The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Brawijaya E-Books, 2022-06-20 22:23:53

Jelajah Nusantara 2 Catatan Perjalanan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan

Agung Dwi Laksono, Elia Nur Ayunin etc.

hingga 14 jam dari Palu, atau dengan menggunakan moda
transportasi udara cukup ditempuh kurang lebih satu jam.
Penerbangan ke Tolitoli terbatas hanya 3 hari dalam
seminggu, yaitu Senin, Rabu dan Jum’at. Perjalanan kami ini,
kami memilih menggunakan jasa travel via jalur darat.

Perjalanan dimulai sekitar pukul 13.00 WITA dan kami
sampai di ibukota kabupaten sekitar pukul 02.00 WITA
setelah melewati jalan aspal berliuk-liuk, seribu jembatan
(yang beberapa rusak dan berlubang sana-sini) dengan
pemandangan laut, kebun serta rumah penduduk yang
beberapa masih menggunakan rumah panggung. Wilayah
Kabupaten Tolitoli yang terkenal sebagai Kota Cengkeh ini
luas, bahkan beberapa kecamatan memiliki desa yang berada
di kepulauan. Desa Sambujan adalah salah satu desa di
Kecamatan Ogodeide, desa tempat kami grounded selama
sebulan dalam misi REK kali ini. Wilayah desa Sambujan
secara garis besar terbagi menjadi dua wilayah, yaitu dusun I
di Sambujan Pulau, dan dusun II di Sambujan darat atau biasa
disebut orang sebagai Siomang. Keterbatasan waktu dan
sumber daya (peneliti), menyebabkan kami akhirnya
memutuskan untuk tinggal di Sambujan Pulau, agar lebih
fokus dalam kegiatan pengamatan, Siomang hanya kami
kunjungi beberapa kali saja selama kegiatan riset ini.

Sambujan Pulau dapat ditempuh via perjalanan darat
menggunakan motor kurang lebih 1 hingga 2 jam dari kota
(Tolitoli). Kondisi jalan berbukit-bukit, beberapa belum
beraspal dan hanya tanah merah yang tidak bisa dilewati
ketika diguyur hujan. Terdapat sebuah tembusan jalan yang
menghubungkan antara pulau utama dengan Sambujan

92

Pulau, yang dibangun sekitar tahun 2010. Sedang untuk
menghubungkan antara pulau utama dengan Sambujan
pulau, sebuah jembatan kayu yang selesai dibangun tahun
2013.

Gambar 1.
Jembatan kayu yang menghubungkan
Sambujan Pulau dengan Pulau Utama.

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Transportasi laut menjadi alternatif lain yang bisa
dimanfaatkan. Sebuah perahu perintis yang mengantar
penumpang ke pulau-pulau pada jam tertentu saja
menyesuaikan dengan pasang surut air laut. Kapal perintis
yang menuju ke Sambujan Pulau berangkat pada pukul 10.00
WITA dengan waktu tempuh sekitar 1 jam, lebih cepat
daripada menggunakan transportasi darat. Transportasi ini
kadang tidak bisa beroperasi apabila gelombang air laut
sedang besar.

93

Gambar 2.
Perahu Perintis sebagai
salah satu Transportasi

Laut
Sumber: Dokumentasi

Peneliti

Transportasi ini yang sering kami manfaatkan untuk
mengunjungi Siomang atau ke kota saat membutuhkan
keperluan logistik. Hmm... seru! Setelah terombang-ambing
air laut hingga 1 jam lebih perjalanan dari kota, akhirnya kami
melihat deretan rumah kayu di Sambujan Pulau.

Saat kali pertama melihat Sambujan pulau, sungguh
excited karena pemandangannya sungguh luar biasa. Sebuah
kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan. saya
membayangkan bahwa mata pencaharian sebagian
penduduk pastilah mencari ikan ke laut karena
keanekaragaman laut pasti melimpah ruah di lautan seperti
ini. Ternyata benar, mata pencaharian sebagian besar
penduduk adalah mencari ikan di laut, namun mata
pencaharian tersebut bukanlah mata pencaharian satu-

94

satunya. Ada sumber mata pencaharian lain, yaitu sebagai
petani cengkeh, pemetik cengkeh, atau pencudik cengkeh.
Satu lagi kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada
mereka, selain isi laut, mereka juga disediakan lahan yang
cocok untuk ditanami cengkeh.

Gambar 3.
Deretan rumah kayu di Sambujan Pulau

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Suku pertama yang mendiami pulau ini adalah Suku
Bajo, namun kini sudah banyak pendatang yang mendiami
pulau tersebut, antara lain adalah Suku Bugis. Jumlah suku
Tolitoli sendiri hanya sedikit, dan pada umumnya sudah
terjadi campuran. Bahasa yang dipakai dalam keseharian
adalah bahasa Bajo dan Bugis, namun anak-anak dan remaja
berbahasa Indonesia. Sebagian besar penduduk memeluk
agama Islam. Banyak pernyataan informan mengatakan
bahwa kebudayaan asli di Sambujan Pulau sudah mulai
memudar dan mereka sudah mulai ‘realistis’.

95

Saat musim cengkeh tiba, masyarakat beramai-ramai
memanen hasil cengkeh dan bahkan berhenti mencari ikan di
laut. Selain penduduk asli, banyak sekali pendatang yang
datang ke pulau saat musim cengkeh ini tiba, hanya sekedar
untuk mencari rupiah dari hasil memetik cengkeh.
Bayangkan, satu liter hasil petikan cengkeh dihargai Rp
10.000,00. Jika sehari saja pemetik cengkeh berhasil
mengumpulkan 10 liter cengkeh, sudah Rp 100.000 yang
dikantonginya sebagai upah. Kalikan dalam waktu 1 bulan,
hmmm... Rp 3.000.000 sudah yang akan dibawa pulang.
Padahal, musim panen cengkeh bisa berlangsung hingga 3
sampai 4 bulan. Belum lagi upah untuk bacudik cengkeh,
yaitu kegiatan memisahkan cengkeh dari tangkainya, yang
dihargai Rp 500,00 per liter, hasil penjualan tangkai dan daun
cengkeh yang juga masih laku untuk dipakai sebagai bahan
dasar minyak cengkeh. Hasil terbanyak jelas pemilik pohon.
Satu kg cengkeh kering biasa dihargai minimal Rp 100.000,
bahkan jika sedang mahal berkisar antara Rp 125.000,00
hingga Rp 150.000,00. Satu pohon saja paling sedikit bisa
menghasilkan 20 liter cengkeh, sedang 1 kilogram setara
dengan 4 liter lebih sedikit. Bagaimana jika mereka punya
1.000 pohon? Wah, betapa kayanya mereka, seharusnya...

Sayangnya, dibalik kelebihan itu Sambujan juga di-
‘anugerahi’ kekurangan. Melihat begitu besarnya hasil alam
mereka, tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan...
Sebagian besar penduduk ternyata hanya mengenyam
pendidikan hingga bangku sekolah dasar saja. Ada yang
sekolah hingga sampai ke perguruan tinggi, namun
jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Salah satu staff BKKBN

96

Kecamatan Ogodeide mengatakan bahwa angka putus
sekolah pada laki-laki usia 7-15 tahun di Ogodeide
merupakan angka tertinggi se-Kabupaten Tolitoli. Termasuk
salah satunya adalah di Sambujan. Penyebabnya?
Multifaktor, tentu saja. Selain memang fasilitas pendidikan
yang kurang, infrastruktur jalan yang masih buruk, ternyata
motivasi untuk terus belajar pada remaja juga kurang. Di
Pulau Sambujan sendiri, hanya ada 1 bangunan SD. Dengan
demikian, anak-anak usia SD yang berasal dari pulau di
sekitar Sambujan akan datang ke Sambujan pulau dengan
menggunakan perahu bercadik. Tak jarang, apabila
gelombang laut sedang tinggi, mereka tidak datang untuk
belajar di sekolah.

Gambar 4.
Anak Sekolah dari Pulau

Kecil di Sebelah
Sumber: Dokumentasi

Peneliti

97

Jika ada yang melanjutkan ke jenjang SMP atau SMA,

maka mereka harus pergi ke kota Tolitoli. Sebab, meski SMP

dan SMA ada pula di ibukota kecamatan, namun jarak

Sambujan Pulau ke kota Tolitoli jauh lebih dekat.

