The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Prolegomena To The Metaphysics Of Islam (Terjemahan)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by cheguridhwan81, 2020-04-13 08:06:38

Prolegomena To The Metaphysics Of Islam (Terjemahan)

Prolegomena To The Metaphysics Of Islam (Terjemahan)

itu hanya ketika kita mempertimbangkan ‘esensi-esensi’ atau ‘kuiditas-kuiditas’ dalam diri mereka
sendiri sebagai menyusun dunia bersama semua bagiannya sehingga dunia bukanlah apa-apa.
Kini dengan ‘bukan apa-apa’ di sini berarti sebuah negasi utuh atau penekanan sepenuhnya dari
eksistensi, dan ini ditunjuk dengan istilah ‘adam mahd, atau ‘non-eksistensi murni’. Dalam
pengertian ini, dunia qua dunia sebagaimana diterima pikiran dalam pengertian disusun oleh
kuiditas-kuiditas majemuk dan berbeda secara absolut bukanlah apa-apa; hal itu merupakan non-
eksistensi murni. Tapi kadang-kadang istilah tersebut bermakna sesuatu yang lain, dan ini hanya
ketika digunakan untuk menunjuk bukan kepada dunia sebagaimana diterima oleh imajinasi,
tetapi kepada arketip permanen atau esensi-esensi tetap (al-a’yān al-thābiţhah) yang
dipertimbangkan sebagai sesuatu yang diketahui (ma’lūmāt) dalam pengetahuan atau kesadaran
Ilahiyah dimana mereka berada sebagai kemungkinan (mumkināt) ontologis. Dalam pengertian
tersebut ‘adam mahd tidak menunjuk kepada suatu jenis ketiadaan yang dikarakteristikkan dengan
negasi absolut atau penekanan dari eksistensi, tetapi melainkan kepada sebuah modus eksistensi
dalam kondisi interior (butūn) dari Being, yang ditunjuk oleh istilah ‘adam, atau ‘non-eksistensi’,
dalam pengertian dari sesuatu yang tidak dalam maujud konkret tetapi yang berada dalam
kondisi interior Being itu meskipun demikian telah dibangun. Kualifikasi mahd atau ‘murni’,
ketika ‘adam menunjuk kepada aspek ini dari eksistensi, berarti bahwa sesuatu yang nyata ada
dalam kondisi interior Being tetap secara murni dalam kondisi interior dan tidak dapat secara esensial
menjadi maujud yang diaktualisasikan secara eksternal atau konkret. Apa yang dari realitas
tersebut dapat menjadi realitas secara eksternal atau diaktualisasikan secara konkret adalah
kekuatannya yang menyesuaikan dengan sifat-dasarnya (ahkām), kecocokannya (lāwazim) dan
akibat (āthār), yang menjadi dieksternalisasikan dan berkembang ke dalam eksistensi eksterior
sesuai dengan potensialitas inheren atau kesiapan (isti’dād aslī), cth. kondisi masa depan, dari
realitas partikular. Dengan demikian apa yang ada dalam kondisi non-eksistensi murni,
sebagaimana menyentuh kepada aspek ini dari non-eksistensi, menyentuh kepada modus
kemungkinan (imkān), dan sama juga seperti eksistensi yang mungkin (wujūd mumkin).350 Hal-hal
yang mungkin (al-mumkināt) ada dalam pengertian ini adalah realitas-realitas (haqā’iq) yang
berada dalam kesadaran Tuhan, dimana di dalamnya mereka nampak sebagai bentuk dari Nama-
Nama Ilahiyah yang datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip al-zāhir, yang
termanifestasi ke-luar, dan dengan sebab dari mana hal itu dapat menerima pancaran (tung. fayd)
yang mengembangkan mereka, dalam pengertian kekuatan, akibat dan kecocokan mereka,
kepada manifestasi ke-luar dan eksistensi eksternal. Dengan demikian ketika kita
mempertimbangkan ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang secara mental dipostulasikan dalam sifat-dasar
sejati mereka — yakni, bukan sebagaimana mereka ada dalam pikiran, tetapi sebagaimana mereka
ada secara ekstramental — sebagai pembentangan eksistensi terus-menerus yang menampilkan
dirinya sendiri dalam anekaragam modus dan aspek yang berbeda, maka dunia yang mereka
susun bukanlah apa-apa. Tentu saja, bahwa hal itu menciptakan dalam pikiran gagasan akan
‘kuiditas’ yang tiada berjumlah, terpisah, dan berbeda menunjukkan bahwa ada sesuatu tentang
dunia qua dirinya sendiri, dan independen dari pikiran, yang bukan apa-apa. Sesuatu
sebagaimana dipandang oleh pikiran ketika direnungkan ‘keapaan’ (māhiyyah) hal tersebut lalu
menciptakan dalam pikiran gagasan ‘kuiditas’ (māhiyyah).351 ‘Kuiditas’ ini, seperti telah berulang
kali dikatakan, bukan apa-apa dalam dirinya sendiri tetapi sebuah fenomena mental. Tetapi ketika
sesuatu itu dipertimbangkan dalam pengertian ‘yang dengannya hal itu adalah hal itu’ (ma bihi al-

350 Metafisikawan, tidak seperti para teolog, memaksudkan dengan eksistensi ‘mungkin’ sebagai sebuah kemungkinan
yang objektif; sesuatu yang ada dalam kondisi interior Being sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi eksternal.
Meskipun ini nampaknya entah apa seperti gagasan filsuf tentang kemungkinan objektif, pada faktanya terpilah dari
gagasan filsuf tersebut. Bandingkan. Bab VI, hlm. 257-258.
351 Lihat bab VI, hlm. 248(1); dan diagram pada hlm. 250, Māhiyyah II.

201 Prolegomena

shay’ huwa huwa),352 maka kuiditas tidak lagi dipertimbangkan hanya sebagai sebuah fenomena
mental, tetapi juga sebagai sebuah realitas maujud yang independen dari pikiran.353 Konsep yang
kemudian dari māhiyyah ini menunjuk kepada penyusun penentu dari suatu hal, tetapi di sini hal
itu tidak berarti ‘kuiditas’ dalam pengertian sesuatu yang secara esensial selain dari eksistensi
yang padanya eksistensi kemudian ditambahkan sebagai sebuah sifat; di sini kuiditas berarti
‘esensi sejati’ (‘ayn), ‘inti diri’ (nafs) atau realitas (haqīqah) yang membuat hal tersebut apa hal
tersebut adanya.354 Dalam kasus yang kemudian ini hal tersebut itu pada kenyataannya sebuah
modus eksistensi. Tidak terdapat, seperti telah kita katakan, sesuatu yang secara esensial selain
dari eksistensi yang padanya eksistensi disifatkan; eksistensi (cth. sebagai sebuah modus
partikular) adalah inti sesuatu itu sendiri.

Filsuf muslim, teolog dan metafisikawan setuju bahwa Tuhan, Eksistensi Niscaya, adalah
Satu dalam esensi; tidak ada pembagian dalam Esensi-Nya, baik dalam imajinasi, aktualitas, atau
dalam pengandaian yang mungkin; tidak ada pluralitas atau dualitas di dalamnya. Tidak ada
multiplisitas pada-Nya; Dia bukan sebuah lokus dari kualitas, maupun sesuatu yang dibagi dan
dipisahkan ke dalam bagian-bagian, maupun Dia disusun oleh unsur-unsur mendasar,355 karena
sesuatu seperti itu datang di bawah kategori tubuh yang dibatasi oleh ikatan, dan karenanya
mereka diasalkan, dan bahwa adalah inkonsisten dengan keberadaan-Nya sebagai Eksistensi
Niscaya. Tetapi teolog dan filsuf tidak setuju tentang sifat-dasar Keesaan; apakah hal itu secara
Absolut Satu dalam semua aspek sebagaimana dipertahankan oleh filsuf, atau apakah hal itu Esa
yang padanya sifat sejati ditambahkan sebagaimana diakui teolog. Pada problem ini posisi
metafisikawan mendekati teolog dalam hal tertentu, dan filsuf pada hal yang lain, meskipun tidak
cukup sama sebagaimana keduanya, yang melihat basis eksistensialis yang padanya
metafisikawan membangun diri mereka sendiri secara berlawanan dengan basis esensialis dimana
para teolog sebagaimana filsuf menegakkan posisi mereka.

