41 tidak disadari oleh narasumber. Hal ini untuk menjaga agar pembicaraan berlangsung secara alamiah sebagaimana pembicaraan sehari-hari. Situasi percakapan diatur sedemikian rupa sehingga meminimalisasi data tanpa konteks. Soedaryanto (1993) menyatakan pola semacam ini sebagai metode simak-libat-cakap. Untuk kepentingan ini, topik pembicaraan diarahkan pada ritual-ritual yang masih dijaga oleh keluarga padepokan. Narasumber yang terlibat dalam proses ini adalah keluarga Bapak Sarwoto (61 tahun, generasi kedua, muslim, pengajar tari tradisi dan seniman wayang orang), Bapak Bambang (56 tahun, generasi kedua, muslim, seniman wayang orang), Bapak Widyo (26 tahun, generasi ketiga, muslim, seniman wayang orang), dan Bapak Saparno (27 tahun, generasi ketiga, muslim, ketua pemuda, pelukis, desainer grafis, dan seniman wayang orang). Bapak Sarwoto dan Bapak Bambang adalah anak Rama Yasa, sedangkan dua narasumber lainnya adalah cucu Rama Yasa. Adapun deskripsi yang lain demi kepentingan penguat data primer, diuji melalui penelusuran kajian pustaka terkait mistitisme Jawa, kajian budaya, dan pengamatan ritual kematian yang ada di lingkungan sekitar, yaitu lingkungan budaya Jawa. Kemudian, representasi data tersebut dideskripsikan dalam klasifikasi empat hal, yaitu seda, tilar (donya), kapundhut, dan sare kondur berdasarkan etnografi komunikasi masyarakat setempat. Hasil dan Pembahasan 1. Deskripsi Singkat Padepokan Tjipta Boedaja Padepokan Tjipta Boedaja terletak di lereng Merapi, Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Sumber, Muntilan, Kabupaten Magelang. Di ketinggian lebih kurang 400 mdpl, Dusun Tutup Ngisor termasuk di daerah terdampak II (ring II) erupsi Merapi. Saat ini, Padepokan Tjipta Boedaja dipimpin oleh Sitras Anjilin, putra bungsu Rama Yasa Sudarma (1865— 1990).4 Rama Yasa adalah warga asli Tutup yang beraktivitas di bidang pertanian dan kesenian. Beberapa kesenian tradisi yang dilakoni beliau semasa hidup adalah tari tradisi, macapat, dan pencak silat.5 Makamnya terletak di utara padepokan, bersebrangan dengan musala dusun, dan berdekatan dengan kediaman Sitras Anjilin, pemimpin padepokan. Tradisi kesenian rakyat yang dibawa Rama Yasa kini dilestarikan oleh putra dan cucu cicit keturunan beliau. Kesenian itu berpusat pada pementasan wayang wong gaya Surakarta. Ekspresi individual dan kolektif disajikan dalam garapan artistik berupa drama, tari, karawitan, dialog, dan tembang. Garapan disajikan dalam bentuk pentas panggung maupun pentas lapangan sesuai dengan ketentuan seni pertunjukan pada umumnya. Secara keseluruhan pentas garapan dan pernak-pernik pendukungnya dikerjakan kekeluargaan di lingkungan padepokan. Mereka menatah topeng, menata busana tari, menata artistik pentas, menyungging wayang, menatah warangka keris, menabuh gamelan (pengrawit), mengajar tari, mencipta tari, dan menulis naskah seni pertunjukan. Bekal pendidikan tari tradisi diperoleh sedari dini. Ketika beranjak dewasa mereka dibebaskan membuat keputusan menghidupi kesenian tradisi atau pun bermata pencaharian di luar bidang seni. 4 Angka tahun didapatkan dari berbincang dengan cucu Rama Yasa, Bapak Saparno, yang semasa kecilnya masih berkesempatan menyaksikan upacara meninggalnya Sang kakek (November, 2012). 5 Wawancara dengan Bapak Saparno (Nyadran, 2011).
42 Berdasarkan relasinya dengan masyarakat luar, masyarakat Padepokan Tjipta Boedaya bukanlah termasuk masyarakat tradisional. Mereka berinteraksi ke luar dusun melalui undangan-undangan pentas. Keluarga padepokan juga membuka diri dengan mengadakan pentas swadaya sebanyak empat kali dalam setahun. Pentas-pentas itu adalah Suran (15 Sura), 17-an (malam 17 Agustus), pentas wayang menak (Maulid Nabi), dan pentas di bulan Syawal (Idul Fitri). Namun, jika menggunakan paradigma tradisi yang dijalankan, mereka termasuk masyarakat yang masih sangat menjaga tradisi leluhur. Masyarakat pra-agama mewarisi keharmonisan tata semesta dengan sumber kehidupannya. Keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos dilekatkan pada Dewi Sri, Dewi Kesuburan, sejalan dengan bentuk masyarakat agraris. Pelaksanaan upacara dan pentas kesenian tradisi senantiasa berdampingan dengan keyakinan agama-agama saat ini, yakni Islam, Protestan, dan Katolik. Sesaji, mantra, dan kelengkapan upacara dipandang sebagai bagian dari estetika pentas. Nyaris tidak ada keterangan yang mengaitkan sesaji, mantra, dan uba rampe pentas dengan kekuatan dan kepercayaan ruh leluhur. Sesaji, mantra, dan uba rampe itu dinyatakan sebagai bagian dari keindahan tradisi. Selain itu, mereka juga tidak berkenan apabila tradisi kebiasaan itu disandingkan dengan kepercayaan Buddha dan Hindu. Iki udu Buddha, udu Hindu. Iku Tutup. Bapak saya itu Islam ‘Ini bukan Buddha, bukan Hindu. Itu Tutup. Bapak saya dulu Islam.’ 6 Demikian mereka menegaskan kebiasaan ritual yang senantiasa dilakukan. Rangkaian upacara dan pilihan waktu pentas dilakukan dalam rangka mengikuti tata cara warisan Rama Yasa. Masyarakat luar padepokanlah yang kemudian menyebutnya sebagai nguri-uri (menghidupi dan melestarikan) tradisi leluhur. Hal ini pun tercermin dalam salah satu penghayatan siklus kehidupan manusia dalam memandang kematian. Mereka mengenal konsep seda, tilar, kapundhut dan sare kondur untuk menandai terlepasnya ruh7 dari jasad ragawi. Sementara itu, jika merujuk pada Tingkat Tutur Bahasa Jawa, verba mati diungkapkan dalam beberapa leksikon, yaitu bentuk kromo standar pejah, tilar, tilar donya dan bentuk kromo inggil/ kromo alus seda (Poedjasoedarma, dkk, 1979:104). Penggunaan tingkat tutur kromo ini diidentifikasikan bahwa kematian merupakan sesuatu yang patut dihormati atau bahkan cenderung dimuliakan. Unsur insani dan noninsani secara otomatis membedakan variasi bentuk leksikon tersebut. Penggunaan bentuk mati untuk merujuk manusia dipandang saru (tidak pantas). Bentuk tersebut lebih pantas-umum digunakan untuk binatang atau tumbuhan. Karena itulah, penelusuran konsep kematian melalui bahasa dilakukan di sebuah masyarakat tradisi yang menjaga setiap ritual dan nilai warisan para leluhurnya. 2. Seda Secara semantis, seda berarti mangkat, wafat (Prawiroatmodjo, 1981:175). Penjelasan ini merupakan cara sederhana untuk memahami makna dalam bahasa Indonesia yang disediakan kamus. Adapun dalam bahasa Indonesia ungkapan kematian juga dikemukakan menjadi beberapa istilah, yaitu mati, tewas, meninggal, wafat, dan mangkat. Bentuk seda lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari yang mengacu pada referen insani yang meninggal. 6 Data bahasa Jawa: cetak italik; data bahasa Indonesia: cetak italik tebal; data bahasa Arab: cetak italik garis bawah. 7 Bentuk ruh tidak dimuat dalam KBBI edisi III. Bentuk ini sengaja dipertahankan karena nilai rasanya lebih halus dan suci dibandingkan penggunaan bentuk roh yang cenderung menampilkan nilai magis dan mistis.
43 Penutur berelasi akrab memilih bentuk ngoko. Namun, bentuk verba meninggal tetap menggunakan bentuk kromo seda. (1) “Sepurane Mbak, aku ra isa teko wingi kae sedane mbah putriku.” ‘Maaf Mbak, saya tidak bisa datang kemarin itu meninggalnya nenek saya.’ (2) “Sapa ta sing seda?” ‘Siapa(kah) yang meninggal?’ (3) “Eh kapan sedane?” ‘Eh kapan meninggalnya?’ Pemahaman terhadap asal usul kata keretabasa dalam bahasa Jawa menyebut seda sebagai siksane wis bakda (siksanya telah terlewati/usai) atau siksane wis suda (siksanya telah berkurang). Bentuk keratabasa lazim digunakan sebagai wujud permainan dan kreativitas berbahasa. Penciptaan bentuk panjang siksane wis bakda atau siksane wis suda merupakan pengingat kearifan dan nasihat. KBBI menyebut bentuk semacam ini sebagai etimologi rakyat. 3. Tilar (donya) Demikian pula dengan pilihan penggunaan bentuk tilar. Secara semantis, tilar (donya) berarti meninggalkan dunia (Prawiroatmodjo, 1981:257). Bentuk kedua ini pada umumnya juga digunakan dalam ujaran sehari-hari. Penggunaannya tidak serta merta dalam bentuk frase tilar donya tetapi lebih lazim hanya menggunakan bentuk tilar. Pembentukan kata tilar donya dimungkinkan terjadi karena kontak dengan bahasa Indonesia yang mengistilahkan ‘meninggal’ dengan bentuk meninggal dunia. (4) A: “…, gek rewang nang tangga.” ‘…, sedang membantu di tetangga.’ B: “wonten ingkang tilar napa Dhe?” ‘ada yang meninggalkah, Bu?’ (5) Salamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Telah meninggal dunia dengan tenang. Ibu Sriyatun, Ibu dari Murtiani, Sahid, Wiji. Meninggal pada usia 90 tahun pada hari ini 19 Januari 2011 pukul 7 WIB di Dusun Tutup Nduwur. Almarhumah dimakamkan hari ini di pemakaman dusun bakda dhuhur. Sekian. Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. 4. Kapundhut Bentuk kapundhut ‘terambil’ muncul pada pengumuman berita lelayu masyarakat Tutup Ngisor dan interaksi masyarakat dalam takziyah. Pemilihan bentuk kapundhut sowan (marang Gusti kang murbeng dumadi) ‘terambil (menuju Tuhan yang menguasai segala kejadian)’ mengimplikasikan bahwa kepemilikan terhadap sesuatu tidaklah mutlak, termasuk kepemilikan tubuh. Bentuk sowan mengimplikasikan kunjungan dalam perjalanan panjang semasa hidup. Pembentukan ini tidak sedikit pun berimplikasi pada meninggalkan dunia seperti konsep tilar, tetapi lebih pada melanjutkan perjalanan. (6) Jam pinten kapundhutipun Adik? ‘Pukul berapa meninggalnya Adik?’ (7) Salamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Berita lelayu. Innalillahi wainnailaihi rojiun.
44 Kapundhut sowan Gusti Ibu Wasilah jam sekawan wonten RSU Magelang. Jenazah dipunlenggahken ing dalem putra wayah Dusun Tutup Duwur. Dipunmakamaken ing makam umum Dusun Tutup Ngisor bada ashar. Sumangga para sedherek ingkang sami dipundherekaken. Salam pembuka. Berita duka. Salam. Berita kematian. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Ungkapan bela sungkawa. Terambil berkunjung menuju Tuhan Ibu Wasilah pukul empat di RSU Magelang. Jenazah disemayamkan di rumah keluarga Dusun Tutup Duwur dan dimakamkan di Dusun Tutup Ngisor selepas ashar. Kepada para tetangga sekalian, mari bersama turut mengantarkan (beliau). 5. Sare Kondur Sementara itu, konsep sare kondur ‘pulang (untuk) tidur’; sare ‘tidur’ dan kondur ‘pulang’ hanya dituturkan untuk menyebut Rama Yasa telah meninggal. Mereka menghayatinya sebagi hal yang kontradiktif karena meninggal sesungguhnya tidak akan kembali ke dunia. Konsep sare kondur memungkinkan dua hal, yaitu (1) jasad insaninya bangun dan beraktivitas kembali bersama anggota keluarga dan masyarakat dan (2) jasad insaninya sirna tetapi ruhnya tetap hidup dan menjiwai setiap sendi kehidupan anggota keluarga dan masyarakat setempat baik dalam berkesenian maupun dalam aktivitas sehari-hari termasuk bercocok tanam. (8) Saya: Menapa putra wayah taksih menangi sedanipun Eyang? A : La iya to, Mbak Arum. Wid isih cilik. Gumplong weruh tur kowe nangis. Saya : Mase niki pancen gembeng. Nggih to, Pak. B : Nik nggo Simbah ki sare kondur. (senyum) Saya : Ouwh Nggih. La kok ngunu, Mas? Pa merga pancen ora seda. C : Ah kowe ki nek takon kabeh. Saya : Apakah anak cucu masih mengetahui wafatnya Kakek? A : Iya, Harum. Wid masih kecil. Gumplong tahu dan menangis. Saya : Mas ini memang cengeng. Ya kan, Pak. B : Kalau buat Kakek itu sare kondur. (senyum) Saya : Oh ya. Itu kenapa, Mas? Atau karena memang (kenyataannya beliau) tidak meninggal. C : Ah kamu memang kalau tanya, semua. (9) Sampun kondur wonten ing ngarsanipun Gusti ingkang Murbeng Dumadi, KRT Dwijo Sudasiyo, Senin legi (1/4). Panjenenganipun Panji Prajurit Wirabraja ingkang dados cucuk lampahing kirab bregada Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sugeng tindak Romo Dasiyo, mugya swarga langgeng. Telah berpulang menuju kehendak Tuhan yang Maha Menguasai Segala Suatu, KRT Dwijo Sudasiyo, Senin (manis) (1/4). Beliau (merupakan) Kepala Prajurit Wirabraja terdepan sebagai pengantar kirab pasukan prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Selamat jalan Bapak (yang kami hormati) Dasiyo, semoga dalam surga keabadian.
45 Sejalan dengan hal tersebut, kepulangan tercermin dalam berita kematian (9). Berita kematian ini berasal dari GKR Hayu, Putri HB X, yang diungkapkan melalui akun media sosial Twitter pada hari yang sama. Perasaan kehilangan, penghormatan, dan harapan dinyatakan melalui penghargaan terhadap jasa mendiang selama bersama pengageng Keraton. Kelangsungan hidup yang lebih abadi diungkapkan pada bagian akhir wacana berita. Dalam hal ini dinyatakan sebagai surga keabadian (swarga langgeng). Kematian dipandang sebagai gerbang menuju kelanjutan kehidupan sesuai kehendak Tuhan. Pemanfaatan bentuk berpulang (kondur) dan ungkapan tentang diri yang meninggal disertai harapan merujuk pada wujud kerelaan kehilangan. Sebab kepulangannya menuju sesuatu yang menguasai segala keadaan, pemberi ucapan, pengageng Keraton mengharapkan keabadian kehidupan yang lebih baik. Pemahaman konsep kematian inilah yang kemudian menjelaskan fenomena-fenomena budaya tradisi yang masih terjaga dalam masyarakat Tutup Ngisor. Pertama, setiap pasaran tertentu sekali setiap bulan, sesaji dipasang di rumah sebagai penanda geblakan ‘hari kematian.’ Tradisi ini secara metafisis merupakan tradisi kematian masyarakat Jawa sekaligus pemahamannya terhadap oposisi pascakematian dan pascakelahiran di dunia. Pemahaman atas relasi dunia dan akhirat, relasi yang hidup dan yang mati, yang kesemuanya masih hidup dan saling memengaruhi satu sama lain. Yang masih hidup dapat senantiasa mengingat kematian, dan mendoakan yang meninggal, sedangkan yang meninggal dapat menjadi teladan kebaikan untuk anak keturunannya (lih. Aisyah, 2008). Kedua, tradisi melantunkan uyon-uyon (tembang nasihat dalam bahasa Jawa) setiap perayaan Suran (15 Sura). Tradisi ini dilakukan dengan nabuh gamelan di makam Rama Yasa. Tradisi ini dilakukan setelah azan isya sampai tengah malam. Pemilihan waktu dilakukan secara turun-temurun. Harmoniasasi kehidupan beragama dan toleransi menjadi hal yang sangat dipentingkan pada komunitas ini. Lantunan Uyon-uyon Candi sesungguhnya merupakan serangkaian tradisi pementasan kesenian ritual yang diciptakan oleh Rama Yasa. Rangkaian pementasan Tari Kembang Mayang, Lakon Wayang Lumbung Tuga Mas, dan jathilan digelar secara berturut-turut sehari semalam. Kesemuanya itu dipentaskan oleh anggota keluarga padepokan dan tidak diajarkan di luar padepokan. Masyarakat luar dipersilakan belajar, tetapi pementasannya harus dilakukan sepengetahuan keluarga padepokan Tjipta Boedaja. Ketiga, tradisi ngekol yang dilakukan setiap delapan tahun sekali. Tradisi ini cenderung sama dengan tradisi ziarah kubur di bulan Syawal, tetapi lebih singkat karena tidak ada pementasan yang dilakukan. Anggota keluarga membuat beberapa sesaji dan makanan di siang hari. Kemudian mereka mengundang pemuka agama dan tetangga untuk berdoa bersama di malam hari. Selepas acara itu, masakan dibagikan sebagai tanda terima kasih (berkat) mereka kepada Tuhan dan kesediaan tetangga yang telah mendoakan mendiang rama dan eyangnya. Keempat, tradisi potong ayam untuk kenduri. Upacara keselamatan slametan diiringi dengan doa dan tata cara tertentu dalam rangka penghormatan terhadap ruh. Siklus kehidupan lahir-hidup-mati sebagai perputarannya. Seseorang yang lahir dapat diceritakan berdasarkan waktu, tempat, dan riwayat orang tua. Tidak demikian dengan kematian. Tidak ada pengetahuan empiris terkait kehidupan pascakematian bagi masyarakat padepokan.
