The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

book-fullfile-5a7bfb03e0c9b-1518074627 (1)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Digital, 2023-05-31 11:28:14

book-fullfile-5a7bfb03e0c9b-1518074627 (1)

book-fullfile-5a7bfb03e0c9b-1518074627 (1)

200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 201 Peta Borobudur Merapi


202 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur pelestari warisan budaya agar tetap selalu waspada terhadap terulangnya kembali bencana alam itu. Bukti-bukti faktual menunjukkan bahwa deretan peristiwa gempa dan hujan abu vulkanik beberapa kali pernah terjadi dan berdampak pada kelestarian bangunan candi, khususnya Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia. Peristiwa yang terjadi pasca pemugaran Candi Borobudur yang sempat menjadi ancaman kerusakan antara lain adalah Gunung Galunggung (1985), Gunung Merapi (1994, 1997, dan 2010), dan terakhir abu vulkanik dari Gunung Kelud (2014). Dengan demikian perlu ditingkatkan kewaspadaan terhadap ancaman dan gangguan, baik secara sosial maupun fisik yang diduga dapat berdampak pada keberadaan Candi Borobudur. Secara sosial perlu diantisipasi dampak pengaruh globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diduga dapat mengganggu kelestarian Candi Borobudur. Sementara itu, secara fisik selain diperlukan inovasiinovasi dalam mengatasi dampak gempa dan abu vukanik terhadap bangunan Candi Borobudur, justru yang sangat penting adalah antisipasi terhadap bencana itu dengan melibatkan para ahli kebumian dan kegempaan. Semoga dengan semakin diketahui sejak dini ancaman kerusakannya, semakin lestari dan terpelihara bangunan Candi Borobudur yang telah menjadi warisan budaya dunia. DAFTAR PUSTAKA Boechari, 1977, “Candi dan Ligkungannya”, Makalah PIA I, Cibulan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. -----------, 1978, “Bahan Kajian Arkeologi untuk Pengajaran Sejarah”, Majalah Arkeologi, Jakarta: Universitas Indonesia. Dwiyanto, 2004, “Arus Pengaruh Çaiendra di Jawa Tengah berdasarkan Keberadaan Candi dan Kronologi Prasasti”, Laporan Penelitian, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Moens, J.L., 1974, Buddhisme di Jawa dan Sumatra dalam Masa Kejayaannya Terakhir, Seri Terjemahan, Jakarta: Bhratara. Nastiti, Titi Surti, dkk, 1982, Tiga Prasasti dari masa Balitung, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Soekmono, R., 1974,”Candi Fungsi dan Pengertiannya”, Disertasi, Jakarta: Universitas Indonesia.


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 203 CANDI BOROBUDUR PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2010


204 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 205


206 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 207 CANDI BOROBUDUR PASCA ERUPSI GUNUNG KELUD TAHUN 2014


208 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 209


210 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 211 Keletakan Candi Borobudur diantara gunung-gunung


212 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Wilayah Indonesia secara fisiologia terdiri atas landas kontinen, cekungan (basin) samudra dan sabuk orogenik (orogenic belt). Secara geologis wilayah Indonesia merupakan tempat pertemuan beberapa lempeng utama kerak bumi, yaitu lempeng Eurasia yang membentang dari barat laut dan utara, berakhir di selatan di Sunda Shelf, lempeng India dan Austaralia yang membentang dari barat dari barat dan selatan, berakhir di utara di Sahul Shelf serta lempeng Samudra Pasifik di timur laut. Oleh karenanya wilayah Indonesia Indonesia menjadi rawan terhadap bencana gempa bumi tektonik yang kadang-kadang disertai dengan terjadinya Tsunami (gelombang pasang laut) (Hadiwonggo, 2002 : 4). Wilayah Indonesia juga merupakan tempat pertemuan sistem pegunungan utama yaitu: 1. Sistem pegunungan Alpin Sunda, yang membentang dari Himalaya, Arakan Yona (Myanmar), Kepulauan Andaman, Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores dan berakhir di Laut Banda 2. Sistem pegunungan Asia Timur, sering disebut pula Sirkum Pasifik, yang membentang dari Jepang, Filipina, dan berakhir di Sulawesi. 3. Sistem pegunungan Sirkum Australia, yang membentang dari New Zealand, New Caledonia, Papua Nugini, Papua Barat, dan berakhir di Pulau Halmehera Dari 500 jumlah gunung api di Indonesia, terdapat 129 gunung api yang menjadi pusat erupsi atau masih aktif dan merupakan 13 % dari gunung api aktif di dunia. Oleh karena itu, wilayah Indonesia dapat dikategorikan pula sebagai daerah rawan bencana gunung api. Gunung api aktif di Indonesia menempati empat jalur kawasan sejalan dengan empat jalur gempa tektonik seperti yang diuraikan di atas, yaitu kawasan Sunda terdapat 74,3 % gunung api aktif, Kawasan Banda terdapat 6,3 % gunung api aktif, Kawasan Halmahera terdapat 5,5 % gunung api aktif dan kawasan Minahasa terdapat 13,9 % gunung api aktif (Hadiwonggo, 2002 : 4). Berdasarkan peta persebaran gunung terlihat bahwa daerah Magelang khususnya kawasan Borobudur dikelilingi oleh gunung-gunung api seperti Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Sindoro. Hal ini menjadikan kawasan Borobudur yang merupakan lingkungan Candi Borobudur menjadi daerah rawan bencana gunung api. CANDI BOROBUDUR DAN ANCAMAN GUNUNG API Persebaran Gunung Api di Indonesia


