Gerry (disamarkan), saya agak tergelitik untuk tertawa
karena dr. Gerry memiliki sikap yang sama dengan saya, tidak
ingin pegang pasien wanita katanya bahkan hanya untuk
menegakkan diagnosa. Beberapa cerita juga mengatakan
bahwa hukum adat ini sangat menguntungkan perempuan
dan tidak adil bagi laki-laki. Untungnya saat ini, denda adat
untuk sementara tidak diberlakukan karena Dewan Adat
Mesuji sedang menyusun Perundangan Adat Mesuji yang
baru.
Gambar 5
Perempuan Mesuji, Desa Wiralaga
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Cantik itu PUTIH!
Beberapa diantara pengalaman menarik yang saya
alami di Desa Wiralaga Mesuji ini adalah ketika
bersinggungan dengan hal-hal yang berbau feminisme. Tidak
disangka-sangka daerah yang kental akan konflik ini
192
menyimpan bumbu-bumbu feminisme di salah satu desanya.
Salah satunya adalah berbicara soal role model yang
dipegang teguh oleh perempuan Mesuji, khususnya kalangan
ibu-ibu dan remaja putri. Sesekali, bukan tapi berkali-kali
saya mengamati dari atas hingga ke bawah, mayoritas
penampilan perempuan-perempuan Mesuji di Desa Wiralaga
ini agak berbeda. Berbeda dalam arti yang sebenarnya,
antara warna muka dan bagian tubuh lainnya. Perempuan di
desa ini percaya bahwa, Cantik itu PUTIH !. Sehingga untuk
perempuan-perempuan yang tidak memiliki genetik kulit
putih, mencoba untuk melakukan langkah yang cukup
ekstrim. Hampir semua remaja putri dan ibu-ibu yang kami
temui mengaku memiliki cara yang cukup mudah untuk
menjadi putih bersinar. Cream pemutih yang sering mereka
sebut dengan krim putih dan cream malam yang mereka
sebut dengan SP tersedia rapi di kamar masing-masing.
Setelah dilihat cream pemutih yang disebut oleh Bidan BT
sebagai cream plasenta ini merupakan semacam cream yang
tidak memiliki etiket bahkan merk sekalipun. Jarang berharap
untuk mengetahui kandungan, cara pemakaian terlebih
indikasi dan kontraindikasi seperti produk lainnya. Sekilas
cream ini memiliki ciri-ciri mengkilat dan bau menyengat
mirip layaknya cream yang mengandung merkuri. Terlebih
harganya yang sangat murah yaitu tiga buah hanya
Rp.10.000,-. Namun belum bisa dijustifikasi apakah benar-
benar mengandung merkuri atau tidak karena sampel sedang
dalam pemeriksaan laboratorium. Pengakuan masyarakat
wiralaga menyatakan bahwa dalam satu minggu kulit akan
mengelupas dan bersih seperti bayi. Meskipun pernah terjadi
193
kasus kanker kulit hingga mengakibatkan kematian namun
produk ini tetap saja laris manis di warung-warung di Desa
Wiralaga. Bidan BT yang pernah mencoba produk ini juga
mengakui bahwa perempuan-perempuan di Desa Wiralaga
sangat fanatik dengan produk ini. Bahkan bayi sekalipun
diberi cream pemutih ini oleh ibunya. Sekali lagi, Cantik itu
Putih, kawan!
Gambar 5
Remaja Putri di Desa Wiralaga
Sumber: Dokumentasi Peneliti
194
Bidan Desa Tumpuan Harapan
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Timur
Lafi Munira
Aceh, sudah sejak lama diri ini ingin menapak jejak
kaki di ujung barat Indonesiaku ini. Tuhan menjawab harapan
saya, walau saya tak pernah memanjatkan doa secara
langsung agar bisa ke Tanah Aceh, namun apalah yang tidak
bisa diketahuiNya, walau hanya sepintas harap dalam hati.