46 Pengalaman kematian pada setiap jasad tidak kemudian dapat diriwayatkan kepada mereka yang masih diperkenankan hidup. Kepercayaan terhadap siklus kehidupan yang terus berlangsung memberikan sebuah pengalaman bahwa terlahir kembali dengan jasad manusia merupakan kesempurnaan. Simbolisasi ayam tertentu merupakan bentuk sakralitas. Pemotongan hewan merupakan pembebasan terhadap ruh yang terjebak. Ruh yang telah terbebaskan dapat terus mengalami kesempurnaan kelahiran kembali. 6. Bentuk-bentuk Lain Bentuk lain untuk menandai kematian dalam bahasa Jawa, yaitu pejah dan moksa. Bentuk pejah digunakan dalam tuturan tingkat tutur kromo, pada umumnya, untuk referen noninsani, misalnya listrik dan binatang ternak. Karenanya dalan tuturan tingkat tutur ngoko, bentuk pejah dapat berkorespondensi dengan mati. Namun, sebuah kenyataan pula bahwa di beberapa wilayah Jawa Timur, Surabaya misalnya, bentuk ini juga digunakan untuk referen insani. Sementara itu, bentuk moksa digunakan sebagai konsep kematian yang tidak diketahui jasadnya. Dalam budaya lisan, moksa dialami oleh orang-orang yang melakukan perjalanan tapa brata dan menyepi di ruang-waktu tertentu. Aktivitas ini biasanya dilakukan di goa, gunung, atau pun pantai. Keadaan ini berlangsung dalam waktu lama, sehingga ketika dicari jejaknya, jasadnya pun telah hilang. Bentuk ini muncul dalam budaya lisan dan dipercayai sebagai lelaku kebatinan Jawa dan penyatuan diri dengan dzat Tuhan, sehingga wujudnya pun telah sirna. Simpulan Kematian bukanlah dukacita dan ratap tangis tidak terkendali. Perayaan kematian merupakan upaya kerelaan yang tenang, tidak demonstratif, dan lesu menyeramkan. Upaya melepaskan relasi fisik yang tidak lagi mungkin. Kedukaan mendalam tidak diperkenankan. Kemampuan masing-masing mereka yang berduka diarahkan untuk menyelesaikan setiap bagian ritus upacara. Setiap orang, gelem tandhang, menyibukkan diri. Relasi sosial formal terjalin antaranggota keluarga. Demikian pula hubungan keluarga padepokan dengan masyarakat luar yang turut hadir dalam upacara. Rangkaian upacara diharapkan membantu mengatasi dukacita kehilangan. Kerelaan secara sadar senantiasa diupayakan dalam setiap rangkaian kesenian. Geertz (2014) secara spesifik menyebut ritus selametan untuk merayakan dan menandai setiap upacara siklus kehidupan. Dalam situasi apapun seluruh keluarga, baik yang hidup maupun telah meninggal, mendapatkan berkat keselamatan Tuhan Semesta Alam. Pemanfaatan bentuk kromo dalam konsep kematian Jawa tercermin dalam bentuk seda, tilar (donya), kapundhut sowan, sare kondur, pejah, dan moksa. Kesemuanya itu dalam bahasa Indonesia disebut meninggal. Secara semantis, tidak satu pun dari bentuk-bentuk tersebut yang mengimplikasikan kesedihan atau pun ketiadaan eksistensi manusia. Kehidupan teruslah berjalan sekalipun keberadaan jasad telah sirna. Kegiatan sehari-hari dikerjakan sebagaimana adanya meskipun merasakan kehilangan mendalam. Hal ini melekat kuat pada masyarakat Tutup Ngisor. Mereka mempunyai makna mendasar atas konsep tersebut, yakni terlepasnya ruh dari jasad dan kebaikan ia yang meninggal tetap dihayati. Siklus kehidupan dan di dalamnya mengandung konsep kematian kemudian diriwayatkan untuk generasi keluarga.
47 Penghormatan kepada seseorang yang lebih tua diwarisi keluarga padepokan secara turuntemurun. Penghormatan itu berlaku kepada Bapak-Ibu, mertua, keluarga lelaki dan perempuan generasi ketiga, saudara yang lebih tua, guru yang benar, sesembahan yang utama, dan Tuhan semesta alam. Setiap orang menempatkan diri secara tepat dan selaras. Pemahaman etika kepada yang lebih tua (senioritas) berlaku dari generasi ke generasi. Generasi kini yang telah mengenal pendidikan formal baik di dalam maupun di luar Magelang bersedia kembali ke Tutup Ngisor pada perayaan-perayaan kematian Rama Yasa. Tidak ada alasan khusus. Mereka menganggap meninggal bukanlah proses terputusnya hubungan atau pun ketiadaan seseorang dalam keluarga. Kepercayaan terhadap ruh merupakan sesuatu yang kekal dan selalu ada setiap saat. Bahkan, pada momentum tertentu diyakini dapat hadir dalam ritual tradisi yang diselenggarakan. Hal inilah yang sekaligus menjadi penjelasan ketika salah seluruh anggota keluarga Padepokan Tjipta Boedaya yang mementaskan kesenian jathilan ritual menangis haru dan beberapa di antaranya mengalami trans (kesurupan). Penggunaan bentuk kromo lazim digunakan sebagai bentuk penghormatan situasi formal, baik terkait situasi maupun terkait suasana tuturan. Selain itu, penggunaan bentuk kromo juga lazim digunakan ketika membicarakan persoalan agama dan kebatinan Jawa (Poedjasoedarma, 1979:19). Hal ini semakin menguatkan bahwa kematian dalam pandangan Jawa merupakan siklus kehidupan yang tidak perlu ditakuti. Kematian merupakan siklus yang dihormati dan dimuliakan seperti fenomena nekrocultura masyarakat Tionghoa (lih. Pengantar St. Sunardi dalam Menemui Ajal: Etnografi Jawa tentang Kematian). Hal ini sejalan pula dengan pandangan metafisika dan falsafah Jawa, bahwa kematian merupakan bagian dari takdir, sedangkan takdir secara mandiri diistilahkan sebagai pepesthen ‘kepastian’, karsaning ngallah ‘kehendak Tuhan’, atau kodrat ‘hukum alam yang tidak bisa dilawan/diubah’ (lih. Endraswara, 2006:59-60). Demikianlah masyarakat Padepokan Tutup Ngisor memaknai kematian. Sebagaimana kelahiran dan perkawinan, kematian pun merupakan siklus hidup yang terjadi pada tiap indvidu yang bernyawa. Sementara itu, fenomena bahasa dan penjelasan keilmuan sesungguhnya sekadar mendeskripsikan fenomena budaya yang mewujud dalam bahasa masyarakat setempat. Selebihnya masyarakat adalah pemilik, pencipta, sekaligus pengguna produk budaya. Batas-batas ilmu dan pembahasannyalah sebagai penilai mutlak. Mereka dibebaskan mengeksplotasi manfaatnya. Sesungguhnya tiada kepemilikan segala sesuatu kecuali yang telah bermanfaat. Daftar Pustaka Aisyah, Fitra Prihantina Nur. 2008. “Tradisi Suran di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.” Skripsi. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. http://digilib.uinsuka.ac.id/2536/1/BAB%20I%2CV%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. Baedhowi. 2010. “Dinamisasi Ruang Antara Praktik Kosmologi dan Sufisme dalam Kesenian: Sebuah Model Kearifan Lokal Komunitas Budaya Lereng Merapi.” 10th ACIS Prosiding. Banjarmasin. Danesi, Marcel dan Paul Perron. Analyzing Cultures: An introduction and Handbook. USA: Indiana University Press.
48 Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala. Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Geertz, Clifford. 2014. “Siklus Slametan: Kematian.” Dalam Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu. Hadiwijoyo, Harun. 1983. Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Suradjinah dan I Wayan Dana. 2005. “Wayang Wong dalam Upacara Kesuburan pada Bulan Sura di Desa Tutup Ngisor Magelang.” Dalam Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni. Cetakan I. Yogyakarta: Galang Press. Kridalaksana. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Leavitt, John. 2006. “Linguistic Relativities.” Dalam Language, Culture, and Society: Key Topics in Linguistics Anthropology. UK: Cambridge University Press. Mulder, Niels. 1998. Misticism in Java: Ideology in Indonesia. Singapore: The Pepin Press. Poedjasoedarma, Soepomo, Th. Kundjana, dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Prawiroatmodjo. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Soemodihardjo, R. Dyatmiko (ed.). 2010. Sastra Jendra Hayuningrat: Analisa dan Pembahasan (The Great Philosophy that Make Peace in the Universe). Yogyakarta: Shira Media. Subagya, Y. Tri. 2005. Menemui Ajal: Etnografi Jawa tentang Kematian. Yogyakarta: Kepel Press. Yusuf, Iwan Awaluddin. 2005. Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas: Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Dukacita. Yogyakarta: UII Press.
49 Bahasa Anak: Indikator Perkembangan Anak Luita Aribowo Pendahuluan Manusia memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan kata lain manusia saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Interaksi antarmanusia memerlukan sarana atau media untuk berkomunikasi, dan yang paling banyak digunakan adalah bahasa. Hanya manusia yang mempunyai kemampuan untuk berbahasa dan berbicara. Kemampuan berbahasa merupakan komponen perilaku manusia yang paling luhur, karena ciri khas manusia adalah mencurahkan isi pikiran dan perasaannya melalui fungsi berbicara dan berbahasa (Kusumoputro, 1992:1). Bahasa merupakan media yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat melakukan aktivitasnya secara normal. Cassirer dalam Suriasumantri, (2001:171—173) mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum, yaitu makhluk yang selalu menggunakan simbol atau bahasa setiap saat, termasuk dalam kegiatan berpikirnya. Manusia dapat menurunkan dan membagi budayanya kepada generasi berikut melalui bahasa. Melalui bahasa ini pulalah manusia berbeda dengan makhluk lainnya (Bloomfield, 1939:15). Bahkan, ada filosofi yang mengatakan, bahasa merupakan kehidupan dan kekuatan manusia (Fromkin dan Rodman, 1983:1). Bahasa mengembangkan cakrawala anak-anak. Lewat bahasa, mereka dapat menghidupkan kembali masa lalu, mengantisipasi masa depan dan mengkomunikasikan peristiwa-peristiwa kepada orang lain. Namun, karena pikiran anak sangat cepat berkembang, dia belum memiliki sifat-sifat logis yang koheren. Ini terlihat dari penggunaan kata tidak sebagai kelas objek yang benar, melainkan hanya sebagai pra-konsepsi. Psikolog percaya, kalau anak-anak belajar berpikir secara lebih logis, ketika mereka menguasai bahasa. Pandangan ini menyatakan, bahasa menyediakan bagi anak-anak, kategori-kategori konseptual (Crain, 2007:181—182). Banyak peneliti memusatkan perhatian pada perkembangan anak karena pemerolehan bahasa anak merupakan salah satu indikator penting untuk perkembangan anak. Mereka menyatakan saat seorang anak tersenyum untuk menyatakan “ah-goo” dengan babling, merupakan petunjuk penting perkembangan bahasa lebih lanjut. Intervensi merangsang kemampuan bahasa merupakan usaha mengurangi munculnya gangguan bahasa pada anak, berkaitan dengan kegagalan sekolah dan lingkungan (The New York Times, 20 Juni 2007). Peneliti lain, meneliti faktor pendorong perkembangan bahasa menemukan, anak-anak dengan orangtua sering berbicara dengan mereka, mempercepat perkembangan ketrampilan bahasa. Pengukuran perkembangan anak biasanya menekankan pada ketrampilan visual atau motoris. Namun, ada perubahan, yang menekankan pengenalan ketrampilan linguistik merupakan cara melihat kemampuan kognitif anak. Caranya, perkembangan bahasa anak diteliti bersamaan dengan pertumbuhan fisik dan pemerolehan ketrampilan motoris seperti
50 berguling, berjalan, menoleh dan memasukkan kayu dalam lubang (The New York Times, 20 Juni 2007). Peneliti lain, meneliti faktor pendorong perkembangan bahasa menemukan, anak-anak dengan orangtua sering berbicara dengan mereka, mempercepat perkembangan ketrampilan bahasa. Pengukuran perkembangan anak biasanya menekankan pada ketrampilan visual atau motoris. Namun, ada perubahan, yang menekankan pengenalan ketrampilan linguistik merupakan cara melihat kemampuan kognitif anak. Caranya, perkembangan bahasa anak diteliti bersamaan dengan pertumbuhan fisik dan pemerolehan ketrampilan motoris seperti berguling, berjalan, menoleh dan memasukkan kayu dalam lubang (The New York Times, 20 Juni 2007). Bahasa dan Perkembangan Anak Banyak ahli menyebut usia 0—5 tahun merupakan usia emas (golden age), fase yang sangat penting bagi pengembangan kecerdasan, karakter, dan kepribadian anak. Beberapa penelitian membuktikan di rentang usia ini kemampuan balita dalam menyerap informasi mencapai tingkat tertinggi, yaitu 80%. Usia emas ini bisa dikatakan adalah usia yang sangat menentukan potensi anak. Masa ini, perkembangan sel otak anak sedang berkembang dengan sangat pesat, sehingga mampu menyerap informasi secara maksimal, dibanding ketika dewasa (Nyata, Juli 2007, halaman 32; Jawa Pos, 29 Juni 2007, halaman Jawa Timur 6; Suyanto, 2005:6). Menurut dr. Emy, SpA (Nyata, 1 Juli 2007), di usia emas ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pertumbuhan anak yang sempurna, yaitu: nutrisi, simulasi, dan imunisasi. Nutrisi diibaratkan bahan bakar untuk kerja otak, dan nutrisi harus sangat bagus di usia 0—6 bulan, yang merupakan masa tumbuh kembang otak bayi paling pesat dalam rentang 5 tahun. Masa ini diharapkan bayi mengkonsumsi ASI (Air Susu Ibu), atau susu formula tanpa makanan tambahan, karena komponen utama pembentuk otak adalah lemak dan protein yang berfungsi sebagai bahan baku membentuk sel-sel saraf baru dalam otak, yang banyak terdapat pada susu. Simulasi diberikan dengan banyak cara untuk merangsang kecerdasan, misal memperdengarkan musik, sering mengajak bicara, atau hal positif lainnya. Imunisasi diperlukan untuk menjaga daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik, tumbuh kembang anak pasti akan lebih baik. Carla Shatz dari University of California, Amerika Serikat dalam Lazuardi (2001:161) menemukan dua tahap perkembangan otak. Tahap pertama diatur oleh faktor genetik saja dan langsung harus berfungsi pada waktu bayi lahir, yaitu fungsi untuk pernafasan, denyut jantung, pengaturan suhu dan refleks primer. Perkembangan tahap kedua diatur oleh faktor genetik dan lingkungan (nature and nurture) dan mempunyai masa kerja yang relatif singkat, sebagian besar berlangsung selama masa balita. Perkembangan tahap kedua, menurut Shatz dalam Lazuardi (2001:162), disebut masa kritis perkembangan, critical period atau windows of learning, masa ini sangat membutuhkan stimulasi spesifik. Stimulasi sangat penting, karena tanpa stimulasi saraf tersebut akan mati. Keadaan ini sesuai dengan prinsip kerja neuron otak, yaitu Use It or Lose It. Ada lima hal dalam critical period atau windows of learning, yang harus diperhatikan menurut Shatz dalam Lazuardi (2001:162—165), yaitu: pertama, penglihatan: ketajaman penglihatan
51 berlangsung dalam empat tahun pertama kehidupan, di tahun kedua dan tahun ketiga berkembang penglihatan binokular. Kedua, perasaan/emosi: sejak usia 2 bulan sampai sekitar empat tahun berkembang perasaan stres, kepuasan, disusul perasaan girang, sedih dan sebagainya. Iri dan empati berkembang pada usia tiga tahun. Ketiga, bahasa: sejak dalam kandungan bayi sudah mengenali suara ibunya. Setelah lahir akan berkembang pengertian dan komunikasi verbal. Perkembangan bahasa anak sangat tergantung dari banyaknya mendengar kata-kata, dan penambahan kosakata berlangsung terus seumur hidup. Balita usia dua tahun belum dapat berbicara dengan baik (kalimat dua kata), harus dilakukan penilaian (assessmen), berusaha melihat dan menemukan gejala retardasi mental, cerebral palsy, kelainan pendengaran, autisme, disfasia perkembangan atau calon disleksia. Keempat, gerakan: gerakan fetal dimulai usia tujuh minggu dengan puncaknya antara 15—17 minggu, disertai timbulnya program gerakan di otak. Masa kritis perkembangan gerakan berlangsung sejak lahir sampai usia 2 tahun, membentuk program di serebelum, yaitu program mengontrol sikap dan gerakan (functional circuits). Kelima, musik: masa kritis perkembangan untuk musik antara usia 3—10 tahun. Plato menyatakan musik adalah alat potensial dalam pendidikan, yang diuji dan disimpulkan Gordon Shaw, “Music trains the brain for higher forms of thinking and ability to reason.” Hal ini disebut Mozart Effect, yaitu belajar musik atau mendengar musik sejak usia dini, membina perkembangan di bidang visuospasial, matematika dan logika. Stimulasi bahasa diperlukan anak, baik mengajak bicara maupun membacakan cerita dongeng yang akan merangsang kemampuan berbahasa. Perkembangan setiap anak berbeda, masa toleransi untuk setiap sesi perkembangan anak sekitar 6 bulan (Seputar Indonesia, 7 Agustus 2007) dan seringkali terjadi penyimpangan di sana sini, menurut Clara dan William Stern dalam Zulkifli (2005:35). Penelitian pemerolehan dan perkembangan bahasa pertama mengacu pada pertanyaan utama: bagaimana dan mengapa anak-anak sukses dalam memperoleh bahasa. Pusat perhatian peneliti pada pemerolehan kaidah dan struktur, termasuk tata bahasa, kosakata, dan sistem bunyi, serta proses anak-anak mendapatkan pengetahuan tentang cara memakai bahasa secara tepat dalam situasi yang berbeda. Selain itu, usia prasekolah menunjukkan perkembangan paling cepat, karena struktur bahasa dan ketrampilan berbahasa oral berkembang pada masa ini, meski untuk memperoleh pola intonasi dan aspek komunikasi yang lain masih berkembang terus selama kehidupan (Wray, dkk., 2004:39 dan 43). Penelitian pemerolehan bunyi atau fonem pada bahasa Indonesia berbeda dengan pemerolehan fonem pada bahasa Inggris, karena perbedaan menonjol bahasa Inggris, kebanyakan menggunakan kata bersuku kata satu (milk, see, eat), sedang bahasa Indonesia kebanyakan bersuku kata dua (susu, lihat, makan) menurut Dardjowidjojo (1991:77). Pengucapan pada anak dibatasi oleh kemampuan neurofisiologisnya, maka muncul pertanyaan apakah proses pemerolehan bahasa Indonesia juga mengikuti langkah-langkah yang sama (Dardjowidjojo: 1991:78). Penelitian bahasa anak dirintis oleh ahli filsafat, ahli fisika, ahli psikologi dan ahli pendidikan. Minat penelitian bahasa anak dan perkembanganya dimulai oleh iklim positivisme dan evolusionisme, oleh teori evolusi Darwin. Menurut Oksaar (1983:5—6), seorang yang pertama merekam perkembangan bahasa anak adalah ahli biologi Jerman,
52 Tiedemann pada tahun 1787, dengan Beobachtungen über die Entwicklung der Seelenfähigkeiten bie Kindern (Observations on the Developmental of Mental Abilities of Children). Schultze, seorang ahli filsafat dan pendidikan Jermah menulis Die Sprache des Kindes (The Language of The Child) di tahun 1880, mengembangkan hipotesis pemerolehan bunyi, berdasar prinsip usaha paling minimal. Menurut Schultze, pemerolehan bunyi mulai dari artikulasi bunyi yang memerlukan usaha fisiologis minimal. Pemerolehan vokal bahasa Jerman, sebagai contoh, mulai dengan Ä, A, U, O dan bergerak secara bertahap ke bunyi yang memerlukan usaha besar: E, I, Ö, dan Ü (Oksaar, 1983:5). Taine di tahun 1876 dalam Oksaar (1983:5), lewat observasi terhadap anaknya dari lahir sampai usia 16 bulan, menyimpulkan beberapa hal, yaitu: awalnya seorang anak menggerakkan organ bunyi secara spontan seperti dia menggerakan tangan dan kakinya. Setelah itu berusaha menguasai bunyi dengan prinsip mencoba dari kesalahan (trial and error) dalam Oksaar (1983:5). Penelitian bahasa anak yang dimulai oleh ahli pendidikan, yaitu Pérez dengan penelitian perkembangan sampai usia 3 tahun, di tahun 1878 dan penelitian Lindner dengan perkembangan bahasa anak di tahun 1882. Kemudian Franke di tahun 1889, meneliti hubungan paralel antara pembelajaran bahasa anak dengan perkembangan bahasa manusia (Oksaar, 1983:6). Oksaar (1983:6) memaparkan bahwa linguis pertama yang meneliti bahasa anak, seorang Indo-Eropa, Schleicher dan Jan Baudoin de Courtenay. Schleicher, mengobservasi fonetik anak, sayangnya pada saat itu fonetik belum berkembang. Baudoin de Courtenay di tahun 1870, mengamati bahasa anak Polandia. Linguis lain Egger (1879), dan Deville (1890-1891) dan ahli fonetis Grammont (1902). Penelitian pertama yang mengamati perkembangan bahasa seorang anak secara sistematis, dilakukan oleh Wilhelm Preyer dari Jena, Jerman. Observasi harian dilakukan Preyer terhadap anaknya mulai dari lahir sampai dengan usia tiga tahun, mengamati perkembangan motorik sebagai perkembangan psikologis, utamanya perkembangan pengertian, memori dan kehendak. Preyer dalam bukunya Die Seele des Kindes (The Mind of The Child) di tahun 1892, memberikan sejumlah besar interpretasi data (Oksaar, 1983:6). Studi pemerolehan bahasa ternyata bukan hanya dilakukan terhadap anak normal, tetapi juga pada anak yang tidak normal, tuli misalnya, seperti yang dilakukan oleh M.M. Braun Lamesch, E. Espert, L. Goldsmit (Pateda, 1990:43). Penelitian Nelson (1973) dikutip dari Bernstein dan Tiegerman (1985:76) dalam Purwo (1991:159) menyingkapkan bahwa tindakan orangtua yang suka mencela akan menghambat proses penguasaan bahasa anak. Menurut Pham (1994) banyak kajian pemerolehan bahasa anak dilakukan dengan cara observasi di rumah untuk mendapat data dari interaksi alamiah yang terjadi antara orangtua-anak, dilakukan oleh Brown (1973), Whitehurst dan Valdes-Menchaca (1988), dan Pham (1989). Gaya interaksi orangtua merupakan hal penting menurut Bloom, Lightbown dan Hood (1973) dalam Pham (1994).
