kajian islam, ebook islami 3 bahasa, aplikasi islami, kunjungi :
http://ayubmenulis.blogspot.com/
PROLEGOMENA
TO THE METAPHYSICS OF ISLAM:
AN EXPOSITION OF THE FUNDAMENTAL ELEMENTS OF THE
WORLDVIEW OF ISLAM
Assalamu alaikum wr wb
Saudaraku yang dirahmati Allah, terima kasih telah
mengunduh ebook ini...
tolong doakan saya (Ayub) semoga
bisa menjadi manusia yang
bermanfaat untuk ummat Islam, trutama lewat tulisan :)
silatul ukhuwah di...
Facebook : https://www.facebook.com/IslamNoShiroiKiba
Twitter : @ayub_elmarhum
Google Plus : https://plus.google.com/104930461227927716836
rumah ide di...
Blogspot : http://www.ayubmenulis.blogspot.com
Wordpress : http://www.blog.umy.ac.id/profayub
karya:
Syed Muhammad Naquib Al-Attas
1 Prolegomena
kajian islam, ebook islami 3 bahasa, aplikasi islami, kunjungi :
http://ayubmenulis.blogspot.com/
RESUME
PROLEGOMENA
TO THE METAPHYSICS OF ISLAM:
AN EXPOSITION OF THE FUNDAMENTAL ELEMENTS OF THE WORLDVIEW OF ISLAM
Profil Buku dan Pengarang
Prolegomena To The Metaphysics Of Islam, merupakan sebuah buku yang ditulis oleh
seorang filsuf Islam yang bernama Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Buku ini, sebagaimana
dikatakan pada bagian pengantar cetakan pertama pada tahun 1995, merupakan Bab-bab yang
pada aslinya diterbitkan sebagai monografi terpisah dalam jumlah terbatas atas permintaan staf
akademik ISTAC dan pihak lain. Mereka meminta saya untuk mengelaborasi komentar tiap
monografi, dalam bentuk sebuah kuliah di ISTAC yang kemudian dikenal sebagai Kuliah Sabtu
Malam[1].
Dengan pengecualian akan bab I, yang telah ditulis dua puluh tahun lalu pada bulan
Ramadan, keenam bab lain telah ditulis dan dilengkapi selama bulan pada tahun 1989 (III; 1990
(IV, V dan VI); 1993 (II); dan 1994 (VII). Bab II, merupakan komentar atas penjelasan teori Al-Attas
tentang makna dan asal tragedi. Keseluruhan buku ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian
Penutup, akhirnya menunjuk kepada interpretasi makna yang tersembunyi dari bagian Qur’an
tentang Penciptaan dalam Enam Hari.
Sekilas tentang Al-Attas, dia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tahun 1931, dan menjalani
pendidikan dasar di Sukabumi dan Johor Baru. Lalu, menempuh pendidikan di The Royal
Military Academy, Sandhurst, England, lalu ke University of Malaya, Singapura. Gelar master
diraihnya di McGill University, Montreal, Canada, dan PhD di University of London, London,
Inggris, dengan konsentrasi bidang ‘Islamic philosophy’, ‘theology’ dan ‘metaphysics’. Di McGill inilah
kemudian ia berkenalan dengan beberapa orang sarjana yang terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb
(Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran).
Kualitas keilmuan yang dimilikinya tersebut sampai membuat Fazlur Rahman menyatakan
bahwa Al-Attas merupakan seorang pemikir ‘jenius’ yang dimiliki dunia Islam.
Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan yang dialaminya, antara lain: ketua
Department of Malay Language and Literature, Dekan the Faculty of Arts, dan pemegang pertama ‘the
Chair of Malay Language and Literature’, dan Direktur pertama The Institute of Malay Language,
Literature and Culture, yang ia dirikan tahun 1973. Ia juga mengetuai The Division of Literature di
Department of Malay Studies, University of Malaya, Kuala Lumpur. Juga, ia pernah memegang
posisi UNESCO expert on Islamics; Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University and
Ohio University, distinguished Professor of Islamic Studies and the first holder of the Tun Abdul Razak
Distinguished Chair of Southeast Asian Studies at the American University, Washington, Ibn Khaldun
Chair of Islamic Studies (1986), dan Life Holder Distinguished Al-Ghazali Chair of Islamic Thought,
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993.
2 Prolegomena
kajian islam, ebook islami 3 bahasa, aplikasi islami, kunjungi :
http://ayubmenulis.blogspot.com/
Professor al-Attas telah memberikan kuliah di berbagai belahan dunia dan menulis lebih
dari 30 buku dan berbagai artikel tentang Islam, menyangkut masalah filsafat Islam, teologi,
metafisika, sejarah, sastra, agama, dan peradaban. Beberapa bukunya yang ditulis dalam bahasa
Melayu dan Inggris telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Jerman, Italia,
Rusia, Bosnia, Albania, Jepang, Korea, India, dan Indonesia. Atas jasanya yang besar dalam
pengembangan bidang comparative philosophy, ‘The Empress of Iran’ mengangkatnya sebagai Fellow
di Imperial Iranian Academy of Philosophy tahun 1975. Presiden Pakistan memberikan
penghargaan ‘Iqbal Medal’ tahun 1979. Sejak tahun 1974, Marquis Who's Who in the World telah
memasukkan Al-Attas ke dalam daftar nama orang-orang yang menunjukkan prestasi istimewa
dalam bidangnya.
Al-Attas dikenal sebagai pelopor konseptualisasi Universitas Islam, yang ia formulasikan
pertama kalinya pada saat acara ‘First World Conference on Muslim Education’, di Makkah (1977).
Tahun 1987, ia mewujudkan gagasannya dengan mendirikan The International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC). Ia merancang dan membuat arsitektur sendiri bangunan ISTAC,
merancang kurikulum, dan membangun perpustakaan ISTAC yang kini tercatat salah satu
perpustakaan terbaik di dunia dalam Islamic Studies. Raja Hussein mengangkatnya sebagai
‘Member of the Royal Academy of Jordan (1994). The University of Khartoum menganugerahinya
‘Degree of Honorary Doctorate of Arts (D.Litt.), 1995. The Organization of Islamic Conference (OIC), atas
nama dunia Islam, melalui ‘The Research Centre for Islamic History, Art and Culture (IRCICA)
menganugerahi Al-Attas ‘The IRCICA Award’ atas kontribusi besarnya terhadap peradaban Islam
(2000); The Russian Academy of Science memberikan kehormatan kepada al-Attas untuk
memberikan ‘Special Presentation’ kepada para akademisi di Moskow (2001). Pemerintah Iran,
melalui lembaganya, ‘Society for the Appreciation of Cultural Works and Dignitaries’, memberikan
penghargaan kepada al-Attas ‘a special Award of Recognition’ (2002).
Disamping itu, Prof. al-Attas juga anggota ‘The Advisory Board of Al-Hikma Islamic
Translation Series, Institute of Global Cultural Studies, Binghamton University, SUNY, Brigham Young
University; anggota ‘The Advisory Board of the Royal Academy for Islamic Civilization Research,
Encyclopaedia of Arab Islamic Civilization, Amman, Jordan; dan anggota ‘The Assembly of the
Parliament of Cultures, International Cultures Foundation’, Turki.
Al-Attas telah menulis lebih dari 400 makalah ilmiah di negara-negara Eropa, Amerika,
Jepang, Timur Jauh, dan pelbagai negara Islam lainnya. Dia juga telah menulis 26 buku dan
monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu dan banyak yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia,Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Prancis,
Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Albania.[2]
Al-Attas juga menjadi seorang yang penting karena pandangannya tentang elemen-elemen
pandangan-dunia (worldview) Islam dan Barat, serta analisanya tentang kemunduran umat Islam.
Bagaimana respon Barat sendiri terhadap pandangannya begitu bervariasi seperti dapat dilihat,
misalnya, juga disampaikan saat Konferensi Internasional para Filosof pada Januari 2000, di
University of Hawai. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 160 cendekiawan dari 30 negara dan
berlangsung selama dua minggu. Tema yang dibahas ialah “Technology and Cultural Values on
the Edge of the Third Millennium”. Dalam editorialnya terhadap buku kompilasi hasil konferensi
itu, tiga ilmuwan terkenal, yaitu Pater D. Hershock, Marietta Stepaniants, dan Roger T. Ames,
mencatat bahwa paparan al-Attas yang menyorot kesesuaian dan ketidaksesuaian antara tradisi
3 Prolegomena
http://ayubmenulis.blogspot.com/
Barat dalam sains dan teknologi dengan sistem epistemologi dan metafisika Islam, merupakan
paparan yang artikulatif, cermat, dan sistematis, tentang basis revisi Islami terhadap tujuan dan
premis-premis moral dalam sains dan teknologi.
Kandungan Buku Prolegomena
Penjelasan kandungan buku tersebut, akan penulis uraikan dari sebuah pertanyaan: apa
signifikansi dari buku Prolegomena To The Metaphysics Of Islam? dan kemudian mengelaborasi unsur-
unsur mendasar pandangan-dunia Islam yang disajikan di dalamnya.
Buku tersebut memiliki signifikansi terhadap umat Islam dan masyarakat Barat. Khusus
bagi umat Islam, signifikansi tersebut terletak pada persoalan kemunduran umat Islam dewasa
ini. Kemunduran tersebut, menurut Al-Attas, terletak pada persoalan ilmu, bukan hukum
maupun politik. Kemunduran yang terjadi pada umat Islam, menurutnya, disebabkan oleh
korupsi atau kerusakan ilmu. Kerusakan ilmu yang dimaksud bahwa ilmu yang kini beredar di
seluruh dunia sebenarnya tidak netral dan dirasuki oleh karakteristik peradaban Barat yang
bermasalah. Hal ini diungkapkan di dalam beberapa bagian buku tersebut, seperti bagian
Pengenalan, bab 1: Konsep Agama dan Fondasi Moralitas, bab 2: Kebahagiaan, dan bab 3: Islam dan
Filsafat Sains. Sorotan yang sedemikian tajam diberikan terhadap persoalan ini, sebab ilmu yang
telah dimuati karakteristik Barat telah membuat umat Islam – yang secara internal juga memiliki
masalah pemahaman keislaman – tertipu oleh slogan objektifitas dan ilmiah yang membuat
mereka tidak kritis dalam menerima apa yang datang dari Barat – secara umum dari luar. Hal ini
diperoleh saat Al-Attas berusaha mengenali Barat secara tepat. Ia kemudian mendefinisikan Barat
sebagai :
Dengan ‘peradaban Barat’ saya bermaksud peradaban yang telah berevolusi dari leburan historis, filsafat,
nilai dan cita-cita dari Yunani Kuno dan Romawi; peleburan mereka dengan Yudaisme dan Kristianitas,
dan pengembangan mereka lebih lanjut dan pembentukan oleh orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan
Nordik. Dari Yunani kuno diturunkan unsur filosofis dan epistemologis dan fondasi pendidikan dan etika
dan estetika; dari Romawi unsur hukum dan keahlian berpolitik dan pemerintahan; dari Yudaisme dan
Kristianitas unsur keyakinan keagamaan; dan dari orang-orang Latin, Jerman, Celtic, dan Nordik semangat
independensi dan jiwa kebangsaan dan nilai tradisional mereka, dan pengembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan alam dan fisik dan teknologi dimana mereka, bersama dengan orang-orang Slavia, telah
mendorong hingga kekuatan puncak. Islām juga telah membuat kontribuasi yang sangat penting pada
peradaban Barat dalam nuansa pengetahuan dan menanamkan jiwa rasional dan saintifik, tetapi
pengetahuan dan jiwa rasional dan saintifik telah dituang kembali dan dicetak ulang untuk menyesuaikan
tempat kebudayaan Barat sehingga mereka telah menjadi menyatu dan lebur dengan semua unsur lain yang
membentuk karakter dan personalitas peradaban Barat. Tetapi fusi dan peleburan ini dengan demikan
berevolusi menghasilkan karakter dualisme dalam pandangan-dunia dan nilai dari peradaban dan
kebudayaan Barat; sebuah dualisme yang tidak dapat diselesaikan ke dalam kesatuan yang harmonis, karena
itu dibentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan, kepercayaan-lemah, filsafat, dogma, doktrin dan teologi yang
bertentangan dan semuanya merefleksikan sebuah visi dualistik tentang realitas dan kebenaran yang
menembus semua yang terkunci dalam perang yang putus asa. Dualisme terdapat di semua aspek
kehidupan dan filsafat Barat: yang spekulatif, sosial, politis, kebudayaan – seperti itu meliputi dengan
ketidaktawaran (inexorableness) yang setara agama Barat.[3]
4 Prolegomena
http://ayubmenulis.blogspot.com/
Definisi tersebut ternyata kemudian dinyatakan sebagai sesuatu yang paling menohok
dalam mengungkapkan kelemahan peradaban Barat, terbukti dengan diapresiasinya dan
digunakannya definisi tersebut dalam studi tentang Barat. Inilah hal yang menjadikan buku ini
juga memiliki signifikansi terhadap peradaban Barat. Mengungkapkan Barat secara tepat
merupakan sesuatu yang sebenarnya dilakukan untuk mengidenfitikasi entitas, yang secara
mendalam bertentangan secara permanen (permanent confrontation).[4]
Al-Attas lebih lanjut menegaskan bahwa umat Islam juga memiliki persoalan internal yang
terjadi disebabkan pembatasan makna kosa kata kunci dalam pandangan-dunia Islam.
Penyempitan dan perluasan tidak berdasarkan sistem akar kata merupakan salah satu penyebab.
Al-Attas menyatakan pada bagian Pengenalan bahwa:
kata-kata yang mengandung makna yang fokus di atas kebenaran mendasar yang khas bagi Islām,
contohnya di antara yang lain, ‘pengetahuan’ (‘ilm), ‘keadilan’ (‘adl), tindakan yang betul (adab),
‘pendidikan’ (ta’dīb), telah dirusakkan, sehingga ‘pengetahuan’ menjadi terbatas pada jurisprudensi, atau
yang hanya berdasarkan pada bentuk terbatas dari rasio dan pengalaman inderawi; ‘keadilan’ bermakna
persamaan yang tidak memenuhi syarat, atau hanya prosedur; ‘tindakan yang betul’ bermakna etiket yang
hipokrit; dan ‘pendidikan’ bermakna jenis pelatihan yang memimpin kepada akhir yang diturunkan dari
rasionalisme filosofis dan sekular.[5]
Oleh karena itu, menurutnya, menjadi kewajiban pada cendekiawan muslim dalam
mengawasi penggunaan kosa kata kunci tersebut sehingga umat Islam tetap terpelihara dari
kebingungan yang tidak perlu, khususnya dalam persentuhan dengan peradaban lain. Pandangan
yang sedemikian ketat, disebabkan pandangan Al-Attas bahwa bahasa mencerminkan ontologi.
Bahasa memuat pandangan-dunia suatu peradaban. Islamisasi, menurutnya, dimulai dari bahasa.
Oleh karena itu ia kemudian memperkenalkan pula apa yang disebutnya sebagai bahasa Islami.
Sebab bahasa dapat dikategorikan sebagai Islām ada dengan kebajikan dari keumuman kosakata
dasar Islām yang melekat dalam setiap bahasa tersebut, istilah dan konsep kunci dari setiap
bahasa sebaiknya memang mengandung makna yang sama, karena mereka semua terlibat dalam
jaringan konseptual dan semantik yang sama.[6]
Dalam persoalan bahasa tersebut ia juga mengatakan bahwa jika Islamisasi bermula dari
pikiran yang terwujud kepada bahasa, maka begitu pula sekularisasi. Oleh sebab itu ia
mengatakan bahwa kebingungan yang tidak perlu mengenai kosa kata kunci dalam pandangan-
dunia Islam, secara utama disebabkan oleh penerjemahan sekularisasi dan sekularisme ke dalam
bahasa Arab Kristen dan kemudian dibiarkan digunakan dalam pemikiran Islam kontemporer
dengan kata ‘almāniy. Padahal tidak ada padanan antara sekularisme dengan apa yang ada pada
Islam. Penerjemahan ini diperparah dengan tidak sadarnya para penerjemah tersebut dengan
perubahan makna sekularisme dalam kesadaran dan pengalaman peradaban Barat. Makna yang
diterjemahkan oleh para penerjemah Arab Kristen tersebut sebenarnya merupakan makna yang
ada pada masa Gereja Latin Awal. Sedangkan makna yang sekarang ada adalah apa yang
disampaikan oleh pendukung utamanya yaitu Van Peurseun. [7] Pada akhirnya sekularisme
ataupun sekularisasionisme merupakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Sebab,
sekularisme menghapuskan hubungan alam dengan Tuhan, menghapuskan legitimasi ilahi
terhadap persoalan siyasah, dan meletakkan semua nilai-nilai dalam wilayah yang relatif dengan
asumsi bahwa semua nilai-nilai tersebut merupakan buatan manusia.
5 http://ayubmenulis.blogspot.com/ Prolegomena
http://ayubmenulis.blogspot.com/
Mulailah kiranya dapat dilihat bahwa Prolegomena menjadi buku yang sangat penting sebab
buku tersebut menyoroti unsur-unsur mendasar pandangan-dunia Islam yang memiliki ikatan
yang erat dengan gagasan umat Islam tentang tajdid. Al-Attas mengungkapkan bahwa unsur-
unsur mendasar tersebut dan konsep kunci bersangkutan memiliki kegamblangan yang
mendalam, di atas gagasan kita tentang perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Menurut Al-
Attas, secara singkat:
Konsep ‘perubahan’, ‘perkembangan’, dan ‘kemajuan’ mengandaikan situasi dimana kita menemukan diri
kita dibingungkan oleh campuran kebenaran dan kepalsuan, akan kenyataan dan ilusi, dan menjadi
tawanan dalam wilayah yang ambigu. Dalam situasi yang bertentangan, tindakan kita yang positif dalam
pertunjukkan kebebasan untuk memilih yang lebih baik, untuk menerima apa yang baik dan relevan dengan
kebutuhan kita, untuk secara sungguh hati-hati dalam keputusan kita akan kebutuhan, sementara itu tetap
mempertahankan usaha kita untuk kembali kepada jalan lurus dan mengarahkan langkah kita dalam
kesepakatan dengannya – usaha semacam itu, yang menyertakan perubahan, adalah perkembangan; dan
kondisi kembali seperti itu, yang terkandung dalam perkembangan, adalah kemajuan.[8]
Unsur-unsur mendasar tersebut terdiri dari, untuk menyebutkan yang paling penting dari
unsur-unsur mendasar pandangan-dunia, yakni, sifat-dasar Tuhan; tentang Wahyu (cth. Qur’ān);
tentang ciptaan-Nya; tentang manusia dan psikologi jiwa manusia; tentang pengetahuan; tentang
agama; tentang kebebasan; tentang nilai dan kebajikan (ihsān); tentang kebahagiaan.
Kini penulis akan mengelaborasi secara ringkas tapi cukup mendalam tentang unsur-unsur
mendasar tersebut, berdasarkan bab-bab yang ada dalam Prolegomena, meski tidak berurutan.
Pada Bab 1: Islam, Konsep Agama dan Fondasi Moralitas, Al-Attas menawarkan sebuah
definisi agama berdasarkan pada penanda dīn. Definisi ini merupakan suatu yang asli baru
pertama kali dibuat olehnya. Disebabkan penanda atau kosa kata kunci dalam pandangan-dunia
Islam berputar dalam jaringan semantik yang berdasarkan akar kata, definisi tersebut memang
merupakan aplikasi Al-Attas terhadap prinsip tersebut. Definisi tersebut diberikan juga dengan
pertimbangan bahwa definisi agama dari peradaban Barat – yakni, religion – tidak sama dengan
apa yang ada dalam Islam.
Ia mengatakan bahwa:
Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar yang meskipun
terlihat berlawanan satu sama lain, namun secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok
yang diturunkan semuanya menampilkan diri sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. Dengan
‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa yang digambarkan sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam
dirinya semua makna mungkin yang relevan dan inheren dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan
konsep Islām yang diterjemahkan ke dalam realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam
pengalaman manusia, kemunculan pertentangan pada makna dasarnya tentu saja tidak terkait dengan
kekaburan; melainkan berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifat-dasar manusia itu sendiri,
yang direfleksikan secara setia. Dan kekuatan mereka untuk merefleksikan sifat-dasar manusia secara setia
adalah demonstrasi yang jelas itu sendiri akan kejernihan, ketelitian, dan otentisitas dalam mengandung
kebenaran.[9]
Penanda dīn, menurutnya, dapat dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, (1)
keberhutangan; (2) ketundukan; (3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah. Ia
6 Prolegomena
http://ayubmenulis.blogspot.com/
lebih lanjut mengatakan bahwa kata kerja dana yang diturunkan dari dīn mengandung makna
sedang berhutang, termasuk pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, beberapa dari
mereka berlawanan. Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, itu
untuk mengatakan, seorang da’in menyertainya bahwa seseorang memerintah dirinya sendiri,
dalam pengertian hasil dan mematuhi, pada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga,
dengan cara, kepada kreditor, yang juga sama ditunjuk sebagai da’in[10]. Ada juga yang
terkandung dalam situasi yang digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada
di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah
melibatkan pengadilan: daynunnah, dan kesaksian: idanah, sebagaimana kasus tersebut. Semua
penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dana hanya mungkin dipraktekkan
dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang
ditunjuk dengan mudun atau mada’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim,
pengatur, atau pengelola, seorang dayyan. Jadi sudah ada di sini dalam pelbagai penggunaan
hanya dari kata kerja dana, kita melihat hadir di depan mata pikiran kita sebuah gambar
kehidupan yang beradab; akan kehidupan sosial akan hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas[11].
Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain
maddana[12] yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki dan memanusiakan;
darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial.
Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar pada kondisi berhutang penanda lain
yang berhubungan, yang lain seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi
diperbudak; dan dari penanda seperti hakim, pengatur, pemerintah terdapat tanda yang diturunkan
makna yang menandakan menjadi perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat
dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada
beberapa waktu yang dijanjikan). Kini inti gagasan tentang hukum, keteraturan, keadilan,
otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari
konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang
konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan
perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap
sebagai normal dalam hubungan dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini adalah sebuah
kondisi yang biasa atau terbiasa. Dari sini, kemudian, kita dapat lihat logika dibalik turunan dari
penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter atau kecenderungan alamiah.
Pada tahap partikular ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk paling dasar
sungguh merefleksikan kesaksian yang benar akan kecenderungan alamiah manusia untuk
membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan sebuah
kerajaan, sebuah kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan
kita adalah yang paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih
mendalam tentangnya.
Dalam bab 1, Al-Attas kemudian juga mengelaborasi tentang bagaimana seseorang secara
alamiah akhirnya menyadari bahwa ia sedang berhutang kepada Tuhan. Hutang tersebut
termasuk juga dirinya atau eksistensinya. Hutang tersebut dikembalikan kepada Tuhan dengan
dirinya sebagai alat bayar hutang itu sendiri. Manusia yang membayar hutang tersebut akan
menjadikan dirinya sebagai pelayan Tuhan. Terdapat dua penanda yang menunjuk kepada
makna pelayan Tuhan yaitu khadim dan ‘abid. Penanda pertama menunjuk kepada makna bahwa
pelayanan seseorang kepada Tuhan merupakan suatu hal yang beranjak dari keinginan dirinya
sendiri. Khadim merupakan pihak yang tidak terikat dengan pihak yang dilayani. Dari sini kita
langsung menuju penanda kedua yaitu, ‘abid yang bermakna bahwa seseorang yang menjadi
7 Prolegomena
pelayan bersifat terikat dengan yang dilayani. Sehingga seorang pelayan melayani dengan bentuk
yang sesuai dengan permintaan yang dilayani. Meskipun dua penanda tersebut nampak
berlawanan, sebenarnya tidak demikian. Kedua penanda tersebut sebenarnya menunjuk kepada
aspek bahwa manusia memiliki pilihan (ikhtiyār) untuk melayani Tuhan dan saat dia sudah
memilih maka ia melayani Tuhan sesuai dengan apa yang disampaikan Tuhan. Dari sini juga, Al-
Attas mengatakan bahwa ‘abid lebih tepat dalam menunjuk pelayan Tuhan, yang pelayanannya
disebut ‘ibadāt.
Saat manusia melayani Tuhan, maka pelayanannya tersebut berbuah kebaikan, seperti bumi
yang mati kemudian ditimpa hujan yang berulang-ulang dan menumbuhkan pelbagai tumbuhan
di atasnya. Pengembalian hutang atau pelayanannya pun kemudian dibalas dengan berlipat
ganda. Dalam pelayanannya, sebenarnya manusia – yang ditunjuk sebagai ‘abid – juga sedang
memenuhi tujuan penciptaannya, sebagaimana disampaikan dalam Qur’an:
‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’buduni).[13]
Maka menjadi masuk akal jika pelayanan yang dilakukan oleh manusia dirasakan oleh
manusia sendiri sebagai sesuatu yang alamiah. Kealamiahan ini akhirnya beririsan dengan apa
yang dikenal sebagai fţtrah. Bahkan dīn juga bermakna fitrah[14]. Fitrah adalah pola yang
berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala sesuatu. Hal tersebut adalah cara penciptaan
oleh Tuhan, sunnat Allah, dan segalanya cocok satu sama lain ke dalam pola yang diciptakan
untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Itu adalah hukum Tuhan. Ketundukan
kepadanya membawa kondisi harmonis, karena itu bermakna perwujudan apa yang inheren
dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya membawa ketidakharmonisan, karena
itu bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan terhadap sifat-dasar seseorang yang
benar. Fiţrah adalah cosmos sebagaimana dilawankan dengan chaos; keadilan sebagaimana
dilawankan dengan ketidakadilan. Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku Rabbmu?”, dan diri
sejati manusia, bersaksi pada dirinya, menjawab: “Ya!” dalam pengakuan kebenaran akan
kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika manusia
diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan benar,
mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga
penyembahannya tersebut, tindakan kesalehan, hidup dan matinya dihidupi hanya karena Tuhan.
