142
Mengenal Banjar Lebih Dekat
Catatan Perjalanan di Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan
Sutamin Hamzah
Banjar, 18 Mei 2015,
Awal Langkah, menuju muara di Desa Podok,
Kabupaten Banjar
Fenomena masyarakat Indonesia akan hadirnya batu
akik yang masih menjadi buah bibir dimana-mana dapat
tersaji di Kabupaten Banjar, salah satu dari 11 kabupaten di
propinsi Kalimantan Selatan yang terkenal dengan pusat
intan dan batu alam lainnya. Mayoritas orang Banjar
memeluk agama Islam, mereka menjadikan Kabupaten
Banjar sebagai serambi Mekah Provinsi Kalimantan Selatan.
Perjalanan dari Bandara Samsudin Noor yang terletak di
Banjarbaru menuju ke kabupaten ini bisa ditempuh dengan
waktu 30-40 menit untuk bisa sampai dipusat kabupaten
dengan luas wilayahnya mencapai 4.688 km2 dan jumlah
penduduk kurang lebih 506.204 jiwa.
143
Secuplik gambaran Kabupaten Banjar yang diperoleh
peneliti pada saat membaca isi informasi dari jendela
Wikipedia, di sela-sela perjalanan. Tepat pukul 07.30 tim
peneliti menuju ke lokasi penelitian di kecamatan. Aluh-Aluh,
Desa Podok sebagai lokasi Riset Etnografi Kesehatan 2015
yang menjadi berkah kesempatan peneliti untuk melihat
Indonesia dari Pulau Borneo bagian selatan. Menggunakan
mobil sewa dengan perjalanan kurang lebih memakan waktu
90 menit. Sesampainya di lokasi, tim peneliti mengunjungi
Puskesmas setempat dan Kantor Camat Aluh-Aluh untuk
mengurus perijinan dan berkoordinasi tentang pelaksanaan
pengumpulan data di lapangan.
Mengenal Kecamatan Aluh-aluh lebih dekat di
peroleh dari Camat Aluh-Aluh Bapak SHT yang berada
diruangan kerjanya. Beliau mengatakan, Kabupaten Banjar
sudah ada sejak tahun 1950 dan Kecamatan Aluh-Aluh
merupakan salah satu Kecamatan dari 6 Kecamatan,
sehingga terbentuknya Kabupaten Banjar. Menurut orang tua
disini, bahwa sejarah dari nama kecamatan Aluh-Aluh,
pernah ada pahlawan wanita di sebut Aluh, yang seperti di
Banda Aceh ada pahlawan Cut Nyak Dien.
Lanjut cerita, beliau menginformasikan keadaan
Masyarakat Aluh-Aluh yang memanfaatkan sungai sebagai
sumber kehidupan. Mata pencaharian rata-rata nelayan di
laut dan di sungai, selain itu juga sebagai petani padi di
pehumaan (sawah). Hasil perikanan yang terkenal di
Kecamatan Aluh-Aluh meliputi udang, cumi, dan kepiting.
Angka kemiskinan Aluh-Aluh masih tertinggi di bawah angka
rata-rata Kecamatan Gambut. Secara geografis Kecamatan
144
Aluh-Aluh terbagi atas 19 Desa 13 Desa diantaranya berada
di pinggiran Sungai Barito dan pesisir pantai. Masyarakat
disini masih menaruh harapan besar untuk perbaikan
infrastruktur seperti jalan dan jembatan sebagai akses dan
mobilitas penduduk. Untuk sarana pendidikan di Kecamatan
Aluh-Aluh terdapat SD dan Paud, SMP persiapan kurang lebih
sudah ada 9 buah. Kalau di Podok sudah ada SMP Seatap.
Untuk transportasi di pesisir menggunakan kelotok (perahu
bermesin). Luas wilayah Kecamatan Aluh-Aluh kurang lebih
82,48 km2 (sambil mengambil data dan memperlihatkannya)
kepada tim peneliti.
Kegiatan tim peneliti dilanjutkan dengan berangkat ke
Desa Podok dengan menggunakan kelotok milik dari Bapak
SRB. Sangat menantang dengan suara mesin di kelotok yang
terdengar merdu bersisik. sepanjang perjalanan kami di
suguhi dengan pemandangan perbatasan laut dan sungai
yang indah di pandang mata mengobati terik panas matahari
yang menusuk ke pori-pori kulit.
Wilayah Desa podok secara geografis terbagi atas 3
RT. Yang dikelilingi oleh aliran Sungai Barito. Terlihat aktifitas
masyarakat sehari-hari dengan beraneka ragam kegiatannya
masing-masing. Perjalanan kurang lebih 30 menit dari Aluh-
Aluh Besar (Pusat Kecamatan). Akhirnya tim peneliti sampai
juga di tempat tinggal dan disambut dengan hangatnya oleh
masyarakat setempat. Membawa barang bawaan yang di
bantu oleh beberapa warga, sangat membuat suasana disaat
itu bagaikan kegotong-royongan pendatang dan tuan rumah
yang baik.
145
Gambar 1
Muara Desa Podok, Aliran Sungai Barito
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Di tempat tinggal kami berbincang dengan ibu hj. RML
selaku pemilik rumah yang kami tempati. Ada beberapa
warga yang datang melihat kami bersamaan juga dengan
datangnya pak Pembakal (kepala desa) yang menambah
suasana semakin nyaman dan tentram. Sambil berbincang
kami membangun raport dengan beberapa warga (ibu-ibu)
yang ada dan memperkenalkan diri dan maksud kedatangan
tim peneliti ke Desa Podok. Dengan rasa syukur yang tak
terhingga kami diterima dengan senang hati oleh Pak
Pembakal dan masyarakat setempat.
Hidup bersama mereka (Orang Bahari) di Desa Podok
Pengalaman yang tak terlupakan, menyatu dengan
alam, belajar budaya dan kesehatan bersama mereka,
masyarakat Suku Banjar yang menghuni Desa Podok,
Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar. Setiap pertemuan
pasti ada perpisahan, tak terasa 33 hari berada di Negeri
146
Borneo bagian selatan dengan julukan khasnya yakni kota
seribu sungai, hal ini pula yang dapat tergambarkan di
sebuah Desa bagian selatan dari kabupaten Banjar. Mereka
menamakan dirinya adalah orang bahari atau orang sungai
yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun lamanya, menyatu
dengan kehidupan sungai sebagai nyawa mereka.
Gambar 2
Kebersamaan tim peneliti bersama masyarakat
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Tak pelak hal ini menjadikan kami, hidup bersama
mereka, sembari bercengkrama, belajar bahasa daerah
setempat, sampai mereka tertawa melihat geliat kami yang
sedang membahasakan bahasa Banjar. Tetapi suasana yang
demikian mulai membangun keakraban yang hangat dengan
masyarakat setempat yang akhirnya kami diterima dengan
senyum dan sebuah pengharapan untuk desa mereka. Tali
silaturahmi pun terjalin, seminggu kami di desa ini sudah
dianggap bagian dari keluarga kecil mereka.
147
Berobat pada Keluarga, itulah pilihan kami
Masyarakat Banjar, Desa Podok memilih untuk
berobat ke sarana fasilitas kesehatan yakni Puskesmas dan
Puskesmas Pembantu yang sudah tersedia. Di Desa Podok
sendiri hanya ada satu-satunya sarana fasilitas kesehatan
yakni Pustu yang sudah lama berdiri sejak tahun 2004.
Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat tak
luput dari pelayanan kesehatan ibu dan anak, dan
pengobatan bagi mereka yang sakit. Tenaga kesehatan yang
ditempatkan sejak tahun 2011 seorang bidan bernama
Nahwati, usia 28 tahun, sudah berkeluarga dan dikaruniayi 2
putra kembarnya.
Ibu NHW yang merupakan bidan desa Podok,
menyampaikan kepada kami bahwa rata-rata masyarakat di
Desa ini, berobat ke fasilitas kesehatan terkadang nanti pada
saat kondisi sudah parah, tak berdaya, tak bisa apa-apa.
Akhirnya proses rujukan yang dibantu oleh beberapa orang
TKS atau tenaga kesehatan sukarela yang juga orang asli desa
setempat harus diampuh untuk segera memperoleh
pengobatan.