53 Della Corte, Benedict dan Klein (1978) dalam Pham (1994), memakai korelasi data untuk menjelaskan pengaruh gaya ujaran orangtua. Lieven (1978) dalam Pham (1994) sepakat dengan Della Corte, menemukan perbedaan pemerolehan bahasa dan pola interaksi pengasuh yang menyebabkan perbedaan gaya pemerolehan. Fantini (1974) dalam Pham (1994), menemukan gaya ujaran anak ditandai dengan pola.konsistensi modifikasi linguistik dalam konteks sosial dan merefleksikan interaksi sosial antara anak dan penutur lain. Teori-teori Pemerolehan Bahasa Bila kita mengamati proses perkembangan bahasa anak, proses seorang anak di dalam mempelajari bahasa ibunya—dari saat setelah lahir ke saat mengeluarkan kata-kata pertamanya (sekitar satu tahun), ke saat mengeluarkan kalimat pertamanya, ke saat memasuki bangku sekolah dasar- akan disaksikan kisah petualangan, kisah pergumulan anak yang “jatuh bangun” berkali-kali (Purwo, 1991:157). Mereka tidak pasif, namun aktif dengan bersimbah peluh berusaha menguasai bahasa. Mereka penjelajah yang kreatif, penelusur seluk beluk yang serba baru, dan penggali temuan-temuan baru. Hampir seluruh waktunya pada masa-masa pra-sekolah mereka habiskan semata-mata untuk bergelut dengan bahasa. Mereka tidak sekedar meniru, mereka akan meniru, kalau isinya memang dapat masuk di akal mereka, sesuai dengan kemampuan mereka. Namun tidak jarang orang tua dengan niat baik membantu anak – memaksakan kepada anak dengan cara “orang tua”, tanpa mempedulikan cara “anak” dan tingkat perkembangannya (Purwo, 191:158). 1. Teori Behavioris Penganut aliran behavioris, menekankan bahasa merupakan bagian dasar perilaku manusia. Behavioris memusatkan pada aspek perilaku linguistik yang dapat diamati berdasarkan peristiwa di lingkungan manusia (Brown, 1980:27; Brown, 2000:22). Contoh dialog dibawah ini antara orangtua dan anaknya (2,5 tahun) dalam Purwo (1991:158) dari Braine 1971 dikutip dari Bernstein dan Tigerman (1985:76) menunjukkan gigihnya usaha orang tua memaksakan “niat mendidiknya’ dan betapa sia-sia hasil yang diraih. [context: breakfast table] Child : Want other one spoon, Daddy Father : You mean, you want THE OTHER SPOON. Child : Yes, I want other one spoon, please, Daddy. Father : Can you say “the other spoon?” Child : Other... one... spoon. Father : Say “other” Chil : Other Father : Spoon Child : Other... spoon. Now give me the other one spoon. Contoh lain menunjukkan kalau belum saatnya, tidak mungkin kesalahan bahasa anak dibetulkan dalam Purwo (1991:158) dari Mc Neill (1966) yang dikutip dari Bernstein dan Tiegerman (1985:76). Bila waktunya sudah tiba, anak memakai caranya sendiri untuk sampai pada tahap “sama dengan bahasa orang dewasa”. Child : Nobody don’t like me. Mother : No say “Nobody likes me” Child : Nobody don’t like me
54 Mother : No say “Nobody likes me” Child : Nobody don’t like me (sesudah mengulangi dialog tujuh kali, sang ibu akhirnya berkata) Mother : No! Now listen carefully! Say, “Nobody... likes... me!” Child : Oh! Nobody don’t likes me! Anak selalu berusaha menciptakan kembali hal yang sudah didengar atau didapat dari ujaran orang dewasa di sekitarnya. Sesuatu yang “diciptakan” sendiri akan lebih diingat atau membantu untuk diingat. Fenomena ini disebut dengan “fis phenomenon.” Fenomena ini merupakan ketidaksesuaian antara yang dihasilkan anak dengan yang dirasakan, saat anak menggambarkan ikan mas dalam mangkuk dengan “fis,” tapi saat seorang dewasa mengujarkan “fis,” dia memprotes bukan “fis”, tapi “fis” (Baker dan Mcenery, 2007:43). Menurut Dardjowidjojo (2000:78), fenomena ini juga dijumpai pada Echa, dengan fenomena dadah. Echa menyebut gajah dengan dadah, namun saat orang lain mengujarkan dadah, Echa menggeleng dengan menunjukkan bukan dadah tapi dadah. 2. Teori Mentalis Istilah nativis, diturunkan dari tuntutan dasar bahwa pemerolehan bahasa ditentukan pembawaan lahir (innate), manusia dilahirkan dengan kapasitas genetik untuk memperoleh bahasa yang ada di sekitar. Penganut teori ini berusaha menjawab kelemahan atau ketidakmampuan behavioris menjelaskan tentang kematangan biologis anak dalam memperoleh bahasa (Brown, 1980:27; Brown, 2000:22). Kesemestaan bahasa sangat berkaitan erat dengan pemerolehan bahasa. Seorang anak yang baru lahir akan dapat menguasai bahasa manapun yang disuguhkan padanya (yang ada di lingkungannya) dengan keakuratan seperti penutur asli (Dardjowidjojo, 1991:67), karena hal ini didukung oleh LAD (Language Acquisition Device atau Piranti Pemerolehan Bahasa), yaitu: (1) setiap manusia dilahirkan dengan LAD yang memungkinkan seorang bayi menguasai bahasa mana pun’ (2) bahasa memiliki unsur-unsur universal yang mengakibatkan manusia bisa menguasainya; (3) lingkungan memberikan andil dalam proses pemerolehan bahasa ini. 3. Teori Kognitif Penganut teori kognitif ini, Jean Piaget, menyatakan bahwa bahasa merupakan satu bagian dari perkembangan kognitif. Meskipun tidak pernah menulis secara khusus tentang teori pemerolehan bahasa, Piaget berminat untuk mengkaji perkembangan kognitif merangkumi pemerolehan bahasa. Menurut teori ini, yang didasarkan pada jagat kognitif, bahasa diperoleh atau berkembang berdasarkan struktur kognitif sensori motor. Struktur-struktur ini diperoleh anak-anak melalui aksi dan interaksinya dengan benda-benda dan orang-orang di sekitarnya (Simanjuntak, 1987:175). Sinclair-de Zwart (1973 dalam Simanjuntak, 1987:176), berdasarkan pandangan Piaget, merumuskan tahap-tahap pemerolehan bahasa sebagai berikut: (1) anak-anak memilh suatu gabungan bunyi-bunyi yang pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan suatu pola aksi;
55 (2) bila gabungan bunyi-bunyi pendek ini dipahami, maka anak-anak akan memakai bunyi yang sama, namun dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan bentuk fonetik orang dewasa. Dalam pola aksi ini terjalin tiga unsur: agen, aksi, dan penderita; (3) setelah tahap kedua muncul fungsi-fungsi tatabahasa yang pertama yaitu subjek– predikat dan objek-aksi, yang menghasilkan struktur kata subjek-predikat-objek. Simpulan Seorang anak berkembang sesuai dengan usianya, perkembangan ini bisa dilihat dari pemerolehen bahasa yang dikuasai. Seorang anak yang sudah menguasai bunyi, kata, kalimat mengalami perkembangan yang sehat bila sesuai dengan usianya. Kalau tidak sesuai dengan usia, bisa dikatakan mengalami gangguan perkembangan. Anak dengan kebutuhan khusus misalnya, akan mengalami gangguan pemerolehan bahasa karena perkembangan dirinya juga terganggu. Maka harus dilakukan intervensi dengan terapi bahasa atau terapi linguistik. Bila anak sehat dan normal, pemerolehan bahasa dan perkembangan anak berjalan bersamaaan. Daftar Pustaka Baker, Paul dan Tony Mcenery. 2007. “Phonological and Lexical Development.” Dalam Language Acquisition, http://bowlandfiles.lancs.ac.uk/chimp/langac/LECTURE5/5home.htm. Bloomfield, Leonard. 1939. Linguistic Aspect of Science. Canada: The University of Toronto Press. Brown, Douglas H. 1980. Principles of Language Learning and Teaching. Prentice-Hall, Inc. ________. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. 4th edition. San Fransisco: San Fransisco State University. Crain, William. 2007. Teori Perkembangan, Konsep, dan Aplikasi, diterjemahkan oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dardjowidjojo, Soenjono. 1991. “Pemerolehan Fonologi dan Semantik pada Anak: Kaitannya dengan Penderita Afasia.” Dalam Linguistik Neurologi PELLBA 4, disunting oleh Soenjono Dardjowidjojo. Yogyakarta: Kanisius. ________. 2000. ECHA Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta:Grasindo ________. 2003. Psikolinguistik, Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. Darmojuwono, Setiawati dan Kushartanti. 2005. “Aspek Kognitif Bahasa.” Dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, disunting oleh Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. Jakarta: Gramedia.
56 Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1983. An Introduction to Language. USA: Holt, Rinehart and Winston. Gardner, Howard. 2003. Multiple Intelegences, Kecerdasan Majemuk: Teori dalam Praktek, diterjemahkan oleh Alexander Sindoro. Batam: Interaksara. Jamaris, Martini. 2006. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-kanak. Jakarta: Grasindo. “Jangan Sia-siakan Usia Emasnya.” 2007. “Jangan Sia-siakan Usia Emasnya, Golden Age (0-5 tahun),” NYATA, 1 Juli. Kusumoputro, Sidiarto. 1991. “Berbagai Gangguan Bahasa pada Orang Dewasa.” Dalam Linguistik Neurologi PELLBA 4, disunting oleh Soenjono Dardjowidjojo. Yogyakarta: Kanisius Lazuardi, Samuel. 1991. “Perkembangan Otak Anak Sesuai dengan Kemampuan Bahasanya.” Dalam Linguistik Neurologi PELLBA 4, disunting oleh Soenjono Dardjowidjojo. Yogyakarta: Kanisius. Markam, Soemarmo. 1991. “Hubungan Fungsi Otak dan Kemampuan Berbahasa pada Orang Dewasa.” Dalam Linguistik Neurologi PELLBA 4, disunting oleh Soenjono Dardjowidjojo. Yogyakarta: Kanisius. “Mencermati Pendidikan Anak.” 2007. “Mencermati Pendidikan Anak Usia Dini, Anggaran Minim, Belum Jadi Prioritas,” Jawa Pos, 29 Juni 2007. McKay, Steve. 2007. Biological Rationalism. Disertasi. The Faculty of Graduate Studies and Research McGill University, Montreal. https://webspace.utexas.edu/deverj/personal/test/biologicalrationalism.pdf. Oksaar, Els. 1983. Language Acquisition in The Early Years, An Introduction to Paedolinguistics, diterjemahkan oleh Katherine Turfler. St. Martin’s Press, Inc. Pham, Lee. 1994. “Infant Dual Language Acquisition Revisited.” The Journal of Educational Issues of Language Minority Students 14:185-210, www.ncela.gwu.edu/pubs/jeilms/vol14/pham.html. Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Ende: Nusa Indah. Purwo, Bambang Kaswanti. 1991. “Perkembangan Bahasa Anak: Pragmatik dan Tata Bahasa.” Dalam Linguistik Neurologi PELLBA 4, disunting oleh Soenjono Dardjowidjojo. Yogyakarta: Kanisius. “Stimulasi Bahasa.” 2007 “Stimulasi Bahasa Bagi Si Buah Hati,” Seputar Indonesia, 7 Agustus.
57 Bahasa dan Identitas Etnik Bali di Media Sosial Ni Wayan Sartini Pendahuluan Istilah etnik atau etnisitas berasal dari kata bahasa Yunani ethnos yang berarti ‘bangsa’ dan sebuah bangsa didefinisikan berdasarkan kesamaan sejarah, kesamaan tradisi, dan kesamaan bahasa. Karena masing-masing punya sejarah, budaya, dan bahasa yang terkait dengan kelompok masyarakat tertentu, dapat dikatakan bahwa masing-masing dari kita mempunyai identitas etnis, dan identitas ini seringkali digunakan untuk memberikan label pada diri kita atau sekelompok masyarakat (Singh, 1999). Identitas, baik identitas personal, identitas sosial, maupun identitas institusional, adalah sesuatu yang secara terus-menerus dibentuk dan dinegosiasikan sepanjang kehidupan lewat interaksi dengan orang lain. Salah satu cara untuk membentuk identitas, atau perubahan dan pergeseran identitas, adalah lewat bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting bagi pembentukan identitas individu dan identitas sosial. Unsur-unsur bahasa yang dapat dengan jelas menunjukkan identitas adalah pada level fonologi (aksen), variasi gramatika, dan pilihan-pilihan kata (diksi). Berbicara tentang identitas (identity), ada dua konsep tentang identitas, yaitu yang disebut strong identity (identity as structurally determined and durable) and weak identity (identity as fluid, impermanent, and context-dependent) (Grad dan Martin Rojo, 2008 dalam Sharafian, 2017). Menurut Fishman (1991), bahasa dan identitas budaya berkaitan erat, oleh sebab itu bahasa dapat mencerminkan nilai-nilai budaya etnik yang diekspresikan lewat artefak-artefak budayanya. Seperti yang telah disebutkan di atas, etnik merupakan identitas yang dapat dikenali dengan berbagai tanda dan salah satunya adalah bahasa. Dibandingkan dengan cara-cara yang lain, pemarkah-pemarkah dalam ujaran-ujaran atau tulisan suatu kelompok etnik menjadi cara yang lebih mudah untuk mengenali identitas suatu etnik. Dalam masyarakat yang multikultur, multietnik, dan multilingual seperti Indonesia, setiap etniknya memiliki ciri khas dan keunikan budaya, adat, tradisi dan bahasa. Ciri-ciri dan keunikan bahasa suatu etnik akan terbawa ketika penutur tersebut berinteraksi dan berkomunikasi dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa adalah salah satu pemarkah etnis yang signifikan. Begitu eratnya bahasa dalam merepresentasikan identitas etnik, tulisan ini membahas dan mengidentifikasi identitas etnik, khususnya etnik Bali, dalam media sosial. Identitas etnik yang dibahas adalah dalam hal pemilihan diksi yang berkaitan dengan stratifikasi sosial dalam masyarakat Bali. Dalam beberapa tahun belakangan ini, media sosial menjadi tempat untuk berkomunikasi dan mencurahkan perasaan penggunanya (netizen). Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 130 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial, khususnya Facebook. Media sosial Facebook digunakan oleh berbagai etnik di seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia untuk berbagai kepentingan. Untuk itu, penggunaan bahasa dalam
58 media sosial Facebook ini dapat mengonstruksi identitas etnik penggunanya, khususnya stratifikasi sosial di antara pengguna Facebook. Dalam bahasa media sosial ini terlihat jelas pemarkah yang dapat menidentifikasi dan mengkonstruksi identitas suatu etnik. Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi etnik dan mengonstruksi identitas etnik Bali dari penggunaan bahasa dalam media sosial Facebook. Media sosial Facebook dipilih karena media sosial ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dari berbagai etnik khususnya etnik Bali. Facebook telah merambah berbagai lapisan masyarakat Bali mulai dari ibu rumah tangga, pelajar, pegawai, karyawan, buruh, sampai pada pejabat-pejabat tinggi. Data diambil dari komunikasi yang dilakukan para pengguna Facebook bulan Juni dan bulan Desember 2018. Data tersebut kemudian diklasifikasikan dan diidentifikasikan untuk diksi-diksi sebagai pemarkah etnis dan stratifikasi sosial penggunanya. Tinjauan Pustaka Hubungan bahasa dan etnik telah banyak diteliti dan dibahas oleh para sarjana, baik dalam bidang budaya maupun bidang linguistik khususnya sosiolinguistik. Konsep etnik pun dimaknai bermacam-macam dari berbagai bidang ilmu. Para ahli ilmu sosial menganalogikan kelompok etnik sebagai sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sifat kebudayaan, misalnya bahasa, adat istiadat, perilaku budaya, karakteristik budaya serta sejarah (Liliweri, 2001:334). Pengertian kelompok etnis dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengertian psikologis dan pengertian kognitif. Barth (1969) mengatakan bahwa secara psikologis, kelompok etnis diartikan sebagai individu-individu yang menjadi kelompok etnis tertentu yang diperlakukan dan mengizinkan perilakunya diamati dan dinilai sebagai etnis tertentu. Turner (1978a) mengatakan bahwa secara kognitif kelompok sosial adalah dua orang atau lebih yang memiliki identifikasi sosial dan merasa bahwa dirinya menjadi anggota kategori sosial yang sama. Ada beberapa tipologi situasi hubungan etnolinguistik yaitu paradigma pilihan bahasa, paradigma akomodasi, dan paradigma asimilasi. Paradigma pilihan bahasa terdapat pada masyarakat multietnis di mana kelompok etnik yang banyak saling berhubungan dalam kerangka sosial yang sama. Dalam paradigma akomodasi, kelompok tertentu dianggap bilingual. Dalam paradigma asimilasi, kelompok tertentu bisa dipengaruhi oleh etnis yang lain. Untuk mengidentifikasi identitas etnik (indexing ethnic identity), Fought (2006) meneliti kelompok etnik Latino dan menemukan sebanyak sepuluh kode-kode yang berbeda yang ditunjukkan oleh anggota kelompok antara lain penggunaan bahasa Inggris standar, variasi regional dari bahasa Spanyol, code-switching dan sebagainya. Dalam riset-riset hubungan antara bahasa dan etnisitas, sumber-sumber berikut ini biasanya muncul sebagai faktor penting dalam mengkonstruksi identitas etnik (Fought, 2006). (1) A heritage language. Ada banyak studi yang berfokus pada peran penting yang mengatakan bahasa yang terpisah yang terkait dengan identitas etnik. Bahasa tertentu yang terkait dengan identitas etnik tersebut dapat menjelaskan suatu grup etnis dan rasa bangga terhadap etnisnya. Dalam ideologi bahasa daerah, berbicara dalam sebuah bahasa menjadikannya anggota dari sebuah kelompok etnik.
