The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mkiieps, 2023-06-12 00:08:53

Mewujudkan Ketenagalistrikan Nasional yang Berkelanjutan

Buku Dewan Pakar MKI - Mei 2023

Keywords: MKI,Ketenagalistrikan,Energi,Energi Terbarukan,EBT,Listrik,RE100,Smart Grid,PLN,Turbin,REBED,REBID,Emisi Rumah Kaca,Hidrogen,Energi Nuklir,Fuel Cell Hidrogen,SPKLU,Mobil Listrik,Digitalisasi Energi,Transisi Energi,Dekarbonisasi,Teknologi,Kebijakan,Pemerintah

MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 135 Banyak potensi penggunaan CHP unit kapasitas rendah 1-5 MW untuk industri makanan, tekstil, karet/ban, dan kimia, yang tidak dikembangkan karena belum ada regulasi pendorong yang menaikkan keekonomiannya, agar calon pengguna tersebut tertarik untuk memanfaatkan teknologi CHP, tidak hanya menghemat penggunaan energi, akan tetapi mengurangi biaya system penggunaan energi di industri tersebut, sehingga pemanfaatannya memberikan “cost saving” dalam seluruh proses industri. Berkembangnya penggunaan CHP di negara-negara industri pada tahun 1980-an ditopang oleh regulasi adanya kewajiban dari utilitas publik untuk membeli excess power CHP dengan harga tertentu, serta adanya power wheeling yang memberikan kesempatan pemilik CHP untuk menjual excess power-nya ke konsumer lain melalui transmisi/distribusi utilitas publik. Mereka mengembangkan potensi penggunaan CHP secara maksimal didorong oleh kondisi perbaikan komersialitas. Di awal 1990, sudah banyak menggunakan unit kapasitas kecil, yakni 300 KW. Di Indonesia, saat ini diperkirakan potensi total CHP untuk unit kapasitas kecil, 1-5 MW, di kisaran 6 GW, dan dapat berkembang menjadi 10 GW pada tahun 2030, suatu potensi yang substansial untuk dimasukkan dalam opsi pengembangan awal transisi energi dengan dampak minimal terhadap ongkos pelayanan listrik nasional. Pemanfaatan CHP memerlukan distributed power generation di mana cogeneration dipasang di dekat pemanfaat uap dan kelebihan listrik dapat dijual ke grid atau pemanfaat listrik lain. Oleh karena itu, diperlukan kajian komprehensif untuk memetakan seluruh potensinya, menginventarisasi “concerns dan willingness dari calon users”, serta menyusun strategi ekspansi penggunaan CHP dalam peta jalan program Transisi Energi, termasuk isu excess power dan harga jualnya, yang mendorong keekonomiannya, tetapi tidak terlalu membebani ongkos pelayanan listrik. Di samping itu, karena potensinya ribuan users, pemanfaatan CHP unit kapasitas kecil, akan membuka bisnis baru distributed power, termasuk EPC, dan manufacturing komponenkomponennya, seperti heat recovery boiler dan generator kecil. Kogenerasi dianggap sebagai alternatif yang efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca karena emisi karbondioksida yang rendah. Pembangkit dengan menggunakan bahan bakar fosil tentunya akan lebih baik jika menggunakan sistem ini. Akan tetapi kecenderungan penolakan dunia internasional terhadap bahan bakar fosil, yang harganya semakin mahal dan tidak ramah lingkungan, akan menjadi tantangan di tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu di masa-masa mendatang, kogenerasi juga dapat memanfaatkan energi baru dan terbarukan dengan lebih baik dan lebih efisien. Misalnya penggunaan teknologi energi berbasis biomassa, pembangkit tenaga surya, energi panas bumi, dan nuklir.


136 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Penelitian terus dilakukan dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem kogenerasi terkait dengan ekonomi dan lingkungan. Teknologi kogenerasi terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir, beberapa diantaranya cocok untuk pembangkit listrik besar, sedang, dan mikro-kogenerasi. Meskipun demikian, masih diperlukan analisis pada setiap kasus untuk dikuantifikasi melalui parameter energi, ekonomi, dan lingkungan, sehingga memungkinkan perbandingan yang obyektif di antara teknologi kogenerasi yang berbeda. Di Indonesia, saat ini diperkirakan potensi total CHP untuk unit kapasitas kecil, 1 - 5 MW, di kisaran 6 GW, dan dapat berkembang menjadi 10 GW pada tahun 2030, suatu potensi yang substansial untuk dimasukkan dalam opsi pengembangan awal transisi energi dengan dampak minimal terhadap ongkos pelayanan listrik nasional. Oleh karena itu, diperlukan kajian komprehensif untuk memetakan seluruh potensinya, menginventarisir “concerns dan willingness dari calon users”, serta menyusun strategi ekspansi penggunaan CHP dalam peta jalan Program Transisi Energi, termasuk issu excess power dan harga jualnya, yang mendorong keekonomiannya, tetapi tidak terlalu membebani ongkos pelayanan listrik. Disamping itu, karena potensinya ribuan users, pemanfaatan CHP unit kapasitas kecil, akan membuka bisnis baru distributed power, termasuk EPC, dan manufacturing komponen komponennya, seperti: heat recovery boiler, generator kecil dan lain-lain. Salah Satu Konfigurasi Kogeneration yang Menghasilkan Energi Uap dan lLstrik


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 137 PENYIMPANAN ENERGI (ENERGY STORAGE) Sistem penyimpanan energi yang terjangkau adalah kebutuhan mendesak, agar energi terbarukan yang bersifat intermitten, bisa bertahan dalam waktu yang lebih lama. Penyimpanan energi juga diperlukan untuk mengurangi stagnasi atau mengetahui variasi daya yang terjadi secara independen dari pembangkit energi terbarukan. Perlu selalu ada pemikiran innovatif dan visioner, untuk fokus pada penyediaan dengan patokan durasi penyimpanan yang lebih lama. Perlu dikembangkan agar penyimpanan itu bisa dalam skala harian, mingguan dan bahkan musiman. Ini sangat diperlukan untuk solusi hemat biaya dan ketergantungan global pada sumber energi terbarukan yang intermitten. Sejak 2015, perspektif global banyak mendiskusikan penyimpanan energi dan energi terbarukan sebagai tindakan prioritas. Para pemangku kepentingan energi dari seluruh dunia sedang bekerja menggabungkan teknologi ini ke dalam portofolio transisi energi mereka. Seiring dengan berkembangnya sistem kelistrikan, kalangan industri sangat membutuhkan penyimpanan energi yang fleksibel. Ini untuk memenuhi beragam kebutuhan termasuk sektor transportasi. Peralatan penyimpanan semacam ini menjadi lebih baik lagi jika diintegrasikan dengan energi terbarukan yang intermitten. Tentu saja diharapkan menjadi lebih ekonomis, karena bisa menjembatani antara persediaan dan penyimpanan energi. Skema Sederhana Gas Turbin Kogenerator Menghasilkan Listrik dan Uap Panas


138 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Sejauh ini penyimpanan energi yang banyak dilakukan untuk memecahkan permasalahan pembangkitan listrik yang intermitten adalah melalui proses elektrolisis dengan menggunakan listrik dari energi terbarukan. Hidrogen adalah energi penghubung, yang memungkinkan kita menggunakan listrik dari angin dan matahari untuk menyediakan hampir semua kebutuhan energi dengan teknologi Fuel Cell atau IC Engine. Penyimpanan energi yang banyak dilakukan untuk memecahkan permasalahan pembangkitan listrik yang intermitten adalah dengan menggunakan teknologi “Pump Storage” dan Baterai. Teknologi “Pump Storage” adalah menyimpan energi dalam bentuk energi potensial, yaitu dengan memompa air dari bendungan bawah ke bendungan atas dengan menggunakan energi terbarukan saat produksi berlimpah dan tidak digunakan. Saat diperlukan, air di bendungan atas dialirkan untuk memutar turbin air dan ditampung di bendungan bawah.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 139 Teknologi baterai saat ini sudah banyak dikembangkan. Indonesia sudah mempunyai rencana besar untuk memproduksi baterai nasional, mengingat material untuk pembuatan baterai banyak tersedia di dalam negeri. Baterai yang banyak dikembangkan saat ini adalah baterai Lithium. Baterai Li-ion menggunakan senyawa penyimpan litium sebagai bahan elektroda positif dan negatif. Ketika baterai bersiklus, ion Li+ bertukaran antara elektroda positif (katoda) dan elektroda negatif (anoda) melalui elektrolit yang berupa elektrolit cair, polimer atau gel polimer. Selain itu penggunaan proses kimia seperti pasangan-unsur kimia untuk penyimpanan energi panas dan elektrolisis hidrogen untuk penyimpanan energi listrik. Produksi hidrogen adalah salah satu produk yang bisa menjadi energi energi penghubung, yang memungkinkan kita menggunakan listrik dari angin dan matahari untuk menyediakan hampir semua kebutuhan energi dengan teknologi Fuel Cell atau IC Engine. ENERGI NUKLIR Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah teknologi yang tidak berbasis pada sumberdaya alam, tetapi berbasis pada teknologi seperti teknologi Fusi, Fisi dan Baterai Nuklir. Reaksi fusi merupakan reaksi peleburan dua atau lebih inti atom menjadi atom baru dan menghasilkan energi, juga dikenal sebagai reaksi yang bersih. Reaksi fisi nuklir adalah reaksi pembelahan inti atom akibat tubrukan dengan inti atom lainnya, dan menghasilkan energi dan atom baru yang bermassa lebih kecil, serta radiasi elektromagnetik. Energi yang diperoleh melalu proses tersebut dapat digunakan sebagai pembangkit listrik. Untuk pembuatan energi nuklir ini bahan bakarnya bervariasi seperti uranium, thorium, plutonium, lithium dan hidrogen. Beruntungnya kelima jenis bahan bakar nuklir tersebut ada dan bisa dieksplorasi di bumi Indonesia.