Oh sungguh Maha Suci-Nya yang memberikan kesempatan
kepada saya untuk singgah di Tanah Aceh, dan belajar
tentang kesyukuran nan senantiasa merenung akan
keindahan alam pun tentang polemik kesehatan di Tanah
Aceh ini.
Perjalanan saya dimulai dari Banjarmasin, tempat
dimana keluarga saya tercinta menetap. Pagi itu tanggal 27
April 2015 saya berangkat dari Bandara Syamsudin Noer
tepat pukul 09.00 WITA, kemudian sampai di Bandara
Soekarno-Hatta pada 09.30 WIB untuk transit. Penerbangan
Medan kembali dilanjutkan pada pukul 12.30 sampai dengan
pukul 15.10. Perjalanan dari Jakarta menuju Medan cukup
195
membuat deg-degan karena memakan waktu yang cukup
lama. Sesampainya di Bandara Kuala Namu Medan, saya
menginap 1 malam di Medan.
Gambar 1.
Batas Aceh dengan Sumatera Utara
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Saya kembali melanjutkan perjalanan keesokan
harinya berbarengan dengan kawan satu tim, mas
Subhansyah yang pada hari sebelumnya berangkat dari
Yogyakarta. Kami naik travel mulai jam 10.30 WIB travel
menjemput kami dan kami berputar-putar selama 2 jam di
Medan karena menjemputi satu-persatu penumpang yang
hendak pergi ke Kota Langsa. Sedangkan kami akan
melanjutkan perjalanan sampai dengan Kabupaten Aceh
196
Timur. Membutuhkan waktu 5 jam dari Medan ke Aceh
Timur.
Di sepanjang jalan Medan-Banda Aceh, kami disuguhi
pemandangan perkebunan sawit di sebelah kanan dan kiri
jalan. Kami singgah untuk makan dan sholat di Kota Langsa
yang merupakan daerah pemekaran. Dahulunya Kota Langsa
merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Timur, namun kini
telah menjadi kota tersendiri. Kami sampai di Puskesmas
Peudawa sekitar pukul 18.00 WIB dengan selamat dan aman.
Kami tinggal di rumah dinas Puskesmas Peudawa. Saya
tinggal satu kamar dengan dokter internship Ririn Juli
Anggraini, 25 tahun, dan petugas gizi, Desi Mauliza, 25 tahun.
Gambar 2.
Tampak Luar
Puskesmas
Peudawa
Sumber: Profil
Puskesmas
Peudawa
197
Dari pengamatan yang dilakukan, sarana Puskesmas
Peudawa cukup lengkap karena di dalamnya terdapat
beberapa poli atau program-program yang telah tertata
dengan baik. Diantaranya terdapat ruang UGD (Unit Gawat
Darurat) 24 jam, yang akan berganti-ganti shift baik pada
pagi hari sampai sore hari. Terdapat ruang laboratorium
untuk pengecekan gula dalam darah. Pelayanan Puskesmas
dimulai dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Selain itu terdapat
program KIA, Gizi, Kesling, PHBS, PM, PTM.
Bidan Desa Tumpuan Harapan
Pernah suatu hari saya mengikuti lokakarya mini
(lokmin) yang diadakan di Puskesmas pada pekan pertama
hari kamis tiap bulannya. Lokakarya mini tersebut dihadiri
oleh 17 bidan desa, petugas gizi, imunisasi, KIA, poli umum,
hingga petugas apotik yang menyampaikan progress report-
nya plus uneg-uneg dalam hati. Pada lokakarya mini tersebut
saya mengamati pemaparan satu-persatu program kesehatan
yang ada. Tidak jarang saat pemaparan penanggung jawab
program, 17 bidan desa yang ada dicecar pertanyaan-
pertanyaan sekaligus ditegur oleh kepala pukesmas bahwa
kinerja bidan desa kurang baik. Definisi “kurang baik” disini
dianggap karena; 1) kurang up date permasalahan kesehatan
di desa tempat dimana bidan desa bertugas terkait masalah
penyakit menular, 2) tidak memantau pola konsumsi obat
pada pasien kusta dan TB, 3) serta pelayanan masyarakat
yang sakit di polindes atau pustu, 4) adanya pernyataan,
“Mana mungkin satu penanggung jawab program (petugas
198
Puskesmas), memegang 17 desa yang ada? ya itulah tugas
kalian bidan-bidan desa.”
