Pembersihan manual di stupa induk Candi Borobudur 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 101
102 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur SEKELUMIT CERITA DIBALIK KESUKSESAN PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR Kata Borobudur sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia dan sebagian besar masyarakat mancanegara, ketenaran tersebut tidak pada nama desanya namun nama candinya yang telah diakui sebagai warisan dunia. Inipun tidak secara tiba-tiba dikenal karena kondisinya dulu masih berbentuk gundukan tanah yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan semak belukar sehingga tidak terlihat bentuk candinya. Setelah ada upaya penyelamatan melalui pemugaran pertama oleh van Erp tahun 1907 – 1911 dan pemugaran kedua oleh pemerintah Republik Indonesia yang bekerjasama dengan UNESCO tahun 1973 – 1983 baru terlihat bentuk aslinya Candi Borobudur secara utuh. Untuk selanjutnya setelah disekitar candi dilengkapi dengan taman sebagai peredam maka pada saat itu pula dibuka secara resmi untuk kunjungan pariwisata. Dari upaya-upaya pelestarian Candi Borobudur tersebut, pemugaran yang kedua berhasil mengatasi sebagian besar permasalahan penyakit candi dan aspek-aspek kelestariannya di masa mendatang. Keberhasilan pemugaran Candi Borobudur yang kedua dimulai dengan persiapan studi yang cukup panjang dengan mengerahkan segenap upaya, baik dari segi penyediaan dana, penyediaan staf ahli nasional maupun internasional, tenaga teknisi, serta penggunaan peralatan yang cukup canggih. Metode pemugaran seperti itu baru satu-satunya yang pernah dilakukan di Indonesia, bahkan pada saat itu lahirlah disiplin ilmu baru untuk pelestarian bangunan kuno yaitu konservasi. Sebelumnya untuk perawatan bangunan kuno digunakan istilah pemeliharaan yang dilakukan secara tradisional. Sebagai contoh aplikasinya adalah pembersihan batu dengan air sambil disikat, untuk pembersihan jamur kerak, lumut, dan ganggang direndam ke dalam lumpur selama satu sampai dua bulan. Contoh lain perkuatan struktur candi sifatnya monoton yaitu istilah mudahnya adalah biasanya seperti ini, sehingga tidak berdasarkan studi kasus namun hanya kebiasaan pada obyek yang besar maupun kecil tetap sama penangannya. Pada pelaksanaan pemugaran kedua tetap dilakukan kontrol secara manual maupun komputerisasi dan diskusi-diskusi apabila muncul permasalahan di lapangan dapat segera diatasi. Banyak kasus permasalahan yang muncul selama berlangsungnya pemugaran, sebagai contoh letak lembaran timah di atas struktur pagar langkan, celah-celah batu yang berongga karena isian tanah liatnya dibersihkan dan dibuang, dan elemen-elemen batu yang tidak terpasang karena struktur penopangnya tidak ditemukan. Semua permasalahan tersebut sebagian sudah dapat diatasi dan sebagian lagi diatasi selama purnapugar. Terlepas peran serta tenaga ahli nasional maupun internasional dalam pemugaran Candi Borobudur terdapat tim teknik di lapangan yang tahu persis kondisi dan permasalahan Pemugaran Candi Borobudur II
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 103 dilapangan. Tim teknik di lapangan inilah yang sangat berperan aktif sebagai pendukung kelancaran dan keberhasilan pemugaran Candi Borobudur. Tim teknik tersebut pada saat pemugaran disebut kader teknisi, karena selain bekerja masih mendapat pendidikan sesuai bidangnya. Kader teknisi inilah yang akan diceritakan secara sekilas, karena pendidikannya dilakukan secara khusus dan baru satu-satunya dilaksanakan di Indonesia. Selama proses pendidikan sampai berperan aktif dalam pelaksanaan pemugaran ternyata dilandasi dengan keprihatinan dan kesabaran sampai berhasil untuk kesuksesan pemugaran Candi Borobudur. Pada awal tahun 1971 telah dibuka kesempatan kerja melalui Kantor Penempatan Tenaga Yogyakarta untuk dipekerjakan di Borobudur. Setelah proses pendaftaran, para pelamar menjalani tes wawancara dan psykotes di Universitas Gadjah Mada, hasilnya dari sekian ratus peserta hanya 20 orang yang dinyatakan lulus tes. Dari 20 orang tersebut terdiri dari 10 orang lulusan SMA pasti/ alam dan 10 orang lulusan STM Bangunan. Untuk selanjutnya pada tanggal 5 Juli 1971 para pelamar yang dinyatakan lulus diterima oleh Pemimpin Proyek Restorasi Candi Borobudur yaitu Prof. Dr. R. Soekmono di Borobudur. Setelah diberi penjelasan secukupnya 20 orang itu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 10 orang masuk ke sektor Chemiko Arkeologi yang dipimpin oleh Bapak Soeyono sebagai kepala sektor dan 10 orang lagi masuk ke sektor Tekno Arkeologi yang dipimpin oleh Bapak Soewarno. Di kedua sektor itulah merupakan tempat pendidikan dan penggodogan ke dua kelompok tersebut selama tiga tahun. Pada pagi hari jam 07.00 – 12.00 bekerja untuk persiapan pemugaran atau membantu penelitian para ahli UNESCO dalam menentukan sistem dan jenis bahan kimia untuk konservasi batu. Setelah istirahat pada siang hari mulai jam 13.00 – 14.30 kuliah teori dari dosen-dosen dalam negeri maupun luar negeri. Pada tahun kedua diadakan penerimaan kembali kader teknisi angkatan kedua dengan syarat dan prosedur yang sama dengan angkatan pertama. Penerimaan tersebut berlangsung sampai angkatan ke lima. Namun demikian mengingat beratnya pendidikan dan pelatihan serta minimnya fasilitas hidup di Borobudur maka sebagian kader teknisi mengundurkan diri mencari pekerjaan lain. Misalnya kader teknisi Kemiko Arkeologi angkatan pertama semula berjumlah 10 orang, sekarang tinggal 5 orang, begitu pula kader teknisi Tekno Arkeologi. Materi teori yang diajarkan antara lain: pengantar arkeologi, sejarah kebudayaan indonesia, sejarah arsitektur indonesia, mikrobiologi, kimia, petrografi dan pelapukan batu, serta bahasa inggris. Kurikulum tersebut untuk kelompok Chemiko Arkeologi, sedangkan teori yang diberikan untuk kelompok Tekno Arkeologi adalah: pengantar arkeologi, sejarah kebudayaan indonesia, sejarah arsitektur indonesia, teknik sipil, mekanika tanah, dan photogrametri. dalam perkembangannya teori-teori tersebut masih ditambah dari tenaga ahli luar negeri. adapun materi prakteknya terdiri dari kelaboratoriuman, perawatan batu, pengawetan batu, pemotretan, pengukuran/ penggambaran, dan photogrametri. Para pengajarnya didatangkan dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institute Tehnologi Bandung, dan Universitas Negeri Sebelas Maret. Adapun tempat prakteknya selain Kunjungan Tamu Kenegaraan di Candi Borobudur
104 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur di Borobudur juga dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, dan Pusat Komputer Universitas Gadjah Mada. Sampai saat ini para dosen kami sudah banyak yang almarhum, antara lain: Prof. Dr. R. Soekmono, Drs. Soediman, Prof. Dr. Ir. Parmono Atmadi, Prof. Dr. Jutono, Prof. Dr. Tedjojuwono, dan Ir. Soewandi. Setelah pendidikan selesai, mulai tahun 1975 sebagian kader teknisi mendapat bea siswa ke luar negeri antara lain ke Perancis untuk mempelajari konservasi batu dan photogrameri, ke Italia untuk mempelajari restorasi bangunan kuno. Bea siswa ke luar negeri tersebut karena jasa-jasa para Staf Ahli UNESCO yang ditugaskan untuk pemugaran Candi Borobudur. Pada kenyataan di lapangan para peserta didik tidak diperkenankan pulang ke rumah, tetapi disediakan pemondokan dengan membayar sendiri termasuk makannya. Pondokan yang pertama kali di desa Ngaran Krajan (rumahnya Ibu Sri) menempati dalam satu rumah bambu dengan sekat-sekat bambu pula. Alas tidurnya dibuat dari konstruksi bambu (amben) yang diberi tikar (anyaman pandan) di atasnya, tanpa kasur. Kalau makan harus berjalan 300 m ke rumahnya Ibu Sri yang satu, dan bila pulang diminta membawa ketela rebus dan air putih satu ceret untuk camilan sore hari. Satu-dua hari berjalan sesuai aturan, kemudian hari-hari berikutnya sudah mulai jenuh dengan konsumsi yang sama maka ketela rebus dimaksud hanya untuk lempar-lemparan antar kamar yang disekat tidak terlalu tinggi. Pada saat itu sumurnya belum jadi sehingga kalau mandi harus pergi ke pancuran Sungai Sileng yang berjarak dari rumah kurang lebih 1 Km. Setelah tahun kedua, para kader teknisi mulai pindah rumah menurut selera mereka yang dianggap lebih baik, namun ternyata kondisinya juga tidak jauh berbeda. Kondisi di Desa Borobudur pada tahun 1970-an memang seperti itu semua, kalau pilih-pilih hanya karena situasinya yang berbeda. Memang ada yang beruntung menjadi menantu yang punya kost, hal ini dialami oleh dua orang teman kami menjadi menantu Pak Carik Borobudur dan satu orang menjadi menantu salah satu orang terkaya di Borobudur. Inilah serba-serbi keprihatinan para kader teknisi selama bertempat tinggal di Borobudur. Selama kader teknisi masih menjadi satu dalam pemondokan dirasakan sangat kompak karena merasa sukaduka dialami bersama, bahkan muncul lelucon-lelucon secara spontanitas. Rumah pondokan tersebut dibagi enam kamar dengan sekat yang tidak terlalu tinggi. Selama jam tidur malam ada yang belum dapat tidur karena terganggu oleh suara dengkuran orang yang keras seperti orang menggergaji kayu dari salah satu kamar. Satu-dua hari dibiarkan sambil ditegur pada pagi harinya. Ternyata orang tidur mendengkur tidak merasa kalau dia mendengkur, lebih-lebih bila siang harinya kecapaian dengkurannya bertambah keras. Gangguan ini ditambah dengan bau yang menyengat dari pembakaran ontel (bunga sukun) untuk menghalau nyamuk. Kawankawannya satu rumah merasa terganggu dan berinisiatif untuk menghentikan suara dan bau tersebut. Pada saat itu para kader teknisi menggunakan sepatu kain semua, sehingga bila digunakan satu minggu tanpa dicuci baunya minta ampun. Pada saat kawan kita yang mendengkur tidur, di depannya diletakkan sepatunya dia sendiri yang selama seminggu tidak dicuci, anehnya tiba-tiba dengkurannya dapat berhenti sampai pagi hari. Pada saat itu pemondokannya belum ada air karena sumurnya sedang dibuat dan tidak ada listrik, sehingga setiap sore hari dari rumahnya Ibu Sri yang satu selalu membawa air satu ember kecil dan minyak tanah setengah ember kecil untuk lampu minyak. Kedua ember tersebut berukuran sama dan warnanya hitam semua. Pada awalnya berjalan normal tidak ada permasalahan yang berarti, namun setelah satu bulan terjadi hal-hal yang menggelikan. Kemungkinan terlalu capai, seorang kader teknisi bangun pukul 03.00 untuk kencing ke belakang. Meskipun sudah bangun tetapi matanya belum jelas sehingga dia cebok dengan air dalam ember, tetapi kenyataannya yang diambil minyak tanah dalam ember yang bentuk, ukuran, dan warnanya sama. Inipun tidak terasa karena dia langsung tidur lagi. Baru setelah pagi hari celana dan sarungnya bau minyak tanah semua, pada saat itu semua penghuni kost menjadi ketawa semua. Masih banyak lagi lelucon-lelucon selama jadi satu rumah pemondokan, misalnya salah satu kamar dijadikan arena adu kekuatan. Kelakuannya seperti anak-anak kecil saja, padahal semuanya sudah dewasa. Hal Ini menunjukkan suatu tingkah-laku
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 105 untuk menghibur diri dan menghilangkan kejenuhan. Pada tahun 1970-an Borobudur kedatangan tamu Ratu Yuliana, sehingga Proyek Restorasi Candi Borobudur sebagai tuan rumah menyediakan hidangan untuk menjamu rombongan tamu tersebut. Hidangan tersebut ditangani oleh panitia yang antara lain minumannya berupa coca-cola, fanta, dan sprite. Adapun para kader teknisi diminta membersihkan candi yang saat itu udaranya sangat panas. Pada saat rombongan tamu akan naik ke candi, para kader teknisi diminta turun ke kantor UNESCO dengan kondisi badannya yang penuh keringat dan sangat haus. Kebetulan pada saat itu terdapat beberapa minuman botol tanpa pemilik, kemudian langsung diserbu sampai habis dua kotak. Ceritanya menjadi lain pada saat panitia turun ke kantor UNESCO untuk mengambil simpanannya menjadi kecewa dan marah besar karena minuman simpanannya tinggal sisa satu kotak. Meskipun kader teknisi dimarahi namun tetap diterima dengan biasa-biasa saja, karena minumannya sudah masuk ke perut dan tidak mengganggu hidangan tamu, hanya mengganggu simpanannya panitia. Pada saat praktek menyambung arca Buddha dilaksanakan di dua tempat, yaitu di lereng utara candi dan lorong tingkat III sisi timur. Setiap orang diminta menyambung satu arca Buddha yang patah bagian badan atau pangkal kakinya. Sebelum disambung, arca Buddhanya diangkat supaya permukaan patahan berada dibagian atas. Permukaan patahannya harus dipahat kasar dan dibuat lubang untuk tempat angkur. Untuk mengangkat arca buddha tidak kuat hanya dilakukan oleh satu orang tetapi harus dibantu teman lainnya dengan sandat dan pikulan bambu. Penyambungan arca Buddha yang berada di lereng utara candi situasinya agak teduh, karena berada di bawah pohon-pohon asem. Oleh karena itu pada siang harinya terdapat tugas sambilan yaitu mencari asem yang akan dibuat minuman sampai di pemondokan. Biasanya minuman asem yang dicampur dengan gula jawa dibuat bersama-sama kemudian diminum bersama-sama pula. Namun demikian ada pula kader teknisi yang agak nakal yaitu dibuat sendiri atau dibantu Ibu Sri, kemudian dimasukkan ke dalam porong dan disimpan untuk diminum sendiri. Setelah kawan-kawannya tahu, minuman gulaasem dalam porong diambil airnya untuk dibagi-bagikan kemudian diisi air putih lagi. Pemilik terkejut dan bertanya kepada Ibu Sri, kenapa minumannya tidak terasa asam dan tidak manis?. Dijawab oleh Ibu Sri, saya tidak tahu mengapa kadarnya berubah netral separti air. Lain ceritanya dengan penyambungan arca Buddha yang berada di candi yang situasinya sangat panas dan berdebu, sehingga kulitnya terbakar menjadi hitam semua. Mengingat lokasinya dekat tangga naik-turun pengunjung, kadang-kadang dapat mempengaruhi penurunan gengsi anak muda. Salah satu kader teknisi yang pernah kuliah di Fakultas MIPA UGM selama satu tahun menanggung malu saat ketemu temannya mahasiswi yang berkunjung ke candi. Maksudnya ingin menyapa temannya kuliah namun hanya cibiran bibir saja yang diterimanya. Kemungkinan perasaan mahasiswi tersebut mengatakan bahwa mengapa tukang batu saja berani memanggil mereka. Itulah sekelumit cerita tentang suka-duka kader teknisi di balik kesuksesan pemugaran Candi Borobudur. Apabila diambil hikmahnya memang untuk menjadi sukses harus dilandasi keprihatinan dan kesabaran. Itupun tidak cukup karena harus giat belajar dan bekerja keras untuk kesuksesan pemugaran Candi Borobudur. Proses penyambungan arca Buddha
