Gambar 6.
Salah Satu Fasilitas Publik yang Terabaikan dan Tak Difungsikan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Bertahan di Tengah Keterbatasan
Karakteristik pulau yang “menyendiri” tak jarang
menyebabkan keterbatasan akses di Miangas, salah satunya
akses transportasi dari pusat ibukota dan pemerintahan.
Cuaca yang ekstrim di Samudra Pasifik yang lepas terkadang
menghambat distribusi kebutuhan pokok yang ada. Biasanya
pada bulan Desember sampai Februari cuaca di Miangas
sangat tidak bersahabat. Angin yang kencang dan ombak
yang tinggi tak jarang membuat ciut kapal-kapal untuk
melabuhkan diri di Miangas. Bahkan, salah satu kejadian
sebuah kapal tongkang yang mengangkut meterial
pembangunan bandara “tepar” tak berdaya di pelabuhan
akibat rusak parah diterjang ombak besar Samudra Pasifik.
42
Gambar 7.
Kapal Tongkang yang “tepar” Akibat Gelombang Besar
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Ektrimnya cuaca di Miangas tersebut tak jarang
membuat masyarakat Miangas tak dapat melaut mencari
ikan serta mendapatkan pemasukan bahan pokok bahkan
sampai berbulan-bulan. Akibatnya, mereka harus bertahan
bersama alam untuk melanjutkan kehidupan. Untuk
memenuhi bahan pokok mereka mengkonsumsi umbi-
umbian seperti laluga (sebuah tanaman talas raksasa yang
hanya tumbuh di Miangas), sagu, maupun ubi jalar.
Sedangkan untuk lauk pauk, mereka mencari ketam kenari
(kepiting) atau bahkan hanya memakan sayur-sayur yang ada
tumbuh di Miangas.
43
Gambar 8.
Laluga, Sejenis Tanaman Talas Raksasa
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain keterbatasan dalam hal kebutuhan pokok,
Miangas juga terbelenggu dengan keterbatasan akses
kesehatan medis. Meskipun Puskesmas Miangas sudah
berdiri sebagai Puskesmas setingkat kecamatan, tetapi
keadaan dan kelengkapannya masih belum mumpuni.
Contoh kecilnya saja, Puskesmas sendiri tidak memiliki
tensimeter dan termometer. Jadi para petugas yang ada
terpaksa merogoh kocek sendiri untuk membeli tensimeter.
Contoh lain lagi, untuk peralatan pertolongan persalinan
sudah mulai rusak, hilang, dan tumpul. Tak jarang para
petugas meminjam peralatan pada bidan kampung. Itu hanya
secuil contoh kecil keterbatasan Puskesmas, apalagi jika
ditinjau dari standar fasilitas pemeriksaan seperti Puskesmas-
Puskesmas di ibukota, sungguh tak adapat dibandingkan.
44
Gambar 9.
Peralatan Persalinan yang terdapat di Miangas
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain itu, Puskesmas Miangas hanya memiliki 8
petugas kesehatan. Empat orang pegawai tetap dan 4 orang
pegawai tidak tetap alias PTT. Kualifikasi tenaga kesehatan
yang ada terdiri dari 4 orang perawat tetap, 1 perawat
kontrak, 2 bidan PTT, dan 1 dokter kontrak daerah.
Sebenarnya dulu ada beberapa pegawai tetap di Miangas,
tetapi setelah mereka bertugas beberapa bulan mereka
meminta pindah untuk ditempatkan di ibukota kabupaten.
Miangas dalam Kacamata Kesehatan
Secara umum status kesehatan di Kabupaten
Kepulauan Talaud menurut IPKM (Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat) menduduki peringkat 326 dari 497
45
Kabupaten di Indonesia. Secara khusus, kabupaten ini berada
di peringkat 12 dari 15 kabupaten yang ada di Sulawesi
Utara. Adapun aspek kesehatan yang menjadi lampu kuning
di Kabupaten ini adalah aspek pelayanan kesehatan, perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS), serta kesehatan lingkungan
yang belum memadai. Selain itu, Kabupaten Kepulauan
Talaud juga termasuk dalam daerah DTPK (Daerah Tertinggal
Perbatasan Kepulauan) yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga Philipina khususnya di Kecamatan Miangas
dan Kecamatan Nanusa (buku daerah perbatasan sulut).
Miangas memiliki 1 kecamatan induk dan 1 Puskesmas
pembantu (Pustu) yang kini menjadi rumah dinas bagi tenaga
kesehatan yang berasal dari luar Miangas. Lokasi Puskesmas
induk berada di daerah perkebunan warga dengan jarak 300
meter dari pusat pemukiman warga. Untuk pustu sendiri
memang berada di tengah-tengah pemukiman warga, tetapi
dikarenakan luas lokasi yang dianggap sempit, maka pustu ini
jarang digunakan untuk melayani pasien terkecuali ketika
diadakan posyandu.
Jam telah menunjukan pukul 9 pagi, rencananya pagi
ini saya akan berkunjung melihat Puskesmas Miangas. Untuk
mencapai Puskesmas saya harus terlebih dahulu melewati
jalur perkebunan warga. Meskipun masih pagi, nuansa kebun
yang sunyi dan lembab, terkadang mampu untuk membuat
bulu kuduk berdiri. Meskipun jam masih menunjukan pukul 9
pagi pintu Puskesmas masih terkunci, padahal hari ini adalah
hari kerja. Setelah hampir satu jam menunggu, datanglah
beberapa petugas Puskesmas. Awalnya saya menyangka
pasien dikarenakan mereka hanya memakai baju biasa
46
seperti warga biasanya, tetapi semuanya tampak jelas ketika
mereka mulai mengeluarkan tensimeter dan mulai
memeriksa 1-2 pasien yang datang. Akhirnya Jam
menunjukan pukul 12 siang, tak terlihat ada pasien yang
datang, maka merekapun memutuskan untuk pulang dan
menutup Puskesmas.
Gambar 10.
Jalan Menuju Puskesmas Induk Miangas
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Menurut petugas Puskesmas yang saya temui, memang
animo masyarakat untuk memeriksa diri sangat kurang.
Mereka lebih suka menitip obat-obatan kepada bidan atau
petugas Puskesmas ketika mereka kembali. Selain itu,
masyarakat juga lebih suka didatangi daripada mendatangi
petugas kesehatan jika sakit. Alasannya?? Ya bermacam-
macam, ada yang bilang tidak sempat, ada yang bilang sibuk
ke Puskesmas, dan segala macam alasan lainnya.