Teolog mengatakan bahwa Tuhan memiliki Sifat sejati dan abadi yang ditambahkan
kepada Esensi-Nya, baik dalam pikiran dan secara eksternal, sehingga Tuhan mengetahui melalui
pengetahuan, menginginkan melalui kehendak, dan menggunakan kekuatan melalui kekuatan,
dan seterusnya dengan sifat seterusnya. Mereka menantang, terhadap pandangan Mu’tazilah dan
filsuf, bahwa jika pengetahuan, kehendak, kekuatan, identik dengan Esensi, maka itu berarti
bahwa pengetahuan, kehendak, kekuatan juga identik dengan satu sama lain, dan kesimpulan ini
menuju kepada banyak absurditas.356 Tidak pula Sifat-Sifat diterima hanya sebagai istilah sinonim
yang menggambarkan Esensi berdasarkan pada modus atau kondisinya (ahwāl); mereka itu nyata
dan abadi, yang terpilah satu sama lain dan lebih demikian dari Esensi. Realitas dan keabadian
mereka tidak secara niscaya menyiratkan keberadaan pluralitas keabadian akan Esensi Ilahiyah,
karena Sifat-Sifat bukan esensi-esensi yang terpisah ‘dalam’ Tuhan, maupun mereka
memunculkan kepada esensi-esensi ‘di luar’ dari Tuhan; mereka berada dalam Tuhan dan tidak
terpisahkan dari-Nya, tetapi mereka tergantung kepada-Nya sementara Dia tidak tergantung
kepada mereka. Esensi harus diterima bersama dengan Sifat-Sifatnya sebagai satu entitas, dan
karena Esensi itu abadi dan tanpa penyebab efisien untuk eksistensinya, maka Sifat-Sifatnya itu
abadi dan tanpa penyebab efisen apapun untuk eksistensinya. Istilah ‘Tuhan’ tidak dapat
disifatkan dari sebuah esensi yang gundul dari Sifat-Sifat, sebagaimana hal itu menunjuk kepada

352 Lihat ibid, hlm. 248 (2).
353 Lihat ibid, hlm. 241 fol,. Hlm. 250, Māhiyyah I.
354 Bandingkan. Ibid., hlm. 236; 233-234.
355 Sesuatu yang memiliki bagian, ketika bagiannya merupakan dalam susunan bersama, merupakan sesuatu yang
disusun, ketika bagian-bagian tersebut terpisah satu sama lain, merupakan sesuatu yang dibagi atau dipisahkan.
356 Bandingkan. Al-Shahrastānī, Kitāb Nihāyat al-Iqdām fi ‘Ilm al-Kalām, ed. A. Guillaume, London, 1934, bab I, dan
hlm. 238-267.

202 Prolegomena

esensi dan sifat bersama-sama. Sifat-Sifat itu bukan Tuhan, maupun mereka lain dari Tuhan,
dalam pengertian bahwa ‘yang lain’ yang menunjuk Sifat-Sifat tidak untuk diterima berarti bahwa
eksistensi mereka itu mungkin dalam pengecualian akan Esensi dalam hubungan dengan mereka.
Dengan demikian sementara teolog mengakui bahwa Kesatuan Ilahiyah (al-tawhīd) adalah jauh
terlalu agung dari penyusunan di atas, jenis susunan yang dapat dibuktikan dengan metode
rasional adalah tidak cocok dengan Eksistensi Niscaya, namun mereka mempertahankan bahwa
itu bukan kesederhanaan absolut.357

Filsuf, di sisi lain, mempertahankan bahwa Kesatuan Ilahiyah adalah kesederhanaan
absolut. Tidak ada dualitas atau multiplisitas di dalam-Nya. Dia bukan subjek terhadap
pembagian menjadi kuantitas, prinsip, atau dalam definisi, yang terakhir ini sebab Dia tidak
memiliki genus maupun pembeda spesifik. Dia mengetahui, menghendaki, dan berkuasa bukan
dengan pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan, karena sifat-sifat-Nya adalah inti Esensi itu
sendiri. Dengan demikian Esensi-Nya, dengan hal pada hubungannya dengan hal-hal yang
diketahui, digambarkan sebagai ‘mengetahui’; dan dengan hal pada hubungannya pada sesuatu
yang dikehendaki, digambarkan sebagai ‘menghendaki’; dan dengan hal pada hubungannya
dengan sesuatu terhadapnya Dia memiliki kekuasaan, digambarkan sebagai ‘berkuasa’. Mereka
bersikeras bahwa Esensi itu Esa dalam semua hal, sedemikian sehingga hal itu tidak dapat
memiliki Sifat-Sifat yang ada di dalamnya. Hal ini, mereka berpendapat, akan melibatkan Esensi
dalam sebuah dualitas atau multiplisitas. Jadi mereka menolak Sifat-sifat secara keseluruhan,
mempertahankan bahwa Sifat-Sifat hanya ada dalam pikiran dan tidak dalam realitas eksternal.358

Metafisikawan setuju dengan teolog bahwa Esensi memiliki Sifat-Sifat sejati yang
merupakan majemuk dan ditambahkan padanya, tetapi berbeda dari mereka bahwa Sifat-Sifat itu
majemuk dan ditambahkan kepada Esensi hanya dalam inteleksi, atau dalam pikiran, dan tidak
secara eksternal. Lebih lanjut, mereka mempertahankan bahwa Sifat-Sifat tersebut merupakan
manifestasi dari Esensi-Nya dalam dunia eksternal yang nampak sebagai entitas eksistensial yang
terpisah dan konkret. Afirmasi mereka bahwa Sifat-Sifat itu majemuk dan ditambahkan kepada
Esensi hanya dalam inteleksi, dan bukan juga secara eksternal sebagaimana dipertahankan teolog,
akan nampak menyiratkan bahwa metafisikawan pada faktanya setuju dengan filsuf dalam
menolak realitas mereka. Karena filsuf mengatakan bahwa Sifat-Sifat itu majemuk dan
ditambahkan kepada Esensi hanya dalam pikiran, dan bahwa pada kenyataannya Sifat-Sifat
adalah inti Esensi itu sendiri, bukan dalam pengertian bahwa ada sebuah Esensi yang memiliki
Sifat-Sifat dan bahwa keduanya disatukan sebagai satu entitas, tetapi dalam pengertian bahwa
Esensi pada kenyataannya tidak ada Sifat-Sifat sama sekali, yang kemudian hanya ada dalam
pikiran. Apa yang mereka maksud dengan ‘ada dalam pikiran’ adalah hanya ada sebagai sebuah
konsep (mafhūm). Namun, apa yang metafisikawan maksud dengan ‘inteleksi’ (ta’aqqul), tidaklah
sama. Perbedaan antara esensi dan sifat, dalam hal konsep, adalah dua konsep dari esensi dan
sifat, menunjuk kepada dua hal yang berbeda, tetapi itu apa yang benar dari mereka adalah sama,
yakni, inti esensi itu sendiri. Karena filsuf menerima Esensi sebagai nyata sedangkan Sifat-Sifat
Esensi hanya ada dalam pikiran; sehingga apa yang benar dari konsep Esensi tentangnya pada
kenyataannya adalah Esensi itu sendiri, dan apa yang benar dari konsep Sifat — karena Sifat-Sifat
hanya ada dalam pikiran — adalah juga pada kenyataannya adalah Esensi yang sama. Tapi

357 Untuk rincian dan argumentasi mereka, lihat karya al-Ghazāli Al-Iqtisād fil al-I’tiqād, eds. A. Cūbūkcū & H. Atay,
Nur Matbaasi, Ankara, 1962, hlm. 129-139; 139-141; 142-157; Tahāfut, hlm. 40-48; karya ‘Adud al-Dīn ‘Abd al-
Rahmān al-Ijī, Al-Mawāqif fi ‘Ilm al-Kalām, ‘Ālam al-Kutub, didistribusikan oleh Maktabah al-Mutanabbi, Cairo, dan
Maktabah Sa’d al-Dīn, Damascus [n.d.]; hlm. 279-296; karya Sa’d al-Dīn al-Taftāzānī, Sharh al-‘Aqā’id, Dār al-Kutub
al-‘Arabiyyah al-Kubrā, Cairo, 1335, hlm. 69-77.
358 Al-Ishārāt, vol.III, hlm. 44-45; 49-50; Metaphysica, bab. 13, 21; Tahāfut, hlm. 40 fol; Sharh al-’Aqāid, hlm. 60,
69-71; al-Mawāqif hlm. 279; Kitab al-Milāl wa al-Nihāl dari al-Sharastānī, ke-2. ed. Beirut, 1395/1975, 2V., vol. II,
hlm. 182.

