JP Joko Pinurbo (jokpin) lahir 11 Mei 1962. Lulus dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (1987). Kemudian mengajar di alma maternya. Sejak 1992 bekerja di Kelompok Gramedia. Gemar mengarang puisi sejak di Sekolah Menengah Atas. Buku kumpulan puisi pertamanya, Celana (1999), memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001; buku puisi ini kemudian terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Trouser Doll (2002). Ia juga menerima Sih Award 2001 untuk puisi Celana 1- Celana 2-Celana 3. Buku puisinya Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2002. Sebelumnya ia dinyatakan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001. Tahun 2005 ia menerima Khatulistiwa Literary Award untuk antologi puisi Kekasihku (2004). Buku puisinya yang lain: Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Pacar Senja: Seratus Puisi Pilihan (2005), Kepada Cium (2007), dan Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung: Tiga Kumpulan Puisi (2007). Selain ke bahasa Inggris, sajak-sajaknya juga diterjemahkan ke bahasa Jerman. Sering diundang baca puisi di berbagai forum sastra, antara lain Festival Sastra Winternachten di Belanda (2002). Oleh pianis dan komponis Ananda Sukarlan, sepilihan puisinya digubah menjadi komposisi musik. Sejumlah sajaknya dipakai pula untuk iklan. (Foto oleh Budhi Setyawan/2008)
Sepilihan Sajak Jokpin 1996-2007 Celana, 1 Ia ingin membeli celana baru buat pergi ke pesta supaya tampak lebih tampan dan meyakinkan. Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Bahkan di depan pramuniaga yang merubung dan membujuk-bujuknya ia malah mencopot celananya sendiri dan mencampakkannya. “Kalian tidak tahu ya aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan.” Lalu ia ngacir tanpa celana dan berkelana mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan: “Ibu, kausimpan di mana celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?” (1996) Pulang Mandi Lama minggat ke Jakarta dan tak pernah ada kabar-beritanya, tahu-tahu ia muncul di depan pintu dan berseru, “Ayo kita mandi!” Wajah yang penuh jahitan, tubuh yang hampir rombengan
nyaris tak terbaca kalau tak ia tunjukkan sepasang tato di pantatnya. “Berbahagialah orang yang berani mandi,” aku bersabda, “sebab ia akan menemukan tubuhnya sendiri.” Maka dalam bahagia mandi ia kelupas karat waktu pada tekstur hidupnya, kerak kenangan pada tipografi nasibnya. “Sakit!” ia menjerit. “Berdarah!” Mungkin sedang ia lepaskan pakaian kotor yang lengket dengan tubuhnya. Kamar mandi kemudian sunyi. Ia menghambur keluar, berjingkrak-jingkrak seperti kanak-kanak dapat bingkisan di hari Lebaran. “Aduh cakepnya,” aku menggoda, dan ia memelukku sambil berkata riang, “Mandiku sukses sekali, abang sayang.” Lama ia tidak mandi. Tapi sekali mandi ia langsung mencopot tubuhnya yang usang dan menggantinya dengan yang baru, yang mutakhir modelnya dan, tentu saja, tahan lama. “Tidak tertarik ke Jakarta?” ia membujukku sambil memamerkan tubuhnya yang trendi. Ah, ya, mungkin perlu juga aku minggat ke Jakarta agar suatu saat dapat pulang mandi dengan bahagia. (1999) Mei : Jakarta, 1998 Tubuhmu yang cantik, Mei telah kaupersembahkan kepada api. Kau pamit mandi sore itu. Kau mandi api. Api sangat mencintaimu, Mei. Api mengucup tubuhmu sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu sampai dilumatnya yang cuma warna yang cuma kulit yang cuma ilusi. Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei adalah juga tubuh kami. Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami dengan membakar habis tubuhmu yang cantik, Mei Kau sudah selesai mandi, Mei. Kau sudah mandi api. Api telah mengungkapkan rahasia cintanya ketika tubuhmu hancur dan lebur dengan tubuh bumi; ketika tak ada lagi yang mempertanyakan nama dan warna kulitmu, Mei. (2000) Pacarkecilku untuk Anggra Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman, menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya di kulkas sepanjang hari, dan malamnya ia lihat di botol itu gumpalan cahaya warna-warni. Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya. Ketika bangun ia berkata, “Tadi kau ke mana? Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.” Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan pelan-pelan membuka matanya. Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.