140 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Energi nuklir termasuk dalam kategori energi nir karbon, yaitu sama sekali tidak mengeluarkan emisi karbon saat pengoperasian. Nuklir memiliki potensi menyediakan pasokan energi dengan biaya efisien, handal, dan aman. Dalam kenyataannya energi nuklir bisa menjadi sumber energy yang tak terbatas dengan kelebihannya dapat mengurangi polusi lingkungan. Secara keekonomian penggunaan PLTN dapat memangkas tarif listrik, karena harganya sangat kompetitif dibandingkan dengan energi lainnya. Hanya sekitar 6 cent$/kWh dengan teknologi small modular reactor (SMR), harga tersebut dapat diusahakan berada di bawah BPP listrik di banyak daerah di Indonesia. Saat ini sedang disusun studi keekonomian PLTN terbaru dan komprehensif. Untuk meningkatkan nilai keekonomiannya, selain untuk pembangkit listrik PLTN juga bisa dioperasikan sebagai pembangkit kogenerasi untuk memproduksi air dengan proses desalinasi dan produksi hydrogen berskala besar. Salah satu komponen penting dalam program energi nuklir nasional adalah penyiapan pembangunan PLTN. Penyiapan pembangunan PLTN perlu dilaksanakan oleh suatu Tim Nasional yang bertugas menyiapkan program dan mengkoordinasikan dengan lembaga/instansi terkait lainnya. Mengingat energi nuklir adalah energi strategis yang dapat disalahgunakan, maka harus diatur oleh Undang-Undang dan regulasi yang ketat terkait dengan keamanan dan keselamatan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dibentuk suatu tim kerja yang melakukan pengorganisasian semua lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi kebijakan, penelitian dan pengembangan, pengawasan dan penyiapan program energi nuklir. Pembentukan tim kerja dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif dan efisien di dalam menangani permasalahan yang mungkin terjadi. Sehingga dapat lebih menjamin tercapainya pelaksanaan program energi nuklir nasional yang aman dan bermafaat. Penyiapan dan penyusunan program energi nuklir tersebut harus dilakukan secara lebih terintegrasi. Untuk mendukung penerapan dan pengembangan PLTN di Indonesia sesuai tujuan tersebut, program energi nuklir nasional perlu didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik melalui reformasi yang terus menerus terhadap setiap komponen dalam sistem energi nasional. Tantangan pembangunan PLTN adalah penolakan masyarakat terhadap penggunaan sumber energi nuklir. Tak hanya di Indonesia dibeberapa negara lain juga mengalami hal yang sama. Trauma, kejadian bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, di Jepang, sangat membekas hingga sekarang. Padahal, upaya-upaya untuk mengamankan reaktor nuklir melalui pengembangan teknologi semakin hari semakin maju dan canggih. Karena itu perlu ada terlebih dahulu edukasi dan sosialisasi bagi masyarakat tentang keamanan dan keselamatan PLTN, jika kelak akan dibangun.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 141 ENERGI LAINNYA Dua jenis energi terbarukan yang tidak termasuk energi baru tetapi dikategorikan sebagai teknologi pembangkit listrik berbahan bakar bersih adalah pembangkit geothermal dan pembangkit hidro. Dua pembangkit ini yang mempunyai daya dan faktor kapasitas yang besar sehingga bisa digunakan untuk mensubtitusi energi fosil, tanpa menimbulkan permasalahan intermitten. Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau pembangkit geothermal diharapkan mampu memberi kontribusi besar dalam upaya mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) 2025. Masalah utama dari PLTP dan PLTA adalah lokasinya pada umumnya jauh dari beban. Untuk itu perlu diciptakan beban berupa Kawasan Industri atau Kawasan Ekonomi Terpadu pada lokasi yang tidak jauh dari PLTS dan/atau PLTA tersebut, misalnya dengan konsep Pengembangan Kawasan Industri atau Kwasan Pengembangan Ekonomi Berbasis Energi Terbarukan (REBID/REBED). Dua jenis energi terbarukan lainnya yang perlu dipertimbangkan mendampingi teknologi energi baru yang bersih adalah pembangkit Mini Hidro dan Pembangkit Arus Laut, walaupun hanya berdaya kecil tetapi masih lebih baik dibandingkan dengan pembangkit listrik intermitten.


142 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Sumber daya energi geothermal di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 28.500 mega watt yang terdiri dari sumber daya (resources) 11.073 mega watt dan cadangan (reserves) 17.453 mega watt. Hal ini menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan sumber daya panas bumi terbesar di dunia. Meskipun demikian masih ada dua masalah utama terkait percepatan pengembangan PLTP di Indonesia. Pertama tentang kemudahan dan kepastian regulasi yang terkait dengan lokasi dan lingkungan di Kawasan Taman Nasional. Sedangkan yang kedua mengenai mahalnya eksplorasi pengeboran sumber energi geothermal. Meskipun demikian harga keekonomian PLTP sudah mulai bisa diterima dengan insentif Pemerintah melalui pembelian harga listrik yaitu mekanisme cascade untuk harga energi EBT. Selain panas bumi, potensi besar lainnya adalah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yaitu sebesar 70.000 mega watt (MW). Potensi ini baru dimanfaatkan sekitar 6 persen atau 3.529 MW. Sama dengan permasalahan di PLTP, hambatan utama PLTA besar adalah faktor lokasi dan keekonomian. Meskipun demikian permasalahan ini masih bisa diatasi dengan pengembangan PLTA besar di luar Jawa yang jarang penduduknya, dan pengembangan pembangkit listrik minihidro (PLTMH) di daerah padat penduduk seperti Jawa. PLTMH merupakan pilihan terbaik dibandingkan dengan jenis EBT lainnya, sehingga perlu mendorong pemanfaatan potensi PLTMH seoptimal mungkin. Potensi mikro dan minihidro di Indonesia yang terdata saat ini adalah 500 MW. Bahkan oleh para pemerhati ketenagalistrikan diyakini potensi yang sebenarnya berada jauh di atas angka tersebut. Sementara yang dimanfaatkan baru sekitar 60 MW, sehingga sangat dimungkinkan untuk dikembangkan. Keuntungan pembangunan dan pengelolaan PLTMH yaitu: Konstruksinya relatif sederhana, mudah perawatan dan penyediaan suku cadang, dapat dioperasikan dan dirawat oleh masyarakat desa, biaya operasi dan perawatan rendah. Meskipun demikian masih diperlukan perbaikan sistem tata kelola air yang lebih baik dan permasalahan tupang tindih lahan dengan lingkungan di Kawasan Taman Nasional. Potensi besar lainnya adalah arus laut, walau hingga saat ini belum terukur besarannya. Diduga arus laut di wilayah perairan Indonesia menyimpan potensi energi listrik sekitar 6.000 MW, khususnya di daerah antara samudera Pasifik dan samudera Hindia, tepatnya di selat antara pulau di Bali, NTB dan NTT. PLTAL dapat dibangun dikawasan pantai dengan hybrid PLTS dan PLTMG skala kecil dengan meciptakan beban berupa pabril es atau cold storage untuk para nelayan, homestay, home industry, pengairan daerah pantai untuk pertanian, dan kegiatan ekonomi lainnya, Untuk PLTAL ini Pemerintah patut memberi insentif agar harga listrik murah, namun memenuhi keekonomian investasi.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 143 DATA BASE UNTUK PENGEMBANGAN ENERGI TERBARUKAN Hambatan utama pengembangan energi terbarukan adalah kepastian hukum (peraturan perundangan) dan harga listrik energi terbarukan yang dapat memenuhi keekonomian bagi investor namun kompetitif dan terjangkau masyarakat. Pemerintah patut mempertimbangkan pemberian insentif fiskal dan non-fiskal untuk menstimulasi investasi pengembangan energi terbarukan dan memberi kepastian hukum melalui peraturan perundangan dan proses perizinan yang efektif, pendanaan dalam negeri dengan bunga rendah untuk proyek energi terbarukan skala kecil (di bawah 10 MW), dan membantu penyediaan lahan. Selain itu, pemerintah perlu menyusun database semua jenis teknologi energi baru, terkait dengan kondisi teknis dan keekonomiannya dalam kondisi sekarang dan ekspektasi ke depan. Database menjadi referensi dalam menyusun peta jalan transisi energi yang menggambarkan tahapan kluster pengembangan teknologi energi baru, potensi pengurangan karbon, sekaligus konsekuensi pembiayaannya. Di samping itu, pemerintah perlu menyediakan data hasil survei pendahuluan yang terpercaya (reliable) dan akurat, terutama potensi tenaga panas bumi, tenaga arus dan ombak laut, peta potensi energi bayu dan radiasi panas matahari.


144 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan REALISASI BAHAN BAKAR ALTERNATIF Penggantian bahan bakar fosil tradisional sudah mendesak, akibat tuntutan dunia internasional tentang perlunya energi bersih, karena itu penggunaan bahan bakar alternatif harus segera direalisasikan. Dari beberapa pilihan yang sudah disebut di atas, harus disesuaikan dengan kemudahan realisasi, situasi kondisi lokasi daerah, serta karakteristik jenis energinya. Untuk realisasi penggunaan energi alternatif sebaiknya dimulai dalam skala kecil terlebih dulu, sebagai contoh fuel cell/hidrogen, geothermal kecil, nuklir dan sebagainya. Pemerintah harus segera membuat peraturan/regulasi mengenai hal ini. Terutama berkaitan dengan pemberian insentif kepada pihak-pihak yang membangun pembangkit berbasis energi baru terbarukan. Jika belum bisa memanfaatkan energi baru secara penuh, maka perlu terelebih dahulu co-firing dengan bahan bakar fosil terutama batu bara. Untuk nantinya berangsur angsur meniadakan sama sekali penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik. Harus terus berupaya dan melakukan kajian tentang kemungkinan-kemungkinan adanya sumber energi baru dan terbarukan yang bahan bakunya banyak terdapat di Indonesia. Sebagai contoh amonia, dimana ini masuk dalam lima besar negara dengan produksi ammonia terbesar di Indonesia. Dengan adanya sumber energi baru dan menggabungkannya dengan teknologi maka kontribusi kita terhadap perubahan iklim dan polusi sangat signifikan. Untuk menuju penggunaan bauran energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Perlunya disusun data base tentang semua jenis teknologi energi alternatif, terkait dengan kondisi teknis dan ekonominya, sekarang dan ekspektasi ke depannya; untuk dijadikan referensi dalam menyusun peta jalan Transisi Energi yang menggambarkan, tahapan kluster pengembangan teknologi energi alternatif, potensi pengurangan karbon dan sekaligus konsekuensi biayanya. ■


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 145 DEKARBONISASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN YANG MENDALAM Oleh: Hardiv Situmeang (Koordinator), Anton S. Wahjosoedibjo, Arnold Y. Soetrisnanto, Endro Utomo Notodisuryo, Hernadi Buhron, John Respati, Nur Pamudji, Riki F Ibrahim


146 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan DEKARBONISASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN YANG MENDALAM Oleh: Hardiv Situmeang (Koordinator), Anton S. Wahjosoedibjo, Arnold Y. Soetrisnanto, Endro Utomo Notodisuryo, Hernadi Buhron, John Respati, Nur Pamudji, dan Riki F. Ibrahim.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 147 S EBAGAIMANA telah kita ketahui, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change), pada tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat. Sesuai dengan Pasal 21 Ayat 3 Persetujuan tersebut, setelah meneliti dan mempertimbangkannya Pemerintah Republik Indonesia telah memutuskan untuk mengesahkan Persetujuan Paris tersebut dengan UU RI Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim, dan diundangkan pada tanggal 25 Oktober 2016. Sebagaimana yang tertulis pada Pasal 4 Ayat 19 Persetujuan Paris tersebut, semua pihak perlu berupaya untuk merumuskan dan menyampaikan strategi pembangunan rendah emisi gas rumah kaca (GRK) jangka panjang, berdasarkan Pasal 2 dengan mempertimbangkan tanggung jawab bersama yang dibedakan dan kemampuan masing-masing, serta mempertimbangkan situasi nasional yang berbeda-beda. Dalam konteks nasional, pengendalian perubahan iklim merupakan amanat konstitusi bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Negara memberikan arah dan berkewajiban memastikan agar pembangunan yang dibutuhkan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat tetap memperhatikan perlindungan aspek lingkungan dan sosial. Dengan adanya kesadaran akan ancaman dari dampak-dampak negatif perubahan iklim, pengendalian dan penanganan perubahan iklim bukan merupakan suatu beban bagi Negara, namun sudah saatnya menjadi suatu kebutuhan. Dengan demikian komitmen Negara dalam menangani perubahan iklim merupakan agenda nasional. Adapun tujuan global Persetujuan Paris, Pasal 2 Ayat 1. (a): Menahan kenaikan suhu rata-rata global dibawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi, mengakui bahwa upaya ini akan segera secara signifikan mengurangi resiko dan dampak perubahan iklim. Selain itu, Persetujuan Paris diarahkan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, menuju ketahanan iklim dan pembangunan rendah emisi, tanpa mengancam produksi pangan, dan menyiapkan skema pendanaan untuk menuju pembangunan rendah emisi gas rumah kaca (GRK) dan berketahanan iklim.


