91 Dalam makalah ini peneliti menggunakan pendekatan struktural. Setelah peneliti melakukan pembacaan heuristik dan retroaktif, peneliti mengobservasi strukturnya, dalam hal ini yang dominan adalah stilistika. M. H. Abrams (1981:37) menyebut pendekatan struktural dengan istilah objective criticism, yang didefinisikan sebagai “approaches the work as something which stands free from pact, audience, and the envioring world. It describes the literary product as a self sufficient object, or else as word in its self.” Roland Barthes (dalam Castle, 2007:198) berfokus pada analisis struktur (focused on the structuralist analysis of literary texs). Hasil dan Pembahasan Stilistika adalah ilmu tentang gaya. Robert Stanton (2007:61) mengartikan gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Ratna (2009:8—9) dalam hal ini mengartikan bahwa pada dasarnya stilistika berarti gaya bahasa yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan, stilistika kumpulan puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan gaya yang dominan adalah metafora, simile, aliterasi, asonansi, repetisi, personifikasi, dan pertanyaan retoris. Untuk memperoleh gambaran secara konkret, hal tersebut dapat disimak sebagai berikut. 1. Metafora Gaya metafora merupakan gaya yang paling dominan dalam kumpulan puisi Negeriku: Syairsyair Perjuangan. Metafora didefinisikan sebagai salah satu bentuk kias yang dikreasikan melalui perbandingan langsung maupun secara berselubung (Aminuddin, 1995:30). Untuk memperoleh gambaran secara konkret gaya metafora pada kumpulan puisi Negeriku: Syairsyair Perjuangan, dapat disimak sebagai berikut. Bumi Putera aku putera alam nenek moyangku bumi dan samudera nusantara saudaraku adalah hijaunya pepohonan dan riuhnya hewan-hewan […] memegang teguh kedaulatan baik dirinya maupun bangsanya (Jabo, 2009:18) Pada larik-larik di atas, aku lirik dibandingkan dengan putera alam. Selain itu, saudaraku dibandingkan dengan hijaunya daun. Kata kedaulatan dibandingkan seperti benda yang dapat dipegang. Dalam hal ini gaya metafora dimanfaatkan oleh penyair untuk mengungkapkan perasaan yang bersifat emosional. Sastra diolah dengan bahasa khusus (Endraswara, 2016:127). Chapman (1973:76) dalam hal ini menyatakan “metafora is a term sometime used to include the more particular types of figure, such as those discussed bellow.”
92 Berkaitan dengan hal tersebut, Punter (2007:147) menyatakan bahwa metafora “often the result of a rhetorical mistake but sometimes it may be used to remarcable effect.” Gaya metafora yang lain misalnya pada puisi “Terjang” di bawah ini. bumi hanguskan tatanan yang tidak berbudaya agar kita merdeka menjadi bangsa nusantara […] sibaklah hitamnya malam (Jabo, 2009:67) Puisi tersebut berpersuasi kepada semua anak bangsa untuk bersemangat membumihanguskan tatanan yang tidak berdaya. Dalam hal ini, metafora yang terdapat di dalamnya adalah tatanan dianggap oleh penyair seperti benda yang dapat dibumihanguskan. Selain itu, kata malam dibayangkan oleh penyair sebagai benda yang berwarna hitam dapat disibak. Gaya metafora dalam puisi “Terjang” bermanfaat untuk menghidupkan puisinya. Perbandingan menjadikan sesuatu yang semula abstrak menjadi konkret, mudah dipahami maknanya, dan mudah dibayangkan, serta mudah dirasakan. Gaya metafora pada kumpulan puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan terdapat juga pada puisi berjudul “Jika Malam Tiba” (2009:6—7), “Kampung-Kampung” (2009:23), “Iwan Kolechong” (2009:24—25), “Barisan Ibu” (2009:33), “Untuk Kawanku” (2009:37), “1 Mei” (2009:41), “Untuk Nanda di Aceh” (2009:55), “Tetap Biasa” (2009:58—59), “BBM Naik I” (2009:60), “BBM Naik II” (2009:62), dan “Suluk Bongkal, Beringin” (2009:63). 2. Simile Gaya simile oleh Ratna (2009:446) didefinisikan sebagai gaya bahasa yang menggunakan kata-kata pembanding, seperti laksana dan umpama. Selanjutnya, Spiro dalam buku Creative Poetry Writing (2008:189) mengartikan simile sebagai “compare two things in a way which is surprising and interesting. A good similie will make use think about both things, either by like or by as in a new way. The comparison will be introduced.” Dalam kumpulan puisi Negeri: Syair-syair Perjuangan, gaya simile terdapat pada puisi berjudul “Kampung-Kampung,” “Barisan Ibu,” “1 Mei,” dan “BBM Naik II.” Similie pada puisi “Kampung-Kampung” dapat disimak sebagai berikut. Kampung-Kampung di lereng gunung berdempet rumah berpagar kayu dan bambu ada yang bersemen dan bertembok batu […] sungai mengalir deras tanpa ikan seperti dulu
93 kabut telah datang menyelimuti seperti kelambu (Jabo, 2009:23) Pada puisi di atas, larik “kabut telah datang menyelimuti seperti kelambu” dalam hal ini kata menyelimuti diumpamakan seperti kelambu. Gaya perbandingan ini sangat bermanfaat untuk mengintensifkan pernyataan. Dengan gaya simile tersebut, larik-larik menjadi mudah dipahami maknanya. Berikut ini puisi “Barisan Ibu.” Dalam puisi tersebut terkandung makna protes kepada pemerintah agar memperoleh kepastian dalam menjalani kehidupan. Gaya simile tampak penderitaan ibu-ibu diumpamakan seperti ilalang musim kemarau dihempas angin. Barisan Ibu berbaris ibu-ibu melangkah maju layu seperti ilalang musim kemarau dihempas bayu beri kami kepastian hidup agar kami tidak menjadi ranting kering dalam ladang kami sendiri (Jabo, 2009:26) Larik-larik puisi bergaya simile tersebut menjadikan pernyataan sangat efektif karena lariklarik tersebut memanfaatkan kata-kata yang dapat menggugah imajinasi pembaca, segar dan menakjubkan. Hal ini oleh Reeves (1975:176) dikatakan sebagai berikut, “Poetry, then is vital, fresh and surprising language. Stale language will be ineffective [….]” Setelah menganalisis puisi “Barisan Ibu,” peneliti menganalisis gaya simile pada puisi “1 Mei.” Dalam puisi “Barisan Ibu,” penyair mengambil objek ibu-ibu petani, sedangkan pada puisi “1 Mei” yang menjadi objek adalah kaum buruh. Dalam hal ini, kaum buruh pabrik berbaris untuk berdemonstrasi kepada penguasa. Mereka berkumpul seperti ombak-ombak di lautan. 1 Mei tiap tahun kaum buruh keluar pabrik berbaris mengepalkan tangan mengalir di jalan-jalan berkumpul seperti ombak di lautan 1 mei menjadi saksi satu saat nanti
94 kemarahan mereka akan membangun kesatuannya menerjang mendobrak kekuasaan (Jabo, 2009:42) Larik-larik bergaya simile di atas sangat menakjubkan sehingga larik-larik tersebut menggugah imajinasi pembaca. Sehubungan dengan itu, Punter (2007:147) menyatakan simile sebagai “Most more advanced forms of metaphor seek to surprise and startle by omitting these link words.” 3. Aliterasi Penyusunan bunyi merupakan bagian yang mutlak karena struktur tersebut merupakan bagian penanda bentuk. Selain itu, persoalan bunyi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kaitan memunculkan ekspresi ektetik (Emir dan Rohman, 2016:243). Dalam hal ini, aliterasi maupun asonansi terklarifikasi sebagai struktur bunyi. Agni (2009:113) mengartikan aliterasi adalah repetisi konsonan pada awal kata secara beruntun. Dalam kumpulan puisi Negeriku: Syair-syaiar Perjuangan, aliterasi terdapat pada “Waktu Aku Kecil” (2009:1—3), “Pulang Sekolah” (2009:4—5), “Celah Kelambu” (2009:27), “Waktuku” (2009:32), dan “Koalisi” (2009:53). Untuk memperoleh gambaran secara konkret, antara lain dapat disimak melalui kutipan puisi beserta uraiannya di bawah ini. Waktu Aku Kecil ketika aku kecil bangun tidur di pagi hari (Jabo, 2009:1) Huruf k bergaris bawah menunjukkan aliterasi. Perulangan konsonan tersebut menimbulkan orkestrasi bunyi. Siswantoro (2010:136), sehubungan dengan itu, menyatakan bahwa aliterasi memberi efek suara enak didengar. Selain itu, aliterasi memberi tekanan makna pada kata tempat konsonan diulang. Berikut ini puisi yang ditandai dengan judul “Pulang Sekolah” pulang sekolah aku aku pergi ke kali beramai-ramai kami mandi menyelam, mengambang menggosok pundak dengan bebatuan (Jabo, 2009:4) Perulangan huruf k dan m bergaris bawah menunjukkan aliterasi. Gaya ini oleh Spiro (2008:184) dikatakan bersifat musikal dengan mengatakan “A literation is repetition of the first sound in word-usually consonant sounds. The repetition of sound can create strong musical effects.” Aliterasi yang lain dapat dilihat melalui puisi “Celah Kelambu.” Pada puisi ini, fonem s diulang secara berderet. Untuk lebih jelasnya, hal itu dapat disimak di bawah ini.
95 Celah Kelambu gerimis menderu sore hari semakin sendu putih semua terlihat putih (Jabo, 2009:27) 4. Asonansi Gaya asonansi hakikatnya sama dengan gaya aliterasi. Perbedaannya, pada aliterasi merupakan perulangan bunyi konsonan, sedangkan asonansi merujuk pada perulangan bunyi vokal (Siswantoro, 2010:233). Majas ini dalam kumpulan puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan terdapat pada puisi berjudul “Berburu” (2009:9), “Jika Kemarau Tiba” (2009:12), “Berpikir” (2009:28), “Waktuku” (2009:31), dan “Koalisi” (2009:31). Untuk memperoleh gambaran secara konkret, hal tersebut dapat disimak di bawah ini. Berburu jika senja tiba di tengah kabut aku pesan telik […] aku tenteng belut-belut di tanganku aku serahkan ibuku (Jabo, 2009:29) Pada larik pertama, fonem a pada kata jika berasonansi dengan fonem a pada kata tiba. Pada larik keempat, fonem u pada kata aku berasonansi dengan fonem u pada kata tanganku. Pada larik kelima, fonem u pada kata aku berasonansi dengan u pada kata ibuku. Oleh Siswantoro (2010:233), aliterasi berfungsi memberi tekanan makna pada kata. Selain itu, asonansi menciptakan rangkaian suara yang musikal. Atas dasar paparan tersebut, larik “jika senja tiba” menekankan pada saat senja (hari sudah senja). Larik “aku tenteng belut-belut di tangaku” memberi penekanan makna aku lirik berbahagia menenteng belut di tangannya. Larik “aku serahkan ibuku” memberi penekanan pada aku lirik menyerahkan belut kepada ibunya. Asonansi-asonansi tersebut apabila dioralkan menimbulkan gambaran yang lebih konkret dan sonoritas bunyi. Majas asonansi yang lain dapat disimak sebagai berikut. matahari pagi bersinar terang (Jabo, 2009:12) di air sendiri kami susah sekali mencari sesuap nasi (Jabo, 2009:22) terhenti langkahku sebentar aku hitung waktu (Jabo, 2009:31) bangsa
96 berjuta-juta penduduknya ditentukan nasibnya oleh segelintir manusia (Jabo, 2009:53) 5. Repetisi Gaya repetisi, oleh Aminuddin (1995:307), didefinisikan sebagai pengulangan bentuk kebahasaan berupa kata maupun suku kata yang biasanya ditujukan untuk menciptakan musikalitas tertentu. Gaya ini dideskripsikan menjadi tiga: anaphora, ephistrope, dan symploce. Anaphora dipakai untuk menyebut perulangan pada bagian awal larik, ephistrope untuk menyebut perulangan pada bagian akhir larik, sedangkan symploce untuk menyebut perulangan awal dan akhir larik (perulangan seluruh) (Chapman, 1974:79). Dalam kumpulan puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan, gaya repetisi terdapat pada puisi “Dongeng Negeriku” (2009:14), “Terapung” (2009:43), dan “Rantai Kolonial II” (2009:50). Untuk memperoleh gambaran secara konkret, hal tersebut dapat disimak di bawah ini. Dongeng Negeriku ibu ceritakanlah lagi apa itu pancasila […] dia melahirkan bangsa kita dia menegakkan bangsa kita dia mempersatukan bangsa kita dan dia harapan dari seluruh saudara kita (Jabo, 2009:15) Perulangan kata dia pada awal larik menunjukkan bahwa larik-larik tersebut bergaya repetisi anaphora. Dalam hal ini, repetisi tersebut merupakan perulangan bervariasi. Hal itu sangat berfungsi untuk mengintensifkan pernyataan dan menimbulkan kesan bahasa yang rancak. Perulangan tersebut, secara selintas tampak sebagai pemborosan kata, ternyata oleh penyair digunakan secara efektif untuk menimbulkan keindahan. Berikut ini puisi “Terapung” (2009:19). Puisi tersebut mengungkapkan bahwa nusantara berada di tengah arus pusaran ekonomi dunia, akan tetapi nusantara tertinggal dari peradaban dunia. Larik puisi “Nusantara” pada bait pertama diulang lagi pada bait ketiga. Perulangan seperti ini menimbulkan kesejajaran. Dalam hal ini, perulangan menimbulkan intensitas isinya. Apabila larik-larik tersebut dioralkan, memperoleh orkestrasi bunyi. Hal ini dapat disimak sebagai berikut. Terapung nusantara di tengah arus pusaran ekonomi dunia
97 tanpa jangkar kompas serta haluan nusantara kosong tinggal manusia terapung-apung di tengah ganas samudera raya ditinggalkan peradaban dunia di dalam rimba belantara (Jabo, 2009:19) Berikut ini puisi berjudul “Rantai Kolonial I.” Puisi tersebut mengungkapkan bahwa perang rakyat meletus di mana-mana: Jawa, Sumatera, Makasar, Maluku, dan Aceh. Semua wilayah tersebut menggelora membangkrutkan kolonial Belanda. Rantai Kolonial I perang rakyat meletus dimana-mana perang jawa perang sumatera perang makassar perang maluku dan perang aceh menggelora membangkrutkan pemerintah Kolonial Belanda (Jabo, 2009:46) Kata perang diulang pada awal larik. Hal itu menunjukkan bahwa penyair memanfaatkan gaya anaphora. Perulangan pada larik-larik tersebut mengintensifkan pernyataan. Apabila larik-larik tersebut dioralkan, menimbulkan ekspresivitas. Melalui puisi “Rantai Kolonial II” penyair mengungkapkan bahwa demokrasi mengoyak bumi pertiwi. Dalam hal ini demokrasi dirasa sangat menakutkan. Untuk memperoleh gambaran secara konkret, hal tersebut dapat disimak di bawah ini. Rantai Kolonial II demokrasi menjadi api mengoyak bumi pertiwi […] demokrasi seperti besi
98 di bawah senapan rakyat mencari makan (Jabo, 2009:50-51) Gaya repetisi bervariasi tersebut menjadikan pernyataan sangat efektif. Apabila dioralkan larik-larik tersebut sangat ekspresif. 6. Personifikasi Personifikasi adalah pengungkapan benda mati atau tidak senyawa sebagai manusia (Agni, 2009:109). Sehubungan dengan itu, Spiro (2008:188) mendefinisikan personifikasi sebagai “happens when something that is not human, or not event living, is described as if it is human and alive.” Dalam kumpulan puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan, gaya personifikasi terdapat pada puisi berjudul “Jika Hari Hujan” (2009:10) dan “Berita” (2009:65). Untuk memperoleh gambaran secara konkret, hal tersebut dapat disimak di bawah ini. Jika Hari Hujan petir menyambar marahnya tukang sihir membelah hitamnya langit mendung matahari terkurung pohon-pohon berisik digoyang-goyang angin […] aku lari kencang kaki-kaki kecilku melangkah lincah sambil menutup kepala dengan buku aku pulang sekolah (Agus Jabo, 2009:10) Dalam puisi tersebut, aku lirik pulang sekolah ketika hari hujan berlari kencang, melangkah lincah sambil menutup kepala dengan buku. Pada saat seperti ini petir menyambar pohonpohon berisik ditiup angin. Larik-larik bergaris bawah pada puisi tersebut bergaya personifikasi. Dengan gaya personifikasi, ungkapan yang abstrak menjadi konkret. Selain itu, pernyataan menjadi lebih hidup karena dipersonifikasikan. Berikut ini gaya personifikasi pada puisi “Berita.” Puisi tersebut mengungkap peristiwa demi peristiwa menjadi berita utama di seluruh televisi. Peristiwa-peristiwa menjadi berita panas di mana-mana. Hal tersebut bermanfaat untuk melupakan masalah-masalah besar yang sesungguhnya. Dalam larik-larik puisi “Berita,” peristiwa dikatakan menghiasi seluruh berita, membius kesadaran manusia, dan membungkus masalah besar yang sebenarnya. Kata menghiasi, membias, dan membungkus masalah menjadikan larik-larik bergaya personifikasi. Hal ini menimbulkan pernyataan lebih hidup karena dipersonifikasikan.
