The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Brawijaya E-Books, 2022-06-20 22:23:53

Jelajah Nusantara 2 Catatan Perjalanan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan

Agung Dwi Laksono, Elia Nur Ayunin etc.

Jelajah Nusantara 2

Catatan Perjalanan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan

Penulis
Agung Dwi Laksono

Elia Nur Ayunin
Ade Aryanti Fahriani

Ummu Nafisah
Nor Efendi

Astutik Supraptini
Sutamin Hamzah
Izzah Dienillah Saragih

Harus Alrasyid
Lafi Munira

Siti Khodijah Parinduri

Editor
Prof. Lestari Handayani

Tri Juni Angkasawati

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI

i

Jelajah Nusantara 2. Catatan Perjalanan Sebelas Orang Peneliti
Kesehatan
©2015. Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat

Penulis:
Agung Dwi Laksono, Elia Nur Ayunin, Ade Aryanti Fahriani,
Ummu Nafisah, Nor Efendi, Astutik Supraptini, Sutamin Hamzah,
Izzah Dienillah Saragih, Harus Alrasyid, Lafi Munira,
Siti Khodijah Parinduri

Editor:
Prof. Lestari Handayani
Tri juni Angkasawati

Penata Letak – ADdesign
Desain Sampul – ADdesign

Cetakan Pertama – Agustus 2015

Buku ini diterbitkan oleh:
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Telp. +6231-3528748, Fax. +6231-3528749

ISBN: 978-602-235-876-3

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

ii

Pengantar

Buku ‘Jelajah Nusantara 2, Catatan Sebelas Orang
Peneliti Kesehatan’ ini merupakan edisi ke-dua sebagai
kelanjutan buku dengan tema catatan perjalanan yang sama
pada edisi pertama. Pada edisi ke-dua ini yang membedakan
adalah bahwa catatan perjalanan ini ditulis oleh sebelas
orang peneliti.

Buku ini lebih merupakan catatan yang dirasakan
penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas
sebagai seorang peneliti. Sebuah catatan yang sebetulnya
bukan sebuah tugas pokok yang harus diemban.

Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya
bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih
lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan
kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan
membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai
langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada.
Cerita tentang setiap sudut negeri di wilayah-wilayah
terpencil, pulau-pulau terluar, ataupun wilayah yang jauh
lebih dekat ke Negara tetangga daripada ke wilayah lain di
Republik ini.

Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini
mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan
perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya
nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita,
tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai
wilayah-wilayah perbatasan negeri.

iii

Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk
bisa memberi kesadaran dan kecintaan pada Republik ini.
Sungguh kami berharap banyak untuk itu!
Saran dan kritik membangun tetap ditunggu.
Salam!

Surabaya, Agustus 2015
- Pusat Humaniora -

iv

Daftar Isi

Pengantar iii
Daftar Isi v

1. Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan 1
ke Kabupaten Tolikara
Agung Dwi Laksono

2. Pengobatan SUANGGI dalam Harmonisasi 17

Dokter Adat dan Layanan Medis di Kampung

Tomer, Merauke

Elia Nur Ayunin

3. Kesikut Talaud 27
Agung Dwi Laksono

4. Menilik Sudut Utara Indonesia; Sebuah 33
Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas
Ade Aryanti Fahriani

5. Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kab. 49
Timor Tengah Selatan
Agung Dwi Laksono

6. Surga Kecil Raijua; Catatan Perjalanan ke Pulau 69
Raijua
Agung Dwi Laksono

v

7. Sambujan, Desa dengan Penduduk Bermata 91
Pencaharian Ganda
Ummu Nafisah

8. Malaikat Tanpa Sayap di Sei Antu 103
Nor Efendi

9. Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan 119
Masyarakat??! Catatan Perjalanan ke Kota
Banjarmasin
Agung Dwi Laksono

10. Tradisi Betimung, Sekilas Potret Perkawinan 129
Anak di Suku Banjar Bakumpai Muara
Sungai Barito
Astutik Supraptini

11. Mengenal Banjar Lebih dekat, Catatan 143
Perjalanan Di Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan
Sutamin Hamzah

12. Cerita dari Pulau Sapudi 165
Izzah Dienillah Saragih

13. Romantisme Kebun Sayur; Catatan Perjalanan 179
ke Suku Tengger di Desa Ngadiwana
Agung Dwi Laksono

14. Menapak Mesuji; Feminisme Bioepik 185
Daerah konflik
Harun Alrasyid

vi

15. Bidan Desa Tumpuan Harapan; Catatan 195
Perjalanan ke Kabupaten Aceh Timur 203
Lafi Munira

16. Aceh yang Mempesona Tak Habis oleh
Tsunami; Catatan Perjalanan ke Kabupaten
Aceh Utara
Siti Khodijah Parinduri

vii

“Ini tugas berat, tentu saja!
karena itulah kita ada”
-ADL-

viii

Terlalu Dini Bokondini;

Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara

Agung Dwi Laksono

Distrik Bokondini, Tolikara, 14 Mei 2015
Perjalanan kali ini masih dalam rangkaian supervisi

kegiatan Riset Ethnografi Kesehatan Tahun 2015. Kali ini saya
harus kembali menempuh perjalanan ke wilayah Pegunungan
Tengah Papua, tepatnya di Distrik Bokondini Kabupaten
Tolikara.

Kabupaten Tolikarapada tahun 2014 memiliki luas
wilayah daratan yang mencapai 14.263 km2. Kabupaten yang
beribukota di Karubaga ini terbagi menjadi 46 kecamatan
atau distrik, 541 desa dan empat kelurahan. Kabupaten yang
memiliki jumlah penduduk sebanyak 292.009 jiwa (data
tahun 2013) ini berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo
Raya di sebelah Utara, Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten
Lany Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya di
sebelah Barat dan Kabupaten Mamberamo Tengah di
sebelah Timur (Profil Kabupaten Tolikara Tahun 2014).

1

Gambar 1.
Posisi Kabupaten Tolikara dalam Peta Papua

Sumber: Pemerintah Provinsi Papua

Kabupaten Tolikara merupakan kabupaten peringkat
497 dari 497 kabupaten/kota dalam pemeringkatan Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang
didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun yang sama. Survei
Riskesdas ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. IPKM
terdiri dari 30 indikator pembangun dan di hampir semua
indikator Tolikara mempunyai angka yang kurang bagus,
kalau saya tidak boleh mengatakan jelek.

