The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by PERPUSTAKAAN PUSPANEGARA, 2022-10-24 00:28:00

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

atau rn a t e r i - m a t e r i percakapan seperti itu, a t a u k i t a bisa b e r a l i h
materi dengan cepat asalkan kita sepakati dulu prinsip-

.
p n n s 1 p n y a . . I I


I a m e n g e m y i t . "Aku belum m e n g e r ti maksudmu."
Aku mulai m e n y e n a n g i n y a . Cukup t e r u s - t e r a n g kalau tidal<
paham.



"Begini, taruhlah kita bicara soal sastra. Lalu b iasanya akan
k i t a sebut sejumlah n a m a - n a m a pengarang dan n o v e l a tau k a r y a
sastra lain yang hebat. Biasanya kemudian kita akan
m e n g o m e n t a r i itu dengan hal-hal lain, s e p e r t i misalnya t e o r i ­

.
t e o r i , g e r a k a n - g e r a k a n , g e n r e - g e n r e , d a n l a i n - l a i n . . . K a m u m u l a i
?
p a h a m maksudku "
I a mengangguk. "Tapi biar kupastikan lebih dulu. Atau
misalnya kalau kita bicarakan soal film, maka kita akan
m e n g o m e n t a r i d e n g a n t e o r i - t e o r i a n e h , g e r a k a n k a m e r a , g e n r e ,

m e n y e b u t s e r e n t e t a n k a r y a dan sutradara, misi m e r e k a , detil
pembuatan . .Itu tentu membocankan, bukan? Maksudmu, k i t a
.
p e r l u m e n u r u n k a n d e r a j a t percakapan kita pada t i t i k y a n g pal­
ing e d er h a n a , tidal< perlu o m b a s t i s , pamer p e n g e t a h u a n , pamer
s
b
analisa, pamer istilah, hanya agar kamu tahu kalau aku p i n t a r ,
padahal t i d a l< , a t a u a k u m e n g i r a kamu h e b a t , padahal tidak juga.
Begitukah?"
Aku m e n e p u k k a n kedua telapak t a n g a n k u sekali tepuk. Plak!
"Itu yang kumaksud! Tidak perlu pandangan-pandangan sok

filosofis, atau lebih t e p a t n y a sok pintar."
I a t e r s e n y u m lebar. "Baik, sekarang kita mulai lagi berkaitan
dengan m a t e r i - m a t e r i n y a . Menurutku, l e b i h baik kita s e b u t hal­
.
hal yang lazim dibicarakan . . s e p e r t i yang kukatakan di awal.
Masing-masing yang kita s e b u t b e r a r t i hal-hal yang tidak p e r l u
k i t a bicarakan."
Aku m e n g a n g g uk. "Film."
"Musik." Sahutnya cepat.
"Jenis-jenis masakan dan minuman." Ujarku.

"Tempat-tempat yang m e n y e nangkan."


46

"Apalagi, ya?"
"Sastra."

"Kupikir cukup. A r t i n y a , daftar m a t e r i i t u adalah materi yang
tidak p e r l u kita p e r b i n c a n g k a n s e k a r a n g ini. Sepakat?"
Aku mengangguk.
"Kita tidak perlu mernbicarakan hal-hal yang besar juga,
bukan?"

Kali ini aku yang rn e n g e r n y i t . "Maksudrnu?"
"Maksudku, mrnrn . . . seperti yang karnu tekankan tadi
menyangkut cara pandang atau teori-teori atau apapun lah,
narnun sepertinya penting. Tapi kita tidak perlu mern­

bicarakannya. Sebab aku yakin kita tidak p e r l u m e rn b i c a r a k a n
h a l itu k a r e n a m u n g k i n k i t a akan s a m a - s a m a s a l i n g t a h u tapi
tidak perlu dipercakapkan atau diperbincangkan."
A k u rnasih belurn m e n g e r t i maksudnya. "Aku rnasih belum
. "
i e I a s . . .

"Begini, apakah k i t a p e r l u sating b e r t a n y a dengan m i s a l n y a

p e r t a n y a a n s e p e r t i ini , m e n g a p a a d a o r a n g miskin d i dunia? A t a u
m i s a l n y a a p a p a n d a n g a n m u t e r h a d a p kebijakan pasar bebas . . "
.
"Sepertinya tidak usah." Jawabku.



"Ya, s e p e r t i n y a tidak usah. Bukan karena tidak penting, tapi
k a r e n a aku y a k i n kita punya jawaban yang hampir mirip."
"Ya, aku percaya."



"Baik, k i t a m u l a i h a l pertama . . Ia bangkit, m e n u j u m e j a k e c i l
.
"
samping tempat tidurnya, balik lagi dengan membawa dua
l e rn b a r kertas dan dua pena. Selembar k e r t a s dan sebatang p e n a
diulungkan kepadaku. "Kita mulai dari aku dulu, dan

jawabannya sama-sama k i t a tulis di kertas. Bagaimana?"
A k u m e n g a n g g uk.
"Koran apa yang kamu baca h a m p i r s e ti a p h a r i ? "
Kami rnenulis dengan cepat d i a t a s k e r t a s . Kemudian s a m a ­
s a m a kami tunjukkan jawabannya. A k u t e r s e n y u m , dia juga

t e r s e n y u rn . jawabannya sama: Kornpas.


47

.
"Sekarang giliranmu . . . "
Aku diam sebentar. "Sebut tiga penulis di K o m p a s , bisa apa

saja, esai maupun rubrik tertentu yang kamu sukai."
Kami terdiam dan langsung m en u l i s . T i d a k ada d i a n t a r a kami
y a n g perlu berpikir terlebih dahulu.
Kami hampir berbarengan menyelesaikan jawaban atas
pertanyaanku, hampir berbarengan pula kami saling

m e n u n j u k k a n jawaban karni masing-masing. D i kertasnya, pada
urutan pertama tertulis nama Salomo Simanungkalit, lalu A r i e l
Heryanto, dan E l v y n G Masassya. Ia tertawa lebar melihat
jawaban di kertasku. Urutan pertama kutulis A r i e l H e r y a n t o ,

u r u t a n k e d u a kutulis S a l o m o S i m a n ungkalit, d a n ketiga Elvyn
G Masassya.
"Luar biasa. Kita h a n y a beda n o m o r urut. Kok b is a , ya?" Ia
bertanya sambil terus tertawa.
"Kenapa suka S a l o m o ? "

"Pintar, d a n t e r u t a m a kesinisannya i t u ..... kamu t a h u , sinis
itu seksi."
Aku tertawa ngakak.
"Kenapa suka Ariel?" Ia b e r t a n y a sambil m e m a t i k a n rokok

di asbak.
" T u l i s a n n y a se d e r h a n a ta pi m e n u k i k . J e n i s tulisan y a n g h a n y a
bisa ditulis o l e h o r a n g hebat."
"Salomo dan Ariel adalah dua orang yang memang luar
biasa." Ia menyalakan lagi rokok.

.
"K e n a p a . . "
P e r t a n y a a n barusan itu sama-sama kami ucapkan dengan
berbarengan. Akhimya i a bilang,"Kamu dulu . . "
.
.
"Tidak, kamu dulu . . . " U j a r k u sambil menyeruput minuman
dan m e n y a l a k a n rokok.
"Kenapa s u k a Elvyn?"
"Sekalipun ia bicara soal uang, i b icara dengan cara y a n g
a
s e d e r h a n a , dan terutama hal-hal y a n g bijak tentang uang. Juga
kelihatannya ia o r a n g yang baik ..... "

"Dari mana kamu tahu?"


48

"Dari f o t o dan kalimat-kalimatnya."
Ia t e r t a w a .

"Kamu?"
Ia sedikit berpikir. "Hampir sama seperti kamu. T a pi melihat
f o t o n y a , m e n u r u t k u dia sangat sopan dan cakep .... Ha-ha-ha .... "
" Y a , sepertinya i seorang penyabar."
a
"Dan aku sering membayangkan betapa menyenagkan

menjadi istrinya, atau betapa damai menjadi anak-anaknya."
Kembali ia t e r t a w a , dan aku i k u t tertawa.
.
"Sekarang giliranku lagi . . . " Sejenak ia b e r p i k i r , tapi t i b a - t i b a
i a m e l e t a k k a n p e n a n y a danmenatapku, lalu b e r k a t a, " P e r n a h k a n

kita saling berbohong? Kamu berbohong padaku, dan aku
b e r b o h o n g padamu?"
K a m i sama-sama terdiam sejenak untuk kali ini. Lalu dengan
mantap kami sama-sama menulis, dan saling menunjukkan
jawabannya.

Kami berdua sama-sama ngakak. Jawaban kami sama,
pemah!
"Kamu b o h o n g apa sama aku?" Matanya menatapku penuh
rasa ingin tahu.

Aku tersenyum. "Aku cukup tahu kamu. Aku pernah baca
beberapa tulisanmu, bahkan a k u s e m p a t b e b e r a p a kali mencari
data tentang kamu lewat mesin pencari di internet. Lalu soal
p er t e m u a n p er t a m a kita, Si A n t o , t e m a n m u itu adalah r a n g yang
o
cukup kukenal, kami sama-sama mempersiapkan sebuah

p e r i s t i w a agar aku bisa b e r t e m u denganmu di acara itu."
Ia tertawa mengikik. "Sialan! Dasar pembohong!" Ia
melemparkan bungkus r o k o k n y a ke arahku sambil t e r t a w a , d a n
wajahnya m e m e r a h , terlihat sangat cantik apalagi ketika cahaya

merah senja menerpa w a j a h n y a setelah melewati kaca jendela.
"Kamu?"
"Nggak m a u , ah!"
"Lho, kok nggak mau? Aku sudah mengatakan k e b o h o n g a n ­
k u padamu. Dan satu l a g i , aku sudah lebih dulu tahu n o m o r

telpnmu sebelum k i t a saling bertukar nomor."


49

"Sialaaaan!" Ia memekik sambil terus menahan senyum,
bangkit dari kursinya, m e n g a m b i l bantal di tempat tidur, lalu

memukul-mukulkannya ke arahku. "Dasar pembohong!"
Ia kembali duduk, tapi setiap kali aku memandangnya,
wajahnya langsung m e r o n a merah, melemparkan wajahnya k e
arah jendela sambil bilang,"Sialan!"
"Kamu berbohong apa sama aku?"

"Nggak maul"
"Curang."
.
I"
"B" iann.
"Tidak mau menjawab?"

"Mmmm .... " Ia memandangku, tapi segera melempar
wajahnya yang p e n u h senyum k e arah jendela lagi begitu aku
juga menatap matanya. "Sialan, kamu!"
"A y o , jawab . . . "
"Pertama, aku juga sama sepertimu, melengkapi dataku

tentangmu lewat bantuan mesin pencari. Kedua, .... aku bohong
karena saat ini sedang tidak ada kerjaan di kota ini. A k u datang
agar bisa bertemu denganmu." Selesai menuturkan kalimatnya,
ia m e n u t u p w a j a h n y a dengan bantal yang barusan dipakai u n t u k

memukulkan k e tubuhku.
Aku tersenyum. Bangkit. Mengambil bantal yang dipakai
untuk menutup wajahnya. M e l e m p a r k a n n y a di atas t e m p a t tidur.


"Apa, sih!" Ia menukas tanganku yang hendak membangkit-

kannya dari kursi.
.
"Ada yang ingin kukatakan padamu . . "
.
"Katakan saja!"
Tapi ia tetap menurut ketika tanganku merengkuhnya,

membuatnya berdiri tepat di hadapanku. Aku menggengam
tangannya, dan pelan, aku merasakan tangannya menggenggam
tanganku. Di luar senja merambat m e n jadi gelap. Ruang kamar
temaram. Aku memeluknya, dan ia membalas memeluk erat
tubuhku. Pelan, kudengar s u a r a n y a di telingaku,"Dasar, bandel!"

Dan ia semakin mempererat pelukannya.


50

Tepat di saat itu, aku mengingat beberapa minggu sebelum­
nya, perempuan itu pemah pura-pura meminjam korek api

padaku. Dan di h a r i itu ia lupa, atau sengaja lupa, menceritakan
tentang peristiwa itu.
Aku lalu membisikkan kata-kata, "Bagaima tentang korek
api itu?"
Ia melepaskan pelukannya. Memandangku dengan agak

a n e h , dan be r k a t a , "Sumpah a k u nggak bawa korek api waktu
itu!"
''O ..... ''
"Apa maksud 'O'-mu itu? kamu nggak percaya?!"

"P ercaya .... II
Suasana diam. Ia duduk. Lalu menatapku dengan serius.
"Boleh aku t a n y a sesuatu?"
Aku menganguk.
"Jadi hubungan kita ini bagaimana?"

Aku mengernyit. "Maksudmu?"
"Ya, bagaimana? Apakah kita p a c a r a n atau bagaimana?"
Aku tersentak. Lalu aku dibayangi la g i berbagai perasaan
malas. Di pikiranku berkecamuk tentang bayangan-bayangan

susah dan rumitnya orang menjalin hubungan kasih. Pikiranku
mulai tidak jenak. Duh, ngurus diriku sendiri saja aku nggak
pemah merasa b e r e s , apalagi berurusan dengan o r a n g lain?
"Bagaimana? Eh, ini bukan berarti aku memaksakan sebuah
hubungan, lho .... Aku hanya minta kepastian hubungan kita ini

'jenisnya' apa?" Dia memberi penekanan pada kata 'jenis'.
Aku kembali d ia m , bahkan dalam waktu yang lama. Akhi y a
ia m e r a s a b o s a n , d a n bahkan mungkin sangat kesal. "Kamu yang
t e g a s , dong! Sudah, sekarang b e g i n i saja. Kita tidak ada hubungan

apa-apa. Bagaima?"
Aku masih terdiam. T a p i kemudian aku mengangguk. D a n
ia bertambah kesal. "Kamu memang b e n a r - b e n a r m e n y e b a l kan!"
Aku hampir menjawab: ya, aku memang menyebalkan. T a p i
keburu dia m e n j a w a b n y a sendiri sambil memiringkan bibirnya,

.
"Ya, aku memang menyebalkan . . Begitu pasti jawabanmu.

51

Sialan!"
Aku tersenyum.

