The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Yang Berkelindan di Bawah Permukaan merupakan kumpulan tulisan staf pengajar Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Mardhayu Wulan Sari, 2023-03-24 16:09:58

Yang Berkelindan di Bawah Permukaan

Yang Berkelindan di Bawah Permukaan merupakan kumpulan tulisan staf pengajar Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.

Keywords: antologi,Sastra,Linguistik,Filologi

i


i


ii YANG BERKELINDAN DI BAWAH PERMUKAAN © Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Penulis Bea Anggraini, Bramantio, Dwi Handayani, Eddy Sugiri, Edy Jauhari, Harum Munazharoh, Heru Supriyadi, I. B. Putera Manuaba, Luita Aribowo, Mardhayu Wulan Sari, Mochtar Lutfi, Ni Wayan Sartini, Puji Karyanto, Purwantini, Retno Asih Wulandari, Sri Ratnawati, Sri Wiryanti Budi Utami, Sutji Hartiningsih, Trisna Kumala Satya Dewi, Tubiyono ISBN 9786237692218 Penyunting Bramantio Perancang Sampul dan Penata Letak Bramantio Diterbitkan pertama kali oleh Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Desember 2020


iii KATA PENGANTAR DEKAN FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS AIRLANGGA Saya menyambut dengan gembira atas terbitnya buku yang berjudul Yang Berkelindan di Bawah Permukaan, yang ditulis oleh para dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Terbitnya buku ini turut memperkaya khasanah perbukuan di Indonesia, terutama untuk bidang bahasa dan sastra. Naskah awal buku ini adalah hasil penelitian dosen-dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga sehingga secara akademik bisa dipertanggungjawabkan. Bahasa dan sastra Indonesia merupakan bidang kajian yang sangat luas, tetapi dengan peminat yang tidak cukup banyak, sehingga upaya untuk menggali khasanah budaya tersebut harus dilakukan dengan ekstrakeras. Terbitnya buku ini tentu saja harus disambut dengan baik karena membuktikan bahwa bidang kajian bahasa dan sastra Indonesia merupakan bidang yang terus tumbuh dan memerlukan perhatian dari para ilmuwan. Menilik tema-tema yang ditulis dalam buku ini menunjukkan bahwa bidang bahasa dan sastra merupakan bidang kajian yang unik dan langka yang hanya bisa dikaji oleh para ahli yang memiliki minat dan perhatian yang tinggi. Ketekunan para dosen yang berkontribusi dalam menyumbangkan tulisannya di buku patut mendapat apresiasi setinggi-tingginya dan patut untuk terus didorong dan dikembangkan. Tulisan-tulisan yang dimuat di buku ini, sebagaimana telah disebutkan, adalah hasil penelitian, sehingga secara umum hal-hal yang dibahas dalam buku ini merupakan sesuatu yang baru. Masyarakat tentu saja membutuhkan kehadiran tulisan-tulisan semacam ini yang belum diketahui sebelumnya sehingga akan menambah wawasan serta memperluas pengetahuan. Bahasa merupakan alat komunikasi yang terus-menerus mengalami perkembangan, perubahan, serta pergeseran sebagai konsekuensi logis perkembangan masyarakat. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang berkembang sangat cepat sebagai dampak mobilitas masyarakat yang sangat tinggi serta dampak keterbukaan teknologi informasi. Dua hal tersebut telah memperkaya bahasa Indonesia, terutama karena penggunaan berbagai kosakata asing yang terjadi secara dinamis nyaris setiap hari. Namun, pada saat yang sama, upaya masyarakat untuk mempertahankan bahasa lokal juga tetap terjadi, sehingga sebagaimana diperlihatkan dalam beberapa tulisan di buku ini, bahasa Jawa tetap bertahan dan tetapa menjadi alat komunikasi yang efektif. Kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap kemungkinan punahnya bahasa lokal tampaknya tidak akan terbukti. Hal yang sama juga terjadi pada perkembangan karya-karya sastra Indonesia. Di tengahtengah kondisi dunia yang mengglobal tanpa batas, eksistensi sastra Indonesia ternyata tetap utuh dan terjaga dengan baik. Munculnya media online justru telah memperkuat keberadaan sastra Indonesia, karena telah memperluas jangkauan keterbacaan karya-karya sastra Indonesia. Hadirnya karya-karya sastra baru patut untuk terus dikaji mengingat dari karya sastralah kita mendapatkan berbagai pelajaran penting yang lahir dari pergulatan masyarakat yang dialihmediakan menjadi karya-karya imajinatif. Sebagaimana bahasa, karya sastra tidak akan pernah mati, bahkan akan terus berkembang seiring dengan berbagai perubahan yang


iv terjadi di masyarakat. Perubahan masyarakat akan diikuti dengan perubahan karya sastra karena sejatinya karya sastra adalah cerminan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Saya berharap buku yang isinya membedah fenomena bahasa dan sastra Indonesia ini akan dijadikan bacaan wajib bagi para mahasiswa yang mengkaji bidang ini, serta akan menjadi referensi penting bagi masyarakat. Buku ini menjadi referensi penting karena aspek teoretis dan faktual yang dibahas akan semakin memperkuat fundamental pengetahuan bahasa dan sastra Indonesia. Kajian-kajian serupa hendaknya terus dilakukan oleh para dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, dan akan lebih baik jika buku serupa akan terbit lagi pada masa-masa yang akan datang sebagai bukti tumbuhnya dinamika akademik di kampus. Surabaya, Desember 2020 Prof. Dr. Purnawan Basundoro, M.Hum.


v PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga bunga rampai yang bertajuk Yang Berkelindan di Bawah Permukaan dapat diterbitkan dalam rangka memperingati Tiga Dasawarsa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Bunga Rampai ini merupakan sebuah kumpulan artikel dari hasil penelitian dan gagasan para dosen dari berbagai sudut pandang keilmuan, yaitu kebahasaan, kesastraan dan pernaskahan yang bertujuan memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu humaniora. Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga telah berdiri selama 32 tahun. Selama kurun waktu tersebut, para dosen banyak menghasilkan karya monumental yang selaras dengan bidang masing-masing. Tentunya apa yang diupayakan dan dihasilkan para dosen dapat bermanfaat bagi pemerhati bahasa, sastra, dan naskah lama, juga bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Dengan rentang waktu yang sudah mencapai tiga dasawarsa tersebut, diharapkan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia semakin maju di tingkat nasional dan di kancah internasional. Proses penerbitan buku ini tentunya tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga beserta jajarannya; 2. Bramantio, S.S., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga yang telah membantu capaian kinerja selama ini; 3. Semua dosen Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bantuan, saran, dan kontribusi yang tidak terhingga: Prof. Dr. Ida Bagus Putera Manuaba, Drs., M.Hum.; Dr. Hj. Purwantini, Dra., M.Hum.; Drs. H. Eddy Sugiri, M.Hum.; Drs. Heru Supriyadi, M.A.; Dra. Sutji Hartiningsih, M.Hum.; Dr. Sri Ratnawati, Dra., M.Si.; Dr. Sri Wiryanti Budi Utami, Dra., M.Si.; Drs. Tubiyono, M.Si.; Dr. Trisna Kumala Satya Dewi, Dra., M.S.; Dr. Adi Setijowati, Dra., M.Hum.; Dr. Ni Wayan Sartini, Dra., M.Hum.; Dra. Retno Asih Wulandari, M.A.; Dr. Edy Jauhari, Drs., M.Hum.; Dr. Listiyono Santoso, S.S., M.Hum.; Mochtar Lutfi, S.S., M.Hum.; Dr. Ida Nurul Chasanah, S.S., M.Hum.; Moch. Jalal, S.S., M.Hum.; Puji Karyanto, S.S., M.Hum.; Bea Anggraini, S.S., M.Hum.; Moch. Ali, M.A.Min.; Dr. Luita Aribowo, S.S., M.A.; Bramantio, S.S., M.Hum.; Ratih Kirana Suryo Puteri, S.Hum., M.Si.; Mardhayu Wulan Sari, S.Hum., M.A.; dan Harum Munazharoh, S.S., M.A. 4. Prof. Diah Ariani Arimbi, S.S., M.A., Ph.D., Dra. Nur Wulan, M.A., Ph.D.; dan Rizki Andini, S.Pd., M.Litt., Ph.D. yang selalu memberikan motivasinya; 5. Ira Andri Astutik, S.E., selaku admin Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bantuannya.


vi Akhir kata, tidak ada gading yang tak retak. Saya mohon maaf apabila ada kekurangan. Semoga penerbitan bunga rampai ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan sumbangan pengetahuan sehingga bermanfaat bagi semuanya. Surabaya, 10 November 2020 Ketua Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universtas Airlangga, Dra. Dwi Handayani, M.Hum.


vii DAFTAR ISI Variasi Bahasa Jawa sebagai Bentuk Kesantunan Berbahasa dalam Konteks Tuturan Masyarakat Jawa Timur Dwi Handayani dan Bea Anggraini 1 Penggunaan Variasi Bahasa dalam Interaksi Komunikasi pada Wanita Madura Berdasarkan Tingkat Sosial Ekonomi Eddy Sugiri, Mochtar Lutfi, dan Heru Supriyadi 17 Tindak Tutur Direktif dalam Khotbah Jumat Berbahasa Jawa Edy Jauhari 28 “Eyang Yasa Sare Kondur”: Konsep Kematian Jawa pada Masyarakat Padepokan Tjipta Boedaja, Magelang Harum Munazharoh 39 Bahasa Anak: Indikator Perkembangan Anak Luita Aribowo 49 Bahasa dan Identitas Etnik Bali di Media Sosial Ni Wayan Sartini 57 Profil Agramatisme Struktur Verba pada Kalimat Penderita Retardasi Mental Borderline (IQ 60—80) Sri Wiryanti Budi Utami 66 Antara Fungsi Objek dan Pelengkap dalam Kalimat Bahasa Indonesia Tubiyono 74 Bipolaritas, Renungan Pasar, Hati Nurani Manusia Bramantio 78 Struktur Stilistika Kumpulan Puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan Karya Agus Jabo Heru Supriyadi 90 Perihal Penelitian Kualitatif Lapangan Bidang Sastra I. B. Putera Manuaba 102 Presentasi Kehidupan Pesantren dalam Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi Puji Karyanto 109


viii Simbol Tiga Kekuatan Politik dalam Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer Purwantini 120 Peran Cerita Anak dalam Sosialisasi Hidup Bersih di Kalangan Siswa-siswi Sri Ratnawati 133 Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M Mardhayu Wulan Sari 146 Tradisi dan Budaya dalam Perspektif Hermeneutika Gadamer Mochtar Lutfi 155 Peran dan Kedudukan Tokoh Bidadari dalam Kesusastraan Jawa Kuna Retno Asih Wulandari 160 Makna Simbolik yang Terkandung dalam Prosesi Memetri Desa di Desa Ngasinan, Kediri Sutji Hartiningsih 172 Filosofi Kearifan Lokal Arsitektur Tradisional dalam Masyarakat Jawa Trisna Kumala Satya Dewi 180


1 Variasi Bahasa Jawa sebagai Bentuk Kesantunan Berbahasa dalam Konteks Tuturan Maryarakat Jawa Timur Dwi Handayani dan Bea Anggraini This study aims to describe language variety in Javanese, especially in Sidoarjo community. In addition, this study also reveals the factors that cause why people use taboo language in daily speech. This research applies descriptive method which is based on the facts. While the data collection method is directly listening to the speech between the speakers with the premises opponent. In addition, it also employs the depth interview method with the informants who have been selected based on certain criterias. This research concludes that language variety usage of the Sidoarjo society in East Java refers to the form, the activity and the usage cause factors such as the association, eufemia, relationship intimacy, humor and satire. Keywords: context of speech, Javanese language, language variety Pendahuluan Dalam retorika berbahasa, pemahaman terhadap makna dalam suatu bahasa bergantung pada konteks tuturan yang sedang digunakan antara penutur dengan lawan tutur. Hal ini berhubungan erat dengan apa yang dibicarakan, apa yang ditangkap, apa yang dipahami, dan apa yang ditafsirkan dalam bentuk pikiran. Makna dalam setiap kata lebih berkaitan dengan penggunaannya di dalam bahasa. Oleh karena itu, Leech (1981:61) menyatakan bahwa makna dapat diperoleh dari konteks yang sudah diamati. Selanjutnya, Wijana (1996:10—12) menyatakan bahwa dalam konteks tuturan pasti melibatkan beberapa aspek, seperti: penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan, tindakan atau aktivitas seseorang, dan tuturan sebagai produk verbal. Sehubungan dengan pengertian makna dalam arti luas, pengembangan semantik menunjukkan pembagian tipe-tipe makna yang disesuaikan dengan efek komunikasi bahasa. Salah satu yang menjadi sorotan peneliti adalah variasi bahasa, yaitu pemakaian bahasa dengan mengedepankan efek penghalusan dalam tuturan sehingga menjaga tata pergaulan di masyarakat. Munculnya efek penghalusan bahasa ini tidak terlepas dari persepsi masyarakat yang didasarkan pada konvensi, situasi dan topik yang dibicarakan dalam konteks tuturan, misalnya sebutan Gusti, bagi masyarakat Jawa berarti Tuhan, bagi masyarakat di lingkungan keraton berarti sebutan raja, bagi kelompok masyarakat Bali berarti kasta, dan sebagainya. Mengenai istilah bahasa tabu lebih diarahkan bentuk refleksi yang mengarah pada gerakan atau pantulan di luar kemampuan atau kesadaran sebagai cerminan di dalam penggunaan bahasa. Oleh karena itu, menurut Dajajasudarma (1999:17), penggunaan kata-kata tabu lebih mengarah pada masalah-masalah yang berhubungan seksual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variasi bahasa dapat dikelompokkan pada sesuatu yang dilarang, dianggap berbahaya karena berhubungan dengan masalah kesusilaan. Dalam studi semantik, bahasa tabu dikenal sebagai salah satu aspek makna yang menekankan pada analisis pembentukan asosiasi dalam bahasa. Pembentukan asosiasi


2 tersebut berkaitan dengan hal-hal yang dilarang, dianggap suci, dinilai kurang pantas, dan berbahaya. Jadi, dalam setiap bahasa, tidak terkecuali bahasa Jawa, pemakaian bahasa tabu memang memanfaatkan bahasa sebagai sarana empuk untuk mewujudkan komunikasi yang terkesan sopan. Hal ini disebabkan bahwa bahasa tabu berkaitan dengan makna kesantunan di dalam tata pergaulan sosial dengan cara menghindari ungkapan-ungkapan tertentu dalam setiap tuturannya (Crystal, 1992:8; Sumarsono dan Patana, 2002:106; Wardaugh, 1993:230). Selanjutnya, bahasa tabu ini dapat dipandang sebagai penyebab terjadinya pergeseran dan perubahan makna terhadap kata-kata yang sudah ada. Perkembangan makna ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk kekuatan sebuah konsep yang memiliki daya sugesti tersendiri sehingga bermuara pada wujud penyimpangan konsep yang wajar tetapi signifikan. Oleh karena itu, pengkajian terhadap bahasa tabu tersebut akan lebih menarik apabila dihubungkan dengan tuturan bahasa Jawa yang dituturkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Secara sinkronis, bahasa tabu sering dituturkan oleh masyarakat untuk menyampaikan maksud, kehendak, perasaan, atau keinginan untuk mencapai efekefek tertentu. Misalnya, ketika penutur bahasa ingin mengatakan bahwa Pak Mamat memiliki anak yang banyak, penutur tersebut dapat mengatakan “Pak mamat sering ronda” atau “Pak Mamat senengane menak-menek menak.” Dengan demikian, penggunaan istilah sering ronda atau senengane menak-menek menunjukkan bahwa Pak Mamat sering melakukan hubungan intim atau hubungan seksual dengan istrinya. Penggunaan istilah sering ronda dan menak-menek ini dapat menimbulkan asosiasi tersendiri terhadap persepsi orang lain. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimanakah variasi-variasi penggunaan variasi bahasa yang digunakan dalam konteks tuturan bahasa Jawa? (2) Bagaimanakah faktor-faktor yang menyebabkan penggunaan bahasa tabu bagi masyarakat di Jawa Timur? Dengan begitu, ruang lingkup penelitian ini adalah tentang beberapa variasi yang terdapat dalam penggunaan bahasa tabu dalam kontek tuturan bahasa Jawa. Hal ini dikatakan bahwa dalam bahasa Jawa sangat kreatif untuk membentuk konsep lain yang hanya merujuk pada makna tertentu. Selain itu, peneliti akan menggali beberapa alasan yang dijadikan sebagai indikator bahwa masyarakat di jawa Timur, terutama di Sidoarjo masih mempertahankan bahasa tabu untuk untuk menjaga tata pergaulan di lingkungan masing-masing. Tinjauan Pustaka Sebagai sarana yang fundamental dalam komunikasi, bahasa memiliki fungsi yang cukup kompleks, yaitu: (1) instrumental, sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan material, (2) regulatori, untuk mengatur dan mengontrol perilaku antarindividu dalam hubungan sosial, (3) interaksional, yaitu menciptakan jalinan hubungan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, (4) personal, sebagai media identifikasi dan ekspresi diri, (5) heuristik, yaitu untuk menjelajahi, mempelajari, dan memahami dunia di sekitarnya, (6) imajinatif, yaitu untuk mengekspresikan daya khayal seseorang, dan (7) informatif, yaitu sebagai media penyampai pesan dalam sebuah komunikasi (Halliday, 1978:21). Meskipun memegang peranan penting dalam komunikasi, bahasa seringkali tidak mampu secara eksak mengungkapkan gagasan yang direpresentasikan. Pemakaian bentuknya sering berpindah-pindah makna sesuai dengan konteks gramatik, konteks sosial, bahkan konteks