Desa Podok, memiliki sumber daya manusia dibidang
kesehatan, ada beberapa dari mereka sudah bekerja di luar
dari wilayah Desa atau Kecamatan dan sebahagian lagi
memilih untuk mengabdikan diri di kampung sendiri.
Terhitung kurang lebih ada sekitar 7 orang dengan bidang
keahlian yang berbeda seperti tenaga perawat, bidan dan
gizi.
148
Ikatan kekeluargaan yang kuat membuat masyarakat
Banjar di Desa Podok memilih untuk berobat kepada mereka,
dengan alasan bahwa selain sebagai keluarga, akses
kesehatanpun secepatnya bisa dijangkau dengan biaya yang
murah dan mampu dijangkau oleh masyarakat. Memilih
untuk berobat kepada keluarga sendiri sudah menjadi
budaya bagi masyarakat setempat selain mencari obat di
warung, pasar dan pengobatan alternatif lainnya.
Gambar 2
Pelayanan kesehatan oleh TKS di rumah praktek
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Sebut saja matri IJ (tenaga perawat) dan bidan ID
(tenaga bidan) yang sering kali dikunjungi masyarakat untuk
memberikan pelayanan kesehatan. Melayani masyarakat
dirumah dengan membuka tempat praktek seadanya,
pelayanan kesehatanpun dijalankan oleh mereka. Menolong
sesama keluarga dan tanpa mengharapkan imbalan yang
lebih hanya sekambarinya atau seikhlasnya sudah cukup bagi
mereka yang terpenting adalah kami bisa membantu
masyarakat setempat agar lekas sembuh.
149
Maulid Burdah, Kesehatan Religi Masyarakat
Kekeluargaan yang terjalin erat membuat mayoritas
masyarakat yang bekerja sebagai petani dan nelayan, di Desa
ini mengisi kegiatan rutin di setiap minggunya dengan
melaksanakan acara maulid burdah. Sudah mentradisi sejak
dahulu kala di desa ini, dan masih terpelihara sampai
sekarang. Semua golongan umur ikut terlibat mulai dari anak-
anak, remaja, dewasa sampai orang tua. Dilaksanakan di
waktu yang berbeda setiap minggunya. Masyarakat Banjar di
Desa Podok mempercayai bahwa dengan diadakannya
kegiatan seperti ini akan membawa rahmat bagi mereka. Baik
untuk kesehatan warganya, menjaga kampung dan
pendidikan agama kepada anak-anak mereka yang sudah
ditanamkan sejak dini.
Gambar 3
Maulid Burdah, Kesehatan Religi Masyarakat
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Maulid Burdah, diisi dengan membacakan kitab
kuning yang sudah disediakan oleh pelaksana acara, sembari
melantunkan salawat nabi, zikir dan tahlilan dengan irama
yang sama nan syahdu menjadikan setiap suasananya
150
nyaman dan tentram. Setelah menjalani proses ini manfaat
yang diperoleh yakni ketenangan hati dan juga sebagai
penyejuk jiwa bagi masyarakat setempat. Sisi positif yang ikut
terbentuk yakni ikatan silaturahmi antar sesama warga selalu
dan senantiasa terjalin. Di sesi akhir kegiatan ini. Hal kecil
yang terlihat adalah ketika orang muda menghormati orang
tua dengan menyalami dan berjabatan tangan pada saat
sampai hingga pada waktu pulang.
Kami Orang Sungai, dari Dulu Hingga Sekarang
Secara kasat mata, kehidupan masyarakat Banjar di
Desa Podok bisa dikatakan 100% menggunakan air sungai
untuk kehidupan sehari-harinya. Mulai dari aktifitas mandi,
mencuci, memasak, dan buang hajat kesemuanya di sungai.
Tak ada tempat lain selain memanfaatkan sungai sebagai
sumber kehidupan mereka. Rumah-rumah penduduk yang
bertebaran di pinggiran sungai dan terbagi diantara tiga
wilayah Desa Podok yakni, Podok Darat atau RT 1, Podok
Tengah atau RT 2 dan Sakajarak/Sakamangkok atau RT 3.
Kurang lebih 2.500 jiwa penduduk yang menghuni
dan mendiami Desa ini, mengharuskan mereka untuk setiap
hari menyatu dengan alam. Air sungai yang setiap harinya
mengalami proses pasang-surut tak membuat masyarakat
enggan untuk tetap menggunakan dan memanfaatkan air
tersebut sebagai kebutuhan. Menyediakan tempat
penampungan air sederhana dengan tawas penjernih yang
dibeli perbungkusnya, dirasa sudah cukup bagi masyarakat
untuk memperoleh air bersih dan jernih. Tak memandang
151
syarat akan kesehatan atau telah menghilangkan kuman-
kuman penyakit air bersih yang sudah tersediapun bisa
langsung dikonsumsi. Baik dimasak maupun tak dimasak.
Dalam wawancara peneliti dengan beberapa orang
bapak-bapak Banjar yang sedang asyik duduk di selasar
rumah mengatakan bahwa,
“Kami orang sungai, dari dulu hingga sekarang. Kalau
bukan di sungai dimana lagi? Bahkan waktu dulu orang
sini bisa langsung mengkonsumsi airnya. atau air yang
dari sawah tanpa melihat bersih tidaknya air tersebut
tidak ada juga kena sakit. Buktinya masyarakat disini
sehat semua sampai umur 100 tahun masih ada yang
hidup. Kami sudah kebal dengan air disini beda dengan
orang yang dikota, semuanya harus bersih. Sakit itu
hanya datang dari sang maha pencipta dan kami
percaya bahwa air yang kami konsumsi sudah baik
untuk kami tanpa mengakibatkan sakit”.
Terdiam, terkejut itulah ekspresi saya ketika
mendengarkan curahan hati dari masyarakat setempat akan
kebiasaan mereka pada saat mengkonsumsi air sungai yang
di ceritrakan informan. Bahkan untuk membuktikan hal
tersebut tim peneliti ditantang untuk mencoba
mengkonsumsi air yang dikonsumsi pula oleh warga
setempat. Kepercayaan bahwa ketika orang yang meminum
air ditempat ini akan selalu ingat dengan tempat ini
disampaikan pula oleh informan. Atas dasar ingin hidup
bersama masyarakat tim penelitipun membuktikan
tantangan tersebut. Beragam kebiasaan masyarakat yang
sering kali dilakukan pula oleh tim peneliti. Tak pelak
152
menjadikan kami semakin menyatu dengan kehidupan warga
setempat. Benar-benar pengalaman tak terlupakan…
Kami orang sungai, dari dulu hingga sekarang, suatu
pengutaraan yang mendebarkan hati. Melihat Indonesia dari
sudut selatan pulau Kalimantan merupakan gambaran kecil
masyarakat yang menamakan diri mereka seperti itu dan tak
memandang sisi dampak negatif yang akan di timbulkan. Baik
sakit karena konsumsi air sungai atau kebiasaan mereka yang
setiap harinya berada di sungai. Yang terpenting adalah
mereka hidup dan menyatu dengan alamnya.
Gambar 4
Sungai, Sumber Kehidupan Masyarakat
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Informasi yang diperoleh dari Puskesmas bahwa
setiap tahun angka kesakitan diare meningkat di Desa ini, hal
ini disebabkan oleh karena musim pergantian air dimana
pada bulan 7-9 air sungai yang tadinya berasa tawar menjadi
payau dengan rasa asinnya. Membuat masyarakat tetap
153
mengkonsumsi air dan tetap bertahan hidup di sungai
walaupun dengan konsekuensi menderita diare tanpa
mengenal usia. Situasi seperti ini tak bisa hanya dengan cara
yang instan untuk mengantisipasinya. Puskesmas dan
petugas kesehatan setempat berjibaku untuk meminimalisir
dampak negatif bagi kesehatan mayarakat di Desa ini. Tak
pelang, upaya-upaya kesehatanpun dilakukan walau dengan
serba keterbatasan.
Kepala Puskesmas mengatakan bahwa masyarakat di
Desa Podok masih menggunakan air sungai yang sering diberi
kaporit ataupun tawas dengan hasil penyaringan air yang
serupa tapi tak sama masih dikonsumsi dan menjadi suatu
kebutuhan yang selalu terpenuhi bagi masyarakat setempat.