59 (2) Code-switching. Penggunaan code-switching sebagai cara untuk mengidentifikasi identitas khusus etnik dan keuntungannya adalah karena alih kode itu dapat menjelaskan multiidentitas. (3) Specific linguistics features. Fitur-fitur linguistik dengan suatu variasi adalah elemen kunci dalam mengidentifikasi dan mereproduksi suatu identitas etnik. Salah satu isu menarik yang timbul dalam mencari hubungan etnisitas dan bahasa adalah perbedaan tipe-tipe variabel (fonetik, sintaktik, atau leksikal) memainkan peran yang penting dalam mengkonstruksi identitas individu atau kelompok. (4) Suprasegemental features. Untuk beberapa variasi etnik, fitur-fitur suprasegmental adalah bagian untuk menandai identitas etnik. (5) Fitur-fitur wacana. Cara-cara penggunaan bahasa mungkin penting untuk performance dan pengakuan dari identitas etnik Di samping sumber-sumber tersebut di atas, identitas etnik dapat dikonstruksi lewat nama dan praktik penamaan, sistem sapaan, dan ritual-ritual (Tornborrow dalam Thomas, 2006). Salah satu sarana linguistik yang paling banyak dan paling menyolok penggunaannya untuk membentuk identitas adalah dengan memberi dan menggunakan nama. Nama membuat seorang individu berbeda dari individu yang lain. Sistem sapaan suatu bahasa juga dapat menjadi pemarkah untuk menentukan identitas etnik. Dalam bahasa yang mengandung berbagai jenis penanda status untuk sapaan seorang penutur harus belajar untuk menempatkan atau memposisikan diri. Hasil dan Pembahasan Aksen dan dialek seseorang akan menunjukkan banyak hal tentang latar belakang mereka. Aksen dapat menunjukkan dari mana seseorang berasal dan tidak hanya itu saja, aksen juga dapat menunjukkan kelas sosial dan jenis pendidikan yang pernah mereka dapatkan. Dalam tulisan ini tidak dibahas tentang aksen sebagai pemarkah etnik Bali, tetapi yang dibahas sebagai pemarkah etnik adalah diksi-diksi khusus, sapaan, dan penamaan. Jadi, bahasa dan pembentukan identitas personal masyarakat Bali dapat dilihat dari nama dan praktik penamaan serta sistem sapaan. Nama-nama yang digunakan masyarakat Bali dapat menunjukkan identitas personal. Masyarakat Bali memiliki struktur masyarakat yang sangat kompleks yang terdiri atas empat warna sehingga nama dapat menjadi penanda identitas personal. Begitu juga sistem sapaan yang digunakan, dapat menjadi identitas personal dan sosial karena sapaan satu kasta dengan kasta yang lainnya sangat berbeda. Di samping identitas personal, bahasa dapat menunjukkan identitas kelompok. Saat ini masyarakat Bali mulai rajin mencari identitas kelompok dengan menelusuri asal-muasal nenek moyang mereka. Identitas kelompok ini dapat dilihat dari penggunaan kode-kode untuk kelompok dalam (ingroup) dan kelompok luar (outgroup), baik dalam komunikasi langsung maupun komunikasi yang dilakukan di media sosial. Pilihan kata atau diksi merupakan salah satu penanda etnis. Begitu juga halnya dengan pilihan kata di media sosial dapat menjadi pemarkah etnik. Diksi-diksi berikut ini adalah pilihan kata yang digunakan pengguna Facebook sebagai identitas masyarakat Bali. Data (1) Postingan percakapan (chatting) Ketut Wandia di Balfast, North Ireland, UK 2011 di Facebook tanggal 24 Juni 2017 Riastini Ratnasari : Wahhh daddy masih muda disini
60 Ketut Wandia (KW) : Thaks Cantikkk... Deva Angga : What a gogeous moment..Love that city. You looked so awesome sir Ketut Wandia. KW : Thanks Angga for the compliment. Wish everything is running well you and your fam. Rahajeng. Deva Angga : Many thanks Bapak, rahajeng. Ari Kusumayanti : Gantengnya bapakku KW : Thanks Ari for the compliment. All the best with you and the fam. Rahajeng, Ari K : Salam super bapakku. Ketut Sukadana : wow mantap, ganteng san bli Tut.., KW : Suksma Pak Ketut Bgs. Niki foto th 2011 ring Belfast Irlandia Utara Inggris. Salam sareng sami. Rahajeng. Kirab Nyoman : You look so gorgeous, Sir, KW : Thanks Kirab for such big...big compliment. All the best with your career and fam. Rahajeng. Kiran Nyoman : I hope I can be like you, Sir. A humble yet succsessful person. Putu Sukadana : Mimih kereen pak, kapan malih merike pak, tiang ikuuuut, xixixii KW : Kumpulang dolare/Uerone malu Putu..lan tyang dados guidene. Tapi guide feenya hrs besar ya Adi Bgs...he hehe, Rahajeng. Dewi Adnyani : Tentunya pengalaman yg sangat berkesan nggih pak.Luar biasa. KW : Inggih Ibuk Dewi Cantikkk. Sangat mengesankan. Salam sareng sami Buk Dewi. Enjoy the long holiday. Rahajeng. Ketut Jaya : Mantap...pak tut...rahajeng...!! KW : Suksma Ketut Bagus. Nika foto kenangan saat tyang ke Belfast, Irlandia Utara 2011 mengikuti konferensi. Selamat berlibur. Rahajeng. Ketut Jaya : Inggih selamat mewali...pak tut...rahajeng Made Sugiri : Good-luck pak KW : Thanks a lot Sugiri. All the best with your business and family. Rahajeng. Budi Adnyana : Awesome pak tut wandia...miss the way you teach me KW : Hi...Budi..It’s great to hear from you. How are you going? Hope you are always staying safe and well. Thaks Budi for your compliment. Rahajeng. Budi A : I am doing well pak tut, hope same to you too, always safe and well. Rahajeng. Dewi Yulianti : Awesome Pak Dosen. KW : Thanks Buk Dewi for the compliment. All the best with your routines. Have a pleasent long holiday. Rahajeng. Data (1) merupakan percakapan di media sosial Facebook ketika seorang yang bernama Ketut Wandia (KW) menggunggah foto lama ketika sedang berada di Belfast, Irlandia. Berbagai komentar disampaikan pada unggahan foto tersebut. Secara umum, bahasa yang digunakan dalam komentar dan percakapan tersebut terdiri atas berbagai bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Bali, dan bahasa Inggris. Dalam kajian linguistik percakapan tersebut mengandung fenomena alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing).
61 Dari percakapan yang disampaikan pada unggahan foto Ketut Wandia tersebut, terlihat variasi penggunaan bahasa yang dapat menunjukkan identitas etnik Bali. Seperti teori yang disampaikan oleh Fought (20016), salah satu pemarkah untuk mengonstruksi identitas etnik adalah penamaan dan sapaan. Dari data (1) ditemukan penamaan dan sapaan identitas etnik Bali sebagai berikut ini. Tabel 1. Nama dan Sapaan Etnik Bali di Media Sosial Nama dan sapaan pada Tabel 1 menunjukkan identitas etnik Bali. Sapaan Ketut adalah sapaan untuk penanda kelahiran anak keempat atau kelipatannya dalam sebuah keluarga. Dalam masyarakat Bali setiap kelahiran anak mulai pertama sampai keempat ditandai dengan nama Wayan (pertama), Made (kedua), Nyoman atau Komang (ketiga), dan Ketut (keempat). Apabila ada kelahiran anak berikutnya penanda itu diulangi lagi mulai dari nama Wayan sampai Ketut. Tradisi ini merupakan tradisi penamaan khas etnik Bali karena tradisi ini tidak ditemukan di budaya lain. Oleh karena itu, di media sosial penggunaan nama dan sapaan tersebut menjadi identitas etnik Bali. Sapaan yang juga lazim digunakan pada masyarakat etnik Bali adalah menggabungkan antara penanda kelahiran dengan nama seseorang seperti pada data Pak Tut, Pak Ketut, dan Bli Tut. Sapaan Pak Tut adalah sapaan yang disingkat dari Bapak Ketut dan kebiasaan masyarakat etnik Bali juga menyingkat sapaan Pak Yan dari Bapak Wayan, Pak Man dari Bapak Nyoman, Pak De dari Bapak Made. Begitu juga dilakukan terhadap sapaan untuk ibuibu, menyingkat Ibu menjadi Buk sehingga sering digunakan sapaan Buk Yan, Buk Dek, Buk Man, Buk Tut, atau Buk Dewi, Buk Sri, dan sebagainya. Sapaan lain adalah sapaan untuk kakak laki-laki atau perempuan menggunakan Bli ‘kakak laki-laki’ dan Mbok ‘kakak perempuan’ kemudin ditambahkan dengan sapaan penanda kelahiran seperti Bli Tut, Bli Man, Mbok Yan, Mbok De, dan seterusnya. Di samping penamaan dan sapaan, dalam data (1) ditemukan juga diksi-diksi sebagai penanda identitas etnik Bali. Tabel berikut menunjukkan diksi-diksi yang merupakan kosa kata bahasa Bali yang digunakan di media sosial Facebook. No. Penamaan dan Sapaan Etnik Bali Makna Sosial Budaya 1 Ketut Pemarkah kelahiran anak keempat, kedelapan, dst. 2 Putu Pemarkah kelahiran anak pertama 3 Ketut Bagus Sapaan untuk memuji menambahkan bagus (ganteng) 4 Pak Tut Bagus Sapaan untuk teman sebaya atau yang lebih tua 5 Pak Tut Sapaan singkat untuk Bapak Ketut untuk sebaya atau lebih tua 6 Tiang Kata ganti pertama tunggal ‘saya’ bahasa Bali Alus 7 Ibuk Sapaan untuk seseorang yang dihormati atau sebaya 8 Buk Dewi Sapaan untuk Ibu Dewi 9 Bli Tut Sapaan untuk laki-laki pemarkah kelahiran keempat.
62 Tabel 2. Diksi Bahasa Bali di Media Sosial Penggunaan diksi-diksi tersebut pada data (1) dalam percakapan di media sosial Facebook dapat menjadi penanda identitas etnik Bali. Saat ini dari pengamatan di media sosial, pengguna Facebook selalu menyertakan kata rahajeng pada setiap akhir kalimat percakapan. Pada data (1) terdapat penggunaan kata rahajeng sebanyak tiga belas kali dan digunakan oleh orang sama pada setiap akhir percakapannya. Kosakata bahasa Bali yang memiliki frekuensi penggunaan sangat tinggi adalah kata suksma ‘terima kasih.’ Di samping bentuk suksma, kata ini juga digunakan dalam bentuk matur suksma yang bermakna lebih santun dari kata suksma saja. Frasa ganteng san adalah berasa dari frasa ganteng pisan atau ganteng pesan yang bermakna ‘ganteng sekali.’ Masyarakat etnik Bali memiliki kebiasaan menyingkat kata-kata dan kebiasaan tersebut sebgai penanda keakraban di antara etnis Bali. Secara pragmatik, hal tersebut dipengaruhi oleh jarak sosial (social distance) yang dekat di antara para peserta tutur. Kosakata bahasa Bali pada data (1) di atas sebagian besar adalah kosakata dalam bahasa Bali Alus atau Basa Alus. Bahasa Bali Alus adalah bahasa Bali untuk menghormati orang lain yang patut dimuliakan karena pangkat, keturunan, atau umurnya (Kersten, 1980:16). Sampai saat ini bentuk hormat tersebut tetap dipertahankan sebagai suatu bagian penting kebudayaan Bali. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa di media sosial ini, dalam era yang sudah sangat modern masyarakatnya masih tetap mempertahankan nilai-nilai budaya tersebut sebagai ciri etnik dan budaya Bali. Penggunan bahasa Bali di media sosial, di samping dapat mengidentifikasi identitas etnik, juga dapat menggambarkan stratifikasi sosial serta hubungan antar partisipan dalam percakapan. Data (2) berikut ini dapat mengomunikasikan hubungan antara peserta dalam percakapan di media sosial Facebook. Data (2) Postingan Ida Ayu Made Puspani tanggal 2 Desember 2018. Sagung Kusnantari : Cantiknyaa dayu Luh Mas Indrawati : Cantik sekali bu Dayu Ida Ayu Made Puspani : Suksma Ketut Wandia : Look great Ratu. Well done. Ida Ayu Made Puspani : Suksma. Ajung Ai : Rahajeng bu Dayu Ida Ayu Made Puspani : Rahajeng taler Bu Gung. Ni Wayan Joni Retayasa : Bu dosen tambah cantik aja, masih kayak dulu Muska Adi : Mogi setate kenak lan rahayu Tu Dayu ...RAHAJENG. No. Diksi Bahasa Bali Makna 1 Rahajeng Selamat 2 Ganteng san Ganteng sekali (pisan à san) 3 Suksma Terima kasih 4 Niki Ini 5 Ring Preposisi ‘di’ 6 Salam sareng sami. Salam untuk semua 7 Malih merike Pak Lagi kesana Pak 8 Tiang dados guidene Saya jadi pemandunya 9 Inggih Ya 10 mewali kembali
63 Ida Ayu Made Puspani : Suksma Pak Muska Adi, dumugi taler rahajeng sareng keluarga. Salam. Data (2) diunggah tanggal 2 Desember 2018 oleh seorang yang bernama Ida Ayu Made Puspani. Unggahan foto tersebut mendapat berbagai komentar dari rekan-rekanya yang ada di Facebook. Data (2) menunjukkan nama-nama yang digunakan oleh peserta percakapan menjadi identitas etnik Bali, yaitu Ida Ayu Made, Sagung, Luh, Ketut, Ajung Ai, Ni Wayan. Ida Ayu Made, Sagung. Ajung Ai adalah nama untuk kelompok masyarakat yang berasal dari Tri Wangsa, yaitu kelompok masyarakat yang berkasta. Ajung Ai adalah sapaan yang dibuat berasal dari Agung Rai atau Ajung Rai. Ajung adalah sapaan ayah untuk kelompok masyarakat berkasta. Nama dan sapaan seperti Luh, Ketut, dan Ni Wayan merupakan sapaan untuk wangsa keempat, yaitu sudra wangsa. Dalam masyarakat Bali, sapaan Dayu ditujukan untuk Ida Ayu yang diikuti oleh nama atau diawali oleh sapaan (adress term) seperti Bu, Tu, Atu. Dalam data (2) dari percakapan tersebut terlihat variasi hubungan antara Ida Ayu Made Puspani (IAMP) sebagai penutur dengan partisipan dari penggunaan bahasa ketika merespon komentar. Secara sosiolinguistik terlihat variasi pilihan kata yang digunakan menunjukkan model hubungan antara partisipan. Dalam hal ini, faktor kasta berperan penting dalam pemilihan diksi dalam berkomunikasi. Contoh-contoh berikut dapat menjelaskan hal tersebut. LMI : Cantik sekali bu Dayu IAMP : Suksma KW : Look great Ratu. Well done. IAMP : Suksma. Dari percakapan di atas terlihat hubungan yang tidak setara dalam hal stratifikasi sosial kasta. Ida Ayu Made Puspani adalah seorang yang berasal dari kasta Brahmana ketika mendapat komentar berupa pujian (compliment) dari rekannya yang berasal dari kasta wangsa sudra, hanya menjawab suksma. Komentar “Cantik sekali bu Dayu” menunjukkan bahwa LMI sangat hormat menyapa dengan sapaan bu Dayu. Berbeda dengan LMI, komentar yang diberikan KW, “Look great Ratu. Well done” terlihat sangat hormat. Bentuk hormat tersebut dilihat dari penggunaan sapaan Ratu untuk IAMP yang seorang keturunan brahmana. Dalam masyarakat etnik Bali, masyarakat yang berasal dari wangsa sudra menyapa lapisan masyarakat yang berkasta dengan sapaan Ratu, Atu, atau Tu seperti “Mogi setate kenak lan rahayu Tu Dayu.” Hal ini menunjukkan hubungan yang unequal (tidak setara) dan masyarakat sudra wangsa selalu menempatkan diri dalam posisi lebih rendah walaupun secara pendidikan, status sosial, mereka sama. Ada anggah-ungguh bahasa (speech level) dalam percakapan tersebut yang mengindikasikan perbedaan hubungan sosial. Percakapan dalam media sosial Facebook berikut ini mengindikasikan adanya kesetaraan hubungan sosial dari respons dan penggunaan diksi serta sapaannya. Ajung Ai : Rahajeng bu Dayu ‘Selamat bu Dayu’ IAMP : Rahajeng taler Bu Gung. ‘Selamat juga Bu Gung”
64 Dibandingkan dengan percakapan terdahulu, respons IAMP hanya menyampaikan kata suksma ‘terima kasih,’ dalam percakapan di atas respons menggunakan bahasa Bali Alus. Seperti dikatakan Kersten (1980), bahasa Bali Alus digunakan untuk menghormati orang lain, baik dalam pangkat, umur, kedudukan, dan sebagainya. Dari nama Ajung Ai dan direspons dengan menyebut Bu Gung menunjukkan bahwa Ajung Ai adalah orang yang berasal dari lapisan masyarakat berkasta sehingga bahasa yang digunakan pun bahasa Bali Alus “Rahajeng taler Bu Gung” yang bermakan “Selamat juga Bu Gung.” Secara sosiolinguistik hal ini menunjukkan antara IAMP dan AI memiliki stratifikasi sosial yang sama, khususnya dalam hal kasta. Simpulan Dari data yang telah dianalisis dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa melalui pilihanpilihan diksinya di media sosial Facebook ini memberikan informasi mulai dari konstruksi identitas, stratifikasi sosial, sampai pada hubungan sosial di antara partisipan percakapan. Identitas etnik Bali terlihat dari penggunaan diksi-diksinya terhadap penamaan, sapaan, istilah-istilah yang lazim, dan kalimat-kalimat yang sudah umum digunakan dalam berkomunikasi. Penamaan yang sering digunakan sebagai pemarkah etnik adalah namanama yang berkaitan dengan penanda kelahiran, nama-nama yang menyangkut kasta. Di samping informasi tentang identitas etnik Bali, percakapan yang ada di media sosial Facebook ini juga dapat menggambarkan perbedaan hubungan antara penutur dengan petutur. Partisipan yang berposisi sebagai penutur merespons komentar partisipan yang dari sudra wangsa menggunakan bahasa Bali Biasa atau bahasa Indonesia, sedangkan komentar dari peserta dengan posisi setara atau kastanya sama cenderung menggunakan bahasa Bali Alus. Daftar Pustaka Barth, Fredik. 1969. Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Little Brown. Fishman, J. 1989. Language and Ethnicity in Minority Sociolinguistics Perspective. Clevedon: Multilingual Matters. Fought, Carmen .2006. Language and Etnhnocity. New York: Cambridge University Press. Giles, Howard. 1979. “Etnicity Marker in Speech.” Dalam Social Markers in Speech, disunting oleh Klaus R. Scherer dan Howard Giles. London dan New York: Cambridge University Press. Grad, H. dan Martin Rojo, L. 2008. “Indentities in Discourse : An Integrative View.” Dalam Analyzing Indentities in Discourse, disunting oleh R. Dolon dan J. Todolf. Amsterdam: John Benjamins. Kerepun, Made Kembar. 2007. Mengurai Benang Kusut Kasta, Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali. Denpasar: PT Empat Warna Komunikasi. Kersten, J. S. V. D. 1980. Bahasa Bali. Tata Bahasa. Kamus Bahasa Lumrah. Ende: Nusa Indah.