203 Prolegomena

metafisikawan memaksudkan bahwa hanya seperti konsep sifat berbeda dari esensi, demikian
juga apa yang benar dari dua konsep yang berbeda tentang satu sama lain: apa yang benar dari
sifat tidak sama sebagaimana apa yang benar dari esensi. Apa yang benar dari pengetahuan
Tuhan adalah dengan demikian bukan Esensi itu sendiri, tetapi Esensi dalam hal tertentu. Esensi
itu, seperti telah kita jelaskan sebelumnya,359 dikarakteristikkan dengan dua aspek: yang interior,
aspek swa-persembunyian (al-bātin), dan yang eksterior, aspek swa-pengungkapan (al-zāhir).
Aspek yang pertama adalah Keesaan absolut dan esensial (ahadiyyah mutlaqah), transenden dalam
dirinya sendiri, tidak diketahui kecuali oleh diri-Nya sendiri. Aspek yang kedua adalah juga dari
Keesaan, (wahdah) tetapi keesaan dimana sudah ada dibayangkan kemungkinan artikulasi laten
dalam bentuk majemuk dan anekaragam. Ketika dalam aspek kedua ini Tuhan, sebagai Eksistensi
Niscaya, merenungkan diri-Nya dan sadar terhadap kesempurnaan esensial-Nya (kamalāt
dhātiyyah), lalu pancaran pertama eksistensi berlangsung (cth. al-fayd al-aqdas). Isi pancaran
pertama dari eksistensi adalah bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah yang, dalam
kemunculan mereka dalam tindakan-Nya akan eksistensi, identik dengan-Nya, dan namun juga
sesuatu yang berbeda.360 Mereka berbeda dalam pengertian bahwa dalam swa-perenungan
pertama ini, sudah ada dibayangkan dalam Esensi-Nya bentuk-bentuk laten dari kesempurnaan-
Nya yang membutuhkan perwujudan dalam alam kontingensi. Kemudian dalam swa-
perenungan kedua, dia mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk-
bentuk mereka sedemikian rupa sehingga esensi-esensi mereka (al-a’yān) menjadi termanifestasi
pada-Nya sebagai realitas-realitas (haqā’iq) yang terpilah. Sifat-Sifat itu muncul pada tingkatan ini
akan swa-perenungan Ilahiyah. ‘Penurunan’ (tanazzul) ini, atau pancaran dari eksistensi-Nya, dari
derajat keabsolutan-Nya (itlāq) pada determinasi (taqayyud), yakni, determinasi pertama, muncul
dalam kondisi interior dari Being, yakni, dalam pikiran Tuhan. Dengan demikian Sifat-Sifat dan
realitas-realitas mereka tidak terpisahkan dari-Nya, yakni, mereka tetap sebagai inteljibel dalam-
Nya, dan apa yang menjadi terpisah dan kontingen merupakan kekuatan mereka, kecocokan atau
akibat yang diaktualisasikan secara eksternal sebagai swa-pembentangan eksistensi yang
mengembang kepada mereka dalam pancaran kedua eksistensi (cth. al-fayd al-muqaddas).361 Maka
Sifat-Sifat, bukanlah Esensi itu sendiri, tetapi Esensi dalam hal tertentu; yakni, dalam aspek,
hubungan, wajah tertentu dari dirinya sendiri sebagaimana hal itu mengkualifikasikan dirinya
sendiri dalam bentuk-bentuk mereka. Oleh karena itu perbedaannya, ada bukan hanya dalam
pikiran kita, tetapi dalam pikiran atau kesadaran Tuhan pada tingkatan dari manifestasi kognitif
Tuhan tentang diri-Nya sendiri kepada diri-Nya sendiri dimana di dalamnya nampak Sifat-Sifat
sebagai realitas-realitas ideal, arketip-arketip permanen atau esensi-esensi tetap.362 Maka,
metafisikawan setuju dengan teolog bahwa Tuhan memiliki Sifat-Sifat sejati yang ditambahkan
kepada Esensi-Nya; tetapi mereka juga setuju dengan filsuf bahwa Esensi (dan di sini
metafisikawan memaksudkan Esensi pada tingkatan Keesaan absolut dimana tidak ada bahkan
jejak akan multiplisitas yang dapat dilihat) itu Esa dalam semua hal; dan bahwa dari apa yang
sungguh-sungguh Esa hanya dapat menghasilkan satu akibat. Teolog, seperti telah kita lihat,
mengafirmasi terhadap-Nya sifat-sifat yang ditambahkan kepada Esensi-Nya baik dalam pikiran
dan secara eksternal, sehingga meskipun Dia dinyatakan oleh mereka jauh telalu agung dari
susunan di atas, Kesatuan-Nya itu bukan suatu kesederhanaan absolut. Karena ini merupakan

359 Lihat di atas, hlm. 271 fol.
360 Mereka identik dalam hal eksistensi dan realitas, tetapi berbeda dalam hal determinasi dan individuasi.
361 Di sini swa-pembentangan eksistensi diidentifikasi sebagai ‘napas dari Yang Maha Penyayang’’ (nafas al-rahmān),
cth. ‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfī).
362 Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, 12:27; 13:2-29; Hawāshī, 62:19-20; Sharh al-Durrah, 88:28; Lawā’ih, 14(XV) 14-15.
Tentu saja , mereka adalah realitas-realitas karena perbedaan mereka dalam pikiran Tuhan. Lihat juga Fusūs, hlm. 48
fol; 101-106.

204 Prolegomena

posisi mereka, mereka tidak menemukannya mustahil bagi akibat majemuk untuk diproses dari
yang Esa, sebagaimana posisi mereka tidak berada di bawah prinsip bahwa dari apa yang
sungguh-sungguh Esa hanya satu yang diproses. Metafisikawan mengafirmasi posisi yang sejati
dalam hal ini — cth. prinsip bahwa dari apa yang Esa secara absolut hanya satu akibat yang dapat
diproses — sebagaimana filsuf, dengan mana mereka dalam kesepakatan dalam kasus ini. Tetapi
mereka juga berbeda dalam hal ini dari filsuf; sedangkan filsuf mengafirmasi Keesaan absolut
dalam sebuah Esensi yang diindividuasikan,363 metafisikawan menyatakan Keesaan absolut dalam
sebuah Esensi Absolut364 yang menjadi diindividuasikan pada tingkatan Ilahiyah (ilāhiyyah)
dimana, sebagai Tuhan, Dia sudah menanamkan dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
Tingkatan ini, yang berhubungan dengan tingkatan Prinsip Pertama menurut teolog, tidak
menampilkan Keesaan absolut, tetapi dikarakteristikkan dengan Kesatuan dalam Multiplisitas
(wāhidiyyah). Namun, karena metafisikawan mengafirmasi realitas tunggal akan eksistensi,
multiplisitas dan keanekaragaman itu dalam sifat-dasar sejati mereka tidak lain dari modus,
partikularisasi dan individuasi dari realitas yang sama akan eksistensi, sehingga tidak ada
multiplisitas dan keanekaragaman yang sungguh-sungguh di sana. Lebih lanjut, berbeda lagi dari
filsuf, mereka mempertahankan bahwa multiplisitas dan keanekaragaman dalam entitas-entitas
eksistensial yang konkret yang kita lihat dan pegang pada kenyataannya merupakan Nama-Nama
dan Sifat-Sifat-Nya — atau melainkan kecocokan mereka, dan pengulangan akan kecocokan
mereka — yang telah diturunkan dalam gradasi dari tingkatan keabsolutan mereka pada
determinasi dan pembatasan. Pada filsuf, karena mereka mempertahankan keunggulan esensi
terhadap eksistensi, dan mengafirmasi kesederhanaan absolut dalam sebuah Esensi yang
diindividuasikan, posisi mereka pada Sifat-Sifat adalah membingungkan, dan solusi mereka
seperti bagaimana akibat majemuk dapat diproses dari sesuatu yang secara absolut sederhana itu
tetap menjadi subjek kontradiksi.365

Meskipun metafisikawan setuju dengan filsuf dalam prinsip bahwa dari yang Esa hanya
satu akibat yang dapat diproses, namun mereka tidak setuju dengan filsuf pada apakah akibat
tunggal pertama itu. Filsuf berkata akibat tunggal pertama dari yang Esa yang mereka sebut
Prinsip Pertama366 adalah Kecerdasan Pertama (al-’aql al-awwal), yang menurut mereka adalah
maujud konkret yang tidak memiliki maujud lain dalam tatarannya. Namun, metafisikawan,
karena mereka mengafirmasi realitas tunggal eksistensi, mengatakan bahwa akibat tunggal
pertama dari yang Esa yang merupakan Eksistensi Absolut adalah eksistensi umum (wujūd
al-’āmm) yang, sebagai eksistensi yang dibentangkan (al-wujūd al-munbasit), mengembang sebagai
hasil dari swa-perenungan Tuhan dalam derajat pertama eksistensi pada tingkatan determinasi
pertama (al-ta’ayyun al-awwal).367 Kini pancaran pertama eksistensi ini, seperti kita tahu, bukanlah