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 213 Keletakan Candi Borobudur di antara Gunung Api Candi Borobudur adalah hasil karya masa silam yang terletak di Kabupaten Magelang, Propvinsi Jawa Tengah. Candi itu saat ini merupakan salah satu objek daya tarik wisata (ODTW) di Indonesia yang banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Candi Borobudur didirikan sekitar tahun 800 Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuna. Candi Borobudur merupakan sebuah kuil nenek moyang, sebagaimana disebutkan dalam prasasti Sri Kahulunan 842 M yang menyebut Borobudur sebagai “…Kamulan I bhumi sambhara…”. Kamulan dapat diartikan sebagai kuil atau tempat suci nenek moyang (J. G. de Casparis,1950). Candi Borobudur bercorak keagamaan Buddha berukuran raksasa dengan struktur batu andesit sebagai penyusunnya. Kawasan Borobudur yang merupakan lingkungan Candi Borobudur dikelilingi oleh gunung berapi. Secara alamiah gunung api memainkan peran krusial dalam sejarah geologi dan manusia. Namun, pada era modern ini peran manusia dalam mengubah kawasan sangat besar. Pertumbuhan manusia yang cepat di kawasan itu telah mempengaruhi kondisi ekosistem alami. Beberapa kawasan alami telah dikonversi menjadi ekosistem binaan, seperti sawah, kebun, dan pemukiman. Berbagai tipe ekosistem yang ditemukan di kawasan Borobudur selain memiliki nilai-nilai eksistensi/intrisik juga memiliki nilai-nilai lain yang belum banyak dikaji. Kawasan Borobudur yang berlokasi di Dataran Kedu Selatan bentuk lahannya terdiri dari dataran aluvial dan dataran kaki gunung api muda, dengan ketinggian berkisar antara 250-350 meter dari permukaan air laut (m dpal) menempati areal seluas ± 500 km2 . Fenomena alamnya sangat memesona karena Dataran Kedu ke arah selatan dibatasi oleh Pegunungan Menoreh, lerengnya sangat curam dan memanjang. Deretan puncak-puncaknya menonjol menyerupai bentuk menara segitiga “Triangular Facet”, sepanjang ± 20 km ke arah barat-timur dengan ketinggian hampir mencapai 1000 m dpal. Dataran Kedu Selatan ke arah utara dibatasi oleh rangkaian gunung api muda, sebagian besar menyerupai bentuk kerucut, puncakpuncaknya menjulang tinggi ke angkasa, di lerengnya tergurat indah oleh alur-alur lembah sungai yang mengalir menuju Dataran Kedu Selatan. Rangkaian gunung api tersebut adalah Gunung Sumbing (3371 m dpal), Gunung Sindoro (3135 m dpal), membatasi Dataran Kedu Selatan sisi barat-barat laut, kubah lava tidar (505 m dpal) di sisi utara, Gunung Telomoyo (1894m dpal), Gunung Andong (1710 m dpal), Gunung Merbabu (3142 m dpal), dan Gunung Merapi (2911 m dpal) membatasi Dataran Kedu Selatan di sisi timur-timur laut. Posisi geografis Dataran Kedu Selatan, terletak di antara 110°05’ BT sampai 110°20’BT dan 7°30’ LS sampai 7°38’LS. Penamaan Kedu Selatan didasarkan kepada wilayah administrasi pada waktu pemerintah Hindia Belanda, bentuk lahan Dataran Kedu Selatan berada di wilayah bagian selatan dari Karesidenan Kedu, Provinsi Jawa Tengah (Murwanto, 2011). Keletakan kawasan Borobudur di antara gunung api membuat kawasan Borobudur menjadi kawasan rawan bencana gunung api. Hal yang paling dikhawatirkan dengan posisi kawasan Borobudur yang terletak di antara gunung api adalah jika terjadi erupsi / letusan gunung api yang dapat berdampak pada pelestarian Candi Borobudur. Pada umumnya erupsi gunung api menimbulkan bahaya pada kehidupan manusia dan lingkungannya. Bahaya adalah rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh alam, manusia, atau oleh keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, Keletakan kawasan Borobudur di antara gunung-gunung (sumber : Ancient History)


