The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Yang Berkelindan di Bawah Permukaan merupakan kumpulan tulisan staf pengajar Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Mardhayu Wulan Sari, 2023-03-24 16:09:58

Yang Berkelindan di Bawah Permukaan

Yang Berkelindan di Bawah Permukaan merupakan kumpulan tulisan staf pengajar Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.

Keywords: antologi,Sastra,Linguistik,Filologi

141 Anak-anak punya persepsi yang berbeda mengenai kesehatan. Kemampuan menggali sesuatu dari nilai budaya atau dari sumber daya alam untuk kesehatan sebagai sebuah prespektif nilai keseharian. Segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungan anak-anak, mulai dari lingkungan rumah, lingkungan bermain, sampai sekolah dapat dilihat dari prespektif kesehatan. Setiap wujud budaya atau unsur-unsur budaya ada nilai kesehatan. Kesadaran inilah yang disebut dengn prinsip sosiologis all for health, yaitu kesehatan adalah kebutuhan setiap individu, baik orang sakit maupun yang sehat (Sudarman, 2009:31). Masa anak-anak adalah masa ingin tahu segala sesuatu. Mereka banyak mengajukan pertanyaan. Semua anak juga ingin tahu apa yang dilakukan orang tuanya dan selanjutnya anak akan mencontoh perilaku orang tua dan orang yang ada disekitarnya. Pendidikan nilai merupakan keseluruhan hidup manusia yang dewasa ini mendapa tantangan kemajuan teknologi, terutama media komunikasi dan informasi. Melalui media kita bisa membaca, mendengar, dan melihat kejadian-kejadian atau pristiwaperistiwa di dalam belahan bumi lain dalam waktu yang yang bersamaan bagi kita sebagai pembaca, hal-hal yang sering memberikan paham penghayatan hidup dan nilainilai baru. Nilai-nilai itu memengaruhi sistem nilai yang telah menjadi milik masyarakat. Dalam konteks ini, anak-anak selalu mengalami proses sosialisasi nilai dan menjadi sasaran utama kemajuan zaman. Apakah kemajuan tersebut semakin menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan mereka? Apakan semakin mengondisikan anak0-nak untuk tahu nilai adatnya? Pertanyaan itu menjadi perhatian bagi seluruh masyaarakat dalam membrikan tanggapan terhadap perubahan dan keadan yang terjadi dalam kehidupan di keluarga, lingkungan sekolah, maupun tempat bermain. Dalam kontkes ini pula, kesadaran akan pentingnya pendidikan nilai kesehatan ditanamkan sejak dini. Disadari bahwa mengisi pendidikan nilai secara lebih berbobot merupakan bekal paling berharga bagi generasi muda sekarang. 4. Manfaat Sastra di Bidang Kesehatan Di antara bidang permasalahan kesehtan, karya sastra dapat pula menunjukkan kegunaannya, yaitu mempelajari kesehatan menurut prespekti si pengarang. Belum banyak anak menulis mengenai tema kesehatan, di antaranya mengenai makanan yang membahayakan jiwa dan mendatangkan penderitaan bagi yang mengkonsumnya. Perhatian pengarang cilik masih kurang terhadap kesehatan. Para pengarang anak biasanya akan menulis mengenai tema cerita berdasarkan pengalaman sehari-harinya yang pernah dilihat, didengar, dan dirasakannya. Misal, selama itu orang tua hanya menekankan pendidikan moral, otomatis yang mereka tulis pun tidak jauh dari pengalamannya tersebut. Telaah yang dilakukan pada Kompas yang menyediakan ruang kreativitas anak, salah satunya halaman yang memuat tentang cerita anak setiap Minggu. Namun, dalam kenyataannya cerita anak yang ditulis anak-anak tidak selalu hadir setiap Minggu dalam halaman tersebut. Dalam enam bulan terkumpul sekitar 26 judul cerita anak dengan tema dominan mengenai cerita moral, seperti berbuat baik, tolong-menolong, saling mengasihi. Dari 26 cerita itu, hanya ada satu cerita dengan judul “Nasi Kuning” yang


142 menjelaskan bahwa bahan nasi kuning terbuat dari kunir. Penemuan yang sama terdapat pada cerita anak yang ditulis melalui situs internet melalui www.duniadongeng.com. Dari 100 judul cerita didominiasi cerita moral dan tentang binatang, sementara kesehatan hanya ditemukan sekitar 34 cerita mengenai kesehatan. Sebenarnya cerita dari tradisi lisan seperti folklor, legenda, fabel, dan mite tidak satu pun ditemukan cerita terkait kesehatan. Hal ini menandakan bahwa tema-tema masalah kesehatan belum menyentuh pikiran anak-anak. Tidak populernya tema kesehatan dalam pikiraan anak ini ada pengaruhnya dengan pola budaya kita yang tidak menjadikan kebersihan dan kesehatan masuk dalam dunia pendidikan moral. Akibatnya, anak akan tidak tahu. Sebenarnya anak-anak tahu mengenai sehat dan sakit, tetapi ia hanya bisa mengetahui dari sisi perilaku, bukan pada taraf gagasan. Tampak bahwa tema kesehatan tidak memiliki nilai manarik yang bisa memengaruhi perubahan sikap pembacanya. Sebenarnya tema kesehatan tidak kalah menarik dengan cerita-cerita mengenai moral. Tema kesehatan sebenarnya juga dapat menjadikan sesuau yang kelihatan kurang menarik untuk diceritakan menjadi sesuatu yang menarik. Sekarang ada bukti bahwa kebanyakan pengarang anak-anak didasarkan atas internalisasi yang diterima dari lingkungan ia berada. Mengajarkan kebersihan seharusnya dilakukan sejak balita, sejak anak-anak. Mulailah dengan hal-hal yang mudah meeka pahami. Misal, membasuh tangan ketika akan makan atau membasuh buah ketika akan dimakan, mengelap piring sebelum makan dan membasuhnya setelah selelai makan. Ajaran demikian penting dilakukan agar anak mudah mengerti akan kebersihan. Jika sudah terbiasa demikian, secara tidak langsung menjadi kebiasaan sehari-hari. 5. Peran Cerpen dalam Membentuk Karakter Siswa Mengenal Kebersihan Cerpen bukanlah reklame yang dapat memengaruhi dengan mudah pikiran anak-anak. Peran cerpen dalam memsosialisakan nilai-nilai kebersihan cukup efektif sesuai dengan kondisi dan situasi siswa-siswi masa kini. Cerpen semacam media yang dapat menyumbangkan pengetahuan dan informasi berkaitan dengan kebersihan. Beberapa kejadian seperti daur ulang sampah dan penghijauan dapat disosialisasikan melalui cerita yang secara tidak langsung dapat menghimbau untuk mengubah sikap orang secara tidak langsung. Mengingat anak-anak Indonesia yang tidak suka membaca, cerpen mengenai kesehatan haruslah dibacakan. Cerita-cerita mengenai kesehatan didongengkan sehingga secara tidak langsung anak dapat mendeskripsikan sistem nilai kesehatan dalam pikirannya. Hal ini sebagaimana dilakukan pada anak sekolah dasar kelas 1 hingga kelas 3 ketika dibacakan cerpen “Gigi Oh Gigi,” mereka dapat membayangkan rasa sakit akibat tidak rutin menggosok gigi sebelum dan di waktu bangun tidur. Dengan dibacakan cerita tersebut, mereka sadar akan pentingnya gosok gigi. Pagi harinya ketika ditanya ia menceritakan sudah gosok gigi tanpa disuruh orang tua. Ketika dibacakan cerpen “Sakit Perut,” siswa dikenalkan mengenai pewarna makanan yang tidak sehat, seperti warna terang pada saus yang merah dan tidak mudah luntur


143 ketika menodai baju. Maka, ketika dilakukan tanya-jawab mereka dapat mulai memahami tentang bentuk makanan yang sehat. Secara tidak langsung dengan memberikan pengetahuan melalui cerpen maka secaa tidak langsung dapat mengubah perilaku hidup sehat, walaupun sangat sedikit. Sebetulnya kebudayaan nenek moyang kita memiliki banyak cerita rakyat atau folklor yang mengandung mitos dengan sarat muatan filosofis. Mitos-mitos yang mereka ciptakan menunjukkan identitas kelompok, mengandung cerita pada generasi berikutnya yang membuktikan perilaku budaya yang sangat tinggi. Juga berisi nilai pendidikan, hiburan untuk dinikmati, serta menggalang solidaritas. Cerita rakyat memberikan inspirasi bagi pengikut kebudayaan bersangkutan untuk memiliki rasa bangga atas suku bangsanya. Orang-orang Madura sangat bangga dengan jamu tradisionalnya, demikian juga orang Jawa bangga dengan pengetahuan jamu yang tertuang dalam Serat Centini. Pengetahuan mengenai kesehatan dan kebersihan lingkungan yang dilakukan nenek moyang di masa lalu jarang sekali ditransmisikan pada genersi anak cucu, sehingga mareka tidak tahu sistem pengetahuan yang dimiliki nenek moyangnya dahulu. Dunia sastra mempunyai kedudukan istimewa dalam dunia anak-anak. Sastra adalah seni verbal, sementara bahasa dipergunakan dalam segala aspek kehidupan, baik dalam dunia pelajaran maupun dunia mengarang anak. Bahasa digunakan untuk menuangkan gagasan untuk menceritakan dirinya maupun orang lain tentang kesehatan dan nilai-nilai moral. Anak-anak memiliki keingintahuan cukup besar dalam berbicara mengenai lingkungannya, pelajaran nilai yang diterimanya dari orang tua, guru, dan lingkungan bermain. Selain itu, mendongeng atau bercerita tidak mendapat tempat dalam pembelajaran siswa-siswi. Orang tua dan guru ternyata jarang sekali mendongeng dan pelajaran mengarang tampaknya hampir dikatakan siswa-siswi tidak mendapatkan pelajaran tersebut. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia yang lebih banyak diajarkan adalah mengenai tata bahasa, sedangkan mengenai mengarang dan bercerita yang termasuk bidang kesusateraan diabaikan. Beberapa siswa ketika ditanya mengenai mengarang, mereka menjawab tidak pernah mengarang. Kalau pun ada pelajaran kesusatraan, hal itu lebih banyak membaca cerita di dalam buku teks, guru tidak punya inisiatif untuk menjadikan siswa mengarang. Ketika ditanya dari mana mengetahui nilai kebersihaan, melalui nasihat dari orang tua, guru, dan masyarakat pada umumnya. Nilai kesehatan dijelaskan secara verbal terhadap anak dan murid-murid. Informan ditanya apakah pernah membaca cerita atau dongeng mengenai kebersihan sekolah dan rumah dari koran dan majalah, rata-rata merea menjawab tidak pernah membacanaya. Ketika ditanya cerita apakah yang banyak dibaca dari koran dan majalah, informan menjawab cerita anak-anak seperti si Kancil, Timun Emas, Cinderella, dan cerita yang berkaitan dengan moral. Dari jawaban informan dapat dikatakan bahwa anak-anak tidak pernah membaca cerita tentag kebersihan.


144 Cerpen merupakan sebuah media yang bisa dijadikan alat untuk mengampenyakan kebersihan lingkungan. Cerita atau sastra anak dapat dijadikan sebuah model strategi komunikasi yang mungkin dapat membantu memikirkan lebih jauh pemahaman mengenai kesehatan. Karya sastra memiliki banyak manfaat untuk melihat hubungan manusia dengan sesama dan lingkungan sekitarnya. 6. Pemanfaatan Media Massa bagi Siswa-siswi Kalau dilihat dari jumlah anak-anak Indonesia dalam usia produktif, hanya sebagian kecil dari mereka memanfaatkan media massa untuk memperkenalkan jati dirinya. Kenyataannya, anak-anak Indonesia belum banyak menulis. Budaya menulis belum menjadi sebuah gerakan budaya. Akibatnya, sulit menemukana cerita anak--anak yang ditulis oleh anak-anak. Menemukan cerita atau dongeng anak-anak yang ditulis anak-anak sebetulnya tidaklah sulit. Beberapa media massa sengaja menyedikan ruang kreativitas bagi anak-anak. Media massa yang menyediakan ruang kreativitas bagi anak-anak hanya Kompas. Dalam ruang ini anak-anak boleh meneulis apa saja seperti cerita, dongeng, dan puisi. Adapun media lain seperti tabloid dan majalah tidak menyediakan cerita untuk anakanak. Sementara itu, buku cerita anak seperti dongeng, legenda, mite, dan sage, temanya mengenai etika dan moral, sedangkan cerita mengenai kebersihan atau kesehatan pada uumnya belun banyak disinggung. Tema-tema kesehatan dapat ditemukan dalam blog di internet dan itu pun jumlahnya tidak banyak. 7. Peran Cerita dalam Membentuk Hidup Bersih Karya sastra secara tidak langsung memengaruhi pikiran anak-anak. Melalui cerita dapat dimungkinkan anak-anak berandai-andai menciptakan dunia yang bersih dan sehat melalui cerita yang dia buat. Sebagai pengarang ia akan menertibkan dirinya dahulu sebelum menulis karena menulis adalah mengekspresikan pikiran, kebiasaan, dan orientasi hidupnya sejak masih kanak-kanak. Cerita atau dongeng yang berisi pengetahuan dan informasi terkait kebersihan, selain menenangkan juga memberi pendidikan moral. Setiap anak punya fantasi yang besar mengenai kehidupan yang besih, ia berusaha menciptakan berbagai angan idealnya mengenai kebersihan lingkungan dan kebersihan tubuhnya. Cerpen adalah hasil bisikan hati seorang anak-anak yang dicurahkan dalam bentuk tulisan untuk memberikan ekspresi dalm bentuk bentuk kreatif dari segala emosi dengan satu tujuan memberikan informasi atau menggugah kepekaaan pembaca. Anak-anak juga pencipta kebersihan, dengan tujuan menciptakan lingkungan yang sehat. Dengan bercerita ia dapat menjelaskan mengenai yang ingin diketahuinya atau mengenai apa pun tentang kebersihan secara luas. Setiap anak mempunyai pengalaman yang berbeda-beda mengenai kesehatan. Anak-anak sebagai pembaca secara tidak langsung dapat menerima pengetahuan dari buku bacaannya. Melalui simbol-simbol yang diungkapkan penulisnya, pembaca akan menadapat pencerahan dari hasil bacaannnya. Melalui buku cerita, selain dapat


145 menyenangkan, cerpen pun dapat menjadi media pendidikan sebagaimana dikatakan Wellek bahwa sastra itu menyenangkan dan berguna. Simpulan Peranan cerita anak-anak Indonesia dalam sosialisasi nilai budaya sehat melalui media massa masih kurang populer bila dibandingkan dengan tema cerita etika dan moral. Pandangan dunia anak mengenai kesehatan masih sebatas menceritakan pengalaman sehari-hari yang dialami dan dilihatnya. Cerita-cerita yang dikemukakan berbentuk deskriptif dan intuitif. Peran media massa masih kurang optimal dalam mensosialisasikan nilai kesehatan terhadap anak-anak. Daftar Pustaka Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyaklarta: LKIiS. Halliday, M. A. K.1978. Language as Social Semiotics. London: Edward Arnold. Keraf, Sonny. 2004. Etika Bisnis. Depok: Koekoesan. Katz, Jerrold J. 1972. Semantic Theory. New york: Harper & Row Publisher. McLuhan, Marshall. 1964. Understanding Media. New York: McGraw Hill Book Co. McQuall, Denis. 1987. Mass Communication Theory. London: Sage Publication Mu’arif. 2005. Wacana Pendidikan Kritis. Yogyakarta: IRCiD. Oemarjati, Boen S. 1996. ”Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan.” Dalam Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Sinar Harapan. Rivers, William L., Jay W. Jensens, dan Theodore Peterson. 2003. Media Massa Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media. Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial: Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: JP Surabaya. Sudikan, Setya Yuwono. 2000. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Citra Wacana. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunukasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tompson, John B. 2005. Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. Surabaya: Penerbit Visi Humanika.