Tak jarang juga masyarakat yang sudah sekian lama
mengkonsumsi air tersebut yang kadangkala sudah tidak
dimasak lagi harus mengalami sakit seperti diantaranya diare.
Apalagi pada saat musim air payau yaitu suatu musim dimana
ada pergantian antara air laut dan air sungai. Biasanya terjadi
pada bulan juli di setiap tahunnya. Pada saat itulah
masyarakat Podok datang ke Puskesmas dengan keluhan
prioritas adalah diare. Dengan keadaan ini penyakit diare bisa
saja meningkat kalau tidak dengan cepat dan tanggap di
minimalisir untuk meningkatkan kewaspadaan dini atas
penyakit diare yang ada di Desa Podok. Tapi rata-rata di
hampir seluruh wilayah pesisir PKM Aluh-Aluh kondisinya
hampir sama.
Keberadaan air sungai pun dirasa relatif
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat terlebih pada
angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh bawaan air
154
diantaranya diare tadi. Sangat sulit dan butuh waktu untuk
mensosialisasikan akan ketersediaan air bersih dan juga
bahaya akan pencemaran air yang ada, karena rata-rata
masyarakat tinggal bertahun-tahun dan sudah terbiasa
dengan lingkungan setempat. Kepercayaan inilah yang sulit
untuk dihilangkan. Sungai sudah menjadi sebuah kebutuhan
masyarakat. Baik untuk keperluan sehari-hari atau bagi mata
pencaharian seperti nelayan dan distribusi air untuk
persawahan. Air sungai sudah menjadi bagian yang melekat
dan tak terpisahkan dengan keberadaan masyarakat
setempat. Walaupun secara kasat mata sangat berpengaruh
terhadap status kesehatan masyarakat setempat. Kami hanya
bisa berusaha sekuat tenaga untuk mengupayakan
masyarakat melestarikan dan membudidayakan perilaku
hidup bersih dan sehat.
Sarana Pelayanan Kesehatan dan Keberadaannya
Masyarakat Banjar di Kecamatan Aluh-Aluh,
memperoleh pelayanan kesehatan di Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) Aluh-Aluh. Dengan statusnya rawat
inap dan merupakan salah satu Puskesmas PONED dengan
wilayah kerja 19 Desa. Keberadaan bangunan Puskesmas
yang berada di Pusat Kecamatan, dengan jarak 15 m letaknya
dengan Kantor Camat Aluh-Aluh menjadikan sarana fasilitas
kesehatan berada di posisi yang strategis walaupun masih
sulit untuk menjangkau Desa yang jaraknya jauh dari PKM.
Tiga belas desa yang berada dipinggiran Sungai Barito
mengharuskan petugas kesehatan untuk mendatangi dan
155
melakukan kunjungan pelayanan kesehatan agar merata. Alat
transportasi menggunakan spedd, kendaraan sungai satu-
satunya yang dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan
Puskesmas, di antaranya Posyandu dan pengobatan. Untuk
desa yang berada di daratan Puskesmas memiliki 2
kendaraan beroda empat (mobil ambulance) dan beberapa
kendaraan beroda dua (motor). Kendaraan darat yang
digunakan membantu petugas kesehatan dalam hal proses
rujukan pasien ke sarana pelayanan kesehatan tingkat ke dua
yakni Rumah Sakit pemerintah maupun swasta yang berada
di Kabupaten Banjar. Memakan waktu kurang lebih 90 menit
untuk menuju ke rumah sakit.
Gambar 5
Puskesmas Aluh-Aluh dan sarana transportasi darat dan sungai
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Mengedepankan upaya kuratif tanpa mengke-
sampingkan upaya preventif, suatu gambaran yang terlihat di
Puskesmas Aluh-Aluh. Dalam 2 tahun terakhir yakni di tahun
2013-2014 jumlah tenaga kesehatan yang ada kurang lebih
40 orang yang terbagi atas dokter umum 2, dokter gigi 1,
tenaga gizi 2, tenaga perawat 12, tenaga bidan 22, tenaga
156
analisis lab 2 dan hanya ada 1 tenaga kesmas di tahun 2011.
Realita keberadaan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas
Aluh-Aluh. Promosi kesehatan yang seharusnya menjadi
salah satu garda terdepan di puskesmas harus tertelan
dengan aktifitas petugas kesehatan yang mengedepankan
upaya kuratifnya. Puskesmas masih sangat membutuhkan
tenaga kesehatan masyarakat, terlebih menjawab gambaran
dan situasi pola hidup masyarakat yang berkaitan dengan
PHBS.
Keberadaan Puskesmas menjadi alternatif
pengobatan medis bagi masyarakat, pelayanan di buka pukul
09.00 WITA di setiap harinya. Masyarakat paling banyak
berobat di hari Jum’at karena hari pasar di pusat kecamatan.
Masyarakat datang berbondong-bondong untuk mendatangi
puskesmas di pagi hari. rata-rata bisa sampai 50 orang yang
berobat dengan berbagai macam keluhan penyakit yang di
derita. Ada yang datang sendiri dan ada pula yang datang
bersama sanak keluarga. Memadati ruangan pelayanan yang
hanya ditopang oleh kayu ulin dibawahnya sebagai tiang
penyanggah, cahaya yang kurang, akses udara yang terbatas,
tempat duduk seadanya. Orang muda dan orang tua dengan
prosedur pelayanan yang diawali dari jendela register pasien
dan berakhir di meja apotik. Suasana ramai, saling bertegur
sapa dan pelayanan kesehatan yang diberikanpun
dijalanakan oleh tenaga kesehatan yang sudah standby di
ruangan mereka masing-masing.
157
Cerita kecil, dibalik asa masyarakat
1. Seberkas usaha kesehatan ibu antara bidan desa dan
dukun kampung
Usaha kemitraan antara penolong persalinan baik
secara medis maupun tradisional, masih mengalami jalan
buntu dan belum selaras. Dari hasil pengamatan peneliti di
lokasi, temuan dilapangan yang menggambarkan bahwa
masih adanya kepercayaan ibu akan jasa yang diberikan oleh
dukun kampung lebih besar dibanding dengan bidan desa.
Sembari duduk, dan menunggu anak mereka yang bersekolah
di TK, para ibu mengatakan melahirkan di DK lebih murah,
dan proses persalinan didampingi sampai kepada
membersihkan ibu dan bayinya. Di bidan desa, sulit dijangkau
semacam perlu biaya tambahan untuk satu paket
pertolongan persalinan. Ada tambahan pemberian susu
untuk ibu pasca melahirkan dan juga obat-obatan, akan
tetapi belum sampai kepada membersihkan ibu dan bayinya
hingga proses persalinan selesai, terkadang bidan desa tidak
melakukan itu. Hingga akhirnya kami memilih untuk ditolong
oleh DK.
Pendekatan dengan kelas ibu hamil yang
menghadirkan 10 orang bumil di setiap minggu 1 bulan
berjalan dilakukan oleh bidan desa yang memiliki target 30
bumil untuk tahun 2015. Masih tak sejalan dengan target
yang ditetapkan oleh dinas kesehatan Kabupaten Banjar yang
disampaikan oleh bidan sendiri yakni 53 orang. Dengan
alasan beragam seperti diantaranya ibu hamil yang susah
diajak, pendidikan ibu hamil masih di bawah rata-rata
158
setingkat SD yang sedikitnya menghambat proses
keberlangsungan kelas ibu hamil agar efektif. Hal lain yang
dilakukan oleh DK dengan mengunjungi dan melakukan
pendampingan secara intens kepada ibu hamil melalui
perawatan dan pelayanan tradisionalnya seperti diantaranya
urut bumil, dan betapung tawar pasca melahirkan masih
dibudayakan. Sampai-sampai dari 2 DK aktif di Desa Podok
satu diantaranya membuat catatan ibu melahirkan yang
ditolong. Hal yang diluar dugaan.
