The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by PERPUSTAKAAN PUSPANEGARA, 2022-10-24 00:28:00

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

Puthut EA

Puthut EA




































in•

Cinta Tak Pemah Tepat Wakt
Oleh: Puthut EA



Hak Penerbit C INSISTPress 2008





Tata Letak: Handoko
Rancang Sampul: Ong Hari Wahyu
Foto Sampul: Felicia Maria

INSISTPress
Jalan Ganesha II no. 09
Muja Muju Yogyakarta 55165
Tel/Fax. +62 27 4 556433


Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu/Penulis:Puthut EA;
-Yogyakarta: INSISTPress, Maret 2009
v + 213 halaman, 15 x 21 cm,
ISBN: 978·602·8384·18·6























Cetakan kedua, Maret 2009
Cetakan Pertama Penerbit Oracle 2005

Daftar isi


















Seraut Wajah di Genangan Waktu: Sebuah P r o l o g -1

Satu: Percakapan di Taman -8
Dua: Calon dari lbu - 2 1
Tiga: Ia Tahu Kalau Dirinya Cantik -32

Empat: Sesaat di dalam Kamar -44
Lima: Sesaat yang Kembali Gaga! -53


Enam: Kikan -65
Tujuh: Bab Khusus, tentang Kamu, untuk Kamu -77

Delapan: Hampir Mengulang kesalahan -84
Sembilan: Ah, Badai Itu .... -100
Sepuluh: Bayang Wajah di Jendela Kereta -113

Sebelas: Ketika Musim Demam Tiba -127

Dua belas: Berkas Kenangan -139
Tiga belas: Surga-surga Kecil -149

Empat belas: Kecil itu Berat -169
Lima belas: Kania, Perempuan Itu -180

Seraut Wajah Mengalir Di Dalam Waktu: Sebuah E p i l o g -199

Se6uali Pr o { o g



















.. fiz &&emlla-seperti sebuah pagi yang mendung. Aku
waswas. Aku punya agenda kencan dengan
seseorang, berjalan kaki berdua, mengitari sebuah
taman dengan pepohonan yang besar, di sore hari.
Lalu ketika matahari naik, awan pecah ber­
hamburan, cahaya matahari menghampar k e tana.

Semua berkilau, dan hatiku ikut berkilau. Ah, sore
yang cerah sedang menantiku. Tapi ketika siang
mulai turun, mendung seperti dipanggil kembali.

Pelan tapi pasti, mereka berkumpul, memadat,
seperti hendak mempersiapkan sebuah pem­
berontakan kepada bumi, dengan mengirimi
berjuta-juta pasukan air.
Kembali rasa waswas mengguncang. Tapi

mendung mendadak seperti malas. Langit cepat

berganti muka. Kadang kelam, kadang bersinar, kadang pucat.
Dan dalam rangka menentramkan hati, aku berkata pada diri

sendiri: alangkah enaknya berkencan dengan jalan kaki, di sebuah
tarnan dengan pepohonannya yang tinggi, dengan dipayungi
cahaya sore yang kadang mendung, menelisipkan dingin yang
mungkin bisa membuat romantis keadaan.
Dan benar. Hujan tak juga turun, gerimis belum mau rontok.

Lalu kutinggalkan payung di depan rumah, mantap berjalan kaki
tanpa usaha melindungi diri dari kemungkinan hujan yang
mengguyur. Udara terasa ringan. Dingin yang menelisip mem­
buat perempuan yang nan ti berjalan di sampingku akan semakin

terlihat menentramkan. Ta pi ketika beberapa puluh langkah telah
dibuat menjadi jarak antara tubuhku dan pintu rumah, hujan
turun dengan deras tanpa aba-aba, tidak memberi sinyal. Tubuh
kuyup oleh air, juga umpatan .



.Yfzt..Jemtta,seperti zaman kuliah dulu. Satu tugas penting harus
kukerjakan. Esok hari adalah tenggatnya. Sepanjang malam, aku
memeras otak, menghadap monitor komputer. Bertahan dan
bertahan. Berjuang dan berjuang. Berupaya keras agar tugas tunai

dengan baik. Pagi mulai rekah.
Tugas rampung. Dada lega. Saatnya menunggu si printer
mengeluarkan kesaktian dan baktinya padaku. Si printer beku.
Dia terdiarn. Dia ngadat. Seluruh upaya pembenahan diiringi
dengan kekesalan hati dan dada yang bergemuruh hanya meng­

hasilkan kesia-siaan. Printer tetap ngadat! Pagi semakin tinggi.
Tinggal beberapa puluh menit lagi. Dengan tangkas mengopi data
ke disket. Melaju ke rental komputer terdekat. Menunggu sesaat
karena harus antri. Ketika tiba giliranku, disketnya tidak bisa

dibuka. Disketnya rusak. Kutukan sial di pagi hari. Balik lagi
untuk mengopi dengan rangkap data. Kembali ke kursi semula.
Lega. Kertas-kertas berhamburan. Lega. Kertas-kertas dijilid.
Leg a.
Segera melaju ke kampus. Lega. Masih ada beberapa menit.

Dan, plang! Si Dosen bilang, tenggatnya kemarin pagi!


2

�tJemllaseperti ujian akhir semester. Tinggal satu mata kuliah.

Weker dipasang. Tidak cukup satu, pinjam punya teman,
dipasang dekat-dekat dengan telinga. Botol air di dekat tempat
tidur, kalau malas, langsung guyur muka sendiri. Susah tidur
karena resah. Sulit tidur karena tetap takut tidak bangun. Jam
mendekat ke arah waktu ujian.

Tiba-tiba gelap. Terkejut, terbangun. Hari telah begitu siang.
Mengapa dua weker itu tidak menyala? Panik. Memastikan
penunjuk waktu. Sudah telat! Uring-uringan. Mengapa mereka
bisa ngadat? Seorang teman terlentang di lantai. Kawan lama

dari luar kota. Dengan cepat kubangunkan. Kamu mematikan
dering weker? Dengan malas ia mengiyakan, habis kata dia, aku
toh tidak akan bangun juga. Dia mengenalku dari dulu, aku amat
sangat malas untuk bangun pagi. Aku hampir memarahinya. Tapi
urung. Mungkin memang ada, sesuatu yang datang, terjadi,

hanya untuk sia-sia.
Semua, ya semua, hampir mirip hal-hal itu. Hanya ada rasa
tertegun yang kosong. Tidak tahu harus berbuat apa-apa. Selain
kemudian menghabiskan waktu dengan lebih banyak ketololan.



QlJ;,, liAatlah aku sekarang ini. Muda, segar, punya cukup rasa
percaya diri yang tinggi, dan yang paling penting di atas segala
itu adalah, aku merdeka semerdeka-merdekanya. Aku tidak bisa
diperintah orang, dan aku emoh memerintah orang. Aku tidak

tergantung pada orang lain, dan tidak ada orang lain yang ter­
gantung padaku. Aku bisa melakukan apa saja yang aku ingin­
kan. Hampir semua keinginan dan kesenanganku bisa kulakukan
dengan baik. Tak ada yang bisa mengoyak diriku.

Tapi lihatlah orang yang cukup sial ini. Ruang tidurku getir.
Tidak ada yang tertawa riang di sana. Tidak ada tubuh yang
kupeluk lalu kubisikkan kata sayang ketika musik sendu
mengalun. Aku menonton televisi sendirian. Aku menonton film
sendirian. Malam-malam hadir seperti laknatan. Membolak-balik

buku, membolak-balik pikiran. Tak ada suara orang yang


3

bernyanyi di sampingku. Ketika aku bangun, tidak ada
perempuan pulas di sampingku. Tidak ada yang membangun­

kank. Jendela kama mengeruh. Cahaya matahari ikut keruh.
Semua yang ada di ruang dapur terasa sempurna, ta pi semua
tetap kosong. Aku memasak air sendiri, menyeduh minumanku
sendiri. Mengaduk minumanku dengan keheningan yang
mengiris dan sunyi. Menghabiskan berbatang-batang rokok

sambil menyeruput sedikit demi sedikit cangkir minumku. Musik
bersuara serak. Waktu terasa hambar. Malas mandi. Malas
menyukur kumis dan jenggot. Malas beranjak dari kursi. Musik
berteriak serak. Abu dan puntung rokok menggunung. Bangkit.

Mempersiapkan makanan. Selesai memasak, selera makan tidak
juga datang. Masakan dingin. Mencicipi sesendok, dan enggan
meneruskannya lagi.
Pergi ke ruang tengah. Membuka koran lembar demi lembar,
tetap saja hanya ada kegetiran. Mendekati pesawat telpon.

Memandangnya dengan rasa ingin yang luar biasa. Mencoba
mengingat baik-baik segala sesuatu sambil membuka buku
telpon. Semua terasa pahit. Semua terasa tidak jelas. Ingin
menendang kursi. Ingin merobek buku telpon. Ingin mengambil

palu dan memukul pesawat telpon. Ta pi semua hanya ingin. Tak
ada yang bisa kulakukan. Tetap tidak ada bahkan ketika siang
segera mengerem cahaya matahari menjadi sore.
Menuju kama mandi, cud muka dan menyikat gigi. Masih
ada darah di mulut. Meludahkannya keras-keras ke lantai.

Menggosok wajah keras-keras dengan handuk. Mengganti
pakaian. Mengambil tas kecil. Mengunci ruma. Menghadang
taksi. meminta diantar ke stasiun.
Memesan tiket untuk kereta yang paling sepi penumpang.

Segera menuju ke sebuah kafe di dalam stasiun yang cukup sepi
karena mungkin harganya cukup mahal. Memesan kopi hanya
untuk dipandangi. Menyeruput minuman. Asbak di meja kembali
bertumpuk oleh abu dan puntung rokok. Kereta datang.
Melompat malas. Mencari kursi dalam gerbong yang nyaris

kosong. Senja mulai tua, mendung menambah tua cuaca. Gerimis


4

turun di luar. Dari jendela muram itu bayang-bayang berkelebat.
Kota-kota mulai bersolek dengan lampu. Hujan menderas di luar.

Kereta semakin cepat. Naik kereta api untuk bisa menangis
sendirian. Tangisan sepi.


fwr.1alm1, aku sudah berjalan terlalu jauh. Melewati hidup
dengan semangat hijau dan liar. Tikungan-tikungan patah

menjadi saksi. Hinggap dari satu pelukan kasih ke pelukan kasih
yang lain. Nyaris tidak ada kesulitan untuk mengatakan rasa
sayang, dan nyaris tidak ada pula kesulitan untuk mengatakan
selamat tinggal. Yang kudatangi menangis dan membuka diri,

yang kutinggalkan bisa menerima diri. Semua sayang. Semua
sayang. Semua sayang. Bahkan ketika ditinggalkan.
Mereka tahu aku sangat menderita. Tuhan tahu aku sangat
menderita. Mereka menyayangiku. Tuhan menyayangiku. Aku
membayar penderitaanku dengan marah dan brutal. Marah yang

diam. Brutal yang hening. Semua seperti kepundan, tapi tidak
pernah terjadi ledakan. Aku muda. Aku merah. Aku marah. Dan
aku lelah. Mataku mengeluarkan api. Mulutku memantik api.
Tanganku memercikkan api. Semua ikut terbakar. Semua

menyediakan diri dibakar. Aku membakar diri bersama banyak
orang.
Lalu datang masa gigil itu. Dingin yang membekap erat tulang
punggungku. Memerasnya, memelintirnya sampai pada rasa
sakit yang tak tertanggungkan. Sampai pada hening yang paling

bening. Sampai pada gunung hijau tinggi. Sampai pada langit
biru tinggi. Sampai pada pucuk daun lembut tinggi. Sampai pada
aku yang kedl dan terbang. Aku bend kebebasanku. Aku benci
kehebatanku. Aku bend orang yang mengagumiku. Aku benci

orang yang menerimaku. Aku bend mengapa aku dibiarkan
menempuh perjalanan sunyi ini seorang diri.
Aku ingin duduk tenang di sebuah kursi, sambil menunggu
terbitnya matahari. Aku ingin membuat keputusan kecil yang
sederhana. Aku ingin menahan diri untuk tidak meninggalkan

seseorang. Aku ingin menghadang diriku sendiri ketika ingin


5

menghampiri orang yang lain.
Aku ingin membakar masa laluku. Aku ingin me.mbakar

karmaku. Aku ingin meluruskan dan melenturkan tulang
punggungku. Aku ingin napas yang ringan mengalir di seluruh
tubuhku. Aku ingin ada titik pusat yang terletak pada tiga jari di
atas pusarku. Tapi aku tidak ingin sakti. Aku tidak ingin ada
keajaiban lagi. Aku tidak ingin dibawa ke sebuah dunia dimana

aku merasa sudah buka manusia lagi. Aku ingin tetap menjadi
manusia. Aku tetap ingin kadang bersedih. Tapi aku juga ingin
sesekali bahagia.
Aku ingin membangunk seorang perempuan dari tidurnya.

