The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

book-fullfile-5a7bfb03e0c9b-1518074627 (1)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Digital, 2023-05-31 11:28:14

book-fullfile-5a7bfb03e0c9b-1518074627 (1)

book-fullfile-5a7bfb03e0c9b-1518074627 (1)

200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 151 sebagai sarana sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian benda cagar budaya dan situsnya. Adapun fasilitas di dalam taman wisata sesuai dengan rencana induk adalah sebagai berikut : 1). Fasilitas Pokok a). Fasilitas Pokok di Borobudur Pusat Studi Borobudur (Borobudur Study Center) Pusat Konservasi Batu (Stone Conservation Centre) Museum Arkeologi (Archaeological Museum) b). Fasilitas Pokok di Prambanan Panggung Terbuka Ramayana (Open Air Theatre) Gedung Kesenian Trimurti ( Covered Theatre) Museum Arkeologi (Archaeological Museum) 2). Fasilitas Operasional Kantor Unit Taman Wisata (Park Operational Office) Pusat Penerangan (Information Centre) Kantor Pemeliharaan Taman (Gardener’s Office) Kantor Kebersihan Taman (Cleaner’s office) Tempat Penjualan Karcis (Ticketing Office) Gardu-Gardu Jaga ( Guard Boxes) Kebun Pembibitan (Nursery) 3). Fasilitas Pelayanan Tempat parkir (Parking Lot) Kios-Kios Souvenir (Souvenir Shops) Restoran Peturasan Umum (Public Toilet) Musholla Pergola & Shelter 2. Pembiayaan Pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan dibiayai oleh pinjaman dari OECF (Overseas Econimic Cooperation Fund) dan PMP (Penyertaan Modal Pemerintah) sebagai dana pendukung. Besaran pinjaman yang diberikan tercantum dalam Loan Agreement Mo. IP-255 sebesar Y 2,805,000,000 dan dana PMP yang harus disediakan pemerintah RI sebesar Rp 7,254,000,000 Adapun peruntukkan pinjaman OECF dan PMP dimaksud adalah sebagai berikut: Foreign Currency (Million Yen) Local Currency (Million Rupiah) Construction Consulting service Contigency 1,825 294 686 3,777 676 2,801 Total 2,805 7,254 Jangka waktu pengembalian pinjaman OECF tersebut selama 30 tahun dengan grace period 10 tahun bungan 3 % per tahun. 4. Periode Implementasi Pembangunan. a. Dengan telah diterimanya hasil studi JICA berupa MasterplanBorobudur and Prambanan Archaeological Park beserta hasil studi dari Universitas Gadjah Mada Tata Lingkungan Pemukiman Pengganti Taman Purbakala Nasional Borobudur dan Prambanan, oleh Pemerintah RI dengan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.221/PW.004/Phb-80 tanggal 25 Mei 1980, maka Proyek Pembangunan Taman Wisata Borobudur & Prambanan akan segera dimulai pelaksanaannya. b. Untuk melaksanakan Pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan sekaligus sebagai pengelolanya, pemerintah mendirikan PT. (Persero) Taman Wisata Candi BOROBUDUR & PRAMBANAN dengan Akte Notaris Soeleman Ardjasasmita, SH. Nomor 19 tanggal 15 Juli 1980, suatu BUMN di bawah Departemen Teknis, Departemen Perhubungan. c. Di dalam pelaksanaan pembangunan fisik taman tersebut PT. Taman Wisata Candi BOROBUDUR & PRAMBANAN dibantu oleh Konsultan PCI – JCP (Pacific Consultan International – Japan City Planning) berkerjasama dengan PT. IDECO UTAMA untuk : Membuat Up-dated Former Plan and Schematic Design Membuat Detail Engineering Design Melaksanakan Re-assesment Study Melaksanakan pengawasan pelaksanaan proyek.


152 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Perubahan Perencanaan dan Fungsi Fasilitas Taman Di dalam perkembangan pada saat pekerjaan Paket B (yang dibiayai pinjaman OECF dan APBN) berlangsung, terjadi perubahan yang signifikan atas scope pekerjaan khususnya building work (pekerjaan bangunan) sebagai berikut : 1. Archaelogical office (Kantor Arkeologi) di Borobudur diperuntukkan sebagai pengganti Kantor BP3 Jawa Tengah. Namun pihak BP3 Jawa Tengah keberatan karena banyak pegawai yang bermukim di sekitar Prambanan, sehingga kalau pindah ke Borobudur perlu waktu dan biaya lebih untuk transportasi ke Borobudur. Secara kebetulan Borobudur Study Center yang diperuntukkan untuk eks BP3 Jawa Tengah berkantor dan mengembangkan Pusat Studi Borobudur dirasa tidak mencukupi untuk menyimpan dokumen dan peralatan eks pemugaran Candi Borobudur, maka Kantor Arkeologi Borobudur diminta oleh eks BP3 Jawa Tengah dan masih ada tambahan permintaan gedung baru untuk kegiatan penelitian dan laboratorium yang disebut dengan nama Stone Conservation Center (Pusat Konservasi Batu), dengan catatan Bangunan Borobudur Study Center (Pusat Studi Borobudur) diserahkan kepada PT. Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan. Sebagai konsekuensi atas perubahan ini, serta mengingat pertimbangan biaya maka Archaeological Office (Kantor Arkeologi) di Taman Wisata Candi Prambanan yang semula diperuntukkan sebagai Kantor BP3 DIY tidak jadi dibangun, karena biaya pembuatan Kantor ini dialihkan untuk mendanai pembangunan Pusat Konservasi Batu di Taman Wisata Candi Borobudur. Akhirnya BP3 Provinsi Jawa Tengah membuat kantor sendiri di Jalan Sewu – Plaosan, sedang BP3 DIY menempati Gedung Penyimpan Arca di Bogem sebagai kantor. 2. Perkembangan selanjutnya, atas saran Kuasa pemegang saham (Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi) dengan persetujuan Pemegang Saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Pusat Studi Borobudur dialihfungsikan sebagai “Taman Borobudur Guest House” yang kemudian berubah menjadi “Hotel MANOHARA” Konsep Lansekap Taman Wisata Candi Borobudur Pekerjaan lansekap Taman Wisata Candi Borobudur khususnya Planting dan Sign Information dimasukkan ke dalam Paket yang dibiayai dengan rupiah murni (APBN), maka pada triwulan IV tahun 1985 dilakukan redesign yang dipercayakan kepada Konsultan PT. IDECO UTAMA dengan tetap mengacu pada Masterplan yang telah ada. Apabila konsep perencanaan lansekap pada umumnya hanya menekankan pada aspek fisik, kurang mempertimbangkan masalah aspek sosial budaya dan aspek arkeologi untuk mencapai suasana yang harmonis dengan lingkungan budaya setempat. Ditinjau dari aspek arkeologis, Candi Borobudur yang dikelilingi taman mempunyai ciri-ciri : a. Langgam Budha Mahayana. b. Tempat meditasi dan inisiasi. c. Sifat introvert. d. Suasana kontemplatif. e. Daerah berbukit. Secara rinci aspek arkeologis yang menjadi pertimbangan kearah sifai introvert kontemplatif tersebut adalah sebagai berikut : 1. Berdasar fungsinya Candi Borobudur sebagai Garba Kocya Datu atau tempat bermeditasi dan inisiasi, suasana Borobudur adalah, tenang, hening, dan sunyi. Dalam suasana seperti ini manusia dapat merefleksi dan menemukan diri serta menghayati arti Catur Arya Satyani yakni : a. Bahwa hidup itu menderita. b. Bahwa menderita itu karena nafsu rendah. c. Bahwa penderitaan itu dapat dihilangkan. d. Bahwa untuk menghilangkan penderitaan adalah melalui Hastha Arya Marga (delapan jalan hidup utama). Untuk mencapai Hastha Arya Marga tersebut, selalu melalui beberapa tahapan kehidupan, dari hidup yang diwarnai suasana duniawi menuju ke suasana yang kontemplatif dan transenden.


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 153 Kiri atas : Samudra Raksa Kanan atas : Manohara Kiri bawah : Mahakarya Kanan bawah : Kantor PT Taman Wisata


154 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 2. Dengan latar belakang tersebut maka : a. Taman Wisata Candi Borobudur diharapkan dapat menciptakan suasana teduh, hening, dan sejuk. Oleh karenanya taman akan diwarnai dengan pohon rindang dengan warna bunga/daun tidak terlalu cerah atau tidak warna-warni, sehingga mendukung suasana meditatif/kontemplatif. b. Taman wisata direncanakan dengan dasar pola mozaik, serba tidak teratur dan membingungkan, sehingga pengunjung di dalam taman tidak tahu di mana sesungguhnya ia berada dan berusaha untuk dapat menemukan dirinya. Pola ini melambangkan suasana instropeksi dan refleksi diri. c. Taman wisata direncanakan dengan gradasi warna. Warna utama tanaman semakin mendekati candi semakin teduh dan sejuk, melambangkan tahapan kehidupan manusia untuk mencapai keutamaan, dari hidup yang diwarnai masalah duniawi menuju kehidupan yang lebih transenden. Di samping pencapaian suasana tersebut, perlu diadakan suatu penyempurnaan tata letak tanaman ditinjau dari filosofi tanaman terhadap lingkungan atau bangunan di sekitarnya. Misalnya : a. Sanctuary (Zona I) Di sanctuary diharapkan dapat tercipta suasana hening dan teduh, di samping itu terdapat tanaman yang secara historis dan tradisional terdapat di daerah ini. Kriteria tanaman adalah ; 1). Tajuk round dan board 2). Sifat evergreen 3). Tidak berwarna atau warna teduh 4). Tinggi sedang 5). Fungsi peneduh, penahan erosi, terdapat dalam inskripsi dan religius Tanaman yang secara tradisional terdapat di daerah ini adalah : 1). Bodi (Ficus religiosa) 2). Asoka (Polyalthea longifolia rar pendula) 3). Keben (Baringtonia asiatica) 4). Tanaman obat-obatan.


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 155 b. Museum Di daerah museum mempunyai suasana yang tenang dan harus melambangkan suasana kebesaran budaya bangsa. Di samping itu museum sebagai aset yang menarik perlu ada aksentuasi untuk dapat menarik pengunjung. Kriteria tanaman adalah : 1). Tajuk conical, rund, broad 2). Sifat evergreen 3). Warna pink, kuning, putih 4). Tinggi minimum 10 meter, terutama di sebelah selatan museum 5). Fungsi: peredam suara, penahan pandang, mempunyai keindahan, terdapat di dalam inskripsi, religius. Tanaman tradisional yang sesuai di daerah ini adalah : 1). Teratai (Nelumbium nelombo) 2). Beringin (Ficus benyamina) 3). Kenari (Canarium commune) 4). Mundu (Garcinia dulcis) c. Bukit Dagi Ditinjau dari sifatnya sebagai tanah kritis, maka rencana tanaman harus lebih ditinjau pada usaha untuk pelestarian lahan dan tidak dibiarkan terbuka. Tanaman yang harus ada untuk usaha pelestarian adalah golongan Legume. Kriteria tanaman adalah : 1). Tajuk round, broad, conical 2). Sifat evergreen 3). Fungsi penahan erosi, peneduh, penahan pandang, mempunyai keindahan. Tanaman tradisional yang sesuai adalah : 1). Lamtoro (Leucena glauce) 2). Sengon (Albazia sp.) 3). Jambu mete (Anacardium occidentale) 4). Jambu batu (Psidium guajava) 5). Sonokeling (Dalbergia latifolia) 6). Preh (Parkia speciosa) 7). Trembesi (Samanea saman) 8). Kembang kupu-kupu (Banhinia sp.) d. Facility Area Area ini terdiri dari Pusat Studi Borobudur, Kantor Unit Taman Wisata Candi Borobudur, Kantor Arkeologi, Pusat Konservasi Batu. Suasana umum tenang dan teduh, terdapat beberapa aksentuasi untuk mencegah kebosanan. Tanaman yang melambangkan ilmu pengetahuan yaitu tanaman yang mempunyai dua sifat rontok dan semi serta tinggi. Kriteria tanaman : 1). Tajuk conical, horizontal, round, broad. 2. Sifat deciduous dan evergreen 3). Warna terang untuk aksentuasi. 4). Fungsi: perbaikan iklim mikro, peneduh, penahan suara, penahan pandang, dan langka. Tanaman yang melambangkan ilmu pengetahuan dan tanaman langka adalah : 1). Randu Alas (Gossampinus heptaphylla) 2). Kepel (Stelechocarpus burahol) 3). Beringin (Ficus benyamina) 4). Sawo (Achras zapoka) 5). Kenari (Cannarium commune) 6). Langsep (Lansium domesticum) 7). Kantil (Michelia champaca) e. Open Space Open space terutama terdapat di sebelah selatan candi yang berbatasan dengan lansekap alami berupa perdesaan dan persawahan. Area ini diharapkan tidak menutupi keindahan area lansekap alami apabila dilihat dari candi dan harus selaras dengan lingkungannya. Kriteria tanaman : 1). Tajuk horizontal, conical, broad. 2). Sifat deciduous dan evergreen 3). Warna terang 4). Fungsi sebagai penahan angin, peneduh, mempunyai keindahan