Dari segi pendekatan emosional sangatlah berbeda,
terkadang masyarakat berfikir bahwa lebih dekat dengan DK
ketimbang bidan desa. Lebih nyaman dengan DK ketimbang
bidan desa, merasa bahwa DK lebih mengedepankan
keikhlasannya untuk membantu ketimbang bidan desa,
menerima apa adanya, tak mengenal waktu, situasi, cepat
hadir ditengah-tengah mereka ketimbang bidan desa. Suatu
pemikiran yang sebenarnya terdapat sisi positif yang
mungkin pula bisa di aplikasikan oleh bidan desa untuk
membangun sebuah kemitraan baik dengan dk sendiri
maupun keluarga dari si ibu hamil. Akankah itu bisa
dilakukan…??? Sepintas berfikir bahwa dimata masyarakat
para ibu-ibu Banjar, dk adalah orang terpilih dari jasa yang
diberikan, bidan desapun menjadi orang terpilih datang ke
desa untuk menyatu. Dan berusaha menjadi orang terpilih
dimata para ibu-ibu selaknya pandangan mereka kepada dk.
Proses dan waktu yang berjalan akan menjawab semua ini.
Seiring sejalan dengan penyesuaian bidan desa yang
berusaha untuk mengenal budaya lokal spesifik yang telah
lebih dulu diketahui oleh dk sendiri.
159
Gambar 7
Kelas ibu hamil (kiri) (kanan) Betapung Tawar
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
2. Inikah yang disebut “Suami Siaga”?
Tepat pada tanggal 5 mei 2015, tim peneliti
melanjutkan langkah perjuangan untuk melakukan observasi
kegiatan Posyandu yang bertepatan pula dengan hari pasar di
Desa Podok. Undangan kepada masyarakat yang terdengar
dari pengeras suara dalam mesjid Baiturahman di sampaikan
langsung oleh bidan desa untuk kiranya menghadiri
pelaksanaan kegiatan Posyandu yang akan dimulai pukul
09.00 wita. Upaya ini dilakukan setiap kali jadwal Posyandu,
namun terkadang masyarakat masih enggan untuk datang ke
Posyandu sebab kepercayaan yang berkembang di
masyarakat bahwa ketika ada pelayanan imunisasi yang
diberikan oleh petugas kesehatan, tidak mendapatkan
kesehatan malah sakit yang diperoleh, yaitu panas sehabis
disuntik. Hal lain yang diutarakan oleh ibu-ibu kader
Posyandu bahwa waktu pagi bertepatan dengan kegiatan
kerja masyarakat. Lebih baik kerja daripada ke Posyandu.
Dari dua alasan diatas sepenuhnya menjadi suatu keputusan
dari sang suami kepada istri dan anaknya. Sangat
160
disayangkan… kata yang terlontar dari peneliti ketika
mendengar hal tersebut. sambil mengamati kegiatan
Posyandu yang ada seperti pelayanan kesehatan ibu hamil,
pemeriksaan KB, pengobatan lansia, penimbangan, imunisasi,
pemberian vitamin A, dan pemberian makanan tambahan
bagi ibu dan anak yang datang ke Posyandu ragam kegiatan
yang ada. pustu menjadi wadah dilaksanakannya kegiatan ini.
Beberapa orang ibu dan anaknya mulai berdatangan,
pelayananpun mulai diberikan.
Tak satupun kaum adam yang turut hadir dalam
kegiatan Posyandu ini, peran suami masih sangat kurang dan
jarang ditemukan untuk sama-sama melakukan
pendampingan kepada sang istri dan anak. Mengingatkan
peneliti kepada cerita dari bapak M yang mengatakan bahwa
ketika isterinya melahirkan beliau tidak sedang berada
ditempat karena lebih memilih untuk bekerja di sawah. Anak
kedua yang dilahirkan diketahui dari tetangga yang
menyebutkan bahwa istrinya sudah melahirkan anak
perempuan. Melahirkan dirumah, dibantu oleh keluarga
dalam hal ini ibu dari informan dan DK pada waktu itu.
Sangat jarang bahkan tidak pernah informan mendampingi
istrinya untuk pergi ke Posyandu memeriksakan kehamilan
secara rutin. Informan tergolong keluarga kurang mampu
yang tak memiliki jaminan kesehatan. Membuat informan
harus merogok kocek lebih untuk pergi ke pelayanan
kesehatan. Sehingga membuat informan lebih memilih
menunggu di rumah selagi keadaan masih aman untuk
istrinya.
161
Meninggalkan secuplik kisah diatas menandakan
bahwa peran suami untuk keberlangsungan pelayanan
kesehatan kepada sang isteri masih sangat kurang bahkan tak
ditemukan. Hanya suami-suami terpilih dan berani berkorban
lebih demi cinta kasih dan sayang kepada keluarga yang
mampu membuktikan hal ini. Tak di sangka di desa Podok tim
peneliti menemukan satu dari ribuan jiwa kaum adam yang
mendiami desa ini membuktikan akan pentingnya suami di
samping istri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
sepenuhnya, terlebih kepada ibu hamil sampai proses
melahirkan. Informan tak menyadari bahwa apa yang telah
iya lakukan merupakan salah satu dari program kesehatan
yang berkembang dimasyarakat dan hanya segelintir kaum
adam yang mampu melakukan hal ini.
Gambar 8
Suami Siaga di Desa Podok
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Suami siaga patut disebut kepada bapak
dengan usianya yang sudah berkepala 30 tahun dan
berprofesi sebagai petani di dusun 3 Desa Podok. Baginya
162
menjaga keluarga sangat penting terlebih untuk memenuhi
usaha kesehatan. Informan selalu memberikan dukungan
kepada istri dan kedua anaknya untuk rajin datang ke
Posyandu jika waktunya tiba. Informan juga meluangkan
waktunya untuk beayunan salah satu tradisi orang Banjar
untuk menidurkan anak. Biasanya disertai dengan nyanyian
kidung. Berusaha untuk memberikan waktu yang lebih demi
keluarga kecilnya, mendampingi dan menjaga karena
informan berpegang teguh bahwa keluarga adalah yang
nomor satu.
Riset etnografi kesehatan membelajarkan banyak hal
kepada peneliti, melihat situasi kesehatan yang
sesungguhnya, kepekaan dan rasa yang dialami oleh
masyarakat dengan serba keterbatasan tak menyulitkan
mereka untuk berusaha mencari kesehatan yang
sesungguhnya. Hal kecil yang tak disangka menjadi suatu
bentuk usaha meninggikan derajat kesehatan di wilayah
pelosok negeri ini yang masih perlu sentuhan oleh penentu
kebijakan. Mengenal lebih dekat dengan kehidupan mereka
hal sederhana yang bisa dilakukan dengan perjuangan dalam
kurun waktu yang tak bisa dipastikan. Dibalik perjuangan itu
pasti semua akan terjawab dan hanya ada satu diantara
banyak orang yang mau dan mampu mengedepankan
kesehatan di atas segala-galanya.
163
164
Cerita dari Pulau Sapudi
Izzah Dienillah Saragih
Sapudi, 30 Mei 2015
“Oh ada ya bagian Indonesia namanya Pulau Sapudi,”
begitu pikir saya waktu pertama kali mengetahui lokasi
penelitian Riset Etnografi Kesehtan 2015. Sempat kecil hati
saat ditempatkan di tempat yang jangankan dikunjungi,
mendengar namanya saja baru pertama kali. Sementara
teman-teman lain yang sama-sama dari Medan ditempatkan
di Sumatera. Saya merasakan ”kecemasan yang bergairah”.
Takut, tapi tidak sabar menunggu; Bagaimana di sana? Siapa
saja yang akan ditemui di sana? Apa yang Tuhan rencanakan
dalam perjalanan kali ini?
Pulau Sapudi adalah bagian dari Indonesia, hanya tiga
jam menyeberang dengan kapal dari Kabupaten Sumenep.
Which is Sumenep sendiri adalah kabupaten paling ujung di
Pulau Madura dan hanya lima jam dari Kota Surabaya. Tidak
terlalu antah berantah, bukan?. Tapi memang seperti kata
pepatah, tak kenal maka tak sayang.
165
Gambar 1.