363 Cth. pada tingkatan ‘Tuhan’, atau determinasi pertama dari Eksistensi Absolut.
364 Cth. pada tingkatan Esensi dalam aspek swa-persembunyian dari Keesaan absolut.
365 Esensi berdasarkan pada filsuf adalah identik dengan eksistensi dalam Tuhan, tetapi yang lain daripada eksistensi itu
kontingen, dengan sebab posisi mereka bahwa hal itu merupakan sebuah Esensi yang diindividuasikan, adalah identik
dengan eksistensi yang diindividuasikan. Apa yang dimaksud filsuf dengan eksistensi, ketika mereka mengatakan
bahwa Esensi itu identik dengan eksistensi dalam Tuhan, tetapi selain dari eksistensi dalam kontingen, hanyalah
eksistensi sebagai konsep, bukan sebagai realitas, sejalan dengan posisi esensialis secara umum, yakni bahwa esensi
merupakan realitas tunggal dibandingkan daripada eksistensi. Di antara filsuf yang kemudian, al-Tūsī berusaha untuk
menunjukkan bagaimana akibat yang banyak dapat diproses dari yang secara absolut adalah Esa, tetapi argumentasi al-
Ghazāli bahwa apa yang diproses dalam kasus seperti ini harus juga menjadi entitas sederhana nampak masih
memegang kuat melawan keabsahannya – sejauh, yakni, persoalan ini dipandang dari sebuah posisi esensialis. Tapi
persoalannya akan berbeda jika dipandang dari posisi metafisikawan eksistensialis. Lihat Al-Durrah al-Fākhirah,
67-68, 79; Hawāshī, 98: 20; Sharh al-Durrah 127-128: 28.
366 Cth. pada tingkatan ‘Tuhan’, sama sebagai Prinsip Pertama dari teolog.
367 Terdapat kemiripan antara eksistensi umum (al-wujūd al-’āmm) dari Sūfī dan materi dasar (al-hayulā) dari filsuf;
hanya bahwa sedangkan materi dasar itu hanya penerima bentuk dalam cara yang pasif, eksistensi umum dari Sūfī
adalah agen yang aktif. Pada gagasan emanasi yang inheren dalam konsep ekspansi, hal itu harus dipahami bahwa tidak

205 Prolegomena

sebuah maujud konkret, tetapi merupakan sebuah hubungan eksistensi dalam cara yang umum,
dan ekspansinya terhadap esensi-esensi intelijibel dan individual yang dibangun dalam
pengetahuan-Nya. Maujud intelijibel tersebut menjadi dimanifestasikan sebagai esensi-esensi
tepatnya berkaitan dengan ekspansi eksistensi umum terhadap mereka.368 Dengan demikian ada
maujud lain dalam tataran ini, termasuk Kecerdasan Pertama. Jelaslah dari ini bahwa Sūfī
membuat Prinsip Pertama dari filsuf sebagai sepadan bukan terhadap Esensi dalam Keesaan
absolutnya pada derajat transenden dari non-determinasi (ahadiyyah mutlaqah), tetapi Esensi yang
telah diturunkan kepada derajat swa-manifestasi pada tingkatan determinasi atau individuasi
pertama dalam tataran kesatuan dalam multiplisitas (cth. wāhidiyyah).369 Filsuf percaya bahwa
akibat dari Esensi sebagai entitas-entitas terpisah itu berbeda dari Esensi. Namun, menurut
metafisikawan, akibat dari Esensi, atau Tuhan sebagai Eksistensi Absolut, adalah modus atau
kecenderungan (shu’ūn) inheren dan aspeknya (i’tibārāt), atau inteleksinya terhadap hal-hal yang
mungkin di dalam dirinya sendiri yang menghasilkan esensi hal-hal dalam pengetahuan Ilahiyah.
Pada tingkatan kesatuan esensial-Nya hal tersebut tidak terbedakan, tetapi menjadi terbedakan
melalui pancaran eksistensi umum yang mengembang terhadap mereka dan berlangsung pada
tingkatan determinasi pertama. Esensi pada tingkatan yang kemudian ini adalah berdasarkan
pada skema metafisikawan yang sepadan dengan Prinsip Pertama dari filsuf. Multiplisitas akibat
dari Esensi yang dibayangkan dalam dirinya sendiri pada tingkatan yang terdahulu menjadi
diwujudkan pada tingkatan yang kemudian dalam bentuk-bentuk Sifat-Sifat dan esensi-esensi
yang tetap melalui perantara pancaran pertama eksistensi. Dengan demikian apa yang pertama
kali diproses dari Esensi adalah pancaran tunggal ini. Kemudian melalui perantara pancaran
pertama eksistensi ini, yang mengakibatkan munculnya Sifat-Sifat dan esensi-esensi, dan juga
melalui perantara dari Sifat-Sifat dan esensi-esensi tersebut seiring dengan aliran eksistensi dalam
pancaran kedua sebagaimana hal tersebut terus mengembang, modus dan aspek yang lain
muncul hingga akhirnya akibat-akibat mereka muncul sebagai entitas-entitas eksistensial dan
kontingen, yang beberapanya diaktualisasikan pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi.
Maka, dalam cara ini, metafisikawan setuju dengan teolog yang percaya bahwa mungkin bagi
akibat majemuk untuk diproses dari Prinsip Pertama,370 meskipun mereka mengafirmasi filsuf
tentang prinsip yang dari apa yang sungguh-sungguh Esa hanya dapat diproses satu akibat.371

Inti sari di halaman depan dari posisi filsuf, teolog, dan metafisikawan pada pemahaman
mereka tentang sifat-dasar Keesaan Tuhan dan hal-hal yang dipadukan berhubungan dengan
Sifat-Sifat Ilahiyah dan problem penciptaan secara jelas mengungkapkan bahwa perbedaan
mendasar mereka dari mana perbedaan lain lalu menyertai, berputar di sekitar pertanyaan dasar
pada apakah kuiditaslah (esensi) atau eksistensilah yang secara primer. Pada dasarnya, jika
seseorang menglasifikasikan pemikiran muslim sebagai sebuah keseluruhan ke dalam mazhab
yang terpilah dalam pengertian kesetiaan kepada prinsip dasar tertentu atau menyetujui dalam
jenis karakteristik, maka hal itu harus yang mengafirmasi realitas mendasar akan esensi, atau
yang mengafirmasi keunggulan eksistensi terhadap esensi. Filsuf dan teolog secara umum
mengafirmasi yang terdahulu, dan perspektif mereka pada sifat-dasar Keesaan Tuhan, Sifat-Sifat
Ilahiyah, penciptaan dan persoalan yang dipadukan oleh karena itu esensialistik. Tapi teolog
Ash’ariyyah merupakan yang terdekat pada metafisikawan dalam penglihatan ontologis, sebab

ada ‘emanasi’ seolah-olah akibatnya terpisah dari sumber; apa yang diistilahkan sebagai ‘emanasi’ hanya tindakan dari
Sumber.
368 Eksistensi umum juga diidentifikasi secara beragam sebagai eksistensi relatif (wujūd idāfī), cahaya relatif (nūr idāfi)
dan Napas dari Yang Penyayang (nafas al-rahmān).
369 Dengan teolog hal ini merupakan tingkatan Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya, yang mereka pertimbangkan sebagai Prinsip
Pertama.
370 Cth. Prinsip Pertama dalam pengertian dari tingkatan wāhidiyyah dalam skema metafisikawan.
371 Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, 70/86; 87; 71/88; 89, 90, 91. Lawā’ih, hlm. 1618 (XVIII).

