200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 1 CANDI BOROBUDUR : PENEMUAN DAN PENYELAMATAN 1 BAB
2 Borobudur diatas kabut 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 3 Seorang intelektual-cum-akademikus Belanda yang pernah bekerja di Indonesia selama 1936-1956, menjabat Guru Besar dalam sejarah budaya dan arkeologi AsiaTenggara di Jakarta dan Yogyakarta, “Dr. A.J. Bernet Kempers”, menulis buku yang berjudul Ageless Borobudur (1976). Ungkapan ageless, menurut dia, “expresses aquality which, being neither young nor old in isolation, is both young and old, as well as everything in between and beyond. It refers to the present, reflects the past, and looks into the future – of any period. Borobudur and the message it conveys by its architecture and sculpture, is ageless in many respects, and on various levels of communication and comprehension ...Finally, even though Borobudur is a Buddhist monument is surpasses the limits of Buddhism. Thus it is both a “Buddhist Mystery in Stone” and “ageless”. Bila mengacu pada fenomena dunia sensoris dari bentuk dan ide, Candi Borobudur memang ageless-katakanlah “abadi”. Ia memang melampaui batas-batas yang jelas dari dated schools - mazhab-madzab yang berpegang pada pertanda zaman–karena candi ini berupa pertanda lebih daripada satu makna, baik dalam kebenaran ultimanya maupun dalam realismenya. Bangunan batu berukir dan berpatung yang satu ini, Candi Borobudur, memang bukan sebuah karya human baru, baik dihitung (dated) dari awal kerja pembuatannya maupun dari penyelesaian terakhir proses pembuatannya. Maka memang harus diakui ini bukan karya baru, tetapi ini karya yang worthy by the name. Betapa tidak, selaku bangunan ia betul-betul terstruktural, yang konsep ruangnya membentuk pola keteraturan yang mengikuti pola kosmik. Artinya, ruang sekitar menjadi unsur figuratif dari sebuah bangunan. Menurut Edna C. Pattisina dan Dahono Fitrianto dalam perspektif arsitektur modern disebut environmental design, karena dengan rasional mempertimbangkan aspek lingkungan. Borobudur diantara rerimbunan pohon Jadi secara keseluruhan karya leluhur kita yang satu ini, betul-betul Ageless, sudah menyatukan pertimbanganpertimbangan yang layak dari masa lalu dan masa modern, sesuai dengan perjalanan alami kosmik. Candi Borobudur bukan karya sembarangan. Begitu banyak subjek yang dikandungnya hingga kata-kata terasa tidak pernah cukup untuk mengkomunikasikan apakah sebenarnya Candi Borobudur itu. Yang “apa” ini tetap segar untuk dibicarakan di waktu (t), di waktu (t+n) dan di waktuwaktu sela diantaranya : (t+1), (t+2)..... Candi Borobudur : WARISAN HUMAN NAN ABADI
4 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Borobudur is a beauty. Ia indah di saat dini hari yang masih berembun tebal. Ia indah sewaktu matahari diatas ubun-ubun. Ia indah dikala larut senja. Ia indah disaat bulan purnama. Ia indah pada jam apapun. Para seniman tak pernah jemu mengabadikan keindahannya itu berupa lukisan, melodi, sajak, dan pantun serta potret hitam-putih atau berwarna. Kedamaian suasana yang diciptakan Borobudur turut menandai keindahan penampilannya. Memang damai itu, terutama disini, adalah indah. Bila demikian, apakah ”keindahan” itu? Menurut pujangga Inggris Keats, a thing of beauty is ajoy forever. Menurut Coleridge, seorang intelektual, beauty is a unity in variety. Dia berkesimpulan demikian setelah melakukan suatu penelusuran tentang definisi keindahan (beauty) hingga ke zaman Yunani purba. Dia menemukan apa yang dicarinya itu didalam ucapan filosof-matematikus Phytagoras. The safety definition, then, of Beauty, as well as the oldest, katanya, is that of Phytagoras: the reduction of many to one. Ya, tataplah sebuah lukisan. Aneka warna ada disitu, namun semuanya menampilkan satu pandangan dan itulah yang disebut keindahan. Dengarlah satu pagelaran musik gamelan, musik apapun. Aneka ragam bunyi, nada, dan suara yang berasal dari bermacam alat ada disitu, namun keanekaragaman tadi diredusir menjadi satu pendengaran meloduis, the reduction of many to one, dan itulah namanya keindahan. Pada makanan juga begitu. Ada berbagai sayuran dan garam, yang lazim disebut “gado-gado”, namun aneka campuran gado-gado ini menyuguhkan satu rasa yang enak dan kenyataan itu adalah szzatu keindahan, the reduction of many to one. Tatap dan renungilah Candi Borobudur kita, aneka bentuk relief, ukiran, patung tampil di bangunan ini. Namun semua itu sebagi satu keseluruhan menyajikan satu makna, satu pesan, yang tetap segar.... ageless. Lagi-lagi hasil dari proses the reduction of many to one! Bila demikian, pengertian keindahan yang berupa kesatuan dalam keanekaragaman, unity in variety, sebenarnya tidak asing bagi kita. Pujangga Mpu Tantular sudah mengumandangkan pengertian tersebut pada Abad-XIV dengan idenya “Bhineka Tunggal Ika”, beraneka ragam, tetapi satu, unity in deversity. Dan keintelektualan para pendiri Republik Indonesia, Negara-Bangsa kita, rupanya dapat memahami dan menghayati ”keindahan” ide ini begitu rupa hingga ditetapkan, diabadikan, sebagai semboyan pada Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Bhineka Tunggal ika”, sungguh “indah” ide kesatuan universal ini, karena ia mengumpamakan adanya sinergi antara dua faktor manusiawi yang sangat menentukan, yaitu kekuatan nalar (pikiran) yang mengenai”kesatuan” dan keberania perasaan (hati) yang mengenal “persatuan”. Kesatuan berarti menyatukan dan menegakkan kesamaan (unifikasi). Persatuan berarti menerima adanya perbedaan-perbedaan dengan tulus dan iklas, penuh toleransi (integritasi). Lansekap Candi Borobudur dari Puthuk Setumbu di pagi hari
Stupa Candi Borobudur di pagi hari 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 5
6 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur BELAJAR DARI CANDI BOROBUDUR T entulah Candi Borobudur didirikan pada masa Syailendra (abad ke-8) untuk tujuan utama keagamaan selain tujuan-tujuan yang lain. Filosofi Buddhis mendasari bangunan candi itu. Bagi umat Buddha Candi Borobudur adalah cetiya (bahasa Pali, Sanskerta: caitya). Khusus bagi umat Buddha yang mengikuti praktik Vajrayana, Candi Borobudur adalah mandala 3 dimensi. Cetiya atau caitya adalah objek puja bagi umat Buddha, dengan kalimat sederhana cetiya adalah objek yang menjadi arah umat Buddha saat melakukan puja bakti, baik bersama maupun pribadi. Ada 3 macam cetiya: 1. Saririka-dhatu cetiya: cetiya yang pada umumnya berbentuk stupa untuk menyimpan sisa jasmani (saririka-dhatu) Buddha Gautama atau arahat (orang suci), berbentuk potongan kecil tulang setelah jasad dikremasi atau potongan rambut. Secara umum sisa jasmani ini dikenal dengan sebutan relik. 2. Paribhogika cetiya: cetiya yang berwujud bendabenda yang pernah digunakan sendiri oleh Buddha Gautama seperti potongan jubah, potongan mangkuk, dan sebagainya. Tetapi benda-benda itu sangat sukar didapatkan karena kurun waktu yang sangat panjang (lebih dari 2000 tahun) sehingga pelapukan menghancurkannya. Dari semua benda yang pernah digunakan oleh Buddha Gautama semasa beliau hidup yang paling mungkin didapatkan sekarang adalah pohon bodhi. Di bawah pohon bodhi (ficus religiosa) itu Siddhartha mencapai “Pencerahan Sempurna” menjadi Buddha. 3. Uddesika cetiya: cetiya yang berwujud arca, gambar, atau simbol-simbol lainnya yang bisa mengingatkan kepada Buddha Gautama. Banyak buku tentang Candi Borobudur yang menyertakan gambar dan penjelasan bahwa di dalam - tengah-tengah - stupa puncak terdapat ruang yang lazim disebut dhatu-garbha (relic chamber), ruang penyimpanan relik atau saririka-dhatu. Beberapa penjelasan itu kita mendapatkan informasi bahwa ruang di dalam stupa induk sekarang ini telah kosong. Tidak ada lagi relik di dalamnya, tetapi beberapa bangunan stupa di negara-negara lain, relik tidak hanya ditempatkan di dalam stupa di bagian tengah yang berwujud setengah bola terbalik (dome), tetapi juga ditempatkan di bagian stupa yang lain seperti di fondasi stupa atau di harmika (bagian stupa berbentuk kotak segi empat tepat di atas dome), atau di bagian-bagian stupa lainnya. Bila di salah satu bagian Candi Borobudur masih ada saririka-dhatu (relik) yang belum diketahui hingga hari ini tentulah Candi Borobudur adalah saririka-dhatu cetiya, tetapi bila relik itu sudah tidak ada lagi, maka candi itu adalah uddesika-cetiya yang sarat dengan ajaran Dharma. Pohon Bodhi
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 7 Di halaman Candi Borobudur ditanam beberapa pohon bodhi yang tunasnya dibawa dari; Bodhgaya, India (tempat Siddhartha mencapai “Pencerahan Sempurna”), Sri Lanka (diberikan oleh Pemerintah Sri Lanka kepada Pemerintah Indonesia), dan Lumbini, Nepal (tempat Pangeran Siddhartha dilahirkan) oleh 6 Menteri Pariwisata Asean. Tunas pohon bodhi dari Sri Lanka maupun Nepal, sebenarnya juga berasal dari Bodhgaya, India. Tiga macam cetiya terdapat di Candi Borobudur. Tidak semata-mata berfungsi sebagai cetiya, kisah-kisah yang dipahatkan di sepanjang dinding utama dan pagar langkan Candi Borobudur menceritakan kepada kita tentang kesempurnaan dalam melakukan kebajikan (paramita). Kebajikan itu tentu tidak hanya berdimensi Pencerahan Sempurna tetapi juga kehidupan harmoni dalam bermasyarakat. Bukan hanya riwayat kehidupan Buddha Gautama yang dipahatkan dari kitab Lalitavistara, tetapi juga kisah-kisah Karmavibanga, Jataka, Avadana, dan Gandavyuha, semuanya mengisahkan nilai-nilai kehidupan tentang kearifan, keteguhan hati, kejujuran, peduli dan tanpa ragu berkorban untuk semua yang menderita, keuletan serta kesabaran. Kisah-kisah yang dipahatkan itu tidak menggurui kita tetapi menampilkan keteladanan untuk siapa saja yang membaca Borobudur di sepanjang masa. Relief Sidharta mendapatkan Pencerahan di bawah pohon Bodhi
