sedikit, akan berduyun-duyun ke daerah lain yang formasinya
banyak.
Tidak hanya sampai di situ, jika benar-benar guru bantu
diprioritaskan jadi PNS tentunya tidak semua bisa langsung diangkat.
Tergantung kemampuan kabupaten/kota bersangkutan. Hal ini pun,
akan timbul berbagai permasalahan jika prosesnya tidak ditangani
serius dan hati-hati.
Angin Segar
Para guru demo, rasanya tidak enak didengar. Bahkan
beberapa pekan lalu, ada isu guru bantu akan mogok nasional. Sosok
yang selama ini menjadi anutan masyarakat, justru menyelesaikan
permasalahan bukan dengan musyawarah.
Sebagai sosok guru yang selalu mengedepankan nilai-nilai
luhur Pancasila, mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam
menyelesaikan persoalan, mengadakan demo demi memperbaiki
nasib adalah satu hal tidak pas. Perihal guru berdemo, agaknya
sejalan dengan teori Festinger yang dikenal dengan teori disonansi
kognitif (the cognitive disonance theory).
Menurut teori itu, sikap dan tindakan individu biasanya
konsisten satu dengan yang lain. Jika seseorang mengalami
ketidakcocokan dengan dua atau tiga elemen kognitif, akan timbul
disonansi/ketidakseimbangan dalam dirinya. Begitu juga yang terjadi
pada diri guru bantu, timbulnya disonansi berupa ancaman mogok
atau mengadakan demo karena dalam diri timbul pertentangan,
ketidakcocokan antara kebijakan pemerintah dengan keinginan
mereka.
Justru pernyataan guru bantu mogok, demo, makin
memperkeruh suasana dan membuat citra guru khususnya guru bantu
menjadi jelek. Jika guru bantu ingin benar-benar diangkat CPNS, ada
beberapa cara yang sekiranya bisa mendukung yaitu melalui
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 93
musyawarah dengan pihak berwenang dalam menyalurkan aspirasi,
menunjukkan karya nyata bahwa guru bantu memiliki kemampuan
mengajar dengan baik dan dapat peran di dunia pendidikan,
menunjukkan dedikasi tinggi, bekerja dengan senang dan penuh
semangat. Jika para guru bantu dapat menunjukkan sikap positif dan
kinerja profesional, niscaya pemerintah tidak akan tinggal diam.
Pemerintah akan memberi perhatian khusus dan memikirkan
kesejahteraan serta nasib di masa mendatang. Dalam hal ini
diperlukan sikap sabar lebih kuat. Ada baiknya para guru bantu
meneladani filsafat Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara
yang terkenal: “Ning, Neng, Nung, Nang”.
Ning artinya suci, ikhlas, segala tindakan tanpa pamrih. Neng
artinya tenang pikiran dan mempunyai niat baik. Nung artinya kuat,
tahan banting, ulet, dan sungguh-sungguh melaksanakan tugas berat.
Nang artinya optimisme yang akan membawa perjuangan dengan
akhir kemenangan.
Para guru bantu hendaknya ikhlas dalam menjalankan tugas,
tenang pikirannya, dan punya niat baik, kuat dalam menjalankan
tugas seberat apa pun, serta selalu optimis berjuang meraih
kemenangan atau kesuksesan. Penulis sendiri merasakan pengabdian
para guru bantu, sudah cukup banyak. Seandainya diukur dengan
uang, tidak sebanding dengan gaji yang diterima sekarang.
Mereka juga sudah bekerja tulus dan ikhlas, ada yang belasan
bahkan puluhan tahun mengabdikan tanpa perubahan nasib ke arah
lebih baik. Pengangkatan guru bantu cukup memberi angin segar dan
secercah harapan, bagi para guru yang sudah lama mengabdi.
Akankah harapan itu tinggal harapan?
Angin segara terasa makin segar, setelah ada kabar bahwa
guru bantu akan diangkat menjadi CPNS. Namun embel-embel
persyaratan yang cukup memberatkan bagi guru bantu, rasanya
seperti memupus harapan mereka yang jauh dari persyaratan
94 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
tersebut. Padahal persyaratan menjadi guru bantu sudah cukup rumit
masih ditambah harus menjalani berbagai tes dengan soal-soal berat.
Agar permasalahan perekrutan CPNS dari guru bantu bisa
terselesaikan dengan baik, pemerintah perlu strategi dan penanganan
cermat sehingga tidak ada pihak-pihak tersisihkan. Masa pengabdian
selama menjadi guru, hendaknya juga diperhatikan sebagai
penghargaan. Termasuk pembatasan usia, hendaknya disesuaikan
kondisi lapangan.
Formasi berlainan antardaerah akan lebih baik jika para
pelamar tidak diberi kebebasan melamar di daerah lain. Mereka
hanya boleh melamar di daerah sendiri. Pandangan penulis terhadap
guru bantu, semoga dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi
pemerintah untuk memberikan perhatian khusus. Sehingga
pemerintah memikirkan nasib mereka untuk dapat diangkat menjadi
CPNS. Seperti yang pernah dilontarkan saudara Trimo, S.Pd., M.Pd.
dalam opini Wawasan, 28 Maret 2003 tentang “Menyiapkan Guru
Bantu menjadi CPNS”.
Teruskan perjuanganmu, Saudaraku. Secercah harapan masih
tersenyum menunggumu. Berdemo apalagi mogok mengajar, bukan
sikap mulia seorang guru. Semoga ketulusan pengabdianmu
membawakan kebahagiaan dan kedamaian bagi semua insan.
R. Tantiningsih. Mantan guru bantu, kini Guru SDN Anjasmoro 02
Semarang.
__dimuat di Wawasan, Kamis Wage, 25 Agustus 2005.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 95
MENCARI IBU DALAM IJAZAH
Oleh R. Tantiningsih
Lulus sekolah dan mendapat ijazah, tentunya hal
membahagiakan bagi seorang anak. Apalagi, kalau lulus dengan
predikat memuaskan. Namun, tidak demikian bagi si anak yang
sangat mengagumi ibunya. Berkali-kali ia memandangi ijazah, tetapi
tetap ia tidak menemukan nama sang ibu di sana.
Dalam benaknya ia bertanya mengapa hanya nama ayah yang
dicantumkan. Padahal, ia merasa selama ini ibunya bersusah payah
menyekolahkan, semenjak bapaknya tiada. Dalam selembar ijazah
tersebut, ternyata seorang ibu tidak bisa ikut menorehkan sejarah.
Hak perwalian sepenuhnya milik bapak. Ironisnya, peristiwa itu
berlangsung sepanjang masa. Mengapa demikian?
Dalam kacamata penulis sebagai seorang ibu, mencantumkan
nama ibu dalam ijazah menjadi fundamental. Bukan sekadar
pernyataan publik bahwa ibu turut memberikan kontribusi, tetapi
lebih pada pemaknaan pentingnya menempatkan posisi ibu sejajar
dengan bapak.
Penulis juga berasumsi berbagai penegasan menghargai ibu
dalam konteks seremonial merupakan belenggu dan pemanis agar ibu
tidak perlu neka-neka. Memang, ada hari ibu, darma wanita, PKK,
dan sejenisnya yang merupakan ajang khusus bagi kaum ibu.
Lantaran tidak ada hari bapak, darma pria, dan sejenisnya. Namun,
hal tersebut cap, bukan pemaknaan ibu dalam konteks mikro dan
makro kehidupan.
Wanita Pejuang
Pejuang-pejuang wanita sudah ada sejak dulu. Raden Ajeng
(RA) Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Christina Marta
96 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Tiahahu, dan masih banyak lagi. Mereka termasuk ibu-ibu ulet,
berjuang demi nusa dan bangsa, di samping harus mengurus rumah
tangga.
Di era sekarang, bangsa Indonesia bukan lagi membutuhkan
wanita untuk kemerdekaan bangsa. Namun, membutuhkan wanita-
wanita pejuang yang mampu membebaskan diri dari belenggu
kebodohan. Wanita yang mampu keluar dari kebodohan, akan dapat
meraih kesuksesan.
Hal ini dapat dilihat dari para ibu yang sudah dapat meraih
kesuksesan. Adanya presiden wanita, bupati wanita, kapolres wanita,
mereka dapat berkiprah dalam pembangunan, sebab sudah merdeka
dari belenggu kebodohan. Wanita-wanita pejuang tersebut, juga tidak
lepas dari dukungan keluarga dan rida Tuhan yang Maha Esa.
Untuk menjadi ibu yang mampu berjuang demi keluarga,
masyarakat, dan bangsa, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Halangan dan rintangan pasti selalu ada. Untuk itulah seorang ibu
yang ingin berhasil harus mempunyai dua modal utama.
Kedua modal tersebut yaitu berjiwa baja dan berhati sutra.
Kelihatannya mudah, hanya dua. Namun, untuk menanamkan dalam
diri sangatlah sulit. Berjiwa baja, wanita jangan mudah dikatakan
sosok lemah. Mungkin secara fisik lemah, tetapi jiwa haruslah sekuat
baja. Tidak mudah karatan dan dihancurkan.
Jiwa tegar mempunyai prinsip, tidak mudah diombang-
ambingkan keadaan. Namun, bukan berarti menjadi orang egoistis.
Wanita yang bisa berpikir rasional, tangguh menghadapi berbagai
rintangan, tidak mudah menyerah dan pantang berputus asa.
Untuk menjadi jiwa seperti itu memang sulit. Tidak jarang di
media massa banyak berita tentang wanita yang mengakhiri hidup,
masuk penjara karena tindak kriminal, atau mengalami kehancuran
rumah tangga. Berita-berita tersebut menunjukkan kerapuhan jiwa
wanita. Ketegaran yang diinginkan seperti baja, belum dimiliki
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 97
semua wanita. Jiwa-jiwa kosong, lemah, keropos, merupakan awal
kehancuran.
Dorongan batin dan semangat keluarga, sangat dibutuhkan
seorang ibu dalam berkarya. Apa pun profesi seorang ibu adalah
mulia, jika dalam dirinya ada semangat membaja untuk meraih
segala kesuksesan. Mengingat, keberhasilan bukan hak monopoli
kaum pria. Semua orang dapat meraihnya, jika mau berusaha sekuat
tenaga.
Berhati sutra, apa pun sebutan ibu tetap seorang wanita yang
tidak bisa lepas kodrat. Wanita harus hidup di tengah keluarga,
dengan segala kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk itulah
diperlukan hati ibu seperti sutra, lembut, cantik, memesona, anggun,
dan berwibawa. Setinggi-tingginya kedudukan wanita, harus berhati
sutra di hadapan anak, suami, dan keluarga.
Kekerasan hati hanya akan membawa pada kesombongan,
bermuara kehancuran. Hati bersih, berpikir positif, penuh kasih, akan
membawa angin kedamaian di tengah keluarga. Ibu bijak, ingin
maju, harus berjiwa baja dan berhati sutra. Jiwa kuat ditunjang
kelembutan hati, tidak akan meninggalkan kodrat. Itu berarti, ibu
tetap akan menjalankan kewajiban sebagai ibu dari anak-anak, istri
dari suami, dan seorang ibu rumah tangga bagi keluarga.
Hak Ibu
Darmanto Jatman di puisinya yang berjudul “Istri Menulis”
bahwa istri mesti kudu digemateni karena ia sumber berkah dan
rezeki.
Karenanya seorang istri perlu mengabdikan hidup untuk
keluarga. Ibu yang tidak menyadari posisi sebenarnya, dapat berbuat
semau sendiri. Dalam hal ini diperlukan kesadaran untuk mengerti
dan memahami. Ibu harus sadar bahwa mengurus rumah tangga lebih
penting di atas segalanya.
