VI
KUIDITAS DAN ESENSI
Dalam epistemologi Islam kita mengafirmasi kemungkinan pengetahuan dan realitas hal-
hal, dan menegaskan persepsi dan observasi inderawi, rasio, berita yang benar berdasarkan
otoritas, dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan.231 Pada hal dengan problem yang
berhubungan dengan sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan realitas sebagaimana
diketahui dengan analisis rasional dan demonstrasi, kita mempertahankan bahwa, menurut
tingkatan pengetahuan berdasarkan persepsi inderawi dan rasio — yang kita pertimbangkan
sebagai kriteria absah untuk verifikasi kebenaran, dan yang kita digunakan dalam investigasi kita
— eksistensi merupakan sebuah konsep tunggal, umum, dan abstrak yang umum bagi semua
eksistensi. Konsep tunggal, umum, dan abstrak ini yang umum bagi semua eksistensi menjadi
majemuk, kita katakan,232 berkaitan dengan pembagian rasional menjadi ‘bagian-bagian’ yang
berhubungan dengan hal-hal dalam jalur kondisinya yang dilekatkan kepada kuiditas-kuiditas.
Makna ‘realitas’, dalam pengertian bahwa terdapat being di dunia eksternal dimana sesuatu yang
aktual yang berhubungan dengannya, hanya menyentuh baik kepada eksistensi atau kuiditas dari
suatu hal,233 salah satu dari mereka sebagai intelijibel sekunder, yakni, sebuah entitas konseptual
murni yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal. Eksistensi dalam pengertian ini,
dan hanya dalam pengertian ini, merupakan entitas mental yang tidak memiliki realitas yang
berhubungan di dunia eksternal.234
Tapi kita juga mengafirmasi, dalam tambahan kepada eksistensi yang dipahami dalam
pengertian di atas, dan sebagaimana berdasarkan pada berita yang benar dan institusi yang
dibangun atas otoritas dari Qur’ān Suci dan Tradisi sebagaimana juga di atas rasio dan
pengalaman, bahwa terdapat entitas lain yang berhubungan dengan gagasan murni konseptual
tentang eksistensi yang bukan bersifat mental tetapi nyata. Entitas yang lain ini adalah realitas
eksistensi, yang menghasilkan dalam pikiran gagasan tentang eksistensi sebagai konsep murni,
sebagaimana gagasan ‘hal-hal’ dan ‘kuiditas-kuiditas’ mereka dimana bagian eksistensi sebagai
entitas konseptual secara berhubungan dilekatkan. Kita telah memberi inti sari hal ini,235 dan
mengidentifikasi realitas eksistensi ini, yang juga merupakan Eksistensi Absolut, dengan Aspek
Tuhan yang ditunjuk dalam Qur’ān Suci Yang meliputi segala hal secara menyeluruh dan yang
tertinggal setelah kebinasaan hal-hal ciptaan.
Gagasan kita tentang suatu hal sebagaimana secara segera diterima — dalam kasus ini
seorang manusia, untuk contoh — secara sederhana merupakan maujud (mawjūd) yang nyata dan
konkret yang memiliki individualitas partikular yang padanya sebuah kata — contoh, ‘manusia’
— digunakan untuk menunjuknya, dan kata yang ketika disebutkan akan membawa kepada
pikiran objek yang ditunjuknya. Hal ini, secara ringkas menggambarkan gagasan utama kita
tentang suatu hal, sebuah objek fisik dari indera. Pikiran, ketika merenungkan hal tersebut yang
menuntut definisinya, dan dalam jawaban terhadap pertanyaan dalamannya tentang hal tersebut:
“Apa itu?”, memproses untuk menganalisanya; untuk memutuskan, mendiskriminasi,
mengualifikasi dan menglasifikasinya hingga tiba pada sebuah definisi hal tersebut, yakni, ‘hewan
231 Lihat komentar al-Taftāzānī pada karya al-Nasafī ‘Aqā’id, Kairo, 1335A.H., hlm. 24, fol. al-Nasafīlah yang menulis
pernyataan pertama dalam bentuk yang singkat dan frase yang dirajut-baik dari kredo Islām yang muncul di antara
muslim.
232 Lihat Bab III, di atas, hlm. 126-127.
233 Alasan untuk kondisi baik ini /atau ini (either/or) dijelaskan di bawah, hlm. 232-233.
234 Hal ini disetujui oleh filsuf muslim, teolog, dan metafisikawan Sūfī yang menampilkan tradisi intelektual dan
keagamaan Islāmi.
235 Dalam bab II hlm. 126-127.
151 Prolegomena
rasional’ dalam kasus ‘manusia’. Dalam proses pembentukan-konsep ini pikiran tersebut mampu
mengabstraksi ‘ke-apa-an’ (whatness) hal tersebut dari eksistensinya, dimana eksistensi di sini
dianggap sebagai sesuatu yang dilekatkan kepada hal itu sendiri, seolah-olah eksistensi
merupakan sebuah bagian dari hal tersebut yang ditambahkan kepadanya. ‘Ke-apa-an’ ini adalah
kuiditas (māhiyyah).236 Dengan jalan ini pembagian dan pemilahan mental dibuat antara kuiditas
dan eksistensi, dimana kuiditas dianggap sebagai realitas suatu hal sedangkan eksistensi adalah
apa yang mengualifikasikannya.
Dari sini kita membedakan dua tahap pemahaman. Tahap pemahaman primer menunjuk
kepada objek fisik, kepada hal-hal konkret, sebagaimana ditunjukkan dengan kata ‘hewan’ dalam
hal ‘manusia’, yang padanya diberlakukan sepuluh kategori Aristotelian tentang substansi, atau
bahan dari mana hal fisik terbuat, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, postur, kepemilikan,
aksi, dan pasifitas atau penindaklanjutan.237 Hal-hal sedemikian merupakan bahan asali dari mana
diturunkan gagasan primer yang ditangkap oleh intelek yang disebut intelijibel primer (al-
ma’qūlat al-ūlā). Mereka (hal-hal tersebut) merupakan objek maujud konkret dari dunia eksternal
yang berhubungan dengan konsep tersebut yang diturunkan dari mereka yang kita sebut
intelijibel primer. Namun, tahap pemahaman sekunder, menunjuk bukan pada objek fisik, tetapi
lebih kepada logika. Hal tersebut menyentuh pada proses mental abstrak yang tinggi; sebuah
elaborasi rasional terhadap konsep yang tiba dan dibangun berdasarkan aturan logika dan
pembagian logis akan genus spesies, dan diferensia. Dengan demikian pada tahap ini pikiran
merefleksikan dirinya sendiri, pada isinya sendiri, sebagaimana dikatakan, dan caranya
memahami gagasan yang dirumuskannya. Gagasan atau konsep tersebut tidak berhubungan
dengan apapun di dunia eksternal, karena mereka bukanlah konsep yang diturunkan dari objek
konkret, tetapi merupakan konsep dari konsep seperti konsep ‘hewan rasional’ sebagaimana
diturunkan dari konsep lain dari ‘manusia’. Konsep sedemikian disebut intelijibel sekunder (al-
ma’qūlāt al-thānīyah). Sudah jelas dari penjelasan di depan bahwa realitas suatu hal, sebagaimana
dipahami berdasarkan aturan logika dan pembagian logis akan genus, spesies, dan diferensia,
menunjuk pada kuiditas sebagaimana dilawankan dengan eksistensi, dalam pengertian bahwa
kuiditas dipandang sebagai realitas yang berbeda dari, dan dikualifikasikan secara konseptual
dengan eksistensi; hubungan antara kuiditas dan eksistensi secara berturut-turut seperti subjek
dan predikat. Perspektif ini melibatkan pemahaman terhadap sifat-dasar eksistensi sebagai
intelijibel sekunder yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal.
Tapi terdapat pengertian lain dimana kuiditas dipahami. Berbeda dengan kuiditas
sebagaimana dipahami secara logis sebagai apa yang didefinisikan dalam jawaban kepada
pertanyaan: “apa itu?” – yakni, ‘hewan rasional’ dengan referensi pada ‘manusia’, kuiditas dapat
236 Istilah Latin quidditas menunjuk pada sifat-dasar yang terpilah atau khas dari suatu hal. Hal tersebut merupakan
sebuah terjemahan langsung bahasa Latin dari teks bahasa Arab: māhiyyah’, yang dalam bahasa Arab itu diturunkan
dari kombinasi dua kata: mā huwa atau mā hiya, berarti ‘apa itu?’ Māhiyyah adalah yang menjawab pertanyaan ‘mā
hiya?’ Sama halnya dalam bahasa Latin quidditas dibentuk dari pertanyaan ‘quid est?’ Dalam hal istilah bahasa Arab
māhiyyah’, para filsuf muslim awallah yang telah membuatnya. Dalam pandangan saya, hal tersebut mungkin
diinsipirasikan oleh sebuah hadīth Nabi Suci: Allāhumma arinā al-ashyā’ ka mā hiya: “Wahai Tuhan! Tunjukkan saya
hal-hal sebagaimana mereka ada dalam dirinya sendiri”, cth. sebagai hal-hal yang ada dalam ‘ke-apa-an’ individualnya.
Hadīth ini dilaporkan dalam komentar Fakhr al-Dīn al-Rāzī pada Qur’ān Suci (lihat catatan 250 di bawah), vol. 21,
hlm. 37; 39-40. Pada istilah bahasa Latin quidditas sebagai terjemahan langsung dari bahasa Arab, lihat lebih lanjut
A.M. Goichon: La Philosophie D’Avicenne et son Influence en Europe Médiévale, Paris, 1951, hlm. 101.
237 Referensi di sini kepada Sepuluh Kategori (al-ma’qūlat al-‘asharah): substansi (ousīa: jawhar); kuantitas (posōn:
kammiyah); kualitas (poiōn: kayfiyyah); relasi (prosti: idāfah); tempat (pou: ayna); waktu (pote: matā); postur
(keīsthai: wad’); kepemilikan (ēchein: milk); aksi (poiēn: an yaf’al, fi’il); hasrat/penindaklanjutan (paschein: an
yanfā’il, infi’al), lihat karya Jurjānī, Ta’rīfāt, hlm. 243; karya Tahānāwi, Kashshāf. V, 1211. Lihat lebih lanjut, karya
Soheil Muhsin Afnan, Wāzhah Nāmah Falsafī (Qāmūs Falsafī Fārisī-‘Arabī): A Philosophical Lexicon in Persian dan
Arabic, Bayrut, Dār al-Mashriq, 1969, hlm. 246, kol 1&2.
152 Prolegomena
juga dipahami secara ontologis sebagai ‘yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa
adanya’ (by which a thing is what it is). Permilahan antara dua makna kuiditas tersebut adalah
bahwa dalam kasus terdahulu kuiditas hanya menunjuk pada genus dalam hubungan dengan
spesies, karena ‘hewan rasional’ merupakan genus dimana spesies ‘manusia’ didefinisikan;
sedangkan dalam kasus kemudian kuiditas menunjuk selalu pada maujud partikular, seperti pada
hal individual yang padanya berlaku sepuluh kategori, seperti kepada manusia partikular.
Ketika kita pertimbangkan kuiditas dari suatu hal, kita memahaminya baik dalam hal itu
sendiri sebagaimana ada dalam dunia eksternal, atau sebagaimana ada dalam pikiran. Sifat-dasar
kuiditas sebagaimana dipahami intelek memiliki tiga aspek:238
1. sebagai abstraksi murni (mujarradah), yang tidak berhubungan dengan apapun atau
dengan pikiran manapun.239 Kuiditas dalam aspek ini sepenuhnya independen dalam
dirinya sendiri dan tidak dapat dihubungkan dengan konsep manapun. Konsep ‘hewan’
sebagaimana ada dalam dirinya sendiri, contoh, tidak lain hanya merupakan ‘hewan’
murni dan tidak dapat dipredikasikan terhadap konsep ‘manusia’ sebab ‘manusia’
menandakan sesuatu yang lebih dari ‘hewan’ murni. Dalam kondisi sedemikian dari
abstraksi murni, tidak ada konsep lain yang dapat dikombinasikan dengannya untuk
membentuk kesatuan yang bermakna. Jika konsep ‘rasional’ ditambahkan kepada ‘hewan’
dalam kasus ini, hal tersebut tidak akan menghasilkan sebuah kombinasi koheren, karena
‘hewan’ sebagai ‘hewan’ murni tidak dapat dikualifikasi dengan rasionalitas.
2. sebagai indeterminasi absolut (mutlaqah), tidak dibatasi oleh ketidakberhubungan dengan
apapun dan bebas untuk menautkan dirinya kepada hal-hal individual. Konsep ‘hewan’,
dalam kasus kuditas dalam aspek ini, tidak lagi dibatasi pada dirinya sendiri sebagai
‘hewan’ murni, tetapi tidak ditentukan dan memiliki potensialitas untuk dipredikasikan
dengan konsep-konsep lain dalam sebuah kombinasi koheren. Ketika konsep ‘rasional’
dipredikasikan akan ‘hewan’ di sini, hal tersebut menghasilkan campuran dalam bentuk
konsep ‘manusia’. ‘Hewan’ dalam kasus ini dapat dipredikasikan ‘manusia’, karena
animalitas (hewan) dan rasionalitas merupakan unsur bagian-bagian penyusun manusia;
3. sama seperti pada (2) di atas, dan hadir dalam pikiran240 dimana hal tersebut menerima
pelbagai aksiden seperti predikasi, universalitas, partikularitas, dan yang semisal dimana
aspek kuiditas di sini itu dicampur (makhlūtah), seperti ketika konsep ‘hewan’ menunjuk
pada apa yang sudah teraktualisasikan dalam dunia eksternal sebagai sesuatu yang
dispesifikasikan sebagai ‘rasional’. Dengan demikian ‘hewan’ dispesifikasikan menunjuk
pada sebuah objek dunia eksternal, kepada seorang manusia partikular.
Kuiditas yang sama sebagaimana dipertimbangkan intelek di bawah samaran dari tiga
aspek itu disebut, dalam kasus pertama, ‘dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun’
(bi shart lā shay’); dalam kasus kedua, ‘tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan
apapun’ (lā bi shart shay’); dan dalam kasus ketiga, ‘dikondisikan oleh sesuatu’ (bi shart shay’).241
238 Sifat-dasar kuiditas sebagaimana dipahami rasio pertama kali secara sistematis dianalisa dan dirumuskan ibn Sinā.
Lihat karyanya al-Shifā, al-Mantiq, al-Madhkal, eds. G. Qanawati, Mahmud al-Khudayri, dan Fu’ad al-Ahwani, Cairo,
1953, hlm. 15, 34; juga hlm. 65-72. Sebuah elaborasi hubungan antara kuiditas dan unsur-unsur penyusunnya
sebagaimana dibuat ibn Sinā, yang menerimanya sebagai memiliki tiga aspek, di sini diberikan dalam garis besar. Lihat
juga karya Sabzawārī Sharh Ghurar al-Farā’id, eds. M. Mohaghegh dan T. Izutsu, Teheran, 1969, hlm. 131 fol.; dan
The Metaphysics of Sabzawari, trs M. Mohaghegh dan T. Izutsu, New Tork, 1977, XXXI, hlm. 144-146.
239 ‘Tidak berhubungan pada pikiran manapun’ di sini berarti bahwa tidak ada objek khusus dalam pikiran — pikiran di
sini tidak memperhatikan kepada objek partikular manapun.
240 ‘Hadir dalam pikiran’ berarti bahwa pikiran di sini secara aktual memperhatikan sebuah objek partikular.
241 Lihat karya ibn Sinā Al-Ishārat wa al-Tanbihāt dengan komentar oleh Nasīr al-Dīn al-Tūsī (ed. Oleh Sulayman
Dunya, 2nd ed., Dār al-Ma’ārif bi Misr, Cairo, 1971, 4V.), vol. I, hlm. 184-185. lihat juga Al-Mawāqif fi ‘ilm al-Kalām
dari ‘Adud al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Ibn Ahmad al-Ijī (dipublikasikan oleh ‘Ālam al-Kutub, Bayrut [n.d.];
153 Prolegomena
Yang pertama ditunjuk pada kuiditas dalam hubungan dengan materi dasar (māddah); yang
kedua pada genus (jins); dan yang ketiga pada spesies (naw’).242
Kombinasi dua pengertian dari makna kuiditas tersebut (cth. yang logis dan ontologis)
dalam kuiditas khusus (al-māhiyyah’ al-naw’iyyah)243 adalah tidak lain inti hal itu sendiri (nafs al-
shay’).244 Kombinasi makna dari dua pengertian tentang māhiyyah’ inilah yang dimaksud ketika
dikatakan bahwa realitas suatu hal adalah hal itu sendiri. Kita pada faktanya setuju dengan al-
Taftāzānī ketika dia mengatakan bahwa:
Realitas suatu hal (haqīqat al-shay’) dan kuiditasnya (māhiyyah’) adalah yang dengannya
suatu hal adalah hal tersebut apa adanya (ma bihi al-shay’ huwa huwa), seperti ‘hewan
rasional’ dalam referensi kepada ‘manusia’ dalam pertentangan dengan ‘hewan yang
tertawa’ dan ‘hewan yang menulis’, dan karena mungkinlah memahami ‘manusia’ tanpa
referensi kepada mereka (cth. tertawa dan menulis) sejauh mereka ada di antara (kategori)
aksiden-aksiden (al-’awārid). Dan dapat dikatakan lebih lanjut bahwa, yang dengannya
suatu hal adalah hal tersebut apa adanya, ketika dipertimbangkan (bi i’tibar) diwujudkan
secara eksternal (tahaqqaqa), merupakan sebuah realitas (haqīqah); sebagai yang telah
diinvidividualisasikan (tashakhkhus), adalah sebuah kediaan/ipseity (huwiyyah); dan ketika
dipertimbangkan secara independen tanpa mempertimbangkan mereka (cth. sebagaimana
diwujudkan dan diindividualisasikan), hal tersebut adalah kuiditas. Suatu ‘hal’ (al-shay’)
menurut kita, adalah maujud (al-mawjūd); dan berada (al-thubūt); perwujudan (al-tahaqquq);
eksistensi (al-wujūd); dan datang-menjadi-being (al-kawn) merupakan istilah-istilah yang
sinonim, dan makna mereka itu membuktikannya sendiri.245
Pada bagian di atas nampak pada awal komentar terhadap karya al-Nasafī ‘Aqā’id, al-
Taftāzānī mengombinasikan realitas (haqīqah) dan kuiditas (māhiyyah’) bersama menyusun yang
dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya. Karena kuiditas dalam pengertian partikular
dan logis hanya sebuah entitas mental yang berada pada kelas intelijibel sekunder yang tidak
berhubungan dengan apapun di dunia eksternal; sedangkan para teolog memperhatikan secara
primer bukan dengan entitas-entitas mental, tetapi dengan realitas ekstramental sedemikian
secara segera diterima sebagai pada tahap gagasan dasar dari suatu hal. Dengan demikian mereka
mendefinisikan realitas (haqīqah) sebagai sesuatu yang diwujudkan secara eksternal (tahaqqaqa),
dan kombinasi realitas dan kuiditas dalam pengertian logis dan partikular menjadi padanan dari
kuiditas dalam pengertian umum dan ontologis yang menunjuk pada esensi sejati sebagaimana
yang memiliki referensi atau hubungan dengan sebuah objek konkret dan eksternal, sebuah
didistribusikan oleh Maktabah al-Mutanabbi, Cairo, dan Maktabah Sa’d al-Dīn, Damascus) al-marsad al-thānī
mengandung dua belas maqāsid, hlm. 59-68. Pada kuiditas sebagaimana memiliki tiga aspek seperti diuraikan di atas,
lihat al-maqsid al-thānī, hlm. 60. Informasi yang sama tentang subjek tersebut sebagaimana ditemukan dalam Mawāqif
juga ditemukan dalam Kashshāf, V, hlm. 1314.
242 Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, vol. I, hlm. 184. Istilah māddah menunjuk pada materi dasar maupun ditandakan oleh
istilah lain: hayūlā dari bahasa Yunani: hylê. Tapi māddah cenderung lebih menunjuk pada materi mendasar yang
menerima penciptaan dan pembinasaan.
243 Seperti dalam kasus aspek ketiga kuiditas yang dijelaskan di atas, yang dikombinasikan dengan aspek yang kedua;
karenanya hal tersebut itu ‘dicampur’ (makhlūtah).
244 Dalam māhiyyah’ dari logikawan, hal tersebut menunjuk pada māhiyyah’ dalam pengertian partikular dan logis, dan
sama seperti kuiditas yang dipostulasikan secara mental (al-māhiyyah’ al-i’tibariyyah). Kuiditas spesifik tersebut
memiliki bentuk tunggal yang sepadan, padanya apa yang niscaya untuk sebuah bentuk tunggal adalah sama seperti
yang niscaya bagi yang lain; seperti ‘manusia, contoh, meniscayakan kepada Zayd apa yang niscaya pada ‘Amr, dalam
pertentangan dengan kuiditas umum (al-māhiyyah’ al-jinsiyyah) yang bentuk tunggalnya tidak sepadan, karena
‘hewan’ sebagaimana niscaya dalam manusia diasosiasikan dengan ‘rasional’ dan tidak niscaya dalam cara ini pada
hewan yang lain. Lihat al-Ta’rīfāt, hlm. 205-206; Kashshāf; V, hlm. 1313.
245 Sharh al-’Aqāid, hlm. 16-17. Terjemahan saya.
154 Prolegomena
maujud (mawjūd), suatu hal (shay’). Oleh karena itu maksud mereka dengan kombinasi ini, untuk
menunjukkan sebuah konsep yang secara langsung menunjuk sebuah realitas ekstramental, dan
yang berada pada kelas intelijibel primer.
Pada aspek ketiga kuiditas menurut skema ibn Sinālah yang ditunjuk al-Taftāzānī dalam
komentarnya kepada pernyataan al-Nasafī bahwa realitas hal-hal itu dibangun, yakni, secara
berada (haqā’iq al-ashya’ thābiţhah).246 Apa yang dimaksudnya ketika dia katakan bahwa realitas
suatu hal dan kuiditasnya adalah ’yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’
menunjuk, dalam konteks logika, pada yang dengannya suatu hal dilokalisasikan dalam genus
atau spesiesnya. ‘Hewan’ sendiri bukan ‘manusia’; itu adalah, melainkan, sifat-dasar sebuah
makhluk tanpa determinasi dari bentuk khususnya.247 Sama halnya, ‘rasional’ sendiri bukan
‘manusia’; hal tersebut demikian, ketika dipredikasikan akan ‘hewan’, bentuk khususnya yang
merupakan prinsip perbedaan yang dengannya spesies ‘manusia’ didefinisikan. Kombinasi
‘rasional’ ditambah ‘hewan’ mendefinisikan ‘manusia’, tetapi ‘manusia’ dalam kuiditasnya bukan
kombinasi itu. Manusia adalah manusia.248 Kemanusiaan atau menjadi-manusia (insāniyyah) ketika
dipertimbangkan dalam dirinya bukan jenis entitas yang umum bagi, dan dapat diterima oleh,
penerima eksistensi seperti manusia. Menjadi-manusia dalam dirinya sendiri adalah sesuatu yang
negatif ( atau sesuatu yang dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun: bi shart lā
shay’); hanya ketika hal tersebut ditunjuk sebagai sesuatu dari Zayd, dalam cara yang sama hal itu
dapat ditunjuk pada sesuatu dari ‘Amr, yang menunjuk pada maujud tunggal, konkret dan
individual. Dalam dirinya sendiri, menjadi-manusia atau kemanusiaan bukanlah apa yang ada
pada Zayd, maupun apa yang tidak di dalamnya, karena kemanusiaan pada Zayd dan yang tidak
ada dalam Zayd adalah dipostulasikan secara mental, yang menentukan entitas-entitas yang
ditambahkan kepada Zayd di satu pihak, dan tidak ditambahkan kepadanya di pihak lain, hanya
setelah Zayd dihubungkan kepada hal tersebut dalam kedua kasus lain.249 Dalam konteks realitas,
yakni, dari sudut pandang apa yang sudah teraktualisasi, dimana hal-hal tanpa terkecuali yang
partikular dan individual, kuiditas manusia adalah yang dengannya manusia tersebut adalah
manusia partikular tersebut, dengan demikian menunjukkan realitas sebuah entitas yang, ketika
dipertimbangkan bersama dengan manusia tersebut, adalah yang dengannya manusia tersebut
menjadi menjadi manusia itu. Kini, tidak ada yang membangun identitas seorang manusia —
tidak bagiannya (al-juz’), seperti ‘rasional’, sebagai contoh, maupun apa yang merupakan aksiden
(‘ārid) baginya, seperti ‘tertawa’, contoh — kecuali inti dirinya sendiri (nafs). Entitas ini ketika
dipertimbangkan bersama dengan manusia darimana hal tersebut adalah identitas manusia itu
atau inti dirinya, adalah yang lain dari manusia tersebut. Ketika kita katakan, contoh, bahwa
manusia terdiri dari jiwa (nafs) dan tubuh (badan) kita mengatakan bahwa manusia bukan jiwa
maupun tubuh, tetapi yang dihasilkan dari keduanya itu disusun entitas ketiga. Untuk ini
menunjuk pada interpretasi dari Fakhr al-Dīn al-Rāzī ketika dia berkaitan bahwa pengetahuan
primer (al’ilm al-darūrī) itu hadir karena eksistensi sesuatu yang ditunjukkan setiap manusia
ketika dia mengatakan ‘Aku’. Sesuatu ini adalah tubuh (jism), atau sebuah aksiden (‘arad), atau
kombinasi keduanya, atau sesuatu yang berbeda dari keduanya; atau itu adalah sebuah campuran
(murakkab) yang dibentuk dari mereka sebagai dua hal darimana disusun entitas ketiga.250 Jelaslah
246 ‘Aqā’id, hlm. 16.
247 Cth. sebagaimana dalam kasus dari aspek kedua dimana sebuah kuiditas dapat diterima: tidak dikondisikan oleh
ketidakberhubungan dengan apapun (lā bi shart shay’).
248 Lihat superkomentar al-Isfarā’inī pada komentar al-Taftāzānī pada ‘Aqā’id, hlm. 16-17. Ini juga diturunkan dari ibn
Sinā.
249 Lihat Mawāqif; 2nd, marsad, 1st maqsid, hlm. 59-60.
250 Lihat komentarnya tentang Surah Banī Isrā’īl (17), ayat, 85, dalam komentar besarnya tentang Qur’ān Suci, Tafsīr
al-Kabīr, Cairo, 1934, 32V., vol. 21, hlm. 39-40. Pernyataan al-Rāzī tentang identitas manusia secara pokok diturunkan
dari ibn Sinā. Lihat karya ibn Sinā Ahwāl al-Nafs, ed. F. al-Ahwani, Cairo, 1952, bab. I. Sebuah penjelasan terhadap
155 Prolegomena
dari sini bahwa kuiditas sebuah campuran bukanlah campuran itu sendiri, meskipun kuiditas itu
sendiri adalah sebuah campuran, seperti diilustrasikan dengan diagram dibawah.251
Ilustrasi di atas hanya dimaksudkan untuk memudahkan secara visual apa yang kita
maksud. Jika lingkaran 1 menampilkan genus (jins) ‘hewan’ dan lingkaran 2 menampilkan
diferensia (fasl) ‘rasional’, maka 3 akan menampilkan spesies (naw’) ‘manusia’. Sama halnya, jika
lingkaran 1 menampilkan materi (māddah) lapisan-dasar dan lingkaran 2 menampilkan bentuk
(sūrah) substansial, maka 3 akan menampilkan substansi ‘tubuh’ (jism). Kemudian lagi, dan
sebagaimana berhubungan dengan manusia — baik secara logis sebagaimana dalam kasus
terdahulu, dan secara ontologis sebagaimana dalam kasus kemudian — jika lingkaran 1
menampilkan tubuh (jism) campuran yang diindividuasikan dalam bentuk (badan) manusia,252 dan
lingkaran 2 menampilkan jiwa (nafs) sensitif dan rasional, maka 3 akan menampilkan makhluk
manusia. Realitas makhluk manusia adalah inti dirinya sendiri, bukan tubuh maupun jiwa;
maupun materi maupun bentuk; maupun hewan maupun rasional.