Kami me’nanam’ dua peneliti riset etnografi
kesehatan untuk grounded di sana, seorang Sarjana
Kesehatan Masyarakat, dan seorang lagi antropolog.

2

Setidaknya sampai 40 hari mereka menetap dan berbaur
dengan masyarakat setempat di Distrik Bokondini.

Perjalanan menuju Distrik Bokondinidari Wamena
ditempuh dengan menggunakan mobil double gardan, karena
mobil carteran biasa macam avanza atau xenia tak akan
mampu menembus sampai ke sana. Semacam off road yang
sebentar saja, tiga jam, tidak selama perjalanan off road
tahun lalu saat saya harus grounded di Boven Digoel selama
dua bulan.

Selain jalur darat, Distrik Bokondini juga bisa
ditembus melalui jalur udara. Sudah ada bandara dengan
landasan yang cukup bagus, hot mix! Hanya saja tidak
tersedia pesawat reguler yang mendarat di bandara yang
berkode penerbangan BOE ini. Pesawat yang sering
mendarat di bandara ini adalah jenis pesawat carter dari
maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) dan Susi Air.
Harga sekali carter pesawat rata-rata mencapai Rp. 25 juta.

Gambar 2.
Landasan Pacu Bandara Bokondini

Sumber: Dokumentasi Peneliti

3

Tentang Bokondini
Distrik Bokondini dihuni masyarakat asli yang

didominasi oleh suku Lany. Hanya sebagian kecil saja
masyarakat yang bersuku lain, yang pada umumnya adalah
para pendatang. Distrik Bokondini sebelumnya bernama
Bogondini sejak sebelum zaman kolonial. Sebuah nama yang
merujuk pada sungai deras yang melintasi wilayah
Pegunungan Tengah berhawa dingin ini, Sungai Bogo.
` Memasuki wilayah Distrik Bokondini saat pagi seperti
mendatangi suatu lokasi yang penuh dengan aura magis.
Bagaimana tidak? Halimun tebal tak pernah absen
menyelimuti wilayah ini di saat pagi hari. Bahkan matahari
pun seperti tak bernyali. Setidaknya sampai menjelang siang,
sekitar jam 10 pagi.

Gambar 3.
Sungai Bogo
Sumber: Dokumentasi Peneliti

4

Gambar 4.
Suatu Pagi di Kota Bokondini.
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 5.
Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Distrik Bokondini mempunyai kondisi yang hampir
sama dengan distrik-distrik lain di wilayah Pegunungan
Tengah yang sepi dan minim fasilitas. “Kota Bokondini”,
demikian warga yang tinggal di wilayah ini menyebut

5

wilayahnya. Sebuah harapan yang sangat tinggi digantungkan
untuk masa depan dengan menyebutnya sebagai “kota”.

Gambar 6.
Sudut Lain Kota Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Suku Lany di Bokondini saat ini sudah mulai
meninggalkan honai sebagai model rumah tinggal. Mereka
memodifikasi bentuk honai dengan bahan-bahan yang lebih
modern produksi pabrik. Mereka menyebut honai modifikasi
ini sebagai “honai semi modern”. Beberapa honai yang masih
tersisa rata-rata sudah berumur cukup tua. Sementara
generasi yang lahir belakangan lebih memilih rumah papan
sebagai pilihan model rumah tinggal yang baru.

6

Gambar 7.
Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas);

dan Rumah Papan (Kanan Bawah)
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kondisi Perekonomian
Hampir seluruh masyarakat asli bermata pencaharian

menjadi petani kebun. Nanas Bokondini merupakan salah
satu buah ikonik wilayah ini yang terkenal sangat manis.
Buah manis lainnya, Markisa, juga tersedia melimpah.
Markisa dijual seharga Rp. 5.000,- per ikat, yang berisi sekitar
5 biji. Sementara nanas yang berukuran besar dijual seharga
Rp. 10.000,- per bijinya. Komoditas hasil kebun lain hampir
sama dengan hasil di wilayah Pegunungan Tengah lainnya,
yang terdiri dari singkong atau kasbi, ketela atau ipere atau
batatas, talas, jahe, pisang, dan buah merah.

7

Gambar 8.
Menawar Markisa
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Masyarakat Bokondini membuka lahan baru yang
akan dijadikan kebun dengan cara yang masih sangat
tradisional, dibakar. Mereka membakar perdu dan rumput
liar di beberapa lokasi yang cenderung tidak terlalu rapat
dengan tanaman keras, hanya. Meski lokasi telah dipilih,
tetap juga terkadang masih terselip ketakutan, api akan
merambat menjilat pepohonan yang lebih luas dari yang
direncanakan.

8

Gambar 9.
Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di pasar Kota Bokondini, pedagang hasil kebun dan
sayur mayur seratus persen dikuasai oleh warga asli.
Masyarakat pendatang dilarang berjualan komoditas
tersebut. Para pendatang, yang umumnya dari Toraja dan
Bugis, boleh berjualan komoditas lainnya di kios-kios di
sekeliling pasar, kebanyakan adalah komoditas hasil
pabrikan. Pasar Bokondini dibuka tiga kali dalam seminggu,
yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Pasar biasa ramai pada pagi
hari sampai dengan sekitar pukul 10.00 WIT.

Sebagai gambaran kondisi perekonomian di wilayah
ini, harga bensin, solar dan minyak tanah cenderung sama di
wilayah ini, sebesar Rp. 25.000,- per liter. Harga air mineral
600 ml merek Aqua Rp. 15.000,-, sementara air mineral
merek lain Rp. 10.000,-. Sebagai pembanding, pada tahun
2012 di Oksibil (ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang,

9

salah satu kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah yang
berbatasan langsung dengan Papua Nugini), harga air mineral
600 ml merek Aqua sudah mencapai harga Rp. 15.000,- per
botol. Sementara kemasan botol yang 1,5 liter dijual seharga
Rp. 45.000,-, jauh lebih mahal daripada harga solar per liter
yang hanya seharga Rp. 35.000,-.

Gambar 10.
Pasar Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Berita Pemekaran
Para tokoh masyarakat Bokondini saat ini sedang

mempersiapkan pemekaran wilayah. Bokondini akan
melepaskan diri dari Kabupaten Tolikara, berdiri sendiri
menjadi sebuah kabupaten terpisah, Kabupaten Bogoga,
dengan ibukota Kota Bokondini.

