pemahaman kita akan makna kebenaran bukan hanya sebagai bagian dari pernyataan,
kepercayaan-lemah dan putusan, tetapi juga sebagai sebuah bagian dari sifat-dasar realitas. Kata
haqq digunakan baik untuk realitas dan kebenaran. Lawannya adalah bātil, bermakna non-realitas
atau kepalsuan. Haqq bermakna kecocokan terhadap kebutuhan akan kebijaksanaan, keadilan,
kebetulan (rightness), kebenaran, realitas, kesopanan. Haqq merupakan sebuah kondisi, kualitas
atau bagian dari menjadi bijaksana, adil, betul, benar, sejati, tepat; haqq merupakan kondisi
niscaya, tidak terhindarkan, wajib, hak; haqq merupakan kondisi eksistensi dan meliputi segala
hal. Terdapat kata lain, sidq, yang bermakna kebenaran, yang lawannya adalah kidhb yang
bermakna tidak benar atau dusta, yang ditujukan hanya tentang kebenaran yang menyentuh
pernyataan atau ucapan kata-kata; sedangkan kata haqq tidak hanya menunjuk pada pernyataan,
tetapi juga pada tindakan, perasaan, kepercayaan-lemah, putusan, dan hal-hal dan peristiwa
dalam eksistensi. Hal-hal dan peristiwa tersebut yang ditunjuk haqq menyentuh tidak hanya
kondisi mereka yang sekarang, tetapi juga pada masa lalu mereka maupun kondisi masa depan.
Menyentuh pada kondisi masa depan haqq bermakna verifikasi, realisasi, aktualisasi. Tentu saja,
makna haqq yang dipahami meliputi realitas dan kebenaran yang menyentuh kondisi eksistensi
adalah berkaitan dengan fakta bahwa haqq adalah salah satu dari nama-nama Tuhan yang
menggambarkan diri-Nya sebagai eksistensi absolut yang merupakan realitas eksistensi dan
bukan konsep eksistensi.
Bagi kebanyakan orang, sifat-dasar eksistensi dan hubungannya untuk memisahkan
realitas yang beragam namun serupa yang kita sebut ‘hal’ adalah eksistensi yang merupakan
konsep umum, konsep abstrak yang umum bagi semua eksistensi, yakni, bagi setiap hal dan pada
apapun tanpa kecuali. Pikiran, ketika memandang realitas eksternal yang kita sebut ‘hal’, dapat
mengabstraksikan mereka pertama kali dari eksistensi dan kemudian memberi predikat eksistensi
pada mereka. Oleh karena itu pikiran menghubungkan pada suatu hal yang dipertimbangkan
sebagai bagian dari eksistensi. Maka eksistensi dipandang sebagai sesuatu yang ditambahkan,
aksidental, dan berada dalam hal-hal. Dalam proses mental ini, konsep yang tunggal, umum,
abstrak menjadi majemuk dan secara rasional dibagi menjadi bagian-bagian yang berhubungan
dengan hal-hal. Eksistensi hal-hal merupakan bagian-bagian tersebut, dan bagian-bagian tersebut,
bersama dengan konsep umum dan abstrak dari eksistensi, merupakan sesuatu yang eksternal
bagi ‘esensi’ hal-hal dan hanya secara mental ditambahkan kepada mereka. Menurut perspektif
ini, eksistensi merupakan sesuatu yang murni konseptual, sedangkan esensi adalah sesuatu yang
nyata; esensi-esensi merupakan realitas yang diaktualisasikan secara ekstramental. Tetapi kita
katakan lebih lanjut dalam tambahan pada konsep eksistensi tersebut bahwa terdapat entitas lain
yang merupakan realitas akan eksistensi, yang dengannya eksistensi sebagai konsep murni
menjadi bagian yang alamiah dalam pikiran sebagai salah satu akibatnya. Eksistensi sebagai
realitas, tidak seperti bagian konseptualnya, bukanlah sesuatu yang statis; eksistensi secara terus
menerus melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan dinamis akan swa-pengungkapan
ontologis, yang mengartikulasikan kemungkinan dalamannya (inner) yang tidak terbatas dalam
gradasi dari kurang menentukan hingga semakin menentukan sampai eksistensi muncul pada
tingkatan bentuk konkret, seperti eksistensi partikular yang kita pandang sebagai ‘hal-hal’ yang
banyak dan beranekaragam yang memiliki ‘esensi’ individual terpisah yang tidak lain merupakan
modus dan aspek dari realitas eksistensi. Dari perspektif ini, esensi hal-hal tidak lain dari sebuah
entitas yang hanya dalam konsep, sedangkan eksistensi hal-hal merupakan sesuatu yang nyata.
Tentu saja, esensi sejati dan benar dari hal-hal adalah eksistensi sebagaimana diindividuasikan ke
dalam modus partikular. Realitas eksistensi inilah yang telah kita identifikasi di atas sebagai
meliputi-semua Realitas atau Kebenaran (al-haqq), dengan mana Tuhan sebagai yang absolut
disebut dalam semua bentuk manifestasi tersebut.
101 Prolegomena
Karena filsafat modern dan sains telah kemudian menyadari sifat-dasar mendasar
fenomena adalah proses, nama-nama deskriptif yang telah digunakan para filsuf dan saintis
untuk menghubungkan dengan proses harus juga merefleksikan dinamisme yang terlibat dalam
inti gagasan proses. Mereka telah menggunakan nama seperti ‘kehidupan’ atau ‘impuls vital’,
atau ‘energi’, menyiratkan pergerakan, perubahan, proses-menjadi (becoming) yang merupakan
hasil dari peristiwa dalam ruang-waktu. Pemilihan nama-nama tersebut sebagai deskripsi
manifestasi realitas sebagai proses oleh mereka merupakan sebuah tanda bahwa mereka
mempertimbangkan eksistensi, tidak seperti kehidupan, impuls vital, atau energi, yang hanya
sebagai sebuah konsep; dan hanya sebagai konsep eksistensi tentu sesuatu yang statis, yang
secara jelas mendiskualifikasinya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses. Dalam
pengertian ini, rumusan mereka terhadap filsafat sains, dalam kontradiksi dengan posisi mereka
bahwa realitas yang mendasari fenomena adalah proses, tetap berputar di dalam lingkungan
sebuah pandangan-dunia esensialistik, sebuah pandangan-dunia yang asyik dengan ‘hal’ sebagai
‘esensi’ independen dan berada, dan terhadap peristiwa, hubungan, dan konsep yang menyentuh
pada hal-hal tersebut, yang membuat hal-hal tersebut menunjuk pada diri mereka sebagai realitas
tunggal, dan bukan pada Realitas lain yang di luar mereka baik memasukkan sebagaimana juga
mengecualikan mereka. Posisi kita adalah bahwa apa yang sungguh-sungguh sebagai deskripsi
sifat-dasar mendasar fenomena sebagai proses adalah ‘eksistensi’ sebab hanya eksistensi, baik
dipahami sebagai konsep sebagaimana juga realitas, adalah entitas paling dasar dan universal
yang kita ketahui. Benarlah bahwa eksistensi yang dipahami sebagai konsep merupakan sessuatu
yang statis dan tidak berhubungan dengan proses. Tetapi kita mempertahankan bahwa eksistensi
bukanlah hanya sebuah konsep tapi juga sebuah realitas: eksistensi bukan hanya postulat dalam
pikiran, tetapi juga entitas nyata dan aktual yang independen dari pikiran. Eksistensi merupakan
sesuatu yang bersifat dinamis, aktif, kreatif, dan mengandung banyak kemungkinan yang tak
terbatas akan swa-pengungkapan ontologis; eksistensi merupakan sebuah aspek dari Tuhan yang
muncul dari sifat-dasar intrinsik dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan oleh karena itu
merupakan sebuah entitas ‘sadar’ yang bertindak berdasarkan cara Tuhan biasa bertindak (sunnat
Allāh). “Hukum alam” yang biasa disebut pada kenyataannya merupakan kebiasaan Tuhan dalam
bertindak, dan dipahami seperti demikian, “hukum” tersebut tidak lagi terlihat secara ketat
karena kini terbuka pada kemungkinan yang tak terbatas. Maka eksistensi merupakan bahan
pokok dan mendasar dari realitas, sedangkan kehidupan, impuls vital, atau energi dan istilah lain
yang serupa yang digunakan oleh para filsuf dan saintis untuk menggambarkan entitas mendasar
tersebut, yang merupakan realitas yang mendasari sifat-dasar hal-hal, semuanya itu sekunder
terhadap eksistensi karena mereka semua adalah seperti bagian-bagian atau sifat-sifat dari
eksistensi.
Ketika kita katakan bahwa haqq menunjuk baik apa yang nyata dan yang benar, kita
mengatakan bahwa haqq memiliki sebuah aspek menyentuh pada yang nyata dan aspek yang
menyentuh pada yang benar dalam pengertian bahwa yang nyata menunjuk pada yang ontologis
dan yang benar pada tatanan logis dari eksistensi. Haqq yang bermakna ‘nyata’ ditujukan pada
realitas eksistensi maupun sebagai modus-modus dan aspek-aspeknya yang kita pahami sebagai
‘peristiwa’ dan ‘proses’; yang bermakna ‘benar’, haqq menunjuk pada putusan menyesuaikan
dengan realitas eksternal yang muncul sebagai ‘hal-hal’ dari peristiwa atau proses. Penyesuaian
ini melibatkan korespondensi dan koherensi tertentu antara tindakan intelektual akan putusan
dan realitas eksternal yang sedang diterima. Seperti kita katakan sebelumnya dalam hubungan
dengan persepsi, realitas yang menyusun dunia eksternal tidak secara langsung atau segera
diberikan dalam pengalaman, tetapi merupakan abstraksi terhadap mereka dalam pelbagai
derajat yang ditampilkan oleh indera eksternal dan internal, dan diubah menjadi pengetahuan
102 Prolegomena
tentang dunia eksternal dengan konstruksi intelektual. Maka pengetahuan konseptual kita
berhubungan dengan informasi yang dikandung kesadaran atau jiwa kita oleh indera-indera; dan
konsepsi kita akan realitas-realitas eksternal ada dalam hubungan koherensi dalam sebuah sistem
hubungan konseptual yang sudah dicetak pada jiwa yang membawa pada kita visi akan sifat-
dasar Realitas. Posisi kita adalah bahwa korespondensi dan koherensi akan sifat-dasar kebenaran
harus memenuhi kondisi bersamaan dengan keperluan akan kebijaksanaan dan keadilan.
Kebijaksanaan adalah pengetahuan yang diberikan Tuhan yang membuat penerimanya
mengetahui tempat yang tepat, atau membuat putusan yang tepat terhadap tempat yang tepat
dari hal atau objek pengetahuan. Keadilan adalah kondisi ketika hal atau objek pengetahuan ada
di tempat mereka yang tepat. Dengan demikian untuk hal tersebut menjadi benar, korespondensi
dan koherensi harus bersamaan dengan tempat yang tepat. Gagasan tempat yang benar atau tepat
melibatkan keniscayaan bagi setiap hal dalam tatanan ciptaan untuk ada dalam kondisi tersebut
— yakni, disebarkan dalam tatanan tertentu dalam pengertian prioritas dan posterioritas maupun
dalam pengertian ruang dan posisi dan diatur berdasarkan pelbagai tingkatan dan derajat. Secara
ontologis, hal-hal ciptaan sudah diatur, tetapi manusia, karena kebodohan terhadap tatanan yang
adil meliputi semua ciptaan, membuat perubahan dan kebingungan akan tempat hal-hal sehingga
muncul ketidakadilan. Ketidakadilan adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya yang
tepat; ketidakadilan merupakan kondisi tidak mencukupi atau melampaui batas tempat yang
tepat sehingga tatanan umum hal-hal menjadi tidak harmonis. Tentu saja, inti makna ‘tepat’ juga
termasuk dalam haqq, karena juga menunjuk pada yang dimiliki seseorang; haqq merupakan
bagian yang tepat atau spesifik yang sesuai dengan sifat-dasar atau susunan esensial seseorang,
bagi diri sendiri; haqq merupakan sesuatu yang inheren, sebuah bagian, dan sifat esensial. Maka
tempat dari seorang, hal, dan objek pengetahuan tidak hanya menunjuk pada lokasi atau ruang
spesifik yang ditempati oleh orang, hal, objek pengetahuan; haqq juga merupakan posisi alamiah,
posisi yang sesuai pada alam, baik dalam dunia eksternal maupun dalam imajinasi dan pikiran,
akan orang tersebut, hal, objek pengetahuan. Oleh karena itu kita tidak setuju, bahwa
pengetahuan hanya menyentuh fenomena; bahwa kebenaran hanya sifat dari pernyataan atau
kalimat deklaratif, atau kepercayaan-lemah dan putusan darimana pernyataan tersebut
diturunkan dan yang tergantung dengan hubungan akan kepercayaan-lemah atau putusan
tersebut pada beberapa fakta; bahwa fakta itu netral dalam hubungan dengan kebenaran dan
kepalsuan. Kita mempertahankan bahwa kebenaran juga merupakan bagian dari sifat-dasar hal-
hal sejauh mereka sesuai dengan kecocokan pada keperluan akan kebijaksanaan dan keadilan,
yakni, pada keperluan kondisi dalam tempat mereka yang benar dan tepat. Dan ini tidak
bermakna bahwa kebenaran itu hanya sebuah hubungan pernyataan atau putusan kepada fakta,
yang akan membuat fakta menjadi sepadan dengan kebenaran. Meskipun sebuah kalimat dapat
benar jika ditujukan kepada fakta, keberadaan fakta itu sendiri tidak serta merta membuat fakta
menjadi sebuah kebenaran. Kebenaran tidak sekedar kesesuaian dengan fakta sebab fakta dapat
diciptakan manusia dan dengan demikian tidak berada di tempatnya yang tepat, yang bermakna
bahwa fakta dapat salah. Kenyataan bahwa fakta dapat diciptakan manusia mengonfirmasikan
kebenaran penolakan kita akan kenetralan fakta dalam hubungan dengan kebenaran dan
kepalsuan, karena inti eksistensi fakta itu sendiri tergantung pada nilai yang berada pada
pandangan-dunia partikular dari pencipta mereka. Maka kebenaran yang melibatkan sebuah
hubungan dan koherensi tertentu tidak kita maksudkan sekedar sebuah hubungan pemikiran,
gagasan, atau kepercayaan-lemah dengan fakta, kecuali fakta tersebut dalam tempatnya yang
tepat, yakni, kecuali fakta itu sesuai di dalam sistem integratif akan kebenaran yang saling-
berhubungan sebagaimana dimengerti jiwa. Tempat yang tepat dari manusia, contohnya, adalah
bahwa dia harus dipertimbangkan baik sebagai entitas spiritual dan fisik; bahwa dia merupakan
103 Prolegomena
makhluk hidup yang memiliki fakultas dalaman akan pengetahuan yang menangkap makna dari
universal; yang memiliki kekuatan dan kapasitas mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbol
dalam pola yang bermakna; dia merupakan ruh, jiwa, hati dan intelek yang termanifestasi dalam
bentuk jasmani, dan ruh, jiwa, hati dan inteleknya menunjuk pada realitas yang satu dan sama
yang dinamakan dengan banyak nama karena modusnya yang banyak dalam hubungan dengan
pelbagai tingkatan eksistensi yang meliputi wilayah spiritual dan fisik. Realitas dan kebenarannya
(haqq) berlaku untuk kedua wilayah tersebut. Tetapi jika kita telah tersekularisasi sepenuhnya, jika
kita mempertimbangkan hanya sebagai sesuatu yang fisik, seekor hewan yang berbeda dari
hewan yang lain hanya dalam derajat dan bukan dalam jenis, maka dia tidak akan pada
kenyataannya dipertimbangkan pada tempatnya yang tepat. Dan proposisi saintifik tertentu yang
menyentuh padanya yang dengan demikian dipertimbangkan, seperti yang muncul dari
pernyataan dan kesimpulan umum dari rekayasa genetik, contohnya, meskipun didukung
dengan bukti empiris, namun salah sebab mereka melayani premis-premis yang berdasarkan
interpretasi yang salah terhadap sifat-dasar manusia, yang pada gilirannya tergantung pada
sistem salah yang diakui untuk mendukung menggambarkan tatanan yang benar dari realitas.
Untuk makna haqq sebagai realitas, istilah tepat yang digunakan untuk menunjuk realitas
adalah haqīqah, yang diturunkan dari haqq. Pemilahan antara haqq dan haqīqah adalah bahwa yang
terdahulu menunjuk kepada kondisi, tatanan, atau sistem ontologis sebagaimana diketahui
dengan jalan intuisi; sedangkan yang kemudian menunjuk pada struktur ontologis, pada inti sifat-
dasarnya, makhluk atau diri suatu hal. Haqīqah atau realitas adalah yang dengannya suatu hal
adalah hal tersebut apa adanya (by which a thing is what it is). Kini bahwa yang dengannya suatu hal
adalah hal tersebut apa adanya memiliki aspek ganda; di satu pihak karena segala sesuatu
merupakan bagian dari realitas, maka realitas merupakan sesuatu yang umum pada segala sesuatu.
Sesuatu yang umum pada segala sesuatu ini adalah eksistensi. Dengan demikian salah satu dari
aspek ganda dari yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya adalah
‘sebagai/menjadi maujud’ dari hal tersebut. Aspek lain yang dengannya suatu hal adalah hal
tersebut apa adanya adalah ‘sebagai/menjadi-terpilah’nya dari yang lain. ‘Menjadi-maujud’
adalah umum bagi semua maujud dalam pelbagai tingkatan eksistensi, dan meskipun eksistensi
merupakan bahan dari realitas, bukanlah, berbicara secara ketat, keumuman yang membuat suatu
hal menjadi hal tersebut apa adanya; melainkan adalah ‘sebagai/menjadi-terpilah’ dari yang lain
yang membuat suatu hal menjadi hal tersebut apa adanya, karena hanya dengan sebab
keterpilahan realitas-realitas tersebut telah datang ke dalam eksistensi. Oleh karena itu sifat-dasar
mendasar dari realitas adalah perbedaan.
Eksistensi (wujūd, dari wujida bentuk pasif dari wajada) menunjuk sesuatu yang ditemukan,
disibak, diterima, diketahui, diinderai — dengan indera eksternal dan internal atau intelek, atau
hati. Karena eksistensi sebagai realitas merupakan bahan penciptaan yang darinya hal-hal
menjadi ada, bentuk lain dari kata tersebut (ījād) menunjuk sesuatu yang dieksistensiasikan,
diciptakan, diasalkan. Karena kenyataan bahwa eksistensilah yang meliputi segala sesuatu,
eksistensi tersebut swa-mencukupi dalam keabadian yang melimpah ruah, dan ini berarti tidak
sedang dalam keinginan, atau kebutuhan, yang ditunjuk namun dengan bentuk lain (wājid).
Ketika dengan intuisi yang lebih tinggi seseorang kemudian menemukan realitas yang ada,
‘penemuan’ eksistensi ini disebut wijdān, yang kita katakan sebelumnya menunjuk pada intuisi
akan eksistensi. Jadi ketika kita menunjuk sebagaimana di atas pada aspek dari yang dengannya
suatu hal adalah hal tersebut apa adanya sebagai ‘sebagai/menjadi-maujud’nya, ‘sebagai/menjadi-
maujud’ dari suatu hal tidak seharusnya diinterpretasikan sebagai menunjuk sesuatu yang hanya
ada secara aktual atau mutakhir dalam dunia eksternal; tetapi juga menunjuk kategori eksistensi
tersebut dalam kondisi interior realitas eksistensi yang secara berkelanjutan membentangkan
104 Prolegomena
dirinya sendiri dalam gradasi menjadi hal-hal yang kita lihat dan pegang. Eksistensi bermakna
memiliki tempat dalam tatanan realitas. Karena eksistensi yang dipartikularisasi sebagai ‘sebagai/
menjadi maujud’ dari suatu hal merupakan salah satu dari aspek ganda realitas, penunjukkan
akan ‘tempat’, ketika kita katakan bahwa eksistensi itu berarti memiliki tempat dalam tatanan
realitas, maka merupakan ‘sebagai/menjadi maujud’ dari suatu hal. Tatanan realitas, menurut kita
dan dalam pengertian yang sudah disebutkan, tidak dapat dibatasi kepada dunia fenomena, atau
dunia hal-hal empiris dalam alam indera dan pengalaman inderawi.
Ketika kita mendefinisikan pengetahuan sebagai mengandung unit-unit makna yang
secara koheren terhubung pada unit lain yang serupa dengan demikian membentuk ide, konsepsi,
dan putusan; dan kita mendefinisikan makna sebagai pengenalan akan tempat segala hal dalam
sistem yang muncul ketika hubungan suatu hal dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan
dipahami, kita mengerti bahwa hubungan atau jaringan hubungan seperti itulah yang
menentukan pengenalan kita akan tempat suatu hal yang tepat dalam sistem. Dengan ‘sistem’ kita
menunjuk pada jalur yang tidak hanya pada sistem awal dan parsial di dalam sebuah jaringan
sistem yang saling-berhubungan, tetapi akhirnya juga pada sistem pokok dan ontologis skala-
besar sebagai suatu keseluruhan. Kita dalam persetujuan bersama bahwa semua pengetahuan itu
datang dari Tuhan, dan cara kedatangannya dan indera-indera dan fakultas-fakultas yang
menerima dan menafsirkannya secara terpilah tidak sama. Karena semua pengetahuan dari
Tuhan, dan diinterpretasikan oleh jiwa melalui fakultas fisik dan spiritual atau kecerdasan, maka
definisi epistemologisnya akan menjadi bahwa pengetahuan, dengan referensi pada Tuhan
sebagai sumber asalnya, adalah tibanya makna pada jiwa; dan dengan referensi jiwa sebagai
penerima aktif dan penafsirnya, pengetahuan adalah tibanya jiwa pada makna. Dunia alam
seperti digambarkan Qur’ān Suci tersusun dari bentuk simbolik (āyāt), seperti kata-kata dalam
sebuah buku. Tentu saja, dunia alam adalah bentuk Wahyu Ilahiyah yang lain yang analogis
dengan Qur’ān Suci itu sendiri, hanya saja buku yang besar dan terbuka dari alam merupakan
sesuatu yang diciptakan; alam menampilkan dirinya dalam kemajemukan dan bentuk beragam
yang mengambil eksistensi simbolik dengan sebab secara berkelanjutan diartikulasikan oleh kata
penciptaan dari Tuhan. Kini sebuah kata sebagaimana kata tersebut sungguh-sungguh ada
merupakan sebuah simbol, dan untuk mengetahuinya sebagaimana kata tersebut sungguh-
sungguh ada adalah mengetahui untuk apa ia berada, apa yang disimbolisasikan, apa maknanya.
Jika kita memandang sebuah kata seperti seolah-olah ia memiliki realitas independen dari dirinya
sendiri, maka kata tidak lagi menjadi sebuah tanda atau simbol selama dibuat menunjuk dirinya
sendiri, yang bukan merupakan apa yang sungguh-sungguh ada. Jadi, secara serupa dalam cara
mempelajari alam, akan segala hal, objek pengetahuan apapun di dunia hal-hal yang diciptakan,
jika ungkapan ‘sebagaimana ia sungguh-sungguh ada’ diterima bermakna diduga keras sebagai
realitas independen, secara esensial dan eksistensial, seolah-olah hal tersebut merupakan sesuatu
yang pokok dan swa-berada, maka studi semacam itu menghilangkan tujuan sejati dan
pengejaran pengetahuan menjadi penyimpangan dari kebenaran, yang secara niscaya
memertanyakan keabsahan pengetahuan demikian. Karena sebagaimana sesuatu sungguh-
sungguh ada adalah sesuatu yang lain dari apa hal tersebut adanya, dan yang ‘lain’ itu adalah apa
maknanya. Dengan demikian dengan cara yang sama mempelajari kata-kata sebagai kata-kata akan
mengarah kepada penyimpangan dari kebenaran yang mendasari mereka, keasyikan dalam
filsafat dan fisika dengan hal-hal sebagai hal-hal memimpin pada kesalahan, akan rasio sehat yang
percaya pada eksistensi mereka di luar pikiran sebagai kumpulan partikel secara terus menerus
melewati periode tertentu dan bergerak dalam ruang, seolah-olah partikel tersebut merupakan
materi pokok dari dunia. Sedangkan pada kenyataannya bahan dari ‘materi’ terdiri dari rangkaian
peristiwa (a’rād, tunggal. ‘arad), dan fenomena fisik merupakan proses yang setiap rinciannya
105 Prolegomena
tidak sinambung (diskontinu). Maka suatu hal seperti kata pada kenyataannya secara pokok
merupakan sebuah tanda atau simbol, dan tanda atau simbol merupakan sesuatu yang nampak
dan tidak terpisahkan dari suatu hal lain yang tidak sama-sama muncul, dengan sedemikian rupa
ketika yang terdahulu diterima, yang lain, yang tidak dapat diterima dan yang merupakan salah
satu kesulitan sebagai yang terdahulu, menjadi diketahui. Itulah mengapa kita mendefinisikan
pengetahuan secara epistemologis sebagai tibanya dalam jiwa akan makna dari suatu hal, atau
tibanya jiwa pada makna dari suatu hal. ‘Makna akan sesuatu’ berarti makna yang benar darinya,
dan apa yang kita pertimbangkan sebagai makna yang ‘benar’ yang ada dalam pandangan kita
ditentukan sistem konseptual Qur’āni. Dengan demikian frase-frase yang kita gunakan
sebelumnya, seperti ‘tatanan yang benar dari realitas’, ‘tatanan yang adil meliputi semua ciptaan’,
‘tingkatan dan derajat’, dan ‘tatanan umum dari hal-hal yang diciptakan’ dalam referensi kita
pada ‘sistem’ hubungan konseptual dimana ‘tempat yang tepat’ akan hal-hal menjadi dikenali,
tidak lain menunjuk kepada sistem konseptual Qur’āni. Korespondesi dan koherensi sebagaimana
kita pahami dalam hubungan dengan realitas dan kebenaran menunjuk pada tempat yang tepat
dalam kasus terdahulu dan pada sistem Qur’ān dalam kasus yang kemudian.
Pengetahuan tidak terbatas sebab objek pengetahuan itu tanpa batas. Tetapi ada sebuah
batas kebenaran dalam setiap objek pengetahuan, sehingga pengejaran pengetahuan sejati
bukanlah sebuah pencarian tanpa akhir. Jika penelusurannya menjadi tanpa akhir, maka akan
menjadi mustahil mencapai pengetahuan dalam sejengkal waktu yang memiliki awal dan akhir,
dan akan membuat pengetahuan itu sendiri menjadi tidak bermakna. Pengetahuan akan
kebenaran tentang dunia hal-hal empiris dapat sungguh dicapai dan ditingkatkan melalui
penelusuran yang dibuat oleh generasi manusia. Tetapi pengetahuan sejati memiliki ketegasan
langsung pada manusia individu karena menyentuh identitas dan takdirnya, dan dia tidak dapat
menunda putusan terhadap kebenaran pengetahuan tersebut tidak seperti sesuatu yang akhirnya
dapat ditemukan oleh generasi di masa depan. Itulah mengapa krisis kebenaran muncul dalam
setiap generasi menyentuh pada pengetahuan sejati, dan krisis kebenaran ini sebelumnya
mungkin tidak begitu akut sebagaimana dalam masa kita. Filsafat modern dan sains tidak mampu
memberikan jawaban meyakinkan pada pertanyaan permanen tentang kebenaran. Perwakilan
mereka mencoba menjelaskan hanya ‘perspektif kebenaran’ dari zaman ketika krisis kebenaran itu
muncul, dan dengan demikian melepaskan kebenaran dari objektifitasnya. Seseorang tidak dapat
mengubah, menambahkan, maupun menghiasi kebenaran sehingga dapat menjadi lebih benar,
maupun seseorang dapat mengurangi darinya; dalam kasus yang lain kebenaran tidak akan
menjadi kebenaran, tetapi adalah kesalahan. Kebenaran secara tepat adalah dirinya sendiri, tidak
lebih atau kurang. Karena pada setiap kebenaran terdapat sebuah batas yang benar terhadap
kebenaran tersebut; pengetahuan akan batas itu adalah kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan
setiap kebenaran ditugaskan pada maknanya yang tepat yang tidak kurang maupun
melampauinya. Terdapat batas akan kebenaran dalam setiap objek pengetahuan, dan setiap objek
pengetahuan memiliki batas kebenaran yang berbeda, beberapa lebih sukar dikenali dan sulit
untuk ditemukan dari yang lain, sehingga dalam usaha kita yang terus menerus untuk
menemukan mereka tidak ada pertanyaan akan pembatasan penelusuran, yang tujuannya,
dibimbing oleh kebijaksanaan, adalah untuk mengetahui batas tersebut. Oleh karena itu
pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengenali batas kebenaran dalam setiap objeknya.