65 Liliweri, Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sharifian, Farzad. 2017. “Language and Culture: Overview.” Dalam The Routledge Handbook of Language and Culture. London dan New York: Routledge. Sing, Ishtla. 2007. “Bahasa dan Etnisitas.” Dalam Bahasa, Masyarakat, & Kekuasaan, disunting oleh Linda Thomas dan Shan Wareing. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
66 Profil Agramatisme Struktur Verba pada Kalimat Penderita Retardasi Mental Borderline (IQ 60—80) Sri Wiryanti Budi Utami Pemahaman terhadap agramatisme penggunaan bahasa pada penderita retardasi mental diharapkan dapat menawarkan solusi bagi keterbatasan yang mereka miliki. Dengan memanfaatkan metode deskriptif, data penelitian ini diperoleh dari empat siswa penderita retardasi mental di sekolah milik Yayasan Pembinaan Anak Cacat, Semolowaru, Surabaya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa agramatisme muncul dalam skala luas pada kalimat yang mengandung struktur verba pasif dan intransitif. Kata kunci: agramatisme, kalimat, kendala kebahasaan, retardasi mental, struktur verba Pendahuluan Keterbatasan komunikasi merupakan salah satu kelemahan penderita retardasi mental. Oleh karena itu, memahami hambatan linguistik pendeita retardasi mental dalam rangka meningkatkan kemampuan komunikatifnya merupakan hal yang perlu dikaji. Kajian bidang linguistik terhadap perilaku bahasa atau perilaku komunikatif penderita retardasi mental boleh dikata masih sangat jarang dilakukan sehingga pengetahuan tentang apa dan bagaimana kendala linguistik pada mereka masih sedikit. Kajian terhadap aspek kebahasaan yang dimiliki penderita retardasi mental diharapkan dapat menjadi bahan pemahaman sekaligus pemikiran untuk dikerjakan dalam program pemberdayaan menjadi manusia yang cerdas. Seperti diketahui bahwa kemampuan komunikatif merupakan salah satu aspek kecerdasan linguistik yang tercakup dalam atribut kecerdasan (Cooley, 1977). Hambatan linguistik yang dialami penderita retardasi mental tampak dari kurang berterimanya tuturan/kalimat yang mereka ucapkan dan kurang tepatnya konsep makna yang mereka gunakan. Dari fenomena yang teramati, penyebabnya adalah adanya aspek gramatikal yang tidak terpenuhi. Keadaan tersebut menyebakan tuturan/kalimat yang dihasilkan kurang memenuhi standar gramatikal atau terjadi gangguan tipikal yang dapat disebut agramatisme.. Mencermati kendala linguistik yang dialami penderita retardasi mental borderline rata-rata ber-IQ 60—80 dapat dikatakan tidak begitu parah. Oleh karena itu, pengkajian terhadap kendala linguistik yang dialaminya justru menjadi keharusan, mengingat mereka masih dapat diharapkan menjadi insan yang mandiri dalam bersosialisasi. Penderita retardasi mental dengan fungsi intelektual borderline masih memiliki daya penyesuaian sosial yang hampir sama dengan remaja normal, tetapi kalah dalam hal imajinasi, kreativitas dan membuat penilaian (Supraktiknya, 1995). Mencermati gangguan tipikal kalimat yang dihasilkan oleh penderita retardasi mentalborderline, maka kajian ini lebih lanjut memfokuskan pada (1) Bagaimanakah profil
67 agramatisme pada kalimat yang dihasilkan oleh penderita retardasi mental borderline? (2) Apakah agramatisme pada kalimat terjadi karena perilaku sintaktis verba yang kurang tepat? Pemahaman agramatisme yang terjadi pada struktur pembentukan kalimat penderita retardasi mental borderline, dapat merujuk pada pemahaman keterbatasan keterampilan berbahasa mereka. Oleh karena itu, temuan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis mencari solusi meningkatkan kemampuan berbahasa mereka. Secara teoretis, temuan ini dapat menambah wawasan kajian psikolinguistik. Ketidakgramatikalan kalimat sebagai bentuk agramtisme merupakan pencerminan dari kalimat yang kehilangan aspek penting sebagai pendukung keutuhan struktur kalimat yang sekaligus dapat memengaruhi keutuhan maknanya. Hal ini seperti diutarakan dalam pendapat bahwa agramatisme disebabkan adanya (1) defisit konstruksi kalimat, (2) gangguan selektif pada unsur kalimat; dalam bahasa Inggris, agramatisme umumnya terwujud dalam bentuk tuturan telegrafis dengan penghilangan secara tidak konsisten penanda gramatikal, seperti artikel, verba, modal, dan preposisi (Lesser dan Milroy, 1993; Blumstein, 1994). Defisit struktur kalimat dapat terjadi bila strukturnya tidak memenuhi fungsi sintaktisnya. Dalam bahasa Indonesia, struktur kalimat paling tidak harus ada konstituen yang menduduki fungsi sintaktis subjek dan predikat. Hal ini menunjukkan bahwa kalimat dapat dikatakan memiliki struktur utuh atau lengkap bila kalimat tersebut mencakup dua fungsi tersebut. Struktur bahasa Indonesia harus memiliki subjek dan predikat, dengan pola: NP+NP, NP+AP, NP+VP, NP+VP+NP. Defisit konstruksi kalimat sebagai faktor penyebab terjadinya agramatisme dapat dimungkinkan karena tidak adanya salah satu konstituen yang berfungsi sintaktis subjek atau predikat. Berpijak dari struktur kalimat bahasa Indonesia, dapat dikatakan elemen verba merupakan elemen sentral dalam kalimat. Verba sangat potensial untuk mengisi fungsi predikat di dalam struktur kalimat. Seperti diketahui, fungsi predikat merupakan unsur sentral dari seluruh bagian kalimat. Artinya, penentu jenis diatesis kalimat, penentu jenis peran semantik kalimat. Oleh karena itu, bentuk dan atau makna verba dapat menentukan jenis kalimat berdiatesis aktif, pasif, reflektif, atau resiprokal. Verba dapat pula menentukan adanya peran semantik benefaktif, representatif (penerimaan), instrumental, lokatif, atau sasaran (goal) dan dapat menentukan hadirnya konstituen fungsi objek, dan pelengkap (Chafe, 1970). Oleh karena itu, penguasaan struktur terhadap suatu bahasa adalah penting dalam menghasilkan keberterimaan kalimat atau tuturan. Seperti ditegaskan oleh Clark dan Clark (1977:39), secara struktur unit dasar bahasa itu adalah kalimat. Artinya, dalam pemakaian bahasa seperti membaca, pembaca tidak memperhatikan bentuk katanya secara terperinci, tetapi memfokuskan pada makna berdasarkan struktur kaimat. Ide-ide yang terdapat dalam bacaan dibentuk oleh kalimat, maka memahami bacaan diperlukan pemahaman pola kalimat atau tidak lain penguasaan struktur kalimat. Penguasaan terhadap struktur dalam kerangka pemahaman terhadap sistem bahasa merupakan suatu keharusan. Kemampuan untuk melahirkan gagasan atau pun menangkap suatu gagasan tidak mungkin terjadi tanpa menguasai kaidah bahasa. Oleh karena itu, agramatisme dapat terjadi karena pemahaman faktor struktur yang kurang baik. Hal ini
68 senada dengan penegasan yang menyatakan bahwa kesalahan gramatikal yang sering terjadi pada anak retardasi mental borderline adalah kesalahan meletakkan subjek dan kata kerja dalam kalimat (Ingels, 1978). Penguasaan struktur dan fungsi bahasa sangat berperan sebelum menggali pemahaman (Clark dan Clark, 1977). Seperti ditegaskan pula oleh Petty dan Jensen (1980), pemahaman terjadi karena hubungan pengetahuan struktur bahasa dengan pengetahuan atau pengalaman. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa penguasaan struktur kalimat, tidak dapat diharapkan pemahaman membaca yang baik (Pearson dan Johnson, 1978). Metode Kajian ini menerapkan metode deskriptif. Sebab dengan metode ini diharapkan dapat menggambarkan kendala bahasa yang menjadi ciri agramatisme pemakaian bahasa penderita retardasi mental, khususnya pada tingkatan borderline ber-IQ 60—80. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini menetapkan siswa yang menempuh rehabilitasi di sekolah YPAC, Semolowaru, Surabaya sebagai subjek penelitian. Melalui pengamatan dan informasi riwayat siswa, dapat diperoleh empat siswa yang memiliki karakter CP (Cerebral Palsy) dengan IQ antara 60—80. Pengambilan korpus data dimulai dengan mengamati kebiasaan interaksi komunikasi subjek dan menyimak tuturannya, selajutnya berkoordinasi dengan guru kelas untuk memberikan model pelajaran yang mengarah subjek bersifat aktif. Teknik ini ditempuh berdasarkan asumsi bahwa subjek masih memiliki kemampuan komunikatif setaraf usia anak-anak. Lennerberg (dalam Purwo, 1986:168) mengungkapkan tahap perkembangan bahasa 0—5 tahun dalam zona perkembangan, yakni tahap language fully established yang artinya sudah dalam tahap mengenal struktur dan mencoba menggunakan secara sederhana. Anak pada usia lima tahun telah menguasai kalimat kompleks (Chomsky, 1969; Dardjowidjojo, 2000). Anak retardasi mental memiliki tahap perkembangan lebih lamban dari anak normal, tetapi masih memiliki kemampuan komunikatif. Seperti ditegaskan bahwa kesetaraan perkembangan IQ penderita retardasi mental borderline setelah dewasa sama dengan anak berusia 8-11 tahun (Johnson, 1993). Teknik analisis data dimulai dengan tahap identifikasi korpus data, yakni mendata semua kalimat dari subjek yang diteliti dengan memperhatikan ciri strukturnya, dilanjutkan tahap klasifikasi, yakni memilah tingkat keberterimaan kalimat dilihat dari ciri struktur dan hubungan antar unsurgramatikal dalam keutuhan makna. Agramatisme dalam kajian ini adalah suatu bentuk kalimat yang tidak dapat diterima dalam standar gramatikal dan kebermaknaannya, karena adanya unsur-unsur kalimat yang tidak padu atau tidak memiliki relasi yang tepat dengan unsur lain Hasil dan Pembahasan 1. Profil Tuturan Tuturan para penderita retardasi mental sulit dipahami, karena cara penyampaian yang kurang runtut dan maksud kurang tersampaikan dengan jelas. Namun, secara lisan mereka telah memiliki kemampuan komunikatif. Hal ini tampak dalam tuturan berikut. T : Siapa namamu? J : Putri. T : Rumahmu di mana?
69 J : Semolowaru Elok. Pertanyaan siapa dan dijawab dengan nama atau pun pertanyaan di mana dijawab dengan nama tempat merupakan jawaban yang komunikatif. Namun, menilik kemampuan bahasa komunikatif mencakup dua kemampuan, yakni kemampuan organisasional dan kemampuan pragmatik, maka kemampuan komunikatif penderita retardasi mental hanya pada tingkat kemampuan elementer. Bachman (dalam Ramli, 2002) menegaskan kemampuan organisasional terdiri atas kemampuan gramatikal dan tekstual. Kepemilikan kemampuan ini ditandai oleh tuturan yang memakai ketepatan kata dalam mengungkapkan simbol lisan atau tertulis, sehingga wacana yang dihasilkan bermakna dan memiliki efek. Sifat elementer kemampuan komunikatif penderita retardasi mental ini tampak bahwa mereka hanya terbatas pada kalimat bentuk deskripsi yang sederhana, yakni berupa kalimat tunggal berpola S+P, dan terbatas dalam pengembangan makna. Hal ini tercermin dari ketidakmampuan mereka dalam menyatakan bentuk kata benda selain bentuk diri atau kata ganti persona I dan terbatas menyatakan bentuk kata kerja aktif. Hal ini tercermin dalam tuturan berikut: (1) Membaca upacara bilang kalau upacara mulai. (2) Teman saya Irda, Wiwit, Mita. Hari Sabtu saya jaga kantin dengan Irda, Wiwit, Mita. (3) Saya mandi jam 6.30, selesai mandi lalu saya menyolek muka. Ketidakgramatikalan kalimat (1) disebabkan kesalahan dalam mengisi fungsi subjek dengan bentuk kata benda turunan dari kata kerja baca yang seharusnya pembaca. Subjek seharusnya menggunakan kata pembina. Sedangkan pada kalimat (3), ketidakgramatikalan kalimat disebabkan kurang tepatnya isian predikat dengan kata kerja menyolek muka yang seharusnya bersolek. Pada umumnya penderita retardasi mental cukup mengusai bahasa ibu mereka atau yang biasa digunakan di lingkungan keluarga. Hal ini tercermin dari pemakaian kosakata mereka seperti bilang, aku, liak, isa, pigi, mulih, sarapan, nyanyi. Mereka terpola dalam penampilkan gaya bertutur lisan dan kurang mampu membuat isi pernyataan yang runtut pada bahasa tulis. Hal ini seperti tampak dalam teks berikut, “Berangkat sama ayah di jalan ada mobil macet polisi mengatur dijalan disekolah pelajaran pertama olah raga sama Pakrus mita maya Basket dan lari Maya sama Irda, vivi okik kemudian beli bakso bersama jam kedua bahasa daerah diajari bukis setelah itu saya berdoa terus pulang kerumah.” Teks di atas menunjukkan bahwa penderita retardasi mental cenderung menguasai kalimat sederhana dengan ragam bahasa lisan tidak memperhatikan ejaan dan berkarakteristik ragam bahasa ibu. Pengungkapan kalimat secara tulis terbatas pada kalimat berita dan kurang dapat menguasai fungsi-fungsi sintaktik di luar subjek dan predikat. Hal ini tampak dari kalimat-kalimat yang mereka gunakan kurang berkembang dan kurang dapat menghubungkan kalimat satu dengan yang lain. Oleh karena itu, teks yang mereka hasilkan tidak bersifat kohesif, karena pemakaian konjungsi yang tidak tepat, dan tidak ada penanda gramatikal kapan kalimat diawali dan diakhiri. Hal ini menunjukkan bahwa penderita retardasi mental tidak memiliki kemampuan tekstual yang menuntun penyusunan tuturan menurut aturan kohesi dan organisasi motorik untuk menciptakan teks yang bermakna dan
70 memiliki efek. Keadaan inilah yang menyebabkan tuturan penderita retardasi mental kurang berterima atau bersifat agramatis karena tuturan yang dihasilkan tidak runtut dan tidak mudah difahami maksudnya. Pemahaman teks penderita retardasi mental terbantu adanya sifat koherensi. Hal ini tampak dalam tuturan-tuturan berikut, “Kerja bakti bersama-sama di sekolah. Habis kerja bakti besoknya dimulai lomba. anak-anak lomba kelereng makan krupuk remaja lomba masukkan kelereng lalu tanggal 17 Agustus melaksanakan upacara bendera kemudian pemberian hadiah semua yang menang.” Tuturan di atas, kendati tidak kohesif, masih dapat dipahami karena adanya koherensi yang muncul dari hubungan makna antara kata kerja bakti, lomba, 17 Agustus, dan pemberian hadiah yang menang. Seperti dipahami bahwa setiap menyambut hari ulang tahun kemerdekaan kita, ada suatu tradisi yakni diawali dengan gerakan kerja bakti baru kemudian diadakan bermacam-macam lomba, dan para pemenangnya diumumkan pada perayaan 17 Agustus dalam acara pemberian hadiah. Kalau dilihat sifat koherensi tuturan tersebut, koherensi dibangun atas dasar penafsiran lokal dan hal ini dapat dikatakan merupakan aspek utama dalam membangun sifat koherensi tuturan penderita retardasi mental. Tuturan para penderita retardasi mental cenderung diwarnai adanya bentuk-bentuk pengulangan, seperti berikut, “Pada waktu hari raya Idul Fitri dirumah eyang yut Hadi di Solo bersama sama saudara berkumpul bersilahturahmi di rumah eyang Hadi di Solo.” Bentuk pengulangan pada teks tersebut tampak pada proposisi dirumah eyang Hadi di Solo. Teks tersebut seharusnya cukup dinyatakan, “Pada hari raya Idul Fitri saya bersama saudara bersilaturahmi ke rumah eyang Hadi di Solo.” Pengulangan proposisi yang tidak perlu menunjukkan bahwa para penderita retardasi mental kurang memiliki penguasaan kosakata yang cukup, baik dalam bentuk kata yang bermakna denotatif maupun konotatif dan penguasaan bentuk sinonim. 2. Profil Agramatisme Struktur Kalimat Bentuk agramatisme tampak ketika siswa mrangkai kalimat satu dengan yang lain, seperti tampak dalam teks berikut, “Pada waktu hari raya Idul Fitri dirumah eyang yut Hadi di Solo bersama sama saudara berkumpul bersilahturahmi di rumah eyang Hadi di Solo. Acara sungkeman artinya mohon doa restu semoga semua keluarga diberi keselamatan didunia dan akherat diberi keselamatan sentosa dan lahir batin.” Bila dilihat dari satuan kalimat yang terbentuk, tuturan di atas dapat dipilah-pilah sebagai berikut. (1) Pada waktu hari raya Idul Fitri di rumah eyang yut Hadi di Solo bersama-sama saudara berkumpul bersilaturahmi di rumah eyang Hadi di Solo. (2) Acara sungkumean artinya mohon doa restu semoga semua keluarga diberi keselamatan didunia dan akherat diberi keselamatan sentosa dan lahir batin. Agramatisme kalimat pertama tampak dari tidak terpenuhinya pola kalimat gramatikal dan pengulangan kata keterangan yang sama. Sedangkan dalam kalimat kedua, agramatisme tampak adanya pengulangan diberi keselamatan pada konstituen dalam fungsi yang sama pada kalimat.
71 Agramatisme juga tampak karena pengulangan kata keterangan sebab atau pengulangan keterangan dalam konstituen fungsi kalimat yang sama. Hal ini tampak dalam tuturan berikut, “Jalan tergenang air karena banjir karena penduduk karena tidak tertib membuang sampah di buangan tempat sampah kurang tempat dibuangan tempat sampah karena sampahnya terlalu penuh sampah disungai.” Fungsi keterangan yang berulang-ulang dalam satu kalimat merupakan salah satu ciri yang menonjol sebagai bentuk yang menyebabkan terjadinya agramatisme. Mencermati teks pengungkapan penderita retardasi mental dapat dikatakan bahwa di samping bentuk pengulangan dalam konstituen fungsi yang sama, agramatisme banyak disebabkan adanya penyimpangan fungsi sintaktis di luar subjek dan predikat. Penyimpangan yang dimaksud banyak terjadi karena kurang tepatnya pemakaian konjungsi dan fungsi keterangan. Hal ini seperti tampak dalam teks berikut, “Jalan sumatera selatan di Jawa tengah terendam genangan air hujan karena banjir karena penduduk karena membuang sampah sembarangan akibat selokan gotnya tersumbat karena tergenang kotoran sampah sisa makanan terbuang di selokan got karena air tidak bias mengalir di pengaliran sungai karena terbendungnya tersumbat kotoransisa makanan.” Teks tersebut kurang berterima, karena adanya pemakaian keterangan sebab- akibat dan konjungsi yang tidak tepat serta pengulangan kata yang tidak perlu. Teks ini seharusnya dinyatakan sebagai berikut, “Jalan Sumatera selatan di Jawa tengah terendam genangan air hujan karena banjir. Hal ini disebabkan penduduk membuang sampah sembarangan yang berakibat selokan tersumbat kotoran sisa makanan sehingga air tidak bisa mengalir di pengaliran sungai.” 3. Profil Agramatisme Struktur Verba Kalimat Pola agramatisme tampak dalam pembuatan kalimat pasif dan intransitif Hal ini dapat diamati dari kalimat-kalimat berikut. (1) Saya mandi jam 6.30, selesai mandi lalu saya menyolek muka. (2) Saya disuruh bercerita sehari-hari. Kalimat di atas seharusnya dinyatakan sebagai berikut. (1) Saya mandi jam 6.30, (selesai mandi) lalu bersolek. (2) Saya disuruh oleh (person) bercerita pengalaman sehari-hari. Namun, bila dilihat dari srtukut verba, dapat dikatakan penderita retardasi mental mampu membuat verba yang bersifat aktif transitif, intransitif maupun pasif. Mengacu pada komponen verba dapat menentukan adanya peran semantik benefaktif, penerimaan (representatif) , instrumental, lokatif, atau sasaran (goal) yang dapat menentukan hadirnya konstituen fungsi objek, pelengkap, atau objek dan pelengkap. Maka, dapat dikatakan bahwa bentukan verba kalimat para penderita retardasi mental terbatas pada verba yang berperan semantik instrumental dan lokatif. . Simpulan Berdasarkan temuan, dapat disimpulkan bahwa kendala komunikasi penderita retardasi mental disebabkan sejumlah keterbatasan yang cukup berpengaruh terhadap pemakaian bahasa. mereka. Pengaruh yang muncul dalam pemakaian bahasa tampak pada kurang terjalinnya makna kalimat satu dengan yang lain sehingga bahasa mereka tidak mudah dipahami. Hal inilah yang menyebabkan kurang diterimanya penderita retardasi mental dalam pergaulan.
