Jelajah Nusantara 3
Catatan Perjalanan Enam Belas Orang Peneliti Kesehatan
Penulis
Agung Dwi Laksono
Nor Efendi
Marselinus Laga Nur
Aprizal Satria Hanafi
Lafi Munira
Samuel Josafat Olam
Deni Frayoga
Titan Amaliani
Lailatul Maghfiroh
Khoirul Faizin
Roland Alberto Nggeolima
Sutamin Hamzah
Hendra Dhermawan Sitanggang
Ade Aryanti Fahriani
Putra Apriadi Siregar
Siti Rahmawati
Editor
Agung Dwi Laksono
Health Advocacy
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
i
Jelajah Nusantara 3. Catatan Perjalanan Enam Belas Orang Peneliti Kesehatan
©2016. Health Advocacy
Penulis:
Agung Dwi Laksono, Nor Efendi, Marselinus Laga Nur, Aprizal Satria Hanafi,
Lafi Munira, Samuel Josafat Olam, Deni Frayoga, Titan Amaliani,
Lailatul Maghfiroh, Khoirul Faizin, Roland Alberto Nggeolima,
Sutamin Hamzah, Hendra Dhermawan Sitanggang, Ade Aryanti Fahriani
Putra Apriadi Siregar, Siti Rahmawati
Editor:
Agung Dwi Laksono
Penata Letak – ADdesign
Desain Sampul – ADdesign
Cetakan Pertama – Juni 2016
Buku ini diterbitkan atas kerjasama:
HEALTH ADVOCACY
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232
Email: [email protected]
dengan
PUSAT HUMANIORA DAN MANAJEMEN KESEHATAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI.
Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat
ISBN 978 602 6958 04 4
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.
ii
Pengantar
Buku “Jelajah Nusantara 3, Catatan Enam Belas
Orang Peneliti Kesehatan” ini merupakan edisi ke-tiga
sebagai kelanjutan buku dengan tema catatan perjalanan
yang sama pada edisi pertama dan kedua. Pada edisi ke-tiga
kali ini enam belas peneliti kesehatan berkolaborasi penuh
menyajikan catatan perjalanan di 18 wilayah yang berbeda.
Catatan perjalanan dalam buku ini disajikan secara
urut dari Timur ke Barat. Mulai dari Provinsi Papua sampai
dengan Provinsi Aceh. Mulai dari kegagalan menembus
Kabupaten Tolikara sampai perjalanan ke Kabupaten Aceh
Barat Daya.
Buku ini lebih merupakan catatan yang dirasakan
penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas
sebagai seorang peneliti. Rasa keprihatinan, trenyuh,
empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring
realitas masih lebarnya rentang variabilitas ketersediaan
pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga
kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu
kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap
permasalahan yang ada. Cerita tentang setiap sudut negeri
di wilayah-wilayah terpencil, pulau-pulau terluar, ataupun
wilayah yang jauh lebih dekat ke Negara tetangga daripada
ke wilayah lain di Republik ini. Sungguh para penulis
menikmati setiap proses lahirnya buku ini, seperti
pengakuan salah satu penulis buku ini;
“Saya akan meresapi setiap momen hidup saya di
sini untuk memahami betapa peliknya membenahi
masalah kesehatan di sudut-sudut republik ini. Dan
iii
dari sinilah saya akan belajar mengenal bangsa saya
sendiri, mencari makna, dan juga terus bertanya
dalam proses menjadi Indonesia yang sebenarnya.”
(Samuel Josafat Olam)
Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini
mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan
perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya
nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita,
tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai
wilayah-wilayah perbatasan negeri.
Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk
bisa memberi kesadaran dan kecintaan pada Republik ini.
Sungguh kami berharap banyak untuk itu!
Saran dan kritik membangun tetap ditunggu.
Salam!
Jakarta, Juni 2016
Editor
iv
Daftar Isi
Pengantar iii
Daftar Isi v
1
1. Kami Tidak akan Menyerah Tolikara! 13
Agung Dwi Laksono
29
2. Rekam Kematian dari Pulau Seram; 49
Catatan Perjalanan ke Maluku Tengah
Nor Efendi 67
3. Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta 77
Nor Efendi
85
4. Ironi di Tengah Kekayaan Potensi Wisata;
Catatan Perjalanan ke Sumba Barat Daya
Marselinus Laga Nur
5. Coto yang Menggoyang Lidah;
Catatan Perjalanan ke Kota Makassar
Aprizal Satria Hanafi
6. Surga Kecil Tojo Una-Una dan Ironi
Kondisi Kesehatan Masyarakat
Lafi Munira
7. Baram Tewang Rangkang;
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Katingan
Samuel Josafat Olam
v
8. Menemukan Misteri di Bumi Khatulistiwa; 103
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Melawi
Deni Frayoga
9. Menyapa ‘Macan Dahan’ Borneo 113
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Kutai Barat
Titan Amaliani
10. Selayang Pandang Pulau Garam; 121
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Pamekasan
Lailatul Maghfiroh
11. Wedang Uwuh; Diantara Persimpangan 129
Tradisi dan Modernisasi
Khoirul Faizin
12. Selamat Datang di Negeri Junjung Besaoh; 131
Catatan Perjalanan ke Bangka Selatan
Agung Dwi Laksono
13. Paket ‘Wisata Laka Lantas’ di Toboali 151
Roland Alberto Nggeolima
14. Pandangan Pertama di Bumi Raflessia 161
Catatan Perjalanan ke Bengkulu Selatan
Sutamin Hamzah
15. Cerita dari Negeri Kepulauan Anambas 177
Hendra Dhermawan Sitanggang
16. Nias Ku Sayang, Nias Barat Ku... Malang? 189
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Nias Barat
Ade Aryanti Fahriani
vi
17. Menilik Surga di Pulau Simeulue, 201
Kabupaten Terluar Provinsi Aceh 215
Putra Apriadi Siregar
18. Menembus Batas Tirai Hitam
Catatan Perjalanan ke Aceh Barat Daya
Siti Rahmawati
vii
“Ini tugas berat, tentu saja!
karena itulah kita ada…”
-ADL-
viii
Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!
Agung Dwi Laksono
Wamena, 03 Mei 2016
Perjalanan yang akan saya tempuh kali ini adalah kali
ke-dua saya melangkahkan kaki ke Kabupaten Tolikara, dan
kali ke-sekian di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Bila pada
perjalanan sebelumnya saya menuju dan tinggal di Distrik
Bokondini, maka kali ini saya menuju ke pusat pemerintahan
Kabupaten Tolikara di Distrik Karubaga. Sebuah kota kecil
yang tak lebih ramai dibanding salah satu kota kecamatan di
Jawa. Sebuah perjalanan yang cukup mudah… sangat mudah!
Tentu saja bila dibandingkan dengan perjalanan yang harus
ditempuh untuk mencapai wilayah Pegunungan Tengah
Papua lainnya.
1
Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!
Menempuh perjalanan di wilayah ini hanya bisa dilalui
dengan mobil bergardan ganda dari Wamena, ibukota
Kabupaten Jayawijaya, karena medan jalan darat yang harus
ditempuh memang cukup berat, semacam jalur off-road yang
cukup menantang. Selain itu sebenarnya jalur ini bisa
ditempuh melalui udara, tapi sayangnya tidak memungkinkan
untuk kantong kami, karena hanya bisa dengan sistem carter.
Tidak ada penerbangan regular di wilayah ini.
Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Tolikara
Sumber: antaranews
Tolikara dalam beberapa waktu terakhir masuk dalam
pemberitaan nasional dengan berita yang kurang
mengenakkan, kerusuhan terbakarnya Masjid Baitul Muttaqin
dan beberapa kios pada 17 Juli 2015 lalu. Sebuah kejadian
2
Jelajah Nusantara #3
dengan potensi SARA yang sangat besar. Semacam bom
waktu bila tidak diantisipasi dengan baik.
Pembangunan Kesehatan di Tolikara
Memandang Kabupaten Tolikara, untuk kali ke-sekian
saya harus menurunkan standar harapan setiap kali saya
menginjakkan kaki di wilayah Pegunungan Tengah Papua.
Ketimpangan masih saja terlihat sangat besar bila kita
membandingkan dengan pembangunan di wilayah lain
republik ini, termasuk pembangunan di bidang kesehatan.
Meski pemerintahan saat ini berkomitmen untuk melakukan
akselerasi pembangunan di wilayah ini.
0,80 0,61 0,71 0,660,75
0,70 0,65 0,63
0,60 0,57 0,54
0,48
0,38 0,207,340,37
0,50 0,32 0,28 0,25
0,40 0,25 0,14 0,12
0,30 0,06
0,20 0,03
0,10
0,00
KAB. TOLIKARA PAPUA INDONESIA
Gambar 2. Indeks Kelompok Indikator IPKM di Kabupaten Tolikara,
Provinsi Papua dan Nasional
Sumber: Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI., 2013
3
Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!
Di Bidang Kesehatan, Kabupaten Tolikara adalah
penghuni peringkat paling dasar dari Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM), menempati ranking 497 dari
497 kota/kabupaten di Indonesia. IPKM adalah sebuah indeks
pemeringkatan tentang pembangunan kesehatan yang
melingkupi seluruh kabupaten/kota di Indonesia. IPKM
disusun berdasarkan data Riskesdas 2013 yang dilakukan oleh
Badan Litbang Kesehatan, survey Potensi Desa (Podes) dan
Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) yang dilaksanakan oleh
Badan Pusat Statistik.
Palang Duka
Jam 08.00 WIT kami sudah bersiap di atas Mitsubishi
Strada yang akan membawa kami menempuh perjalanan
menuju Puncak Mega di Karubaga. Kami berangkat ber-enam,
anggota tim peneliti empat orang, plus sopir dan seorang
asisten. Koper dan barang lainnya sudah tersusun rapi di bak
belakang bersama asisten sopir yang setia menunggui.
Sementara kami duduk berjajar rapi di dalam kabin. Mari
berangkat!
Sampai setengah jam perjalanan meninggalkan Kota
Wamena semuanya aman-aman saja, sampai saat mobil kami
mendekati Distrik Kurulu. Terlihat ada mobil tentara dan
polisi, serta beberapa mobil double gardan seperti yang kami
tumpangi terparkir berjajar di pinggir jalan. Ada apa
gerangan?
Nampak jauh di depan… batang pohon utuh bersama
dahan, ranting dan daunnya melintang di tengah jalan.
Sementara beberapa orang lokal berkulit legam tampak
4
Jelajah Nusantara #3
duduk serampangan di depan pohon yang melintang
tersebut. Palang!
Lamat kami mendengar suara tangis yang melolong.
Semakin kami mendekat, semakin suara tangis itu bertambah
keras. Suara kaum perempuan yang berkerumun dengan
tangis dengan nada yang cukup menyayat hati.
Kami dihentikan oleh personel tentara dari Koramil
Kurulu. Personel tentara berseragam doreng itu menjelaskan
bahwa sedang ada anak kepala Suku Mabel yang meninggal
dunia. Warga lokal sedang berduka. Tidak seorang pun
diijinkan untuk melintas di wilayah ini. Belasan personel
tentara dan polisi pun tidak bisa membujuk mereka untuk
membuka palang. “Mereka ngotot tidak mau kasih jalan pak,
kami tidak bisa memaksa… daripada jatuh korban yang tidak
perlu to,” jelas Letnan Dua Amos Osso, tentara asli Wamena
dari Suku Osso yang menjabat Komandan Rayon Militer
(Danramil) di Kurulu.
Saya berinisiatif meminta ijin pada personel tentara
yang berjaga untuk mengambil photo sebagai dokumen
perjalanan kami. “Jangan pak! Mereka bisa marah… kami saja
tidak dikasih ijin untuk kelengkapan dokumen laporan ke
atasan.” Larang seorang anggota dengan tegas. Meski
akhirnya saya bisa mendapatkan transferan photo via
Bluetooth dari para tentara itu yang mengambilnya dengan
mencuri-curi dari jarak yang cukup jauh, sehingga gambarnya
kurang begitu tajam.
5
Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!
Gambar 3. Palang Duka di Distrik Kurulu
Sumber: Personel Koramil Kurulu
Seorang personel tentara lain asli Medan,
Simanjuntak, yang sudah kehilangan logat bataknya,
6
Jelajah Nusantara #3
menjelaskan bahwa bukan hanya mereka yang gagal
membujuk warga agar membuka palang. “Baru saja itu Bupati
datang ke sini mau kasih bantuan supaya itu palang dibuka,
tapi ditolak! Mereka hanya mau dibujuk bila menteri yang
datang ke sini…”. Dan ternyata bukan hanya sembarang
menteri yang diminta, tetapi khusus hanya Menko
Polhutkam.
Rupa-rupanya yang meninggal adalah orang penting
yang sangat dihormati oleh warga setempat. Selain sebagai
putra dari kepala Suku Mabel yang mendiami wilayah Distrik
Kurulu, menurut Danramil Amos Osso, almarhum pernah
menjabat sebagai Kabag Keuangan di Kantor Kabupaten
Jayawijaya, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Dinas
Sosial di kantor Kabupaten yang sama.
Selain itu, cerita lain kami dapatkan bahwa yang
membuat masyarakat lokal sangat mencintai putra kepala
suku ini adalah karena almarhum adalah inisiator pemekaran
Distrik Kurulu menjadi sebuah calon kabupaten baru,
memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. “Itu almarhum
sedang mengurus pemekaran to. Itu Kabupaten Okika… masih
berproses di Jakarta…,” jelas Letnan Dua Amos Osso.
Belum puas kami berbincang dengan para tentara
yang berjaga sekitar seratus meter dari palang pohon
tersebut, ketika datang seorang warga lokal dengan penutup
kepala sewarna rambut yang khas Wamena berbicara dengan
nada keras, ”Itu mobil kasih minggir… pergi dari sini kalo tidak
mau rusak. Ini sebentar rombongan almarhum datang… mana
Kapolsek? Kasih pergi ini mobil-mobil…!”. Tidak tersedia
pilihan bagi kami selain untuk bersegera menyingkir
7
Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!
meninggalkan lokasi, kembali ke Wamena. Karena belum
tersedia akses jalur darat lain ke Tolikara, selain jalur yang
dipalang tersebut.
Sebelum pergi kami menyempatkan diri untuk
berpose sebentar dengan Danramil dan personel tentara
lainnya sebelum meninggalkan lokasi. Sekedar sebagai
kenangan dan bukti bagi atasan yang menugaskan kami
kesini, bahwa kami telah sampai dan menginjakkan kaki di
wilayah ini.
Gambar 4. Berpose Bersama Komandan Rayon Militer Kurulu dan Anggota
sebelum Bertolak Kembali ke Wamena
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tak seberapa lama kami meninggalkan lokasi, terlihat
puluhan motor dan tiga puluhan mobil yang menyertai mobil
jenazah di bagian belakang rombongan yang membawa
almarhum. Terlihat iring-iringan motor memenuhi badan
8
Jelajah Nusantara #3
jalan, dengan para pengendara yang berboncengan sambil
menenteng busur beserta anak panah.