8 Candi Borobudur dan Monumen Peresmian Selesainya Pemugaran yang Kedua dilihat dari sisi barat. 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 9 CANDI BOROBUDUR DAN REKONSTRUKSI PENDIRIANNYA Dua ratus tahun yang lalu, Gubernur Jenderal Raffles (6 Juli 1781-5 Juli 1826) tertarik dengan sebuah bukit di Desa Borobudur yang penuh pepohonan dan semak belukar. Akan tetapi setelah dibersihkan muncul sebuah runtuhan candi sebesar bukit itu sendiri. Setelah dua kali dipugar kembali, candi itu pun menarik perhatian masyarakat dunia, mereka berkunjung dengan berbagai tujuan. Sebagai wisatawan, ada yang bertujuan mendalami maknanya, namun ada yang sekedar berjalan-jalan. Ada pula pendeta Tibet yang bermaksud “napak tilas”, maupun beribadah. Namun apa yang akan saya sampaikan sama sekali bukan masalah yang serba turis, melainkan cucuran keringat yang melatar belakangi pendirian Candi Borobudur. Sepuluh abad sebelumnya, arsitek Borobudur berencana untuk menjadikan bukit setinggi 30 m itu sebuah candi yang berbeda dari candi-candi pada umumnya. Para arsitek ingin memanfaatkan bentuk bukit sebagai bentuk candi yang akan dibangun, melalui pemanfaatan bentuk bukit ini mereka berhasil merencanakan sebuah candi dengan bentuk dasar sebuah bangunan berundak. Bukit yang terpilih untuk dijadikan fondasi candi tentulah bukan sembarang bukit, melainkan bukit yang menurut kepercayaan “asli” dianggap suci, sebuah bukit yang sekarang bernama Borobudur. Apabila kita mengacu pada sejarah bangunan keagamaan di Eropa, telah menjadi kelaziman bahwa dalam mendirikan bangunan keagamaan melalui pemanfaatan bangunan suci dari kepercayaan sebelumnya. Atas dasar ini, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa Bukit Borobudur pada awalnya memang merupakan sebuah bangunan berundak, meskipun secara arkeologis belum dapat dibuktikan. Sebagaimana kita ketahui, dari sejarah bangunan keagamaan di Indonesia, tradisi untuk membangun bukit menjadi bangunan berundak telah lama dikenal. Di era sebelum Candi Borobudur, bangunan semacam itu telah banyak dibangun antara lain Punden Lulumpang di daerah Garut. Di era sesudahnya, kita juga mengenal bangunan suci dari abad XV yang berada di lereng Gunung Penanggungan. Dari “kemungkinan” Kondisi Candi Borobudur ketika awal ditemukan Pemandu wisata menjelaskan makna relief Candi Borobudur
10 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kiri atas : pemandu wisata menjelaskan makna relief Candi Borobudur Kiri bawah : para Biksu beribadah di Candi Borobudur Kanan samping : para Biksu melaksanakan “Napak Tilas” di Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 11 ini dapat kita perkirakan bahwa nenek moyang kita secara genius telah berhasil memadukan konsep dasar bangunan keagamaan “asli” dan mengisinya dengan ajaran dan filsafat agama. Pada kasus Candi Borobudur agama itu adalah Agama Buddha, sedangkan yang di Penanggungan agama Hindu. Walaupun mungkin Bukit Borobudur sebelumnya merupakan sebuah bangunan berundak, namun ternyata masih ditemukan bagian-bagian bukit yang cekung dan tidak rata permukaannya, sehingga bagian yang cekung itu haruslah ditimbun dengan tanah agar bentuknya sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pekerjaan tambahan yang harus dilakukan adalah menimbun bagian bukit yang cekung sehingga diperlukan sejumlah “tanah urug” untuk menimbunnya, yang entah harus diperoleh dari mana. Setelah digali, tanah urug masih harus dipikul untuk dituangkan pada bagian-bagian yang cekung. Lagi-lagi kita tidak dapat mengetahui berapa juta keranjang tanah serta berapa ratus atau ribu tenaga pikul yang dikerahkan untuk itu. Kita hanya dapat membayangkan berapa besar kesukaran yang harus ditanggulangi dan betapa berat tugas yang harus diemban oleh para pemikul tanah itu, mengingat bahwa bagian-bagian bukit yang harus ditimbun itu berada di bagian atas. Perlu disampaikan bahwa bagian bukit yang ditimbun ini, di kemudian hari menimbulkan kerusakan bagian candi yang dibangun di atasnya. Masalahnya ternyata, timbunan tanah itu longsor sehingga bagian candi di atasnya melesak. Pada pemugaran yang kedua, timbunan tanah itu diganti dengan struktur beton. Tahap selanjutnya adalah menyediakan bahan bangunan. Bahan yang diperlukan adalah andesit berbentuk balok sebanyak 55.000 m3 . Dalam pelaksanaannya, bahan mentah berupa andesit harus terlebih dahulu ditambang, namun penambangan tidak dilakukan di sekitar Bukit Borobudur karena tidak ditemukan sumber batu yang diperlukan. Di penambangan batu para ahli pahat bekerja keras membuat balok-balok batu. Entah berapa lama yang mereka perlukan guna menghasilkan 55.000 m3 balok batu, mengingat bahwa pemahatan hanya dilakukan dengan mempergunakan pahat dan palu. Setelah pemahatan selesai balokbalok batu harus dipikul ke kaki bukit, untuk mudah membayangkan bagaimana beratnya, dari pengalaman pemugaran yang kedua (1973-1983) dapat diketahui bahwa untuk memindahkan sebuah balok batu diperlukan empat orang untuk memikulnya. Pekerjaan Situs di lereng Gunung Penanggungan
12 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur selanjutnya, balok-balok batu harus dipikul kembali ke atas bukit guna diserahkan kepada para ahli bangunan. Mengingat bahwa candi yang dibangun meliputi seluruh bukit dari kaki sampai ke puncaknya, maka para pemikul harus mendaki sampai ketinggian 30 m. Hal ini berarti, bahwa balok batu yang nota bene harus dipikul empat orang, harus dipikul sampai ke puncak. Atas dasar ini, marilah tidak kita bayangkan bahwa selama proses pembangunan ini berlangsung tidak ada di antara mereka yang tewas akibat terpeleset dan kemudian jatuh dan tertimpa batu yang dipikulnya. Ke-55.000 m 3 balok batu kemudian harus “ditempelkan” di sekeliling punggung bukit, sampai seluruh bukit tetutup dengan susunan balok batu berbentuk bangunan berundak segi delapan. Sebagai puncak candi, di puncak bukit yang berketinggian 30 m itu, dibangun sebuah stupa. Sampai di sini membayangkan pun saya tidak mampu bagaimana mereka dapat melaksanakannya. Candi Borobudur telah selesai terbangun dasarnya yang entah memakan waktu berapa lama. Penyelesaian fisik bangunan ini sekaligus juga menunjukkan kegeniusan arsitek Borobudur yang telah berhasil menjadikan bentuk bangunan asli, bangunan berundak, sebagai landasan keagamaan Buddha, sebuah “stupa”. Bentuk bangunan yang demikian secara tidak langsung juga mengisyaratkan bahwa nenek moyang kita dalam menerima agama Buddha sebagai agamanya tetap mendasari dengan konsep keagamaan mereka sendiri. Hal ini akan terlihat lebih lanjut dalam cara arsitek Borobudur mengisi bentuk bangunan ini dengan ajaran dan filsafat Agama Buddha. Pembangunan yang telah terselesaikan barulah merupakan sebuah bangunan berundak yang terdiri dari kaki, badan, dan puncak candi. Bagian badan terbagi menjadi dua tingkat. Tingkat pertama terdiri dari lima undakan berbentuk persegi delapan, sedangkan tingkat kedua terdiri dari tiga undakan berbentuk oval (lihat bagan di bawah ini). Pada tingkat pertama badan candi yang terdiri dari lima undakan itu diberi pagar langkan sehingga membentuk lorong. Di atas pagar langkan dihiasi dengan relung yang menghadap ke luar, dalam arti menghadap ke arah empat mata angin: timur, barat, selatan, dan utara. Pada pagar langkan dari undakan pertama dihiasi dengan 104 relung, kedua 104, ketiga 88, keempat 22, dan kelima 64. Tingkat kedua badan candi yang berbentuk oval dibiarkan terbuka. Ketiga undakannya tidak dihias dengan relung, melainkan Lorong Candi Borobudur Penampang Candi Borobudur Salah satu sudut candi Borobudur tampak dari luar Badan candi Dinding pagar langkan dilihat dari dalam Pagar langkan dari undakan di atasnya Dinding badan candi Relung di atas pagar langkan Kaki candi Tingkat pertama badan candi berbentuk segi delapan Relung menghadap keluar candi Pagar langkan dilihat dari luar candi Tingkat kedua badan candi berbentuk oval Stupa, sebagai puncak candi
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 13 dengan stupa berongga. Pada undakan pertama dihias dengan 32 stupa dengan lubang berbentuk belah ketupat, undakan kedua 24 stupa, dan yang ketiga 16 stupa dengan lubang berbentuk segi empat. Sebuah stupa raksasa yang bergaris tengah 10 m merupakan puncak candi. Bandingkan ukuran wisatawan yang sedang bersantai maupun pendeta yang sedang berdoa dengan ukuran stupa. Pengertian wisatawan tentang makna stupa sangat mempengaruhi perilaku pengunjung. Pengunjung yang mengerti, seperti misalnya para pendeta, mengisi kunjungannya dengan memperkaya pengalaman keagamaannya, sebaliknya mereka yang tidak faham hanya memanfatkannya untuk berhura-hura. Demi terselesaikannya mahakarya para ahli bangunan, dengan dukungan para pemikul batu sebagai penyedia bahan baku, selesai pula tugas arsitek Borobudur. Kegeniusan kedua diwujudkan dalam hal pengisian bentuk candi dengan ajaran dan filsafat, yaitu dalam memadukan ajaran “Mahâyâna” dengan ajaran “Tantra” serta menjadikannya tahapantahapan dalam mencapai Kebuddhaan sebagai satu kesatuan yang utuh. Ajaran Mahâyâna berfungsi sebagai landasan, sedangkan ajaran Tantrayâna sebagai pencapaian. Konsep ini terwujud dalam struktur bangunan, di mana ajaran Mahâyâna ditempatkan pada kaki candi dan tingkat pertama badan candi, sedangkan ajaran Tantrayâna ditempatkan pada relung di atas pagar langkannya. Adapun simbol pencapaian Kebuddhaan ditempatkan dalam stupa berongga dari tingkat kedua badan candi. Pemaduan ajaran dalam satu bangunan ini menjadikan Candi Borobudur sebagai satusatunya bangunan suci agama Buddha yang mewujudkannya. Dari sekian banyak Sûtra yang tersedia, sebagai representasi ajaran Mahâyâna terpilih Karmawibhangga untuk ditempatkan di kaki candi, sedangkan Lalitaviṣtara, Jâtaka, dan Avadana ditempatkan di undakan pertama dan kedua, dan akhirnya bagian terakhir dari Avaṃśaka Sûtra, yaitu Gandavyuha pada dua undakan di atasnya dari badan candi tingkat pertama. Selanjutnya para ahli ukirlah yang harus mewujudkan berbagai teks itu menjadi relief pada dinding batu seluas 2.500 m2 . Kira-kira kesulitan yang mereka hadapi adalah bagaimana membedakan adegan yang bernuansa duniawi dari yang bersifat metafisik itu ke dalam relief. Dari sudut teknik mengukir dapat kita lihat bagaimana kecermatan relief itu dilaksanakan sedemikian rinci dan akurat hingga relief kapal dapat Bentuk stupa Candi Borobudur Para biksu dengan khitmad beribadah di depan stupa induk
14 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur dibuat replikanya yang benar-benar dapat berlayar. Tambahan pula tidak sedikit adegan yang menuntut kerumitan tinggi. Di samping itu ada hal-hal yang menarik dari masalah ukir mengukir ini, yaitu ada hewan yang ditampilkan apa adanya, namun ada pula hewan yang diukir sebagaimana imajinasi pengukirnya. 2.120 panil tambahan masih harus diukir untuk melengkapi panil-panil tersebut di atas. Silakan dihitung sendiri berapa kira-kira jumlah tenaga ahli pengukir dengan keahlian berbeda yang harus dikerahkan. Tantrayâna yang hendak diwujudkan pun harus dipilih di antara berbagai ajaran yang ada, mengingat bahwa ajaran Tantrayâna merupakan kelanjutan dari ajaran Mahâyâna, maka Guhyasamâja Tantra terpilih karena kesesuaian dengannya. Perpaduan kedua ajaran itu dijembatani oleh Avataṃśaka Sûtra. Guhyasamâja Tantra mendasari ajarannya pada filsafat Yogâcâra, yang termuat dalam Avataṃśaka Sûtra. Apabila ajaran Mahâyâna Kiri atas : Candi Borobudur nampak dari atas Kiri tengah : Relief yang bernuansa duniawi Kiri bawah : Relief kapal yang di kerjakan dengan detail Kanan : Relief yang bernuansa metafisik
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 15 diwujudkan dalam bentuk 2.672 relief, maka Tantrayâna dalam wujud 382 arca sebesar manusia. Arca-arca itu Akṣobhya, Amitâbha, Ratṇasaṃbhava, dan Amoghasidhi, ditempatkan dalam relungrelung di atas pagar langkan dari lorong pada undakan pertama hingga keempat, dan berturut-turut menghadap ke timur, barat, selatan dan utara. Vairocana yang menghadap ke arah empat mata angin, ditempatkan di relung pagar langkan undakan yang kelima. Tingkat kerumitan Gambar kiri atas : Relief yang memiliki tingkat kerumitan tinggi Gambar kanan atas : Relief binatang yang di bentuk dengan imajinasi pembuatnya Gambar tengah bawah : Relief binatang yang di bentuk dengan imajinasi pembuatnya