Polindes atau Pustu yang terdapat di wilayah kerja
Puskesmas Peudawa telah memiliki peralatan Posyandu yang
lengkap. Terdapat timbangan badan, dacin, dan mikrotoa.
Posyandu dilakukan 1 bulan sekali oleh bidan desa dan kader
Posyandu serta petugas Puskesmas di 17 titik desa yang
menghimpun dusun-dusun yang terdapat di desa-desa.
Polindes juga lengkap dengan obat-obatan sehingga apabila
masyarakat merasa sakit, mereka akan berkunjung ke
Polindes untuk meminta obat kepada bidan desa.
Dari beberapa jabaran di atas, saya berfikir bahwa
tugas bidan desa cukup berat, karena selain mengurusi
permasalahan kesehatan ibu dan anak, mereka pun menjadi
tumpuan harapan keberhasilan status kesehatan masyarakat
di desa yang mereka diami. Saya mencoba bertanya kepada
salah seorang petugas kesehatan di Puskesmas Peudawa
yang sebelumnya pernah menjadi bidan desa. “Kata orang
dinkes, kami lah ujung tombak pelayanan kesehatan di
desa... capek sekali jadi bidan desa.. nanti ada salah-salah
kami yang disalahkan.. belum lagi membuat laporan,, aduuh
capek kali kami waktu itu Lafi,” ujarnya.
Kemudian saya bertanya kembali tentang apa yang
dialami dan dirasakan oleh “mantan bidan desa” yang kini
telah menjadi petugas Puskesmas, dari 2 orang informan
yang saya tanyai, keduanya melontarkan kata-kata; ”Ooh
tanggung jawabnya besar”, “beda bebannya dengan orang
yang bekerja di Puskesmas”, “kita berada di bawah pak
geucik (kepala desa), ada orang melahirkan kita yang
199
menolong, ada orang sakit kita yang menolong, nanti kalau
ada orang yang KBnya tidak berjalan kita juga yang ditanya,
kalau desanya tidak bersih kita juga yang ditanya,
semuanyalah, maka itu bidang desa dibilang ujung tombak
kesehatan masyarakat”.
Kemudian saya menanyakan kembali apakah bidan
desa membutuhkan tenaga kesehatan pendamping untuk
meringankan beban kerjanya. “Tergantung desanya kita lihat
luas atau tidak desanya, banyak tidak penduduknya.. seperti
di desa paya dua itu kan ada 4 dusun tapi dipegang oleh 1
bidan desa saja. Kalau dulu kalau desanya besar ditaroh 2
bidan desa, tapi sekarang tidak lagi karena ada peraturan 1
bidan 1 desa saja. Darimana asal peraturan datangnya kami
tidak tahu juga, tapi ada peraturan seperti itu. Untuk
penambahan tenaga kesehatan lain kami rasa tidak perlu,
cukup tambahkan jumlah bidan di desa yang luas saja. Kalau
penambahan tenaga kesehatan lain seperti perawat oh itu
tidak perlu, penambahan sesama bidan saja biar enak
komunikasinya. Tapi saat ini tidak bisa seperti itu dari
pemerintah, kalau misal bidannya ada 2 di desa berarti
gajinya dibagi dua juga.” Kemudian saya menanyakan
tentang anggaran desa apakah ada pengalokasiannya ke
ranah kesehatan, menurut informan anggaran desa hanya
sebatas membantu untuk Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) lebihnya tidak ada.