Kini dalam definisi terhadap realitas sebagai ‘yang dengannya suatu hal adalah hal
tersebut apa adanya’ (mā bihi al-shay’ huwa huwa), yang juga dapat dirumuskan sebagai mā bihi
huwa huwa: ‘ yang dengannya hal itu adalah hal itu’, apa yang ditandakan oleh huruf bā’ dari bihi
(cth. kata dengan dalam definisi tersebut) adalah kausalitas (sababiyah), yang bagi suatu hal
tersebut mendasarkan being terdalamnya. Makna ini menunjuk pada sesuatu sebagai sebab (sabab
atau ‘illah) yang dengannya suatu hal adalah suatu hal tersebut, seperti sebab efisien (al’illah al-
fā’iliyyah) dan agennya (al-fā’il). Tapi dalam keberatan kepada pandangan ini, dapat dikatakan
bahwa agen tersebut itu pada kenyataannya yang dengannya suatu hal adalah maujud, bukan
yang dengannya hal tersebut adalah hal tersebut; karena yang dengannya hal tersebut adalah hal
partikular itu adalah apa yang membuat hal itu menjadi berbeda dari yang lainnya, bukan apa yang
membuatnya menjadi maujud, yang umum bagi segala sesuatu.253 Dengan demikian karena sifat-
dasar yang ambigu dari realitas itu sendiri, penyebab suatu hal (‘illah al-shay’), dengan maksud
agar dia menjadi realitas suatu hal (haqīqah al-shay’), harus termasuk baik penyebab akan
eksistensi (‘illah al-wujūd) dan penyebab akan kuiditas (‘illah al-māhiyyah); dan hal ini menjadi
istilah jism, dan murakkab dalam konteks interpretasi kita yang ditunjukkan di atas ditemukan dalam Kashshāf, I, hlm.
75-78, di bawah judul al-insān. Pada entitas ketiga ini sebagai kuiditas suatu hal, lihat lebih lanjut Al-Mawāqif; hlm.
13.
251 Dalam ilustrasi yang disederhanakan ini, lingkaran 1 dan 2 menampilkan bagian campuran tersebut; 3, yang dirinya
sendiri merupakan campuran yang dibentuk dari 1 dan 2, bukanlah campuran 1 dan 2 tetapi sebuah entitas terpisah.
Bahkan jika dua lingkaran tersebut digambarkan beririsan satu sama lain, hal tersebut tidak akan memengaruhi
penyusunan entitas ketiga yang bukan merupakan campuran dari dua lingkaran, tetapi adalah sebuah campuran terpisah
dalam dirinya sendiri. Hal ini merupakan kesimpulan ibn Sinā.
252 Pemilahan antara jism dan badan adalah bahwa dalam kasus terdahulu, jism adalah substansi material yang memiliki
sifat-dasar tiga dimensi yang mampu dibagi tanpa kehilangan identitasnya sebagai tubuh; dan dalam kasus kemudian,
yang juga ditunjuk sebagai jasad, hal tersebut merupakan tubuh yang memiliki anggota lengkap yang tidak mampu
dibagi tanpa kehilangan identitasnya sebagai sebuah keseluruhan. Yang terdahulu menunjuk pada genus kuantitas,
sedangkan yang kemudian menunjuk pada tubuh dalam genus hewan.
253 Lihat lebih lanjut, Kashshāf, II, art. Al-haqīqah, hlm. 331-332.
156 Prolegomena
nampak dari dua kata ganti personal (damīrān): huwa huwa (hal itu adalah hal itu), yang masing-
masing dari keduanya menunjukkan penyebab akan eksistensi dan penyebab akan kuiditas, yang
keduanya menyusun penyebab akan suatu hal.
Baik eksistensi dan kuiditas menunjuk kepada suatu maujud yang satu dan sama, kepada
keberadaannya yang aktual dan kepada sifat-dasarnya yang esensial. Penyebab akan suatu hal
adalah yang padanya suatu hal itu tergantung dari menjadi-suatu-hal. Hal ini merupakan dua
pembagian logis: (1) yang dengannya kuiditas itu, sebagaimana dari sebuah kombinasi bagian-
bagiannya, disusun, dan hal ini merupakan penyebab dari kuiditas; (2) yang padanya kuiditas itu,
yang disusun dengan bagian-bagiannya, tergantung untuk kualifikasinya oleh eksistensi
eksternal, dan ini adalah penyebab akan eksistensi.254 Sejauh eksistensi mental yang diperhatikan,
penyebab kuiditas adalah genus (jins) dan perbedaan spesifik (fasl), dan sejauh eksistensi eksternal
yang diperhatikan, penyebab kuiditas adalah materi (māddah) dan bentuk (sūrah), darimana
diturunkan penyebab material (al-‘illay al-māddiyah) dan penyebab formal (al-‘illah al-sūrriyah).
Pada penyebab eksistensi, mereka adalah agen aktif (al-fā’il), tujuan final (al-ghāyah), dan lapisan-
dasar (al-mawdū’); yang pertama dari dua menunjuk pada penyebab efisien (al-‘illah al-fā’iliyyah)
dan penyebab final (al-‘illah al-ghā’iyyah) berturut-turut.255 Penyebab akan suatu hal sebagaimana
diuraikan pada halaman 227 dapat diilustrasikan sebagai berikut:
254 Lihat Al-Tā’rifat, hlm. 160, di bawah judul al-shay’.
255 Lihat Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, vol. I, hlm. 154-155; juga Metaphysica, tr. P. Morewedge, New York, 1973, bab
15, hlm. 41-44; juga bab 20, hlm. 50-53. materi (māddah) adalah lapisan-dasar atau wadah yang eksistensinya
diaktualisasikan dengan menerima sebuah substansi seperti bentuk (sūrah). Yang kemudian merupakan aspek
substansial dari sebuah entitas dan esensinya. Penyebab material merupakan unsur penyusun (contohnya kayu) dari
sebuah entitas (contohnya bangku) yang memiliki potensialitas untuk menerima bentuk (contohnya bentuk) entitas
tersebut. Penyebab formal merupakan apa yang mewujudkan substansi dan membuatnya lengkap, sebagaimana
diilustrasikan dengan bentuk kursi yang diatribusikan kepada kayu (Metaphysisca, hlm. 41). Penyebab efisien
merupakan inisiator tindakan yang memimpin pada perwujudan sebuah entitas, sebagaimana diilustrasikan dengan
pembangun yang membangun sebuah rumah. Jika bentuk atau tujuan final dari rumah tidak diimpikan oleh
pembangun, dia tidak dapat menjadi pembangun rumah, bentuk rumah tidak akan terwujud, dan rumah tidak akan
dibuat dari pelbagai unsurnya (Metaphysica, hlm. 42). Lihat lebih lanjut Mawāqif (2nd mawqif; 5th marsad dan 1st
maqsid), hlm. 85; untuk seluruh bagian tentang sebab dan akibat, lihat hlm. 85-85; Kashshāf, IV, hlm. 1039-1040.
penyebab dari suatu hal sebagaimana diuraikan di atas menunjuk pada penyebab yang langsung atau yang terdekat
(qarībah), bukan penyebab yang tidak langsung atau tidak pokok (ba’īdah). Untuk sebuah diskusi dan penjelasan
problem akan dua kata benda personal, lihat superkomentar pada karya al-Taftāzānī Sharh al-’Aqā’id oleh Ibrahim al-
Isfarā’inī dan al-Khayāli, ibid. Hlm. 16-17. data yang dipoles oleh al-Isfarā’inī dan al-Khayali pada wacana ini juga
digunakan oleh al-Tahānawī adalah karyanya Kashshāf, II, hlm. 331-333 di bawa judul al-haqīqah.
157 Prolegomena
Agen Tujuan Lapisan-Dasar Materi Bentuk
Aktif akhir
Eksistensi Kuiditas
Genus Diferensia
Mental
hal
A = Agen Aktif Q = Quiddity (Kuiditas) M = Materi
P = Tujuan Final F = Form (Bentuk)
Uraian di atas menampilkan struktur konseptual dari hal yang aktual pada tingkatan
inteleksi (al-ta’aqqul). Pada tingkatan ini, penyebab akan suatu hal, sebagaimana ditunjukkan
dengan bā’ dari sebab, meniscayakan sebuah dualitas (ithnayniyyah) kuiditas dan eksistensi.
Namun, pada tingkatan eksistensi aktual, terdapat hanya satu hal konkret dan identik, yang
menjadi campuran kuiditas dan eksistensi ketika dualitas pada tingkatan konseptual
diproyeksikan kepadanya. Dalam definisi: mā bihi al-shay’ huwa huwa: ‘yang dengannya suatu hal
adalah hal tersebut apa adanya’, atau ‘yang dengannya hal itu adalah hal itu’, dua kataganti
personal (huwa huwa: hal itu adalah hal itu) menunjuk, pada kasus pertama, pada sebuah entitas
yang karenanya hal tersebut adalah hal itu (al-amr al-ladhī bi sababihi al-shay’ dhālika al-shay’), dan
dalam kasus kedua, pada sebuah entitas yang karenanya hal tersebut adalah entitas itu (al-amr al-
ladhī bi sababihi al-shay’ huwa dhālika al-amr);256 pada wujudnya sendiri pada kasus pertama, dan
pada wujudnya yang diaktualisasikan pada kasus kedua. Beingnya yang diaktualisasikan
menunjuk kepada eksistensinya, yang umum bagi semua maujud lain; beingnya sendiri menunjuk
pada kuiditasnya, yang membedakannya dari maujud lain. Menurut al-Khayāli, salah satu
kataganti menunjuk kembali pada kataganti relatif (al-mawsūl),257 dan al-Tahānawī
mengidentifikasi kataganti itu sebagai salah satu dalam kasus kedua di atas,258 yang menunjuk
kepada eksistensi dan yang, karena kataganti tersebut menunjuk sesuatu yang sama (al-shay’),
256 Kashshāf, II, hlm. 331.
257 Yakni, pada apa yang ditandai dengan kata mā (yang), pada huruf hā dari bihi (yang tersebut dari yang dengannya)
adalah diikat dalam makna Sharh al-’Aqā’id, hlm. 16.
258 Kashshāf, II, hlm. 332.
158 Prolegomena
dipertimbangkan sebagai tambahan (zā’id)259 pada apa yang didefinisikan, sehingga hal itu akan
cukup untuk menguraikan definisi tanpa, seperti mā bihi al-shay’ huwa,260 berarti mā bihi al-shay’
huwa al-shay’;261 ‘yang dengannya hal tersebut adalah hal itu’. Terlihat berdasarkan perspektif ini
dualitas kuiditas dan eksistensi itu terselesaikan, dalam hal itu hal tersebut tidak sungguh-
sungguh benar; hal itu hanya nampaknya demikian atas anggapan pikiran.
Tapi permasalahannya tidak semudah sebagaimana diselesaikan dengan hanya berdalih
dengan kata-kata. Jika itu hanya masalah logika, maka mungkin solusi kepada problem dualitas
dalam rumusan definisi di atas itu absah sejauh menyentuh pada sebuah perbaikan terhadap
definisi tersebut yang sejalan dengan posisi yang diambil — posisi yang diambil bahwa kuiditas
merupakan realitas yang dikualifikasi oleh sebuah entitas konseptual yang disebut eksistensi.
Eksistensi dan kuiditas adalah dua entitas berbeda, apakah dipertimbangkan secara logis atau
ontologis,262 namun mereka menunjuk pada suatu maujud tunggal dan aktual pada waktu yang
bersamaan. Fakta bahwa kedua hal tersebut, sebagai predikat, dapat disifatkan pada hal yang satu
dan sama merupakan bukti yang cukup jelas bahwa hal itu sendiri memiliki dua aspek yang
berhubungan kepada mereka, hanya satu darinya berlaku makna ‘realitas’. Karena tidaklah
mungkin bahwa mereka berdua nyata pada waktu yang sama, karena jika mereka demikian maka
hal tersebut akan kehilangan kesatuan dan identitasnya sebagai hal yang tunggal dan akan
menjadi dua hal yang berbeda; maupun mungkin bahwa mereka berdua tidak nyata pada waktu
sama, karena jika hal itu kasusnya hal itu akan kehilangan realitasnya secara keseluruhan. Apakah
salah satu dari mereka, eksistensi atau kuiditas, merupakan hal itu sendiri; dan kondisi demikian,
apakah salah satu dari mereka harus menjadi tambahan (zā’id) bagi yang lain, yakni, apakah salah
satu dari mereka menjadi sesuatu yang ditambahkan sebagaimana ditafsirkan pikiran, yang tidak
memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal; sebuah intelijibel sekunder. Sedangkan
sesuatu dimana berlaku makna ‘realitas’ akan menjadi sesuatu yang memiliki realitas yang
berhubungan, atau objek aktual, di dunia eksternal, seperti apa yang diistilahkan sebagai
intelijibel primer.
Kini untuk segala hal terdapat sebuah realitas yang dengannya hal tersebut adalah hal
tersebut apa adanya, dan realitas ini membangun bagi hal tersebut menjadi-sesuatunya dan pada
waktu yang bersamaan perbedaan esensialnya yang membedakannya dari apa yang bukan itu.
Realitas dalam pengertian ini identik dengan esensi. Ketika kita berbicara tentang ‘esensi’ suatu
hal, kita tidak hanya bermaksud menunjuk pada kuiditasnya sebab kuiditas itu sendiri adalah,
seperti telah kita tunjukkan, ambigu yang dapat berarti menunjuk baik pada entitas logis atau
ontologis. Lebih lanjut, ambiguitas ini telah mengarahkan kepada problem umum kebingungan
dalam pemahaman makna esensi dan hubungannya dengan eksistensi, karena kuiditas logis
secara umum telah dibingungkan dengan yang ontologis. Akhirnya, kuiditas, dengan inti sifat-
dasarnya, hanya dapat menjadi prinsip perbedaan pada hal-hal, sedangkan realitas yang kita
tandai sebagai esensi, kendati beingnya juga prinsip perbedaan dalam hal-hal pada waktu yang
bersamaan sebagai prinsip identitas dalam ke-hal-an (thingness) dari hal-hal. Karena esensi,
dengan maksud menunjuk suatu hal yang nyata dan bukan hanya mental yang tidak memiliki
realitas yang berhubungan di dunia eksternal, harus menunjuk apa yang membuat suatu hal
sebagai entitas individual yang memiliki identitasnya sendiri yang berbeda dari hal-hal lain yang
259 Lihat baik al-Isfarā’inī dan al-Khayaīi dalam Sharh al-’Aqā’id, hlm. 16.
260 Kashsaf; II, hlm. 333; dan V, hlm. 1313.
261 Ibid., V, hlm. 1313; Sharh al-’Aqā’id, hlm. 16.
262 Hal ini sependapat dengan posisi yang diambil teolog, Sūfī dan filsuf, dengan pengecualian Ash’ariyyah, yang
memegang bahwa kuiditas dan eksistensi itu tidak terbedakan, dan bahwa dualitas kuiditas dan eksistensi hanya urusan
mental. Lihat karya saya Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Dīn al-Rānīrī, Kuala Lumpur, 1986, hlm.
303-305, 340-341.
159 Prolegomena
serupa, sebagaimana juga sebagai apa yang menyusun inti substansi entitas itu, hal itu pasti hanya
menyentuh pada kuiditas dalam pengertian ontologis. Hal itu pasti dilahirkan dalam pikiran
bahwa pembagian kuiditas dan eksistensi adalah sebuah perkara mental; bahwa dalam dunia
eksteramental tidak muncul pembagian semacam itu karena terdapat kuiditas dan eksistensi yang
bersama menunjuk realitas yang satu dan sama. Dalam hal ini kita tidak pada faktanya
mengatakan bahwa kuiditas dan eksistensi adalah sungguh identik, dan bahwa hanya pikiranlah
yang menganggap mereka sebagai dua entitas berbeda. Kita mempertahankan bahwa kuiditas
dan eksistensi, apakah dalam pikiran atau secara eksternal, adalah sungguh dua entitas berbeda,
tetapi kuiditas ontologis itu, tidak seperti kuiditas logis, tidak dilawankan dengan eksistensi sebab
inti substansinya adalah eksistensi, dan bukan hal mental yang tidak memiliki realitas yang
berhubungan dalam dunia eksternal. Eksistensi adalah umum bagi semua dalam pengertian
umum dalam cara yang tidak berlaku pada kuiditas. Karena kuiditas itu umum hanya dalam
pengertian bahwa segala hal memiliki kuiditas yang tidaklah umum pada setiap hal lain. Dengan
demikian kuiditas itu umum bagi segala hal dalam pengertian partikular. Hal ini berlaku baik
kuiditas logis dan ontologis. Karena, bagaimanapun, kuiditas ontologis itu secara esensial dari
sifat-dasar eksistensi dalam hal tertentu, keumumannya bagi segala hal mengandung pengertian
umum juga dalam cara yang dimana tidak demikian bagi kuiditas logis. Kuiditas dalam
pengertian umum ini adalah apa yang kita maksud dengan esensi.
Posisi kita bahwa eksistensilah, dan bukan kuiditas, yang merupakan realitas yang
dikualifikasikan oleh entitas konseptual yang disebut kuiditas.263 Problem dasar yang
menghadang mereka yang percaya kepada realitas mendasar dari kuiditas sebagaimana
dilawankan kepada eksistensi adalah bahwa jika kuiditas itu nyata secara mendasar dan
eksistensi hanya bagiannya yang disulap pikiran, sebagaimana dikatakan, maka ini berarti bahwa
kuiditas entah bagaimana ada sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi — yang sedikit banyak
merupakan kesimpulan yang absurd. Namun, mereka mungkin keberatan dengan hal ini dengan
mengatakan bahwa jika kualifikasi dengan eksistensi adalah sesuatu yang terjadi dalam pikiran,
maka berarti multiplisitas maujud itu juga hanya dalam pikiran, tetapi being-dalam-eksistensi dari
maujud partikular tidaklah dalam pikiran. Dalam pengertian ini kuiditas tidak sungguh
dikualifikasikan oleh eksistensi. Dalam argumen ini, apa yang mereka tegaskan itu bahwa
eksistensi tidak ada dalam realitas. Kepada hal ini kita menjawab bahwa kesimpulan demikian
tidak menyelesaikan problem tentang kuiditas yang ada sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi
ketika kita memaksudkan dengan eksistensi bukan hanya sesuatu yang konseptual dalam alam,
tetapi juga sesuatu yang ada sebagai entitas nyata dan independen dari pikiran. Karenanya kita
katakan bahwa eksistensi pasti ada dalam realitas, karena jika eksistensi tidak ada dalam realitas
maka tidak akan ada apapun sama sekali. Dalam silogisme ini telah didemonstrasikan bahwa
karena konsekuensinya (bahwa tidak ada apapun sama sekali) itu salah, berarti yang
mendahuluinya (bahwa eksistensi tidak ada dalam realitas) itu juga salah. Lebih lanjut, posisi
mereka dalam argumen itu tidak menyelesaikan problem sifat-dasar esensial dari kuiditas, jika
kuiditas merupakan sesuatu yang lain dari eksistensi — dalam hal tertentu. Di sisi lain, karena
posisi kita itu bahwa eksistensi merupakan realitas mendasar dan bahwa kuiditas-kuiditas sejati
pada kenyataannya merupakan modus-modus eksistensi, maka problem kuiditas yang ada
sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi tidak muncul, karena kuiditas-kuiditas sebagai modus-
modus eksistensi dapat ada dalam kondisi interior dari Being sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi
eksternal.
Bahwa eksistensi dan kuiditas itu terpilah satu sama lain dalam pikiran sudah cukup jelas,
tetapi pada tingkatan realitas eksternal pertama kali akan nampak seolah-olah kita
263 Yakni, kuiditas dalam pengertian partikular dan logis.
160 Prolegomena
mengidentifikasi eksistensi dengan kuiditas karena kita mengatakan bahwa kuiditas dalam
pengertian logis dan partikular itu dalam dirinya sendiri sungguh bukan apapun selain sebuah
entitas konseptual, dan dalam pengertian umum dan ontologis kuiditas itu hanya sebuah
pembatasan terhadap eksistensi. Oleh karena itu, kuiditas pada kenyataannya merupakan
eksistensi sebagaimana menentukan dirinya sendiri menjadi sebuah modus partikular, yang
batasannya diinterpretasikan pikiran sebagai kuiditas. Tapi kenampakan identifikasi eksistensi
dengan kuiditas bukanlah kasus yang sesungguhnya, karena meskipun apa yang pikiran
‘ontologisasi’ sebagai kuiditas pada kenyataannya hanya sebuah modus, sebuah eksistensi yang
ditentukan atau terbatas, tidak berarti eksistensi yang ditentukan atau dibatasi ini identik dengan
eksistensi sebagaimana dalam aspek yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi. Dengan demikian
apa diterima pikiran sebagai kuiditas pada kenyataannya itu sebuah penentuan batas dan sebuah
prinsip diferensisasi dari eksistensi sebagaimana eksistensi membentangkan dirinya sendiri dalam
pergerakan eksistensial; menciptakan penentuan batas sedemikian terhadap realitas-realitas yang
majemuk dan anekaragam dari dunia eksternal. Menurut perspektif ini, sama halnya pada
tingkatan konseptual demikian juga pada tingkatan realitas eksternal eksistensi dan kuiditas
tidaklah identik.264
Esensi (dhāt) suatu hal adalah sebagai-maujud (mawjūd) dari entitas (‘ayn) yang merupakan
individualitasnya (huwiyyah), kuiditasnya (māhiyyah’), atau inti diri (nafs) suatu hal; dan istilah
tersebut dalam kombinasi makna mereka secara keseluruhan menyusun realitas (haqīqah) suatu
hal. Definisi kita tentang esensi sebagaimana dirumuskan di atas mengandung dua unsur yang
berbeda: yang satu menunjuk pada bahan primer dari mana hal-hal dibuat, sebagaimana
ditunjukkan dengan referensi kita kepada ‘sebagai-maujud’ dan bahan dasar ini adalah eksistensi
(wujūd); yang lain menunjuk kepada yang membuat hal-hal menjadi berbeda satu sama lain, atau
kepada diferensia mereka,265 yakni kuiditas. Dengan demikian, pemahaman kita terhadap makna
esensi berdasarkan definisi ini bahwa esensi itu lebih umum dalam pertentangan dengan kuiditas.
Hal tersebut termasuk bukan hanya perbedaan, tetapi substansi suatu hal; sedangkan kuiditas
menunjuk hanya perbedaan tersebut. Maka esensi adalah eksistensi ditambah kuiditas. Sebab dari
unsur eksistensi yang hadir dalam definisi kita tentang esensi, esensi termasuk aspek permanen
dari being yang bertentangan terhadap aspek yang berubah, binasa, fenomenal yang tidak
termasuk permanensi.
Sebagai-maujud (mawjūd) akan hal-hal dapat dipahami dalam dua pengertian yang
berbeda:
1. sebagai eksterior (zāhir), yakni, yang bersifat ekstrinsik kepada eksistensi, dalam kasus
dimana hal tersebut menunjuk kepada hal-hal dunia eksternal dari indera dan pengalaman
inderawi, dunia hal-hal empiris. Meski demikian, pengertian dimana sebagai-maujud
dimaksud di sini bukanlah hanya eksistensi konkret dasar, fisik, dan statis, tetapi juga
sudah menyebut kepada suatu yang relasional, metafisis, dan dinamis dari pergerakan
eksistensial (mawjūdiyyah) yang mendasarinya, yang menciptakan dari dirinya sendiri hal-
hal yang menyusun dunia pembinasaan dan pembaharuan yang sinambung; sebuah dunia
yang ketika dilihat pada dirinya sendiri sebagai dunia adalah sesuatu yang imajiner, karena
sebagai dirinya sendiri dunia tersebut binasa secara sinambung dan oleh karena itu tidak
ada kecuali dalam imajinasi sensitif; dan namun ketika dipandang sebagai sesuatu yang
264 Lihat lebih lanjut, The Metaphysics of Sabzawārī, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mehdi Mohaghegh dan
Toshihiko Izutsu, New York, 1977. Mullā Hādī Sabzawārī merupakan komentator besar akan Mullā Sadrā. Mungkin
tulisan terbaik dan paling analitis dari metafisika Islām yang muncul dalam bahasa Inggris dalam perkiraan kita adalah
tulisan mendalam dari Professor. T. Izutsu, secara khusus karya The Concept and Realitas in Existence, Tokyo, 1971.
Lihat juga karya saya Commentary pada Hujjah, hlm. 336 fol. Dan referensi dalam catatan 479-485, hlm. 336-338.
265 Dengan ‘diferensia’ kita memaksudkan bukan diferensia logis, tetapi prinsip ontologis perbedaan pada hal-hal.
161 Prolegomena
tergantung pada Sumber Metafisis yang mendasarinya, yang dimanifestasikan dengannya
dan yang secara sinambung memperbaharuinya, dunia tersebut nyata. Dengan demikian
sebagai-maujud menunjuk bukan hanya kepada hal-hal maujud yang membuat
kemajemukan dan keanekaragaman dunia indera dan pengalaman inderawi, tetapi juga
kepada pembaharuan sinambung terhadap mereka oleh aliran penciptaan dinamis dan
yang mendasari dari Eksistensi yang menghasilkan maujud hal tersebut;
2. sebagai interior (bātin) yakni, yang bersifat intrinsik kepada eksistensi, dalam kasus
dimana hal tersebut menunjuk kepada prinsip permanen, transenden, dan dinamis yang
mendasari (1) di atas, yang dirinya sendiri memiliki dua aspek: (i), sebagai tindakan dan
(ii), sebagai modus; dan hal ini menunjuk kepada Sumber metafisis yang telah kita
identifikasi sebagai Realitas-Kebenaran (al-haqq).