214 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur kerugian harta bencana, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum, serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang tidak dapat diatasi oleh kemampuan setempat serta memerlukan pertolongan dan bantuan (Pedoman SAR Nasional). Bahaya adalah sesuatu yang (mungkin) mendatangkan kecelakaan (bencana, kesengsaraan, kerugian, dan sebagainya) (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Bahaya gunung api dibedakan menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder (Smith, 1996, Stieltjes and Wagner, 1999, Wright et al. 1992, Crandell, 1984 dalam Yusuf, 2006 : 15). Bahaya primer atau bahaya langsung di dasarkan pada dampak langsung dari hasil-hasil erupsi, meliputi aliran lava (lava flows), aliran piroklastik (pyroclastic flow), bahan jatuhan (free-fall deposits) dan gas. Bahaya sekunder atau bahaya tidak langsung didasarkan pada akibat sekunder dari erupsi meliputi lahar, gerakan massa (slumps, slides, subsidence, block falls, debris avalanche), tsunami dan hujan asam/ hujan abu. Pada tanggal 27 Oktober dan tanggal 4-5 Nopember tahun 2010 terjadi letusan Gunung Merapi. Akibat letusan ini berdampak pada lingkungan dan korban jiwa. Dampak yang dirasakan di Kabupaten Magelang adalah hujan abu yang menyebabkan tertutupnya daerah kabupaten Magelang oleh abu vulkanik dan juga menyebabkan kerusakan vegetasi, fasilitas umum, dan sebagainya. Dampak tersebut juga dirasakan pada Candi Borobudur sebagai warisan dunia. Pada letusan Gunung Merapi tanggal 27 Oktober 2010 terjadi hujan abu ke kawasan Borobudur dan menyebabkan Candi Borobudur tertutup abu vulkanik setebal 3 mm. Pada tanggal 4 – 5 November 2010, Gunung Merapi kembali meletus. Letusan kali ini lebih hebat dibanding letusan pada tanggal 27 Oktober 2010. Letusan ini mengakibatkan hujan abu yang lebih pekat disertai pasir. Hujan abu yang disertai pasir menutupi Candi Borobudur, dengan ketebalan hingga 2,5 cm. Selain bangunan Candi Borobudur, hujan abu yang disertai pasir juga menutupi lingkungan sekitar candi Borobudur. Jalan-jalan tertutup abu tebal, banyak pohon yang tumbang karena tidak kuat menahan beban abu. Hasil analisis laboratorium pada abu vulkanik, baik pada letusan tanggal 27 Oktober maupun letusan tanggal 4 – 5 November Kondisi Candi Borobudur setelah hujan abu


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 215 Atas : kondisi bagian stupa yang tertutup abu vulkanik Bawah : kondisi bagian relief dan lorong candi yang tertutup abu vulkanik


216 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Atas : kondisi bagian undak dan selasar candi yang tertutup abu vulkanik Bawah : kondisi lingkungan di sekitar Candi Borobudur


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 217 Peta sebaran dampak erupsi Gunung Kelud 2014


218 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Kondisi Candi Borobudur yang tertutup abu vulkanik