Qur’ān Suci sendiri berbicara tentang tanda-tanda dan simbol-simbolnya sebagai terdiri
dari sebagian yang jelas dan mapan (al-muhkamāt), dan sebagian darinya ada yang tidak jelas dan
ambigu (al-mutashābihāt). Dalam hubungan dengan tanda-tanda dan simbol-simbol dari Qur’ān
Suci, dunia fenomena juga terdiri dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang kita sebut ‘hal-hal’
yang jelas dan mapan dalam makna mereka, dan yang tidak jelas dan ambigu. Deteksi,
106 Prolegomena
penemuan, dan pengungkapan makna yang tersembunyi dari tanda-tanda dan simbol-simbol
ambigu dalam Qur’ān Suci disebut interpretasi alegoris (ta’wīl), dan hal ini berdasarkan
interpretasi dari sesuatu yang jelas (tafsīr). Dengan demikian, dalam cara yang sama bahwa
interpretasi akan teks yang tidak jelas dan ambigu harus berdasarkan sesuatu yang jelas dan
mapan, demikian juga interpretasi atau studi dan penjelasan akan ketidakjelasan dan aspek yang
ambigu dari hal-hal di dunia empiris harus berpijak pada apa yang sudah diketahui dan mapan.
Meskipun kita katakan bahwa beberapa dari hal-hal yang menyusun dunia empiris, dunia indera
dan pengalaman inderawi, adalah simbol-simbol yang maknanya jelas dan mapan, kejelasan dan
kemapanan mereka dipahami dengan sebab being mereka dipertimbangkan dalam makna mereka
yang nampak sebagaimana tiba dengan jalan rasio sehat. Tetapi karena mereka juga bersifat fisik
dalam alam, mereka semua secara umum ambigu sebab mereka muncul pada kesadaran kita
dengan menunjuk diri mereka sendiri, seolah-olah masing-masing memiliki realitas independen,
individual, dan swa-berada. Sebagai simbol-simbol mereka itu, pastinya, bukan sesuatu yang
tidak nyata, bukan hanya penampakan karakter ilusi; tetapi mereka hanya disediakan untuk
dimengerti sebagai sesuatu dalam hubungan mendalam dan tergantung dengan apa yang mereka
simbolisasi. Sebaliknya, dipertimbangkan sebagai hal-hal pada diri mereka sendiri, mereka adalah
tidak nyata, dalam pengertian mereka ada seperti itu hanya dalam pikiran, tidak memiliki realitas
yang berhubungan di dunia eksternal. Apa yang merupakan maujud dalam dunia eksternal dan
independen dari pikiran merupakan realitas-realitas dalam proses aktualisasi ke dalam bentuk-
bentuk partikular dan individual, yang merupakan modus-modus dan aspek-aspeknya dari
Realitas tunggal dan dinamis meliputi segalanya.
Andaikan kita berjalan-jalan dengan mobil dalam kegelapan malam berbadai menuju
tempat yang telah kita dengar tetapi kita belum pernah ke sana. Kemudian kita tiba di
persimpangan utama dengan banyak jalan menuju tempat yang berbeda. Di tengah persimpangan
terdapat penunjuk arah dengan banyak lengan dalam pelbagai ukuran yang menunjuk kepada
pelbagai arah yang menandai jalan menuju tempat yang berbeda. Penunjuk arah dan lengannya
dibuat secara sederhana dan di cat putih, dan di sepanjang papan penunjuk yang berfungsi
sebagai lengan digoreskan huruf tebal dan hitam akan nama tempat dan jarak relatif mereka dari
titik itu. Ketika mobil kita dapat mendekati dan lampunya menyinari penunjuk arah dan
lengannya yang banyak, kita segera sadar terhadap salah satu lengan yang menegaskan nama
tempat tujuan kita. Apa yang kita lakukan kemudian, jika kita hendak mengejar tujuan kita,
tentunya kita akan berpaling dari penunjuk arah tanpa ragu, dan mengikuti jalan menuju apa
yang tanda tersebut tuju. Kita akan melakukan ini karena tandanya itu jelas. Tetapi kini andaikan
penunjuk arahnya dibuat dengan keramik yang secara baik ditulis, dan lengan penunjuk dipahat
menjadi bentuk yang menawan dan indah, nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik dipahat
menjadi huruf dari emas murni dan dihiasi permata tulen yang jarang ditemui — akankah kita
kemudian mampu untuk mengikuti, tanpa banyak ragu dan berlambat-lambat, lengan penunjuk
yang akan menunjukkan kita jalan menuju tujuan kita; dan akankah kita kemudian mudah
berpaling dari penunjuk arah untuk mengikuti jalan yang diarahkan? Tentu saja, apa yang paling
mungkin terjadi dalam kasus ini adalah kita akan memberhentikan mobil dan bahkan keluar
dalam hujan dengan senter untuk melihat lebih dekat pandangan yang indah di hadapan kita.
Dan kita mungkin akan menghabiskan malam di mobil menunggu siang untuk penglihatan yang
lebih memuaskan. Tanda tersebut dalam kasus ini tidak jelas; ambigu, dan menunjuk dirinya
sendiri daripada menunjuk kepada objek yang inti eksistensinya bergantung padanya.
Apa yang telah kita katakan di atas seharusnya membuat jelas kepada kita bahwa sains
menurut Islām secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wīl atau interpretasi alegoris terhadap hal-
hal empiris yang menyusun dunia alam. Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya secara
107 Prolegomena
tetap pada tafsīr atau interpretasi akan penampakan atau makna yang jelas dari hal-hal dalam
alam. Makna mereka yang nampak dan jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam sistem
hubungan; dan tempat mereka menjadi nampak kepada pemahaman kita ketika batas kebenaran
dari arti mereka dikenali. Ta’wīl secara dasar bermakna mendapatkan makna mendasar dan
primordial dari sesuatu melalui proses inteleksi. Tetapi bahkan dalam kasus ini, terdapat hal-hal
yang makna pokoknya tidak dapat dipegang dengan intelek; dan mereka yang secara mendalam
berakar dalam pengetahuan yang menerima hal tersebut sebagaimana adanya melalui
kepercayaan-kuat yang benar yang kita sebut īmān. Hal ini merupakan posisi kebenaran: bahwa
terdapat batas makna dari hal-hal, dan tempat mereka secara mendalam terikat dengan batas arti
mereka.
Pembatasan bukanlah sebuah kekurangan. Indera internal dan eksternal kita dan fakultas
imajinasi dan kognisi semuanya memiliki kekuatan dan potensi terbatas, dengan masing-masing
diciptakan untuk mengandung dan memelihara informasi yang diperhatikannya dimana
untuknya itu telah ditetapkan. Terdapat tujuan pragmatis dalam pembatasan, karena dengannya
kita mampu menerima dan memahami objek pengetahuan dan gagasan tentang mereka dan
hubungan mereka sehingga kita dapat meletakkan pengetahuan akan hal-hal untuk kegunaan
yang bermanfaat. Jika kita memiliki indera yang kekuatannya tidak terbatas, seperti indera yang
dimiliki binatang tertentu, persepsi kita tentang hal-hal dalam kehidupan sehari-hari akan
berbeda; karena bukan hanya bentuk, tekstur, warna dan karakteristik lain tentang hal-hal akan
berbeda dengan apa yang secara normal kita terima, tetapi juga bahwa beberapa dari mereka
tidak akan ada sama sekali bagi kita, dan beberapa dari mereka tidak akan ada sama sekali, dan
dengan demikian mempengaruhi inti eksistensi kebudayaan dan peradaban manusia. Kemudian
lagi, jika kita memiliki mata yang kekuatannya semakin kurang dibatasi daripada binatang-
binatang tertentu; mata yang dapat menembus tabir fenomena seperti yang mereka yang dapat
melihat peristiwa dan proses yang mendasari dunia fenomena, maka bentuk hal-hal akan hilang
dari pandangan kita dan kita tidak mampu menurunkan dari mereka pengetahuan partikular
yang membimbing pada universal/semesta dan inti makna hal-hal akan hilang. Oleh karena itu
pengaturan batas pada saluran dan sumber dengan mana kita memperoleh pengetahuan
merupakan sebuah rahmat dan kasih sayang Tuhan dengan maksud agar kita mampu mengerti
makna objek-objek pengetahuan maupun untuk memahami Pencipta mereka.
Karena peran sains adalah sebagai deskripsi dari fakta, dan fakta yang mengalami
perubahan berkelanjutan dengan sebab realitas yang mendasari mereka merupakan proses,
kemudian aspek sekular dan filsafat modern dan sains akhirnya mempertimbangkan perubahan
sebagai sifat-dasar pokok realitas. Itulah mengapa sekularisasi sebagai program filosofis, dalam
usahanya untuk menghubungkan dengan realitas yang dipertimbangkan sebagai perubahan
absolut, mendukung perubahan dalam semua aspek kehidupan, lalu menolak kemapanan dalam
pandangan-dunia dan menyebarkan kepercayaan akan sebuah masa depan yang terbuka. Dengan
‘perubahan’, yang merupakan pergerakan melibatkan ruang dan waktu mengandaikan
keanekaragaman, para filsuf dan saintis biasanya memaksudkan perubahan akan tempat atau
posisi, atau perubahan kualitatif dan kuantitatif yang melibatkan perubahan abadi atau proses-
menjadi. Beberapa mempertahankan bahwa semua gerak itu relatif dan tidak ada gerak yang
absolut; dan beberapa percaya bahwa perubahan hanya berkaitan dengan persepsi psikologis.
Kepercayaan-lemah bahwa pengetahuan menyentuh hanya pada fenomena menyertakan
kepercayaan-lemah bahwa realitas merupakan perubahan. Kita tidak sepakat bahwa perubahan
hanya bersifat psikologis atau ‘subjektif’ karena kita mengakui bahwa pergerakan itu nyata. Posisi
kita bahwa perubahan itu sebuah realitas harus dipahami tanpa menyiratkan bahwa perubahan
itu absolut; karena kita mempertahankan bahwa realitas itu sekaligus permanensi dan perubahan,
108 Prolegomena
bukan dalam pengertian bahwa perubahan itu permanen, tetapi dalam pengertian bahwa
terdapat sesuatu yang permanen dengan mana perubahan itu muncul. Implikasi yang mendasari
konsep perubahan adalah keanekaragaman hal-hal yang menyusun dunia fenomena yang entah
bagaimana terus-menerus ada dalam eksistensi dan mengalami pergerakan atau perubahan. Kita
mempertahankan bahwa hal-hal fenomenal tidak tetap dalam eksistensi, tetapi binasa ketika
menjadi eksistensi, dimana secara berkelanjutan digantikan dengan yang baru dan serupa dalam
proses terus menerus. Pembinasaan akan hal-hal disebut, menurut ungkapan Qur’ān, hālik atau
fanā’; dan proses terus menerus akan pembaharuan, kembali menurut ungkapan Qur’ān, disebut
khalq jadīd — sebuah penciptaan yang baru. Maka dunia merupakan sesuatu yang selalu baru
(muhdats), dan hal itu sesuatu yang baru. Perubahan, kita katakan, muncul bukan pada tingkatan
hal-hal fenomenal, karena mereka selalu-binasa, tetapi pada tingkatan realitas mereka yang
terkandung dalam diri mereka semua kondisi masa depan mereka. Dalam pengertian ini
perubahan merupakan aktualisasi potensialitas yang inheren dalam realitas hal-hal yang,
sebagaimana mereka bentangkan isi mereka, memelihara identitas utuh mereka sepanjang waktu.
Dunia fenomena, kita katakan sebelumnya, merupakan proses yang setiap rinciannya tidak
sinambung. Ketidaksinambungan eksistensi dalam setiap rinciannya itu berkaitan dengan sifat-
dasar selalu-binasa dari fenomena yang digantikan dengan yang baru dan serupa.
Ketidaksinambungan dalam eksistensi juga melibatkan realitas yang mendasari semua fenomena;
tetapi sedangkan dunia fenomena itu selalu-baru, realitas-realitas tersebut berubah namun tetap
sama. Perubahan mereka merupakan pembentangan kondisi potensial mereka yang melibatkan
ketidaksinambungan eksistensial pada setiap kondisi aktualisasi; keadaan mereka yang tetap
sama merupakan perolehan kembali identitas mereka. Dengan demikian realitas merupakan
selalu-memperoleh kesinambungan dalam eksistensi, sementara modus fenomena dan aspek
mereka binasa saat aktualisasi. Kesinambungan selalu-memperoleh ini dalam eksistensi disebut,
menggunakan ungkapan Qur’ān yang lain, baqā’. Aspek ganda realitas — permanensi dan
perubahan — mengandaikan kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi, dan
kategori metafisis ketiga ini adalah alam entitas permanen (al-a’yān al-thābiţhah) yang merupakan
aspek nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Pada Realitas Tertinggi yakni Tuhan, bahkan meskipun
Dia menggambarkan diri-Nya dalam pengertian eksplisit akan dinamisme absolut, Dia terlalu
agung untuk diterima sebagai terbenam dalam proses deskriptif dari proses-menjadi atau
perubahan.
Dalam bab ini kita telah mengandung pernyataan ringkas yang menggariskan posisi kita
tentang makna agama dan kepercayaan-lemah; tentang sifat-dasar Tuhan; tentang sekularisasi
dan sifat-dasar sains dan filsafat modern dan kontemporer, dan menampilkan sebuah inti sari
asumsi dasar dan presuposisi mereka. Kita mengangkat bahwa terdapat kesamaan antara posisi
kita dan filsafat dan sains modern dalam memandang sifat-dasar fenomena dan realitas empiris
maupun sumber dan metode pengetahuan, sementara secara bersamaan kita mempertahankan
bahwa terdapat perbedaan mendalam dalam pemahaman kita yang tepat akan mereka terkait
secara pokok pada afirmasi kita akan Wahyu — dan Tradisi yang menurunkannya — sebagai
sumber pengetahuan sejati akan realitas pokok. Kita telah secara singkat menguraikan
pertentangan antara posisi kita dan filsafat dan sains modern dalam memandang persepsi, rasio,
intuisi, dan otoritas sebagai sumber dan metode pengetahuan. Dalam hubungan ini kita
mempertahankan pernyataan pada fakultas psikologi sebab hal itu diluruskan dengan afirmasi
eksistensi jiwa, atau ruh kecerdasan, sebagai realitas pokok dari manusia dan sebagai sumber asal
dari bahasa manusia. Kita menekankan konsep kita tentang tempat dimulai dengan definisi kita
tentang makna sebagai pengenalan tempat di dalam sebuah sistem, menunjukkan juga hubungan
konseptual antara makna dan pengetahuan dengan mendefinisikan yang kemudian sebagai unit-
109 Prolegomena
unit koheren dari yang terdahulu; kita mendefinisikan kebijaksanaan sebagai pengetahuan akan
tempat yang benar; keadilan sebagai kondisi dari dalam kondisi yang benar; kebenaran sebagai
kesesuaian dengan tempat yang benar; realitas sebagai entitas yang ditempatkan secara permanen
dan terpisah; dan eksistensi sebagai tempat dalam tatanan realitas. Kita menjelaskan makna
realitas dan kebenaran, menunjukkan hubungan mereka akan korespondensi dan koherensi
dengan fakta. Kita membedakan realitas eksistensi dari konsep eksistensi, dan menjaga bahwa
yang terdahulu merupakan kebenaran yang mendasari sifat-dasar proses. Kita mendefinisikan
pengetahuan yang sejati sebagai pengenalan akan batas kebenaran dalam setiap objeknya. Kita
menunjuk kepada sistem Qur’ān akan kesaling-hubungan konseptual dan metode interpretasinya,
mengatakan bahwa sains Islāmi harus menginterpretasikan fakta eksistensi dalam hubungan
dengan sistem tersebut, dan tidak menginterpretasikan sistem tersebut dalam hubungannya
dengan fakta. Kita menyentuh problem perubahan atau pergerakan, dan mengafirmasi perubahan
dan permanensi secara bersamaan; dan kita mempertahankan perubahan dan permanensi hanya
pada realitas-realitas hal-hal, dan bukan suatu hal pada dirinya sendiri sebagaimana mereka
selalu-binasa dalam sifat-dasar mereka. Kita juga mengafirmasi permanensi juga pada Tuhan,
bukan menyiratkan dengan ‘permanensi’ sebagai statisitas, maupun pergerakan maupun
dinamisitas yang melibatkan perubahan atau proses-menjadi; sedangkan dalam realitas-realitas
perubahan menunjuk pada aktualisasi potensi mereka, sementara entitas-entitas nyata yang
membangun identitas mereka tetaplah sama. Apa yang telah kita nyatakan di atas dalam
ringkasan uraian sudah tersirat, di antara hal-hal yang lain, keunggulan realitas eksistensi; sifat-
dasar dinamis dari realitasnya yang secara berkelanjutan membentangkan dirinya dalam gradasi
sistematis dari derajat keabsolutan kepada manifestasi, determinasi, dan individuasi; proses abadi
dari penciptaan yang baru; absensi hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat, dan
penjelasannya dalam kausalitas Ilahiyah; kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-
eksistensi, yang merupakan alam entitas permanen; dan metafisika perubahan dan permanensi
yang menyentuh pada realitas. Hal-hal tersebut menyusun basis dasar dari metafisika Islāmi, dan
hal tersebut ada di dalam kerangka-kerja dari metafisika inilah filsafat sains kita harus
dirumuskan.
110 Prolegomena
IV
SIFAT-DASAR MANUSIA
DAN
PSIKOLOGI JIWA MANUSIA
Manusia memiliki sifat-dasar ganda, dia itu baik tubuh dan jiwa, makhluk fisik dan ruhani
sekaligus.108 Tuhan mengajarkannya nama-nama (al-asmā’) segala hal.109 Dengan ‘nama-nama’ kita
menyimpulkan bahwa hal itu bermakna pengetahuan (al-‘ilm) akan segala hal (al-ashyā’).
Pengetahuan ini tidak meliputi pengetahuan sifat-dasar spesifik tentang esensi (al-dhāt) atau yang
dasar paling dalam (al-sirr) dari suatu hal (shay’) seperti, contohnya, ruh (al-rūh); pengetahuan
tersebut menunjuk pada pengetahuan akan aksiden-aksiden (tung. ‘arad) dan sifat-sifat (tung.
sifah) yang menyentuh pada esensi hal-hal inderawi dan intelijibel (mahsūsāt dan ma’qūlāt) supaya
diketahui hubungan dan perbedaan yang ada di antara mereka, dan memperjelas sifat-dasar
mereka di dalam wilayah tersebut dengan maksud melihat dan memahami makna mereka, yakni,
sebab, kegunaan, dan tujuan individual mereka yang spesifik. Namun manusia, juga diberikan
pengetahuan terbatas tentang ruh,110 tentang diri atau jiwanya yang sejati dan benar,111 dan
dengan pengetahuan ini dia mampu tiba kepada pengetahuan tentang Tuhan (al-ma’rifah) dan
keesaan absolut-Nya; bahwa Tuhan adalah Rabb (al-rabb) sejati dan objek penyembahannya (al-
ilāh).112 Tempat bersemayam pengetahuan dalam manusia merupakan substansi spiritual yang
secara beragam ditunjuk dalam Qur’ān Suci kadang-kadang sebagai hati (al-qalb), atau jiwa atau
diri (al-nafs), atau ruh (al-rūh), atau inteleknya (al-’aql). Dengan sebab akan kebenaran bahwa
manusia mengetahui Tuhan dalam keabsolutan-Nya sebagai Rabbnya,113 pengetahuan
sedemikian, dan kenyataan dari situasi yang serta merta menyertainya, telah mengikat manusia
dalam sebuah perjanjian (al-mīthāq; al-‘ahd) yang menentukan tujuan, perilaku, dan tindakannya
dalam hal dirinya dan hubungannya dengan Tuhan.114 Ikatan dan penentuan ini terhadap
manusia pada sebuah perjanjian dengan Tuhan dan pada sifat-dasar yang tepat dalam
memandang tujuan, tindakan, dan perilakunya, merupakan ikatan dan penentuan dalam agama
(al-dīn) yang menyertakan ketundukan sejati (al-islām).115 Dengan demikian pengetahuan dan
agama berhubungan secara alamiah dalam sifat-dasar manusia, yakni, sifat-dasar asli dimana
Tuhan telah menciptakannya (al-fitrah). Oleh karena itu tujuan manusia adalah untuk mengetahui
dan menyembah Tuhan (‘ibādah)116 dan kewajibannya merupakan kepatuhan (tā’ah) kepada
Tuhan, yang mengonfirmasikan sifat-dasar esensial yang diciptakan Tuhan untuknya.117
Tetapi manusia juga “tersusun dari kelupaan (nisyān)” — sebagaimana tradisi Kenabian
mengatakan,118 dan dia disebut insān secara mendasar dan tepat karena, dia telah bersaksi kepada
108 Al-Hijr (15): 26-29; Al-Mu’minūn (23): 12.
109 Al-Baqarah (2): 31.
110 Banī Isrā’īl (17): 85.
111 Hā Mīm (41): 53.
112 Āli ‘Imrān (3): 81; Al-A’rāf (7): 172.
113 Al-A’rāf (7): 172.
114 Ibid.
115 Lihat bab I, di atas.
116 Al-Dhāriyāt (51): 66.
117 Al-Rūm (30): 30.
118 Kashf al-Khafa, 2 vols. 4th pr, Bayrut, 1985, vol. 2, hlm.419, no 2806. Al-Thabrani, al-Tirmizi, ibn Abi
Syahbah, dari ibn ‘Abbas.
111 Prolegomena
dirinya sendiri tentang kebenaran perjanjian yang dibuatnya dengan Tuhan, yang menyertakan
kepatuhan akan perintah dan larangan-Nya, kemudian dia lupa (nasiya) untuk memenuhi tugas
dan tujuannya. Karenanya berdasarkan ibn ‘Abbās dengan referensi pada bagian dalam Qur’ān
Suci,119 istilah insān diturunkan dari nasiya ketika dia mengatakan bahwa manusia disebut insān
karena, setelah berjanji dengan Tuhan, lalu dia lupa (nasiya).120 Kelupaan merupakan sebab
ketidakpatuhan manusia, dan sifat-dasar yang patut disalahkan ini menghendakinya menuju
ketidakadilan (zulm) dan keabaian (jahl).121 Tetapi Tuhan telah melengkapinya dengan kekuatan
dan fakultas penglihatan dan pengertian yang benar, perasaan sejati terhadap kebenaran, akan
ucapan dan komunikasi yang benar; dan Dia telah menunjukkan kepadanya yang benar dan salah
dalam hal jalur tindakan yang seharusnya dia ambil sehingga dia mungkin berusaha mencapai
takdirnya yang cerah.122 Pilihan untuk yang lebih baik (ikhtiyār)123 ditinggalkan untuknya. Lebih
lanjut, Tuhan telah melengkapinya dengan kecerdasan untuk mengetahui dan membedakan
realitas dari non-realitas, kebenaran dari kebohongan, dan kejujuran dari kesalahan; dan
meskipun kecerdasannya — atau melainkan fakultas imajinatif dan estimatifnya — mungkin
membingungkannya,124 dan jika dia itu tulus dan benar pada sifat-dasarnya yang mulia, Tuhan,
dari balasan, ampunan, dan keagungan-Nya, akan membantu dan membimbingnya mencapai
kebenaran dan perilaku yang betul. Contoh tertinggi dalam kasus ini adalah Nabi Ibrahim,
padanya kedamaian.125 Dengan demikian manusia dilengkapi dan dibentengi untuk menjadi
wakil (khalīfah) Tuhan di bumi,126 dan sedemikianlah beban berat kepercayaan (amānah) diletakkan
padanya — kepercayaan dan tanggung jawab untuk mengatur berdasarkan kehendak Tuhan,
tujuan dan ridho-Nya.127 Kepercayaan menyiratkan tanggungjawab mengatur dengan adil, dan
‘mengatur’ tidak hanya bermakna mengatur dalam pengertian sosio-politis, maupun mengontrol
alam dalam pengertian saintifik, tetapi lebih mendasar dalam kemenyeluruhan dari makna sifat-
dasar (al-tabī’ah), mengatur bermakna pengaturan, pemerintahan, pengontrolan, dan
pemeliharaan manusia oleh dirinya atau jiwa rasionalnya.
Istilah hati (qalb), jiwa atau diri (nafs), ruh (rūh), dan intelek (‘aql) digunakan dalam
hubungan kepada jiwa masing-masing mengandung dua makna; yang satu menunjuk pada aspek
material atau fisik dari manusia, atau pada tubuh; dan yang lain pada aspek non-material,
imajinal dan intelejensial atau spiritual, atau pada jiwa manusia.128 Secara umum, dan dari sudut
pandang etis, makna pertama menunjuk kepada aspek yang darinya diasalkan kualitas yang
patut disalahkan dalam manusia, dan mereka merupakan kekuatan hewani yang kendati
keberadaan mereka yang bermanfaat bagi manusia dalam beberapa hal, ada dalam konflik
dengan kekuatan intelektual. Tambahan kebersalahan kepada kekuatan hewani yang inheren
dalam aspek fisik manusia tidak seharusnya dibingungkan dengan gagasan perendahan tubuh
manusia, yang tentunya berlawanan dengan ajaran Islām. Manusia diciptakan “dalam cetakan
yang terbaik”, tetapi tanpa kepercayaan-kuat sejati dan kerja yang baik dia itu lebih buruk dari
119 Tā Hā (20): 115.
120 LA, vol. 6, hlm.11, kol.1.
121 Al-Ahzāb (33): 72.
122 Al-Balad (90): 8-10; Al-Ahqāf (46): 26; Al-Nahl (16): 78; Al-Sajdah (32): 9; Al-Mulk (67): 23; Al-Mu’minūn (23):
78.
123 Lihat Pengenalan di atas, hlm. 33-34.
124 Al-Ghazāli, Mishkāt al-Anwār, Kairo, 1964, hlm. 47.
125 Al-An’ām (6): 74-82.
126 Al-Baqarah (2): 30.
127 Al-Ahzāb (33): 72.
128 Ihyā’, vol. 3, hlm. 3; Ma’ārij, hlm. 15 fol.
112 Prolegomena
binatang terendah.129 Terhadap aspek non-bermanfaat dari kekuatan hewani inilah Nabi Suci
meminta kita ketika dia menyebut perjuangan terbesar (jihād) dari manusia, karena mereka
merupakan musuh yang ada di dalam.130 Makna kedua menunjuk pada realitas manusia dan
esensinya. Makna ini menunjuk pada tradisi Kenabian yang cukup dikenal: “Siapapun yang
mengenali dirinya mengenali Rabbnya.”
Esensi sejati manusia berasal dari dunia kekuasaan (al-malakūt) dan perintah (al-amr).131
Ketika hal tersebut menghendaki dirinya sendiri menuju arah yang benar, maka kedamaian
ilahiyah (al-sakīnah) akan turun kepadanya,132 dan pancaran (effusion) ilahiyah akan kerelaan hati
secara bergantian akan dimasukkan di dalamnya hingga ia mencapai ketenangan dalam
pengingatan Tuhan dan hidup dalam pengetahuan akan keilahiyahan-Nya, dan membumbung
tinggi menuju tingkatan tertinggi dari horizon malaikat. Qur’ān Suci menyebut kondisi jiwa ini,
jiwa yang tenang (al-nafs al-mutma’innah).133 Fakultas atau kekuatan jiwa adalah bagaikan tentara
yang disatukan dalam pertempuran terus menerus akan keberhasilan yang bergantian. Kadang-
kadang jiwa tersebut menarik kekuatan intelektual dan menemui yang intelijibel dengan mana
kebenaran abadi mereka menyebabkannya mengakui kesetiaan kepada Tuhan; dan kadang-
kadang kekuatan hewaninya menarik turun pada kaki gunung terbawah dari sifat-dasar binatang.
Kebimbangan dalam kondisi jiwa ini merupakan kondisi jiwa yang mencela diri sendiri (al-nafs al-
lawwāmah);134 hal tersebut merupakan perjuangan yang sungguh-sungguh dengan kekuatan
hewaninya. Dengan pengetahuan, moral yang baik, dan kerja yang baik mungkinlah bagi
manusia untuk mencapai sifat-dasar malaikat, dan ketika dia telah sampai, dia tidak lagi memiliki
kesamaan dengan sesamanya dalam sifat-dasar hewani di dalam dirinya kecuali pada bentuk ke-
luar (outward) dan kebiasaan. Tetapi jika dia jatuh ke dalam kedalaman menurun dari sifat-dasar
binatang dan tetap ditawan dalam kondisi tersebut, maka dia terpisah dari sifat-dasar yang
umum pada kemanusiaan dan muncul sebagai manusia hanya dalam bentuk dan konstruksi.
Kondisi ini merupakan kondisi jiwa yang menghasut kepada kejahatan (al-nafs al-ammārah bi ‘l-
sū’).135
Dalam pengertian yang spesifik, dan ketika menunjuk pada hati, makna pertama tersebut
menunjukkan gumpalan bentuk-kerucut otot daging yang terletak di sisi kiri dada. Hal itu
merupakan sirkulator darah kepada setiap bagian tubuh dan sumber-kepala dari uap subtil yang
merupakan wahana jiwa fisik hewani. Melalui wahana ini jiwa hewani muncul dari sumber-
kepalanya dalam jantung (heart) ke otak melalui urat nadi ke seluruh bagian tubuh. Jiwa ini
merupakan pengandung kehidupan hewani dan umum bagi semua hewan. Ketika hal tersebut
hilang maka menyebabkan kematian indera eksternal yang melibatkan tubuh sebagai
keseluruhan. Dalam hal intelek, makna pertama tersebut menunjukkan abstraksi objek dunia
eksternal dan perenungan realitas hal-hal, dan fungsinya ditempatkan di pelbagai wilayah otak.
