200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 51 menunjukkan suatu awal kesungguhan para ahli Belanda untuk mengetahui lebih dalam tentang keberadaan candi. Tetapi selain itu ada pula pihak yang menyampaikan saran yang berbeda. Akibat kondisi candi yang tidak stabil dan maraknya pencurian pada tahun 1882 kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum (Miksic, Tranchini, Tranchini (1996). “Borobudur Golden Tales of the Borobudur”: Tuttle publishing. hlm. 29. http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur). Mengenai terjadinya pencurian atau lebih tepat penjarahan artefak di Borobudur itu pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya perhatian dalam waktu yang cukup lama. Seperti dinyatakan oleh Dr. F.D.K. Bosch pada waktu pembukaaan Museum Sonobudoyo tahun 1935 penjarahan itu bahkan dilakukan oleh lembaga Archeologische Vereniging van Djogdjakarta. Dalam pidato peresmian, dengan judul “De Ontwikkeling van het Museumwezen in Nederlandsch Indië”. disebutkan oleh Bosch bahwa lembaga itu atas anjuran dan petunjuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen (BGKW) menghimpun barang-barang purbakala untuk membangun museum ilmu purbakala (Djawa, Th. 1935: hal. 209-221). Ide itu diterima oleh Residen Djogdjakarta tahun 1885 dan diberikan tempat untuk mendirikan bangunan untuk museum. Tetapi baru tahun 1896 museum benar-benar terwujud. Tetapi museum ini tidak lama usianya karena BGKW menemukan data bahwa ada beberapa arca yang diambil dari beberapa situs. Beberapa artefak itu akhirnya dikembalikan ke tempat semula dan yang lain di bawa ke museum van het BGKW (Amir Sutaarga, 1962: hal. 12). Perhatian Belanda mulai serius untuk melakukan pemugaran Candi Borobudur mulai muncul setelah membaca laporan Mr L. Serrurier pada tahun 1899, yang disampaikan kepada BGKW tentang kondisi beberapa monumen penting di Jawa Tengah. Berdasarkan laporan itu G.G.W. Rooseboom - mantan Jenderal Zeni Militer Tentara Belanda - dan Letjen H.P. Staal, komandan Zeni pada tentara K.N.I.L. tertarik untuk mengunjungi Borobudur. Dari hasil kunjungan Rooseboom itu pada tahun 1900 dibentuk Borobudur Commissie. Anggota Komisi terdiri atas 3 orang yaitu Prof. Dr. J.L.A. Brandes, Mr. Van de Kamer dan Theodoor van Erp. Masuknya nama van Erp sebagai salah satu dari tiga serangkai (saat itu van Erp berusia 26 tahun) karena tugas utama Komisi adalah menetapkan kebijakan utama “menyelamatkan dan melestarikan monumen Borobudur”. Dasar dari pemilihan jatuh pada diri Theo karena ia seorang yang berjiwa militer, ahli di bidang teknik (Zeni Angkatan Darat) dan ahli di bidang rekayasa. Selain itu, van Erp memiliki minat dan kecintaan pada bidang arkeologi dan pemugaran candi. Pada periode 1902-1903 van Erp sudah bekerja pada penyelamatan Candi Siwa di kompleks Prambanan dan kompleks Candi Sewu serta terlibat dalam pemugaran Candi Ngawen, Selagriya dan Pringapus. Sementara itu, minat untuk meneliti dan mendalami arkeologi di wilayah Hindia Belanda khususnya di wilayah Jawa dan Madura menjadi semakin gencar. Pada tahun 1901 dibentuklah sebuah komisi bidang arkeologi yang baru. Melalui Surat Keputusan Pemerintah (Gouvernement Besluit van 18 Mei 1901 No. 4) dibentuklah sebuah komisi yang disebut Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera. Yang ditunjuk sebagai pimpinan komisi itu ialah Dr. Jan Laurens Andries Brandes. Tugas komisi itu adalah melakukan penyusunan dan penulisan kepurbakalaan di Jawa dan Madura dari segi arkeologis dan arsitektonis, membuat gambar-gambar, fotofoto sejauh belum dilakukan pemugaran, pembuatan pedoman dan memberikan peralatan untuk pemeliharaan peninggalanpeninggalan kepurbakalaan yang terdapat di Jawa dan Madura. Berbagai hasil kerja lembaga itu dijadikan bahan masukan bagi persiapan pemugaran Candi Borobudur. Pengaruh konsep pemugaran van Erp bagi ilmu purbakala Mulai tahun 1907 pemugaran Candi Borobudur secara resmi dimulai dan diakhiri tahun 1911. Dari sepak terjangnya selama memugar Candi Borobudur menunjukkan van Erp memiliki pendirian yang kuat. Ia menyesalkan kejadian tahun 1896 ketika Raja Siam Chulalongkorn datang ke Borobudur dihadiahi 8 gerobak arca dan fragmen Candi Borobudur. Artefak yang diboyong ke Siam antara lain, lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, serta arca penjaga dwarapala. Selain itu van Erp juga menghentikan praktek pemanfaatan batu candi untuk dijadikan bahan bangunan seperti untuk pengerasan jalan, pagar pembatas, bahan bangunan pabrik gula dan pemanfaatan
52 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur lainnya seperti yang terjadi di Prambanan. Salah satu keuntungan dari posisi Borobudur dibandingkan dengan Candi Prambanan menurut van Erp adalah Candi Borobudur berada di bukit dan tertutup tanah, abu dan tumbuh-tumbuhan, sementara batu Candi Prambanan lama terserak di tempat rata dan terbuka. Dengan demikian bebatuannya mudah dimanfaatkan untuk proyekproyek bangunan baru di daerah tersebut. Antara lain digunakan untuk penguat rel kereta api dan pabrik gula. Dalam hal ini van Erp mengatakan bahwa Candi Borobudur ditakdirkan sedikit saja batunya yang dijadikan “candied” atau “gula-gula”. (Guus van Erp 2011: hal. 5). Dalam hal menghadapi kerusakan komponen candi yang rusak atau hilang dijarah orang, van Erp berpegang teguh pada teori anastylosis, sebagai suatu istilah di bidang arkeologi untuk memulihkan kembali bangunan kuno yang hancur dengan cara secermat mungkin menggunakan unsur-unsur bangunan asli. Hal lain yang menunjukkan keteguhan sikap van Erp dalam memuliakan tinggalan purbakala adalah ketika menolak konsep pelestarian Candi Borobudur yang diusulkan oleh Kamer sebagai anggota Komisi. B.W. van de Kamer yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum (Waterstaat). Dia mengusulkan agar dibangun atap untuk melindungi Candi Borobudur dari hujan tropis dengan cara menutup seluruh struktur dengan atap berbentuk piramid dari bahan lempengan besi dengan didukung oleh 40 tiang baja pada titik-titik tertentu. Terlepas dari keuntungan candi terhindar dari keganasan curah hujan di bukit Budur, van Erp menilai konsep itu sebagai “monstrosity” atau “keganjilan” dilihat dari sisi estetika. (Guus van Erp: hal. 3). Menurut van Erp ketika Gunadharma sang “arsitek” memilih bentuk Candi Borobudur pada abad kesembilan seperti itu dan menempatkan di lokasi itu, karena bila dilihat dari punggung bukit pegunungan Menoreh akan tampak siluet candi yang megah dan indah. Theodoor van Erp memang hanya melaksanakan pemugaran pada bagian-bagian tertentu saja. Antara lain membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak, menegakkan kembali dinding-dinding yang miring pada tingkat pertama, serta memperbaiki gapura-gapura, relung-relung, dan stupa-stupa yang rusak. Meskipun pekerjaan hanya berhenti sampai di situ, tetapi karya van Erp mempunyau gaung yang luas. Tidak hanya penting bagi akademisi dari Barat tetapi juga bagi kaum cendekiawan bumiputra. Bahkan penemuan kembali dan pemugaran itu menjadi ajang studi tentang Candi Borobudur oleh Penyelamatan Candi Prambanan - Siwa
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 53 para sarjana Belanda. Situs Borobudur menjadi media untuk bersaing dengan ilmuwan-ilmuwan lain lintas-bangsa yang meneliti bidang arkeologi di tempat lain seperti di India, Ceylon, Siam (Thailand) dan Negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pekerjaan pemugaran yang dilakukan van Erp menjadi “ruang kelas” dan “lembaran buku terbuka” bagi siapa pun yang berminat belajar ilmu purbakala dan pemugaran. Teori yang diterapkan dalam pemugaran candi itu telah menjadi bahan diskusi dan menjadi acuan dalam pemugaran bangunan bersejarah di Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan pemugaran Borobudur tahap dua, tahun 1971-1983. Penutup Meskipun masih banyak kisah menarik tentang hubungan antara Theodoor van Erp dengan Candi Borobudur, pada bagian penutup tulisan ini patut dikutip pengakuannya ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Fakultas Seni dan Filsafat Universitas Amsterdam tanggal 17 September 1951. Ketika tiba pada acara penyampaian rasa syukur telah diberi gelar itu Dr. Theodoor van Erp mengungkapkan sepenggal kisah perjalanan hidupnya yang dinilainya paling berkesan dan sekaligus menunjukkan betapa besar cintanya pada bidang arkeologi dan Candi Borobudur. Menurut van Erp tahun-tahun yang paling membahagiakan di sepanjang hidupnya adalah saat dekat dengan Candi Borobudur. Diakuinya sebagai “the best years of my life, at the foot of the grey stupa” (Guus van Erp 2011: hal. 16). Hubungan antara keduanya menjadi semakin lekat karena ia dibuatkan rumah tinggal tepat di kaki Borobudur. Dengan fasilitas rumah tinggal itulah Theodoor van Erp dapat bekerja secara fokus dalam merintis pemugaran Candi Borobudur, dan didukung semangatnya oleh isterinya Betsy Grevers (putri Mayjen Infanteri J.A.P. Grevers) serta anak pertamanya John van Erp yang lahir di Magelang tahun 1904. Daftar Pustaka 1. Boonstra, Sadiah. 2008. Early Photography in the Dutch East Indies: Between Art and Objectivity, dimuat dalam Uncovering the Meaning of the Hidden Base of Candi Borobudur, Ministry of Culture and Tourism. 2. Guus van Erp, A.J. Th. 2011: Life and Work of Theo van Erp, March 26, 1874 – May 7, 1958 Laren (N-H). 3. Murray, Tim (Ed). 2001. Encyclopedia of Archaeology: History and Discoveries, Santa Barbara California, USA. 4. Majalah Djawa, terbitan tahun 1935. 5. Sedyawati, Edi, Prof. Dr. 2009. Innovations at Borobudur, dimuat dalam Uncovering the Meaning of the Hidden Base of Candi Borobudur, Ministry of Culture and Tourism. 6. Supardi, Nunus. 2011. Kebudayaan dalam Lembaga Pemerintah dari Masa ke Masa, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 7. Sutaarga, Amir. 1962. Persoalan Museum di Indonesia, Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. 8. Wright, Nadia. 2008. Sir Stamford Raffles – A. Manufactured Hero?, The 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia, Melbourne 1-3 July 2008. 9. http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur http://id.wikipedia. org/wiki/Borobudur nunussupardi, 4/6/2014
54 Stupa teras dan induk dilihat dari sisi tenggara setelah pemugaran oleh van Erp 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 55 Kedatangan Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles menggantikan pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels di bumi Nusantara khususnya Jawa tahun 1811 telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia. Ilmu budaya, sejarah, arkeologi, antropologi, botani, administrasi, dan lain-lain, mendapatkan perhatian Sang Gubernur Jenderal. Selama hampir enam tahun memerintah (1811-1816) pada tahun 1814 Raffles mengambil prakarsa untuk menemukan kembali Candi Borobudur dan beberapa candi lainnya seperti Sojiwan (1813), Dieng (1814), dan Sukuh (1815). Sembilan puluh tiga tahun kemudian (1907) temuan yang tergolong spektakuler itu menjadi motor penggerak bagi pemerintah dan para ahli Belanda untuk melakukan pemeliharaan, pemugaran, dan penelitian candi secara serius dan mendalam. Di antara deretan nama para ahli yang ada, nama Theodoor van Erp tidak pernah lupa disebutkan. Latar belakang pendidikannya adalah militer, sehingga keterlibatan van Erp dalam urusan Candi Borobudur telah menarik perhatian banyak orang. Pria kelahiran Ambon, 26 Maret 1874 itu telah menyumbangkan sebagian besar tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menyelamatkan candi peninggalan Wangsa Syailendra itu dari keruntuhan yang lebih parah. Prestasi yang dicapai van Erp yang mulai memugar tahun 1907 dan diakhiri pada tahun 1911 menjadikan namanya dikenal sebagai perintis pemugaran Candi Borobudur. Di balik ketenarannya sebagai serdadu tetapi juga ahli dalam purbakala dan pemugaran candi, ternyata masih terselip kelebihan lainnya yang belum banyak diungkap dan diketahui banyak orang. Sisi lain dari kehidupan van Erp itu tidak kalah menarik bila dibandingkan dengan keahliannya di bidang arkeologi dan pemugaran candi. Theodoor van Erp ternyata juga seorang seniman. Dari Serdadu Menjadi Pemugar Candi Perjalanan hidup Theo – demikian nama panggilan menurut cucunya yang bernama A.J. Th. Guus van Erp – ternyata penuh lika-liku. Pengalaman hidup itu makin membuat dirinya menjadi figur yang lengkap. Menginjak usia 4 tahun ia dikirim ke kampung halaman orang tuanya (Belanda) untuk mendapatkan pendidikan. Selama 144 hari ia diombang-ambingkan gelombang laut di atas kapal yang berlayar menyusuri laut Tanjung Harapan, Afrika Selatan yang dikenal ganas. Sebelumnya, ketika kapal melaju di Selat Sunda tiba-tiba kapal rusak dan harus berhenti selama 6 minggu. Setelah SISI LAIN THEODOOR VAN ERP SEBAGAI SERDADU DAN PERINTIS PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR Kondisi Candi Borobudur sebelum pemugaran I
56 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kiri : Theodoor van Erp berpangkat Letnan Dua Zeni (foto: C.J.L. Vermeulen, 1900) Tengah : ketika melaksanakan pemugaran Candi Borobudur 1907-1911(Sumber: http://dutchstudiessatsea.nl/auteur) dan Theo dalam lukisan Kanan dalam usia lanjut ketika tinggal di Belanda. (Sumber: A.J. Th. Guus van Erp)