3 situasionalnya (Aminuddin, 1998:18). Dengan adanya fakta tersebut, dalam bahasa sering terjadi bentuk ambiguitas karena tidak hanya mewakili realitas yang diacunya melainkan sebagai penanda gagasan yang lain. Bahasa tabu merupakan bagian makna dalam suatu bahasa. Makna dalam bahasa ini dapat digunakan dalam berbagai bidang maupun dalam konteks pemakaian. Hal ini menjadikan makna sering disejajarkan dengan dengan arti, gagasan, konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud, penafsiran, firasat, isi atau pikiran seseorang (Aminuddin, 1988). Selain itu, makna mengandung pengertian yang sangat luas, yaitu masalah yang menyangkut intrabahasa (Palmer, 1976:30), sedangkan Lyons (1977:204) menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata yaitu dengan melihat hubungan-hubungan makna sehingga berbeda dengan kata-kata lain. Dengan demikian, makna sebagai penghubung dengan dunia luar memiliki tiga tingkat keberadaan, yaitu (1) makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan, (2) makna menjadi bentuk dari suatu kebahasaan, dan (3) makna yang menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu (Djajasudarma, 1999:5). Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa selain mengandung pertautan unsur-unsur di dalam bahasa, makna juga berhubungan dengan suatu kesepakatan para pemakainya sehingga maksudnya dapat saling dimengerti (semantik maksud). Sebagai disiplin ilmu, makna merupakan bagian bentuk dari bidang semantik, yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna. Lyons (1968:400) mengatakan “Semantics may be defined, initially and provisionally, as the study of meaning.” Demikian halnya dengan Kreidler yang berpendapat “Semantics is the systematic study of meaning.” Ini berarti bahwa sebagai bidang linguistik, semantik merupakan sebagai ilmu bahasa yang mengkaji tentang makna secara sistematis. Adapun batasan pengertian makna sebenarnya merupakan persoalan yang cukup rumit dalam bahasa. Hal ini disebabkan bahwa semua bentuk bahasa memiliki konsep, membentuk arti yang berbeda-beda dari komponen-komponen pembentuknya. Namun demikian, istilah tentang makna lebih dekat dengan persoalan leksikal atau kata dalam bahasa (Pateda, 2001:79). Menurut Kamus Baru Bahasa Indonesia (2000:619), pengertian makna diartikan sebagai (1) arti, (2) maksud pembicara atau penulis, dan (3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Ketiga pengertian tersebut sepertinya sangat mendukung batasan tentang makna yang memiliki konsep dan pengertian berbeda apabila dihadapkan pada sebuah konteks. Hal ini menunjukkan bahwa makna merupakan suatu pertautan unsur-unsur bahasa dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Adapun aspek yang dimaksud adalah pengertian atau sense, perasaan atau feeling, nada atau tone, dan tujuan atau intention (Palmer, 1976). Pembicaraan tentang bahasa tabu sering dihubungkan dengan bentuk refleksi (cerminan) terhadap makna bahasa yang terdapat hubungan khusus dengan asosiasi yang muncul dalam persepsi para penutur. Hal ini disebabkan bahwa asosiasi tersebut mempunyai hak hidup sebagai sarana komunikasi yang bermakna, yang kadang-kadang secara nyata dapat mewakili interpretasi dari berbagai konteks yang berlainan. Oleh karena itu, dari hubungan asosiasi ini terdapat lambang yang bersifat (1) ekonik, yaitu lambang yang hanya menjadi gambar dari referen maupun gagasan yang diacu, dan (2) simbolik, yaitu lambang yang arbitrer dapat mewakili sesuatu yang lain dan penentuan maknanya dapat ditentukan sesuai dengan konteks (Aminuddin, 1988:84—85). Oleh karena itu, Leech (1981:23) berpendapat,


4 “Reflected meaning what is communicated through association with another sense of the same expression.” Maksudnya, bahwa makna refleksi dapat membentuk asosiasi tertentu dari ungkapan yang sama, misalnya main kuda-kudaan dapat mengandung pengertian lain, yaitu ‘bermain dengan suatu benda yang mirip dengan kuda’ atau ‘berhubungan intim atau seksual.’ Selain itu, bahasa tabu memiliki daya sugestif tersendiri sehingga sering terlukis oleh katakata yang mencerminkan kesantunan dalam berbahasa, meskipun dituturkan dengan terang-terangan oleh penutur. Pemakaian bentuk tabu tersebut dapat digantikan dengan bentuk ungkapan lain yang memang mengandung tujuan-tujuan tertentu. Karena pada dasarnya, sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat tabu memegang peranan penting dalam bahasa terutama digunakan tata krama pergaulan sosial di masyarakat (Ullmaan, 1977:204; Sumarsono dan Partana, 2004:106). Istilah bahasa tabu memiliki hubungan kedekatan dengan istilah gereflekter, yaitu makna yang muncul dalam hal konseptual jamak sehingga muncul dalam reaksi kita terhadap makna lain (Pateda, 2001:102). Makna tersebut tidak saja muncul karena sugesti emosional tetapi berhubungan dengan kata atau ungkapan yang bersifat tabu. Selanjutnya, keberadaan makna gereflekter dalam suatu bahasa sangat diperlukan dalam setiap bahasa sebagai norma atau aturan tata pergaulan di masyarakat, terutama bagi masyarakat Jawa yang mayoritas berbahasa Jawa. Munculnya bahasa tabu (taboo) dalam tuturan bahasa Jawa sepertinya tidak terlepas dari bentuk bahasa, yaitu metafora. Istilah metafora berasal dari bahasa Yunani metaphor yang berarti ‘transfer’. Lebih lanjut, metafora dianggap sebagai figure of speech yang digunakan untuk mengganti kata-kata biasa menjadi unsur lain yang lebih implisit. (Kreidler, 1998:301). Dalam retorika bahasa, metafora merupakan perbandingan secara langsung antara dua hal atau bentuk yang didasarkan pada kemiripan dan kesamaan tanggapan pancaindera (Parera, 2004:119; Keraf, 1996:139). Biasanya, perbandingan yang dilakukan metafora tidak mempergunakan kata-kata seperti, bak, atau bagai, tetapi kehadirannya dibatasi sebuah konteks. Oleh karena itu, adanya bentuk metafora dapat menjadikan seseorang menginterpretasikan sebuah tuturan dengan berbagai cara sehingga terlihat lebih kreatif dan variatif. Selain itu, bahasa tabu sering dikaitkan dengan larangan untuk menyebut persona, binatang, atau benda tertentu (Pateda, 2002:115). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tabu pada satu pihak dapat berarti larangan, pembatasan, berbahaya, tidak bersih, aneh yang nantinya dapat digantikan dengan konsep lain namun masih merujuk pada makna yang sama. Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, kiranya dapat menjembatani penelitian tentang bahasa tabu yang digunakan oleh masyarakat di Jawa Timur. Lebih lanjut, diharapkan dapat menangkap gejala fenomena kebahasaan yang bermuara pada keunikan dan keragaman dalam sebuah tuturan. Metode Metode merupakan cara kerja yang terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dan memperoleh hasil yang maksimal dalam suatu penelitian. Sudaryanto (1988:26) mengatakan bahwa metode sebagai langkah cara kerja harus dijabarkan sesuai dengan alat dan sifat alat yang dipakai, yaitu melalui teknik-tekniknya. Selanjutnya, Djajasudarma


5 (2006:4) menyatakan bahwa metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa data tertulis atau lisan yang ada di masyarakat bahasa (Djajasudarma, 2006:11). Dengan demikian, akan diperoleh data-data berdasarkan fakta-fakta dengan langkah-langkah yang cukup strategis dan sistematis memudahkan pemaparan, pemerian dan pengklasifikasian serta analisis sehubungan dengan bahasa tabu dalam tuturan bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di Jawa Timur. Berdasarkan penggunaan metode di atas, penelitian ini menggunakan tiga tahapan strategis sebagai berikut. 1. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak atau penyimakan, yaitu menyimak tuturan lisan yang secara langsung dituturkan oleh penutur dan lawan tutur dalam komunikasi sehari-hari dalam situasi informal. Pemerolehan data ini diperoleh tanpa adanya rekayasa sehingga data bersifat alami, kemudian data tersebut dicatat dan ditulis secara lengkap pada kartu data berupa ortografis. Selain menggunakan metode penyimakan, peneliti juga menggunakan metode cakap atau percakapan sehingga terjadi komunikasi secara langsung antara peneliti dengan narasumber. Oleh karena itu, untuk menjaring segala kemungkinan yang terjadi, metode pengumpulan data ini diperkuat dengan cara melakukan kegiatan di lapangan. a. Melakukan Observasi Observasi merupakan kegiatan yang berupa pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Pengamatan tersebut dilakukan dengan cara melakukan pengamatan proses kebahasaan dalam situasi informal. Lokasi yang dijadikan sebagai tempat observasi sasaran penelitian, yaitu warung, pos jaga, alun-alun, gedung olah raga, atau beberapa lokasi lainnya yang disinyalir sebagai sebagai tempat berkumpulnya para penutur sebagai narasumber. Kegiatan observasi ini merupakan suatu proses awal dengan tujuan agar dapat mengontrol kemurnian dan kesahihan data di lapangan. Hal ini peneliti akan bertindak sebagai partisipan yang cukup mengamati terjadinya bentuk tuturan yang digunakan oleh masyarakat di Jawa Timur. Dengan demikian, data tuturan tersebut dapat diklasifikasikan dan dikelompokkan berdasarkan tipe-tipenya sesuai karakter bentuk bahasa tabu dalam tuturan bahasa Jawa. b. Wawancara Wawancara merupakan suatu kegiatan yang berupa tanya jawab secara langsung dengan para narasumber dengan menyertakan daftar nama yang memuat biodata para informan. Kegiatan wawancara ini dilakukan peneliti agar dapat memperoleh data yang akurat dan utuh (holistik) terutama ditekankan faktor-faktor yang melatarbelakangi pemakaian tuturan bahasa Jawa yang mengandung bahasa tabu. Selain itu, sebagai pelengkap dalam kegiatan wawancara ini, peneliti bertindak sebagai partisipan yang secara aktif ikut memancing dalam munculnya tuturan bahasa Jawa. Hal ini dilakukan untuk menghindari bentuk kevakuman dalam pemerolehan data. Adapun kegiatan ini juga disertakan pencatatan biodata para narasumber sebagai partisipan yang secara aktif membantu di lapangan penelitian


6 c. Menentukan Informan Untuk memudahkan di dalam melakukan penelitian ini diperlukan beberapa informan 10 orang yang berperan aktif di dalam pemerolehan data. Para informan ini dipilih secara purposive berdasarkan subjektivitas peneliti di lapangan. Dalam hal ini keduanya diharapkan dapat memegang peranan penting dalam memberikan keterangan yang diperlukan sehingga harus memenuhi persyaratan tertentu. Dengan demikian, para informan yang akan dijadikan sebagai penentu utama narasumber memiliki persyaratan sebagai berikut: (1) penutur asli bahasa Jawa, (2) berpendidikan, minimal berpendidikan SMP, (3) mempunyai artikulasi yang baik, (4) dewasa, sekitar 25-50 tahun, (5) bersifat terbuka dan suka bergaul, dan (6) bertempat tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur. d. Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilayah Sidoarjo, sebagai tempat yang strategis bagi peneliti. Kota ini termasuk dalam wilayah Jawa Timur yang dapat dijadikan sasaran alternatif untuk melakukan sebuah penelitian tentang bahasa tabu dalam tuturan bahasa Jawa. Dengan dipilihnya wilayah Sidoarjo ini dengan pertimbangan bahwa kota tersebut merupakan lokasi yang memudahkan peneliti untuk melakukan interaksi secara baik dengan lingkungan sehingga dengan mudah dapat melakukan serangkaian kegiatan penelitian. Di samping itu, kota ini dapat dipandang sebagai objek penelitian yang dapat dijangkau oleh peneliti untuk pemerolehan data atau informasi. 2. Metode Analisis Data Metode analisis data merupakan tahapan yang paling penting dalam suatu penelitian karena berusaha membahas dan menganalisis data-data sesuai dengan perumusan masalah. Pada tahap ini, peneliti berusaha membahas beberapa hal yang meliputi: open coding, axial coding, dan selective coding (Sudikan, 2000:105). Pada tahap open coding peneliti berusaha memperoleh variasi data sebanyak-banyaknya yang terkait dengan masalah penelitian, dengan cara membagi, memeriksa, mengelompokkan, dan mengklasifikasi data. Pada tahap axial coding, peneliti akan mengoordinasi kembali data-data dalam open coding yang nantinya dapat dikembangkan secara maksimal, yang meliputi kondisi, fenomena, konteks serta kondisi. Pada tahap selective coding, peneliti mengklasifikasi proses pemeriksaan secara keseluruhan melalui berbagai hubungan interaksi yang ada dan akhirnya menghasilkan simpulan yang cukup akurat. 3. Metode Pemaparan Hasil Analisis Data Pemaparan hasil analisis data dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan metode formal dan metode informal. Bentuk pemaparan dengan metode formal, yaitu menuliskan hasil analisis dengan cara menuliskan dengan kalimat secara ortografis serta digunakan lambang-lambang atau kode-kode dalam linguistik. Bentuk pemarapan dengan metode informal yaitu menuliskan dengan kata-kata atau kalimat ortografis tapa menggunakan lambang-lambang atau kode-kode tertentu. Dalam penelitian ini digunakan bentuk pemaparan hasil analisis data dengan menggunakan metode informal yaitu dengan cara menuliskan data-data dalam bahasa Jawa kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan penulisan secara ortografis. Hasil dan Pembahasan Sebelum melakukan survei ke lapangan, peneliti mempersiapkan beberapa instrumen untuk mengawali proses penelitian. Dalam hal ini, peneliti mencari dan menetapkan beberapa