72 Kurang terampilnya mereka dalam menjalin kalimat satu dengan kalimat yang lain sedikitbanyak menyebabkan bahasa yang mereka hasilkan tampak kacau dan sulit dipahami. Adapun dilihat profil kalimat yang dibuat para penderita retardasi mental borderline (IQ 60—80) dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Profil tuturan: Mengacu pada kalimat-kalimat yang dipakai dalam tuturan menunjukkan bahwa mereka terbatas pada penguasaan bahasa pada bahasa ibu, yakni bahasa yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari di lingkungan keluarganya. Adapun dilihat dari panjang pendeknya kalimat, dapat dikatakan mereka terbatas pada penguasaan kalimat pendek dengan ciri struktur kalimat sederhana, yakni berpola Subjek (S) + Predikat (P). (2) Profil agramatisme kalimat: Agramatisme pada kalimat tampak pada bentuk kalimat luas yang mencakup beberapa rangkaian kalimat. Bentuk agramatisme pada kalimat luas ini terjadi karena mereka tidak menguasai bentuk konjungsi sebagai media perangkai kalimat satu dengan yang lain. Di samping itu, agramatisme pada kalimat ini juga disebabkan mereka kurang menguasai pemakaian aspek keterangan, seperti keterangan sebab dan keterangan waktu. (3) Profil agramatisme struktur verba kalimat: Agramatisme struktur verba kalimat tampak pada struktur verba kalimat pasif dan intransitif. Dilihat dari srtukut verba, mereka cenderung menguasai verba kalimat aktif- transitif. Mengacu pada hasil temuan, dapat dikatakan penderita retardasi mental masih dapat dibina kemampuan linguistiknya. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih lanjut keterbatasan linguistik yang lain, sehingga dapat memberikan wawasan yang komprehensif dalam menanggulangi kendala komunikasi penderita retardasi mental. Dengan kepedulian dan perhatian, mereka masih dapat diharapkan menjadi insan mandiri dan mampu berpartisipasi dalam komunikasi. Daftar Pustaka Blumstein, S. 1994. “Neorolinguistics: An Overview of Language, Brain Relations in Aphasia.” Dalam Language Psycological and Biological Aspects, disunting oleh F. J. Newmeyer. Cambridge: Cambridge University Press. Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Stucture of Language. Chicago: The University of Chicago Press. Chomsky, Carol. 1969. The Acquisition of Syntax in Children from 5 to 10. Cambridge: The MIT Press. Clark, H. V. dan V. Clark. 1977. Psychology and Language. New York: Harcourt Brace Jovanovick, Inc. Dardjowidjijo. 2000. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ingalls, Robert P. 1978. Mental Retardation: The Changing Outlook. John Wiley & Sons.
73 Johnson, D. W. 1993. Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self Actualization. Boston: Allyn & Bacon 12. Lesser, R. dan L. Milroy. 1993. Linguistics and Aphasia: Psycholinguistics and Pragmatic Aspect of Intervention. London: Logman. Maramis, W. F. 1990. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. Muslim, Rusdi (ed.). 2000. Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas dan PPDGJ-III. Moeliono, Anton (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka dan Yogyakarta University Press. Pearson, D. P. dan Dale D. Johnson. 1978. Teaching Reading Comprehension. New York: Holt, Renehart and Winstons. Petty, W. T. dan Jullie M. Jensen. 1980. Developing Children’s Language. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Ramli. 2002. “Hubungan Penguasaan Kosakata dan Struktur Kalimat dengan Pemahaman Informasi.” Linguistik Indonesia 20 (2).
74 Antara Fungsi Objek dan Pelengkap dalam Kalimat Bahasa Indonesia Tubiyono Penggunaan bahasa Indonesia dalam karya tulis ilmiah secara normatif menggunakan bahasa Indonesia baku (efektif), artinya sesuai dengan kaidah. Salah satu ciri kebakuan dalam penulisan ilmiah terlihat dalam penggunaan unsur-unsur bahasa sebagai pengisi fungsi dalam sebuah kalimat. Fungsi-fungsi itu ialah fungsi subjek (S), fungsi predikat (P), fungsi objek (O), fungsi pelengkap (Pel), dan fungsi keterangan (K). Kehadiran fungsi-fungsi tersebut dalam kalimat merupakan penanda adanya kesepadanan antara bentuk bahasa dan isi (subtansi). Dalam praktik penulisan ilmiah, ketidaksepadanan banyak ditemukan. Ketidaksepadanan antara lain dapat dicermati dalam kalimat yang tidak memiliki fungsi O. Padahal, fungsi O sangat penting dalam sebuah kalimat baku apabila P-nya berupa verba (V) transitif. V transitif ada yang memerlukan 0 dan Pel atau yang disebut 0 kedua. Ketidakhadiran salah satu fungsi tersebut menyebabkan kalimatnya menjadi tidak baku. Oleh karena itu, kehadiran fungsi 0 dan Pel merupakan syarat mutlak bersama kehadiran fungsi P dalam sebuah kalimat. Dengan demikian, artikel ini mendeskripsikan antara fungsi 0 dan Pel dalam kalimat bahasa Indonesia. Kata kunci: fungsi objek, fungsi sintaksis, kalimat baku, pelengkap, verba transitif Pendahuluan Salah satu fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara ialah sebagai alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya. Manifestasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diperhatikan dalam penulisan karya tulis ilmiah, baik dalam bentuk makalah, skripsi, tesis, disertasi, maupun artikel yang dimuat di jurnal ilmiah terakreditasi/tidak terakreditasi. Penggunaan bahasa Indonesia dalam karya tulis ilmiah secara normatif menggunakan bahasa Indonesia baku, artinya sesuai dengan kaidah. Di samping itu, bahasanya juga harus efektif dan efisien tidak menggunakan bentuk kata dan kalimat yang tidak ekonomis, struktur yang berbelit-belit, dan tidak logis. Kelogisan dalam penulisan ilmiah dapat terlihat dalam penggunaan unsurunsur bahasa (kategori-kategori) sebagai pengisi fungsi dalam sebuah kalimat. Fungsi-fungsi itu ialah fungsi subjek (S), fungsi predikat (P), fungsi objek (O), fungsi pelengkap (Pel), dan fungsi keterangan (K). Kehadiran fungsi-fungsi tersebut dalam kalimat merupakan penanda adanya kesepadanan antara bentuk bahasa dan isi (subtansinya). Dalam praktik penulisan ilmiah, ketidaksepadanan banyak ditemukannya. Ketidaksepadanan antara lain dapat dicermati dalam kalimat yang tidak memiliki fungsi S. Padahal, fungsi S dan fungsi P sangat penting dalam sebuah kalimat efektif. Ketidakhadiran salah satu fungsi tersebut, kalimatnya termasuk tidak efektif. Oleh karena itu, kehadiran fungsi S merupakan syarat mutlak bersama kehadiran fungsi P dalam sebuah kalimat. Hal ini berarti ketidakhadiran fungsi S menyebabkan kalimat menjadi tidak efektif. Berdasarkan kerangaka pemikiran tersebut, pada tulisan singkat ini berupaya mendeskripsikan kalimat tanpa S (de-subjek-isasi) yang biasanya secara preskriptif dinyatakan konstruksi sintaktis yang tidak efektif.
75 Hasil dan Pembahasan 1. Struktur Kalimat Baku Struktur kalimat baku (efektif) ditandai dengan adanya fungsi subjek (S), fungsi predikat (P), fungsi objek (O), dan mungkin disertai atau pun tidak disertai fungsi keterangan (K). Pada umumnya, kalimat baku minimal ditandai oleh kehadiran fungsi S-P, tetapi dapat diikuti O atau pun diikuti pelengkap (Pel). Fungsi Pel tidak sama dengan fungsi O, salah satu yang membedakan adalah fungsi P yang berkategori verba transitif atau verba intransitif (Kusuma, 2010). Jenis verba transitif diikuti fungsi O, verba intransitif tidak diikuti fungsi O, tetapi dapat diikuti fungsi Pel. Fungsi O yang mengikuti verba transitif memiliki empat ciri sehingga dapat dibedakan dengan fungsi Pel. Keempat ciri itu adalah (1) berupa nomina, frasa nomina, atau klausa, (2) berada langsung setelah fungsi P, (3) dapat mengisi fungsi S ketika dipasifkan, dan (4) dapat diganti pronomina terikat, yaitu –nya. Sementara itu, fungsi Pel dalam sebuah klausa atau dalam sebuah kalimat yang mengikuti verba intransitif dibedakan menjadi tiga jenis yaitu (1) verba intransitif yang ber-Pel wajib, (2) verba intransitif yang tidak ber-Pel, dan (3) verba intransitif yang ber-Pel manasuka (Kusuma, 2010). Verba intransitif yang ber-Pel wajib tidak dapat dipasifkan. Fungsi Pel pada kalimat aktif intransitif tidak dapat diubah menjadi kalimat pasif intransitif dengan fungsi Pel menjadi fungsi S. Hubungan antara P dan O dalam sebuah kalimat bahasa Indonesia dinyatakan secara eksplisit langsung, yaitu tanpa dipisahkan oleh preposisi (Prep). Namun, dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari ditemukan konstruksi kalimat hubungan antara P dan O dipisahkan oleh Prep. Konstruksi seperti itu disebut O berpreposisi (Tubiyono, 2014:85-93). Dikatakan demikian karena letak Prep di sebelah kiri (mendahului) O, sehingga susunannya adalah S—P—Prep—O. 2. Verba Pengisi Fungsi P Verba (V) adalah jenis atau kategori yang sudah umum dalam struktur kaidah bahasa Indonesia, khususnya kaidah sintaksis yaitu yang mengisi fungsi P dalam sebuah klausa. Sebuah klausa, fungsi P merupakan pusat struktur fungsional. Fungsi P memiliki kedudukan yang sangat dominan karena fungsi P akan berpengaruh terhadap kehadiran fungsi-fungsi lain seperti fungsi S dan fungsi O dalam sebuah klausa. Hal ini juga dikemukakan oleh Chafe (dalam Tubiyono, dkk., 2001) bahwa V merupakan unsur sentral, sedangkan unsur lainnya sebagai unsur yang periferal. Fungsi P yang diisi oleh kategori V sangat dominan ini pun terjadi pada struktur kalimat bahasa Jawa. Apabila diperhatikan lebih lanjut, banyaknya argumen, yaitu konstituen yang bersama-sama V membentuk klausa, V dibedakan menjadi dua, yaitu V transitif dan V intransitif (Kusuma, 2010). V transitif adalah satuan lingual yang memerlukan fungsi O (Kridalaksana, 1985:54). V transitif itu dapat dibedakan dua macam, yaitu V monotransitif dan V dwitransitif. V transitif antara lain ditandai dengan morfem terikat me-, me-i, dan me-kan. V intransitif biasanya berupa V dasar, misal duduk, tidur, bangun. V intransitif juga bisa ditandai dengan afik ber-, ber-kan, misal berlari, berjalan, dan berdasarkan. Kalimat berikut memilki unsur V transitif. (1) Hari ini pemkot memulai seleksi kompetensi dasar (SKD) bagi 3.432 pendaftar calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Gelanggang Remaja.
76 (2) Badan kepegawaian dan diklat (BKD) telah menuntaskan persiapan hingga Minggu malam. (3) Beban server yang lebih ringan membuat pemkot optimistis pelaksanaan seleksi bisa tepat waktu. (4) Warga ingin pemkot tegas menyikapi rumah musik di sekitar Jalan Putat Jaya. (5) Petugas lalu mendatangi rumah musik yang dimaksud warga. Pada kalimat (1) sampai kalimat (5) masing-masing memiliki P yang berkategori V monotransitif, yaitu memulai, menuntaskan, membuat, menyikapi, dan mendatangi. Sebagai akibat V monotransitif, frasa dan kata kompetensi dasar, persiapan, pemkot optimistis, dan rumah musik adalah fungsi O satu (tunggal). Pada kalimat-kalimat tersebut tidak terdapat O kedua atau yang berfungsi sebagai Pel. Pada kalimat (1) sampai dengan (5) sebelah kiri P adalah fungsi S yang berupa kata atau pun frasa, yaitu pemkot, badan kepegawaian dan diklat, beban server yang lebih ringan, pemkot tegas, dan petugas. Hal tersebut berbeda pada contoh kalimat berikut ini. (6) Ibu membelikan Upik sepatu baru. (7) Kakak menggambarkan adik pemandangan alam. Kalimat (6) dan (7) memiliki V dwitransitif, yaitu V yang memerlukan dua objek. Objek kedua biasanya disebut fungsi Pel. P yang berupa kata membelikan dan menggambarkan memerlukan O satu Upik dan adik. Selanjutnya, O kedua atau sebagai (Pel) adalah sepatu baru dan pemandangan alam. 3. Perbedaan O dan Pel Fungsi O dalam kalimat bahasa Indonesia pada umumnya termasuk kalimat aktif transitif. Kalimat aktif transitif dapat ditransformasi menjadi kalimat pasif transitif dengan cara sebagai berikut. Pertama, Fungsi O dalam kalimat aktif berubah menjadi fungsi S dalam kalimat pasif. Kedua, fungsi S dalam kalimat aktif berubah menjadi fungsi O pada kalimat pasif. Ketiga, fungsi P yang berupa V dengan afik me-kan berubah menjadi V berafiks di-kan. Dengan demikian, kalimat (6) dan (7) dapat diubah menjadi (6a) dan (7a) berikut ini. (6a) Upik dibelikan ibu sepatu baru. (7a) Adik digambarkan kakak pemandangan alam. Jika dibandingakan antara kalimat (6), (7) dan (6a), (7a) ada yang tidak berubah secara struktural, yaitu sepatu baru dan pemandangan alam. Dua frasa tersebut masing-masing pengisi fungsi Pel atau sebagai fungsi O kedua. Kalimat (6) jika diubah menjadi kalimat (8) tidak bisa dipahami dengan baik, karena O berupa kata Upik sebagai kata ganti persona. Akan tetapi, jika O diganti frasa sepatu baru berupa frasa benda (FB) dapat berterima (dapat dipahami) dengan baik. Perhatikan kalimat (8) dan (8a) berikut ini. (8) Ibu membeli Upik.* (8a) Ibu membeli sepatu baru. Kalimat (8a) FB sepatu baru sebagai O bukan sebagai Pel seperti pada kalimat (6). Kalimat (7) jika diubah menjadi kalimat (9) tetap bisa dipahami dengan baik karena O berupa kata adik sebagai kata ganti persona. Begitu pula, jika O diganti frasa pemandangan alam berupa frasa benda (FB) tetap bisa berterima (dapat dipahami) dengan baik. Perhatikan kalimat (9) dan (9a) berikut ini. (9) Kakak menggambar adik. (9a) Kakak menggambar pemandangan alam Dengan demikian, fungsi O dan Pel sangat dipengaruhi pengisi fungsi P. Pengisi fungsi P berupa kategori V transitif berafiks me-kan atau berafiks me-. Hal ini berarti perilaku V bersifat kasuistis, tidak bisa digeneralisasi untuk kasus lain. Perhatikan kalimat (8), (8a), (9),
77 dan (9a) tersebut di atas. Kalimat (6) memiliki fungsi S—P—O—Pel. Berbeda dengan kalimat (10) yang hanya memiliki fungsi S—P—O, perhatikan kalimat berikut ini. (10) Ibu membelikan sepatu baru Upik. Kalimat (10) sepatu baru Upik sebagai O sebagai FB milik (posesif) bukan sebagai fungsi Pel. Konstruksi lingual sepatu baru Upik tidak bisa dipisahkan antara sepatu baru dan Upik karena menjadi satu kesatuan ujaran. Simpulan Berdasarkan diskusi tersebut di atas, masalah fungsi O dan fungsi Pel memiliki perilaku lingual yang unik yang bersifat kasuistis. Fungsi P yang diisi oleh kata atau frasa berkategori V atau FV berafiks yang memiliki peran aktif sangat dimungkinkan adanya V atau FV monotransitif dan dwitransitif. Yang dimaksud V atau FV biasanya memiliki satu fungsi O, sedangkan V atau FV yang dwitransitif memiliki dua fungi O dan Pel. Daftar Pustaka Kridalaksana, Harimurti, dkk. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas. Kusuma, Tri Mastoyo Jati. 2010. “Verba Transitif dan Objek Dapat Lesap dalam Bahasa Indonesia.” Linguistik Indonesia No. 1 Tahun 28. Tubiyono. 1989. “Kerancuan Bahasa, Perubahan Bahasa: Sebuah Ancangan Telaah Sosiolinguistik terhadap Pemakaian Subjek Berpreposisi.” Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik III (4). ________, dkk. 2001. Struktur Sematis Verba dan Aplikasinya pada Struktur Kalimat dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. ________. 2014. “Fungsi Objek Berpreposisi pada Verba Transitif.” Dalam Bahasa dan Satra untuk Kebangitan Indonesia. Surabaya: Pustaka Radja
78 Bipolaritas, Renungan Pasar, Hati Nurani Manusia Bramantio Pendahuluan Hati Nurani Manusia. Kali pertama saya membaca judul novel Idrus ini, sejumlah hal meletup-letup untuk kemudian sedikit demi sedikit bersengkarut di dalam pikiran saya. Pertanyaan-pertanyaan tentang yang akan saya temui di dalam novel ini muncul satu demi satu disertai dengan jawaban yang tentu saja masih dalam tataran kemungkinan. Betapa pun saya berusaha mencegah, hal semacam ini senantiasa mengawali pembacaan saya atas baik sastra maupun hal lain. Dalam kerangka pemikiran Hans Robert Jauss, yang terjadi pada saya adalah pembentukan cakrawala harapan—asumsi-asumsi yang muncul prapembacaan. Cakrawala yang secara sederhana dipahami sebagai garis pertemuan Bumi dan langit yang dalam realitasnya berada di antara ada dan tiada serta terus-menerus mengalami pergeseran sesuai posisi pemandang juga menjadi prinsip cakrawala harapan yang berubah seiring pengalaman pembacaan. Pengalaman pembacaan saya selama ini membentuk asumsi bahwa novel ini berdasarkan judulnya setidaknya akan berisi petuah-petuah, problematik sosial, manusia-manusia yang terpuruk, dan mungkin ditambah nuansa religius. Sampul belakang novel ini pun ternyata menghadirkan hal senada dengan asumsi saya bahwa novel ini “melukiskan kekalutan jiwa manusia yang terjatuh ke dalam lembah kenistaan: korupsi dan kebobrokan moral; seorang ayah hendak mencemarkan kehormatan tunangan anaknya, sedangkan anak itu mencemarkan adik ibu tirinya; manusia seakan-akan kehilangan hati nuraninya”—sebuah deskripsi yang menjerumuskan calon pembaca untuk terlalu dini menarik simpulan. Saya pun sempat berpikir akan menjumpai kalimat-kalimat yang tersusun sedemikian rupa seolah taman yang saking sesaknya dengan aneka bunga, warna, dan aroma justru memuakkan. Hanya saja, yang saya dapati setelah membaca halaman-halaman perdana novel ini adalah sebuah jarak estetik—jarak antara cakrawala harapan dengan karya—yang dapat dikatakan cukup jauh sehingga mendatangkan gelitik yang mengusik sekaligus menyegarkan. Jalan Datar Sarat Problematik Novel ini dibuka dengan “Pasar itu sama saja dengan beratus-ratus pasar kecil yang lain di Jakarta: kecil, terletak di tengah-tengah kompleks rumah-rumah tinggal dan kotor” (Idrus, 1976:5). Bagian ini diikuti dengan deskripsi pasar dan segala aktivitas di dalamnya sejak pagi hingga pagi lagi dengan kalimat-kalimat yang terkesan datar. Kehadiran pasar pada awal cerita sedikit-banyak memunculkan pertanyaan berkaitan dengan relasi pasar dengan cerita secara keseluruhan. Yang demikian pada dasarnya bukanlah sebuah kebetulan atau keacakan, melainkan konsekuensi atas informasi yang disodorkan teks kepada pembaca, selaras dengan yang disampaikan oleh Todorov (1977) bahwa karya sastra menyarankan cara pembacaannya masing-masing dan cara tersebut hadir di dalam teks itu sendiri. Efek semacam ini juga dapat dijumpai pada frasa “Pada suatu hari” sebagai pembuka kisah, yang menyarankan pembacanya untuk membaca kisah
79 tersebut sebagai kisah yang “memiliki dunianya sendiri” sehingga pembaca tidak perlu mencari hubungannya dengan dunia nyata (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1991:114). Berkaitan dengan kondisi teks yang demikian, perlu kiranya melakukan pembacaan dekat atas teks ini untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang “hati nurani manusia” yang menjadi judul novel ini. Terlebih lagi, pada bagian berikutnya yang muncul adalah “Dari sebuah pavilyun pada sebuah rumah tinggal di daerah itu berjalan seorang pemuda melalui suatu gang yang beratap menuju ke rumah tinggal itu” (Idrus, 1976:7). “Di daerah itu” memang mengacu pada pasar, tetapi kedudukan pasar sebagai pembuka cerita—yang tidak sekadar disebut secara sekilas—tetap meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban. Setelah pasar yang menjadi semacam perhentian untuk kelak dibaca kembali, kehadiran secara intens seorang pemuda pada bagian ini—yang kemudian diketahui bernama Pri dengan karakteristik positifnya—juga menjadi titik henti untuk menarik simpulan bahwa dialah tokoh sentral cerita, sang juruselamat bagi tokoh-tokoh lain. Tokoh-tokoh yang tampak layak menjadi kandidat untuk diselamatkan adalah Solihin, Pian, dan Bey, “Ayah banyak menyimpan uang sekarang. Uang hasil catut, uang korupsi dan orang tua itu tak mau membagi aku.” […] “Engkau tahu kantor ayah kantor import. Tapi ia terlalu pelit untuk membagi aku. Aku tahu uangnya banyak. Tidak berani ia menyimpannya di bank. Sekarang mentang-mentang aku bekerja pada Caltex, enak saja ia suruh aku mencuri minyak tanah berkaleng-kaleng. Kalau dibayarnya boleh jugalah. Harga murah pun aku terima. Tapi ini tidak. Katanya, minyak tanah itu untuk kita pakai sendiri di rumah, bukan untuk dijual” (Idrus, 1976:21) Namun, fakta tekstual memperlihatkan hal-hal yang ternyata tidak sesederhana itu. Masih dengan kalimat-kalimat yang terkesan datar, novel yang terbagi menjadi enam bab yang kemudian terbagi lagi ke dalam segmen-segmen ini dengan lincah menghadirkan cerita yang meloncat dari satu ruang ke ruang yang lain. Sejalan dengan hal ini, setiap ruang memiliki tokohnya masing-masing yang menjadi fokus cerita sekaligus pemandang peristiwa, tampak pada bagian-bagian yang menghadirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kerangka “satu waktu, berbeda ruang”, di antaranya pada dua peristiwa berikut ini, “Rumah sakit itu tidaklah seperti rumah sakit betul. Ia merupakan rumah tinggal biasa, kepunyaan seorang dokter yang ternama. Tapi segalagalanya diatur dengan istimewa, jauh lebih sempurna daripada rumah sakit besar yang mana pun […] Melihat Solihin di ambang pintu itu sebagai seorang yang pertama masuk ke kamar itu, Halimah berdiam diri saja, mukanya masam […]” (Idrus, 1976:33) dan “Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi,” kata Pian kepada Bey, waktu mereka tinggal berdua saja di rumahnya, sedang orang-orang yang lain pergi ke rumah sakit itu (Idrus, 1976:34). Hal serupa kembali muncul pada peristiwa antara Solihin dan Miharti dalam perjalanan pulang mereka dari bioskop, Tukang becak itu menunjuk saja ke arah sebuah gang. Katanya: “Perempuan yang ada bersama tuan itu, tiba-tiba menyetop becak, lalu terjun dan lari masuk gang itu. Tuan gemuk itu berlari-lari mengejarnya.”