47
Ditengah keterbatasannya, setidaknya di Miangas
terdapat 4 metode penyembuhan yang biasa dimanfaatkan
masyarakat. Pertama metode penyembuhan medis yaitu
memeriksakan diri pada petugas Puskesmas atau sekedar
membeli obat-obat bebas di warung. Kedua, metode
pengobatan makatana. Makatana sendiri merupakan
sebutan masyarakat untuk ramuan-ramuan herbal tradisional
yang telah diajarkan secara turun temurun. Ketiga, metode
penyembuhan dengan kuasa dunia ataupun kuasa kegelapan.
Dan terakhir menggunakan metode penyembuhan dengan
kuasa Tuhan.
48
Tour de Nenas;
Catatan Perjalanan ke Kab. Timor Tengah Selatan
Agung Dwi Laksono
Soe-Timor Tengah Selatan, 29 Mei 2015
Timor Tengah Selatan, demikian nama salah satu
kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang kali ini
menjadi sasaran tujuan kunjungan lapangan kami. Kami
berempat berangkat dari Surabaya, yaitu saya sendiri, kang
Pranata (seorang antropolog), dan dua rekan dari tim
videografi (seorang sutradara dan seorang lagi kameramen).
Bukanlah perjalanan yang terlampau sulit. Perjalanan
supervisi dan pengambilan gambar visual audio Riset
Ethnografi Kesehatan kali ini harus kami lalui.
Kabupaten Timor Tengah Selatan terletak satu
daratan di Pulau Timor dengan negara pecahan republik ini,
Timor Leste. Di sebelah Timur Kabupaten Timor Tengah
Selatan hanya dibatasi oleh Kabupaten Belu sebelum
mencapai tanah Timor Leste. Pada bagian Utara Kabupaten
Timor Tengah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Timor
Tengah Utara, sementara di bagian Barat berbatasan dengan
49
Kabupaten Kupang, dan pada sisi Selatan Kabupaten Timor
Tengah Selatan secara langsung berhubungan dengan
Samudera Hindia.
Gambar 1.
Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan
Sumber: Provinsi Nusa Tenggara Timur
Menurut Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam
Angka Tahun 2014, kabupaten yang beribukota di SoE ini
mempunyai luas daratan mencapai 3.995,36 Km2, dengan
tingkat kepadatan 114,26 jiwa per Km2 pada tahun 2013.
Jumlah seluruh penduduk pada tahun yang sama mencapai
451.922 jiwa dengan rumah tangga sejumlah 112.446 rumah
tangga (Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah
Selatan, 2014). Berdasarkan angka jumlah penduduk dan
jumlah rumah tangga, maka proporsi dalam setiap rumah
tangga terdiri dari 4,02 jiwa, artinya bahwa dalam satu
50
rumah tangga terdiri dari rata-rata empat anggota keluarga,
dan beberapa rumah tangga saja yang berisi lima anggota
keluarga. Secara kasar bisa kita tarik kesimpulan bahwa
Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu
kabupaten yang berhasil dalam program Keluarga
Berencana-nya, atau jangan-jangan…? Ahh… biarkan saja
menggantung tanpa jawab, agar bisa dijadikan bahan
refleksi.
Lingkaran Setan
Derajat kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan
yang rendah, serta kemiskinan, merupakan tiga kondisi yang
bila kita cermati seperti membentuk lingkaran setan.
Ketiganya secara siklis saling mempengaruhi, kejatuhan
dalam satu kondisi menjadi penyebab kejatuhan kondisi yang
lainnya. Hal inilah yang sepertinya tengah terjadi di
Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Menurut hasil pemeringkatan Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang didasarkan
pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada
tahun yang sama, menempatkan Kabupaten Timor Tengah
Selatan pada ranking 474 dari 497 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. IPKM sebelumnya, tahun 2007, Kabupaten Timor
Tengah Selatan berada pada posisi ranking 399 dari 440
kabupaten/kota yang ada pada saat itu. Menilik posisi
peringkat Kabupaten Timor Tengah Selatan pada IPKM tahun
2007 dan 2013, terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat sebagai hasil dari
51
pembangunan kesehatan yang telah dilakukan.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2013 yang
dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan
bahwa ada sekitar 31,71% penduduk berumur 10 tahun ke
atas di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang tidak memiliki
ijazah sama sekali, artinya angka tersebut merupakan
gabungan antara yang tidak bersekolah sama sekali dan yang
tidak lulus Sekolah Dasar. Sementara hasil survei yang sama
menyebutkan bahwa sejumlah 34,81% penduduk di atas 10
tahun yang memiliki ijazah Sekolah Dasar. Hanya 2,91%
penduduk saja yang tercatat memiliki ijazah di atas SLTA.
Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Timor Tengah
Selatan dalam “Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam
Angka Tahun 2014”, tercatat terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin di kabupaten tersebut. Hal ini terjadi dalam
kurun waktu lima tahun, antara tahun 2006-2011. Tetapi
antara tahun 2011-2012 kembali terjadi peningkatan tipis
persentase penduduk miskin sebesar 0,57%, menjadi 27,53%
(lihat Gambar 2). BPS mengukur kemiskinan menggunakan
pendekatan kemampuan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach). BPS memandang
kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
yang diukur dari sisi pengeluaran.
52
Gambar 2.
Tren Persentase Penduduk Miskin
di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014
Status Gizi Balita
Kita mencermati status gizi balita di Kabupaten Timor
Tengah Selatan pada tahun 2013, maka kita akan mendapati
kenyataan yang sungguh memprihatinkan. Hampir separuh
balita (46,48%), merupakan balita dengan status gizi buruk
dan kurang. Angka ini jauh di atas angka Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang berada pada kisaran 33,07%, dan
rentangnya semakin jauh lagi bila dibandingkan dengan
angka nasional yang hanya berkisar 19,63%.
Status gizi balita ini menjadi lebih memprihatinkan
lagi bila kita cermati dari indikator tinggi badan per umur.
Lebih dari 70% balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan
53
merupakan balita stunting atau pendek. Angka ini jauh di
atas prevalensi provinsi maupun nasional.
Cakupan angka penimbangan balita di Kabupaten
Timor Tengah Selatan sedikit lebih tinggi dibanding angka
provinsi maupun nasional. Artinya bahwa kepedulian
masyarakat terhadap anak-anak sudah cukup baik, hanya
saja kemiskinan bisa menjadi salah satu kendala yang cukup
serius untuk faktor pertumbuhan balita.