206 Prolegomena

posisi mereka pada persoalan esensi melawan eksistensi entah apa ambivalen. Mereka berkutat
pada posisi bahwa esensi dan eksistensi itu tidak terbedakan.372 Bahkan meskipun kita telah
menunjukkan bahwa keabsahan posisi ini sungguh-sungguh tidak dapat dipertahankan,373 adalah
bagaimanapun penting dalam menunjukkan bahwa posisi Ash’ariyyah sebagai sebuah
keseluruhan sudah menyiratkan keunggulan eksistensi dan kesatuan transenden eksistensi
(wahdat al-wujūd) yang diafirmasi metafisikawan. Lebih lanjut, terlepas dari keserupaan mereka
dengan posisi metafisikawan pada bagian tertentu dari metafisika mereka tentang atom dan
aksiden, terdapat juga keserupaan antara Ash’ariyyah dan metafisikawan dalam pernyataan
mereka akan kredo dan pasal dari kepercayaan-lemah dan kepercayaan-kuat, dan dalam afirmasi
keampuhan Tuhan yang eksklusif. Karena sebagian besar mereka menuju esensialisme, namun,
Ash’ariyyah harus mengafirmasi perbedaan Tuhan dari hal-hal yang diasalkan (mukhalāfah li al-
hawādith). Metafisikawan, karena mereka tetap dalam eksistensialisme mereka, mempertahankan
bahwa Tuhan berbeda dari hal-hal yang diasalkan dalam hal determinasi dan individuasi, tetapi
tidak berbeda dari mereka dalam hal eksistensi dan realitas; karena realitas eksistensi dapat
menjadi prinsip sekaligus baik dari Yang Esa dan Yang Banyak, tanpa Yang Esa menjadi Yang
Banyak atau Yang Banyak menjadi Yang Esa. Lagi, posisi esensialistik dari teolog menuntut
afirmasi terhadap doktrin penciptaan dari tiada, dengan demikian menolak kategori metafisis
ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi, yang merupakan alam kemungkinan, seperti realitas-
realitas arketipal yang diafirmasi metafisikawan. Tapi karena teolog memindahkan kemungkinan
yang tidak terbatas pada diri Tuhan sendiri mereka pada faktanya mendekati posisi
metafisikawan, hanya esensialisme mereka mencegah mereka untuk tiba pada kebenaran yang
sama. Lebih lanjut, problem determinisme dalam nasib manusia hanya dapat menemukan
penjelasannya dalam sifat-dasar realitas-realitas arketipal. Pada Kesatuan Ilahiyah Ash’ariyyah
mengafirmasi Sifat-Sifat sejati-Nya yang ditambahkan kepada Esensi baik dalam pikiran dan
secara eksternal. Dengan demikian, sementara mereka menolak susunan apapun dalam Esensi,
meskipun demikian mereka menolak kesederhanaan absolut di dalamnya, seperti yang diakui
oleh para filsuf. Metafisikawan juga mengafirmasi Sifat-Sifat sejati-Nya yang ditambahkan kepada
Esensi, tetapi tidak secara eksternal, namun hanya dalam pikiran. Kita telah menunjukkan ini
dalam penjelasan kita tentang sifat-dasar ganda dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah; dan
juga telah menunjuk bahwa bagi metafisikawan Sifat-Sifat merupakan manifestasi dari Esensi
dalam dunia eksternal yang nampak sebagai entitas-entitas eksistensial terpisah dan konkret.374
Lebih lanjut, dalam pengertian derajat-derajat ‘penurunan’ Yang Absolut dalam gradasi analogis
sebagaimana dirumuskan oleh metafisikawan, Kesatuan Ilahiyah sebagaimana dipahami teolog
berhubungan dalam skema metafisikawan pada tingkatan wahidiyyah dalam tataran determinasi
dan individuasi pertama dan kedua, dimana Yang Absolut sebagai Tuhan sudah ditanamkan
dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat dari keilahiyahan. Oleh karena itu metafisikawan
mengafirmasi sebuah tingkatan yang tidak termanifestasi dan lebih tinggi dan karenanya tidak
diketahui pada tingkatan Kesatuan Ilahiyah, dimana Esensi diketahui hanya pada dirinya sendiri.

Dari pernyataan ringkas ini dari nilai penting keserupaan dan ketidakserupaan dalam
posisi metafisikawan dan teolog kepada sifat-dasar realitas dan Tuhan, alasannya mengapa
kebanyakan atau semua metafisikawan Sunni dari mazhab ini juga menyokong teologi dan
metafisika Ash’ariyyah seharusnya sudah jelas. Hal itu karena metafisikawan mempertimbangkan
interpretasi Ash’ariyyah, sejauh hal tersebut menyentuh pada tingkatan rasio dan indera dan pengalaman
inderawi yang biasa, sekalipun rumit, sebagai sesuatu yang kebetulan terdekat dengan kebenaran.
Metafisikawan mempertimbangkan bahwa interpretasi Ash’ariyyah itu benar pada tingkatan ini,

372 Lihat di atas, hlm. 298-299: 300.
373 Lihat bab VI, hlm. 232-233; 234 fol.
374 Ibid., hlm. 251-253; dan di atas, hlm. 310-313.

207 Prolegomena

yang merupakan tingkatan umum manusia, dimana setiap orang itu merupakan seorang
esensialis dalam persepsinya terhadap kebenaran berdasarkan kecenderungan alamiah dari
pikiran.

208 Prolegomena

EPILOG

Penjelasan ringkas kita tentang Enam Derajat Eksistensi dapat disajikan sebagai sebuah
interpretasi yang mungkin terhadap bagian sulit tertentu dalam Qur’ān Suci menyentuh pada
Penciptaan dalam Enam Hari. Di sana dinyatakan bahwa Allāh, Realitas Tertinggi, “telah
menciptakan Langit dan Bumi dalam Enam Hari, dan bersemayam secara teguh di atas
Singgasana” (Al-A’rāf (7): 54; Yūnus (1): 3); dan “telah menciptakan Langit dan Bumi, dan semua
di antara mereka, dalam Enam Hari, dan bersemayam secara teguh di atas Singgasana” (Al-Sajdah
(32): 4); “tanpa tersentuh keletihan” (Qāf (50): 38). Kita menginterpretasikan ini bermakna bahwa
Dia telah menciptakan seluruh semesta — yakni, dunia yang terlihat maupun yang tidak terlihat
bersama semua bagiannya (al-‘ālamīn): Dia menyatakan diri-Nya dalam bagian penciptaan sebagai
‘Pemilik semua dunia’ (rabb al-‘ālamīn, Fuşşilat (41): 9) — dalam Enam Tahap, karena Hari Ilahiyah
dalam perhitungan kita akan sepanjang, kita telah diberitahu, “seperti seribu tahun” (Al-Hajj (22):
47), atau “seukuran lima puluh ribu tahun” (Al-Ma’ārij (70): 4). Kita juga diberitahu bahwa bagi
Tuhan tindakan penciptaan merupakan “tindakan tunggal” (amr wāhidah) yang diselesaikan
dalam “kedipan mata” (ka lamhin bi al-başar): Al-Qamar (54): 50). Dalam hal ini kita lihat, dari sudut
pandang kognisi manusia, dan ketika kita pertimbangkan tindakan penciptaan dan proses
penciptaan yang termasuk dalam pengertian ‘penurunan’ Realitas Tertinggi dari derajat
keabsolutan murni dan persembunyian penuh kepada manifestasi dan determinasi dalam derajat-
derajat yang lebih rendah akan level ontologis, kognisi manusialah yang mempostulasikan (cth.
i’tibār) sebuah sekuensi temporal, sebuah jarak yang dapat diukur dalam pengertian waktu, dari
derajat yang tertinggi kepada yang terendah; sedangkan pada kenyataannya tindakan penciptaan
dan seluruh proses penciptaan terlibat dalam pelbagai derajat muncul sekaligus — “dalam
kedipan mata”. Kemudian dalam kedipan mata tersebut Being-Nya sementara itu “bersemayam
secara teguh di atas Singgasana” bermakna bahwa kendati keterlibatan-Nya dalam proses
penciptaan Dia selalu tetap sebagaimana sebelumnya, dalam pengendalian absolut,
mempertahankan Keesaan absolut-Nya. Tindakan penciptaan dan proses penciptaan itu diulangi
(Yūnus (10): 4; Al-Naml (27): 64; Al-‘Ankabūt (29): 19-20), dalam sebuah ciptaan baru (Qāf (50): 15;
juga Al-Ra’d (13): 5; Ibrāhīm (14): 48; Banī Isrā’īl (17): 49, 98; Al-Anbiyā’ (21): 104; dan Fāţir (35): 16).

Enam Hari tersebut dapat dibagi ke dalam fase-fase terpilah di antara Empat Hari dan Dua
Hari (Fuşşilat (41): 10; dan 9; 12). Dalam bagian tersebut kita lebih lanjut diinformasikan bahwa
Dia menjadikan being (ja’ala) rawāsiya — dimana para komentator biasanya menginterpretasikan
dengan makna ‘gunung-gunung’ — meletakkan mereka tinggi di atas Bumi. Makna dasar dari
kata rawāsiya, yang merupakan bentuk jamak dari akar rasā, mengandung gagasan tentang entitas-
entitas yang rampung, kokoh, dan secara teguh dibangun dengan jenis cara permanen yang tidak
dapat digerakkan atau dipindahkan ke tempat yang lain. Oleh karena itu interpretasi terhadapnya
sebagai ‘gunung-gunung’ adalah masuk akal; karena gunung-gunung dikarakteristikkan dengan
suatu jenis kerampungan yang digambarkan dengan rawāsiya, dan mereka tinggi di atas tingkatan
tanah. Dia juga memberkahi Bumi, dan mengukurnya dalam proporsi (qaddara) semua hal di
dalamnya, dan memberi mereka makanan (aqwātaha) mereka “berdasarkan kebutuhan dari yang
meminta” (sawā’an li al-sā’ilīn). Fase penciptaan ini diselesaikan dalam Empat Hari.