7 informan yang berperan aktif untuk pemerolehan data-data kebahasaan. Adapun pemilihan informan ini dipilih dan ditetapkan secara purposive sehingga diharapkan dapat memberikan keterangan yang diperlukan oleh peneliti. Selain itu, beberapa informan dipilih secara purposive didasarkan pada kedekatan hubungan dan akrab sehingga akan diperoleh data yang maksimal. Setelah data-data berhasil diperoleh, peneliti mencoba mengklasifikasi data tersebut dengan cara menyimak dan mendengar informasi dari beberapa informan. Setelah itu, data-data yang sudah diklasifikasi dan dikelompokkan ke dalam kategori masing-masing berdasarkan sifat dan bentuknya. Adapun penentuan lokasi pelaksanaan penelitian dilakukan di wilayah di Sidoarjo dengan beberapa pertimbangan, yaitu mudah dijangkau, ada kedekatan hubungan personal sehingga memudahkan peneliti ketika melakukan penelitian. Hal ini, tentu saja menjadikan bahwa wilayah ini merupakan lokasi yang strategis sebagai sasaran penelitian. Selama proses pelaksanaan penelitian, peneliti sudah melakukan pemantauan ke daerah lokasi yang telah dituju sejalan dengan judul penelitian, yaitu tentang penggunaan bahasa tabu. Adapun yang dimaksud dengan bahasa tabu yaitu mengacu kepada sesuatu yang yang suci dan perlu dihormati tetapi di pihak lain berarti larangan, pembatasan, berbahaya, tidak bersih, aneh, gaib, luar biasa (Parera, 2002:115). Penggunaan bahasa tabu ini dikaitkan dengan bentuk konteks tuturan bahasa Jawa oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya di wilayah Sidoarjo. Sampai sejauh ini, penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sementara bahwa bahasa tabu tersebut berhubungan dengan tata pergaulan dan hubungan kesusilaan di masyarakat. Berdasarkan data-data yang berhasil dihimpun, dapat diperoleh hasil sementara bahwa penggunaan bahasa tabu dapat dikelompokkan menjadi beberapa variasi. 1. Bahasa Tabu yang Mengacu pada Bentuk Penggunan bahasa tabu yang mengacu pada bentuk ini sering dikaitkan dengan sesuatu hal yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Bentuk ini dapat berhubungan kesamaan bentuk fisik yang merujuk pada jenis kelamin lakilaki atau jenis kelamin perempuan. a. Bapake Toha Istilah bapake Toha ‘bapaknya Toha” merupakan sebuah bentuk panggilan nama untuk seorang bapak yang memiliki anak bernama Toha. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Wis dalu kok sik nang njobo ae Pak? ‘Sudah malam kok masih di luar saja Pak?’ Lt : Bojoku mulih nang kampung, mangkane bapake Toha prei”. ‘Istriku pulang ke kampung, makanya bapaknya Toha libur”. Dari tuturan tersebut, lawan tutur (Lt) menyebut istilah bapake Toha sebagai pengganti alat atau bentuk yang mengacu pada jenis kelamin laki-laki. Adapun penggunaan kata Toha tersebut diambil dari dua bentuk huruf dalam bahasa Arab, yaitu tho dan ha sehingga apabila digabungkan dapat membentuk sebuah nama menjadi Toha. Selain itu, dua buah huruf Arab antara tho dan ha dianggap memiliki bentuk yang hampir sama dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat dilihat terutama dari bentuk kedua huruf ini yang terletak pada sebagian wujud huruf tersebut. Dengan demikian, ini merupakan suatu jawaban mengapa penutur bahasa Jawa selalu mengatakan bapake Toha untuk merujuk pada jenis kelamin laki-laki dan bukan menyebut dengan bapake Heri, bapake Amin, bapake Edy, dan


8 sebagainya. Tentu saja dengan alasan bahwa kata toha merupakan gabungan dua nama huruf yang memang paling tepat memiliki kesamaan bentuk dengan alat kelamin laki-laki. b. Botol Istilah botol merupakan suatu benda yang memiliki bentuk lingkaran dengan ukuran panjang dan berfungsi untuk tempat minuman. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Ayo, cemes ae Pak, sing get ngono lho? ‘Ayo, smes saja Pak, yang keras gitu lho? Lt : “Wis tenggelno botole Pak Bari ae ben KO. ‘Arahkan saja pada botolnya Pak bari biar KO.’ Tuturan tersebut menunjukkan bahwa perbincangan para penonton, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) dalam situasi permainan bulutangkis. Pada waktu itu, Lt menggunakan istilah botole ‘botolnya’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada alat atau jenis kelamin laki-laki. Penggunaan istilah tersebut didasarkan bahwa sebuah botol dengan alat kelamin laki-laki paling tidak memiliki bentuk kesamaan tertentu, terutama dilihat dari segi panjangnya. c. Penthungan Istilah penthungan merupakan suatu alat atau benda yang memiliki bentuk yang cukup besar dan berfungsi untuk memukul sesuatu. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Wingi neng dalan ono wong gendheng gak nggawe klambi. ‘Kemarin di jalan ada orang gila tidak memakai baju,’ Lt : Nek waras yo gak gelem udo. ‘Kalau sehat ya tidak mau telanjang.’ Pn : Wah, penthungane gedhe temen.” ‘Wah, penthunganya sungguh besar”. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika melihat orang gila di tengan jalan. Pada waktu itu, Pn menggunakan istilah penthungane ‘penthungannya’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada alat atau jenis kelamin laki-laki. Penggunaan istilah tersebut didasarkan bahwa sebuah penthungan dengan alat kelamin laki-laki memang memiliki bentuk kesamaan tertentu, terutama dilihat dari bentuknya yang besar dan panjang. d. Poh Istilah poh merupakan nama yang dikaitkan dengan buah-buahan yang memiliki bentuk besar dan bulat. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Jaman saiki, gak lanang gak wedok rambute podho. ‘Jaman sekarang tidak laki-laki tidak perempuan rambutnya sama.’ Lt : Yo beda Cak, nek lanang dadane peres nek wedhok ana pohe. ‘Ya beda Cak, kalau laki-laki dadanya rata kalau peremuan ada mangganya’. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika membicarakan tentang persamaan antara lakilaki dan perempuan yang memiliki rambut panjang yang sama. Dalam tuturan itu, mereka juga membahas bahwa antara laki-laki dan perempuan juga memiliki perbedaan yang dapat dilihat dari bentuk dadanya. Pada waktu itu, Lt menggunakan istilah pohe ‘mangganya’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang merujuk pada buah dada atau payudara. Penggunaan istilah tersebut didasarkan bahwa istilah pohe dengan buah dada atau


9 payudara yang dimiliki oleh seorang perempuan memang memiliki bentuk kesamaan tertentu, terutama dilihat dari bentuk yang bulat dan besar. e. Apem Istilah apem merupakan nama sejenis makanan yang memiliki bentuk bulat, agak kecil, dan bersih. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Anakmu iku lho kok bar ados langsung mlayu. ‘Anakmu itu lho setelah mandi langsung lari.’ Lt : Mengko nek ketok apeme lak isin. ‘Nanti kalau kelihatan apemnya kan malu.’ Tuturan tersebut menunjukkan terjadi perbincangan dalam keluarga, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika membicarakan anaknya yang tidak memakai celana setelah mandi. Dalam tuturan itu, Lt menggunakan dengan menyebut istilah apeme ‘apemnya’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang merujuk pada alat kelamin perempuan. Penggunaan istilah tersebut dapat dilihat bahwa jenis makanan ini (apem) dengan alat kelamin seorang anak perempuan memang memiliki bentuk kesamaan tertentu, yaitu dilihat dari bentuknya yang kecil. f. Selang Istilah selang merupakan suatu alat atau benda yang memiliki bentuk yang panjang dan mempunyai fungsi untuk menyalurkan air. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Selange kok mampet to Pak? ‘Selangnya kok macet ya Pak?’ Lt : Iki apa selange nekuk mangkane gak mlaku. ‘Ini apa selangnya tidak lurus makanya tidak jalan.’ Pn : Iyo nek selange Sampeyan lak lurus terus. ‘Iya kalau selangnya Sampeyan kan lurus terus’. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika sedang melakukan kerja bakti di RT. Pada waktu itu, Pn menggunakan istilah selange ‘selangnya’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada alat atau jenis kelamin laki-laki. Penggunaan istilah tersebut didasarkan bahwa sebuah istilah selange dengan alat kelamin laki-laki memang memiliki bentuk kesamaan tertentu, terutama dilihat dari bentuknya yang panjang dan dilihat juga dari fungsinya. 2. Bahasa Tabu yang Mengacu pada Aktivitas Penggunan bahasa tabu yang mengacu pada aktivitas, ini sering dikaitkan dengan sesuatu peristiwa yang berhubungan dengan cara kerja bagian tubuh seseorang, baik laki-laki atau perempuan. Bentuk cara kerja ini dapat dikaitkan dengan gerakan secara fisik merujuk pada fungsi jenis kelamin laki-laki atau jenis kelamin perempuan. a. Senggotan Istilah senggotan merupakan suatu bentuk alat atau benda yang memiliki fungsi yang dapat digerakan secara elastis yaitu ke atas dan ke bawah dengan cepat. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Pak Parto iku lho senengane wedokan. ‘Pak Parto itu sukanya main perempuan.’ Lt : Kok gak wedi senggotane pothol. ‘Kok tidak takut kalau senggotannya putus’.


10 Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika membahas tentang Pak Parto yang memiliki kesukaan untuk “main” perempuan. Pada tuturan itu, Lt menggunakan istilah senggotane ‘senggotannya’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada alat atau jenis kelamin laki-laki. Penggunaan istilah senggotan ini didasarkan pada bentuk aktivitas yang biasanya dilakukan oleh alat kelamin laki-laki. Adapun aktivitas yang dimaksud adalah fungsi alat ini dapat naik-turun dengan memiliki bentuk kesamaan tertentu, yaitu dilihat dari bentuknya yang panjang. b. Menak-menek Istilah menak-menek merupakan kata ulang yang berasal dari bentuk dasar bahasa Jawa kata penek. Istilah tersebut dapat diartikan sebagai bentukan yang mempunyai arti perbuatan yang sering diulang-ulang. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Pak Didik iku anakke akeh. ‘Pak Didik itu anaknya banyak.’ Lt : Yek opo gak akeh senengane menak-menek ae. ‘Bagaimana tidak banyak sukanya naik-naik saja.’ Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika membicarakan tentang Pak Didik yang memiliki banyak anak. Pada tuturan itu, Lt menggunakan istilah kata ulang menak-menek ‘naik terus’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada aktivitas hubungan intim yang sering dilakukan oleh seorang laki-laki dengan istrinya. Penggunaan istilah menak-menek ini didasarkan pada bentuk aktivitas yang biasanya dilakukan oleh seorang laki-laki yang mayoritas memosisikan dirinya di atas istrinya ketika melakukan hubungan intim. Dengan demikian, bentuk kesamaan ini terletak pada seringnya hubungan itu dilakukan sehingga menimbulkan persepsi tersendiri bagi orang lain. c. Ngumpoh Istilah ngumpoh merupakan suatu bentuk aktivitas yang dilakukan dengan cara menekan suatu alat tertentu, yaitu ke atas dan ke bawah secara berulang-ulang. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Bocor ta Pak sepedae? ‘Bocor ya, Pak, sepedanya?’ Lt : Iya iki arep ngumpoh. ‘Iya ini mau memompa. Pn : Mabengi wis ngumpoh, saiki ngumpoh maneh. ‘Semalam sudah memompa sekarang memompa lagi.’ Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika mereka berada di tempat tambal ban. Pada tuturan itu, Pn menggunakan istilah ngumpoh ‘memompa’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada aktivitas hubungan intim yang sering dilakukan oleh seorang laki-laki dengan istrinya. Penggunaan istilah ngumpoh ini didasarkan pada bentuk aktivitas alat kelamin lakik-laki ketika melakukan hubungan intim. Dengan demikian, bentuk kesamaan ini terletak pada naik-turunya aktivitas yang sering diulang sehingga menimbulkan persepsi tersendiri bagi orang lain.


11 d. Ngopling Istilah ngopling merupakan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan cara menggerakan tangan untuk menyentuh benda atau alat lainnya. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Arek saiki nek pacaran kendel-kendel. ‘Anak sekarang kalau berpacaran berani sekali.’ Lt : Deloken ae nang alun-alun areke podo ngopling kabeh. ‘Lihat saja di alun-alun itu anaknya ngopling semua’. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika mereka berada di alun-alun di Kota Sidoarjo. Pada tuturan itu, Lt menggunakan istilah ngopling ‘mengopling’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada aktivitas gerakan tangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang sedang berpacaran. Penggunaan istilah ngopling ini didasarkan pada bentuk aktivitas gerakan tangan seseorang ketika melakukan hubungan dengan pasangannya. Dengan demikian, bentuk kesamaan ini terletak aktivitas dua orang remaja yang saling berpegangan tangan sehingga menimbulkan persepsi berbeda bagi orang lain. e. Nyorang-nyorong Istilah nyorang-nyorong merupakan kata ulang dalam bahasa Jawa yang berasal dari kata sorong, yaitu kata yang memiliki arti tindakan untuk mendorong sesuatu benda. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Yek opo iki manten anyar gak tahu metu? ‘Bagaimana ini pengantin baru tidak pernah keluar?’ Lt : Wis nyorang-nyorong neng omah. ‘Ya mendorong terus saja di rumah.’ Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika mereka berada di bengkel sepeda motor. Pada tuturan itu, Lt menggunakan istilah kata ulang nyorang-nyorong ‘saling mendorong’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada aktivitas hubungan intim yang ditujukan untuk menyindir seseorang yang baru menikah. Penggunaan istilah nyorang-nyorong ini didasarkan pada bentuk aktivitas kerja sama antara sepasang suami dan istri yang sedang melakukan hubungan intim. f. Matil Istilah matil merupakan aktivitas yang dilakukan oleh seekor ikan untuk mematikan mangsanya dan biasanya setelah melakukan kegiatan ini berdampak pada binatang tersebut. Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Opo’o seje, Pak, mlakune? Bar matil ta? ‘Mengapa lain, Pak, jalannya? Baru matil ya?’ Lt : “Iso-iso ae.” ‘Bisa-bisa saja’. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika mereka berada di balai RT. Pada tuturan itu, Pn menggunakan istilah kata ulang matil ‘mematil’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada aktivitas seseorang laki-laki ketika melakukan hubungan intim dengan seorang perempuan. Istilah matil ini digunakan untuk seseorang


12 yang cara berjalannya agak berbeda dari biasanya sehingga menimbulkan persepsi lain bagi yang melihatnya. 3. Bahasa Tabu yang Mengacu pada Keadaan Penggunan bahasa tabu yang mengacu pada keadaan ini sering dikaitkan dengan sesuatu peristiwa yang berhubungan dengan sifat atau kondisi yang terdapat pada bagian tubuh seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun sifat atau keadaan ini ini dapat dikaitkan dengan kondisi yang merujuk pada fungsi jenis kelamin laki-laki atau jenis kelamin perempuan. a. Persekot Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Anake Bu Dar lagek kawin kok wis nglahirno. ‘Anaknya Bu Dar baru saja menikah kok sudah melahirkan.’ Lt : Iku ngono diwenehi persekot dhisek. ‘Itu berarti diberi persekot dulu’. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang ibu, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika mereka membicarakan orang lain di lokasi arisan RT. Pada tuturan itu, Lt menggunakan istilah porsekot yang sering digunakan sebagai padanan sebuah singkatan DP atau pembayaran yang dilakukan di awal perjanjian. Namun, dalam konteks tuturan tersebut, istilah persekot digunakan sebagai bentuk konsep untuk mengganti hubungan intim yang dilakukan antara seorang laki-laki dan perempun sehingga pada akhirnya perempuan itu hamil sebelum pernikahan berlangsung. Hal ini jelas bahwa dalam kondisis tertentu, pemakai bahasa dapat menggunakan istilah-istilah khusus untuk menjaga kesantuan antaranggota masyarakat yang terlibat di dalamnya. b. Karaten Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Mesakne Pak Haryono, bojone wis suwe dadi TKI nang Arab. ‘Kasihan Pak Haryono, istrinya sudah lama jadi TKI di Arab. Lt : Wis meh petang tahun, wis karaten paling? Sudah hampir empat tahun, mungkin sudah karatan ya?’ Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika mereka membicarakan seorang suami (Pak Haryono) ketika ditinggal istrinya menjadi TKI di Arab. Dalam tuturan itu, Lt menggunakan istilah karaten ‘berkarat’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada aktivitas seseorang laki-laki (suami) yang sudah lama tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya. Dengan demikian, istilah ini lebih tepat merujuk pada alat kelamin seorang laki-laki yang tidak bias berfungsi sebagai suami, yaitu mengalami impoten. c. Sego pecel Perhatikan konteks tuturan di bawah ini: Pn : Hati-hati, Bu, nek nyabrang. ‘Hati-hati, Bu, kalau menyebarang. Lt : Iyo to, lha wong sego pecel sek enak. ‘Iya, kan nasi pecel masih enak.’ Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika mereka berada di perjalanan. Pada tuturan itu, Lt menggunakan istilah sego pecel ‘nasi pecel’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep


13 tertentu yang mengacu pada seseorang yang masih ingin menikmati hidup. Selain itu, penggunaan istilah sego pecel ini merefleksikan bahwa kebosanan hidup itu dapat diatasi dengan sesuatu yang mudah diperoleh, tidak sulit, bahkan dengan harga murah sekalipun. d. Nyetrum Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Aku nek ndelok arek ayu yo sek nyetrum. ‘Aku kalau lihat perempuan cantik ya masih kesetrum.’ Lt : Yo sek normal, Cak. ‘Ya masih normal, Cak.’ Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika membicarakan tentang masalah pribadinya. Dalam tuturan itu, Pn menggunakan istilah nyetrum ‘kesetrum’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang merujuk pada hubungan batin antara seorang laki-laki ketika melihat perempuan atau sebaliknya. Penggunaan istilah nyetrum ini lebih tepat digunakan untuk mengacu pada kedekatan hati dan perasaan sehingga ada kontak antara keduanya. e. Ngingu wedhus Perhatikan konteks tuturan berikut ini. Pn : Kok gak kawin-kawin, Cak? Gak payu ta? ‘Kok tidak menikah, Cak? Tidak laku ya? Lt : Timbangane ngingu wedhus, tuku satene iso kok. ’Daripada memelihara kambing, beli satenya saja bisa kok? Tuturan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbincangan dua orang, yaitu antara penutur (Pn) dengan lawan tutur (Lt) ketika mereka berada di balai RT. Pada tuturan itu, Lt menggunakan istilah ngingu wedhus ‘memelihara kambing’ yang dimaksudkan untuk mengganti konsep tertentu yang mengacu pada memelihara istri. Penggunaan istilah tersebut seolah memberikan gambaran bahwa seorang istri kadang-kadang membuat masalah terhadap suaminya. Selain itu, perilaku seorang istri disamakan dengan sifat binatang, seperti seekor kambing yang memiliki sifat sak karepe dewe ‘seenaknya sendiri.’ Dengan demikian, konteks tuturan tersebut mengindikasikan bahwa daripada menikah dengan seorang perempuan yang memilki sifat tidak benar, maka lebih baik berhubungan dengan orang lain di luar pernikahan. 4. Faktor-Faktor Penyebab Penggunaan Bahasa Tabu Penggunaan bahasa tabu oleh masyarakat di Jawa Timur dalam konteks tuturan bahasa Jawa dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Asosiasi Penggunaan bahasa tabu yang masih digunakan oleh masyarakat dapat disebabkan adanya asosiasi. Adapun asosiasi ini selalu berkaitan dengan hal lain yang merujuk pada konsep tertentu. Setiap benda atau sesuatu yang lain selalu dihubungkan dengan asosiasi, baik yang bersifat positif maupun negatif. Selain itu, faktor asosiasi ini menimbulkan persepsi masyarakat terhadap nilai rasa dalam bahasa.


14 b. Eufemia Faktor eufemia berhubungan dengan bentuk penghalusan bahasa yang sering digunakan oleh pemakai bahasa atau masyarakat untuk menimbulkan efek-efek tertentu. Bentuk penghalusan bahasa ini dapat menimbulkan bentuk kesopanan di dalam bentuk pergaulan. Selain itu, bentuk eufemia juga dikaitkan dengan faktor emotif seseorang untuk mengungkapkan sesuatu yang sifatnya kasar sehingga berubah menjadi sesuatu yang sudah diperhalus dengan permaianan kata-kata. (i) Hubungan Keakraban Hubungan keakraban merupakan suatu situasi dapat dijadikan sebagai penyebab terjadinya bahasa tabu sehingga terjalin hubungan yang baik antara penutur dengan lawan tutur. Segala bentuk yang berkaitan dengan bahasa tersebut selalu berkaitan dengan tata pergaulan antaranggota masyarakat di lingkungan mereka berada. Situasi dalam konteks tuturan ketika terjadi perbincangan, kebayakan para pemakainya memiliki hubungan keakraban dengan penutur lain sehingga bahasa yang digunakan terkesan terang-terangan. (ii) Humoris Selain hubungan akrab, salah satu penyebab terjadi penggunaan bahasa tabu yang dilakukan oleh masyarakat, yaitu adanya faktor humoris. Faktor ini dapat menimbulkan efek kelucuan antara penutur dan lawan tutur sehingga perbincangan mereka menjadi semarak. Hal ini memang tampak bahwa aplikasi penggunaan bahasa tabu lebih cenderung dilakukan dalam situasi informal sehingga suasana menjadi santai dan dapat menghindari sesuatu yang kurang menyenangkan. (iii) Sindiran Selain alasan-alasan yang disebutkan di atas, penggunaan bahasa tabu juga digunakan untuk menyindir seseorang atau sekelompok orang yang memang menjadi sasaran perbicangan. Bentuk sindiran tersebut memang sengaja ditujukan dengan tujuantujuan tertentu agar orang lain tidak merasa tersinggung, sakit hati, kecewa,dan sebagainya. Hal ini para penutur dan lawan tutur akan menggunakan bahasa dengan kata-kata yang sudah dialihkan ke dalam konsep lain sehinggan dapat dikategorikan sebagai ungkapan yang tidak terkesan menjatuhkan orang lain atau sekelompok orang. Simpulan Penelitian dengan ini merupakan hasil penelitian yang berhubungan dengan pemakaian kata atau istilah dari bahasa Jawa yang tidak mengalami perubahan makna karena hanya digantikan dengan konsep lain. Penggantian konsep-konsep tersebut dapat merefleksikan sesuatu sehingga menimbulkan persepsi terhadap sebuah rujukan tertentu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh konteks tuturan dalam bahasa Jawa yang dilakukan oleh penutur dan lawan tutur. Dari tuturan tersebut, ada beberapa kata atau istilah yang sudah berubah tetapi masih mengacu atau merujuk pada konsep yang sama. Misal, untuk mengatakan alat atau jenis kelamin laki-laki, sering dikatakan dengan menggunakan penthungan, selang, dan botol. Selain itu, untuk menyatakan hal-hal yang berhubungan aktivitas jenis kelamin seseorang, sering digunakan istilah senggotan, menakmenek, nyorang-nyorong, ngumpoh, dan lain sebagainya.


15 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa tabu dalam konteks tuturan bahasa Jawa dapat dikelompokan menjadi beberapa variasi, yaitu bahasa tabu yang mengacu pada sebuah bentuk benda, aktivitas, dan keadaan tertentu. Hal ini dapat dikatakan bahwa variasi-variasi tersebut mengacu pada bnetuk metafora, yaitu semacam analogi yang membandingkan dua hal, gagasan, objek, atau sifat dengan sesuatu yang lain. Adapun bentuk perbandingan ini lebih dikaitkan dengan hubungan secara langsung yang meujuk pada objek yang ada sehingga menimbulkan asosiasi dalam suatu bahasa. Penelitian ini berhubungan dengan penggunaan bahasa tabu dalam konteks tuturan bahasa Jawa yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Timur, terutama di wilayah Sidoarjo. Dengan adanya penelitian ini, kita mengetahui bahwa pemakaian konsep kata-kata dan istilah dalam bahwa Jawa memiliki beberapa variasi yang berbeda namun mengacu pada makna yang sama dalam sebuah konteks tuturan. Penelitian ini belum merupakan penelitian yang final sehingga perlu ditinjaklanjuti dengan penelitian lain dengan konsep yang sama sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal. Hal ini disebabkan bahwa penggunaan bahasa tabu lebih dikaitkan dengan bentuk eufemia dalam bahasa juga berhubungan dengan pergeseran dan perubahan makna dalam suatu bahasa. Daftar Pustaka Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Sutudi tentang Makna.Bandung: Sinar Baru. Bloomfield, Leonard. 1933. Language. Holt, Rinehart and Winston, Inc. Cruse, D. A. 1986. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Kamus Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Refika. ________. 1999. Semantik II: Pemahaman Ilmu Makna Makna.Bandung: Refika. ________. 2006. Metoda Linguistik: Ancangan Metoda Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama. Frawly, William. 1992. Linguistic Semantics. London: Lawrence Erlbaum. Halliday, MAK. 1978. Languge as Social Semiotics. London: Edward Arnold. George, Yul dan Gilian Brown. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Goddard, Cliff. 1998. Semantik Analisys. Oxford: Oxford University Press. Katz, Jerrold J. 1972. Semantic Theory. New York: Harper & Row, Publisher. Keraf Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


16 Kreidler, Charles W. 1998. Intoducing English Semantics. London: Rouledge. Leech, Geoffrey. 1981.Semantics: Study of Meaning. New York: Pelican Book. ________. 1983. The Principles of Pragrmatics. New York: Longman Group Limited: New York. Lyons, John 1968. Linguistics Semantics. Cambridge: Cambrridge University Press. Palmer, F.R. 1976. Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Parera, Jos Daniel. 2004. Teori Semantik . Jakarta: Erlangga. Ramlan, M. 1985. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono. Subroto, Edi, dkk. 1999. Telaah Stilistika Novel Berbahasa Jawa Tahun 1980-an. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sudaryanto. 1988. MetodeLinguistik . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ________. 1991. Tata Baku Bahasa Jawa. Yoyakarta: Duta Wacana University Press. Rahardi, Kunjana.2002. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Sudikan, Setya Yuwono. 2000. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Citra Wacana. Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA. Ullman, Stephen. 1962. Semantics: An Introduction to the Study of Meaning. Oxford: Basil Blackwell. Wierzbicka, Anna. 1991. Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Humam Interaction. Moutonde Gruyter Berlin New York. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI. ________ dan Mohammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


17 Penggunaan Variasi Bahasa dalam Interaksi Komunikasi pada Wanita Madura Berdasarkan Tingkat Sosial Ekonomi Eddy Sugiri, Mochtar Lutfi, dan Heru Supriyadi Maduranese women, on their intern social interaction, thought the precision of their language in order to avoid a communicant misunderstanding. A social strain often occurs because of the understanding deficiency of language variation usage in the communication interaction. This research uses a qualitative descriptive method. While in collecting the data, the researcher uses observation and interview techniques with a questionnaire instrument. There are 50 Maduranese women thought the precision of the communicant’s social economic status. The social economic distinction is no longer dominant in the selection of language variation if there is an intimacy substance. Keywords: communication interaction, language ethics, language variation, Maduranese women, social interaction Pendahuluan Salah satu aspek hubungan sosial yang penting di dalam masyarakat adalah pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Jika bahasa merupakan seperangkat konvensi yang mampu merefleksikan hubungan-hubungan sosial, diferensiasi gender tersebut akan tercermin juga di dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena bahasa memuat istilah-istilah, konsep-konsep, atau label-label yang menandai tingkah laku mana yang pantas bagi pria dan mana yang pantas bagi wanita (Philips, 1983:131). Bahasa, dengan demikian, merekam asumsi-asumsi yang diyakini oleh masyarakatnya mengenai bagaimana seharusnya seorang wanita memandang, bertindak, dan berpikir (Kris Budiman, 2000:72). Interaksi komunikasi merupakan kegiatan tindak tutur yang tidak sekadar mengeluarkan isi pernyataan. Berinteraksi komunikasi atau disebut pula tindak tutur sebenarnya merupakan sebuah tindakan yang terlebih dahulu mempertimbangkan sejumlah faktor yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, orang berbicara atau dalam interaksi komunikasi tidak sekadar buka mulut mengeluarkan bunyi-bunyi bahasa, tetapi sudah merupakan tindakan sosial yang sarat budaya. Bahasa sebagai sistem sosial tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi ditentukan pula oleh faktor-faktor nonlinguistik, yakni faktor-faktor sosial. Adanya hubungan antara bahasa dengan tingkatan sosial dapat dilihat dari dua segi: (1) kebangsawanan, (2) kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki (Soewito, 1983:3). Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila Hymes mngungkapkan bahwa peranan konteks, dengan istilah akronimnya SPEAKING, dapat memengaruhi fungsi dan makna di dalam suatu interaksi. Hubungan bahasa dengan kebudayaan juga erat dan saling memengaruhi. Masinambow (1984) mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, tindak tutur berbahasa haruslah disertai dengan norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu, salah satunya yakni penggunaan variasi bahasa.


18 Saat berinteraksi sosial dengan masyarakat lingkungannya, kaum wanita Madura sangat memperhatikan variasi bahasa agar komunikasi dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan ketersinggungan bagi mitra tuturnya (komunikan). Ketegangan sosial seringkali terjadi hanya karena kurangnya pemahaman penggunaan variasi bahasa dalam berinteraksi komunikasi. Kurang dipertimbangkannya prinsip-prinsip etika dapat berakibat salah satu pihak merasa dilecehkan, sehingga pesan yang ingin disampaikan tidak mengena namun justru menjadi hal yang negatif. Oleh karena itu, boleh dikatakan masalah penggunaan variasi bahasa dalam berkomunikasi masih merupakan ranah yang sensitif dan bermasalah. Pembedaan seperti ini, dan juga prasangka-prasangka yang menyertainya, lazim dinamakan seksisme. Di dalam seksisme terdapat pandangan bahwa “human sexes have distinctive make-up that determines their respestive, usually involving the idea that one sex is superior and has the right to rule the other; the policy of envorcing such asserted right; a system of government and sociey based upon it” (Frazier dan Sadker, 1973:2 dalam Gollnick dan Chinn,1990:132). Seksisme sebagai sesuatu yang telah dilembagakan mengungkapkan dirinya melalui bermacam-macam sistem simbol, termasuk bahasa. Seksisme di dalam bahasa, menurut Cheris Kramarae (1981 dalam Moi,1985: 156), adalah suatu cara memuliakan pria sambil mengesampingkan, menyepelekan, atau menghina wanita melalui kosakata yang terstruktur. Wanita Madura sungguh sadar bahwa dalam panggung sosial mereka harus bicara mengikuti tatanan yang santun atau krama. Pada masyarakat Madura, jenis kelamin sangat menentukan pemilihan variasi bahasa yang digunakan. Sebagai suatu sikap dan praktik yang mendiskriminasikan wanita (Wiliam, 1985:258), seksisme menyiratkan hubungan yang bersifat politis, yakni sebagai hubungan kekuasaan antara pria dan wanita (Milet dalam Moi, 1985:28). Hubungan kekuasaan di antara kedua jenis kelamin ini menempatkan wanita pada posisi yang subordinatif, yakni sebagai pihak yang dikuasai. Variasi bahasa Madura adalah suatu tataran bahasa atau disebut juga dengan unggah-ungguhing basa (Sundari, 2000:1). Muthmainah (1998:31) mengatakan bahwa variasi bahasa Madura ada lima, yaitu: (1) kasar, (2) enja’iya, (3) enggi-enten, (4) enggi-bunten, dan (5) bahasa kalangan bangsawan. Apabila dilihat dari gender, wanita Madura dianggap berstratifikasi lebih rendah daripada pria, maka dalam berinteraksi komunikasi wanita Madura memilih variasi bahasa yang lebih halus (krama) kepada pria. Patriarki dalam sosio-kultural masyarakat Madura masih sangat menentukan pola interaksi terutama dalam kehidupan keluarga. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial. Penelitian masalah penggunaan variasi bahasa dalam interaksi komuniukasi pada wanita Madura berdasarkan tingkat sosial ekonomi belum ada. Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti ingin mengkajinya melalui penelitian ini. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimana variasi bahasa yang digunakan wanita Madura dalam berinteraksi komunikasi dengan lawan bicaranya yang mempunyai status sosial ekonomi yang lebih tinggi maupun lebih rendah, dan (2) bagaimana bentuk variasi bahasa yang digunakan wanita Madura dalam berinteraksi


19 komunikasi dengan lawan bicaranya yang mempunyai status sosial ekonomi yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Metode Kajian ini mencoba mempelajari penggunaan variasi bahasa dalam interaksi komunikasi pada wanita Madura berdasarkan tingkat sosial ekonomi di wilayah Kabupeten Bangkalan, Madura dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara dengan instrumen yang berupa kuesioner. Responden/informan sebanyak 50 wanita madura yang menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa ibu/bahasa pertamanya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi terlibat dan wawancara mendalam. Dengan begitu pemahaman secara utuh dan menyeluruh (holistik) dapat diperoleh. Wawancara dikerjakan dengan terlebih dahulu menyiapkan suatu daftar panduan/pedoman wawancara yang bersifat open-end. Sedangkan untuk subjek yang ingin diketahui sikap dan pendapat tentang sesuatu yang peneliti inginkan, dipersiapkan seperangkat daftar kuesioner yang bersifat tertutup. Dari pertanyaan open-end ini diharapkan data dan informasi dapat diperoleh dari sudut pandang subjek/wanita Madura yang diteliti. Sedangkan observasi terlibat (tidak penuh/moderat) peneliti mencoba terlibat langsung dengan berbagai kegiatan penting dalam kehidupan subjek/wanita Madura yang hendak dikaji, untuk itu “tinggal bersama” mereka menjadi satu keharusan. Dengan demikian data dan informasi pertama diperoleh langsung dari tangan pertama. Lokasi penelitian yang dipilih adalah wanita Madura yang bertempat tinggal di wilayah Kecamatan Bangkalan dan Kecamatan Kamal, baik dari bidang usaha swasta maupun pegawai negeri. Pemilihan ini dapat memenuhi kriteria berdasarkan perbedaan pendidikan dan lingkungan sosial yaitu dari pusat kota dan daerah pinggiran. Analisis data/informasi dilakukan dengan melakukan kategorisasi data/informasi menurut jenis dan macam data/informasi yang diperoleh ke dalam unit-unit data/informasi berdasarkan satuan-satuan unit analisis yang dipakai/diperlukan, baik dalam bidang kehidupan kemasyarakatan wanita Madura maupun etika berbahasanya. Sesudah itu dengan memakai teori yang dipakai untuk melihat bagaimana kait-hubungan antara satuan data/informasi yang satu dengan satuan data/informasi yang lainnya sehingga dapat diperlihatkan / generalisasi empirik/induktif dapat tergambar (terdeskripsikan) secara utuh dan menyeluruh (holistik) tentang penggunaan variasi bahasa wanita Madura sebagai komunitas sasaran kajian. Dari proses analisis inilah pemahaman dan pengertian dari sudut pandang sisi subjek/wanita Madura (data/informasi emik) sasaran kajian dapat diperoleh. Hasil dan Pembahasan 1. Gambaran Umum Responden/Informan Penelitian ini pada dasarnya ingin mengungkapkan secara deskriptif penggunaan variasi bahasa dalam interaksi komunikasi pada wanita Madura di Kabupaten Bangkalan berdasarkan tingkat sosial ekonominya. Bahasa Madura yang dimaksudkan adalah bahasa Madura dialek Bangkalan yang dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari (dalam situasi tidak resmi).