Aku ingin membuatkan minuman. Aku ingin membunyikan
musik yang membuatnya tersenyum. Aku ingin membacakan
puisi-puisi pendek. Aku ingin membisikkan kata-kata sederhana.
Aku ingin berterus terang tentang masa laluku. Aku ingin ia
menerimaku bukan karena cerita-cerita bodohku. Bukan karena

mereka terlena oleh kalimat-kalimat yang kupilin dan kupintal.
Itu bukan aku. Itu bukan aku. ltu bukan aku.
Aku ingin mereka menyadari bahwa aku hanya seseorang
yang iseng menuliskan sesuatu, dan sialnya banyak orang

beranggapan aku begitu serius dan hebat. Mereka tertipu oleh
sesuatu yang bahkan tidak terbersit sedikitpun dalam niatanku.
Aku ingin bilang ke mereka semua, berhentilah bertanya
padaku. Berhentilah menunggu kalimat-kalimatku selanjutnya.
Berhentilah berharap akan ada ha! hebat yang kuucapkan.

Berhentilah untuk membuat diriku tiba-tiba merasa aku memang
hebat. Berhentilah mengirimiku surat-surat elektronik.
Berhentilah mengirimiku pesan-pesan pendek. Berhentilah
menanyakan kabarku. Tapi sekaligus berhentilah untuk

menyerangku. Berhentilah, agar aku merasa bahwa aku tidak
sedang diserang.
Aku ingin kursimu yang tenang itu. Kalau kamu mau,
tukarlah dengan kursi yang sekarang sedang kududuki.
Jangan biarkan aku membenci diriku terus-menerus. Jangan

biarkan. Aku hanya ingin sedikit sembuh, dari dunia yang sakit


6

ini .....
Aku tidak ingin cinta yang sejati. Tapi biarkan aku mencicipi

cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di
sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela
tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung
mendapatkannya.
Sesungguhnya, aku hanya ingin kebahagiaan yang sederhana.

Sesederhana membangunkan seseorang dari tidurnya di pagi
hari, dan kemudian bercinta .....




























































7

satu




























.
·�" 'Tnencle11;ft ban yak hal tentang kamu . . "
Aku melengak. Dadaku berdesir. Batu taman
yang kupakai untuk duduk menusukkan dingin
sampai k e ulu hati. Sekilas aku melihat langit.
Bintang-bintang bertaburan, dan langit begitu

cemerlang. Sekilas aku melihat lampu-lampu dan
keadaan di sekelilingku. Aku melihat banyak orang
masih sibuk dengan pesta yang baru saja ber­
langsung. Dan aku melihat wajah yang meng­

ucapkan kalimat itu lagi. Kembali dadaku berdesir.
Batu taman menusukkan dingin sampai ulu hati.
Ia tersenyum. Berjalan pelan mendekatiku. Bau
harum mendahului geraknya. Harum yang pernah
kukenal di masa lalu.

"Kamu masih suka menyendiri di tengah

keramaian."
Ia berdiri di depanku. Gelas minumannya tepat di depan

dadanya. Aku melihat sekeliling. Di panggung kecil dekat kolam
renang, sebuah grup musik menyanyikan lagu-lagu lama dengan
nada sederhana. Orang-orang berkerumun di depan panggung
sambil ikut bernyanyi dan bergoyang. Sementara kulihat
beberapa orang sibuk bergerombol dengan teriakan dan tawa

yang keras. Beberapa kulihat sibuk berpasangan di sudut-sudut
taman yang agak gelap.
"Kamu juga masih memegang gelas minum dengan cara yang
sama. Ayo dong cerita .... Kita kan sudah lama tidak bertemu ... "

Aku memandang lagi perempuan yang berdiri di depanku.
Aku mencoba tersenyum padanya. Sambutan wajar yang cukup
telat.
Ia tertawa, nyaris terbahak-bahak. "Kamu juga masih
gampang grogi, ya .... II

Ia membuka tas mungilnya, mengeluarkan sebungkus rokok.
Aku agak kaget. Lalu aku menernukan kalit yang paling tepat
untuk kukatakan, "Kamu tidak cukup bahagia?"
Ia mengernyit, sebagai pertanda yang tidak mengerti maksud

kalirnatku. Aku menunjuk pelan sebungkus rokok yang masih
digenggamnya. Dan ia tertawa terbahak-bahak.
"Permulaan yang terlalu cepat. Aku bahagia, kok."
Kembali aku mencoba tersenyum. Dari jauh aku mendengar
jeritan riuh. Aku melihat ke arah panggung kecil di pinggir kolam

renang. Seorang perempuan diceburkan ramai-ramai, lalu Happy
Birthday dilantunkan dengan suara gemuruh, dan penyanyi di
panggung meneruskan dengan suara yang melengking tinggi.
"Kamu mungkin, .... yang tidak bahagia .... "

Aku kembali kaget. Lalu aku mengeluarkan sebungkus rokok.
Ia menyalakan korek untuk sebatang yang kuselipkan di bibir.
Dan ia menyalakan sebatang yang terselip di bibirnya.
"Kabarmu baik?"
Dengan cepat aku mengangguk. Tapi karena terlalu keras

anggukanku, kopi hangat yang masih kupegang tergoncang.


9

lsinya membasahi celanaku. Kembali ia tertawa.
"Itu pertanda .. "

Aku mengernyitkan wajah. Memberi isyarat bahwa aku tidak
mengerti maksudnya.
"Tanda bahwa kamu berbohong."
"Tidak, aku bahagia. Setidaknya cukup bahagia."
la tersenyum. Tidak, maksudku, ia menyeringai. Dan aku

tidak suka dengan jenis senyum seperti itu. Aku menatap mata­
nya, tajam. Memberi isyarat bahwa aku tidak suka, dan sekaligus
mencoba menatap semakin jelas wajahnya. Kenangan-kenangan
lama berhamburan. Aku mencoba meredamnya dengan meng­

isap rokokku dalam-dalam.
Ta pi ia seperti tidak paham. Lalu melangkah menuju ke arah
batu taman di sampingku. la duduk di dekatku, tidak tepat di
depanku dan tidak tepat juga di sampingku. Aku melihatnya
dari sisi kiri wajahnya. Posisi yang melihatnya terlihat sangat

cantik, dan dia tahu itu.
"Masih tetap sendiri?"
"Bukan berarti aku tidak bahagia .... "
"Lho, kan aku sedang bertanya apakah kamu masih sendiri?

Pertanyaan tentang kebahagiaan sudah lewat."
Ia tersenyum, genit. Tidak, maksudku, ia sedang meng­
godaku. Oh, tidak. .. maksudku ia sedang mengejekku. Ah, tidak
tepat juga, itu khas dia, dan aku susah mengatakannya.
Aku mengangguk. Kubuat tetap man tap, sambil aku menjaga

agar minumanku tidak tumpah.
Dalam hati, aku mengutuk pertemuan dan suasana ini. Ia
terlihat tampil dengan penuh percaya diri. Ia datang untuk
memenangkan pertemuan yang tidak kupersiapkan. Aku tidak

pemah menghendaki bertemu dengannya lagi. Aku tahu, aku
pasti tidak akan tahu apa yang harus kukatakan atau kuperbuat
jika bertemu dengannya. Aku mencoba bersikap tenang dengan
menjatuhkan pandangan ke arah yang jauh, melewati bahu
kirinya. Sarnbil dalam hati aku sibuk mernikirkan bagaimana

supaya aku bisa cepat menguasai keadaan. Tapi sepertinya ia


10

jauh lebih siap. Ia mengisap rokoknya dengan tenang, sambil
tetap menyeringai. Ah, tidak .... ah .. , sudahlah!

"Masih tinggal di tempat yang dulu?"
Hampir saja aku mengangguk cepat dan mantap. Tapi
menyadari pertanyaannya, aku langsung menggeleng. Kali ini,
setelah gelengan kepala, aku meletakkan cangkir kopiku di batu
taman samping kiriku. Berharap dengan begitu, tidak terlihat

bahwa aku hampir saja mengangguk. Sialnya, aku merasa
kehilangan salah satu 'alatku' untuk tetap tampil lebih percaya
diri ketika cangkir rninuman itu kuletakkan. Untunglah, ia tidak
memperhatikan itu sebagai sebuah kesalahan gerak. Dengan

cepat aku mengembalikan pertanyaan.
Kami sama-sama menelengkan wajah ke arah panggung
ketika terdengar lagi sorak bergemuruh. Seseorang yang punya
hajat sedang bicara di atas panggung, dan orang-orang ramai
bertepuk tangan begitu ia menyelesaikan kalirnat demi kalirnat.

"Tumben mau datang ke acara seperti ini?"
"Tumben?"
"Sudahlah, aku kan cukup tahu kamu .... "
"Ia sahabat baikku." Sambil berkata begitu, aku melemparkan

mataku ke arah pangung.
"Istrinya sahabat baikku."
Kami mendengar suara tepuk tangan lagi dan sorak-sorai.
Orang yang punya hajat turun panggung, lagu-lagu kebali
terdengar, kali ini berirama lebih cepat.

"Sekarang pacaran sama siapa?"
"Pertanyaanmu terlalu cepat."
Ia tertawa keras sampai terbatuk-batuk. Membuang rokok­
nya, meminum gelasnya, lalu mengulungkannya padaku, sambil

memberi tanda agar aku mau membantunya meletakkan gelas
minumnya di samping dudukku. Lalu ia kembali menyalakan
sebatang lagi.
"Sejak kapan merokok?"
"Setahun setelah menikah."

Kembali ia menyeringai. Ah, bukan .... ah ... pokoknya ... ,


11

begitulah! Mungkin ia tahu, kata 'menikah' membuatku merasa
tidak nyaman.

"Eh, sama siapa sekarang?" Sambil melempar pertanyaan
itu, matanya mengerdip. Kali ini aku yakin untuk mengatakan
bahwa ia genit!
"Rahasia."
"Rahasia atau tidak punya .... "

"Susah untuk disebut. Banyak sekali."
Ia mencibir. "Kan kamu memang selalu seperti itu, dari <lulu.
Katanya setia, tapi selalu ada dimana-mana ... "

"Itu tuduhan. Kamu tahu aku."
"Alaaaah ... dari dulu kamu sebetulnya sudah seperti itu!"
Aku agak terkejut dengan reaksinya. Ada nada marah di
kalimatnya barusan, dan terlihat wajahnya sedikit memerah.
"Kamu tidak bisa seperti itu terus. Pilih salah satu, dan
serius, dong!"

Eit! Aku mulai mendengar nada cemburu. Lalu aku me­
mandangnya baik-baik sambil menghunus senyum. Ia memberi
tanda di wajahnya: ada apa?
"Kamu cemburu, ya?

"Tidak!"
"C em uru, ya .... "
b
"Tidak! Enak saja! Aku bahagia dengan pernikahan."
"Lho, aku bertanya apakah kamu cemburu atau tidak? Bukan
kamu bahagia atau tidak dengan pernikahau .... "

Ia melempar wajahnya. Tersenyum malu-malu. Dan kulihat
ia mengeluarkan kata 'sialan', tetapi dengan tidak bersuara.
Dalam hati aku bersorak. Pertama, karena aku yakin dia cemburu,
kedua karena aku berhasil menguasai keadaan, dan ketiga karena

ia terlihat sangat cantik.
"Aku serius, aku bahagia."
"0, ya? Aku mencurigai kebahagiaan yang harus ditekankan
berulang-ulang."
"Eh, ingat ya ... dibutuhkan dua orang untuk bahagia!"

"Kata siapa? Aku sendirian, dan aku bahagia."