Bagi yang merasa tidak tahan hidup mandiri, di rantau

seringkali beberapa bulan melanjutkan sekolah ke kota,

mereka kembali pulang dan putus sekolah. Belajar dari

pengalaman orangtua yang dulunya juga lulusan SD, ternyata

mereka mampu menghidupi anak-anaknya. Mengapa mereka

tidak? Jika orangtuanya ‘mampu’, maka tentunya mereka

juga ‘mampu’. Begitu seterusnya, sehingga terbentuk pola

pikir bah pendidikan tidak berpengaruh dalam kehidupan

masa depan.

Faktor pendidikan

merupakan salah satu fak-

tor yang penting untuk

menunjang aspek kehidup-

an yang lain, seperti kese-

hatan maupun ekonomi.

Semakin tinggi pengetahu-

an, akan memungkinkan se-

seorang untuk semakin ‘sa-

dar’ menjaga kesehatan,

lingkungan, dan mampu

mengatur manajemen keu-

Gambar 6. angan keluarga hingga bisa
Seorang Bayi dalam Gendongan jadi mengangkat ekonomi
keluarga.
Ibunya

Sumber: Dokumentasi Peneliti

98

Selain angka putus sekolah yang tinggi, angka
pernikahan dini juga cukup tinggi dengan ditemukannya
pasangan yang menikah di usia belasan. Remaja perempuan
biasa menikah di usia belasan, dibanding laki-laki. Tidak ada
ketentuan untuk pemilihan jodoh bagi anak perempuan, asal
ada yang melamar dan mau, maka ia akan dinikahkan oleh
orangtuanya. Alasannya, selain karena sudah bertemu
dengan jodoh di usia tersebut, bila anak sudah menikah, itu
berarti orangtua sudah ‘lepas’ tanggung jawabnya. Masih
cukup banyak laki-laki yang ditemukan belum menikah
hingga usia 20-an. Hal ini menurut salah satu informan,
dikarenakan orangtua anak perempuan takut menikahkan
anaknya dengan suami yang akan bekerja di laut.

Di sini, di desa yang melimpah hasil lautnya,
melimpah pula anak usia remaja yang putus sekolah. Di sini,
di desa yang melimpah hasil cengkehnya, melimpah pula
bayi-bayi mungil terlahir dari rahim ibu yang berusia belasan
tahun...

Aspek kesehatan yang ‘menonjol’ adalah pola
pemilihan pengobatan. Masyarakat sudah mengenal
pengobatan modern atau pengobatan medis. Hal ini
dikarenakan di desa tersebut sudah dibangun sebuah
Poskesdes pada tahun 2010 dan terdapat tenaga kesehatan
yang menempatinya. Namun demikian, pola pencarian obat
pertama pada sebagian besar masyarakat adalah mengobati
sendiri terlebih dahulu, baik dengan cara membeli obat yang
dijual di warung atau mencari pertolongan ke dukun
kampung dengan pengobatan ‘tiup-tiup’ terlebih dahulu.
Apabila dua hingga tiga hari kemudian sakitnya tidak

99

sembuh, barulah ia mencari pengobatan ke tenaga
kesehatan.

Gambar 7.
Pengobatan Tiup-tiup
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saya juga sedikit terperangah ketika mengetahui
anak-anak datang ke Poskesdes untuk ‘membeli’ obat. Tidak
hanya sekali dua kali, tetapi ‘banyak kali’ yang memakai pola
demikian. Ternyata, mereka diminta oleh orangtuanya
datang ke Poskesdes untuk membeli obat karena orangtua,
adik, atau saudaranya yang lain ada yang sakit. Mereka
‘membeli’ tanpa ‘memeriksakan diri’ terlebih dahulu.
Menurut keterangan dari bidan desa setempat, hal ini
memang sudah biasa. Bidan desa sendiri sebenarnya takut
memberikan obat tanpa melakukan pemeriksaan terlebih
dahulu. “Jika obat yang dikonsumsi benar, ia berfungsi
sebagai penawar, namun jika tidak, bisa jadi ia justru
berfungsi sebagai racun”, demikian katanya. Hanya saja,

100

pada akhirnya ia meng-

ikuti ‘pola pengo-batan’

masyarakat tersebut de-

ngan memberikan obat-

obatan berdosis rendah,

kemudian keesokan hari-

nya apabila keluar dari

Poskesdes dan bertemu

dengan orang yang ber-

sangkutan (red: orang

yang sakit), akan mena-

nyakan gejala sakit yang

diderita. Selanjutnya ia

menuliskannya di buku

data pengunjung Poskes- Gambar 8.

des. Selain itu, tak jarang, Pola Pemeriksaan ‘Panggil-panggil’
ia dipanggil untuk datang Sumber: Dokumentasi Peneliti

memeriksa orang yang sakit di rumahnya, sehingga, tentu

saja, data kunjungan ke Poskesdes bisa jadi bukanlah data

‘kunjungan’ yang sebenarnya.

101

102

Malaikat Tanpa Sayap
di Sei Antu

Catatan Peneliti Etnografi Kesehatan 2015

Nor Efendi

Sekadau, 15 mei 2015
Kalimantan Barat, provinsi ini sejatinya bagi saya yang

lahir di Kalimantan Selatan adalah tetangga dekat. Sebagai
tetangga seharusnya daerah ini telah terlebih dahulu saya
kunjungi sebelum daerah-daerah lainnya, baik dalam
rangkaian perjalanan terkait tugas keprofesian bidang
kesehatan maupun destinasi travelling ala backpacker yang
sesekali juga saya lakoni. Namun mirisnya, Kalimantan Barat
seperti provinsi terasing jika dibanding dua provinsi tetangga
lainnya, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Salah satu
penyebabnya mungkin karena akses via darat ke provinsi
berjuluk Bumi Katulistiwa ini tidak seterjangkau seperti ke
kedua provinsi tersebut. Maskapai pun hanya menyediakan
penerbangan jalur transit di bandara pulau Jawa untuk bisa
sampai ke provinsi ini dari tanah kelahiran saya, Kalimantan

103

Selatan. Dan saya harus bersyukur karena Riset Etnografi
Kesehatan 2015 lah yang akhirnya menakdirkan saya
berkesempatan menjejakkan kaki di Kalimantan Barat,
tepatnya di Desa Sei Antu, Kecamatan Belitang Hulu,
Kabupaten Sekadau untuk masa penugasan selama 35 hari.

Gambar 1
Rute perjalanan Jakarta-Desa Sei Antu, Kalimantan Barat

Sumber: Dimodifikasi dari Google Maps

Imajinasi akan spontan tergiring ke nuansa sebuah
desa yang terkesan mistis ketika nama Desa Sei Antu disebut.
Antu dalam Bahasa Dayak yang menjadi etnis mayoritas
penghuni desa berpenduduk 1.404 jiwa ini memang berarti
Hantu. Sehingga terjemahan bebas dari nama Sei Antu
merujuk pada sebuah desa yang sungainya dipenuhi hantu-
hantu, seram bukan? Kalaupun nanti pembaca belum bisa
mendapatkan kesan seramnya, semata-mata karena
keterbatasan saya mengolah kata-kata untuk
mendeskripsikannya, hehehe... Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Sekadau yang merekomendasikan penempatan
lokasi penelitian kami di sana pun menegaskan bahwa desa
itu kondisinya memang sesuai namanya. Ketika saya ingin
mengorek keterangan lebih lanjut, beliau menantang kami

104

dengan mempersilahkan membuktikannya sendiri selama
bertugas disana nanti. Hmm...jiwa petualang saya semakin
meronta-ronta untuk menjajalnya.