20 Data diperoleh dengan instrumen kuesioner dan penyimakan. Selanjutnya, data diklasifikasikan dalam beberapa bagian analisis yang disesuaikan dengan pokok permasalahan dalam peristiwa tutur. Responden yang berpendidikan SD tidak ada atau 0%, yang berpendidikan SMP sebanyak 12 orang atau 24%, yang berpendidikan SMA sebanyak 30 orang atau 60%, dan yang berpendidikan PTN/PTS sebanyak 8 orang atau 16%. Sementara itu, responden yang beragama Islam adalah 50 orang atau 100%, sedangkan responden yang beragama Kristen, Hindu, dan Budha tidak ada atau 0%. Responden yang asli kelahiran Kabupaten Bangkalan adalah 50 orang atau 100%, sedangkan responden yang kelahiran di luar Kabupaten Bangkalan tidak ada atau 0%. Sedangkan, responden yang bermatapencaharian/pekerjaan sebagai petani dan pedagang tidak ada atau 0%, yang berprofesi sebagai guru ada 22 orang atau 40%, yang bermatapencaharian sebagai PNS pada pemerintah daerah sebanyak 18 orang atau 36%, sedangkan sebagai ibu rumah tangga sebanyak 10 orang atau 20%. 2. Penggunaan Variasi Bahasa dalam Interaksi Komunikasi pada Wanita Madura Berdasarkan Tingkat Sosial Ekonomi Responden (wanita Madura) yang menggunakan variasi bahasa Madura kasar dan enja’iya dalam interaksi komunikasi dengan mitra tutur (komunikan) yang lebih tua tidak ada atau 0%, responden yang menggunakan variasi bahasa Madura enggi-enten sebanyak 25 orang atau 50%, yang menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten sebanyak 25 orang atau 50%, sedangkan yang menggunakan variasi bahasa kalangan bangsawan tidak ada atau 0%. Sedangkan, Responden (wanita Madura) yang menggunakan variasi bahasa Madura kasar dalam interaksi komunikasi dengan suami tidak ada atau 0%, responden yang menggunakan variasi bahasa Madura eja’iya sebanyak 32 orang atau 64%, yang menggunakan variasi bahasa Madura enggi-enten sebanyak 18 orang atau 36%, sedangkan responden yang menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten tidak ada atau 0%. Responden (wanita Madura) menggunakan variasi bahasa Madura enja’iya saat berkomunikasi dengan orang tua kandung yaitu 50 responden atau 100 %. Mereka berpendapat bahwa apabila menggunakan variasi bahasa halus dapat menyebabkan tidak akrab. Sedangkan, Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa semua responden (wanita Madura) menggunakan variasi bahasa Madura enja’iya saat berkomunikasi dengan ibu kandung yaitu 50 responden atau 100 %. Mereka berpendapat bahwa apabila menggunakan variasi bahasa halus dapat menyebabkan tidak akrab. Semua responden (wanita Madura) menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten saat berkomunikasi dengan bapak mertua yaitu 50 responden atau 100%. Mereka berpendapat bahwa dengan menggunakan variasi bahasa halus berarti menghormati bapak mertua. Sedangkan, Responden (wanita Madura) menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten saat berkomunikasi dengan ibu mertua yaitu 50 responden atau 100%. Mereka berpendapat bahwa dengan menggunakan variasi bahasa halus berarti menghormati bapak mertua. Sepuluh responden atau 20% menggunakan variasi bahasa Madura enggi-enten bila berkomunikasi dengan kakek, sedangkan 40 responden atau 80% menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten. Hal ini dengan alasan bahwa kakek merupakan sosok yang


21 sangat dihormati. Sedangkan, sepuluh responden atau 20% menggunakan variasi bahasa Madura enggi-enten bila berkomunikasi dengan kakek, dan empat puluh 40 responden atau 80 % menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten. Hal ini dengan alasan bahwa kakek merupakan sosok yang sangat dihormati. Sedangkan, semua responden (wanita Madura) menggunakan variasi bahasa Madura enja’iya saat berkomunikasi dengan kakak yaitu 50 responden atau 100%. Mereka berpendapat bahwa dengan menggunakan variasi bahasa enja’iya dapat lebih akrab. Semua responden (wanita Madura) menggunakan variasi bahasa Madura enja’iya saat berkomunikasi dengan adik, yaitu 50 responden atau 100%. Mereka berpendapat bahwa dengan menggunakan variasi bahasa eja’iya dapat lebih akrab. Sedangkan, responden yang berkomunikasi dengan adik ipar akan melihat situasinya dalam memilah variasinya, terutama dengan mempertimbangkan usianya. Semua responden (wanita Madura) menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten saat berkomunikasi dengan paman/paklik, yaitu 50 responden atau 100%. Mereka berpendapat bahwa dengan menggunakan variasi bahasa halus berarti menghormati paman/paklik (guteh). Sedangkan, semua responden (wanita Madura) menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten saat berkomunikasi dengan paman/paklik/bibik yaitu 50 responden atau 100%. Mereka berpendapat bahwa dengan menggunakan variasi bahasa halus berarti menghormati bulik/tante/bibik. Semua responden (wanita Madura) menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten saat berkomunikasi dengan mitra tutur yang jabatannya lebih tinggi, yaitu 50 responden atau 100%. Mereka berpendapat bahwa dengan menggunakan variasi bahasa halus berarti menghormati pejabat/penguasa. Sedangkan, semua responden (wanita Madura), yaitu 50 orang atau 100% menggunakan variasi bahasa Madura enja’iya saat berkomunikasi dengan mitra tutur yang jabatannya lebih rendah dari responden. Namun, hal ini juga tergantung situasi dan kondisi misalnya keakraban dan usia. Sebanyak 35 responden atau 70% menggunakan variasi bahasa Madura enggi-enten bila berkomunikasi dengan mitra tutur yang lebih kaya, sedangkan 15 responden atau 30% menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten. Hal ini dengan melihat situasi keakraban, misalnya dulunya teman sepermainan atau tetangga sendiri yang sudah akrab sebelumnya, juga tergantung usia mitra tutur. Sedangkan, sebanyak 35 responden atau 70% menggunakan variasi bahasa Madura enggi-enten bila berkomunikasi dengan mitra tutur yang lebih miskin, sedangkan 15 responden atau 30% menggunakan variasi bahasa Madura enggibunten. Hal ini dengan melihat situasi keakraban, misalnya dulunya teman sepermainan atau tetangga sendiri yang sudah akrab sebelumnya, juga tergantung usia mitra tutur. Data menunjukkan bahwa 35 responden atau 70% menggunakan variasi bahasa Madura enggi-enten bila berkomunikasi dengan mitra tutur yang pendidikannya lebih tinggi, sedangkan 15 responden atau 30 % menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten. Hal ini dengan melihat situasi keakraban, misalnya dulunya teman sepermainan atau tetangga sendiri yang sudah akrab sebelumnya, juga tergantung usia mitra tutur. Sedangkan, sebanyak 35 responden atau 70% menggunakan variasi bahasa Madura enggi-enten bila berkomunikasi dengan mitra tutur yang pendidikannya lebih rendah, sedangkan 15 responden atau 30% menggunakan variasi bahasa Madura enggi-bunten. Hal ini dengan


22 melihat situasi keakraban, misalnya dulunya teman sepermainan atau tetangga sendiri yang sudah akrab sebelumnya, juga tergantung usia mitra tutur. 3. Bentuk Variasi Bahasa Wanita Madura dalam Peristiwa Tutur a. Wati, apakah kamu sudah makan? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Wati, apa ba’na mare ngakan? Be’eng la mare ngakan, Wati? Wati, ponapa sampeyan lastare adha’ar? Wati, ponapa panjenengan lastare adha’ar? b. Ambillah kue itu secukupnya, Wati! Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Ngala’ jajan sacokopbeh Wati! Kala’ jajan jareya sacokopna, Wati! Mondhud jajan sacokopna, Wati! Mondhud jajan ka’dissa sacokopna, Wati! c. Bapak sedang tidur di kamar depan. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Bapak gi’ tedhung e kamar adha’. Bapak gi’ tedhung e kamar adha’. Bapak gi’ asaren e kamar adha’. Bapak gi’ asaren e kamar ajunan. d. Silakan diminum dulu kopinya, Pak! Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Enom gellu kopina, Pak! Jareya enom gallu kopina, Pak! Eyature enom dimen kopina, Pak! Ngering diatureh kopina, Pak! e. Apakah Bapak mempunyai uang untuk membeli sepeda motor? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Apa Bapak andhik pesse gabag melle sepeda motor? Apa Bapak andhik pesse saeka melle sepeda motor? Ponapa Bapak agaduwan obang kaangguuy ngobange sepeda motor? Ponapa Bapak ampun ka’agungan obang a badhe ngobange sepeda motor? f. Jangan lupa, Pak, bisa ke sini lagi, saya bawakan mangga. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Ja’kaloppae Pak mon da’kanna’ pole sengkok sambiagi pao. Ja’kaloppae Pak mon da’kanna’ pole sengkok sambiagi pao. Ja’sampek kalep Pak manabi miyos ka’dinto pole mekta pao. Ja’kalep Pak manabi d’ ka’dinto pole abdina mektaagi pao. g. Ibu masak apa hari ini? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Ebo’ massak apa are sateya. Ebo’ massak apa are sateya. Ebo’ massak ponapa samangken? Ebo’ massak ponapa samangken h. Ibu pergi ke Surabaya dengan adik untuk membeli pakaian. Kasar Enja’iya Enggi-enten : : : Ebo’ entar ka Sorbaja ban ale parlo melle kalambi. Ebo’ entar ka Sorbaja ban ale parlo melle kalambi. Ebo’ meos ka Sorbaja sareng ale ka’angguy ngobane rasokan.


23 Enggi-bunten : Ebo’ meos ka Sorbaja sareng ale ka’angguy ngobane rasokan. i. Bapak sedang mandi di kamar mandi. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Bapak gi’ mandi e jedding. Bapak gi’ mandi e jedding. Bapak gi, aseram e jedding. Bapak gi, aseram e jedding. j. Bapak pergi ke pasar setiap jam 07.00 pagi. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Bapak entar kapasar ban pokol petto laggu. Bapak entar kapasar ban pokol petto laggu. Bapak meyos kapasar ban pokol petto laggu. Bapak meyos kapasar ban pokol petto laggu. k. Ibu jangan lupa membelikan oleh-oleh untuk saya! Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Ebo’ ja’ lappo melle agi leolle gabay sengkok! Ebo’ ja’ lappo melle agi leolle gabay sengkok! Ebo’ ja’ kalep ngobangagi leolle kagem abdina. Ebo’ ja’ kalep ngobangagi leolle kagem abdina. l. Ibu naik mobil menuju ke rumah kakak. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Ebo’ nompak montor entar ka romana kakak. Ebo’ nompak montor entar ka romana kakak. Ebo’ neteneh montor de jompo’na kakak. Ebo’ ngastane montor nyabis ka dalemma kakak. m. Apakah kakek sudah makan pagi? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Apa mba lake’ mareh saraban? Apa mba lake’ mareh saraban? Ponapa mba lake’ lastareh saraban? Ponapa mba lake’ lastareh saraban? n. Kek, bila pergi ke sawah, ambilkan saya sebuah jagung. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Mba lake’ mon entar ka saba ngala’agi sengkok jagung sttong. Mba lake’ mon entar ka saba ngala’agi sengkok jagung sttong. Mba lake’ manabi ka saba mundutagi jagung settong. Mba lake’ manabi meos ka saba abdina mundutagi jagung settong. o. Nenek membeli sayur di Pasar Kamal. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Mba bine’ melle gangan neng pasar Kamal. Mba bine’ melle gangan neng pasar Kamal. Mba bine’ ngobange gangan e pasar Kamal. Mba bine’ ngobange gengan e pasar Kamal. p. Nek, bawa ikan bandeng ini ke dapur! Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Mba bine’ nggeba juko’ bandeng reya ka dapor. Mba bine’ nggeba juko’ bandeng reya ka dapor. Mba bine’ bakta agi juko’ bandeng ka’dinto ka dapor! Mba bine’ bakta agi juko’ bandeng ka’dinto ka dapor! q. Kakak baru saja pulang dari bekerja.


24 Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Kaka’ gi’ buru bai dateng dari alako. Kaka’ gi’ buru bai dateng dari alako. Kaka’ gi’ buruwan rabu dari alako. Kaka’ gi’ buruwan rabu dari alako. r. Apakah Kakak sudah mengambil air untuk mandi? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Apa kaka’ mare ngala’ aeng gabay mandih? Apa kaka’ mare ngala’ aeng gabay mandih? Ponapa kaka’ lastare mondut aeng gabay aseram? Ponapa kaka’ lastare mondut aeng badi aseram? s. Adik perlu berhati-hati di perjalanan. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Lek tengate e jalan. Alek kodu tengate neng jalan. Alek kodu ngastete neng jalan. Alek kodu ngastete neng jalan. t. Jam berapa sekarang, Dik? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Pokol berempah sateya, Lek? Pokol berempah sateya, Lek? Pokol saponapah samangken Lek? Pokol saponapah samangken Lek? u. Baru saja paklik membeli mobil Avanza. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Gi’ buru bai paman/guteh melle montor Avanza. Gi’ buru bai paman/guteh melle montor Avanza. Gi’ buruwan paman/guteh ngobange montor Avanza. Gi’ buru saos paman/guteh ngobange montor Avanza. v. Berapa harga mobil ini, Paklik? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Berempah argana montor reya Paman? Berempah argana montor reya paman? Saponapah argana montor kintoh Paman? Saponapah argana montor kia’dinto Paman? w. Bulik membeli baju di Surabaya. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Bibbi melle kalambi e Sorbaja. Bibbi melle kalambi e Sorbaja. Bibbi ngobange rasok e Sorbaja. Bibbi ngobange rasok e Sorbaja. x. Berapa harga baju Anda, Bulik? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Berempah argana kalambina ba’na Bibbi’? Berempah argana kalambina ba’na Bibbi’? Saponapah argana klambi neka Bibbi’? Saponapah argana rasoka panjenengan Bibbi’? y. Pak Camat melihat pameran pembangunan kemarin malam. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Pak Camat ajeleng pameran pembangunan bari’ malem. Pak Camat nenggu pameran pembangunan bari’ malem. Pak Camat nengale pameran pembangunan bari’ malem. Pak Camat ngoladi pameran pembangunan bari’ malem.