Kami lebih memilih untuk meminggirkan kendaraan
sejauh mungkin. Kami tidak ingin memancing masalah. Sedikit
saja pemicu yang sepele muncul, bisa memancing keributan
dengan warga lokal yang sedang sensitif.
Gambar 5. Iring-iringan Lebih dari 30 Mobil Mengantar Jenazah Kembali
ke Rumah Duka
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebenarnya ini adalah pengalaman ke-dua bagi saya
menemui palang seperti ini. Pengalaman pertama juga saya
dapatkan ketika menempuh perjalanan ke Kabupaten
Tolikara, hanya saja menuju distrik yang berbeda, Distrik
Bokondini. Pengalaman pada bulan Mei tahun 2015 tersebut
terjadi menjelang masuk ke Distrik Bokondini. Ada beberapa
warga lokal yang meletakkan pohon di tengah jalan, dengan
meminta ‘upah’ kepada setiap yang melewati jalan tersebut.
“Itu mereka meminta ‘pajak’, setelah mereka bersih-bersih
9
Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!
jalan atau timbun jalan yang lobang pak…” jelas Mas Kadir,
sopir Strada yang mengantar kami.
Kembali ke Wamena
Kami menyempatkan diri untuk singgah ke Dinas
Kesehatan Kabupaten Jayawijaya yang sudah berpindah
gedung dari Wamena ke Muai. Mau tidak mau kami harus
meminta stempel di instansi yang bertanggung jawab
terhadap kesehatan di wilayah Jayawijaya ini, karena untuk
mendapatkan stempel dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Tolikara sudah tidak memungkinkan dengan alokasi waktu
yang kami miliki. Meski kami masih berniat menunggu satu-
dua hari lagi dengan melihat kemungkinan palang dibuka.
Gambar 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Muai
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dengan sedikit penjelasan tanpa argumentasi panjang
lebar, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya mau
membubuhkan tanda tangan dan stempel di dokumen kami.
10
Jelajah Nusantara #3
Rupanya mereka sudah mahfum dengan fenomena palang
seperti yang kami alami.
Tentang Penduduk Lokal
Gagal mencapai Karubaga bukanlah akhir dari cerita
perjalanan ini. Apapun itu kami tetap bersyukur, banyak
pengalaman bisa diambil, banyak pelajaran bisa dipetik.
Sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai
dengan kembali ke Wamena kami dapat menyaksikan
hamparan tanah subur yang tidak terkelola dengan baik.
Warga lokal kebanyakan berprofesi sebagai pekebun. Hanya
saja mereka melakukannya kurang begitu rapi, kalau tidak
boleh saya sebut serampangan. Jagung misalnya, ditanam
dengan seperti melemparkan bibit biji jagung secara acak
saja, tanpa memikirkan jarak antar pohon untuk
mengefektifkan pertumbuhan dan hasil yang didapat.
Gambar 7. Kebun Jagung yang Tampak Tidak Teratur di Wamena
Sumber: Dokumentasi Peneliti
11
Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!
Kebanyakan tanaman yang diupayakan adalah bahan
pangan pokok kebutuhan sehari-hari. Tanaman semacam
hipere (ketela rambat, dalam beberapa kesempatan telinga
saya menangkap seperti ipere), petatas (Ipomoea Batatas L.,
sejenis ubi jalar), keladi, dan jagung, terlihat mendominasi
hasil bumi mereka. Selain juga tanaman sayur semacam
kacang panjang dan tomat.
Hari telah malam, jam menunjuk angka 20.15 WIT saat
siaran di radio lokal mengabarkan bahwa warga lokal di
Kurulu masih teguh, palang masih saja bertengger di tengah
jalan.
Pada akhirnya inilah yang kami dapat. Sekilas catatan
perjalanan ini yang dapat kami sajikan. Pengalaman ini tak
akan menyurutkan langkah kami untuk mencoba kembali
menyusuri jalan yang sama untuk mengapai Puncak Mega di
Karubaga. Suatu saat. @dl.
12
Rekam Kematian dari Pulau Seram
Catatan Perjalanan ke Maluku Tengah
Nor Efendi
Perjalanan dan penugasan ke wilayah Timur Indonesia,
impian yang sejak lama saya harapkan menjadi kenyataan.
Saking berharapnya, tak jarang keinginan tersebut saya
sisipkan dalam rangkaian do’a setelah sholat. Dan Allah SWT
membuktikan bahwa janjinya dalam Qur’an Surat Al-Mukmin
ayat 60, yang berbunyi, “Berdoalah (mintalah) kepadaKu,
niscaya Aku kabulkan untukmu”, benar adanya. Melalui
kegiatan Kajian Sistem Rujukan Maternal Neonatal saya
berkesempatan menjejakkan langkah untuk pertama kalinya
di belahan Timur Indonesia, tepatnya di Kabupaten Maluku
Tengah, Provinsi Maluku.
13
Rekam Kematian dari Pulau Seram
Gambar 1. Peta Lokasi Kabupaten Maluku Tengah di Indonesia
Sumber: Google Map
Kajian yang merupakan hajat United Nations
Children’s Fund (UNICEF) bekerjasama dengan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan
(Badan Litbang Kemenkes) dilakukan di 4 Provinsi terpilih.
Keempat provinsi tersebut adalah Kalimantan Tengah, Nusa
Tenggara Barat, Papua dan Maluku. Masing-masing Provinsi di
wakili oleh 2 kabupaten yang ‘sulit dijangkau’ dan 1
kabupaten yang ‘mudah dijangkau’, berdasarkan jarak
terhadap rumah sakit (RS) provinsi. Kami diamanahkan untuk
mengumpulkan data dari bidan desa, Puskesmas dengan
Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar (PONED) maupun
non PONED, Dinas Kesehatan, RS, lintas sektor, tokoh
masyarakat, pasien serta masyarakat yang salah satu anggota
keluarganya pernah mengalami kematian maternal atau
neonatal.
Perjalanan dari Jakarta dimulai saat maskapai plat
merah menerbangkan kami berempat, tim enumerator yang
berpersonelkan dokter, perawat, bidan dan sarjana kesehatan
14
Jelajah Nusantara #3
masyarakat pada tanggal 9 Agustus 2015 mulai pukul 23.45
WIB hingga mendarat di Bandara Patimura-Ambon pada
pukul 06.50 WIT keesokan harinya. Penerbangan melintas
batas waktu ini memberikan kesempatan istimewa lainnya
kepada saya untuk mencicipi sepertiga malam, ibadah subuh
dan indahnya fajar Timur di udara. Subhanallah…!
Setibanya di Ambon kami langsung menumpang taksi
travel (mobil Avanza plat hitam) menuju Pelabuhan Tulehu
dengan waktu tempuh kurang lebih 45 menit, untuk mencari
kapal cepat yang bisa membawa kami ke Masohi, ibukota
Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di pulau Seram.
Sekitar pukul 09.00 WIT kapal mulai bergerak menuju
Pelabuhan Amahai, gerbang Kota Masohi lewat jalur laut.
Kelas ekonomi dengan tarif Rp. 125.000,- per orang kami pilih
sesuai ketentuan yang dipersyaratkan penyandang dana.
Perjalanan melintas laut selama 2 jam di warnai dengan
perjuangan melawan tegang di-60 menitnya. Bagaimana
tidak, kami bersama penumpang lain berjibaku di dalam kapal
yang terombang ambing membelah terjangan gelombang laut
Banda yang saat itu lumayan besar.