99 Berita peristiwa demi peristiwa menjadi berita utama menghiasi seluruh televisi swasta membius kesadaran manusia membungkus persoalan-persoalan besar yang sebenarnya (Jabo, 2009:65) 7. Pertanyaan Retoris Dalam berpidato para orator sering memanfaatkan pertanyaan retoris, yakni gaya memanfaatkan kalimat tanya yang tidak menghendaki jawaban (Keraf, 1981:120). Dengan gaya ini mereka tidak bermaksud hendak bertanya, melainkan hendak menyatakan sesuatu dengan setegas-tegasnya. Hal tersebut terjadi karena dalam gaya ini sebenarnya sudah terkandung jawaban yang pasti. Sehubungan dengan hal itu, Leech (1956:184) menyatakan sebagai berikut, “Rhetorical question as a means of expressing intance conviction of a certain view.” Agni (2009:115) dalam hal ini menyatakan bahwa retoris merupakan ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pernyataan tersebut. Gaya retoris pada kumpulan puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan terdapat pada puisi berjudul “Dongeng Negeriku” (2009:15) dan “Kawan” (2009:57). Hal ini dapat disimak sebagai berikut. Dongeng Negeriku ibu di manakah pancasila itu ada ? (Jabo, 2009:15) Larik-larik puisi di atas tidak perlu dijawab karena sebenarnya aku lirik sudah tahu tentang Pancasila beserta aset dan fasetnya. Ungkapan tersebut merupakan gaya retoris yang bersifat parodi. Berikut ini puisi berjudul “Kawan.” Puisi tersebut mengungkap tanya “apa yang sudah kita kerjakan kawan?” Pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab karena sebenarnya yang bersangkutan sudah mengetahui semuanya. Dalam hal ini penyair hendak menegaskan segala sesuatu yang sudah dikerjakannya. Pertanyaan retoris ini menjadikan pembaca berkontemplasi apa yang selama ini telah dikerjakan. Kawan apa yang sudah kita kerjakan kawan ? ayo kita renungkan (Jabo, 2009:57)
100 Simpulan Berdasarkan deskripsi dan eksplanasi pada bab sebelumnya, makalah ini peneliti simpulkan sebagai berikut. Kumpulan puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan mengungkapkan kisah hidup pengarang, semangat kebangsaan, dan kemanusiaan. Masalah kisah hidup pengarang antara lain terdapat pada puisi “Waktu Aku Kecil” dan “Pulang Sekolah.” Masalah kebangsaan terdapat pada puisi “Bumi Putera” dan “Nusantara.” Masalah kemanusiaan terdapat pada puisi “Kampung-Kampung” dan “Derita.” Penyair dalam mengungkapkan masalah tersebut memanfaatkan stilistika berupa metafora, simile, aliterasi, asonansi, repetisi, personifikasi, dan pertanyaan retoris. Dari berbagai gaya tersebut, penyair secara dominan menggunakan gaya metafora. Perlu peneliti garis bawahi bahwa masing-masing gaya bahasa dimanfaatkan oleh penyair sangat efektif. Hal ini misalnya gaya metafora dimanfaatkan oleh penyair untuk menghidupkan puisinya. Gaya aliterasi dan asonansi sangat bermanfaat untuk memberi penekanan pada kata yang hendak disampaikan. Selain itu, aliterasi dan asonansi menimbulkan orkestrasi bunyi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa stilistika dalam kumpulan puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan terdiri atas puisi-puisi yang mengintensifkan pernyataan. Daftar Pustaka Abrams, M. H. 1958 The Mirror and the Lamp. New York: W. W. Norton & Company. Binar, Agni. 2009. Pantun, Puisi, Majas, Peribahasa, Kata Mutiara. Jakarta: Hi Fest Publishing. Castle, Gregory. 2007: The Blackwell Guide to Literary Theory. Australia: Blackwell Publishing. Chapman, Raymond. 1974. Linguistic and Literature: An Introduction to Literary Stylistics. England: Edward Arnold. Emir dan Saifur Rohman. 2016. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajagravindo Persada. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS. ________. 2016. Metodologi Penelitian Posmodernisme Sastra. Yogyakarta: CAPS. Jabo, Agus. 2009. Negeriku: Syair-syair Perjuangan. Jakarta: Jaringan Kerja Kebudayaan. Punter, David, 2007. Metaphor: The New Critical Idiom. New York: Routledge. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rivkin, Julie dan Michael Ryan. 2004. Literary Theory and Anthology. Australia: Black Well Publishing, Ltd.
101 Siswantoro. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Spiro, Jane. 2008. Creative Poetry Writing. New York: Oxford. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi Robert Stanton, diterjemahkan oleh Sugihastuti. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
102 Perihal Penelitian Kualitatif Lapangan Bidang Sastra8 I. B. Putera Manuaba Pengantar Penelitian humaniora (khususnya sastra) merupakan penelitian ilmiah. Dalam sejarah keilmiahan, penelitian humaniora merupakan bidang keilmuan terakhir yang diakui keilmiahannya dengan menggunakan pola-pola keilmiahan sebagaimana digunakan ilmu eksakta, yakni ada data, teori, dan metode. Gordon menyebut pola-pola keilmiahan itu pada awalnya digunakan dalam bidang ilmu eksakta, lalu ilmu ekonomi, kemudian ilmu sosial, dan baru ilmu humaniora.9 Sebagai bagian dari ilmu humaniora, penelitian dalam bidang sastra—apa pun teori yang digunakan—lebih merupakan penelitian kualitatif yang muaranya pada makna. Ini karena penelitian sastra berada pada wilayah yang post-positivistik. Sebagaimana halnya entitas sastra itu sendiri, penelitian sastra lebih bergerak pada wujud kebudayaan: ideas (ide, gagasan, nilai, norma) ketimbang wujud activities (terkait tindakan berpola manusia dan masyarakat) dan artifacts (benda-benda hasil karya manusia),10 meskipun ketiganya ini saling terkait. Hasil penelitian sastra lebih bersifat tidak kasat mata, tetapi tetap menjadi bagian penting dari keutuhan pembangunan manusia dan masyarakat. Oleh karena hasilnya yang tidak kasat mata, bidang-bidang nonsastra (khususnya yang eksakta) acapkali menuntut hasil penelitian sastra yang lebih berwujud konkret (bendabenda). Ini dimaklumi terjadi karena bidang-bidang eksakta memiliki pola pikir yang positivistik. Adanya tuntutan ini tentu tidak ada pada semua orang yang bergerak pada bidang eksakta, karena ada juga yang mampu memahami tentang keilmiahan hasil penelitian sastra. Dengan demikian, untuk menghasilkan luaran penelitian yang lebih dirasakan manfaatnya bagi manusia dan masyarakat, tentu merupakan sebuah tantangan bagi kita sebagai peneliti sastra. Di samping itu, baru-baru ini ada evaluasi bahwa penelitian dalam bidang sosial dan humaniora (sastra) dikatakan sangat penting dalam pembangunan nasional, tetapi penelitian sosial dan humaniora (khususnya sastra) itu dipandang belum berkembang optimal di Indonesia.11 Diharapkan ke depan hasil penelitian sosial dan humaniora (khususnya dalam bidang sastra), dapat semakin optimal. Menurut saya, manfaat paling nyata dari sastra dan hasil penelitian sastra bagi manusia dan masyarakat, sesungguhnya adalah pembangunan sisi rohaniah dan pembangunan karakter.12 8 Tulisan ini pernah disampaikan dalam Kuliah Umum pada Program S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, pada tanggal 31 Oktober 2018. 9 Scott Gordon, The History and Philosophy Social Science (London and New York: Routledge, 1991), hlm. 1.10 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Aksara), hlm. 5. 11 TAN, “Riset Ilmu Sosial Belum Optimal”, Kompas, 24 Oktober 2018, hlm 9. 12 Ida Bagus Putera Manuaba, “Eksotisme Sastra: Eksistensi Sastra dan Fungsi Sastra dalam Pembangunan Karakter dan Perubahan Sosial,” Pidato Pengukuhan Guru Besar, disampaikan pada 6 September 2014, hlm 11.
103 “Ladang” Terhampar Penelitian Sastra Satu kegiatan yang sering kita lakukan sebagai peneliti dalam penelitian sastra adalah lebih banyak mengerjakan penelitian tekstual atau pustaka (library research). Ini karena kita memang memersepsi bahwa sastra itu identik teks (buku), terlebih lagi yang diakui sebagai sastra itu hanya terbatas pada corak sastra serius (S besar). Karena itu, kita sebagai peneliti sastra (mungkin) sebagian besar hanya memburu teks-teks yang seperti itu untuk diteliti. Padahal—terlebih lagi jika menggunakan perspektif sosiologi sastra13—yang disebut sastra itu tidaklah sebatas itu. Menyebut sastra, sangatlah luas. Jadi, sastra itu, selain sastra serius, ada sastra populer, sastra koran, sastra anak, sastra remaja, sastra keluarga, sastra Cina peranakan, ciklit, tinlit, sastra media massa, sastra lisan (cerita rakyat, mitos), sastra daerah, sastra dunia, sastra yang ada dalam lirik musik, naskah lakon, skenario film, skenario dalam sandiwara radio, naskah sinetron, naskah dalam seni tradisional, kidung, lagu rohani, unsur sastra yang ada dalam kitab-kitab suci, dan sastra lokal yang diproduksi komunitas sastra di berbagai daerah yang dipublikasi penerbit daerah. Semua yang disebutkan itu adalah sastra, dan tidak lepas dari sastra. Belum lagi, sisi-sisi yang terkait dengan sastra itu sendiri, dalam keterkaitannya dengan dunia pengarang, dunia pembaca (pendengar, pendukung), dengan lingkungan masyarakat (realitas sosial empirik), dengan penerbit, dan dengan komunitas sastra. Jadi, sebenarnya, “ladang” penelitian sastra itu sangat luas. Sepanjang kita mau dan mampu melebarkan sayap pemahaman atas sastra, ladang penelitian sastra itu terhampar luas. Persepsi tentang luas-tidaknya “ladang” penelitian sastra, tentunya sangat bergantung pada bagaimana kita selaku peneliti mendefinisikan sastra. Meskipun Teeuw14 menyatakan bahwa sastra itu sulit didefinisikan dalam kesepakatan yang tunggal, satu yang pasti bahwa sastra itu dapat dikenali dari sifat-sifatnya.15 Sastra, apa pun genrenya, yang kita hadapi, tercipta sebagai akibat (effect) dari sebab (causa),16 terkait dengan realitas sosial empirik, dan memang tidak terpisahkan dengan realitas sosial empirik itu sendiri. Sastra itu berkisah dalam wujud fiksi dari keterkaitannya dengan realitas empirik, guna perbaikan realitas empirik itu sendiri. Sastra dapat ditulis oleh siapa pun yang mampu menulis, tidak terikat dengan profesi yang ditekuni. Sastra juga dapat dibaca oleh siapa pun yang berminat dan yang memiliki kemampuan membaca. Latar belakang pengarang sastra dan pembaca sastra tidak selalu linier dengan profesi yang sedang ditekuni. Siapa yang merasa perlu menulis sastra dan yang merasa perlu membaca sastra maka ia akan menulis dan membaca sastra. Dengan demikian, sastra itu milik semua orang; milik semua yang mau menulis dan membaca sastra serta semua yang mencintai sastra. Ini terjadi karena penulis sastra dan pembaca sastra itu juga adalah manusia, dan manusia itu satu kodratnya adalah sebagai homo fabulans (makhluk 13 Perspektif sosiologi sastra tidak mendiskriminasi corak sastra, semua corak sastra itu sama, yang memiliki pendukung (pembaca)-nya sendiri-sendiri, dan semua menjadi data ilmiah yang tentu layak diteliti.14 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), hlm. 21. 15 Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature (England: Penguin Books, 1968). 16 Ida Bagus Putera Manuaba, “Warna Lokal dan Internasionalisasi Sastra Indonesia,” dalam Kebersamaan dan Keragaman ASEAN: Perspektif Bahasa dan Sastra (Yogyakarta: Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM-Prodi Ilmu Linguistik UGM-Inculs FIB UGM, 2015), hlm. 98
104 bercerita, makhluk bersastra). Jadi, tidak heran jika sastra dapat ditulis dan dibaca pembaca lintas bidang.17 Sejatinya, sastra menyediakan ruang kebebasan tanpa batas bagi setiap penulis untuk mengungkapkan ekspresinya. Ini karena sastra memiliki satu kelebihan khusus, yakni pada apa yang disebut licentia poetika (kebebasan mencipta dan berbahasa). Orang-orang yang merasa tidak memiliki kebebasan dalam dunia (bidang)-nya, ada kecenderungan menulis sastra. Sastra memberi ruang kenyamanan berekspresi bagi siapa pun dan dalam bidang apa pun. Orang-orang yang ingin mengekspresikan perasaan, isi hati, cetusan hati, pikiran, kritik, apa pun yang teramati, terhayati, dan teralami dalam hidupnya, maka ia akan menulis sastra. Jadi, sastra itu dapat merupakan semacam “dokumen besar” (big document) tentang dunia tidak hanya menyangkut: kejadian, perasaan, pikiran yang ada pada zamannya, tetapi juga segala hal dan bidang penting yang pernah ada. Inilah yang membuat mengapa bidang-bidang nonsastra merasa perlu juga membaca sastra. Sastra juga menyajikan rasionalitas-rasionalitas imajinatif yang terwahanai dengan bahasa. Sastra itu dapat memberi banyak fungsi, di antaranya memberi pencerahan, membuka wawasan, memberi solusi alternatif, menyembuhkan penyakit dengan pengobatan nonkimia, menghaluskan perasaan, merajut keragaman, menyelamatkan dari kematian, dan tentu saja juga membentuk karakter.18 Mungkin masih banyak dapat kita deretkan fungsifungsi lainnya, sesuai dengan apa yang diperoleh dari pengalaman menulis dan membaca sastra. Menyimak pemahaman yang menyangkut: batasan sastra, ruang-ruang, dan fungsi-fungsi yang disediakan oleh sastra itu, tentunya selain meneliti teks-teks sastra secara intens dan komprehensif dari berbagai teori, sesungguhnya menarik juga mengkaji wilayah-wilayah luar teks yang terkait dengan teks sastra itu—meskipun pintu masuk (entry point)-nya tetap dari teks sastra itu sendiri.19 Dalam arti, peneliti penting juga mengerjakan penelitian sastra tidak hanya berupa penelitian kualitatif pustaka (library research), tetapi dapat juga melangkah pada penelitian kualitatif lapangan (field research).20 Ini merupakan suatu upaya bidang sastra dalam menjawab tantangan untuk memperlihatkan peran sastra dan penelitian sastra secara lebih konkret lagi di tengah pembangunan nasional. 17 Lihatlah latar belakang pengarang sastra di Indonesia dan di dunia, akan sangat bervariasi. Orang yang menulis tidak hanya orang sastra sendiri, bahkan sebagaian besar orang yang menekuninya bidang nonsastra; meskipun ilimuwan sastra banyak juga yang menulis sastra. 18 Mungkin kedengarannya seperti iklan sastra, tetapi ini bukanlah iklan yang persuasif, karena realitasnya memang sastra beroperasi seperti itu dalam masyarakat—sebagaimana yang saya rasakan dan alami. 19 Meskipun selama ini sudah ada dilakukan, proporsinya masih sangat sedikit. 20 Kebetulan saya sedang menekuni penelitian-penelitian lapangan dalam bidang sastra. Lihat Ida Bagus Putera Manuaba, et al., “Optimalisasi Pengelolaan Komunitas Sastra dan Budaya Literasi: Studi Manajemen Komunitas, Kreator, dan Produktivitas Sastra” (Surabaya: Laporan Penelitian PUPT, 2016); Ida Bagus Putera Manuaba, et.al., “Menggali Model Manajemen Organisasi Komunitas Sastra untuk Meningkatkan Produksi Sastra Menuju Pembangunan Karakter Bangsa” (Surabaya: Laporan Penelitian PDUPT, 2017—2018).
105 Dalam sebuah penelitian sastra, tentu sangat penting memperhatikan pemenuhan ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.21 Ontologi, menyangkut apa yang diteliti dalam penelitian sastra; epistemologi, menyangkut bagaimana cara pemerolehan ilmu pengetahuan dalam penelitian sastra; dan aksiologi, nilai apa yang dapat diberikan dari hasil penelitian itu. Ini berarti, semua yang kita kerjakan dalam penelitian sastra, pada akhirnya harus dapat memberikan nilai bagi pembangunan manusia dan masyarakat. Menengok Penelitian Kualitatif Lapangan Bidang Sastra Sebagaimana dikemukakan, penelitian dalam bidang sosial dan humaniora (khususnya sastra) perlu dioptimalkan. Untuk mengoptimalkan penelitian sastra, kiranya perlu melihat “ladang” penelitian sastra yang lebih luas dan terbuka. Kecenderungan model-model penelitian kualitatif tekstual dalam bidang sastra22 perlu juga dilengkapi dan divariasi dengan model-model kajian kualitatif lapangan dalam bidang sastra. Apalagi kalau terkait dengan kompetisi hibah-hibah penelitian—baik yang diselenggarakan oleh Ristekdikti, LPDP, mapun lembaga lainnya—tampak model penelitian kualitatif lapangan ini memiliki daya tarik sendiri. Artinya, tidak hanya meneliti soal teks saja, tetapi menyentuh keterkaitannya dengan masyarakat (lapangan). Ada kecenderungan lembaga-lembaga pemberi hibah itu lebih memberikan hibah pada model-model penelitian yang mengaitkan sastra dengan yang di luar teks, seperti keterkaitan dengan pembangunan karakter manusia dan masyarakat, keterkaitan dengan pemberdayaan komunitas sastra, serta peran sastra dalam peningkatan kualitas kehidupan empirik pada umumnya. Ada semacam tuntutan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan, rekomendasirekomendasi, dan tidak hanya untuk kepentingan pengembangan ilmu sastra itu sendiri, tetapi juga sekaligus untuk pengembangan dan peningkatan kualitas manusia dan masyarakat dalam kerangka pembangunan nasional. Untuk itu, penelitian-penelitian kualitatif lapangan dalam bidang sastra yang belum banyak dilakukan selama ini di Perguruan Tinggi, perlu dikembangkan sedemikian rupa. Pengembangan model penelitian ini dapat dimulai dengan menambah dan memperkaya kuliah-kuliah metodologi penelitian sastra yang sampai pada materi-materi penelitian lapangan (field reseach), sehingga para peneliti sastra dapat lebih terbuka dalam memilih topik penelitian dan melaksanakan penelitian yang relatif bervariasi. Sebenarnya “ladang” penelitian lapangan di bidang sastra terhampar luas. Jika bertolak dari dunia penulis, pembaca, dan lingkungan sosial budaya masyarakatnya, kita akan merasa penting meneliti dalam keterkaitan dengan yang ada di luar teks sastra itu sendiri. Misal, pada kenyataannya, penulis sastra memang berasal dari berbagai bidang nonsastra. Para pengarang (daerah, nasional, maupun dunia) memiliki latar belakang bermacam-macam bidang: wartawan, kedokteran, hukum, filsafat, kedokteran hewan, hubungan internasional, geologi, teknik, sosiologi, pengusaha, guru, rohaniwan, sejarawan, bahkan tukang becak, dan seterusnya. Begitu pun dengan pembaca sastra, juga berasal dari latar bidang bermacam- 21 Lihat pemahaman filosofis dalam Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono dari buku asli Elements of Philosophy (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 135—235. 22 Norman K. Denzin dan Yvonnas S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. xiii. Penelitian kualititatif dan interpretatif ini dikatakan sebagai fokus penyatuan ilmuilmu sosial dan humaniora, yang dianggap sebagai revolusi diam metodologis, yang dipandang mengembangkan ranah penelitian statistika, desain eksperimental, dan penelitian survei.