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 219 2010 menunjukkan bahwa tingkat keasaman (PH) abu vulkanik yang menyelimuti candi mencapai 4–5. Tingkat keasaman abu tersebut dikhawatirkan dapat mempercepat kerapuhan batu penyusun struktur candi. Setelah letusan tersebut, di Borobudur turun hujan, di mana air hujan tersebut dikhawatirkan dapat meningkatkan keasaman pada abu yang menempel pada batu candi. Sebelum tahun 2014, ancaman dari gunung api pada kelestarian Candi Borobudur masih terfokus pada gunung-gunung api yang terletak di dataran Kedu yang mengeliling Candi Borobudur. Hal ini menyebabkan para ahli dan kalangan purbakalawan tidak menduga bahwa ancaman gunung api, terutama hujan abu bisa datang dari gunung api yang jauh letaknya dari Candi Borobudur. Pada tanggal 13 Februari 2014 sekitar pukul 23.30 WIB, Gunung Kelud yang terletak di Blitar, Jawa Timur meletus dengan hebat. Selain lahar panas, gunung ini juga mengakibatkan hujan abu. Hujan abu tidak hanya terjadi di sekitar Jawa Timur, tetapi juga menyebar ke provinsi lain yaitu ke Jawa Tengah, Yogyakarta, hingga Jawa Barat. Kawasan Borobudur juga mengalami dampak dari erupsi Gunung Kelud berupa hujan yang menutupi seluruh kawasan termasuk Candi Borobudur. Abu vulkanik yang menutupi Candi Borobudur mencapai ketebalan 0,5 cm. Penanganan Candi Borobudur Pascaletusan Gunung Merapi Seperti yang telah diuraikan di atas, Candi Borobudur terkena dampak dari letusan Gunung Merapi berupa hujan abu yang menutupi candi. Untuk menjaga kelestarian Candi Borobudur, maka dilakukan pembersihan abu vulkanik yang menutup candi. Prosedur pembersihan yang dilakukan adalah · Penutupan sementara Candi Borobudur dari kegiatan pariwisata · Pengecekan keasaman batu candi dan analisis unsur abu vulkanik Hasil observasi terhadap abu vulkanik yang menyelimuti Candi Borobudur ternyata bersifat asam dengan tingkat keasaman (pH) 4 – 5. Ini diperkuat dengan analisis laboratorium yang menyatakan Sulfur (S) sebagai unsur pembawa sifat asam merupakan salah unsur yang dominan dari abu vulkanik tersebut. Tingkat keasaman seperti ini tentu dapat memicu berbagai macam masalah bagi Candi Borobudur jika abu vulkanik tersebut dibiarkan terlalu lama kontak langsung dengan batu. Secara fisik abu vulkanik tersebut berukuran sangat halus bercampur sedikit bagian dengan ukuran butir yang lebih kasar. · Pembersihan Kering Pembersihan kering secara manual dilakukan dengan menggunakan alat kerok dan serok yang lunak (tidak merusak batu). Pembersihan dilanjutkan dengan sikat ijuk agar abu semakin tipis. Pada pembersihan kering ini, Balai Konservasi Borobudur dibantu oleh relawan dari berbagai unsur yang ada di masyarakat berjumlah 1975 orang. · Penetralan kandungan asam pada batu candi Penetralan kandungan asam ini dilakukan karena abu vulkanik yang menempel pada batu bersifat asam dan dapat mempercepat kerusakan batu candi. Bahan yang digunakan adalah NaHCO3 1% (soda kue) dengan cara disemprotkan. Bahan kimia yang dipakai ini adalah bahan kimia yang cukup aman bahkan untuk manusia sekalipun. Proses kimiawi yang terjadi dalam penyemprotan ini adalah sebagai berikut: H2 SO4+ 2NaHCO3 Na2 SO4 + 2H2O + 2CO2 Sulfur merupakan unsur yang membawa sifat asam dari abu vulkanik, setelah bercampur dengan air dalam bentuk senyawa H2 SO4 . Soda kue (NaHCO3 ) akan mengikat sulfat (SO4 ) dan membentuk garam Na2 SO4 , air (H2O), dan gas karbon dioksida (2CO2 ). Garam Na2 SO4 merupakan garam yang mudah larut dan dibersihkan dari permukaan batu. Dengan demikian, tingkat keasaman batu secara teori akan naik. Dari observasi di lapangan, aplikasi bahan kimia ini dapat menaikkan pH batu dari 4-5 menjadi lebih besar dari 6-7, tingkat keasaman yang cukup aman untuk batu. Bagian yang dinetralisir dengan soda kue adalah bagian-bagian yang dianggap penting dan rawan terhadap hujan abu seperti bagian stupa. · Penutupan dengan plastik untuk menghindari terkena abu kembali karena hujan abu masih turun Setelah dinetralisir dengan soda kue, bagian-bagian


220 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Atas : pengecekan kadar keasaman pada batu dan analisis abu vulkanik Tengah : pembersihan kering abu vulkanik pasca erupsi Merapi Bawah : penyemprotan bahan NaHCO3 1% pada batu stupa yang terkena abu vulkanik