16 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Arca Tathâgata yang tertinggi ditempakan dalam stupa berongga yang berjumlah 72, dengan demikian maka arca yang harus dipahat oleh pematung sejumlah 504 buah. Sangat sulit membayangkan bagaimana para pematung itu memperoleh bahan batu yang lebih besar dari tubuhnya, memahatnya menjadi 382 arca, dan menempatkannya ke dalam relung-relung. Sama sulitnya membayangkan bagaimana mendapatkan bahan baku sebesar manusia, memahatnya menjadi 72 buah patung, dan mengusungnya ke ketinggian hampir 30 m guna menempatkannya ke dalam stupa berongga. Tambahan kesulitan yang muncul adalah patung-patung itu harus memiliki gaya dan ekspresi yang sama. Apa yang dapat kita petik dari riwayat singkat ini adalah pendiri Candi Borobudur merupakan sebuah kerajaan besar yang mampu menyediakan sumber daya manusia dan dana yang melimpah, serta menerapkan struktur organisasi yang canggih. Kesemuanya itu masih memerlukan dukungan sistem pendidikan yang baik serta ketersediaan perpustakaan yang lengkap dan mutakhir koleksinya, agar mampu menghasilkan tenaga seni ukir dan pemahat yang terampil, sekaligus ahli ilmu pengetahuan keagamaan yang mumpuni. Apabila ditinjau dari hasilnya, dapat diketahui bahwa mereka yang terlibat dalam pekerjaan mendirikan Candi Bororbobudur dituntut untuk mencapai standar mutu yang tinggi. Gaya dan ekspresinya sama Gambar kiri atas : Relief yang memiliki tingkat kerumitan tinggi Gambar kanan atas : Relief binatang yang di bentuk dengan imajinasi pembuatnya Gambar tengah bawah : Arca-arca di Candi Borobudur
Candi Borobudur dari sisi barat (Barabudur III “Beschrijving van Barabudur”, 1931) 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 17
18 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Sebuah bangunan stupa yang sangat menakjubkan didirikan oleh para seniman agama (śilpin) di atas sebuah bukit, sekitar 15 kilometer sebelah selatan Gunung Tidar, Kabupaten Magelang, tidak jauh dari pertemuan Sungai Elo dan Sungai Progo. Lokasi tersebut dipilih oleh para śilpin (seniman) karena menurut buku pegangan para śilpin yaitu Vāstuśāstra/Ślpaśāstra, keletakan bangunan suci di dekat pertemuan 2 buah sungai atau lebih sangat baik. Di sebelah timur terdapat Gunung Merapi dan Merbabu, di sebelah utara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, barat dan selatan terdapat gugusan Pegunungan Menoreh, bahkan ada bagian dari bukit sebelah selatan yang bentuknya sangat mirip dengan bentuk profil manusia. Menurut legenda gambaran di bukit tersebut adalah Gunadharma, tokoh yang dianggap pendiri candi (Soekmono 1976:1). Demikian pula, keletakan candi tidak jauh dari 2 candi Buddha lainnya, yaitu Candi Pawon dan Candi Mendut. Tiga serangkai candi ini bahkan terletak pada satu garis lurus, sudah tentu keletakan ini terkait dengan simbol tertentu dalam agana Buddha Mahayana. Latar Belakang Sejarah Candi Borobudur adalah sebuah stupa berbentuk teras (terrace-stūpa) bertingkat 10, yang melambangkan 10 jalan Bodhisattwa (Daśaboddhisattwabhūmi) yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan mencapai tingkat KeBuddhaan. Menurut pendapat De Casparis, Candi Borobudur didirikan oleh Raja Sailendra yang bernama Samaratunga pada sekitar tahun 800 Masehi. Pendapatnya ini berdasarkan berita pada prasasti Karangtengah tahun 824 Masehi dan prasasti Sri Kahulunan tahun 842 Masehi. Di samping itu usia candi diperoleh dari penelitian bentuk huruf yang dipakai pada inskripsi pendek-pendek di bagian atas panilpanil relief Karmawibhanga, relief yang ada di bagian kaki candi yang sekarang tertutup. Inskripsi tersebut dimaksud untuk memberi petunjuk bagi para śilpin mengenai adegan apa yang harus dipahat di panil tersebut (De Casparis, 1950). Namun sekitar 150 tahun setelah candi didirikan, Candi Borobudur ditinggalkan karena pusat kehidupan politik dan kebudayaan Jawa bergeser ke wilayah Jawa Timur, berbagai bencana alam, gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, dan sebagainya merupakan malapetaka bagi candi tersebut yang kemudian tertutup oleh hutan lebat. Di samping itu agama Islam telah dipeluk oleh sebagian besar penduduk di sekitar reruntuhan candi, mereka masih sadar akan adanya sebuah reruntuhan candi, tetapi tidak mengerti CANDI BOROBUDUR DITEMUKAN KEMBALI Peta peletakan candi Borobudur - Pawon - Mendut (Daigoro Chihara, 1996 :129)
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 19 tentang sejarah dan latar belakang runtuhan candi “Budo” yang besar tersebut. Bahkan menurut Soekmono, ada rasa “takut” pada reruntuhan yang tidak mereka pahami tersebut. Ceritacerita yang beredar di antara penduduk, dapat kita baca dalam 2 buah sumber tertulis, yaitu dalam Babad Tanah Jawi dan Babad Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi terdapat cerita tentang seorang pemberontak terhadap raja Mataram pada tahun 1709 Masehi. Ia melarikan diri ke Bukit Borobudur, tetapi akhirnya tertangkap dan dihukum mati. Sementara itu Babad Mataram menceritakan pada tahun 1757 Masehi, seorang pangeran mengunjungi Candi Borobudur untuk melihat para pahlawan “dalam kurungan”. Pergi ke Candi Borobudur sebenarnya merupakan sebuah larangan, namun sang pangeran menerjang larangan tersebut karena merasa iba mendengar cerita tentang “pahlawan dalam kurungan”. Namun ketika ia pulang ke istana, tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. Borobudur “Muncul” Kembali Pada tahun 1814, Borobudur dibangunkan dari “tidurnya” ketika Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal masa pemerintahan Inggris yang singkat (1811-1816), seorang pengagum sejarah dan kebudayaan pribumi, dalam perjalanannya inspeksi di Semarang memperoleh informasi tentang sebuah candi besar, disebut Candi Borobudur oleh penduduk, di Desa Bumi Segoro, Magelang. Ia tidak bisa datang sendiri melihat bangunan tersebut dan ia menugaskan H.C . Cornelius, seorang Insinyur perwira zeni bangsa Belanda, untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Cornelius memberi tugas sekitar 200 orang menebang pohon, membakar semak-semak, menggali tanah yang mengubur candi, pekerjaan yang dilakukan selama 45 hari. Pekerjaan tersebut dilanjutkan oleh Hartmann, Residen Kedu, yang memerintahkan membersihkan candi dari kotoran, tanah, dan pekerjaan selesai tahun 1835, namun tidak ada laporan tentang usaha Hartmann tersebut. Apa yang dikerjakan oleh Hartmann ditulis oleh Wilson tahun 1853. Dikatakan oleh Wilson, Hartmann menyuruh membongkar stupa puncak dan menemukan sebuah arca Buddha yang belum selesai, dan benda-benda lain termasuk sebilah keris. Semua batu-batu lepas yang berserakan di sekeliling kaki candi disingkirkan ke Candi Borobudur yang rusak
20 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur kaki bukit, demikian juga stupa-stupa yang ’terguling’ di bagian atas candi dirapikan (Soekmono, 1972: 7-8, 1976:4-6). Sepuluh tahun kemudian, setelah stupa puncaknya kedapatan terbongkar, dibersihkan bagian dalamnya dan diberi bangunan bambu sebagai tempat untuk menikmari pemandangan sambil minum teh (Soekmono, 1972:7). Akhirnya Candi Borobudur mulai muncul kembali untuk diteliti dan diperbaiki sesuai kebutuhan. Sebuah laporan Cornelius ditulis secara panjang lebar, namun laporan yang semula disimpan di Museum on Antiquities, Leiden, hilang, tetapi sebagian dilaporkan oleh C. Leemans, direktur Museum Purbakala di Leiden, tahun 1885 (Leemans, 1885:17) (Santiko dan Siawadi 1980). Penjelasan ringkas terdapat dalam kitab Raffles History of Java. Walaupun tulisan ringkas, tetapi Raffles telah berjasa memunculkan kembali Candi Borobudur untuk Arkeologi dan untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pada tahun 1849, F.C.Wilson mendapat tugas untuk membuat gambargambar seluruh relief yang dikerjakan hingga tahun 1853. Dua puluh tahun kemudian, diterbitkan dalam monografi pertama tentang Borobudur. Demikian pula seorang ahli fotografi, J. Van Kinsbergen, mendapat tugas pula untuk membuat foto-foto Borobudur dan ia berhasil membuat 200 foto-foto relief yang tertimbun. Penemuan lain yang sangat penting pada tahun 1885, ketika J.W. Ijzerman membuka dasar Candi Borobudur dan menemukan kembali sejumlah relief, yang kemudian dikenali sebagai relief Karmawibhanga, ajaran tentang Hukum Sebab Akibat. Pada tahun 1890-1891, relief sebanyak 160 panil ditutup kembali setelah difoto oleh Kassian Cephas (Soekmono 1976:43). Pada tahun 1882 ada usul untuk membongkar saja seluruh bangunan Candi Borobudur dan memindahkan reliefreliefnya ke suatu museum. Keadaan candi sudah terlampau Kiri : Borobudur diberi “Payung” (Marzuki, 1993 : 77) Kanan : Gambaran Wilson (Tahun 1853) (Soekmono, 1976, gb. 3)
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 21 rusak, takut kalau relief-relief yang indah itu akan hancur. Usul tersebut ditolak, tetapi menimbulkan pemikiran untuk mencari usaha penyelamatan candi. Ketika sedang sibuk memikirkan cara penyelamatan candi, terjadi peristiwa yang tragis, ketika Raja Siam berkunjung ke candi, oleh Residen Kedu, Raja Siam diberi hadiah berupa batu-batu Borobudur sekitar 8 gerobag. Di samping itu diberi batu relief sebanyak 30 buah, 5 buah patung Buddha, 2 patung singa, 1 pancuran makara, sejumlah kepala Kala dari pipi tangga dan gapura, dan sebuah patung raksasa (dwarapala) yang sangat istimewa dari bukit Dagi sebelah barat laut candi (Soekmono, 1972:8). Pada tahun 1900 terbentuklah suatu panitia yang bertugas khusus untuk merencanakan penyelamatan Candi Borobudur. Penutup Candi Borobudur yang didirikan oleh raja Samaratungga dari Dinasti Sailendra, merupakan sebuah candi Buddha yang mengandung berbagai ajaran dan simbol-simbol yang diungkapkan baik pada struktur candi maupun berbagai relief yang dipahat pada dinding dan pagar langkan candi. Namun karena sesuatu sebab, candi yang megah tersebut ditinggalkan, menjadi gundukan batu-batu penuh tumbuh-tumbuhan. Hal ini berubah setelah Raffles menyuruh seorang insinyur zeni yang bernama H.C.Cornelius menyelidiki kebenaran berita tentang candi. Oleh Cornelius candi dan sekitarnya dibersihkan dan selanjutnya banyak orang Belanda yang tertarik untuk meneliti dan menulis tentang Candi Borobudur. Daftar Pustaka de Casparis, J.G. 1950. Prasasti Indonesia I. Sumur Bandung Santiko, Hariani dan Siswadhi. 1980. Anotated Bibliography of Borobudur, Proyek Pemugaran Candi Borobudur, unpublished yet Soekmono. 1972. Riwayat Usaha Penyelamatan candi Borobudur. PELITA BOROBUDUR, Seri A No.1 ______________l976, Chandi Borobudur, A Monumental of Mankind, The Unesco Press, Paris.