98 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Rumah tanpa ibu, akan terasa hampa dan kacau. Hal ini dapat
dirasakan saat ibu sakit, tidak ada yang memasak, beres-beres,
maupun menyiapkan sesuatu. Lain halnya jika bapak atau anak yang
sakit. Ibu masih tetap bisa menyiapkan segala sesuatunya, walaupun
juga harus mengurus bapak atau anak sakit.
Tugas ibu mengurus rumah tangga, memang cukup
merepotkan tetapi, tetap mulia. Namun sayang, penghargaan bagi ibu
selama ini belumlah sesuai pengorbanannya. Sebagai contoh, nama
yang tercantum dalam ijazah anak adalah nama bapak.
Dalam hal ini seakan-akan ibu tidak punya hak. Padahal,
kenyataannya pendidikan pertama yang diperoleh anak, dari ibu.
Pendidikan diberikan ibu, sejak dalam kandungan hingga besar nanti.
Hak ibu sepertinya sudah hilang. Kaum ibu pun, selama ini
tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Kalaupun ada
mungkin hanya dalam batin. Apalagi, ijazah digunakan seumur hidup
dan merupakan sejarah tersendiri di diri seseorang. Akan lebih
membanggakan, jika nama ibunya juga ikut tercantum.
Sejalan pemikiran di atas, perjuangan para wanita sebenarmya
dimulai sejak Kongres Perempuan I di Yogyakarta, Desember 1928.
Kongres tersebut melahirkan tiga hal penting, yaitu tentang
kedudukan wanita dalam perkawinan, persamaan pendidikan laki dan
perempuan, serta poligami.
Perjuangan tersebut menjadi mentah, ketika turun Undang-
Undang (UU) Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pasal 31 pada UU No.
1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Suami adalah kepala keluarga
dan istri adalah ibu rumah tangga.”
Pasal 34 menyatakan, “Suami wajib melindungi dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
kemampuan. Istri wajib mengatur rumah tangga dengan sebaik-
baiknya.”
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 99
Mencermati pasal-pasal di atas menunjukkan bahwa suami
memiliki kekuasaan utama. Ibu (istri) hanya mempunyai hak
mengurus keluarga dan urusan rumah tangga. Padahal kenyataannya
tidak sedikit para ibu yang bekerja keras membanting tulang demi
mencukupi kebutuhan keluarga. Dan yang lebih memberatkan lagi,
suami bisa menuntut istri apabila tidak memenuhi kewajiban.
Namun demikian para ibu (istri), janganlah berkecil hati.
Semoga di masa mendatang, hak-hak ibu (istri) yang hilang dapat
diraih kembali. Tetapkan langkah untuk berjuang selalu. Keraskan
tekad laksana baja, lembutkan hati seperti sutra. Niscaya, kesuksesan
akan selalu menyertai.
R. Tantiningsih. Ibu rumah tangga. Tinggal di Semarang
―dimuat di koran Wawasan, Kamis Pon, 22 Desember 2005.
100 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
KARTINI DAN MEMAKNAI EKSPLOITASI DIRI
Oleh R. Tantiningsih
Maraknya majalah Playboy yang menimbulkan sikap pro dan
kontra di kalangan masyarakat sungguh menghebohkan. Terbitan
perdana diwarnai berbagai aksi demo dan perdebatan yang tidak
kunjung usai. Sorotan-sorotan tajam berbagai kalangan masyarakat
menghujani majalah tersebut.
Pose-pose seronok yang dinilai tidak sesuai budaya bangsa
Indonesia terpampang jelas. Sungguh merupakan hal ironis,
mengingat bangsa Indonesia penganut budaya ketimuran, kental nilai
kesopanan. Jika dicermati tontonan seperti itu tidak hanya di majalah
Playboy. Wanita-wanita masa kini lebih senang berpakaian mini,
ketat, ataupun sedikit terbuka walaupun berada di tempat-tempat
umum.
Pemandangan yang sama juga dapat dilihat di kalangan pelajar
dan mahasiswa. Tengok saja berbagai suguhan sinetron remaja kita
yang lebih mempertontonkan “pusar” daripada substansi dan makna
edukatif dari sebuah cerita.
Fenomena di atas merupakan salah satu bukti bahwa telah
terjadi pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan wanita. Pakaian
tertutup dan sopan sepertinya sudah tidak zamannya lagi, kurang
gaul. Berbagai model-model nge-trend mengubah budaya, perilaku,
dan kebiasaan kaum wanita. Benarkah demikian?
Pergeseran Nilai
Sekadar merefleksi perjalanan RA Kartini yang sampai
sekarang masih diyakini sebagai tokoh emansipasi wanita. Dahulu,
Kartini sangat dihormati karena memajukan kaum wanita,
mempunyai sikap sopan, lembut, bijaksana. Profil seorang wanita
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 101
yang mau berjuang keras demi kemajuan. Agaknya, hasil perjuangan
Kartini belum seluruhnya dinikmati dan diwarisi generasi wanita.
Kehormatan yang selama ini diperjuangkan Kartini belum
final. Masih banyak wanita-wanita mengalami tindak kekerasan dan
pelecehan seksual seperti data Kabupaten Kebumen (Wawasan, 13
April 2006) yang menunjukkan bahwa tahun 2005 hingga Maret
2006, Tim Operasional Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
(KKPA) Kabupaten Kebumen, menemukan 51 kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Sebanyak 26 kasus di antaranya
adalah kasus pelecehan seksual terhadap anak.
Aksi pose-pose porno, pelecehan seksual ataupun tindakan-
tindakan sejenis, kebanyakan menempatkan kaum wanita sebagai
korban. Kejadian-kejadian tersebut bisa juga karena wanita
dieksploitasi kaum pria. Bisa juga sebaliknya kaum wanita sendiri
yang sengaja mengeksploitasi dirinya demi tujuan tertentu.
Jika dicermati, setidaknya ada faktor yang turut memberikan
kontribusi: komersial demi mendapatkan uang. Mereka mau berpose
model apa pun, asal mendapatkan uang, tanpa memikirkan bentuk
eksploitasi diri. Eksploitasi ini jelas tidak baik lantaran menyimpang
dari norma dan susila, walaupun alasannya demi perut ataupun
keluarga.
Popularitas juga mendukung kaum wanita untuk
mengeksploitasi dirinya melalui cara-cara tidak benar. Bukan hal
asing lagi di kalangan selebriti. Popularitas adalah segala-galanya.
Orang gila popularitas akan mau mengerjakan apa saja demi nama,
begitu juga kaum wanita yang berambisi populer.
Pelecehan seksual, pose-pose seronok, kekerasan terhadap
wanita, bisa juga karena eksploitasi yang dilakukan kaum pria.
Wanita melakukan hal tersebut karena diintimidasi. Kaum pria
melakukan hal tersebut karena didorong nafsu dan menganggap
wanita makhluk lemah.
102 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Perjuangan dalam bingkai emansipasi wanita ternyata belum
berakhir. Perjuangan kaum wanita masih harus berjalan. Wanita-
wanita cerdas dan perkasa sangat dibutuhkan untuk melawan
pergeseran nilai-nilai yang menjerumuskan ke jurang
ketidakberdayaan.
Kekuatan itu akan terbangun apabila kaum wanita
menggunakan kiat-kiat tertentu menghindari bentuk-bentuk
eksploitasi, baik yang datang dari dalam diri maupun luar. Pertama
religius, wanita hendaknya membekali diri dengan agama kuat sesuai
keyakinan. Apa pun agamanya pasti mengajarkan nilai-nilai luhur,
yang dapat menjauhkan diri dari perbuatan nista, tidak sopan,
sombong, dan jahat.
Kedua intelegensi, wanita harus mempunyai kecerdasan.
Wanita cerdas akan dapat mengambil keputusan tepat. Kecerdasan
wanita akan menolongnya dari sikap kebodohan tidak mudah
dibohongi, mampu menyaring hal buruk dan jelek. Apa pun bentuk-
bentuk eksploitasi akan mudah dikalahkan.
Ketiga positif behaviour, wanita baik akan selalu bertingkah
laku positif. Jika wanita sudah berpedoman demikian, tindakan-
tindakan menyimpang dari norma dan susila dapat dihindari.
Zaman memang sudah berubah, tetapi norma etika hendaknya
jangan ditinggalkan begitu saja. Untuk dapat mewarisi sifat-sifat
Kartini, mempertahankan nilai-nilai perjuangan Kartini tidak harus
berpakaian kebaya, kain, dan konde. Namun berpakaian sopan sesuai
situasi, kondisi, etika, norma, dan susila, tidak ada jeleknya.
Demikian juga dalam hal bertingkah laku, berkepribadian tetap
memegang teguh nilai ketimuran.
Peran Sosial
Pria dan wanita memang dua makhluk berbeda. Masing-
masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Perbedaan ini
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 103
hendaknya bukan jurang pemisah, tetapi bisa saling melengkapi.
Kaum wanita tidak menyalahkan kaum pria, begitu juga sebaliknya.
Yusuf (2002) dalam bukunya „Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja‟ mengatakan bahwa pencapaian peran sosial pria dan
wanita meliputi 4 (empat) dimensi yakni hakikat tugas, dasar
biologis, psikologis, budaya.
Hakikat tugas seorang wanita atau pria harus menerima dan
belajar sesuai peran. Wanita biasanya lebih kelihatan feminin
sedangkan pria maskulin. Hal ini tampak nyata melalui cara
berpakaian, bertingkah laku, dan bertutur kata. Jika seseorang tidak
bertingkah laku sesuai peran, biasanya menjadi gunjingan
masyarakat.
Dasar psikologis, dengan adanya perbedaan peran pria dan
wanita, masing-masing harus menerima gagasan atau ide seorang
wanita bagi wanita, dan gagasan seorang pria bagi pria. Menyikapi
pose seronok di majalah, belum tentu penggagas majalah tersebut
wanita. Ketika wanita dijadikan tontonan semacam itu tentu saja
bertentangan hati nurani, ide, atau gagasannya.
Dasar biologis, wanita lebih lemah daripada pria tetapi fisik
wanita menjadi daya tarik pria. Daya tarik inilah yang sering
menggoda, menjadikan pria berbuat tidak senonoh. Para wanita
hendaknya berhati-hati, menjaga diri agar kaum pria tidak semaunya
menjadikan wanita sebagai objek.
Dasar budaya, peran wanita terus berubah, terutama
masyarakat perkotaan. Wanita lebih memiliki kebebasan daripada
generasi wanita sebelumnya. Sebagian dari mereka dapat memilih
pekerjaan secara mandiri yang sebelumnya mustahil dilakukan.
Kesempatan emas bagi kaum wanita ini seharusnya digunakan
dengan baik. Pilihan profesi yang tidak sesuai susila, melanggar
aturan norma seperti menjual harga diri, melakukan pornoaksi, dan
sebagainya justru akan mencoreng nama baik kaum wanita.
104 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Apabila para wanita dan pria sudah memahami peran masing-
masing. Niscaya kaum pria dan wanita akan saling memahami,
menghormati, dan dapat menempatkan diri sesuai porsi. Berbagai
tindak pornoaksi, pornografi, pelecehan seksual, kekerasan, tidak
akan terdengar lagi.
Negeri yang menjunjung tinggi norma, susila, dan
menghormati kaum wanita tidak sekadar nama. Perjuangan kaum
wanita sejak zaman Kartini harus berjalan terus, mengikis
kebodohan, menegakkan kebenaran, menghapus tindak asusila,
menumbangkan belenggu-belenggu penjajahan, demi kelangsungan
hidup bangsa.
Akhir kata, selamat memperingati Hari Kartini, semoga
„Kartini-Kartini Muda‟ bisa membekali diri agar terbebas dari
belenggu eksploitasi berbagai dimensi kehidupan.