10

Gambar 11.
Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Euforia pemekaran ini sangat terasa di Bokondini.
Para pemuda berlomba-lomba ikut kursus komputer, “…nanti
saya bisa jadi anggota DPR to!” celetuk salah seorang di
antaranya. Sementara beberapa yang dewasa lainnya
menjamu mewah saat tim yang mengupayakan pemekaran
datang berkunjung ke Bokondini. Menyembelih babi seperti
menjadi sebuah keharusan saat menjamu tim ini, “Saya
dijanjikan menjadi kepala desa pak…”

Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan

Ada satu Puskesmas yang berdiri di Distrik Bokondini,
Puskesmas Bokondini. Puskesmas yang dikepalai oleh
seorang putri daerah ini merupakan Puskesmas perawatan
dengan kapasitas tiga tempat tidur. Menurut keterangan
dokter Poby Karmendra (27 tahun), Puskesmas Bokondini

11

merupakan salah satu Puskesmas percontohan di Kabupaten
Tolikara. Lebih lanjut dokter PTT asal Padang Minangkabau
yang masa baktinya habis pada tahun 2015 ini menjelaskan
bahwa pada saat ini kondisi pelayanan kesehatan di Distrik
Bokondini sudah jauh lebih bagus daripada sebelumnya.
“Sejak dipimpin oleh Ona Pagawak, SKM ada perubahan pak.
Mama Ona lebih transparan, membuat suasana kerja di
Puskesmas lebih kondusif, semua dibicarakan secara
terbuka…” jelas dokter Poby.

Gambar 12.
Puskesmas Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Puskesmas yang baru pindah ke gedung baru pada
tahun 2014 ini menurut pengakuan para petugas setidaknya
melayani empat distrik. “Iya pak, kami melayani empat
distrik. Bokondini, Bewani, Kanero dan Kamboneri. Meski
kadang masyarakat di Kamboneri lebih memilih berobat di
Puskesmas Mamberamo Tengah…,” kilah Habibi Mahmud (23

12

tahun), perawat kontrak asal Palopo yang bertugas di
Puskesmas Bokondini.

Empat distrik! Suatu hal yang mustahil! Distrik adalah
sebutan lain dari “kecamatan” di pemerintahan daerah di
Jawa, tentu saja dengan paparan wilayah yang lebih luas dan
lebih ektrem di Papua. Masyarakat seringkali sulit untuk
mencapai Puskesmas dalam satu distrik sebagai akibat
topografi wilayah Bokondini yang bergunung-gunung. Empat
distrik???

Ada dua Puskemas Pembantu (Pustu) yang menjadi
kepanjangan Puskesmas Bokondini. “Ooo… Pustu ya pak?
Ada dua Pustu, tapi… petugasnya gak pernah ada pak…,”
terang Habibi. Puskesmas Bokondini menurut catatan
kepegawaian memiliki 26 petugas, tetapi pada hari Rabu,
tanggal 13 Mei 2015 saya mendapati hanya 9 orang petugas
saja yang ada di Puskesmas. Semoga mereka sedang dinas
luar atau kunjungan lapangan. Semoga.

Puskesmas Bokondini menyelenggarakan satu
Posyandu saja untuk pelayanan balita di seluruh wilayah
kerjanya pada setiap bulan. Posyandu yang diselenggarakan
di Puskesmas Bokondini ini dilaksanakan pada minggu ke-dua
yang dibuka menyesuaikan dengan hari pasaran. Posyandu
terakhir minggu lalu setidaknya ada 30 balita yang datang
dan berkunjung.

Pelayanan Posyandu mencakup timbang badan dan
pemberian vaksin. Tidak ada Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) seperti pelaksanaan Posyandu di tempat lain. Menurut
pengamatan saya, balita di Bokondini cenderung stunting
(pendek), meski saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini

13

karena pencatatan pada KMS yang kurang baik. Tidak ada
pengukuran tinggi badan, dan seringkali kolom tanggal lahir
dibiarkan kosong tak berisi.

Pelaksanaan Posyandu dimotori oleh kader kesehatan
untuk menggerakkan masyarakat yang mempunyai balita.
Seluruh kegiatan pelaksanaan Posyandu dilayani oleh
petugas kesehatan. Para kader kesehatan ini setiap bulan
mendapatkan honor, Rp. 500.000,- setiap bulan. Angka ini
cukup fantastis dibandingkan dengan rekan-rekannya di Jawa
yang setahu saya berada pada kisaran Rp. 15.000,- sampai
dengan Rp. 50.000,- setiap bulan.

Menurut dokter Poby, untuk memperluas jangkauan
pelayanan Puskesmas juga melatih para kader untuk dapat
memberikan terapi pengobatan. Perawat Puskesmas, Habibi,
menambahkan bahwa hanya dipilih beberapa kader yang
dinilai cakap dan pintar untuk dapat memberikan layanan
pengobatan tersebut. Ahh… kita tidak sedang membahas UU
Praktek Kedokteran dalam diskusi kali ini.

Kondisi yang sangat memprihatinkan pada saat ini
adalah kenyataan bahwa pada tahun 2015 ini, sejak Januari
sampai dengan saat ini ada 46 orang penderita baru
HIV/AIDS yang diketemukan lewat skrining di Puskesmas
Bokondini. Jenis penyakit menular seksual lainnya juga
diketemukan berbanding lurus dengan penderita HIV/AIDS
tersebut.

Rupanya praktek seks bebas di masyarakat turut
mempercepat persebaran penyakit yang lekat dengan stigma
ini. “Itu pak… masyarakat di sini itu suka itu… apa… ‘tukar
gelang’…”. Tukar gelang adalah tradisi orang Lany saat ada

14

perayaan pesta, yang artinya apabila tukar gelang sudah
dilakukan, maka mereka bebas untuk melakukan
“hubungan”. Hal ini masih belum ditambah dengan tradisi
lain yang di’import’ dari Wamena, “goyang oles”, bergoyang
dansa saat pesta-pesta, berpasangan sambil merapatkan
badan, oles-oles, yang berlanjut pada tingkatan yang lebih
intim.