Satu makna dari fiţrah sebagai dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian oleh manusia[15].
Ketundukan dalam pengertian yang digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan
sadar, dan ketundukan ini tidak menyertakan kehilangan ‘kebebasan’ untuknya, karena
kebebasan dalam faktanya bermakna bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia
yang tunduk pada Tuhan dalam jalan ini adalah menghidupi dīn ini.
Dari sini pula, Al-Attas menegaskan pandangannya bahwa hanya ada satu agama,
sedangkan yang lainnya hanya merupakan keagamaan. Sebab, hanya Islamlah yang dilekatkan
dengan dīn secara sejati sedangkan ketika dīn digunakan untuk agama lain, sebenarnya hanya
dilekatkan secara metaforis.
Hal ini secara gamblang dikatakannya bahwa ketundukan menunjuk kepada kesadaran dan
ketundukan sukarela, karena tanpa kesadaran dan keinginan maka ketundukan tidak dapat
bermakna ketundukan sejati. Konsep ketundukan mungkin umum pada semua agama, seperti
kepercayaan-kuat (faith) atau kepercayaan-lemah (belief) adalah inti semua agama, tetapi kita
mempertahankan bahwa tidak semua agama menetapkan ketundukan sejati. Bukanlah
8 Prolegomena
ketundukan jika bermakna jenis yang sesaat atau tak menentu, karena ketundukan sejati adalah
tindakan berkelanjutan yang dihidupi sepanjang masa kehidupan etis seseorang; maupun jenis
yang hanya beroperasi di alam hati tanpa diwujudkan secara lahiriah dalam tindakan tubuh
sebagaimana perbuatan ditampilkan dalam kepatuhan pada hukum Tuhan. Ketundukan pada
keinginan Tuhan bermakna juga kepatuhan pada hukum-Nya. Kata yang menandakan pengertian
ketundukan ini adalah aslama, sebagai bukti dalam Qur’an Suci ketika Tuhan berkata:
‘Siapa yang dapat lebih baik dalam agama (dīn) daripada seseorang yang menundukkan (aslama) wajahnya
(cth. seluruh dirinya) pada Tuhan...?’[16]
Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islām. Terdapat, tidak diragukan, bentuk-bentuk lain dari dīn,
tetapi salah satu yang menetapkan ketundukan (istislām) total hanya pada Tuhan adalah yang
terbaik, dan yang satu ini merupakan satu-satunya dīn yang diterima Tuhan, sebagaimana Dia
berkata dalam Qur’an Suci:
‘Jika siapapun menghendaki sebuah agama (dīn) yang lain dari Islām (al-Islām), tidak pernah akan diterima
darinya...”[17]
dan lagi:
‘Sesungguhnya Agama (al-dīn) di sisi Tuhan adalah Islām (al-Islām)’[18]
Menurut Qur’an Suci, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena
segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Tuhan. Karenanya istilah dīn juga digunakan,
sekalipun hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islām. Namun, apa yang
membuat Islām berbeda dengan agama lain adalah bahwa ketundukan menurut Islām adalah
ketundukan yang tulus dan total pada kehendak Tuhan, dan ini ditetapkan secara sukarela sebagai
kepatuhan absolut pada hukum yang diwahyukan-Nya. Gagasan ini secara tersirat diungkapkan
dalam Qur’an Suci, sebagai contoh, dalam bagian berikut:
‘Apakah mereka mencari yang lain daripada agama (dīn) Tuhan? Padahal semua makhluk di langit dan
bumi telah, secara sukarela atau terpaksa, tunduk (aslama) pada kehendak-Nya, dan kepada-Nyalah mereka
semua dikembalikan.’[19]
Bentuk dimana ketundukan ditetapkan atau diungkapkan adalah bentuk dīn, dan di sinilah
keanekaragaman muncul antara satu dīn dengan yang lain[20]. Bentuk ini, yang merupakan cara
institusi kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah, cara ungkapan hukum, cara sikap dan
perilaku keagamaan, etis, dan moral – cara yang dengannya ketundukan pada Tuhan ditetapkan
dalam hidup kita, diungkapkan dengan konsep millah. Islām mengikuti millah Nabi Ibrahim
(Abraham), yang juga merupakan millah Nabi-Nabi lain setelahnya (semoga kedamaian atasnya!).
Millah mereka secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai bentuk agama yang benar dīn al-
qayyim, sebab dari semua milal yang lain, hanya millah mereka yang cenderung secara sempurna,
hanifan, menuju Agama yang benar (al-Islām). Jadi mereka mendahului Islām dalam kepercayaan-
kuat, kepercayaan-lemah, hukum, dan praktek keagamaan dan karenanya juga disebut muslim,
meskipun Agama Islām seperti sekarang ini mencapai kristalisasi sempurna hanya dalam bentuk
yang dieksternalisasikan oleh Nabi Suci. Agama lain mengembangkan sistem atau bentuk
ketundukan berdasarkan tradisi kultural mereka yang tidak serta merta diturunkan dari millah
Nabi Ibrahim dan namun beberapa yang lain, seperti agama ahlu’l-kitab – Orang-Orang Berbuku
9 Prolegomena
(People of the Book) – yang telah mengembangkan campuran tradisi kultural mereka sendiri
dengan tradisi yang berdasarkan Wahyu. Adalah untuk pelbagai sistem atau bentuk ketundukan
ini yang, untuk kondisi pada tulisan yang baru dikutip, ditunjuk sebagai jenis ketundukan yang
”terpaksa”[21].
Kembali pada pelayanan yang dilakukan oleh manusia, maka jiwa pelayan yang telah
memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan pengakuan yang berkelanjutan, dan karena tidak
ada yang kenal lebih baik tentang Rabbnya daripada pelayan-Nya yang sejati dan setia, yang
dengan pelayanan seperti itu mendapatkan keintiman dengan Rabb dan Pemiliknya, maka ‘ibādah
bermakna, pada akhirnya, pada tahap lanjut, sebagai pengetahuan: ma’rifah[22].
Pandangannya tentang agama sebenarnya juga berputar atau berpusat pada Perjanjian
Manusia di alam arwah, yang terungkap dalam Qur’an surat Al-‘Araf ayat 172. Pada bab ini juga
Al-Attas mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan. Ia mengatakan bahwa
pengetahuan, sebagaimana kita pahami, ada dua jenis: yang diberikan oleh Tuhan pada manusia;
dan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri atau penelusuran rasional berdasarkan
pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui tindakan
penyembahan dan ketaatan, tindakan dalam pelayanan pada Tuhan (‘ibadat) yang, tergantung
pada rahmat Tuhan dan kekuatan dan kapasitas laten spiritualnya yang diciptakan Tuhan untuk
menerimanya, manusia tersebut menerima dengan pandangan langsung atau perasaan spiritual
(dhawq) dan terbukanya selubung pada visi spiritualnya (kashf). Pengetahuan (ma’rifah) ini
menyentuh pada diri atau jiwanya, dan pengetahuan tersebut – seperti sudah kita sentuh pada
penjelasan kita tentang hubungan analogis yang diperoleh antara makrokosmos dan
mikrokosmos – memberikan pandangan mendalam pada pengenalan akan Tuhan, dan karena
alasan tersebut, adalah pengetahuan tertinggi. Karena pengetahuan tersebut secara pokok
tergantung rahmat Tuhan dan membutuhkan perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sebagai
persyaratan akan kemungkinan pencapaiannya, itu menyertakan bahwa pengetahuan tentang
prasyarat menjadi diperlukan, dan ini termasuk pengetahuan yang esensial dari Islām (arkan al-
islām dan arkan-al-iman), makna, tujuan mereka, pemahaman yang benar, dan implementasi dalam
kehidupan sehari-hari: setiap muslim harus memiliki pengetahuan tentang prasyarat tersebut,
harus memahami dasar esensial dari Islām dan Keesaan Tuhan (tawhid), dan mempraktekkan
pengetahuan (al-’ilm) dalam perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sehingga setiap manusia
Islām sudah siap pada tahap awal pengetahuan pertama tersebut; dia siap pada Jalan Lurus (sirat
al-mustaqin) menuju Tuhan. Kemajuan lebih lanjutnya pada jalan peziarah tergantung pada
perbuatan dan ketulusan tujuannya, sehingga ada beberapa melayani Tuhan seperti mereka
melihat-Nya; dan kemajuan perjalanan pada cara yang terdahulu dari yang kemudian adalah apa
yang membentuk kebajikan tertinggi (ihsan). Pengetahuan (‘ilm) jenis kedua dicapai melalui rasio,
pengalaman dan observasi; pengetahuan itu bersifat diskursif dan deduktif dan menunjuk pada
nilai pragmatis dari objek. Sebagai sebuah ilustrasi dari pemilahan antara dua jenis pengetahuan
itu kita dapat mengandaikan seorang manusia dan tetangganya yang baru pindah ke
lingkungannya. Pada awalnya dia mengetahui tetangganya yang baru hanya dengan perkenalan;
dia mungkin tahu tampilan umum yang lain dan mampu mengenalinya ketika bertemu di jalan;
dia mungkin mengetahui namanya, status perkawinan, jumlah anaknya dan banyak rincian
informasi lain yang dia dapat dengan observasi. Kemudian dia mungkin, melalui penelusuran
dari orang lain yang dia tahu dan investigasi pribadi, mengetahui pekerjaan tetangganya dan
tempat kerja dan pertemuannya, dan dia bahkan mungkin mengetahui, melalui investigasi yang
hati-hati lebih lanjut, berapa penghasilannya. Dia mungkin terus melanjutkan investigasi dengan
10 Prolegomena
cara ini tanpa kontak langsung dengan tetangganya dan menambah data lain tentangnya, namun
pengetahuan akannya akan tetap pada tingkatan pengenalan dan bukan keintiman; karena tidak
masalah berapa banyak rincian yang mungkin dia tambahkan akan pengetahuan tentang
tetangganya yang sedemikian diperoleh, akan ada lebih banyak rincian pribadi yang penting yang
dia tidak akan pernah dapat tahu, seperti tentang cinta, takut, harapan, kepercayaan,
pemikirannya tentang hidup dan mati, pemikiran dan perasaan rahasianya, kualitas-kualitas baik
dan rincian lain seperti disebutkan. Kini mari kita andaikan bahwa dia memutuskan untuk
mengenali orang tersebut secara langsung dan memperkenalkan diri padanya; dia sering
mengunjungi, makan dan minum dan berolahraga dengannya. Kemudian setelah sekian tahun
persahabatan yang terpercaya, pertemanan yang tulus, dan kesetiaan dia mungkin menerima
secara kebetulan penyampaian secara langsung dari temannya banyak rincian personal,
pemikiran dan perasaan rahasia yang kini dalam kilatan yang disampaikan dengan cara yang
mungkin tidak akan dapat dicapai seumur hidup dari investigasi, observasi, dan penelitian.
Bahkan pengetahuan ini, yang diberikan sebagai hasil dari keintiman tidak pernah lengkap,
karena kita tahu bahwa tidak masalah seberapa dekat hubungan yang intim antara seseorang dan
temannya – atau teman, atau istri dan anak, atau orang tua, atau kekasih – akan selalu ada
baginya penutup atau misteri yang membungkus seseorang yang ingin kita ketahui seperti
rangkaian ukiran bola gadīng Cina di dalam ukiran, yang hanya dapat terbuka baginya dengan
penyampaian secara langsung dari orang lain. Dan orang lain akan tahu dengan merenungkan
diri dan sifat-dasar tidak terbatas akan dirinya yang selalu berkelit dari pencarian kognitifnya,
sehingga bahkan dia sendiri tidak mampu menyampaikan kecuali hanya yang dia ketahui. Setiap
orang seperti pulau yang diletakkan dalam lautan yang tak terduga dengan kegelapan, dan
kesepian yang dia tahu begitu absolut sebab bahkan dia sendiri tidak tahu dirinya secara lengkap.
Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan kondisi dasar yang pasti secara analogis dengan
pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat seseorang yang memberikan pengetahuan tentang
dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian pengetahuan seperti itu menyentuh pada tingkatan
yang sama dalam wujud, dan ini adalah sebab komunikasi gagasan dan perasaan menjadi
mungkin dan dapat dipahami. Ketiga, izin untuk mendekat dan mengetahuinya, seseorang yang
mencari tahu harus tinggal dengan aturan kepantasan dan kode perilaku dan sikap yang diterima
oleh seseorang yang berhasrat untuk diketahui. Keempat, pemberian pengetahuan tentang
dirinya berdasarkan kepercayaan setelah periode yang dipertimbangkan sebagai ujian ketulusan,
kesetiaan, ketaatan orang lain, dan kapasitas untuk menerima – sebuah periode yang membentuk
ikatan yang pasti dari keintiman antara berdua.
Dari uraian di atas, kemudian Al-Attas mengaitkan pandangan tersebut dalam
hubungannya dengan Tuhan. Dalam perhatian pada kondisi pertama, Dia katakan dalam Qur’an
Suci bahwa Dia telah ciptakan manusia hanya untuk melayani-Nya, dan pelayanan dalam
pengertian yang mendalam secara utama bermakna pengetahuan (ma’rifah), sehingga tujuan-Nya
menciptakan adalah agar makhluk mengenali-Nya, sebagaimana Dia katakan dalam Tradisi Suci
(Hadits Qudsiyy):
”Aku adalah Harta Yang Tersembunyi, dan Aku berhasrat untuk diketahui, maka Aku ciptakan makhluk
sehingga Aku mungkin dikenali.”
Jadi Tuhan mengungkapkan diri-Nya pada jiwa rasional manusia, yang menguasai organ
komunikasi dan kognisi spiritual seperti hati (al-qalb), yang mengenali-Nya; ruh (al-ruh), yang
mencintai-Nya; dan jiwa yang tersembunyi dan paling dasar (al-sirr), yang merenungkan-Nya.
11 Prolegomena
Meskipun jiwa rasional tidak pada tingkatan yang sama dengan Tuhan, namun terdapat percikan
asal Ilahiyah yang membuatnya mungkin untuk menerima komunikasi di atas dan memiliki
pengertian atas apa yang diterima; dan dari di sini kita menurunkan analogi atas kondisi kedua.
Dalam hal kondisi ketiga, kita katakan bahwa manusia mendekati Tuhan dengan ketundukan
tulus pada kehendak-Nya dan kepatuhan absolut pada hukum-Nya; dengan perwujudan yang
sadar dalam diri pada perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan penunjukkan ketaatan
dan ibadah nawafil yang diterima-Nya dan berkenan untuk-Nya, sampai orang seperti itu
memperoleh tempat perhubungan dimana kepercayaan dan pertemanan-Nya mungkin
dirundīngkan atasnya dengan pengetahuan yang diberikan sebagai rahmat untuknya dimana Dia
telah ciptakan kapasitas untuk menerima pengetahuan yang diberikan. Seperti itulah kata-kata-
Nya dalam Tradisi Suci:
“Pelayan-Ku tidak berhenti untuk dekat dengan-Ku dengan ibadah nawafil sehingga Aku mencintainya;
dan ketika Aku mencintainya Aku adalah pendengarannya, sehingga dia mendengar dengan-Ku, dan
penglihatannya, sehingga dia melihat dengan-Ku, dan lidahnya, sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan
tangannya, sehingga dia mengambil dengan-Ku.”
Sebagaimana pada kondisi keempat tentang kepercayaan, bagian itu dengan sendirinya
sudah jelas. Kita lihat kemudian bahwa pengetahuan demikian itu, dengan kebajikan sifat-
dasarnya, memberi kebenaran dan kepastian dalam tatanan yang lebih tinggi daripada yang
diperoleh dari pengetahuan jenis kedua; dan karena ini, dan fakta bahwa hal itu menyentuh pada
jiwa atau diri manusia dan pemenuhan perjanjiannya yang dibuat dengan Tuhan, pengetahuan
akan prasyaratannya, yang sesungguhnya berdasarkan pada pengetahuan yang diberikan ini,
tidak mungkin terpisah dari ikatan dengan etika dan moralitas Islām. Dengan pengetahuan dan
praktek yang mengikutinya kita membimbing dan memerintah diri kita dalam perilaku sehari-
hari dan meletakkan nilai kita dalam kehidupan dan diri kita dengan benar. Pengetahuan pertama
menyibak misteri Wujud dan Eksistensi dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia
dan Rabbnya, dan karena bagi manusia pengetahuan tersebut menyentuh tujuan utama dari
mengetahui, pengetahuan tentang persyaratan tersebut menjadi fondasi mendasar dan esensial
untuk pengetahuan jenis yang kedua, karena hanya dengan pengetahuan yang kemudian, tanpa
bimbingan dari yang sebelumnya, tidak dapat sungguh-sungguh membimbing manusia dalam
kehidupannya, tetapi hanya membimbing pada kebingungan, mengacaukan, dan menjeratnya
dalam labirin pencarian tak berujung dan tak bertujuan. Kita juga menerima bahwa ada batas bagi
manusia bahkan pada pengetahuan pertama dan tertinggi; sedangkan tidak adanya batas pada
jenis yang kedua, sehingga kemungkinan pengembaraan terus menerus yang dihimbau oleh
penipuan intelektual dan khayalan-diri dalam keraguan yang konstan dan kecurigaan adalah
selalu nyata. Manusia individu tidak memiliki waktu untuk menghabiskan persinggahan
sementara di bumi, dan seseorang yang dibimbing secara benar tahu bahwa pencarian
individualnya untuk pengetahuan jenis kedua harus membutuhkan batas untuk kebutuhan
praktisnya dan sesuai dengan sifat-dasar dan kapasitasnya, sehingga ia dapat meletakkan
pengetahuan dan dirinya di tempatnya yang tepat dalam hubungan dengan diri sejati dan dengan
demikian mempertahankan kondisi adil. Karena alasan ini dan dengan maksud mencapai
keadilan sebagai akhirnya, Islām membedakan pencarian untuk dua jenis pengetahuan, membuat
perolehan pengetahuan tentang persyaratan akan yang pertama menjadi kewajiban bagi semua
muslim (fard ’ayn), dan yang lain kewajiban hanya pada beberapa muslim (fard kifayah), dan
kewajiban yang kemudian tentu saja dapat berpindah pada kategori yang sebelumnya dalam
kasus mereka yang menganggap dirinya terikat tugas untuk mencarinya untuk pembuktian diri
12 Prolegomena
mereka sendiri. Pembagian dalam pencarian pengetahuan berdasarkan kewajiban dalam dua
kategori itu sendiri adalah prosedur bertindak adil pada pengetahuan dan manusia yang
mencarinya, karena semua pengetahuan prasyarat dari pengetahuan jenis pertama adalah baik
bagi semua manusia, sedangkan tidak semua pengetahuan dalam jenis kedua yang baik untuknya;
untuk manusia yang mencari pengetahuan yang kemudian, yang akan membawa pengaruh yang
harus dipertimbangkan dalam menentukan peran sekular dan posisi sebagai warga negara, tidak
serta merta menjadikannya manusia yang baik. Manusia baik yang dimaksud secara utama
menjadi Nabi Muhammad Saw. sebagai modelnya. Pengakuan seluruh dunia, bahkan pengakuan
Allah Swt. tentang pribadi Rasulullah Saw. merupakan salah satu bukti yang menegaskan betapa
pribadi Rasul merupakan teladan bagi seluruh manusia dan jin. Sehingga tidap pernah ada dalam
sejarah peradaban Islam keterpisahan hubungan antara kelompok pemuda, usia-pertengahan,
dan kelompok tua. Termasuk juga tidak ada persoalan gender, sebab Rasul juga merupakan
teladan bagi para perempuan. Sosoknya, yang kemudian ditegaskan sebagai insan kamil,
merupakan sosok ideal yang juga real, yang dapat ditiru oleh manusia dan jin.
Pada bab 2: Makna Kebahagiaan, Al-Attas mengemukakan bahwa kebahagiaan dalam
Islam berbeda dengan pandangan Barat. Ia mengatakan bahwa tradisi pemikiran Barat menerima
posisi bahwa terdapat dua konsepsi kebahagiaan: yang kuno adalah Aristoteles; dan yang modern
secara bertahap muncul dalam sejarah di Barat sebagai hasil dari sekularisasi. Konsepsi
Aristotelian mempertahankan bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini; bahwa
itu adalah akhir pada dirinya sendiri (end of itself); dan bahwa itu adalah kondisi yang melewati
perubahan dan beragam dalam derajat dari waktu ke waktu; atau itu adalah sesuatu yang tidak
dapat dialami secara sadar dari masa ke masa dan dapat dinilai telah dicapai ketika kehidupan
duniawi seseorang, jika secara baik dihidupi dan dibantu oleh nasib baik, telah mencapai sebuah
akhir. Konsepsi modern setuju dengan konsep Aristotelian bahwa kebahagiaan hanya
berhubungan dengan dunia ini dan adalah akhir pada dirinya sendiri, tetapi sementara yang
terdahulu dianggap dalam pengertian standar perilaku yang tepat, yang kemudian
menganggapnya sebagai kondisi psikologis sambungan yang tidak memiliki hubungan dengan
kode moral. Hal itu adalah konsepsi kebahagiaan modern yang kini diakui lazim di Barat. Kita
tidak setuju dengan posisi Aristotelian bahwa kebajikan dan kebahagiaan hanya terkait dengan
dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam
urusan kehidupan duniawi menjadi tidak terjangkau. Kita tidak membatasi pemahaman kita
tentang kebahagiaan hanya dalam wilayah temporal, kehidupan sekular, karena berdasarkan
pandangan-dunia kita, kita mengakui bahwa hubungan kebahagiaan dengan alam akhirat
memiliki ketegasan intim dan mendalam pada hubungannya dengan kehidupan duniawi, dan
karena bahwa dalam kasus terdahulu kebahagiaan adalah kondisi spiritual dan permanen
terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan yang kita
alami dan sadari yang ketika sekali dicapai bersifat permanen. Karena konsepsi kebahagiaan
modern, tidak banyak berbeda dalam esensi dari yang diketahui dan dipraktekkan orang-orang di
masa lalu oleh masyarakat pagan.
Dari pandangan demikian kemudian ia mengajukan pandangan kebahagiaan dalam Islam,
yang berkaitan dengan kebahagiaan (cth. yang kita maksud sa’ādah) sebagaimana diketahui dalam
pengalaman dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh tunduk pada Tuhan dan mengikuti
petunjuk-Nya adalah bukan akhir pada dirinya sendiri sebab kebajikan tertinggi dalam
kehidupan ini adalah cinta Tuhan. Kebahagiaan yang terus berlangsung dalam kehidupan
menunjuk bukan pada entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia;
13 Prolegomena
maupun kondisi pikiran, atau perasaan yang melewati kondisi perhubungan, maupun
kenikmatan maupun hiburan. Kebahagiaan ada urusannya dengan kepastian (yaqīn) akan
Kebenaran akhir dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan
kepastian adalah kondisi permanen kesadaran yang alamiah terhadap apa yang permanen dalam
manusia dan diterima oleh organ kognitif spiritual yang merupakan hati (qalb). Kebahagiaan
adalah kedamaian dan keamanan dan ketenangan hati (tuma’nīnah); itu adalah pengenalan
(ma’rifah) dan pengenalan (knowledge) adalah kepercayaan-kuat (īmān) yang benar. Adalah
pengenalan tentang Tuhan sebagaimana Dia gambarkan diri-Nya dalam Wahyu yang asli, adalah
juga mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat
dengan Pencipta ditemani dengan tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) sesuai dengan pengetahuan
tersebut kondisi yang dihasilkannya adalah keadilan (‘adl). Hanya dengan pengetahuan macam
itu cinta Tuhan dapat diraih di kehidupan bumi.
Dari interpretasi makna dan pengalaman kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan
kesimpulan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir pada dirinya sendiri; bahwa akhir
dari kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan duniawi terdapat dua tingkatan
kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah psikologis, sementara, dan kondisi
perhubungan yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau emosi, dan yang diraih ketika
keinginan dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar berdasarkan pada kebajikan.
Tingkatan kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang secara sadar dialami, menjadi
lapisan dasar dari kehidupan duniawi yang diakui sebagai percobaan, pengujian aktifitas perilaku
dan aktifitas kebajikan oleh nasib baik atau sakit. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul
secara bersamaan dengan yang pertama kecuali bahwa keinginan hilang dan kebutuhan
dipuaskan. Tingkatan kebahagiaan kedua ini adalah sebuah persiapan untuk tingkatan ketiga di
alam akhirat yang merupakan kondisi tertinggi adalah melihat Tuhan. Tidak ada perubahan
makna dan pengalaman kebahagiaan ini dalam kesadaran mukmin sejati sepanjang zaman.
Untuk menguatkan pandangannya tentang kebahagiaan, Al-Attas juga mengungkapkan
antonim dari kebahagiaan (sa’adah) yakni, penderitaan (shaqawah). Leksikon bahasa Arab pada
waktu terdahulu dan kembali pada penggunaan Qur’an menggambarkan shaqawah sebagai
mengandung padanan terdekat dalam bahasa Inggris ‘great misfortune’, ‘misery’, ‘straitness of
circumstance’, ‘distress’, ‘disquietude’, ‘despair’, ‘adversity’, ‘suffering’. Masing-masing kondisi tersebut
jelasnya melibatkan aktifitas internal dan eksternal yang serius. Tentu saja shaqawah adalah istilah
umum yang meliputi semua bentuk penderitaan, sehingga istilah lain yang mengungkapkan
kondisi yang sama tapi lebih khusus dalam aplikasi kontekstual mereka hanya unsur penyusun
dari shaqawah. Ini termasuk, di antara yang lain contoh, khawf (takut, tak diketahui, kesendirian
penuh dan tidak dapat dikomunikasikan, kematian dan apa yang ada dibaliknya, ramalan
ketakutan, angst); huzn (dukacita, penderitaan, kesedihan, jiwa yang kasar); dank (kesempitan,
kekakuan, menderita dalam jiwa dan intelek memandang ketidakmampuan untuk memahami
sesuatu yang menyebabkan keraguan dalam hati); hasrat (dukacita yang dalam dan menyesali
sesuatu yang telah hulang dan tidak akan dialami lagi, seperti – ketika menunjuk pada akhirat –
melewati dukacita dan penyesalan yang tajam dari manusia yang berpaling dari Tuhan dan
menghabiskan hidupnya dalam kesia-sian ketika dia menemukan setelah kematian bagaimana dia
telah kehilangan jiwanya dan meratap dīngin akan kemustahilan kembali ke kehidupan duniawi
untuk membuat perubahan). Istilah tersebut digunakan secara khusus untuk mereka yang
berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya, dan berlaku pada kondisi dunia ini dan akhirat.