156 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Tanaman di sekitar Candi Borobudur Kiri atas : pohon munggur Tengah atas : pohon ceremai Kanan atas : pohon palem raja Kiri bawah : pohon jati Tengah bawah : pohon akasia Kanan bawah : pohon Bodhi


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 157 Jenis tanaman yang sesuai dengan daerah ini antara lain : 1). Kenari (Cannarium commune) 2). Kelapa (Cocos nucifera) 3). Ketapang (Terminalia catappa) 4). Kemiri (Aleuritis molluccana) 5). Sawo Bludru (Chrysophyllum cainito) Pelaksanaan Operasional Taman Wisata 1. Dengan selesainya pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan, maka pada tanggal 6 Juli 1989 Presiden RI meresmikan pengoperasian Taman wisata Candi Borobudur & Prambanan bersamaan dengan peresmian Monumen Yogya Kembali. 2. Sebagai pedoman pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan diterbitkan Keputusan Presiden RI No. 1 Tahun 1992. 3. Sebagai perusahaan yang mengemban misi melestarikan budaya bangsa PT. Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan menempati kedudukan yang strategis dalam mengelola warisan budaya tersebut. Namun di sisi lain terdapat pembatasan bagi perusahaan untuk menggali suku usaha yang dianggap sebagai profit centre. Sebagai BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas, perusahaan dituntut untuk porfit making, tetapi karena yang dikelola adalah warisan budaya yang berupa candi, perusahaan tidak bebas untuk membuat suku usaha yang bertentangan dengan nafas candi itu sendiri, meskipun usaha dimaksud sangat profitable. 4. Dengan dimasukkannya Candi Borobudur & Prambanan dalam Daftar Warisan Budaya Dunia (World Heritage List) di samping Taman Ujung Kulon dan Taman Komodo, maka PT. Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan harus lebih hati-hati dalam mengelola dan mengoperasikan taman wisata tersebut, termasuk dalam menetapkan suku usaha baru yang berlokasi di dalam taman. Antara Harapan dan Kenyataan 1. Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu masterplan harus ditinjau kembali dalam periode tertentu sesuai dengan perkembangan jaman, namun ada sesuatu yang tidak bisa dirubah adalah filosofi yang mendasari dibuatnya masterplan tersebut yang dideferensialkan kedalam ide dasar dan motivasi pembangunan taman dimaksud. Sebagai contoh adalah watak dasar dan sifat dari kedua taman yang berbeda. Watak dari Taman Wisata Candi Borobudur adalah Introvet Kontemplatif sehingga lebih bersuasana tenang dan hening, sampai penataan jenis dan warna vegetasipun telah diatur sedemikian rupa, sehingga warna tanaman semakin mendekati candi semakin berwarna gelap dan berbau harum. Sebaliknya, Taman Wisata Candi Prambanan dengan ciri sebagai pusat pengembangan seni pentas penataan lansekapnya berbeda dengan Taman Wisata Candi Borobudur. 2. Berdasar hal tersebut di atas seni pentas dipusatkan di Prambanan dan di Borobudur lebih ditekankan pada suasana tenang dan kontemplatif, sehingga seyogyanya tidak diadakan seni pentas yang permanen di Borobudur. 3. Kaidah zoning regulation (mintakat inti, penyangga dan pengembangan), building code (tata guna bangunan) an land use (tata guna tanah) perlu ditekankan konsistensinya. a. Pembangunan tempat pentas di Borobudur yang mendesak ke dalam mintakat inti patut disayangkan, karena akan mencederai zoning regulation dan land use, meskipun katanya sudah mendapat ijin dari pemerintah yang berwenang. b. Pembangunan Museum Samudra Raksa akan memperbesar building coverage ratio (bcr) dan tidak selaras dengan land use. Meskipun alasan dibangunnya museum tersebut mengacu pada jenis kapal yang terdapat di dalam relief Candi Borobudur, akan lebih cocok museum dimaksud disatukan dengan Museum Bahari. c. Penghilangan median pada tempat parkir hanya dengan maksud agar menambah daya tampung kendaraan juga patut disayangkan, karena filosofinya parking lot adalah taman parkir, yang sudah ditentukan kemiringan, luas median sampai ke pemilihan vegetasi klengkeng lanang (klengkeng yang tidak bisa berbuah)


158 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur sudah diatur. Di dalam konsep masterplan daya tampung kendaraan di tempat parkir memang dibatasi. Andai terjadi lonjakan jumlah kendaraan agar diparkir di luar taman dan dikelola oleh penduduk sekitar atau pemda, dan menjadi bagian dari rezeki mereka Daftar Pustaka IDECO UTAMA, 1985, Laporan Studi Perencanaan Pelaksanaan Pekerjaan Lansekap Taman Candi Borobudur dan Taman Candi Prambanan. 1. JICA, National Archaeological Parks, Borobudur and Prambanan, Central Java & Yogyakarta Area, 1976. 2. _____, Borobudur and Prambanan Archaeological Park, 1979. 3. PCI & JCP in Association with PT. IDECO UTAMA, Up- Dated Formers Plan and Schematic Design, 1981. 4. Pusat Riset Masalah Perencanaan dan Pengembangan, Bagian Arsitektur Fakultas Teknik UGM, Studi Perencanaan Tata Lingkungan Pemukiman Taman Purbakala Nasional, 1979. 5. Yuwono Sri Suwito, Pengembangan dan Peningkatan Pelayanan di Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan, 1994.


Beragam Cinderamata dijual di kios-kios sekitar Candi Borobudur 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 159


160 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur MENCARI SESUAP NASI, MEMBANGUN JATIDIRI, DI SEKITAR CANDI Hampir lima belas tahun telah berlalu sejak saya bersama dengan beberapa teman melakukan penelitian tentang dampak sosial-budaya dari perkembangan pariwisata di kawasan Borobudur, di era Reformasi. Telah banyak yang berganti, namun ada pula yang terlihat tidak banyak berubah. Di sini saya mencoba menuliskan kembali beberapa kenangan pribadi dari kunjungan saya ke Candi Borobudur di masa sebelum restorasi, beberapa tahun setelah restorasi, dan kegaduhan yang terjadi di kawasan tersebut kare-na krisis ekonomi dan reformasi politik, serta pertemuan saya dengan berbagai pihak yang seharíharinya berada di kawasan Taman Wisata Candi Borobudur pada saat penelitian tahun 2000. Pergi melihat Candi Borobudur di masa kini (2014) memang tidak sama dengan melakukannya di tahun 1970- an. Sebelum mengalami restorasi di masa Orde Baru, Candi Borobudur masih berada dekat dengan permukiman penduduk. Kawasan candi tersebut berada di sebuah bukit, yang dikelilingi oleh desa-desa, yang sebagian besar penduduk-nya hidup dari pertanian padi dan berkebun kelapa. Tidak jauh dari candi ada sebuah pasar, yang kini menjadi pintu masuk ke Taman Wisata Borobudur. Pengunjung candi juga belum sebanyak sekarang. Demikian pula warung dan pengasong serta penjual jasa seperti tukang foto, tukang pijat, penyedia payung, dan sebagainya, sehingga sua-sana di sekitar candi relatif tenang dan pepohonan begitu rimbun. Kala itu pengunjung tidak dapat melihat Candi Borobudur dari kejauhan seperti seka-rang, karena pohon-pohon kelapa dan pohon-pohon besar yang tumbuh di desa sekitar candi menutupi pemandangan ke arah candi. Namun pengunjung juga tidak terlalu capek berjalan menuju candi, karena pintu masuk ke kawasan candi berada di kaki bukit. Sebelum naik ke bukit candi pengunjung membeli karcis pada penjaga di pintu masuk yang duduk menunggu di loket kecil terbuat dari papan. Dari bukit, kita bisa melihat desa-desa di sekitar candi. Candi Borobudur masih sangat bebas dinikmati seluruh bagian-bagiannya. Belum ada di situ pagar-pagar besi yang menghalangi pengunjung masuk ke bagian-bagian tertentu dari candi. Perubahan drastis terjadi setelah Candi Borobudur secara resmi dibuka kembali untuk umum pada tahun 1983, setelah ditutup selama 10 tahun karena sedang dalam proses pemugaran. Kawasan Borobudur terlihat sudah sangat berubah. Penduduk desa di sekitar bukit Candi Borobudur telah dipindahkan ke tempat lain. Beberapa desa di situ sudah tidak ada lagi. Sebagai gantinya kini berdiri Hotel Manohara (yang dulunya adalah bangunan perkantoran pemugaran), kompleks kantor pengelola Taman Wisata dan Balai Konservasi Borobudur. Kawasan yang lain merupakan tempat terbuka yang sangat luas sehingga memungkinkan pengunjung melihat Candi Borobudur dari bawah, dari kejauhan, sambil menikmati udara segar dan lingkungan alam di daerah ini. Menikmati Candi Borobudur kini memang terasa lebih leluasa, karena ruang yang ter-sedia begitu luas. Bahkan informasi mengenai Candi Borobudur kini juga lebih bervariasi sumbernya. Selain ada guide wisatawan, di Taman Wisata Borobudur juga ada museum tentang Borobudur yang menjelaskan Candi Borobudur dari berbagai macam aspeknya. Museum ini merupakan tempat yang harus dikunjungi oleh mereka yang ingin mengetahui seluk-beluk Candi Borobudur secara rinci. Meskipun kawasan Taman Wisata Borobudur kini merupakan salah satu objek yang paling banyak dikunjungi, terutama oleh wisatawan domestik, namun tidak semua yang dialami oleh wisatawan di situ selalu merupakan hal yang menyenangkan. Salah satu keluhan yang paling sering terdengar dari para pengunjung adalah banyaknya pedagang asongan di area sekitar Candi Borobudur, yang semestinya merupakan area yang bersih dari kegiatan perdagangan semacam itu. Apalagi mereka menawarkan barang dagangan mereka dengan cara yang tidak selalu menyenangkan, karena mereka kadang-kadang dirasakan agak memaksa. Pembeli yang tidak ingin ribut dengan


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 161 mereka, atau ingin segera terhindar dari gangguan mereka biasanya kemudian membeli barang ditawarkan, meskipun dengan agak terpaksa juga. Para pedagang asongan ini adalah salah satu dari sekian banyak penjual barang dan jasa yang mencari sesuap nasi di kawasan sekitar candi. Yang lain adalah fotografer, penyedia payung, tukang pijat, dan pemandu wisatawan (guide). Jumlah pedagang asongan memang paling banyak dan tidak selalu sama setiap hari, minggu, atau bulan, karena pekerjaan ini hanyalah sambilan, yang biasanya akan diitinggalkan ketika ada lowongan pekerjaan yang lebih baik secara sosial dan ekonomi. Oleh karena para pengunjung bertujuan untuk melihat Candi Borobudur, maka sangat sedikit saya kira yang mengetahui seluk-beluk kehidupan para penjual jasa dan pedagang asongan di situ serta pandangan-pandangan mereka mengenai aktivitas mereka sendiri di Borobudur. Meskipun keberadaan mereka seringkali dianggap mengganggu, namun kehadiran mereka sebenarnya memang diperlukan. Oleh karena itu, yang menjadi masalah sebenarnya bukanlah kehadiran mereka di kawasan Borobudur, tetapi perilaku sebagian atau beberapa orang dari mereka yang berlebihan, yang membuat para pengunjung atau wisatawan di Borobudur keberatan terhadap kehadiran mereka. Bagaimanapun juga, para pedagang dan penjual jasa di kawasan sekitar Candi Borobudur memang diperlukan oleh para pengunjung dan juga Candi Borobudur itu sendiri. Banyaknya pedagang dan penjual jasa di sekitar Candi Borobudur telah membuat candi tersebut terkesan sangat populer dan sangat dikagumi banyak orang. Mereka juga telah membuat banyak pengunjung merasa tertolong. Bisa dibayangkan jika tiba-tiba hujan deras turun atau ketika panas matahari sangat menyengat, sehingga pengunjung sangat memerlukan payung, tetapi tidak ada orang yang bersedia meminjamkan payungnya; atau anak-anak sekolah ingin membeli cinderamata setelah melihat Borobudur, tetapi tidak ada pedagang yang menjualnya, tentu mereka akan kecewa. Candi Borobudur bermakna tidak hanya bagi mereka yang beragama Buddha, atau bagi wisatawan nusantara dan wisatawan asing, tetapi terlebih lagi bagi masyarakat di sekitar Candi Borobudur yang hidupnya sehari-hari bergantung pada jumlah wisatawan yang datang untuk melihat candi, dan pada kehadiran ribuan umat Buddha pada saat diselenggarakannya upacara Waisak setiap tahun sekali. Hari-hari libur atau akhir pekan atau saat penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penting di kawasan Borobudur merupakan hari ketika yang mereka dan para pencari rezeki di kawasan ini dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi daripada hari-hari biasa. Meskipun demikian, makna ekonomi bukanlah segalagalanya. Bagi mereka yang sehari-hari hidup dari bertani di desa-desa sekitar candi, munculnya Taman Wisata Borobudur memang telah memungkinkan sebagian dari mereka kemudian beralih pekerjaan, seperti misalnya menjadi pegawai di taman wisata, menjadi fotografer untuk para wisatawan di situ, menjadi pedagang, dan sebagainya. Pergantian pekerjaan ini juga berarti berubahnya status sosial mereka, yang berarti juga berubahnya peran sehari-hari mereka dalam masyarakat, relasi-relasi sosial mereka, dan akhirnya juga pandangan hidup serta nilai-nilai budaya yang mereka anut. Inilah sebenarnya sebuah fenomena pen-ting yang tidak mudah dilihat dan diketahui, bahkan oleh masyarakat Borobudur sendiri. Apa yang terjadi di kawasan Borobudur semenjak dilakukannya kegiatan pemugaran atas Candi Borobudur adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung relatif cepat dan bahkan sebagian terasa dipaksakan. Ketika proses pemugaran dimulai, sebagian masyarakat di sekitar candi sudah harus menyingkir untuk memberi ruang pa-da kegiatan pemugaran. Penyingkiran ini semakin meluas ketika kawasan di sekitar candi kemudian harus dikosongkan untuk menjadi kawasan penyangga, yang berupa taman yang sangat luas. Pemindahan penduduk ini membuat sebagian relasirelasi sosial masyarakat di sekitar candi terputus dan jaringan sosial mereka terobek-robek. Tidak semua yang semula tinggal berdekatan dapat tinggal berdekatan seperti semula. Tidak semua bersedia tinggal di lokasi yang menjadi pengganti desa mereka, karena alasan-alasan tertentu. Komunitas mereka telah tercabik-cabik. Sebagian berusaha untuk merajutnya kembali, sebagian memilih membangun sebuah kehidupan baru, dan berusaha melupakan kenangan lama yang kadang-kadang terasa begitu menggelisahkan jika diingat kembali. Mereka yang tidak memiliki peluang di tengah suasana yang baru, berupaya untuk kembali ke kawasan sekitar Candi