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 57 tiba di Belanda Theo kecil menumpang pada seorang famili yang tinggal di Provinsi Barbant Utara. Masa kecil berjauhan dengan kedua orang tuanya, Theo tumbuh menjadi remaja mandiri. Tahun 1892, dalam usia 18 tahun Theo masuk ke Akademi Militer Belanda (de Koninklijke Militaire Academie) di Breda. Lulus tahun 1896 dengan pangkat Letnan Dua bidang teknik, ditempatkan pada pasukan KNIL di Hindia Belanda. Berkat latihan fisik selama belajar di Breda, Theo tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki postur tubuh yang kekar dan tegap. Theo juga seorang penunggang kuda yang handal dan pemain pedang yang hebat. Di awal karirnya sebagai serdadu, Theo sempat dikirim ke Aceh ketika pecah perang Aceh. Setelah pangkatnya naik menjadi Letnan Satu, Theo ditempatkan di Magelang yang dikenal sebagai kota militer. Sebagai tentara bidang teknik, Theo ikut merancang bangunan Masjid Raya Al Mashun di Medan dan penyelesaian pembangunan Benteng Pendem di Cilacap. Ketika pembangunan masjid sedang berjalan, Theo dipanggil ke Jawa untuk membantu pemugaran candi. Keterlibatannya diawali dengan membantu penyelamatan dan pemeliharaan Candi Siwa di kompleks Prambanan dan candi induk di kompleks Candi Sewu tahun 1902-1903. Theo selanjutnya juga terlibat dalam pemugaran Candi Ngawen di Muntilan, Magelang, Candi Selogriyo di Kecamatan Windusari, Magelang dan Candi Pringapus di Temanggung yang dipugar tahun 1932. Pada tahun 1899 Mr. L. Serrurier menyampaikan laporan kepada Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (KBGKW) tentang kondisi beberapa monumen penting di Jawa Tengah. Laporan itu menarik perhatian G.G.W. Rooseboom, mantan Jenderal Zeni Militer Tentara Belanda, khususnya mengenai Candi Borobudur. Bersama Letjen H.P. Staal (komandan Zeni pada tentara KNIL), Rooseboom pada tahun 1900 berangkat mengunjungi Borobudur. Dari hasil kunjungan itu dibentuklah Borobudur Commissie beranggotakan tiga orang, yaitu Prof. Dr. J.L.A. Brandes (Ketua), Mr. Van de Kamer, dan Theodoor van Erp. Tugas pokoknya adalah menyelamatkan candi dari keruntuhan dengan cara merestorasi. Dengan terpilihnya sebagai salah satu dari tiga serangkai itu, Theo mengemban tugas baru dan bidang baru, sebagai koordinator dan pengawas lapangan. Ia lalu membangun kerjasama dengan banyak orang, baik mengenai hal-hal yang berhubungan masalah arkeologis, teknis, maupun administratif. Selain itu dia juga bekerja sama dengan juru gambar, fotografer (termasuk dengan J.J. de Vink), seniman lokal Kartodisastro, dan banyak karyawan lokal lainnya. Tahun 1907 Theo memulai pekerjaan pemugaraan setelah melakukan berbagai persiapan sebelumnya. In april 1907 ging Van Erp van start met f 48.800,-- en begon aan het herstel dat tot december 1911 zou duren. Ketika pekerjaan sedang berjalan setahun (1908) Theo mengadakan evaluasi. Menurut perhitungan Theo, dengan rencana yang telah disetujui ada sasaran yang belum tercapai. Theo membuat perhitungan ulang dan mengusulkan rencana kegiatan dan anggaran tambahan. Berkat kecermatannya itu akhirnya pada tahun 1910 keagungan Candi Borobudur mulai tampak mendekati aslinya. Foto’s voor en na de restauratie tonen het grote verschil. Bila gambar Candi Borobudur sebelum dan sesudah restorasi dibandingkan, menunjukkan perbedaan yang amat besar. Vele nissen konden herbouwd worden. Para ilmuwan dan banyak orang mengakui dan mengagumi cara kerja dan hasil pemugarannya. Dipadu dengan lingkungan dan dilatarbelakangi Bukit Menoreh, bangunan Borobudur menjadi tampak agung, indah, dan megah. Berkat prestasinya itu Theo pantas disebut pahlawan. Bukan kepahlawanan seorang serdadu yang memenangkan peperangan melawan musuh tetapi dalam merintis pemugaran Candi Borobudur. Dari kepahlawanannya di bidang pemugaran dan ilmu arkeologi itu pada tahun 1937 pemerintah Belanda menganugerahkan bintang Ridder in de Orde van de Netherlandse Leeuw (Knight in the Order of Dutch Lion). Anugerah bintang itu diberikan kepada mereka yang memiliki jasa luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan seni, dalam hal ilmu purbakala dan pemugaran candi Jawa kuno, Borobudur. Penghargaan berikutnya diberikan pada tanggal 17 September 1951. Theo menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Fakultas Seni dan Filsafat Universitas Amsterdam. Bertindak sebagai promotor adalah Prof. Dr. Th. P. Galestin dari Universitas Leiden, Belanda. Yang menarik, di dalam pidato pembukaan Prof. Galestin menyampaikan kisah sedih yang menimpa Theo. Dikisahkan, pada tanggal 3 Maret 1945 saat pecah Perang Dunia II pesawat tempur The British Royal Air Force salah sasaran ketika menjatuhkan bom. Korbannya adalah rumah Theo. Rumah itu hancur rata dengan tanah, Theo dan isterinya selamat. Selain rumah hancur, hampir semua
58 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur harta miliknya, termasuk semua tulisan ilmiahnya tentang kesenian Jawa kuno dan tentang Borobudur seperti buku, naskah, foto, dan benda-benda berharga lainnya ikut musnah. Dengan kenyataan yang dialami Theo seperti itu, Prof. Galestin mengatakan “This was ruin, but Theo could not restore”. Meskipun Theo seorang pemugar candi terkenal, tetapi ketika rumahnya hancur Theo tidak mampu memugarnya. Terpaksa Theo tinggal di rumah temannya seorang ahli pertamanan di kota Laren bagian Utara Holland. Pemberian bintang jasa dan gelar akademik itu menunjukkan adanya pengakuan pemerintah dan dunia akademik terhadap jasa besar Theo dalam mengembangkan ilmu kepurbakalaan (arkeologi) dan pemugaran dengan menerapkan teori “anastylosis”. Ditambahkan oleh Prof. Galestin bahwa Theo adalah orang pertama yang tak tertandingi dalam merestorasi Candi Borobudur, menyusun monografi (1931) yang berisi lebih dari 75 artikel dan publikasi. Theo selama bertahun-tahun telah membagi ilmunya dengan memberikan kuliah dan ceramah yang disampaikan dengan diselingi humor. Selain itu, posisi Theo menjadi tambah penting karena juga berjasa mengembangkan KBGKW. Meskipun Theo adalah seorang serdadu tetapi karena jasanya yang besar ia terpilih menjadi salah satu anggota kehormatan dari lembaga itu. Dalam pidato balasannya Theo mengatakan bahwa penghargaan itu sebenarnya telah diterimanya sejak ia ditunjuk untuk melaksanakan pemugaran Candi Borobudur yang pertama. Selanjutnya, Theo yang telah berubah menjadi Dr. Theodoor van Erp tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang memberikan kontribusi untuk penelitian arkeologi dan restorasi monumen di Jawa. Disebutnya nama-nama terkenal seperti Prof. Dr. Brandes, Ir. J.W. IJzerman, G.P. Rouffaer, Prof. N.J. Krom, Prof. F.D.K. Bosch, Dr. W.F. Stutterheim, Prof. Dr. A.J. Bernet Kempers, P.V. Stein Collenfels, H.R. van Heekeren, dan lain-lain. Selain itu Theo menyampaikan harapannya, agar api budaya yang dinyalakan oleh para ahli Belanda, tetap menyala di Indonesia. Diharapkan pula lembaga Oudheidkundige Dienst (OD) yang didirikan tahun 1913 dapat hidup terus (van Erp, 2011:16). Andaikata Theo masih hidup dan melihat perkembangan pemugaran candi termasuk Borobudur sekarang pasti akan bangga. Berbagai bangunan bersejarah dan purbakala di berbagai daerah telah dilaksanakan perawatan dan pemugaran. Tentu akan bertambah bangga jika melihat kelembagaan yang mengurus tinggalan purbakala juga terus berkembang. Api lembaga OD terus menyala dan kini telah menjelma menjadi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman serta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Selain itu juga telah berdiri Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Balai Arkeologi di beberapa provinsi. Setelah selesai bertugas di pemugaran Candi Borobudur, tahun 1914-1918 Theo menjadi komandan Garnizun di kota Hellevoetsluis di Netherland. Sebagai penghargaan dalam posisinya sebagai serdadu, pada tahun 1914 Theo dipromosikan untuk naik pangkat menjadi kapten kemudian menjadi letnan kolonel pada tahun 1918. Seorang notaris dan editor seni koran The Telegraph bernama J.W.F Werumeus Buning, menulis: “kota kecil Hellevoetsluis menjadi tambah manis dari yang selama saya kenal. Hal ini disebabkan oleh hadirnya letnan kolonel jenius van Erp, orang yang telah berhasil memugar Boro Boedoer”. Mengapa Buning menulis kata-kata seperti itu? Ternyata di dalam kantin dan mess perwira yang ada di Hellevoetsluis dihiasi dengan dua belas gambar besar Candi Borobudur. Digambarkan pula oleh Buning bahwa Theo adalah seorang perwira muda yang santun dalam berbahasa, pendiam tetapi senang bercanda. Het bleek altijd een probaat middel. Lukisan karya van Erp, “Boroboedoer”
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 59 Theo Sebagai Seniman Sisi kehidupan Dr. Theo yang satu ini tidak banyak dikenal orang. Bergelut dengan karya budaya berupa candi yang sarat dengan nilai seni (rupa, ukir, sastra, sejarah, arsitektur) ternyata banyak mempengaruhi jiwa Theo. Secara diam-diam van Erp mulai memotret, menggambar, membuat sketsa dan melukis. Bakat seni itu sudah mulai tampak ketika memugar Candi Borobudur. Theo senang membuat gambar dan foto (Sadiah, 2009:376) khususnya relief candi bersama J.J. de Vink. Tetapi karena sibuk dalam pemugaran, bakat itu sementara dipendam dulu. Setelah pemugaran selesai (1911) Theo kembali ke pasukannya. Setahun kemudian (1912) Theo pindah ke Belanda, dan di sinilah Theo selain mengembangkan terus ilmu arkeologi juga mengembangkan bakat terpendamnya sebagai pelukis dan lithographer. Kedekatannya dengan Candi Borobudur telah memberinya inspirasi untuk melukis salah satu sudut candi. Salah satu lukisannya berjudul “Borobudur” (tertulis di sudut kiri bawah dan namanya di sudut kanan bawah) dimuat dalam katalog yang dibuat oleh dua sahabatnya yang bernama Rudolf Hugo Driessen dan Caroline Driessen-Kleyn. Di dalam katalog itu tertulis surat van Erp kepada teman baiknya itu. Bunyinya antara lain sebagai berikut: “Rudolf yang baik. Setelah mencari-cari kumpulan sketsa, saya menemukan satu dari sekian banyak yang menggambarkan bangunan tua, Borobudur. Semoga saya tidak salah memilih dan Anda senang dengan pilihan ini. Salam buat istri Anda”. Surat itu berangka tahun 1933. Selain tinggal di Jawa, van Erp sering pula berkunjung ke Bali. Tampaknya Pulau Dewata yang dikenal sebagai surganya para pelukis juga telah mengilhami van Erp untuk melukis. Karya Theodoor van Erp yang berjudul “Poera Kehen Bangli“ dibuat di atas kertas dengan menggunakan pensil berwarna dibingkai dalam Kiri : Pura Kehen, Bangli. Kanan : lukisan berjudul “Kampong met Temple”
60 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Karya Theodoor van Erp dalam bentuk Poster kaca. Lukisan ini dibuat sekitar tahun 1910-1912 waktu ia masih tinggal di Hindia Belanda. Lukisan itu sekarang masih dalam kondisi sangat baik. Di sudut kiri bawah tertulis “Poera Kehen Bangli” dan di sudut kanan bawah tertera huruf “T.V.R.”, singkatan dari namanya dan kata “Bali” (http://www.artprice.com/). Lukisan itu sekarang sedang ditawarkan oleh suatu balai lelang. Selain melukis Pura Kehen, van Erp juga melukis salah satu sudut kampung di Bali. Lukisan itu diberi judul “Kampong Met Temple”. Lukisan itu sekarang juga sedang ditawarkan oleh suatu balai lelang. Masih ada karya seni yang dihasilkan Theo, dalam bentuk lain. Paling tidak ada 6 karyanya dalam bentuk poster yang sudah ditemukan. Tiga di antaranya seperti terlihat dalam gambar. Poster yang dibuat tahun 1928 itu kini juga sedang dalam proses lelang. Oleh sebuah balai lelang poster itu dikomentari sebagai karya seni yang indah. Poster itu menggambar perayaan lima tahunan berdirinya Universtitas Delft yang keenam belas. Universitas itu berdiri tahun 1848. Poster Van Erp disebutnya sebagai sebuah Art Deco tour de force yang mendapatkan pengaruh kuat dari gaya Ekspresionisme Jerman dan prinsip-prinsip desain Bauhaus. Bauhaus adalah sebuah sekolah seni dan desain di Jerman yang sangat berpengaruh, yang terkenal dengan keunikan gabungan antara seni dan teknik dalam produksi massal. Dalam perkembangan selanjutnya lebih dikenal sebagai nama sebuah gaya seni tersendiri, Bauhaus. Sekolah ini berdiri pada tahun 1919 sampai ditutup oleh Nazi pada tahun 1933. Poster itu menggambarkan kecemasan manusia karena dalam hidupnya akan sangat tergantung mesin (http://www.artnet.com/artists/). Tata letak ornamen yang simetris di tengah-tengahnya diimbangi dua kotak kecil di dua sudut dan seimbang dengan baik dengan teks sepanjang tepi atas dan bawah mengindikasikan betapa kuatnya rasa seni Theo. Pada poster 1 tertulis antara lain: “Delftsch. Studenten; Corps. D.16; Openlucht Spel 2 en 4 Juli; 1848-1928;
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 61 16 de Lustrum; ERP”. Selanjutnya pada poster 2 tertulis kata-kata: “Vrije; Studie; Bewijs van Eerelidmaatschap Studenten; Dispuut Gezelschap. Te Delft den 31 Jan 1933; Uitgereikt aan J.D. Banting”. Adapun pada Poster 3 tertulis: “Delftsch; Studenten; Tooneel; Gezelschap opgericht 10 October 1881. Diploma van Gouden Eerelidmaatschap van het Uitgereikt aan J.D. Banting. Delft 6 Mart 1931”. Karya seni Theo tidak hanya seperti yang dicontohkan di atas. Ternyata masih banyak yang lain, jumlahnya mencapai ratusan. Menurut Guus van Erp cucunya, ketika rumahnya hancur kena bom, sekitar 400 buah koleksinya berupa sketsa dan lukisan ikut hancur. Meskipun peristiwa tragis itu sempat membuat Theo terpukul, tetapi tidak membuat patah semangatnya melainkan semakin mendorongnya untuk terus berkarya. Bahkan ketika ia berusia 80 tahun masih berdiri berjam-jam untuk melukis. Salah satu karya Theo yang disebutnya sebagai proyek besar saat itu adalah melukis Candi Borobudur yang dikerjakan selama beberapa tahun. Lukisan itu dikerjakan dengan penuh perasaan cinta dan kagum pada Candi Borobudur. Karya besar itu kini berada di Amerika Serikat disimpan oleh salah satu cucunya yang bernama Peter van Erp (van Erp, 2011:15). Candi Borobudur ternyata telah mengubah jalan hidup Dr. Theodoor van Erp. Dididik menjadi seorang serdadu berbelok arah menjadi penulis, peneliti, ahli purbakala, dan ahli pemugaran. Tidak hanya itu, Borobudur telah menjadi sumber inspirasi yang menjadikan Dr. Theo pantas disebut sebagai pelukis. Sangat tepat kesimpulan yang ditarik oleh Prof. Dr. Daoed Joesoef tentang prestasinya dalam memugar Candi Borobudur. Theo pantas untuk dipuji. Meskipun sebelumnya tidak pernah menerima latihan secara khusus tentang ilmu arkeologi dan percandian, tetapi seiring dengan berjalannya waktu Theo mampu menangkap makna khusus dari tugas yang dipercayakan kepadanya. Berkat ketekunan dan respect serta cintanya yang mendalam pada Candi Borobudur dan kemudian mengembangkannya, maka dirinya menjadi sejenis “man of culture” (Joesoef, 2004:13) Penutup Sebagai penutup patut dikutip mengenai betapa eratnya hubungan antara Theo dengan pelukis-pelukis sahabatnya. Selain memberikan salah satu lukisannya kepada sahabatnya Rudolf Hugo Driessen, ia juga pernah menandatangani sketsa yang dibuat khusus untuk ulang tahun sahabat yang dikaguminya, pelukis besar Willem van Konijnenburg. Di bagian bawah sketsanya itu tertulis kata-kata, “11 Feb 1928. Theo van Erp. Van den Schender”. Dengan tambahan sekilas mengenai sisi lain dari kehidupan Dr. Theodoor van Erp sebagai seniman, maka makin lengkaplah perkenalan kita dengan lika-liku kehidupan sang perintis pemugaran Candi Borobudur. Theo wafat pada tanggal 7 Mei 1958, dan dimakamkan di Westerveld Cemetery & Crematorium, Driehuis, Netherlands. Pada saat pemakaman hadir beberapa anggota keluarga termasuk kedua putranya yang tinggal di luar negeri (AS) serta disaksikan pula oleh sejumlah pelukis dan teman-temanya yang mencintai bidang arkeologi. Daftar Pustaka 1. Boonstra, Sadiah. 2009. Early Photography in the Dutch Indies: Between Art and Objectivity, dalam Uncovering the Meaning of Hidden Base of Candi Borobudur, The Agency of Development of Culture and Tourism Resources Jakarta Ministry of Culture and Tourism. 2. Guus van Erp, A.J. Th. 2011: Life and Work of Theo van Erp, March 26, 1874 – May 7, 1958 Laren (N-H). 3. Joesoef, Daoed, 2004. Borobudur Penerbit Buku Kompas, 2004. 4. Seratus Tahun Pemugaran Candi Borobudur. 2011. Direktorat Tinggalan Budaya, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 5. http://dutchstudies-satsea.nl/auteur http://dutchstudiessatsea.nl/auteur 6. http://rare-posters.tumblr.com/post/54446534047/d-16- 1928-theodoor-van-er 7. nl.wikipedia.org/wiki/Theodoor_van_Erp 8. http://www.artnet.com/artists/theodoor-van-erp/ 9. http://www.artprice.com/artist/109726/theodoor-erp-van/ lots/pasts/7/Drawing-Watercolor 10. https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=vtKJUmEHI-wuAS0goDQAw#q=Rudolf + Hugo+Driessen+en+theoodor+van+erp
