MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN DEWAN PAKAR MASYARAKAT KETENAGALISTRIKAN INDONESIA Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan MASYARAKAT KETENAGALISTRIKAN INDONESIA Masyarakat Ketenagalistrikan mki-ieps.id MKI IEPS Masyarakat Ketenagalistrikan @MKI_ieps Penerbit INDONESIA EMAS GROUP
i Penerbit INDONESIA EMAS GROUP Jl. Pasir Putih No.16 Kota Bandung Email: [email protected] Telp: +6282 188 188 540 Website: indonesiaemasgroup.com Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN
ii Penyusun Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia Editor Heru Dewanto Desain dan Tata Letak Arita Windi Astuti ISBN: 978-623-5359-64-9 Penerbit INDONESIA EMAS GROUP Jl. Pasir Putih No.16 Kota Bandung Email: [email protected] Telp: +6282 188 188 540 Website: indonesiaemasgroup.com Cetakan Ke-2: 2023 Hak Cipta © 2023 dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini Dengan cara dan bentuk apa pun tanpa seizin penulis MASYARAKAT KETENAGALISTRIKAN INDONESIA 18 Office Park, Jl. TB Simatupang No.18, Kebagusan, Ps. Minggu, Jakarta Selatan - 12520 Telp: [62-21] 5252379 Faks. [62-21] 5274331/32 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN
iii Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN Tim Penyusun Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia Koordinator Heru Dewanto Anggota Adi S. Supriono, Agus Darmadi, Ahmad Rofik, Ali Herman Ibrahim, Anton S. Wahjosoedibjo, Arnold Y. Soetrisnanto, Benny Marbun, Bima Putrajaya, Darmawan Prasodjo, Didik Sudarmadi, Djoko Prasetyo, Djoko Rahardjo Abumanan, Djoko Winarno, Eddie Widiono, Endro Utomo Notodisuryo, Fahmi Mochtar, Fathor Rachman, Hardiv Situmeang, Harry Hartoyo, Harry Jaya Pahlawan, Herman Darnel Ibrahim, Hernadi Buhron, Heru Sriwidodo S, I Made Ro Sakya, Iwa Garniwa, Jarman, Jon Respati, Joni Hermana, Kartawan Mochtar, Kirana D. Sastrawijaya, Marzan Aziz Iskandar, Nengah Sudja, Nur Pamuji, Pekik Argo Dahono, Pudji W Purbo, Rex Panambunan, Riki F Ibrahim, Roni Seto Wibowo, Sri Andini, Sripeni Inten Cahyani, Supriyadi Legino, Suryadarma, Syofvi F. Roekman, Tulus Abadi, Tumiran Redaktur Dipo Handoko dan Sawariyanto
iv SAMBUTAN Ketua Umum Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia S aya menyambut baik inisiatif dari Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) untuk mempublikasikan buku berjudul “Mewujudkan Ketenagalistrikan Nasional yang Berkelanjutan”. Buku ini berisi pemikiran, gagasan, dan masukan Dewan Pakar MKI kepada Pemerintah dalam menumbuh kembangkan sektor ketenagalistrikan. MKI sejak didirikan pada 3 September 1998 adalah mitra pemerintah yang aktif memberikan masukan dan pandangan luas mencakup teknologi, bisnis, hingga regulasi ketenagalistrikan. MKI masa bakti 2020-2023 mengemban amanah program kerja, meliputi: 1) Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, target penurunan dan intensitas emisi, serta kapasitas daya dukung sumber daya alam dan daya tampung lingkungan hidup; 2) Pembangunan rendah karbon menjadi basis kebijakan utama untuk mendukung pembangunan berkelanjutan; 3) Pemenuhan kebutuhan energi melalui peningkatan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT); 4) Penyediaan energi dan pengembangan kawasan industri berbasis Renewable Energy Based Industrial Development (REBED); 5) Penguatan sistem ketenagalistrikan berbasis digital untuk mengantisipasi era industri 4.0; 6) Partisipasi dalam program Dekarbonisasi Sektor Ketenagalistrikan dengan memanfaatkan teknologi clean and flexible; 7) Pengembangan listrik tenaga surya dengan menerapkan teknologi terkini untuk mengatasi sifat intermitten dari pembangkit EBT. Pandemi Covid-19 yang berlangsung dari Maret 2020, tidak bisa dimungkiri membawa dampak negatif bagi banyak aspek kehidupan, termasuk sektor
v ketenagalistrikan. Dampak pandemi Covid-19 terlihat pada tidak tercapainya target sektor ketenagalistrikan, di antaranya, meliputi penambahan pembangkit, gardu induk, gardu distribusi, hingga turunnya konsumsi listrik (Data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2021). Tantangan ke depan, tidak hanya dalam kondisi pascapandemi Covid-19, namun juga transformasi teknologi ketenagalistrikan di era digital, serta transisi energi yang menjadi tuntutan global. Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, memiliki pekerjaan rumah untuk menindaklanjuti hasil Conference of the Parties Ke-26 (COP26) United Nation Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-12 November 2021. Di antaranya, mengimplementasikan mitigasi dan adaptasi untuk memenuhi target penurunan emisi di lima sektor utama penyumbang emisi, yakni kehutanan, energi dan transportasi, limbah, pertanian, dan industri. Pemerintah sudah menetapkan target porsi EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara Tahun 2021-2030, juga dirancang lebih hijau dibanding RUPTL di kurun tahun sebelumnya. Targetnya, pembangkit listrik berbasis EBT mencapai 51,6%, sementara sisanya adalah pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil (48,4%). Terobosan progresif pemerintah itu menjadi tantangan tak ringan yang harus disikapi MKI dalam memberikan andil pengembangan EBT di Indonesia lebih atraktif dan target energi hijau dapat tercapai tepat waktu, juga menekan emisi karbon. Ragam tantangan itu, di antaranya, biaya pokok produksi (BPP) pembangkit berbasis EBT masih lebih mahal dibanding pembangkit energi fosil. Harapan kami, ragam pemikiran, gagasan, dan masukan Dewan Pakar MKI dalam Buku Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan ini dapat menjadi tambahan referensi bagi para pengambil keputusan ketenagalistrikan, baik pemerintah dan swasta. Jakarta, April 2022 Ketua Umum MKI Wiluyo Kusdwiharto
vi PENGANTAR Koordinator Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita dalam keadaan sehat dan tetap dapat beraktivitas dengan baik di masa pandemi Covid-19 ini. Patut disyukuri pula, Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia masa bakti 2020-2023 telah melaksanakan beragam forum diskusi sepanjang tahun 2020-2021. Di antaranya, tentang dampak Covid-19 pada sektor ketenagalistrikan, transisi energi, serta masukan untuk penyempurnaan regulasi ketenagalistrikan. Buku berjudul “Mewujudkan Ketenagalistrikan Nasional yang Berkelanjutan” ini menjadi rangkuman dari sejumlah focus group discussion yang digelar Working Group Dewan Pakar MKI secara daring sepanjang tahun 2020-2021. Kata “nasional” mengandung arti keunikan Indoesia, sebagai negara kepulauan, berbeda dengan Amerika Serikat, China, Brasil, dan negara-negara dengan wilayah daratan semua. Indonesia sebagai negara kepulauan, mempunyai lingkungan laut dan hutan yang luas dan merupakan absorbsi CO2, bisa diperlakukan sebagai sistem terpusat/terinterkoneksi (centrlized power generation) di pulau-pulau besar dan desentralisasi pembangkit di pulau-pulau kecil. Indonesia juga mempunyai berbagai jenis energi terbarukan dan energi fosil, terutama gas dan batubara. Sektor Ketenagalistrikan yang berkelanjutan dalam memenuhi keseimbangan pasokan dan kebutuhan harus menjamin pemenuhan tiga pilar utama, meliputi:
vii a. Keandalan (reliability), keamanan pasokan (security), ketahanan (resilience), dan mutu (quality) b. Harga yang terjangkau, kompetitif, aksesibilitas, ekonomis, memperkuat daya saing industri, (maximizing economic value and consumer equity), dan c. Bersih dan ramah lingkungan (clean electricity supply). Oleh karena itu, sektor ketenagalistrikan yang berkelanjutan (sustainability of the national electricity sector) harus tetap menjamin pemenuhan tiga pilar utama sektor ketenagalistrikan tersebut di atas. Dalam buku ini disajikan bahasan yang terkait tiga pilar utama di atas. Bahasan pertama dibuka mengenai strategi pengusahaan pembangkit listrik. Kecenderungan dunia internasional yang mulai meninggalkan energi fosil mau tidak mau akan mengubah struktur pasar dan model bisnis pengusahaan pembangkit listrik. Pengembangan ketanagalistrikan ke depan memang harus energi baru dan terbarukan (EBT). Butuh inovasi dan teknologi rendah karbon untuk membantu pasar baru EBT yang ideal dalam skema bisnis. Selain itu juga butuh peraturan perundangan untuk mendukung pengembangan struktur dan model bisnis kelistrikan berbasis EBT. Bahasan kedua tentang upaya meningkatkan prosumer dan mengintegrasikan smartgrid untuk masa depan ketenagalistrikan. Potensi besar listrik surya atap diharapkan dapat meningkatkan jumlah prosumer. Pemerintah menargetkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mencapai 4.680 Mega Watt (MW) pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Target terbesar kedua setelah Pembangkit Listrik Air dalam rencana pengembangan pembangkit berbasis EBT hingga 2030. Bahasan penting lain dalam pengembangan program prosumer adalah power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Renewable power wheeling merupakan mekanisme yang memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan PLN. Bahasan ketiga tentang perlunya badan regulasi bisnis industri ketenagalistrikan. Kebijakan penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik hingga saat ini mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Listrik 2009). Perlunya badan pengaturan listrik akan mendukung distribusi listrik, memastikan keandalan pasokan listrik, dan melindungi pelanggan. Badan regulator ini juga diperlukan untuk membuat dan menjaga keseimbangan antara kebijakan dan keamanan, keterjangkauan, serta keberlanjutan pasokan listrik. Setidaknya ada dua prinsip utama yang mendasari perlunya pengawasan regulasi dalam sistem ketenagalistrikan. Pertama, listrik adalah layanan penting yang diperlukan oleh publik, individu, dan bisnis. Kedua, sifat teknis pada sistem listrik menyebabkan penyedia tunggal sering dapat melayani permintaan keseluruhan dengan total biaya yang lebih