Perjalanan Menuju Desa
Perjalanan kami kali ini hanya membutuhkan waktu
sekitar empat jam saja dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Kota Kupang, untuk mencapai ibu kota Kabupaten
Timor Tengah Selatan di SoE. Kami masih harus menambah
lagi dengan enam jam perjalanan untuk mencapai Desa
Nenas-Kecamatan Fatumnasi, desa tempat tinggal dua
ethnografer kami yang sedang grounded di sana. Enam jam
tambahan yang sungguh menyebalkan karena kami salah
memilih kendaraan untuk menempuh jalanan yang rusak,
longsor dan berbatu.
54
Gambar 3.
Jalanan Menuju Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi Peneliti
55
Pengalaman menyebalkan menempuh sisa perjalanan
menuju Desa Nenas seakan terbayarkan dengan
pemandangan lanskap saat memasuki cagar alam Mutis di
lereng Gunung Mutis. Lanskap yang sungguh membuat kami
tak pernah berhenti berdecak mengucap syukur diberi
kesempatan melihat pemandangan seindah ini.
Gambar 4.
Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis
Sumber: Dokumentasi Peneliti
56
Desa Nenas di Kecamatan Fatumnasi
Desa Nenas merupakan salah satu desa yang terletak
di lereng Gung Mutis. Topografinya berupa lereng-lereng
dengan variasi ketinggian yang beragam, naik-turun
perbukitan. Letaknya yang tersembunyi di lereng gunung dan
di balik hutan membuat Desa Nenas selalu berhawa dingin
dengan angin yang bertiup kencang yang seakan tak pernah
berhenti untuk membuat badan menggigil sepanjang hari.
Tubuh letih kami benar-benar tak kuat menahan gempuran
seperti ini, yang membuat kami ber-empat hampir tumbang
pada akhir perjalanan.
Mutis, demikian nama gunung itu, yang dalam bahasa
Dawam artinya adalah“lengkap”. Menurut kepercayaan
orang Molo Gunung Mutis merupakan asal atau cikal bakal
orang Timor secara keseluruhan, mereka secara lengkap
hadir di dunia melalui Gunung Mutis. Oleh karena itu
masyarakat Desa Nenas sangat terbuka dengan kedatangan
orang luar, karena mereka menganggap demikianlah
memang seharusnya mereka bersikap untuk menyikapi
“lengkap”nya Mutis.
Desa Nenas dalam pandangan kami merupakan salah
satu desa yang sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan
desa lain di Indonesia. Desa Nenas lebih merupakan desa
auto pilot, karena kepala desa terpilih mengajukan diri
menjadi anggota DPRD, dan akhirnya benar-benar terpilih
menjadi anggota dewan. Nasib Desa Nenas tak juga beranjak
naik.
57
Masyarakat di Desa Nenas termasuk dalam sub suku
Molo, yang merupakan salah satu bagian dari suku Timor.
Oleh sebab itu mereka dikenal sebagai orang Molo. Dalam
keseharian mereka masih menggunakan bahasa Dawam
sebagai salah satu media komunikasi antar orang Molo.
Nenas sendiri dalam bahasa Dawam diartikan sebagai
“terkenal”.
Orang Molo di Desa Nenas kebanyakan sudah tinggal
di ‘rumah sehat’, sebutan untuk rumah yang dibangun untuk
menggantikan ‘rumah bulat’, rumah asli warga suku Molo.
Malam hari mereka lebih sering berada di rumah bulat
karena kondisinya yang hangat, cukup untuk menahan dari
gempuran hawa dingin di luar.
Gambar 5.
Proses Shooting Tari Giring-giring
yang Mengambil Latar Belakang Rumah Bulat
Sumber: Dokumentasi Peneliti
58
Kami sendiri tinggal di rumah sehat bersama keluarga
bapak Anderias Tambelab (58 tahun), sekretaris Desa Nenas.
Rumah yang kami diami adalah milik salah seorang pejabat
desa. Jangan pernah membayangkan kemewahan yang akan
kami terima. Kondisinya sama saja dengan rumah penduduk
lainnya. Kami tidur hanya beralaskan karpet plastik tipis di
atas plesteran semen.
Gambar 6.
Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Hampir mirip dengan desa-desa lain di pelosok
republik ini, kehidupan di Desa Nenas berjalan sangat
lambat. Hampir seluruh penduduk bermata pencaharian
sebagai petani. Beberapa menjadi tukang ojek, guru, dan
berdagang kelontong kecil-kecilan. Ada juga seorang
pendatang dari Madura yang berprofesi menjadi tukang
kayu.
Hampir seluruh jalanan yang ada di desa ini
merupakan jalan berbatu yang cukup terjal, menyisakan
59
sedikit saja jalan tanah. Kondisi ini membuat hanya
kendaraan-kendaraan tertentu saja yang bisa menempuh
jalur ini, termasuk beberapa motor tulang ojek yang sudah
mengalami modifikasi pada rantai-gir dan roda ban yang
menjadi lebih bergigi.
Kami observasi dan terlihat balita-balita di Desa
Nenas mempunyai kecenderungan stunting, sebagaimana
penampakan orang-orang dewasa di desa ini yang juga
cenderung pendek. Sekali lagi saya tidak bisa mengkonfirmasi
hal ini dengan data riil, karena pencatatan di Posyandu sama
sekali tidak mencantumkan angka tinggi badan, dan tanggal
kelahiran pun seringkali dibiarkan kosong melompong.
Kebanyakan balita di Desa Nenas mengkonsumsi
bubur nasi tanpa tambahan apapun. “Balita sekarang
makannya bubur nasi pak. Iya nasi saja… tanpa tambahan
apapun. Kalo dulu ya bubur jagung. Kan belum ada beras…
ada beras baru sekitar mulai tahun 70-80-an…,” jelas pak
Nuel, nama panggilan Imanuel Anin (50 tahun), seorang
mantri tani yang tinggal di Desa Nenas.
Hampir tidak ada variasi makanan lain yang menjadi
asupan balita di desa ini, kecuali ASI. Pengakuan masyarakat,
ASI diberikan sampai mereka berumur dua tahun lebih,
kecuali beberapa balita yang sudah “kesundulan”,
kedahuluan adiknya lahir, dan juga beberpa balita lain yang
disebabkan ibunya sakit atau tidak keluar air susunya.
Ada fenomena menarik yang ditunjukkan balita Darfa
Tambelab (20 bulan). Sejak berumur 12 bulan, Darfa
mengkonsumsi kopi yang dimasukkan ke dalam botol dot.
Dua kali sehari, secara rutin pagi dan sore, cucu ke-dua
60
sekretaris desa tersebut meminta dibuatkan minuman
kesukaan saya ini. Diker Tambelab (33 tahun), ayah si Darfa,
cuek saja dan membiarkan anak balitanya dengan lahab
menyeruput kopi lewat botol dotnya.