146 Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M Mardhayu Wulan Sari Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M merupakan pupuh ketiga belas dan terdiri atas delapan belas bait. Kinanthi merupakan salah satu nama tembang macapat yang memiliki pola persajakan guru gatra enam baris, guru wilangan dan guru lagu 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i. Pada pupuh ketiga belas, terdapat ketidaksesuaian pola persajakan sehingga perlu dilakukan perbaikan terhadap bait-bait dalam pupuh (bab) tersebut. Perbaikan yang dilakukan meliputi penambahan atau pengurangan kata agar pola persajakannya sesuai. Perubahan beberapa bunyi tidak dilakukan untuk mempertahankan kekhasan teks. Teks yang disajikan dalam tulisan ini meliputi teks hasil transliterasi, yaitu perubahan teks terbatas pada aksara dan tanda baca, teks yang telah diperbaiki bacaannya kemudian disusun mengikuti metrum kinanthi, dan terjemahan. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang dilakukan adalah terjemahan kata per kata dan hasil terjemahan disusun seperti teks yang telah mengalami perbaikan bacaan. Kata kunci: kinanthi, metrum, persajakan, teks Pendahuluan Kesusastraan Jawa juga mengenal bentuk prosa dan puisi seperti kesusastraan lainnya. Puisi Jawa dianggap lebih populer daripada prosa Jawa serta menduduki tempat terpenting (Saputra, 2001: 2). Puisi Jawa didefinisikan sebagai puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa sendiri, masih menurut Saputra, dibagi menjadi tiga, yakni bahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan bahasa Jawa Baru. Berdasarkan pengelompokan bahasa tersebut, bentuk pusi yang hadir dikelompokkan sebagai berikut: (1) puisi Jawa Kuna, yaitu kakawin; (2) puisi Jawa Tengahan, yaitu kidung; dan (3) puisi Jawa Baru, dibedakan menjadi: (a) puisi yang bertembang meliputi, tembang macapat, tembang tengahan, dan tembang gedhe; (b) puisi yang tidak bertembang meliputi guritan, parikan, wangsulan, dan singir. Perbedaan antara puisi bertembang dengan puisi tidak bertembang terletak pada cara pembacaannya. Puisi bertembang dibaca berdasarkan susunan titilaras ‘notasi/nada’. Tembang-tembang yang termasuk kelompok pusi bertembang adalah macapat, tembang tengahan, dan tembag gedhe. Tembang macapat asli meliputi dhandhanggula, asmaradana, sinom, durma, pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, dan pucung; tembang tengahan meliputi jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, dan megatruh; tembang gedhe, yaitu girisa. Teks Serat Rama bila dilihat dari nama pupuh (bab) yang digunakan, termasuk pada kelompok macapat asli. Oleh karena itu, penjelasan selanjutnya ditekankan pada jenisjenis tembang yang termasuk kelompok macapat asli. Macapat diciptakan oleh para wali sebagai sarana menyebarkan Islam di Jawa setelah berakhirnya kekuasaan Majapahit. Macapat mempunyai kedudukan penting dalam sejarah kesusatraan Jawa. Keunggulan tersebut disebabkan oleh: (1) usia yang panjang karena masih digunakan sampai sekarang; (2) banyaknya tulisan yang dibingkai metrum macapat; (3) setelah periode kakawin Jawa Kuna, macapat dianggap sebagai satu-satunya bentuk susastra; (4)


147 hampir semua orang Jawa mengenal macapat, bahkan tradisi sastra di Madura, Sunda, Bali, dan Lombok juga mengenal macapat (Saputra, 2001:104). Masing-masing nama tembang macapat mempunyai pola persajakan atau metrum yang berbeda. Macapat mempunyai pola persajakan yang ketat karena berkaitan dengan cara melagukannya. Aturan dalam pola persajakan macapat meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru gatra mengacu pada jumlah baris dalam tiap bait, guru wilangan mengacu pada jumlah suku kata dalam tiap baris, dan guru lagu mengacu pada bunyi vokal terakhir dalam masing-masing baris. Hasil dan Pembahasan Serat Rama merupakan salah satu judul naskah yang tersimpan di Museum Mpu Tantular Sidoarjo. Naskah Serat Rama hanya memuat satu buah teks, yaitu Serat Rama. Teks Serat Rama ditulis menggunakan aksara Jawa dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru disertai beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Jawa Kuno. Serat Rama ditulis dalam media naskah yang berbahan dluwang kulit kayu. Teks ini berbentuk macapat. Metrum yang membingkai teks Serat Rama meliputi dhangdhanggula, pangkor, srinata, kasmaran, danagung, sekaring tyas, dan kinanthi. Metrum dhangdhanggula sama dengan dhandhanggula. Penambahan bunyi /ng/ dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain dialek atau kesalahan dengar yang terjadi saat proses penyalinan. Pangkor sama dengan pangkur. Menurut Arps (1992:12), perubahan vokal /u/ dan /o/ serta /i/ dan /e/ lazim terjadi pada orang-orang Jawa yang tidak terbiasa menulis sehingga menganggap vokal-vokal tersebut adalah sama. Selain nama pangkor, dalam Serat Rama juga ditemukan nama metrum kawingkeng. Kawingkeng merupakan nama lain dari metrum pangkur. Baik pangkur maupun kawingkeng mempunyai makna bagian belakang. Srinata merupakan nama lain tembang sinom. Hardjowirogo (1980:47—48) menulis beberapa nama lain untuk tembang sinom, yaitu anom, ron kamal, taruna, srinata, pangrawit, dan logondhang. Metrum berikutnya, kidanan, kasmaran, danagung, dan sekaring tyas merupakan nama lain asmaradana. Dalam Serat Rama, metrum kinanthi dituliskan menjadi kinanthih. Metrum kinanthi meliputi guru gatra yang terdiri atas enam baris, guru wilangan berjumlah delapan pada masing-masing baris, dan guru lagu terdiri atas u, i, a, i, a, dan i sehingga dapat dituliskan menjadi 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, dan 8i. Metrum kinanthi mempunyai tema kemesraan sehingga banyak digunakan untuk menulis tembang tentang percintaan, nasihat, dan keriangan hati. Kinanthi digunakan sebanyak satu kali pada Serat Rama. Dalam satu pupuh kinanthi terdapat delapan belas bait. Metrum kinanthi tidak diterapkan pada Serat Rama. Mengacu pada hasil transliterasi, tampak bahwa jumlah baris dalam tiap bait terdiri atas lima, empat, tiga, dua, bahkan satu baris. Kekurangtepatan dalam penulisan jumlah baris berdampak pada jumlah suku kata dalam masing-masing baris sehingga perlu diadakan perbaikan jumlah baris dan suku kata pada masing-masing bait metrum kinanthi. Selain itu, bunyi vokal akhir pada masing-masing baris juga tidak seluruhnya tepat sehingga juga perlu diperbaiki. Perbaikan jumlah baris, suku kata, dan bunyi vokal terakhir pada masing-masing baris disajikan dalam bentuk tabel perbandingan. Penyajian seperti ini diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk mengidentifikasi setiap perbaikan yang telah dilakukan. Selain menyajikan hasil perbaikan, tabel perbandingan ini juga menyajikan


148 terjemahan dalam bahasa Indonesia dari masing-masing bait. Terjemahan yang dilakukan adalah terjemahan kata per kata dan disajikan per baris seperti bentuk teks yang telah mengalami perbaikan.


149


150


151


152


153


154 Simpulan Perbaikan metrum kinanthi pada Serat Rama meliputi jumlah baris, jumlah suku kata tiap baris, dan bunyi vokal terakhir pada masing-masing baris. Dalam menyajikan bentuk teks yang sesuai dengan metrum kinanthi, dilakukan penghitungan suku kata untuk masingmasing baris. Perbaikan yang paling sedikit dilakukan adalah perbaikan pada bunyi vokal terakhir pada suatu baris. Ditemukan hanya satu bunyi vokal terakhir yang perlu diperbaiki, yaitu kata pamre menjadi pamrih. Daftar Pustaka Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature. London: School of Oriental and African Studies, University of London. Hardjowirogo, R. 1980. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Saputra, Karsono H. 2001a. Puisi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sarana. ________. 2001b. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sarana. Sari, Mardhayu Wulan. 2015. Repertoire dalam Serat Rama: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Kajian Respon Estetik Wolfgang Iser. Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Serat Rama. Kode Naskah 07.248 M. Koleksi Museum Mpu Tantular Sidoarjo.


155 Tradisi dan Budaya dalam Perspektif Hermeneutika Gadamer Mochtar Lutfi Pendahuluan Di dalam naskah lama terkandung pengalaman hidup dan keadaan masyarakat pendukungnya sepanjang masa, seperti keadaan geografis, manusia dan permukiman, kesibukan sehari-hari, perjalanan sejarah kaum atau bangsa, dan pengalaman emosional yang dilaluinya, serta pemikiran dan falsafah hidupnya (Sudjiman, 1995:14). Beraneka ragam isi naskah menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara mempunyai tradisi tulis yang baik dalam merekam permasalahan yang berkembang di masyarakat. Hal itu akan berguna untuk bangsa Indonesia saat ini dalam menyelesaikan setiap permasalahan budaya yang dihadapinya. Selain itu, dari peristiwa dan permasalahan masa lalu terkandung nilai-nilai yang masih berkembang masa kini untuk kemaslahatan masa yang akan datang. Permasalahan sosial, politik, sastra, dan sebagainya tidak pernah lepas dari unsur bahasa sebagai medianya sebab bahasa merupakan sarana seseorang mengungkapkan ide, berpikir, menulis, berbicara, mengapresiasi karya. Di sisi lain, pembicaraan tentang interpretasi terhadap teks untuk dicari maknanya dilakukan oleh strukturalisme, semiotik, hermeneutik, dan lain sebagainya. Hermeneutika hadir untuk merespons pengaruh strukturalisme dan positivisme yang mengkaji bahasa hanya dari struktur empiriknya belaka sehingga kajian bahasa dari segi hakikatnya dalam mengungkapkan dunia manusiawi kurang memperoleh perhatian. Filsafat hermenutika menguak seluruh realitas bahasa sebagai ungkapan hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan menjadikan bahasa sebagai pusat berawal dan berakhirnya segala persoalan manusia, melalui analisis bahasa dapat dijelaskan berbagai persoalan konseptual yang terkandung dalam teks (Rahardjo, 2007:56). Teks-teks yang terdapat dalam naskah lama tersebut memunculkan penafsiran dan pemahaman dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, hermenutika menjelaskan momen sejarah. Kesadaran sejarah berdasar pada prastruktur pemahaman: orang memahami teks tidak pernah dengan kesadaran kosong. Prapemahaman diperoleh dari tradisi: jaringan hubungan makna dan cakrawala kita berpikir. Tradisi bersembunyi dalam bahasa. Penafsiran merupakan peleburan antara cakrawala penafsir dan teks. (Haryatmoko, 2018). Kerangka Teori Menurut Palmer (2005), Sumaryono (1999), dan Rahardjo (2007), beberapa tokoh yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika, yaitu Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768—1834), tokoh Hermeneutika Romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekadar kajian teologi (teks Bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural. Wilhelm Dilthey (1833—1911), tokoh hermeneutika metodis, berpendapat bahwa proses pemahaman bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan


156 masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini. Martin Heidegger (1889—1976), tokoh hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang. Hans-Georg Gadamer (1900—2002), tokoh hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut, diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi (Rahardjo, 2007:90—91). Pemikiran Hermeneutika Gadamer dapat dirunut dari pemikiran-pemikran sebelumnya. Hunnex (2004:132—189) memberikan gambaran hubungan alur pemikiran filsafat sejak Yunani dengan tokoh Sokrates, Parmenides, Plato, Aristoteles, dan sebagainya hingga tokoh filsafat modern dengan berbagai teori yang digunakan. Alur pemikiran filsafat Hans-Georg Gadamer dapat disusun sebagai berikut. 1. Rene Descartes, terkenal dengan teori Dualisme Cartesian yang terkenal dengan ajaran yang memisahkan mental atau spiritual dari material atau saintifik. Aliran ini mengedepankan aspek ilmiah dan mengesampingkan aspek religius. Cartesian menciptakan terjadinya revolusi ilmiah modern. Descartes menggambarkan dunia sebagai sebuah masalah matematis yang luas dan dapat diobservasi melalui nalar yang logis dengan metode kesangsian. Ia juga percaya bahwa seseorang akan menemukan pengetahuan berkaitan dengan dunia melalui deduksi dari prinsip pertama ke keseluruhan yang ada. 2. Immanuel Kant, sebagai tokoh Kantianisme (dualisme) yang menentukan arah filsafat modern menyusul revolusi Cartesian. Kant memodifikasi Dualisme Cartesian dengan kembali kepada pembedaan Platonik terhadap dunia fenomena dengan dunia realitas noumena. Ia menawarkan posibilitas yang meletakkan kebebasan, moral, dan nilai spiritual menjadi bagian dari dunia noumenal. Meskipun ilmu pengetahuan tidak dapat diterapkan pada realitas, kebutuhan moral menghendaki realitas sebagai sebuah masalah moral dan adanya tujuan dari penciptaan alam. Sifat rasional manusia adalah dasar bagi kewajiban moral tanpa syarat. Hanya kehendak rasionallah yang merupakan kebaikan intrinsik. Filsafat Kant memberikan landasan bagi filsafat yang datang sesudahnya. Khususnya penekanan pada peran nalar dan pentingnya pikiran dalam perkembangan berbagai bentuk idealisme. 3. Wilhelm Dilthey, sebagai tokoh Hermeneutika Metodis merupakan penghubung antara hermeneutika abad ke-19, terutama Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher


157 sebagai tokoh Hermeneutika Romantisis, dengan hermeneutika abad ke-20. Menurutnya pemahaman adalah sebuah proses kehidupan itu sendiri, manusia merupakan sebuah kategori eksistensial. Pemahaman hermeneutis sebagai konsep metodologis. Oleh sebab itu, pemahaman memiliki akar dan bermula dalam proses kehidupan itu sendiri yang disebut sebagai sebuah kategori kehidupan (Lebenskategorie) (Maulidin, 2003). 4. Martin Heidegger, tokoh Hermeneutika Dialektis, yang mengemukakan dasein manusia yang ada di dunia digambarkan sebagai sebuah medan relasi daripada entitas tersendiri di antara benda-benda yang lain. Manusia tidak menciptakan dunianya dalam arti memberinya makna, akan tetapi wujudlah yang menciptakan untuk dirinya sendiri. Pemahaman adalah sesuatu yang eksis mendahului kognisi. Esensinya tidak semata-mata berujung pada pencapaian situasi keknian. Pemikiran Heidegger selalu melibatkan dua aspek. Satu sisi pemahaman menunjuk tatanan eksistensial terdahulu dari dasein, dan sisi lain, interpretasi, melibatkan kemungkinan-mengada yang dimiliki dasein. Martin Heidegger merupakan guru dan berpengaruh terhadap pemikiran Gadamer (Maulidin, 2003). 5. Hans-Georg Gadamer yang terkenal sebagi tokoh Hermeneutika Dialogis. Dalam Hermeneutika Dialogis terjadi interaksi antara penafsir dan teks yang tergambar dalam lingkaran hermenutik (Gadamer, 2004). Selanjutnya, bagan Hermeneutika Dialogis Gadamer (Maulidin, 2003) merupakan model penerapan analisis Hermeneutika Dialogis. Dalam proses interpretatif terjadi interaksi antara penafsir yang mempunyai latar belakang tradisi, bahasa, kultur, dan kepentingan praktis dengan teks yang mempunyai konteks historis. Gadamer (2004) menjelaskan makna hermeneutika yang utuh tentang tradisi bersifat linguistik ditunjukkan ketika tradisi tersebut tertulis. Di dalam bentuk tulisan, semua tradisi bersifat serentak dengan waktu kekinian. Pemahaman yang benar mengacu pada pemahaman substantif terhadap kebenaran bukan pada pemahaman intensional. Pemahaman merupakan kesepakatan bersama antara pembuat wacana dengan penafsirnya. Tradisi dan Budaya dalam Perspektif Gadamer Pemahaman bersifat kesejarahan: pemahaman bersifat prasangka dan pikiran hanya diaktualisasikan dalam kesejarahan. Oleh sebab itu, hermeneutika menjelaskan momen sejarah. Prapemahaman diperoleh dari tradisi: jaringan hubungan makna dan cakrawala berpikir. Tradisi bersembunyi dalam bahasa. Penafsiran merupakan peleburan antara cakrawala penafsir dan teks. Cakrawala penafsir meliputi (1) vorhabe (latar belakang sosial, agama, geografi), (2) vorsicht (sudut pandang seperti pendidikan, bacaan), dan (3) vorgriff (konsep-konsep yang dimiliki). Adapun Cakrawala teks meliputi: (1) pengarang, tradisi, gramatika teks, hubungan intern teks, (2) konteks awal produksi, dan (3) alamat yang dituju (Gadamer dalam Haryatmoko, 2018). Antara penafsir dan teks dipahami menjadi bagian dari suatu tradisi budaya dan sejarah yang terbentuk dalam kelangsungan. Memahami bukan sebagai tindakan subjektif, tetapi merupakan upaya menempatkan diri dalam suatu proses tradisi yang selalu meleburkan yang lalu dan sekarang. Makna sebuah karya masa lalu didefinisikan dalam kerangka masalah sekarang (penafsiran selalu dengan prapemahaman). Objek sejarah yang sesungguhnya bukan objek, melainkan hubungan antara realitas sejarah dan realitas pemahaman sejarah adalah prinsip sejarah efektif. Prapemahaman dan makna-makna yang


158 sudah ada dalam pikiran penafsir memungkinkan pemahaman dikaitkan dengan suatu cakrawala dan suatu sejarah efektif. Kekuatan sejarah efektif menentukan lebih dulu yang pantas diperiksa dan dengan kriteria pemahaman juga menghadirkan diri dalam kerangka kita sehingga tidak ada lagi masalah diri dan yang lain. Pokok pikiran penting berikutnya dari Gadamer berkenaan dengan siklus hermeneutika (hermeneutic circle). Sebelumnya lazim diterima bahwa pemahaman terhadap suatu bagian akan mengubah pemahaman pada keseluruhan. Dalam hermeneutika Gadamer, siklus hermeneutika terdiri atas pencabangan terus-menerus antara sesuatu yang diinterpretasikan dan interpreternya, karena makna bukan sifat suatu objek, melainkan bidang tempat suatu objek dalam interpretasi. Hanya dengan berhubungan dengan penafsirnya, makna objek atau peristiwa terakulturasi. Keseluruhan dalam hermeneutika Gadamer adalah gabungan antara objek yang ditafsirkan dengan penafsir (Maulidin, 2003). Dengan demikian, mengacu pemikiran ini, ketika pemahaman atas “keseluruhan teks” menurut Hirsch tercapai, sebenarnya menurut Gadamer baru sebagian, sebab makna sejati adalah suatu bahasa bersama atau pencapaian kesepakatan. Dalam proses interpretatif, terjadi interaksi antara penafsir dan teks. Penafsir mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya (Gadamer, 2004). Hal tersebut tampak sebagaimana bagan berikut. Simpulan Hermeneutika Hans-Georg Gadamer—Hermeneutika Dialogis—menekankan pada kebenaran yang dapat dicapai melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan dimanfaatkn untuk mengungkap makna. Dengan demikian, bahasa menjadi medium penting bagi terjadinya dialog. Pemahaman yang benar mengacu pada pemahaman substantif terhadap kebenaran bukan pada pemahaman intensional. Pemahaman merupakan kesepakatan bersama antara pembuat wacana dengan penafsirnya. Pembuat wacana dan penafsir mempunyai kesejarahan tradisi dan budaya masing-masing yang akan menjadikan sebuah teks hidup. Daftar Pustaka Gadamer, Hans-Georg. 2004. Kebenaran dan Metode, diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


159 Haryatmoko. 2018. “Hermeneutika Gadamer dalam Truth and Method: Memahami Hermenutika sebagai Peleburan Cakrawala-Cakrawala.” Dalam Sekolah Hermeneutika dan Analisis Wacana Ktitis XX “Hermeneutika Gadamer dan Paul Ricour.” Unit Kajian Kebudayaan Jawa Timur (UK2JT) FIB UNAIR. Hunnex, Milton D. 2004. Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis & Tematis, diterjemahkan oleh Zubair. Jakarta: TERAJU. Maulidin. 2003. “Sketsa Hermeneutika.” Jurnal Gerbang V (14). Rahardjo, Mudjia. 2007. Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur. Malang: UIN-Malang Press. Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.