162 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Borobudur dan mencoba bertahan dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan baru. Kini, tiga dasawarsa telah berlalu setelah pemugaran Candi Borobudur, sebagian besar dari mereka telah mapan kembali dan mulai dapat merasakan manfaat dari adanya pemugaran Candi Borobudur, yaitu perkembangan pariwisata Borobudur yang luar biasa. Kawasan Borobudur bagaikan magnet yang menye-dot wisatawan dalam dan luar negeri, sehingga berbagai peluang untuk memperoleh rezeki terbuka di kawasan ini. Mencari penghasilan memang alasan utama bagi mereka yang bukan wisatawan untuk datang ke Borobudur, karena pertama-tama manusia memang harus dapat bertahan hidup. Akan tetapi aktivitas ekonomi ini tidak berjalan sendiri karena manusia adalah mahkluk sosial dan manusia adalah juga animal symbolicum, sebagaimana dikatakan oleh ahli filsafat Ernst Cassirer. Aktivitas ekonomi adalah aktivitas sosial, tetapi itu juga merupakan aktivitas simbolik atau budaya. Ketika seorang fotografer melakukan pekerjaannya, dia tidak hanya semata-mata mencari uang, tetapi dia juga tengah membangun sebuah relasi sosial baru dengan mereka yang semula tidak dikenalnya. Dia harus mampu menarik hati atau meyakinkan mereka bahwa berfoto di kawasan Candi Borobudur itu penting, karena fotonya akan dapat menjadi kenangan, bahwa foto yang dihasilkannya akan bagus dan bisa bertahan lama, sehingga mereka tidak akan kecewa, bahwa foto tersebut penting bagi mereka karena dapat menjadi bukti bahwa mereka pernah ke Borobudur. Ada sebuah kebanggaan muncul dalam diri ketika pengunjung kemudian memintanya mengambil gambar mereka. Ada sebuah kebanggaan ketika dia menyerahkan hasil jepretannya dan mereka terlihat senang dan puas dengan hasil tersebut. Demikian pula halnya dengan pedagang asongan, penjual post-card, yang menyewakan payung, tukang pijit, dan sebagainya. Seorang tukang pijit tidak hanya memijit ketika menjalankan pekerjaannya. Dia juga mengobrol dengan pelanggannya. Dia dapat berkisah tentang Borobudur yang dikenalnya. Dia berkisah tentang kehidupannya, tentang pengalamannya sebagai pemijit. Ketika menerima imbalan atas jasanya memijit, ada kebanggaan muncul dalam dirinya, karena dia telah memberikan banyak informasi kepada orang lain. Dia merasa lebih tahu dari orang lain. Lebih dari itu, ada kebanggaan yang lain karena dia telah berbuat kebaikan, yaitu menolong menyembuhkan seseorang dari rasa pegal-pegal yang diderita setelah berjalan-jalan di kawasan Candi Borobudur. Sore hari, ketika mereka fotografer, tukang pijit, tukang payung, pedagang asongan, pemilik warung, dan sebagainya kembali ke rumah masing-masing, ada kepuasan dalam diri mereka ketika disambut oleh keluarga. Mereka baru saja kembali dari bekerja. Ya, mereka merasa memiliki pekerjaan Atas : fotografer yang menjual jasa pemotretan Bawah : pemandu wisata sedang memberi penjelasan kepada pengunjung


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 163 Sentra Kerajianan dan Makanan Borobudur


164 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur yang memberikan penghasilan. Dengan penghasilan tersebut mereka dapat membeli kebutuhan rumah-tangga mereka atau dapat menolong tetangga. Kebutuhan dasar dan sebagian hasrat untuk bersenang-senang serta kebutuhan sosial dapat terpenuhi. Mereka merasa diri mereka berharga, diri mereka bermakna bagi orang lain. Dengan bekerja di kawasan Candi Borobudur, kedudukan sosial mereka dalam ma-syarakat dapat terjaga, bahkan meningkat. Mereka yang dulu hidup dari bertani, kini me-miliki pekerjaan ”sampingan” dengan hasil yang lebih besar daripada bertani, dan bah-kan status sosial mereka naik, karena pekerjaan bertani adalah pekerjaan yang sudah umum di kalangan masyarakat pedesaan, sedang bekerja di kawasan Candi Borobudur merupakan hal yang tidak biasa. Dapat bekerja di kawasan Candi Borobudur, entah itu sebagai pegawai kantor taman, kantor purbakala, fotografer, petugas keamanan, tukang pijit atau yang lain, merupakan hal yang diinginkan. Taman Wisata Candi Borobudur di mata mereka bukan hanya sebuah taman yang begitu luas dan tertata apik, tetapi dia lebih dari itu. Taman wisata itu adalah sebuah arena sosial Atas : kios-kios yang memajang beragam Cinderamata Bawah : seorang pedagang yang sedang menawarkan barang dagangannya


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 165 tempat mereka membangun jaringan sosial baru dengan orangorang baru, yang datang dari berbagai daerah di dalam negeri maupun luar negeri. Taman tersebut adalah sebuah arena tempat mereka mewujudkan kedirian mereka sebagai seorang individu, sehingga mereka dapat mencapai prestasi tertentu, seperti meyakinkan pelanggan, menolong pelanggan, memberikan informasi pada pelanggan, dan sebagainya. Di taman itulah harga diri mereka sebagai manusia dapat mereka pertahankan. Dari hasil bekerja di taman itu mereka dapat menjalankan peran mereka sebagai warga masyarakat dengan kedudukan sosial yang lebih baik daripada sebelumnya. Itulah sebagian makna Taman Wisata Candi Borobudur bagi mereka yang sehari-hari berada di dalamnya. Candi Borobudur yang semakin penuh dengan Pedagang


166 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur WARISAN DUNIA DAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL 7 BAB


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 167 Foto Udara Candi Borobudur


168 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur BOROBUDUR DAN WARISAN DUNIA UNESCO Warisan Dunia Kesadaran manusia akan pentingnya pelestarian warisan budaya semakin meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Pelestarian warisan budaya pada awalnya hanya menjadi perhatian dari masyarakat atau komunitas di mana warisan budaya tersebut berada. Dengan semakin cepatnya arus informasi di seluruh belahan dunia, warisan budaya di suatu tempat dapat diketahui dan dapat menarik perhatian seluruh masyarakat dunia. Berbagai tantangan dan permasalahan pelestarian yang dihadapi berbagai warisan budaya menarik perhatian masyarakat dunia dan menggugah kepedulian serta upaya bersama dalam menghadapinya. Selanjutnya timbul kesadaran bahwa pelestarian warisan budaya tidak bisa hanya dibebankan kepada masyarakat lokal, perlu usaha bersama agar dapat lebih menjamin kelestarian warisan budaya tersebut. Warisan budaya yang ada di suatu tempat tidak hanya menjadi “milik” dari masyarakat setempat tetapi merupakan “milik” seluruh umat manusia, termasuk tanggung jawab pelestariannya. Kesadaran akan pentingnya usaha oleh masyarakat dunia dalam pelestarian warisan budaya tersebut dirumuskan oleh UNESCO dalam wadah yang disebut World Heritage (warisan dunia). UNESCO sebagai lembaga dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa pada awalnya turut dalam kampanye penyelamatan dan penggalangan kepedulian terhadap beberapa situs yang terancam kelestariannya. Kegiatan ini membawa kesadaran akan pentingnya suatu rumusan tentang warisan budaya “tingkat dunia” yang tanggung jawab pelestariannya menjadi milik dunia. Selanjutnya pada tahun 1972 konvensi tentang pelestarian warisan budaya dan alam (Convention Concerning the Protection of World Culture and Nature Heritage) disahkan (UNESCO WHC, 2005). Konvensi ini dalam perkembangan perumusannya juga menyatukan dengan pelestarian warisan alam. Konvensi Tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Alam Dunia Tujuan umum dari konvensi ini adalah untuk melakukan identifikasi terhadap situs-situs budaya dan alam, mendukung upaya pelestariannya, mengoptimalkan pemanfaatan untuk promosi budaya dan kesejahteraan masyarakatnya, serta mewariskan situs kepada generasi yang akan datang (UNESCO WHC, 2005). Negaranegara anggota PBB selanjutnya meratifikasi konvensi ini agar dapat menjadikan konvensi ini menjadi produk hukum resmi di negara yang bersangkutan. Warisan dunia (World Heritage) di dasarkan pada konvensi tentang pelestarian warisan budaya dan alam (Convention Concerning the Protection of World Culture and Nature Heritage) tahun 1972. Konvensi ini merupakan salah satu Konvensi Internasional di bawah PBB yang paling sukses. Sampai dengan cover konvensi UNESCO 72


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 169


170 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur saat ini jumlah negara yang telah meratifikasi adalah sebanyak 190 negara dari 195 negara yang terdaftar sebagai anggota UNESCO. Jumlah ini sangat besar (sekitar 97%) dari jumlah negara anggota, sehingga dalam hal banyaknya negara yang meratifikasi konvensi ini tergolong sangat sukses. Negara yang telah meratifikasi konvensi ini memiliki hak untuk mengajukan situsnya dalam daftar warisan dunia (World Heritage List). Indonesia telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 1989, yang selanjutnya mengajukan situs-situsnya. Pada tahun 1991 beberapa situs disahkan masuk dalam daftar, termasuk Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Sampai saat ini Indonesia telah memiliki 8 warisan dunia (4 warisan budaya dan 4 warisan alam). Riwayat Warisan Dunia Warisan dunia (World Heritage) yang dicanangkan oleh UNESCO secara resmi dimulai sejak tahun 1972, yaitu sejak disahkannya konvensi tentang pelestarian warisan budaya dan alam (Convention Concerning the Protection of World Culture and Nature Heritage). Namun sebenarnya munculnya konvensi tersebut memiliki latar belakang yang cukup panjang. Sejarah warisan dunia tidak terlepas dari perkembangan dunia arkeologi dengan dinamika pelestariannya. Secara umum, kesadaran dunia tentang pentingnya pelestarian warisan budaya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Pada sekitar tahun 60an masyarakat dunia semakin peduli terhadap pelestarian warisan budaya. Ketika terjadi peristiwa yang mengancam kelestarian suatu situs, masyarakat dunia bereaksi. Peristiwa-peristiwa yang menjadi tonggak kepedulian internasional yang kemudian membawa arah UNESCO untuk menyusun konvensi perlindungan warisan dunia adalah (UNESCO WHC, 2005) : 1. Penyelamatan Situs Abu Simbel Abu Simbel adalah sebuah situs arkeologi yang terdiri dari dua kuil batu di selatan Mesir, tepatnya di ujung Danau Nasser atau sejauh 290 kilometer barat daya Kota Aswan. Pada 1964 situs ini akan tenggelam akibat luapan Danau Nasser yang dibangun bendungan untuk perluasan danau. Proyek internasional untuk menyelamatkan Abu Simbel dilakukan dengan menggalang kepedulian dan dana internasional. Dana yang terkumpul digunakan untuk penyelamatan dengan mengangkat bagian-bagian situs Penyelamatan Situs Abu Simbel Banjir di Venesia