106 macam: kedokteran, psikologi, komunikasi, sosiologi, sejarah, politik, filsafat, pengusaha, masyarakat umum, ibu-ibu rumah tangga, dan seterusnya. Inilah di antaranya yang menyebabkan karya-karya sastra yang kita baca menyajikan kompleksitas kehidupan. Sebagai peneliti, kita masih sangat sedikit meneliti latar luar teks semacam itu, untuk mengkaji secara lebih jauh bagaimana sebenarnya sastra itu ada dan beroperasi di tengah masyarakat penulis dan pembacanya serta pada perubahan situasi dan kondisi sosial. Seberapa jauh karya sastra itu berperan melakukan perubahan sosial (social change), meskipun perubahan sosial yang diakibatkan dari membaca sastra tidak terjadi secara frontal dan mendadak. Termasuk juga, dari mana mereka mendapatkan kebijaksanaankebijaksanaan. Juga belum banyak kita lakukan wawancara secara langsung dan mendalam. Bagaimana persentuhannya dengan orang-orang yang ada dalam lembaga-lembaga negara, dari tingkat teratas hingga terbawah. Bagaimana masyarakat si pemilik sastra (cerita rakyat, legenda, mitos, dongeng) memosisikan dan memercayai sastra dan menggunakannya sebagai tata nilai dalam masyarakatnya di masa lalu dan sekarang. Di samping itu, menarik juga melibatkan pembaca, penulis, dan pencinta sastra dari bidang nonsastra untuk memperbincangkan sastra dalam pertemuan-pertemuan sastra. Pelibatan para pencinta sastra bidang nonsastra ini tentu akan semakin meyakinkan kita bahwa keberadaan sastra dan penelitian sastra sangatlah penting, dan tidak dapat dianggap mainmain. Kita segera akan mengetahui, bagaimana sastra diterima dalam masyarakat kita. Seperti yang pernah saya amati dan ketahui belakangan ini, bahwa ternyata banyak pembaca sastra yang sangat tekun menyerap nilai-nilai yang ditawarkan melalui sastra dari bidang nonsastra. Contohnya, ada kawan dokter senior yang sudah meraih jabatan akademik profesor, sebagai pembaca ia sudah membaca karya-karya sastra terutama karya sastra Pramoedya Ananta Toer dan sekaligus sebagai penikmat musik jazz. Ketika teman si pembaca yang saya ceritakan ini diwawancara di Radio Suara Surabaya, ia mengatakan bahwa membaca sastra dan menikmati musik jazz itu dapat membuat dirinya yang berprofesi sebagai dokter menjadi lebih humanis dalam menangani pasien. Begitu juga halnya ketika mengetahui para psikolog yang membaca sastra, dan bahkan sebagai seorang psikolog ia sangat sering menggunakan sastra untuk menyembuhkan dan menghibur psikis orang-orang yang tertimpa bencana. Sastra mereka gunakan sebagai obat menyembuhkan masalah psikologi di pengungsian seperti yang terjadi ketika Gunung Merapi meletus, gempa bumi di Lombok, dan gempa bumi dan tsunami di Palu. Jika ditilik dari pendekatan atau teori yang digunakan dalam bidang penelitian sastra, penelitian kualitatif lapangan bidang sastra ini perlu dilakukan jika kita meneliti modelmodel penelitian seperti sosiologi pengarang, sosiologi pembaca, struktural-genetik, psikologi pengarang, psikologi pembaca, resepsi eksperimental, dan seterusnya. Pemanfaatan dan pemaduan teori-teori interdisplin seperti konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann,23 teori arena Bourdieu, teori hegemoni Gramsci, dan teori-teori lainnya, juga sangat mungkin membuat peneliti sastra perlu melaksanakan penelitian kualitatif lapangan. Di sini tentunya tidak semua pendekatan dan teori dapat saya sebutkan 23 Lihat I. B. Putera Manuaba, Persepsi Pengarang tentang Masyarakat: Kajian tentang Cerpencerpen Karya Pengarang Bali dalam Perspektif Sosio-fenomenologis Bergerian (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 1—332.
107 satu per satu, mengingat begitu banyaknya teori. Namun, suatu hal yang pasti, pada prinsipnya, teori apa pun yang dibutuhkan itu dapat digunakan dalam penelitian sastra. Satu hal yang penting, asalkan kita menelitinya dari “kacamata” penelitian sastra. Selama ini, teori-teori yang digunakan dalam penelitian sastra, juga digunakan dalam bidang ilmuilmu lain seperti filsafat, sosiologi, psikologi, komunikasi. Begitu pula sebaliknya, banyak teori lain yang dimanfaatkan dalam penelitian sastra. Bahkan, pencetus teori-teori itu, kebanyakan filsuf. Ini wajar-wajar saja terjadi, karena teori-teori itu bersifat interseksi (lintas bidang), pemanfatan dan penyesuaiannya tergantung pada bidang masing-masing. Jika kita masuk pada model penelitian lapangan, para peneliti sastra tentu saja juga mesti akrab dengan teknik-teknik pemerolehan data lapangan. Teknik wawancara, merupakan teknik yang cukup efektif digunakan untuk memperoleh data lapangan. Dalam penelitian sastra, teknik wawancara yang cocok digunakan adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan terbuka (open interview). Di samping itu, juga pengamatan (observasi). Dalam pengamatan ini, kita dapat melaksanakan dengan model pengamatan terlibat (observasi partisipan) dan tidak terlibat. Teknik-teknik tersebut sangat dibutuhkan dalam pemerolehan data. Dalam penelitian lapangan, diperlukan keterampilan dalam menyusun daftar pertanyaan penelitian (interview guide), guna menjaring data penelitian lapangan (entah pengarang ataupun masyarakat). Juga diperlukan kemampuan mentranskripsi hasil wawancara, dan memanfaatkan data lapangan itu dalam analisis. Salah satu teknik lainnya adalah focus group discussion (FGD), menggali data dengan sistem diskusi dalam satu forum. Penutup Dalam tulisan ini, saya ingin menyatakan bahwa model-model penelitian kualitatif sastra yang umumnya lebih dilakukan dengan penelitian tekstual atau pustaka (library research), perlu dikembangkan, diperkaya, dan dilengkapi dengan model-model penelitian kualitatif lapangan (field research). Model penelitian kualitatif lapangan dalam bidang sastra ini belum banyak dieksplorasi, sehingga masih merupakan “ladang” penelitian sastra yang terbuka. Penelitian lapangan dalam bidang sastra memiliki kelebihan tersendiri. Kelebihannya adalah memosisikan sastra sebagai karya yang punya peran, mem-“bumi”, dan memberikan kebermanfaatan langsung bagi peningkatan kualitas manusia dan masyarakat. Sastra memiliki peran yang perlu diperhitungkan dalam pembangunan manusia dan masyarakat. Di samping itu, secara tidak langsung, keberadaan karya sastra diakui dapat melakukan penyadaran dan pencerahan inklusif bagi masyarakat pembaca. Sastra menghadirkan nilainilai, dan masyarakat menikmatinya dengan sukarela, tanpa paksaan, tanpa doktrin. Untuk mengoptimalkan penelitian bidang sastra, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengembangkan atau mengeksplorasi model penelitian kualitatif lapangan dalam bidang sastra. Dalam model ini, pemahaman atas sastra lebih di-“bumi”-kan dan dikuatkan peranannya dalam masyarakat. Oleh karena itu, sastra akan semakin dibutuhkan oleh masyarakat pembaca. Daftar Pustaka Gordon, Scott. 1991. The History and Philosophy Social Science (London dan New York: Routledge.
108 Denzin, Norman K. dan Yvonnas S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kattsoff, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara Wacana. Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara. Manuaba, Ida Bagus Putera. 2009. Persepsi Pengarang tentang Masyarakat: Kajian tentang Cerpen-cerpen Karya Pengarang Bali dalam Perspektif Sosio-fenomenologis Bergerian. Yogyakarta: Logung Pustaka. ________. 2014. “Eksotisme Sastra: Eksistensi Sastra dan Fungsi Sastra dalam Pembangunan Karakter dan Perubahan Sosial.” Pidato Pengukuhan Guru Besar, disampaikan pada 6 September. ________. 2015. “Warna Lokal dan Internasionalisasi Sastra Indonesia.” Dalam Kebersamaan dan Keragaman ASEAN: Perspektif Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM-Prodi Ilmu Linguistik UGM-Inculs FIB UGM. TAN. 2018. “Riset Ilmu Sosial Belum Optimal.” Kompas, 24 Oktober. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature. England: Penguin Books.
109 Presentasi Kehidupan Pesantren dalam Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi Puji Karyanto Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok: (1) Bagaimanakah kehidupan dunia pesantren dipresentasikan dalam novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi?; (2) Sejauh manakah presentasi kehidupan dunia pesantren dalam novel Negeri 5 Menara merepresentasikan kehidupan dunia pesantren yang sesungguhnya?; dan (3) Bagaimanakah makna di balik potret kehidupan dunia pesantren sebagaimana dipresentasikan dalam novel Negeri 5 Menara? Penelitian ini menggunakan paradigma sosiologi sastra dan fenomenologi sastra, yakni mencoba menghubungkan realitas imajiner yang dibangun dalam novel Negeri 5 Menara dengan persepsi atau kesadaran koletif alumni pondok pesantren dan juga dengan realitas sosial yang sesungguhnya. Kesadaran kolektif alumni pondok pesantren akan ditelusuri melalui metode wawancara (deep interview) dengan beberapa alumni pesantren, khususnya alumni Pesantren Modern Darussalam Gontor yang menjadi latar cerita dalam novel ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa novel Negeri 5 Menara mempresentasikan kehidupan pesantren sebagaimana yang dipersepsi oleh penulisnya. Sebagai sebuah presentasi, novel Negeri 5 Menara tidak dapat diperlakukan sebagai dokumen sosial yang merepresentasikan kehidupan pesantren sebagaimana fakta sosialnya. Hal ini penting ditekankan karena sebagai karya fiksi, novel ini harus tetap dipahami dalam konteksnya sebagai karya rekaan yang tetap terikat dengan hakikat fiksi sebagai sebuah karya kreatif imajinatif. Meskipun terinspirasi kisah nyata, sebagai karya memoar, penulis terlihat sudah melakukan seleksi dalam proses penulisannya sehingga ada banyak hal yang sudah mengalami stilasi dan distorsi sesuai perspektif penulisnya dalam memahami peristiwa masa lalunya. Adanya stilasi dan distorsi atas fakta sosial tidak terlepas dari intensi atau tendensi penulisnya dalam menuliskan karya fiksi yang dihasilkannya. Kata kunci: novel, pesantren, presentasi, stilasi Pendahuluan Salah satu aspek menarik yang terjadi pada ekologi kesusasteraan Indonesia mutakhir belakangan ini adalah munculnya beberapa karya sastra yang bernuansa religi. Diawali dari kesuksesan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy yang menjadi salah satu buku terlaris dalam sejarah perbukuan di Indonesia, karya-karya lain yang memiliki genre yang sama pun kemudian bermunculan dan meraih kesuksesan komersial yang kurang lebih sama. Beberapa karya sastra bernuansa religi yang dapat dikatakan berhasil secara komersial antara lain adalah Perempuan Berkalung Sorban, Ksatria Langit, Ketika Cinta Bertasbih, Negeri 5 Menara, dan masih banyak karya-karya yang lainnya. Munculnya karya-karya sastra bernuansa religi pada ekologi kesusastraan Indonesia mutakhir seperti yang terlihat pada beberapa contoh karya di atas menurut peneliti merupakan fenomena yang menarik karena munculnya karya-karya tersebut justru bersamaan dengan dominannya genre “sastra wangi” yang menguasai ekologi kesusastraan Indonesia kontemporer. Seperti diketahui, sejak awal tahun 2000-an, kesusastraan Indonesia banyak dijejali dengan munculnya karya-karya sastra bernuansa
110 feminis yang ditulis oleh penulis-penulis muda berjenis kelamin perempuan sehingga melahirkan istilah genre “sastra wangi” dalam sejarah sastra Indonesia. Nama-nama seperti Ayu Utami, Djenar Maeisa Ayu, Dewi Lestari, Helvy Tiana Rosa, dan lain-lain begitu kuat pengaruhnya dalam diskusi-diskusi sastra di tingkat nasional. Karya-karya mereka pun begitu banyak dibicarakan karena karya-karya sastra yang mereka ciptakan dianggap mengusung nuansa baru dalam hal penceritaan, tematik, dan juga sudut pandang terhadap persoalan-persoalan yang terkait dengan bias gender, budaya patriarki, dan gerakan feminisme. Dalam hemat peneliti, munculnya karya-karya sastra bernuansa religi yang akhir-akhir ini begitu banyak ditemukan dalam khasanah kesusastraan Indonesia dapat dicurigai sebagai salah satu bentuk perlawanan kultural terhadap gerakan kaum feminis radikal seperti yang direpresentasikan oleh penulis-penulis muda perempuan yang dianggap terlalu dominan menguasai wacana kesusastraan Indonesia mutakhir. Seperti diketahui, karya-karya para penulis muda perempuan yang sering disebut oleh pengamat sastra sebagai pencetus gerakan “sastra wangi” memang begitu kental menyuarakan gerakan feminisme. Dalam beberapa hal karya-karya mereka juga sering dianggap kontroversial karena pemikiran-pemikiran yang mereka tawarkan terkesan sangat radikal dalam menyikapi persoalan-persoalan gender dan banyak bertentangan dengan konsep-konsep klasik yang dianut masyarakat sehingga secara sarkastis Taufik Ismail sempat menjuluki mereka sebagai sastrawan pengusung “sastra mazhab selangkangan.” Oleh karena itu, munculnya gerakan baru yang dilakukan oleh penulispenulis baru yang menawarkan nuansa religi dalam khasanah kesusastraan Indonesia mutakhir menjadi fenomena yang menarik karena dapat dianggap sebagai gerakan penyeimbang yang akan semakin mendewasakan pertukaran wacana yang terjadi dalam ekologi kesusastraan Indonesia mutakhir. Negeri 5 Menara merupakan salah satu karya sastra bernuansa religi yang muncul setelah kesuksesan karya-karya bernuansa religi sebelumnya. Novel ini ditulis oleh A. Fuadi, seorang penulis muda yang berprofesi sebagai jurnalis dan kebetulan pernah tinggal di pondok pesantren. Sedikit berbeda dengan karya-karya pendahulunya yang banyak bercerita tentang romantisme dan perjuangan hidup, dalam Negeri 5 Menara karya A. Fuadi justru lebih banyak menceritakan persoalan suka-duka kehidupan yang dialami oleh para santri ketika mereka tinggal di pondok pesantren. Ada banyak hal menarik yang terungkap dalam kehidupan pesantren yang dikemukakan oleh A. Fuadi dalam karyanya. Mulai dari persoalan-persoalan remeh-temeh yang dijalani para santri dalam kehidupan keseharian sampai dengan persoalan-persoalan filosofis sosial keagamaan disampaikan oleh A. Fuadi dalam bahasa yang lancar dan menyentuh, khas novel-novel religi yang belakangan ini begitu berhasil menghipnotis para pembacanya. Kisah kehidupan pesantren yang diusung A. Fuadi tentu menarik dianalisis mengingat selama ini pesantren dianggap sebagai suatu dunia yang penuh misteri dan penuh ketertutupan terhadap dunia luar. Kisah-kisah di balik tembok-tembok pesantren yang selama ini jarang diketahui publik diceritakan oleh A. Fuadi dengan penuh suspense sehingga banyak memberikan cakrawala baru kepada pembaca awam yang ingin mengetahui kehidupan pesantren secara lebih dekat, meskipun Negeri 5 Menara hanya merupakan teks literer dan bukan teks dokumentasi sosial.