__dimuat di koran sore Wawasan, 21 April 2006.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 105
MELAWAN ORANG TUA, SALAH SIAPA?
Oleh R.Tantiningsih
Tahun pelajaran baru 2006/2007 tiba. Setelah libur beberapa
minggu seharusnya pikiran menjadi segar dan siap menyongsong
pelajaran baru bagi para siswa. Namun ternyata tidak semua anak
merasa gembira saat libur usai. Saat libur, mereka bisa bangun pagi,
tetapi saat masuk sekolah, malah bangun lebih siang.
Fenomena ini tidak hanya terjadi saat libur panjang. Ketika
libur hari besar maupun hari Minggu anak-anak suka bangun pagi,
lalu di depan televisi berjam-jam. Sebaliknya, saat masuk sekolah
anak-anak susah dibangunkan. Akibatnya orang tua harus mengomel
supaya anaknya tidak terlambat sekolah.
Sesampai di sekolah wajah si anak tetap cemberut lantaran
tidak siap belajar. Kondisi semacam ini tidak akan membuat anak
belajar maksimal. Hati tidak senang sejak dari rumah, ditambah
omelan orang tua, membuat anak makin tidak merasa nyaman
belajar.
Peristiwa di atas merupakan salah satu fenomena yang terjadi
di lingkungan keluarga. Konflik semacam ini jika tidak segera diatasi
akan berdampak tidak baik pada psikologi anak. Apalagi jika cara-
cara yang ditempuh orang tua untuk menyadarkan keluarga keliru.
Sebagai contoh anak mau berangkat sekolah, menangis karena
mencari bukunya yang hilang. Dalam suasana hati anak panik, orang
tua masih memarahi, melontarkan kata-kata menyakitkan. Hal
semacam ini bukan menyelesaikan justru akan menambah masalah
bagi si anak. Kadang orang tua tidak menyadari jika cara-cara yang
digunakan untuk memberi peraturan, larangan, pengertian pada
anaknya tidak benar. Mereka sudah merasa mendidik sepenuh hati,
106 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
dengan cinta dan kasih sayang walaupun cara memberi teguran,
peraturan, larangan tidak benar.
Tipe Anak
Agar dapat memberikan pendidikan benar kepada anak, orang
tua harus tahu tipe-tipe anak. Irawati Istadi dalam bukunya
„Mendidik dengan Cinta‟ (2005) mengategorikan tipe anak dalam
tiga hal yaitu tipe mudah, perlu pemanasan, dan sulit. Anak tipe
mudah, ada kecenderungan mudah bergaul, berani, menyenangkan,
lincah, dan suka tantangan. Kelemahannya sulit dikendalikan, butuh
pengamanan lebih karena menyukai tantangan.
Anak tipe perlu pemanasan selalu berhati-hati terhadap
lingkungan tetapi tidak penakut. Kekurangannya, perlu sedikit waktu
untuk beradaptasi, perlu dorongan awal untuk mencoba sesuatu yang
baru atau mengadapi tantangan.
Sementara anak tipe sulit, mudah diatur dan dikendalikan
karena sangat bergantung orang tua. Kekurangannya terlalu
tergantung pada orang tua/pengasuh, sulit beradaptasi, cenderung
pemalu, dan penakut. Masing-masing tipe memiliki kelebihan dan
kekurangan, hal ini dapat membantu orang tua mengamati putra-
putrinya.
Orang tua dapat mengambil langkah tepat untuk mengatasi
masalah yang dihadapi anak. Masing-masing anak memiliki tipe
sendiri-sendiri. Oleh karena itu antara anak satu dengan anak lain
tidak sama cara penanganannya walaupun satu kandung atau anak
kembar sekalipun.
Realitas di lapangan, banyak orang tua menganggap anaknya
sama, tak jarang mereka membandingkan satu dengan yang lain,
bermaksud agar kakak meniru adik atau sebaliknya. Padahal setiap
anak merupakan pribadi utuh tidak dapat dibanding-bandingkan.
Masing-masing memiliki karakter berbeda. Setiap anak juga ingin
dihargai dan diakui keberadaannya.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 107
Ternyata anak tidak hanya membutuhkan kasih sayang, tetapi
lebih dari itu. Tidaklah mengherankan jika ada anak yang
mendapatkan kasih sayang penuh, tetapi masih berperilaku tidak
baik. Kondisi semacam ini tidak lepas dari cara orang tua dalam
mendidik.
Bukan Polisi
Sudahkah sebagai orang tua memberi pujian pada anak?
Dalam sehari, manakah yang lebih banyak diberikan? Pujian atau
hukuman, cacian, omelan? Ingat, orang tua bukan polisi yang
mencari-cari kesalahan orang lain dan memberi hukuman.
Orang tua yang menjadi polisi biasanya akan membiarkan saja
jika si anak berbuat baik, seperti bangun tepat waktu, makan sampai
habis, membuang sampah pada tempatnya, tanpa diberi pujian,
ciuman, atau senyuman. Namun ketika si anak berbuat satu
kesalahan saja misalnya lupa memberesi mainan, orang tua langsung
menyambut negatif seperti teguran kata-kata keras, ancaman,
perintah, hingga hukuman.
Dua sisi berbeda ini yang kemudian menyebabkan
ketidakseimbangan antara perhatian negatif dan positif. Terlalu
banyak perhatian negatif tidak sebanding dengan perhatian positif.
Hal ini akan menimbulkan reaksi pada anak. Ada dua kemungkinan
reaksi anak dalam menghadapi orang tua yang berperan sebagai
polisi. Pertama, anak-anak akan belajar selalu menjadi penentang,
sebisa mungkin mereka akan mengelak dari kekuasaan orang tua.
Kedua, menjadi penurut karena takut orang tua.
Dari kedua akibat di atas jika anak menjadi penentang inilah
yang sangat membahayakan. Anak menjadi keras kepala, suka
membantah, membangkang perintah orang tua, bersikap diam tidak
mengikuti perintah ataupun mengikuti perintah, tetapi dengan cara
108 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
berlama-lama dengan maksud orang tua menjadi jengkel, marah, dan
ngomel.
Agar orang tua bisa menjadi orang tua baik, bisa menghargai
keberadaan anak, sudah sepantasnya memberi yang terbaik. Hal ini
bisa diawali dengan memberi pujian sekecil apa pun perbuatan baik
yang dilakukan anak setiap hari. Jika anak melakukan suatu
kesalahan ditegur dengan lembut sambil diberi pengertian agar
kesalahan yang sama tidak terulang lagi.
Niscaya cara-cara seperti di atas akan menghilangkan
anggapan anak bahwa orang tua seperti polisi. Orang tua boleh
memberi peraturan-peraturan maupun sanksi kepada anak sebatas
masih dalam koridor dunia anak, bukan dunia orang dewasa. Dengan
demikian anak tidak bingung dan akan memahami maksud orang tua.
Menumbuhkan Kepatuhan
Dalam lingkungan keluarga sekarang, penghormatan dan
ketaatan anak pada orang tua mulai luntur. Anak membentak,
memarahi orang tua dianggap wajar. Siapa yang salah? Keberanian
anak mendurhakai orang tua bukan kesalahan anak semata. Ada
peran orang tua yang tidak disadari. Mereka lupa bahwa anak
durhaka adalah korban salah asuhan.
Orang tua menganggap anak-anak akan lebih mudah patuh
apabila ditindak keras, diberi ancaman dan hukuman. Orang tua
merasa berkuasa maka tidak mau kalah dengan anak-anak. Dalam
bahasa Jawa wong tuwa aja kalah karo bocah (orang tua jangan
sampai kalah dengan anak). Kenyataannya anak-anak tidak juga jera
dengan berbagai omelan, ancaman, atau hukuman.
Untuk menumbuhkan ketaatan anak pada orang tua dan
melenyapkan keinginan anak untuk melawan atau mendurhakai,
diperlukan cara-cara khusus. Adapun cara-cara itu sebagai berikut:
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 109
Pertama, memberi teladan, anak akan menjadi patuh jika
orang tua memberi teladan atau contoh. Sebelum anak dapat
melaksanakan hal-hal yang harus dipatuhi, orang tua hendaknya
memberi contoh terlebih dahulu. Orang tua tidak hanya main
perintah, sementara dirinya sebagai orang tua justru tidak memberi
contoh baik. Akibatnya anak tidak akan patuh seratus persen. Anak
akan menyepelekan dan menganggap perkataan orang tua hanya
omong kosong.
Kedua, memberi penjelasan logis. Anak perlu diberi
penjelasan atau alasan logis mengapa peraturan itu ada atau mengapa
anak harus melakukan hal tersebut. Penjelasan yang diberikan
kepada anak tentu saja yang masuk akal dan dapat diterima menurut
alam pikir.
Penjelasan orang tua yang sulit dipikir menurut anak, akan
membawa anak pada ketidakpercayaan. Anak yang mengalami hal
demikian justru sulit bersikap patuh dan akan mencoba-coba
dilarang. Jika perbuatan anak tidak terbukti, akan membuat mereka
makin tidak percaya dan melanggar peraturan.
Sebagai contoh orang tua mengatakan pada anaknya, “Nak,
makan harus dihabiskan kalau tidak ayammu akan mati.” Atau,
“Ayo, sekarang mandi kalau tidak ditangkap polisi, loh!” Hal-hal
kecil semacam ini mungkin tidak disadari orang tua bahwa alasan
yang mereka berikan tidak masuk akal dan tidak baik untuk
perkembangan psikologi anak.
Alangkah baik jika orang tua berkata apa adanya disertai
alasan tepat. Misalnya, “Makan dihabiskan ya, biar badan sehat dan
kuat.” Atau, “Mandi sekarang, Nak, badan akan terasa segar dan
bersih.” Penjelasan model ini akan mengarahkan anak ke hal-hal
logis dan tidak ada muatan ancaman.
Ketiga, membiasakan setiap hari. Kepatuhan anak akan
tertanam dengan baik jika dari hal-hal kecil sudah dibiasakan sejak
110 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
dini. Pembiasaan yang hanya sepotong-sepotong tanpa ada
kesinambungan akan membuat anak tidak terbiasa patuh. Hal yang
paling mudah misalnya membuang sampah pada tempatnya atau
berbicara sopan. Kepatuhan akan berbicara sopan maupun
membuang sampah pada tempatnya akan selalu dilakukan jika hal
tersebut menjadi kebiasaan.
Ketiga hal di atas jika benar-benar diperhatikan dan dilakukan
dengan baik oleh para orang tua, akan mudah menumbuhkan sikap
kepatuhan anak. Hubungan orang tua dan anak akan selalu baik.
Anak durhaka seperti Malin Kundang mungkin tidak akan terdengar
lagi.
Semoga dengan peringatan hari anak ini, setiap orang tua
mampu menampilkan getaran-getaran cinta kepada anaknya untuk
menjadikan buah hati tumbuh menjadi anak patuh, berbudi luhur,
serta mengharumkan nama orang tua, bangsa, dan negara.
__dimuat di koran sore Wawasan, 22 Juli 2006.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 111
PRAMUKA MANIAK, MASIH ADAKAH?
Oleh R.Tantiningsih
Dahulu ketika penulis pertama kali menjadi anggota Pramuka
Siaga, pengalaman pertama yang sangat berkesan adalah saat merah
putih pertama kali dikalungkan di leher. Waktu itu penulis baru
berumur 7 tahun. Ada rasa bangga, senang, dan rasa lain yang tidak
bisa digambarkan.
Baru setelah menjadi Pramuka dewasa, penulis tahu makna
sesungguhnya yang ada di kain merah putih itu. Getar kebanggaan,
cinta tanah air, persatuan, dan kesatuan memang harus dipupuk sejak
kecil. Niscaya jiwa Pramuka sejati akan terpatri di lubuk hati.