160 Peran dan Kedudukan Tokoh Bidadari dalam Kesusastraan Jawa Kuna Retno Asih Wulandari Pendahuluan Di dunia sinteron tokoh bidadari atau peri merupakan tokoh yang cukup dikenal dan disukai oleh pemirsa televisi. Di dalam sinetron digambarkan bahwa tokoh ini selalu membantu seorang anak manusia dalam hal kebajikan. Ia selalu hadir dalam setiap kesempatan di mana pertolongannya dibutuhkan oleh anak tersebut. Peran ibu peri ini sangat besar dalam menentukan keberhasilan anak tersebut dalam berbuat kebajikan. Sebuah cerita lain yang cukup populer tentang tokoh bidadari yang bernama Dewi Nawangwulan juga dapat ditemukan di dalam karya sastra Jawa, yaitu Babad Tanah Jawi (Santoso, 1970:77—79). Dalam karya sastra ini, ia diceritakan bersama-sama dengan beberapa orang bidadari lainnya dari kahyangan mandi di sebuah kolam di tengah hutan. Pada saat mereka sedang bersenang-senang tersebut, ada seorang anak manusia, Jaka Tarub, yang mengintip dan akhirnya mengambil salah satu pakaian yang teronggok di tepi kolam. Pakaian tersebut disembunyikannya di lumbung di bawah tumpukan padi. Mendengar ada orang datang, para bidadari tersebut berhamburan lari menyelamatkan diri dengan mengambil pakaian mereka lalu terbang ke kahyangan. Seorang dari mereka ada yang kehilangan pakaian, yaitu Dewi Nawangwulan. Lalu, ia bersumpah apabila ada yang bisa menolongnya, ia bersedia untuk diperistri. Pada akhirnya, ada seseorang yang bernama Jaka Tarub yang bersedia menolongnya, sehingga laki-laki tersebut berhak memperistrinya. Dalam kesusastraan Jawa Kuna, tokoh bidadari juga populer di kalangan para penyair karya sastra parwa (prosa) dan kakawin (puisi). Karya sastra Jawa Kuna yang berbentuk puisi dan dikenal dengan nama kakawin merupakan hasil karya sastra pada abad IX M hingga XV M. Tokoh bidadari sering dimunculkan oleh penyair Jawa Kuna dalam karyanya. Seperti contohnya di dalam kakawin Arjunawiwāha (selanjutnya disingkat AW) karangan Mpu Kanwa yang berangka tahun antara 1028 dan 1035, tokoh bidadari ini dikenal dengan beberapa nama, yaitu apsarī, widyādhārī, amarāngganā, amarakāminī, surawadhu, surāngganā, surastrī, surakanyakā, suraduhitā dan dewānggana. Di dalam karya sastra prosa dan puisi Jawa Kuna yang lain tokoh bidadari selain sering muncul dengan beberapa nama seperti tersebut di atas, ia juga muncul antara lain dengan nama apsantun, surāpsarī, suradewī, surāpsarawadhū, dan surawanitā. Berdasarkan uraian di atas, konsep tokoh seorang bidadari di zaman modern—yang dapat dilihat dalam sinetron—digambarkan sebagai tokoh yang baik. Ia selalu membantu orang yang sedang dalam kesulitan. Apakah konsep bidadari yang baik ini juga muncul di dalam karya sastra lama (Jawa Kuna)? Hal ini sangat menarik untuk diteliti lebih jauh. Oleh sebab itu, penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan membahas lebih detail tentang seluk-beluk tokoh bidadari, khususnya di dalam karya sastra kakawin. Beberapa kakawin yang sudah diterbitkan oleh beberapa orang sarjana, antara lain seperti


161 Arjunawijaya, Arjunawiwāha, Bhāratayuddha, Rāmāyaņa, Sumanasantaka, dan lain-lain, digunakan sebagai data penelitian ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang peran dan kedudukan tokoh bidadari dalam kesusastraan Jawa Kuna. Namun, penggambaran tokoh bidadari dalam kakawin AW yang lebih banyak dijadikan pokok pembahasan dalam penelitian ini karena di dalam kakawin inilah penggambarannya banyak ditemukan. Kakawin-kakawin yang lain akan digunakan sebagai pelengkap penjelasan tentang tokoh ini. Bedasarkan penjelasan pada latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan tiga permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah tokoh bidadari dimunculkan dalam karya sastra kakawin? (2) Adakah perbedaan dan persamaan makna dari penyebutan beberapa nama untuk tokoh bidadari seperti tersebut di atas? (3) Apakah peran dan kedudukan tokoh bidadari dalam kakawin? Tinjauan Pustaka Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara eksplisit tokoh bidadari adalah putri atau dewi dari kahyangan, sedangkan secara implisit berarti perempuan yang elok (Moeliono, 2001:148). Tokoh ini selalu disebutkan berasal dari dunia lain di luar dunia nyata, yaitu dari kahyangan atau surga. Di dalam kamus ini, kata bidadari selalu mengacu kepada makhluk yang berjenis feminin (perempuan), sedangkan untuk makhluk yang berjenis maskulin tidak ada penjelasan tentang penyebutan namanya. Lebih lanjut, dalam Bahasa Sansekerta atau Bahasa Jawa Kuna seperti dapat dilihat dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Zoetmulder II, 1995:1429), disebutkan tentang tokoh widyādhara dan widyādharī sebagai berikut: (1) widyādhara (Skt) widyādhara, fem. widyādharī, sejenis makhluk supernatural, bertempat tinggal di Himālaya, mengabdi pada Śiwa dan memiliki kekuatan magi; bidadari. Dalam bahasa Jawa Kuna, mereka tidak dibedakan dengan jenis gandharwa (gandharwī) dan apsara (apsarī). (2) widyādharī (Skt) widyādhara wanita, yaitu bidadari sorga. Berdasarkan studi pustaka awal, penelitian tentang tokoh bidadari ini sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Hanya ada sebuah tulisan R. M. Soedarsono (1991:312— 322) yang menjelaskan bahwa cerita Dewi Nawangwulan dan Jaka Tarub merupakan cerita Jawa yang sangat legendaris. Oleh sebab itu, penelitian ini sangat menarik dan penting untuk dilakukan agar lebih dapat mengungkapkan gambaran tokoh bidadari di dalah khazanah kesusastraan Jawa Kuna khususnya dalam karya sastra kakawin. Metode Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif-analitis. Menurut Nawawi (1991:31), hasil penelitian deskriptif menekankan pada upaya pemberian gambaran secara objektif tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti. Oleh karena objek dalam penelitian ini adalah tokoh bidadari yang terdapat dalam karya sastra kakawin, digunakan pula pendekatan sastra struktural. Karya sastra itu adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah karya sastra tersebut dianalisis (Pradopo, 1995:108). Menurut Teeuw, karya sastra adalah artefak, yaitu benda mati yang baru akan mempunyai makna dan menjadi objek estetik apabila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia purba yang mempunyai arti bila diberi makna


162 oleh seorang arkeolog (Teeuw dalam Pradopo, 1995:106). Penelitian struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek-aspek karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:51). Aspek dari karya sastra yang banyak dibicarakan dalam penelitian ini adalah aspek tokoh dan penokohan. Tokoh bidadari ditinjau lebih mendalam untuk mendapatkan gambaran tentang peran dan kedudukannya dalam karya sastra kakawin. Peran dan kedudukan seorang tokoh dapat dipahami dari penamaan, pemeranan, keadaan fisik, keadaan psikis, dan karakternya (Muhardi dan Hasanuddin, 1992:24). Tentu saja pembahasan tentang tokoh bidadari ini tidak terlepas dari pembahasan tentang keterkaitan tokoh ini dengan unsur-unsur karya sastra yang lain, yaitu alur, latar, tema dan amanat, sudut pandang dan gaya bahasa. Karena sebuah karya sastra yang baik adalah apabila unsur-unsurnya itu saling menunjang dan mendukung agar dapat memunculkan permasalahan-permasalahan (Muhardi dan Hasanuddin, 1992:23). Hasil dan Pembahasan Seperti telah disebutkan dalam latar belakang di atas, penelitian ini lebih memfokuskan pembahasan tentang tokoh bidadari dalam kakawin AW. Selanjutnya akan dibandingkan dengan yang ada di dalam kakawin-kakawin yang lain. Salah satu karya sastra kakawin yang terkenal pada abad XI adalah kakawin Arjunawiwāha. Kakawin ini merupakan buah karya Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Erlangga (1019—1042) antara tahun 1028 dan 1035 (Zoetmulder, 1983:309). Kata Arjunawiwāha terdiri atas dua kata: Arjuna dan wiwāha. Arjuna adalah anak ketiga dalam keluarga Pandawa, sedangkan kata wiwāha bermakna perkawinan. Kakawin Arjunawiwāha menceritakan perkawinan Arjuna dengan para bidadari, antara lain Suprabhā dan Tilottama setelah ia berhasil membantu para dewa untuk memusnahkan raksasa Niwatakawaca yang hendak menghancurleburkan kahyangan. 1. Sinopsis Kakawin Arjunawiwāha Kakawin AW diawali dengan cerita tentang seorang raksasa yang bernama Niwātakawaca yang sedang mengadakan persiapan untuk menyerang dan menghancurkan surga (kahyangan). Para dewa di kahyangan merasa kewalahan untuk mengalahkan raksasa ini karena kesaktiannya. Oleh karena itu, Dewa Indra sebagai salah satu pimpinan di kahyangan meminta pertolongan manusia, yaitu Arjuna yang sedang bertapa di Gunung Indrakīla. Sebelum meminta bantuan kepada Arjuna, Dewa Indra perlu untuk meyakinkan diri dan seluruh warga kahyangan bahwa Arjuna adalah sosok yang tepat untuk mengatasi masalah mereka. Maka, Dewa Indra akan menguji niat dan ketabahan Arjuna terlebih dalam melakukan tapa (yoga) dengan cara mengirim tujuh orang bidadari untuk menggoda Arjuna. Dua di antara para bidadari tersebut bernama Suprabhā dan Tilottamā. Ketujuh bidadari tersebut dikirim Dewa Indra ke dunia untuk merayu dan menggoda Arjuna yang sedang bertapa.


163 Selanjutnya diceritakan perjalanan para bidadari ke gunung Indrakīla dengan keindahan alamnya. Mereka bersiap diri dan mengatur siasat agar dapat melakukan tugas mereka dengan sebaik-baiknya. Ketika tiba di gua tempat Arjuna bertapa, para bidadari dengan segala kecantikannya dan daya upaya berusaha merayu dan menggoda Arjuna. Namun, usaha mereka gagal karena Arjuna sama sekali tidak terpengaruh. Lalu para bidadari kembali ke kahyangan untuk menyampaikan kegagalan mereka. Berita ini sungguh membuat para dewa terutama Dewa Indra bahagia karena keteguhan hati Arjuna dalam bertapa sangat baik. Namun, Dewa Indra masih sedikit menyangsikan keteguhan hati Arjuna bertapa. Apakah ia bertapa untuk kepentingannya sendiri tanpa menghiraukan orang lain yang sedang dalam kesulitan? Untuk membuktikan hal itu, Dewa Indra lalu menyamar ke dunia menjadi seorang resi tua. Ia berpura-pura dalam kesulitan. Arjuna menghentikan tapanya lalu menghormat dan berusaha membantu Dewa Indra yang menyamar. Keduanya lalu berdialog tentang makna kehidupan yang sejati. Dewa Indra menjelaskan tentang kehidupan dunia yang semu karena hanya bersifat sementara. Kehidupan yang sejati adalah yang dekat dengan Yang Maha Kuasa. Arjuna memahami semua penjelasan tersebut. Indra bertanya apa tujuan Arjuna melakukan tapa brata. Arjuna menegaskan bahwa tujuan utamanya hanya ingin memenuhi kewajibannya sebagai seorang ksatria dan membantu kakaknya, Yudhiṣṭira, untuk merebut kembali kerajaannya untuk kesejahteraan dunia. Setelah mendengar penjelasan Arjuna dengan penuh kelegaan, Dewa Indra menyudahi penyamarannya dan mengungkapkan siapa dia sebenarnya. Kemudian Arjuna melanjutkan tapa bratanya. Niwātakawaca mendengar bahwa ada ksatria yang dipersiapkan oleh para dewa untuk mengalahkannya. Lalu ia mengirim raksasa yang bernama Mūka untuk membunuh Arjuna. Mūka lalu berubah bentuk menjadi babi hutan untuk menyamar dan mengobrak-abrik hutan. Dengan adanya kegaduhan tersebut, Arjuna menghentikan tapa bratanya. Pada saat yang bersamaan ada Dewa Siwa yang turun ke bumi dan menyamar menjadi seorang pemburu yang bernama Kirāṭa. Pada saat yang sama Arjuna dan Siwa melepaskan anak panah ke arah babi hutan tersebut. Kedua panah mereka bersatu hingga tidak diketahui siapa yang lebih dahulu membunuh babi hutan tersebut. Akhirnya, terjadilah perdebatan hingga perkelahian sengit antara keduanya. Pada saat itulah Dewa Siwa menunjukkan jati dirinya. Mengetahui siapa yang dihadapinya, Arjuna memberikan penghormatan dengan pujian. Selanjutnya ia dianugerahi panah yang sakti Paśupati oleh Dewa Siwa. Setelah kejadian tersebut, Arjuna dimintai pertolongan oleh Dewa Indra untuk segera membunuh Niwātakawaca. Arjuna merasa ragu untuk mengabulkan permintaan para dewa tersebut karena ia tidak mengetahui kelemahan yang dimiliki oleh Niwātakawaca. Lalu ia mengatur tipu muslihat dengan meminta pertolongan bidadari Suprabhā untuk merayu Niwātakawaca yang sudah lama tergila-gila dengan bidadari cantik ini. Suprabhā berpura-pura jatuh ke pelukan Niwātakawaca untuk mengetahui kelemahannya. Ternyata kelemahan raja raksasa ini terletak pada lidahnya. Setelah Arjuna mengetahui rahasia ini, ia memancing Niwātakawaca keluar dan terjadilah pertempuran antara keduanya. Pada saat Niwātakawaca membuka mulutnya lebar-lebar, Arjuna segera memanah lidahnya dengan Paśupati, hingga akhirnya sang raja raksasa tewas.


164 Kahyangan bersuka cita mendengar kemenangan Arjuna. Lalu ia dihadiahi tujuh orang bidadari, antara lain Suprabhā dan Tilottama untuk dinikahinya. Pesta pernikahannya dilaksanakan dalam waktu tujuh hari. Namun, mendekati hari ketujuh, Arjuna teringat akan saudara-saudara kandungnya yang berada di hutan. Lalu ia memutuskan untuk kembali ke bumi untuk berkumpul kembali dengan mereka yang selama ini ia tinggalkan. 2. Penggambaran Tokoh Bidadari dalam Kakawin Arjunawiwāha Tokoh bidadari dalam kakawin AW dapat dilihat kemunculannya hampir di sepanjang cerita, terutama pada bagian-bagian awal pupuh (bab) dan akhir pupuh. Dari tabel di bawah ini dapat dilihat berbagai nama atau penyebutan tokoh bidadari. Tabel 1. Daftar Nama Bidadari dalam Kakawin Arjunawiwaha Nama Bidadari Teks Arjunawiwaha Pupuh, Pada/Bait, Baris Terjemahan 1. Amarakāminī II.4.d24 Ikāng amarakāminī paḍa kapengin umulati wilāsa mangkana II.4.d Para bidadari pun semuanya ingin menyaksikan keramahan yang demikian.25 2. Amarângganā II.3.a Ngělih ning amarāngganâ n laku hañar winuwuhan i katon ing āśrama II.3.a Kelelahan para bidadari, yang baru kali ini berjalan kaki, makin bertambah oleh tampaknya pertapaan. 3. Apsara XXIV.1.c Sāk sira sang kahawan kahalâlaradan kapapag těkap ing surāpsara XV.3.d Hetu nirâhěněng pinaguñěpguñěpakěn ikang apsarâpsarī XXVIII.3.a Ingkang surāpsara mati len hanâsakit XXIV.1.c Berantakan mereka yang dilalui dan dianiaya, lari tercerai berai, dijumpai oleh para dewa dan bidadara XV.3.d Itulah sebabnya mereka diam, dipergunjingkan oleh para bidadara dan bidadari XXVIII.3.a Para dewa dan apsara yang mati ataupun sakit 4. Apsarânggana XXIII.7.a Ron tāpsaranggaņa macaping-caping mamawa tomara pamaja nira XXIII.7.a Pasukan prajurit bidadara semua memakai caping. Membawa tomara pasukan depannya 5. Apsarī I.8Aa Nãhan lwir nikang antyasoca winangun ndan lwir nikãng apsarī I.11c Akweh tâpsarī cețika milu tuhun kapwâ I.12.b Osik camara ring gěgěr ḍaraḍaran lwirnyan manon apsarī I.8Aa Demikianlah rupa permata unggul dibentuk menjadi rupa bidadari. I.11.c Banyak bidadari, dayang-dayang ikut serta, namun semuanya mengiringkan dari jauh saja. I.12.b Meliuk-liuk pohon cemara di lereng, berlenggang riang rupanya, melihat para apsari. 24 II.4.d artinya pupuh kedua, pada atau bait keempat dan baris keempat. Pupuh adalah kumpulan pada atau bait. Satu bait terdiri atas empat baris yang lazimnya dinamai baris pertama (a), baris kedua (b), baris ketiga (c) dan baris keempat (d). 25 Terjemahan ini diambil dari terjemahan yang dibuat oleh I. K. Wiryamartana (lihat Daftar Pustaka),