62 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur CANDI BOROBUDUR : PEMUGARAN KEDUA 1973-1983 3 BAB
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 63 Pembersihan manual di stupa induk Candi Borobudur
64 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Tulisan ini diawali dengan pertanyaan apakah kita sekarang masih dapat menemukan data dasar yang menjadi bahan penulisan laporan yang telah diterbitkan Proyek Restorasi Candi Borobudur secara berkala. Proyek besar ini dikenal banyak orang memiliki dokumen yang tersimpan dan tertata dengan baik. Sudah tentu harapan peneliti akan mendapatkan data lama dengan mudah. Namun pengalaman membuktikan sebaliknya, dan baru dapat ditemukan sebagian setelah sebelumnya berusaha keras mengais-ngais himpunan besar data terdiri atas lima ribuan lembar peta (kalkir), sepuluh ribuan foto positif dan negatifnya, gambar-gambar, catatan-catatan harian, dan berbagai laporan yang tak sempat diterbitkan. Belum lagi ribuan pecahan keramik yang ditemukan dengan susah payah di lapangan. Sementara temuan struktur yang setelah ditemukan sejak beberapa tahun yang lalu harus ditinggal di dalam tanah dan “bersimpuh” dengan tenang. Tulisan ini tidak membicarakan tentang pemugaran candi yang penerbitannya sudah amat banyak, tetapi menyampaikan cerita tentang penggalian arkeologi di situs candi dalam rangka memperingati 200 tahun penemuan kembali Candi Borobudur. Tulisan ini sudah tentu tidak lengkap dan hanya menuliskan sedikit sebagai contoh. Bukunya Raffles, The History of Jawa, yang memperkenalkan pertama kali tentang keberadaan bangunan besar di Jawa ke seluruh dunia, juga hanya menuliskan tentang Candi Borobudur di beberapa halaman. Demikianlah Soekmono, pemimpin restorasi Candi Borobudur menyampaikan kekecewaannya kepada penulis. Penggalian di Halaman Atas Candi Borobudur Jauh sebelum Candi Borobudur dipersiapkan untuk dipugar antara tahun 1969-1974, pada tahun 1951-1952 Dinas Purbakala melakukan penggalian di halaman sebelah barat laut candi untuk mendirikan bangunan baru yaitu di lahan bekas kompleks bangunan “Pasanggrahan” yang telah dibumihanguskan masyarakat menjelang serbuan Belanda ke Yogyakarta pada akhir tahun 1948. Menurut Soekmono, hasil penggalian itu mengejutkan karena ditemukan bekas wihara (vihara) yang sudah sejak dahulu dicari-cari (Soekmono, 2002:18). Boechari sebagai ahli epigrafi (tulisan kuno) memberi penjelasan bahwa masuk akal jika di dekat candi sebesar itu terdapat permukiman bagi para pendeta dan pengurus candi, yang tugasnya menyelenggarakan upacara berkala setiap hari (caru pratidina) sebagaimana dinyatakan dalam prasasti Sugihmanek (915 M) dan Cunggrang (929 M), atau melaksanakan persembahan bunga (raga skar) yang dilakukan setiap tahun (ing pratiwarsa). Selain itu mereka juga mempunyai kewajiban untuk memelihara dan merawat candi sebagai bangunan pusat upacara keagamaan (Boechari, 1976:90). Penggalian di halaman barat laut itu (kuadran 4) menemukan dua fondasi bangunan dari bata: sisa fondasi pertama berukuran 29,5 x 24,5 m, lebih besar daripada yang kedua berukuran 10 x 10 m. Di dalam area sisa bangunan pertama ditemukan berbagai artefak penting, yaitu: satu genta perunggu, yang hingga kini menurut Soekmono merupakan genta terbesar di Indonesia, 17 (18) buah umpak dari batu, dan beberapa ribu paku perunggu. Baik dari kedekatan lokasi wihara dengan Candi Borobudur, sekitar 100 m maupun keberadaan genta perunggu, umpak batu penyangga tiang bangunan dan ribuan paku perunggu dijadikan dasar penafsiran bahwa sisa bangunan yang ditemukan di bawah permukaan tanah itu ditafsirkan sebagai wihara dengan gaya arsitektur kayu yang memiliki lonceng wihara yang besar. Selain dua fondasi bangunan ditemukan satu saluran air terbuka yang dibuat secara kasar dengan sejumlah batu bekas pakai di ujung barat laut fondasi bangunan pertama, membujur ke arah barat menuju lereng bukit. Di area wihara ini ditemukan sejumlah besar pecahan wadah keramik asing Cina dan pecahan wadah keramik lokal, sisa benda perunggu, dan beberapa benda dari emas seperti cincin dan sebuah lingga dari emas dalam bentuk realistik (Soekmono, 2002:18). Belum diketahui di mana temuantemuan bernilai cagar budaya itu sekarang berada. PENGGALIAN DI SITUS CANDI BOROBUDUR: SEBELUM MULAI RESTORASI
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 65 Kiri : denah fondasi bangunan wihara (warna merah), Pasanggrahan (biru) Kanan : kantor Proyek Restorasi Candi Borobudur yang sudah dibongkar (kuning), rata dengan tanah. Temuan artefak perunggu Temuan wadah keramik Cina
66 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kiri : sandaran arca prabhamandala dan vajra ditemukan di lereng barat laut (kuadran 4) (Foto ProBo No. 5.736) Kanan : Guci Cina ditemukan di lereng barat Candi Borobudur (kini disimpan di Museum Karmawibangga, Borobudur). Penemuan di Lereng Candi Borobudur Setelah penggalian tahun 1951-1952 tersebut di atas, tidak ada keterangan lebih jauh apakah di halaman candi itu Dinas Purbakala Republik Indonesia mengadakan penggalian lanjutan di bagian lain dari halaman candi. Baru pada bulan Januari 1970, ketika tanah di lereng barat candi digali untuk menempatkan bangunan tangki air, ditemukanlah secara tidak sengaja dua artefak perunggu pada kedalaman 1,20 meter dari permukaan tanah, yaitu: satu benda berupa wajra (vajra) dan satu benda lagi berwujud sandaran arca (prabhãmandala) yang patah di bagian kiri bawah (Pelita Borobudur, 1972: Seri A No. 1). Tinggi prabhãmandala beserta bagian bawahnya ialah 34,5 cm, sedangkan lebarnya hanya 15,5 cm karena bagian kirinya sudah patah dan hilang. Pada bagian kanan terdapat motif gaja-simha dan makara di atasnya. Menurut Boechari (1976:91), gaya sandaran arca ini serupa dengan yang digambarkan pada arca-arca dari Candi Plaosan (Lor) dari pertengahan abad IX. Lebih kurang 70 m di sebelah tenggara dari temuan kedua artefak perunggu tersebut, ditemukan artefak lagi secara tidak sengaja ketika di tanah itu akan dibuat menara tangki air. Temuan itu antara lain empat wadah utuh keramik Cina, pecahan dari dua wadah keramik Cina yang tipenya berbeda, dan satu piring Cina. Kesemuanya menurut ahli keramik Abu Ridho berasal dari masa dinasti T’ang abad IX, seusia dengan Candi Borobudur (Boechari 1976:91). Keramik yang paling tingi ukurannya 55 cm, yang sedang 35 cm, sedangkan yang paling kecil tingginya 27 cm. Tiga guci di antaranya masih disimpan di Museum Karmawibhangga, Borobudur.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 67 Penggalian di Halaman Bawah Candi Borobudur Pada tahun 1973 pemimpin Proyek Restorasi Candi Borobudur memberi kesempatan kepada Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia untuk memberi pengalaman penggalian kepada para mahasiswanya. Maklum ketika itu kuliah metode arkeologi baru setahun sebelumnya diajarkan secara resmi dalam bentuk teori dan latihan di lapangan. Mahasiswa UGM menggali di halaman candi (“halaman atas”) untuk mengetahui keberadaan batu-batu lepas atau struktur yang terkait dengan bangunan candi. Sementara mahasiswa UI memilih menggali di “halaman bawah”, pada lahan yang ketika itu sudah dimiliki pemerintah untuk tempat berdirinya bengkel kerja. Tujuannya ialah untuk mengetahui apakah dahulu pada saat sebelum, selama, dan sesudah Candi Borobudur dibangun ditemukan sisa permukiman sebagaimana dicontohkan oleh keberadaan bangunan wihara di halaman atas. Penggalian di halaman bawah diawali dengan menempatkan 6 kotak gali berdenah huruf L sekitar 100 m dari tangga selatan candi, pada garis sumbu yang membujur arah utaraselatan. Tujuannya untuk menemukan struktur undakan (apakah dibuat dari batu, bata, atau tanah) yang memungkinkan orang pada masa lalu naik dari halaman bawah ke halaman atas dan sebaliknya. Jika sisa undakan ini dapat ditemukan, rencana penggalian akan dilanjutkan ke utara untuk menemukan sisa gapura dan pagar keliling candi. Namun, hasil penelitian ternyata tidak mendukung dugaan itu meskipun penggalian sudah sampai kedalaman sekitar 5 meter dan menyentuh lapisan horizon A. Dari data ini dapat diperkirakan bahwa di selatan candi ini tidak dibangun jalan yang menghubungkan candi dengan halaman bawah. Selain itu dapat pula diketahui bahwa halaman atas candi tidak ditandai dengan batas kultural berupa pagar keliling dan gapuranya (seperti Candi Bharhut dan Sanchi di India), tetapi hanya dengan batas alam berupa lereng bukit candi. Penggalian kedua dilakukan sekitar 60-80 m di sebelah barat dari penggalian pertama dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan apakah di lokasi ini terdapat sisa permukiman masa lalu. Tidak seperti penggalian pertama di garis sumbu candi, penelitian di lokasi ini dilakukan dengan menempatkan 4 kotak gali di tengah lahan yang akan dijadikan tempat dibangunnya bengkel kerja (khususnya di buffer storage). Pemilihan letak kotak gali didasarkan pada hasil survei geolistrik yang memberikan citra kepadatan tanah di bawah permukaan. Namun, di lokasi ini juga tidak ditemukan sisa permukiman masa lalu atau gejalanya yang cukup signifikan. Semangat meneliti para mahasiswa harus tetap dijaga dengan pemikiran bahwa tidak ada temuan adalah data yang harus diketahui juga. Penggalian ketiga dilanjutkan di satu area yang letaknya lebih kurang 100 m di sebelah barat laut dari lokasi kotak gali di atas. Di tempat inilah akan dibangun buffer storage untuk menggarap batu-batu candi layer B. Hasil interpretasi foto udara dijadikan dasar untuk menempatkan 5 kotak gali di daerah ini. Namun, Lokasi sebaran kotak gali yang digali pada tahun 1973 dan 1974 di area halaman bawah Candi Borobudur dan contoh 5 klaster kotak gali yang dibicarakan.
68 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur penggalian di area ini tidak berhasil menemukan sisa permukiman, terutama yang berbentuk struktur, kecuali dua batu candi. Dalam penggalian keempat barulah ditemukan sisa permukiman yang lebih signifikan. Kotak gali berada sekitar 100 m di selatan dari lokasi penggalian ketiga, di sudut perbatasan lahan yang sudah dimiliki pemerintah tahun 1973. Beberapa kotak gali ini kemudian diberi nama oleh Proyek Restorasi sebagai kotak gali nomor “33/II”. Pemilihan lokasi penggalian didasarkan pada hasil interpretasi foto udara. Dari beberapa kotak gali inilah akhirnya pada kedalaman 100 cm ditemukan satu formasi susunan batu sepanjang 12,62 m yang diselingi bata dan batu kali. Temuan struktur satu baris ini memanjang dengan orientasi 40 derajat arah tenggara-barat laut. Selain struktur yang diusun sederhana ini ditemukan pula artefak penting bagi peneliti situs pemukiman, yaitu 4 wadah tembikar (keramik lokal) yang relatif utuh berupa periuk. Pada saat ditemukan, posisi keempat periuk ini berdiri pada satu dataran tanah yang keras (yang diduga merupakan bagian dalam rumah). Di sekitarnya terdapat pecahan-pecahan keramik lokal, keramik asing (Cina) dari masa T’ang dan gigi hewan sebagai konteksnya. Penggalian untuk menelusuri bagian struktur di sisi barat laut tak dapat diteruskan karena pembebasan tanah belum dapat diselesaikan untuk tempat berdirinya bangunan bengkel kerja (khususnya final storage). Tiga dari empat periuk yang ditemukan tahun 1973 di kotak 33/II.v
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 69 Penggalian Penyelamatan Pembebasan lahan di barat daya (kuadran 3) dan barat laut candi (kuadran 4) terlambat pelaksanaannya, padahal lahan ini akan dijadikan tempat berdirinya bengkel kerja yang luas untuk proses membersihkan batu-batu candi yang telah dilepas dari tubuh candi secara kering, basah, dan kimiawi, kemudian menyembuhkannya dari macam-macam penyakit batu, dan memperbaikinya jika rusak. Di tempat inilah buffer storage, work storage dan final storage akan dibangun. Keterlambatan pembebasan lahan seluas 2 ha ini mengakibatkan penggalian di 285 kotak gali terpaksa dijalankan dengan cara penggalian penyelematan (salvage atau emergency excavation). Kotak ekskavasi harus digali secara cepat untuk menyesuaikan dengan jadwal membangun bengkel kerja. Dalam tahun 1974, setelah lahan yang diperlukan itu dapat diselesaikan pembebasannya, penggalian di kotak 33/II diteruskan oleh proyek restorasi ke sebelah barat untuk menelusuri struktur yang ditemukan mahasiwa UI pada tahun 1973. Hasilnya adalah satu formasi susunan batu berukuran sekitar 8,68 m, yang merupakan lanjutan dari struktur sepanjang 12, 62 m yang telah ditemukan pada tahun 1973, sehingga panjang keseluruhan struktur itu menjadi 21,30 m. Struktur batu campur bata ini ditemukan pada kedalaman 1 m dari muka tanah, membujur dari tenggara ke barat laut. Di sini ditemukan juga sejumlah fragmen keramik lokal dihias dengan pola gores dan tekan, sebuah pegangan wadah keramik lokal dihias dengan goresan wajah orang tertawa, keramik Cina dari masa T’ang, fragmen arang dan sejumlah gigi hewan. Dalam penggalian cepat ini tidak jarang buldoser dan bekhu bergerak di belakang para penggali yang setiap saat siap meratakan tanah dan menggusur benda arkeologi. Dalam penggalian oleh proyek restorasi di barat laut (kuadran 4) yaitu di kotak gali 40/III (X -224.40 m, y +44,40 m) ditemukan satu struktur yang disusun dari sebaris batu potong dan bata. Panjangnya 3,23 m dengan orientasi tenggara-barat laut. Selanjutnya, di kotak gali 40/V (x -224 m, y +23,33m) yaitu sekitar 200 m lurus di selatan kotak gali 40/III, ditemukan juga satu struktur yang hampir sama tetapi berupa dua baris susunan batu, bata dan batu kali. Pajangnya sekitar 2,0 m membujur arah tenggara-barat laut, sama seperti arah struktur di kotak gali 40/III. Pada penggalian di kotak gali 36/IV (x 205,50 m; y +20 m), kira-kira 130 m di sebelah Atas : lokasi lahan di daerah kerja bawah (warna putih) yang akan dijadikan tempat berdirinya bengkel kerja. Di daerah ini dilakukan penggalian penyelamatan sebanyak 285 kotak gali. Bawah : keadaan halaman bawah setelah Bengkel Kerja berfungsi.