106 Kegiatan pengukuran di stupa induk Candi Borobudur 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 107 B erawal ketika masih duduk di bangku kuliah tahun pertama di Akademi Tehnik Negeri (ATN) Yogyakarta jurusan Tehnik Sipil tahun 1971, pada suatu hari saya mendapat surat panggilan dari Kantor Penempatan Tenaga Kerja (KPT). Di tengah kesibukan mengikuti ujian tengah semester, saya menyempatkan diri datang ke kantor KPT guna mencari tahu terkait dengan surat panggilan ini. Dari kantor KPT diperoleh penjelasan bahwa Proyek Restorasi Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, membutuhkan tenaga kerja untuk menunjang pelaksanaan pemugaran candi yang akan dilakukan oleh Pemerintah RI bekerjasama dengan UNESCO. Di dalam penjelasannya disampaikan pula bahwa orang-orang yang dipanggil oleh kantor KPT, pada waktu itu (1971) tidak hanya orang-orang yang namanya sudah terdaftar di kantor KPT, tetapi juga beberapa orang dari lulusan sekolah teknisi menengah yang nilainya dianggap cukup. Lowongan pekerjaan ini kemudian ditawarkan, yang intinya sekiranya berminat dapat mendaftarkan diri ke kantor KPT serta diwajibkan mengikuti psikotes di Universitas Gadjah Mada (UGM). Proyek Restorasi Candi Borobudur kemudian namanya diganti menjadi Proyek Pemugaran Candi Borobudur (PPCB). Pada waktu itu membutuhkan tenaga teknis untuk menunjang pelaksanaan pemugaran candi. Tenaga teknis ini terdiri dari lulusan STM Bangunan Gedung dan lulusan SMA Paspal. Bagi tenaga tehnis yang lulus psikotes selanjutnya diberikan bekal pengetahuan tentang kepurbakalaan melalui proses kegiatan belajar mengajar yang disebut dengan upgrading kader tehnisi. Kegiatan belajar mengajar ini diberikan dalam bentuk teori dan praktek selama 3 tahun yang berlokasi di lingkungan kantor PPCB. Tenaga tehnis dari lulusan STM akan diberikan bekal tentang Tehno Arkeologi (TA), untuk lulusan SMA akan diberikan bekal tentang Chemiko Arkeologi (CA). Materi pembelajaran untuk tenaga tehnis (TA) antara lain pengantar arkeologi, sejarah kebudayaan Indonesia, sejarah arsitektur Indonesia, petrografi dan pelapukan bahan, teknik bangunan, mekanika tanah, bahasa Inggris, praktek penggambaran, pengukuran, dan pemugaran. Kegiatan belajar mengajar ini diselenggarakan secara berturutturut dari angkatan pertama hingga ketiga dimulai pada tahun 1971. Dalam penyelenggaraan upgrading ini, PPCB mendatangkan pengajar senior dari beberapa universitas di Indonesia, antara lain dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institute Teknologi Bandung (ITB). Dengan berbagai pertimbangan akhirnya saya memutuskan untuk mendaftarkan diri dan mengikuti psikotes di UGM. Langkah ini saya ambil mengingat bahwa di dalam bekerja setidaknya masih mendapatkan pendidikan guna meningkatan pengetahuan untuk bekal masa depan, di sisi yang lain dengan bekerja setidaknya dapat lebih meringankan beban orang tua. Setelah mengikuti serangkaian psikotes dan dinyatakan lulus, diterima di PRCB sebagai kader teknisi TA angkatan pertama (1971). Mengingat ketentuan yang diberlakukan ketika itu bahwa setiap tenaga teknis yang mengikuti upgrading tidak diperbolehkan sekolah di tempat lain, maka dengan berat hati saya meninggalkan bangku kuliah. Sebagai Kader Teknisi Tehno Arkeologi (TA) Mengawali kehidupan di Borobudur tepatnya tahun 1971, saya bersama teman-teman satu angkatan tinggal di salah satu rumah penduduk tidak jauh dari candi yaitu di Desa Ngaran Borobudur (± 1 km). Sekitar tahun 1970-an, situasi di Borobudur masih terlihat sepi, suasana pedesaan masih sangat terasa, angkutan umum masih jarang, sehingga tidak mudah pergi kemanamana. Selain itu, tidak jauh dari candi masih banyak dijumpai pula rumah-rumah penduduk, pasar tradisional, kantor kecamatan, dan lapangan sepak bola. Pengunjung yang ingin naik ke candi, bahkan masih dapat menempatkan kendaraannya dekat dengan candi, yaitu di sekitar kaki bukit sisi timur. Di lokasi ini pada waktu itu masih banyak dijumpai pula kios-kios cinderamata, tempat makan/minum, dan lahan parkir. Keadaan sebagaimana dikemukakan ini, sekarang hanya tinggal kenangan, semuanya sudah hilang dan berubah menjadi sebuah taman yang sangat luas yaitu Taman Wisata Candi Borobudur. TEKNO ARKEOLOGI DALAM PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR
108 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Terkait dengan pekerjaan setelah diterima sebagai karyawan proyek, setiap harinya selain mengikuti kegiatan belajar sebagai kader teknisi, juga diberikan tugas melakukan pendataan terkait dengan pekerjaan persiapan pemugaran yang sekaligus menjadi materi pembelajaran praktek. Beberapa diantaranya adalah melakukan kegiatan pemetaan, penggambaran, menelusuri struktur candi yang masih tertutup tanah, pencocokan batu lepas (anastilosis), dan membantu penelitian yang dilakukan oleh tim Arkeologi UI maupun UGM. Di luar kesibukan kami bersama temanteman bekerja di proyek, pada waktu senggang kami mencoba untuk bersosialisasi dengan masyarakat Desa Borobudur di mana kami tinggal bersama mereka. Salah satu di antaranya adalah melibatkan diri dalam kegiatan olah raga seperti bola voli, bulu tangkis dan sepak bola. Dalam acara-acara tertentu ketika Desa Borobudur akan bertanding dengan daerah lain, khususnya sepak bola, seringkali diminta untuk ikut memperkuat tim sepak bola yaitu sebagai penjaga gawang sesuai kemampuan yang saya milki. Sampai akhirnya, pada waktu itu saya lebih dikenal oleh masyarakat Borobudur sebagai penjaga gawang sepak bola Desa Borobudur. Di samping itu, pengalaman yang tidak terlupakan, adalah ketika saya dengan teman-teman satu angkatan mengadakan wisata bersama mendaki gunung yang terletak di sebelah selatan candi yaitu pegunungan Menoreh. Dengan semangat yang dimiliki ketika itu, kami mencoba menyusuri punggung gunung hingga berhasil sampai ke puncak (Gunadharma). Sebagai Kepala Sektor Tehno Arkeologi Kegiatan bersama masyarakat terpaksa harus saya akhiri ketika pada tahun 1975 saya mendapat amanah ditunjuk sebagai pejabat baru Kepala Sektor TA dalam rangka peremajaan pejabat di lingkungan PPCB melalui SK PPCB N0.3751/A.1/BD/1975. Saya tidak menduga hal ini terjadi, mengingat ketika itu saya masih berusia 24 tahun dan menjadi pejabat termuda di lingkungan proyek. Terkait dengan hal ini saya hanya bisa mensyukuri dan berusaha untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sebagai Kepala Sektor TA, saya membawahi sekitar 250 orang termasuk teman satu angkatan dalam upgrading yang merupakan jumlah terbesar dari seluruh karyawan proyek yang berjumlah 700 orang. Tugas pokok Sektor TA pada waktu itu adalah melaksanakan pekerjaan pembongkaran dan pemasangan kembali batu candi, mempersiapkan penempatan kembali kedudukan candi, dan mengelola sistem registrasi pemugaran. Sebagai Kepala Sektor TA sudah barang tentu banyak tugas yang harus dikerjakan, selain mengatur, mengarahkan, dan mengendalikan jalannya pekerjaan, secara periodik juga harus mengikuti pertemuan-pertemuan di tingkat internal PPCB dengan Pemimpin Proyek yaitu Dr. Soekmono, maupun pertemuan-pertemuan di tingkat internasional dengan anggota Consultatif Committe (CC) yang pada setiap tahunnya mengadakan rapat di Borobudur. Sebagai pelaksana di lapangan seringkali diminta pula untuk mendampingi pemimpin proyek dalam memberikan penjelasan kepada para pejabat maupun tenaga ahli dari UNESCO yang terlibat langsung dalam Pemugaran II. Bersama tim sepak bola Desa Borobudur dan Karyawan Proyek Pemugaran C. Borobudur pada tahun 1973
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 109 Atas kiri : mendampingi Pemimpin Proyek ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daud yusuf meninjau pekerjaan Pemugaran II Atas kanan : menjelaskan permasalahan pekerjaan pemugaran ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meninjau pekerjaan Pemugaran II Tengah kiri : mendampingi Direktur Jenderal Kebudayaan Dr.Haryati Subadio ketika meninjau pekerjaan pemugaran II Tengah kanan : menjelaskan permasalahan pekerjaan pemugaran ketika Direktur Jenderal Kebudayaan meninjau pekerjaan pemugaran II Bawah kiri : bersama Ir.Jacque Dumarcay tenaga ahli dari Unesco ketika memeriksa pekerjaan pemugaran II Bawah kanan : bersama Dr.Daigoro Chihara salah satu anggota CC pemugaran II dari Jepang ketika meninjau Borobudur
110 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Keterlibatan UNESCO dalam Pemugaran II Keterlibatan UNESCO dalam pemugaran II (1973-1983) tertuang dalam draft agreement yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal UNESCO dan Wakil tetap RI di UNESCO, 29 Januari 1973 di Paris. Dalam rangka kerjasama internasional ini, UNESCO membentuk Executive Committe (EC) melalui surat perjanjian antara UNESCO dengan negara penyumbang. Keanggotaan EC ini terdiri atas: satu orang wakil dari Pemerintah RI, satu orang wakil dari setiap negara penyumbang, dua orang yang ditunjuk oleh Direktur Jendral UNESCO berdasarkan keahlian, satu orang wakil dari Direktur Jendral UNESCO. Tugas panitia ini adalah memberi pertimbangan kepada Direktur Jendral UNESCO dalam hal : menjamin sifat internasionalnya proyek, mengadakan koordinasi pekerjaan, dan menggunakan uang yang terkumpul dari sumbangan internasioanal yang tersimpan dalam Trust Fund. Selain Executive Committe, UNESCO menghendaki pula agar Pemerintah Indonesia membentuk Consultative Committe (CC) yang bertugas khusus dalam bidang teknis terkait dengan pekerjaan pemugaran maupun pekerjaan kontraktor. Untuk menjamin sifat internasionalnya, anggota CC diusulkan oleh Direktur Jenderal UNESCO, namun pengangkatannya tetap dilakukan oleh Pemerintah RI, dalam hal ini ketuanya adalah orang Indonesia yang ditetapkan sendiri oleh menteri. Sehubungan dengan hal ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat Prof. Ir. R. Rosseno sebagai Ketua Badan Pemugaran Candi Borobudur (BPCB), sebagai anggotanya Dr. D. Chihara dari Jepang, Dr. JN. Jenssen dari USA (berikutnya digantikan W. Brown Morton III), Dr. K.G. Siegler dari Jerman, dan Prof Dr. R.M. Lemaire dari Belgia. Rumusan tugas anggota Consultative Committe ini adalah mempelajari dan meneliti dokumen teknis seperti bestek, penawaraan, dan perkiraan biaya, kemudian menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah RI. Selain itu CC juga bertugas mempelajari dan membahas laporan kemajuan pekerjaan, serta meninjau dan memeriksa pelaksanaan di lapangan kemudian menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah RI; dan menyatakan pendapatnya bila terjadi perubahan dari yang direncanakan. Setiap tahun anggota Consultative Committe ini mengadakan pertemuan (CC Meeting) di Borobudur guna membahas berbagai permasalahan terkait dengan pekerjaan pemugaran maupun pekerjaan kontraktor. Setelah melalui proses tender, kontraktor yang menang dan terlibat dalam Pemugaran II, adalah joint venture antara PT. Nindya Karya dengan Construction and Development Corporatian of the Philippines (CDCP) dari Philipina. Tugas utama kontraktor adalah melaksanakan beberapa kegiatan yang terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana, seperti pembuatan bengkel kerja, tempat penampungan batu, penyediaan sarana transportasi, pemasangan pondasi beton, dan sistem drainase candi. Selama berlangsungnya pekerjaan Pemugaran II telah diadakan CC Meeting sebanyak 11 kali, dimulai dari CC I pada tanggal 6-8 Februari 1973 sampai CC XI pada tanggal 8-10 Juni 1982. Momen penting terkait dengan kegiatan Pemugaran II adalah peresmian dimulainya pemugaran Candi Borobudur pada tanggal 10 Agustus 1973 dan selesainya pemugaran pada tanggal 23 Februari 1983, yang kedua-duanya ditandai dengan penanda tanganan batu prasasti oleh Presiden RI. Penandatanganan kedua prasasti ini kemudian dipakai sebagai bukti bahwa Pemugaran II dilaksanakan selama kurun waktu 10 tahun. Namun demikian, perlu diketahui bahwa upaya Pemugaran II sesungguhnya sudah dipersiapkan oleh pemerintah melalui Proyek Pengembangan Kebudayaan Nasional sejak tahun 1969. Dengan demikian, dana (APBN) yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menunjang kegiatan Pemugaran II, total seluruhnya menggunakan dana (APBN) selama 14 tahun anggaran, terhitung sejak dari tahun anggaran 1969 hingga 1983. Kiri : prasasti dimulainya Pemugaran II 10 Agustus 1973 Kanan : prasasti selesainya Pemugaran II 23 Februari 1983
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 111 Kiri atas : praktek pemetaan di ladang tanaman parfum di daerah Marseille, Perancis Selatan, pada tahun 1978 Kanan atas : pertama kali tinggal di Kamboja selama 1 bulan, dalam rangka mempersiapkan dimulainya pelaksanaan bantuan teknis pemugaran Situs Royal Palace pada bulan April 1995 Kanan bawah : bersama Dr.Daigoro Chihara dan isteri, di rumah kediamannya di Fujisawa, Jepang, pada tahun 1994 Kiri bawah : bersama Dr.Van Moulivan Menteri Kebudayaan Kamboja, menjelang berakhirnya pelaksanaan bantuan teknis pemugaran Situs Royal Palace pada tahun 2000