Kabupaten Maluku Tengah adalah satu dari 11
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Maluku, mewakili
daerah yang ‘mudah dijangkau’ dalam kajian ini. Berdasarkan
catatan Dinas Kesehatan, Angka Kematian Bayi (AKB) di
Maluku Tengah tergolong rendah di bawah target minimal
yang disasar Millenium Development Goal’s (MDG’s) pada
2015, sedangkan Angka Kematian Ibu Maternal (AKI) masih di
atas target MDG’s.
15
Rekam Kematian dari Pulau Seram
Gambar 2. Angka Kematian Ibu dan Bayi Kabupaten Maluku Tengah
Tahun 2010-2013
Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013
Kabupaten yang memiliki luas wilayah 275.907 km2
dan 95,8%-nya merupakan wilayah lautan, terbagi ke dalam
18 kecamatan dan 178 desa. Wilayahnya mencakup 49 pulau,
yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua-Nusalaut,
Kepulauan Banda, Pulau Seram dan pulau-pulau kecil lainnya.
Hanya 14 pulau yang sudah dihuni, sedangkan sisanya 35
buah merupakan pulau tak berpenghuni beserta 2 dataran, 3
gunung, 2 danau dan 144 sungai yang ikut melengkapi lukisan
geografis. Fasilitas kesehatan utama di Maluku Tengah di
topang oleh 4 RSUD yang tersebar di Tulehu, Saparua, Banda
dan Masohi serta 31 Puskesmas yang melayani sekitar
375.393 jiwa penduduk.
Tiga hari pertama, saya bersama tim menyelesaikan
pengumpulan data di Dinas Kesehatan dan RSUD Masohi,
sebelum akhirnya melanjutkan ke 2 Puskesmas PONED
terpilih beserta 2 Puskesmas non PONED yang menjadi satelit.
Hasil kajian ini selanjutnya diharapkan dapat menghasilkan
16
Jelajah Nusantara #3
policy brief terkait sistem rujukan maternal neonatal yang
dapat dimanfaatkan dalam perbaikan berbagai program
kesehatan sebagai upaya menurunkan angka kematian ibu
dan bayi di Indonesia.
Amahai, 13 Agustus 2015
Amahai adalah Puskesmas PONED pertama yang kami
sambangi. Puskesmas ini hanya berjarak 7 km dari Masohi
dan dapat ditempuh menggunakan alat transportasi darat,
baik roda 2 maupun roda 4. Seperti telah saya sebutkan
sebelumnya, Amahai juga merupakan pintu masuk Maluku
Tengah melalui jalur laut seiring didirikannya dermaga kapal
cepat yang berlokasi di sini.
Di Amahai saya kebagian mewawancarai salah seorang
bidan desa, IL (36 tahun). IL jarang mendapat kesempatan
diikutkan pelatihan terkait peningkatan kapasitas dan
keterampilan sebagai bidan, meski telah menekuni profesinya
±10 tahun. Desa tempat bidan berdarah Manado ini bertugas
berada di atas bukit, terletak agak jauh sekitar 8 km dari
Puskesmas Amahai. Menurutnya, masyarakat desa tempatnya
bertugas sebagian besar berprofesi sebagai petani penggarap
lahan yang tidak terlalu subur, sehingga tergolong
berekonomi rendah. Seringkali jasa pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh bidan IL hanya dibayar dengan ucapan
terimakasih atau imbalan hasil-hasil bumi seperti pisang, ubi
atau sayur-sayuran.
Masih di wilayah kerja Puskesmas Amahai, sebuah
desa yang letaknya lebih ke pesisir ternyata menyimpan kisah
17
Rekam Kematian dari Pulau Seram
kematian ibu bersalin yang dramatis. Bagaimana tidak, desa
yang sejatinya telah memiliki Puskesmas Pembantu (Pustu)
beserta penempatan 2 petugas kesehatan yaitu seorang
perawat perempuan dan seorang bidan tersebut, harus
kehilangan salah seorang warganya akibat kasus ‘ketuban
pecah dini (KPD)’.
Ny. N (26 tahun) yang sedang mengandung anak
pertamanya di usia kehamilan sekitar 8,5 bulan, pada suatu
malam secara tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang
merembes dari jalan lahirnya. Semula ia mengira itu hanya air
kencing biasa yang keluar sendiri tanpa bisa dikendalikan.
Namun sampai bangun di pagi keesokan harinya, keluarnya
air yang terasa merembes itu masih terus berlangsung
dengan aroma yang berbeda dari air kencing biasa. Ny. N
menceritakan hal tersebut ke suaminya yang kemudian
memutuskan untuk memanggil bidan L (36 tahun) untuk
memeriksa kondisi isterinya.
Bidan L menyimpulkan bahwa air yang keluar dari
tubuh Ny. N adalah air ketuban, dan kondisi ini harus segera
mendapat pertolongan di rumah sakit. Keluarga Ny. N
kemudian meminta waktu untuk rembukan keluarga.
Sepertinya terjadi diskusi yang sangat panjang di keluarga Ny.
N untuk sebuah keputusan membawanya ke RS. Hingga
sampai malam hari akhirnya baru di bawa menuju kota
Masohi, namun bukan ke RS, melainkan ke praktik dokter
umum. Menurut keterangan bapak W (47 tahun), keputusan
seperti itu diambil karena pihak keluarga berusaha
semaksimal mungkin agar Ny. N tidak sampai dirawat di RS.
Selain karena keinginan yang kuat untuk bisa melahirkan
18
Jelajah Nusantara #3
secara normal di rumah, juga karena alasan biaya dan
terbatasnya anggota keluarga yang bisa menunggu di RS.
Dokter umum yang didatangi Ny. N dan keluarga juga
memberikan saran yang sama, Ny. N harus masuk RS. Namun
sekali lagi sangat disayangkan, Ny. N atas keinginannya sendiri
yang di-amin-kan keluarga justru dibawa pulang ke rumah.
Sampai di rumah, pihak keluarga kembali memanggil bidan L
dan perawat I (30 tahun) serta meminta mereka agar
mengupayakan bisa membantu perawatan Ny. N yang
dilakukan di rumah saja. Tentu saja bidan L dan perawat I
menolak melakukan itu. Mereka kembali memberikan
pengertian dan pemahaman kepada Ny. N dan keluarga agar
bersedia dirujuk ke RS.
Setelah susah payah dibujuk, Ny. N benar-benar
dibawa ke RSUD Masohi pada keesokan harinya. Dua hari
dirawat di RS, Ny. N kembali pulang paksa ‘atas permintaan
sendiri (APS)’ dengan alasan tidak bersedia untuk dilakukan
tindakan operasi. Menurut Bapak W, mereka saat itu
diwajibkan menandatangani berbagai surat pernyataan
bahwa menolak segala bentuk tindakan medis atas keinginan
sendiri dan siap dengan segala risikonya, meskipun telah
mendapat penjelasan bahwa tindakan yang akan dilakukan
pihak RS semata-mata untuk menyelamatkan dirinya dan bayi
yang di kandungnya.
Dua hari di rumah, kondisi Ny. N semakin lemah.