111 Sebagai penulis yang sempat mengenyam pendidikan di pesantren selama empat tahun, tentu saja banyak hal yang terjadi di pesantren yang diketahui oleh A. Fuadi sehingga memperkaya ilustrasi literer di balik kisah-kisah yang dikemukakannya. Persoalan yang menjadi menarik adalah sejauh mana kehidupan pesantren yang diceritakan A. Fuadi memiliki kesesuaian dengan kehidupan aslinya. Sebagai penulis produk pesantren, suka tidak suka, disadari atau tidak disadari pastilah banyak pengalaman empirik selama ia tinggal di pesantren akan turut mewarnai jalinan kisah yang dikemukakan dalam novelnya. Dengan demikian, boleh jadi kisah-kisah yang disampaikan pun sudah banyak bercampur dengan pandangan subjektifnya sebagai mantan santri. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk mengkaji sejauh mana kisah-kisah yang dikemukakan oleh A. Fuadi memiliki kesamaan dengan kehidupan yang sesungguhnya di lingkungan pesantren. Di luar aspek cerita, novel ini juga menarik dikaji karena di luar judul utama Negeri 5 Menara, novel ini juga diberi tajuk tambahan: “sebuah novel yang terinspirasi kisah nyata.” Adanya judul tambahan ini seolah-olah menjustifikasi bahwa karya ini memang ditulis berdasarkan pengalaman empirik yang dialami penulisnya. Dengan kata lain, judul tambahan tadi memaksa pembaca untuk memercayai bahwa dalam beberapa hal kisah-kisah yang disampaikan dalam novel ini sesungguhnya merupakan kisah nyata dan betul-betul terjadi. Selain itu, karya ini menarik untuk diteliti lebih lanjut karena ditemukannya fakta tekstual dalam sampul depan dan sampul belakang novel tersebut yang berupa denah lokasi pesantren dan puluhan komentar dari tokoh-tokoh terkemuka negeri ini yang hampir semuanya memberikan pujian terhadap karya tersebut. Hadirnya denah lokasi seolah-olah memperkuat kesan bahwa teks novel ini memang benar-benar disusun berdasarkan catatan-catatan harian seorang santri yang lokasi pondok pesantrennya dapat dilacak dalam dunia nyata sebagaimana yang diperlihatkan dalam denah lokasi. Komentar-komentar pujian dari tokoh semacam B. J. Habibie, Gamawan Fauzi, Bill Liddle, Erbe Sentanu, Riri Reza, Gola Gong, Andy F. Noya, Ahmad Syafi’i Maarif, Arief Rachman, Komarudin Hidayat, Emha Ainun Nadjib, Farhan, K. H. Hasan A. Sahal, Ary Ginanjar Agustian, Helvy Tiana Rosa, Sarlito Wirawan, dan lain-lain juga semakin memperkuat kesan bahwa novel ini memang merupakan salah satu novel penting dalam genre sastra religi yang dapat menjadi penyeimbang dominasi “sastra wangi.” Berangkat dari fenomena-fenomena itulah peneliti merasa perlu untuk mengkaji Negeri 5 Menara dari perspektif fenomenologi dan sosiologi sastra. Perspektif fenomenologi perlu dimanfaatkan untuk menguji sejauh mana pelukisan kehidupan pesantren yang digambarkan oleh A. Fuadi memiliki kesamaan persepsional dengan realitas kehidupan pesantren sebagaimana dirasakan oleh para alumni pondok. Parameter untuk menguji tingkat kesesuaian realitas literer dengan realitas persepsional ini dapat diuji dengan menggali persepsi dari alumni-alumni pondok pesantren yang saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi. Perspektif sosiologi sastra diperlukan dalam penelitian ini untuk menganalisis sejauh mana presentasi kehidupan pesantren dalam Negeri 5 Menara dapat dianggap sebagai representasi kehidupan pesantren yang sesungguhnya. Ujung dari kajian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan sejauh mana realitas sosial yang diagambarkan dalam novel ini memiliki kesesuaian dengan kehidupan nyata
112 di lingkungan pondok pesantren sehingga akan memperjelas posisi novel ini sebagai novel yang dijustifikasi ditulis berdasarkan kisah nyata. Operasionalisasi Konsep 1. Presentasi Istilah presentasi secara leksikal dimaknai sebagai penyajian, penampilan, atau penggambaran akan sesuatu (KBBI, 1999:787). Istilah ini dapat pula dipakai untuk menjelaskan aktivitas pemberian suatu materi atau perkenalan seseorang kepada orang lain yang kedudukannya lebih tinggi. Dalam konteks penelitian ini, presentasi lebih diartikan sebagaimana arti leksikal yang pertama, yakni sebagai suatu penggambaran, pelukisan, atau penyajian sebuah situasi, sesuai dengan perspektif penyajinya. Dengan demikian, dalam presentasi masih ada kemungkinan munculnya subjektivitas penyaji dan belum tentu perspektif penyaji tersebut selalu relevan dan bersesuaian dengan situasi yang dipahami orang lain. Dengan kata lain, presentasi dalam tulisan ini sangat berbeda pengertiannya dengan istilah representasi yang sering dimaknai sebagai keterwakilan atau cermin yang factual dari sebuah situasi. 2. Pesantren Secara leksikal, pesantren adalah nama tempat santri atau murid-murid mengaji atau menimba ilmu di sebuah lembaga pendidikan agama Islam (KBBI, 1999:762). Pesantren sendiri sebagai sebuah terminologi kemudian mengalami perkembangan pemaknaan sesuai dengan dinamika kehidupan sosial masyarakat sehingga dikenal adanya terminologi pondok tradisional dan pondok modern. Kata pesantren, dalam penggunaannya, biasanya berkombinasi dengan kata pondok sebagai satu kesatuan pengertian, meskipun kata pondok sendiri sesungguhnya maknanya juga identik dengan kata pesantren. Dalam konteks penelitian ini, kata pesantren juga diartikan sebagai tempat para santri belajar untuk menimba ilmu keagamaan yang biasanya disertai dengan kebiasaan menginap/tinggal secara menetap di pesantren tersebut. Hasil dan Pembahasan 1. Presentasi Kehidupan Pesantren dalam Novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi Novel Negeri 5 Menara menceritakan kehidupan yang terjadi di balik tembok pesantren. Dengan menghadirkan 6 tokoh utama, yakni Alif dari Minangkabau yang sekaligus bertindak sebagai juru cerita, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa, secara keseluruhan novel Negeri 5 Menara berhasil menghadirkan sebuah jalinan kisah yang tidak saja menarik untuk diikuti, tetapi juga inspiratif bagi pembaca-pembaca muda yang haus akan bacaanbacaan yang enak dibaca tetapi tetap berkualitas. Juru cerita dalam novel Negeri 5 Menara menyampaikan ceritanya secara mengalir dan mudah diikuti. Meskipun di sana-sini terdapat alur sorot balik dan back tracking, secara umum jalinan kisah yang ada tidak disampaikan secara rumit sehingga masih dapat diikuti oleh pembaca tanpa harus bersusah payah mengaitkan konflik di satu bagian dengan bagian lain. Lagi pula, sebagai novel yang bersifat didaktis (sejak awal diniatkan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral), novel Negeri 5 Menara tidak terjebak menjadi novel dakwah yang serba menggurui, tetapi justru menghadirkan ruang dialog yang membuat pembaca lebih bisa berefleksi untuk memahami sebuah
113 kehidupan pesantren yang selama ini dianggap penuh misteri dan tidak menarik diikuti. Novel Negeri 5 Menara sejak awal sudah dijustifikasi oleh penerbitnya sebagai “sebuah novel yang terinspirasi kisah nyata.” Subjudul ini dicantumkan di atas judul utama novel yang ditulis oleh A. Fuadi. Dengan adanya justifikasi ini, tidaklah merupakan hal yang berlebihan jika peneliti ingin mengungkapkan aspek-aspek penceritaan dalam Negeri 5 Menara yang dapat dianggap sebagai presentasi kehidupan pesantren sebagaimana yang dipersepsi oleh penulisnya. Dalam novel Negeri 5 Menara ini, kehidupan dunia pesantren dinarasikan oleh A. Fuadi secara romantik sebagai sebuah catatan memori kenangan masa lalu yang pernah dialaminya secara langsung. Perhatikan kutipan berikut, “Novel ini terinspirasi oleh pengalaman penulis menikmati pendidikan yang mencerahkan di Pondok Modern Gontor. Semua tokoh utama terinspirasi sosok asli, beberapa lagi adalah gabungan dari beberapa karakter yang sebenarnya (Fuadi, 2009:iii). Membaca pernyataan tersebut, mudah diterka bahwa novel yang ditulis oleh Fuadi pasti akan lebih banyak membicarakan atau menyajikan romantisme masa lalu yang pernah dialaminya secara empirik. Sebagai sebuah catatan memori, mudah diterka pula bahwa yang akan banyak dipresentasikan justru unsur-unsur pengalaman empirik menjalani kehidupan di pondok pesantren yang “menikmatkan.” Bagian-bagian dari kehidupan masa lalu yang tidak “menikmatkan” dan dianggap akan memberikan kesan negatif terhadap dunia kehidupan pesantren dengan sendirinya pasti sudah disingkirkan dari kemungkinan penceritaan. Oleh karena itu, membaca novel Negeri 5 Menara ini kita seperti sedang dipersuasi untuk memahami dan mengerti dan jika memungkinkan kemudian kita tertarik untuk menjadikan pesantren, khususnya pesantren modern, sebagai media terbaik untuk pembelajaran putra-putri kita. Presentasi kehidupan pesantren dalam Negeri 5 Menara diawali dengan ilustrasi denah pesantren Pondok Madani yang menjadi latar cerita novel tersebut. Denah tersebut diilustrasikan secara detail sehingga membantu imajinasi pembaca untuk membayangkan situasi dan kondisi pondok pesantren secara keseluruhan. Untuk mengesankan bahwa cerita tersebut sungguh-sungguh realistis, selain menyajikan halhal yang serius, novel tersebut pun secara detail menyelipkan kisah-kisah keseharian yang terjadi di pondok pesantren, termasuk menyelipkan humor-humor segar khas pesantren, bahkan termasuk kehidupan asmara, dan kisah-kisah kenakalan para santri baru dalam usaha menyiasati peraturan pondok yang sangat ketat dalam menjalankan aturan kedisiplinan. Membaca novel Negeri 5 Menara ini, kita seperti melihat etalase kehidupan pesantren yang selama ini terkesan tertutup dalam bahasa romantik yang menyenangkan dan persuasif. Pola-pola pendidikan kedisiplinan di pesantren yang sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai “tindak kekerasan” karena sangat militeristik, tidak dipresentasikan sebagai sesuatu yang menakutkan dan menyeramkan, tetapi justru disampaikan sebagai sesuatu yang menyenangkan dan sangat bermanfaat untuk kepentingan membangun kedisiplinan santri.
114 Jika dikaitkan dengan isu-isu kekinian terkait dengan metode mendisiplinkan peserta didik, hal-hal yang dipresentasikan Fuadi dalam Negeri 5 Menara ini jelas-jelas melanggar aturan karena pola-pola pendisiplinan tersebut bersifat fisik dan bisa membahayakan keselamatan jiwa peserta didik. Namun, karena bingkai cerita Negeri 5 Menara ini adalah romantisme yang “menikmatkan,” segala hal yang dari kacamata awan bisa dipersoalkan, oleh Fuadi justru dianggap sebagai bagian dari pengalaman masa lalu yang sangat “menikmatkan” untuk dikenang. Negeri 5 Menara juga mempresentasikan bagaimana pola rekrutmen santri di pondok modern yang memang sangat ketat. Tidak semua calon santri dapat diterima di pondok pesantren modern. Sebelum mereka masuk pondok, ada banyak tes yang harus diikuti. Dengan demikian, kesan bahwa pesantren hanyalah merupakan tempat belajar “sambilan” di luar tempat belajar utama seperti di sekolah-sekolah umum, sepertinya berusaha dihilangkan oleh Fuadi. Metode belajar yang menarik dan bagus secara metodologis, metode pendidikan kedisiplinan santri, pola-pola interaksi para guru dan pengasuh pesantren dengan peserta didik yang akrab tetapi tetap santun, serta pembelajaran softskills kehidupan yang memanfaatkan semua sumber daya pembelajaran digambarkan sebagai aspekaspek kehidupan pesantren modern yang menarik untuk dinikmati. Kesan “angker” dan keterasingan lembaga pendidikan pesantren, sepertinya sengaja ingin diubah citraannya oleh Fuadi melalui novel Negeri 5 Menara ini. Pada beberapa bagian memang ditemukan penggambaran kehidupan pesantren yang agak “menyeramkan” seperti pada ketatnya jadwal ke luar pondok, ketatnya aturan kedisiplinan yang harus dijalani siswa dalam bentuk tata tertib yang sangat mengikat, hukuman-hukuman yang harus dialami siswa ketika melakukan pelanggaran. Namun, semua wajah “seram” tadi seolah-olah ingin direduksi oleh Fuadi dengan menonjolkan aspek manfaat dari pola-pola pembelajaran yang bagi sebagian kalangan boleh jadi tidak dapat diterima begitu saja. Sebagai sebuah cerita yang utuh, tentu Negeri 5 Menara tidak semata-mata bercerita tentang hal-hal yang serius dan terkait dengan tujuan pedagogik penulis novelnya. Sesuai dengan hakikat fiksi, dalam novel Negeri 5 Menara ini juga ditemukan kisahkisah sampingan yang menggambarkan unsur manusiawi kehidupan para santri yang sedang beranjak dewasa dan mulai mengalami masa puber. Dengan demikian, di luar cerita yang serius, ditemukan juga kisah romantisme percintaan, kenakalan para santri, juga kisah-kisah sukses para alumnus pondok yang diceritakan telah tersebar memberikan kontribusi dalam membangun peradaban di berbagai lembaga dalam maupun luar negeri. Singkatnya, kehidupan pesantren yang dipresentasikan oleh Fuadi sebagai penulis dalam novel Negeri 5 Menara ini lebih banyak menyajikan hal-hal yang menyenangkan dan “menikmatkan” daripada membicarakan hal-hal yang berat dan “seram” sebagaimana kesan yang selama ini dipersepsi oleh masyarakat awam terkait dengan kehidupan dalam dunia pesantren. Melalui kisah 6 tokoh utama yang kebetulan berbeda-beda suku bangsa, Negeri 5 Menara berhasil mempresentasikan kehidupan di sebuah pesantren modern yang penuh dengan disiplin dan metode pembelajaran yang
115 inovatif-kreatif sehingga target-target pembelajaran yang selama ini agak sulit tercapai di tempat-tempat pendidikan umum justru dikisahkan dalam novel ini begitu mudah dicapai dengan menggunakan pola-pola pembelajaran inovatif yang ditempuh di pondok. 2. Fakta dan Fiksi Kehidupan Pesantren dalam Novel Negeri 5 Menara Di atas telah disampaikan bahwa novel ini diakui penulisnya terinspirasi kisah nyata. Oleh karena itu, menjadi menarik pula untuk menggali persepsi para alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor (selanjutnya disebut PMDG) terkait dengan jalan cerita yang dipresentasikan A. Fuadi dalam novel Negeri 5 Menara ini. Sebagai sebuah fiksi, sesuai hakikat fiksi, novel ini pastilah tetap harus disikapi sebagai sebuah cerita rekaan yang tentu saja tidak sama dengan catatan harian atau buku dokumentasi sosial yang bertendensi historis. Namun, sebagai sebuah fiksi yang dijustifikasi terinspirasi kisah nyata, tentu saja dapat diasumsikan pula bahwa banyak hal yang diceritakan dalam novel ini pastilah berhubungan dengan peristiwa-peristiwa nyata yang dialami oleh penulisnya. Untuk mengukur porsi fiksi dan fakta dalam novel Negeri 5 Menara ini, peneliti telah mencoba melakukan wawancara terhadap beberapa alumnus PMDG yang sudah membaca novel Negeri 5 Menara. Secara umum, para alumnus yang diwawancarai mengakui bahwa ada beberapa hal yang dianggap identik antara pengalaman empirik mereka selama menempuh pendidikan di pesantren dengan alur cerita yang disajikan oleh Fuadi. Namun, banyak pula bagian-bagian cerita yang menurut mereka terlalu berlebihan dan tidak menunjukkan kesamaan persepsi dengan jalan cerita yang disampaikan penulisnya. Bagian yang dianggap sama oleh Indah Dwi Lestari (alumnus 2006), misalnya, adegan santri yang diuber bagian keamanan ketika melakukan pelanggaran yang kemudian malah dijadikan jasus (mata-mata) sebagai hukuman atas pelanggarannya. Juga falsafah bahwa seorang santri, siapa pun dia, apa pun dia, anak siapa pun dia, harus siap menjalankan aturan di pondok, seperti halnya seseorang juga harus menjalankan perannya dalam masyarakat. Di PMDG juga ada motto “Mau dipimpin dan siap memimpin” (baca: mau dihukum dan siap menghukum), persis seperti yang diceritakan Fuadi dalam novel tersebut. Kiki Amelia (alumnus 2008) pun memberikan testimoni bahwa membaca Negeri 5 Menara baginya seperti membaca diary lama yang hilang. Hal-hal yang diceritakan benarbenar sama dengan yang dulu pernah dia alami. Diberdirikan karena terlambat ke masjid, piket malam dengan serius (kalau tidur, tidak akan dapat surat izin tidak masuk kelas/tasreh), jadi jasus (mata-mata), mengarang alasan demi mendapat izin ke luar pondok di hari Jumat, Pekan Khutbatul A’rsy (pekan perkenalan) menjadi alat brainwash yang sempurna untuk menanamkan doktrin-doktrin di PMDG. Fahril Mustafa (alumnus 2005) juga menyatakan bahwa ada banyak kesamaan antara narasi dalam Negeri 5 Menara dengan realitas empirik yang dialaminya selama menempuh pendidikan di PMDG. Kesamaan tersebut, dapat terbaca mulai dari urusan cerita pengalaman personal sampai urusan model-model organisasi yang ada dalam novel Negeri 5 Menara. Beberapa hal yang identik misalnya: (1) latar belakang santri yang berbeda terkait dengan golongan, ras, strata ekonomi, dan strata sosial; (2) jam
116 belajar malam, terlebih bagi siswa kelas 6 sampai jam dua atau tiga pagi pun masih terdapat santri yang belajar (baca: memegang buku); (3) santri mendidik santri, dalam hemat Fahril merupakan ciri khas metode pembelajaran yang ada di pondok pesantrennya; di pondok tersebut, seorang ustaz lebih banyak berperan di dalam urusan belajar mengajar di kelas. Di luar kesamaan yang ada, dalam hemat para alumnus, ada beberapa bagian yang sepertinya sengaja di-fiksi-kan oleh Fuadi, seperti yang dinyatakan berikut, Bagi orang awam (nonpesantren), Novel Negeri 5 Menara terasa begitu fantastis. Namun, bagi orang yang pernah belajar di pesantren tersebut akan terasa biasa saja. Sebagai kaca perbandingan, Ayat-ayat Cinta sangat booming di Indonesia, namun terasa hambar bagi mahasiswa di Al Azhar Mesir. Dengan kata lain, seperti halnya novel tematis lainnya, N5M memang menceritakan realita kehidupan santri di Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) namun dengan sedikit dramatisasi (Indah Dwi Lestari, alumnus 2008). Bagian yang disebut indah sebagai tidak sefantastis kisah aslinya adalah ketika Negeri 5 Menara menggambarkan bagaimana asyiknya thobur (antre) makanan beramai-ramai. Orang nonpesantren mungkin akan merasakan asyiknya, tetapi bagi santri sendiri thobur menurut Indah merupakan aktivitas yang paling menjemukan, walaupun itu akan menjadi kenangan yang mengasyikkan saat sudah lama keluar dari pondok. Karena sangat menjemukan, menurut Indah, banyak santri yang rela tidak makan apabila antrean sangat panjang dalam acara tersebut. Lebih lanjut, Indah mengatakan bahwa secara umum novel ini memang sangat mirip dengan kehidupan di PMDG, tetapi ada banyak hal yang sepertinya sengaja didramatisasi. Ahmad Baihaki (alumnus 2005 yang sekarang menjadi sekretaris pondok) menjelaskan bahwa dari sekian banyak kemiripan cerita, yang paling menarik adalah kehadiran tokoh Kyai Rais. Sosok pemimpin, ulama, kyai yang sangat kharismatik. Namun, bukan sembarang kyai, karena Kyai Rais juga suka bermain bola. Menurutnya, di PMDG juga ada sosok yang mirip dengan tokoh Kyai Rais, yakni sosok Ustaz Hasan Abdullah Sahal, salah satu pimpinan pondok. Tokoh ini juga sangat kharismatik, tegas namun penuh canda, dan suka bermain bola, bukan hanya suka dengan permainannya, tetapi benar-benar suka dan tidak canggung bermain bola dengan santri dan asatidz. Namun, menyangkut tokoh anak perempuan Kyai Rais, menurutnya tidak mencerminkan sosok anak dari ustaz Hasan. Tokoh ini lebih mencerminkan sosok Ustazah Rashda Diana, putri dari Ustaz Imam Subakir, salah satu ustaz senior di PMDG. Berdasarkan berbagai pengakuan di atas, dapat dianalisis bahwa pada umumnya memang jalan cerita dalam novel ini banyak memiliki persamaan dengan fakta yang ada dan pernah dialami oleh para alumnus. Namun, sebagai sebuah cerita fiksi, tetap ada beberapa bagian dalam cerita tersebut yang sepertinya sengaja didramatisasi untuk memoles jalan cerita agar lebih menarik. Bagian-bagian yang tidak mendukung citraan positif kehidupan pesantren sepertinya sengaja dihilangkan, dan diganti dengan adegan-adegan yang sekiranya lebih dapat menghidupkan imajinasi pembaca agar dapat memperoleh citraan yang baik tentang kehidupan pondok pesantren. Dalam pengantarnya, Fuadi mengatakan,
117 Karakter utama antara lain terinspirasi oleh: Adnin Armas, Kuswandhani, Ikhlas Budiman, Abdul Qodir, M. Monib, Ustad Tasirun Sulaiman, Ustad Sofwan Manaf, Ustad Akrim Maryat, serta almukarram Kiai KH Shoiman Lukman, KH Imam Badri, KH Hasan Abdullah Sahal, dan KH Syukri Zarkasyi (Fuadi, 2009:xi). Dengan pengantar ini, setidaknya pembaca sudah diyakinkan penulis novel bahwa kisah-kisah yang dihadirkan dalam novel Negeri 5 Menara, termasuk tokoh-tokohnya, memang tokoh-tokoh yang benar-benar ada. Apalagi nama-nama yang disebutkan, terutama nama-nama yang terakhir, memang merupakan nama-nama ulama besar yang sangat dikenal sebagai konseptor dan perintis pendirian pondok pesantren modern di Indonesia. Namun, sebagai sebuah fiksi, tentu saja Negeri 5 Menara tidak dapat diperlakukan sebagai dokumen sosial yang bersifat reportase. Sesuai hakikatnya sebagai sebuah fiksi, unsur-unsur fiksionalitas tetap dihadirkan secara alamiah sehingga menambah kekuatan cerita dalam novel tersebut untuk memengaruhi imajinasi pembaca. 3. Makna Presentasi Kehidupan Pesantren dalam Novel Negeri 5 Menara Berdasarkan fakta tekstual dan hasil wawancara dengan para alumnus ditemukan data bahwa substansi cerita Negeri 5 Menara memang memiliki kemiripan, tetapi banyak pula bagian cerita yang telah mengalami pemolesan di sana-sini sesuai hakikatnya sebagai karya fiksi. Adanya kemiripan dan perbedaan ini tentu bukan tanpa maksud dan tujuan. Dalam perspektif sosiologi sastra, setiap pelukisan dalam teks, baik yang memiliki persamaan maupun perbedaan dengan konteks realitasnya pastilah memiliki tujuan terselubung dari penulisnya. Sesuai hakikat sastra sebagai bagian dari model komunikasi estetik, melalui persamaan dan perbedaan yang dihadirkan pasti ada halhal yang ingin dikomunikasikan penulisnya kepada pembaca. Dalam hemat peneliti, persamaan dan stilasi yang dilakukan Fuadi lebih merupakan bagian dari fungsi sastra sebagai alat propaganda ideologi melalui jalur estetika sehingga pesan-pesan yang ingin disampaikan Fuadi melalui karyanya dapat tersampaikan. Apalagi jika mengingat hadirnya novel Negeri 5 Menara ini memang merupakan bagian dari rangkaian lahirnya karya-karya sastra yang memiliki kecenderungan untuk menyampaikan pesan-pesan agama, sebagaimana diawali dengan novel Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Ketika Cinta Bertasbih, Ksatria Langit, dan sebagainya. Seperti diketahui, sebelum hadirnya novel-novel di atas, khasanah sastra Indonesia diwarnai dengan munculnya karya-karya sastra yang bermuatan feminis dan kuat dalam penyampaian pesan-pesan jargon feminisme. Dalam perkembangannya, karya-karya penulis perempuan yang bernuansa feminis tersebut terkesan berusaha menerobos semua ketentuan norma yang selama ini dicurigai sebagai bagian dari penguatan budaya patriarki. Dalam beberapa hal, bahkan cara mereka bercerita, dianggap sudah merusak sendi-sendi norma yang secara tradisional diyakini sebagai sebuah kebenaran normatif. Oleh karena itu, secara sinis ada yang mengatakan bahwa penulis-penulis yang banyak bercerita tentang kebebasan individu dalam memperjuangkan feminisme tersebut sebagai pengusung “sastra mazhab selangkangan” karena cerita-cerita yang disajikan banyak berkutat di seputar seksualitas.