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 171 tersebut. Kampanye penyelamatan tersebut sukses dan selanjutnya menjadi cikal bakal terbentuknya situs Warisan Dunia UNESCO. 2. Banjir di Venesia Kampanye penyelamatan selanjutnya yang dilakukan oleh UNESCO adalah pada tahun 1966, yaitu ketika terjadi banjir besar di kota kanal Venesia, Italia. Akibat dari banjir tersebut terjadi kerusakan warisan budaya yang cukup banyak dan parah. Penyelamatan tersebut membutuhkan upaya yang panjang, dengan dukungan ahli, dan juga biaya. Kampanye ini juga turut memberikan dorongan untuk terbentuknya rumusan warisan dunia. 3. Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur Pada dekade yang sama, Candi Borobudur mengalami kerusakan yang semakin mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian dari semua pihak untuk upaya penyelamatan. UNESCO juga melakukan kampanye penyelamatan dengan bantuan teknis tenaga ahli dan juga penggalangan dana. Puncak dari kampanye tersebut bersamaan dengan terbitnya konvensi warisan dunia, yaitu pada tahun 1972. Selanjutnya Candi Borobudur dipugar oleh Pemerintah Indonesia dengan bantuan UNESCO dari hasil kampanye penyelamatan pada tahun 1973 dan selesai pada tahun 1983. Kerusakan Candi Borobudur


172 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Dengan memperhatikan sejarah terbentuknya warisan dunia UNESCO yang diuraikan di atas, maka Indonesia sesungguhnya telah turut berperan dan terlibat langsung dalam proses kelahirannya. Indonesia pada saat dilakukan kampanye penyelamatan Borobudur, telah turut membangkitkan kesadaran internasional untuk membuat upaya bersama dalam pelestarian. Oleh karena itu sudah selayaknya Indonesia mengelola secara optimal dan memberi perhatian serius terhadap warisan dunia UNESCO ini. Kriteria Warisan Dunia Pada awalnya UNESCO mendorong negara-negara yang telah meratifikasi untuk mengajukan situsnya. Setiap sidang tahunan world heritage committee dilakukan penetapan terhadap usulan situs untuk dimasukkan dalam daftar warisan dunia. Pertama kali masuk 12 situs dalam daftar warisan dunia pada 1978, yang selanjutnya terus bertambah setiap tahunnya. Hingga saat ini telah terdaftar sebanyak 981 situs yang tersebar di 160 negara. Dari 981 situs tersebut, terdiri atas situs budaya 759, situs alam 193, dan situs campuran (budaya dan alam) sebanyak 29. Pada peringatan 30 tahun konvensi warisan dunia tahun 2002, dilakukan berbagai kegiatan besar, salah satunya UNESCO mengadopsi Budapest Declaration on World Heritage. Dalam deklarasi tersebut dirumuskan berbagai strategi kunci untuk memperkuat tujuan pelestarian situs. Kebijakan yang dirumuskan lebih populer disebut sebagai 4C; yaitu Credibility, Conservation, Capacity Building, dan Communication (Bandarin, 2007). Selanjutnya pada tahun 2007 kebijakan ini diperluas menjadi 5C, dengan menambahkan aspek Community Involvement (Albert, 2009). Kebijakan pertama yaitu kredibilitas (credibility) membawa konsekuensi semakin ketatnya pengajuan situs sebagai warisan dunia. Hanya situs yang memang memiliki kredibilitas tinggi yang bisa masuk. Secara umum, situs yang dapat diajukan sebagai warisan dunia adalah situs yang memiliki nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value/OUV). Nilai universal luar biasa tersebut memerlukan penjelasan agar tidak bersifat relatif dan subjektif. UNESCO selanjutnya menjabarkan OUV tersebut dalam kriteria-kriteria, yang dijelaskan dalam Operational Guideline. Kriteria yang digunakan sebanyak 10 yang terdiri dari 6 kriteria untuk budaya dan 4 kriteria untuk alam. Sejak ditetapkan pertama kali hingga saat ini (perubahan terakhir pada operational guideline 2005), kriteria OUV mengalami perkembangan dan perubahan (Jokilehto, 2008). Setidaknya telah dilakukan sebanyak 7 kali perubahan redaksional kriteria OUV hingga saat ini. Kriteria OUV versi terakhir yang saat ini berlaku adalah sebagai berikut: (i) represent a masterpiece of human creative genius; (ii) exhibit an important interchange of human values, over a span of time or within a cultural area of the world, on developments in architecture or technology, monumental arts, town planning or landscape design; (iii) bear a unique or at least exceptional testimony to a cultural tradition or to a civilization which is living or which has disappeared; (iv) be an outstanding example of a type of building, architectural or technological ensemble or landscape which illustrates (a) significant stage(s) in human history; (v) be an outstanding example of a traditional human settlement, land-use, or sea-use which is representative of a culture (or cultures), or human interaction with the environment especially when it has become vulnerable under the impact of irreversible change; (vi) be directly or tangibly associated with events or living traditions, with ideas, or with beliefs, with artistic and literary works of outstanding universal significance. (The Committee considers that this criterion should preferably be used in conjunction with other criteria); (vii) contain superlative natural phenomena or areas of exceptional natural beauty and aesthetic importance; (viii) be outstanding examples representing major stages of earth’s history, including the record of life, significant on-going geological processes in the development of landforms, or significant geomorphic or physiographic features; (ix) be outstanding examples representing significant on-going ecological and biological processes in the evolution and development of terrestrial, fresh water, coastal and marine ecosystems and communities of plants and animals; (x) contain the most important and significant natural habitats for in-situ conservation of biological diversity,


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 173 including those containing threatened species of outstanding universal value from the point of view of science or conservation. Situs yang diajukan harus memenuhi minimal satu dari sepuluh kriteria tersebut, kecuali kriteria vi yang harus digunakan bersama dengan kriteria lainnya. Kriteria i-vi merupakan kriteria untuk warisan budaya, sedangkan kriteria vii-x merupakan kriteria untuk warisan alam. Apabila situs memenuhi kriteria budaya dan alam sekaligus, maka disebut warisan dunia campuran (mix world heritage). Pemilihan kriteria berdasar pada kajian yang mendalam dan dirumuskan dalam statement. Selain kriteria OUV, pengajuan warisan dunia juga harus menjabarkan otentisitas (authenticity) dan integritas (integrity) dari situs. Otentisitas menjabarkan atribut-atribut keaslian dari situs, mulai dari bahan, susunan, tata letak, pengerjaan, dan lain-lain. Integritas menjelaskan keutuhan situs dalam satu kesatuan properti, faktor-faktor yang dapat berdampak negatif pada situs dan upaya penanggulangannya (King, 2009). OUV, authenticity, dan integrity dinyatakan dalam pernyataan (statement OUV) yang jelas. Secara umum dokumen nominasi harus memuat hal-hal berikut (UNESCO WHC, 2005) : a. Deskripsi property b. Outstanding Universal Value c. Authenticity and Integrity d. Studi komparasi e. Rencana pen gelolaan (Management Plan) f. Lampiran, terutama peta dengan batas zona inti dan zona penyangga yang jelas. Candi Borobudur dan Warisan Dunia di Indonesia Indonesia setelah meratifikasi konvensi pada tahun 1998, mengajukan situs-situsnya untuk dimasukkan dalam daftar warisan dunia. Sampai saat ini Indonesia telah memiliki 8 situs yang masuk dalam warisan dunia, 4 situs warisan budaya dan 4 situs warisan alam. Yang termasuk warisan budaya dunia adalah Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan (1991), Situs Manusia Purba Sangiran (1996), dan Lansekap Budaya Bali (2012). Sedangkan untuk warisan dunia alam meliputi, Taman Nasional Komodo (1991), Taman Nasional Ujung Kulon (1991), Taman Nasional Lorenz (1999), Hutan Hujan Tropis Sumatera (2004). Candi Borobudur diajukan sebagai warisan dunia bersama Grafik tahun penetapan situs-situs warisan dunia di Indonesia Candi Prambanan pada tahun 1990. Dalam pembahasannya diputuskan agar diajukan secara terpisah, sehingga pada tahun 1991 Candi Borobudur dan Candi Prambanan masing-masing masuk daftar warisan dunia. Candi Borobudur dipandang memiliki keunggulan yang luar biasa sehingga layak ditetapkan sebagai warisan dunia. Sebagai warisan dunia, Candi Borobudur memiliki nilai universal luar biasa (OUV) yang dirumuskan dalam pernyataan/ statement. Kriteria yang sesuai dengan Candi Borobudur adalah kriteria (i), (ii), dan (vi). Pernyataan nilai universal luar biasa Candi Borobudur dirumuskan sebagai berikut : Sintesis Singkat Candi Borobudur adalah salah satu monumen Buddha terbesar di dunia dan dibangun pada abad ke-8 dan ke- 9 M pada masa Dinasti Syailendra. Monumen ini terletak di Lembah Kedu, Jawa Tengah bagian selatan, pada titik tengah Pulau Jawa, Indonesia. Candi utama merupakan sebuah stupa yang dibangun dalam tiga tingkatan mengelilingi sebuah bukit yang merupakan sebuah titik pusat alami: sebuah dasar berbentuk piramida dengan 5 teras bujur sangkar terkonsentrasi, batang kerucut dengan 3 serambi melingkar dan, pada puncaknya, sebuah stupa yang monumental. Dinding dan pagar langkan didekorasi dengan relief rendah tanpa cacat, dengan luas permukaannya mencapai 2,520 m2 . Pada serambi melingkar, terdapat 72 stupa berongga, masing-masing berisi sebuah patung Buddha.


174 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Taman Nasional Lorenz Subak Candi Prambanan


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 175 Taman Nasional Komodo Taman Nasional Ujung Kulon Sangiran


176 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Pembagian vertikal Candi Borobudur menjadi kaki, badan, dan stuktur atas sesuai dengan konsepsi ALam Semesta dalam kosmologi Buddha. Dipercaya bahwa alam semesta dibagi ke dalam tiga dunia yang berurutan ke atas, kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu, merepresentasikan secara berurutan dunia hasrat duniawi di mana kita masih terikat dengan hasrat duniawi, dunia bentuk di mana kita meninggalkan hasrat duniawi kita tetapi masih terikat dengan nama dan bentuk, dan dunia tanpa bentuk di mana tidak ada lagi nama dan bentuk. Pada Candi Borobudur, kamadhatu direpresentasikan oleh kaki, rupadhatu oleh lima teras bujur sangkar, dan arupadhatu oleh tiga serambi termasuk stupa besarnya. Keseluruhan struktur menunjukkan sebuah perpaduan yang unik antara ide paling utama dari pemujaan nenek moyang, dalam gagasan mengenai punden berundak, dengan konsep Buddhisme dalam mencapai Nirwana. Candi ini juga dapat dilihat sebagai sebuah monumen megah yang luar biasa dari Dinasti Syailendra yang menguasai Jawa selama sekitar lima abad sampai abad ke-10. Kompleks candi ini meliputi 3 monumen; yaitu Candi Borobudur dan dua candi lainnya yang lebih kecil yang berada di sebelah timurnya dalam sebuah garis lurus dengan Borobudur. Kedua candi terebut adalah Candi Mendut, yang perwujudan Buddhanya direpresentasikan oleh sebuah monolit kokoh yang ditemani oleh dua Bodhisatwa, dan Candi Pawon, sebuah candi yang lebih kecil yang biliknya tidak menunjukkan dewa apa yang mungkin menjadi objek pemujaan. Ketiga monumen ini merepresentasikan tahapan dalam pencapaian Nirwana. Candi ini dulu digunakan sebagai candi agama Buddha dari pembangunannya sampai masa antara abad ke-10 dan ke15 ketika ditinggalkan. Sejak penemuan kembalinya pada abad ke-19 dan pemugaran pada abad ke-20, candi ini digunakan kembali sebagai situs arkeologis Buddha. Kriteria (i) Kompleks Candi Borobudur dengan piramida berundak tanpa atap yang terdiri dari sepuluh teras berurutan ke atas, bermahkotakan oleh sebuah kubah berbentuk genta besar merupakan sebuah mahakarya arsitektur dan seni monumental Buddhisme. Kriteria (ii) Kompleks Candi Borobudur merupakan sebuah contoh luar biasa dari seni dan arsitektur Indonesia dari masa antara awal abad ke-8 dan akhir abad ke-9 yang memberikan pengaruh yang besar bagi kebangkitan arsitektural pada masa antara pertengahan abad ke-13 dan awal abad ke-16. Kriteria (vi) Mempunyai bentuk sebuah teratai, bunga suci agama Buddha, Kompleks Candi Borobudur merupakan sebuah refleksi eksepsional dari perpaduan antara ide asli paling utama tentang pemujaan nenek moyang dan konsep Buddhisme dalam mencapai Nirwana. Sepuluh teras berundak dari keseluruhan struktur selaras dengan tahapan yang harus dicapai oleh Bodhisatwa sebelum mencapai Ke-Buddha-an. Permasalahan Sosialiasi Warisan Dunia Borobudur Warisan dunia UNESCO merupakan istrumen yang legal dan dikelola oleh lembaga resmi yang kredibel di bawah PBB. Namun pada kenyataannya masyarakat kurang begitu mengenal status ini dengan baik. Masyarakat kurang memahami bahwa warisan dunia merupakan stutus yang cukup prestisius dan dapat membawa manfaat yang luas bagi promosi dan diplomasi budaya di tingkat internasional. Karena kurang memahami, masyarakat sering rancu memahami dan terjebak pada status-stutus lain yang tidak resmi. Salah satu yang masih sering terjadi di masyarakat adalah kerancuan antara warisan dunia dengan 7 keajaiban dunia. Karena sosialisasi warisan dunia yang masih kurang, masyarakat lebih mengenal status 7 keajiban dunia. Padahal 7 keajaiban dunia merupakan status yang tidak resmi dan bercampur dengan mitos, serta banyak versi yang ada sejak zaman Romawi Kuno hingga saat ini. Ketika tahun 2007 terjadi pemilihan the new 7 wonder yang dipilih melalui voting internet, masyarakat dihebohkan dengan tidak masuknya Borobudur. Padahal Borobudur tidak pernah dilestarikan dalam kerangka 7 keajaiban dunia, melainkan sebagai warisan dunia (Cahyandaru, 2007). Masalah serupa juga terjadi pada tahun 2011, ketika dilakukan pemilihan the new 7 wonder versi alam. Masyarakat juga heboh untuk mendorong Komodo agar dapat masuk, dengan penggalangan suara. Padahal Taman Nasional Komodo sudah masuk dalam daftar warisan dunia yang