Gambar 7.
Darfa Tambelab dan
Ayahnya
Sumber: Dokumentasi
Peneliti
Ketersediaan Pelayanan Kesehatan
Desa Nenas masuk sebagai salah satu wilayah kerja
Puskesmas Fatumnasi yang terletak di Desa Fatumnasi.
Puskemas Fatumnasi sendiri memiliki tenaga sejumlah 18
orang dengan lima bidan dan satu tenaga dokter umum PTT.
Ada lima desa yang harus di-cover Puskesmas Fatumnasi,
yaitu Nenas, Fatumnasi, Kuanoal, Nuapin dan Mutis.
Pada masing-masing desa ‘ada’ fasilitas pelayanan
kesehatan. Desa Nuapin misalnya, ada Polindes dengan bidan
61
yang stand by di sana. Sedang di Desa Mutis ada Polindes
yang jadwal bukanya seminggu sekali menunggu bidan
penanggung jawab wilayah datang dari Puskesmas. Kondisi
ini sama dengan Polindes di Kuanoal yang buka pelayanan
empat kali dalam sebulan sesuai dengan kedatangan bidan
dari Puskesmas Fatumnasi. Ada Puskesmas Pembantu (Pustu)
permanen di Desa Nenas yang dijaga oleh seorang perawat.
Hanya saja posisi rumah perawat yang berada di SoE dan
adanya keperluan-keperluan lain membuat kondisinya
seperti kurang terurus.
Masalah akses yang cukup jauh dari desa ke
Puskesmas, masyarakat di lima desa ‘urunan’ secara
tanggung renteng untuk membangun rumah tunggu
persalinan di samping gedung Puskesmas. “Kondisinya sudah
sangat memprihatinkan pak. Ini sedang kami upayakan untuk
setiap desa urunan kembali untuk membangun yang semi
permanen…,” jelas Alfred Duka, SKM Kepala Puskesmas
Fatumnasi. Rumah tunggu persalinan yang dibangun
berbahan kayu lokal ini sejak tahun 2011 ini memang terlihat
miring seperti mau roboh.
Ada kebijakan menarik yang dikeluarkan oleh
Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan
Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Bawah Lima Tahun.
Kebijakan ini lebih merupakan terjemahan dari kebijakan
Revolusi KIA yang digagas di tingkat provinsi.
62
Gambar 8.
Rumah Tunggu Persalinan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Secara garis besar kebijakan ini mengatur tentang
pembagian peran antar komponen di wilayah tersebut,
termasuk di dalamnya mengatur secara rinci tentang denda
terhadap masing-masing pihak yang tidak melaksanakan
perannya. Satu contoh misalnya pada saat ibu melahirkan di
rumah bulat ditolong oleh dukun, padahal menurut regulasi
tersebut seharusnya melahirkan di fasilitas pelayanan
kesehatan ditolong oleh tenaga kesehatan. Denda yang
diatur adalah si ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak
melahirkan di fasilitas kesehatan, si dukun didenda Rp.
200.000,- karena berani menolong persalinan, si suami ibu
didenda Rp. 200.000,- karena tidak SIAGA, tidak mau
mengantar istri melahirkan ke fasilitas kesehatan. Pada saat
si ibu nifas melakukan sei (dipanggang), sebagai salah satu
adat kebiasaan orang Timor, maka juga akan dikenakan
denda Rp. 200.000,-. Dan apabila ibu hamil tidak melakukan
memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan atau ibu nifas
63
tidak memeriksakan diri pasca nifas maka akan dikenakan
denda sebesar Rp. 100.000,-.
Mekanisme atau standar operasional prosedur (SOP)
tentang pembayaran atau penarikan denda ini diatur dalam
regulasi tersendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Bupati
Timor Tengah Selatan nomor 51 tahun 2014 tentang Tata
Cara Pembayaran Denda Administrasi dan Pengurangan/
Keringanan.
Sepertinya tujuan dikeluarkannya kebijakan tentang
pelayanan kesehatan ibu dan anak ini baik… sangat baik!
tetapi menurut pandangan saya, sekali lagi menurut
pandangan saya, kebijakan ini menjadi tidak tepat saat
pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak
memenuhi sarana dan prasarana yang menjadi kendala akses
selama ini. Bukankah fasilitas pelayanan kesehatan sangat
minim? Tidakkah tenaga kesehatan belum benar-benar eksis
hadir di wilayah? Bagaimana dengan kondisi jalan berbatu
yang terjal? Kami yang sehat saja berasa remuk redam
menempuh jalur tersebut, bagaimana dengan ibu hamil?
Potensi Sumber Daya
Desa Nenas merupakan desa hortikultura yang sangat
dikenal sebagai penyuplai sayuran sampai ke Kota Kupang.
Beragam jenis sayur-mayur menjadi andalan pendapatan
masyarakat Desa Nenas yang didominasi oleh petani.
Sayuran semacam wortel, labu siam, daun bawang, kentang
dan bawang preh merupakan produk sayuran andalan. Jadi
64
kebutuhan sayuran bukanlah masalah bagi penduduk yang
hidup di lereng Gunung Mutis ini.
Karbohidrat utama seringkali didapatkan dari jagung,
ubi jalar, singkong dan beras. Ada sedikit hamparan sawah di
wilayah Desa Nenas yang dapat membantu suplai kebutuhan
beras di daerah berhawa dingin ini, meski seringkali beras
yang dikonsumsi adalah beras Raskin. Tercatat ada sekitar
147 keluarga miskin dari 287 keluarga, atau 51,22%, yang
mendapatkan jatah beras Raskin dari pemerintah setiap
bulannya.
Protein hewani bisa didapatkan dari telur ayam,
ayam, babi, kambing maupun sapi. Tetapi sayangnya
perekonomian masyarakat membuat konsumsi protein
hewani semacam itu merupakan barang mewah bagi mereka,
hanya telur ayam yang disajikan beberapa kali dalam
sebulan. “Sebenarnya ada juga pak itu apa… daging dan ikan
di Pasar Kapan (di Kecamatan Kapan), tetapi ada (kendala)
faktor ekonomi pak…” jelas Imanuel Anin (50 tahun), seorang
Mantri Tani yang menjadi guide dadakan kami. Lebih lanjut
pria suku Timor bermarga Anin ini menjelaskan bahwa ada
protein hewani yang cukup populer bagi Masyarakat di Desa
Nenas, yaitu “Ikan Blek”, sebutan masyararakat setempat
untuk ikan kalengan atau sarden.