viii rendah dari pada kombinasi entitas yang lebih kecil. Oleh karena itu, pengaturan di sektor listrik adalah respons pemerintah untuk menjaga dan menghindari layanan tertentu yang disediakan dengan biaya yang tidak efisien. Bahasan keempat adalah kawasan ekonomi mandiri energi dengan model pengembangan kawasan industri berdasarkan energi terbarukan (REBID) dan pengembangan kawasan ekonomi berdasarkan energi terbarukan (REBED). Pengembangan REBID dan REBED dapat mempercepat pengembangan EBT sebab pembangkit listrik EBT yang dibangun langsung dibarengi dengan penciptaan beban pada saat bersamaan. Risiko pasar listrik EBT menjadi berkurang. Pengembangan REBID dan REBED juga dapat mendorong pembangunan dan pemerataan ekonomi di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa. Untuk mendorong investasi kegiatan ekonomi di kawasan REBID dan REBED, harga listrik dan energi harus dibuat serendah mungkin agar para investor memiliki potensi keuntungan jika berusaha di kawasan itu. Bahasan kelima, memfasilitasi perusahaan penggunaan energi terbarukan (RE100) untuk meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia. RE100 adalah kelompok perusahaan global yang berkomitmen menggunakan 100% energi terbarukan untuk kegiatan operasional mereka, termasuk perusahaan global yang beroperasi di Indonesia yang memiliki rantai pasok di Indonesia. Sekitar 30 perusahaan member RE100 beroperasi di Indonesia. Untuk mendukung pasokan listrik berbasis EBT, PLN meluncurkan sertifikat energi terbarukan (REC) pada 3 November 2020. REC membuka peluang dan pilihan bagi pelaku sektor komersial dan industri untuk mendapatkan energi bersih bagi kegiatan operasional mereka. Keberadaan REC diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pasar nasional EBT di Indonesia. Konsumen industri dan bisnis yang membutuhkan pasokan EBT perlu difasilitasi. Dari sisi regulasi, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2021 Pelaksanaan Usaha Ketenagalistrikan, menjadi ketentuan paling baru yang sudah memuat pembelian sertifikat EBT, sebagai bagian dari pemenuhan pencapaian target bauran energi nasional. Syarat-syarat penyediaan energi terbarukan yang diminta konsumen juga perlu digali lebih lanjut untuk memastikan bahwa layanan tersebut memenuhi standar international, sehingga penyedia energi terbarukan di Indonesia, baik PLN maupun perusahaan swasta, dapat memenuhinya. Bahasan keenam adalah digitalisasi ketenagalistrikan untuk membangun sistem energi yang terkoneksi, efisien, cerdas, andal, dan berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan kajian International Energi Agency (IEA), yang dipublikasikan November 2017 silam, bahwa dalam beberapa dekade mendatang teknologi digital sistem energi telah merambah seluruh dunia. Salah satu inisiatif yang perlu mendapat perhatian adalah gagasan Nusantara Grid yang digagas almarhum Prof. Pekik Argo Dahono, Guru Besar Bidang Ilmu Elektronika Daya Institut Teknologi Bandung. Nusantara Grid adalah jaringan interkoneksi listrik yang meliputi setidaknya pulau-pulau besar di Indonesia
ix agar tercipta sistim kelistrikan yang terintegrasi. Gagasan ini mendapat perhatian pemerintah dan diseminarkan dalam seminar Pekik Nusantara. Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) mendukung gagasan ini dan meningkatkannya menjadi gagasan Nusantara Renewable Grid. Bahasan ketujuh mengenai transparansi tarif untuk keberkelanjutan sektor ketenagalistrikan. PLN masih memiliki hutang sekitar Rp430 triliun. Tak mudah bagi PLN untuk mengejar porsi pembangkit berbasis EBT menjadi 51,6% pada tahun 2030 mendatang (RUPTL 2021-2030). PLN membutuhkan dana sekitar US$ 500 miliar selama empat puluh tahun ke depan untuk mengembangkan proyek energi hijau. Di sisi lain, pemerintah masih memberikan subsidi tarif listrik kepada pelanggan golongan rumah tangga 450 VA dan 900 VA. Untuk menetapkan tarif listrik harus mempertimbangkan aspek alokasi biaya dari semua komponen. Dewan Pakar memberi sejumlah catatan dalam penentuan tarif listrik, di antaranya, tarif listrik pelanggan rumah tangga menggunakan skema tarif progresif; tarif listrik dibuat lebih mahal pada saat beban puncak; dan perlunya pemberian insentif untuk pengembangan proyek energi terbarukan dan efisiensi energi. Bahasan kedelapan mengenai pemanfaatan bahan bakar alternatif untuk pembangkit listrik. Beberapa bahan alternatif tersebut adalah hidrogen, amonia, fuel cell hidrogen, energi biomassa dan biofuel, kogenerasi, penyimpanan energi, dan energi nuklir. Dari banyak alternatif bahan bakar tersebut, harus disesuaikan dengan kemudahan realisasi, situasi kondisi lokasi daerah, karakteristik jenis energi, dan regulasi pendukung untuk pembangunan pembangkit berbasis EBT. Perlu dipertimbangkan pula cofiring pembangkit berbahan bakar fosil terutama batu bara agar secara bertahap meniadakan penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik. Dibutuhkan data base penggunaan teknologi beragam energi alternatif sebagai referensi dalam menyusun peta jalan transisi energi. Bahasan kesembilan upaya dekarbonisasi ketenagalistrikan. Dekarbonisasi menjadi pilar penting dalam transisi energi global, selain digitalisasi dan desentralisasi. Dewan Pakar MKI memberi masukan upaya dekarbonisasi, meliputi: perlunya perencanaan sektor ketenagalistrikan nasional jangka panjang yang rendah karbon dan berkelanjutan; perlunya kajian dan penyelarasan operasionalisasi integrasi sumber EBT; dan perlunya Utility System Architecture dan reformasi sistem kelistrikan yang komprehensif dan terintegrasi untuk mendukung operasional integrasi jaringan interkoneksi sistem tenaga listrik. Selain itu juga masukan tentang kebutuhan penyediaan fasilitas sistem interoperabilitas; identifikasi reformasi sistem kelistrikan; percepatan pengembangan EBT dengan mengaplikasikan konsep REBID dan REBED; serta pengembangan pemodelan sektor ketenagalistrikan nasional yang komprehensif dan terintegrasi, dengan meminimalkan ketidakpastian dalam proyeksi skenario emisi gas rumah kaca pada kondisi sistem multi-sektor, multi-skala dan multi-regional.
x Bahasan kesepuluh mengenai transisi energi nasional yang juga menjadi tuntutan global. Untuk mewujudkan transisi energi butuh sinergi perubahan pembangkit berbasis bahan bakar fosil dan pembangkit energi terbarukan. Di tahap transisi menuju energi bersih dan ramah lingkungan perlu mempertimbangkan untuk tidak membebani keuangan negara. Oleh sebab itu, perlu ragam kebijakan untuk mendukung pertumbuhan kapasitas pembangkit energi bersih, sekaligus dibarengi upaya keras menurunkan ketergantungan terhadap pembangkit listrik fosil. Di antaranya, regulasi pajak karbon yang sudah disahkan DPR, yakni UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak karbon akan diimplementasikan secara bertahap mengikuti kerangka yang akan disiapkan dengan pertimbangan kondisi ekonomi, serta kebijakan terkait seperti pembangunan pasar karbon. Selain itu juga aturan mengenai perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon (Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon). Bahasan terakhir adalah fasilitas infrastruktur charging untuk mendukung percepatan transisi energi. Berkembangnya teknologi baterai dewasa ini, menjadi pilihan strategis dan efektif untuk mengubah sektor transportasi dari berbasis fosil menjadi transportasi berbasis baterai. Setidaknya ada empat hal penting untuk mempercepat penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, meliputi: 1) memperbanyak infrastruktur charging untuk publik; 2) penetapan standar tarif listrik pengisian daya cepat (fast charging); 3) skema bisnis Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU); dan 4) penetapan standar minimal kapasitas listrik perumahan. Kami berharap buku ini menjadi titik awal knowledge management ketenagalistrikan, yang akan menuliskan, mendiskusikan, dan mendokumentasikan pemikiran, gagasan, dan masukan dari MKI untuk menumbuhkembangkan industri ketenagalistrikan Indonesia. Jakarta, April 2022 Ketua Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia Heru Dewanto
xi Daftar Isi • Keharusan Memangkas Emisi Rumah Kaca • Energi Baru Terbarukan Menjadi Pilihan • Struktur dan Model Bisnis • Pembangkit Terpusat (Centralized Power) • Distributed Generation • Captive Power • Small Island Grid • Regulasi Tidak Tumpang Tindih STRATEGI PENGUSAHAAN PEMBANGKIT LISTRIK • Meningkatkan Jumlah Prosumer Melalui PLTS Atap • Regulasi Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi • Integrasi Smart Grid MENINGKATKAN PROSUMER DAN MENGINTEGRASIKAN SMARTGRID UNTUK MASA DEPAN KETENAGALISTRIKAN Sambutan Ketua Umum Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia Pengantar Koordinator Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia 01 21 • Perlunya Badan Regulator Ketenagalistrikan • Perencanaan Infrastruktur Listrik • Pengadaan Infrastruktur Listrik • Pemulihan Biaya dan Alokasi Biaya yang Efisien BADAN REGULASI BISNIS INDUSTRI KETENAGALISTRIKAN 33
xii • Pengembangan Kawasan Industri Berdasarkan Energi Terbarukan (REBID) • Pengembangan Kawasan Ekonomi Berdasarkan Energi Terbarukan (REBED) • Regulasi Pendukung REBID dan REBED • Perencanaan REBID dan REBED • Pelaksanaan Melalui REBID dan REBED • Proses Pengadaan dan Struktur Bisnis REBID • Kebijakan Tarif Listrik dan Kebijakan Komersial • Sumber Pendanaan dan Pemilihan Pembangkit EBT • Catatan Penting dari Upaya Pengembangan REBID dan REBED KAWASAN EKONOMI MANDIRI ENERGI DENGAN MODEL PEMBANGUNAN REBID DAN REBED • Akses Menuju Energi Terbarukan • Sertifikat Energi Terbarukan • Kebutuhan Energi Bersih RE100 di Indonesia • Regulasi Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik • Penutup MEMFASILITASI PERUSAHAAN PENGGUNA ENERGI TERBARUKAN (RE100) UNTUK MENINGKATKAN DAYA TARIK INVESTASI DI INDONESIA 45 71 • Dampak Digitalisasi pada Sistem Energi • Digitalisasi Energi di Indonesia • Regulasi Digitalisasi dan Transisi Energi • Tantangan Pengamanan Smart Grid • Saran Strategi Digitalisasi Energi DIGITALISASI KETENAGALISTRIKAN UNTUK MEMBANGUN SISTEM ENERGI YANG TERKONEKSI, EFISIEN, CERDAS, ANDAL, DAN BERKELANJUTAN 87 • Pembangkit EBT dan Beban APBN • Opsi Menaikkan Tarif Listrik • BPP sebagai Dasar Perhitungan Tarif • Penentuan Tarif Mempertimbangkan Keberlanjutan • Rumitnya Masalah Tarif Listrik • Tarif Negara Lain Jadi Pertimbangan • Masukan untuk Perbaikan Tarif TRANSPARANSI TARIF UNTUK KEBERKELANJUTAN SEKTOR KETENAGALISTRIKAN 107