Dia tersenyum.
Aku pamitan pulang.
Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum dan
.
b e r k a t a , "Kamu be nar - be nar sialan dan menyebalkan . . . "
Dan sejujurnya, dia cantik sekali, dia pintar, dan dia baik .....

































































52

fi m a




























� M e r .V '!?' b e r p i k i r b a h w a a k u t e r m a s u k o r a n g yang
masuk dalam kategori s ia l dalam hidup ini. S e r i n g
d
aku h a n y a b i s a m e n g u r u n g diri i d a l a m kama , m e ­
r e n u n g i petjalanan hidupku yang kuanggap tidak
k e m a n a - mana. Tidak p e r n a h b e r a n j a k m e n j a d i lebih

baik. Aku seperti hilang semangat. Sering m e m a n g ,
rasa suntuk yang akut menyinggahi hidupku.
Cukup sering, bahkan. Dan masa-masa seperti itu
sering kusebut sebagai masa-masa dimana aku

t e r b a k a r di dalam neraka.
Selama berbulan-bulan, aku hanya berada di
dalam kamar, tiduran, menonton televisi dan
kadang-kadang mendengarkan musik atau
membaca buku. Tetapi semua aktivitas itu seperti
aktivitas yang hampa. Udara getir memenuhi

seluruh kamarku, dan tubuhku senantiasa m e r a s a l e n g a n g , ada
yang kurang. Ada yang tidak terpenuhi dalam hidupku, tetapi

aku tidak tahu persis. Dan s a b a n hari aku h a n y a bisa tergolek,
m e n a t a p layar televisi, memencet-mencet tombol tanpa g a i r a h ,
membuka-buka h a l a m a n buku d a n berusaha m e n c e r a p i s i n y a
tetapi tetap gagal. Mencoba mendengarkan musik tapi lalu
m e r a s a bosan, d a n kemudian tertidur d e n g a n m i m p i - m i m p i yang

membosankan.
Aku sering jengkel dengan diriku sendiri. Banyak orang
bilang b a h w a orang sepertiku tidak l a y a k untuk tidak bahagia
dalam hid up ini. A k u dikaruniai banyak hal p e n ting, dan sekian

hal lagi yang bisa mengukuhkan banyak hal dalam hidupku.
Tetapi nyatanya, aku tak lebih dari seorang pesakitan yang
murung, dan selalu tercenung di dalam kamar. Jika hal seperti
itu tetjadi, aku merasa dunia ini b e n a r - b e n a r hendak runtuh.
Seorang diri di dalam kamar, dikungkung oleh waktu yang

semakin betjamur.
S i a l n y a , seharusnya aku akan keluar untuk melakukan hal­
t
h a l t e r t e n t u a g a r aku tidak e r u s - m e n e r u s t e r k a p a r . N a m u n , e n t a h
k en a p a justru a k u m e n y i m p u l k a n b a h w a a k u s e b a i k n y a s e n diri

d a n d i a m . D a l a m rasa y a n g tidak menentu, dan tentu dalam
emosi yang tidak stabil, aku justru menjauhi bertemu dengan
orang-orang atau melakukan aktivitas yang membuatku
bersinggungan dengan o r a n g lain. Aku takut, dalam emosi yang
tidak stabil itu, aku justru a k a n m e n y a k i t i banyak o r a n g , s e h i n g g a

m a l a h menumpuk-numpuk permasalahan.
Sialnya lagi, apabila saat-sat seperti itu datang, dan
berbarengan dengan hujan. Biasanya, datangnya musim
r
p e n g h u j a n akan membuatku bergai a h melakoni hidupku. Tapi
beberapa kali terakhir sudah tidak. Apa yang l e b i h sial dari
hidupku selain ketika h u j a n turun dan aku kehilangan seluruh
gairahku? Pertanda apakah itu? Hingga satu siang memberi
peristiwa, yang awalnya tetap saja kuanggap sebagai hal yang
bias a.





54

rJt
912. td a li siang ketika aku memutuskan untuk bangkit dari
tempat tidur. Sebetulnya sudah sekitar dua jam aku terbangun

dari tidur, tetapi t e t a p membiarkan tubuhku tergolek di atas
t e m p a t t i d u r , tidak tahu harus berbuat apa. K e t i k a aku m e m b u k a
p i n t u kamar, a k u mendengar ada suara orang b e r b i n c a n g di
kamar sebelahku, kamar seorang teman yang sama-sama
m e n g o n tr a k rumah ini. Se p e r t i biasa, aku lalu m e n j e r a n g air, k e

kamar mandi untuk buang air besar, menggosok gigi, lalu

mencuci muka. Selesai melakukan aktivitas di dalam kamar
mandi, a i r sudah mendidih. Lalu aku membuat secangkir kopi.
P a h i t . Aku ingin yang pahit. Sepeti hidupku. D e n g a n m e n e n t e n g

c a n g k i r kopi y a n g menguarkan harumnya, aku balik ke kamar.
Belum sempat aku meletakkan cangkir di lantai kamarku,

temanku b e r d i r i di p i n t u kamar," Ada yang mau kenalan .... "
Aku m e n o l e h . Lalu dengan rasa yang malas, a k u kembali
keluar kamar menuju kamar temanku. Di sana ada seorang

perempuan. Kami berbagi senyum. Dia mengulungkan
tangannya, aku menerimanya, dia menyebut nama, aku
menyebut nama. Kami berbagi senyum. Aku keluar kamar
temanku, masuk kamarku, m e n u t u p pintu. Setelah menyeruput

kopi dan menghabiskan sebatang rokok, aku k e m b a l i t e r h o l e k
d i atas tempat tidur.
Dari jendela, beberapa jam setelah itu, aku melihat s e n j a
m e l a m b a t di luar, d a n g e r i m i s turun. Aku k e l u a r d a r i kamar,
hendak mandi. Tapi pintu kamar m a n d i tertutup. Aku melihat

k a m a r - k a m a r kosong. K o n t r a k a n ini kusewa d e n g a n t i g a teman
yang lain. Masing-masing mendapat satu kamar. Dan kami
berbagi untuk ruang kamar mandi, dapur, serta ruang tamu.

Ketiga kamar yang lain t e r b u k a , t e t a p i tidak ada s e o r a n g pun di
dalam kamar-kamar itu. Salah satunya tentu sedang di k a m a r
m a n di.
K e t i k a pintu kamar mandi terdengar t e r b u k a , b e r g e g a s aku
m e n u j u ke sana. Tapi betapa k a g e t n y a aku, k e t i k a yang keluar
adalah sosok perempuan yang siang tadi berkenalan denganku.

Aku tersenyum, dia tersenyum. Dengan berbasa-basi aku


55

bertanya memangnya temanku yang dikunjunginya pergi
kemana? Dia memberi jawaban yang aku lupa.
Sambil mandi, aku be r p i k i r keras. Apa yang harus kulakukan
setelah aku mandi? Kamar temanku yang kedatangan tamu ada
tepat di sebelah karnku. S e k a r a n g temanku itu tidak ada di

rumah. Sedangkan dua temanku yang lain juga tidak ada di
dalam rumah. Kalau nanti aku keluar, m a u tidak m a u aku h a r u s
menemani perempuan i t u berbincang s e k a l i p u n h a n y a basa-basi
dan sebentar. Padahal aku sedang tidak i n g i n berbicara dengan

orang lain, tetapi bukankah siang tadi aku sudah berkenalan
d e n g a n n y a ? A k u takut n a n tip e r e m p u a n i t u b e r a n g g a p a n b a h w a

aku sombong. T a p i jika aku harus menemani d i a ngobrol, aku
tidak tahu h a r u s memulai dengan obrolan apa. Aku sudah lama
kehilangan kemampuanku berbasa-basi. Tapi jika aku tidak

menemaninya, apa kata t e m a n - t e m a n k u di kontrakan ini? K a m i
berternan denganb sangat akrab dan saling membantu. M e r e k a
sudah seperti saudaraku. A p a yang ada d i pikiran mereka
seandainya m e r e k a tahu k a l a u aku di rumah ini bersama s e o r a n g

tamu temanku, dan aku sama sekali tidak mengajaknya
berbicara? Selesai mandi, aku memutuskan untuk menemui
p e r e m p u a n i t u , sekadar berbasa-basi.
Ia agak kaget ketika aku m e n y e m b u l k a n kepalaku di kamar
temanku. Aku sangat malu! Aku lupa permisi! T a pi kemudian ia

tersenyum dan aku tersenyum. ia s e d a n g membaca s e b u a h buku,
dan meletakkannya di lantai. "K a m u sudah terlihat segar."
Aku terkejut dengan kalimatnya. Apakah di waktu per­
kenalan tadi, ia melihatku sedang tidak segar? Apakah wajahku

m e m p e r l i h a t k a n bahwa aku sangat suntuk? A k u terdiam sejenak.
Lalu aku bertanya, apakah ia membutuhkan minuman? Ia
mengangguk. "Kopi pahit," katanya.
Sambil menjerang air untuk dua porsi kopi, aku kembali
berpikir. Setelah aku menghidangkan kopi ini padanya, apakah

aku harus meningalkannya kembali sendirian? Apakah itu
pantas? A p a kata teman-temanku? Apa kata dia? T a p i bukankah
dia tadi sedang sibuk m e m b a c a ? B u k a n k a h aku punya alasan


56

agar a k u tidak m e n g g a n g g u a k ti v i t a s n y a ? Lagipula, t e n t u teman­
temanku sudah cukup memaklumiku. Bukankah s e c a n g k i r kopi

yang sudah kubuatkan, menjadi bukti yang cukup kalau aku
m e n g h o r m a ti tamu temanku? Aku agak lega.
Tapi lagi-lagi aku harus kaget untuk kedua kalinya dalam
waktu yang h a m p i r b e r d e k a t a n . K e ti k a aku sudah m e m b a w a dua
cangkir kopi, perempuan itu ternyata sudah berada di ruang

tamu. Dia duduk tenang di lantai, di atas karpet b e r w a r n a abu­
i
abu yang setahuku semenjak aku m e n e m p a trumah kontrakan

ini tidak pernah dibersihkan sama sekali. Aku tersenyum. Dia
tersenyurn. Dan entah mengapa kemudian aku duduk di

depannya.
Suasana kaku. Setidaknya m e n urutku. K a r e n a ia tetap e r l i h a t
t
tenang, mengucapkan terimakasih, lalu meniup-niup cangkir
kopi. Seakan-akan ia tidak punya kesabaran yang cukup untuk
menunggu sarnpai rni n u rn a n itu hangat. Beberapa kali mencoba

menyeruput minuman i t u , ia tampak kepanasan. Tapi seperti
tidak jera, ia terus meniupinya, hingga seruputan agak panjang
mernasukkan cairan kopi itu dalam rnulutnya. Saat mem­
perhatikan ia meniup dan menyeruput kopi i t u , e n t a h mengapa

a k u merasa n y aman dan agak bergairah. D i luar, gerirn b e r g a n t i
h u j a n , s e n j a b e r g a n t i malam, d a n adzan Maghrib m e n g g e m a .


�&m/111-,, 1 u d a t a n g ke kota ini untuk membicarakan sebuah
it
p r o y e k penyusunan buku dengan teman satu kontrakanku. Ia

m e n g i n a p di sebuah p en gina a n yang ada di dekat k o n tr akan
untuk beberapa hari. Aku baru menyadari b a h w a perempuan
itu adalah sosok yang namanya tidak begitu asing bagiku. Aku
cukup s e r i n g membaca tulisan-tulisannya dan beberapa hasil

penelitiannya. Percakapan kami berdua di senja itu tidak
berlangsung lama, karena kemudian satu per satu teman­
temanku berdatangan dan ikut bergabung dalam percakapan
yang semakin hangat. Begitu kupikir sudah mulai pantas u n t u k
m e n g u n d u r k a n diri masuk ke a m a r , a k u p a m i t a n dengan alasan
k
i n g i n m e n o n t o n sepakbola di kamar.


57

Selama masa-masa suntuk itu, aku mengganti rutinitas
tertentu dalam hidupku. Aku yang biasanya mengecek surat

elektronik sekali dalam s e h a r i , kini kuganti hanya sekali dalam
tiga hari. ltu pun khusus untuk membalas surat-surat yang
kuanggap penting. Telpon genggamku juga hanya kuaktifkan
h
b
k e t i k a aku a n g u n ti d u r di siang a r i , dan ketika kuanggap p e s a n ­
pesan penting telah kujawab, a k u mematikannya. Lalu aku
hidupkan lagi di tengah m a l a m , juga untuk membalas pesan­
pesan yang kuanggap penting.
Beberapa hari berselang setelah senja itu. Aku mulai
mendapatkan kiriman pesan-pesan pendek dari p e r e m p u a n itu.

Surat-surat elektroniknya juga m u l a i mengunjungi keranjang
surat elektronikku. Awalnya aku membalas k a r e n a merasa tidak
enak, sebagaimana kebanyakan aku membalas pesan-pesan
pendek serta surat-surat elektronik yang lain, hanya karena
m e r a s a tidak enak. Ta pi lama-lama aku mulai merasa bahwa aku

selalu membutuhkan kabar-kabar yang disampaikannya.
P e r c a k a p a n - p e r c a k a p a n kami kemudian berkembang menjadi
percakapan-percakapan yang intens. Aku semakin bergairah
m e n a n g g a p i k a l i m a t - k a l i m a tn y a yang tertata rapi dan cenderung

berbicara apa adanya. B a h k a n jika lama ia tidak m e n g i r i m i kabar
serta menanyakan kabarku, aku berinisiatif untuk memulainya
lebih dulu.
Aku mulai t er t ar ik padanya. Sungguh-sungguh tert. Lama
aku mencoba berpikir mengapa aku bisa tertarik dengan

perempuan itu. P e r t arna , m u n g k i n karena ia lebih tua dariku.
t
U m urn y a tiga a h u n l e b i h tua dari diriku. Aku tidak bisa memberi
penjelasan m e n g a p a aku s e l a l u tertarik dengan p e r e m p u a n yang
l e b i h tua dibanding diriku. K e d u a , ia tidak bisa melafalkan huruf

'R' dengan baik. Entah mengapa aku selalu tertarik dengan
seorang perempuan yang seperti ini. Tapi bukan yang dibuat­
buat tentu saja. K a r e n a sekarang banyak o r a n g yang pura-pura
tidak bisa dengan jelas melafalkan huruf 'R' supaya terdengar
kebarat-baratan. Ketiga, ia sangat tenang. Aku p i k i r untuk alasan

yang k e ti g a ini aku bisa memberi penjelasan. A k u orang yang


58

g a m p a n g r e s a h d a n suntuk. A k u s e l a l u m e r a s a t e n a n g jika be r a d a
di samping orang-orang yang mempunyai sikap tenang.