165 Nama Bidadari Teks Arjunawiwaha Pupuh, Pada/Bait, Baris Terjemahan III.8.a Ndan amběk nikang apsarī kawěnangñāta sira lěkasananya bañcana XIV.2.a Ring sěḍěng nira n tama sinanggraha tang sira těkap ning apsarī XIV.17.a Hana tâpsarī pinakalakunya malawas ing Surendra tan kaweh XV.3.d Hetu nirâhěněng pinaguñěpguñěpakěn ikang apsarâpsarī XVI.10.d Wuwus ikang apsarī těhěr apet tangis angisěk-isěk gawe-gawe XXXVI.1.a Nā sambat nikang apsarī waluyanânta gati nŗpasuta III.8.a Sedangkan batin para bidadari, akan takluklah dia, mereka serang dengan godaan. XIV.2.a Sementara dia masuk, disambutlah dia oleh para bidadari. XIV.17.a Adalah seorang bidadari dimintanya, lama sekali, oleh Hyang Surapati tak diberikan XV.3.d Itulah sebabnya mereka diam, dipergunjingkan oleh para bidadara dan bidadari. XVI.10.d Kata sang bidadari, lalu berusaha menangis, terisak-isak, berurapura XXXVI.1.a Demikianlah keluh kesah para apsari. Hendak diceritakan kembali perjalanan Sang Rajaputra 6. Dewângganā XXI.5.b Dewāngganângisapu jȍng salayânguḍoḍa XXI.5.b Seorang bidadari memangku kakinya yang silang berjuntai 7. Kadewatwan kanyā XVII.2.d Manglilâměng-aměng aneng kadewatwan kanyā XVII.2.d Banyak bidadari bermainmain, bercengkerama 8. Suraduhitā XVII.5.b Akweh tang suraduhitā mulat wikalpa XIX.1.c Yan yogyā wělin ing suraduhitā XIX.3.a Lakșmi tulya niking suraduhitā XXXII.1.a Akweh kětěg-kětěg ira sang nŗpātmaja lumālana suradhuhitā XVII.5.b Banyak bidadari memandang dengan penuh keraguan XIX.1.c Jika boleh ditawar oleh bidadari ini XIX.3.a Seri kerajaan laiknya bidadari ini XXXII.1.a Banyaklah tanda keharuan Sang Rajaputra, menyenangnyenangkan sang bidadari 9. Surakanyakā XIV.3.a Surakanyakā sahana ning kang raran atiki tan hanângungang XXXI.1.a Gandharwī surakanyakâmawa mŗdangga tatapan angering swarāwatī XIV.3.a Segenap gadis kahyangan, yang berdiam dalam keputren, tak ada yang ikut menyongsong XXXI.1.a Para gandarwa wanita dan bidadari membawa gendering tepukan, mengiringi swarawati 10. Surângganā III.5.b Ardhâhět harěpanya tan těka tigang ḍěpa dunungan ingkang surāngganā XIV.8.a Adawān kathākěna raras-raras III.5.b Agak sempit depannya, tak sampai tiga depa, itulah arah tujuan para bidadari XIV.8.a Berkepanjangan, jika


166 Nama Bidadari Teks Arjunawiwaha Pupuh, Pada/Bait, Baris Terjemahan ing hati ningkang surāngganā XXVIII.13.a Tangeh kawarņan i lara ning surānggana diceritakan asyik masyuk hati para bidadari XXVIII.13.a Terlalu banyak, jika dilukiskan lara para bidadari 11. Surastrī IV.1.c Tamtām aninghali wilasā nikang surastrī IV.9.a Sang sipta sampun alěk amběk nikang surastrī IV.1.c Asyik memandang pesona para bidadari IV.9.a Singkatnya, telah tak berdaya batin para bidadari 12. Surawadhū III.4.a Nāhan tanduk ing goșți ning surawadhū pakaśaraņa těkapnya molaha XIV.1.c Nguniweh tikang surawadhū dumadak asěmi kungnya de nira XXX.1.b Sira katwang ing surawadhū pinituhu těkap ing sakahyangan III.4.a Demikianlah jalannya pertemuan para bidadari, memakai sarana tingkahnya bergaya XIV.1.c Lagi pula para bidadari mendadak bersemi rindunya oleh karena dia. XXX.1.b Dia itu dihormati oleh para bidadari, ditaati oleh seluruh Kahyangan 13. Surawanitā XVI.2.a Surawanitā mamañcana těhěr lumaku kili śiñapa sang ŗși XVI.2.a Ada bidadari menggoda, lalu menjalani hidup sebagai pertapa, dikutuk oleh sang resi 14. Widyādhara XXIII.3.a Widyādhara samaradhurandharâsurak atiņḍih asulam ing harěp XXV.11.c Kālanyan siněsěb paḍâlapalapan sang wīra widyādhara XXIII.3.a Bidadara pemuka perang bersorak-sorak, berdesakan, bersusunsusun di depan XXV.11.c Ketika mereka dipotongpotong, serempak menyerang membabi-butalah para prajurit bidadara 15. Widyãdhãri I.11.a Ling hyang Sakra nahan sinambahakěning widyādhāri mūr těhěr I.11.a Demikian kata hyang Sakra. Disembah ia oleh para bidadari, lalu mereka pun pergi. 16. Wiwudhângganā III.6.c Sakweh wiwudhāngganā sěḍěng awor unang iriya lawan raras hati III.6.c Segenap bidadari itu sedang tercampur kerinduannya akan dia dengan kesayuan hatinya sendiri Dari Tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa tokoh bidadari dan atau bidadara memiliki 16 padanan kata (sinonim) dalam bahasa Jawa Kuna, mulai dari Amarakāminī hingga Wiwudhângganā. Dari keenam belas nama tersebut, Apsarī paling sering disebut yaitu sebanyak sembilan kali. Sementara itu, beberapa lainnya yang hanya satu kali muncul dalam kakawin AW adalah Amarakāminī; Amarângganā; Apsarânggana; Dewângganā; Kadewatwan kanyā; Surawanitā; Widyãdhãri dan Wiwudhângganā.


167 3. Persamaan dan Perbedaan Penyebutan Tokoh Bidadari Dari keenam belas nama tersebut dalam tabel di atas ada tiga nama, yaitu Apsara, Apsarânggana, dan Widyādhara yang menunjuk kepada jenis maskulin, yaitu bidadara, sedangkan sisanya, yaitu tiga belas nama menunjuk kepada jenis feminin (bidadari). Dari dua kata bidadara dan bidadari, hanya sebutan bidadari yang lazim dikenal dalam Bahasa Indonesia. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, istilah bidadari bermakna (1) putri atau dewi dari kahyangan dan (2) perempuan yang elok, sedangkan istilah bidadara tidak ditemukan. Penyebutan atau terjemahan kata bidadara dipilih untuk menunjukkan bahwa tokoh yang dimaksud berjenis maskulin. Akhiran vokal i pada kata bidadari merujuk pada tokoh putri atau dewi dari kayangan. Maka, untuk menjelaskan tokoh dari kahyangan yang berjenis maskulin, disebut dengan bidadara, berakhiran vokal a. Contoh 1 Bidadara (Apsara) XV.3.d Hetu nirâhěněng pinaguñěp-guñěpakěn ikang apsarâpsarī Terjemahan: Itulah sebabnya mereka diam, dipergunjingkan oleh para bidadara dan bidadari. Kata apsarâpsarī terdiri atas apsara dan apsarī. Kedua kata ini ditulis berdekatan karena adanya hukum tatabahasa Jawa Kuna yang disebut persandian. Arti persandian adalah peluluhan dua vokal menjadi satu. Kata pertama yang berakhiran vokal lalu diikuti oleh kata kedua yang berawalan vokal maka keduanya harus ditulis berdekatan. Vokal a pada akhir kata apsara, diikuti oleh vokal a pada awal kata apsarī, maka luluh menjadi â: Apsara + apsarī = apsarâpsarī Contoh 2 Bidadara (Widyādhara) XXIII.3.a Widyādhara samaradhurandharâsurak atiņḍih asulam ing harěp Terjemahan: Bidadara pemuka perang bersorak-sorak, berdesakan, bersusun-susun di depan. Contoh 3 Bidadara (Apsaranggaņa) XXIII.7.a Ron tāpsaranggaņa macaping-caping mamawa tomara pamaja nira Terjemahan: Pasukan prajurit bidadara semua memakai caping. Membawa tomara pasukan depannya. Contoh 1 Bidadari (Apsarī) III.8.a Ndan amběk nikang apsarī kawěnangñāta sira lěkasananya bañcana Terjemahan: Sedangkan batin para bidadari, akan takluklah dia, mereka serang dengan godaan. Contoh 2 Bidadari (Widyādhāri) I.11.a. Ling hyang Sakra nahan sinambahakěning widyādhāri mūr těhěr Terjemahan: Demikian kata hyang Sakra. Disembah ia oleh para bidadari, lalu mereka pun pergi. Contoh 3 Bidadari (Surāngganā) III.5.b Ardhâhět harěpanya tan těka tigang ḍěpa dunungan ingkang surāngganā Terjemahan: Agak sempit depannya, tak sampai tiga depa, itulah arah tujuan para bidadari.


168 4. Peran dan Kedudukan Tokoh Bidadari dalam Kakawin Peran tokoh bidadari dalam kakawin AW sangat penting karena keberadaannya dalam alur cerita saat Arjuna melakukan tapa di Gunung Indrakila. Para bidadari yang berjumlah tujuh orang, dipimpin oleh Subadra dan Tilottama diutus untuk turun ke dunia dari kahyangan oleh Dewa Indra. Keduanya bertujuan untuk menguji dan menggoda Arjuna yang sedang melakukan tapa (yoga). Dewa Indra perlu meyakinkan diri dan seluruh warga kahyangan bahwa Arjuna adalah sosok yang tepat untuk mengatasi masalah mereka, yaitu menghancurkan Niwātakawaca yang berencana untuk menyerang kahyangan. Para bidadari bersiap diri dan mengatur siasat agar dapat melakukan tugas mereka dengan sebaik-baiknya. Ketika tiba di gua tempat Arjuna bertapa, para bidadari dengan segala daya upaya merayu dan menggoda Arjuna. Namun, usaha mereka gagal karena Arjuna sama sekali tidak terpengaruh. Lalu para bidadari kembali ke kahyangan untuk menyampaikan kegagalan mereka. Berita ini sungguh membuat para dewa terutama dewa Indra bahagia karena keteguhan hati Arjuna dalam bertapa sangat baik, ia bergeming dan tetap menyelesaikan tapanya. Cerita tentang Arjuna yang digoda oleh para bidadari tersebut muncul pada bagian awal kakawin, yaitu pupuh I hingga pupuh IV. Pada bagian akhir kakawin AW tokoh bidadari lebih banyak diceritakan lagi terutama pada saat Arjuna mendapatkan hadiah kemenangannya karena berhasil mengalahkan Niwatakawaca. Para bidadari itulah yang dijadikan hadiah oleh para dewa. Penyembutan nama para bidadari tersebut oleh pengarang kakawin ini secara umum menggunakan beragam kata seperti dapat dilihat pada Tabel 1 di atas. Hanya ada dua nama khusus yang disebutkan, yaitu Tilottama dan Subadra. Selain dalam kakawin AW, tokoh bidadari juga muncul di beberapa kakawin yang lain, seperti dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 2. Tokoh Bidadari dalam Kakawin Nama Bidadari Kakawin Terjemahan 1. Amarakāminī Sutasoma: XLVIII.3.b ring swargâmarakāminī pwa sawatěk rasika paḍa ya nora sāmbhawa. XLVIII.3.b di surga tidak ada bidadari yang sebanding. 2. Apsara Bhomakāwya: XV.13.d himpěr hyang Indra sira de ning apsara kabeh sumewa ri sira. Sumanasantaka: CIX.6 atutur i rūpa sang Aja ri sěḍěng nirâpsara. XV.13.d Ia mirip dengan dewa Indra yang sedang dihadap/ditemui oleh para bidadara. CIX.6 teringat akan rupa sang Aja ketika ia bersama bidadara. 3. Apsarī Brahmāņḍapurāna:


169 Nama Bidadari Kakawin Terjemahan CXLIII.17 Strīnya kadi apsarī, sŗnggāranya manisnya lalitanya…..tatan pahinya mwang widyādharī. Rāmāyaņa: XVI.10 sacāraņa hanâpsarī wwara ta kinnarī kinnara. CXLIII.17 Istrinya seperti bidadari, keramahannya, eloknya cantiknya…. Tidak berbeda dengan bidadari. XVI.10 Makhluk yang mulia, ada bidadari yaitu ada makhluk perempuan dan laki-laki setengah dewa. 4. Suraduhitā Bhomakāwya: XXIV.11.a wruh pwekang suraduhitā ri buddhya dewī. XXIV.11.a bidadari surga itu tahu akan watak seorang istri. 5. Surakanyakā Ghaţotkacāśraya: II.7.d tistis nghing surakanyakâsring anilib prâpteriyâcangkrama. II.7.d namun ditinggalkan kecuali para bidadari yang sering dating ke sana secara diam-diam dalam pengembaraan mereka. 6. Surastrī Sumanasantaka: LVIII.2 wwang suměnggah Ratri i sira sakeng swarga lāwan surastrī. LVIII.2 orang menyangka bahwa Ratri itu dari surge dan merupakan bidadari. 7. Surawadhū Bhāratayuddha: XLIV.18. yadyastun jěněkângaměr surawadhū kita sumělanga haywa nişţhura. XLIV.18 bagaimanapun juga engkau akan senang hati mencumbui bidadari, khawatir engkau akan kasar. 8. Surawanitā Smaradahana: XXV.14 surawanitā paricāra gumanti XXV.14 pengiring bidadari berganti. 9. Widyādhara Rāmāyaņa: XX.12. widyādharī bāp paḍa madulur-dulur mwang widyādhara kweh. Wangbang Wideya: III.61.b kweh wong angiring abra yaya widyādhara XX.12 banyak bidadari bersamasama dengan banyak bidadara. III.61.b Banyak orang mengiringi yang mulia hingga para bidadara. 10. Widyãdhãri Brahmāņḍapurāna: CXLIII.17. Strīnya kadi apsarī, sŗnggāranya manisnya lalitanya…..tatan pahinya mwang widyādharī. Rāmāyaņa: CXLIII.17. Istrinya seperti bidadari, keramahannya, eloknya cantiknya…. Tidak berbeda dengan bidadari.


170 Nama Bidadari Kakawin Terjemahan XX.12. widyādharī bāp paḍa madulur-dulur mwang widyādhara kweh. XX.12 banyak bidadari bersamasama dengan banyak bidadara. Dari Tabel 2 tersebut dapat dilihat bahwa beberapa sebutan bidadari dan bidadara yang terdapat dalam AW juga dijumpai dalam beberapa kakawin yang lain, yaitu dalam Bhomakāwya (apsara, suraduhitā), Bhāratayuddha (surawadhū), Brahmāņḍapurāna (apsarī, widyãdhãri), Ghaţotkacāśraya (surakanyakā), Rāmāyaņa (apsarī, widyādhara, widyādhari), Smaradahana (surawanitā), Sumanasantaka (apsara, surastrī), Sutasoma (amarakāminī), dan Wangbang Wideya (widyādhara). Penyebutan tokoh bidadari dalam kakawin-kakawin yang lain tidak sebanyak di dalam kakawin AW. Hal ini menunjukkan bahwa peran dan kedudukan tokoh bidadari dalam AW sangat penting dibandingkan di dalam kakawin-kakawin yang lain. Ketujuh bidadari yang di antaranya adalah Tilottama dan Subadra memegang peran penting untuk membuktikan keteguhan hati Arjuna dalam menjalani tapanya di hutan Indrakila. Simpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, penelitian ini menghasilkan beberapa simpulan sebagai berikut. Pertama, penggambaran tokoh bidadari dan atau bidadara memiliki enam belas padanan kata atau sinonim dalam bahasa Jawa Kuna, yaitu Amarakāminī, Amarângganā, Apsara, Apsarânggana, Apsarī, Dewângganā, Kadewatwan kanyā, Suraduhitā, Surakanyakā, Surângganā, Surastrī, Surawadhū, Surawanitā, Widyādhara, Widyãdhãri, dan Wiwudhângganā. Kedua, beberapa nama bidadari dari keenam belas nama yang terdapat di dalam kakawin AW juga muncul di dalam beberapa kakawin yang lain seperti Bhomakāwya (apsara, suraduhitā), Bhāratayuddha (surawadhū), Brahmāņḍapurāna (apsarī, widyãdhãri), Ghaţotkacāśraya (surakanyakā), Rāmāyaņa (apsarī, widyādhara, widyādhari), Smaradahana (surawanitā), Sumanasantaka (apsara, surastrī), Sutasoma (amarakāminī), dan Wangbang Wideya (widyādhara). Keenambelas nama bidadari tersebut menunjukkan persamaan makna yang menunjuk kepada tokoh yang berasal dari kahyangan. Adapun perbedaannya adalah bahwa tiga dari keenambelas nama tersebut, yaitu Apsara, Apsarânggana, dan Widyādhara menunjuk kepada jenis maskulin, yaitu bidadara, sedangkan sisanya yaitu ketigabelas nama yang lain, menunjuk kepada jenis feminin (bidadari). Dari dua kata bidadara dan bidadari, hanya sebutan bidadari yang dikenal dalam bahasa Indonesia, sedangkan istilah bidadara tidak ditemukan. Ketiga, peran tokoh bidadari penting di dalam kakawin terutama di dalam kakawin AW karena penyebutan tokoh bidadari dalam kakawin-kakawin yang lain tidak sebanyak di dalam kakawin AW. Ketujuh bidadari yang di antaranya adalah Tilottama dan Subadra memegang peran penting untuk membuktikan keteguhan hati Arjuna dalam menjalani tapanya di hutan Indrakila. Topik penelitian yang sangat menarik ini masih dapat dilanjutkan, misal untuk dibandingkan peran dan kedudukan tokoh bidadari ini dalam karya sastra daerah lainnya atau bahkan dalam karya sastra tradisional dari negara lain.