112 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Peningkatan Pengetahuan dan Pengalaman Selama bertugas sebagai Kepala Sektor TA dan setelah kegiatan pemugaran selesai, saya banyak mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman di bidang terkait. Pada tahun 1978 diberi kesempatan belajar tentang Topografi di Ecole National des Sciencis Geograpique (ENSG), Instute Geograpique National (IGN) Paris atas rekomendasi Ir. Jaques Dumarcay, tenaga ahli Pemugaran II dari Perancis, menggunakan dana dari Centre International des Etudiants Stagiaires (CIES). Pada tahun 1979 diberi kesempatan oleh Dr. Soekmono selaku Pemimpin Proyek PPCB, pergi ke Thailand guna mengikuti pertemuan pembentukan SPAFA Training Course di bawah naungan SEAMEO yang berkedudukan di Bangkok. Pada tahun 1994 diberi kesempatan melakukan studi banding ke Waseda University, Tokyo, dalam kapasitas sebagai expert pemugaran Borobudur, atas rekomendasi Dr. Daigoro Chihara, anggota CC Pemugaran II dari Jepang, menggunakan dana dari Japan Foundation. Pada tahun 1995 hingga tahun 2000 ditunjuk sebagai anggota tim pelaksana bantuan teknis pemugaran Situs Royal Palace Site Kamboja (ITASA) yang dikoordinir oleh Drs. Samidi, di bawah kepemimpinan Drs. Uka Candra Sasmita dan Dr. IGN. Anom selaku Direktur Purbakala, menggunakan dana dari Proyek Konservasi Borobudur. Pengalaman yang saya peroleh ini, sudah barang tentu telah menambah pengetahuan dan wawasan dalam melaksanakan tugas seharihari. Dengan segala keterbatasan yang ada, saya mencoba untuk mengimplementasikan pengalaman ini ke dalam sebuah tatanan bekerja yang lebih mapan dan terarah. Dalam kesempatan yang lain saya mencoba untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan pihak-pihak terkait melalui kegiatan seminar atau workshop maupun dalam pelatihan tenaga teknis kepurbakalaan. Kesan dan Pesan Keterlibatan langsung dalam pemugaran Candi Borobudur merupakan sebuah pengalaman yang barangkali tidak ditemukan di tempat lain atau di bangku sekolah. Pengalaman berharga yang penulis dapatkan, salah satu di antaranya adalah pengetahuan tentang metode kerja pemugaran yang di dalamnya kita dapat melihat adanya suatu tahapan, proses, dan teknik dalam pencapaian sebuah tujuan. Pemugaran dilakukan dengan berlandaskan pada sebuah mekanisme kerja yang dibangun secara sistematis dan terukur dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Suka dan duka dalam mengatur dan mengendalikan tenaga kerja dalam jumlah besar dengan latar belakang yang beragam ternyata tidak semudah seperti apa yang dibayangkan. Dari sebanyak ± 250 orang yang tergabung di dalam keanggotaan Sektor TA sebagian besar adalah tenaga kerja yang terdiri dari tukang dan pembantu tukang, di samping teman-teman sendiri satu angkatan dalam upgrading. Pengalaman menunjukkan bahwa setiap permasalahan yang muncul, seringkali dalam penanganannya lebih banyak menyita waktu dan pikiran bila dibandingkan dengan mengatasi permasalahan teknisnya sendiri. Namun demikian, Sektor TA sebagai bagian dari sistem kerja pemugaran, telah dapat menyelesaikan tugas pemugaran sesuai dengan yang direncanakan. Terkait dengan hal ini, dalam kesempatan peresmian selesainya pemugaran, saya selaku penanggungjawab Sektor TA diminta untuk hadir dan mendapatkan ucapan selamat dari Presiden RI dan Ibu Negara beserta segenap jajaran Menteri Kabinet Pembangunan. Dalam kesempatan yang lain, saya mendapatkan pula medali tanda jasa dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta UNESCO dalam kapasitas sebagai Kepala Sektor TA. Namun demikian, dibalik semua ini saya menyadari sepenuhnya bahwa terlaksananya pekerjaan pemugaran yang menjadi tanggung jawab Sektor TA merupakan keberhasilan bersama dari seluruh tim yang tergabung di dalam keanggotaan Sektor TA. Kesan yang senantiasa terlintas hingga sekarang selaku penanggung jawab Sektor TA adalah perasaan emosional ketika semua harus berpisah, setelah bekerja bersama dari tahun 1971 hingga pekerjaan pemugaran selesai dan diresmikan tahun 1983. Lebih-lebih kepada para pekerja yang harus kehilangan pekerjaan, mengingat tidak semua pekerja dapat direkrut menjadi PNS. Hal ini semata-mata karena kebijakan birokrasi yang mendasarkan pada keterbatasan pemerintah. Hikmah yang dapat dipetik dari pengalaman ini bahwa pemugaran di tempat lain, sudah barang tentu tidak serta merta meniru pemugaran yang dilakukan di Borobudur, karena Borobudur hanya satu, tidak ada di tempat lain. Namun penting untuk dipelajari dan dipahami, dalam skala yang berbeda tentunya, adalah bagaimana pemugaran dilakukan dengan berlandaskan pada sebuah mekanisme kerja sebagaimana dikemukakan di atas. Pesan yang ingin saya sampaikan terkait dengan pengalaman selama bekerja di Borobudur, sekedar berbagi pengalaman yang barangkali dapat diambil manfaatnya. Dengan merujuk pada sebuah ungkapan bahwa dalam menjalankan sebuah kewajiban sudah semestinya dilandasi oleh sebuah ketulusan dan keikhlasan. Saya memaknai bahwa dalam menjalankan sebuah
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 113 tugas, diupayakan untuk senantiasa tidak berharap pada apa yang akan kita dapatkan, akan tetapi lebih kepada apa yang dapat kita lakukan. Di depan kita terbentang luas sebuah harapan sekaligus tantangan. Memang baik menjadi orang penting (pejabat), namun akan jauh lebih penting bagaimana menjadi orang yang baik (perilaku). Ungkapan ini saya artikan sebagai sebuah peringatan pada diri kita bahwa keberhasilan seseorang dalam menjalankan sebuah tugas, semata-mata tidak hanya berbekal pada keahlian, pengetahuan, dan pengalaman, akan tetapi juga perilaku. Keahlian dan pengetahuan dapat diperoleh melalui proses kegiatan belajar mengajar. Pengalaman, bisa diperoleh melalui belajar dari dirinya sendiri atau belajar dari pengalaman orang lain. Pertanyaannya kemudian adalah perilaku seperti apa yang semestinya dihayati ? merujuk pada salah satu filosofi pendidikan tinggi bahwa makna pendidikan tinggi adalah mendidik dan membentuk seseorang berfikir secara rasional dan bertindak menggunakan logika. Dari sini saya artikan bahwa pada tingkatan apapun, setiap langkah yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan atau mendasarkan pada sebuah argumentasi. Oleh karena itu, setiap langkah yang dilakukan diupayakan untuk senantiasa berangkat dari sebuah prinsip atau ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Pola pikir seperti ini setidaknya dapat menunjukkan perilaku positif seseorang meskipun belum sepenuhnya menggambarkan perilaku yang utuh. Perilaku yang utuh dapat tercermin manakala langkah yang dilakukan dilandasi pula oleh sebuah kearifan dan sikap yang bijak. Sebagai contoh, ketika seseorang dalam memecahkan persoalan senantiasa tidak hanya mengedepankan pada pemikiran sepihak, akan tetapi juga dapat atau mau mendengarkan pemikiran orang lain. Hal ini penting untuk dipahami mengingat ketika seseorang dalam memecahkan sebuah persoalan hanya mendasarkan pada pemikiran sepihak, maka yang akan muncul adalah sikap egoisme seseorang. Sementara bagi seorang pejabat, sikap seperti itu cenderung akan memunculkan perilaku yang otoriter. Belajar dari pengalaman selaku penanggung jawab Sektor TA, pada intinya bahwa setiap penyelesaian masalah diupayakan untuk senantiasa mengedepankan cara-cara persuasif. Dengan merujuk pada ungkapan-ungkapan yang sederhana, seperti bagaimana kita dapat mengendalikan seseorang tanpa merasa merendahkan atau bagaimana kita dapat memecahkan sebuah masalah tanpa menimbulkan masalah yang lain atau ibarat orang mengail bagaimana kita dapat ikannya tanpa keruh airnya. Sikap seperti Ini bukanlah sebuah kepura-puraan atau kemunafikan, namun lebih mendasarkan pada rasionalitas ketika kita dihadapkan pada berbagai macam perilaku individu dengan latar belakang yang beragam. Namun semua ini kembali kepada diri kita, semua langkah yang ditempuh bukanlah tanpa resiko, terpenting adalah bagaimana kita senantiasa dapat menghindari langkah-langkah yang tidak terpuji, yang ujung-ujungnya justru akan menggali lubang kubur kita sendiri. Pepatah mengatakan siapa menebar angin pada suatu saat pasti akan menuai badai. Berdasarkan ini semua, saya mencoba untuk merumuskan ke dalam sebuah ungkapan bahwa di dalam mencapai sebuah keberhasilan, sesorang tidak hanya berbekal pada keahlian, pengetahuan, dan pengalaman, akan tetapi sejauh mana seseorang juga pandai-pandai membawa diri, menempatkan diri, dan tahu diri. Namun sejauh itu perlu disadari pula, bahwa keberhasilan seseorang, dengan prestasi setinggi apapun, pada dasarnya tidak diukur hanya dari sudut pandang prestasi selaku pribadi, akan tetapi lebih kepada bagaimana orang lain (pimpinan) membuat penilaian. Semoga bermanfaat…”.
114 Registrasi relief Candi Borobudur 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 115 REGISTRASI DALAM PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR D iawali panggilan dari Kantor Penempatan Tenaga di Jalan Mangkubumi Yogyakarta untuk mengikuti tes penerimaan karyawan Proyek Restorasi Candi Borobudur Magelang pada tahun 1971 (menjelang pemilu). Kami 9 dari 10 lulusan STM yang dibutuhkan mengikuti tes tertulis dan lisan di Fakultas Psikologi UGM. Dari 9 orang lulusan STM tersebut dinyatakan diterima sebanyak 4 orang yaitu Mulyono, Bambang Sumedi, Kasih Wiyono, dan Supriyanto. Beberapa hari setelah pemilu tahun 1971, kami berempat bersama dengan 10 orang lulusan SMA yang diterima mulai masuk bekerja. Dugaan dari sebagian besar teman-teman meleset, ternyata proyek restorasi tidak ada kaitannya dengan rumah makan atau restoran tapi berkaitan dengan batu. Empat belas tenaga baru ini kemudian disebut sebagai kader teknisi dan mengikuti upgrading (Angkatan I) dan ditempatkan di rumah Bu Sri yang terletak di selatan Pasar Borobudur (Ngaran). Beberapa bulan kemudian ada tambahan untuk lulusan STM sebanyak 6 orang (Ismiyono, Tukijan, Basukendro, Jarub Santoso, Tugiman dan Sunardi), semuanya ditempatkan di rumah Bu Sastro yang terletak di tepi jalan menuju Majaksingi. Kedua tempat tersebut sekarang telah menjadi bagian dari Taman Wisata Candi Borobudur. Dengan tambahan tersebut Upgrading Kader Teknisi Angkatan I menjadi 20 orang, kemudian secara bertahap setiap tahun ditambah satu angkatan. Kebanyakan karyawan yang termasuk kader teknisi rumahnya di Yogyakarta dan Prambanan, setiap Sabtu sore diantar dan Senin pagi dijemput menggunaknan truk. Hal ini sangat membantu karena transportasi umum pada waktu itu sangat jarang, untuk Muntilan – Borobudur dan sebaliknya, satusatunya angkutan umum adalah bus Ramayana yang interval waktunya kadang lebih dari 30 menit. Masa Pendidikan Masa pendidikan ditargetkan untuk setiap kader teknisi adalah 3 tahun, walaupun secara tegas tidak ada pembatas waktu antara pendidikan dan pasca pendidikan. Sejak awal tahun kader teknisi mendapat pendidikan teori melalui kuliah oleh dosen-dosen perguruan tinggi dan praktek lapangan di bawah bimbingan tenaga/pegawai senior atau pensiunan dari Kantor Purbakala. Pendidikan teori di antaranya meliputi Pengantar Arkeologi (DR. R. Soekmono/UI), Sejarah Kebudayaan Indonesia (Drs Soediman/UGM), Sejarah Arsitektur Indonesia (Ir. Parmono Atmadi/UGM), Petrografi dan pelapukan Bahan (Ir. Tedjojuwono/UGM), Teknik Bangunan (Ir. Soewandhi Hendromartono/UNS), Mekanika Tanah (Ir. Daruslan /UGM), Bahasa Inggris (Drs. R. Soegondo/UGM). Pelajaran teori ini diadakan di Borobudur dan di Fakultas Teknik Arsitektur UGM (sekarang Gedung Pascasarjana). Untuk praktek lapangan di antaranya penggambaran oleh Bapak Sukardi, pemetaan oleh Bapak Suparjan, pemugaran dll oleh Bapak Sumaryo yang semuanya di bawah pengarahan Bapak Soewarno sebagai Kepala Sektor Tekno Arkeologi. Semua kader mendapat tugas untuk menggambar bidang candi, yang disebut sebagai gambar rekonstruksi. Dari gambar ini akan diketahui bidang candi tersebut setelah direkonstruksi, karena dalam sistem ini nat-nat batu yang bergeser dirapatkan, batu/bidang candi yang miring ditegakkan, dan seterusnya yang menurut perkiraan tidak pada posisi sebenarnya dibuat/digambar seperti seharusnya bila batu-batu tersebut direkonstruksi. Di samping gambar bidang rekonstruksi, atas arahan dari Mr. Jaques Dumarcay (arsitek dari Perancis) staf ahli senior Borobudur, dilakukan penggambaran menurut kondisi asli di monumen yang pada prinsipnya nat batu yang menganga tetap digambar menganga menurut apa adanya, demikian juga bidang yang miring tetap digambar miring, dengan demikian setiap batu terdapat 4 ukuran. Untuk itu selalu diperlukan garis pertolongan yaitu garis horizontal dan garis vertikal. Gambar demikian selanjutnya lebih dikenal dengan nama Gambar Dumarcay (gambar bidang candi apa adanya). Hal yang mengesankan adalah ketika diberi tugas membuat denah Candi Borobudur dengan skala 1:100, yang pada saat itu belum ada alat yang memadai. Pesawat ukur yang ada baru BTM Kern, pesawat ini boleh dikatakan khusus untuk pemetaan. Gambar denah tersebut merupakan bagian dari dasar
116 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur perencanaan pemugaran oleh Nedeco. Mr. Jaques Dumarcay memberi arahan bahwa untuk menentukan kedudukan sebuah titik dapat dilakukan dengan bantuan 2 titik yang telah diketahui. Kedudukan titik didapat dari perpotongan 2 buah lingkaran dengan jari-jari jarak antara titik yang dicari dengan 2 buah titik yang telah diketahui. Untuk keperluan tersebut dibuatlah garisgaris penolong pada as tangga dari lantai undag sampai lantai lorong 5 (teras bundar). Dari as tangga masing-masing tingkat ditentukan titik-titik pertolongan untuk menggambar bidangbidang candi pada masing-masing tingkat/lorong. Dengan demikian maka dalam gambar didapat panjang bidang candi dan panjang diagonal antar titik bidang candi, semua ukuran tersebut dicantumkan dalam gambar. Setelah selesai, kemudian digambar ulang pada kertas kalkir untuk dicetak (diperbanyak). Dalam waktu kurang lebih 2 bulan dengan dukungan tenaga 11 orang gambar tersebut dapat diselesaikan. Di kemudian hari gambar tersebut dikenal dengan nama “gambar denah dengan sistem diagonal”. Kepala Seksi Registrasi Setelah pendidikan berlangsung 3 tahun, masing-masing kader teknisi diberi tanggung jawab sesuai kemampuan masingmasing kader. Struktur Organisasi Sektor Tekno Arkeologi terdiri 3 Sub Sektor: Pemugaran, Pengukuran Penggambaran dan Administrasi. Subsektor Administrasi terdiri 3 seksi: Administrasi/ pelayanan, Final Storage, dan Registrasi. Penulis berada di Seksi Registrasi yang kegiatannya menyatu dengan CRO (Central Registration Office). CRO atau pusat registrasi ini personilnya merupakan gabungan dari sektor-sektor Dokumentasi, Tehno Arkeologi (TA) dan Chemiko Arkeologi (CA). Kegiatan awal TA adalah menghitung jumlah blok batu dari masing-masing area kerja baik, untuk area bongkar maupun area bangun berdasar skema bongkar dan skema bangun pada gambar bidang candi masing-masing sisi. Pada prinsipnya tiap sisi dibagi menjadi 26 area bongkar dan 26 area bangun, yang pada prakteknya terdapat revisi-revisi sesuai perkembangan pekerjaan. Jumlah blok batu digunakan sebagai dasar perhitungan palet, yang selanjutnya perkiraan palet tersebut dipergunakan untuk menentukan kebutuhan ruangan/lahan penyimpanan palet di gudang penampungan sesuai urutan rekonstruksi. Hal yang sangat mengesankan dan sedikit membanggakan adalah ketika membuat revisi penomeran pallet draft yang tercantum dalam Description of work for the restoration of Borobudur (buku kuning) oleh Nedeco (Netherland Engeneering Consultan). Berdasar perkiraan palet per area bongkar/bangun, dapat diperkirakan bahwa tiap tingkat/sisi, baik untuk pagar langkan maupun dinding tidak akan melebihi 1000 palet. Oleh keyakinan itu nomer palet yang terdiri dari 5 digit, diformulasikan seperti berikut X1 X2 X3 X4 X5, dimana X1 menunjukkan sisinya 1 untuk sisi utara, 2 untuk sisi selatan, 3 untuk sisi timur dan 4 untuk sisi barat. X2 menunjukkan tingkat dan jenisnya 0 untuk pagar langkan lorong 5, 1 untuk dinding lorong 4, 2 untuk pagar langkan lorong 4, 3 untuk dinding lorong 3, 4 untuk pagar langkan lorong 3, 5 untuk dinding lorong 2, 6 untuk pagar langkan lorong 2, 7 untuk dinding lorong 1, 8 untuk pagar langkan lorong 1 dan 9 untuk kaki langkan lorong 0. X3 X4 X5 menunjukkan kanan atau kiri tangga dimana 000-499 adalah kanan tangga dan 500-999 adalah kiri tangga. Konsep ini bersama konsep Nedeco oleh Mr. Vijay K. Khandelwal (seorang ahli komputer dari IBM) ditunjukkan pada Mr. Jaques Dumarcay untuk mendapatkan penilaian. Mr Vijay K. Khandelwal memberitahu bahwa Mr. Jaques Dumarcay cenderung/memilih konsep yang penulis buat. Tanpa penulis ketahui proses selanjutnya, konsep penulis tersebut yang dipakai untuk penomeran batu candi. Ternyata setelah pembongkaran sampai pagar langkan lorong 1 terdapat masalah. Tiap palet yang diperhitungkan dapat mengangkut 9 batu, khusus untuk pagar langkan lorong 1 tidak dapat diberlakukan. Hal ini karena bagian bawah pagar langkan lorong 1 batu-batunya cukup besar dan panjang, sering ditemukan antara tampak dalam dan tampak luar hanya terdiri dari satu batu, sehingga palet kadang-kadang hanya bisa memuat 2 atau 3 batu saja. Hal tersebut berakibat bahwa 500 nomor yang ditargetkan untuk pagar langkan lorong 1 baik kanan maupun kiri tangga tidak mencukupi. Dengan ini cepat diambil keputusan untuk merevisi jatah penomeran pagar langkan lorong 1 dan kaki langkan lorong 0. Pagar langkan lorong 1 X2 =8 menunjukkan kanan tangga dan X2 =9 menunjukkan kiri tangga. Perubahan untuk kaki langkan lorong 0 menjadi 00001- 01249 untuk sisi utara kanan tangga, 01250-02499 untuk sisi utara kiri tangga, 02500-03749 untuk sisi selatan kanan tangga, 03750-04999 untuk sisi selatan kiri tangga, 05000-06249 untuk sisi timur kanan tangga, 06250-07499 untuk sisi timur kiri tangga, 07500-08749 untuk sisi barat kanan tangga dan 08750-09999 untuk sisi barat kiri tangga.