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 221 yang dianggap penting tersebut ditutup dengan plastik. Tindakan ini dilakukan untuk melindungi bagian-bagian tersebut dari hujan abu vulkanik yang masih terus terjadi saat itu. Plastik yang dipakai adalah plastik yang umum dipakai dalam dunia pertanian (plastik mulsa). Penutupan difokuskan pada bagian stupa tingkat 7, 8, dan 9 Candi Borobudur. Selama ditutup dengan plastik, stupa-stupa Candi Borobudur setiap hari selalu diobservasi untuk mengetahui dampak dari penutupan tersebut terhadap kondisi batu. · Pembersihan secara total setelah hujan abu berhenti Langkah terakhir dari proses ini adalah pembersihan dengan metode basah yang membutuhkan air yang cukup banyak. Pembersihan secara basah ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa batu-batu Candi Borobudur terbebas dari abu vulkanik dan membersihkan hasil proses bahan kimia (kue soda) yang sebelumnya dipakai untuk menetralisir tingkat keasaman (pH) batu. Proses pembersihan basah dilakukan setelah proses removing pada saat pembersihan kering. Mitigasi Bencana Gunung Api Mitigasi (penjinakan) adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana, yang meliputi kesiapsiagaan serta penyiapan kesiapan fisik, kewaspadaan dan kemampuan (Depdagri, 2003 dalam Sutikno, 2007). Menurut Adrisijanti (2007) mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisk, maupun non fisik struktural melalui perundangan-perundangan dan pelatihan. Berdasarkan pengalaman pada bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 dan untuk menjaga kelestarian Candi Borobudur, maka dilakukan manajemen mitigasi bencana pada Candi Borobudur untuk meminimalkan dan menanggulangi dampak yang ditimbulkan akibat erupsi gunung api. Beberapa langkah yang dilakukan dalam manajemen mitigasi bencana gunung api ini adalah : a. Pengadaan sarana dan prasarana penanggulangan Pada penanganan dampak abu vulkanik akibat letusan Merapi, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah menutup dengan plastik pada bagian-bagian yang dianggap penting seperti pada bagian stupa pada tingkat 7, 8, dan 9. Tujuan dari penutupan ini adalah untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat abu vulkanik karena pada waktu itu letusan Gunung Merapi masih terus berlangsung. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengurang dampak yang diakibatkan oleh abu vulkanik letusan gunung api, maka dilakukan pengadaan sarana penanggulangan bencana berupa cover (penutup) yang dapat melindungi batu candi dari terpaan material vulkanik. Penutup atau cover tersebut dirancang sesuai bentuk arsitektural Candi Borobudur. Bahan yang digunakan adalah terpaulin buatan Jerman dengan ketebalan 0,2 mm. Kelebihan bahan ini adalah tahan terhadap segala cuaca seperti panas, dingin, air dan lain-lain. Selain itu bahan ini tahan lama dan mudah dalam penyimpanan. Pengadaan cover sebagai sarana mitigasi bencana ini mulai dilakukan pada tahun 2011 hingga tahun-tahun ke depan, hingga cover dianggap mencukupi untuk melindungi batuan Candi Borobudur terutama pada bagian-bagian penting yang akan berdampak lebih luas. Cover (penutup) batu candi ini telah digunakan pada waktu erupsi Gunung Kelud pada tanggal 13 Februari 2014. Hujan abu yang sampai di Borobudur tanggal 14 Februari sekitar pukul 04.30 WIB. Cover dipasang pada bagian stupa dan lantai stupa tingkat 7, 8, 9, 10. Pemasangan cover ini bertujuan untuk melindungi batuan Candi Borobudur dari abu vulkanik akibat hujan abu yang masih berlangsung ketika pemasangan cover selesai dilaksanakan. Berdasarkan pengalaman pada penanganan dampak hujan abu Gunung Kelud, maka sebaiknya pemasangan cover (penutup) batu Candi Borobudur sudah dilakukan ketika status ‘Awas’ pada gunung api yang ada di Pulau Jawa ditetapkan. Hal ini diperlukan mengingat ketika erupsi Gunung Kelud yang terletak di Jawa Timur, dampak hujan abunya sampai ke Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. b. Penyusunan SOP penanggulangan bencana Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP)


222 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Atas : penutupan stupa dengan plastik Bawah : kegiatan pembersihan basah


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 223 Cover yang dipasang pada waktu hujan abu erupsi Gunung Kelud