Namun sekarang apakah masih ada jiwa Pramuka sejati yang
suka dan rela mengabdikan diri untuk nusa dan bangsa? Sebuah hal
yang patut dipertanyakan mengingat kegiatan Pramuka sekarang
kurang diminati generasi muda. Hal ini diindikasikan dengan kondisi
di lapangan menunjukkan jumlah peserta didik yang ikut kegiatan
Pramuka banyak, hanya bulan Agustus menjelang hari Pramuka dan
menurun pada bulan-bulan lain. Pembina Pramuka yang kurang
berkualitas, program kegiatan Pramuka yang monoton, serta
birokrasi yang berliku-liku menjadikan Pramuka kurang diminati.
Untuk itulah tugas para Pramuka maniak untuk mengobarkan
kembali semangat kepanduan. Semangat yang hampir luntur, ibarat
cahaya terang mungkin tinggal remang-remang di sudut malam.
Sayang kalau kejayaan Pramuka yang pernah bersinar terang, hanya
tinggal kenangan.
4 Ser
Bukan tugas mudah bagi para pembina Pramuka
menumbuhkan rasa maniak Pramuka. Pembina perlu trik-trik khusus
112 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
membangkitkan semangat generasi muda menghidupkan napas
Pramuka. Beberapa upaya yang mungkin dapat dipakai pembina
Pramuka agar dapat menumbuhkan rasa maniak Pramuka di
antaranya 4 Ser, yaitu: Sertif, Serhum, Serbis, dan Seren.
Sertif (Serba Kreatif). Pembina kreatif akan disukai anak
didik. Kegiatan Pramuka seharusnya banyak permainan sehingga
tidak monoton, tidak membosankan, dan disukai anak didik. Seperti
teori Arrousal yang dikembangkan Berlyne (1960) dan dimodifikasi
Ellis (1973). Teori ini menekankan pada anak bermain sendirian
(soliter) atau anak yang suka menjelajah objek lingkungan. Menurut
teori Arrousal, bermain disebabkan adanya kebutuhan atau dorongan
agar sistem saraf pusat tetap berada dalam keadaan terjaga. Kegiatan
Pramuka yang menarik dengan melibatkan anak didik secara
langsung, memberi pengalaman nyata di lapangan akan memberi
pengalaman membekas dan terkesan.
Bila banyak stimulasi, Arrousal akan meningkat sampai batas
kurang sesuai dan menyebabkan seseorang mengurangi aktivitas.
Contoh, bila anak mendapat mainan baru, Arrousal meningkat dan
dengan mengekplorasi benda asing itu, Arrousal akan menurun
sehingga anak menjadi terbiasa. Sebaliknya kalau kurang stimulasi
akan timbul rasa bosan sebab Arrousal akan menurun tajam. Itulah
perlunya permainan dalam kegiatan kepramukaan, anak didik perlu
stimulasi agar tertarik, kemudian menyukai, dan akhirnya maniak
Pramuka.
Serhum (Serba Humor). Pembina Pramuka dalam
menyampaikan materi-materi kepramukaan hendaknya tidak kaku.
Dalam membina anak didik, pembina dapat menyampaikan dengan
sentilan-sentilan humor, entah dengan cerita, tepuk, lagu, maupun
gerakan-gerakan tertentu.
Serbis (Serba Bisa). Pembina Pramuka yang serba bisa sangat
dibutuhkan anak didik. Pembina Pramuka hendaknya jangan hanya
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 113
bisa Pramuka secara teori, tetapi lebih penting adalah karya nyata
yang dapat diterapkan anak didik dalam kehidupan sehari-hari dan
mampu mengubah perilaku buruk menjadi baik, termasuk
menumbuhkan sikap patriotik, cinta tanah air, dan bangsa. Oleh
karena itu dalam kegiatan Pramuka selalu mencangkup bidang
ketakwaan, patriotik, kemanusiaan, seni budaya, keterampilan, dan
ketangkasan.
Seren (Serba Entengan). Pembina Pramuka hendaknya berjiwa
entengan, rajin, tidak malas. Apalagi sejak dulu Pramuka selalu
dipakai di mana-mana, seperti: pengamanan lebaran, membantu
korban bencana alam, membantu kelancaran kegiatan-kegiatan lain
di luar Pramuka yang dibutuhkan masyarakat. Sikap seperti ini
alangkah baiknya diterapkan, ditularkan pada anak didik untuk
kemudian diimplementasikan di kehidupan nyata.
Usaha menumbuhkan rasa maniak Pramuka memang tidak
semudah membalik telapak tangan. Apalagi di zaman sekarang,
banyak tantangan, kendala, hambatan lebih kompleks. Pengaruh-
pengaruh negatif mudah masuk ke jiwa para pemuda, tetapi pengaruh
positif biasanya lebih sulit menular.
Dua sisi berbeda inilah tantangan paling berat memaniakkan
generasi muda pada Pramuka. Kegiatan Pramuka di pangkalan
gugus-gugus depan saat ini belum menjadi sarana efektif
menumbuhkembangkan napas Pramuka di bumi nusantara.
Pangkalan gugus depan yang kebanyakan berada di sekolah-sekolah
menjadikan kegiatan Pramuka sebagai sesuatu yang wajib.
Hal ini bertentangan dengan salah satu syarat anggota
Pramuka: hati suka dan rela. Paksaan yang diharapkan akan berakhir
suka dan maniak pada Pramuka ternyata tidak berjalan mulus. Apa
pun bentuknya jika dilaksanakan dengan paksaan hasilnya tidak akan
maksimal.
114 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Manusia sendiri akan sulit mengingkari hati nurani, demikian
juga dengan orang yang tidak suka Pramuka dipaksa untuk suka.
Alangkah baiknya jika kegiatan Pramuka di mana pun bukan suatu
paksaan, atau hal diwajibkan, khususnya di kalangan anak didik.
Dengan demikian anak akan dengan senang hati mengikuti Pramuka.
Keterpaksaan ini tecermin pada awal tahun pelajaran biasanya
anak didik yang ikut Pramuka masih banyak, lantaran mereka ingin
tahu segala kegiatan. Namun yang biasa terjadi, lama-lama
pesertanya berkurang. Hal ini disebabkan, kegiatan kurang menarik,
atau ada kegiatan lain yang lebih menarik bagi mereka. Untuk itulah
kemampuan pembina Pramuka dalam hal Sertif, Serbis, Serhum, dan
Seren diperlukan.
Satya dan Darma
Pada peringatan hari Pramuka yang ke-45 ini, sebagai moment
penting merefleksikan kembali perjuangan para pendahulu Pramuka.
Kegiatan refleksi tahunan dengan upacara bendera maupun ulang
janji, akan lebih bermakna jika melalui kegiatan nyata, seperti
kegiatan sosial, kemanusiaan, peduli lingkungan.
Pramuka golongan Siaga, Penggalang, Penegak, dan Pembina
dapat melakukan kegiatan-kegiatan nyata sebagai rangkaian
memaknai hari Pramuka. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak harus
sesuatu yang hura-hura dengan membutuhkan dana besar, apalagi
saat ini banyak saudara-saudara yang terkena bencana, mungkin
dengan aksi sosial, kerja bakti, atau unjuk kreasi.
Seperti halnya Kwarda Jawa Tengah pun juga sudah
mengurangi kegiatan tahunan yang memerlukan dana banyak seperti
ETK (Estafet Tunas Kelapa). Tahun ini, kegiatan tersebut ditiadakan,
dialihkan pada aksi sosial dalam wujud “Wukir Klaten” sebagi
wujud dalam membantu korban bencana alam gempa bumi di Klaten.
Suatu pemikiran bijak, patut diteladani.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 115
Acara tahunan yang tidak kalah penting dalam memperingati
hari Pramuka adalah pengucapan Satya Darma dalam ulang janji
Pramuka dan pengucapan Dasadarma Pramuka. Acara ini tidak ada
maknanya sama sekali, jika hanya diucapkan semata. Janji dan
darma yang menjadi jiwa Pramuka Indonesia ini hendaknya benar-
benar dimengerti, dihayati, dan diamalkan.
Satya dan Dasadarma adalah kendali diri seorang Pramuka.
Jiwa mudah terombang-ambing oleh suatu keadaan, maka Satya dan
Dasadarma sebagai pegangan Pramuka. Begitu berperannya Satya
dan Dasadarma Pramuka, sudah seharusnya anak didik dibekali sejak
dini agar semangat memandu tetap menyala dan menjadi maniak
Pramuka.
__dimuat di koran sore Wawasan, 14 Agustus 2006.
116 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
BELAJAR MEMAKNAI KESETARAAN GENDER
Oleh R.Tantiningsih
Akhir-akhir ini perempuan menjadi sorotan media massa.
Perempuan menjadi topik utama, mulai dari tindak kriminal,
perselingkuhan, korban kekerasan rumah tangga, maupun sebagai
pihak kontra poligami. Satu demi satu peristiwa yang melibatkan
kaum perempuan seakan-akan tidak ada habisnya.
Kesetaraan gender yang didengungkan selama ini belum
seperti harapan. Kaum perempuan yang tertindas, tertekan, dan
terpuruk dalam ketidakberdayaan masih di mana-mana.
Kemerdekaan dan kebebasan mengaktualisasikan diri belum
sepenuhnya terealisasi.
Pengakuan pemerintah dengan menetapkan tanggal 22
Desember sebagai Hari Ibu, sepertinya hanya upaya meninabobokan
kaum perempuan. Penghargaan terhadap perempuan tidaklah cukup
hanya dengan memperingati Hari Ibu, Hari Kartini, dan sejenisnya.
Perempuan sendiri tidak membutuhkan itu, yang mereka harapkan
pengakuan di mata masyarakat sebagai makhluk punya harga diri,
dan dapat berdiri sejajar kaum laki-laki.
Perempuan tidak ingin diagung-agungkan laksana ratu, tetapi
juga tidak ingin direndahkan. Mereka hanya ingin diakui sederajat
dengan kaum laki-laki. Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa
persamaan derajat antara kaum perempuan dan laki-laki masih juga
dibatasi. Setiap gerak perempuan yang sekiranya membahayakan
posisi kaum laki-laki, segera dibatasi. Hal ini terlihat dalam hal kuota
menteri perempuan, kuota anggota DPR, dan sejenisnya.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 117
Tiga Level
Dalam hal ini perempuan harus pandai-pandai menyikapi
berbagai fenomena yang dapat merugikan, sehingga kaum laki-laki
akan mengakui potensi dalam diri perempuan. Untuk mewujudkan
cita-cita tersebut tidaklah mudah, perlu perjuangan dan pengorbanan
cukup panjang.
Pandangan negatif tentang perempuan yang selalu nomor dua
setelah laki-laki, masih harus diperjuangkan. Seperti pendapat Deputi
Bidang Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Pemberdayaan
perempuan Dr. Yusuf Supiando, M.A. dalam sidang pleno IIDI
(Ikatan Istri Dokter Indonesia) mengatakan bahwa ada tiga level
yang harus dicapai kaum perempuan, yaitu menjadi fasilitator
perempuan lain yang masih tertinggal, edukator, dan provokator
untuk berjuang. (Wawasan 3 Desember 2006).
Pertama, menjadi fasilitator perempuan lain yang masih
tertinggal. Perempuan Indonesia belum semuanya maju. Agar
perempuan yang masih tertinggal dapat berpikir maju sejalan
perkembangan zaman, perlu adanya fasilitator. Orang yang dapat
menjadi fasilitator adalah kaum perempuan itu sendiri, yang
mengerti dan memahami segala sesuatu yang diperlukan untuk
diperjuangkan.