Nama desa Sei Antu tercipta berdasarkan legenda
yang dituturkan oleh nenek moyang kepada anak cucunya.
Semula desa ini bernama Semelagau dimana konon dahulu
kala terjadi wabah penyakit menular yang menyerang hampir
seluruh warga desa, hingga korban pun berjatuhan. Berbagai
upaya untuk mengatasi penyakit tersebut dilakukan oleh
warga desa, namun tak satupun yang membuahkan hasil.
Hingga tiba suatu masa dimana seorang pemuda Melayu
yang disebut Bujang berburu sampai ke Desa Semelagau
melalui jalur sungai. Setibanya di Semelagau, Bujang yang
tidak disebutkan namanya dalam legenda, melihat sejenis
binatang mirip rusa yang sedang minum dipinggiran sungai.
Sebagai pemburu ia berusaha mendekat untuk
menangkapnya. Namun ketika di dekati, betapa terkejutnya
si Bujang mendapati ternyata hewan tersebut adalah
makhluk jejadian menyerupai manusia dengan badan tinggi
besar namun berkepala kecil seperti rusa. Setelah melalui
perkelahian sengit, Bujang yang memang seorang pemburu
handal akhirnya berhasil melumpuhkan makhluk tersebut
yang kemudian ambruk ke sungai. Warga Desa Semelagau
pun berdatangan menyaksikan peristiwa tersebut, dan ajaib,
penyakit-penyakit yang mereka derita berangsur sembuh.
Bujang di anggap pahlawan yang membebaskan mereka dari
serangan penyakit menular yang diyakini akibat ulah makhluk
jejadian yang mereka sebut sebagai Antu. Dan sungai tempat

105

tumbangnya Antu tersebut diabadikan sebagai pengganti
nama Desa Semelagau menjadi Desa Sei (Sungai) Antu.

Keseraman desa Sei Antu bukan hanya bergema dari
sejarah namanya. Akses jalan menuju desa yang dihuni
penganut Kristen Katolik dan Protestan ini juga menciptakan
kesan ngeri tersendiri. Bagaimana tidak, dari Jakarta perlu
waktu 5 hari buat kami untuk benar-benar sampai di desa ini.
Perjalanan udara yang berakhir saat mendarat di Bandara
Supadio Kota Pontianak, harus dilanjutkan perjalanan darat
selama 6-7 jam menggunakan armada mobil travel jenis
minibus menuju ibukota kabupaten Sekadau tempat transit
pertama.

Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan
menggunakan motor dinas pinjaman dari Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Sekadau dan diantar oleh salah
seorang stafnya sebagai penunjuk jalan menuju Balai Sepuak,
ibukota Kecamatan Belitang Hulu. Perjalanan dari kota
kabupaten menuju ibukota kecamatan paling ujung utara
Sekadau ini kami tempuh dalam waktu 3 jam, salah satunya
dengan menyeberangi sungai terpanjang di Indonesia yaitu
Sungai Kapuas dimana motor yang kami tumpangi juga ikut
dinaikkan ke perahu penyeberangan.

Alat transportasi untuk mencapai Desa Sei Antu dapat
menggunakan roda empat jenis double gardan atau roda dua
dengan melintasi jalanan tanah bergelombang, berlumpur,
menanjak dan menurun lewat hutan serta perkebunan sawit.
Kondisi jalan akan kering dan berdebu saat musim kemarau
dan berubah menjadi ekstrim karena licin dan berlumpur
pada musim hujan. Jalanan yang sebagian besar sepi dari

106

pemukiman penduduk juga menuntut kesabaran, ketahanan
mental yang prima serta nyali ekstra bagi pelintasnya.

Gambar 2
Akses jalur transportasi menuju Desa Sei Antu

Sumber : Dokumentasi Peneliti

Guyuran hujan deras dan cuaca tidak bersahabat yang
menyambut kedatangan kami, membuat kami harus
bermalam lagi 2 malam di Balai Sepuak, menunggu jalan
dikeringkan oleh alam. Seramnya akses jalan menuju Desa
Antu salah satunya karena tidak direkomendasikan (lebih
tegasnya dilarang) di lalui setelah dan atau saat hujan. Desa
Sei Antu sendiri letaknya paling ujung sebelah utara wilayah
Kecamatan Belitang Hulu. Perlu 2 jam waktu tempuh dari
Balai Sepuak untuk sampai di desa tanpa jangkauan sinyal
telekomunikasi seluler ini. Beberapa masyarakat pemilik
handphone mencoba mengakses sinyal telekomunikasi
seluler dengan bantuan antena rakitan (seperti antena
penangkap siaran televisi) yang harus dipasang dengan
tonggak berketinggian antara 30-50 meter, meski dengan
cara ini pun hanya beberapa saja yang akhirnya berhasil
mendapatkan sinyal dari provider Telkomsel atau Indosat

107

yang kualitasnya juga tidak bisa dibilang bagus dan stabil.
Sumber penerangan listrik pada malam hari di Desa Sei Antu
hanya menggunakan mesin genset milik desa yang
merupakan proyek bantuan pemerintah serta sebagian milik
pribadi dengan kapasitas lebih kecil. Sebagian masyarakat
juga menggunakan listrik yang bersumber dari tenaga surya.
Aliran listrik dari genset milik desa terbatas menyala mulai
sekitar pukul 18.00 sampai 20.30 WIB.

Desa Sei Antu yang luasnya 80 Km2 dan sebagian
besar wilayahnya berupa hutan hujan tropis, terbagi menjadi
3 dusun yang terpisah dan dipimpin oleh masing-masing
kepala dusun yaitu Dusun Sei Antu Hulu, Dusun Sei Antu
Pulau dan Dusun Sebelantau dibawah kepemimpinan
administratif seorang kepala desa yang dipilih masyarakat.
Kantor pemerintahan administrasi desa berada di Dusun Sei
Antu Hulu, walaupun dusun dengan jumlah penduduk
terbanyak dan tempat tinggal kepala desanya berada di
Dusun Sebelantau. Selain kepala dusun, juga ditunjuk
seorang ketua adat di masing-masing dusun yang diberikan
wewenang untuk mengatur hukum dan peraturan adat. Desa
Sei Antu dikenal masih kuat memegang adat istiadat dan
budaya etnis Dayak, salah satu buktinya dengan masih
berdirinya Rumah Betang Panjang yang mereka sebut Rumah
Panyai, tersisa satu-satunya di wilayah Kabupaten Sekadau.
Rumah Panyai yang menurut penuturan penanggung jawab
tersebut bisa dihuni sampai 17 kepala keluarga dalam satu
atap, telah dibangun sejak tahun 1966. Desain Rumah Panyai
seperti rumah-rumah panjang milik etnis dayak lainnya,
berupa bilik-bilik untuk masing-masing kepala keluarga

108

bertempat tinggal yang hanya dipisahkan oleh dinding.
Konstruksinya berbentuk rumah panggung tinggi sekitar 3-4
meter dari atas permukaan tanah dengan kayu Tebelian
sebagai bahan utamanya. Tebelian di daerah lain dikenal
dengan sebutan kayu Ulin atau kayu Besi merupakan kayu
unggul yang tidak akan mudah lapuk meskipun termakan usia
ratusan tahun. Kayu Tebelian banyak terdapat di hutan-hutan
Kalimantan di mana etnis Dayak bermukim.

Gambar 3
Rumah Adat Panyai Etnis Dayak Mualang Di Desa Sei Antu

Sumber : Dokumentasi Peneliti

Di desa penghasil lada dan karet ini saya berkenalan
dengan IP (25 tahun), seorang perawat berdarah blasteran
dari ibu Dayak dan ayah Cina, yang bertugas di Puskesmas
Pembantu (Pustu) Dusun Sebelantau. IP lah yang kemudian
kami rekrut menjadi asisten peneliti Kedekatan langsung
terjalin antara saya dan IP karena kesamaan latar belakang
profesi dan tentu saja karena selama di Sei Antu kami akan

109

sangat membutuhkannya untuk mengguiding perburuan
informan yang akan diwawancarai dalam riset kali ini.