70 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Gb.7.. Struktur sepanjang 21.30 m ditemukan dalam penggalian tahun 1973 (UI) dan 1974 (Proyek Restorasi Candi Borobudur). Gb. 8 (a, b, c, d). Ketiga contoh temuan struktur ini menunjukkan adanya sisa kegiatan manusia masa lalu yang menempati daerah ini, dilengkapi konsentrasi pecahan wadah keramik lokal. 8a 8b 8c 8d
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 71 a. Lubang buatan orang masa lalu yang berisi temuan penting. b. Foto sejumlah besar stupika dan tablet, serta sebuah periuk di salah satu sudut lubang. c. Beberapa contoh stupika dari ribuan benda yang sama. d. Beberapa contoh dari ratusan tablet. e. Satu lempeng perunggu bertulis sebagai contoh dari dari empat benda serupa ditemukan dalam lubang, dan dua lempeng dari perak yang ditemukan di luar lubang. f. Enam periuk ditemukan dalam lubang secara teratur, kecuali satu priuk yang lokasinya terpisah b. c. f. d. e. timur kotak gali 40/V, ditemukan satu konsentrasi pecahan tembikar dalam jumlah banyak dan beberapa tulang hewan di dekat satu struktur lagi yag disusun dari batu dan bata sepanjang 1,50 m. Masih di kuadran 4 barat laut, penggalian di kotak gali 35/III (x -200, y +16,6 m) diawali dengan peristiwa tertabraknya 2 fragmen arca (Bodhisatwa dan Buddha) oleh buldoser yang hilir mudik meratakan tanah dalam proses pembangunan bengkel kerja. Setelah digali ditemukan satu lubang buatan manusia masa lalu yang di dalamnya terdapat beberapa jenis benda untuk persembahan. Di lapisan atas tersebar 2307 stupa kecil (stūpika) dan 252 tablet yang sama-sama dibuat dari tanah liat tanpa bakar, hanya dikeringkan di bawah sinar matahari (sun dried). Benda tanah liat ini mungkin sekali dibentuk dengan cetakan dari perunggu seperti yang contohnya ada di Museum Nasional Jakarta. Stupika Borobudur yang paling besar tingginya sekitar 13,5 cm, dan yang paling kecil sekitar 4 cm. Ukurannya agak kecil jika dibandingkan dengan benda serupa dari Banyuwangi dan Pejeng. Di antara sejumlah tablet tanah liat yang diameternya antara 6–12 cm tersebut permukaannya dicap dengan gambar Buddha duduk, dengan beberapa mudrã seperti: vitarkamudrã, abhayamudrã, bhūmisparśa atau varamudrã. Hanya sedikit tablet yang dicap dengan gambar Tara. Di dalam lubang itu ditemukan juga satu lembar lempengan perunggu campur timah hitam yang digulung. Setelah dibuka, lempengan itu bertuliskan huruf Jawa Kuno yang dibaca Boechari sebagai dhãrani (Boechari, 1976:91). Sementara itu di dalam lubang yang sama ditemukan pula 3 lempeng lain dari bahan serupa. Penemuan yang paling penting bagi studi pemukiman ialah ditemukannya 5 periuk tembikar (keramik lokal), masing-masing ditempatkan di keempat sudut lubang, sedangkan satu periuk lagi diletakkan di tengahnya. Sementara itu satu periuk lain ditemukan di bagian atas dekat temuan arca. Tidak jauh di selatan dari lokasi ini ditemukan pula dua gulung lembaran perak yang sudah tercampak di permukaan tanah karena terkeruk atau tergusur oleh buldoser. Semua penggali merasa bahagia dengan temuan itu. Analisis Tembikar Analisis temuan tembikar dilakukan atas dasar 10 temuan periuk yang relatif utuh dan sekitar 14.000 ribu pecahan wadah yang telah dikumpulkan oleh Proyek Restorasi Candi Borobudur pada saat menggali di 285 kotak gali. Hal yang menghambat pekerjaan a.
72 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur ialah tanah yang harus diperiksa sangat luas yaitu 2 ha, waktu yang disediakan terlalu singkat, pekerjaan buldoser yang meratakan dan menimbun tanah masih berlangsung, sementara tenaga arkeolog yang mengawasi penggalian penyelamatan hanya dua orang. Oleh karena itu hasil analisis tembikar terbatas pada beberapa aspek yaitu: analisis bentuk, hiasan, bahan, perbandingan bentuk dengan yang tergambar di relief Candi Borobudur, dan mempelajari serta memahami bagaimana penduduk desa Nglipoh (dekat Borobudur) membuat wadah tembikar (Mundardjito, 1978). Dari analisis pecahan tembikar dapat dikenali 12 tipe bentuk dengan variasinya yaitu: periuk, mangkuk, buyung, pasu, tempayan, kendi, jambangan, piring, tutup wadah, pelita (celupak), kaki lampu minyak, dan tatakan (foot stand). Mereka yang dulu tinggal di halaman bawah Candi Borobudur tidak menggunakan satu tipe wadah saja, tetapi lebih daripada itu beserta beberapa variasinya. Tentu masih sukar untuk membedakan tipe wadah mana yang biasa difungsikan sebagai bagian dari upacara keagamaan dan mana yang digunakan untuk keperluan sehari-hari. Dasar periuk bentuknya tidak rata, tetapi cekung sehingga memudahkan untuk membawanya dengan tangan. Dari 14.000 pecahan tembikar hanya 5% yang permukaanya dihias. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa wadah tembikar dihias dengan tiga macam teknik yaitu: teknik gores, teknik tekan dan pengupaman (burnishing). Teknik tekan dilakukan dengan menekan permukaan wadah yang masih lunak dengan alat tatap kayu yang berhias. Motif hiasannya cukup beragam antara lain motif tumpal, bintang, jaring, sarang laba-laba, dan duri ikan. Dari periuk utuh tampak badannya diupam dengan motif garis berwarna merah. Wadah yang bermotif semacam ini dikenal sebagai red-streaky burnished yang terdapat di daerah Prambanan dan sekitarnya. Bahan pembuatan tembikar yang ditemukan di situs Borobudur ialah tanah liat dicampur butiran mineral. Penelitian bahan tembikar di laboratorium Borobudur menunjukkan bahwa ada dua macam bahan campurannya yaitu tembikar yang menggunakan bahan campuran dengan butiran pasir yang bersegi, sedangkan yang lainnya membulat. Dengan data ini mungkin dapat diperkirakan bahwa tembikar yang didatangkan ke Borobudur berasal dari dua tempat pembuatan, yang satu dari daerah hulu karena butiran pasirnya masih bersegi, sedangkan yang lain pasirnya membulat. Surastopo dkk yang meneliti tanah di halaman bawah dengan alat bor menyimpulkan bahwa ada dua jenis tembikar, yaitu “tembikar atas” dan “tembikar bawah”. Tembikar atas berada pada lapisan tanah di atas dalam konteksnya dengan tanah pasir bergeluh, sementara tembikar bawah berada dalam lapisan tanah yang kedudukannya dibawah dalam konteksnya dengan tanah geluh berpasir (Surastopo dkk., 1974 ). Beberapa tipe itu dapat dilihat pada gambar disamping ini Dua tipe periuk besar di bawah (temuan 1973) dan besar di atas (temuan 1974). Dasar periuk dari kedua tipe berbentuk cekung. Permukaan badan periuk dihias dengan pola garis merah yang diupam (red streaky burnished ). Bermacam tipe wadah tembikar ditemukan di beberapa kotak gali.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 73 Bermacam gaya dekorasi pada permukaan wadah tembikar ditemukan di beberapa kotak gali. Penggalian di Zona II Atas permintaan PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan, sebuah tim dari Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan, melaksanakan penelitian arkeologi di Zona 2 yang merupakan daerah penyangga dan daerah fasilitas taman Candi Borobudur. Penelitian Tahap II yang dilakukan selama dua minggu antara tanggal 13 sampai 27 Maret 1983 merupakan lanjutan dari penelitian Tahap I pada bulan Maret-April 1982, yang terpaksa dihentikan karena proses pembebasan tanah belum dapat diselesaikan. Jika dalam Tahap I lahan yang diteliti adalah lahan bangunan fasilitas di kuadran tenggara, kuadran barat daya, dan kuadran barat laut (bangunan museum), maka dalam Tahap II penelitian dilakukan di kuadran timur laut yang kemudian akan digunakan sebagai lahan parkir area, plaza, kios cinderamata, pusat informasi, musholla, toilet umum dan jalan utama (‘concourse’). Seperti juga terjadi dalam Tahap I, rencana Tahap II tidak dapat dilaksanakan seluruhnya, karena proses pembebasan lahannya belum selesai semua. Penelitian ini dirancang untuk memeriksa keberadaan peninggalan purbakala yang berada di dalam tanah; mengamati dan merekam data arkeologi yang masih dapat diamati dengan jelas; mengadakan penilaian terhadap data arkeologi yang ditemukan; dan menentukan apakah bukti-bukti kegiatan masyarakat masa lalu yang ditemukan itu adalah data arkeo logi yang perlu diselamatkan secara fisik. Jelaslah bahwa penelitian ini bukan ‘pure research’, tetapi semacam ‘action research’ yang dimaksudkan untuk memberi masukan kepada para pengambilan keputusan mengenai perencanaan dan pelaksanaan pembangunan fisik, serta kebijakan dalam pengamanan data arkeologi. Dengan demikian dampak negatif dari kegiatan proyek pembangunan terhadap data arkeologi, yang merupakan sumber sejarah bangsa yang tak dapat dicipta-ulang, dapat dikurangi atau dihindari sebanyak mungkin. Kegiatan penelitian semacam ini yang biasa disebut ‘contract archaeology’ berorientasi pada sikap antisipatif terhadap kegiatan pembangunan dan prosesnya. Oleh sebab itu penelitian ini diawali dengan mempelajari rencana pembangunan fisik seperti luas lahan yang akan menutupi situs, dalamnya galian fondasi bangunan, kedalaman kolom/tiang dan sumur. Peneliti harus tetap menggunakan konsep dan metode arkeologi baku. Sementara itu pengetahuan kita tentang aktivitas masyarakat masa lalu di lingkungan sekitar Candi Borobudur amat sedikit. Sementara setiap bangunan candi secara teoritis berada di dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Pada waktu candi ini dibuat dan digunakan oleh masyarakat masa lalu, terdapat sejumlah atau serangkaian kegiatan manusia yang berkenaan dengan aktivitas-aktivitas membangun dan melakukan kegiatan seremonial berkala. Sebagian dari buktibuktinya mungkin dapat ditemukan. Penggalian hanya dilakukan di tempat-tempat di mana bangunan-bangunan fasilitas akan didirikan. Setiap bidang lahan tidak akan mengalami kerusakan yang sama, hal itu tergantung pada jenis kegiatan pembangunan fisik. Pembuatan sumur misalnya, memiliki daya destruksi yang tinggi terhadap struktur lapisan tanah dan temuan ar keologi. Kegiatan menembus tanah itu tidak mencakup tanah yang luas. Sebaliknya bangunan pla za misalnya, meskipun cakupannya luas, tetapi tingkat destruksi dan penetrasinya ti dak tergolong besar. Sementara suatu bangunan yang berat dan besar ukurannya, yang diduga akan dapat menimbulkan kerusakan besar karena harus memi liki fondasi yang dalam dan cakupan area yang luas, mem punyai daya rusak yang amat tinggi. Oleh karena
74 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Penggalian “contract archaeology” di Zona Penyangga pada lokasi di area parkir, kios cinderamata, musholla, toilet umum, pusat informasi, jalan utama, kantor konservasi Borobudur, dan kantor PT Taman Wisata.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 75 itu jumlah kotak-uji, cara meletakkannya, teknik menyebarkannya, serta kedalaman akhir dari penggalian dan pemborannya tergantung pada perbedaan kegiatan penetratif dari pembuatan fondasi; perbedaan luas cakupan horisontal terhadap bangunan yang menutupi situs dan tinggalan arkeologi; perbedaan kegiatan keruk-timbun dalam rangka ‘grading’ dan pematangan tanah. Berdasarkan pertimbangan di atas, penelitian dilaksanakan pada lahan bangunan fasilitas dengan jumlah kotak gali 44 kotak gali. Namun, rencana ini tidak dapat dilaksanakan seluruhnya karena ada lahan penduduk yang belum dibebaskan pemerintah sehingga kotak uji yang direncanakan untuk digali akhirnya menjadi 38 kotak gali. Hasil penggalian tidak menunjukkanadanya temuan yang dianggap penting, sehingga pembangunan fisik di daerah itu bisa dilaksanakan. Padahal setiap saat pemimpin penggalian berdiskusi dengan kontraktor pembangunan untuk mendapatkan kesepakatan. Jika ternyata penggalian menemukan temuan penting, rencana lokasi mendirikan bangunan harus dipindah. Penutup Sejumlah 285 kotak ekskavasi digali secara cepat oleh Proyek Restorasi. Pada saat itu, para arkeolog harus berlomba menggali cepat sesuai dengan pergerakan buldoser yang digunakan untuk mengupas dan meratakan permukaan tanah dari utara ke selatan. Di lahan calon bengkel kerja itulah dua arkeolog mendapat tugas berat untuk memimpin penggalian ratusan kotak gali secara cepat, tanpa diberi peluang cukup untuk mengamati, merekam temuan beserta konteksnya dan mendeskripsikan secara verbal dan piktorial menurut kaidah arkeologi. Temuan arkeologi yang justru signifikan dalam kerangka penelitian pemukiman telah disingkap oleh buldoser. Alat berat itu juga telah menyingkapkan dua bagian bawah dari arca; stupika dari tanah liat; dan beberapa tablet. Gerakan buldoser memotong permukaan tanah seringkali amat dekat dengan para penggali. Di lokasi inilah terjadi proses cut & fill di permukaan tanah asli. Dalam proses cutting, sejumlah artefak seperti keramik asing dan keramik Gb. 14 Suasana penggalian massal tahun 1973-1974 di barat daya dari daerah kerja bawah. Peta keletakan 285 kotak gali berpola interrupted trench system di daerah kerja bawah di barat dan barat daya situs Candi Borobudur. lokal, tergerus, terangkat, tercampakkan atau terpindahkan dari lokasi aslinya. Sementara dalam proses filling, permukaan tanah ditimbun di daerah paling selatan. Semua ini terjadi antara 1970-- 1974 pada masa persiapan pelaksanaan restorasi Candi Borobudur. Hingga kini, temuan-temuan arkeologis yang berada di halaman bawah candi belum dapat berbicara banyak mengenai manusia dan kehidupannya yag beraktivitas di daerah Candi Borobudur. Hasilnya berupa ribuan pecahan keramik lokal dan asing, sisa
76 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur struktur bangunan bata maupun balok-balok batu yang telah dibentuk, sejumlah susunan batu kali, sejumlah fragmen arang, gigi hewan, dan fragmen tulang, tidak terekam sebagaimana semestinya. Dalam pada itu berdasarkan temuan-temuan itu di halaman bawah candi pada masa lalu berfungsi sebagai daerah aktivitas untuk bermukim dan menjalankan kehidupannya sehari-hari. Di berbagai tempat banyak ditemukan lapisanlapisan pasir halus bercampur abu vulkanis berwarna kekuningan setebal kira-kira 5 cm. Pada saat itu para penggali tidak dapat menerangkan mengapa lapisan itu tidak rata, sering terputus, dan naik turun secara tajam. Ketika baru-baru ini abu volkanis turun di Candi Borobudur, peneliti dapat menyaksikan sendiri bahwa terputusnya lapisan itu disebabkan pohon-pohon rindang bermahkota lebar melindungi abu yang turun sehingga di lapangan sering tampak bertelau-telau. Lapisan abu volkanis serupa itu dapat juga ditemukan dalam penggalian di luar daerah Candi Borobudur seperti di sekitar Candi Bowongan. Sepuluh ribuan foto, lima ribuan peta dalam bentuk kalkir, dokumendokumen resmi dan catatan-catatan yang kini disimpan di Kantor Balai Konservasi Borobudur menanti para peneliti untuk dimanfaatkan bagi peningkatan pengetahuan mengenai situs Candi Borobudur. Melalui proses diskusi yang panjang dan berkelanjutan di lapangan akhirnya Boechari menuliskan satu makalah berjudul “Candi dan Lingkungannya” (1977:89-114). Ini berarti konsentrasi penelitian tidak hanya pada bangunan tetapi juga harus pada situsnya karena di situsnya itulah aktivitas para pembangun melakukan kegiatannya termasuk para penyelenggara upacara keagamaan. Konsep yang memusatkan perhatian pada artefak belaka (artifact oriented) kini mulai tergeser kepada situs (site oriented), bahkan meluas lagi yaitu kepada kawasan (region oriented) sebagaimana diamanatkan dalam UUCB 2010. Selamat Memperingati 200 Tahun Penemuan Kembali Candi Borobudur. Daftar Pustaka Boechari 1977 “Candi dan LIngkungannya”, Majalah Ilmu Ilmu Sastra, VII (2), hlm. 89-114. 1982 “Preliminary Report on Some Archaeological Finds Around the Borobudur Temple”. Pelita Borobudur Series, Vol CC 5, hlm. 90-96. Proyek Pelita Pemugaran Candi Borobudur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982 “Further Remarks on Preliminary Report on Some Archaeological Finds Around the Borobudur Temple”. Pelita Borobudur Series, Vol CC 6, hlm. 42-47. Proyek Pelita Pemugaran Candi Borobudur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Boechari, Wiwin Djuwita dan Heriyanti Ongkodharma 1982 “Report on Clay Votive Stupas from the Borobudur Site”. Pelita Borobudur Series, Vol CC 8, 1982:115-128. Ibrahim, Maulana dan Mundardjito 1983 Laporan Survei Arkeologi Taman Candi Borobudur Tahap II Maret 1983. Direktorat Jenderal Kebudayaan. (Tidak diterbitkan). Mundardjito 1978 “Preliminary Report on Pottery Found in Candi Borobudur”. Pelita Borobudur Series, Vol CC 7, hlm. 46-77. Proyek Pelita Pemugaran Candi Borobudur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soekmono 1976 Chandi Borobudur: A Monument of Mankind. Paris: The Unseco Press. 2002 Menapak Jejak Arkeologi Indonesia. Dalam Sumijati Atmosudiro (Penyunting). Jakarta:MU Books. 2002. Surastopo dkk. 1974 Laporan Singkat Hasil Tinjauan Penemuan Pecahan Tembikar di Dataran Sebelah Barat Daya Candi Borobudur (Tidak diterbitkan). Taufik, Muhammad, dkk. 1996 Studi Arkeologi, Ekskavasi Bekas Bangunan Sebelah Barat Candi Borobudur. Balai Studi dan Konservasi Borobudur. 1995/1996 (Tidak diterbitkan). Unesco. 2005 The Restoration of Borobudur. Paris. 2005.