Kita telah secara berulang menunjuk bahwa Realitas-Kebenaran adalah Aspek (wajh)
Tuhan yang tetap (yabqa, cth. baqā’) setelah kebinasaan (fanā’) hal-hal ciptaan. Realitas-Kebenaran
juga merupakan Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlaq). Istilah ‘absolut’ (mutlaq), dalam maksud
kita, menunjuk kepada kondisi indeterminasi murni. Hal tersebut tidak menunjuk kepada sebuah
konsep, tetapi kepada sebuah realitas. Sebuah derajat yang lebih tinggi dari kondisi indeterminasi
murni ini adalah Tuhan, yang bukan dalam samaran partikular dari Aspek-Nya, tetapi sebagai
Dia dalam diri-Nya sendiri yang merupakan Esensi-Nya; dan derajat ini menunjuk kepada
kondisi being yang pada kenyataannya itu transenden bahkan dari dikualifikasikan dengan
keabsolutan (itlāq), karena kualifikasi sedemikian itu pada faktanya sudah kondisi yang
membatasi eksistensi pada determinasi partikular sebagai sebuah entitas (cth. ta’ayyun), dan
merupakan sebuah keterbatasan (taqyīd) di antara kondisi pembatasan yang dipostulatkan
(i’tibārī) secara mental dalam pelbagai derajat eksistensi intelijibel dan inderawi. Dengan kata lain,
aspek dari Tuhan sebagai Eksistensi Absolut adalah seperti aspek pertama kuiditas yang
disebutkan sebelumnya (bi shart lā shay’), kadang-kadang juga disebut oleh ibn Sinā sebuah ‘alam
universal’ (al-kullī al-tabī’ī),266 hanya hal itu bukan sesuatu yang bersifat mental tetapi nyata, bukan
sesuatu yang statis tetapi dinamis. Indeterminasi absolut yang kita maksud tidak dapat dipahami
sebagai kondisi being yang statis — tentu saja, tidak ada kondisi statis dari being — karena sifat-
dasar Tuhan, Yang esensi dan eksistensi-Nya itu identik, adalah dinamis; Dia “selalu dalam
tindakan” (Al-Rahmān (55): 29), “tidak tersentuh oleh kelelahan maupun tidur” (Al-Baqarah (2):
255). Aktifitas dinamis ini digambarkan dengan analogi, seperti ‘bernapas ke luar’ dan ‘bernapas
ke dalam’ yang menunjuk kepada artikulasi kata penciptaan dari Tuhan, dalam pengertian
ekspansi (bast) dan kontraksi (qabd); ekspansi tersebut mengungkapkan tindakan membawa
266 Alam universal didefinisikan sebagai sebuah pengertian dalam abstraksi murninya, tidak dikondisikan dengan
dihubungkan sama sekali dengan apapun. Oleh karena itu tidak dipahami sebagai maujud maupun nonmaujud, maupun
universal maupun partikular, sebagaimana hal tersebut menyiratkan beberapa jenis hubungan. Kuiditaslah sebagaimana
pada dirinya sendiri (min hayt hiya hiya), yakni, qua sifat-dasar (tabī’ah) dan dikondisikan oleh ketidakberhubungan
dengan apapun (bi shart lā shay’). Lihat karya al-Jurjānī, Al-Tā’rifat, Cairo, 1357 A.H., hlm. 205, di bawah judul
māhiyyah’ al-shay’. Gagasan sifat-dasar universal pertama kali dirumuskan oleh ibn Sinā yang menunjuk kepada satu
dari tiga aspek dari kuiditas (lihat di atas, hlm. 219-220). Metafisikawan dan komentator dari ibn ‘Arabī, seperti Sadr
al-Dīn al-Qūnyawi, Dāwūd al-Qaysarī, ‘Abd al-Razzāq al-Kāshānī dan Nūr al-Dīn al-Jāmī menggunakan konsepsi ibn
Sinā tentang tiga aspek kuiditas, tetapi lebih diaplikasikan kepada eksistensi daripada kuiditas. Namun, mereka lebih
lanjut mengafirmasi bahwa sejauh eksistensi yang diperhatikan terdapat aspek lain yang lebih dahulu terhadap aspek
pertama kuiditas yang tidak dikondisikan oleh kondisi apapun (cth. lā bi shart) dan aspek ini dari eksistensi menyentuh
kepada Being Wajib yang esensinya sekaligus identik dengan eksistensi-Nya (lihat karya al-Kashani, Sharh al-Fusūs,
hlm. 4). Dengan demikian bagi metafisikawan Sūfī terdapat empat aspek dari eksistensi, yang pertama tidak
dikondisikan dengan kondisi apapun, yang mereka identifikasi sebagai Esensi Ilahiyyah dalam aspek swa-
penyembunyian-Nya. Aspek ini akibatnya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diri-Nya sendiri. Lihat
di bawah, hlm. 260, skema penurunan ontologis dari Being Absolut, dan catatan 287.
162 Prolegomena
menjadi eksistensi, kontraksi mengungkapkan tindakan pengembalian kepada non-eksistensi.
Aktifitas penciptaan ini merupakan sebuah proses abadi, meskipun isi dari proses tersebut itu
non-abadi. Ketika kita mempertimbangkan isi dari proses tersebut pada tingkatan inteleksi,
perkembangan mereka dari non-eksistensi ke eksistensi (dan kembali pada non-eksistensi)
digambarkan dalam istilah ‘penurunan’ (tanazzul) yang Absolut dari derajat non-determinasi
kepada determinasi, partikularisasi, dan individuasi.
Sebagaimana hal itu ‘turun’ dari keabsolutannya kepada alam kontingen, eksistensi itu
menentukan, memodifikasi dan mempartikularisasi dirinya sendiri menjadi entitas terpisah yang
menampilkan tontonan bentuk-bentuk yang sangat banyak dan terbagi yang menyusun dunia
bersama semua bagiannya, dan merupakan, seperti, sebuah penghalang (hijāb) kepada dirinya
sendiri. Hal Itu merupakan sebuah penghalang kepada dirinya sendiri tepatnya karena hal itu
menampilkan kepada kognisi dan kemauan kita dalam samaran pembatasan majemuk dan
terbagi akan dirinya sendiri, yang secara alamiah kita terima dan pahami sebagai objek swa-
berada yang terpisah, dan yang pikiran kita ‘mengontologisasi’nya sebagai kuiditas. Kuiditas-
kuiditas, pada sifat-dasar nyata mereka yang independen dari pikiran, pada faktanya merupakan
pembatasan dan modus intrinsik dari inti tindakan eksistensi; dan karena kognisi dan kemauan
kita dalam alam hanya beroperasi kepada pembatasan dan modus tindakan eksistensi, eksistensi
itu sendiri qua eksistensi, menjadi utuh dihalangi oleh mereka, yang selamanya berkelit dari
pegangan rasional dan intelektual kita. Determinasi, modifikasi, partikularisasi dan individuasi
eksistensi menggambarkan sebuah pergerakan yang tidak sinambung dalam keberadaannya,
meskipun pergerakan eksistensi itu sendiri adalah sinambung. Karena eksistensi selalu dalam
tindakan, yang mengeksistensiasi batas dan modus intrinsiknya, lalu membinasakan dan
menggantikan mereka dengan yang baru namun dalam bentuk serupa yang tidak pernah nampak
untuk dua durasi yang bertalian dalam samaran yang sama, tetapi secara sinambung
mengaktualisiasi potensialitas eksistensial yang inheren di dalamnya berdasarkan bentuk yang
dibentangkan dari kondisi masa depan mereka. Kuiditas-kuiditas dalam sifat-dasar sejati mereka
yang independen dari pikiran, yang merupakan batasan intrinsik dan modus-modus dari
tindakan eksistensi yang nampak pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi, oleh karena
itu tidak sinambung dalam eksistensi mereka, karena mereka tidak bertahan dalam dua durasi.
Maka kuiditas-kuiditas pada kenyataannya, dan dalam istilah Categories, merupakan ‘aksiden’
yang mengualifikasi eksistensi; dan karena mereka tidak, sebagai aksiden, bertahan dua saat dari
waktu, maka hal-hal dunia empiris yang mereka susun itu ada dalam kondisi kebinasaan
ontologis (fana’) yang abadi. Pada saat ketika dunia bersama seluruh bagiannya dibinasakan,
dunia lain yang serupa dengannya mengambil tempatnya; dan dunia tersebut menderita nasib
yang sama, dan begitu terus secara berulang dengan cara ini secara terus menerus. Hal ini
merupakan penciptaan yang abadi. Dari waktu ke waktu sebuah dunia baru, sebuah ciptaan baru
(khalq jadīd) muncul; dan karena proses sinambung yang terlibat tersebut, dan ketidakmampuan
kita untuk menembus keindahan penghalang di hadapan kita, lalu kita dibimbing imajinasi dan
estimasi untuk percaya kepada dunia hal-hal yang satu dan sama yang terpisah, individual dan
partikular dalam multiplisitas dan keanekaragaman mereka yang bertahan dalam eksistensi.
Dengan demikian apa yang sungguh nampak kepada penglihatan kita bukan dunia sebagai saat-
dari-dirinya-sendiri (moments-of-itself), sebagaimana berkelit dalam penglihatan kita, meskipun
merupakan rangkaian dunia yang serupa diikuti secara cepat satu sama lain yang memberi
kepada persepsi dan imajinasi kita sebuah penglihatan akan dunia yang mengambil sebuah
kesamaan akan ketunggalan dan kesamaan dan kesinambungan dalam eksistensi.
163 Prolegomena
Tapi terdapat aspek lain dari dunia yang mengambil bagian dari realitas, dan ini
merupakan aspek dunia qua modus eksistensi, yang pada masing-masing saat-pada-dirinya
memiliki eksistensi nyata sebab inti substansinya adalah eksistensi.
Eksistensi Absolut itu, seperti kita telah gambarkan sebelumnya, secara abadi terlibat
dalam pergerakan eksistensial yang dinamis, dari ekspansi; sebuah pengungkapan yang meliputi
melingkup semuanya akan perkembangan ontologis dari yang kurang ditentukan kepada yang
lebih ditentukan, yang membatasi diri-Nya tanpa mengurangi keesaan esensial-Nya, dalam
bentuk artikulasi dalaman-Nya sendiri yang nampak sebagai partikularisasi dan individuasi
majemuk dan aneka ragam pada tingkatan eksistensi partikular. Penampakan mereka dengan
being itu simultan dengan ketidaknampakan mereka dengan non-being, dan ketidaknampakan
mereka itu simultan dengan penampakan baru yang lain seperti dia. Penampakan dan
ketidaknampakan mereka dan pergantian simultan mereka oleh yang lain dan baru seperti
mereka menggambarkan proses perkembangan penciptaan eksistensial yang sinambung dan
abadi dari Eksistensi Absolut yang disebut ‘ekspansi eksistensi’ (inbisāt al-wujūd), dimana dari
perspektif lain tidak lain merupakan proses abadi akan penciptaan baru (al-khalq al-jadīd).267
Maka, pada tingkatan eksistensi partikular, realitas adalah ‘yang dengannya hal tersebut
adalah hal tersebut apa adanya (mā bihi al-shay’ huwa huwa). Kini suatu ‘hal’ pada tingkatan ini,
dan berdasarkan pada perspektif penciptaan baru, hanya nampak sebagai hal yang satu dan sama
sepanjang waktu keberadaannya, tetapi pada kenyataannya ‘hal’ tersebut merupakan setiap saat-
itu-sendiri bukan hal yang satu dan sama dengan ‘hal’ yang nampak mengambil tempatnya pada
waktu selanjutnya dari eksistensi. Dari waktu ke waktu tidak ada hal yang satu dan sama yang
nampak dan tidak nampak dan nampak lagi; dari waktu ke waktu terdapat dua hal yang berbeda,
tetapi karena penampakan mereka yang bertalian dan cepat dalam bentuk serupa, dan
ketidaksadaran kita tentang situasi yang sebenarnya, mereka diimajinasikan dan dipikirkan sebagai
hal yang satu dan sama. Namun, kendati suatu hal pada kenyataannya sebagai banyak hal yang
berbeda, hal tersebut terus mempertahankan dan memelihara dari kehilangan akan kesatuan dan
identitas asalinya. Kebenarannya adalah bahwa kesinambungan suatu hal dalam kesatuan dan
identitas asalinya itu berkaitan bukan pada dirinya sendiri — melihat bahwa pada dirinya sendiri
sedemikian secara tidak terbatas yang tidak berlangsung sebentar namun, itu hal yang binasa! —
tetapi adalah berkaitan dengan esensi yang tetap atau arketip permanennya (‘ayn thābiţ).268 Kini
meskipun esensi tersebut juga mengalami proses penampakan dan ketidaknampakan dan
penampakan ulang yang simultan dalam dunia intelijibel dari arketip sedemikian yang terlibat
dalam ketidaksinambungan dalam eksistensinya, yang, namun, muncul lagi selalu dalam bentuk
dan identitas asalinya, sehingga selalu memperoleh kesinambungan dalam eksistensinya (baqā’);
dan bentuk dan identitas asali ini terkandung di dalam dirinya semua kondisi masa depannya,
sehingga pada setiap saat dari rehabilitasinya, sebuah bentuk potensial yang inheren di dalamnya
267 Meskipun pada saat sangat awal teolog As’ariyyah telah merumuskan metafisika mereka tentang atom dan aksiden
untuk menjelaskan sifat-dasar alam semesta, teori mereka lebih menyentuh kepada pembaharuan aksiden, dan bukan
pada substansi. Ibn ‘Arabīlah yang merumuskan teori proses abadi penciptaan baru yang berdasarkan sumber Qur’ān
(lihat contohnya Fusūs, hlm. 125-126). Ungkapan Qur’ān khalq jadīd, cth. ‘penciptaan baru’, ditemukan dalam sūrah
Qāf (50): 15.
268 Kata ‘ayn memiliki banyak makna. Beberapa leksikografer mengatakan lebih dari seratus. Qur’ān Suci menyebutkan
tujuh belas. Dalam konteks yang kita diskusikan, ‘ayn itu berarti ‘sumber asli’, ‘individuasi’ akan suatu hal, ‘corak
yang membedakan’ dari sebuah ‘entitas’, ‘inti esensi’, ‘diri’, dan ‘sifat-dasar terdalam’ dari suatu hal. Thābiţ menunjuk
pada sesuatu ‘yang tetap secara teguh, ‘tidak dapat digerakkan’, atau ‘dapat dipindahkan’ dari posisinya, ‘mapan’,
‘diamankan secara permanen’. Dalam pengertian yang kita memaksudkan ‘ayn thābiţ mengandung makna serupa
kepada ‘esensi yang tetap’, atau ‘arketip permanen’. Pada ‘arketip’ (dari bahasa Yunani archē + typon), hal tersebut
menunjuk pada filsuf Yunani awal pada ‘yang merupakan ada pada permulaan’, pada ‘prinsip pertama’; selanjutnya hal
itu menjadi menunjuk pada ‘substansi’ atau pada ‘unsur dasar’; dan pada Aristoteles dalam ‘prinsip penaktualisasi’ atau
‘sebab’. Dalam pengertian umum hal itu berarti model asali dari mana hal-hal itu dibuat.
164 Prolegomena
itu, dan akibat pada bentuk yang mendahuluinya, diaktualisasikan. Dengan demikian, apapun
yang mungkin dimiliki potensialitas inheren (isti’dādāt) yang diaktualisasikan dalam dunia indera
dan pengalaman inderawi dalam samaran banyak hal-hal yang berbeda, hal tersebut selalu
memelihara kesatuan dan menjaga identitasnya sebagai hal yang satu dan sama. Inilah mengapa
esensi dalam kondisi arketip merupakan sebuah entitas teguh dan permanen, sesuatu yang tetap
dalam identitas asalinya. ‘Yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’ hanya dapat
menunjuk pada sesuatu yang asli dalam identitasnya, sesuatu yang permanen di tengah-tengah
perubahan dan, hal ini yakni, yang merupakan realitas suatu hal, atau kuiditas (māhiyyah) sejatinya
dan benar, adalah arketip permanennya.
Dalam perkataan sebelumnya bahwa esensi adalah kuiditas ditambah eksistensi, maka kita
memaksudkan bahwa kuiditas ini pada kenyataannya adalah eksistensi-dalam-tindakan yang
membatasi dirinya sendiri ke dalam bentuk spesifik. Kini tindakan swa-pembatasan ke dalam
bentuk khusus yang dieksistensiasikan oleh eksistensi ini tidaklah sinambung dalam
keberadaannya, tetapi secara sinambung digantikan oleh yang serupa. Yang serupa adalah akibat
yang cocok yang muncul dari potensialitas yang inheren dalam realitas arketip yang
diaktualisasikan dalam tatanan prioritas yang sistematis, seperti dimana mereka berulang kali
diaktualisasikan dimana mereka menggambarkan pembentangan bertahap dari kondisi masa
depan mereka.
Dari penjelasan yang telah kit buat sedemikian jauh, dua hal menjadi nampak yang
menyentuh kepada sifat-dasar esensi. Pada tingkatan hal-hal empiris, esensi yang kita sebut
kuiditas, meskipun itu nyata namun penampakan durasionalnya, tidak bertahan dua durasi dan
oleh karena itu bersifat aksidental dalam alam. Tapi pada tingkatan-realitas asali dalam alam
arketip, meskipun juga terdapat kuiditas yang kita sebut esensi tetap merupakan sifat-dasar
aksiden dalam hubungan dengan Eksistensi Absolut, namun hal itu secara sinambung
diperbaharui dalam bentuk dan identitas asalinya. Dengan demikian esensi, atau kuiditas
ontologis, memiliki dua aspek yang berhubungan dengan struktur fanā’-baqā’: hal itu di satu pihak
sesuatu yang sementara, dan di pihak lain sesuatu yang permanen. Aspek yang terdahulu
termanifestasikan dan dimanifestasikan oleh yang kemudian. Apa yang menjadi nampak sebagai
perubahan itu muncul dalam durasi antara proses fana’ dan baqā’ dimana realitas tersebut terlibat.
Tentu saja, struktur eksistensial fana’-baqā’ ini meliputi seluruh wilayah realitas dan berhutang
terhadap asal-usulnya pada sifat ganda dari Nama-Nama Ilahiyah.269
Sementara kita mengatakan bahwa eksistensi adalah realitas mendasar yang umum bagi
segala hal, kita mengakui bahwa terdapat aspek perbedaan antara suatu hal dan realitasnya, dan
antara realitas hal-hal di antara mereka sendiri, dan kita juga mengakui bahwa antara mereka dan
seluruh mereka juga terdapat sebuah aspek identitas; karena realitas eksistensi adalah yang hal-
hal berbeda dari satu sama lain, dan pada waktu yang bersamaan realitas eksistensi adalah yang
dengannya mereka disatukan dalam identitas.
Eksistensi sebagai realitas, dan bukan sebagai konsep, seperti telah kita katakan tidaklah
statis, tetapi terlibat dalam proses swa-pembentangan yang dinamis dan abadi. Ketika kita
memandang pembentangan eksistensi dalam modusnya yang banyak dari swa-diversifikasi,
eksistensi menghadirkan dirinya dalam tahapan analogis dengan sebab ekspansinya dari derajat
non-manifestasi dan non-determinasi kepada pelbagai derajat-derajat manifestasi dan determinasi
hingga mencapai derajat indera dan pengalaman inderawi, yakni, dunia hal-hal empiris. Karena
segala hal dalam pelbagai derajat manifestasi dan determinasi dari eksistensi itu bersifat
aksidental kepadanya, segala hal itu selamanya ‘hilang’ ke eksistensi. Melainkan, bahwa yang
hilang ke eksistensi kehilangan dirinya sendiri dalam ‘napas’ eksistensi yang bergantian, yang
269 Fusūs, hlm. 104; 79. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 251 fol.
165 Prolegomena
menyusun ulang dirinya sendiri menjadi yang lain dan serupa namun tidak identik, yang tidak
lain, merupakan modus eksistensi yang serupa. Pengecualian proses rehabilitasi yang abadi dari
yang serupa itu adalah esensi yang tetap atau arketip permanen, yang identitas asalinya secara
abadi disusun ulang; sehingga sementara mereka tidak abadi dalam pengertian bahwa eksistensi
mereka itu tidak sinambung, tetapi karena identitas asali mereka itu selalu diperbaharui mereka
masih secara abadi memperoleh keberadaan, karena sebagai Gagasan dalam pikiran Ilahi mereka
tidak dapat menjadi subjek bagi perubahan. Karena pelbagai derajat manifestasi dan determinasi
yang melaluinya eksistensi mengembang, dan yang tahapan perantara majemuk dari
pengungkapan ontologis yang dialaminya, manifestasinya dalam satu derajat dan pada masing-
masing modus dalam derajat tersebut itu lebih kuat dalam derajat sebelumnya dan lebih lemah
pada yang selanjutnya; hal tersebut itu lebih sempurna dalam derajat sebelumnya dan kurang
sempurna pada yang berikutnya; hal tersebut itu lebih dahulu dalam derajat sebelumnya dan
terbelakang dalam yang berikutnya,270 dan begitu seterusnya dalam tatanan yang menurun.
Multiplisitas maujud yang dihasilkan tidak dalam satu realitas eksistensi, tetapi dalam aspek
majemuk dari penerima eksistensi dalam pelbagai derajat, dimana masing-masing berdasarkan
pada kekuatan atau kelemahannya, kesempurnaan atau ketidaksempurnaannya, dan prioritas
dan posterioritasnya. Dengan demikian multiplisitas maujud tidak mengurangi kesatuan
eksistensi, karena masing-masing maujud adalah sebuah modus eksistensi dan tidak memiliki
status ontologis yang terpisah. Dalam menampilkan dirinya sendiri dalam tahapan analogis
dalam cara yang telah kita usahakan dikandung, maka eksistensi itu juga secara sistematis adalah
ambigu. Gradasi analogis dan ambiguitas yang sistematis ini disebut tashkik.271 Tashkik secara
dasar berarti penyebab keraguan atau kebingungan oleh seseorang atau sesuatu. Dalam kasus
tentang eksistensi di sini, penyebab kebingungan itu berkaitan dengan ambiguitasnya yang
meliputi segala sesuatu secara sistematis; karena eksistensi, dalam aspek majemuknya sebagai
modus yang sangat banyak dari dirinya sendiri, adalah yang dengannya semua hal berbeda dari
satu sama lain; pada waktu yang bersamaan eksistensi, dalam keabsolutannya, adalah juga yang
dengannya semua hal disatukan. Eksistensi merupakan prinsip baik kesatuan dan
keanekaragaman, akan identitas dan perbedaan. Dengan demikian kita lihat di sini, dan dalam
konteks tashkīk, bahwa pemilahan antara konsep dan realitas eksistensi bukan hanya tentang sifat-
dasar statis dari realitas eksistensi sebagaimana dibandingkan dengan sifat-dasar dinamis dari
realitas eksistensi. Terdapat pula perbedaan yang jelas antara eksistensi absolut dan eksistensi
partikular dan ditentukan dalam pengertian kekuatan, kelemahan, dan prioritas dan posterioritas,
yang tidak dapat dibangun dalam kasus eksistensi sebagai sebuah konsep. Lebih lanjut dalam
kasus secara umum eksistensi yang dipahami sebagai konsep, hanya dapat dipahami sebagai
prinsip kesatuan pada hal-hal dan bukan prinsip keanekaragaman. Pemilahan antara konsep dan
realitas eksistensi dapat diskematisasikan dalam diagram berikut:
270 Yang ‘prior’ dan ‘posterior’ dalam sebuah pengertian non-temporal, contoh seperti tangan dan cincin pada jari.
271 Lihat Ta’rīfāt, hlm. 60-61, dimana al-Jurjānī memberi definisi dari tashkīk dalam pengertian prioritas kekuatan,
kesempurnaan dengan referensi pada ambiguitas sistematis dari eksistensi. Akar metafisika eksistensi telah dilacak
kembali pada Qur’ān Suci dan Hadīth. Bentuk dasar dari ungkapan yang berada pada sekolah al-Junayd dari Baghdad.
Mereka menampilkan penglihatan terhadap sifat-dasar realitas sebagaimana mereka pertimbangkan berdasarkan intuisi
akan eksistensi, dari mana teosofi transenden mereka secara bertahap dibangun. Di antara anggota yang tercatat
terdahulu dari Mazhab ini setelah al-Junayd adalah Abū Nasr al-Sarrāj, ‘Alī al-Hujwīrī, ‘Abū al-Qāsim al-Qushayrī,
dan ‘Abd Allāh al-Ansārī. Pada mazhab ini juga berada al-Ghazāli. Tapi pendukung besar mereka adalah ibn ‘Arabī,
yang pertama kali merumuskan apa yang secara asli diberikan dalam intuisi iluminatif ke dalam metafisika integratif
yang diungkapkan dalam pengertian rasional dan intelektual. Diantara para komentator terpelajar adalah metafisikawan
Sūfī seperti Sadr al-Dīn al-Qunyawī, Dāwūd al-Qaysarī, ‘Abd al-Razzāq al-Kāshānī, dan ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī.
Ungkapan filosofis dari teosofi transenden ini dan perkembangan lebih lanjut sebagai sebuah metafisika Islām yang
sejati dirumuskan oleh Sadr al-Dīn Shirāzī, disebut Mullā Sadrā yang mengombinasikan gagasan aslinya dengan
pengaruh dari ibn Sinā, al-Ghazali, ibn ‘Arabī, dan Suhrawadī. Lihat juga, catatan 266 di atas.
166 Prolegomena
Eksistensi
Konsep Realitas
(Statis) (Dinamis)
Umum Bagian* Absolut Partikular
Kuiditas Modus
* Tentang ‘bagian’, lihat halaman 217, di atas.
Eksistensi, sebagaimana dirinya membentangkan dan mengembangkan dan membatasi
dirinya sendiri menjadi determinasi majemuk dan anekaragam tanpa mempengaruhi keesaan
asalinya, dan berdasarkan kebutuhan dari potensialitas dalaman yang inheren di dalamnya,
adalah yang dimana semua hal (cth. aktualisasi akan kecocokan (lawāzim) dalam potensialitas)
disatukan dalam identitas; pada saat yang sama eksistensi, sebagaimana diindividuasikan
menjadi modus partikular dalam samaran esensi-esensi atau kuiditas-kuiditas sejati dari hal-hal
sebagaimana diaktualisasikan (cth. kecocokan dan akibat (āthār) mereka dalam kondisi
aktualisasi), adalah yang dimana hal-hal berbeda satu sama lain. Jadi menurut perspektif kita,
realitas suatu hal adalah determinasi Eksistensi Absolut yang diindividuasikan ke dalam modus
partikular, sebagaimana dibutuhkan oleh arketip, oleh yang dengannya hal tersebut adalah hal
tersebut apa adanya. Kata ada, dalam ungkapan ‘hal tersebut apa adanya’, menunjuk pada hal
yang dalam kondisi aktualisasi; tindakan yang dengannya hal tersebut itu diaktualisasikan
merupakan dalam tindakan eksistensi. Dua aspek eksistensi tersebut bersama-sama (cth. tindakan
dan modus) menyusun apa yang telah kita sebut kuiditas sejati (māhiyyah’) atau esensi (‘ayn atau
dhāt), yang merupakan realitas suatu hal dan yang menunjuk tidak lain dari arketipnya, yang
sifat-dasarnya dibangun dalam kondisi interior (butūn) Being.
Kita mengatakan hal itu menunjuk kepada arkteip tersebut, seolah-olah being hal tersebut
dalam kondisi aktualisasi, dan tindakan eksistensi yang dengannya hal itu diaktualisasikan,
merupakan sesuatu yang lain dari arketip itu sendiri. Tentu saja, aktualisasi hal tersebut, dan
tindakan yang dengannya hal itu diaktualisasikan, tidaklah sama seperti arketip itu sendiri,
melihat bahwa arketip tersebut tidak pernah meninggalkan kondisi interiornya, yakni ‘tidak
pernah mencium aroma eksistensi eksternal”.272 Apa yang diaktualisasikan atau
dieksternalisasikan adalah kekuatan atau kemampuan kontrol yang menyesuaikan dengan sifat-
dasar arketip (ahkām), kecocokan dan pengaruhnya (lawāzim dan āthār) yang inheren dalam
potensialitas (isti’dādāt) pada arketip. Realitas-Kebenaran, atau Eksistensi Absolut,
memanifetasikan diri-Nya sesuai kebutuhan sifat-dasar arketip,273 dan karena potensialitas yang
inheren dalam arketip itu banyak dan anekaragam, manifestasi-Nya dalam bentuk mereka tidak
pernah berulang dalam samaran yang sama, tetapi selalu nampak dalam harmoni dengan
multiplisitas dan keanekaragaman bentuk. Meskpun demikian, bentuk majemuk dan anekaragam
bentuk dimana Dia dimanifestasikan itu ditentukan arketip yang abadi secara permanen,
sehingga kendati akan multiplisitas dan keanekaragamannya itu, mereka selalu memperoleh
kesatuan dan identitas asali mereka. Dalam pengertian ini, dan berbicara dalam pengertian
272 Ungkapan ibn ‘Arabī: mā shammat rā’ihatan min al-wujūd. Fusūs, hlm. 76.
273 Lihat Fusūs, hlm. 103.
167 Prolegomena
metafisika substansi dan aksiden, arketip tersebut adalah realitas (matbū’) substansial dan utama,
sementara akibatnya yang nampak sebagai suatu hal dalam dunia eksternal adalah realitas (tabi’)
aksidental dan konsekuen. Maka, realitas suatu hal, adalah arketipnya.
Kita telah katakan bahwa istilah ‘kuiditas’ itu dipahami mengandung dua pengertian yang
berhubungan dengan māhiyyah’ sebagai terjemahannya. Pada māhiyyah’, dua pengertian dimana
istilahnya dimaksud adalah (1), dalam pengertian partikular sebagai sebuah maujud (mawjūd)
individual, yang menunjuk kepada ‘kuiditas’ logis yang diturunkan dari jawaban atas pertanyaan:
“apa itu?”; dan (2), dalam pengertian umum kepada ‘kuiditas’ ontologis sebagaimana yang
dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya (mā bihi al-shay’ huwa huwa), yang menyentuh
pada ‘esensi sejati’ (‘ayn) atau ‘realitas’ (haqīqah) suatu hal.274 Dalam pengertian kedua ini
māhiyyah’ itu diidentifikasi sebagai ‘eksistensi’ (wujūd). ‘Eksistensi’ di sini juga dipahami
menampilkan dirinya dalam aspek ganda: (1), sebagai inti tindakan eksistensi itu sendiri yang
dengannya kuiditas tersebut teraktualisasi; (2), sebagai kuiditas dalam kondisi aktualisasi
(mawjūd).275 Aspek pertama menunjuk pada prinsip dinamis dimana artikulasi intrinsiknya
mengaktualisasikan hal-hal terpisah yang menyusun dunia; aspek kedua menunjuk kepada hal-
hal terpisah sebagaimana mereka ada (mawjūd).276 Diagram di bawah mengilustrasikan pengertian
umum (māhiyyah’ I) dan yang partikular (māhiyyah’ II) dimana konsep māhiyyah’ dipahami.