Ketenangannya cenderung diam. Sepertinya ia tidak mem­
bicarakan hal-hal yang tidak p e r l u dibicarakan dalam hid up ini.
K e t e n a n g a n n y a c e n d e r u n g tidak reaksioneI. Segalanya cukup

s e d e r h a n a bagi dia. Ada hal yang bisa dibicarakan dan ada hal
yang tidak perlu dibicarakan. Ia tahu p e r s i s itu.

Kalimat-kalimat dan perkataannya juga sederhana, jauh dari
kesan berbuih-buih. Ia juga tidak t e r k e s a n ingin nyleneh, ingin
beda, sekalipun ia tahu banyak hal yang aneh dalam hidup ini.
I a tidak heroik, tidak merasa b a h w a dirinya t a h u banyak hal dan

bisa melakukan banyak hal. I a selalu berusaha m e n d e n g a r k a n
lawan bicaranya, tidak i n g i n dominan. I a m e m p u n y a i s i f a t d a n
ketenangan yang menurutku luar biasa, yang dalam peng­
alamanku berhubungan d e n g a n banyak o r a n g , sifat ini sudah
jarang dimiliki oleh seseorang. Menurutku, yang paling

menyebalkan dalam hidup ini adalah jika aku berhadapan
dengan orang yang terlalu cerewet, banyak omong, pem­
b
h
b i c a r aannya e r b e l i t - b e l i t dan b e r b u i h - b u i h , m e m p e r s u lit a l - h a l
yang sederhana, ingin dianggap h e b a t hanya karena a n e h dan
nyleneh.
Beberapa hal lain yang membuatku tertarik adalah ia
m e n y ukai makanan dan minuman yang biasa, menyukai t e m p a t ­
tempat yang biasa, tidak terlalu berambisi pada uang dan
ketenaran sekalipun dua hal tersebut dengan gampang

digenggamnya kalau ia mau.


9li2-lta;rf dimana aku mulai b e r h u b u n g a n d e n g a n n y a adalah
fase-fase mulai memudarnya kesuntukanku yang berlangsung

b e r b u l a n - b u lan. Hari-hariku mulai menyala. Telpon genggamku
sudah mulai berumur panjang, hanya kumatikan ketika aku
mulai tidur, s e b a b kami s e r i n g b e r b a gi kabar lewat pesan-pesan
pendek. Aku juga mulai mengecek alamat surat elektronikku
sekali dalam sehari, selalu merasa kangen membaca kabar-kabar

panjangnya yang ditulis dalam bahasa yang s e d e r h a n a dan rapi.


59

T a p i s e j a u h i n i , kami belum p e r n a h menyinggung sama sekali
tentang perasaan kami masing-masing. Ada perasaan sungkan

dan kikuk di d i r i k u u n t u k memulainya.
Tapi s u d a h b e b e r a p a hari ini a k u diserang lagi o l e h p e r a s a a n
resah. Kali ini a k u t a h u s e b a b n y a . I a tidak pernah membalas
pesan-pesan pendekku dan surat-surat elektronikku. Sewaktu
aku telpon, ia tidak mengangkatnya. Aku bingung. Mencoba

bertanya-tanya pada diriku s e n d i r i , apa yang salah d e n g a n k u
y a ? Tapi ia t e t a p d i a m , tidak a d a jawaban. D a n k e m b a l i , dalam
keadaan s e p e r ti ini, aku pasti merasa linglung sendiri.
Akhirnya aku pun berhenti untuk mencoba rnenghu­

m
bunginya. Aku e r a s a g e n g s i . Kalau ia m e m a n g sudah tidak rna u
lagi b e r h u b u n g a n denganku, i t u m e n j a d i haknya. S e k a l i p u n a k u
tentu rnerasa a n e h , tidak t a h u s e b a b - m u s a b a b n y a . T a p i s u d a h l a h ,
satu hal l a g i rn e n jadi bagian d a r i pengalarnan hidupku. Dan
sialnya, aku mulai diserang lagi penyakit suntuk yang

k
k
m e m b o s a n k a n i t u . Aku e m b a l i s e r i n g ngendon di dalam a m a r ,
m e m a t i k a n t e l p o n g e n g g a m , jarang m e rn b u k a k e r a n j a n g surat
elektronik, dan lebih sering mengganti program saluran di
t e l e v is i .

S u a t u s a a t , hari rn a s i h p a g i , s e p e r ti b i a s a aku b e l u m tidur
ketika pintu karnarku diketuk dari luar. Hal aneh. Teman­
ternanku tidak pernah melakukan itu sekalipun ada tamu
untukku. M e r e k a l e b i h senang b i l a n g kalau aku tidur dan tidak
bisa diganggu daripada mengetukkan pintu karnarku untuk

tamu-tamuku. Dan tentu saja aku sangat nyaman dengan hal itu.
T a p i siapa b e r a n i rnengetuk pintuku di pagi h a r i s e p e r ti ini?
Dengan malas aku mernbuka pintu. Hrnm . ... dia! Aku
mencoba untuk tidak kaget. Aku tersenyum, tapi dia tidak

k
t er s e n y u m . Ia hanya merneri tanda dengan e p a l a dan matanya:
apakah a k u b o l e h rnasuk ke kamar?
Aku mengangguk. Aku berpikir, mungkin ia hendak
m e n j e l a s k a n m e n g a p a selarna ini tidak membalas k a b a r - k a b a r
y a n g kusampaikan padanya. T a p i a k u semakin rnerasa aneh

ketika begitu ia rnasuk k e karnarku, i langsung tiduran di ternpat
a

60

tidurku sambil rnenyalakan tivi. A k u bingung. Apa yang harus
kulakukan? I a tidak p erna rnasuk karnarku, dan ini adalah kali

kedua aku berternu dengannya setelah p e r t e rn u a n yang pertarna
sekaligus perkenalan yang dulu itu. Aku hendak rnenanyakan
sesuatu ketika ia berkata, "Kopi pahit."
Sekalipun dengan perasaan heran, segera aku ke dapur
m e n j e r a n g air, rnenyeduhkan kopi pahit untuknya. Ketika aku

m e m b a w a minurnan itu k e karnarku, i sudah duduk-duduk di
a
m
lantai. Aku e l e t a k k a n m i n u rn a n n y a di lantai. Ia rnernadangku.
p
Aku rnerasa sangat kikuk. "Kenapa t e l p o nrn u tidak e m a h aktif?"
Orang aneh, pikirku. Bukankah aku yang seharusnya

bertanya rnengapa ia tidak pernah menjawab pesan-pesan
pendekku dan surat-surat elektronikku? Tapi rnungkin juga ia
m e n g h u b u n g i k u d i s a a t - s a a t aku rnulai merasa suntuk lagi, lalu
jarang rn e n g a k t i f k a n telpn g e n g g a m k u , dan sudah sekian lama
aku tidak pergi ke warnet untuk rnengecek surat. Tapi aku

menjawab,"Sedang malas saja . . . "
.
"Juga rn a l a s b e r h u b u n g a n dengaku, ya?"
Aku kernbali terdiam. O r a n g ini benar-benar a n e h . Ta pi ketika
aku bingung menjawab pertanyaannya, ia justru tersenyurn

.
m a n i s . Duh . .
"Aku rna u rn e rn b i c a rakan hal yang penting d e n g anrn u."


Aku u l a i rnerasa deg-degan. Kembali aku rn e n c o b a b e r p i k i r
m
apa kesalahanku dengannya sehingga pagi-pagi s e p e r t i ini dia

t
t e l a h datang ke e rn p a t k u , padahal kota t e m p a t t i n g g a l n y a c u k u p
a
j a u h , d a n aku tahu i o r a n g yang cukup s i b u k . I a datang u n t u k
m e m b i c a r a k a n kesalahanku. I a akan m ern b i c a r a k a n n y a dengan
tenang, dan aku pasti akan merasa malu. T a pi apa kesalahanku?

Apakah ada kalimat-kalimatku yang menyinggung perasannya?


"Kok d ia m ? "
A k u m e n g a ngguk. Menyalakan rokok. B e r h a r a p i rn e n g e r t i
a
isyarat b a h w a a k u siap rnendengarnya rnenjelaskan pasal demi

pasal, alasan demi alasan tentang segala hal yang m e m b u a t n y a


61

tersingung k a r e n a kalimat-kalimatku.
"Kamu mau n g g a k m e n i k a h denganku?"

Aku melihat layar televisi, t e t a p i kalimat itu tidak datang dari
layar warna-warni itu. Lalu aku memencet tombol tivi,
mematikannya. Dan aku diam. Memandang perempuan itu
dengan harapan bahwa kalimat y a n g baru saja kudengar h a n y a
suara-suara a n e h y a n g tiba-tiba m a m p i r d i telingaku.

"Mau,enggak?"
Aku terkejut. Tapi kemudian aku berpikir mungkin dia
m e n g u c a p k a n kata y a n g lain sebelumnya, sehingga aku perlu
meluruskan,"Mau apa?"

" N y i m a k , dong . . . Kamu mau n g g a k menikah denganku?"
.
Kali ini gelombang terkejut menghantamku dengan lebih
besar. Kali ini a k u tidak salah, ia m e n g a j a k k u menikah. Ah, tapi
ia pasti bergurau. Aku tertawa. Sialan.
"Aku serius."

"Ngomong yang lain s a j a , a h ... K a m u kenapa tidak p e r n a h

m e m b a . . . "
"Kamu mau atau tidak?"
Kali ini, a u tidak mau aku m e n a t a p n y a lekat. Ia s e p e r ti tidak
m
bersandiwara atau hanya sedang bergurau. Dengan ragu aku
menjawab, salah, bertanya,"Kamu serius?"
a
"Aku jauh-jauh d a t a n g ke sini u n t u k mena k a n itu padamu
langsung. Sekarang jawab saja ... "
Aku diam. Mencoba berpikir. Sedangkan yang keluar dari

mulutku tetap saja pertanyaan,"Kita belum cukup saling k e n a l ,
t i d a k a d a angin ti d a k a d a h u j a n k a m u n g a j a k menia h , a l a s a n n y a
apa?"
" A l a s a n n y a nanti saja. Sekarang yang penting kamu mau a tau

tidak?"
"Kamu sedang hamil?"
I a menggelengkan kepala mantap sambil menatap tajam ke
arahku.
"Kamu sedang frustrasi?"

"Hidupku sedang baik-baik saja. Bahkan sedang dalam


62

kondisi yang sangat baik."
"Kamu d i t in g g a l pacarmu?"

"Aku meninggalkannya beberapa hari yang lalu untuk
kemudian menanyakan ini padamu."
Aku diam. Ia kemudian bangkit. "Baiklah kalau kamu
m e m a n g tidak mau. Aku pikir aku telah salah terka tentang
perasaanmu padaku."

Dengan segera aku memegang tangannya. "Ini bukan hal
yang sederhana. Aku sangat terkejut."
"lni hal yang sangat s e d e r h a n a . Masalahnya hanyalah apakah
kamu m a u mengakui perasaanmu atau tidak. S u d a h l a h , tidak

usah berbelit-belit. Aku ingin calon suarniku bisa memutuskan
hal besar dengan cara yang tepat dan cepat."
"Aku perlu kenal karnu, juga sebaliknya."
"Kita sudah kenalan."
"Tapi belum banyak dan belum cukup."

"Orang yang sudah saling k e n a l puluhan tahun juga akan
bilang belum cukup."
"Baiklah, bagaimana kalau kita pacaran dulu?"
"Aku mengajak m e n i k a h , bukan pacaran."

"Beri aku sedikit waktu untuk berpikir."
"Kuberi kamu waktu sampai kopi ini habis." Selesai
m e n g u c a p k a n i t u , i m e n e n g g a k kopinya langsung habis. Dan
a
dengan matanya ia memberi tanda: kopi sudah habis, apa
jawabanmu?

"Apakah kamu nanti tidak akan menyesal jika menikah
denganku?"
"Mungkin. Tapi karn u juga bisa menyesal."
"Bagaimana kalau kita bica akan ini baik-baik, s e h i n g g a kelak

jika kita memang m e m u t u s k a n untuk menikah tidak ada yang
menyesal?"
"Kamu pikir orang-orang yang sudah menikah itu tidak
pemah menyesali keputusan mereka?"
Aku kembali hendak bertanya. Tapi ia telah mengeluarkan

kalirnat terlebih dahulu."Kopi sudah h a b is . Jadi, m a u a tau tidak?"