Stupa induk sebelum dilakukan pemugaran I (Barabudur III “Beschrijving van Barabudur”, 1931) 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 77
78 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Dokumentasi terhadap tinggalan arkeologi adalah upaya yang harus dilakukan. Upaya pendokumentasian itu merupakan tulang punggung dan landasan untuk setiap langkah pekerjaan selanjutnya. Sering terjadi dokumentasi yang dilakukan sudah dianggap lengkap, ternyata dikemudian hari masih banyak kekurangannya. Demikian juga di Borobudur, dalam merencanakan pemugarannya sering merujuk dan membandingkan dengan bahan-bahan dokumentasi sebelumnya, dalam hal ini terutama dokumentasi yang dibuat masa pemugaran yang dilakukan van Erp (1907-1911). Foto-foto yang dibuat tahun 1900, terlihat jauh lebih baik bila dibandingkan dengan foto-foto yang dibuat tahun 1970, bahkan bila dibandingkan dengan foto-foto era digitalpun akan berbeda. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya Candi Borobudur sendiri mengalami proses penuaan dan keausan. Selain itu upaya pemotretan pada masa van Erp juga membantu mempercepat pelapukan pada dinding-dinding candi. van Erp untuk memperoleh hasil foto yang tanpa menunjukkan adanya jamur-jamur/mikro organisme, melapisi permukaan dinding candi dengan oker. Lapisan inilah yang menyebabkan pori-pori batu menjadi tertutup, akibat selanjutnya ialah penetrasi air tidak dapat ke luar dari permukaan batu, sehingga terjadi penumpukkan partikel kapur di belakang oker, pada suatu saat akan terjadi “ledakan” pada permukaan tersebut dan tentu saja membawa partikel batunya. Dalam tahun 1948 ditengah gejolak revolusi fisik Pemerintah Republik Indonesia, masih sempat memperhatikan nasib Candi Borobudur. Dua orang archaeologist dari India diundang untuk meneliti kondisi kerusakkan Candi Borobudur. Sayang sekali laporan kedua pakar tersebut hilang. Prof. Dr. Coremans dari Belgia tahun 1955 atas permintaan UNESCO, datang ke Candi Borobudur, hasil laporannya menyebutkan bahwa kerusakan Candi Borobudur, terutama karena rembesan air, baik dari bawah mau pun dari atas. Air yang ada, tidak terkendali arahnya yang sama dengan kesimpulan. Bahkan pada kesempatan tersebut dikirim tenaga dari Indonesia (Bapak Soejono, Prambanan) untuk mengikuti kursus di Belgia. Pada masa pemerintahan Soekarno, beliau tertarik dengan teori yang dikemukakan seniman Belanda W.O.J. Nieuwenkamp (1931) yang mengatakan bahwa sebenarnya disekitar Candi Borobudur terdapat sebuah danau. Borobudur berdiri di dekat sebuah danau yang melambangkan Borobudur sebagai lotus (teratai). Di Belanda pada waktu itu juga terjadi polemik, ada yang sependapat, ada pula yang tidak setuju. Untuk membuktikan teorinya, W.O.J. Nieuwenkamp pada tahun 1937 mengadakan penelitian singkat dengan dua orang geolog, yaitu Dr. C.H.E.A Harloff dari Dienst van Mijnbonw dan Dr. A.J. Pannekoek dari dari Topografische Dienst. Dari hasil penelitian mereka, dapat dibenarkan bahwa di dekat Candi Borobudur ada sebuah danau, hal itu juga dibuktikan namanama desa (toponime) yang berkaitan dengan adanya air, seperti Bumisegoro, Sabrangrowo, Segaran, Wanurejo atau Ranurejo. Beberapa desa mempunyai nama “tanjung”, seperti Tanjungsari, hal ini dapat dihubungkan dengan kata Tanjung (= ujung). Presiden Soekarno pada waktu itu meminta pihak “ Komando Pelaksana Pembangunan Museum Sedjarah Tugu Nasional (Kopel PMSTM) untuk lebih mendalami penelitian W.O.J. Nieuwenkamp. Seterusnya Kopel PMSTM meminta Direktorat Geologi (1965). Selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan oleh MM Purbohadiwidjojo dan Soekardi. Penelitian tersebut juga dilengkapi foto udara di atas Candi Borobudur (1950). Kegiatan tersebut ditindak lanjuti oleh Prof. Dr.C. Voute, ketika program kerja sama dengan UNESCO dalam rangka persiapan pemugaran (1972) dengan membuat foto udara di atas kawasan Borobudur dengan menggunakan film false color dan film infra red. Pada kesempatan tersebut penulis terlibat secara khusus untuk belajar di International Training Centre di Enschede, Belanda, dalam Interpretation on air Photography for Archaeology. Hasil akhir dan upaya penelitian tersebut Prof. PEMELIHARAAN CANDI BOROBUDUR DARI MASA KEMERDEKAAN dan PERSIAPAN PEMUGARAN
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 79 C Voute bekerja sama dengan tim dari Universitas Gadjah Mada, berkesimpulan bahwa memang benar dahulu di sekitar Candi Borobudur dahulu ada endapan-endapan sungai lama (river bed), tetapi terjadinya endapan tersebut terjadi sebelum dibuat Candi Borobudur. Tahun 1960 timbul pemikiran-pemikiran untuk mengatasi bahaya yang ditimbulkan oleh air. Keputusan utama ketika itu, Candi Borobudur harus “dibongkar”, dan menyiapkan saluran air melalui sistem penyaluran air secara terarah. Timbul beberapa masalah bagaimana cara membongkarnya. Hal itu memerlukan perencanaan yang matang dan teliti. Timbul pemikiran untuk menyiapkan derek listrik, dengan panjang 30 meter dengan kapasitas 10 ton. Ternyata derek tersebut tidak dapat diperoleh, bahkan waktu meminta bantuan pada Pusat Zeni Angkatan darat pun tidak diperoleh. Ada pemikiran lain, yaitu dengan menyiapkan ”kabel ban”, pemikiran ini terlihat mudah, tetapi kenyataannya sangat merepotkan dan banyak resikonya, baik untuk batu candinya mau pun orang yang menanganinya. Pendapat lain dengan menggunakan papan peluncur, setingkat demi setingkat, ini pun terkendala adanya pagar langkan. Meskipun demikian pekerjaan pengukuran candi selalu dikerjakan, meskipun hanya dua orang yaitu Soekardi dan Tjitro sebagai juru gambar. Selain itu pekerjaan pembersihan secara maksimal dengan menyapu lantai candi dan membersihkan dinding dari tumbuh-tumbuhan kecil dengan menggunakan sapu lidi dilakukan oleh beberapa orang juru pelihara, antara lain Tasman dan Redjo. Dalam upaya pengukuran secara rutin, diketahui (1959) bahwa dinding yang melesak dan miring ternyata dibeberapa tempat, dinding candi ada yang menggelembung sedemikian rupa, yang mengakibatkan bagian atas agak terdorong ke belakang. Hal tersebut disebabkan terutama karena bagian bawah (lantai) sudah diperkuat oleh van Erp dengan lapisan beton yang rata-rata setebal 10 cm-40 cm. Lapisan beton yang tebal terutama pada sudut-sudut barat laut, atau dinding utara, lantai tingkat I. Lantai yang demikian kokoh ini hampir tidak ada pergeseran, karena sudah dijepit oleh lantai van Erp. Sedang bagian atas dinding ditekan oleh pagar langkan, akibatnya dinding bagian tengah menggelembung. Atas perkenan presiden, Candi Borobudur dijanjikan dapat menggunakan dana-dana khusus sebesar Rp. 500.000.000,- setiap tahunnya mulai dari tahun 1965. Sementara itu sejak akhir 1963 beberapa pekerjaan persiapan dilakukan. Pengukuran dan penggambaran bagian-bagian bangunan candi dapat dilaksanakan. Demikian juga pemotretan dinding serta memotret beberapa keretakan dinding dan kemiringan dinding candi. Selain itu dibuat asrama karyawan, serta bangunan ruang kerja (werk keet) yang menyatu dengan gudang, meskipun terbuat dari papan dan beratap seng. Pemboran tanah dilakukan oleh tim geologi ITB di pimpin oleh Dr. Sampurno. Untuk mengetahui jenis dan sifat tanah, serta daya serap tanah. Demikian juga penelitian petrografis terhadap batu-batunya. Dibangun juga dua perancah dari kayu jati. Penelitian tanah dasar dan batuan Candi Borobudur dilaksanakan dalam tiga bagian (Juni 1963, September 1965, Oktober 1966). Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Candi Borobudur berdiri di atas bukit kecil setinggi 9 meter. Selanjutnya di atas bukit tersebut diisi dengan tanah urug yang lembab dan di beberapa tempat bersifat lempung. Dari hasil pengeboran di halaman candi mulai dari tenggara, melalui sudut candi tenggara menuju ke arah barat laut sampai di bukit sudut barat laut (Bukit Ndagi), ternyata Candi Borobudur berdiri di antara dua bukit kecil, bukit di halaman candi sisi barat laut diratakan, kemungkinan tanah dari hasil perataan tersebut dipakai sebagai tanah urug. Ketika terjadi tragedi pemberontakan PKI (1965) kegiatan di Borobudur pun terhenti, semua karyawan kembali ke Prambanan untuk menjalani screening. Walau pun demikian pekerjaan persiapan pemugaran pada waktu itu dianggap selesai. Agustus 1967 Soekmono menghadiri ”International Congress of Orientalists” yang ke-27, dalam kesempatan tersebut beliau menyampaikan paper tentang problem-problem di Borobudur (New light on some Borobudur Problem). Tidak diduga seluruh peserta sepakat untuk membuat resolusi yang mendesak pada UNESCO untuk membantu Indonesia dalam menyelamatkan Candi Borobudur. Sejak itulah beberapa ahli dari berbagai negeri atas permintaan UNESCO datang ke Borobudur, antara lain B.Ph. Grosliar ahli pemugaran candi dari Perancis yang sedang mengadakan pemugaran di Angkor (Kamboja) dan C. Voute ahli hydrogeology dari Belanda. Para ahli tersebut menyebutkan bahwa kondisi Candi Borobudur memang sangat menghawatirkan dan berkesimpulan, Indonesia harus segera dibantu untuk upaya penyelamatannya. Pertengahan 1969 datang Dr. G. Hyvert ahli
80 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kegiatan pengukuran distupa teras Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 81 biologi dari Perancis untuk keperluan penelitian tumbuhan renik yang ada di dinding candi. Datang pula Ir. CCT de Beaufort dan Ir. P.H. Deibel, keduanya dari Belanda untuk merencanakan programprogram pemugaran. Setiap kedatangan ahli-ahli tersebut selalu didampingi oleh ahli-ahli dari Indonesia, pada umumnya dari Universitas Gadjah Mada dan beberapa universitas di Yogyakarta. Tahun 1969, ketika pemerintah Republik Indonesia mencanangkan program pembangunan semesta berencana (Pelita), Candi Borobudur masuk dalam program tersebut. Tahun pertama dipimpin oleh Ir. Sampurno samingun, ketika itu menjabat sebagai plt Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Program tahun pertama ini lebih menitik beratkan pada pembuatan bangunan-bangunan sarana (pendopo, kantor, guest house, power house dan lain-lain). Selain itu pengumpulan data arkeologi berupa keretakan dinding candi, kemiringan dinding candi, dibuat secara pictorial (pemotretan) maupun verbal. Pengukuran kemiringan dinding candi, serta penentuan titik referensi (titik) untuk pekerjaan pemugaran terpaksa diulang lagi. semula berdasar pada lantai yang kelihatan pada waktu itu (lantai van Erp). Setelah diketahui bahwa di bawah lantai van Erp masih ada lantai aslinya, maka letak titik 0 dipindahkan pada lantai asli. Pencarian batu-batu yang berserakan di halaman candi untuk diletakkan di tempat asli terus dilakukan, tenaga khusus yang sudah berpengalaman puluhan tahun dari Prambanan, bahkan ada di antara mereka sudah bekerja sebagai pencari batu candi sejak masa pemerintahan Belanda. Pada umumnya mereka (soeker dan steller), sudah tua dan mempunyai intuisi yang tajam terhadap batu-batu candi. Penulis sendiri berterima kasih ikut dilatih mereka dan digemleng oleh mereka. Dengan sarana yang sangat minim, kami mencatat, memotret setiap bidang dinding candi, selanjutnya mendeskripsikan. Dinding candi kami bagi dalam grid-grid, 1m x 1m, diambil gambarnya dengan menggunakan film Kodak BW, 120 mm, dan menggunakan kamera Box Yashica, malam hari kami develop sendiri. Pada saat itu seluruh kecamatan di Borobudur belum ada penerangan listrik termasuk di Candi Borobudur. Biasanya esok harinya dengan bantuan sinar matahari, kami mencoba mencetak melalui “kotak gelap”. Perekaman kerusakan candi kami gunakan kamera Linhoff manual. Upaya pengukuran dan penggambaran pada umumnya dikerjakan tenaga dari Prambanan. Untuk keperluan administrasi perkantoran kami merekrut tenaga lepas. Untuk melayani tamu-tamu asing kami dibantu Pak Soeharsono Juru kunci Candi Borobudur sejak masa pemerintahan Belanda, beliau autodidak dan mahir berbagai bahasa (Belanda, Inggris, Perancis), beliau juga merangkap penerjemah, menerjemahkan buku-buku van Erp yang kami pakai sebagai rujukan kerja kami. Seperti biasanya setiap proyek pemerintah harus selalu berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah setempat, baik tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten dan kecamatan. Sarana komunikasipun sangat terbatas, telepon di Kecamatan Borobudur masih tergantung oleh operator untuk disambungkan. Dengan segala upaya akhirnya dapat juga diperoleh sambungan langsung dari Magelang. Di Candi Borobudur adalah telepon pertama dengan menggunakan sambungan langsung untuk seluruh Kecamatan Borobudur. Pertengahan tahun anggaran 1970 (bulan Oktober), terjadi pergantian pemimpin proyek, dari Bapak Sampurno Samingun yang kembali ke tugas pokoknya semula di kantor pusat Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional sebagai ketua bidang Pemeliharaan dan Pemugaran, kepada Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional, Bapak Soekmono sekaligus menjadi pemimpin Proyek Restorasi Candi Borobudur. Dari segi teknis arkeologis pergantian tidak membawa perubahan prinsipil, karena baik yang lama mau pun yang baru sama-sama petugas LPPN, demikian pula para stafnya. Pencarian pasangan batu diantara ribuan batu