Kedua, menjadi edukator. Perempuan hendaknya menjadi
edukator atau pendidik. Pendidik untuk dirinya sendiri, keluarga,
masyarakat, dan negara. Perempuan yang mampu menjadi edukator
tentunya akan memiliki pola pikir selangkah lebih maju. Pendidik di
sini tidak harus seorang guru. Semua perempuan bisa menjadi
pendidik terutama untuk putra-putrinya dan keluarga.
Ketiga, provokator untuk berjuang. Perjuangan perempuan
menemukan kesetaraan gender belum berakhir. Kaum perempuan
harus lebih gigih lagi dalam memperjuangkan haknya. Untuk itu
diperlukan provokator dalam berjuang. Antar perempuan hendaknya
118 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
saling memengaruhi, saling memprovokatori agar tumbuh semangat
baru untuk memperjuangkan emansipasi perempuan.
Menurut penulis, selain tiga level di atas, seorang perempuan
(baca: ibu) harus bisa menjadi teladan bagi keluarga, agama,
masyarakat, bangsa, dan negara. Di setiap kesempatan dalam
dimensi kehidupan bertajuk apa pun, teladan seyogianya dimiliki
seorang perempuan. Ibarat pedaringan (tempat beras), ia harus
mampu menghemat dan mengatur sirkulasi keuangan rumah tangga
secara teratur. Dalam pergaulan, ia harus menjadi pengurai setiap
permasalahan yang ada, bukan tumbak cucukan (baca: suka bergosip
dan cenderung adu domba).
Menjaga rahasia juga perlu dilakukan, bukan malah
mengumbar kejelekan kepada publik. Singkatnya, teladan bagi kaum
ibu perlu direfleksikan dalam pikiran, ucapan, dan tindakan yang
berdasar norma agama, kesusilaan, dan kesopanaan.
Kesetaraan Gender
Secara regional dan nasional kesetaraan gender sudah sejak
lama diperjuangkan walaupun dalam bentuk sederhana. Seperti
perjuangan R.A. Kartini yang menentang perlakuan bias gender
untuk dikawinkan paksa. Beliau menggunakan cara-cara khusus
untuk menyadarkan kaum perempuan agar mempertahankan hak-hak
sehingga dapat sejajar dengan kaum pria.
Dewi Sartika mendirikan sekolah Kautaman Putri untuk
mendidik kaum perempuan agar mendapatkan pengetahuan.
Perjuangan yang dilakukan sejak zaman penjajahan belum juga
membuahkan hasil berarti. Hingga negara telah lama merdeka
persoalan kesetaraan gender belum juga terselesaikan.
Pada hakikatnya perempuan sebagai insan pembangunan
mempunyai peran sejajar dengan laki-laki. Hal ini diakui resmi oleh
pemerintah dalam GBHN 1993 dan Inpres No. 5 Tahun 1995.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 119
Responsif gender juga tampak dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional dijelaskan bahwa program
peningkatan kualitas hidup perempuan memiliki sasaran yaitu
meningkatnya kualitas dan peranan perempuan di berbagai bidang.
Peran perempuan di berbagai bidang bukan hanya sebagai
pelengkap penderita. Kegiatan semacam PKK, Bhayangkari, Dharma
Wanita, dan sejenisnya bukan arisan belaka. Namun, perlu
dirumuskan berbagai kegiatan bertajuk pemberdayaan wanita
khususnya menganalisis berbagai persoalan kehidupan yang
sedemikian plural dan mengglobal.
Kesetaraan gender ternyata tidak hanya membutuhkan
pengakuan saja, tetapi perlu bukti nyata bahwa hak-hak perempuan
benar-benar dihargai dan diakui sejajar kaum laki-laki. Untuk itu
diperlukan komitmen dan dukungan berbagai pihak. Perjuangan
kaum perempuan akan sia-sia jika tidak ada komitmen antara kaum
laki-laki dan perempuan, mengingat perempuan hidup berdampingan
dengan kaum laki-laki. Komitmen saling menghargai, mengakui hak-
hak masing-masing, dan bersikap demokratis.
Dukungan berbagai pihak utamanya kaum laki-laki juga
sangat dibutuhkan. Kaum laki-laki hendaknya lebih memahami dan
mengerti kaum perempuan. Begitu juga sebaliknya, tetapi djangan
sampai kedua belah pihak saling menjatuhkan ataupun ingin menang
sendiri jika kesetaraan gender ingin terwujud.
Sikap-sikap yang selama ini merugikan di kedua belah pihak
hendaknya mulai dikikis. Kaum laki-laki ataupun perempuan yang
mendominasi keputusan dalam rumah tangga, sudah waktunya
ditinggalkan. Era yang sesuai kondisi sekarang adalah demokratisasi.
Sudah waktunya kaum laki-laki membuka diri bersikap demokratis
terhadap kaum perempuan.
Mulai dari hal-hal kecil misalnya dalam menentukan
keputusan dalam rumah tangga. Para perempuan akan merasa
120 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
dihargai jika dalam mengambil suatu keputusan, dilibatkan. Namun
ada kecenderungan, laki-laki sering mendominasi keputusan.
Sepertinya kaum laki-laki takut jika kaum perempuan lebih berperan
dalam rumah tangga ataupun jabatan tertentu.
Image kaum perempuan akan semena-mena jika diberi
kebebasan kaum laki-laki, sebenarnya tidak cukup beralasan.
Pemikiran ini timbul lantaran hal tersebut dilakukan sendiri oleh para
laki-laki, karena yang sering berbuat semena-mena, melakukan
tindak kekerasan rumah tangga, adalah mereka sendiri (kaum laki-
laki). Perampasan hak-hak perempuan, pelecehan seksual, juga
didominasi kaum laki-laki.
Untuk mewujudkan kesetaraan gender, perlu refleksi kembali
dari berbagai pihak. Perempuan sebagai ibu hendaknya tetap
memegang teguh kodrat-kodrat kewanitaannya walaupun
menghendaki derajat sejajar kaum laki-laki. Kaum laki-laki pun
hendaknya menyadari bahwa sebagai makhluk sosial, tentu
membutuhkan orang lain. Setidaknya perempuan dapat dijadikan
sharing idea.
Apabila kaum laki-laki dan perempuan saling menyadari
keberadaan masing-masing, menyadari akan kelemahan dan
kekurangan. Masing-masing pihak tidak ada yang lebih mendominasi
di berbagai bidang, niscaya kesetaraan gender akan terwujud.
Sehingga peran serta perempuan di era pembangunan ini benar-benar
dapat diperhitungkan.
__dimuat di koran sore Wawasan, 21 Desember 2006.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 121
PEREMPUAN HARUS CERDAS
Oleh R.Tantiningsih
Suciwati, istri dari almarhum Munir sampai saat ini masih
gigih berjuang mencari kebenaran peristiwa yang merenggut
suaminya. Perjuangan tidak kenal lelah demi kebenaran. Ia berani
berjuang menghadapi kenyataan dengan tabah dan tegar.
Tekad Suciwati memang bulat, berulang kali ia harus keluar
masuk pengadilan, ke sana kemari mencari kebenaran. Kebulatan
hatinya tidak tergoyahkan waktu maupun keadaan. Sungguh
perjuangan panjang yang membutuhkan banyak tenaga, waktu, dan
pikiran.
Untuk menjadi perempuan kuat, tegar, dan tabah tidaklah
mudah. Apalagi jika harus menghadapi berbagai kondisi tidak
menentu. Kekuatan batin, kejernihan pikiran, pengendalian
emosional sangat diperlukan untuk menghadapi.
Selama ini perempuan selalu dianggap makhluk lemah, kurang
cekatan, pengikut suami saja (suwarga nunut neraka katut).
Sepertinya istilah-istilah tersebut seharusnya tidak terdengar lagi.
Bagaimanapun juga kaum perempuan mempunyai potensi bisa
mengangkat harga diri.
Apakah potensi kaum perempuan sudah benar-benar maksimal
untuk dieksplorasi? Tentunya hanya kaum perempuan yang bisa
mencari jawabnya, sebab apa yang dikehendaki dan apa yang sudah
digali dari potensi hanya mereka yang tahu. Potensi itu akan terlihat
apabila kaum perempuan mau menggali, mengasah, dan
mengaplikasi dalam kehidupan, mengingat perempuan sekarang
banyak dihadapkan berbagai macam konflik.
122 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Sepuluh Kecerdasan
Di zaman sekarang perempuan harus benar-benar pandai
menyelesaikan segala macam persoalan. Seseorang dikatakan cerdas
bila dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam hidup dan
mampu menghasilkan sesuatu yang berharga atau berguna bagi umat
manusia. Menurut Howard Gardner (1983) kecerdasan (intelligence)
adalah kemampuan memecahkan persoalan dan menghasilkan
produk bermacam-macam dan nyata.
Penelitian Howard Gardner menghasilkan teori inteligensi
ganda. Dalam perkembangan terkini, teori tersebut meliputi sepuluh
kecerdasan yakni Kkecerdasan bahasa (linguistic intelligence),
kecerdasan matematis-logis (logica-mathematical intelligence),
kecerdasan ruang (spatial intelligence), kecerdasan kinestetik badan
(bodily-kinesthetic intelligence), kecerdasan musikal (musical
intelligence), kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence),
kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence), kecerdasan
lingkungan/naturalis (naturalis intelligence), kecerdasan spiritual
(spiritual inteiligence), dan kecerdasan eksistensial (existential
intelligence),
Pada dasarnya semua orang memiliki semua macam
kecerdasan di atas, tetapi tentu saja tidak semuanya berkembang atau
dikembangkan pada tingkatan yang sama, sehingga tidak dapat
digunakan efektif. Dari kecerdasan-kecerdasan tersebut setidaknya
setiap manusia mengembangkan tiga kecerdasan yang dominan yaitu
kecerdasan emosional, spiritual, dan intelektual. Ketiga kecerdasan
tersebut layak dimiliki seseorang untuk menghadapi berbagai
persoalan hidup. Masing-masing kecerdasan akan diurai sebagai
berikut.
Kecerdasan spiritual sangat diperlukan, sebab dengan
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan hal-hal yang
berhubungan spiritual, manusia dapat berperilaku positif. Utamanya
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 123
perempuan. Jika kaum perempuan memiliki kecerdasan spiritual,
nuansa kehidupannya akan selalu dekat dengan hal-hal bersifat
religius. Dengan demikian akan menjauhkan diri dari perilaku
negatif.
Perempuan yang memiliki kecerdasan spiritual, segala
tindakan dan keputusan yang diambil akan didasarkan norma agama.
Kecerdasan spiritual akan mengantar manusia pada iman dan takwa
kepada Tuhan yang Maha Esa. Apabila semua perempuan memiliki
kecerdasan spiritual niscaya tidak akan ada perempuan yang berani
melakukan tindak kriminal, selingkuh, menjual diri, berbuat nista,
kejam, dan sebagainya.
Kecerdasan emosional juga tidak kalah penting dengan
kecerdasan spiritual. Kecerdasan emosional sangat memengaruhi
perilaku, pengambilan keputusan, dan sikap seseorang. Kecerdasan
emosional sangat diperlukan bagi kaum perempuan, mengingat
setiap hari kaum perempuan menghadapi berbagai persoalan tidak
ringan.
Apabila kaum perempuan tidak memiliki kecerdasan
emosional, biasanya akan salah langkah, mudah tersulut emosinya,
tidak mampu berpikir jernih, akibatnya akan salah pula dalam
mengambil keputusan. Seperti berita di koran beberapa waktu lalu,
seorang ibu bunuh diri dengan meracuni diri sendiri dan keempat
anaknya. Hal ini terjadi karena dalam dirinya tidak memiliki
kecerdasan emosional. Semua tindakannya dipenuhi perasaan emosi.