63

A k u diam sesaat.
Ia bangkit. Mengucapkan selamat tinggal, keluar dari kamar,

dan kudengar pintu rumah ditutup, langkah-langkah kakinya
menjauhi rumahku.
Aku tetap diam. Linglung. Mungkin ini yang menyebabkan
aku tidak pernah sukses berhubungan dengan perempuan. Aku
takut sekali dengan pernikahan. Tapi itu baru mungkin, sebab

a k u menduga ada hal yang lain .....






























































64

enam



























�u.qaktt-m e n d a p a t k a n c i n t a s e j a ti k u ! Selesailah
sebuah tahapan yang menurutku paling banyak

menyita energi, dan cenderung membosankan:
m e n c a r i jodoh! P e r e m p u a n itu b e mama Kik a n .
S a l a h satu h a l yang m e m b u a t k u be r a n i m e n i k a h
dengan K i k a n karena a k u m e r a s a y a k i n hidupku
akan penuh dengan ketakjuban atas caranya

b e r p i k i r dan bertindak. E n t a h m e n g a p a , sejak dari
awal aku melihatnya, ada perasaan aneh yang
menyelundup di diriku. Rentetan selanjutnya
adalah peristiwa-peristiwa yang m e m b u a t k u l e b i h

bergairah menghadapi hidup ini, walau lebih
b a n y a k dengan m e n g e r n y i t k a n muka.
Pertemuan pertamaku dengannya terjadi saat
a k u mendatangi s e b u a h acara p a m e r a n lukisan di
kotaku. Hal itu juga terjadi tanpa s e n g a j a , k a r e n a

b
a k u tidal< e g i t u t a h u t e n t a n g d u n i a lukis, d a n aku p i k i r aku tidal<
begitu tertarik dengan dunia itu. Tapi karena s a l a h satu teman

dekatku mulai m e n a p a k i karier sebagai seorang kurator yang
tersohor, d e n g a n agak tidal< enak hati, suatu saat aku terpaksa
mendatangi p a m e r a n yang sedang dikurasi olehnya. Di sana, di
tempat p a m e r a n itu, aku melihat satu adegan yang m e m b e k a s
kuat: seorang perempuan dengan mata nanar memandang

sebuah lukisan perempuan. Kedua hal itu, perempuan yang
menatap dan lukisan perempuan yang ditatap, menurutku
m e m p u n y a i kemiripan, dua-duanya mempunyai wajah yang
h a m p i r s a m a , sedang m e m a k a i baju d e n g a n w a r n a s a m a , d a n

potongan r a m b u t m e r e k a sama persis. Aku berpikir saat itu,
mungkin perempuan y a n g sedang n a n a r menatap lukisan itu
adalah si model lukisan.
Sesaat setelah m o m e n y a n g kurasa cukup puitik itu, melalui
t e m a n k u a l ia s si kurator, aku b e r k e n a l a n dengan p e r e m p u a n itu.

Namany a Surtikanti, p a n g gi l a n n y a Kikan. Kami s e m p a t b e r b a s a ­
basi b e r d u a s e b e n t a r . Dari basa-basi s e j e n a k itu, a k u t a h u kalau
i a d a t a n g ke tempat paeran lukisan itu juga dengan rasa tidak
e n a k , karena si pelukis t e r n y a t a kakak kandungnya. Setelah itu,

dengan i s e n g tentu saja, kami b e r b a g i n o m o r t e l p o n g e n g g a m .
P e r t e m u a n k e d u a kami terjadi k a r e n a iseng. T e m a n k u y a n g
kurator itu suatu saat memberiku kabar kalau K i k a n sedang
b e r s e d i h . Aneh sekali, memang. Lebih a n e h lagi, aku waktu itu
tidal< menay a k a n s e b a b - m u s a b a b m e n g a p a K i k a n b e r s e d i h . Ta p i

kabar Kikan sedang bersedih itu mau tidak mau kemudian
membuatku m e m e n c e t - m e n c e t tombol telpon g e n g g a m sekadar
menanyakan kabarnya. Jawaban Kikan singkat, y a ia sedang
bersedih. Dan lagi-lagi aku tidak b e r t a n y a mengapa ia b e r s e d i h ,

mungkin 'sebab' adalah sesuatu y a n g sedang t idal< pen ting
bagiku saat itu.
T e p a t pada saat yang s a m a , ada p e s a n lain yang masuk, dari
y
s e o r a n g teman a n g m e n g i n g a t k a n bahwa ada e r t u n j u k a n t e a t e r
p
m a l a m n a n ti . Judulnya a k u i n g a t p e r s i s 'A y a h k u S t r o k e T a p i N g g a k
Mati', produksi T e a t e r Gardanalla. D e n g a n i s e n g aku m e n g i r i rn


66

kembali pesan ke Kika isinya kira-kira kalau dia ada waktu,
mala itu kuajak m e n o n t o n p e r t u n j u k a n t e a t e r . M u n g k i n dengan

b e gi t u , ia bisa lepas sejenak dari rasa sedih. Kikan b e r s e d i a , dia
memberi alamat rumaya, d a n malam itu juga aku m e n o n t o n
t e a t e r b e r s a m a Kikan.


Kikan m e m a n g sedang bersedih. Itu bisa kulihat jelas dari

w a j a h n y a , juga pakaian yang d i k e n a k a n n y a . Se l a m a p e r t u n j u k a n
berlangsung, sesekali aku melirik ke wajah Kikan, berharap
m e n d u n g sedih di w a j a h n y a bisa lambat laun menghilang. Tapi

t e r n y a t a aku salah. Justru mendung itu semakin t e b a l , sedih itu
semakin m e n g h i t a m , dan Kikan tidak bisa menyembunyikan
jatuhnya airmata sekalipun ada adegan-adegan lucu dalam
pertunjukan itu. Melihat itu, aku hanya bisa diam, mencoba
m e n a h a n diri.
Ketika p e r t u n j ukan teater rampung, a k u mengajaknya untuk

minum kopi di salah satu kedai kopi yang dikelola oleh b e b e r a p a
seniman. D i waktu itulah Kikan kutanya mengapa justru
bertambah sedih? Dan jawaban Kikan membuatku tidak bisa
berkata apa-apa dalam waktu yang cukup lama. Ia sedang

bersedih k a r e n a ayahnya t e r k e n a stroke. Ia tidak ingin ayahnya
mati. Tapi sekalipun a y a h n y a tidak m a t i , ia t e t a p bersedih. Dan
menonton pertunjukan teater yang baru saja kami nikmati,
m e m b u a tn y a selalu t e r i n g a t pada ayahnya.
Aku h a n y a bisa d ia m , a tau m u n g k i n cenderung salah ti n g k a h .

M a u m i n t a maaf rasanya a k u tidak bersalah, t e t a p i kalau tidak
minta maaf kok Kikan tambah bersedih . . . Akhirnya aku
.
m e m u t u s k a n untuk diam saja sambil l e b i h s e r i n g m e n g a d u k kopi.
Setelah malam itu, aku tidak pernah menghubunginya, dan

apalagi dia, t e n t u saja tidak pernah m e n g h u b u n g i k u .


m n (JJJl ( l (.ll/1' #et� a m i terjadi h a m p i r sama dengan p e r t e m u a n
k
p e r t a m a , tidak kuduga. Waktu i t u ada t e m a n dekatku yang
berada di luar kota datang untuk m e n g h a d i r i semi d i kotaku.

I a m e n g i n g i n k a n agar kami bisa bertemu d i t e m p a t digelarnya


67

seminar. Terna seminar itu kalau tidak salah tentang partisipasi
perempuan dalam politik lokal. Kira-kira semacam itulah. Tentu

saja aku datang untuk m e n e m u i temanku. Pada saat itulah aku
tahu kalau K i k a n menjadi s a l a h satu p e m b i c a r a , dan aku baru
i
tahu dari makalah yang disediakan pani ta kalau K i k a n temyata
adalah seorang peneliti dan p e n g a j a r di salah satu u n i v e r s i t a s
t e mama d i kota i n i .

Aku duduk d i samping temanku yang be g itu rajin m e n y i m a k
jalannya semin, s e m e n t a r a a k u asyik memperhatikan orang­
orang yang hadir di tempat itu. Aku m e r a s a sedang berada di
s
s e b u a h p arnean e l e n d a n g . K a r e n a b a n y a k s e k a l i o r a n g m e m a k a i
selendang, ada y a n g me.makai dua, b a h k a n ada yang memakai
tiga. Sewaktu aku iseng b e r t a n y a ke temanku, ini acara seminar
atau pameran s e l e n d a n g , ia langsung m e n u n j u k k a n muka masam
sambil m e m p e r i n g a t k a n dengan raut mukanya agar aku tidak
mengeluarkan pertanyaan yang kurang a j a r itu. Aku d i a m , tetapi

aku tetap merasa tidak bersalah. Sementara di depan, Kikan
sedang b e r b i c a r a . T a m p a k n y a ia sudah tidak begitu sedih.
Ketika acara seminar selesai, aku menemui Kikan. Ia
tersenyum cukup c e r a h . Aku merasa cukup lega. Tapi sayang,

hal itu kemudian sontak berubah k e ti k a aku menanyakan hal
yang bodoh," Ayahmu sudah sembuh?"
i
Kebodohan rangkap. Pertama k a r e n a di tnjau dari situasi,
memang jenis pertanyaanku tidak tepat. Kedua, karena isi
pertanyaanku itu sendiri, yang menunjukkan bahwa aku

sebenarnya tidak begitu tahu soal penyakit stroke. Aku
menganggap sakit stroke s e j e n i s dengan sakit demam. K e m b a l i
situasi tidak enak terjadi sampai a k u d a n Kikan berpisah. I a
pulang, d a n aku pergi dengan temanku untuk melanjutkan

p e r b i n c a n g a n a n t a r te m a n l a m a . Se t e l a h itu, k e m b a l i aku s e m a k i n
tidak berani mengirimi pesan-pesan pendek ke Kikan, dan
apalagi d i a , tentu saja tidak p e r n a h menghubungiku.
Tapi itu t i d a k berlangsung lama. Sore, a d a l a h saat-saat dimaa
bandul waktu sering berpihak padaku. Dan pada satu s o r e , tiba­

tiba aku m e n e r i m a pesan pendek dari Kikan. Sekalipun isinya


68

singkat, t a pi aku cukup senang. Han ya saja aku sempat bingung

dengan isinya. Ia b e rtanya,"Kata An , kamu sedang sedih ya?"
Agak lama aku t e r cenung mencoba memahami isi pesan itu.
Tapi aku tidak mau membuang-buang waktu. S e g e r a kutelepon

An , temanku yang kurator itu, mencoba menanyakan apa yang
diceritakannya pada Kikan. Dari seberang aku mendengar
k e t e r a ngan bahwa itu seputar desakan orangtuaku agar aku cepat

menikah. Aku segera memahami apa yang terjadi. Selesai
menelpon An, segera aku menelpon Kikan, berbasa-basi sejenak
lalu membuat janji ketemu. Terna p e r t emuan kali itu adalah aku
bercerita tentang kesedihanku.

Malamnya, kami bertemu. Tempat pertemuannya di ruma
Kikan. Lalu aku bercerita bahwa orangtuaku yang sudah lama
mendesakku agar aku cepat menikah. lbuku sangat ingin
mempunyai menantu, satu-satunya menantu. Sementara alasan
ayahku agak-agak bersifat keagamaan, ia takut aku terperosok

ke lubang zina. Awalnya, aku menganggap remeh desakan
mereka. Tapi lama kelamaan desakan itu semakin keras dan

cenderung membabi-buta. Orangtuaku mulai memaang strateg i
desakan lewat nenekku, lewat budheku, lewat saudara-saudara

sepupuku. Bahkan beberapa hari yang lalu, mereka datang
berombongan ke kota ini dengan tujuan satu dan sama: aku
diminta secepatnya menikah. Orang yang terdesak pasti
cenderung kalap, sama seperti pemerintahan yang terdesak,
cenderung barbar. Pertaha gerendelku ambrol menghadapi

serangan beruntun dan masif itu. Lalu kuputuskan untuk
mengubah strategi: pertahanan yang paling baik adalah
menyerang.
Untuk alasan ibuku, aku akhirnya mengeluarkan jurus

pamungkas, aku minta supaya ibu saja yang mencarikan jodoh
untukku, dan aku pasti mau menikah, tapi kalau ada apa-apa di
kelak kemudian hari, aku tidak bertanggungjawab karena itu
bukan pilihanku. Mendengar itu, ibuku langsung terdiam.
Sementara atas desakan versi bapakku, aku memakai dalih

keagamaan: aku sudah berusaha t a pi belum ada jodohnya, Tuhan


69

b e l u m m e m be r i jodoh, m a k a n y a a k u m e n y a r a n k a n a g a r b a p a k k u
s e m a k i n g i a t berdoa. B a p a k k u terdiam. S a u d a r a - s a u d a r a k u yang

lain dari mulai n e n e k sampai s e p u p u - s e p u p u k u juga terdiam.
M e r e k a pulang d e n g a n s e d i h . Dan aku agak m e n y e s a l juga k a r e n a
m e n g a t a k a n sesuatu yang k u a n g g a p t e r l a l u k e r a s . Tapi i t u k a r e n a
a k u t e r p a k s a , k a r e n a m e r e k a g e n c a r mendesakku.
Kikan tertawa m e n d e n g a r ceritaku. Dan e n t a h mengapa aku

senang melihat K i k a n tertawa, sekalipun a k u tidal< tahu dimana
a
letak lucunya ceritaku. Bahkan tanpa kuminta i bercerita soal
k e h i d u p a n n y a yang h a m p i r mirip d e n g a n k u . A y a h n y a yang k e n a
s t r o k e itu, selalu m e m b e r i isyarat agar i a cepat m e n i k a h . Tentu

Kikan tidak bisa membalas siyarat ayahnya itu dengan
m e n y e r a n g b a l i k , s e m a t a - m a t a k a r e n a a y a h n y a k e n a stroke. K a l a u
tidal<, a k u yakin s e r a n g a n n y a jauh l e b i h berbahaya daripada
seranganku. Mungkin kira-kira Kikan akan berkata,"Kok
s e p e r t i n y a kamu y a n g n g e b e t n i k a h ? Kalau b e g it u , k a m u saja y a n g

nikah!"
Malarn itu, aku tidal< lagi pura-pura sibuk mengaduk-aduk
kopi. Malam itu a k u pulang dengan perasaan lega. Sepanjang
jalan, seperti zaman dulu ketika bahagia, a k u m e n y a n y i seorang

diri.