82 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Tenaga ahli dari UNESCO silih berganti datang mengunjungi Candi Borobudur, terutama tenaga-tenaga dari NEDECO (Nederlands Engineering Consultants), dengan dibantu tenaga-tenaga ahli dari Indonesia menyiapkan program kerja pemugaran. Khusus dalam merencanakan pelaksanaan penyusunan kembali batu-batu candi (rebuilding) penulis mengalami suatu peristiwa yang sangat berkesan. Suatu ketika para ahli tersebut di atas mencoba membuat susunan percobaan batu-batu candi yang berserakan di halaman candi. Penyusunan dilakukan pada satu deret pagar langkan. Satu persatu batu disusun, sesuai dengan gambar kerja yang dibuat sebelumnya. Setelah tersusun ternyata batu candi yang disusun jumlahnya berkurang. Kemudian mereka memanggil penulis, dan kami minta bantuan orang-orang tua yang sudah biasa mencari batu-batu dan menyusun ulang (mereka biasa disebut soeker dan steller). Susunan percobaan pagar langkan dapat tersusun tanpa menggunakan gambar percobaan kerja. Kami bertanya kepada mereka ”Bagaimana bias ?”. Jawabnya sangat sederhana “Ya Tanya dulu ke batunya”. Ternyata kesalahan para ahli tersebut dalam meletakan batu-batunya tidak mengikuti tempat yang sudah ada (adanya takikan). Selain itu letak batu letak batu satu dengan yang lain sesuai dengan gambar kerja mereka (dengan nat yang rapat). Dengan demikian ketika memasang batubatu aslinya sesuai dengan selera nenek moyang kita, sementara para ahli tersebut memasang sesuai dengan selera mereka sendiri. Sementara para ahli sedang sibuk mengadakan percobaan pembersihan dengan menggunakan berbagai bahan kimia, para pekerja kita masih rajin secara rutin membersihkan dengan cara tradisional, yaitu dengan menggunakan solat bambu atau pun solat kayu, sikat ijuk atau sikat plastik juga dipakai, tergantung jasad Pembersihan insitu di Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 83 reniknya. Sikat dari logam (kawat) tidak digunakan, hal ini untuk menghindari kerusakan lebih parah terhadap permukaan batu. Cara tradisional yang digunakan untuk mengatasi jasad renik yang tumbuh di tempat yang sukar dibersihkan, yaitu dengan menutup permukaan dinding candi dengan pasta tanah liat (lempung) dan dalam waktu antara satu sampai dua minggu kemudian dibersihkan kembali dengan sikat dengan cara kering atau pun basah. Sehubungan dengan makin bertambahnya pekerjaan, maka diambil tenaga-tenaga muda lulusan SMA paspal dan STM bangunan untuk dapat membantu menyiapkan pelaksanaan pemugaran. Selain bekerja, mereka diberi pengetahuan dasar sejarah kebudayaan indonesia, pengantar ilmu purbakala indonesia, sejarah arsitektur indonesia, pengantar mikro arkeologi, kimia, petrografi, tehnik bangunan dan bahasa inggris. Latihan praktek yang dilakukan meliputi pengukuran, penggambaran, dan kerjakerja laboratorium. Untuk keperluan sarana dan prasarana kerja seperti working area dibebaskan tanah-tanah disekitar candi, terutama di sisi selatan. Pada kesempatan kemudian tenaga-tenaga menengah tersebut mengikuti beberapa kursus di luar negeri seperti Belgia, Belanda, Perancis dan lain-lain. Setelah semua persiapan pemugaran, baik di lapangan maupun draff Pedoman kerja Candi Borobudur yang disusun NEDECO, dianggap selesai, maka pada tanggal 10 Agustus 1973 pekerjaan pemugaran Candi Borobudur dimulai dan diresmikan oleh Presiden Soeharto. Daftar Acuan Purwohadiwidjojo MM dan Sukardi, “Tentang ada atau tidak adanya suatu danau lama di dekat Borobudur (Laporan Geologi sementara)” dalam Direktorat Geologi Bagian Geoteknik hidrologi, no. 1514, tahun 1966. Soekmono, Drs. - ” Riwayat Usaha Penyelamatan Tjandi Borobudur” (sampai 1971 dalam Pelita Borobudur seri pelita A1 - Laporan Kerja Proyek Pemugaran Candi Borobudur tahun anggaran 1969/1970, dalam Pelita Borobudur, seri pelita A2 - Laporan Kerja Proyek Pemugaran Candi Borobudur tahun anggaran 1970/1971, dalam Pelita Borobudur, seri pelita A3 - Laporan Kerja Proyek Pemugaran Candi Borobudur tahun anggaran 1971/1972, dalam Pelita Borobudur, seri pelita A4 - Laporan Kerja Proyek Pemugaran Candi Borobudur tahun anggaran 1972/1973, dalam Pelita Borobudur, seri pelita A5 - Laporan Kerja Proyek Pemugaran Candi Borobudur tahun anggaran 1973/1974, dalam Pelita Borobudur, seri pelita A6 NEDECO “The Restoration of Borobudur interim Report April 1972”, Indonesia UNESCO. Sampurno, DR “Penelitian Tanah Candi Borobudur”, dalam Pelita Borobudur, seri B6 Sri Hartadi, Yutono “Penelitian Tentang Perawatan Batuan Candi Borobudur”, dalam Pelita Borobudur, seri B6 Pembukaan secara resmi dimulainya pemugaran Candi Borobudur II oleh Presiden Soeharto Kegiatan pemugaran Candi Borobudur II
84 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur CANDI BOROBUDUR :PUSAT PELATIHAN KONSERVASI DAN PEMUGARAN BANGUNAN BATU 4 BAB
Pelatihan Pemugaran dan Konservasi I di Candi Borobudur tahun 1977 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 85
86 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur PENDIDIKAN TENAGA TEKNIS BOROBUDUR Pendidikan merupakan masalah sentral dalam hidup dan kehidupan manusia secara universal. Pada masa sekarang ini seluruh masyarakat bangsa berlomba-lomba untuk menguasai ilmu penetahuan dan teknologi. Maka dapat kita bayangkan apa yang kira-kira akan terjadi atas suatu bangsa atau suku bangsa bahkan seseorang yang tingkat pendidikannya amat rendah, apa lagi sama sekali tidak tersentuh pendidikan. Cepat atau lambat ia akan tersisih dari pergaulan masyarakat bangsa. Kiranya tidak seorang atau satu bangsapun yang menginginkan hal ini menimpa dirinya. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dalam rangka mengemban amanat Undang-Undang Dasar 1945, menempatkan pendidikan sebagai salah satu pilar pembangunan dan selalu berusaha meningkatkan kecerdasan seluruh masyarakatnya. Upaya yang serius ini dibarengi dengan penetapan anggaran pendidikan yang cukup signifikan. Pendidikan formal dimulai dari pendidikan anak usia dini (play group, taman kanak-kanak), pendidikan menengah, dan akhirnya pendidkan tinggi. Sesungguhnya pendidikan tidak dapat dikucilkan dari proses kemanusiaan. Pendidikan dimulai dari sejak lahir dan baru berakhir ketika ia meninggalkan dunia ini, dengan kata lain, pendidikan berlaku seumur hidup (education for life). Dengan demikian dapat dikatakan tidak ada orang atau masayarakat yang dapat eksis tanpa pendidikan (Tilaar; 1999:21). Pendidikan selain memerlukan biaya tinggi juga dicapai dengan kerja keras. Dalam sastra lama keduanya disimbolkan dengan ketemunya ibujari dan telunjuk (tapa jnana). Ibujari adalah simbol ilmu pengetahuan (jnana) dan telunjuk adalah simbol kerja keras (tapa). Jadi, pengetahuan selalu harus dicapai dengan kerja keras dan bukan sebaliknya seperti sering kita temukan sekarang ini (Ranganathananda; 2000: 11-12). Banyak di antara para ahli pendidikan yang berpendapat adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan kebudayaan. Di antaranya adalah Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional yang telah meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang berorientasi budaya. Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan (Tilaar; ibid: 68). Kelekatan hubungan antara pendidikan dan kebudayaan sering digambarkan sebagai satu keping mata uang dengan dua sisinya. Sisi yang satu adalah pendidikan, sisi yang lain adalah kebudayaan. Mendidik masyarakat berdasarkan kebudayaan dan membudayakan masyarakat lewat pendidikan. Kedekatan hubungan antara pendidikan dan kebudayaan juga disampaikan oleh seorang tokoh dunia yaitu Pope John-Paul II yang menyatakan: The first and most essential task of culture is education (UNESCO, 1980). Pernyataan lainnya adalah: The principle of education for all, and therefore, of culture for all. All human beings of all professions, races and religions, girls as well as boys, rich and poor, have the right and the duty to learn and be cultured. Ini menunjukkan bahwa penyatuan kembali pendidikan dan kebudayaan dalam satu kementerian, benar-benar dilandasi oleh suatu konsep yang mapan dan dapat dipandang sebagai menyatunya kembali dua orang saudara kembar. Pada awal tahun 2000-an, di Tokyo diadakan suatu pertemuan tentang pemugaran dan konservasi tinggalan budaya tangible yang dihadiri para ahli/pejabat di bidang itu dari seluruh Asia Pasifik. Penulis mendapat kesempatan menghadiri pertemuan yang penting itu. Setiap peserta diwajibkan menyampaikan semacam laporan (country report). Dalam kesempatan itu penulis menyampaikan laporan tentang pemugaran Candi Borobudur secara singkat tetapi menyeluruh. Walaupun telah disampaikan secara jelas, tetapi pada akhir presentasi moderator secara khusus menanyakan kembali tentang hasil dari pemugaran Candi Borobudur. Oleh karena itu, kembali kami jelaskan bahwa hasil pemugaran Candi Borobudur antara lain adalah: 1) bangunan candi yang kuat, bebas dari segala penyakit, dan diharapkan dapat bertahan hingga seribu tahun bahkan selama-lamanya, 2) lingkungan yang berupa taman, selain menambah keindahan dan lebih menampakkan keagungan candinya, juga menstabilkan cuaca di sekitar bangunan, 3) fasilitas pariwisata, 4) tenaga yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam bidang pemugaran dan konservasi candi, 5) labolatorium serta peralatan lain untuk keperluan pemugaran dan koservasi, dan lain-lain. Sesuai dengan judul tulisan ini, kita akan soroti secara khusus poin 4, yaitu teknisi yang memiliki pengetahuan dan terampil di bidang pemugaran dan konservasi. Teknisi semacam ini adalah hasil pendidikan yang diselenggarakan dalam
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 87 rangka pemugaran Candi Borobudur. Menyelenggarakan suatu pendidikan, khususnya pendidikan tenaga teknis yang dibutuhkan dalam pemugaran Borobudur tidaklah gampang. Pertama yang harus dicanangkan adalah tujuan/fungsi pendidikan tersebut, kemudian cara atau strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan itu. Prof. Dr.-Ing. Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1993-1998), dalam ceramahnya pada Seminar Nasional Pembangunan Indonesia Berwawasan Abad 21, Perhimpunan Alumni Perancis, di Jakarta tanggal 16 Oktober 1996, mengidentifikasikan paling tidak ada tiga fungsi mendasar dalam sistem pendidikan nasional, yaitu: 1) mencerdaskan kehidupan bangsa; 2) mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli, serta 3) membina dan mengembangkan penguasaan teknologi. Sedangkan pada pidato pengarahan kepada Kelompok Kerja Pemasyarakatan Kebijaksanaan Mendikbud,tanggal 30 November di Jakarta, Wardiman menyampaikan empat strategi dasar pendidikan untuk Pelita IV, yaitu: 1) pemerataan kesempatan; 2) kualitas; 3) efisiensi; 4) relevansi. Pemerataan kesempatan berarti bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, yang menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografi. Kualitas pendidikan dapat menunjuk kepada kualitas proses dan kualitas produk. Suatu pendidikan disebut bermutu dari segi proses (yang juga sangat dipengaruhi kualitas masukannya) jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, peserta didik mengalami proses pembelajaran yang bermakna, dan ditunjang oleh sumber daya (manusia, dana, sarana, prasarana) yang wajar. Suatu upaya pendidikan disebut efisien jika hasil yang dicapainya maksimal dengan biaya yang wajar. Namun dalam pandangan kontemporer, bukan hanya biaya yang menjadi ukuran efisien melainkan keefektifan atas kualitas hasil. Relevansi berarti bahwa proses dan hasil pendidikan semestinya sesuai dengan kebutuhan (needs). Untuk meningkatkan relevansi pendidikan ini maka dikembangkanlah kebijakan yang disebut dengan “Link & Match”. Kebijakan ini antara lain didasarkan atas suatu kenyataan bahwa tenaga kerja yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan tertentu ketersediaannya sangat tidak memadai. Kebijakan ini meskipun kedengarannya baru, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru dalam dunia pendidikan, karena telah dikembangkan sejak lima Pelita sebelum ini. ”Link” secara harafiah berarti ada pertautan, keterkaitan, hubungan interaktif, dan “match” berarti cocok. Pada dasarnya, link dan macth adalah adanya keterkaitan dan kesepadanan dengan kebutuhan (needs, demands). Dari perspektif ini, link menunjuk pada PROSES, yang berarti bahwa proses pendidikan selayaknya sesuai dengan kebutuhan sehingga Kegiatan mengaplikasikan araldite pada batu tahun 1977
88 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Pelatihan di Laboratorium tahun 1977
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 89 hasilnyapun cocok atau match dengan kebutuhan tersebut. (Djojonegoro, 1998: 180 – 190). Setelah mendapatkan tujuan/ fungsi dan strategi pendidikan yang diterapkan secara nasional, marilah kita lihat mengapa, bagaimana proses dan hasil pendidikan tenaga teknis yang dilaksanakan dalam rangka pemugaran Candi Borobudur (disingkat pendidikan Borobudur) itu dilaksanakan. Pertama-tama akan kita bahas mengapa pendidikan Borobudur itu perlu dilakukan. Adalah suatu kenyataan, pemugaran candi di Indonesia telah dimulai sejak pertengahan abad XVIII Masehi. Diawali dengan pemugaran candi-candi kecil di Jawa Timur, melebar ke Jawa Tengah seperti Candi Kalasan, Sari, Prambanan, Mendut, Pawon, Borobudur (pemugaran pertama), dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa seluruh pekerjaan tersebut dilakukan oleh tenaga teknis Indonesia. Metode kerja yang digunakan adalah metode anastilosis yang oleh penulis disebut dengan metode ’ngawulo watu’. Demikian terkenalnya metode ini sehingga di’eksport’ ke Kamboja melalui Hendri Marshal. Pada tahun 1929, ia datang ke Jawa mempelajari metode kerja tersebut. Pada tahun yang sama ia kembali ke Kamboja serta menerapkannya dengan berhasil, dan menyebutnya sebagai “Dutch Process” (Samidi, 2000: 196). Metode kerja inipun akan tetap dipakai dalam pemugaran Candi Borobudur. Meskipun demikian, patut dicatat bahwa masa itu adalah masa Pelita. Pemerintah menyediakan dana yang cukup banyak untuk pemugaran candi, termasuk untuk pemugaran Borobudur. Tenaga teknis yang memang ketersediaannya relatif sedikit telah dipakai pada pemugaran candi-candi yang lain. Oleh karena itu, pemugaran Candi Borobudur yang baru akan dimulai boleh dikatakan tidak kebagian tenaga teknis. Permasalahan kedua berasal dari candi itu sendiri. Sebagaimana diketahui, Candi Borobudur mempunyai berbagai keistimewaan sehingga menarik perhatian umat sedunia. Di antaranya, relief yang indah sepanjang 3 km, 500 buah arca, dan tak kalah indahnya adalah bentuknya yang lain dari pada candi lainnya. Keindahan bentuk yang menarik ini justru merupakan sumber malapetaka baginya. Pada umumnya candi mempunyai bentuk runcing, sementara Borobudur mempunyai bentuk melebar. Bentuk ini menyisakan bidang datar yang lebar baik pada puncak maupun pada lorong yang melingkar dari atas ke bawah mengelilingi tubuh dan kaki candi. Walau sudah diantisipasi dengan jalan air (jaladwara) pada semua sisi dan sudutnya, rembesan air ke bawah dan ke