Peta Letak Pulau Sapudi
Sumber: Provinsi Jawa Timur
Saya tiba di Pulau Sapudi pada Minggu dua puluh
enam Mei yang cerah. Tertahan sehari di ibukota kabupaten
karena cuaca yang tidak baik, sehingga tidak ada kapal yang
berani menyeberang. Setelah menempuh tiga jam
penyeberangan dengan kapal feri (kata penumpang lainnya
laut cukup bagus dan kapal tidak goyang, tapi cukup
membuat saya menyesal kenapa tidak minum obat anti
mabuk sebelum berangkat), kami tiba di Pelabuhan Dungkek
dan dijemput dengan ambulans Puskesmas oleh Pak Abu,
supir Puskemas dan Mas Lukman, Asisten peneliti. Perjalanan
dari Pelabuhan menuju Kecamatan Gayam sekitar 45 menit
dengan kondisi jalan yang, alhamdulillah yah (diucapkan
dengan nada Syahrini), makin mendorong perut untuk
mengeluarkan isinya. Muka saya sudah pucat, akibat mabuk
perjalanan. Sepanjang perjalanan saya diajak bercakap-cakap
166
oleh Mas Lukman dan Pak Abu sehingga tidak terlalu fokus
memikirkan mual yang makin menjadi. Mereka terkaget-
kaget mengetahui saya datang dari Medan. “Jauh sekali…”,
komentar mereka. Dalam hati saya, jangankan bapak yang
kaget, saya juga kaget kenapa bisa sampai disini.
Thus, saya menginap semalam di Kecamatan Gayam
di Pulau Sapudi sebelum akhirnya menetap di Desa tempat
penelitian. Saya menginap di rumah Pak Haji Nurullah, yang
berada persis di depan Puskesmas. Beliau adalah putra asli
Pulau Sapudi yang sudah mengabdi sebagai perawat sejak
tahun 1980an. Istrinya, Ibu Haji Ida adalah bidan. Pak Haji
dan Bu Haji, begitu saya menyapa mereka, saya banyak tahu
informasi mengenai pulau Sapudi. Mereka berdua membuka
klinik yang selalu ramai di samping rumah dan kadang-
kadang, masyarakat pulau lebih senang berobat ke ‘warung’
Pak Haji ketimbang pergi ke Puskesmas.
“Orang-orang di Pulau ini baru melek kesehatan
sepuluh-dua puluh tahun lagi. Tunggu dukun-dukun itu mati,
dan tidak ada penerusnya baru semua mau ke bidan atau
puskemas”, begitu komentar Pak Haji dengan logat Madura
yang kental saat kami bercakap-cakap sore hari ketika saya
baru tiba. Masyarakat di Pulau Sapudi memang masih
menganggap penyakit sebagai bentuk kiriman dari orang
yang tidak senang kepadanya atau disebut tarekaan.
Penyakit TB Paru disebut cekek, karena berasal dari minuman
yang dianggap diberi racun. Penyakit kusta dianggap kiriman
orang yang tidak senang dan masih banyak lagi. Mereka
menjadikan dukun sebagai upaya pengobatan pertama saat
167
sakit. Bila penyakit sudah parah dan tak sembuh-sembuh
barulah pergi ke bidan atau Puskesmas.
Keesokan harinya, saya menuju Desa Prambanan yang
menjadi fokus penelitian. Jarak dari Kecamatan Gayam
menuju Desa Prambanan tidak terlalu jauh. Hanya saja
kondisi jalan yang rusak parah menyebabkan perjalanan
ditempuh kurang lebih 45 menit. Jalanan lurus dan sedikit
berkelok menuju ke sana. Ada satu sudut jalan favorit saya
selama di Pulau Sapudi. Di satu tikungan dan tanjakan,
dengan sawah di sisi jalan. Dan begitu kita berkelok, tadaaa...
tampaklah laut dengan gradasi biru yang berbeda-beda mulai
dari biru muda sampai tua. Saya selalu terkagum-kagum
melihat pemandangan dari tikungan ini.
Saya tinggal di Desa Prambanan, di rumah Pak Fathur
dan Bu Chairani, bersebelahan dengan rumah kepala desa
atau disebut klebun Desa Prambanan. Belum dua puluh
empat jam saya di sana, saya langsung menyesal. Menyesal
karena pernah berprasangka buruk tentang masyarakat
Madura (yang katanya) galak, kasar, dan tidak ramah. Apa
yang saya lihat dan rasa, benar-benar berbeda dengan
dugaan awal. Cuaca di Pulau Sapudi memang menyengat,
namun keluarga ini dan seluruh penduduk pulau sangatlah
hangat.
168
Gambar 2.
Sudut favorit saya selama di Pulau Sapudi. Seringkali saya teriak-teriak
norak tiap melintas di sini.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Mereka memiliki dua orang anak, yang paling besar
perempuan dan sedang mondok di Sumenep. Anak paling
kecil, namanya Yusuf berumur enam tahun. Rumah selalu
ramai di pagi hari dengan bujukan Bu Rani dan celotehan
Yusuf karena Yusuf malas pergi ke sekolah. Malam sehabis
magrib pun juga begitu, giliran Pak Fatur yang turun tangan
mengomeli karena Yusuf malas pergi mengaji. Rumah
sebelah pun tak kalah ramai. Bu klebun memiliki perangai
yang ramah dan riang. Mereka memiliki tiga orang anak.
Anak paling besar sudah menikah, yang nomer dua, Roni
kelas tiga SMP tinggal di Kecamatan Gayam dan hanya
pulang ke rumah tiap akhir pekan. Anak paling kecil,
namanya Widhat, masih berumur empat tahun. Tipikal balita
perempuan yang aktif, lucu, dan ceriwis. Pernah satu waktu
169
ia meniru Bu Klebun yang memanggil saya dengan sebutan
Dek Izzah. Sejak saat itu saya memanggil dia dengan Mbak
Widhat dan dia memanggil saya kadang-kadang dengan
sebutan Dek Izzah. Widhat sendiri punya panggilan khusus
untuk Yusuf, yaitu cucuk. Widhat dan Yusuf ini ibarat duet
yang kalau disatukan, wah bisa ramai sekali.
Gambar 2.
Widhat memakai seragam pinjaman hanya karena mau ikut Yusuf ke
sekolah
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tidak ada hari yang tidak menyenangkan di Pulau
Sapudi. Jadwal rutin saya, Pak Basuki, beserta Mbak Ririn dan
Mas Lukman berkeliling dari pagi hingga siang sesuai dengan
170
daftar informan yang kami “kejar”. Sesekali melihat tempat-
tempat unik di pulau, seperti Gua Rato Sapi (Gua yang
dipercaya masyarakat sebagai tempat asal usul sapi-sapi di
Pulau Sapudi yang tak pernah habis), Gua Celik (Celik, yang
berarti vagina dalam bahasa Madura. Dinamai karena
bentuknya menyerupai vagina), atau makam raja-raja. Atau
sore-sore mencari kerang di pantai belakang rumah Mbak
Ririn. Menghadiri acara isra mi’raj di mesjid yang penuh
dengan aneka kue warna-warni. Pernah satu waktu kami
dibawakan gurita oleh informan yang berprofesi sebagai
nelayan gurita. Masyarakat yang hangat, pemandangan yang
indah, makanan yang enak-enak. Kelak, ketika pamit pulang
saya kesulitan menjawab pertanyaan, kapan datang ke
Sapudi lagi?
Ada satu hari, yang kalau boleh dibilang tidak enak,
yang paling saya ingat. Saya tidak tahu bagaimana
mendeskripsikan hari itu, tapi Kamis 7 mei 2014 adalah hari
teraneh yang saya miliki di Pulau Sapudi. Pagi itu, sekitar
pukul delapan, saya dan Pak Basuki pergi ke Puskesmas di
Gayam. Kami berencana bertemu dengan Pak Hanafi dan Bu
Hasanah, informan yang merupakan pemilik Taman PAUD di
dusun Prambanan. Kami bisa menuju rumah mereka tanpa
harus melewati Puskesmas, karena lebih dekat dari desa
tempat tinggal tanpa harus turun dahulu ke Kota kecamatan.
Tetapi karena saya harus ke ATM yang hanya ada di
Kecamatan dan bertemu dengan Mbak Ririn dan Mas
Lukman, jadilah saya dan Pak Basuki mampir ke Puskesmas
dahulu.
171
Di Puskemas terlihat ramai. Mobil bak terbuka parkir
di depan Puskesmas. Di dalamnya, perempuan-perempuan
setengah baya dengan sarung dan tutup kepala seadanya
mengelilingi seorang pasien. Beberapa dari mereka mulai
berteriak dan tersedu. Saya tak berani mendekat, pikir saya
pasien tersebut pastilah sudah gawat. Seorang perempuan
muda dengan jas putihnya (syukurlah, hari itu ada dokter
jaga di Puskesmas *ucapkan dengan nada sarkas*), naik ke
atas mobil dengan tergesa kemudian langsung memeriksa.