Kesempatan mendapat protein hewani lainnya adalah
pada saat ada kematian. Apabila ada seorang suku Molo
meninggal dunia, maka berbondong-bondong kerabatnya
menyumbang ternak berupa sapi, babi, kambing ataupun
ayam. Mereka menyisakan satu-dua ekor saat menjual
ternaknya, karena memang dimaksudkan untuk hal yang
65
demikian. Pada saat-saat tersebut daging yang tersedia
sangat melimpah. Masyarakat bisa sampai berhari-hari
mengkonsumsi daging, bahkan menurut pak Nuel sampai
(maaf) busuk pun akan dikonsumsi.
Sumber protein lain berupa protein nabati bisa
didapat dari kacang merah dan kacang tanah. Konsumsi
kacang merah seringkali hanya lewat sayur sup saja. Tidak
ada kemampuan untuk membuat kreasi lain agar tumbuhan
kaya protein ini menjadi lebih sering dikonsumsi. Sedang
kacang tanah lebih sering diolah menjadi campuran sambal
goreng.
Mampir ke Surga
Pada kesempatan lain saya bersama mas Zaldi
(kameramen) berkesempatan mengambil gambar lanskap di
lereng Gunung Mutis yang agak tinggi. Lelofui, demikian
lereng tersebut diberi nama oleh orang Molo. Saat datang
menginjakkan kaki pertama kali di lereng itu saya seperti
tersentak. Terpaku tidak bergeming. Hanya mampu berdiri
tanpa sanggup berkata apapun, hanya berdesis… “Ini
surga…”. …dan lalu bagaimana saya bisa berhenti bersyukur?
66
Gambar 9.
“Surga” Lelofui
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada akhirnya kami harus pulang. Terbersit
keengganan di antara kami dan orang Nenas, seakan tidak
ikhlas meninggalkan dan ditinggalkan. Seperti ada tali yang
mengikat kami untuk kebersamaan kami selama seminggu
67
terakhir. Seutas selendang hasil tenunan mama inang
dikalungkan di setiap leher kami oleh nona manis Molo Evi
Tambelab, seakan kembali menegaskan bahwa ada sesuatu
yang tinggi telah mengikat kami.
Gambar 10.
Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang
Sumber: Dokumentasi Peneliti
68
Surga Kecil Raijua;
Sebuah Catatan Perjalanan
Agung Dwi Laksono
Raijua, 1 Mei 2015
Perjalanan kali ini, mulai 27 April hingga setidaknya
satu minggu ke depan, saya memulai kembali perjalanan
eksplorasi Nusa Tenggara Timur. Kali ini salah satu kabupaten
dengan pulau-pulau yang ada di wilayahnya merupakan salah
satu pulau terluar di republik ini, Sabu Raijua, akan menjadi
sasaran eksplorasi.
Kabupaten Sabu Raijua, kabupaten termuda di
Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan hasil
pemekaran dari Kabupaten Kupang. Pendirian kabupaten
baru ini dimulai per tanggal 29 Oktober 2008. Kabupaten
seluas 460,8 km2 ini beribukota di Sabu Barat, yang letaknya
berada di Pulau Sabu (lihat peta). Meski demikian, ibukota
kabupaten ini bukanlah tujuan saya, Pulau Raijua, pulau yang
jauh lebih kecil di sebelah Barat Pulau Sabu, menjadi tujuan
akhir perjalanan kali ini.
69
Gambar 1.
Peta Lokasi Kabupaten Sabu Raijua
Sumber: Kabupaten Sabu Raijua
Dalam pemeringkatan Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang dilakukan
oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehat RI.,
Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan 481 dari 497
kabupaten/kota di Indonesia. Pada level Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan
18 dari 21 kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa
status kesehatan masyarakat di wilayah Sabu Raijua masih
pada tingkat yang memprihatinkan, untuk itulah Kabupaten
Sabu Raijua dimasukkan sebagai salah satu sasaran Riset
Ethnografi Kesehatan yang dilakukan pada 30 kabupaten di
Indonesia pada tahun 2015 ini. Kementerian Kesehatan
berharap bahwa dengan riset ini akan didapat faktor-faktor
70
beyond health yang kemungkinan bisa menjadi penghambat
pembangunan kesehatan, atau justru akan ditemukan
budaya-budaya yang bisa kita pakai untuk menjadi alat
akselerasi pembangunan di wilayah setempat.
Menuju Sabu Raijua saya setidaknya harus melalui
dua kali transit, di Kota Kupang dan di Pulau Sabu. Saya
tidaklah terlalu sulit untuk menuju Kupang (SUB-KOE) dari
home base, karena tercatat ada tiga maskapai yang
mengoperasikan jalur ini. Berbeda dengan jalur Kupang-Sabu,
tercatat hanya terdapat satu maskapai perintis milik seorang
menteri nyentrik, ibu Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi
Air. Maskapai ini setidaknya dua kali dalam sehari melayani
rute Kupang-Sabu (KOE-SAU) setiap hari, kecuali hari Minggu.
Perjalanan ke-tiga yang harus saya lalui adalah Sabu-Raijua.
Kali ini tidak dengan jalur udara, saya harus menempuh jalur
satu-satunya yang tersedia, jalur laut.
Perjalanan kali ini saya lakukan dalam rangka
supervisi dua rekan peneliti Riset Ethnografi Kesehatan
Tahun 2015, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dan
seorang lagi seorang psikolog. Mereka di’tanam’ di sana tak
terlalu lama, sebentar saja, 40 hari, untuk hidup berbaur
dengan orang Raijua. Mereka terlihat sudah seperti pribumi
saat saya datangi.
***
Memulai Perjalanan
Perjalanan hari pertama yang saya tempuh, Surabaya-
Kupang, bukanlah perjalanan yang istimewa. Tidak ada yang
71
terlalu menarik untuk diceriterakan. Saya menginap di Hotel
La Hasienda, sebuah hotel bergaya mexican yang berlokasi di
dekat bandara, membuat saya surprised, karena saya satu-
satunya pribumi yang menginap di hotel itu. Bule-bule
bersliweran keluar-masuk di hotel bertarif rata-rata 380 ribu
per malam itu. Dua-tiga bule nampak asyik bekerja di lobby
hotel dengan menatap serius layar 14 inchi, sambil membuka
lembaran-lembaran dokumen yang ada di genggaman
tangan, dan sesekali mengayunkan jemari memijat tuts-tuts
keyboard di depannya.