Saya mencoba menarik benang merah bahwa kondisi-
kondisi kesehatan yang ada di desa-desa yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Peudawa berasal dari perilaku
kesehatan masyarakat yang kurang mendukung, serta belum
200
efektifnya sisi promotif, dan preventif. Apakah tugas bidan
desa juga meliputi promotif dan preventif seluruh masalah
kesehatan secara holistik? Mungkin akan menarik jika ada
suatu mekanisme di dalam sistem kesehatan yang telah
dibuat untuk melibatkan SDM kesehatan berlatarbelakang
Ilmu Kesehatan Masyarakat dilibatkan dalam pendampingan
di masyarakat yang terarah dan berkontinuitas. Namun
ironinya ketika saya bertanya apakah bidan desa perlu
didampingi oleh SKM atau tidak mereka menyatakan,
“emmm SKM, ini SKM yang mana dulu? SKM yang betul-betul
bisa kerja apa enggak di lapangan, SKM yang betul-betul bisa
kasih penyuluhan dan promosi kesehatan tidak, jangan
sampai SKM nanti di tempatkan di desa malah cuma duduk-
duduk santai saja. Sebetulnya 1 SKM di desa itu tak perlu,
namun bisa jadi ada SKM yang punya desa binaan fokus ke
desa itu.”
Nah, ini jadi PR tersendiri untuk para SKM yang
kompetensinya pun masih “diragukan” oleh tenaga
kesehatan lain, ya inilah kenyataan di lapangan, kata-kata
penyemangat saja tidak cukup, namun inilah kenyataan di
lapangan, bahwa SKM perlu memantapkan keberadaannya di
ranah kesehatan dengan kerja-kerja nyata yang dibutuhkan
masyarakat sesederhana penyuluhan. Ya sesederhana itu.
201
202
Aceh yang Mempesona Tak Habis
oleh Tsunami
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Utara
Siti Khodijah Parinduri
Aceh Utara, 30 Mei 2015
Aceh Utara, merupakan salah satu kabupaten dari
bentangan provinsi Aceh yang masih dalam tanda tanya dan
memberikan beribu tanya bagi kami, tapi yang kami tahu
pasti adalah Aceh Utara bagian dari Indonesia, dan sebuah
tugas penelitian etnografi kesehatan mengharuskan kami
berangkat ke Aceh Utara. Sebelum berangkat menuju lokasi
tujuan, banyak masukan dan persiapan diri terutama mental
karena terdapat beberapa wacana yang kami terima. Mulai
dari adanya berita di Koran bahwa telah terjadi penembakan
terhadap 2 TNI, baru saja terjadi banjir, hingga kasus AUDEK
yang juga terjadi penembakan. Betapa Aceh masih sangat
menyimpan banyak tanda tanya bagi kami, dan tentunya
berada disana adalah jawabannya. Tanah Aceh yang
menyimpan kisah tsunami di bulan Desember 2004 silam,
205
sangat dikenal dengan sebutan Serambi Mekah dalam
keistimewaan sistem religinya.
Perjalanan menuju Aceh dilalui melalui Bandara
Soekarno Hatta, untuk sampai di Aceh dapat dilakukan dua
kali penerbangan, yaitu melalui Jakarta-Medan-
Lhokseumawe ataupun Jakarta-Banda Aceh-Lhokseumawe.
Jarak tempuh dari Medan-Aceh Utara sama dengan Banda
Aceh-Aceh Utara sehingga kami pun memilih penerbangan
Jakarta-Medan-Lhokseumawe. Bandara pertama yang
menjadi tempat transit kami adalah Bandara Kualanamu
Medan kemudian perjalanan dilanjutkan hingga sampailah
kami di Bandara Malikussaleh Lhokseumawe. Sebenarnya
masih ada cara lain, yaitu dengan jalur darat dari Banda Aceh
ataupun dari Medan, yaitu naik bus yang akan memakan
waktu sekitar 8 jam dengan ongkos sebesar 100.000 rupiah.