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 177 merupakan status oleh lembaga resmi dan kredibel (Cahyandaru, 2011). Dalam penelusurannya, lembaga penyelenggara pemilihan ternyata tidak jelas, bahkan belakangan motif keuntungan ekonomi sangat jelas terendus. Hal tersebut seharusnya tidak terjadi jika masyarakat memahami status warisan dunia, sehingga tidak perlu mencari status lain yang tidak jelas. Masyarakat yang kurang memahami warisan dunia juga menyebabkan upaya masyarakat untuk turut mendorong pengelolaan dan nominasi warisan dunia menjadi kurang kuat. Padahal masyarakat merupakan pendorong dan pendukung utama dalam setiap gerak yang harus dilakukan pemerintah. Penutup Warisan dunia (world heritage) merupakan predikat resmi yang dikelola oleh UNESCO. Dalam sejarah pembentukannya, Indonesia melalui kampanye penyelamatan Borobudur juga turut menggugah kesadaran internasional yang berujung pada penyusunan konvensi. Indonesia perlu lebih meningkatkan pengelolaan dan upaya nominasi warisan budaya yang saat ini relatif kurang optimal. Permasalahan nominasi warisan dunia di Indonesia tidak lepas dari masih kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang warisan dunia dari UNESCO. Kurangnya pengetahuan masyarakat ini menyebabkan pengelolaan dan dorongan untuk nominasi menjadi kurang optimal. Langkah yang perlu adalah dengan melakukan sosialisasi secara luas kepada masyarakat termasuk melalui pendidikan. Selanjutnya mengoptimalkan pengelolaan situs yang telah masuk dalam daftar serta memanfaatkannya untuk promosi budaya dan kesejahteraan masyarakat. Borobudur yang telah masuk sebagai warisan dunia sejak 1991 diharapkan terus dikelola secara serius untuk menjamin kelestariannya. Kelestarian Candi Borobudur akan memberikan manfaat yang sangat luas bagi bangsa dan negara, sebagai salah satu kekayaan dan kebanggaan di mata dunia. Kelestarian Candi Borobudur diharapkan juga memberikan manfaat luas bagi masyarakat untuk penguatan jatidiri dan peningkatan kesejahteraan. Daftar Pustaka Albert, M T., 2009. Perspective of World Heritage - Toward Futureoriented Strategies with the Five C’s. World Heritage Course Material. Torino Bandarin, F., 2007. World Heritage-Chalenges for the Millenium. UNESCO World Heritage Centre. Paris Cahyandaru, N,. 2007. Borobudur Bukan Lagi 7 Keajaiban Dunia?. Artikel Opini Forum Harian Kompas Edisi Jateng-DIY tanggal 3 Februari 2007 Cahyandaru, N,. 2010. Kajian Undang-undang Cagar Budaya Tahun 2010 dari Sudut Pandang Pengelolaan World Heritage, Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Vol IV No.4 Desember 2010 Cahyandaru, N,. 2011. Komodo dan Legitimasi UNESCO. Artikel Opini Harian Nasional Jawa Pos tanggal 12 November 2011 Callabi, L,V., 2009. The 1972 Convention concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage and the role of UNESCO’s World Heritage. La Venaria Realle. Torino Jokilehto, J., 2008. What is OUV; Defining the Outstanding Universal Value of Cultural World Heritage Properties. ICOMOS. Paris King, J,. 2009. Values, Authenticity, and Integrity. World Heritage Course Material. Torino UNESCO WHC., 2005. World Heritage Information Kit. World Heritage Centre. Paris UNESCO WHC., 2012. World Heritage Committee Decission WHC12/36.COM/8A. World Heritage Centre. Paris www.whc.unesco.org


178 Pemandangan Giripurno sebagai Kawasan Wisata Alternatif Disekitar Borobudur 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 179 PENGELOLAAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL BOROBUDUR Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon merupakan tiga candi yang berada dalam lingkup Kawasan Cagar Budaya yang selanjutnya ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Ketiga candi tersebut merupakan candi Buddha dari era Kerajaan Mataram Kuna Periode Jawa Tengah abad VIII – X M. Salah satu keistimewaan ketiga candi tersebut adalah adanya hubungan kesatuan yang dapat dibuktikan dari segi arsitektural dan konseptual. Roesmanto (2010), memberikan gambaran bahwa awal berdirinya, ketiga candi tersebut mempunyai tata letak, arah hadap bangunan, jarak antar bangunan yang telah diperhitungkan dengan seksama. Hal ini salah satunya dapat dibuktikan dengan adanya stage/kelipatan arah hadap ketiga candi tersebut yang mengarah pada Candi Borobudur. Selain itu, menurut Van Erp menyatakan bahwa ketiga bangunan itu merupakan satu kesatuan yang kemudian dikembangkan oleh P.H. Pott (1966) bahwa ketiga bangunan tersebut merupakan satu kesatuan (triad), tidak saja secara arsitektural tetapi juga konseptual bangunan (mandala). Hal ini dapat dilihat pada Candi Mendut yang diidentikkan dengan Asta Maha Swasana seperti termuat di dalam teks Sri Cakra Sambhara Tantra. Asta Maha Swasana dapat diidentikkan dengan Asta Maha Bodhisatwa atau 8 kelompok Anandakandapadma. Delapan Boddhisatwa tersebut dapat ditemukan pada dinding luar pada Candi Mendut. Berdasarkan kitab Sri Cakra Sambara Tantra dapat diketahui bahwa Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon dipengaruhi oleh aliran tantra. Pada Candi Mendut terdapat arca Buddha Sakyamuni, Bodhisatwa Padmapami, dan Vajrapani yang menunjukkan gambaran bentuk Garbadhatu. Ketiga candi tersebut dapat disamakan dengan bentuk Garbadhatu tersebut. Borobudur sebagai tempat bersemayamnya Buddha yang menguasai Dharmakaya, sedangkan Mendut sebagai tempat bersemayamnya Padmapani, yang menguasi Nirmanakaya, dan Candi Pawon sebagai tempat bersemayamnya Vajrapani yang menguasai Sambhoghakaya. Di dalam sistem Mandala Borobudur, Pawon, Mendut sebagai triad, yang dianggap sebagai super structure ditempati oleh dewa-dewa dalam agama Buddha, sedangkan candicandi yang ada di sekitarnya dapat dianggap sebagai substructure ditempati oleh dewa-dewa Hindu. Hal ini dapat dibuktikan melalui data survei Balai Konservasi Borobudur yang menyebutkan bahwa di Kawasan Borobudur banyak dijumpai artefak Hindu berupa arca Hindu, Lingga, Yoni, maupun struktur bata kuna yang berasosiasi dengan artefak Hindu. Adanya hubungan arsitektural dan konseptual ketiga candi berserta kawasan di sekitarnya merupakan salah satu dasar ditetapkannya Kawasan Cagar Budaya Borobudur. Kawasan Cagar Budaya Borobudur merupakan Kawasan Strategis Nasional seperti yang diatur tata ruangnya berdasarkan Peraturan Presiden No. 58 Tahun 2014. Namun demikian, hingga saat ini pengelola ataupun lembaga pengelola yang sesuai dengan amanat Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya belum dapat ditetapkan. Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon merupakan warisan budaya dunia yang menjadi suatu kewajiban bagi Bangsa Indonesia untuk melestarikannya. Setelah ditetapkannya Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur, pengelolaan dan lembaga pengelola kawasan diharapkan dapat segera diformulasikan. Hal ini karena model pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur yang melibatkan tiga pihak, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian BUMN, dan Pemerintah Kabupaten Magelang, menyebabkan pengelolaan yang tidak efisien dan memunculkan konflik kepentingan. Sebagai tambahan keterangan Zona I Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, adapun Kementerian BUMN mengelola pendapatan yang berkaitan dengan kepariwisataan di Zona II Candi Borobudur. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Magelang mengelola kepariwisataan di Candi Mendut dan Candi Pawon.


180 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Peta Candi Borobudur, Pawon, dan Mendut


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 181 Upaya koordinasi yang selama ini dilakukan belum dapat menghilangkan konflik kepentingan yang cukup tinggi. Selain itu, masyarakat setempat masih belum dilibatkan secara proporsional dalam pengelolaan. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang dibuktikan dengan tingginya persentase kemiskinan di Kecamatan Borobudur dan Kecamatan Mungkid apabila dibandingkan dengan kecamatan lain. Selain itu, dengan adanya lembaga pengelola yang bersifat profit oriented seperti saat ini dinilai dapat menyebabkan menurunnya tingkat keterpeliharaan candi dan kawasannya. Menurunnya tingkat keterpeliharaan tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada status warisan budaya dunia yang saat ini disandang oleh Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon. Kawasan Strategis Nasional Borobudur Setelah ditetapkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 58 Tahun 2014, Kawasan Borobudur dan sekitarnya yang selanjutnya disebut Kawasan Borobudur adalah kawasan strategis nasional yang mempunyai pengaruh sangat penting terhadap budaya yang berada dalam radius paling sedikit 5 (lima) kilometer dari pusat Candi Borobudur dan Koridor Palbapang yang berada di luar radius 5 (lima) kilometer dari pusat Candi Borobudur, yang terdiri atas subkawasan pelestarian 1 dan subkawasan pelestarian 2 dan telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia dalam Dokumen Daftar Warisan Dunia Nomor 592. Kawasan Strategis Nasional Borobudur sebagaimana diatur dalam Perpres No. 58 Tahun 2014 terdiri dari 2 Subkawasan Pelestarian (SP). Subkawasan Pelestarian 1 (SP-1) adalah kawasan cagar budaya nasional dan warisan budaya dunia yang merupakan kawasan pelestarian utama situs-situs cagar budaya yang mendesak untuk dikendalikan pertumbuhan kawasan terbangunnya dalam rangka menjaga kelestarian Candi Borobudur, Candi Pawon, dan Candi Mendut beserta lingkungannya. Adapun Subkawasan Pelestarian 2 (SP-2) adalah kawasan penyangga kawasan cagar budaya nasional dan warisan budaya dunia yang merupakan kawasan pengamanan sebaran situs yang belum tergali yang diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan kawasan terbangun dalam rangka menjaga keberadaan potensi sebaran cagar budaya yang belum tergali dan kelayakan pandang. Kawasan Strategis Nasional Borobudur juga merupakan kawasan cagar budaya yang terdiri dari beberapa situs di antaranya Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon dengan batas-batas seperti tersebut di bawah ini : Sisi Utara : Desa Donorojo, Kec. Borobudur, Kab. Magelang, Jawa Tengah Sisi Barat : Desa Kebonsari, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang, Jawa Tengah Sisi Selatan : Desa Sidoharjo, Kec. Samigaluh, Kab. Kulonprogo, DIY Sisi Timur : Desa Sukorini, Kec. Muntilan, Kab. Magelang, Jawa Tengah Wilayah di atas berada pada koordinat : • Desa Donorojo, X = 411,772; Y = 9163,903 • Desa Kebonsari, X = 407,268; Y = 9159,928 • Desa Sidoharjo, X = 411,644; Y = 9153,957 • Desa Sukorini, X = 417,053; Y = 9157,972 Pengelolaan Bangunan Suci Masa Lalu Pada era Mataram Kuna Periode Jawa Tengah, Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon merupakan tempat peribadatan yang bernilai sangat penting. Pengelolaan tempat peribadatan pada masa itu merupakan bhakti terhadap dewa dan penguasa. Hal ini dapat dibuktikan melalui data prasasti abad VIII – X M dimana pada saat itu dikenal istilah sima (tanah perdikan) yang merupakan anugerah raja untuk pemeliharaan bangunan suci. Salah satu anugerah sima untuk bangunan keagamaan dapat dibuktikan melalui Prasasti Tri Tepusan (842 M) yang ditemukan di Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti ini menyebut nama tokoh yang menganugerahkan tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pemeliharaan tempat suci bernama Kamul ni Bhumi Sambhara. Nama tersebut dianggap memiliki keterkaitan yang erat Borobudur dimasa kini. Hal ini juga diperkuat dengan adanya bangunan suci yang disebut da Avidham yaitu bangunan berlapis 10 yang mirip dengan jumlah teras-teras Borobudur. Gelar Sang Putri Ri Kaluhunnan juga dikaitakan dengan Dyah Pramodawardhani putri rakyat warak Dyah Manara yang dikenal sebagai Raja Smaratungga. Selain prasasti Tri Tepusan, prasasti lain yaitu Prasasti Kurambittan I dan II (869 M) juga menyampaikan informasi mengenai anugerah sima untuk bangunan suci di Salingsingan. Sebagai tambahan informasi Prasasti Kurambittan I merupakan parasasti