148 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan FOKUS MEMBATASI KENAIKAN SUHU HINGGA 1,5°C DI ATAS TINGKAT PRA-INDUSTRIALISASI Dalam rangka mencapai tujuan Persetujuan Paris, sebagai kontribusi yang ditetapkan secara nasional bagi penanganan global terhadap perubahan iklim sangat perlu diwujudkan dekarbonisasi sektor energi jangka-panjang yang mendalam sebagai bagian dari alokasi reduksi emisi GRK NDCs sektor energi untuk mendukung peningkatan kontribusi nasional yang sedang berjalan, mencerminkan kenaikan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional sebagai program peningkatan upaya mitigasi nasional yang menunjukkan kemajuan dari waktu kewaktu. Sebagaimana yang dinyatakan pada INDONESIA Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (INDONESIA LTS-LCCR 2050) melalui skenario rendah karbon yang sesuai dengan target Persetujuan Paris (LCCP), Indonesia memperkirakan akan mencapai puncak emisi gas rumah kaca (GHG) nasional pada tahun 2030 dengan net sink di kehutanan dan penggunaan lahan (forestry and land use - FOLU), dan dengan menjajaki lebih lanjut peluang untuk maju pesat menuju net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dengan skenario ini, Indonesia perlu secara signifikan mengurangi emisi dari sektor energi hingga mendekati nol (close to zero) dan meningkatkan serapan di kehutanan dan penggunaan lahan. Ini akan membutuhkan perubahan transformasional dalam sistem energi serta sistem pangan dan tata guna lahan, yang perlu menangani sejumlah besar target dengan potensi trade-off di antaranya, seperti target yang berkaitan dengan ketahanan energi, ketahanan pangan, konservasi keanekaragaman hayati, menghindari deforestasi, penggunaan air tawar (fresh water), penggunaan nitrogen dan fosfor (phosphorous), serta persaingan penggunaan lahan. Adapun Keputusan COP 1/CP.26 Glasgow Climate Pact untuk Mitigasi pada Bab IV, terdiri dari 7 paragraf yang disepakati oleh Para Pihak (Paragraf 15 s/d 21). Ada beberapa paragraf yang berhubungan dengan 1,5°C dan aksi terkaitnya, yaitu sebagai berikut:


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 149 • Paragraf 15: Menegaskan kembali tujuan global jangka panjang untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global dibawah 2°C di atas tingkat di masa praindustrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi, mengakui bahwa upaya ini akan segera secara signifikan mengurangi resiko dan dampak perubahan iklim. • Paragraf 16: Mengakui bahwa dampak perubahan iklim akan jauh lebih rendah pada kenaikan suhu 1,5°C dibandingkan dengan 2°C, dan memutuskan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikkan suhu menjadi 1,5°C. • Paragraf 17: Juga mengakui bahwa membatasi pemanasan global hingga 1,5°C membutuhkan pengurangan emisi gas rumah kaca global yang cepat, mendalam dan berkelanjutan, termasuk pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) global sebesar 45% pada tahun 2030 relative to the 2010 levels dan menjadi net-zero sekitar pertengahan abad, serta pengurangan yang mendalam dari gas rumah kaca lainnya (other greenhouse gas). • Paragraf 19: Mengundang Para Pihak untuk mempertimbangkan aksi lebih lanjut untuk mengurangi emisi gas rumah kaca non-CO2 (non-carbon dioxide) pada tahun 2030, termasuk methane (CH4). • Paragraf 20: Menyerukan kepada Para Pihak (Calls upon Parties) untuk mempercepat pengembangan, penyebaran dan dissemination teknologi, dan penerapan kebijakan, untuk transisi menuju sistem energi rendah emisi, termasuk dengan cepat meningkatkan penyebaran pembangkit listrik bersih dan langkahlangkah efisiensi energi, termasuk mempercepat upaya menuju penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien, sambil menyediakan dukungan yang ditargetkan kepada yang membutuhkan dan paling rentan sesuai dengan kondisi nasional dan mengakui perlunya dukungan menuju transisi yang adil. Sebagaimana yang dinyatakan pada INDONESIA LTS-LCCR 2050 dan Keputusan COP 1/CP.26 Glasgow Climate Pact untuk Mitigasi tersebut diatas, merupakan kemajuan pada tingkat nasional dan global dalam upaya untuk mencapai tujuan global Persetujuan Paris yang lebih difokuskan untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi.


150 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Sangat diperlukan untuk diketahui adanya jenis net-zero emission, yaitu: (i) netzero emission CO2 (hanya carbon dioxide), (ii) net-zero emission semua gas rumah kaca (termasuk methane, nitrous oxide, dan gas “F” seperti hydrofluorocarbons, dan (iii) net-zero emission non-CO2. Juga penting untuk diketahui kerangka waktu yang sangat berbeda untuk mencapai net-zero emission dari masing-masing jenis net-zero emission tersebut, dan adanya variasi dalam penentuan pencapaian puncak emisinya. Semakin cepat puncak emisinya, semakin realistis mencapai net-zero emission yang tepat waktu. Dengan adanya variasi ini, dapat memberikan peluang untuk sektor tertentu dalam penentuan lintasan emisi biaya paling rendah dengan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Skenario ini berdasarkan hasil analisis yang komprehensif, dimana pencapaian puncak emisinya dapat dilaksanakan sebelum tahun 2030 tanpa merubah tahun net-zero emisinya. Analisis yang komprehensif dapat dilakukan pada sektor ketenagalistrikan dengan target net-zero emission CO2 (carbon dioxide) pada tahun 2050 dengan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi dan lintasan emisi biaya paling rendah serta adanya kemungkinan puncak emisinya sebelum tahun 2030. UPAYA MENDUKUNG DEKARBONISASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN Sebagai bagian dari alokasi reduksi emisi GRK NDCs sektor energi, sangat diperlukan membangun jalur dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan jangka panjang yang mendalam untuk mendukung peningkatan kontribusi nasional yang sedang berjalan, sebagai bagian program peningkatan upaya mitigasi nasional dalam pencapaian tujuan suhu jangka panjang Persetujuan Paris (Paris Agreement). Jalur emisi dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan yang mendalam ini setidaknya selaras dengan lintasan emisi biaya paling rendah dengan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan jangka panjang yang mendalam ini harus tetap memenuhi ketersediaan tenaga listrik dalam memenuhi keseimbangan pasokan dan permintaan (kebutuhan) tenaga listrik , juga harus menjamin pemenuhan 3 (tiga) pilar utama:


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 151 A. Keandalan (reliability), keamanan pasokan (security), ketahanan (resilience), mutu (quality). B. Harga yang terjangkau, kompetitif, aksesibilitas, ekonomis, memperkuat daya saing industri, dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. C. Pasokan tenaga listrik yang berkelanjutan yang bersih-ramah lingkungan (clean electricity supply). Untuk mendukung pencapaian dekarbonisasi jangka panjang yang mendalam ini, sangat dibutuhkan beberapa kegiatan utama. Kegiatan-kegiatan tersebut membangun jalur dekarbonisasi jangka panjang sektor ketenagalistrikan untuk mempercepat transisi energi dalam menuju sistem energi national rendah karbon dan berkelanjutan serta mendukung NDCs. Upaya untuk mencapai target pengurangan emisi nasional ini sesuai dengan lintasan emisi biaya paling rendah dengan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi, dengan tujuan dan memenuhi pilar-pilar utama tersebut diatas. 1. Perencanaan sektor ketenagalistrikan nasional jangka panjang yang rendah karbon dan berkelanjutan perlu dilakukan. Beberapa hal-hal utama terkait yang harus diperhatikan sebagai elemen penting yang diperlukan untuk dimasukkan dalam perencanaan ini yaitu: • Meningkatkan peranan teknologi energi bersih/nir-karbon dan rendah karbon (zero-carbon & low-carbon energy technologies), teknologi energi baru dan terbarukan termasuk variabel energi terbarukan. • Peningkatan penggunaan energi secara efisien dan konservasi energi dari hulu ke hilir (menyediakan sistem transmisi dan sistem distribusi yang efisien). • Penggunaan sumber energi rendah karbon untuk tercapainya perbaikan komposisi bauran energi primer untuk semua sektor terkait yang mendukung dekarbonisasi jangka-panjang yang mendalam. • Peningkatan tingkat kemampuan fleksibilitas sistem dengan penyediaan fasilitas demand response (demand side management), energy storage: pump-storage hydro, batteries, ekspansi jaringan transmisi dan distribusi dan komponen terkait dari integrasi jaringan interkonesi sistem tenaga listrik (grid-interconnected power system).