171 Daftar Pustaka Kamus Besar Bahasa Indonesia (daring), https://kbbi.web.id/bidadari Mastuti, D. W. R dan H. Bramantyo. 2009 Kakawin Sutasoma. Mpu Tantular. Jakarta: Komunitas Bambu. Moeliono, A. M. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Muhardi dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press. Nawawi, H. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, R. D. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Robson, S. O. 2015. Old Javanese Rāmāyaņa. Tokyo: Sanrei Printing Co., Ltd. ________. 2016. The Kakawin Ghaţotkacāśraya. Tokyo: Sansrei Printing Co., Ltd. Santoso, S. 1970. Babad Tanah Jawi. Solo: Galuh Mataram. Soedarsono, R. M. 1991. “Beberapa Persamaan dan Perbedaan Babad di Asia Tenggara.” Dalam Bahasa-Sastra-Budaya, Ratna Manikam Untaian Persembahan Kepada Prof. DR. P. J. Zoetmulder, disunting oleh Sulastin Sutrisno, dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Supomo, S. 1977. Arjunawijaya: A Kakawin of Mpu Tantular. The Hague: Nijhoff. 2 Vols. [KITLV, Bibliotheca Indonesica 14.]. ________. 1993. Bhāratayuddha; An Old Javanese Poem and Its Indian Sources. New Delhi: International Academy of Indian Culture. Teeuw, A. dan S. O Robson. 1981. Kuñjarakarṇa Dharmakathana. The Hague Nijhoff. [KITLV, Bibliotheca Indonesica 3.] ________. 2005. Bhomāntaka. The Death of Bhoma. Leiden: KITLV Press. Wiryamartana, I. K. 1990. Arjunawiwāha, Transformasi Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Zoetmulder, P. J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. 2 vol. The Hague: Nijhoff. ________. 1995. Kamus Jawa Kuno-Indonesia. 2 vol. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ________ .1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: KITLV.


172 Makna Simbolik yang Terkandung dalam Prosesi Memetri Desa di Desa Ngasinan, Kediri Sutji Hartiningsih Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna simbolik dari prosesi memetri desa di desa Ngasinan Kediri, Jawa Timur. Memetri desa merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup, yang biasanya dilakukan pascapanen, menjelang akan dimulainya proses penggarapan awal. Hal yang menarik dari fenomena tradisi memetri desa, antara lain tempat, waktu, dan pelaku dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi ada seni. Memetri desa juga disebut merti desa, artinya memelihara desa secara batiniah dan lahiriah. Secara batiniah, orang desa menjalankan ritual mistik, baik berupa slametan maupun pertunjukan spriritual. Secara lahiriah, mereka juga membersihkan kuburan dan tempat-tempat khusus yang dianggap sakral. Tempat-tempat tersebut dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Makna simbolik dalam upacara memetri Desa Ngasinan, tumpeng sebagai permohonan kepada Tuhan YME agar memberikan kesuburan tanaman dan hasil yang melimpah, serta diberi kemudahan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Makna memetri desa secara keseluruhan tidak dapat terpisahkan dari sebuah struktur sosial, karena adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu sistem sosial-budaya. Keterkaitan itu terletak pada peranan wayang kulit, warga penghayat kepercayaan, penjual bunga, jurukunci kuburan, pemerintah (kepala dusun), dalang, dan sebagainya yang menjadi bagian dari sistem sosial-budaya masyarakat setempat yaitu sebagai media tradisi bersih desa. Kata kunci: makna, memetri desa, prosesi, simbolik Pendahuluan Kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat,1990:45). Setiap kebudayaan yang dimiliki manusia mempunyai tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal, meliputi bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Di Jawa, khususnya Jawa Timur, kegiatan memetri desa banyak dilakukan dengan nama dan cara yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya dengan sedekah desa, karena acara tersebut diadakan sedekah massal. Ada pula yang menyebutkan tradisi bersih desa, karena dalam kegiatannya dilakukan pembenahan dan pemeliharaan desa. Ada lagi yang menyebut dengan rasulan, karena kendurinya disajikan selamatan rasulan. Dari sekian ragam istilah memetri desa, merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup. Memetri desa sebagai tradisi budaya juga memuat seni spiritual. Seni spiritual ini perlu dilihat lebih jauh dari aspek etnografi agar jelas makna dan fungsinya, juga dapat memberikan gambaran bahwa di balik fenomena tradisi dan seni termuat konteks etnografi yang menarik untuk dibicarakan. Hal yang menarik dari fenomena tradisi memetri desa dapat terkait dengan berbagai hal, antara lain tempat, waktu, dan pelaku, dalam rangkaian


173 sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi ada seni. Waktu penyelenggaraan memetri desa bisa berbeda-beda, bahkan teks dan tata cara ritual masingmasing wilayah dapat berbeda. Perbedaan dan kesamaan proses merupakan aspek penting bagi pemahaman makna dan fungsinya. Hal ini dapat dipahami bahwa satu-satunya kesamaan dalam memetri desa adalah waktu pelaksanaan, yaitu satu tahun sekali, biasanya sesudah musim panen padi, sedangkan bulan, hari, tgl dan cara pelaksanaannya tidak selalu sama. Tradisi memetri desa ini memiliki bobot spiritual yang luar biasa. Ritual tersebut menjadi wahana antara lain: (1) menyatakan syukur kepada Tuhan YME atas ketentraman penduduk dan desa, hasil panennya yang memuaskan; (2) memberi penghormatan kepada para leluhur dan cikal bakal desa yang telah berjasa merintis pembukaan desa setempat; (3) mengharapkan pengayoman (nyuwun wilujeng) dari Tuhan YME dan Rasulullah, agar panen mendatang lebih meningkat dan hidup masyarakat desa lebih sejahtera. Oleh karena itu, tradisi tersebut telah mendarah daging dalam masyarakat Jawa pedesaan, karena hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Masing-masing wilayah di jawa memiliki keunikan dalam melaksanakan memetri desa. Salah satu aktivitas memetri desa yang unik adalah fenomena yang ada di wilayah Desa Ngasinan, Purwoasri, Kediri yang biasanya dilakukan pascapanen dan palawijoa menjelang akan dimulainya proses penggarapan sawah (wiwit). Keunikan tradisi memetri desa di wilayah ini yaitu selalu menggunakan seni pertunjukan ritual berupa wayang kulit. Rangkaian ritual ditata menurut laku dan aktivitas spiritual. Di dalamnya terdapat laku mistik kejawen yang kental dengan nilai-nilai mitos. Dalam tradisi ini juga terdapat mitos yang diyakini akan membawa berkah apabila dihormati melalui memetri desa, dan sebaliknya akan mendatangkan bahaya apabila masyarakat meninggalkannya. Ada perasaan takut masyarakat jika memetri desa tidak melaksanakan pertunjukan wayang kulit. Itulah sebabnya, masyarakat selalu berjuang keras agar memetri desa tetap terselenggara meskipun dalam ekonomi yang kurang memungkinkan. Dengan kata lain, masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan rencana memetri desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong royong menjalankan memetri desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup. Hasil dan Pembahasan 1. Pelaksanaan Kegiatan Memetri Desa Rangkaian tradisi memetri desa di wilayah desa Ngasinan, Kediri ini sebagian besar didukung oleh kelompok penghayat kepercayaan. Meskipun pada umumnya para pelaku tidak secara terang-terangan masuk dalam aliran penghayat kepercayaan, hampir lima puluh persen mereka kaum abangan. Menurut tradisi leluhur, mereka menjalankan laku-laku mistik memetri desa untuk mendapatkan kesempurnaan hidup dan budi luhur. Oleh karena itu, selamatan memetri desa dilaksanakan dengan cara yang khas, khidmat, dan sakral, penuh dengan laku-laku mistik, baik yang diwujudkan dalam bentuk sesaji maupun dalam bentuk pertunjukan. Inti dari aktivitas memetri desa adalah pemujaan, doa-doa terkandung dalam pemujaan, baik yang diwujudkan dalam bentuk mantra maupun seni pertunjukan. Biasanya para penghayat kepercayaan menjadikan memetri desa sebagai tradisi sakral.


174 Pekerti penghayatan pada saat bersih desa tergolong etika Jawa yang luhur. Mereka menjalankan aktivitas mulai membuat sesaji, membersihkan diri, membersihkan kuburan, membuat tarub, doa, seni pertunjukan dan sebagainya didasarkan atas pekerti budi luhur. Konteks jalan itu sejalan dengan Geertz (1973:126), bahwa religi merupakan pancaran kesungguhan moral memetri desa merupakan bagian khusus religi jawa. Di dalamnya menuntut kewajiban intrinsik yang kudus. Implikasi dari seluruh hal ini, tidak lain sebagai perwujudan hidup yang berbudaya. Segala pekerti penghayatan kepercayaan menjadi sinar batin yang luhur. Adapun urutan pelaksanaan tradisi memetri desa sebagai berikut. Pertama, Pukul 07.00 dilakukan kerja bakti atau gotong royong pembersihan jalan dan kuburan bersama-sama. Kepala dusun berusaha membagi tugas masing-masing kelompok, secara serentak menurut RT masing-masing. Sekelompok RT ada yang menuju ke rumah kepala dusun untuk pembuatan tarub yang kan dipasang di depan halaman rumah. Di samping itu juga dipersiapkan gelaran (tikar), penyediaan alat-alat sesaji panggung, dan pembersihan alat-alat makan bersama (kenduri). Kemudian RT lain mengganti pagar pada pohon Sana yang dikeramatkan, yang berada di tempat kedung dekat sungai yang konon dijadikan kerajaan para arwah yang nglambrang. Di tempat itu juga diberi sesaji berupa ingkung (ayam utuh) dan tumpeng beserta lauk pauknya. Sesaji diperebutkan oleh warga sekitar dengan tujuan agar hantu gaib penunggu pohon Sana tidak mengganggunya. Kedua, dilakukan pembuatan sesaji pada rumah warga masing-masing. Sesaji dimasukkan ke tenong, terbuat dari bambu, dibawa ke kepala dusun pada jam 12.00. Sesaji berisi nasi dan lauk pauk dalam ragam yang berbeda-beda. Untuk menghadirkan warga yang akan kenduri di tempat kepala dusun, ditabuh kentongan. Menjelang dilaksanakan kenduri, di balik kelir wayang kulit, warga berkumpul secara khusyuk dengan aneka warna kostum kejawen. Masing-masing warga menghadap sesajinya sendiri. Ketiga, seorang pranatacara menyatakan bahwa pertunjukan dan selamatan bersih desa akan segera mulai. Terlebih dahulu, pranatacara mempersilakan dalang untuk mengawali pertunjukan. Adegan pertama, pasti akan membicarakan kepergian Dewi Sri dari keraton. Setelah menjelang Perang Kembang, pertunjukan dihentikan sementara oleh ki dalang dengan menutup kelir menggunakan gunungan. Pada saat itu, di balik kelir dilakukan kenduri bersama, yang isinya memohon keselamatan. Kenduri diakhiri dengan kembul bujana, saling menukar sesaji, kemudian pertunjukan dilanjutkan. Seluruh warga menonton pertunjukan wayang kulit, sambil makan. Keempat, cara warga meninggalkan arena kenduri pun tidak serentak, ada yang menjelang gara-gara, dan ada pula yang menonton sampai pertunjukan siang hari itu selesai. Dan malam harinya kembali untuk menghadiri malam tirakatan. Kelima, pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Meskipun wayang kulit ini bernilai hiburan, lakon yang dipertontonkan memuat wejangan ke arah penghormatan pada leluhur desa. Biasanya lakon yang dimainkan berganti-ganti seperti Wahyu Makutharama, Wahyu Purbasejati, dan sebagainya. Konsep wahyu selalu menjadi andalan bagi warga, dengan harapan agar memetri desa itu membawa berkah.


175 Memetri desa biasanya juga disebut merti desa, artinya memelihara desa secara batiniah dan lahiriah. Secara batiniah, orang desa menjalankan ritual mistik, baik berupa slametan maupun pertunjukan spiritual. Secara lahiriah, mereka juga membersihkan keramatan (kuburan) dan tempat-tempat khusus yang dianggap sakral. Tempat-tempat tersebut dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Tradisi tersebut pada umumnya menjadi “hajatan besar” desa setempat. Hajatan besar dilakukan secara kolektif, dengan biaya ditanggung bersama. Kegiatan dilakukan oleh seluruh warga desa, tua-muda, pria-wanita, bersama pamong dan sesepuh desa, petinggi dan pemangku adat setempat, bahkan sering terjadi warga tetangga desa ikut serta meramaikannya. Kegiatan memetri desa pada dasarnya untuk membuat desanya menjadi bersih, tertib, teratur, dan terawat baik, sehingga dapat “ikut menjaga” ketahanan desa, agar menjadi lebih maju dan lestari. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan pada bersih antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut. (1) Penataan hunian keluarga: kebersihan lingkungan rumah, pekarangan, kebun, halaman, selokan, pagar, sampah dan sebagainya. (2) Kerja bakti/gotong royong membenahi tempat-tempat umum, jalan, selokan, sungai, dan sebagainya. (3) Kenduri/selamatan/wilujengan dalam berbagai bentuk: arak-arakan gunungan, yang berisi berbagai makanan. (4) Kegiatan olahraga: berbagai pertandingan dan permaianan serta perlombaan, antardukuh dan antardesa. (5) Pentas seni dan pagelaran hiburan sesuai dengan kecenderungan desa masingmasing, misal tayuban, wayang kulit semalam suntuk, dan sebagainya. Kegiatan bersih desa biasanya memakan biaya besar dan curahan tenaga masyarakat desa. Adapun manfaatnya antara lain: (1) mendekatkan diri masyarakat dengan Tuhan YME, (2) meningkatkan rasa hormat kepada Rasulullah dan mengindahkan tuntunannya, (3) meningkatkan kecintaan masyarakat kepada desanya, daerah, dan tanah air, (4) mempererat keguyuban (tali persaudaraan) antarwarga desa, (5) mematangkan diri dalam bercocok tanam dan usaha, (6) bagi pamong desa, kegiatan bersih desa dapat menjadikan sarana untuk menilai tingkat kegairahan masyarakat dalam memelihara desanya, dan (7) meningkatkan kesadaran masyarakat desa untuk melestarikan lingkungan. Tahap-tahap demikian menunjukkan bahwa prosesi ritual memetri desa berkaitan dengan simbol dan proses sosial. Simbol dan proses sosial membentuk sebuah sistem budaya yang rapi. Hal ini memang diakui oleh Geertz (Morris,2003:395), bahwa kajian antropologi religi dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu (1) analisis makna yang diejawantahkan lewat simbolisme dan (2) menghubungkan sistem itu dengan proses sosiokultural dan psikologis. Aspek-aspek yang memberikan pemahaman terhadap kajian simbol sesaji, pertunjukan, peralatan, dan seterusnya dalam bersih desa. Simbol ini dikaitkan dengan makna dan fungsi memetri desa dalam struktur sosial masyarakat. 2. Makna Simbolik Biasanya masyarakat penghayat kepercayaan menanggap pertunjukan wayang kulit sebagai puncak bersih desa. Pertunjukan wayang kulit dilakukan siang hari dengan lakon khusus


176 dan malam hari (semalam suntuk) dengan lakon tertentu. Hal ini dilakukan karena ada anggapan bahwa Pandhawa merupakan lambang arwah para leluhur, sedangkan para Korawa lambang arwah-arwah yang jelek. Jadi, pada saat bersih desa, lakon Baratayudha sering dimainkan pada malam hari, sedangkan siang harinya mengambil lakon Sri Mulih (Sri Kondur) atau Sri Kembang. Lakon Baratayudha dijadikan simbol peperangan antara arwah baik dan buruk. Arwah baik akan membantu hidup penghayat, sedangkan yang buruk akan mengganggu. Maka, harus dilakukan dengan berbagai sesaji agar arwah buruk jinak dan mau membantunya. Lakon wayang kulit yang dimainkan, baik siang maupun malam hari, merupakan representasi simbolik dari kesadaran dan atau ketidaksadaran warga. Berbagai harapan dan mimpi tentang keselamatan, mereka lukiskan melalui pertunjukan. Setiap lakon memiliki visi dan misi khusus yang berkaitan dengan keselamatan. Maka, kalau dicermati, sebenarnya lakon Sri Mulih maupun lakon-lakon yang berjudul wahyu, sebenarnya menggambarkan simbol keagungan spiritual yang masih perlu ditafsirkan. Lakon Sri Mulih menggambarkan tokoh Dewi Sri dan Raden Sadana, anak-anak Prabu Maha Punggung Raja Medhang Kamulyan. Dewi Sri meninggalkan istana karena dimarahi raja. Raden Sadana menyusul kepergian kakaknya. Mereka tidak segera bertemu, masing-masing berkelana dari desa ke desa sambil bercocok tanam. Setelah lama berkelana, mereka bertemu kembali. Dewi Sri kembali ke Kahyangan, Raden Sadana diambil menantu oleh Raja Wiratha. Dalam lakon Sri Kondur (Mulih) diceritakan kembalinya Dewi Sri ke negara Wiratha. Dewi Sri berada di negara Pratalaretna yang dikuasai oleh Raja Darmasara. Prabu Suryakumara, Raja Guwa Rajeng, juga menginginkan Dewi Sri. Dewi Sri menjadi perebutan, tetapi Nagatatmala, anak Sang Hyang Anantaboga, atas bantuan Begawan Abiyasa dapat memboyong Dewi Sri ke Wiratha. Kisah Dewi Sri tersebut diyakini sebagai lambang memetri desa. Ini berarti bahwa kembalinya Dewi Sri mempunyai makna simbolik agar warga desa tersebut mendapat memetri desa dalam pertanian. Memetri desa identik dengan anugerah rejeki. Untuk menjaga keseimbangan antara jagad gedhe dan jagad kecil masyarakat Dusun Ngasinan mencoba menyiasati dengan tradisi memetri desa. Tradisi ritual memetri desa ini bersifat individual dan kolektif dalam rangka menjaga kepentingan bersama seluruh warga desa. Ritual memetri desa diwujudkan ke dalam pertunjukan simbolik wayang kulit dengan lakon Sri Mulih. Sikap religius semacam ini menunjukan bahwa memetri desa merupakan ritual yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan. Memetri desa sebagai refleksi keinginan masyarakat penghayat kepercayaan yang dimanifestasikan melalui wayang kulit. Rutinitas penyelenggaraan tradisi memetri desa menandakan adanya kekhawatiran akan datangnya gangguan fisik dan nonfisik yang setiap saat dapat menimpa jika tradisi itu tidak dilaksanakan. Oleh karenanya, tradisi bersih desa ini termasuk kategori tradisi krisis. Pelaksanaan tradisi memetri desa secara rutin diharapkan berdampak positif bagi kegiatan pertanian mulai dari masa tanam hingga masa panen, termasuk keselamatan seluruh warga masyarakat. Pada sikap berusaha dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena ada keterkaitan antara manusia dengan Tuhan, tradisi memetri desa termasuk tradisi religius. Mereka yakin bahwa keberhasilan suatu tradisi religi sedikit banyak dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya persyaratan ritual, yaitu perlengkapan sesaji yang diperlukan untuk sahnya suatu tradisi.