� /t1; /ic«ktlt e b u a h p e r i s t i w a s e b a g a i p e r t e m u a n k u yang k e l i m a
s
dengan Kikan. Pertemuan yang paling penting karena di
pertemuan itu, tanpa melewati proses pacaran, karni berniat

u n t u k s a l i n g m e n i k a h i . W a k t u itu, lagi-lagi s e b u a h p e s a n p e n d e k
dari Kikan masuk. Seperti biasa, isinya cukup singkat: aku
k e h a b i s a n tiket! J e l a s pesan s e p e r t i itu m e n y a r a t k a n aku untuk
menanyakan tiket apa? Lalu ia menelpon, ia kehabisan tiket

p e r t u n j u k a n t e a t e r yang diadakan di dalam bis kota, judulnya
] a lur 17, produksi Teater Gardanalla. Diam-diam rasa suka
m e r a m b a t i dadaku. P e r t a m a , b a g a i manap u n aku m e r a s a b a h w a
paling tidak sekalipun dulu i a semakin bersedih karena
pertunjukan Ayahku Stroke Tetapi Tidak Mati, tetapi itu

membuatnya menyimpan kenangan yang cukup baik untuk


70

m e n o n t o n pertunjukan produksi teater Gardanalla l a g i. Kedua,
karena rasanya aku bisa mengusahakan agar i bisa menonton
a
pertunjukan itu.
Aku kebetulan mendapat undangan untuk menonton
p e r t u n j u k a n itu, dan dengan s e g e r a membuka lembar undangan
yang berisi nama-nama penonton yang akan menonton
pertunjukan bersamaan denganku. Ada beberapa nama yang

kukenal dalam daftar nama itu, tetapi aku cukup lega k a r e n a
a d a narn Arif yang m e m b u a t k u optimistis. S e g e r a a k u m e n e l p o n
Arif, tanpa basa-basi a k u meminta agar jatahnya menonton
diberikan kepadaku, d e n g a n alasan y a n g cukup m e m b u a t n y a

sulit untuk tidak m e m b e r i kannya padaku y a i t u calon istriku
datang dari jauh dan kehabisan tiket.
Dan pada satu sore beberapa hari setelah itu, aku dan Kikan
berangkat ke Bentara Budaya untuk m e n g a n t r i naik b is kota y a n g
dipakai s e b a g a i ternpat pertunjukan. Ia duduk agak s e r o n g di

depanku, sehingga aku bisa melihat betapa ia sering tertawa
sepanjang pertunjukan itu berlangsung. Terutama saat adegan
seorang perempuan yang menjadi pengamen bis kota memukuli
laki-laki b e s a r y a n g b e r p e r a n sebagai kondektur bis kota. Setelah

pertunjukan, aku mengajaknya mampir ke kontrakanku. Di
s a n a l a h , tiba-tiba kami menyepakati untuk s e g e r a melangsung­
kan pemikahan tanpa a n y a k pertimbangan. Kikan merasa tanpa
b
k
beban m e n i k a h d e n g a n k u , dan aku m e r a s a yakin a r e n a hidupku
akan penuh dengan ketakjuban atas caranya berpikir dan

bertindak.
Hanya selang beberapa rninggu dari peristiwa itu, karni
menikah. Aku senang, Kikan juga senang. Orangtua Kikan
s e n a n g , orangtuaku juga senang. Hanya ada beberapa hal kecil

yang tidak terlalu mengganggu, misalnya orang-orang di
kampungku menduga aku m e n i k a h k a r e n a istriku harnil duluan,
ha! itu disebabkan karena pernikahanku terasa mendadak, dan
juga karena begitulah pengalaman beberapa tahun belakangan
ini d i kampungku ketika ada pernikahan yang s e r b a mendadak.

Lalu ketika kami mengadakan semacam s y u k u r a n kecil-kecilan


71

-
d i kota ini , banyak teman t e m a n k u y a n g tidal< datang karena dulu
aku sering menipu mereka lewat pesan-pesan pendek agar

g
m e r e k a m e n g h a d i r i pernikku di suatu e d u n g , padahal yang
m e n i k a h bukan aku. Mereka m e n g i r a , kali ini, undangan yang
kusebar lewat pesan-pesan pendek juga hanya tipuan.


��r/:tk u d u g a , b e gi t u m e n i k a h dan tinggal bersama d e n g a n

Kikan, rangkaian ketakjubanku mulai menjadi kenyataan.
Peristiwa-peristiwa itu menyelinap dalam kehidupan rumah­
tangga k arni yang m e n c e n g a n g k a n sekaligus menggairahkan.
Pagi ketika ia akan berangkat bekerja adalah saat k e t i k a aku

akan m e m p e r s ia p k a n diri untuk tidur. Ia mempersiapkan s e n d i r i
sarapan paginya. Aku masih s e p e r ti d u l u , m u n g k i n k a r e n a t e r l a l u
l a m a menjadi mahasiswa, sarapan pagi adalah ancaman serius
bagi perutku, aku justru sakit perut kalau sarapan pagi. Siang
m e n j e l a n g sore, aku baru bangun dari tidur, yang sumpah mati,

aku sering sebal dengan cara tidur tidak sehat itu. Aku 'sarapan'
di warung sebelah rumah yang kami kontrak, bareng d e n g a n
mahasiswa-mahasiswa y a n g kelaparan selesai m e n u n t u t ilmu.
Menjelang malam, Kikan pulang bekerja, lalu kami menye­

lesaikan urusan domestik rumahtangga. Ia biasanya m e n y i r arni
bunga, aku kebagian mencuci barang pecah-belah dan m e m ­
bersihkan rumah. La l u karn biasanya mempersiapkan bersama­
sama makanan untuk makan malam. Hanya s e s e k a l i karn makan
di luar. Selesai makan malam, kami berbincang-bincang sambil

kadang kala m e n o n t o n televisi atau m e n o n t o n film. Ketika malam
mulai merangkak, lalu biasanya kami masuk k e 'ruang kerja'. Ia
menghadap komputernya, aku menghadap komputerku. Di
ruang itu, karn jarang bercakap, tidal< ada m u s i k yang t e r d e n g a r ,

seakan-akan karn berdua saling m e m a k l u m i u n t u k tidal< sating
mengganggu. Ketika m e n j e l a n g t e n g a h malam, biasanya Kikan
masuk ke kamar tidur untuk beristirahat. Sedangkan bagiku, saat
mulai tengah malam adalah saat-saat dimana seluruh
k e mampuanku m e n e m u k a n situasi t e r b a i k n y a sampai m e n je l a n g

pagi. P a g i h a r i , Kikan bangun d a n i a mempersiapkan sendiri


72

s a r a p a n paginya.
Di sela-sela semua itu, tentu kami b e r c i n t a . Kami melakukan­

nya dengan senang hati.
Kami tidak b e r l a n g g a n a n koran, tapi kami membaca koran.
Kikan membaca koran di saat-saat ia m e m p e r s ia p k a n sarapan
paginya, sementara aku membaca koran ketika aku usai
melakukan 'sarapan' di siang menjelang sore. Kikan keberatan

kami berlangganan koran, alasannya sederhana, menurut dia
kalau semua orang langganan koran siapa yang akan m e m b e l i
d i k i o s k o r a n y a n g terletak d i ujung gang dekat rumah kami?
S e h i n g g a tepat ketika Kikan b a n g u n tidur, aku bangkit dari kursi

kerjaku untuk 'jalan-jalan pagi' m e m b e l i koran.
Alasan yang serupa juga Kikan kenakan untuk belanjaan
keseharian kami. Mulai dari gula, kopi, g a r a m , sayur-mayur,
sampai peralatan mandi, semua kami beli dari toko kelontong
dekat rumah kontrakan kami.

K i k a n , di b a l i k s i f a tn y a yang tegas itu, sesungguhnya mem­
punyai p e r a s a a n yang sangat lembut. I a s e r i n g m e n a n g i s ketika
menonton peristiwa sedih di televisi atau membaca berita sedih
di koran. Suatu saat ia p e r n a h m e m b a w a l e m b a r a n koran yang

berisi laporan t e n t a n g busung lapar yang melanda penduduk
NTB. Koran itu ditempelnya pada dinding-dinding kamar tdur,
i
dan hampir setiap saat Kikan mencoret-coret k o r a n itu dengan
tulisan-tulisan yang berisi dampratan, lalu selebihnya ia
m e n a n gi s . Hal yang sama terjadi ketika koran-koran ramai me­

laporkan serangan virus polio. Aku kadang-kadang t e r b e n g o n g ­
bengong menyaksikan reaksi K i k a n atas berita-berita i t u .
Bahkan suatu saat, selesai kami makan malam, d i depan
t e l e v i s i , Kikan meradang. I a melayangkan pertanyaan sederhana

padaku. "Kamu memperhatikan soal uang di bank, n g g a k ? "
T e n t u s a j a a k u bingung dengan pertanyaan i t u , tidak p a h a m
a p a m a k s u d d a n t u j u a n n y a . Lalu p a n j a n g l e b a r ia m e n j e l a s k a n n y a
padaku. "Coba kamu perhatikan, A T M yang be r i s i pecahan uang
duapuluhan ribu, k in i semakin langka. Kalaupun ada, s e r i n g

ngadat. S e h i n g g a k i t a m a u tidak mau d i p a k s a untuk m e n g a m b i l


73

uang pecahan limapuluh r i b u atau bahkan seratus ribu. Kalau
m i s a l n y a k e b u t u h a n kita hanya limabelas r i b u , tetap s a j a y a n g

k i t a a m b i l limapuluh a t a u s e r a t u s ribu."
Aku masih diam, sekalipun belum begitu paham apa
m a k s u d n y a , aku mencoba menjadi p e n d e n g a r yang baik.
"Padahal k a m u tahu, k a n , kalau masih banyak orang d i s e k i t a r
k i t a mengoperasikan uang dengan pecahan kecil? Coba kamu

belanja gula di Toko Pak Abdul, pasti ia a k a n bilang supaya
u a n g n y a yang kecil saja. Sama k e t i k a kamu beli maka di w a r u n g
y
m a k a n M b a h Sarn o , sama k e t i k a kamu beli k o r a n . A p a l a g i k a l a u
k i t a beli gorengan d i pinggir jalan. Nyaris susah melakukan

transaksi dengan m e r e k a jika menggunakan uang lirnapuluhan
r i b u . Solusinya k e m u d ia n ada dua, uang itu kita bawa, a t a u k i t a
m enambah belanjaan yang tidak kita perlukan. Kalau kita bawa
lagi uang kita, rasanya tidak enak, apalagi kita tahu m e r e k a
m e m b u t u h k a n u a n g itu. Seringkali solusinya adalah m e n a m b a h

belanjaan. Awalnya ingin beli gula, lalu menjadi beli ini d a n be l i
i t u , a g a r t e r a s a pantas untuk mernbelanjakan u a n g limapuluhan
n "b "
.
u
A k u masih diam, mencoba m e n y i rn a k baik-baik.
"Dan s i a l n y a , sekarang i n i , pengambilan uang tunai di bank
juga dibatasi. Awalnya ada tulisan yang berlagak sopan: untuk
s
pengambilan uang di b a w a h dua e t e n g a h ju a , harap d i l a k u k a n lewat
t
ATM. Tapi kemudian kalimat itu berubah, kata harap diganti
m e n j a d i supaya. T a pi itu belum selesai. Lambat laun, bagi m e r e k a

y a n g m e l a k u k a n transaksi langsung dengan nominal d i bawah
dua setengah juta dikenai uang administrasi. O r a n g mau tidak
pada a k h i rn y a dipaksa untuk m e l a k u k a n transaksi k e s e h a r i a n
l e w a t ATM. Padahal s e p e r t i y a n g t e l a h kukatakan tadi, A T M

m e n j a l a n i logika pembodohannya sendiri!"
A k u rnulai rn e n a n g k a p apa yang ada di p i k i r a n dia.
"Kalau begitu itu d i t e r u s k a n , k a m u bisa bayangkan apa y a n g
b a k a l tetjadi, b u k a n ? D a n y a n g p a l i n g sial adalah, m e r e k a , b a n k ­
bank i t u , b e r p i k i r bahwa k i t a , para n a s a b a h n y a adalah orang­

orang bodoh! Kita dipaksa untuk m e n j a l a n k a n t r a n s a k s i e k o n o m i


7 4

skala kecil dengan uang pecahan besar. Ini pembodohan gila­
gilaan."

I a marah. Mulai membsarkan suara televisi, agar nada marah
yang ada di dadanya tidak terdengar.
Begitulah i k a n , istriku. Dan d ia m - d i a m , aku semaki merasa
K
b e r u n t u n g bisa menikah dengannya. Tapi ada satu hal yang tidak
pemah kami b i c a r a k a n dalam kehidupan rumat a n g g a kami, soal

anak.
Berkali-kali, orangtua Kikan mulai mencoba menanyakan
kapan kami berencana punya anak, apalagi orangtuaku, b e g i t u
selesai k a m i melakukan i j a b p e r n i k a h a n , p e s a n p e r t a m a ibuku

jelas sekali,"Segera punya anak, dan banyak-banyaklah p u n y a
anak."
Tapi sampai detik ini, kami sama-sama tidak pernah
m e n y i n g g u n g n y a , apalagi membicarakannya. Se p e r t i n y a , kami
sama-sama memaklumi, butuh keberanian tertentu untuk

membicarakan itu. Bukan a a - a p a , sebab kami t a h u , di dunia i n i
p
semakin banyak marabahaya. Kami berdua telah menyaksi­
kannya, kami berdua telah merasakannya. Dan kami sungguh
tidak bisa berbagi malapetaka kepada orang lain. D i saat seperti

ini, mempunyai anak seperti membagikan malapetaka.


M' 1t1& AYuncurhbdigedor keras-keras. Aku kaget sekali. Aku b a n g u n
dan dengan suara kesal d is e r t a i kaget, aku bilang "Ya!"
Dan, ya a m p u n ..... kok aku tidur di kamar ini? Aku masih

agak bingung. Lalu aku membuka pintu. Temanku yang sangat
kukenal sudah berdiri di p i n t u , dan berkata," Ayo!"
Aku masih bingung. Lalu be r t a n y a , "Ayo, apa?"
.
"Lho, kamu g i mana sih . . sekarang kan kamu g isi a c a r a Klub
n
Menonton di Rumah Sinema?"
Aku masih tetap bingung. Aku melihat sekeliling. Ya
ampun ..... ternyata aku hanya bermimpi! Menyadari itu semua,
aku lalu terduduk lemas.
"Kok malah duduk, sih! Acara akan dimulai! Ayo!"

Aku masih d e n g a n lemas, p e r g i ke kamar mandi. Dan terus


75

i
m e n gurn p a t dalam ha ti . M e n g u m p a tkenapa semua itu t e rj a d i
hanya dalam mimpi.











































































76

j
tu u h











@i!I a6 � u6t t 0, lenf f)'{ u4 w il t �



9rtlUb








._%" ,a, tJJ F lt di permukaan danau hening. Hei,

kamu . . sedang baik-baik saja, kan? Kadang kamu
.
akan bilang: betapa sempurnanya hidupku! Tapi
pada saat yang sama, kamu akan bilang: betapa
celakanya diriku!