152 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan • Peningkatan desentralisasi sistem pembangkitan dan sentralisasi industri pada kawasan industri untuk memungkinkan penggunaan co-generation/tri-generation (combined heat and power–CHP/combined cold, heat and power–CCHP) yang sangat efisien dengan menggunakan energi baru yang bersih karbon dan terbarukan. • Penyediaan infrastruktur untuk sistem interoperabilitas (system interoperability), sebagai upaya peningkatan tingkat digitalisasi untuk pertukaran informasi (exchange information) dan aplikasi data. Juga untuk pengintegrasian interaksi kontrol sistem mendukung peningkatan desentralisasi sistem pembangkitan, dimana mendukung peningkatan integrasi variabel energi terbarukan ke integrasi jaringan interkoneksi sistem tenaga listrik, dan pemanfaatan potensinya dalam pengendalian operasi sistem tenaga listrik pada kondisi operasi: (a) Normal, (b) Siaga, (c) Darurat, dan (d) Pemulihan. Pemenuhan kebutuhan utama tersebut diatas merupakan implementasi 3 (tiga) pilar utama yang mendorong transisi energi global: (i) Dekarbonisasi, (ii) Digitalisasi, dan (iii) Desentralisasi. Sedangkan untuk cakupan komposisi arsitektur kontrol/koordinasi (control/coordination architectures) terkaitnya terdiri dari: • Koordinasi interaksi (coordination interaction) sistem kontrol lokal jaringan mikro dari sumber energi tersebar (local microgrid controllers of distributed energy resources-DERs) dengan sistem kontrol jaringan mikro/sistem manajemen sumber energi tersebar (microgrid controller/distributed energy resources management system-DERMS), • Koordinasi interaksi (coordination interaction) sistem manajemen sumber energi tersebar (DERMS) dengan sistem manajemen distribusi (distribution management system-DMS), • Koordinasi interaksi (coordination interaction) sistem manajemen distribusi-unit pengatur sistem distribusi (DMS-DSO) dengan pusat pengatur beban independen (ISO) dan unit pengelola sistem transmisi (TSO). Fasilitas ini sangat dibutuhkan untuk mendukung desentralisasi sistem pembangkitan guna peningkatan integrasi sumber energi tersebar/energi baru dan terbarukan tersebar. Termasuk variabel energi terbarukan ke integrasi jaringan interkoneksi sistem tenaga listrik agar optimalisasi operasi sistem tenaga listrik dapat tercapai, termasuk potensi partisipasinya pada kondisi siaga, darurat dan pemulihan.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 153 Perencanaan yang komprehensif ini juga memperhitungkan/mempertimbangkan: • Tingkat kemampuan fleksibilitas sistem yang selaras untuk mendukung penetrasi variabel energi terbarukan yang lebih tinggi. • Adanya kemungkinan tidak dipergunakan/tidak dioperasikan lebih lanjut PLTU Batubara yang ada, yang sebagian dapat digantikan dari kelebihan listrik pada desentralisasi sistem pembangkitan yang menggunakan skema co-generation/trigeneration berbahan bakar energi bersih. • Adanya potensi memodifikasi PLTU Batubara yang ada menjadi pembangkit listrik yang lebih fleksibel berdasarkan efektivitas biaya dan tingkat kelayakan ekonominya. • Dampak ekonomi-makro. • Kemungkinan adanya resiko keuangan (financial risk) dengan adanya kondisi kewajiban keuangan yang masih berlangsung, dan biaya sosial yang ada. 2. Perlu dibuat peta jalan (roadmap) dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan jangka-panjang yang menyeluruh di tingkat nasional dan sub-nasional (sebagai turunan dari Butir 1 tersebut diatas). Ini penting untuk dilakukan agar langkah dekarbonisasi yang dilakukan lebih fokus dan lebih bisa menjangkau target yang sudah ditetapkan. Peta jalan tersebut sesuai dengan alokasi reduksi emisi GRK NDCs sektor energi, sebagai bagian dari kontribusi yang ditetapkan secara nasional dengan peningkatan tingkat ambisi penurunan GRK, sejalan dengan sistem energi nasional jangka panjang rendah karbon yang berkelanjutan dan sesuai dengan lintasan emisi biaya paling rendah dengan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat praindustrialisasi. Juga harus sesuai dengan rencana implementasi dan sistem manajemen proyek terintegrasi (integrated project system management) dalam seluruh rantai bisnis terkait dari pengadaan energi primer, pembangunan pembangkit, transmisi, distribusi dan infrastrukur utama lainnya yang diperlukan (disebutkan pada Butir 1 tersebut di atas).


154 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan 3. Dalam mendukung operasionalisasi integrasi sumber energi tersebar / energi baru dan terbarukan tersebar termasuk variabel energi terbarukan kedalam rencana jangka panjang penambahan kapasitas sistem dan ekspansi jaringan transmisi dan distribusi, maka beberapa aksi utama (main tasks) terkait perlu ditinjau/dikaji kembali dan diselaraskan lebih lanjut yaitu: • Rencana operasi sistem tahap pra-operasional dan tahap operasional. • Kontinuitas operasi sistem real-time dan kontrol harus harus tetap terjaga dan mempertahankan terjaminnya keandalan, sekuriti sistem statis & dinamis (static & dynamic security), optimal, mutu, keseimbangan pasokan dan beban, serta pemenuhan alokasi emisi. Untuk itu perlu diperhatikan pelaksanaan/persiapan beberapa aksi utama terkait (associated main tasks) untuk mendukung tugas utama (main tasks) tersebut: a. Sistem peramalan (prakiraan) beban jangka pendek (tergantung jangka waktu yang dibutuhkan) - setiap jam yang dilaksanakan on-line dan off-line. b. Analisa sekuriti sistem statis & dinamis (static & dynamic security assessment) yang dilakukan secara regular dan dilaksanakan baik secara on-line maupun off-line. c. Analisa kontingensi (on-line dan off-line). d. Optimalisasi sistem (optimal power flow). e. Pra-operasional sistem (pre-operational stage – pre-dispatch). f. Operasional sistem (real-time operation – real time dispatch). g. Keseimbangan sistem (balancing system). h. Pengendalian pencegahan, perbaikan, darurat dan pemulihan. • Sistem komunikasi, kontrol, pelaporan dan pemantauan. • Sistem pengukuran (metering system). • Manajemen / pengelolaan aset. • Standar teknis untuk aplikasi koneksi (connection applications); • Peningkatan penetrasi / perluasan penerapan variabel energi terbarukan tersebar.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 155 4. The utility system architecture dan reformasi sistem kelistrikan sangat dibutuhkan untuk mendukung implementasi manajemen dan kontrol operasionalisasi integrasi jaringan interkoneksi sistem tenaga listrik, yaitu: • Model pusat pengendalian yang sesuai dengan fungsi dan tantangan yang baru untuk ISO-TSO, dan DMS-DSO. • Sistem interaktif untuk koordinasi interaksi (coordination interactions): a) Sistem kontrol lokal jaringan mikro dari sumber energi tersebar (DER) dengan sistem kontrol jaringan mikro/sistem manajemen sumber energi tersebar (DERMS), b) Integrasi DMS-DSO dengan sistem kontrol jaringan mikro/sistem manajemen sumber energi tersebar (DERMS), dan c) ISO-TSO dan DMS-DSO. Kebutuhan sistem interaktif untuk koordinasi interaksi seperti yang ditunjukkan oleh gambar dibawah ini sangat diperlukan guna peningkatan integrasi variabel energi terbarukan tersebar ke integrasi jaringan interkoneksi sistem untuk pemanfaatan potensinya dalam pengendalian operasi sistem tenaga listrik pada kondisi operasi: (a) Normal, (b) Siaga, (c) Darurat, dan (d) Pemulihan. Sistem Interaktif untuk Koordinasi Interaksi


156 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan 5. Dengan struktur baru dari konfigurasi integrasi jaringan interkoneksi sistem dan selaras dengan penjelasan diatas, maka sangat dibutuhkan penyediaan fasilitas sistem interoperabilitas, dimana merupakan kemampuan sistem dan perangkat yang diperlukan untuk menyediakan dan menerima layanan dan informasi antara satu dan lainnya, dan untuk menggunakan layanan dan informasi yang dipertukarkan untuk beroperasi secara efektif bersamasama dengan cara yang dapat diprediksi tanpa intervensi pengguna yang signifikan, dimana melalui satu protokol yang disetujui bersama. Interoperabilitas berguna untuk mengurangi biaya dan upaya untuk mengintegrasikan sistem. Dengan menggunakan fasilitas sistem interoperabilitas akan memberikan beberapa manfaat seperti meningkatkan kinerja dan efisiensi jaringan, memfasilitasi praktik keamanan jaringan (grid security) dan keamanan siber (cybersecurity) yang lebih komprehensif, meningkatkan pilihan dan partisipasi pelanggan, dan lain-lain. Dengan adanya sistem interoperabilitas ini akan mendukung operasi sistem real-time dan kontrol yang tetap menjaga dan mempertahankan terjaminnya keandalan, sekuriti sistem statis & dinamis (static & dynamic security), optimal, mutu, keseimbangan pasokan dan beban, dan pemenuhan alokasi emisi. Jika kondisi ini tercapai maka akan bisa didapatkan optimalisasi sistem (aliran daya yang optimal) dari integrasi jaringan interkoneksi sistem, dan (ii) pengendalian darurat online pada kondisi darurat untuk menstabilkan kondisi operasi sistem kembali ke kondisi normal. 6. Identifikasi reformasi sistem kelistrikan perlu dilakukan. Beberapa hal utama terkait yang perlu diperhatikan untuk ditinjau/dikaji kembali dan diselaraskan lebih lanjut seperti pasar yang dibutuhkan, model struktur, kebijakan dan kerangka kerja terkait. Juga termasuk peraturan yang diperlukan untuk mendukung peningkatan penetrasi variabel energi terbarukan tersebar ke integrasi jaringan interkoneksi sistem tenaga listrik. Ini perlu dilakukan agar optimalisasi operasi sistem tenaga listrik dapat tercapai. Termasuk potensi partisipasinya pada tahap pengendalian pencegahan, perbaikan, darurat, dan pemulihan. Ini mencakup juga pembentukan agregator dan kerangka peraturan terkait, grid connection code, serta kebijakan penghematan energi dan skema kewajiban efisiensi energi, arah dan jalur kebijakan serta kerangka kerja untuk memfasilitasi transisi ini.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 157 7. Untuk mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan perlu dipertimbang-kan aplikasi konsep Pengembangan Kawasan Industri Berbasis Energi Terbarukan (REBID), untuk skala besar, dan Pengembangan Kawasan Ekonomi Berbasis Energi Terbarukan (REBED) untuk skala kecil, di daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal). Di mana pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan direncanakan dan dilaksanakan secara bersamaan dengan penciptaan beban. Konsep REBID dan REBED mempunyai manfaat lipat ganda, antara lain: • Mengurangi risiko pasar listrik pembangkit energi baru terbarukan. • Meningkatkan keekonomian daerah. • Mengurangi emisi karbon. • Menarik investasi. 8. Mengembangkan pemodelan sektor ketenagalistrikan nasional yang komprehensif dan terintegrasi, dengan meminimalkan ketidakpastian dalam proyeksi skenario emisi gas rumah kaca (GRK) pada kondisi sistem multi-sektor, multi-skala dan multi-regional. Untuk menilai mitigasi terpadu dalam menetapkan tinjauan strategis NDC untuk mencapai target pengurangan emisi nasional. Capaian pemotongan emisi di sektor energi ini nantinya merupakan bagian dari alokasi reduksi emisi GRK NDCs. Dimana diharapkan selaras dengan lintasan emisi biaya paling rendah dengan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Partisipasi dalam mendukung aksi koheren global jangka panjang dalam pencapaian sasaran global berdasarkan pada efektivitas biaya dan tingkat penerapannya, serta dampak lingkungan yang ditimbulkannya. ■


158 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 159 TRANSISI ENERGI NASIONAL STRATEGI TRANSFORMASI KETENAGALISTRIKAN MENUJU NETRAL KARBON 2060 Oleh: Herman Darnel Ibrahim (Koordinator), Anton S. Wahjosoedibjo, Eddie Widiono, Fathorrahman, Arnold Y. Soetrisnanto


160 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan TRANSISI ENERGI NASIONAL STRATEGI TRANSFORMASI KETENAGALISTRIKAN MENUJU NETRAL KARBON 2060 Oleh: Herman Darnel Ibrahim (Koordinator), Anton S. Wahjosoedibjo, Eddie Widiono, Fathorrahman, Arnold Y. Soetrisnanto


