baik dihidupi dan dibantu nasib baik, telah mencapai akhir. Konsepsi modern setuju dengan
konsep Aristotelian bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini dan merupakan
akhir pada dirinya sendiri, tetapi sementara yang terdahulu akhir tersebut dianggap dalam
pengertian standar perilaku yang tepat, yang kemudian menganggapnya sebagai kondisi
psikologis terminal yang tidak memiliki hubungan dengan kode moral. Konsepsi kebahagiaan
modernlah yang kini diakui lazim di Barat. Kita tidak setuju dengan posisi Aristotelian bahwa
kebajikan dan kebahagiaan hanya terkait dengan dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai
kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam urusan kehidupan duniawi menjadi tidak
terjangkau. Kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kebahagiaan hanya dalam wilayah
temporal, kehidupan sekular, karena berdasarkan pandangan-dunia kita, kita mengakui bahwa
hubungan kebahagiaan dengan alam akhirat memiliki ketegasan intim dan mendalam pada
hubungannya dengan kehidupan duniawi, dan karena bahwa dalam kasus terdahulu
kebahagiaan adalah kondisi spiritual dan permanen terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal
dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan yang kita alami dan sadari yang ketika sekali dicapai
bersifat permanen. Sedang mengenai konsepsi kebahagiaan modern, tidak banyak berbeda dalam
esensi dari yang diketahui dan dipraktekkan orang-orang di masa lalu oleh masyarakat pagan.
Kebahagiaan (cth. yang kita maksud sa’ādah) sebagaimana diketahui dalam pengalaman
dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh tunduk kepada Tuhan dan mengikuti petunjuk-
Nya bukanlah akhir pada dirinya sendiri sebab kebajikan tertinggi dalam kehidupan ini adalah
cinta Tuhan. Kebahagiaan yang terus berlangsung dalam kehidupan menunjuk bukan pada
entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia; maupun kondisi pikiran, atau
perasaan yang melewati kondisi terminal, maupun kenikmatan maupun hiburan. Kebahagiaan
ada urusannya dengan kepastian (yaqīn) akan Kebenaran akhir dan pemenuhan tindakan dalam
kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan kepastian merupakan kondisi permanen kesadaran
yang alamiah terhadap apa yang permanen pada manusia dan diterima oleh organ kognitif
spiritual yang merupakan hati (qalb). Kebahagiaan adalah kedamaian, keamanan, dan ketenangan
hati (tuma’nīnah); kebahagiaan adalah pengenalan (ma’rifah) dan pengenalan (knowledge) adalah
kepercayaan-kuat (īmān) yang benar. Kebahagiaan adalah pengenalan tentang Tuhan
sebagaimana Dia menggambarkan diri-Nya dalam Wahyu sejati; kebahagiaan adalah juga
mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat dengan
Pencipta ditemani dengan tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) sesuai dengan pengetahuan
tersebut sehingga kondisi yang dihasilkannya adalah keadilan (‘adl). Hanya dengan pengetahuan
sedemikian cinta Tuhan dapat diraih di kehidupan bumi.
Dari interpretasi makna dan pengalaman kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan
kesimpulan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir pada dirinya sendiri; bahwa akhir
dari kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan duniawi terdapat dua tingkatan
kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah psikologis, sementara, dan kondisi
terminal yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau emosi, dan yang diraih ketika keinginan
dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar berdasarkan pada kebajikan. Tingkatan
kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang secara sadar dialami, menjadi lapisan dasar
dari kehidupan duniawi yang diakui sebagai percobaan, pengujian aktifitas perilaku dan aktifitas
kebajikan oleh nasib baik atau sakit. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul secara
bersamaan dengan yang pertama kecuali keinginan hilang dan kebutuhan dipuaskan. Tingkatan
kebahagiaan kedua ini merupakan sebuah persiapan untuk tingkatan ketiga di alam akhirat yang
51 Prolegomena
merupakan kondisi tertinggi adalah melihat Tuhan. Tidak ada perubahan makna dan
pengalaman kebahagiaan ini dalam kesadaran mukmin sejati sepanjang zaman.
Di halaman-halaman depan saya telah mempersiapkan dalam ringkasan yang gamblang
beberapa unsur mendasar, yang dibangun secara permanen, bersama dengan konsep kunci yang
mereka bentangkan, yang bertindak sebagai prinsip penyatu yang meletakkan semua sistem
makna dan standar nilai dan kehidupan dalam tatanan yang koheren sebagai super-sistem yang
disatukan membentuk pandangan-dunia Islām. Unsur-unsur mendasar tersebut dan konsep kunci
bersangkutan memiliki kegamblangan yang mendalam, sudah kita katakan sebelumnya, di atas
gagasan kita tentang perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Meskipun perubahan dan
keanekaragaman dapat dan memang muncul di dalam suasana pandangan-dunia ini,
sebagaimana keanekaragaman dalam mazhab jurisprudensi, teologi, filsafat dan metafisika, dan
dalam tradisi, kebudayaan, dan bahasa; dan perubahan dalam pertemuan akan naik turunnya
perubahan nasib baik dalam jalur sejarah, namun keanekaragaman dan perubahan tidak pernah
memengaruhi karakter dan peran unsur-unsur mendasar itu sendiri, sehingga apa yang
diproyeksikan sebagai pandangan-dunia dengan supersistem tetap tertinggal utuh. Hal ini karena
keanekaragaman dan perubahan telah muncul di dalam ikatan kognitif yang dikekang dengan
hati-hati oleh komunitas yang tahu dan sadar identitasnya, memastikan sedemikian rupa bahwa
tidak ada keterlibatan perubahan ataupun gangguan kebingungan dalam konsep kunci yang
melayani unsur-unsur yang mendasar dari pandangan-dunia. Pandangan-dunia berada dalam
pikiran muslim sejati. Penglihatan seseorang di antara mereka tahu bahwa Islām bukanlah sebuah
ideal — tapi adalah kenyataan; dan bahwa apapun yang mungkin dituntut dari mereka oleh
tantangan zaman dimana mereka hidup harus dihadapi tanpa membuat bingung pandangan-
dunia tersebut dengan unsur-unsur asing. Mereka tahu bahwa ahli dalam sains dan teknologi dan
penggunaannya yang memadai dalam kehidupan sehari-hari tidak serta merta harus melibatkan
kebingungan dalam visi mereka tentang realitas dan kebenaran. Teknologi tidak sama dengan
sains; dan penerimaan teknologi yang berguna dan relevan tidak serta merta harus juga
melibatkan penerimaan sebab pada sains, yang telah melahirkannya. Kebingungan muncul hanya
sebagai hasil dari tidak memadainya pengetahuan tentang Islām dan pandangan-dunia yang
diproyeksikannya, sebagaimana juga keabaian terhadap sifat-dasar tantangan konfrontasi
intelektual, agama, tantangan ideologis, dan implikasi yang melekat dalam pernyataan dan
kesimpulan umum filsafat dan sains sekular modern.
Perubahan, perkembangan, dan kemajuan, dalam pengertian yang benar secara mendasar
bermakna bagi kita merupakan sebuah kesadaran dan gerakan yang hati-hati menuju Islām sejati
pada suatu waktu ketika kita menghadapi tantangan, seperti yang kita lakukan sekarang, yang
mencoba mengganggu nilai dan kebajikan kita, mode perilaku kita, kepercayaan-kuat dan
pemikiran kita, jalan hidup kita. Perikatan awal kita adalah dengan tantangan pandangan-dunia
asing yang dikenalkan secara diam-diam ke dalam pemikiran dan kepercayaan muslim oleh
modernis muslim yang bingung, intelektual, akademisi, penulis, dan pengikutnya, maupun
penyimpang dan ekstrimis muslim dalam banyak bentuk. Mereka telah tanpa sadar dan sadar
datang di bawah mantra filsafat dan sains Barat sekular modern, teknologi dan ideologinya yang
telah menyebarkan penyakit menular global dari sekularisasi sebagai program filosofis. Kita sadar
akan fakta bahwa tidak semua sains dan teknologi Barat itu serta merta ditolak agama tetapi ini
tidak berarti bahwa kita harus tidak kritis menerima teori saintifik dan filosofis yang ada bersama
sains dan teknologi, dan sains dan teknologi itu sendiri, tanpa lebih dahulu memahami implikasi
dan menguji keabsahan nilai yang menemani teori tersebut. Islām memiliki dalam dirinya sendiri
52 Prolegomena
sumber pengakuan kepada kebenaran dan tidak membutuhkan teori sains dan filosofis untuk
membenarkan pengakuan tersebut. Lebih lanjut, bukanlah perhatian Islām untuk menakuti
penemuan saintifik dan teori-teori filosofis yang dapat mengontradiksikan keabsahan
kebenarannya. Kita tahu bahwa sains tidak bebas nilai; dan untuk menerima asumsi dan
kesimpulan umum tersebut tanpa dibimbing dengan pengetahuan asli pandangan-dunia kita —
yang memerlukan juga pengetahuan sejarah kita, peradaban dan pemikiran kita, identitas kita —
yang akan membuat kita mampu memberikan putusan yang benar terhadap keabsahan dan
relevansi mereka atau dengan kata lain kepada kehidupan kita, maka perubahan yang dihasilkan
dalam jalan hidup kita akan dengan mudah berubah cocok dengan apa yang asing kepada
pandangan-dunia kita. Dan kita tidak akan menyebut sesuatu perubahan demikian sebagai
‘perkembangan’ ataupun ‘kemajuan’. Perkembangan terdiri dari bukan tentang ‘mengaktifasikan
dan membuat terlihat dan konkret atas apa yang laten dalam manusia biologis’ sebab manusia
bukan hanya entitas biologis: kemanusiaan adalah sesuatu yang lebih karena rasionalitas
dibandingkan sifat hewaniah. Kemajuan bukan ‘proses-menjadi’ atau ‘datang-menjadi-being‘
(coming-into-being), ataupun pergerakan terhadap apa yang datang-menjadi-being dan tidak
pernah menjadi being; karena gagasan ‘sesuatu yang dituju’, atau ‘tujuan’ yang melekat dalam
konsep kemajuan hanya dapat mengandung makna sejati dan benar ketika menunjuk kepada apa
yang dipahami sebagai sesuatu yang berdiri secara permanen, sebagai sudah being. Karenanya,
apa yang sudah jelas dalam pikiran dan berdiri secara permanen di tempat itu dan secara
eksternal, sudah dalam kondisi being, tidak dapat mengalami perubahan, maupun menjadi subjek
terus menerus terlepas dari pegangan pencapaian, maupun secara terus menerus mundur
melampaui pencapaian. Istilah ‘kemajuan’ menunjuk kepada arah jelas yang disejajarkan kepada
tujuan akhir yang dimaksudkan untuk dicapai dalam kehidupan duniawi. Jika arah yang dicari
masih samar, masih datang-menjadi-being sebagaimana dikatakan, dan tujuan yang disejajarkan
pada tujuan tidak penghabisan (final), maka bagaimana keterlibatan di dalamnya sungguh-
sungguh berarti kemajuan? Orang yang meraba dalam gelap tidak dapat dikatakan sebagai
sedang maju dan mereka yang mengatakan bahwa orang tersebut sedang maju hanya
mengucapkan kebohongan terhadap makna yang benar dan tujuan dari kemajuan.
Konsep ‘perubahan’, ‘perkembangan’, dan ‘kemajuan’ mengandaikan situasi dimana kita
menemukan diri kita dibingungkan oleh campuran kebenaran dan kepalsuan, akan kenyataan
dan ilusi, dan menjadi tawanan dalam wilayah yang ambigu. Dalam situasi yang bertentangan
demikian, tindakan kita yang positif dalam pertunjukan kebebasan untuk memilih yang lebih
baik, untuk menerima apa yang baik dan relevan dengan kebutuhan kita, untuk secara sungguh
hati-hati dalam keputusan kita akan kebutuhan, lalu sementara itu tetap mempertahankan usaha
kita untuk kembali kepada jalan lurus dan mengarahkan langkah kita dalam kesepakatan
dengannya — usaha semacam itu, yang menyertakan perubahan, adalah perkembangan; dan
pengembalian demikian, yang terkandung dalam perkembangan, adalah kemajuan.
Catatan kaki
[i] Saya memaksudkan dengan koherensi artifisial, sebuah koherensi yang tidak alamiah dalam pengertian
alamiah yang dimaksud sebagai fiţrah. Koherensi demikian yang diproyeksikan sebagai pandangan-dunia
pasti menjadi tergantung pada perubahan dengan keadaan yang berubah.
53 Prolegomena
[ii] Dengan ‘subjektif’, yang saya maksud bukan dalam pemahaman umum atas kata tersebut. Jiwa manusia
itu kreatif; dengan maksud persepsi, imajinasi, dan kecerdasan itu berpartisipasi dalam ‘penciptaan’ dan
interpretasi dunia indera dan pengalaman inderawi, akan citra, dan bentuk-bentuk intelejibel (intelligible).
‘Subjektif’ di sini merupakan sesuatu yang tidak dilawankan dengan apa yang ‘objektif’, tetapi bersifat
melengkapi.
[iii] Bandingkan. Al-Attas, Islām and Secularism, Kuala Lumpur, 1978, Bab. II.
[iv] Untuk rincian lebih lanjut, lihat The Concept of Education in Islām, Kuala Lumpur, 1980, par. 1-13
[v] Definisi ini diformulasikan oleh teolog Jerman, Cornelis van Peursen, yang menduduki the chair of
philosophy di University of Leiden. Gelar tersebut diberikan dalam laporan yang diselenggarakan dalam
Ecumenical Institue of Bossey, Switzerland, September 1959. Lihat juga karya teolog Harvard Harvey Cox,
the Secular City, New York, 1965, hlm. 2; dan yang mengikutinya, par. 2-17; 20-23; 30-36; 109 et passim. Karya
utuh dari sekularisasi sebagai program filosofis diberikan dalam Islām and Secularism, Kuala Lumpur, 1978,
bab. I dan II.
[vi] Frase ‘disenchanment alam’ telah digunakan oleh Friedrich Schiller dan dikutip oleh Weber. Istilah lain
yang digunakan Weber dalam pengertian ini adalah ‘rasionalisasi’. Lihat karya Weber Essay in Sociology,
New York, 1958; lihat juga karyanya Sociology of Religion, Boston, 1964; bab. III dan V dari yang terdahulu;
dan untuk konsep Weber tentang ‘rasionalisasi’, lihat penjelasan Talcott Parson tentangnya dalam karya
yang kemudian, hlm. xxxi-xxxiii.
54 Prolegomena
I
ISLĀM: KONSEP AGAMA
DAN
FONDASI ETIKA DAN MORALITAS
Konsep yang dituangkan dalam istilah dīn, yang secara umum dipahami bermakna agama,
tidaklah sama seperti konsep agama sebagaimana diinterpretasi dan dipahami sepanjang sejarah
keagamaan Barat. Ketika kita berbicara tentang Islām dan menunjuknya dalam bahasa Inggris
sebagai ‘religion’, kita memaksudkan dan memahaminya sebagai dīn, dimana seluruh konotasi
dasar yang inheren dalam istilah dīn1 dipahami sebagaimana terkumpul ke dalam satu kesatuan
tunggal makna yang koheren seperti direfleksikan dalam Qur’ān Suci dan bahasa Arab dimana
dia berada.
Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar
yang meskipun terlihat berlawanan satu sama lain, namun semuanya secara konseptual saling
berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan dari semuanya menampilkan dirinya
sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. Dengan ‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa
yang digambarkan sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam dirinya semua makna
relevan dan inheren yang ada dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan konsep Islāmi
yang diterjemahkan ke dalam realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam
pengalaman manusia, penampakan pertentangan pada makna-makna dasarnya tentu saja tidak
terkait dengan kekaburan; melainkan berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifat-
dasar manusia itu sendiri, yang mereka refleksikan dengan setia. Dan kekuatan mereka untuk
merefleksikan sifat-dasar manusia dengan setia merupakan demonstrasi yang jelas akan
kejernihan, ketelitian, dan otentisitas dalam mengandung kebenaran.
Penanda dasar istilah dīn dapat direduksi menjadi empat: (1) keberhutangan; (2) ketundukan;
(3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah. Dalam apa yang akan disampaikan
kemudian, saya akan berusaha menjelaskan secara ringkas dan menempatkan mereka dalam
konteks yang relevan, menggambarkan ke depan makna pokok koheren yang dimaksudkan, yang
menandakan kepercayaan-kuat, kepercayaan-lemah, praktek, dan pengajaran yang dilekatkan
oleh muslim secara individual dan kolektif sebagai Komunitas (Ummah), dan mewujudkan
dirinya sendiri bersama sebagai sebuah keseluruhan objektif sebagai Agama yang disebut Islām.
Kata kerja dāna yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk
pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, dimana beberapa dari mereka
berlawanan. Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, hal itu
untuk mengatakan, seorang dā’in berarti bahwa seseorang mengendalikan dirinya sendiri, dalam
pengertian sukarela dan kepatuhan, pada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga,
dalam satu sisi, kepada kreditor, yang juga serupa ditunjuk sebagai dā’in.2 Terdapat pula
kandungan dalam situasi yang digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada
di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah
1 Dalam bab ini, interpretasi saya tentang konotasi dasar inheren dalam istilah dīn berdasarkan karya klasik standar Ibn
Manzur, Lisān al-‘Arab (Beyrouth, 1968, 15v.), di sini akan disebut LA. Atas apa yang dīnyatakan dalam halaman ini
dan selanjutnya, lihat vol.3: 166, kol. 2-117, kol.2. Rumusan dan konseptualisasi makna agama (dīn), maupun
penjelasan konsep kunci dalam tatanan yang bermakna, adalah milik saya sendiri.
2 Dā’in menunjuk sebagai penghutang maupun sebagai pemberi hutang, dan penampakan makna yang berlawanan ini
hanya dapat diselesaikan jika kita memindahkan kedua makna tersebut menunjuk kepada dua sifat-dasar manusia yaitu,
jiwa rasional dan jiwa hewani atau jasmani. Lihat di bawah hlm. 57-60.
55 Prolegomena
melibatkan pengadilan: daynūnnah, dan kesaksian: idānah, sebagaimana kasus tersebut. Semua
penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dāna hanya mungkin dipraktekkan
dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota kecil dan kota besar,
yang ditunjuk dengan mudun atau madā’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim,
pengatur, atau pengelola, seorang dayyān. Jadi sudah ada di sini, dalam pelbagai penggunaan
hanya dari kata kerja dāna, kita melihat hadir di depan mata pikiran kita sebuah gambar
kehidupan yang beradab; akan kehidupan sosial akan hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas.3
Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain
maddana4 yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki dan memanusiakan;
yang darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial.
Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar kondisi berhutang penanda lain yang
berhubungan, seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi diperbudak; dan dari
penanda lain seperti hakim, pengatur, pemerintah diturunkan makna yang menandakan menjadi
perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih
lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang ditentukan). Kini
inti gagasan akan hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang
inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus mengandaikan
keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam
hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara
bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan dengan mereka;
sehingga kondisi sesuatu ini merupakan kondisi yang biasa atau terbiasa. Maka, dari sini kita dapat
lihat logika di balik turunan penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter
atau kecenderungan alamiah. Pada titik ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk
paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian sejati akan kecenderungan alamiah manusia untuk
membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan kerajaan,
kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan kita adalah yang
paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentangnya,
dan perlu ditegaskan lagi di sini, karena kita akan harus membutuhkannya lagi ketika kita
berurusan dengan aspek keagamaan dan spiritual dari pengalaman eksistensial manusia.
Saya telah begitu jauh menjelaskan secara sepintas konsep dasar dīn, mereduksi pelbagai
konotasinya kepada empat penanda dasar dan menunjukkan hubungan nyata dan konseptual,
dalam konteks hubungan ‘sekular’ manusia. Dalam konteks keagamaan, yakni akan hubungan
antara manusia dan Tuhan, dan apa yang Tuhan terima dalam hubungan manusia dengan
sesamanya, penanda dasar tersebut, walaupun mempertahankan makna dasar mereka, meski
3 Saya pikir sangat penting untuk melihat baik keintiman dan kedalaman hubungan yang penting antara konsep dīn dan
madīnah yang diturunkan darinya, dan peran mukmin secara individual dalam hubungan terhadap yang sebelumnya
dan secara kolektif dengan yang kemudian. Relevansi yang harus dipertimbangkan dalam pentingnya perubahan nama
kota yang pernah dikenal sebagai Yathrib menjadi al-Madīnah: Kota – atau lebih tepat, Madīnatu’l-Nabiy: Kota Nabi –
yang muncul segera setelah Nabi Suci (semoga Tuhan memberkahi dan memberinya kedamaian!) menjalani Perjalanan
historis (hijrah) dan tinggal di sana. Komunitas pertama Mukmin telah dibentuk di sana saat itu, dan Perjalanan itulah
yang menandai Era Baru dalam sejarah manusia. Kita harus melihat fakta bahwa al-Madīnah disebut dan dinamakan
demikian sebab di sanalah dīn yang benar menjadi terwujud bagi manusia. Di sana mukmin memperbudak dirinya di
bawah otoritas dan hukum Nabi Suci, dayyān-nya; di sana realisasi hutang kepada Tuhan mengambil bentuk yang jelas,
dan cara dan metode pembayarannya yang diterima mulai dibentangkan. Kota Nabi menandakan tempat dimana dīn
yang benar ditetapkan di bawah otoritas dan hukumnya. Kita dapat lebih lanjut melihat bahwa Kota tersebut menjadi,
untuk Komunitas, lambang tatanan sosio-politis Islām; dan bagi mukmin individual menjadi, dengan analogi, lambang
jasad dan fisik mukmin dimana jiwa rasional, dalam peniruan akannya mereka yang mudah-mudahan Tuhan
memberkahi dan memberi kedamaian!, menunjukkan otoritas dan pemerintahan yang adil. Untuk interpretasi relevan
lebih lanjut, lihat di bawah, hlm. 43-52; 53-59; 60-68;72-74; 75-80; 83-84.
4 LA, vol. 13: 402, kol. 2-403, kol. 1.
56 Prolegomena
demikian mengalami sintesis dan intensifikasi mendalam sekaligus benar kepada pengalaman
yang digambarkan dan pada deskripsi Agama Islām sebagai kepercayaan-kuat, kepercayaan-
lemah, praktek, dan pengajaran yang objektif yang dialami dan dihidupi oleh masing-masing dan
setiap anggota Komunitas Muslim maupun oleh Komunitas sebagai keseluruhan.
Bagaimana konsep sedang berhutang dapat dijelaskan dalam konteks kegamaan dan
spiritual? — seseorang mungkin menanyakan; apa sifat-dasar dari hutang itu?, dan kepada siapa
hutang dimiliki? Kita menjawab bahwa manusia berhutang kepada Tuhan, Pencipta dan
Penyedianya, karena membawanya menjadi eksistensi dan memeliharanya dalam keberadaannya.
Manusia sebelumnya bukan apa-apa dan tidak ada, dan kini dia ada.
‘Manusia Kami ciptakan dari sari tanah liat; kemudian Kami tempatkan dia sebagai
sperma yang jatuh dalam tempat istirahat, ditetapkan dengan kuat;
kemudian Kami membuat sperma itu menjadi segumpal darah yang memadat; kemudian
dari gumpalan itu Kami membuat gumpalan; kemudian Kami membuat dari gumpalan itu
tulang dan membungkus tulang itu dengan daging; kemudian Kami jadikannya makhluk
yang lain. Puji Tuhan, Pencipta yang terbaik,’5
Manusia yang merenungkan secara serius asalnya akan menyadari bahwa beberapa dekade yang
lalu dia tidak ada, dan seluruh manusia yang kini ada pun dahulu tidak ada maupun mengetahui
kemungkinan keberadaan mereka saat ini. Kebenaran yang sama berlaku pada manusia di
seluruh zaman sejak awal keberadaannya. Dengan begitu alamiah dia yang merenung sedemikian
tulus mengetahui secara intuitif bahwa rasa berhutang akan penciptaan dan keberadaannya tidak
dapat sungguh-sungguh ditujukan kepada orang tuanya, karena dia sungguh tahu bahwa orang
tuanya pun dipengaruhi proses yang sama oleh Pencipta dan Penyedia. Manusia tidak
menyebabkan pertumbuhan dan perkembangannya sendiri dari kondisi segumpal darah yang
menggantung kepada yang kini dewasa dan sempurna. Dia mengetahui bahkan dalam kondisi
dewasa dan sempurna dia tidak mampu menciptakan bagi dirinya sendiri indera penglihatan
atau pendengaran atau yang lain — dan membiarkan dirinya dalam kesadaran pertumbuhan dan
perkembangan dalam kondisi embrionik yang tak berdaya, maka:
‘Ketika Rabbmu mengambil dari anak Ādam – dari kesiapan mereka – keturunan mereka,
dan membuat mereka bersaksi atas diri mereka (berkata): “Bukankah Aku Rabbmu?” –
mereka berkata: “Ya kami bersaksi!”6
Manusia yang dibimbing secara benar menyadari bahwa diri sejatinya, jiwanya, sudah
mengakui Tuhan sebagai Rabbnya, bahkan sebelum keberadaannya sebagai manusia, sehingga
manusia tersebut mengenali Pencipta, Pengasih, dan Pemeliharanya. Sifat-dasar hutang
penciptaan dan eksistensi begitu sangat luar biasa, sehingga saat dia diciptakan dan diberi
eksistensi, manusia sudah dalam kondisi merugi, karena dia sungguh tidak memiliki apapun pada
dirinya sendiri, dengan melihat bahwa segala tentangnya, di dalam dirinya, dan darinya adalah
apa yang dimiliki Pencipta Yang memiliki segalanya. Dan ini adalah makna dari Qur’ān Suci:
‘Sesungguhnya manusia dalam kerugian (khusr)...’7
5 Al-Mu’minūn (23): 12-14.
6 Al-A’rāf (7): 172.
7 Al-‘Asri (103): 2.
57 Prolegomena
Melihat bahwa dia tidak memiliki apapun secara absolut untuk ‘membayar’ hutangnya,
kecuali kesadarannya sendiri akan fakta bahwa dirinya adalah inti hutang tersebut, sehingga dia harus
‘membayar’ dengan dirinya, jadi dia harus ‘mengembalikan’ dirinya kepada-Nya Yang
memilikinya secara absolut. Dia adalah hutang itu sendiri yang untuk dikembalikan kepada
Pemiliknya, dan ‘mengembalikan hutang’ berarti memberikan diri dalam pelayanan, atau khidmah,
kepada Rabb dan Pemiliknya; untuk menghinakan diri di hadapan-Nya dan sehingga manusia
yang dibimbing dengan benar secara tulus dan sadar memperbudak dirinya demi Tuhan dengan
maksud memenuhi perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan demikian patuh terhadap
hukum-Nya. Konsep ‘pengembalian’ yang disebut di atas juga merupakan bukti dalam struktur
konseptual dīn, karena itu dapat dan memang bermakna, sebagaimana akan saya elaborasikan
dalam cara yang berkaitan, sebuah ‘pengembalian kepada sifat-dasar inheren manusia’, konsep
‘sifat-dasar’ menunjuk pada aspek spiritual dan tidak secara keseluruhan pada aspek fisik
manusia.8 Hal ini pasti juga ditunjuk dalam kata-kata Qur’ān Suci:
‘Demi langit yang menurunkan hujan’,9
Kata yang diinterpretasikan sebagai ‘hujan’ adalah raj’, yang bermakna secara literal ‘kembali’.10
Diinterpretasikan sebagai hujan sebab Tuhan mengembalikannya secara berulang, dan menunjuk
pada pengembalian yang baik dalam pengertian, manfaat, laba, dan keuntungan. Oleh karena itu raj’,
digunakan secara sinonim dalam pengertian ini dengan rabah, bermakna keuntungan,11 yang
merupakan lawan dari khusr, kerugian, yang referensinya sudah dibuat di atas. Kini tepat untuk
disebutkan di sini satu dari makna dasar dīn yang belum dijelaskan di atas adalah hujan yang
berkelanjutan, hujan yang kembali lagi dan lagi; dan karenanya kita menerima bahwa dīn di sini,
seperti sebuah hujan, yang menyebut pada manfaat dan keuntungan (rabah). Ketika kita katakan
bahwa dengan maksud ‘membayar’ hutangnya manusia harus ‘mengembalikan’ diri pada Tuhan,
Pemiliknya, ‘pengembalian diri’nya adalah, seperti kembalinya hujan, sebuah keuntungan
baginya.12 Dan ini adalah makna dari perkataan:
‘Dia yang memperbudak dirinya beruntung13 (rabiha yang kata benda dasarnya: rabah)
Ungkapan ‘memperbudak diri’ (dāna nafsahu) bermakna ‘memberikan diri’ (dalam
pelayanan), dan karenanya juga ‘mengembalikan diri’ (kepada Pemiliknya) sebagaimana
dijelaskan.14 Makna yang sama diungkapkan dalam kata-kata Nabi Suci:
8 Konsep pengembalian juga diungkapkan dalam makna istilah ‘uwwida dalam pengertian kembali ke masa lalu, yakni,
kepada tradisi. Karenanya penanda dari dīn sebagai adat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini bermakna kembali
kepada tradisi Nabi Ibrahim (semoga kedamaian kepadanya!). Dalam hubungan ini tolong lihat di atas hlm.44 dan di
bawah, hlm. 51-55. Harus dilihat bahwa ‘tradisi’ di sini tidak bermakna jenis tradisi yang berasal dan berevolusi dalam
sejarah dan kebudayaan manusia dan bersumber dari kesadaran manusia. Melainkan, dari apa yang Tuhan telah
wahyukan dan perintahkan dan diajarkan Nabi dan Rasul-Nya, sehingga meskipun mereka muncul dalam periode
sejarah yang berturut-turut dan tidak berhubungan, mereka mengandung dan bertindak seakan-akan apa yang mereka
kandung dan bertindak atasnya telah berwujud dalam tradisi yang berkelanjutan.