Jiwa atau diri kadang-kadang menunjuk eksistensi konkret dan individual dari suatu hal atau
seseorang.136
Dengan referensi pada makna dari empat istilah yang digunakan dalam hubungan dengan
jiwa ketika mereka menyentuh jiwa manusia, mereka semua menunjukkan entitas tak terbagi dan
129 Al-Tīn (95): 4-5.
130 Bayhaqi, Zuhd, dari Jābir. Ibn Hajar mengatakan hadits ini cukup dikenal. Kashf al-Khafā’, vol. 1, hlm. 511,
no. 1362.
131 Yā Sīn (36): 83; Al-Mu’minūn (23): 88.
132 Al-Baqarah (2): 248; Al-Tawbah (9): 26;40; Al-Fath (48): 4.
133 Al-Fajr (89): 27.
134 Al-Qiyāmah (75): 2.
135 Yūsuf (12): 53.
136 Ma’ārij, hlm. 15-18.
113 Prolegomena
identik, yakni sebuah substansi spiritual yang merupakan realitas atau inti esensi manusia. Dalam
pengertian ini mereka menunjuk pada prinsip pemersatu yang ditunjuk sebagai kamāl atau
kesempurnaan makhluk, pada modus eksistensi yang mengubah sesuatu yang potensial menjadi
aktual.137 Entitas ini, yang merupakan kehalusan spiritual (al-latīfah al-rūhāniyyah), merupakan
suatu hal yang diciptakan, tetapi tidak binasa; entitas tersebut tidak diukur dalam pengertian
keluasan ruang dan waktu, atau kuantitas; entitas tersebut sadar dirinya sendiri dan merupakan
lokus dari pengertian; dan cara mengetahuinya hanya melalui intelek dan dengan observasi
terhadap aktifitas-aktifitas yang berasal di dalamnya. Entitas tersebut memiliki banyak nama
sebab modus dan kondisi aksidentalnya (ahwāl). Jadi ketika entitas tersebut terlibat dalam
inteleksi dan pengertian entitas itu disebut ‘intelek’; ketika mengatur tubuh entitas itu disebut
‘jiwa’; ketika bertaut dalam menerima iluminasi intuitif entitas itu disebut hati; dan ketika kembali
pada dunianya sendiri dari entitas abstrak entitas itu disebut ‘ruh’. Tentu saja, entitas tesebut
pada kenyataannya selalu bertaut mewujudkan dirinya sendiri dalam semua kondisinya.
Jiwa memiliki fakultas-fakultas atau kekuatan-kekuatan (quwā) yang menjadi
termanifestasi dalam hubungannya dengan tubuh. Pada tumbuhan mereka itu merupakan
kekuatan nutrisi (al-ghādhiyyah), pertumbuhan (al-nāmiyyah), dan keturunan atau reproduksi (al-
muwallidah). Kekuatan tersebut, dalam pengertian umum dan bukan pengertian spesifik, terdapat
juga pada binatang; dan pada manusia, dimana tubuhnya berada pada spesies hewan, terdapat
kekuatan kemauan atau tindakan seketika (al-muharrikah), dan persepsi (al-mudrikah) dalam
tambahan pada nutrisi, pertumbuhan, dan reproduksi. Semua kekuatan tersebut milik jiwa, dan
dalam pandangan akan keumuman kesatuan mereka secara umum dalam tubuh yang berbeda
maupun keterpisahan kesatuan secara spesifik berdasarkan sifat-dasar dari spesies yang berbeda,
jiwa tersebut sedikit banyak seperti sebuah genus yang dibagi menjadi tiga jiwa yang berbeda
secara berturut-turut: jiwa vegetatif (al-nabātiyyah), hewani (al-hayawāniyyah), dan insan (al-
insāniyyah) atau rasional (al-nātiqah).
Kekuatan yang khas pada jiwa hewani adalah penggerak (motive) dan perseptif, dimana
masing-masing memiliki dua jenis. Kekuatan penggerak beroperasi sebagai pembangkit (arouser)
tindakan (al-bā’ithah ‘alā ‘l-fi’l) pada satu sisi, dan sebagai dirinya sendiri pengaktif (fā’ilah) atau
aktuator di pihak lain. Sebagai pembangkit tindakan, hal tersebut mengarahkan gerakan yang
ditarik oleh apa yang dianggap bermanfaat atau berbahaya. Ketika tertarik dengan apa yang
dibayangkan sebagai sesuatu yang bermanfaat, hasratnya terhadap hal itu membangkitkan
kekuatan aktif untuk mencapainya. Ketika ditarik oleh apa yang dianggap berbahaya,
keengganan terhadapnya itu membangkitkan kekuatan aktif untuk menghindari atau
menanggulanginya. Daya tersebut adalah keinginan yang kuat (appetitive/nuzū’iyyah), dan
aktifitasnya diarahkan oleh dua sub-fakultas: fakultas hasrat (al-shahwāniyyah), dan fakultas
amarah (al-ghadabiyyah). Sebagai aktuator, daya tersebut memulai dan mengomunikasikan awal
pergerakan yang memulai operasi dari saraf, otot, tendon, dan ligamen menuju pemenuhan
tujuannya berdasarkan dengan apa yang dihasrati atau dilawannya.138
Dalam hal daya perseptif, hal ini terdiri atas panca indera eksternal (al-hawāss) dalam
tatanan pengembangan akan sentuhan, bau, rasa, penglihatan, dan pendengaran secara berturut-
turut. Hal tersebut menampilkan fungsi persepsi terhadap hal-hal partikular dalam dunia
eksternal. Dalam tambahan pada hal tersebut itu terdapat panca indera internal yang menerima
secara internal citra inderawi dan makna mereka, mengombinasikan atau memisahkan mereka,
137 Ma’ārij, hlm. 21-22; Shifa, hlm. 9-10; Najāt, hlm. 197. Prolegomena
138 Ma’ārij, hlm. 37 fol.; Shifā’, hlm. 33; Najāt, hlm. 197-198.
114
menerima gagasan akan mereka, memelihara konsepsi yang sedemikian diterima, dan
menampilkan inteleksi terhadap mereka.139
Kekuatan perseptif dari indera-indera internal dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis:
beberapa menerima tetapi tidak menyimpan objek mereka; beberapa menyimpan objek tetapi
tidak bertindak terhadap mereka; beberapa menerima objek dan bertindak terhadap mereka.
Persepsi itu merupakan baik akan bentuk atau makna (cth. maksud atau penunjuk) dari objek-
objek inderawi; dan indera-indera yang menyimpan objek mereka baik menyimpan bentuk atau
makna mereka; dan indera-indera yang bertindak terhadap objek-objek mereka bertindak pada
bentuk atau makna mereka. Penerima kadang-kadang menerima secara langsung dan kadang-
kadang secara tidak langsung melalui kekuatan perseptif yang lain. Perbedaan antara bentuk dan
makna adalah bahwa bentuk merupakan apa yang pertama kali diterima dengan indera eksternal,
dan kemudian oleh indera internal; makna merupakan apa yang indera internal terima dari objek
inderawi tanpa sebelumnya menerima dengan indera eksternal. Dalam tindakan persepsi,
penerima menerima bentuk dari objek eksternal, yakni, sebuah citra atau representasi dari realitas
eksternal, dan bukan realitas itu sendiri. Maka apa yang diterima indera bukanlah realitas
eksternal, tetapi sebagai representasi dalam indera-indera. Realitas eksternal adalah yang darinya
indera mengabstraksi bentuknya. Secara serupa, dalam hal makna, bentuk intelijibel merupakan
representasi realitas yang tercetak kepada jiwa, karena intelek sudah mengabstraksi mereka dari
tambahan aksidental yang asing terhadap sifat-dasar mereka, seperti kuantitas, kualitas, ruang,
dan posisi.140
Eksistensi indera-indera internal ditetapkan dengan jalan intuisi (al-wijdān).141 Yang
pertama dari indera-indera internal tersebut menerima informasi yang dibawa indera-indera
eksternal, mengombinasi, dan memisahkan citra internal atau representasi dari objek inderawi
eksternal. Indera tersebut adalah indera umum (al-hiss al-mushtarak),142 yang juga disebut fantasi
(fantāsiā). Indera umum secara langsung menerima data dari panca indera eksternal. Hal yang
serta merta adalah bahwa objek-objek inderawi eksternal pertama kali ditampilkan pada indera
eksternal sebelum mereka dapat diterima oleh indera umum. Indera umum hanya menerima
sensasi individual yang partikular, dan bukan pengertian universal, dan indera tersebut mampu
merasakan nikmat dan sakit, baik diterima dalam imajinasi maupun dalam objek inderawi
eksternal. Indera umum mengumpulkan bersama bentuk inderawi, mengombinasikan dan
memisahkan bentuk-bentuk yang sama dan yang berbeda sehingga memungkinkan persepsi.
Persepsi terhadap bentuk ini, yang merupakan citra atau representasi internal dari objek inderawi,
disebut fantasi, dan perekamnya adalah indera imajinasi (al-khayāl) atau fakultas representatif (al-
khayāliyyah). Indera umum, dapat lebih lanjut dicatatkan, hanya menerima data yang disediakan
indera eksternal, yang mengumpulkan bersama yang sama dan yang berbeda, tetapi tidak
menyimpan apa yang diterima.
Fungsi perekaman dan penyimpanan citra atau bentuk objek eksternal yang diterima
indera umum berada pada indera internal kedua yang disebut fakultas representatif yang baru
saja disebutkan. Fakultas ini menyimpan citra-citra yang merepresentasikan objek eksternal ketika
139 Ma’ārij, hlm. 41; Shif’a, hlm. 33-34; Najāt, hlm. 198.
140 Ma’ārij, hlm. 44-45; Najāt, hlm. 200-201
141 Istilah wijdān digunakan oleh al-Ghazāli dalam Ma’ārij (hlm. 45). Di sini itu dipahami dalam pengertian
umum sebagai intuisi berdasarkan introspeksi.
142 Cth. sebuah indera internal yang umum bagi semua panca indera eksternal. Indera tersebut menyatukan
sensasi dari semua indera dalam sensasi atau persepsi secara umum. Untuk al-hiss al-mushtarak, lihat Al-
Shifā’, hlm. 145 fol. Terjemahan istilah Latinnya adalah communis sensus, dari mana istilah ‘indera umum
(common sense) diturunkan. Maka, di sini indera umum digunakan sebagai istilah teknis, dan bukan dalam
penggunaan umum setiap hari sebagai sesuatu yang cukup bukti atau jelas.
115 Prolegomena
objek tersebut tidak lagi hadir pada indera eksternal, dan dengan demikian merekam informasi
yang diterima oleh indera umum dari indera-indera eksternal dan memelihara citra-citra mereka,
makna individual dan kolektif mereka, dan representasi itu sudah ada di tempat tersebut untuk
kehadiran indera internal yang ketiga, yakni fakultas estimatif (al-wahmiyyah).
Fakultas ini menerima hal-hal inderawi partikular terhadap makna non-inderawi mereka,
seperti kebencian dan cinta, dan menampilkan fungsi putusan terhadap yang benar dan salah dan
yang baik dan buruk menyentuh pada objeknya seolah-olah mereka itu objek inderawi dunia
eksternal. Fakultas estimasi adalah dimana putusan dan pendapat dibentuk, dan kecuali
diperintah oleh intelek, kekuatan estimatif dan kekuatan imajinatif yang terhubung dengannya
merupakan sumber kesalahan terhadap putusan.143 Dengan fakultas ini, contoh, jiwa menolak
substansi intelektual yang tidak terikat maupun dilokasikan; dengannya jiwa mengakui eksistensi
kehampaan yang meliputi alam semesta; dan dengannya juga jiwa dibuat menerima keabsahan
silogisme berdasarkan premis rumit dan untuk membedakan dalam kedatangan kepada
kesimpulan. Fakultas estimatif mengarahkan putusan bukan dalam jalan analitik yang
mengarakteristikkan putusan intelektual, tetapi dengan jalan imajinatif yang ditentukan oleh
citra-citra memori melalui proses asosiasi dari pengalaman masa lalu, atau bukan dengan citra-
citra memori, tetapi dengan sebuah interpretasi naluriah akan citra yang diterima oleh jiwa tanpa
melalui proses asosiasi dari pengalaman masa lalu.144
Seperti fakultas representatif yang memelihara bentuk yang diterima dari indera umum,
indera internal keempat, yang disebut fakultas retentif dan rekolektif (al-hāfizah dan al-dhākirah),
menyimpan makna dan memelihara mereka untuk fakultas estimatif yang menerima makna
tersebut. Fakultas retentif itu menyimpan makna partikular dan mengingat mereka untuk
pemeriksaan yang dekat dan penilaian oleh penerima selama apapun sejauh mereka tetap di
dalamnya. Ketika mereka menjadi absen dari retensi dan penerima ini memohon untuk
memanggil mereka kembali, maka hal tersebut disebut fakultas rekolektif. Hubungan fakultas
retentif dengan makna sama seperti hubungan fakultas representatif dengan hal-hal inderawi
yang citranya dibentuk dalam indera umum.
Indera internal kelima adalah fakultas imajinatif (al-mutakhayyilah). Fakultas imajinatif
menerima bentuk, kemudian mengombinasikan dan memisahkan mereka dalam tindakan
klasifikasi; menambahkan kepada mereka dan mengambil dari mereka sehingga jiwa dapat
menerima makna objek dan menghubungkan mereka dengan bentuk atau citranya. Kecondongan
alamiah fakultas inilah untuk menampilkan fungsi penilaian dalam bentuk teratur atau non-
teratur, sehingga dengan cara demikian jiwa dapat menggunakannya untuk merumuskan tatanan
apapun sekehendaknya. Jiwa menggunakan fakultas ini untuk tujuan klasifikasi dengan
mengombinasikan dan memisahkan objek-objeknya, dimana kadang-kadang melalui rasio praktis
dan kadang-kadang melalui rasio teoritis. Sifat-dasarnya yang esensial adalah menampilkan
fungsi mengombinasikan dan memisahkan, dan bukan persepsi. Ketika jiwa menggunakannya
sebagai instrumen intelektual fakultas tersebut bersifat kogitatif; dan ketika digunakan
berdasarkan kecondongan alamiahnya fakultas tersebut bersifat imajinatif. Jiwa menerima apa
yang fakultas ini kombinasikan dan pisahkan terhadap bentuk-bentuk melalui perantara indera
umum maupun melalui perantara fakultas estimatif. Dalam bentuk yang lebih berkembang
fakultas ini menangkap gagasan melampaui lingkungan inderawi dan citra inderawi. Fakultas
tersebut secara khusus merupakan fakultas manusia yang tidak ditemukan dalam hewan yang
lebih rendah. Dengan fakultas ini dibangun prinsip keniscayaan dan aplikasi universal.
143 Mishkāt, hlm. 47.
144 Ma’ārij, hlm. 46.
116 Prolegomena
Maka, indera internal yang kelima, memiliki fungsi ganda yang berhubungan dengan jiwa
hewani dan manusia secara berturut-turut. Dalam pengertian ini, fakultas ini memiliki dua aspek:
sebagai aspek pada indera, dan sebuah aspek pada intelek. Dalam kasus sebelumnya indera
internal tersebut menerima bentuk inderawi sebagaimana indera menerimanya, yakni baik
sebagai realitas atau sebagai sesuatu yang metaforis. Sebagai sebuah realitas indera tersebut
menghadirkan bentuk sebagaimana hal tersebut adanya dalam dirinya sendiri; sebagai sebuah
metafora indera tersebut menghadirkan bentuk bukan sebagaimana hal tersebut adanya dalam
dirinya sendiri, tetapi sebagai bentuk yang dilihat dengannya sebagaimana adanya dalam dirinya
sendiri, contoh, sebuah fatamorgana. Dalam kasus yang kemudian indera tersebut menerima
bentuk-bentuk intelijibel sebagai fakultas kogitatif yang menangkapnya, yakni, sebagai benar atau
palsu. Sebagai sesuatu yang benar hal tersebut merupakan bentuk tersebut sebagaimana ia
sungguh-sungguh ada; sebagai sesuatu yang salah hal tersebut merupakan bentuk yang bukan
sebagaimana ia sungguh-sungguh ada, tetapi sebagai bentuk yang diterima olehnya seperti ia
sesungguhnya ada, contoh, sulap atau sihir, atau putusan salah yang lain terhadap fakta.145 Dalam
hubungan dengan jiwa hewani fakultas tersebut merupakan fakultas imajinasi inderawi (al-
mutakhayyal) yang menghasilkan kemampuan teknik dan artistik; dalam hubungan dengan jiwa
manusia fakultas tersebut merupakan fakultas imajinasi rasional (al-mufakkirah). Dalam hubungan
dengan jiwa rasional manusia fakultas ini bersifat kogitatif. Fungsinya itu sebagai pengatur data
dari rasio teoritis, mengombinasikan dan mengatur mereka sebagai premis-premis yang darinya
ia mendeduksikan pengetahuan diinformasikan.
Kemudian dari pengetahuan ini fakultas tersebut menurunkan kesimpulan, dan dari dua
jenis kesimpulan sedemikian fakultas tersebut menurunkan yang lain dan mengombinasikan
mereka namun mendapatkan lagi kesimpulan yang baru dan seterusnya.146
Maka, hal-hal tersebut merupakan panca indera internal yang dijelaskan secara ringkas
dan umum. Dengan referensi pada klasifikasi mereka ke dalam tiga jenis kini kita dapat
mengidentifikasi mereka: penerima bentuk adalah indera umum, dan pemeliharanya adalah
fakultas imajinatif atau representatif. Penerima makna adalah fakultas estimasi, dan
pemeliharanya adalah fakultas retentif dan rekolektif. Yang menerima dan bertindak terhadap
objeknya adalah fakultas imajinatif, sementara yang hanya menerima dan tidak bertindak
terhadap objeknya adalah fakultas estimasi dan indera umum. Indera-indera internal tersebut
tidak memiliki organ spesifik sebagai instrumen perantara yang menampilkan fungsi spesifik
seperti yang ada pada indera eksternal, tetapi mereka merupakan suatu kualitas imajinal dan
intelektual dan memiliki hubungan dengan perantara fisik, dan pelbagai fungsi mereka
dilokalisasi dalam bagian depan, belakang, dan tengah dari otak.147
Fakultas-fakultas jiwa bukan entitas terpisah yang masing-masing bertindak secara
berbeda terlepas dari jiwa itu sendiri. Mereka terlihat demikian dan menampilkan fungsi yang
berbeda beberapa dari mereka lebih dahulu dalam waktu dari yang lain bukan karena mereka
secara esensial berbeda satu sama lain, tetapi karena lokalisasi fungsi melalui organ yang berbeda,
dan yang fungsinya teraktualisasi pada waktu yang berbeda, dan berkaitan dengan kondisi yang
berbeda di mana jiwa tersebut terlibat. Dalam hal ini, fakultas-fakultas jiwa pada kenyataannya
merupakan jiwa itu sendiri yang mewujudkan dirinya berdasarkan pelbagai modusnya.
Jiwa manusia yang rasional juga memiliki dua kekuatan yang keduanya merupakan aspek
dari intelek yang sama. Salah satu dari aspek tersebut adalah aktif (‘āmilah), dan yang lain kognitif
(‘ālimah). Sejauh fungsinya sebagai intelek aktif jiwa tersebut merupakan prinsip pergerakan dari
145 Ma’ārij, hlm. 77.
146 Ibid, hlm. 45-47.
147 Ma’ārij, hlm. 47-48; Shifā’, hlm. 145-150.
117 Prolegomena
tubuh manusia. Jiwa tersebut merupakan rasio praktis, yang mengarahkan tindakan individu
dalam kesepakatan dengan fakultas teoritis dari intelek kognitif. Dalam hubungan dengan
kekuatan penggerak dari jiwa hewani, yang bertanggungjawab dalam penggunaan keinginan
supaya hasrat atau kemauan akan muncul dalam tindakan, jiwa tersebut menghasilkan emosi
manusia. Dalam hubungan dengan kekuatan perseptif dan representasi, fakultas estimatif, dan
imajinatifnya jiwa tersebut mengatur objek fisik dan menghasilkan kemampuan dan seni
manusia; dan dalam hubungan dengan fakultas imajinasi rasional jiwa tersebut memunculkan
premis-premis dan kesimpulan. Sejauh jiwa tersebut memerintah dan mengatur tubuh manusia ia
mempengaruhi perilaku etis dalam manusia yang melibatkan pengenalan keburukan dan
kebajikan.148
Jiwa dapat dipertimbangkan sebagai memiliki dua aspek dalam hubungan penerima dan
pemberian-efek: sebuah aspek menuju apa yang lebih rendah dalam derajat dari dirinya sendiri,
seperti tubuh; dan sebuah aspek menuju apa yang lebih tinggi derajatnya daripada dirinya
sendiri, seperti dunia ruh darimana dirinya berasal. Dalam hubungan dengan apa yang diterima
dari apa yang ada di atasnya untuk kemanfaatan dan tindakannya, jiwa adalah penerima efek;
dan dalam hubungan dengan apa yang di bawahnya, jiwa tidak dapat menjadi seorang penerima,
tetapi pemberi efek.149 Dari aspek jiwa ini yang menghendaki menuju apa yang lebih rendah
muncul persoalan prinsip etis dan gagasan terhadap keburukan dan kebajikan bagi petunjuk
tubuh; dan dari aspek yang melihat pada apa yang lebih tinggi jiwa menerima pengetahuan.
Sebagai seorang penerima kekuatan kreatif dari pengetahuan melalui inteleksi dan intuisi jiwa
merupakan intelek kognitif. Kekuatan intelek kognitif bersifat spekulatif (nazariyyah). Hal tersebut
memengaruhi kepada pengaturan bentuk universal yang secara absolut terpisah dari materi;
tujuannya adalah abstraksi akan intelijibel dari materi, ruang, dan posisi; intelek kognitif
bertindak pada konsep dari konsep seperti intelijibel sekunder (al-ma’qūlat al-thāniyah).150 Jika
bentuk-bentuk universal tidak sepenuhnya terpisah dari materi, tetapi terpisah hanya dalam
pelbagai derajat pemisahan yang tetap memiliki hubungan material, seperti konsep objek dari
dunia eksternal atau intelijibel primer (al-ma’qūlāt al-ūlā),151 maka hal tersebut akan memengaruhi
pemisahan absolut mereka dengan abstraksi. Jika bentuk-bentuk universal dalam dirinya itu
abstrak, maka intelek kognitif mengambil mereka sebagaimana adanya mereka.
Proses abstraksi dari inderawi ke intelijibel, yang pada kenyataannya merupakan sebuah
proses epistemologis menuju kehadiran kepada makna, mengalami pelbagai tahapan pemenuhan
yang memimpin kepada kesempurnaan. Proses tersebut sudah dimulai pada tindakan awal
persepsi oleh indera; kemudian mencapai pada derajat tipis yang lebih tinggi akan pemenuhan
dengan imajinasi, dan lebih lanjut diperbaiki fakultas estimasi bahkan sebelum mencapai
abstraksi penuh dan sempurna oleh intelek.152 Bentuk-bentuk inderawi dan partikular yang sudah
dicetak dalam fakultas estimasi, imajinasi, dan sensasi sebelum kehadiran bentuk intelijibel dan
universal dalam intelek, hal tersebut tertinggal dalam entitas-entitas fisik yang menampilkan
kekuatan perseptif dan fakultas-fakultas yang fungsinya dilokalisasi dalam tubuh. Ketika bentuk-
bentuk tersebut hadir dalam fakultas-fakultas tersebut dan disimpan oleh pemelihara mereka,
mereka bertugas sebagai bentuk-bentuk intelektual, atau bentuk-bentuk yang mengalami
abstraksi penuhnya yang membutuhkan penggunaan kekuatan intelek. Dalam hal hubungan
148 Ma’ārij, hlm. 49-50; Shifā’, hlm. 185; Najāt, hlm. 202-203.
149 Cth. Akibat yang baik atau yang buruk. Lihat tiga derajat jiwa yang disebutkan dalam hlm. 146-147 di
atas.
150 Cth. Seperti konsep ‘hewan rasional’ sebagaimana diturunkan dari konsep lain dari ‘manusia’.
151 Cth. Seperti konsep ‘manusia’ sebagaimana berhubungan pada sebuah maujud manusia yang partikular.
152 Lihat Ma’ārij, hlm. 61-62; Shifā’, hlm. 50-51 fol; Najāt, hlm. 207-210.
118 Prolegomena
intelek dengan imajinasi rasional, isi dari imajinasi yang melayani intelek sebagai intelijibel
potensial, lalu menjadi intelijibel aktual ketika intelek menilai mereka; bukan dalam pengertian
berubah menjadi bentuk lain dari kondisi potensialitas mereka dalam imajinasi, atau dipindahkan
dari hal yang sudah disebutkan, karena mereka tetap sebagaimana adanya mereka dalam
imajinasi dan mempertahankan karakter mereka sebagai citra. Hanya ketika intelek menilai citra,
mereka menghasilkan sebuah akibat seperti akibat yang muncul ketika sinar jatuh kepada hal-hal
inderawi yang dibungkus dalam kegelapan yang membuat mereka terlihat. Dengan demikian
intelijibel aktual merupakan sesuatu yang lain daripada bentuk dari imajinasi, yang hanya
bertugas menciptakan bentuk-bentuk lain dalam intelek ketika intelek menilai mereka, yakni,
mempertimbangkan, membandingkan dan menganalisis mereka, dan kemudian mengabstraksi
mereka dari tambahan material dan tiba pada makna universal mereka. Pertama kali intelek
memisahkan sifat-dasar esensial mereka dari tambahan aksidental, karakteristik yang sama dan
berbeda, lalu dari banyak makna yang sama intelek dapat tiba pada makna universal tunggal
mereka; dan dari makna yang sama dalam masing-masing dari yang berbeda intelek mampu tiba
pada makna mereka yang majemuk. Maka, intelek memiliki kekuatan menurunkan banyak
makna dari yang tunggal, dan makna tunggal dari yang banyak. Aktifitas intelek ini menjadi
termanifestai dalam rumusan kita dalam pembagian logis akan genus, spesies, dan diferensia;
rumusan akan silogisme kita yang memampukan kita untuk tiba pada kesimpulan; rumusan
definisi-definisi.153
Dalam hal keberadaan intelek sebagai seorang penerima akan akibat dari apa yang ada di
atasnya, kekuatan spekulatif dari intelek kognitif memiliki banyak hubungan dan operasi.
Kekuatan tersebut bukan hanya penerima pasif, karena yang merupakan penerima terhadap
sesuatu yang lain adalah penerima dalam pengertian kekuatan dan tindakan.154
Kekuatan itu bermakna tiga cara dalam pengertian prioritas dan posterioritas: sebagai
potensi absolut (al-isti’dād al-mutlaq); sebagai yang mungkin (mumkinah) atau posesif (malakah); dan
kesempurnaan (kamāl). Potensi absolut adalah kondisi being yang hanya merupakan potensialitas
yang mampu menerima akibat; potensi absolut merupakan kekuatan murni tanpa tindakan,
seperti kekuatan pada anak kecil untuk menulis. Seperti anak kecil yang tumbuh dan berkembang
menjadi pemuda, kekuatan dalam potensialitas terhadap menerima akibat secara bertahap
teraktualisasi dengan instrumen aktualisasi pada tingkat tersebut yang mungkin baginya untuk
menerima pada tahap ini tanpa membutuhkan perantara instrumen fisik apapun.155 Dia kini tahu
bagaimana menggunakan tinta, dan pena; dan memahami huruf-huruf sederhana dan dengan
demikian memiliki kapasitas untuk menuliskannya. Kemudian ketika dia menjadi dewasa,
kekuatannya menjadi teraktualisasikan sepenuhnya dengan instrumen aktualisasi, sehingga dia
dapat bertindak kapanpun dia menginginkannya tanpa membutuhkan kemahiran, tetapi yang
cukup baginya hanya dengan menginginkan tindakan lalu dia bertindak, seperti kekuatan pada
penulis yang telah mencapai kesempurnaan dalam kemampuan dan pengetahuannya ketika dia
tidak menulis. Tentu saja, inteleklah yang merupakan agen atau instrumen aktualisasi dari
kekuatan yang terbentang dalam potensialitas dalam pelbagai tahapan perkembangan manusia
dari anak-anak kepada dewasa.156
Hubungan dan operasi kekuatan spekulatif intelek kognitif melibatkan empat aspek
intelek yang mengatur tahap perkembangan intelektual manusia dari hanya potensi menuju
153 Shifā’, hlm. 208-211; Ma’ārij, hlm. 126.
154 Ma’ārij, hlm. 51; Shifā’, hlm 39; Najāt, hlm. 204.
155 Tanpa membutuhkan perantara instrumen fisik apapun, sebab instrumen sejati dari aktualisasi adalah
intelek, sebagaimana baru kita nyatakan.