Emosi yang tidak terkendali inilah yang mengakhiri kehidupan
mereka dengan cara sangat tragis. Seperti dikatakan Daniel Goleman
(1997) dalam bukunya Emosional Intelligence bahwa bekerjanya
akal emosional itu untuk sebagian besar ditentukan keadaan, didikte
perasaan tertentu yang menonjol pada saat tersebut. Seseorang
berpikir dan bertindak sewaktu romantis, akan berbeda perilakunya
perilaku ketika marah.
124 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Kecerdasan emosional dapat diperoleh seseorang jika
seseorang tersebut mempunyai masalah dan dapat menyelesaikan
dengan bijaksana. Kecerdasan emosional seseorang akan terlihat dari
pengendalian diri, tingkat emosional, dan kemampuan mengambil
keputusan tepat. Bekal inilah yang seharusnya dimiliki kaum
perempuan, sehingga mampu membawa diri, berperilaku bijaksana,
dan dapat dijadikan suri teladan bagi keluarga dan masyarakat.
Kecerdasan intelektual juga harus dimiliki kaum perempuan.
Kecerdasan intelektual adalah hal-hal yang berkaitan pengetahuan.
Kaum perempuan harus mempunyai pengetahuan dan wawasan luas.
Akan lebih baik lagi jika kaum perempuan mampu mengikuti
perkembangan ilmu dan teknologi.
Sebagai seorang perempuan tentunya tidak ingin dicap
terbelakang yang tidak tahu perkembangan zaman. Oleh karena itu
perlu bagi perempuan untuk membekali diri dengan berbagai
keterampilan, pengetahuan, dan wawasan. Pengetahuan cukup akan
mengangkat harga diri perempuan di mata dunia.
Ketiga kecerdasan tadi hendaknya dijadikan bekal kaum
perempuan untuk meningkatkan potensi, kemampuan, dan harga diri.
Sehingga kaum perempuan mampu berpikir positif, bertindak bijak,
dan bertutur kata lembut dan sopan. Niscaya dengan demikian, kaum
laki-laki tidak akan meremehkan kaum perempuan, bahkan akan
menaruh hormat dan menghargai keberadaannya.
Persoalan Krusial
Kaum perempuan sekarang ini dihadapkan berbagai persoalan
krusial dalam kehidupannya. Setiap hari mereka harus bergelut
dengan seabrek pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, suami, dan
keluarga. Belum lagi jika perempuan tersebut juga bekerja. Mereka
juga harus menghadapi berbagai persoalan di tempat kerja. Apalagi
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 125
jika masalah ekonomi kurang, pendidikan anak-anak masih harus
dipikirkan, sungguh semua ini bukanlah masalah ringan.
Jika kaum perempuan yang statusnya sebagai ibu rumah
tangga, kemudian harus menghadapi berbagai persoalan seperti di
atas biasanya emosi, jengkel, marah-marah yang dinomorsatukan. Itu
artinya kaum perempuan belum memiliki kecerdasan emosional.
Untuk menghadapi segala permasalahan, kaum perempuan sudah
seharusnya menyiapkan diri sejak dini, siap berperang melawan
permasalahan.
Perempuan yang siap berperang melawan persoalan hidup
tentunya perempuan yang benar-benar mengembangkan kecerdasan.
Kecerdasan tersebut akan mengantar menyiapkan bekal dan
kemampuan menghadapi segala macam persoalan hidup. Namun
kenyataannya, belum semua kaum perempuan memanfaatkan
kecerdasannya untuk memerangi persoalan hidup. Untuk itulah kaum
perempuan hendaknya mengembangkan kecerdasan sehingga
menjadi perempuan yang serbabisa, serbatahu, dan ulet.
Untuk menjadi perempuan yang serba bisa memang tidak
mudah. Hal ini diperlukan belajar dan latihan. Paling tidak bisa
mengatur rumah tangga, keuangan, mendidik anak, berperilaku
positif, dan menjadi teladan keluarga dan masyarakat.
Kemampuan tersebut dapat ditingkatkan dengan disertai
penguasaan keterampilan sesuai bidangnya. Apalagi zaman sekarang
belajar keterampilan tidak sulit, sebab berbagai keterampilan apa saja
dapat diperoleh dari mana pun, seperti PKK, televisi, koran,
majalah, sampai ke tempat-tempat seminar, dan lain-lain.
Persoalannya, mau atau tidak kaum perempuan mempelajarinya.
Paling tidak meluangkan sedikit waktu untuk meningkatkan potensi
diri. Sehingga menjadi perempuan serbabisa bukan impian belaka.
Serbatahu, artinya kaum perempuan hendaknya memiliki
pengetahuan luas. Dengan pengetahuan cukup, kaum perempuan
126 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
mampu menyelesaikan segala persoalan dengan sudut pandang luas.
Pengetahuan luas akan memberi wawasan luas pula. Perempuan
serbatahu tidak akan menjadi perempuan kuper (kurang pergaulan),
berwawasan sempit, dan berpikir picik.
Serbaulet, sikap ulet sangat diperlukan oleh para perempuan
untuk menyelesaikan segala persoalan hidup. Dengan sikap yang ulet
akan membuat para perempuan kuat, tidak mudah putus asa, tidak
mudah menyerah pada nasib. Mereka akan tegar bagai batu karang
walaupun badai topan menghantamnya berulang-ulang.
Di hari Kartini ini semoga kaum perempuan makin kuat, tegar,
dan tangguh dalam memerangi persoalan hidup. Kaum perempuan
mampu berpikir, berucap, dan bertindak bijaksana sehingga menjadi
mutiara bangsa.
__dimuat di koran sore Wawasan, 21 April 2007.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 127
BIARKAN ANAK MENGGENGGAM DUNIA
Oleh R.Tantiningsih
Anak adalah buah hati setiap keluarga. Tanpa anak, keluarga
terasa sepi, gelap, dan tanpa warna. Tak heran jika ketemu teman
lama, yang pertama kali terlontar adalah pertanyaan, “Berapa
anakmu sekarang?” Bukan berapa mobilmu, rumahmu, atau yang
lainnya.
Sering terdengar ungkapan anak adalah titipan Maha Pencipta,
maka peliharalah sebaik-baiknya, berilah tempat paling baik,
jadikanlah manusia berguna karena anak itu terlahir suci seperti
kertas putih. Bagaimana kertas itu menjadi penuh warna tergantung
pada orang tua dan lingkungan yang memberi warna maupun coretan
pada kertas tersebut.
Interaksi anak dengan orang tua ketika di rumah, dengan guru
dan teman ketika di sekolah, dan dengan tetangga atau orang lain
ketika di masyarakat, akan membentuk berbagai karakter dalam diri
anak tersebut. Ada yang pendiam, periang, egois, ramah, pemurung,
sosial, dan sebagainya. Semua karakter-karakter ini tentunya akibat
proses pewarnaan pada diri anak.
Karakter anak yang begitu plural memunculkan berbagai
pertanyaan, bagaimana peran orang tua dan lingkungan yang tepat
mendidik anak? Bagaimana anak harus dibentuk agar tertanam
perilaku baik? Dalam peringatan Hari Anak Nasional ini waktu tepat
untuk merenungkan dan menjawab berbagai permasalahan seperti di
atas.
Tayangan Horor
Cepatnya perkembangan teknologi di era globalisasi,
membawa dampak cukup mengejutkan pada diri anak-anak seperti
128 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
tayangan televisi, permainan video game, fasilitas yang ada di
komputer, komik, dan sejenisnya. Penyerapan dari hasil teknologi
tersebut ternyata membentuk karakter anak lebih cepat dewasa
dibanding dengan umur sebetulnya.
Hasil penelitian yang dilakukan Zamris Habib, Waldopo dan
Indrayanti Ch (2001) tentang “Film Anak-Anak di TV dalam Rangka
Pengembangan Program Pendidikan Budi Pekerti” menyimpulkan
dari 1069 responden, hampir sepertiga responden (31%) menyukai
film berjudul Doraemon, disusul Crayon Sinchan (13%), dan Dragon
Ball (8%). Kera Sakti, Keluarga Cemara, dan Panji Manusia
Milineum masing-masing disukai 5% responden, Detektif Conan 4%
dan sisanya secara berturut turut mereka menyukai film berjudul
Digimon Adventure, Samurai X, Bidadari, Kobochan, Ninja Hatori,
Ninja Hatori, dan Ghost Buster.
Masih banyak film-film lainnya diminati kurang dari 1%
seperti: Pokemon Bittle Borg, Chabelita, ABCD, Jinny Oh Jinny, P-
Man, Makibao, Sailor Moon, Winnie The Pooh, Anak Ajaib, Dr.
Slump, Mario Broos, Laskar Anak Bawang, Mickey Mouse, Mojako,
Mr. Hologram, Power Puff Girl, Saras 008, Zsuzaku Akochan, Ari,
Dul Joni, Fireman, Jin dan Jun, Kumba, LUV, Mortal Combat,
Phantom, dan X-Men.
Masihkah penelitian tersebut bisa dijadikan pijakan sekarang?
Tentu kita akan menggeleng lantaran tayangan di televisi sekarang
makin plural dan tanpa batas. Suatu saat penulis yang kebetulan
berprofesi sebagai pendidik di Sekolah Dasar, pernah dibuat
keheranan para siswa. Ketika itu penulis memberi tugas pada
siswanya secara berkelompok untuk membuat satu naskah drama
yang nantinya dipentaskan di depan kelas. Dari 12 kelompok yang
ada, 11 kelompok ternyata menyajikan drama berbau misteri seperti
tayangan dunia lain dan sejenisnya.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 129
Contoh peristiwa di atas mungkin baru satu dampak dari
tayangan di televisi yang setiap hari dikonsumsi anak. Terlepas
apakah itu mendidik atau tidak, kenyataannya anak-anak suka jenis
acara tersebut, walaupun saat melihat sebenarnya dalam hati mereka
diliputi rasa takut, ngeri, dan waswas. Akibat yang lebih buruk lagi
jika dalam diri anak kehilangan rasa keberanian untuk pergi ke
kamar mandi maupun tidur sendiri karena dihantui tayangan-
tayangan televisi yang bisa dibilang cukup mengerikan.
Beredarnya buku komik horor yang biasa dijual pedagang kaki
lima di dekat sekolah-sekolah, menjadi konsumsi siswa yang tidak
sesuai. Pernah penulis perhatikan ada siswa yang tidak
memperhatikan pelajaran ternyata perhatiannya tersita 20 komik
horor yang dikoleksi dan dibeli dari pedagang kaki lima di dekat
sekolah.
Ilustrasi yang penulis contohkan di atas, setidaknya menjadi
bahan renungan guru, orang tua, para peneliti, dan masyarakat
terhadap tayangan-tayangan televisi. Tayangan di televisi maupun di
media cetak yang berbau kekerasan, mistis, porno bukanlah
konsumsi tepat untuk anak-anak. Apalagi jika anak tersebut belum
dapat membedakan peristiwa nyata maupun khayal. Hal ini secara
psikologis akan mengganggu proses pewarnaan pada diri anak.
Di sinilah peran guru dan orang tua sangat dibutuhkan untuk
selalu memantau, mengarahkan, dan membimbing mereka
melakukan hal-hal positif. Mendampingi putra-putrinya saat melihat
televisi, memilihkan bahan bacaan tepat ataupun memberi pengertian
hal-hal baru yang sekiranya perlu penjelasan khusus.
Say Yes!
Always say yes for children. Selalu berkatalah ya pada anak.
Jarang didapati orang tua yang demikian ini. Rata-rata mereka
melarang anak-anaknya melakukan sesuatu. Contoh jangan manjat
130 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
pagar nanti jatuh, jangan main api nanti terbakar, dan sebagainya.