9 Al-Thāriq (86): 11, LA, vol. 8:120, kol.2.
10 Terdapat hubungan yang dekat antara konsep yang digambarkan di sini dan aplikasi kata kerja ‘raja’a’ dalam
pelbagai bentuknya dalam Qur’ān Suci dengan referensi kepada kembalinya manusia kepada Tuhan.
11 LA, vol. 2:442, kol 2-445, kol. 1.
12 Dīn yang benar membawa kehidupan pada tubuh yang jika sebaliknya mati seperti ’hujan yang diturunkan Tuhan
dari langit, dan kehidupan yang Dia berikan besertanya kepada bumi yang mati.’ Lihat Al-Baqarah (2): 164.
13 LA, vol. 13: 167, kol. 1.
14 Secara jelas menunjuk kepada manusia yang, telah secara sadar menyadari bahwa dirinya itu di bawah hutangnya
sendiri kepada Pencipta, Pemelihara, dan Pengasihnya, memperbudak dirinya pada dirinya sendiri karenanya
‘mengembalikan’ dirinya pada Rabbnya yang benar.
58 Prolegomena
“Seorang yang cerdas adalah dia yang memperbudak dirinya (dāna nafsahu) dan bekerja
untuk apa yang akan datang setelah kematian.”15
‘Apa yang akan datang setelah kematian’ merupakan sesuatu yang akan diperhitungkan
dengan baik, balasan, kembali yang baik. Pengembalian yang baik ini seperti kembalinya hujan
yang membawa keuntungan kepada bumi dengan membawa kehidupan padanya dan dengan
menyebabkan pertumbuhan yang baik dan menguntungkan bagi kehidupan untuk tumbuh
darinya. Dalam cara yang serupa hujan memberi kehidupan kepada bumi yang jika sebaliknya
akan mati, begitu juga dīn memberi kehidupan kepada manusia, yang tanpanya manusia akan
seperti seseorang yang, sebagaimana disebutkan, juga ‘mati’. Hal ini secara benar-benar
disimbolisasikan oleh kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci, dimana Dia berkata:
‘...Dalam hujan Tuhan turunkan dari langit, dan kehidupan yang Dia berikan beserta
kepada bumi yang mati....’16
Dengan ‘mengembalikan diri’ kepada Rabb dan Pemiliknya, dengan setia dan sungguh-
sungguh mengikuti dan mematuhi perintah, larangan, peraturan, dan hukum Tuhan, manusia
yang bertindak demikian akan dibalas dan akan menerima pengembaliannya yang baik ditambah
berkali lipat, seperti dikatakan Tuhan dalam Qur’ān Suci:
‘Siapakah dia yang ingin meminjamkan (yuqridu) kepada Tuhan pinjaman yang baik
(qardan hasanan) yang akan digandakan Tuhan pada piutangnya dan bertambah berkali
lipat?’17
Perhatikan di sini bahwa kata kerja yang digunakan untuk menandakan ‘pinjaman’
(yuqridu), dari qarada, qard tidak memiliki konotasi yang sama sebagaimana yang diistilahkan
sebagai ‘hutang’ (dayn), karena istilah yang kemudian hanya berlaku kepada manusia. ‘Pinjaman’
di sini bermakna ‘pengembalian yang merupakan dimiliki ‘secara asli’ oleh Dia Yang kini
memintanya, dan yang harus dikembalikan pada-Nya’. Manusia itu milik Tuhan dan
eksistensinya hanya ‘dipinjamkan’ kepadanya untuk suatu waktu. Di sisi lain ungkapan
‘pinjaman yang baik’ (qardan hasanan) sebagaimana diterapkan kepada manusia memiliki arti
metaforis, yakni ‘pelayanannya kepada Tuhan’, ‘kerja baik’nya, yang bermakna, karena hal
tersebut ini dapat sungguh dikatakan miliknya, dan karena persembahan yang dengannya dia
akan dibalas dalam kelimpahan. Tuhan adalah Yang Maha Pembalas, Hakim tertinggi: dayyān.
Dia adalah Raja, mālik, Hari Pengadilan dan Pembalasan, yawm al-dīn, juga disebut Hari
Perhitungan, yawm al-hisāb.18 Fakta bahwa Tuhan ditunjuk sebagai Raja, dan segalanya sebagai
Kerajaan dimana Dia menunjukkan kekuasaan dan otoritas absolut, malakūt, kembali
menunjukkan bahwa manusia itu mamlūk-Nya, budak-Nya. Jadi dīn dalam konteks keagamaan
juga menunjuk kepada kondisi menjadi budak.19 Kita beberapa saat yang lalu menunjuk
‘pengembalian diri manusia’ bermakna ‘memberikan diri dalam pelayanan’ (khidmah) kepada
Tuhan. Kini kita katakan lagi bahwa dalam akibat apa yang sungguh-sungguh dimaksud bukan
15 LA, vol. 12: 169, kol. 2.
16 Al-Baqarah (2): 164.
17 Al-Baqarah (2): 245.
18 Dīn juga bermakna perhitungan yang benar: hisāb al-sahīh. Yakni membagi dengan perhitungan benar yang tepat
kepada suatu jumlah atau sesuatu sehingga cocok pada tempatnya yang tepat: ‘adad al-mustawā. Hal yang entah
bermakna matematis ini mengandung pengertian bahwa terdapat sistem atau hukum yang memerintah dan memelihara
semuanya dalam keseimbangan yang sempurna. Lihat LA, vol. 13: 169, kol. 1.
19 LA, vol. 13: 170, kol. 1.
59 Prolegomena
‘pelayanan’ dalam pengertian pelayanan apapun, atau jenis yang ditawarkan kepada manusia
atau institusi manusia lain. Konsep khidmah menyiratkan bahwa seseorang yang memberikan
pelayanan tersebut ‘bebas’, tidak terikat, tetapi ‘tuan bagi dirinya’ dalam hal dirinya sendiri.
Namun konsep mamlūk, mengandung fakta implisit kepemilikan seseorang yang menerima
pelayanannya. Mamlūk dimiliki mālik. Jadi kita tidak mengatakan seseorang yang melayani Tuhan
adalah seorang khādim, bermakna pelayan, tetapi dia adalah ‘ābid Tuhan dan sungguh dia adalah
‘abd Tuhan, yang juga bermakna pelayan atau budak, dengan istilah yang memiliki konotasi
‘dimiliki’ oleh Dia Yang dia layani. Oleh karena itu dalam konteks keagamaan, ‘abd merupakan
istilah yang tepat yang menunjuk kepada seseorang yang, dalam kenyataan dia berhutang secara
absolut pada Tuhan, menghinakan diri dalam pelayanan kepada-Nya; dan karenanya tindakan
melayani yang berkenan bagi-Nya disebut ‘ibādah dan pelayanannya adalah ‘ibādāt, yang
menunjuk pada semua tindakan pelayanan yang sadar dan sukarela hanya demi Tuhan dan yang
diterima-Nya, termasuk penyembahan yang diwajibkan. Dengan menyembah Tuhan dalam cara
pelayanan tertentu manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya, seperti
perkataan Tuhan dalam Qur’ān Suci:
‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’budūni).20
Ketika kita katakan bahwa manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan
keberadaannya, jelas bahwa kewajiban manusia untuk melayani Tuhan dirasakannya sebagai
normal sebab hal itu datang sebagai kehendak alamiah dalam bagian diri manusia untuk
melakukannya. Kecenderungan alamiah pada manusia untuk melayani dan menyembah Tuhan
juga ditunjuk sebagai dīn, seperti telah kita observasi dari awal dalam hubungan dengan
konotasinya sebagai adat, kebiasaan dan watak. Namun, di sini dalam konteks keagamaan hal
tersebut juga memiliki penanda khusus akan kondisi alamiah wujud yang disebut fitrah. Bahkan dīn
juga bermakna fitrah.21 Fitrah adalah pola yang berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala
hal. Hal tersebut adalah cara penciptaan oleh Tuhan, sunnat Allāh, dan segalanya cocok satu sama
lain ke dalam pola yang diciptakan untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Hal itu
adalah hukum Tuhan. Ketundukan kepadanya membawa kondisi harmonis, karena bermakna
perwujudan apa yang inheren dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya
membawa ketidakharmonisan, karena bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan
terhadap sifat-dasar seseorang yang benar. Fitrah adalah keteraturan (cosmos) sebagaimana
dilawankan dengan kekacauan (chaos); keadilan sebagaimana dilawankan dengan ketidakadilan.
Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku Rabbmu?”, dan diri sejati manusia, bersaksi pada dirinya,
menjawab: “Ya!” dalam pengakuan kebenaran akan kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah
perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika manusia diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan
dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan benar, mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai
seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga penyembahannya tersebut, tindakan
kesalehannya, hidup dan matinya dihidupi hanya karena Tuhan. Satu makna dari fitrah sebagai
dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian ini oleh manusia.22 Ketundukan dalam pengertian yang
digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan sadar, dan ketundukan ini tidak serta
merta kehilangan ‘kebebasan’ baginya, karena kebebasan pada faktanya bermakna bertindak
sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia yang tunduk kepada Tuhan dalam jalan ini
adalah menghidupi dīn ini.
20 Al-Dhāriyat (51): 56.
21 LA, vol. 5:58, kol. 1 & 2; lihat juga Al-Rūm (30): 30.
22 LA, vol. 5: 56, kol. 2, 57, kol. 1.
60 Prolegomena
Ketundukan, kita katakan lagi, menunjuk kepada kesadaran dan ketundukan sukarela,
karena tanpa kesadaran dan keinginan maka ketundukan tidak dapat bermakna ketundukan
sejati. Konsep ketundukan mungkin umum pada semua agama, seperti kepercayaan-kuat atau
kepercayaan-lemah merupakan inti semua agama, tetapi kita mempertahankan bahwa tidak
semua agama menetapkan ketundukan sejati. Bukanlah ketundukan jika bermakna jenis yang
sesaat atau tak menentu, karena ketundukan sejati merupakan tindakan berkelanjutan yang
dihidupi sepanjang masa kehidupan etis seseorang; maupun jenis yang hanya beroperasi di alam
hati tanpa diwujudkan secara lahiriah dalam tindakan tubuh sebagaimana perbuatan ditampilkan
dalam kepatuhan kepada hukum Tuhan. Ketundukan kepada keinginan Tuhan bermakna juga
kepatuhan kepada hukum-Nya. Kata yang menandakan pengertian ketundukan ini adalah aslama,
sebagai bukti dalam Qur’ān Suci ketika Tuhan berkata:
‘Siapa yang dapat lebih baik dalam agama (dīn) daripada seseorang yang menundukkan
(aslama) wajahnya (cth. seluruh dirinya) kepada Tuhan...?’23
Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islām. Terdapat, tidak diragukan, bentuk-bentuk lain dari dīn,
tetapi salah satu yang menetapkan ketundukan (istislām) total hanya kepada Tuhan adalah yang
terbaik, dan yang satu ini merupakan satu-satunya dīn yang diterima Tuhan, sebagaimana Dia
berkata dalam Qur’ān Suci:
‘Jika siapapun menghendaki sebuah agama (dīn) yang lain dari Islām (al-Islām), tidak akan
pernah itu diterima darinya...”24
dan lagi:
‘Sesungguhnya Agama (al-dīn) di sisi Tuhan adalah Islām (al-Islām)’25
Menurut Qur’ān Suci, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena
segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Tuhan. Karenanya istilah dīn juga digunakan,
sekalipun hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islām. Namun, apa yang
membuat Islām berbeda dengan agama lain adalah ketundukan menurut Islām merupakan
ketundukan yang tulus dan total kepada kehendak Tuhan, dan hal ini ditetapkan secara sukarela
sebagai kepatuhan absolut kepada hukum yang diwahyukan-Nya. Gagasan ini secara tersirat
diungkapkan dalam Qur’ān Suci, sebagai contoh, dalam bagian berikut:
‘Apakah mereka mencari yang lain daripada agama (dīn) Tuhan? Padahal semua makhluk
di langit dan bumi telah, secara sukarela atau terpaksa, tunduk (aslama) pada kehendak-
Nya, dan kepada-Nyalah mereka semua dikembalikan.’26
Bentuk dimana ketundukan ditetapkan atau diungkapkan adalah bentuk dīn, dan di
sinilah keanekaragaman muncul antara satu dīn dengan yang lain.27 Bentuk ini, yang merupakan
23 Al-Nisā’ (4): 125.
24 Āli ‘Imrān (3): 85.
25 Āli ‘Imrān (3): 19.
26 Āli ‘Imrān (3): 83.
27 Hal ini tentu tidak menyiratkan bahwa keanekaragaman antara agama-agama hanya soal bentuk, karena perbedaan
dalam bentuk tentu saja menyiratkan perbedaan dalam konsep Tuhan, Esensi, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan Tindakan-
Nya — sebuah perbedaan dalam konsepsi yang diungkapkan dalam Islām sebagai tawhīd: Keesaan Tuhan.
61 Prolegomena
cara institusi kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah, cara ungkapan hukum, cara sikap dan
perilaku keagamaan, etis, dan moral — cara yang dengannya ketundukan kepada Tuhan
ditetapkan dalam hidup kita, diungkapkan dengan konsep millah. Islām mengikuti millah Nabi
Ibrāhīm (Abraham), yang juga merupakan millah Nabi-Nabi lain setelahnya (semoga kedamaian
atasnya!). Millah mereka secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai bentuk agama yang betul
dīn al-qayyim, sebab dari semua milal yang lain, hanya millah mereka yang cenderung sempurna,
hanīfan, menuju Agama yang benar (al-Islām). Jadi mereka mendahului Islām dalam kepercayaan-
kuat, kepercayaan-lemah, hukum, dan praktek keagamaan dan karenanya juga disebut muslim,
meskipun Agama Islām seperti sekarang ini mencapai kristalisasi sempurna hanya dalam bentuk
yang dieksternalisasikan oleh Nabi Suci. Agama lain telah mengembangkan sistem atau bentuk
ketundukan berdasarkan tradisi kultural mereka yang tidak serta merta diturunkan dari millah
Nabi Ibrahim dan namun beberapa yang lain, seperti agama Ahlu’l-Kitāb — Orang-Orang Berbuku
(People of the Book) — telah mengembangkan campuran tradisi kultural mereka sendiri dengan
tradisi yang berdasarkan Wahyu. Untuk pelbagai sistem atau bentuk ketundukan inilah yang,
untuk kondisi pada tulisan yang baru dikutip, ditunjuk sebagai jenis ketundukan yang
”terpaksa”.28
Konsep dīn dalam pengertian kepatuhan yang benar dan ketundukan sejati seperti
digambarkan dalam paparan ringkas sebelumnya diwujudkan di kehidupan nyata dalam Agama
Islām. Dalam Islāmlah dīn yang benar dan sempurna diwujudkan, karena hanya dalam Islām swa-
pengungkapan tersebut terpenuhi secara utuh. Islām menyerupai pola atau bentuk sesuai dengan
cara Tuhan memerintah Kerajaan-Nya; Islām adalah imitasi tatanan alam semesta yang
diwujudkan di sini dalam kehidupan duniawi ini sebagai sebuah tatanan sosial maupun tatanan
politik. Tatanan sosial Islām meliputi seluruh keberadaan aspek fisik, material, dan spiritual
manusia dalam sebuah cara yang, di sini dan kini, melaksanakan keadilan kepada individu
maupun kepada masyarakat; dan kepada individu sebagai makhluk fisik maupun sebagai
makhluk ruhani, sehingga seorang muslim adalah sekaligus dirinya dan Komunitasnya, dan
Komunitasnya juga merupakan dia, karena setiap anggota menghendaki, seperti dia, untuk
mewujudkan tujuan yang sama dalam kehidupan dan mencapai hasil yang sama. Tatanan sosial
Islām merupakan Kerajaan Tuhan di bumi, karena di dalam tatanan tersebut Tuhan, dan bukan
manusia, adalah tetap Rabbnya, Pemilik Kedaulatan dimana keinginan, hukum, peraturan,
perintah, dan larangan-Nya memegang peranan absolut. Manusia hanya wakil-Nya atau khalīfah,
28 Dalam sebuah pengertian, kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci:
– ‘Biarkan tidak ada ada paksaan dalam agama’ (Al-Baqarah (2): 256) – menguatkan apa yang telah dijelaskan di atas
bahwa dalam agama sejati seharusnya tidak ada paksaan: bukan hanya dalam pengertian bahwa, dalam tindakan
pengendalian pada agama dan tunduk padanya, seseorang harus tidak memaksa yang lain untuk tunduk; tetapi dalam
pengertian bahkan dengan diri sendiri, seseorang harus mengendalikan dan menundukkan diri sepenuh hati dan
sukarela, dan mencintai dan menikmati ketundukan. Ketundukan yang terpaksa memperlihatkan kesombongan,
ketidakpatuhan dan pembangkangan, dan adalah serupa dengan salah-percaya (misbelief), yang merupakan salah satu
bentuk dari tidak-percaya (kufr). Sebuah kesalahan untuk berpikir bahwa percaya hanya pada Tuhan yang Satu sendiri
adalah cukup dalam agama sejati, dan bahwa kepercayaan-lemah seperti itu menjamin keamanan dan keselamatan. Iblīs
(syaitan), yang percaya pada Satu Tuhan Yang Benar dan mengetahui dan mengakui-Nya sebagai Pencipta, Pengasih,
Pemelihara, rabbnya, meskipun demikian seorang yang salah-percaya (kāfir). Meskipun Iblīs tunduk kepada Tuhan,
namun dia tunduk dengan kurang ajar dan enggan, dan kufrnya berkaitan dengan kesombongan, ketidakpatuhan dan
pembangkangan. Dia adalah contoh buruk yang terkenal dari ketundukan yang terpaksa. Maka, ketundukan yang
terpaksa bukan tanda kepercayaan yang benar, dan seorang kāfir oleh karena itu mungkin menjadi seseorang yang,
meski percaya pada Satu Tuhan, tidak tunduk dalam ketundukan sejati, melainkan lebih tunduk pada jalannya sendiri
yang keras kepala – sebuah jalan, atau cara, atau bentuk yang tidak diterima ataupun diwahyukan atau diperintahkan
Tuhan. Ketundukan sejati adalah apa yang telah sempurna oleh Nabi Suci sebagai model bagi manusia, karena hal itu
merupakan cara ketundukan seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya, dan bentuknya diterima, diwahyukan, dan
diperintahkan Tuhan. Dengan demikian, inti agama sejati, maka, bukan kepercayaan-lemah, melainkan, lebih
mendasar, ketundukan; karena ketundukan membuktikan dan mengakui kepercayaan-lemah sebagai benar dan sejati.
62 Prolegomena
yang telah diberikan kepercayaan memerintah, amānah, untuk mengatur sesuai kehendak Tuhan
dan perkenan-Nya. Ketika kita katakan ‘aturan’, kita tidak secara sederhana bermaksud menunjuk
pada pengertian sosio-politik dari ‘mengatur’, karena yang kita maksud juga, tentu saja jauh lebih
mendasar, aturan tentang diri sendiri oleh diri sendiri, karena amanah menunjuk juga kepada
tanggung jawab dan kebebasan diri untuk bertindak adil kepada diri sendiri. Pernyataan terakhir
ini kita harus menegaskannya kembali sekarang, karena apa yang dimaksudkan itu
mengungkapkan inti prinsip etis dan moralitas Islām. Islām, kita katakan lagi, merupakan sebuah
tatanan sosial, tetapi dalam tatanan tersebut setiap individu, masing-masing berdasarkan
kapasitas dan kekuatan laten yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk memenuhi dan
menyadari tanggung jawab dan kebebasannya, menghendaki mencapai dan mewujudkan yang
ideal bagi dirinya dalam Jalan29 yang dimanifestasikan oleh Hukum30 Yang diwahyukan yang
ditaati seluruh anggota Komunitas. Maka dengan demikian, sebagaimana setiap muslim
merupakan khalīfah Tuhan di bumi, maka setiap muslim adalah budak-Nya, ‘abd-Nya, yang
menghendaki dirinya agar menyempurnakan pelayanan dan ketaatan, ‘ibādahnya, dalam cara
yang diterima Tuhan, Pemiliknya Yang Absolut. Dan karena setiap individu dalam tatanan sosial
ini mampu menjawab kepada Tuhan, maka dalam tatanan sosial tersebut masing-masing individu
secara personal mengarahkan kesetiaan yang benar dan sejati, tā’ah, pada Tuhan, Rabbnya yang
Sejati.
Kita telah katakan bahwa konsep dīn merefleksikan gagasan sebuah kerajaan — sebuah
kosmopolis. Perdagangan dan pertukaran merupakan inti kehidupan kosmopolis, dan aktifitas
tersebut bersama pelbagai implikasinya memang inheren dalam konsep dīn sebagaimana telah
sedemikian jauh digambarkan. Maka tidak heran dalam Qur’ān Suci kehidupan dunia dilukiskan
secara terus-menerus secara sungguh-sungguh dalam metafora sebagai perusahaan dagang. Di
dalam kosmopolis atau kerajaan yang direfleksikan dalam konsep dīn, terdapat lukisan aktifitas
sibuk akan lalu lintas perdagangan. Manusia tidak terelakkan bertaut dengan perdagangan: al-
tijārah, dengan dirinya sebagai subjek dan objek perdagangan. Dia adalah modalnya sendiri, dan
kerugian dan keuntungannya tergantung pada rasa tanggung jawab dan pertunjukan
kebebasannya. Dia membawa kepercayaan dalam membeli dan menjual, bay’ah, dan pertukaran:
ishtarā, dan dirinyalah yang dia beli atau jual atau tukar; dan tergantung kehendaknya terhadap
pertunjukkan keinginan dan kebutuhannya, perdagangannya akan untung: rabiha’l-tijārah, atau
menderita rugi: mā rabiha’l-tijārah. Dalam situasi yang muncul di hadapan kita harus lihat bahwa
manusia yang begitu terikat menyadari keseriusan berspekulasi dagang yang secara sukarela
diambil.31 Dia tidak sekedar hewan yang makan, minum, tidur, dan bersenang-senang atas
kesenangan32 sensual — tidak ada orang suci ataupun barbar yang demikian melewatkan dirinya
dalam perwujudan tanggung jawabnya yang besar dan kesadaran akan kebebasannya untuk
memenuhi dan menebus dirinya sendiri dari beban eksistensi. Hal itu adalah seperti dia yang
menukar dirinya dengan diri sejatinya yang ditunjuk Tuhan ketika Dia berkata dalam Qur’ān
Suci:
‘Sesungguhnya Tuhan telah membeli mukmin diri-diri mereka...’33
29 Dengan ‘Jalan’ saya bermaksud apa yang menunjuk pada ihsān, atau kesempurnaan dalam kebajikan.
30 Hukum yang diwahyukan, atau sharī’ah, adalah hukum Tuhan.
31 Lihat Al-Ahzāb (33): 72.
32 Lihat Al-‘Arāf (7): 179.
33 At-Tawbah (9): 111.
63 Prolegomena
Konsep dīn dengan menunjuk kepada manusia Islām34 mengandaikan kemunculannya
dalam dirinya jenis manusia yang lebih tinggi yang sanggup akan cita-cita mulia menuju swa-
pembuktian — swa-pembuktian yang tidak kurang dari aktualisasi kekuatan dan kapasitas
latennya untuk menjadi manusia yang sempurna. Manusia Islām sebagai penduduk kota, sebuah
kosmopolitan, yang menghidupi kehidupan beradab sesuai dengan fondasi batasan yang jelas
akan tatanan sosial dan kode perilaku adalah dia yang patuh kepada Hukum Ilahi, dimana
berusaha menuju perwujudan keadilan sejati dan menghendaki pengetahuan yang benar
merupakan kebajikan pokok. Dorongan perilaku manusia demikian merupakan rahmat abadi,
dimana pintu masuk ke dalam kondisi damai tertinggi yang mungkin dia rasakan bahkan di sini,
tetapi yang akan diberikan padanya ketika dia masuk arus kota lain itu dan menjadi penduduk,
yakni penduduk kerajaan lain yang di dalamnya kebahagiaan pokoknya dapat memandang
Wajah Agung Sang Raja.
Sementara Islām merupakan lambang tatanan kosmis ilahiyah, manusia Islām yang sadar
akan takdirnya sadar bahwa dirinya, sebagai makhluk fisik, juga lambang alam semesta, sebuah
representasi mikrokosmos, ‘ālam saghīr, dari makrokosmos, al-’ālam al-kabīr. Karenanya dalam cara
Islām itu seperti kerajaan, sebuah tatanan sosial, begitu juga manusia Islām mengetahui bahwa dia
merupakan kerajaan dalam ukuran miniatur, karena dia, sebagaimana pada manusia seluruhnya,
memanifestasikan Sifat-Sifat Pencipta, tanpa menjadi kebalikannya, karena ‘Tuhan menciptakan
manusia dalam citra-Nya sendiri’. Kini manusia adalah tubuh dan jiwa, dia adalah makhluk fisik
sekaligus ruhani, dan jiwanya memerintah tubuh seperti Tuhan memerintah Alam Semesta. Jiwa
manusia juga memiliki dua aspek yang analogis dengan sifat-dasar gandanya: yang tinggi, jiwa
rasional: al-nafs al-natīqah; yang rendah, jiwa hewani atau jasmani: al-nafs al-hayawāniyyah. Di
dalam kerangka-kerja konseptual dari konsep dīn yang diterapkan di sini sebagai persoalan
subjektif, personal, dan individual, jiwa rasional manusia merupakan raja dan harus
menggunakan kekuatan dan aturannya terhadap jiwa hewani yang merupakan bawahannya dan
yang harus ditundukkan padanya. Kekuasaan dan aturan efektif yang ditunjukkan jiwa rasional
terhadap jiwa hewani, dan penaklukan dan ketundukan total dari yang kemudian atas yang
terdahulu sungguh dapat diinterpretasikan sebagai dīn, atau sebagai islām dalam pengertian
subjektif, personal, individual dalam hubungan yang sedemikian dibangun. Dalam konteks ini
jiwa hewanilah yang memperbudak dirinya sendiri dalam ketundukan dan pelayanan sehingga
‘mengembalikan’ diri kepada kekuasaan dan otoritas jiwa rasional. Ketika Nabi Suci berkata:
“Matilah sebelum kamu mati.”-
Hal tersebut sama saja dengan berkata: “kembalilah sebelum kamu akhirnya kembali”; dan ini
menunjuk kepada penaklukan diri sendiri oleh diri sejatinya, yakni jiwa hewani seseorang oleh
jiwa rasionalnya; dan menyentuh pengetahuan akan diri inilah yang dimaksudkannya ketika dia
katakan:
“Dia yang mengenal dirinya mengenali Rabbnya”.