Perjalanan hari ke-dua adalah saatnya untuk
menempuh jalur Kupang-Sabu dengan pesawat Cessna Grand
Caravan Commuter Susi Air yang berkapasitas penumpang 12
orang. Pesawat hanya berisi 10 penumpang saat saya
menaikinya. Lebih berasa seperti naik layang-layang dari
pada naik sebuah pesawat, meski menurut saya masih jauh
lebih nyaman naik Cessna Caravan ini ketimbang naik Twin
Otter saat menuju Kabupaten Belu pada lain kesempatan,
meski kedua-duanya disopiri oleh pilot-co pilot bule dari
Australia.
Pesawat landing di Pulau Sabu tepat setelah 50 menit
melayang-layang di udara. Bandara tampak tidak terlalu
ramai, karena Susi Air adalah satu-satunya maskapai yang
mengoperasikan pesawatnya menuju pulau ini.
72
Gambar 2.
Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari
yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Bukan kebetulan saya bertemu dengan Sofyan,
seorang pedagang yang rumahnya di dekat dermaga
penyeberangan ke Pulau Raijua. Saya percaya dengan
rencana-Nya, tidak ada yang kebetulan, sungguh masih
banyak orang baik di republik ini. Saya diajak nebeng mobil
yang menjemput Sofyan, diantar melihat barangkali masih
ada kapal yang menuju Raijua, sampai kemudian diantar ke
penginapan Makarim, tempat saya bermalam di Seba pada
akhirnya.
Seba, ibukota Kabupaten Sabu Raijua, merupakan
kota kecil yang tak lebih ramai dari sebuah kota kecamatan di
pinggiran Pulau Jawa. Keramaian kota terpusat di satu jalan
menjelang dermaga. Sepanjang jalan tersebut, di kiri dan
kanan, dipenuhi para pedagang, di sinilah perputaran uang
73
paling banyak terjadi di wilayah kepulauan ini, meski para
pedagangnya lebih banyak para pendatang dari luar.
Hari ke-tiga. Saatnya menuju Raijua
Ini bukanlah kali pertama saya menuju sebuah pulau
kecil di wilayah perifer terluar, tapi tetap saja rasanya
berdebar-debar, semacam anak SMA yang sedang menunggu
kekasihnya datang, penuh emosi. Ada semacam ekspresi
ketakutan dan gairah untuk menaklukkan tantangan. Ahh…
saya sungguh merasa sangat keren dalam situasi ini.
Tidak ada jadwal pasti untuk kapal yang menuju ke
Pulau Raijua, saya yang diberitahu untuk standby jam 9.00
pagi di dermaga sudah bersiap dengan seluruh barang
bawaan jam 8.30, ternyata kapal belum ada, menurut
informasi seorang teman dari Raijua, kapal akan datang jam
11.00. “Aaa… sebentar saja, jam 9.00 kapal baru berangkat
dari Raijua, akan tiba di Seba sekitar dua jam lagi. Jadi sekitar
jam 11.00 yaa…”. Akhirnya saya memilih kembali dulu ke
penginapan.
Jam 11.00 saya kembali ke dermaga, kapal belum
nampak batang hidungnya. Jam 12 cek lagi, ahh… masih saja
ternyata. Baru sekitar jam 12.15 akhirnya ada kabar kapal
sandar di dermaga. “Kakak… kapal datang sudah, tapi baru
akan berangkat nanti sekitar jam 2.00. Kakak nunggu sini
sa…,” tukas Sofi, penanggung jawab penginapan Makarim.
Jam 13.30 saya sudah berada di atas kapal, hanya ada
beberapa penumpang dan barang-barang pesanan dari
penduduk Raijua, ada motor, kasur, ayam, seng dan sopi
74
(minuman keras khas penduduk NTT dan Maluku). Tepat jam
14.10 kapal bergerak pelahan, dengan penumpang yang
sarat, 37 orang termasuk awak kapalnya, penuh sesak untuk
ukuran kapal sekecil ini.
Gambar 3.
Kapal Kayu yang Penuh Sesak
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Ombak cukup bersahabat, laut sedang teduh, hanya
sedikit bergelombang saat melewati selat antara Pulau Sabu
dan Pulau Raijua. Bisa dimaklumi bila gelombang ini sedikit
lebih besar, karena langsung berhubungan dengan Samudera
Hindia. Tapi tetap tidak seberapa, karena saya pernah
menaiki kapal kayu sejenis dengan ombak yang jauh lebih
memabukkan, mencapai empat meter, saat menuju Pulau
Telo dari Pulau Nias, nyawa seakan hanya sebuah permainan.
75
Setelah dua jam perjalanan, kapal tiba di dermaga
Raijua, dan saya agak terbengong, karena dermaga jauh lebih
tinggi dari permukaan kapal, ada selisih sekitar 1,5 meter.
Saya sedikit trauma dengan pola ‘transfer’ model begini,
pengalaman di dermaga Waisai-Raja Ampat memberkaskan
memori kurang menyenangkan dengan kondisi tubuh saya
yang montok ini.
Ternyata ada tangga kecil yang bisa dinaiki untuk ke
permukaan dermaga.
Syukurlah… Tuhan
sungguh Maha Baik.
Ke-Maha Baikan-
Nya kembali ditunjuk-
kan saat saya disapa dua
orang yang ternyata
adalah petugas gizi dan
dokter gigi dari Puskes-
mas Ledeunu, satu-sa-
tunya Puskesmas yang
ada di Pulau Raijua. Saya
diajak bareng dengan
mobil ambulan menuju
Desa Kolorae, tempat
Gambar 4. dua rekan peneliti se-
Proses “Transfer” di Dermaga Raijua dang grounded di sana.
Sumber: Dokumentasi Peneliti Belum selesai
percakapan, ada seorang sopir truk yang datang dan
mengajak menumpang bersama dengan dia, karena
kebetulan arah tujuannya membawa barang dari kapal dan
76
melewati Desa Kolorae. Akhirnya orang Puskesmas dan
Simon berunding, dan memutuskan saya akan bersama
Simon menuju desa. Simon sang sopir truk yang sekaligus
juga pemilik truk tersebut. Sungguh Tuhan Maha Baik,
sungguh saya tak tahu nikmat Tuhan mana lagi yang bisa saya
dustakan?
Truk berjalan menyusuri jalanan keras berbatu, yang
terkadang penuh pasir, menyisir jalanan pantai dengan
pemandangan yang cukup menghibur. Terlihat beberapa
rumah tradisional yang beratapkan daun lontar dengan pagar
batu yang ditumpuk bersusun mengelilingi rumah sebagai
pagar.
Gambar 5.
Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Rumah tradisional model ini masih mendominasi di
wilayah ini, meski juga sudah ada yang memodifikasi dan
bahkan sudah memilih bentuk rumah modern sebagai
tempat tinggalnya. Dinding rumah tradisional yang biasanya
77
terbuat dari pelepah batang lontar yang disusun rapi,
beberapa sudah berganti dengan tembok.