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 161 PEMERINTAH telah menandatangani Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 22 April 2016. Persetujuan Paris bertujuan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global tidak melebihi 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan kemudian melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Selain itu, Persetujuan Paris diarahkan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, menuju ketahanan iklim dan pembangunan rendah emisi, tanpa mengancam produksi pangan, dan menyiapkan skema pendanaan untuk menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim. Indonesia menjadi negara ke-85 yang telah meratifikasi Persetujuan Paris. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui dan mengesahkan Persetujuan Paris menjadi Undang-undang, yakni UU Nomor 16 Tahun 2016 Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Dalam UU 16/2016, Pemerintah berkomitmen mengurangi emisi sebesar 29% dari kondisi business as usual (BAU) dengan upaya sendiri dan mengurangi 41% jika ada kerja sama internasional, pada tahun 2030. Penurunan emisi dicapai melalui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, serta sektor pertanian. Perkiraan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan kondisi BAU tersebut adalah sekitar 2.900-an juta ton pada 2030. Berdasar laporan NDC Indonesia besarnya emisi pada 2019 mencapai 1.867 juta ton dengan emisi terbesar sektor kehutanan dan pertanian (AFOLU) sebesar 1.033 juta ton, disusul sektor energi sebesar 638 juta ton. Pada pertemuan Perubahan Iklim COP 26 pada November 2021 di Glasgow, Inggris, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, dengan catatan jika ada bantuan internasional (negara maju) untuk teknologi dan pendanaan. Selain itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan bahwa Indonesia akan


162 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan mencapai netral karbon di sektor kehutanan dan pertanian pada tahun 2030. Dengan demikian, setelah tahun 2030, kontribusi emisi GRK terbesar dari sektor energi. Oleh karena itu, transisi energi berperan paling besar untuk mencapai target NZE pada 2060. Dalam sesi plenary pada Pertemuan COP 26, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menegaskan lagi bahwa target NZE 2060 tersebut selain memerlukan bantuan teknologi dan pendanaan internasional untuk transisi energi, implementasi transisi energi dilakukan dengan memperhatikan security dan affordability penyediaan energi. Artinya, transisi dilakukan dengan menjaga ketahanan energi terutama keamanan pasokan dan harga energi yang harus tetap terjangkau. KEBIJAKAN ENERGI RENDAH KARBON MENDUKUNG TRANSISI ENERGI Kebijakan energi Indonesia mengalami perubahan signifikan sejak tahun 2007, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang merupakan landasan hukum dan struktur kelembagaan dalam pengelolaan energi. Sejak saat itu, pemerintah membuat sejumlah perubahan regulasi untuk mendorong dan mempromosikan efisiensi energi dan pengembangan energi terbarukan, yakni harus sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 163 KEN menetapkan target bauran energi terdiri dari energi terbarukan (ET) paling sedikit 23% pada tahun 2025 dan paling sedikit 31% pada tahun 2050. KEN juga mengamanatkan untuk meminimalkan penggunaan energi berbasis minyak bumi paling banyak 25% pada tahun 2025 dan paling banyak 20% pada tahun 2050. Hingga akhir tahun 2021 lalu, tingkat ketercapaian pengembangan pembangkit berbasis energi terbarukan baru sekitar 14%. Tahun 2021 lalu, pemerintah telah menetapkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Perusahaan Listrik Negara (RUPTL PLN) Tahun 2021-2030 dengan memperbesar porsi pembangkit EBT. RUPTL PLN 2021-2030 menetapkan pembangkit EBT sebesar 51,6%, lebih besar dibandingkan pembangkit energi dari fosil sebesar 48,4%. Jumlah energi listrik dari energi fosil masih besar karena pada umumnya merupakan pembangkit beban dasar sedangkan listrik energi terbarukan selain panas bumi, energinya dipengaruhi oleh musim dan oleh cuaca (intermitten). Walaupun RUPTL 2021-2030 telah lebih hijau dibandingkan RUPTL sebelumnya, tantangan terbesar penurunan emisi adalah pengalihan energi di sektor transportasi yang sebagian besar masih menggunakan bahan bakar minyak. Konsumsi energi sektor transportasi jumlahnya hampir sama besarnya dengan konsumsi energi primer untuk penyediaan tenaga listrik. Energi primer yang digunakan untuk tenaga listrik besarnya sekitar sepertiga dari konsumsi energi primer total. Dengan mencapai bauran ET 23% dalam penyediaan tenaga listrik kontribusi kepada bauran energi primer keseluruhan hanya sepertiganya, atau sekitar 8%. Foto: Dok. ruangenergi.com


164 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan ATAS: Presiden Joko Widodo saat menghadiri Unclimate Change Conference UK 2021 (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden) BAWAH: Menkeu Sri Mulyani pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa/COP 26 di Inggris. (Dok.kemenkeu.go.id)


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 165 Komitmen penurunan emisi GRK Indonesia sesuai NDC --sesuai UU Nomor 16 Tahun 2016 dan komitmen mencapai NZE 2060 yang dinyatakan dalam Pertemuan COP 26-- belum tercakup dalam kebijakan energi KEN (PP 79/2014 dan dalam RUEN). KEN dan RUEN belum mengarahkan kebijakan tentang transisi energi dan target bauran ET 31% dalam energi primer tahun 2050, juga tidak mencukupi untuk mencapai NZE pada tahun 2060. Untuk mewujudkan transisi energi, KEN memerlukan penyesuaian dan perubahan. Demikian pula RUEN juga perlu diperbarui. PENDANAAN TRANSISI ENERGI Di ajang 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) yang diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober hingga 12 November 2021, Indonesia menjaring dukungan internasional untuk mengakselerasi proses transisi energi di Indonesia. Indonesia dan negara berkembang lain berupaya meminta komitmen pemenuhan dana bantuan perubahan iklim. Negara maju menjanjikan dana total US$100 miliar (setara Rp 1.436 triliun) per tahun untuk negara berkembang, namun hingga kini belum terpenuhi. Pada rangkaian COP 26, Indonesia dan Filipina bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) meluncurkan kerja sama studi kelayakan dan rancangan penerapan mekanisme transisi energi atau energy transition mechanisme (ETM). “ETM adalah program yang ambisius yang akan mampu meningkatkan infrastruktur energi dan mengakselerasi transisi energi bersih menuju emisi nol bersih dengan prinsip adil dan terjangkau,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara peluncuran, 3 November 2021 silam. Terjangkau tidaknya transisi energi dapat dilihat dari kemampuan masyarakat dan industri membayar harga energi yang lebih mahal, serta kemampuan untuk perluasan akses energi. Selain itu, juga dapat diukur dari kemampuan APBN mendukung transisi energi tersebut, baik dalam bentuk subsidi atau insentif, pembiayaan modal untuk energi terbarukan, transmisi, distribusi serta penerimaan negara. “Ekonomi Indonesia akan terus tumbuh dan selaras dengan itu permintaan untuk energi juga akan tumbuh. Permintaan energi yang terus tumbuh ini harus dipenuhi dengan efisien dan emisi karbon yang lebih rendah atau bahkan dengan emisi nol,” kata Sri Mulyani. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa bagi negara berkembang, transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan perlu dilakukan tanpa membebani keuangan negara. Oleh sebab itu, berbagai kebijakan dirumuskan dengan memastikan pertumbuhan yang tentunya membutuhkan energi bersih. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan kombinasi antara menurunkan ketergantungan terhadap pembangkit listrik bertenaga batu bara, dan dalam waktu bersamaan, membangun energi pengganti yang lebih hijau. Pengurangan ketergantungan terhadap pusat listrik tenaga uap (PLTU) dari batu bara adalah satu bagian penting dari transisi menuju ekonomi rendah karbon.


166 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Sebagai bagian dari upaya transisi energi menuju NZE pada 2060, khususnya pendanaan energi bersih, Indonesia telah memperkenalkan pajak karbon. Regulasi pajak karbon disahkan DPR, yakni dengan diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak karbon diimplementasikan secara bertahap mengikuti kerangka yang akan disiapkan dengan pertimbangan kondisi ekonomi, serta kebijakan terkait seperti pembangunan pasar karbon. Aturan turunannya, yakni Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) mengatur penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon. Di dalam skema cap and trade, entitas yang mengemisi lebih dari cap diharuskan membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE atau carbon offset). Indonesia akan memulai dengan harga karbon yang sangat rendah yaitu sekitar US$2 per ton emisi CO2 pada 2022-2024. Selanjutnya, mulai 2025 ke atas, harga akan diperluas secara bertahap ke sektor yang merupakan subjek pajak karbon setelah sektor tersebut telah siap dan sudah mengimplementasikan pasar karbon. Pada rangkaian kegiatan COP 26, Indonesia juga menginisiasi lahirnya kolaborasi antarnegara dalam mengawal proses transisi energi melalui program Friend of Indonesia-Renewable Energy (FIRE). Kemitraan FIRE juga bertujuan memenuhi PLTS Praya, Lombok Tengah (Foto: Antara Foto/Ahmad Subaidi)


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 167 komitmen Indonesia dalam mereduksi emisi GRK. Program FIRE mempertimbangkan kondisi Indonesia dalam upaya percepatan penghentian pengoperasian pembangkit berbasis batubara serta membuka jalan bagi Indonesia untuk pencapaian target EBT. Melalui FIRE, setidaknya akan ada tiga hal penting kerja sama dengan mitra internasional, yaitu melalui: 1) technology sharing dan capacity building; 2) bantuan teknis, akses teknologi terkini, dan mendukung penciptaan lapangan kerja baru; serta 3) peningkatan investasi di bidang energi terbarukan, efisiensi energi, dan proyek infrastruktur. SKENARIO UMUM TRANSISI ENERGI Transisi energi untuk mencapai NZE pada dasarnya adalah upaya pemenuhan energi final dalam bentuk listrik dan non listrik di semua sektor: transportasi, industri dan rumah tangga dengan menggunakan sumber energi primer terbarukan yang rendah karbon atau sumber energi lain yang zero emission (tanpa emisi). Dengan demikian penggunaan energi non listrik yang bersumber dari energi fosil dalam semua sektor harus digantikan dengan energi terbarukan dan atau digantikan dengan energi listrik yang bersumber dari energi terbarukan dan energi dengan zero emission. Dan begitu penggunaan energi fosil dalam pembangkitan listrik secara bertahap harus digantikan dengan energi terbarukan atau energi rendah karbon lain. Program transisi energi diperkirakan akan mengubah lansekap penggunaan energi di berbagai sektor, di antaranya, penggunaan kendaraan transportasi berbasis listrik yang lebih banyak dibanding kendaraan berbahan bakar cair, pengalihan konsumsi energi fosil yang dikonsumsi lansung di sektor industri dan rumah tangga sebesar besarnya ke energi listrik. Porsi konsumsi energi final listrik yang sekarang hanya sekitar 20% konsumsi energi final total, menuju NZE akan menjadi dominan yang bisa mencapai 70-80% dari konsumsi energi final total. Listrik yang sekarang 85% menggunakan energi fosil nantinya akan menjadi sebaliknya yaitu 75-85% menggunakan energi terbarukan dan energi bersih lain. Penyediaan listrik yang bertumpu kepada sumber energi terbarukan merupakan bagian utama dari pada transisi energi tersebut. PERAN TENAGA LISTRIK UNTUK ENERGI FINAL AKAN SANGAT BESAR Untuk mencapai NZE, transisi energi akan mengubah pola penggunaan energi. Menurut Herman Darnel Ibrahim, anggota DEN 2020-2025, ke depan, “pembakaran energi fosil harus diminimumkan dan pemanfatan energi terbarukan atau energi rendah karbon harus dimaksimumkan. Sebagian besar penggunaan BBM untuk transportasi akan digantikan oleh listrik dan bahan bakar nabati. Sebagian besar penggunaan energi final fosil khususnya batubara pada industri harus digantikan dengan energi listrik atau energi rendah karbon lainnya seperti hidrogen atau syn gas. Penggunaan energi fosil BBM dan gas di sektor komersial dan rumah tangga sebesar besarnya dialihkan ke tenaga listrik atau energi bersih lain yang kelak dapat disediakan.