177 Sesaji yang ditaruh di atas panggung di pengeret terdiri dari: (a) nasi diberi warna merah, hitam, kuning, putih, dan biru yang masing-masing warna ditaruh di dalam takir; (b) jenang/bubur terbuat dari beras, santan, daun salam, garam (untuk warna putih), kalau warna merah diberi gula jawa; jenang pethak, baro-baro, jenang abrit di atasnya diberi gula dan kelapa diparut, jenang blowok (nasi yang ditaruh dalam takir yang dibuat dari daun pisang, di atasnya ditumpangi gula jawa); (c) minuman: teh, kopi, jahe, rujak degan (kelapa muda); (d) daun-daun: daun pakel, daun awar-awar, daun bambu dan daun kopi. Sesaji tersebut diyakini tetap sebagai pengorbanan logis bagi arwah leluhur. Taylor (dalam Pitchard, 1984:39), dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, berasumsi bahwa orang primitif pun tetap berpikir logis. Penghayat kepercayaan yang sering dikatakan primitif, sebenarnya memiliki pengetahuan logis dalam tradisi sesajen. Hanya saja, bagi orang awam sering mengecap sesaji itu suatu bentuk pemborosan. Pendapat orang awam demikian perlu dikoreksi secara arif. Keyakinan penghayat kepercayaan selalu mantap, menggunakan kekuatan batin, mereka juga kritis, dan bahkan eksperimental menggunakan pikiran dan rasa. Melalui rasa batin, mereka menembus selubung gaib, memasuki wilayah yang real. Maka seluruh sesaji yang terdiri dari ubarampe, baik yang ditempatkan di tempat khusus, di atas dalang, maupun di dekat gong tetap melukiskan simbol yang masuk akal. Bahkan, dalam bersih desa ada lagi sesaji yang diletakkan (digantung) di blandar di depan layar memanjang dari kiri ke kanan terdiri atas padi, jagung, kue apem, srabi, ingkung ayam, itik, burung dara, kelinci, marmut, enthok (sejenis itik), dan ketupat. Sesaji diletakkan di depan kanan dan kiri panggung: (1) kembar mayang, dibuat dari parasan degan krambil ijo, yaitu kelapa muda berwarna hijau yang dipotong atau dipangkas pangkal tangkainya, sehingga kelihatan tempurungnya, janur kuning yaitu daun kelapa yang masih muda yang berwarna kuning, godhong kluwih (nama daun), godhong sana (nama daun), semua daun-daunan tersebut ditancapkan pada parasan degan krambil ijo; (2) tumpeng, nasi gurih, jenang blowok (nasi di dalam takir, ditumpangi gula kelapa); (3) minuman: teh, kopi, jahe, air putih, bunga setaman yang terdiri atas mawar, melati, kenanga dimasukkan dalam mangkok/gelas yang diisi air; (4) makanan kecil: jadah bakar, ketela pohon bakar. Sesaji diletakkan dekat gong. Jenis sesaji antara lain tumpeng gudangan, dua buah kelapa yang telah dibersihkan kulit dan sabutnya, tetapi belum dipecah, jajan pasar (terdiri dari bermacam-macam makanan kecil antara lain: wajik, jadah, kimpul, tela pendhem, kacang tanah yang masih ada kulitnya direbus dan lain-lain), gula jawa satu tangkep, teh satu bungkus, tembakau, gambir, injet. Dilengkapi buah-buahan seperti nanas, timun, jambu, bengkoang, blimbing, sawo, salak, pisang raja satu tangkep. Semua ini diletakkan dalam sebuah tempat yang dibuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat dan diberi alas daun pisang. 3. Makna Simbolik Ubarampe dalam Upacara Memetri Desa Dalam upacara ritual atau slametan selalu dilengkapi dengan sesaji. Sesaji yaitu menyediakan sajian (pujaan: Prawiraatmojo, 1989:188) berupa makanan atau perlengkapan seperti bunga setaman dan lain-lain. Sesaji yang sering melengkapi slametan antara lain tumpeng, ambeng, nasi gurih, nasi kuning, jenang abang-putih (merah putih), jajan pasar dan lain-lain. Kebiasaan selamatan dengan menyajikan tumpeng telah menjadi tradisi kehidupan masyarakat Jawa sejak dahulu, kemudian kedatangan Islam, hingga saat ini. Tumpeng yang berbentuk kerucut yang dilengkapi dengan lauk pauk melambangkan dunia seisinya, butirbutir nasi yang padat menjulang ke atas adalah gambaran manusia ciptaan Tuhan. Beras yang sudah dimasak melambangkan manusia yang kelak jika sampai pada saatnya akan


178 kembali kepada-Nya. Ambeng, yaitu hidangan untuk kenduri (Prawiraatmojo, 1989:7). Sebagian masyarakat yang melaksanakan upacara ritual menyediakan ambeng sebagai perlengkapan upacara, perlengkapan lain dalam upacara, yaitu jajan pasar. Jajan pasar yang bermacam-macam jenisnya melambangkan kerukunan dalam bermasyarakat dan hendaknya tenggang rasa antarsesama selalu dipupuk (Wijotohardjo, 200:13). Tumpeng nasi kuning melambangkan terjadinya manusia (babaring wiji manungsa) (Wijotohardjo, 2000:15). Dengan nasi kuning dalam sebuah hajatan diharapkan mengingat proses terjadinya manusia, perpaduan rasa asmara ketika manusia bercinta. Sari santan (santan kanil) sebagai bumbu nasi kuning melambangkan sari kehidupan yang dihisap oleh sang calon bayi dalam kandungan ibu, juga melambangkan air susu ibu (Wijotohardjo, 200:14). Sari santan juga mengandung makna agar kita senantiasa mengingat jasa-jasa dan pengorbanan ibu. Jenang abang putih berkaitan dengan daur hidup dan merupakan lambang keabadian, lambing kesuburan. Jenang abang-putih atau bubur sengkala juga dimaksudkan untuk memelihara rumah dan lingkungan kita agar selamat dan terhindar dari marabahaya. Gunungan, yaitu makanan yang disusun seperti gunung pada upacara selamatan di istana, misal upacara Jumenengan (ulang tahun raja) atau hari besar lainnya seperti Grebeg Maulud atau Sekaten. Dalam perkembangannya, gunungan tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan keraton, tetapi juga untuk masyarakat yang sedang menyelenggarakan upacara bersih desa atau sedekah bumi. Gunungan merupakan simbol yang menggambarkan rasa syukur masyarakat yang melaksanakan bersih desa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sepintas pemakaian sesaji dalam ritual memetri desa sekadar menghambur-hamburkan materi. Begitu pula pemakaian pertunjukan wayang kulit yang memakan banyak biaya, sehingga orang awam mungkin akan menganggap fenomena mubazir. Padahal, jika dicermati, fenomena demikian merupakan wilayah seni spiritual yang agung. Aspek-aspek estetika spiritual yang sekaligus menjadi wahana komunikasi gaib antara penghayat kepercayaan dengan Tuhan merupakan aspek extraordinary (luar biasa) dalam bersih desa. Hal-hal yang sakral, penuh sensasi, mistik, dan memuat greget spiritualitas tinggi merupakan keluarbiasaan memetri desa. Uraian lengkap tentang sesaji tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Ngasinan tampak masih meneruskan tradisi para leluhurnya yang banyak dipengaruhi oleh agama Hindu dan kepercayaan agama lokal yang berbau animisme. Dari keseluruhan sesaji itu, tampaknya yang paling penting ialah terpenuhinya macam sesaji, bukan jumlah masing-masing sesaji yang tidak menjadi persyaratan mutlak. Kedudukan dan fungsi dalang dalam tradisi memetri desa sangat penting mengingat keberhasilan suatu tradisi memetriss desa sangat ditentukan oleh dalang. Dalang secara spiritual berkedudukan sebagai perantara kontrak batin dengan roh nenek moyang atau leluhur. Hal ini berarti seorang dalang bukanlah orang sembarangan, ia memiliki kelebihan dibanding kebanyakan orang, memiliki syarat tertentu yang menyangkut kemampuan supranatural. Karena kelebihan ini, dalang dianggap sebagai orang yang serba mampu atau mumpuni, khususnya dalam hubungannya dengan alam gaib. Di samping berfungsi sebagai pemimpin tradisi, dalang juga sebagai pemimpin pertunjukan, yaitu memiliki kewenangan untuk membuka dan menutup jalannya prosesi tradisi.


179 Berdasarkan uraian di atas, tradisi bersih desa atau ruwatan bumi (bersih desa) merupakan ekspresi individual dan kolektif masyarakat Ngasinan, Kediri yang melestarikan tradisi mitos Dewi Sri sebagai ekspresi sosial-budaya yang mencerminkan percampuran unsur-unsur kebudayaan pra-Islam, yaitu kebudayaan animisme, dinamisme, Hindu, dan Islam, sehingga terjadi interpretasi yang mengkristal dalam wujud akulturasi dan inkulturasi budaya yang menjadi suatu pandangan hidup baru yang berupa kegiatan religius. Simpulan Atas dasar pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna memetri desa secara keseluruhan tidak dapat terpisahkan dari sebuah struktur sosial. Memetri desa tetap lestari dan berkembang di tengah masyarakat Dusun Ngasinan karena adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu sistem sosial-budaya. Keterkaitan itu terletak pada peranan wayang kulit, warga penghayat kepercayaan, penjual bunga, jurukunci kuburan, pemerintah (kepala dusun), dalang, dan sebagainya yang menjadi bagian dari sistem sosial-budaya masyarakat Dusun Ngasinan, yaitu sebagai media tradisi memetri desa. Memetri desa adalah sebuah ritual yang membentuk kisah etnografi masyarakat setempat. Jika hal ini diselaraskan dengan gagasan Radcliffe-Brown (dalam Jakobson,1991:21), peranan sosial dan norma ikut memberi makna sebuah budaya. Hubungan antara posisi sosial akan membentuk aktualisasi hubungan dan pekerti yang unik dalam masyarakat. Dalam wacana lain, Geertz (dalam Simatupang,2005:viii) menyatakan bahwa manusia ibarat makhluk yang terjerat dalam jaring-jaring makna yang dipintalnya sendiri. Dari pendapat ini dapat dinyatakan bahwa setiap gerak hidup manusia memiliki makna. Makna tersebut terangkum dalam simbol budaya. Dengan kata lain, memetri desa akan memuat mana yang melukiskan segala pekerti, sikap, dan norma masyarakat yang terangkum dalam sebuah struktur sosial padu. Daftar Pustaka Darusuprapta.1988. “Sarasehan Kebudayaan Jawi.” Dalam Tuntunan Kagem Pranatacara Tuwin Pamedhar Sabda. Semarang: Aneka Ilmu. Geertz,Clifford.1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books,Inc. Publishers. ________. 2003. “Seni sebagai Sistem Budaya.” Dalam Pengetahuan Lokal. Yogyakarta: Merapi. Jakobson, David. 1991. Reading Ethnography. New York: State University of New York Press. Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Morris, Brian. 2003. Antropologi Agama. Yogyakarta: AKGroup. Murgiyanto, Sal. 1998. “Mengenai Kajian Pertunjukan.” Dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan, disunting oleh Pudentia M. P. S. S. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. Permadi, K. 1995. Pandangan Aliran Kepercayaan terhadap Islam. Jakarta: Dirjen Kebudayaan. Pritchard, Evans. 1984. Teori-teori tentang Agama Primitif. Jakarta: PLP2M. Simatupang, G. R. 2005. “Dinamika Seni dan Budaya.” Yogyakarta: FIB UGM.


180 Filosofi Kearifan Lokal Arsitektur Tradisional dalam Masyarakat Jawa Trisna Kumala Satya Dewi Tulisan ini bertujuan menginventarisasi arsitektur tradisional yang merupakan kekayaan masyarakat Jawa dan mengungkapkan filosofis arsitektur tradisional dalam masyarakat Jawa. Metode yang digunakan dalam tulisan ini yaitu menggunakan metode penelitian folklor bagi pengarsipan dan metode peneltian naskah, yaitu dengan menggunakan sumber-sumber tertulis berupa naskah kuno. Di samping itu, juga digunakan pendekatan etnografi. Teori yang digunakan adalah fenomenologi dan semiotik. Dengan demikian, dilakukan deskripsi fenomena-fenomena arsitektur tradisional, deskripsi fenomenologis selanjutnya mengungkap simbol-simbol dalam arsitektur tradisional masyarakat Jawa. Tulisan ini menghasilkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, inventarisasi arsitektur tradisional masyarakat Jawa, yaitu tentang pemilihan jenis-jenis kayu jati yang berkualitas untuk membuat bentuk-bentuk rumah Jawa atau arsitektur tradisional yang meliputi bentuk rumah seperti jenis-jenis rumah arsitektur joglo, limasan, kampung, dan masjid. Kedua, filosofis arsitektur tradisional dilandasi pada hal yang mendasar tentang kearifan lokal masyarakat Jawa tentang pemilihan kualitas kayu jati. Kayu jati yang berkualitas dipilih untuk membangun sebuah rumah (hunian, istana) agar penghuninya kelak hidup tenteram, damai, dan terhindar dari marabahaya atau musibah. Di samping itu, cara perolehannya pun harus dikerjakan dengan baik dan benar. Kata kunci: arsitektur tradisional, filosofi, kearifan lokal, masyarakat Jawa Pendahuluan Masyarakat Jawa memiliki aneka ragam warisan budaya, salah satunya ialah arsitektur tradisional. Pada era masa kini, sebagian masyarakat Jawa masih melestarikannya, misalnya rumah (tempat tinggal), kantor-kantor pemerintahan, toko, butik, rumah makan, dan lainlain. Demikian pula, arsitektur tradisional Jawa masih banyak kita jumpai pada rumah penduduk di pedesaan. Di perkotaan, tidak jarang arsitektur tradisional seperti bentuk rumah (joglo misalnya) digemari oleh kalangan menengah ke atas sebagai sebuah “prestise” yang melambangkan kemegahan dan kemakmuran di tengah-tengah globalisasi yang tidak lepas dari pengaruh arsitektur modern. Arsitektur tradisional Jawa lahir, tumbuh, dan berkembang tidak terlepas dari dukungan masyarakat pemiliknya, yaitu masyarakat Jawa. Arsitektur Jawa yang “adiluhung” merupakan hasil karya kolektif (masyarakat Jawa) lahir dan menjadi tradisi dalam masyarakat. Dapat dikatakan pula bahwa arsitektur Jawa tradisional itu bernilai estetis, penuh dengan filosofis, dan bermakna. Arsitektur Jawa selain indah dan memiliki jati diri juga memberikan rasa ayom, ayem, tentrem (rasa aman, tenang, dan tenteram)—sebagaimana “kehidupan” yang diidam-idamkan oleh masyarakat Jawa. Penelitian ini berada dalam ranah folklor (bukan lisan) yang berkaitan dengan artefak, khususnya arsitektur tradisional. Dengan mengamati arsitektur tradisional yang masih diwarisi oleh masyarakat Jawa masa kini, dapat diketahui masih bertahannya sebuah tradisi dalam kebuadayaan Jawa, khususnya berkaitan dengan arsitekturnya. Dengan demikian, arsitektur tradisional Jawa tersebut perlu diinventarisasi dan dideskripsikan keberadaannya.