Istilah lain yang mengungkapkan penderitaan satu jenis dan yang lain dan berlaku semuanya
14 Prolegomena
dalam kehidupan ini adalah, contoh, diq (kesukaran, hati dan pikiran, mendesak); hamm
(kegelisahan, kecemasan, menyedihkan dari hati dan pikiran berkaitan dengan ketakutan bencana
yang akan datang atau kesakitan); ghamm (sama seperti hamm, hanya kesakitan yang ditakuti yang
akan datang telah datang, sehingga menjadi sangat menderita; ‘usr (kondisi keras, sulit dan tidak
menyenangkan).
Menurutnya, salah satu hal penting yang membuat manusia bahagia atau menderita adalah
berkaitan dengan petunjuk Tuhan. Maksudnya, ketika seseorang tidak mengambil petunjuk
Tuhan dalam menjalani kehidupannya, maka sebenarnya dalam tataran mendasar ia sedang
menderita meskipun secara aksidental ia nampaknya bahagia. Begitu pula sebaliknya, jika
manusia mengambil petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya maka lapisan dasar
kehidupannya merupakan kebahagiaan walaupun secara lahir ia terlihat menderita. Penderitaan
tersebut pada orang yang mengambil petunjuk hanya akan bermakna bala yaitu ujian terhadap
diri orang tersebut, bukan shaqawah.
Al-Attas berpandangan secara tegas bahwa peradaban Barat yang kini ada merupakan
peradaban yang telah membuang petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya. Meskipun
secara lahiriah peradaban Barat nampak menguasai teknologi, sains, memiliki harta dan hal-hal
lain, sebenarnya pada lapisan-dasar kehidupan mereka adalah penderitaan. Penderitaan yang erat
kaitannya, dikatakan oleh Al-Attas, sebagai tragedi. Tragedi tersebut bukan hanya berada pada
tataran seni, melainkan sudah berada pada tataran kehidupan. Bahkan, tragedi yang ada
sebenarnya ditiru (mimesis) oleh manusia Barat untuk melihat kehidupannya dan akhirnya
mencapai katharsis. Kisah-kisah tragedi yang ada pada karya-karya sastra Yunani yang kemudian
juga dikaji lagi pada masa renaisans, menguak sebuah kenyataan bahwa manusia telah
ditinggalkan di dunia tanpa tahu dari mana, di mana, dan hendak ke mana. Ia dipikulkan
tanggung jawab sedemikian besar untuk menjalani kehidupan yang kemudian tidak lagi melihat
apa yang dituju, namun hanya menikmati penderitaan yang dialaminya. Peradaban Barat seperti
seorang Sisipus, yang menggelindingkan batu ke atas bukit untuk menggelindikannya lagi ke
bawahdan begitu seterusnya. Kondisi yang mirip dengan permainan tersebut berubah menjadi
permainan yang serius dan tidak menyenangkan.
Qur’an menghubungkan bagaimana Adam digoda Setan, tidak patuh pada Tuhan, dan
membiarkan dirinya digoda Setan. Namun, Adam dan istrinya sadar akan kesalahan mereka dan
tidak seperti Setan, mengakui dosa mereka, diisi dengan penyesalan mendalam pada
ketidakadilan mereka pada diri mereka sendiri, dan meminta rahmat dan ampunan Tuhan.
Mereka berdua dimaafkan, tetapi diturunkan bersama Setan ke dunia ini untuk menghidupi
kehidupan percobaan dan kesengsaraan. Tuhan meyakinkan Adam dan keturunannya bahwa
petunjuk-Nya akan datang dan siapapun yang mengikuti petunjuk-Nya tidak akan tersesat
maupun jatuh pada penderitaan; tetapi siapapun yang berpaling dari pengingatan akan Dia tentu
akan menghidupi kehidupan yang merana diserang oleh keraguan dan tegangan-dalaman (inner-
tension) ditinggikan oleh kebutaan pada kebenaran dan realitas keadaan sulit mereka[23].
Pada Bab 3: Islam dan Filsafat Sains, Al-Attas menyatakan bahwa bahwa sains menurut
Islām secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wil atau interpretasi alegoris dari benda-benda
empiris yang menyusun dunia alam. Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya secara tetap
pada tafsir atau interpretasi dari penampakan atau makna yang jelas dari benda-benda dalam
alam. Penampakan dan makna mereka yang jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam
15 Prolegomena
sistem hubungan; dan tempat mereka menjadi nampak pada pemahaman kita ketika batas
kebenaran dari arti mereka dikenali. Ta’wil secara dasar bermakna mendapatkan makna pokok
dan primordial dari sesuatu melalui proses inteleksi. Tetapi dalam kasus ini, terdapat hal-hal yang
makna pokoknya tidak dapat dipegang dengan intelek; dan yang secara mendalam berakar dalam
pengetahuan yang menerima mereka sebagaimana adanya melalui kepercayaan-kuat yang benar
yang kita sebut iman. Ini adalah posisi kebenaran: bahwa terdapat batas makna dari sesuatu, dan
tempat mereka secara mendalam terikat dengan batas arti mereka.
Diungkapkan pada bagian bab awal, filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan
mengorganisir hasil sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi itu
pada gilirannya menentukan arah yang diambil sains dalam studi alam. Adalah interpretasi
tentang pernyataan ini dan kesimpulan umum sains dan arah sains sepanjang garis yang
ditawarkan oleh interpretasi yang harus diletakkan pada evaluasi kritis, sebagaimana mereka
tawarkan pada kita hari ini problem paling mendalam yang telah dihadapkan pada kita secara
umum dalam urusan agama dan sejarah intelektual kita.
Sebuah inti sari dari asumsi dasar mereka adalah bahwa sains adalah satu-satunya
pengetahuan otentik; bahwa pengetahuan ini hanya menyentuh pada fenomena; bahwa
pengetahuan ini, termasuk pernyataan dasar dan kesimpulan umum sains dan filsafat yang
diturunkan darinya, adalah khas untuk zaman partikular dan dapat berubah pada zaman lain;
bahwa pernyataan saintifik harus mengakui hanya apa yang telah di observasi dan dibuktikan
oleh saintis; bahwa apa yang seharusnya diterima adalah hanya teori yang dapat direduksi pada
unsur inderawi, bahkan meskipun teori tersebut mungkin melibatkan gagasan yang menyentuh
pada wilayah yang melampaui lingkungan empiris dari pengalaman; bahwa universalitas
seharusnya tidak dihubungkan pada rumusan saintifik, maupun seharusnya objek yang
didefinisikan dengan universalitas digambarkan sebagai realitas melampaui apa yang di
observasi; bahwa isi pengetahuan adalah kombinasi dari realisme, idealisme, dan pragmatisme;
bahwa tiga aspek tersebut dari kognisi bersama menampilkan fondasi filsafat sains; bahwa
pengertian adalah subjektif, arbitrer, dan konvensional, dan bahwa dalam hubungan antara
struktur logis pengetahuan dan isi empiris dari pengetahuan, keunggulan logika yang diakui;
bahwa teori matematis bukan sebuah sains deskriptif yang membuat pernyataan tentang struktur
dan proses alam, dan bahwa pada faktanya adalah sebuah teori logika; bahwa karena logika harus
ada pada sains, peranan bahasa dan sistem logika dalam menggambarkan struktur dan proses
alam adalah yang terpenting; bahwa kebenaran dan kepalsuan adalah bagian dari kepercayaan-
lemah (cth. kepercayaan-lemah dalam pengertian penerimaan intelektual sebagai benar atau
membuat pernyataan apapun atau proposisi) yang tergantung pada hubungan kepercayaan-
lemah pada fakta; bahwa fakta adalah netral sejauh kebenaran dan kepalsuan yang dipedulikan –
mereka hanya ada seperti itu.
Dalam sistem pengetahuan ini adalah absah hanya jika menyentuh pada tatanan alamiah
akan peristiwa dan hubungan mereka; dan tujuan penelusuran adalah untuk menggambarkan
dan mensistematisasi apa yang terjadi di alam, yang bermakna totalitas objek dan peristiwa dalam
ruang dan waktu. Dunia alamiah digambarkan datar secara naturalistik dan pengertian rasional
yang melepaskan arti spiritual atau interpretasi simbolik, mereduksi asal-usulnya dan realitas
satu-satunya pada kekuatan alamiah.
16 Prolegomena
Rasionalisme, baik jenis yang filosofis dan sekular, dan empirisme cenderung menolak
otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan yang absah. Bukan bahwa mereka
menolak keberadaan otoritas dan intuisi, tetapi bahwa mereka mereduksi otoritas dan intuisi pada
rasio dan pengalaman. Adalah benar bahwa pada contoh asal dalam kasus baik otoritas dan
intuisi, selalu ada seseorang yang mengalami dan yang menalar; tetapi ini serta merta bahwa
karena ini, otoritas dan intuisi seharusnya direduksi pada rasio dan pengalaman. Jika diakui
bahwa ada tingkatan rasio dan pengalaman pada tingkatan normal, kesadaran manusia yang
batasannya dikenali, tidak ada alasan untuk menduga bahwa tidak ada tingkatan yang lebih
tinggi akan pengalaman dan kesadaran manusia melampaui batas rasio dan pengalaman normal
dimana terdapat tingkatan kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang
batasnya hanya diketahui Tuhan.
Sejauh pada intuisi, kebanyakan rasionalis, sekularis dan pemikir empirisis dan psikolog
telah mereduksi intuisi pada observasi sensoris dan penyimpulan logis yang telah lama dipikirkan
oleh pikiran, yang maknanya menjadi tiba-tiba tertangkap, atau pada indera laten dan emosi yang
dibangun yang terlepas tiba-tiba dalam ledakan pengertian. Tetapi ini adalah dugaan pada bagian
mereka, karena tidak ada bukti bahwa kilatan tiba-tiba pengertian itu datang dari pengalaman
inderawi; lebih lanjut, penolakan mereka tentang fakultas intuitif seperti hati, yang tersirat dalam
pendirian mereka dalam memandang intuisi, adalah juga dugaan.[24] Intuisi yang dikenalkan Al-
Attas dalam buku ini berpusat pada penjelasan tentang tahapan-tahapan kasyaf yang dialami
mulai dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi. Bahasan, yang dilakukan pada Bab 5: Intuisi
Akan Eksistensi ini, juga berusaha menunjukkan bahwa panteisme atau inkarnasi – khususnya
dalam tasawuf – merupakan sesuatu yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan spiritual dan
proses penyibakan yang belum selesai. Jika ketidaksempurnaan tersebut tidak diakui, yang juga
berarti tidak mengakui kesempurnaan spiritual yang lain, hanya akan memperosokkan kepada
hal tersebut (baca: panteisme).
Al-Attas juga menegaskan bahwa sifat-dasar manusia itu merupakan sesuatu yang lebih
karena rasionalitasnya daripada karena fisiknya. Pandangannya tentang manusia ini – seperti juga
yang ada pada bab 4: Sifat-Dasar Manusia dan Psikologi Jiwa Manusia – dinyatakan seperti
berikut:
“Kita mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’ dimana istilah ‘rasional’ ditandai oleh
istilah natiq, yang menunjuk pada fakultas bawaan pengetahuan yang menangkap makna semesta
dan merumuskan makna. Perumusan makna ini, yang melibatkan putusan, diskriminasi, dan
klarifikasi, adalah apa yang menyusun rasionalitasnya. Istilah ‘rasional’ (natiq) dan ‘memiliki
kekuatan untuk merumuskan makna’ (dhu nutq) diturunkan dari akar sama yang mengandung
makna dasar ‘berbicara’, dalam pengertian ucapan manusia, keduanya menandakan kekuatan
tertentu dan kapasitas bawaan manusia untuk mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbolis
dalam pola yang bermakna. Dari akar yang sama (nutq) juga diturunkan nama dari sains diskursus
yang diketahui sebagai al-mantiq (cth. logika), yang mengembangkan bangunan argumentasi,
rumusan metode bantahan, penemuan kesalahan teori klasifikasi dan definisi, gagasan dasar dari
silogisme, konsepsi bukti dan demonstrasi, garis besar dari sebuah metode intelektual dalam
pengejaran kebenaran. Manusia adalah, sebagaimana adanya, ‘hewan yang berbahasa’ atau ‘hewan
yang berbicara’ (al-hayawan al-natiq); dan artikulasi simbol linguistik ke dalam pola bermakna
tidak lain dari ungkapan bagian keluar (outward), terlihat, dan terdengar dari realitas bagian
kedalam (inward) dan tidak terlihat yang kita sebut intelek (al-’aql). Istilah ‘aql sendiri secara dasar
17 Prolegomena
menandakan jenis ‘ikatan’ atau ‘pegangan’, jadi dalam hal ini ‘aql menandakan entitas aktif dan
sadar yang mengikat dan memegang objek pengetahuan dengan kata-kata atau bentuk simbolis; dan
‘aql menunjukkan realitas yang sama yang ditunjuk oleh istilah ‘hati’ (qalb), ‘ruh’ (ruh), dan ‘diri’
(nafs). Entitas atau realitas aktif dan sadar ini memiliki banyak nama seperti yang diidentifikasi
oleh empat istilah di atas karena memiliki banyak modus dalam hubungannya dengan pelbagai
tingkatan eksistensi. Intelek adalah substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenali
kebenaran dan membedakan kebenaran dari kepalsuan. Intelek adalah realitas yang mendasari
definisi manusia, dan itu ditunjukkan oleh setiap orang ketika dia berkata “aku”.
Dalam mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’, dimana kita maksudkan dengan
rasional sebagai kapasitas kecerdasan menangkap makna universal, kekuatan ungkapan linguistik,
kekuatan yang bertanggungjawab untuk perumusan makna – yang melibatkan tindakan putusan,
diskriminasi, pemilahan dan klarifikasi, dan artikulasi akan bentuk simbol dalam pola bermakna –
makna akan ‘makna’ (ma’na) adalah pengenalan akan tempat segala sesuatu dalam sistem.
Pengenalan muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan
dipahami. Hubungan itu menggambarkan tatanan tertentu dalam istilah prioritas dan posterioritas
sebagaimana juga dalam istilah ruang dan posisi. Makna adalah sebuah bentuk intelijibel
(intelligible) berkenaan pada sebuah kata, sebuah ungkapan, atau simbol digunakan untuk
menunjuknya. Ketika kata, ungkapan, atau simbol itu menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq)
maka disebut pemahaman (mafhum). Sebagai sebuah bentuk intelijibel yang dibentuk dalam
jawaban dari pertanyaan “apakah itu?” makna disebut ‘esensi’ (mahiyyah). Dipertimbangkan
sebagai sesuatu yang berada di luar pikiran, atau secara objektif, makna disebut ‘realitas’ (haqiqah).
Dilihat sebagai realitas khusus yang berbeda dari yang lain, makna disebut ‘individualitas’ atau
‘eksistensi individual’ (huwiyah). Dengan demikian apa yang menyusun makna, atau definisi dari
makna, adalah pengenalan tempat segala sesuatu dalam sistem, yang muncul ketika hubungan
sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami[25].
Dalam pandangannya tentang filsafat sains, Al-Attas juga menyatakan bahwa keraguan
yang diangkat sebagai metode dan dipandang sebagai jalan menuju kebenaran, sebenarnya
bermasalah. Menurutnya:
“...tidak ada bukti bahwa adalah keraguan dan bukan sesuatu yang lain dari keraguan yang
membuat seseorang tiba pada kebenaran. Hadir pada kebenaran kenyataannya merupakan hasil
petunjuk, bukan keraguan. Keraguan adalah kondisi goncang antara dua yang berlawanan tanpa
mengunggulkan salah satunya; itu adalah sebuah kondisi seimbang di antara dua yang berlawanan
tanpa hati cenderung menuju yang satu atau yang lain. Jika hati cenderung pada salah satu dan
tidak menuju yang lain sementara masih belum menolak yang lain, itu adalah dugaan; jika hati
menolak yang lain, maka kemudian hati telah memasuki stasiun kepastian. Penolakan hati terhadap
yang lain adalah sebuah tanda bahwa bukan keraguan yang membawa pada kebenaran, tetapi
pengenalan positif akan kesalahan atau kepalsuan. Ini adalah petunjuk. Keraguan, apakah itu jelas
atau sementara, memimpin pada dugaan atau pada posisi lain akan ketidakpastian, tidak pernah
pada kebenaran – “dan dugaan tidak berfaedah terhadap kebenaran” (Qur’an 10: 36).”[26]
Beranjak dari hal tersebut, Al-Attas menyatakan bahwa meskipun banyak persamaan antara
filsafat sains Barat dan Islam, hal tersebut tidak menutup kenyataan bahwa banyak pula
perbedaan di antaranya. Salah satu perbedaannya adalah pandangan tentang rasio. Menurut Al-
Attas, rasio tidak sesederhana dalam pengertian yang dibatasi pada unsur inderawi; pada fakultas
18 Prolegomena
mental yang mensistematisasi dan menginterpretasi fakta pengalaman inderawi dalam tatanan
logis, atau yang membuat pengertian dan kepengaturannya pada penerimaan data pengalaman
inderawi, atau yang menampilkan abstraksi fakta dan data terindera dan hubungan mereka, dan
mengatur mereka dalam sebuah operasi memberi-hukum (law-giving) yang membuat dunia alam
dapat menjadi terpahami. Tentu saja, pastinya, rasio adalah semua ini, tetapi kita menjaga lebih
lanjut bahwa ini adalah salah satu aspek intelek dan fungsinya dalam kesesuaian dengannya,
bukan berlawanan dengannya; dan intelek adalah substansi spiritual yang inheren dalam organ
spiritual dari kognisi yang kita sebut hati, yang merupakan kedudukan intuisi. Dengan jalan ini
dan lewat perantara intelek kita telah menghubungkan rasio dengan intuisi.
Oleh sebab itu, penyamaan antara rasio dan akal (‘aql) merupakan suatu kesalahan. Sebab,
rasio merupakan satu bagian dari akal, dan tidak ada keterpisahan antara keduanya.
Permasalahan yang muncul karena penekanan yang sangat terhadap rasio, telah nyata-nyata
membuat Barat tidak melihat alam sebagai sebuah tanda (āyāt) Tuhan. Meskipun pernah terdapat
di masa lalui filsuf Barat yang menekankan penggunaan intelectus untuk melihat alam sebagai
sebuah Kitab Suci Besar yaitu, St. Bonaventura, tetapi hal itu tidak memiliki pengaruh yang
signifikan dalam peradaban Barat. Barat menjadi menganggap bahwa alam memiliki suatu
substansi yang pernah disebut sebagai ‘atom’. Manusia Barat terus mecoba mengetahui apa unsur
mendasar yang menyusun dunia ini. Namun, asumsi bahwa alam bukan merupakan tanda inilah
yang menjadi Barat terpaku pada alam dan tidak dapat melihat apa yang disimbolkan oleh alam.
Pandangan Al-Attas tentang alam sebagai tanda kemudian dituangkannya dalam bentuk
cerita sebagai berikut:
“Andaikan kita berjalan-jalan dengan mobil dalam kegelapan malam berbadai menuju tempat yang
telah kita dengar tapi kita belum pernah ke sana. Kemudian kita tiba di persimpangan utama
dengan banyak jalan menuju tempat yang berbeda. Di tengah persimpangan terdapat penunjuk
arah dan lengannya dibuat sederhana dan di cat putih, dan di sepanjang papan penunjuk yang
berfungsi sebagai lengan digoreskan huruf tebal, huruf hitam nama tempat dan jarak relatif mereka
dari titik itu. Ketika mobil kita dapat mendekati dan lampunya menyinari penunjuk arah dan
lengannya yang banyak, kita segera sadar akan salah satu lengan yang menegaskan nama tempat
tujuan kita. Apa yang kita lakukan kemudian, jika kita hendak mengejar tujuan kita, tentunya kita
akan berpaling dari penunjuk arah tanpa ragu, dan mengikuti jalan menuju apa yang tanda
tersebut tuju. Kita melakukan ini karena tandanya jelas. Tetapi kini andaikan penunjuk arahnya
dibuat dengan keramik yang secara baik ditulis, dan lengan yang menunjuk dipahat menjadi bentuk
yang menawan dan indah, nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik yang dipahat menjadi
huruf dari emas murni dan dihiasi permata tulen yang jarang ditemui – akankah kita kemudian
mampu untuk pergi, tanpa banyak ragu dan berlambat-lambat, mengkuti lengan yang menunjuk
yang menunjukkan kita jalan tujuan kita; dan akankah kita kemudian mudah berpaling dari
penunjuk arah untuk mengikuti arah yang diarahkan? Tentu saja, apa yang paling mungkin terjadi
dalam kasus ini adalah kita akan memberhentikan mobil dan bahkan keluar dalam hujan dengan
senter untuk melihat lebih dekat pandangan yang indah di hadapan kita. Dan kita mungkin akan
menghabiskan malam di mobil menunggu siang untuk penglihatan yang lebih memuaskan.
Tandanya dalam kasus ini tidak jelas; ambigu, dan menunjuk dirinya daripada menunjuk pada
objek yang eksistensinya bergantung padanya.”[27]
19 Prolegomena
Dalam memandang sains, Al-Attas menegaskan bahwa realitas sesuatu tidak serta menjadi
sesuatu itu menjadi benar atau dengan kata lain adanya suatu fakta tidak menjadikan fakta itu
menjadi benar. Sebab, kebenaran suatu fakta erat kaitannya dengan Kebenaran yang diwahyukan.
Hal ini patur menjadi perhatian khususnya dengan adanya kenyataan bahwa dalam Islam
kebenaran juga ditunjuk dengan kata Haqq. Haqq bermakna kebenaran dan juga realitas. Itulah
mengapa realitas memiliki hubungan yang mendalam dengan kebenaran.
Tentang realitas, sebagaimana dijelaskan pada Bab 7: Kuiditas dan Esensi, Al-Attas
mengatakan bahwa Kata haqq digunakan baik untuk realitas dan kebenaran. Lawannya batil,
bermakna bukan-realitas atau kepalsuan. Haqq bermakna kecocokan pada kebutuhan akan
kebijaksanaan, keadilan, kebetulan (rightness), kebenaran, realitas, kesopanan. Haqq adalah sebuah
kondisi, kualitas atau bagian dari menjadi bijaksana, adil, betul, benar, sejati, tepat; haqq adalah
kondisi niscaya, tidak terhindarkan, kewajiban, yang berkaitan; haqq adalah kondisi eksistensi dan
meliputi segala sesuatu. Ada kata lain, sidq, bermakna kebenaran, yang lawannya adalah kidhb
bermakna tidak benar atau kepalsuan, yang ditujukan hanya kebenaran menyentuh pada
pernyataan atau ucapan kata-kata; sedangkan kata haqq tidak hanya menunjuk pada pernyataan,
tetapi juga pada tindakan, perasaan, kepercayaan, keputusan, dan sesuatu dan peristiwa dalam
eksistensi. Sesuatu dan peristiwa dalam hal ini pada alam eksistensi yang ditunjuk haqq
menyentuh tidak hanya kondisi mereka yang sekarang, tetapi juga masa lalu mereka sebagaimana
kondisi masa depan. Menyentuh pada kondisi masa depan haqq bermakna pengujian, realisasi,
aktualisasi. Tentu saja, bahwa makna haqq dipahami meliputi realitas dan kebenaran menyentuh
pada kondisi eksistensi adalah berkaitan pada fakta bahwa itu adalah salah satu nama-nama
Tuhan yang menggambarkan diri-Nya sebagai eksistensi absolut yang merupakan realitas dan
bukan konsep eksistensi.
Untuk kebanyakan orang, sifat-dasar eksistensi dan hubungannya untuk memisahkan,
realitas beragam namun sama dengan yang kita sebut ‘sesuatu’ adalah eksistensi yang merupakan
konsep umum, konsep abstrak yang umum bagi semua eksistensi, yakni, bagi segala sesuatu dan
pada apapun tanpa kecuali. Pikiran, ketika memandang realitas eksternal yang kita sebut
‘sesuatu’, mengabstraksikan mereka pertama kali dari eksistensi dan memberi predikat eksistensi
pada mereka. Pikiran oleh karena itu menghubungkan pada sesuatu yang dipertimbangkan
sebagai bagian mereka dari eksistensi. Maka eksistensi dipandang sebagai sesuatu yang
ditambahkan, aksidental, dan hidup dalam sesuatu. Dalam proses mental ini, konsep tunggal,
umum, abstrak menjadi majemuk dan secara rasional dibagi menjadi bagian-bagian yang
berhubungan dengan sesuatu. Eksistensi sesuatu adalah bagian-bagian tersebut, dan bagian
tersebut, sejauh konsep umum dan abstrak dari eksistensi, adalah eksternal bagi ‘esensi’ sesuatu
dan hanya secara mental ditambahkan pada mereka. Menurut perspektif ini, eksistensi adalah
sesuatu yang murni konseptual, sedangkan esensi-esensi adalah nyata; esensi-esensi adalah
realitas yang diaktualisasikan secara ekstramental. Tetapi kita katakan lebih lanjut bahwa dalam
tambahan pada konsep eksistensi terdapat entitas lain yang merupakan realitas akan eksistensi,
dimana eksistensi sebagai konsep murni yang datang inheren dalam pikiran adalah salah satu
akibatnya. Eksistensi sebagai realitas, tidak seperti bagian konseptual, adalah bukan sesuatu yang
statis; eksistensi secara terus menerus melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan dīnamis akan
pengungkapan-diri ontologis, mengartikulasikan kemungkinan dalaman (inner) yang tidak
terbatas dalam gradasi dari kurang menentukan sampai lebih menentukan sampai itu muncul
pada tingkatan bentuk konkret, seperti eksistensi partikular yang kita pandang sebagai ‘sesuatu’
yang banyak dan beranekaragam memiliki ‘esensi-esensi’ individual yang terpisah adalah tidak
20 Prolegomena
lain dari modus dan aspek dari realitas eksistensi. Dari perspektif ini, esensi sesuatu tidak lain
sebuah entitas dalam konsep, sedangkan eksistensi sesuatu adalah nyata. Tentu saja, esensi sejati
dan benar dari sesuatu adalah eksistensi sebagaimana diindividuasikan ke dalam modus
partikular. Adalah realitas eksistensi ini yang telah kita identifikasi di atas sebagai meliputi-semua
Realitas atau Kebenaran (al-haqq), dengan mana Tuhan sebagai yang absolut dalam semua bentuk
manifestasi yang disebut.