Kamu dingin. T a pi pada saat yang sama, sejenis
onar yang liar bersemayam dalam dirimu. Tepat
pada t a h u n ketiga s e t e l a h keputusan penting kamu
ambil, kamu sudah dirayakan sebagai 'detektif

partikelir'. Sebuah julukan terhormat yang di­
dengungkan diam-diam oleh orang-orang di
sekitarmu. Mereka tidak paham akan langkah­
langkah yang kamu ambil, tapi mereka akan segera
mafhum, itulah langkah terbaikmu. Tepat pada

tahun kelima langkahmu, kamu sudah dinobatkan

sebagai 'pembunuh bayaran'. Mereka mencarimu, mereka
mendatangimu. Dan kamu hanya butuh bilang ke mereka,

"Biarkan aku yang m e n c a r i tim terbaikku, bayarlah aku s e ti m p a l
d e n g a n kemampuanku."
Lalu kamu seperti seorang pelatih sepakbola yang handal.
Memilih penyerang terbaik, memilih pemain tengah terbaik,
memilih pemain lini belakang terbaik, dan mernilih penjaga

gawang terbaik. Kamu m e n g h a r g a i para suportermu, lebih dari
pelatih manapun di dunia ini. K a m u tahu bagaiman harus
menyerang lawan-lawan kesebelasanmu dengan komentar­
k o m e n t a r c e r d a s di media ma s s a , dan membuat tim-tim l a w a n m u

g e m e t a r a n s e b e l u m p e r t a n d i n g a n di mulai. Hingga k e m u d ian
salah satu pemain profesional mengomentari satu per satu
p e m a i n m u dengan nada g e n t a r .
"Begitu si penyerang memasuki lapangan, rasanya kami
sudah kalah."

"Begitu pemain tengah m e m b a w a bola, kami sudah putus
asa."
b
"Menghadapi pemain e l a k a n g m e r e k a , kami butuh tiga kali
lipat p e n y e r a n g terbaik."

"Gawang m e r e k a seperti dijaga oleh lima penjaga gawang."
T a p i kamu t e t a p dingin di pinggir l a p a n g a n . Kamu tahu p e r s i s
bagaimana harus berbicara kepada pemain-pemainmu.
Menaikkan semangat bertanding mereka, dan sialnya, kamu
seperti pemain keduabelas sekali pun hanya duduk di pingir

lapangan.
Dan ketika pertandingan usai, k e m e n a n g a n itu teraih, kamu
justru sibuk memuji kehebatan pemain lawan. Menyalam.i
dengan hormat pelatihnya, dan m e m b e r i t e p u k tangan ke arah

suporter lawan yang lesu. Ketika berpuluh-puluh wartawan
m e n d a t a n g i m u , k a m u m e n g h i n d a r dan h a n y a b il a n g , "Aku tidak
suka kompetisi. Tapi jika itu m e m a n g h a r u s terjadi, aku akan
jadi bagian dari s e b u a h t yang a k a n m e m e n a n g k a n kompetisi
im
itu."

K a m u t a h u cara t e r b a i k untuk m e r a y a k a n k e m e n a n g a n . Kamu


78

sangat tahu. Kamu dianugerahi oleh kepemimpinan klasik.
Pertama y a n g akan menghadapi segala kegagalan, dan terakhir

kali yang akan m e n i k m a t i kegembiraan.
Lalu akan semakin banyak orang yang mendatangimu. Dan
kemudian ka.m lagi-lai akan berkata dengan sorot mata y a n g
d i n g i n . "Aku tidak suka kompetisi. J w a b a n k u t e n t a n g k o m p e t i s i
a
b e l u m fina, m u n g k i n k o m p e ti s i a d a g u n a n y a , tapi m u n g k i n j u g a

tidak. T a p i a k u p u n y a j a w a b a n l a i n yang telah final: kerjasama.
Peradaban ini adalah saksi nyata, tanpa kerjasama, spesies
b e mama manusia sudah punah dari dulu."
Kamu tidak sembarangan menjagal. Kamu berani meng­

gelengkan kepala untuk proyek-proyek p e m b u n u h a n yang tidak
jelas. Kamu d ia k u i dan disegani keluarga-keluarga m a f i a , dan
kamu tidak p e r n a h mau m e n j a d i bagian dari ketja mereka. "Aku
tidak benar-benar membunuh, d a n tidak p e r n a h membunuh."
Kamu mengambil hak kerjamu dengan penuh. Tapi kamu

selalu tahu, b a h w a kamu tidak perlu m e m b u t u h k a n banyak uang
dalam h i d u p ini. K a m u m e m b a gikany a kepada a n g g o t a tim lain
yang lebih m e m b u t u h kan. Mereka yang b e r k e l u a r g a , yang harus
m e n g h idupi anak mereka. Kamu sungguh tahu persis bahwa

uang dan k e t en a r a n adalah p e r a n g k a p jitu untuk m en g h a n c u r k a n
hidupmu. Kamu sadar sesadar-sadarnya. Lalu kamu akan
mengemasi tas, pergi berlibur, menyembuhkan kenangan­
k e n a n g a n burukmu.
Kamu menghabiskan sebagian waktumu di panti-panti

jompo, bercengkerama dengan anak-anak yatim piatu. Sambil
membagikan r e j e k i m u , membuat mereka semua tenang. Hei,
selalu masih ada nasib baik di hidup ini. Hei, jangan p e r n a h
menghancurkan h a r a pan seseorang, sebab jangan-jangan h a n y a

itu s a t u - s a t u n y a hal p e n t i n g yang m e r e k a rniliki.
K a . m u menghindari forum-forum besar, sebab kamu tahu
persis: di sana banyak orang menepuk dada, d a n banyak orang
terlalu banyak bicara. Kamu menghindari orang-orang yang
gampang m a r a h , c e r e w e t , dan orang-orang oportunis.

K a m u bukan p a h l a w a n , t a p i k a m u orang yang m a n d i r i . Ka.m


79

bukan o r a n g hebat, ta pi kamu tahu persis bagaimana agar selalu
bisa belajar dari kesalahan di masa lampau. Kamu tahu bahwa

dunia ini kacau dan sakit. Tapi kamu tidak b o l e h tidak punya
harapan. Kamu tahu harus bertaggungjawab pada peradaban
dan hidupmu. Karnu tidak pernah mengerjakan hal-hal besar,
ta pi karn u yakin s e l a l u ada h u b u n g a n yang erat antara kerja-kerja
kecil dengan perubahan-perubahan besar. Kamu peduli. Kamu

peduli. K a m u peduli.
Karn u menghormati orang yang e b i h tua, menyayangi anak­
l
anak k e c il , dan senantiasa melemparkan senyum, mengulurkan
tangan pada teman-teman sebaya. Kamu mendatangi o r a n g - o r ­

a n g yang sibuk mencari ranting d a n umbi-umbian. Menun­
dukkan kepala pada dewa-dewa yang mereka hormati, ikut
memuja nama-nama leluhur mereka, menghargai kearifan
m e r e k a.
Karn u memang b e l u m memiliki jawaban f i n a l tentang T u h a n

dan agama. Tapi kamu sungguh mengerti bahwa pada tubuh
agama-agama itu, ada banyak nilai bijak yang dikandung,
sekaligus tahu ada sejarah buruk m e n y a n g k u t dosa-dosa be r b a g a i
agama. Tapi kamu butuh nila u t u h k e y akin , dan e n g a n g k a t
b
m
t i n g gi - t i n g gi kemanusiaan sebagai agamamu. Kamu m e n g h a r g a i
orang yang tidak punya agama d a n tidak punya T u h a n . T a p i
karn menjadi bagian dari orang-orang yang m e n e n t a n g m u s u h ­
m u s u h kemanusiaan.
Karnu sesekali m e r a c u n i tubuhmu dengan alkohol, sekadar

m e n g u s i r kenyataan-kenyataan buruk bahwa m e m a n g dunia ini
tidak baik-baik saja. Tapi kamu membenci setengah mati para
pengedar obat. Kamu merokok dengan baik dan fasih, ta pi tidak
suka pada orang-orang yang sembarangan m e r o k o k , dan tidak

o
suka pada r a n g - o r a n g yang tidak m e n g h a r g a i o r a n g - o r a n g yang
tidak merokok.
Kamu tahu kapan saat yang tepat untuk mengeluarkan racun­
racun dari dalam tubuhrnu. Karn tahu kapan saat-saat untuk
m e n u m p u k racun di tubuhrnu.

Kamu b e n c i setengah mati pada orang-orang yang berteriak


80

a n t i pembajakan. S e b a b m e r e k a yang b e r t e r i a k itu, tidak tahu
bahwa diri mereka telah dijadikan agen bagi agenda-agenda

ekonomi para pencuri kelas wahid. M e r e k a berpikir lebih k e r a s
lagi dan l e b i h hati-hati.
Kamu sadar n e n e k moyangmu o r a n g laut, k a m u tahu bahwa
nenek lainnya lagi seorang petani. lbumu mengajarimu
m e n g h a r g a i makanan di meja saji dan b e r k a t a tulus padamu,

"Ingat, bulir-bulir itu dihasilkan dari k e r in g a t berbulan-bulan.
Ingat, banyak orang yang masih belum cukup makan hari ini.
Ambillah secukupnya."
K a m u memeluk tubuh sahabatmu yang b e r k a t a , "Kalau ada

standar untuk orang hidup di tingkat minimal, harusnya ada
p em b a t a s a n k e k a y a a n orang. K e mampuan dunia ini terbatas, dan
seharusnya ada p e n g e t a t a n atas distribusi kekayaan."
Kamu bukannya antikemapanan, kamu hanya ingin agar
semua orang hidup mapan.

Kamu s e d a r i k ecil diajari untuk tidak hidup be r l e b i han. K a m u
sedari k e c i l diajari ketika k a m u mulai b e r l e b i h a n , b e r a r t i ada hak
o r a n g lain yang kamu ambil.
Pada titik tertentu, k e ti k a m e m a n g jalan damai tidak b i s a

d i t e m p u h , k e t i k a k o n t r a d i k s i memag i d a k b isa d i d a m a i k a n l a gi ,
t
k a m u m e n y e p a k a t i p e r a m p o k a n b a n k , p e m b a j a k a n k a p a l pesiar,
perampokan e l u a r g a kaya, dan a s i l n y a d i s e b a r k a n bagi b a n y a k
h
k
orang. K a m u menatap kagum 'bayang t a k berwajah', langkah­
langkah kuda yang memasuki kota ketika dingin masih

m e m b a l u t e r a t , k o k a n g a n s e n j a t a , dan t e r i a k a n yang pecah di
pagi buta, "Apa k a b a r , revolusi?!"
T a pi k a m u m e m a n g cukup be r a n i untuk berkata pada orang­
orang di s e b e r a n g meja, "Mengapa kamu beri aku imbalan yang

sangat b e s a r untuk kerjaku yang sangat sederhana ini? S e m e n t a r a
aku tahu orang-orang d i sekitarmu k a m u p e r a s keringat dan
p i k ir a n n y a , kamu lucuti mental hidupnya. Ambillah kembali
uang sialmu itu!"
Dan k a m u melenggang p e r gi meningalkan m e j a p e r j a n j i a n

p e n u h k o m p r o m i itu. M e n o l a k seluruh tawaran. M e n o l a k t a n p a


81

syarat dan tanpa penyesalan.
Tentu saja kamu bukan orang yang b e n a r - b e n a r baik. tidak

dan tidak akan pemah. Tapi setidaknya kamu bukan penjahat
kemanusiaan. Dan kamu tetap bergulingan membayar harga
k e r e s ahanmu.
Tidak bisa bangkit dari tempat tidur selama berhari-hari
ketika ada b e r i t a - b er i t a sedih yang be r g e l i m p a n g a n di s u r a t k a b a r

d a n d i televisi. M e n a n g i s keras. M e n a n g i s k e j a n g . Tidak tahu
hams berbuat apa-apa lagi. Kamu marah. Kamu marah sekali.
Kamu tahu bahaya media massa, tapi kamu sangat tahu
keampuhan mereka untuk mernbantu perubahan. K a m u selalu

m e n g e r a n g kepada rekan-rekanmu yang b e k e r j a di sana, "Ayo,
ayo kabarkan keburukan yang terjadi agar banyak mata semakin
.
terbuka . . . . . "
S e t i a p h a r i ada banyak o r a n g yang dibunuh dengan pelan.
Setiap hari ada saja orang yang rnati karena tidak bisa makan,

setiap saat senantiasa ada orang yang ditikam ketidakadilan.
K a m u terdiam. Luka pada kenanganmu mernbengkak. Kamu
terjatuh.
Kamu terbangun dengan sisa airmata. Diam. Dan lagi-lagi

sayang sekali, kamu hanya orang kecil, hanya o r a n g biasa. K a m u
m e rn b u k a jendela kamarmu, s e r o rn b o n g a n bocah berseragam
sekolah m e l i n t a s , rne n y a n y i - n y a n y i ramai sekali. Duh, rne r e k a .....
bagaimana kamu hams mempertanggungjawabkan umurmu
yang lebih dulu dikokang dan dilesatkan?

u
Kamu din g i n . Kam o nar. Kamudingin. Kam o nar. Kamu
u
dingin. Kamu onar. K a m u dingin. Kamu onar. K a m u dingin.
Kamu onar. K a m u pergi. Kamu senantiasa pergi. K a m u butuh
waktu. Kamu butuh istirahat. K a m u butuh m e n y embu Iuka.