Gambar 6.
Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu
di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Ada dua jenis rumah tradisional bagi suku Sabu di
Pulau Raijua, yaitu rumah adat dan rumah daun. Kalau kita
tidak memperhatikan dengan seksama, maka kita akan sulit
untuk membedakannya, karena bahan dan bentuknya yang
sama. Secara fisik rumah adat mempunyai bentuk atap yang
menyerupai “konde”, sedang rumah daun mempunyai
bentuk bulat biasa. Selain itu bahan atap yang terbuat dari
daun lontar menjuntai sampai ke bawah hingga tidak
kelihatan bentuk dindingnya, sedang rumah daun tidak.
Secara fungsi rumah daun dipergunakan sebagai tempat
tinggal bagi orang Raijua, sedang rumah adat lebih
dipergunakan sebagai media upacara dan juga menyimpan
benda-benda pusaka peninggalan leluhur. Kita bisa bebas
78
bertamu dan memasuki rumah daun, sedang rumah adat
tidak diperbolehkan sama sekali orang luar untuk
memasukinya. Rumah-rumah adat tertentu ada bebatuan di
bagian luar yang sama sekali tidak boleh kita injak.
Gambar 7.
Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Perjalanan menuju Desa Kolorae juga menyuguhkan
beberapa kebun aren yang merupakan sumber mata
pencaharian utama penduduk Raijua sejak jaman dahulu.
Mereka dikenal sebagai penghasil “gula Sabu”, atau orang
Jawa biasa menyebut sebagai gula aren karena dihasilkan
dari pohon aren. Meski saat ini menyisakan sedikit saja
penduduk yang menekuni pekerjaan tersebut, sejak tahun
2013 beberapa dari mereka sudah beralih untuk melakukan
budidaya rumput laut yang lebih menjanjikan secara
ekonomi. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan proses
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah
79
Kabupaten Sabu Raijua melalui pelatihan budidaya rumput
laut.
Pada sisi lain Pulau Raijua kami mendapati hamparan
kebun sorgum, salah satu tanaman yang dijadikan orang
Raijua untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Kali ini
sepertinya mereka akan gagal panen, karena terlihat
tanaman yang batangnya mirip batang jagung ini mulai
mengering. “Sepertinya memang kami gagal panen kali ini
pak, karena air kurang, sonde (tidak) ada hujan… padahal itu
sorgum bagus bapa… enak… tak kalah dengan beras pulau…,”
keluh Simon di sela-sela tangannya memegang setir
mengendalikan truk di jalanan berbatu yang terjal.
Gambar 8.
Kebun Sorgum yang Tengah Mengering
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dalam perjalanan Simon juga menunjukkan sebuah
embung. Embung adalah istilah setempat untuk cerukan
tanah yang sengaja digali untuk menampung air hujan. Pada
80
saat seperti ini air di dalam embung tidak cukup banyak, air
cenderung keruh berwarna coklat. Air embung biasa
dipergunakan masyarakat untuk mengairi tanaman serta
untuk air minum ternak, meski juga tak menutup hasrat
anak-anak untuk terkadang berenang di dalamnya.
Tak sampai 40 menit kami sudah sampai di rumah Pak
(Kepala) Desa. Saya menginap di rumah Ama (Bapak)
Manona, adik Pak Desa, bersama dua peneliti saya yang telah
lebih dulu datang. Malam itu kami bercakap banyak hal
dengan tuan rumah, yang kembali menunjukkan pada saya,
meneguhkan keyakinan bahwa masih banyak orang baik di
republik ini.
Hari ke-Empat; Memulai Pagi di Raijua
Pagi sudah terang, saat jarum jam belum penuh
menuju angka enam, saat riuh suara ina (ibu) bercengkerama
di sumur sambil menimba air. Menimba air dan
membawanya ke penampungan di dalam rumah merupakan
salah satu urusan ‘domestik’, urusan ibu-ibu suku Sabu
(seluruh penghuni Kabupaten Sabu Raijua adalah suku Sabu,
selain para pendatang tentu saja, red), selain memasak,
membersihkan rumah dan mengasuh anak.
Pagi itu matahari menampakkan dirinya dengan
gagah, hampir tidak ada awan yang menghalangi
penampakannya. Perputaran kehidupan dalam keseharian
dimulai. Para ina mulai sibuk di dapur setelah urusan
menimba air selesai, anak-anak yang harus bersekolah sudah
bergantian masuk kamar mandi untuk bersiap, sementara
81
ama (ayah) masih belum beranjak dari peraduannya. Yak,
ama bertanggung jawab pada urusan mencari nafkah,
sementara semua urusan domestik menjadi tanggung jawab
ina untuk menyelesaikan.
Gambar 9.
Matahari Terbit di Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Saya mengamati, anak-anak Raijua tumbuh normal
sesuai dengan usianya, meski angka di tingkat Kabupaten
Sabu Raijua menunjukkan angka status gizi yang
memprihatinkan, jauh lebih buruk dari angka provinsi
maupun nasional. Hal ini berdasarkan hasil pengukuran
anthropometri dalam Riset Kesehatan Dasar yang
dilaksanakan tahun 2013.
Dalam pengamatan saya banyak sekali potensi
sumber bahan makanan lokal yang bisa dijadikan sumber
nutrisi yang cukup mumpuni. Kebutuhan karbohidrat biasa
didapatkan melalui beras yang didatangkan dari luar,
82
sementara bahan makanan lokal yang tersedia adalah
sorgum, meski keberadaannya sangat dipengaruhi oleh curah
hujan.
Tabel 1. Komparasi Status Gizi Balita di Kabupaten Sabu
Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia berdasarkan Hasil Riskesdas Tahun 2013
Status Gizi Kabupaten Provinsi Nusa Indonesia
Sabu Raijua Tenggara
Timur
Underweight 39,05% 33,07% 19,21%
Stunting 62,49% 51,73% 37,215
Sumber: Badan Litbangkes, 2013
Sumber bahan makanan yang mengandung protein
cukup banyak tersedia, baik hewani maupun nabati. Sebagai
wilayah kepulauan ketersediaan ikan di Raijua cukup
melimpah, sementara masyarakat juga terbiasa memelihara
ayam, babi, kambing maupun kerbau. Sementara sumber
protein hayati banyak tersedia dari produk kacang-kacangan.