168 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Dengan adanya perubahan pola tersebut penggunaan tenaga listrik yang sekarang hanya sekitar sepertiga dari total konsumsi energi final akan bertransisi secara bertahap menjadi tiga perempat atau bahkan lebih. Listriknya tentulah dari sumber energi terbarukan atau energi bersih lain. Dengan demikian, penggunaan energi primer berbasis fosil yang sekarang masih 85-90% dapat dialihkan (ditransisikan) menjadi energi primer berbasis energi terbarukan, yang kelak akan dominan sekitar 75-85%. Beberapa analisis memperlihatkan konsumsi listrik yang sekarang total 300 TWh per tahun pada 2060 akan melebihi 2.000 TWh atau bahkan melebihi 2.500 TWh per tahun dengan konsumsi kWh per kapita sekitar 7.000 kWh per tahun. STRATEGI DAN TAHAPAN PENCAPAIAN NETRAL KARBON KETENAGALISTRIKAN Upaya mencapai netral karbon dalam penyediaan tenaga listrik pada tahap awal dilakukan dengan meningkatkan intensitas ET dalam bauran listrik. Sebagian besar kenaikan konsumsi listrik akibat pertumbuhan dipenuhi dengan membangun pembangkit listrik ET dalam porsi yang lebih besar dari pada porsi pembangkit listrik fosil, dan pembangkit fosil baru yang akan dibangun diupayakan sebesar-besarnya menggunakan teknologi yang lebih bersih seperti PLTGU gas untuk yang skala besar, dan PLTD serta PLTMG berbahan bakar biodiesel atau gas untuk yang skala kecil. Pengembangan pembangkit ET skala besar dari sumber energi yang bergantung lokasi (site specific) seperti PLTA, PLTP dan PLTB dilakukan dengan menerapkan konsep Renewable Energy Based Economic Development (REBED) dan Renewable Energy Based Industrial Development (REBID). Pengembangan industri, kawasan ekonomi, dan ketenagalistrikan diprioritaskan di daerah yang tersedia sumber ET dalam skala besar. Setelah berhasil meningkatkan intensitas ET, intensitas emisi (ton CO2 per MWh) tentu akan turun, namum sebelum seluruh pertumbuhan dipenuhi dengan listrik ET atau listrik yang zero emission tentu emisi absolut masih akan bertambah. Tahap selanjutnya adalah mengurangi emisi dari pembangkit listrik fosil yang sudah ada yang dapat dilakukan memanfaarkan teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) atau teknologi lain yang dapat menyerap emisi karbon. Hal ini terutama diimplementasikan pada PLTU batubara. Jika teknologi ini berhasil diimplementasikan ada peluang untuk terus memanfaatkan PLTU batubara. Upaya lain menurunkan emisi pembangkit fosil adalah dengan mengembangkan co-firing yaitu mencampur batubara PLTU dengan biomasa. Jika seluruh peningkatan konsumsi listrik tahunan sudah dapat dipenuhi tanpa meningkatnya jumlah emisi absolut tahunan, maka akan dicapai emisi puncak sektor ketanagalistrikan. Jika emisi puncak sudah dicapai katakan pada tahun 2040-an, tahap berikutnya adalah mengurangi emisi absolut ketenagalistrikan. Pengurangan emisi ini dapat dilanjutkan dengan memperluas implementasi CCUS pada PLTU. Tentunya jika implementasi teknologi tersebut telah berhasil dengan baik. Namun bila opsi PLTU CCUS tersebut tidak memungkinkan, barulah perlu dibuka opsi melakukan phase out PLTU batubara dan menggantikannya dengan pembangkit yang zero emission seperti PLTS dan


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 169 PLTB. Tantangan dari phase out batubara ini menjadi besar jika paska emisi puncak pertumbuhan konsumsi listrik masih tinggi, karena penyediaan pembangkit ET atau zero emission, tidak hanya diperlukan untuk memenuhi pertumbuhan/peningkatan konsumsi, tetapi juga menggantikan pembangkit fosil existing yang di phase out. Menurut Herman Darnel Ibrahim, dari excersize yang dilakukannya, pencapaian netral karbon 2060 tidak mungkin dipenuhi dengan 100% pembangkit listrik ET atau pembangkit zero emission. PLTU CCUS tidak bisa menyerap emisi 100%. Di samping itu, masih diperlukan pembangkit beban dasar yang fleksibel, khususnya PLTGU gas yang relatif bersih dan murah sebagai penyeimbang biaya produksi dan penyeimbang intermitensi pembangkit VRE dalam operasi sistem. Dengan demikian pada 2060 diperkirakan masih ada emisi karbon pembangkit listrik sekitar 200-300 juta ton, yang perlu diserap hutan dan lainnya untuk mencapai netral karbon. Pencapaian netral karbon ketenagalistrikan 2060, di samping membutuhkan dana investasi ekstra yang besar, juga sangat bergantung pada keberhasilan pengembangan teknologi storage baik baterai maupun hidrogen, dan penemuan teknologi pengendalian operasi yang memengkinkan penetrasi VRE PLTS dan PLTB yang mencapai 60-80% beban sistem. PENYEDIAAN LISTRIK YANG AKAN BERTUMPU PADA LISTRIK PLTS Untuk memenuhi konsumsi listrik jangka panjang yang pada 2060 akan melebihi 2000 TWh per tahun. Tentunya semua potensi energi primer yang mampu menyediakan pembangkit listrik beban dasar, khususnya tenaga air, panas bumi, dan biomassa akan dimaksimalkan. Berdasar potensi yang diidentifikasi, panasbumi berpotensi 20-25 GW, tenaga air berpotensinya 75-90 GW dan biomassa berpotensi 30-40 GW. Menurut perkiraan Herman Darnel, sumber energi tersebut maksimal hanya akan mampu menyediakan listrik sekitar 700 TWh per tahun. Jika penerapan teknologi Carbon


170 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Capture untuk batubara dapat diimplementasikan dan pemanfaatan gas dioptimalkan diperkirakan kedua sumber energi fosil tersebut masih akan dapat berkontribusi sekitar 500 TWh lagi pertahun. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan listrik 2500 TWh per tahun dari sumber energi bersih masih terdapat gap sekitar 1300 sampai 1500 TWh lagi manuju tahun 2060. Dilihat dari sumber energi dan teknologi yang tersedia dan akan berkembang ke depan, gap yang melebihi 1.000 TWh tersebut peluang pemenuhannya adalah dari tenaga surya dan tenaga bayu yang potensinya mencukupi dan dalam beberapa tahun terakhir ini keekonomiannya semakin meningkat dan pemanfaatannya di dunia semakin banyak dan luas. Tenaga bayu yang lebih terbatas hanya berkontribusi sekitar 200-300 TWh (80-120 GW) dan sisanya akan dipenuhi dengan PLTS dan sumber lain seperti energi laut jika keekonomiannya semakin layak. PLTS yang dapat diaplikasikan hampir di semua tempat di Indonesia lebih berpeluang untuk memenuhi sampai skala 1.000 GW (produksi listrik 1500 TWh). Semua jenis energi ini memiliki sifat intermitten atau lazim disebut sebagai Variable Renewable Energy (VRE). Tantangan implementasinya adalah tersedianya teknologi storage yang lebih murah atau solusi operasional nya terkait sifat intermitensi atau variable tersebut.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 171 PENGEMBANGAN SMART GRID DAN JARINGAN INTERKONEKSI Jaringan transmisi dan distribusi listrik adalah penghubung antara supply (pasokan) dengan demand (konsumsi). Sumber energi terbarukann panas bumi dan tenaga air dan juga tenaga angin adalah site specific, yang pembangkit listriknya harus dibangun di lokasi sumber, listriknya disalurkan ke jaringan transmisi atau distribusi setempat. Sumber energi surya lebih tersebar dan tersedia di semua wilayah Indonesia, yang berbeda hanya intensitas dan periode ketersediaannya. Pengembangan energi terbarukan untuk mencapai NZE yang diperkirakan akan mengandalkan PLTS, akan lebih menyebar atau terdistribusi dengan pembangkirt dari skala yang kecil sampai besar. Untuk memaksimalkan pemanfatan energi terbarukan menuju NZE perlu disediakan jaringan transmisi dan distribusi. Pemanfaartannya diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan energi setempat. Untuk memaksimalkan penetrasi pembangkit energi terbarukan VRE (intermitten) skala kecil menengah, dilakukan dengan mengembangkan smart grid, baik berupa micro grid atau berbagai teknologi smart grid. Untuk pembangkit yang mampu menyediakan kapasitas besar pengembangannya dengan kebijakan Renewable Energy Based Industrial Development (REBID). Hal ini dilakukan dengan membangun industri di sekitar lokasi tersedianya sumber energi terbarukan skala besar seperti tenaga air di Provinsi Kalimantan Utara dan Papua. Jika produksi listrik masih berlebih dapat