181 Arsitektur tradisional Jawa juga terdapat dalam naskah-naskah kuno (Jawa) seperti Serat Kawruh Kalang, Serat Kawruh Kalang Bab Griya Jawi, dan lain-lain yang masih tersimpan, baik di museum maupun perpustakaan. Dengan demikian, pengetahuan dalam sumber tertulis berupa naskah kuno tersebut akan sangat bermanfaat dalam mengungkap filosofi arsitektur tradisional dalam masyarakat Jawa. Dalam rangka mengungkap filosofi dalam arsitektur tradisional tersebut, penelitian ini juga menggunakan fenomenologis, semiotik budaya untuk mengungkapkan simbol dan maknanya. Di samping itu, juga menggunakan pendekatan etnografi dalam rangka deskripsi kebudayaan Jawa yang tercermin dalam arsitekturnya. Tulisan ini bertujuan sebagai berikut: pertama, menginventarisasikan arsitektur tradisional yang merupakan kekayaan masyarakat Jawa, dan kedua, mengungkapkan filosofis arsitektur tradisional dalam masyarakat Jawa. Metode Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi, metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data (Ahimsa-Putra, 2009). Metode dalam penelitian berkaitan dengan data folklor dan sumber-sumber tertulis berupa naskah kuno. Sumber data tulisan ini adalah folklor Jawa, khususnya bentuk folklor bukan lisan, yaitu arsitektur tradisional Jawa. Sumber tertulis yang digunakan sebagai data penelitian ini adalah naskah yang berisi atau memuat tentang arsitektur tradiosional Jawa, seperti Serat Kawruh Kalang (kode naskah 694 SER S) dan Serat Kawruh Kalang Bab Griya Jawi (kode naskah P 102) yang tersimpan di Museum radya Pustaka Surakarta. Data penelitian ini adalah filosofi arsitektur tradisional Jawa, baik yang terdapat dalam folklor (bukan lisan) maupun dalam naskah kuno. Lokasi penelitian ini adalah Solo Raya (eks Karisidenan Surakarta), yang masyarakatnya diperkirakan masih banyak melestarikan arsitektur tradisonal Jawa. Di samping itu, juga Museum Radya Pustaka Surakarta dan Perpustakaan Rekso Pustoko Istana Mangkunegaran Surakarta yang masih menyimpan sumber-sumber tertulis berupa naskah kuno yang memuat tentang arsitektur tradisional Jawa. Data penelitian berupa filosofi arsitektur tradisional yang terdapat dalam folklor bukan lisan dan naskah-naskah kuno (Jawa) dikumpulkan dengan cara menginventarisasi arsitektur tradisional Jawa dan mewawancara masyarakat yang masih mewarisi arsitektur tradisional. Data penelitian berupa filosofi yang terdapat dalam naskah kuno dilakukan dengan cara pembacaan dengan seksama dan secara kritis. Hasil pembacaan secara kritis ini akan menghasilkan filosofi arsitektur tradisonal dalam masyarakat Jawa. Dalam kaitannya dengan arsitektur tradisional maka dalam penelitian ini juga perlu pendekatan etnografi. Pendekatan etnografi akan bermanfaat bagi peneliti untuk melihat warisan arsitektur tradisional dalam masyarakat Jawa. Etnografi berasal dari kata ethnos ‘suku bangsa’ dan graphein ‘mengukir, menulis, menggambar.’ Jadi, etnografi adalah tulisan, deskripsi, atau penggambaran mengenai suatu suku bangsa tertentu. Suatu suku bangsa tentu terdiri atas manusia-manusia: laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, dewasa dan tua. Suatu suku bangsa juga tentu memiliki adat-istiadat atau budaya tertentu. Oleh sebab itu, suatu suku bangsa memiliki paling tidak dimensi fisik dan budaya. Sebuah etnografi dapat memuat deskripsi fisik suatu bangsa dan deskripsi adat-istiadat budaya suatu suku


182 bangsa. Kebudayaan yang mempunyai tiga wujud (aspek), yakni aspek material atau fisik (material aspect), aspek perilaku (behavioral aspect), dan aspek ide tau gagasan (ideational aspect). Kebudayaan dalam aspek materialnya maka etnografer dapat menggunakan fotofoto, misal foto rumah, peralatan transportasi, peralatan pertanian, pakaian, dan sebagainya (Ahimsa-Putra, tt:26-27). Dengan demikian, dalam rangka meneliti arsitektur tradisional dalam masyarakat Jawa diperlukan pendekatan etnografi. Dalam rangka analisis data penelitian ini tidak terlepas dari teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu fenomenologi, semiotik dan pendekatan etnografi. Dengan demikian, perlu dilakukan deskripsi fenomena-fenomena arsitektur tradisional, deskripsi fenomenologis selanjutnya mengungkap simbol-simbol dalam arsitektur tradisional masyarakat Jawa yang ada dalam lingkup semiotik. Analisis data penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. Hasil dan Pembahasan 1. Inventarisasi Masyarakat Jawa memiliki kekayaan arsitektur tradisional yang sangat beragam. Arsitektur tradisional masyarakat Jawa itu terekam dengan bentuk-bentuk banguan rumah tinggal, kantor-kantor pemerintahan, perabotan tradisional, butik, toko, dan sebagainya. Arsitektur tradisonal masyarakat Jawa di antaranya dapat digali melalui peninggalan naskah-naskah lama seperti halnya dalam naskah Serat Kalang Bab Griya Jawi. Naskah ini tersimpan di Reksopustoko Istana Mangkunegaran Surakarta dengan kode naskah no. P102. Naskah ini beraksara Jawa dan berbahasa Jawa. Naskah Serat Kalang Bab Griya Jawi berisi antara lain asal mula rumah yang terbuat daru kayu, adanya jenis-jenis rumah, pemilihan kayu jati, kayu yang dianggap tidak baik atau mengandung aura negatif, cara-cara menebang dan membelah kayu, ukuran-ukuran kayu untuk bangunan rumah, dan sebagainya berdasarkan tradisi nenek moyang. Dalam naskah Serat Kalang Bab Griya Jawi juga disebutkan bahwa pada zaman dahulu rumah orang Jawa itu luas, cara membangun dan memasangnya pun seperti candi yang masih bisa kita lihat sekarang. Pada masa Sri Bathara Ajijayabaya di Mamenang mempunyai Arsitektur Tradisional (simbol-simbol) Deskripsi Fenomenologis Deskripsi Peneliti Etnografi Arsitektur Tradisional


183 punggawa yang bernama Adipati Arya Santan yang diberi kepercayaan mempelajari ilmu yang berkaitan dengan rumah (Jawa: griya). Pada tahun Surya 857 atau tahun Candra 883, Adipati Arya Santan mempunyai pendapat bahwa rumah yang terbuat dari batu hendaknya diganti dengan kayu jati atau kayu lainnya. Adapun yang dilestarikan adalah pagarnya saja yang terbuat dari batu—agar rumah lebih nyaman dan tidak mengkhawatirkan seperti rumah batu. Demikian pula pengerjaannya lebih mudah rumah kayu daripada rumah batu. Rumah batu jika sudah rusak lebih membahayakan, karena jika terkena air hujan lama-lama menjadi terkikis. Jika sudah rusak, rumah batu dapat langsung roboh dan menyebahkan musibah bagi penghuninya. Gagasan Adipati Harya Santan tersebut sangat berkenan di hati Sri Bathara Ajijayabaya. Sang Raja kemudian menitahkan Adipati Harya Santan untuk memebangun istana karena kebetulan keadaan atau kondisi rumah istana sudah dalam keadaan rusak. Dalem Kedhaton (rumah istana) lama itu disebut Mondrahini—setelah dirasa lebih bermanfaat, istana yang terbuat dari batu tersebut diganti menjadi istana yang bahannya terbuat dari kayu. Lamakelamaan rumah para penduduk (rakyat; kawula alit) juga diganti dengan kayu. Ketika Prabu Widhayaka bertahata di Medhangkamulan membuat istana, dan menjadi bupati Kalang serta diberi gelar Bupati Kalangkaba yang dibagi-bagi menjadi empat golongan, yaitu (1) Kalangblandhong (Karangkamplong), (2) Kalangobong, (3) Kalangadheg, dan (4) Kalangbrek. Pada zaman Sinuhun Sukltan Agung Hanyakrakusumo bertahta di Mataram, abdi dalem Kalang banyak yang belum muncul, adapun yang sudah ada diberi nama Kalangmendhak, setelah itu juga banyak yang bermunculan. Secara historis, kayu jati boleh dikatakan adalah awal reformasi istana atau rumah tinggal masyarakat Jawa yang mulai mengganti piranti atau sarana bahan rumah dari batu menjadi kayu. Masyarakat Jawa mempunyai kriteria dalam pemilihan bahan rumah yang terbuat dari bahan kayu jati sebagai berikut. Pemilihan kayu jati tersebut berkaitan dengan lunak dan kerasnya kayu. Kayu jati yang bisa tumbuh besar adalah yang ditanam di gunung atau hutan yang warna tanahnya merah atau hitam. Menurut naskah Serat Kawruh Kalang Bab Griya Jawi, pada hakikatnya tanah tempat pohon jati itu ditanam akan sangat berpengaruh pada kualitas kayu jati. Kayu jati yang ditanam pada tanah yang berwarna merah akan mengakibatkan kayu jati menjadi keras, seratnya padat, dan halus cemerlang. Pohon jati yang ditanam pada tanah berwarna hitam akan memiliki kualitas dasar kayu jati menjadi lunak serat tidak padat (Jawa: gopok, mrupuk), lengket seperti pulut. Kualitas kayu jati dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) jati bang, yaitu kayu jati yang keras, halus, dan cemerlang— jenis kayu jati bang akan awet untuk bahan bangunan; (2) jati kembang atau jati sungu, dasarnya hitam berserat garis-garis seperti tanduk (Jawa: sungu); jenis jati ini kalau untuk bahan banguan juga awet, tetapi kualitasnya tidak melebihi jati bang; (3) jati kapur, jenis kayu jati ini bertekstur sangat lunak (Jawa: empuk) berserat mrupuk, atau sangat lunak berwarna putih agak kekuning-kuningan. Jenis kayu jati ini kalau untuk bahan bangunan kurang awet, tetapi jika dibandingkan jati bang yang ditanam pada tanah hitam dan jati kapur yang ditanam pada tanah merah—asih lebih baik (keras) daripada jati kapur yang ditanam pada tanah merah. Jati berkualitas menurut masyarakat Surakarta yaitu kayu jati yang berasal dari tanah Kaduwung, sebab tanahnya berwarna merah. Sementara itu, Kendheng dan sekitarnya tidak berkualitas baik karena warna tanahnya kehitam-hitaman (lihat Dewi, 2016:1—32).


184 2. Arsitektur Tradisional Jawa Arsitektur tradisional dalam kajian folklor termasuk bentuk folklor bukan lisan. Namun demikian, pewarisannya tetap menggunakan lisan, misal cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk folklor ini juga dapat dibagi menjadi dua subkelempok, yaitu yang material dan yang bukan material. Bentuk folklor yang tergolong material antara lain arsitektur rakyat (bentuk rumah asli suatu daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Yang termasuk bukan material antara lain gerakan isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di daerah Jawa) atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti dilakukan di Afrika), dan musik rakyat (Danandjaja, 1991:22). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa arsitektur tradisional tergolong dalam bentuk folklor yang material yang pewarisannya atau cara pembuatannya diajarkan secara lisan secara turun-temurun, lahir, tumbuh, dan berkembang. Arsitektur adalah seni atau ilmu merancang dan membuat konstruksi bangunan, jembatan, dan lain-lain. Arsitektur tradisional adalah arsitektur yang digunakan oleh suatu masyarakat yang masih memiliki sikap, cara berpikir, dan bertindak dengan berpegang teguh pada norma dan adat kebiasan secara turun-temurun. Masyarakat Jawa mempunyai warisan berupa bermacam-macam arsitektur tradisional, antara lain bentuk rumah Jawa bermacammacam paling tidak ada lima jenis, yaitu, panggang pe, limasan, joglo, kampung, dan tajug. Panggang pe adalah bentuk rumah adat Jawa yang paling sederhana, yaitu terdiri ata satu ruangan terbuka dengan atap satu bidang datar yang dipasang miring satu arah. Penggunan jenis rumah ini biasanya sementara, misalnya sebagai tempat istirahat ketika petani sedang berada di sawah (lihat Dakung S., 1981; Ismunandar, 1986). Dalam masyarakat Jawa, rumah tinggal (hunian) yang setidak-tidaknya terdiri atas satu unit dasar, yaitu omah yang terdiri atas dua bagian, bagian dalam terdapat deretan sentong tengah, sentong kiwa (sentong kiri), dan sentong tengen (kanan). Ruang terbuka memanjang di bagian depan deretan sentong yang disebut dalam dan bagian luarnya disebut emperan (Kartono, 2005:6). Konsep tertebut didasari oleh sikap hidup orang Jawa yang selalu ingin menyatu dengan alam—sehingga rumah tradisional Jawa memiliki halaman (latar) yang luas, pintu, dan jendela yang banyak. Arsitektur tradisional Jawa mempunyai beberapa ciri, salah satu contohnya ialah yang berkaitan dengan arsitektur rumah masyarakat Jawa sebagai berikut: (1) arsitektur Jawa identik dengan raung terbuka, misalnya pada rumah bagian depan: ruang tamu dibuat luas dan terbuka. Pada bagian tengah terdapat beberapa penyangga atap; biasanya ada empat tiang penyangga pada bagian tengah ruangan; (2) bentuk atap rumah Jawa sangat khas (misalnya, limasan, joglo); (3) rumah Jawa kaya akan ornamen; (4) perabot yang mendukung arsitektur Jawa adalah kayu; (5) gaya tradisional Jawa sangat identik dengan gaya natural. Oleh sebab itu, warna natural akan sangat cocok, misal warna coklat dan putih. Warna hijau juga dapat dijadikan pilihan (lihat http://blog.propertykita.com/arsitektur/arsitektur-khasJawa/).


185 Konsep ruang dalam rumah tinggal menurut arsitektur Jawa pada hakikatnya berbeda dengan konsep ruang dalam tradisi Barat. Tidak ada sinonim kata ruang yang tepat dalam bahasa Jawa. Kata yang mendekati adalah nggon, kata kerjanya menjadi manggon dan panggonan yang artinya tempat. Dengan demikian, bagi orang Jawa lebih tepat pengertian tempat daripada ruang. Rumah tinggal bagi orang Jawa dengan demikian adalah tempat (tatanan tempat), sedangkan ruang tidak begitu relevan dalam pengertian rumah tinggal Jawa (lihat Tjahyono, 1989). Tradisi tulis naskah-naskah kuno Jawa juga berisi tentang arsitektur tradisional Jawa antara lain Serat Kawruh Kalang (kode naskah 694 SER S), naskah ini beraksara Jawa dan berbahasa Jawa. Serat Kawruh Kalang merupakan koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta. Naskah ini berisi tentang tata cara pembuatan rumah Jawa, tetapi lebih menekankan pada bagianbagian atap yang megah. Di samping itu, juga terdapat bulan yang baik dan buruk unuk mendirikan rumah yang dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa sejak dahulu. Dalam membangun atap rumah Jawa dan pilar penahan atap biasanya tidak hanya berkaitan dengan penataan genteng dan kayu-kayunya yang dijadikan pilar, tetapi juga filosofi yang mendasari pembangunannya. Filosofi tersebut biasanya berupa ukiran kayu, pemberian warna, juga motif gambar pada atap. Serat Kawruh Kalang Bab Griya Jawi (kode naskah P 102) merupakan naskah Jawa yang berisi tentang arsitektur tradisional. Naskah berbahasa Jawa dan beraksara Jawa ini merupakan koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta. Naskah ini berisi tentang langkah-langkah pembuatan rumah orang Jawa, yaitu asal mula rumah kayu, macam-macam cara pembuatan rumah, pemilihan kayu jati yang dianggap baik dan buruk, dan lain-lain. Naskah Serat Kawruh Kalang Bab Griya Jawi terdiri atas enam bab, yaitu (1) mendeskipsikan tentang pemilihan kayu jati yang lunak dan keras, (2) mendeskripsikan tentang pilihan kayu jati baik, (3) mendeskripsikan tentang tampikanipun kajeng ingkang awon asaripun, (4) mendeskripsikan tentang katrangan anegor sarta adamel gebingan tuwin sirep, (5) mendeskripsikan tentang jenis-jenis rumah Jawa yang terdiri atas empat macam, yaitu joglo, limasan, kampung, dan masjid, dan (6) mendeskripsikan tentang macam-macam perabotan rumah. Dalam mengungkapkan makna filosofis, penelitian ini menggunakan fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah arus pemikiran dalam filsafat, dan aliran ini dapat dikatakan selalu dihubungkan dengan pencetusnya Edmund Husserl. Namun demikian, sebenarnya istilah ini bukan berasal dari Edmund Husserl karena istilah fenomenologi sudah sering muncul pada wacana filsafat sejak tahun 1765 dan kadang-kadang muncul pada karya-karya filsafat Immanuel Kant. Makna fenomenologis menjadi lebih jelas ketika Hegel merumuskannya. Hegel mendefinisikan fenomenologi juga dapat diartikan sebagai “pengetahuan sebagaimana pengetahuan tersebut tampil atau hadir terhadap kesadaran” (knowledge as it appears toconsciousness). Fenomenologi juga dapat dikatakan sebagai “ilmu pengetahuan tentang penggambaran apa yang dilihat oleh seseorang, apa yang dirasakan dan diketahuinya dalam immediate awareness and experience-nya. Penekanan pada proses penggambaran ini membawa kita kepada upaya mengungkapkan “phenomenal consciousness” (kesadaran fenomenal, kesadaran mengenai fenomena) melalui ilmu pengetahuan dan filsafat, menuju ke “the absolute knowledge of the absolute” (Ahimsa-Putra, 2009:3).