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 117 Pada akhir tahun 1974 dilakukan uji coba pembongkaran batu candi, dimulai dengan membongkar batu pagar langkan sisi utara yang telah diturunkan di halaman candi terlebih dahulu. Sebagaimana tercantum dalam work description bahwa CRO menerima laporan harian dari setiap tahapan pengerjaan batu. Dari tim pembongkaran (TA) CRO menerima tembusan kartu palet/pembongkaran (dismantling pallet card). Batu-batu yang telah dibongkar tersebut diplot di dalam gambar bidang candi (seri A) yang telah di-display. Dengan gambar display ini dapat diketahui kemajuan pekerjaan pembongkaran di monumen. Kartu palet disimpan berdasar area bongkar/per tingkat/sisi, dan dicatat juga di dalam buku harian. Laporan harian juga diterima dari gudang penampungan awal/buffer storage (CA), treatment order report (CA), cleaning report (CA), drying report (CA), repairing report (CA), treatment report (CA), gudang penampungan akhir/final storage (TA), dan tim pemasangan kembali (TA). Pengontrolan Pekerjaan Proyek Di samping menangani registrasi batu, di CRO juga menangani pekerjaan pengawasan pekerjaan proyek dengan program Project Control System (PCS). Program ini merupakan kelanjutan program yang telah dibuat oleh Nedeco, sementara di Indonesia dilakukan oleh PT IBM Indonesia. Kegiatan awal berupa revisi jaringan kerja (network planning) dengan mengurangi kegiatan-kegiatan yang terlalu detil, seperti: 1. roofing terhadap area yang telah dibongkar, 2. ordering of materials, 3. arrival of materials, 4. execution drawings. Sehingga kegiatan-kegiatan terdiri dari: 1. dismantling of balustrades 2. dismantling of mainwalls 3. treatment of maniwalls 4. treatment of balustrades 5. pouring of concrete 6. rebuilding of mainwalls 7. rebuilding of ballustrades Laporan bulanan kegiatan dismantling dan rebuilding dilakukan oleh TA, treatment oleh CA dan pembetonan oleh Direksi, disampaikan ke CRO yang selanjutnya diproses komputer PT IBM Indonesia di Jakarta. Laporan dari komputer berupa: 1. schedule report 2. work status report 3. milestone report Laporan tersebut kemudian disitribusikan ke instansi/personel yang berkopenten. Atas : penulis menelaah print-out komputer, di depan display gambar bidang candi. Bawah : di lobi proyek: penulis, Vijay K Khandelwal dan istreri, Subyantoro dan R. Budiman Raharjo
118 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Komputerisasi Sistem Registrasi Batu Komputer merupakan barang yang asing bagi orangorang daerah, jangankan cara kerjanya, barangnyapun banyak orang yang belum tahu. Sebagai ilustrasi komputer baru ada di Pusat Komputer UGM awal tahun 1980, untuk personal computer (pc) jumlahnya masih sangat terbatas. Menyadari hal tersebut maka beberapa kader diikutkan kuliah bersama dengan mahasiswa tingkat akhir Teknik Listrik Universitas Gadjah Mada selama 2 semester. Dosen pengajarnya adalah Mr. Vijay K. Khandelwal. Adapun mata kuliah yang diajarkan adalah TL. 150 Pengantar Komputer dan TL. 353 Sistem Pengolah Data. Personil yang diikutkan antara lain: Dukut Santoso, Aris Munandar, Amir Syarifudin, Mulyono, dan Darmoyo. Program SRS (Stone Registration System) dibuat oleh PT IBM dengan memakai bahasa program COBOL (common business oriented language). Setelah setelah selesai dilakukan test program dengan data hasil pembongkaran. Evaluasi dilakukan di lobi Hotel Borobudur dengan tiga orang programmer (mahasiswi Trisakti), Mr. Vijay K. Khandelwal, dan penulis. Dengan beberapa koreksi akhirnya program dapat dioperasikan. Input data (masukan) adalah laporan harian dari TA dan CA. Dari TA: 1. Dismantling pallet card 2. Dailly final storage check-in report 3. Daily fial storage check-out report 4. Daily rebuilding report Dari CA: 1. Daily buffer storage check-in report 2. Daily buffer storage check-out report 3. Daily treatment order report 4. Daily cleaning report 5. Daily drying report 6. Daily repairing report 7. Daily treatment report Laporan tersebut dikirim ke IBM Jakarta (tahun pertama proses di Jl. MH Thamrin Gedung BDN, tahun kedua pindah di Wisma Nusantara Jl. Sudirman) untuk diproses. Mengingat datanya cukup banyak, pengiriman dibagi menjadi 2 lot. Lot I data laporan tanggal 1-15 dan lot II tanggal 16-akhir bulan, di samping itu pengiriman tidak melalui pos/paket tetapi langsung oleh personel Seksi Registrasi, untuk kepentingan ini sering ditugaskan kepada Mulyono, Aris Munandar, dan Darmoyo. Dengan demikian proses di komputer akan lebih cepat dan aman, sebab sebelum diproses, laporan harian tersebut harus diketik pada punch card yang perlu waktu cukup lama. Proses Komputer ini dilakukan setelah pembongkaran berjalan beberapa bulan sehingga datanya sudah cukup banyak. Oleh karena itu dibuat garis pembatas, diutamakan data baru, data lama (back log) diproses menyusul. Dari komputerisasi sistem registrasi ini didapat laporan dari komputer berupa: 1. Mountly Dismantling Outerstone Report (BDR 040) 2. Mountly Rebuilding Outerstones Report (BDR 050) 3. Pallet Movement Report (BDR 060) 4. Mounly Treatment Orderd/Completed Report (BDR 070) 5. Teamwise Analysis Report (BDR 080) 6. Rebilding Planning Report (BDR 090) 7. Purged Records Report (BDR 100) Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam PELITA BOROBUDUR mengenai Laporan Kegiatan Pemugaran Candi Borobudur Seri B No. 8, berjudul Computerized Stone Registration System for The Restoration of Candi Borobudur oleh Vijay K. Khandelwal dan Mulyono Supardi. Pengolahan data baik untuk PCS maupun SRS oleh IBM berlangsung 1975-1977 dan setelah itu pindah ke PUTL Kebayoran Baru Jakarta Selatan sampai akhir tahu 1978, selanjutnya pindah ke Puskom Universitas Gadjah Mada saat unit komputer telah terpasang, sampai berakhirnya proyek. Di PT. IBM Indonesia mesin komputer menggunakan IBM/360, paket program untuk pengontrolan proyek adalah Project Control System, di PUTL mempergunakan IBM/370 dengan paket program Projacts (Project and Analysis Control System), di Puskom Gadjah Mada mempergunakan Sperry Univac dengan paket program Management Control System (MCS)/90. Pada waktu Puskom Gama menyelenggarakan kursus programming Angkatan I, beberapa personel diikutsertakan di antaranya untuk bahasa COBOL: Subyantoro, Mulyono, dan Bardiyono.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 119 Tugas Belajar ke Perancis Pada tahun 1978 ada sinyal dari pimpinan bahwa akan diusahakan beasiswa untuk belajar ke Perancis. Sekalipun baru berupa informasi yang belum jelas, penulis mulai berusaha untuk mempersiapkan diri supaya seandainya hal tersebut betul-betul terlaksana sudah ada bekal. Untuk itu penulis mengikuti kursus di LIP (Lembaga Indonesia Perancis) di Sagan Yogyakarta. Dalam waktu yang bersamaan penulis juga ditugasi untuk mempersiapkan pemindahan proses komputer dari PUTL Jakarta ke Pusat Komputer Universitas Gadjah Mada. Kadangkadang dari Borobudur jam 11.00 langsung ke Puskom UGM hingga jam 15.00 kemudian tanpa pulang dulu langsung kursus bahasa di LIP. Dari LIP dilanjutkan kursus bahasa yang sama di Pusat Bahasa Universitas Gadjah Mada. Ternyata apa yang dijanjikan pimpinan benar, September tahun 1980 kami berdua dengan Tukijan berangkat ke Jakarta mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan antara lain paspor, visa, dan tiket pesawat. Penulis sangat mengapresiasi Pak Dumarcay karena menawarkan penjemputan di Bandara Chales de Gaule. Tentu saja kami berdua tidak mau merepotkan Pak Dumarcay yang sudah menguruskan beasiswa ini tetapi masih dibebani pekerjaan yang mungkin kami bisa mengurus sendiri. Dengan sangat hati-hati tawaran tersebut kami tolak. Program kami berdua dalam tugas belajar di Perancis selama 7 bulan adalah mempelajari fotogrametri dan topografi. Diawali kursus bahasa Perancis selama 2 bulan di Cavilam (Centre Audio Visuels de Langues Modernes) bagian dari Universites de Clermont di Vichy ( kota kecil ± 260 km selatan Paris). Di sini bertemu pelajar-pelajar dari berbagai negara termasuk juga teman-teman dari Indonesia. Secara kebetulan bersamaan musim dingin di Eropa termasuk Perancis, di Vichy suhu udara sampai minus 15O Celcius yang penulis dengar, suhu udara itu paling dingin dalam 15 tahun terakhir. Kemudian mempelajari photogrammétrie architecturale di IGN (Institute Geographique National) Saint Mande Paris. Praktek photogrammétrie berupa menggambar bangunan dari hasil pemotretan kamera stereo, dan menggambar peta dari hasil foto udara, dan selanjutnya dikenalkan juga peralatan-peralatan modern seperti monostereo photogrammétrie. Selanjutnya mempelajari topografi di ENSG (Ecole Nationale des Sciences Geographiques) di Forcalquier (kota kecil yang terletak ± 900 km selatan Paris atau 100 km sebelah utara Marsaille). Praktek lapangan yang dilakukan adalah membuat jaringan poligon. Dari jaringan poligon ini dilanjutkan dengan pengukuran untuk pembuatan peta situasi dan kontur. Pembuatan peta dilakukan dengan 2 sistem yaitu Bawah: dikenalkan dengan alat mono stereo. Atas: bersama kepala divisi Mr. Carbonel di ruang beliau
120 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur mempergunakan BTM dan mempergunakan planchette. Di samping itu juga praktek pengukuran beda tinggi dilakukan dengan pesawat autolevel RK1. Secara kebetulan pada waktu di Forcalquier ini berada di puncaknya musim panas, suhu udara mencapai 42O Celcius. Walaupun suhu udara panas, kami tetap menjalankan ibadah puasa sesuai jadwal Perancis, subuh jam 4 pagi dan maghrib jam 21.30 waktu setempat. Alhamdulillah tetap kuat dan tetap bekerja tanpa dispensasi. Ketika kami di Paris pun Pak Dumarcay juga berkunjung ke kampus IGN, bahkan kami diundang untuk datang ke rumahnya. Pada waktu yang telah ditentukan kami berdua berkunjung ke rumah beliau dan diterima oleh semua keluarga, dengan budaya Perancis yang sangat hormat dan sopan kepada tamunya. Anaknya minta jaket kami untuk ditanggalkan dan digantung di kapstok. Demikian juga Ibu Dumarcay, ketika sedang jamuan makan ada makanan yang terlanjur diambil dan rasanya terasa asing, beliau dengan sopan berkata dalam bahasa Perancis yang artinya kira-kira ”kalau tidak cocok ya gak usah dipaksakan”. Instruktur Diklat Tahun 1976 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Jakarta mengadakan diklat tenaga teknis untuk bidang pemugaran dan konservasi bertempat di Borobudur. Penulis termasuk salah satu yang ditunjuk menjadi instruktur, untuk itu diberi tugas membuat makalah atau tulisan sebagai pedoman. Diklat tidak saja untuk tingkat nasional, tetapi juga untuk tingkat regional. Indonesia adalah anggota Negara Asean dan Indonesia (Borobudur) dijadikan sebagai Pusat Konservasi Batu. Subsektor Pemugaran Jabatan struktural pertama adalah Kepala Seksi Registrasi, kemudian menjadi Kepala Subsektor Administrasi yang membawahi seksi pelayanan umum, registrasi, dan final storage. Setelah kembali dari tugas belajar di Perancis dipindah sebagai Kepala Subsektor Pengukuran dan Penggambaran dan akhirnya dipindah lagi sebagai Kepala Subsektor Pemugaran sampai selesainya proyek. Pada tahapan akhir dari pemugaran kesulitan yang muncul kebanyakan adalah mensinkronkan pertemuan sudut pokok candi dari hasil pemasangan antara rekonstruksi sisi utara dan selatan dengan hasil rekonstruksi sisi timur dan barat. Hal yang sulit dilupakan adalah ketika menyelaraskan rekonstruksi pagar langkan lorong 5 antara bidang a sisi selatan, karena dari hasil rekonstruksi sisi selatan dan sisi timur terdapat selisih 5 cm. Dengan membongkar kembali beberapa lapis batu, kesalahan tersebut dapat dibetulkan. Penutup Hal di luar dugaan atau pikiran para kader teknisi adalah diangkatnya staf proyek pemugaran sebanyak 96 orang menjadi pegawai negeri sipil, yang sebagian besar adalah kader teknik terhitung mulai 1 Maret 1977. Penulis dengan NIP. 130606151, Golongan II/a dengan gaji pokok Rp 1.350,- Menjelang berakhirnya proyek pemugaran beberapa kader diperbantukan ke beberapa suaka. Penulis sendiri diperbantukan ke Makam Leran di Gresik Jawa Timur untuk membantu pekerjaan Tim Ekskavasi dalam menyiapkan lahan untuk taman wisata, persiapan pemugaran Situs Percandian Muara Takus dan lain-lain. Walaupun dulu saya agak berat meninggalkan bangku kuliah yang telah saya ikuti selama 3 tahun di Fakultas Keguruan Teknik (FKT) IKIP Negeri Yogyakarta, tetapi ternyata saya mendapatkan lebih dari yang saya bayangkan. Mendapat kunjungan Pak Dumarcay di IGN Saint Mande Paris,.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 121 Syukuran diangkatnya 96 staff proyek menjadi pegawai negeri di Dagi Restoran, penulis berbincang dengan Pak Tugiman (bagian urusan personalia).