Lebih lanjut, ketika Tuhan memproklamasikan kekuasaan-Nya pada keturunan Ādam
jiwa rasional manusialah yang Dia tuju, sehingga setiap jiwa telah mendengar perkataan
“Bukankah Aku Rabbmu?” dan menjawab “Ya!” dan bersaksi pada dirinya sendiri. Jadi manusia
Islām yang dibimbing secara benar bertindak sesuai sebagai pelayan sejati Tuhan, ‘abd-Nya. Kita
menunjuk di awal pada tujuan penciptaan dan eksistensi manusia, mengatakan bahwa hal itu
34 Manusia Islām, cth., Muslim.
64 Prolegomena
merupakan untuk melayani Tuhan; dan kita katakan bahwa tindakan melayani dari bagian diri
manusia adalah ‘ibādah dan pelayanan sedemikian adalah ‘ibādāt, yang menunjuk kepada semua
tindakan pelayanan yang sadar dan sukarela hanya karena Tuhan dan yang diterima oleh-Nya,
termasuk penyembahan yang ditentukan. Pada kenyataannya, kita kini mengatakan lebih lanjut
bahwa bagi manusia Islām seluruh kehidupan etisnya adalah ‘ibādah yang berkelanjutan, karena
Islām sendiri merupakan sebuah jalan hidup yang utuh. Ketika manusia itu telah, dengan ‘ibādāt,
berhasil menahan hasrat hewani dan jasmani dan telah membuat jiwa hewaninya tunduk, lalu
membuatnya dipengaruhi jiwa rasional, manusia yang digambarkan demikian telah mencapai
kebebasan bahwa dia telah memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya; dia telah mencapai
kedamaian tertinggi35 dan jiwanya ditenangkan, diletakkan bebas seperti dikatakan, bebas dari
belenggu nasib yang tak terelakkan dan perselisihan yang mengganggu dan neraka sifat buruk
manusia. Jiwa rasionalnya dalam kondisi spiritual ini disebut dalam Qur’ān Suci sebagai jiwa
yang ‘ditenangkan’ atau ‘tenang’: al-nafs al-mutma’innah. Jiwa ini merupakan jiwa yang
‘mengembalikan’ diri secara sukarela kepada Rabbnya, dan padanyalah Tuhan mengalamatkan
perkataan-Nya:
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kamu pada Rabbmu, - dengan ridho pada (dirimu)
dan ridho pada-Nya! Maka masuklah kamu, di antara pelayanKu! Ya, masuklah kamu ke
Taman-Ku”36
jiwa ini merupakan jiwa pelayan yang telah memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan
pengakuan yang berkelanjutan, dan karena tidak ada yang mengenal lebih baik tentang Rabbnya
daripada pelayan-Nya yang sejati dan setia, yang dengan pelayanan seperti itu mendapatkan
keintiman dengan Rabb dan Pemiliknya, sehingga ‘ibādah bermakna, pada akhirnya, pada tahap
lanjut, sebagai pengetahuan: ma’rifah.37
Saya telah melacak dalam garis besar secara gamblang inti dasar Agama Islām dan telah
menunjukkan secara umum yang dapat, sekalipun, dielaborasikan kepada catatan logis yang
merinci sifat-dasar yang mencakup semua yang meliputi kehidupan individu maupun
masyarakat. Sudah saya katakan bahwa Islām adalah agama subjektif, personal dari individu
maupun sebagai agama objektif meliputi agama swa-sama untuk Komunitas – yang beroperasi
sebagai agama yang sama untuk individu sebagai entitas tunggal maupun masyarakat yang
tersusun secara kolektif dari entitas-entitas demikian.38 Tersirat pada penjelasan kita bahwa Islām
35 Ketika kita juga berkata bahwa Islām bermakna ‘damai’, kita menunjuk pada akibat dari ketundukan yang ditandai
dengan kata kerja aslama.
36 Al-Fajr (89): 27-30.
37 Kita tidak menyiratkan sekurang-kurangnya di sini bahwa ketika ’ibādah menjadi diidentifikasi dengan ma’rifah,
yang terdahulu disebutkan sebagai kerja pelayanan (‘amal) termasuk sholat (salāt) — cth. yang diwajibkan (fard),
praktek yang jalankan Nabi (sunnah), tambahan utama (nawafīl) —tidak lagi wajib bagi seseorang yang memperoleh
yang kemudian, atau sholat seseorang hanya bermakna kontemplasi intelektual, seperti dipikirkan beberapa filsuf.
Ma’rifah sebagai ‘pengetahuan’ adalah kognisi yang benar (‘ilm) dan perasaan yang benar atau suasana hati spiritual
(hāl); dan yang disebutkan di awal, yang menandai tahap terakhir ‘tempat-perhubungan’ spiritual (maqāmāt),
mendahului yang kemudian disebut, yang menandai awal ‘kondisi’ spiritual (ahwāl). Jadi ma’rifah menandai posisi-
transisi spiritual antara tempat-perhubungan dan kondisi spiritual. Hal seperti itu, dan karena itu merupakan
pengetahuan yang datang dari Tuhan pada hati (qalb) dan tergantung sepenuhnya kepada-Nya, tidaklah serta merta
merupakan kondisi permanen kecuali secara berkelanjutan diamankan dan dibentengi dengan ‘ibādah. Dia yang
berpandangan tajam mengetahui bahwa adalah absurd dalam kasus seseorang yang menerima pengetahuan dari Tuhan
tentang Tuhan (cth. ‘ārīf) untuk mengubah ‘ibādahnya menjadi sekedar kontemplasi, karena ‘ārīf sangat sadar akan
fakta bahwa keutuhan atau setidaknya sebagian berkaitan dengan ‘ibādah merupakan alat mendekati Rabbnya.
38 Terdapat kebenaran bahwa tidak ada sesuatu seperti Islām subjektif dan objektif dalam pengertian yang terdahulu
disebutkan menyiratkan kurang nyata dan kurang benar dari yang kemudian, kepada perluasan tersebut yang terdahulu
dipandang sebagai kurang absah dan kurang otentik dari yang kemudian; atau bahwa yang kemudian itu berbeda
65 Prolegomena
adalah kepercayaan-lemah dan kepercayaan-kuat (īmān) maupun ketundukan dalam pelayanan
(islām); Islām adalah ketetapan hati (qalb) dan pikiran (‘aql) yang dikonfirmasikan oleh lidah (lisān)
maupun oleh perbuatan dan kerja (‘amal)39; Islām adalah hubungan yang harmonis yang dibangun
antara jiwa dan tubuh; Islām adalah kepatuhan dan kesetiaan (tā’ah) kepada Tuhan juga kepada
Nabi Suci; Islām adalah menerima sepenuh hati kebenaran akan Kesaksian (kalimah shahādah)
bahwa tiada Tuhan selain Allāh, dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allāh – Islām adalah
kesatuan semua itu, bersama dengan apa yang menyertai mereka, dalam kepercayaan-lemah dan
praktek, dalam diri pribadi muslim maupun pada Komunitas secara keseluruhan. Tidak bisa
terdapat perpisahan, ataupun pembagian, ataupun dikotomi antara bagian integrasi yang
harmonis dari kesatuan yang sedemikian dibentuk, sehingga dapat ada, bagi Islām, pemercaya-
lemah atau pemercaya-kuat sejati (mu’min) tanpa seseorang tersebut juga tunduk dalam
pelayanan (muslim); tidak ada penerimaan hati dan pikiran yang dikonfirmasikan dengan lidah
tanpa perbuatan dan kerja; tidak ada kepatuhan dan kesetiaan sejati kepada Tuhan tanpa
kepatuhan dan kesetiaan kepada Utusan-Nya; maupun terdapat penerimaan Kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allāh tanpa juga menerima Muhammad sebagai Utusan-Nya, yang pertama
kali mewujudkan Rumusan Keesaan (kalimah al-tawhīd). Saya juga telah mengangkat sifat-dasar
mendasar wahyu Qur’ān akan perjanjian jiwa manusia dengan Tuhan dalam hal Kemahakuasaan-
Nya dan konsep dīn sebagaimana merefleksikan alam semesta, layaknya pemerintahan Tuhan
atas alam ciptaan, dan saya telah menggambarkan perbandingan antara konsep dīn dan konsep
makrokosmos dan hubungan analogisnya dengan manusia sebagai mikrokosmos dimana jiwa
rasional mengatur jiwa hewani dan tubuh seperti Tuhan mengatur Kerajaan-Nya. Perjanjian jiwa
dengan Tuhan dan sifat-dasar hubungan yang diungkapkan dari perjanjian tersebut memang
menempati posisi utama dalam konsep dīn dan merupakan basis pokok Islām, seperti akan saya
ungkapkan lebih lanjut. Perjanjian tersebut dibuat oleh seluruh jiwa keturunan Adam dan Tuhan
menunjuk kepada mereka secara kolektif juga secara individual, sehingga perjanjian itu
merupakan perjanjian yang dibuat setiap jiwa individu sekaligus oleh mereka secara kolektif
untuk mengakui Tuhan sebagai Rabb mereka. Mengakui Tuhan sebagai Rabb (rabb) bermakna
mengakui Dia sebagai Raja Yang Absolut (sin. mālik), Rabb, Pemilik (sin. sāhib), Pengatur,
Pemerintah, Tuan, Pencipta, Pengasih, Pemelihara —karena semua makna tersebut menunjuk
pada konotasi inheren dari konsep Rabb. Semua jiwa memiliki status yang sama dalam hubungan
kepada Rabb mereka: menjadi bawahan, dikuasai, dimiliki, diatur, diperintah, diperbudak,
diciptakan, dikasihi, dan dipelihara. Dan karena perjanjian itu menyentuh jiwa individu sekaligus
jiwa tersebut secara kolektif, jadi kita lihat di sini ketika jiwa tersebut dimanifestasikan di sini
sebagai manusia dalam pembentangan akan Islām jiwa yang sama disatukan dalam usaha
memenuhi perjanjian secara kolektif sebagai masyarakat dan Komunitas (ummah) maupun secara
individual sedemikian rupa sehingga Islām adalah, seperti kita telah katakan, sekaligus personal
dan subjektif maupun sosial, komunal, dan objektif;40 Islām merupakan campuran harmonis baik
individu maupun masyarakat. Hal yang menyatukan seorang muslim individual satu sama lain
daripada yang terdahulu sebagai suatu realitas dan kebenaran yang independen sedangkan yang terdahulu adalah
interpretasi yang beragam dari pengalaman akan yang kemudian. Kita mempertahankan bahwa apa yang dialami oleh
setiap individu muslim secara subjektif adalah sama sebagai Islām secara objektif, dan kita menggunakan istilah
‘subjektif’ dan ‘objektif’ di sini untuk memilah daripada membuat diskriminasi yang satu dengan yang lain. Pemilahan
antara dua hal tersebut menyentuh pada tingkatan pemahaman dan derajat pengertian dan praktek yang ada antara
muslim yang satu dengan yang lain. Jadi pemilahan tersebut menunjuk kepada aspek-ihsān dari pengalaman Islāmi.
Kendati secara alamiah tingkatan pemahaman yang berbeda dan derajat pengertian dan praktek yang ada antara muslim
yang satu dengan yang lainnya namun semuanya adalah muslim dan hanya ada satu Islām, dan apa yang umum pada
mereka semua adalah Islām yang sama.
39 Contoh, ‘ibādah dan tindakan ‘ibādāt
40 Lihat di atas, catatan 38.
66 Prolegomena
dan ikatan persaudaraan yang menakjubkan dan unik yang melampaui batasan ras, bangsa,
waktu, dan ruang dan bahkan lebih kuat dari ikatan keluarga dan kekerabatan tidaklah lain dari
perjanjian ini, karena jiwa di sini yang ada sebagai manusia dengan perjanjian tersebut mengenali
satu sama lain sebagai saudara, sebagai keluarga jiwa-jiwa. Mereka terhubung satu sama lain di
tempat nun jauh dan di sini mereka merupakan saudara yang menyayangi satu sama lain hanya
karena Tuhan. Meskipun seseorang berada di Timur dan yang lain di Barat, namun mereka
merasakan kesenangan dan kenyamanan pada kabar angin satu sama lain, dan yang hidup di
generasi selanjutnya daripada yang lain itu diarahkan dan dihibur oleh kata-kata saudaranya.
Mereka merupakan saudara yang terlibat dalam tujuan yang sama jauh sebelum mereka muncul
sebagai saudara di bumi, dan mereka adalah kawan dan keluarga sejati sebelum mereka
dilahirkan dalam kekerabatan bumi. Jadi di sini kita lihat bahwa perjanjian yang sama merupakan
inti dasar persaudaraan Islām (ukhuwwah). Perasaan sejati akan persaudaraan di antara muslim
inilah yang berdasarkan fondasi spiritual dimana tidak ada kekuatan bumi yang dapat memecah
berkeping-keping yang menyatukan individu kepada masyarakat dalam Islām tanpa kemudian
individu menderita kerugian akan individualitas dan personalitasnya, ataupun pada masyarakat,
pemerintahan dan otoritasnya.
Dalam organisasi politik dan sosial Islām — apakah itu dari bentuk yang satu atau yang
lain — perjanjian yang sama menjadi inti fondasi mereka. Manusia Islām tidak diikat oleh kontrak
sosial, ataupun mendukung doktrin kontrak sosial. Tentu saja, meskipun dia hidup dan bekerja di
dalam ikatan pemerintahan dan otoritas sosial dan memberikan andil pada kebaikan sosial, dan
meskipun dia berperilaku seolah-olah ada kekuatan kontrak sosial, hal itu merupakan, meskipun
demikian, sebuah kontrak individu yang merefleksikan perjanjian jiwanya yang disegel dengan
Tuhan; karena perjanjian tersebut kenyataannya dibuat bagi masing-masing dan setiap jiwa
individu. Tujuan dan nilai pokok etis dalam Islām secara mendasar adalah untuk individu; apa
yang manusia Islām lakukan di sini dia melakukan apa yang di percaya baik hanya karena Tuhan
dan Utusan-Nya mengatakan demikian dan dia percaya bahwa tindakannya akan menemukan
ridho Tuhan. Baginya bukan kondisi ataupun masyarakat yang merupakan objek sejati dan benar
akan kesetiaan dan kepatuhannya, karena baginya tindakan tersebut bukan hak istimewa negara
dan masyarakat pada perluasan bahwa perilaku tersebut berkaitan dengan mereka sebagai hak
mereka; dan jika dia dalam sebuah negara dan masyarakat Islām lalu hidup dan menghendaki
yang baik bagi negara dan masyarakat, hal itu hanya karena masyarakat tersebut terdiri dari
manusia Islām individual dan negara yang diorganisir mereka menciptakan akhir dan tujuan
Islām yang sama sebagai tujuan mereka — jika tidak dia diwajibkan melawan negara dan
mengupayakan membetulkan kesalahan masyarakat dan mengingatkan mereka akan tujuan sejati
dalam hidup mereka. Kita tahu bahwa dalam analisis mendasar akan pencarian manusia akan
‘kebahagiaan’ – sebagaimana mereka katakan dalam filsafat dalam hubungan dengan etika –
adalah selalu untuk diri individu. Bukanlah ‘kebahagiaan’ entitas kolektif yang begitu menjadi
persoalan daripada kebahagiaan individu; dan setiap orang pada kenyataannya tentu harus
berpikir dan bertindak untuk keselamatan dirinya, karena tidak ada orang lain yang dapat dibuat
bertanggung jawab atas tindakannya karena setiap manusia menanggung beban tanggung
jawabnya sendiri.41 ‘Kebahagiaan’, seperti yang akan saya elaborasikan dalam bab selanjutnya,
berkaitan dengan kondisi permanen di dalam jiwa rasional; pada pengetahuan dan kepercayaan-
kuat; pada perilaku yang baik dan pencapaian kondisi yang diketahui sebagai ‘keadilan’ (‘adl).
Dalam Islām — karena baginya agama meliputi kehidupan keseluruhannya — semua
kebajikan bernilai keagamaan; kebajikan ada kaitannya dengan kebebasan jiwa rasional, dimana
kebebasan bermakna kekuatan untuk bertindak adil pada diri sendiri; dan hal ini pada gilirannya
41 Lihat Al-An’ām (6): 164.
67 Prolegomena
menunjuk pada pertunjukan atas aturan, supremasi, bimbingan dan pertahanannya atas jiwa
hewani dan tubuh. Kekuatan untuk bertindak adil kepada diri sendiri menunjuk pada pengakuan
konstan dan pemenuhan perjanjian yang telah dibuat dengan Tuhan. Keadilan dalam Islām bukan
konsep yang menunjuk pada kondisi urusan yang hanya dapat beroperasi di dalam situasi
hubungan-dua-orang (two-person-relation) atau hubungan-dua-pihak (dual-party-relation), seperti:
antara seseorang dengan yang lain; atau antara masyarakat dengan negara; atau antara pengatur
dengan yang diatur; atau antara raja dengan bawahannya. Pada pertanyaan: “Dapatkah seseorang
untuk tidak adil kepada diri sendiri?” agama lain atau para filsuf tidak memberikan jawaban jelas-
tegas (clear-cut) yang konsisten. Tentu saja dalam peradaban Barat, contohnya, meskipun benar
bahwa manusia yang melakukan bunuh diri dapat dikatakan bertindak tidak adil; tetapi hal ini
dipertimbangkan sejauh hanya karena bunuh diri merugikan negara dari pelayanan warga negara
yang berguna, sehingga ketidakadilan bukanlah kepada dirinya, tetapi kepada negara dan
masyarakat. Kita telah beberapa kali menyebutkan konsep bahwa keadilan bermakna kondisi
harmonis atau kondisi persoalan ketika segala hal dalam tempatnya yang benar dan tepat —
seperti alam semesta; atau sama dengan itu, yakni kondisi seimbang, apakah itu menunjuk pada
benda atau makhluk hidup. Pada manusia, kita katakan bahwa keadilan bermakna secara dasar
sebuah kondisi dan situasi ketika dia ada dalam tempatnya yang benar dan tepat. ‘Tempat’ di sini
bukan hanya menunjuk pada situasi total dalam hubungan dengan yang lainnya, tetapi juga pada
kondisinya dalam hubungan dengan diri sendiri. Sehingga konsep keadilan dalam Islām tidak
hanya menunjuk pada situasi hubungan yang harmonis dan seimbang yang ada antara seseorang
dan yang lain, atau antara masyarakat dengan negara, atau antara pengatur dengan yang diatur,
atau antara raja dengan bawahannya, tetapi jauh lebih mendalam dan mendasar sehingga
menunjuk pada cara yang mendasar terhadap hubungan yang harmonis dan benar-seimbang
antara seseorang dengan dirinya, dan dalam cara sekunder ada di antara dia dan sesamanya dan
yang lain atau, antara dia, pengatur, raja, negara dan masyarakat. Dengan begitu terhadap
pertanyaan: “Dapatkah seseorang tidak adil pada diri sendiri?” kita jawab dalam afirmatif (baca:
ya, penerj.), dan menambahkan lebih lanjut bahwa keadilan dan ketidakadilan tentu bermula dan
berakhir dengan diri sendiri. Qur’ān Suci menekankan berulang-ulang bahwa manusia, ketika
berbuat salah, ia sedang berbuat tidak adil (zālim) kepada dirinya, dan ketidakadilan (zulm)
merupakan kondisi yang dilakukan manusia kepada dirinya.42 Untuk memahami ini kita sekali
lagi harus menunjuk kepada perjanjian dengan Tuhan dan percaya terhadap sifat-dasar ganda
manusia dalam jiwa dan tubuhnya. Manusia sejati hanya dapat diwujudkan dengan menjadi jiwa
rasional. Jika dalam keberadaannya sebagai manusia dia membiarkan jiwa hewani atau jasmani
mendapatkan yang lebih baik darinya dan akibatnya melakukan tindakan yang dilarang Tuhan
dan tidak menyenangkan-Nya, atau jika dia menolak percaya-lemah pada Tuhan secara
keseluruhan, maka dengan demikian dia menanggalkan pengakuannya sendiri akan kekuasaan
Tuhan dimana dia sebagai jiwa rasional telah berjanji dengan Tuhan. Dia telah melakukan
kekerasan pada perjanjiannya sendiri, yakni kontrak individualnya dengan Tuhan. Jadi seperti
dalam kasus seorang yang merusak kontraknya sendiri membawa bencana pada diri sendiri,
dalam cara yang sama dia yang berbuat salah atau jahat, yang tidak patuh atau menolak Tuhan,
merusak perjanjian jiwanya yang telah dibuat dengan Tuhan, dan dengan demikan tidak adil
kepada jiwanya. Dia dengan demikian juga telah ‘berdusta’ – kadhaba, ungkapan Qur’āni yang lain
– terhadap dirinya sendiri (jiwa). Sangat penting dalam sinaran penjelasan ringkas ini untuk
mengerti mengapa kepercayaan kebangkitan jasad itu mendasar dalam Islām, karena jiwa yang
disusun ulang dengan jasad terdahulunya tidak akan mampu menolak apa yang telah tubuhnya
lakukan, karena mata, lidah, tangan, dan kaki atau ototnya – organ perilaku etis dan moral – akan
42 Lihat Al-Nisā’ (4): 123; Yūnus (10): 44.
68 Prolegomena
bersaksi terhadap tindakan tidak adil pada dirinya sendiri.43 Meskipun dalam Islām ketidakadilan
terlihat berlaku antara manusia dengan Tuhan, dan antara manusia dengan manusia, dan antara
manusia dengan dirinya, pada kenyataannya, namun, ketidakadilan secara mendasar berlaku –
bahkan dalam dua kasus sebelumnya – hanya pada diri manusia; dalam pandangan-dunia Islāmi
dan pandangan spiritual, apakah seorang manusia tidak percaya-lemah atau tidak patuh pada
Tuhan, atau apakah dia melakukan kesalahan pada orang lain, adalah sungguh-sungguh
melakukan kesalahan kepada diri sendiri. Ketidakadilan, sebagai lawan dari keadilan, adalah
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya; ketidakadilan adalah salah-letak (misplace) sesuatu;
ketidakadilan adalah salah-guna (misuse) atau menyalahi; ketidakadilan adalah melebihi atau
kurang dari suatu ukuran atau batas; ketidakadilan adalah menderita kerugian; ketidakadilan
adalah penyimpangan dari jalur yang benar; ketidakadilan adalah tidak percaya-lemah pada apa
yang benar, atau dusta atas apa yang benar diketahui sebagai benar. Jadi ketika manusia
bertindak tidak adil, berarti dia telah menyalahi jiwanya sendiri, karena dia telah meletakkan
jiwanya dalam tempat yang bukan miliknya; dia telah menyalahgunakannya; dia telah
membuatnya melampaui atau kurang dari sifat-dasar sejatinya; dia telah menyebabkannya
menyimpang dari apa yang benar, menanggalkan kebenaran, dan menderita kerugian. Semua
yang telah dilakukannya sedemikian – dengan satu cara dengan yang lain – menyertakan
kekerasan atas perjanjiannya dengan Tuhan. Jelas dari apa yang kita katakan tentang
ketidakadilan bahwa keadilan menyiratkan pengetahuan tentang tempat yang benar dan tepat
untuk sesuatu atau makhluk; akan kebenaran maupun kesalahan; akan ukuran atau batas; atau
keuntungan spiritual maupun kerugian; akan kebenaran maupun kesalahan dan kepalsuan. Inilah
mengapa pengetahuan (al’ilm: ma’rifah : ‘ilm) menempati posisi yang sangat penting dalam Islām,
di mana di Qur’ān Suci sendiri kita temukan lebih dari delapan ratus referensi untuk
pengetahuan. Dan bahkan dalam hal pengetahuan, manusia harus adil padanya, yakni, untuk
mengetahui batas kegunaannya dan tidak melampaui atau tidak kurang darinya; untuk
mengetahui pelbagai tatanan akan prioritas dalam relasi akan kegunaannya dengan diri sendiri;
untuk mengetahui dimana berhenti dan mengetahui apa yang dapat diraih dan apa yang tidak,
apakah itu pengetahuan sejati dan apa itu pelajaran perkiraan dan teori – secara keseluruhan,
untuk meletakkan setiap data pengetahuan pada tempat yang benar dalam relasi pada yang
mengetahui sehingga apa yang diketahui menghasilkan harmoni dalam diri seseorang yang
mengetahui. Mengetahui bagaimana meletakkan suatu pengetahuan di tempatnya, pengetahuan
tersebut adalah kebijaksanaan (hikmah). Sebaliknya, pengetahuan tanpa keteraturan dan
mencarinya tanpa disiplin mengarahkan kepada kebingungan dan karenanya tidak adil kepada
diri sendiri.44
Pengetahuan, sebagaimana kita pahami, ada dua jenis: yang diberikan Tuhan kepada
manusia; dan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri lewat penelusuran rasional
berdasarkan pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui
tindakan penyembahan dan ketaatan, yakni tindakan dalam pelayanan kepada Tuhan (‘ibādāt),
43 Secara analogis, konsep hukum habeas corpus (kau harus miliki bendanya) sebagai prosedur mendasar keadilan yang
secara jelas dipinjam dari gagasan kebangkitan dalam agama wahyu, mungkin hanya refleksi yang tidak sempurna akan
Prosedur yang mengagumkan dan tidak dapat disangkal di masa depan. Bahwa jiwa mampu menolak tindakan tidak
adil tersirat dalam Al-A’rāf (7): 172-173; dan ayat ini harus dilihat bukti yang jelas dari kapasitas (wus’) jiwa untuk
menunjukkan kekuatan (quwwah) kehendak menuju kebaikan atau kesalahan sebagai hasil pengenalan atas perolehan
(kasaba, iktasaba) akan kebaikan dan kejahatan. Dalam konsep Islāmi akan keadilan dan ketidakadilan dalam garis
besar di atas, fakta bahwa saksi kepada tindakan manusia, baik atau buruk, adalah dirinya sendiri memiliki arti yang
besar. Lihat juga Al-Nūr (24): 24.
44 ‘Keteraturan’ dan ‘disiplin’ di sini tidak menunjuk kepada jenis tatanan dan disiplin dalam penyebaran sistematis
pengetahuan yang dibangun dalam universitas-universitas dan sekolah modern, tetapi pada pengaturan pengetahuan
oleh diri yang hendak mengetahui, dan pada pendisiplinan diri akan dirinya sendiri pada pengaturan tersebut (lihat di
bawah hlm. 72-74).