Karena filsafat modern dan sains telah menyadari bahwa sifat-dasar mendasar dari
fenomena adalah proses, nama-nama deskriptif yang telah digunakan oleh para filsuf dan saintis
untuk menghubungkan dengan proses harus juga merefleksikan dīnamisme yang terlibat dalam
inti gagasan proses. Mereka telah menggunakan nama-nama seperti ‘kehidupan’ atau ‘impuls
vital’, atau ‘energi’, menyiratkan pergerakan, perubahan, menjadi (becoming) yang merupakan
hasil dari peristiwa dalam ruang-waktu. Bahwa mereka telah memilih nama-nama tersebut
sebagai deskripsi manifestasi realitas sebagai proses adalah sebuah tanda bahwa mereka
mempertimbangkan eksistensi, tidak seperti kehidupan, impuls vital, atau energi, hanya sebagai
sebuah konsep; dan hanya sebagai konsep eksistensi tentu sesuatu yang statis, secara jelas
mendiskualifikasinya sebagai berhubungan dengan proses. Dalam pengertian ini, rumusan
mereka akan sebuah filsafat sains, dalam kontradiksi dengan posisi mereka bahwa realitas yang
mendasari fenomena adalah proses, tetap berputar di dalam lingkungan sebuah pandangan-dunia
esensialistik, sebuah pandangan-dunia yang asyik dengan ‘sesuatu’ sebagai ‘esensi-esensi’
independen dan hidup, dan akan peristiwa, hubungan, dan konsep yang menyentuh pada
sesuatu, membuat sesuatu menunjuk pada diri mereka sebagai realitas tunggal, dan bukan pada
Realitas lain yang melampaui mereka baik termasuk sebagaimana juga mengecualikan mereka.
Posisi kita adalah bahwa apa yang sungguh-sungguh deskripsi dari sifat-dasar mendasar dari
fenomena sebagai proses adalah ‘eksistensi’ sebab eksistensi sendiri, baik dipahami sebagai
konsep sebagaimana juga realitas, adalah entitas paling dasar dan universal yang kita ketahui.
Adalah benar bahwa eksistensi yang dipahami sebagai konsep adalah statis dan tidak
berhubungan dengan proses. Tetapi kita mempertahankan bahwa eksistensi bukan hanya konsep
tapi juga realitas: eksistensi bukan hanya diusulkan dalam pikiran, tetapi juga entitas nyata dan
aktual yang independen dari pikiran. Eksistensi bersifat dīnamis, aktif, kreatif, dan mengandung
banyak kemungkinan pengungkapan-diri secara ontologis; eksistensi adalah sebuah aspek Tuhan
yang muncul dari sifat-dasar intrinsik dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan oleh karena itu
adalah sebuah entitas ‘sadar’ yang bertindak berdasarkan cara biasa Tuhan biasa bertindak
(sunnat Allah). Yang disebut “hukum alam” dalam kenyataannya adalah kebiasaan Tuhan dalam
bertindak, dan dipahami seperti itu, “hukum” ini tidak lagi dilihat sebagai ketat karena mereka
kini terbuka pada kemungkinan tak terbatas. Eksistensi maka adalah bahan pokok dan utama dari
realitas, dimana kehidupan, impuls vital, atau energi dan istilah yang lain yang digunakan oleh
para filsuf dan saintis untuk menggambarkan entitas mendasar itu, yang merupakan realitas yang
mendasari sifat-dasar sesuatu, semuanya sekunder bagi eksistensi karena mereka seperti bagian-
bagian atau pelengkap dari eksistensi.
Sebagaimana makna haqq sebagai realitas, istilah tepat yang digunakan untuk menunjuk
realitas adalah haqiqah, yang diturunkan dari haqq. Perbedaan antara haqq dan haqiqah adalah
bahwa yang terdahulu menunjuk pada kondisi ontologis, tatanan, atau sistem seperti diketahui
dengan cara intuisi; dimana yang kemudian menunjuk pada struktur ontologis, pada sifat-
dasarnya, makhluk atau diri akan sesuatu. Haqiqah atau realitas adalah yang dengannya sesuatu
adalah apa adanya (by which a thing is what it is). Kini bahwa yang dengannya sesuatu menjadi
21 Prolegomena
sesuatu itu sendiri memiliki aspek ganda; pada satu pihak karena segala sesuatu adalah bagian
dari realitas, maka realitas adalah sesuatu yang umum bagi segala sesuatu. Sesuatu yang umum
pada segala sesuatu ini adalah eksistensi. Dengan demikian salah satu dari aspek ganda dari yang
dengannya sesuatu adalah apa adanya adalah ‘menjadi maujud’ dari sesuatu. Aspek lain yang
dengannya sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri adalah ‘menjadi-terpilah’nya dari yang lain.
‘Menjadi-maujud’ adalah umum bagi semua maujud dalam pelbagai tingkatan eksistensi, dan
meskipun eksistensi adalah bahan dari realitas, eksistensi adalah, berbicara secara ketat, bukan
keumuman yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri; melainkan adalah ‘menjadi-
terpilah’ dari yang lain yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri, karena itu hanya
dengan kebajikan keterpilahan realitas-realitas itu telah datang ke dalam eksistensi. Oleh karena
itu sifat-dasar mendasar dari realitas adalah perbedaan.
Eksistensi (wujud, dari wujida bentuk pasif dari wajada) menunjuk sesuatu yang ditemukan,
disibak, diterima, diketahui, diinderai – dengan indera eksternal dan internal atau intelek, atau
hati. Karena eksistensi sebagai realitas adalah bahan kreatif yang darinya sesuatu menjadi ada,
bentuk lain dari kata tersebut (ijad) menunjuk sesuatu yang dieksistensiasikan, diciptakan,
diasalkan. Karena realitas adalah eksistensi yang meliputi segala sesuatu, realitas adalah cukup-
diri dalam keabadian yang melimpah ruah, dan makna ini akan tidak sedang dalam kondisi
keinginan, atau kebutuhan, yang ditunjuk masih dengan bentuk lain (wajid). Ketika dengan intuisi
yang lebih tinggi seseorang datang menemukan realitas yang ada, ‘penemuan’ eksistensi ini
disebut wijdan, yang kita katakan sebelumnya menunjuk pada intuisi akan eksistensi. Jadi ketika
kita menunjuk di atas pada aspek dari yang dengannya sesuatu adalah apa adanya sebagai
‘menjadi-maujud’, ‘sebagai-maujud’ dari sesuatu seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai
menunjuk sesuatu yang hanya ada secara aktual atau mutakhir dalam dunia eksternal; tetapi juga
menunjuk kategori eksistensi itu dalam kondisi interior dari realitas eksistensi yang secara
berkelanjutan membentangkan dirinya sendiri dalam gradasi menjadi sesuatu yang kita lihat dan
pegang. Eksistensi bermakna memiliki tempat dalam tatanan realitas. Karena eksistensi yang
dipartikularisasi sebagai ‘menjadi maujud’ dari sesuatu adalah salah satu dari aspek ganda
realitas, penunjukkan akan ‘tempat’, ketika kita katakan bahwa eksistensi itu berarti memiliki
tempat dalam tatanan realitas, maka adalah ‘menjadi maujud’ dari sesuatu. Tatanan realitas,
menurut kita dan dalam pengertian yang sudah disebutkan, tidak dapat dibatasi pada dunia
fenomena, atau dunia benda-benda empiris dalam alam indera dan pengalaman inderawi.
Maka, dapat dilihat di sini, eksistensi memiliki keunggulannya (seperti pernyataan Mulla
Shadra: Al-sholah al-wujud) daripada esensi yang ternyata hanya terpilah di ranah mental dan
bukan pada ranah ontologis. Sebab esensi atau kuiditas yang ditunjuk oleh para pendukungnya
sebenarnya juga menunjuk eksistensi sebagai suatu realitas.
Pada bagian akhir, Bab 7: Derajat-Derajat Eksistensi, Al-Attas menegaskan bahwa terdapat
alam yang kita hidupi tidak hanya terbatas pada dunia indera dan pengalaman inderawi. Alam
ini begitu luas sehingga disebut al-‘ālamīn atau alam-alam. Seperti sudah dinyatakan pada bagian
pengantar Prolegomena, bagian akhir ini merupakan ta’wil yang diajukan terhadap bagian ayat
Qur’an tentang Penciptaan dalam Enam Hari dengan Enam Derajat Eksistensi.
Dikatakan bahwa Enam Hari Penciptaan itu dapat dibagi ke dalam fase-fase terpilah di
antara Empat Hari dan Dua Hari (Fuşşilat (41): 10; dan 9; 12). Dalam bagian tersebut kita lebih
lanjut diinformasikan bahwa Dia membawa menjadi wujud (ja’ala) rawāsiya – yang biasanya para
22 Prolegomena
komentator menginterpretasikan dengan makna ‘gunung-gunung’ – meletakkan mereka tinggi di
atas Bumi. Makna dasar dari kata rawāsiya, yang merupakan bentuk jamak dari akar rasā,
mengandung gagasan akan entitas-entitas yang rampung, kokoh, dan secara teguh dibangun
dengan sebuah jenis cara permanen yang tidak dapat digerakkan atau dipindahkan ke tempat
yang lain. Interpretasi terhadapnya sebagai ‘gunung-gunung’ oleh karena itu masuk akal; karena
gunung-gunung dikarakteristikkan dengan jenis kerampungan yang digambarkan dengan
rawāsiya, dan mereka tinggi di atas level tanah. Dia juga memberkahi Bumi, dan mengukurnya
dalam proporsi (qaddara) semua benda-benda di dalamnya, memberi mereka makanan (aqwātaha)
“berdasarkan kebutuhan dari yang meminta” (sawā’an li al-sā’ilīn). Fase penciptaan ini
diselesaikan dalam Empat Hari.
Ungkapan ‘Langit’ (al-samāwāt) dan ‘Bumi’ (al-ard) yang disebutkan dalam bagian
penciptaan tidak selalu menunjuk pada Langit dan Bumi yang bersifat fisik, tapi pada tahap-tahap
tertentu dan dengan merujuk pada hubungan sebab-musabab prioritas-posterioritas dalam proses
penciptaan yang dipahami dalam konteks derajat-derajat eksistensi, mereka menunjuk pada
arketip-arketip mereka (al-a’yān al-thābitah). Dalam pengertian ini kita kemudian dapat
menginterpretasikan rawāsiya, yang secara teguh ditegakkan “tinggi di atas” Bumi, untuk
bermakna realitas-realitas arketipal yang secara teguh dan permanen ditegakkan dalam
kerampungan sedemikian rupa agar mereka tidak dapat digerakkan atau dipindahkan dari
wilayah mereka dalam kondisi interior Wujud (Being).
Dalam aspek derajat pertama eksistensi Realitas Tertinggi merupakan Eksistensi Absolut,
dan asal semua ciptaan, bermula dengan pancaran pertama dari eksistensi, menyentuh pada
aspek ini dimana kesempurnaan esensial (kamālāt dhātiyyah) dan kecenderungan-Nya (shu’ūn)
menjadi terwujud pada kesadaran-Nya (cf. Hlm. 289 (II) dan 290 di atas). Penciptaan merupakan
tindakan eksistensiasi Realitas Tertinggi; hal tersebut juga verifikasi dari apa yang sekaligus benar
(pada Perintah penciptaan) dan nyata (secara potensial sebagaimana juga secara aktual). Maka,
Eksistensi Absolut di sini identik dengan istilah Qur’an akan ‘Kebenaran’ atau ‘Kebenaran-
Kenyataan’ (al-haqq).
Pancaran pertama eksistensi adalah pancaran paling suci (al-fayd al-aqdas), yang
merupakan sebuah ekspansi tunggal eksistensi dengan cara yang umum (cth. wujūd ‘āmm),
mengandung manifestasi bentuk-bentuk pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang
mungkin dalam dunia yang terlihat sebagaimana juga yang tidak terlihat. Semua hal tersebut
merupakan manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah sebagaimana juga manifestasi pasif, kontingen,
dan ciptaan. Hal ini merupakan yang pertama dari semua manifestasi realitas Eksistensi dan
disebut determinasi pertama (ta’ayyun awwal), yang berhubungan pada derajat kedua eksistensi.
Realitas Tertinggi, pada level ekspresi ontologis ini, tidak lagi dipandang Esa secara absolut
(ahadiyyah mutlaqah), tapi sebagai Tunggal (fard) dengan kebajikan telah disebabkan muncul dalam
kesadaran-Nya potensialitas akan ‘yang lain’, diri-Nya sendiri menjadi Yang Lain daripada
keyanglainan (otherness) dari ‘yang lain’. Ini merupakan tahap Kesatuan dari yang banyak
(wāhidiyyah).
Kemudian, seperti sebuah artikulasi lanjutan dari ekspresi ontologis dan aktifitas
penciptaan Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, menyebabkan muncul
dalam kesadaran-Nya manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah yang berhubungan pada derajat
Keilahiyahan (iliāhiyyah) di mana, sebagai ‘Tuhan’ (ilāh), Dia dikualifikasikan dengan Nama-Nama
23 Prolegomena
(cth. mengetahui, menghendaki, berkuasa, dll.) dan Sifat-Sifat (cth.pengetahuan, kehendak,
kekuasaan, dll.) keilahiyahan. Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut merupakan partikularisasi
lanjutan dari kecenderungan dan kesempurnaan esensial-Nya yang menjadi terwujud pada-Nya
yang sudah terdapat dalam derajat pertama eksistensi. Tahap ini menandai ‘penurunan’-Nya
pada determinasi kedua (ta’ayyun thāni) berhubungan pada derajat ketiga eksistensi. Ini
merupakan tahap Nama-Nama dan Sifat-Sifat.
Kini kencederungan dan kesempurnaan esensial dari Realitas Tertinggi terwujud pada-
Nya sebagai bentuk-bentuk Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Bentuk-bentuk tersebut secara
esensial merupakan ‘gagasan-gagasan’ atau ‘intelejibel-intelejibel’ dalam pengetahuan Ilahi.
Inheren dalam masing-masing bentuk tersebut terdapat sebuah aspek ‘keyanglainan’, sebuah
keterpilahan yang khas pada dirinya sendiri dan dengan demikian juga berbeda dari-Nya. Mereka
dikualifikasikan dengan ditegakkan secara permanen sebab sebagai ‘gagasan’ dalam pikiran Ilahi
mereka hidup secara permanen (baqā’) dalam pengetahuan Ilahi, tidak berubah dalam sifat-dasar
mereka dan tidak bergerak dari kondisi interior dan intelejibel mereka. Dengan keutamaan wujud
mereka yang terpilah satu sama lain dan dari-Nya, dan dari kesinambungan mereka sedemikian
rupa dalam pengetahuan Ilahi, mereka merupakan realitas-realitas (haqā’iq) asli yang kondisi masa
depannya untuk diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah akan level ontologis
sebagai pancaran eksistensi yang mengembang terhadap mereka. Inheren dalam masing-masing
realitas terdapat potensialitas yang khas bagi masing-masing; masing-masing telah menerima
ukurannya dalam proporsi (cf. qaddara), sehingga masing-masing memiliki sebuah kesiapan
(isti’dād) untuk diaktualisasikan berdasarkan kebutuhannya. Inteleksi-Nya terhadap bentuk-
bentuk tersebut dalam aspek mereka akan ‘keyanglainan’ dari-Nya, dan pengungkapan-diri-Nya
(tajallī) pada mereka sebagaimana pancaran eksistensi-Nya yang mengembang terhadap mereka,
membawa sifat-dasar positif mereka sebagai realitas-realitas yang dapat diaktualisasikan sebagai
eksistensi konkret dan individual dalam dunia eksternal. Oleh karena itu realitas-realitas bersifat
arketipal dalam alam dan esensi dan tepat disebut ‘arketip-arketip permanen’ (a’yān thābitah),
yang level ontologisnya berhubungan pada determinasi ketiga (ta’ayyun thālith) dari Eksistensi
Absolut pada derajat keempat eksistensi (cf. hlm. 277-278; 290 (III), di atas).
Untuk fase kedua yang tertinggal dari penciptaan dalam Dua Hari, kita diinformasikan
bahwa Tuhan, “setelah menyelesaikan penciptaan sebelumnya (cth. fase pertama), mengarahkan
rancangan-Nya (cth. Rencana-Nya membuat dengan tujuan yang jelas) pada Langit” (Fuşşilat
(41): 11; lihat berbagai makna istawā ila dalam Lisān al-‘Arab, XIV hlm. 414, kol. 1&2). Langit yang
dimaksudkan, kita telah diberitahu, adalah sebagai asap (dukhān), yang berarti sesuatu yang
sebagian fisik dan sebagian non-fisik dalam alam. Dia kemudian memerintahkan Langit dan Bumi
untuk datang bersama secara sukarela atau terpaksa; dan mereka berdua datang dalam kepatuhan
yang sukarela. Kemudian Dia melengkapi mereka dengan tujuh cakrawala dalam Dua Hari, dan
menugaskan pada masing-masing langit tugas dan perintahnya. Langit yang lebih rendah Dia
hiasi dengan cahaya dan diamankan dengan penjaga (41: 11-12).
Sudah kita lihat di sini, dalam Dua Hari yang disebutkan untuk melengkapi penciptaan
semesta bersama semua bagiannya, sebuah kiasan pada dua derajat terakhir eksistensi: derajat
kelima dan keenam, yang berhubungan pada determinasi keempat dan kelima dari Eksistensi
Absolut. Itu juga dapat bahwa pada level artikulasi ontologis pada derajat kelima eksistensi
(determinasi keempat), Langit dan Bumi ditunjuk tetap menyimbolkan aspek spiritual dan
intelejensial dalam perkembangan mereka ke dalam bentuk yang lebih dan lebih konkret. Ini
24 Prolegomena
merupakan level arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-khārijiyyah). Arketip-arketip eksterior
menerima pancaran suci eksistensi yang mengalir dari aspek eksterior arketip-arketip permanen.
Kini arketip-arketip permanen pada faktanya merupakan realitas-realitas sesuatu yang
ditegakkan dalam kehadiran kognitif dari Realitas Tertinggi. Mereka merupakan ‘realitas-realitas
ideal’ yang hidup secara permanen dalam pikiran Tuhan, dan sedemikian rupa mereka tidak
dibuat untuk muncul pada kondisi manifestasi eksterior dalam alam benda-benda empiris.
Mereka dalam pengertian itu bukan ‘maujud’ meskipun mereka memiliki realitas ontologis
positif. Dalam hubungan dengan arketip-arketip eksterior mereka adalah determinan aktif dari
semua maujud yang mungkin, karena mereka, lagi pula, merupakan artikulasi kecenderungan
Ilahi; mereka merupakan realitas-realitas asli dan positif yang seimbang dalam kesiapan untuk
mengaktifkan potensialitas inheren pada mereka, dan untuk membentangkan keadaan masa
depan mereka dalam bentuk eksistensi individual dan konkret dalam dunia eksternal. Dalam hal
ini hubungan arketip-arketip eksterior bertugas sebagai penerima pasif mereka. Isi dari pancaran
suci eksistensi adalah potensialitas tersebut, yang keadaan masa depannya secara bertalian
menjadi diaktualisasikan dalam dunia benda-benda empiris melalui perantara arketip-arketip
eksterior sebagai pancaran eksistensi yang mengembang terhadap mereka. Maka, arketip-arketip
eksterior merupakan manifestasi pasif, kontingen, dan ciptaan dari Eksistensi Absolut. Karena
arketip-arketip tersebut sendiri memiliki aspek interioritas dan eksterioritas, mereka menjadi,
dalam hubungan pada dunia hal-hal empiris, pengembang aktif aktualisasi dari kandungan
mereka melalui aspek eksterior mereka sebagai pancaran eksistensi yang berlanjut untuk
mengembang terhadap mereka pada derajat level ontologis yang terendah. Level ontologis
arketip-arketip eksterior merupakan determinasi keempat dari Eksistensi Absolut yang
berhubungan pada derajat kelima eksistensi. Yang keenam dan derajat yang terakhir eksistensi
adalah level dari determinasi kelima dari Eksistensi Absolut. Hal itu merupakan manifestasi
dalam rincian derajat yang mendahului dan merupakan alam benda-benda empiris, dunia indera
dan pengalaman inderawi yang sifat-dasarnya dikarakterisitikkan dengan kontingensi. (cf. hlm.
279-280, dan 290 (III), dan 290 (VI) di atas).
Kini dalam bagian di mana Tuhan memanggil Langit dan Bumi untuk datang bersama
“sukarela atau terpaksa” (ţaw’an aw karhan) merupakan indikasi jelas yang menunjukkan bahwa
Langit dan Bumi memiliki kesadaran kepatuhan dan ketidakpatuhan pada perintah Ilahi kendati
dari realitas dimana perintah tidak dapat dikontradiksikan. Itu juga menunjukkan bahwa mereka
memiliki sebuah kekuatan atau kapasitas untuk menjawab pada kata perintah Ilahi, karena
mereka menjawab: “kami datang dalam kepatuhan sukarela” (ataynā ţā’i’īn). Kita memahami dar
sini bahwa proses penciptaan yang digambarkan muncul pada level ontologis dari arketip-arketip
eksterior dalam derajat kelima eksistensi. Seseorang dapat menyebut bahwa arketip-arketip
eksterior merupakan penerima semua manifestasi kontingen dan ciptaan dari Eksistensi Absolut,
dan bahwa dalam hubungan pada apa yang merupakan akibat dari mereka, yakni, dunia dari
benda-benda empiris dalam derajat keenam dari eksistensi, mereka merupakan agen aktif
aktualisasi akan kandungan mereka ke dalam eksistensi eksternal pada derajat terendah dari level
ontologis. Mereka mengatakan “kami datang dengan kepatuhan sukarela” secara eksplisit
memberi kesan sifat-dasar pasif mereka; dan “kami datang” menyiratkan kekuatan atau kapasitas
laten mereka untuk mengaktifkan aktualisasi akan kandungan mereka.
Kemudian Tuhan memenuhi penciptaan mereka sebagai tujuh cakrawala; menugaskan
pada masing-masing langit tugasnya dan perintahnya, dan menghiasi langit dari bumi kita (samā’
al-dunyā) dengan jasad langit yang bercahaya dan mengamankannya dengan penjaga.
25 Prolegomena
Berdasarkan pada interpretasi kita, hanya pada tahap ini kata-kata: ‘langit’ atau ‘cakrawala’
(samāwāt), ‘langit’ (samā) dan ‘bumi’ (ard yang dalam kasus ini ditunjuk sebagai dunyā) menunjuk
pada semesta fisik bersama semua bagiannya. Kata dunyā, diturunkan dari akar dana,
mengandung makna akan sesuatu yang ‘dibawa dekat’. Menjadi ‘dibawa dekat’, menurut kita,
berarti ‘dibawa dekat’ pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel manusia. Yang dibawa
dekat pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel kita adalah semesta fisik bersama
semua bagiannya. Seluruh semesta fisik dibawa dekat pada kita dengan cara ini dengan
keutamaan akan realitas dan kebenaran bahwa hal itu menyusun tanda-tanda dan simbol-simbol
(āyāt) Tuhan yang ditampilkan pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel dengan
maksud bahwa kita dapat melihat makna dan tujuan mereka. Qur’an Suci menyatakan demikian
dalam banyak bagian. Jika kita benar dalam interpretasi kita, hal itu merupakan Dua Hari terakhir
yang ditunjuk sebagai penyelesaian penciptaan ke dalam tujuh cakrawala; dan seluruh semesta
fisik adalah yang terakhir dari tujuh langit.
Catatan kaki
[1] Kuliah tersebut, dimulai 1992, dibantu oleh semua profesor, profesor tamu, asisten peneliti, dan
mahasiswa ISTAC, sebagaimana juga oleh para profesor, staf akademik, dan pejabat senior dari
departemen, institusi, dan kementerian pemerintahan.
[2]Wan Mohd Wan Daud. 1998. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung:
Mizan. Hlm. 57.
[3] S.M.N. Al-Attas. 1995. Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The Fundamental Elements
Of Worldview Of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC. Hlm. 85. Selanjutnya disebut Prolegomena.
[4]Konfrontasi tersebut terjadi di ranah mendasar atau radix dari masing-masing peradaban.
[5] Prolegomena, hlm. 31.
[6] Ibid. Hlm. 30.
[7] Definisi ini diformulasikan oleh teolog Jerman, Cornelis van Peursen, yang menduduki the chair of
philosophy di University of Leiden. Gelar tersebut diberikan dalam laporan yang diselenggarakan dalam
Ecumenical Institue of Bossey, Switzerland, September 1959. Lihat juga karya teolog Harvard Harvey Cox,
the Secular City, New York, 1965, hlm. 2; dan yang mengikutinya, par. 2-17; 20-23; 30-36; 109 et passim. Karya
utuh dari sekularisasi sebagai program filosofis diberikan dalam Islām and Secularism, Kuala Lumpuur, 1978,
chs. I dan II.
[8] Prolegomena, Hlm. 39.
[9] Ibid. Hlm. 41-42.