Banyak hal yang masih harus dibenahi sebelum
pemekaran benar-benar dilanjutkan. Banyak PR yang
seharusnya diselesaikan. Terlalu dini Bokondini. Terlalu dini…

15

16

Pengobatan SUANGGI

dalam Harmonisasi Dokter Adat dan Layanan
Medis di Kampung Tomer, Merauke

Elia Nur Ayunin

Merauke, 25 Mei 2015
Letak Kabupaten Merauke secara greorgrafis berada

antara pada 1370 - 1410 BT dan 50 00’9 00’ LS. Kabupaten
Merauke merupakan kabupaten terluas diantara provinsi
Papua yang juga berada di bagian paling selatan Provinsi
Papua. Keadaan Topografi Kabupaten Merauke umumnya
datar dan berawa disepanjang pantai dengan kemiringan 0-
3% dan kearah utara yakni mulai dari Distrik Tanah Miring,
Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan Topografinya
bergelombang dengan kemiringan 0 – 8%. Batas wilayah
Kabupaten Merauke ini terdiri dari,
 Sebelah Utara dengan Kabupaten Boven Digoel dan

Kabupaten Mappi
 Sebelah Timur dengan Negara Papua New Guinea
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura

17

 Barat berbatasan dengan Laut Arafura

Kampung Tomer,
Distrik Naukenjerai

Gambar 1.
Peta Kabupaten Merauke
Sumber: Pemerintah Kabupaten Merauke

Kabupaten Merauke terkenal sebagai wilayah ujung
tertimur Indonesia, disanalah terletak titik nol NKRI, tepatnya
terletak di Distrik Soeta, yang ditandai dengan adanya tugu
merauke sebagai lambang batas ujung timur Indonesia.
Penelitian kami (yaa, karena saya tak sendiri, saya bermitra
dengan Alfarabi selaku Sosiolog) untuk mengemban misi
khusus, yakni untuk membahas alkulturasi budaya kesehatan
di ‘kota rusa’. Dengan demikian pemilihan lokasi penelitian
tentu dengan memperhatikan keberadaan interaksi antara
suku asli dan suku pendatang. Hasil diskusi dengan
pengampu kesehatan di Kabupaten merauke terpilihlah
Kampung Tomer, Distrik Naukenjerai sebagai lokasi penelian
kami. Lokasi Distrik Naukenjerai relatif dekat dengan pusat
kota Merauke. Kurang lebih membutuhkan waktu 2 jam
untuk dapat sampai ke pusat kota, itu pun hanya pada musim

18

kemarau, dengan menggunakan kendaraan roda empat ber-
double-gardan. Sebenarnya bukan jarak yang jauh yang
menjadikan perjalanan terasa lama, namun jalanan yang
berlubang-lubang lah yang menghambat kelancaran
perjalanan. Tentu bukan tanpa alasan, jalanan tersebut
dibiarkan rusak oleh pemerintah, penambangan pasir ilegal
di sepanjang pantai, yang menjadikan pemerintah bersikap
enggan melakukan perbaikan jalan.

Gambar 2
Kondisi jalanan menuju ke Kampung Tomer, foto diambil ketika

tanah kering
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kedekatannya dengan pusat kota menjadikan
kebanyakan kampung di Distrik Naukenjerai tidak hanya
ditinggali oleh masyarakat suku asli, namun juga para
pendatang dari suku Jawa, Maluku, dan Makassar
Jenneponto. Kampung-kampung tersebut adalah Kampung
Kuler, Onggaya dan, Tomer. Sementara kampung Tomerau
dan Kondo tidak banyak ditinggali oleh orang-orang di luar

19

suku asli, mayoritas penduduknya adalah orang pribumi. Hal
tersebut dikarenakan, akses jalan menuju 2 kampung
tersebut lebih sulit dibandingkan 3 kampung sebelumnya,
bahkan kesulitan bertambah ketika musih penghujan.

Gambar 3
Truk pengangkut pasir yang sedang menunggu giliran muatan pasir

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada musim penghujan, sangat dibutuhkan alat
transpormasi zonder (alat pembajak sawah) untuk membelah
jalanan yang berubah menjadi rawa. Zonder biasa diperoleh
dari peminjaman kepada UPT pertanian setempat.
Transportasi yang dapat digunakan untuk sampai ke
kampung Tomerau dan Kondo selain menggunakan zonder,
dapat juga menggunakan spit dari Kampung Tomer. Untuk
menggunakan speed boat, dalam bahasa lokal masyarakat
menyebutnya dengan Jonshon. Untuk menggunakan moda
transportasi tersebut masyarakat harus merogoh kocek lebih
dalam. Pengoperasian Jonshon ini hanya dilakukan setelah

20

matahari tenggelam, dimana saat air laut sudah terjadi
pasang dan menyentuh bibir pantai.

Kampung Tomer sendiri terletak di tengah luasnya
Distrik Naukenjerai, yang cukup banyak ditempati oleh para
pendatang, komposisi antara penduduk asli dan penduduk
pendatangnya adalah 50:50. Sebagian besar penduduk
pendatang beralasan pindah dan menempati kampung
Tomer ini dikarenakan untuk menyambung kehidupan.
Seperti pendatang suku jawa yang berasal dari daerah
transmigrasi, mereka yang merasa tanah di tempat tinggal
dahulu tandus dan tidak bisa digunakan bersawah, hingga
akhirnya menemukan Kampung Tomer yang mana memiliki
tanah yang cukup subur, walaupun hanya dapat memanen
satu kali satu tahun. Suku Jawa ini mulai menempati
Kampung Tomer sekitar tahun 1986. Sehingga tak heran
Merauke disebut-sebut sebagai miniatur Indonesia di tanah
Papua. Hal ini tidak terlepas dari dampak program
transmigrasi pada sekitar tahun 1960-an .

Keunikan lain dari Kampung Tomer adalah terdapatnya
kelompok keluarga yang merupakan masyarakat eks pelintas
batas PNG yang dipulangkan oleh Pemerintah tahun 2005,
yang mulai diterima masuk kampung pada tahun 2006.
Kampung Tomer dipilih menjadi lokasi pemulangan karena
kakek atau dalam bahasa lokal disebut tete dari kelompok
tersebut berasal dari suku Kanume yang menempati tanah
kampung Tomer. Mereka dipulangkan dari PNG melalui
program pemerintah pada zaman masa bakti Bupati Jhon
Gubla Gebze pada tahun 2005. Kelompok keluarga tersebut

21

ditempatkan pada satu rukun tangga (RT) tersendiri yaitu RT
03.

Kurang lebih 48 tahun lamanya mereka meninggalkan
tanah kelahirannya, namun adat dan budaya moyang tetap
masih banyak yang melekat dan dijalankan hingga saat ini.
Kelompok masyarakat RT 03 memiliki beberapa keunikan
tersendiri, berbeda dengan kelompok masyarakat Kampung
Tomer umumnya. Salah satunya kelompok masyarakat RT 03
masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap praktek
suanggi, dimana sebagian besar masyarakat lainnya sudah
meyakini bahwa praktek dan penggunaan suanggi sudah
berkurang di tengah masyarakat khususnya di wilayah
kampung Tomer, walaupun tetap mengakui akan keberadaan
suanggi tersebut.