Melihat hal itu, suami dan keluarga Ny. N berinisiatif kembali
memanggil petugas kesehatan yang bertugas di desa itu, dan
tentu saja kembali diharuskan untuk dirujuk. Kali ini keluarga
Ny. N menurut. Namun masalah kemudian muncul ketika di
19
Rekam Kematian dari Pulau Seram
RS Ny. N dan keluarga masih saja menolak untuk dilakukan
tindakan pertolongan seperti prosedur periksa dalam dan
operasi. Hal ini membuat petugas RS menjadi jengkel, dan
sempat memanggil bantuan polisi untuk mengatasi hal
tersebut. Ny. N dan keluarga pun kemudian sedikit melunak
dan mau untuk dilakukan periksa dalam dan tindakan medis
lainnya. Dari situ kemudian diketahui bahwa bayi dalam
kandungan Ny. N sudah tidak bernyawa lagi. Kondisi ini
semakin menegaskan bahwa tindakan operasi sectio caesaria
satu-satunya cara yang harus dilakukan. Keluarga kembali
meminta waktu untuk berdiskusi dan berpikir ulang dalam
menyetujui tindakan operasi yang diindikasikan. Namun
malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, Ny. N
akhirnya juga menghembuskan napas terakhir sebelum
sempat dilakukan tindakan operasi tersebut.
Beberapa saat setelah meninggalnya Ny. N, di
masyarakat beredar isu yang konon disebar oleh suaminya
bahwa meninggalnya Ny. N akibat tindakan periksa dalam
atau yang dalam bahasa mereka disebut dengan ‘…kasih
masuk tangan…’ yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
Masalah lainnya juga muncul ketika pihak keluarga, terutama
kakak kandungnya, menyalahkan suami Ny. N yang mereka
nilai lamban mengambil keputusan dan persetujuan tindakan
medis untuk menyelamatkan Ny. N.
Kisah kematian maternal yang dramatis, yang untuk
mendapatkan datanya harus saya lakukan dengan susah
payah, dan ‘berdarah-darah’ karena informan utama (Bapak
W), kakak kandung Ny. N, sempat menolak diwawancara
siapapun, terutama petugas kesehatan yang ingin mengorek
20
Jelajah Nusantara #3
keterangan terkait hal itu. Mungkin beliau berpikir bahwa
kasus kematian Ny. N memang harus ditutupi sebagai sebuah
kenangan buruk keluarga. Segala upaya dengan mengerahkan
berbagai teknik dan keterampilan komunikasi yang pernah
saya dapatkan di berbagai pelatihan, serta tak lupa
memanjatkan doa memohon kemudahan dari Allah SWT,
akhirnya Bapak W mau berbagi cerita. Ada kepuasan
tersendiri bagi saya pribadi bisa menaklukkan kekerasan hati
Bapak W yang merupakan saksi hidup kematian maternal
yang dialami Ny. N, dimana selama ini sangat tertutup dan
sulit dimintai keterangan oleh petugas kesehatan setempat.
Semoga dapat menjadi pembelajaran buat keluarga-keluarga
lain dan untuk perbaikan program kesehatan ibu dan anak di
negeri ini.
Tamilouw, 14 Agustus 2015
Puskesmas Tamilouw kami datangi keesokan harinya,
tepatnya tanggal 14 Agustus 2015. Untuk menuju Puskesmas
yang berjarak ±45 km dari Masohi ini, kami menggunakan
mobil angkot carteran. Perjalanan menuju Puskesmas ini
menyajikan pemandangan pesisir pantai pulau seram dengan
deburan ombak yang sangat cantik dan berada persis di tepi
jalan yang kami lalui.
Di Puskesmas Tamilouw saya bertemu bidan desa
bermarga Latuconsina, sama dengan artis muda peranakan
Maluku yang juga lagi populer di ibukota. Bidan NI (27 tahun),
menurut saya tergolong bidan wonder woman di tengah
keterbatasan tenaga bidan yang hanya 3 orang, sudah
21
Rekam Kematian dari Pulau Seram
termasuk bidan koordinator di Puskesmas. Dari 7 desa yang
ada wilayah kerja Puskesmas Tamilouw, 3 diantaranya
menjadi tanggung jawab dan binaannya dalam memberikan
pelayanan kesehatan.
Gambar 3. Pemandangan Pantai Pesisir Pulau Seram
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Bidan NI harus membagi diri dalam 6 bahkan 7 hari
seminggu untuk berkeliling ke desa-desa yang jarak masing-
masingnya tidak bisa dibilang mudah. Dan lagi-lagi, semua
pelayanan yang diberikan, meskipun itu di luar jam kerja
normal sebagai pegawai negeri sipil (PNS), tetap saja gratis.
Menurut NI, hal ini karena telah menjadi kebiasaan dan pola
pikir yang melekat pada masyarakat setempat bahwa segala
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
yang ditunjuk oleh pemerintah seyogyanya adalah gratis.
22
Jelajah Nusantara #3
Di wilayah kerja Puskesmas Tamilouw kami juga
berkesempatan dibawa ke sebuah dusun yang masih
mempertahankan adat dan tradisi yang sangat kental. Suku
Naulu namanya, etnis yang mendiami Dusun Sepa ini
mempunyai ciri khas dimana para pria dewasanya selalu
mengenakan ikat kepala merah, hingga sebutan lain yang
melekat pada mereka adalah ‘Suku Kepala Merah’.
Ada satu tradisi yang diyakini Suku Naulu dan sangat
terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Mereka mempercayai
bahwa wanita dalam kondisi haid atau melahirkan (bersalin)
dinilai memiliki sesuatu yang ‘kotor’. Oleh karena itu, wanita
seperti ini harus di asingkan ke sebuah gubuk kecil beratap
dan berdinding daun sagu yang dibuat dalam jarak agak jauh
dari rumah, bahkan ada yang di hutan. Wanita bersalin akan
mulai diasingkan kurang lebih seminggu menjelang perkiraan
hari persalinan, selanjutnya melahirkan di situ, hingga
kemudian darah nifasnya bersih.
Selama masa pengasingan, sang wanita hanya
mengenakan sehelai kain sarung yang melilit tubuh sebatas
dada dan tidak diperbolehkan mandi. Mandi diperbolehkan
bila darah haid atau nifasnya telah benar-benar bersih. Hal ini
juga sebagai penanda mereka akan diizinkan kembali dibawa
ke rumah dengan rangkaian ritual-ritual adat tertentu. Tradisi
ini mirip dengan yang dilakukan suku Muyu di Mindiptana-
Papua, seperti pernah di eksplore melalui Riset Etnografi
Kesehatan tahun 2014 oleh senior Mas Agung Dwi Laksono,
dan kawan-kawan.
23
Rekam Kematian dari Pulau Seram
Gambar 4. Rumah Pengasingan Wanita Bersalin Suku Naulu dan Pria
Kepala Merah
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Teluti, 15 Agustus 2015
Hari berikutnya di tanggal 15 Agustus 2016 perjalanan
kami lanjutkan ke Puskesmas Teluti. Puskesmas ini adalah
Puskesmas terjauh dari keempat lokasi kajian kami. Berjarak
sekitar 87 Km dari Kota Masohi, kami tempuh selama ±3,5
jam perjalanan menggunakan mobil Innova carteran seharga
1,5 juta.
Pemandangan pesisir pantai Pulau Seram yang
menyajikan bentangan keindahan debur ombak berpadu
dengan horizon biru putih langit kembali tersaji mengiringi
perjalanan kami. Namun sayangnya hal itu tidak berlangsung
sampai ke ujung tempat tujuan. Dalam 10 km terakhir
sebelum sampai Teluti, kami melewati cerukan lembah yang
24
Jelajah Nusantara #3
menurut Bu Hapsa Salampessy, Kepala Seksi KIA Dinas
Kesehatan Maluku Tengah yang mendampingi kami,
sebenarnya merupakan kali (sungai dangkal) terlebar di
Indonesia. Uniknya, kali dengan lebar 3,5-4 km ini, bisa tiba-
tiba menjadi dalam dan penuh air bah yang sangat deras. Hal
ini seringkali terjadi jika wilayah pegunungan di hulunya
mendapat siraman hujan yang mulai lebat.