xiii • Hidrogen • Amonia • Fuel Cell Hidrogen • Energi Biomassa dan Biofuel • Kogenerasi • Penyimpanan Energi • Energi Nuklir • Energi Lainnya • Data Base untuk Pengembangan Energi Terbarukan • Realisasi Bahan Bakar Alternatif PEMANFAATAN BAHAN BAKAR ALTERNATIF UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK 123 • Fokus Membatasi Kenaikan Suhu Hingga 1,5°C di Atas Tingkat PraIndustrialisasi • Upaya Mendukung Dekarbonisasi Sektor Ketenagalistrikan 1. Perlu dilakukan perencanaan sektor ketenagalistrikan nasional jangka panjang yang rendah karbon dan berkelanjutan. 2. Perlu dibuat peta jalan (roadmap) dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan jangka-panjang yang menyeluruh di tingkat nasional dan sub-nasional. 3. Peninjauan/pengkajian kembali dan penyelarasan lebih lanjut aksi utama terkait dalam mendukung operasionalisasi integrasi sumber energi tersebar/EBT tersebar termasuk variabel energi terbarukan ke dalam rencana jangka panjang penambahan kapasitas sistem dan ekspansi jaringan transmisi dan distribusi. 4. Dibutuhkan the utility system architecture dan reformasi sistem kelistrikan untuk mendukung implementasi manajemen dan kontrol operasionalisasi integrasi jaringan interkoneksi sistem tenaga listrik. 5. Kebutuhan penyediaan fasilitas sistem interoperabilitas. 6. Perlu dilakukan identifikasi reformasi sistem kelistrikan. 7. Percepatan pengembangan EBT dengan mengaplikasikan konsep REBID dan REBED. 8. Pengembangan pemodelan sektor ketenagalistrikan nasional yang komprehensif dan terintegrasi, dengan meminimalkan ketidakpastian dalam proyeksi skenario emisi gas rumah kaca (GRK) pada kondisi sistem multi-sektor, multi-skala dan multi-regional. DEKARBONISASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN YANG MENDALAM 145
xiv • Kebijakan Energi Rendah Karbon Mendukung Transisi Energi • Pendanaan Transisi Energi • Skenario Umum Transisi Energi • Peran Tenaga Listrik untuk Energi Final Akan Sangat Besar • Strategi dan Tahapan Pencapaian Netral Karbon Ketenagalistrikan • Penyediaan Listrik yang Akan Bertumpu Pada Lisrik PLTS • Pengembangan Smart Grid dan Jaringan Interkoneksi • Perencanaan Terintegrasi dan Optimalisasi Operasi • Kewilayahan • Harga Jual Listrik • Struktur dan Model Bisnis • Metode dan Teknologi Baru • Sosialisasi Transisi Energi Transisi Energi Nasional: SINERGI PERUBAHAN PEMBANGKIT ENERGI FOSIL DAN PEMBANGKIT ENERGI TERBARUKAN 159 • Infrastruktur Charging untuk Publik • Penetapan Standar Harga Listrik • Skema Bisnis Charging Station • Kapasitas Listrik Perumahan FASILITAS INFRASTRUKTUR CHARGING UNTUK MENDUKUNG PERCEPATAN TRANSISI ENERGI 177
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 1 STRATEGI PENGUSAHAAN PEMBANGKIT LISTRIK Oleh: Ali Herman Ibrahim (Koordinator), Adi S. Supriono, Agus Darmadi, Ahmad Rofik, Djoko Winarno, Didik Sudarmadi, Eddie Widiono, Fathorrachman, Hardiv Situmeang, Harry Hartoyo, Herman Darnel Ibrahim, Kartawan Mochtar, Roni Seto Wibowo, Sri Andini
2 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan STRATEGI PENGUSAHAAN PEMBANGKIT LISTRIK Oleh: Ali Herman Ibrahim (Koordinator), Adi S. Supriono, Agus Darmadi, Ahmad Rofik, Djoko Winarno, Didik Sudarmadi, Eddie Widiono, Fathorrachman, Hardiv Situmeang, Harry Hartoyo, Herman Darnel Ibrahim, Kartawan Mochtar, Roni Seto Wibowo, Sri Andini
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 3 S UMBER energi primer merupakan salah satu masalah utama dalam sistem pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Sampai saat ini yang banyak digunakan adalah sumber energi primer yang bukan sumber energi terbarukan, terutama berbahan bakar fosil. Padahal dunia internasional sudah memberikan isyarat lampu kuning untuk pemakaian sumber energi tidak terbarukan ini. Apabila kita terus memaksa menggunakan sumber energi tidak terbarukan, tidak saja akan mengalami krisis energi, tetapi juga akan kalah bersaing dalam tatanan green Eonory dunia dan dianggap tidak serius mengurang emisi. Apalagi pemerintah telah menandatangani persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai perubahan iklim pada tanggal 22 April 2016 di New York. Dukungan pemerintah ini diwujudkan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change. Seperti diketahui maksud dari persetujuan Paris adalah untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2oC. Dalam beleid yang dikeluarkan pemerintah itu, Indonesia berkomitmen pada tahun 2030 akan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dari yang dikeluarkan akibat kegiatan usaha sehari-hari (business as usual), meliputi sektor energi, transportasi, industri dan kehutanan. Upaya itu dilakukan dengan biaya sendiri 41% dengan dukungan bantuan luar negeri KEHARUSAN MEMANGKAS EMISI RUMAH KACA Ikhtiar untuk memangkas emisi gas rumah kaca di sektor energi dilakukan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Dalam RUEN dan RUKN disebutkan bahwa pada tahun 2025 Indonesia mematok jumlah pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) adalah 23%. Untuk mencapai itu bukan perkara gampang, saat ini pembangkit berbasis EBT di negara kita baru sekitar 14%. Kredibilitas Indonesia dipertaruhkan jika target tersebut tidak tercapai. Pemerintah terus berusaha untuk mengejar target tersebut. Ini terlihat dalam rancangan penyusunan Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) yang rencananya akan dijadikan peraturan presiden tahun 2021 ini. GSEN merupakan penyempurnaan dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan memasukkan sejumlah masukan dari Kementerian, Lembaga, BUMN, swasta dan para pemangku kepentingan. Nantinya, ada penyesuaian antara RUEN lama dengan RUEN yang didasarkan pada Grand Strategi Energi Nasional. Seperti diketahui bahwa Kebijaan Energi Nasional (KEN) 2014 beserta
4 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan RUEN dan RUKN turunannya mengamanahkan porsi EBT tahun 2050 adalah 31% dan porsi energi fosil 69%. GSEN ini juga rangka memperjelas posisi Indonesia di dalam perjanjian internasional Paris Agreement terkait komitmen kita terhadap pengurangan emisi melalui EBT. “Indonesia perlu mengantisipasinya untuk bisa mendorong pemanfaatan EBT sebagai bauran energi nasional kita,” ungkap Arifin Tasrif, Menteri ESDM, setelah mengikuti Sidang Paripurna ke-5 Dewan Energi Nasional, 20 April 2021. ENERGI BARU TERBARUKAN MENJADI PILIHAN Untuk itu masyarakat ketenagalistrikan harus mampu melihat peluang untuk menciptakan nilai ekonomi baru melalui energi bersih. Ke depan strategi yang disusun harus visioner serta dalam implementasinya dilaksanakan secara konsisten. Seperti diketahui target kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT tahun 2025 adalah 23.000 Mega Watt (MW). Target itu terus meningkat hingga tahun 2035 setidaknya pembangkit listrik EBT mencapai 38.000 MW dari kapasitas terpasang saat ini. Di Rapat Dewan Energi Nasional (DEN). Dok: Humas Setkab
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 5 samping capaian itu diharapkan program-program yang dibuat bisa membangkitkan ekonomi kerakyatan di sekitarnya. EBT sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi. Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan sangat besar, mencapai lebih dari 417,8 GW. Sayangnya yang baru dimanfaatkan hanya 10,4 GW atau sekitar 2,5 persen. Untuk pencapaian target porsi pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan tersebut diperlukan regulasi dan insentif yang lebih mendukung. Pemerintah sendiri terus mendorong agar para investor tertarik di bidang EBT. Beragam energi baru terbarukan yang bisa dikembangkan di antaranya, nabati, panas bumi, biomasa, nuklir, air, surya, dan angin. Salah satu program yang menarik dari Kementerian ESDM dalam investasi di bidang EBT, adalah program yang diperkenalkan oleh MKI, yaitu program Renewable Energi Based Industry Development (REBID) dan Renewable Energy Based on Economic Development (REBED). Harapannya dengan program ini, tak hanya pemenuhan kebutuhan listrik saja yang menjadi target, tapi juga pertumbuhan ekonomi. Dari strategi yang ditetapkan pemerintah jelaslah tantangan ketenagalistrikan di Indonesia tidak lagi seperti di era sebelum reformasi sekedar memenuhi kebutuhan
6 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan masyarakat hingga ke pelosok-pelosok desa. Kini kehadiran listrik diharapkan dapat mengerek ekonomi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekaligus meminimilasi emisi yang mencemari lingkungan. Kebutuhan akan perlunya pengembangan pembangkit listrik yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi juga diungkapkan Eddie Widiono Suwondho, Koordinator Working Group 8 Dewan Pakar MKI, dalam diskusi Dewan Pakar MKI, Desember 2020. “Demi kepentingan nasional mengharuskan keberadaan listrik bisa membawa pertumbuhan ekonomi yang dapat menunjang kehidupan yang lebih baik,” kata Eddie, yang juga mantan Direktur Utama PLN ini. Hal ini penting karena dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat maka akan bisa meningkatkan ketahanan nasional. Untuk itu program ketenagalistrikan ini harus benar-benar bisa menjangkau tidak hanya kalangan masyarakat umum tetapi juga industri. Disamping kemudahaan untuk mendapatkannya, program yang dibuat harus berkelanjutan (sustainable). “Sesuatu yang tidak sustainable akan menjadi lebih mahal,” tambah Eddie. Menurutnya Indonesia harus bisa membuat proyek-proyek yang layak dan ideal sehingga bisa dilirik oleh sumber-sumber pendanaan internasional. Para pemangku kepentingan ketanagalistrikan harus melakukan terobosan dan mencari inovasi-inovasi baru agar proyek-proyek yang ditawarkan mejadi lebih menarik. “Karena itu pemikiran-pemikiran tradisional mengenai listrik ini harus kita tinjau ulang,” tambahnya. Penyediaan kelistrikan yang melimpah menjadi tuntutan di tahun-tahun yang akan datang. Ke depan affordability atau efisiensi tidak lagi menjadi tuntutan, yang dibutuhkan adalah listrik yang melimpah. Ini sangat mungkin untuk diwujudkan, karena tuntutan dimasa yang akan datang pengembangan harus menggunakan energi terbarukan. Menurut Eddie, EBT tidak membutuhkan biaya energi, yang diperlukan hanyalah biaya investasi. Meski demikian, pengembangan pembangkit berbasis EBT berpotensi meningkatkan biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik, karena biaya investasi yang masih relatif mahal seperti