Akan tetapi jalur udara pun mampu mempersingkat waktu
tiba di Aceh Utara. Turun dari pesawat menyusuri jalan
menuju Desa Sawang, bentangan sawah pun menjadi
pemandangan segar, jalan yang masih lengang dan situasi
jalan anti macet membuat siapa saja menikmati perjalanan.
Sampai di Puskesmas Samudera, Kecamatan
Samudera, kami berharap ada staf yang bisa mengantar
kami. Namun ternyata Puskesmas kosong, petugas piket
belum hadir, maka kami memutuskan menggunakan ojek
“RBT”. RBT pun mengantarkan kami melewati beberapa desa
di kecamatan Samudera, hingga sampai di Desa Sawang
dengan bermodalkan alamat kedai pak Geuchik akhirnya
kami pun sampai. Ongkos yang dibayarkan untuk RBT ialah
sebesar Rp. 15.000 rupiah. Tapi tenang saja, untuk
206
masyarakat ongkos biasanya adalah Rp. 8.000 rupiah sampai
di Geudong sebagai pusat kota terdekat.
Melihat Aceh Utara dari Desa Sawang
Desa Sawang merupakan bagian dari kecamatan
Samudera kabupaten Aceh Utara memiliki luas daerah
194764.3460 m2 Jumlah penduduk Desa Sawang sebanyak
367 KK, 1500 penduduk yang merupakan jumlah penduduk
terbanyak di kecamatan Samudera. Desa Sawang dibagi
menjadi tiga bagian yaitu Sawang Barat, Sawang Timur dan
Sawang Tengah, sedangkan rumah Pak Geuchik berada di
Sawang Barat.
Perjalanan pun berjalan mulus, hanya bertanya
beberapa kali untuk menemukan kedai pak Geuchik Desa
Sawang, karena pengendara RBT yang mengantar kami
mengetahui lokasi Desa Sawang meski ia bukan warga
sekitar. Begitulah paparannya, “kalau disini sudah saling tau
jadi cari alamat gak akan sulit” . Aku yang berada di belakang
pun tenang dan asyik menghirup udara segar dan
pemandangan yang membuat wajah secara otomatis akan
tersenyum, membuat semakin penasaran pada Desa Sawang
dan tentunya menjadi kebahagiaan di sesi awal. Perjalanan
pun menyusuri sawah, tambak, rumah-rumah penduduk dan
masjid khas Aceh, pengrajin besi pembuat pisau, hewan-
hewan ternak yang bebas berjalan dan gerombolan anak-
anak yang bersepeda. Rasa penasaran pun semakin
membuat kami tak sabar untuk menemukan Desa Sawang,
tempat kami mengenal Aceh Utara lebih dalam.
207
Gambar 1.
Tepi jalan menuju Desa Sawang
Sumber : Dokumentasi peneliti
RBT pun berhenti tepat di depan sebuah kedai, untuk
memastikannya turunlah kami dan menanyakan dimanakah
kedai pak geuchik Desa Sawang? Dan ternyata Pak Geuchik
pun menjadi salah satu dari orang yang kami tanyakan.
Memang penampilannya agak berbeda karena sudah tidak
memiliki kumis tebal seperti pertama kali berjumpa, hehe..
Kami pun membayar RBT dan membawa barang-barang ke
dalam kedai. Di kedai tersebut hanya terlihat para pemuda
dan bapak-bapak yang sedang menikmati rokok sambil
berbincang-bincang. Tak lama aku langsung di antar ke
rumah Pak Geuchik dan bertemu dengan bu Geuchik serta
keluarga. Pak Geuchik merupakan tokoh masyarakat bagi
Aceh, biasa kita mengenal dengan sebutan kepala desa, Pak
208
Geuchik memiliki pengaruh besar di desa terutama dalam hal
administrasi seperti pengurusan akte, surat-menyurat, dan
kegiatan-kegiatan masyarakat. Bahkan dalam program
puskesmas pun pak Geuchik turut berperan.