156 Ma’ārij, hlm 91; Shifā’, hlm. 39-40; Najāt, hlm. 204
119 Prolegomena
aktualisasi sempurna. Aspek pertama itu disebut intelek material (al-’aql al-hayūlanī). Hal itu
disebut demikian dengan jalan analogi dengan konsep Yunani tentang materi dasar (al-hayūlā:
bahasaYunani hylê), yang merupakan materi murni tanpa bentuk, tetapi mampu menerima semua
bentuk. Namun, terdapat perbedaan antara konsepsi Yunani tentang materi dasar dan intelek
material yang kita bicarakan di sini; dan hal itu adalah bahwa sementara materi dasar mampu
menerima semua bentuk, intelek material hanya menerima bentuk yang potensialitas atau
kekuatan partikularnya mampu menerima dan kapasitas laten ini tidaklah sama bagi setiap
individu.157 Aspek kedua adalah intelek mungkin (al-’aql al-mumkin) atau intelek posesif (al-’aql
bi’l-malakah), yang mampu, dengan kekuatan yang telah diaktifkan di dalamnya, untuk menerima
dari intelijibel primer prinsip pertama yang dibangun oleh premis-premis di atas sandaran
kebenaran swa-bukti, yakni, yang diperoleh bukan dengan deduksi maupun verifikasi, tetapi
secara serta merta — seperti penangkapan terhadap kebenaran dalam pernyataan bahwa
keseluruhan sesuatu adalah lebih besar daripada bagiannya, atau bahwa hal-hal yang sepadan
dengan yang lain dan hal yang sama itu adalah sepadan satu sama lainnya. Berkenaan dengan
intelek material, intelek ini (intelek mungkin, pen.) aktif, karena sementara yang terdahulu hanya
memiliki kekuatan tanpa tindakan sedemikian sehingga tidak ada yang dapat mengeluarkan
darinya, maupun memiliki instrumen aktualisasi yang dapat dicapai dengannya, intelek yang
kemudian inilah yang merupakan agen untuk membawa apa yang potensial pada yang terdahulu
berdasarkan kekuatan untuk menghasilkan yang mungkin dalam dirinya sendiri pada tahap ini.
Berhubungan dengan intelek posesif, intelek yang dalam aksi ini memungkinkan bagi yang
sebelumnya menangkap bentuk spekulatif dari intelijibel primer, yang darinya menjadi
mungkinlah bagi yang terdahulu untuk tiba pada intelijibel sekunder. Intelek posesif tidak
menilai bentuk-bentuk tersebut atau memberi pandangan-mendalam ke dalam sifat-dasar sejati
mereka, tetapi hanya bertindak sebagai tempat penyimpanan mereka. Dalam hal ini intelek
tersebut itu posesif karena mampu memiliki dan memelihara bentuk-bentuk untuk tindakan lebih
lanjut oleh apa yang datang setelahnya. Pada tingkatan ini, intelek-dalam-aksi lagilah yang
menilai bentuk-bentuk spekulatif dengan tindakannya; intelek tersebut menampilkan inteleksi
terhadap mereka, dan menerima yang ditampilkan oleh inteleksi. Intelek tersebut disebut intelek-
dalam-aksi (al’aql bi’l-fi’l) karena merupakan agen untuk membawa keluar dengan tindakan, dan
menampilkan inteleksi kapanpun ia inginkan tanpa membutuhkan usaha kemahiran. Dalam
hubungan dengan apa yang datang setelahnya, intelek-dalam-aksi dapat disebut intelek potensial
(al’aql bi’l-quwwah); karena sifat-dasar aktif dari intelek ini, dalam hubungan dengan kapasitasnya
untuk bertindak secara absolut lalu menilai lebih lanjut bentuk-bentuk yang dihadirkan di
dalamnya dengan tindakan, dan dengan cara yang sama intelek tersebut menampilkan inteleksi
terhadap mereka dan lebih lanjut menampilkan inteleksi terhadap inteleksinya. Pada tahap
aktualisasinya ini intelek itu disebut intelek perolehan (al’aql al-mustafād). Intelek tersebut disebut
perolehan sebab ia menerima secara jelas bahwa ketika intelek potensial menjadi aktualitas
absolut, hal tersebut demikian dengan sebab intelek yang selalu dalam aksi, dan bahwa ketika
intelek yang selalu dalam aksi ini membuat sebuah hubungan spesifik dengan intelek potensial,
intelek perolehan mencetak ke dalam yang kemudian sebuah bentuk spesifik, sehingga intelek
tersebut memperoleh bentuk tersebut dari luar dirinya sendiri.158
Dari halaman depan menjadi jelas bahwa terdapat tiga tahap yang dengan melaluinya
intelek manusia melewati perkembangan intelektualnya dari potensialitas murni kepada
aktualitas. Tahap pertama adalah intelek material, yang bukan apa-apa kecuali sebuah potensi
murni penerimaan bentuk-bentuk intelijibel. Ketika kondisi tidak aktifnya diaktifasikan kesan-
157 Lihat di bawah, hlm. 163 dan catatan 160.
158 Ma’ārij, hlm. 52; Shifā’, hlm. 39-40; Najāt, hlm. 205.
120 Prolegomena
kesan intelijibel yang datang dari intelek-dalam-aksi, menjadi mungkin baginya memiliki bentuk-
bentuk intelijibel tanpa sungguh-sungguh berpikir tentang mereka. Pada tahap ini telah
dicetakkan kepada intelek material bentuk-bentuk intelijibel dan menjadi pemelihara mereka.
Intelek tersebut tidak lagi dalam kondisi potensialitas absolut; intelek tersebut kini merupakan
intelek mungkin yang memiliki prinsip-prinsip pengetahuan. Hal ini merupakan tahap kedua.
Kemudian ketika pada tahap ini intelek mungkin, kembali diaktifasikan oleh intelek-dalam-aksi,
intelek mungkin menilai bentuk-bentuk intelijibel yang tercetak padanya. Ketika intelek mungkin
itu memiliki semua bentuk spekulatif dan penerimaan pun berhenti, intelek mungkin melewati
menjadi kondisi mapan yang cenderung untuk berpikir pada mereka. Kondisi terdahulunya dari
potensialitas relatif kini telah menjadi potensialitas yang disempurnakan. Pada tahap ini intelek
mungkin sebagai intelek-dalam-aksi menjadi mampu melakukan tindakan berpikir oleh dirinya
sendiri, dan kecenderungan untuk melakukan itu menjadi kebiasaan baginya. Tahap ini
merupakan tahap ketiga dimana intelek mungkin menjadi intelek posesif. Tahap perkembangan
tersebut adalah umum bagi semua manusia, tetapi dalam beberapa kasus terdapat tahap keempat.
Ketika intelek posesif sungguh-sungguh merefleksikan atas isinya sendiri, yakni, ketika ia
berpikir, dan berpikir terhadap pemikiran yang sedang dipikirkan, intelek tersebut telah
mencapai tahap aktualitas absolut dan menjadi intelek perolehan.
Karena intelek potensial tidak dapat dengan dirinya sendiri menjadi aktual, aktualisasi
intelek manusia dari potensialitas absolut kepada aktualitas absolut mengandaikan eksistensi
sebuah kecerdasan eksternal yang selalu dalam tindakan dan mengubah intelek manusia dari
kondisi murni laten kepada aktualitas yang sempurna. Kecerdasan eksternal ini adalah
Kecerdasan Aktif (al-’aql al-fa’āl) yang diidentifikasikan sebagai Ruh Suci (al-rūh al-qudus)159, dan
secara mendasar sebagai Tuhan. Dalam hubungan dengan intelek manusia, Kecerdasan Aktif
merupakan intelek-dalam-aksi yang mengangkat intelek material potensial dari kondisi tidak
aktifnya dengan mengaktifasikan di dalamnya pemikiran bentuk-bentuk universal dan kebenaran
abadi yang dengan demikian mengubahnya menjadi intelek mungkin. Kemudian, menjadi lebih
dan lebih diaktualisasi (cth. sebagai intelek posesif) dengan iluminasi yang diterima dari intelek-
dalam-aksi, intelek manusia menjadi mampu akan swa-inteleksi (cth. tahap dari intelek
perolehan) dan menyerupai Kecerdasan Aktif. Dalam hubungan dengan Kecerdasan Aktif, intelek
perolehan itu seperti intelek material potensial, yang diubah menjadi bentuk yang lebih tinggi
ketika menerima iluminasi dari yang sebelumnya. Dengan demikian intelek manusia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Intelek manusia potensial absolut Kecerdasan Aktif
Sempurna (dalam aksi) Bentuk lebih tinggi
mungkin
(dalam aksi)
Posesif
(dalam aksi)
Perolehan
159 Ma’ārij, hlm. 124. Al-Ghazāli mengemukakannya sebagai bukti dari identitas Kecerdasan Aktif dari Teks
Suci: Al-Najm (53): 5-6; Al-Shūrā (42): 51; dan Al-Takwīr (81): 19-20; Ma’ārij, hlm. 123.
121 Prolegomena
Maka, hal tersebut merupakan pelbagai derajat kekuatan dalam hubungan dan operasi
sifat-dasar spekulatif dari intelek kognitif. Di sini kita lihat kesempurnaan genus hewan dan
spesies manusia itu diselesaikan dalam intelek perolehan. Kini intelek perolehan ini mencapai
bentuk-bentuk yang lebih tinggi dari intelek yang bertingkat dalam pelbagai derajat keunggulan.
Dalam hubungan dengan tataran ekisstensi yang lebih tinggi, intelek perolehan tidak lain dari
intelek suci (al-’aql al-qudsī), yang mengarakteristikkan intelek para nabi, orang suci, dan
pembelajar yang dibangun dalam pengetahuan, dimana masing-masing berdasarkan dengan
pelbagai derajat mereka dalam keunggulan. Meskipun jiwa manusia itu umum pada manusia
tetapi berbeda dalam potensi,160 dan hal tersebut berbeda pada individu berkaitan dengan
perbedaan dalam aksiden yang membangun setiap personalitas; dan kekuatan potensial dalam
intelek material oleh karena itu tidak sama kapasitasnya bagi setiap orang. Potensi dalam intelek
diatur berdasarkan kemuliaan jiwa, dan yang tertingginya yakni Nabi Suci.161
Intelek secara esensial merupakan sebuah substansi spiritual; intelek bersifat non-material
dan terpisah dari materi dan hanya tindakannya yang terhubung dengan materi. Sebuah entitas
fisik atau material seperti tubuh tidak dapat menerima maupun mengandung pengertian;
maupun pengertian dapat tertinggal dalam tubuh sebab entitas fisik dapat dibagi, dan apapun
yang tertinggal di dalamnya juga terbagi. Karena pengertian itu bentuk universal dan tunggal hal
tersebut tidak terbagi, dan mustahil untuknya tertinggal dalam entitas jasmani.162 Bentuk-bentuk
intelijibel, dan bahkan bentuk-bentuk imajinasi kognitif, tidaklah memiliki penyimpanan fisik.
Indera internal dalam tubuh menerima hanya bentuk inderawi partikular yang citra dan
maknanya disimpan dalam fakultas representatif dan retentif atau kolektif yang melayani
kekuatan imajinatif. Jika jiwa, yang tidak memelihara bentuk seperti itu, ingin memandang ulang
konsep rasional yang menyentuh pada mereka membutuhkan pertimbangan ulang terhadap
bentuk-bentuk tersebut melalui perantara fakultas tersebut, hal tersebut hanya harus memanggil
mereka sebagaimana mereka ada dalam penyimpanannya. Namun, jika mereka tidak lagi ada
dalam penyimpanan mereka maka penilaian terhadap mereka oleh jiwa rasional membutuhkan
proses perolehan ulang. Dalam hal bentuk intelijibel, intelek menggunakan makna mereka setelah
mereka telah tercetak di dalamnya. Intelek tidak memiliki realitas intelijibel aktual dalam diri
mereka sendiri, maupun mereka tidak dikandung baik dalam tubuh maupun entitas fisik apapun
seperti telah kita nyatakan, maupun dalam jiwa sebab jika mereka itu ada maka jiwa akan sadar
terhadap mereka; dan kesadaran terhadap mereka secara sederhana bermakna tindakan inteleksi
oleh jiwa rasional atau intelek, dan ini menunjuk pada bentuk dan makna mereka sebagaimana
tercetak di dalamnya, bukan pada realitas-realitas intelijibel itu sendiri. Karena realitas intelijibel
tersebut bukan dalam tubuh maupun dalam jiwa, mereka pasti ada secara eksternal bagi mereka.
Eksistensi terpisah mereka yang eksternal bagi mereka bermakna baik sebagai entitas yang swa-
berada, atau entitas yang inheren dalam sebuah substansi dimana mereka berasal dan yang
kecenderungannya adalah menjejakkan bentuk intelijibel dalam jiwa manusia. Tidaklah mungkin
bagi mereka untuk swa-berada, karena realitas intelijibel inheren dalam sebuah substansi; dan
dengan demikian maka penyimpanan mereka dan sumber asalnya merupakan substansi itu yang
kita sebut Kecerdasan Aktif.163
Hubungan Kecerdasan Aktif dengan jiwa adalah seperti matahari dengan mata.164 Tanpa
sinar yang datang dari matahari, mata yang dalam kegelapan tetap sebagai organ potensial dari
160 Al-Baqarah (2): 286; Al-A’rāf (7): 42; Al-Mu’minūn (23): 62.
161 Ma’ārij, hlm. 53; Shifā’, hlm. 212-220.
162 Ma’ārij, hlm. 123; Shifā’, hlm. 213-216.
163 Ma’ārij, hlm. 124.
164 Ma’ārij, hlm. 125; Shifā’, hlm. 208; Najāt, hlm. 231. Lihat juga di atas, hlm. 157-158.
122 Prolegomena
penglihatan; dan objek penglihatan tetap secara potensial untuk terlihat. Hanya ketika matahari
memancarkan sinarnya mata menjadi melihat secara aktual, dan objek mereka menjadi terlihat
secara aktual. Sehingga dalam cara serupa demikian juga intelek potensial menjadi intelek aktual,
dan intelijibel potensial menjadi intelijibel aktual dengan sinar yang dipancarkan oleh Kecerdasan
Aktif kepada jiwa. Ketika kekuatan intelektif dari jiwa — yakni, intelek potensial — menilai hal-
hal partikular dalam imajinasi, tindakan penilaian ini meletakkannya dalam sebuah kondisi
kesiapan untuk menerima bentuk intelijibel universal dari Kecerdasan Aktif dengan jalan
iluminasi. Tibanya kepada makna pada citra-citra partikular yang semua tambahan materialnya
telah diabstraksi oleh iluminasi Kecerdasan Aktif adalah berkaitan dengan penangkapan langsung
dalam jiwa atau intelek yang disebabkan iluminasi yang datang secara langsung dari Kecerdasan
Aktif. Maka unsur-unsur makna yang ada dalam citra-citra tersebut bukanlah penyebab akan
produksi kembaran mereka dalam intelek. Tindakan Kecerdasan Aktif kepada intelek potensial,
menyebabkan penangkapan langsung yang kemudian mengubahnya menjadi sebuah intelek
aktual, adalah sangat seperti penangkapan langsung yang tiba oleh intelek dari hubungan serta
merta antara premis-premis dan kesimpulannya dalam silogisme. Maka aktifitas jiwa dalam
penilaian terhadap hal-hal partikular hanyalah untuk membawa dirinya kepada sebuah kondisi
kesiapan untuk menerima intelijibel dari Kecerdasan Aktif.165
Dalam hubungan dengan jiwa, intelek merupakan sebuah fakultas atau kekuatan jiwa
yang menjadi termanifestasi dalam manusia sebagai jiwa rasional. Kekuatan intelektif ini
merupakan sesuatu yang berbeda dari jiwa rasional, karena agen aktifnya adalah jiwa, dan intelek
dalam hal ini merupakan instrumennya, seperti pisau dan tindakan pemotongan. Tapi pada
kenyataannya intelek, jiwa, dan pikiran, menunjuk kepada entitas yang sama, yang disebut
intelek sebab entitas tersebut adalah perseptif; disebut jiwa sebab entitas tersebut memerintah
tubuh; disebut pikiran sebab entitas tersebut cenderung pada penangkapan terhadap realitas-
realitas.
Jiwa manusia, meski independen dari tubuh, namun membutuhkan tubuh dalam dunia
fisik ini dengan maksud memperoleh prinsip-prinsip akan gagasan-gagasan dan kepercayaan-
kepercayaan. Dengan hubungannya dengan tubuh, jiwa rasional menggunakan kekuatan hewani
untuk memperoleh, diantara data yang diberikan padanya oleh indera-indera, hal partikular.
Melalui hal partikular tersebut jiwa rasional memperoleh, diantara hal-hal lain, empat informasi
persoalan:
(1) Isolasi makna universal tunggal dari yang partikular dengan jalan abstraksi terhadap
makna-makna mereka dari materi dan hubungan material dan hubungan
penyambung; dan pertimbangan terhadap faktor-faktor umum yang membedakan
dalam eksistensi esensial dan aksidental mereka. Melalui proses ini jiwa memperoleh
prinsip-prinsip gagasan dengan menggunakan fakultas imajinasi dan estimasi, seperti
genus dan diferensia, aksiden umum dan partikular.166
165 Ma’ārij, hlm. 125; Shifā’, hlm. 208.
166 Sebuah genus adalah kelas objek pengetahuan yang lebih luas dari spesies; contoh, ‘hewan’. Diferensia
adalah bagian yang membedakan sebuah spesies dari spesies lain dari genus yang sama; contoh, ‘rasional’
dari genus ‘hewan’. Aksiden adalah penampakan, kejadian, peristiwa, bagian esensial dari substansi yang
secara berkelanjutan digantikan oleh yang serupa. Sebuah aksiden partikular adalah sebuah aksiden yang
tak terpisahkan dari kelas objek, seperti ‘kehitaman’ dari gagak. Sebuah aksiden umum adalah aksiden
yang terpisah yang mengizinkan beberapa anggota dari kelas untuk dibedakan dari anggota lain dari kelas
yang sama, seperti kuda ‘putih’ atau ‘gemuk’ dari kuda ‘hitam’ atau ‘kurus’; hal tersebut secara sepadan
mengizinkan sesuatu untuk dibedakan dari dirinya sendiri pada waktu yang berbeda, sebagaimana terjadi
dalam semua kasus pertumbuhan dan pembusukan.
123 Prolegomena
(2) Pembangunan hubungan komparatif dan perbandingan antara bentuk universal
tunggal dengan cara negasi dan afirmasi.
(3) Perolehan premis-premis empiris, yang didapat dengan indera-indera melalui
pengalaman inderawi, dan dengan proses penalaran dari kasus yang paralel, atau
analogi, melalui observasi yang berulang.
(4) Berita yang secara bergantian disampaikan dimana disandarkan kepercayaan-lemah
yang benar.167
Kita telah demikian jauh menjelaskan secara ringkas dan umum aktifitas intelektif jiwa
dalam jalur keterlibatan kognitifnya di wilayah eksistensi material dan intelijibel, dunia materi
kasar dan dunia gagasan murni. Kita mengangkat bahwa aktifitas ini terdiri dalam abstraksi
materi dan tambahannya dengan indera-indera eksternal dan internal dan intelek. Karena kita
katakan bahwa jiwa merupakan substansi spiritual yang independen dari tubuh, dan karena
penjelasan terhadap aktifitas intelektif jiwa dan keterlibatan kognitif ini menyentuh dunia materi
dan intelek, tubuh dan pikiran, dapat salah ditafsirkan bahwa ketika tubuh tidak lagi hidup
kemudian jiwa kembali kepada dunia intelektual yang murni akan abstraksi penuh.168 Tetapi
kesadaran jiwa terhadap dirinya sendiri bukan hanya sesuatu yang intelektual dalam alam,
kesadaran tersebut juga sesuatu yang imajinal; dan ini berarti bukan hanya kekuatan intelektif
jiwa yang selamat dari kematian fisik, tetapi juga kekuatan imajinatif. Imajinasi merupakan
kekuatan kognitif dari jiwa. Kita di sini tidak menunjuk kepada aspek imajinasi yang disebut
fantasi, tetapi pada imajinasi ‘kreatif’ spiritual atau intelejensial yang merefleksikan dunia nyata
akan citra (‘ālam al-mithāl) yang secara ontologis ada secara independen diantara dunia kasar dan
dunia gagasan murni. Dunia perantara ini merefleksikan realitas-realitas dalam dunia murni
intelijibel yang pada gilirannya diproyeksikan olehnya dalam bentuk refleksi tidak sempurna
dalam dunia indera dan pengalaman inderawi.169 Hal-hal dalam dunia citra, yang ada dalam
realitas, sifat-dasar mereka sebagai citra tidak menjadi baik intelijibel murni maupun secara kasar
material. Citra, sebagaimana yang ada dalam kondisi mimpi, memiliki bentuk dan keluasan dan
kuantitas, namun mereka bukan material; mereka mengambil kedua aspek realitas, yang material
dan intelijibel, tetapi dalam sifat-dasarnya bukan salah satu yang tersebut maupun yang lain.
Mereka dengan demikian tidak seperti Idea Plato yang merupakan abstraksi murni dari intelek.170
167 Ma’ārij, hlm. 101-102; Shifā’, hlm. 197; Najāt, hlm. 220-221.
168 Psikologi jiwa manusia yang digoreskan dalam halaman depan, yang telah kita parafrasekan dari Ma’ārij
karya al-Ghazāli, secara besar diturunkan al-Ghazāli dari Shifā’ dan Najāt dari ibn Sinā sebagaimana
ditunjukkan dalam catatan referensi. Bagaimanapun, al-Ghazāli telah menambahkan modifikasi penting
miliknya sendiri. Dia kenyataannya juga memberikan ringkasan teori dari filsuf tentang kekuatan hewani
dan rasional dari jiwa dalam karyanya Tahāfut (Kairo, 1321H., hlm. 70-71), mengatakan bahwa apa yang
mereka afirmasi tidak berlawanan dengan agama — sebaliknya, agama meminjam dukungan dari teori
mereka dalam hal ini. Hanya saja klaim mereka dengan hal keutamaan intelek sebagai petunjuk satu-
satunya untuk pengetahuan sifat-dasar mendasar realitas kemudian dibantah (Tahāfut, hlm. 71). Agama,
terlepas dari menekankan peran kognitif dari intelek (‘aql) menekankan tidak kurang peran hati (al-qalb)
sebagai organ spiritual dari kognisi. Hati, juga disebut fu’ād, adalah organ persepsi spiritual (lihat untuk
contohnya dalam Qur’ān Suci, Al-Najm (53): 11). Persepsi spiritual ini, yang merupakan sifat-dasar dari
pengalaman perseptif dan rasa, terhubung dengan fakultas imajinatif dari jiwa. Lihat skema jiwa pada hlm.
176 di bawah.
169 Dunia Citra atau ‘ālam al-mithāl berhubungan dalam istilah teologis pada barzakh, yakni, sebuah dunia
perantara yang di dalamnya orang yang telah meninggal memasuki dan tinggal untuk sebuah periode dari
waktu kematian hingga kebangkitan.
170 Gagasan dunia nyata akan citra (‘ālam al-mithāl) dan sains simbolisme menyentuh pada interpretasi akan
refleksi dunia itu dalam dunia kita akan indera dan pengalaman inderawi, yang memiliki akar mereka pada
124 Prolegomena
Dengan demikian ketika kita berbicara abstraksi intelek terhadap materi dan tambahan
aksidentalnya, hal tersebut seharusnya tidak dipahami dengan demikian berarti bahwa jiwa
mengakibatkan penggundulan utuh terhadap bentuk-bentuk dalam pengertian; materialitas dalam
materilah yang diabstraksi intelek dan bukan pula imajinalitas, karena citra bukanlah materi dan
materialitas tidak menyentuh mereka. Imajinasi yang kita maksud, yang merupakan sebuah
fakultas kognitif atau kekuatan jiwa, seperti intelek, adalah immaterial, dan oleh karena itu tidak
‘mengandung’ citra. Ketika kita berbicara bentuk-bentuk intelijibel yang ada ‘dalam’ pikiran, atau
citra yang ada ‘dalam’ imajinasi kognitif, kita tidak bermaksud bahwa bentuk atau citra tersebut
itu ‘terkandung’ di dalam mereka; melainkan bahwa mereka merupakan konstruksi intelek atau
jiwa selama inteleksi terhadap mereka sedemikian sehingga mereka ‘hadir’ pada intelek, dan
karenanya ditunjuk sebagai terdapat ‘dalam’ pikiran; dan produksi imajinasi kognitif sebagaimana
melibatkan dirinya sendiri dalam memproyeksikan dunia inderawi.
Dalam kondisi sekarang, ketidakmampuan intelek memahami atau menerima entitas-
entitas abstrak tidak berkaitan dengan sifat-dasar esensialnya, maupun berkaitan dengan sifat-
dasar entitas-entitas abstrak, melainkan berkaitan pada keasyikannya sendiri dengan tubuh yang
dibutuhkan intelek seperti telah kita sebutkan. Kondisi ketertarikan dengan tubuh ini mencegah
intelek menerima realitas-realitas abstrak dalam sifat-dasar asli mereka sebab tubuh bertindak
sebagai halangan. Namun, ketika kesadaran terhadap tubuh dan diri atau ego subjektif
ditundukkan, intelek akan mampu membuat hubungan dengan Kecerdasan Aktif dan akan
mampu menerima realitas abstrak seperti apa adanya mereka.171
Tidak seperti intelek, yang mengalami perubahan dari kondisi potensialitas kepada
aktualitas, imajinasi sejak awalnya bersifat aktif. Aspek imajinasi tersebut yang kekuatannya
diarahkan menuju dunia indera dan pengalaman inderawi merupakan imajinasi sensitif atau
fantasi. Imajinasi tersebut melayani intelek praktis dengan menyediakan bentuk atau citra dan
makna partikular objek pengetahuan. Imajinasi tersebut juga sumber penghasil khayalan. Dalam
pertentangan dengan imajinasi sensitif, aspek imajinasi yang kekuatannya diarahkan menuju
alam intelek dan realitas spiritual adalah imajinasi kognitif, yang mampu merefleksikan bentuk-
bentuk dunia nyata dari citra. Akan tetapi, karena posisi-antara dunia citra, dan berkaitan dengan
fungsi ganda imajinasi yang diluruskan padanya, hal tersebut menjadi terlibat dalam operasi
terhadap kekuatannya baik dengan alam inderawi dan intelijibel, imajinasi tersebut tidak dapat
asyik pada dirinya sendiri dengan dunianya akan citra nyata tanpa pengalihan.172
Kita katakan dalam catatan bahwa hati (qalb) merupakan organ subtil dari kognisi yang
terhubung dengan fakultas imajinatif dari jiwa. Hati itu seperti cermin yang selalu-bolak-balik
dalam arah yang berbeda. Ketika bentuk muncul di depannya citra mereka terefleksikan di
tempat itu. Bentuk mereka sendiri tetap selalu di tempat mereka di luar cermin, sehingga mereka
tidak dipindahkan ke dalamnya pada perluasan bahwa cermin dapat mengandung mereka.
Hanya citra mereka yang direfleksikan dalam cermin. Dalam cara yang sama, hanya ketika cermin
hati berbalik menuju arah yang benar tanpa teralihkan menuju yang lain, dan jika hal tersebut
tidak kurang dalam kekuatan refleksinya dan telah mencapai kualitas yang sangat jelas jiwa
al-Ghazāli dan mungkin juga dalam ibn Sinā. Dalam Ma’ārij, al-Ghazāli telah memberi elaborasi meski
singkat akan kekuatan imajinasi (hlm. 135-145; lihat juga hlm. 125-134). Hal ini telah dikembangkan dalam
pemikiran metafisis muslim khususnya oleh ibn ‘Arabī, yang menurunkan banyak interpretasinya pada
sifat-dasar realitas dari tulisan-tulisan al-Ghazāli. Lihat lebih lanjut Mishkāt dari al-Ghazāli, yang
merupakan komentar yang dalam pada Ayat Cahaya dalam teks Suci, dan kesimpulan pada pengenalan
umum ‘Afīfī pada Mishkāt, hlm. 34-35. Lihat juga ibn ‘Arabī, Fusus, Kairo, 1964, hlm. 99-104; dan karya ‘Afīfī
Ta’līqāt pada Fusūs, hlm. 74-76; 105-118.
171 Ma’ārij, hlm. 127; lihat juga Najāt, hlm. 219-220.
172 Ma’ārij, hlm. 137.
125 Prolegomena
manusia akan mampu menerima secara jelas bentuk-bentuk sejati dan benar dari alam
intelejensial dan spiritual.173 Bayangkan dirimu sendiri di dalam sebuah objek bulat yang tak
tembus cahaya. Objek bulat ini ada di dalam objek bulat lain yang serupa, dan yang lain itu di
dalam yang lain lagi, semuanya masing-masing memiliki lubang tunggal. Kini semua objek bulat
tersebut terbalik, berputar dalam arah yang berbeda. Hanya ketika kamu memiliki kekuatan
membuat objek bulat tersebut berputar dan memutar sedemikian rupa sehingga lubang mereka
akan datang dalam sebuah garis hubung satu sama lain barulah sinar dari luar bersinar
melewatinya, memampukanmu melihat baik apa yang di dalam dan yang di luar.