12

"Kamu tidak pernah sendirian. Pacarmu ada dimana-mana!"
Kembali aku tersenyum. Dengan cepat ia menyadari apa yang

ada di pikiranku. Dan ia memasang muka cemberut. Cantik
sekali!
"Kamu jangan menuduh seperti itu, tidak baik ... "
"Apanya yang tidak baik? Kamu memang play b o y dari dulu!
Aku saja yang dulu tidak menyadari. Bodoh sekali!"

"Aku bukan play boy. Aku hanya orang yang tidak kenal
menyerah, dan tidak beruntung."
Kali ini, ia benar-benar mengemyit pertanda tidak mengerti.
"Maksudmu?"

Aku tersenyum. Pancinganku kena. "Tidak lelah-lelahnya
mencoba berpacaran, dan selalu gagal. Karena sering mencoba
itu, lalu orang-orang dan juga kamu menuduhku play boy."
Ia berteriak kesal, lalu mencubitku. Aku kaget. Ia mencubitku!
Gila ... .ia mencubitku! Setelah lima tahun lebih kami tidak pemah

ketemu.
Ia seperti kaget juga dengan tindakannya. Ia terdiam. Aku
terdiam. Lagu-lagu masih terdengar di panggung kecil dekat
kolam renang.

"Kamu masih menyayangiku, ya?" Kali ini, aku yang kaget
dengan pertanyaanku sendiri. Sial! Tapi sudah terlanjur.
Seperti yang kuduga, ia juga kaget dengan pertanyaanku. Ia
langsung memberi tanda 'jangan' pada wajah dan gerakan
jarinya. Lalu ia membuang muka, mencoba melihat ke arah

panggung.
"Maaf .... "
Kami kembali terdiam.. Seorang perempuan naik panggung
dan menyanyikan lagu sendu. Orang-orang yang di dekat

panggung terdiam. Aku melihat sepintas ke arah perempuan di
dekatku. Ya, Tuhan .... matanya berkaca-kaca. Kami tetap terdiam.
Aku ingin memeluknya. Aku menyesali ucapanku. Oh,
maksudku, juga karena .... aku masih ....
"Aku mau bertanya dan to long jawab dengan jujur .... "

Dadaku berdetak keras. Tapi aku telah bersiap dengan


13

kejujuranku. Aku menunggunya mengucapkan pertanyaan.
"Sebenarnya, <lulu itu, aku yang kelima atau yang kelima

belas?"
Sialan. Ia kumat konyolnya. "Yang kedua puluh ' lima ' ." Aku
memberi tekanan pada kata 'lima'.
Ia kembali memekik. Tangannya hampir mencubitku lagi, tapi
dengan segera ia menarik kembali tangannya.

"Aku serius!"
Aku memberi tanda dengan wajah dan tanganku, agar ia tidak
usah melanjutkan percakapan itu.

" N g g a k maul Aku p e n g e n tahu!"
"Yang kelirna."
"Bohong!"
Aku menganggukkan kepala, mencoba meyakinkannya.
"Kalau aku? Yang kedua atau yang kedua puluh?"
"Yang ke' dua' ratus!" Ia memberi tekanan pada kata 'dua'.

"Ayolah .... "
"Ya yang kedua, do n g ! Aku kan n g g a k pernah bohong sama
kamu!"
"Iya, ta pi jangan membentak-bentak begitu, dong .. .. "

Ia memasang muka cemberut. Cantik sekali!


"Kenapa <lulu kamu meninggalkanku?" Kembali aku kaget
dengan pertanyaanku sendiri.
Tentu, ia juga sangat kaget. Sampai wajahnya terlihat

tengadah dalam satu gerakan yang cepat.
.
"K amu, s1 .... "
h
"Iya, aku kenapa waktu itu?"
"Please . . . . "

Aku mengangkat bahu. Aku tahu ia tidak ingin melanjutkan
pembicaraan tentang itu. Kami terdiam. Kami sama-sama
kembali menyalakan sebatang rokok.
"Setelah aku, berapa banyak lagi?"
Aku mengernyitkan wajahku, mencoba menebak-nebak

maksud pertanyaannya.


1 4

"Pacarmu .... "
Aku tersenyum. "Banyak."

"Percaya. Sekarang sama siapa ?"
"Tidak puny a pacar .... "
"Sedang!"
Kembali aku mengernyit.
"Sedang tidak punya!"

Kembali aku tersenyum. Ia terlihat menggemaskan saat
mengucapkan kata 'sedang'.
"Aku sering mendengar orang-orang membicarakanrnu ... "
"Maksudmu ... "
.
"Al aaaa , 1angan so k .... II
h
A k u d i am.
"Aku sering d e g - d e g a n bila ada yang menyebut namamu .... "
Kali ini, aku benar-benar kaget dengan kalimat yang baru saja
meluncur dari mulutnya. Menyadari itu, wajahnya memerah.

"Aku pikir, kamu sudah tidak peduli denganku. Bahkan tidak
ingat lagi sama aku .... "
Ia terdiam. Telpon genggamnya berdering. Ia berbicara.
Setelah mematikan benda mungil itu, ia berkata,"Suarniku sudah

menunggu di luar. Aku harus pulang."
"Kenapa tidak membiarkan dia datang ke sini? Aku belum
berkenalan dengannya."
"Gila. Dia selalu cemburu denganmu."
"Pacar-pacarku setelah kamu juga cemburu denganrnu."

"Memangnya kamu bercerita apa tentangku .... "
"Aku telah mencintai seorang perempuan, dan dia mening­
galkanku. Satu-satunya kesalahanku adalah karena aku terlalu
mencintai perempuan itu, dan sialnya aku tidak bisa mencintai

yang lain lagi."
Ia mencibir. Tapi kemudian kembali diam. Lalu ia
berkata,"Kamu tahu aku tidak meninggalkanmu. Itu semua
a
"t
u
t l 1 runu .... II
er
"Ya, aku tahu."
I a menatapku tajam. Aku membalas tatapan matanya.

15

" Mmmm . . " Agak berat rasanya menanyakan sesuatu
.
.
padanya. Sebuah pertanyaan yang kunggap penting, Setidaknya
pada m a l a m ini. Pada m a l a m dimana aku mempunyai
kesempatan bertemu dengannya, dan situasinya tidak begitu
buruk.
"Apa?"
"Apakah kamu mencintainya?"

Ia terkejut. Terdiam beberapa saat. Ia nampak gugup. Tapi ia
pasti akan menguasai diri dengan baik. Sebuah sikap yang aku
tahu betul, ia sungguh menguasainya.
Lalu dengan kembali menatap tajam pada mataku, ia rnen­

jawab,"Ia mencintaiku."
Harnpir saja aku membalasnya dengan: aku juga men­
cintaimu! Tapi aku mengurungkan kalimat yang nyaris terlepas
itu. Aku tidak ingin menambah permasalahan di malam ini.
Semua sudah terlalu cukup.

Ia bangkit. Aku bangkit. Ia mengulurkan tangan. Kami
bersalaman. Ia tersenyurn dan berjalan pelan rneninggalkanku.
Baru beberapa langkah, ia berhenti, rnenoleh, lalu berkata,"Boleh
tahu nomormu atau alamat email-mu?"

Aku menggeleng pelan. Ia mengerti. Ia tersenyum, mem­
balikkan badan, lalu kembali melangkah.
Suasana panggung masih ramai. Rasa nyeri menyusup di
dadaku. Aku mengambil gelas minuman perempuan yang tadi
bersamaku, dan menenggak sampai tandas isinya. Pelan, aku

melangkah ke arah panggung, berharap di tengah kerarnaian itu,
rasa nyeri di dadaku bisa mengabur. Lalu kepalaku mendongak
ke atas. Langit di atasku masih cemerlang dan meri.ah. Bintang­
bintang masih bertaburan, dan tidak ada bulan. Tapi di diriku

tetap saja, semua terasa kosong dan getir.
Begitu memasuki arena ramai orang itu, seseorang me­
ngeluarkan suara di sampingku. "Pinjam api, dong ... "
Aku menoleh. Seorag perempuan cantik dengan sebatang
rokok di mulutnya. Aku tersenyurn, mengambil korek dari saku

dan menyalakan untuknya.


16

"Makasih .... " Ia tersenyum sambil mengembuskan asap ti pis
dari mulutnya.

"Kapan buku barumu terbit?"
Aku agak kaget dengan pertanyaan perempuan itu. Aku
merasa belum pemah bertemu dengannya. Tapi untuk mengatasi
rasa tidak enak itu, aku mengulurkan tanganku, mengajaknya
berkenalan.

Selesai saling menyebut nama, kembali ia mengulang

pertanyaannya. Aku menjawab sekenanya, merasa tidal< nyaman
dengan pertanyaan itu.
"Kamu sekarang tinggal di mana, sih?"

Kembali aku agak terkaget-kaget dengan pertanyaan
perempuan itu. Tapi kemudian aku menjawab kalau aku sering
berpindah-pindah tempat tinggal.
"Habis dari acara ini langsung pergi ke kota mana?"
"Aku akan ke Bandung besok pagi."

"Menginap di sini?"
Aku menggeleng, "Belum tahu."
"Mau jalan sama aku malam ini?"
Aku melihat perempuan itu lagi. Ia nampak serius. Aku

senang dengan keterusterangannya, tidal< banyak basa-basi.
"Apa yang kamu tawarkan?"
"Aku dengar-dengar kamu tidal< suka dengan kota Jakarta.
Aku jamin kalau kamu mau jalan sama aku malam ini, kamu
akan jatuh cinta dengan kota ini."

Aku tersenyum lagi. Semakin menyenangi kepercayaan­
dirinya. "Aku tidal< ingin jatuh cinta dengan kota ini."
"Kalau begitu, jatuh cintalah dengan salah satu peng­
huninya."

Aku tertawa terbahak-bahak. Pancingan yang cerdas dan
segar. "Orang yang pemah kucintai ada di kota ini."
"Aku tahu. Kamu tadi bercakap-cakap dengannya, kan?"
Kali ini, aku benar-benar kaget. Aku menatap wajah
perempuan itu lekat-lekat. Aku yakin tidak pernah mengenal

perempuan itu sebelurnnya. Tapi bagairnana ia tahu kalau aku


17

tadi baru saja berbincang-bincang dengan orang yang pernah
membuatku jatuh hati, sekaligus membuatku patah hati?

"Sudah, d on g . N g g ak enak dilihat seperti itu."
"Kamu kok tahu?"
"Ya tahu, dong. Itu kan bukan kabar yang terlalu aneh. Kita
berteman dengan orang-orang yang sama. Hanya kebetulan kita
belum mengenal saja. Wajar, kan?"

Aku mengangguk. Wajar sekali.
"Susah melupakan dia, ya?"
Aku bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan
perempuan itu. "Dulu. Sekarang sudah lumayan."

"Pasti itu menyebalkan bagi orang-orang setelah dia."
Aku mengernyit. Memandangnya sembari memberi isyarat
bahwa aku tidak begitu mengerti dengan kalimat yang baru saja
meluncur dari mulutnya.
"Ya. Aku pernah punya pacar yang seperti kamu.

Menyebalkan sekali! Kenangannya sakit!"
Ada nada marah di kalimat itu. Aku agak tersinggung. Tapi
kemudian aku memutuskan untuk memberinya kesempatan agar
dia meneruskan kalimat-kalimatnya. Tapi sorak-sorai di sekitar

mengganggu percakapan kami. Aku lalu memberinya isyarat
untuk menjauhi kerumunan. Dan ia melenggang tenang ber­
samaku menuju ke arah yang agak jauh dari kebisingan dan

kerumunan menuju ke salah satu sudut tama.
"Mengapa kebanyakan laki-laki terlalu kekanak-kanakan di

dalam menghadapi masa lalu mereka, ya?"
Aku diam. Bukan apa-apa. Aku tidak tahu harus menjawab
apa.
"Dan kamu pasti dari jenis manusia yang menyebalkan itu."

Aku tersinggung lagi. Tapi aku mencoba diam. Aku hanya
tidak paham. Perempuan ini baru saja mengenalku, ta pi ia cukup
berani untuk mengusik syaraf tersinggungku. Akhirnya aku
putuskan untuk berkata, "Ya, aku memang menyebalkan."