IP berstatus pegawai tidak tetap yang dikontrak oleh
pemerintah daerah setempat untuk mengisi kekosongan
petugas kesehatan di desa terpencil. Meskipun seorang
putera daerah yang berasal dari desa lain di kecamatan yang
sama, namun masa pendidikan akademi keperawatannya
dihabiskan di salah satu institusi swasta di Jakarta. Godaan
hiruk pikuknya keramaian ibukota tak menyurutkan niat dan
tekadnya untuk kembali dan mengabdikan diri di daerah asal.
Walaupun belum terlalu langka, namun pengabdi kesehatan
yang berjiwa seperti IP jumlahnya semakin terbatas di negeri
ini. Manusiawi memang jika umumnya petugas kesehatan
seperti perawat, bidan, maupun dokter akan lebih memilih
mengabdi (bekerja) di daerah yang enak dan nyaman bagi
mereka, di banding harus bersusah-susah mendekam di
daerah terpencil, perbatasan atau kepulauan dengan gaji
yang terkadang juga hanya pas-pasan sesuai standar biaya
hidup yang tinggi di zona luar biasa tersebut.

“...sejak dikirim orang tua ke Jakarta untuk
melanjutkan pendidikan, saya memang sudah berniat
untuk mengabdi di kampung. Mungkin karena saya
anak kampung, lahir dan besar di kampung, jadi hati
dan jiwa saya sudah terikat dengan kampung. Dan ilmu
saya tentu saja lebih dibutuhkan di kampung seperti ini
daripada di kota besar sana. Lagipula saya memang
lebih suka hidup tenang dengan suasana kampung
yang sepi seperti disini, daripada di Jakarta yang
kemana-mana di hadang macet...”.

110

Penuturan IP sedikit menyentil saya yang 2 tahun
terakhir merasa begitu menikmati hidup sebagai kaum urban
ibukota. Terkadang saya merasa bangga sendiri bisa
menikmati keramaian dan segala fasilitas yang tersedia di
Jakarta. Bangga bisa melanjutkan pendidikan magister di
universitas paling ternama negeri ini walaupun dengan
topangan beasiswa pemerintah. Bangga bisa terlibat sebagai
peneliti freelance seperti sekarang ini. Astagfirullah...
kebanggaan saya yang mungkin berselimut takabur dan
sombong melipir. IP mengingatkan saya bahwa saya juga
anak kampung dan saya juga harus kembali ke kampung,
membangun kampung dengan ilmu dan karya saya.

Gambar 4
Pustu Dusun Sebelantau Desa Sei Antu Tempat IP Bertugas

Sumber : Dokumentasi Peneliti

IP baru sekitar 3 bulan bertugas di Pustu yang
mengalami kekosongan selama 3 tahun setelah ditinggal

111

minggat oleh pendahulunya. Kiprah IP yang masih tergolong
singkat telah mulai dirasakan oleh masyarakat Dusun
Sebelantau khususnya dan Desa Sei Antu umumnya.
Beberapa masyarakat yang saya temui secara terpisah
banyak yang mengungkapkan kehadiran IP bak pelepas
dahaga di tengah kehausan akan layanan petugas kesehatan.
Masyarakat Desa Sei Antu meskipun masih kuat memegang
adat dan tradisi, namun untuk urusan pelayanan kesehatan
terutama pengobatan, mereka sudah sangat terbuka dan
menerima layanan modern. Sepenggal pengakuan
masyarakat yang menggambarkan betapa berartinya
kehadiran petugas kesehatan di daerah terpencil yang jauh
dari jangkauan layanan kesehatan tergambar dari hasil
wawancara saya dengan salah seorang informan berikut ini :

“...semenjak pak IP ada disini, kami tidak perlu lagi
jauh-jauh berjalan kaki ke desa lain di kabupaten
tetangga untuk mengimunisasi anak ke Posyandu
setiap bulan. Dulu kami berjalan puluhan kilo dengan
waktu bisa sampai dua jam. Itupun terkadang kami
harus bersabar menunggu anak-anak penduduk asli
sana yang didahulukan semua mendapatkan
imunisasiny. Baru jika imunisasinya ada sisa,bisa
diberikan kepada kami yang istilahnya sebagai orang
luar, di sana. Terkadang lelah perjalanan jauh kami dan
waktu yang kami sempatkan untuk kesana, terbuang
sia-sia jika imunisasinya sudah keburu habis digunakan
anak-anak penduduk asli sana...” (Ibu S,38 tahun).

Ahh..ini kan Indonesia. Ini kan masih satu pulau, satu
provinsi, satu suku. Tapi hak-hak generasi penerus bangsa

112

untuk mendapatkan sehat melalui layanan imunisasi dasar,
ternyata masih terkesan diskriminatif karena keterbatasan
sumber daya yang disediakan pemerintah. Semoga jika masih
ada kasus-kasus seperti ini di belahan Indonesia lainnya,
saya berharap para orangtua yang sudah memiliki kesadaran
tinggi akan pentingnya imunisasi sebagai salah satu prasyarat
hidup sehat, dapat tetap sabar menunggu malaikat-malaikat
tanpa sayap seperti IP didatangkan pemerintah bertugas di
daerah mereka.

Gambar 5
Kegiatan Posyandu Mekar Dusun Sebelantau

Sumber : Dokumentasi Peneliti

Di kesempatan lain saya juga mendapat curhatan
seorang suami yang merasa sangat berhutang nyawa karena
isterinya yang mengalami luka parah akibat sabetan parang

113

ketika meladang, berhasil diselamatkan oleh perawatan
tangan IP.

“...lukanya besar dan mengeluarkan darah yang
banyak. Seharusnya waktu itu isteri saya dirujuk ke
kota. Tapi tau sendiri lah dengan kondisi jalan dan desa
kami yang terpencil disini. Kalau menunggu sampai ke
kota, bisa-bisa isteri saya meninggal di tengah jalan.
Untung sudah ada pak IP yang bisa menginfus dan
menjahit luka lalu merawatnya sampai sembuh...”.

Ketika saya konfirmasi ke IP tentang peristiwa ini, IP
merendah dengan menjawab bahwa ia hanya melakukan
sebisanya untuk menolong masyarakat yang diamanahkan
kepadanya. Padahal alat kesehatan dan obat-obatan yang
disediakan pemerintah sebagai modal IP bertugas menurut
saya masih sangat terbatas. Beberapa alat dan obat-obatan
di Pustu Sebelantau bahkan dibeli dan diusahakan sendiri
oleh IP secara swadaya, demi bisa memberikan pelayanan
terbaik sesuai kebutuhan penugasannya. Terkadang kita
merasa hanya melakukan hal-hal kecil menurut kapasitas
keilmuan kita. Namun bisa jadi justeru terasa teramat
bernilai bak seorang malaikat dimata orang-orang yang
menerimanya. Jadi, jangan pernah berhenti memberi, sekecil
apapun itu, dalam keterbatasan kita

Selama melakukan riset dan bekerjasama dengan IP,
saya berkesempatan kembali bernostalgia mengasah
kemampuan klinis dengan ikut membantu menangani pasien-
pasien yang datang ke Pustu atau memanggil IP ke rumah
untuk mendapatkan homecare. Kerinduan akan hubungan
interpersonal dengan pasien-pasien yang beberapa tahun lalu

114

pernah saya nikmati sedikit terobati dengan memberikan
pelayanan berduet dengan IP. Sambutan masyarakat pun
semakin menambah semangat saya untuk bukan hanya
sebatas menyelesaikan misi penelitian, tetapi sambil
menapaktilasi masa lalu saat berjuang menjalankan tugas di
sebuah pedalaman pemukiman transmigrasi di Kalimantan
Selatan.

Pengabdian IP sebagai perawat kesehatan yang
mengabdi di desa terpencil tidak hanya bertabur puja puji
dan gelimang terimakasih. Tantangan pengabdian juga cukup
besar menghadang. Sebagai desa yang telah lama
ditinggalkan petugas kesehatan sebelumnya yang seorang
bidan desa, masyarakat desa ini nyaris kehilangan sentuhan
terhadap pertolongan persalinan tenaga kesehatan. Dukun
kampung laki-laki yang telah berusia 65 tahun versi KTP
beliau yang ditunjukkan kepada saya saat wawancara, adalah
satu-satunya penolong persalinan yang telah dipercaya dan
diandalkan masyarakat. Hampir semua ibu hamil, bersalin
dan nifas di desa ini mempercayakan layanan kesehatan
reproduksinya ke kakek tua yang mereka sebut sebagai bidan
kampung tersebut.