118 Berdasarkan fakta-fakta tersebut, presentasi kehidupan pesantren sebagaimana yang disajikan dalam novel Negeri 5 Menara dengan demikian dapat dimaknai pula sebagai bagian dari gerakan penyeimbang dalam pertarungan ideologi pemikiran melalui karya sastra. Dengan mempresentasikan kehidupan dunia pesantren yang terkesan nyaman dan penuh romantika diharapkan masyarakat pembaca memiliki keseimbangan informasi bahwa tidak selalu yang tradisional dan yang terkesan kuno ternyata selalu identik dengan keterbelakangan, irasional, antilogika, dan sebagainya. Hal itu dapat “dibuktikan” dengan keberhasilan alumni santri pondok dalam mencapai masa depan yang cemerlang dan tidak kalah dengan produk pendidikan umum, meskipun mereka digambarkan tidak dikenalkan dengan jargon-jargon dekonstruktif yang menjadi media perjuangan para pemikir baru yang menyuarakan sastra feminis. Pelukisan kisah-kisah sukses alumni pondok yang bekerja di berbagai lembaga internasional dan tidak sekadar berskala nasional seolah-olah ingin menunjukkan bahwa kaum santri pun dapat diterima dalam tata pergaulan internasional yang terbuka, meskipun mereka dididik dengan metode yang oleh sebagian orang dituduh bersifat sektarian. Dengan kata lain, pendidikan pondok modern dalam novel Negeri 5 Menara digambarkan menghasilkan manusia-manusia universal yang humanis sehingga dapat diterima di semua kalangan termasuk dalam pergaulan internasional. Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa novel Negeri 5 Menara mempresentasikan kehidupan pesantren sebagaimana yang dipersepsi oleh penulisnya. Sebagai sebuah presentasi, novel Negeri 5 Menara tidak dapat diperlakukan sebagai dokumen sosial yang merepresentasikan kehidupan pesantren sebagaimana fakta sosialnya. Hal ini penting ditekankan karena sebagai karya fiksi, novel ini harus tetap dipahami dalam konteksnya sebagai karya rekaan yang tetap terikat dengan hakikat fiksi sebagai sebuah karya kreatif imajinatif. Meskipun terinspirasi kisah nyata, sebagai karya memoar, penulis terlihat sudah melakukan seleksi dalam proses penulisannya sehingga ada banyak hal yang sudah mengalami stilasi dan distorsi sesuai perspektif penulisnya dalam memahami peristiwa masa lalunya. Adanya stilasi dan distorsi atas fakta sosial tidak terlepas dari intensi atau tendensi penulisnya dalam menuliskan karya fiksi yang dihasilkannya. Daftar Pustaka Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. Cet. New York: Holt, Rinehart and Winston. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. “Catatan Kuliah Teori Kebudayaan.” Sekolag Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra Dari Strukturalisme Genetik Sampai Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
119 Fuadi, A. 2009. Negeri 5 Menara. Jakarta: Gramedia. Goldman, Lucien. 1977. The Hidden God. London: Routledge and Kegan Paul. Hamesma, Harry. 1986. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia. Hartoko, Dick dan Rahmanto B. 1998. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Jabrohim. 1994. “Sosiologi Sastra: Beberapa Konsep Pengantar.” Dalam Teori Penelitian Sastra, disunting oleh Jabrohim. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah. Muhadjir, Noeng. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka. Murady, Suradi. 1992. Fenomenologi Sastra. Jakarta: Lentera. Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. “Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya Dalam Pemaknaan Sastra”, Kumpulan Makalah Penyerapan Ilmu Kesusastraan dan Penerapannya. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. ________. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Wellek dan Warren. 1993. Teori Kesusastraan, terjemahan Melani Budianta. Jakarta Gramedia.
120 Simbol Tiga Kekuatan Politik dalam Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer Purwantini The purpose of this research is to reveal the intended criticism by Pramoedya Ananta Toer through Arok Dedes novel. In the novel, when King Kretajaya reigned Kediri (a city in West Java), there were three political powers fighting to take over the reign. Each political power symbolizes three different social classes. This research uses Ferdinand de Saussure’s semiotics. Descriptive method is employed to dissect any symbol that is described in the novel. The result of this research shows that the three political powers in the novel symbolizes three political powers in Indonesia. Pramoedya Ananta Toer intended to post a criticism to the ruler of the New Order and the Old Order. The smart, resourceful, and terrifying Arok who was frightened both by his own followers and enemies was the symbol of the New Order leader. Arok who was supported by Golongan Karya, was actually Soeharto who then became the second President of Indonesia. Tunggul Ametung is the symbol of the Old Order leader, Soekarno, who was defeated by Soeharto. The leader of the New Order collaborated with Golongan Karya, whilst the leader of the Old Order collaborated with the anti-Islam Communist group in Indonesia. Eventually, Soeharto was elected President by the support of the military group and Golongan Karya. Keywords: novel, politics, signified, signifier, symbol Pendahuluan Novel Arok Dedes terbit pertama kali pada tahun 1999, satu tahun setelah penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto, mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Naskah Arok Dedes ditulis di Pulau Buru mulai 1 Oktober 1976 dan selesai pada 24 November 1976, tetapi baru dapat diterbitkan pada tahun 1999. Pramoedya harus menunggu selama dua puluh tiga tahun karena masa tahanan yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru belum dicabut. Meskipun sudah dibebaskan sejak 21 Desember 1979, tetapi Pramoedya masih menjadi tahanan rumah di Jakarta, dan diharuskan melapor ke Kodim setiap minggu hingga tahun 1992. Namun, hal ini masih berlanjut hingga tahun 1999 karena Pramoedya masih menjadi tahanan kota, bahkan tahanan negara. Selama berada di dalam penjara, Pramoedya tetap menulis dan berkali-kali karyanya mendapat penghargaan dari berbagai negara. Penghargaan yang diterima oleh Pramoedya antara lain berasal dari The PEN Freedom-to-Write Award tahun 1988, The Fund for Free Expression tahun 1989, Doctor of Humane Letters tahun 1999, Chancellor’s Distinguished Honor Award tahun 1999, New York Foundation for the Arts Award, semuanya dari Amerika Serikat. Selain itu, penghargaan juga berasal dari Wertheim Award tahun 1995 dari Leiden, Belanda; Ramon Magsaysay tahun 1995 dari Manila, Filipina; Chevalier de L’Ordre des Arts et des Letters dari Paris, Perancis; Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang; dan masih banyak lagi (Lentera, 2007). Nama Pramoedya Ananta Toer telah dikenal oleh masyarakat internasional karena hampir seluruh karya-karyanya tergolong karya agung. Namun, semasa hidupnya, Pramoedya mengalami tiga kali masuk penjara, yakni dalam penjara kolonial selama
121 tiga tahun, dalam penjara Orde Lama selama satu tahun, dan dalam penjara Orde Baru selama empat belas tahun. Hal ini disebabkan ideologi yang dianut oleh Pramoedya selalu bertentangan dengan pemerintah, terlebih lagi pada masa pemerintah Orde Baru. Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, pada 6 Februari 1925 dan meninggal dunia di Jakarta, pada 30 April 2006. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Pramoedya dituduh sebagai pengikut organisasi politik terlarang, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berupaya menggulingkan pemerintah Indonesia dan mengambil alih kekuasaan. Selama berada di penjara Pulau Buru, Pramoedya tetap menulis, bahkan novel-novel yang dihasilkan di Pulau Buru tergolong masterpiece, artinya karya sastra yang bersifat sosiologis dan filosofis. Tetralogi novel-novel Pramoedya yang berjudul Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988), meskipun telah terbit dan beredar di pasaran, satu tahun kemudian atau tahun itu juga novel-novel tersebut dilarang kejaksaan beredar, kemudian dicabut izinnya karena dituduh sebagai penyebar paham marxis. Di dalam novel Arok Dedes terdapat tiga kekuatan politik: pertama, penguasa negara, antara lain para raja atau sudra yang diangkat menjadi penguasa karena jasa-jasanya atau kekayaan yang dimilikinya; kedua, kaum sudra, bekas pencuri, tetapi dapat menjadi satria karena dharmanya, menjadi panglima perang karena kecerdikannya, dan menjadi brahmana karena ilmu yang dipelajarinya; ketiga, para brahmana, selain ahli di bidang keagamaan, mereka sebagai aktor intelektual atau mahaguru terhormat. Aktor intelektual ini tidak harus berasal dari keturunan kaum brahmana, tetapi bisa dari kaum sudra yang naik derajatnya karena mempelajari ilmu pengetahuan hingga lulus dan mendapat penghargaan. Ketiga kekuatan politik ini saling bertarung untuk merebut kekuasaan tertinggi negara. Masing-masing kekuatan itu mempunyai tujuan yang sama, yakni menjadi raja atau orang nomor satu di negaranya. Pengertian politik dalam novel Arok Dedes berhubungan dengan siasat, tindakan, segala cara untuk mendapatkan kedudukan, dan status sosial tertinggi dalam negara. Cara yang ditempuh untuk mendapatkan status sosial dan untuk mempertahankan status sosial adalah masing-masing kekuatan politik menghalalkan segala cara. Sebenarnya, mereka sadar bahwa jalan yang ditempuh dalam ranah hukum itu salah. Pengangkatan Tunggul Ametung menjadi akuwu oleh baginda Kretajaya karena bertujuan untuk menyelamatkan upeti yang dikirim dari Tumapel ke Kediri dari jarahan para perampok, sedangkan Tunggul Ametung sendiri adalah perampok. Temu atau Arok adalah seorang bocah yang tidak jelas siapa orang tuanya karena setelah lahir Arok dibuang oleh orang tuanya kemudian ditemukan oleh seorang petani yang memiliki kerbau. Para tokoh intelektual mendidik Arok menjadi satria atau militer karena ia ahli dalam strategi perang kemudian Arok naik derajatnya menjadi brahmana karena ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Dengan demikian, simbol siapa sajakah tiga kekuatan politik itu? Teori Untuk mencari makna simbol tiga kekuatan politik digunakan teori semiotik. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang
122 berhubungan dengan tanda, seperti sistem dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoes, 1993:1). Menurut Stuart Hall, di dalam teori representasi terdapat tiga pendekatan, yaitu pendekatan reflektif, pendekatan intensional, dan pendekatan konstruksionis. Reflektif adalah pola pikir yang dipaparkan pada objek, manusia, kegiatan yang terdapat di dunia nyata, dan bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna sesungguhnya sebagaimana yang terdapat di dunia nyata. Pada abad IV SM, orang Yunani menggunakan istilah mimesis untuk menjelaskan gambaran dan lukisan yang meniru alam. Jadi, pendekatan mimesis atau mimetik ini bekerja untuk meniru kebenaran yang ada di dunia. Pendekatan intensional mengurangi peran pengarang. Jika dalam pendekatan reflektif semua makna yang menentukan adalah pengarangnya, sebaliknya, dalam teori intensional kesubjektifan pengarang dikurangi. Pendekatan konstruksionis berupaya mengenali karakter sosial bahasa sehingga makna itu harus disesuaikan dengan budaya lokal. Berdasarkan tiga pendekatan itu, dapat dikatakan bahwa representasi adalah sebuah karya yang menggunakan objek material dan efek atau makna yang ditimbulkannya, makna itu tidak tergantung pada kualitas material, tetapi tergantung pada fungsi simbol. Salah satu contoh sistem representasi adalah traffic light, yakni tanda lalu lintas di perempatan jalan. Warna-warna lampu traffic light akan mempunyai makna, warna merah tanda berhenti, warna kuning tanda perhatian, dan warna hijau tanda berangkat. Namun, dalam budaya tertentu merah berarti darah atau bahaya, bahkan komunisme, sedangkan warna hijau adalah tanda pedesaan. Dengan demikian, warna-warna itu maknanya arbitrer, artinya tidak ada hubungan alami antara tanda dan makna (2003:24—31). Ferdinand de Saussure adalah tokoh konstruksionis modern di bidang bahasa, pandangan umumnya tentang representasi dikenal dengan istilah semiotik. Bagi Saussure, produksi makna tergantung pada bahasa, dan bahasa adalah sistem tanda. Suara, gambaran, kata-kata yang tertulis, lukisan, maupun foto akan berfungsi sebagai tanda bila digunakan untuk mengungkapkan ide-ide. Jadi, dalam hal ini, ada bentuk dan ide atau konsep. Elemen pertama tanda bentuk yang menandai disebut signifier, sedangkan elemen kedua ide atau konsep yang ditandai disebut signified. Meskipun tampak terpisah, kedua elemen itu menjadi pusat fakta. Tanda-tanda alamiah yang selalu berubah-ubah maknanya itu disebut arbitrer. Dalam hal ini, secara alamiah antara signifier dan signified tidak ada mata rantai dan sifatnya tidak pasti (Culler, 1977:16—17; Hall, 2003:31). Hubungan antara signifier dan signified yang bersifat arbitrer itu disebabkan telah bercampur dengan budaya lokal dan makna konsep yang ditunjuk secara historis akhirnya juga berubah. Suatu contoh, selama berabad-abad masyarakat Barat mengaitkan kata black dengan segala sesuatu yang gelap, menakutkan, hal-hal yang jahat, bahkan bahaya dan penuh dosa. Namun, persepsi tentang orang kulit hitam di Amerika pada tahun 1960-an berubah setelah frasa “Black is Beautiful” menjadi slogan yang terkenal. Akhirnya, signifier black dibuat untuk menandai makna yang berlawanan dengan makna sebelumnya. Jadi, bahasa bukan hanya menghasilkan seperangkat signifier yang berbeda, baik artikulasi maupun kesatuan suara, tetapi bahasa juga menghasilkan seperangkat signified yang berbeda. Perubahan atau pergeseran ini kemudian masuk menjadi konsep (Hall, 2003:32).