Menyusuri rumah penduduk yang diberi pagar kayu
dan tampak beberapa rumah dengan arsitektur rumah
bantuan pasca tsunami dari Jepang, yang biasa disebut
rumah IOM. Sebagian masyarakat telah membangun
kembali rumah dengan menambah luas dan tinggi rumah
bantuan tersebut. Rumah IOM ini terdiri dari 2 kamar tidur, 1
kamar mandi, dapur dan ruangan depan. Begitu juga dengan
rumah pak geuchik yang telah dibangun kembali sehingga
menjadi lebih besar. Selain rumah IOM, disini juga terdapat
rumah PMI, yaitu rumah bantuan dari PMI dan masih ada
beberapa rumah panggung peninggalan tsunami yang masih
bisa diperbaiki kembali.
Desa Sawang dikenal tiga model rumah, yaitu rumah
IOM, PMI dan rumah panggung. Namun, rumah panggung
sudah tidak banyak lagi, terdapat hitungan jari. Menariknya
dari rumah masyarakat Sawang, hampir setiap rumah
memiliki tempat untuk duduk-duduk yang terbuat dari
bambu atau seperti rumah panggung kecil dan memiliki
pekarangan serta tanaman. Jauh dari kesan “crowded”
tentunya.
209
Gambar 2.
Rumah Pak Geuchik,
Rumah IOM yang sudah dibangun menjadi lebih besar.
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Bahasa Indonesia Belum Bersahabat
Setelah sampai di rumah pak Geuchik, menjadi awal
perkenalan dengan Desa Sawang. Menyapa anak-anak yang
sedang bermain, tentunya dengan pertanyaan pertama pada
umumnya yaitu siapa namanya? Namun tanya tak berbalas.
Anak-anak pun menghindar dan tertawa. Begitu juga dengan
Bu Geuchik yang tak banyak berkata-kata. Hingga akhirnya
pak Gechik pun menyampaikan bahwa Bu Geuchik agak
kesulitan dalam bahasa Indonesia sehingga akan jarang
210
berbicara dan aku pun tersadar bahwa alasan tak ada reaksi
adalah karena bahasa yang tidak dimengerti.
Bahasa Indonesia ternyata masih dirasa sulit oleh
bangsa Indonesia sendiri hingga timbul pertanyaan dari
kepolosan seorang anak, kenapa seluruh Indonesia tidak
menggunakan bahasa Aceh saja. Bahkan jika
membandingkan, salah seorang anak mengaku lebih bisa
menggunakan bahasa Malaysia karena belajar dari film
kartun kesukaannya. Bahasa Etnis Aceh Utara ialah bahasa
Aceh Utara, yang berbeda dengan Aceh Barat, Aceh Timur
ataupun Aceh Tenggara meskipun dalam etnis Aceh.
Modal kosakata yang harus dipegang adalah “Han jiet
bahasa Aceh” yang artinya tidak bisa berbahasa Aceh
ataupun “Hana lon Tupu” yang artinya saya tidak mengerti.
Ini sebagai senjata saat ada yang memulai percakapan
dengan bahasa Aceh Utara. Alhasil, bahasa isyarat dan
senyuman sebagai komunikasi. Syukurnya masih ada
beberapa yang dapat berbahasa Indonesia meski masih
terbata-bata ataupun harus sedikit berpikir saat
mengucapkan sebuah kalimat. Hal ini mendorong peneliti
untuk mempelajari bahasa Aceh tentunya, pun mendorong
masyarakat mempelajari bahasa Indonesia. Bahasa persatuan
nampaknya belum kokoh mengakar di bumi pertiwi.