25 z. Silakan duduk, Pak Camat! Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Toju’, Pak Camat! Ayo, toju’, Pak Camat! Lenggi, Pak Camat! Eyatore lenggi, Pak Camat! aa. Pak Amat mengangkat batu merah dari truk ke halaman rumah. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Pak Amat ngangka’ batah dari truk da’ taneyan roma Pak Amat ngangka’ batah dari truk da’ taneyan roma. Pak Amat ngangka’ batah dari truk da’ taneyan roma. Pak Amat ngangka’ batah dari truk da’ taneyan roma. ab. Pak Amat, bawakan beras saya ini ke pasar! Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Pak Amat, gebah berras engkok reya kapasar! Pak Amat, gebah berras engkok reya kapasar! Pak Amat, tenteng agi berras engkok reya kapasar! Pak Amat, bakta agi berras abdina reya kapasar! ac. Bu, tolong saya dipinjami uang untuk bayar sekolah Udin! Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Bu, sengkok pinjem agi pesse gabay majar sakolana Udin. Bu, tolong sengkok nginjemagi pesse gabay majar sakolana Udin Bu, den kubah nginjem agi obang badi majar sekolana Udin. Bu, nyo’on tolong adnina nyambut obang epon badi majar sekolana Udin. ad. Ibu Aminah membeli mobil baru untuk anaknya yang bungsu. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Bu Aminah melle montor anyar kabuy anakna se bungsah. Bu Aminah melle montor anyar kaanggung anakna se bungsah. Bu Aminah ngobange montor anyar kaanggung potrana se bungsah. Bu Aminah ngobange montor anyar kaanggung potrana se bungsah. ae. Ini uang untuk membeli nasi bungkus! Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Ya’ pesse se melle nase’ bungkos! Ya’ pesse se melle nase’ bungkos! Neka obang ngobang egi nase’ bungkos! Kadinto’ obang kaangguy ngobange nase’ bungkos! af. Maaf, saya tidak meminjami uang kamu pada hari ini. Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Saporana, sengkok ta’bisa ngenjami pesse da’ba’na satya. Saporana, sengkok ta’bisa ngenjami pesse da’ba’na satya. Saporana, kaula ta’bisa nyambutagi obang da’ sampeyan samangken. Saporana, abdina ta’bisa nyambutagi obang da’ panjenengan samangken. ag. Dia diangkat menjadi guru di wilayah Kabupaten Bangkalan. Kasar : Be’na eangka’ daddi guru e wilayah Kabupaten Bangkalan.


26 Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : Be’na eangka’ daddi guru e wilayah Kabupaten Bangkalan. Sampeyan eangka’ daddi guru e wilayah Kabupaten Bangkalan. Sampeyan eangka’ daddi guru e wilayah Kabupaten Bangkalan. ah. Kapan Anda diwisuda sarjana? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Bila ba’na e wisuda sarjana? Bila ba’na e wisuda sarjana? Bila sampiyan e wisuda sarjana? Bila panjenengan e wisuda sarjana? ai. Anda lulus apa tidak Sekolah Dasar? Kasar Enja’iya Enggi-enten Enggi-bunten : : : : Ba’na lulus apa enja’ sekolah SD? Ba’na lulus apa enja’ sekolah SD? Sampiyan lulus apa enja’ sekolah SD? Panjenengan lulus apa enja’ sekolah SD? Simpulan Penelitian ini membuktikan bahwa wanita Madura bila berkomunikasi sangat memperhatikan status sosial mitra tuturnya atau komunikannya seperti halnya pada wanita Jawa khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya. Hal yang menentukan wanita Madura dalam pemilihan ragam bahasa dalam interaksi komunikasi adalah usia, pendidikan, dan hubungan kekerabatan, serta jabatan. Perbedaan jabatan, kekayaan, dan usia dapat tidak dominan dalam pemilihan variasi bahasa dalam interaksi komunikasi bila ada unsur keakraban. Responden mengatakan keakraban. Hal yang paling dominan dalam pemilihan ragam/variasi bahasa pada wanita Madura dalam interaksi komunikasi adalah hubungan individu khususnya keakraban. Ada kekhususan pada wanita Madura bila berkomunikasi dengan orang tua kandung tidak menggunakan bahasa ragam halus dengan alasan untuk menjaga kedekatan atau keakraban tersebut. Penelitian masalah bahasa Madura sangat kompleks. Oleh sebab itu, perlu diadakan penelitian lanjutan berkaitan dengan topik penelitian ini. Penelitian awal masalah bahasa Madura ini hanya menelaah masalah variasi/ragamnya saja, belum menyangkut masalah ketetabahasaan bahasa Madura itu sendiri. Penelitian ini memfokuskan pada riset sosiolinguistik saja. Oleh sebab itu, penelitian lain bidang etnolinguistik, psikolinguistik, dan linguistik murni perlu segera ditindaklanjuti. Hendaknya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu memperbanyak buku-buku pelajaran bahasa Madura maupun leteratur-literatur tentang bahasa Madura agar pelajaran bahasa Madura bisa lebih berkembang, serta memperbanyak informasi dalam menunjang penelitian. Daftar Pustaka Alwasillah, A. Chaedar.1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.


27 Anwar, Khidir. 1980. Indonesian: The Development and Use of a National Language. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ________.1984. Fungsi dan Peranan Bahasa Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Appel, Rene, dkk. 1976. Sosiolinguistiek. Utrecht-Antwerpen: Het Spectrum. Chaer, A. dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Fishman, J. A. (ed.). 1970. Sociolinguitics: A Brief Introduction. Rowly-Massachusett: Newbury House. ________. 1972. The Sociologi of Language. Rowly-Massachusett: Newbury House. Goglioli, Pier Paolo. 1973. Language and Social Context. London: Cox & Wyman Ltd. Gumperz, J. J. dan Dell Hymes (ed.). 1970. Direction in Sociolingustics. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Gunarwan, Asim. 1994. Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia Jawa di Jakarta, Kajian Sosiopragmatik. Kanisius: Jakarta. Kuntjaraningrat. 1974. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Masinambow, E. K. M. 1984. “Perspektif Kebahasaan terhadap Kebudayaan.” Dalam Alfian (ed.) 1985. Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Muthmainah. 1998. Respon Ulama terhadap Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura). LKPSM NU: Yogyakarta. Nababan, P. W. J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia. Parera, J. D. 1980. Sintaksis. Jakarta: Gramedia. Pateda, Mansoer.2000. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Saville-Troike. 1989. Linguistics Competence. New York: Mac Millan Publishing Co. Inc. Sudjarwanto.1980. “Cerita Singkat Ludruk Jawa Timur.” Tidak diterbitkan. Dikbud. Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Suwito. 1983. Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset: Suraklarta.


28 Tindak Tutur Direktif dalam Khotbah Jumat Berbahasa Jawa Edy Jauhari Pendahuluan Setiap Jumat, umat Islam di seluruh dunia diwajibkan menunaikan ibadah salat Jumat. Di Jawa Timur ibadah salat Jumat ini pada umumnya dilaksanakan mulai sekitar pukul 12.00 WIB. Berbeda dengan ibadah salat-salat yang lain yang dapat dilaksanakan di rumah, di musala, di surau, atau di tempat-tempat yang lain, ibadah salat Jumat ini wajib dilaksanakan di masjid-masjid, kecuali dalam keadaan darurat dapat dilaksanakan di tempat lain. Ibadah salat Jumat ini wajib hukumnya bagi laki-laki, tetapi sunnah hukumnya bagi perempuan. Sebelum ibadah salat Jumat dilaksanakan, pada umumnya didahului oleh khotbah yang disampaikan oleh khatib. Khotbah di dalam rangka menunaikan ibadah salat Jumat ini biasa disebut khotbah Jumat. Khotbah Jumat ini hukumnya wajib dilaksanakan. Ibadah salat Jumat yang tidak disertai dengan khotbah secara hukum tidak sah. Jadi, salat Jumat dan khotbah merupakan satu rangkaian yang harus dilaksanakan dalam rangka menunaikan ibadah salat Jumat. Adapun urutannya khotbah harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum salat jumat dilaksanakan. Hal ini berbeda dengan khotbah di dalam salat Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Idul Adha. Khotbah dalam kedua jenis salat yang terakhir ini biasanya dilaksanakan sesudah salat dilaksanakan. Jika diamati dengan teliti, pemakaian bahasa dalam khotbah Jumat sesungguhnya cukup menarik dikaji. Pemakaian bahasa dalam khotbah Jumat memperlihatkan ciri-ciri yang spesifik karena berorientasi pada ajakan, perintah, atau anjuran untuk melaksanakan perbuatan baik, meningkatkan iman dan takwa, dan seterusnya. Oleh karena itu, bahasa khotbah cenderung penuh dengan tuturan-tuturan direktif dalam berbagai wujud formatif dan pragmatiknya. Dilihat dari sudut wacana, pemakaian bahasa dalam khotbah cenderung termasuk dalam wacana lisan karena khotbah sering disampaikan secara lisan. Di samping itu, wacana khotbah termasuk wacana transaksional karena lebih mementingkan isi pesan daripada interaksi komunikasi secara timbal balik. Wacana khotbah juga cenderung termasuk wacana persuasif karena cenderung dilakukan untuk memengaruhi jamaah agar bersikap, berperilaku, dan melakukan sesuatu sesuai dengan isi khotbah. Dari segi ini khotbah mestinya disampaikan secara menarik agar khotbah memiliki daya perlokusi yang tinggi. Dari kacamata sosiolinguistik, pemakaian bahasa dalam khotbah termasuk register tersendiri karena bahasa khotbah hanya digunakan untuk tujuan tertentu dan dalam konteks tertentu, yakni di masjid, pada hari Jumat, dan dalam rangka menunaikan ibadah salat Jumat. Oleh karena itu, register ini tidak sama dengan register-register yang lain seperti pemakaian bahasa dalam jual-beli, pemakaian bahasa dalam tajuk, pemakaian bahasa dalam mantra, dan lain-lain. Pemakaian bahasa dalam khotbah pada umumnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu (a) harus mengandung pujian kepada Allah SWT pada khotbah pertama dan kedua, (b) membaca shalawat yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, (c) mengandung wasiat untuk bertawakkal kepada Allah pada khotbah pertama dan kedua, (d)


29 membaca ayat Alquran pada khotbah pertama atau kedua, (e) membaca doa untuk orangorang mukmin pada khotbah kedua. Tulisan ini secara khusus mengkaji tindak tutur direktif dalam khotbah Jumat. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pemakaian bahasa dalam khotbah jumat pada umumnya berorientasi pada ajakan, anjuran, perintah, permintaan, dan lain-lain untuk melaksanakan suatu kebaikan sesuai dengan perintah Allah; di samping itu, juga berisi berbagai larangan untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma, khususnya norma agama. Oleh karena itu, pemakaian bahasa khotbah diprediksi penuh dengan tuturan-tuturan direktif yang diungkapkan dalam berbagai wujud formatif dan pragmatiknya. Ada dua hal yang akan dipaparkan dalam makalah ini. Pertama, menyangkut realisasi tindak tutur direktif dalam khotbah, dan kedua menyangkut modus-modus yang digunakan dalam menyampaikan tindak direktif. Data dalam tulisan ini dikumpulkan dengan merekam khotbah yang disampaikan oleh khatib pada saat penulis bersama-sama dengan para jamaah lain menunaikan ibadah salat Jumat di beberapa masjid di seputar kota Jombang, Jawa Timur. Perekaman itu dilakukan sebanyak empat kali, dilakukan di masjid yang berbeda, dan oleh khatib yang berbeda. Pemilihan khotbah yang direkam itu tidak menggunakan kriteria tertentu kecuali hanya ditentukan secara purposif. Setelah direkam, pemakaian bahasa dalam khotbah itu kemudian ditranskripsikan secara ortografis sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Landasan Teori Dalam perspektif pragmatik, unit minimal atau unit yang paling kecil dalam komunikasi adalah tindak tutur (speech acts). Tindak tutur ini oleh Austin (1962) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna kata, frasa, dan kalimat tersebut menurut kaidah sintaksisnya. Tindak tutur ini dapat disebut the act of saying something. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak ilokusi ini disebut the act of doing something. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh kepata mitra tutur. Tindak ini disebut the act of effecting someone. Tindak ilokusi oleh Searle (1975) dilasifikasikan menjadi lima macam, yaitu (a) representatif, (b) direktif, (c) komisif, (d) deklarasi, dan (e) ekspresif. Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar si pendengar melakukan tindakan seperti yang disebutkan di dalam ujaran itu. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya. Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam ujarannya itu. Khusus menyangkut tindak tutur direktif, Kreidler mengemukakan bahwa tindak tutur direktif mencakup tiga macam tindakan, yaitu perintah, permohonan, dan saran. Sementara itu, Rahardi (2005) mencatat tindak tutur direktif meliputi perintah, suruhan, permintaan,


30 permohonan, desakan, bujukan, imbauan, persilaan, ajakan, permintaan izan, mengizinkan, larangan, harapan, umpatan, pemberian ucapan selamat, anjuran, dan nglulu. Sementara itu, Leech (1983) menjelaskan bahwa berdasarkan perilaku sintaktisnya verbaverba direktif (bahasa Ingris) memperlihatkan dua macam formula, yaitu: (1) S VERBA (O) that X (2) S VERBA O to Y S dalam formula di atas adalah subjek yang mengacu ke penutur, sedangkan O adalah objek yang mengacu ke petutur. Sementara itu, that X dalam formula (1) merupakan klausa yang nonindikatif. Klausa-that nonindikatif ini dalam tindak tutur direktif mengandung subjungtif atau modal seperti should karena mengacu pada suatu perintah dan bukan pada suatu proposisi. Tuturan (1) berikut merupakan tuturan direktif karena sesuai dengan formula (1) di atas. (1) We requested that the ban (should) be lifted. ‘Kami mohon agar larangan itu dihapus’ Sementara itu, to Y dalam formula (2) adalah klausa infinitif. Tuturan (2) dan (3) di atas juga merupakan tuturan direktif karena sesuai dengan formula (2) di atas. (2) Sheila urged me to do the shopping ‘Sheila mendesak saya agar berbelanja’ (3) Sheila wanted me to do the shopping. ‘Sheila ingin agar saya berbelanja’ Secara semantik, tindak tutur direktif termasuk tindak tutur yang bersifat prospektif, yaitu mengacu kepada sebuah tindakan yang belum dilakukan. Ketika seorang penutur mengujarkan tindak tutur direktif, tindak tutur itu selalu mengacu kepada tindakan setelah tindak tutur itu dilakukan. Dalam ujaran seperti Kotak ini dipindah ke sebelah sana ya!, pemindahan kotak itu terjadi setelah tuturan itu dilakukan. Hal ini berbeda dengan tindak tutur ekspresif di mana kejadian itu berlangsung sebelum tuturan itu dilakukan. Tindak tutur ekspresif ini bersifat retrospektif. Secara semantik, tindak tutur direktif juga mengandung arti bahwa pelaksanaan kejadian atau tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu cenderung menjadi tanggung jawab mitra tutur. Hal ini berbeda dengan makna yang dikandung tindak tutur komisif di mana tanggung jawab pelaksanaan tindakan yang ada pada proposisi tuturan ada pada penutur. Tuturan Berangkatlah sekarang! mengandung makna bahwa yang harus berangkat adalah mitra tutur, bukan penutur yang mengucapkan ujaran tersebut. Sebaliknya, tuturan Saya berjanji akan berangkat besok pagi terkandung makna bahwa yang bertanggung jawab melaksanakan tindakan berangkat adalah penutur. Direktif dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai cara. Cara yang digunakan oleh seorang penutur untuk mengungkapkan direktif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu disebut strategi atau modus. Jadi, direktif dapat diungkapkan dengan berbagai modus atau strategi. Menyuruh, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) dapat diungkapkan dengan sembilan modus seperti berikut. (1)Imperatif Angkat meja ini ke belakang! (2)Performatif eksplisit Saya minta Anda mengangkat meja ini ke belakang. (3)Performatif berpagar