123 Hubungan antara signifier dan signified ketika digunakan untuk menyampaikan maksudmaksud tertentu disebut reference. Reference artinya menunjuk pada benda-benda, orangorang, dan kegiatan-kegiatan di luar bahasa yang berada di dunia nyata. Kontribusi utama Saussure adalah pembelajaran linguistik dalam lingkup sempit, tetapi sejak kematiannya, teori-teori Saussure disebarluaskan oleh teman-temannya dan digunakan sebagai fondasi untuk pendekatan umum terhadap bahasa atau pun sebagai model representasi yang telah diterapkan pada objek-objek budaya secara luas dan praktis. Dengan demikian, pendekatan umum untuk mempelajari tanda-tanda dalam budaya disebut dengan istilah semiotik, sedangkan pokok yang mendasari argumen di belakang pendekatan semiotik adalah semua objek budaya yang mempunyai makna dan semua praktik budaya itu juga tergantung pada makna (Hall, 2003:34—36). Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry menyatakan bahwa pemindahan suatu tanda dari tingkat wacana ke tingkat wacana yang lain merupakan lingkup semiotik. Setiap hal yang berkaitan dengan integrasi tanda-tanda dari tingkat mimesis ke tingkat signifikasi merupakan suatu manifestasi semiotik. Proses semiotik itu terjadi dalam benak pembaca, hal ini merupakan hasil pembacaan semiotik tingkat kedua atau hermeneutik. Pembacaan secara hermeneutik berarti memberi makna karya sastra, baik berupa kata, frasa, kalimat, dan juga teks atau wacana (1978: 4-5). Di sisi lain, menurut Eco, tanda adalah segala sesuatu yang menggantikan sesuatu yang lain secara signifikan. Oleh sebab itu, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak utilitarian, bahkan sebuah bangunan yang bentuknya sangat sederhana pun juga mengisyaratkan pesan-pesan tertentu tentang masyarakat, sifat-sifat manusia, politik, dan ekonomi di balik fungsi utama sebagai tempat berlindung. Demikian pula, kelima pancaindera kita dapat berfungsi dalam proses semiotik yaitu sebagai penghasil tanda atau penerima tanda (Culler, 1977:134). Jadi, salah satu teori representasi adalah teori semiotik, dan dalam penelitian ini dipilih model yang dikembangkan oleh Saussure. Dalam teori semiotik yang dikembangkan oleh Saussure terdapat empat unsur pokok, yakni penanda atau bentuk (signifier), petanda atau konsep (signified), dan makna yang bertujuan untuk menyampaikan maksud (reference). Hubungan antara penanda dan petanda sifatnya arbitrer sehingga arti tanda tergantung pada konvensi. Menurut Charles Sander Peirce, hubungan antara penanda dan petanda terdapat tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya, hubungan ini adalah hubungan persamaan atau kemiripan, misalnya potret menandai orang yang dipotret. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal antara penanda dan petandanya, misal, asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin. Dengan demikian, indeks berfungsi sebagai petunjuk. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan ini sifatnya arbitrer, arti tanda ditentukan oleh konvensi masyarakat (Zoest, 1993:23—25). Metode Penelitian ini bersifat kepustakaan, artinya data yang digunakan sebagai bahan penelitian berupa pustaka atau buku. Menurut Teeuw, sastra itu selain berupa sastra
124 lisan juga berupa sastra tulis. Meskipun berupa tulisan, secara tidak langsung sastra berkaitan dengan kenyataan. Jadi, sastra itu hanya bersifat rekaan (Teeuw, 1984:22— 23). Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang sedang diselidiki dengan menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta yang tampak. Namun, metode ini tidak sebatas hanya mendeskripsikan data, tetapi harus sampai pada tahap analisis dan interpretasi. Dengan kata lain, penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah usaha memecahkan masalah dengan membandingkan persamaan atau perbedaan gejala yang ditemukan. Secara singkat, metode deskriptif merupakan langkah-langkah untuk melakukan representasi objektif tentang gejala-gejala yang terdapat dalam masalah yang sedang diselidiki. Ciri-ciri pokok metode deskriptif, menurut Nawawi (2012:68), adalah: pertama, memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan; kedua, menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional. Selain kedua ciri pokok, ada tambahan yang berupa survei, studi hubungan, dan studi perkembangan. Bentuk-bentuk penelitian deskriptif atas dasar tiga bentuk pokok tersebut tidak bersifat kaku, artinya tiga tambahan itu berlaku dalam penelitian sosial, tetapi dalam studi kepustakaan tidak diwajibkan. Penelitian kepustakaan menggunakan data penelitian berupa teks, dalam hal ini berupa novel yang harus dianalisis dengan teori, maka tidak memerlukan survei, studi hubungan, maupun studi perkembangan. Hasil dan Pembahasan 1. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur Sebelum masa kolonial, di Pulau Jawa bagian timur banyak berdiri kerajaan-kerajaan besar hingga mencapai puncak kejayaan, tetapi masing-masing mengalami keruntuhan karena saling berebut kekuasaan. Raja Airlangga memerintah pada tahun 1019—1049, pusat kerajaannya adalah Kota Kediri. Sebelum mencapai kekuasaan, beliau mengembara ke hutan-hutan tujuannya untuk mendapatkan kesaktian. Pada masa pemerintahan Raja Airlangga telah diciptakan kakawin Arjunawiwaha, saduran Jawa dari cerita Mahabharata yang berasal dari India. Di dalam cerita itu dikisahkan ketika Arjuna bertapa di hutan selama bertahun-tahun lamanya untuk mencapai kekuatan batin. Pararelisme antara Arjuna dan Airlangga kelihatan sangat mencolok, seni sastra di keraton-keraton Jawa bukan peristiwa literaris, tetapi juga penuh kekuatan gaib. Di antara Raja Kediri yang termashur adalah Jayabaya yang memerintah pada tahun 1135— 1157. Di bawah pemerintahan Raja Jayabaya, Mpu Sedah menerjemahkan sebagian dari epos Mahabharata ke dalam bahasa Jawa dengan nama Bharatayuda. Usaha Raja Kediri yang terakhir pada tahun 1222 untuk menempatkan para pendeta ke bawah kontrol langsung dari raja, tetapi gagal dan jatuh, kemudian diganti oleh dinasti Jawa Timur baru yang berkedudukan di Singasari, dekat Malang. Raja terbesar dinasti ini adalah Raja Kertanegara yang berkuasa pada tahun 1268—1292. Namun, ia meninggal dunia karena dibunuh oleh pangeran dari Kediri (Suseno, 1991:25—26). Di sisi lain, situasi keagamaan di Jawa Timur berkembang terus, perbedaan antara Budhisme dengan Siwaisme praktis hilang. Agama resmi merupakan bentuk
125 sinkretisme antara agama Siwa-Budha. Semua berjalan ke arah penebusan yang pada prinsipnya adalah sama. Demikian pula, bentuk-bentuk ibadah Siwaisme dan Budhisme berjalan secara berdampingan, orang bijaksana memahami bahwa Siwaisme dan Budhisme hanya merupakan ungkapan yang berbeda dari realitas yang sama. Pada hakikatnya, keduanya adalah identik, sekaligus ide-ide Jawa asli semakin kuat muncul kembali, tetapi bukan melawan, tetapi dengan melalui bentuk-bentuk India (Suseno, 1991:27). 2. Penanda dan Petanda Penanda dalam novel Arok Dedes berupa nama-nama tokoh yang terkenal seperti Kretajaya, Tunggul Ametung, Arok, Dedes, Kebo Ijo, Dang Hyang Lohgawe, Tantripala, Lembung, Belakangka, Empu Gandring, Bango Samparan, dan sebagainya. Petanda adalah tokoh-tokoh tersebut yang mempunyai peranan dalam masyarakat sedangkan struktur waktu yang digunakan dalam novel Arok Dedes sekitar tahun 1220 dan struktur ruang adalah wilayah Tumapel dan Kediri. Kretajaya adalah raja yang berkuasa di Kerajaan Kediri, termasuk wangsa Isana, keturunan Raja Erlangga. Raja Kretajaya merupakan raja terakhir yang memerintah di Kerajaan Kediri mulai dari tahun 1188 hingga 1222. Dalam sejarah, Kretajaya dikalahkan oleh Arok sehingga pusat pemerintahan berpindah ke Singasari. Bawahan Raja Kediri adalah Tunggul Ametung, seorang akuwu yang diberi tugas di Tumapel. Di sisi lain, pada masa pemerintahan Kretajaya, agama Wisynu berkembang sangat pesat, setiap raja wangsa Isana memeluk agama Wisynu, sedangkan agama Syiwa tidak diperbolehkan berkembang selama dua ratus tahun. Akhirnya, bermunculan tokohtokoh Syiwa seperti Dang Hyang Lohgawe, Arok, Emp Parwa, dan pemeluk Budha Tantripala. Saat itu, antara pemeluk Syiwa dan Budha bekerja sama. Dedes anak Emp Parwa adalah seorang brahmani dan status sosialnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Tunggul Ametung, meskipun Tunggul Ametung waktu itu Akuwu Tumapel. Dalam kitab Pararaton, Kebo Hidjo adalah teman Angrok, tetapi Angrok sampai hati memfitnah Kebo Hidjo, demi sebuah jabatan sehingga Kebo Hidjo dibunuh oleh keluarga Tunggul Ametung. Dalam novel Arok Dedes, Kebo Ijo bukan teman Arok, tetapi Kebo Ijo juga difitnah oleh Arok sehingga Kebo Ijo mengalami nasib yang sama seperti dalam kitab Pararaton. 3. Stratifikasi Sosial dalam Novel Arok Dedes Dalam novel Arok Dedes dibedakan kelas-kelas sosial berdasarkan sistem kasta. Kasta tertinggi adalah kasta brahmana, kemudian disusul kasta satria dan yang paling bawah adalah kasta sudra. Namun, secara politis, setiap orang bisa berpindah kasta karena kadar intelektual, atau menjadi akuwu karena kedekatannya dengan raja. Tunggul Ametung yang berasal dari kasta sudra karena kehendak raja, maka Tunggul Ametung dapat menjadi akuwu, yaitu raja bawahan atau raja taklukan, akhirnya sejajar dengan brahmana. Demikian pula Arok, ketika bernama Temu Arok adalah seorang sudra, karena belajar strategi berperang Arok menjadi satria, dan setelah belajar ilmu pengetahuan Arok dinyatakan lulus dan menjadi brahmana. Hal ini dapat kita simak dalam kutipan berikut, Kau lebih tepat merebut tempat dalam kasta ksatria. Erlangga pernah menjatuhkan titah: triwangsa bukan hanya ditentukan oleh para dewa, juga
126 manusia bisa melakukan perpindahan kasta karena dharmanya, sudra bisa jadi satria, sudra bisa brahmana. Sejak itu triwangsa sudah tidak murni lagi. Aku sendiri seorang brahmana bukan karena keturunan, tapi karena ilmuku. Dan kau, Temu kau bisa jadi satria karena kemampuanmu. Tingkah lakumu bukan lazim pada seorang sudra, tapi satria. Matamu bukan mata satria, tapi brahmana. Kau patut mendapat kelengkapan secukupnya (Toer, 1999:65). 4. Hubungan antara Penanda dan Petanda Tiga kekuatan politik dalam novel Arok Dedes, seperti yang telah disebutkan, merupakan hubungan antara penanda dan petanda. Kekuatan politik yang pertama adalah para penguasa dengan latar belakang masa pemerintahan Raja Kretajaya. Raja Kediri ini mengangkat Tunggul Ametung menjadi akuwu di Tumapel, tujuannya untuk keamanan pengiriman upeti yang dikirim dari Tumapel menuju Kediri. Tunggul Ametung sendiri adalah seorang sudra dan bekas perampok. Oleh karena itu, Tunggul Ametung ditunjuk oleh Raja Kretajaya untuk mengawal pengiriman upeti dari jarahan perampok. Di Tumapel, Tunggul Ametung memberlakukan sistem perbudakan, baik perempuan maupun laki-laki sehingga banyak para budak harus meninggalkan keluarganya dan tidak diperbolehkan pulang karena mereka dipekerjakan di tempat pendulangan emas. Tidak seorang pun yang mengetahui tempat itu selain penjaga yang lidahnya sudah dipotong sehingga tidak dapat bicara. Setiap orang yang pernah melihat tempat pendulangan emas tidak akan kembali, meskipun prajurit Tunggul Ametung sendiri. Meskipun telah memiliki pendulangan emas, Tunggul Ametung tetap merampok dan menjarah barang-barang berharga yang terdapat di dalam candi Syiwa. Untuk mengawasi Tunggul Ametung, Kretajaya mengirim Yang Suci Belakangka ke Tumapel. Namun, Belakangka tidak mengetahui bahwa Tunggul Ametung mempunyai pendulangan emas sehingga tidak ada berita pendulangan emas sampai ke Kediri. Belakangka bahkan menikahkan Tunggul Ametung dengan Dedes, putri seorang brahmana Syiwa bernama Emp Parwa dari Desa Panawijil. Pada saat Dedes diculik oleh Tunggul Ametung, Emp Parwa tidak ada di padepokan sehingga Emp Parwa mengutuk Tunggul Ametung agar Tunggul Ametung mati terbunuh, sedangkan penduduk Panawijil mengalami kematian sumber air karena tidak dapat melindungi putrinya. Sebelum menculik Dedes, Tunggul Ametung sudah mempunyai istri dan beberapa anak. Meskipun demikian, Tunggul Ametung juga mengambil perempuan yang sudah bersuami, dan dipaksa untuk menjadi selirnya. Setelah tidak digunakan, selir itu dijadikan pembantu. Kekuatan politik yang kedua adalah Arok, kekuatan Arok terletak pada kepandaian dan kecerdikannya. Arok adalah sudra yang tidak jelas asal-usulnya karena ketika masih bayi dibuang oleh orang tuanya di gerbang sebuah pura desa dan tergolek di atas tikar usang. Seorang petani bernama Lembung menemukannya dan membawanya pulang. Oleh karena Ki Lembung tidak mempunyai anak, anak itu dijadikan anak pungut, dan diberi nama Temu, artinya ‘anak yang ditemukan.’ Setelah berumur enam tahun, Temu disuruh menggembala kerbau, setelah berumur sepuluh tahun, Temu membantu di sawah untuk bertani. Kerbau yang digembalakan oleh Temu cepat berbiak hingga menjadi belasan. Ketika Temu melihat seorang anak menangis karena kambing kesayangannya diambil oleh prajurit Tumapel, Temu mencuri kambing orang lain
127 kemudian diberikan kepada anak tersebut. Inilah awal kejadian Temu menjadi pencuri. Ketika sedang bertugas menggembala kerbau, tetapi tugas itu diserahkan kepada temannya, tiba-tiba seekor macam menyeret kerbau milik Ki Lembung sehingga kerbau Ki Lembung berkurang satu. Ki Lembung marah pada Temu dan Temu memutuskan untuk meninggalkan rumah orang tua pungutnya. Temu bergabung dengan para pencuri, pencegat upeti, dan perampok jalanan sehingga ia sering berkelahi, melukai, dan dilukai. Dalam petualangannya, Temu dikejar-kejar oleh prajurit Tumapel dan ditolong oleh ki Bango Samparan. Semenjak berguru kepada Dang Hyang Lohgawe, nama Temu berganti menjadi Arok, artinya ‘sang pembangun.’ Arok, seorang sudra, secara politik naik jabatan menjadi satria, kemudian menjadi brahmana, dan oleh Dang Hyang Lohgawe Arok dikirim ke Tumapel untuk memadamkan kerusuhan. Lohgawe mengirim Arok ke Tumapel sesung-guhnya untuk membunuh Tunggul Ametung. Dengan demikian, keberadaan Arok di Tumapel tidak terlepas dari peran brahmana Lohgawe. Para brahmana adalah kekuatan politik yang ketiga. Selain sebagai tokoh intelektual, para brahmana adalah tokoh agama yang terhormat dan menjadi panutan masyarakat bahkan panutan seorang penguasa, di suatu negara. Brahmana Lohgawe adalah tokoh agama Syiwa, ahli strategi perang, dan Arok adalah murid kesayangannya. Ketika Arok akan membunuh Tunggul Ametung dengan tangannya sendiri, Lohgawe melarang karena Tunggul Ametung adalah sudra penyembah Wisynu yang diangkat oleh Raja Kretajaya menjadi penguasa Tumapel. Jika Arok membunuh Tunggul Ametung dan menggantikannya menjadi raja, Arok akan digugat oleh raja-raja di Pulau Jawa karena wangsa Isana adalah pemeluk Wisynu. Sebaliknya, Arok adalah jago brahmana Syiwa Lohgawe yang tidak rela melihat kekuasaan Wisynu, lebih-lebih ketika melihat Raja Erlangga diabadikan dalam sebuah patung yang duduk di atas burung garuda. Telah dua ratus tahun pemeluk Wisynu berkuasa dan pemeluk Syiwa dilarang hidup di wilayah kekuasaan Wisynu. Jika akan membunuh Tunggul Ametung, harus menggunakan tangan orang lain, dan orang lain tersebut adalah Kebo Ijo. Di sisi lain, untuk masuk ke wilayah Tumapel, Arok harus bekerja sama dengan orang dalam, dan orang dalam tersebut adalah Dedes, istri sah Tunggul Ametung. Arok dengan bantuan brahmana Lohgawe, Tantripala, dan Dedes telah berhasil membunuh Tunggul Ametung. Namun, secara kejam Kebo Ijo digiring untuk dimasukan dalam perangkap yang sudah disiapkan sehingga Kebo Ijo terkesan sebagai pembunuh Tunggul Ametung. Sebetulnya pembunuh Tunggul Ametung adalah Arok, dan para brahmana adalah aktor intelektual yang berada di belakang layar. Dengan demikian, terdapat tiga kekuatan politik, yaitu penguasa, satria, dan brahmana. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami siapa saja yang disimbolkan dengan tiga kekuatan politik itu. Sebagaimana yang telah diuraikan, dalam semiotik terdapat tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) ketika digunakan untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu disebut reference. Reference artinya menunjuk pada benda-benda, orang-orang, dan kegiatan-kegiatan di luar bahasa yang berada di dunia nyata. Dalam novel Arok Dedes, sesuatu yang ditunjuk itu berupa simbol-simbol manusia dan kegiatan-kegiatannya.