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 7 pembangkit listrik tenaga air, panas bumi dan biomasa. Sedangkan untuk EBT dengan sifat intermiten atau tidak stabil (terputus-putus dan berfluktuasi) membutuhkan pembangkit cadangan. Para pengusaha harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk membangun pembangkit pendamping. Di sisi lain untuk pembangkit yang menggunakan energi fosil, juga memerlukan biaya mahal untuk mengurangi jumlah emisinya. Yaitu dengan memanfaatkan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS). CCUS dinilai sebagai teknologi alternatif yang cukup efektif mereduksi karbon sampai 90 persen dari pembangkit berbahan bakar fosil. Sejauh ini CCUS adalah upaya yang paling efektif untuk menurunkan emisi CO2. Namun demikian Jika dilihat dari sisi investasi maka penerapan teknologi CCUS memang masih perlu kajian yang lebih dalam karena memang cukup mahal. Kelihatannya, jika beberapa pembangkit listri yang tidak terbarukan masih dipertahankan penggunaan CCSU ini menjadi pilihan. STRUKTUR DAN MODEL BISNIS Kecenderungan dunia internasional yang mulai meninggalkan energi fosil mau tidak mau akan mengubah struktur pasar dan model bisnis pengusahaan pembangkit listrik. Menurut Heru Dewanto, Koordinator Dewan Pakar MKI, ke depan pengembangan ketenagalistrikan memang harus energi terbarukan. “Kita tidak bisa melawan gelombang renewable di dunia,” tegas Heru. Karenanya perlu dipikirkan bagaimana struktur pasar yang ideal atau mungkin lebih kepada struktur industri penyelenggara kelistrikan. Harus ada pemahaman yang sama bagaimana struktur pasar ketenagalistrikan yang berorientasi ke masa depan.
8 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Untuk itu perlu suatu inovasi yang membantu menciptakan pasar baru karena pasar lama sudah mulai tergerus. Munculnya pasar baru ini tentu memerlukan teknologi yang baru pula untuk menggantikan teknologi terdahulu. Jika kita ingin struktur pasar yang ideal mau tidak mau akan banyak perubahan peran baik PLN maupun pihak-pihak lain yang terlibat dalam ketanagalistrikan Indonesia. Beberapa yang menjadi pertimbangan adalah kapasitas sistem kelistrikan yang terus meningkat, penetrasi pembangkit EBT yang semakin meluas, dan tuntutan penggunaan teknologi rendah karbon yang semakin besar. Semua itu mendorong peran serta banyak pihak untuk terlibat dalam penyediaan tenaga listrik. Produk yang ditawarkan pun semakin bervariasi, terutama untuk menjaga kesimbangan pasokan permintaan serta keamanan sistem juga akan lebih bervariasi. Hal ini menyebabkan transaksi dalam ketenagalistrikan akan semakin kompleks. Untuk itu, pengembangan struktur dan model bisnis kelistrikan yang baru perlu dipikirkan dan diwacanakan. Di samping itu peraturan perundangan dan beleid lainnya yang dibutuhkan perlu disiapkan untuk mendukung jika kelak struktur dan model bisnis kelistrikan baru disepakati. Menurut Alihuddin Sitompul, mantan Direktur Aneka Energi Terbarukan, Kementerian ESDM, untuk mengubah bisnis PLN tidak mudah. PLN sebagai pembeli tunggal listrik di Indonesia, karena itu perusahaan listrik negara ini harus membangun jaringan. “Ini bisa mengubah bisnis PLN, tapi PLN tidak mudah untuk mengubah bisnisnya,” ujar Alihuddin. Sementera itu para pengusaha yang membangun pembangkit listrik memikirkan bagaimana uangnya bisa segera kembali. “PLN harus bisa menjamin hasil pembangkit listrik tersebut bisa dijual,” jelas Alihuddin. Karena itu PLN benar-benar harus melakukan sinergitas dengan pihak swasta. “PLN itu harus membangun mitra yang bisa menghasilkan listrik secara kontinyu.” Sistem kerjasama yang saling menguntungkan semacam ini harus bisa dibangun dengan baik.
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 9
10 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Model yang beberapa tahun belakangan ini cukup banyak menarik kalangan swasta adalah peran Independent Power Producer (IPP). Di mana perusahaan swasta yang membangun, memiliki, mengembangkan dan mengoperasikan sendiri pembangkit listriknya di bawah koordinasi PLN. Dengan perusahaan listrik plat merah itu, mereka diikat dalam sebuah kontrak power purchase agreement (PPA). Sistem kerjasama semacam ini sudah ada sejak awal era tahun 1990-an. Kala itu pemerintah mulai kelabakan untuk menyediakan sendiri pembangkit tenaga listrik. Salah satu penyebabnya adalah investasi di bidang kelistrikan membutuhkan ongkos yang cukup besar. Duit pemerintah sendiri sangat terbatas, untuk itu perlu menggandeng pihak swasta melalui mekanisme kerja sama pemerintah-swasta (KPS) atau public private partnership (PPP). Di samping membeIi, PLN sekaligus menjadi distributor tunggal yang menyalurkan listrik untuk industri dan masyarakat luas. Paiton Energy adalah IPP pertama dan terbesar yang beroperasi di Indonesia. Hingga kini daya yang dialirkan PLTU Paiton mencapai 20 persen saat beban puncak pada sistem interkoneksi Jawa-Bali, yaitu sekitar 27.000 MW. Dalam perjalanannya model semacam ini memang sangat membantu mengurangi beban pemerintah. Meski demikian tantangan dalam implementasi semacam itu juga sangat besar, tidak saja terkait dengan aspek ekonomi semata, namun juga membutuhkan pertimbangan aspek sosial. Resistensi masyarakat, dan dampak terhadap lingkungan harus menjadi bagian dari pertimbangan pemerintah dan swasta, untuk mencari titik temu dan koordinasi yang menguntungkan semua pihak. Paiton Energy. DOK: Linkedln
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 11 Bisnis PLN atau bisnis ketenagalistrikan adalah bersifat multi bisnis. Ada bisnis energi power, bisnis pembangkitan tenaga listrik, operasi dan pemeliharaan, logistik, jaringan transmisi dan distribusi, dan customer service ke semua macam bisnis ini masih dapat berkembang dengan baik mencapai optimal. Sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi, penyediaan energi listrik secara nasional harus dapat berkaitan erat saling mendukung dengan sektor lain, selain industri manufaktur, juga dengan transportaai, perumahan, penyediaan pangan, perumahan, lingkungan, ICT, turisme dan lainnya. MKI selalu siap dapat mendukung dan bertindak sebagai konseler. IPP semakin pesat perkembanganya sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Ketenagalistrikan. UU Ketenagalistrikan membolehkan swasta untuk berpartisipasi dalam upaya pemenuhan pasokan listrik nasional. Dalam beberapa tahun belakangan ini, IPP merupakan mitra strategis pemerintah untuk membangun pembangkit listrik secara merata di Indonesia. Hingga kini menurut data statistik PLN tahun 2020, dari 6.677 pembangkit 364 di antaranya adalah IPP. Sri Andini, praktisi pembangkit listrik swasta, mengatakan bahwa keberadaan IPP ini harus terus dipertahankan karena sangat membantu PLN. Perusahaan listrik negara itu tidak lagi kewalahan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri. Menurutnya jika PLN memasok sendirian listrik untuk kebutuhan masyarakat dan industri akan kewalahan karena permintaan akan kebutuhan listrik terus meningkat. Menurut Andini pemerintah perlu lebih fleksibel lagi dalam membuat aturan mengenai penyediaan listrik oleh swasta ini. Komisaris Utama dari PT Bukit Pembangkit Innovative (BPI) ini mengusulkan agar di masa yang akan datang regulasi untuk pembangunan IPP tidak harus terpusat lagi. “General Manager yang di daerah-daerah itu harus diberi wewenang,” ujar Komisaris Utama PT Bukit Pembangkit Innovative ini. Diharapkan nantinya para general manager (GM) PLN di daerah-daerah bisa menjadi ujung tombak untuk membantu pengembangan IPP di kawasan mereka. Ini sangat penting karena GM adalah orang yang paling paham kondisi daerahnya, mereka tahu bagaimana cara mengembangkan daerahnya. “Kalau regulasi 100% diserahkan ke daerah-daerah maka berkembangnya akan lebih cepat,” ujar Sri Andini. Dengan cara seperti ini diharapkan PLN dan swasta bisa lebih cepat melaksanakan pemerataan aliran listrik. Sebagai perusahaan pemasok setrum tentunya mereka berharap ada keuntungan yang memadai yang bisa diraih. Untuk itu Sri Andini mengingatkan harga yang dipatok PLN tidak ditetapkan secara sepihak. “Harus berdasarkan hitungan yang dilakukan secara bersama-sama dengan pengusaha,” ujarnya. Sehingga pihak penyelenggara IPP tidak sampai mengalami kerugian, jika harga yang ditentukan terlalu rendah. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Fathor Rachman, Dewan Pakar MKI. Menurutnya perlu ada dukungan kebijakan dari pemerintah agar para pengusaha tertarik untuk mengembangkan pembangkit tenaga listrik. “Kalau komersialitas tidak ada maka pengusaha tidak masuk karena tidak menguntungkan,” katanya. Fathor menyayangkan
12 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan adanya kebijakan yang kurang mendukung dalam meningkatkan iklim yang kondusif bagi masyarakat yang ingin berinvestasi dalam bidang kelistrikan. Dia mengambil contoh Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), di mana penjualan listrik dari PLTS Atap (rooftop) ke PLN ditetapkan sebesar 65%. Menurutnya harga tersebut sangat tidak menarik bagi pengusaha. Sehingga banyak kalangan masyarakat enggan untuk membangun PLTS di lingkungannya, padahal sebagai negara tropis energi matahari cukup melimpah di Indonesia. Seperti diketahui Ignasius Jonan, Menteri ESDM saat itu, mengeluarkan peraturan tersebut sebagai usaha pemerintah mengakomodasi peran masyarakat dalam pencegahan perubahan iklim (global warming). Di samping itu, regulasi ini juga digunakan untuk mempercepat peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan demi mencapai bauran energi sebesar 23% pada tahun 2025. Menurut Jonan angka 65 % cukup adil baik bagi pelanggan PLTS Atap maupun PLN. Pertimbangannya karena biaya untuk elektrifikasi umumnya dua per tiganya digunakan untuk biaya pembangkit, sementara biaya jaringan sebesar sepertiga dari total biaya elektrifikasi. Jonan optimistis PLTS Rooftop bakal menjadi bisnis yang menjanjikan bagi DOK: media indonesia