Kamu butuh sedikit bahagia.
H e i , kamu baik-baik saja. Kamu hams terus punya harapan.
Harus.
Kamu jangan merasa sebagai satu-satunya orang yang
menderita. Jangan berlebihan. Juga dalam menyikapi pen­

deritaan. Selalu ada usaha-usaha d a n kerja-kerja kecil yang b is a


82

dilakukan. Kamu hanya butuh sedikit membuka telinga dan
.
mata. Lihat, lihatlah . . . . masih banyak orang yang e k e tj a dengan
b
tulus. Masih banyak orang yang saling b e r b a gi k e b a h a g ia a n dan
harapan. Ikut, yuk .....
Cuci dulu mukamu, b iar l e b i h segar. Cuci dulu lukamu, b ia r
tak ada kuman. C u c i dulu harapanmu, b ia r tidak hanya onar.
Kini buatlah daftar orang-orang yang kamu kagumi. O r a n g ­

orang yang s e d e r h a n a d a n b e r s e t i a pada cita-cita mereka. J a n g a n
l u p a , m e r e k a adalah orang-orang yang rendah ha t. Kamu t e n t u
i
masih i n g a t pepatah bijak yang t e r t u l i s di tembok k a m a r m u , di
samping monitor komputer. Kalimat dengan huruf yang sangat

k e c i l , tapi kamu bisa memandangnya dan membacanya setiap
saat. Sebuah kalimat yang berbunyi: Di atas seluruh kesem­
pumaan hanya ada sikap sederhana dan rendah hati.
Lalu segera buat daftar nama orang yang harus kamu hindari
jauh-jauh. Nama-nama kaum pecundang! Kamu tahu ciri utama

m er e k a , buka? Ya, yang seperti s e l a l u d i k a t a k a n oleh saha tm u .
Ciri utama seorang pecundang adalah, m e r e k a senantiasa p u n y a
jawaban negatif dan n y i n y i r u n t u k segala hal!
Lihatlah lagi wajah di permukaan danau h e n i n g itu. Aku

m e n y e n t u h k a n jemariku pelan. Pelan sekali ..... Melihat wajah
yang bergelombang dan mungkin memudar itu. Hidupmu
hampir sempuma. Hampir! Karena m e m a n g tidak pernah ada
hid p yang s e m p uma, atau mari bermain kata-kata, justru k a r e n a
u
tidak sempurna itulah, k a m u sempuma sebagai m a n u s ia .

Kamu masih a k a n tetap resah, m a s i h tetap ada onar. Dan
kamu juga punya masalah besar dalam hidupmu: mencari
pasangan hid up! Di sanalah, kamu sangat bermasalah. Tidak ada
seseorang yang kamu bangunkan di pagi hari ....

Aku memperhatikan b a i k - b a i k wajah yang m u l a i t e r b e n t u k
d i p e r m u k a a n danau h e n i n g itu, k e ti k a gelombang y a n g tirnbul
akibat jemari sudah mulai tenang kembali. A k u melihat jemariku
yang masih basah.







83

d e fa p a n



























t
Xt: c " alft bangun tidur, langsung kunyalakan
telpon genggamku. Beberapa pesan pendek masuk.
Malas membuka pesan itu. Entah mengapa ....
Aku malah segera menyalakan komputer,
menekuni lagi sebuah proyek penelitian yang

sedang kukerjakan. Jam di pojok kanan bawah
monitor menunjukkan pukul sebelas siang lebih
sedikit.
Setelah beberapa saat di depan komputer, aku

beranjak ke dapur, menjerang air, mencuci gelas dan
piring, ke karnar mandi, buang hajat, cuci muka dan
sikat gigi. Seperti b iasa, begitu keluar dari kamar
mandi, air sudah mendidih, mengambil cangkir
ukuran kecil, mengambil kopi dua sendok,

menuangkan air panas di dalamnya, mengaduk

dengan khusuk, menambah sesendok kecil gula, kembali
m e n g a d u k d e n g a n k h u s u k , lalu m e m b a w a cangkir i t u di s a m p i n g

k o m p u t e r y a n g masih menyala.
Sambil m e n u n g g u kopi itu m e n g h a n g a t , aku memilih-milih
lagu, lagu menyala pelan, membaca ulang kalimat-kalimat yang
belum s e m p urna d i layar k o m p u t e r , m e n y e r u p u t kopi, m e m b a k a r
rokok . . . . . woi ..... selamat s i a n g , Indonesia!
.
Hampir jam dua siang, perutku mulai terasa lapar. Aku
berpikir s e j e n a k , apakah a k u akan m e m a s a k makanan h a r i ini
atau makan di luar? Aku mau makan di luar saja sekaligus k e
warnet. Aku berpikir s e j e n a k lagi, mau makan apa siang ini?
Mmm . . . ya, aku tahu. S e g e r a aku memasukkan b e b e r a p a barang

ke dalam t a s kecil, mengunci r u m a h k o n t r a k a n , keluar. S e p e r t i
biasa, telpon g e n g g arnk u kutinggal d i kamar, dan belum juga
membuka p e s a n - p e s a n pendek y a n g masuk.
Hampir dua jam e b i h aku berada di dalam w a r n e t , m e m b a l a s
l
s u r a t - s u r a t y a n g m a s u k . S o r e sudah c u k u p t u a k e t i k a a k u keluar
dari w a rn e t , s e g e r a m e l u n c u r ke t o k o buku. S e l e s a i m emil - m i l i h
buku d a n membeli k o r a n pagi (aku membaca k o r a n pagi d i saat

malam hari), di luar t e r d e n g a r adzan Maghrib. Setelah itu aku
m a m p i r ke toko V C D dan DVD untuk membeli b e b e r a p a film.
Aku memutuskan untuk pulang ke kontrakanku, setelah
s e b e l u m n y a mampir ke sebuah toko kelontong untuk belanja

beberapa keperluan untuk malam ini seperti sebotol besar air
mineral, sebungkus rokok, dan beberapa makanan ringan.

Sampai di kontrakan jam m e n u n j u k k a n pukul delapan l e b ih .
T e m a n - t e m a n k u sudah ada d i r u m a h semua. Aku lalu m a n d i
sambil n y a n y i - n y a n y i .
Selesai mandi, d i ruang t a m u , ketiga t e m a n kontrakanku

sudah b er c en g k e r a m a sambil menunggu pes anan sate a y a m y a n g
menjadi langganan kami. Aku ikut p e s a n satu porsi. Sambil
m e n u n g g u p e s a n a n dan be r c e n g k e r a m a dengan t e m a n - t e m a n k u ,
a k u m e m e r i k s a telpon genggarnku. Ada e m p a t panggilan tak
terjawab, dua n o m o r tidak kukenal dari Jakarta, ada satu dari

salah satu t e m a n k u d i S o l o , d a n satu n o m o r lokal yang tidak


85

kukenal. Lalu a k u m e m b u k a p e s a n - p e s a n yang ada. Ada delapan
p e s a n masuk. D ua p e s a n dari temanku Solo, ia mernberi i n f o r m a s i

sudah mendapatkan buku-buku y a n g kupesan, lalu a d a satu
pesan dari ibuku, i a meminta d i k i r i m i buku t e n t a n g tanam
o b a t , empat pesan lagi adalah pesan-pesan yang buang-buang
waktu, dan ada satu pesan yang cukup mengejutkan: dari
perempuan yang sudah tidak pemah lagi kubanjiri pesan-pesan

pendek. lsinya: menanyakan kabarku. Aku m e r a s a aneh, tapi
tidak kubalas.
Selasai bersantap bersama di ruang tamu, dua teman
kontrakanku menonton t e l e v i s i , sedangkan a k u meladeni salah

satu temanku untuk bermain catur. Partai pertama, ia menyerah
di langkah ke tujuhbelas. Partai kedua, d ia menyerah di langkah
ke duapuluh s e m b i l a n . Di partai kedua i t u , ia s e h a r u s n y a menang
karena berhasil m e n g a b i s i gajahku. Tapi ia lupa p r i n s i p u t a m a
dalam bermain catur: J i k a k a m u menyerang, jangan lupakan

daerah pertahananmu. Tapi jika kamu d is e r a n g , konsentrasilah
pada w i l a y a h p e r t a h a n a n m u , jangan dulu b e r p i k i r menyerang
sebelum daerah pertahananmu aman. Kesalahan pemain catur
pemula adalah, tetap berpikir menyerang padahal wilayah

pertahanannya sedang digempur keras.
Jam sepuluh t e p a t , aku masuk kamar, menyalakan komputer,
mengerjakan tugasku mengedit sebuah buku pesanan salah satu
penerbit dari Jakarta. Sebuah pesan pendek masuk lagi dari
perempuan yang tidak lagi kukirimi pesan-pesan pendek. l s i n y a

menanyakan a p a k a h a k u m a r a h padanya? Pesan pendek i t u , lagi­
lagi tidak kubalas. Jam duabelas malam lebih, aku ke dapur,
membuat teh herbal hijau dengan sedikit gula. Membawa
cangkirnya ke dalam kama, menyalakan televisi pada program

acara lagu-lagu, memelankan suaranya, lalu membaca koran.
b
Malam itu, aku menemukan tulisan he a t dari dua orang p i n t a r ,
H e r y B P r i y o n o d a n Budiarto S h a m b a z y . Se l e s a i m e m b a c a k o r a n ,
a k u mematikan t e l e v i s i dan m e m a t i k a n t e l p o n genggam. Lalu
aku menyalakan kembali komputerku, meneruskan p e k e r j a a n k u

m e n y u s u n l a p o r a n s e b u a h penelitian.


86

Pukul empat pagi, pekerjaanku selesai. Aku mematikan
k o m p u t e r , mematikan lampu r u a n g , menyalakan lampu baca di

dekat tempat tidur, meraih sebuah buku tentang sejarah,
membacanya. Aku tertidur.
Bangun dari tidur, seperti biasanya, aku minum air putih
banyak-banyak, m e n y a lakan telpon genggamku, b e b e r a p a pesan
pendek masuk. Aku belum membukanya, tapi kembali

menyalakan komputerku, meneruskan pekerjaanku mengedit
buku. Jam di pojok kanan bawah, menunjuk pukul sepuluh l e b i h
sedikit. Kira-kira setengah jam berada d i d e p a n komputer, aku
ke dapur, m e n j e r a n g air. T a p i kali itu, tidak ada gelas dan piring

yang kotor. Teman-temanku telah membereskannya. Aku
langsung k e kama m a n d i , keluar dari kamar mandi membuat
s e c a n g k i r kopi. Setelah m e l e t a k k a n cangkir minurn itu di samping
m o n i t o r , aku membuka p e s a n - p e s a n pendek yang masuk. Ada
e m p a t pesan. Dua pesan dari t e m a n k u yang m e m b e r i tahu b a h w a

m e r e k a t e l a h m e n g i r i m h o n o r a r i u m a t a s kerja-kerja yang telah
kulakukan. Aku m e n c o b a m e n g i n g a t kerja-kerjaku. Tapi t e t a p
tidak ingat. K e r j a a p a , y a ? T a p i kuputuskan untuk membalas
dengan ucapan terimakasih. Sering memang, ada kiriman uang

dari hasil k e r j a yang kuanggap tidak perlu d i b e r i imbalan uang.
Satu pesan lagi undangan untuk datang di sebuah pameran
instalasi, dan satu lagi dari p e r e m p u an yang tidak lagi kukirimi
pesan-pesan pendek karena aku menduga ia merasa dirinya
cantik. Kembali aku tidak membalas pesan pendek itu. Dan

kembali aku menyuntuki pekerjaanku.


Seorang tukang pos mengetuk pin tu. I a m e m b a w a satu surat,
satu kartu pos, dan satu bungkusan kiriman dari luar kota. Kartu

pos dan bungkusan itu untukku. K a r t u pos dikirirn dari Italia
oleh seorang temanku yang sedang berlibur di sana. Di kartu
pos itu tertulis: Aku beruntung sekali b is a melihat pertandingan
antara AS Roma malwan Juventus. Dan aku menjadi saksi hid up,
bagairna serigala-serigala kota Roma yang kamu kagumi itu

dihajar Si Nyonya Besar.


87

Aku hanya tersenyum kecut, d a n berkata, "Malas ..... "
"Kalau malas seperti itu, kapan kamu dapat jodoh?!"

Wow! Kok jadi ke sana lagi? Tapi aku mendiamkan kalimat­
kalimat ibuku yang mulai tendensius. Untuk mendinginkan
suasana, aku mengabarkan bahwa buku pesanannya sudah
kubeli dan be be r a p a novel. Besok p a g i kukirim. lbuku m a s i h tetap
dongkol, tapi sudah mulai cair. Percakapan selesai.

Lalu aku m e m e r ik s a pesan-pesan pendek yang masuk. Ada
sebelas pesan pendek. Hanya dua yang penting. Seorang t e m a n
mengabari kalau akan l i b u r a n d i kota ini m i n g g u depan, dan satu
lagi pesan pendek dari teman la.maku yang mengabari kalau

a
sebentar lagi i akan menikah. Aku kembali digulung oleh alur
cerita film yang kutonton.
Selesai menonton f i l m , kembali aku mengerjakan mengedit
buku. Aku meraih telpon genggam untuk kumatikan, tapi tiba­
tiba telpon itu berdering. Nomor asing dari Jakarta. Aku berpikir

sejenak, apakah akan kuterima atau tidak. Mengingat h a r i s u d a h
larut, dan nomor itu berkali-kali mengetuk pintu telpon
genggamku, aku mengangkatnya. Begitu suara dari seberang
.
a
kudengar, aku terkesi p . . . . . . .
,,&/J1 "
.::7.tllJ· •••
Aku diam. Aku tahu persis suara di seberang. Dadaku
berdesir kuat
.
"Halo . . . "
"Halo . . " Aku membalas dengan perasaan tidak menentu.
.
"Hei, apakabar?"
Aku kembali terdiam. Ada perasaan kosong dan sakit di
dadaku.

"Hei .... "
Lalu kuputuskan untuk m e n j a w a b , "Maaf, ini siapa ya?"
S u a r a di seberang diam. Tapi kemudian kembali ia berkata,
"Hei, apa kabar?"
"Anda, siapa?" Aku tetap melakukan strategi tolol, h a n y a

sekadar menata d a n mendamaikan p e r a s a a n yang tidak karuan.


89

"Teman lama."
"Iya, siapa?"

Kembali hening d i seberang.
D a n aku kembali melakukan hal tolol. Aku mematikan telpon
genggamku. Aku menghela napas panjang, menyalakan rokok.
M e n u nggu . . .
.
Se p e r t i yang kuduga, telpon genggamku kembali berdering.