Kini interpretasi para komentator terhadap bagian di atas tentang penciptaan dan proses
penciptaan adalah berdasarkan kepada makna lahir yang dikandung mereka, dan dijelaskan
sejauh penciptaan Langit dan Bumi dalam tahap materi dasar yang tidak berbentuk menjadi

209 Prolegomena

bentuk fisik yang kita lihat, menyusun kerajaan alam akan mineral, tumbuhan, dan hewan dan
cakrawala semesta bersama seluruh bagiannya. Dari sudut pandang kognisi manusia, interpretasi
ini dibangun di atas prinsip rasio dan observasi yang didukung bukti sains yang relevan seperti
fisika, astronomi, dan geologi. Tanpa mengabaikan keabsahan interpretasi tersebut, melainkan
sesuai dengannya dan dari sudut pandang metafisis yang disajikan sebagai sebuah kerangka-
kerja yang di dalamnya dimana semua sains manusia menemukan korespondensi dan koherensi,
kita mempertahankan bahwa juga mungkin menginterpretasikan bagian Penciptaan dalam Enam
Hari sesuai dengan Enam Derajat Eksistensi. Kita pada faktanya sudah menyinggung interpretasi
metafisis terhadap bagian tersebut bahkan pada awal Epilog ini; dan kini kita melanjutkan dengan
menawarkan bahwa ungkapan ‘Langit’ (al-samāwāt) dan ‘Bumi’ (al-ard) yang disebutkan dalam
bagian penciptaan dapat tidak selalu menunjuk pada Langit dan Bumi yang bersifat fisik, tetapi
pada tahap-tahap tertentu dan dengan merujuk pada hubungan sebab prioritas-posterioritas
dalam proses penciptaan yang dipahami dalam konteks derajat-derajat eksistensi, dimana mereka
menunjuk kepada arketip-arketip mereka (al-a’yān al-thābitah). Dalam pengertian ini kita kemudian
dapat menginterpretasikan rawāsiya, yang secara teguh ditegakkan “tinggi di atas” Bumi,
bermakna realitas-realitas arketipal yang secara teguh dan permanen ditegakkan dalam
kerampungan sedemikian sehingga mereka tidak dapat digerakkan atau dipindahkan dari
wilayah mereka dalam kondisi interior Being.

Kita telah katakan pada awal penjelasan kita (cf. hlm. 268-278 di atas) bahwa Realitas
Tertinggi dalam Keesaan Absolut-Nya pada derajat pertama eksistensi dikarakteristikkan dengan
aspek interioritas dan eksterioritas, dan being yang kemudian dari aspek swa-pengungkapan-Nya
yang ditunjuk dalam tradisi suci sebagai ‘Harta Tersembunyi’. Aspek ini, yang juga
dikarakteristikkan dengan interioritas dan eksterioritas, dan yang belum terlibat dalam
determinasi apapun, pada aspek eksteriornya sudah mengandung kemungkinan tak terhingga
akan determinasi dalam pelbagai bentuk yang tak terbatas; aspek eksteriornya merupakan pusat
dan sumber dari aktifitas penciptaan, dan prinsip keanekaragaman. Dalam aspek derajat pertama
eksistensi ini Realitas Tertinggi merupakan Eksistensi Absolut, dan asal semua ciptaan, yang
bermula dengan pancaran pertama eksistensi, yang menyentuh kepada aspek ini dimana
kesempurnaan esensial (kamālāt dhātiyyah) dan kecenderungan-Nya (shu’ūn) menjadi
termanifestasi pada kesadaran-Nya (cf. Hlm. 289 (II) dan 290 di atas). Penciptaan merupakan
tindakan eksistensiasi dari Realitas Tertinggi; hal tersebut juga verifikasi dari apa yang sekaligus
benar (pada Perintah penciptaan) dan nyata (secara potensial sebagaimana juga secara aktual).
Maka, Eksistensi Absolut di sini identik dengan istilah Qur’an tentang ‘Kebenaran’ atau
‘Kebenaran-Kenyataan’ (al-haqq).

Pancaran pertama eksistensi merupakan pancaran paling suci (al-fayd al-aqdas), yang
merupakan sebuah ekspansi tunggal eksistensi dengan cara yang umum (cth. wujūd ‘āmm), yang
mengandung manifestasi bentuk-bentuk pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang
mungkin dalam dunia yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Semua hal tersebut merupakan
manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiyah.
Hal ini merupakan yang pertama dari semua manifestasi realitas Eksistensi dan disebut
determinasi pertama (ta’ayyun awwal), yang berhubungan dengan derajat kedua eksistensi. Realitas
Tertinggi, pada level ekspresi ontologis ini, tidak lagi dipandang Esa secara absolut (ahadiyyah
mutlaqah), tetapi Tunggal (fard) dengan sebab telah menyebabkan muncul dalam kesadaran-Nya
akan potensialitas ‘yang lain’, diri-Nya sendiri sebagai Yang Lain daripada keyanglainan
(otherness) dari ‘yang lain’. Tahap ini merupakan tahap Kesatuan dari yang banyak (wāhidiyyah).

210 Prolegomena

Kemudian, sebagai sebuah artikulasi lanjutan dari ekspresi ontologis dan aktifitas
penciptaan Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, memunculkan dalam
kesadaran-Nya manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah yang berhubungan dengan derajat
Keilahiyahan (iliāhiyyah) di mana, sebagai ‘Tuhan’ (ilāh), Dia dikualifikasikan dengan Nama-Nama
(cth. mengetahui, menghendaki, berkuasa, dll.) dan Sifat-Sifat (cth.pengetahuan, kehendak,
kekuasaan, dll.) keilahiyahan. Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut merupakan partikularisasi
lanjutan dari kecenderungan dan kesempurnaan esensial-Nya yang menjadi termanifestasi
kepada-Nya yang sudah terdapat dalam derajat pertama eksistensi. Tahap ini menandai
‘penurunan’-Nya pada determinasi kedua (ta’ayyun thāni) yang berhubungan dengan derajat
ketiga eksistensi. Tahap ini merupakan tahap Nama-Nama dan Sifat-Sifat.

Kini kencederungan dan kesempurnaan esensial Realitas Tertinggi itu termanifestasi
kepada-Nya sebagai bentuk-bentuk Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Bentuk-bentuk tersebut
secara esensial merupakan ‘gagasan-gagasan’ atau ‘intelejibel-intelejibel’ dalam pengetahuan
Ilahi. Inheren dalam masing-masing bentuk tersebut itu terdapat sebuah aspek ‘keyanglainan’,
sebuah keterpilahan yang khas pada dirinya sendiri dan dengan demikian juga berbeda dari-Nya.
Mereka dikualifikasikan dengan ditegakkan secara permanen sebab sebagai ‘gagasan’ dalam
pikiran Ilahi mereka berada secara permanen (baqā’) dalam pengetahuan Ilahi, dan tidak berubah
dalam sifat-dasar mereka dan tidak bergerak dari kondisi interior dan intelejibel mereka. Dengan
sebab keterpilahan mereka satu sama lain dan dari-Nya, dan dari kesinambungan mereka
sedemikian rupa dalam pengetahuan Ilahi, mereka itu realitas-realitas (haqā’iq) asli yang kondisi
masa depannya itu diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah akan level ontologis
sebagai pancaran eksistensi yang mengembang terhadap mereka. Inheren dalam masing-masing
realitas terdapat potensialitas yang khas bagi masing-masing; masing-masing telah menerima
ukurannya dalam proporsi (cf. qaddara) yang berkaitan, sehingga masing-masing memiliki
kesiapan (isti’dād) untuk diaktualisasikan berdasarkan kebutuhannya. Inteleksi-Nya terhadap
bentuk-bentuk tersebut dalam aspek mereka akan ‘keyanglainan’ dari-Nya, dan swa-
pengungkapan-Nya (tajallī) pada mereka sebagaimana pancaran eksistensi-Nya yang
mengembang terhadap mereka, yang membawa sifat-dasar positif mereka sebagai realitas-realitas
yang dapat diaktualisasikan sebagai eksistensi konkret dan individual dalam dunia eksternal.
Oleh karena itu realitas-realitas bersifat arketipal dalam alam dan esensi dan tepat disebut
‘arketip-arketip permanen’ (a’yān thābitah), yang level ontologisnya berhubungan dengan
determinasi ketiga (ta’ayyun thālith) dari Eksistensi Absolut pada derajat keempat eksistensi (cf.
hlm. 277-278; 290 (III), di atas).