22 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Pintu Kalamakara tingkat V sisi timur dari belakang (Barabudur III “Beschrijving van Barabudur”, 1931) Tangga sebelah barat Candi Borobudur (Barabudur III “Beschrijving van Barabudur”, 1931)
Batu tangga Candi Borobudur yang masih berserakan(Barabudur III “Beschrijving van Barabudur”, 1931) 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 23
24 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur PENEMUAN DAN PENYELAMATAN CANDI BOROBUDUR (sebelum dan sesudah Raffles) Penemuan dan Penyelamatan Candi Borobudur C andi Borobudur sebelum ditemukan Raffles, hanyalah sebuah bangunan yang tertimbun tanah dan ditumbuhi pepohonan dan semak belukar. Keadaan Candi Borobudur yang demikian menyedihkan itu didapat dari gambaran H.C. Cornelius yang diutus Raffles untuk menyelidiki bangunan tersebut. Sebagaimana diketahui, Raffles dianggap sebagai penemu Candi Borobudur, ia adalah Letnan Gubernur Jenderal pemerintahan Inggris pada tahun 1811 sampai 1816. Ia sering mengunjungi daerah-daerah di Jawa untuk membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang diterbitkan menjadi buku monumental yang berjudul “History of Java”. Buku itu diterbitkan pada tahun 1817 yang terdiri dari dua jilid dilengkapi peta dan gambar. Penemuan Candi Borobudur oleh Raffles, dimulai ketika dia berkunjung ke Semarang pada tahun 1814, ia mendapat laporan bahwa ada sebuah bangunan besar yang disebut dengan nama Candi Borobudur di Desa Bumisegoro, dekat Magelang. Karena ia tidak bisa mengunjungi kepurbakalaan tersebut, maka Raffles mengirimkan H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda yang memiliki banyak pengalaman dalam mengeksplorasi kepurbakalaan di Jawa untuk menyelidikinya. Cornelius mempekerjakan 200 orang penduduk untuk menebang pohon, membakar semak, dan menggali tanah yang menutupi bangunan. Dalam dua bulan ia menyelesaikan pekerjaannya, meskipun ada beberapa galeri yang tidak dapat digali karena dikhawatirkan mengalami keruntuhan. Kemudian ia melaporkan kepada Raffles penemuan tersebut termasuk beberapa gambar. Karena penemuan itu, Raffles mendapat penghargaan sebagai orang yang memulai pemugaran Candi Borobudur dan mendapat perhatian dunia (Soekmono, 1976:5). Hartmann, administrator Hindia Belanda di Keresidenan Kedu melanjutkan pekerjaan Cornelius dengan membersihkan semua sisa-sisa tanah dan membersihkan galeri. Pada tahun 1835 seluruh bagian candi `dapat ditampakkan namun sayangnya Hartmann tidak menulis laporan kegiatannya, sehingga mengenai dugaan bahwa ia telah menemukan arca Buddha besar di stupa utama tetap menjadi bahan perdebatan (Soekmono, 1976:5). Pada tahun 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong. Akan tetapi Wilson pada tahun 1853 menyebutkan adanya patung Buddha sebesar ratusan Buddha yang dijadikan satu (Soekmono, 1976:5). Pada tahun 1849, pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda untuk membuat gambar Candi Borobudur. Dia menyelesaikannya selama empat tahun dan menulis tiga artikel hasil penelitiannya. Selain Wilson, pemerintah Hindia Belanda menunjuk J.F.G. Brumund untuk membuat deskripsi Candi Borobudur yang diselesaikannya pada tahun 1859. Pemerintah berencana mempublikasikan secara resmi Candi Borobudur dan lingkungannya ketika diambil fotonya oleh Isidore van Kinsbergen antara tahun 1890-1915
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 25 Candi Borobudur berdasarkan pada artikel dan gambar-gambar Wilson yang dilengkapi hasil karya Brumund, namun Brumund menolak untuk bekerjasama karena merasa tidak dihargai. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda meminta C. Leemans untuk membuat monografi Candi Borobudur yang merupakan kompilasi Wilson dan Brumund. Pada tahun 1873, monografi pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian. Pada 1885, J.W. Yzerman yang mendokumentasikan relief Candi Borobudur menemukan relief yang ada di kaki candi. Sekitar tahun 1890-1891, bagian kaki yang tertutup itu dibuka seluruhnya dan difoto oleh Kassian Chepas. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri dari J.L.A. Brandes, Theodoor van Erp, dan B.W. van de Kamer. Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 hingga 1911, dipimpin Theodoor van Erp. Saat memugar, van Erp membuat rekonstruksi chattra (payung) tiga susun yang ditempatkan di atas yasti stupa induk seperti terlihat pada foto di dalam bukunya Barabudur Architectural Description (1931). Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, maka chattra tersebut diturunkan kembali (Soekmono, 1976:44; Bernet Kempers, 1976; Mundardjito, 2013:30). Sekarang chattra tersebut disimpan di Museum Karmawibhangga, Borobudur. Pada tahun 1926, Candi Borobudur dipugar kembali, namun dihentikan pada tahun 1949 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II. Pada tahun 1956, pemerintah Indonesia meminta bantuan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) untuk melakukan pemugaran Candi Borobudur. Akan tetapi baru pada tahun 1963, keluar keputusan resmi pemerintah Indonesia untuk melakukan pemugaran Candi Borobudur dengan bantuan UNESCO. Pemugarannya sendiri mulai dilakukan pada tanggal 10 Agustus 1973 dan selesai pada tahun 1983. Pada tahun 1991, Candi Borobudur ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) oleh UNESCO. Ada beberapa peristiwa yang membahayakan kelestarian Borobudur, baik disebabkan oleh manusia maupun alam. Pertama adalah pemboman Candi Borobudur yang terjadi pada tanggal 21 Januari 1985 yang mengakibatkan sembilan stupa rusak parah. Peristiwa lainnya adalah letusan Gunung Merapi yang terjadi pada bulan Oktober dan November 2010. Abu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer arah barat daya dari kawah Merapi. Lapisan abu vulkanik menutupi Candi Borobudur hingga mencapai ketebalan 2,5 sentimeter. Dalam mengupayakan keselamatan Borobudur, maka untuk sementara Balai Konservasi Borobudur menutupnya dengan plastik, setelah Stupa induk berpuncak chattra bersusun tiga, rekonstruksi Theodoor van Erp
26 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur terakhir adalah samadhi pada detik-detik puncak bulan purnama, dilanjutkan dengan pradaksina di Candi Borobudur. Nama Borobudur Sampai saat ini, dari mana nama Borobudur berasal masih menjadi pertanyaan besar. Ada beberapa sarjana yang mempunyai hipotesa mengenai asal-usul nama Borobudur. Menurut Raffles, Borobudur berasal dari kata boro dan budur yang berarti purba, maka arti dari Borobudur adalah boro purba, dan hipotesis lainnya yang dikemukakan Raffles adalah Boro artinya Agung dan Budur berasal dari kata Buddha, jadi arti Borobudur adalah Buddha yang besar (Great Buddha) (Raffles, 1817:29-30). Poerbatjaraka menerjemahkan arti kata boro dengan biara, jadi artinya Borobudur adalah biara di Budur (Stutterheim, 1929:13; Moens 1950- 1951:333; Soekmono 1976:14). Sementara, J.L. Moens, Borobudur berasal dari bharabudha, dengan akhiran ur yang dalam bahasa Tamil yang artinya kota. Jadi arti Borobudur adalah kota Buddha (Moens, 1950-1951:333-341; Soekmono, 1976:14). J.G. de Casparis mengaitkan Candi Borobudur dengan prasasti Tri Tpusan yang berangka tahun 764 Śaka (11 November 842). Dalam prasasti disebutkan Śrī Kahulunan meresmikan Desa Tri Tpussan menjadi sīma karena mempunyai kewajiban memelihara bangunan suci hujan abu berhenti, Borobudur dibersihkan dari abu vulkanik dan drainase yang tersumbat abu vulkanik diperbaiki. Atas pengalaman ini, Balai Konservasi Borobudur membuat penutup stupa dari plastik yang permanen dan diterapkan ketika Gunung Kelud meletus pada bulan Februari 2014. Setelah selesai dipugar, Candi Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada bulan Mei saat bulan purnama, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak untuk memperingati kelahiran Pangeran Siddharta pada tahun 623 S.M, Pangeran Siddharta mencapai kebuddhaannya di Bodhgaya pada tahun 588 S.M, dalam usia 35 tahun, dan wafat di Kusinara pada tahun 543 S.M., dalam usia 80 tahun. Upacara peringatan Waisak dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur. Adapun rangkaian upacara Waisak dimulai dengan pengambilan air suci dari umbul (mata air) Jumprit di Kabupaten Temanggung dan menyalakan obor dari api yang diambil dari api abadi Mrapen, Kabupaten Grobogan. Kemudian upacara “pindapatta”, yaitu pemberian makanan oleh umat agama Buddha kepada para biksu dan biksuni. Upacara Kiri : Stupa- stupa Candi Borobudur yang ditutup plastik untuk menghindariabu Kanan : Upacara Waisak di Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 27 kamūlan bernama Bhūmi Sambhara (de Casparis, 1950:74, 84). Selanjutnya de Casparis berpendapat bahwa nama lengkap dari Bhūmi Sambhara adalah Bhūmi Sambhāra Bhudhāra diambil dari bahasa Sanskerta yang artinya “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa” (de Casparis, 1950: 169-170, 202). Tetapi bila mengingat Raffles menyebut Candi Borobudur terdapat di Distrik Budur (Raffles, 1817:29), artinya Budur itu adalah nama tempat. Hal ini sesuai dengan teks Nagarakṛtāgama (1365) yang menyebutkan adanya wilayah-wilayah yang dijadikan sīma (tanah perdikan) bagi biara agama Buddha, di antaranya adalah buḍur. Dalam teks Nāgarakṛtāgama pupuh 77.3, Buḍur disebutkan bersama-sama dengan Wirun, Wungkulur, Mananggung, Watukura, Bajrāsana, Pajamabayan, Samalantĕn, Simapura, Tambak, Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wang Kali, Bĕru, Lĕmbah, Dalīnan, dan Pangadwan sebagai nama-nama daerah yang telah dijadikan tanah sīma asrama agama Buddha sekte Wajradhāra (kasugatan kabhajradharan akrama) (Pigeaud, 1960, I:59). Dengan demikian, pada masa Majapahit candi ini masih dipergunakan. Hal ini memperkuat pendapat Soekmono yang menyebutkan bahwa Candi Borobudur, mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15. Bahwa setelah abad ke-15, Borobudur sudah ditinggalkan sesuai dengan cerita rakyat yang menyebutkan tempat itu sudah dianggap sebagai tempat angker. Misalnya dalam Babad Mataram disebutkan bahwa Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta, mengunjungi “satria yang terpenjara di dalam kurungan” (arca Buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang) yang ada bangunan ini pada tahun 1757, jatuh sakit dan akhirnya meninggal (Soekmono, 1976:4-5). Pertanyaannya adalah kata “Buḍur” diambil dari mana? Dalam teks-teks sastra Jawa Kuna, kata buḍur dikelompokkan ke dalam jenis minuman keras, yaitu baḍyag/baḍĕg, buḍur, brĕm, jātirasa, kiñca, madya, māsawa/māstawa, miñu, sajĕŋ, siddhu/ sindhu, surā, tampo, twak/tok, dan waragaŋ (Nastiti, 1989:86). Beberapa jenis minuman itu masih dikenal sampai sekarang seperti arak, tuak, dan brĕm. Menurut Zoetmulder ada dua arti buḍur, pertama minuman keras terbuat dari pohon aren atau enau, dan kedua adalah sebangsa pohon enau (Zoetmulder, 2004:139). Di Indonesia, utamanya di Jawa, nama tanaman yang menjadi nama tempat sangat umum dijumpai, misalnya Jombang (Taraxacum officinaleWeber et Winggers). Dalam prasasti pun banyak nama desa yang memakai nama tanaman seperti Poh (= mangga), Bungur, dan Nyū (= kelapa). Dari beberapa argumen para sarjana mengenai nama Borobudur, saya setuju dengan pendapat Poerbatjaraka yang menyebutkan bahwa Borobudur adalah biara di Buḍur. Kata Buḍur diambil dari sejenis tanaman aren, yang mungkin pada saat itu banyak ditemukan di tempat itu. Daftar Pustaka de Casparis, J.G. 1950. “Inscriptie uit de Çailendra-tijd”, Prasasti Indonesia I. Bandung: A.C. Nix &Co. Kempers, A.J. Bernert. 1976. Ageless Borobudur : Buddhist mystery in stone, decay and restoration, Mendut and Pawon, folklife in ancient Java. Warsenaar: Servire. Moens, J.L. 1950-1951. “Barabudur, Mendut en Pawon en hun onderlinga samenhang, I-II”, dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde, 84:326-387. Mundardjito. 2013. “Borobudur: Masalah Puncak Stupa Induk”, dalam Hariani Santiko (ed.), Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur:21-33. Magelang: Balai Konservasi Borobudur. Nastiti, Titi Surti. 1989. “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno”, Proceeding Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. II.B. Kajian Arkeologi Indonesia: 83-95. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Pigeaud, Th.G.Th. 1960-1963.Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural History. The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D., 5 vols. The Hague: Martinus Nijhoff. Raffles, Sir Stamford. History of Java. Volume 2. London: Cox Baylis, 1817. Soekmono. 1976. Chandi Borobudur. A Nonument of Mankind. Assen/Amsterdam: The Unesco Press. Stutterheim, W.F. 1929. Tjandi Bara-Boedoer naam vorm beteekenis. Weltevreden: Druk G. Kolff & Co. Zoetmulder, P.J. 2004. Kamus Jawa Kuna. Jakarta: PT Gramedia. Cetakan keempat.