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 13 sektor ESDM. Fathor Rachman menganggap angka tersebut belum menarik masyarakat untuk terlibat dalam pengadaan PLTS Atap. “Harga jual dari rooftop sebesar 65 % itu, tidak masuk nilai keekonomiannya,” jelas Fathor. Solusi polemik PLTS Atap dapat dilakukan dengan opsi system wheeling. PLTS atap harus di anggap sebagai agreqat tersendiri dan dapat menjual listrik melalui jaringan listrik PLN. Jadi semacam toll jaringan listrik. PLN harus menghitung biaya jaringan nya yang di pakai untuk penyaluran, dengan harga yang wajar dapat dipertanggung jawabkan. Isu-isu pokok pengusahaan pasokan listrik semacam ini menjadi cukup bervariasi nantinya, karena pengembangan pembangkit tenaga listrik tidak lagi mengandalkan energi fosil. Ada beragam jenis energi terbarukan (renewable energy) yang berpotensi untuk dikembangkan. Untuk itu pemerintah harus mendorong semua potensi tersebut. “Semua kekuatan nasional harus bisa berperan dalam kelistrikan nasional,” kata Fathor Rachman, salah seorang anggota dewan pakar MKI. Sudah menjadi perbincangan di kalangan para pengusaha pelistrikan bahwa pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT ini masih terkendala dengan harga jual listrik yang belum menarik bagi para investor. Ini memang berakaitan dengan kondisi di hilir, di mana daya beli masyarakat yang masih relatif rendah memaksa tarif dasar listrik yang relatif murah. Karena itu pemerintah diharapkan bisa lebih pro aktif lagi untuk dapat mengurangi kesenjangan dari kedua hal tersebut. Selain itu di masa transisi energi, dimana tren menuju energi hijau menjadi tuntutan, maka seharusnya penilaian tidak melulu berorientasi pada harga jual listrik/energi saja. Tapi juga pada perolehan nilai-nilai lain seperti rendah karbon, dampak ganda dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, peningkatan pendapatan daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Nilai tambah ini juga harus dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan transisi energi yang efektif dan optimal. Di samping itu pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian insentif fiskal dan non-fiskal, bukan semata-mata pertimbangan subsidi. Ini perlu untuk menarik investasi, dan mendorong agar harga listrik murah dan memenuhi nilai keekonomiannya bisa tetap diterapkan. Insentif ini bisa diberikan pada awal proyek dalam jangka waktu tertentu. Meski pemberian insentif ini mengurangi pendapatan pemerintah, tapi disisi lain akan disubstitusi dari keuntungan lainnya yaitu meningkatnya investasi industri, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Harapannya jika pemerintah bisa mendukung penuh pengadaan pembangkit listrik semacam ini maka kebutuhan akan listrik untuk masyarakat dan industri bisa tercukupi. Ke depannya ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan baik oleh pihak PLN maupun swasta dalam membangun pembangkit tenaga listrik. Pembangkit listrik konvensional yang biasanya dibangun pertama kali di satu negara adalah centralized power (CP), karena bisa menjangkau lebih banyak dan jauh para pengguna listrik.
14 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan PEMBANGKIT TERPUSAT (CENTRALIZED POWER) Pembangkit Terpusat (Centralized Power/CP) merupakan pembangkit listrik konvensional skala besar dengan fasilitas terintegrasi. Pembangkit ini biasanya berada dekat dengan sumber energi, didistribusikan ke daerah-daerah melalui jaringan saluran transmisi tegangan tinggi, selanjutnya untuk menjangkau para pengguna disalurkan melalui jaringan utilitas listrik. Skala pembangkit listrik ini relatif besar, lebih dari 100 MW, dan jaringan transmisi cukup jauh. Itulah mengapa pembangunan CP semacam ini memerlukan biaya yang tidak sedikit dengan risiko yang cukup besar. Pembangkit terpusat yang ada di Indonesia sejauh ini masih didominasi dengan sumber energi tidak terbarukan, seperti PLTU dan PLTGU. Nuklir sebenarnya cukup efisien dan efektif sebagai pembangkit listrik terpusat semacam ini, sayangnya, mengingat risiko yang ditimbulkan jika terjadi kebocoran, maka di banyak negara pemakain nuklir ini menjadi pilihan terakhir. Nuklir dan pembangkit yang sumber energinya berasal dari fosil, bukan lagi menjadi pilihan di dunia di dunia internasional sekarang ini. Mau tidak mau ke depannya Indonesia harus mengikuti kecenderungan global yaitu pengurangan emisi. Tuntutan pemotongan emisi ini membuat banyak negara di dunia ini sudah membangun pembangkit dengan strategi bebas karbon. Beberapa pembangkit terpusat yang berbasis fosil mulai digantikan dengan sumber energi terbarukan. Pembangkit listrik dengan tenaga surya, angin, dan hidroelektrik semakin hari semakin banyak dibangun. Membuat pembangkit terpusat dengan menggunakan energi terbarukan menjadi tantangan bagi operator jaringan. Sebagai contoh, dalam membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), operator perlu mencari tempat dimana sinar matahari bisa didapat dengan jumlah yang melimpah. Begitu juga dengan listrik tenaga angin, lapangan-lapangan yang jumlahnya cukup besar dan dengan persyaratan tertentu sangat diperlukan untuk mendapatkan angin yang optimal. Menurut Adhi Satriya, praktisi ketenagalistrikan, masih banyak potensi dari sumbersumber energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik skala besar, di antaranya pembangkit listrik tenaga air (PLTA), panas bumi (geothermal) dan energi pasang surut air laut. Sumber-sumber energi tersebut memiliki kapasitas ribuan megawatt dan masih sedikit dipakai di Indonesia. PLTA umpamanya, pembangkit yang menghasilkan energi dengan mengandalkan energi potensial dan kinetik ini, potensinya mencapai 75.000 Mega Watt. Sampai saat ini orang Indonesia baru memakainya kurang dari 8%. Padahal pembangkit listrik ini tidak begitu banyak memakan biaya dibandingkan pembangkit yang lain. Sehingga cukup kompetitif untuk bersaing dengan pembangkit jenis lain. Tak seperti minyak, gas dan batu bara, pembangkit ini tidak menghabiskan air yang digunakan sebagai sumber energinya. Selain itu sumber energi terbarukan yang melimpah lainnya adalah energi panas bumi (geothermal). Energi panas bumi ini terdapat dan terbentuk di dalam kerak bumi. Untuk
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 15 mengkonversikan panas bumi menjadi energi listrik tentu diperlukan pembangkit listrik. Pembangkit digunakan untuk mengonversi fluida geothermal menjadi tenaga listrik. Secara umum komponennya sama dengan pembangkit yang lain, yaitu terdiri dari generator, turbin sebagai penggerak generator, alat penukar panas (heat exchanger), pendingin (chiller), pompa, dan sebagainya. Energi ini masih sedikit yang menggunakan, tak sampai 5% dari potensinya yang mencapai 20.000 megawatt. Di antara beberapa pembangkit listrik panas bumi yang ada di Indonesia, Pembangkit Listrik Sarulla, yang terletak di Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, adalah yang paling besar, dengan kapasitas total sebesar 1.948,5 MW. Pembangkit listrik tenaga panas bumi biasanya dibangun di sekitar lempeng tektonik karena sumber panas bumi berada di dekat permukaan. Sebagai negara yang memiliki banyak gunung berapi, tentu saja tidak terlalu sulit untuk mengeksploitasi panas bumi ini sebagai sumber energi listrik. Sekarang ini pengembangan teknologi pengeboran dan ekstrasi telah semakin baik sehingga pembangun pembangkit tenaga listrik dari panas bumi ini tidak terlalu sulit lagi. Satu lagi yang cukup besar potensinya adalah pembangkit yang menggunakan tenaga pasang surut (ocean tide) air laut. Pembangkit ini mendapatkan energi dari pergerakan air laut dengan memanfaatkan perbedaan pasang dan surut. Air pada waktu pasang PLTGU Muara Karang. DOK: Republika
16 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan dialirkan ke dalam kolam disimpan di tempat yang lebih tinggi. Pada waktu surut air tersebut dialirkan kembali ke laut melalui turbin-turbin. Ini akan menghasilkan tenaga listrik. Potensi pembangkit ini mencapai 20.000 MW. Di Indonesia arus pasang surut terkuat ada di selat antara Pulau Taliabu dan Pulau Mangole di Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, dengan kecepatan 5,0 m per detik. Tapi kebanyakan kecepatan arus pasang-surut di pantai-pantai perairan Indonesia umumnya kurang dari 1,5 m per detik. Di beberapa tempat ada yang sedikit lebih besar daripada kecepatan arus rata-rata, seperti di selat-selat diantara Bali, Lombok dan Nusa Tenggara Timur. Di sana kecepatan arus bisa mencapai antara 2,5-3,54 meter per detik. Meski potensinya ada tapi sumber energi pasang surut ini ini belum ada yang menggunakannya sebagai pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Menurut Adhi Satriya, yang juga Wakil Ketua Dewan Pengawas MKI, minimnya pemanfaatan sumber-sumber energi tersebut karena lokasi potensi dan konsumennya terlalu jauh. Sehingga biaya pembangunan transmisinya juga akan membengkak. “Potensinya kebanyakan di luar Jawa, sedangkan demand nya ada di Jawa,” ujar Adhi. Penggunaan sumber-sumber energi tersebut jika menggunakan sistem centralized power tentu akan banyak memakan biaya. Karena jaringannya cukup panjang untuk mencapai konsumen. Bagaimanapun juga pemanfaatan sumber energi ini harus dimaksimalkan, ini sangat signifikan dalam mengurangi penggunaan sumber energi yang berasal dari fosil. “Untuk itu harus ada terobosan agar potensi ini bisa dimanfaatkan,” tambah Adhi Satriya.