Ia tampak kaget, seperti tidak siap dengan jawabanku. Tapi


18

ia dengan cepat mampu menguasai keadaan. "Dan kamu tahu
nggak, orang yang menyebalkan itu semakin terlihat menyebalkan

ketika ia mengakuinya."
"Nggak tahu. Yang aku tahu, kamu tidak siap dengan
jawabanku. Kamu hanya bingung saja. Kamu butuh berapa hari
untuk menggagas 'serangan' ini?" Sengaja aku memberikan
tekanan pada kata 'serangan'.

I a mulai kikuk. "Kamu jangan ge-er ... "
"O, nggak . ... Aku hanya sangat terbiasa 'diserang' dengan
mendadak oleh orang yang baru kukenal." Kembali aku
menekankan kata 'diserang'.

Ia terdiarn. Aku agak kasihan juga. Ia kalah jam terbang dalam
hal 'bermain-main kata', dan sialnya karena ia dari awal sudah
merasa menang dan menguasai keadaan. Tentu kemenangan itu
membuatnya lengah dan lupa bahwa suatu saat akan selalu ada
serangan balik yang tidak diduganya.

Ia mengeluarkan bungkus rokoknya. Ia memberi tanda,
meminta api dariku. Tapi aku tersenyum. Sebentar, perem­
puan ... , aku kasih kamu jurus maut dulu. "Kamu punya korek
api sendiri."

Ia bingung. Wajahnya meneleng, matanya melirik tajam k e
arahku. "Maksudmu?"
"Kamu tadi sengaja minta api padaku supaya ada jalan un tuk
kenalan."
Ia terperanjat. Lalu dengan emosi meninggi ia bilang, "Kamu

benar-benar menyebalkan, ya?!"
"Boleh aku periksa kantong jaketmu?"
Dan perempuan itu tampak semakin kalap. Tapi saat ia akan
semakin mengeluarkan kata-kata murka, aku menutupkan

telunjuk tanganku ke mulutku sendiri, "Sssst ..... aku tidak akan
bilang pada siapa-siapa. Jangan khawatir ... "
Perempuan itu lalu pergi meninggalkanku. Dan aku ter­
senyum geli.



Tiba-tiba telpon genggamku berdering. Nomor ibuku di


19

kampung.
"Kamu dimana?" Suara ibuku di seberang.

"Di Jakarta."
"Bisa pulang sebentar?"
"Ada apa, Bu?"
"Kangen."
"Ya, kira-kira seminggu lagi, ya ... "

Ibuku sepakat dan senang. Percakapan selesai. Aku segera
mengirim pesan pendek ke temanku yang berada di Bandung,
membatalkan kedatanganku karena aku ingin pulang kampung,
kangen pada ibuku. Aku ingin memberi kejutan pada ibuku. Aku

akan datang besok pagi.
Aku melangkah mendekati temanku yang mengundangku
malam ini, pamitan kalau ada urusan yang harus kuselesaikan.
Sambil berjalan menuju pintu keluar, aku sempat melirik ke arah
perempuan yang tadi sempat meminjam api padaku. Ia sedang

asyik berbicang dengan teman-temannya. Ia membuang muka
saat aku meliriknya, ta pi wajahnya tersipu, dan memadu dengan
senyum kesal.
Aku tersenyum jail. Terus melangkah, keluar, memanggil

taksi, meminta si sopir mengantarku ke terminal.
Sepanjang jalan, aku dibekap lagi dalarn kenangan­

kenangan lama. Kenagan yang menyakitkan. Dadaku perih. Ah,
hidup ini .....



























20

cfua



























�"':�/°' A:alt ini aku pulang kampung untuk

mengejutkan ibuku. Sekaligus berusaham meng­
alihkan perihku. Aku akan sampai di rumah sekitar
jam sepuluh pagi. Itu berarti kedua orangtuaku
masih di kantor tempat mereka beketja. Mereka
pasti akan bahagia, sebab aku tahu bahwa mereka

selalu merindukanku.
Perkiraanku hampir tepat, ketika aku membuka
pagar rumahku, jam di pergelangan tanganku
menunjukkan pukul sepuluh lebih sedikit. Yu Sumi,

orang yang telah membantu keluarga karni sangat
terkejut dan tergopoh-gopoh menyambutku. Ia
sibuk menanyakan kabarku dan menawari minum­
an serta rnakanan apa yang ingin kurnakan siang
ini. Aku segera menyebut teh hangat, dan meminta

Yu Sumi untuk membelikanku rawon di warung dekat pasar
yang tidak begitu jauh dari tempatku. Selesai membersihkan diri

di kamar mandi semua yang kubutuhkan sudah tersedia di meja
makan.
Aku hampir selesai menyantap makanan, ketika kudengar
Yu Sumi berbicara dengan seseorang di luar rumah. Dengan iseng
aku melangkah ke ruang tamu, dari kaca jendela, aku mengemyit

melihat Yu Sumi dan seorang perempuan yang masih muda
mengangkat beberapa pohon bunga dari sebuah sedan berwarna
putih yang terparkir di depan rumahku. Aku belum pemah
melihat perempuan itu sebelumnya. Lamat-lamat aku mendengar

suara perempuan itu berkata pada Yu Surni,"Tidak usah, saya

sebentar saja kok Yu ... "
Aku segera menyingkir ketika perempuan itu terlihat hendak
masuk rumah. Aku masuk ke salah satu kamar dengan sedikit
membuka pintunya, aku mengamati perempuan muda itu. Ia

seperti sudah terbiasa dengan rumahku. Ia menaruh tas dan
jaketnya di kursi, lalu dengan santai menuju ke ruang per­
pustakaan keluarga k a m i . Perpustakaan itu tempatku
menyimpan buku-buku yang telah selesai kubaca, sekaligus

menyimpan bacaan-bacaan kesukaan ibu dan bapakku. Tidak
besar, memang. Tapi menurutku, itu salah satu ruangan yang
sangat menyenangkan. Setiap kali aku pulang, aku selalu
menghabiskan ban yak waktu di ruang itu untuk membuka-buka
buku-buku lamaku. Kadang kala aku membaca buku-buku yang

aku sudah lupa isinya, kadang-kadang hanya sekadar
memeriksanya, kadang-kadang bahkan hanya sekadar untuk
melihat ulang kapan dan dimana aku membeli buku-bukuku.
Perempuan itu terlihat balik lagi k e kursi dimana ia

menyimpan tasnya, lalu mengeluarkan sejumlah buku dari
dalamnya. Aku benar-benar terkejut ketika menandai bahwa
buku-buku yang ada di dalam tasnya adalah buku-bukuku. Ia
lalu menuju ke ruang perpustakaan, menyimpan buku-buku yang
tadi dikeluarkan dari dalam tasnya ke lemari kaca. Ia kemudian

terlihat asyik melihat-lihat buku, memilih beberapa, membuka-


22

buka halamannya, ada yang dikembalikan lagi dan ada yang
ditaruhnya di atas meja. Tidak berapa lama kemudian ia

membawa sejumlah buku keluar dari ruang perpustakaan,
memasukkannya dalam tas, lalu melenggang ke arah dapur. Dan
kudengar cukup keras suaranya,"Yu, pulang dulu .... "
Begitu perempuan itu terdengar masuk dan menjalankan
mobilnya, aku keluar dari tempat persembunyianku lalu menuju

ke arah dapur. "Siapa, Yu?"
"Bu Dokter, Mas."
"Bu Dokter? Bu Dokter siapa?"
"Namanya Mbak Sarah. Dia dokter yang baru bertugas di

sini. lbu sangat akrab dengan Mbak Sarah, Mas. Mungkin mau
dijadikan menantu, Mas."
Aku tersenyumkecut denganjawaban YuSumi.Sudah bukan
rahasia lagi, kalau ibuku sudah sangat ingin punya menantu. Ta pi
rasanya aku masih malas mempunyai pacar, apalagi istri.

Aku menuju ruang perpustakaan. Memeriksa dan membuka
beberapa buku, tapi pikiranku melayang-layang. Seingatku, tidak
sembarang orang bisa masuk ke ruang ini. lbuku tahu kalau aku
sangat mencintai buku-bukuku. Beberapa teman ibuku dan

bapakku memang ada yang sering meminjam buku, tapi aku tahu
dan kenal orang-orang yang suka meminjam buku. Dan mereka
tidak bisa seenaknya mengembalikan buku dan mengambilnya
lagi tanpa ada ibuku di rumah. Ta pi perempuan itu .....
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku lalu balik lagi ke dapur.

"Yu, yang tadi dibawa Bu Dokter itu apa?"
"Bunga, Mas. Bu Dokter itu sering membawakan tanam
bunga untuk ibu. Kadang mereka berbelanja bunga bareng.
Pokoknya kompak, Mas. Cocok kalau jadi menantu dan mertua."

Sialan. Kembali aku tersenyum kecut. Lalu aku balik lagi ke
perpustakaan. Dan pikiranku kembali mengembara tak karuan.
Aku ingat, ada saat-saat dimana aku kesal kalau terus didesak
dan ditanya soal calon istriku dan kapan aku akan menikah.
Kadang-kadang aku merasa terkutuk juga. Aku sering merasa

menyesal sebagai anak tunggal. Aku membayangkan seandainya


23

aku punya banyak saudara, tentu ibuku tidak akan sibuk men­
desakku untuk segera menikah.

Aku tahu bahwa sebetulnya ibuku orang yang sangat
demokratis. la tidak pernah memaksakan kehendaknya padaku
sejak aku kecil. Mungkin ia hanya sekadar ingin mengatakan
dengan lebih jelas bahwa ia sudah sangat ingin punya menantu.
Ta pi aku juga sudah berkali-kali mengatakan pada ibuku bahwa

aku masih cukup muda untuk menikah, aku baru dua puluh
delapan tahun lebih beberapa bulan. Dan saat aku berkata seperti
itu, ibu bilang bahwa sebetulnya ia meragukan soal umur. Sebab
sampai saat ini aku tidak pemah mengenalkan seorang per­

empuan pada ibuku. Apalagi di mata ibuku, aku terkesan tidak
ingin menikah. Ia mengkhawatirkan kecenderunganku untuk
hidup bebas. Mungkin karena hal-hal seperti itulah yang
membuat ibu agak bersikeras untuk terus mengatakan dan
menanyakan kapan aku akan menikah.

Kadang-kadang, ibuku bahkan melakukan sesuatu tanpa
'koordinasi'. Tentu saja bukan sesuatu yang besar untuk
dipermasalahkan. Tetapi itu menunjukkan betapa besar
keinginannya untuk melihatku supaya cepat menikah. Aku ingat

beberapa bulan yang lalu, ibu memaksaku untuk pulang.
Alasannya sangat tepat. Saat itu, sebentar lagi aku akan
merayakan ulang tahunku yang ke dua puluh delapan. Ulang
tahunku saat itu dianggap sesuatu yang 'besar' bagi ibuku sebab
aku lahir pada tanggal dua puluh delapan, dan hari ulang

tahunku yang ke dua puluh delapan itu jatuh persis di hari Senin,
hari dimana aku lahir.
Tentu saja dengan senang hati aku pulang. Percayalah, selalu
besar niatku untuk membahagiakan ibuku asal tidak dengan cara

menikah. Biasanya, di hari ulang tahunku ibu pasti merayakan­
nya dengan cara sederhana di kantor tempatnya beketja, bahkan
sebulan sekali ibuku juga selalu merayakan wetonku. Tapi saat
itu ibu memperingati hari ulang tahunku dengan agak istimewa.
la mengundang seluruh jemaah pengajiannya untuk mem­

peringati ulang tahunku yang ke dua puluh delapan. lseng waktu


24

itu aku bertanya, kok jamaah yang diundang hanya perempuan?
lbuku waktu itu menjawab singkat,"Doa laki-laki tidak manjur.

Mereka banyak dosa." Tentu saja aku tertawa terpingkal-pingkal
mendengar jawaban itu.
Sehabis Maghrib sebelum orang-orang berdatangan, aku
ditanya oleh ibu, aku ingin didoakan apa? Waktu itu aku
menjawab agar aku didoakan supaya lancar rejekinya, karirku

betjalan dengan mulus, dan hidupku bahagia. Ibuku manggut­
manggut.
T eta pi saat P a k .Kiai yang memimpin doa bertanya pada ibuku
doa malam itu ditujukan untuk apa, di tengah-tengah banyak

orang ibuku berkata, "Pak, saya ini sudah lama sekali ingin punya
menantu. Malam ini doanya khusus supaya anak saya cepat
mendapatkan istri."
Tentu saja aku kaget mendengar jawaban yang keluar dari
mulut ibuku. Semua yang kusebut tadi tidak disebut oleh ibuku.