Kekuatan imajinasi tidaklah sama pada manusia dan berbeda sesuai dengan derajat
keunggulan intelektual mereka dan kemuliaan jiwa. Beberapa lebih kuat dari yang lain, sehingga
mampu melihat penglihatan yang benar dari dunia perantara tersebut dan yang lain mungkin
tidak bisa. Kita yang mengafirmasi kenabian tidak dapat menolak kemungkinan bahwa bentuk-
bentuk dunia citra yang direfleksikan dalam imajinasi kognitif dapat tercetak dalam imajinasi
sensitif atau fantasi pada tingkatan bahwa penerima bentuk tersebut dapat sungguh-sungguh
melihat mereka dalam tampilan inderawi mereka. Tentu saja, dalam kasus Nabi Suci, untuk
contoh, imajinasi kognitifnya begitu kuat sehingga dia mampu menerima realitas intelijibel dalam
bentuk inderawinya (contoh malaikat dalam bentuk manusia); dan realitas inderawi dalam
bentuk intelijibel (contoh yang mati sebagai hidup di dunia lain).174
Maka fungsi imajinasi adalah menciptakan hal-hal yang inderawi, atau lebih jiwa
sendirilah yang menciptakan hal-hal inderawi dan bentuk yang dapat dipersepsi dari dalam
dirinya sendiri maupun citra objek yang tidak dapat diterima. Maka entitas yang berpikir dan
merasa yang padanya persepsi, apakah sensitif, imajinatif, dan intelektif, yang dihubungkan pada
kenyataannya bukanlah indera-indera internal dan internal, tetapi jiwa itu sendiri yang
menggunakan kekuatan kognitif dari kecerdasan dan imajinasi. Oleh karena itu jiwa bukanlah
sesuatu yang pasif; jiwa itu kreatif, dan melalui persepsi, imajinasi dan kecerdasan jiwa
berpartisipasi dalam ‘penciptaan’ dan interpretasi dunia indera dan pengalaman inderawi,
terhadap citra-citra, dan bentuk-bentuk intelijibel atau gagasan.
Jiwa, menurut tradisi Nabi Suci, diciptakan sebelum tubuh,175 berarti jiwa ada jauh
sebelum tubuh. Beberapa komentator berpikir bahwa kata ‘tubuh’ (tung. jasad) yang digunakan
dalam tradisi, lebih menunjuk kepada tubuh langit atau fisik. Dalam hal kata ‘ruh’ (tung. rūh)
yang muncul dalam tradisi yang sama dan yang dipahami menunjuk kepada jiwa, mereka
katakan bahwa hal itu menunjuk kepada entitas-entitas malaikat. Pandangan mereka dalam hal
ini merefleksikan posisi mereka yang sama saja dengan menolak pra-eksistensi jiwa, dan
nampaknya berasal dari posisi yang diambil ibn Sinā, yang berargumentasi berdasarkan prinsip
fisika, bahwa mustahil bagi jiwa berada sebelum tubuh. Pra-eksistensinya menurut prinsip
tersebut menyertakan beingnya baik sebagai kesatuan sederhana atau pluralitas, yang keduanya
itu mustahil. Lebih lanjut, argumen ibn Sinā terhadap pra-eksistensi jiwa diarahkan terhadap
doktrin metempsychosis (al-tanasukh).176 Beberapa pemikir Muslim dan para penulis nampaknya
mengambil argumen demikian sebagai sesuatu yang meyakinkan dan menolak pra-eksistensi
173 Ma’ārij, hlm. 93.
174 Ma’ārij, hlm. 78.
175 Ini adalah hadits yang cukup dikenal juga disampaikan dalam Ma’ārij, hlm. 111. Namun, Al-Ghazāli,
memberikan interpretasi terhadapnya yang diluruskan dengan posisi para filsuf yang, mengikuti
Aristoteles, mempertahankan bahwa setiap jiwa diciptakan untuk menempati tubuh partikular, yang
dengan demikian menolak pra-eksistensi jiwa. Tapi posisi ini, seperti kita akan nyatakan segera,
nampaknya tidak memiliki daya meyakinkan yang nyata dan jika dipandang demikian sebagai tidak dapat
dipertahankan.
176 Shifā’, hlm. 198-201; 202 fol; Najāt, hlm. 222-230. lihat juga Ma’ārij, hlm. 105-115.
126 Prolegomena
jiwa. Dalam hal bagian dalam Qur’ān Suci yang menunjuk pada penciptaan manusia dimana
Tuhan berkata bahwa setelah membentuknya (cth. membentuknya sebagai tubuh), Dia
menghembuskan ruh-Nya padanya,177 hal ini tidak menunjukkan secara meyakinkan bahwa
eksistensi tubuh itu lebih dahulu dari jiwa. Hal tersebut juga dapat diinterpretasikan bahwa ruh
yang dihembuskan ke dalam tubuh sudah menyiratkan tentang pra-eksistensi jiwa. Lebih lanjut,
dalam ayat lain dalam Qur’ān Suci Tuhan berkata: ‘Kamilah Yang menciptakanmu (cth. ruh atau
jiwa) dan kemudian Kami membentukmu (cth. tubuh).178 Dengan hal pada interpretasi ini istilah
jasad yang dimaksud, dalam tradisi yang ditunjuk di atas, bukan menunjuk kepada tubuh
manusia atau organik, tetapi tubuh fisik atau langit, kesaksian penggunaan linguistik
mendemonstrasikan bahwa jasad sinonim dengan badan, yang secara berbeda menunjuk kepada
tubuh organik dan tubuh manusia; sedangkan sebuah tubuh fisik atau langit itu biasa ditunjuk
dengan istilah jisim, meskipun jisim juga digunakan secara sinonim dengan jasad. Perbedaan biasa
antara jisim dan jasad itu, bagaimanapun, bahwa yang terdahulu menunjuk kepada tubuh dalam
genus kuantitas, sedangkan yang kemudian menunjuk kepada tubuh dalam genus hewan.179
Tapi kita tidak sepakat dengan posisi mereka akan jiwa. Kesetiaan mereka pada prinsip
fisika dalam menolak pra-eksistensi jiwa merefleksikan posisi esensialis atau mereka yang
mengafirmasi keunggulan kuiditas daripada eksistensi. Kita mempertahankan bahwa posisi
mereka terhadap jiwa itu membingungkan, dan memang ibn Sinā sendiri nampaknya telah
mengontradiksikan posisinya sendiri tentang pra-eksistensi jiwa dalam psikologi dan filsafat
timurnya, dimana keberadaan kedahuluan jiwa sudah tersirat.180 Kita tidak mengakui bahwa
prinsip fisika harus serta merta dibawa begitu tegas sebagai sifat-dasar jiwa yang diperhatikan.
Lebih lanjut, kita tidak mengakui bahwa afirmasi kita terhadap pra-eksistensi jiwa berhubungan
dengan doktrin metempsychosis, sejauh menyentuh pada dunia — yang juga kita tolak.181 Maupun
kita mengakui, dalam mengafirmasi pra-eksistensi jiwa dalam hubungan dengan tubuh, bahwa
kita percaya jiwa itu serta merta abadi (azali), karena kita mengafirmasi bahwa jiwa itu
diciptakan. Lebih lanjut, sejalan dengan mereka yang mengakui keunggulan eksistensi dari
kuiditas, posisi kita tentang pra-eksistensi jiwa tidak dapat disamakan dengan Platonisme atau
Neoplatonisme. Kita katakan, dengan al-Junayd dan yang lain,182 bahwa pra-eksistensi jiwa
menunjuk kepada kondisi yang tidak seperti eksistensi yang kita kenali, tetapi sebuah eksistensi
dalam kondisi interior Being, dalam kesadaran Tuhan. Pada kondisi eksistensi ini ditunjuk oleh
kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci ketika Dia memanggil pada jiwa: “Bukankah Aku Rabbmu?”
dan mereka menjawab: “Ya tentu saja!”183 dengan sebab kekuatan yang Tuhan berikan kepada
mereka untuk menanggapi panggilan-Nya, kita menyimpulkan bahwa jiwa mengetahui Tuhan
sebagai Rabbnya; jiwa mengetahui dirinya sebagai ciptaan-Nya; jiwa mengetahui jiwa lain yang
berbeda dari dirinya sendiri; dan jiwa memiliki kekuatan menangkap apa yang dikomunikasikan
pengetahuan. Untuk alasan ini — yakni, kepemilikan jiwa akan kekuatan kognitif membuatnya
mampu mengidentifikasi Rabb dan Pencipta-nya, dirinya, dan yang lain yang seperti dirinya, dan
membuat pembedaan maupun merumuskan dan mengomunikasikan tanda yang bermakna
177 Al-Hijr (15): 29.
178 Al-A’rāf, (7): 11. Lebih khusus, Al-’A’lā (87): 2.
179 Lihat karya saya Commentary on the Hujjat al-Siddīq, Ministry of Culture Malaysia, Kuala Lumpur, 1986,
hlm. 330, catatan 463, Chlm. Lisān al ‘Arab, vol. 3, hlm 120, kol. 1 dan 2; vol. 12, hlm. 99, kol. 1.
180 Contohnya al-Najāt, hlm. 223; dan Komentar Fazlur Rahman dalam Avicenna’s Psychology, London, 1952,
hlm. 107, dengan referensi pada bab. XII, hlm. 57. Lihat juga puisi ibn Sinā pada jiwa disebut Al-Qasīdatu
‘I-’ayniyyah, tr, oleh A.J. Arberry dalam Avicenna’s Theology, London, 1951 hlm. 77-78.
181 Lihat Tahafut, hlm. 86-87.
182 Junayd, Kitab al-Mithaq, hlm. 40-43; al-Kalabadhi, Kitab al-Ta’aruf; Bayrut, 1400/1980, hlm. 68.
183 Al-A’rāf (7): 172.
127 Prolegomena
dengan kekuatan bawaan akan berbicara (cth. nutq dengan referensi pada istilah qawl) – jiwa
disebut jiwa ‘rasional’.184 Hal ini juga berarti bahwa jiwa sudah memiliki beberapa bentuk
pengetahuan dari alam spiritual sebelum tambahannya kepada tubuh. Tubuh manusia dan dunia
indera dan pengalaman inderawi mengandaikan jiwa tersebut dengan sekolah untuk pelatihan
untuk mengetahui Tuhan juga, pada saat ini melalui tabir ciptaan-Nya.
184 Cth. al-nafs al-natiqah. Natiq menandakan kekuatan penalaran, fakultas rasional, dan berhubungan pada
istiah Yunani logos dan Latin ratio. Itu menunjuk pada fakultas dalam yang menangkap realitas dan
merumuskan makna melibatkan keputusan, pembedaan dan klarifikasi. Itu diturunkan dari akar bahasa
Arab yang sama yang mengandung makna dasar dari ‘bicara’, menandakan kekuatan tertentu dan
kapasitas untuk mengartikulasikan kata atau bentuk simbolik dalam pola bermakna. Mantiq, bahasa Arab
untuk logika, adalah diturunkan dari akar yang sama dan termasuk di dalamnya struktur semantik yang
dikandung oleh ma’qul, yang merupakan karakter intelijibel dari sesuatu seperti dipegang pikiran. Dalam
pengertian ini, ratio dapat dipahami sebagai sinonoim denga ma’qul, yang dalam bahasa Latin adalah
intentio. Menurut al-Ghazali, entitas ini yang kita sebut ‘jiwa rasional’ dan yang kita identifikasi dengannya
yang ditunjuk dalam ayat Qur’ān yang disebutkan di atas, menandakan aspek kedua dari hati (qalb)
menunjuk pada halaman 5 di atas. Entitas ini juga diidentifikasi olehnya sebagai ruh manusia (ruh) yang
membawa kepercayaan (amanah) yang dijamin Tuhan, dan yang dengan sifat-dasar diciptakan dengan
kekuatan dan kapasitas untuk hidup berpusat akan pengetahuan. Atu adalah, dengan perkataannya “Ya
tentu saja!” (bala), yang mengakui keesaan Ilahi. Itu juga akar asli (asl) dari manusia, yang mana kondisi
pokok dari eksistensi akan kembali pada dunia yang akan datang. Lihat Ma’ārij, hlm. 17.
128 Prolegomena
Jiwa
Manusia atau Rasional
Intelek Aktif Intelek Kognitif
Rasio Praktis Rasio Teoritis.
Prinsip dari Intelek; Material;
pergerakan tubuh Mungkin; Posesif;
manusia. Perolehan. Persepsi
mengarahkan akan sifat-dasar sejati
tindakan individu dari intelijibel yang
setelah secara hati- diabstraksi dari
hati dalam materi, ruang, posisi.
berdasarkan dengan Terhubung dengan
apa yang disetujui bentuk yang lebih
rasio atau fakultas tinggi dari tatanan
teoritis. eksistensi yang lebih
Memerintah sub- tinggi.
fakultas dari tubuh Imajinasi.
dan persoalan etis
melalui imajinasi
rasional.
Emosi. Seni.
Keputusan.
Sifat Buruk dan
Kebajikan.
Kehidupan Etis.
Hewan Perseptif
Motif Indera-indera Indera-indera
Penggerak Penggiat eksternal internal
pergerakan
Appetitive Bangkitkan Peraba Indera umum
Penciuman Representasi
Mengarah- kan kemuncu- lan Pengecap Estimasi
Penglihatan Retensi-
pergerakan pergerakan Pendengaran Rekoleksi
Imajinasi
didorong oleh melalui saraf-
sub-fakultas saraf, otot,
dari Hasrat dan urat, dan
Amarah. ligamen.
Penerima Penerima
Sensitif dari Rasional dari
bentuk-bentuk bentuk-bentuk
inderawi intelijibel
Vegetatif
Nutrisi Pertumbuhan Reproduksi
129 Prolegomena
V
INTUISI AKAN EKSISTENSI
Penglihatan metafisis terhadap dunia dan realitas mendasar yang digambarkan dalam
Islām berbeda dari yang diproyeksikan oleh pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains
modern.185 Kita mempertahankan bahwa semua pengetahuan tentang realitas dan kebenaran, dan
proyeksi penglihatan yang benar akan sifat-dasar mendasar dari hal-hal itu secara asli diturunkan
melalui perantara intuisi.186 Intuisi yang kita maksud tidak dapat secara sederhana direduksi
kepada yang hanya beroperasi di tingkatan fisik dari rasio diskursif berdasarkan pada
pengalaman indera, karena kita mengafirmasi pada manusia akan kepemilikan kekuatan dan
fakultas fisik maupun kekuatan kecerdasan atau spiritual yang menunjuk kembali kepada entitas
spiritual, yang kadang-kadang disebut intelek, atau hati, atau jiwa, atau diri, maka eksistensi
rasional, imajinal dan empiris manusia harus terlibat baik di tingkatan fisik dan spiritual.187
Dalam pandangan terhadap manusia pada tingkatan fisik, atau keseharian, di tingkatan
biasa dari rasio dan pengalaman inderawi, dunia ini nampak baginya terdiri atas banyak bentuk
anekaragam dan anekawarna, yang masing-masing dipisahkan dari yang lain karena bentuk
individu, ukuran, warna, karakter, batasnya sendiri dan determinasi sedemikian, sehingga
masing-masing nampak bagi manusia sebagai sebuah objek independen dan swa-berada, atau
entitas yang memiliki realitas atau esensi individual. Dalam pandangan terhadap realitas pada
tingkatan pengalaman ini, dunia fenomena, dimana juga termasuk manusia, menghadirkan
dirinya sendiri sebagai dunia akan keanekaragaman dan multiplisitas, dimana semua proses
kognitif dan keinginan muncul dalam kerangka-kerja yang memerlukan dikotomi subjek-objek.
Pengalaman yang beroperasi pada tingkatan ini pasti melibatkan keterpisahan dimana-mana dan
pada semua hal; dan untuk alasan ini manusia dengan pengalaman spiritual dan penglihatan
spiritual menyebut kondisi ini sebagai ‘perpisahan’ (farq) — pastinya, sebagai ‘perpisahan
pertama’ (al-farq al-awwal).
Menyebut kondisi keterpisahan ini pada tingkatan pengalaman ini sebagai ‘perpisahan
pertama’ berarti terdapat sebuah kemungkinan bagi manusia — tergantung kepada
perkembangan intelektualnya, kondisi urusan keagamaan dan spiritualnya, dan kemurahhatian
Tuhan — untuk melampaui dan kembali padanya, sehingga baginya pengalaman akan dunia
fenomena setelah dia kembali padanya akan menjadi kondisi ‘perpisahan kedua’ (al-farq al-thānī).
Tentu saja, untuk orang seperti itu, dan meskipun dunia yang sama akan multiplisitas dalam
kondisi keterpisahan menghadang dia lagi, tetapi dunia tidak lagi terlihat sama seperti yang dia
tahu sebelumnya, yakni pada tahap ‘perpisahan pertama’ yang umum bagi semua orang; karena
selama pelampauannya itu dia mengalami verifikasi tentang sifat-dasar sejatinya, dia telah meraih
pengetahuan tertentu tentang sifat-dasar sejatinya sedemikian rupa sehingga kini, pada tahap
‘perpisahan kedua’, lalu melihatnya secara keseluruhan dalam sinar yang berbeda. Kondisi
pelampauan ‘perpisahan pertama’ ini melibatkan perubahan dalam manusia, yang tanpanya dia
akan terus terikat pada tingkatan rasio dan pengalaman biasa dalam keberadaannya.
‘Perpisahan’ yang kita diskusikan pada kenyataannya mengandung dua konotasi.
Konotasi pertama menunjuk pada ‘perpisahan’ Tuhan atau Yang Absolut dari dunia ciptaan
dalam cara sebagaimana dipahami manusia. Kita katakan ‘dalam cara sebagaimana dipahami
manusia’ sebab pada kenyataannya tidak ada ‘perpisahan’ semacam itu. Dengan demikian
185 Lihat di atas, bab III.
186 Bahkan pengetahuan akan kebenaran intelijibel secara mendasar diturunkan dari prinsip intuitif. Lihat karya ibn
Sinā, Kitāb al-Najāt, (op. Cit.), hlm. 206.
187 Lihat di atas, bab IV.
130 Prolegomena
kondisi ‘perpisahan’ merupakan kondisi yang dibuat perlu oleh rasio dan pengalaman manusia
pada tingkatan biasa, dimana kondisi fakultas kognisi dan kemauannya menampilkan fungsi
normal mereka. Fakta bahwa kondisi ini disebut ‘perpisahan pertama’ — terlepas dari menyiratkan
kemungkinan kondisi lebih lanjut yang diketahui sebagai ‘perpisahan kedua’ seperti telah kita
angkat — juga menyiratkan kondisi yang terdahulu darinya, dimana tidak ada perpisahan
tersebut. Istilah ‘pertama’ dan ‘kedua’ dilekatkan pada ‘perpisahan’ menunjuk kepada kondisi
manusia pada tingkatan pengalaman yang berbeda. Dengan cara yang sama, istilah ‘terdahulu’
dilekatkan kepada ‘perpisahan’ juga menunjuk pada manusia meski tidak, pastinya, pada kondisi
manusia. Hal tersebut menunjuk kepada manusia dalam kondisi spiritual, yakni pada pra-
eksistensi jiwa sebelum dia menjadi manusia sebagai makhluk hidup. Kondisi ‘pra-perpisahan’
disebut dalam Qur’ān Suci:
‘Ketika Rabbmu mengambil dari anak Adam — dari kesiapan mereka – keturunan mereka,
dan membuat mereka bersaksi atas diri mereka (berkata): “Bukankah Aku Rabbmu?” —
mereka berkata: “Ya kami bersaksi!”188
Al-Junayd, dalam penjelasan terhadap bagian ini, mengatakan:
Dalam ayat ini Tuhan memberitahukanmu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada
waktu mereka tidak ada, kecuali sejauh mereka ada bagi-Nya. Eksistensi ini tidak dalam
jenis eksistensi yang sama yang biasanya dilekatkan kepada ciptaan Tuhan, hal itu
merupakan jenis eksistensi dimana hanya Tuhan yang tahu dan hanya Dia yang sadar
akan mereka. Tuhan mengetahui eksistensi mereka, merangkul, mereka pada awal ketika
mereka merupakan non-maujud dan tak sadar terhadap eksistensi masa depan mereka di
dunia ini...189 Dalam eksistensi mereka yang nir-waktu di hadapan-Nya dan dalam kondisi
kesatuan dengan-Nya Dialah yang menanggung keberadaan mereka. Ketika Dia
memanggil mereka dan mereka menjawab dengan cepat, jawaban mereka merupakan
pemberian yang ramah dan murah hati dari-Nya... Dia memberi mereka pengetahuan
akan-Nya ketika mereka hanya konsep yang Dia telah pahami....190
Di sini jiwa manusia dibuat ‘bersaksi’ (ashhada) kepada diri mereka sendiri aktualitas akan
Ke-Rabb-an Tuhan dalam pengertian bahwa mereka sungguh tahu dengan pengalaman dan
penglihatan langsung (shuhūd) terhadap Realitas dan Kebenaran yang diungkapkan kepada mereka.
Dengan demikian dan dengan pengakuan mereka sendiri mereka telah menyegel Perjanjian
dengan Tuhan untuk mengenali dan mengakui-Nya sebagai Rabb (rabb) mereka, yakni, Empunya
Absolut, Pemilik, Pencipta, Pengatur, Pemerintah, Tuan, Pengasih, Pemelihara. Pengenalan dan
pengakuan sedemikian, yang merupakan basis mendasar agama dalam Islām,191 menyertakan
kesadaran keterpilahan antara Rabb dan diri mereka sendiri. Namun, kesadaran pemilahan antara
Rabb dan pelayan (‘abd), muncul di dalam konteks spiritual akan ‘penyatuan’, dan bukan konteks
manusia akan ‘perpisahan’. Kita akan kembali nanti untuk mengelaborasikan hal ini dalam
pembahasan yang berkaitan. Konotasi kedua menunjuk kepada ‘perpisahan’ dalam kesadaran
dan pengalaman keterpisahan dimanapun dan pada semua hal yang menyusun dunia fenomena,
seperti telah kita jelaskan.
188 Al-A’rāf (7): 172.
189 Kitāb al-Fanā’, dalam karya Ali Hassan Abdel-Kader The Life, Personality, and Writings of al-Junayd, London,
1976, hlm. 32 dari teks bahasa Arab Rasa’il. Terjemahan bahasa Inggris dalam hlm. 153.
190 Ibid, Kitāb al-Mithāq, hlm. 40-41/160-161.
191 Lihat di atas, bab I.
131 Prolegomena
Pandangan manusia pada tingkatan fisik, atau keseharian, pada tingkatan rasio dan
pengalaman inderawi biasa, dimana hal-hal yang menyusun dunia multiplisitas mengambil
bentuk dan identitas konkret dan terpisah, merupakan pandangan umum (‘awāmm) orang-orang.
Mereka hanya melihat realitas multiplisitas di hadapan mereka, dan tidak di balik itu. Namun, di
antara pergumulan orang-orang dengan pandangan umum terhadap realitas ini terdapat juga
mereka yang mencapai derajat lebih tinggi dari persepsi terhadap kebenaran. Mereka mengenali
bahwa apa yang nampak di hadapan mereka bukan realitas satu-satunya, dan bahwa terdapat
realitas yang lain, yang berbeda sepenuhnya di baliknya, yang mereka pahami secara teologis
sebagai Tuhan, Yang terpisah dari dunia dan hubungan-Nya padanya merupakan Pencipta tanpa
ada ‘hubungan dalaman (inner)’ antara Dia dan ciptaan-Nya. Perluasan lebih lanjut dari
pandangan dualistik terhadap realitas ini adalah pandangan di antara para filsuf, teolog dan
saintis bahwa hal-hal eksternal dari dunia yang menyusun dunia bersama dengan semua
bagiannya memiliki inti swa-berada, realitas-realitas atau kuiditas-kuiditas substansial yang
menjadi subjek atau pengetahuan kita karena mereka dikualifikasikan oleh bagian yang inheren
pada mereka dari eksistensi. Eksistensi sebuah objek dilihat sebagai kualitas atau bagian dari
kuiditasnya, seolah-olah kuiditasnya dapat berada dengan dirinya sendiri lebih dahulu dari
eksistensinya. Dalam pandangan ini, perbedaan nyata telah dibuat antara kuiditas, yang mereka
tunjuk sebagai ‘esensi’, dan eksistensi; yang terdahulu diterima secara ontologis sebagai substansi
sejati, yang kemudian hanya sebagai aksiden dari substansi sejati. Kontoversi filosofis yang
menyentuh pada problem esensi dan eksistensi, yang telah dibawa di hadapan Barat dalam masa
kontemporer oleh pendiri esensialisme dan eksistensialisme berturut-turut, menurunkan asalnya
dari pandangan umum mendasar ini terhadap sifat-dasar realitas.
Pandangan realitas berdasarkan pada tingkatan rasio dan pengalaman inderawi biasa, dan
perkembangan filosofis dan saintifik yang berkembang darinya, tanpa ragu telah mengarah
kepada spekulasi filosofis dan saintifik pada keasyikan dengan hal-hal dan ‘esensi-esensi’ mereka
dengan mengorbankan eksistensi itu sendiri. Dilihat dari perspektif metafisika dan filsafat Islāmi
sebagaimana berdasarkan kebijaksanaan Qur’ān atau hikmah, posisi kita adalah bahwa kita tidak
membuat perbedaan nyata antara esensi dan eksistensi, ini untuk mengatakan, bahwa kita
mempostulasikan posisi tersebut hanya dalam pikiran, dan bukan dalam realitas ekstra-mental itu
sendiri. Dalam realitas ekstra-mental itu sendiri, apa yang dilihat sebagai kualifikasi dari begitu
banyak anekaragam dan warna ‘esensi-esensi’ dengan eksistensi dalam pandangan kita
merupakan determinasi dan pembatasan multiplisitas menjadi bentuk partikular dari yang
memeluk-semua dan meliputi yaitu Eksistensi Itu sendiri, sehingga yang dengannya hal-hal
adalah apa mereka sesungguhnya, atau diri dan realitas hal-hal yang merupakan inti eksistensi
mereka, tidak lain merupakan realitas Eksistensi yang meliputi-semua yang mengaktualisasikan
modus multiplisitas dan keanekaragamanNya dalam tindakan ekspansi dan kontraksi yang
berkelanjutan dalam gradasi dari tingkatan keabsolutan-Nya kepada determinasi majemuk
hingga mencapai alam indera dan hal-hal inderawi. ‘Suatu hal’ pada dirinya sendiri — yakni,
dianggap secara independen dari Realitas yang dengannya hal tersebut adalah hal itu adanya —
bukanlah sesuatu yang dalam kondisi be-ing, sebagaimana hal tersebut merupakan suatu hal yang
binasa; apa yang menjadi ‘ada’ (be) adalah aktualisasi dari salah satu modus Realitas dalam
samaran hal tersebut, seperti yang kita pegang dan anggap sebagai hal tersebut merupakan
modus tersebut yang sedang diaktualisasikan. Dengan demikian berdasarkan perspektif kita
Eksistensilah (wujūd) yang merupakan ‘esensi-esensi’ sejati dari hal-hal; dan apa yang secara
mental atau konseptual dipostulatkan sebagai ‘esensi-esensi’ atau kuiditas-kuiditas (māhiyyat)
pada kenyataannya merupakan aksiden-aksiden (a’rād) dari eksistensi.192
192 Penjelasan yang lebih elaboratif dari hal ini diberikan dalam bab VI di bawah.
132 Prolegomena
Sebagaimana didemonstrasikan oleh pengalaman tertinggi Nabi Suci dan dengan apa
yang dia bawa, semua pengetahuan itu datang dari Tuhan, dan diinterpretasikan jiwa melalui
fakultas-fakultas fisik dan spiritual. Kita telah katakan di lain tempat bahwa pengetahuan secara
epistemologis, dengan referensi pada Tuhan sebagai sumber asalnya, adalah tibanya dalam jiwa
akan makna suatu hal atau sebuah objek pengetahuan; dan dengan referensi pada jiwa sebagai
penafsirnya, pengetahuan adalah tibanya jiwa pada makna suatu hal atau sebuah objek
pengetahuan. Dengan demikian, pada tingkatan rasional dan empiris dari pengalaman biasa,
dimana dikotomi subjek-objek menutup dan mengesankan kondisinya terhadap kognisi dan
kemauan; dimana kesadaran-ego subjek serta merta berhadapan dengan multiplisitas objek
eksternal dari rasio dan pengalaman inderawi, pengetahuan menunjuk kepada intussuspection
jiwa akan makna objek tersebut dan bukan objek itu sendiri, melihat bahwa objek-objek tersebut
aksidental dalam sifat-dasar mereka dan, oleh karena itu tidak bertahan selama dua durasi. Terdapat,
seperti telah kita katakan, tingkatan lain dari pengalaman; dan bahkan pada tingkatan spiritual
yang lebih tinggi ini, rasio dan pengalaman tetap sebagai saluran absah yang dengannya
pengetahuan dicapai, hanya mereka ada dalam tatanan transendental. Pada tingkatan ini yang
rasional bergabung dengan yang intelektual, dan yang empiris dengan apa yang menyentuh pada
pengalaman spiritual yang otentik seperti ‘kesaksian dalaman’ (shuhūd), ‘merasakan’ (dhawq),
‘kehadiran’ (hudūr) dan kondisi saling-terhubung dari kesadaran trans-empiris (ahwāl). Pada
tingkatan ini pengetahuan berarti ‘penyatuan’ (tawhīd) jiwa dengan inti Kebenaran yang
mendasari semua makna. Di sini jiwa tidak hanya mengerti, tetapi mengetahui realitas dan
kebenaran dengan pengalaman nyata dan langsung. Pengalaman nyata dan langsung yang
terkandung dalam ‘penyatuan’ dari yang mengetahui dan yang diketahui.193
Kita telah mengangkat dalam kasus seseorang yang melampaui tahap ‘perpisahan
pertama’, bahwa seseorang itu pasti pertama kali mengalami perubahan. Perubahan tersebut
menyentuh pada kesadaran-ego subjek. Pengetahuan sebagai ‘penyatuan’ yang mengetahui dan
yang diketahui hanya dapat terjadi ketika kesadaran-ego yang mengetahui, atau kesadaran
subjektif, telah ‘hilang’ (fanā’). Harus dicatat bahwa bahkan pada tingkatan fenomenal eksistensi
empiris seseorang mengetahui bahwa ketika seseorang mengikatkan dirinya dalam meditasi atau
perenungan mendalam dalam beberapa urusan yang menuntut perhatian penuh seseorang,
seseorang itu pada saat yang bersamaan tidak sadar dengan bagian tubuhnya. Dalam pengertian
terbatas kesadaran subjektif seseorang, selama kehilangan kesadaran terhadap bagian tubuhnya
yang merupakan unsur utama dari diri subjektif, dilunakkan sebab jiwa mengarahkan
konsentrasinya di tempat lain. Dengan demikian bahkan ketika pada tingkatan eksistensi dalam
dunia indera dan pengalaman inderawi kita dapat mengakui pengalaman tersebut
mengungkapkan beberapa penglihatan-mendalam ke dalam sifat-dasar kekuatan jiwa dan
aktifitasnya dalam kehadirannya pada makna, maka tidak ada alasan untuk menduga bahwa
193 Pada tingkatan rasio dan pengalaman biasa, ‘yang diketahui’ menunjuk kepada makna hal-hal, dan bukan hal-hal itu
sendiri; dan ‘penyatuan’ — jika kita menggunakan istilah itu pada tingkatan tersebut tidak berarti penyatuan dengan
objek material dari persepsi inderawi, tetapi dengan bentuk-bentuk intelijibel mereka yang telah diabstraksikan oleh
intelek dari semua karakter materialitas mereka. Unsur-unsur makna yang diturunkan intelek dari objek persepsi
inderawi tidak ditemukan dalam objek itu sendiri, tetapi merupakan konstruksi intelek atau jiwa sebagaimana diterima
dari iluminasi Kecerdasan Aktif. Objek material dalam dunia indera dan pengalaman inderawi pada diri mereka sendiri
merupakan hal partikular yang diubah intelek menjadi universal; dan pada diri mereka sendiri mereka hanya
menyediakan pijakan untuk penampakan khusus yang memunculkan pada proyeksi jiwa akan bentuk-bentuk inderawi
dalam dirinya sendiri. Pada tingkatan yang lebih tinggi, ‘kesatuan’ yang mengetahui dan yang diketahui berarti
identitas akan pemikiran dan being atau eksistensi. Eksistensi memiliki derajat-derajat yang berbeda, dan Eksistensi
atau Kebenaran Absolut memiliki sebuah derajat unik pada diri-Nya sendiri, dan sebuah derajat dalam hubungan
dengan yang lain selain diri-Nya. ‘Kesatuan’ menunjuk pada aspek yang kemudian dari Kebenaran. Oleh karena itu
‘kesatuan’ dengan Kebenaran berarti kesatuan bukan dengan Kebenaran sebagaimana Dia ada dalam diri-Nya sendiri,
tetapi sebagaimana Dia mewujudkan diri-Nya dalam bentuk salah satu Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
133 Prolegomena
kekuatan dan aktifitas tersebut berakhir di sini dan tidak dapat melampaui tingkatan ini untuk
beroperasi pada tingkatan eksistensi yang lebih tinggi dan congener yang kita diskusikan.