[10] Da’in menunjuk sebagai penghutang sebagaimana juga sebagai pemberi hutang, dan penampakan
makna yang berlawanan ini hanya dapat diselesaikan jika kita memindahkan kedua makna tersebut sebagai
menunjuk kepada dua sifat-dasar manusia yaitu, jiwa rasional dan jiwa hewani atau jasmani. Lihat di
bawah hlm. 57-60.
26 Prolegomena
[11] Saya pikir sangat penting untuk melihat keintiman dan kedalaman hubungan yang penting antara
konsep dīn dan madīnah yang diturunkan darinya, dan peran mukmin secara individual dalam hubungan
terhadap yang sebelumnya dan secara kolektif dengan yang kemudian. Relevansi yang harus diingat dalam
pentingnya perubahan nama kota yang pernah dikenal sebagai Yathrib menjadi al-madīnah: Kota – atau lebih
tepat, madīnatu’l-Nabiy: Kota Nabi – yang muncul segera setelah Nabi Suci (semoga Tuhan memberkahi dan
memberinya kedamaian!) menjalani Perjalanan historis (hijrah) dan tinggal di sana. Komunitas pertama
Mukmin telah dibentuk di sana saat itu, dan Perjalanan itulah yang menandai Era Baru dalam sejarah
manusia. Kita harus melihat fakta bahwa al-madīnah disebut dan dīnamakan demikian sebab di sanalah dīn
yang benar menjadi terwujud untuk manusia. Terdapat mukmin yang memperbudak dirinya di bawah
otoritas dan hukum Nabi Suci, dayyan-nya; terdapat realisasi berhutang kepada Tuhan yang mengambil
bentuk yang jelas, dan dibuktikan dalam cara dan metode pembayarannya mulai dibentangkan. Kota Nabi
menandakan tempat dimana dīn yang benar ditetapkan di bawah otoritas dan hukumnya. Kita dapat lebih
lanjut melihat bahwa Kota tersebut menjadi, untuk Komunitas, lambang tatanan sosio-politis Islām; dan
untuk mukmin individual menjadi, dengan analogi, lambang jasad dan fisik mukmin dimana jiwa rasional,
dalam peniruan akannya mereka yang mudah-mudahan Tuhan memberkahi dan memberi kedamaian!,
menunjukkan otoritas dan pemerintahan yang adil. Untuk interpretasi relevan lebih lanjut, lihat di bawah,
hlm. 43-52; 53-59; 60-68;72-74; 75-80; 83-84.
[12] Lisan al-‘Arab, vol. 13: 402, kol. 2-403, kol. 1.
[13] Al-Dhariyat (51): 56.
[14] LA, vol. 5:58, kol. 1 & 2; lihat juga Al-Rum (30): 30.
[15] LA, vol. 5: 56, kol. 2, 57, kol. 1.
[16] Al-Nisa’ (4): 125.
[17] Ali ‘Imran (3): 85.
[18] Ali ‘Imran (3): 19.
[19] Ali ‘Imran (3): 83.
[20] Hal ini tentu tidak menyiratkan bahwa keanekaragaman antara agama-agama hanya soal bentuk,
karena perbedaan dalam bentuk tentu saja menyiratkan perbedaan dalam konsep Tuhan, Esensi, Nama-
Nama, Sifat-Sifat, dan Tindakan-Nya – sebuah perbedaan dalam konsepsi yang diungkapkan dalam Islām
sebagai tawhid: Keesaan Tuhan.
[21] Dalam sebuah pengertian, kata-kata Tuhan dalam Qur’an Suci:
– ‘Biarkan tidak ada ada paksaan dalam agama’ (Al-Baqarah (2): 256) – menguatkan apa yang telah
dijelaskan di atas bahwa dalam agama yang benar harus tidak terdapat paksaan: bukan hanya dalam
pengertian bahwa, dalam tindakan penaklukan pada agama dan tunduk padanya, seseorang harus tidak
memaksa yang lain untuk tunduk; tetapi dalam pengertian bahwa bahkan dengan diri sendiri, seseorang
harus memaksa dan menundukkan diri sepenuh hati dan sukarela, dan mencintai dan menikmati
ketundukan. Ketundukan yang terpaksa memperlihatkan kesombongan, ketidakpatuhan dan
pembangkangan, dan adalah serupa dengan salah-percaya (misbelief), yang merupakan salah satu bentuk
dari tidak-percaya (kufr). Adalah salah untuk berpikir percaya pada Tuhan yang Satu sendiri adalah cukup
dalam agama yang benar, dan bahwa kepercayaan-lemah seperti itu menjamin keamanan dan keselamatan.
Iblis (syaitan), yang percaya pada Satu Tuhan Yang Benar dan mengetahui dan mengakui-Nya sebagai
Pencipta, Pengasih, Pemelihara, rabbnya, meskipun demikian seorang yang salah-percaya (kafir). Meskipun
27 Prolegomena
Iblis tunduk pada Tuhan, namun dia tunduk dengan kurang ajar dan enggan, dan kufrnya berkaitan
dengan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan. Dia adalah contoh buruk yang terkenal dari
ketundukan yang terpaksa. Maka, ketundukan yang terpaksa bukan tanda kepercayaan yang benar, dan
seorang kafir oleh karena itu menjadi seseorang yang, meskipun percaya pada Satu Tuhan, tidak tunduk
dalam ketundukan sejati, melainkan lebih tunduk dalam jalannya sendiri yang keras kepala – sebuah jalan,
atau cara, atau bentuk yang tidak diterima ataupun diwahyukan atau diperintahkan Tuhan. Ketundukan
sejati adalah apa yang telah sempurna oleh Nabi Suci sebagai model bagi manusia, karena itu adalah cara
ketundukan seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya, dan bentuknya diterima, diwahyukan, dan diperintahkan
Tuhan. Jadi, inti agama yang benar, maka, bukan kepercayaan-lemah, tetapi melainkan, lebih mendasar,
ketundukan; karena ketundukan membuktikan dan mengakui kepercayaan-lemah sebagai benar dan sejati.
[22] Kita tidak menyiratkan di sini bahwa ketika ’ibadah menjadi diidentifikasi dengan ma’rifah, yang
terdahulu disebutkan sebagai kerja pelayanan (‘amal) termasuk sholat (salat) – cth. yang ditentukan (fard),
praktek yang jalankan Nabi (sunnah), tambahan utama (nawafil) –tidak lagi wajib bagi seseorang yang
memperoleh yang kemudian, atau sholat seseorang hanya bermakna kontemplasi intelektual, seperti
beberapa pemikiran filsuf. Ma’rifah sebagai ‘pengetahuan’ adalah kognisi yang benar (‘ilm) dan perasaan
yang benar atau suasana hati spiritual (hal); dan yang disebutkan di awal, yang menandai tahap terakhir
‘tempat-perhubungan’ spiritual (maqamat), mendahului yang kemudian disebut, yang menandai awal
‘kondisi’ spiritual (ahwal). Jadi ma’rifah menandai posisi-perpindahan spiritual antara tempat perhubungan
dan kondisi spiritual. Hal seperti itu, dan karena itu adalah pengetahuan yang datang dari Tuhan pada hati
(qalb) dan tergantung seluruhnya pada-Nya, adalah tidak serta merta merupakan kondisi permanen kecuali
secara berkelanjutan diamankan dan dibentengi dengan ‘ibadah. Dia yang berpandangan tajam mengetahui
bahwa adalah absurd dalam kasus seseorang yang menerima pengetahuan dari Tuhan tentang Tuhan (cth.
‘arif) untuk mengubah ‘ibadahnya menjadi sekedar kontemplasi, karena ‘arif sangat sadar akan fakta bahwa
menjadi satu setidaknya separuhnya berkaitan dengan ‘ibadah yang merupakan alat mendekati Rabbnya.
[23] Al-A’raf (7): 19-25; Ta ha (20): 117-124; Bani Isra’il (7): 72.
[24] Prolegomena, hlm. 112-116.
[25] Lihat karya Al-Attas The Concept of Education in Islām, hlm. 15.
[26] Prolegomena, hlm. 116.
[27] Prolegomena, hlm. 136-137.
28 Prolegomena
Pengantar
Konsepsi dan konseptualisasi pengetahuan dan sains itu, sebagaimana halnya adaptasi
metode dan teori, dirumuskan di setiap peradaban di dalam kerangka-kerja sistem metafisika
yang membentuk pandangan-dunia (worldview) masing-masing. Setiap sistem metafisis, dan
karenanya juga pandangan-dunia yang diproyeksikannya, tidaklah sama bagi setiap peradaban
lain; hal tersebut berbeda satu sama lain sesuai dengan perbedaan interpretasi atas apa yang
dipegang secara mendasar sebagai benar (true) dan nyata (real). Jika pengetahuan dan sains yang
tumbuh darinya tidak diluruskan dengan pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran wahyu
maka, apa yang dipegang sebagai benar dapat tidak selalu benar, maupun apa yang dipegang
sebagai nyata sebagai sungguh-sungguh nyata; dan oleh karena itu interpretasi demikian pasti
mengalami perubahan pembetulan (corrective) berulang-ulang yang memerlukan apa yang disebut
pergeseran paradigma (paradigm shifts) yang juga melibatkan perubahan dalam pandangan-dunia
dan sistem metafisis yang memproyeksikannya. Kita tidak sepakat dengan mereka yang
mengambil posisi bahwa realitas dan kebenaran, dan nilai yang diturunkan darinya, adalah
terpisah, dan mereka mengartikulasikan makna tersebut di dalam paradigma relatifitas dan
pluralitas yang memiliki keabsahan yang sepadan.
Karena kita mempertahankan bahwa pengetahuan tidak sepenuhnya milik kesadaran
manusia, dan bahwa sains yang diturunkan darinya bukanlah semata-mata hasil rasio manusia
tanpa-bantuan (unaided human reason) dan pengalaman inderawi yang memiliki objektifitas
sehingga menghalangi putusan nilai, tetapi pengetahuan dan sains tersebut membutuhkan
bimbingan dan verifikasi dari pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran wahyu, hal tersebut
diemban para sarjana dan cendekia di antara kita yang dipercayakan mengajar dan mendidik
untuk memperkenalkan diri mereka dengan pemahaman yang jelas akan metafisika Islam dan
unsur-unsur mendasar yang didirikan secara permanen dari pandangan-dunia yang diturunkan
darinya. Hal ini karena metafisika itu tidak hanya dibangun di atas rasio dan pengalaman
sebagaimana direfleksikan dalam tradisi intelektual dan keagamaan Islam, tetapi juga di atas
artikulasi agama wahyu itu sendiri tentang sifat-dasar realitas dan kebenaran dalam verifikasi
Wahyu. Buku yang kini terbentang di tangan anda dibuat untuk diskursus awal tentang sifat-
dasar metafisika Islam.
Dengan pengecualian akan bab I, yang telah ditulis dua puluh tahun lalu pada bulan
Ramadan, keenam bab lain telah ditulis dan dilengkapi selama bulan-bulan pada tahun 1989 (III;
1990 (IV, V dan VI); 1993 (II); dan 1994 (VII). Pada Bab II, yang merupakan komentar atas
penjelasan tentang kebahagiaan yang diberikan pada bab I, saya telah mengenalkan sebuah teori
baru saya sendiri tentang makna dan asal tragedi. Keseluruhan buku ini, sebagaimana telah saya
jelaskan pada bagian Penutup, pada akhirnya menunjuk kepada interpretasi makna tersembunyi
dari bagian Qur’ān tentang Penciptaan dalam Enam Hari.
Pada asalnya bab-bab tersebut diterbitkan sebagai monografi terpisah dalam jumlah
terbatas atas permintaan staf akademik ISTAC dan pihak lain. Mereka meminta supaya saya
mengelaborasi komentar pada setiap monografi, dalam bentuk sebuah kuliah di ISTAC yang
kemudian dikenal sebagai Kuliah Sabtu Malam. Kuliah tersebut, dimulai 1992, dibantu semua
profesor, profesor tamu, asisten peneliti, dan mahasiswa ISTAC, maupun oleh para profesor, staf
akademik, dan pejabat senior dari departemen, institusi, dan kementerian pemerintahan. Saya
29 Prolegomena
mengucapkan terima kasih kepada mereka semua atas dukungan yang tulus, khususnya asisten
Profesor Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, sebagai Pembantu Deputi Direktor, atas kerjasama
terus-menerus dan keberaniannya, dan kepada asisten peneliti Muhammad Zainy Uthman, yang
membantu saya dalam mempersiapkan Indeks Umum buku ini.
Syed Muhammad Naquib al-Attas
5 September, 1995/9 Rabi’al-akhir 1416
Kuala Lumpur
30 Prolegomena
Pengantar Edisi Kedua
Prolegomena to the Metaphysics of Islam, yang diterbitkan oleh International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) pada 1995, kini diterbitkan kembali tanpa perubahan. Beberapa
bagian buku ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa sejak publikasi pertama. Bagian
Pengenalan buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia; bab I ke dalam bahasa Arab,
Persia, Turki, Bosnia, Urdu, Malaya, Jepang, Korea, Indonesia; bab II ke dalam bahasa Arab,
Turki, Jerman, Itali, Bosnia, dan Melayu; bab V, VI, dan VII ke dalam bahasa Persia. Seluruh buku
ini sekarang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, di bawah pengawasan Institute of Islamic
Civilization, Moskow, yang berkolaborasi dengan anggota Russian Academy of Science, sebuah
Institusi Filsafat yang telah mengundang saya berbicara pada sebuah Presentasi Khusus tentang
gagasan saya yang diungkapkan dalam buku tersebut, dan ditemani Deputi saya Profesor Dr.
Wan Mohd. Nor, ke Akademi Moskow pada Mei 2001.
Saya mengucapkan terima kasih kepada International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC) karena menerbitkan kembali buku ini dalam bentuk yang sekarang ini, dan
memperbaharui rasa terima kasih saya kepada Profesor Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, Deputi
Direktur Institut, dan asisten Profesor Dr. Muhammad Zainy Uthman, Pustakawan akademis
Institut untuk dukungan terus-menerus akan pekerjaan saya. Pada cetakan kedua buku ini, saya
juga mengucapkan terima kasih kepada anggota baru staf akademik, asisten Profesor Dr.
Mohamed Ajmal Abdul Razak, Editor Umum Publikasi Institut, yang membaca salinan buku ini
lewat percetakannya.
Syed Muhammad Naquib al-Attas
5 September, 2001/ 17 Jumad al-Akhir 1422
Kuala Lumpur
kajian islam, ebook islami 3 bahasa, aplikasi islami, kunjungi :
http://ayubmenulis.blogspot.com/
31 Prolegomena
PENGENALAN
Dari perspektif Islām, ‘pandangan-dunia’ bukan hanya pandangan kesadaran tentang dunia
fisik dan keterlibatan manusia secara historis, sosial, politis dan kultural di dalamnya seperti
direfleksikan, sebagai contoh, dalam ungkapan bahasa Arab saat ini tentang gagasan yang
dirumuskan dalam frase nazrat al-islām li al-kawn. Tidaklah tepat menunjuk pandangan-dunia
Islām sebagai nazrat al-islām li al-kawn. Hal ini karena, tidak seperti apa yang dikandung nazrat,
pandangan-dunia Islām tidaklah berdasarkan spekulasi filosofis yang sebagian besar dirumuskan
dari observasi data pengalaman inderawi, dari apa yang terlihat pada mata; maupun dibatasi
pada kawn, yang merupakan dunia pengalaman inderawi, dunia hal-hal ciptaan. Jika ungkapan
demikian kini digunakan dalam bahasa Arab pada pemikiran muslim kontemporer, hal itu hanya
menunjukkan bahwa kita sudah terlalu dipengaruhi konsepsi saintifik Barat sekular tentang
dunia yang dibatasi pada dunia indera dan pengalaman inderawi. Islām tidak mengakui dikotomi
sakral dan profan; pandangan-dunia Islām meliputi al-dunyā dan al-ākhirah, dimana aspek-dunyā
harus terhubung secara mendalam dan tak terpisahkan dengan aspek-ākhirah, dan dimana aspek-
ākhirah memiliki nilai mendasar (ultimate) dan penghabisan (final). Aspek-dunyā itu dilihat sebagai
persiapan untuk aspek-ākhirah. Segala hal dalam Islām secara mendasar terfokus kepada aspek-
ākhirah tanpa kemudian mengakibatkan perilaku lalai atau tidak peduli terhadap aspek dunyā.
Realitas bukan apa yang sering ‘didefinisikan’ dalam kamus-kamus bahasa Arab sebagai
wāqi’iyah, yang penggunaannya itu, secara partikular dalam bentuk gramatikal wāqi’iy, sekarang
sedang populer. Realitas adalah haqīqah, yang secara berarti kini jarang digunakan berkaitan pada
keasyikan dengan wāqi’iyah yang hanya menunjuk kepada penampakan faktual. Penampakan
faktual hanya merupakan satu aspek dari sekian banyak haqīqah, yang cakupannya meliputi
seluruh realitas. Lebih lanjut, penampakan faktual dapat merupakan aktualisasi sesuatu yang
palsu (cth. bāţil); sedangkan realitas selalu merupakan aktualisasi sesuatu yang benar (cth. haqq).
Maka, apa yang dimaksud dengan ‘pandangan-dunia’, menurut perspektif Islām, adalah visi akan
realitas dan kebenaran yang muncul di hadapan mata kesadaran yang mengungkapkan segala hal
tentang eksistensi; karena pandangan-dunia merupakan dunia eksistensi dalam totalitasnya yang
diproyeksikan Islām. Jadi, dengan ‘pandangan-dunia’ kita harus mengartikannya sebagai ru’yat
al-islām li al-wujūd.
Visi Islāmi akan realitas dan kebenaran, yang merupakan investigasi metafisis dari apa
yang nampak maupun yang tidak nampak termasuk perspektif akan kehidupan sebagai
keseluruhan, bukanlah pandangan-dunia yang dibentuk hanya dengan mengumpulkan bersama-
sama pelbagai objek, nilai, dan fenomena kultural ke dalam koherensi artifisial.[i] Bukan pula
sesuatu yang dibentuk secara bertahap melalui proses historis dan perkembangan spekulasi
filosofis dan penemuan saintifik, yang pasti perlu dibiarkan samar dan terbuka-tanpa-akhir (open-
ended) untuk perubahan di masa depan dan pergantian yang sejalan dengan paradigma yang
berubah dalam korespondensi dengan keadaan yang berubah. Visi Islām akan realitas dan
kebenaran bukanlah pandangan-dunia yang mengalami proses transformasi dialektik yang
berulang-ulang sepanjang zaman, dari tesis kepada antitesis kemudian sintesis, dengan unsur-
unsur masing-masing tahapan tersebut dalam proses sedang terserap menjadi yang lain, seperti
sebuah pandangan-dunia berdasarkan sistem pemikiran yang asalnya berpusat pada tuhan,
kemudian secara bertahap menjadi berpusat pada tuhan-dunia, dan kini menjadi berpusat pada
dunia dan mungkin bergeser lagi membentuk tesis baru dalam proses dialektik. Pandangan-dunia
demikian berubah sejalan dengan ideologi zaman yang dikarakteristikkan oleh banyaknya
32 Prolegomena
pengaruh sistem pemikiran partikular dan berlawanan yang mendukung perbedaan interpretasi
akan pandangan-dunia dan sistem nilai seperti yang telah dan akan terus muncul dalam sejarah
tradisi kultural, keagamaan, dan intelektual Barat. Tidak pernah ada dalam sejarah tradisi
kultural, keagamaan, dan intelektual Islām keterpilahan zaman yang dikarakteristikkan dengan
banyaknya sistem pemikiran berdasarkan materialisme dan idealisme, yang didukung posisi dan
pendekatan bantuan metodologis seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme,
pragmatisme, positivisme, positivisme logis, kritisisme, yang bergerak dari satu posisi ke posisi
lain di antara abad, yang muncul bergantian langsung pada masa kita. Perwakilan pemikiran
Islām — teolog, filosof, metafisikawan — secara keseluruhan dan individual telah menerapkan
pelbagai metode dalam investigasi mereka tanpa mementingkan satu metode partikular. Mereka
memadukan dalam investigasi mereka, dan secara bersamaan dalam pribadi mereka, yang
empiris dan rasional, metode deduktif dan induktif dan mengakui tidak ada dikotomi antara yang
subjektif dan objektif,[ii] sehingga mereka semua terpengaruh dengan apa yang saya sebut
sebagai metode tawhīd akan pengetahuan. Bukan pula pernah terdapat dalam Islām periode
sejarah yang dapat dikarakteristikkan sebagai ‘klasik’, lalu ‘pertengahan’, lalu ‘modern’ dan kini
nampak bergeser lagi ke ‘pos-modern’; maupun masa kritis antara pertengahan dan modern
dialami sebagai ‘renaisans’ dan ‘pencerahan’. Pendukung pergeseran dalam sistem pemikiran
yang melibatkan perubahan dalam unsur-unsur mendasar pandangan-dunia dan sistem nilai,
mungkin mengatakan bahwa semua bentuk kebudayaan harus mengalami pergeseran
sedemikian, jika tidak dalam proses interaksi dengan keadaan yang berubah mereka akan
melelahkan diri mereka, menjadi tidak kreatif, dan membatu. Namun, hal ini hanya benar dalam
pengalaman dan kesadaran peradaban yang sistem pemikiran dan nilainya telah diturunkan dari
unsur kultural dan filosofis yang dibantu sains pada masa mereka. Islām bukanlah sebuah bentuk
kebudayaan, dan sistem pemikirannya yang memproyeksikan visi akan realitas dan kebenaran
dan sistem nilai yang diturunkan darinya tidak hanya diturunkan dari unsur kultural dan filosofis
yang dibantu sains, tetapi sesuatu yang sumber asalnya adalah Wahyu, yang dikonfirmasi agama,
diafirmasi prinsip intelektual dan intuitif. Islām melekatkan kepada dirinya akan kebenaran
sebagai sungguh-sungguh agama wahyu, yang sempurna sejak dari awal, tidak membutuhkan
penjelasan historis dan penilaian dalam pengertian tempat yang disinggahi dan peran yang
dimainkan dalam proses perkembangan. Semua yang penting dalam agama: nama, kepercayaan-
kuat (faith) dan prakteknya, ritual, kredo dan sistem kepercayaan (belief) telah diberikan Wahyu,
diinterpretasikan, dan didemonstrasikan Nabi dalam ucapan dan contoh tindakan, bukan dari
tradisi kultural yang pasti perlu mengalir dalam arus historisisme. Agama Islām telah sadar
identitas dirinya sejak saat diwahyukan. Ketika Islām muncul dalam tahapan sejarah dunia, Islām
sudah ‘dewasa’, dan tidak membutuhkan proses ‘pertumbuhan’ menuju kedewasaan. Agama
Wahyu hanya dapat sebagai sesuatu yang mengetahui dirinya sejak sangat awal; dan swa-
pengetahuan ini datang dari Wahyu itu sendiri, bukan dari sejarah. Maka, sesuatu yang disebut
‘perkembangan’ dalam tradisi keagamaan manusia tidak dapat diterapkan pada Islām, karena apa
yang diasumsikan sebagai proses perkembangan tersebut dalam kasus Islām hanya sebuah proses
interpretasi dan elaborasi yang pasti perlu muncul dalam generasi mukmin berturut-turut dari
bangsa yang berbeda, dan yang merujuk kepada Sumber yang tidak berubah.[iii] Pandangan-
dunia Islām tersebut dikarakteristikkan dengan otentisitas dan finalitas yang menunjuk pada apa
yang mendasar, dan pandangan-dunia Islām memproyeksikan pandangan akan realitas dan
kebenaran yang meliputi eksistensi dan kehidupan secara keseluruhan dalam perspektif utuh
dimana unsur-unsur mendasarnya didirikan secara permanen. Unsur-unsur tersebut adalah,
untuk menyebutkan yang paling penting, sifat-dasar Tuhan; tentang Wahyu (cth. Qur’ān); tentang
makhluk-Nya; tentang manusia dan psikologi jiwa manusia; tentang pengetahuan; tentang
33 Prolegomena
agama; tentang kebebasan; tentang nilai dan kebajikan (ihsān, penerj.); tentang kebahagiaan —
semua yang, bersama dengan istilah dan konsep kunci yang dibentangkan, memiliki ketegasan
mendalam pada gagasan kita akan perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Saya mengajukan
di sini, di Pengenalan ini, untuk memberikan intisari beberapa unsur mendasar pandangan-dunia
Islām. Pernyataan menyeluruh tentang sifat-dasar mereka telah dibuat di dalam bab-bab buku ini.
Unsur-unsur mendasar pandangan-dunia inilah yang kita pertahankan supaya tegak secara
permanen yang kini sedang ditantang modernitas, dimana dijumpai bahwa pergeseran sistem
pemikiran yang telah melahirkan modernitas dari rahim sejarah telah dihasilkan oleh kekuatan
sekularisasi sebagai ideologi filosofis. Namun, sebenarnya modernitas atau posmodernitas tidak
memiliki visi koheren untuk menawarkan sesuatu yang dapat disebut sebagai pandangan-dunia.
Jika kita dapat menarik bahkan sebuah persamaan superfisial antara pandangan-dunia dan
gambar yang dilukiskan dalam teka-teki potongan gambar (jigsaw), maka potongan gambar
modernitas itu bukan hanya jauh dari melukiskan gambar koheren apapun, tetapi juga bagian-
bagian inti untuk membentuk gambar sedemikian itu tidak cocok. Hal ini tidak termasuk
menyebutkan posmodernitas, yang telah menggagalkan semua bagian. Tidak ada pandangan-
dunia yang benar yang dapat fokus ketika sistem ontologis skala-besar untuk
memproyeksikannya itu ditolak, dan ketika terdapat pemisahan antara kebenaran dan realitas,
antara kebenaran dan nilai. Unsur-unsur mendasar tersebut berperan sebagai prinsip penyatu
yang meletakkan semua sistem makna, standar kehidupan, dan nilai kita dalam tatanan koheren
sebagai sistem yang disatukan membentuk pandangan-dunia; dan prinsip tertinggi dari realitas
sejati yang diartikulasikan unsur-unsur mendasar tersebut difokuskan pada pengetahuan akan
sifat-dasar Tuhan sebagaimana diwahyukan dalam Qur’ān.