Suanggi adalah salah satu praktek ilmu kebatinan yang
dikenal di tanah Merauke. Praktek ini sesungguhnya sudah
banyak ditinggalkan oleh kebanyaan suku di Merauke,
namun tak sedikit juga suku yang masih mengakui ke-eksis-
an dari praktek tersebut, seperti halnya pada kelompok
masyarakat RT 03. Suanggi di masyarakat dipercayai sebagai
sebuah ilmu hitam atau black magic. Suanggi merupakan
suatu ilmu dan kemampuan diluar batas nalar manusia.
Masyarakat yang masih mempercayai sunggai, percaya
bahwa suanggi dapat menjadi sumber kesakitan dan
kematian. Kepercayaan di masyarakat bahwa kesakitan yang
dihasilkan dari suanggi ini tidak ditunjukkan secara kasat
mata, namun akan memberikan rasa kesakitan yang luar
biasa atau dapat berupa kesakitan yang muncul secara tiba-
tiba bahkan hingga dapat menyebabkan kematian. Dengan

22

demikian masyarakat tersebut ketika berhadapan dengan
kesakitan atau kematian, sering kali langsung berspekulasi
bahwa hal tersebut diakibatkan oleh serangan suanggi. Hal
tersebut dapat memicu konflik atau mengakibatkan saling
tuduh menuduh. Terlebih lagi praktek suanggi ini erat
kaitannya dengan konflik atau bahkan dendam antar orang,
keluarga atau masyarakat kampung. Dengan begitu tidak
dapat dipungkiri kemungkinan konflik dan gesekan yang lebih
besar.

Suanggi ini dipercaya dapat dilancarkan oleh orang-
orang tertentu berdasarkan permintaan. Sedangkan untuk
upaya penyembuhannya dipercayakan kepada dokter adat.
Dokter adat adalah orang-orang pilihan yang memiliki
kemampuan dan kekuatan khusus. Orang-orang tersebut
haruslah telah ditetapkan melalui forum adat. Mereka adalah
orang-orang yang bersih dari perbuatan kejahatan serta tidak
menyalahgunakan ilmunya untuk membuat sakit atau
mengambil nyawa orang lain. Dokter adat dipercaya tidak
hanya dapat mengobati serangan suanggi, namun juga dapat
mengobati gangguan dema (bahasa etnik marind) atau deme
(bahasa etnik kanume). Selain suanggi, sumber kesakitan
lainnya yang dipercaya oleh masyarakat menyebabkan
kesakitan ialah gangguan dari deme.

Deme menurut kepercayaan masyarakat merupakan
tuan tanah, yang memiliki kuasa atas suatu tempat atau
barang, juga sebagai penjaga. Gangguan deme ini biasa
muncul ketika masyarakat melanggar atau mengganggu
tanah atau barang yang dijaga oleh deme. Terdapat juga
gangguan deme pada ibu hamil. Diyakini bahwa gangguan

23

tersebut terjadi karena sang deme menginginkan bayi yang
dikandung ketika lahir menggunakan nama deme tersebut.

Sang dokter adat tersebut akan dengan sigap
mengetahui penyebab dari kesakitan yang dialami pasiennya,
apakah disebabkan suanggi atau gangguan deme, kemudian
akan menghilangkan pengaruh suanggi atau gangguan deme
yang diterima pasiennya. Dokter adat dipercaya juga
memiliki kemampuan untuk melihat seberapa parah
kesakitan dan kondisi tubuh pasiennya. Setelah dokter adat
dapat menghilangkan pengaruh suanggi atau gangguan
deme, dokter adat akan memeriksa kembali kondisi tubuh
pasien tersebut. Apabila pasien tersebut memerlukan
pengobatan lebih lanjut, yang dikarenakan terjadi kerusakan
di organ tubuhnya, dokter adat akan menyuruh pasiennya
untuk melakukan pengobatan ke layanan medis.

Sebagai contoh kasus, terdapat seseorang yang sakit
dikarena serangan suanggi. Secara kasat mata tubuh orang
tersebut utuh, hanya perasaan sakit tiada tara yang dirasa
disekujur tubuh. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter
adat diketahui bahwa tubuh orang tersebut sudah tidak utuh
lagi, tulang-tulang tubuhnya patah dan remuk, kondisi
tersebut diyakini oleh dukun adat sebagai akibat dari
serangan suanggi. Setelah mendapatkan perlakuan dari
dokter kampung, yaitu penyambungan kembali tulang-tulang
yang patah dan remuk akibat serangan suanggi, pasien
kemudian diminta juga melakukan pengobatan ke layanan
medis untuk mendapatkan pemulihan pada tulang dan
penyembuhan lainnya yang diperlukan pada kerusakan organ
yang mendapat dampak dari serangan suanggi.

24

Dengan demikian fungsi dari dokter adat adalah
sebagai penghilang serangan suanggi atau gangguan deme
saja, dan diperlukan juga pengobatan pada layanan medis
untuk mengobati organ yang rusak dan atau pemulihan.
Praktek pengobatan suanggi dan gangguan deme saat ini
sudah jauh berbeda dengan zaman dahulu. Saat ini
pengobatan tidak terbatas hanya dilakukan secara adat,
tetapi juga melibatkan dan dilakukan secara medis. Hal
tersebut menunjukkan adanya penerimaan adat terhadap
pelayanan pengobatan medis serta kepercayaan masyarakat
terhadap layanan medis sudah sejajar dan dapat beriringan
dengan kepercayaan, adat dan tradisi yang ada di
masyarakat. Hal ini dapat disebabkan dari perkembangan
pengetahuan dan informasi kesehatan di masyarakat, yang
menjadikan penerimaan terhadap layana kesehatan medik
juga meningkat.