69 Prolegomena
yang tergantung pada rahmat Tuhan dan kekuatan dan kapasitas laten spiritualnya yang
diciptakan Tuhan untuk menerimanya, dimana manusia tersebut menerimanya dengan
pandangan langsung atau perasaan spiritual (dhawq) dan penyingkapan selubung pada visi
spiritualnya (kashf). Pengetahuan (ma’rifah) ini menyentuh pada diri atau jiwanya, dan
pengetahuan tersebut — seperti sudah kita sentuh pada penjelasan kita tentang hubungan
analogis yang diperoleh antara makrokosmos dan mikrokosmos — memberikan penglihatan-
dalam (insight) pada pengenalan tentang Tuhan, dan karena alasan tersebut pengetahuan tersebut
merupakan pengetahuan tertinggi. Karena pengetahuan demikian secara mendasar tergantung
rahmat Tuhan dan membutuhkan perbuatan dan kerja pelayanan kepada Tuhan sebagai
persyaratan kemungkinan pencapaiannya, hal itu menyertakan bahwa untuk itu pengetahuan
tentang prasyarat menjadi diperlukan, dan ini termasuk pengetahuan Islām yang esensial (arkan
al-islām dan arkan-al-īmān), makna, tujuan mereka, pemahaman yang benar, dan implementasi
dalam kehidupan sehari-hari: setiap muslim harus memiliki pengetahuan tentang prasyarat-
prasyarat tersebut, harus memahami dasar esensial dari Islām dan Keesaan Tuhan (tawhīd), dan
memraktekkan pengetahuan (al-’ilm) dalam perbuatan dan kerja pelayanan kepada Tuhan
sehingga setiap manusia Islām sudah siap pada tahap awal pengetahuan pertama tersebut; dia
sudah siap pada Jalan Lurus (sirāt al-mustaqīm) menuju Tuhan. Kemajuan lanjutannya pada jalan
peziarah ini tergantung pada perbuatan dan ketulusan tujuannya, sehingga ada beberapa orang
melayani Tuhan seperti mereka melihat-Nya, dan yang lain melayani-Nya seperti Dia melihat
mereka; dan kemajuan perjalanan pada cara yang terdahulu dari yang kemudian adalah apa yang
membentuk kebajikan tertinggi (ihsān). Pengetahuan (‘ilm) jenis kedua dicapai melalui rasio,
pengalaman dan observasi; pengetahuan tersebut bersifat diskursif dan deduktif dan menunjuk
pada nilai pragmatis. Sebagai sebuah ilustrasi pemilahan antara dua jenis pengetahuan tersebut
kita dapat mengandaikan seorang manusia dan tetangganya yang baru pindah ke lingkungannya.
Pada awalnya dia mengetahui tetangga barunya hanya dengan perkenalan; dia mungkin
mengetahui tampilan umum yang lain dan mampu mengenalinya ketika bertemu di jalan; dia
mungkin mengetahui namanya, status perkawinan, jumlah anaknya dan banyak rincian informasi
lain yang dia dapat dengan observasi. Kemudian dia mungkin, melalui penelusuran dari orang
lain yang dia ketahui dan investigasi pribadi, mengetahui pekerjaan tetangganya dan tempat kerja
dan pertemuannya, dan dia bahkan mungkin mengetahui, melalui investigasi yang hati-hati lebih
lanjut, berapa penghasilannya. Dia mungkin terus melanjutkan investigasi dengan cara ini tanpa
kontak langsung dengan tetangganya dan menambah data lain tentangnya, namun pengetahuan
tentangnya akan tetap pada tingkatan pengenalan dan bukan keintiman; karena tidak masalah
seberapa banyak rincian yang mungkin dia tambahkan pada pengetahuan tentang tetangganya
yang sedemikian diperoleh, akan ada lebih banyak rincian pribadi yang penting yang dia tidak
akan pernah dapat tahu, seperti tentang cinta, takut, harapan, kepercayaan, pemikirannya tentang
hidup dan mati, pemikiran dan perasaan rahasianya, kualitas-kualitas baik dan rincian lain seperti
hal-hal tersebut. Kini mari kita andaikan bahwa dia memutuskan mengenali orang tersebut secara
langsung dan memperkenalkan diri kepadanya; dia sering mengunjungi, makan dan minum dan
berolahraga dengannya. Kemudian setelah sekian tahun persahabatan yang terpercaya,
pertemanan yang tulus, dan kesetiaan dia mungkin menerima secara spontan penyampaian
secara langsung dari temannya banyak rincian personal, pemikiran dan perasaan rahasia yang
kini dalam kilasan yang disampaikan dengan cara yang mungkin tidak akan dapat dicapai
seumur hidup dari investigasi, observasi, dan penelitian. Bahkan pengetahuan ini, yang diberikan
sebagai hasil dari keintiman tidak pernah lengkap, karena kita tahu bahwa tidak masalah
seberapa dekat hubungan yang intim antara seseorang dan temannya — atau teman, atau istri dan
anak, atau orang tua, atau kekasih — akan selalu ada baginya selubung misteri yang
70 Prolegomena
membungkus seseorang yang ingin kita ketahui seperti rangkaian tak terbatas dari ukiran bola
gading Cina di dalam ukiran, yang hanya dapat terbuka baginya dengan penyampaian secara
langsung dari orang lain. Dan orang lain juga akan mengetahui dengan merenungkan diri dan
sifat-dasar tidak terbatas akan diri tersebut yang selalu berkelit dari pencarian kognitifnya,
sehingga bahkan dia sendiri tidak mampu menyampaikan kecuali hanya yang diketahuinya.
Setiap orang itu seperti pulau yang diletakkan dalam lautan yang tak terduga yang dibungkus
kegelapan, dan kesepian yang dia ketahui itu begitu absolut sebab bahkan dia sendiri tidak tahu
dirinya secara lengkap. Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan kondisi dasar yang pasti secara
analogis dengan pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat seseorang yang memberikan
pengetahuan tentang dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian pengetahuan sedemikian itu
menyentuh pada tingkatan yang sama dalam wujud, dan ini merupakan penyebab komunikasi
gagasan dan perasaan menjadi mungkin dan dapat dipahami. Ketiga, diizinkan untuk mendekat
dan mengetahuinya, seseorang yang mencari tahu harus tinggal dengan aturan kepantasan dan
kode perilaku dan sikap yang diterima oleh seseorang yang berhasrat untuk diketahui. Keempat,
pemberian pengetahuan tentang dirinya berdasarkan kepercayaan setelah periode yang
dipertimbangkan sebagai ujian ketulusan, kesetiaan, ketaatan pihak lain, dan kapasitas untuk
menerima — sebuah periode yang membentuk ikatan yang kokoh akan keintiman di antara
keduanya. Maka, dalam cara yang serupa atau bahkan lebih dari itu, hal tersebut merupakan
kasus pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan. Dalam hal kondisi pertama, Dia katakan dalam
Qur’ān Suci bahwa Dia telah menciptakan manusia hanya untuk melayani-Nya, dan pelayanan
dalam pengertian yang mendalam secara mendasar bermakna pengetahuan (ma’rifah), sehingga
tujuan-Nya menciptakan adalah agar makhluk mengenali-Nya, sebagaimana Dia katakan dalam
Tradisi Suci (Hadīth Qudsiyy):
”Aku adalah Harta Yang Tersembunyi, dan Aku berhasrat untuk diketahui, maka Aku
ciptakan makhluk sehingga Aku mungkin dikenali.”
Jadi Tuhan mewahyukan diri-Nya pada jiwa rasional manusia, yang menguasai organ
komunikasi dan kognisi spiritual seperti hati (al-qalb), yang mengenali-Nya; ruh (al-rūh), yang
mencintai-Nya; dan jiwa yang tersembunyi dan paling dasar (al-sirr), yang merenungkan-Nya.
Meskipun jiwa rasional tidak pada tingkatan yang sama dengan Tuhan, namun terdapat di
dalamnya percikan asal Ilahiyah yang memungkinkannya menerima komunikasi di atas dan
memiliki pengertian atas apa yang diterima; dan dari di sini kita menurunkan analogi atas kondisi
kedua. Dalam hal kondisi ketiga, kita katakan bahwa manusia mendekati Tuhan dengan
ketundukan tulus kepada kehendak-Nya dan kepatuhan absolut kepada hukum-Nya; dengan
perwujudan yang sadar dalam dirinya pada perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan
penunjukkan ketaatan dan ibadah nawafil yang diterima-Nya dan berkenan bagi-Nya, sampai
orang tersebut memperoleh tempat-perhubungan dimana kepercayaan dan pertemanan-Nya
mungkin dianugerahkan atasnya dengan pengetahuan yang diberikan sebagai sebuah pemberian
rahmat baginya dimana Dia telah menciptakan kapasitas untuk menerima pengetahuan yang
diberikan. Seperti itulah kata-kata-Nya dalam Tradisi Suci:
“Pelayan-Ku tidak berhenti untuk dekat dengan-Ku dengan ibadah nawafil sehingga Aku
mencintainya; dan ketika Aku mencintainya Aku adalah pendengarannya, sehingga dia
mendengar dengan-Ku, dan penglihatannya, sehingga dia melihat dengan-Ku, dan
lidahnya, sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan tangannya, sehingga dia mengambil
dengan-Ku.”
71 Prolegomena
Sebagaimana pada kondisi keempat tentang kepercayaan, bagian tersebut dengan
sendirinya sudah jelas. Kita lihat kemudian bahwa pengetahuan demikian, dengan sebab sifat-
dasarnya, memberi kebenaran dan kepastian dalam tatanan yang lebih tinggi daripada yang
diperoleh dari pengetahuan jenis kedua; dan karena ini, dan fakta bahwa hal itu menyentuh pada
jiwa atau diri manusia dan pemenuhan perjanjiannya yang dibuat dengan Tuhan, pengetahuan
akan prasyaratannya, yang sesungguhnya berdasarkan pada pengetahuan yang diberikan ini,
tidak mungkin terpisah dari ikatan dengan etika dan moralitas Islāmi. Dengan pengetahuan dan
praktek demikian yang menyertainya kita membimbing dan memerintah diri kita dalam perilaku
sehari-hari dan meletakkan nilai kita dalam kehidupan dan diri kita dengan benar. Pengetahuan
pertama menyibak misteri Being dan Eksistensi dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri
manusia dan Rabbnya, dan karena bagi manusia pengetahuan tersebut menyentuh tujuan utama
mengetahui, dimana pengetahuan tentang persyaratan tersebut menjadi fondasi mendasar dan
esensial bagi pengetahuan jenis kedua, karena hanya dengan pengetahuan yang kemudian, tanpa
bimbingan dari yang sebelumnya, tidaklah dapat sungguh-sungguh membimbing manusia dalam
kehidupannya, tetapi hanya membingungkan, mengacaukan, dan menjeratnya dalam labirin
pencarian tak berujung dan tak bertujuan. Kita juga menerima bahwa ada batas bagi manusia
bahkan pada pengetahuan pertama dan tertinggi; sedangkan tidak adanya batas pada jenis yang
kedua, sehingga kemungkinan pengembaraan terus menerus didorong oleh muslihat intelektual
dan swa-khayalan dalam keraguan yang konstan dan kecurigaan itu selalu nyata. Manusia
individu tidak memiliki waktu untuk menghabiskan persinggahan sementaranya di bumi, dan
seseorang yang dibimbing secara benar mengetahui bahwa pencarian individualnya untuk
pengetahuan jenis kedua harus dibatasi untuk kebutuhan praktisnya dan disesuaikan dengan
sifat-dasar dan kapasitasnya, sehingga ia dapat meletakkan pengetahuan dan dirinya di
tempatnya yang tepat dalam hubungan dengan diri sejati dan dengan demikian mempertahankan
kondisi adil. Karena alasan ini dan dengan maksud mencapai keadilan sebagai akhirnya, Islām
membedakan pencarian dua jenis pengetahuan tersebut, dimana membuat perolehan
pengetahuan tentang persyaratan yang pertama menjadi kewajiban bagi semua muslim (fard ’ayn),
dan yang lain kewajiban hanya kepada beberapa muslim (fard kifāyah), dan kewajiban yang
kemudian tentu saja dapat berpindah pada kategori yang sebelumnya dalam kasus mereka yang
menganggap dirinya terikat tugas untuk mencarinya untuk perbaikan diri mereka sendiri.
Pembagian dalam pencarian pengetahuan berdasarkan kewajiban dalam dua kategori itu sendiri
merupakan prosedur bertindak adil pada pengetahuan dan manusia yang mencarinya, karena
semua pengetahuan prasyarat dari pengetahuan jenis pertama itu baik bagi semua manusia,
sedangkan tidak semua pengetahuan dalam jenis kedua itu baik untuknya; karena manusia yang
mencari pengetahuan yang kemudian, yang akan membawa pengaruh penting dalam
menentukan peran sekular dan posisinya sebagai warga negara, tidak serta merta menjadikannya
manusia yang baik. Dalam peradaban Barat secara umum, karena konsep keadilannya
berdasarkan fondasi sekular, menyertakan bahwa konsepsi pengetahuannya juga berdasarkan
fondasi yang sama atau fondasi saling melengkapi yang menekankan manusia sebagai entitas
fisik dan makhluk hewani rasional, yang pada perluasannya fondasi tersebut mengakui apa kita
tunjuk sebagai pengetahuan jenis kedua sebagai satu-satunya ‘pengetahuan’ absah yang mungkin.
Akibatnya, tujuan mencari pengetahuan dari tingkat dasar sampai atas, bagi peradaban Barat,
adalah untuk menghasilkan pada diri pencari pengetahuan tersebut seorang warga negara yang
baik. Namun, Islām berbeda dalam hal ini bahwa tujuan mencari pengetahuan adalah
menghasilkan manusia yang baik. Kita mempertahankan bahwa lebih mendasar menghasilkan
manusia yang baik, daripada menghasilkan warga negara yang baik, karena manusia yang baik
72 Prolegomena
tanpa diragukan akan menjadi warga negara yang baik, tetapi warga negara yang baik, tidak serta
merta menjadi manusia yang baik. Dalam suatu pengertian kita dapat mengatakan bahwa Islām
juga mempertahankan bahwa tujuan pencarian pengetahuan adalah menghasilkan dalam diri
pencari pengetahuan tersebut warga negara yang baik, hanya yang kami maksud dengan ‘warga
negara’ adalah Warga Negara dari Kerajaan lain, sehingga bertindak sedemikian bahkan di sini
dan kini sebagai manusia yang baik. Konsep ‘manusia yang baik’ dalam Islām tidak hanya
mengonotasikan bahwa dia harus ‘baik’ dalam pengertian sosial umum yang dipahami, tetapi
bahwa dia juga harus pertama kali baik pada dirinya sendiri, dan tidak menjadi tidak adil pada
dirinya dalam cara yang sudah kita jelaskan,45 karena jika dia tidak adil pada dirinya sendiri
bagaimana dia dapat sungguh-sungguh adil kepada orang lain? Jadi kita lihat bahwa pada konsep
paling dasar dalam kehidupan — konsep pengetahuan — Islām bertentangan dengan peradaban
Barat, bahwa bagi Islām (a) pengetahuan termasuk kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah
yang benar (īmān); dan bahwa (b) tujuan mencari pengetahuan adalah menanamkan kebaikan
atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri individu, dan bukan hanya pada manusia
sebagai warga negara atau sebagai bagian integral dari masyarakat: hal tersebut merupakan nilai
manusia sebagai manusia sejati, sebagai makhluk ruhani, yang ditekankan, daripada nilainya
sebagai entitas fisik yang diukur dalam pengertian pragmatis atau utilitarian akan kegunaan
untuk negara, masyarakat, dan dunia.
Saya telah menggambarkan apa yang menyusun inti Agama Islām, dan dalam deskripsi
ini telah dijelaskan secara ringkas tetapi mudah, singkat dan jelas, tentang konsep mendasar dīn
dan kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah dalam Islām. Saya telah menyentuh pada
pandangan-dunia Islāmi dan telah menekankan yang mendasar dari konsep Qur’āni tentang
perjanjian manusia dengan Tuhan, lalu menunjukkan bagaimana perjanjian ini merupakan sifat-
dasar yang esensial; perjanjian tersebut merupakan titik awal dalam konsep Islāmi tentang agama,
dan hal itu merupakan unsur dominan di semua konsep Islām yang lain yang terikat dengannya,
seperti kebebasan, tanggung jawab, keadilan, pengetahuan, kebajikan, persaudaraan; perjanjian
tersebut juga menunjuk pada peran dan karakter individu dan masyarakat dan identitas bersama
dalam kerangka-kerja negara dan kehidupan kolektif. Saya juga telah menekankan dalam
deskripsi ini peran individu dan, jiwa, dan perjalanannya kembali kepada Tuhan. Kini perlu bagi
saya untuk menggambarkan dalam garis besar visi Islāmi tentang realitas, yang tidak lain
merupakan inti metafisika Islām yang menentukan pandangan-dunianya. Islām memfokuskan
visi (shuhūd) keagamaan dan metafisis tentang Realitas dan pandangan-dunia pada Being, dan
membedakan antara Eksistensi (Wujūd) dan eksisten (mawjūd); antara kesatuan (wahdah) dan
kemajemukan (kathrah); antara abadi (baqā’) dan fana (fanā’). Visi tentang Realitas ini berdasarkan
atas pengetahuan wahyu melalui pengalaman keagamaan, dan menembus realitas objektif,
metafisis, dan ontologis maupun realitas subjektif, intuitif, dan pengalaman psikologis dari
realitas tersebut. Secara fenomenologis, Islām, dalam konfirmasi akan visinya tentang Realitas,
mengafirmasi ‘being’ daripada ‘proses-menjadi’ atau ‘datang-menjadi-being’, karena objek visi
tersebut itu jelas, tegak, permanen, dan tidak berubah. Konfirmasi dan afirmasi ini absolut karena
muncul dari kepastian (yaqīn) pengetahuan wahyu; dan karena Objeknya jelas, kokoh, permanen
dan tidak berubah, maka demikian juga Islām, bersama dengan jalan hidup dan metode praktek
dan nilainya, merupakan sebuah refleksi absolut dari modus Objek tersebut. Jadi Islām sendiri itu
seperti Objek tersebut yang menyerupai sifat-dasar ontologisnya seperti abadi dan tidak berubah
– sebagai being; dan karenanya mengafirmasi dirinya sebagai lengkap dan sempurna sebagaimana
dikonfirmasi Kata-Kata Tuhan dalam Qur’ān Suci,46 dan Islām menolak kemungkinan akan selalu
45 Konsep ‘manusia yang baik’ didefinisikan sebagai manusia dengan adab menurut definisi saya tentang adab yang
dibuat dalam karya saya The Concept of Education in Islām, Kuala Lumpur, 1980. Lihat juga Pengenalan di buku ini.
46 Al-Mā’idah (5): 4.
73 Prolegomena
butuh pelengkapan (completion) atau evolusi menuju kesempurnaan; dan konsep seperti
pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan ketika diterapkan pada kehidupan sejarah dan nasib
manusia memang, dalam Islām, secara mendasar pada sifat-dasar spiritual dan sejati dari
manusia. Jika tidak demikian, maka hal itu tidak dapat sungguh-sungguh bermakna, bagi Islām,
pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan sejati, karena hal itu hanya bermakna
pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan hewani pada manusia; dan hal itu tidak akan
menjadi evolusi sejati kecuali evolusi tersebut mewujudkan dalam dirinya sifat-dasar sejatinya
sebagai makhluk ruhani.
Perubahan, pengembangan, kemajuan, menurut sudut pandang Islāmi, menunjuk kembali
kepada Islām sejati yang diucapkan dan dipraktekkan Nabi Suci, anggota Rumah Sucinya dan
Sahabat-Sahabat mulia dan Pengikutnya, dan kepercayaan-kuat dan praktek muslim sejati setelah
mereka, dan juga menunjuk pada diri dan berarti kembali pada sifat-dasar asli dan agamanya
(Islām). Konsep tersebut menyentuh pada situasi yang diandaikan ketika muslim menemukan diri
mereka sendiri tersesat dan asyik dalam keabaian akan Islām, bingung, dan tidak adil kepada diri
mereka sendiri. Dalam situasi tersebut, usaha mereka sendiri untuk mengarahkan mereka kembali
pada Jalan Lurus dan Benar dan kembali pada kondisi Islām sejati — usaha tersebut, yang
menyertakan perubahan, adalah pengembangan; dan kembali seperti demikian, yang terkandung
dalam pengembangan, adalah kemajuan. Jadi, bagi Islām, proses pergerakan menuju Islām sejati
oleh muslim yang telah tersesat darinya adalah pengembangan; dan pengembangan demikian itu
satu-satunya yang dapat sungguh-sungguh diistilahkan kemajuan. Kemajuan bukan ‘proses-
menjadi’ atau ‘datang-menjadi-being’, ataupun pergerakan menuju yang ‘datang-menjadi-being’
dan tidak pernah menjadi ‘being’ karena gagasan ‘sesuatu yang dituju’, atau ‘tujuan’ yang inheren
dalam konsep ‘kemajuan’ hanya dapat mengandung makna sejati ketika menunjuk pada apa yang
sudah jelas dan berdiri secara permanen atau sudah being. Karenanya apa yang sudah jelas dan
berdiri, sudah dalam kondisi being, tidak dapat mengalami perubahan, maupun merupakan
sesuatu terpengaruh pada terpeleset terus-menerus dari pegangan pencapaian, maupun secara
terus-menerus mundur melampaui pencapaian. Istilah ‘kemajuan’ merefleksikan arah yang jelas
yang diluruskan pada tujuan akhir untuk dicapai dalam hidup; jika arah yang dicapai masih
samar, masih datang-menjadi-being, sebagaimana sebelumnya, dan tujuan yang diluruskan
dengannya tidak final, maka bagaimana keterlibatan di dalamnya sungguh-sungguh bermakna
kemajuan? Mereka yang meraba dalam gelap tidak dapat ditunjuk sebagai sedang maju, dan
mereka yang mengatakan orang-orang semacam itu sedang maju telah bohong sepenuhnya
terhadap makna sejati dan tujuan kemajuan, dan mereka telah berbohong pada diri mereka
sendiri!
Perumpamaannya adalah seperti seorang manusia
yang menyalakan api;
Setelah api itu menerangi sekelilingnya,
Tuhan menghilangkan cahaya mereka,
dan membiarkan mereka dalam kegelapan yang sangat.
Sehingga mereka tidak dapat melihat.
Tuli, bisu, buta,
Mereka tidak akan kembali (pada jalan itu)
Atau (perumpamaan yang lain)
Akan awan hujan yang lebat
Dari langit: di dalamnya merupakan wilayah
Kegelapan, guruh, dan kilat:
74 Prolegomena
Mereka menekan jarinya dalam telinga mereka
Untuk menjauhkan dari petir yang mengejutkan,
Sementara itu mereka dalam teror kematian.
Tetapi Tuhan selalu meliputi
Orang-orang yang menolak Kepercayaan-kuat !
Hampir-hampir kilat itu menyambar
Penglihatan mereka; setiap kali kilat itu
(membantu) mereka, mereka berjalan di bawahnya,
Dan bila gelap menimpa mereka,
Mereka berhenti.
Dan jikalau Tuhan menghendaki, niscaya Dia melenyapkan
Fakultas pendengaran dan penglihatan mereka.
Sesungguhnya Tuhan berkuasa atas segala sesuatu.47
Pandangan-dunia Islāmi jangan disalahpahami sebagai dualisme, karena meskipun ada
dua unsur yang terlibat, namun yang satu abadi dan independen sedangkan yang lain tergantung
padanya; yang satu absolut dan yang lain relatif; yang satu nyata dan yang lain perwujudan
kenyataan tersebut. Jadi hanya ada Satu Realitas dan Kebenaran, dan semua nilai Islāmi
menyentuh secara mendasar hanya kepada-Nya, sehingga bagi muslim, secara individual dan
kolektif, semua usaha menuju perubahan dan pengembangan dan kemajuan dan kesempurnaan
secara tanpa alternatif ditentukan pandangan-dunia yang memproyeksikan visi tentang Satu
Realitas dan mengonfirmasi afirmasi akan Kebenaran yang sama. Dengan cara ini dalam
prakteknya muslim telah mampu menghidupi kehidupan mereka sesuai kepercayaan-lemah itu
tanpa mengalami perubahan apapun yang diperoleh dengan mengacaukan harmoni dalam Islām
dan diri mereka sendiri; tanpa mengalah pada sentuhan waktu yang membinasakan, maupun
pada tantangan dalam pergantian eksistensi duniawi. Manusia Islām memiliki Qur’ān Suci yang
tidak berubah, tidak dalam proses berubah, dan tidak dapat diubah; Qur’ān adalah Kata-Kata
Tuhan yang diwahyukan dalam bentuk final dan lengkap kepada Nabi dan Utusan Terakhir
Pilihan-Nya, Nabi Muhammad. Qur’ān Suci adalah petunjuk jelas yang dibawa bersamanya
dimanapun, tidak hanya secara literal, tetapi lebih pada lidah, pikiran, dan hatinya, sehingga
menjadi inti kekuatan utama yang menggerakkan bingkai manusianya. Saya telah katakan di
awal, ketika menunjuk pada perenungan manusia akan dirinya, bagaimana setiap manusia itu
seperti pulau yang terletak dalam isolasi lautan tak terduga yang dibungkus kegelapan, berkata
bahwa kesepiannya begitu absolut sepenuhnya karena bahkan dia tidak mengetahui dirinya
sendiri secara lengkap. Saya harus menambahkan bahwa kesepian yang penuh itu secara
mendasar muncul dari ketidakmampuan untuk menjawab pertanyaan dalaman (inner) yang tak
kenal zaman dan terus-menerus pada dirinya sendiri: “Siapa aku?” dan “Apa tujuan pokokku?”
kita katakan bahwa pengalaman kesepian yang penuh tersebut, bagaimanapun, hanya menyerang
pada hati manusia yang menolak Tuhan, atau meragukan-Nya, atau menanggalkan perjanjian
jiwanya dengan Tuhan; karena hal itu, lalu, pengenalan dan afirmasi akan perjanjian yang sama
yang membangun bagi manusia identitasnya dalam tatanan being dan Eksistensi. Manusia Islām
— dia yang mengonfirmasi dan mengafirmasi perjanjian tersebut dalam dirinya — tidak pernah
kesepian karena bahkan saat merenungkan dirinya dia mengetahui secara intuitif, melalui
tindakan ‘ibādah termasuk pembacaan dan refleksi dan perenungan terus-menerus akan kata-kata
Tuhan dalam Qur’ān Suci, betapa dekatnya diri dengan Tuhan, Pencipta dan Rabbnya, yang
dengan-Nya dia merenung dalam pengingatan (dhikr) dan dengan-Nya dia melakukan
47 Al-Baqarah (2): 17-20.
75 Prolegomena
pembicaraan intim (munājāt). Manusia tersebut telah mengenal dirinya pada dirinya sendiri dan
mengetahui tujuan pokoknya, dan dia aman di dalam dirinya sendiri dan bebas dari gema
mengerikan dari kesepian absolut dan cengkraman yang mencekam dari ketakutan yang sunyi.
Dalam afirmasi akan Being, Qur’ān Suci, sumber Islām dan proyektor pandangan-dunia Islāmi
dan visi tentang Realitas dan Kebenaran yang Satu, merupakan ungkapan finalitas dan
kesempurnaan ‘being’ seperti layaknya Islām merupakan afirmasi fenomenologis akan ‘being’; dan
dia yang membawa Qur’ān Suci, pada manusia merepresentasikan finalitas dan kesempurnaan
‘being’ dalam manusia. Nabi Suci, padanya rahmat Tuhan dan kedamaian!, adalah penutup para
Nabi,48 utusan Tuhan yang universal dan akhir kepada manusia,49 yang memimpin dari gelap
kepada terang;50 yang dirinya merupakan Lampu yang menyebarkan sinar;51 dia adalah Rahmat
Tuhan kepada semua makhluk,52 dan kebaikan-Nya pada mereka yang percaya padanya dan apa
yang dia bawa53 dan bahkan pada Orang-Orang Berbuku (ahli kitab, pen),54 yang mungkin masih
belum percaya padanya. Dia adalah manusia yang diciptakan Tuhan dengan karakter agung
sebagai standar manusia;55 dia adalah manusia dan contoh sempurna par excellence.56 Dia adalah
manusia yang bahkan didoakan dan dihormati Tuhan dan malaikat sebagai yang terbaik dari
manusia,57 dan semua mukmin sejati, dalam pemenuhan Perintah Tuhan, dan berusaha meniru
malaikat-Nya, melakukan hal yang serupa, dan telah dan akan terus melakukan juga di dunia dan
seterusnya sepanjang Tuhan menghendaki; dan di Akhirat Tuhan akan bersedia memberikan
Tempat yang Terpuji padanya.58 Muhammad, Utusan Tuhan, adalah dia yang namanya ajaib akan
pemenuhan (ramalan nubuwwah, pen.), karena hanya dia sendiri di antara seluruh manusia yang
didoakan terus menerus di setiap zaman dan generasi setelahnya tanpa akhir, sehingga tercatat
dalam catatan zaman dan generasi sebelumnya dia merupakan satu-satunya manusia yang
didoakan sedemikian itu. Kita mendoakannya dengan tulus cinta dan hormat dan terima kasih
karena telah memimpin kita keluar dari gelap menuju terang, dan dia dicintai di atas seluruh
manusia termasuk diri kita sendiri. Cinta dan hormat kita padanya adalah seperti sesuatu dimana
waktu dan memori tidak akan sanggup menghilangkan, karena dia ada dalam diri kita di setiap
zaman dan generasi — tidak, dia lebih dekat dari kita sendiri,59 dan kita berusaha menyerupai
kata-kata (qawl) dan tindakan (fi’l) dan konfirmasi diamnya (taqrīr) atas perbuatan yang
diketahuinya, sehingga berhubungan dengan Qur’ān Suci dia merupakan pembimbing yang baik
dan sempurna dan contoh dalam kehidupan. Dia adalah model sempurna bagi setiap muslim
laki-laki dan perempuan; dengan demikian remaja, umur-pertengahan, dan tua renta muslim
tidak mengalami krisis identitas. Karena Nabi Suci, struktur eksternal atau pola dalam masyarakat
muslim tidak terpisahkan jurang generasi sebagaimana yang lazim kita temukan dalam
masyarakat Barat.