Sifat-dasar Tuhan sebagaimana di-Wahyukan dalam Islām diturunkan dari Wahyu. Kami
tidak memaksudkan Wahyu sebagai visi mendadak para pujangga besar dan seniman yang
diklaim untuk diri mereka; maupun inspirasi apostolik para penulis naskah suci; maupun intuisi
iluminatif dan orang-orang bijaksana dan orang-orang berpandangan tajam. Kami memaksudkan
Wahyu sebagai ucapan Tuhan tentang diri-Nya sendiri, ciptaan-Nya, hubungan antara keduanya,
dan jalan keselamatan yang dikomunikasikan kepada Nabi dan Utusan pilihan-Nya, tidak dengan
suara atau huruf, namun sudah berisikan semuanya Dia telah merepresentasikannya dalam kata-
kata, kemudian dibawa oleh Nabi kepada manusia dalam bentuk linguistik yang baru di dalam
alam namun menyeluruh, tanpa kebingungan dengan subjektifitas dan imajinasi kognitif Nabi.
Wahyu ini final, dan bukan hanya mengonfirmasikan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya
dalam bentuk asli, tetapi juga termasuk substansinya, yang memisahkan kebenaran dari kreasi
kultural dan penemuan etnik.
Karena kita mengafirmasi Qur’ān sebagai ungkapan Tuhan yang diwahyukan dalam
bentuk baru bahasa Arab, oleh karena itu deskripsi sifat-dasar-Nya di dalam Qur’ān merupakan
deskripsi diri-Nya oleh diri-Nya dalam kata-kata-Nya sendiri berdasarkan bentuk linguistik
tersebut. Hal ini berarti bahasa Arab Qur’ān, interpretasi tentangnya dalam Tradisi (sunnah, pen.),
dan penggunaan otentik dan otoritatifnya sepanjang zaman telah membentuk keabsahan bahasa
tersebut ke derajat unggul dalam bertugas menggambarkan realitas dan kebenaran.[iv] Dalam
pengertian ini dan tidak seperti situasi yang berlaku umum pada pemikiran modernis dan
posmodernis, kita mempertahankan bahwa bukanlah perhatian Islām untuk terlalu terlibat dalam
urusan semantik dari bahasa secara umum dimana kondisi filsuf bahasa menemukan penuh
masalah pada kemampuan mereka untuk mendekati atau menghubungkan dengan realitas yang
benar. Konsepsi sifat-dasar Tuhan yang diturunkan dengan Wahyu juga dibangun di atas fondasi
34 Prolegomena
rasio dan intuisi, dan dalam beberapa kasus dengan intuisi empiris, sebagai sebuah hasil
pengalaman dan kesadaran manusia akan-Nya dan ciptaan-Nya.
Sifat-dasar Tuhan yang dipahami dalam Islām tidaklah sama seperti konsepsi Tuhan yang
dipahami dalam pelbagai tradisi keagamaan di dunia; maupun sama dengan konsepsi Tuhan
yang dipahami di dalam tradisi filsafat Yunani dan yang Helenistik; maupun konsepsi Tuhan
yang dipahami dalam tradisi filosofis dan saintifik Barat; maupun tradisi mistik Barat dan Timur.
Penampakan kesamaan yang mungkin ditemukan di antara pelbagai konsepsi mereka tentang
Tuhan dengan sifat-dasar Tuhan yang dipahami dalam Islām tidak dapat diinterpretasikan
sebagai bukti identitas Tuhan Universal yang Esa dalam pelbagai konsepsi mereka akan sifat-
dasar Tuhan; karena setiap dari mereka bertugas dan berada pada sistem konseptual yang
berbeda, yang secara serta merta menyumbangkan konsepsi tersebut sebagai keseluruhan atau
super-sistem (super-system) sehingga menjadi tidak sama satu sama lain. Maupun terdapat
‘kesatuan transenden agama-agama’, jika ‘kesatuan’ (unity) bermakna ‘keesaan’ (oneness) atau
‘kesamaan’ (sameness); dan jika ‘kesatuan’ tidak bermakna ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ maka
terdapat pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama bahkan pada tingkatan transenden. Jika
diakui bahwa terdapat pluralitas atau ketidaksamaan pada tingkatan tersebut, dan ‘kesatuan’
bermakna ‘kesalinghubungan bagian-bagian yang menciptakan keseluruhan’, maka kesatuan
merupakan saling-hubung pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama sebagai bagian yang
menyusun keseluruhan, maka hal itu berarti bahwa pada tingkatan kehidupan sehari-hari,
dimana manusia terpengaruh keterbatasan kemanusiaan dan material alam semesta, agama
apapun tidak utuh pada dirinya dan tidak mampu mewujudkan tujuannya, dan hanya mampu
mewujudkan tujuannya, yang merupakan ketundukan kepada Tuhan Universal yang Esa tanpa
menyamakan Dia dengan segala rekan, lawan, atau semacamnya, pada tingkatan transenden.
Namun, agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan tepatnya pada tingkatan eksistensi
ketika manusia terpengaruh keterbatasan kemanusiaan dan material alam semesta, dan bukan
ketika manusia tidak dipengaruhi keterbatasan tersebut sebagaimana terkandung dalam istilah
‘transenden’. Jika ‘transenden’ bermakna menunjuk kepada kondisi ontologis yang tidak
termasuk salah satu dari sepuluh kategori, Tuhan adalah, berbicara secara ketat, bukan Tuhan
agama (cth. ilāh) dalam pengertian bahwa dapat ada sesuatu yang disebut ‘kesatuan’ agama-agama
pada tingkatan tersebut. Pada tingkatan tersebut Tuhan dikenali sebagai rabb, bukan sebagai ilāh;
dan mengenali Tuhan sebagai rabb tidak serta merta menyiratkan keesaan atau kesamaan dalam
pengakuan yang pantas akan kebenaran yang dikenali, karena Iblīs juga mengakui Tuhan sebagai
rabb namun tidak mengakui Dia secara pantas. Tentu saja, seluruh keturunan Adam telah
mengakui Dia sebagai rabb pada tingkatan tersebut. Namun pengenalan manusia sedemikian
akan-Nya tidaklah benar kecuali diikuti pengakuan yang pantas pada tingkatan dimana Dia
diketahui sebagai ilāh. Dan pengakuan yang pantas pada tingkatan ini dimana Dia diketahui
sebagai ilāh terdiri atas tidak menyamakan Dia dengan segala sekutu, lawan, atau semisalnya, dan
berserah kepada-Nya dalam cara dan bentuk yang diterima-Nya dan ditunjukkan oleh Nabi yang
diutus-Nya. Jika ‘transenden’ bermakna menunjuk kepada kondisi psikologis pada tingkatan
pengalaman dan kesadaran yang ‘melampaui’ atau ‘melewati’ kebanyakan di antara manusia,
maka ‘kesatuan’ yang dialami dan disadari pada tingkatan transenden itu bukanlah agama, tetapi
pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya dapat dicapai secara relatif oleh beberapa
individu di antara manusia. Namun, agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya bagi
keseluruhan manusia dan manusia secara keseluruhan tidak pernah dapat sampai pada tingkatan
transenden dimana terdapat kesatuan agama-agama pada tingkatan tersebut. Maka jika ditolak
bahwa kesatuan pada tingkatan transenden merupakan saling-hubung pluralitas atau
35 Prolegomena
ketidaksamaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang menyusun keseluruhan, melainkan bahwa
setiap agama pada tingkatan kehidupan sehari-hari bukan merupakan bagian dari keseluruhan,
tetapi merupakan keseluruhan dalam dirinya sendiri – maka ‘kesatuan’ bermakna ‘keesaan’ atau
‘kesamaan’ tidak sungguh-sungguh akan agama-agama, tetapi akan Tuhan agama-agama pada
tingkatan transenden (cth. esoterik), yang menyiratkan dengan demikian pada tingkatan
kehidupan sehari-hari (cth. eksoterik), dan kendati akan pluralitas dan keanekaragaman agama-
agama, masing-masing agama itu memadai dan absah dalam jalannya yang terbatas, dimana
masing-masing otentik dan mengandung kebenaran yang sama meskipun terbatas. Gagasan
pluralitas kebenaran absah yang sama dalam pluralitas dan keanekaragaman agama-agama
mungkin diluruskan dengan pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains modern yang
muncul dari penemuan pluralitas dan keanekaragaman hukum yang mengatur alam dan
memiliki keabsahan yang sama dalam sistem kosmologis masing-masing. Kecenderungan
meluruskan penemuan saintifik modern terhadap sistem alam semesta dengan pernyataan yang
berhubungan dengan masyarakat, tradisi kultural, dan nilai merupakan salah satu karakteristik
corak modernitas. Posisi mereka yang mendukung teori kesatuan transenden agama-agama itu
berdasarkan dengan asumsi bahwa semua agama, atau agama-agama besar umat manusia, adalah
agama wahyu. Mereka berasumsi bahwa universalitas dan transendensi esoterisme mengesahkan
teori mereka, yang mereka ‘temukan’ setelah berkenalan dengan metafisika Islām. Dalam
pemahaman mereka akan metafisika kesatuan transenden eksistensi (the trancendent unity of
existence), mereka lebih lanjut berasumsi bahwa kesatuan transenden agama-agama sudah tersirat.
Terdapat kesalahan yang serius dalam semua asumsi mereka, dan frase ‘kesatuan transenden
agama-agama’ itu menyesatkan dan mungkin dimaksudkan demikian karena dorongan selain
kebenaran. Klaim mereka untuk mempercayai kesatuan transenden agama-agama adalah sesuatu
yang dianjurkan kepada mereka secara induktif oleh imajinasi dan diturunkan dari spekulasi
intelektual dan bukan dari pengalaman aktual. Jika ini ditolak, dan klaim mereka diturunkan dari
pengalaman orang lain, maka kembali kita katakan bahwa pengertian ‘kesatuan’ yang dialami
bukanlah agama, tetapi pelbagai derajat atas pengalaman keagamaan individual yang tidak serta
merta membimbing pada asumsi bahwa agama diri individu yang mengalami ‘kesatuan’ tersebut,
memiliki kebenaran absah yang sepadan sebagaimana agama wahyu pada tingkatan kehidupan
sehari-hari. Lebih lanjut, seperti sudah diungkapkan, Tuhan dari pengalaman tersebut dikenali
sebagai rabb, bukan ilāh agama wahyu. Dan mengenali-Nya sebagai rabb tidak serta merta
bermakna mengakui-Nya dalam ketundukan sejati yang diikuti dari pengenalan tersebut, karena
pembangkangan, kesombongan, dan kesalahan juga berasal dari alam transenden. Terdapat
hanya satu agama wahyu. Agama tersebut merupakan agama yang dibawa Nabi-Nabi terdahulu,
yang telah dikirim untuk menyampaikan pesan wahyu kepada kaum mereka sendiri sesuai dengan
kebijaksanaan dan keadilan rencana Ilāhi untuk mempersiapkan orang-orang di dunia menerima
agama dalam bentuk terakhir dan sempurna sebagai Agama Universal di tangan Nabi terakhir,
yang telah dikirim untuk membawa pesan wahyu bukan hanya untuk kaumnya sendiri, tetapi
untuk manusia secara keseluruhan. Pesan penting wahyu selalu sama: mengenali, mengakui, dan
menyembah Tuhan (ilāh) Yang Benar dan Nyata yang Esa, tanpa menyamakan Dia dengan segala
sekutu, lawan, atau semisalnya, ataupun menyifatkan sebuah keserupaan kepada-Nya; dan untuk
mengonfirmasikan kebenaran yang disampaikan Nabi-Nabi terdahulu sebagaimana halnya
mengonfirmasikan kebenaran final yang dibawa Nabi terakhir sebagaimana telah
dikonfirmasikan semua Nabi-Nabi terdahulu sebelumnya. Dengan pengecualian atas orang-orang
pada masa Nabi terakhir ini, yang dengannya agama Wahyu mencapai kondisi paling sempurna
dan asalnya yang murni dipelihara hingga saat ini, kebanyakan orang-orang pada masa Nabi-
Nabi terdahulu diutus dengan sengaja meninggalkan petunjuk dan sebagai gantinya lebih
36 Prolegomena
menyukai kreasi kultural dan penemuan etnik milik mereka, lalu mengakui hal tersebut sebagai
‘agama’ dalam imitasi terhadap agama Wahyu. Terdapat hanya satu agama Wahyu yang sejati,
dan nama yang diberikan adalah Islām, dan orang-orang yang mengikuti agama ini didoakan
Tuhan sebagai yang terbaik di antara manusia. Bagi beberapa orang yang lebih menyukai
mengikuti bentuk dan praktek kepercayaan mereka yang anekaragam yang digambarkan sebagai
‘agama’, kesadaran mereka akan Kebenaran merupakan penemuan ulang, dengan bimbingan dan
ketulusan hati, dari apa yang sudah jelas ada dalam Islām bahkan pada tingkatan kehidupan
sehari-hari. Hanya Islām yang mengakui dan mengafirmasikan Keesaan Tuhan secara absolut
tanpa harus sampai pada tingkatan transenden untuk melakukannya; tanpa membingungkan
pengakuan dan afirmasi tersebut dengan bentuk-bentuk tradisional kepercayaan (belief) dan
praktek yang digambarkan sebagai ‘agama’; tanpa mengacaukan pengenalan dan afirmasi
tersebut dengan kreasi kultural dan penemuan etnik yang diinterpretasikan dalam imitasi dari
agama wahyu. Oleh karena itu, Islām tidak mengakui kesalahan apapun dalam memahami
Wahyu, dan dalam pengertian ini Islām bukan hanya sebuah bentuk — Islām adalah esensi agama
(dīn) itu sendiri. Kita tidak mengakui dalam kasus Islām pembedaan garis horisontal yang
memisahkan pemahaman eksoterik dari esoterik akan Kebenaran dalam agama. Melainkan kita
menjaga sebuah garis vertikal berkelanjutan dari eksoterik ke esoterik; sebuah garis lurus
berkelanjutan yang kita identifikasi sebagai Jalan Lurus akan Islām-īmān-ihsān tanpa kemudian
terdapat inkonsistensi dalam tiga tahap pendakian spiritual tersebut sehingga Realitas atau
Kebenaran transendental yang dikenali dan diakui dalam kasus kita dapat dimasuki banyak
orang. Sia-sialah mengusahakan kamuflase kesalahan dalam agama-agama, dalam pemahaman
dan interpretasi akan kitab-kitab mereka yang mereka percaya merefleksikan Wahyu yang asli,
dengan memilih bentuk-bentuk karakteristik dan keanehan akan bentuk yang berbeda dari
etnisitas dan simbolisme, kemudian menjelaskan simbolisme tersebut dengan sebuah
hermenutika yang disusun dan menipu sedemikian sehingga kesalahan nampak sebagai
kebenaran. Agama bukan hanya terdiri dari afirmasi akan Keesaan Tuhan (al-tawhīd), tetapi juga
cara dan bentuk dimana kita menguji afirmasi tersebut sebagaimana ditunjukkan Nabi-Nya yang
terakhir, yang mengonfirmasikan, menyempurnakan, dan mengukuhkan cara dan bentuk
afirmasi dan verifikasi dari Nabi-Nabi sebelumnya. Cara dan bentuk verifikasi ini merupakan cara
dan bentuk ketundukan kepada Tuhan. Maka, pengujian afirmasi yang benar akan Keesaan Tuhan,
adalah bentuk ketundukan kepada Tuhan tersebut. Hal ini hanya karena bentuk ketundukan yang
ditetapkan agama yang mengafirmasi Keesaan Tuhan adalah benar terhadap verifikasi afirmasi
tersebut sehingga agama partikular tersebut disebut Islām. Maka Islām, bukan hanya kata kerja
yang menandakan ‘ketundukan’; Islām juga nama agama partikular yang mendeskripsikan
ketundukan sejati, seperti halnya definisi agama: ketundukan kepada Tuhan. Kini cara dan bentuk
ketundukan yang ditetapkan agama secara jelas dipengaruhi oleh konsepsi akan Tuhan dalam
agama. Oleh karena itu konsepsi akan Tuhan dalam agama adalah penting bagi artikulasi yang
betul akan bentuk ketundukan sejati; dan konsepsi ini harus memadai dalam bertugas
menggambarkan sifat-dasar Tuhan yang benar, yang hanya dapat diturunkan dari Wahyu, bukan
dari tradisi kultural dan etnis, maupun dari peleburan tradisi kultural dan etnis dengan kitab
sucinya, maupun dari spekulasi filosofis yang dibantu penemuan sains.
Konsepsi sifat-dasar Tuhan dalam Islām merupakan kesempurnaan atas apa yang telah
diwahyukan kepada Nabi menurut Qur’ān. Dia adalah Tuhan yang esa; hidup, swa-berada, abadi
dan kekal. Eksistensi adalah inti esensi-Nya. Dia itu satu dalam esensi; tidak ada pembelahan
dalam esensi-Nya, baik dalam imajinasi, aktualitas, atau dalam dugaan, yang mungkin. Dia bukan
tempat kualitas, maupun sesuatu yang dibagi atau terpisah menjadi bagian-bagian, maupun
37 Prolegomena
sesuatu yang tersusun atau terdiri dari unsur-unsur penyusun. Keesaan-Nya absolut, dengan
keabsolutan tidak seperti keabsolutan alam semesta, karena selama menjadi sedemikian absolut
namun Dia diindividuasikan dalam cara individuasi (individuation) yang tidak mengurangi
kemurnian keabsolutan-Nya maupun kesucian keesaan-Nya. Dia itu transenden, dengan
transendensi yang tidak membuat transendensi tersebut tidak membuatnya tidak mampu bagi-
Nya untuk sekaligus hadir dimana-mana (omnipresent), sehingga Dia juga imanen, namun bukan
dengan pengertian yang dipahami seperti yang ada dalam semua paradigma panteisme. Dia
memiliki sifat-sifat nyata dan abadi yang merupakan kualitas dan kesempurnaan yang Dia
tujukan kepada diri-Nya; mereka tidak lain dari esensi-Nya, dan namun mereka juga terpilah dari
esensi-Nya dan dari satu sama lain tanpa realitas dan keterpilahan mereka membuat mereka
menjadi entitas terpisah yang berada terlepas dari esensi-Nya sebagai pluralitas yang abadi;
melainkan mereka bersatu dengan esensi-Nya dalam kesatuan yang tidak terimajinasikan.
Keesaan-Nya adalah keesaan esensi-esensi, sifat-sifat, dan tindakan-tindakan, karena Dia hidup
dan berkuasa, mengetahui, berkehendak, mendengar dan melihat, dan berbicara melalui sifat-
sifat-Nya akan kehidupan dan kekuasaan, pengetahuan, kehendak, mendengar, melihat, dan
berbicara; dan hal-hal yang berlawanan dengan semua hal tersebut adalah mustahil pada-Nya.
Dia tidak seperti Penggerak Pertama (First Mover) Aristotelian, karena Dia selalu dalam
tindakan sebagai agen bebas yang bertaut dalam aktifitas penciptaan yang berkelanjutan yang
tidak mengakibatkan perubahan pada-Nya atau transformasi dan proses-menjadi (becoming). Dia
jauh terlalu agung untuk menerima dualisme bentuk dan materi Platonis dan Aristotelian pada
aktifitas kreatif-Nya; maupun dapat aktifitas kreatif dan ciptaan-Nya digambarkan dalam
pengertian metafisika Plotinian tentang emanasi. Aktifitas penciptaan oleh-Nya adalah membawa
realitas-realitas ideal yang azali (preexist) dalam pengetahuan-Nya menjadi eksistensi eksternal
dengan kekuasaan dan kehendak-Nya; dan realitas tersebut merupakan entitas yang disebabkan-
Nya termanifestasi dalam kondisi interior keberadaan-Nya. Aktifitas penciptaan oleh-Nya adalah
tindakan tunggal yang berulang dalam proses abadi, sedangkan isi proses tersebut yang
merupakan ciptaan-Nya tidaklah abadi, selalu dalam kondisi baru namun nampak serupa dalam
durasi eksistensi yang terpisah selama Dia menghendaki.
Melalui Wahyulah, dimana Tuhan telah menggambarkan diri-Nya, aktifitas kreatif dan
ciptaan-Nya, dan bukan melalui tradisi filosofis Yunani atau yang Helenistik, bukan juga melalui
filsafat maupun sains, dimana Islām menginterpretasikan dunia bersama semua bagiannya dalam
pengertian peristiwa yang muncul di dalam sebuah proses abadi akan ciptaan yang baru.
Interpretasi ini menyertakan afirmasi terhadap realitas dan sifat-dasar ganda mereka yang terdiri
atas aspek berlawanan yang saling melengkapi (complementary opposites); kondisi eksistensial
mereka atas permanensi dan perubahan; keterlibatan mereka dalam proses pembinasaan dan
pembaharuan terus menerus dengan yang serupa; keberadaan absolut mereka pada masa lalu dan
akhir mereka yang absolut di masa depan. Terdapat batasan terhadap waktu dan ruang; dan
keduanya merupakan hasil tindakan penciptaan yang membuat alam semesta menjadi being.
Perubahan bukanlah pada hal-hal yang fenomenal, karena hal itu akan menyiratkan persistensi
being pada hal-hal yang menjadikan mereka sebagai lapisan dasar terjadinya perubahan, tetapi
pada tingkatan ontologis realitas mereka yang terkandung di dalam diri mereka semua kondisi
masa depan mereka. Maka, perubahan merupakan aktualisasi berturut-turut, oleh tindakan
penciptaan, dari potensialitas yang inheren dalam realitas hal-hal dimana mereka
membentangkan kandungan mereka dalam persesuaian dengan perintah penciptaan yang
memelihara identitas mereka sepanjang waktu. Kondisi ganda realitas yang melibatkan
38 Prolegomena
permanensi di satu sisi dan perubahan di sisi lain mengandaikan kategori ontologis ketiga dalam
kondisi interior Being antara eksistensi eksternal dan non-eksistensi. Kategori tersebut adalah alam
realitas ideal yang berada sebagai entitas yang didirikan secara permanen dalam kesadaran
Tuhan, dan mereka tidak lain dari bentuk dan aspek dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang
dipertimbangkan dalam aspek mereka yang berbeda dari-Nya.
Islām mengafirmasi kemungkinan pengetahuan; bahwa pengetahuan akan realitas hal-hal
dan sifat-dasar pokok mereka dapat dibangun secara pasti dengan fakultas indera eksternal dan
internal, rasio dan intuisi, dan berita yang benar atas sifat-dasar saintifik atau agama, yang
ditransmisikan oleh otoritas mereka yang otentik. Islām tidak pernah menerima, ataupun pernah
terpengaruh relatifisme etis dan epistemologis yang menjadikan manusia sebagai ukuran segala
hal, maupun pernah tercipta situasi bagi kemunculan skeptisisme, agnotisisme, dan subjektifisme,
yang semua itu satu sama lain menggambarkan aspek dari proses pensekularan yang telah
berkontribusi terhadap kelahiran modernisme dan posmodernisme.
Pengetahuan adalah tibanya makna dalam jiwa maupun tibanya jiwa pada makna. Dalam
definisi ini kita mengafirmasi bahwa jiwa bukan hanya penerima pasif seperti tabula rasa, tetapi
juga sesuatu yang aktif dalam pengertian mengatur diri sendiri dalam kesiapan untuk menerima
apa yang ingin diterima, sehingga secara sadar bekerja keras untuk tiba kepada makna. Makna
hadir ketika tempat yang tepat dari segala hal di dalam sistem telah jelas kepada pemahaman.
Gagasan ‘tempat yang tepat’ sudah menyiratkan keberadaan ‘relasi’ yang diperoleh antara
sesuatu yang secara keseluruhan menggambarkan sebuah sistem, dan hubungan atau jaringan
relasi itulah yang menentukan pengenalan kita akan tempat yang tepat tentang segala hal di
dalam sistem. ‘Tempat’ yang dimaksud di sini adalah apa yang muncul bukan hanya dalam
tatanan eksistensi spasio-temporal, tetapi juga dalam tatanan eksistensi imajinal, intelijibel
(intelligible), dan transendental. Karena objek pengetahuan dari sudut pandang kognisi manusia
adalah tanpa batas, dan karena indera eksternal dan internal dan fakultas imajinasi dan kognisi
semuanya memiliki kekuatan dan potensi terbatas, dimana masing-masing diciptakan untuk
mengandung dan memelihara informasi yang diperhatikannya sebagaimana telah ditetapkan,
maka rasio menuntut ada batas kebenaran untuk setiap objek pengetahuan, yang jika melampaui
atau kurang darinya kebenaran tentang objek itu sejauh ia dan potensi yang seharusnya diketahui
itu menjadi palsu. Pengetahuan tentang batas kebenaran ini pada setiap objek pengetahuan
dicapai dengan akal sehat jika objek tersebut sudah merupakan sesuatu yang jelas kepada
pemahaman, atau dicapai lewat kebijaksanaan, baik praktis maupun teoritis sepanjang kasus yang
mungkin, ketika objek tersebut tidak jelas kepada pemahaman. Penampakan dan kejelasan makna
objek pengetahuan berkaitan dengan tempat masing-masing di dalam sistem relasi; dan tempat
mereka yang ‘tepat’ menjadi nampak kepada pemahaman kita ketika batas dari arti mereka
dikenali. Maka hal ini merupakan posisi kebenaran: bahwa ada batas makna hal-hal dalam cara
dimana mereka dimaksudkan untuk diketahui, dan tempat mereka yang tepat secara mendalam
terikat dengan batas arti mereka. Maka, pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengenali
batas kebenaran dalam setiap objeknya.