274 Lihat Kashshāf, V, Hlm. 1313 artikel al-māhiyyah’; dan Ta’rīfāt, di bawah judul yang sama (hlm. 205.
275 Lihat di atas, hlm. 242-245. Penafsir eksistensialis Barat modern terhadap metafisika Thomas Aquinas tidak ragu
lagi sepakat dengan kita bahwa aspek pertama eksistensi yang dijelaskan di atas itu sepadan dengan bahasa Latin esse
dalam pemikiran Aquinas, dan aspek kedua pada ens-nya. Lihat pengenalan Maurer pada karya Thomas Aquinas, De
Ente et Essentia, trans. A. Maurer (On Being and Essence), second revised edition, the Pontifical Institue of Mediaeval
Studeis, Toronto, 1968, hlm. 13-19. Esse secara umum berarti ‘sebagai’, cth, ‘men-jadi’ atau makhluk aktual, dan ini
sepadan dengan ‘esensi’ dalam pengertian kuiditas. Ketika esse itu diterima dalam pikiran hal itu merupakan esse
intentionale, sebagaimana hal itu ada secara eksternal hal itu adalah esse in re atau in actu. Ens atau entia secara umum
berarti ‘entitas’, yang merupakan makhluk yang nyata, apakah dalam tindakan atau sebagai sebuah objek pemikiran
yang predikasinya dapat dibuat. Hal itu merupakan sesuatu yang maujud (mawjūd). Thomas Aquinas telah memberikan
istilah tersebut tentang makna teknis dan khusus dalam metafisikanya melalui pengaruh yang digunakan dalam
pikirannya oleh metafisikawan muslim.
276 Hal ini menunjuk kembali pada apa yang telah kita nyatakan di atas pada halaman 237, (1) dan (2); aspek pertama di
sini menunjuk kepada (2) dan yang kedua kepada (1).
168 Prolegomena
Esensi-esensi yang tetap atau arketip permanen. Realitas
Ini adalah realitas yang berada sebagai Intelijibel dalam
Pikiran Tuhan: Bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah
MĀHIYYAH (I)
Kuiditas sebagai esensi sejati (dhāt atau ‘ayn) atau
Sebagai realitas (haqīqah). Ini diidentifikasi sebagai
Realitas eksistensi (wujūd)
Tindakan Modus
wujūd (eksistensi ) mawjūd (sebagai-maujud)
MĀHIYYAH (II)
Kuiditas sebagaimana dipostulasikan secara mental, Konsep
Atau ketika hal-hal maujud (mawjūdāt)
Menjadi objek dari pikiran.
Dengan demikian ketika kita menunjuk kepada kuiditas-kuiditas sebagai being pada
kenyataannya adalah pembatasan intinsik dari tindakan eksistensi tersebut, yang kita maksud
dengan instrinsik tepatnya apa yang menyebut kepada aktualisasi potensialitas dalam bentuk
akibat dan pengaruh niscaya mereka (cth. pada tindakan dan pada modus), dan bukan pada
arketip itu sendiri.
Pada sifat-dasar arketip permanen, mereka itu realitas hal-hal (haqā’iq al-ashyā’) dalam
kehadiran intelejibel atau kognitif (al-hadrah al-‘ilmiyyah). Istilah hadrah, yang bermakna
‘kehadiran’, menunjuk kepada kondisi ontologis dalam dunia intelijibel. Hal tersebut itu bersifat
subjektif bagi Tuhan, atau hadir pada-Nya dalam pengetahuan-Nya sebagai ‘realitas ideal’
(ma’ānī). Realitas hal-hal dalam konteks tersebut bukan ‘maujud’ (mawjūd), tetapi tetap dalam
kondisi ‘non-maujud’ (ma’dūmah) dalam kesadaran dan pengetahuan dari Kebenaran. Referensi
pada kondisi bukan ‘maujud’ berarti keberadaan mereka tidak ‘disebabkan muncul’ (i.q...abraza)
pada sebuah kondisi manifestasi eksterior (zāhir) dalam bentuk eksistensi konkret dan individual
(al-wujūd al-’aynī); akan tetapi, meskipun demikian mereka memiliki realitas ontologis dan berada
(bāqiyyah) dalam kondisi interior (butūn) Being. Mereka adalah ‘peristiwa’, atau ‘kondisi aktifitas’,
atau ‘kecenderungan’ (shu’ūn) yang inheren dalam Kesatuan Ilahiyah (al-wahdah), dan berada
dalam kondisi interior merupakan kondisi esensial mereka. Hal yang berkembang dari mereka,
yang menjadi termanifestasi ke luar sebagai ‘esensi-esensi eksterior’ (al-a’yān al-kharijiyyah),
merupakan ‘kekuatan kontrol’ mereka sesuai dengan sifat-dasar mereka (ahkām), dan ‘akibat’
(āthār), dan ‘pengaruh niscaya’ atau ‘kecocokan’ (lawāzim) yang dihasilkan dari penyebab yang
memiliki Sumbernya pada Inti Being Kebenaran, karena tidak ada maujud selain Kebenaran.
Dengan sebab akan keberadaan mereka dalam kondisi non-maujud, dan dari peran potensial
mereka dalam perkembangan ontologis yang menyertainya, realitas hal-hal juga disebut ‘hal-hal
yang mungkin’ (mumkināt).
Yang diketahui (the known) dalam pengetahuan Tuhan, yang ada dalam kondisi non-
eksistensi (‘adam) — yakni, mereka tidak memiliki eksistensi eksternal dan konkret, tetapi hanya
169 Prolegomena
ada sebagai pengertian dalam kesadaran Tuhan — lalu menerima ‘aliran’ (fayd) atau ‘pancaran’
dari Kebenaran277 sebagaimana Dia memanifestasikan diri-Nya dengan apa yang ada dalam tahap
berikutnya hanya diketahui sebagai Sifat (sifāt), yang ada secara inheren dalam aspek interior
Keesaan Absolut yang tetap selamanya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada
Esensi. Segala hal sedemikian, yang merupakan wajah partikular dari diri-Nya sendiri, dan yang
menampilkan diri-Nya dalam modus atau individuasi partikular, sesudah itu menjadi diketahui
sebagai sebuah Sifat — satu di antara jumlah yang tidak terbatas — disebut menurut ungkapan
Qur’āni ‘sebuah peristiwa’, ‘sebuah modus ‘being’, ‘kecenderungan’ (sha’n, pl. akan mult: shu’ūn)278
Esensi; dan masing-masing berbeda dari satu sama lain yang dengannya Being Absolut
memanifestasikan diri-Nya namun lagi dalam bentuk yang berbeda. Bentuk yang
dimanifestasikan oleh permukaan partikular ini dan modus partikular, yang menggambarkan-
Nya dalam samaran tersebut, adalah sebuah Sifat, dan hal tersebut terpilah dari Being Tuhan.
Karena hal tersebut ‘terpilah’ dari Being Tuhan tidaklah bermakna sesuatu yang memiliki being
yang independen atau realitas yang terlepas dari Tuhan. Itu berarti lebih bahwa baik itu tidak
sama seperti maupun berbeda dari Being Tuhan. Hal itu lebih bermakna bahwa hal tersebut tidak
sama sebagai maupun berbeda dari Being Tuhan. Hal tersebut adalah sesuatu yang memiliki
struktur ganda yang ketika dipandang dalam hubungan dengan Tuhan adalah identik dengan
Tuhan, dan ketika dipandang dalam hubungan dengan dirinya, struktur intrinsiknya adalah tidak
identik dengan Tuhan, maupun dengan masing-masing jumlah tak terbatas dari Sifat. Dipandang
dalam cara kedua ini, hal tersebut memiliki kekhasannya sendiri; coraknya yang berbeda sendiri;
bagian esensialnya yang membuatnya berbeda dari satu sama lain dan dari Being Tuhan.
Penjelasan untuk ini terbentang dalam sifat-dasar ganda dari Nama-Nama Ilahiyah (al-asmā’).
Semua Nama-Nama Ilahiyah, sekalipun fakta bahwa ada beberapa yang berlawanan
dengan yang lain, adalah identik dengan Inti Esensinya (al-dhāt) Itu sendiri ketika mereka
menunjuk pada Esensi. Tapi karena masing-masing dari Nama-Nama Ilahiyah itu pada
kenyataannya menamakan sebuah aspek khusus atau bentuk partikular dari Esensi dalam
anekaragam dan multiplisitas dari manifestasinya pada tingkatan dari aspek swa-pengungkapan-
Nya, masing-masing ketika menunjuk pada makna intrinsik dirinya sendiri hanya
menggambarkan aspek khusus atau bentuk partikular itu, dan bukan Esensi sebagaimana Dia ada
dalam diri-Nya sendiri, dan maka tidak identik dengan-Nya, dan masing-masing tidak identik
dengan sisa jumlah tak terbatas dari Nama-Nama Ilahiyah. Dengan demikian setiap nama-Nama
Ilahiyah itu, sementara di satu pihak identik dengan Tuhan dan begitu juga dengan Nama-Nama
Ilahiyah lainnya, di pihak lain, sebuah makna independen dalam dirinya sendiri.279
Ketika dipertimbangkan dengan dirinya sendiri secara independen dari Esensi, dalam cara
yang digambarkan dalam kasus kemudian, sebuah Nama Ilahiyah dipandang sebagai sebuah
Sifat. Ketika dinyatakan bahwa Esensi, atau Being Absolut dalam aspek swa-pengungkapan-Nya
yang luaran, memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk-bentuk yang berbeda, dan bentuknya yang
termanifestasikan adalah permukaan partikular dan modus-Nya yang menggambarkan-Nya,
sebagai Sifat dari Esensi, dimana masing-masing berbeda dari satu sama lain dan dari Being-Nya,
oleh karena itu yang kita maksud dengan ‘terpilah’, adalah perbedaan yang muncul dari aspek
masing-masing Sifat. Dalam cara ini dan oleh masing-masing swa-manifestasi, dan dengan sebab
bagian esensial keterpilahan yang inheren dalam masing-masing Sifat, sebuah realitas yang dari
antara realitas Nama-Nama Ilahiyah menjadi termanifestasi (zāhir) dan ada dalam pengetahuan
Ilahiyah. Inilah mengapa kita katakan di tempat lain bahwa sifat-dasar pokok realitas adalah
277 Ini menunjuk pada ekspansi eksistensi seperti kita telah secara ringkas digambarkan di atas, hlm. 237-241.
278 Al-Rahmān (55): 29.
279 Fusūs, hlm. 79-80, 104.
170 Prolegomena
perbedaan.280 Bentuk masing-masing realitas disebut ‘kuiditas’ (māhiyyah’),281 atau sebuah ‘entitas
atau esensi tetap dan permanen’ (‘ayn thābiţ). Maka, sebuah realitas, adalah sebuah bentuk dari
sebuah Nama Ilahiyah yang menamakan sebuah aspek khusus dari Esensi, yang bentuknya
dimanifestasikan dalam kesadaran Ilahiyah.
Pancaran yang ditunjuk di atas, yang kita identifikasi sebagai ekspansi eksistensi, disebut
‘pancaran paling suci’ (al-fayd al-aqdas). Cinta (hubb) merupakan prinsip pergerakan ontologis
yang memiliki sumber pada Esensi; cinta merupakan perantara yang dengannya diaktifasikan
pancaran pertama dan paling suci ini.282 Isi pancaran diketahui sebagai ‘potensialitas primordial’
(isti’dādāt asliyyah), yang menyusun bagian inheren dan esensial dari esensi-esensi atau arketip
tetap dan permanen yang tinggal dalam pengetahuan Ilahiyah. Istilah isti’dādāt, yang telah kita
terjemahkan sebagai ‘potensialitas’, bermakna tepatnya sebagai ‘kesiapan’ (preparedness); karena
mereka menunjuk kepada bagian terpilah yang esensial menyentuh kepada kondisi masa
depannya, yakni kondisi-kondisi yang menentukan sifat-dasar pokok dan nasib dari realitas atau
hal dimana mereka terdapat, sehingga realitas atau hal tersebut akan teraktualisasi dalam diri
sendiri, sebagaimana hal tersebut terbentang dari non-eksistensi kepada eksistensi, atas apa yang
menentukan bagian esensial yang telah dipersiapkan baginya untuk aktualisasi. Kesiapan
primordial, dipancarkan ke dalam masing-masing arketip atau esensi yang tetap, yang
menentukan sifat-dasar pokok dan nasib dari arketip sedemikian rupa sehingga hal tersebut akan
teraktualisasikan, dalam tahap perkembangan ontologis yang selanjutnya, dari apa yang telah
dipersiapkan baginya untuk aktualisasi. Dilihat dari sudut pandang realitas itu sendiri, dan dalam
hubungan apa yang mendahului mereka, yakni, pada ‘pancaran paling suci’ dari Being Absolut,
arketip permenan adalah begitu banyak penerima pasif (tung. qābil) dari sifat-dasar dan nasib
mereka yang ditentukan; dan karena peristiwa menentukan ini muncul dalam kondisi interior
non-eksistensi sebagaimana telah kita jelaskan, dan aktualisasi dari sifat-dasar dan nasib pokok
mereka dalam kondisi eksterior eksistensi masih belum merupakan peristiwa yang termanifestasi,
kita lihat aspek arketip permanen ini sebagai begitu banyak hal yang tidak terbatas dari
potensialitas dan kemungkinan dari being dan eksistensi eksterior. Namun, ketika dilihat dari sudut
pandang apa yang merupakan akibat bagi mereka, yakni, perkembangan mereka yang terpisah
sebagai arketip-arketip atau esensi-esensi eksterior (al-a’yān al-khārijiyyah) yang membentangkan
diri mereka dalam tahap lanjutan penurunan ontologis ke dalam bentuk yang lebih dan lebih
konkret — yakni, ketika dilihat dari sudut pandang dari sifat-dasar dan nasib yang teraktualisasi
— arketip-arketip permanen atau esensi-esensi tetap itu tentu saja adalah begitu banyak penentu
aktif (tung. fā’il) dari sifat-dasar dan nasib masing-masing dan segala hal dalam eksistensi. Mereka
tidak lagi dilihat sebagai potensialitas dan kemungkinan, tetapi adalah aktualitas dan keniscayaan
akan being dan eksistensi. Dari sudut pandang ini, dilihat dari ‘bawah’, sebagaimana dikatakan,
dalam aspek mereka yang aktif, aktual dan niscaya, arketip permanen memroyeksikan sebuah
pancaran lanjutan dari Being Absolut yang disebut ‘pancaran suci’ (al-fayd al-muqaddas), yang
isinya, berhubungan dengan permintaan dari kesiapan atau potensialitas primordial yang
terkandung dalam pancaran yang lebih tinggi, ‘pancaran paling suci’, merupakan akibat tak
terpisahkan dan niscaya, kecocokan atau akibat (lawāzim) dan pengaruh yang menyertai (tawābi’)
yang berlanjut dari kesiapan primordial yang inheren dalam masing-masing arketip.283
Arketip-arketip tersebut sebagaimana telah kita kemukakan, tidak pernah meninggalkan
kondisi mereka dari being interior; mereka tinggal dalam tataran Tak Terlihat (al-ghayb) maupun
280 Lihat bab III, hlm. 131.
281 Hal ini merupakan kuiditas sejati, bukan kuiditas yang dipostulasikan secara mental.
282 Tradisi Suci: “Aku adalah sebuah harta tersembunyi dan Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan Makhluk sehingga
Aku mungkin diketahui.” Lihat juga karya Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 42; Ta’rīfāt hlm. 176-177.
283 Untuk definisi dari fayd al-aqdas dan fayd al-muqaddas lihat Ta’rīfāt, hlm. 176-177.
171 Prolegomena
intelejibel ada secara abadi a parte ante (qadīm) dalam kesadaran Ilahiyah.284 Sebagai kuiditas-
kuiditas sejati mereka merupakan bentuk-bentuk universal dari Nama-Nama Ilahiyah, dan
melalui mereka ‘pancaran paling suci’ pertama kali diakibatkan sebagai swa-manifestasi (tajallī)
pertama dari Being Absolut. Oleh karena itu mereka juga ‘loci’ atau ‘panggung manifestasi-diri’
(tung. mazhar) yang menerima pancaran pertama, dan yang diakibatkan Being Absolut melalui
Nama-Nama, al-awwal, ‘Yang Maha Pertama’, dan al-bātin, ‘Yang Maha Tersembunyi ke Dalam’.
Secara berhubungan, dan dalam tahap yang lebih rendah dari penurunan ontologis Being Absolut
menuju determinasi dan individuasi ke dalam bentuk yang lebih konkret, arketip eksterior (al-
a’yān al-khārijiyyah) menjadi loci atau panggung swa-manifestasi, yang menerima ‘pancaran suci’
(al-fayd al-muqaddas) yang kedua, yang diakibatkan oleh Being melalui Nama-Nama al-ākhir ‘Yang
Maha Terakhir’, dan al-zāhir, ‘Yang Termanifestasi ke Luar’. Dengan demikian Nama-Nama
‘Awal’ dan ‘Tersembunyi ke Dalam’ berada pada dunia interior dari eksistensi intelijibel; dan
Nama-Nama ‘Terakhir dan ‘Terwujud ke Luar’ berada pada dunia eksterior dari eksistensi
konkret dan individiual.
Dari penjelasan singkat ini, kita menurunkan kesimpulan bahwa terdapat dua jenis swa-
manifestasi dari Being Absolut — dua jenis ekspansi eksistensi; jenis interior dan eksterior. Jenis
interior merupakan ‘pancaran paling suci’ yang merupakan swa-manifestasi Esensi kepada aspek
dalaman-Nya kepada dunia yang Tak Terlihat; jenis eksterior merupakan ‘pancaran suci’ yang
merupakan swa-manifestasi Esensi kepada aspek luar-Nya dalam bentuk-bentuk arketip
permanen, yang pada gilirannya diproyeksikan melalui arketip eksterior dalam bentuk-bentuk
dari dunia yang terlihat.285
Nama-Nama Ilahiyah adalah sebagai penyebab yang akibatnya itu adalah eksistensi dalam
dunia intelijibel dan eksternal. Berkaitan dengan aspek ganda mereka, mereka dibagi menjadi dua
kategori yang berlawanan satu sama lain, yang satu memberi kesan atau menghasilkan akibat
(ta’thīr), yang mengandaikan bagian akan agen aktif (fā’il); yang lain menerima kesan yang
diberikan dan akibat yang dihasilkan, memainkan peran penerima pasif (qābil). Karena arketip
tersebut merupakan bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah (suwar al-asmā’), mereka juga
merefleksikan aspek ganda being yang di satu sisi mereka itu aktif, dan di sisi lain mereka
merupakan prinsip pasif dari eksistensi. Dipertimbangkan secara murni sebagai arketip (a’yān),
arketip permanen memainkan bagian dari prinsip aktif dalam hubungan dengan tahap lanjutan
‘penurunan’ ontologis dari Being Absolut, yakni, pada apa yang ‘di bawah’ mereka, atau lebih
pada aspek eksterior mereka, arketip eksterior, yang mengandaikan peranan dari prinsip pasif.
Dipertimbangkan sebagai realitas-realitas (haqā’iq), arketip permanen sebagai realitas hal-hal
(haqā’iq al-ashyā’) merupakan prinsip aktif dalam hubungan dengan realitas arketip eksterior
(haqā’iq al-a’yān al-khārijiyah) yang merupakan penerima dari prinsip eksistensial, yakni, ‘pancaran
suci’ (al-fayd al-muqaddas) dari Being Absolut, yang muncul ke hadapan melalui mereka. Arketip-
arketip permanen sebagai esensi hal-hal yang mungkin (a’yān al-mumkināt) atau sebagai hal-hal
yang mungkin (al-mumkināt), di sini menunjuk pada realitas hal-hal.
Kata-kata ‘hal-hal yang mungkin’ menunjuk kepada salah satu dari tiga modalitas being
atau eksistensi yang pertama kali dirumuskan ibn Sinā.286 Modus pertama eksistensi adalah
‘niscaya’ (wujūb), dan ini menunjuk kepada dua kategori ontologis: (i), kepada being yang
284 Kita telah menunjuk pada mereka sebagai ‘realitas ideal’ (ma’āni) dalam halaman 250 di atas. Mereka secara
analogis entah apa seperti realitas intelijibel yang inheren dalam Kecerdasan Aktif yang bentuknya diproyeksikan
dengan iluminasi pada jiwa manusia, tetapi realitasnya selalu tinggal dalam Kecerdasan Aktif. Dengan analogi yang
lain mereka itu seperti citra dalam imajinasi yang melayani intelek sebagai intelijibel potensial, dan yang menjadi
intelijibel aktual tanpa menjadi berubah atau dipindahkan dari lokus mereka dalam imajinasi. Lihat bab IV, hlm. 157.
285 Fusūs, hlm. 120.
286 Lihat Ishārāt, vol. III, hlm. 19; Metaphysica, hlm. 47-48; 316. Al-Ghazāli menyokong tiga modalitas being (Tahāfut,
hlm. 19) dan teolog sebelumnya (al-Juwaynī) dan setelah dia menerima mereka.
172 Prolegomena
eksistensinya niscaya oleh dirinya sendiri. Hal ini adalah Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlaq),
yang juga ditunjuk sebagai Eksistensi Niscaya (al-wājib al-wujūd); (ii), kepada being yang
eksistensinya itu niscaya oleh selain dirinya, dan hal ini merupakan eksistensi konkret dari dunia
hal-hal empiris yang eksistensinya diniscayakan oleh eksistensi dari yang Absolut. Modus kedua
eksistensi adalah ‘kemustahilan’ (imtinā’), dan hal ini menyentuh kepada non-eksistensi absolut
yang murni. Hal itu menunjuk kepada kategori logis seperti sebuah konsep yang dapat memiliki
makna sintaktis dan dapat dirumuskan dengan ungkapan linguistik yang tepat, tetapi yang tidak
dapat ada sebaliknya dalam aktualitas dan bahkan dalam kenyataan, seperti dua hal yang muncul
secara simultan yang berlawanan satu sama lain dalam tempat yang satu dan sama (cth. sebuah
‘lingkaran persegi’) atau sebuah penyamaan, lawan, atau rekan, dari Tuhan (cth. sharīk). Inti sifat-
dasarnya membutuhkan non-eksistensi sebagai sesuatu yang secara eksistensial mustahil. Modus
ketiga eksistensi adalah ‘kemungkinan’ (imkān), dan ini menunjuk pada entitas-entitas dalam
kondisi being non-maujud secara eksternal, tetapi meskipun demikian eksistensinya dalam kondisi
interior diakui. Hal itu menunjuk kepada realitas-realitas yang ada dalam kondisi interior, dan
yang esensi-esensinya tidak dapat teraktualisasi dalam eksistensi eksternal. Hal ini entah apa
seperti gagasan filsuf tentang kemungkinan objektif, kecuali dalam kasus filsuf, di mana mereka
meluruskan teori mereka tentang kemungkinan objektif dengan teori mereka tentang keabadian
dunia dan teori-teori persekutuan. ‘Hal-hal yang mungkin’, ketika menjadi teraktualisasikan
sebagai eksistensi eksternal, ada di bawah kategori being yang eksistensinya niscaya oleh selain
dirinya, seperti pada (ii) di atas. Lebih lanjut, tidak seperti filsuf yang percaya bahwa Tuhan
merupakan agen niscaya, hal-hal yang mungkin dalam kasus ini teraktualisasi bukan akan
keniscayaan; Kehendak Ilahiyahlah yang menentukan aktualisasi mereka sebagai eksistensi
eksternal.
Semua modus being atau eksistensi tersebut pada faktanya merupakan putusan intelektual;
meskipun jika tidak ada intelek untuk memutuskan mereka sedemikian, objek putusan tersebut
tidak serta merta berhenti berada, karena dalam beberapa kasus mereka akan tetap tinggal dalam
eksistensi. Dalam kategori kemustahilan (mumtani’āt), contohnya, rekan, atau asosiasi, atau lawan
dari Tuhan (sharīk) adalah kemustahilan yang murni, karena itu hanya ada dalam intelek; jika
tidak ada intelek untuk menerima dan memutuskannya sedemikian, eksistensinya itu tidak lagi
mungkin. Hal tersebut secara alamiah adalah konseptual, yang ada hanya dalam kesadaran dan
ungkapan. Karenanya kemustahilannya adalah absolut. Tapi terdapat kelas lain kemustahilan
yang tidak hanya konseptual dalam alam, dan kelas kemustahilan ini yang tidak hanya
konseptual dalam alam, menunjuk kepada realitas, yang masing-masingnya teguh (thābiţ) dalam
dirinya sendiri (fi nafs al-amr), seperti bentuk-bentuk tersebut dari Nama-Nama Ilahiyah yang
datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip, Yang Tersembunyi ke Dalam (al-bātin),
yang tetap abadi dalam Yang Tak Terlihat (al-ghayb), yang selamanya disembunyikan dari
eksistensi luar dalam kondisi interior (bātinah). Mereka merupakan lawan dari bentuk-bentuk
Nama-Nama Ilahiyah yang datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip, Yang
Terwujud ke Luar (al-zāhir), yang berkembang ke dalam sisi eksterior atau manifestasi dalam
eksistensi. Sebagai kebalikan dari bentuk eksterior, tidaklah mungkin bagi bentuk-bentuk interior
untuk menerima pancaran — yakni, dalam kasus ini, ‘pancaran paling suci’ — yang akan
mengembangkan mereka ke dalam manifestasi eksterior. Pemilahan antara kelas kemustahilan ini
dan kelas yang modus akan being atau eksistensinya ditujukan sebagai non-eksistensi murni, atau
‘adam mahd, adalah bahwa yang kemudian, sebagai bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah yang
datang di bawah pengaruh (haytah) hati-hati dari Nama Prinsip, Yang Terwujud ke Luar, yang
dapat menerima ‘pancaran paling suci’ yang akan mengembangkan mereka ke dalam manifestasi
eksterior; sedangkan bentuk-bentuk dari yang terdahulu, yang secara alamiah tersembunyi ke
173 Prolegomena
dalam, tidak dapat menerima pancaran yang dapat mengembangkan mereka kepada manifestasi
ke luar. Hanya yang mungkin (mumkināt), yang merupakan bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah
yang datang di bawah pengaruh dari Nama prinsip, Yang Terwujud ke Luar, yang menerima
pancaran, baik ‘yang paling suci’ dan yang ‘suci’, yang mengembangkan mereka pada manifestasi
ke luar dan eksistensi eksternal.
Ekspansi eksistensi dalam pelbagai derajat being sebagaimana telah kita jelaskan dari
halaman 253 di atas hingga halaman ini dapat diskematisasi dalam diagram yang ditunjukkan
pada halaman selanjutnya.287 Pada esensi-esensi hal-hal yang mungkin (al-a’yān al-mumkināt),
mereka dibagi menjadi dua kategori; yang substansial (jawhariyyah), dan yang aksidental
(‘aradiyyah). Kita catatkan sebelumnya bahwa arketip-arketip permanen atau esensi-esensi yang
tetap merefleksikan dalam sifat-dasar mereka aspek ganda dari Nama-Nama Ilahiyah sebagai
agen aktif (fā’il) dan penerima pasif (qābil) dari eksistensi.288 Dipertimbangkan sebagai esensi-
esensi hal-hal yang mungkin, arketip permanen menunjuk pada isi mereka, yang dibagi secara
kategoris ke dalam substansi (jawhar), dan aksiden (‘arad).