122 Penyemprotan stupa mengunakakan Hyvar xl untuk menghambat pertumbuhan lumut 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 123 K ala itu bulan Juli 1972, sebelumnya saya sempat kuliah di Fakultas Tehnis Jurusan Mesin Uiversitas Gadjah Mada. Namun baru 3 semester tidak dapat melanjutan kuliah , karena faktor ekonomi dan keluarga yang tidak memungkinkan untuk menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Dalam kondisi tersebut maka saya memutuskan untuk bekerja. Untuk mencari lowongan pekerjaan harus mendaftar di Kantor Penempatan Tenaga Kerja, yang untuk wilayah Yogyakarta terletak di jalan P. Mangkubumi. Setelah mendaftar sebagai pencari kerja di kantor KPT Yogyakarta, ditawari untuk bekerja di Proyek Restorasi Candi Borobudur, sebagai tenaga teknis dengan basis pendidikan SMA IPA ( Ilmu Pasti dan Alam ). Untuk menjadi karyawan Proyek Restorasi Candi Borobudur harus menjalani tes yaitu tes psikologi dan wawancara. Tes psikologi dilakukan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan wawancara dilakukan langsung oleh Pelaksana Harian Proyek Restorasi Borobudur, pada waktu itu Bapak Drs. Sudiman. Setelah diterima menjadi karyawan Proyek Restorasi Candi Borobudur, ditempatkan pada Sektor Chemiko Arkeologi dibawah pimpinan Bapak Drs Suyono. Masuk menjadi karyawan pada tanggal 15 Juli 1972, langkah pertama yang saya lakukan adalah, mencari tempat tinggal (kos) disekitar Candi Borobudur, karena tidak mungkin dilajo dari Yogyakarta ke Borobudur. Pekerjaan di Sektor Chemiko Arkeologi sebelum pemugaran dimulai adalah pengumpulan data kerusakan dan pelapukan batu (mapping) dan pengujian bahan konservasi. Mapping kerusakan dan pelapukan dilakukan pada tiap panil relief batu dinding dan pagar langkan, menggunakan gambar berskala 1 : 10. Hal yang sangat menarik dalam melaksanakan tugas ini adalah saya dibantu oleh seseorang yang sekarang menjadi istri saya. Gambar panil relief tersebut dicetak menggunakan licht druk (cetak biru). Gambar kalkirnya dikerjakan pada Sektor Tehno Arkeologi. Pekerjaan lainnya yang dilakukan pada waktu prapemugaran adalah mengadakan pengujian bahan konservasi yang meliputi : bahan pembersih mikroorganisme yang tumbuh pada permukaan batu, bahan water proofing (kedap air), bahan perekat dan bahan pengawet. Penelitian bahan konservasi tersebut dibimbing oleh tenaga dalam dan luar negeri seperti ; G.Hyvert (tenaga ahli mikrobiologi dari Perancis), dan Fisher (tenaga ahli restorasi dari Jerman). Dalam mengikuti penelitian tersebut kami langsung terjun ke lapangan meskipun harus membersihkan dan mengangkat batu. Sebagai bahasa pengantar dalam mengikuti penelitian menggunakan bahasa Inggris, tetapi hal itu tidak menjadi kendala yang berarti karena disamping bekerja kami juga mengikuti kuliah yang diselenggarakan oleh Proyek Restorasi Candi Borobudur yang salah satu mata kuliahnya adalah bahasa Inggris. Teknisi yang tergabung di Sektor Chemiko Arkeologi dan Tehno Arkeologi. Seluruhnya merupakan kader yang dipersiapkan untuk penanganan pemugaran maupun konservasi benda cagar budaya hingga pemugaran Candi Borobudur selesai. Untuk itu maka di samping bekerja juga diwajibkan menghadiri kuliah oleh dosendosen dari Universitas Gadjah Mada, di antaranya : Ir. Yutono ( mata kuliah Mikrobiologi ), Ir. Sri Hartadi ( mata kuliah Ilmu Kimia ), Ir. Pramono Atmadi ( mata kuliah Arsitektur ), Ir. Tejo Yuwono ( mata kuliah Petrografi ), Drs. Sugondo ( mata kuliah bahasa Inggris ), dan Drs. Sudiman ( mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia ). Tempat kuliah di Borobudur ( area proyek ) dan di Universitas Gadjah Mada, yang dilaksanakan pada sore hari. Selama pekerjaan pemugaran Candi Borobudur berlangsung ,untuk mengantasipasi agar batu batu yang dibongkar dapat dikontrol dengan baik, telah diterapkan sistem komputer. Program ini bekerja sama dengan IBM yang di prakarsai Mr. Khandelwal. Untuk menunjang kegiatan tersebut, saya diberi kesempatan untuk belajar komputer. Hal ini berkaitan dengan tugas saya yang diserahi mengurus perjalanan batu dari tempat penampungan sampai keluar dari bengkel kerja yang seluruhnya dikontrol dengan sistem komputer. Kursus komputer berlangsung selama 2 tahun yang terdiri dari praktek dan teori, Teori diberikan oleh Mr. Khandelwal dari IBM dengan materi kursus elektronik komputer dan pemograman dalam bentuk Fortran (Formula Translate), sedangkan praktek dilaksanakan di Unit Pusat Komputer Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dibawah bimbingan Ir. Susianto M.Sc. Bentuk Komputer pada waktu itu tidak seperti Personal Computer (PC) yang ada sekarang, tetapi sangat besar (hampir satu ruangan) yang di dalamnya berisi beberapa unit perangkat lunak maupun keras seperti CPU, mesin pembaca data, mesin KEMIKO ARKEOLOGI PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR
124 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur penerjemah, mesin penyimpan data, printer dan sebagainya. Data yang dimasukkan menggunakan kartu berlobang (Punch card), sedangkan program kita membuat sendiri seasuai dengan data yang akan diolah atau diproses dengan Komputer. Dari kursus tersebut saya mendapat sertifikat dari UGM tentang elektronik komputer dan pemrograman. Dalam kegiatan komputerisasi saya ditugasi oleh Proyek Restorasi Candi Borobudur untuk program pencocokan kepala arca Buddha dan inventarisasi fragmen. Program pencocokan kepala arca Buddha berhasil menemukan/dicocokan kembali dua buah kepala arca ke tempat aslinya, sedangkan dalam program inventarisasi fragmen, berhasil membuat klasifikasi bentuk-bentuk fragmen. Masih dalam program komputer, pernah ada beberapa batu dalam satu palet hilang, dalam arti jumlahnya berkurang atau tidak cocok dengan jumlah pada waktu dibongkar. Apabila tidak ada program komputer pencarian batu yang hilang akan sulit, karena jumlah batu yang dibongkar jumlahnya ribuan dan tersebar di beberapa lokasi serta bergerak setiap hari di ruang pengerjaan (bengkel kerja). Namun berkat komputerisasi tersebut, batu yang hilang mudah diketemukan dan lokasinya dapat dilacak, karena jumlah batu dalam satu palet yang tidak cocok (berkurang atau bertambah) dengan jumlah batu pada waktu dibongkar pada satu palet yang sama (satu nomor palet), komputer dalam laporannya akan memberi tanda bintang (*), pada nomor palet yang bersangkutan. Selain belajar dan kursus komputer, selama pemugaran saya diberi bermacam macam tugas. Tugas pertama setelah secara resmi pemugaran dimulai (peresmian pada bulan Agustus 1973 oleh Bapak Presiden RI, Soeharto) adalah mengurusi batu-batu yang dibongkar baik batu kulit, batu elemen (arca, antefik, stupa, gargoyle) dan batu isian. Selanjutnya batu batu tersebut ditata, disusun di tempat penampungan dan diurutkan pengerjaaannya berdasarkan urutan rekonstruksi. Selain itu, selama di ruang pengerjaan pergerakan palet dari tempat pembersihan ke ruang pengeringan, perbaikan, dan pengawetan selalu dicatat dan dimasukkan kedalam input data komputer. Jadi pekerjaan ini sangat rumit sehingga harus teliti dan harus bersinergi dengan pihak lain seperti bagian tempat penampungan akhir (final storage), bagian rekonstruksi serta Sektor Tehno Arkeologi. Apabila salah dalam mengurutkan dalam pengerjaan batu akan mengganggu rekonstruksi. Pada waktu masa rekonstruksi saya ditugaskan untuk mencocokan kepala arca Buddha dan mencocokan fragmen (dibagian stone matching), pekerjaan ini juga dituntut ketekunan. Dalam mengurus pekerjaan ini juga berhasil menemukan beberapa fragmen dari hasil klasifikasi menggunakan komputer. Penyemprotan arca Buddha mengunakakan Hyvar xl untuk menghambat pertumbuhan lumut
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 125 Pekerjaan terakhir selama bekerja di Proyek Pemugaran Borobudur adalah untuk mengurus pencatatan data iklim (seksi Klimatologi) dan seksi Laboratorium. Data iklim sangat penting untuk diketahui, terutama untuk mengetahui perkembangan yang terjadi pada batu-batu Candi Borobudur, pascapemugaran, khususnya pelapukan yang berkaitan dengan unsur iklim (suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, intensitas sinar matahari, arah dan kecepatan angin, penguapan dan lainlain). Disamping untuk keperluan tersebut data iklim yang dicatat juga dikirim ke Badan Meteorologi dan Geofisika di Semarang untuk keperluan prakiraan cuaca di seluruh Jawa Tengah. Hasil prakiraan cuaca tersebut diterbitkan dalam buletin bulanan yang berjudul Agro Klimatologi. Tempat pengambilan data klimatologi dilakukan di stasiun klimatologi yang berlokasi di sebelah barat Candi Borobudur, pada waktu peresmian Candi Borobudur Stasiun Klimatologi dipindah dibukit sebelah tenggara Candi Borobudur. Setelah pekerjaan pemugaran Candi Borobudur selesai dan sekarang pemeliharaannya diserahkan pada Balai Konservasi Borobudur, jejak-jejak yang pernah dikerjakan tentunya masih ada, terutama dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perawatan batu, dokumen mapping, dokumen pelaksanaan komputerisasi, dan dokumen penelitian bahan konservasi ( diterbitkan dalam buku pelita ). Pengaplikasian araldite di Candi Borobudur
126 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Pengolesan AC 322 untuk menghilangkan jamur kerak atau lichen
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 127 KONSERVASI DALAM PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR P eran Borobudur sebagai Pusat Pendidikan Konservasi dan Pemugaran Batu tidak terlepas dari pengalaman yang diperoleh oleh para teknisi Borobudur selama kegiatan konservasi dan pemugaran Candi Borobudur, terutama berkaitan dengan proses menjadikan para teknisi yang dipersiapkan untuk menangani Candi Borobudur menjadi teknisi yang tangguh tanpa mengenal lelah dalam menghadapi tantangan. Konsep pemugaran Candi Borobudur, memiliki cita-cita yang tinggi sekali, teknisi yang ada tidak hanya dipersiapkan untuk menyelesaikan pekerjaan dan masalah yang dihadapi Borobudur saja tetapi menjadikan teknisi yang handal dan sebagai agen perubahan (agent of change) alih teknologi kepada generasi berikutnya melalui diklat-diklat, terutama di bidang konservasi dan pemugaran cagar budaya berbahan batu, baik secara nasional maupun regional. Mengapa Saya Tertarik di Bidang Konservasi? Sebelum terlibat secara langsung dalam restorasi Candi Borobudur, saya beserta teman-teman seangkatan mengikuti penggemblengan fisik maupun mental di “kawah candradimuka” di bidang perawatan batu termasuk di dalamnya adalah angkat mengangkat batu, yang sekarang ini istilahnya adalah konservasi, yaitu melalui pendidikan khusus dalam bentuk training course dan praktek secara langsung di bawah bimbingan tenaga ahli Indonesia dan UNESCO. Selama training course saya ditempatkan di sektor yang secara khusus menangani perawatan batu Candi Borobudur, yaitu Sektor Chemiko Arkeologi, Proyek Restorasi Candi Borobudur Di pagi hari harus belajar mengenai teknik perawatan batu, dimulai dari identifikasi dan survei populasi penyakit batuan dalam kartu pemetaan (mapping). Kartu mapping tersebut berupa lembaran kertas berisi gambar bolk-blok batu dalam satu panel. Pada masing-masing blok batu tersebut harus dipetakan jenis dan populasi penyakit dalam bentuk presentase. Hasil mapping tersebut akan menjadi indikasi penanganan batu tersbut nantinya. Kemudian membersihkan batu dengan berbagai cara, yaitu secara tradisional dan dengan cara kimiawi, termasuk di dalamnya ádalah bagaimana penyikatan batu yang terbaik dan sikat apa yang harus digunakan, serta alat bantu apa yang diperbolehkan. Untuk pembersihan secara kimiawi saya harus belajar bagimana cara menyiapkan bahan sesuai dengan konsentrasi yang diperlukan, pencampuran masing-masing komponen bahan yang digunakan secara baik, dan aplikasi bahan pada sasaran yang telah ditetapkan. Kemudian mengamati apa perbedaan efektifitas antara pembersihan tradisional dan kimiawi, dan pengamatan daya pertumbuhan kembalinya. Masing-masing dilakukan secara cermat dan diharuskan membuat catatan harian mengenai kegiatan yang telah dilakukan. Demikian juga untuk pekerjaan perbaikan, bersama teman-teman seangkatan harus belajar jenis bahan perekat yang digunakan, rasio pencampurannya, dan aplikasinya. Termasuk dalam hal ini adalah teknik pengeleman, teknik penyambungan dengan cara biasa, dan teknik penyambungan dengan dan tanpa angkur. Yang juga dipelajari adalah masa reaktifitas bahan perekat sampai mencapai titik kering perlu waktu berapa lama. Hal ini sangat penting karena hal tersebut menjadi batas waktu sampai kapan bahan perekat masih bisa diaplikasikan dengan hasil baik. Salah satu hal yang juga ditanamkan adalah teknik restorasi yang diajarkan oleh ahli restorasi dari Jerman. Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah bagaimana cara pemilihan jenis pahat yang digunakan, cara memegang pahat, dan seberapa besar pukul yang diperlukan. Pendidikan berakhir pada 31 Maret 1975. Melalui pendidikan ini saya menyadari betul bahwa ternyata memang materi yang disajikan tidak hanya terkait dengan angkat mengangkat batu, tetapi lebih ke materi akademik, yang tentu saja sangat bermanfaat dalam rangka mengemban tugas ke depan. Kesempatan tersebut tentu saja merupakan pengalaman yang tidak akan bisa dilupakan begitu saja dan menjadikan motivasi saya untuk bekerja keras, tanpa mengenal lelah, berdisiplin, dan
128 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur penuh komitmen. Karena hanya dengan mencintai pekerjaan (love), kerja keras (hard work), dan tanggungjawab (responsibility), berani mengambil langkah, dan mau belajar sajalah, kita akan bisa berhasil dalam mengemban tugas dengan baik. Inilah modal yang mendasari untuk belajar lebih giat lagi tanpa mengenal lelah, mendalami berbagai materi terkait yang mendasari konservasi Cagar Budaya. Hal ini karena dalam implementasinya, konservasi merupakan salah satu cabang disiplin ilmu yang memerlukan pendekatan secara lintas disiplin ilmu (mulitidiscipline approach). Awal Pemugaran Dengan bermodal cinta, kerja keras, dan tanggung jawab itulah saya mengemban tugas di awal karier dalam bidang konservasi Cagar Budaya. Awal pemugaran saya ditempatkan di bidang Laboratorium Konservasi, Proyek Konservasi Candi Borobudur. Unit tersebut mengemban tugas di bidang riset dan pengembangan metode dan teknik konservasi Candi Borobudur. Di unit tersebut saya ditugasi di bidang Analisis Mokrobiologi, yaitu bidang yang bertugas untuk mengidentifikasi berbagai jenis agensia pelapukan batu dari faktor biotis. Berkenaan dengan tugas tersebut, saya mulai mempelajari permasalahan-permasalahan yang masih dihadapi dalam rangka penanganan konservasi batuan Candi Borobudur. Pada dasarnya ada lima aspek utama yang menjadi pokok kajian yang perlu didalami dan dipahami. Aspek pertama terkait dengan pemahaman terhadap bahan dasar (material sciences) yang digunakan yaitu bahan bangunan Candi Borobudur berupa batu gunung yang secara teknis dikenal dengan batu andesit atau batu vulkanis. Aspek kedua adalah terkait dengan lingkungan (environment) tempat Candi Borobudur tersebut berada, yang meliputi lingkungan mikro dan lingkungan makro. Aspek ketiga adalah terkait dengan interaksi antara bahan bangunan (faktor internal/intrinsic factor) dan lingkungan (sebagai faktor eksternal/extrinsic factors). Aspek keempat adalah terkait dengan masalah degradasi bahan bangunan dalam bentuk kerusakan (damage) dan pelapukan (deterioration), dan aspek kelima adalah terkait dengan metode konservasi (conservation method). Kelima aspek tersebut harus dipahami betul, sehingga diperoleh pemaknaan secara komprehensif yang pada gilirannya bisa dirumuskan strategi yang jitu dalam mengatasi akar permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian dapat dijamin kelestarian Cagar Budaya yang kita miliki dan kita banggakan. Sebagai Karyawan Teladan Berangkat dari permasalahan teknis yang dihadapi oleh bangunan Candi Borobudur tersebut saya berusaha untuk memahami dan mendalami secara lebih komprehensif agar saya bisa memberikan kontribusi secara optimal pada bidang yang saya emban. Berkat kerja keras tanpa mengenal lelah, akhirnya pada tahun 1977 saya mendapatkan penghargaan sebagai Karyawan Teladan berdasarkan atas kriteria yang telah ditetapkan oleh Proyek Restorasi Candi Borobudur. Pada kesempatan tersebut selain mendapatkan sertifikat, saya juga mendapatkan satu unit mesin jahit. Saya merasakan betul bahwa kalau kita bekerja keras ternyata mendapatkan penghargaan yang setimpal. Hal ini semakin mendorong saya untuk bekerja keras dan lebih keras lagi, sambil belajar. Di sela-sela kesempatan bekerja, saya sambil kuliah di sore/ malam hari dengan biaya sendiri, di Akademi Bahasa Asing, Jurusan Bahasa Inggris di Magelang. Ini tentu saja menuntut manajemen waktu yang baik, agar waktu untuk bekerja tidak terganggu dan kuliahpun berhasil. Akhirnya saya lulus tahun 1980. Hal ini karena saya menyadari bahwa konservasi merupakan hal baru di Indonesia Percobaan test paraformal di kaki Candi Borobudur sebelah selatan 26 Juli 1973