Peradaban Barat secara terus menerus berubah dan ‘proses-menjadi’ tanpa pernah
mencapai ‘being’, kecuali ‘being’nya sedang dan selalu ‘proses-menjadi’. Hal ini ada dan begitu
dengan sebab fakta bahwa Barat tidak mengakui satu pun, Realitas mapan untuk memperbaiki
visinya; tidak satu pun, Kitab yang absah yang dapat dikonfirmasi dan diafirmasi dalam
48 Al-Ahzāb (33): 40.
49 Al-Talāq (65): 11.
50 Al-Ahzāb (33): 46; Al-Talāq (65): 11.
51 Al-Anbiyā’ (21): 107
52 Sabā (34): 28.
53 Āli ‘Imrān (3): 164; Al-Nisā’ (4): 170.
54 Al-Mā’idah (5): 21.
55 Al-Qalam (68) : 4.
56 Al-Ahzāb (33): 21.
57 Al-Ahzāb (33): 56.
58 Banī Isrā’īl (17): 79.
59 Al-Ahzāb (33): 6.
76 Prolegomena
kehidupan; tidak seorangpun, Bimbingan manusia dimana kata-kata, perbuatan, tindakan, dan
seluruh modus kehidupannya dapat dijadikan sebagai model untuk di teladani dalam kehidupan,
tetapi masing-masing dan setiap individu harus menemukan untuk diri (laki-laki) mereka dan
dirinya (perempuan) identitas, makna kehidupan, dan nasib masing-masing. Peradaban Barat
mengafirmasi aspek kesementaraan (fanā’) dari realitas, dan nilainya menyentuh pada realitas
sekular, material, dan fisik dari eksistensi. Dengan demikian masyarakat Barat dibagi oleh jurang
pemisah antara tiga generasi: pemuda, usia-pertengahan (middle-aged), dan yang tua. Masing-
masing generasi yang terpisah bergerak di dalam batasan usahanya sendiri dalam mencari makna
bagi diri dan kehidupannya sendiri dalam pencarian yang tak lekang zaman untuk jawaban dari
pertanyaan: “Siapa aku?” dan “Apa tujuanku?” Pemuda, yang ada pada tahap pengalaman akan
perubahan dalam hidup, menganggap nilai yang diturunkan orang tua mereka, yang usia-
pertengahan, tidak lagi berguna ataupun relevan dengan jalan hidup mereka. Akibatnya, mereka
tidak mengambil yang usia-pertengahan sebagai teladan untuk membimbing mereka dalam
kehidupan, dan karenanya menuntut ‘kebebasan’ mereka untuk memilih tujuan mereka sendiri.
Yang usia-pertengahan, menyadari bahwa nilai mereka juga, ketika dalam masa muda, tidak
berhasil membimbing mereka dalam kehidupan, dan kini mereka mengetahui bahwa mereka
sendiri tidak mampu menyediakan bimbingan yang diperlukan anak-anak mereka, sehingga
menyerahkan ‘kebebasan’ yang dicari pemuda untuk memilih tujuannya dengan harapan bahwa
pemuda masih dapat sukses saat di pihak lain mereka (usia-pertengahan, pen.) telah gagal. Kini
pemuda, yang menuntut ‘kebebasan’ memilih tujuan mereka, juga mengetahui bahwa mereka
membutuhkan bimbingan, yang sayangnya tidak tersedia, karena bahkan dari tengah-tengah
mereka tidak ada yang mampu menjadi seorang pemimpin yang mampu menjalankan peran
teladan sempurna yang contohnya dapat ditiru oleh yang lain. Situasi membingungkan ini
menciptakan pada diri pemuda ketidakpastian dan lebih banyak keraguan tentang masa depan,
dan mereka secara putus asa berani berharap bahwa ketika mereka mencapai usia-pertengahan
mereka akan mampu untuk mencetak kembali dunia yang lebih dekat dengan hasrat hati mereka.
Tetapi yang usia-pertengahan, yang memainkan peranan utama dalam mencetak dan melayani
negara, masyarakat, dan dunia mereka, mengetahui dari pengalaman muda mereka bahwa nilai
mereka yang terdahulu kini tidak lagi melayani sebuah tujuan dan telah kehilangan makna dalam
kehidupan; dan karena pencarian identitas yang terdahulu telah gagal, sehingga kehidupan
mereka kini tidak merefleksikan kepuasan akan pemenuhan dan hampa akan kebahagiaan. Jadi
nilai yang kini mereka hargai itu, nilai yang kini menjadi ukuran sukses bagi mereka dalam
pencarian makna kehidupan individual mereka, hanyalah sesuatu yang memromosikan
pencapaian sekular dan materialistis yang bersinggungan dengan negara dan masyarakat; dan
sehingga mereka berusaha dan dengan kejam bersaing di antara mereka untuk memperoleh
tempat yang tinggi dalam tangga sosial atau kekayaan, kekuasaan, dan kemasyhuran dunia. Di
tengah-tengah pergulatan demikian, mereka menyadari bahwa kapasitas mental dan kecerdasan
mereka mulai melemah; kekuatan fisik dan vitalitas mulai memburuk, dan kegemparan dan
penyesalan dan kesedihan mulai menguasai mereka ketika muncul dalam rangkaian pergantian
di hadapan persepsi mental mereka akan penglihatan akan pengunduran diri dari kehidupan
publik ke dalam kesepian masa tua. Akibatnya, mereka melihat pemuda dengan nostalgia dan
meletakkan harapan yang tinggi bahwa pemuda masih mungkin mengangkat kerinduan akan
teladan dan contoh sempurna yang ditunggu dalam kehidupan untuk ditiru semua masyarakat;
dan perilaku terhadap pemuda ini merupakan inti dari penyembahan masa Muda, yang menjadi
corak dominan dari peradaban Barat sejak masa kuno. Krisis identitas yang dialami usia-
pertengahan sedikit banyaknya sama dengan apa yang dialami pemuda, dengan pengecualian
bahwa, bagi usia-pertengahan, ‘kebebasan’ memilih tujuan mereka semakin lama semakin
77 Prolegomena
terbatas, karena waktu dengan kejam bergerak pada akhirnya seperti tragedi Yunani. Yang tua,
dalam masyarakat seperti ini, hanya makhluk yang dilupakan masyarakat, sebab keberadaan
mereka mengingatkan pemuda dan usia-pertengahan akan kondisi seperti apa mereka nantinya
yang ingin mereka lupakan. Yang tua mengingatkan mereka akan kehilangan dan kematian; yang
tua telah kehilangan kekuatan dan vitalitas fisik; mereka telah kehilangan keberhasilan; mereka
telah kehilangan ingatan, kegunaan, dan fungsi mereka dalam masyarakat; mereka telah
kehilangan teman dan keluarga — mereka telah kehilangan masa depan. Ketika masyarakat
mendasarkan filsafat hidupnya pada fondasi sekular dan mendukung nilai materialistis untuk
dihidupi, tidak terhindarkan menyertakan bahwa makna dan nilai dan kualitas kehidupan dari
warga negara individual di dalamnya diinterpretasikan dan diukur dalam posisinya sebagai
warga negara; jabatan, kegunaan, pekerjaan, dan kekuatan menghasilkannya dalam hubungan
dengan negara. Ketika usia tua semua ini hilang, demikian juga identitasnya — yang kenyatannya
dicetak oleh peran sekular diperankannya — kemudian hilang. Tiga generasi yang dalam hal ini
menyusun masyarakat Barat adalah selamanya bertaut dalam pencarian identitas dan makna
kehidupan; selamanya bergerak dalam lingkaran setan ketidakpencapaian; masing-masing
generasi tidak puas dengan nilainya yang swa-berkembang (self-evolved) dari kehidupan; masing-
masing generasi menemukan dirinya tidak-cocok (misfit). Dan kondisi ini, kita memertahankan,
adalah apa yang kita maksud sebagai tidak adil (zulm). Kondisi ini lebih lanjut menjengkelkan
karena ternyata dalam masyarakat Barat juga terdapat krisis identitas antar jenis kelamin, dalam
hal ini yang terkait adalah perempuan, sebagai perempuan, dalam pencarian identitas yang
terpisah bagi diri mereka sendiri.
Masyarakat Islāmi tidak dikepung kondisi seperti itu. Individu di dalam generasi yang
menyusunnya, apakah laki-laki atau perempuan, telah menemukan identitas dan menyadari
tujuan utama mereka; yang terdahulu melalui pengenalan dan konfirmasi akan perjanjian
tersebut, dan yang kemudian melalui afirmasi dan perwujudan perjanjian tersebut dengan
ketundukan tulus kepada kehendak Tuhan dan kepatuhan kepada hukum-Nya sebagaimana
ditetapkan sebagai Islām. Manusia yang telah membawa kepada kita Qur’ān Suci sebagaimana
diwahyukan Tuhan kepadanya, yang telah dengan demikian membawa kepada kita Pengetahuan
akan identitas dan tujuan kita, yang kehidupannya merupakan interpretasi Qur’ān Suci yang
paling baik dan sempurna sehingga kehidupannya menjadi pusat teladan dan jiwa pembimbing
sejati bagi kita, adalah Nabi Suci, semoga Tuhan memberkahinya dan memberinya kedamaian!
Dengan pengajaran dan teladannya dia telah menunjukkan praktek Islām dan kebajikan Islāmi
yang benar dan tepat kepada kita; dia merupakan model sempurna bagi manusia bukan hanya
satu generasi, tetapi bagi semua generasi; bukan untuk suatu waktu, tetapi untuk sepanjang
waktu. Tentu saja, kita katakan bahwa konsep ‘model yang sempurna’ hanya dapat memenuhi
makna sejatinya jika dia yang dengan demikian digambarkan, seperti hanya Muhammad,
mewujudkan di dalam dirinya sendiri semua nilai manusia dan spiritual permanen yang
diperlukan sebagai petunjuk bagi manusia dalam kehidupan, yang keabsahannya sedemikian
rupa sehingga melayani manusia bukan hanya untuk sejengkal kehidupan individualnya, tetapi
untuk selama manusia hidup di dunia ini. Jadi setiap generasi muslim, yang meniru contohnya,
melewati jalan hidup yang dipolakannya (Nabi Muhammad, penerj.) pada yang berikutnya
sedemikian rupa sehingga tidak ada jurang pemisah ataupun krisis identitas yang muncul di
antara mereka, melainkan masing-masing generasi terdahulu membimbing generasi setelahnya
dengan mengonfirmasi dan mengafirmasi contohnya dalam kehidupan mereka.
Masalah identitas dan tujuan manusia itu merupakan, menurut pemikiran saya, penyebab
akar semua masalah lain yang mengepung masyarakat modern. Banyak tantangan yang telah
muncul di tengah-tengah kebingungan manusia sepanjang zaman, tetapi mungkin tidak ada yang
78 Prolegomena
lebih serius dan merusak manusia daripada tantangan yang kini diajukan peradaban Barat. Saya
berusaha mempertahankan bahwa tantangan terbesar yang telah diam-diam muncul pada masa
kita adalah tantangan pengetahuan, tentu, bukan terhadap kebodohan; tetapi pengetahuan
sebagaimana dipahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; pengetahuan yang
sifat-dasarnya telah menjadi problematis sebab telah kehilangan tujuan utamanya berkaitan
dengan pemahaman yang tidak adil, dan dengan demikian telah membawa kekacauan dalam
kehidupan manusia, bukannya kedamaian dan keadilan; pengetahuan yang nampak sejati tetapi
merupakan penghasil kebingungan dan skeptisisme, yang telah mengangkat keraguan dan
dugaan pada tingkat ‘saintifik’ dalam metodologi; pengetahuan yang telah, pada pertama kalinya
dalam sejarah, membawa kekacauan pada Tiga Kerajaan Alam; binatang, tumbuhan, dan barang
tambang. Bagi saya terlihat penting untuk menekankan bahwa pengetahuan itu tidak netral, dan
memang dapat dimasukkan sifat-dasar dan isi yang menyamar sebagai pengetahuan. Namun
pada kenyataannya, diterima secara keseluruhan, bukanlah pengetahuan sejati, tetapi interpretasi
terhadapnya melalui prisma, sebagaimana adanya, pandangan-dunianya, visi intelektual dan
persepsi psikologis dari peradaban yang kini memainkan peran kunci dalam perumusan dan
penyebarannya. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dimasukkan
karakter dan personalitas peradaban tersebut — pengetahuan yang ditampilkan dan dikandung
sebagai pengetahuan dalam samaran itu begitu rumit dileburkan bersama dengan yang sejati
sehingga orang lain mengambilnya secara tidak sadar in toto sebagai pengetahuan sejati secara per
se. Apakah karakter dan personalitas, esensi dan jiwa peradaban Barat yang telah mengubah
dirinya dan dunia, yang membawa semua penerima interpretasi pengetahuan tersebut kepada
kondisi kacau yang memimpin pada tepi bencana? Dengan ‘peradaban Barat’ saya bermaksud
peradaban yang telah berevolusi dari leburan historis akan kebudayaan, filsafat, nilai dan cita-cita
dari Yunani Kuno dan Romawi; peleburan mereka dengan Yudaisme dan Kristianitas, dan
pengembangan mereka lebih lanjut dan pembentukan oleh orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan
Nordik. Dari Yunani kuno diturunkan unsur filosofis dan epistemologis dan fondasi pendidikan,
etika, dan estetika; dari Romawi unsur hukum dan keahlian berpolitik dan pemerintahan; dari
Yudaisme dan Kristianitas unsur kepercayaan-kuat keagamaan; dan dari orang-orang Latin,
Jerman, Celtic, dan Nordik semangat independensi dan jiwa kebangsaan dan nilai tradisional
mereka, dan pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan alam dan fisik dan teknologi
dimana mereka, bersama dengan orang-orang Slavia, telah mendorong hingga kekuatan puncak.
Islām juga telah membuat kontribuasi yang sangat penting pada peradaban Barat akan nuansa
pengetahuan dan menanamkan jiwa rasional dan saintifik, tetapi pengetahuan dan jiwa rasional
dan saintifik tersebut telah dituang kembali dan dicetak ulang untuk menyesuaikan wadah
kebudayaan Barat sehingga mereka telah menjadi menyatu dan melebur dengan semua unsur lain
yang membentuk karakter dan personalitas peradaban Barat. Namun fusi dan peleburan yang
sedemikian berevolusi menghasilkan karakter dualisme dalam pandangan-dunia dan nilai
peradaban dan kebudayaan Barat; sebuah dualisme yang tidak dapat dipecahkan menjadi
kesatuan yang harmonis, karena hal itu dibentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan, kepercayaan-
lemah, filsafat, dogma, doktrin dan teologi yang bertentangan dan semuanya merefleksikan visi
dualistik yang meliputi-semua (all-pervasive) akan realitas dan kebenaran yang terkunci dalam
pertarungan yang putus asa. Dualisme terdapat pada semua aspek kehidupan dan filsafat Barat:
yang spekulatif, sosial, politis, kebudayaan — sebagaimana hal tersebut meliputi
ketidakberubahan (inexorableness) yang sepadan pada agama Barat.
Barat merumuskan visinya akan kebenaran dan realitas tidak di atas pengetahuan dan
kepercayaan-lemah agama wahyu, tetapi lebih pada tradisi kultural yang diperkuat dengan
premis filosofis yang ketat berdasarkan spekulasi yang menyentuh secara mendasar pada
79 Prolegomena
kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai entitas fisik dan hewan rasional,
meletakkan perbekalan yang luar biasa hanya terhadap kapasitas intelektual manusia untuk
membuka seluruh misteri lingkungan dan keterlibatannya dalam eksistensi, dan menyusun hasil
spekulasi yang berdasarkan premis tersebut akan nilai etis dan moral yang berevolusi untuk
membimbing dan mengatur kehidupannya sesuai spekulasi tersebut. Tidak akan ada kepastian
dalam spekulasi filosofis dalam pengertian kepastian keagamaan berdasarkan pengetahuan
wahyu yang dipahami dan dialami dalam Islām;60 dan karenanya pengetahuan dan nilai yang
memproyeksikan pandangan-dunia tersebut dan arah kehidupan peradaban tersebut itu di bawah
penilaian ulang dan perubahan.
Jiwa penelusuran dari kebudayaan dan peradaban Barat mula-mula dengan disenchanment
terhadap agama sebagaimana peradaban tersebut memahaminya. Agama dalam pengertian yang
digarisbesarkan di sini tidak pernah sungguh-sungguh mengakar dalam peradaban Barat
berkaitan dengan sifat berlebihan dan cinta yang salah kepada dunia dan kehidupan sekular dan
manusia dan keasyikan dengan tujuan sekular manusia. Jiwa penelusuran tersebut secara
mendasar dibangkitkan dalam kondisi ragu dan tegangan dalaman (inner); tegangan dalaman
tersebut merupakan hasil benturan unsur-unsur yang bertentangan dan nilai yang berlawanan
dalam dualisme abadi, sementara keraguan memelihara kondisi tegangan dalaman tersebut.
Kondisi tegangan dalaman ini pada gilirannya menghasilkan hasrat yang tak terpenuhi untuk
mencari dan naik pada perjalanan abadi akan penemuan. Pencarian tersebut tak terpenuhi dan
perjalanan menjadi abadi karena keraguan tidak pernah selesai, sehingga apa yang dicari tidak
pernah sungguh-sungguh ditemukan, apa yang ditemukan tidak pernah sungguh-sungguh
memuaskan tujuan sejatinya. Hal tersebut seperti pejalan haus yang pada pertama kalinya secara
tulus mencari air pengetahuan, tetapi yang kemudian, mungkin menemukannya kurang menarik,
mulai mengeraskan cangkirnya dengan garam keraguan sehingga rasa hausnya menjadi tidak
terpuaskan meskipun dia minum secara berkelanjutan, dan dengan demikian meminum air
tersebut tidak dapat menghilangkan hausnya, dia telah lupa tujuan asal dan sejatinya untuk apa
air itu dicari. Kebenaran mendasar dari agama dipandang, dalam skema hal-hal, hanya sebagai
teori, atau dibuangnya sebagai ilusi yang sia-sia. Nilai absolut ditolak dan nilai relatif diafirmasi;
tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang pasti. Akibat logis perilaku tersebut
terhadap pengetahuan, yang menentukan dan ditentukan oleh pandangan-dunianya, adalah
menolak Tuhan dan Akhirat dan mengafirmasi manusia dan dunianya. Manusia dituhankan dan
Tuhan dimanusiakan, dan dunia menjadi keasyikan tunggal bagi manusia sehingga bahkan
immortalitas dirinya sendiri terdiri dari kelanjutan spesies dan kebudayaannya di dunia ini. Apa
yang disebut ‘perubahan’ dan ‘pengembangan’ dan ‘kemajuan’ dalam semua aspeknya sejauh
dalam hal ini peradaban Barat merupakan hasil dari penelusuran yang tak terpuaskan dan
perjalanan abadi yang muncul oleh keraguan dan tegangan dalaman. Konteks pada gagasan akan
perubahan dan pengembangan dan kemajuan selalu dipahami sebagai duniawi-kini (this-wordly),
menampilkan pandangan-dunia materialistis yang secara konsisten dapat diistilahkan sebagai
jenis eksistensialisme humanistik. Jiwa kebudayaan Barat yang menggambarkan dirinya sebagai
Promethean adalah seperti Camusian Sisyphus yang secara putus asa berharap bahwa semuanya
baik. Saya katakan secara putus asa berharap bahwa semuanya baik sebab saya menduga faktanya
60 Lihat di atas, hlm. 75, referensi pada yaqīn (kepastian). Qur’ān Suci menyebutkan tiga derajat atau tingkatan
kepastian pengetahuan: kepastian yang diturunkan dari penyimpulan, apakah deduktif atau induktif: ‘ilm al-yaqīn, (Al-
Takāthur (102): 5); kepastian yang diturunkan dari pandangan langsung: ‘ayn al-yaqīn (Al-Takāthur (102): 7); dan
kepastian yang diturunkan dari pengalaman langsung haqq al-yaqīn (Al-Hāqqah (69): 51). Tingkatan pengetahuan yang
pasti tersebut menyentuh pada kebenaran, apakah berwujud atau tersembunyi, empiris atau transendental; dan
pengetahuan yang pasti dari apa yang tersembunyi memiliki kekuatan yang sama akan kepastian atas apa yang terlihat.
Tingkatan kepastian tersebut juga menyentuh pada apa yang diterima organ atau kognisi spiritual, hati (al-qalb), dan
menunjuk pada pengetahuan sebagai kepercayaan-lemah dan kepercayaan-kuat (īmān). Lihat hlm. 65 di atas.
80 Prolegomena
tidak semuanya baik, karena Saya percaya bahwa dia tidak pernah dapat sungguh-sungguh
bahagia dalam kondisi tersebut. Pengejaran pengetahuan tersebut, seperti perjuangan mendorong
Batu dari daratan ke atas Gunung dimana ketika sampai puncaknya batu tersebut ditakdirkan
untuk berguling ke bawah lagi, menjadi jenis permainan serius, yang tak pernah berhenti, seolah-
olah untuk mengalihkan jiwa dari tragedi dan ketidakpencapaian. Maka, tak heran bahwa dalam
kebudayaan Barat tragedi dipuji sebagai nilai mulia dalam drama eksistensi manusia!
Menggantungkan hanya pada kekuatan intelek manusia untuk membimbing manusia
menjalani kehidupan; ketaatan pada keabsahan visi dualistik tentang realitas dan kebenaran;
afirmasi realitas akan aspek-sementara dari eksistensi yang memproyeksikan sebuah pandangan-
dunia sekular; mendukung doktrin humanisme; peniruan realitas universal yang diduga keras
akan drama dan tragedi dalam kehidupan manusia dalam wilayah spiritual, atau transendental,
yang membuat drama dan tragedi sebagai unsur nyata dan dominan dalam sifat-dasar dan
eksistensi manusia — unsur-unsur tersebut keseluruhan yang diterima sebagai sebuah
keseluruhan merupakan, menurut pendapat saya, apa yang membentuk inti, jiwa, karakter, dan
personalitas kebudayaan dan peradaban Barat. Unsur-unsur inilah yang menentukan kebudayaan
dan peradaban tersebut akan cetakan konsep pengetahuan dan arah tujuannya, perumusan isi
dan sistematisasi penyebarannya; sehingga pengetahuan tersebut yang kini secara sistematis
disebarkan ke seluruh dunia tidak serta merta merupakan pengetahuan sejati, melainkan apa yang
telah diilhami dengan karakter dan personalitas kebudayaan dan peradaban Barat, dan diisi
dengan jiwanya dan dicocokkan dengan tujuannya. Maka, unsur-unsur inilah, yang harus
diidentifikasi dan dipisahkan dan diisolasikan dari tubuh pengetahuan, sehingga pengetahuan
tersebut dapat dibedakan dari apa yang diilhami dengan unsur-unsur tersebut, karena unsur-
unsur tersebut dan apa yang diilhami dengannya tidak merepresentasikan pengetahuan
sedemikian, tetapi mereka hanya menentukan bentuk karakteristik dimana pengetahuan yang
dipahami, dinilai, dan diinterpretasikan sesuai dengan tujuan yang diluruskan dengan
pandangan-dunia peradaban Barat. Kemudian juga terlepas dari identifikasi dan pemisahan dan
isolasi unsur-unsur tersebut dari tubuh pengetahuan, yang tidak diragukan juga mengubah
bentuk konseptual dan nilai dan interpretasi beberapa isi dari pengetahuan sebagaimana yang
kini ditampilkan,61 tujuan inti dan sistem penyebaran dan diseminasinya dalam institusi
pembelajaran dan dalam wilayah pendidikan harus diubah sesuai dengannya. Hal tersebut dapat
diargumentasikan bahwa apa yang disarankan adalah interpretasi yang lain atau interperetasi
alternatif akan pengetahuan yang diilhami dengan bentuk konseptual dan nilai yang diluruskan
dengan tujuan lain yang merefleksikan pandangan-dunia lain; dan dengan demikian, dan hal
yang sama diterima, apa yang dirumuskan dan disebarkan sebagai pengetahuan mungkin tidak
serta merta merefleksikan pengetahuan sejati. Akan tetapi hal ini, tinggal dilihat, karena pengujian
pengetahuan sejati adalah dalam diri manusia sendiri, bahwa jika, melalui sebuah interpretasi
alternatif atas pengetahuan kemudian manusia mengetahui dirinya dan tujuan utamanya,62 dan
dengan mengetahuinya dia mencapai kebahagiaan,63 maka pengetahuan itu, kendati wujudnya
diilhami dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan bentuk karakteristik yang dipahami dan
dinilai dan diinterpretasikan berdasarkan tujuan yang diluruskan pada pandangan-dunia
tertentu, merupakan pengetahuan sejati; karena pengetahuan tersebut telah memenuhi tujuan
manusia untuk mengetahui.
61 ‘Beberapa isi pengetahuan’ menunjuk di sini menyentuh secara utama pada sains kemanusiaan.
62 Lihat di atas, hlm. 65-74; 81-84
63 Lihat di atas, hlm. 65.
81 Prolegomena
II
MAKNA DAN PENGALAMAN
KEBAHAGIAAN DALAM ISLĀM
Kebahagiaan menurut perspektif Islām diungkapkan dengan istilah sa’ādah, dan
berhubungan dengan dua dimensi eksistensi; akhirat (ukhrawiyyah) dan dunia saat ini
(dunyawiyyah). Lawan sa’ādah adalah shaqawāh, yang secara umum berarti ketidakberuntungan
besar dan penderitaan. Dalam hal akhirat sa’ādah menunjuk pada kebahagiaan mendasar, yang
merupakan kebahagiaan dan rahmat besar yang abadi, dimana wujud tertingginya adalah
Melihat Tuhan, yang dijanjikan pada mereka yang di kehidupan dunia telah hidup dalam
ketundukan sukarela, sadar, dan tahu akan kepatuhan kepada perintah dan larangan Tuhan.
Kondisi ini, kita lihat bahwa hubungan sa’ādah dengan akhirat sangat dekat terhubung dengan
dunia saat ini, yang terhubung dengan tiga hal: (1) diri (nafsiyyah), seperti yang menyentuh
pengetahuan dan karakter yang baik; (2) pada tubuh (badaniyyah) seperti kesehatan yang baik dan
keamanan; dan (3) pada hal-hal eksternal bagi diri dan tubuh (kharijiyyah) seperti kekayaan dan
sebab lain yang meningkatkan kondisi yang baik dari diri, tubuh dan hal-hal eksternal dan
lingkungan dalam hubungan dengan mereka.64 Oleh karena itu kebahagiaan di dunia saat ini
bukan hanya menyentuh kehidupan sekular, karena juga memiliki hubungan dengan kehidupan
sebagaimana diinterpretasikan dan dibimbing agama yang bersumberkan Wahyu.
Pada hubungan kebahagiaan dengan diri sendiri, yang kita katakan menyentuh pada
pengetahuan dan karakter yang baik, Islām mengajarkan bahwa tempat bersemayamnya
pengetahuan pada manusia adalah sebuah substansi spiritual yang secara beragam ditunjuk
Qur’ān sebagai hati (qalb), atau jiwa atau diri (nafs), atau intelek (‘aql), atau ruh (rūh).