128 5. Simbol Tiga Kekuatan Politik dalam Novel Arok Dedes Simbol-simbol tiga kekuatan politik tersebut menunjuk pada tokoh-tokoh terkenal pada masa pemerintahan pascakolonial. Pengarang menulis novel Arok Dedes pada saat berada di tahanan Pulau Buru dan pada masa pemerintahan Orde Baru. Penguasa negara sebelum Orde Baru lahir—Soekarno—disimbolkan tokoh Tunggul Ametung Akuwu Tumapel yang mempunyai istri lebih dari satu, bahkan istri terakhirnya Dedes adalah anak seorang brahmana bernama Emp Parwa. Dedes diculik oleh Tunggul Ametung ketika ayah Dedes, Emp Parwa tidak ada di rumah. Ketika dalam keadaan sakit, Tunggul Ametung dibunuh oleh Arok dengan bantuan orang dalam, yakni Dedes, tetapi Arok menuduh Kebo Ijo sebagai pembunuh Tunggul Ametung. Strategi pembunuhan yang dilakukan oleh Arok terhadap Tunggul Ametung mengilhami terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret yang disingkat Supersemar. Setelah dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden, Soekarno meninggal dunia pada 21 Juni 1970 dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Tunggul Ametung meninggal dunia karena dibunuh Arok, bukan dibunuh oleh Kebo Ijo. Nasib Kebo Ijo tidak jauh berbeda dengan nasib Jenderal Senior—Nasution—yang difitnah oleh Dewan Revolusi Indonesia. Di depan peraduan Tunggul Ametung menggeletak di lantai kayu, bermandi darah, tuak, dan muntahan sendiri. Dadanya belah, perutnya menganga. Mukanya pecah, dan dari mulutnya masih keluar muntahan bercampur darah. Jari-jari tengahnya masih kelihatan bergerak-gerak tak kentara. Bau amis mengawang di udara. Ken Dedes mencekam dada dan memekik: “Kakanda!” Ia lari pada suaminya. “Tangkap si Kebo! Perintah Arok. Tombak-tombak pasukan pengawal menyeringai mengepung Kebo Ijo. Pedang di tangannya jatuh menggelontang di lantai. “Tangkap semua tamtama di luar sana!” Sebagian besar para pengawal berlarian mengepung para tamtama di pendopo. “Ikat si Kebo!” Dan Kebo Ijo diikat. “Pembunuh yang mulia Akuwu!” “Telah mati ketika sahaya masuk,” jawab Kebo. Suara dan kakinya gemetar. “Penipu! Pedang dan tanganmu masih berlumuran darah” “Kakanda! Kakanda!” Tangis Dedes, membungkuki suaminya. “Berapa kali kau kau pukulkan pedangmu?” Desak Arok. “Hanya sekali pada perutnya” (Toer, 1999:392) Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tokoh Arok awalnya berasal dari kasta sudra. Ketika baru lahir, Arok dibuang oleh orang tua kandungnya kemudian ditemukan oleh Lembung. Arok kemudian naik status sosialnya menjadi satria karena kepandaiannya di bidang strategi berperang, dan naik menjadi brahmana karena ilmu yang dipelajarinya. Dengan demikian, kasta itu bukan berasal dari keturunan, tetapi adalah kepandaian, keahlian, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Dalam hal
129 ini, Arok adalah penanda, sedangkan sudra, satria, kemudian brahmana adalah petanda, hubungan antara penanda dan petanda diperjelas dalam kutipan berikut. Kaulah Arok, kaulah pembangun ajaran pembangun negeri sekaligus. Dengarkan kalian semua, sejak detik ini, dalam kesaksian Hyang Bethara Guru, yang berpadu dalam Brahma, Syiwa, dan Wisynu dengan semua saktinya, aku turunkan pada anak ini nama yang akan membawanya pada kenyataan sebagai bagian dari Cakrawati. Kenyataan ini masih membara dalam dirimu, Arok namamu [….] Nama yang diberikan padanya adalah tanda lulus setinggi-tingginya. Untuk mendapat pengakuan dari Dewan untuk menjadi brahmana, ia tinggal meminta pada Lohgawe untuk dihadapkan. Apa kemudian setelah jadi brahmana? Ia terlalu muda untuk itu [….] Dari penglihatan sekilas ia segera tertarik pada Temu. Ia seorang yang lincah, cerdas, matanya jernih memancar, hanya tak bisa tenang. Temannya, Tanca, sebaliknya, seorang yang tenang, juga cerdas, hanya tidak lincah, lebih tepat dikatakan lamban. Dalam tiga bulan dua-duanya telah bisa baca tulis dan mulai mempelajari paramasastra Jawa. Kecerdasan mereka menyebabkan Tantripala ingin tahu tentang orang tua mereka. Bango Samparan dipanggil. Tanca adalah anak petani biasa, yang turun temurun tinggal di desa Karangksetra. Hanya Temu yang tidak jelas siapa orang tuanya (Toer, 1999:53—55). 6. Hubungan antara Penanda-Petanda dan Simbol Tiga Kekuatan Politik Dalam tulisannya yang berjudul Pramoedya Ananta Toer, Politik, & Sastra, Anandito Reza Bangsawan menyatakan bahwa tokoh Arok menunjuk pada penguasa Orde Baru, Soeharto. Disebutkan bahwa Soeharto adalah anak Raden Bekel Prawirowiyono yang
130 bergelar Raden Rio Padmodipuro dengan wanita bernama Sukirah. Oleh karena Padmodipuro diambil menantu oleh Jayeng Puspito, seorang wedana yang dekat dengan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, Sukirah dan anaknya, Soeharto, harus diungsikan ke rumah kenalannya yang bernama Kertorejo, yakni seorang ulu-ulu di Desa Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Ketika masih muda, Soeharto gemar melakukan tapa brata, dan tempat yang digunakan adalah Gua Jambe Lima, Gua Jambe Pitu, dan Gua Suci Rahayu di kawasan Gunung Selok, Cilacap, Jawa Tengah. Soeharto juga bertapa di Gunung Srandil dan di Gunung Lawu tempat Raja Brawijaya muksa. Selain itu, Soeharto pernah melakukan ritual mandi di Telaga Warna di kawasan Gunung Dieng, Jawa Tengah. Telaga Warna ini melambangkan nafsu lawamah, amarah, sufiyah, dan mutmainah. Tempat pertapaan Soeharto selanjutnya adalah Gua Sumur, tujuannya untuk dilindungi dari berbagai penyakit. Soeharto melanjutkann tapa di kawah Sikidang dan Kawah Sileri. Kawah Sileri mengajarkan agar orang hidup tidak melanggar empat aturan yaitu aturan keluarga, masyarakat, negara, dan Tuhan. Terakhir, Soeharto bertapa di Sumur Jolotundo dan Kawah Condrodimuko (Bangsawan, 2017:154—155). Kaum brahmana yang mendukung Arok atau penguasa Orde Baru adalah simbol Golongan Karya. Menurut Puspoyo, Golkar lahir dalam bentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya pada tanggal 20 Oktober 1964 atas keinginan ABRI untuk membendung PKI dalam Front Nasional. Golkar dalam konteks ini identik dengan pembangunan dan menjadi pendukung utama Orde Baru. Di luar Golkar ada komponen militer, birokrasi sipil, organisasi massa, pengusaha, dan kelompok tradisional. Untuk menjalankan tekad awal Orde Baru itu, pemerintah menciptakan Trilogi Pembangunan yang menekankan betapa pentingnya stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan (Puspoyo, 2012:106—107). Dikatakan oleh H. Rosihan Anwar bahwa antara tahun 1961—1965 terdapat permainan segitiga, yaitu antara Soekarno, PKI, dan Tentara. Segitiga kekuatan itu saling berbenturan secara lebih keras sampai satu ketika salah satu dari mereka akan muncul sebagai pemenangnya. Tentara atau militer ternyata menjadi pemenangnya, setelah itu tidak ada lagi perimbangan dalam politik, dan akan terwujud struktur kekuasaan yang lebih monolitas sifatnya (Anwar, 2007:383). Tiga kekuatan politik dalam novel Arok Dedes menunjuk pada masa pemerintahan Orde Lama, yakni ketika Soekarno menjadi presiden. Kekuatan politik yang pertama adalah Soekarno yang mendapat dukungan PKI, kemudian kedua Militer, dan ketiga Golongan Karya. Golongan Karya awalnya adalah Sekber Golkar, yaitu gabungan dari berbagai badan kerja sama yang didirikan oleh Jenderal A. H. Nasution antara tahun 1958—1960. Saat itu, Jenderal A. H. Nasution masih berpangkat Mayor Jenderal dan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) kemudian membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat yang didominasi tentara. Peranan Angkatan Darat, baik di bidang militer maupun nonmiliter, meningkat pesat sepanjang tahun 1958—1959. Untuk mengimbangi partai-partai politik, khususnya Partai Komunis, Departemen Hankam di bawah Nasution membentuk badan kerja sama (BKS) antara Militer-Sipil, Militer-Pemuda, dan Militer-Ulama. Presiden Soekarno melihat kekuatan tentara yang
131 bersinar dipandang sebagai ancaman bagi dirinya. Oleh karena itu, Presiden Soekarno mengekang pengaruh Nasution yang semakin meluas (Puspoyo, 2012: 90—91). Kelompok militer mulai menggandeng cendekiawan karena alergi terhadap partai-partai seperti pada masa Bung Karno periode tahun 1950-an. Untuk mengimbangi partaipartai politik yang ada, Soeharto berkeinginan untuk menggunakan kelompok independen yang diketuai cendekiawan anti-Soekarno dan anti-PKI, kemudian dikembangkan menjadi partai politik. Namun, Soeharto meninggalkan gagasan itu dan menjatuhkan pilihannya pada Sekber Golkar yang sudah ada sejak tahun 1964 itu sebagai alat politik utamanya (Suryadinata, 1992:28). Simpulan Novel Arok Dedes merupakan kritik sosial terhadap penguasa Orde Baru, yakni Soeharto yang telah memenangkan pertarungan politik melawan penguasa Orde Lama. Penguasa Orde Baru disimbolkan sebagai tokoh Arok yang cerdik dan pemberani sehingga ditakuti, baik oleh lawan maupun kawan. Arok yang didukung oleh kaum brahmana adalah Soeharto yang didukung oleh Golongan Karya untuk menjadi presiden kedua di Indonesia. Sebaliknya, Tunggul Ametung adalah simbol penguasa Orde Lama, yaitu Soekarno yang dilengserkan oleh penguasa Orde Baru dengan bantuan Golongan Karya. Jadi, tiga kekuatan politik itu adalah Militer yang bekerja sama dengan Golongan Karya untuk melawan Soekarno, penguasa Orde Lama. Namun, di tubuh militer itu sendiri terjadi perpecahan karena pendiri Golkar adalah Nasution, sedangkan Soeharto justru memanfaatkan Golkar yang sudah menjadi organisasi massa terbesar sebagai kendaraannya. Jenderal Nasution sebagai pendiri Sekretariat Bersama Golongan Karya tersingkir dengan sangat menyedihkan, ibarat Kebo Ijo tersingkir dari medan pertarungan, dan tidak dapat menjadi penguasa, bahkan terbunuh dengan sia-sia. Dengan demikian, kekuatan politik Soeharto yang dibantu oleh para intelektual, dan tokoh-tokoh agama dapat memenangkan pertarungan melawan Soekarno yang di belakangnya adalah tokoh-tokoh PKI. Untuk memenangkan pertarungan harus menggunakan strategi perang yang pernah digunakan oleh Arok, yakni menuduh Kebo Ijo sebagai pembunuh Tunggul Ametung, dan bekerja sama dengan orang dalam. Orang dalam itu adalah Dedes, dan Dedes adalah simbol Surat Perintah Sebelas Maret yang disingkat dengan Supersemar. Daftar Pustaka Ananta, Toer, Pramoedya. 2007. Bukan Pasar Malam. Jakarta: Lentera. ________. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra. ________. 1981. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra. ________. 1985. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra. ________. 1988. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra
132 ________. 1999. Arok Dedes. Jakarta: Hasta Mitra. Anwar, Rosihan, H. 2007. Soekarno, Tentara, PKI. Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961—1965. Jakarta: Yayasan Obor Bangsawan, Anandito Reza. 2017. Pramoedya Ananta Toer, Politik, & Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo. Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul. ________. 1982. On Deconstruction Theory and Criticism after Structuralism. New York: Cornell University Press. Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Hall, Stuart. 2003. Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publications LTD. Mulder, Neils. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Nawawi, Hadawi. 2012. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Muhaimin, Yahya A. 1982. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Puspoyo, Widjanarko. 2012. Dari Soekarno hingga Yudhoyono: Pemilu Indonesia 1955— 2009. Solo: Era Adicitra Intermedia. Suseno, Fransz Magnis. 1991. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Suryadinata, Leo. 1992. Golkar dan Militer: Studi tentang Politik. Jakarta: LP3ES. Zoest, Van Aart. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
133 Peran Cerita Anak dalam Sosialisasi Hidup Bersih di Kalangan Siswa-siswi Sri Ratnawati Keberadaan media massa memberi ruang bagi kreativitas bagi anak-anak yang mau berkembang. Media massa dapat dijadikan sebagai sarana mengembangkan diri melalui budaya menulis. Sebagai sarana sosialisasi dalam menyebarkan informasi yang ditulis oleh seorang anak. Selain itu, media massa juga sebagai sarana hiburan karena dapat menyenangkan orang-orang yang membacanya. Selama ini pengajaran tentang kesehatan sering dilakukan secara konvensional oleh orang tua, guru, maupun orang-orang terdekat melalui budaya lisan. Dengan adanya media seperti koran, tabloid, buku cetak, dan siber elektronik, semua kreativitas menulis dapat disalurkan lewat media tersebut, seperti menulis cerita pendek (cerpen). Cerpen yang ditulis anak-anak didominasi tema etika dan moral, sedangkan tema kesehatan sangat jarang disinggung. Sedikitnya cerita mengenai kesehatan tampaknya dilatarbelakngi oleh kebiasaan keluarga dan orang terdekat yang selalu mentransmisikan nilai-nilai moral yang selanjutnya berpengaruh pada cara pandang anak-anak dalam memandang nilai kesehatan. Sampai sekarang kesehatan belum menjadi bagian integral dari etika masyarakat Indonesia yang tercermin dalam tema-tema cerpen yang masih berpusat pada etika moral. Kata kunci: cerita anak, fiksi, kesehatan, media massa Pendahuluan Pepatah rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, bersih pangkal sehat banyak menghiasi tembok-tembok sekolah yang artinya menganjurkan agar siswa hidup bersih. Kebersihan selalu dikaitkan dengan kesehatan. Seperti yang dilakukan sabun Lifebuoy melalui gerakan mencuci seribu tangan sebagai usaha mengajarkan kebersihan sejak dini pada siswa-siswi. Mensosialisasikan kebersihan terhadap anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, guru, atau pun pemerintah. Ajaran hidup bersih dan sehat haruslah dilakukan sejak dini oleh orang tua, guru, maupun pemerintah melalui Departmen Kesehatan (Depkes). Namun, dalam aplikasi kehidupan sehari-hari masih tidak mulus, masih mendapat banyak hambatan. Menanamkan nilai-nilai baru ke dalam sikap mental bersih dan sehat khususnya bagi anak-anak sama sukarnya dengan menghapus nilai tradisi yang kurang relevan. Kebersihan belum merupakan identitas lingkungan hidup kita. Atau intensitas kebersihan lingkungan selama ini belum mencapai standar kebersihan yang indah, kebersihan yang sehat, kebersihan yang rapi. Dengan kata lain, baru sekadar bersih, belum memiliki nilai tambah (plus) yang merangsang lahirnya nilai-nilai lain, atau karena pada dasarnya telah terjadi pergeseran tolok ukur bersih versi lingkungan hidup modern. Sosialisasi membuang sampah pada tempatnya dengan menyediakan tempat sama di tempat-tempat strategis. Ini menunjukkan bahwa masalah kebersihan menjadi masalah penting bagi kita semua. Dengan kata lain, keadaan lingkungan tempat tinggal adalah cermin sikap mental penghuninya. Kendati halaman rumah dan sekolah setiap hari disapu, siswa tetap saja membuang kertas dan kulit kacang sembarangan, atau kencing tanpa menyiramnya kemudian. Fenomena demikian menggambarkan bahwa
134 kebersihan halaman tadi belum menjadi identitas pribadinya. Meskipun di jalan protokol dan lokasi keramaian banyak didirikan WC umum, kalau di sana-sini masih terdapat bau pesing, jelas kebersihan bukan menjadi identitas kota. Dengan kata lain, keadaan lingkungan tempat tinggaal adalah cermin sikap mental penghuninya. Mengajak siswa tidak membuang sampah di sembarangan tempat sama sulitnya dengan menggerakkan swadaya mereka untuk mengatur pembuangan sampah di lingkungannya. Selama ini memperkenalkan dan mengajarkan hidup bersih dan sehat dilakukan secara verbalistik dan konvesional, yaitu berupa nasihat. Untuk kondisi masyarakat sekarang cara demikian berupa anjuran perintah yang biasanya bersifat top down, yaitu dari orang tua ke anak, dari pemerintah ke masyarakat. Masyarakat atau siswa belum mempunyai kesadaran sendiri untuk hidup bersih. Mengajak masyarakat tidak membuang sampah di sembarang tempat, sama sulitnya dengan menggerakkan swadaya mereka untuk mengatur pembuangan sampah di lingkungannya. Cara-cara seperti tersebut di atas untuk saat ini perlu diperluas seiring dengan berkembangnya media massa dan kemampuan membaca masyarakat, khususnya anakanak, yang mulai meningkat, sehingga persuasi tentang kebersihan dan kesehatan perlu diperluas melalui media seperti koran atau, majalah. Salah satu media yang memuat rubik cerita anak-anak adalah Kompas, yang menempatkannya pada halaman 10. Dalam halaman tersebut, anak-anak dapat mengirimkan karya fiksi, baik cerpen maupun puisi, dengan beraneka ragam ide atau gagasan. Salah satu yang menjadi fokus pnelitian ini adalah tentang tema-tema kesehatan. Adakah tema mengenai bersih kaitannya dengan kesehatan menjadi bagian dari gagasan yang ditulis anak-anak di samping tema-tema berkaiatan dengan moral atau etika? Hal ini mengingat bahwa kebersihan belum merupakan identitas lingkungan hidup kita. Penelitian ini dianggap penting bagi anak-anak untuk menggugah kesadarannya agar hidup bersih dan sehat secara mandiri melalui cerita atau dongeng yang dibuat oleh anak-anak untuk anak-anak. Dengan demikian, diharapkan anak-anak dapat secara mandiri mendapatkan informasi mengenai gaya hidup sehat secara menyenangkan yaitu membaca sambil belajar melalui yang menyediakan ruang bagi anak-anak untuk anak-anak. Penelitian ini dharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bersifat teoretis dan praktis. Manfaat teoretis penelitian ini adalah dapat memberikan manfaat bagi pengembangan pengetahuan terhadap kajian perkembangan bahasa anak sekaligus mengkaji ilmu pragmatik, yakni bidang linguistik yang berhubungan dengan maksud penutur atau pembicara. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi penutur bahasa, praktisi bahasa, dosen, guru, pemerhati bahasa, dan masyarakat pada umumnya yang ingin meneliti perkembangan bahasa anak sebagai bentuk tuturan sebagai wujud tindak tutur di dalam komunikasi di dalam ranah keluarga. Teori Ketergantungan masyarakat dan budaynya pada teknologi menimbulkan kesadaran bahwa media itu sendiri pada dasarnya merupakann pesan yang harus diperhitungkan di samping pesan komunikasi. Kesadaran ini menjadi termasyhur karena rumusan
135 ”the medium is the message” dari Marshall McLuhan (1964). Tidak terkecuali anak-anak pun yang sekarang hidup dalam era teknologi mutakhir, telah sekarang memanfaatkan media massa seperti koran untuk menuliskan hasil gagasan dalam bentuk cerita maupun gambar. Koran seperti Kompas yang memberi peluang bagi anak-anak untuk menulis berbagai hal, termasuk kesehatan, merupakan cara anak menafsirakn kesehatan. Hal demikian perlu diperhatikan berkaitan dengan kesadararan akan lingkungann hidup danan kesehatan. Terdapat sembilan tema pokok dalam memahami jalannya aktivitas filosofis anakanak, yang meliputi teka-teki, permainan, pemikiran Piaget, cerita, fantasi, kecemasan, keluguan dan dialog. Dalam meneliti seluk-beluk pemikiran filosofis anak, penulis kemudian mengurai dengan uraian mengasyikkan. Mulai memancing sekaligus mengidentifikasi gagasan-gagasan filosofis anak. Para penulis cerita anak adalah orang yang memiliki kemampuan memahami kondisi psikologis sekaligus muatan-muatan idealisme si anak. Lain dengan pakar psikologi yang mungkin hanya memahami kondisi psikis anak. Oleh karena itu, peran seorang penulis cerita untuk anak-anak sangat mnentukan dalam hal ini. Ia harus dituntut untuk menguasai kondisi kejiwaan serta muatan-muatan idealisme si anak (Mu’arif, 2005:203). Demikian juga pendapat Oemaryati (1986:198) bahwa para penulis secara umum dapat dikatakan bahwa sastra mencakup tiga segi hakiki kehidupan manusia, yaitu yang bersifat agama, sosial, dan personal. Secara khusus, pengajaran sastra bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai inderawi, nilai akali, nilai afektif, nilai sosial, atau pun gabugan keseluruhannya. Dalam konteks inilah kegiatan belajarmengajar sastra perlu dilaksanakan. Setiap bahasa memiliki kualitas tertentu yang dapat diukur melalui kriteria-kriteria tertentu. Adapun kriteria yang dimaksud adalah ukuran yang berlandaskan sikap (attitude) serta tingkah laku (behaviour) masyarakat penutur terhadap bahasa itu. Jika penulis cerita adalah anak-anak, bahasa yang digunakan tidak jauh dari dunia anak yang lugu dan penuh fantasi. Mengelola kebersihan dan kesehatan adalah tanggung jawab bersama termasuk media massa. Koran-koran kian informatif dan tidak dapat disangkal bahwa koran terus mempertahankan artikel-artikel hiburannnya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kalangan pembaca pria menyukai artikel-artikel kemanusiaan, komik, dan ilustrasi daripada artikel-artikel berita. Penelitian lain mengungkapkan bahwa yang membaca berita utama hanya separuh pembaca, tetapi yang menyimak komik mencapai dua pertiga pembaca (Rivers, 2008:280). Sony Keraf dalam Etika Bisnis (2004:204) mengatakan bahwa pada umumnya kita dapat menemukan dua pandangan yang berbeda mengenai fungsi iklan dan cerita anak, yaitu (1) cerita sebagai pemberi informasi, dan (2) cerita sebagai pembentuk pendapat umum. Dengan demikian, cerita tergolong karya fiksi secara tidak langsung dapat berfungsi sebagai media informasi. Logika wacana, yaitu apa yang dihasilkan oleh wacana teoretis atau praktis, adalah simpulan yang ditentukanoleh kekuatan argumentasi yang lebih baik kualitasnya. Habermas menggambarkan kekuatan ini sebagai ”motivasi rasional” dan dia
136 merancang untuk menjelaskannya dalam kerangka kerja logika wacana (Thompson, 2005:173). Ini artinya bahwa ceita anak yang dibuat oleh anak-anak mengungkapkan yang ada di bawah sadarnya, mengungkapkan ekspresi batinnya. Tema adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya (Eryanto, 2005: 9). Studi mengenai bahasa di sini memasukkan konteks karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situas, dan sebagainya. Hasil dan Pembahasan 1. Pandangan Dunia Anak mengenai Nilai Kesehatan Cara anak-anak menulis cerita atau dongeng yang terdapat di berbagai media maupun yang terdapat dalam blog tidak jauh dari kehidupan sehari-harinya. Tema-tema yang ditulis umumnya berupa tema yang sehari-hari mereka peroleh dari nilai-nilai yang diinternalisasi orang tua, guru, dan orang-orang di sekitarnya. Biasanya orang tua akan memberi wejangan berupa nilai moral, sementara mengenai nilai kesehatan tidak banyak disinggung. Nilai kesehatan tampaknya bukan menjadi prioritas utama dalam pendidikan moral. Orang tua maupun masyarakat salah kaprah mengartikan moral dan kesehatan secara terpisah-pisah. Akibatnya, orang tua hanya mengajarkan pendidikan moral lebih dominan, seperti jangan mencuri, jadi anak yang patuh, berbuat baik, dan suka menolong. Sementara itu, cerita anak dengan tema kesehatan tidaklah mudah karena cerita-cerita yang ditulis anak-anak umumnya adalah cerita mengenai etika dan moral, sedangkan tema-tema mengenai kebersihan tidaklah populer di kalangan mereka. Hampir semua cerita yang diterbitkan umumnya tidak bertemakan kesehatan, melainkan cerita tentang legenda, mite, dan sejarah. Pada umumnya anak-anak menggali cerita tidak jauh dari lingkungan sekitarnya seperti lingkungan rumah, sekolah, dan lingkungan bermain. Bagi anak-anak yang memiliki bakat mengarang, apa pun bisa menjadi objek cerita. Dari apa yang pernah dilihat dan didengar mengalirlah cerita-cerita itu. Andai orang tua tidak pernah bertutur mengenai kebersihan atau pun kesehatan terhadap anak, anak-anak pun tidak akan pernah bisa menceritakan hal tersebut. Salah satu pendidikan nilai yang banyak dilupakan atau diabaikan orang tua maupun masyarakat pada umumnya adalah pendidikan nilai kesehatan. Orang tua tidak pernah menyinggung masalah pentingnya hidup bersih dan sehat. Mungkin saja dalam pikiran para orang tua masih belum menganggap kebersihan dan kesehatan sebagai bagian dari nilai etika. Orang tua di mana pun di dunia selalu menginginkan anak-anaknya pandai, sukses, dan berbudi luhur. Sehubungan dengan itu, orang tua selalu mengedepankan pendidikan moral sebagai pembentuk pendidikan karakter anak. Anak-anak diajarkan untuk tidak mencuri, berbuat adil, suka menolong, tidak sombong, dan suka menabung. Begitu juga nasihat-nasihat yang diberikan berupa nasihat yang konvensional seperti belajar yang rajin, kerjakan pekerjaan sekolah. Bahkan, tidak jarang orang tua menanyakan nilai pelajaran hingga mengantarkannya ke les-les yang dianggapnya dapat menjadikan ia pandai.