287 Dalam skema ini, Esensi tersebut ada pada tingkatan eksistensi yang secara absolut tidak dikondisikan (cth. lā bi
shart). Eksistensi I, II dan II menunjuk secara berturut-turut kepada tingkatan eksistensi yang merupakan, I:
dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā shay’); II: tidak dikondisikan oleh
ketidakberhubungan dengan apapun (lā bi shart shay’); dan II: dikondisikan oleh sesuatu (bi shart shay’). Lihat catatan
266 di atas.
288 Lihat hlm. 253-254 di atas.
174 Prolegomena
Skema Penurunan Ontologis dari Wujud Absolut
Esensi
Interior
Wujud Absolut Eksterior Non-Manifestasi
Eksistensi I Interior
Keesaan Ilahiyah Eksterior
I Pancaran Paling Suci
Interior
Kesatuan Ilahiyah Determinasi ke-1
Determinasi ke-2
Eksterior Determinasi ke-3
Nama-Nama & Interior
Sifat Eksterior
Interior
Eksistensi II
Eksterior
Arketip-Arketip
Permanen
II Pancaran Suci
Arketip-arketip Interior Determinasi ke-4
Eksterior Eksterior Determinasi ke-5
Eksistensi III Interior
Eksterior
Dunia Benda-
Benda Empiris
175 Prolegomena
Substansi, dengan sebab swa-keberadaan mereka yang independen dalam hubungan
dengan aksiden itu, ditujukan sebagai realitas yang mendahului (matbū’); sedangkan aksiden itu,
dengan sebab ketergantungan mereka kepada substansi, secara berhubungan ditujukan sebagai
realitas (tābi’) yang diakibatkan. Ketika substansi ada sebagai intelejibilia dalam modus eksistensi
intelijibel (wujūd ‘ilmī), mereka mengambil bentuk kecerdasan (‘uqūl) murni, dan jiwa (nufūs)
murni — yakni, kecerdasan dan jiwa dari mana semua bentuk material dan relasi ragawi adalah
substracted ( tung. mujarrad). Ketika mereka ada sebagai sensibilia dalam modus eksistensi
konkret dan individiual (wujūd ‘aynī), mereka mengambil bentuk tubuh yang sederhana (ajsām
basīt). Ketika substansi dan aksiden ada bersama dalam bentuk campuran (murakkab), mereka
menyusun Tiga Kerajaan Alam (mawālīd al-thalāthah); dunia hewan, tumbuhan, dan mineral.
Setiap substansi dan aksiden tersebut disebarkan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan
mereka semua ada di bawah klasifikasi dalam tiga tingkatan genus (ajnās: tung. Jins): yang
tertinggi (‘āliyah); pertengahan (mutawassitah); dan yang terendah (sāfilah). Setiap genus itu lebih
lanjut diklasifikasikan menjadi pelbagai tingkatan, dimana masing-masing berdasarkan pada
kapasitas dan kebutuhannya sebagai sebuah ‘panggung’ manifestasi (mazhar: cth dari Being
Absolut), yang menerima pancaran yang akan mengembangkannya kepada aktualisasi
berdasarkan kepada kapasitas yang inheren dan kebutuhannya, dan untuk mengguncang —
yakni, kekuatan memanifestasi yang membawanya ke dalam eksistensi konkret dan eksternal —
dari Nama Ilahiyah yang menunjukkan kehati-hatian atasnya. Nama-Nama Ilahiyah itu hal ini
diri mereka sendiri diklasifikasikan berdasarkan derajat yang berbeda dari tingkatan yang
berhubungan dengan perbedaan dalam kapasitas dan kebutuhan akan substansi dan aksiden
yang menyusun pelbagai hal-hal yang banyak dari dunia empiris.289 Dengan demikian genus
tertinggi yang digolongkan sebagai ‘yang tertinggi’ datang di bawah pengaruh hati-hati dari
Nama prinsip ‘Yang Maha Pertama’ (al-awwal); ‘Yang Maha Tersembunyi ke Dalam’ (al-bātin);
‘Yang Terwujud di Luar’ (al-zāhir); dan ‘Yang Maha Terakhir’ (al-ākhir); genus yang digolongkan
sebagai ‘pertengahan’ tersebut datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama-Nama yang lebih
rendah dalam derajat tingkatan dari yang prinsip di atasnya; dan genus yang terendah yang
digolongkan sebagai ‘yang terendah’ datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama-Nama yang
bahkan lebih rendah dalam derajat tingkatan daripada yang ada di atas mereka. Dalam cara ini
Nama-Nama Ilahiyah menggunakan pengaruh hati-hati mereka, yang berdasarkan tempat
mereka yang terhormat dari tingkatan, menjangkau pelbagai genus dari realitas; dari golongan
tertinggi menurun pada pelbagai spesies di golongan yang paling rendah, namun sementara
dipengaruhi juga oleh hubungan kapasitas dan kebutuhan dari realitas mereka sendiri, masing-
masing itu berdasarkan pada potensialitas atau kesiapan yang inherennya sendiri. Tatanan
ontologis dari tiga genus yang berhubungan secara berturut-turut pada: (1) Dunia Arketip
Permanen (‘ālam al-a’yān al-thābiţah), atau Dunia Gagasan Ilahiyah, dimana swa-manifestasi dari
Yang Absolut kepada diri-Nya sendiri memunculkan bentuk-bentuk dari semua maujud yang
mungkin membuat penampakan mereka in potentia dalam kesadaran dari Yang Absolut; (2) Dunia
Ruh (‘ālam al-arwāh); dan (3) Dunia Indera dan Pengalaman Inderawi (‘ālam sl-shahādah).290
Ketika panggung-pangggung manifestasi berada pada spesies dari tubuh sederhana,
contohnya, Nama-Nama Ilahiyah yang menunjukkan kekuatan pengaktualisasian terhadap
289 Fusūs, hlm. 79; 152.
290 Harus dicatat bahwa istilah logis umum seperti ‘genus’, ‘spesies’, diferensia’ dan yang semisalnya seperti ‘universal’
sebagaimana kita gunakan di sini tidak untuk dimengerti berdasarkan makna kontekstual mereka dalam tradisi filsuf
Yunani. Kita memahami mereka bukan hanya sebagai nama-nama atau konsep-konsep, tetapi sebagai realitas atau
entitas sejati (ma’ānī). Yang ‘universal’ adalah entitas sejati, sehingga sedemikian — bahkan jika mereka
mengandaikan karakter dari universal dalam beberapa hal — mereka tidak cukup sama sebagai Universal Platonis,
karena mereka tanpa kecuali merupakan esensi partikular atau individual (a’yān).
176 Prolegomena
mereka itu beroperasi dalam bentuk-bentuk partikular (khāss) dan ditentukan (ma’ayyan). Dalam
kasus campuran, masing-masing bentuk tersebut begitu tercampur menjadi sebuah panggung
manifestasi dari kombinasi Nama-Nama Ilahiyah yang bertindak bersama sebagai sebuah
kesatuan yang berhubungan dengan sifat-dasar partikular dari bentuk gabungan tersebut. Dalam
kasus individual (ashkhās), dalam partikular yang memiliki swa-kesadaran, kelas tertinggi sebagai
manusia, masing-masing merupakan panggung manifestasi (mazhar) dari sebuah kombinasi
antara kombinasi Nama-Nama Ilahiyah yang beroperasi dalam bentuk campuran. Dalam kasus
manusia, dan secara khusus seseorang dibimbing dalam jalur yang benar dalam agama sejati,
masing-masing menjadi panggung ‘manifestasi halus’ (raqā’iq tung. raqīqah) yang menanamkan
kepadanya pengetahuan misteri (asrār) Ilahiyah yang membimbing mereka dalam tahap yang
bergantian dari perjalanan mereka menuju Kebenaran. Dengan cara ini, dari puncak tertinggi
tataran ontologis menurun kepada tingkatan paling rendah dari being dan eksistensi, dari
‘universal’ ke partikular, Nama-Nama Ilahiyah tersebut memenuhi tujuan mereka, dalam
mengaktualisasikan semua eksistensi yang mungkin yang ada in potentia dalam kesadaran
Ilahiyah, dalam proses abadi dan dinamis.
Penjelasan singkat ini tentang sifat-dasar esensi-esensi hal-hal yang mungkin dan
perkembangan dan aktualisasi mereka sebagai dunia indera dan pengalaman inderawi dapat
diuraikan dalam bentuk skema pada halaman 264.
177 Prolegomena
I Esensi-Esensi dari Hal-Hal yang Mungkin
Substansi Aksiden
Diklasifikasikan menjadi tiga golongan genus: yang tertinggi;
pertengahan; terendah; di bawah pengaruh hati-hati dari Nama-
Nama Ilahiyah: Yang Pertama; Yang Tersembunyi di Dalam;
Yang Terwujud di Luar; Yang Terakhir berturut-turut, dan
Nama-Nama di bawah ini dalam derajat tingkatan; masing-
masing derajat berhubungan pada masing-masing golongan
dalam tatanan yang bergantian. Tiga tingkatan yang
berhubungan berturut-turut:
I. Dunia Arketip-Arketip
II. Dunia Ruh
III. Dunia Indera dan Pengalaman Inderawi.
II Eksistensi
Konkret
Eksistensi Sensibilia
Intelejibilia
Intelijibel
Kecerdasan Tubuh Sederhana
Dan Jiwa Murni
Campuran
III
Hewan (Genus) Tumbuhan Mineral
Spesies Spesies Spesies
Jenis dan Jenis dan Jenis dan
Individual Individual Individual
178 Prolegomena
Untuk meringkas, realitas merupakan bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah
yang dipertimbangkan dalam aspek mereka akan perbedaan. Sedemikian mereka merupakan
esensi-esensi yang secara permanen dibangun sebagai arketip-arketip dalam kondisi interior
Being. Dalam hal pada sifat-dasar mereka di dalam kerangka-kerja ontologis tersebut, mereka
merupakan kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi. Dalam kerangka-kerja
dari tataran ontologis ini mereka menempati sebuah posisi pertengahan antara dua pancaran dari
Being Absolut yang serupa dengan jenis interior dan eksterior dari ekspansi Eksistensi. Dalam hal
pada keberadaan mereka dalam tatanan ontologis, mereka bukan hal yang abadi maupun
sementara, yang secara sinambung diperbaharui dalam bentuk dan identitas asali mereka,
sedemikian rupa mereka itu, dalam hal identitas mereka, yang secara permanen dibangun, dan
namun, dengan hal kepada potensialitas inheren mereka, mereka berkembang dalam perubahan.
Dalam hal kepada hubungan ontologis mereka dengan apa yang sesudahnya bagi mereka dan apa
yang mendahului mereka, mereka itu di satu sisi aktif dan di sisi lain adalah prinsip pasif dari
eksistensi konkret. Dari sudut pandang filsafat skolastik, mereka itu sebagai ‘universal’ dengan
mana ‘partikular’ menjadi diindividualisasikan. Sebagai esensi-esensi hal-hal yang mungkin, dan
dalam istilah Categories, mereka itu di satu sisi substansi dan di pihak lain aksiden; sebagai
substansi mereka merupakan realitas yang mendahului, dan sebagai aksiden mereka merupakan
realitas yang diakibatkan. Dengan memandang pada modus being mereka, mereka itu mungkin di
satu pihak dan niscaya di pihak lain. Dalam istilah sebagai esensi-esensi, mereka itu kuiditas-
kuiditas sejati yang pengendalian kekuatannya menyesuaikan dengan sifat-dasar mereka, akibat
dan kebiasaan, dan akibat yang menghasilkan dunia ruhani, citra, hal-hal inderawi, dan entitas
mental (cth. imajinasi), dimana semua ada dalam tatanan menurun secara berturut-turut.
Akhirnya, dalam hal kepada sifat-dasar esensial mereka mereka itu identik dengan realitas
eksistensi dalam hal substansi, tapi berbeda darinya dan yang lain di antara diri mereka sendiri
dalam hal individuasi.
179 Prolegomena
VII
DERAJAT-DERAJAT EKSISTENSI
Kata ‘eksistensi’ secara umum dipahami untuk menunjuk sebuah konsep dasar dan
universal yang padanya tidak ada realitas yang berhubungan yang disebut ‘eksistensi’ ditemukan
di dunia eksternal. Apa yang ditemukan dalam dunia eksternal yang dikatakan ‘ada’ merupakan
hal-hal yang secara pokok dapat direduksi pada ‘kuiditas’ atau ‘esensi’ individual mereka yang
diterima pikiran sebagai realitas independen pada dirinya sendiri, dan padanya hal tersebut
dilekatkan sebagai bagian mereka dimana entitas konseptual disebut ‘eksistensi’. Pikiran, ketika
menerima hal-hal dunia eksternal, mempertimbangkan hal-hal pada dirinya sendiri seolah-olah
mereka ‘sedang-disana’ (i.q. thamma) itu berkaitan dengan sifat-dasar intrinsik mereka, yakni,
‘kuiditas’ atau ‘esensi’ mereka. Pikiran mampu mengabstraksi apa yang dianggap sebagai entitas
konseptual, yakni ‘eksistensi’, dari hal-hal dan bertindak terhadapnya dan menampilkan
pembagian dan pembatasan mental ke dalam ikatan spesifik, yang membagi secara adil masing-
masing konfigurasi dari entitas konseptual yang disebut ‘eksistensi’ ini untuk berhubungan
dengan hal-hal individual dari dunia eksternal sedemikian sehingga masing-masing dan setiap
mereka dapat dikatakan ‘ada’. ‘Eksistensi’ dalam pemahaman umum istilah tersebut merupakan
sebuah entitas konseptual yang ‘ada’ hanya dalam pikiran’; ‘eksistensi’ merupakan konsep
abstrak dan umum yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang berhubungan dengan hal-hal
dan secara alamiah adalah statis atau pasif; ‘eksistensi’ merupakan sebuah intelijibel sekunder.
Tetapi ‘eksistensi’ dapat juga dipahami bukan hanya menunjuk kepada sebuah entitas
konseptual yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal, tetapi kepada sebuah
realitas ontologis yang ada di dunia eksternal yang independen dari pikiran, dan sehingga karena
hal tersebut ‘menjadi-maujud’ secara eksternal hal tersebut menciptakan pengaruh dalam pikiran
yang menghasilkan konsep ‘eksistensi’ dengan mana pikiran mengualifikasikan hal-hal yang
diterima di dunia eksternal. Kita menunjuk kepada pemahaman kedua terhadap istilah
‘eksistensi’ ini, yang tidak dapat dikonseptualisasikan sebab hal tersebut bukan sebuah universal,
sebagai realitas eksistensi untuk membedakannya dari konsep eksistensi. Tidak seperti rekan
pendamping konseptualnya, realitas eksistensi itu aktif; realitas eksistensi merupakan entitas yang
sadar, dinamis, dan kreatif, yang mengartikulasikan dari dalam dirinya sendiri pengungkapan
diri dengan kemungkinan yang tak terhingga dalam gradasi analogis pada tingkatan ontologis
yang berbeda dalam modus partikular dan individual yang nampak sebagai hal-hal terpisah
dalam dunia yang terlihat maupun dunia yang tak terlihat. Makna sejati dari kata ‘eksistensi’
sebagai sebuah realitas objektif menyentuh pada pemahaman kedua terhadapnya ini, dan berlaku
kepada Tuhan hanya dalam pengertian ini.291 Dalam penjelasan kita tentang derajat-derajat
eksistensi dalam halaman-halaman selanjutnya, kita akan berkonsentrasi kepada pengertian
kedua dari ‘eksistensi’ ini yakni, eksistensi sebagai sebuah entitas nyata dan maujud yang
pengaruhnya menjadi termanifestasi kepada rasio dan pengalaman kita.
Eksistensi sebagai realitas, dan bukan sebagai konsep, merupakan inti esensi Realitas
Tertinggi. Realitas tertinggi ini adalah Allāh. Dipertimbangkan dalam inti Esensi-Nya Dia
diketahui hanya pada diri-Nya sendiri, karena dipertimbangkan sebagaimana Dia dalam diri-Nya
sendiri Dia itu transenden secara tidak dikondisikan. Dengan ‘transenden secara tidak
dikondisikan’ kita ingin mengandung makna bahwa Dia ada dalam derajat isolasi sepenuhnya
291 Lihat Nūr al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Jāmī, dalam karyanya Lawā’ih, dalam Majmū’ah Mullā Jāmī, Istanbul, 1309H.,
hlm 14; juga Lawā’ih, diterjemahkan oleh E.H. Whinfield dan Mirza Muhammad Kazvini, Royal Asiatic Societ, v,
1928, hlm. 13: XIV. Dielaborasikan lebih lanjut dalam karyanya Al-Durrah al-Fākhirah, (dalam edisi dari N. Heer dan
A. Musavi Bahbahani), Tehran, 1980, hlm. 2: 5; dan terjemahan Jāmī sendiri pada bagian itu, hlm. 54-55).
180 Prolegomena
sedemikian rupa yang tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā
shay’), maupun dikondisikan dengan indeterminasi dalam pengertian tidak dibatasi oleh
ketidakberhubungan dengan apapun tetapi bebas untuk menautkan dengan hal-hal individual (lā
bi shart shay’).292 Kita hanya dapat mengatakan bahwa Realitas Tertinggi tersebut dipertimbangkan
dalam inti Esensi-Nya tidaklah dikondisikan oleh kondisi apapun (lā bi shart).293 Hal ini berarti
bahwa realitas eksistensi pada tingkatan Realitas Tertinggi bahkan tidak dapat dipertimbangkan
sebagai absolut (mutlāq), karena eksistensi pada tingkatan tersebut ada di atas kualifikasi
keabsolutan (ītlāq)294 dengan sebab fakta bahwa kualifikasi sedemikian sudah sebuah kondisi yang
menkhususkan eksistensi pada kecenderungan tertentu, dan merupakan seperti jenis pembatasan,
sebuah keterbatasan (taqyīd) di antara kondisi dibatasi yang dipostulasikan secara mental dalam
pelbagai derajat dari eksistensi intelijibel dan inderawi. Dalam pandangan hal ini sifat-dasar
Realitas Tertinggi sebagai tidak dikondisikan oleh kondisi apapun itu, berbicara secara ketat, tidak
dikondisikan bahkan oleh transendensi, dan tidak pernah dapat dicapai oleh pengetahuan dan
kognisi kita, dan tetap secara abadi tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diri-
Nya sendiri. Kita menunjuk pada derajat pertama dan tertinggi dari eksistensi ini sebagai aspek
swa-penyembunyian Realitas Tertinggi, sebagai Diri terdalam-Nya dan inti Esensi (al-dhāt) yang
disebut dalam tradisi suci sebagai ‘Kabut Gelap’ (al-’amā’) dan ‘Harta Tersembunyi’ (kanz
makhfiyy).295
Tapi realitas eksistensi, dengan sebab sebagai apa hal tersebut adanya, yakni, sebagai
dirinya yang termanifestasi dan membawa segala hal yang lain ke dalam manifestasi, harus
dipostulasikan memiliki derajat-derajat (marātib) swa-manifestasi; jika tidak demikian tidak ada
yang akan terwujud sebagai diadakan dan, lebih lanjut, derajat swa-persembunyiannya juga tidak
pernah akan diketahui sebagai yang tidak dapat diketahui. Dengan demikian kendati akan
persembunyian penuh darinya, terdapat aspek darinya yang cenderung menuju swa-manifestasi.
Ketika kita katakan, menyebut kepada tradisi suci: “Aku adalah Harta Tersembunyi dan Aku
cinta dikenali, maka Aku ciptakan Makhluk sehingga Aku mungkin dikenali,” ‘Harta
Tersembunyi’ menunjuk pada aspek swa-persembunyian dari Realitas Tertinggi, ‘yang cinta
dikenali’ sudah menyiratkan sebuah kecenderungan yang menunjuk terhadap aspek swa-
pengungkapan-Nya. Dalam aspek ini Dia sudah dikuasai, seperti sebelumnya, oleh cinta (hubb),
yang merupakan prinsip pergerakan ontologis yang termanifestasi dalam ciptaan. Ciptaan,
sebagai pengujian dari apa yang sekaligus benar dan nyata, merupakan tindakan eksistensiasi
292 Lihat bab VI; hlm. 221-224, dan referensi pada catatan kaki di dalamnya.
293 Lihat karya ‘Abd al-Razzāq al-Qāshānī, Sharh ‘alā Fusūs al-Hikam, Cairo 1966, hlm. 4. Apa yang dimaksud dengan
lā bi shart di sini adalah bahwa yang bahkan ada di atas sebagai dikondisikan oleh ketidakkondisian; hal itu adalah
yang secara absolut tidak dikondisikan. Lihat juga karya ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī, Naqd al-Nusūs Tehran, 1977, hlm.
20, terjemahan 4.
294 Cth. kami maksud dengan sebagai absolut dan memiliki keabsolutan dalam pengertian sebagaimana digunakan
kepada alam universal. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 272-273 dan catatan 298 dan 299.
295 Tradisi tersebut cukup dikenal. Tradisi al-‘amā’ dilaporkan oleh al-Tirmidhī menunjuk pada komentar pada sūrah
11: 1, dalam Al-Jāmī al-Sahīh, Cairo, 1938, vol. IV, 44, no: 5109; oleh ibn Majah dalam karyanya Sunan, Cairo, 1952,
vol. I, Muqaddimah, 13, no: 182; oleh ibn Hanbal dalam karyanya Musnad, Cairo, 1313H., vol. IV, hlm. 11 dan 12. Al-
Jurjānī dalam karyanya Ta’rīfāt mengatakan bahwa al-‘ama’ menunjuk pada derajat Keesaan (ahadiyyah). Referensi
ini dari edisi Flugel, Beirut, 1969, hlm. 163. Al-Jili dalam karyanya Al-Insān al-Kāmil, Cairo, 1956, vol. I, hlm. 50,
mengatakan bahwa ini berhubungan dengan Keesaan. Tradisi al-kanz al-makhfiyy dilaporkan oleh al-Baghawī
sebagaimana disampaikan oleh Mujāhid. Hal itu berputar di sekitar komentar terhadap ayah 56 dari sūrah 51.
Transmisi oleh Mujāhid dalam sebuah komentar pada Qur’ān dari Abū al-Su’ūd al-‘Imādī ditemukan dalam pinggiran
dari karya al-Rāzī Tafsīr al-Kabīr, vol. VII dalam edisi Beirut dari 1342H., hlm. 777. Al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr
juga menyebutkannya dalam lima pertanyaan dalam jalur komentar atas ayat yang sama (hlm. 660). Tradisi ini
dilaporkan oleh hampir semua orang suci dan orang bijaksana yang terkenal. Al-Jurjānī (op.cit) mengatakan bahwa al-
kanz al-makhfiyy menunjuk pada Diri terdalam, ke-dalam-an absolut dan persembunyian sepenuhnya akan Tuhan
dalam derajat Keesaan (hlm. 197).
181 Prolegomena
dari aspek swa-manifestasi Realitas Tertinggi, dan dalam aspek kreatif ini Dia disebut dengan
nama yang menandakan baik Kebenaran dan Nyata (al-haqq).296
Dari penjelasan singkat di atas, dan sebagaimana dikonfirmasi oleh Wahyu suci hal
tersebut sebagai bukti bahwa Realitas Tertinggi memiliki dua aspek: yang ke-dalam (inward),
interior, aspek swa-persembunyian (al-bātin), dimana bahkan tidak ada jejak penggerak awal dari
artikulasi internal manapun yang terlihat dari sudut pandang kognisi manusia meskipun hal itu
merupakan inti pijakan dari Being; dan yang bagian ke-luar (outward), eksterior, aspek swa-
manifestasi (al-zāhir), dimana kecenderungan menuju swa-manifestasi diawali oleh kesadaran
akan hasrat atau cinta untuk dikenali. Kedua aspek tersebut adalah diharmonisasi di dalam
Realitas Tertinggi, yang ke-dalam-annya (inwardness) itu identik dengan ke-luar-annya
(outwardness).297 Eksistensi di sini, seperti telah kita katakan, merupakan eksistensi pada derajat
pertama, yang memiliki dua aspek yang berhubungan dengan sisi interior dan swa-
persembunyian ‘Kabut Gelap’ dari tradisi suci, yang kadang-kadang juga ditunjuk sebagai inti
Esensi itu sendiri dari Realitas Tertinggi (al-dhāt) yang dikarakteristikkan dengan sebuah Keesaan
absolut sepenuhnya (ahadiyyah mutlāqah); dan sisi eksterior dan swa-manifestasi ‘Harta
Tersembunyi’ dari tradisi yang sama, yang cenderung menuju swa-manifestasi dalam alam Yang
Tak Terlihat (al-ghayb) dan yang, meskipun hal itu tetap dipertimbangkan sebagai dalam Keesaan
abstrak dari ahadiyyah, adalah tidak cukup sama sebagai Keesaan absolut sepenuhnya yang telah
disebutkan sebelumnya sebagai ahadiyyah mutlāqah. Hal ini karena pada aspek kedua inilah sudah
terkandung kemungkinan tak terhingga akan determinasi dalam pelbagai bentuk tak terbatas.
Kini aspek yang kemudian ini pada dirinya sendiri dikarakteristikkan dengan interioritas dan
eksterioritas yang serupa dengan aspek sebelumnya. Ketika kita memandang Keesaan abstrak
yang kemudian ini dalam aspek eksterior dan swa-manifestasi, hal itu disebut Eksistensi Absolut
(al-wujūd al-mutlāq). Modusnya dalam aspek eksterior ini tetaplah tidak dikondisikan oleh apapun
itu (lā bi shart), dalam pengertian bahwa hal itu tidak terlibat dalam determinasi apapun, tetapi
siap untuk memanifestasikan dirinya dalam determinasi. Aspek eksterior derajat pertama
eksistensi ini merupakan pusat kemungkinan tak terhingga akan determinasi; hal tersebut
merupakan sumber aktifitas penciptaan dan prinsip keanekaragaman. Istilah ‘absolut’, dalam
pengertian yang kita maksud di sini, menunjuk kepada sebuah modus abstraksi murni, yang
entah apa seperti aspek pertama kuiditas dalam skema ibn Sinā, yang kadang-kadang disebut
‘alam semesta’ (kullī tabī’ī);298 kecuali bahwa di sini kita menunjuk kepada eksistensi, bukan
kuiditas, dan kepada eksistensi yang bukan hal konseptual atau mental tetapi nyata, yang tidak
statis atau pasif karena dinamis atau aktif. Jadi ketika kita menyamakan derajat Eksistensi Absolut
ini kepada aspek pertama kuiditas dalam skema ibn Sinā, kita tidak dengan demikian
memaksudkan bahwa Eksistensi Absolut, dengan sebab keabsolutannya, adalah identik dengan
alam semesta. Hal ini karena sifat-dasar alam semesta, sebagaimana dipahami teolog dan filsuf
secara umum, dan apakah itu diberlakukan pada kuiditas atau eksistensi, adalah dipahami
sebagai hal mental yang tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal (teolog),
atau hal itu merupakan hal yang baik mental dan juga nyata dan memiliki realitas yang
berhubungan di dunia eksternal (filsuf), dalam pengertian bahwa kata ‘nyata’ dan ‘realitas’ di sini
ditunjukkan secara esensial kepada kuiditas-kuiditas yang dipertimbangkan sebagai realitas yang
berbeda, dan bukan kepada eksistensi.299 Kita tidak mengakui bahwa Eksistensi Absolut, dengan
296 Terdapat banyak referensi dalam Qur’ān yang menyentuh pada tindakan penciptaan oleh Tuhan dimana tindakan
penciptaan diselesaikan ‘oleh kebenaran’ (bi al-haqq). Lihat untuk contoh Al-An’ām (6): 73; dan Ibrāhīm (14): 19.
297 Al-Hadīd (57): 3.
298 Lihat bab VI, hlm. 237, catatan 266.
299 Untuk argumen dari teolog terhadap filsuf dan Sūfī, lihat untuk contoh, Karya al-Taftāzānī Sharh al-Maqāsid, ‘Ālam
al-Kutub, Beirut, 1989, 5 vol.; vol. I, hlm. 335-341.