Tantangan kita sesungguhnya adalah problem kerusakan pengetahuan. Hal ini datang
terkait dengan kondisi kita yang bingung maupun juga karena pengaruh yang datang dari filsafat,
sains, dan ideologi kebudayaan dan peradaban Barat Modern. Kebingungan intelektual muncul
sebagai hasil perubahan dan pembatasan makna kata kunci yang memproyeksikan pandangan-
dunia yang diturunkan dari Wahyu. Akibat yang timbul dari kebingungan intelektual ini
39 Prolegomena
memanifestasikan diri mereka dalam dislokasi moral dan kultural, yang merupakan gejala
kemerosotan pengetahuan, kepercayaan-kuat (faith), dan nilai keagamaan. Perubahan dan
pembatasan makna kata kunci tersebut muncul berkaitan dengan penyebaran sekularisasi sebagai
program filosofis, yang berayun dalam hati dan menjerat pikiran dalam krisis kebenaran dan
identitas. Krisis tersebut, pada gilirannya, telah teraktualisasi sebagai hasil sistem pendidikan
yang disekularisasi yang menyebabkan penyimpangan, jika tidak dipotong, dari akar historis
yang telah secara teguh dibangun oleh orang bijak dan para pendahulu kita yang masyhur di atas
fondasi yang dihidupkan oleh agama. Seseorang harus melihat bahwa jenis problem yang
menghadang kita ini merupakan suatu sifat-dasar yang mendalam sehingga memeluk seluruh
unsur mendasar pandangan-dunia kita yang tidak dapat secara sederhana diselesaikan dengan
hukum dan politik. Hukum dan keteraturan hanya dapat menemukan tempatnya ketika
pengenalan akan kebenaran dibedakan dari kepalsuan, dan nyata dapat dibedakan dari ilusi, telah
diafirmasi dan dikonfirmasi dengan tindakan dalam pengakuan menurut pengenalan tersebut.
Hal ini dicapai dengan pengetahuan yang betul dan metode penyebarannya yang betul. Jadi mari
kita jangan menghamburkan energi kita dalam mengusahakan mencari jalan keluar dengan
meraba-raba dalam labirin legalisme, melainkan mengonsentrasikan energi itu kepada problem
utama, yang terikat secara intim dengan pemahaman yang tepat dan apresiasi akan agama dan
pandangan-dunia yang diproyeksikan olehnya, karena hal itu secara langsung memedulikan
manusia, pengetahuan dan tujuannya dalam hidup, tujuan akhirnya.
Proses perolehan pengetahuan tidak disebut ‘pendidikan’ kecuali pengetahuan yang
diperoleh itu termasuk tujuan moral yang mengaktifasikan dalam diri seseorang yang
memperolehnya apa yang saya sebut adab. Adab adalah tindakan yang betul (right action) yang
bersemi dari swa-disiplin yang dibangun di atas pengetahuan yang bersumber pada
kebijaksanaan. Demi kenyamanan saya akan menerjemahkan adab secara sederhana sebagai
‘tindakan yang betul’ (right action). Terdapat hubungan intrinsik antara makna dan pengetahuan.
Saya definisikan ‘makna’ sebagai pengenalan akan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem, yang
terjadi ketika relasi sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami. ‘Tempat’
menunjuk kepada tempat yang benar atau tepat dalam sistem; dan ‘sistem’ di sini menunjuk
kepada sistem konseptual Qur’āni sebagaimana dirumuskan menjadi pandangan-dunia oleh
tradisi dan diartikulasikan oleh agama. Pengetahuan sebagaimana telah didefinisikan adalah
tibanya makna ke dalam jiwa, dan tibanya jiwa pada makna, dan hal ini merupakan pengenalan akan
tempat yang tepat akan segala hal dalam tatanan penciptaan, yang menggiring kepada pengenalan tempat
yang tepat akan Tuhan dalam tatanan being dan eksistensi. Namun, pengetahuan sedemikian tidak
menjadi pendidikan kecuali pengenalan tempat yang tepat tersebut diaktualisasikan dengan
pengakuan — yakni, dengan konfirmasi dan afirmasi di dalam diri — akan realitas dan kebenaran
dari apa yang dikenali. Pengakuan mengharuskan tindakan yang tepat sesuai dengan pengenalan.
Adab, atau tindakan yang betul, mengandung pengenalan semacam itu. Maka, pendidikan adalah
penyerapan adab dalam diri. Aktualisasi adab dalam diri individual yang menyusun masyarakat
sebagai entitas kolektif merefleksikan kondisi keadilan; dan keadilan itu sendiri merupakan
refleksi kebijaksanaan, yang merupakan sinar yang diambil dari sinar kenabian yang
memungkinkan penerimanya menemukan tempat yang benar dan tepat bagi sesuatu atau being.
Kondisi being dalam tempat yang tepat adalah apa yang telah saya sebut sebagai keadilan; dan
adab adalah tindakan kognitif dimana kita mengaktualisasikan kondisi being dalam tempat yang
tepat. Jadi adab dalam pengertian yang saya definisikan, adalah juga refleksi kebijaksanaan; dan
dalam hal masyarakat, adab adalah tatanan yang adil di dalamnya. Adab, secara singkat
40 Prolegomena
didefinisikan, adalah pertunjukkan keadilan (‘adl) sebagaimana direfleksikan oleh kebijaksanaan
(hikmah).
Dengan maksud menjelaskan apa yang saya maksud dengan adab dan untuk menilai
definisi saya tentangnya, mari kita anggap, sebagai contoh, diri sendiri. Diri atau jiwa manusia
memiliki dua aspek; yang satu memengaruhi terhadap tindakan yang terpuji, bersifat-dasar
cerdas, setia kepada perjanjiannya dengan Tuhan; yang lain ditundukkan oleh perbuatan iblis,
bersifat-dasar buas, tidak memerhatikan perjanjiannya dengan Tuhan. Yang awal kita sebut jiwa
rasional (al-nafs al-nāţiqah), yang kemudian jiwa jasmani atau hewani (al-nafs al-hayawāniyyah).
Ketika jiwa rasional menundukkan jiwa hewani dan membuat di bawah kendalinya, maka
seseorang meletakkan jiwa hewani dalam tempatnya yang tepat dan jiwa rasional juga dalam
tempat yang tepat. Dengan demikian, dan dalam relasi dengan diri seseorang, seseorang
meletakkan diri sendiri dalam tempat yang tepat. Hal ini merupakan adab terhadap diri sendiri.
Kemudian dalam relasi keluarga seseorang dan pelbagai anggotanya; ketika perilaku dan sikap
seseorang terhadap orang tua dan sesepuhnya menampilkan tindakan yang tulus dengan rendah
hati, sayang, hormat, peduli, dan derma; hal ini menunjukkan seseorang mengetahui tempat yang
tepat dalam berhubungan dengan mereka dengan meletakkan mereka dalam tempat yang tepat.
Hal ini merupakan adab terhadap keluarga. Dan hal yang serupa, dalam perilaku dan sikap, ketika
diperluas kepada para guru, teman, komunitas, pemimpin, memanifestasikan pengetahuan
tentang tempat yang tepat dari seseorang dalam hubungan dengan mereka; dan pengetahuan ini
menyertakan tindakan yang diwajibkan dengan maksud mengaktualisasi adab terhadap mereka
semua. Lalu, ketika seseorang meletakkan kata dalam tempat mereka yang tepat sehingga makna
mereka yang benar menjadi dipahami, dan kalimat dan sajak dalam cara sedemikian rupa
menjadi prosa dan puisi kemudian menjadi literatur, maka hal itu merupakan adab terhadap
bahasa. Lebih lanjut, ketika seseorang meletakkan pepohonan dan bebatuan, gunung, sungai,
lembah, dan danau, hewan dan habitat mereka dalam tempat mereka yang tepat, maka hal itu
merupakan adab terhadap alam dan lingkungan. Hal yang sama berlaku pada rumah seseorang
ketika seseorang mengatur perabot dan meletakkan segala hal pada tempat yang tepat hingga
kondisi harmonis tercapai – semua aktifitas tersebut merupakan adab terhadap rumah dan
perabot. Dan kita juga menyebutkan peletakan warna, bentuk, dan suara dalam tempat mereka
yang tepat sehingga menghasilkan efek yang menyenangkan — hal itu merupakan adab terhadap
seni dan musik. Demikian juga pengetahuan, dengan cabang dan disiplin yang banyak, beberapa
di antaranya secara tegas lebih penting terhadap kehidupan dan nasib kita daripada yang lain;
jika seseorang menggolong-golongkan mereka berdasarkan kepada pelbagai tingkatan dan
prioritas dan mengelompokkan pelbagai sains tersebut dalam hubungan dengan prioritas mereka
kemudian meletakkan setiap dari mereka dalam tempatnya yang tepat, maka hal merupakan adab
terhadap pengetahuan. Seharusnya sudah jelas bahwa interpretasi saya terhadap makna adab
menyampaikan bahwa adab menyiratkan pengetahuan; adab merupakan pengetahuan yang
diturunkan dari kebijaksanaan (hikmah); yang mewujudkan tujuan mencari pengetahuan; adab
juga merupakan aktifitas internal dan eksternal dari jiwa yang bersemi dari nilai etis dan moral
dan kebajikan; sumber asalnya bukan filsafat atau sains, tetapi kebenaran wahyu yang mengalir
dari agama.
Dari definisi di atas tentang beberapa konsep kunci utama dalam Islām, yang semuanya
memusat pada konsep pengetahuan, menjadi jelas bahwa makna mereka secara dekat saling
berhubungan, dimana secara khusus makna mereka yang semuanya terpusat atas gagasan
‘tempat yang tepat’ menunjuk kepada ‘tatanan’ tertentu dalam sistem dan relasi seseorang dengan
41 Prolegomena
tatanan tersebut. Tatanan tersebut merupakan bentuk hierarki yang meliputi tatanan penciptaan
being dan eksistensi, baik eksistensi eksternal dan mental. Hierarki yang saya maksud, ketika
diterapkan kepada tatanan manusia, bukan untuk disalahpahami sebagai jenis hierarki yang
diciptakan manusia dan diartikulasikan ke dalam struktur sosial seperti sistem kasta, atau kelas
organisasi pendeta, atau segala jenis stratifikasi sosial berdasarkan kelas. Hal tersebut bukan
sesuatu yang diatur menjadi struktur sosial; melainkan sesuatu yang diatur dalam pikiran dan
diaktualisasikan dalam sikap dan perilaku. Pengaturan dalam pikiran tidak dirumuskan oleh kriteria
manusia tentang kekuasaan, kekayaan, dan keturunan, namun dengan kriteria Qur’āni tentang
pengetahuan, kecerdasan, dan kebajikan. Ketika pikiran mengenali kenyataan bahwa
pengetahuan dan being diatur berdasarkan pelbagai tingkatan dan derajat mereka, dan ketika
sikap dan perilaku mengakui dengan tindakan apa yang dikenali pikiran, maka kesesuaian
pengakuan dengan pengenalan ini, dimana diri berasumsi tentang tempatnya yang tepat
bersesuaian dengan tindakan pengakuan, tidak lain merupakan adab. Namun, ketika pikiran salah
meletakkan tingkatan dan derajat pengetahuan dan being, lalu mengacaukan tatanan hierarki yang
absah, maka hal ini berkaitan dengan kerusakan pengetahuan. Kerusakan demikian direfleksikan
dalam kebingungan tentang keadilan, sehingga gagasan ‘tempat yang tepat’ tidak lagi diterapkan
dalam pikiran atau secara eksternal, dan berlangsunglah kehancuran adab.
Kehancuran adab, yang merupakan akibat dari kerusakan pengetahuan, menciptakan situasi
dengan mana pemimpin palsu muncul dalam seluruh lapisan kehidupan; karenanya hal itu bukan
hanya menyiratkan kerusakan pengetahuan, tetapi juga bermakna kehilangan kapasitas dan
kemampuan untuk mengenali dan mengakui pemimpin yang benar. Disebabkan anarki
intelektual yang mengarakteristikkan situasi ini, orang awam menjadi penentu putusan
intelektual dan diangkat ke tingkatan otoritas pada persoalan pengetahuan. Definisi otentik
menjadi tidak beres, dan sepeninggalan mereka kita ditinggalkan dengan slogan basa-basi dan
kabur yang tersamar sebagai konsep yang mendalam. Ketidakmampuan mendefinisikan;
mengidentifikasi dan mengisolasi problem, dan karenanya untuk menghasilkan solusi yang tepat;
penciptaan problem-semu; reduksi masalah menjadi hanya bersifat politis, sosio-ekonomi dan
faktor hukum menjadi buktinya. Tidak mengagetkan jika situasi macam itu menyediakan lahan
subur bagi kemunculan para penyimpang dan ekstrimis dalam banyak jenis yang menjadikan
kebodohan sebagai modal mereka/ menjadi abai terhadap kebagusan mereka.
Bahasa merefleksikan ontologi. Memperkenalkan konsep kunci asing kepada sebuah bahasa
bukan hanya melibatkan menerjemahkan kata-kata, tetapi lebih dalam menerjemahkan bentuk
simbolik yang berada pada super-sistem pandangan-dunia asing yang tidak cocok dengan
pandangan-dunia yang diproyeksikan oleh bahasa dimana konsep demikian diperkenalkan.
Mereka yang bertanggungjawab memperkenalkan dan mendukung penggunaan mereka adalah
cendekiawan, akademisi, jurnalis, kritikus, politisi, dan amatiran yang tidak secara kokoh
berdasarkan atas pengetahuan esensial dari agama dan visinya tentang realitas dan kebenaran.
Salah satu sebab utama kemunculan kebingungan dan anarki intelektual adalah perubahan dan
pembatasan yang telah mereka akibatkan dalam makna kata kunci yang memroyeksikan
pandangan-dunia Islām yang diturunkan dari Wahyu. Faktor terbesar yang memengaruhi
pemikiran mereka tidak diragukan lagi adalah pengenalan konsep sekular dan akibatnya kepada
bahasa dan alam diskursus kita, dan dengan muslim secara keseluruhan belum menerimanya dari
perspektif yang tepat.
42 kajian islam, ebook islami 3 bahasa, aplikasi islami, kunjungi : Prolegomena
http://ayubmenulis.blogspot.com/
Gereja Barat yang awal dilatinkan (latinized) memonopoli pembelajaran dan penemuan
istilah ‘sekular’ (saeculum) untuk menunjuk kepada orang yang tidak mampu membaca dan
menulis, yang oleh karena itu tidak belajar humaniora dan sains, khususnya hukum dan
pengobatan, yang kemudian secara umum disebut ‘laity’: non-profesional, bukan ahli. Berkaitan
dengan keasyikan orang-orang demikian dengan masalah keduniaan, istilah tersebut juga
mengandung makna umum ‘perhatian dengan urusan dunia’; menjadi ‘tidak suci’, ‘bukan
monastik’, ‘tidak gerejawi’; sesuatu yang ‘temporal’, ‘sesuatu yang ‘profan’. Karenanya kita
menemukan istilah tersebut diterjemahkan oleh orang Arab Kristen ke dalam bahasa Arab Kristen
sebagai ‘almāniy’, bermakna: laysa min arbāb al-fann aw al-hirfah( ); dan ‘sekularitas’ sebagai al-
ihtimām bi umur al-dunyā, atau al-ihtimām bi al-‘ālamiyyāt ( ); dan ‘sekularisasi’ sebagai hawwal ilā
gharad ‘ālamiy ay dunyāwiy ( ). Terjemahan istilah ini dan pelbagai bentuk gramatikalnya, dalam
pengertian yang dipahami oleh Gereja Kristen Barat dan penerjemah Arab Kristen, telah dibiarkan
memperoleh penggunaan dalam arus utama bahasa Arab Islām kontemporer, meskipun dengan
fakta yang jelas bahwa tidak ada relevansi apapun bagi Islām dan umat Muslim. Tidak ada
padanan apapun dalam Islām dengan konsep sekular, khususnya karena tidak ada padanan bagi
‘gereja’ atau ‘clergy’, dan karena Islām tidak mengakui bahwa terdapat dikotomi antara yang
sakral dan profan yang secara alamiah (dikotomi itu, penerj.) membawa perendahan terhadap
dunia yang profan. Jika ada padanan terdekat yang dapat ditemukan dalam Islām dengan konsep
sekular, maka hal itu adalah apa yang dikonotasikan oleh konsep Qur’ān tentang al-hayāt al-dunyā:
‘kehidupan dunia’. Kata dunyā, diturunkan dari danā, yang mengandung makna sesuatu yang
‘dibawa dekat’. Sesuatu yang ‘dibawa dekat’ ini, menurut interpretasi saya, adalah dunia bersama
dengan seluruh bagiannya; karena dunia yang dibawa dekat, sedang dibawa dekat dengan
pengalaman dan kesadaran manusia. Karenanya dunia disebut dunyā. Dengan sebab fakta bahwa apa
yang dibawa dekat — adalah, dunia dan kehidupan di dalamnya — mengelilingi kita dan
meliputi kita, mereka membatasi untuk mengalihkan kesadaran dari tujuan akhir kita, yang
melampaui dunia dan kehidupan ini, akan apa yang datang kemudian, yakni, al-ākhirah. Karena al-
ākhirah datang terakhir, al-ākhirah dirasakan jauh; dan hal ini menekankan pengalihan yang
diciptakan oleh apa yang dekat. Qur’ān Suci mengatakan bahwa Akhirat lebih baik dari kehidupan
di dunia ini; akhirat itu lebih abadi, tahan lama. Namun, Qur’ān Suci tidak merendahkan dunia
itu sendiri atau menjauhkan dari perenungan, refleksi, interpretasi, dan keingintahuan atasnya;
melainkan memuji dunia ciptaan dan mendorong kita untuk merenungkan dan merefleksikannya
dengan maksud mungkin kita mampu untuk menginterpretasikan dan menurunkan
kegunaannya yang praktis dan menguntungkan. Qur’ān Suci hanya memeringatkan sifat
mengalihkan dan sementara dari kehidupan di dunia. Peringatan tersebut yang ditekankan dalam
konsep al-hayāt al-dunyā adalah tentang kehidupan di dalamnya, bukan dunia itu sendiri, sehingga
alam dan dunia tidak direndahkan sebagaimana tersirat dalam konsep sekular. Itulah mengapa
saya mengatakan bahwa al-hayāt al-dunyā merupakan padanan terdekat dengan konsep sekular,
karena pada fakta aktual tidak ada konsep yang sungguh sepadan dalam pandangan-dunia Islām
yang diproyeksikan Qur’ān Suci. Lebih lanjut, karena dunia adalah apa yang ‘dibawa dekat’, dan
karena dunia dan alam merupakan tanda-tanda atau āyāt Tuhan, dunia merupakan tanda akan
Tuhan yang dibawa dekat kepada pengalaman dan kesadaran kita; dan akan merupakan
mengumpat Tuhan, mengatakan dengan selembut-lembutnya, dengan merendahkan dunia dan
alam tanpa mengetahui mereka dalam tujuan dan karakter sejati mereka. Manifestasi rahmat dan
kasih sayang Tuhan yang tak terbataslah sehingga Dia membuat tanda-Nya dibawa dekat kepada
kita, dan lebih baik bagi kita untuk mengerti makna yang dimaksudkan mereka. Oleh karena itu
tidak ada kata maaf, untuk mereka yang kagum dengan tanda itu, lalu menyembah tanda
daripada Tuhan yang mereka tuju; atau mereka yang, mencari Tuhan, namun merendahkan dan
43 Prolegomena
menyangkal tanda-Nya sebab mereka melihat godaan iblis di dalamnya dan bukan di dalam diri
mereka sendiri; atau bagi mereka, yang menolak Tuhan, lalu menyesuaikan tanda-tanda tersebut
untuk tujuan mereka yang materialistis dan mengubah mereka dalam pengejaran ‘perkembangan’
yang palsu. Dunia tidak dapat berkembang karena sudah sempurna mengacu kepada fiţrahnya;
hanya kehidupan di dalam dunia yang dapat berkembang. Ada tujuan akhir dari dunia
sebagaimana ada tujuan akhir dari kehidupan di dunia. Perkembangan kehidupan di dunia
adalah mengarahkan kepada keberhasilan yang akan datang setelahnya, karena tidaklah
bermakna kata ‘perkembangan’ kecuali diluruskan pada tujuan akhir.
Istilah Latin saeculum dalam pengertian aslinya berkaitan dengan rumusan doktrinal tradisi
keagamaan Kristen Barat. Namun, makna sejati yang diletakkan di dalamnya, secara bertahap
mengungkapkan makna mereka dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat yang meluas
lebih dari satu periode selama tujuh abad perkembangan intelektual dan saintifik mereka hingga
akibat totalnya kini telah menjadi teraktualisasikan. Sedangkan asal istilah ‘secular’, dari saeculum,
mengandung konotasi spasio-temporal, sebagaimana dapat dipahami dari cara penggunaannya,
dimana tatanan terdahulu dalam rumusan makna ganda itu kini telah melalui perubahan yang
menekankan aspek temporal daripada aspek spasial. Asal konotasi spasio-temporal itu diturunkan
secara historis dari pengalaman dan kesadaran yang lahir dari perpaduan tradisi Yunani-Romawi
dan Yudais dalam Kristen Barat. ‘Perpaduan’ unsur-unsur yang bertentangan secara mutual dari
pandangan-dunia Hellenis dan Yahudi inilah yang secara hati-hati disatukan dalam Kristianitas
yang juga disadari oleh teolog dan intelektual Kristen sebagai problematis, dalam pandangan
yang awal memandang eksistensi secara mendasar adalah spasial dan yang belakangan adalah
temporal. Kemunculan kebingungan akan pandangan-dunia menjadi akar problem epistemologis
dan karenanya juga problem teologis. Karena dunia hanya telah di masa modern menjadi lebih
dan lebih dipahami dan dikenali oleh mereka sebagai bersifat historis, penekanan pada aspek
temporal menjadi penuh bermakna dan mengandung arti khusus bagi mereka. Karena alasan ini
lalu mereka menggunakan diri mereka dalam usaha menekankan apa yang mereka terima sebagai
visi Yahudi akan eksistensi, yang mereka pikir lebih serumpun dengan semangat ‘waktu’, dan
menuduh yang Hellenistik sebagai kesalahan serius dan mendasar. Sehingga, kini mereka
menyatakan bahwa konsep sekular mengandung konotasi ganda akan waktu dan lokasi; waktu
menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’, dan lokasi menunjuk kepada pengertian
‘dunia’ atau ‘duniawi’. Dengan begitu saeculum diinterpretasikan secara mendasar bermakna
‘zaman ini’ atau ‘saat ini’; dan zaman ini atau saat ini menunjuk kepada peristiwa di dalam dunia,
dan juga bermakna ‘peristiwa kekinian’. Penekanan makna tersebut diletakkan pada waktu atau
periode partikular dalam dunia yang dipandang sebagai sebuah proses historis. Konsep sekular
menunjuk kepada kondisi dunia ini pada waktu atau periode atau zaman yang partikular. Sudah
kita lihat di sini kuman makna yang dengan mudah mengembangkan dirinya sendiri secara
alamiah dan logis ke dalam konteks eksistensial atas dunia yang selalu-berubah (ever-changing)
dimana di sana muncul relatifitas nilai manusia. Dan perkembangan alamiah dan logis dari
konsep sekular kini berlangsung dalam peradaban Barat modern, kontemporer, yang disebarkan
ke seluruh dunia.
Kita mesti melihat, dalam pandangan atas fakta bahwa sekularisasi tidak hanya terkurung
dalam dunia Barat, bahwa pengalaman dan sikap mereka atasnya merupakan yang paling
mengandung pelajaran bagi muslim. Kita harus sadar bahwa sekularisasi, dalam cara yang juga
terjadi di dunia muslim, jelas memengaruhi kepercayaan-kuat (faith) dan jalan hidup kita,
meskipun tidak dengan cara yang sama seperti halnya terjadi pada kepercayaan dan jalan hidup
44 Prolegomena
manusia Barat; karena problem yang muncul dari sekularisasi, walaupun tidak sama seperti di
Barat, secara pasti menyebabkan banyak kebingungan di tengah-tengah kita. Tidaklah
mengejutkan bahwa problem tersebut disebabkan berkaitan dengan pengenalan cara berpikir,
putusan, dan kepercayaan (belief) Barat yang juga coba diikuti oleh beberapa sarjana dan
intelektual muslim modernis maupun muslim tradisional yang telah terlalu terpengaruh Barat
modern dan terlalu kagum dengan pencapaian teknologis dan saintifik, yang dengan sebab fakta
bahwa mereka dapat begitu sedemikian siap terpengaruh yang memperlihatkan kekurangan
pemahaman yang benar dan pengertian yang penuh baik pandangan-dunia Islām dan Barat
modern dan kepercayaan (belief) esensial dan mode pemikiran yang memproyeksikan mereka.
Mereka telah, karena posisi yang berpengaruh dalam masyarakat, secara sadar atau tidak sadar
menjadi penyebar kebingungan yang tidak perlu yang dibangun di atas krisis identitas. Situasi di
tengah-tengah kita dapat dilihat kritis ketika kita memertimbangkan fakta bahwa muslim secara
umum tidak sadar apa yang tersirat dari proses pensekularan. Oleh karena itu penting supaya
kita memperoleh pemahaman yang jelas tentangnya dari mereka yang mengetahui dan sadar
akannya, seseorang yang percaya dan menerimanya, yang mengajarkan dan mendukungnya
kepada dunia.
Sekularisasi didefinisikan sebagai “pelepasan manusia pertama kali dari kontrol agama
kemudian dari kontrol metafisika dari rasio dan bahasanya”.[v] Sekularisasi adalah membebaskan
dunia dari pemahaman religius dan semi-religius akan dirinya sendiri; pengusiran seluruh
pandangan-dunia tertutup, penghancuran semua mitos supranatural dan simbol-simbol suci;
“defatalisasi” sejarah; penemuan manusia bahwa dia telah ditinggalkan dengan dunia di
tangannya, sehingga dia tidak lagi dapat menyalahkan Keberuntungan (Fortune) atau Amukan
(Furies) atas apa yang dia lakukan dengannya; hal itu merupakan peralihan perhatian manusia
dari dunia setelahnya dan menuju dunia ini dan saat ini.