Tangis pun pecah, teriakan makin pilu. Baru saja, satu nyawa
kembali pada-Nya.
Saya tanya pada seorang warga, itu kenapa?
“Meninggal habis melahirkan. Sampai disini sudah tidak ada”.
Hati saya kontan luluh-lantak. Selama ini saya belajar soal
kematian ibu sebatas teori dan kertas saja. Trias penyebab
kematian pasca melahirkan yang dulu sering diulang-ulang
dosen sampai saya mengantuk di kelas hari itu begitu nyata
terlihat. Belakangan saya tahu dari Mbak Ririn, Ibu tersebut
meninggal akibat perdarahan, plus sesak karena selama
hamil menderita TB Paru.
Entah keterlambatan jenis apa pula yang
menyebabkan ibu, yang baru melahirkan anak pertamanya
itu syahid. Terlambat karena akses kah, pengambilan
keputusan kah atau ditolong bukan oleh tenaga kesehatan
(dukun beranak), atau the worst, kombinasi semuanya.
Entahlah. Hari itu saya jadi paham, betapa persoalan angka
kematian ibu di negeri ini memang sesuatu yang membuat
kita pusing, darimana harusnya ia dientaskan?
172
Selang lima belas menit kemudian, mobil bak terbuka
itu pergi. Membawa pulang jasad ibu yang sudah syahid
diiringi tangis dan ratapan dari para pengantar. Kerumunan
mulai sepi. Orang-orang yang menonton saling berbisik dan
bergegas melanjutkan kesibukannya masing-masing. Drama
di pagi hari, esok atau lusa bisa jadi, anak, menantu, cucu,
atau bahkan dirinya sendiri bisa bernasib serupa.
Di Puskesmas, orang-orang terlihat tidak berminat
membahas kejadian tadi dengan saya. Entah karena tahu
saya dari Jakarta. Takut diintervensi atau apa, tak
mengertilah. Namun rupanya, keanehan hari itu rupanya
belum selesai. Selesai urusan di ATM dan bertemu Mbak
Ririn dan Mas Lukman, kami menuju rumah Pak Hanafi
karena saat itu hari sudah siang. Saat menuju rumah pak
Hanafi, Mbak Susi, putri kepala dusun yang menjadi penunjuk
jalan kami tiba-tiba gemurungsung.
“Ada ibu melahirkan. Bayinya sudah keluar tapi ibunya tidak
sehat.”
Kata tidak sehat itu membuat saya terkesiap. Oh Tuhan, tidak
lagi. Sial sekali kami kalau sampai melihat dua orang ibu
meninggal pada hari yang sama. Saya tidak berani bertanya
lebih jauh. Ciut dan merapal doa dalam hati. Semoga
selamat, semoga selamat.
“Ini lahiran anak kedua..dia kepingin anak perempuan tapi
dari sejak hamil itu mbaknya sudah lemas. Sepertinya diguna-
guna,” kata Mbak Susi lagi.
“Oh nooooo..not that anymore… itu bukan guna-guna mbak
susi sayaaang, itu anemiaaaaa..., ”batin saya rusuh. Anemia
yang jangan-jangan memang sudah didapat sejak kehamilan
173
pertama, tidak terdeteksi karena tidak pernah periksa ke
bidan atau posyandu. Kemudian setelah melahirkan langsung
pergi ke sawah dan mengurus anak. Makin parah ketika
hamil kedua. Betapa perempuan itu hebat, mengurus anak
dan rumah, ikut pula mencari nafkah. Di Pulau ini ibu juga
pergi ke sawah, mencari rumput, memberi makan sapi atau
mencari pandan lalu menganyamnya menjadi tikar. Kalaulah
boleh wanita melaut, tentu ibu juga pergi ikut. Ibu yang
begitu multitasking tidak diikuti dengan asupan gizi yang
baik, istirahat yang berkualitas, malah dibebani psikis
meyangkut ekonomi keluarga yang tidak bisa dibilang ringan.
“Melahirkan sama dukun bayi. Bayinya sudah keluar.”
Dukun lagi.
“Bidan Ida ndak bisa datang lagi Posyandu..”
Ya, di Desa Prambanan yang cukup luas dan terpencar-
pencar wilayah adminstratifnya ini memang hanya ada satu
bidan desa. Coba kalau ada dua tentu pelayanan kesehatan
lebih maksimal.
“Ini sedang menunggu perawat desa datang”
“Lah, kenapa ga dibawa ke Puskesmas langsung…,” gumam
saya dalam hati.
Karena pusing, saya memilih diam dan tidak
berkomentar. Belakangan saya tahu, ibu tersebut dibawa ke
Puskesmas. Sesampainya di Puskesmas, diketahui kalau HB
ibu tersebut tinggal tiga! Dimana angka normal adalah 12. Ia
harus ditransfusi darah, dan hanya bisa dilakukan di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumenep yang artinya harus
menyeberang lautan. HB tinggal tiga! Saya benar-benar tak
habis pikir. Bagaimana ia bisa bertahan? Wallahuallam.
174
Bukankah kalau sudah begini, kematian Ibu saat melahirkan
terasa seperti arisan maut? Karena kebetulan saja bukan
giliran nama si ibu yang keluar, makanya selamat...
Astaghfirullah.
Beberapa waktu kemudian, saya mencoba cari info
ke bidan koordinator di Puskemas. Penasaran, berapa sih
angka kematian ibu di Kecamatan Gayam ini? (karena di
Puskesmas datanya tidak ada). Batin saya rusuh, kalau sehari
itu saja saya hampir melihat dua orang lewat, jangan-jangan
angkanya memang sangat besar?. Lalu alangkah terkejutnya
saya waktu mendengar jawaban si Ibu-Bidan-Koordinator.
“Ndak boleh ada angka kematian ibu. Ya kalau saya laporkan,
nanti bidan koordinatornya bisa dicopot”
Jreeeenggg!! Rasanya semacam ada saronen yang
memainkan musik di kepala. Asli, saya speechless. Muka Bu
Haji yang juga nimbrung ngobrol langsung keruh mendengar
jawaban si Bidan Koordinator. Apa yang salah dari sistem
kesehatan kita sampai paradigma, jangan-dilaporin-nanti-
bisa-dicopot itu ada?. Menurunkan angka kematian ibu,
menyehatkan masyarakat dan lain lainnya memang tugas
yang berat, namun karenanya kita ada kan?.
Kalau saya lihat, ada gap antara tenaga kesehatan
dan masyarakat. Komunikasi antara masyarakat dan tenaga
kesehatan tidak terjalin. Gap tersebut, yang kata Pak Haji di
zaman ia baru menjadi perawat di Puskesmas diminimalisir
dengan proaktif dan turun langsung ke lapangan. Sulit
memang mengubah preferensi masyarakat yang lebih suka
ke dukun ketimbang ke fasilitas kesehatan. Melihat muka-
muka bidan desa yang baru lulus dan cantik-cantik, pasti
175
terbesit ragu ini benar bisa mengobati tidak? Sementara
dengan dukun, entah dari zaman ibu, bibi, nenek mereka
sudah mengenal dukun tersebut. Belum lagi ada stigma takut
terhadap alat-alat medis, seperti gunting, jarum suntik, infus,
dan semacamnya. Seolah kalau berobat dengan tenaga
kesehatan pasti bersentuhan dengan alat-alat tersebut.
Misalnya, Mbak Susi, yang melahirkan dengan dukun
bayi karena takut dengan alat-alat medis bidan. Padahal ibu
dan ayahnya adalah kader posyandu. Selain itu, masyarakat
banyak juga yang tidak tahu kalau berobat ke Puskesmas itu
gratis. Hal-hal tersebut sebetulnya bisa diminimalisir jika
tenaga kesehatannya mau turun aktif, menjalin komunikasi
dengan masyarakat. Kalau cuma duduk manis di Puskesmas
menunggu masyarakat datang, kondisinya bakal begitu-
begitu saja.