samping melalui celah-celah batu tidak dapat diatasi sepenuhnya. Rembesan air ke bawah menembus tanah dasar candi, melemahkan daya dukung tanah, dan akhirnya merusak struktur bangunannya. Rembesan ke samping lewat batu dinding memberi kesempatan tumbuh suburnya mikrobiologi dan timbulnya berbagai penyakit lainnya pada permukaan batunya. Ini dapat dikatakan suatu masalah baru dalam sejarah pemugaran di Indonesia dan telah mencapai pada tingkat serius. Oleh karena itu, Borobudur dinyatakan dalam bahaya (Borobudur in danger) (Soekmono, 1972: 19). Kondisi ini segera mendapat perhatian dunia dan ingin membantunya baik secara langsung maupun lewat UNESCO. Bantuan pertama berupa tenaga ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti: ahli konservasi batu, ahli mekanika tanah, ahli geologi, ahli konstruksi beton, arsitek, dan sebagainya. Melalui proses yang panjang dengan didampingi para ahli Indonesia, akhirnya disepakati suatu rancangan pemugaran yang antara lain berisi: Borobudur harus diperkuat dengan suatu konstruksi beton, dilengkapi dengan saluran air, dan batu-batunya dikonservasi dengan bahan kimia. Untuk melaksanakan rancangan pemugaran yang baru pertama kalinya di Indonesia ini, memerlukan tenaga teknis yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan khusus untuk itu. Tenaga teknis semacam ini tidak dimiliki Dinas Purbakala dan juga tidak dimiliki Institusi pendidikan manapun di Indonesia. Untuk mendapatkan tenaga teknis yang khusus itu, mutlak perlu diadakan suatu pendidikan khusus, melalui proses pendidikan tertentu agar mendapatkan hasil yang maksimal. Untuk mendapatkan hasil maksimal/tepat guna, pendidikan tenaga teknis pemugaran Candi Borobudur dimulai sejak awal masa persiapan pemugaran, berlangsung kurang lebih selama tiga tahun. Orang bilang, panen yang baik biasanya dihasilkan dari bibit yang baik pula. Berbekal motto tersebut, tes penyaringan calon peserta didik dipercayakan kepada pihak Universitas Gadjah Mada. Dasar pendidikan yang diperlukan adalah Sekolah Teknik Menengah Jurusan Bangunan dan Sekolah Menengah Atas Bagian Paspal atau setingkatnya. Sejak awal telah diadakan pembidangan/spesialisasi sesuai dengan tugas pokok yang akan dilakukan dalam pemugaran. Mata pelajarannyapun juga dibagi menjadi dua yaitu mata pelajaran umum dan mata pelajaran khusus sesuai bidang kerja masingmasing. Peserta didik dari STM diarahkan menjadi tenaga teknis arkeologi dengan mata pelajaran pokok hal-hal yang bersangkutan dengan teknik sipil, arsitektur lengkap dengan pengukuran dan pergambaran. Sedang peserta didik dari SMA paspal dan yang lainnya, diarahkan kepada bagian kemiko arkeologi dengan mata pelajaran antara lain mikrobiologi, kimia, dan lain-lain. Pelajaran diberikan dalam bentuk teori dan praktek. Pelajaran praktek dilakukan baik di kelas maupun langsung di lapangan. Untuk keperluan tersebut telah tersedia sarana prasarana seperti laboratorium
90 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur dengan peralatan lengkap dan canggih, tempat dan alat gambar, serta alat ukur yang juga cukup canggih. Praktek lapangan sangat dimungkinkan karena selain pendidikan itu mengambil tempat di kaki Candi Borobudur, pendidikan juga dilakukan paralel dengan berjalannya kerja pemugaran. Untuk memperluas pengetahuan tentang latar belakang kerja yang akan dilaksanakan, peserta didik juga diberi pelajaran yang berkenaan dengan kebudayaan dan Bahasa Inggris. Bahasa Inggris dimaksudkan untuk membekali para peserta didik agar dapat berkomunikasi dengan para ahli dari luar negeri/UNESCO dan mempersiapkan diri jika suatu waktu ada tawaran tugas belajar ke luar negeri. Kebudayaan, khususnya arkeologi, dimaksudkan untuk memberi pengetahuan tentang latar belakang budaya Candi Borobudur sebagai objek yang dipugar. Lebih jauh lagi, untuk menanamkan di dalam hati sanubari setiap peserta didik bahwa setiap tinggalan budaya mengandung nilai budaya tertentu. Dengan demikian, memugar suatu tinggalan budaya harus dilakukan secara menyeluruh, dalam arti fisik dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Dengan cara ini, bangunan itu tidak kehilangan jati dirinya sebagai tinggalan budaya dan sejarah yang mewakili masanya. Memperhatikan betapa penting arti pemugaran dari suatu tinggalan budaya dan permasalahanpermasalahan teknis yang sedang dihadapi, pihak penyelenggara pendidikan bertekad untuk menghasikan tenaga teknis yang bermutu, yang dapat menjawab tantangan permasalahan tersebut di atas. Bekerja sama dengan pihak UNESCO, peralatan dan sarana prasarana belajar mengajar semakin disempurnakan. Kunci keberhasilan berikutnya adalah para pengajar/dosennya. Untuk memenuhi tuntutan ini, para pengajar/dosennya didatangkan dari berbagai universitas terkenal seperti Universitas Sebelas Maret, Universitas Saraswati, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan sebagainya. Sudah barang tentu para ekspert yang ditugasi membantu pemugaran Candi Borobudur juga turut serta meningkatkan pengetahuan mereka. Khusus untuk meningkatkan pengetahuan di bidang memahat batu, secara khusus didatangkan seorang instruktur dari Italia. Serta pencapaian lain di bidang pergambaran adalah digunakannya alat photogrammetry. Puncakpuncak pencapaian peningkatan pengetahuan ini diraih melalui kesempatan menambah pengetahuan di luar negeri, baik mengenai konservasi maupun pergambaran dan pengukuran antara lain di Italia, India, Perancis, dan lain-lainnya. Upaya keras dari berbagai pihak dalam penyelengaraan pendidikan ini membuahkan tenaga teknis yang dapat dibanggakan dan cocok (match) dengan Kiri : penyampaian teori oleh narasumber di kelas Kanan : para peserta pelatihan melakukan survei kerusakan candi dilapangan
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 91 kebutuhan pemugaran yang sedang berlangsung. Jika dikaji dengan fungsi dan strategi pendidikan sebagaimana tertera di atas, maka pendidikan tenaga teknis yang diselenggarakan di Borobudur dapat kita lihat sebagai berikut ini. Terlebih dahulu, dikaji dari fungsi dasar pendidikan. Pendidikan vBorobudur boleh dikatakan telah memenuhi ketiga fungsi kualitas, efisiensi, dan relevansi. Khususnya fungsi efisiensi dan relevansi, pendidikan Borobudur memang dirancang untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli, serta membina dan mengembangkan teknologi dalam hal ini adalah teknologi pemugaran candi. Selanjutnya, dikaji dari strategi pendidikan, pendidikan Borobudur telah menggunakan setidaknya tiga dari empat strategi tersebut di atas. Pertama, relevansi yang esensinya adalah “link & match” pada dasarnya adalah adanya keterkaitan dan keterpaduan dengan kebutuhan. Dilihat dari prosesnya, pendidikan Borobudur berawal dari ketidaktersedianya tenaga yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk pemugaran. Proses selanjutnya adalah penyaringan bibit unggul sebagai peserta didik. Bibit unggul ini dididik secara intensif oleh tenaga pengajar yang berkualitas disertai penyediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan canggih. Semuanya diarahkan kepada pemenuhan tenaga teknis yang berkualitas. Hasilnya tentu cocok (match) dengan kebutuhan (needs). Kedua, yang menunjuk kepada kualitas proses dan kualitas produk. Dalam hal ini, pendidikan Borobudur dilaksanakan secara intensif dan terarah sehingga membuahkan produk yang berkualitas. Ketiga, adalah efisien yang sesungguhnya sangat relatif, tergantung dari mana kita memandangnya. Dilihat dari segi biaya, pendidikan Borobudur dapat dikatakan pendidikan biaya tinggi. Laboratorium yang lengkap, alat ukur dan gambar, photogrammetry, dan lain-lain, semuanya serba canggih dan tentu mahal. Dilihat dari hasil seperti disebutkan di atas pendidikan Borobudur, menghasilkan tenaga teknis yang dapat dibanggakan dan cocok dengan kebutuhan. Apalagi dilihat dari pikiran masa depan yang terselip di balik semua itu, Borobudur dirancang sebagai pusat studi restorasi dan konservasi ASEAN. Jadi pendidikan Borobudur, sadar atau tidak disadari telah dirancang dan dilaksanakan dengan menggunakan asas-asas pendidikan nasional, khususnya apa yang disebut dengan konsep/kebijakan “Link & Match”. Berbeda dengan tinggalan budaya lainnya, pemugaran Candi Borobudur telah mendapatkan bantuan dari berbagai negara lewat UNESCO sebelum secara resmi diakui sebagai warisan dunia. Bantuan-bantuan ini dapat dipandang sebagai pengakuan secara defacto akan kebesaran nilai budaya yang terkandung di Atas : narasumber melakukan penjelasan mengenai Theodolite (alat pengukuran) kepada peserta pelatihan Bawah : peserta pelatihan melakukan praktek pemahatan batu
92 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur dalam Candi Borobudur. Pengakuan secara dejure baru diberikan beberapa tahun setelah selesai pemugaran. Bagi kita bangsa Indonesia yang dianggap sebagai warisan bukan saja bangunan Candi Borobudur itu semata, melainkan juga segala sesuatu yang dirasakan menyatu dengan candi itu, di antaranya taman arkeologi yang berada di sekitarnya, Laboratorium konservasi yang kini menjelma menjadi Balai Konservasi Borobudur, dan tak kalah pentingnya adalah pengetahuan dan keterampilan para teknisi pemugarnya. Pengetahuan dan keterampilan ini adalah sebagai buah hasil pendidikan Borobudur yang telah terbukti dapat membuat Candi Borobudur kembali kokoh kuat, indah, agung, dan diharapkan dapat bertahan seribu tahun bahkan selama-lamanya. Bau harum pengetahuan ini telah tersebar ke seluruh Indonesia melalui institusi-institusi yang bekerja dalam bidang pelestarian tinggalan budaya material. Bahkan sudah tercium oleh rekan-rekan kita sesama negara ASEAN, sehingga menunjuk Borobudur sebagai pusat studi restorasi ASEAN. Demikian bermanfaatnya, demikian besar penghargaan yang pernah diberikan kepadanya. Namun kita bangsa Indonesia sebagai ahli warisnya, sering lupa merawatnya, apalagi mengembangkannya sebagaimana layaknya sebuah warisan. Kita cenderung melupakan, bahkan membiarkannya, tidak berbuat apa-apa sambil menunggu warisan itu terkubur bersama pewaris pertamanya. Sikap seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan dan tidak benar untuk dipertahankan lebih lama lagi. Lalu, bagimana seharusnya kita memaknainya di masa akan datang, semoga! Daftar Pustaka Djojonegoro, Wardiman . 1998. Peningkatan Kualitas SDM Melalui Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ranganathananda, Swami. 2000. Bhagavad Gita jilid 1 (terjemahan). Jakarta: Media Hindu. Samidi. 2000. Metode Pencocokan Batu Lepas (anastilosis) Pagar Langkan Candi Borobudur. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Soekmono, R. 1972. Riwajat Usaha Penjelamatan Tjandi Borobudur (Sampai Achir 1971). Projek PELITA Restorasi Tjandi Borobudur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tilaar, H.A.R. 1998. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset. Atas : pelatihan 5 pemuda Palestina di Borobudur Bawah : Pelatihan Fotografi Cagar Budaya
Kantor Balai Konservasi Borobudur 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 93
94 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur BALAI KONSERVASI BOROBUDUR SEBAGAI PUSAT PEMBELAJARAN P emugaran ke-2 Candi Borobudur pada tahun 1973 – 1983 meninggalkan beberapa potensi yang sayang jika dibiarkan begitu saja. Potensi itu antara lain sumber daya manusia, sarana dan prasarana berupa laboratorium, dan peralatan yang sangat berguna untuk mendukung pelestarian Candi Borobudur. Bahkan beberapa peralatan tersebut di lingkungan purbakala hanya dimiliki oleh Balai Konservasi Borobudur. Pascapemugaran ke-2, kantor Proyek Pemugaran Candi Borobudur yang merupakan cikal bakal Balai Konservasi Borobudur ditetapkan sebagai Pusat Konservasi Batu se-Asia Tenggara, sehingga beberapa kali kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya manusia khususnya konservasi bangunan porous dilaksanakan di Borobudur. Kegiatan ini dalam kerangka kerjasama regional ASEAN yang dikelola oleh SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts (SPAFA) yang berpusat di Bangkok. Kegiatan ini berlanjut sampai berdirinya Balai Konservasi Borobudur pada tanggal 30 November 1990 yang pada awalnya bernama Balai Studi dan Konservasi Borobudur. Seiring berjalannya waktu, terjadi beberapa kali perubahan nama dan penyesuaian tugas dan fungsi lembaga, terakhir dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2012 berubah nama menjadi Balai Konservasi Borobudur. Berdasarkan peraturan menteri yang terakhir ini, pengelolaan Candi Mendut dan Candi Pawon menjadi satu dengan pengelolaan Candi Borobudur di bawah Balai Konservasi Borobudur. Sesuai dengan tugas fungsinya, sejak tahun 2004 secara rutin Balai Konservasi Borobudur melaksanakan peningkatan sumber daya manusia berupa pelatihan tenaga teknis konservasi dan pemugaran mulai dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi. Beberapa pelatihan dan workshop yang berhubungan dengan pelestarian cagar budaya juga telah dilaksanakan di Balai Konservasi Borobudur seperti Pelatihan Satuan Pengamanan Warisan Dunia, Pelatihan Fortografi Cagar Budaya, Workshop Penyusunan Dokumen Warisan Dunia, Workshop Menajemen Bencana Pada Cagar Budaya, dan Workshop Pemandu Warisan Dunia. Semua pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia sehingga mampu menjawab setiap tantangan dalam upaya pelestarian cagar budaya yang semakin kompleks. Peserta pelatihan tersebut berasal dari instansi di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dinas provinsi dan kabupaten yang membidangi kebudayaan, BUMN seperti PT. Kereta Api Indonesia (KAI), dan swasta seperti Pusat Data Arsitektur Jakarta. Penyampaian teori oleh narasumber di kelas pada Pelatihan Tenaga Teknis Pemugaran Tingkat Dasar.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 95 Untuk tingkat regional Balai Konservasi Borobudur telah melaksanakan Training Course on Conservation and Restoration of Monuments and Sites pada tahun 2009. Pelatihan diikuti oleh peserta dari Indonesia dan beberapa negara ASEAN. Kegiatan ini bertujuan untuk mengukuhkan kembali Borobudur sebagai Pusat Konservasi Batu di Asia Tenggara. Di samping itu, dalam kerangka kerjasama bilateral dengan Pemerintah Palestina, pada tahun 2011 lima orang pemuda Palestina mengikuti Pelatihan Konservasi dan Pemugaran Bangunan dan Situs Cagar Budaya (Training Course on Conservation and Restoration of Monuments and Sites) di Balai Konservasi Borobudur. praktek kerja lapangan (PKL), magang, dan penelitian di Balai Konservasi Borobudur, baik untuk menyelesaikan skripsi, tesis, bahkan desertasi tingkat doktoral. Beberapa perguruan tinggi yang pernah mengirimkan mahasiswa untuk praktek kerja lapangan (PKL), magang, dan penelitian di Balai Konservasi Borobudur antara lain Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Institut Teknologi Bandung, Universitas Diponegoro Semarang, dan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Kanan : dua orang mahasiswa PKL sedang melakukan kegiatan di Laboratorium Kimia. Kiri : kegiatan Pelatihan 5 orang Pemuda Palestina di Borobudur. Saat ini di Balai Konservasi Borobudur terdapat Laboratorium Fisik/Petrografi, Biologi, Kimia, dan Laboratorium Lapangan yang masing-masing dilengkapi dengan peralatan. Dengan segala fasilitas yang tersedia, tidak salah kalau Balai Konservasi Borobudur menjadi tempat magang beberapa staf dari Balai Pelestarian Cagar Budaya di Indonesia, misalnya staf BPCB Makassar dan staf BPCB Batusangkar. Hal ini didukung oleh sumber daya manusia yang dimiliki dan fasilitas yang tersedia di Balai Konservasi Borobudur. Bahkan akhir-akhir ini semakin berkembang sehingga banyak mahasiswa yang berasal dari beberapa perguruan tinggi melakukan