Jembatan penghubung berbahan beton dan baja
sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah di atas kali raksasa
ini. Namun tak berselang lama, beberapa bagiannya runtuh
dan hanyut akibat tak mampu menahan derasnya terjangan
arus ketika musim hujan dan banjir bah datang. Beruntung
siang itu kami melewatinya saat sedang panas terik, hingga
volume air tidak terlalu tinggi dan mobil tumpangan kamipun
bisa mencari celah-celah daratan mirip pulau di tengah sungai
yang bisa dijadikan lintasan jalan. Meskipun di beberapa
bagian, menceburkan mobil ke air untuk menyeberang
derasnya arus kali tak dapat dihindari. Hal ini sempat
membuat kami cemas dan panik karena merupakan
pengalaman pertama berada dan menjadi penumpang mobil
yang seolah-olah seperti diterjang gelombang tsunami. Untuk
mengabadikan momen menyeberang kali super lebar ini, saya
pun hanya berani menjepretkan kamera semampunya lewat
jendela mobil tempat saya duduk.
Sesampainya di Teluti, saya ditugaskan mendatangi
rumah keluarga Ny. AY (21 tahun). Keluarga ini berdasarkan
informasi dari pihak Puskesmas diketahui memiliki riwayat
kematian neonatal. Bayi Ny. AY meninggal saat usianya ± 2
jam setelah dilahirkan. Dari hasil wawancara saya peroleh
25
Rekam Kematian dari Pulau Seram
keterangan bahwa bayi yang di kandung Ny. AY adalah anak
pertama hasil hubungan di luar nikah bersama pacar sejak
SMA yang sekarang menjadi suaminya.
Gambar 5. Perjalanan Menyeberang Kali Terlebar se-Indonesia
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Saat hamil, Ny. AY hanya sesekali memeriksakan
kehamilannya ke Posyandu. Saat proses bersalin tiba, Ny. AY
juga lebih mempercayai dukun kampung yang dipanggil
pertama kali untuk membantunya. Bidan desa yang tinggal
tidak terlalu jauh dari rumah, dipanggil setelah persalinannya
mengalami kemacetan >48 jam. Walaupun kemudian
kelahiran bayinya secara spontan telah ditolong oleh bidan
desa, namun nyawa bayi tersebut tidak terselamatkan dan
meninggal karena asfiksia yang sering terjadi pada kasus
partus (persalinan) lama.
Tehoru, 16 Agustus 2016
Dari Teluti kami bergerak ke Puskesmas Tehoru yang
berjarak ±50 km. Kami kembali melewati kali lebar dalam
26
Jelajah Nusantara #3
suasana sudah gelap malam dan gerimis. Kondisi demikian
membuat kami was-was akan cerita bahwa kali tersebut bisa
kedatangan banjir bandang tiba-tiba jika terjadi hujan lebat.
Bersyukur kami bisa melewatinya meskipun driver harus
bersusah payah dan penuh perhitungan memilih jalan di
tengah deras arus kali yang sekiranya aman untuk
menceburkan ban mobil. Kami sampai di Puskesmas Tehoru
sekitar jam 8 malam, dan telah disambut dengan rumah dinas
dokter yang kosong dan cukup nyaman untuk tempat kami
bermalam.
Makan malam dengan menu ikan laut kuah kuning,
kuliner favorit saya selama di Maluku Tengah selain ikan asar
(ikan asap) yang di cocol ke sambal colo-colo, menjadi
santapan yang pas pengusir lelah. Tak cukup sampai disitu,
seorang staf Puskesmas Tehoru yang berlatar pendidikan
vokasi di bidang fisioterapi pun menawarkan kami pijat
relaksasi yang sangat sulit untuk saya lewatkan.
Keesokan harinya kami melakukan pengumpulan data
yang sama seperti di Puskesmas lainnya. Puskesmas Tehoru
adalah salah satu Puskesmas rujukan gugus pulau yang
membawahi beberapa Puskesmas satelit di sekitarnya.
Keberadaan Puskesmas Tehoru sebagai Puskesmas PONED
sangat membantu menjembantani penatalaksanaan kasus-
kasus komplikasi maternal neonatal rujukan dari Puskesmas-
Puskesmas satelitnya. Puskesmas-Puskesmas satelit Gugus
Pulau Tehoru hampir semua berstatus sangat terpencil yang
hanya bisa ditempuh melalui jalur laut atau jalur darat
dengan medan yang sangat ekstrim. Salah satu cerita kasus
kematian maternal yang terjadi di wilayah Tehoru disebabkan
27
Rekam Kematian dari Pulau Seram
karena sulitnya akses transportasi. Konon itu terjadi saat
musim hujan dimana gelombang sedang tinggi sehingga akses
jalur laut menggunakan perahu tidak memungkinkan sama
sekali. Akses darat pun terputus akibat kali raksasa tidak bisa
dilewati karena belum ada jembatan penghubung pada saat
itu.
Ora; Maldives and Halong Bay of Indonesia
Masa penugasan selama 16 hari di bulan Agustus
tahun 2015 di Kabupaten Maluku Tengah, tak terasa berlalu.
Terlalu banyak pembelajaran tentang bagaimana perjuangan
pelaksanaan program kesehatan ibu dan anak di salah satu
belahan Timur Indonesia ini. 16 hari pun terasa sangat
pendek untuk bisa menikmati setiap jengkal keindahan dan
kekayaan alamnya.
Satu yang pasti, perjalanan ini juga meninggalkan satu
kenangan terindah dimana saya bisa merayakan dan
mengibarkan bendera merah putih lambang kemerdekaan
Negara Indonesia di Pantai Ora. Pantai Ora yang saya yakin
kedepannya akan menjadi salah satu primadona pariwisata
Indonesia Timur. Semoga tak berlebihan jika saya yang begitu
takjub melihat objek wisata di desa Sawai bagian utara Pulau
Seram ini sebagai perpaduan Maldives dan Halong Bay yang
dimiliki Indonesia.
28
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
Catatan Perjalanan Peneliti di Kep. Sula, Maluku Utara
Nor Efendi
Sanan, 19 Mei 2016
Alhamdulillah, tahun ini saya kembali dipercaya Badan
Penelitan dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI terlibat dalam Riset Etnografi Kesehatan (REK)
tahun 2016. Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku
Utara, yang beberapa tahun lalu sempat saya dengar
namanya dalam sebuah pelatihan tingkat nasional karena ada
seorang teman peserta berasal dari sana, menjadi lokasi yang
diamanahkan ke kami. Saya ditugaskan menjadi koordinator
tim yang beranggotakan 2 rekan peneliti lainnya. Satu peneliti
berlatar magister promosi kesehatan asal Medan dan 1
peneliti lainnya dengan keahlian bidang antropologi sosial
29
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
asal Lombok. Kedua personel tim saya berjenis kelamin laki-
laki. Bukan tanpa alasan, mungkin tantangan perjalanan yang
bukan hanya berdurasi lama namun juga ekstrim dengan
gelombang lautnya dianggap “layak” untuk kami.
Gambar 1. Peta Lokasi Provinsi Maluku Utara di Indonesia
Sumber: Google Map
Sampai sebelum masa pengumpulan data, salah satu
kabupaten sangat terpencil di Indonesia ini masih terasa asing
bagi kami. Bagaimana tidak, niat sampai disana saat masa
persiapan lapangan di minggu kedua April 2016, harus
terhenti di “Negeri para Sultan”, Ternate dan Tidore. Jatah
hanya 1 minggu dan kerusakan mesin kapal satu-satunya yang
gagal berlayar sesuai jadwal masa tugas perjalanan menuju
Kepulauan Sula, menjadi penyebabnya. Beruntung kemudian
ada salah seorang staf Dinas Kesehatan (Dinkes) Kepulauan
Sula yang berkegiatan kedinasan di Ternate dan dapat kami
jadikan “jendela pertama” untuk mengintip permasalahan
kesehatan di sana.