Bidan kampung yang mengaku telah berpraktik sejak
usia 40 tahunan ini masih tampak gagah di usianya yang
terbilang sudah cukup sepuh. Jangkauan pelayanannya pun
ternyata juga cukup luas, bahkan beberapa kali pernah
dipanggil pasiennya sampai ke kota Pontianak, selain tentu
saja ke desa-desa, kecamatan dan kabupaten tetangga.
Popularitasnya mungkin mengalahkan para bidan senior
bahkan spesialis kebidanan dan kandungan sekalipun.

115

Gambar 6
Sulitnya akses rujukan membuat IP terkadang harus

menginfus pasiennya di rumah
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Pelayanan yang diberikan bidan kampung yang
namanya cukup unik ini (sama persis dengan nama salah satu
jenis tanaman serbuk terlarang) sebenarnya cukup
sederhana, hanya mengandalkan keterampilan pijat dan urut
dari tangannya. Apalagi jenis kelamin beliau yang seorang
laki-laki mungkin memang sedikit membatasi gerak untuk
melakukan tindakan yang lebih dari itu, termasuk dalam
menolong persalinan. Satu hal yang membuat saya terhenyak
ketika mengetahui bahwa bidan kampung ini masih
menggunakan sembilu bambu untuk memotong tali pusat
bayi baru lahir. Keterhenyakan saya berlanjut ketika
mewawancarai ibu-ibu yang pernah melahirkan
menyebutkan bahwa budaya perawatan tali pusat neonatus

116

dengan cara diludah menggunakan hasil kunyahan sirih
pinang dari nenek atau keluarga bayi lainnya, masih
dipraktikkan. Hmm...kombinasi yang sudah sangat bagus
untuk memicu kejadian Tetanus Neonaturum. Namun
kenyataan di lapangan mementahkan semua faktor risiko ini.
Kompilasi data baik dari Dinas Kesehatan, Puskesmas
Sebetung yang menjadi Puskesmas Induk Pustu Sebelantau
Desa Sei Antu, bahkan hasil wawancara mendalam dengan
sedikit teknik bergerilya agar bisa menelusuri fakta
sebenarnya, memberikan hasil yang sama. Tidak ada
kematian bayi di seluruh wilayah desa ini setidaknya dalam 3
tahun terakhir. Saya kemudian berhusnuzon bahwa
Clostridium tetani memang tidak ada yang hidup di desa ini,
walaupun ini pemikiran dangkal yang hanya berbasis data
kasat mata.

Rendahnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
(nakes) sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi IP dalam
melaksanakan tugas di desa ini. Namun dibalik itu saya
melihat sebuah peluang, bahwa ketidakrisihan para ibu
bersalin mempercayakan perangkat dapurnya kepada
penolong berjenis kelamin laki-laki bisa jadi entry point bagi
IP untuk setidaknya menjalin kemitraan dengan sang bidan
kampung. IP sempat ragu tentang hal ini dengan alasan tidak
terlalu terampil dalam urusan menolong partus (parsalinan),
karena dia hanya seorang perawat, bukan bidan. Namun
setelah saya menceritakan pengalaman betapa dahulu ketika
bertugas di desa terpencil, dimana kita adalah satu-satunya
petugas kesehatan yang menjadi ujung tombak dalam
mendongkrak cakupan persalinan nakes, menolong partus

117

adalah suatu keniscayaan yang harus saya lakukan, IP pun
tergugah. Dan saya harus mensupport dia dengan
membagikan file-file serta video langkah-langkah
pertolongan partus terkini. Dalam kesempatan lain berakrab-
akrab dengan sang bidan kampung saya manfaatkan untuk
menginisiasi kemungkinan kemitraan tersebut, dengan
bahasa bahwa IP adalah adik saya yang baru lulus dan
bertugas di desa tersebut, membutuhkan banyak bimbingan
dan sharing pengalaman serta keterampilan dalam menolong
persalinan. Alhamdulillah, bidan kampung kakek G
memberikan respon yang positif. Semoga sepeninggal saya
nanti, upaya ini membuahkan hasil di kemudian hari. Tidak
muluk-muluk, cukup dengan dimulainya kerjasama dua lelaki
ini dalam menolong persalinan dan mengganti alat pemotong
tali pusat dari sembilu menjadi gunting steril.

Tak terasa waktu 35 hari masa riset akan segera
berakhir. Selama itu pula saya terus menikmati hari-hari,
menyaksikan sebuah pengabdian besar yang mungkin
terlihat kecil atau bahkan tersembunyi di tengah luasnya
nusantara ini. Pengabdian seorang insan kesehatan yang
terlihat tulus, walaupun tarif yang diterima atas jasanya
masih harus dihutang, atau bahkan diganti dengan berbagai
sayuran dan pangan yang saat itu ada dan dimiliki pasien-
pasiennya, serta tidak sedikit pula yang hanya mampu
mengucapkan terimakasih dan untaian doa. Tapi saya yakin
IP akan terus bahagia dengan darmabaktinya. Saya tahu itu
karena kami sudah begitu dekat selama 35 hari ini. Terus
semangat IP, terus berjuang menjadi salah satu pahlawan
kesehatan bangsa ini. Salam sejawat!

118

Apakah Ini Bukan Masalah
Kesehatan Masyarakat??!

Catatan Perjalanan ke Kota Banjarmasin

Agung Dwi Laksono

Banjarmasin, 06 Mei 2015
Pagi itu, jam 04.45 WITA sebelum adzan subuh

berkumandang, mobil jemputan kami sudah datang. Pak Yan,
sopir yang menjemput kami, sudah stand by di lobby Hotel
Palm dengan mengenakan jaket kulitnya. Harus bersabar
sebentar untuk menunaikan sholah subuh sebelum cap cus
menyusuri Sungai Barito.

Jam 5.15 kami sudah siap meluncur, menuju demaga
wisata pasar terapung. Yak, kami memang hendak browsing
destinasi wisata legendaris di Kota Banjarmasin ini. Jalanan
sudah cukup ramai dengan lalu-lalang masyarakat yang mulai
bertebaran.

Dermaga wisata terletak persis di seberang sebuah
masjid bersejarah, Masjid Sultan Nuriansyah. Masjid klasik
dengan gaya arsitektur tempo dulu khas Banjar, dibangun

119

dengan bahan yang sebagian besar atau bahkan mungkin
secara keseluruhan terbuat dari kayu atau papan kayu.
Terlihat jama’ah sholat subuh baru bubar di masjid ikonik
tersebut.

Gambar 1.
Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara Banjarmasin

(gambar diambil saat menjelang siang)
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami menyewa perahu motor berpatungan dengan
tiga orang gadis yang secara kebetulan kami temui di depan
halaman masjid. Kesepakatan dengan si empunya perahu
tercapai. Kami mendapat harga Rp. 250.000,- untuk
menyusuri Sungai Barito sampai dengan nanti sekitar pukul
07.00 WITA.

120

Langit masih gelap saat kami memulai perjalanan,
kamera prosumer kacangan kesayangan saya tak mampu
menangkap gambar apapun yang nampak dengan cukup
baik. Ahh… lebih baik naik ke atap perahu, berdiam diri,
melipat tangan, bersila, dan menikmati kesunyian pagi yang
mulai beranjak pergi.

Pagi tenang mulai terganggu dengan deru berisik
mesin tempel perahu yang mulai lalu lalang. Sisi kiri dan
kanan sepanjang sungai tampak rumah penduduk bak
panggung sandiwara yang berdiri di atas aliran sungai. Tak
seberapa lama di sisi kiri nampak Dermaga Penumpang
Trisakti, sementara berjarak tak seberapa jauh mulai nampak
kapal pengangkut batubara.

Gambar 2.
Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami tiba di lokasi Pasar Terapung. Belum banyak
perahu para pedagang yang terlihat biasa berjualan di sungai
ini, hanya ada beberapa saja yang sudah mulai melakukan

121

‘barter’ barang dagangan antar mereka. Sistem barter
memang biasa dilakukan para pedagang untuk melengkapi
jenis barang dagangannya. Terlihat eksotik, saat perahu para
pedagang itu hilir mudik dengan background matahari yang
mulai menampakkan hidungnya.