Karena bentuk yang banyak sekali dan beranekawarna, yang secara jelas didefinisikan
sebagai banyaknya objek independen yang menyusun dunia multiplisitas, dilihat sedemikian
rupa oleh subjek yang mengetahui, yang ‘kehilangan’, terhadap kesadaran subjektifnya serta
merta juga melibatkan ‘kehilangan’ bentuk-bentuk yang mendefinisikan multiplisitas fenomena
menjadi objek terpisah dari kognisi dan kemauan. Tapi pada waktu yang bersamaan, kehilangan
terhadap bentuk-bentuk itu secara keseluruhan bukan sebuah perkara subjektif; karena
multiplisitas maujud yang ditampilkan banyak sekali bentuk pada diri mereka sendiri itu tidak
sinambung dalam keberadaan mereka, sehingga bentuk-bentuknya binasa secara berkelanjutan.
Dengan demikian fanā’, ketika muncul, muncul baik secara subjektif dan objektif; fanā’ melibatkan
baik kondisi psikologis dan ontologis dari eksistensi; fanā’ merupakan kebetulan antara
kehilangan kesadaran subjektif yang juga menyertakan kehilangan objek dari kesadaran tersebut,
dan ketidaknampakan aktual dari objek itu sendiri. ‘Kehilangan’ kesadaran subjektif tidak secara
serta merta menyertakan — setidaknya pada tahap awal — pembatalan kesadaran dalam subjek
akan keterpilahan antara dirinya sebagai pelihat (seer) dan objek sebagaimana dilihat; subjek di
sini tetap sadar terhadap dirinya dalam kemampuan membedakan subjek yang melihat dan objek
yang dilihat.194 Sehingga hubungan subjek-objek tetap bertahan pada tahap awal fanā’ ini,
meskipun perubahan yang dia alami, baik dalam dirinya sendiri dan dalam multipisitas objek,
akan secara niscaya memandangnya tidak sebagai kondisi yang cukup sama akan dikotomi
subjek-objek pada tahap ‘perpisahan-pertama’, dimana di dalamnya semua hal terlibat dalam
kondisi pengaruh pada tingkatan pengalaman sehari-hari. Jika kesadaran subjek tidak berlanjut
terhadap dirinya pada tahap awal fanā’ ini, maka pengalaman tersebut tidak akan menghasilkan
pencapaian pengetahuan tertentu (ma’rifah) akan sifat-dasar sejati hal-hal sebagaimana
direfleksikannya dan direnungkan atasnya kemudian, ketika dia kembali pada ketenangan hati
dari kesadaran normal dan fenomenalnya.
Maka pada tahap awal ‘kehilangan’ akan kesadaran subjektifnya, yang mengetahui
mampu ‘menyaksikan’ ‘kehilangan’ bentuk-bentuk yang mendefinisikan multiplisitas dari
fenomena menjadi objek-objek yang terpisah. Apa yang mengetahui (knower) lihat sebagai pelihat
adalah ‘pengumpulan bersama’ (jam’) bentuk yang banyak sekali dari dunia fenomena menjadi
Realitas tunggal yang disatukan. ‘Penyaksian dalaman’ ini adalah melihat dan mengalami
Multiplisitas (kathrah) yang dikumpulkan bersama ke dalam Kesatuan (wahdah). Guncangan
dalaman yang terjadi menemani penglihatan yang menaklukan ini pada waktu yang bersamaan
dipertinggi oleh pengungkapan Tuhan akan sebuah aspek dari diri-Nya (tajallī) kepada diri yang
mengetahui dengan salah satu Nama-Nama (asmā’) atau Sifat-Sifat-Nya (sifāt). Tuhan dalam
aspek-Nya sebagai Being Absolut dalam semua bentuk-bentuk manifestasinya adalah ‘Kebenaran’
(al-haqq). Hal itu kenyataannya merupakan swa-pengungkapan Tuhan kepada manusia dalam
aspek partikular tersebut yang membawa kondisi fanā’, yang membuat dia tidak ada dan
menghilangkan kesadaran eksistensi individualnya. Secara mendasar, ketika sinar manusia akan
ruh makhluk hilang, tidak akan ada jejak kesadaran yang tertinggal dalam ego dari
kehilangannya. Manusia tersebut pada tahap ini telah ‘kehilangan akan kehilangan’ (fanā’ al-fanā’).
Sebagai ganti dari apa yang Tuhan telah hilangkan darinya, Tuhan meletakkan dalam diri
manusia, tanpa inkarnasi (hulūl), substansi spiritual (latīfah) yang merupakan Esensi-Nya (dhāt)
dan tidak terpisah dari-Nya maupun bergabung dengan manusia. Pengungkapan Tuhan akan
sebuah aspek diri-Nya adalah dibuat pada substansi spiritual tersebut, yang dinamakan Ruh Suci
194 Bandingkan. Ibn ‘Arabī, Fusūs al-Hikam, (op. cit), hlm. 91.
134 Prolegomena
(al-rūh al-qudus),195 karena Dia tidak pernah mengungkapkan kecuali pada diri-Nya sendiri. Kita
menyebut substansi tersebut ‘seorang manusia’ sebab hal tersebut merupakan pertukaran untuk
apa yang telah Tuhan hilangkan dari manusia, lalu mengambil tempat manusia tersebut daripada
akan manusia. Pada tahap ini dikotomi subjek-objek tidak lagi ada.196
Jika pengalaman fanā’ berhenti pada tahap ini karena kapasitas dan persiapan spiritual
manusia tidak bertahan, dan ketika nanti manusia tersebut, memperoleh kesadaran
fenomenalnya, lalu kembali pada tingkatan kondisi manusia dimana dunia multiplisitas
menghadangnya kembali dalam bentuknya yang banyak, refleksi dan perenungannya terhadap
pengalaman yang telah dialami, dalam absensi petunjuk dan bantuan Tuhan, dapat membawanya
kepada kepercayaan-kuat (conviction) yang salah bahwa dunia bersama dengan semua bagiannya
tidak lain hanya ilusi belaka. Berkaitan dengan kondisi spiritualnya yang kurang sempurna, dan
kepada pengalamannya yang tidak lengkap akan ‘penyibakan’ (kashf), dia kemudian dapat
percaya bahwa perpisahan dan hal-hal majemuk hanya khayalan dari imajinasi; bahwa hal-hal
partikular-fakta tersebut dalam eksistensi sesungguhnya apa yang disulap pikiran, dan bahwa
dalam realitas tidak ada partikularisasi dalam eksistensi. Dia akan percaya bahwa segala hal ada
dalam realitas Tuhan dalam pengertian panteistik atau bahkan pengertian monistik. Dia berpikir
bahwa Tuhan adalah dunia dan dunia adalah Tuhan, dan dirinya adalah Tuhan dan Tuhan
adalah dirinya sendiri. Diguncang oleh penglihatan subjektifnya sendiri, dia menjadi salah
seorang yang, sepertinya, terpeleset dari Jalan Benar dan jatuh ke dalam jurang kesalahan dan
bid’ah. Di antara orang-orang demikian ada juga mereka yang tidak memiliki pengalaman sejati,
tetapi yang menurunkan kemiripan tentang pengetahuan seperti itu dari rasio diskursif, dan
kemudian menyalahpahami persoalan itu dalam imajinasi mereka sendiri, tanpa pengalaman
sejati apapun dari fanā’ atau kashf.
Tapi tidak semua yang secara sejati mengalami ‘penyibakan’ tidak lengkap menjadi
terlibat dalam kesalahan dan bid’ah. Mereka yang dibimbing dan dibantu Tuhan dalam
menempuh jalan benar (cth. penerima tawfīq) sadar akan ketidaklengkapan penglihatan mereka
terhadap Realitas dan Kebenaran yang mereka saksikan selama kondisi ‘penyibakan’ ini; dan
mereka juga sadar bahwa ‘penyibakan’ itu sendiri hanya sebuah awal yang tidak lengkap.
Walaupun mereka mudah didorong untuk mengafirmasi hanya aspek kesatuan dari realitas,
dalam harmoni dengan realitas dari pengalaman mereka akan kesatuan, meskipun demikian
mereka mengonfirmasikan kebenaran agama yang dibawa Nabi Suci, dan menerima pengalaman
Yang Benar sebagai pembenar dan memiliki derajat yang lebih tinggi akan pencapaian spiritual
dan penglihatan spiritual daripada yang dimiliki mereka. Mereka juga mengonfirmasikan dalam
tindakan mereka sunnah Nabi Suci, dan mereka mengakui dalam diri mereka pemilahan
keagamaan antara ‘Rabb’ (rabb) dan ‘pelayan’ (‘abd), antara Pencipta dan ciptaan, dan bertindak
berdasarkan dengan keperluan yang niscaya. Dalam klasifikasi kita tentang persepsi manusia
terhadap kebenaran dan realitas, mereka itu harus dibedakan dari yang kebanyakan, yang kondisi
karakteristiknya telah kita gambarkan di atas, yang berada pada derajat yang lebih tinggi. Dalam
hierarki spiritual manusia, mereka diketahui sebagai ‘yang terpilih’ (al-khawāss) di antara pelayan-
pelayan Tuhan dan di antara mereka yang patuh secara terus menerus dimana Tuhan telah
mendekatkan mereka pada kediri-Nya sendiri, orang-orang suci sejati (awliyā’) atau ‘sahabat-
sahabat’ Tuhan.
Dalam kondisi spiritual mereka, mereka telah menyadari dalam diri mereka pengalaman
sejati dari apa yang disebut ‘kemiskinan’ (faqr), atau ‘kebutuhan yang cemas’ atau kondisi dalam
195 Ruh Suci dalam istilah filosofis diidentifikasi sebagai Kecerdasan Aktif yang mengiluminasi jiwa manusia dengan
pengetahuan dari realitas ketika jiwa telah mencapai bentuk yang lebih tinggi dari intelek perolehan (lihat lebih lanjut
bab IV di atas).
196 Bandingkan. ‘Abd al-Karim al-Jīlī, Al-Insān al-Kamīl, 2x., Kairo, 1956, vol. 1. hlm. 62.
135 Prolegomena
‘keinginan sepenuhnya’ yang mengobarkan agitasi intens dan kecemasan terhadap pengaruh
yang penting, yang lahir dari pengalaman fanā’ yang diikuti fanā’ al-fanā’. Dalam kondisi
‘kehilangan’ mereka ‘menyaksikan’ pembatalan utuh semua fenomena sedemikian rupa sehingga
hanya Aspek Tuhan yang tinggal;197 dan dalam ‘kehilangan dari kehilangan’ mereka mengalami
pembatalan utuh mereka sendiri; sehingga ketika mereka memperoleh eksistensi individual dan
kesadaran fenomenal mereka, perwujudan kebenaran bahwa hanya Aspek Tuhan yang tetap
membawa kepada mereka sebuah kesadaran kekaguman yang menawan akan ketergantungan
yang penuh akan eksistensi dan kesadaran pada Tuhan. Mereka mengetahui, dengan apa yang
termanifestasi bagi mereka, ketiadaan segala hal yang dipahami sebagai sesuatu-pada-diri-mereka-
sendiri, dan mereka juga kini mengetahui dengan apa yang termanifestasi bagi mereka, ketiadaan
diri subjektif mereka sebagai diri mereka yang independen, sehingga apa yang mereka kini tahu
adalah bahwa ‘selain’ (ghayr) daripada Tuhan, semua ‘yang-lain-dari-Tuhan’ (mā siwā Allāh),
hanya muncul untuk berada dengan ‘pinjaman’ eksistensi. Seperti penghutang, meminjam
pinjaman secara besar tak terbatas dan hidup dengannya, dan karena hidup tersebut tergantung
satu-satunya kepada kreditornya, kemudian menyadari kebutuhan yang menakutkan dan
kecemasan untuk pemeliharaan pinjaman berkelanjutan dari kreditor tersebut; bahkan lebih lanjut
— secara tidak terhitung adalah lebih penting dalam kekaguman totalitasnya — ketika dalam
kasus ini hutang tersebut adalah tentang eksistensi itu sendiri; eksistensi yang bukan hanya di
dunia fenomenal ini, tetapi juga dalam dunia spiritual, yang padanya semua pasti pada akhirnya
kembali. Eksistensi itu memang pemberian Tuhan, tetapi hal tersebut pada kenyataannya
merupakan sebuah pemberian yang hanya milik Tuhan Yang, sebagaimana dikatakan,
‘meminjamkan’nya sebagai keinginan ‘personal’. Karenanya penerima yang dibimbing secara
benar itu sadar bahwa dia ada dalam kondisi berhutang kepada Tuhan untuk eksistensinya,
karena dia tahu bahwa semua itu tergantung pada eksistensi Tuhan, dan menyadari bahwa hal
tersebut seperti ‘meminjam’ dari-Nya. Mereka yang tahu kondisi being ini yang direduksi kepada
kondisi kebutuhan yang menakutkan pada Tuhan dan berbicara kecemasan akan ‘kemiskinan’
seperti itu sebagai “sebuah wajah yang hitam di kedua dunia” (cth. “al-faqr sawād al-wajh fil al-
dārayn”). Sehingga kesadaran swa-pembinasaan dalam ‘kemiskinan’ sejati itu disadari ketika
seseorang mengetahui dengan pengalaman langsung bahwa hanya Aspek Tuhan yang tetap,
seperti perkataan: “idhā tamma al-faqr fa huwa Allāh” — “ketika kemiskinan itu utuh hal tersebut
adalah Tuhan.”
Tingkatan tertinggi dalam hierarki manusia berdasarkan derajat-derajat spiritual terhadap
persepsi kebenaran terdiri dari ‘orang-orang terpilih super’ (al-khawāss al-khawāss). Pengalaman
fanā’, dalam kasus mereka, tidak berhenti pada tahap fanā’ al-fanā’, seperti pada kasus ‘orang-
orang terpilih (al-khawass). Manusia yang kondisi sipirtualnya sempurna dan matang, dan dia
yang di bawah bimbingan Tuhan, sebagai penerima bantuan-Nya (tawfīq), akan disadarkan,
sementara tetap dalam kondisi itu, bahkan sebelum dia memperoleh kondisi normal akan kesadaran
fenomenalnya, dari kelupaan penuh terhadap fanā’ al-fanā’. Apa yang sungguh-sungguh dialami
dalam kondisi tersebut adalah realitas dan kebenaran yang mendasari makna dari kata-kata Nabi
Suci: “Kāna Allāhu wa lā shay’ a ma’ahu” — “Tuhan telah ada, dan tidak ada apapun bersama-
Nya.”198 Perkataan ini tidak hanya menunjuk pada periode pra-penciptaan ketika hanya Tuhan
yang ‘ada’; hal tersebut juga berarti bahwa Tuhan telah, sedang, dan akan terus ada (be) sendiri,
seperti sediakala-Nya (Huwa al-āna kamā kāna). Semua fenomena itu pada diri mereka sendiri
sebagaimana ditafsirkan imajinasi sungguh bukan apa-apa; mereka dalam kondisi kebinasaan
197 Sebuah pengujian dari ayat Qur’ān Suci, Al-Rahmān (55): 26-27.
198 Sebuah hadith yang cukup dikenal disebutkan dalam sahih al-Bukhari dalam bab Keesaan Ilahi (al-tawhīd) dan awal
penciptaan. Juga dalam Musnad karya ibn Hanbal, vol. 2, hlm. 134.
136 Prolegomena
(fān)199 terus-menerus, yang binasa dalam dua waktu instant sebagai ukuran proses kebinasaan
mereka, sebagaimana kebinasaan mereka juga bukan sebuah ‘proses’ yang terjadi pada fenomena
yang sama. Sebagai satu rangkaian dari fenomena yang dibuat tidak ada, sesuatu yang
menyerupainya mengambil gilirannya, dan seterusnya, sehingga dalam realitas ‘hanya Aspek
Tuhan yang tetap’. Hal ini adalah tatanan Being yang abadi, dan karenanya Dia selalu seperti
sebelumnya, dengan tidak ada apapun yang ada di sisi-Nya. Cara ‘ketetapan’ dari Aspek Tuhan
tidaklah statis; Dia selamanya dalam beberapa ‘operasi’ (shā’n):200 menghasilkan, meniadakan
yang dihasilkan, dan reproduksi. Sehingga Dia itu, dalam Aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut,
sebagaimana dikatakan, adalah ‘lapisan-dasar’ yang memungkinkan penampakan dan
ketidaknampakan dan penampakan ulang semua fenomena dalam rangkaian yang
berkesinambungan.
Telah disadarkan dari kondisi ‘kehilangan dari kehilangan’ tanpa memperoleh kesadaran
fenomenalnya, apa yang dia ‘saksikan’ selanjutnya adalah ‘penyibakan’ terakhir. Kita telah
katakan bahwa dalam ‘penyibakan’ awal dia ‘menyaksikan’ ‘pengumpulan kembali’ (jam’) semua
bentuk dunia fenomena menjadi Realitas tunggal yang disatukan. Dia melihat dengan penglihatan
spiritual seolah dengan penglihatan matanya semua Multiplisitas dikumpulkan bersama menjadi
Kesatuan. Dengan kata lain, dia melihat ‘kebinasaan’ semua fenomena dan ‘ketetapan’ Realitas
yang mendasari mereka. Kini pada ‘penyibakan’ akhir, dia ‘menyaksikan’ Realitas tunggal yang
disatukan kembali mengambil bentuk yang banyak dari dunia fenomenal tanpa diri-Nya menjadi
banyak. Dia melihat dengan penglihatan spiritual dimana Kesatuan mengindividuasi diri-Nya
menjadi Multiplisitas tanpa mengurangi asal Kesatuan-Nya, dan masih ‘berhubungan’ atau
‘terkait’ Multiplisitas dengan diri-Nya sendiri sedemikian rupa sehingga, meskipun Kesatuan
mengambil bentuk Multiplisitas, Kesatuan tetap membedakan diri-Nya dari yang kemudian dan
tetap selalu dalam sifat-dasar asli-Nya. Dengan kata lain, dia melihat artikulasi dalaman dari
Kesatuan, dimana Kesatuan tidak bergabung maupun terpisah dari Multiplisitas, dan yang
berlangsung dalam operasi yang sinambung. Operasi yang sinambung dari Kesatuan ini
mengartikulasikan diri-Nya ke dalam Multiplisitas dan kembali lagi menjadi Kesatuan
sebagaimana disaksikan oleh seorang ahli spiritual yang disebut ‘pengumpulan akan
pengumpulan’ (jam’ al-jam’).201 Dalam kondisi ini, yang tidak lagi merupakan kondisi yang sama
seperti sebelumnya dialami dalam pengalaman fanā’ tetapi adalah tahap akhir darinya, manusia
tersebut menyadari kedirian sejatinya dan ‘berada’ dalam Tuhan (baqā).202 Pengalamannya akan
fanā’ al-fanā’ adalah apa yang disebut guru pengalaman dan penglihatan spiritual sebagai
‘absorpsi’ (istighrāq). Dalam pengalamannya terhadap ‘pengumpulan’ dan kemudian, setelah
kelupaan penuh (istighrāq), ‘pengumpulan akan pengumpulan’, Tuhan, dari ridho dan balasan-
Nya telah mengungkapkan kepadanya, sebagaimana dikatakan, sebuah penglihatan fragmentaris
tentang operasi sinambung swa-manifestasi dan determinasi dan partikularisasi yang nampak
sebagai bentuk-bentuk dunia inderawi. Kita katakan bahwa penglihatannya terhadap
Multiplisitas dalam Kesatuan dan Kesatuan dalam Multiplisitas ini bersifat ‘fragmentaris’ karena
ketika Tuhan memberikan kembali kesadaran subjektifnya dan dia memperoleh eksistensi
individual dan kesadarannya akan fenomena, dia mengetahui bahwa apa yang dia ‘saksikan’ itu
sebuah ‘fragmen’, untuk berbicara, dari rangkaian sinambung swa-determinasi dan partikularisasi
199 Al-Rahmān (55): 26.
200 Al-Rahmān (55): 29.
201 Artkulasi dalaman dari Kesatuan berhubungan dengan aktifitas penciptaan yang dinamis dari realitas eksistensi, atau
Eksistensi Absolut, dalam pengertian ekspansi (cth. eksistensiasi) dan kontraksi (cth. penghilangan) dalam rangkaian
yang sinambung.
202 Cth. dia telah kembali pada kondisi dimana dia sebelumnya dikualifikasikan dengan eksistensi eksternal, yang
berhubungan dengan tataran ontologis dari kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi.
137 Prolegomena
akan Kesatuan absolut. Pengingatan, refleksi, dan perenungannya terhadap penglihatan itu pada
tahap ini membentuk Pengetahuan itu dalam dirinya yang realitas dan kebenarannya dibangun
oleh kepastian dari pengalaman langsung (haqq al-yaqīn). Pengalamannya terhadap baqā atau
‘berada’ dalam Tuhan secara niscaya tidak hilang, karena hal tersebut tidak akan sebagai sebuah
‘berada’ jika hanya sementara. Kita berbicara tentang penglihatan tersebut sebagai ‘fragmentaris’,
sehingga ‘penyaksian’ akannyalah (cth. akan ‘pengumpulan akan pengumpulan’) yang
sementara; tetapi pengetahuan setelah hal tersebut adalah permanen. Kembalinya dia pada
eksistensi individual dan kesadaran fenomenal itu ditemani kondisi pemulihan dari kondisi
kemabukan (sukr), atau tidak-mengindera; sebuah kondisi kewaspadaan, kebangunan, dan
kejelasan. “Semua manusia itu tidur”, ucap Nabi Suci, “hanya ketika mereka mati mereka
bangun” (Al-nāsu niyāmun fa idhā mātū īntabahū).203 Kita harus menginterpretasikan kata ‘ketika
mereka mati’, dalam kasus ini memiliki makna ganda: pertama pada kematian fisik dan makna lain
ketika mereka ‘mati’ pada diri dan kesadaran subjektif diri, dan bukan kematian fisik; karena
Nabi Suci juga mengatakan, dengan referensi kepada kematian pada diri seperti kita maksud di
sini: “Mati sebelum kamu mati” (Mūtū qabal an tamūtū), yakni ‘mati pada diri sendiri sebelum kau
sungguh-sungguh mati secara fisik’.204 Jadi, dalam kasus ini, kondisi manusia akan kewaspadaan
dan kejelasan, kebangunan, pada kondisi kembali dari pengalaman dari ‘pengumpulan akan
pengumpulan’ (yang sebelumnya pada faktanya dia telah ‘mati’ pada dirinya), disebut shaw:
‘ketenangan hati’. Meskipun dari sudut pandang eksistensi individualnya dia merupakan orang
yang sama, namun dia tidak lagi pada faktanya orang yang sama. Sehingga diri yang terdahulu
telah ‘mati’, dia telah ‘mati’ sebelum dia sungguh-sungguh mati, dan dia telah memperoleh,
dalam kematian tersebut, kediriannya yang lebih tinggi dan berada dalam Tuhan. Dia telah
kembali, dalam pengumpulan, pada kondisi kewaspadaan ketika diri sejatinya, jiwanya, telah
melihat Tuhan dalam kejelasan, dan telah mengatakan: “Ya!” pada perkataan Tuhan “Bukankah
Aku Rabbmu?”205 sehingga kini dia ‘berada dalam Tuhan’, mengonfirmasi dan mengafirmasi
siapa dia sebagai dirinya yang sejati yang telah bersaksi pada dirinya pada Hari Alastu. Meskipun
dia kini melihat dunia inderawi dari multiplisitas menghadangnya lagi, meskipun ‘perpisahan’
kembali datang menjadi kekuatan, namun hal tersebut tidak lagi merupakan dunia yang sama
baginya sebagaimana yang dia tahu sebelumnya; karena dia kini tahu bahwa bentuk yang banyak
yang menyusun Multiplisitas pada kenyataannya merupakan aspek-aspek yang berbeda dari
‘Kebenaran’ (al-haqq) Yang ‘mengenakan’ diri-Nya dalam samaran mereka; hal tersebut
merupakan begitu banyak manifestasi dan determinasi dan partikularisasi dari Being Absolut
Yang, sebagai Realitas yang mendasari dunia inderawi, disebut ‘Kebenaran’. Dia juga mengetahui
bahwa hal-hal terpisah yang dianggap independen bukan apa-apa dalam diri mereka, dan
kepastian terhadap kebenaran ini lahir dari pengalamannya akan ‘pengumpulan’ dan ‘kelupaan
penuh’. Tapi dipertimbangkan sebagai determinasi yang begitu banyak determinasi partikular
dan swa-pengungkapan dari ‘Kebenaran’, hal-hal terpisah dari dunia inderawi bukan hanya ilusi;
mereka ada dan memiliki status ontologis. Mereka adalah ’panggung-panggung manifestasi
(tung. mazhar), bentuk-bentuk-manifestasi yang menentukan bentuk partikular pengungkapan
203 Hadith ini juga cukup dikenal. Beberapa mempertahankan bahwa hal itu merupakan perkataan ‘Alī ibn Abī Thālib.
Tapi tidak dapat ditolak bahwa ‘Alī, jika mengatakan ini tentu dia, mendapatkan gagasan tersebut dari Nabi Suci.
Bandingkan. Fusūs al-Hikām, hlm. 159. Lihat juga Futūhāt. IV, hlm. 45-637. III, hlm 285 (250); hlm. 285 (251); hlm.
286 (251.