Masyarakat Raijua biasa memasak “nasi kacang
merah” (memasak nasi yang dicampur dengan kacang
merah), yang menjadikan rasa nasi menjadi terasa lebih
gurih. Selain itu masyarakat juga terbiasa membuat kolak
kacang hijau, karena bahan-bahannya sangat mudah
didapatkan. Selain kacang hijau yang merupakan salah satu
hasil kebun sendiri, masyarakat Raijua juga merupakan salah
satu penghasil gula sabu yang cukup terkenal.
83
Jam 16.00, matahari masih sangat terik, di saat Ama
Manona (tuan rumah yang menampung kami) mengajak
browsing ke mercusuar di wilayah Halla Wuimahi.
Keberadaannya masih di wilayah Kolorae, hanya saja jalanan
yang berbatu cukup membuat badan serasa remuk saat
terguncang di atas bak terbuka mobil pick up. Bukan
perjalanan yang mudah untuk mencapainya. Tapi indahnya
pemandangan yang kami dapat cukup sepadan, lanscape
view yang kami dapat sungguh mengingatkan kembali pada
ke-Maha-an-Nya. Sementara di sisi lainnya menampakkan
siluet yang menambah decak kagum. Aku padaMu ya Rabb.
Gambar 10.
“Gerbang Surga Kecil”
Sumber: Dokumentasi Peneliti
84
Gambar 11.
Penampakan Siluet di Sisi Kanan Sabana
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kedatangan kami disambut dengan koloni kambing
dan domba dalam hamparan sabana yang sangat luas.
Negeriku kah ini? Seakan tak percaya, tangan tak henti-henti
memencet shutter kamera sambil berdiri di atas pick up yang
terguncang.
Gambar 12.
Barisan Kawanan Kambing
Sumber: Dokumentasi peneliti
85
Hamparan rumput yang demikian luas dengan
beragam koloni hewan yang berlompatan dengan lincah.
Kuda, kambing, domba berlarian kian kemari, sementara
beberapa kerbau digiring gembalanya berjalan dengan
perlahan di sela suara debur ombak. Yak, debur ombak!
Sabana luas ini membentang bersisian dengan pantai yang
ombaknya mampu mengundang para bule untuk surfing di
atasnya.
Gambar 13.
Sabana dan Pantai yang Bersisian
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Di sisi lain nampak kumpulan beberapa rumah daun
yang dibangun untuk tempat beristirahat para petani
budidaya rumput laut. Sisi pantai yang kami datangi memang
merupakan salah satu spot budidaya tanaman idola di Raijua
saat ini. Ahh… kami tak boleh terlalu lama terlena menikmati
surga kecil ini. Kami harus bergegas bila tidak ingin
kehilangan moment terbenamnya matahari sebentar lagi.
86
Gambar 14.
Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 15. Kami bergegas menu-
Mercusuar Halla Wuimahi ju mercusuar yang banyak
Sumber: Dokumentasi Peneliti sekali anak tangganya telah
rusak. Sepertinya memang
bukan saatnya keberuntu-
ngan bagi saya untuk bisa
menaikinya, body montok ini
terlalu berat untuk ditang-
gung anak-anak tangga tak
bersalah itu. Saya cukup puas
memandanginya dari bawah
saja.
Tak jauh dari mercu-
suar itu nampak beberapa
“kotak-kotak” kecil yang se-
ngaja dibuat untuk membuat
87
garam. Penduduk memikul air laut yang dimasukkan dalam
kotak-kotak tersebut, dan membiarkannya menguap untuk
mendapatkan kristal putih garam yang tertinggal.
Gambar 16.
Kotak untuk Mendapatkan Garam
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Di sisi luar mercusuar, belukar perdu dan bakau
nampak menghijau di sela-sela karang pantai yang sungguh
tajam. Terpeleset sedikit saja, dapat dipastikan lecet-lecet
plus bonus celana sobek. Upaya kami menyusuri barisan
bebatuan karang bukanlah upaya yang sia-sia. Gagahnya sang
bagaskara yang hendak kembali ke peraduan sungguh selalu
membuat saya berdecak kagum.
Hari sudah hampir malam saat kami harus bergegas
untuk menangkap moment lainnya, Pasar Padalabba. Pasar
Padalabba merupakan satu-satunya pasar di Desa Kolorae.
Pasar Padalabba sengaja digelar pada malam hari, antara
pukul 05.00 sampai dengan pukul 08.00. “Yaa… karena kalo
88
pagi masyarakat harus ke pantai dulu pak… bekerja di laut,”
jelas Pak Desa saat saya bertanya tentang hal tersebut. Hari
pasaran bagi Desa Kolorai adalah setiap Kamis, seminggu
sekali.
Gambar 17.
Sunset di Pantai Halla Wuimahi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Beragam barang diperjualbelikan di pasar tradisional
ini, kebanyakan adalah barang kelontong produksi pabrik.
Sangat sedikit sekali barang yang dijual merupakan produk
lokal, hanya beberapa kue, ayam dan beberapa kelengkapan
untuk menginang.
Malam semakin larut. Kami harus segera kembali.
Menyusuri kembali jalanan berbatu, untuk bersegera bersih-
bersih tubuh sebelum kembali ke peraduan dengan
membawa mimpi indah tentang surga kecil hari ini.
***
Ahh… akhirnya saya harus pulang juga.
Mempersiapkan diri untuk destinasi lainnya Senin depan.
Semoga bisa memanjakan diri dengan surga kecil lainnya.
89
Gambar 18.
Pasar Padalabba di Desa Kolorae
Sumber: Dokumentasi Peneliti
***
Beta pulang dulu Kolorae. Beta sonde tau apakah bisa
kembali lai? tapi beta pung memori sonde pernah lupa
dengan surga kecilmu.
90
Sambujan,
Desa dengan Penduduk Bermata Pencaharian
Ganda
Ummu Nafisah
Tolitoli, 30 Mei 2015
Kabupaten Tolitoli, merupakan sebuah kabupaten
yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya pada
koordinat 0,35 - 1,20 lintang utara dan 120,12 - 122,09
bujur timur dengan luas wilayah ±4.079,76 km² (BPS
Kabupaten Tolitoli, 2015). Bentuk topografis wilayahnya
berupa dataran hingga pegunungan dengan ketinggian 0 –
2.500 m dari permukaan laut. Kabupaten Tolitoli dipilih
sebagai salah satu lokasi Riset Ethnografi Kesehatan (REK)
tahun 2015 (REK 2015) yang saya ikuti pada perjalanan kali
ini karena menempati posisi urutan 450 dari total 496
kabupaten pada Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) tahun 2013.
Ibukota kabupaten dapat ditempuh dengan moda
transportasi darat berupa mobil dengan waktu tempuh 10
91