224 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur penanggulangan bencana sangat diperlukan, sehingga ketika bencana terjadi proses penanganan akan lebih cepat dan terkoordinasi karena telah memiliki SOP yang baku. c. Pembentukan tim tanggap bencana Salah satu bagian dari mitigasi bencana adalah pembentukan tim tanggap bencana sebelum bencana terjadi. Pembentukan tim sangat diperlukan dalam menghadapi bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu . Tim tanggap bencana ini akan menjadi ujung tombak dalam penanganan ketika terjadi bencana. Adanya tim ini akan membuat kesiapan dan kesigapan dalam menghadapi bencana. Kesiapan dan kesigapan tim tanggap bencana ini ini diperlukan dalam penanganan Candi Borobudur yang terkena dampak letusan gunung api, sehingga dampak yang ditimbulkan dapat diminimalisir, yang berujung pada pelestarian Candi Borobudur. d. Simulasi penanggulangan bencana Dalam rangka untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api diperlukan melakukan simulasi penanggulangan/ siaga bencana secara teratur dan terjadwal. Hal ini diperlukan untuk menurunkan resiko bila terjadi bencana dan mengurangai dampak yang ditimbulkan baik terhadap Candi Borobudur maupun pengunjungnya. Simulasi penanggulangan bencana dilakukan sebagai suatu kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dengan tujuan melatih keterampilan dan kemampuan karyawan Kiri : penanganan korban pengunjung Candi Borobudur akibat dampak erupsi gunung api pada kegiatan simulasi siaga bencana tahun 2012 (Sumber : Balai Konservasi Borobudur, 2012) Kanan : Pemasangan cover pada stupa Candi Borobudur pada kegiatan simulasi siaga bencana tahun 2012 (Sumber : Balai Konservasi Borobudur, 2010)


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 225 Balai Konservasi Borobudur dalam menghadapi bencana erupsi gunung api. Selain itu, kegiatan ini juga melatih koordinasi dengan instansi terkait, sehingga jika terjadi bencana erupsi gunung api semua pihak yang terkait akan siap dan memiliki keterampilan dalam menanggulangi bencana. Pada simulasi ini selain tim dari Balai Konservasi Borobudur yang bertanggung jawab terhadap Candi Borobudur, juga melibatkan berbagai pihak di sekitar Borobudur seperti PT. Taman Wisata Candi Borobudur, BNPB Magelang, Puskemas, Kepolisian, Koramil, PMI, masyarakat dan intansi lain yang terkait. e. Pembentukan jejaring untuk penanggulangan bencana Dalam upaya kesiapan dalam penanggulangan bencana gunung api, perlu dibentuk jejaring yang melibatkan berbagai pihak yang terkait (stakeholder). Adanya jejaring di antara stakeholder, akan memudahkan koordinasi dan kerjasama menghadapi bencana gunung api yang bisa terjadi kapan saja dan tak terduga. Penutup Candi Borobudur sebagai peninggalan masa lalu yang mempunyai nilai penting yang tinggi dan merupakan warisan dunia harus dilindungi dari berbagai ancaman, termasuk ancaman gunung api. Dilihat dari keletakan Candi Borobudur yang dikelilingi oleh gunung api, maka diperlukan kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi bencana yang bisa terjadi kapan saja dan tidak terduga. Oleh karena itu diperlukan manajemen mitigasi bencana dalam menghadapi bencana gunung api. Dalam manajemen mitigasi bencana ini diperlukan kerjasama semua pihak yang terkait, termasuk masyarakat sehingga dampak yang ditimbulkan dapat diminimalisir sehingga kelestarian Candi Borobudur dan lingkungan dapat terjaga dan dapat diwariskan untuk generasi yang akan dating. Daftar Pustaka Djunaedi, Achmad. 2007. “Peranan Teknologi Informasi dalam Sistem Manajemen Bencana” Makalah dalam Seminar Nasional Manajemen Bencana dalam Konteks Tata Ruang. Yogyakarta : IMPI UGM Hadiwonggo, Hernowo. 2002. “ Strategi Mitigasi Bencana Dalam Rangka Perlindungan dan Pelestarian Benda Cagar Budaya, Museum dan Situs Berdasarkan Manajemen Bencana” Makalah pada Pendidikan Manajemen Siaga Bencana Benda Cagar Budaya, Museum dan Situs. Jakarta : Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Karnawati, Dwikorita, 2007 “Antisipasi Bahaya Geologi Dalam Konteks Tata Ruang” Makalah dalam Seminar Nasional Manajemen Bencana dalam Konteks Tata Ruang. Yogyakarta : IMPI UGM Murwanto, Helmy, 2011. “Mengenali dataran Kedu Selatan Berdasarkan Tinjauan Geologi” dalam Menyelamatkan Candi Borobudur Dari Erupsi Merapi. Borobudur : Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Pearson, Michael & Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places. Melbourne : Melbourne University Press. Suhartono, Yudi. 2013. “Kawasan Rawan Bencana Borobudur dan Ancamannya Terhadap Cagar Budaya” dalam 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur TRILOGI III Candi Borobudur dalam Multi aspek. Balai Konservasi Borobudur Sengara, I Wayan. 2007. “Perencanaan Tapak Warisan Budaya Untuk Mengurangi Resiko Bencana” Makalah dalam Training – Workshop on Disaster Risk Management For Cultural Heritage with Special Focus on Prambanan World Compounds. Yogyakarta. Sutikno, 2002 “Kebijakan Pengelolaan Bencana Di Indonesia” Makalah pada Pendidikan Manajemen Siaga Bencana Benda Cagar Budaya, Museum dan Situs. Jakarta : Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Sutopo, Marsis dan Hari Setyawan. 2011. “Pembersihan Candi Borobudur dari Abu Vulkanik Erupsi Gunung Merapi” dalam Menyelamatkan Candi Borobudur dari Erupsi Merapi. Borobudur : Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Suryono. 2004. Pendekatan Geolmorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat Gerakan Tanah di Daerah Aliran Sungai Tinalah Kabupaten Kulonprogo, DIY Tesis Program Studi Geografi Pasca Sarjana UGM Stutterheim, 1956. Studies In Indonesian Archaeology. The Haque Martinus Nujhoff. Yusuf Yasin. 2006. Studi Sensitivitas Penduduk Terhadap Bahaya Awan Panas Gunung Api Merapi di Kawasan Rawan Bencana II dan III. Tesis. Program Studi Geografi. Yogyakarta : Sekolah Pasca Sarjana UGM