Karena diri secara intim terlibat dalam dua aspek tubuh dan jiwa, diri dideskripsikan di
satu pihak sebagai jiwa hewani (al-nafs al-hayawāniyyah) dan di pihak lain sebagai jiwa rasional (al-
nafs al-nātiqah); dan tujuannya dalam pencapaian kebahagiaan di sini, dan kebahagiaan tertinggi
di akhirat tergantung lebih banyak pada aspek mana diri memilih meletakkan dirinya. Kedua
aspek tersebut memiliki kekuatan atau fakultas (quwā). Fakultas jiwa hewani ialah penggerak
(motive) dan perseptif, dan fakultas jiwa rasional itu aktif dan kognitif. Sejauh hal tersebut
berfungsi sebagai intelek aktif fakultas tersebut merupakan prinsip pergerakan atas tubuh
manusia. Fakultas tersebut merupakan rasio praktis, dan mengarahkan tindakan individu dalam
persetujuan dengan fakultas teoritis dari intelek kognitif. Dalam hubungan dengan daya
penggerak dari jiwa hewani, yang bertanggungjawab untuk penggunaan keinginan sehingga
hasrat atau keengganan muncul dalam tindakan, dimana fakultas tersebut menghasilkan emosi
manusia. Dalam hubungan dengan kekuatan perseptif dan fakultas representasif, estimatif, dan
imajinatif fakultas tersebut mengatur objek fisik dan menghasilkan kemahiran manusia dan seni;
dan dalam hubungan dengan fakultas imajinasi rasional tersebut fakultas tersebut memunculkan
premis dan kesimpulan. Sejauh fakultas tersebut memerintah dan mengatur tubuh manusia
fakultas tersebut mempengaruhi perilaku etis manusia yang melibatkan pengenalan akan sifat
buruk dan kebajikan.65
64 Lihat al-Ghazāli, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Kairo, 1939, 4v., vol.3, hlm. 229. Sebagaimana untuk istilah sa’ādah dan
lawannya shaqawāh, hal ini secara mendasar diturunkan dari Qur’ān, Hūd, (11): 105-108. Dengan menunjuk pada tiga
hal yang mana kebahagiaan terhubung dalam dunia ini, lihat juga Nichomachean Ethics karya Aristoteles, tr. Sir David
Ross, O.U.HLM. London, 1963, Ethics I.8.1098b5.
65 Lihat al-Ghazāli, Ma’ārij al-Quds fi Madārij Ma’rifat al-Nafs, Bayrut, 1978, pp 49-50; ibn Sina, Kitāb al-Shifā’,
Kairo, 1975, hlm. 185; Kitāb al-Najāt, Bayrut, 1985, hlm. 202-203, Lihat selanjutnya bab IV di bawah.
82 Prolegomena
Kebajikan (fadīlah) dapat diklasifikasikan di bawah sebuah judul umum akan
kesempurnaan pikiran atau ketajaman dan karakter yang baik.66 Karakter merupakan kondisi
yang stabil dari jiwa. Jika kondisi ini menyebabkan tindakan yang diperintahkan intelek dan
agama maka hal itu disebut karakter yang baik. Karakter yang baik dapat dicapai dengan
pembelajaran dan pembiasaan, dan dalam beberapa kasus hal tersebut datang secara alamiah
sebagai pemberian Ilahi. Karakter dapat berubah dari buruk ke baik, dan sebaliknya dari baik ke
buruk.67 Tujuan karakter yang baik ini adalah kebahagiaan, baik di dunia ini dan di akhirat.
Dalam rangka menghasilkan kebajikan dan karakter yang baik maka jiwa hewani dan fakultas
tubuh harus ditundukkan kepada fakultas praktis dari jiwa rasional, yang mengarahkan tindakan
individual setelah pertimbangan yang mendalam sesuai dengan apa yang disepakati oleh fakultas
teoritis. Untuk mencapai karakter yang baik intelek harus dilatih dalam pemikiran dan refleksi
mendalam. Hanya ketika hal tersebut telah ditunaikan barulah dapat diwujudkan kebijaksanaan.
Fakultas hasrat, ketika dilatih, akan mewujudkan kesederhanaan, dan keberanian untuk marah.
Ketika hasrat dan kemarahan ditundukkan kepada intelek maka keadilan terwujudkan; dan titik
pertengahannya (al-wasat) itu dicapai oleh dua fakultas tubuh tersebut setelah mereka telah dilatih
dan didisiplinkan oleh fakultas praktis dari jiwa rasional yang membimbing pada pencapaian
karakter yang baik. Pelatihan fakultas tubuh membutuhkan pilihan bebas.68 Berlawanan dengan
penerjemahan yang tidak berubah oleh kebanyakan orang dari kata ikhtiyār sebagai ‘pilihan’, kita
mempertahankan bahwa ikhtiyār tidak hanya bermakna ‘pilihan’. Kata khayr, yang bermakna
‘baik’, yang diikat dalam makna dengan ikhtiyār dan diturunkan dari akar yang sama,
menentukan bahwa pilihan tersebut berarti menuju apa yang baik. Hal ini penting ketika
diluruskan dengan pertanyaan filosofis tentang kebebasan. Oleh karena itu yang disebut ‘pilihan’
menuju apa yang buruk bukanlah pilihan. Karena kita mengafirmasi bahwa kebebasan itu adalah
bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar kita yang benar dan sejati, hanya pertunjukan pilihan
yang baik dapat dengan tepat disebut ‘pilihan bebas’. Pilihan untuk yang lebih baik adalah
pertunjukan kebebasan. Pilihan tersebut mengandaikan pengetahuan tentang kebaikan dan
kejahatan. Sebuah ‘pilihan’ untuk yang terburuk bukanlah pilihan, karena berdasarkan
kebodohan dan dorongan jiwa yang menginginkan menuju aspek kesalahan dari kekuatan
hewani.
Kebajikan filosofis akan kesederhanaan, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan tidak
cukup pada diri mereka sendiri untuk menghasilkan kebahagiaan yang dialami secara tetap dan
tidak ditentukan oleh lingkungan eksternal dan perubahan. Kita setuju bahwa jika kebahagiaan
dipahami hanya berhubungan dengan dimensi temporal, sekular dari kehidupan tanpa hubungan
apapun dengan akhirat, hal itu merupakan kondisi yang mengalami perubahan dari pelbagai
derajat dari waktu ke waktu; atau kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak dapat dialami secara
sadar dari waktu ke waktu di dunia ini, dan hanya dapat dinilai ketika dicapai oleh seseorang
yang kehidupannya, jika secara baik dihidupi dibantu oleh lingkungan yang mendukung, telah
berakhir. Tapi kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kebahagiaan hanya pada wilayah
temporal, kehidupan sekular; karena kita mengakui bahwa hubungan kebahagiaan dengan
akhirat memiliki ketegasan yang penting dan intim atas hubungannya dengan kehidupan
duniawi, dan karena dalam kasus terdahulu kebahagiaan merupakan kondisi spiritual dan
permanen, terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan
yang kita alami dan sadari yang sekali dicapai bersifat permanen. Oleh karena itu, kita tidak
sepakat dengan posisi Aristoteles bahwa kebajikan dan kebahagiaan berhubungan hanya dengan
66 Lihat karya al-Ghazāli Mizān al-‘Amal, Bayrut, hlm.59.
67 Mizān, hlm.54, fol.
68 Ibid, hlm. 55-56.
83 Prolegomena
dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam
jalur kehidupan dunia kita tidak dapat dicapai.
Menurut tradisi pemikiran Barat ada dua konsepsi kebahagiaan; yang kuno, yang kembali
pada Aristoteles dan yang pada abad pertengahan kembali juga pada filsuf dan teolog muslim
seperti Ibn Sinā dan al-Ghazāli; dan yang modern, yang secara bertahap muncul dalam sejarah
Barat sebagai hasil dari proses sekularisasi. Proses filosofis dan saintifik ini yang saya sebut
‘sekularisasi’ melibatkan penghilangan makna spiritual dari dunia alamiah, desakralisasi politik
dari urusan manusia, dan deconsecration nilai dari pikiran dan perilaku manusia, kedua yang
terakhir disebutkan tersebut adalah akibat logis dari yang pertama, yang menurut pendapat saya
menemukan pergerakan awalnya dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat dalam fondasi
filosofis yang dipimpin peletakannya oleh Aristoteles sendiri.69 Konsepsi modern tentang
kebahagiaanlah yang diakui lazim kini di Barat, dan ini berarti bahwa bagi peradaban tersebut
makna kebahagiaan, dan tentunya kebajikan yang memimpin padanya, telah mengalami
perubahan, membawa dengannya bukan hanya dekadensi dan krisis moral, tetapi juga pertikaian
dan konflik politik. Konsepsi yang kuno dan yang modern sepakat bahwa kebahagiaan itu akhir
pada dirinya (end in itself), tetapi sementara yang terdahulu menganggap akhir tersebut dalam
pengertian standar perilaku yang pantas, yang kemudian menganggap sebagai terminal kondisi
psikologis yang tidak memiliki hubungan dengan kode moral.70 Namun, pada kenyataannya,
yang disebut konsepsi modern tentang kebahagiaan, terlepas dari kerumitan rumusan dan
pengejarannya, tidak banyak berbeda dalam esensi dari yang pernah diketahui dan dipraktekkan
pada masa kuno oleh masyarakat pagan.
Meskipun kebajikan filosofis, yang nampaknya telah dipahami melalui pilihan manusia
dan hanya dengan rasio, tidaklah memadai dalam dirinya sendiri untuk perwujudan kebahagiaan
yang berlangsung terus dalam diri, penerimaan mereka dibenarkan ketika mereka tidak berselisih
dengan agama; dan kegunaan mereka untuk pencapaian kebahagiaan diakui ketika beberapa
rumusan ulang makna mereka telah diakibatkan dalam persetujuan dengan agama. Rumusan
ulang ini diakibatkan penarikan mereka ke dalam cakupan kebajikan lain dari tatanan yang lebih
tinggi yang tidak diketahui dalam tradisi filosofis Yunani, seperti kebajikan yang diturunkan dari
Qur’ān dan dari kehidupan Nabi. Pengetahuan tentang Tuhan menurut Wahyu merupakan
kebajikan keagamaan yang diturunkan dari kebijaksanaan; dan kebijaksanaan itu sendiri, apakah
teoritis atau praktis, merupakan kebajikan keagamaan sebab merupakan pemberian Tuhan dan
bukan perolehan rasio yang tidak dibantu.
Kebajikan keagamaan diklasifikasikan menjadi dua jenis, yang eksternal (zāhir) dan yang
internal (bātin). Yang eksternal menyentuh pada pemenuhan perintah ilahi seperti tindakan
penyembahan yang diarahkan hanya kepada Tuhan; perbuatan yang diarahkan kepada sesama
untuk kelanjutan kondisi-baik dari tatanan sosial dan politik; penampilan lima hal esensial dari
agama Islām termasuk kemurnian ritual, pembacaan Qur’ān, pengingatan Tuhan, membaca doa;
dan pemenuhan keperluan tradisi atau kebiasaan Islāmi seperti etiket terhadap makanan,
pakaian, kebersihan personal, pernikahan, transaksi bisnis, hal-hal yang diizinkan dan dilarang,
aturan bertetangga, pertemanan, perjalanan, peniruan model tindakan dan perkataan Nabi, dan
kewajiban persaudaraan dalam Islām.71
69 Lihat karya saya Islām dan Secularism, Kuala Lumpur, 1978.
70 Hal ini jelas direfleksikan, contoh, dalam tulisan pemikir besar Barat kontemporer, bernama Mortimer Adler dalam
Reforming Education, Macmillah, N.Y. 1988, contohnya hlm. 81-89; 230-253; 254-274; dan Alasdair MacIntyre dalam
After Virtue, University of Notre Dame Press, Indiana, 1984, contohnya hlm. 1-5; 181-203; 226-243; 244-255;
256-263.
71 Catatan menyeluruh dan rinci dari kebajikan keagamaan yang ditulis di sini dalam uraian dapat ditemukan dalam jilid
empat dan buku al-Ghazāli Ihyā’ (op. cit, vol. 1-2).
84 Prolegomena
Kebajikan internal menunjuk pada aktifitas hati; aktifitas yang didasarkan atas
pengetahuan tentang Tuhan dan diri yang diturunkan baik dari rasio dan Wahyu, dan yang
membutuhkan kecondongan positif dalam diri untuk mempengaruhi maksud (niyyah) baik yang
diikuti tindakan (‘amal) dengan tujuan yang tulus (ikhlās) dan kejujuran pada diri sendiri (sidq).
Pengetahuan akan diri memimpin pada pengetahuan kualitas baik dan buruknya, dan
memberikan tugas pada diri sendiri untuk menjauhi yang buruk dengan maksud memurnikan
jiwa dari ketidakmurnian.72 Tindakan pada bagian diri ini berarti bahwa jiwa rasional harus
mengawasi jiwa hewani (murāqabah) untuk memastikan bahwa tugas yang diberikan pada diri
sendiri dijalankan. Hal itu juga berarti swa-pengujian untuk melihat apakah pelaksanaan tugas
tersebut telah ditunaikan dalam cara yang tepat, dan untuk menyelesaikan penyimpangan
apapun dari apa yang tepat (muhāsabah). Pada pengetahuan tentang Tuhan hal itu berarti
pengetahuan tentang siapa Dia, tentang sifat-dasar dan Keesaannya sebagaimana Dia
menggambarkan diri-Nya dalam Wahyu, dan pengetahuan ini memimpin pada pemahaman
hubungan yang tepat antara diri dan Tuhan. Dalam Wahyu tersebut Tuhan juga berbicara tentang
ciptaan-Nya dan tentang diri manusia sebagai tanda yang menunjukkan realitas dan kebenaran-
Nya;73 dan perenungan dan refleksi karya-Nya dan sifat-dasar manusia dan psikologi jiwa
merupakan prasyarat untuk pencapaian pengetahuan tersebut. Semua ini melibatkan meditasi
(tafakkur) dan membawa perwujudan yang bertahap dalam diri akan kebajikan lain dari tatanan
yang lebih tinggi, seperti penyesalan (tawbah), sabar (sabr), terima kasih (shukr), harap (rajā), takut
(khawf), keesaan ilahi (tawhīd), kepercayaan (tawakkul), dan akhirnya kebajikan tertinggi untuk
pencapaian kebahagiaan di dunia, cinta Tuhan (mahabbah).74
Kebajikan eksternal dan internal sebenarnya tumpang tindih satu sama lain, dan
kemungkinan aktifitas kebajikan yang terlibat hanya dengan salah satu tanpa dengan suatu cara
terhubung dengan yang lain tidaklah dapat dipahami. Klasifikasi mereka ke dalam eksternal dan
internal hanya untuk membedakan aktifitas bagian ke-dalam (inward) hati, yang
mengkarakterisasi yang kemudian, dari aktifitas tubuh bagian ke-luar (outward); penekanan pada
makna dalaman (inner) merupakan bukti yang kemudian, dari praktek atas apa yang nampak
didemonstrasikan pada yang terdahulu. Beberapa mungkin mengunggulkan perwujudan
kebajikan eksternal dan beberapa terhadap kebajikan internal; tetapi tidak mungkin bagi beberapa
orang mewujudkan hanya kebajikan eksternal tanpa menegaskan pada kebajikan internal,
maupun bagi beberapa orang hanya mewujudkan kebajikan internal tanpa menunaikan
perwujudan kebajikan yang eksternal. Jadi, kedua kebajikan eksternal dan internal itu diperlukan
untuk pencapaian kebahagiaan di alam kehidupan ini, dan kebahagiaan tertinggi di akhirat.
Akhirnya, karena kebajikan yang diklasifikasikan sebagai filosofis telah dirumuskan ulang dan
diserap ke dalam kerangka keagamaan yang di dalamnya terdapat interpretasi nasib manusia
yang meluas pada horizon yang melampaui eksistensi temporal, dan karena kerangka-kerja
keagamaan ini dibangun bukan hanya atas rasio tapi atas rasio sebagaimana diverifikasi Wahyu,
maka semua kebajikan dalam Islām itu bersifat keagamaan.
Dengan maksud memahami makna sa’ādah nampaknya perlu bagi saya pertama kali
menghadirkan penjelasan singkat akan makna lawan katanya yang tepat yaitu, shaqawāh.
Leksikon bahasa Arab pada waktu terdahulu dan kembali lagi pada penggunaan Qur’ān
menggambarkan shaqawāh sebagai mengandung padanan terdekat dalam bahasa Inggris ‘great
72 Jiwa, menurut Qur’ān, diciptakan berkaitan dengan proporsi dan tatanan. Jiwa tahu apa yang benar baginya dan apa
yang salah baginya. Keberhasilannya dicapai ketika jiwa dimurnikan, dan kegagalannya dipastikan ketika ia dikotori
(91: 7-10). Pemurnian jiwa itu dicapai dengan kebajikan dan karakter yang baik seperti dirumuskan dan
dikonseptualisasikan dengan ajaran Islām.
73 Fussilat (41): 53
74 Ihyā’, vol. 4.
85 Prolegomena
misfortune’ (ketidakberuntungan yang besar), ‘misery’ (kesengsaraan), ‘straitness of circumstance’
(kondisi yang sukar), ‘distress’ (kekhawatiran), ‘disquietude’ (kecemasan), ‘despair’ (putus asa),
‘adversity’ (kemalangan), ‘suffering’ (penderitaan). Masing-masing kondisi tersebut secara jelas
melibatkan aktifitas internal dan eksternal yang serius. Tentu saja shaqawāh merupakan istilah
umum yang meliputi semua bentuk kesengsaraan, sehingga istilah lain mengungkapkan kondisi
yang sama hanya lebih khusus dalam aplikasi kontekstual mereka yang hanya merupakan unsur
penyusun shaqawāh. Hal tersebut termasuk, di antara yang lain contoh, khawf (takut, tak diketahui,
kesendirian penuh dan tidak dapat dikomunikasikan, kematian dan apa yang ada di baliknya,
ramalan ketakutan, angst); huzn (dukacita, penderitaan, kesedihan, jiwa yang kasar); dank
(kesempitan, kekakuan, sengsara dalam jiwa dan intelek dalam memandang ketidakmampuan
memahami sesuatu yang menyebabkan keraguan dalam hati); hasrat (dukacita yang dalam dan
menyesali sesuatu yang telah hilang dan tidak akan dialami lagi, seperti — ketika menunjuk pada
akhirat — melewati dukacita dan penyesalan yang tajam dari manusia yang berpaling dari Tuhan
dan menghabiskan hidupnya dalam kesia-sian ketika dia menemukan setelah kematian
bagaimana dia telah kehilangan jiwanya dan meratap dingin akan kemustahilan kembali ke
kehidupan duniawi untuk membuat perubahan). Istilah-istilah tersebut digunakan secara khusus
bagi mereka yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya, dan berlaku pada kondisi
dunia ini dan akhirat. Istilah lain yang mengungkapkan penderitaan satu jenis dan yang lain dan
berlaku semuanya dalam kehidupan ini adalah, contoh, dīq (kesukaran, hati dan pikiran,
mendesak); hamm (kegelisahan, kecemasan, menyedihkan dari hati dan pikiran berkaitan dengan
ketakutan bencana yang akan datang atau kesakitan); ghamm (sama seperti hamm, hanya kesakitan
yang ditakuti yang akan datang telah datang, sehingga menjadi sangat menderita; ‘usr (kondisi
keras, sulit dan tidak menyenangkan).
Nampaknya bagi saya intisari makna shaqawāh di atas sudah menjelaskan bahwa dalam
pengertian umum istilah itu menunjuk pada apa yang dipahami di Barat sebagai tragedi — tragedi
bukan hanya dalam pengertian dramatis sebagai bentuk seni, tetapi lebih dari itu dalam
pengertian filosofis sebagai drama kehidupan yang ditetapkan dalam pengalaman dan kesadaran
manusia ketika dia menolak agama dan berpaling dari Tuhan. Pernyataan ini membutuhkan
elaborasi. Menurut Aristoteles dalam Poetics tragedi dalam pengertian dramatis merupakan
sebuah imitasi artistik dari sebuah tindakan yang serius, lengkap dalam dirinya, dan cukup
menarik, contoh, yang dijadikan dalam bahasa yang puitis, memiliki tujuan moral yang
membawa karakter (ethos), dan pemahaman diskursif (dianoia) yang membuat sang karakter tragis
menunjukkan kemampuan untuk mengatakan apa yang pantas dalam situasi yang diberikan.
Drama Yunani protagonis harus memiliki tinggi rata-rata, mengalami penderitaan fisik juga
mental, dijatuhkan oleh kesalahan putusan berkaitan dengan kekurangan penglihatan-mendalam
(insight), kesalahan tragis (hamartia), dalam proses dramatis yang dihasilkan oleh beberapa
kesempatan menggoda (kairos). Dia harus juga memiliki rasa bangga (hubris), pongah terhadap
dewa yang melawan mereka. Faktor yang sambil lalu adalah takdir (amanke), yang mengejar sang
karakter tragis tanpa belas kasihan dengan sebuah kepercayaan (ate), sebuah kutukan, yang
bergiliran diwariskan sepanjang generasi. Kerangka-kerja peristiwa tersebut yang di atasnya
drama tersebut dibentuk membentuk kesatuan yang terdiri dari awal, pertengahan, dan akhir;
dan di dalam kesatuan peristiwa ini harus muncul proses pembalikan (peripeteia) seperti dari
kebahagiaan kepada penderitaan, dari nasib baik kepada nasib buruk, dan penemuan (anagnorisis)
seperti dari kebodohan kepada pengetahuan sesuatu yang mengerikan. Akibat dari tragedi adalah
memunculkan kasihan dan ketakutan sedemikian rupa supaya mengakibatkan pemurnian jiwa
mereka dan memberinya pembebasan (katharsis).75
75 Poetics, tr. Dengan komentar oleh S.H. Butcher, 1911, definisi tragedi dalam 1449B.
86 Prolegomena
Menurut leksikon Yunani pembersihan yang dimaksud dengan katharsis adalah dari dosa
dan rasa bersalah jiwa atau diri.76 Hal yang demikian, dan dari uraian di atas tentang sifat-dasar
tragedi dalam drama Yunani, pemurnian dari takut dan belas kasihan yang muncul oleh tragedi
dapat dipahami sebagai bermakna ketakutan dalam diri akan kesengsaraan yang akan datang
yang dihasilkan oleh rasa bersalah berkaitan dengan dosa yang dilakukan di masa lalu. Kini
tragedi bukan hanya sebuah bentuk seni, karena faktanya tragedi yang mewujudkan dirinya
sendiri secara unik dalam tradisi intelektual, keagamaan, dan sekular dari pemikiran dan
spiritualitas Barat di semua zaman dan membangun dirinya dalam mitologi secara ringkas dan
jelas menunjukkan bahwa tragedi — setidaknya dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat
— merupakan fakta kehidupan, dan bentuk dramatisnya hanya sebuah refleksi dari apa yang
terjadi dalam kehidupan sesungguhnya. Hal tersebut demikian kendati dalam pengalaman dan
kesadaran tersebut dibuat untuk selalu tinggal mengomeli kesalahan agama yang melekat pada
dosa asal yang dilakukan oleh leluhur manusia, yang dengan kesalahan tragis dikalahkan godaan
kesempatan yang didesak oleh musuh yang bertekad terhadap kejatuhannya dari keagungan.
Akibat kejatuhannya sebuah kutukan turun-temurun yang menyertai penerusnya menyebabkan
mereka merasakan kesalahan tersebut yang berlanjut mewabah pada hati dan pikiran mereka
sepanjang zaman. Leluhur manusia pernah memiliki kehormatan tinggi yang kemudian
dijatuhkan oleh kesalahan tragis. Pada awalnya dia dalam kehormatan yang tinggi dan bahagia di
sebuah dunia yang berbeda. Kemudian setelah kejatuhan ini dia dibuang ke dunia ini; dan
keturunannya kini menemukan diri mereka di tengah bagian kesatuan peristiwa yang sedang
terbentang dalam proses pembalikan dan penemuan, dan memainkan bagian mereka dalam
konflik dan kekerasan. Tetapi penemuan final belum juga datang dalam akhir yang menakutkan
ketika setiap orang harus meninggalkan dunia ini dan kembali berhadap-hadapan dengan
kebenaran. Obsesi dengan tragedi dan seni yang melukiskannya sedemikian rupa sebab bahkan
agama telah dibuat sebagai tragedi penyaliban. Dunia telah menjadi panggung dimana manusia
menyusun, menetapkan, dan memegang drama eksistensinya sendiri dengan maksud
menyebabkan pemurnian dari ketakutan dan belas swa-kasih. Filsafat humanistik dan proses
bertahap dari sekularisasi bersama-sama dengan kemunculan filsafat dan sains sekular, membuat
tragedi, daripada agama, sebagai pengagungan akan manusia. Ketakutan harus dimurnikan
bukan dengan kepercayaan-kuat kepada Tuhan, tetapi dengan pembuangan Tuhan dari alam
ciptaan; rasa kasihan diri harus dimurnikan bukan dengan pengingatan akan Tuhan, tapi dengan
kebanggaan akan humanitas dan penerimaan yang menantang akan keadaan sulit manusia.
Faktor penyebab dalam tragedi tidak lagi Takdir Yunani yang kuno maupun Tuhan agama, tetapi
konflik individu dan sosial, kebakaan biologis, psikologi ketidaksadaran, yang dikalahkan oleh
frustasi, dimana manusia dihadang oleh misteri alam semesta dan pencarian abadi oleh manusia,
dan absurditas kehidupan. Kebebasan keinginan menjadi kepercayaan-lemah yang kokoh sebab
hal itu menolong dalam perjuangan abadi terhadap rintangan yang menghalangi mencapai
tujuan. Tetapi tujuan itu sendiri selalu-bergeser. Dapatkah Sisifus bahagia secara abadi dengan
harus mendorong batu ke bukit dimana saat di puncak batu itu ditakdirkan untuk menggelinding
lagi ke bawah? Fitzgerald tidak sungguh-sungguh menerjemahkan makna yang dimaksudkan
dari puisi Persia, meskipun itu adalah apa yang diklaim dilakukannya, ketika dia menulis:
Wahai Engkau, Manusia yang telah dipinjamkan Bumi didst,
Dan bahkan dengan Surga ditemui Ular;
Untuk semua dosa dimana dengannya Wajah Manusia
Dihitamkan – pemaafan Manusia diberikan – dan diambil!
76 A Greek-English Lexicon, comp. Oleh H.G. Liddell dan R.Scott, etc., Oxford, 1968, hlm. 851, kol. 1; dan F.E. Peter,
Greek Philosophical Lexicon, New York, 1967, hlm. 98-99.
87 Prolegomena
Dia hanya mengungkapkan jiwa menantang yang lazim yang mengamuk dalam
pengalaman dan kesadaran manusia ketika dia menolak Tuhan dan berpaling dari petunjuk-Nya.
Qur’ān menghubungkan bagaimana Ādam digoda Setan, tidak patuh kepada Tuhan, dan
membiarkan dirinya digoda Setan. Namun, Ādam dan istrinya sadar akan kesalahan mereka dan
tidak seperti Setan, mengakui dosa mereka, diisi dengan penyesalan mendalam pada
ketidakadilan mereka pada diri mereka sendiri, dan meminta rahmat dan ampunan Tuhan.