Kita katakan (hlm. 278, di atas) bahwa Eksistensi Absolut swa-mencukupi dalam
kesuburan-Nya yang abadi, yang tidak membutuhkan yang ‘lain’ apapun itu, tetapi Nama-Nama
dan Sifat-Sifat-Nya yang nampak kepada-Nya pada derajat-derajat yang lebih rendah dari level
ontologis memiliki kebutuhan agar realitas-realitas positif mereka diaktualisasikan dalam bentuk-
manifestasi (mazāhir) mereka di dunia tidak terlihat maupun yang terlihat. Aktualisasi mereka
menyentuh pada aktualisasi yang bertalian dari potensialitas yang inheren di setiap mereka,
sedemikian supaya muncul sebagai pembentangan kondisi masa depan mereka dalam eksistensi
eksternal. Aktualisasi realitas-realitas positif mereka ini diakibatkan oleh swa-pengungkapan,
determinasi, individuasi Eksistensi Absolut dalam bentuk-manifestasi mereka. Karena masing-
masing realitas-realitas itu terpilah dari yang lain, dan masing-masing mengandung semua
kondisi masa depannya untuk diaktualisasikan dalam tatanan sekuensial, swa-pengungkapan-
Nya pada mereka tidak pernah berulang dalam bentuk-bentuk yang sama. Manifestasi lanjutan

211 Prolegomena

Eksistensi Absolut ini dalam derajat-derajat yang lebih rendah akan level ontologis berlangsung
dengan pancaran yang lain (cth. yang kedua) dari eksistensi-Nya yang disebut pancaran suci (al-
fayd al-muqaddas), yang membawa kita pada fase kedua yang tertinggal dari penciptaan dalam
Dua Hari. Namun, sebelum tiba pada hal itu, kita melanjutkan interpretasi kita bahwa pemberian-
Nya kepada segala hal “ukuran akan keberadaan dalam proporsi” (qaddara aqwātaha) mereka, dan
“berdasarkan kebutuhan dari mereka yang meminta” (sawā’an li-al-sā’ilīn), bermakna dalam
konteks ini menunjuk kepada potensialitas yang inheren dalam realitas-realitas hal-hal, dimana
masing-masing diukur dalam proporsi dan berdasarkan kebutuhan sifat-dasarnya. Pemberian-
Nya akan makanan mereka secara mendasar bermakna pemberian-Nya akan eksistensi. Kini
karena realitas-realitas tersebut membangkitkan dalam diri mereka sendiri sebuah kesiapan
(isti’dād) sebagai penerima eksistensi sesuai dengan apa yang inheren pada mereka, maka kondisi
dalam kebutuhan aktualisasi ini merupakan permintaan dari “mereka yang meminta” (al-sā’ilīn).

Penjelasan singkat di halaman depan, yang pendatangannya dapat secara tepat ditangkap
hanya setelah memahami secara utuh penjelasan yang disajikan dalam buku ini, merupakan
interpretasi metafisis dari fase pertama penciptaan yang diselesaikan dalam Empat Hari. Aktifitas
penciptaan Realitas Tertinggi muncul, menurut interpretasi ini, pada level ontologis aspek
eksterior dari Keesaan Absolut-Nya yang secara beragam disebut ‘Harta yang Tersembunyi’,
‘Kebenaran’, ‘Eksistensi Absolut’, dan kemudian memroses pada determinasi pertama, kedua, dan
ketiga dari Eksistensi Absolut. Hal tersebut berhubungan dengan derajat pertama, kedua, ketiga,
dan keempat dari eksistensi, yakni: derajat Keesaan (al-ahadiyyah) yang mengarakteristikkan
Eksistensi Absolut; Kesatuan Ilahiyah (al-wāhidiyyah); Nama-Nama dan Sifat-Sifat (al-asmā’ wa al-
şifāt); dan Arketip-Arketip Permanen (al-a’yān al-thabitāh) dalam tatanan mereka. Masing-masing
derajat-derajat tersebut dikarakteristikkan memiliki aspek interioritas dan eksterioritas dan
hubungan sebab akan prioritas dan posterioritas. Penjelasan kita tentang empat derajat eksistensi
tersebut menunjukkan bahwa mereka bersesuaian dengan fase pertama penciptaan dalam Empat
Hari yang disebutkan dalam Qur’an Suci, yang memang dapat juga disebut kepada mereka pada
kenyataannya. Jika demikian, maka ini berarti fase penciptaan ini muncul dalam dunia interior
dari intelejibel yang subjektif bagi Realitas Tertinggi, dimana dari sudut pandang kognisi manusia
itu merupakan dunia entitas-entitas spiritual.

Untuk fase kedua yang tertinggal dari penciptaan dalam Dua Hari, kita diinformasikan
bahwa Tuhan, “setelah menyelesaikan penciptaan sebelumnya (cth. fase pertama), mengarahkan
rancangan-Nya (cth. Rencana-Nya membuat dengan tujuan yang jelas) pada Langit” (Fuşşilat
(41): 11; lihat berbagai makna istawā ilā dalam Lisān al-‘Arab, XIV hlm. 414, kol. 1&2). Langit yang
dimaksudkan, kita telah diberitahu, adalah sebagai asap (dukhān), yang berarti sesuatu yang
sebagian fisik dan sebagian non-fisik dalam alam. Dia kemudian memerintahkan Langit dan Bumi
untuk datang bersama secara sukarela atau terpaksa; dan mereka berdua datang dalam kepatuhan
sukarela. Kemudian Dia melengkapi mereka dengan tujuh cakrawala dalam Dua Hari, dan
menugaskan kepada masing-masing langit tugas dan perintahnya. Langit yang lebih rendah Dia
hiasi dengan cahaya dan diamankan dengan penjaga (41: 11-12).

Sudah kita lihat di sini, dalam Dua Hari yang disebutkan untuk melengkapi penciptaan
semesta bersama semua bagiannya, sebuah kiasan kepada dua derajat terakhir eksistensi: derajat
kelima dan keenam, yang berhubungan dengan determinasi keempat dan kelima dari Eksistensi
Absolut. Hal itu juga dapat bahwa pada level artikulasi ontologis pada derajat kelima eksistensi
(determinasi keempat), Langit dan Bumi yang ditunjuk tetap menyimbolkan aspek spiritual dan

212 Prolegomena

intelejensial dalam perkembangan mereka ke dalam bentuk yang lebih dan lebih konkret.
Tingkatan ini merupakan level arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-khārijiyyah). Arketip-arketip
eksterior tersebut menerima pancaran suci eksistensi yang mengalir dari aspek eksterior arketip-
arketip permanen. Kini arketip-arketip permanen pada faktanya itu merupakan realitas hal-hal
yang ditegakkan dalam kehadiran kognitif dari Realitas Tertinggi. Mereka itu ‘realitas-realitas
ideal’ yang berada secara permanen dalam pikiran Tuhan, dan sedemikian sehingga mereka tidak
dibuat untuk muncul pada kondisi manifestasi eksterior dalam alam hal-hal empiris. Mereka
dalam pengertian itu bukanlah ‘maujud’ meskipun mereka memiliki realitas ontologis positif.
Dalam hubungan dengan arketip-arketip eksterior mereka merupakan determinan aktif dari
semua maujud yang mungkin, karena mereka, lagi pula, merupakan artikulasi kecenderungan
Ilahi; mereka merupakan realitas-realitas asli dan positif yang seimbang dalam kesiapan untuk
mengaktifasikan potensialitas inheren pada mereka, dan untuk membentangkan keadaan masa
depan mereka dalam bentuk eksistensi individual dan konkret dalam dunia eksternal. Dalam hal
ini arketip-arketip eksterior bertugas sebagai penerima pasif mereka. Isi dari pancaran suci
eksistensi adalah potensialitas tersebut, yang keadaan masa depannya secara bertalian
diaktualisasikan dalam dunia hal-hal empiris melalui perantara arketip-arketip eksterior
sebagaimana pancaran eksistensi tersebut mengembang terhadap mereka. Maka, arketip-arketip
eksterior merupakan manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiyah dari Eksistensi Absolut.
Karena arketip-arketip tersebut sendiri memiliki aspek interioritas dan eksterioritas, mereka
menjadi, dalam hubungan dengan dunia hal-hal empiris, pengembang aktif aktualisasi
kandungan mereka melalui aspek eksterior mereka sebagaimana pancaran eksistensi tersebut
berlanjut mengembang terhadap mereka pada derajat level ontologis yang terendah. Level
ontologis arketip-arketip eksterior merupakan determinasi keempat dari Eksistensi Absolut yang
berhubungan dengan derajat kelima eksistensi. Yang keenam dan derajat yang terakhir eksistensi
adalah level determinasi kelima akan Eksistensi Absolut. Hal itu merupakan manifestasi secara
rinci dari derajat yang mendahului dan merupakan alam hal-hal empiris, dunia indera dan
pengalaman inderawi yang sifat-dasarnya dikarakterisitikkan dengan kontingensi. (cf. hlm.
279-280, dan 290 (III), dan 290 (VI) di atas).