31 Sebenarnya saya mau minta Anda mengangkat meja ini ke belakang. (4)Pernyataan keharusan Anda harus mengangkat meja ini ke belakang. (5)Pernyataan keinginan Saya ingin meja ini diangkat ke belakang. (6)Rumusan saran Bagaimana kalau meja ini diangkat ke belakang? (7)Persiapan pertanyaan Anda dapat mengangkat meja ini ke belakang? (8)Isyarat kuat Kalau meja ini di sini, ruangannya menjadi sempit. (9)Isyarat halus. Ruangan ini terasa sempit. Berbagai modus direktif seperti yang dijelaskan di atas dapat dipilah menjadi dua modus dasar, yaitu (a) modus langsung dan (b) modus tidak langsung. Jika dipahami dengan lebih cermati lagi, kelangsungan itu ternyata berderajat. Menurut Gunarwan, derajat kelangsungan direktif itu diukur berdasarkan jarak tempuh yang diambil oleh sebuah ujaran, yaitu dari “titik” ilokusi (di benak penutur) ke “titik” tujuan ilokusi. Jarak paling pendek adalah garis lurus yang menghubungkan kedua titik tersebut, dan ini dimungkinkan jika ujaran bermodus imperatif. Makin melengkung garis pragmatik itu, makin tidak langsunglah ujarannya. Alih-alih jarak ilokusi, derajat kelangsungan tindak direktif dapat juga diukur berdasarkan kejelasan pragmatiknya. Di dalam hal ini kita berbicara tentang kejelasan maksud atau daya ilokusi. Makin tembus pandang atau transparan, atau makin jelas maksud sebuah direktif, makin langsunglah direktif itu dan demikian pula sebaliknya. Dari kesembilan modus direktif di atas yang berpotensi paling tidak tembus pandang (paling samar-samar maksudnya) adalah yang berupa isyarat halus. Hal ini karena kata meja sama sekali tidak disebutkan sehingga petutur harus mencari-cari konteksnya sebelum menangkap daya ujar yang ia dengar. Hasil dan Pembahasan Pemakaian bahasa dalam khotbah jumat pada umumnya berorientasi pada ajakan, anjuran, perintah, permintaan, dan lain-lain untuk melaksanakan suatu kebaikan sesuai dengan perintah Allah. Di samping itu, pemakaian bahasa dalam khotbah mungkin juga berisi berbagai larangan untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma, khususnya norma agama. Oleh karena itu, pemakaian bahasa dalam khotbah penuh dengan tuturan-tuturan direktif yang direalisasikan dalam berbagai bentuk. Berdasarkan pengamatan terhadap data yang terkumpul diketahui bahwa realisasi tindak tutur direktif dalam khotbah Jumat pada umumnya berupa (a) ajakan, (b) perintah, dan (c) larangan. Ketiga wujud direktif tersebut dipaparkan pada seksi-seksi berikut ini. 1. Realisasi Tindak Tutur Direktif yang Berupa Ajakan Salah satu ketentuan dalam khotbah jumat adalah bahwa khotbah harus mengandung ajakan kepada para jamaah untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT. Ajakan ini sifatnya wajib dilakukan dan menjadi salah satu syarat-rukun khotbah Jumat. Oleh karena itu, jika di dalam khotbah Jumat tidak terkandung ungkapan direktif yang berupa ajakan kepada para jamaah untuk meningkatkan iman dan takwa, khotbah tersebut


32 dianggap tidak memenuhi syarat-rukun khotbah Jumat. Berdasarkan ketentuan ini, maka hampir tidak pernah dijumpai khotbah Jumat yang tidak mengandung ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa. Dalam register khotbah Jumat, direktif yang berupa ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa ini pada umumnya dikemukakan pada awal khotbah sebelum khatib berbicara lebih jauh tentang tema yang akan dikemukakan dalam khotbah. Menurut pengamatan yang dilakukan, tidak pernah dijumpai ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa itu diungkapkan setelah khatib berbicara panjang lebar tentang topik yang dikemukakan dalam khotbah. Hal ini menunjukkan bahwa ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa itu dipandang lebih penting daripada topik-topik yang akan disampaikan dalam khotbah. Oleh karena itu, ajakan tersebut harus disampaikan terlebih dahulu. Yang menarik dicatat adalah bahwa ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa itu, karena dipandang sangat penting, pada umumnya disampaikan dengan menggunakan modus langsung, jelas, dan transparan. Dalam data tidak ditemukan ajakan meningkatkan iman dan takwa itu diungkapkan secara samara-samar, menggunakan modus tidak langsung sehingga hanya dapat dipahami dengan menelusuri konteks situasi. Ajakan yang dilakukan secara terang-terangan ini barangkali dimaksudkan agar mudah dipahami oleh para jamaah dan memberikan tekanan bahwa peningkatan iman dan takwa itu memang merupakan sesuatu yang penting dan utama, karena itu harus disampaikan secara jelas. Pada umumnya, ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa, yang cenderung disampaikan dengan modus langsung ini, secara leksikal ditandai oleh kata mangga ’mari.’ Setelah kata mangga ini, biasanya diikuti oleh kata kita sehingga membentuk frasa mangga kita. Penggunaan frasa mangga kita ini jelas merupakan sebuah ajakan yang diungkapkan secara langsung dan transparan. Data mengenai ajakan peningkatan iman dan takwa ini dapat disimak pada tuturan (1) sampai dengan (4) berikut. (1) Mangga kita sareng-sareng netepi takwallah, tegesipun ngelampahi sedaya perintahperintahipun Allah tuwin nebihi dhateng sedaya larangan-laranganipun. (2) Mangga kita sareng-sareng tansah ningkataken takwa kita dhumateng Allah Subhaanahu wata’ala kanthi nindaaken perintah-perintahipun Allah lan nilar sedaya awisan-awisanipun supados kita sesarengan pikantuk kabekjan lan kamulyaan monten ing dunya lan wonten ing akhirat. (3) Ing ndalem kesempatan menika, kawulo ngajak dhumateng panjenengan sami, mangga kita sareng-sareng ingndalem saklebetipun gesang punika tansah netepi takwa dhumateng Allah Ta’ala, kanthi nindaaken sedaya perintah-perintahipun lan nilar sedaya awisan-awisanipun. (4) Mangga kita sareng-sareng ningkataken takwa kita dhumateng Allah ta’ala, artosipun ngelampahi sedaya perintah-perintahipun Allah tuwin nebihi dhateng sedaya awisan-awisanipun. Jika dibandingkan, data (1) sampai dengan (4) di atas memiliki kesamaan unsur leksikal, yaitu semuanya mengandung ungkapan mangga kita. Ungkapan mangga kita ini dalam bahasa Jawa merupakan pemarkah formal bahwa tuturan tersebut merupakan sebuah ajakan. Dalam data (3) ajakan itu malah dieksplisitkan dengan munculnya verba performatif ngajak ’mengajak.’ Berdasarkan pemarkah ini dapat disimpulkan bahwa tuturan (1) sampai dengan (4) di atas menyatakan sebuah ajakan dan ajakan itu diungkapkan dengan modus langsung. Ciri dari sebuah ajakan adalah bahwa penutur juga ikut terlibat di dalam aktivitas


33 atau keadaan yang dinyatakan di dalam ajakan tersebut. Hal ini berbeda dengan perintah. Di dalam perintah yang melaksanakan perintah hanyalah petutur, sementara penutur tidak ikut terlibat dalam aktivitas tersebut. Berdasarkan hal ini, maka yang melakukan usaha untuk meningkatkan iman dan takwa bukan saja petutur, dalam hal ini para jamaah, tetapi juga penutur dalam hal ini khatib. Jika dilihat dari perspektif teori Brown dan Levinson (1978) tentang manajemen muka, tuturan direktif yang diungkapkan dengan modus langsung sesungguhnya cukup rawan mengancam muka (face threatening), baik muka petutur maupun muka penutur. Dalam hal ini, muka yang terancam adalah muka negatif (negative face). Oleh karena itu, tuturan direktif sering diungkapkan dengan modus tidak langsung, yaitu untuk mengurangi tingkat keterancaman terhadap muka tersebut. Seorang remaja misalnya, ketika mengajak nonton bioskop seorang gadis yang baru ditaksirnya barangkali cenderung menggunakan modus tidak langsung, misalnya dengan mengatakan “Hari ini kayaknya filmnya bagus. Aku belum nonton.” Ajakan yang disampaikan secara langsung justru rawan mengancam muka penutur sendiri seandainya ajakan itu ditolak. Namun, dalam konteks khotbah jumat, berdasarkan data yang tersedia, ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa justru cenderung diungkapkan dengan modus langsung. Ajakan yang terang-terangan seperti itu sama sekali tidak dinilai dapat mengancam muka siapa pun, baik khatib sendiri maupun para jamaah. Khatib dalam khotbah jumat juga tidak pernah merasa khawatir bahwa ajakannya itu akan ditolak oleh sebagian para jamaah. Ada beberapa alasan yang barangkali dapat dijelaskan mengapa ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa dalam khotah jumat cenderung diungkapkan dengan modus langsung dan transparan. Pertama, ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa dalam khotbah jumat hukumnya wajib disampaikan oleh khatib. Kedua, penggunaan modus langsung dipandang dapat memberikan tekanan bahwa upaya meningkatkan iman dan takwa itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, karena itu harus diungkapkan dengan modus yang jelas sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh para jamaah serta sedapat mungkin ajakan itu betul-betul dilaksanakan oleh para jamaah. Ketiga, ajakan tersebut, meskipun diungkapkan dengan modus langsung, sifatnya tidaklah memaksa. Para jamaah tetap masih memiliki keleluasaan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan ajakan tersebut. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, penggunaan modus langsung dipandang lebih tepat daripada modus tidak langsung. Penggunaan modus tidak langsung justru menimbulkan kekhawatiran bahwa ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa itu tidak dapat ditangkap dengan bak oleh para jamaah. Di samping ajakan untuk meningkatkan iman dan takwa yang sifatnya wajib disampaikan oleh khatib karena merupakan bagian dari syarat-rukun khotbah, ada ajakan-ajakan lain yang sifatnya manasuka, artinya boleh disampaikan boleh juga tidak. Akan tetapi, karena registernya adalah register khotbah Jumat, maka ajakan-ajakan itu pun tetap berkisar pada suatu kebaikan yang berkenaan dengan tema khotbah yang sedang disampaikan. Data (5) sampai dengan (8) berikut memperlihatkan bagaimana ajakan-ajakan yang sifatnya tidak wajib itu diekspresikan. (5) Mangga kita conto kados pundi tawakkalipun Rasulullah saw, inggih menika nalika hijrah sangking Makkah dhateng Madinah, dipun uber-uber dening kaum kafirin lan musyrikin, dipun rencangi dening sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq. Kanjeng Nabi boten nilar ikhtiyar.


34 (6) Mila para sedherek sedaya, mangga sareng-sareng sami emut, sami anggatosaken tugas salat fardlu! (7) Mangga kita samiya anggadahi cita-cita ingkang luhur ngingingi bab anggen kita bade pejah meniko. (8) Mangga samiya biyasaaken salat jama’ah wonten masjid utami langgar, tuwin samiya nyuwun reksa saking nilar salat jama’ah. Lan ugi samiya biyasaaken i’tikaf woten masjid, karaten punika kauntungan ingkang ageng ingkang sampun dipun tindakaken para shalihin. Mangga sami dipun angen-angen. Sebagaimana ajakan dalam data (1) sampai dengan (4) di atas, ajakan dalam data (5) sampai dengan (8) secara leksikal juga dimarkahi oleh kata mangga. Dalam data (5) dan (7) kata mangga itu diikuti oleh kata kita sehingga membentuk ungkapan mangga kita, sedangkan dalam data (6) dan (8) kata mangga tidak diikuti kata kita. Dari keseluruhan data yang terkumpul, realisasi tindak tutur direktif yang berupa ajakan ini dalam khotbah jumat selalu dimarkahi kata mangga yang dalam bahasa Indonesia berarti ayo atau mari. Ajakan semacam itu, sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan ajakan yang bersifat langsung dan transparan. Dalam konteks komunikasi sehari-hari, ajakan langsung seperti itu bisa jadi rawan mengancam muka petutur. Akan tetapi, dalam konteks khotbah jumat, ajakan langsung seperti itu justru dinilai sebagai sesuatu yang wajar dan tidak mengancam muka siapa pun. 2. Realisasi Tindak Tutur Direktif yang Berupa Perintah Realisasi tindak tutur direktif yang kedua yang ditemukan di dalam khotbah jumat adalah tindak tutur direktif yang berupa perintah. Dilihat dari segi derajat kelangsungannya, perintah itu cenderung disampaikan secara langsung dan jelas, atau menurut istilah Brown dan Levinson bald on record. Dilihat dari segi modusnya, perintah itu cenderung menggunakan modus imperative dan pernyataan keharusan. Tuturan (9) dan (10) berikut merupakan contoh tuturan direktif perintah.yang diungkapkan dengan modus imperatif. (9) Wediya sira ing Allah ! Wediya sira kabeh ing Allah! Ngerksaha sira ing wong wadon, sak temene wong wadon titipane Allah kang wis dipasrahake marang sira. (10) Samiya mangertosi, sejatosipun salat punika minagka dados pusakaning agama Islam. (11) Kersaha para hadlirin sami rawoh wonten ing masjid utawi langgar perlu jamaah. Samiya kersa anjagi imanipun piyambak-piyambak kanthi rawoh ing masjid perlu jamaah sholat. Pemarkah lingual yang menandai bahwa tuturan (9), (10), dan (11) di atas merupakan tuturan direktif perintah adalah munculnya sufiks -a pada kata wedi, ngreksa, sami dan kersa. Dalam bahasa Jawa sufiks -a memang sering menandai sebuah perintah. Contoh lain yang membuktikan bahwa sufiks -a dapat menandai perintah tampak dalam data (12) dan (13) berikut. (12) Sinaua sing sregep! (13) Adusa ben seger! Dalam data ditemukan juga direktif perintah dengan modus imperatif yang dimarkahi oleh kata wae’saja’. Hal ini seperti terbukti pada data (14) berikut. (14) Marang Allah wahe sira kabeh padha tawakal! Lamun sira kabeh iku wong-wong kang iman. Tuturan (14) itu merupakan tuturan direktif perintah dengan modus imperatif. Dalam bahasa Jawa, tuturan direktif perintah memang dapat juga diungkapkan dengan kata wae


35 seperti data (14) di atas. Bukti lain bahwa kata wae dapat menandai sebuh perintah adalah tuturan (15) dan (16) berikut. (15) Kowe neng omah wae dina iki. (16) Kowe numpak pit montor wae ben cepet. Di samping diungkapkan dengan modus imperatif, direktif perintah dalam khotbah Jumat juga diungkapkan dengan modus pernyataan keharusan. Kata leksikal yang sering digunakan untuk menandai pernyataan keharusan tersebut adalah kata kedah dan kata wajib. Berikut ini merupakan contoh data direktif perintah yang diungkapkan dengan modus pernyataan keharusan. (17) Dados wonten utawi boten wontenipun punika sedaya gumantung dhateng iradahipun Allah Ta’ala piyambak. Puniko kita wajib percados. (18) Mila sangking punika kita dipun wajibaken tawakkal, ingkang tegesipun kita kedah pasrah dhateng Allah kanthi sakestu. (19) Kita sedaya punika nggadah kewajiban printah dhateng anak istri kita supados nglampahi salat gangsal wekdal kerataen anak istri mau titipanipun Allah dhateng kita. (20) Mekaten kalawahu tawakkalipun Kajeng Nabi Muhhammad saw. Dados senahoso namung sekedhi/alit, tetep usaha menika wajib dipun amalaken, luwihluwih ingndalem ngadepi perkawis ingkang ageng. Dalam data di atas tuturan Puniko kita wajib percados (17), kita dipun wajibaken tawakkal (18), Kita kedah pasrah dhateng Allah kanthi sakestu (18), Kita sedaya punika nggadah kewajiban printah dhateng anak istri kita supados nglampahi salat gangsal wekdal (19), dan Dados senahoso namung sekedhi/alit, tetep usaha menika wajib dipun amalaken (20) merupakan tuturan direktif perintah dengan modus pernyataan keharusan. Dalam komunikasi sehari-hari, tuturan direktif perintah dengan modus pernyataan keharusan ini sesungguhnya kadar kesantunannya agak rendah. Sebab, hal itu terkesan agak memaksa dan tidak memberikan pilihan kepada petutur karena adanya penggunaan kata wajib atau kedah. Namun, dalam register khotbah, direktif perintah dengan modus pernyataan keharusan ini merupakan hal yang biasa dan tidak ada kesan berlaku tidak santun. Pernyataan keharusan ini justru dimaksudkan untuk memberikan tekanan bahwa para jamaah memang tidak punya pilihan lain kecuali harus mengikuti apa yang dinyatakan dalam perintah tersebut. Hal itu sematamata untuk kebaikan para jamaah sendiri. Hal ini tampaknya merupakan keunikan direktif perintah dalam register khotah jumat bahwa pernyataan keharusan yang dalam komunikasi sehari-hari cenderung dinilai kurang santun karena tidak memberikan pilihan kepada petutur, namun dalam register khotbah Jumat, pernyataan keharusan itu justru dinilai sebagai sesuatu yang biasa dan tidak ada tendensi untuk berlaku tidak santun. Penyataan keharusan itu berfungsi untuk memberikan ketegasan dan memang tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti saja apa yang dinyatakan dalam perintah tersebut. 3. Realisasi Tindak tutur Direktif yang Berupa Larangan Kebalikan dari tindak tutur direktif memerintah adalah tindak tutur direktif melarang. Memerintah berarti menyuruh orang melakukan aktivitas atau mengalami proses atau keadaan tertentu. Sebaliknya, melarang berari mencegah atau menyuruh orang agar tidak melakukan aktivitas atau mengalami proses atau keadaan tertentu. Dalam kehidupan seharihari dalam masyarakat Jawa, tindak tutur melarang termasuk tindak tutur yang rawan mengancam muka. Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa, tindak tutur melarang ini seringkali diungkapkan secara tidak langsung atau menggunakan modus-modus tertentu yang dianggap santun. Berikut ini merupakan contoh bagaimana seorang satpam di sebuah