226 Simulasi Pemasangan Cover di Candi Borobudur 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 227 Pendahuluan Konferensi Dunia yang membahas tentang Pengurangan Risiko Bencana telah dilaksanakan di Kobe, Jepang antara tanggal 18-22 Januari 2005 yang menghasilkan dokumen sangat penting yaitu ”Kerangka Aksi 2005-2015 : Membangun Ketahanan Bangsa dan Masyarakat terhadap Bencana”. Konferensi tersebut memberikan kesempatan kepada seluruh bangsa di Dunia untuk menyepakati adanya Rencana Aksi Nasional Pengurangn Risiko Bencana (RAN PRB). Analisis Risiko Bencana Yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampakpsikologis (UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana). Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempabumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkain peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana. Oleh karena itu suatu wilayah diperlukan adanya suatu kesiapsiagaan menghadapi bencana dengan melakukan kegiatan pencegahan, kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadi bencana pada suatu tempat. Dengan demikian juga perlu dilakukan tindakan mitigasi bencana yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Pada akhirnya suatu wilayah atau kawasan perlu dilakukan suatu analisis terhadap kemungkinan bencana yang akan terjadi dalam bentuk Analisis Risiko Bencana. Jadi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana diperlukan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Suatu wilayah yang berdasarkan pada analisis kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada kurun waktu tertentu dapat diketahui potensi ancaman bencananya. Apabila diketahui hanya ada satu jenis bencana tertentu, misalnya gempabumi maka daerah tersebut dikategorikan menjadi daerah rawan gempabumi. Namun dalam kenyataannya, bahwa suatu kawasan untuk jangka waktu tertentu dapat mempunyai potensi ancaman bencana lebih dari satu. Misalnya di kawasan Borobudur, potensi ancaman bencana dapat berupa gempabumi, angin ribut, hujan deras (puting beliung), ancaman abu vulkanis dari erupsi gunungapi, dan banjir di dataran rendah, serta potensi tanah longsor di beberapa kawasan lereng yang curam dan labil. Dalam menilai potensi ancaman bencana ini diperlukan suatu metode baku yang berlaku secara internasional yaitu menggunakan rumus sebagai berikut. Risiko = fungsi (ancaman x kerentanan)/kapasitas Penjelasannya adalah bahwa risiko bencana akan meningkat apabila KONSEP ANALIS RISIKO BENCANA KAWASAN BOROBUDUR