Gambar 3.
Aktivitas Pagi Pasar Terapung
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Satu-persatu para pedagang mulai menghampiri
kami, menawarkan buah pisang emas, limau (jeruk), mentega
(Apokat), dan beberapa dagangan lainnya. Kami membeli
pisang emas sekedarnya, tiga cengkeh pisang emas kecil-kecil
kami tebus dengan harga Rp. 10.000,-.

122

Gambar 4.
Wisatawan Nusantara sedang Menawar Pisang

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 5.
Kartini Masa Kini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selang sebentar nampak perahu yang dikemudikan
seorang laki-laki paruh baya mendekat ke arah kami.

123

Woww… surprised! Dia berjualan nasi bungkus, gorengan dan
kopi! Hahaha… warung kopi terapung bok!

Cara mengambil gorengan yang tersedia di atas
perahu pun terlihat sangat unik. Bagi penumpang perahu
yang tidak bisa mendekat disediakan galah panjang yang di
ujungnya diikatkan sebatang kawat dari jari-jari roda sepeda.
Panjang galah lak lebih dari 1,5 meter. Pembeli tinggal
mencocok kue atau gorengan dengan galah kawat tersebut.
Sederhana dan terlihat gampang, meski pada kenyataannya
perlu ketenangan untuk dapat menusuk dengan tepat.
Apalagi saat ada perahu motor yang lewat, yang membuat
gelombang sehingga perahu pun turut bergoyang, lebih
terasa seperti mancing.

Gambar 6.
Pembeli yang Sedang ‘Mancing’ Gorengan

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami pun asyik menyantap gorengan yang
ditawarkan. Saya menghabiskan dua potong bakwan dan

124

satu potong pisang goreng. Lumayan mengenyangkan untuk
sarapan pagi.

Mulut terasa penuh, tenggorokan terasa mengering,
sepertinya saya harus pesan minum, mungkin bisa segelas
kopi tubruk kegemaran saya. Tapi kami terdiam, saya dan
rekan saling pandang, kami melihat mamang penjual
gorengan mencuci gelas bekas kopi dengan air sungai.
Menggunakan sabun juga memang, tapii…

Saat ini bulan Mei, meski seharusnya sudah mulai
musim kemarau, tetapi pada kenyataannya semalam masih
turun hujan dengan sangat deras. Air sungai terlihat keruh,
coklat.

Hari semakin terang, saat kami mulai bisa melihat
aktivitas pagi penduduk yang mendiami sepanjang daerah
aliran Sungai Barito. Hampir seluruh aktivitas bersih-bersih
dilakukan di sungai. Mencuci baju, manci, gosok gigi, dan
bahkan (maaf) buang air besar. Hampir tidak ada jarak, atau
katakanlah cuman berjarak 1 meter, antara aktivitas mandi
dan gosok gigi dengan aktivitas buang air besar. Kami tidak
hanya menemui satu atau beberapa penduduk saja yang
beraktivitas seperti itu, tapi kami melihat banyak sekali.
Meski aktivitas buang air ini di tempat yang lebih tertutup,
tapi…

Saya jadi berpikir, apakah mereka nyaman dengan
kondisi tersebut? Apakah mereka tidak merasa hal itu sebuah
masalah? Bukankah ada Universitas Lambung Mangkurat di
daerah ini? Saya lihat ada Fakultas Kedokteran di sini, atau
jangan-jangan para akademisi tersebut juga merasakan hal

125

ini biasa saja, bukan sebuah masalah? Ahh… jangan-jangan
hanya saya saja yang terlalu lebay.

Gambar 7.
Sarana Cuci, Mandi, Gosok Gigi dan Buang Air Besar

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menurut informasi pak Yan, sopir kami, di daerah
tersabut air bersih sudah ada, sudah masuk sampai ke
rumah-rumah penduduk. “Iya pak, air bersihnya sudah ada,
sudah sampai ke rumah-rumah… hanya saja masyarakat sini
sudah merasa terbiasa, sudah merasa nyaman melakukan
aktivitasnya di sungai… MCK juga sudah disediakan pak.”

Menurut data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan
oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
pada tahun 2013, angka cakupan akses dan sumber air bersih
masyarakat di Kota Banjarmasin mencapai kisaran 82,58%.
Angka capaian ini jauh lebih baik dan bahkan hampir dua kali
lipat bila dibanding angka Provinsi Kalimantan Selatan
sebesar 43,75%, dan angka Indonesia pada kisaran 40,51%.

126

Artinya bahwa secara akses masyarakat mempunyai akses
tersebut, hanya saja hal ini kemungkinan berbeda dengan
perilaku yang tampak.

Angka cakupan “PENGAKUAN” perilaku buang air
besar dengan benar pun tercatat sangat tinggi, mencapai
angka 93,31%. Capaian cakupan ini cukup jauh di atas angka
provinsi yang hanya pada kisaran 75,52% dan angka nasional
sebesar 82,59%. Masih menyisakan pertanyaan besar di
kepala saya, benarkah PENGAKUAN mereka tersebut?
Mungkin ini juga merupakan salah satu kelemahan survei
yang dilakukan secara cross sectional.
Ahh… jangan-jangan memang benar cuman karena saya yang
lebay.

127

128

Tradisi Betimung

Sekilas Potret Perkawinan Anak
di Suku Banjar Bakumpai Muara Sungai Barito

Astutik Supraptini

Banjar, 25 Mei 2015

Proses riset etnografi kesehatan yang pengumpulan
datanya dilakukan selama sebulan, banyak meninggalkan
kesan bagi peneliti. Perjalanan ini bagi peneliti telah
melahirkan sensitivitas, pemahaman dan apresiasi pada
ragamnya kehidupan ini. Perjalanan untuk mengungkap
makna.

Suku Banjar dikenal sebagai pemeluk agama Islam
yang taat dan ritual keagamaan yang cukup padat dalam
kehidupan masyarakatnya. Martapura sebagai ibukota
Kabupaten menjadi pusat aktivitas keagamaan di Provinsi
Kalimantan Selatan.

Desa yang menjadi lokasi Riset Etnografi Kesehatan di
Kabupaten Banjar adalah desa Podok yang terletak di
kecamatan Aluh-Aluh, yang jaraknya sekitar 1,5 jam dari kota

129

Martapura. Untuk mencapainya ditempuh dengan perjalanan
darat, dan dilanjutkan dengan perjalanan menyeberang
sungai selama 40 menit.

Gambar 1
Dermaga penyeberangan di Aluh-Aluh.
Sumber: Dokumentasi peneliti, April 2015

Pada saat tim peneliti menyeberang dari dermaga
Aluh-Aluh, saat itu air sedang pasang tinggi. Kami yang baru
pertama menyeberangi sungai dengan kapal kelotok (perahu
kayu bermesin) cukup tegang, apalagi ketika kapal kelotok
oleng beberapa kali karena tingginya dan derasnya arus air.
Pada saat persiapan daerah, kami memang mengunjungi
desa ini dengan naik speedboat Puskesmas, yang tentu saja
perjalanan dengan speedboat lebih cepat 2 kali lipat daripada
naik kapal kelotok dan ketinggian air tidak setinggi ini.

130

Perasaan menjadi tenang ketika perjalanan sudah
melewati Pulau Kaget, pulau yang hanya dihuni oleh
bekantan, monyet kecil dan kawanan burung-burung. Hal ini
berarti tidak lama lagi kami akan sampai. Kami menjadi lega
ketika melihat kembali deretan rumah panggung di tepi
sungai, beberapa orang yang beraktivitas di sungai, dan
ucapan selamat datang di desa Podok yang dipasang di salah
satu WC warga yang terletak di pinggir sungai. Perahu kami
segera mendarat di dermaga yang ternyata berada di
belakang toko pemilik rumah yang akan kami sewa. Begitu
kami turun dari kapal, terlihat beberapa orang yang secara
sukarela membantu mengangkat barang-barang kami.
Ternyata mereka semua sebagian besar adalah kerabat
pemilik rumah. Segera kami berjalan menuju rumah yang
akan kami tempati selama 33 hari untuk pengumpulan data
kajian ini.

Di rumah yang akan ditempati tim peneliti, pemilik
rumah sudah menunggu kedatangan kami. Cukup banyak
orang yang menemui tim di hari kedatangan, termasuk
Pembakal (Kepala) desa ini. Sambutan yang hangat dan
keceriaan membuat kami optimis untuk proses selama
sebulan lebih beberapa hari di tempat ini.