36 kantor melarang seseorang untuk tidak merokok di dalam ruang ber-AC. Kelihatan sekali di sini betapa satpam tersebut melakukan larangan dengan sangat hati-hati untuk melindungi muka. (21) Mohon maaf, Pak, ruangannya ber-AC. Apa bisa dimatikan rokoknya? Dalam register khotbah jumat, kekhawatiran terhadap ancaman muka akibat tindak tutur melarang itu dapat dikatakan sangat kecil. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah keunikan dalam register khotbah. Oleh karena itu, seorang khatib cenderung dapat melakukan tindak tutur melarang ini dengan modus apa pun, termasuk modus yang paling langsung sekalipun. Dan, hal ini tidak akan menimbulkan ancaman sedikit pun terhadap muka para jamaah. Mengapa demikian? Ada dua faktor yang menyebabkannya. Pertama, larangan itu berkenaan dengan pencegahan terhadap perbuatan keji dan mungkar. Oleh karena itu, modus yang digunakan harus tegas. Kedua, para jamaah ketika datang ke masjid pada umumnya sudah dalam keadaan siap untuk mengikuti khotbah dengan khusyuk dan siap menerima berbagai perintah dan larangan apa pun sesuai dengan Alquran dan hadis Rasulullah saw. Berikut ini disajikan data bagaimana khatib menyampaikan berbagai macam direktif melarang ketika dia memberikan khotbah Jumat kepada para jamaah. (22a) He, eling-eleing wong akeh kang padha iman aja padha cidera marang Allah lan para utusane lan aja padha cidera marang titipane Allah, ing mangka sira kabeh iku wis padha mangerti. (22b) Dene kang luwih bagus hiya iku wongkang sergep nyambut gawe lan sergep ibadah. Kerana dunya iku dadi lantaran nuju dalam akhirat. Lan aja nganti sira kabeh iku dadi tanggungane wong liyan. (22c) He sedulur Islam! Menawa sira golek rezki aja namung lunggah thenguk-thenguk sarana dongo. (23) Menawi kita dados pedagang, ampun ngatos sok nipu karaten tiyang ingkang ahli nipu (ngapusi) punika boten kalebet golonganipun ummatipun kanjeng Nabi Muhammad saw. (24) Ugi ampun sok ngirangi timbangan, takeran, meteran, kelonan, karaten tiyang ingkang ahli nyuda takeran, timbangan, meteran, kelonan, punika neraka Wail panggonanipun. (25) Menawi kita dados pedagang bahan makanan ing wekdal paceklik (awis reginipun bahan makanan) amapun sok nyimpen (nimpun) bahan makanan ingkang supados reginipun tambah mindak, mekaten menika berarti merangi dhateng sederek mu’min ingkang akibatipun Allah Ta’ala badhe nyuda (ngirangi) rezkinipun. (26) Ugi ampun sok sumpah palsu ingkang ngandung maksud supados daganganipun dipun undangi reginipun ingkang akibattipun bade ica barakahipun tuwin bade kerisiksa, woten ngersanipun Allah Ta’a. Menawi kita dados pegawai, pamong desa. (27) Ampun ngatos sok korupsi utawi angginakaken kedudukanipun kangge kauntungan golongan utawi partinipun. Ingkang akibatipun bade dipun ukum wonten dunya, benjangan wonten akhirat bade dipun siksa. (28) Kita ampun ngantos pejah kejawi pejah ingkang saged mbeto iman lan Islam. Keranten namung bekal iman lan Islam menakalah kita badhe dipun tampi dening Allah Ta’ala lan badhe dipun panggenaken wonten ing panggenan ingkang dipun janjiaken inggih menika suwarga.


37 Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa khatib dalam mengungkapkan tindak tutur direktif melarang cenderung menggunakan modus langsung, jelas, dan transparan. Katakata leksikal yang digunakan untuk menandai larangan cenderung sama, yaitu ampun ngantos ’jangan sampai’ atau ampun ’jangan’ saja. Kata aja juga digunakan, tetapi dalam data hanya ditemukan satu kali sebagaimana terdapat dalam (22) di atas. Simpulan Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Realisasi tindak tutur direktif dalam khotbah Jumat dapat berupa (a) ajakan (b) perintah, dan (c) larangan. Realisasi seperti ini dapat dimaklumi mengingat pemakaian bahasa dalam khotbah Jumat cenderung berorientasi pada ajakan melakukan suatau kebaikan, perintah melaksanakan ajaran agama, dan melangan perbuatan keji dan mungkar. 2. Modus yang cenderung digunakan di dalam menyampaikan direktif mengajak, direktif perintah, dan direktif melarang adalah modus langsung, jelas dan transparan. Penggunaan modus ini dapat dipahami karena agama memang memerlukan ketegasan. Mengajak berbuat baik harus disampaikan secara tegas. Kebaikan dan kejahatan juga harus dibedakan secara tegas; melakukan perintah untuk melaksanakan ajaran agama juga harus disampaikan secara tegas; menyampaikan larangan terhadap perbuatan yang melanggar agama juga harus disampaiakan secara tegas. 3. Tindak tutur direktif mengajak dalam khotbah Jumat berbahasa Jawa secara leksikal sering dimarkahi oleh kata mangga atau mangga kita. Sedangkan, tindak tutur direktif memerintah dimarkahi oleh sufiks-a dan kata leksikal wae. Sementara itu, tindak tutur direktif melarang pada umumnya dimarkahi oleh kata ampun atau ampun ngantos dan kata aja. Daftar Pustaka Austin, J. L. 1962. How to do thing with words. New York: Oxford University Press Blim-Kulka, Shoshana. 1989. Cross-Cultural Pragmatics: Request and Apologies. New Jersey. Ablex Publishing Corporation Norwood Brown, Penelope dan S. C. Levinson. 1978. “Universals in Language Usage: Politeness Phenomena.” Dalam Question in Politeness. Cambridge: Cambridge University Press. Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta.” Dalam PELLBA 5. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. ________. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik.” Dalam PELLBA 7. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. ________. 2000. “Tindak Tutur Melarang di Kalangan Dua Kelompok Etnis Indonesia: Ke Arah Kajian Etnopragmatik.” Dalam PELLBA 13. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.


38 Kreidler. Charles W. 1998. Introducing English Semantics. London: Routledge. Leech, Geoffrey. 1993. Prinisip-Prinsip Pragmatik, diterjemahakan oleh M. D. D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia. Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Searle, J. R. 1971. The Philosophy of Language. New York: Oxford University Press.


39 “Eyang Yasa Sare Kondur” 1 : Konsep Kematian Jawa pada Masyarakat Padepokan Tjipta Boedaja, Magelang Harum Munazharoh Kematian merupakan salah satu episode siklus kehidupan manusia. Hal ini dimaknai sebagai bagian penting dan dihayati layaknya sambutan pada momentum kelahiran dan pernikahan. Tak terkecuali bagi masyarakat Jawa di Padepokan Tjipta Boedaja, Dusun Tutup Ngisor, Muntilan, Magelang. Mereka mempunyai beberapa konsep kematian, yaitu seda, tilar donya, kapundhut, dan sare kondur. Penelitian mula ini bersifat deskriptif partisipatoris. Data dihimpun melalui interaksi bersama masyarakat setempat secara alamiah. Konteks data dialami melalui percakapan langsung informal. Ada kalanya percakapan diarahkan ke topik terkait kematian sebagai pendukung konteks tuturan yang lebih komprehensif. Variasi bentuk meninggal yang dikenal masyarakat padepokan merujuk pada leksikon dari bahasa Jawa tingkat tutur kromo. Kematian bukan sesuatu yang menyeramkan. Ia sejalan dengan kemuliaan hidup berkelanjutan. Kematian merupakan fase alamiah jasad. Ruh tetap hidup dan dihayati. Penghayatan itu tidak hanya sekadar upacara di hari tertentu, melainkan juga pelestarian ajaran-ajaran para leluhur melalui petuah dan kesenian tradisi. Kata kunci: leksikon Jawa kromo, mitos, leluhur, siklus Pendahuluan Beberapa pandangan terkait bahasa tidak lagi memandang bahasa sebagai hal yang independen, tetapi sebagai hal yang terikat dengan ruang dan waktu. Keterikatan ini kemudian mementingkan unsur communicative competence penutur bahasa sebagai penyampai dan penerima pesan dalam upaya komunikasi. Oleh sebab itu, pemaknaan suatu hal, yang diwujudkan dalam bahasa, pada akhirnya, bergantung pada ranah kebudayaan suatu masyarakat. Pandangan inilah yang kemudian dirumuskan oleh beberapa ahli Boaz, Shapir, Whorf, dan murid-muridnya sebagai relativitas linguistik. Istilah relativitas linguistik benarbenar diungkapkan oleh ketiga sarjana tersebut belumlah dapat dipastikan. Sebaliknya, istilah tersebut muncul setelah perkembangan pandangan mereka dianut oleh muridmuridnya. Seperti halnya perkembangan pragmatik yang tidak dapat terlepas dari pandangan J.L. Austin How to do think the word yang sesungguhnya merupakan kumpulan kertas kerja dalam pengajarannya. Lebih lanjut, Kridalaksana (2008:xxx) menyatakan bahwa Boas-Sapir dan murid-muridnya termasuk dalam aliran Bloomfield dan berbeda dengan aliran post-Bloomfield (transformasi generatif, tagmemik, dan stratifikasi). Pemaknaan terhadap fenomena sosial yang diwujudkan dalam bahasa menjadi tidak sama karena bergantung pada kebudayaan penuturnya. Meskipun tidak selalu kebudayaan yang memengaruhi bahasa, hal ini pun dapat berlaku sebaliknya, atau keduanya berhubungan secara resiprokal, mutualisme. Alhasil, perkembangan kajian ini menguatkan pandangan 1 Judul tersebut dikutip dari perbincangan bersama cucu Rama Yasa, Mas Wid, yang membetulkan istilah seda ‘meninggal dunia’ untuk kakeknya. Ketika itu, kami berbincang kesenian khas Magelang dan hal-hal terkait padepokan yang didirikan kakeknya. Menurutnya, berkesenian merupakan upaya menjaga keseimbangan aktivitas primer masyarakat, yakni meladang di lereng Merapi dengan bersosialisasi dengan masyarakat luar padepokan. (Nyadran, Tutup Ngisor 2011).


40 ketiadaan bahasa tinggi dan bahasa rendah sekaligus budaya tinggi dan budaya rendah. Berangkat dari hal tersebut, kepulauan Nusantara merupakan salah satu ladang kajian linguistik terkait dengan etnografi masyarakat setempat. Sebuah kajian linguistik kemudian populer dengan istilah linguistik antropologi, yakni memandang variasi bahasa dari kebudayaan penuturnya (Kridalaksana, 2008:144). Data kajian diselidiki melalui kerja lapangan sehingga peneliti memahami konteks ujaran masyarakat penutur bahasa. Sebuah konsep kemalangan dan kebahagiaan, misalnya, tidak serta-merta sama dengan kepemilikan materi berlimpah. Hal ini dapat diidentifikasi dari peribahasa dan tradisi lisan yang dihayati masyarakat tertentu, sehingga sebuah konsep bahasa dihayati secara berbeda oleh penuturnya. Sejalan dengan hal itu, konsep kematian yang identik dengan kesedihan dan hal-hal tabu untuk dibicarakan pun ternyata tidak dimaknai sedemikian sederhana oleh masyarakat etnis. Masyarakat Papua, misalnya, mengadakan upacara potong jari untuk menghormati keluarga yang meninggal (lih. film produksi Alenia Pictures, Denias), sedangkan untuk hal yang sama masyarakat Toraja mengadakan perayaan besar-besaran dalam satu klan keluarga besarnya.2 Sedemikian berbeda pada masyarakat etnis Tionghoa. Mereka mempunyai ekspresi khusus untuk menghormati kematian, yaitu perawatan abu jenazah dan pemberitaan kabar duka di media massa. Keduanya dimulai dari ritual tata urutan perawatan jenazah, pantangan-pantangan selama masa dukacita, sampai pada kesepakatan keluarga untuk memublikasikan kematian dalam bentuk iklan di media massa.3 Penghormatan terakhir terhadap jenazah pun seolah dapat dibedakan berdasarkan status sosial sekaligus kemampuan ekonomi keluarga. Sementara itu, dalam masyarakat Jawa, kematian merupakan salah satu siklus kehidupan yang dimaknai sebagai pepasten, suratan takdir yang tidak dapat dilawan. Kedukaan mendalam justru dianggap tidak pantas (gak ilok) dilakukan oleh keluarga. Jika seseorang yang meninggal itu dianggap sebagai tokoh, masyarakat umum pun tidak pantas merayakan kedukaan terlampau mendalam. Adapun perayaan/pesta-pesta juga tidak lazim dilakukan dalam tradisi ritual kematian masyarakat Jawa. Cara pandang harmonis-selaras ini tercermin dalam pemanfaatan leksikon seda, tilar donya, kapundhut, dan sare kondur. Metode Data mula untuk tulisan ini didapatkan ketika berbincang terkait topik padepokan dan aktivitas keseniannya. Sepanjang perbincangan itu, para keluarga padepokan tidak lepas dari sosok Rama Yasa sebagai eyang sekaligus pendiri padepokan. Ketika itu, seorang anggota keluarga membenarkan istilah seda ‘meninggal’ dengan sare kondur. Beberapa istilah meninggal yang dihayati anggota Padepokan Tjipta Boedaja ini kemudian ditelusuri, ditanyakan ulang melalui peristiwa wawancara yang sengaja dibuat, tetapi sebisa mungkin 2 Bahkan, pada kasus tertentu, masyarakat Toraja masih membawa tradisi perayaan kematian di tempat mereka tinggal di luar Toraja. Informan Nona (bukan nama sebenarnya) menyatakan “aneh” ketika teman satu kosnya datang bersama keluarga besarnya memasak dan berbagi makanan seperti perayaan hari raya Idul Fitri. 3 Namun dalam perkembangannya, ritual perawatan jenazah lazim dilakukan oleh yayasan pengurusan pelayanan kematian, dan dalam kajian wacana kritis, iklan kematian masyarakat Tionghoa merupakan wujud penguat identitas minoritas. Simbol tersebut tercermin dengan pemanfaatan rumah sosial untuk tempat persemayaman, pemertahanan trankripsi tulis bahasa mandarin, penyebutan nama anggota keluarga yang berduka, dan penyebutan perusahaan dan relasi bisnis terkait keluarga itu (lih. Yusuf, 2005:221—26).


Click to View FlipBook Version