Sekularisasi meliputi tidak hanya aspek sosial dan politis, akan tetapi tak terhindarkan juga
kultural, karena sekularisasi juga apa yang didenotasikan sebagai “penghilangan determinasi
keagamaan dari integrasi simbol-simbol kultural”. Sekularisasi menyiratkan sebuah proses
historis yang tidak dapat diubah kembali dimana kebudayaan dan masyarakat “dilepaskan dari
perwalian kontrol keagamaan dan pandangan-dunia metafisis yang tertutup”. Sekularisasi
dianggap sebuah “perkembangan yang membebaskan”, dan hasil akhir sekularisasi adalah
relatifisme historis. Karenanya menurut mereka sejarah merupakan proses sekularisasi.
Komponen integral dalam dimensi sekularisasi adalah “disenchanment alam, “desakralisasi
politik”, dan “deconsecration nilai”. Dengan disenchanment alam — sebuah istilah dan konsep yang
dipinjam dari sosiolog Jerman Max Weber[vi] — mereka bermaksud seperti yang
dimaksudkannya, “pembebasan alam dari nada tambahan keagamaan”, yang berarti
menghilangkan sifat-dasar makna spiritual sehingga manusia dapat bertindak kepada alam
sesukanya dan menggunakan alam sesuai dengan kebutuhan dan rencananya, dan karenanya
menciptakan perubahan dan ‘perkembangan’ historis. Dengan desakralisasi politik mereka
memaksudkan “penghilangan legitimasi sakral dari otoritas dan kekuasaan politik”, yang
merupakan prasyarat perubahan politik dan karenanya juga perubahan sosial yang mengizinkan
kemunculan proses historis. Dengan deconsecration nilai mereka bermaksud “memandang
sementara dan relatif semua kreasi kultural dan setiap sistem nilai” yang bagi mereka termasuk
agama dan pandangan-dunia yang memiliki nilai penghabisan dan mendasar, sehingga dengan
cara ini sejarah dan masa depan, terbuka bagi perubahan, dan manusia bebas menciptakan
perubahan dan membenamkan diri dalam proses ‘evolusi’. Sikap terhadap nilai ini menuntut
45 Prolegomena
sebuah kesadaran dalam bagian diri manusia sekular tentang relatifitas kepercayaan dan
pandangannya sendiri; dia harus hidup dengan kenyataan bahwa aturan dan kode etik dari
perilaku yang membimbing kehidupannya akan berubah seiring waktu dan generasi. Sikap ini
menuntut apa yang mereka sebut ‘kedewasaan’; dan karenanya sekularisasi juga sebuah proses
‘evolusi’ kesadaran manusia dari kondisi ‘kanak-kanak’ kepada ‘dewasa’, dan didefinisikan
sebagai “perpindahan ketergantungan pemuda dari setiap tingkatan masyarakat”; proses
“pendewasaan dan mengasumsikan tanggungjawab”; “perpindahan dukungan keagamaan dan
metafisis dan meletakkan manusia pada dirinya sendiri”. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa
perubahan nilai yang berulang ini juga merupakan fenomena yang berulang akan “pengubahan
yang muncul “pada persimpangan tindakan sejarah atas manusia dan tindakan manusia pada
sejarah”, yang mereka sebut “tanggungjawab”, penerimaan akan “tanggungjawab orang dewasa”.
Seperti sudah disebutkan, mereka memvisualisasikan pengalaman kontemporer akan sekularisasi
sebagai bagian dari proses evolusi sejarah manusia; sebagai bagian proses yang tak dapat diubah
kembali dari ‘kedatangan zaman’, akan ‘pertumbuhan’ kepada ‘kedewasaan’ ketika mereka harus
‘meninggalkan hal-hal kekanak-kanakan’ dan belajar untuk ‘berani’.
Jika maksud utuh dari penjelasan ringkas di depan tentang makna sekularisasi telah
dipahami, akan menjadi jelas bahwa bahasa Arab Kristen abad dua puluh dan penerimaan
penerjemahan istilah ‘sekular’ sebagai ‘almāniy hanyalah merefleksikan maknanya sebagaimana
dirumuskan oleh Kristen Barat yang dilatinkan pada abad ketiga belas. Bahkan walaupun
penerjemah modern secara samar menunjuk kepada istilah ‘sekular’ sebagai bermakna jīliy atau
qarniy, sekalipun begitu mereka telah tidak sadar secara penuh akan bagaimana konsep yang
diletakkan dalam istilah ‘sekular’ telah mengalami evolusi selama tujuh abad terakhir dalam
pengalaman dan kesadaran manusia Barat, yang menyebabkan kemunculan problem
kontemporer yang belum pernah ditemui sebelumnya. Deskripsi mereka tentang sekularitas
sebagai al-ihtimām bi umur al-dunyā, atau sebagai ihtimām bi al-‘ālamiyyāt tidaklah terlalu tepat,
sebab asyik dengan urusan dunia atau hal-hal duniawi, bagi kita tidak serta-merta harus
dilawankan dengan agama; sedangkan sekularitas yang dipahami dalam pengertian modern
adalah serta merta dilawankan dengan agama. Hal yang serupa, sekularisasi tidak sama sebagai
hawwal ilā gharad ‘ālamī ay dunyāwi, sebab untuk berubah berdasarkan apa yang baik dalam
pengejaran akhir kehidupan duniawi bagi kita tidak serta merta untuk berubah dalam
perlawanan dengan agama. Sekularisasi dalam pengertian modern yang digambarkan di atas, dan
yang secara aktual terjadi, merupakan sebuah proses yang secara jelas dilawankan dengan agama;
hal itu merupakan program filosofis atau sebuah ideologi yang hendak menghancurkan inti agama.
Maka, ‘almāniyyah, tidak dapat menjadi gambaran tentang ‘sekularisme’; nampaknya bagi saya
lebih dekat dengan kebenaran untuk menggambarkannya sebagai wāqi’iyyah dalam pandangan
akan hubungan konseptual tertutup yang sama dengan ideologi filsafat dari positivisme.
Walaupun demikian, karena konotasi ganda atas tempat dan waktu itu mendasar pada konsep
saeculum, yang sudah mengandung kuman makna yang berkembang secara alamiah dan logis ke
dalam kondisi yang sekarang, menular secara penuh; dan karena tempat dan waktu menunjuk
kepada kini dan di sini secara berturut-turut, akan lebih tepat mendeskripsikan ‘sekularisme’
secara literal dengan beberapa susunan kata-kata seperti hunālāniyyah, dari hunā dan al-ān. Karena
‘ke-kini-dan-di-sini-an’ yang dimunculkan oleh hunālāniyyah secara jelas memroyeksikan konsepsi
dunia dan kehidupan di dalamnya yang menolak dunia lain setelahnya; yang menanggalkan
masa lalu sejauh hal itu membuktikan kondisi saat ini; yang mengakui masa depan yang terbuka;
yang secara keseluruhan menolak agama dan pandangan-dunia yang memiliki arti mendasar dan
penghabisan. Akan tetapi lebih baik untuk tetap melakukan metode yang dilakukan sarjana,
46 Prolegomena
pelajar, orang bijak, di antara para pendahulu kita yang sangat sadar akan nilai penting tertinggi
dari bahasa dan hubungan mendalamnya dengan rasio; yang telah sangat teliti dalam
penggunaan yang tepat akan bahasa dan pencarian makna yang otentik; yang menunjukkan
kepedulian yang tinggi untuk tidak membuat bingung istilah dan konsep Islām dengan istilah
yang tidak berhubungan dan koherensial dengan pandangan-dunia Islām; yang tidak
berkehendak membenci dan lalai mengarabisasi istilah dan konsep asing yang berlawanan
dengan agama dan visi kita tentang realitas dan kebenaran. Banyak istilah dan konsep Yunani
yang direkam dalam bentuk asli mereka sehingga membuat asal mereka yang asing segera
dikenali sehingga tempat mereka yang tepat menjadi diketahui. Jadi akan lebih baik jika istilah
‘sekular’ hanya ditranskripsikan ke dalam bahasa Arab yang dieja sīn-yā’-kāf-lām-rā’, dengan
kasrah kepada sīn; dammah kepada kāf; dan fathah kepada lām. Dengan cara ini kita akan segera
tahu bahwa konsep dan istilah tersebut bukan bahasa Arab Islāmi. Mengarabisasi istilah dan
konsep sedemikian adalah mengenalkan kebingungan dalam pikiran kita, karena akan
memberikan kesan bahwa mereka itu alamiah bagi Islām dan akan mendorong muslim tidak
hanya untuk berpikir dengan istilah dan konsep tersebut, tetapi mengaktualisasikan pemikiran
tersebut yang asing dan berlawanan dengan Islām ke dalam realitas konkret.
Saya sangat percaya dengan akal sehat bahwa arabisasi dan pengenalan konsep yang
bertentangan akan ‘almāniyyah ke dalam arus utama bahasa Arab kontemporer secara besar
bertanggungjawab terhadap pemasukkan (insinuating) ke dalam pikiran muslim tentang
pemisahan dikotomis yang sakral dan profan, yang menciptakan gagasan sosio-politis tentang
jurang pemisah yang tak terjembatani atas apa yang dianggap sebagai ‘negara teokratis’ dari
sebuah ‘negara sekular’. Terdapat kebingungan dalam pikiran muslim yang menyalahpahami
negara muslim yang ‘sekular’ dalam meletakkannya secara kontras dengan negara ‘teokratis’.
Akan tetapi karena Islām tidak melibatkan dirinya sendiri dalam dikotomi antara yang sakral dan
profan, maka bagaimana hal tersebut dapat diletakkan secara kontras antara negara teokratis dan
negara sekular? Sebuah negara Islām tidak seluruhnya teokratis ataupun seluruhnya sekular.
Sebuah negara muslim menyebut dirinya sendiri atau disebut oleh yang lain ‘sekular’, tidak serta
merta harus melepaskan makna spiritual; tidak serta merta harus menolak nilai dan kebajikan
agama dalam politik dan urusan manusia; tidak serta merta harus dilawankan dengan kebenaran
agama dan pendidikan keagamaan sebagaimana dalam cara proses saintifik dan filosofis yang
saya sebut ‘sekularisasi’ yang memang melibatkan pelepasan makna spiritual dari dunia ciptaan;
penolakan nilai dan kebajikan agama dalam politik dan urusan manusia; dan relatifisasi semua
nilai dan kebenaran dalam pikiran dan tingkah laku manusia. Kebingungan dalam pikiran
muslim inilah yang menyebabkan muncul di tengah-tengah kita pergolakan dan perpecahan
sosial dan politik. Persatuan memiliki dua aspek: bagian ke-luar (outward), persatuan eksternal
yang dimanifestasikan dalam masyarakat sebagai solidaritas komunal dan nasional; dan bagian
ke-dalam (inward), persatuan internal gagasan dan pikiran yang diungkapkan dalam koherensi
intelektual dan spiritual yang meliputi alam yang melampaui ikatan komunal dan kebangsaan.
Pemahaman tentang identitas kita sebagai muslim berkaitan pada aspek kedua, yang mendasar
terhadap realisasi yang pertama. Koherensi dari aspek yang kedua tergantung pada kesehatan
dan integritas konsep yang dikonotasikan dalam bahasa sebagai alat rasio yang memengaruhi
penalaran penggunanya. Jika kesehatan dan integritas konsep dalam bahasa dibingungkan, maka
hal ini berkaitan dengan kebingungan dalam ‘pandangan-dunia’ yang disebabkan oleh kerusakan
pengetahuan.
47 Prolegomena
Dalam bahasa orang-orang Muslim, termasuk bahasa Arab, terdapat kosakata dasar yang
terdiri atas istilah kunci yang mengatur interpretasi visi Islāmi akan realitas dan kebenaran, dan
yang memproyeksikan pandangan-dunia Islām dalam perspektif yang benar. Oleh karena kata-
kata yang meliputi kosa kata dasar ini berasal dari Qur’ān Suci kata-kata tersebut secara alamiah
berbahasa Arab, dan menyebar secara seragam dalam seluruh bahasa-bahasa muslim di seluruh
dunia yang merefleksikan persatuan intelektual dan spiritual muslim seluruh dunia. Kosakata
dasar Islāmi terdiri dari istilah dan konsep kunci yang berhubungan satu sama lain secara penuh
bermakna, dan secara keseluruhan menentukan struktur konseptual akan realitas dan eksistensi
yang diproyeksikan olehnya. Islāmisasi bahasa, yang merupakan sebuah unsur mendasar dalam
pengubahan (conversion) kepada Islām, tidak lain merupakan pemasukan kosakata dasar Islāmi ini
ke dalam bahasa orang-orang muslim. Dengan cara ini, setiap bahasa orang muslim dengan
bahasa yang lain memiliki kesamaan dalam kosakata dasar Islāmi sebagai kosakata dasarnya
sendiri; dan semua jenis bahasa orang-orang muslim tentu saja berada dalam keluarga yang sama
dari bahasa-bahasa Islāmi. Apa yang ingin saya perkenalkan di sini adalah konsep bahasa Islāmi
— bahwa terdapat sesuatu yang disebut bahasa Islāmi. Penyebab bahasa dapat dikategorikan
sebagai Islāmi telah ada dengan sebab akan keumuman kosakata dasar Islāmi yang melekat
dalam setiap bahasa tersebut, dimana istilah dan konsep kunci dari setiap bahasa tersebut
sebaiknya memang mengandung makna yang sama, karena mereka semua terlibat dalam jaringan
konseptual dan semantik yang sama. Jika, sebagai contoh, kita temukan sekarang bahwa fokus
dari kata ‘ilm, yang merupakan istilah kunci utama dalam kosakata dasar semua bahasa Islāmi,
mengandung makna yang berbeda di setiap anggota keluarga bahasa Islāmi, maka fakta yang
patut disayangkan ini bukan disebabkan oleh apa yang secara samar disebut sebagai ‘perubahan
sosial’, tetapi oleh kebodohan dan kesalahan, yang dihasilkan dari kebingungan yang
menyebabkan perubahan sosial. Untuk mengatakan bahwa pembatasan makna, atau perubahan
makna, sehingga makna yang asli tidak lagi dikandung, yang memengaruhi istilah kunci dalam
kosakata dasar Islām, adalah berkaitan dengan perubahan sosial, dan menerima secara pasrah
pembatasan dan perubahan makna semacam itu sebagai contoh pengajaran linguistik modern,
adalah menyiratkan legitimasi otoritas yang diinvestasikan kepada orang awam, dalam
masyarakat, untuk menyebabkan perubahan semantik. Pengajaran jenis ini, yang ternyata telah
disebarkan atas nama pengetahuan ‘saintifik’, menyesatkan dan berbahaya dan harus tidak
ditoleransi, karena Islām tidak menerima ‘masyarakat’ sebagai yang berwenang (otoritatif) dalam
persoalan pengetahuan, atau menginvestasikannya dengan otoritas yang membawa perubahan
yang akan membuat muslim tersesat. Masyarakat itu, sejauh dalam perhatian terhadap
pengetahuan dan pemahaman tentang Islām dan pandangan-dunianya, tidak memiliki otoritas;
secara berlawanan, masyarakat secara umum abai dan membutuhkan pendidikan yang tepat dan
bimbingan yang terus menerus oleh cendekiawan dan orang bijak di dalamnya sehingga
memastikan keselamatannya. Hal ini bermakna bahwa cendekiawan dan orang bijak di antara
muslim mesti menunjukkan kewaspadaan terus menerus dalam mendeteksi kesalahan
penggunaan dalam bahasa yang berbenturan di atas perubahan semantik dalam konsep kunci
utama dengan maksud mencegah kemunculan kebingungan umum dan kesalahan dalam
pemahaman tentang Islām dan visinya akan realitas dan kebenaran.
Banyak istilah kunci utama dalam kosakata dasar Islāmi dalam bahasa orang-orang muslim
kini telah disalahtempatkan dan dibuat bertugas secara absurd di wilayah makna asing dalam
jenis kemunduran menuju pandangan-dunia non-Islāmi; sebuah fenomena yang saya sebut
deislāmisasi bahasa. Pengabaian dan kebingungan, memungkinkan pemasukan konsep asing, yang
juga membiarkan lolos kekuatan sentimen bangsa yang sempit dan ideologisasi tradisi etnik dan
48 Prolegomena
kebudayaan. Kata-kata yang mengandung makna yang fokus di atas kebenaran mendasar yang
khas bagi Islām, contoh di antara yang lainnya, ‘pengetahuan’ (‘ilm), ‘keadilan’ (‘adl), tindakan
yang betul (adab), ‘pendidikan’ (ta’dīb), telah dirusakkan, sehingga ‘pengetahuan’ menjadi terbatas
pada jurisprudensi, atau yang hanya berdasarkan pada bentuk terbatas dari rasio dan
pengalaman inderawi; ‘keadilan’ bermakna persamaan yang tidak memenuhi syarat, atau hanya
prosedur; ‘tindakan yang betul’ bermakna etiket yang hipokrit; dan ‘pendidikan’ bermakna jenis
pelatihan yang memimpin kepada akhir yang diturunkan dari rasionalisme filosofis dan sekular.
Jika meskipun beberapa contoh kata yang telah dibatasi dalam makna mereka, atau telah dibuat
untuk membawa makna yang tidak otentik dan otoritatif — yang saya maksud yang tidak lagi
merefleksikan apa yang telah dipahami oleh otoritas di antara muslim terdahulu — maka tidak
bisa diacuhkan hal ini akan menciptakan kebingungan dan kesalahan dalam pikiran muslim dan
mengacaukan persatuan intelektual dan spiritual di antara mereka. Lebih lanjut, hal tersebut akan
membuat sains yang di satu saat dianggap patut dipuji menjadi patut disalahkan. Saya tidak
menyarankan sesuatu yang dapat ditafsirkan seolah tidak mengizinkan bahasa untuk
berkembang, untuk membentangkan dirinya berdasarkan kekuatan potensial untuk melacak
kekayaan hiasan kehidupan sebagaimana dibentangkan, untuk berkembang dengan gagasan
sebagaimana mereka berkembang, untuk memegang realitas-kebenaran (reality-truth)
sebagaimana hal itu mewujudkan dirinya dalam bagian yang cepat berlalu dari waktu. Saya
hanya menyarankan bahwa kosakata dasar dalam bahasa Islāmi hanya dapat berkembang dari
akarnya, dan bukan terpisah darinya, maupun mereka dapat berkembang dari akarnya terhalang
pembatasan. Sistem nilai sekular dan materialistis memiliki tempat awalnya dalam pikiran,
kemudian diterjemahkan ke dalam simbol linguistik, dan selanjutnya menjadi termanifestasi
dalam dunia eksternal di kota dan kota besar dengan penyebaran seperti amukan penyakit
menular dalam masyarakat pedesaan. Kegagalan menggunakan bahasa secara betul dan
mengandung makna yang benar menyiratkan ketidaksadaran tentang perspektif yang tepat
tentang situasi yang benar dan nyata, yang melibatkan pemahaman bukan hanya tentang bahasa,
tetapi juga pandangan-dunia yang memroyeksikannya. Penyebaran luas sekularisasi intelektual
berkaitan dengan pengabaian terhadap Islām sebagai agama Wahyu yang benar, manifestasinya
sebagai peradaban, dan visinya tentang realitas dan kebenaran sebagai pandangan-dunia telah
bermaksud membingungkan banyak sarjana dan intelektual kita dan pengikut mereka menjadi
meniru slogan-slogan yang bergeser dari modernitas, yang menyebabkan perubahan dan
pembatasan makna istilah kunci yang merefleksikan sistem nilai kita. Makna yang merefleksikan
realitas dan kebenaran yang kejelasannya telah diketahui pada pengalaman dan kesadaran kita
kini telah menjadi tidak jelas dalam pikiran yang melebur dengan rumusan modernitas. Unsur-
unsur mendasar pandangan-dunia kita dan sistem nilai yang dikandungnya, yang melibatkan
makna ‘kebajikan’, ‘kebebasan’, dan ‘kebahagiaan’, juga telah terpengaruh.
Karena kita mempertahankan bahwa kebajikan (fadīlah) adalah suatu aktifitas jiwa, dan
bahwa manusia memiliki sifat-dasar ganda, hewani dan rasional, realisasi kebajikan dalam diri
membutuhkan kemampuan untuk melihat realitas dan kebenaran dibarengi tindakan yang sesuai
dengan penglihatan tersebut yang melibatkan menyubordinasi fakultas jasmani dan nabati dari
jiwa hewani, kepada fakultas praktis dan teoritis sehingga kondisi stabil dari jiwa, yang
diperintah dengan intelek dan agama, dapat dicapai. Latihan subordinasi fakultas jiwa hewani
kepada jiwa rasional membutuhkan kebebasan.
Aktifitas yang disebut ‘kebebasan’ terdapat dalam ikhtiyār, yang merupakan tindakan,
bukan dalam hurriyah, yang merupakan kondisi. Tindakan yang dimaksud dalam ikhtiyār adalah
49 Prolegomena
membuat pilihan, bukan di antara banyak alternatif tetapi antara dua alternatif: baik atau buruk.
Karena ikhtiyār diikat dalam makna dengan khayr, berarti ‘baik’, diturunkan dari akar yang sama
khāra (khayara), pilihan yang dimaksud dalam ikhtiyar adalah pilihan atas apa yang baik, lebih
baik, atau terbaik diantara dua alternatif. Hal ini merupakan yang paling penting sebagaimana
disejajarkan dengan pertanyaan filosofis tentang kebebasan. Oleh karena itu sebuah pilihan atas
apa yang buruk dari dua alternatif bukan sebuah pilihan yang dapat disebut ikhtiyār, bahkan hal
itu bukan sebuah pilihan, melainkan tindakan tidak adil (zulm) yang dilakukan kepada diri
sendiri. Kebebasan adalah untuk bertindak sesuai dengan tuntutan sifat-dasar sejati dan benar
seseorang — yakni, seperti permintaan haqq dan fiţrah seseorang — dan maka hanya pertunjukan
(exercise) pilihan tersebut yang merupakan atas apa yang baik dapat secara tepat disebut ‘pilihan
bebas’. Oleh karena itu sebuah pilihan untuk yang lebih baik merupakan tindakan kebebasan, dan
juga tindakan keadilan (‘adl) kepada diri sendiri. Hal tersebut mengandaikan pengetahuan
tentang kebaikan dan keburukan, tentang kebaikan dan sifat buruk; sedangkan pilihan atas yang
terburuk bukan sebuah pilihan karena berpijak di atas keabaian yang dihimbau hasutan jiwa yang
menuju aspek kesalahan dari kekuatan hewani; hal itu juga bukan sebuah pertunjukan kebebasan
sebab kebebasan bermakna secara tepat menjadi bebas dari dominasi kekuatan jiwa yang
menimbulkan keburukan. Ikhtiyār merupakan tindakan kognitif dalam memilih yang lebih baik
dari dua alternatif yang sesuai dengan kebajikan yang digali dalam keadilan pada diri sendiri dan
merupakan, seperti itu, sebuah pertunjukkan kebebasan. Tindakan dari apa yang baik ditunaikan
dengan kebajikan. Dalam Islām, semua kebajikan termasuk yang dianggap sebagai kebajikan
mendasar seperti kebijaksanaan, kesadaran, keberanian, dan keadilan dan subdivisinya, adalah
kebajikan keagamaan karena mereka diturunkan dari Qur’ān dan dari contoh kehidupan Nabi.
Sumber kebajikan mendasar tersebut dan subdivisinya adalah kepercayaan-kuat yang benar atau
īmān, yang merupakan pembuktian dengan perbuatan atas apa yang diakui lidah dan hati sebagai
Wahyu Tuhan yang nyata dan benar dan perintah dan larangan-Nya. Īmān sudah menyiratkan
kesadaran akan Tuhan dan ingat akan-Nya yang membawa kondisi ketenangan dalam jiwa; īmān
adalah bebas dari cemas yang dihasilkan dari keraguan; bebas dari kecemasan dan takut yang
berkenaan pada nasib akhir; īmān adalah keamanan ke-dalam (inward) yang datang ketika jiwa
berserah kepada Tuhan; dan tunduk kepada Tuhan adalah kebebasan, yang menyebabkan
muncul dalam kesadaran jiwa akan kedamaian yang disebut Islām. Tindakan dalaman (inner) jiwa
tersebut menyiratkan kesadaran yang lebih dahulu dalam jiwa akan kebenaran yang datang dari
petunjuk Ilāhi; dan kesadaran ini merupakan kepastian (yaqīn) akan kebenaran. Dari sini jelas
bahwa kebahagiaan, yang merupakan tujuan aktifitas kebajikan yang membimbing kepada
kondisi jiwa yang stabil, bukanlah sesuatu yang hanya berhubungan dengan dunia ini;
kebahagiaan bukan sesuatu yang hanya terdiri dari perasaan dan emosi yang beragam dalam
derajat dari waktu ke waktu; hal itu bukan sesuatu yang hanya bersifat psikologis dan biologis,
yang ternyata juga sama dengan binatang. Maupun kebahagiaan merupakan akhir pada dirinya
sendiri (ends in itself) yang entah bagaimana tidak dapat dialami secara sadar sebagai sesuatu yang
terus berlangsung, sesuatu yang permanen dalam jalur eksistensi kehidupan duniawi kita.
Tradisi pemikiran Barat menerima posisi bahwa terdapat dua konsepsi kebahagiaan: yang
kuno adalah Aristoteles; dan yang modern secara bertahap muncul dalam sejarah di Barat sebagai
hasil sekularisasi. Konsepsi Aristotelian memertahankan bahwa kebahagiaan hanya berhubungan
dengan dunia ini; bahwa kebahagiaan merupakan akhir pada dirinya sendiri (end of itself); dan
bahwa kebahagiaan merupakan kondisi yang mengalami perubahan dan beragam dalam derajat
dari waktu ke waktu; atau kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak dapat dialami secara sadar dari
masa ke masa dan dapat dinilai telah dicapai ketika kehidupan duniawi seseorang, jika secara
50 Prolegomena