Aku menoleh ke arah ayahku agar i a bisa sedikit meluruskan
'kesalahan' yang disengaja oleh ibuku. Tapi ayahku hanya
tersenyum lebar dan menggoyangkan telunjuknya sebagai
isyarat, "Sudahlah .... ," bahkan ayahku kemudian menggoda

dengan mengacungkan jempolnya diam-diam ke arahku sebagai
isyarat, "lbumu memang hebat!"
t
K e ika acara sudah selesai dan orang-orang sudah pulang,
dengan segera aku melancarkan protes pada ibu. Tapi apa yang
dibilang ibuku? "Wah, aku lali!" Aku lupa! Dan aku tahu, ibuku

bohong, tidak mungkin ia lupa. Ia dengan sengaja telah
melakukan itu semua tanpa 'koordinasi' denganku.
Sejak itu, berbagai strategi dan taktik semakin intensif
dilancarkan untuk menggolkan keinginan ibuku agar aku cepat

menikah. Biasanya kalau aku pulang ke kampungku, ke
rumahku, aku sering menghabiskan khusus malam minggu
untuk menonton wayang kulit di televisi dengan ayahku. D a n
ayahku rupanya sudah kena bujuk-rayu ibuku. Dengan
bahasanya yang khas, lembut dan pelan, ia mulai menanyakan

juga kapan aku akan menikah. Jawabanku tentu saja standar,


25

kalau tidak d e n g a n jawaban belum k e t e m u jodohnya, aku bilang
bahwa aku masih cukup muda untuk sendirian. S ia l n y a , ayahku

lalu menjawab kalau jodoh itu harus diusahakan, dan dia
menceritakan dulu menikah dengan ibuku ketika ayahku
berumur dua puluh tiga tahun. Kalau sudah s e p e r t i itu lalu aku
akan m e n j a w a b bahwa jaman sudah berubah. D a n ayahku lalu
m e n j a w a b perubahan jaman tidak selalu m e n u j u ke arah yang

l e b ih baik. Kalau sudah seperti itu lalu kuputuskan untuk diam,
atau mengalihkan pembicaraan tentang cerita wayang yang
sedang kami tonton.
S e o l a h - o l a h banyak hal yang bisa digunakan ibuku untuk

menghubungkan segala sesuatu dengan 'tema besamya' yakni
perniahanku. Undangan-undangan pernikahan teman-temanku
dikumpulkan ibuku, suvenir-suvenir perayaan pernikahan
dikoleksi dengan baik oleh ibuku. Bahkan, ibuku bisa
menghubungkan kejadian-kejadian sehari-hari dengan 'tema

besar' itu. Pada banyak peristiwa, i a selalu b isa menyimpulkan
sendiri dengan misalnya,"Itu gara-gara ia telat menikah." Atau
.
misalnya, "Nah, kan . . sendirian terus itu membuat hidup s e p i
.
dan bertindak yang bukan-bukan . . " Atau misalnya lagi,
"Bagaimana bisa m en g h a d a p i permasalahan sepe itu? Menikah
saja tidak berani."
Tapi t e r l e p a s dari strategi-strateginya yang g en c a r dilancar­
kan, aku sangat menyayangi ibuku, dan aku tahu bahwa ibuku
sangat m e n y a y a n g i k u , bahkan berlipat kali.


� o/'< k k l/J '# {,(/ ' ,, yang lembut, yang sangat kukenal mengusap

t
wajahku. Aku membuka ma ta, dan tern ya a aku telah tertidur di
ruang perpustakaan setelah pikiranku melayap k e mana-mana.

Tangan yang kukenal itu tentu saja tangan ibuku yang sangat
kusayangi.
"Kapan datang? Bocah k o k nakale e r a m , t e k a - t e k a ora n g a b a r i ."
Anak kok bandelnya minta a m p u n , datang tidak memb kabar.
Aku hanya tersenyum, bangkit, mencium tangan dan k e n i n g

ibuku. Ayahku sudah a d a d i ruang itu juga.


26

"Sudah makan?"
Aku mengangguk.

"Sudah sholat?"
Aku menggeleng.
"L h a kalau jauh dari ibumu, siapa yang mengingatkanmu
sholat? Makanya cepat punya istri."
Aku kembali nyengir. N a h , kttn!

Aku hampir bertanya tentang perempuan yang meng­
antarkan bunga dan masuk ke ruang perpustakaan. T a p i a k u
ragu-ragu. Hingga k e m u d i a n k u d e n g a r suara i b u k u bertanya
pada Y u Sumi. "Sarah tadi mengantar bunga, ya?"

M e n d e n g a r pertanyaan itu, aku m e r a s a tidak n y a m a n lalu
s e g e r a ke kamar mandi mengambil air wudhu, masuk ruang
s h o l a t , dan secepat kilat setelah salam a k u segera m a s u k k a m a r k u
meneruskan tidur.



�r.eh a v .¢'? J< habis, k e t i k a aku bangun dari tidur. Biasanya pada
sore-sore begini, i b u k u akan membangunkanku, m e n y u r u h a k u
mandi, sholat, lalu kalau tidak disuruhnya mengantar k e
p e n g a j i a n a t a u k e a r is a n , kami a k a n berbincang-bincang berdua

di beranda.
Keluar dari kamar, a k u mencari-cari ibuku tetap tidak ada.
A n e h sekali. Lalu a k u bertanya pada ayahku, dan ia bilang kalau
ibu masih di pengajian sore. Aku tentu saja merasa heran.
Bukankah kalau aku di rumah, ibu pasti memintaku untuk

mengantamya? Aku berpikir m u n g k i n a y a h k u tadi yang meng­
antar ibuku.
Lalu aku mempunyai inisiatif untuk menjemput ibu. A k u
bertanya p a d a a y a h dimana ibu pengajian s o r e i n i ? A k u akan

m enj em p u t n y a . J a w a b a n a y a h k u m en gage . I a b i l a n g k a l a u a k u
tidak p e r l u m e n j e m p u t i b u k u , s e b a b tadi be r a n g k a t d e n g a n S a r a h
sehingga pulangnya pasti juga d ia n t a r . A k u terdiam. Ayahku
a
m u n g k i n baru s a d a r , i k e m u d i a n m e n j e l a s k a n , "Mbak S a r a h itu
teman baru i b u m u , ia dokter yang baru bertugas di sini."

Mendengar jawaban itu, sebersit rasa iri masuk ke dadaku.


27

Aku kecewa ibu tidak m e m i n t a k u m e n g a n t a rn y a sore ini.



Tapi rupanya peristiwa itu baru awal d a r i rasa k e c e w a k e c i l ­
kec il an. P a g i k e t i k a a k u dibanan a y a h k u u n t u k s h o l a t S u b u h ,
aku tidak melihat ibuku lagi. Sebelum aku bertanya kepada
a
ayahku, i sudah m en g a b a r k a n padaku. " Se k a r a n g i b u m u setelah
a
ha bis s h o l a t Subuh punya k t i v i t a s jalan-jalan pagi bersama M b a k
Sarah." Kembali r a s a kecewa m e n y e l i n a p .
k
t
S i a n g n y a l e b i h k a g e t l a g i , k e i a ibu m e n e l p o n k u d a r i k a n t o r ­
n y a . Seperti biasa ia m e n g i n g a t k a n k u untuk makan siang, dan
m e n g i n g a t k a n k u untuk sholat Dhuhur. Tapi kali ini ada yang

sangat m e n g e j u t k a n k u,"Sayur a s e m - n y a jangan dihabiskan, ya?
Soalnya aku nanti akan mengundang makan siang Mbak Sarah."

K a l i ini , a k u b en a r - b e n a r k a g e t , dan b e n a r - b en a r k e c e w a . Se u m u r
hidupku, a k u b e l u m p e rn a h m e n d e n g a r i b u k u m e l a r a n g k u untuk
menghabiskan makanan. Ia bahkan akan rela menungguiku

m a k a n untuk m e m a s t i k a n b a h w a m a k a n k u b a n y a k dan m e n ci c ipi
s e m u a m e n u yang ada. Aku b e n a r - b e n a r m e r a s a kesal. S e p e r t i n y a
ibuku sekarang sudah menemukan 'anaknya' yang l a i n , yang
mungkin l e b i h c o c o k .

Benar, tidak berapa lama, a k u mendengar suara mobil
b e r h e n t i di depan ruma u , dan kudengar s u a r a ibuku timpal­
m e n i mpal dengan suara seorang perempuan yang kuduga pasti
Sarah. Siapa lagi kalau bukan dia? Aku segera mengunci diri di
dalam k a m a r , dan tidak m e m p e r h a t i k a n suara ibuku k e t i k a ia

m e m a n g g il-manggil dari luar dan menggedor-gedor p i n t u . Aku
.
pura-pura tertidur. Lalu kudengar, "Lihat, Mbak . . bandelnya
m i n t a a m p u n dan kalau sudah tidur susah dibangunkan."
S o r e n y a , ketika aku bangun dati tidur, kembali ibuku sudah

tidak ada d i rumah. Kali itu, Yu Sumi yang m e n e r a n g k a n , "Pergi
a r i s a n , Mas . . tadi dijemput Mbak Sarah."
.
D a n mulai saat itu, aku m e n y a d a r i bahwa ada s e s e o r a n g yang
t e n g a h m e n g a n c a m seluruh eksistensiku di rumah ini. S e s e o r a n g
b e m a m a Sarah!

Sehabis mandi sore, aku melihat-lihat t a n a m a n bunga ibuku


28

di halaman depan rumahku. Tepat pada saat itu, sebuah mobil
berhenti di depan rumah. Sial! Aku b e n a r - b e n a r sudah tidak bisa

lagi menghindar kali ini. Ibuku keluar lebih dulu, lalu m e n y u s u l
s e o r a n g p e r e m p u a n yang p a s ti bernama S a r a h . M e r e k a berdua
segera menuju ke arahku dan ibuku berkata, "lni Mbak, anak
semata wayang saya yang bandelnya minta ampun."
lbuku m e m b e r i tanda agar aku m e n y a p a p e r e m p u a n itu. Aku

tersenyum pada perempuan itu lalu mengulurkan tanganku.
t
Kami be r k e n a l a n . Ia e r s e n y u m dan m e n y e b u t k a n namanya. Aku
merasa tiba-tiba s o r e ini begitu indah. Tapi kemudian aku tahu
alasannya. P e r e m p u a n bernama Sarah itulah yang membuat s o r e

ini b e g i t u bertambah ringan dan indah .


.9fc6en' , c d a l u ngobrol di beranda. Kemudian tiba-tiba ibuku

berkata, "Nan i malam kamu mengantar Mbak Sarah ya? Ia mau
t
m e m b e l i beberapa keperluan untuk p e n g a j ia n minggu depan.

Sebetulnya aku yang mau mengantarnya, tapi aku lupa kalau
n a n t i Pak Mardi mau datang."
U p s ! S tr a t e g i yang jitu. Dan t e n t u aku tidak bisa menolak.
Dan e n t a h mengapa pula, aku merasa ada sesuatu yang membuat

dadaku mengembang. Dan aku merasakan betapa nyamannya
m e n g h i r u p napas.


Malamnya, sebelum aku berangkat m e n j e m p u t S a r a h , ibuku
terlihat benar-benar cerewet. Ia memintaku untuk tidak usah

makan malam, sehingga nanti bisa makan malam dengan Sarah.
Ia juga memilihkanku pakaian dan bahkan ikut m e m p e rhatikan
ketika aku m e n y i s i r rambutku. Aku merasa agak kesal. Lalu aku
bilang, "Pokoknya ini tidak ada hubungannya apa-apa."

?
"Maksudmu "
"Tidak ada dalam rangka mencari calon istri."
"Maksudmu, tentang Sarah?"
Aku m e n g a n g g u k . lbuku e r t a w a t e r b a h a k - b a h a k . "Kamu jadi
t
o r a n g mbok jangan gampang gegedhen rumangsa, jangan gampang

ge-er. M e m a n g n y a dia mau punya pacar kayak kamu?"