Tidak cuma masalah kematian ibu, permasalahan
surveillans penyakit, mau itu menular dan tidak menular juga
hampir tidak dilakukan di pulau ini. Misalnya ketika saya
wawancara dengan petugas TB Paru Puskesmas. Ia dengan
jujur mengatakan bahwa selama ini kasus TB Paru hanya
mengandalkan laporan dan masyarakat yang datang ke
puskemas saja. Active Case Finding tidak pernah dilakukan.
Berapa banyak lagi kasus TB Paru yang tidak terdeteksi?.
Berapa banyak pula orang yang rentan terhadap TB Paru
tidak mendapatkan penyuluhan maupun edukasi? Singkat
kata, upaya kesehatan preventif dan promotif tidak berjalan
di Pulau ini. Puskesmas benar-benar blass kuratif.
Di kampung saya, ada peribahasa “hepeng do
mangatur nagaraon”, artinya “uang yang mengatur negara”.
176
Apakah preventif dan promotif tidak berjalan karena masalah
dana? Contoh sederhana misalnya untuk rumah polindes
saja, si bidan desa harus membayar dengan dana pribadi.
Memang jika dilihat dari anggaran, alokasi APBD untuk
kesehatan di Kabupaten Sumenep kecil, tak sampai 10%
sesuai amanat undang-undang yang ada. Itupun sudah naik
jika dibandingkan dengan tahun 2013 lalu yang angkanya tak
sampai 7%. Kalau sudah begitu, saya gemas sendiri sama
pemerintah daerah yang seperti tak punya willing untuk
menyehatkan masyarakatnya.Mereka cuma menyediakan
pengobatan atau KB gratis. Selain berharap pada APBD,
bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang ada juga sering
terlambat cair. Bidan Ida, bidan desa di Prambanan bercerita
kalau ia pernah mengajukan proposal pelatihan untuk dukun-
dukun bayi. Sudah detail dan bagus, tapi belum terlaksana
karena duitnya tak kunjung cair.
Hari terakhir sebelum balik ke Kabupaten, saya satu
kapal dengan ibu melahirkan dengan indikasi plasenta previa
yang dirujuk ke RSUD Sumenep, bersama Bidan Ida. Ibu itu
yang akan melahirkan, saya yang deg degan. Untungngya ia
dirujuk masih dalam kondisi sadar. Tapi tetap lucu dan miris
bagi saya, ibu hamil dengan perut buncit tergopoh-gopoh
turun dari ambulans Puskesmas lalu dipapah dengan tangan
terpasang infus menaiki dek kapal feri. Kalau ada ambulans
laut, tentu proses menjadi lebih cepat.
Lalu apa kesanmu tentang kondisi kesehatan di Pulau
Sapudi?
Seperti di film-film ataupun buku teks yang dipelajari waktu
kuliah dulu. AKI yang tinggi, akses yang sulit, upaya
177
kesehatan preventif dan promotif yang tak jalan, tenaga
kesehatan yang belum pro-aktif. Tapi, atas itu semua,
mengutip dari Pak ADL, “Ini tugas berat, tentu saja! Karena
itu kita ada…”
(Harusnya) sesederhana itu.
178
Romantisme Kebun Sayur
Catatan Perjalanan ke Suku Tengger di Desa
Ngadiwana
Agung Dwi Laksono
Ngadiwana, 08 April 2015
Dua hari lalu, tepatnya Selasa, 07 April 2015, kami
membawa rombongan para calon peneliti Riset Ethnografi
Kesehatan tahun 2015 ke masyarakat Suku Tengger di Desa
Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Pasuruan. Kedatangan kami
bersama 60 calon ethnografer di sini untuk belajar pada Suku
Tengger tentang kehidupan keseharian mereka.
Pertama kali memasuki wilayah Ngadiwono, terbersit
pertanyaan sebagai ekspresi keterkejutan saya, “Ini bukan di
Jakarta kan? Jangan-jangan ini di pojokan Surabaya?”
bagaimana tidak? Perkampungan yang kami datangi sungguh
jauh berbeda dengan apa yang menjadi bayangan saya
dengan pengalaman beberapa tahun lalu berkunjung di
wilayah Tengger ini. Perkampungan Tengger di Ngadiwono
ini sungguh jauh melampaui ekspektasi saya.
179
Gambar 1.
Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Perkampungan Tengger di Desa Ngadiwono kali ini
lebih mirip perkampungan di pojokan sebuah kota
metropolis sebangsa Jakarta, Surabaya, atau Bandung.
Crowded, penuh sesak! Setiap rumah saling berhimpitan,
dengan hampir tidak menyisakan halaman rumah sama
sekali. Meski masih ada juga menyisakan beberapa rumah
dengan halaman yang lebih luas khas pedesaan.
Tapi jangan salah, lebih dari 95% penduduk di wilayah
ini berprofesi sebagai petani. Kondisi perumahan yang padat
dan penuh sesak hanya ada di wilayah pemukiman saja.
Sementara sebagian tanah di wilayah pegunungan Tengger
ini merupakan lahan kebun sayur yang sangat luas dan subur.
180
Hasil sayuran utama di wilayah ini adalah kobis,
kentang dan wortel. Ada komoditi tanaman lain semacam
jagung, ketela, bawang, cabe, dan beberapa sayuran lainnya.
“Orang sini lebih suka tanaman yang umurnya pendek
mas…,” terang mas Sug, lelaki asli Tengger berumur 38 tahun
yang juga berprofesi sebagai petani, saat saya mintai
penjelasan tentang kecenderungan menanam sayur mayur
tersebut.
Masyarakat yang hampir seluruhnya petani, tentu
saja membawa konsekuensi pada kultur budaya yang
mempunyai kecenderungan seperti wilayah agraris lainnya.
Hampir seluruh waktu masyarakat Tengger pada siang hari,
terutama yang dewasa, berada di kebun. Sementara di
rumah menyisakan anak-anak dan beberapa orang tua yang
sudah tidak seberapa kuat untuk menjalankan aktivitas
secara fisik di kebun.
Konsekuensi inilah yang membuat banyak aktivitas
rumah tangga yang bagi masyarakat lain umumnya dilakukan
di rumah, menjadi bergeser ke kebun, termasuk di dalamnya
‘bercinta’. Bagaimana bisa? Kebiasaan masyarakat Tengger
yang berangkat ke kebun berdua dari pagi, bekerja keras
merawat kebun, hingga pulang pada sore harinya, membuat
sedikit waktu yang tersisa untuk mengerjakan aktivitas
lainnya.
“…lha kalo pulang kan sudah capek mas. Kan habis
nyangkul-nyangkul di kebun…,” kilah mas Har. Lelaki berumur
33 tahun ini sudah menghasilkan dua anak laki-laki hasil
ber’kebun’ bersama Nah, istrinya yang malu-malu saat
suaminya bercerita tentang hal tersebut.
181
Gambar 2
Kenampakan Posisi Kebun dan Rumah Masyarakat Tengger
di Desa Ngadiwono
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kondisi di kebun dengan angin pegunungan yang
semilir, serta keadaan yang cukup sepi, mampu
membangkitkan romantisme saat hanya berduaan dengan
pujaan hati. Tidak ada ‘gangguan’ anak-anak yang bisa
merusak suasana romantis yang terbangun, bukannya
mereka sedang menunggu di rumah. Aman terkendali.
Mas Sug (38 tahun) pun mengakui adanya
romantisme kebun sayur ini. Anak perempuan yang
dimilikinya pun diakui merupakan hasil kerja kerasnya saat
men'cangkul' di kebun. “Yaaa… banyak yang memang begitu
mas, melakukan itu di kebun… kan kebunnya jauh-jauh…”
Kondisi kepemilikan tanah kebun yang cukup luas
pada masing-masing keluarga membuat jarak antar kebun
182
tidak mengganggu aktivitas bercinta mereka. Rasa takut
ketahuan tetangga menjadi hilang, meski sebenarnya rasa
takut dan deg-degan ketahuan itulah yang sesungguhnya
membuat romantisme kebun sayur jauh lebih membara. Ahh
seandainya…
183
184
Menapak Mesuji;
Feminisme Bioepik Daerah Konflik
Harun Alrasyid
Mesuji, 15 Mei 2015
Jika kita mengetikkan satu kata kunci saja di mesin
serba tahu google mengenai Mesuji, maka kita akan
menemukan puluhan artikel, berita, dan jurnal mengenai
konflik yang terjadi di daerah perbatasan ini. Kemudian jika
discroll ke bagian bawah, maka google akan menampilkan
secara otomatis beberapa kata kunci yang paling umum
dalam ‘Searches related to Mesuji’ seperti, kasus Mesuji,
Mesuji berdarah, kerusuhan Mesuji, hingga tragedi Mesuji.