182 Prolegomena
sebab keabsolutannya, adalah identik dengan alam semesta dalam pengertian yang disebutkan di
atas. Hal ini karena kita di sini tidak berbicara tentang eksistensi sebagai entitas konseptual, yang
karakteristiknya diatur oleh pertimbangan mental yang menyentuh pada universal. Karena kita
berbicara tentang eksistensi sebagai sebuah realitas objektif dan aktif yang independen dari
pikiran, apa yang dimaksudkan dengan ‘keabsolutan’ Eksistensi Absolut adalah bahwa hal itu
tidak memiliki determinasi (ta’ayyun) atau individuasi (tashakhkhus) yang tidak konsisten dengan
determinasi atau individuasi dimana hal itu terlibat dalam samaran dari esensi-esensi yang
muncul dalam pelbagai tingkatan dan derajat ontologis. Hal ini berarti bahwa hal tersebut tidak
memiliki sebuah individuasi berdasarkan dengan karakteristik esensi individual manapun yang
menghalanginya secara simultan juga diindividuasikan berdasarkan dengan karakteristik esensi-
esensi individual lain tanpa multiplisitas atau perubahan apapun muncul dalam esensinya
sendiri. Keabsolutan sedemikian, yang mustahil dalam kasus alam semesta dipertimbangkan
sebagai entitas mental, tidak membuat mustahil bagi Eksistensi Absolut untuk diindividuasikan
dalam dirinya sendiri, dalam sebuah cara individuasi yang bebas dari gagasan universalitas,
seperti individuasinya sebagai Tuhan, untuk contohnya.300
Kini Eksistensi Absolut dalam aspek eksteriornya pada gilirannya merupakan aspek
interior dari tahap perkembangan ontologis yang secara segera mengikuti, yakni determinasi
umum (ta’ayyun jāmi’), yang kadang-kadang juga disebut ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘āmm),301 yang
terkandung di dalam dirinya sendiri semua manifestasi aktif, niscaya, dan makhlukiah. Tahap
perkembangan ontologis ini diakibatkan oleh pancaran paling suci dari eksistensi (al-fayd al-aqdas),
yang merupakan ekspansi tunggal eksistensi dalam cara umum yang mengandung di dalam
dirinya manifestasi dari pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang mungkin dalam
dunia yang tidak terlihat maupun pada dunia yang terlihat, seperti manifestasi aktif, niscaya,
ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen dan maklukiah. Hal ini merupakan derajat kedua
eksistensi dan merupakan manifestasi pertama dari realitas eksistensi, sehingga disebut tahap
determinasi pertama dari eksistensi (ta’ayyun awwal).302 Kita dapat menskematisasi penjelasan di
depan dengan diagram berikut:
300 Jawaban Jāmī pada argumen dari teolog dinyatakan pada catatan 299 di atas ditemukan, untuk contoh, dalam
pernyataan pendek yang berjudul Risalāh fi al-Wujūd, yang telah diedit oleh N. Heer dalam Islāmic Philosophical
Theology, ed. Parvis Morewedge, SUNY, Albany, 1979, hlm. 223-256. Untuk teks bahasa Arab, lihat hlm. 248-256.
Dengan referensi pada apa yang telah kita nyatakan di atas, lihat hlm. 250 (14). Lihat juga referensi dalam catatan 291,
di atas.
301 Lihat Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 35, terjemahan 27.
302 Kata ‘ayn bermakna ‘entitas’. Ta’ayyun adalah berbicara secara ketat sebuah ‘entifikasi’, karenanya itu merupakan
sebuah determinasi sebagai sebuah entitas. Pasangan dari yang berlawanan tersusun dalam Nama-Nama Ilahiyah dan
Sifat dalam aspek mereka tentang perbedaan dari-Nya. Mereka ada dalam operasi sinambung dan tidak mungkin
berhenti dalam di antara mereka semua. Untuk makna ‘ayn, lihat lebih lanjut bab VI, hlm. 242, catatan 268.
183 Prolegomena
Keesaan Absolut Esensi dari Realitas Tertinggi Tidak dikondisikan
Al-‘amā’ Yang merupakan Eksistensi Non Manifestasi
Derajat ke-1
Aspek Interior
Keesaan Abstrak
Kanz makhfiyy Aspek Eksterior
Aspek Interior
Aspek Eksterior
Pancaran Paling Suci
Dalam bahasa metafora kita katakan bahwa ketika Realitas Tertinggi berhasrat untuk
melihat Keindahan gemerlapan diri-Nya (jamāl), Dia mengungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya
dalam Esensi-Nya (cth. tajallī dhāti) dan melihat di dalamnya seperti dalam cermin ajaib tentang
Kesempurnaan esensial-Nya (kamalāt dhātiyyah) dalam keindahan abadi dan terus berlangsung.
Cermin pertama ini, dengan mana Dia memandang diri-Nya dalam perenungan yang
merefleksikan Nama-Nama-Nya Yang Paling Indah (al-asmā’ al-husnā) dan Sifat-Sifat Sublim (al-
sifāt al-‘ulyā). Swa-manifestasi dan swa-perenungan pertama dari Realitas Tertinggi ini menunjuk
kepada derajat pertama dan kedua dari Eksistensi Absolut, yang kedua darinya itu ada pada
tingkatan ontologis dari determinasi pertama.
Tingkatan ini, yang muncul sebagai hasil pancaran paling suci yang mengandung bentuk-
bentuk pasangan yang berlawanan yang menyusun semua manifestasi aktif, niscaya, ilahiyah,
maupun, semua manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiah, menandai ‘penurunan’ (tanazzul)
Realitas Tertinggi dari derajat Keesaan (wahdah), dimana di dalamnya tidak ada yang lain yang
dimanifestasikan meskipun hal itu menandakan langkah pertama menuju manifestasi, kepada
derajat Kesatuan (Wahidiyyah), dimana di dalamnya artikulasi dalaman yang menyusun dalam
Kesatuan tersebut itu terlihat pada-Nya sebagai bentuk-bentuk dari multiplisitas potensial. Dalam
derajat Keesaan yang lebih dahulu daripada Kesatuan, bentuk-bentuk partikular yang pasti sudah
tertinggal di dalamnya dalam sebuah kondisi ontologis huru hara namun dinegasikan oleh
Keesaan, seperti ‘cahaya dari banyaknya bintang hilang dalam kehadiran cahaya yang
dipancarkan matahari”.303 Keesaan tersebut yang tetap di sini lalu berpaling menuju aspek
interiornya, yang menegasi semua manifestasi dan selalu tinggal dalam Keesaan absolut dari
Esensi. Hanya ketika Keesaan tersebut berpaling menuju aspek eksterior ia membuat dirinya
menjadi pasangan yang berlawanan satu sama lain, seperti aktif dan pasif, niscaya dan kontingen,
ilahiyah dan makhlukiah, dengan maksud untuk disatukan kembali dalam determinasi yang
membawa partikularisasi (takhassus) pada tahap lebih lanjut. Tahap lebih lanjut ini adalah
Kesatuan, dan hal tersebut berhubungan dengan modus eksistensi sebagaimana dikondisikan
dengan indeterminasi, dalam pengertian tidak dikondisikan oleh partikularisasi atau individuasi
apapun, tetapi bebas menautkan dirinya dalam partikularisasi dan individuasi (lā bi shart shay’).
Kemudian dalam perkembangan lebih lanjut-Nya pada tingkatan determinasi kedua dan ketiga
lalu Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, memunculkan di dalam
303 Lihat karya ‘Abd al-Karīm al-Jīlī, Al-Insān al-Kāmil, Cairo, 1956, 2 vol; vol. 1 hlm. 51.
184 Prolegomena
kesadaran-Nya manifestasi aktif, efisien dan ilahiyah yang berhubungan dengan derajat Ilahiyah
(Ilāhiyyah). Hanya pada tahap inilah Eksistensi Absolut dapat dicapai kognisi manusia sebagai
‘Tuhan’ (ilāh), dan digambarkan dalam cara sebagaimana Dia telah mengungkapkan diri-Nya
dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya akan keilahiyahan. ‘Penurunan’ Eksistensi Absolut pada
determinasi ketiga dan keempat, yang berhubungan dengan derajat ketiga dan keempat
eksistensi, menampilkan aspek ke-luar dari Realitas Tertinggi yang juga disebut Eksistensi
Niscaya (al-wājib al-wujūd), karena keniscayaan adalah kondisi yang tidak berubah-ubah.304
Kemudian kembali dalam bahasa metafora kita katakan bahwa Realitas Tertinggi, setelah
merenungkan diri-Nya sendiri dalam cermin pertama tersebut dimana di dalamnya direfleksikan
kesempurnaan esensial-Nya, dan berhasrat untuk melihat esensi-esensi (al-a’yān) Nama-Nama
dan Sifat-Sifat-Nya yang tidak terhingga, yang diungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri
namun kembali dalam bentuk-bentuk mereka dan melihat, seperti dalam cermin ajaib lain, realitas-
realitas (haqā’iq) yang inheren dalam mereka.305 Bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut
merupakan esensi-esensi yang tegak atau arketip permanen (al-a’yān al-thābiţah). Dengan
demikian ketika Eksistensi Absolut, dalam swa-pemanifestasian-Nya, dari aspek eksterior
Keesaan pada tingkatan ontologis dari determinasi pertama merenungkan diri-Nya sendiri, Dia
itu sadar terhadap kesempurnaan diri-Nya sendiri, yang merupakan bentuk esensial dari Nama-
Nama Ilahiyah yang dapat dilihat dalam kesadaran Ilahiyah. Mereka itu, sebagaimana dikatakan,
‘gagasan’ atau ‘intelijibel’ dalam pengetahuan Ilahiyah, dan dikualifikasikan sebagai dibangun
secara permanen dan tetap (thābitah) karena mereka berada secara permanen (cth. baqā’) dalam
kesadaran dan pengetahuan Ilahiyah. Mereka tetap tinggal di dalamnya dan tidak berubah dalam
sifat-dasar mereka dan tidak dipindahkan dari kondisi interior dan intelijibel mereka. Lebih
lanjut, karena keterpilahan mereka satu sama lain dan kesinambungan (baqā’) mereka sedemikian
dalam kesadaran Ilahiyah mereka itu merupakan realitas-realitas, pastinya, realitas-realitas asali
dari hal-hal yang kondisi masa depannya diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah
akan tingkatan ontologis.
Kini Eksistensi Absolut dalam derajat tertinggi keabsolutannya tidak membutuhkan
apapun, cukup pada diri-Nya sendiri dan tidak membutuhkan yang ‘lain’ apapun itu. Tapi Nama-
Nama dan Sifat-Sifat-Nya, yang menjadi nampak kepada-Nya pada derajat-derajat lebih rendah
akan tingkatan ontologis, membutuhkan realitas-realitas mereka untuk dimanifestasikan dalam
bentuk-manifestasi (manifestation-form) mereka (mazāhir, tung. mazhar), apakah bentuk-manifestasi
304 Dengan istilah ‘niscaya’ (wujūb) kita menunjuk pada salah satu dari tiga kategori eksistensi; dua yang lain adalah
‘mustahil’ (imtinā’) dan ‘kemungkinan’ (imkān). Kategori-kategori tersebut dapat dipahami dalam pengertian logis
maupun ontologis. Di sini kita tidak hanya memaksudkan ‘niscaya’ dalam pengertian logis (cth. wujūb; istihālah;
jawāz), seolah-olah objeknya yang ditunjuknya hanya sebuah putusan intelektual yang mungkin tidak memiliki realitas
yang berhubungan dalam eksistensi di luar pikiran. Kita maksudkan dengannya juga dalam pengertian ontologis, dan
niscaya dalam pengertian yang menyentuh kepada dua jenis realitas, yang satu tergantung kepada yang lain untuk
eksistensinya. Dalam kasus yang pertama hal itu menyentuh pada realitas yang eksistensinya itu niscaya oleh dirinya
sendiri, seperti Eksistensi Absolut yang diidentifikasi dengan ungkapan Qur’ān sebagai Kebenaran (al-haqq). Hal itu
merupakan realitas yang eksistensinya tidak didahului oleh non-eksistensi; hal itu merupakan swa-berada dengan sebab
esensinya sendiri (qā’im bi nafsih) dan deskripsi ini menunjuk pada Nama Ilahiyah al-qayyūm. Dalam kasus kedua hal
itu menyentuh kepada realitas yang eksistensinya itu niscaya oleh selain dirinya, seperti eksistensi konkret dunia hal-
hal empiris, yang eksistensinya didahului oleh non-eksistensi, dan dibuat niscaya oleh eksistensi dari Eksistensi
Absolut. Eksistensi dalam kasus pertama tinggal dari dan pada semua keabadian, sedangkan eksistensi dalam kasus
kedua adalah non-abadi. Lihat lebih lanjut karya ibn Sinā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, dengan komentar oleh Nasīr al-
Dīn al-Tūsī, ed. Sulaymān Dunyā, 4 pts. Dalam 3V., Cairo, 1958 (2nd. Ed. 1971), vol. 3, hlm. 19; juga Dānish Nāma-i
‘Alā’ī (The Metaphysica of Avicenna), trans, dan komentar Parvis Morewedge, New York, 1973, hlm 4748; 316; bab.
24 dan 25); al-Ghazāli, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Khwājah Zādah, Cairo, 1321, hlm. 19; al-Rāzī, Lawāmi’ al-Bayyināt
Sharh Asmā’ Allāh wa al-Sifāt, ed. Taha ‘Abd al-Ra’ūf Sa’d, Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyyah, Cairo, 1400/1980,
hlm. 356.
305 Pada sifat-dasar dari realitas, lihat bab VI, hlm. 253-254, dan hlm. 265.
185 Prolegomena
tersebut menyentuh kepada dunia tidak terlihat atau dunia terlihat, karena tanpa bentuk-
manifestasi mereka realitas-realitas tersebut tidak akan pernah mampu mengaktualisasikan sifat-
dasar positif mereka.306 Realitas Nama-Nama dan Sifat-Sifat hanya menjadi positif dengan
diaktualisasikan dalam bentuk-manifestasi mereka. Aktualisasi ini diakibatkan oleh swa-
pengungkapan (tung. tajallī), determinasi dan individuasi (tung. ta’ayyun) dari Eksistensi Absolut
dalam diri mereka (cth. dalam bentuk mereka). Karena setiap realitas tersebut itu terpilah satu
sama lain, dan masing-masing mereka mengandung semua kondisi masa depannya untuk
dimanifestasikan dalam tatanan sekuensial, maka swa-pengungkapan-Nya pada mereka tidak
pernah diulangi dalam bentuk yang sama. Manifestasi lanjutan dari Eksistensi Absolut ini dalam
derajat-derajat lebih rendah akan tingkatan ontologis berlangsung dengan pancaran lain dari
eksistensi-Nya yang disebut pancaran suci (al-fayd al-muqaddas).
Dengan demikian kita telah jauh meringkas dalam ringkasan tentang tingkatan ontologis
dari yang pertama kepada determinasi ketiga dari Eksistensi Absolut, yang berhubungan dengan
derajat kedua, ketiga, dan keempat dari eksistensi. Hal tersebut adalah derajat-derajat dari
Kesatuan, dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat, dan dari Arketip Permanen. Masing-masing derajat
tersebut, seperti yang pertama kali mendahului mereka, adalah dikarakteristikkan dengan
memiliki aspek interioritas dan eksterioritas. Pada tahap aspek eksterior dari derajat keempatlah,
yakni arketip, pancaran suci tersebut berlangsung. Diagram berikut menyertai secara sekuensial
dengan yang ditunjukkan pada halaman 274 di atas:
Kesatuan Ilahiyah Pancaran Paling Suci Determinasi ke-1
Derajat ke-2 Interior Determinasi ke-2
Determinasi ke-3
Nama-Nama & Eksterior
Sifat-Sifat Interior
Derajat ke-3
Eksterior
Arketip-Arketip Interior
Permanen
Derajat ke-4 Eksterior
Pancaran Suci
Isi pancaran suci dari eksistensi ini pada tahap aspek eksterior dari arketip, dan dalam hubungan
dengan aspek interior, adalah penerima pasif dari semua potensialitas inheren dalam arketip-
arketip permanen, yang kondisi masa depannya secara bertalian diaktualisasikan melalui
perantara aspek eksterior dari arketip-arketip (al-a’yān al-khārijiyyah). Karena aspek interior dari
arketip-arketip permanen merupakan penentu aktif semua maujud yang mungkin dalam
hubungan dengan apa yang merupakan akibat bagi mereka, aspek eksterior yang berhubungan
306 Beberapa realitas memiliki sifat-dasar negatif; mereka tidak memiliki bentuk-manifestasi yang dapat
mengaktualisasikan mereka ke dalam eksistensi eksternal. Lihat bab VI, hlm. 258-259.
186 Prolegomena
dari arketip-arketip, yang merupakan penerima pasif dari apa yang mendahului mereka,
mengandung manifestasi pasif, kontingen, makhlukiyah dari Eksistensi Absolut. Namun, dalam
hubungan dengan apa yang merupakan akibat bagi mereka, aspek eksterior dari arketip-arketip
adalah pengembang aktif dari aktualisasi terhadap potensialitas inheren dalam arketip permanen
berdasarkan kebutuhan semua kondisi masa depan mereka, dimana masing-masing aktualisasi
menyertai yang lain dalam tatanan yang bertalian sehingga masing-masing merupakan sesuatu
yang serupa, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dari yang sebelumnya.307 Tingkatan ini
menandakan determinasi keempat Eksistensi Absolut, yang berhubungan dengan determinasi
kelima dari eksistensi. Derajat keenam dan yang terakhir dari eksistensi ini adalah tingkatan
determinasi kelima dari Eksistensi Absolut. Hal tersebut merupakan manifestasi dalam rincian
dari derajat sebelumnya dan merupakan alam dunia empiris, dunia indera dan pengalaman
inderawi di mana di dalamnya kontingensi (imkān) merupakan kondisi yang tidak berubah.308
Diagram di bawah berikut menyertai secara sekuensial pada yang di halaman 279 di atas.
Pancaran Suci
Arketip-Arketip Eksterior Interior Determinasi ke-4
Derajat ke-5 Eksterior
Dunia Empiris Interior Determinasi ke-5
Derajat ke-6 Eksterior
Kita katakan sebelumnya bahwa Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah membutuhkan
dalam realitas-realitas mereka untuk diwujudkan dalam bentuk-manifestasi mereka (mazāhir,
tung: mazhar).309 Dari sudut pandang linguistik mazhar berarti ‘lokus manifestasi’, bukan suatu hal
yang termanifestasi; mazhar seperti sebuah cermin yang merupakan lokus dari citra, bukan
pemilik citra. Dengan demikian hal yang termanifestasi tidak terkandung dalam lokus
manifestasi. Dari sudut pandang metafisis mazhar menunjuk pada bentuk (sūrah) sesuatu, apakah
itu dalam alam intelijibel atau inderawi dari eksistensi. Yang intelijibel dan inderawi menujuk
kepada alam arketip-arketip permanen dan arketip eksterior secara berturut-turut. Dalam
pengertian ini, dan dengan referensi kepada bentuk dari dunia intelijibel, arketip-arketip
permanen merupakan bentuk-manifestasi di mana direfleksikan kesempurnaan esensial dari
Realitas Tertinggi yang sedang diproyeksikan oleh pancaran paling suci dari eksistensi dalam
swa-pengungkapan-Nya yang pertama (tajallī dhātī). Kesempurnaan esensial tersebut adalah
terliputi dalam Nama-Nama-Nya, yang refleksinya nampak sebagai ‘citra-citra’ dalam bentuk dari
arketip-arketip permanen. Demikian juga, arketip-arketip eksterior merupakan bentuk-
manifestasi dari arketip-arketip interior, yang melaluinya hal tersebut lebih lanjut diproyeksikan,
dengan pancaran suci dari eksistensi dalam swa-pengungkapan-Nya yang kedua (tajallī shuhūdi),
seiring itu hal lain muncul dari bentuk-bentuk dari Nama-Nama-Nya. Pengaruh niscaya mereka
menjadi dunia yang terlihat. Sama seperti dua jenis bentuk-manifestasi yang berhubungan dengan
307 Lihat bab VI, hlm. 254-255.
308 Lihat juga karya Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 29-30, dan teks bahasa Persia pada hlm. 3031. pada ‘kontingensi’, lihat
elaborasi terhadap maknanya dalam interpretasi kita tentang majāz, di bawah, hlm. 292-295.
309 Lihat di atas, hlm. 278-279.
187 Prolegomena
dua bentuk manifestasi-diri-Nya,310 maka mereka juga berhubungan, dalam perkembangan
eksistensial mereka, dengan akibat yang disebabkan Nama-Nama prinsip-Nya ‘Yang Interior’ (al-
bātin) dan ‘Yang Eksterior’ (al-zāhir), ‘Yang Pertama’ (al-awwal) dan ‘Yang Terakhir’ (al-akhir).311
Pada analogi cermin, kita lihat bahwa apa yang menjadi termanifestasi dalam lokus manifestasi
(mazhar) adalah bentuk, bukan esensi atau hal itu sendiri. Namun, kasus dari Eksistensi Absolut
adalah berbeda dalam semua itu yang manifestasinya itu identik dengan loci dimana mereka
dimanifestasikan, dan dalam semua loci tersebut, Dia dimanifestasikan dalam Esensi-Nya
sendiri.312 Di sini mazhar bukanlah sebuah lokus terpisah yang nyata dalam kesatuan (ittihād),
seperti dikatakan, dengan Eksistensi Absolut yang dimanifestasikan olehnya; maupun Eksistensi
Absolut itu imanen (hulūl) di dalamnya, karena mazhar itu tidak pada dirinya sendiri berada secara
terpisah terhadap-Nya menjadi dalam kesatuan dengannya, atau menjadi imanen dalamnya.
Mazhar dalam dirinya sendiri merupakan sesuatu dalam kondisi interior Being (cth. bātin); mazhar
itu secara esensial non-maujud (ma’dūm bi al-dhāt). Jadi mazhar itu pada kenyataannya merupakan
kualitas dari ‘menjadi-terwujud’ (zuhūr), mazhar bukanlah sebuah ‘panggung’ atau ‘tempat’
manifestasi yang nyata dan terpisah. Kini proses menjadi termanifestasi (izhār) dari suatu hal
adalah proses menjadi terpilah dari yang lain, atau menjadi diferensia. Seperti kita telah katakan
sebelumnya dengan referensi kepada realitas-realitas, hal tersebut berkaitan dengan bagian
esensial dari keterpilahan inheren dalam masing-masing Sifat Ilahiyah sehingga sebuah realitas
dari sekian realitas tak terhingga dari Nama-Nama Ilahiyah menjadi temanifestasi. Maka mazhar
itu, disusun oleh Sifat-Sifat Ilahiyah.313 Dalam cara yang sama bahwa sifat itu identik dengan
Esensi dalam realitas, tetapi ditambahkan padanya dalam pikiran,314 maka mazhar itu disusun oleh
Sifat-Sifat pada kenyataan juga disusun oleh Esensi dalam hal tertentu, yang biasanya menunjuk
di sini sebagai Kebenaran (al-haqq), dengan cara ini Kebenaran juga, sebagai Eksistensi Absolut,
yang menyusun modus-modus eksistensi-Nya, karena modus-modus yang tidak memiliki
eksistensi terpisah dan independen melihat bahwa Dia merupakan eksistensi sejati mereka dan
esensi-esensi sejati mereka. Kebenaran, dalam sebab dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang
tak terhingga, melihat diri-Nya meskipun dalam cermin yang berbeda dan tak terhingga, dimana
masing-masing merefleksikan sebuah aspek yang berbeda dari Being-Nya, dan dengan demikian
menghasilkan sebuah citra multiplisitas yang sangat banyak tanpa mengurangi Keesaan absolut
dari Being-Nya.315 Referensi kita kepada ‘aspeknya yang berbeda dari Being-Nya’ sebagai analog
dengan banyaknya cermin dengan potensialitas mereka yang berbeda merupakan sebuah kiasan
kepada esensi-esensi sejati dan individual dari dunia interior dan intelijibel dari arketip-arketip,
darimana mereka diproyeksikan dan dikembangkan dalam arketip eksterior dan inderawi
menjadi dunia hal-hal konkret. Kini, dalam kasus cermin, bentuklah, bukan esensi dari yang
melihat, yang direfleksikan; tetapi dalam kasus akan mazhar dari Kebenaran, diri-Nya sendiri
merupakan bentuk-manifestasi dengan mana dia dimanifestasikan dalam Esensi-Nya sendiri —
Dia adalah diri-Nya sendiri, seperti dikatakan, sekaligus cermin dan wajah. Kebenaran nampak
dalam masing-masing dan esensi invidual tersebut berdasarkan sifat-dasar esensi tersebut,
310 Cth. manifestasi dalam alam yang tak terlihat dari Esensi (tajallī dhātī); dan manifestasi dalam dunia terlihat dari
entitas-entitas eksistensial konkret (tajallī shuhūdi, atau tajallī wujūdī).
311 Lihat bab VI, hlm. 259-264.
312 Lawā’ih, op.cit. hlm. 36. dengan ‘loci’ dimaksud arketip-arketip permanen.
313 Realitas atau esensi-esensi yang berada dalam pikiran Tuhan (cth. arketip yang mungkin dan permanen) itu pada
kenyataannya merupakan Sifat-Sifat Tuhan (contohnya pengetahuan, kehendak, kekuasaan, dll.) dan Nama-Nama
(contohnya mengetahui, menghendaki, berkuasa, dll). Meskipun Sifat-Sifat bukanlah maujud dalam pengertian konkret,
mereka meskipun demikian berada dalam kesadaran Ilahiyah sebagai realitas dan subjektif bagi-Nya, sementara Nama-
Nama menjadi modus-modus eksistensi.
314 Kita tidak memaksudkan, dengan ungkapan: ‘ditambahkan padanya dalam pikiran’, apa yang filsuf mengerti dengan
ungkapan yang sama yang juga mereka gunakan. Untuk penjelasan dari ini lihat di bawah, hlm. 310-312.
315 Lihat karya Jāmī, Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 10-11: 24.
188 Prolegomena
sehingga sementara benarlah Dia dimanifestasikan oleh esensi tersebut, namun esensi tersebut,
dengan sebab potensialitas inherennya, membatasi Kebenaran tersebut berdasarkan sifat-
dasarnya sendiri.316 Jadi masing-masing dan setiap bentuk-manifestasi adalah Kebenaran tersebut
sebagaimana dimanifestasikan berdasarkan bentuk tersebut, bukan Kebenaran sebagaimana Dia
ada dalam keabsolutan-Nya. Dengan demikian, sementara Kebenaran itu identik dengan bentuk-
manifestasinya yang terakhir itu tidak identik dengan-Nya, karena tidak dapat dikatakan bahwa
secara absolut tidak ada perbedaan apapun dalam kondisi ontologis akan Kebenaran dan
individuasi majemuk-Nya dan banyak. Terdapat, yang pertama, pemilahan dari prioritas dan
posterioritas esensial antara Kebenaran dan manifestasi dan individuasi-Nya. Keberadaan-Nya
sebagai Kebenaran dalam keabsolutan-Nya itu mendahului bagi keberadaan-Nya sebagai
manifestasi dan individuasi-Nya, dan dengan demikian eksistensi pada kenyataannya menyentuh
kepada apa yang lebih dahulu. Kedua, ada pemilahan tentang keabsolutan dan keterbatasan di
antara mereka secara berturut-turut.317 Demikian juga, pemilahan antara mazhar interior dan
intelijibel dan mazhar eksterior dan inderawi ada dalam pengertian yang terdahulu sebagai
absolut (mutlāq) dan yang kemudian terbatas (muqayyad), dan tentu juga dalam pengertian
hubungan prioritas-posterioritas sebagaimana telah kita gambarkan dalam kasus tashkīk.318
Sehingga Kebenaran itu diungkapkan dalam eksistensi yang termanifestasikan, dan bentuk-
manifestasi-Nya yang mengungkapkan-Nya merupakan kualitas-kualitas-Nya. Dikatakan dalam
cara lain, Dia adalah ‘substansi’ Yang Satu (‘ayn wāhid), dimana bentuk-manifestasinya itu
merupakan ‘aksiden’ yang aksesoris bagi-Nya. Diambil dalam hubungan dengan Sumber mereka,
mereka telah merefleksikan kepada mereka cahaya dari eksistensi. Metafora cahaya membawa
kepada pikiran penyertaan tentang bayangan.