228 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur ancaman (hazard) berinteraksi dengan kerentanan, baik kerentanan fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Kerentanan diberikan pengertian sebagai ”The conditions determined by physical, social, economic, and environmental factors or processes, which increase the susceptibility of a community to the impact of hazards” (UN/ ISDR, 2004). Sedangkan kapasitas dimaksudkan segala kemampuan sumberdaya yang ada dan dapat dimanfaatkan dalam rangka mitigasi risiko bencana. Kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, kemampuan ekonomi dan sistem atau modal sosial pun dapat dikategorikan sebagai unsur pendukung kapasitas masyarakat. Makin tinggi kapasitas masyarakat maka dapat diturunkan risiko bencananya. Dengan demikian diperlukan suatu konsep “Manajemen Risiko Bencana” yang diintegrasikan ke dalam berbagai program-program pembangunan di daerah rawan bencana. Manajemen Risiko Bencana Kawasan Borobudur Kawasan Borobudur secara geografis berada pada di dataran dan sebagian di perbukitan hingga pegunungan Menoreh di sebelah Selatan. Dataran ini seringkali disebut sebagai Dataran Kedu yang dikelilingi oleh deretan gunungapi, yaitu Gunungapi Merapi dan Gunungapi Merbabu di sisi Timur Laut, serta Gunungapi Sumbing dan Gunungapi Sindoro di sisi Barat Laut. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada cekungan di sekitar Candi Borobudur terdapat sebuah danau yang luas dan berubahnya arah aliran sungai yang ada (Murwanto dkk, 2005, dan Lavigne dan Gomes, 2010 dalam Rahmi, 2012). Awal terbentuknya danau disebabkan oleh terjadinya letusan kuat dari Gunungapi Merapi, yang mengakibatkan sebagian puncaknya mengalami pelongsoran ke arah Barat Daya. Longsoran tersebut kemudian tertahan oleh Pegunungan Menoreh bagian Timur, sehingga materialnya akhirnya menutup atau membendung aliran Sungai Progo yang berada di tengah dataran. Akibatnya air Sungai Progo tidak dapat mengalir terus ke Selatan dan terbetuklah genangan yang luas di dataran Magelang Selatan atau di cekungan Intra Montana Borobudur . Menurut Bemmelen, danau tersebut setelah berabad-abad akhirnya mengering (Rahmi, 2012). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kawasan Borobudur lebih didominasi oleh lingkungan danau yang sangat luas dan terletak endapan material-material vulkanik aktif. Pola sungai-sungai membentuk aliran ke arah sungai utama yaitu Sungai Progo. Potensi meluapnya Sungai Progo cukup tinggi sehingga diperkiran terjadi ancaman berupa banjir. Di beberapa tempat yang tanahnya tandus, kering dan pola tataguna lahannya bukan berupa sawah juga berpotensi terjadi kekeringan secara periodik antara bulan Juni sampai dengan Agustus. Dalam kaitannya dengan manajemen risiko bencana di kawasan Borobudur, maka apa yang telah dilakukan oleh Balai Konservasi Peninggalan Borobudur yang berupa Pelatihan (Gladi) Penanggulangan Bencana yang mencakup Gladi Posko dan Gladi Lapang sudah sangat tepat dan perlu dilanjutkan dan ditingkatkan di masa mendatang, Konsep dan implementasi Rencana Kontijensi baik untuk ancaman bencana Gempabumi dan Letusan Gunungapi perlu disempurnakan, terutama perlu penambahan kemampuan mengidentifikasi unsur berisiko (element at risk) dengan melibatkan masyarakat sekitarnya. Konsep “Community-based disaster risk management” dan “Risk governance” untuk kawasan Borobudur sudah tepat. Kesimpulan Suatu kawasan yang berpotensi terlanda bencana terutama pada kawasan yang mengandung nilai-nilai Cagar Budaya yang tinggi dan tidak ternilai harganya, perlu dilakukan analisis risiko bencana. Analisis Risiko Bencana dapat diimplementasikan dengan mengintegrasikan serangkaian kegiatan program pembangunan daerah. Peran lembaga yang menangani pengurangan risiko bencana sangat penting dan perlu dukungan yang kuat, sehingga terciptanya dan terselenggaranya ”Risk Governance”. Daftar Pustaka Rahmi,D.H. 2012. Pusaka Saujana Borobudur : Studi Hubungan antara Bentanglahan dan Budaya Masyarakat. Disertasi. Program Studi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Jakarta. UN/ISDR. 2004. Hyogo Framework for Action 2005-2015 : Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters. United Nations. Rome.


200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 229 simulasi bencana erupsi gunung berapi di Candi Borobudur Simulasi Bencana 2014


Click to View FlipBook Version