Bagi penduduk desa ini, sungai adalah urat nadi
kehidupan. Penduduk desa ini meskipun dikatakan orang
Banjar, namun secara Sukuitas masih berakar pada Dayak
Bakumpai atau menyebut dirinya sebagai Dayak
Bahari/Dayak Pantai. Masyarakat berinteraksi dan
beradaptasi dengan sungainya yang membentuk pola budaya
kehidupan masyarakat sungai. Keterkaitan penghuni

131

permukiman pinggir sungai dengan sungai yaitu (1) sungai
memenuhi kebutuhan dan aktivitas transportasi, (2) aktivitas
ekonomi sungai dan termasuk di dalamnya sebagai sumber
ekonomi, (3) aktivitas mandi, cuci, kakus, dan persampahan
yang berlangsung di sungai, dan (4) kebutuhan akan
pemenuhan air bersih. Bagi masyarakat Podok yang wilayah
geografisnya dipisahkan oleh 4 aliran sungai, maka fungsi
sungai menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan
mereka.

Gambar 2
Kondisi Desa, Infrastruktur Jembatan serta Sungai

Sumber: Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Salah satu hal yang berkesan bagi peneliti adalah
ketersediaan alat transportasi untuk memudahkan mobilitas
warga. Kapal kelotok yang memberikan jasa antar dan
jemput hanya 1 kapal saja, yang hanya beroperasi untu
mengantar anak sekolah di tingkat Aliyah di Aluh-Aluh di pagi

132

hari dan menjemput di siang hari di Kecamatan Aluh-Aluh.
Jadi, bagi yang ingin bepergian ke kecamatan, mesti
menyesuaikan dengan jadwal anak sekolah.

Selama mengikuti penyeberangan dari Podok ke Aluh-
Aluh pulang pergi, peneliti melihat tidak cukup banyak anak
yang melanjutkan ke jenjang SMA. Padahal, jika melihat yang
masih duduk di SD dan MTs cukup banyak. Menurut
beberapa warga, kebanyakan warga memang sekolah sampai
SD atau SMP. Jikapun melanjutkan sekolah tinggi dan belum
mendapatkan pekerjaan, maka akan menjadi perbincangan
warga. Mengenyam pendidikan tidak dirasa terlalu penting,
apalagi untuk anak perempuan. Banyak anak perempuan
ketika lulus SD dan masih di bangku MTs keluar sekolah
karena dikawinkan. Salah satunya adalah Julaiha, yang masih
ingin sekolah tapi harus memendam keinginan itu karena
dikawinkan.

Peneliti mengetahui kisahnya berdasarkan tuturan
keponakan pemilik rumah, yang memang satu sekolah
dengannya di MTs. Perkawinan akan segera dilakukan, salah
satu ritual persiapan pernikahan adalah Betimung. Ritual
tersebut biasanya dilakukan malam hari selepas sholat Isya.
Kami akan menghadiri ritual tersebut dengan naik kapal
kelotok. Jarak rumah peneliti dengan rumah informan cukup
jauh, apalagi tidak ada penerangan jalan di malam hari.

Setelah Isya kira-kira pukul 19.45, tim peneliti
ditemani oleh Idah, Sanah dan Qiah yang merupakan teman-
teman sekolah informan, kami menuju Podok Darat dengan
menyewa kapal kelotok untuk mengambil video tentang
tradisi Betimung. Tradisi Betimung ini dalam istilah popular

133

dikenal dengan meratus. Dalam ritual ini, pengantin baik
perempuan maupun laki-laki diuapi dengan air rebusan daun
pandan, serai, daun kayu manis, daun lengkuas agar tubuh
menjadi wangi. Menurut Amang Rahman yang menyopir
kapal kelotok, aroma Betimung ini bisa bertahan selama 3
hari.

Calon pengantin perempuan adalah teman sekolah
Sanah dan Qiah yang baru berumur 15 tahun. Sepanjang
perjalanan menyusuri sungai di tengah malam yang pekat
dan yang terdengar hanyalah suara mesin kelotok serta suara
arus air, peneliti berbincang dengan Sanah dan Qiah.
Menurut mereka, teman sekolahnya tersebut– sebetulnya
masih ingin meneruskan sekolah dan mempunyai pacar.
Namun keluarganya terpaksa menjodohkan dia karena
merasa berat untuk membiayai pendidikan yang dirasa
mahal. Menurut orangtua Julaiha dan kebanyakan
masyarakat disini, pendidikan tinggi tidak terlalu bermanfaat
baginya, sebab tugas perempuan adalah mengurus rumah
tangga.

Lokasi rumah informan yang akan dikunjungi hampir
di perbatasan desa Podok dan desa Terapu. Suasana sangat
sepi dan gelap. Tidak terlihat penerangan sedikitpun di
sepanjang jalan. Jejeran pohon nipah di pinggir sungai hanya
nampak seperti bayangan hitam yang bergerak-gerak karena
ditiup angin. Angin malam cukup dingin terasa menerpa pori-
pori kulit. Dari kejauhan terlihat sinar lampu yang cukup
terang, dan disanalah kiranya rumah si empunya hajatan dan
tempat hajatan itu akan dilakukan.

134

Kapal segera berlabuh di dermaga. Sayangnya di
dermaga tersebut sudah ada kapal kelotok yang cukup besar
yang juga ditambatkan. Amang Rahman, mencoba mencari
jalan masuk di sela kapal yang tertambat tersebut. Kapal
berhasil menepi, meskipun kami harus berpegangan pada
pelepah nipah untuk turun ke titian dan naik ke daratan.
Sepanjang jalan yang dipijak, banyak sekali pelepah nipah
dan daun nipah yang dipotong. Menurut Idah, pelepah
tersebut diambil daunnya untuk membuat ketupat sebagai
pelengkap soto Banjar. Soto Banjar dikatakan sebagai soto
karena dimakan bersama ketupat yang biasanya terbuat dari
beras dibungkus daun nipah. Jika kuah dimakan dengan nasi,
maka namanya bukan soto Banjar, tetapi sop ayam. Dari hasil
observasi peneliti, ukuran ketupat yang dibungkus daun
nipah hampir seukuran buku tulis, yang merebusnya
memerlukan waktu sekitar 5 jam dengan kayu bakar.

Peneliti mengamati bahwa rumah tempat tinggal yang
terletak tidak jauh dari pinggir sungai dijadikan tempat untuk
resepsi. Asumsi ini diambil oleh peneliti karena melihat
beberapa orang menyiapkan pelaminan dan di muka rumah
terdapat kain sebagai dekorasi penyambutan. Peneliti
menanyakan pada Idah, dimana tempat Betimungnya.
Ternyata ruangan tempat Betimung di rumah panggung kayu.
Kami melewati jembatan kayu kelapa dan tanah yang cukup
becek karena hujan. Suasana gelap, karena penerangan
hanya ada di sekitar rumah. Saat kami melewati jembatan
kayu kelapa untuk masuk ke rumah panggung kayu, banyak
laki-laki muda yang sedang menikmati musik dangdut yang
cukup keras dan berusaha menarik perhatian kami dengan

135

kata-kata yang dilontarkannya. Peneliti sendiri tidak paham
secara detil artinya karena diucapkan dengan cepat, tetapi
paham bahwa tujuannya untuk mencari perhatian dari kami.
Idah menyarankan agar kami tidak terlalu menghiraukan hal
itu. Selama perjalanan di kapal kelotok, peneliti sempat
mendengar Amang Rahman mengatakan bahwa menjelang
resepsi pengantin, selain Betimung, banyak laki-laki yang
akan main kartu domino (istilah lokalnya dum) sebagai
selingan kegiatan ikut berjaga sampai pagi hari (istilah
populer di Jawa adalah melekan). Tidak jarang juga diselingi
minuman keras dan musik dangdut. Dalam permainan dum
ini ada hadiah yang diperebutkan, dan yang kalah mukanya
akan dicoret dengan pupur dingin.