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 129 dan sebagian besar referensi berbahasa Inggris. Oleh karena itu, paling tidak harus menguasai salah satu bahasa internasional yaitu bahasa Inggris agar saya bisa belajar lebih optimal. Penugasan Belajar di Luar Negeri Selanjutnya pada awal tahun 1978 saya mendapatkan tawaran untuk mengikuti tes dalam mendapatkan UNESCO Fellowship Awards untuk belajar mengenai teknologi konservasi benda cagar budaya di India. Ini merupakan tantangan bagi saya untuk bisa lulus dari tes tersebut. Akhirnya setelah pengumuman dikeluarkan dari UNESCO Paris, saya dinyatakan lulus tes, dan mendapatkan UNESCO Fellowship Awards. Pada ksempatan tersebut, saya bersama peserta dari India (3 orang), Varanasi (1 orang), Myanmar (1 orang), USA (1 orang), dan Indonesia (1 orang, saya sendiri). Tanggal 30 Agustus 1978 saya berangkat ke India dan tiba di New Delhi pukul 01.00 dinihari dan ternyata saya sudah dijemput oleh staf UNESCO di New Delhi. Ini pengalaman pertama saya ke luar negeri. Di National Research Laboratory for Conservation of Cultural Property, Lucknow, India, saya dibimbing oleh Dr. O.P. Agrawal, seorang pakar konservasi India. Materi pendidikan meliputi teori konservasi, penelitian konservasi, dan praktek lapangan, serta studi kasus di beberapa situs penting, seperti di Mathura dan Taj Mahal di Agra. Masa pendidikan di India berlangsung hingga akhir bulan Maret 1979. Sepulang dari India saya ditugasi sebagai Kepala Laboratorium Konservasi, Proyek RestorasiCandi Borobudur. Delapan tahun kemudian, pada tahun 1987, saya mendapatkan tawaran lagi untuk mengikuti seleksi tugas belajar lanjutan di Italia dalam rangka mengambil spesialisasi di bidang teknologi konservasi bahan bangunan porous. Tugas ini juga dibiayai sepenuhnya melalui UNESCO Fellowship Awards. Pendidikan berlangsung dari bulan April sampai dengan akhir Juni 1987 bertempat di Venezia, Italia, kota air yang indah sekali dan telah masuk dalam Warisan Budaya Dunia. Lagi, saya memanfaatkan waktu di sela-sela kesempitan di sore dan malam hari, untuk melanjutkan pendidikan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu Jurusan Sastra Inggris dan memperoleh gelar kesarjanaan di Universitas Tidar Magelang (yang sekarang menjadi Universitas Negeri Magelang) pada akhir tahun 1990. Kemudian pada tahun 1993, pengalaman yang saya dapatkan selama pemugaran Candi Borobudur mendapatkan perhatian dari UNESCO-ICCROM, untuk sharing dan mengajar di International Training Course on Stone Conservation Technology, di Venezia, Italia. Seusai mengajar, saya juga mendapatkan grand dari UNESCO untuk studi banding di Perancis selama 4 (empat) hari. Ini merupakan kesempatan yang sangat bagus bagi saya untuk pergi ke Italia yang keduakalinya dan sekaligus mengembangkan wawasan di bidang konservasi di Perancis. Kesempatan tersebut saya gunakan dengan sebaik-baiknya. Pada tahun yang sama, saya juga diundang oleh Malaysia untuk memberikan pembekalan kepada para tenaga teknis dan pihak sektor swasta yang menangani konservasi bangunan Cagar Budaya. Selanjutnya pada tahun 2002, saya diminta oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, untuk menjadi Dosen Luar Biasa. Saya ditugasi untuk mengajar materi konservasi bangunan dan situs, serta konservasi koleksi museum, pada Program Pascasarjana, Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Saya mengajar seminggu sekali atas izin resmi dari kantor saya, yang waktu itu di Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Tugas ini merupakan kesempatan yang baik untuk ikut berkontribusi dalam persemaian konservasi di kalangan akademisi. Tugas sebagai Dosen Luar Biasa tersebut berlangsung hingga tahun 2009. Dipercaya Sebagai Project Manager Seiring dengan perjalanan waktu, pada tahun 1990 saya menerima surat dari Direktur Peninggalan Sejarah dan Purbakala mengenai penugasan baru di Direktorat tersebut. Saya dipromosikan sebagai Kepala Seksi Laboratorium, Subdit Pemeliharaan, Direktorat Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Hal ini berarti saya harus mengembangkan peran laboratorium konservasi dalam penanganan konservasi Cagar Budaya secara nasional. Setelah kepindahan saya di Jakarta, tugas menjadi padat sekali karena yang diurusi menjadi lebih luas, tidak hanya di tingkat pusat saja tetapi juga pada tingkat nasional. Tugas tersebut meliputi pembinaan Laboratorium Konservasi di unit pelaksana teknis di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya) seluruh Indonesia. Oleh karena itu, saya programkan dalam bentuk in house training, yaitu pelatihan di
130 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur tempat agar lebih banyak peserta yang bisa ikut dan menghadapi permasalahan secara faktual di daerah masing-masing. Dari pengamatan yang saya lakukan hal ini ternyata lebih efektif. Selain tugas-tugas rutin, saya juga ditugasi sebagai pengawas pada proyek-proyek pemugaran dan konservasi di daerah maupun tugas-tugas dalam tim penelitian, perencanaan konservasi bangunan bersejarah dan bangunan purbakala. Beberapa penugasan yang pernah diberikan antara lain adalah Pengawas Proyek Konservasi Situs Bumiayu, Sumatera Selatan; Pengawas Proyek Konservasi Situs Gunung Kawi, Provinsi Bali; Pengawas Proyek Konservasi Candi Prambanan, Yogyakarta; Pengawas Proyek Situs Aek Renung, Nusa Tenggara Barat; Pengawas Proyek Konservasi Situs Waruga, Nusa Tenggara Barat. Kemudian pada tahun 1993/1994, selain menjalankan tugas rutin sebagai kepala seksi laboratorium konservasi saya juga mendapatkan tugas sebagai Pemimpin Proyek Konservasi Candi Borobudur dan berkantor di Jl. Gatot Subroto Kav. 40-41, Jakarta Pusat. Hal ini tentu saja menuntut saya untuk bekerja lebih keras lagi, selain tanggungjawab rutin maupun di proyek. Sebagaimana diketahui kegiatan proyek perlu manajemen secara khusus agar tujuan dan sasaran proyek dapat tercapai secara efektif dan efisien. Dengan lokasi proyek yang berada di daerah yaitu di Borobudur, Kabupaten Magelang, maka paling tidak sebulan sekali saya harus mengadakan monitoring secara langsung di lokasi proyek tersebut. Jabatan sebagai pemimpin proyek tersebut berlangsung hingga tahun 1995. Selanjutnya pada bulan Oktober 1995, saya mendapat tugas sebagai Pemimpin Proyek/Project Manager Indonesian Technical Assistance for Safeguarding Angkor (ITASA Project) di Angkor, Kamboja. Proyek tersebut merupakan komitmen Pemerintah Indonesia pada waktu Intergovernmental Conference on the Safeguarding and Development of Historic Site of Angkor, Tokyo, pada tanggal 12-13 Oktober 1993, yang dipelopori oleh UNESCO. Indonesia, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang waktu itu dijabat oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, menyampaikan komitmennya untuk membantu Kamboja terutama berkaitan pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dengan alih teknologi (know how technology) di bidang konservasi dan pemugaran bangunan Cagar Budaya, khusunya konservasi dan pemugaran Cagar Budaya berbahan dasar batu. Hal ini juga merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Indonesia untuk memberikan kontribusi dalam alih teknologi konservasi dan pemugaran batu di forum internasional, berdampingan dengan negara-negara donatur internasional. Indonesia merupakan satu-satunya negara di antara 16 negara yang memberikan bantuan teknis di bidang transfer teknologi konservasi dan pemugaran di kawasan Angkor. Proyek tersebut berlangsung selama lima tahun dan saya ditugasi sebagai Project Manager untuk tahun anggaran 1995/1996. Tugasnya selain sebagai Project Manager juga sebagai tenaga ahli (expert) yang bertugas untuk mewakili Indonesia dalam koordinasi teknis dengan para expert international dalam pelestarian Angkor dan menghadiri International Coordinative Meeting-ICC, yang dikoordinatori oleh UNESCO. Lokasinya mengambil tempat di Gapura Tenggara, Timur, dan Utara, Situs Phimeanakas, Kawasan Angkor Thom, yang bersebelahan dengan Kompleks Angkor Wat. Kegiatan tersebut merupakan on site practical training course yang diberikan kepada para teknisi Kamboja dalam rangka mendidik para teknisi mulai dari nol sampai mereka dapat melakukan sendiri, terhadap seluruh rangkaian pekerjaan pemugaran dan konservasi bangunan purbakala berbahan dasar batu. Teknologi yang digunakan adalah dengan memanfaatkan teknologi tradisional yang ada di Kamboja. Ada lima arkeolog mengikuti pelatihan tersebut, yaitu Nay Sophea, Yim Sararith, Saray Kim Houl, Tann Sophal, dan Lim Hak. Selain para arkeolog, pelatihan tersebut juga diikuti oleh 40 tenaga teknis (skill labour). Secara administratif, sebagai Project Manager bertanggungjawab kepada Duta Besar RI untuk Kamboja, sedangkan secara teknis bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selama penugasan di Siem Reap, Kamboja, saya bersama seorang asisten, yaitu Sdr. Bujono, ditempatkan di mess khusus yang disewa untuk Kantor Unit Indonesia di Siem Reap dan difasilitasi dengan 1 unit mobil dinas untuk keperluan operasional dengan plat Corps Diplomatic (CD) untuk memudahkan koordinasi lintas kelembagaan di lapangan. Tugas di Kamboja ini merupakan tugas yang sangat menantang, karena saya diberikan kewenangan penuh untuk mengambil kebijakan-kebijakan teknis yang dinilai perlu demi suksesnya misi tersebut. Tugas saya di Kamboja tersebut berakhir sampai akhir bulan Maret 1996.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 131 Mengemban Misi Diplomasi Dari waktu ke waktu tugas yang saya emban semakin kompleks, tidak hanya di bidang yang berkaitan dengan konservasi saja tetapi juga bidang yang berkaitan dengan manajemen dan diplomasi di bidang kebudayaan. Pada tahun 2001- 2011, saya juga mendapat tugas sebagai Sekretaris ASEAN Committee on Culture and Information (ASEAN-COCI) Indonesia. Pada waktu awal bertugas, saya menilai bahwa hal ini merupakan tugas yang sama sekali baru di bidang kebudayaan. Namun saya berprinsip kalau saya bekerja keras, penuh komitmen, dan konsisten, pasti bisa karena semua itu bisa dipelajari dan saya berusaha semaksimal mungkin. Tugas ini lebih banyak berkaitan dengan diplomasi Indonesia di kawasan regional ASEAN. Oleh karena itu, saya berusaha seoptimal mungkin untuk bisa mengemban tugas dengan sebaik-baiknya. Melalui usulan kegiatan, saya juga berusaha untuk memasukan kegiatan-kegiatan dalam kaitannya dengan peran Borobudur sebagai pusat pendidikan konservasi dan pemugaran batu. Ini merupakan salah satu misi untuk mempromosikan Borbudur sebagai “Centre of Excellence” dalam diseminasi pengetahuan konservasi dan pemugaran batu di kawasan regional ASEAN. Salah satu kegiatannya adalah “ASEAN Workshop on Standardization of Conservation and Restoration Procedure, yang diselenggarakan di Borobudur, tanggal 15-25 Juni 1999. Di samping itu, tugas saya terutama berkaitan penyiapan materi persidangan di bawah naungan komite di bidang Kebudayaan dan Informasi. Dalam kaitannya dengan bidang tersebut, saya sering ditugasi sebagai delegasi persidangan maupun sebagai Ketua Delegasi untuk forum Sidang ASEAN Sub Committee on Culture (ASEAN-SCC), forum Sidang ASEAN Committee on Culture and Information (ASEAN-COCI), forum Sidang Senior Official of Culture and Arts (SOMCA), danforum Sidang ASEAN Ministers Responsible for Culture and Information (AMCA). Dalam forum diplomasi di forum internasional, saya juga sering ditugasi sebagai delegasi dalam forum Sidang Umum UNESCO Paris, Perancis, forum Asia-Europe Ministerials Meeting (ASEM), dan forum peningkatan kerjasama bilateral, seperti halnya kerjasama Indonesia-Kamboja, kerjasama Indonesia-Belanda, kerjasama Indonesia-China. Secara khusus di bidang konservasi, saya juga ditugasi untuk peningkatan kerjasama bilateral antara Indonesia-Jepang. Pada saat saya ditugasi sebagai ketua Delegasi Sidang Ad Hoc Working Group on ASEAN Human Resource Development, Penang, Malaysia, 6-9 Mei 2007 Secara khusus saya mempunyai hubungan emosional yang sangat erat sekali dengan pihak Jepang, terutama dengan Mr. Satoshi Yamato, Counsilor dari Agency for Cultural Affairs (Bunka-cho), yang baru saja meninggal dunia pada hari Kamis, tanggal 20 Maret 2014, dalam kecelakaan kereta api di Stasiun Shombashi, Jepang, 10 (sepuluh) hari lagi menjelang pensiun pada usia 60 tahun. Beliau telah meletakkan fondasi yang kuat hubungan kebudayaan antara Indonesia dan Jepang, terutama di bidang konservasi bangunan arsitektur kayu. Bahkan hingga detik-detik terakhir menjelang meninggalnya saya masih berhubungan sangat akrab. Selama ini saya telah melakukan tugas-tugas di luar negeri, baik dalam kaitannya dengan misi diplomasi maupun misi teknis lainnya di 20 (dua puluh) negara sebanyak lebih dari 73 kali. Selain dalam rangka pendidikan profesi seperti di India (1978/1979), Italia (1987), dan Belanda (1993), beberapa negara yang saya pernah ditugaskan sebagai delegasi antara lain adalah: Brunei Darussalam (3 kali), Kamboja (12 kali), Lao PDR (3 kali), Malaysia (11 kali), Myanmar (6 kali), Philippina (3 kali), Singapura (7 kali), Thailand (10 kali), Vietnam (3 kali), Italia (1 kali), Perancis (6 kali), Belanda (3 kali), Polandia (1 kali), Korea (2 kali), Jepang (6 kali), Australia (2 kali), dan China (2 kali). Ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya sangat bersyukur mendapatkan kepercayaan untuk melakukan tugas-tugas dimaksud. Tanpa kerja keras dan all out, yang tanpa mengenal lelah, konsisten dan penuh komitmen, tentu saja hal tersebut tidak mungkin terjadi. Inilah pengalamanku yang menjadikan guruku selama ini.