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 17 DISTRIBUTED GENERATION Sistem pembangkit terpusat dipandang banyak kalangan kurang fleksibel dan kurang efisien karena biaya mahal dan risiko cukup besar. Alternatifnya adalah sistem distributed generation (DG), pembangkit listrik berskala kecil yang terhubung langsung dengan konsumen. Perbedaan DG dan centralized power adalah pada kapasitas terpasang dan jarak antara pembangkit ke penggunanya. Pembangkit ini dapat dihubungkan secara langsung ke konsumen, melalui sistem distribusi atau transmisi milik pengguna. DG adalah pembangkit yang menghasilkan energi dengan kapasitas yang lebih kecil maksimal 100 MW. Karena ukurannya yang kecil, DG bersifat fleksibel dan lebih sederhana dibandingkan dengan pusat-pusat pembangkit konvensional. Ini terlihat dari ukuran, sistem operasi dan teknologi yang digunakannya. Ada beberapa keuntungan DG. Pertama lebih handal karena posisi pembangkit yang lebih dekat dengan lokasi penggunaannya. Kedua menghemat daya listrik pada jaringan transmisi dan distribusi. Ketiga dibandingkan dengan power plants memiliki efisiensi yang lebih tinggi dalam penyaluran daya. Keempat ramah lingkungan karena emisi yang dihasilkan untuk memproduksi listrik tergolong rendah bahkan mendekati nol. DG mulai berkembang di Indonesia sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Energi. Dalam regulasi ini diizinkan pembelian terhadap kelebihan energi listrik (excess power). Sejak itu perkembangan teknologi DG terus meningkat, dari teknologi cogeneration, mikrohidro dan sekarang mulai marak teknologi terbarukan. Pengelolanya PLN atau swasta IPP yang nantinya menggunakan listriknya untuk keperluan sendiri atau dijual ke PLN. Skema pemanfaatan teknologi DG di Indonesia dibagi dua. Pertama IPP mengirim tenaga listriknya ke PLN selama 24 jam terus menerus. Skema ini biasanya menggunakan kontrak dalam jangka waktu yang lama minimal 15 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan atas kesepakatan bersama. Kedua pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power), skema ini biasanya memiliki kontrak jangka pendek satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan atas kesepakatan bersama. Melihat skema kontraknya, ini cukup menarik bagi kalangan pengusaha yang ingin membuat pembangkit listrik. Baik pembangkit listrik yang sederhana maupun yang besar, semua bisa terakomodasi disini. Disamping pembangkit listrik tenaga air, panas bumi dan pasang surut, ada beberapa jenis teknologi lainnya yang bisa diterapkan. Seperti pembangkit bahan bakar nabati, biomassa, energi angin, tenaga surya, energi hibrid dan dan sebagainya. Dibandingkan dengan sistem pembangkit terpusat, DG memang sangat fleksibel dalam beberapa hal seperti operasi, ukuran, dan kemajuan teknologi. Sistem ini juga sangat efesien dan efektif terutama karena pembangkitnya dekat konsumen listrik tersebut, sehingga jaringan transmisi dan distribusi lebih sederhana. Kondisi ini juga meminimalisasi terjadi gangguan di jalur transmisi dan distribusi. Pembangkit terdistribusi semacam ini juga sangat ramah lingkungan.
18 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Meski relatif lebih kecil, agar sistem DG ini bisa berjalan Ali Herman Ibrahim, Koordinator Working Group 1 Dewan Pakar MKI, berharap agar pemain-pemain besar bisa juga masuk ke sini. “Harapan saya, yang kelas besar itu bisa bermain di kelas kecil seperti ini,” ujar Ali Herman. Tentu saja untuk mendirikan DG perusahaan besar itu cukup mengeluarkan dana corporate social responsibility (CSR) nya. “Mereka bisa membuat yang kecil-kecil dibawah 5 MW-an,” kata mantan Direktur Pembangkitan dan Energi Primer PLN ini. CAPTIVE POWER Selain DG yang juga dianggap cukup fleksibel dan efisien adalah captive power (CP) atau sering juga disebut swasembada pengelolaan listrik. Merupakan pembangkit terintegrasi, dimana pihak swasta secara independen mengelola penyediaan listrik untuk perusahaannya sendiri, mereka menyediakan dan memasok sendiri kebutuhan listriknya. Sistem ini mulanya dibuat untuk membantu pemerintah mencapai target perluasan kapasitas dan elektrifikasi. CP ini memang diminati oleh kalangan industri untuk mengurangi gangguan elekrifikasi, sehingga proses produksi tidak terganggu dan perekonomian bisa lebih lancar. Sistem ini juga mengurangi beban kapasitas jaringan listrik PLN. Sehingga lebih banyak lagi masyarakat yang bisa mendapatkan aliran listrik dari perusahaan milik negara tersebut. Dampak lainnya adalah mengurangi frekuensi pemadaman listrik di suatu wilayah sekaligus menghindari kerugian akibat fluktuasi energi. Selama ini penyediaan listrik menurut identifikasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) menjadi penghambat (bottleneck) bagi kawasan industri. Jika hambatan ini dikurangi maka akan memperbaiki peringkat Indonesia di dalam indeks kemudahan menjalankan usaha global. Diharapkan, dengan meningkatnya indeks kemudahan tersebut akan lebih banyak para investor menanam modalnya. Selama ini pembangunan kawasan Industri merupakan penghasil utama produk domestik bruto (PDB) dan banyak membuka lapangan kerja. Pembangunan CP ini cepat berkembang di Indonesia, karena lebih ada kepastian pasokan dalam memenuhi kebutuhan listrik di kawasan industri tertentu. Tapi belakangan, ada desakan untuk melakukan moratorium pembangunan pembangkit listrik ini. Hal ini disebabkan karena kelebihan pasokan listrik PLN berlebih, sehingga perlu segera diserap. PLN sendiri sekarang lagi mengalami kesulitan keuangan karena jumlah hutangnya yang cukup tinggi. SMALL ISLAND GRID Perkembangan pembangkit tenaga listrik terus mengalami peningkatan. Kalau dulu pembangkit listrik skalanya besar dan jangkauannya luas. Kini bisa dengan generator yang relatif kecil dan jangkauan lokal. Lebih praktis lagi, ada juga istilah small island
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 19 grid ini lebih simpel lagi jaringannya. Sistem ini mirip seperti jaringan di pulau kecil tersendiri yang tidak terkoneksi dengan daratan dan dikelilingi oleh lautan. Jaringannya seperti berada di “pulau tersendiri”, berbeda lokasi dengan keberadaan generator yang posisinya berada di tapak pembangkit listriknya. Sistem ini dilengkapi pengaman under frequency relay (UFR) di mana fungsi relay tersebut untuk membatasi frekuensi dari ketidaknormalan sistem frekuensi, agar tetap stabil. Ini untuk mengamankan gardu induk agar terhindar dari terjadinya kerusakan pada peralatanperalatan di dalamnya yang bisa menyebabkan terhambatnya penyaluran tenaga listrik ke konsumen. Sistem penyaluran tenaga listrik seperti itu mengurangi risiko gangguan, terutama gangguan yang disebabkan oleh alam. Hambatan yang sering terjadi seperti kawat penghantar putus, kerusakan pada pembangkit, gangguan pada saluran transmisi akibat petir serta korsleting, dan sebagainya. Sistem yang terisolasi dari sistem interkoneksi ini, sangat mengurangi gangguan yang sifatnya tidak bisa diprediksi. Sistem ini bisa juga dilengkapi dengan smart grid. Di mana jaringan tenaga listriknya dilengkapi dengan teknologi informasi dan komunikasi yang terbaru. Hal ini memungkinkan terjadinya sistem pengaturan tenaga listrik yang lebih efisien lagi. PLTP Sarulla. DOK: sarullaoperations.com
20 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan REGULASI TIDAK TUMPANG TINDIH Ada beberapa model bisnis yang bisa dilaksanakan oleh para pengusaha kelistrikan, tapi tidak semua model bisnis itu bisa diterapkan ke daerah-daerah. “Setiap remote area, karakteristik daerahnya berbeda-beda , jadi harus ada model bisnis yang spesifik,” kata Hardiv Harris Situmeang, Koordinator Working Group 11 Dewan Pakar MKI. Di samping itu, memang perlu sekali untuk menjalin hubungan yang sinergi dengan PLN, agar tidak terjadi kesalahan setelah memasuki tahapan operasional. Hardiv mengambil contoh kejadian di Kamboja tahun 2002 lalu, di daerah yang berbatasan dengan Vietnam dan Laos, di sana banyak perusahaan swasta yang membuat pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga surya. Setelah lima tahun perusahaan listrik nasional masuk ke daerah itu. Hal ini menimbulkan kericuhan karena harga dan standar peralatannya berbeda. Ini tentu jadi masalah karena harga dari perusahaan nasional nya lebih murah dari yang dijual pihak swastanya. Akibatnya, pihak swasta yang awalnya melayani penyediaan listrik di tempat tersebut harus gigit jari. “Ini menjadi masalah karena pihak IPP nya belum balik modal,” kata mantan Direktur Perencanaan PT PLN ini. Kejadian semacam ini jangan sampai terjadi di Indonesia. Untuk menghindari kejadian seperti di Kamboja ini perlu diperjelas klasifikasinya terlebih dahulu, agar nantinya tidak ada regulasi yang tumpang tindih. “Harus dibuat komposisinya.” Harry Hartoyo, konsultan senior ketenagalistrikan dan pengembangan energi terbarukan, mengungkapkan kejadian yang mirip juga pernah terjadi di Pulau Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada tahun 2018 lalu. Desa Kahianga, Kulati, Dete, dan Lamanggau mendapat hibah dari Amerika Serikat, berupa PLTS lengkap dengan baterainya. Namun dalam perjalanannya, jaringan listrik PLN masuk ke wilayah terpencil itu. Timbul keraguan mengenai listrik mana yang harus dipakai. Akhirnya diambil jalan tengah, jaringannya tetap PLN, konsumennya juga PLN, tapi PLTS dengan baterainya dipakai yang milik IPP. Beruntung penyelesaiannya tak terlalu merugikan kedua belah pihak. Menurut Hardiv harus diadakan penelitian terlebih dahulu untuk menentukan komposisi IPP dan PLN. Semua harus didengar agar kebijakan yang diambil tepat, termasuk dengan mengetahui golongan dan kebutuhan masyarakat tersebut terhadap listrik. “Kita tidak boleh top down, harus bottom up melihat jenis permintaannya dan mengantisipasinya,” katanya serius. Mengenai perlunya komposisi yang jelas juga diungkapkan Agus Darmadi, Direktur PT General Energy Bali. “Kita harus menghitung berapa komposisi ideal untuk PLN atau IPP.” Sehingga semuanya bisa tumbuh dan IPP tidak mengalami bleeding pada pendanaan. “Kriteria perhitungannya jangan sampai ada pihak yang dirugikan,” imbuhnya. ■
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 21 MENINGKATKAN PROSUMER DAN MENGINTEGRASIKAN SMART GRID UNTUK MASA DEPAN KETENAGALISTRIKAN Oleh: Marzan Aziz Iskandar (Koordinator), Ahmad Rofik, Benny Marbun, Didik Sudarmadi, Fahmi Mochtar, Hardiv Situmeang, John Respati, Joni Hermana, Pekik Argo Dahono (Alm), Roni Seto Wibowo, Sri Andini, Syofvi F. Roekman, Tulus Abadi.