Kini pada bagian di mana Tuhan memanggil Langit dan Bumi untuk datang bersama
“sukarela atau terpaksa” (ţaw’an aw karhan) merupakan indikasi jelas yang menunjukkan bahwa
Langit dan Bumi memiliki kesadaran kepatuhan dan ketidakpatuhan kepada perintah Ilahi
kendati dari realitas dimana perintah tidak dapat dikontradiksikan. Hal itu juga menunjukkan
bahwa mereka memiliki kekuatan atau kapasitas untuk menjawab kata perintah Ilahi, karena
mereka menjawab: “kami datang dalam kepatuhan sukarela” (ataynā ţā’i’īn). Kita memahami dari
sini bahwa proses penciptaan yang digambarkan muncul pada level ontologis dari arketip-arketip
eksterior dalam derajat kelima eksistensi. Seseorang dapat menyebut bahwa arketip-arketip
eksterior merupakan penerima semua manifestasi kontingen dan makhlukiyah dari Eksistensi
Absolut, dan bahwa dalam hubungan pada apa yang merupakan akibat dari mereka, yakni, dunia
hal-hal empiris dalam derajat keenam dari eksistensi, mereka merupakan agen aktif aktualisasi
dari kandungan mereka ke dalam eksistensi eksternal pada derajat terendah akan level ontologis.
Perkataan mereka “kami datang dengan kepatuhan sukarela” secara eksplisit memberi kesan
sifat-dasar pasif mereka; dan “kami datang” menyiratkan kekuatan atau kapasitas laten mereka
untuk mengaktifkan aktualisasi akan kandungan mereka.

Kemudian Tuhan memenuhi penciptaan mereka sebagai tujuh cakrawala; menugaskan
pada masing-masing langit tugasnya dan perintahnya, dan menghiasi langit dari bumi kita (samā’

213 Prolegomena

http://ayubmenulis.blogspot.com/

al-dunyā) dengan jasad langit yang bercahaya dan mengamankannya dengan penjaga. Menurut
interpretasi kita, hanya pada tahap ini kata-kata: ‘langit’ atau ‘cakrawala’ (samāwāt), ‘langit’ (samā)
dan ‘bumi’ (ard yang dalam kasus ini ditunjuk sebagai dunyā) menunjuk pada semesta fisik
bersama semua bagiannya. Kata dunyā, diturunkan dari akar dana, mengandung makna sesuatu
yang ‘dibawa dekat’. ‘Dibawa dekat’, menurut kita, berarti ‘dibawa dekat’ pada pengalaman dan
kesadaran inderawi dan intelejibel manusia. Sesuatu yang dibawa dekat pada pengalaman dan
kesadaran inderawi dan intelejibel kita itu merupakan semesta fisik bersama semua bagiannya.
Seluruh semesta fisik dibawa dekat kepada kita dengan cara ini dengan sebab realitas dan
kebenaran yang menyusun tanda-tanda dan simbol-simbol (āyāt) Tuhan yang ditampilkan kepada
pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel dengan maksud bahwa kita dapat melihat
makna dan tujuan mereka. Qur’ān Suci menyatakan demikian dalam banyak bagian. Jika kita
benar dalam interpretasi kita, hal itu merupakan Dua Hari terakhir yang ditunjuk sebagai
penyelesaian penciptaan ke dalam tujuh cakrawala; dan seluruh semesta fisik adalah yang terakhir
dari tujuh langit.

Penting untuk ditekankan di sini, meskipun kita tidak secara eksplisit mengelaborasi pada
persoalan ini dalam halaman-halaman di bagian depan buku ini, yakni, tindakan penciptaan dari
Realitas Tertinggi dalam aspek-Nya sebagai Tuhan, yakni, tindakan penciptaan: operasi Ilahiyah
yang membawa eksistensi dari sesuatu yang non-eksistensi ‘selain’ Dia, tidak diselesaikan hanya
dengan operasi kekuatan dan kehendak penciptaan-Nya. Memang, operasi yang dikombinasikan
dari kekuatan penciptaan (qudrah) dan kehendak-Nya (iradāh) tentulah instrumental dalam
tindakan penciptaan, tetapi tanpa kata perintah-Nya untuk ‘jadi’, dan tanpa pemberian eksistensi-
Nya kepada apa Dia telah perintahkan untuk ‘menjadi’, hal yang demikian diperintah tidak akan
pernah mampu menjadi being. Pemberian eksistensi-Nya dalam pengertian swa-pengungkapan,
determinasi, partikularisasi, dan individuasi-Nya dalam samaran hal tersebut merupakan apa
yang telah kita elaborasikan dalam buku ini. Hal itu merupakan pancaran eksistensi-Nya dan
pengembangannya (pancaran, penerj.) terhadap realitas-realitas hal-hal berdasarkan kebutuhan
mereka, dan dalam gradasi ambigu yang melibatkan hubungan sebab prioritas dan posterioritas
dalam pelbagai derajat level ontologis. Maka penciptaan adalah (i) pemasukan eksistensi-Nya
dalam bentuk hal-hal; (ii) perintah-Nya terhadap hal-hal untuk menjadi eksistensi; (iii) kekuasaan-
Nya membawa hal-hal menjadi eksistensi eksternal; dan (iv) kehendak-Nya yang menspesifikasi
hal tersebut untuk menjadi eksistensi eksternal pada waktu yang ditentukan. Karena Dia
mengungkapkan diri-Nya dalam bentuk setiap segala hal, apa yang telah ‘jadi’ merupakan
eksistensi-Nya yang mengaktualisasikan satu modusnya dalam samaran hal tersebut; sehingga
ciptaan tersebut melibatkan juga kapasitas atau kekuatan sesuatu untuk menjawab perintah-Nya,
seperti ke-hal-an (thingness) atau keyanglainannya, pendengarannya, dan kepatuhannya dalam
menjadi seperti apa yang telah diperintahkan untuk menjadi — semua bertindak bersama secara
simultan membawa dirinya sendiri ke dalam eksistensi eksternal. Tindakan penciptaan, kita
katakan sebelumnya, merupakan tindakan tunggal yang diselesaikan “dalam kedipan mata”;
tetapi tindakan penciptaan tersebut diulangi, sehingga sesuatu yang diciptakan berkembang
sebagai sebuah proses pembentangan kondisi masa depan mereka dalam ciptaan baru secara
terus menerus yang mengalami tahap-tahap ontologis.

Akhirnya untuk menyimpulkan, dengan hal pada Penciptaan dalam Enam Hari
sebagaimana diinterpretasikan oleh para komentator berdasarkan pada makna lahir dari bagian
yang relevan, penjelasan mereka terhadap enam tahap berhubungan dengan Enam Hari
bertepatan hanya dengan derajat terakhir eksistensi dari interpretasi kita. Hal ini berarti mereka

http://ayubmenulis.blogspot.com/
214 Prolegomena

telah menginterpretasikan kata ‘Langit’ dan ‘Bumi’ dan ‘apa yang terletak di antara mereka’
dalam bagian ciptaan tersebut menunjuk hanya pada semesta fisik bersama dengan semua
bagiannya, yang di dalam interpretasi kita terletak pada level ontologis derajat keenam eksistensi.
Hal ini sebanyak sebagaimana harapan kita untuk mengandung di sini tanpa berlanjut ke dalam
rincian lebih lanjut. Kita memohon Tuhan untuk mengampuni kita dimana kita terpeleset dan
salah, untuk menghargai kita dengan bantuan dan petunjuk-Nya dalam pemahaman yang benar
akan kata-kata-Nya dan tanda-tanda dan simbol-simbol-Nya yang makna tertingginya Dia
sendirilah yang terbaik dalam mengetahuinya.

kajian islam, ebook islami 3 bahasa, aplikasi islami, kunjungi :
http://ayubmenulis.blogspot.com/

215 Prolegomena


Click to View FlipBook Version