Mereka berdua dimaafkan, tetapi diturunkan bersama Setan ke dunia ini untuk menghidupi
kehidupan percobaan dan kesengsaraan. Tuhan meyakinkan Ādam dan keturunannya bahwa
petunjuk-Nya akan datang dan siapapun yang mengikuti petunjuk-Nya tidak akan tersesat
maupun jatuh pada penderitaan; tetapi siapapun yang berpaling dari pengingatan akan Dia tentu
akan menghidupi kehidupan yang merana diserang oleh keraguan dan tegangan dalaman yang
dipertinggi dengan kebutaan pada kebenaran dan realitas keadaan sulit mereka.77
Aplikasi Qur’ān dalam makna shaqawāh dalam pelbagai bentuk konjugasi seperti shaqā,78
yashqā,79 tashqā,80 ashqā,81 al-ashqā,82 shaqiyy83, dan shiqwah84 terhubung, beberapa dengan akhirat,
beberapa dengan dunia ini, dan beberapa pada keduanya. Semuanya menunjuk pada mereka
yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya. Shiqwah, contoh, menunjuk pada mereka
yang kehilangan jiwa mereka (khasirū anfusahum)85 di dunia ini karena terlalu kagum oleh
kenikmatan dunia yang memimpin mereka pada kesesatan dan menjatuhkan mereka pada
kesalahan. Mereka dapat merasakan dan berpikir bahwa mereka bahagia dengan apa yang
mereka lakukan di dunia, tetapi penderitaan yang mendasari kondisi sejati mereka mungkin yang
kini tidak diakui mereka sebab mereka telah kehilangan jiwa mereka tetapi hal tersebut akan
disadari di akhirat adalah tidak terbantahkan: sebuah Hari yang Sukar (yawm al-hasrat, Keluh
Kesah dan Sedu Sedan, menunggu mereka di sana.86 Tentu saja menurut Qur’ān semua manusia
dalam kondisi merugi (khusr) kecuali yang memiliki kepercayaan-kuat yang benar (īmān) dan
berbuat baik, memerintahkan satu sama lain pada Kebenaran dan kesabaran.87 Perbuatan yang
baik ditunaikan dengan kebajikan, dengan īmān menjadi sumber kebahagiaan seseorang, dan
karakter yang baik. Makna kebahagiaan di dunia ini dan kebahagiaan tertinggi di akhirat sangat
dekat terikat dengan īmān, yang makna umumnya sebagaimana dipahami dan dialami oleh
mereka yang memilikinya telah dinyatakan pada bab berikutnya.88 Akar amina mengandung
makna menjadi aman, menjadi bebas dari takut. Kata benda bentuk dasar amina: amnu, bermakna
keamanan, bebas dari takut. Ketakutan yang dimaksud di sini adalah ketakutan akan sesuatu
yang tidak dikenali, dari kesendirian yang penuh, ketakutan akan masa depan — secara singkat
hal itu merupakan ketakutan yang menunjuk pada tujuan final. Mereka yang memiliki īmān dan
gigih berbuat baik menjaga diri mereka dari ketidakpatuhan pada Tuhan maka tidak terpengaruh
oleh ketakutan semacam itu (khawf), yang merupakan lawan dari keamanan (amnu).89 Istilah
77 Al-A’rāf (7): 19-25; Tā hā (20): 117-124; Banī Isrā’īl (7): 72.
78 Hūd (11): 106-107
79 Tā Hā (20): 2; 123.
80 Tā Hā (20): 117.
81 Al-Shams (91): 12.
82 Al-A’lā (87): 11; Al-Layl (92): 15
83 Hūd (11): 105; Maryam (19): 4; 32; 48.
84 Al-Mu’minūn (23): 107.
85 Al-An’ām (6): 12; 20; Al-A’rāf (7): 9; 53; Hūd (11): 21; Al-Mu’minūn (23): 103; Al-Zumar (39): 15; Al-Shūrā (42):
45.
86 Maryam (19): 39.
87 Al-‘Asr (103): 2.
88 Lihat di bawah, hlm. 112.
89 Al-Mā’idah (5): 69; Al-An’ām (6): 48; Al’A’rāf (7): 35; Yūnus (10): 62; Al-Ahqāf (46): 13.
88 Prolegomena
‘ketakutan’ berhubungan dengan dua kondisi psikologis. Ketika ketakutan menunjuk pada
seseorang yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya maka bermakna ketakutan yang
telah dijelaskan di atas; akan tetapi, ketika menunjuk pada seseorang yang tunduk pada Tuhan
dan memegang erat petunjuk-Nya, ketakutan itu bermakna ketakutan yang takzim atau kagum
atas keagungan-Nya, yang juga bermakna mengetahui-Nya. Karena seseorang yang takut pada
Tuhan bermakna takut pada ketidakpatuhan, pada melakukan tindakan yang dilarang Tuhan,
menjadi jahat, menjadi terhalang dari Tuhan dan tertolak untuk dekat pada-Nya. Ketakutan
demikian, yang muncul dari pengetahuan akan Tuhan dan kebebasan absolut-Nya untuk
melakukan apa yang Dia inginkan, dan akan tindakan manusia dalam pelanggaran dan ketakutan
akan akibatnya, mendorong perwujudan kebajikan seperti kesederhanaan (‘iffah), keterpeliharaan
(wara’), kesalehan (taqwā), dan kejujuran (sidq)90. Berdasarkan apa yang telah dan masih
dibuktikan oleh “mereka yang memiliki kepercayaan-kuat (āmanū) dan hatinya dibuat tenang
(tatma’innu) oleh pengingatan (dhikr) akan Tuhan, karena sungguh dalam pengingatan akan
Tuhan hati menjadi tenang”,91 kepercayaan-kuat (īmān) dan pengingatan (dhikr) itu diperlukan
dalam pencapaian kestabilan dan kedamaian hati yang tenang yang disebut tuma’nīnah. Kondisi
ini menunjuk pada kondisi jiwa yang tenang (al-nafs al-mutma’innah) yang disebutkan
sebelumnya.92 Tuma’nīnah menggambarkan kondini hati yang tenang dan tenteram, yang telah
kita katakan merupakan sebagai aspek dari diri.93 Tuma’nīnah adalah kebebasan dari kekhawatiran
yang dihasilkan dari keraguan, kebebasan dari kegelisahan; Tuma’nīnah adalah kedamaian
dalaman (inner), kepuasan, kesenangan, kebahagiaan, yang datang ketika jiwa atau diri tunduk
pada Tuhan. Tunduk pada Tuhan adalah apa yang dikenal sebagai kebebasan, karena kebebasan
itu kembali pada sifat-dasar sejati seseorang yang diakui oleh jiwa manusia sebelum berwujud
(pre-existent) ketika membuat perjanjiannya dengan Tuhan.94 Tunduk kepada Tuhan melibatkan
pengingatan dalam hati akan kehadiran Tuhan, dan pengingatan bermakna ingat akan Tuhan,
pengenalan dan pengakuan kekuasaan-Nya. Tunduk pada Tuhan merupakan perukunan kembali
jiwa dengan Tuhan, yang memunculkan dalam jiwa kesadaran akan keselamatan, keamanan,
kebebasan dari kegagalan dan kecurangan, kesadaran akan kedamaian yang disebut islām.
Aktifitas jiwa atau diri tersebut menyiratkan kondisi yang mendahului akan kesadaran dalam
jiwa akan kebenaran yang datang dari petunjuk. Kesadaran ini adalah kepastian (yaqīn) akan
kebenaran. Yaqīn adalah lawan dari keraguan (shakk) dan dugaan (zann); Yaqīn adalah
pemindahan keraguan dan dugaan dari hati dan verifikasi akan kebenaran pada masa lalu, kini,
dan akan datang. Qur’ān menyebutkan tiga derajat kepastian pengetahuan: yang diturunkan
dengan penyimpulan, apakah deduktif atau induktif (‘ilm al-yaqīn),95 yang diturunkan dengan
observasi atau visi langsung (‘ayn al-yaqīn);96 dan yang diturunkan dari pengalaman langsung
(haqq al-yaqīn).97 Derajat kepastian pengetahuan tersebut menyentuh pada kebenaran, apakah
berwujud atau tersembunyi, empiris atau transendental; dan kepastian pengetahuan atas apa
yang tersembunyi memiliki kekuatan kepastian yang sama sebagaimana apa yang terlihat. Derajat
kepastian ini juga menyentuh pada hati dan menunjuk pada kepercayaan-kuat (īmān).
90 Ihyā’, vol. 4, hlm. 153. dengan ‘kesalehan’ kita bermaksud bimbingan secara hati-hati terhadap diri sendiri dari
perbuatan dosa dan peninggalan akan tugas. Taqwā adalah takzim dalam kekaguman akan keagungan Tuhan; taqwā
adalah tindakan yang hati-hati akan penjagaan dari ketidakpatuhan dengan perilaku yang benar berdasarkan kebajikan
yang dihasilkan dalam keadilan, cth. sedang dalam tempatnya yang tepat akan diri dalam hubungan pada Tuhan
sehingga kedamaian dicapai dalam jiwa.
91 Al-Ra’d (13): 28.
92 Lihat di atas, hlm. 60.
93 Lihat di bawah, hlm. 145-146.
94 Al-A’rāf (7): 172.
95 Al-Takāthur (102): 5.
96 Al-Takāthur (102): 7.
97 Al-Hāqqah (69): 51.
89 Prolegomena
Kita katakan bahwa pengingatan akan Tuhanlah yang membawa kondisi jiwa yang
tenang; dan aktifitas kebajikan ini dan yang lain menyiratkan kesadaran yang mendahului dalam
jiwa akan kebenaran yang datang dari petunjuk Ilahi. Kesadaran ini muncul sebagai kepastian
(yaqīn). Maka bagaimana dapat seseorang yang lupa kepada Tuhan menemukan kedamaian
dalam hati dan pikiran dan jiwa yang tenang ketika pada kenyataannya kelupaan terhadap Tuhan
melibatkan juga kelupaan pada jiwanya sendiri? Tidak dapat ada kesadaran kepastian akan
kebenaran dalam jiwa ketika jiwa itu telah melupakan dirinya sendiri, yakni, ketika aspek
rasionalnya telah ditindas aspek hewaninya sedemikian sehingga ia hanya sadar akan
keterlibatannya dalam fakultas jasmaninya dan kenikmatan dan hiburan kehidupan duniawi, atau
pengejaran filsafat dan sains sekular dan perenungan fakta yang diturunkan darinya, atau bahkan
keduanya sekaligus. Inilah mengapa Qur’ān memperingatkan bahwa mereka yang lupa pada
Tuhan akan dibuat melupakan jiwa atau diri mereka.98 Kelupaan pada diri di sini harus
bermakna, di antara makna lain yang mungkin, ketidaksadaran jiwa rasional itu sendiri, dan
hanya kesadaran dari jiwa hewani yang cenderung menuju kepuasan hasrat jasmani. Seseorang
yang melupakan diri sendiri dalam cara ini adalah seseorang yang telah kehilangan jiwanya (q.v.
khusr) dan kondisi mereka adalah “makhluk alas dari yang rendah”.99
Perasaan dan emosi yang terlibat dalam kesadaran dan mereka yang sadar akan Tuhan,
memverifikasi kesadaran ini dengan pengingatan, pengalaman dalam perasaan dan emosi mereka
akan kesadaran kebahagiaan yang padanya kehidupan mereka kokoh — maksud saya bahwa
kehidupan mereka diamankan di atas sebuah lapisan-dasar kebahagiaan. Dalam kasus mereka
pengalaman penderitaan kehidupan duniawi, yang pasti mereka alami dari waktu ke waktu
seperti yang lain, tidak secara sadar dirasakan mereka sebagai kesengsaraan dalam pengertian
tragis. Melainkan penderitaan dikenali oleh mereka sebagai ujian, pengujian kepercayaan-kuat
mereka kepada Tuhan dan kebajikan akan perilaku dalam berhadapan dengan kesukaran dan
bencana. Penderitaan tersebut tidak disebut shaqawāh; itu disebut balā’, dan cobaan ibtilā’ kendati
penderitaan, kemudian, mereka tahu dan sadar akan kebenaran bahwa lapisan-dasar yang
mereka hidupi adalah kesenangan dan kebahagiaan, yang pada kondisi itu, mereka selalu
kembali. Qur’ān mewahyukan kebenaran ini dengan menyatakan dua kali untuk menekankan
jaminan bahwa “bersama setiap kesukaran (‘usr) terdapat kemudahan (yusr)”.100 Tetapi bagi
mereka yang berpaling dari Tuhan dan buta pada petunjuk-Nya, lapisan-dasar kehidupan yang
mereka hidupi adalah penderitaan dan tragedi, dan sebanyak apapun perasaan, atau emosi, atau
aktifitas yang mereka percaya sebagai kebahagiaan tidak akan membersihkan lapisan-dasar
tersebut. Kondisi inilah yang kita percaya menjadi alasan bagi kebutuhan mereka akan pemurnian
jiwa yang abadi selain dari mengingat Tuhan, seperti dengan pelbagai bentuk seni dan musik
yang dibuat dengan pelaksanaan yang serius dan ningrat untuk membuat kondisi sulit mereka
terasa nikmat pada citarasa estetis; dengan kerja tanpa istirahat dan perjuangan terhadap diri
mereka sendiri, terhadap orang lain, terhadap dunia, terhadap alam — untuk mengalihkan dari
tragedi akan ketidakpencapaian, dan untuk mencegah kembali pada lapisan-dasar kehidupan.
Itulah mengapa filsuf mereka berbicara bunuh diri sebagai persoalan filosofis. Sayangnya ini juga
mengapa dari waktu ke waktu muncul ledakan pesimistis akan kemarahan dalam bentuk
kekerasan yang sedikit banyak seperti upacara pengorbanan sparagmos dari tragedi Yunani Kuno.
Dan hal itu juga menjelaskan alasan keasyikan berkelanjutan dengan pencarian kebahagiaan yang
dipandang sebagai sebuah akhir pada dirinya.
Kebahagiaan (sa’ādah) sebagai lawan yang tepat dari penderitaan (shaqawāh) dan
sebagaimana diketahui dalam pengalaman dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh
98 Al-Hasr (59): 19.
99 Al-Tīn (95): 4; hlm. 146 di bawah; dan dari khusr, hlm. 103 di atas.
100 Al-Inshirāh (94): 5-6.
90 Prolegomena
tunduk kepada Tuhan dan mengikuti-Nya bukanlah akhir pada dirinya sebab kebajikan tertinggi
dalam kehidupan ini adalah cinta Tuhan. Kebahagiaan yang berlangsung terus dalam kehidupan
menunjuk bukan pada entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia;
maupun sebuah kondisi pikiran, atau perasaan yang mengalami kondisi terminal, maupun
kenikmatan atau hiburan. kebahagiaan berhubungan dengan kepastian (yaqīn) kebenaran pokok
dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan kepastian adalah
kondisi permanen kesadaran yang alamiah pada apa yang permanen pada manusia dan dipahami
organ kognisi spiritual yakni hati (qalb). Kepastian adalah kedamaian, keamanan, dan ketenangan
hati (tuma’nīnah); kepastian adalah pengetahuan (ma’rifah) dan pengetahuan adalah kepercayaan-
kuat yang benar (īmān). Kepastian adalah pengetahuan akan Tuhan sebagaimana Dia telah
menggambarkan Diri-Nya dalam Wahyu sejati; kepastian juga mengetahui tempat seseorang
yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan seseorang yang tepat dengan Pencipta
ditemani oleh tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) dalam kesesuaian dengan pengetahuan tersebut
sedemikian sehingga kondisi itu hasilnya adalah keadilan (‘adl). Hanya lewat pengetahuan seperti
itulah cinta Tuhan dapat dicapai di kehidupan bumi.
Dari ringkasan di depan tetapi komprehensif akan penjelasan makna dan pengalaman
kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan kesimpulan bahwa kebahagiaan di kehidupan ini
bukan akhir pada dirinya; bahwa akhir kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan
dunia terdapat dua tingkatan kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah
psikologis, sementara, dan kondisi terminal yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau
emosi, dan yang diraih ketika keinginan dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar
berdasarkan kebajikan. Tingkatan kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang disadari
sebagai, menjadi lapisan dasar dari kehidupan duniawi yang diafirmasi sebagai percobaan,
pengujian aktifitas perilaku dan aktifitas kebajikan oleh nasib baik atau buruk: cth. Tidak
terpengaruh dengan kesalahan dengan nasib baik maupun dikalahkan dalam kesengsaraan
dengan nasib buruk. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul secara bersamaan dengan yang
pertama kecuali keinginan hilang dan kebutuhan dipuaskan. Tingkatan kedua kebahagiaan
adalah persiapan untuk tingkatan ketiga di alam akhirat yang merupakan kondisi tertinggi adalah
Melihat Tuhan. Tidak ada perubahan makna dan pengalaman kebahagiaan dalam kesadaran
mukmin sejati sepanjang zaman.
Kita telah mendiskusikan secara ringkas tetapi komprehensif dan secara langsung makna
dan pengalaman kebahagiaan sebagaimana diketahui dalam kesadaran manusia ketika dia
tunduk kepada Tuhan dan mengikuti petunjuk-Nya. Kebahagiaan, kita katakan, terhubung
dengan kehidupan temporal dan sekular sebagaimana juga pada akhirat. Karena agama mendasar
dalam hubungannya dengan manusia dan kondisinya yang baik, makna agama pertama kali
dijelaskan diikuti dengan garis besar yang singkat tentang sifat-dasar manusia dan psikologi jiwa
manusia yang diturunkan dari rasio dan Wahyu. Sebagai pembukaan pada penjelasan sifat-dasar
kebahagiaan yang didefinisikan di sini dalam pengertian kondisi yang berlawanan, kita
memertahankan bahwa aktifitas yang tepat pada manusia adalah tindakan kebajikan akan tubuh
dan jiwanya berdasarkan dengan rasio yang dibantu oleh Wahyu.
Aktifitas kebajikan yang didefinisikan di sini bukan hanya dalam pengertian kebajikan
filosofis, tetapi dalam pengertian rumusan ulang mereka dalam cakupan konseptual kebajikan
keagamaan yang digambarkan sebagai eksternal dan internal. Dalam mendefinisikan kebahagiaan
dalam pengertian lawannya yang tepat, istilah lain yang berhubungan menggambarkan
kebahagiaan dan penderitaan telah dibawa ke dalam fokus dan dijelaskan. Penjelasan tersebut
dibuat semakin bermakna dengan membuat analisis komparatif terhadap corak penting tertentu
dari konsep kebahagiaan Aristotelian dan Barat modern dengan konsepsi Islāmi tentang
91 Prolegomena
kebahagiaan dengan maksud menunjukkan penyimpangan yang besar antara yang terdahulu
dengan yang kemudian. Hal tersebut dipertahankan bahwa tiga tingkatan kebahagiaan yang
dilihat dalam konsepsi Islāmi, dua dari mereka dalam kehidupan dunia dan satunya di akhirat.
Dalam ringkasan ini penjelasan Qur’ān merupakan sumber tepat akan interpretasi kita tentang
kebahagiaan, yang kita jaga dan dibuktikan adalah terbukti dalam pengalaman dan kesadaran
kita berdasarkan pada pencapaian dalam pelbagai derajat, dalam kepercayaan-lemah dan praktek,
di antara pelbagai kelas dari orang-orang. Hal itu juga mempertahankan bahwa dalam
pengalaman dan kesadaran kita tidak ada perubahan sepanjang zaman dalam makna
kebahagiaan dalam Islām. Definisi umum tentang kebahagiaan telah dibuat hingga pada
akhirnya. Akhirnya, dapat dijadikan catatan bahwa referensi pada “mereka yang kembali pada
Tuhan dan petunjuk-Nya” tidak serta merta bermakna menunjukkan hanya kepada mereka yang
menyatakan menganut agama Islām, sama halnya dengan mereka mengaku mengikuti agama
Islām tidak semuanya serta merta termasuk di antara yang kembali kepada Tuhan dan mengikuti
petunjuk-Nya.
92 Prolegomena
III
ISLĀM
DAN
FILSAFAT SAINS
Makna agama dalam Islām, seperti telah kita analisa dalam bab pertama, yang
diungkapkan dengan istilah dīn, bukan hanya konsep, tetapi merupakan sesuatu yang
diterjemahkan ke dalam realitas secara intim dan mendalam dihidupi pada pengalaman manusia.
Sumber mendasar makna yang diturunkan darinya adalah wahyu Qur’ān akan perjanjian (al-
mithāq) dimana jiwa manusia sebelum wujud telah membuatnya dengan Tuhan.101 Nama agama:
Islām, kenyataannya adalah definisi agama: ketundukan kepada Tuhan. Sudah tersirat pada inti
gagasan ketundukan, perasaan, kepercayaan, dan tindakan; tetapi unsur mendasar tindakan
manusia tunduk kepada Tuhan adalah perasaan keberhutangannya kepada Tuhan untuk
pemberian-Nya atas eksistensi, jadi rasa keberhutangan ini — yang melibatkan pengenalan dan
pengakuan akan Tuhan sebagai pemberi eksistensi — adalah kondisi yang mendahului
ketundukan sejati (islām).102 Tujuan pokok agama adalah agar manusia kembali pada kondisi
dimana dia sebelumnya ada, dan ini melibatkan pencarian identitas dan tujuan transenden
melalui perilaku yang benar. ‘Pengembalian’ ini ialah segalanya tentang kehidupan, dan
melibatkan pengejaran pengetahuan sejati,103 pemahaman akan tanda dan simbol Tuhan dalam
halaman buku alam semesta dengan sinar petunjuk kata-kata-Nya dan dinterpretasikan dalam
diri yang suci dari utusan-Nya. Hal tersebut juga melibatkan penggunaan akal sehat pada
pengalaman akan realitas, dan penggunaan pertimbangan sehat untuk penangkapan kebenaran.104
Agama (islām) dan kepercayaan-lemah (belief/īmān) tidaklah identik, tetapi keduanya saling
tidak terpisahkan dan sangat dibutuhkan. Kepercayaan-lemah dalam pengertian yang kita
maksudkan adalah memiliki kepercayaan-kuat, tidak seperti pengertian yang dipahami dalam
bahasa Inggris, tetapi dalam pengertian bahwa hal itu termasuk menjadikan benar terhadap
kepercayaan (trust) dimana Tuhan telah menceritakan rahasia-Nya pada seseorang, bukan
dengan pengakuan kepercayaan-lemah dengan lidah, tanpa persetujuan hati dan tindakan tubuh
dalam kesesuaian dengannya; dan hal ini lebih dari pengetahuan, yang mendahului kepercayaan-
kuat, sehingga juga merupakan verifikasi dengan perbuatan berdasarkan apa yang diketahui
sebagai kebenaran.105 Kepercayaan-kuat merupakan pengenalan dan pengakuan kebenaran yang
meniscayakan aktualisasinya dalam diri seseorang. Pengenalan akan kebenaran dalam kasus ini
hadir hanya karena jelas dalam dirinya sebagaimana ditangkap fakultas intuitif yang kita sebut
hati, yakni, dengan petunjuk (hudā) dan bukan hanya dengan proposisi rasional dan demonstrasi
logis. Kebenaran itu sekaligus objektif dan subjektif; dan yang objektif dan subjektif, seperti
agama dan kepercayaan-lemah, adalah aspek-aspek tak terpisahkan dari satu realitas. Agama
sejati bukanlah sesuatu yang dapat mati terhadap kebingungan yang muncul dari dikotomi
101 Lihat Al-A’rāf (7): 172.
102 Dengan ‘ketundukan sejati’ (islām, huruf pertama dalam huruf kecil) kita maksud ketundukan sadar dan sukarela
untuk keseluruhan kehidupan etis seseorang dengan cara yang ditampakkan dan ditunjukkan oleh Nabi dan nabi-nabi
yang dikirim sebelumnya.
103 Dengan ‘pengetahuan sejati’ kita memahaminya bermakna pengetahuan yang mengenali batas kebenaran di setiap
objeknya. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 134-135.
104 Pada makna agama atau dīn dalam Islām, lihat bab I di atas.
105 ‘Kebenaran’ di sini bermakna apa yang datang dengan wahyu kepada Nabi tentang sifat-dasar dan realitas akan
Tuhan, tentang ciptaan-Nya, tentang tujuan manusia, tentang hubungan antara manusia dan Tuhan dan tanggung jawab
dan kebebasan individu manusia.
93 Prolegomena
objektif-subjektif dari tradisi filsafat Yunani; maupun agama sejati merupakan ‘agama humanitas’
yang personal, individual, privat, dan internal yang muncul dari proses pensekularan yang
berusaha menghilangkan pelembagaan kepercayaan-lemah agama.
Agama dalam pengertian yang kita maksudkan tidaklah dilawankan dengan desakralisasi
alam jika hal itu berarti pengenyahan dari pemahaman kita akan konsepsi magis atau mistis
tentang alam; karena alam tetap dapat dipandang sebagai perwujudan bentuk yang suci tanpa
mitos atau sihir jika memahaminya sebagai perkembangan realitas ideal dalam kesadaran Ilahi
yang akibatnya menjadi termanifestasi dalam alam indera dan pengalaman inderawi. Alam
dalam dirinya sendiri bukan entitas ilahiyah, tetapi sebuah bentuk simbolis yang
memanifestasikan yang Ilahi. Tentu saja, dalam pengertian yang telah kita bawa, semua alam, dan
bukan hanya pohon atau batu, menyatakan kesucian kepada mereka yang melihat realitas di balik
penampakan. Agama hanya dilawankan dengan desakralisasi jika hal itu berarti pemusnahan
semua makna spirtual dalam pemahaman kita tentang alam, dan pembatasan cara mengetahui
kita pada metode saintifik sebagaimana didukung filsafat sekular dan sains.106
Tuhan bukan mitos, citra, simbol, yang terus berubah seiring waktu. Dia merupakan
Realitas itu sendiri. Kepercayaan-lemah memiliki isi kognitif; dan salah satu titik utama
perbedaan antara agama sejati dan filsafat sekular dan sains adalah cara dimana sumber dan
metode pengetahuan dipahami.
Filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan mengatur hasil dari sains alam dan sosial
ke dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi tersebut pada gilirannya menentukan arah yang
akan diambil sains dalam studinya tentang alam. Interpretasi inilah tentang pernyataan dan
kesimpulan umum sains dan arah sains sejauh yang ditawarkan oleh interpretasi tersebut yang
harus diletakkan pada evaluasi kritis, sebagaimana mereka tawarkan pada kita hari ini problem
paling mendalam yang telah dihadapkan pada kita secara umum dalam urusan agama dan
sejarah intelektual kita. Evaluasi kita harus termasuk pengujian kritis akan metode sains modern;
konsep, presuposisi, dan simbolnya; aspek empiris dan rasionalnya, dan yang menyangkut nilai
dan etika; interpretasinya tentang asal-usul; teori pengetahuannya; presuposisinya tentang
eksistensi dunia eksternal, tentang keseragaman alam, dan rasionalitas proses alamiah; teori
tentang alam semesta; klasifikasi tentang sains; batasannya dan saling-hubung satu sama lain dari
sains, dan hubungan sosialnya.
Sebuah inti sari asumsi dasar mereka ialah bahwa sains itu satu-satunya pengetahuan
otentik; bahwa pengetahuan ini hanya menyentuh fenomena; bahwa pengetahuan ini, termasuk
pernyataan dasar dan kesimpulan umum sains dan filsafat yang diturunkan darinya, adalah khas
untuk zaman tertentu dan dapat berubah pada zaman lain; bahwa pernyataan saintifik harus
mengakui hanya apa yang telah di observasi dan dibuktikan oleh saintis; bahwa apa yang
seharusnya diterima hanyalah teori yang dapat direduksi kepada unsur inderawi, bahkan
meskipun teori tersebut mungkin melibatkan gagasan yang menyentuh wilayah yang melampaui
lingkungan empiris dari pengalaman; bahwa universalitas seharusnya tidak dilekatkan dengan
rumusan saintifik, maupun seharusnya objek yang didefinisikan dengan universalitas
digambarkan sebagai realitas yang melampaui apa yang di observasi; bahwa isi pengetahuan itu
adalah kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme; bahwa tiga aspek kognisi tersebut
bersama-sama menampilkan fondasi filsafat sains; bahwa pengertian merupakan suatu yang
subjektif, arbitrer, dan konvensional, dan bahwa dalam hubungan antara struktur logis
pengetahuan dan isi empiris dari pengetahuan, keunggulan logikalah yang diafirmasi; bahwa
teori matematis bukan sebuah sains deskriptif yang membuat pernyataan tentang struktur dan
proses alam, dan bahwa pada kenyataannya merupakan sebuah teori logika; sehingga karena
106 Lihat lebih jauh karya saya Islām dan Secularism, (op. cit.) bab I dan II.
94 Prolegomena
logika harus ada pada sains, peranan bahasa dan sistem logika dalam menggambarkan struktur
dan proses alam merupakan yang terpenting; bahwa kebenaran dan kepalsuan merupakan bagian
dari kepercayaan-lemah (cth. kepercayaan-lemah dalam pengertian penerimaan intelektual
sebagai benar atau nyata terhadap pernyataan atau proposisi apapun) yang tergantung pada
hubungan kepercayaan-lemah dengan fakta; bahwa fakta itu netral sejauh kebenaran dan
kepalsuan yang dipedulikan — mereka hanya ada.