28 Pembersihan manual di stupa induk Candi Borobudur 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 29 BOROBUDUR : MISTERI BATU TAK BERUJUNG Beberapa abad Candi Borobudur terlelap dalam tidur panjang hingga takdir membukanya kembali pada tahun 1814. Entah berapa puluh tahun candi ini telah dimanfaatkan sebagai tempat ritual dan kapan ditinggalkan oleh penganutnya, jawabannya masih terpendam meskipun kini Candi Borobudur telah tegak berdiri menebar pesonanya ke segala penjuru dunia. Upaya untuk mengungkap wajah Candi Borobudur dimulai dengan membersihkan pohon dan semak belukar dipimpin oleh H.C. Cornelius atas perintah Letnan Gubernur Jenderal – Sir Thomas Stamford Raffles. Rasa penasaran tentu ada dalam benak petinggi Kolonial pada waktu itu di saat membabat sebuah bukit yang terkungkung pohon dan rumput liar. Reruntuhan puing-puing batu yang membentuk sebuah bukit akhirnya tersibak dan saat itulah menjadi awal dari suatu misteri tentang perjalanan biografi manusia. Raffles sebagai pihak pertama pembuka tabir reruntuhan batu mengetahui bahwa Candi Borobudur saat itu tidak ada pemiliknya. Dengan semangat untuk mengungkap misteri di balik batu, Candi Borobudur terus dilakukan pembersihan, penggalian, dan penyelamatan. Namun di tengah-tengah upaya membuka tabir yang menyelimuti gundukan batu, sekitar tahun diganti 1834 tercatat dalam sejarah Residen Kedu C.L. Hartmann menganggap batu-batu tersebut tak lebih dari sebuah pajangan nan eksostis. Lebih parah lagi seakan merasa sebagai pemiliknya tak pelak arca-arca dan relief-relief yang berserakan menjadi cindera mata kepada tamu-tamu negara. Konon Raja Siam Chulalangkorn (Thailand) tercatat sebagai salah satu tamu yang mendapat hadiah 30 batu berelief, lima patung Buddha, arca singa, sejumlah kepala kala, jaladwara, dan patung raksasa Dwarapala yang menjadi koleksi Istana Muangthai. Kaki asli Candi Borobudur (kamadhatu) terlihat setelah dibongkar oleh Ir. Ijzerman
30 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Peristiwa itu menjadi catatan buruk tentang nasib Candi Borobudur. Manusia menjadi musuh terberat terhadap kelestarian benda purbakala. Waktu terus berlalu, silih berganti penguasa Kolonial menangani Candi Borobudur, satu persatu tumpukan-tumpukan batu tersingkap dan Candi Borobudur seakan bangkit dari pembaringannya. Rasa takjub terus mengiringi kegiatan penyelamatan Candi Borobudur, ketika pada tahun 1885 Ir. Ijzerman mendapatkan suatu deretan panjang pahatan relief cerita di balik tumpukan batu pada kaki bangunan candi (kamadatu). Di atas panel-panel relief terpahat satu kata dalam bahasa Jawa kuna yang terkesan menjadi panduan bagi seniman untuk melaksanakan tugasnya memahatkan cerita pada bidang hias dinding candi. Berdasarkan paleografi, huruf tersebut dikenal dengan baik pada tahun 800an semasa dengan Kerajaan Mataram (Kuna). Muncullah kemudian penafsiran tentang masa pembangunan Candi Borobudur, N.J.Krom dan H. Kern berpendapat Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800-an Masehi berdasarkan persamaan bentuk huruf yang terpahat di atas bingkai panel dengan huruf yang lazim dipergunakan dalam prasasti masa Mataram (Kuna). Pendapat tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat Casparis yang mengaitkan dengan prasasti berangka tahun 824 Masehi yang dikenal dengan prasasti Karangtengah. Dari telaahnya terhadap prasasti Karangtengah dan sejumlah prasasti lainnya pada masa Sailendra menghasilkan istilah bhumisambarabhudara dan nama inilah yang akhirnya menjadi nama Borobudur. Kata tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa yang dimuliakan di candi bangunan suci ini adalah cikal bakal keluarga Raja Sailendra, yang melalui sepuluh tahapan bodhisatwa telah mencapai tingkat kebuddhaan yang tertinggi. Raja yang mewakili nenek moyang dan telah bersatu dengan Buddha itu adalah Samaratungga. Teori de Casparis ini mendapat sanggahan yang cukup kuat dari para pakar arkeologi, tetapi mendapat sambutan yang mengembirakan dari kalangan masyarakat (Sttuterheim, 1956; Soekmono, 1995). Interpretasi Casparis mengotak-atik peristiwa sejarah kuna dikaitkan bangunan candi inilah yang kemudian populer dan terus dirujuk sebagai acuan tentang berdirinya Candi Borobudur. Di lingkungan masyarakat ilmiah pendapat itu masih dipermasalahkan dan tetap menjadi misteri yang hingga kini tak henti-hentinya diteliti. Penelusuran terus dilakukan terhadap relief-relief yang terpahat di kaki candi (kamadhatu) yang diyakini disarikan dari kitab suci agama Buddha yaitu cerita tentang Mahakarmawibhangga. Meskipun sudah diketahui relief tersebut mengisahkan tentang karma, namun tetap masih ada sejumlah panel relief yang sulit diinterpretasi kaitannya dengan karma. Muncul banyak pendapat mengingat ada banyak versi tentang naskah Mahakarmawibhangga, naskah yang digunakan sebagai acuan masih tetap menjadi tekateki dan seiring dengan ditutupnya kembali kaki candi, maka jawabannya pun kembali tersembunyi di balik batu-batu yang telah kembali tertata rapi. Rasa kagum dan terpesona menyelimuti kegiatan pembersihan Candi Borobudur. Semakin hari semakin molek dan mulai disadari bahaya mulai mengancam kelestarian candi, sinar mentari menyengat menyinari dan hujan pun mulai membasahi. Air hujan telah menggoyahkan fondasi bangunan serta oksidasi garamgaram mineral dengan cepat merusak permukaan batu. Peristiwa tersebut terakumulasi dalam hitungan hari, bulan, tahun dan menjadi ancaman yang harus segera ditangani. Pemerintahan Belanda membentuk tim peneliti untuk menyelamatkan Candi Borobudur yakni Van Erp pada tahun 1907 memulai pemugaran hingga tahun 1911, namun disadari pemugaran belum seperti yang diharapkan. Pemantauan terhadap kestabilan bangunan terus dilakukan dan masih terdapat potensi besar yang mengancam kerusakan candi. Masalah utama yang sangat dikhawatirkan dari tahun 1930- an adalah gemburnya tanah bukit di belakang dinding-dinding dan bawah lorong-lorong di setiap undakan. Gemburnya tanah itu disebabkan oleh karena banyaknya air yang mengikis menggerus kulit bukit, kondisi tanah yang lunak menjadi penyebab semakin rapuhnya fondasi dan semakin lemahnya daya dukung, seakanakan bangunan candi kehilangan tempat berpijak (Soekmono, 1991). Lebih lanjut dijelaskan gemburnya tanah di antaranya akibat intensitas curah hujan yang tinggi berarti volume air meningkat, sehingga kalau tidak ada jalan menyalurkan air maka akan terjadi desakan dan tekanan terhadap dinding-dinding lorong yang tidak dapat diramalkan arahnya. Kekuatan yang saling menekan antar sambungan batu berjalan lambat tapi pasti dan jika terjadi gempa diprediksi batu akan semakin mudah patah. Pengaruh iklim, yakni masalah kelembaban yang memicu munculnya beragam jenis lumut dan jamur ikut mengoyak permukaan batu candi. Masalah jamur yang menutupi permukaan batu inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ”kanker batu” dan untuk itu Candi Borobudur meminta perhatian serius dan
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 31 Kiri atas : Pembersihan secara manual di pagar langkan tingkat II bagian luar Kanan atas : Pembersihan secara manual di stupa teras Kiri bawah : Pembersihan secara manual di stupa induk
32 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur dinyatakan gawat darurat pada tahun 1960 an. Gejolak politik di Indonesia yang terjadi tahun 1965 yakni G.30-S/PKI mempengaruhi irama kerja kegiatan pemugaran yang berjalan dengan sedikit melambat. Soekmono arkeolog yang namanya melekat dalam kegiatan pemugaran Candi Borobudur terus melakukan pendekatan ke UNESCO dan tahun 1967 menandatangani surat persetujuan untuk memenuhi persyaratan agar pemugaran Candi Borobudur mencakup pula pelestarian lingkungan dan seluruh inventaris proyek pemugaran diserahkan kepada pemerintah (Soekmono, 1995). Tentunya Soekmono sangat bahagia dan terus bercerita dalam sebuah cacatan harian bagaimana permohonannya mendapat dukungan keyakinan dari para peserta International Conggress of Orientalis yang sedang berkumpul di Michigan, USA. Dukungan ini berupa suatu resolusi bahwa Candi Borobudur adalah pusaka budaya umat manusia sedunia yang dipercayakan kepada bangsa Indonesia. Resolusi ini segera mendapat tanggapan dari UNESCO dan sesuai tata kerjanya sebelum mengambil sesuatu keputusan yang mengikat, dikirimlah pakar dari berbagai keahlian untuk melakukan penelitian tentang kondisi Candi Borobudur. Sesudah beberapa tahun menunggu kepastian, akhirnya pada tahun 1975 dilakukan pekerjaan pemugaran besar-besaran dan menyeluruh yaitu pembongkaran dinding-dinding candi. Dapat dibayangkan bagaimana bersemangatnya Soekmono memimpin pekerjaan raksasa membongkar Candi Borobudur. Dia didampingi pakar dari beragam disiplin yakni ilmu mikro-biologi, ilmu kimia, ilmu tanah, mekanika tanah, arsitektur, geologi, teknik sipil, dan ahli beton bertulang. Soekmono (1974) dengan teorinya tentang fungsi candi sangat bersemangat mengikuti saat-saat pembongkaran dilakukan yang mungkin tidak akan terulang kembali. Data berupa relik-relik yang mungkin terpendam dalam bangunan akan menjadi bukti fungsi Candi Borobudur sebagai bangunan suci atau makam. Hal ini wajar karena dalam disertasinya, Soekmono dengan meyakinkan berhasil mematahkan teori bahwa candi bukan makam. Dalam disertasinya Soekmono sudah menyimpulkan bahwa candi sebagai mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia sejak zaman prasejarah, contohnya Candi Borobudur yang ditata berundak-undak mirip dengan bangunan tradisi prasejarah. Mengingat bahwa data utama untuk memperkuat fungsi candi adalah peripih yang dipendam dalam fondasi candi, maka seiring dengan pembongkaran yang dilakukan di sudut-sudut dan di tengah bangunan, Soekmono dengan cermat memantau setiap lapis tanah untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data arkeologis. Pembersihan secara manual pada stupa induk
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 33 Hasilnya cukup mengejutkan, tidak ada petunjuk pun yang diperoleh tentang peripih dan wadahnya. Mengenai hal ini Soekmono sempat melontarkan pendapatnya apakah kemungkinan peripih telah diaduk-aduk diambil para pemburu harta karun. Pertanyaan tersebut tak pernah terjawab. Soekmono dalam tulisannya (1989) terlihat puas bahwa teori Candi Borobudur bukan makam sudah terbukti dengan tidak ditemukannya peti berisi abu jenasah dalam fondasi candi, tapi terasa masih risau karena tidak ditemukan peripih. Belum ditemukannya berarti teori candi sebagai kuil gugur atau lemah, tetapi apa fungsi sebenarnya Candi Borobudur seandainya memang benar-benar tidak ditemukan peripih. Dengan mengambil analogi di Bali, Soekmono menyimpulkan peripih yang di Bali dikenal dengan ”pedagingan” yang fungsinya untuk menghidupkan candi. Tanpa peripih, candi tidak dapat dipergunakan sebagai tempat ritual. Kemudian bagaimana membuka kunci untuk menjelaskan fungsi Candi Borobudur hingga kini masih tetap menjadi misteri. Ratusan tulisan mulai artikel hingga disertasi telah memenuhi deretan rak dalam almari-almari. Semuanya ingin memahami konsepsi para pendiri candi yang diwujudkan dalam rancangan konfigurasi-konfigurasi lingkaran dan persegi. Tentu semangat untuk mengkaji Candi Borobudur tidak berhenti sampai di sini, masih banyak peneliti yang berambisi menjelajahi sampai menemukan bukti yang pasti, tulisan dalam naskah ataupun prasasti. Saat ini silang pendapat terus terjadi mengenai siapakah tokoh yang membangun candi, bagaimana membangun hingga kokoh berdiri, kapan candi ini berfungsi, dan kapan ditinggalkan oleh para pendiri candi hingga menjadi runtuh tak berarti. Bahkan candi entah bagaimana asalasulnya sudah bernama Candi Borobudur telah banyak ditelusuri oleh banyak ahli dan para pemerhati seni, semuanya menarik, saling mengisi, saling melengkapi namun masih saja banyak sisi yang belum dikaji. Membahas Candi Borobudur ibarat menyelami sebuah konsepsi religi yang mengajarkan prinsip equilibrium antara jasad dan ruh insani. Mungkin dari sini kunci membuka tabir misteri dari mandala suci ini.