29

Aku sebetulnya agak tersingggung. Tapi kemudian aku
m e r a s a b a h w a aku m e m a n g t e l a h agak k e t e r l a luan. Belum t e n t u

juga s i S a r a h suka sama aku. Dengan t a n p a b e b a n kemudian aku
segera b e r a n g k a t .
S e p a n j a n g p e t j a l a n a n p u l a n g d a n p e r g i, s e l a m a m e n g a n t a m y a
b e r b e l a n j a , dan selama m a k a n m a l a m , t e m y a t a a k u tidak bisa
mengeluarkan b a n y a k k a t a . K a m i berdua l e b i h sering diam. Sa­

r a h yang l e b i h banyak bercerita. Dan aku sempat merasa sangat
tidak nyaman ketika ia mulai berbicara banyak mengenai
p e r k a w a n a n n y a d e n g a n ibuku. Eksistensiku sebagai a n a k i b u k u
k e m b a l i diguncang. A k u s e m a k i n b a n y a k diam. T a p i s e w a k t u

aku mengantarkannya pulang di rumah dinasnya, ia
m e m p e r s i l a k a n aku duduk dulu. D a n di beranda rumah dinas
i t u l a h s i S a r a h bertanya,"Kamu marah sama a k u , ya?"
"Marah k e n a p a ? "
" Y a tidak t a h u , tapi kamu dari tadi b a n y a k diam."

"Aku tidak tahu harus bicara apa. M u n g k i n k a r e n a kita baru
kenal."
.
"O, ya sudah . . "
"Tapi . . "
.
" T a p i apa?"
Aku diam. Aku sedang berpikir apakah seharusnya aku
b e r k a t a d e n g a n jujur t e n t a n g ' k e c e m b u r u a n k u ' padanya k a r e n a
s i k a p ibuku berubah k e p a d a k u . T a p i a k u pikir i t u tidak perlu.
Itu sebuah perbincangan yang berlebihan. Juga tidak ada

alasanku untuk 'cemburu', toh ibuku pas ti tetap sayang
kepadaku.
"Nggak ... nggak jadi."
y
S a r a h t e r s e n y urn. Dan s e w a k t u aku melihat senyurnn a , aku
m e n g a l a mi saat-saat s e p e r t i sore tadi, dadaku m e n j a d i b e gi t u
n y a m a n k e t i k a aku bemapas. D e n g a n agak e n g g a n , aku parnit
pulang.


�h�< aku bersiap pulang lagi k e kota dimana aku m e n e t a p

untuk sementara waktu. Di meja makan, berkali-kali aku


30

memancing-mancing ibuku agar ia membicarakan Sarah,
sehingga aku mempunyai kesempatan untuk menanyakan

tentang Sarah l e b i h banyak lagi, dan bisa m e m i n t a n o m o r telpon
s
S a r a h . Tapi s e p e r ti n y a i b u k u tidak peduli. Ia bahk e a k a n - a k a n
lupa kalau semalam ia begitu terlihat mengkhawatirkan
penampilanku saat aku a k a n m e n j e m p u t Sarah. Kembali aku
m e r a s a sangat kesal.

S a m p a i k e m u d i a n aku naik a n g k u t a n m e n u j u s t a s i u n , a k u
tidak berhasil mendapatkan informasi l e b i h b a n y a k t e n t a n g Sa­
r a h , t e r m a s u k nomor telponnya.



i
S a m b il m e n u n g g u kereta yang sebentar lagi tba, aku m e r a b a
k a n t o n g jaketku untuk mengambil rokok. Tiba-tiba kudapati
secai k k e r t a s di dalam saku t e m p a t m e n y i m p a n rokokku. Betapa
t e r k ej u t n y a d ir i k u s e w a k t u kertas itu kubuka. Jelas sekali, ada
tulisan ibuku di lembar itu.

"Bagaimana? Masih t e t a p ge-er?"
Lalu ada tandatangan ibuku, dan yang paling m e n g e j u t k a n
sekaligus menggembirakan adalah ada nomor telpon Sarah!
Dengan segera aku mengirim pesan pendek untuk ibuku,

m e n g u c a p k a n t e r i m a k a s i h , dan m e m i n t a bantuan agar a k u bisa
lebih dekat pada Sarah. Tidak lama kemudian, sebuah balasan
m a s u k dari ibuku,"Usaha s e n d i r i , d o n g ! "
A k u t e r t a w a t e r p i n g k a l - p i n g k a l , m e m b a y a n g k a n k a l i m a t itu
diucapkan oleh ibuku.

























31

t i g a


























Vfe m tllr i- n t.Z? .? sete lah tiba di kota yang paling banyak

menghabiskan waktuku, aku kembali dijangkiti
perasaan malas. Malas dalam arti seluas-luasnya.

Malas bekerja, dan malas berhubungan dengan pe­
rempuan. Aku tidak tahu persis sebabnya apa. Aku
tidak pernah menghubungi Sarah. Tidak pemah
sekali pun. Bahkan ketika ibuku bertanya bagai­
mana hubunganku selanjutnya dengan Sarah, aku

hanya b is a membalas dengan kata, "Malas . . . "
.
Terang saja ibuku mulai berang lagi dengan
sifatku itu. Mungkin ia merasa apes telah punya
anak sepertiku. Apa-apa serba malas. Bahka un tuk

mencari calon istri.
Suatu saat, aku diajak oleh temanku untuk
menghadiri sebuah acara peluncuran dan pe­
mutaran film. Awalnya, a k u juga merasa malas. Tapi

kemudian aku m e n g i y a k a n , ketika aku m e n y a d a r i b a h w a aku
telah cukup lama malas pergi ke mana-rnana. Dan rupanya,

keputusanku itu tepat. Baru beberapa rnenit ketika aku tiba,
dadaku b e r d e s i r , rnerasa bergairah.
Dari b a n y a k p e r e rn p u a n yang hadir dalam rentetan acara itu,
a k u pikir ia o r a n g y a n g sanggup rnenyita perhatianku. Ham i r
p
semua perernpuan yang hadir d a n terlibat d i a c a r a itu, a k u pikir

p u n y a banyak kelebihan. T a p i s e jauh itu, aku hanya b e n a r - b e n a r
t e r t a r i k padanya. Dan s a y a n g n y a , sampai s e j a u h i t u p u l a , tidak
ada sedikitpun keberanianku untuk berkenalan dengannya.
H a n y a sekadar m e n a n y a k a n dengan malu-rnalu, dan p e n e k a n a n

b
berkali-kali a h w a itu a d a l a h s e b u a h r a h a s i a , a k u m e m be r a n i k a n
d i r i b e r t a n y a t e n t a n g n y a pada s e o r a n g ternan y a n g kebetulan
cukup kukenal di ruangan itu. Sayangnya pula, ternanku itu
hanya bisa m e m b e r i s e b u a h nama. Tidak ada lagi selain itu. Tidak
t e n t a n g pekerjaannya, tidak t e n t a n g alamat rumaya, dan tidak

ada keterangan apapun bahkan hanya sekadar nomor telpon
selulernya.
Sampai acara itu b e r a k h i r , aku tidak mendapatkan apa-apa
tentang perempuan itu. Hanya nama. Itu pun hanya sekadar

nama panggilan. Lalu sernua sepi. Atau lalu sernua menjadi
gaduh. Dan tidak ada la g i dia di kehidupanku. H a n y a ada di
pikiran dan bayanganku tentangnya.
Aku rn e n g i n g a t perempuan itu dengan baik. I n g a t a n k u yang
biasanya cukup lemah, telah mampu merekam dengan detail

seluruh penglihatanku kepadanya sekalipun h a n y a dari jauh.
Aku pikir ia o r a n g yang cukup ramah. H a l itu bisa kulihat dari
b a g a i m a n a ia sering m e l e m p a r senyum p a d a orang, m e n g h a m p i r i
b a n y a k o r a n g , b e r b i n c a n g d e n g a n a s y i k , d a n t e r t a w a lepas. P o s t u r

t u b u h n y a b i a s a s a j a , c e n d e r u n g kurus d a n k e c i l , kupikir. T a p i i a
seorang perernpuan yang sungguh sangat lincah. Setiap
gerakannya mengingatkanku pada bendera yang sedang
melambai tertiup angin pagi. Potongan rarnbutnya pendek,
dengan gaya potong rarnbut anak muda zaman sekarang,

cenderung tidak beraturan. Ga ya rambut yang seperti ada angin


33

k e n c a n g bertiup dari a r a h belakang tubuhnya. Kulitnya p u t i h ,
g i g i n y a b e r s i n a r c e r a h . Pendek kata, ia s a n g a t s e g a r , s e p e r ttidak
i

p e m a h bersedih.
ltu hal yang aneh buatku. Selama ini, aku cenderung
menyukai pere.mpuan yang n a m p a k bersedih. Sedih itu seksi.
Perempuan yang selalu nampak diam dan menyimpan Iuka.
P er em p u a n yang cenderung e m a n d a n g sesuatu d en g a n t a t a p a n
m
kosong. Pikirannya terbang entah kemana, mungkin pada
,momen-momen sedih yang abadi di pikirannya. Melihat
perempuan seperti itu, aku selalu merasa ingin di samping
m e r e k a , b e r b a g i kesedihan. P e r e m p u a n yang seperti senja.

p
Ta i temyata ada perempuan yang seperti pagi y a n g b e r h a s i l
menyita perhatianku. T a p i p a g i y a n g a s i n g d a n mengucilkan
dirinya. Pagi tanpa alamat. Pagi yang tidak memberiku
kesempatan padaku untuk sedikit tahu tentangnya.
Dalam kesempatan itu, aku dua kali bertatapan mata

dengannya. P e r t a m a , k e ti k a m u n g k i n ia terganggu pada tatapan
m a t a k u , yang sungguh m a ti aku sangat malu begitu ia m e n a t a p k u
s a m b i l seakan-akan berkata, "Ada apa lihat-lihat?!"
Kedua, saat i a lewat di depanku k e ti k a hendak menyapa or­

ang di tempat yang agak jauh dari tempatnya semula. K e m b a l i
ia menengok ke a r a h k u , d a n sungguh mati aku malu mengingat
itu, sebab aku sedang memperhatikannya, dan aku berpikir
dalam hati i a pasi b e r k a t a , "Masih ngelihat juga? Nggak b o s a n ,
ya?!"

Berhari-hari p i k i r a n k u tidak bisa lepas dari perempuan itu.
B e r h a r i - h a r i pula, aku berusaha u n t u k melacak jejaknya. B a n y a k
o r a n g yang t a h u tentang perempuan itu tentu s a j a , t a p i o r a n g ­
o r a n g y a n g kukenal d e k a t h a n y a t a h u namanya. A k u b i s a saja

b e r t a n y a pada o r a n g - o r a n g yang dekat dengan perempuan itu,
tapi aku punya semacam perasaan gengsi untuk menanyakan
perempuan itu. Atau mungkin juga semacam perasaan malu,
takut kalau mereka menuduh aku 'ada apa-apa' terhadap
p e r e m p u a n itu. T e n t u saja aku memang 'ada apa-apa' terhadap

p e r e m p u a n itu. Tapi aku tidal< mau ada orang yang tahu.


34

S a m p a i kemudian a k u putus asa. Y a s u d a h l a h kalau memang
ternyata aku tidak bisa kenal perempuan itu. Aku mencoba

memangkas perasaanku pada perempuan itu, begitu melihat
kendala teknis yang kuhadapi. Tapi tetap saja, p i k ir a n k u tidak
bisa jauh-jauh dari perempuan itu.
Auk mulai b e r p i k i r lagi, memang banyak hal yang t e l a h
b e r u b a h pada diriku. M u n g k i n k a r e n a b e r k a l i - k a l i aku 'gagal'

menjali n hubungan a s m a r a dengan perempuan, aku mengidap
semacam penyakit kelelahan dalam hal mencari pasangan. Capek
membayangkan bagaimana aku harus kembali berkenalan
dengan seorang perempuan, b e r b a s a - b a s i , melakukan berbagai

kompromi, menyelundupkan pesan bahwa ada banyak
k e m u n g k i n a n di antara kami di depan, dan e t e k - be n g e k lainnya.
t
M e m b a y a n g k a n itu semua, aku sungguh sangat capek. Belum
lagi kalau temyata perempuan itu mengidap gaya 'jinak-jinak
merpati', atau yang lebih parah la g i jika perempuan itu ternyata

sudah punya kekasih atau bahkan tunangan. Terbayang
c a p e k n y a , bukan?
Tapi bayangaku tentang perempuan itu tetap tidak juga mau
pergi.