30
Jelajah Nusantara #3
Sebulan kemudian di hari ke-10 bulan Mei tahun 2016,
masa pengumpulan data REK 2016 pun tiba. Dari Banjarmasin
saya bergerak menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta-
Jakarta, yang kami sepakati sebagai meeting point untuk
kemudian bersama-sama terbang menuju Ternate. Seperti
sebelumnya, penerbangan dini hari akan melewati suguhan
sunrise dari balik jendela pesawat. Beberapa saat sebelum
mendarat, ketika pesawat berputar seolah menari di atas
Kepulauan Maluku Utara yang sedang pamer pesona
kecantikannya di pagi hari, salah satu momen favorit saya.
Gambar 2. Ternate di Pagi Hari dengan Latar Gunung Gamalama Dilihat
dari Udara
Sumber: Dokumentasi peneliti
Dari Ternate kami menumpang Kapal Motor (KM) Agil
Pratama yang bertingkat 3 dengan bagian lambungnya khusus
diisi barang. Kelas ekonomi bertarif Rp. 300.000,- per orang
ada di lantai 2, berisi jejeran tempat tidur yang juga
bertingkat 2 seukuran cukup badan orang dewasa,
menyerupai barak tentara. Masing-masing penumpang
mendapat jatah 1 area tempat tidur beserta barang
bawaannya sesuai nomor tiket. Kelas VIP dan eksekutif yang
31
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
disebut “kamar” terletak di lantai paling atas. Ukurannya
sekitar 2 x 2,5 meter berfasilitias 2 tempat tidur bertingkat
yang sedikit lebih besar dari kelas ekonomi, serta dilengkapi
dengan AC atau kipas angin. Harga per kamar dipatok Rp.
600.000,- dan sepertinya sangat laris di-booking sekitar 1-2
minggu sebelum keberangkatan. Bagian buritan lantai atas
juga terdapat kantin yang menyediakan minuman kopi dan
the, serta cemilan ringan. Saya sempat mencicipi segelas teh
hangatnya dengan membayar Rp. 5.000,-. Bagi yang hobi
bernyanyi atau sekedar membunuh bosan menjalani
perjalanan laut selama 16-17 jam, kantin kapal juga
menyediakan perangkat TV karaoke yang harus dibayar
penumpang sebesar Rp. 10.000,- untuk setiap 3 lagu yang
dinyanyikan.
Gambar 3. Alat Transportasi untuk Mencapai Kabupaten Kepulauan Sula
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Alternatif transportasi lain ke Sanana menggunakan
pesawat Twin Otter milik maskapai Dimonim Air yang terbang
setiap Rabu (pulang-pergi) dengan tarif Rp. 334.000,- per
32
Jelajah Nusantara #3
seat. Berangkat dari Ternate pukul 07.10 dan akan tiba di
Bandara Emalamo-Sanana sekitar pukul 08.45. Penerbangan
ini hanya tersedia 12 seat per kali terbang dan tiketnya pun
hanya bisa dibeli di kantor perwakilan maskapai bandara
keberangkatan. Bagi calon penumpang dadakan, jangan
berharap akan mendapat tempat untuk mencicipi terbang
bersama pesawat perintis ini. Menurut informasi seorang
kenalan di Dinas Perhubungan setempat, booking-an seat
biasanya sudah penuh 3-4 minggu sebelum tanggal
keberangkatan. Sebelumnya saya telah coba menelusur
website maskapai ini untuk kemungkinan penjualan tiket
online, namun hasilnya nihil.
Kabupaten Kepulauan Sula membawahi 12 kecamatan
dan 78 desa definitif yang tersebar di 2 pulau besarnya,
Sulabesi dan Mangoli. Ibukotanya di Sanana, sebuah kota
kecil nan manis sebelah Timur Pulau Sulabesi.
Skor Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) Tahun 2013 menempatkan Kepulauan Sula di ranking
476 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Ranking tersebut
merupakan peringkat terendah dari 9 kabupaten/kota yang
ada di Provonsi Maluku Utara.
Daerah endemis Malaria, itu yang terbayang di benak
ketika mendapat penugasan ke daerah pengasil kopra,
cengkeh, pala dan rempah lain ini. Data tahun 2014 daerah ini
menunjukkan Annual Malaria Incidence (AMI) mencapai
24/1.000 penduduk dengan Annual Positive Insidence (API)
4/1.000 penduduk. Data dari laporan tahunan Dinkes
Kabupaten Kepulauan Sula ini sempat membuat kami
33
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
berancang-ancang menjadikan malaria sebagai topik tematik
riset etnografi kesehatan yang akan kami lakukan.
Namun diskusi dan telaah laporan sesampainya kami
di kantor Dinkes Kabupaten Kepulauan Sula menyimpulkan
hal yang berbeda. Pengelola Program Filariasis dan Kepala
Seksi Pemberantasan Penyakit (P2) yang kemudian diamini
oleh Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (P2PL) sepakat menempatkan kami ke wilayah
kerja Puskesmas Kabau. Puskesmas yang terletak di
Kecamatan Sulabesi Barat ini merupakan penyumbang kasus
Filariasis terbanyak, yaitu 4 dari 7 kasus tercatat di Kepulauan
Sula. Alasan utama lainnya tentu saja karena budaya dan
tradisi yang masih sangat kuat melekat di masyarakat Kabau.
Saya bersama tim pun merasa sudah mengumpulkan
justifikasi yang cukup kuat untuk menyetujui pilihan ini.
Setelah menginap 1 malam di Sanana, keesokan harinya kami
memantapkan diri untuk segera menuju Kabau.
Dari kota Sanana yang berada di tepian Timur, kami
harus menempuh kembali perjalanan laut sekitar 2,5 jam
menyisir pulau Sulabesi ke arah Barat. Satu-satunya angkutan
umum yang tersedia adalah perahu motor dari kayu yang
disebut bodi oleh orang Sula. Tarif yang dipatok menurut saya
cukup murah untuk duduk manis menikmati keindahan bibir
Pantai Sulabesi di sepanjang perjalanan, hanya Rp. 20.000,-
per orang. Hamparan laut dengan gradasi warna biru hijau
berpadu cantik dengan cerahnya langit. Kebun-kebun kelapa
berlatar hutan perawan yang diselingi beberapa
perkampungan kecil berada di tepian pantainya. Sapaan ikan-
ikan besar yang sesekali melompat ke atas permukaan air laut
34
Jelajah Nusantara #3
dan penyu-penyu besar yang mengambang tiba-tiba,
melengkapi kesempurnaan lukisan alam yang tercipta. Bagi
penulis pemula seperti saya, sungguh sulit mengungkapkan
keindahannya dengan kata-kata. Jaket hodie dan kacamata
hitam nyaman digunakan untuk sedikit berlindung dari
matahari Sula yang siang itu terasa menyengat di sepanjang
perjalanan. Buaian gelombang kecil berirama dengan decak
kagum tak henti saya kumandangkan. Subhanallah... Sula
memang teramat cantik dan saya seakan jatuh cinta!