Aku mengangkatnya lagi. Masih dengan perasaan yang tidak
menentu. D a n belum sempat aku berbicara, dari seberang sudah
terdengar sebuah kalimat m e l u n c u r tegas, "Kamu tahu siapa
aku."

"Nggak, aku nggak tahu." Aku tetap tolol, jelas-jelas aku tahu
suara siapa d i seberang.
"Kamu bohong dan kekanak-kanakan!"
Aku mulai naik pitam. Bayangan-bayangan buruk di masa
lampau berkelebat cepat. Lalu aku berkata, "Kamu yang

kekanak-kanakan. Sebut namamu!"
Dari s e b e r a n g hanya ada senyap. Aku hamir saja menekan
tombol 'No' dengan tanda telpon berwama merah. Tapi dari
.
s e b e r a n g buru-buru terdengar, "Kamu kasar sekali . . "
Dadaku berdesir. Aku terdiam. Agak lama.
"Hei .... " Masih dari s u a r a d i sebarang.
.
"Hei . . " Aku membalas dengan lemas.
"Apa kabar?"
"Cukup baik. Kamu?"

"Aku juga baik."
"Pasti."
"Maksudmu?"
"Ya pasti kabarmu baik."

.
"Please ..... kamu jangan mulai begitu, dong . . . "
A k u diam. K e m b a l i aku dipenuhi oleh k e n a n g a n - k e n a n g a n
buruk. Lalu a k u buru-buru berkata, "Ada apa?"
.
" N g g a k ada apa-apa . . "
"Kalau n g g a k ada apa-apa, kenapa nelpon aku?"

"Hanya i n g i n tahu kabarmu."


90

"Kamu sudah tahu kabarku."
"Aku mengganggumu?"

"Ya." Saat aku menjawab, dengan segera aku menyadari
bahwa aku telah melukai perasannya. Tapi, bukankah dia
melukaiku dengan cara yang jauh lebih kejam? Ah, peduli amat!
Suasana diam. Lalu suara dari seberang terdengar lagi,
dengan nada sedih. "Maafkan aku, ya .... ya sudah kalau begitu.

Selamat malam ... "
Telpon di seberang ditutup.
A k u tertegun. Sebentar kemudian, badai kekacauan
menerpaku. Begitu keras dan deras. Aku limbung. Aku kacau

sekali.
Aku ke dapur, menyeduh teh herbal h i j a u kesukaanku. Tapi
urung. Aku keluar. Menuju jalan raya, menuju toko 2 4 jam,
mengambil beberapa botol bir dingin, lalu pulang lagi. Aku
menyetel lagu-lagu sendu. Bir kutuang di dalam gelas, kuminum.

Aku merokok. Aku dikepung bayang-bayang masa lampau yang
sialan. Aku marah sekali, bir kutuang lagi. Aku rneminurn
langsung tandas. Merokok lagi. Aku benar-benar kacau!
Di luar, pagi rnulai rontok k e tanah. Suara anak-anak kecil

yang berangkat sekolah rnulai terdengar. Di hadapanku, masih
tersisa sebotol bir. Aku mernbukanya lagi, rnenuang ke gelas,
menandaskan. Dan bahkan alkohol pun tidak lagi sanggup
mengusir bayangan-bayangan kelam ini.
Aku tiduran di kasur. Mataku tetap melek. Pikiranku me­

layang. Telpon genggarnku berdering. Sebuah nomor lokal. Aku
meraih telpon, tidak menerirna malah mematikan. Kernbali aku
tergolek di tempat tidur. Hingga beberapa saat, berharap b isa
tidur sehingga ada yang bisa menyelematkan aku sejenak saja

dari pikiran yang kalut.
Seseorang mengetuk pintu rumah. Aku diam. Berharap
teman-temanku yang lain membukanya. Tapi sampai beberapa
saat tetap tidak ada yang mernbuka pintu. Akhimya aku keluar.
Temyata tukang pos. Ia membawa empat bungkusan. Semua

untukku. Satu bungkusan yang beralamat pengirirn dari Solo


91

kuletakkan d i lantai kamar karena a k u sudah tahu isinya. S a t u
bungkusan dari Bandung kubuka, isinya kirima kopi A r o m a

kegemaranku. S a t u lagi yang berasal d a r i Jakarta kubuka, isinya
sebuah boneka anjing dan sebuah VCD yang lama k u c a r i - c ari:
Nagabonar. S a t u bungkusan t e r a k h i r juga dari Jakarta kubuka,
isinya jam tangan lucu dan sebuah buku puisinya Walt Wiltman.
Aku m e n g a m b i l telpon genggarnku, menyalakan benda i t u ,

dan lalu mengirim pesan-pesan pendek k e orang-orang yang
mengirimiku bungkusan hari itu, ucapan terimakasih. Aku
hampir mematikan telponku lagi, ketika telpon itu berdering.
Kulihat n o m o r si perempuan yang pesan-pesannya tidak pernah

kubalas karena aku agak kesal, sebab aku mengira ia merasa
i
dirinya can tk. Entah mengapa, aku menerima telpon itu.

"Hei .... " Suara dari seberang, renyah.
"Hei. .. " Jawabku pendek.

"Tumben telponmu menyala . . "
.
"Maksudmu?"
"Lho, kan kamu biasanya menyalakan T e l p o n m u di saat h a r i
sudah sangat siang."

"Aku belum tidur."
"Maksudmu?"
"Ya, aku belum tidur . . "
.
"Ak u mengganggu, ya . . . "

"0, n g g a k , aku memang sedang tidak bisa tidur."

"Terus, ngapain saja kalau nggak bisa tidur seperti itu?"
Aku bingung h a r u s m e n j a w a b apa. Tapi kemudian kujawab
sekenanya. "Nonton tivi."
D ia tertawa. Aku tertawa.

"Mau ketemu?"


Aku kaget dengan pertanyaan dari perempuan itu. Dia m a u
k e t e m u sama aku? A n e h sekali! "Nggak s a l a h , nih?"
"Salah bagaimana?"

" K a m u ngajak ketemu aku?"


92

"lya. Apanya yang salah?"
.
"Nggak ada, sih . . . a n e h s a j a . . . "
.
" N g g a k ada yang aneh. Mau, n g g a k ?"
"Boleh. Di mana dan jam berapa?"
"Kamu kan belum tidur, bagaiman kalau sore nanti?"
"Aku tidak bisa menjamin kalau aku bisa tertidur hari ini."
"Hah?!"

"Ya. Bagiamana kalau s e k a r a n g saja?"
"Boleh. Di mana?"
"Terserah kamu."
"Di tempat duJu saja, ya?"

"Boleh."
"Mmrnm . . "
.
"Kenapa?"
"Boleh n g g a k , aku m e n a w a r k a n sesuatu?"
Aku terdiam. Semakin heran. "Apakah gerangan itu?"

P e r e m p u a n itu t e r t a w a m e n d e n g a r aku m e n g u c a p k a n kalit
barusan.
"Boleh n g g a k , aku m e n j e m p u t m u , dan kita be r a n g k a t b a r e n g ?"
Aku terdiam lagi, semakin heran. "Kenapa begitu?"

" N g g a k ... . soalnya kan kamu belum tidur."
"Boleh. Tapi nanti aku d ia n t a r duJu ke kantor pos ya . . "
.
"Sip! Alamatmu?"
Aku menyebut alamatku.
"Aku akan datang dalam s e t e n g a h jam."



Percakapan selesai. Aku m e m b u n g k u s buku-buku yang akan
kukirim untuk ibuku, lalu k e kamar mandi, g o s o k gigi dan c u c i
muka. Aku tidak b e r a n i mandi. A k u belum tidur.

Ketika dari jendela kamarku yang menghadap jalan kulihat
sebuah mobil b e r h e n ti , aku s e g e r a k e l u a r , setelah sebelumnya
mematikan telpon genggamku.
"Mau mampir dulu?" Aku berbasa-basi.
"Langsung saja."

A k u masuk mobil. Sebuah lagu r i n g a n mengalun. I a t e r t a w a


93

renyah. Dan w a j a h n y a terlihat s e rn a k i n cantik.



�n t OeJ!e-di sebuah pojok ruangan yang n y arna di atas s o f a
empuk. Lagu lembut terdengar. Ia mernandangku, aku
mernandangnya. Kami sama-sarna tersenyurn.
"Tadi p a k e t untuk s ia p a ?" I a b e r t a n y a sarnbil m e n g a d u k g e l a s
m i n u m n y a .

"Ibuku. I s i n y a buku-buku."
Ia m e n a i k k a n jidatnya, pertanda rn e n g e r t i .
"Sering ke sini?" A k u g a n t i bertanya.
I a mengangguk. Menyeruput gelas minurnannya. Lalu ia

b e r t a n y a , "Kamu kenapa nggak bisa tidur? Banyak p i k i r a n , ya?"
Aku rnengangguk lernah. "Penyakit lama."
Ia mengemyit.
Aku buru-buru m e m b e r i penjelasan. "Aku s e r i n g kedatangan
penyakit tidak bisa tidur. C u k u p mengganggu."

"O , ya .... "
A k u lagi-lagi rnengangguk. "Sudah lama n g g a k kambuh, sih.
Ta pi n g g a k tahu, kok tiba-tiba s e mala d a t a n g lagi p en y a k i t s i a l a n
• • I I
llli.
Ia tersenyurn. "Jelas ada penyebabnya, dong .. . . " Sambil
berkata seperti itu, ia melirikku dan t e r s e n y u m jail.
Aku tersenyum.
"Teringat hal-hal yang sulit dilupakan, kali . . . " K e m b a l i ia
.
m e n g e r l i n g jail.

Aku tersenyum lagi. Kecut. Tapi m e n g a n g g u k , dan berkata,
"T e n n . g a t k amu ..... "
Cepat ia menyahut, "Pembohong d a n perayu!"
"Siapa?" Aku bertanya pura-pura t idak tahu maksudnya.

I a membalas berkelit, "Itu, mas yang di m e j a kasir."
"O, karnu p e m a h dirayunya? P e r n a h dibohonginya? H e b a t
juga, kamu." A k u pikir aku le b ih jago dalarn hal berkelit.
I a melengos, tanda kesal. "Ya karnu yang pembohong dan
perayu!"

Lagi-lagi aku rn e n c o b a b e r k e l i t , p u r a - p u r a tidak tahu, "Aku?!"


94

"Ya!"
"Kok?"

"Kamu barusan mulai merayuku. K a m u juga dulu merayuku
lewat pesan-pesan pendekmu yang gila itu!"
Kembali aku mengernyit, pura-pura tidak paham. "Aku
merayumu? I h , maaf y a , m e m a n g n y a aku cowok k e r e n apaan?"



I a tertawa dan m e l e m p a r majalah d i d e p a n n y a ke arahku.
Lalu ia memasang muka serius, memandangku dan berkata,
"Kamu kenapa nggak balas pesan-pesanku?"
"Kamu juga nggak membalas p e s a n - p e s a n pendekku?"

"Balas dendam?"
"N g g a k . . "
.
"T e r u s .... "
k "
"Y a , n g g a ....
" N g g a k mau berhubungan lagi sama aku?"

"Kamu yang mulai."
"Nah, balas d e n d a m , kan?"
.
"N g g a k . . "
I a tersenyum. Aku mem e r i isyarat apakah a tidak keberatan
i
b
kalau aku m e r o k o k ? I a mempersilakan lewat p e r m a i n a n raut
muka.
"Sebetulnya, apa sih maksudmu m en g ir i m i aku pesan-pesan
dulu itu?"
U p s ! Serangan kilat.

"Pengen kenal kamu ... "
"Hanya itu?"
"Kamu mau jawaban apa?"
"Jawaban yang jujur!"

Kali ini, aku yang memasang muka serius. Ia agak salah
tingkah. Aku bersiap m e n y e r a n g n y a . "Ini jawaban jujumya ....
Aku p e n g e n p a c a r a n sama kamu."
Ia terdiam. Dalam hati aku tersenyum dan berkata: M a a f ,
ya .... k u h a n y a mengembalikan s e r a n g a n kilatmu.
a
e
"S n u s ... II
.
.
95

A k u mengangguk.
Ia terdiam lagi. Sesaat kemudian i berkata, "Aku sudah
a
punya pacar . . II
.
Aku tersenyum. "Kamu menolakku?"
Ia terdiam. Terlihat begitu bingung. Lalu i berkata, "Aku
a
.
sudah punya pacar . . "
"Kamu menolakku?" Kembali aku ingin menegaskan hal itu.

Ia semakin terlihat b ingung. Dan kemudian lagi-lagi berkata,
"Tapi aku sudah punya pacar .... "
Wajahnya terlihat memelas. Aku tersenyum. "Kita bicarakan
yang lain saja, ya . . . . "

Ia masih diam. Agak tidak paham mengapa justru aku
menawarkan untuk membicarakan hal yang lain.
Lalu aku bertanya, "Kamu kerja di mana s i h ? "


Ia mas ih t e r d ia m . B e l u m b e g i t u siap d e n g a n p e r u b a h a n materi

pembicaraan. Tapi akhimya ia m e n j awab, "Aku masih kuliah.
Tapi kadang-kadang kerja juga. Tergantung, kalau tawaran
kerjanya asyik, aku mau."
Aku m e n g a n g g u k - a n g g u k . Ia hampir be r k a t a , tapi aku keburu

cerdas untuk m e m o t o n gn y a , "Di sini kos atau di rumah sendiri?"
"Rumah. Tapi orangtuaku nggak tinggal di sini. Kamu?"


"Itu tadi rumah kontrakanku."
"Kamu kerja apa?"

"Pembunuh bayaran."
.
Ia mengemyit. "Aku s e r i u s . . "
"Aku juga serius."
"Bukannnya kamu pen .. "

Aku b u r u - b u r u m e m o t o n g . "Kadang-kadang. T a pi sebetulnya
profesiku pembunuh bayaran."
"Kamu bohong b a n g et!"
"Ya sudah kalau nggak percaya."
Ia memandangku dengan nyala mata yang aneh. Aku

m e n y adari kalau posisiku sudah tidak a m a n lagi. Lalu buru-buru


96


Click to View FlipBook Version