80 Pikiran Pri berjalan dengan cepatnya dan sampai ke suatu kesimpulan yang pasti. Kata Pri kepada Wati: “Mari kira tunggu paman di sini.” “Paman mungkin telah mengusik Miharti. Miharti lari, paman mengejarnya,” kata Pri dengan rasa jengkel. Tak berapa lama kemudian dari gang yang gelap itu keluar Solihin. Rambutnya tak karuan, bajunya basah keringat dan ia tersengah-sengah. Dengan tidak mengacuhkan Pri dan Wati ia terus menuju becaknya, lalu katanya: “Anak gila itu.” Dan disuruhnya becak itu meneruskan perjalanannya. Miharti dapat bersembunyi di belakang pagar sebuah rumah di gang itu. Terdengar bunyi derap kaki Solihin dekat sekali ke tempat persembunyiannya. Bunyi nafas Solihin yang turun naik dengan cepatnya pun dapat terdengar di dalam kesunyian malam itu. Perasaan takut menyelubungi diri Miharti. Sekalisekali perasaan takut itu dapat dikalahkan oleh perasaan bencinya kepada Solihin. “Ya Allah,” katanya dalam hatinya, “sukur aku tak bawa pisau atau senjata seperti itu. Kalau ada, akan kutusuk perut buncitnya itu.” Miharti menggerak-gerakkan bibirnya tanda bersukur kepada Tuhan (Idrus, 1976:41— 42). Hal ini pun sedikit demi sedikit membentuk pemahaman bahwa novel ini bukanlah novel dengan satu tokoh sentral, tetapi menempatkan sejumlah tokoh—anggota keluarga Solihin— pada kedudukan setara dengan cara pandangnya masing-masing. Novel ini ternyata bukan pula tentang siapa menyelamatkan siapa. Kedataran cerita dan kesetaraan tokoh ini secara implisit tergambar pada petikan berikut, “Seperti orang kelas menengah lainnya di Jakarta, pukul lima sore semua mereka sudah mandi, memakai pakaian yang bersih dan duduk-duduk di beranda muka rumahnya […] Orang luar akan menyangka bahwa keluarga Solihin itu adalah keluarga yang rukun damai, karena cobalah lihat mereka itu sekarang duduk bersama-sama di muka rumahnya (Idrus, 1976:30). Meskipun tampak rukun damai—atau dengan kata lain tampak datar—novel ini sesungguhnya menghadirkan karut-marut sebuah keluarga pada tataran akut. Bagaimanapun, hal ini tidak lantas menjadikan cerita kemrungsung. Loncatan dari satu segmen ke segmen berikutnya tetap terjadi dengan irama yang konstan, termasuk ketika mencapai rencana Pian dan Bey untuk melakukan penculikan (hlm. 35), perdebatan mereka berdua tentang transparansi dan kepercayaan (hlm. 36), dan peristiwa di dalam bioskop (hlm. 38). Sosok Pri yang pada awalnya dihadirkan dengan citranya yang serbapositif, pada bagianbagian berikutnya pun tampak sebagai orang yang terjebak di masa lalu dan seolah tidak memiliki visi dalam hidupnya, “Sayang Jepang masuk ke negeri ini. Kalau tidak aku tidak akan duduk di sebelah gadis yang begini,” katanya dalam hati. Kemudian diteruskannya pikirannya: “Ya, kalau Jepang tidak datang ke negeri ini, tidak akan ada gadis yang seperti ini, atau jumlahnya akan terbatas sekali.” Dan dicobanya juga memusatkan perhatiannya. Tapi pikirannya berjalan terus juga. “Dan berapa lagi aku akan dapat mempertahankan kebersihanku? Aku bukannya orang yang suci.
81 Aku bersih sampai sekarang, karena pendidikan yang keras dari orang tuaku, tapi aku bukanlah orang yang dilahirkan sebagai orang yang suci.” […] “Ya Allah,” kata Pri kepada dirinya, seakan-akan hendak minta bantuan dari arah itu (Idrus, 1976:39). Tidak sampai di situ saja, kecenderungan Pri untuk mengikatkan diri pada masa lalu kembali hadir pada bagian lain cerita, Dipicingkannya matanya sebentar, kemudian ia merasa nikmat sekali mengenangkan Jakarta lima belas tahun yang lalu. “Itulah yang mengikat aku barangkali kepada Jakarta ini. Bukan Jakarta yang seperti sekarang ini, sibuk dengan kendaraan dan manusia dan hidup bersempit-sempit dalam sebuah rumah kecil,” katanya dalam hati. […] “Jika Jepang tidak datang ke negeri ini,” kata Pri sambil mendayung sepedanya itu, “Paman Solihin tetap akan menjadi ambtenaar yang terhormat. Gaji cukup, hidup tenteram tak banyak godaan, dan keinginan kaya tidak ada.” […] “Jika Jepang tidak datang ke negeri ini,” katanya lagi, “Aku sudah tujuh tahun jadi dokter sekarang. Orang melarat akan kuobati dengan percuma dan orang-orang kaya kumakan habis-habisan (Idrus, 1976:53). Sebaliknya, Solihin yang bahkan menyebut dirinya sendiri sebagai buaya, ternyata memiliki kutub lain yang bertentangan dengan kutub buayanya, Suara Solihin kedengaran pula: “Aku tidak begini di waktu muda, Pri. Ada sesuatu sekarang yang hilang dari diriku. Keimanan barangkali.” Pri mendekati pamannya itu, lalu katanya: “Bukan Paman saja. Semua orang. Keadaan menjadikan kita manusia yang terbalik. Yang biasanya di luar ada di dalam sekarang. Yang biasanya di dalam, ada di luar. Itu karena keadaan semata-mata, Paman.” Pri berhenti sebentar untuk menunggukan kalau-kalau ada jawaban datang dari Solihin. Tapi Solihin berdiam diri saja. Dan kata Pri pula: “Kita adalah mangsa dari pancaroba di negeri kita” (hlm. 45). Pernyataan Pri di sini selain sebagai usaha untuk menghibur pamannya, juga sekaligus menegaskan bahwa semua orang memiliki dua sisi dan dia benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari menyalahkan keadaan. Segala perbuatannya seolah-olah tidak hadir sebagai wujud kesadarannya sendiri, tetapi sebagai akibat pancaroba negeri sekaligus menempatkan dirinya sebagai mangsa. Justru Pianlah, yang meskipun dihadirkan secara implisit, memiliki kesadaran akan diri dan perilakunya, yaitu ketika ia terbangun pascamabuk malam sebelumnya, Pagi-pagi keesokan harinya Pian terbangun dengan seluruh badannya merasa sakit-sakit, terutama kepalanya. Dia melihat ke sekelilingnya, dan ia keheranan. Dilihatnya, bahwa ia ada di dalam ruang tamu rumahnya dan mulai ia memaksa pikirannya. Lambat-lambat kembali ingatannya kepada kejadian kemarin malam. “Aku tentu mabuk kemarin,” katanya dalam hatinya. Diingatnya kembali, bahwa ia telah mengajarkan kepada Bey bagaimana mencopet dompet dari kantong orang (Idrus, 1976:47).
82 Kesadaran akan diri sekaligus kemampuan mengakui perbuatannya, meskipun hanya kepada dirinya sendiri, juga dimiliki Solihin, “Kalau aku mau, tentu bisa dapat Miharti itu. Tapi aku tidak mau. Aku hanya ingin menggunakan kesempatan yang ada. Kerjaku tidak lain daripada menggunakan kesempatan yang ada.” […] “Dan sebagai orang yang pandai menggunakan kesempatan, aku adalah orang yang pandai hidup,” katanya dalam hati. Tapi sesudah berkata itu, ditariknya hidungnya ke atas, seakan-akan ia mengejek dirinya sendiri. […] “Tidak perlu orang lain yang mengatakan kepadaku, bahwa semua anakku sudah gagal, lihatlah Pian dan Bey kemarin malam itu.” […] “Aku sendiri juga gagal. Tapi apa dayaku? Dan tidakkah semua orang sekarang ini sudah gagal. Tidak ada orang yang baik lagi. Kalaupun ada, besok lusa mereka akan menjadi orang tidak baik. Dan gagallah mereka. Dan apa artinya aku ini jika dibandingkan dengan orang-orang besar yang juga sudah gagal?” […] “Siapa yang masih mengharapkan akan dapat bertemu dengan orang-orang baik sekarang ini?” katanya pula (Idrus, 1976:51). Sejalan dengan cerita yang mengarah ke kutub lain Solihin, Pian pun kembali diperlihatkan sebagai orang yang tidak sekadar memburu kenikmatan material, tetapi juga mampu merenungkan dirinya sendiri dan orang lain, Pian merasa bahwa ia tambah lama tambah panas hatinya dan ia tidak tahu terhadap siapa marahnya itu. Terhadap Solihinkah yang telah membunuh ibu kandungnya itu? Terhadap Prikah yang selalu hendak lari ke masa silam itu dan ngelamun? Ataukah kepada dirinya sendiri? “Ya Allah,” kata Pian. “Jangan berbicara tentang ibu juga lagi. Aku tidak suka mendengarkannya, kau tahu?” […] “Aku tahu, engkau dari dulu tidak cinta kepada ibu,” kata Bey dengan memberengut. Pian meloncat. “Apa katamu?” tanyanya dengan marahnya. “Dari siapa pula engkau mendengar itu? Kalau aku terangkan, engkau tidak juga mengerti, bodoh. Jadi buat apa aku menghabis-habiskan waktu? Kita hidup di waktu sekarang, tak ada gunanya mengingat hal-hal yang lampau?” […] “Aku juga cinta kepada ibu, Bey,” kata Pian dan otaknya kelihatannya diperasnya. “Tapi tak ada gunanya setiap waktu berkata: Kalau ibu tidak meninggal, dan sebagainya itu. Kalau aku berlaku begitu, aku rasanya tidak dapat hidup samasekali” (Idrus, 1976:57—58). Tidak seperti Pri, Pian menganggap tidak ada gunanya mendekam di dalam sentimentalitas masa lalu. Berdasarkan uraian ini, seluk-beluk keluarga Solihin tampak sebagai hal yang saling bertolak belakang, di satu sisi mereka tampak rusak, tetapi di sisi lain mereka
83 sesungguhnya menyadari dan merenungkannya. Hal ini secara eksplisit juga dinyatakan oleh novel ini pada salah satu bagian, “Sekarang ini begini,” kata Karnaini sambil makan kue, “zaman sekarang ini zaman abnormal. Kita harus menyesuaikan diri dengan panggilan zaman. Kalau tidak kita yang dikatakan orang abnormal.” “Seperti cerita raja yang normal memerintah rakyat yang abnormal saja,” kata Wiryo. “Akhirnya raja itu dibunuh rakyatnya itu, karena menurut rakyat itu rajanya tidak memerintah dengan baik.” Dan Wiryo tertawa dengan senangnya, sedangkan yang lain ikut tertawa ataupun tersenyum (Idrus, 1976:70). Normalitas dan abnormalitas yang saling dipertukarkan terus-menerus mengisi cerita, seperti yang tampak pada rangkaian pembicaraan Pian dan Bey, “Engkau harus sekolah lagi. Engkau tidak bodoh, Bey.” Bey seperti tidak mengacuhkan kata-kata Pian itu. Rambutnya yang keriting ditarik-tariknya. Kata Pian pula: “Engkau hanya berlagak bodoh, supaya engkau tidak disuruh ayah ke mana-mana. Supaya tidak diinjak-injak ayah kalau bawa rapor buruk pulang. Supaya orang tidak mencurahkan perhatian kepadamu. Ya, aku tahu, Bey. […] “Engkau yang selalu mengatakan aku bodoh,” jawab Bey dengan marah. “Sedikit-sedikit anak bodoh, si bodoh dan kepada pengawal itu juga kaukatakan aku bodoh.” Keningnya dikernyutkan, dan merasa geli hatinya. “Memang aku sudah salah, Bey,” katanya. “Engkau ingat ayah selalu menamakan aku buaya? Nah, sekarang aku betul-betul sudah jadi buaya dan engkau aku seret pula berbuat jahat itu (Idrus, 1976:79). “Engkau akan menjadi pelukis, Bey. Dan aku akan buka warung kecil. Di Bandung. Kita keduanya bekerja keras. Kita tidak akan mengacuhkan orang lain. Kita tidak perduli, apakah orang lain itu korupsi, mencuri atau lebih kaya daripada kita. Engkau dan aku hanya tahu bekerja terus saja. Engkau untuk menyempurnakan pendidikanmu sebagai pelukis dan aku cari uang untuk sekedar hidup saja. Dan kita akan jadi orang baik-baik lagi, Bey, seperti yang diharapkan ibu kita (Idrus, 1976:80). Ada kesadaran yang terus-menerus bertambah pada diri Pian tentang kehidupannya selama ini sekaligus keinginannya dan Bey untuk memperbaiki diri, meskipun menurut Pian untuk mewujudkan itu mereka harus melakukan satu kejahatan terakhir—mencuri uang Solihin dengan memanfaatkan Wati untuk kemudian mereka tinggalkan. Hal senada juga terjadi pada Wati, ““Aku sekarang sudah bukan gadis lagi,” katanya kepada dirinya, “dan tali harapanku untuk menjadi orang baik ada pada Pian. Kalau Pian membuayai aku pula…” Ia tidak dapat meneruskan pikirannya, kalau sudah sampai kepada hal tersebut” (Idrus, 1976:90—91). Solihin pun semakin tampak sebagai bapak yang tidak sekadar bisa melakukan korupsi dan menularkan hal ini kepada anak-anaknya, tetapi juga bapak yang mencintai anak-anaknya, Tampak olehnya keluarganya bersenang hati makan, terutama Pian yang tidak boleh melihat makanan yang enak. Bahkan sebentar terasa kepadanya lebih suka ia melihat Pian itu makan lahap seperti itu, biarpun andaikata ia sendiri
84 tidak kebagian makanan yang enak itu. Tapi segera pula hatinya berkata: “Ah, mana tahu buaya-buaya itu akan cinta seorang ayah. Mereka hanya melihat aku marah- marah saja dan mereka benci kepadaku. Tapi mereka tidak tahu, bahwa aku sebenarnya cinta kepada mereka” (Idrus, 1976:83—84). Pada saat yang tidak berselang jauh, Pian pun menemukan keberanian untuk setidaknya membuat pernyataan kepada dirinya sendiri dan Pri bahwa dia adalah orangtua yang mau mengemban tanggung jawab, “Pian, mengapa engkau tidak terang-terangan kawin. Tidak ada satu manusia yang dapat melarang engkau.” Jawab Pian seperti orang yang sudah mengaku kesalahan: “Ia anak tukang warung, Pri.” “Dan karena itu engkau malu, bukan? Sekarang kita sudah merdeka, Pian. Hilangkanlah kepriyayianmu itu. Sudah tidak pada tempatnya lagi. Dan engkau sudah sebulan lebih tidak memberi dia nafkah.” Agak sakit hati Pri mendengar Pian berkata, isterinya itu anak tukang warung. “Sorry, Pri. Besok akan kuberi ia uang belanjanya,” kata Pian seperti orang yang betul-betul menyesali dirinya (Idrus, 1976:88). Lebih lanjut, di tengah-tengah segala hal material dan duniawi yang menjadi pusat perhatian keluarga Solihin, tetap terselip ingatan akan Tuhan, Balik dari pavilyun itu, muka Wati menjadi tenang. Tidak ada kekesalan lagi, tidak ada wajah yang menunggu-nunggu kedatangan orang yang dikasihi, tidak ada harapan lagi dan tidak ada tujuan lagi. Muka Wati sudah sama dengan muka mayat, tenang dan pucat. Ia terus ke kamar mandi, mengambil air sembahyang dan sembahyang lohor di dalam kamarnya. Sudah itu ia duduk berdo’a minta ampun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. […] “Ya Allah,” katanya […] dikeluarkannya seutas tali […] Ia naik dengan hatihati ke atas kursi itu dan mengikatkan tali itu ke kayu melintang dari pintu itu. Dan dengan hati-hati juga disarungkannya tali itu ke lehernya dan dengan suatu gerakan kakinya yang kuat ditendangnya kursi tempat ia berdiri itu ke luar kamar itu…. (Idrus, 1976:96). Terlepas dari bunuh diri sebagai dosa yang tidak terampuni, Wati—yang di awal hingga pertengahan cerita tampak sebagai penipu sekaligus kaki-tangan Pian untuk mencuri uang Solihin—pada titik nadir keputusasaannya sempat menjalankan salat sebelum mengakhiri hidupnya. Hal senada juga terjadi pada Solihin pascakematian Wati serta kepergian Pian dan Bey, ““Ya Allah,” kata Solihin dalam hatinya, “semua ini adalah kesalahanku sendiri. Aku tidak pernah mengajar anak-anakku mempelajari agama, lalu mereka menjadi orang yang tidak punya pegangan”” (Idrus, 1976:102). Pri pun menambahkan, ““Paman,” kata Pri seperti orang putus asa, “Pian dan juga Bey dan Wati baik sebenarnya, Paman”” (Idrus, 1976:103). Pernyataan Pri ini dapat dibaca tidak sebatas berkaitan dengan Pian, Bey, dan Wati, tetapi juga meliputi tokoh-tokoh lain bahkan manusia secara universal yang senantiasa menjadi arena ketegangan antara baik dan buruk, dualitas dalam satu raga.