Sains kontemporer telah berevolusi dan berkembang dari sebuah filsafat yang sejak
periode awalnya mengafirmasi kedatangan menjadi being dari hal-hal satu sama lain. Segala
maujud merupakan sebuah kemajuan, pengembangan atau evolusi dari apa yang terbentang
dalam kondisi laten dalam materi abadi. Dunia yang terlihat dari perspektif ini merupakan
semesta independen dan abadi; sebuah sistem swa-berada yang berkembang berdasarkan
hukumnya sendiri. Penolakan realitas dan eksistensi Tuhan sudah tersirat dalam filsafat ini.
Metodenya secara utama adalah rasionalisme filosofis, yang cenderung bergantung sendiri pada
rasio tanpa bantuan persepsi atau pengalaman inderawi; rasionalisme sekular, yang sementara
menerima rasio cenderung menyandarkan diri lebih pada pengalaman inderawi, dan menolak
otoritas dan intuisi dan menolak Wahyu dan agama sebagai sumber pengetahuan sejati; dan
empirisme filosofis atau empirisme logis yang mendasarkan semua pengetahuan pada fakta yang
terobservasi, konstruksi logis, dan analisa linguistik. Visi realitas tersebut sebagaimana terlihat
menurut perspektif baik bentuk rasionalisme dan empirisme itu berdasarkan atas pembatasan
realitas dunia alamiah yang dianggap sebagai satu-satunya tingkatan realitas. Pembatasan
demikian akibat reduksi kekuatan operasional dan kapasitas fakultas kognitif dan inderawi pada
lingkungan realitas fisik. Dalam sistem ini pengetahuan itu absah hanya jika menyentuh tatanan
alamiah dari peristiwa dan hubungannya; dan tujuan penelusuran tersebut adalah
menggambarkan dan menyistematisasi apa yang terjadi di alam, yang bermakna totalitas objek
dan peristiwa dalam ruang dan waktu. Dunia alamiah digambarkan dalam pengertian datar
secara naturalistik dan rasional yang melepaskan arti spiritual atau interpretasi simbolik, yang
mereduksi asal dan realitasnya hanya pada kekuatan alamiah.
Rasionalisme, baik jenis yang filosofis dan sekular, dan empirisme cenderung menolak
otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan yang absah. Bukan berarti mereka
menolak keberadaan otoritas dan intuisi, tetapi mereka mereduksi otoritas dan intuisi kepada rasio
dan pengalaman. Benarlah bahwa dalam contoh awal dalam kasus baik otoritas dan intuisi, selalu
terdapat seseorang yang mengalami dan yang menalar; tetapi hal tersebut tidak serta merta
bahwa karena ini, otoritas dan intuisi harus direduksi pada rasio dan pengalaman. Jika diakui
bahwa terdapat tingkatan rasio dan pengalaman pada tingkatan kesadaran manusia normal yang
batasannya dikenali, tidak ada alasan menduga bahwa tidak ada tingkatan pengalaman dan
kesadaran manusia yang lebih tinggi yang melampaui batas rasio dan pengalaman normal
dimana terdapat tingkatan kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang
batasnya hanya diketahui Tuhan.
Pada intuisi, kebanyakan rasionalis, sekularis dan pemikir empirisis dan psikolog telah
mereduksi intuisi kepada observasi sensoris dan penyimpulan logis yang telah lama dipikirkan
pikiran, yang maknanya menjadi tiba-tiba tertangkap, atau pada indera laten dan bangunan
emosional yang terlepas tiba-tiba dalam ledakan pengertian. Tetapi hal ini merupakan dugaan
pada bagian mereka, karena tidak ada bukti bahwa kilatan tiba-tiba pengertian tersebut datang
dari pengalaman inderawi; lebih lanjut, penolakan mereka terhadap fakultas intuitif seperti hati,
yang tersirat dalam pendirian mereka dalam memandang intuisi, juga merupakan dugaan.
Karena manusialah yang merasa dan memahami dunia objek-objek dan peristiwa yang
eksternal baginya, maka studi akan alam termasuklah diri manusia sendiri. Tetapi studi akan
95 Prolegomena
manusia, akan pikiran, dan diri juga dibatasi dengan metode sains baru seperti psikologi, biologi,
dan antropologi, yang memandang manusia hanya sebagai pengembangan lebih lanjut dari
spesies hewan, dan yang tidak lain dari perluasan metodologis akan pembatasan rasio dan
pengalaman pada tingkatan realitas fisik. Lebih lanjut, untuk menguji hipotesa dan teori sains,
menurut mereka, dibutuhkan korespondensi dengan fakta yang terobservasi, dan namun karena
hipotesis dan teori yang berlawanan satu sama lain dapat berkorespondensi dengan fakta yang
terobservasi, dan karena preferensi bagi seseorang terhadap yang lain dari mereka tidak didikte
kriteria apapun dari kebenaran objektif — sebab kebenaran itu sendiri dibuat untuk
menyesuaikan dengan fakta — maka preferensi tersebut didikte hanya oleh pertimbangan
subjektif dan abitrer tergantung konvensi. Ketergantungan atas konvensi ini telah menciptakan
kecenderungan untuk membuat masyarakat, daripada manusia individu, sebagai sesuatu yang
mendasar, sejati, dan otoritatif. Konvensionalisme mereduksi semua bentuk institusional sebagai
ciptaan oleh yang disebut ‘pikiran kolektif’ dari masyarakat. Pengetahuan itu sendiri, dan bahkan
bahasa manusia, tidak lain dari ungkapan dan alat pikiran kolektif dewa yang tidak dapat
berbicara ini yang disebut Masyarakat.
Akhirnya, keraguan diangkat sebagai sebuah metode epistemologis yang dengannya
rasionalis dan sekularis percaya bahwa kebenaran dapat hadir. Tetapi tidak ada bukti bahwa
keraguanlah dan bukan sesuatu yang lain dari keraguan yang membuat seseorang tiba pada
kebenaran. kehadiran pada kebenaran kenyataannya merupakan hasil petunjuk, bukan keraguan.
Keraguan adalah kondisi goncang antara dua yang berlawanan tanpa condong pada salah
satunya; keraguan adalah sebuah kondisi seimbang di antara dua yang berlawanan tanpa hati
cenderung menuju yang satu atau yang lain. Jika hati cenderung pada salah satu dan tidak
menuju yang lain sementara masih belum menolak yang lain, hal tersebut merupakan dugaan;
jika hati menolak yang lain, maka kemudian hati telah memasuki stasiun kepastian. Penolakan
hati terhadap yang lain merupakan sebuah tanda bahwa bukan keraguan yang membawa pada
kebenaran, tetapi pengenalan positif akan kesalahan atau kepalsuannya. Hal ini merupakan
petunjuk. Keraguan, apakah itu pasti atau sementara, mengarah kepada dugaan atau pada posisi
lain akan ketidakpastian, tidak pernah pada kebenaran – “dan dugaan tidak berfaedah terhadap
kebenaran” (Qur’ān 10: 36).
Berdasarkan atas posisi yang dibangun oleh tradisi filosofis dan saintifik sebagaimana
terintegrasi ke dalam sistem metafisika yang koheren, kita memertahankan bahwa banyak
kesamaan penting yang ditemukan antara posisi kita dan filsafat modern dan sains kontemporer
dalam memandang sumber dan metode pengetahuan; kesatuan cara mengetahui yang rasional
dan empiris; kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif sebuah
filsafat sains; filsafat dan sains akan proses. Tetapi kesamaan tersebut hanya nampak dan
menyentuh aspek ektsernal, dan tidak menegasikan perbedaan mendalam yang muncul dari
pandangan-dunia dan kepercayaan-lemah kita yang berlainan tentang sifat-dasar mendasar
Realitas. Afirmasi kita terhadap Wahyu sebagai sumber pengetahuan akan realitas pokok dan
kebenaran menyentuh baik pada hal-hal ciptaan maupun kepada Pencipta mereka yang
menyediakan kita fondasi karangka-metafisis untuk mengelaborasi filsafat sains kita sebagai
sistem integratif yang mendeskripsikan realitas dan kebenaran dalam cara yang tidak terbuka
pada metode rasionalisme filsafat sekular dan empirisme filosofis filsafat dan sains modern.
Bertentangan dengan filsafat modern dan sains dalam memandang sumber dan metode
pengetahuan, kita mempertahankan bahwa pengetahuan itu datang dari Tuhan dan diperoleh
dari saluran akan berita yang benar berdasarkan otoritas, rasio sehat, dan intuisi. Makna yang
mendasari ungkapan ‘rasio sehat’ (sound senses) menunjuk pada persepsi dan observasi, dan hal
tersebut tersusun dari panca indera internal dari peraba, penciuman, pengecap, penglihatan dan
96 Prolegomena
pendengaran yang menampilkan fungsi persepsi dari hal-hal partikular dalam dunia eksternal.
Berhubungan dengan hal tersebut terdapat lima panca indera internal yang menerima secara
internal akan citra inderawi dan makna mereka, mengombinasi atau memisahkan mereka,
memahami gagasan mereka, menjaga pemahaman yang telah dipahami, dan menampilkan
inteleksi (intellection) terhadap mereka. Panca indera internal tersebut adalah indera umum,
representasi, estimasi, retensi dan rekoleksi, dan imajinasi. Dalam tindakan memersepsi, penerima
menerima bentuk objek eksternal, cth. sebuah representasi realitas ektsernal, dan bukan realitas itu
sendiri. Apa yang diterima indera bukanlah realitas eksternal seperti yang ada pada dirinya
sendiri, tetapi yang serupa dengannya sebagaimana direpresentasikan dalam indera. Realitas
eksternal merupakan sumber dimana indera mengabstraksi bentuknya. Sama halnya dalam hal
makna dan pengertian merupakan representasi realitas yang tercetak pada jiwa, sebab intelek
sudah mengabstraksi mereka dari tambahan aksidental yang asing pada sifat-dasar mereka,
seperti kuantitas, kualitas, ruang dan posisi. Perbedaan antara bentuk dan makna dari objek
inderawi adalah bahwa bentuk merupakan apa yang diterima pertama kali oleh indera eksternal,
dan kemudian oleh indera internal; makna adalah apa yang indera internal terima dari objek
inderawi tanpa sebelumnya diterima oleh indera eksternal.
Dalam hal ‘rasio sehat’ (sound reason), kita memahami rasio tidak hanya dalam pengertian
yang dibatasi kepada unsur inderawi; pada fakultas mental yang menyistematisasi dan
menginterpretasi fakta pengalaman inderawi dalam tatanan logis, atau yang membuat pengertian
dan mampu diatur bagi pemahaman akan data pengalaman inderawi, atau yang menampilkan
abstraksi fakta dan data terindera dan hubungan mereka, dan mengatur mereka dalam sebuah
operasi pemberian-hukum (law-giving) yang membuat dunia alam dapat terpahami. Tentu saja,
pastinya, rasio adalah semua ini, tetapi kita menjaga lebih lanjut bahwa hal tersebut merupakan
salah satu aspek intelek dan berfungsi dalam kesesuaian dengannya, bukan berlawanan
dengannya; dan intelek merupakan substansi spiritual yang inheren dalam organ spiritual dari
kognisi yang kita sebut hati, yang merupakan kedudukan intuisi. Dengan jalan ini dan lewat
perantara intelek kita telah menghubungkan rasio dengan intuisi.
Dengan cara yang sama bahwa kita tidak membatasi rasio kepada unsur sensasi, kita juga
tidak membatasi intuisi kepada pengertian langsung dan segera, oleh subjek yang mengetahui,
terhadap dirinya, terhadap kondisi sadarnya, terhadap orang lain seperti dirinya sendiri, terhadap
dunia eksternal, terhadap alam semesta, terhadap nilai atau kebenaran rasional. Kita memahami
intuisi juga sebuah pengertian langsung dan segera terhadap kebenaran keagamaan, terhadap
realitas dan eksistensi Tuhan, terhadap realitas eksistensi sebagaimana dilawankan dengan esensi
— tentu saja, pada tingkatan intusi yang lebih tinggi merupakan intuisi akan eksistensi itu sendiri.
Dengan referensi pada intuisi di tingkatan kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak begitu saja
datang kepada setiap orang, tetapi kepada seseorang yang telah menghidupi kehidupan dalam
pengalaman kebenaran keagamaan dengan praktek ketaatan yang tulus kepada Tuhan, yang telah
dengan pencapaian intelektual memahami sifat-dasar keesaan Tuhan dan apa yang tersirat dari
keesaan tersebut dalam sebuah sistem metafisika yang integratif, yang telah secara berkelanjutan
merenungkan sifat-dasar realitas ini, dan dia yang kemudian, melalui perenungan mendalam dan
dengan kehendak Tuhan, dibuat melewati kesadaran dirinya dan kondisi subjektifnya dan
memasuki kondisi kedirian yang lebih tinggi dan berada dalam Tuhan. Ketika dia kembali kepada
kondisi subjektif kemanusiaannya, dia kehilangan apa yang telah ditemukan, tetapi pengetahuan
tentang itu tetap bersamanya. Hal tersebut ada dalam durasi keberadaan dalam Tuhan, dimana
ketika dia memperoleh kedirian yang lebih tinggi, berlangsunglah pengertian langsung dan
segera itu. Dia telah diberikan pandangan sekilas sifat-dasar realitas dalam durasi tersebut yang
97 Prolegomena
bersamaan dengan Kebenaran. Dalam kasusnya isi kognitif dari intuisinya akan eksistensi
mengungkapkan kepadanya sistem integratif akan realitas sebagai sebuah keseluruhan.
Dalam memandang intuisi, dan pada tingkatan normal kesadaran manusia, tingkatan
yang lebih tinggi yang dicapai orang-orang besar dari sains dan para pembelajar, pada saat
penemuan yang menentukan akan hukum dan prinsip yang mengatur dunia alam, merupakan
tingkatan yang sepadan dengan latihan, disiplin, dan pengembangan kekuatan mereka akan
penalaran dan kapasitas eksperensial, dan dengan problem khusus yang menghadang mereka
ketika rasio dan pengalaman mereka tidak mampu memberikan makna yang koheren. Tibanya
pada makna tersebut adalah melalui intuisi, karena intuisilah yang menyintesis apa yang masing-
masing rasio dan pengalaman lihat secara terpisah tanpa mampu mengombinasikannya ke dalam
keseluruhan yang koheren. Intuisi datang kepada seorang manusia ketika dia telah siap untuk itu;
ketika rasio dan pengalamannya dilatih dan didisiplinkan untuk menerima dan
menginterpretasikannya. Tetapi sementara tingkatan intuisi yang padanya metode empiris dan
rasional mungkin hanya menunjuk pada aspek khusus sifat-dasar realitas, dan bukan keseluruhan
darinya, dimana tingkatan intuisi pada tingkatan yang lebih tinggi dari kesadaran manusia yang
dicapai nabi-nabi dan orang-orang suci memperoleh pandangan-mendalam langsung ke dalam
sifat-dasar realitas sebagai sebuah keseluruhan. Nabi dan orang suci juga membutuhkan persiapan
untuk menerima dan mampu menginterpretasikannya; dan persiapan mereka tidak hanya terdiri
dari latihan, disiplin, dan pengembangan kemampuan menalar dan kapasitas pengalaman
inderawi, tetapi juga latihan, disiplin, dan pengembangan diri dalaman (inner) mereka dan
fakultas-fakultas diri yang berhubungan dengan pengertian akan kebenaran-realitas (truth-reality).
Pada berita yang benar sebagai saluran yang melaluinya pengetahuan itu diperoleh,
terdapat dua jenis: yang dalam rangkaian dan berkelanjutan dibangun oleh ucapan orang-orang
yang rasionya tidak dapat menerima bahwa mereka memiliki tujuan bersama dalam kebohongan;
dan apa yang dibawa oleh Utusan Tuhan. Otoritas yang diinvestasikan dengan kesepakatan
umum dalam jenis pertama dari berita yang benar, yang termasuk di dalamnya para sarjana,
saintis, dan orang-orang akan pengetahuan secara umum, dapat dipertanyakan dengan metode
rasio dan pengalaman. Tetapi otoritas jenis kedua akan berita yang benar, yang juga diafirmasi
oleh penerimaan umum, adalah absolut. Otoritas itu berpijak secara mendasar atas pengalaman
intuitif, yang dengannya kita memaksudkan baik dalam tatanan indera dan realitas inderawi, dan
dalam tatanan realitas transendental, seperti intuisi pada tingkatan yang lebih tinggi.
Bertentangan dengan posisi sains modern dan filsafat dalam memandang sumber dan
metode pengetahuan, kita mempertahankan bahwa sama halnya terdapat tingkatan akan rasio
dan pengalaman, begitu juga tingkatan otoritas dan intuisi. Terlepas dari otoritas orang-orang
sains dan pembelajar secara umum, tingkatan tertinggi otoritas dalam pandangan kita adalah
Qur’ān Suci dan Tradisi termasuk diri yang suci akan Nabi Suci. Mereka menampilkan otoritas
tidak hanya dalam pengertian bahwa mereka mengomunikasikan kebenaran, tetapi dalam
pengertian mereka menyusun kebenaran. Mereka menampilkan otoritas yang dibangun di atas
tingkatan yang lebih tinggi dari kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental
yang tidak dapat secara sederhana direduksi kepada tingkatan rasio dan pengalaman normal.
Kita mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’ dimana istilah ‘rasional’ ditandai
oleh istilah nātiq, yang menunjuk kepada fakultas bawaan pengetahuan yang menangkap makna
universal dan merumuskan makna. Perumusan makna ini, yang melibatkan putusan,
diskriminasi, dan klarifikasi, adalah apa yang menyusun rasionalitasnya. Istilah ‘rasional’ (nātiq)
dan ‘memiliki kekuatan merumuskan makna’ (dhū nutq) diturunkan dari akar sama yang
mengandung makna dasar ‘kemampuan berbicara’, dalam pengertian ucapan manusia, sehingga
keduanya menandakan kekuatan dan kapasitas tertentu yang merupakan bawaan pada manusia
98 Prolegomena
untuk mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbolis dalam pola yang bermakna. Dari akar
yang sama (nutq) juga diturunkan nama sains diskursus yang diketahui sebagai al-mantiq (cth.
logika), yang dibangun untuk konstruksi argumentasi, rumusan akan metode bantahan,
penemuan kesalahan, teori klasifikasi dan definisi, gagasan dasar akan silogisme, konsepsi akan
bukti dan demonstrasi, garis besar dari sebuah metode intelektual dalam pengejaran kebenaran.
Manusia adalah, sebagaimana disebutkan, ‘hewan yang berbahasa’ atau ‘hewan yang berbicara’
(al-hayawān al-nātiq); dan artikulasi simbol linguistik menjadi pola bermakna tidak lain dari
ungkapan bagian ke-luar (outward), terlihat, dan terdengar dari realitas bagian ke-dalam (inward)
dan tidak terlihat yang kita sebut intelek (al-’aql). Istilah ‘aql sendiri secara dasar menandakan jenis
‘ikatan’ atau ‘pegangan’, jadi dalam hal ini ‘aql menandakan entitas aktif dan sadar yang mengikat
dan memegang objek pengetahuan dengan kata-kata atau bentuk simbolis; dan ‘aql menunjukkan
realitas yang sama yang ditunjuk oleh istilah ‘hati’ (qalb), ‘ruh’ (rūh), dan ‘diri’ (nafs). Entitas atau
realitas aktif dan sadar ini memiliki banyak nama sebagaimana yang diidentifikasi oleh empat
istilah di atas karena memiliki banyak modus dalam hubungannya dengan pelbagai tingkatan
eksistensi. Maka, intelek adalah substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenali
kebenaran dan membedakan kebenaran dari kepalsuan. Intelek merupakan realitas yang
mendasari definisi manusia, dan ditunjukkan oleh setiap orang ketika dia berkata “Aku”.
Dalam mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’, dimana kita memaksudkan
dengan rasional sebagai kapasitas kecerdasan untuk menangkap makna universal, kekuatan
ungkapan linguistik, kekuatan yang bertanggungjawab untuk perumusan makna — yang
melibatkan tindakan putusan, diskriminasi, pemilahan dan klarifikasi, dan artikulasi bentuk
simbol dalam pola yang bermakna — makna akan ‘makna’ (ma’nā) adalah pengenalan akan
tempat segala hal dalam sistem. Pengenalan muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain
dalam sistem tersebut menjadi jelas dan dipahami. Hubungan tersebut menggambarkan tatanan
tertentu dalam pengertian prioritas dan posterioritas maupun dalam pengertian ruang dan posisi.
Makna merupakan sebuah bentuk intelijibel (intelligible) yang padanya sebuah kata, sebuah
ungkapan, atau simbol digunakan untuk menunjuknya. Ketika kata, ungkapan, atau simbol
tersebut menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq) makna disebut pemahaman (mafhūm). Sebagai
sebuah bentuk intelijibel yang dibentuk dalam jawaban terhadap pertanyaan “apakah itu?”
makna disebut ‘esensi’ (māhiyyah). Dipertimbangkan sebagai sesuatu yang berada di luar pikiran,
atau secara objektif, makna disebut ‘realitas’ (haqīqah). Dilihat sebagai realitas khusus yang
berbeda dari yang lain, makna disebut ‘individualitas’ atau ‘eksistensi individual’ (huwiyyah).
Dengan demikian apa yang menyusun makna, atau definisi dari makna, adalah pengenalan
tempat segala hal dalam sistem, yang muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam
sistem menjadi jelas dan dipahami.107
Kita katakan bahwa hubungan tersebut menggambarkan tatanan tertentu. Jika segala hal
dalam sistem apapun terdapat dalam tempat yang sama, maka tidak akan ada pengenalan, tidak
akan ada makna karena tidak ada kriteria relasional bagi putusan, diskriminasi, pembedaan, dan
kejelasan. Tentu saja, tidak akan ada sistem. Karena untuk memungkinkan pengenalan harus ada
perbedaan spesifik dalam hal-hal, harus ada hubungan esensial antar hal-hal dan, lebih lanjut, hal
tersebut harus tetap sedemikian; karena jika perbedaan dan hubungan tersebut tidak tetap tetapi
dalam kondisi perubahan terus-menerus secara spesifik dan esensial, maka pengenalan terhadap
hal-hal akan menjadi mustahil dan makna akan hilang.
Dengan demikian dalam hal ini kita lihat bahwa hubungan intrinsik antara makna dan
pengetahuan telah menjadi jelas, bahwa pengetahuan terdiri dari unit-unit makna yang secara
koheren terhubung dengan unit lain yang serupa sehingga membentuk gagasan, ide, konsep,
107 Lihat karya saya The Concept of Education in Islām, (op.cit); hlm. 15.
99 Prolegomena
konsepsi, dan putusan. Pemikiran (al-fikr) adalah pergerakan jiwa menuju makna, dan hal ini
membutuhkan imajinasi (al-khayāl). Intuisi, yakni, baik dalam pengertian kebijaksanaan (al-hads),
atau dalam pengertian pengalaman iluminatif (al-wijdān), adalah tibanya jiwa pada makna, atau
tibanya makna pada jiwa, baik dengan penerimaan melalui bukti seperti dalam kasus
sebelumnya, atau datang dengan sendirinya seperti dalam kasus yang kemudian.
Definisi manusia sebagai hewan rasional merupakan sebuah definisi yang meletakkan
sebuah batas yang tepat dan singkat (hadd) yang menspesifikasi karakter yang terpilah dari apa
yang didefinisikan sebagai manusia. Jenis definisi yang sama tidak dapat diperoleh untuk
pengetahuan sebab pengetahuan secara alamiah menentang jenis pembatasan yang
mendefinisikan kategori-kategori di dalam pembagian genus dan perbedaan spesifik.
Pengetahuan merupakan sesuatu yang tak terbatas dan definisinya hanya dapat menyentuh
deskripsi sifat-dasarnya (rasm). Kita sudah mendefinisikannya sedemikian rupa sebagai terdiri
dari unit-unit makna yang secara koheren terhubung pada unit lain yang serupa yang
membentuk ide, konsep, konsepsi, dan putusan. Karena kita telah mendefinisikan makna sebagai
pengenalan akan tempat segala hal dalam sistem, kita kini menambahkan bahwa dengan ‘tempat’
kita menunjuk kepada ‘tempat yang tepat’ dalam pelbagai tingkatan eksistensi manusia.
Eksistensi manusia dapat dipertimbangkan memiliki perbedaan tingkatan yang berhubungan
dengan pelbagai lingkungan operasi dari indera eksternal dan internal. Hal tersebut merupakan
eksistensi sejati (haqīqī), yang merupakan eksistensi pada tingkatan realitas objektif seperti dunia
eksternal; eksistensi inderawi (hissi), yang terkurung pada fakultas indera dan pengalaman
inderawi termasuk mimpi, visi, ilusi; eksistensi imajiner (khayāli), yang merupakan eksistensi
objek-objek eksistensi inderawi dalam imajinasi ketika mereka absen dari persepsi manusia;
eksistensi intelektual (‘aqlī), yang terdiri dari konsep abstrak dalam pikiran manusia; eksistensi
analogis (shibhī), yang disusun oleh hal-hal yang tidak ada dalam tingkatan manapun seperti di
atas, tetapi yang ada sebagai sesuatu yang lain menyerupai hal tersebut pada sisi tertentu, atau
analogis dengan mereka. Tingkatan ini dapat juga dipertimbangkan berhubungan dengan
lingkungan operasi dari fakultas diskursif dan kogitatif (fikri) dari jiwa. Pada setiap tingkatan
tersebut persepsi manusia akan objek persepsinya tidaklah sama. Dalam tambahan pada
tingkatan tersebut kita mengafirmasi eksistensi tingkatan lain daripada kebenaran rasional;
sebuah tingkatan eksistensi suprarasional atau transendental yang dialami oleh para nabi dan
wali Tuhan dan orang-orang berpandangan tajam yang secara mendalam berakar dalam
pengetahuan. Level yang terakhir ini merupakan tingkatan eksistensi suci, dimana hal-hal
ditangkap sebagaimana adanya. Maka, konsep ‘tempat yang tepat’, menyentuh pada semua
tingkatan dari eksistensi manusia tersebut, yang meliputi wilayah ontologis, kosmologis, dan
psikologis, dan termasuk manusia sendiri dan dunia hal-hal empiris sebagaimana juga aspek
keagamaan dan etis dari eksistensi manusia. Tempat yang ‘tepat’ berarti tempat ‘sejati’ dan ‘benar’
sebagaimana ditunjuk istilah haqq. Haqq menandakan baik realitas dan kebenaran. Sebagai realitas
haqq itu menunjuk sebuah kondisi ontologis; sebagai kebenaran hal itu menunjuk pada kondisi
logis; dan haqq menunjuk sebuah putusan atau hukm yang menyesuaikan dengan realitas atau
situasi sesungguhnya.
Salah satu perbedaan mendasar antara posisi kita dan filsafat dan sains modern
menyangkut pada problem perumusan filsafat sains seputar pemahaman makna realitas dan
kebenaran dan hubungannya dengan fakta. Pemahaman terhadap apa yang ditunjuk istilah tersebut
memiliki ketegasan mendalam pada pemahaman makna pengetahuan dan proses metodologis
dan nilai, dan secara mendasar pada pemahaman sifat-dasar manusia itu sendiri.
Kita menggunakan satu kata untuk memaksudkan secara umum baik realitas dan
kebenaran, dan fakta ini pada dirinya merupakan sesuatu yang penting dalam mengandung
100 Prolegomena