34 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur CANDI BOROBUDUR : PEMUGARAN PERTAMA 1907-1911 2 BAB
Pembersihan manual di stupa induk Candi Borobudur 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 35
36 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur C andi Borobudur yang megah sesungguhnya telah memiliki sejarah panjang semenjak dibangun hingga saat ini. Sejarah panjang tersebut diwarnai dengan berbagai perubahan yang terjadi seiring dengan berubahnya kondisi dan perlakuan terhadap candi. Perubahan awal terjadi sejak proses pembangunan candi hingga pemanfaatannya. Candi Borobudur selanjutnya mengalami masa ditinggalkan cukup lama, hingga kurang lebih 8 abad. Babak baru Candi Borobudur dimulai 200 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1814 ketika Candi Borobudur dibuka kembali. Berikut ini skema gambaran tahapan-tahapan sejarah yang dialami Candi Borobudur. Berdasarkan skema di atas, dapat dilihat dari mulai proses pembangunan hingga saat ini. Pembangunan candinya sendiri membutuhkan waktu yang sangat lama dan mengalami beberapa kali perubahan konsep desain. Menurut beberapa informasi pembangunan dari awal hingga selesai membutuhkan waktu hingga lima generasi yang kurang lebih setara dengan satu seperempat abad. Namun setelah selesai dibangun, masa pemanfaatan candi sebagaimana fungsi yang direncanakan hanya berlangsung relatif singkat. Beberapa pendapat menyatakan bahwa candi hanya difungsikan antara satu sampai dua abad menyusul perpindahan peradaban ke Jawa bagian timur. Setelah Candi Borobudur ditinggalkan, struktur candi berada dalam kondisi terabaikan dan hampir-hampir dilupakan. Kondisi terabaikan ini berlangsung dalam masa yang sangat lama hingga akhir abad 19. Meskipun dalam kitab “Babad Tanah Jawi” tahun 1709 tentang monumen yang dapat menyebabkan sial, dan “Babad Tanah Mataram” tahun 1757 tentang monumen dengan patung ksatria jawa yang terkurung dalam sangkar batu yang keduanya merujuk pada keberadaan candi ini (Soekmono, 1972), namun secara fisik praktis Candi Borobudur terabaikan. Masyarakat sekitar juga sebenarnya mengetahui adanya candi yang saat itu hanya berupa gundukan serupa bukit yang dipenuhi balokbalok batu. Candi Borobudur memasuki era baru setelah Gubernur Jenderal T.S. Raffles membuka “bukit” dan menemukan adanya candi yang luar biasa. Candi Borobudur kembali dikenal setelah pembukaan awal dan publikasi pada tahun 1814. Meskipun hingga tahun 1817 informasi tentang Candi Borobudur baru sedikit yang masuk dalam buku Sejarah Tanah Jawa. Namun pembukaan oleh Raffles yang dikomandoi oleh Cornelius ini memberikan andil yang sangat besar untuk mengenalkan kembali Candi Borobudur yang fenomenal ke masyarakat dunia. Namun usaha Raffles dan Cornelius juga menimbulkan dampak negatif lain, yaitu hilangnya takhayul masyarakat sehingga tidak takut lagi mengambil batu candi sebagai bahan bangunan dan menyebabkan pihak pemerintah setempat ingin tahu lebih banyak sehingga melakukan penggalian sembarangan. Pembersihan ±1,25 abad 1-1,5 abad ± 8 abad Sekarang 200 tahun Pembangunan Abad 8-9 Pemanfaatan Hingga Abad 11 Ditinggalkan Abad 11-19 Penemuan kembali 1814 Pembersihan 1835 Pemugaran I 1907-1911 Pemugaran II 1973-1983 World heritage 1991 TONGGAK-TONGGAK WAKTU PENTING SEJARAH CANDI BOROBUDUR KONDISI FISIK CANDI BOROBUDUR SETELAH PENEMUAN KEMBALI Cover babad tanah jawi
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 37 Pembersihan Candi Borobudur
38 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur dilanjutkan atas perintah Residen Kedu Hartmann hingga mampu menampakkan bentuk candi yang sangat megah. Pembersihan dan pembenahan yang dilakukan Hartmann selesai pada tahun 1835 (Soekmono, 1972). Hingga saat tersebut belum dilakukan upaya pemugaran besar, namun baru penyusunan ulang struktur candi. Yang lebih penting pada era tersebut adalah publikasi oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga nama Candi Borobudur menjadi terangkat di tingkat dunia dan mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Dokumentasi berupa deskripsi foto maupun sketsa juga dibuat untuk mendukung publikasi dan perekaman data. Deskripsi lengkap candi dibuat oleh Brumun sedangkan gambar dibuat oleh Wilson. Setelah Candi Borobudur dibuka, maka berbagai peristiwa baik alam maupun campur tangan manusia terjadi secara intensif. Ketika masih terabaikan candi berada dalam kondisi yang lebih baik, karena batu-batu tertutup oleh gundukan tanah dan semak sehingga terhindar dari interaksi langsung dengan lingkungan. Pengaruh lingkungan seperti sinar matahari, kelembaban, perubahan suhu, aliran air, dan mikroorganisme terjadi secara lebih minimum. Demikian juga pengaruh manusia terutama vandalisme berupa perusakan dan pencurian juga tidak terjadi. Campur tangan manusia yang secara langsung merupakan perusakan, berlangsung setelah Candi Borobudur dibuka, antara lain pembongkaran stupa induk dan mungkin juga bagian lain, hingga dibangunnya shelter dipuncak stupa untuk gardu pandang dan tempat minum kopi. Kerusakan yang semakin mengkhawatirkan membuat Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melakukan pemugaran. Pemugaran yang berlangsung pada tahun 1907-1911 yang dipimpin oleh Theodore van Erp merupakan pemugaran yang sangat sukses dan berhasil mengembalikan kemegahan Candi Atas : sketsa wilson relief Bawah : sketsa wilson relung
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 39 Borobudur. Hasil-hasil pemugaran van Erp tersebut menjadi dasar pemugaran selanjutnya dan beberapa bagian hasil pemugaran tersebut masih bertahan sampai dengan sekarang. Kondisi Kerusakan dan Pelapukan Sebelum Pemugaran van Erp Sebagaimana digambarkan di atas, kondisi candi sebelum pemugaran van Erp sangat memprihatinkan. Dari tinjauan material, masa sebelum candi dibuka dari semak belukar merupakan masa yang paling baik bagi keawetan material. Pada masa yang panjang tersebut (kurang lebih 8 abad) batu-batu justru terlindung dari faktor lingkungan oleh tanah dan semak belukar. Kondisi tertutup tanah dan semak tersebut menyebabkan material berada dalam kondisi yang stabil. Faktor yang mempengaruhi laju pelapukan dan kerusakan material cagar budaya adalah kualitas dan karakteristik material serta interaksinya dengan lingkungan. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi kecepatan pelapukan. Air merupakan faktor utama karena mampu melarutkan beberapa senyawa kimia dalam material, sinar matahari juga berperan dalam mempercepat laju degradasi. Air dan sinar matahari bersama dengan kelembaban dan suhu udara dapat menyebabkan pertumbuhan organisme yang melapukkan material secara lebih cepat. Selama material batubatu Candi Borobudur dalam keadaan terpendam dan tertutup belukar, faktor-faktor lingkungan tersebut menjadi stabil sehingga pengaruhnya terhadap pelapukan material menjadi minim. Di sisi lain adanya semak-semak, rumput, dan pohonpohon di atas struktur candi justru berdampak negatif. Akar-akar pohon dan semak dapat merusak struktur candi karena akar-akar dapat menekan celah-celah batu dan menyebabkan posisi batu bergeser dari tempatnya. Kondisi ini menyebabkan struktur candi menjadi rusak dan ada kemungkinan materialnya juga mengalami kerusakan. Dua sisi yang mempengaruhi ini satu sama lain menyebabkan dampak positif dan sekaligus negatif terhadap pelapukan dan kerusakan material. Aspek mana yang akan dominan mempengaruhi, apakah dengan kondisi tertutup tersebut material menjadi lebih awet ataukah sebaliknya. Dari sudut pandang material, stabilitas lingkungan yang dapat menurunkan kecepatan pelapukan lebih dominan dibanding pengaruh negatif akar-akar tumbuhan. Meskipun, dari sudut pandang struktur keadaan tertutup semak dan pohon akan mempercepat kerusakan struktur. Meskipun batu-batu Candi Borobudur telah berusia sangat tua, namun hingga hari ini masih relatif kuat dan belum mengalami kerapuhan yang parah. Hal ini karena masa perjalanan panjang material Candi Borobudur justru didominasi oleh masa tertimbun dan tertutup semak belukar. Satu ironi yang harus diterima adalah dibukanya candi dari timbunan dan semak belukar justru akan mempercepat laju degradasi berupa pelapukan dan kerusakan akibat interaksi material dengan lingkungan, terlebih manusia. Namun hal tersebut adalah kenyataan yang harus diterima, karena membiarkan candi dalam keadaan terabaikan juga kurang bijaksana. Selanjutnya menjadi tugas para pelestari untuk menjaga candi dalam keadaan terbuka agar dapat dimanfaatkan dan dikaji secara optimal, namun pada saat yang sama material dan struktural candi juga tetap terpelihara. Masa antara pembukaan candi dan pemugaran van Erp merupakan masa yang buruk bagi konservasi material Candi Borobudur. Pada masa tersebut dilakukan berbagai observasi dan dokumentasi yang sebagian diantaranya menyebabkan kerusakan. Candi Borobudur dengan shelter di stupa
40 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Batu-batu candi masih berserakan Stupa induk pernah dibuka untuk mengetahui benda penting yang mungkin ada di dalamnya, meskipun kemudian yang ditemukan justru arca yang kurang sempurna (Unfinished Buddha atau masyarakat lokal menyebut Mbah Belet). Selanjutnya puncak stupa induk juga pernah dibangun shelter untuk gardu pandang dan tempat para Meneer Belanda menikmati kopi. Berbagai percobaan yang dilakukan juga kurang dilandasi dengan ilmu pengetahuan yang memadai. Tentu saja pada waktu itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum semaju sekarang. Sebagai contoh adanya usulan penggunaaan asam sulfat untuk mematikan gulma dan pohon-pohon yang akarnya masuk ke bangunan oleh L. Serrurier tahun 1899 (Hyvert, 1972). Penggunaan asam sulfat tentu saja efektif untuk mematikan gulma, tetapi asam sulfat sangat keras sehingga dapat merusak batu. Bisa dibayangkan bagaimana kerusakan batu yang terjadi jika disiram dengan asam sulfat. Pada saat itu mungkin senyawa ini dianggap sebagai senyawa ampuh, tetapi ilmu pengetahuan saat itu belum memahami dampak kerusakan yang diakibatkan. Ada kemungkinan beberapa percobaan lain juga diajukan namun tidak masuk dalam catatan. Meskipun demikian, Profesor Voute yang meneliti Candi Borobudur menjelang pemugaran kedua menyatakan tidak bisa mengungkap, apakah usulan-usulan penggunaan bahan kimia tersebut benar-benar dilakukan pada saat itu atau tidak. Laporan mengenai pembuatan cetakan untuk mengkopi relief juga meninggalkan bahan yang tidak hilang. Pada tahun 1899 ditemukan lapisan plester pada relief yang sulit dihilangkan dan membingungkan, karena menjadi pertanyaan apakah plester ini berasal dari masa lampau atau bukan. Belakangan baru diketahui bahwa plester tersebut merupakan sisa-sisa pembuatan kopi relief yang menggunakan plester sebagai media cetak. Von Saher melakukan pencetakan beberapa panil relief yang akan digunakan untuk pameran di Paris tahun 1900 (Hyvert, 1972). Plester tersebut saat ini mungkin masih ada jejak-jejaknya atau sebagian besar telah dibersihkan pada pemugaran kedua. Pada masa sebelum pemugaran van Erp banyak batu-batu candi yang belum pada tempatnya. Berdasarkan catatan perjalanan yang dibuat oleh seorang pelancong Belanda pada tahun 1834 (20 tahun setelah dibuka), Candi Borobudur masih dalam kondisi reruntuhan namun bentuk dasarnya masih terlihat. Batu-batu masih berserakan sehingga untuk bisa naik ke puncak candi perlu memanjat-manjat. Pada bagian atas juga masih bisa diamati adanya