85 Pri pun menginsafi bahwa, seperti halnya yang telah terlebih dulu dipahami Pian, tidak ada gunanya memerangkap diri di masa lalu yang bagaimanapun caranya tentu tidak akan dapat diubah, “Jika Jepang tidak datang ke negeri ini,” kata Pri kepada dirinya, “Ia akan tetap menjadi pegawai Departemen Economische Zaken yang terhormat. Gaji cukup, hidup aman dan tidak dipenuhi oleh berbagai kejahatan. Dan jika Jepang tidak datang ke negeri ini....” Tapi rupanya Pri sudah bosan dengan mengulang-ulang hal-hal yang serupa itu. Pikirannya berontak dan ia berkata: “Diam. Jika Jepang tidak datang ke negeri ini, tidak akan ada revolusi kemerdekaan dan tidak akan ada kemerdekaan. Apakah artinya penderitaan keluarga jika dibandingkan dengan kebahagiaan seluruh rakyat nanti?” (Idrus, 1976:104). Pri yang pada awalnya tidak berhenti menyalahkan Jepang atas segala hal yang terjadi pada dirinya sendiri dan keluarga Solihin, pada akhirnya memiliki cara pandang berbeda. Kedatangan Jepang bukanlah sesuatu yang hanya memiliki satu sisi, yaitu mendatangkan penderitaan, tetapi sekaligus memiliki sisi lain yang menjadi pemicu revolusi kemerdekaan. Peristiwa demi peristiwa yang dialami keluarga Solihin hadir dengan cara yang tidak meledak-ledak. Problematik mereka harus diakui bukanlah hal yang ringan dan dapat dijalani dengan mudah, tetapi novel ini menyajikannya sedemikian rupa sehingga tampak sekadar sebagai pengamat yang tidak terlibat secara emosional. Kematian Wati misalnya, terasa wajar sekaligus nyata seperti halnya kematian yang datang begitu saja. Penceritaan yang demikian pada akhirnya menjadikan pembacaan terasa tidak berbeban. Tidak pula muncul antipati terhadap sisi negatif para tokoh. Segala kekhawatiran saya di awal—termasuk kemungkinan menjumpai nada-nada menggurui atau bahkan tersesat di dalam taman bunga yang memuakkan—pun tidak terjadi. Tidak berhenti sampai di situ, teknik penceritaan yang dihadirkan novel ini memiliki kontribusi besar dalam membantu pembaca melihat dengan lebih cermat hal-hal yang tersembunyi di balik cerita keluarga Solihin. Dua Sisi, Satu Keping Pada bagian sebelumnya telah tampak bahwa keluarga Solihin adalah orang-orang yang memiliki kutub-kutub ekstrem di dalam diri mereka. Harus diakui, hal yang demikian tentu dapat dipahami sebagai bentuk kemunafikan mereka sehingga yang tampak positif pada akhirnya tetaplah negatif sekadar untuk menabiri kebenaran akan diri mereka sendiri. Namun, berdasarkan penceritaannya yang menghadirkan kesadaran akan kedirian mereka, hal-hal yang tampak positif bukanlah kemunafikan karena mereka tidak melakukannya untuk menarik simpati siapa pun. Sejauh apa pun mereka melangkah dan mengambil keputusan berkaitan dengan sisi gelap mereka, senantiasa ada percikan-percikan keraguan, renungan-renungan, bahkan penyesalan yang— meskipun tidak menghadirkan kelegaan mutlak dan sebentuk penebusan di akhir— tetap dapat dibaca sebagai pernyataan bahwa nurani mereka tidak sepenuhnya buta dan bisu. Tokoh-tokoh novel ini ternyata bukanlah satu-satunya aspek yang memperlihatkan kedikotomisan. Secara umum, latar cerita juga demikian. Dari enam bab yang terbagi lagi
86 menjadi tiga puluh empat segmen, cerita bergerak secara bolak-balik terus-menerus dari ruang publik ke ruang privat. Ketika dicermati, dikotomi ruang publik dan ruang privat ini tidak bersifat seimbang karena ruang privat memiliki porsi lebih besar dibandingkan ruang publik. Sekitar dua per tiga cerita terjadi di ruang privat seperti rumah dan paviliun, sedangkan sisanya terjadi di pasar, rumah sakit, bioskop, warung, jalanan, restoran, dan hotel. Dalam kaitannya dengan keluarga Solihin, hal ini dapat dibaca sebagai pernyataan bahwa segala problematik mereka berasal dari ruang-ruang privat. Kedatangan Jepang—yang menurut Pri sebagai akar problematik meraka—ketika dikaitkan dengan dominasi ruang privat ini, bukanlah faktor utama yang menghadirkan hal-hal negatif di dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi seperti itu karena faktor internal alih-alih eksternal. Ruang publik dan ruang privat ini pada beberapa bagian dihubungkan sekaligus disatukan becak. Apabila dibayangkan sebuah ilustrasi yang menghadirkan dua orang yang duduk saling merapat di atas becak yang sama lalu membicarakan banyak hal berkaitan dengan kehidupan pribadi mereka, tampak bahwa becak merupakan ruang terbuka sekaligus tertutup bagi orang-orang ini, becak memberi semacam rasa aman bagi mereka untuk saling mencurahkan pikiran dan perasaan seolah mereka berada di rumah sendiri. Hal ini pula yang terjadi di dalam cerita, pembicaraan dari hati ke hati antara Solihin dan Miharti, antara Pri dan Wati, dan antara Pian dan Bey terjadi di atas becak dalam perjalanan dari ruang-ruang publik kembali ke rumah mereka. Sosok tukang becak pun hadir sebagai pihak di luar keluarga yang—meskipun tidak menyeluruh—mengetahui sejumlah rahasia keluarga Solihin, seperti ketika berhasil menebak dan memahami jalan pikir Bey selepas mengambil minyak curian dari gudang Caltex serta ketika menawarkan perempuan kepada Solihin. Lebih lanjut, seperti halnya kehadiran ruang publik dan ruang privat, kedudukan rumah induk dan paviliun yang sama-sama ruang privat di dalam novel ini memiliki perbedaan. Ketika ditelusuri, rumah induk memiliki frekuensi kemunculan lebih tinggi dibandingkan paviliun. Sekitar dua pertiga cerita berlatar ruang privat terjadi di rumah induk, sedangkan sepertiganya di paviliun. Rumah induk menjadi arena utama terjadinya problematik yang dengan caranya yang beraneka menyatukan sekaligus memisahkan keluarga Solihin, sedangkan paviliun memiliki skala yang lebih kecil dan menjadi ruang milik Pri, Pian, dan Bey. Perbandingan semacam ini kemudian dapat dibaca dalam kaitannya dengan relasi antargenerasi. Pri, Pian, dan Bey adalah generasi muda yang ditempatkan bukan sebagai pusat yang dipegang oleh Solihin. Pengaruh Solihin yang sedemikian besar menjadikan anggota keluarganya terseret sedemikian rupa dan seolah sedikit demi sedikit menjelma sebagai Solihin. Ada tanggung jawab tidak terucap yang semestinya menjadi milik Solihin yang gagal beroperasi dengan baik atas kehidupan dan masa depan anak-anaknya. Wati yang pada awalnya sebagai bagian dari rumah induk—yang kemudian bisa bergerak ulang-alik antara rumah induk dan paviliun—pun tidak lolos dari jerat Solihin melalui permainan yang dilakukan Pian. Dalam kaitannya dengan relasi antargenerasi, peristiwa Wati bunuh diri dan keguguran yang dialami Halimah dapat pula dibaca sebagai kematian generasi muda sebagai imbas tidak langsung perilaku generasi tua.
87 Hal lain yang menarik di dalam novel ini adalah penggunaan dialog dan monolog interior yang ternyata memiliki perannya masing-masing. Dialog-dialog sebagian besar berkaitan dengan hal-hal material, sedangkan melalui monolog interior dapat terasa dimensi tokohtokohnya akan hal-hal nonmaterial seperti ketidakmampuan melepaskan diri dari belenggu masa lalu, perasaan bersalah karena menganggap dirinya gagal melawan arus, ingatan akan Tuhan yang tidak pernah sepenuhnya absen di tengah-tengah keduniawian—serusak apa pun—mereka, dan cinta bapak kepada anak-anaknya. Ketika hal ini diputar kembali untuk dipertemukan dengan relasi antara ruang publik dan ruang privat, dapat dipahami bahwa dialog setara dengan ruang publik dan monolog interior setara dengan ruang privat. Dominasi dialog yang kemudian dipertentangkan dengan dominasi ruang privat pun kemudian memunculkan sekaligus memperkuat pemahaman tentang “dua sisi, satu keping” yang juga telah tampak pada karakteristik tokoh-tokoh novel ini. Pasar sebagai Hulu dan Muara Pada bagian awal tulisan ini, saya memunculkan sebentuk asumsi tentang kehadiran pasar sebagai hulu cerita. Seiring dengan pergerakan cerita menuju muaranya, pasar hadir beberapa kali di bagian hilir meskipun sepintas. Kehadirannya ini tidak sekadar sebagai latar cerita yang dilewati begitu saja oleh tokoh, tetapi menjadi ruang tersendiri bagi tokoh untuk sejenak melepaskan diri dari kemelut keluarga dan memperoleh kesenangan. Dalam kerangka berpikir umum, ada sejumlah hal yang identik dengan pasar, di antaranya pertemuan manusia-manusia, transaksi, dan hiruk-pikuk. Pada awalnya, pasar terbaca sebagai sebuah metafora keduniawian, hal-hal yang material, yang memang tampak mencolok di dalam novel ini melalui cara pandang dan perilaku tokoh-tokohnya. Berkaitan dengan hal ini, memang tampak aneh ketika tokoh-tokoh ini menjadikan pasar sebagai pelarian atau setidaknya rehat sejenak dari kehidupannya. Senada dengan becak yang menyediakan ruang bagi tokoh untuk berpikir lebih jernih, pasar seolah menjadi ruang yang lebih mampu menghadirkan kedamaian dibandingkan rumah sendiri. Jika dicermati, pasar di novel ini dideskripsikan sebagai ruang yang lengang dalam segala kesibukannya. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di pasar mengalir dengan tenang, bahkan ketika mencapai bagian tentang orang-orang pasar yang kalah oleh keadaan, cerita tidak lantas menggelombang. Kehadiran pasar di hulu dan hilir cerita pada akhirnya bermuara pada renungan Pri pascarangkaian peristiwa yang memecah-belah keluarga Solihin, Pri dengan berjalan perlahan-lahan menuju pasar, tapi tidak ada maksudnya untuk makan ataupun mendekati pasar itu. Ia hanya menghabiskan waktu saja menunggukan pamannya selesai mencurahkan kesedihannya. Karena itu diseberanginya jalan raya itu, sehingga ia berjalan di pinggir yang jauh dari pasar itu. Pri berjalan juga dan diperhatikannya pasar itu dengan seksama, seakanakan pasar itu adalah yang penting sekali bagi pemikirannya. Tiba-tiba terpikir olehnya: “Selama aku ketahui, pasar yang seperti ini tidak berubah-ubahnya dari sejak zaman Belanda, melalui zaman Jepang, melalui revolusi dan sampai sekarang. Lampu-lampunya tetap lampu karbit juga. Cahaya apinya bergerak-gerak dipukul angin malam yang lembut yang memberikan pemandangan misterius kepada pasar itu. Sungguhpun api itu berkelip-kelip ditiup angin, tapi cukup menerangi
88 pasar itu dengan meriahnya. Dan kelip-kelip lampu itu menimbulkan perasaan romantik orang-orang yang ingin mencuri cinta dan itulah sebabnya tempattempat gelap yang tidak kena terang cahaya lampu-lampu itu penuh dengan manusia: perempuan dan lelaki yang berbisik-bisik dan sekali-sekali berteriak senang.” Pri berjalan juga, mengelakkan sekali bagian-bagian yang terang dari jalan raya itu. “Pasar itu lebih kuat dari manusia,” pikir Pri pula. “Pasar ini tidak lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Dia hidup dari hari ke hari dengan tiada berubah-ubah dari zaman ke zaman dan baginya tidak ada penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, tidak ada revolusi dan tidak ada kenaikan harga-harga (Idrus, 1976:107). Bagian “seakan-akan pasar itu adalah yang penting sekali bagi pemikirannya” menjadi semacam penegas berkaitan dengan kahadiran pasar di dalam novel ini. Adanya pertanyaan berkaitan dengan pasar yang berkedudukan sebagai pembuka cerita pun memperoleh jawaban, begitu pula dengan perilaku tokoh yang menjadikan pasar sebagai semacam sangtuari. Pasar bukan sekadar ruang publik, tempat pertemuan manusia-manusia, transaksi, dan hiruk-pikuk, atau bahkan pelarian. Pasar adalah makhluk sekaligus kehidupan itu sendiri yang memberi pijakan bagi makhluk-makhluk lain. Pengetahuan Pri berkaitan dengan stabilitas pasar memberi makna bagi pasar, yaitu kemerdekaan. Apa pun yang terjadi dan ditimpakan kepadanya, pasar senantiasa mempertahankan eksistensinya dengan baik. Hal ini pula yang semakin membuka pemahaman Pri bahwa ia tidak semestinya hidup di masa lalu dan menyalahkan keadaan. Terang dan gelap kehidupan manusia ada di dalam dirinya sendiri. Simpulan Hati Nurani Manusia karya Idrus menghadirkan problematik sebuah keluarga di tengah masa-masa awal kehidupan Indonesia pascakemerdekaan. Novel ini dengan cara bertuturnya yang datar secara sederhana mendiskusikan aspek kejiwaan manusia-manusia korup. Korup di sini pun tidak sekadar berarti ketidakjujuran dalam hal kepemilikan harta, tetapi korup dalam skala yang lebih luas, yaitu degradasi moral. Mereka pun tidak berwujud sebagai manusia-manusia yang rusak secara mutlak, melainkan tetap memiliki keinginan sekaligus peluang untuk melakukan perubahan. Berkaitan dengan hal ini, ada salah satu bagian novel yang ketika dibaca hampir lima puluh tahun pascapenulisannya dalam konteks keindonesiaan, menciptakan seulas senyum yang bisa jadi berubah menjadi tawa miris atau ketertegunan yang merenggut, “Tiga puluh dua tahun umurnya sekarang, dan selama itu ia berhasil mempertahankan kebersihan jiwanya, tapi di dalam gedung bioskop pada hari Sabtu malam itu, jiwa itu sudah terkulai jatuh dan dengan jiwa itu terkulai pula seluruh kepribadian Pri.” Tiga puluh dua tahun memang mengacu pada usia Pri, tetapi ketika dikaitkan dengan sejumlah korupsi di dalam novel ini dan kejatuhan seseorang, hal ini menjadi aspek profetik novel ini atas kejatuhan sebuah rezim. Novel ini tidak hanya menjadi penanda zamannya, tetapi melampaui beberapa dasawarsa dan tetap dapat dibaca sebagai hal yang begitu dekat dengan kekinian. Pada akhirnya, Hati Nurani Manusia merupakan medium yang sedikit-banyak mengingatkan pembaca akan hati nurani. Tidak sebatas hati nurani sebagai bagian yang membentuk
89 manusia, tetapi pada ruang-ruang yang senantiasa saling berhimpitan, beririsan, bahkan bertarung dalam rangka mewujudkan kemanusiaan. Hati nurani tidak sekadar dimiliki manusia-manusia malaikatiah dan tidak dipunyai manusia-manusia setaniah, tetapi bersemayam di dalam diri setiap manusia. Daftar Pustaka Idrus. 1976. Hati Nurani Manusia. Jakarta: Pustaka Jaya. Jauss, Hans Robert. 1983. Toward An Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press. Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1991. Tentang Sastra, diterjemahkan oleh Akhadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.
90 Struktur Stilistika Kumpulan Puisi Negeriku: Syair-syair Perjuangan Karya Agus Jabo Heru Supriyadi Poetry anthology Negeriku: Syair-syair Perjuangan (My Homeland: Poetries of the Struggle) by Agus Jabo published by Jaringan Kerjasama Budaya Rakyat in 2009. This anthology revealed story of his life, nationality spirit, and humanity. In this case, the poet utilized stylistics as his characteristic. Therefore, to analyse Negeriku: Syair-syair Perjuangan, the researcher utilized structural approach. Based on the results, the poet used stylistics such as metaphor, assonance, repetition, personification, and rhetoric question. Metaphor ia dominant style, made to reveals the emotion and intensify the feeling. Keywords: stylistic, structural analysis, metaphor, intensify statement Pendahuluan Negeriku: Syair-Syair Perjuangan merupakan kumpulan puisi karya Agus Jabo diterbitkan oleh Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat pada tahun 2009. Kumpulan puisi tersebut terdiri atas empat puluh puisi. Puisi-puisinya mengungkap masalah kisah hidupnya, semangat kebangsaan, dan kemanusiaan. Puisi-puisi yang terdapat di dalamnya bervisi-misi dulce et utile yang berarti menyenangkan dan berguna, misal puisi berjudul “Waktu Aku Kecil,” “Pulang Sekolah,” “Dongeng Negeriku,” “Nusantara,” dan “Untuk Nanda di Aceh.” Dalam kumpulan puisi Negeriku: Syair-Syair Perjuangan, penyair memanfaatkan stilistika sebagai karakteristiknya. Oleh karena itu, peneliti dalam makalah ini menganalisis kumpulan puisi tersebut dari dimensi stilistika. Selain itu, berdasarkan observasi yang peneliti lakukan kumpulan, puisi tersebut belum ada yang memanfaatkan sebagai objek material penulisan makalah. Berdasarkan paparan tersebut, dapat peneliti rumuskan permasalahan sebagai berikut. Pertama, ragam stilistika apa saja yang penyair manfaatkan sebagai sarana pengungkapan kumpulan puisi Negeri: Syair-syair Perjuangan? Kedua, berdasarkan ragam stilistika bagaimana efek yang ditimbulkan dalam kumpulan puisi tersebut? Metode Dalam penulisan karya ilmiah, peneliti harus menggunakan metode dan pendekatan yang tepat. Tanpa menggunakan metode dan pendekatan yang tepat, hasil penelitian tidak efektif (tidak mengena sasaran). Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:17) mendefinisikan metode sebagai cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam penelitian sastra, metode adalah cara yang dipilih oleh peneliti mempertimbangkan bentuk, isi, dan sifat sastra sebagai subjek kajian (Endraswara, 2011:8). Pendekatan diartikan sebagai alat untuk mengungkap realita atau fenomena yang belum dilakukan kegiatan analisis sebuah karya. Dengan berbekal pendekatan, seorang peneliti sesungguhnya memasuki kajian sastra langkah dan cara berpikir secara terpadu, terfokus, dan terhindarkan dari cara-cara spekulatif dan acak (Siswantoro, 2010:47).