96 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Balai Konservasi Borobudur juga banyak menerima permintaan untuk membantu melakukan analisis laboratorium terhadap beberapa sampel, baik yang berhubungan dengan cagar budaya maupun tidak sama sekali. Beberapa bidang ilmu yang menarik minat mahasiswa untuk melakukan magang dan penelitian adalah : 1. Arkeologi murni dan terapan; 2. Biologi untuk konservasi cagar budaya; 3. Kimia untuk konservasi cagar budaya; 4. Karateristik dan asal-usul batu Candi Borobudur; 5. Pengukuran stabilitas Candi Borobudur dan bukit; 6. Arsip dan perpustakaan, 7. Manajemen pengelolaan warisan dunia. Sedangkan untuk pengujian laboratorium antara lain : 1. Pengujian karateristik fisik dan petrografi; 2. Penentuan unsur kimia; 3. Pengujian biologi; 4. Pengujian mikrostruktur menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Beberapa jenis sampel yang dikerjakan oleh Balai Konservasi Borobudur : 1. Material cagar budaya : batu, bata, plaster, spesi, cat, dan kayu; 2. Material yang direncanakan sebagai bahan pengganti : batu, bata, cat, dan kayu; 3. Material yang bukan cagar budaya : beton untuk pembatas air laut di pantai (fisik dan petrografi), mikrostruktur bahan penambal gigi, lapisan rekayasa bahan, serat organik, dan abu terbang (SEM). Di samping itu Balai Konservasi Borobudur saat ini sering menjadi tujuan studi banding dan kunjungan lapangan dari beberapa institusi di luar Direktorat Jenderal Kebudayaan. Institusi tersebut berasal dari lingkungan pendidikan, pariwisata, dan lembaga penelitian dari dalam dan luar negeri. Bahkan beberapa di antaranya menjalin kerjasama dalam rangka peningkatan kapasitas sumber daya manusia, misalnya dengan National Research Institute for Curtural Properties (NRICP) Jepang dan Universitas Tsukuba Jepang. Perkembangan Balai Konservasi Borobudur seoptimal mungkin tetap dipergunakan untuk meningkatkan pelestarian Candi Borobudur dan cagar budaya laninnya di seluruh Indonesia. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan fasilitas yang dimilikinya dimanfaatkan oleh pihak lain sepanjang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Pelatihan di Balai Konservasi Borobudur Sampai saat ini, setiap tahun Balai Konservasi Borobudur telah melaksanakan beberapa pelatihan untuk peningkatan kapasitas tenaga pelestari cagar budaya dengan mengundang peserta dari seluruh Indonesia. Berikut ini adalah beberapa pelatihan yang secara rutin telah dilaksanakan oleh Balai Konservasi Borobudur. 1. Pelatihan Tenaga Teknis Konservasi Tingkat Dasar Melalui pelatihan ini peserta diharapkan mengenal dan memahami kegiatan konservasi cagar budaya. Materi pelatihan yang berdurasi 96 jam pelajaran (JP) ini terdiri dari materi utama dan materi penunjang, baik dalam bentuk teori maupun praktek di laboratorium dan lapangan. Materi utama menjadi bagian penting dalam pengenalan konservasi cagar budaya sehingga peserta dapat mengenal dan memahami Kerjasama Peningkatan SDM dengan NRICP Jepang. Sistem Monitoring pada Arca Buddha di Jurinin Temple, Nara.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 97 permasalahan konservasi, sedangkan materi penunjang sebagai tambahan pengetahuan untuk mengembangkan wawasan peserta. Materi pelajaran untuk pelatihan ini adalah : A. Materi Utama 1) Pengantar Kepurbakalaan 2) Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya I 3) Dasar-Dasar Konservasi Cagar Budaya 4) Pengantar Material Cagar Budaya 5) Pengantar Rona Lingkungan 6) Kerusakan dan Pelapukan Cagar Budaya Bahan Batu 7) Kerusakan dan Pelapukan Cagar Budaya Bahan Bata 8) Kerusakan dan Pelapukan Cagar Budaya Bahan Kayu 9) Pengantar Analisis Laboratorium 10) Dokumentasi Cagar Budaya 11) Praktek Rona Lingkungan 12) Observasi Kerusakan dan Pelapukan 13) Praktek Perawatan Cagar Budaya Bahan Batu 14) Praktek Perawatan Cagar Budaya Bahan Bata 15) Praktek Perawatan Cagar Budaya Bahan Kayu 16) Praktek Pengambilan Sampel 17) Praktek Analisis Laboratorium (Kimia, Biologi, Fisik/ Petrografi) B. Materi Penunjang 1) Etika Profesi 2) Pengantar Kimia 3) Pengantar Petrografi 4) Pengantar Biologi 5) Kapita Selekta Konservasi 6) Observasi Lapangan 2. Pelatihan Tenaga Teknis Konservasi Tingkat Menengah Pelatihan ini menuntut peserta untuk terampil dalam melaksanakan kegiatan konservasi cagar budaya. Melalui 154 jam pelajaran (JP) yang dibagai dalam teori dan praktek, para peserta diberikan materi utama dan penunjang untuk mengasah keterampilan dalam konservasi cagar budaya. Sebagai lanjutan dari pelatihan tingkat dasar, materi utama pelatihan tingkat menengah diarahkan agar peserta mampu melaksanakan konservasi cagar budaya di tempat masing-masing, sedangkan materi penunjang diarahkan sebagai tambahan pengetahuan untuk mengembangkan wawasan peserta. Materi pelajaran untuk pelatihan ini adalah : A. Materi Utama 1) Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya II 2) Faktor-Faktor Penyebab dan Mekanisme Pelapukan Cagar Budaya 3) Metodologi Konservasi Batu 4) Metodologi Konservasi Bata 5) Metodologi Konservasi Kayu 6) Prosedur Diagnostik Konservasi Cagar Budaya 7) Pengantar Konservasi Keramik 8) Pengantar Konservasi Logam 9) Pengantar Konservasi Kertas 10) Pengantar Konservasi Tulang dan Fosil 11) AMDAL 12) Praktek Konservasi Batu 13) Praktek Konservasi Bata 14) Praktek Konservasi Kayu 15) Praktek Konservasi Keramik 16) Praktek Konservasi Logam 17) Praktek Konservasi Kertas 18) Praktek Konservasi Tulang dan Fosil 19) Praktek Analisis Laboratorium 20) Pengetahuan Bahan Konservan 21) Pengetahuan Konservan Kawasan 22) Praktek AMDAL 23) Sistem pengumpulan Data Konservasi B. Materi Penunjang 1) Metodologi Penelitian Konservasi 2) Kaidah Penulisan Ilmiah 3) Pengantar Manajemen Sumber Daya Budaya 4) Kapita Selekta Konservasi 5) Observasi Lapangan 3. Pelatihan Tenaga Teknis Pemugaran Tingkat Dasar Pelatihan ini ditujukan agar peserta mengenal dan memahami kegiatan pemugaran cagar budaya. Alokasi waktu 70 JP, dibagi dalam teori dan praktek di lapangan. Materi yang disampaikan tetap terdiri dari materi utama dan beberapa materi penunjang. Materi pelatihan adalah sebagai berikut :
98 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur A. Materi Utama 1) Pengantar Kepurbakalaan 2) Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya I 3) Dasar-Dasar Pemugaran Cagar Budaya 4) Kondisi Teknis Bangunan Cagar Budaya 5) Prosedur Pemugaran Cagar Budaya 6) Pengantar Pemetaan Situs Cagar Budaya 7) Pengantar Penggambaran Situs Cagar Budaya 8) Pengantar Sistem Registrasi Pemugaran 9) Dokumentasi Cagar Budaya 10) Observasi Kerusakan Arsitektural dan Struktural B. Materi Penunjang 1) Etika Profesi 2) Pengantar Arsitektur 3) Pengantar Mekanika Teknik 4) Pengantar Mekanika Tanah 5) Kapita Selekta Pemugaran 6) Observasi Lapangan 4. Pelatihan Tenaga Teknis Pemugaran Tingkat Menengah Setelah mengikuti pelatihan ini peserta diharapkan mampu melaksanakan pemugaran cagar budaya. Pelatihan berlangsung selama 144 JP yang terdiri dari materi utama dan penunjang yang disampaikan dalam pembelajaran teori di kelas dan praktek di lapangan. Peserta juga dituntut untuk mampu mengenali permasalahan sekaligus mengambil tindakan pemugaran. Materi pelatihan adalah sebagai berikut : A. Materi Utama 1) Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya II 2) Metodologi Pemugaran Bangunan Candi Bahan Batu 3) Metodologi Pemugaran Bangunan Candi Bahan Bata 4) Metodologi Pemugaran Bangunan Tradisional Bahan Kayu 5) Metodologi Pemugaran Bangunan Kolonial 6) Pengantar Studi dan Perencanaan Pemugaran 7) Teori dan Praktek Pemetaan Situs Cagar Budaya 8) Teori dan Praktek Penggambaran Bangunan Cagar Budaya 9) Teori dan Praktek Merancang Sistem Registrasi Pemugaran B. Materi Penunjang 1) Metodologi Penelitian 2) Kaidah Penulisan Ilmiah 3) Pengantar Manajemen Sumber Daya Budaya 4) Kapita Selekta Pemugaran 5) Observasi Lapangan 5. Pelatihan Tenaga Teknis Konservasi dan Pemugaran Tingkat Tinggi Pelatihan ini dirancang sebagai muara dari pelatihan tenaga teknis baik konservasi maupun pemugaran. Melalui pelatihan ini peserta diharapkan mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan konservasi dan pemugaran cagar budaya secara komprehensif. Oleh sebab itu, syarat untuk mengikuti pelatihan ini adalah peserta yang telah mengikuti pelatihan tingkat menengah, baik konservasi maupun pemugaran. Materi pelatihan disusun untuk merangsang peserta menyelesaikan kasus-kasus konservasi dan pemugaran melalu kegiatan di lapangan dan diskusi di antara peserta. Namun demikian materi juga tetap akan disampaikan dalam pembelajaran di kelas oleh beberapa narasumber yang relevan. Alokasi waktu untuk pelatihan ini adalah 170 JP dengan materi pelatihan sebagai berikut : A. Materi Utama 1) Manajemen Sumber Daya Budaya 2) Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya Nasional dan Dunia 3) Perencanaan Konservasi dan Pemugaran Cagar Budaya 4) Praktek Perencanaan Konservasi dan Pemugaran Cagar Budaya 5) Perencanaan Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Budaya 6) Praktek Perencanaan Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Budaya 7) Sistem Monitoring dan Evaluasi Cagar Budaya 8) Praktek Sistem Monitoring dan Evaluasi Cagar Budaya 9) Praktek Konservasi Kawasan 10) Pertamanan dalam Situs
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 99 B. Materi Penunjang 1) Pengelolaan Warisan Budaya Dunia 2) Observasi Lapangan 3) Seminar Perencanaan Konservasi dan Pemugaran Cagar Budaya Secara umum syarat-syarat untuk mengikuti pelatihan tenaga teknis di atas adalah : - Lulusan SMA jurusan IPA, STM Jurusan Kimia (konservasi)/ Bangunan (Pemugaran) - Sarjana dari berbagai jurusan - Untuk tingkat menengah peserta harus telah mengikuti pelatihan tingkat dasar - Untuk tingkat tinggi peserta harus telah mengikuti pelatihan tingkat menengah Setiap jenis dan jenjang pelatihan juga dilaksanakan evaluasi dari hasil pembelajaran untuk mengetahui daya serap para peserta terhadap seluruh materi yang disampaikan. Di samping pelatihan tenaga teknis seperti yang telah diuraikan di atas, Balai Konservasi Borobudur secara rutin juga melaksanakan Pelatihan Fotografi Cagar Budaya dan Pelatihan Satuan Pengamanan Warisan Dunia. 1. Pelatihan Fotografi Cagar Budaya Pelatihan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas tenaga pelestari cagar budaya, khususnya dalam fotografi untuk menunjang pendokumentasian kegiatan pelestarian. Akhir-akhir ini tenaga fotografer dalam kegiatan pelestarian cagar budaya, baik secara kuantitas maupun kualitas munurun dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, pelatihan ini dirancang sedemikian rupa melalui teori dan praktek sehingga peserta dapat segera mengaplikasikan ilmunya di lapangan setelah mengikuti kegiatan pelatihan ini. Materi pelatihan terdiri dari : a. Kebijakan Pelestarian Cagar Budaya b. Pengantar Cagar Budaya c. Pengantar Pendokumentasian Cagar Budaya d. Pengetahuan Dasar Lensa dan Kamera e. Komposisi Dasar Foto f. Skala Foto g. Pengelolaan Arsip Foto h. Praktek Fotografi Cagar Budaya 2. Pelatihan Satuan Pengamanan (Satpam) Warisan Dunia Tujuan pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kapasitas dan memberikan materi khusus tentang warisan dunia kepada Satpam yang bekerja di situs warisan dunia. Di samping itu diberikan juga materi tentang kesiapsiagaan dan tanggap darurat pada saat bencana. Materi pelatihan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya b. Struktur Organisasi dan Etika Berorganisasi c. Warisan Budaya Dunia dan Pengelolaannya d. Psikologi Massa e. Etika, Fungsi, dan Peranan Satpam Waarisan Dunia f. Potensi Bencana di Kawasan Warisan Dunia g. Pengamanan Warisan Budaya dari Ancaman Bencana h. Kebijakan Penanganan Cagar Budaya dalam Situasi Bencana i. Pelatihan P3K j. Evakuasi dan Alur Penanganan Bencana k. Studi Banding Berbagai jenis pelatihan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas tenaga pelestari cagar budaya ini menghadirkan beberapa narasumber dari lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, akademisi yang berasal dari universitas, misalnya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Diponegoro Semarang, dan beberapa praktisi di bidang pelestarian cagar budaya. Dengan demikian diharapkan peserta yang telah mengikuti kegiatan ini dapat segera menerapkan ilmunya di lapangan.
100 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur DIBALIK PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR 5 BAB