Padahal anak saat melakukan hal tersebut pada kondisi senang
dengan hal baru, menemui keasyikan, dan mencoba belajar dari hal
tersebut. Pada taraf belajar inilah nantinya akan timbul kreativitas
pada diri anak tersebut. Mereka akan berhenti jika ternyata api itu
panas, atau tidak akan melakukan lagi ketika jatuh dari pagar
tersebut.
Larangan-larangan semacam ini tentunya dapat mematikan
kreativitas anak. Anak akan selalu dalam lingkar ketidaktahuan,
ketakutan, tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Namun kadang
orang tua sendiri tidak menyadari hal ini. Seharusnya untuk hal-hal
baru seperti di atas anak diberi kesempatan mencoba melakukan
sementara orang tua tetap memberi pengawasan sehingga anak-anak
dapat aman bereksperimen .
Orang tua tidaklah selalu bersikap sebagai petugas hukum di
lingkungan keluarga. Di mana biasanya orang tualah yang membuat
peraturan. Kemudian mereka pulalah yang memberi sanksi atau
hukuman pada anak-anak jika anaknya melakukan kesalahan,
misalnya memasukkan ke kamar mandi, memukul dengan sabuk atau
tindakan lain yang mengarah hukuman fisik.
Sebenarnya orang tua dapat bersikap lebih demokratis pada
anak, mencoba membicarakan dengan anak hal-hal apa saja yang
baik mereka lakukan, mana yang baik, dan mana yang tidak. Anak
diberi kesempatan mengemukakan pendapat dan mengklarifikasi
antara hal baik dan yang tidak untuk kemudian disusun sebagai
peraturan bersama dan demokratis. Dalam menentukan hukuman
hendaknya juga dengan sikap demokratis. Cobalah anak untuk
menentukan hukuman sendiri sebagai sikap pertanggungjawaban
terhadap kesalahannya dan tidak akan mengulang lagi.
Orang tua harus mampu menyediakan media untuk putra-putri
sebagai upaya menelurkan anak-anak cerdas dan kreatif. Pernyataan
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 131
tersebut selaras dengan teori pendekatan ekologis dan genetis yang
diungkapkan Spiel (1994), Oerter (1992), Scarr&Mc. Cartney
(1982). Menurut pandangan mereka, perkembangan anak berupa
interaksi antara bakat (genotipe) dan lingkungan. Setidaknya ada tiga
hasil interkasi genotipe dan lingkungan:
Pertama, adanya hasil interaksi genotipe-lingkungan bersifat
pasif. Hal ini timbul karena orang tua memberi lingkungan sesuai
bakat mereka sendiri. Misalnya orang tua yang gemar musik akan
selalu memberi lingkungan musik pada anaknya sehingga anak sejak
awal hidup dalam lingkungan tersebut.
Kedua, hasil interaksi genotipe-lingkungan yang bersifat
evokatif. Hal ini timbul karena anak-anak dengan bakat berbeda-
beda menimbulkan berbagai macam reaksi terhadap lingkungan
sosial. Contohnya anak masa usia sekolah sering melakukan hal-hal
seenaknya saja sehingga menimbulkan perhatian pada orang lain
yang memengaruhi perilaku sendiri.
Ketiga, hasil interaksi genotipe-lingkungan yang bersifat aktif.
Hal ini timbul karena seseorang memilih lingkungan cocok dengan
pribadinya sendiri. Kebanyakan terjadi pada usia remaja dan sering
dilakukan bersama-sama dengan pencarian identitas ego atau citra
diri atau jati diri.
Peran Orang Tua dan Guru
Belum lama ini di sekolah Dewa Kresna di India terjadi
kebakaran hebat hingga menewaskan 90 anak didik. Sementara guru-
guru mereka selamat dan tak satu pun yang luka. Suatu kondisi amat
disayangkan dan dipertanyakan mengapa para guru tidak ada yang
menyelamatkan anak didik. Ketika melihat gedung sekolah
kebakaran malah lari menyelamatkan dirinya sendiri tanpa mencoba
menolong anak didik.
132 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Peristiwa di atas akibat keteledoran pihak sekolah sehingga
membawa korban jiwa pada anak didik. Sekaligus gambaran tidak
bertanggungjawabnya sekolah baik moral maupun kemanusian pada
siswa-siswa. Akibatnya, dari pihak orang tua maupun masyarakat
banyak mendapat kecaman.
Belajar dari peristiwa tersebut jelaslah bahwa sekolah adalah
tempat kedua setelah keluarga sebagai pedepokan menggembleng
diri mempersiapkan segala kemampuan diri menimba berbagai ilmu
sebagai bekal masa depan. Orang tua maupun masyarakat
memercayakan pendidikan putra-putrinya pada sekolah.
Sepantasnya pula sekolah mengimbangi dengan mendidik secara
benar siswa-siswa dan bertanggung jawab mencerdaskan putra-putri
bangsa agar menjadi tunas-tunas bangsa yang cerdas, terampil,
berpengetahuan, berbudi pekerti luhur, berbakti pada orang tua serta
berguna bagi nusa dan bangsa.
Tugas berat ini akan menjadi ringan dan berjalan lancar dan
sesuai tujuan jika ada kerja sama antara sekolah, orang tua,
masyarakat, dan pemerintah dalam mempersiapkan anak-anak
bangsa supaya menjadi generasi tangguh.
Semoga peringatan Hari Anak Nasional ini membawa angin
segar pada putra-putri bangsa. Peran orang tua, guru, dan masyarakat
secara kolaboratif diharapkan mampu membina anak sehingga
mereka dapat mewujudkan impiannya mengenggam dunia.
__dimuat di koran sore Wawasan, 23 Juli 2007.
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 133
GURUKU, BERHENTILAH MENGHUKUM
Oleh R. Tantiningsih
Sosok guru pada masa lampau lebih dikenal orang paling
dihormati dan disegani di kalangan masyarakat. Lantaran guru
dipercaya sebagai orang yang mampu mencerdaskan bangsa, tempat
bertanya, serbabisa, dan teladan bagi masyarakat dalam segala hal.
Kesederhanaan dan kebersahajaan yang tecermin dalam
kehidupan seorang guru, menunjukkan bahwa guru termasuk orang
yang nrima ing pandum (menerima apa adanya). Image masyarakat
terhadap guru sejak dulu menempatkan sosok guru sebagai pribadi
tidak neka-neka, selalu jujur, dan mengabdi tulus demi masa depan
putra-putri bangsa.
Namun masihkah image masyarakat terhadap guru saat ini
masih seperti dulu? Mengingat guru saat ini lebih dihadapkan pada
problem sangat kompleks. Berbagai media massa banyak mengekpos
kasus yang selalu menimpa pahlawan tanpa tanda jasa ini.
Kekerasan guru terhadap anak didik sering sekali muncul
menghiasi media massa, pada ujungnya guru selalu dalam posisi
terjepit. Padahal maksud guru memberi pelajaran terhadap siswa agar
mengerti tanggung jawab, berdisiplin, mempunyai rasa hormat, dan
patuh peraturan.
Dalam rangka peringatan hari PGRI ke-62 yang juga sebagai
hari guru nasional inilah merupakan moment tepat intropeksi,
merenungkan kemudian mengambil langkah tepat dalam menghadapi
berbagai kemungkinan yang terjadi.
Stop Punishment
Masih segar di ingatan ketika guru dilaporkan kepada berwajib
karena menghukum siswanya dengan menempeleng hingga mukanya
134 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
memar. Bahkan pernah juga diberitakan ada siswa yang disuruh lari
hingga pingsan. Kasus tersebut seakan-akan menempatkan sosok
guru yang menakutkan, kejam, dan suka menghukum.
Menurut penulis, perilaku menghukum siswa menandakan
bahwa guru kurang profesional. Bahkan, menurunkan citra guru yang
selama ini disegani masyarakat. Belajar dari pengalaman tersebut
sudah seharusnya para guru menghentikan segala bentuk hukuman
kepada anak didik. Guru harus lebih sering memberi penghargaan
(reward) sekecil apa pun usaha yang dilakukan siswa dalam proses
pembelajaran.
Seiring berjalannya waktu, cara mengajar dengan membentak-
bentak, menggedor-gedor papan tulis, ataupun memberi ancaman
kepada siswa sudah bukan zamannya lagi. Guru tidak boleh lupa
bahwa tugas utamanya mendidik anak membentuk sikap, perilaku,
dan mengasah pengetahuan. Guru bukan sebagai “tukang mengajar”
tetapi sebagai “disainer pembelajaran”.
Tugas tersebut akan berjalan sesuai harapan apabila anak
dalam kondisi sehat, tenang, nyaman, tidak ketakutan, dan dalam
suasana menyenangkan. Semangat siswa akan bertambah jika guru
sering memberi reward terhadap segala karyanya. Siswa akan lebih
merasa diperhatikan dan dihargai.
Namun yang sering muncul di lapangan justru sebaliknya.
Guru sering memuji anak pandai saja dan mencemooh anak bodoh.
Bahkan predikat anak nakal akan selalu menempel pada anak-anak
yang tidak patuh dan selalu membikin onar sehingga anak-anak yang
seperti ini sering mendapat hukuman (punishment).
Barangkali guru-guru masih suka mengancam dan
memberikan hukuman sangat mengidolakan teori belajar
koneksionismenya Thorndike. Menurut Thorndike, pemberian
reward and punishment merupakan implikasi yang perlu diterapkan
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 135
guru saat mengajar. Lantaran pengagum teori tersebut banyak guru
menerapkan punishment, tetapi jarang memberikan reward.
Sekadar mengingatkan, reward bisa berupa penguatan baik
verbal (berupa kata-kata/kalimat pujian) dan nonverbal (acungan
jempol, perhatian, ataupun kejutan). Penghargaan yang diberikan
kepada siswa akan dapat memupuk rasa percaya diri, rasa hormat,
dan menghargai orang lain.
Sedangkan punishment dapat didefinisikan sebagai hukuman
yang merupakan stimulus derita bagi anak, baik fisik maupun
mental. Sehingga siswa yang sering dihukum biasanya akan makin
bandel karena dalam dirinya terjadi pemberontakan. Anak tersebut
merasa tidak dihargai, dikucilkan, dan selalu salah dalam tingkah
lakunya. Hal ini akan makin membahayakan jiwa anak apabila anak
tersebut putus asa dan merasa rendah diri, maka selamanya akan
tenggelam dalam lumpur ketidakpercayaan.
Oleh karena itu sudah waktunya para guru mengampanyekan
stop punishment. Artinya menghentikan segala tindak hukuman yang
dapat merugikan siswa, fisik maupun mental. Apabila siswa
melakukan suatu kesalahan lebih baik guru tidak memberi hukuman.
Siswa akan tahu kesalahan dan akibatnya dengan jalan memberi
kontribusi tingkah laku.
Kontribusi tingkah laku yang diberikan kepada siswa yang
melakukan kesalahan misalnya siswa diberi tugas membaca di
perpustakaan, membuat ringkasan, mengamati suatu peritiwa lalu
membuat laporan atau membuat suatu karya yang dapat bermanfaat
bagi dirinya maupun orang lain. Dengan demikian siswa akan dapat
menghargai dirinya, menghargai orang lain, menyadari kesalahan,
dan akan lebih berkembang, berpikir kritis, dinamis, kreatif, dan
memahami diri sendiri.
136 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Tri Pusat Pendidikan
Berbagai kasus yang mencoreng citra guru, hendaknya
dijadikan pengalaman berharga. Agar hal-hal tersebut tidak kembali
terjadi hendaknya guru berhati-hati dalam bertindak. Mengingat saat
ini masyarakat makin kritis dan pintar.