132 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Atas : suasana pada saat memimpin Sidang Kelompok Conservation and Promotion of Cultural Heritage bersama Mr. Bogdan Zdrojewski, Menteri Kebudayaan dan Warisan Nasional Polandia Pada Sidang ASEM, Kualalumpur, Malaysia, 21-24 April 2008 Bawah : suasana pada saat pertemuan bilateral Indonesia-Jepang di Agency for Cultural Affairs (Bunka-cho), Tokyo, Jepang 14-26 February 2006 Akhirnya, melalui Surat keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor B.35/K Tahun 2011 tertanggal 22 Juni 2011 saya memasuki masa purnatugas pada akhir bulan November 2011 dari PUSDIKLAT, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dan memasuki masa purnatugas pada tanggal 1 Desember 2011 dengan masa kerja 33 tahun 9 bulan. Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan bangga atas Satya Lencana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia untuk masa kerja 10 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun dan terima kasih sekali bahwa selama mengemban tugas, saya dalam keadaan sehat-sehat walafiat tanpa adanya gangguan sesuatu apapun sampai akhir masa tugas saya, selalu penuh semangat tanpa mengenal lelah. Saya diberikan sertifikat pengabdian dan kenang-kenangan “tali kasih” berupa cincin emas dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (semula Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata)
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 133 Pembersihan Insitu di Candi Borobudur
134 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur JURU KONSERVASI BATU “ UNFORGOTTEN JOB EXPERIENCE” Empat Puluh Satu tahun yang lalu, ketika saya akan mengawali kerja di Proyek Restorasi Candi Borobudur sudah terbayang di benak saya bahwa saya akan bekerja sebagai pegawai “restoran”. Mengapa ? Karena istilah restorasi identik dengan restoran. Apalagi dikaitkan dengan Candi Borobudur yang banyak dikunjungi wisatawan atau bule-bule luar negeri yang biasa makan di restoran-restoran. Sehingga tidak aneh kalau pemahaman saya waktu itu, ketika diterima sebagai karyawan Proyek Restorasi Candi Borobudur, saya akan bekerja di restoran Candi Borobudur, yang setiap hari bisa ketemu dan ngobrol dengan turis-turis asing. Apa yang kemudian terjadi ? Bayangan dan pikiran saya ternyata salah besar, karena sesungguhnya saya tidak bekerja di restoran tetapi bekerja di Proyek Restorasi Candi Borobudur sebagai Juru Konservasi batu Candi Borobudur. Juru (tukang) konservasi adalah pelaksana pada bagian perawatan batu Candi Borobudur. Istilah lain dari juru konservasi batu adalah juru rawat batu. Tugas pokok dari juru konservasi atau juru rawat batu adalah merawat batu-batu candi agar kondisinya tetap utuh dan baik, serta tidak cepat rusak dan rapuh. Perawatan batu-batu candi dilakukan dengan cara membersihkan permukaan batu-batu candi dari kotoran tanah, debu, tumbuhtumbuhan organik seperti lumut, ganggang, endapan garam, dll; memperbaiki batu-batu yang pecah, gempil, retak; serta memperkuat struktur batu dengan melapisi batu tersebut memakai bahan pengawet. Prosedur pelaksanaan konservasi batu-batu candi hampir sama dengan pekerjaan di bidang kedokteran. Dokter dalam memeriksa pasien selalu diawali dengan melakukan diagnosis terlebih dahulu, yaitu dengan menanyakan kepada pasiennya tentang apa yang dikeluhkan, bagian mana yang dirasa sakit, apakah salah makan, dan sebagainya. Hasil diagnosis tersebut digunakan dokter untuk mengobati pasien dengan cara memberi obat untuk diminum atau melakukan injeksi/suntik di salah satu bagian tubuh pasien. Selanjutnya, dokter menyarankan pasien untuk beristirahat kurang lebih 3 hari, kemudian melakukan pemeriksaan ulang untuk mengevaluasi tindakan/terapi yang telah dilakukan. Juru konservasi batu dalam melaksanakan tugasnya juga menggunakan “sistem kedokteran” yakni berpedoman pada prosedur diagnosis konservasi, agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun ilmiah. Prosedur diagnosis konservasi batu diawali dengan adanya permasalahan di lapangan baik dalam bentuk kerusakan atau pelapukan batu. Adanya permasalahan tersebut kemudian dilakukan survei/observasi terhadap kondisi, jenis, dan tingkat kerusakan dan pelapukan. Selanjutnya, dilakukan kajian/penelitian secara intensif dengan melakukan identifikasi dan analisis laboratorium. Hasil penelitian laboratorium digunakan sebagai dasar untuk melakukan studi konservasi secara menyeluruh. Selanjutnya, hasil studi konservasi akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan konservasi. Untuk mengetahui hasil konservasi maka perlu dilakukan supervisi, evaluasi, dan pemantauan baik melalui laporanlaporan maupun pengecekan langsung di lapangan. Hasil supervisi merupakan informasi balik (feed back) bagi pelaksanaan konservasi. Dokter Batu Karena prosedur kerja juru konservasi batu hampir mirip dengan prosedur kerja di bidang kedokteran, maka profesi juru konservasi batu sering dianggap sebagai “dokter” batu. Ketika melakukan analisis laboratorium untuk meneliti jenis-jenis mineral batuan dengan menggunakan mikroskop polarisasi, seorang juru konservasi batu juga mengenakan pakaian layaknya seorang dokter yaitu mengenakan baju snay jas seperti tampak dalam gambar, dan terkadang juga memakai masker dan sarung tangan. Adapun peralatan yang sering digunakan untuk analisa laboratorium adalah mikroskop, dissetting set, kaca pembesar, timbangan analis, gelas ukur, labu ukur, becker glass, almari oven, dan lain-lain.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 135 Sebagai Juru konservasi batu Candi Borobudur, saya pernah mengikuti program penggemblengan di “Kawah Condrodimuko” yaitu program pendidikan dan pelatihan di bidang ilmu konservasi yang dilakukan secara terus menerus. Disebut kawah Condrodimuko karena waktu penggemblengannya sangat lama dan padat kegiatannya. Selama 3 tahun (1973-1976) saya mengikuti program pendidikan di Universitas Gadjah Mada di bidang konservasi bendabenda purbakala. Mata kuliah yang diajarkan meliputi Sejarah Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Arsitektur, Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, Mikro Biologi, Ilmu Tubuh Tanah. Sedangkan tenaga pengajarnya adalah dosen-dosen senior dari Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Waktu kuliah dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali dalam seminggu, yakni setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat pada pukul 16.30 - 20.00. Selain menerima perkuliahan di Universitas Gadjah Mada, saya dan teman-teman Juru Konservasi Proyek Restorasi Candi Borobudur juga mendapatkan pelatihan dalam bentuk praktek konservasi batu secara langsung (learning by doing) di Candi Borobudur. Kegiatan praktek lapangan meliputi pembersihan batu, perbaikan, konsolidasi dan pengawetan batu-batu Candi Borobudur. Pembersihan batu-batu Candi dilakukan dengan 4 cara, yakni mechanical cleaning (pembersihan mekanik menggunakan sikat ijuk, sikat gigi, stik jarum dengan menggunakan air dan tanpa air; chemical cleaning (pembersihan dengan bahan kimia); serta steam cleaning (pembersihan menggunakan uap). Perbaikan batu-batu candi meliputi pengisian retakan batu, pengeleman pecahan-pecahan batu yang gempil, penyambungan batu-batu yang pecah baik dengan menggunakan angkur maupun tanpa angkur, dan kamuflase atau penyelarasan warna. Konsolidasi dilakukan untuk memperkuat ikatan struktur batu atau kondisi batu yang telah rapuh/lapuk. Sedangkan pengawetan dilakukan untuk melindungi permukaan batu dari kemungkinan terjadinya kerusakan dan pelapukan lebih lanjut. Perlindungan batu ini dilakukan dengan melapisi permukaan batu dengan bahan pengawet. Selain kegiatan praktek di lapangan, juga dilakukan pelatihan analisis dan pengujian/penelitian contoh-contoh batu di laboratorium Proyek Restorasi Candi Borobudur dan di laboratorium Fakultas Tenik Sipil Universitas Gadjah Mada. Atas dasar sifatnya, penelitian laboratorium meliputi 2 (dua) jenis, yakni analisis/pengujian fisik dan analisis petrografi. Analisa fisik meliputi kadar air, kadar penyerapan air, porositas, berat jenis, dan kuat tekan. Sedangkan analisis petrografi terdiri dari kilap batuan, sifat belahan batu, warna, dan kekerasan batu. Selain itu juga dilakukan penelitian tentang jenis dan komposisi mineral batuan dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Meneliti Rumput Salah satu penyebab kerusakan dan pelapukan batu-batu candi Borobudur adalah disebabkan oleh faktor biologis, yaitu adanya Kiri : analisis laboratorium untuk meneliti jenis-jenis mineral batuan Kanan : praktek pembersihan batu secara mekanik
136 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur pertumbuhan jasad di permukaan batu-batu candi. Tumbuhtumbuhan yang hidup di permukaan batu-batu candi bervariasi jenisnya, seperti lumut, ganggang, bakteri, jamur kerak, dan rumput. Ganggang, bakteri, dan jamur kerak merupakan jasad renik/ mikrobiologi yang sangat ganas dalam menimbulkan kerusakan dan pelapukan batuan, meskipun prosesnya memerlukan waktu yang lama. Sedangkan lumut dan rumput merupakan jenis tumbuhan yang bisa dilihat dengan mata telanjang, tetapi akar-akarnya secara cepat dapat merusak batu-batu candi. Oleh karenanya, saya dan teman-teman juru konservasi secara berkala melakukan penelitian/kajian terhadap beberapa jenis rumput yang tumbuh pada permukaan batu candi. Bentuk kegiatannya adalah memilah dan memilih jenis rumput sesuai dengan kelompoknya, mengukur tinggi rumput, tebal batang, menimbang berat rumput, dll. Pusat Konservasi Batu Seiring dengan berlangsungnya kegiatan Proyek Pemugaran dan Konservasi Candi Borobudur yang memakan waktu 10 (sepuluh) tahun, di Borobudur juga diselenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) bidang pemugaran dan konservasi benda-benda purbakala. Selama diklat pemugaran dan konservasi diselenggarakan di Borobudur, saya selalu dilibatkan sebagai instruktur/pengajar khususnya di bidang konservasi. Peserta diklat adalah para tenaga teknis di bidang kepurbakalaan yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia. Diklat kepurbakalaan di bidang pemugaran dan konservasi batu dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan bagi tenaga-tenaga teknis kepurbakalaan yang tersebar di seluruh Indonesia tentang ilmu kepurbakalaan, teknik pemugaran, dan konservasi Benda Cagar Budaya yang terbuat dari batu. Adapun tujuannya adalah agar para teknisi kepurbakalaan dari seluruh provinsi dapat memahami dengan sebenar-benarnya prosedur, metode, dan teknik, serta tata cara pemugaran dan konservasi benda cagar budaya yang terbuat dari batu. Selama kurun waktu 12 tahun (1976-1988) telah diselenggarakan diklat pemugaran dan konservasi lebih dari 15 kali yang terdiri dari 10 kali diklat tingkat dasar dan 5 kali diklat tingkat lanjut. Pelatihan analisis dan pengujian/penelitian contoh-contoh batu di laboratorium
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 137 Para pengajar adalah para tenaga ahli dan pakar di bidang arkeologi, arsitektur, teknik sipil, kimia, fisika, biologi, manajemen, dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sebelas Maret, Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan para pakar yanq relevan. Diklat berlangsung selama 4 (empat) bulan dengan perbandingan 30 % teori, dan 70 % praktek lapangan. Praktek lapangan dilaksanakan di beberapa bangunan candi di Jawa Tengah. Kerjasama ASEAN Untuk meningkatkan kerjasama dan solidaritas sesama negara-negara ASEAN, Indonesia telah mempelopori untuk melakukan kerjasama ASEAN di bidang kebudayaan. Kegiatan ASEAN bidang kebudayaan yang pernah diselenggarakan di Borobudur antara lain adalah Intra ASEAN Workshop of Restoration and Conservation on Cultural Property; Seameo Project of Archaeology and Fine Arts (SPAFA); ASEAN COCI, Workshop on the Conservation of Wooden Objects for Young Professionals. Workshop/diklat tersebut merupakan program terpadu yang diselenggarakan secara bergiliran di setiap negara-negara anggota ASEAN setiap tahun. Sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing negara ASEAN, Indonesia mendapatkan kepercayaan untuk menyelenggarakan workshop/diklat pemugaran dan konservasi Benda Cagar Budaya yang terbuat dari batu. Negara Thailand dipercaya untuk menyelenggarakan pelatihan/workshop konservasi benda cagar budaya dari bahan perunggu dan Arkeologi Bawah Air; Malaysia diberi kepercayaan dalam penyelenggaran workshop/pelatihan konservasi benda cagar budaya yang terbuat dari laterite; sedangkan Filipina lebih berpengalaman dalam penyelenggaraan pelatihan konservasi kayu. Pada setiap kegiatan diklat pemugaran dan konservasi tersebut, saya sebagai Juru Konservasi batu selalu dilibatkan sebagai instruktur diklat konservasi batu. Sebuah pengalaman kerja yang tidak dapat terlupakan sebagai Juru Konservasi Batu, Juru Konservasi Batu “Unforgotten Job Experiences “. Kiri : penelitian/kajian terhadap beberapa jenis rumput yang tumbuh pada permukaan batu candi Kanan : Pelatihan pemugaran dan konservasi di Borobudur
138 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Forklift untuk memudahkan mobilitas pengangkutan pada saat pemugaran Candi Borobudur II
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 139 DI BALIK PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR TAMAN PURBAKALA NASIONAL 6 BAB
140 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Candi Borobudur dari sisi Tenggara
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 141 BOROBUDUR NATIONAL ARCHEOLOGICAL PARK The government of Indonesia intended to protect the nation’s archaeological monuments, namely Borobudur Temple and Prambanan Temple in the course of planning study conducted under bilateral international cooperation between Indonesia and Japan practically commenced by the team dispatched by Overseas Technical Cooperation Agency, Japan, which was the former name of Japan International Cooperation Agency (JICA) in 1973. Intention was needless to say but firstly to protect the nation’s cultural heritage, secondary to introduce people the value of the heritage to be conserved, and thirdly to earn more foreign currency and stimulate the local socio-economy through tourism industry development. The title of the identified project in the feasibility study performed jointly Indonesian government and JICA team in 1975/76 was given in 1975 as “National Archaeological Parks Project: Borobudur and Prambanan” F u r t h e r d e t a i l s t u d y h a d b e e n c o n c l u d e d t o “ m a s t e r p l a n a n d implementation program” for “Borobudur Prambanan National Archaeological Parks” recommended in the Final Report of JICA in 1979. Afterwards, it is well known as “JICA Master Plan” The recommendations in JICA Master Plan are (1) the archaeological monument is n o t s t a n d a l o n e b u t e x i s t s w i t h i t s environment, (2) the park development should be integrated with the improvement of surrounding community and settlement, (3) the park to be developed for conservation, research, study, and education and those facilities should be attractive as the tourists’ assets. The design concept of the facilities is “Javanese”, and (4) the implementation would take for 10 years. (*) A member of JICA Team in 1979; Coordinator to Indonesian Government assigned by Overseas Economic cooperation Fund, Japan in 1979/80 for preparation of financial application documents; Consultant’s Team Leader appointed by Indonesian government for the updated plan in 1980/81 and implementation of the project from detail planning, design and engineering, and construction supervision from 1980 to 1987.
