengalir di luar kepala

anak-anak penghafal firman itu
meninggalkan taman permainan
di kala matahari masih dini
dan dunia gadged penuh fantasi
seperti gemerlap pasar malam
menjajakan berbagai ragam hiburan

anak-anak penghafal firman itu
begitu pagi mengetuk langit biru
dengan lafal lantang bertalu-talu
beribu peri menimang sayang
semoga arah perjalanan tetap lempang
sebagai pengemban risalah suci di bumi

Kendal, 29 Juni 2022

64 | Masyarakat Literasi Jember

Irawan Sandhya Wiraatmaja
MENUJU ROKOT
“Di mana rokot? Apakah ada peta bisa dibaca
Memberikan arah, atau tanda-tanda jalan?‖
Seseorang membisikkan sesuatu, agak aneh
Tapi seperti ada suara yang sayup-sayup bermakna
Dari utara kita harus kembali ke selatan
Musim hujan, menjadikan tanah basah dan bergolak
Tak cukup kuat melintas tanpa kokoh jejak
Banyak yang kembali karena lupa membawa nama
Pohon-pohon di setiap jalan, berjajar memberi
Warna yang berbeda. ―Tapi apakah kau mengerti
Kota kecil, yang sembunyi dari ombak laut?‖
Kita hanya diam seperti belajar mengeja
Kota-kota yang jauh berjarak, hampir dilupakan
Tak pernah ditulis, tak mungkin dibaca dalam bahasa
Yang tak pernah kita bicarakan.
April 2022

Upacara Tanah Puisi | 65

Irna Novia Damayanti
MENYELAMI LAUT

Re, barangkali kita perlu menyelamatkan diri dari
daftar aktivitas yang kita namai luka,
dengan menyelami laut

kita bisa mengenal kecipak ikan yang
berusaha memberimu hibur atau
rumput laut yang digoyangkan takdir
di depan matamu agar
kau tersenyum, sampai
hari kita ranum merupa bunga wijayakusuma

selepasnya, kita merebahkan percakapan di antara
gelombang ombak
dan melupakan rindu yang terluka

aku memang tidak menjamin apakah
wajahmu kembali merupa setangkai mawar di pagi hari
atau segelap waktu pukul duabelas malam
tapi langkah kita berlu mengarah kepada
harapan yang bisa kita tulis pada daftar rencana

Karangtengah, Mei 2022

66 | Masyarakat Literasi Jember

Isbedy Stiawan ZS
STASIUN TANJUNGKARANG
pagi tak mengucap salam padaku
namun langsung menyilakan aku
duduk di kursi tunggu. di luar
deru kereta telah menunggu
ke mana pagi ini ingin pergi?
rel kereta yang masih dingin
dengan gigil bertanya. aku
tak sanggup menjawab; perjalanan
masih jauh, tebaktebakkan belum
tentu tertebak
rel kereta api masih panjang
dan tak akan pernah bertemu
namun, apakah aku juga
akan sampai di stasiun lain?
kau kini yang mesti menjawab
2 April 2022

Upacara Tanah Puisi | 67

Joe Mawar
PUCUK-PUCUK TEMBAKAU
terlanjur sumringah tengadah doamu, tiba-tiba
gerimis bertandang tak terbendung, membawa
cerita lain yang belum dirindukan sebagai teman
musim ini
pucuk-pucuk harapanmu rebah dalam tabah
rencana bertukar canda dengan secuil permata
kandas bagai pelayaran kehilangan pulau tujuan
bagaimana kira-kira kita akan menyeduh kopi jika
hangat tungku pun enggan membuka percakapan?
ini bukan sebuah film sad ending
dimana sang bintang akhirnya mati terkulai tanpa lanjutan
kisah berikutnya
kemudian layar kaca bergaris-garis, hujan sendirian
menutup cerita
episode tembakau musim ini, lindap senyap
menyisakan pengap tanpa ucap

68 | Masyarakat Literasi Jember

L Surajiya
ADA SEGUMPAL RINDU, UNTUKMU
ada segumpal rindu
mendekam di dadaku,
bernafas berat,
menyuarakan namamu:
menggali sunyi
ada bayang-bayang yang samar
bergerak berputar,
menerpa gelap,
menggores hati
kerinduan ini tak dapat dikata
tak dapat diurai: begitu agung!
Kulon Progo, 18:07:2022

Upacara Tanah Puisi | 69

Lenny Flo
MATI SURI

Kata dan rasa tak lagi sejalan
dusta mengoyak mimpi yang engkau tawarkan
muak teramat sangat akan asa yang itu itu saja
sedang kita tetap di lubang yang sama
lubang kebusukan

Untuk apa berkisah tentang nirwana
sedang aku masih kelaparan

Cinta mati terpaksa hati mulai bersandiwara
kusanjung di depan kumaki di belakang
jangan coba bertanya kenapa apalagi mendakwa
karena semesta pun kadang terduga
apalagi hanya sepenggal jiwa nelangsa

Mari teruskan saja merangkai kalimat indah sekalipun
ingin muntah
ceritakan tentang lengkung warna warni pelangi meski aku
tak peduli
atau tentang bintang rembulan dan matahari
terserah bagiku tak lagi berarti
duniaku perlahan mati suri

Jember, 01072022

70 | Masyarakat Literasi Jember

Lilin
PADA APA MEREKA INGAT?

Seberapa banyak orang-orang memenuhi beranda
Tidak ada yang mencoba mengusap peluh
Lupa bagaimana rumah dibentuk
Dari tiang solidaritas-senasib sepenanggungan

Tentu saja semua tidak pernah lupa
dengan Kemanusia yang adil dan beradab
Bukan yang berada
Atau mereka juga ingat
Suara dari batang padi dan kapas
Bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan hanya
pemimpin rakyat

Pada saat apa mereka mendengar
Suara hujan menerobos genting rumah saudaranya
Atau melihat kemarau di bagian belakang rumah yang esok
hari akan ambruk
Pada apa mereka ingat?

Namun, yang menyenangkan adalah kembang api
Yang disulut setiap hari-hari mendekati Demokrasi
Berwarna-warni
Di Sepanjang jalan kami
Jalanan kami mencemaskan masa depan nanti

Surabaya, 25 Juni 2022

Upacara Tanah Puisi | 71

Lubet Arga Tengah
TARIKH SITI JENAR
seperti membaca dongeng, kelahiran dan kematianmu
dirahasiakan dari waktu. berlembar-lembar tarikh digaris.
enam belas nama menyusup di kepala. entah dari
semenanjung malaka, anak ampel atau dari persia.
kaujahit tuhan dalam tubuhmu. menjadi jubah baru.
dikibas-kibaskan dari krendhasawa. anginnya sampai ke
kudus, tempat terakhir menyerah diri. sebagai perjanjian
ruh pada takdir hitungan almanakmu.
penglihatan hanya sejengkal. ke mana hendak dijumpai.
syahadat dalam gamelan kali jaga, takbir dan fatihah dari
bibir gunung jati, kauganti bunyi-bunyi langit. diajak
menari ke dalam hati. meski tak semua mengenal diri.
murid-murid datang dan mengamini. bahwa tubuh-tubuh
yang tumbuh adalah nyata kematian. sementara dari larik-
larik caruban nagari, pangeran wangsakerta menulis
―tuhan tidak manunggal‖

72 | Masyarakat Literasi Jember


Click to View FlipBook Version