Bahwa yang ‘selain’ dari Tuhan dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, dengan
mana yang berarti adalah dunia hal-hal ciptaan, ada dalam hubungan dengan Tuhan yang
analogis dengan bayangan dalam hubungan dengan seseorang, sehingga dalam pengertian ini
dunia tersebut adalah seperti dikatakan adalah bayangan Tuhan.319 Karena untuk adanya
bayangan harus ada tiga hal: seseorang yang menuangkan bayangan; tempat atau lokus dimana
bayangan dibuat; dan cahaya dimana bayangan tercipta. Seseorang di sini menyimbolkan
Kebenaran; tempat atau lokus menyimbolkan esensi-esensi yang mungkin (al-a’yān al-mumkināt)
atau arketip-arketip permanen (al-a’yān al-thābiţah); dan cahaya menyimbolkan Nama Ilahiyah
‘Yang Termanifestasi’ (al-zāhir).320 Cahaya, sebagaimana dikatakan al-Ghazāli,321 dengan dirinya
sendiri terlihat dan membuat hal yang lain menjadi terlihat. Tentu saja, Tuhan merupakan Cahaya
Sejati, Sumber semua tahapan cahaya yang, dalam hubungan dengan Cahaya-Nya, merupakan
metaforis dalam alam.322 Nama Ilahiyah ‘Cahaya’ (al-nūr) pada kenyataannya menunjuk kepada
Nama Ilahiyah ‘yang termanifestasi’, karena seperti cahaya Tuhan itu dengan diri-Nya sendiri
termanifestasi dan membawa yang lain ke dalam manifestasi (al-zāhir fi nafsihi al-muzhir li
ghayrihi)323. Kini ‘yang lain’ yang dibawa ke dalam manifestasi adalah esensi-esensi yang mungkin
(mumkināt) yang dalam diri mereka sendiri hanya merupakan potensialitas yang tidak memiliki
316 Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 30-31: 58.
317 Sharh Fusūs, hlm. 141.
318 Bab VI, hlm. 245-246.
319 Fusūs al-Hikam, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī, Cairo, 1365/1946, 2 bagian diikat dalam 1, pt. 1, hlm. 101.
320 Sharh Fusūs, hlm. 138.
321 Mishkāt al-Anwār, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī, Dār al-Qawmiyyah li al-Tibā’ah wa al-Nashr, Cairo, 1383/1964, hlm. 4-5.
322 Ibid, hlm. 16-18; pada pelbagai tahapan dari cahaya lihat hlm. 4-16.
323 Lihat karya al-Ghazāli, Al-Maqsad al-Asnā fi sharh ma’ānī Asmā’ Allāh al-Husnā, ed. Fadlou Shehadi, Dār al-
Mashriq, Beirut, 1971, hlm. 157; komentarnya pada Nama Ilahiyah al-nūr (hlm. 157-158); juga komentarnya pada
Nama Ilahiyah al-zāhir al-bātin, hlm. 147-150, Sharh Fusūs, hlm. 133. juga karya al-Rāzī pada Nama-Nama dalam
Lawāmi’ al-Bayyināt sharh Asmā’ Allāh wa al-Shifāt, hlm. 18-26; 347.
189 Prolegomena
eksistensi aktual, dan dimana secara esensial dalam kegelapan non-eksistensi (zulmah ‘adamiyyah),
tetapi yang meskipun demikian dibangun sebagai intelijibel dalam pengetahuan Ilahiyah.324 Istilah
‘kegelapan’ (zulmah) menyebut kepada sifat-dasar bayangan, karena semua bayangan itu gelap
dan tidak ada yang lebih gelap dari kegelapan non-eksistensi. Hanya seperti dalam kasus
bayangan fenomenal, jika tidak ada cahaya yang menyinarinya dan tidak ada tempat untuk
mencetaknya, bayangan itu akan tetap dalam non-eksistensi; bayangan akan tetap sebuah
potensialitas inheren dalam being atau hal yang fenomenal dan tidak akan pernah muncul ke
dalam aktualitas. Jadi dengan cara yang sama, esensi-esensi yang mungkin dalam kegelapan non-
eksistensi, yang dalam kasus ini juga berarti keberadaan mereka yang dibungkus dalam misteri,
merupakan potensialitas yang dibangun dalam kesadaran Ilahiyah. Mereka merupakan
kesempurnaan esensial (kamalāt dhātiyyah) yang menyusun Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah.
Hanya ketika cahaya Esensi-Nya diproyeksikan kepada mereka maka bayangan yang mereka
cetak menyusun arketip-arketip permanen, sehingga arketip-arketip tersebut menampilkan
‘tempat’ atau bentuk-manifestasi (mazhar) dari bayangan Esensi. Kemudian melalui arketip-
arketip permanen tersebut cahaya esensial lebih lanjut diproyeksikan kepada kekuatan yang
inheren dalam sifat-dasar mereka (ahkām), pengaruh niscaya mereka (lāwazim) dan kecocokan
(tawābi’) yang menuangkan sebagai akibat mereka (athār) terhadap bayangan kedua yang kita
sebut dunia. Bayangan Esensi tersebut disebut ‘cahaya relatif’ (nūr idāfi).325 Kini esensi-esensi yang
mungkin dalam diri mereka sendiri tidak bercahaya sebab mereka tidak memiliki being. Tanpa
cahaya esensial, esensi-esensi yang mungkin tidak menjadi esensi-esensi.326 Ketika Esensi tersebut
memanifestasikan dirinya sendiri dalam esensi-esensi yang mungkin bayangannya menjadi
termanifestasi. Esensi-esensi yang mungkin adalah seperti kaca transparan, sehingga bayangan
Esensi yang diproyeksikan melalui mereka mengambil sifat-dasar-cahayanya. Hanya ketika
bayangan cahaya ini lebih lanjut diproyeksikan kepada arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-
khārijiyyah) untuk nampak sebagai dunia hal itu membutuhkan pewarnaannya yang gelap
berkaitan dengan ‘jarak’ dari Sumber Cahaya. Cahaya itu sendiri murni dan tidak berwarna,
tetapi menjadi diwarnai oleh warna dari kaca yang melaluinya bersinar.327 Inilah mengapa
bayangan pertama di sebut ‘cahaya relatif’, yang merupakan nama lain dari ‘eksistensi relatif’
(wujūd idāfi), karena dalam terminologi dari metafisikawan Sūfī cahaya itu identik dengan
eksistensi.328
Dengan demikian dunia disebut ‘bayangan’ untuk dua alasan utama yang
mendemonstrasikan sifat-dasar analogis realitas mereka, yakni: (1) bayangan tidak memiliki
realitas independen; pergerakannya berkaitan dengan pemiliknya dan tidak memiliki keampuhan
untuk membawa ke dalam eksistensi atau menyebabkan non-eksistensi; bayangan itu secara
esensial adalah non-eksistensi, karena esensi sejatinya bukan dirinya sendiri tetapi pemiliknya; (2)
realitas bayangan itu adalah kekurangan eksistensial akan cahaya; hal itu tidak memiliki
eksistensi yang mendahului yang padanya seseorang dapat menunjuknya sebagai realitasnya
selain kemungkinan belaka, dan hal itu datang ke dalam eksistensi berkaitan dengan cahaya yang
mencetaknya. Maka, realitasnya, adalah yang lain dari dirinya sendiri.
Jelaslah dari apa yang telah kita jelaskan bahwa terdapat dua aspek bayangan dari Realitas
Tertinggi: yang pertama adalah bayangan esensial yang termanifestasi kepada-Nya sebagaimana
324 Fusūs, hlm. 101-102.
325 Lihat al-Qāshānī, Sharh Fusūs, hlm. 144; Fusūs, hlm. 104.
326 Tolong catat bahwa hubungan intelek manusia dengan imajinasi rasional, dan Kecerdasan Aktif dengan jiwa
manusia, ada dalam hal tertentu analogis dengan hal ini. Lihat lebih lanjut bab IV, hlm. 157; 164-165.
327 Fusūs, hlm. 102-103
328 Lihat Mishkāt, hlm. 55; Maqsad, hlm. 157; Fusūs, hlm. 102. Eksistensi realitas (wujūd idāfi) adalah identik dengan
‘napas Yang Maha Penyayang’ (nafas al-rahmān). Lihat juga karya Kashshāf Istilāhat al-Funūn dari al-Tahānawī,
Khayyar, Beirut, 1966, 6v., 1V, hlm. 938 di bawah judul al-zill.
190 Prolegomena
Dia mengungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri, dan ini berhubungan dengan swa-
manifestasi dari Realitas Tertinggi dengan Esensi-Nya sendiri (tajallī dhāti). Bayangan itu
diproyeksikan kepada arketip interior (al-a’yān al-thābiţat) yang merupakan bentuk Nama-Nama
dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Proyeksi ini berhubungan dengan pancaran pertama cahaya-Nya, yang
merupakan pancaran paling suci (al-fayd al-aqdas). Swa-pengungkapan (tajallīyat) dan swa-
determinasi (ta’ayyunāt) dari Eksistensi Absolut disini adalah dari sebuah sifat-dasar interior yang
subjektif bagi-Nya, dan mereka menunjuk kepada tataran ontologis dari determinasi pertama dan
kedua secara berturut-turut. Aspek dari bayangan Eksistensi Absolut ini secara beragam disebut
‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfī), ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘amm), dan ‘napas Yang Maha
Penyayang’ (nafas al-rahman) dalam derajat Keesaan esensial (al-wahdah) dalam tataran ontologis
determinasi pertama; dan hal tersebut disebut bayangan pertama, dan arketip-arketip permanen
(al-a’yān al-thābiţah) dalam derajat Kesatuan (al-wahidiyyah) dalam tataran ontologis determinasi
kedua. Aspek kedua bayangan dari Eksistensi Absolut adalah apa yang disebut bayangan
eksterior, yang merupakan mazhar atau bentuk-manifestasi dari determinasi kedua. Bayangan ini
merupakan sebuah refleksi dari bayangan pertama sebagaimana diproyeksikan dalam bentuk dari
arketip-arketip interior, dan berhubungan dengan pancaran kedua cahaya-Nya, yang merupakan
pancaran suci (al-fayd al-muqaddas), dan pada swa-pengungkapan dari Eksistensi Absolut
sebagaimana Dia selalu mendeterminasi diri-Nya sendiri menjadi bentuk-bentuk yang lebih
konkret dalam keanekaragaman dan multiplisitas melalui arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-
khārijiyyah) hingga akhirnya hal itu mengandaikan bentuk-bentuk dari dunia yang terlihat (tajallī
shuhūdī atau tajallī wujūdī). Bayangan kedua ini, sebagai bayangan yang direfleksikan oleh yang
pertama, adalah secara beragam disebut Intelek Pertama (al-’aql al-awwal), Dunia Ruh (‘alām al-
arwāh), Manusia Sempurna (al-insān al-kāmil) dan yang ‘lain’ dari Tuhan (mā siwa Allāh).
Kita telah menguraikan secara ringkas dalam halaman-halaman di depan enam derajat
eksistensi dalam tatanan yang menurun dari yang tertinggi ke yang terendah. Haruslah selalu
dijaga dalam pikiran, ketika kita berbicara ‘penurunan’ Realitas Tertinggi dari derajat keabsolutan
murni dan persembunyian penuh kepada manifestasi tersebut dalam derajat-derajat yang lebih
rendah akan tingkatan ontologis, bahwa tidak ada sekuensi temporal yang terlibat, tidak ada jarak
yang dapat diukur dalam pengertian waktu antara yang tertinggi dan yang terendah sebagaimana
mungkin disarankan pikiran. Waktu seperti kita ketahui hanya muncul bersama dengan dunia
empiris indera dan pengalaman inderawi. Proses determinasi penciptaan secara keseluruhan yang
terlibat dalam pelbagai derajat muncul sekaligus dan secara sinambung, karena aspek swa-
manifestasi Realitas Tertinggi secara terus menerus terlibat dalam swa-pengungkapan dan
individuasi dalam samaran yang berbeda dalam derajat yang berbeda dan dalam gradasi pada
tingkatan ontologis yang berbeda, sementara itu selalu tetap sebagaimana Dia sebelumnya,
memelihara Keesaan absolut dan kemurnian-Nya. Dengan demikian kendati perkembangan-Nya
dalam modus ontologis yang berbeda dari eksistensi-Nya, yang merupakan modus akan
dikondisikan, pertama oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā shay’); kemudian oleh
indeterminasi tetapi bebas berhubungan dengan sesuatu (lā bi shart shay’); kemudian dengan
sebagai sesuatu (bi shart shay’), eksistensi-Nya itu sendiri adalah bebas dari dikondisikan oleh
pembagian sebagai eksistensi absolut di satu pihak dan eksistensi relatif di pihak lain, bahkan
ketika Dia ada dalam inti Esensi-Nya dan sumber pembagian tersebut. Dengan cara analogi, dan
meminjam perumpamaan al-Ghazāli pada pelbagai tahapan cahaya (Mishkāt, hlm. 53),
perumpamaan ekspansi eksistensi dalam tahap yang ambigu dalam pelbagai tingkatan ontologis
dapat ditangkap oleh seseorang yang melihat cahaya bulan yang bersinar melalui jendela sebuah
rumah, jatuh pada cermin di dinding, yang merefleksikan cahaya tersebut kepada dinding lain
yang berhadapan dengannya, kemudian yang pada gilirannya merefleksikan kepada lantai yang
191 Prolegomena
menjadi tercerahkan oleh cahaya. Di sini kita memiliki empat tahapan cahaya dari yang terendah
ke yang tertinggi: cahaya di lantai adalah akibat dari apa yang ada di dinding; cahaya pada
dinding merupakan cahaya yang direfleksikan dalam cermin; cahaya dalam cermin bersinar dari
pancaran bulan; cahaya yang memancar dari bulan datang dari pancaran matahari yang
tersembunyi. Modus eksistensi dapat diringkas menjadi empat tahap:
(I) Tahap inti Esensi itu sendiri dari Realitas Tertinggi, yang merupakan Eksistensi
sebagaimana ada dalam dirinya sendiri, dibebaskan dari semua kondisi,
termasuk dari ketidakkondisian, dan semua hubungan. Secara teologis, ini
merupakan tahap akan Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri, yang
dibungkus dalam persembunyian sepenuhnya yang tetap secara abadi tidak
diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diri-Nya sendiri.
(II) Tahap ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘amm), yang merupakan Eksistensi absolut yang
diidentifikasi ungkapan Qur’āni sebagai Kebenaran. Tahap ini merupakan tahap
dari Tuhan dalam aspek swa-pengungkapan-Nya, yang merupakan aspek
eksterior dari (I) di atas. Hal itu meliputi derajat kedua eksistensi sebagaimana
hal itu mengembang dan membentangkan dirinya dalam manifestasi awal
melalui perantara pancaran paling suci pada determinasi pertama, yang
mengandung di dalamnya dirinya manifestasi akan bentuk-bentuk yang
berlawanan satu sama lain dari semua maujud yang mungkin dalam dunia yang
tak terlihat maupun dunia yang terlihat. Manifestasi tersebut adalah manifestasi
aktif, niscaya, dan ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen, dan
makhlukiyah. Hal itu merupakan manifestasi Esensi pada dirinya sendiri (tajallī
dhāti), yakni, yang subjektif bagi Tuhan, dimana kesempurnaan esensial-Nya
(kamalāt dhātiyyah) dan kecenderungan (shu’ūn) menjadi termanifestasi bagi-Nya.
(III) Tahap ‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfī), yang merupakan artikulasi lanjutan dari
(II) di atas. Di sini Eksistensi Absolut dikondisikan oleh indeterminasi tetapi
bebas untuk menghubungkan dirinya dengan sesuatu. Hal itu adalah tahap
Keesaan yang sudah mengandung kemungkinan tak terhingga akan swa-
keanekaragaman; tahap dari Kesatuan dari Yang Banyak (wāhidiyyah), dimana di
dalamnya Realitas Tertinggi dikualifikasikan dengan Nama-Nama dan Sifat-
Sifat yang bentuknya merupakan arketip-arketip permanen yang dibangun
dalam kesadaran-Nya. Tahap ini meliputi tingkatan ontologis determinasi
kedua dan ketiga yang berhubungan dengan derajat ketiga dan keempat dari
eksistensi. Hal itu juga diidentifikasi sebagai tahap ‘eksistensi yang
dibentangkan’ (wujūd munbasit) yang kadang-kadang juga disebut ‘napas Yang
Maha Penyayang’ (nafas al-rahmān) dan ‘cahaya relatif’ (nūr idāfī). Metafora
Cahaya (nūr), yang sering digunakan untuk menggambarkan tahap (II) di atas,
di sini direfleksikan sebagai citra dalam cermin yang tak berhingga dan berbeda
(cth. arketip-arketip permanen) yang pada gilirannya direfleksikan dalam
cermin yang berhubungan dalam derajat-derajat lebih rendah akan tingkatan
ontologis (cth. arketip-arketip eksterior). Ekspansi eksistensi dari tingkatan
arketip-arketip permanen kepada arketip-arketip eksterior adalah diakibatkan
melalui perantara pancaran kedua eksistensi, yakni pancaran suci.
(IV) Tahap ‘eksistensi komprehensif’ (wujūd jami’), yang merupakan tahap dunia
empiris, dunia indera dan pengalaman inderawi. Di sini realitas eksistensi
dibagi menjadi entitas-entitas partikular dan individual, atau ke dalam modus
192 Prolegomena
majemuk beragam. Tahap ini meliputi determinasi keempat dan kelima dari
Eksistensi Absolut yang berhubungan dengan derajat kelima dan keenam dari
eksistensi.
Status ontologis dari apa yang ‘lain’ dari Tuhan (mā siwa Allāh), yakni, baik pada dunia tak
terlihat maupun yang terlihat, mengandung hubungan eksistensial yang muncul akan ‘peristiwa’
mereka dari ‘terhubung dengan’ pancaran eksistensi. Maka, eksistensi masing-masing hal
sedemikian tidaklah sinambung dan sementara. Tentu saja eksistensinya adalah simultan dengan
non-eksistensinya; dan pengenalan kita tentang sebagai memiliki sebuah ‘esensi’ dan sebagai ‘hal’
spesifik dan individual yang memiliki kesinambungan penampakan dalam eksistensi pada
kenyataannya disifatkan pada kuiditasnya yang hanya ada dalam pikiran ketika pikiran tersebut
mempertimbangkannya (cth. i’tibārī). Sifat-dasar ketidaksinambungannya berarti bahwa hal
tersebut dalam masing-masing ‘saat-dari-dirinya-sendiri’ tidak memiliki eksistensi dalam
pengertian sejati — yakni, dalam pengertian bahwa hal itu bertahan dalam suatu jenis durasi pada
masing-masing saat-dari-dirinya-sendiri. Tapi pada faktanya bahwa hal itu tidak memiliki
eksistensi sejati tidaklah bermakna bahwa hal itu merupakan sesuatu yang pura-pura. Tentu saja
eksistensi yang sementara itu memiliki status ontologis, semakin demikian ketika yang serupa
akan kesinambungan eksistensial dicapai oleh pembaharuan yang sinambung. Maka hal itu
merupakan sesuatu yang non-abadi (muhdath), sesuatu yang baru, sesuatu yang baru, yang ada
secara baru, untuk pertama kali, tidak ada sebelumnya, sesuatu yang diasalkan sekarang,
sehingga hal itu ‘selalu-baru’. Pada masing-masing peristiwa pembaharuannya, hal itu tidak sama
lagi dengan yang sebelumnya, tetapi merupakan sesuatu yang baru pada setiap penampakan dan
ketidaknampakan dan penampakan ulangnya dalam sebuah proses yang abadi. Proses itu sendiri
dapat digambarkan sebagai sama sepanjang proses itu, tetapi isi proses tersebut — yakni, dunia
dimana proses terlibat dan dengan mana proses terlibat — tidaklah sama: setiap suatu hal pada
masing-masing peristiwa yang bertalian dari pembaharuannya adalah serupa dengan yang lain
sebelumnya, dan karena setiap manifestasi tunggal tersebut dalam prosesnya adalah baru, setiap
manifestasi itu berbeda dari yang lain.
Dalam cara ini, dan berkaitan dengan fakta bahwa semuanya terlibat dalam proses yang
sinambung akan pembaharuan, tidak ada eksistensi sejati pada apapun selain hanya pada Tuhan.
Dengan demikian hanya Aspek-Nya yang tetap.329 Proses penciptaan penghancuran dan
pembaharuan melibatkan semua hal; bukan hanya semesta bersama dengan semua bagiannya,
tetapi bahkan dunia ruh dan realitas arketip secara sinambung dihancurkan dan diperbaharui,
secara sinambung nampak dan hilang. Tetapi ada sebuah pemilahan yang menentukan antara
penghancuran dan pembaharuan, penampakan dan ketidaknampakan dari realitas-realitas
(haqā’iq) dan dunia yang mereka proyeksikan. Sedangkan dalam kasus dunia tersebut mereka itu
baru setiap saat, dan masing-masing dunia baru itu berbeda meskipun serupa dalam hubungan
dengan yang sebelumnya sedemikian rupa sehingga dunia selalu binasa, realitas-realitas tersebut
disusun ulang, dirumuskan ulang dan dibuat nampak kembali selalu dalam bentuk yang sama.330
Itulah mengapa mereka ditunjuk sebagai ‘tetap’ atau ‘permanen’ (thābiţah); hal itu hanya karena
mereka dengan demikian secara permanen dibangun dalam kesadaran Ilahiyah sehingga mereka
dapat menjadi intelijibel dalam pengetahuan Ilahiyah; dan hanya karena sifat-dasar permanen
mereka dapat didefinisikan sebagai ‘realitas’, karena dalam hubungan dengan dunia yang mereka
proyeksikan mereka itu lebih nyata daripada dunia. Dalam pengertian inilah realitas-realitas
dapat dipertimbangkan sebagai ‘substansi’ dalam hubungan dengan dunia ‘aksiden’. Status
329 Qur’ān, Al-Qasas (28): 28.
330 Ibn ‘Arabī, Fusūs al-Hikam, Cairo, 1946, vol. 1, hlm. 124. Lihat juga al-Qāshānī Sharh Fusūs, op.cit. hlm. 237; dan
karya ibn ‘Arabī Futūhāt al-Makkiyah, Cairo, 1972, vol. 1, hlm. 204:290A.
193 Prolegomena
ontologis yang ‘lain’ daripada Tuhan adalah peristiwa menjadi ‘terhubung-dengan’ Eksistensi
Absolut; oleh karena itu eksistensi sejatinya itu merupakan peristiwa ‘sebagai-maujud’, peristiwa
menjadi ‘terhubung-dengan’ eksistensi, berhubungan dengan tahap III di atas akan Eksistensi
Absolut yang disebut ‘eksistensi relatif’, dan hal itu disebut ‘eksistensi metaforis’ (wujūd majāzi).
Kini hawādith (jamak dari hādith) menunjuk ‘hal-hal yang diasalkan’; hal-hal yang baru,
belum ada sebelumnya. Akar istilah ini (cth. hadatha) mengungkapkan pertentangan dari sesuatu
yang lebih dahulu yang selalu ada (cth. qaduma), sehingga istilah tersebut dalam pengertian
metafisis mengungkapkan pertentangan dari apa yang abadi (qaduma). Secara literal hawādith
berarti ‘hal-hal yang diperbaharui’; sesuatu yang selalu-baru sedemikian dalam penampakan
mereka sehingga eksistensi mereka diambil secara individual tidaklah sinambung. Eksistensi yang
kita predikasikan terhadap mereka sebagai selalu-baru menunjuk kepada eksistensi temporal
(zamānī) maupun eksistensi esensial mereka (dhātī); yakni, mereka memiliki permulaan dalam
waktu dan esensi-esensi mereka tidak swa-berada. Jadi karena mereka itu selalu-baru secara
temporal dan esensial, eksistensi individual mereka yang diambil secara kolektif sebagai sebuah
rangkaian merupakan ‘peristiwa’ yang berlangsung dan berhenti untuk berlangsung. Kemudian
pembaharuan mereka oleh yang serupa muncul dan diulangi secara terus menerus sehingga kita
dapat melihat eksistensi mereka sebagai sebuah keseluruhan itu sinambung. Tentu saja, eksistensi
pasti secara alamiah sinambung dalam keberadaannya; tetapi eksistensi dalam pengertian sejati
tersebut hanya berada pada Realitas Tertinggi. Namun, dalam kasus sesuatu yang diasalkan,
eksistensi mereka tidak sinambung meskipun kita menerima pertentangannya berkaitan dengan
proses terus menerus akan pembaharuan yang serupa. Sehingga apa yang kita lihat pada
kenyataannya adalah eksistensi ‘metaforis’ (wujūd majāzi).
Sebuah analisis semantik tentang konsep majāz akan menjelaskan lebih lanjut apa yang
dimaksud dengan ‘metafora’ ketika digunakan kepada eksistensi sebagaimana di sini. Akar jāza
menunjuk kepada sesuatu ‘yang diizinkan’, dan karenanya, dalam konteks metafisis atau teologis
kepada suatu hal in potentia atau pada hal yang ‘mungkin’; dan kata benda bentuk dasar jawāz pada
‘kemungkinan’. Apa yang dimaksud dengan ‘diizinkan’ atau ‘mungkin’ di sini digambarkan
dalam pikiran ketika suatu hal melewati dari satu tempat (e.g. sebuah jalan kecil, sebuah jalan) ke
tempat lain (cth. sisi yang lain dari jalan kecil atau jalan) karena telah diizinkan atau mungkin bagi
hal tersebut untuk mengaktualisasikan pelewatannya pada waktu yang spesifik. Kata benda
partisipial aktif dari jāza: jā’iz, adalah keberlangsungan pelewatan aktual. Ketika kita
memindahkan makna ini kepada konteks metafisis kita segera menerima gagasan bahwa suatu
hal yang mungkin telah, berkaitan dengan hubungan penciptaan aktual oleh Tuhan yang
diakibatkan oleh-Nya melalui Sifat-Sifat-Nya akan kekuasaan dan kehendak yang
dikombinasikan, melewati tahap potensialitas ke tahap aktualitas: dari non-eksistensi, ke dalam
eksistensi. Maka majāz menunjuk kepada penampakan kontingensi, atau keberlangsungan dari
yang kontingen, yakni, dunia dari being kontingen. Aktualisasi dari apa yang sebelumnya
potensial, meskipun hal itu merupakan sebuah aktualisasi, tidak berada dalam aktualisasinya; hal
itu lalu lewat dari non-eksistensi ke dalam eksistensi dan kembali pada non-eksistensi. Pelewatan
aktual yang berlangsung — yakni, aktualisasi — adalah apa yang diistilahkan sebagai jā’iz,
sehingga ketika teolog menunjuk kepada jā’iz al-wujūd mereka memaksudkan secara tepat tentang
jenis eksistensi sementara.
Kini makna majāz sebagai metafora dibawa kepada pikiran ketika sesuatu melewati
melampaui makna yang padanya hal itu secara asli digunakan, seperti contohnya, untuk
memindahkan makna ‘singa’, yang asalnya digunakan untuk binatang buas, melampaui dari
binatang kepada manusia, menyebut seseorang yang berani atau teguh hati sebagai seekor ‘singa’,
karena dari analogi atau hubungan antara dua pengertian dari makna ‘singa’. Manusia pada
194 Prolegomena
kenyataannya bukan singa, tetapi hanya seperti singa dalam keberanian dan keteguhan hati.331
Ketika kita memindahkan makna majāz sebagai metafora pada konteks metafisis, apa yang
dimaksud dengannya adalah bahwa kita telah memindahkan makna eksistensi, yang secara asli
digunakan pada sesuatu yang abadi dan swa-berada (cth. pada ‘eksistensi sejati’, wujūd haqīqī)
melampaui kepada sesuatu yang non-abadi dan tergantung (cth. pada dunia hal-hal ciptaan),
mempredikasikan dunia maujud sebagai ‘eksistensi’ karena analogi atau hubungan antara dua
pengertian dari makna ‘eksistensi’. Dunia dalam dirinya sendiri tidak memiliki eksistensi sejati
(cth. eksistensi abadi dan swa-berada), tetapi hal itu hanya nampak seolah-olah memiliki
eksistensi karena penampakannya yang sinambung dalam eksistensi. Kita katakan ‘terlihat
seolah-olah’ dan ‘nampak’ karena, seperti sudah dijelaskan, hubungan aktual Tuhan dengan
dunia melalui Sifat-Sifat-Nya akan kekuatan dan kehendak yang dikombinasikan tidaklah
sinambung, dan namun hal itu merupakan sebuah proses yang diulang secara sinambung dalam
sebuah jenis yang terus berlangsung yang membolehkan pembaharuan dari yang serupa dalam
hal-hal yang diciptakan, yang memberi mereka pengertian kesinambungan dalam eksistensi.