186 Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, arsitektur tradisional Jawa merupakan bagian dari sebuah kebudayaan yang menaunginya, yaitu kebudayaan Jawa. Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 1980) mengatakan bahwa kebudayaan adalah bagian dari lingkungan kita yang merupakan karya manusia. Kebudayaan merupakan tingkatan lambang-lambang yang efektif, kognitif, dan konatif yang membawa perorangan itu berhubungan dengan dunia, masyarakat, dengan dirinya. Kebudayaan dalam arti semiotis merupakan keterampilan yang dimiliki oleh suatu kelompok dalam mengenal tanda-tanda dengan cara yang sama dan ditafsirkan sama pula. Suatu kebudayaan merupakan keseluruhan yang saling berkaitan yang terdiri atas kebiasaan-kebiasaan semiotik, yaitu kebiasaan yang memberikan efisiensi kepada pergaulan kita dengan dunia yang banyak berupa tanda (simbol). Dengan demikian, penelitian ini juga berada dalam wilayah semiotik kebudayaan. Aart van Zoest dalam Semiotiek Over Tekens, Hoe Ze Werken en Wat WeErmee Doen (1978) mengatakan bahwa semiotik kebudayaan ditujukan pada gejala-gejala yang secara budaya dapat dikenal secara jelas, misalnya folklor (dalam hal ini seni ritual). Penggunaan tanda (simbol) merupakan objek yang menonjol dari penelitian semiotik terhadap kebudayaan (Zoest, 1978:119-125). Dengan demikian, dalam rangka mengungkapkan makna filosofisnya (arsitektur tradisional), di samping menggunakan fenomenologis dalam melihat fenomena-fenomena yang ada, juga mengungkapkan simbol (makna) yang terdapat dalam arsitektur tradisional masyarakat Jawa. 3. Filosofi Arsitektur Dalam pemilihan bahan bangunan, kayu jati memiliki peranan utama bagi masyarakat Jawa. Dalam filosofi Jawa, kayu jati memiliki dasar baik dan buruk (Jawa: sae lan awon). Kayu jati yang mempunyai dasar baik akan mengakibatkan lancarnya rezeki (karijekan), keselamatan (kawilujengan), dan sebagainya. Kayu jati yang berdasar jelek akan mengakibatkan kemelaratan, bencana (kacilakan), dan sebagainya. Dalam Serat Kawruh Kalang Bab Griya Jawi bab 2, yaitu “pilahanipun kajeng jati ingkang sae asaripun” antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. (1) Kayu jati yang pohonnya satu dan bercabang dua (uger-uger) berwatak baik, artinya penghuninya dan keturunannya akan hidup rukun. Sebaiknya kayu jati tersebut untuk pintu rumah, pintu puri, grogol atau sejenis pagar. (2) Kayu jati yang pohonnya bercabang tiga dinamakan trajumas, berwatak banyak rezeki, sebaiknya dipakai untuk tiang rumah (balungan griya) belakang yang besar atau yang bagian atas seperti belandar, pangeret, molo, dan sebagainya. (3) Kayu jati yang pohonnya untuk rumah (susuh) burung besar atau untuk rumah buron wana yaitu binatang buruan—dinamakan tunjung berwatak menaikkan derajat, membuat kerasan penghuninya. Kayu ini sebaiknya dipasang untuk gedhogan atau rumah hewan peliharan (raja kaya). (4) Kayu jati yang pohonnya untuk tumbuh tanaman simbar, dinamakan simbar berwatak dingin, tenteram suasananya, sebaiknya dipakai sebagai banguan masjid atau langgar (musala), serambi dan cungkup atau sanggar dan tempat berwudu. (5) Kayu jati yang berdahan lima, dinamakan pandhawa, berwatak lebih kuat bagi penghuninya. Sebaiknya kayu jati ditempatkan untuk balungan rumah depan atau pendapa atau untuk saka guru. (6) Kayu jati yang tumbuh di punthuk (atas tebing), dinamakan munggang—berwatak menaikkan derajat dan menambah rezeki. Kayu jati sebaiknya ditempatkan untuk membuat pintu depan (regol), bangsal, pasanggrahan, panggung, dan sebagainya atau tempat yang tidak dipakai untuk tidur.


187 (7) Kayu jati yang pohonnya dikelilingi air, dinamakan mulo—berwatak membuat tenang dan menenteramkan hati. Kayu ini sebaiknya dipakai sebagai tiang (balungan) pendapa, seperti kayu pendhawa. Namun, masih dianggap lebih baik kayu pandhawa. (8) Kayu jati yang pohonnya untuk rumah (susuh) burung kecil (peksi alit) atau dihuni sebangsa gumremet, dinamakan gendam bagi yang menghuni sering kedatangan rezeki dan banyak teman (saudara). Sebaiknya kayu ini dipakai untuk kandang kuda (gedhogan) atau kandang hewan peliharaan (raja kaya). Jika dibandingkan dengan jenis pohon tunjung, kayu jati gendam mempunyai kualitas di bawahnya. (9) Kayu jati yang pohonnya tumbuh dari pohon induknya (trubus) dinamakan gendhong—berwatak membuat kaya dari bawah atau dari hasil jerih payah. Kayu ini sebaiknya dipakai untuk membuat tempat penyimpanan harta kekayaan (raja brana) seperti peti, dan sebagainya. (10) Kayu jati yang pohonnya ada gambol-nya (akar yang besar) dinamakan gedheg— berwatak memperkuat penyimpanan harta benda. Kayu ini sebaiknya digunakan untuk menyimpan harta benda seperti peti dan sebagainya. (11) Kayu jati yang pohonnya ada gandhik-nya dinamakan gedhug; membuat kaya, raja kaya hewan peliharaan, dan membuat selamat. Kayu ini sebaiknya dipakai untuk segala macam tempat dan kandang hewan peliharaan. Jenis kayu-kayu tersebut jika tidak dipakai pada tempatnya tidak berarti mendatangkan keburukan, akan tetapi kurang maksimal manfaatnya. Dalam Serat Kalang Bab Griya Jawi bab 3 dipaparkan jenis-jenis kayu jati yang tidak baik antara lain sebagai berikut. (1) Kayu jati yang di dalam pohonnya terdapat kulit dinamakan klabang pipitan, berwatak panas bagi penghuninya sering mendapat musibah berupa sakit. (2) Kayu jati yang pohonnya tumbang dan menimpa kayunya dinamakan tundhung, berwatak gemar berbuat jahat dan memfitnah orang. (3) Kau jati yang tumbang di sungai, jurang, atau jalan dinamakan sadhang, berwatak sering tersandung masalah atau sering sakit. (4) Kayu jati yang pohonnya tumbang pada kayu jati di atas pohonnya sendiri dinamakan sundhang—berwatak bagi yang menghuni yaitu bencana dari bawah (dari dalam rumahnya). (5) Kayu jati yang tumbang bersandar pada pohon yang masih berdiri dinamakan sendho—berwatak yang menghuni akan turun derajatnya dan mendapat bencana dari tetangganya. (6) Kayu jati yang hanyut dinamakan sarah—berwatak kelak penghuninya kecewa hatinya dan berkurang rezekinya. (7) Kayu jati yang berlubang pohonnya sampai ke bagian bawah (bolong butul) ketika masih hidup dinamakan sujen terus—berwatak yang menghuni akan sering kena musibah. (8) Kayu jati yang rusak dan keluar pada bagian dalam (medal manahipun) dinamakan mutah ati—berwatak anglanjuraken pikajengan. (9) Kayu jati yang tumbang tanpa ada penyebabnya dinamakan prahara berwatak menggagalkan semua yang sudah tersedia dan berkurang derajatnya. (10) Kayu jati yang terbenam di tanah atau terendam dalam air dinamakan rumba, berwatak yang memakai akan sering difitnah.


188 (11) Kayu jati yang pohonnya mati dengan sendirinya dinamakan galira—yang menghuni tidak akan terlaksana segala sesuatunya, apes dan sering sakit (geringen). (12) Kayu jati yang ketika pohonnya ditebang mengagetkan hewan buas hingga sampai mengeluarkan suara dinamakan grona—berwatak yang menghuni akan mendapat pembicaraan yang jelek dari orang yang berkuasa. (13) Kayu jati yang hidup menempel pada dahan dinamakan gandhongan—berwatak kelak akan menumbuhkan niat jahat bagi penghuninya. (14) Kayu jati yang masuk kamesmen dinamakan godha—berwatak sering kabesmen. (15) Kayu jati yang tumbuhnya tersangkut di pang dinamakan bronggang—berwatak yang menghuni kelak terhambat segala kemauannya. (16) Kayu jati yang masuk dalam daging kayu dinamakan buntet—berwatak yang menghuni akan selalu lupa pada pekerjaan yang penting dan menderita sakit dalam. Dalam Serat Kalang Bab Griya Jawi (bab 4: Katrangan anegor sarta adamel gebingantuwin sirap) dipaparkan tentang cara-cara menebang kayu jati, membuat atap (sirap), dan gebingan. Dalam serat tersebut dijelaskan tentang aturan-aturan menebang kayu jati, antara lain yaitu sebelum memotong harus diukur terlebih dahulu. Ukuran tersebut kira-kira 3 atau 4 kaki dari permukaan tanah, dipotong memutar sampai penuh (temu gelang)---mulai dari kulit yang berwarna merah, hingga jatuh dengan sendirinya. Setelah satu tahun dari jarak pengukuran baru boleh ditebang karena pohon telah kering dan mendapatkan kualitas kayu jati yang baik. Jatuhnya kayu (pohon) yang ditebang hendaknya diusahakan rebah ke arah utara atau barat dan jangan sampai jatuh pada pohon yang masih hidup, tersangkut, menimpa pohon, dan sebagainya. Sebaiknya pohon ditebang pada pagi atau sore hari agar kelihatan bayangan pucuk pohon atau bagian atas—bayangan pohon akan sama dengan panjang pohon yang akan ditebang. Dalam kaitannya dengan cara menebang pohon maka memperhatikan bayangan pucuk pohon akan dijadikan sebagai patokan jatuhnya pohon. Demikian juga, dapat dipakai sebagai tafsiran akan panjang pendeknya kayu yang akan dipergunakan, misalnya panjangnya 20 kaki. Jika bayangan pohon itu lebih dari 20 kaki, cukup juga untuk tiang yang panjangnya 20 kaki. Dengan demikian, besarnya bagian atas atau pucuk kayu itu dapat dilihat dari besarnya bagian bawah pohon (bongkot). Misal, kayu yang diameter bagian bawahnya 6 kaki, lebar bayangan ada 2 kaki, maka bayangan atas pohon haris diukur. Kayu yang besarnya 1 kaki, jadi besar bagian atas juga 3; adapun penafsiran tersebut hanya sebagai ancar-ancar saja. Agar jatuhnya bisa sesuai dengan tinggi pohon, pohon harus dijatuhkan pula pada selasela pohon yang masih hidup—jadi tidak menimpa pohon yang masih hidup. Diutamakan jatuhnya pohon berada di antara dahan-dahan pohon yang masih hidup sehingga tidak hancur karena langsung jatuh ke tanah. Jika direbahkan menghadap utara, bagian utara dan selatan di-gethak dan di-pacal, yaitu bagian utara bagian bawah dalamnya dua bagian dan yang selatan bagian atas dalamnya sebagian benggang-nya gethak bagian atas dan bawah, tingginya pamacal harus sesuai dengan besar kecilnya kayu. Seandainya besarnya pohon sama dengan kerbau, ranggangnya gethak bagian bawah dan bagian atas berbanding 1: kaki, yang di-pacal 4 kaki; jika besarnya pohon saprangkul, benggang-nya bagian bawah dan atas ¼ kaki, tingginya pamacal 1 ½ kaki walaupun


189 kayu mengarah ke selatan, jika letaknya sebagaimana tersebut tadi, akan rebah (jatuh) ke utara. Masyarakat Jawa menamakan gethak pacal, arti gethak yaitu dipotong tidak sampai putus, dipacal yaitu di atas gethakaan--dipotong dengan cara ditebas atau dilubangi sehingga bertemu dengan gethakan tersebut. Setelah kayu jati tersebut jatuh (rebah) maka harus dicari “bagian tengah atau hati kayu” sebab kadang tidak pasti letaknya di tengah persis, kadang-kadang di pinggir atau berkelok-kelok tidak urut—jadi harus diupayakan dibelah pada bagian hati kayunya. Setelah mendapatkan hati kayunya lalu dibelah-belah berdasarkan hati (inti) kayunya dipotong kotak persegi atau pipih. Setelah menjadi potongan kayu balok maka dapat dijadikan bahan-bahan rumah. Jika untuk bangunan rumah, hati atau inti kayu justru dibuang—disebut bethetan. Demikian pula, jika untuk bangunan kapal, talang, wuwung, maka hati kayu harus dibuang. Kayu jati yang cara perolehannya tidak pada tempatnya, misal kayu atau pohon yang ditebang tanpa diteres terlebih dahulu, tata cara menebang kayu, dan sebagainya diabaikan, maka setelah menjadi balok kayu harus diperlakukan secara khusus seperti diganjal tinggi seperti dipan pada tempat yang luas selama tiga bulan. Jika kayu akan dibuat kapal, wuwung dan sebagainya maka harus diletakkan pada tempat yang teduh selama tiga bulan. Dalam Serat Kalang Bab Griya Jawi juga terdapat tata cara membuat sirap (atap) yang terdiri atas empat macam sebagai berikut: (1) dumba, yaitu lebarnya mulai 1 ½ kaki ke atas, panjang 3 kaki ke atas, (2) gupe, yaitu lebar 1 kaki ke atas, panjang 2 ½ kaki ke atas, (3) dhara, yaitu lebar 7 dim ke atas, panjang 2 kaki ke atas, dan (4) godhong, yaitu lebar 4 dim ke atas, panjang 15 dim ke atas. Kayu untuk membuat sirap, teresan yang turus atau lurus dan baik. Jika rakyat kecil atau masyarakat kelas bawah mau membuat, sirap dari glinggang dan brokah. Namun, jika permintaan ratu atau kaum bangsawan, harus menebang dari teresan atau menebang kayu yang pohonnya masih hidup, dan memilih yang lurus. Bentuk-bentuk rumah Jawa atau arsitektur rumah Jawa ada empat macam, yaitu, (1) joglo, (2) limasan, (3) kampung, dan (4) masjid. Bentuk joglo dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu (1) joglo kepuhan, (2) joglo pangrawit, (3) joglo trajumas, dan (4) joglo wantah, (5) joglo ceblokan, (6) joglo tawonboni, dan (7) joglo semar tinandhu (Serat Kawruh Kalang Bab Griya Jawi bab 5). Semua memakai banguan dua macam, jika membujur panjang, tiangnya panjang, tinggi, cara memasang atap juga berdiri, dinamakan enom, tiangnya tebal-tebal dinamakan bangunan lanangan. Jika membujurnya bangunan itu tiangnya juga pendek-pendek, tidak terlalu tinggi berdirinya bangunan, atapnya tadhah, dinamakan sepuh, tiangnya tipis-tipis disebut bangunan estri, dinamakan padaringan kebak. Joglo kepuhan, yaitu padaringan-nya penuh, sedangkan lainnya disebut macam-macam joglo lainnya sebagai berikut: (1) joglo pagrawit, dengan lambang gantung, yaitu atapnya brunjung benggang dan atap pananggap, pojoknya ada tiang (saka) benthung manjing dhuwur, dengan tutup papan (Jawa: belabag), dengan tumpang, singup, gonja---disebut joglo pagrawit; (2) joglo trajumas, yaitu pangeretan berjumlah tiga, tiangnya enam, terasnya mengelilingi rumah—


190 disebut joglo trajumas; (3) joglo wantah, yaitu tumpang-nya berjumlah 5 dengan singup, gonja, takirlumajang---disebut joglo wantah; (4) joglo ceblokan, yaitu jenis rumah Jawa tanpa sunduk, tiang pendhem—joglo ceblokan; (5) joglo tawonboni, yaitu jenis joglo yang mempunyai ukuran empat persegi panjang (Jawa: pesagi), dengan sirah gada, tanpa andher dan ber-tumpang 5 disertai singup, lumajang, gonja---joglo tawonboni; (6) joglo semar tinandhu, yaitu jenis yang menggunakan pangeret yang jumlahnya hanya dua, tiang dua letaknya pada tengah pangeret— disebut joglo tinandhu. Arsitektur Jawa jenis limasan ada beberapa model sebagai berikut. (1) Limasan nom, yaitu salah satu jenis rumah Jawa yang menjadi dasar (Jawa: dhapur) bentuk-bentuk limasan yang lain, yaitu sebagai berikut: sinom, kampong bali, bapangan, klabang nyander, trajumas, limasan gajah ngombe, gajah mungkur, pacul gowang, semar tinandhu, srotongan. (2) Limasan sinom, yaitu menggunakan takir lumajang, emper menyeluruh mengelilingi rumah (Jawa: mubeng)—limasan sinom. (3) Limasan kampung bali, yaitu ukuran panjang blandar dua kali lipatnya pengeret yang dinamakan bapangan. (4) Limasan bapangan, yaitu ukuran panjang blandar lebih dari pada pangeret— dinamakan bapangan. (5) Limasan klabang nyander, yaitu jenis limasan yang pangeret-nya lebih dari empat— disebut klabang nyander. (6) Limasan trajumas, yaitu jenis limasan yang pangeret-nya berjumlah tiga. (7) Limasan gajah ngombe, yaitu jenis limasan yang menggunakan emperan hanya sebelah. (8) Limasan gajah mungkur, yaitu jenis limasan dengan menggunakan brunjung yang sebelah tutup keyong, bagian sebelahnya lagi menggunakan kejen, tanpa emper— limasan gajah mungkur. (9) Limasan pacul gowang, yaitu apabila pada bagian kanan atau kirinya saja yang diberi emperan—limasan pacul gowang. (10) Limasan semar tinandhu, yaitu apabila memakai pengeret dua, saka (tiang) dua pada bagian tengah pangeret—limasan semar tinandhu. (11) Limasan srotongan, yaitu bentuk limasan yang brunjung-nya bagian sebelah menggunakan tutup keyong, bagian sebelahnya lagi menggunakan kejen, emper berjumlah tiga, tutup keyong tanpa emper—dinamakan limasan srotongan. Arsitektur tradisional Jawa bentuk kampong (dhapur kampung) ada beberapa jenis sebagai berikut. (1) Kampung nom, yaitu pola dasar jenis arsitektur rumah kampung. (2) Kampung srotongan, yaitu bentuk kampung yang pangeret-nya lebih dari empat. (3) Kampung dara gepak, yaitu bentuk kampung yang bagian emper-nya mengelilingi rumah (Jawa: mubeng). (4) Kampung jompongan, yaitu bentuk kampung yang pengeret-nya hanya 2 ukuran kubuk. (5) Kampung gajah ngombe, yaitu bentuk kampung yang memakai emperan hanya satu bagian (Jawa: sesisih). (6) Kampung trajumas, yaitu bentuk rumah kampung yang pangeret-nya hanya tiga. (7) Kampung pacul gowang, yaitu bentuk kampung yang bagian kanan dan kirinya brunjung, tetapi salah satu bagian ada emperan.


Click to View FlipBook Version