Ya, memang daerah ini memiliki catatan hitam nan kelam
dalam proses perkembangannya sebagai kabupaten baru
sehingga membuat siapa saja berpikir berulang kali untuk
mengunjunginya, kendati pun sebuah tugas. Tercatat, pernah
terjadi beberapa kali kerusuhan di daerah ini hingga terjadi
pembantaian dan penembakan akibat sengketa lahan. Awal
mula permasalahan adalah berakar dari konflik agraria yang
185
kunjung tidak terselesaikan. Bahkan konflik ini memasuki
babak baru dengan perhatian internasional terhadap
kabupaten Mesuji atas isu pelanggaran Hak Azazi Manusia
(HAM) di daerah register 45.
Gambar 1
Rute Perjalanan Palembang – Mesuji Lampung
Sumber: Google Maps
Karena berada pada daerah perbatasan provinsi,
maka ada dua rute perjalanan yang dapat kita pilih untuk
dilalui. Rute pertama, Bandar Lampung-Mesuji dan rute
kedua, Palembang-Mesuji. Kedua rute ini memiliki
keunggulan dan kekurangan masing-masing. Jika kita melalui
rute Bandar Lampung–Mesuji, maka perjalanan relatif lebih
186
smooth dibandingkan dengan rute Palembang-Mesuji. Hanya
saja waktu tempuh untuk rute pertama akan jauh lebih lama
dibandingkan dengan rute kedua. Akhirnya saya dan rekan
Tim Riset Etnografi Kesehatan memilih rute kedua untuk
kami lalui dengan pertimbangan efisiensi waktu. Rute yang
kami pilih memang berbeda dari rute yang kami tempuh saat
melakukan persiapan daerah. Jika pada persiapan daerah
kami memilih rute Lampung-Mesuji, sedangkan pada kali ini
kami menempuh jalur lebih singkat yaitu Palembang-
Kayuagung-Mesuji. Untuk mengefisiensi waktu, perjalanan
kami mulai pada pukul 05.05 WIB setelah ba’da subuh. Kami
melewati jalan Lintas Timur, dimana ini adalah jalan darat
satu-satunya untuk menuju ke kabupaten Mesuji lampung
dari Sumsel. Jalan Lintas Timur adalah jalur lintas provinsi
yang menghubungkan antara Provinsi Sumatera Selatan
dengan Provinsi Lampung. Kabupaten Mesuji berada di
perbatasan kedua provinsi ini. Jarak antara Palembang-
Mesuji Lampung sekitar 237 km dengan memakan waktu
tempuh normal tanpa hambatan 4-5 jam.
Hingga memasuki daerah Teluk Gelam jalan yang
dilalui agak sedikit tersedat dengan adanya jalan-jalan rusak
di beberapa titik, bahkan jalan pemerintah sedikit pun tidak
memanjakan perjalanan kami. Seakan menjadi penawar,
sepanjang perjalanan kami menikmati proses alamiah yang
terjadi. Sunrise yang seakan membentuk frame-frame yang
membuat panorama begitu asri, sedap di pandang mata.
Terlihat sepanjang jalan, bagaimana proses ‘tumbuh
kembang’ daerah-daerah dulu yang hanya berisi pohon-
pohon hutan yang lebat sekarang sudah menjadi rumah-
187
rumah dan sesak dengan bangunan seperti di Tugu Mulyo.
Dulu, saat tahun 90-an saat saya masih kecil, daerah ini sama
halnya seperti Mesuji saat ini bahkan lebih parah. Namun
saat transmigrasi dimulai oleh Pak Presiden Soeharto,
perkembangan dan perbedaan itu pun sangat terlihat. Mesuji
saat ini bertahap untuk menuju ke arah tersebut, setidaknya
itulah yang saya tahu sebelum tinggal dan mendalaminya
lebih jauh.
Gambar 2
Matahari Terbit, di Jalan Lintas Timur Sumatera
Sumber: Dokumen Peneliti
Pukul 09.15 WIB kami tiba di Simpang Pematang atau
akrab disebut dengan Unit 2 atau A oleh masyarakat Mesuji,
kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamaatan
Brabasan yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten
Mesuji. Meskipun hujan tadi malam, namun karena pagi ini
matahari cukup terik untuk mengeringkan jalan-jalan
berlumpur di Mesuji membuat perjalanan kami menuju
188
Kecamatan Brabasan cukup mulus, setidaknya lebih baik dari
Persiapan daerah bulan lalu. Sekitar pukul 10.30 WIB kami
sampai di Kecamatan Brabasan dan langsung menuju Dinkes
Kab. Mesuji untuk melapor. Kami melanjutkan perjalanan
menuju Desa Wiralaga sebagai desa lokus penelitian kami.
Kami tiba di puskesmas dan disambut oleh Kepala Puskesmas
Wiralaga dan untuk sementara kami memutuskan untuk
tinggal di Puskesmas Wiralaga sebagai basecamp awal.
Gambar 3.
Jalan Menuju Desa Wiralaga, Mesuji Lampung
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Mesuji, sebagai Sub Etnik dan Wilayah Administrasi
Jika kita menyebut Mesuji, maka akan ada dua
referensi yang akan kita gunakan yaitu Mesuji sebagai
kelompok budaya dan Mesuji sebagai sebuah wilayah
administrasi. Mesuji dalam segi budaya, merupakan sub etnik
189
atau marga yang mendiami wilayah di Sumatera bagian
Selatan. Sedangkan jika dilihat dari segi administratif, Mesuji
merupakan sebuah kabupaten yang ditinggali oleh multi
etnik bukan hanya marga Mesuji. Kabupaten Mesuji yang
terbentuk pada tahun 2008 yang lalu, saat ini sedang giat-
giatnya berbenah diri membangun wilayah. Hal ini terlihat
dari telah dibangunnya komplek pemerintahan terpadu di
wilayah kecamatan brabasan. Hubungan kekerabatan yang
sangat erat dengan masyarakat Sumatera Selatan,
merupakan asal usul munculnya orang Mesuji. Suku asli
marga Mesuji merupakan keturunan orang sirah pulau
padang, yang merupakan salah satu wilayah di Ogan
Komering Ilir, Sumatera Selatan dan beberapa suku lainnya
seperti suku Kayuagung, Sugi Waras, Palembang dan suku
Lampung Tulang Bawang. Kelima suku inilah yang disebut
sebagai Marga Mesuji sebagai orang Mesuji asli.
Kehidupan masyarakat Mesuji tidak dapat dipisahkan
dari sungai dan perkebunan. Sebagai sumber utama
kehidupan, sungai dan hume menjadi mata pencaharian.
Menangkap ikan, ngehume (berladang), dan ngedolok kayu
adalah aktivitas sehari-hari yang dilakukan untuk
melanjutkan hidup. Tidak seperti dulu, kini masyarakat
Mesuji sudah bisa menikmati listrik dan teknologi. Berangkat
dari salah satu desa tua, kami mulai melakukan grounded
masyarakat Mesuji di Desa Wiralaga. Desa Wiralaga
merupakan satu dari 10 desa tertua di kecamatan Mesuji
lampung.
190
Gambar 4
Sungai Kabong, Desa Wiralaga
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Perempuan Mesuji
Dalam adat istiadat Mesuji, perempuan memiliki
kedudukan yang tinggi dan istimewa. Hukum adat sangat
melindungi dan memberikan perhatian khusus terhadap
segala sesuatunya mengenai perempuan sehingga wajar jika
terdapat denda adat bagi siapa saja laki-laki yang berperilaku
tidak pantas kepada perempuan di Mesuji. Dalam hukum
adat istiadat Mesuji Lampung diberlakukan denda adat jika
laki-laki memegang bagian tubuh perempuan dan
perempuan merasa tidak senang. Denda adat ini mulai dari
denda uang hingga pernikahan. Pertama kali mendengar hal
ini, kontan saja saya menggunakan baju lengan panjang dan
tidak berani dekat-dekat dengan perempuan Mesuji,
sekalipun istri kapuskes. Ketika mendengar pengalaman dr.
191