� ah lam aaku tidak jatuh cinta. Sudah lama, aku bertekad untuk
d
menyingkirkan cinta dari kehidupanku. Tidak, untuk cinta.
Tidak, untuk hal-ikhwal cinta yang cenderung kuanggap
menjijikkan. Aku p i k i r , aku sudah sampai pada keputusan f i n a l

tentang c i n t a : omong-kosong!
Dan hal yang menjijikkan itu kembali mendarat pada
kehidupanku sehari-hari, setelah beberapa saat terbebas dari
perasaan-perasaan semacam itu. Susah tidur, tidak enak makan,

tidak bisa konsentrasi melakukan pekerjaan, cenderung
m e n g h a b i s k a n waktu untuk melamun, dan lain-lain, dan lain­
lain. Aku menyadari betapa m e n j i j i k k a n n y a diriku. Persis seperti
anak ABG yang jatuh cinta. Benar-benar memalukan!
d
Tapi i a m - d i a m , aku m er a s a s e n a n g juga. P e r ilaku o r a n g yang
jatuh cinta merng m e n j i jikkan. Tapi cinta m e m b e r i sesuatu yang


35

menurutku mengenakkan. Dadaku sering berdesir, jika aku
keluar rumah aku sering merasa tidak nyaman karena merasa

jangan-jangan nanti di jalan ketemu dengan dia, dan terutama
sering dikunjungi bayang-bayang yang tidal< wajar, bayang­
bayang yang cenderung tidal< masuk akal. Ada kenikmatan­
kenikmatan kecil seperti itu yang t e r u s - m e n e r u s mendatangiku.
Mungkin karena sudah lama tidal< mengalami itu, maka aku

cenderung merasa bahwa itu hal yang menyenangkan. A n e h ,
bukan? Hal yang menjijikkan bisa bertemu d a n berkumpul
dengan hal-hal yang menyenangkan.
Dan kemudian jangan salahkan aku, ketika pada suatu saat

salah satu temanku datang untuk memberikan nomor telpon
selulernya padaku. Aku berteriak girang, s e p e r t i seorang s t r i ke r
menggolkan bola k e gawang lawan!


� iltb bukan berarti nasib baik sudah menantiku. Tidal<. Apa

yang ada di pikiranku justru mulai bermunculan menjadi
kenyataan. A k u mulai masuk dalam petjalanan yang rnelelahkan.
Sebuah perjalanan yang sungguh mati, aku tidak ingin
mengulangknya lagi. Dan sialnya, aku rnengulangnya, walau

dengan setengah hati.
Aku mulai rnemperkenalkan diri lewat pesan-pesan pendek
yang kukirim kepadanya. Tapi kali i n i , tidak seperti dulu-dulu,
aku langsung pada tahapan yang pasti, y a k n i memperkenalkan
nama asliku, dan keinginanku untuk berkenalan. Kalau dulu,

biasanya aku seperti orang yang rnisterius. Hanya mengirirni
deret kata-kata, berkali-kali sampai perernpuan yang kukirirni
penasaran.
Respons perempuan itu tidak cukup bagus, dan itu memang

sudah kuduga sejak awal. Hanya sesekali ia membalas, itu pun
dengan kalirnat-kalimat pendek yang m e n u n j u k k a n bahwa ia
enggan. Tapi aku masih mencoba mengirirni lagi pesan-pesan.
Mungkin karena bosan, ia tidal< pernah rnembalasnya lagi. Aku
mulai kelirnpungan.

Waktu-waktu selanjutnya, aku hanya b isa m e r e n u n g i nasibku


36

yang mulai sial. Aku tidal< puny a n y a l i lagi untuk m e n g i r i m i n y a
p e s a n - p e s a n p e n d e k . H in g g a kemudian e n t a h k e b e r a n i a n apa

yang datang padal<u sehingga al<u memberanikan diri untuk
menulis pesan pendek yang bemada 'menghina' kepadanya.
Balasan darinya muncul dengan cepat. Intinya, ia cukup
tersinggung dengan pesan pendekku itu. Aku lega. Paling tidak,
ia masih mau berkomunikasi denganku. Lalu aku balas lagi

dengan nada yang tidak kalah g a l a k n y a , d e n g a n h a r a pan ia a l< a n
membalasnya lagi. T a p i sayang, harapanku kandas. I a tidal<
pemah m e m b a l a s lagi.
K e m b a l i jeda diam b e r h a r i - h a r i kulalui. Aku kembali tidal<

punya nyali lagi untuk mengirirninya pesan-pesan pendek,
b a h k a n mungkin kedudukanku sudah cukup p a r a h sebab kali
ini ia sudah marah padal<u. Hingga kemudian tiba lagi nyaliku
untuk memulai mengirimi satu pesan, dan a l< u tidak b e r h a r a p
a d a balasan d a r i n y a . Tapi t e r n y a t a ia malah m e m b a l a s walaupun

nadanya cukup ketus. Inti balasannya adalah ia mengajakku
bertemu, sebab capek menerima pesan-pesan dariku. Aku
t e r t e g u n . Tidal< tahu h a r u s berbuat apa.
P e r t e m u a n dengannya adalah hal yang cukup kutal<utkan.

Aku tidal< tahu persis alasannya, mungkin karena aku m e r a s a
tidak siap untuk bertemu dengannya. Tapi jika aku tidak
m e n e m u i n y a , pasti posisiku semakin buruk di depannya. Aku
bingung. T a pi lalu kuputuskan untuk mengirirniya pesan yang
berisi bahwa aku bersedia b e r t e m u dengannya. Ia kupersilal<an

untuk menentukan wal<tu dan tempatnya.
Cerita selanjutnya adalah rentetan tragedi. Aku punya
kebiasaan-kebiasaan yang tidak lazim, dan karena tidal< lazim,
k e b iasaan-kebiasaan itu s e r i n g mengganggu i n t e r a k s i k u dengan

orang-orang. Salah satunya adalah a k u tidur ketika orang-orang
pada umumnya baru bangun tidur. Dan al<u s e r i n g mematikan
telpon genggarnku begitu al<u berangkat tidur, lalu menyala­
kannya ketika a l < u b a n g u n tidur. Bahkan, kalau sedang kumat
hal-hal aneh d i dalam diriku, a l< u l e b i h s e r i n g mematikan telpon

genggamku. Masalahnya begini, pesan pendek untuk


37

p e r e m p u a n itu k u k i r i m pada tengah malam. Aku menunggu
balasan pesanku itu sampai pagi, menjelang aku tidur, dan

temyata t i d a k k u n j u n g ada balasan darinya. Lalu aku tidur, dan
s e b a g a i m a n a b ia s a a k u m e m a ti k a n telpon g e n g g a m k u . S ia n gn y a ,
ketika a k u bangun, a k u m e n y a l a k a n telpon genggamku. Dan
sebuah pesan pendek masuk, dari perempuan itu dengan
p e n a n d a w a k t u jam s e m b i l a n pagi. lsinya, siang itu jam d u a b e l a s ,

ia m e n u n g g u k u di sebuah t e m p a t . A k u m e l i h a t jam, dan t e r n y a t a
sudah jam satu lewat. Dengan gugup, aku mencoba me­
n e l p o n n y a , tapi ia tidak p e m a h m e n g a n g k a t telponku. T e n t u ia
s e m a k i n marah dan k e c e w a padaku. Dan a k u sungguh sangat

menyesali tragedi itu.
Hampir tiap malam, a k u mencoba m e n g i r i m i ia pesan-pesan
pendek lagi untuk menyatakan penyesalanku. Tapi ia tidak
p
p e m a h membalas. Kalau aku m e n e l p o n n y a , ia tidak e r n a h mau
mengangkatnya. Padahal aku tidak punya a pa-a pa selain nomor

telponnya. Auk tidak tahu dimana ia bekerja dan aku tidak tahu
dimana tempat tinggalnya. Aku hanya bisa mengutuk nasibku.
M e n y a d a r i sepertinya ia tidak mau b e r h u b u n g a n lagi d e n g a n k u ,
d a n ia m a r a h padaku, maka a k u mencoba u n t u k bertahan tidak

mengubunginya. P ik i r a n k u m e n g a t a k a n kalau aku bersikeras
terus u n t u k menghubunginya, ia pasti bertambah sebal padaku.
Tapi i t u hanya bisa bertahan satu minggu. Aku b e n a r - b e n a r
sudah d a k k u a t lagi berdiam d i r i u n t u k t i d a k m e n g h u b u n g i n y a .
ti
p
I a b o l e h marah a d a k u , d a n ia b o l e h k e s a l p a d a k u , t a p i aku butuh
untuk mengiriminya kabar. Terserah apakah ia mau
membalasnya atau tidak. Ia m i r i p alamat kosong, t a p i saat itu
aku tidak peduli lagi. Aku hanya butuh alamat, peduli b e n a r
apakah a d a penghuninya atau tidak.

Rupanya k e m u j u r a n masih mau m e n g u n j ungiku. Suatu saat,
ia m e m b a l a s p e s a n p e n d e k dariku. Ia m e n g a t a k a n b a h w a d i r i n y a
sudah melupakan s o a l p e r t e m u a n kami yang g a g a l itu. L a l u aku
meminta apakah masih ada kesempatan untuk bertemu
d e n g a n n y a ? Lagi-lagi k e m u j u r a n mendatangiku. Ia menjawab:

masih. Aku berjingkrak, lagi-lagi seperti pemain bola yang


38

memasukkan bola ke gawang lawan!



Kembali seperti semula, aku mempersilakan dia untuk
menentukan tempat dan waktunya. Lagi-lagi, p e s a n itu kukirim
ketika lewat tengah malam. Tapi kali itu, aku tidak mau berlaku
tolol lagi. Telpon tidak kumatikan, bunyinya kubuat yang p a l ­
ing keras, d a n n a d a deringnya kupilih y a n g paling lama. Itu

kuanggap belum cukup, lalu aku m e n c o b a tidak t i d u r sampai
siang, sampai kuanggap ia sudah bangun tidur dan m e m b a l a s
pesanku.
Sampai jam s e m b i l a n pagi, ia b e l u m juga ada b a l a s a n darinya.

Aku mulai khawatir. Tapi ketika aku akan m e n e l p o n n y a , aku
juga k h a w a t i r , siapa tahu ia memang tidak bisa b e r t e m u h a r i itu,
dan mungkin akan menjawab pesanku ketika ia punya
kesempatan untuk bertemu. Aku menyimpulkan jawabannya
tidak harus hari itu juga. Lalu aku berangkat tidur, dan kali itu

a k u tetap tidak mematikan telponku.
Begitu bangun tidur, betapa kagetnya diriku. Ada pesan
pendek darinya dengan penanda waktu jam tiga sore, dan
mungkin karena terlalu nyenyak tidurku maka aku tidak

m e n d e n g a r b u n y i deringnya. lsinya, ia menungguku di s e b u a h
t e m p a t sampai jam l i m a s o r e . Aku melihat jam di ruanganku.
Dan astaga, ternyata waktu menunjukkan jam lima lebih
seperempat! Aku lemas. Saat itu juga a k u tahu, aku sudah habis
di depan matanya.



9'..£1_ �1/a a ku tidak be r a n i menghubunginya. H a r i - h a r i k u
b e r l a l u d e n g a n l a m b a t d a n m e m b o s a n k a n . Aku s e r i n g m e m e g a n g
pesawat t e l p o n untuk m u l a i m e n g h u b u n g i n y a lagi. T a p i tetap

saja aku tidak punya k e b e ranian mengingat tragedi sialan yang
telah m e n i m p a k u berkali-kali.
Tapi lagi-lagi, s e t e l a h sebulan m e n c o b a m e n a h a n diri, aku
sudah tidak kuat lagi. Lalu aku mulai m e n g iriminya sebuah pesn
pendek, m e n c o b a bersopan santun menanyakan kabarnya. Tidak

ada jawaban darinya. Dan s e p e r t i n y a memang tidak a k a n ada


39

lagi jawaban darinya. Aku lalu t e t a p m e n g i r i m i n y a p e s a n - p e s a n
pendek seperti y a n g dulu-dulu, tidak berharap ada jawaban

darinya. Sampai lama hal itu terjadi, dan memang tidak perna
ada jawaban darinya. Aku b e n a r - b e n a r lelah dan sial.
E n t a h mengapa suatu saat, ada sesuatu di hatiku yang me­
ngatakan bahwa itu adalah saat yang tepat untuk menelponnya.
Lalu aku m e n c o b a menelponnya. la tidak mengangkat telpon.