182 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 183 yang ditemukan di Kecamatan Mertoyudan, Magelang sedangkan Prasasti Kurambittan II ditemukan di Kecamatan Mungkid, Magelang. Berdasarkan informasi dari Prasasti Kurambittan, dapat diketahui bahwa tanah seluas 3 tampah merupakan tanah perdikan untuk pemeliharaan bangunan suci di Salingsingan. Nama bangunan suci di Salingsingan tersebut sampai saat ini belum bisa diketahui secara pasti. Lain halnya dengan data prasasti, pada masa yang lebih muda data naskah kesusastraan memberikan informasi lebih detil mengenai pejabat pengelola bangunan suci keagamaan. Di dalam naskah Negarakertagama dijumpai istilah Dharmadhyaksa Ring Kasogatan dan Dharmadhyaksa Ring Kasaiwan. Kedua pejabat tersebut merupakan pejabat pengelola bangunan suci keagamaan. Dharmadhyaksa Ring Kasogatan merupakan pengelola bangunan keagamaan Buddha, sedangkan Dharmadhyaksa Ring Kasaiwan merupakan pengelola bangunan keagaaan Hindu. Selain itu, menurut Pigeaud (1960) berdasarkan Negarakertagama dapat disampaikan bahwa pengelolaan bangunan suci keagamaan oleh pemerintah kerajaan dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu : 1. Dharma-Dalm : Bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja dan kerabatnya. Bangunan suci ini dikelola oleh seorang Sthapaka dan seorang Wiku Raja dan secara keseluruhan diawasi oleh seorang Dharmadhyaksa di Istana. Jumlah Dharma-Haji ini ada 27 buah di antaranya Kegenengan, Kidal, Jajadhu, Pikatan, Weleri, Sukalila, Kumitir. 2. Dharma-Lpas : Bangunan suci yang dibangun di atas Kiri : Prasasti Kurambittan I di Museum Borobudur. Kanan : Prasasti Kurambittan II di Storage Balai Konservasi Borobudur.


184 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para Rsisaiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencaharian mereka. Dharma-Ipas kasaiwan dikelola oleh seorang dharmadhyaksa ring kasaiwan, Dharma-Ipas kasogatan dikelola oleh seorang dharmadhyaksa ring kasogatan dan Dharma-Ipas karesyan dikelola oleh mantriher-haji. Berdasarkan data dari prasasti dan naskah kesusastraan tersebut dapat disampaikan keterangan mengenai pengelolaan bangunan suci sebagai living monument pada masa lalu. Pada masa lalu candi merupakan bangunan keagamaan yang bernilai penting sebagai tempat beribadah, mendapatkan pengetahuan, ajaran hidup, dan untuk mencari penghidupan. Pengelolaan Kawasan Borobudur oleh Pemerintah Sesuai dengan Keppres Nomor 1 Tahun 1992 diatur kewenangan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur, adapun eksisting pengelolaan adalah sebagai berikut. 1. Zona 1 yang mewadahi langsung bangunan Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon dikelola oleh Balai Konservasi Borobudur (BKB), yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2. Zona 2 dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, yang berada di bawah Kementerian BUMN. 3. Zona 3 dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Magelang. 4. Zona 4 dan 5 merupakan kawasan pelindungan tidak diatur pihak yang memiliki kewenangan pengelolaannya, sehingga dengan sendirinya wilayah tersebut kewenangan Pemerintah Kabupaten Magelang. Namun, Pemkab Magelang tidak mengikuti rencana induk pengembangan versi JICA, sehingga perkembangan di kedua zona ini tidak terkendali. Secara lebih spesifik, pengelolaan Zona 1 Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 55 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Borobudur. Selain langkah-langkah penanganan dalam hal pelestarian Candi Borobudur, Balai Konservasi Borobudur juga mangadakan kerjasama antar instansi di bidang pelestarian cagar budaya secara umum dan Candi Borobudur pada khususnya. Instansi yang dimaksud tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Kerjasama dengan instansi luar negeri dilakukan di antaranya dengan National Research Institute for Cultural Properties, Tokyo tahun 2008–2011 dan Tsukuba University, Jepang tahun 2010–2011. Kerjasama tersebut dilakukan dengan aktivitas studi banding, konferensi dan workshop yang dilakukan oleh kedua pihak. Sebagai warisan budaya dunia Candi Borobudur mendapat perhatian dari dunia internasional melalui UNESCO, sebuah lembaga PBB yang menangani masalah pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Program expert mission UNESCO dilaksanakan pada tahun 2006 dan 2007 dengan mendatangkan ahli konservasi dari University of Rome, Prof. Constantino Meucci. Misi ini diutamakan untuk menemukan cara dalam menghentikan proses pelapukan pada batu, terutama batu relief yang disebabkan oleh air rembesan dan juga penggaraman. Pada tahun 2010, Prof. Constantino Meucci kembali didatangkan oleh UNESCO ke Candi Borobudur sehingga dapat melakukan konservasi, bekerjasama langsung dengan para konservator di Balai Konservasi Borobudur, dalam mengatasi dampak jangka panjang abu erupsi Merapi terhadap batu penyusun struktur Candi Borobudur. Pengelolaan Kawasan Borobudur Oleh Pemerintah Daerah Dalam hal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Magelang termasuk dalam Wilayah Pengembangan (WP) VII bersama dengan Kabupaten Wonosobo, Temanggung, Purworejo dengan pusat pengembangan di Kota Magelang. Potensi daerah yang dikembangkan adalah pariwisata, pertanian, perdagangan, dan industri. Visi Kabupaten Magelang adalah terwujudnya masyarakat yang mandiri, berdaya saing, madani, dan sejahtera. Misinya adalah (1) meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama, fasilitas peribadatan dan perangkatnya; (2) meningkatkan kualitas pendidikan, keterampilan, dan penguasaan IPTEK dalam rangka pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia; dan (3) pemberdayaan


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 185 masyarakat dan seluruh potensi ekonomi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada potensi sumber daya alam atau lingkungan dan SDM yang produktif, berdaya saing serta berwawasan pembangunan berkelanjutan. Dari visi dan misi tersebut dapat dilihat bahwa keluarannya adalah kesejahteraan yang dicapai secara mandiri oleh masyarakat yang madani. Untuk mencapainya diperlukan peningkatan kualitas religi dan pendidikan masyarakat supaya lingkungan hidupnya lestari. Pemerintah Kabupaten Magelang merupakan pengelola Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur Zona 3, 4, dan 5 versi JICA. Perizinan kegiatan dan pembangunan di seluruh daerah menjadi tanggung jawabnya. Tetapi, pengelolaan Zona 3 – 5 tidak optimal, hal ini ditandai dengan tumbuhnya bangunan besar dan tinggi terutama di koridor Palbapang, juga penempatan reklame terkesan tidak tertata rapi. Namun hal ini juga disebabkan oleh lemahnya aturan Keppres yang hanya mengatur Zona 1-3, sedangkan Zona 4-5 sesuai arahan JICA dibiarkan mengambang atau bahkan memang tidak dipedulikan. Pengelolaan Kawasan Borobudur oleh non-Pemerintah Pengelolaan pengembangan suatu kawasan adalah suatu proses kegiatan yang mencakup penyusunan rencana, pelaksanaan, Peta Zonasi Pengelolaan Kawasan Borobudur


186 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur dan pengendalian. Kegiatan pengembangan mencakup kegiatankegiatan bidang fisik maupun non fisik, sehingga pengelolaan pengembangan kawasan merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat multisektoral dan menyeluruh. Berdasarkan pengertian tersebut, maka kegiatan pengelolaan pengembangan kawasan merupakan kegiatan yang harus didukung oleh langkah koordinatif lintas sektoral. Mekanisme koordinasi yang baik berpengaruh terhadap keberhasilan dari sistem pengelolaan suatu kawasan. Perencanaan pengembangan suatu kawasan perlu dukungan masyarakat dan sejalan dengan hal itu, masyarakat yang terlibat tersebut juga dapat berkembang. Konsep masyarakat dalam pengembangan tidak sekedar merujuk pada proses perubahan dalam lingkungan sosial tertentu, tetapi lebih pada usaha perubahan terencana yang memperhatikan kepentingan suatu kelompok orang yang terikat oleh prinsip-prinsip tertentu yang menjadi lokasi suatu proses perubahan. Setiap usaha pengelolaan pengembangan masyarakat itu paling tidak mensyaratkan empat hal. Pertama, usaha itu mengharuskan pengenalan karakter yang khas secara saksama sehingga pendekatan yang digunakan dapat sejalan dengan sifatsifat masyarakat. Banyak kasus kegagalan pembangunan bersumber dari pengabaian karakter setempat sehingga pengembangan menjadi suatu proses intervensi dari luar dan kerap kali menimbulkan resistensi. Kedua, usaha pengelolaan pengembangan masyarakat itu mensyaratkan adanya partisipasi dari masyarakat yang bersangkutan karena masyarakat memiliki preferensi-preferensi dalam berbagai bentuk. Ketiga, upaya pengelolaan pengembangan masyarakat mensyaratkan adanya pembelaan terhadap status marginal, khususnya atas dominasi pusat dan negara dalam berbagai bentuk yang kurang menguntungkan komunitas. Kelompok atau masyarakat yang dibangun pada hakekatnya merupakan pihak yang memiliki kekurangan, tergantung, bahkan tidak memiliki posisi tawar-menawar yang sebanding. Keempat, pengembangan masyarakat mensyaratkan pemanfaatan sumberdaya dan kekuatan dari dalam untuk proses perubahan. Pengembangan suatu kawasan akan berarti munculnya pusat-pusat pertumbuhan baru yang akan menarik investor, pendatang sehingga akan bermunculan berbagai institusi baru di kawasan tersebut. Hal ini dapat memicu kesenjangan, di mana masyarakat lokal akan harus bersaing dengan pendatang, dan seringkali hal ini menjadi pemicu konflik ketika masyarakat lokal justru terpinggirkan. Perencanaan pengembangan yang berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat harus meliputi pokok-pokok sebagai berikut: pertama, mengenali masalah mendasar yang menyebabkan terjadinya kesenjangan; kedua, mengidentifikasikan alternatif untuk memecahkan masalah, dan ketiga, menetapkan beberapa alternatif yang dipilih dengan memperhatikan asas efisiensi dan efektivitas, memperhitungkan sumber daya yang tersedia dan dapat dimanfaatkan, serta potensi yang dapat dikembangkan. Konsep Pengelolaan Terpadu Kawasan Borobudur Pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur secara umum selama ini dilakukan oleh tiga pihak dengan manajemen yang terpisah-pisah, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian BUMN, dan Pemerintah Kabupaten Magelang. Hal ini menyebabkan pengelolaan yang tidak efisien dan memunculkan konflik kepentingan. Meskipun sudah ada koordinasi bukan berarti dapat menghilangkan adanya konflik kepentingan. Di samping itu, masyarakat setempat belum dilibatkan secara proporsional dalam pengelolaan. Hal ini mengakibatkan keberadaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur belum memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan kata lain proses trickle-down effect dari keberadaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur belum dinikmati secara optimal oleh masyarakat setempat. Secara umum di dalam Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur terdapat desa dan kelurahan yang memiliki potensi ekonomi besar. Potensi ekonomi tersebut berbentuk bermacam produk makanan, berbagai kerajinan tangan, dan pertanian. Selain itu, potensi lainnya adalah panorama alam yang indah, budaya tradisional, dan kesenian masyarakat lokal yang tinggal di sekitarnya. Potensi ekonomi tersebut bila dikelola secara teratur dan terencana dengan baik akan menjadi sumber daya strategis yang dapat berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, sampai saat ini, potensi tersebut belum dikelola secara terintegrasi. Elemen sumberdaya itu masih cenderung diabaikan sehingga belum dianggap sebagai potensi yang dapat membantu mengentaskan kemiskinan. Kondisi ini membuat masyarakat setempat belum dapat merasakan dampak terutama dalam sektor ekonomi dari adanya aktivitas wisata di Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur. Oleh karena itu, potensi ekonomi dan budaya