Di luar rumah panggung terlihat ibu yang sedang
menjerang air rebusan ramuan Betimung dengan tungku
kayu. Api menyala berkobar dibawah panci besar yang warna
luarnya menghitam. Menurut ibu tersebut, ramuan yang
direbus malam ini tidak komplit, karena hanya menggunakan
daun pandan, daun serai, dan daun lengkuas. Daun kayu
manis menurutnya cukup sulit didapat. Di dalam ruang
tengah rumah panggung yang ternyata cukup sempit
tersebut penuh dengan orang yang merupakan teman
pengantin perempuan. Tampak pengantin perempuan
berwajah muram dan menangis dihadapan teman- temannya
yang hadir malam itu. Pertanda dia tidak menginginkan
perkawinan dengan laki-laki asal Keliling Benteng, Sungai
Rangas. Peneliti merasakan kondisi yang sulit untuknya dan
bagaimana jalan hidup dipilihkan baginya.

136

Melihat mempelai perempuan yang kurang
bersemangat dan sedih, teman-temannya yang hadir disitu
berusaha menghibur dengan membuat candaan seputar
perkawinan. Beberapa dari mereka yang usianya sebaya
tersebut juga sudah menikah, bahkan ada yang sejak lulus SD
dikawinkan. Yang hadir dalam acara Betimung pengantin
perempuan adalah para perempuan, sehingga yang akan
mendokumentasikan proses Betimung adalah peneliti dan
asisten peneliti. Sedangkan rekan peneliti yang laki-laki
menunggu diluar dengan Amang Rahman. Dalam amatan
peneliti, suasana Betimung mirip malam melepas masa
bujang, dimana teman-teman sebaya hadir dalam acara
tersebut, dan saling bercanda – yang mungkin suasana akan
berbeda jika bertemu dengan status baru setelah menikah.

Prosesi ritual masih menunggu ramuan Betimung
mendidih. Di luar ruangan rumah panggung terlihat api terus
membesar menjilat panci seakan berkejaran dengan waktu
agar ritual tersebut segera dilakukan. Ibu informan
menyiapkan kotak kayu berlubang yang digunakan tempat
duduk informan selama ritual Betimung. Kotak kayu tersebut
berasal dari pengeras suara yang sudah tidak terpakai. Selain
kotak tersebut, disiapkan tikar yang terbuat dari rumput dan
kain-kain ukuran lebar untuk membungkus mempelai
perempuan agar uap tersebut benar-benar meresap dalam
pori-pori kulit. Luluran bedak dingin sebagai perawatan pasca
diuapi juga disiapkan dalam 2 wadah cawan. Lulur dingin
yang digunakan berbeda dengan bedak dingin biasanya.
Menurut Idah, saat Betimung yang digunakan, yaitu lulur

137

berwarna kuning yang memang biasanya digunakan sebagai
perawatan menjelang perkawinan.

Ibu yang menjaga api mengatakan bahwa panci sudah
mendidih, dan segera mengangkat panci tersebut ke ruang
tempat Betimung. Mempelai perempuan yang hanya
menggunakan kemben duduk di atas kotak kayu dengan
panci diletakkan di depan dia duduk. Informan kemudian
dibungkus dengan tikar, mengelilingi tubuhnya. Setelah itu,
kain panjang tiga lapis dibungkuskan diatas tikar yang
membungkus tubuh informan, sehingga yang terlihat adalah
kepala informan yang terlihat berkeringat. Ekspresi wajah
informan saat diuapi menahan panas uap ramuan dengan
ekspresi datar, meskipun yang hadir melemparkan candaan
dalam bahasa Banjar. Proses penguapan sekitar 30 menit,
kain pembungkus dilepas satu persatu, demikian pula tikar.
Semua alat-alat dibereskan, tubuh informan yang
bermandikan keringat dilap dengan handuk. Lulur warna
kuning mulai dibalurkan ke tubuh pengantin agar kulitnya
bersih dan menambah pesona pada saat resepsi perkawinan.
Kami mohon pamit dengan mengucapkan selamat
menempuh hidup baru, dan permohonan maaf tidak bisa
hadir saat resepsi. Informan hanya tersenyum simpul dan
mengucapkan terimakasih.

Peneliti kemudian keluar ruangan acara Betimung
yang sesak oleh banyaknya orang, debu statis yang
menempel pada atap rumah yang terbuat dari anyaman daun
nipah kering yang rontok karena banyaknya orang yang hadir
di ruangan, dan aroma kesedihan pengantin perempuan. Di
luar ruangan, udara terasa lapang dan segar memenuhi

138

ruang bernapas peneliti. Diluar terdengar pula suara musik
dangdut dan suara beberapa orang yang sedang bermain
dum. Kami ingin melihat pelaminan yang akan digunakan
oleh kedua mempelai. Di pintu masuk ruangan tersebut
terdapat kain yang dipasang diatas pintu dan didesain untuk
penyambutan tamu-tamu yang akan hadir.

Gambar 3
Prosesi Betimung Pengantin Perempuan (Kiri), dan Lulur dalam Acara

Ritual Betimung (Kanan)
Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei 2015

Di dalam ruangan tersebut, terdapat dua pelaminan
berwarna hijau dan merah yang akan digunakan pada saat
resepsi dengan baju yang berbeda, baju pengantin kebaya
biasa dan baju adat Banjar yang berwarna putih. Peneliti
melihat bahwa di bawah pelaminan terdapat sesajen beras.
Sesajen masih digunakan agar pengantin terhindar dari
gangguan roh jahat karena pengantin perempuan memakai
pakaian seperti putri-putri kerajaan. Disamping pelaminan
juga terdapat kamar pengantin yang bernuansa merah.
Peletakan kamar pengantin di dekat pelaminan ini tidak
bermakna apa-apa, menurut salah satu ibu yang ada di

139

ruangan tersebut, lebih disebabkan terbatasnya ruangan
yang ada di dalam rumah ini. Di sekitar pelaminan banyak
orang bermain dum, dan beberapa orang yang mukanya
dicoret serta menggunakan kalung dari batang daun nipah
yang dipotong dan diikat dengan rafia. Orang yang dicoret
dan berkalung batang nipah tersebut, ternyata orang yang
kalah taruhan. Kami berpamitan pada tuan rumah dan
mengucapkan terimakasih atas kesediaan menerima kami.
Waktu telah menunjukkan pukul 21.30.

Kami meninggalkan tempat yang terang benderang
oleh lampu persiapan pesta pernikahan dan kembali ke kapal
kelotok yang bersandar di pinggir sungai yang gelap.
Sepanjang jalan menyusuri kembali sungai yang semakin
pekat oleh malam, peneliti memikirkan tersanderanya
perempuan di desa ini untuk mengembangkan potensi
dirinya. Pernikahan anak di satu sisi merupakan jalan keluar
instan atas kondisi ekonomi yang dirasa kian berat. Namun
disisi lain, akan menimbulkan akibat dengan rentetan cukup
panjang, mulai fisik, psikologis, hingga potensi kematian.
Kehamilan pada usia remaja beresiko tiga hingga tujuh kali
lipat berujung pada kematian ibu dibandingkan kehamilan
pada rentang usia 20-35 tahun. Kehamilan pada usia remaja
memiliki dampak negatif terhadap tumbuh kembang remaja
tersebut dan janin yang dikandungnya. Secara psikologis,
seorang anak tidak seharusnya membesarkan seorang anak.
Anak perempuan yang menikah dan hamil pada usia remaja
justru sedang mengalami transisi menjadi dewasa dan
sedang membutuhkan berbagai penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan yang sedang ia alami. Memberi

140

tekanan kepada mereka dalam bentuk tanggungjawab
pengasuhan dan kewajiban-kewajiban pengelolaan rumah
tangga memiliki konsekuensi terhadap kesehatan jiwa.

Hak pendidikan anak juga terenggut. Pendidikan yang
cukup adalah salah satu sumber terang kehidupan ini.
Sumber terang tersebut kian meredup dengan pembenar
ketiadaan biaya, kurang pentingnya pendidikan bagi
perempuan, dan sudah adanya orang yang melamar.
Menerima lamaran bukanlah suatu yang menyalahi nilai
sosial budaya yang disepakati dan ayat-ayat dalam ajaran
agama.

141


Click to View FlipBook Version