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 41 72 stupa meskipun masing-masing tidak utuh. Banyak arca Buddha pada relung-relung yang sudah hilang kepala atau tangannya. Catatan tersebut juga menyebutkan batu-batu sudah mulai lapuk tetapi masih memiliki bentuk pahatan yang baik (Hyvert, 1972). Sebagai catatan tambahan, buku-buku laporan dan literatur tentang Candi Borobudur baik sebelum pemugaran, selama pemugaran, atau setelah pemugaran van Erp telah banyak yang hilang dan sulit ditelusuri. Salah satu yang paling banyak menyebabkan hilangnya literatur tersebut adalah terjadinya kebakaran di perpustakaan Universitas Leiden akibat pemboman pada perang dunia kedua (Hyvert, 1972). Permasalahan Air dan Penanganannya pada Pemugaran I Candi Borobudur yang berada di lingkungan terbuka menghadapi pengaruh lingkungan secara langsung. Material batu penyusun Candi Borobudur terbuat dari andesit yang bersifat porous atau berpori. Jenis material porous akan berinteraksi dengan air dengan sangat baik. Air dapat bergerak di permukaan batu dan juga di dalam batu melalui pori-pori. Pergerakan air di dalam batu dapat menyebabkan reaksi pelapukan terjadi lebih cepat. Air dapat melarutkan senyawa terlarut dalam batu dan menyebabkan degradasi. Air juga dapat membawa garam-garam dalam tanah masuk ke dalam batu. Garam-garam dari tanah tersebut dapat mengendap di dalam pori atau pada permukaan batu. Garam yang mengendap tersebut dapat menyebabkan terjadinya pelapukan lebih lanjut. Di sisi lain air juga menyebabkan dampak serius pada struktur candi. Candi Borobudur yang berdiri di atas bukit memiliki kerentanan terhadap air. Struktur susunan batu candi berada di atas tanah bukit dan tanah urug sehingga air yang masuk ke dalam struktur candi dapat menyebabkan tanah di bawah candi jenuh dengan air. Tanah yang jenuh dengan air akan menjadi lembek dan menurunkan daya dukung, sehingga struktur candi menjadi melesak dan mengalami deformasi (perubahan bentuk). Pada saat candi dibuka, deformasi struktur terutama kemelesakan telah terjadi. Kemelesakan tersebut sebagian tetap dibiarkan bahkan hingga menjelang pemugaran kedua (1973-1983). Permasalahan air yang sangat berpengaruh negatif terhadap kelestarian Candi Borobudur tersebut ternyata sudah disadari sejak pemugaran van Erp. Berbagai permasalahan yang timbul akibat air memang telah nyata pada masa sebelum pemugaran van Erp. Kondisi batu-batu candi yang mulai lapuk, pertumbuhan lumut, semak, dan tumbuhan yang subur, kemelesakan yang parah, hingga keluarnya air dari dinding berelief mengindikasikan air merupakan permasalahan serius. Pemugaran van Erp telah berusaha merencanakan pengendalian air secara terencana. Hal ini masih bisa kita lihat hingga saat ini pada area teras stupa dan lantai selasar yang sela-sela batunya ditutup dengan campuran mortar. Sebelum pemugaran masih banyak batu-batu yang tidak pada tempatnya, maka menyusun ulang batu-batu merupakan pekerjaan besar yang dilakukan pada saat itu. Sebagaimana pemugaran candi-candi lain di Indonesia yang berkiblat pada konservasi Eropa, Candi Borobudur dipugar dengan prinsip anastilosis. Metode anastilosis dilakukan untuk mengembalikan struktur candi dengan menggunakan bahan aslinya. Penyusunan ulang dengan cara susun coba dilakukan hingga diperoleh kembali struktur candi yang seperti aslinya. Pada metode anastilosis tidak diperkenankan melakukan interpretasi bentuk struktur tanpa menemukan material aslinya. Analogi sebagai salah satu metode pemugaran dengan membandingkan struktur yang sudah ada untuk membuat struktur lainnya tidak diperkenankan. Analogi hanya digunakan untuk membantu proses susun coba tetapi tidak digunakan untuk menyusun struktur lain dengan material baru. Pemugaran van Erp secara umum telah mampu mengembalikan struktural dan arsitektural Candi Borobudur. Kemegahan Candi Borobudur telah mampu ditampakkan kembali dengan mengacu pada bentuk asli, sehingga perbedaan bentuk asli dan bentuk hasil pemugaran ini minimal. Pemugaran van Erp telah menyadari pentingnya pengendalian air untuk menjaga kelestarian material dan struktural candi, sehingga harus direncanakan agar tidak menjadi permasalahan lebih lanjut. Model pemugaran van Erp didasarkan pada kebutuhan ini sekaligus mengembalikan arsitektural candi semaksimal mungkin. Secara umum konsep pengendalian air pada pemugaran van Erp masih mengadopsi konsep asli. Air juga tetap dialirkan melalui permukaan bangunan dan dialirkan ke tingkat di bawahnya melalui jaladwara. Berbagai modifikasi dilakukan agar air dapat dikendalikan sesuai perencanaan dan jumlah air yang masuk ke
42 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Gambar penampang candi van Erp
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 43 Gambar skema pemugaran
44 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur dalam bangunan dapat dikurangi. Cara yang digunakan untuk mengurangi jumlah air yang masuk adalah dengan memasang spesi mortar pada sela-sela batu. Semua celah batu pada permukaan horizontal diisi dengan mortar sehingga air tidak masuk ke dalam struktur bangunan. Tanah di bawah bukit diharapkan akan menjadi stabil, tidak jenuh air, dan tidak lembek. Pada bagian Kamadhatu (selasar dan undag) sela-sela batu diisi dengan mortar agar air tidak masuk ke dalam susunan batu. Bagian Kamadhatu ini memiliki celah antar batu yang lebar (3-5 cm), setelah diisi dengan mortar air dapat mengalir pada permukaan. Bagian Arupadhatu (stupa dan lantai terasnya) pengendalian air juga dilakukan dengan cara menutup sela-sela batu dengan mortar. Penataan lantai teras (Arupadhatu) dan selasar (Kamadhatu) berbeda meskipun tujuannya sama, yaitu meminimalkan masuknya air dan mengalirkan air pada permukaan. Pada lantai teras terdapat penambahan satu lapis batu dengan ketebalan sekitar 5 cm di atas batu lantai asli. Satu lapis batu tipis ini direkatkan dengan mortar dan sela-sela batunya juga ditutup dengan mortar. Permukaan lapisan lantai tersebut hingga kini masih bertahan dan menjadi lantai teras yang diinjak oleh pengunjung saat ini. Bagian Rupadhatu sedikit berbeda karena bagian ini tidak ditata ulang (tidak dibongkar total sebelum ditata). Dinding lorong kebanyakan miring dan melesak, demikian juga lantai bergelombang dan melesak mengikuti kemelesakan dinding. Untuk mengendalikan air, lantai diratakan dan ditutup dengan mortar. Bagian yang bergelombang diisi dengan tanah urug dan selanjutnya ditutup dengan satu lapis batu tipis (sekitar 5 cm) yang direkatkan dengan mortar dan sela-selanya juga ditutup dengan mortar. Air diharapkan dapat mengalir pada permukaan lantai yang dirapatkan dengan mortar ini dan selanjutnya mengalir ke tingkat bawahnya melalui jaladwara (gorgoyle). Penutup Pelapukan merupakan peristiwa alami yang pasti terjadi pada setiap benda, hanya kecepatannya saja yang berbedabeda. Konservasi merupakan usaha untuk memperlambat proses pelapukan dari suatu benda cagar budaya. Pada dasarnya pelapukan tidak bisa dihentikan sama sekali, tetapi bisa diperlambat selama mungkin agar benda cagar budaya yang sudah sangat tua tetap dapat dinikmati hingga anak cucu. Atas : selasar yang ditutup mortar Tengah : teras yang ditutup mortar Bawah : langkan candi ditopang kayu
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 45 Pemugaran kedua telah sukses dilakukan, dan saat ini yang masih diperlukan adalah monitoring dan evaluasi terhadap kondisi candi secara kontinyu. Pengelolaan Candi Borobudur mengalami babak baru dengan masuknya Candi Borobudur sebagai warisan dunia UNESCO pada tahun 1991. Kesuksesan pemugaran dan pengakuan dunia internasional melalui daftar warisan dunia UNESCO diharapkan dapat terus dilanjutkan dan dipertahankan. Candi Borobudur diharapkan akan tetap lestari untuk saat ini dan di masa mendatang. Daftar Pustaka Anom IGN (editor). 2005. The Restoration of Borobudur, UNESCO Aris Munandar, dkk. 2011. Pengembangan Mortar Tradisional Sebagai Bahan Grouting. Laporan Percobaan Proyek Penanganan Candi Prambanan Pasca Gempa (tidak dipublikasikan) Cahyandaru N, Arif Gunawan, Arif Widodo. 2008. Analisis Mortar Pemugaran Pertama serta Evaluasi Efektivitas dan Dampaknya. Laporan Kajian Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Hyvert G. 1972. The Conservation of the Borobudur Temple (Indonesia), UNESCO, Paris Meucci C. 2007.Candi Borobudur Research Program; Degradation and Conservation of Stone, UNESCO Expert Mission Report Soekmono. 1976, Chandi Borobudur a Monument of Mankind, Unesco Press, Paris Usaha konservasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui pemugaran dan pemeliharaan. Pemugaran bertujuan untuk mengembalikan bentuk struktur bangunan. Pemugaran yang baik seharusnya disertai dengan perlakuan terhadap material, dan desain pemugaran juga harus mampu mencegah terjadinya pelapukan material lebih lanjut. Selain mengembalikan struktur, pemugaran juga mendesain bangunan agar tahan terhadap berbagai faktor penyebab pelapukan. Sebagai bangunan dengan bahan andesit yang bersifat porous dan terletak di lingkungan terbuka, Candi Borobudur sangat rentan terhadap pengaruh air. Air dapat menyebabkan percepatan pelapukan sekaligus dapat menyebabkan kerusakan struktur karena tanah di bawah candi yang kehilangan daya dukung. Pemugaran pertama Candi Borobudur oleh van Erp ternyata telah memperhitungkan hal ini. Pemugaran telah dilaksanakan dengan seksama untuk mengembalikan keseluruhan bangunan sesuai bentuk asli menggunakan batu-batu asli. Hasil pemugaran van Erp telah mampu mengembalikan keseluruhan struktur candi dengan tetap mempertahankan otentisitas, sekaligus mengendalikan salah satu faktor utama penyebab pelapukan dan kerusakan candi yaitu air. Setelah 100 tahun sebagian hasil pemugaran van Erp masih bertahan dan kita nikmati hingga saat ini. Bagian Kamadhatu (selasar kaki) dan teras stupa beserta stupa-stupanya masih merupakan hasil pemugaran van Erp dan baru sedikit mendapat sentuhan. Bagian Rupadhatu (lorong-lorong dengan dinding relief dan pagar langkan) yang pada saat pemugaran van Erp tidak dibongkar telah mengalami kerusakan yang semakin membahayakan, sehingga bagian ini dibongkar dan dipugar kembali pada tahun 1973-1983 oleh Pemerintah Indonesia-UNESCO. Pemugaran kedua tersebut difokuskan pada perbaikan dinding-dinding candi yang miring, melesak, dan rawan runtuh. Cara yang dilakukan adalah dengan membongkar seluruh bagian rupadhatu ini secara bertahap, memasang lapisan beton penguat, dan memasang kembali struktur batu-batu candi. Pekerjaan ini merupakan usaha besar bagi penyelamatan Candi Borobudur agar dapat dipertahankan selama mungkin. Permasalahan utama kelestarian batu candi, yaitu air ditangani dengan membuat saluran-saluran drainase baru agar dapat mengendalikan air secara sempurna.