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 187 Kawasan Strategis Nasional Borobudur


188 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur masyarakat di wilayah Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur perlu diangkat dan dikelola dengan baik sehingga dapat menjadi wisata alternatif bagi wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dipandang perlu untuk mengintegrasikan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Borobudur saat ini menjadi kewenangan setidaknya tiga pihak (Pendidikan dan Kebudayaan, BUMN, dan Pemkab Magelang) menyebabkan ketidakefisienan pengelolaan dan memunculkan konflik kepentingan. Upaya koordinasi tidak berjalan karena hambatan aturan birokrasi dan sifat egosentris masing-masing lembaga yang meskipun telah diupayakan dipecahkan (misalnya dengan membentuk steering commitee) selama bertahun-tahun tetapi tetap tidak pernah berhasil secara memuaskan. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas maka konsep pengelolaan terpadu pelestarian warisan budaya harus mengacu kepada hal-hal sebagai berikut. 1. Pelestarian budaya meliputi pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengembangan kebudayaan suatu masyarakat sesuai dengan kewenangan masyarakat pendukung budaya itu. Mereka adalah subjek yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya, masyarakat, dan lingkungan mereka. 2. Pelestarian monumen Kompleks Candi Borobudur bersatu dan terikat dengan lingkungan saujana budayanya (cultural landscape) sehingga merupakan suatu kesatuan kawasan yang utuh, tidak dapat dipisahkan. Artinya, Kompleks Candi Borobudur tidak berdiri sendiri tetapi merupakan satu kesatuan dengan lingkungan sosial dan budaya yang mengelilinginya. Candi Borobudur menjadi pusat kekuatan yang memancarkan energinya ke daerah-daerah sekelilinginya, dan sebaliknya ia dikelilingi oleh kekuatan yang ada di sekitarnya yang ikut melindungi dan menyalurkan energi ke pusat, laksana matahari yang dikelilingi bulan dan bintang-bintang disekelilingnya yang saling berpendar, bertukar energi. Jaringan sinergis antara pusat dan daerah penjuru dipercayai akan dapat menghimpun kekuatan yang besar dan saling memberikan manfaat. Konsep seperti ini merupakan salah satu nilai penting universal yang terdapat pada Kompleks Candi Borobudur dan lingkungan saujana budayanya. Nilai penting universal ini, akan menjadi prinsip dasar perencanaan yang tertuang dalam Rencana Induk Pelestarian guna merevitalisasi kawasan tersebut. 3. Pelestarian untuk dan oleh semua artinya pengelolaan warisan budaya sudah bukan lagi hanya menjadi urusan ‘orang pusat’ (yang meliputi 3 P – Princes, Priests, and Politicians) atau kepedulian sekelompok masyarakat tingkat atas, kaum bangsawan, ulama, politikus, dan ilmuwan yang pemanfaatnya hanya untuk kalangan mereka, yang cenderung terbatas sebagai kajian ilmu pengetahuan, pelampiasan kesenangan, kenangan, dan sarana rekreasi. Namun, sekarang warisan budaya sudah menjadi bagian dari 4 P (Princes, Priests, Politicians, and People). Warisan budaya tidak dilihat sekedar sebagai monumen atau situs, tetapi juga sebagai tempat dan ruang karya masyarakat, sehingga pengelolaannya pun harus melibatkan masyarakat luas. Upaya pelestarian lebih ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas daripada kepentingan kelompok tertentu. Dengan demikian, pelestarian warisan budaya adalah ‘untuk dan oleh semua.’ 4. Pelestarian Nilai Penting dan Wujud Kebendaannya (Intangible dan Tangible). Warisan budaya sudah tidak zamannya hanya melindungi dan mengabadikan wujud bendawi (monumen, situs, kumpulan bangunan, atau tinggalan budaya lain) saja, sehingga menyebabkan monumen dan situs kehilangan ‘roh kehidupan’-nya bahkan menjadi mati. Pelestarian warisan budaya harus memberikan keseimbangan antara wujud bendawi warisan budaya dengan nilai-nilai penting dan luhur yang ada disebaliknya, termasuk juga upaya revitalisasi tradisi dan praktik kehidupan yang relevan di masa kini. Hanya dengan cara ini, warisan budaya akan mendapatkan kembali ‘roh’ yang menghidupkan situs dan monumen agar tidak lagi sekedar menjadi benda-benda mati. 5. Pengelolaan berwawasan kemanfaatan yang terintegrasi. Pengelolaan warisan budaya dunia Kompleks Candi Borobudur selama ini kurang jelas arahnya karena bersifat


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 189 Pemandangan Kawasan Borobudur Menjelang Matahari Terbit dari Puthuk Setumbu


190 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kiri atas Pemandangan Candi Borobudur dikala senja Kanan atas : Kerajinan Gerabah di desa Bumisegoro Kabut Menyelimuti Candi Borobudur dihilangkan Candi Borobudur yang semakin penuh dengan Pedagang


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 191 parsial; hanya ditujukan untuk pelestarian itu sendiri, untuk kajian ilmu pengetahuan (Taman Purbakala), dan menyediakan sarana rekreasi dan wisata, atau sebagai sumberdaya ekonomi (Taman Wisata). Berbagai tujuan tersebut mestinya dapat dipadukan dalam sistem pengelolaan yang mengatur secara seimbang dan terintegrasi tujuan ilmu pengetahuan, rekreasional, ekonomi, dan tujuan lain. Keseimbangan dan keterpaduan tujuan tersebut tercermin dalam visi pengelolaan yang menekankan pada fungsi pelestarian, pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, berbagai tujuan itu akan dapat dicapai secara sinergis oleh pihak yang berkepentingan. Kegiatan penelitian dimaksudkan untuk mengungkapkan lebih banyak makna atau nilai penting warisan budaya. Kegiatan pelindungan merupakan upaya untuk mempertahankan warisan budaya dari ancaman kerusakan, dan kegiatan penyajian adalah cara untuk menampilkan sebaik-baiknya nilai penting warisan budaya agar dapat dimanfaatkan dan diwarisi oleh masyarakat di masa kini dan mendatang. Kegiatan pemanfaatan lebih ditujukan untuk mendapatkan nilai tambah dan manfaat (benefit) tanpa mengakibatkan merosotnya nilai penting dan wujud bendawi warisan budaya. Berdasarkan konsep yang disampaikan di atas maka organisasi yang dibutuhkan untuk mengelola Kawasan Kompleks Candi Borobudur adalah sebagai berikut: 1. Lembaga pemerintah atau semi-pemerintah yang bersifat “not for profit”, tetapi di dalamnya memungkinkan adanya bagian (unit) yang bertugas memperoleh penghasilan sekurang-kurangnya untuk menjamin kemandirian dan keberlangsungan lembaga dan kegiatan utamanya (pelestarian). 2. Mengindahkan dan menyelaraskan kepentingan para pemangku kepentingan (multi-stakeholders) yang meliputi pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi), masyarakat lokal, dan pihak lain yang berkompeten. 3. Mempunyai atau mewakili otoritas yang bertaraf nasional, sehingga memiliki posisi tawar yang cukup kuat terhadap para pemangku kepentingan. 4. Mampu menjadi fasilitator untuk kegiatan-kegiatan pelestarian dan pemanfaatan kawasan sesuai minat para pemangku kepentingan. 5. Mampu menjadi koordinator bagi kegiatan para pemangku kepentingan yang beragam dan memobilisasi berbagai sumberdaya untuk mencapai tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan. 6. Selain koordinatif, lembaga pengelola juga bersifat konsultatif, tetapi mempunyai kewenangan mengeluarkan keputusan yang mengikat dan dipatuhi semua pemangku kepentingan. 7. Bersifat luwes (fleksibel) dan dinamis, sehingga dapat segera memberikan respon dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. 8. Lembaga pengelola harus mampu bekerja profesional, efektif, transparan, dan akuntabel dalam mewujudkan pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan kawasan secara seimbang. 9. Lembaga pengelola harus berlandaskan prinsip keterbukaan, kebersamaan, dan kemitraan (partisipatif, tidak sentralistik), serta peduli pada daerah dan masyarakat setempat (tidak eksklusif), sehingga sedapat mungkin mewadahi keterpaduan kepentingan semua pemangku kepentingan secara adil. 10. Lembaga pengelola harus didukung oleh pimpinan dan karyawan yang kompeten sehingga mampu bekerja secara profesional. 11. Unsur-unsur yang biasanya terdapat pada lembaga pengelola warisan budaya antara lain adalah struktur organisasi. Struktur lembaga pengelola harus ditentukan secara partisipatoris, dengan dialektika dua arah: antara pusat-daerah maupun antara aspirasi masyarakat dan otoritas pemerintah, sesuai dengan keadaan dan kompetensinya. Konsep pengelolaan terpadu Kawasan Borobudur seperti yang disampaikan di atas merupakan konsep yang dirasa tepat


192 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kiri atas : air terjun Giripurno Kanan atas : Giripurno Kanan bawah : persawahan Ngadiharjo


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 193 Kiri atas : makanan karah Candirejo Kanan atas : persawahan Ngadiharjo Kiri bawah : kerajianan perahu bambu Bumiharjo Kanan bawah : keranjang Bumiharjo


194 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kiri atas : makanan karah Candirejo Kanan atas : persawahan Ngadiharjo Kiri bawah : kerajianan perahu bambu Bumiharjo Kanan bawah : keranjang Bumiharjo untuk mengitegrasikan pengelolaan Kawasan Borobudur yang masih terkotak-kotak. Kondisi pengelolaan yang masih terkotakkotak antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dinilai akan semakin memperlebar kesenjangan dan kesejahteraan masyarakat Kawasan Borobudur. Hal ini karena cara pandang masihmasing pengelola yang berada di Kawasan Borobudur belum dapat disatukan. Konsep pengelolaan terpadu tersebut diharapkan dapat menciptakan sebuah lembaga pengelola Kawasan Strategis Nasional Borobudur yang dapat meningkatkan kelestarian Kawasan Borobudur. Selain itu, tentu saja diharapkan kesejahteran masyarakat meningkat dan konflik kepentingan dapat ditekan seminimal mungkin. Daftar Pustaka Balai Konservasi Borobudur. 2010. Studi Kelayakan Organisasi Pengelola Kawasan Borobudur. Balai Konservasi Borobudur. 2010. Kajian Manajemen Terpadu Kawasan Borobudur. Balai Konservasi Borobudur. 2010. Model Akhir Lembaga Pengelolaan Terpadu Warisan Budaya Dunia Candi Borobudur. Boechari, M. 1959. “An inscribed Li฀ga from Rambianak”, BEFEO, Tome XLIX Fasc.2 Pigeaud, TH. G. TH. 1960. Java In The 14 th Century, A Study In Cultural History. The Hague : Martinus Nijhoff. Pott, PH. 1966. Yoga and Yantra. The Haque : Martinus Nijhoff. Roesmanto, Totok (ed). 2010. Kearsitekturan Candi Borobudur. Borobudur : Balai Konservasi Borobudur. Stutterheim, W.F. 1934. “Beschreven Lingga van Krapyak”, TBG LXXIV:86-93. Foto OD 19922-19930.