Aku m e l a k u k a n n y a lagi. T e t a p tidak d ia n gkat. Aku m e n e l p o n n y a
lagi. T e t a p juga tidak diangkat. T i b a - t i b a a k u m e r a s a s a n g a t kesal
padanya. Lalu aku m e n g i r i m i n y a sebuah p e s a n pendek dengan
nada yang pedas.

Di luar dugaanku, ia membalas. Nadanya tetap ketus. Ia
bilang bahwa ia tadi sedang ada acara sehingga ia mematikan
nada dering telponnya. I a mempersilakan a k u menelponnya.
Dengan segera aku menelpon. Ketika telpon diterima o l e h n y a ,
aku terserang p e n y a k i t g r o g i . Sungguh s a n g a t memalukan. Pada

.
awal-awal percakapan itu a k u hanya bisa bilang, "Halo . . . " Dan
ketika ia membalas dari seberang, aku hanya bisa diam, tidak
bisa menemukan k a t a yang pas untuk memulai percakapan yang
menarik. S e u m u r - u m u r , itu adalah tragedi pertamaku. Sebelum­

nya aku tidak pernah diserang penyakit memalukan itu.
Hal i t u bertambah parah, parah sekali bahkan, ketika dari
seberang ia berkata, "Kok diam? Kalau n g g a k niat nelpon nggak
usah nelpon, buang-buang pulsa dan buang-buang w a k t u saja,
kan!" Lalu telponnya dimatikan. Aku hanya b e n g o n g , menyadari

ketololanku dan kesialanku.
Dengan segera aku memencet tombol telpon lagi, sambil
berpikir keras bahwa aku harus b is a menghidupkan percakapan
atau semua akan sia-sia dan memalukan. Ia mengangkat dan

dengan s e g e r a berkata, "Ada apa lagi?"
Untuk kali itu, aku tidak mau lagi kehilangan muka dan
kesempatan. Pokoknya aku harus ngomong. Kalau perlu
n g o m o n g apa s a j a , yang p e n t i n g ngomong! Di luar dugaanku,
k a l i m a t - k a l i m a t k u mengucur deras. I a m e n a n g g a p i n y a tak kalah

deras. Itu menjadi percakapan yang cukup menyenangkan. Tapi


40

pada m o m e n tertentu, kembali a k u terdiam seperti kehabisan
kata-kata. Tapi aku harus segera menyelamatkan diri. Dengan

segera aku menyudahi percakapan. Dan di luar dugaanku, ia
berkata, "Sudah? Hanya seperti ini setelah lama bersitegang?
Hanya seperti ini setelah ada r e k o n s i liasi?"
Wow! Tapi aku harus berlaku cerdas. Aku tidak boleh tergoda
dulu. Aku harus tetap mengakhiri percakapan kali itu, sambil

mencoba menyisipkan pesan bahwa masih ada k e m u n g k i n a n
berhubungan d i kelak kemudian hari.
Percakapan berakhir. Setelah menutup telpon, aku bersorak
girang. Seperti pernain bola yang menjebol gawang lawan di

detik-detik yang m e n e n t u k an!


{{i)e6 8"1< c 1; !tc""' " setelah peristiwa itu, aku mencoba tidak
menghubunginya dulu. Aku merasa ada baiknya kalau aku
m e n a h a n d i r i dulu, supaya tidak terlalu terlihat bahwa aku b e n a r ­

benar menyimpan perasaan pada perempuan itu. Setelah
kuanggap cukup untuk membuat jeda, a k u mengiriminya pesan
yang berisi ajakan untuk bertemu. Kali itu, ia cepat m e n j a w a b
dan mempersilakan aku untuk menentukan tempat dan

waktunya. Aku m e m e k i k senang. Kini saatnya!
K e e s o k a n s o r e n y a , aku b e n a r - b e n a r b e r t e m u dengannya. Dan
aku nyaris tidak percaya dengan apa yang aku lakukan selama
bersama dengannya. Aku b e n a r - b e n a r menikmati kehadirannya.
Kami bercakap dengan hangat. Dan kali itu, aku b e n a r - b e n a r

tpada p e r e m
semakin yakin bahwa aku t e l a h jatuh h a i p u a n itu.
Itu adalah satu sore yang sangat indah. Dan aku b e r h a r a p bahwa
itu adalah awal yang baik bagi hubungan kami selanjutnya.
Setelah pertemuan itu berakhir, aku merasakan ada ruang yang

m e n e n t r a m k a n dalam hatiku, dan ada debar-debar aneh yang
sangat memikat. A k u yakin bahwa aku telah jatuh hati padanya.
Dan aku berharap hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang
akan semakin mendekatkanku padanya. Aku benar-benar
berharap dan yakin.





41

Y� te"'ta justru yang t e r j a d i adalah h a l - h a l yang be r k e b a l i k a n
d e n g a n harapan-harapanku. Semenjak pertemuan itu, pesan­

pesanku tidak pemah dibalasnya, dan t e l p o n - t e l p o n k u juga tidak
pernah diangkatnya. Tentu saja hal itu memukul mentalku
dengan telak. S e b a b yang kubayangkan adalah yang indah-indah
setelah kesialan-kesialan yang terjadi, apalagi pertemuanku
terakhir dengannya menurutku s a n g a t lancar dan b a h k a n baik­

baik saja. Aku lelah sekali. Aku b e n a r - be n a r l e l a h bahkan untuk
memulai lagi m e n g irimiya pesan-pesan pendek.
Dan lagi-lagi, kelelaha b e r a k h i r juga. Akhirnya dengan
pelan aku mulai m e n g i r i m i sebuah pesan pendek seperti dulu,

tanpa pernah berkeinginan mendapat balasan darinya. Aku
kembali harus m e n g i r i m p e s a n ke alamat yang kosong. H a l itu
b e r l a n g s u n g s a n g a t l a m a , lebih l a m a d a r i y a n g dulu-dulu. Hingga
kemudian muncul satu pesan balasan dari p e r e m p u a n itu. Tapi
isinya membuatku langsung merasa terpukul. Pesan itu berisi,

aku l e b i h baik tidak p e r l u lagi menghubunginya. Ia t idak ingin
lagi m e m b a c a pesan-pesanku yang baginya hanya untuk buang­
buang waktu saja. Ketika aku membalas pesan itu, ia tdaik
m
m e m b a l a s lagi, dan ketika aku e n c o b a m e n e l p o n n y a t e t a p tidak
diangkat. Aku hampir punya niatan untuk menghubungi
t e l p o n n y a dari wartel, s e h i n g g a ia tidak menduga bahwa telpon
itu berasal dariku. Tapi setelah kupikir-pikir, itu hanya me­
nambah buntut kesia-si a n yang panjang.
a
B e h a r i - h a r i , aku kembali seperti orang yang linglung. Tidak

tahu apa yang harus kulakukan, tidak nyaman dengan apa yang
kulakukan. Ada perasaan kosong yang tak p u n y a batas.
A k h i r n y a , aku merasa butuh orang untuk kubagikan cerita
b
tentang p e n d e r itaanku itu. Lalu aku m e n c e r itakan pada e b e r a p a
sahabat yang kupercaya. T e r n y a t a respons m e r e k a terkesan aneh
bagiku. Semua sahabat yang kuberitahu tentang kisahku
mengatakan bahwa sebetulnya perempuan itu mau agar aku
b e k e r j a lebih keras lagi untuk menghubunginya. P e r e m p u a n itu
ingin b e r m a i n - m a i n proses denganku. Ia i n g i n menguji s e j a u h

mana aku s e r i u s untuk m e n j a l i n h u b u n g a n d e n g a n n y a . S e l a i n


4 2

itu, rn e r e k a juga menyatakan bahwa itu adalah ciri dari seorang
perempuan yang tahu bahwa dirinya cantik. Perempuan yang

sangat percaya d ir i dengan e c a n tikanya. P e r e m p uan yang t a h u
k
b a h w a ada l a k i - l a k i yang h a r u s m e n e k u k l u t u t d i d e p a n n y a , kalau
perlu menyorongkan tubuh ke tanah ketika berhadapan
dengannya.
Terang saja aku t e r h e r a n - h e r a n dengan kornentar m e r e k a.

Serna itu tidak p e r n a h terpikirkan olehku. Aku lantas b e r p i k i r
keras tentang hal i t u . Lalu a k u rn e m b u a t k e s i rn p u lan bahwa apa
yang dikatakan oleh para sahabatku itu be nar . Jika s e p er t i itu,
tentu akan rn e m a k a n banyak e n e r g iku. Dan bukan hanya itu,

i
n
kalau pun t o h nan t y a aku berhasil menjalin hubungan dengan
perempuan i t u , tentu tidak akan rnenjadikan sebuah hubungan
yang baik. Hal s e p e r t i itu hanya akan menambah kesia-siaan
dalarn h i d u p k u , hanya menambah panjang daftar lelahku. Detik
itu juga, aku mernutuskan untuk tidak p e r n a h m e n g h u b u n g i n y a

lagi. Tidak!










































43

e m p a t



























.9-J b me11#et pintu. Sesaat kemudian kudengar

pintu terbuka. I a tersenyum lebar. Memberi tanda
dengan tangan dan wajahnya: silakan masuk. Aku
masuk. Pintu ditutup dari dalam. "Dingin atau

panas?"
k
A k u mengambil k u r s i yang ada di dalam a m a r
hotel itu. Sembari meletakkan tubuhku, aku
A
menjawab," k u tidak m i n u m dingin, kecuali yang
beralkohol."
Dengan tangkas ia membuka tutup botol

minuman mineral, menuangkan isinya dalam
pemanas air, lalu masuk k e dalam k a m a r mandi.
S e b e n t a r k e m u d ia n , seiring desis p e m a n a s air, ia

keluar. "Kopi atau teh?"
"Kopi."
"Gula?"

Aku mengangguk. "Tapi jangan b a n y a k - b a nyak."
Kudengar ia mengaduk gelas m i n u m a n . Ia berjalan menuju

k e arahku, meletakkan g e l a s minuman dan aku m e n y e r e t kursi
satunya lagi, seakan mempersiapkan bahwa i a perlu duduk
dengan n y aman tepat di depanku. Ia duduk. K a m i berhadap­
hadapan, terhalangi sebuah meja bundar kecil, yang di atasnya
terdapat dua cangkir kopi yang menguarkan bau wangi.

"Kamu datang tepat waktu."
"Tidak enak menjadi seseorang yang menunggu, bukan?"
Ia tersenyum. Tangan kanannya meraih kotak kecil
pengendali televisi yang tergeletak di atas tempat tidur,

mematikan televisi yang suaranya sebetulnya tidak terlalu
mengganggu pendengaranku. Ia b a n g k i t , m e n g a m b i l a s b a k di
meja kecil di samping tempat tidur. Kembali ia duduk.
Menyalakan rokoknya.
"Mungkin bisa kita mulai."

Aku mengangguk, mengiyakan. Aku mengambil rokok di
saku jaketku, m e n y a l a k a n n y a , menyeruput m i n u m a n , dan dari
sekilas pemandangan di luar jendela, h a r i beranjak senja.
"Kita sepakati dulu, menurutku kita akan m e m b icarakan hal­

hal yang lazim dipercakapkan oleh dua orang, laki-laki dan
.
perempuan, saat berkenalan . . . "
Ia memandangku, menungguku memberi tanggapan atas
kalimat yang baru saja diucapkannya. Aku membuka lembaran
tanganku, memberi isyarat agar ia menuntaskan kalimat­

kalimatnya.
"Misalnya, tentang film, musik, jenis-jenis rninuman atau
"
ak anan . . . .
m
K e m b a l i ia di am , seperti menunggu tanggapanku. Kali i n i ,

aku menyatakan pendapatku. "Bagaimana kalau hal pertam
sebelum kesepakatan tentang tema-tema seperti itu, kita
bicarakan dulu semacam prinsipnya . . . ," kali ini, aku yang
menunggu tanggapan darinya atas kalimat yang kuutarakan.
"Maksudmu ?"

"Maksudku, bisa jadi kita tidak membicarakan tema-tema


45


Click to View FlipBook Version