Hal ini merupakan kondisi yang positif bagi
perkembangan layanan kesehatan di tanah Papua, dimana
masyarakat mulai melibatkan layanan kesehatan untuk
mengobati kesakitan yang mereka alami, tidak lagi hanya
mengandalkan pengobatan adat. Perkembangan ini tentu
dapat berdampak pada penurunan angka kesakitan dan
angka kematian yang diakibatkan karena tidak mendapatkan
pelayanan medis, walaupun layanan medis belum menjadi
prioritas dalam pencarian pengobatan. Memang sudah
seharusnya layanan pengobatan medis dan upaya kesehatan
lainnya berjalan beriringan dengan adat dan budaya di
masyarakat, seperti halnya selama ini yang telah diusaha
masyarakat Papua yaitu menyelaraskan antara adat, agama

25

dan pemerintah, yang kemudian di Papua dikenal dengan
istilah “Tiga Tungku”. Istilah itu merepresentasi tungku
pemerintahan, tungku agama (gereja), dan tungku adat.

26

Kesikut Talaud

Agung Dwi Laksono

Melonguane, Selasa, 22 April 2014
Siang itu kami mendarat di Bandara Melonguane

dengan hentakan roda pesawat keluaran Prancis, ATR72,
yang cukup keras menghantam bumi. Pesawat
berpenumpang 72 seat itu terbang tiga kali seminggu
melayani rute Bandara Sam Ratulangi Manado ke Bandara
Melonguane Talaud pulang pergi.

Kami datang disambut dengan rinai hujan yang
ringan, seakan sebuah keramahan menyambut kedatangan
tamu agung! Hahaha… Eh… tapi benar-benar tamu agung
lho! Bersama kami ada rombongan dari Polda Sulawesi
Utara. Juga ada Konsulat Jenderal (Konjen) dari Negara
seberang Philipina.

Kami… maksud saya Konjen Philipina! disambut
dengan tiga tetua adat, yang disertai dengan suara pukulan
tambur yang mengiringi sembilan pemuda Talaud meliuk-liuk
dengan gerakan maskulin dan tegas membawakan tarian

27

dengan menggunakan pedang dan tameng. Benar-benar
menyambut tamu agung!

Kedatangan tamu agung ini pulalah yang membuat
kami harus berkeliling Kota Talaud, untuk mencari
penginapan yang sudah penuh dibooking para tamu agung
tersebut.

Kota Talaud??! Jangan dibayangkan sebagai kota yang
indah gemerlap! Diperlukan tidak sampai setengah jam saja
kami diantar Regina, dokter wanita asli putri daerah Talaud,
untuk mengunjungi dari sudut ke sudut ibu kota kabupaten
paling Utara Republik ini.

Gambar 1.
Peta Posisi Talaud di Indonesia
Sumber: Diolah Peneliti dari Peta Wiki

Perhatian dan Rasa Iri
Sungguh iri melihat fakta empiris di depan mata.

Pemerintah Philipina yang diwakili oleh Konjennya begitu
perhatian terhadap warga negaranya. Mereka mau

28

menyempatkan diri datang berkunjung ke wilayah Daerah
Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) republik ini
untuk melihat kondisi warga negaranya yang menyeberang
dan tinggal di wilayah ini.

Jarak yang teramat dekat antara wilayah Kabupaten
Talaud dengan Philipina yang hanya sekitar beberapa jam
saja dengan kapal laut membuat terjadi banyak pertukaran
penduduk di wilayah ini. Hanya dibutuhkan KTP saja bagi
penduduk beberapa wilayah di perbatasan laut ini untuk
dapat menyeberang dan berkunjung di Negara tetangga ini.
Tanpa paspor.

Apakah saya pantas iri dengan Warga Negara
Philipina itu? Entahlah… tapi nyatanya saat saya menekan
keyboard di lappy saya untuk tulisan ini saya benar-benar
merasakan iri yang teramat sangat atas perhatian
pemerintah Philipina.
Seandainya…

Jaminan Kesehatan Nasional
dan Keadilan Pelayanan

Sejatinya kedatangan kami ke wilayah ini untuk
melihat upaya implementasi Jaminan Kesehatan Nasional
dari sisi regulasi. Seperti wilayah-wilayah DTPK lain yang
pernah saya saksikan di negeri ini, banyak hal yang
seharusnya benar-benar kita perbaiki sebelum kita
menjalankan kebijakan JKN. Seharusnya…

Upaya implementasi JKN secara serentak untuk
seluruh wilayah republik ini harusnya disertai dengan upaya

29

pemerataan pelayanan kesehatan terlebih dahulu. Atau
bahkan untuk beberapa wilayah terluar dan wilayah Timur
Indonesia disertai dengan upaya ketersediaan pelayanan
kesehatan terlebih dahulu. Jangan berteriak-teriak tentang
pemerataan pelayanan bila tersedia pelayanan saja tidak!

Sebagai sebuah kabupaten, Talaud termasuk salah
satu daerah miskin yang mempunyai Pendapatan Asli Daerah
kurang. Meski demikian, kemauannya untuk memenuhi hak
rakyatnya dalam pelayanan kesehatan sangat kuat.
Pemerintah setempat mengalokasikan 2,5 juta bagi bidan
yang mau dan bersedia ditempatkan di wilayah tersebut.
Pemda menyediakan insentif tambahan 2 juta selain gaji 7,5
juta untuk tenaga dokter, bahkan untuk wilayah Miangas
disediakan take home pay rutin sebesar 11 juta per bulannya.

Apa mau di kata? Gaji dan insentif yang cukup besar
tak bisa membuat para tenaga kesehatan betah dan tinggal
di wilayah terluar paling Utara ini. Meyke Maatuil, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten Talaud, menyatakan bahwa
banyak tenaga kesehatan yang ‘hilang’ di wilayah ini.
Semacam jaelangkung, mereka datang dan pergi tak berjejak,
sementara gaji dan insentif jalan terus (transfer melalui
rekening bank). Mekanisme kontrol sangat lemah, hanya
mengandalkan niat baik dan nurani dari tenaga kesehatan
yang telah berani tanda tangan kontrak dan terima uang
insentifnya.

Keterbatasan dan minimnya fasilitas memang
menjadi kendala utama untuk penempatan tenaga kesehatan
di wilayah ini. Menuju Miangas misalnya, hanya tersedia
kapal perintis yang datang 2 kali sebulan menyambangi

30

wilayah terluar tersebut. Kita bisa sewa kapal tongkang dari
kayu untuk mencapai Miangas, tapi harus merogoh kocek
cukup dalam. Sangat dalam! 50 juta sekali pergi.

Ada Telkomsel provider komunikasi yang bersedia
merambah wilayah ini, meski seringkali sinyalnya pergi tanpa
pamit. Tapi setidaknya cukup untuk menebus rasa kangen.