Lalu bagaimana dengan sekolah? Ya, hanya di
sekolah lah Bahasa Indonesia digunakan, itupun masih
percampuran, belum sepenuhnya menggunakan bahasa
Indonesia. Maka, yang tamat sekolah hingga SMA tentunya
bisa berbahasa Indonesia, atau minimal mengerti. Serta
beberapa pemuda yang telah merantau ke Malaysia atau
211
sekitar pulau Sumatera yang biasanya mampu berbahasa
Indonesia dengan lancar meski tetap tidak terbiasa.
Timbul kembali pertanyaan, apakah edukasi
kesehatan pun dilakukan dalam bahasa Aceh Utara? Ternyata
tetap bahasa persatuanlah yang digunakan, bahkan banyak
petugas puskesmas pun tidak mengerti bahasa Aceh Utara
dan tidak bisa menggunakan bahasa Aceh yang biasa
digunakan masyarakat. Hal ini tentu menjadi suatu
kekhawatiran bahwa pesan yang disampaikan tidak diterima
dengan baik ataupun terjadi miss komunikasi. Dan ternyata
memang terjadi.
Antara Kebahagiaan, Kesedihan dan Pengobatan :
Sebuah Pembelajaran dari Pantai Sawang
“Jak u pasi…!” begitulah ajakan untuk pergi ke sebuah
pantai di desa sawang. Melanjutkan kembali perjalanan di
Desa Sawang, kita akan menemukan sebuah keindahan di
pagi hari dengan langit birunya dan di sore hari dengan
pesona matahari terbenamnya. Kebahagiaan selanjutnya
adalah menemukan keindahan Pantai Sawang yang dapat
dijumpai hanya dengan berjalan kaki, bahkan jalan menuju
pantainya saja sudah memanjakan mata ditambah angin
sepoi-sepoi yang bertiup. Indah dan membuat semakin
takjub pada penciptaan Nya.
212
Gambar 3.
Jalan menuju Pantai
Sawang.
Sumber: Dokumentasi
peneliti
Rekreasi Masyarakat
Pantai Sawang menjadi salah satu tempat rekreasi
yang mudah, murah dan mantab. Hari Minggu adalah hari
dimana Pantai Sawang ramai oleh pengunjung dan penduduk
setempat. Rekreasi yang dilakukan bersama keluarga ini
tentunya memberikan kebahagian disela rutinitas harian. Ada
yang sekedar berjalan-jalan di tepi pantai, ada yang bermain
air, ada yang bermain pasir ada pula yang makan bersama.
Kegiatan yang dilakukan tentunya mengundang canda dan
tawa. Setelah bermain air, perut pun terasa lapar, jika
213
berjalan ke arah tepi maka akan ditemukan pedagang
makanan dan minuman seperti baso bakar, tahu goreng, es
kelapa, dan lainnya. Untuk baso bakar dijual seharga
Rp.1.000, 00 dan ini juga menjadi jajanan paling banyak
diminati.
Gambar 4.
Keceriaan anak-anak dan masyarakat di Pantai Sawang sebagai sarana
rekreasi
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari
Saat berjalan pulang dari pantai, jangan heran ketika
menemui sepasang kakek dan nenek yang membawa batang-
batang kayu ataupun daun kelapa kering. Setiap harinya
beliau membawa batang tersebut yang diambil dari pantai
untuk kebutuhan memasak. Masyarakat Desa Sawang
memasak dengan menggunakan kayu, daun-daun kelapa
kering dan sabut kelapa.
214
Gambar 5.
Membawa kayu untuk memasak.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Nelayan pun tak ketinggalan, kita akan menemukan
kapal-kapal pencari ikan yang baru pulang dari melaut dan
membawa ikan untuk makanan sehari-hari. Ikan atau dalam
bahasa Aceh disebut uengkot yang paling banyak ditemukan
adalah ikan tongkol. Sehingga menjadi makan sehari-hari
masyarakat. Ikan ini dijual dengan harga Rp. 5.000 per kilo
nya oleh pedagang ikan. Ada juga jala-jala di pinggiran pantai
yang digunakan untuk menangkap ikan, udang ataupun
kepiting. Namun memang setelah pasca tsunami, tak banyak
ikan yang dapat diperoleh nelayan sehingga tak banyak lagi
yang menjadi nelayan.