Dengan demikian eksistensi dunia qua dunia adalah metaforis (wujūd majāzi), yang menciptakan
dalam pikiran kita sebuah persamaan terhadap eksistensi sejati (wujūd haqīqī).
Eksistensi metaforis merupakan sebuah bagian, kepemilikan, atau kondisi (milk) dari
eksistensi sejati. Istilah milk dalam filsafat muslim adalah sepadan dengan salah satu dari Sepuluh
Kategori Aristotelian (al-ma’qūlāt al-‘ashr),332 dimana secara khusus tentang kondisi (ēchein).
Kondisi di sini menunjuk kepada sebuah kondisi eksistensi, sebuah kondisi eksistensi dalam
kepemilikan akan modus tertentu dari berada. Namun, cara dimana teolog menggunakan istilah
milk, adalah bahwa hal itu merupakan sebuah hubungan kepemilikan tubuh terhadap
penutupnya ke seluruh bagian keluasannya, atau pada sebuah bagian darinya, seperti pakaian
seseorang yang telah dipakai dan yang dibawa kemanapun dia pergi, dalam pertentangan dengan
rumah yang seseorang punyai yang tidak dibawa seperti itu, dan yang tidak menutupi sepenuh
waktu seperti layaknya pakaian. Dalam pengertian itu, ketika eksistensi metaforis dikatakan
sebagai sebuah milk dari eksistensi sejati, maknanya adalah bahwa hal-hal kontingen yang datang-
menjadi-eksistensi (kawn) merupakan sebuah bagian eksistensi sejati; dan bagian menunjuk
kepada modus pelewatan akan eksistensi yang disebut mawjūdiyyah. Makna mawjūdiyyah di antara
yang lain: (1) kondisi atau keadaan dari peristiwa (hālah); (2) datang-menjadi-eksistensi (kawn); (3)
sebuah rangkaian dari datang-menjadi-eksistensi (akwān); (4) ke-‘ada’-an (kā’in/isness); (5) menjadi-
maujud (mawjūd). Hal itu juga berarti — dengan referensi kepada perspektif metafisikawan Sūfī
dalam persoalan ini daripada filsuf dan teolog – determinasi, pembatasan, partikularisasi atau
individuasi yang diaktualisasikan dari eksistensi sejati pada tingkatan indera dan pengalaman
inderawi. Kita telah mengatakan bahwa proses aktualisasi dari hal-hal yang mungkin adalah
sinambung dari yang dirumuskan dalam sebuah rangkaian pembaharuan, sementara aktualisasi
itu sendiri dari hal-hal tersebut itu tidak sinambung. Sehingga hal-hal yang diaktualisasikan itu —
determinasi, pembatasan, partikularisasi dan individuasi dari eksistensi sejati — sepanjang waktu
hilang dan digantikan secara sinambung oleh yang serupa dengan mereka memberi mereka
dalam setiap bagiannya dan sebagai sebuah keseluruhan sebuah keserupaan dari eksistensi sejati.
Ketika kita memandang hal-hal-pada-diri-mereka-sendiri pada peristiwa aktualisasi mereka pada
waktu spesifik mereka, maka kita memandang peristiwa mereka akan ‘menjadi-maujud’, yang
merupakan modus eksistensi; ketika kita memandang mereka dalam kesinambungan mereka
dalam eksistensi dalam aspek pembaharuan sinambung yang serupa dengan mereka, maka kita
331 Lihat al-Fīrūzābādī, Al-Qāmūs al-Muhīt, Cairo, 1319AH. 4 vol., vol. 2, hlm. 176-177; lihat juga al-Tahānawī,
Kashshāf Istilāhat al-Funūn, Beirut, 1966, 6 vol., vol. 1, hlm. 208-209; 213-217 dan di bawah al-majāz al-lughawī:
isti’ārah, hlm. 214-217; al-Jurjānī dalam karyanya Ta’rīfāt, hlm. 20;214.
332 Lihat bab VI, hlm. 219, catatan 237.
195 Prolegomena
memandang tindakan eksistensiasi dari eksistensi sejati, kondisi atau keadaan eksistensi sejati
yang dirumuskan dalam pengertian hubungan niscaya dengan eksistensi metaforis. Hubungan
niscaya ini adalah salah satu dari hubungan dan kepemilikan. Sementara hubungan niscaya dari
keduanya itu saling menguntungkan, kepemilikan tersebut hanya pada sisi eksistensi sejati.
Secara serupa, kendati hubungan yang saling menguntungkan dan niscaya, kebutuhan atau
ketergantungan untuk eksistensi hanya ada pada sisi dari eksistensi metaforis. Dengan hal pada
konsep milk eksistensi metaforis itu seperti pakaian dari eksistensi sejati. Kini dua pengertian
dimana menjadi-maujud dimaksudkan itu mengungkapkan bahwa meskipun kata yang sama
menandakan dua referensi, maknanya dalam masing-masing kasus tidaklah sama sebab dua
referensinya tidak sama: yang satu menunjuk pada yang abadi, esensi swa-berada, yang lain pada
esensi temporal, non-swa-berada. Dalam hal ini terbentang perbedaan dasar antara eksistensi
sejati dan eksistensi metaforis. Tentu saja hal ini menyusun sebuah perbedaan sejati antara
keduanya, dan perbedaan ini lebih lanjut ditekankan oleh kepemilikan yang digunakan pada sisi
yang terdahulu dan yang memberikan eksistensi kepada yang kemudian, dan dengan
ketergantungan pada sisi yang kemudian untuk eksistensi tersebut. Dengan demikian karena
eksistensi itu, yang secara ekuivokal digunakan kepada Tuhan maupun kepada dunia, dipahami
sebagai unsur umum dari mereka, sebuah perbedaan temporal maupun yang esensial harus digali
antara eksistensi sejati dan eksistensi metaforis, yakni, antara Eksistensi Niscaya dan Eksistensi
Kontingen atau antara Being Tuhan dan being dunia, jika tidak mereka akan secara niscaya identik,
atau akan ada eksistensi lain yang menduplikasi eksistensi Tuhan, dimana keduanya itu mustahil.
Posisi filsuf muslim (hukamā) dan teolog (mutakallimūn) dalam memandang sifat-dasar
eksistensi dan hubungannya dengan hal-hal, yakni, dengan realitas-realitas yang ada di dunia
eksternal yang independen dari pikiran, adalah bahwa eksistensi merupakan konsep umum dan
abstrak yang umum bagi semua eksistensi dalam pengertian yang umum dipahami sebagaimana
dijelaskan pada awal bab ini.333 Berdasarkan perspektif mereka eksistensi bukanlah sesuatu yang
ada secara objektif, tetapi hanya sesuatu yang dipostulasikan dalam pikiran ketika secara
eksternal hal-hal maujud menjadi objek pikiran (cth. i’tibārī). Oleh karena itu eksistensi bagi
mereka merupakan entitas konseptual yang padanya tidak ada apapun di dunia eksternal yang
berhubungan; eksistensi merupakan sebuah intelijibel sekunder.
Beberapa teolog awal di antara Ash’ariyyah dan Mu’tazilah mempertahankan bahwa
eksistensi segala hal, termasuk eksistensi Tuhan, adalah identik dengan esensinya (dhāt) baik
dalam pikiran dan dalam dunia eksternal yang independen dari pikiran. Mereka tidak
memaksudkan dengan ‘identik’ (‘ayn) sebuah kombinasi dua entitas menjadi satu dan yang sama,
sebagaimana mereka tidak mengenali pemilahan apapun antara eksistensi dan kuiditas atau
esensi. Mereka memaksudkan dengan ‘identitas’ sebagai ‘ketidakterpilahan’, apakah dalam
pikiran atau secara eksternal; yakni, bahwa eksistensi dan kuiditas atau esensi pada faktanya
adalah hal yang satu dan sama yang dipandang kadang-kadang sebagai eksistensi dan kadang-
kadang sebagai kuiditas. Oleh karena itu, berdasarkan perspektif mereka, tidak ada dalam dunia
eksternal sesuatu yang merupakan kuiditas, dan sesuatu yang lain berada di dalamnya yang
merupakan eksistensi; melainkan, dalam dunia eksternal, dan dalam pikiran hanya ada ‘sesuatu’
yang sama yang dipandang secara berbeda pada waktu yang berbeda, kadang-kadang dinamakan
dengan kata ‘eksistensi’, kadang-kadang dinamakan dengan kata ‘kuiditas’ atau ‘esensi’.334 Kita
sudah mengangkat bahwa posisi yang disebutkan di atas dari teolog awal dalam memandang
sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas tidaklah dapat dipertahankan.335 Namun,
teolog yang kemudian, mengafirmasi sebuah pemilahan antara eksistensi dan kuiditas atau esensi
333 Lihat di atas hlm. 267.
334 Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 2-3; par. 5 dan 6.
335 Lihat bab VI, hlm. 232 dan catatan 262.
196 Prolegomena
dan mempertahankan bahwa eksistensi merupakan entitas konseptual yang secara rasional dibagi
menjadi bagian yang ditambahkan kepada objek maujud secara eksternal yang kuiditas-
kuiditasnya merupakan entitas sejati. Dalam ringkasan penjelasan kita kini akan posisi para teolog
dalam memandang sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas, kita menunjuk di
sini kepada teolog yang kemudian.
Posisi para filsuf, sejauh itu pada perhatiannya terhadap eksistensi sebagai sebuah konsep
tunggal, umum dan abstrak yang umum bagi semua eksistensi, adalah sama sebagaimana teolog;
tetapi mereka berbeda dengan teolog berkaitan dengan eksistensi pada tingkatan realitas
eksternal. Mereka mempertahankan bahwa pada tingkatan realitas eksternal eksistensi itu bukan
sesuatu yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang berhubungan dengan kuiditas-kuiditas
yang merupakan entitas maujud yang sejati sebagaimana dipertahankan teolog, tetapi bahwa
terdapat multiplisitas yang nyata dari eksistensi, bukan melalui perbedaan spesifik, tetapi melalui
diri mereka sendiri hal itu majemuk. Dengan demikian mereka eksistensi berbeda satu sama lain
secara esensial, masing-masing sebagai sebuah entitas independen. Mereka itu realitas yang
berbeda (haqā’iq mukhtalifah) yang ada dalam dunia eksternal yang independen dari pikiran, dan
yang pikiran postulasikan sebagai bagian dari konsep umum dan abstrak dari eksistensi berkaitan
dengan secara rasional dimultiplikasi dan dibagi sedemikian (cth. sebagai bagian) secara tunggal
sebab pelekatan mereka yang dinyatakan kepada kuiditas-kuiditas yang merupakan lapisan-dasar
mereka. Maka, pada kenyataannya, bagian dari eksistensi itu ditambahkan dalam pikiran kepada
eksistensi dengan realitas yang berbeda dan oleh karena itu adalah eksternal bagi mereka.336
Eksistensi Tuhan, Eksistensi Niscaya, yang identik dengan esensi-Nya, adalah sesuatu dari realitas
yang tidak sama tersebut.337
Posisi teolog dan filsuf sebagaimana diuraikan sejauh ini dapat ditampilkan dengan
demikian:
1. Teolog 2. Filsuf
(a) Konsep tunggal dari eksistensi yang (a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum
umum bagi semua eksistensi; bagi semua eksistensi;
(b) Bagian dari (b) Bagian dari
(a) diindividuasi melalui penyifatan (a) diindividuasikan melalui penyifatan
pada (c); pada kuiditas-kuiditas (c);
(c) Kuiditas-kuiditas yang merupakan (d) Eksistensi parikular sebagai realitas yang
lapisan-dasar mereka. tidak serupa.
Dari intisari di depan tentang posisi teolog dari para filsuf dalam memandang sifat-dasar
eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas-kuiditas kita menurunkan tiga hal: (1) konsep
umum dan abstrak tentang eksistensi yang umum bagi semua eksistensi; (2) bagiannya yang
diindividuasikan melalui penyifatan kepada kuiditas-kuiditas; (3) eksistensi partikular yang
merupakan realitas-realitas yang tidak sama. Eksistensi seperti dalam (1) di atas adalah esensial
pada dan inheren dalam (2), tetapi baik (1) dan (2) adalah eksternal bagi (3). Eksistensi parikular
itu identik dengan esensi dalam kasus Tuhan, Eksistensi Niscaya, tetapi ditambahkan dan
eksternal dalam kasus segala hal yang lain.338 Dalam hal posisi teolog Ash’arī, mereka
mempertahankan sebuah identitas utuh eksistensi dan esensi atau kuiditas pada semua tingkatan,
yakni, pada tingkatan konseptual maupun pada tingkatan realitas eksternal. Pada teolog yang
kemudian, mereka mempertimbangkan (a) dan (b) di atas sebagai konseptual, dan (c) sebagai
336 Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 2-4, par. 6.
337 Lihat karya Jāmī Hawāshī pada Durrah, ibid; hlm. 54-55; par. 5 (1).
338 Al-Durrah, hlm. 3; par. 7.
197 Prolegomena
yang nyata. Secara serupa, para filsuf mempertimbangkan (a) dan (b) sebagai konseptual, dan (c)
dipertimbangkan sebagai nyata.
Dengan hal posisi metafisikawan Sūfī (sūfiyyah), mereka mempertahankan bahwa sama
seperti mungkinlah bagi konsep umum dan abstrak dari eksistensi (cth. (a) di atas) untuk
ditambahkan dalam pikiran kepada Tuhan dan kepada semua eksistensi partikular dengan
realitas-realitas yang berbeda (d), jugalah mungkin baginya untuk ditambahkan dalam pikiran
kepada Realitas maujud yang tunggal dan absolut yang merupakan realitas dari Eksistensi
Niscaya. Sedangkan konsep yang ditambahkan ini akan menjadi sesuatu yang ada dalam pikiran,
lapisan-dasarnya dapat menjadi sebuah maujud ekstramental dan nyata yang merupakan realitas
eksistensi.339
Posisi metafisikawan Sūfī dapat ditampilkan dengan demikian:
(a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum bagi semua eksistensi;
(b) Bagian dari (a) yang diindividuasikan melalui penyifatan pada (c) yang dipertimbangkan
sebagai (d);
(e) Eksistensi Absolut (wujūd mutlāq);
(f) Eksistensi partikular (wujūdat khāssah) yang dipertimbangkan sebagai modus dari (e).
Maka, bagi metafisikawan, eksistensi pada tingkatan dari (a), (b), (c) dan (d) adalah tidak lain dari
entitas mental yang tidak memiliki hubungan eksistensi dengan tingkatan realitas eksternal.
Hanya (e) dan (f) yang dipertimbangkan nyata. Dalam hal ini, sebuah terjemahan dalam karya
Jāmī Naqd al-Nusūs membuat posisi mereka jelas:
Eksistensi (al-wujūd), berdasarkan pada filsuf (al-hakim) dan teolog (al-mutakallim), adalah
aksidental (‘arid)340 kepada kuiditas-kuiditas (al-māhiyyat) dan realitas-realitas (al-haqā’iq),
dan kuiditas-kuiditas dan realitas-realitas merupakan lapisan-dasar (ma’rudat) bagi
eksistensi. Tapi berdasarkan pada penguji (al-muhaqqiq)341 dan unitarian (al-muwahhid),342
eksistensi merupakan lapisan-dasar (ma’rud), sementara maujud yang ditentukan dan
dibatasi (al-mawjūdāt al-muqayyadah) adalah aksidental baginya dengan sebab penyifatan
(al-idāfah) dan hubungan (al-nisbah).343 Di antara mereka344 terdapat perbedaan yang besar
(bawn ba’īd). Dalam pandangan tentang hal ini, teolog dan filsuf itu dipimpin kepada posisi
bahwa Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlāq) tidak memiliki eksistensi eksternal (wujūd fi
al-khārij), tetapi hanya memiliki eksistensi mental (wujūd dhihnī); hal itu merupakan sebuah
entitas universal (amr kullī), sebuah konsep umum (‘amm) yang menjadi maujud dengan
jalan ketunggalannya (afrād). Namun, yang mengetahui yang menguji (al-‘ārif al-muhaqqiq),
memegang erat-erat posisi bahwa Eksistensi Absolut itu maujud (mawjūd),345 dan pada
kenyataannya tidak ada eksistensi (wujūd aslān) dasar (cth. akar) lain selainnya, meskipun
mungkinlah untuk mempostulasikan sedemikian hal (cth. sumber lain dari eksistensi)
dalam pikiran (fil al-i’tibār). Hal yang aneh adalah bahwa filsuf dan teolog yang
339 Ibid., hlm. 3-4; par. 8.
340 Yakni, terkandung dalam kuiditas-kuiditas dan realitas-realitas, atau nampak kepada mereka dari sisi luar.
341 Penguji tersebut merupakan seseorang yang membuktikan lewat demonstrasi. Dalam kasus ini merupakan seseorang
yang menguji dengan jalan intuisi akan eksistensi melalui pengungkapan (kashf) dan pengalaman intuitif (dhawq).
342 Yakni, metafisikawan Sūfī dari mazhab kesatuan transendensi eksistensi (wahdat al-wujūd).
343 Maujud yang dibatasi atau dikondisikan adalah ‘kuiditas-kuiditas’ dan ‘realitas-realitas’ yang ada secara ekstra
mental. kemenjadi-maujudan mereka itu berkaitan dengan sifat mereka dan hubungan dengan Eksistensi Absolut yang
merupakan lapisan-dasar mereka, dan yang juga dikenal sebagai wujūd idāfī.
344 Teolog dan filsuf pada satu sisi, dan metafisikawan Sūfī dari sekolah wahdat al-wujūd di sisi lain.
345 Yakni, ada secara eksternal.
198 Prolegomena
menggambarkan Eksistensi Absolut mengatakan bahwa hal tersebut merupakan lawan
dari non-eksistensi absolut (‘adam mutlāq), dan bahwa hal itu adalah pembagi (al-muqassim)
untuk semua maujud, dan bahwa hal itu merupakan kebaikan murni (khayr mahd), dan
bahwa hal itu adalah tunggal (wāhid) tanpa lawan (didd) dan yang serupa (mathal), dan
namun mereka mengatakan bahwa itu adalah non-maujud (ma’dūm) dalam dunia
eksternal (fi al-khārij).346
Maka, metafisikawan Sūfī mempertahankan bahwa dalam tambahan kepada eksistensi
pada tingkatan (a), (b), dan (c) yang dipertimbangkan sebagai (d), yang semuanya secara mental
dipostulasikan, terdapat entitas lain yang karena asosiasinya dengan kuiditas-kuiditas ((c)
dipertimbangkan sebagai (d)) dan mereka dipakaikan dengannya, eksistensi pada tingkatan (a)
dan (b) datang ke dalam mereka. Entitas yang lain ini adalah realitas eksistensi.347 Hal tersebut
adalah Eksistensi Absolut ((e) dalam halaman depan); dan eksistensi partikular (f), yang
merupakan modus dan aspek dari Eksistensi Absolut itu, dalam kondisi aktual mereka, realitas-
realitas yang berhubungan dengan (c) dan (d), atau (c) yang dipertimbangkan sebagai (d);
sedangkan eksistensi sebagai intelijibel sekunder yang padanya tidak ada dalam dunia eksternal
apa apa yang berhubungan adalah satu dari akibatnya. Seperti telah kita angkat sebelumnya,348
metafisikawan Sūfī mempertahankan bahwa terdapat tingkatan yang lebih tinggi dari eksistensi
bahkan dari Eksistensi Absolut. Eksistensi Absolut itu, dalam skema ‘penurunan’ ontologis
Realitas Tertinggi, sudah pada tingkatan determinasi pertama, sedangkan tingkatan yang lebih
tinggi dari eksistensi kita menunjuk untuk menyentuh pada inti esensi dan realitas eksistensi itu
sendiri pada tingkatan Esensi (al-dhāt). Tingkatan ini merupakan tingkatan eksistensi yang tidak
dikondisikan oleh apapun, termasuk oleh ketidakkondisian; hal itu transenden dari dikondisikan
bahkan oleh transendensi, sehingga hal itu merupakan indeterminasi murni yang absolut, dan
akibatnya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kepada kognisi kita. Maka, posisi mereka
sejauh sebagai realitas eksistensi yang didiskusikan, melibatkan empat hal: (1) Eksistensi sebagai
non-dikondisikan secara absolut; (2) Eksistensi Absolut, yang merupakan sebuah determinasi dari
(1) dan merupakan eksistensi dalam realitas; (3) determinasi dan individuasinya menjadi
eksistensi partikular, yang merupakan modus dan aspeknya yang muncul dari tindakan dinamis
dari Eksistensi Absolut; dan (4) sebuah konsep umum yang secara rasional dibagi menjadi bagian
yang berhubungan dengan kuiditas-kuiditas yang juga bersifat konseptual dalam alam. Yang
terakhir ini tidak dapat diberlakukan kepada yang tiga sebelumnya.
Sedangkan kebanyakan filsuf dan teolog berkutat pada posisi bahwa dunia ekstramental
dari hal-hal konkret itu disusun dengan campuran esensi dan eksistensi, yang darinya
dirumuskan hubungan mereka dengan metafisika substansi dan aksiden, metafisikawan tersebut,
di sisi lain, mempertahankan kebalikan posisi ini: mereka memegang bahwa eksistensi itu satu-
satunya realitas, dan dunia hal-hal konkret bukanlah sebuah campuran esensi dan eksistensi sama
sekali karena esensi pada kenyataannya adalah eksistensi sebagaimana muncul dalam bentuk yang
dipartikularisasi dan diindividualisasi. Realitas suatu hal adalah inti eksistensinya sebagaimana
ditentukan menjadi bentuk partikular dan individual, bukanlah ‘esensi’nya jika ‘esensi’ diterima
sebagai sesuatu yang berbeda secara substansi dari eksistensi: tidak ada ‘sesuatu’ pada mana
eksistensi kemudian dilekatkan; eksistensi sebagai modus partikular dan individual, adalah hal
itu pada dirinya sendiri. Maka esensi adalah sebuah modus eksistensi. Realitas-realitas
ekstramental dan yang berbeda yang mendasari multiplisitas hal-hal dalam faktanya merupakan
swa-pembatasan dan individuasi dari eksistensi yang menciptakan dalam pikiran gagasan akan
346 Naqad al-Nusūs, hlm. 21; terjemahan 5. terjemahan saya.
347 Al-Durrah, Hawāshī, hlm. 55; 5 (2).
348 Lihat di atas, hlm. 268-269.
199 Prolegomena
‘esensi’ — ‘kuiditas’ yang memiliki realitas terpisah dan ontologis. Namun, dalam diri mereka
sendiri sebagaimana direnungkan pikiran, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ itu bukan entitas maujud
eksternal — mereka hanya sesuatu yang ada dalam pikiran. Dengan demikian, karena eksistensi
selalu dalam tindakan, substansi nyata dari setiap hal individual adalah baik sebuah individuasi
dari eksistensi berdasarkan pada aspek partikular itu dari mana hal tersebut merupakan citra
eksternal, atau hal itu merupakan individuasi aktual itu sendiri dari eksistensi pada waktu
spesifik berdasarkan aspek yang sama. Akibatnya masing-masing hal individual adalah baik
sebuah individuasi dari eksistensi, atau merupakan eksistensi itu sendiri sebagaimana
diindividuasikan secara sementara dalam bentuk partikular tersebut; hal itu merupakan baik
eksistensi yang dibuat termanifestasi, atau sebuah ‘aksiden’ dari eksistensi yang dengan demikian
termanifestasi. ‘Aksiden’ yang termanifestasi merupakan sebuah kualitas atau modus eksistensial
eksistensi yang termanifestasi, dan meskipun secara mental kualitas atau modus eksistensial
dipostulasikan sebagai terpilah dari hal yang dikualifikasikan, hal itu secara ekstramental identik
dengannya sejauh substansinya yang diperhatikan. Hal ini tidak serta merta berarti bahwa
eksistensi mengandung multiplisitas, atau bahwa eksistensi itu terdiri dari banyak hal. Karena
eksistensi tidak statis dan pasif; eksistensi itu dalam pergerakan terus menerus; sebuah proses
dinamis, kreatif, dan sistematis tentang pembentangan dirinya sendiri dalam tahapan dari
indeterminasi kepada semakin dideterminasi; dari lebih umum kepada lebih partikular hingga
membagi dirinya menjadi lebih dan lebih konkret. Pembentangan diri dari eksistensi adalah apa
yang metafisikawan sebut sebagai inbisāt al-wujūd — ekspansi dan peliputan dari eksistensi dalam
modus yang beranekaragam —sebagaimana dikonseptualisasikan dalam pengertian dari
metafisika mereka tentang derajat-derajat ‘penurunan’ (tanazzul) ontologis, determinasi (ta’ayyun)
dan individuasi (tashakhkhus), dan swa-manifestasi (tajallī) dari Eksistensi Absolut. Ketika
Eksistensi Absolut ‘turun’,349 menciptakan dari dirinya partikularisasi dan individuasi yang
banyak, sepanjang waktu hanya ada satu eksistensi, dimana partikularisasi dan individuasinya
hanya sebagai modusnya yang banyak. Modalitas eksistensi tersebut tidak dapat dipandang
sebagai memiliki realitas ontologis terpisah sebab esensi sejati mereka adalah eksistensi. Hanya
pikiran yang mempostulasikan modus eksistensi sebagai memiliki realitas ontologis terpisah yang
lain dari eksistensi yang memandangnya sebagai ‘esensi’ atau ‘kuiditas’. Tetapi pada
kenyataannya hanya ada satu eksistensi.
Dunia qua dunia — yakni, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang menyusun dunia ketika
dipertimbangkan dalam diri mereka sendiri sebagai secara mental diabstraksi dari eksistensi —
pada kenyataannya bukanlah apa-apa; hal tersebut merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran.
Hal itu bukan apa-apa bukanlah hanya karena hanya sebuah konstruksi mental, tetapi karena
‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang menyusun dunia bersama semua bagiannya itu, ketika
dipertimbangkan dalam diri mereka sendiri dalam kondisi ekstra mental, yakni, sebagai modus
eksistensi, bersifat ‘aksidental’ dalam sifat-dasar mereka dan, oleh karena itu, tidak bertahan
dalam dua peristiwa waktu, sedemikian rupa sehingga mereka secara terus menerus ‘hilang’ pada
eksistensi. Apa yang diterima pikiran sebagai dunia yang memiliki eksistensi dan kesinambungan
dalam eksistensi pada akhirnya hanya sebuah fenomena mental yang muncul dalam pikiran
sebagaimana sebuah hasil pergantian yang cepat dari modus eksistensi yang serupa, namun
masing-masing terpilah dari yang lain, yang terlibat dalam proses dinamis akan pembentangan
eksistensi, yang modusnya diabstraksikan dalam pikiran sebagai ‘esensi-esensi’ terpisah dan
individual yang memiliki kesinambungan dalam eksistensi. Namun, dalam sifat-dasar sejati
mereka, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ mental merupakan akibat modus ekstramental dari eksistensi. Hal
349 ‘Penurunan’ Eksistensi Absolut itu hanya dipostulasikan secara mental (i’tibārī). Pada kenyataannya proses abadi
tersebut tidak diukur dalam pengertian sekuensi waktu, sebagaimana telah kita nyatakan.
200 Prolegomena