Cerita tentang Verifikasi Data

Ada cerita yang… entah lucu… entah membikin
trenyuh… Adalah Bapak BPT Timpua, Kepala Bidang Promosi
Kesehatan, yang membawahi masalah Jaminan Kesehatan
Nasional di Dinas Kesehatan, yang menceriterakan soalan
verifikasi data kepesertaan.

Dahulu… pada saat pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), yang menanggung jaminan
pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin, Pemerintah
Daerah setempat juga menanggung masyarakat miskin yang
tidak tercover Jamkesmas. Saat itu istilahnya adalah
masyarakat miskin non kuota.

Masyarakat miskin non kuota inilah yang diwadahi
dalam Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Jamkesda
menanggung masyarakat miskin yang jumlahnya tidak
tanggung-tanggung, mencapai 23 ribu penduduk (total
jumlah penduduk sekitar 105 ribu menurut Dinas
Kependudukan, atau 97 ribu menurut BPS. Jumlah penduduk
pastinya hanya Tuhan yang tahu).

Data kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional harus
detail ‘by name, by address’, maka dilakukan verifikasi ulang

31

untuk memutakhirkan data masyarakat miskin tersebut.
Hingga akhirnya didapatkan angka 8 ribu penduduk yang
terverifikasi. Nah lhoo! Artinya selama ini ada 15 ribu
penduduk ‘siluman’ yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

Entahlah… banyak mahluk jejadian di negeri ini.
Bukan hanya sekedar jelangkung atau siluman. Mungkin juga
termasuk para dedhemit yang membaca tulisan ini. Hihihi…

32

Menilik Sudut Utara Indonesia

Sebuah Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas

Ade Aryanti Fahriani

Miangas, 4 Juni 2015

Bercerita tentang Miangas, maka kita akan teringat
akan sebuah jingle mie instan, “.. dari sabang sampai
merauke, dari miangas hingga pulau rote.. Indonesia Tanah
air ku... Ind**ie selera ku...”. Ya, Miangas memang
merupakan sebuah pulau perbatasan Indonesia yang paling
utara, berbatasan dengan negara Philipina yang berada di
Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Luas pulau ini
kurang lebih luas sekitar 3,15 km² dengan keliling pulau
kurang lebih 7 km. Sebenarnya pulau ini kalau dilihat dari
google maps hanyalah sebuah titik di tengah Samudra
Pasifik. Sebuah pulau yang menyendiri dan tak ada pulau
terdekat yang mengelilinginya. Meskipun luasnya hanya 1
pixel di Google maps, tapi pulau ini sangat penting bagi
Indonesia, pasalnya pulau ini yang menjadi batas yang akan
mempengaruhi luas teritorial NKRI. Jarak antara Pulau
Miangas ke pulau terdekat Indonesia yaitu Kecamatan

33

Nanusa kurang lebih 148 mil, sedangkan jaraknya dengan
Philipina hanya sekitar 48 mil. Maka tak heran pulau ini
menjadi sebuah wilayah yang sensitif dengan isu kesetiaan
nasionalisme-nya.

Gambar 1.
Peta Miangas
Sumber: Google

Perjalanan untuk menuju Miangas dari kota Manado
setidaknya dapat ditempuh dengan 2 rute. Rute pertama full
menggunakan kapal Perintis Meliku Nusa atau Sabuk
Nusantara, dari Pelabuhan Bitung-Lirung-Melonguane-Esang-
Kakorotan-Karatung-Miangas yang akan memakan waktu 3
hari 2 malam di lautan. Rute kedua dengan pesawat dan juga
kapal laut, yaitu naik pesawat dari Manado menuju
Melonguane. Kemudian dari Melonguane naik kapal Perintis
menuju Esang-Kakorotan-Karatung-Miangas dengan kurang
lebih melewati 30 jam perjalanan di laut.

34

Kapal yang menuju Miangas biasanya beroperasi 2
minggu sekali, hal ini dikarenakan kapal perintis yang ada
selalu berkeliling dari pulau ke pulau, sehingga memakan
waktu 2 minggu untuk sekali putarannya. Namun, dengan
banyaknya kapal yang beroperasi, setidaknya setiap
seminggu sekali di cuaca yang teduh kapal perintis dapat
berlabuh di Miangas. Selain menaiki kapal reguler perintis,
bisa juga menyewa kapal boat. Kapal boat dari Melonguane
sampai Miangas dapat ditempuh dengan waktu paling cepat
6 jam. Untuk sewanya bisa dikenakan tarif 18 juta, selain
dapat memangkas waktu perjalanan juga dapat memangkas
habis-habisan isi dompet.

Gambar 2.
Salah Satu Kapal Perintis yang menuju Miangas, Meliku Nusa

Sumber: Dokumentasi Peneliti

35

Saatnya Berpetualang!!!

Sejak siang hingga menjelang dini hari, Pelabuhan
Melonguane dipadati oleh masyarakat, baik calon
penumpang kapal, para pedagang yang menunggu kiriman
dagangan, hingga masyarakat yang sekedar mencuci mata
melihat-lihat kedatangan Kapal Perintis Meliku Nusa.
Pekatnya malam di Pelabuhan Melonguane ternyata tak
menyurutkan Kapal untuk segera melayarkan diri ke pulau-
pulau sebelah utara Indonesia. Tepat jam 00.00 dini hari,
terdengar jelas peluit kapal memanggil para penumpangnya
untuk segera menaiki kapal. Rencanyanya saya bersama satu
rekan peneliti akan melayarkan diri menuju Pulau Miangas
dalam rangka penelitian Riset Etnografi Kesehatan disana.
Jadi, selama kurang lebih 40 hari, kami akan berbaur dan
menjadi bagian dari masyarakat Miangas.

Kapal pun mulai berlayar dengan santainya, meskipun
deru ombak sangat tenang, tetap saja mampu untuk
membuat kepala saya terasa pusing. Ini adalah pertama
kalinya saya naik kapal laut, meskipun saya telah terbiasa
“tegar” dengan semua transportasi yang ada, baru pertama
kali ini saya “tumbang”, mabok perjalanan oleh kapal laut.
Saya pun berharap perjalanan ini segera berakhir atau
minimal segera menemukan daratan untuk menstabilkan
tubuh yang mulai sempoyongan. Meskipun tengah malam,
masih terlihat beberapa para penumpang sedang asik
bercengkrama dan ngobrol-ngobrol dengan sesama
penumpang lainnya di anjungan kapal. Saya pun mencoba
untuk ikut membaur, sembari berharap bisa menghilangkan

36

pusing yang terasa, yaa hitung-hitung latihan bersosialisasi
sebelum membaur di masyarakat nanti.