204 Shabistari mengatakan bahwa kematian muncul pada manusia dalam tiga jenis: jenis pertama yang nampak padanya
setiap saat; kematian kesadaran ego; kematian yang harus padanya. Lāhiji, mengomentari hal ini, mengatakan bahwa
yang pertama adalah penciptaan yang baru (yang akan kita jelaskan dalam jalur yang berkaitan); kedua adalah kematian
pada dunia, sebagaimana berdasarkan pada tradisi: “mati sebelum kamu mati”; ketiga adalah perpisahan jiwa dan
tubuh. Lihat Gulshan-i Raz, Lahore, 1978, hlm. 65, kuplet 664-665.
205 Al-A’rāf (7): 172.
138 Prolegomena
diri dari Kebenaran. Dengan demikian tahap kembali pada kondisi ‘perpisahan’ adalah disebut
‘perpisahan kedua’ (al-farq al-thānī), dan hal terssebut kadang-kadang juga disebut ‘perpisahan
setelah pengumpulan’ atau ‘perpisahan setelah kesatuan’ (al-farq ba’d al-jam’).
Hal ini mungkin makna terdalam dari penglihatan Nabi Musa di Gunung (Al-A’rāf (7):
143). Dia telah meminta Tuhan menunjukkan diri-Nya kepadanya sehingga dia dapat melihat
Tuhannya. Tuhannya telah mengalamatkan padanya dengan berkata bahwa dia tidak dapat
melihat-Nya dengan mata telanjang dalam kondisi yang sekarang, tetapi memberitahunya untuk
menatap gunung untuk melihat bahwa jika gunung itu tetap berdiri maka dapat dia dapat
melihat-Nya. Ketika Tuhannya menunjukkan diri-Nya (tajallā) pada Gunung tersebut, lalu
gunung tersebut hancur seperti ditekan ke bawah atau dilumatkan ke tingkatan terdalam (dakkan).
Nabi, yang menyaksikan penampakan yang mempesona ini, lalu jatuh ke tanah menarik napas
dan menjadi tidak sadar (kharra sa’iqan). Kemudian ketika kesadarannya dikembalikan padanya
seolah-olah dipulihkan dari pingsan atau kelupaan (afāqa), dia menyadari makna pengalamannya
dan kembali kepada Tuhan dalam penyesalan, mengagungkan-Nya dan mengakui kepercayaan-
lemahnya dengan intensitas yang besar. Mungkinlah referensi melihat gunung untuk melihat
apakah itu tetap berdiri tegak menyebut pada penampakan kembalinya setelah kehilangannya bagi
penglihatan seseorang yang terlibat dalam pengalaman fanā’-baqā. Melihat gunung tetap berdiri
tegak akan menjadi penglihatan manusia akan ‘perpisahan kedua’, yang melihat baik gunung
yang menghilang dalam Realitas, dan Realitas yang memperbaharui gunung tersebut dalam
tindakan penciptaan yang terus-menerus.
Berbicara pengalaman yang sama seperti yang telah kita ungkapkan di sini, al-Ghazāli,
menyebut orang-orang dari ‘perpisahan kedua’, yakni yang terpilih dan yang super terpilih,
berkata:
...Yang Mengetahui (al-’ārifūn) muncul dari tataran metafora (majāz, cth dari tingkatan hal-
hal fenomenal, yang status ontologisnya hanya sebuah ‘eksistensi metaforis’, yakni,
dimana eksistensi tidak secara literal digunakan, atau dimana eksistensi tidak dapat
sungguh-sungguh dilekatkan) pada realitas puncak (haqīqah); dan mereka melengkapi
pendakian dan penerimaan mereka melalui penglihatan mata langsung (al-mushāhadah
al-‘iyāniyyah) bahwa tidak ada dalam eksistensi kecuali Tuhan Yang Maha Agung, dan
bahwa segala hal binasa kecuali Aspek-Nya (wajh: lit. Wajah),206 bukan karena hal-hal
tersebut itu binasa pada satu waktu partikular, melainkan karena hal-hal tersebut itu
binasa secara abadi dan terus berlangsung, karena hal itu tidak dapat diterima sebaliknya.
Karena segala sesuatu selain Dia, ketika dipertimbangkan pada dirinya sendiri, adalah
murni non-eksistensi (‘adam mahd); dan ketika dipertimbangkan dari sudut pandang
eksistensi tersebut yang menerima dari Kebenaran Pertama (al-awwal al-haqq), ia dilihat
sebagai maujud — bukan pada dirinya sendiri, tetapi secara tunggal dari sudut pandang
dari Asal eksistensinya — sehingga maujud satu-satunya tersebut merupakan Aspek dari
Tuhan Yang Maha Agung. Segala hal dengan demikian memiliki aspek ganda: sebuah
aspek menuju dirinya sendiri, dan sebuah aspek menuju Tuhannya; dalam hal dirinya
sendiri hal tersebut adalah non-eksistensi (‘adam), dalam hal dari Tuhannya hal tersebut
adalah maujud (mawjūd). Oleh karena itu, tidak ada maujud yang tetap daripada Tuhan
Yang Maha Agung dan Aspek-Nya, dan karenanya ‘segala hal hancur kecuali Aspek-Nya’,
secara abadi dan terus berlangsung. Para yang Mengetahui tersebut tidak perlu menunggu
kemunculan Hari Kebangkitan untuk mendengar panggilan Pencipta: “Siapa yang
memiliki kedaulatan pada Hari ini? — pada Tuhan, Yang Esa, Yang Sangat Menarik!”,
206 Al-Qur’ān: Al-Qasas (28): 88: Kullu shay’īn hālikun illā wajhahu.
139 Prolegomena
karena panggilan ini hadir tanpa akhir dalam telinga mereka. Maupun mereka mengerti
dengan perkataan mereka ‘Tuhan Maha Besar (Allāhu akbar) bahwa Dia ‘lebih besar’ dari
yang lain. Tuhan melarang! Karena ‘bersama’ Dia tidak ada yang lain dalam eksistensi
karena Dia lebih besar dari itu. Tidak ada yang memiliki ranking ‘kebersamaan’ (al-
ma’iyyah) dengan-Nya, tetapi hanya akan ‘keakibatan’ (al-taba’iyyah); tentu saja, tidak ada
yang memiliki eksistensi yang terselamatkan melalui aspek yang disertakan dari-Nya,
sehingga apa yang ada hanya Aspek-Nya. Kini adalah absurd bahwa Dia harus lebih
‘besar’ dari Aspek-Nya sendiri. Maknanya adalah lebih bahwa Dia lebih Besar dari disebut
‘lebih besar’ dengan cara relasi dan perbandingan — sungguh terlalu Besar bagi siapapun,
baik dia nabi atau malaikat, untuk memahami sifat-dasar sejati akan Kebesaran-Nya.
Tidak ada yang mengetahui Tuhan dengan pengetahuan sejati akan-Nya kecuali Tuhan,
karena setiap yang diketahui ada dalam pengaruh hati-hati dari yang mengetahui, dan hal
ini merupakan inti negasi terhadap Kemuliaan dan Kebesaran...207 Yang Mengetahui (pada
kondisi kembali mereka) setelah pendakian mereka pada kerajaan realitas mengakui
dalam kesepakatan yang diselenggarakan dalam tujuan bersama bahwa mereka melihat
nihil dalam eksistensi kecuali Kebenaran Tunggal. Namun, di antara mereka, terdapat
yang mencapai kondisi ini melalui pengetahuan iluminatif (‘irfān ‘ilmi), dan yang lain
melalui pengalaman langsung atau perasaan langsung (dhawq). (Bentuk-bentuk)
Multiplisitas tersebut hilang dari mereka (cth. penglihatan mereka) dalam totalitasnya.
Mereka tenggelam dalam Kesatuan absolut, dan kecerdasan mereka terhapus di dalamnya,
mereka di dalamnya menjadi seperti mereka yang dibingungkan secara penuh. Tidak ada
kapasitas yang tertinggal pada mereka; tidak pula untuk memanggil selain dari Tuhan,
maupun untuk memanggil bahkan diri mereka sendiri, sehingga tidak ada yang bersama
mereka kecuali Tuhan. Mereka menjadi lupa dengan sebuah kelupaan yang membuat
kecerdasan mereka hilang... kemudian ketika kelupaan mereka mereda, dan mereka
kembali pada pengaruh kecerdasan, yang merupakan keseimbangan-skala milik Tuhan
pada bumi, mereka mengetahui bahwa (pengalaman absorpsi dalam Kesatuan absolut)
tidak pernah ada persatuan sesungguhnya (ittihād), tetapi hanya sesuatu yang menyerupai
persatuan... Kini kondisi ini, ketika hal tersebut tersibak, disebut dalam hubungan
padanya yang mengalaminya, yakni ‘pembinasaan’ (fanā’), bahkan ‘pembinasaan dari
pembinasaan’ (fanā’ al-fanā’), karena dia telah musnah pada dirinya sendiri dan musnah
pada kemusnahan dirinya sendiri; karena dia menjadi tidak sadar terhadap dirinya dalam
kondisi ini dan tidak sadar terhadap ketidaksadaran dirinya sendiri, karena jika dia sadar
terhadap ketidaksadarannya sendiri dia akan sadar terhadap dirinya sendiri. Dalam
hubungan dengan seseorang yang membenamkan di dalamnya, kondisi ini disebut dalam
bahasa metafora ‘persatuan’ (ittihād), atau dalam bahasa realitas ‘unifikasi’ (tawhīd).208
Kita katakan sebelumnya bahwa kondisi ‘perpisahan pertama’ tidak hanya melibatkan
kemungkinan kondisi ‘perpisahan kedua’, tetapi juga sebuah kondisi yang mendahuluinya akan
sebuah ‘pra-perpisahan’. Kita katakan lebih lanjut bahwa kondisi ‘pra-perpisahan’ ini nampak
dalam konteks spiritual akan ‘persatuan’, ketika jiwa manusia mengonfimasi dan mengafirmasi
Perjanjian (mīthāq) individual dan kolektif mereka dengan Tuhan, mengenali dan mengakui-Nya
sebagai Rabb mereka. Pengenalan dan pengakuan mereka terhadap kebenaran tertinggi ini tentu
saja melibatkan suatu jenis ‘perpisahan’ — yakni, suatu kesadaran perbedaan antara Rabb dan
pelayan, antara Pencipta dan ciptaan. Hal ini berarti bahwa bahkan dalam konteks spiritual suatu
207 Mishkāt al-Anwār, (op.cit.), hlm. 55-56. Terjemahan saya.
208 Ibid, hlm. 57. Terjemahan saya.
140 Prolegomena
bentuk hubungan subjek-objek tetap bertahan yang membentuk pembatasan pada kognisi
manusia. Tuhan tidak dapat diketahui manusia dalam Esensi-Nya sebab, Dia melampaui semua
determinasi ke dalam entitas-entitas partikular (cth. lā ta’ayyun). Dengan demikian Dia dapat
diketahui hanya dalam jalan terbatas ketika Dia memanifestasikan diri-Nya kepada manusia
sempurna melalui beberapa Nama atau Sifat yang terbatas. Dan ketika Dia mewujudkan diri-Nya
dengan jalan ini, Dia selalu mengungkapkan diri-Nya sebagai Rabb (al-rabb); dan mengetahui-Nya
sebagai ‘Rabb’ merupakan jenis tertinggi dalam mengetahui Tuhan yang mungkin bagi manusia.
Benarlah bahwa manusia sempurna mengetahui tentang Tuhan dengan jalan mencari yang
meliputi misteri terdalam dari Being dan Eksistensi-Nya, sebagaimana yang dapat
disimpulkannya secara intuitif dari refleksi dan perenungan atas apa yang telah diberikan
padanya dalam pengalaman spiritualnya, darimana penglihatan metafisis terhadap Realitas
dirumuskan dan dibentuk dalam Islām. Tapi semua pengetahuan tersebut secara mendasar
memiliki sumber dan basisnya pada pengetahuan tentang diri dan Rabb. Nabi Suci berkata: “Dia
yang mengenali dirinya mengenali Tuhannya”, dan dia memaksudkan dengan ‘diri’ sebagai diri
sejati (dengan perwujudan dalam tahap terakhir dari fanā’, yakni, tahap baqā) yang mengenali
Rabbnya (melalui diri, yang sudah mengetahui Tuhan sebagai Rabb ketika diri tersebut menyegel
Perjanjian dengan Tuhan yang mengenali dan mengakui Ke-Rabb-an-Nya).”
Dengan demikian istilah ‘perpisahan’, dalam tiga pengertiannya yang dimaksud dalam
penjelasan ini, selalu melibatkan hubungan subjek-objek. Tapi derajat-derajat keterpisahan
tersebut dalam hubungan tersebut tidak berarti sama dengan ‘pra-perpisahan’, ‘perpisahan
pertama’ dan ‘perpisahan kedua’. Ketika kita berbicara ‘pra-perpisahan’, kita tidak
memaksudkannya bahwa secara absolut tidak ada ‘perpisahan’ dalam kondisi spiritual tersebut,
karena kapasitas jiwa pada pengenalan dan pengakuan Rabb mereka serta merta melibatkan
penglihatan keterpilahan pada bagian jiwa antara Rabb mereka dan diri mereka sendiri, dan antara
diri mereka di antara mereka sendiri, keterpilahan yang terlihat menyiratkan persistensi
‘perpisahan’ dalam kondisi mereka. Namun, ‘perpisahan’ yang terlibat di sini dilihat dalam
konteks ‘persatuan’, yang tidak lain dari ‘berada’ dalam Tuan (baqā). Dari sudut pandang tersebut
dari tahap ‘perpisahan pertama’, ‘perpisahan’ yang kita baru gambarkan antara diri dan Rabb
bukanlah sebuah ‘perpisahan’; hal itu merupakan ’persatuan’, dan karenanya dalam pengertian
hal tersebut menggambarkan kondisi atau tahap ‘pra-perpisahan’. Dalam kasus ‘perpisahan
kedua’ ‘perpisahan’ yang dilibatkan tidak sama seperti dalam kekuatan dari ‘perpisahan
pertama’. Kondisi ‘perpisahan kedua’ ketika dilihat dari sudut pandang ‘perpisahan pertama’,
melibatkan baik ‘persatuan’ dan ‘perpisahan’. Hal tersebut merupakan ‘persatuan’ dalam satu
pengertian dan ‘perpisahan’ dalam pengertian lain, karena di satu sisi itu juga melibatkan kondisi
spiritual manusia yang telah melampaukan dirinya dalam perwujudan diri, dan di pihak lain juga
melibatkan kondisi fisik manusia tersebut yang telah kembali pada kesadaran fenomenal.
Manusia tersebut melihat pada satu sisi Multiplisitas dalam Kesatuan dan di lain pihak Kesatuan
dalam Multiplisitas. Inilah mengapa guru-guru pengalaman dan penglihatan spiritual menyebut
manusia sedemikian sebagai ‘pemilik dua mata’ (dhū al-’aynayn).209 Hal tersebut seolah-olah
manusia tersebut, telah melampaui diri fenomenalnya dengan telah dipindahkan kepada kondisi
lain dalam kondisi perwujudan diri, dan di sana melihat apa yang telah selalu dia lihat sebagai
diri tersebut; dan kini pada kondisi kembali pada kesadaran normalnya, melihat hal-hal
209 Pembagian rangkap tiga dari persepsi manusia akan kebenaran seperti telah kita jelaskan dalam halaman depan
dipegang oleh semua Sūfī sejati. Lihat, untuk contoh Jāmī dalam karyanya Naqd al-Nusūs fi sharh Naqsh al-Fusūs,
yang diedit dengan catatan dan pengenalan dalam bahasa Persia dan bahasa Inggris oleh W.C. Chittick, pengantar
bahasa Persia oleh Sayyid Jalāl al-Dīn Āshtīyānī, Tehran, 1977; hlm. 142. Lihat juga Sayyid Haydar Āmulī. Jāmi’ al-
Asrar wa Manba’ al-Anwār yang diikat bersama dengan karyanya Risālah Naqd al-Nuqūd fi Ma’rifah al-Wujūd, eds.
H. Corbin dan Osman Yahia, Tehran. 1969/1347, hlm. 112-112; hlm. 220.
141 Prolegomena
sebagaimana mereka ada sebelumnya, dia masih terus melihat mereka sebagaimana mereka
sesungguhnya,210 yakni, sebagaimana mereka ada dalam realitas yang dilihat oleh diri sejatinya.
Dengan demikian, meskipun kedua tahap ‘pra-perpisahan’ dan ‘perpisahan pertama’ merupakan
suatu yang umum bagi semua manusia, bahkan jika yang terdahulu menunjuk pada kondisi
spiritual dan yang kemudian pada yang fisik, tahap dari ‘perpisahan kedua’, yang hanya secara
relatif dicapai beberapa di antara manusia, adalah pada faktanya lebih terhubung dengan ‘pra-
perpisahan’.
Dengan cara yang sama bahwa, dalam kondisi ‘pra-perpisahan’, manusia sebagai dirinya
yang sejati itu berada dalam Tuhan, sehingga bahkan dalam kondisi fisiknya, manusia pada tahap
‘perpisahan kedua’ telah menyadari diri sejatinya dan secara spiritual berada dalam Tuhan
sebagaimana dia sebelumnya sebelum memperoleh eksistensi eksternal. Dan dalam eksistensi
fenomenalnya, dia secara sinambung mengonfirmasikan dan mengafirmasi realitas dan kebenaran
akan Rabbnya, sebagaimana dalam Perjanjian asalinya, dalam ketundukan sejati sebagaimana
ditetapkan dalam Islām.211 Tasdīq-nya, atau verifikasi terhadap Kebenaran atau ‘pembenaran’,
adalah dari derajat tertinggi iman yang mengarakteristikkan tingkatan ‘unggul’ (ihsān) yang sifat-
dasarnya ditunjukkan oleh Nabi Suci dalam hadīth yang terhubung dengan ‘Umar ibn al-Khattāb
dan disampaikan oleh Muslim dan Abū Hurayrah, ketika dia berkata akan ihsān: “bahwa kamu
seharusnya menyembah Tuhan seolah kamu melihat-Nya...” (an ta’buda Allāha ka annaka tarāhu...).
Tentu saja, manusia tersebut yang pada tahap ‘perpisahan kedua’, yang merupakan baqā, melihat
Tuhan dimana-mana dalam penglihatan spiritualnya, sehingga baginya disadari makna utuh dari
teks: “Dimanapun kamu berpaling terdapat Aspek Tuhan’ (fa aynamā tuwallū fa thamma wajh
Allāh).212
Maka, intuisi akan eksistensi, datang melalui perantara ‘kesaksian spiritual’ (shuhūd), yang
dapat mengambil bentuk pengertian yang kursinya adalah intelek murni;213 atau melalui
perantara ‘perasaan’ atau ‘pengecapan’ (dhawq) dalam pengalaman iluminatif langsung dimana
hati lalu mengetahui secara langsung dan membenarkan apa yang diketahui; atau melalui
perantara bentuk-bentuk pengertian (seperti perkataan al-Ghazāli dalam kutipan pada hlm. 195 di
atas). Baik shuhūd dan dhawq muncul ketika hijab dari objek yang terpisah dan bentuk-bentuk
fenomena dihilangkan dari penglihatan kognitif seseorang yang terlibat dalam pengalaman fanā’-
baqā. Penghilangan hijab ini disebut kashf. Al-kashf itu terhubung dengan penglihatan mata.214 Hal
tersebut merupakan menyibak sesuatu yang tertutup. ‘Tertutup’ di sini menyentuh pada apa yang
tertutup bagi kondisi being atau perasaan (hāl) seseorang, atau kognisi seseorang (‘ilm atau ‘irfān),
atau pada pandangan atau penglihatan seseorang (‘ayn). Perpindahan inilah, dengan
Kemurahhatian Tuhan, dari penutupan kondisi being seseorang, atau kognisi, atau penglihatan
yang membuat seseorang merasakan, mengetahui atau melihat realitas-kebenaran.215 Hal tersebut
210 Saya menyebut di sini pada doa Nabi Suci: “Allāhumma arinā’ l-ashyā’a kamā hiya.” “Wahai Tuhan! Tunjukkan
kami hal-hal sebagaimana mereka ada sesungguhnya.” Mungkin pada berita dari hadith inilah, dalam perkiraan saya,
filsuf Muslim awal membuat istilah māhiyyah (dari mā, cth. ‘apa’; dan hiya, cth. ‘itu’). Hadīth tersebut dikutip oleh
Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam karyanya Tafsīr al-Kabīr, bol. 21 hlm. 37.
211 Bandingkan. Bab I, hlm. 7; 11-12; 18-20.
212 Al-Baqarah (2): 115. Lihat juga Rasā’il al-Junayd, (op.cit) Risālah no. 10.
213 Kita mengidentifikasi intelek murni, yang merupakan intelek yang di asbtraksi dari tambahan fisik dan hubungan
jasmani, dengan bentuk yang lebih tinggi dari intelek perolehan. Lihat bab IV, hlm. 162.
214 Al-Sarraj, Kitāb al-Luma’, ed. R.A. Nicholson, London, 1963, hlm. 346.
215 Kita telah merumuskan definisi akan kashf berdasarkan pada ungkapan Qur’āni. Lihat untuk contoh, dengan
referensi pada penghilangan apa yang tertutup pada kondisi being atau perasaan seseorang, Al-An’ām (6): 41; 17, yang
menunjuk pada perpindahan dari keadaan sukar dan kemalangan; juga serupa An-Nahl (16): 54; Al-Anbiyā’ (21): 84;
Al-Zumar (39): 38; Banī Isrā’īl (17): 56; Yūnūs (10): 12;107; An-Naml (27): 62; perpindahan hukuman, Al-A’rāf (7):
134-135; Yūnūs (10): 98; Al-Dukhān (44): 12; 15, Al-Zukhruf (43): 50; dengan referensi pada pengetahuan, tempat yang
terbuka dari beberapa rahasia mendalam atau misteri, Al-Najm (53): 58; Nūn al-Qalam (68): 42; dengan referensi pada
142 Prolegomena
merupakan pengetahuan tertentu berdasarkan pada verifikasi sejati, penangkapan langsung, dan
penglihatan yang jelas, tak terganggu pengalih apapun. Penutupan yang dimaksud dan yang
disebabkan, dengan Kemurahhatian Tuhan, diangkat dalam pengalaman kashf, merupakan
penutup hati, yang merupakan sebagai mata pada intelek murni, dan yang merupakan organ
spiritual dari kognisi pada tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi.216 Pengangkatan penutup
mata dari intelek murni, sedemikian seseorang yang darinya sesuatu penutupan itu diangkat
melihat seperti dalam penglihatan mata terhadap Kebenaran atau Realitas, menyentuh pada
seseorang yang telah kita gambarkan sebagai manusia dari ‘perpisahan kedua’. Orang sedemikian
tidak hanya ‘melihat’ dengan penglihatan langsung, tetapi ‘membuktikan’ dengan pengalaman
langsung Realitas Eksistensi yang mengembang meliputi semua dan setiap hal-hal yang ada, yang
mengartikulasikan individuasinya yang banyak dan beragam sementara tetap memperoleh
kesatuan-Nya.217 Intuisi akan eksistensi tidak lain dari ‘kebetulan’ manusia dalam tindakan
Eksistensi itu sendiri, dan karenanya itu juga disebut wujūd. Kondisi intuisi eksistensial tersebut
didahului kondisi agitasi dalaman atau ekstase yang disebut wajd. Apa yang terjadi kemudian
adalah kehilangan diri individual atau kesadaran subjektif (fanā’), dan jika orang tersebut tabah
dalam kondisi spiritualnya dia mencapai kondisi kedirian sejatinya dan berada (baqā) dalam
Tuhan. Hanya dalam kondisi yang kemudian dari berada inilah dia ‘menemukan’ (wajada) Tuhan.
‘Penemuan’ ini adalah wijdān. Dalam pengertian ini wujūd adalah penemuan Kebenaran dalam
eksistensi, dan ini hanya mungkin setelah penghilangan kondisi manusia — yakni kehilangan
kesadaran diri subjektif atau ego.218
Dalam hal al-dhawq, makna dasarnya adalah ‘rasa’ dalam pengertian yang digunakan baik
untuk kenikmatan dan sakit.219 Hal tersebut menunjuk, dalam konteks epistemologis yang
digambarkan di sini, kepada sebuah jenis pengetahuan intuitif yang dibawa dengan persepsi
spiritual yang menemani pengalaman verifikasi langsung. Penglihatan transendental yang
menyertainya menunjuk pada intelek murni (‘aql mujarrad); dan derajat spiritual seseorang dalam
kondisi intelek tersebut merupakan realitas-realitas arketipal, dimana derajat verifikasi yang
mengetahui dan kognisi terhadap Realitas dan Kebenaran transenden secara sejati disebut dhawq.
Kita lihat di sini hubungan dekat antara dhawq dan kashf; dan memang juga antara hal tersebut
dan wajd. Dhawq datang sebelum wajd, dan kondisi yang kemudian tiba dengan kesetiaan murni
kepada Tuhan dan percakapan intim dengan-Nya hingga Dia mengalamatkan kepada hati
seseorang yang begitu asyik dalam perenungan akan-Nya hingga pengecualian yang lain
sehingga kemudian hati ‘melihat’ dari apa yang dibebaskan, dan di sana muncul agitasi yang
disebut wajd, karena hati telah menemukan apa yang hilang. Penemuan ini, kita katakan
sebelumnya, disebut wajd, atau wijdān, yang telah kita gambarkan sebagai intuisi akan eksistensi.
penglihatan, An-Naml (27): 44; Qāf (50): 22.
216 Pada penglihatan dari hatilah yang disebut Nabi Suci ketika dia, padanya kedamaian, berkata: “Sembahlah Tuhan
seperti kamua melihat-Nya...” pada saat yang lain dia juga berbicara melihat Tuhan dengan hati kita (lihat Kashf al-
Mahjūb, London, 1911, hlm. 329). Bahwa hati merupakan organ spiritual akan penglihatan diturunkan dari Qur’ān
Suci. Di sana Tuhan berbicara akan penutupan dan penyegelan-Nya terhadap hati, dan mengatakan bahwa mereka yang
buta (a’mā) di dunia ini akan buta di akhirat, dan lebih lanjut tersesat dari jalan (Banī Isrā’īl (17): 72. Bukan bahwa
mata mereka akan buta, karena penglihatan (basar) mereka akan tetap tajam (Qāf: (50): 22), tetapi bahwa kendati
demikian hati mereka akan buta. Lihat lebih lanjut Al-Hajj (22): 46, dan Qāshāni, Sharh Fusūs, hlm. 155.
217 Pemandangan dengan mata (al-mu’āyanah) melibatkan menghadapkan dengan apa yang dipandang dan tidak ragu
dengan apa yang dilihat mata. Dengan demikian hal itu menunjuk pada kehadiran (hudūr) kepada Tuhan dari hati
manusia dalam kondisi perenungan yang tidak terganggu, seperti orang yang menjadi absen pada dirinya dan
mengalami intuisi akan eksistensi.
218 Lihat al-Qushayrī, al-Risālah, Beirut, 1957, hlm. 34.
219 Ini adalah bukti dari Qur’ān Suci, contohnya Hūd (11): 9, 10; Al-Sajdah (41): 50; Al-Dukhān (44): 49; Al-Qamar
(54): 48.
143 Prolegomena
Ketika seseorang pulih dari penglihatan tersebut dia kehilangan apa yang ditemukan, tetapi
pengetahuan tentangnya tetap dengannya.
Dengan referensi pada intuisi akan eksistensi, penglihatan transempiris tersebut disebut
shuhūd atau ‘penyaksian’. Penglihatan terhadap Realitas atau Kebenaran yang dilihat di sini secara
mendasar menunjuk pada jiwa manusia dalam kondisi primordialnya ketika Tuhan membuatnya
bersaksi kepada dirinya sendiri realitas dan kebenaran dari Ke-Rabb-an Tuhan dalam panggilan-
Nya kepada jiwa: “Bukankah Aku Tuhanmu?” Respon manusia dalam pengenalan realitas dan
kebenaran tersebut adalah pengakuan yang tidak dikondisikan, yang dikonfirmasikan di dalam
dirinya sendiri dalam perkataannya: “Ya, tentu saja!”; dan pengakuan ini dikonfirmasikan dengan
verifikasi pengalaman langsung dari apa yang ‘dilihat’ (q.v. shahida). Hal ini menunjuk pada
kesaksian (shuhūd) asli, pada kondisi dimana orang tersebut dari ‘perpisahan kedua’ kembali.