46 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Stupa induk sebelum dilakukan pemugaran I (Barabudur III “Beschrijving van Barabudur”, 1931)
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 47 Hubungan antara nama Theodoor van Erp dengan Candi Borobudur tidak dapat dipisahkan lagi. Seperti sumber air yang tak pernah kering, kedekatan antara keduanya tidak habis-habisnya diulas dan ditulis. Namanya tidak hanya dikenal di kalangan arkeolog tetapi telah merambah ke lingkungan masyarakat luas. Setelah menyelesaikan pemugaran pada tahun 1911, van Erp dikenal sebagai seorang perintis pemugaran Candi Borobudur. Pria kelahiran Ambon, 26 Maret 1874 dan berlatar belakang pendidikan militer itu telah menyumbangkan sebagian besar waktunya untuk menyelamatkan candi peninggalan Wangsa Sailendra itu dari keruntuhan yang lebih parah. Rintisan pemugaran itu sendiri sebenarnya merupakan lanjutan dari kegiatan yang dilakukan oleh H.C. Cornelius. Setelah candi berusia 1.000 tahun lebih itu (diperkirakan didirikan abad ke-8) tidak dikenali lagi dan telah berubah bentuk menjadi “bukit” yang ditumbuhi pepohonan. Thomas Stamford Raffles Gubernur Jenderal Kolonial Inggris (1814) yang menerima laporan itu, memerintahkan Cornelius untuk melakukan penelitian. Dengan bantuan tidak kurang dari 200 penduduk desa, Cornelius melakukan pembersihan. Di sela-sela rimbunnya tetumbuhan ditemukan batubatu berukir yang besar dan dalam jumlah yang banyak. Selain batu-batu itu saling bertindihan, sebagian lagi masih tampak tersusun membentuk suatu bangunan besar. Dari upaya Cornelius itulah akhirnya disimpulkan bahwa berita yang disampaikan kepada Raffles ketika berkunjung ke Semarang itu merupakan tinggalan bangunan candi. Raffles sendiri baru tahun berikutnya (1815) berkunjung ke situs yang kemudian dikenal sebagai Candi Borobudur. Sembilan puluh tiga tahun setelah Candi Borobudur “ditemukan kembali” oleh Raffles, pada tahun 1907 pelestarian secara serius keberadaan candi itu dimulai. Meskipun pemugaran yang dipercayakan kepada van Erp dilaksanakan dalam waktu 4 tahun saja (1907-1911) dan bersifat pekerjaan darurat untuk menyelamatkan candi dari keruntuhan yang lebih parah, tetapi hasil pekerjaan yang dilakukannya kemudian menjadi catatan PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR PERTAMA OLEH THEODOOR VAN ERP Theodoor van Erp (A.J. Th. Guus van Erps th)
48 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kiri : Candi Pringapus Tengah : Candi Gedong Songo Kanan : Candi Kalasan Kiri : Candi Pringapus Tengah : Candi Gedong Songo Kanan : Candi Kalasan Kiri : Candi Ngawen Kanan : Candi Prambanan
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 49 penting bagi ilmu arkeologi, arkeolog, arsitek, sejarawan, dan tekno arkeologi. Jerih payahnya memugar candi dengan menerapkan teori “anastylosis” menjadi titik awal pengembangan ilmu arkeologi dan pemugaran di Indonesia. Kolonial Inggris Lebih Gesit Sebelum menginjak pada paparan mengenai berbagai persiapan menuju pelaksanaan pemugaran Candi Borobudur oleh Theodoor van Erp ada baiknya disinggung sedikit mengenai perbedaan pendekatan dalam melaksanakan pemerintahan antara kolonial Belanda dan Inggris terhadap tinggalan budaya di Nusantara. Penemuan kembali Candi Borobudur oleh Raffles yang baru 3 tahun menjabat sebagai gubernur jenderal mengundang pertanyaan, dan sekaligus menunjukkan adanya perbedaan konsep kedua bangsa itu dalam menempatkan posisi negeri jajahan. Mengapa Raffles yang justru datang belakangan langsung menggebrak dunia arkeologi Indonesia dengan menemukan kembali Candi Borobudur yang tergolong spektakuler? Selain itu Raffles lebih dahulu menemukan Candi Sojiwan (1813) setelah menerima laporan anak buahnya, Kolonel Colin Mackenzie. Disusul kemudian penemuan Candi Dieng pada tahun 1814 juga berdasarkan laporan anak buahnya. Setahun kemudian, ditemukan situs Candi Sukuh oleh Residen Surakarta, Johnson (1815) yang kala itu memang secara khusus ditugasi oleh Raffles. Sementara itu, kolonial Belanda yang sudah ratusan tahun menguasai wilayah Nusantara, termasuk wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, jumlah temuannya masih tergolong kecil. Wilayah sekitar Borobudur sudah dikuasai sejak abad ke-18 setelah menerima penyerahan wilayah Kadipaten Kedu dari Sultan Mataram setelah VOC memadamkan pemberontakan. Nama kadipaten ini kemudian berubah menjadi Karesidenan Bagelen. Beberapa candi yang ditemukan Belanda sebelum Raffles datang adalah Candi Prambanan oleh C. A. Lons pada tahun 1733 pada tahun 1733 di kedalaman tanah lebih dari 6 meter, disusul kemudian tahun 1740 Loten menemukan kompleks Candi Gedong Songo. Disusul berikutnya situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, sementara Candi Kalasan pertama kali ditemukan pada 1806 oleh H.C. Cornelius. Setelah serangkaian temuan candi dan disusul dengan langkah nyata yang dilakukan oleh Raffles, pihak kolonial Belanda mulai menaruh perhatian lebih besar lagi terhadap tinggalan purbakala dibandingkan sebelumnya. Seperti yang tercatat di dalam Encyclopedia of Archaeology: History and Discoveries (Tim Murray, 2001: 648), selama abad kesembilan belas, di Hindia Belanda mulai ada peningkatan aktivitas dalam bidang arkeologi. Selain melakukan kajian yang mendalam terutama berkenaan dengan keberadaan candi Hindu-Buddha, juga melakukan pendalaman mengenai metode pelestarian peninggalan purbakala. Dari gambaran sepintas mengenai kebijakan pemerintahan antara kolonial Inggris dan Belanda menunjukkan bahwa Raffles sebagai gubernur jenderal lebih gesit dibandingkan dengan pemerintahan masa kolonial Belanda. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan konsep dan sifat penjajahan yang diterapkan oleh pemerintah Inggris dengan Belanda. Perbedaan konsep itu dapat dilihat dengan membandingkan masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dengan Raffles. Pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811), tugas utamanya adalah memperkuat pertahanan dan keamanan dan menjadikan kota Batavia sebagai benteng pertahanan. Proyekproyek besar seperti pembuatan galangan beserta kapalnya di Surabaya, membangun pelabuhan Cirebon, Tanjung Priok, dan Tanjung Perak, serta membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan menunjukkan bahwa pada masa pemerintahannya lebih mengutamakan pendekatan pertahanan dan ekonomi. Sementara itu, kebijakan utama Raffles lebih diarahkan pada pendekatan budaya. Di bidang pertanian kepada petani pribumi diberikan kebebasan menanam tanaman apa saja, baik kebutuhan sendiri maupun tanaman ekspor dan sewa tanah (Landrent). Pembaharuan kebijakan juga diterapkan oleh Raffles di bidang pemerintahan, ekonomi dan keuangan, hukum, dan di bidang sosial dan budaya. Di bidang sosial, antara lain dihapusnya kerja rodi, perbudakan dan peniadaan hukuman yang kejam dan menyakiti (Perjanjian Tuntang, 1811). Berbagai kebijakan Raffles dalam menerapkan konsep pemerintahan kolonial Inggris tersebut menurut peneliti Nadia Wright dari University of Melbourne Australia (2008 : hal.1) menjadikan Raffles sebagai “orang luar biasa” (extraordinary man).
50 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Selain sebagai gubernur jenderal dan pendiri Negara Singapura, juga menaruh perhatian besar pada bidang penelitian tumbuhtumbuhan (mengembangkan Kebun Raya Bogor, menemukan bunga Rafflesia) serta penelitian sejarah dan kebudayaan Nusantara hingga pada tahun 1817 berhasil menerbitkan buku History of Java sebagai sebagai karya masterpiece. Raffles selama sekitar 6 tahun memerintah sebagai gubernur jenderal, menunjukkan perhatian besar terhadap bidang sosial dan budaya Nusantara. Langkah itu kemudian menjadi motor penggerak bagi pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan hal yang sama terhadap tinggalan budaya di Jawa, khususnya Candi Borobudur. Para ilmuwan Belanda antara lain melakukan pendokumentasian bangunan candi, dengan melakukan penggambaran oleh H.C. Cornelius, H.N. Sieburgh, C.J. van der Vlis, F.C. Wilson, pemotretan oleh J. van Kinsbergen, inventarisasi oleh F. Junghuhn, restorasi bangunan candi seperti Candi Mendut, dan penggalian candi di situs Dieng. Selain itu juga melakukan survei dan pendokumentasian berbagai situs lainnya secara sistematik oleh J.F.G. Brumund, C. Leemans, Groeneveldt W.P., R.D.M. Verbeek, J. Crawfurd, dan lainlain. Juga penerapan metode pendokumentasian data situs seperti yang dilakukan di Eropa, antara lain dengan cara pembuatan negatif kaca tentang monumen Borobudur oleh A. Shaefer pada tahun 1845. Selain itu, berturut-turut menemukan Candi Mendut (1836), Ceto di Karanganyar tahun 1842 oleh Van de Vlies, dan Candi Ijo tahun 1886 oleh H.E. Doorepaal. Beberapa Aktivitas Sebelum Pemugaran Oleh Van Erp Ada beberapa kegiatan persiapan sebelum dilaksanakannya pemugaran candi, yaitu yang berkenaan dengan pembentukan panitia, pembersihan candi, pengumpulan data, penelitian kondisi fisik candi, dan perencanaan dalam hal teknis pemugaraan dan anggaran. Enam tahun setelah Inggris meninggalkan Nusantara, Belanda membentuk sebuah komisi (1822) diberi nama Commissie tot het Opsporen, Verzamelen, en Bewaren van Oudheidkundige Voorwerpen atau Komisi Penelusuran, Pengoleksian, dan Pemeliharaan Benda Arkeologi. Mungkin karena lembaga ini dinilai tidak sukses dalam melaksanakan misinya, maka jarang disebut seperti halnya lembaga atau komisi yang lain (Supardi, 2013 : 106). Tetapi peristiwa berdirinya komisi yang berlabel “oudheidkundige” patut dicatat sebagai lembaga khusus bidang kepurbakalaan pertama di Indonesia. Berdirinya lembaga ini telah menjadi peletak dasar penelitian dan pengembangan bidang arkeologi, sebagai salah satu disiplin ilmu di Indonesia. Seperti dicatat di dalam Encyclopedia of Archaeology lembaga ini disebutnya sebagai: “The foundations for the development of archaeology as a discipline in Indonesia were created by the Dutch in the fields of documentation, restoration, excavation, and interpretation” (Tim Murray, 2001: 648). Sementara kalau menurut Sadiah Boonstra, baru pada tahun 1862 pemeritah Belanda dan KBGKW secara serius menaruh perhatian terhadap tinggalan purbakala dengan meluncurkan kebijakan baru di bidang arkeologi (a new archaeology policy) (Sadiah, 2009: 366). Dalam hal pembersihan candi, nama Hartmann sebagai Residen Kedu yang menjabat sejak 1832 masuk dalam catatan. Mulai tahun 1834 ia memimpin pembersihan seluruh situs. Berkat usahanya berubahlah pemandangan di Desa Borobudur. Ketika itu disebutnya Borobudur bagaikan mahkota yang menghiasi perkebunan dan sawah penduduk sekitar candi. Atas perintah IJzerman Archeologische Vereniging van Djogdjakarta melakukan penggalian bagian kaki Candi Borobudur dan menemukan dinding dasar yang berisi 160 panel relief, berisi kisah tentang Karmawibhanga. Kisah itu merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir. Oleh agama Buddha rantai itu akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Relief yang sarat ajaran tentang hidup itu tidak memiliki alur cerita tunggal dengan karakter yang permanen dan dimaksudkan sebagai pedoman hidup bagi penduduk pada umumnya, sehingga pemahat memiliki kebebasan untuk menggambarkan adegan dengan model yang diambil dari kehidupan nyata di lingkungan sosial saat itu. Dilihat dari aspek ini, pembangunan Candi Borobudur beserta reliefnya memang dirangcang sebagai sebuah “informasi” tentang kehidupan sehari-hari (Sedyawati, 2009: hal 1) Sebelum hasil temuan itu ditutup kembali, relief itu diabadikan dalam bentuk foto oleh seorang fotografer bernama Kassian Cephas. Hingga saat ini, dokumentasi relief candi karya Cephas itu merupakan rujukan utama dalam kajian Candi Borobudur. Langkah melakukan penggalian - meskipun tidak dilanjutkan dan ditimbun kembali – penelitian kemudian diikuti dengan pendokumentasian,