Gambar4. Perjalanan Laut menuju Kabau Menggunakan Bodi
Sumber : Dokumentasi peneliti
Kabau terletak di muara sebuah teluk yang
belakangan saya ketahui bahwa penduduk setempat
menyebutnya sebagai telaga. Menurut legenda yang
diceritakan turun temurun di masyarakat Kabau, telaga
tersebut terbentuk akibat semacam kutukan. Pada suatu
masa di zaman dahulu kala, penduduk setempat mengangkat
35
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
imam (pemimpin) seorang perempuan. Hal ini tidak direstui
dan diperkenankan oleh penjaga alam. Hingga beberapa saat
kemudian, seekor biya (kerang) raksasa tiba-tiba naik dari laut
dan menyapu keseluruhan kampung hingga berubah menjadi
sebuah telaga besar. Hampir seluruh isi kampung dan
penduduk ikut tenggelam berubah wujud menjadi buaya-
buaya di dalam telaga. Sebagian kecil penduduk ada yang
selamat dan menjadi 4 marga pertama penghuni Kabau yang
sekarang, yaitu Lidamona, Kedafota, Sanela dan Papalia.
Penduduk yang menjelma menjadi buaya diyakini terus hidup
sampai sekarang dan menjadi penghuni telaga hingga
jumlahnya pun puluhan.
Buaya-buaya penghuni telaga masih sangat sering
menampakkan diri dalam berbagai ukuran, mulai dari yang
kecil hingga ada yang sebesar perahu. Menurut warga
setempat, ada 2 jenis buaya yang hidup di telaga berair asin
tersebut. Yang pertama adalah buaya jelmaan penduduk desa
yang ditenggelamkan di dalam telaga. Buaya jenis ini dapat
muncul dan hilang tiba-tiba secara gaib. Asal tidak diganggu
mereka juga tidak akan membahayakan dan dapat hidup
berdampingan dengan manusia. Buaya jenis ke-2 adalah
buaya muara yang sebenarnya. Meskipun jarang, jenis buaya
ini pernah beberapa kali memakan korban manusia, ayam,
kambing, bahkan sapi yang banyak dipelihara masyarakat
Kabau. Buaya jelmaan konon dapat dibedakan berdasarkan
jumlah jari di ke-4 kakinya yang sama-sama 5 seperti jari kaki
dan tangan manusia. Sedangkan buaya muara yang
sesungguhnya, jari kakinya hanya berjumlah 4.
36
Jelajah Nusantara #3
Gambar 5. Desa Kabau Laut yang Terletak di Muara Telaga
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Minggu pertama masa pengumpulan data, kami
telah 2 kali berkesempatan bertemu langsung dengan buaya.
Kali pertama pada suatu malam ketika pulang dari
memancing ikan di laut bersama bapak kepala Puskesmas.
Tiba-tiba beliau memerintahkan saya untuk mengarahkan
cahaya senter ke gundukan pasir yang terbentuk di tengah-
tengah pantai muara telaga. Saya pun menurut, hingga
tampaklah sebentuk kepala buaya dengan moncongnya yang
memanjang dan sepasang mata yang bersinar tersorot
cahaya. Jarak perahu kami hanya beberapa meter dari tempat
buaya menampakkan diri. Kami pun takjub, ternyata cerita
masyarakat tentang banyaknya buaya di telaga desa , bukan
isapan jempol belaka. Selang 1 malam kemudian kami
dihebohkan lagi oleh kabar penjaga rumah mesin (genset
37
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
listrik desa) yang melaporkan di belakang rumahnya terlihat
seekor buaya. Dan benar saja, ketika didatangi tempat yang
tidak jauh dari rumah mama piara (ibu kos) kami tersebut,
tampak seekor buaya sedang mencoba mengintai mangsa.
Buaya itu pun kemudian ramai-ramai diusir dan dilempari
warga hingga kembali ke dalam gelapnya rawa yang masih
terhubung dengan telaga.
Gambar 6. Telaga Air Asin yang Menjadi Legenda Asal Usul Kampung
Kabau Laut
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain hanya diterangi listrik desa yang menyala
menjelang waktu Maghrib hingga sekitar pukul 11 malam,
Kabau juga memiliki sejarah pernah porak poranda diterjang
tsunami kecil tahun 1965 sebagai dampak gempa di daerah
Kepulauan Buru. Peristiwa ini membuat kampung Kabau yang
sekarang masih fakir signal seluler ini terbagi menjadi dua.
Kabau Laut yang dihuni oleh orang-orang yang masih
bertahan untuk tetap berumah di tepi pantai, dan Kabau
38
Jelajah Nusantara #3
Darat yang semula merupakan kampung pengungsian orang-
orang Kabau Laut saat kejadian bencana alam tersebut. Selain
2 desa ini, wilayah kerja Puskesmas Kabau juga mencakup 4
desa pesisir lainnya yaitu Paratina, Nahi, Ona dan Wai’ina.
Dengan nebeng kegiatan Posyandu kami ikut menyambangi
desa-desa tersebut menggunakan perahu motor dinas untuk
Puskesmas perairan milik Puskesmas Kabau yang terbuat dari
bahan fiber glass yang mereka sebut Fiber. Bentuknya tidak
jauh berbeda dengan bodi yang berbahan papan kayu.
Gambar 7. Perahu Motor Dinas Puskesmas Kabau yang Biasa Disebut Fiber
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Fiber ini lah yang selalu menghantarkan para petugas
Puskesmas Kabau mendekatkan pelayanan kesehatan ke
desa-desa pesisir terpencil di wilayah kerjanya. Meskipun tak
jarang, dalam pengabdiannya mereka harus mempertaruhkan
39
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
nyawa ketika musim gelombang angin Timur datang
menerjang.
Selain memiliki pantai-pantai dangkal eksotis yang
membuat penikmat snorkelling seperti saya tak pernah jemu
menjelajahinya, Kabau juga menyimpan segudang
permasalahan kesehatan masyarakat. Sengatan matahari
yang membakar Kabau cenderung membuat kita selalu
bermandi keringat. Ini mengingatkan saya akan seloroh
seorang teman dari Direktorat Gizi Kementerian Kesehatan RI
saat tugas dinas ke Maluku Utara sempat berujar, “...disini
matahari berasa 2 biji...”.
Gambar 8. Penderita Penyakit Kulit yang Banyak Ditemukan di Kabau
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Personal hygiene masyarakat yang umumnya sangat
kurang berdampak terhadap banyaknya penderita penyakit
kulit disini. Hampir setiap penduduk, baik anak-anak, remaja
hingga orang tua, kulitnya berhiaskan gatal-gatal hingga panu
di sana-sini. Mandi keringat dan jarang mandi serta kebiasaan
40
Jelajah Nusantara #3
membawa masuk alas kaki dari luar yang bekas tanah dan
debu ke dalam rumah, mungkin sebagai penyebab kondisi ini.
Padahal aliran air bersih dari pancuran di atas bukit ke
perkampungan, sudah cukup tersedia disini.
Gambar 9. Anak-Anak yang Buang Air Besar di Pantai pada Pagi Hari
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Suatu pagi saya pergi ke belakang rumah mama piara
yang langsung berada di bibir pantai, berniat menikmati
keindahan laut saat sengatan mentari pagi masih bersahabat
dengan kulit. Hal mengejutkan kembali saya dapati. Beberapa
anak usia sekitar 7-12 tahun tampak nongkrok di beberapa
tempat. Posisi mereka menghadap ke arah laut dengan
bagian pantat terbuka tanpa busana. Tidak salah lagi, insting
saya mengatakan mereka sedang buang hajat di atas pasir
pantai. Dan kotoran yang dibuang sembarangan tersebut
kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa perlakuan yang
sifatnya untuk “pengamanan”. Sepertinya mereka
menyerahkan tugas itu kepada air pasang dan sapuan ombak
yang nanti akan membawanya hilang tak berbekas entah
41