172 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan dimanfaatkan untuk memproduksi hidrogen yang bisa ditransportasi ke tempat lain. Jaringan transmisi interkoneksi antar kepulauan itu tidak murah karena harus menggunakan kabel laut yang jauh lebih mahal dari pada saluran udara [SUTT]. Oleh karena itu pertimbangan untuk memanfaatkan kelebihan energi listrik dari suatu daerah ke daerah lain melaui transmisi interkoneksi harus dilakukan dengan studi kelayakan. Menurut Herman Darnel Ibrahim, prioritas pengembangan interkoneksi adalah membangun grid regional (dalam satu region) dulu. Setelah itu baru membangun grid interregional. Misalnya, membangun dulu grid Kalimantan sebelum interkoneksi dengan pulau lain. Jika Maluku akan dinterkoneksi dengan region lain, harus dibangun dan diperkuat dulu grid Maluku. Begitu pula sebelum Papua diinterkoneksi dengan region lain, harus dikembangkan dulu grid Papua. Setelah grid regional berkembang, jika dipandang perlu untuk melakukan interkoneksi dengan region lain, harus ada studi kelayakan yang memuat kajian operasional dan kajian keekonomiannya berdasar prinsip-prinsip perencanaan sistem. Praktik terbaik dan umum dalam perencanaan sistem adalah melakukan studi secara terintegrasi memasukkan data beban semua lokasi (demad forecast) dan data rencana lokasi pembangkit termasuk sumber energi, teknologi, kapasitas dan data biaya. Dengan kondisi Indonedia yang merupakan negara kepulauan (tidak kontinental) dan kondisi penyediaan tenaga listrik di beberapa daerah masih belum kuat, masih banyak yang belum terjangkau jaringan listrik setempat, terutama di Maluku, Papua dan Nusa Tenggara, pembangunan super grid nasional belum menjadi kebutuhan yang mendesak. Jaringan super grid adalah jaringan dengan kapasitas besar dalam orde beberapa sampai puluhan GigaWatt. Di samping biayanya sangat mahal karena menggunakan kabel laut, juga tidak terdapat potensi energi terbarukan murah yang besar untuk disalurkan ke pulau lain. Yang prioritas adalah interkoneksi HVDC Sumatera-Jawa dan Sumatera-ASEAN yang sudah sejak lama ada studinya. Untuk interkoneksi antarregion lain dilakukan case by case dengan diawali studi kelayakan untuk setiap case rencana. PERENCANAAN TERINTEGRASI DAN OPTIMALISASI OPERASI Proses energi transisi di Indonesia harus melalui perencanaan (studi) yang menyeluruh dan mendalam dengan tujuan penyediaan dan pemanfaatan energi yang paling murah (least cost) dan paling bersih atau rendah karbon. Simulasi perlu dilakukan dengan mendefinisikan tujuan dan juga batasan-batasan dalam simulasi. Dengan simulasi, kita dapat mengetahui berapa perkiraan BPP dan berapa jumlah karbon yang dapat dikurangi. Untuk menghasilkan hasil simulasi yang akurat, potensi energi yang ada di Indonesia juga perlu diinventarisasi secara lebih detil untuk dijadikan batasan dalam simulasi. Beberapa skenario juga perlu dibuat sebagai alternatif proses transisi energi di Indonesia. Karena transisi energi ini berpotensi menaikkan BPP, tahap-tahap pencapaian dalam transisi energi harus terukur dan realistis menyesuaikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 173 Berbagai model optimasi perencanaan dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengoptimasi penggunaan energi dan teknologi energi dari seluruh opsi yang ada dalam transisi energi sesuai dengan target pengurangan karbon yang akan dicapai dalam setiap periode, dengan kondisi cost effective, atau “leastcost approach”. Model optimasi tersebut akan memberikan gambaran tahapantahapan pengembangan seluruh opsi dalam transisi energi, mulai dari opsi yang termurah sampai yang termahal, sekaligus interaksinya dengan sistem energi secara keseluruhan. Misalnya pengaruh penggunaan kendaraan alternatif (bio fuels, EV, hIdrogen, dan lain-lain) terhadap kapasitas kilang BBM dan volume penggunaan BBM. Kendaraan hidrogen akan membuka peluang pengembangan PLTA kapasitas besar yang jauh dari pusat beban, melalui program REBID, membuka peluang besar penggunaan energi terbarukan untuk sektor transportasi. Di samping itu, model optimasi tersebut akan memberikan gambaran biaya pelayanan energi/listrik untuk setiap target pengurangan karbon. Informasi tersebut sangat diperlukan untuk menyusun kebijakan mitigasi kenaikan biaya dalam pengurangan karbon, baik melalui kenaikan harga energi/tarif listrik, insentif fiskal, subsidi, atau kombinasi semuanya. Dengan demikian program transisi energi akan didukung oleh regulasi yang akan mendorong seluruh rantai bisnis untuk mengimplementasikan pengembangannya secara kommersial.


174 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Apabila penetrasi pembangkit listrik berbasis VRE semakin meningkat, kebutuhan akan pembangkit yang berkarakter fleksibel semakin diperlukan. Pembangkit fleksibel bisa datang dari pembangkit listrik tenaga gas, tenaga air dan juga dari PLTU Batubara. Fleksibilitas PLTU ini dapat membantu untuk mengimbangi sifat intermiten dari pembangkit listrik berbasis ET. Khusus untuk PLTU Batubara, peningkatan fleksibilitas berpotensi meningkatkan Levelized Cost of Energy (LCOE) dan akhirnya juga meningkatkan BPP. KEWILAYAHAN Transisi energi juga harus memperhatikan karakteristik kewilayahan di mana Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari banyak sekali pulau, baik pulau besar maupun kecil. Demografi, ketersediaan sumber energi bersih dan kondisi awal penyediaan energi satu wilayah atau provinsi dengan wilayah yang lainnya bisa sangat berbeda, sehingga tantangan dan kemampuannya untuk mengimplementasikan transisi energi juga akan berbeda. Implementasi transisi energi tentunya perlu mempertimbangkan ketersediaan sumber energi bersih, ketersediaan teknologi yang sesuai, keekonomian biaya pernyediaan, serta profil beban di setiap wilayah. Dalam jangka menengah, penggunaan pembangkit energi fosil tidak mutlak harus diganti dengan ET, tetapi peningkatan efisiensi dan pembatasan emisi GRK perlu diperhatikan. Beberapa wilayah di Indonesia masih banyak tumbuh hutan dan di sekitar laut dalam yang merupakan penyerap GRK yang efektif. Penggunaan PLTG/PLTMG yang dapat dilakukan dengan skema co-generation, pembangunan PLTU batubara dengan ultra super-critical boiler di mulut tambang, dan co-firing batubara dengan biomassa merupakan alternatif yang dikaji dalam studi perencanaan transisi energi. HARGA JUAL LISTRIK Pengembangan pembangkit ET saat ini masih mengalami hambatan khususnya harga jual listrik berbasis ET yang dianggap belum menarik investasi. Di sisi lain, daya beli masyarakat yang masih relatif rendah memaksa tarif dasar listrik yang relatif murah. Oleh karena itu dalam transisi energi ke depan, peran pemerintah diharapkan dapat mengurangi gap kedua hal ini. Transisi energi menuju penyediaan dan pemanfaatan energi rendah karbon yang aman dan terjangkau, tidak hanya berorientasi pada harga jual listrik/energi, tetapi


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 175 juga perolehan nilai-nilai lain seperti dampak ganda dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, peningkatan pendapatan daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Nilai tambah ini juga harus dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan transisi energi yang efektif dan optimal. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian insentif fiskal dan non-fiskal, bukan subsidi agar harga listrik murah dan memenuhi nilai keekonomiannya untuk menarik investasi. Insentif ini diberikan pada awal proyek untuk jangka waktu tertentu. Pengurangan pendapatan pemerintah karena pemberian insentif akan diperoleh kembali dari manfaat ganda dari meningkatnya investasi industri, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain. STRUKTUR DAN MODEL BISNIS Kapasitas sistem kelistrikan yang terus meningkat dan penetrasi pembangkit energi bersih dan teknologi rendah karbon yang semakin besar akan lebih mendorong dan membutuhkan peran serta banyak pihak: BUMD, swasta, koperasi, industri, dan juga konsumen untuk terlibat dalam penyediaan tenaga listrik. Produk dan mekanisme yang mungkin ditawarkan untuk menjaga kesimbangan pasokan-permintaan serta keamanan sistem juga akan lebih bervariasi. Hal ini menyebabkan transaksi dalam ketenagalistrikan akan semakin kompleks. Untuk itu, pengembangan struktur dan model bisnis kelistrikan yang baru perlu untuk dipikirkan dan diwacanakan. Peraturan perundangan pendukung perlu disiapkan untuk mendukung berbagai perubahan tersebut. Selain model IPP, perlu dikaji model pengembangan dengan leasing/lease to own. Di samping itu perlu pula dikaji penerapan model sistem sentralisasi (fully integrated power system) atau distributed power generation system atau kombinasi kedua sistem, serta bisnis konversi energi primer ke energi sekunder (pengembang hanya melakukan konversi energi primer ke energi sekundar saja, pengembang lain menyediakan energi primer dan mengambil energi sekunder hasil konversi), dan lain-lain. METODE DAN TEKNOLOGI BARU Keterlibatan banyak pihak dan berbagai macam jenis produk dan mekanisme yang ditransaksikan akan membutuhkan metode perhitungan pembebanan pembangkit (economic dispatch) yang baru yang jauh lebih kompleks. Tidak hanya itu, pengukuran besaran-besaran listrik harus lebih menjangkau area dan komponen yang lebih luas


176 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan dengan waktu pengambilan data yang lebih cepat. Strategi pengoperasian sistem serta pemulihan sistem kelistrikan ketika terjadi gangguan juga akan perlu disesuaikan dengan model bisnis yang baru tersebut. Ke depan jika pemanfaatan teknologi Carbon Capture tidak dapat direalisasikan dalam jangka pendek-menengah, penggunaan energi nuklir yang aman di daerah yang aman seperti di Provinsi Kalimantan Barat sulit untuk dielakkan. Dalam jangka menengah panjang, jika solusi teknologi untuk memanfaatkan PLTS secara besar besaran (massif) baik dengan pengembangan energy storage yang murah ataupun dengan teknologi operasi lainnya tidak berhasil diimplementasikan, kemungkinan pengembangan PLTN skala besar akan diperlukan. Di samping itu, pemanfaatan hidrogen akan menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan, baik sebagai media storage pemanfaatan VRE atau untuk pemenuhan kebutuhan pembangkit listrik beban dasar. SOSIALISASI TRANSISI ENERGI Sosialisasi pada masyarakat akan pentingnya dekarbonisasi dan pengembangan pembangkit rendah karbon sekarang dan di masa depan beserta konsekuensi atau dampak positif-negatifnya perlu terus dilakukan pada masyarakat. Masyarakat perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang kebihjakan kebijakan yang dibuat untuk mewujudkan transisi energi tersebut, agar proses transisi energi tidak menimbulkan gejolak ekonomi dan sosial. Pada akhirnya, kesiapan Indonesia dalam transisi energi tidak hanya menyangkut masalah keberlanjutan energi dan penurunan emisi saja tetapi juga berpengaruh terhadap daya saing industri Indonesia di tingkat global. Beberapa industri atau asosiasi industri telah mensyaratkan penggunaan energi bersih dalam memasok kebutuhan listrik industri mereka. Mau tidak mau, Indonesia pasti akan mengarah ke era energi terbarukan karena cadangan energi fosil pada waktunya akan habis. Kita harus berpikir dan membuat keputusan dengan bijak agar energi fosil yang masih ada saat ini dapat digunakan seoptimal mungkin untuk mampu mengantarkan bangsa Indonesia menuju ke era energi bersih dalam masa transisi energi. Harapannya, transisi energi dapat berjalan mulus dengan selalu menjaga ketahanan energi nasional dan tanpa gejolak ekonomi dan sosial yang berarti. ■


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 177 FASILITAS INFRASTRUKTUR CHARGING UNTUK MENDUKUNG PERCEPATAN TRANSISI ENERGI Oleh: Tumiran (Koordinator), Darmawan Prasodjo, Hernadi Buhron, Heru Sriwidodo S., Iwa Garniwa, Marzan Aziz Iskandar, Bima Putrajaya


178 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan FASILITAS INFRASTRUKTUR CHARGING UNTUK MENDUKUNG PERCEPATAN TRANSISI ENERGI Oleh: Tumiran (Koordinator), Darmawan Prasodjo, Hernadi Buhron, Heru Sriwidodo S., Iwa Garniwa, Marzan Aziz Iskandar, Bima Putrajaya