Jam menunjukan pukul 10.00 pagi, hari pun semakin
siang, terik matahari pun semakin mengganyang, demikian
pula dengan rasa mabok laut yang saya rasakan. Puncaknya,
semua isi perut ini pun akhirnya termuntahkan. Saya pun
kemudian berusaha menstabilkan tubuh dengan meminum
beberapa pil anti mabok, dan berharap Miangas segera tiba
dipelupuk mata. Tepat jam 12 Siang, kapal pun mulai
melabuhkan diri di pelabuhan pulau Kakorotan. Saya pun
segera beranjak dari kamar ABK menuju bagian atas kapal,
dan saya pun langsung speechless. Saya tak bisa berkata-
kata, sungguh betapa indahnya Pulau Kakorotan ini,
Subhanallah... Wajar saja tempat ini dijadikan spot festival
adat berskala nasional, yaitu festival Mene’e. Rasa mual dan
mabok yang saya rasakan pun seakan terbayarkan setelah
saya melihat betapa indahnya karya Allah, sebaik-baiknya
Maha Pencipta.

Gambar 3.
Eksotisme Pulau Kakorotan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

37

Subuh pun mulai menggantikan malam, samar-sama
dibalik pekatnya langit subuh, terlihat sebuah pulau dari
kejauhan, ya itulah Miangas. Saya pun segera mengambil
beberapa shot foto dan video meskipun masih amatiran.
Akhirnya, sesampainya di pelabuhan, kami pun disambut
oleh warga-warga Miangas yang berdatangan. Tapi
sayangnya mereka bukan untuk menyambut kami, tetapi
menyambut barang-barang kebutuhan pokok yang satu-
satunya diangkut oleh kapal perintis ini. Akhirnya sayapun
bisa berujar, Assalamu’alaikum Miangas...

Gambar 4.
Pulau Miangas dari Kejauhan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Miangas, Sebuah Tanah Adat yang Kini Mulai
Dimanjakan

Selain karena kedekatan secara geografis, ternyata
hubungan antara Miangas dan Philipina sangat erat
kaitannya sejak dahulu kala. Jika kita merunut sejarah

38

terbentuknya kehidupan masyarakat di Miangas, maka kita
akan menemukan fakta bahwa leluhur masyarakat Miangas
merupakan orang Bangsa Phillipina. Namun, dikarenakan
mereka sering berhubungan dengan orang-orang dari
Kepulauan Talaud, akulturasi dan perkawinan antar suku di
nusantara pun tak bisa dihindarkan.

Tak dapat dipungkiri, Philipina pernah membawa
sengketa kepemilikan Pulau Miangas ke kancah
Internasional. Namun, ketika dilakukan penyidikan oleh PBB,
ternyata identitas kebangsaan masyarakat Miangas mengacu
pada suku Talaud yang ada di Indonesia. Mereka berbahasa
daerah Talaud bukan Tagalog, menggunakan mata uang
rupiah bukan peso, serta yang paling penting bahasa nasional
yang mereka gunakan adalah Bahasa Indonesia. Jadi,dengan
identitas kebangsaan itu, maka PBB memutuskan bahwa
pualu Miangas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
Republik Indonesia.

Masyarakat Miangas pada umumnya memeluk agama
kristen protestan dengan berprofesi sebagai nelayan dan
petani. Setidaknya ada 3 hal yang menopang sendi
kehidupan masyarakat Miangas, yaitu adat, rohani, dan
pemerintah. Adat memang sangat berperan penting dalam
mengatur hubungan kemasyarakatan di Miangas disamping
aspek rohani. Maka tak jarang para pemangku adat lebih
sering dipercaya masyarakat dalam memutuskan sengketa
kemasyarakatan dibandingkan dengan aparat pemerintahan.
Para Mangkubumi dan 12 kepala suku di Miangas, menjadi
sentra lahirnya peraturan-peraturan adat yang 90%
mengatur jalannya kehidupan kemasyarakatan.

39

Sebagai sebuah pulau adat yang terdepan di utara
Indonesia, membuat Miangas mendapat perhatian lebih dari
pemerintah. Pertama, Pulau Miangas berdiri sebagai sebuah
kecamatan khusus, meski secara administratif tidak
memenuhi persyaratan berdiri sebagai kecamatan biasanya.
Kedua, untuk mendukung Pulau Miangas sebagai pulau
pertahanan Indonesia, maka sekarang di Miangas telah mulai
dibangun sebuah bandara udara. Ketiga, untuk menjamin
kelayakan hidup masyarakat di Miangas, bantuan-bantuan
dari pemerintah khususnya dari pusatpun banyak diberikan
di Miangas, terutama untuk pembangunan infrastruktur dan
beras pra-sejahtera.

Gambar 5.
Salah Satu Sumber Pembangkit Tenaga Listrik di Miangas

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ketersediaan fasilitas publik di Miangas setidaknya
dapat dikatakan lebih bagus daripada kebanyakan pulau-
pulau kecil lainnya yang berada di Kepulauan Talaud.

40

Bangunan fisik pelayanan pemerintahan sudah berdiri
dengan layak, listrik dapat beroperasi selama 7 x 24 jam
dalam seminggu dengan menggukan PLTS dan PLTD, fasilitas
komunikasi dapat berjalan lancar, akses air bersih dapat
terjangkau, serta terdapat rumah pintar bagi anak-anak di
Miangas.

Ketersediaan sarana dan prasarana tersebut ternyata
tak sepenuhnya termanfaatkan oleh pemerintah. Contohnya
saja kantor kepala desa yang meski dibangun permanen
hingga sampai ini tak dipakai bahkan sampai dibiarkan rusak,
padahal tak sedikit dana yang dikucurkan oleh pemerintah
untuk membangunnya. Fasilitas Puskesmas pun jarang
dikunjungi oleh masyarakat, keberadaan rumah pintar yang
selama beberapa tahun hingga sekarang hanya pernah 1 kali
digunakan. Banyaknya bantuan-bantuan dari pemerintah
ternyata tak selamanya membawa dampak yang positif bagi
masyarakat. Mental “manja” yang hanya berharap dari
bantuan-bantuan pun tak dapat dielakkan, sehingga inisiatif
untuk memberdayakan desa sendiri kurang terlihat di
Miangas.

41


Click to View FlipBook Version