142 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur One of the well-known recommendations is “Integrated Zoning System”, introduced as follows: • Zone-1: Zone for the protection and prevention of destruction of the physical environment of the archaeological monuments, • Zone-2: Zone for provision of park facilities for the convenience of visitors and preservation of the historical environment, • Zone-3: Zone for regulation of land use around the parks and preservation of the environment while controlling development areas surrounding the parks, • Zone-4: Zone for maintenance of the historical scenery and prevention of the destruction of the scenery, • Zone-4: Zone for undertaking archaeological surveys over a wide area and prevention of destruction of undiscovered archaeological monuments. JICA Master Plan was issued in 1979 when there was no organization for the management and operation of the parks. In 1980, PT Taman Wisata Candi Borobudur and Prambanan (here in after referred to TWC) was established, and 1n 1992, the government defined the authority of it to be responsible for the management and operation of Zone-2. Although the name of the organization is Taman Wisata or Tourism Park in English, the title of the parks is maintained as “National Archaeological Parks”. Another important recommendation is to develop the park with integration of the improvement of the surrounding areas. “Substitute Village Project Plan” was made mainly based on the research and planning made by the team from Universitas Gadjah Mada who was the technical counterparts to JICA team. Thus, the master plan of the parks had been made with such comprehensive considerations including the preservation of the historical environment outside the parks, minimizing negative impacts to the local community but maximizing positive impacts to the improvement of the surrounding areas. Facility layout in the park had constraints due to the implementation program which may take 10 years’ time starting with land acquisition from 1979. A contradiction is the major facilities should be located rather scattered manner in the park in order to
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 143 distribute visitors who may concentrate only to the monuments, but on the other hand, the land acquisition would be in stages because the implementation should be integrated with the process of Borobudur Restoration Project being implemented and would be completed in 1983. The first area enable to develop was only 37.5 hectare (partially including the yard of the restoration project) out of designated 87 hectare. Upon the establishment of TWC in 1980, the government decided to commence the projects by land acquisition without affecting the restoration project to be completed within a few years in order to prevent speculation which might be happened if it was stage by stage in 10 years. Simultaneously to the land acquisition, “Engineering Service” partially financed by Japanese government (Overseas Economic Cooperation Fund, Japan, now merged within JICA) from 1980 to1983. The JICA Master Plan had been thoroughly reviewed and adjusted to the conditions at that time in 1980/81. The updated plan was prepared for the subsequent construction works practically at the end of 1982 and officially in early 1983 at the time the inauguration of Borobudur Restoration Project. Major updated points are; (1) land acquisition schedule from 10 years to a few years, which enable to locate facilities scattered in the park as originally wished, and the location of the Museum was changed from the entrance area to the existing place, (2) reorganizing research and conservation facilities; Conservation Center, Guest House, Staff housing were changed to Stone Conservation Center with Archaeological Office (existing Borobudur Heritage Conservation Center), Center of Borobudur Study with accommodation (especially desired to add by Dr. Soekmono, the chairman of BPCB), (3) further detail considerations as guidelines for the planning, design, and construction of any facilities to be developed in the parks. Archaeologists, planers, architects, and engineers, as well as concerned government officials have fully discussed and confirmed the following prior to the conclusion of the updated plan prepared in June 1981. Thus the construction of the park was finally conducted from 1986 to 1988, in spite of various obstacles and constraints.
144 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 1. To protect a national archaeological heritage by providing a buffer zone that should benationalized and managed by the government. 2. To restore, conserve the nation’s heritage, and provide opportunities for the people to be aware of, appreciate, and be proud of it, which prompt people to have a sense of unity of the nation. 3. To conserve the heritage is directly by archaeological, academic, and scientific research in one way, and indirectly in another way, providing opportunities for the people awareness and appreciation which makes people to understand the necessity of conservation of the heritage. Then, people will not cause any damage to the heritage. (Ideally, there is no necessity of guards and signboard for prevention of damages on the heritage caused by innocent visitors). 4. In order to conserve the heritage, it needs certain sufficient fund, and in principle, the fund is to be contributed by visitors with a sense of appreciation against the heritage. The value of the heritage, costs of conservation, and visitor’s appreciation and contribution are to be well balanced and optimized. It requires integrated management and operation of the park among the aspects of “Conservation activities”, “Revenue for conservation and park operation”, and “Visitor Management”. 5. Direct conservation of the monument is under the responsibility of the relevant government authority concerned to the heritage, and indirect conservation is under the responsibility of a park corporation. Thus, TWC was established in 1980 referring to the conservation concept being discussed during the restoration project assisted by UNESCO commenced in 1973 and will be completed in 1983. 6. Zone-1 is a monument site (as UNESCO defines) or a sanctuary (as JICA Study named) where no additional structure should be built, since there was a bigger possibility to discover valuable archaeological remains on the designated area of Zone-1. And therefore, the landscape should not been drastically changed and maintained as seen in 1979. JICA Master Plan recommended all the temple sites seen in Mid-Java should be sanctuaries and legalized as same as Zone-1. 7. Zone-2 is an immediate buffer zone to protect Zone-1, and an area for the activities of conservation including research and education relevant to the heritage. Therefore, facilities to be developed in Zone-2 are government archaeological institutions, museums and the like. Besides, optimum scale of facilities are to be provided for the convenience of visitors including parking, toilets, eating and drinking facilities, and handicrafts souvenir shops where they sell such goods relevant to the heritage.
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 145 8. All the facilities to be developed, operated and maintained on the basis of the following considerations (guidelines); (1) The development and operation of facilities should be well coordinated with the government institutions directly concerned to the parks. (2) The development is to be in compliance with certain restriction in order to protect heritages. For instance, the area where it has a possibility of having undiscovered underground archaeological remains is strictly restricted to develop any permanent structure with large scale grading of filling or cutting the ground. And the development should not disturb view of archaeological hypothetical axis. “Scenery Control” in the parks should be strictly considered. (3) The facilities are primarily for the purpose of education for visitors, and secondary for convenience of visitors which are to be only inevitable ones. No commercial recreational, amusement and profit oriented facilities should be developed in the parks. The monuments and the parks are for public, and should not be commercialized. (4) Facilities are all the landscaped areas and buildings which are to be education purpose, every facility should be a kind of educationally attractive tourist object which introduces relevant archaeology, history, religion, and the local specific Javanese traditional culture. And it must be harmonized with the monuments. (5) The park itself to be well landscaped for education purpose and for convenience of visitors, includes planting which can be referred to the monuments, outdoor furniture, boundary fences, outdoor lighting fixture, and signage, and so on should be with a specific design based on Javanese traditional, and systematically planned and located. The landscape is to have a function of education. (6) The educational facilities are. Museums, Center of Borobudur Study (Borobudur), Information Center, Ramayana Indoor and Outdoor Theater (Prambanan) are defined as educational facilities, or facilities which conserve and enhance the Javanese traditional culture. (7) Visitor’s convenience are Entrance Gates, Parking areas, toilets, worship facilities (such as mushola), tourist information center, souvenir shops including eating and drinking places, security and safety service facilities such as guards, first aids, etc. (8) Park operation and visitor management facilities are the TWC park operation offices, ticketing offices, internal transportation facilities.
146 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur Candi Borobudur dari udara
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 147 TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR ANTARA KONSEP DAN REALISASI Gagasan Pembangunan Taman Di tengah-tengah berlangsungnya pemugaran Candi Borobudur timbullah pemikiran para arkeolog, para pemerhati lingkungan hidup, dan para pakar lainnya bahwasanya setelah pemugaran Candi Borobudur selesai masih dikhawatirkan tentang kondisi lingkungan di sekitar Candi Borobudur. Dapat dibayangkan Candi Borobudur yang telah selesai dipugar dan berdiri kokoh tetapi dikelilingi perumahan penduduk yang padat, kios-kios yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari kaki candi, terminal, restoran dan sebagainya. Dengan semakin meningkatnya jumlah wisatawan yang mengunjungi Candi Borobudur, dipandang perlu juga usaha penyelamatan terhadap kerusakan oleh unsur manusia. Dengan demikian, meskipun pelestarian Candi Borobudur sudah diperhitungkan dari berbagai aspek pelestarian dari gangguan alam termasuk gempa bumi, panas matahari, dan guyuran air hujan, namun pembenahan lingkungan untuk menunjang kelestarian candi dan menjaga citra sebagai objek wisata tetap harus diperhatikan. Atas dasar inilah pemerintah mempunyai gagasan untuk membangun suatu taman di sekeliling candi, tidak hanya taman di sekeliling Candi Borobudur, melainkan juga taman di sekeliling Candi Prambanan. Sesuai dengan Masterplan yang dibuat oleh JICA (Japan International Cooperation Agency, 1979), nama taman yang mengelilingi Candi Borobudur & Prambanan dinamakan BOROBUDUR PRAMBANAN National Archaelogical Park, atau “Taman Purbakala Nasional BOROBUDUR PRAMBANAN” Dengan dibentuknya P.T. Taman Wisata Candi BOROBUDUR & PRAMBANAN , pada tanggal 15 Juli 1980, maka nama taman berubah menjadi “Taman Wisata Candi BOROBUDUR & PRAMBANAN”. Pada saat Bp. Boediardjo (alm.) menjabat sebagai Direktur Utama yang pertama di PT. Taman Wisata Candi BOROBUDUR & PRAMBANAN, beliau tidak mau menggunakan istilah “Taman Wisata Candi BOROBUDUR & PRAMBANAN”, melainkan mengunakan istilah Taman Candi BOROBUDUR & PRAMBANAN, dengan alasan bahwa penggunaan istilah “Taman Wisata” lebih berbau komersial, sedang beliau menghendaki bobot budaya Candi BOROBUDUR & PRAMBANAN yang harus lebih besar. Motivasi Pembangunan Taman Motivasi pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan adalah sebagai berikut: 1. Sebagai tindak lanjut dari pemugaran Candi Borobudur yang memakan waktu lebih dari satu dasawarsa dan menelan biaya tidak kurang dari 25 juta USD yang berarti ikut serta melestarikan peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. 2. Adanya taman candi akan dapat mengembalikan keagungan candi seperti pada waktu candi tersebut masih berfungsi. Candi akan dilihat dengan jelas dari jarak yang cukup jauh dan dari segala arah. Dengan lingkungan taman diharapkan akan tercapai suasana yang mendekati suasana pada waktu itu. Proses Pemugaran Candi Borobudur dari sisi timur Candi Borobudur dan sekitarnya sebelum menjadi taman wisata
148 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 3. Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang megah, anggun, dan indah menjadikan kawasan Borobudur & Prambanan sebagai suatu daerah wisata. Taman Wisata Candi Borobudur bercirikan sebagai suatu Pusat Studi Ilmu Percandian dengan adanya Museum dan Balai Konservasi Borobudur, sedang Taman Wisata Candi Prambanan bercirikan sebagai pusat pengembangan seni pentas dengan dibangunnya Panggung Terbuka Ramayana (Open air Theatre) dan Panggung Tertutup (Covered Theatre). Semuanya mempunyai simbiotik kepariwisataan yang berdampak tidak hanya di bidang pelestarian budaya tetapi juga termasuk pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang lebih luas. 4. Dengan dibangunnya Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan lengkap dengan Permukiman Pengganti (Pemukti) beserta segala fasilitas penunjangnya berarti terdapat pengembangan wilayah di kedua kawasan Borobudur & Prambanan. Fungsi / Kegunaan Taman Taman wisata candi disamping fungsinya sebagai sabuk pengaman yang hijau (safety green belt), juga dimaksudkan: 1. Sebagai peredam terhadap pengunjung candi yang melimpah ruah dan yang pada suatu saat bersamaan ingin menaiki candi. Dengan kata lain untuk memecah pencarkan arus pengunjung ke pelbagai objek wisata di dalam taman, sehingga semuanya tidak menuju ke candi pada waktu yang sama. Dengan adanya taman beserta fasilitasnya, pengunjung dapat diatur sedemikian rupa sehingga beban candi tidak terlalu berat (carrying capacity tidak terlampaui). 2. Memberi kesempatan kepada pengunjung untuk melihat candi dari kejauhan dan dari arah serta jarak yang berbeda. Candi yang dikelilingi taman yang sudah diatur sedemikan rupa akan dapat memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk melihatnya dari jarak dan arah yang berbeda tanpa terhalang oleh bangunan. 3. Mengurangi jumlah pendaki candi karena dengan adanya fasilitas umum seperti museum, pusat penerangan, Balai Konservasi Borobudur, dan lain sebagainya, orang sudah dapat mengetahui hal ikhwal tentang Candi Borobudur. 4. Memberikan informasi-informasi yang memadai kepada para pengunjung tentang Borobudur dari sudut pandangan yang berbeda, misalnya dari segi sejarah, arsitektur, agama, filsafat, atau dari bidang seni dan ilmu pengetahuan. 5. Untuk lebih bisa menanamkan rasa cinta tanah air kepada wisatawan nusantara pada umunya dan para remaja khususnya. Dengan lebih mengenali, menghayati, dan mendalami arti candi dan lingkungan sebagai manifestasi dari prestasi dan kebesaran budaya nenek moyang, maka akan lebih menimbulkan rasa cinta terhadap tanah air. 6. Untuk menambah keagungan dan keanggunan candi. Candi yang dikelilingi taman sari yang indah terlihat bagaikan permata yang diemban sebuah cincin emas berukir yang sama eloknya dengan setangkai teratai putih merekah di tengah telaga nan biru. 7. Untuk memelihara dan mengembangkan tanaman langka. Seperti diketahui di dalam taman akan terdapat banyak sekali spesies tanaman di mana beberapa spesies di antaranya merupakan tanaman-tanaman langka yang memang perlu dipertahankan eksistensinya, bahkan perlu dikembangkan dan dikenalkan kepada generasi-generasi mendatang. Perencanaan Taman 1. Periode survei sampai masterplan (1973-1979) a. Sebuah tim studi dari Jepang yang tergabung dalam OTCA (Overseas Technical Cooperation Agency) sejak Oktober 1973 telah mengadakan penelitian di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan didampingi oleh Tim counterpart Indonesia. Dengan referensi hasil studi tim dari Belanda TDC (Tourism Development Cooperation) dengan laporannya berjudul: Tourism Development, Central Java and Yogyakarta a feasibility study in infrasructure (1972), maka Tim OTCA dapat bekerja lebih lancar sehingga dalam waktu kurang dari satu tahun telah menghasilkan laporan berjudul: Central Java and Yogyakarta Area Tourism Development (Juli 1974).
200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 149 b. Studi selanjutnya (1974–1976) dilaksanakan oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) dan menghasilkan Masterplan National Archaeological Park Project Borobudur and Prambanan (Maret 1976). c. Setelah melalui penelitian kembali dan perencanaan ulang kemudian terbit revisi Masterplan yang diselesaikan oleh JICA dengan judul Borobudur and Prambanan National Archaelogical Park (Juli 1979). Adapun studi untuk tata lingkungan permukiman penduduk Pemukti (Permukiman Pengganti) dilaksanakan oleh Research Centre Bagian Arsitektur, Fakultas Teknik UGM. Yang tidak kalah penting dari Rencana Fisik Taman dan Lingkungan pemukiman pengganti adalah perlunya peraturan tentang zona (zoning regulation), tata guna tanah (land used) dan tata guna bangunan (building codes) yang justru akan menunjang dan memperkuat kedudukan dan keberadaan taman itu sendiri. Pembagian Zona menurut Masterplan adalah sebagai berikut: a. Zona I (Sanctuary Area ) Zona untuk pelindungan dan pencegahan terhadap perusakan lingkungan fisik situs arkeologi. Di dalam zona ini tidak diperbolehkan adanya bangunan apapun kecuali bangunan candi itu sendiri. b. Zona II (Taman Wisata) Zona untuk pembangunan fasilitas-fasilitas taman yang ditujukan bagi kenikmatan pengunjung/wisatawan dan pemeliharaan lingkungan situs bersejarah. c. Zona III Zona untuk peraturan penggunaan tanah (land use) di sekitar taman dan pelindungan terhadap lingkungan, di samping itu juga untuk pengontrolan area di sekitar taman. d. Zona IV Zona untuk pemeliharaan benda-benda bersejarah dan pencegahan terhadap perusakan benda-benda tersebut. e. Zona V Zona untuk keperluan survei arkeologi dan pencegahan terhadap perusakan monumen arkeologi yang belum ditemukan.
150 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur 2. Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden RI Nomor 1 tahun 1992 tentang Pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur dan Taman Wisata Candi Prambanan serta Pengendalian Lingkungan Kawasannya, kawasan candi sesuai dengan Rencana Induk Pembangunan Taman Purbakala Nasional dibagi dalam 3 zona sebagai berikut: a. Zona I Merupakan lingkungan kepurbakalaan yang diperuntukkan bagi pelindungan dan pemeliharaan kelestarian lingkungan fisik candi. b. Zona II Merupakan kawasan di sekeliling Zona I masing-masing candi dan diperuntukkan bagi pembangunan taman wisata sebagai tempat kegiatan kepariwisataan, penelitian, kebudayaan dan pelestarian lingkungan candi. c. Zona III Merupakan kawasan di luar Zona II masing-masing candi dan diperuntukkan bagi pemukiman terbatas, daerah pertanian, jalur hijau, atau fasilitas tertentu lainnya yang disediakan untuk menjamin keserasian dan keseimbangan kawasan di Zona I pada umumnya dan untuk pendukung kelestarian candi serta fungsi taman wisata pada khususnya. 3. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (yang telah diperbahrui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya), batas – batas situs dan lingkungannya diterapkan dengan sistem pemintakatan (zoning) yang terdiri dari : a. Mintakat Inti (Mintakat I) Adalah lahan situs yang merupakan bagian tak terpisahkan dari candi sebagai cagar budaya. b. Mintakat Penyangga (Mintakat II) Adalah lahan di sekitar situs yang berfungsi sebagai penyangga bagi kelestarian situs. c. Mintakat Pengembangan (Mintakat III) Adalah lahan di sekitar mintakat penyangga dan mintakat inti yang dapat dikembangkan untuk difungsikan