22 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan MENINGKATKAN PROSUMER DAN MENGINTEGRASIKAN SMARTGRID UNTUK MASA DEPAN KETENAGALISTRIKAN Oleh: Marzan Aziz Iskandar (Koordinator), Ahmad Rofik, Benny Marbun, Didik Sudarmadi, Fahmi Mochtar, Hardiv Situmeang, John Respati, Joni Hermana, Pekik Argo Dahono (Alm), Roni Seto Wibowo, Sri Andini, Syofvi F. Roekman, Tulus Abadi.
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 23 S ETIDAKNYA ada tiga hal penting dalam untuk meningkatkan efektivitas pembangkit listrik berbahan bakar konvensional, yakni dekarbonisasi, desentralisasi, dan digitalisasi. Dekarbonisasi menjadi permasalahan global dalam mengurangi krisis iklim. Gerakan dekarbonasi berupaya membatasi emisi karbon dioksida yang bukan hanya dilakukan pemerintah, namun juga kalangan industri dan bisnis, serta masyarakat luas. Tak terkecuali dunia ketenagalistrikan yang juga fokus pada dekarbonisasi untuk mengurangi efek gas rumah kaca pada pembangkit listrik. Desentralisasi pengelolaan listrik juga perlu dilakukan, sebagai upaya untuk memaksimalkan potensi wilayah. Dengan pola desentralisasi, Perusahaan Listrik Nasional (PLN) tidak kewalahan dalam menanggulangi masalah suplai listrik, misalnya pemadaman listrik secara massal di sejumlah daerah yang dapat merugikan masyarakat, juga kalangan industri dan bisnis. Sementara digitalisasi sektor ketenagalistrikan dengan pengunaan platform digital, akan semakin meningkatkan efisiensi, keandalan, dan daya saing pembangkit listrik PLN. “Dengan platform digital, PLN dalam mengukur beban dapat menggunakan meter yang bisa real-time, sehingga kesepadanan pembangkit dengan beban dapat sedikit perbedaannya. Untuk itulah kami berfokus pada masalah prosumer dan microgrid,” kata Andhika Prastawa, Direktur Pusat Kebijakan Industri Manufaktur PLN, ketika menjadi narasumber dalam diskusi yang diadakan Working Group 2 Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) secara daring pada Juli 2020 silam. Tulisan ini merupakan rangkuman hasil diskusi Working Group 2 Dewan Pakar MKI. Working Group 2 membahas perkembangan program Prosumer dan Microgrid untuk mendorong peningkatan jual beli listrik antarpelanggan sekaligus mendukung kebutuhan listrik PLN. MENINGKATKAN JUMLAH PROSUMER MELALUI PLTS ATAP Menurut Andhika Prastawa, kemajuan listrik di Indonesia dari waktu ke waktu terbilang lamban dalam merespons permintaan user/konsumer yang menginginkan listrik dengan kualitas lebih baik. Konsumer saat ini sudah banyak yang menggunakan alat atau teknologi baru untuk menghemat penggunaan listrik mereka. Tren seperti itu akan terus berkembang dan jumlahnya kian bertambah. Jika Indonesia tidak bisa merespons dengan baik, dikhawatirkan konsumer akan terus mencari teknologi yang energinya dapat dihemat. “Salah satu solusinya menggunakan terobosan energi terbarukan yaitu smart electric grid,” kata Andhika. Smartgrid atau microgrid merupakan sistem jaringan pembangkit lokal yang mampu terhubung dengan jaringan pembangkit utama. Pada sistem jaringan ini, konsumen dapat mendistribusikan kelebihan listrik yang diproduksi untuk jaringan lokal. Konsumen jaringan microgrid dapat menjadi produsen atau sering disebut prosumer. Kelebihan
24 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan jaringan microgrid ada pada kemampuannya untuk mengatasi gangguan pada pembangkit utama maupun pada jalur distribusinya dengan menyalurkan produksi listrik dari prosumer. Hal ini akan meminimalisasi gangguan listrik. Selain itu microgrid juga efektif digunakan pada daerah yang sulit terjangkau jalur distribusi. Smart grid dikendalikan oleh teknologi informasi yang mampu mengatur waktu sistem menjadi islanding atau interkoneksi dengan jaringan yang lebih besar secara otomatis. Dalam hal ini dapat menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) pada pengambilan keputusannya. Microgrid secara otomatis dapat mengatur suplai listrik berdasarkan perhitungan beban serta efisiensi maksimal sehingga lebih ekonomis. Microgrid memiliki 2 level yaitu low voltage microgrid dan medium voltage microgrid. Low voltage digunakan untuk kawasan kecil seperti penggunaan rumah tangga. Sementara medium voltage digunakan pada kawasan yang lebih besar dengan tegangan lebih tinggi. Adanya komitmen global terkait dekarbonisasi, Indonesia pun tidak bisa tidak harus menyesuaikan pembangkit listrik dengan menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT), salah satunya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). PLTS Atap tengah gencar digalakkan pemakaiannya, satu di antaranya yang digaungkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). Deklarasi GNSSA pada 17 September 2017 silam, dihadiri dan ditandatangani banyak kalangan, di antaranya, perwakilan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (B2TKE BPPT), Masyarakat
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 25 Energi Terbarukan Indonesia (METI), Konsorsium Kemandirian Industri Fotovoltaik Indonesia, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), dan Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA). Menurut data GNSSA, hingga tahun 2020, jumlah pelanggan PLN pengguna PLTS atap meningkat dari 268 pada 2017 menjadi lebih dari 2.300 pelanggan, dengan total kapasitas mencapai 11,5 MW. Pemerintah daerah juga sudah menunjukkan komitmen penggunan EBT, di antaranya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang pada tahun 2019 mengembangkan Jawa Tengah menjadi Provinsi Surya pertama di Indonesia. Peminat PLTS dari kalangan rumah tangga, publik, dan di Jawa Tengah terbilang besar. Menurut data Pemprov Jateng, potensi daya yang dihasilkan dari intensitas energi surya di Jawa Tengah sebesar 14,7 kWatt/bulan hingga 19,614 kWatt/bulan. Penyebaran penyinaran surya di Jawa Tengah merata, sehingga di semua kabupaten/kota di Jawa Tengah dimungkinkan menggunakan PLTS. Beberapa fasilitas publik seperti stasiun dan terminal di Jawa Tengah telah menggunakan PLTS atap. Misalnya Stasiun Batang dan Terminal Tirtonadi Solo. Pemerintah Provinsi Bali juga mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali tentang Energi Bersih, yang mendorong pemanfaatan PLTS atap di bangunan pemerintah, kawasan bisnis, sektor pariwisata, dan masyarakat umum. Pergub Energi Bersih ini juga mengatur insentif kepada pengguna, termasuk diskon pajak bumi dan bangunan. Berdasarkan laporan pelaksanaan PLTS atap oleh PLN dan survei Kementerian ESDM, energi listrik yang diekspor ke PLN oleh pelanggan PLTS atap sektor rumah tangga hanya sebesar 24-26 persen dan untuk sektor industri dan bisnis sebesar 5-10 persen dari jumlah energi yang diproduksi oleh PLTS atap. Untuk mendorong peningkatan pemanfaatan PLTS Atap, pemerintah merevisi regulasi yang mengatur penggunaan PLTS Atap. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero) dengan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Lisrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Sejumlah poin penting perubahan regulasi tersebut, di antaranya, ketentuan ekspor listrik yang dinaikkan menjadi 100% dari sebelumnya hanya 65% dari listrik PLN terpasang pelanggan. Jumlah energi listrik atau kWh yang diekspor dari sistem instalasi pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan instalasi pelanggan PLN tercatat pada meter kWh ekspor-impor. Ekspor listrik digunakan untuk perhitungan energi listrik pelanggan PLTS Atap dan bisa mengurangi tagihan listrik pelanggan setiap bulannya. (Pasal 6 Permen ESDM No. 49/2018). Pada regulasi baru, perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh Impor dengan nilai kWh Ekspor. Dalam hal jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi listrik yang diimpor
26 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan pada bulan berjalan, selisih lebih akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan listrik bulan berikutnya. Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan diperpanjang dari yang mulanya tiga bulan menjadi enam bulan. Pelanggan PLTS Atap dan pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Umum (IUPTLU) dapat melakukan perdagangan karbon. (Pasal 28 Permen ESDM No. 28/2021). Aturan baru juga mensyaratkan mekanisme pelayanan diwajibkan berbasis aplikasi. Pemerintah menugaskan BUMN pemegang IUPTLU membangun aplikasi penggunaan Sistem PLTS Atap berbasis digital yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smartgrid distribusi. Aplikasi ini dapat menjaga kestabilan dan keandalan sistem ketenagalistrikan; menjaga efisiensi penyaluran energi listrik; dan/atau memonitor produksi energi Sistem PLTS Atap secara waktu nyata (Pasal 25 Permen ESDM No. 28/2021). REGULASI PEMANFAATAN BERSAMA JARINGAN TRANSMISI Power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik menjadi bahasan penting dalam pengembangan program prosumer. Renewable power wheeling merupakan mekanisme yang memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan PLN. Aturan mengenai DOK: Tribun Jateng