137 Namun, sebetulnya pendidikan mengenai kebersihan dan kesehatan tidak kalah pentingnya. Menjaga kebersihan bagian dari kesehatan dan itu berkontribusi pada kecerdasaan anak. Bagaimana mungkin anak bisa belajar tenang kalau lingkungannya tidak bersih? Untuk itulah menjaga kebersihan sangatlah penting. Begitu pentingnya sampai-sampai agama menempatkan kebersihan sebagai bagian dari iman. Media massa di Indonesia yang memberikan ruang kreativitas bagi anak terdapat pada koran Kompas. Koran tersebut memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengembangkan kreativitasnya seperti mengarang cerita atau pun membuat puisi yang diterbitkan pada hari Minggu. Namun, tidak setiap Minggu kita dapat menemukan cerita anak-anak, mungkin saja ruang tersebut digunakan bersama dengan ruang “kreativitas.” Selama enam bulan mengumpulkan cerita anak-anak telah terkumpul sekitar 26 cerita. Dari sejumlah itu tidak satu pun bertema kebersihan. Demikian pula pada tabloid atau pun media cetak lain, tidak ditemukan cerita mengenai kebersihan lingkungan atau pun kesehatan. Cerita anak-anak seperti folklor, yaitu bercerita mengenai etika dan moral. Diterbitkan oleh beberapa media, umumnya bercerita mengenai legenda, mite tentang kepahlawanan dan binatang. Dari sekian anak yang punya bakat menulis, pengalaman, nasihat, dan pelajaran yang diberikan orang tua dan guru akan menjadi bahan dalam menulis. Sastra atau cerita adalah ekspresi dari penulisnya, anak-anak yang menulis atau mengarang biasanya akan menulis apa yang mereka tahu tentang pengalamannya itu. Entah sadar atau tidak seorang pengarang akan memikirkan kehadiran dirinya sendiri dalam teks. Pada saat itu seorang pengarang berusaha untuk menjabarkan peristiwa mental yang ada dalam pikirannya dalam bentuk cerita. Pengarang berusaha mengomunikasikan peristiwa-pristiwa mental kepada hadirinnya. Cerita mengenai kebersihan dapat ditemukan dalam Blog berbagi Cerpen dan Dongeng Anak. Blog ini disediakan untuk cerita yang ditulis anak-anak. Cerita anak yang masuk dalam ruang tersebut didominasi tema-tema kejujuran, kebaikan, yang semuanya termasuk dalam cerita moral. Sedangkan cerita mengenai kesehatan sangatlah sedikit. Setiap anak bisa mengirimkan cerita apa saja sehingga ceritanya cukup beragam. Apa yang diperoleh anak mengenai pendidikan moral akan membekas dalam pikiran anak-anak. Ia akan merekam semua nasihat, anjuran, contoh-contoh yang diberikan orang tua maupun guru di sekolah akan membekas dalam ingatannya. Tidak semua media massa seperti koran dan majalah menyediakan ruang kreativitas untuk anak-anak. Kompas adalah satu-satunya media massa yang menyedikan ruang bagi anak-anak untuk menyalurkan bakat menuslisnya dalam ruang ”Anak” yang diterbitkan setiap hari Minggu, tetapi tidak setiap Minggu cerita anak hadir di halaman tersebut. Seringkali halaman tersebut diisi dengan kerativitas lain seperti kebudayaan. Sementara itu, buku cerita anak semacam folklor dan dongeng cukup banyak diterbitkan, hanya saja tema ceritanya lebih ke legenda, fabel, mite, dan sage.
138 Semuanya tidak ada yang mengaitkan dengan kesehatan. Kemudian penelitian dilakukan dengan mencari tema cerita kesehatan yang berada dalam internet. Di ruangan tersebut ditemukan cerita tentang kesehatan dengan yang jumlahnya juga hanya beberapa saja. Cerita anak-anak umumnya mengambil tema sekitarnya, entah itu berupa lingkungan fisik maupun nonfisik. Cerita lingkungan seperti mengenai sekolah, lingkungan halaman rumah, sekolah, hubungan dengan teman-temannya. Adapun cerita nonfisik berupa gagasan, nasihat yang berkaitan dengan ajaran-ajaran dari orang tua. Hal ini dapat dilihat dari tema cerita yang selalu melibatkan orang tua dan guru. Hal ini menunjukkan bahwa peran orang tua cukup penting di lingkungan keluarga. 2. Cerita Anak Bertema Kesehatan a. Cerpen “Gigi Oh Gigi” Karya Andang Gitasari Suatu pagi sehabis sarapan, Gigi menggosok gigi sebelum berangkat sekolah. Ketika menggosok gigi, ia terkejut didapatinya gigi depannya tanggal. Lalu ia berteriak dan menangis, sedih memikirkan dirinya ompong. Gigi memutuskan dirinya tidak masuk sekolah. Ibunya membujuknya untuk masuk sekolah, tetapi ia tetap tidak mau sekolah. Selama satu minggu ia mengurung diri dalam kamar, malu keluar dan berbicara karena khawatir ketahuan giginya ompong. Selama tidak masuk itu, ia merenung dalam kamar, ia memandangi terus ke luar jendela, “Ya ampun… apa yng harus dilakukan? Sudah satu minggu aku tidak masuk sekolah. Pasti aku ketinggalan pelajaran banyak sekali. Aku juga rindu dengan temantemanku.” Keesokan harinya ia bangun pagi-pagi sekali bergegas mandi dan dilanjutkan berpakaian rapi menunggu sarapan bersama ayah dan ibunya. Ia mengatakan jika mau sekolah lagi. Setelah itu, gigi berangkat di antar ayahnya. Sesampai di sekolah ia diminta masuk ke ruang UKS dan diperiksa dokter gigi. Dokter bilang giginya sehat. Mendengar hal itu ia senang. Sejak itu ia tidak malu lagi untuk berbicara. Karena gigi bagian depan tanggal, Gigi menjadi sedih, murung, dan malu ke sekolah. Orang tuanya membujuk untuk tidak sedih tetap saja tidak berhasil. Selama satu minggu mengurung diri di kamar dan tidak mau berbicara. Lama-lama ia sadar bahwa apa yang dilakukannya keliru dan selanjutnya ia buang kesedihan itu pagi harinya ia pergi ke sekolah. Melalui dokter giginya ia baru tahu bahwa setiap anak punya yang namanya gigi susu yang pasti akan tanggal di usa enam tahun untuk kemudian digantikan dengan gigi permanen. Cerpen tersebut terdiri atas beberpa bagian yang mengandung peristiwa. Dalam cerita tersebut dimulai dari tokoh Gigi yang mengalami tanggal gigi di kamar mandi, selanjutnya cerita bergeak maju hinga akhir cerita. Cerita ditutup dengan happy ending, yaitu gigi menjadi tahu jenis gigi pada manusia. Cerita hanya dibangun dengan satu alur, yaitu alur maju. Konflik dibangun dengan lebih menonjolkan sisi psikologis tokoh yang murung, sedih, tapi dalam perkembangannya menjadi bahagia. Wawasananya terbuka karena mendapat pngetahuan seputar gigi.
139 Tokohnya adalah seorang anak kecil bernama Gigi. Gigi sebagai tokoh utama atau tokoh sentral pembawa tema, maka ia akan selalu membawa alur cerita dari awal hingga akhir. Dapat dilihat dari awal cerita yang dimulai dari tokoh gigi yang membawa membawa cerita yang menentukan jalannya cerita. “Aduh, Ibu, gigiku copot. Bagamana ini, Ibu…” Gigi pun menagis. “Sini coba ibu lihat,” Ibu Gigi lalu memeriksanya. Ternyata gigi seri Gigi bagian atas tanggal dan kini ia terlihat ompong. Kebetluan antara tokoh dengan objeknya memiliki persamaan nama, yaitu gigi. Tokoh Gigi sebagai tokoh utama yang membawa alur cerita mengenai persoalan gigi. Ternyata pertumbuhan gigi manusia memiliki tahapan, yaitu dimulai dari gigi susu, kemudian tanggal, dan selanjutnya tumbuh gigi permanen. Gigi permanen ini harus dirawat agar tidak berlubang. Peristiwa tanggalnya gigi menjadikan tokoh Gigi mengerti bahwa setiap orang pasti mengalami hal yang sama dengan dirinya. Dari cerita tersebut dapa dilihat perlunya memberikan pengetahuan mengenai kesehatan kepada anak-anak. Termasuk di dalamnya mengenalkan anatomi tubuh agar mereka memahami apa pun yang terjadi pada tubuhnya. Peristiwa dalam cerpen tersebut terjadi di sekitar kamar mandi, rumah, dan sekolah. Dalam latar ini yang ditonjolkan adalah suasana batin sang tokoh yang murung akibat gigi tanggal. Gambaran peristiwa semakin jelas dengan adanya keterangan latar. Latar tempat ini mendukung tema mengenai pendidikan kesehatan yang diberikan sejak dini melalui pedididkan informal. Pada cerpen tersebut, pengarang menggunakan teknik author participant, yaitu pengarang turut ambil bagian dalam cerita, penulis sekaligus sebagai pelaku cerita yang mengambil keputusan. Kesederhaaan dalam mengambil dimensi penceritaaan merupakan kekhasan sebuah cerita pemula anak. Cerita tersebut membicarakan tentang minimnya pengetahuan mengenai kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan gigi sebaiknya diberikan sejak kanak kanak, tetapi yang terjadi justru berbeda, Gigi tidak tahu apa yang terjadi pada giginya yang tanggal sebenarnya adalah bersifat alamiah. Namun, berhubung tidak memiliki pengetahuan mengenai gigi, gigi tanggal dianggapnya tidak tumbuh lagi. b. Cerpen “Sakit Perut” Karya Anindita S. Ana dan Widi bersekolah di sekolah yang sama. Jarak rumah ke sekolah lumayan jauh. Di hari itu bangun pagi sekali dan bersiap-siap berangkat ke sekolah karena di pagi itu akan ada penyuluhan tentang tata cara membeli jajan yang sehat. Sesampainya di sekolah bel pun berbunyi, semua anak berkumpul di aula sekolah dan penyuluhan pun dimulai. Penyuluh menjelaskan cici-ciri makanan dan minuman yang berbahaya yang mengandung zat berbahaya dan dampak makan makanan tidak menyehatkan. Setelah penyuluhan selesai mereka berdua pulang sambil bersepeda. Ketika pulang ke rumah, mereka melewati penjual makanan seperti minuman cendol. Ana lupa dengan nasihat penyuluh, ia membeli cendol yang warnanya mencolok dan
140 kenyal. Menurutnya, cendol tersebut enak. Widi ditawari untuk mencici, tetapi widi menolak karena tahu bahwa cendol itu tidak sehat dengan warna yang mencolok tersebut. Setalah minum cendol Ana tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Ia diketahui mengalami sakit perut akibat makan makanan yang tidak sehat. Melalui cerita tersebut dapat dikemukakan bahwa siswa seharusnya mendapat pengetahuan mengenai makan-makanan yang sehat. Dengan alur maju diceritakan awal mula Ana dan Widi pergi ke sekolah, “Pagi hari Ana sekolah menggunakan sepeda gayangnya, dia sungguh bersemangat karena hari ini di sekolahnya akan ada penyuluhan tentang tata cara membeli jajan yang sehat.” Sepulang dari sekolah ia minum cendol. Tidak lama kemudian ia sakit perut sehingga terpaksa tidak masuk sekolah. Ana digambarkan berwatak bulat, digambarkan sebagai seorang anak yang tidak mau menyimak penyuluh yang menjelaskan makan makanan yang kurang sehat. Hal itu dibuktikan dengan sikapnya yang membeli cendol, meskipun sudah diingatkan temannya, Widi, agar memperhatikan warna makanan yang ditengarai tergolong makanan yang tidak sehat. Pengarang memakai orang pertama bawahan sebagai pencerita atau orang yang dengan aktif menceritakan tokoh utama maupun tokoh sampingan. Dengan cara ini, pengarang secara eksplisit mengambil bagian dari crita. Dengan begitu pengarang dengan leluasa menggambrkan tokoh berikut. “Aku menyesal, Wid, enggak dengar nasihatmu tentang es cendol itu, sehingga aku sakit perut. Kata dokter, ada gangguan pencernaan di lambungku, lain kali aku akan berhati-hati dalam berbelanja, aku gak ma sakit lagi gara-gara makan makanan dan minuman berbahaya itu,” jawab Ana sambil menangis menyesali perbuatannya. Dari sejumah cerpen yang terdapat di berbagai koran, majalah, dan blog, dapat diketahui sejumlah pandangan yang dicritakan anak-anak Indonesia. Salah satu cerita yang yang sering ditemui ialah tentang kehidupan sosial. Banyak cerita atau dongeng yang diceritaan anak-anak Indonsia dianggap menyajikan realita kehidupan yang cenderung menonjolkan suasan (1) kehidupan sekolah, (2) keadaan pohon, (3) kehidupan rumah, (4) bercerita tentang penyakit, dan (5) kebersihan rumah. 3. Nilai Kesehatan sebagai Sebuah Sudut Pandang Dalam pandagan antropologi, sesuatu memilki nilai. Kendati sudut pandang nilai merupakan pengalaman subjektif, bila pengalaman subjektif ini disosialisasikan, akan menjadi nilai kolektif sehingga akhirnya menjadi sebuah budaya. Misal, mengenai kebersihan, seorang anak tahu arti kebersihan dan bagaimana bentuk kebersihan itu dalam kehidupan sehari-harinya. Namun, bagaimana mempraktikkannya dalam bentuk sikap dan tindakan seringkali tidak seiring. Masih banyak anak yang membuang kertas dan plastik sembarangan di halaman sekolah, walau sudah disediakan keranjang sampah, juga membeli jajanan di pinggir jalan yang belum diketahui kebersihannya.