Guru tidak boleh melupakan konsep tri pusat pendidikan yang
dicetuskan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan tidak bisa lepas
dari sekolah, orang tua, dan masyarakat. Ketiganya harus berjalan
seiring, sehingga jika masyarakat mengingatkan pihak sekolah,
sekolah juga harus mau memperbaiki diri begitu juga jika orang tua
menginginkan pelayanan baik, dan mengingatkan sekolah apabila
sekolah melakukan penyimpangan dalam mendidik putra-putri.
Untuk itu perlu adanya jalinan hubungan baik antara guru
dengan guru, guru dengan siswa, orang tua, masyarakat, dan
pemerintah. Guru harus menyadari bahwa keberadaannya sebagai
abdi negara dan pengayom masyarakat. Untuk itu harus dapat
memberikan pelayanan prima.
Hubungan guru dengan guru merupakan hubungan rekan
kerja. Masing-masing individu harus bisa saling menghargai.
Antarguru harus bisa bekerja sama dalam menyelenggarakan
pendidikan di lingkungan sekolah.
Hubungan guru dengan siswa merupakan hubungan pendidik
dan anak didik. Hubungan ini akan terjalin baik jika masing-masing
mengetahui kedudukannya. Guru harus bisa mendidik siswanya
dengan baik sehingga nanti menjadi orang berilmu dan berbudi
pekerti luhur. Sedangkan siswa harus menyadari bahwa dirinya
membutuhkan tuntunan guru untuk memperoleh ilmu dan
bertingkah laku benar.
Hubungan guru dengan orang tua harus berjalan harmonis.
Bagaimanapun juga hak sepenuhnya di tangan orang tua. Guru
sebagai fasilitator proses pembelajaran di sekolah. Sedangkan
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 137
pendidikan di rumah adalah hak orang tua. Agar pendidikan di
rumah dan di sekolah mempunyai kesinambungan, maka antara guru
dan orang tua harus terjalin hubungan harmonis.
Hubungan antara guru dengan masyarakat juga harus berjalan
baik sebab keberadaan guru berada di tengah-tengah masyarakat.
Antara guru dan masyarakat bisa saling memberi, menerima,
mengingatkan dan mengontrol. Pendidikan akan berhasil dengan
baik apabila mendapat dukungan masyarakat.
Hubungan guru dengan pemerintah tidak bisa diabaikan begitu
saja, sebab guru merupakan bagian dari pemerintah. Tugas guru
merupakan upaya membantu pemerintah dalam bidang pendidikan,
sehingga tidak bisa lepas, keduanya saling membutuhkan.
Jika dari masing-masing unsur saling berhubungan baik,
niscaya pendidikan di Indonesia akan berhasil. Komunikasi
antarunsur pendidikan harus selalu dilakukan agar tujuan pendidikan
dapat tercapai. Sehingga tidak akan terjadi saling menuduh dan
menyalahkan.
Kasus menimpa guru yang terjadi selama ini karena adanya
miss comunication antar-stakeholders pendidikan. Masing-masing
tidak menyadari kedudukannya sehingga tidak terjadi hubungan
harmonis. Hal ini akan lebih parah jika ada pihak ketiga yang makin
memperkeruh suasana.
Beruntung selama ini ada PGRI yang memberikan
perlindungan dan pembelaan kepada guru. Sehingga beberapa kasus
dapat diselesaikan dengan baik. Perhatian PGRI terhadap nasib guru
tetap diharapkan mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan
perlindungan menjalankan tugas.
Semoga dengan peringatan Hari PGRI ke-62 dan Hari Guru,
pendidikan di Indonesia akan lebih maju. Dirgahayu PGRI,
dirgahayu para guru semoga semangatmu tidak lekang oleh waktu.
__dimuat di koran sore Wawasan, 28 November 2007.
138 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
PEMBELAJARAN BERBASIS PRAMUKA
Oleh R. Tantiningsih
Hari Pramuka tanggal 14 Agustus yang ditetapkan pemerintah,
bukan sekadar rutinitas saja, tetapi untuk merefleksi diri sebagai
upaya sadar dalam membina generasi muda bangsa sejak tingkat
Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Gerakan Pramuka yang
memiliki masa berbagai tingkat dan satuan pendidikan nasional
merupakan tantangan para pembina untuk memaksimalkan
pembinaan generasi muda utamanya menyampaikan pesan-pesan
edukatif.
Hal ini sangat penting lantaran berbagai permasalahan
generasi muda, khususnya remaja mengalami perubahan nilai-nilai
dan sikap hidup cukup dratis. Zaman dulu keberadaan seorang anak
(remaja) menjunjung nilai-nilai kepatuhan, kedisiplinan, dan
menghormati orang tua maupun guru. Anak akan tertunduk malu jika
melakukan kesalahan, menurut apa kata orang tua, ataupun
menghormati orang tua dan guru.
Seiring perkembangan zaman, nilai-nilai itu sudah bergeser,
berbagai permasalahan remaja muncul tanpa diduga, seperti
perkelahian, narkoba, dan penyimpangan moral serta perilaku sosial
seakan-akan mewarnai berita di media cetak maupun media massa
setiap hari. Berita paling menghebohkan belakangan ini keberadaan
Gang Nero (neko-neko dikeroyok), yang beranggotakan remaja putri
dengan kegiatan kekerasan, harus berakhir di pengadilan.
Apakah gerakan Pramuka sudah maksimal menggodok
generasi muda, menyiapkan tunas-tunas bangsa menjadi mutiara-
mutiara cemerlang? Kiranya peringatan hari Pramuka ke-47 ini
merupakan momentum tepat bagi para anggota gerakan Pramuka
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 139
untuk merefleksi kembali perjalanan menyemaikan tunas-tunas
muda.
Dasadarma dan Trisatya
Masa remaja memang masa paling unik karena merupakan
transisi dari anak menuju dewasa. Usia remaja dimulai dengan masa
pubertas. Menurut Hurlock (2000) masa remaja memiliki gejala yang
disebut negative phase yang meliputi: desire for isolation (keinginan
menyendiri), disinclinations to work (kurang kemauan bekerja),
incoordinations (kurang koordinasi fungsi-fungsi tubuh), boredom
(mengalami kejemuan), restlessness (ada rasa kegelisahan), sosial
antagonism (ada pertentangan sosial), resistance to authority (adanya
penentangan kewibawaan orang dewasa), hightened emotionality
(ada kepekaan emosional), lack of self confidence (kurang percaya
diri), preoccupation with sex (mulai timbul minat pada lawan jenis),
excessive modesty (adanya perasaan malu berlebihan), day dreaming
(ada kesukaan berkhayal).
Mengingat masa remaja penuh tantangan bercorak negatif,
kemudian tergelincir pada pergaulan tidak benar. Pramuka sebagai
wadah kegiatan generasi muda hendaknya mampu menampung para
remaja dengan segala permasalahannya. Dengan demikian
pergaulan-pergaulan bebas di kalangan remaja yang disebabkan arus
globalisasi dasyat dapat dikendalikan dengan pendidikan edukatif.
Gerakan Pramuka merupakan wadah tepat generasi muda
menghadapi tantangan zaman. Dasadarma dan Trisatya merupakan
filter ampuh membentuk nilai-nilai dan sikap bagi anggota gerakan
Pramuka. Dua alat tersebut dapat dijadikan senjata bagi anggota
Pramuka dalam menghadapi tantangan hidup khususnya era
globalisasi ini.
Nilai-nilai yang ada dalam Dasadarma maupun Trisatya
sebagai janji Pramuka selalu relevan dengan perkembangan zaman.
140 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.
Butir-butir sila dalam Trisatya maupun Dasadarma mengatur
perilaku anggota gerakan Pramuka secara vertikal (hubungannya
dengan Tuhan), horizontal (hubungan dengan sesama), dan dengan
alam semesta. Harapannya akan ada keselarasan kehidupan antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia
dengan lingkungannya.
Muatan Edukatif
Saatnya para pembina Pramuka di sekolah mulai berpikir
sungguh-sungguh ke arah pembinaan kualitas para anggota. Artinya,
sudah waktunya para pembina Pramuka melalui berbagai aktivitas
menunjang keberhasilan belajar siswa di sekolah. Hal ini bisa
terealisasi jika Pramuka dapat mengajak para anggotanya menjadi
insan mandiri. Sifat mandiri akan berpengaruh positif pada proses
belajar para anggota Pramuka secara akademik. Keberhasilan
menanamkan sifat mandiri pada siswa tentu akan memiliki dampak
ajar (nurturant effect) sangat positif bagi siswa yang menjadi anggota
gerakan Pramuka untuk meraih prestasi belajar maksimal.
Para ahli psikologi dan pendidikan sepakat bahwa setiap anak
memiliki tambang emas kecerdasan. Dan anak akan menjadi emas
kalau disentuh dengan pikiran dan tindakan emas. Salah satu
sentuhan emas adalah meningkatkan percaya diri anak bahwa dirinya
memiliki kemampuan mempelajari dan mendalami mata pelajaran
melalui kegiatan Pramuka. Beragam jenis permainan nge-trend
menjadi selingan di media televisi merupakan refleksi heroisme
Pramuka yang mampu membangkitkan jiwa pandu anak melakukan
tugas lebih baik.
Hal ini terbukti dari hasil Penelitian Tindakan Kelas yang
dilakukan Rustantiningsih (2007) tentang “Meningkatkan Hasil
Belajar IPS melalui Pembelajaran Dunia Gembira (Dugem) di Kelas
V SD Anjasmoro Semarang”. Pembelajaran yang dikemas berbasis
Tulisan Ilmiah Populer untuk Kenaikan Pangkat 141
Pramuka dengan permainan memasangkan kartu kata, merangkum
materi bentuk lagu, yel-yel, dan tepuk ini ternyata mampu
meningkatkan hasil belajar siswa, baik dari segi kognitif, afektif,
maupun psikomotor.
Sejujurnya, sudah banyak guru/pembina Pramuka yang
mendesain proses pembelajaran berbasis Pramuka. Namun, proses
tersebut seolah-olah hanya menjadi dekorasi lantaran target
kurikulum yang begitu sarat sehingga konsentrasi akhir pasti tertuju
pada penguasaan aspek kognitif. Dalam konteks ini, proses enjoyable
learning akan menjadi tidak efektif manakala target materi yang
menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan.
Selama ini masyarakat menganggap bahwa kegiatan Pramuka
hanya tepuk, menyanyi, dan yel-yel tidak bermanfaat. Kegiatan itu
menjadi bermakna jika pembina mampu mengkaitkan dengan mata
pelajaran, dengan pesan moral, dan dapat juga melatih keterampilan
siswa sesuai bakat. Pramuka akan terkesan edukatif karena mampu
membina generasi muda, baik dari segi kognitif, afektif, psikomotor,
dan sangat memperhatikan perkembangan jiwa dan mental siswa.
Agar kegiatan Pramuka benar-benar dipercaya membentuk
watak generasi muda, perlu adanya pendidikan berbasis Pramuka.
Pendidikan ini mungkin tidak akan jauh dari model pembelajaran
PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
Siswa belajar dengan suasana gembira, tidak tertekan, dan bermakna.
Namun yang menjadi ciri utama pembelajaran berbasis Pramuka
adalah pesan moral yang disampaikan di akhir pembelajaran
dikaitkan nilai-nilai Dasadarma dan Trisatya. Pembelajarannya dapat
diramu berbagai kegiatan bervariasi.
Gerakan Pramuka memang memiliki banyak kegiatan di luar
kelas atau sekolah. Aktivitas itu perlu diberi muatan edukatif yang
jelas dan dipersiapkan sistematis agar ada kesimbangan antara
enjoyable learning dengan tuntutan penguasaan materi. Hal ini
142 Rustantiningsih, S.Pd., M.Pd. & Trimo, S.Pd., M.Pd.