Pengobatan
Pantai Sawang juga menyimpan rahasia kesehatan
bagi pengunjungnya. Menjadi obat penghilang jenuh ataupun
stress tentu sudah bukan rahasia lagi sehingga sudah menjadi
sarana bagi masyarakat untuk mengelola stress dengan
datang ke pantai sendiri ataupun bersama-sama.
215
Menguburkan setengah tubuh di pasir juga dipercaya dapat
menyembuhkan kelumpuhan atau kaki yang terasa sakit.
Salah seorang yang mempercayai hal tersebut memang
mengatakan bahwa dahulu ada yang lumpuh bertahun-
tahun, namun setelah menguburkan setengah bandannya di
pasir, ia pun sembuh. Semenjak itulah menguburkan tubuh di
sekitar pantai tersebut dipercaya berkhasiat menyembuhkan
kelumpuhan atau baik untuk kesehatan. Menurut yang
melakukannya, saat dikubur terasa kaki seperti diremas-
remas dan terasa enak di kaki setelah menguburkannya.
Salah satu anak yang baru sembuh karena jatuh pun datang
ke pantai untuk mencobanya. Anda pun perlu mencobanya
Nah, selain digunakan untuk kaki, lumpur digunakan untuk
kesehatan kulit dipercaya menghilangkan jerawat dan
memutihkan wajah dengan mengusapkan lumpur pantai ke
wajah atau bagian tangan dan kaki.
Namun bagi masyarakat Aceh, kesehatan merupakan
kuasa Allah SWT. segala suatu penyakit akan sembuh atas
izin Allah. Berdoa menjadi bagian terpenting dari
pengobatan, memohon kesembuhan kepada Allah SWT.
Segala pengobatan yang dimiliki seperti obat gampong, rajah,
dan pengobatan medis adalah jalan ataupun usaha yang
dilakukan untuk memperoleh kesembuhan itu.
216
Gambar 6.
Pengunjung yang mempercayai khasiat
menguburkan sebagian tubuh di pasir.
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Pantai Sawang dan Tsunami
Di balik keindahan Pantai Sawang yang membuat kita
jatuh cinta menyimpan cerita tersendiri bagi masyarakat.
Disinilah kembali terkenang kisah 2004 silam yang menjadi
pelajaran berharga bagi masyarakat. Saat bencana dahsyat,
yang akal manusia tidak mampu menjangkaunya hingga
benar-benar terjadi di depan mata mereka. Kejadian Tsunami
2004 lalu tetap menjadi cerita bagi mereka bagaimana Tuhan
telah memberikan teguran atas perbuatan manusia.
217
Gambar 7.
Pantai Sawang dalam kesunyiannya.
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Desa Sawang yang hampir semua penduduk
beragama Islam ini pun memiliki tengku yang mengajarkan
nilai-nilai Islam kepada masyarakat agar menjunjung nilai-
nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa tsunami
menjadi pelajaran berharga sehingga adanya larangan
berpacaran di pantai menjadi salah satu upaya pencegahan.
Selain itu banyaknya korban yang telah meninggal membuat
masyarakat lebih berhati-hati dalam mencegah penyakit
kesurupan. Berjalan sendiri ke pantai bukanlah hal yang
lumrah bagi masyarakat karena khawatir menjadi kesurupan.
Tetapi tetap saja, Pantai Sawang sungguh memberi banyak
kisah dan pelajaran. Inilah Aceh Utara, sebuah Desa Sawang
218
yang membuat jatuh cinta. Melalui Pantai Sawang saja kita
dapat mengambil banyak pelajaran dari Aceh Utara.
Gambar 8.
Pantai Sawang saat terbenam matahari.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
219
220