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 179 T RANSISI energi menjadi tuntutan global yang tidak dapat dicegah. Bumi sudah terakumulasi emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, dll). Dunia mengalami perubahan iklim akibat semakin meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer. Emisi gas rumah kaca yang semakin tinggi mengakibatkan meningkatnya suhu udara dan pemanasan global secara luas dalam jangka waktu tertentu. Salah satu upaya mengurangi emisi CO2 adalah mengurangi emisi dari penggunaan energi dari fosil secara bertahap. Untuk mengurangi penggunaan energi dari fosil, butuh sejumlah indikator, misalnya sektor apa yang berkontribusi besar terhadap emisi CO2. Laporan Climate Transparency Report 2020 tentang perkembangan upaya pengurangan emisi di negara G20 berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC), memberi gambaran data emisi dari tahun 2019 dan 2020 mencakup 100 indikator dekarbonisasi, kebijakan iklim, keuangan dan kerentanan terhadap dampak perubahan iklim. Di Indonesia, kontribusi emisi terbesar di bidang energi adalah sektor industri dan sektor kelistrikan, yang sama-sama berkontribusi 37%. Emisi besar berikutnya adalah sektor transportasi yang menyumbang 27% emisi. Butuh perubahan sistem manajemen pada sektor transportasi, industri, dan kelistrikan, agar bisa menekan emisi. Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dari fosil pada transportasi harus dikurangi secara bertahap atau dihilangkan. Sektor transportasi itu sendiri tidak bisa mandek, sehingga membutuhkan langkah strategis. Berkembangnya teknologi baterai dewasa ini, menjadi pilihan strategis dan efektif untuk mengubah sektor transportasi dari berbasis fosil menjadi transportasi berbasis baterai. Pemerintah telah menggulirkan regulasi untuk mempercepat penggunaan kendaraan listrik melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Ketentuan pelaksanaannya sudah diatur dalam sejumlah regulasi turunan. Di antaranya penyusunan standar biaya masukan tahun anggaran 2020 untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBL BB) sebagai kendaraan dinas pemerintahan; penyusunan kebijakan pengalihan subsidi kepada pembeli KBL BB; kebijakan insentif kredit kepemilikan KBL BB. Selain itu juga sudah ada kebijakan konversi mesin konvensional menjadi KBL BB; dan roadmap transformasi kendaraan ICE menjadi KBL BB hingga tahun 2024 untuk kendaraan roda dua/tiga dan roda 4/lebih. Sudah ditetapkan juga standarisasi baterai untuk mendukung battery swap (ukuran dan voltase baterai); kebijakan tata kelola baterai bekas; kebijakan insentif oleh pemerintah daerah; serta kebijakan tanda nomor khusus untuk KBL BB. Menurut Working Group 3 Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), setidaknya ada empat hal penting untuk mempercepat penggunaan KBL BB, meliputi: 1) memperbanyak infrastruktur charging untuk publik; 2) tarif listrik pengisian daya cepat (fast charging) tidak lebih tinggi dari harga pelanggan rumah tangga; 3) skema bisnis Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU); dan 4) penetapan standar minimal kapasitas listrik perumahan.


180 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan INFRASTRUKTUR CHARGING UNTUK PUBLIK Berbicara transportasi, tentunya tidak hanya membahas transportasi pribadi. Namun juga meliputi transportasi publik, seperti kereta api, penerbangan, bus umum, dan kendaraan pengangkut berat. Sampai saat ini kereta api masih menggunakan lokomotif diesel berbahan bakar solar. Begitu juga truk dan bus antarkota juga masih menggunakan solar. Mobil pribadi yang sebagian menggunakan pertamax atau pertalite, tetap saja menyumbang emisi CO2. Perkembangan kendaraan listrik berbasis baterai juga mulai tumbuh. Membaiknya pasar kendaraan listrik didukung teknologi baterai yang memungkinan kapasitas storage untuk menempuh jarak lebih jauh. Harga mobil listrik pun mulai menjangkau kalangan menengah. Sementara harga sepeda motor listrik sudah sama, bahkan ada yang lebih murah dari harga sepeda motor berbasis BBM. Untuk mendorong percepatan penggunaan kendaraan listrik, harus juga diimbangi dengan memperbanyak fasilitas charging stastion. Infrastruktur charging harus merefleksikan situasi demand yang akan tumbuh dan antisipasinya. Pengisian di charging station untuk kendaraan listrik memang tidak bisa secepat pengisian kendaraan berbasis BBM di SPBU. Butuh antisipasi membuat sistem fast charging di semua stasiun pengisian.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 181 Fast charging membutuhkan daya besar dengan infrastruktur khusus yang harus disiapkan. Oleh karena itu Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus mampu membuat antisipasi dan terobosan untuk meyakinkan dukungan, bahwa di tempat-tempat strategis perlu dibangun pengisian baterai fast charging. Sejumlah persyaratan teknis standar dan keselamatan harus dipenuhi stasiun pengisian listrik, di antaranya, meliputi: stasiun pengisian wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan; Sertifikat Laik Operasi oleh lembaga inspeksi teknik; dan kesesuaian standar produk dari stasiun pengisian oleh lembaga sertifikasi produk. Ketentuan pembangunan infrastruktur fast charging mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Ketentuan yang diatur, di antaranya, mengenai keselamatan ketenagalistrikan, tarif tenaga listrik, kerjasama dengan PLN, dan ketentuan usaha ketenagalistrikan seperti pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). PLN telah membangun SPKLU, baik dilaksanakan PLN atau bekerjasama dengan pihak ketiga. Pembangunan SPKLU dapat dikerjasamakan dengan swasta, seperti di SPBU, SPBG, hotel, mal dan pusat perbelanjaan, perkantoran, area parkir, restoran, hingga kedai kopi pun dapat dilengkapi SPKLU. Hingga akhir tahun 2021, PLN memproyeksikan SPKLU (dok. cnbc)


182 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan pembangunan 572 unit SPKLU dan 3.000 unit SPBKLU. Pihak lain juga sudah membangun SPBKLU, di antaranya, Pertamina, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional), perusahaan taksi Blue Bird, Mitsubishi, Angkasa Pura II, Mercedez dan BMW. PLN juga telah meluncurkan aplikasi Charge.IN untuk mempermudah pengisian kendaraan listrik Melalui aplikasi ini, pemilik KBL BB dapat mengontrol dan mengendalikan pengisian daya di SPKLU. Aplikasi dapat menunjukkan keberadaan SPKLU terdekat yang akan dituju. Untuk mengisi daya listrik, pemilik melakukan scan dan terkoneksi dengan server PLN. Pemilik KBL BB tinggal memilih berapa daya yang akan diisi, misalnya 2 kWh, 10 kWh, 15 kWh, atau 20 kWh, sesuai kebutuhan. Pembayaran elektronik sudah menyatu dengan aplikasi. Dengan kemudahan adanya SPKLU dan aplikasi Charge.In, menjadi tantangan bagi pabrikan mobil untuk melepas harga pasaran bisa lebih terjangkau. Mengingat potensi kendaraan listrik di tahun 2021 lalu, menurut Kementerian ESDM, telah mencapai 125 ribu unit mobil listrik dan 1,34 juta unit sepeda motor listrik. Dengan potensi kendaraan listrik sebanyak itu, diperkirakan bakal mengurangi konsumsi BBM sebesar 0,44 juta kilo liter per tahun. Harga mobil listrik DFSK Gelora E dari Cina yang termurah di Indonesia adalah Rp 500 jutaan. Mobil listrik Hyundai lebih mahal lagi, yakni kisaran Rp600-700 jutaan. Lexus dan BMW juga sudah mengeluarkan mobil listrik di Indonesia, namun harganya sekitar Rp1,3 miliar, masih jauh dari jangkauan masyarakat luas. Harapannya, dengan Perpres Nomor 55/2019 tentang percepatan program kendaraan kistrik, pabrikan mobil listrik akan mampu memberikan diskon besar, karena adanya sejumlah insentif pemerintah, di antaranya dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Pemerintah juga sudah memberikan keringanan dan kemudahan pembangunan stasiun pengisian daya listrik. Di antaranya keringanan biaya penyambungan atau jaminan langganan tenaga listrik. Selain itu ada insentif pembebasan rekening minimum selama 2 tahun untuk badan usaha SPKLU yang bekerja sama dengan PLN. Terkait perizinan berusaha, pemerintah juga memberi kemudahan dalam penetapan wilayah usaha untuk SPKLU. Proses ini tidak lagi memerlukan rekomendasi dari pemerintah daerah, melainkan hanya dokumen lahan atau perjanjian kerja sama dengan pemilik lahan. PENETAPAN STANDAR HARGA LISTRIK Selain infrastruktur, yang penting ditetapkan juga adalah faktor harga. Agar masyarakat perorangan tertarik membeli kendaraan listrik, harga listrik untuk charging harus dibuat tidak lebih mahal daripada harga listrik rumah tangga. Tarif fast charging mobil listrik mestinya tidak dibedakan dengan tarif listrik pelanggan rumah tangga. Misalnya, distandarkan dengan tarif pelanggan rumah tangga dengan kapasitas 4.500 VA atau menurut hitungan tarif keekonomian PLN.


MEWUJUDKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL YANG BERKELANJUTAN 183 ATAS: Menteri BUMN Erick Thohir didampingi Dirut PLN Darmawan Prasodjo meninjau pengisian baterai mobil listrik. (bisnis.com) BAWAH: Stasiun fast charging milik BPPT. (mediaindonesia)


184 Seri Manajemen Pengetahuan Ketenagalistrikan Daftar tarif fast charging kendaraan listrik di sejumlah negara • Amerika Serikat: Rp 4.010 - Rp 10.247 per kWh. • Kanada: Rp 3.119 - Rp 4.150 per kWh. • China: Rp 1.483 - Rp 5.643 per kWh. • Austria: Rp 5.792 - Rp 13.165 per kWh. • Swiss: Rp 2.970 - Rp 7.222 per kWh. • Jerman: Rp 8.316 - Rp 13.552 per kWh. • Inggris: Rp 3.119 - Rp 7.277 per kWh. • Swedia: Rp 5.702 per kWh. • Prancis: Rp 4.307 - Rp 7.574 per kWh. • Denmark: Rp 7.277 per kWh. • Belanda: Rp 7.128 - Rp 10.692 per kWh. • Norwegia: Rp 7.871 per kWh. “Yang penting tidak lebih mahal daripada tarif fast charging di stasiun pengisian. Penentuan tarif charging ini menjadi bagian penting strategi bisnis PLN. PLN harus menaikkan demand, mengingat kondisi saat ini masih stagnan,” kata Tumiran, Koordinator WG 3 Dewan Pakar MKI. Menurut Tumiran, pricing harus mempertimbangkan biaya listrik masyarakat tidak menjadi tinggi. Penentuan tarif tidak semata perhitungan komersial, namun lebih pada keberlanjutan keekonomian. Saat ini, tarif pengisian fast charging kendaraan listrik di Indonesia sebesar Rp 2.466 per kilo Watt hour (kWh). Badan usaha SPKLU membeli listrik dari PLN dengan tarif curah Rp 714 per kWh. Tarif fast charging SPKLU di Indonesia ini masih jauh lebih murah dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data Kementerian ESDM, rata-rata tarif fast charging di dunia sekitar Rp 5.099 per kWh. China menerapkan tarif pengisian daya kendaraan listrik paling murah, yakni kisaran Rp 1.483 - Rp 5.643 per kWh.


Click to View FlipBook Version