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 195 CANDI BOROBUDUR DI TENGAH ANCAMAN BENCANA ALAM 8 BAB


196 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kondisi Candi Borobudur yang tertutup abu Vulkanik Gunung Merapi 2010


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 197 K eberadaan Candi Borobudur menjadi semakin mantap dalam pemeliharaan, pelindungan, dan konservasi setelah ditetapkannya Balai Konservasi Borobudur sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab dalam konservasi dan pemantauan (monitoring). Selain itu, upaya perlindungan terhadap candi dan lingkungannya juga telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tentang Zonasi Kawasan Borobudur dan Penetapan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Nasional berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007. Meskipun demikian, segenap pemangku kepentingan sama sekali tidak boleh lengah terhadap gangguan dan ancaman yang dapat mengganggu dan merusak keberadaannya, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Gangguan fisik yang selama ini melanda Candi Borobudur adalah abu vulkanik dan gempa bumi. Sementara itu, ancaman sosial diduga keras pernah terjadi pada masa Klasik di Indonesia berdasarkan data prasasti. Sumber-sumber sejarah kebudayaan masa Klasik di Indonesia terutama berupa prasasti (tekstual) dan bangunan candi (artefaktual), tetapi keduanya seringkali tidak saling mendukung. Satu-satunya candi yang dapat dikaitkan secara langsung adalah Candi Kalasan dengan prasasti Kalasan tahun 700 çaka atau 778 M. Kutipan kalimat dalam prasasti Kalasan adalah sebagai berikut. “5... gurupujartham tarabhawanam panamkaranah. 6. gramah kalasanama dattah samghaya...” Artinya: tempat pemujaan bagi Tarabhawana, sebuah bangunan suci yang bernama Kalasa sebagai tempat pemujaan umatnya.” Selain Candi Kalasan, bangunan suci yang dikaitkan dengan prasasti pada umumnya berupa penafsiran dan/atau identifikasi terhadap kecocokan di antara keduanya. Sebagai contoh misalnya, kompleks percandian Lara Jonggrang di Prambanan disesuaikan dengan prasasti Siwagrha tahun 778 çaka atau 856 M, karena uraian gugusan candi yang terdapat dalam prasasti itu dapat disesuaikan dengan susunan kompleks percandian Lara Jonggrang. Demikian pula, candi-candi lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada umumnya dikaitkan dengan prasasti, terutama untuk mengetahui kronologinya dalam rangka penyusunan Sejarah Kebudayaan, jika tempat temuannya berdekatan (kontekstual) atau menyebut nama tempat yang sesuai dengan lokasi candi bersangkutan. Seperti telah menjadi pengetahuan umum, bahwa penerbitan sebuah prasasti biasanya terkait dengan penetapan suatu daerah menjadi sîma, daerah perdikan (Boechari, 1978). Tetapi, di antara sîma yang ditetapkan itu terdapat sejumlah daerah yang ditujukan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan bangunan suci. Di dalam prasastiprasasti Jawa Kuna ada beberapa istilah atau penyebutan bangunan suci, di antaranya prasãdha, candhya, dan dharmma (R. Soekmono, 1974). Katakata yang disebut sebagai banguan suci itu lebih jelas ketika dikaitkan dengan konteks kalimatnya. Sebagai contoh misalnya, ketika dalam prasasti Tuhañaru tahun 1245 çaka atau 1323 M terdapat istilah aŋsa dan punpunan, ternyata memiliki arti sîma yang letaknya jauh dari bangunan suci (aŋsa) dan sîma yang letaknya dekat dengan bangunan suci (punpunan) (Boechari, 1977). Adapun kutipan kalimatnya adalah sebagai berikut: IV. A. “... muaŋ tan pgat niŋ kaparahitan inulahakên śri mahãrãja. an tuhu tuhu wisnwatãra inadihistãna sang paramasujana pinratistha i rikang rajya i majhapahit kangken prasada. makapranala rake tuhan mapatih dyah puruseśwara, makapunpunan akang (ikang) sayawadwîpamandala. makaŋngśa ikang nusa madhura tañjungpurãdi. ya tamijilakên ayabyaya niŋ sakalajanman satata bhakti mangarccana ri paduka śrî mahãrãja. muaŋ po (...)da pawwat nikaŋ nusapa(ra)nusa kangken pangraga skar gati nyan tan kalugan prapteŋken pratiwarsa ...” Artinya: “dan tidak henti-hentinya baginda melakukan hal-hal demi kesejahteraan orang lain. Memang sebenar-benarnya beliau (adalah) penjelmaan Wisnu, dimohon oleh orang-orang yang terkemuka, ditahbiskan di kerajaan Majapahit yang diumpamakan sebagai prasada, dengan Rake Tuhan Mapatih Dyah Puruseśwara sebagai pranala (yoni), dengan seluruh mandala pulau Jawa sebagai punpunan, dan pulau Madura, Tanjungpura, dan pulau-pulau lain sebagai aŋsa. Semuanya itu menghasilkan biaya bagi semua orang yang KEWASPADAAN TERHADAP CANDI BOROBUDUR BERDASARKAN DATA EPIGRAFIS


198 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur senantiasa mempersembahkan kebaktian pada duli seri baginda, dan (?) persembahan (upeti) dari pulau-pulau yang lain dianggap sebagai persembahan bunga, tiada hentinya (?) datang setiap tahun” (Boechari, 1977: 4). Gambaran di atas jelas menunjukkan bahwa prasada sebagai pusat kekuasan/kekuatan (kerajaan) diibaratkan sebagai bangunan suci, sementara komponen kelengkapannya sebagai penyangga adalah Raja, yang digambarkan sebagai pranala (yoni dalam bangunan suci/candi). Di dalam beberapa prasasti Jawa Kuna sering dijumpai suatu keharusan bagi suatu daerah sîma mempunyai kewajiban terhadap bangunan suci, terutama dalam biaya pelaksanaan upacara keagamaan. Secara kronologis kewajiban daerah sîma untuk memelihara prasada antara lain disebutkan dalam prasasti Kwak I tahun 801 çaka atau 879 M, prasasti Taji tahun 823 çaka atau 901 M, prasasti Sugihmanek tahun 837 çaka atau 915 M, prasasti Gulung-Gulung tahun 851 çaka atau 929 M, prasasti Cunggrang tahun 851 çaka atau 929 M, prasasti Kudadu tahun 1216 çaka atau 1294 M, dan prasasti Sukamerta tahun 1218 çaka atau 1296 M (Boechari, 1977: 5- 6) Demikian pentingnya bangunan suci sebagai bentuk legitimasi sebuah kekuasaan kerajaan, juga ditunjukkan dalam prasasti Mantyasih tahun 907 M. Di dalam prasasti itu disebutkan bahwa lima orang patih di Mantyasih mendapatkan anugerah sîma dari raja Rakai Watukura Dyah Balitung, karena mereka tidak melalaikan pemujaan terhadap lima bangunan suci, yaitu di Malangkuseśwara, di Putewaśra, di Kutusan, di Silabhedeśwara, dan di Tuleśwara setiap tahunnya (Stutterheim, 1927: 200 – 203). Selain itu, prasasti Kanuruhan I dan II tahun 865 çaka atau 943 M juga menyebut setidaknya empat bangunan suci (dharmma kahyangan) di Wurandungan, yaitu sang hyang mahulun, sang hyang pangawan, sang hyang kaswaban, dan sang hyang kagotran (Boechari, 1977: 2). Namun demikian, meskipun disebut secara jelas dalam prasasti tetapi secara arkeologis belum ditemukan bukti-bukti artefaktual terhadap bangunan suci yang disebut itu. Pada masa Rakai Kayuwangi (Dyah Lokapala) terdapat sebuah prasasti yang memerintahkan seseorang untuk mengelola bangunan suci di dekat tempat tinggalnya. Prasasti Kañcana tahun 782 çaka atau 860 M menyebutkan anugerah raja kepada Paduka Mpungku i Bodhimimba untuk menetapkan daerah Bungur Lor dan Asana sebagai dharmma sîma lpas. Di tempat itu akan didirikan prasada dengan arca Buddha yang akan dipuja Prasasti Tuhañaru


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 199 Kiri atas : prasasti Kalasan saat ini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta Tengah atas : Shivagrha Inscription diganti Prasasti Shivagrhasaat ini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta Kanan atas : prasasti Kayumwungansaat ini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta Kiri bawah : prasasti Cri Ahulumandan Karang Tengah dihilangkan


200 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur setiap bulan Kartika. Perintah itu disertai dengan pemberian hak tempat tinggal di lingkungan sîma dan diberikan wewenang atas dharmma sîma itu kepada anak-anak Mpungku i Bhoddhimimba, yaitu bernama Dyah Imbangi (laki-laki) dan Dyah Anangha (perempuan). Meskipun bangunan suci itu diduga keras diperuntukkan bagi pemeluk agama Buddha, tetapi hingga kini belum pernah ditemukan bukti artefaktualnya dan bahkan Rakai Kayuwangi dikenal sebagai pemeluk agama Hindu. Demikian pula Candi Borobudur yang sering dikaitkan dengan prasasti Sri Kahulunan tahun 764 çaka atau 842 M, karena adanya frasa atau formula kalimat ‘kamulan i bhumisambharabudara’ yang diinterpretasikan sebagai sebutan bagi Borobudur (bharabudara). Bahkan J.G de Casparis (1956) berani berpendapat bahwa pendiri Candi Borobudur adalah Raja Samarattungga dari Dinasti Sailendra yang memerintah antara tahun 782 – 812 M. Sementara itu, J. Dumarcay (1993) menyebutkan bahwa Candi Borobudur didirikan dalam lima tahap pembangunan, yaitu: Tahap I sekitar tahun 780 Masehi Tahap II dan III sekitar tahun 792 Masehi Tahap IV sekitar tahun 824 Masehi Tahap V sekitar tahun 833 Masehi Berdasarkan penyebutan tahun-tahun di atas, maka dapat diduga dikaitkan dengan tahun penulisan prasasti terkait pada masa itu. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian terhadap isi prasasti bersangkutan agar dapat dibuktikan pertanggungjawaban akademik secara epigrafis terhadap penyebutan tahun-tahun itu dan dapat digambarkan suasana kesejahteraan (sosial-politik-budaya) pada masa itu. Pertama, tahun 780 M dapat dikaitkan dengan masa sekitar pendirian Candi Kalasan, ketika agama Buddha semakin banyak pendukungnya. Sangat boleh jadi setelah mendirikan candi itu, kemudian dirintis pendirian sebuah candi Buddha besar di Borobudur. Secara historis masa itu yang berkuasa adalah Dyah Pancapana Kariyana Panamkarana dari Dinasti Sailendra dan beragama Buddha. Tahap kedua dan ketiga diduga dikaitkan dengan prasasti Mañjusrigrha tahun 714 çaka atau 792 M yang dalam Sejarah Kebudayaan sering dikaitkan dengan pendirian Candi Sewu di Prambanan. Pada masa itu dapat dikatakan pengaruh agama Buddha sedang mencapai puncak kejayaannya, sehingga sangat wajar jika semangat untuk mendirikan candi yang lebih besar dapat dilakukan. Secara historis masa itu kondisi sosialpolitik dapat dikatakan masih stabil, karena Raja Samarottungga dari Dinasti Sailendra masih berkuasa penuh. Selanjutnya, tahap keempat diduga keras dikaitkan dengan prasasti Kayumwungan tahun 746 çaka atau 824 M. Di dalam kerangka Sejarah Jawa Kuna, masa-masa itu diketahui telah terjadi bibit-bibit perpecahan di lingkungan kerajaan. Pada tahun 749 çaka atau 827 M adalah angka tahun prasasti Dang Pu Hawang Gelis (Gandasuli I), berbahasa Melayu Kuna dan menyebut penguasanya beragama Hindu. Secara berturut-turut hasil identifikasi terhadap prasasti-prasasti masa itu diketahui adanya dua kelompok penguasa, anak keturunan Samarottunga di satu pihak dan Rakai Warak sebagai anak keturunan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sejarah Jawa Kuna periode itu di Jawa Tengah dikenal telah menimbulkan polemik tentang dinasti, yaitu satu dinasti (Sailendra) di satu pihak dan dua dinasti (Sailendra dan Sanjaya) di pihak lain. Kondisi semacam itu, sedikit atau banyak pasti dapat mengganggu (secara sosial) keberadaan dan/atau pembangunan Candi Borobudur. Tahap kelima, terakhir, tahun 833 M dapat dikaitkan dengan prasasti Tri Tpusan I dan II tahun 764 çaka atau 824 M. Secara kronologis masa itu tengah terjadi perebutan hegemoni di antara dua rumpun kerabat kerajaan, yaitu Samarottungga sebagai penerus kekuasaan Dinasti Sailendra dengan raja lain, yaitu Rakai Warak sebagai keturunan Sanjaya. Kisah ini diakhiri dengan adanya perkawinan antara anak Samarottungga dengan keturunan Rakai Warak, seperti tergambar dalam prasasti-prasasti pendek yang selalu disebut berdampingan di kompleks percandian Plaosan Lor yang berlatar belakang agama Buddha. Berita menarik terkait dengan gangguan dan ancaman kerusakan secara fisik terhadap bangunan suci, khususnya yang secara geografis terletak di sekitar gunung api (Gunung Merapi) adalah terdapat dalam prasasti Rukam tahun 829 çaka atau 907M. Di dalam prasasti itu disebutkan “2. ... mahãmantri śrî daksottama bahubajra pratipaksaksaya kumonnakan ikanaŋ wanua i rukam wanua i dro (i jro – pen.) sangka yan hilaŋ deniŋ guntur simãn rakryãn sañjiwana nini haji mangasiakan dharmma nira i limwuŋ...”. Artinya: (Rakryãn) Mahãmantri i Hino Śrî Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya, memerintahkan agar desa Rukam, yang termasuk wilayah Kutagara atau negeri ageng, yang telah hancur oleh letusan gunung (api) dijadikan daerah perdikan bagi nenek raja, yaitu Rakryãn Sañjiwana. Dan hendaknya dipersembahkan kepada dharmma-nya (Rakryãn Sañjiwana) di Limwuŋ (Nastiti, dkk, 1982:36). Kalimat ini sangat penting tidak hanya penyebutan dan penghormatan terhadap neneknda raja, yaitu Rakryãn Sañjiwana, tetapi juga begitu pentingnya peristiwa kehancuran suatu wilayah dekat kerajaan berikut bangunan suci oleh letusan gunung api. Kutipan kalimat yang menggambarkan dahsyatnya dampak letusan gunung api bagi suatu daerah dan bangunan suci di sekitar kerajaan pantas dijadikan sebuah peringatan bagi segenap pemangku kepentingan


Click to View FlipBook Version