Tidak akan ada penyibakan sifat-dasar sejati dari bentuk fenomena dalam anekawarna dan
multiplisitas dan eksistensi terpisah kecuali manusia melampaui dirinya sendiri, yakni, kondisi
manusianya, dimana dia diikat pada tahap ‘perpisahan pertama’; dan hal ini serta merta
melibatkan perubahan padanya, yang tanpanya selamanya dia akan diikat pada tingkatan kognisi
dan kemauan yang biasa. Perubahannya dihasilkan ketika dia mencapai stasiun spiritual dan
intelektual yang lebih tinggi secara bergantian, yang mengangkatnya pada tahap dimana dia
mampu, dengan keagungan Tuhan, untuk melampaui dirinya dan memperoleh dirinya yang
lebih tinggi. Perubahan tersebut menyertakan — seperti perkataan al-Ghazāli menyebut pada ayat
Qur’ān Suci — yaitu “bumi ini baginya berubah menjadi bukan bumi, dan demikian juga
langit”.220
Mereka yang telah mengalami ‘perpisahan kedua’, ketika mereka merenungkan
Kebenaran, lalu kembali (dalam rekoleksi dari apa yang telah mereka alami tentang kehilangan
fakultas persepsi rasional mereka dan dari ego individual mereka yang juga menyertakan
kehilangan pada bentuk fenomena) kepada kondisi mereka sebelumnya, ketika Tuhan membuat
mereka absen pada diri mereka sendiri dan kepada dunia dan hadir dengan-Nya; dan kemudian
setelah Tuhan memberi mereka kesadaran individual dan membuat mereka terpisah dari-Nya
dan hadir kembali kepada dunia, mereka mengetahui dengan verifikasi personal bahwa segala
sesuatu itu — diri fenomenal mereka secara psikologis dan semua hal ciptaan secara ontologis —
binasa kecuali Modus dan Aspek-Nya, dalam samaran yang tidak pernah berulang untuk dua
durasi yang bertalian. Mereka telah melihat Kesatuan akan Wujud (Existence) Absolut yang telah
menjadi Multiplisitas, dan yang Multiplisitas kembali pada Kesatuan asalinya tanpa Kesatuan itu
dikurangi oleh perubahan apapun dalam keesaannya dan kesempurnaannya. Pada kondisi ini
kata-kata al-Junayd ditujukan: “... mereka terpesona oleh penglihatan terhadap pancaran dari-
Nya...”221 Mereka menyadari bahwa semua maujud dalam sifat-dasar mereka merupakan modus-
modus dan aspek-aspek-Nya, sedangkan bentuk-bentuk fenomena dalam samaran tersebut yang
nampak secara sementara pada diri mereka sendiri merupakan non-eksistensi murni.
Sebagaimana mereka dalam diri mereka sendiri mereka adalah yang lain dari Tuhan (mā siwā
Allāh); mereka itu, ketika ‘terhubung’ pada-Nya, atau ketika dipertimbangkan dalam asosiasi
dengan-Nya, “tertinggal tanpa jejak”; ketika matahari kemuliaan-Nya menampakkan sinarnya
maka bintang-bintang hilang, mereka tidak dapat ‘ada-bersama’ Yang Absolut, seperti Ibn ‘Atā’
Allāh al-Iskandarī berkata:
Menurut Orang-orang Kesatuan dan Pengetahuan Iluminatif (ahl al-tawhīd wa al-ma’rifah)
bukan ‘eksistensi’ maupun ’kehilangan-eksistensi’ (faqd) dapat dipredikatkan kepada yang
220 Mishkāt al-Anwār, hlm. 50; Ibrahīm (14): 48.
221 Kitāb al-Mithāq, op.cit., hlm. 41/161-2.
144 Prolegomena
lain selain Tuhan Yang Maha Agung, karena selain Tuhan tidak dapat ‘ada-bersama’
Tuhan sebab Tuhan Unik; maupun ‘kehilangan-eksistensi’ dapat dipredikatkan pada yang
lain dari Tuhan sebab hanya yang telah ada saja yang dapat dikualifikasi dengan
kehilangan eksistensi...dll.222
Sebuah bagian dalam Kitāb al-Luma’ dari al-Sarraj menjelaskan makna ‘kehilangan-
eksistensi’ (faqd) yang kini kita pertimbangkan:
‘Maujud’ (al-mawjūd) dan ‘kehilangan-eksistensi’ (al-mafqūd) adalah dua istilah yang
menandakan lawan. ‘Maujud’ adalah apa yang telah muncul dari wilayah ‘non-eksistensi’
(al-’adam) kepada wilayah ‘eksistensi’ (al-wujūd); dimana ‘kehilangan-eksistensi’ adalah
apa yang menyimpang dari wilayah ‘eksistensi’ kepada wilayah ‘non-eksistensi’. Dhū al-
Nūn — Rahmat Tuhan atasnya! — berkata: “Bersedih hatilah bukan untuk ‘kehilangan-
eksistensi’ karena hal tersebut merupakan sebuah rekoleksi (akan ‘eksistensi’) pada sebuah
budak yang maujud.” Non-eksistensi (al-ma’dūm) adalah yang ‘bukan’, dan yang
‘penemuannya’ adalah tidak mungkin, tetapi jika seseorang ‘tidak menemukan’ sesuatu
namun sementara ‘penemuannya’ itu mungkin, maka hal tersebut disebut ‘kehilangan-
eksistensi’, dan hal tersebut tidak disebut ‘non-maujud’.223
Kini al-faqd ditandakan, menurut al-Baydāwī, ‘kondisi hal tersebut yang absen dari
wilayah persepsi indera sehingga tempatnya tidak diketahui’. Al-Baydāwī disini menunjuk pada
bagian Qur’ān Suci: Qālū wa aqlbalū ‘alayhim mādhā tafqidūna (12: 71),224 yakni: ‘Mereka berkata,
kembali pada mereka: “Apa yang kamu hilangkan?” apa yang telah hilang di sini adalah ‘gelas
kebesaran Raja’ (suwā’a al-maliki) dimana Nabi Yusuf telah menyembunyikannya dalam tas
saudaranya (Benyamin).225 Karena cangkir minum itu disembunyikan dalam tas maka mereka
(orang Mesir) kehilangannya (nafqidu) — yakni, mereka tidak melihatnya dimanapun dan mereka
tidak tahu tempat persembunyiannya. Dalam kasus ini ‘absen dari wilayah persepsi indera’ berarti
‘kehilangan penglihatan’. Tapi hal tersebut juga berarti, bagaimanapun, bahwa gelas tersebut
tidak hilang bagi memori — gelas tersebut masih ada dalam memori orang Mesir, karena jika tidak
mereka tidak akan mampu kehilangannya. Jadi kendati kehilangan gelas tersebut fakta bahwa hal
tersebut diingat bermakna bahwa gelas tersebut masih sesuatu yang maujud hanya tempatnya
saja yang tidak diketahui. Makna yang nampak dari perkataan Dhū Nūn, yang dikutip oleh al-
Sarrāj, dapat diinterpretasikan dalam cara yang sama. Ketika menunjuk pada diri individual
dalam tahap pengalaman spiritual tersebut yang mengikuti wajd, kata wujūd, sebagaimana kita
telah tunjukkan, tidak berarti ‘eksistensi’ dalam pengertian biasa. Pada wajd kondisi spiritual
merupakan tahap awal fanā’ atau ‘swa-kebinasaan’, dimana seseorang yang mengalami wajd
(wājid) kehilangan kesadaran individual tentang diri tersebut. Mengikuti pernyataan ini, dan jika
dia tetap tabah dalam kondisinya, maka dia ‘menemukan’ (wajada) Tuhan.226 Dalam penjelasan ini
faqada merupakan lawan dari wajada, dan fāqid lawan dari wājid, dan faqd lawan dari wajd. Faqd
222 Dikutip dalam karya Nūr al-Dīn al-Rānīrī Hujjat al-Siddīq, hlm. 20. Lihat karya saya Commentary kepada Hujjat,
hlm. 98.
223 Op.cit; hlm. 339 dari teks bahasa Arab. Terjemahan saya. Jelaslah dari sini bahwa ‘non-maujud’ adalah apa yang
tidak dapat secara esensial ada sebagai eksistensi eksternal, tetapi meskipun demikian hal tersebut merupakan apa yang
dapat ada dalam kondisi interior Being.
224 Lihat karyanya Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, 2 vol. Kairo, 1939.
225 Yūsūf (12): 71-72.
226 Lihat komentar ‘Afīfī pada Fusūs, op. cit., hlm. 310. Lihat juga karya al-Qushayrī Risālah, hlm. 34 dimana makna
akan wujūd diberikan.
145 Prolegomena
merupakan deskripsi tahap akhir fanā’, ketika manusia tersebut kembali pada swa-kesadaran
tanpa mencapai kondisi baqā.
Dalam kutipan dari al-Sarrāj, al-mafqūd berarti ‘kehilangan-eksistensi’ dan didefinisikan
sebagai sesuatu yang menyimpang dari wilayah eksistensi kepada non-eksistensi. Faqd itu
didefinisikan sebagai kehilangan akan eksistensi, bukan sebagai eksistensi yang hilang —
kehilanganlah yang merupakan konotasi dominan dalam faqd, bukan eksistensi. Dengan
demikian, seperti dikatakan al-Iskandarī, bahwa hal tersebut hanya dapat dikatakan dari “yang
telah ada”. Karena telah menjadi jelas dari apa yang telah dieksplikasi bahwa yang lain dari
Tuhan itu tidak dalam kondisi eksistensi (wujūd) maupun dalam kehilangan eksistensi (faqd), ini
berarti bahwa hal tersebut juga bukan dalam kondisi sedang-maujud (mawjūd), maupun akan
hilang ke eksistensi (mafqūd). Untuk mengatakan bahwa yang lain dari Tuhan, atau dunia, adalah
non-eksistensi absolut (‘adam mutlaq) adalah sama dengan kesalahan, seperti dunia yang, entah
bagaimana, ‘ada’. Jika dunia tidak dalam kondisi eksistensi maupun dalam kondisi non-eksistensi,
lalu apa kondisinya? ‘dunia bersama dengan semua bagiannya adalah tidak lain dari rangkaian
aksiden (a’rād), dan yang darinya mereka menjadi aksiden (al-ma’rūd cth. lapisan-dasar) adalah
Tuhan.227 “Dunia tidak lain dari swa-perwujudan-Nya (cth. tajallī).228 Untuk mengatakan bahwa
dunia ‘ada’, hanya berarti bahwa dunia merupakan ‘datang-menjadi-being’ antara dua durasi, dan
bahkan kemudian dunia merupakan subjek bagi pembinasaan karena aksidennya tidak bertahan
dua durasi — dan yang lain seperti mereka juga secara sinambung diciptakan untuk
menggantikan mereka. Dunia ‘eksistensi’ diikat pada kedua sisinya oleh non-eksistensi. Dunia
qua dunia tidak dapat digambarkan sebagai sesuatu yang telah kehilangan eksistensinya,
sebagaimana hal tersebut dapat menyiratkan bahwa dunia telah ada, dan hal ini ditolak karena
dunia tidak pernah ‘ada’ sebagai suatu hal yang nyata pada masing-masing momen dari dirinya
sendiri; dunia tidak dapat digambarkan sebagai telah kehilangan eksistensinya karena dunia pada
faktanya tidak pernah menjadi eksistensi dalam perluasan bahwa pembinasaan dapat
digambarkan sebagai sebuah ‘kehilangan’. Eksistensi dalam keabsolutannya dan bukan dalam
pengertian relatif hanya merupakan prerogatif Tuhan.
Kita telah katakan bahwa dunia qua dunia tidak pernah ‘ada’ sebagai suatu hal yang nyata
pada masing-masing momen akan dirinya sendiri karena pada kenyataannya dunia selalu binasa.
Tapi dunia qua swa-manifestasi dari Tuhan dalam Aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut selalu
tetap ada. Maka selain dari Tuhan, atau dunia ciptaan sebagai keseluruhan, memiliki aspek
ganda: sebagai sesuatu yang nampak terpisah dan berada sendiri di luar Realitas yang merupakan
Eksistensi Absolut; dan sebagai sesuatu yang memanifestasikan individuasi dari Eksistensi
Absolut yang menampakkan pelbagai tahapan-Nya dan berdasarkan dengan pembatasan dari
modus-modus dan aspek-aspek-Nya yang secara sinambung digantikan oleh yang serupa dalam
ciptaan yang baru. Tahapan dan aspek-Nya yang secara sinambung digantikan oleh yang serupa
dalam penciptaan yang baru. Dunia dalam aspeknya yang pertama adalah ‘ciptaan’ dari imajinasi
sensitif (mutawahham), sesuatu yang oleh fakultas estimatif dari jiwa dianggap memiliki
independensi ontologis yang tidak dimiliki pada kenyataannya. Tapi dunia dalam aspeknya yang
kedua, dalam multiplisitas dan anekaragamnya, adalah seperti begitu banyak cermin yang
masing-masing merefleksikan sesuatu yang nyata. Refleksinya tentang sesuatu yang nyata
membuat refleksi tersebut menipu pelihat yang menganggapnya sebagai objek yang nyata. Apa
yang lain dari Tuhan menyentuh pada dunia dalam kedua aspeknya: dalam aspek pertama dunia
itu bukan maujud maupun subjek bagi kehilangan eksistensi; namun, dalam aspek kedua, dunia
itu sesuatu yang telah maujud dan kini kehilangan eksistensi. Dalam aspek pertamanya dunia itu
227 Fusūs, hlm. 125-126.
228 Ibid., hlm. 81.
146 Prolegomena
dipahami sebagai sesuatu yang memiliki kesinambungan dalam eksistensi, berada secara
independen, dan tersusun dari kuiditas-kuiditas yang padanya eksistensi secara konseptual
ditambahkan sebagaimana terlihat dari sudut pandang esensialistik metafisika substansi dan
aksiden. Aspek dunia ini muncul sebagai hasil dari operasi normal tingkatan persepsi dan
konsepsi biasa, dan perkembangan filosofis dan saintifik darinya ke dalam sebuah interpretasi
tentang sifat-dasar realitas yang tidak lain sebuah elaborasi rumit dari tingkatan biasa rasio dan
pengalaman. Dunia dalam aspek ini secara esensial bukan apa-apa; bukan hanya karena kuiditas-
kuiditas yang dibuat menyusunnya hanya bersifat mental dalam alam, tetapi juga karena kuidtas-
kuiditas itu selalu-binasa, dan hanya pembaharuan yang sinambung akannya dengan yang serupa
yang menciptakan pada pikiran gagasan kesinambungan dalam eksistensi seolah-olah dunia itu
sebuah realitas swa-berada dan independen yang memiliki being. Dalam aspek keduanya dunia
itu sesuatu yang datang menjadi eksistensi pada setiap momen dirinya sendiri yang independen
dari pikiran. Setiap momen dirinya sendiri adalah tidak sinambung, sebuah momen yang
merupakan ‘menjadi-maujud’nya: hal tersebut demikian hanya dalam durasi atomis, yang
digantikan oleh selain yang serupa dengannya, dan yang lain tersebut masih oleh yang lain secara
terus-menerus. Segala hal yang terlibat dalam rangkaian pembaharuan penciptaannya ini
memelihara kesatuan dan identitasnya sehingga hal partikular tersebut berhutang kepada realitas
atau arketipnya, ke luar dan ke dalam bentuk Eksistensi yang mengembang dari tingkatan
keabsolutan-Nya kepada tingkatan determinasi dan individuasi-Nya dalam bentuk-bentuk yang
lebih konkret. Arketip itu sendiri — meskipun juga mengalami proses pembaharuan —
memelihara identitas asalinya dan selalu tetap dalam kondisi interior Being. Aspek yang kedua
dari dunia ini adalah nyata, dan memiliki dua aspek: (1) sebagai Eksistensi Itu sendiri, di dalam
kasus bahwa Eksistensi Absolutlah sebagaimana ia melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan
dinamis; (2) sebagai modus-modus Eksistensi, di dalam kasus bahwa individuasinya dari
Eksistensi Absolutlah yang telah diturunkan pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi.
Tuhan dalam Aspek-Nya sebagai Kebenaran atau Realitas, yakni, Eksistensi Absolut, maka
tidak identik dengan hal-hal yang kita lihat dan pegang — sebagaimana Dia tidak identik dengan
Nama dan Sifat-Nya ketika mereka menampilkan kualifikasi diri-Nya dalam bentuk mereka;
karena dikualifikasi sedemikian Dia itu bukan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri. Tuhan sebagai
Dia dalam diri-Nya sendiri itu berada di atas dikualifikasikan bahkan oleh keabsolutan,
sebagaimana juga Dia pada derajat tersebut itu tidak dikondisikan oleh kondisi apapun, dan oleh
karena itu tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali bagi diri-Nya sendiri.
Dari penjelasan di depan sudah jelas pada mereka yang memiliki pemahaman bahwa
Tuhan tidak dapat diserupakan kepada hal-hal yang diciptakan; bahwa Dia bukan substansi,
maupun jasad, maupun aksiden; bahwa Dia bukan dalam sebuah tempat maupun waktu; bahwa
Dia bukan penerima terhadap aksiden, maupun Dia itu lokus bagi hal-hal yang diasalkan —
meskipun Dia kadang-kadang nampak seolah-olah Dia adalah sebuah ‘substansi atau ‘lapisan-dasar’
yang unik dimana terdapat semua aksiden, dan pada waktu yang lain seolah-olah Dia adalah
‘aksiden-aksiden’ yang inheren dalam ‘lapisan-dasar’ tersebut.
Kita telah berbicara, dengan referensi pada struktur fanā’ baqā dalam intuisi akan
eksistensi, tentang apa yang dibuktikan oleh orang-orang penglihatan spiritual sebagai aspek
objektif, metafisis, dan ontologis dari dunia hal-hal ciptaan dalam hubungannya dengan Tuhan.
Dalam segala hal yang telah kita katakan, aspek ganda realitas dari tingkatan eksistensi tertinggi
hingga yang terendah telah berulang-kali ditunjukkan. Kini, secara berhubungan, pada aspek
subjektif dan psikologis dari persoalan tersebut berkaitan dengan manusia, aspek ganda yang
sama disatukan dalam pengalaman akan kejadian kebetulan dari perlawanan. Terminologi yang
mendefinisikan durasi ketika fanā’ muncul adalah waqt atau ‘waktu’, yang berarti pemotongan
147 Prolegomena
rangkaian waktu dari kesadaran individual seseorang sedemikian yang datang dalam waktu
tanpa masa lalu dan masa depan; sebuah waktu yang merupakan sesuatu dari alam keabadian
dan dimana seseorang dibenamkan dalam kebetulan perlawanan (coincidentia oppositorum).
Terdapat dua ‘waktu’ (awqāt) selama fanā’ muncul; yang satu menunjuk pada kondisi wajd —
agitasi spiritual yang mendahului ‘penemuan’ Kebenaran (wijdān), yang tidak lain dari intuisi
akan Eksistensi (wujūd); yang lain menunjuk pada kondisi faqd —‘kehilangan’ (fiqdān) apa yang
ditemukan yang mendahului kembalinya pada kesadaran individual. Apa yang telah hilang
adalah diri sejati yang telah menyaksikan dan membuktikan Kebenaran, atau Aspek Tuhan
sebagai Eksistensi Absolut; apa yang hilang adalah kondisi dimana dia sebelumnya sebelum dia
ada sebagai eksistensi eksternal.229 Dalam pengertian ini juga, apa yang telah hilang adalah
penglihatannya terhadap Kebenaran, karena dia telah dalam kondisi ‘persatuan’ dan ‘kehadiran’,
dan kini dalam kondisi ‘perpisahan’ dan ‘absensi’. Mungkinlah sesorang yang terbenam dalam
‘waktu’ dengan pengertian yang digambarkan di atas dapat, tanpa kondisi (hāl) penglihatan
sesungguhnya (cth. al-mushāhadah al-’iyāniyyah) yang Tuhan sebabkan diturunkan padanya,
menjadi sukar dengan perpisahan, karena dia telah merasakan tetapi tidak sepenuhnya melihat, dan
perasaa kembali kepada ketakutan sejati pada apa yang hilang dan menurunkan perasaan lain
yang hanya menekankan kondisi kesadaran individual terhadap eksistensi fenomenal. Pada
seseorang sedemikian juga tentunya menunjuk pada perkataan Dhū al-Nūn yang dikutip
sebelumnya dari al-Sarrāj. Tapi pemilik waqt yang bergandengan dengan hāl yang membuat
penglihatan sesungguhnya mungkin tidaklah diserang oleh perasaan ketakutan terhadap
perpisahan, karena apa yang telah dia rasakan dan lihat dalam kondisi tersebut, dari Multiplisitas
menjadi Kesatuan dan Kesatuan kembali menjadi Multiplisitas hanya untuk kembali pada
Kesatuan asalinya, memberinya pengetahuan tertentu tentang realitas esensial dalam Tuhan. Hal
Ini merupakan makna mendalam dalam pengertian dari perkataan Dhū al-Nūn, bahwa tidak
perlu takut terhadap kehilangan eksistensi, karena menjadi-hilang akan eksistensi pada faktanya
sebuah pengingatan bahwa seseorang itu maujud, jika tidak tidak akan ada kehilangan eksistensi
— sehingga seseorang memiliki realitas esensial untuk mengambil bagian dari eksistensi, dan pada
pengetahuan tersebut dia diberikan keberadaan (baqā) dalam Tuhan. Kondisinya
dikarakteristikkan dengan ‘ketabahan’ (tamkīn), yang merupakan tahap kesempurnaan spiritual
yang tertinggi; tidak ada tahap selanjutnya, tidak ada perubahan, tidak ada ragu maupun
kebimbangan dalam kondisinya, dan meskipun dia telah kembali pada tahap ‘perpisahan kedua’,
Tuhan telah menghapus dari kesadarannya semua pemikiran dari apa yang selain-Nya sehingga
dia melihat dimanapun Tuhan dan modus dan aspek-Nya dalam verifikasi dari apa yang
dikatakan dalam Qur’ān Suci: “Dimanapun kamu berpaling terdapat Aspek Tuhan”.230
Mereka yang telah mengalami intuisi akan eksistensi ada dua jenis. Yang pertama adalah
mereka yang telah mengalami intuisi eksistensi parsial, dimana mereka secara langsung
menangkap hanya yang pertama dari kedua aspek akan realitas dunia sebagaimana telah kita
nyatakan di atas. Karena pengalaman mereka telah meninggalkan mereka penangkapan hanya
terhadap Eksistensi Absolut, dimana eksistensi partikular dan individual, termasuk diri mereka,
kesadaran subjektif, semuanya binasa, mereka menjadi lupa, ketika mereka memperoleh kesadaran
individual mereka, kepada penolakan eksistensi realitas partikular dan individual dan afirmasi
hanya terhadap keesaan Eksistensi Absolut. Tapi kendati akan ini, bagaimanapun, mereka
mengetahui bahwa intuisi mereka akan eksistensi hanya sebuah yang parsial dan oleh karena itu
tidak lengkap, dan penolakan mereka terhadap eksistensi partikular dan individual itu hanya
bersifat personal bagi mereka, dan tidak dimaksudkan untuk dipahami berhubungan kepada
229 Lihat Kashf al-Mahjūb, hlm. 368.
230 Al-Baqarah (2): 115.
148 Prolegomena
sifat-dasar sesungguhnya dari realitas. Jenis yang kedua adalah mereka yang telah mengalami
intuisi akan eksistensi yang lengkap, dimana mereka secara langsung menangkap baik kedua aspek
dari aspek kedua realitas dunia. Dalam durasi pengalaman intuitif mereka, mereka telah
diberikan sebuah penglihatan penuh tentang Realitas. Kesaksian mereka terhadap Eksistensi
Absolut dalam proses akan pergerakan dinamis-Nya, dimana artikulasi dalaman-Nya diungkapkan
kepada mereka. Artikulasi tersebut merupakan penampakan dan ketidaknampakan dan
penampakan ulang modus-modus dan aspek-aspek dari Eksistensi Absolut keluar dari
kedalaman dalaman keesaan-Nya tanpa keesaan tersebut dengan cara apapun dipengaruhi
perubahan apapun dalam sifat-dasar atau kesatuannya. Mereka melihat dengan mati hati seolah-
olah dengan penglihatan mata, dimana Yang Esa mengindividuasi diri-Nya sendiri ke dalam
Yang Banyak namun tetap menjadi Esa; dan penghilangan Yang Banyak dibuat ditampakkan
ulang, beberapa dalam bentuk-bentuk asali mereka dan yang lain dalam bentuk yang serupa.
Mereka yang mengalami penglihatan ini telah kehilangan kondisi manusia dan subjektifnya dan
telah memperoleh kedirian yang lebih tinggi: mereka ada pada tingkatan akan realitas-realitas
mereka di alam arketip.
Dari pengalaman jenis yang kedua akan intuisilah, yang termasuk dan merupakan tahap
yang melampaui jenis yang pertama, sehingga sifat-dasar realitas sebagai sebuah ‘sistem’
integratif dirumuskan oleh mereka yang telah mengalaminya. Mereka mengakui eksistensi dan
realitas baik Eksistensi Absolut (Tuhan) dan modus-modus dan aspek-aspek-Nya (dunia), dan
membedakan yang satu dari yang lain.
Jenis kedua intuisi akan eksistensi mengungkapkan bahwa sifat-dasar realitas bersifat
ganda, dikarakteristikkan oleh perlawanan yang saling melengkapi yang terlibat dalam
pergerakan dinamis dan eksistensial. Dalam pengertian metafisis, pergerakan dinamis
Eksistensilah, yang digambarkan dalam pengertian ekspansi dan kontraksi atau ‘turunan’ dan
‘pendakian’, yang melibatkan Yang Esa dan Yang Banyak; Yang Absolut dan Yang
mendeterminasi; Yang Abadi dan Yang non-abadi. Di antara dua perlawanan yang melengkapi
tersebut terdapat kategori ketiga antara being dan non-being yang tidak Abadi maupun Non-abadi,
dan ini merupakan alam Realitas Arketipal. Dalam hubungan dengan pergerakan dinamis dan
eksistensial dari penurunan dan pendakian, atau ekspansi dan kontraksi, yang memunculkan bagi
penciptaan yang selalu-baru dan asal dari rangkaian waktu, sifat-dasar rangkaian waktu juga
merupakan suatu yang subjektif; dan kita katakan di atas bahwa manusia yang mengalami intuisi
akan eksistensi ada pada tingkatan realitas-realitas arketipal. Kini kehilangan kondisi subjektif
dan manusia tersebut dalam pengalaman intuitif harus juga melibatkan kehilangan rangkaian
waktu; dan penemuan kedirian yang lebih tinggi dalam jenis kedua dari pengalaman intuitif
melibatkan dalam sebuah waktu tanpa masa lalu dan masa depan, sebuah waktu yang kita
katakan merupakan alam keabadian. Pada hal ini ditunjuk definisi tentang intuisi dari jenis ini
ketika Abū Sa’īd al-Kharrāz, yang mengalaminya, berkata: “hal tersebut merupakan sebuah
kebetulan antara dua perlawanan” (al-jam’ bayn al-diddayn).
Ketika mereka mengatakan bahwa Kebenaran, yang merupakan salah satu Nama-Nama
Tuhan, merupakan realitas eksistensi, mereka berbicara dalam pengertian metafisis menunjuk
pada Yang Absolut sebagaimana Ia mewujudkan diri-Nya sendiri dalam semua tataran eksistensi.
Dengan demikian mereka tidak menyiratkan bahwa Tuhan tidak memiliki individualitas, atau
bahwa Dia adalah sebuah Being yang luas, samar, meliputi dan dinamis, yang berlawanan dengan
teologi Tuhan dari agama. Sebaliknya, mereka mengakui individualitas Tuhan; karena tidaklah
tidak konsisten bagi Yang Absolut untuk memiliki individuasi sebagai Tuhan dalam cara bahwa
Dia telah menggambarkan diri-Nya berdasarkan Nama-Nama Indah dan Sifat-Sifat Mulia-Nya.
149 Prolegomena
Individuasi ini ada pada tataran Keesaan Ilahiyah (al-wāhidiyyah), dimana aspek swa-
pengungkapan dikarakteristikkan nama-nama dan sifat-sifat keilahiyahan (al-ilāhiyyah).
Ringkasan di depan dari corak paling penting dari intuisi akan eksistensi, yang padanya
didasarkan posisi dari manusia penglihatan spiritual kepada sifat-dasar realitas, dapat dilacak
kembali dalam bentuk sederhananya dari ekspresi pada mazhab al-Junayd. Mazhab ini
menampilkan penglihatan realitas sebagaimana mereka pertimbangkan berdasarkan pada jenis
kedua dari intuisi akan eksistensi. Mereka mengafirmasi kesatuan transenden eksistensi (wahdat
al-wujūd). Di antara perwakilan pencatat terdahulu dari sekolah ini setelah al-Junayd adalah Abū
Nasr al-Sarrāj, ‘Alī al-Hujwīrī, Abū al-Qāsim al-Qushayrī dan ‘Abd Allāh al-Ansārī. Pada mazhab
ini juga terdapat al-Ghazāli. Tapi pendukung terbesar mereka adalah ibn ‘Arabī, yang pertama
kali merumuskan apa yang secara asli diberikan dalam intuisi akan eksistensi ke dalam sebuah
metafisika integratif yang diungkapkan dalam pengertian rasional dan intelektual. Di antara
komentator terpelajarnya adalah Sadr al-Dīn al-Qunyāwi, ‘Abd al-Razzāq al-Qāshanī, Dāwud al-
Qasyarī, ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī; dan doktrinnya tentang Manusia Sempurna (al-Insān al-Kamīl)
telah dibangun oleh ‘Abd al-Karīm al-Jīlī. Ungkapan filosofis dari kesatuan transenden akan
eksistensi dirumuskan oleh Sadr al-Dīn al-Shīrāzī, yang disebut Mullā Sadrā, yang membawa jejak
pemikiran metafisis pemikiran ibn Sinā, al-Ghazāli, ibn ’Arabī, dan al-Suhrawardī.
150 Prolegomena