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 27 power wheeling ini sebelumnya tertuang dalam Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Penyediaan Tenaga Listrik dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik. Ketentuan baru dijabarkan dalam Pasal 46-52 Permen ESDM Nomo 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Usaha Ketenagalistrikan. Power Wheeling dilakukan dengan menyewa jaringan listrik PLN, atau disebut juga peer to peer transection dengan membayar suatu toll fee. Implementasi power wheeling belum dilaksanakan karena masih belum ditetapkan biaya yang diperlukan dalam penggunaan jaringan PLN. Tujuannya agar aset jaringan transmisi dapat dimanfaatkan secara optimal, mampu meningkatkan utilitas jaringan transmisi dan distribusi, serta agar mempercepat penambahan kapasitas pembangkit nasional untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Yang dimaksud dengan sewa jaringan yaitu ketika suatu pemilik wilayah usaha telah memiliki pembangkit listrik ingin menambah kapasitas karena beban listrik di wilayah lain, mereka dapat membangun pembangkit-pembangkit listrik namun tetap terhubung ke jaringan PLN di wilayah lain. Sebagai contoh ilustrasi sistem peer to peer (P2P) di Belgia ditetapkan 200 euro/Mwh, dengan prosumer dan konsumer sama-sama berada di wilayah berbeda di luar Belgia. Dalam hal ini, prosumer dan konsumer dibebani biaya grid. Sementara biaya energinya tidak lagi dibayarkan ke pembangkit besar, tetapi antara konsumer dan prosumer. Terdapat selisih 35% yang bisa dibagi beberapa untuk prosumer dan konsumer. DOK: detik.com
28 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Dengan sistem P2P itu, PLN sebagai operator mendapatkan bagian berupa biaya transmisi, distribusi, taxes dan VAT. Dengan mengoptimalkan sistem P2P, konsumer dapat mengakses energi terbarukan dengan harga terjangkau di dalam wilayahnya sendiri. Prosumer juga dapat menjual akses energinya dengan harga yang lebih bagus karena melakukan deal langsung dengan konsumernya. Tantangan dalam menggunakan sistem peer to peer ini terdapat pada biaya operasional, biaya sambungan, dan peningkatan probabilitas gangguan. Contoh platform peer to peer (P2P) misalnya Sonnenflat, LO3, Power Ledger, Engie NL, dan Malaysia P2P Pilot Project. PROGRAM PROSUMER DAN MICROGRID Menurut Riza, Kepala Program Flagship Charging Station dan Smart Grid, Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), yang kini di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kunci keberhasilan smartgrid ada pada Smart KWH meter sebagai pencatat transaksi antara pembangkit dari prosumer dan mentransaksikannya kepada konsumer. Metering sudah berkembang menuju consumer sehingga jumlah dan fungsinya semakin berkembang. BPPT telah melakukan kajian dan mengimplementasikan Smart Micro Grid (SMG) Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2011. SMG Sumba yang merupakan microgrid pertama di Indonesia ini menggunakan pembangkit EBT dari sel (modul) fotovoltaik dengan kapasitas daya terpasang sebesar 700 kWp. SMG terdiri atas, sub-sistem PV 700 kWp, smart Genset 2×135 kVA, batere VRB 2×240 kWh, serta sub-sistem kontrol dan data komunikasi. Keluaran SMG terhubung dengan grid pada jaringan 20 kV. Sub-sistem PV 700 kWp terhubung dengan tujuh unit inverter jenis PVgrid kapasitas daya masing-masing 100 kW. Penambahan beberapa fitur dicoba untuk mengatasi intermittency di sistem yang lemah. Sumba Smart Microgrid telah menghasilkan lebih dari 1,8 GWh listrik dan dapat membantu penduduk lokal dalam penyediaan sarana air bersih. Baterai awal telah diganti menjadi 1,15 MWh dan setiap hari, Smart Microgrid bisa menyuplai listrik dengan stabil ke wilayah Sumba Barat Daya. Menurut Riza, SMG dapat dikembangkan menjadi sistem islanding dan sedang diusulkan untuk ditingkatkan agar bisa menjadi sebuah fully microgrid. Testing mobil listrik juga telah dilakukan di Sumba. Pada saat mobil listrik di-charge, database mengirimkan ke control center untuk meningkatkan pembangkitannya sesuai dengan daya yang diperlukan mobil listrik. PLTP Lahendong di Tomohon, Sulawesi Utara, memiliki kapasitas 500 KWp dan sudah beroperasi lebih dari 10.000 jam. PLTP Lahendong telah menghasilkan listrik lebih dari 2,75 GWh.Operasional PLTP mirip dengan PLTS on grid. Ketika mode on connected, pembangkit akan selalu menyuplai listrik ke grid. Seandainya ada modifikasi pada jaringan, grid bisa berfungsi sebagai microgrid full, yang berarti secara independen menyuplai listrik lokal, namun juga bisa kembali ke jaringan yang lebih besar.
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 29 Pembangkit Listrik Surya di Kabupate Paser. DOK: mediaindonesia
30 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 31 INTEGRASI SMART GRID Ada sejumlah masukan dari Dewan Pakar MKI dalam mengintegrasikan kelistrikan dengan smart grid. Menurut Hardiv Situmeang, masalah yang dihadapi dalam mengoperasikan smart grid adalah teknikal dan regulasi terkait interkoneksi. “Karena kita belum ada fully interoperability. Dampak paling utama pada microgrid, controller, dan distribution management system. Dengan integrated system dapat melakukan optimization integrated variabel energy,” kata Hardiv. Tantangan dalam pengimplementasian smart grid di Indonesia berkaitan dengan integrasi hal-hal yang mendukung smart grid. Pilar utama smart grid, selain listrik adalah komunikasi dan IT, di mana sangat diperlukan komunikasi dua arah antar mesin agar saling terintegrasi antargrid. “Secara konseptual, gagasan ini sudah sangat maju. Namun, masalah akan berujung pada sistem operasi. Jadi, mengintegrasikan antar sistem itu sangat penting,” Fahmi Mochtar, menambahkan. Pada permasalahan non-teknis, kuncinya adalah hal-hal yang berkaitan dengan sistem jika menganut sistem multibuyer-multiseller. Dilihat dari sisi bisnis dan industri, smart grid adalah peluang yang sangat besar di Indonesia. Seperti halnya China yang mengatur penggunaan teknologi komunikasi buatan sendiri. Indonesia dengan jumlah penduduk dan konsumer yang cukup besar memiliki peluang yang bagus ketika melakukan kegiatan jual beli energi listrik. Terkait power wheeling, Roni Seto Wibowo, berpendapat power wheeling harus mencerminkan karakteristik dari sistem. Misalnya, beban energi di Jawa Barat lebih banyak sedangkan letak pembangkitnya di Jawa Timur, maka ada kecenderungan harga listrik di Jawa Timur lebih murah dari pada di Jawa Barat. Harapannya, pembangkit listrik akan banyak dipasang di Jawa Barat. “Kemungkinan kalau ada prosumer, akan ada harga beban puncak. Harga beban puncak bisa diterapkan dengan adanya smartmeter, sehingga user/konsumer bisa mengatur kapan ia akan menjual dan kapan harus membeli, karena tujuannya ialah efisiensi dari sistem,” kata Roni Seto Wibowo. Menurut Ahmad Rofik, kendala implementasi smartgrid adalah di wilayah timur Indonesia kapasitas terpasang pembangkit listriknya terbatas. “Kalaupun menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi, harga listrik yang didapat tetap saja mahal. Dengan keterbatasan sumber energi primer yang ada, mengharuskan kita berpikir alternatif energi yang harus dikembangkan untuk menekan harga listrik. Di bagian Indonesia Timur sebenarnya sudah mulai melakukan kajian-kajian sistem seperti di Ambon, Sorong, dan Jayapura. Tetapi untuk pengadaannya harus menunggu prosedur PLN sekaligus mencari pengembang yang menawarkan pembangkit dengan harga yang paling murah,” kata Ahmad Rofik.
32 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Pengembangan smart grid yang terintegrasi disepakati dapat menjawab isu efektivitas ketenagalistrikan yakni dekarbonisasi, desentralisasi, dan digitalisasi, sekaligus untuk menjawab tantangan penyediaan tenaga listrik di Indonesia. Beberapa proyek smart grid sedang berjalan sesuai dengan RPJPM 2020-2024, dan telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pengembangan sistem pembangkit listrik energi terbarukan di Jawa-Bali. Smart grid akan menjadi sistem otomatis ketenagalistrikan yang cerdas untuk memantau aliran distribusi listrik agar lebih efisien, andal, berkualitas dan ekonomis. Selain itu, konsep smart grid ini nantinya yang akan menggeser teknologi saat ini, sekaligus agar bisa menyesuaikan dengan kondisi masa depan. Negara yang maju tentunya negara yang mampu menangkap tanda-tanda perubahan agar dapat menyiapkan diri untuk bertransformasi menjadi lebih baik. ■
MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 33 BADAN REGULASI BISNIS INDUSTRI KETENAGALISTRIKAN Oleh: Jarman (Koordinator), Bima Putrajaya, Djoko Prasetyo, I Made Ro Sakya, Kirana D. Sastrawijaya, Pudji W Purbo, Rex Panambunan
34 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan BADAN REGULASI BISNIS INDUSTRI KETENAGALISTRIKAN Oleh: Jarman (Koordinator), Bima Putrajaya, Djoko Prasetyo, I Made Ro Sakya, Kirana D. Sastrawijaya, Pudji W Purbo, Rex Panambunan Dok. bahana.net