(2001) Atau Ketika saya akan masuk ke kamar mandi, dari balik pintu tiba-tiba muncul perempuan cantik bergaun putih menodongkan pisau ke leher saya. “Pilih cinta atau nyawa?” ia mengancam. “Beri saya kesempatan mandi dulu, Perempuan,” saya menghiba, “supaya saya bersih dari dosa. Setelah itu, perkosalah saya.” Selesai saya mandi, perempuan itu menghilang entah ke mana. Saya pun pulang dengan perasaan waswas: jangan-jangan ia akan menghadang saya di jalan. Ketika saya akan masuk ke kamar tidur, dari balik pintu tiba-tiba muncul perempuan gundul bergaun putih menodongkan pisau ke leher saya. “Pilih perkosa atau nyawa?” ia mengancam. Saya panik, saya jawab sembarangan, “Saya pilih atau!” Ia mengakak. “Kau pintar,” katanya. Kemudian ia mencium leher saya dan berkata, “Tidurlah tenang, dukacintaku. Aku akan kembali ke dalam mimpi-mimpimu.” (2001) Penumpang Terakhir untuk Joni Ariadinata Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka. Entah mengapa aku sering kangen dengan becaknya. Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.
Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan. Aku akan menabur kembang di atas makam nenekmoyang. Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang. Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang. Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang. Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang buat ongkos pulang ke perantauan. Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan, batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang, aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak. Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.” Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan, sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin bermimpi di dalam becaknya sendiri. Sampai di kuburan aku berseru bangun dong Pak, tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya. Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan di atas makam nenekmoyangku atau di atas jenazah bang becak yang kesepian itu. (2002) Mandi Mereka tiba di kamar mandi menjelang tengah malam ketika langit terang dan bulan sedang cemerlang. Pemimpin rombongan segera angkat bicara, “Hadirin sekalian, malam ini kita berkumpul di sini untuk mengantar mandi salah seorang saudara kita. Mari kita sakiti dia agar sempurnalah mandinya.” Korban segera diseret ke kamar mandi dan diperintahkan berdiri di depan. Wajahnya tertunduk pucat, tubuhnya
gemetar, dan matanya seperti kenangan yang redup perlahan. Belum sempat pemimpin rombongan menanyakan tanggal lahir dan asal-usul korban, orang-orang yang sudah tak sabar menyaksikan sekaratnya berseru nyaring, “Mandikan dia! Mandikan dia!” Tubuh tak bernama yang terlampau tabah menerima cambukan waktu yang gagah perkasa. Mandikanlah dia. Mulut tanpa kata yang tak perlu lagi mengucap segala yang tak terucapkan kata. Mandikanlah dia. Hati paling rasa yang tak pernah usai memburu cinta di rimba raga. Mandikanlah dia. Mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka. Pembantaian sebentar lagi dimulai. Hadirin segera pergi setelah masing-masing menghunjamkan nyeri ke ulu hati. Korban dibiarkan terkapar di lantai kamar mandi. Sepi yang tinggi besar melangkah masuk sambil terbahak-bahak. Korban diperintahkan berdiri. “Mandi!” bentaknya. Dengan geram diterkamnya tubuh korban dan kemudian dikuliti. Lihatlah, korban sedang mandi. Mandi dengan tubuh berdarah-darah. Bahkan bulan tak berani bicara; dengan takut-takut ia melongok lewat genting kaca. Sepi makin beringas. Ia cengkeram tubuh kurus korban, ia serahkan lehernya kepada yang terhormat tali gantungan. Krrrkk! Sepi melenggang pergi sambil terbahak-bahak, meninggalkan korban berkelejatan sendirian. Di hening malam itu tiba-tiba terdengar seorang bocah menjerit pilu, “Ibu, tolong lepaskan aku, Ibu!” (2003) Masa Kecil Masa kecil seperti penjaga malam yang setia. Ia yang membuka dan menutup pintu setiap kau masuk
dan keluar kamar mandi. Sementara kau sibuk mandi, ia duduk manis di sudut sepi, membaca cerita bergambar sambil ketawa-ketawa sendiri. Jangan suka lihat orang mandi, nanti sakit mata! Ia langsung menutup wajahnya dengan buku, seakan geli atau malu melihat tokoh komiknya yang (tidak) lucu. (2003) Pacar Senja Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai. Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli. Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk, setengah saja, pacar senja tersipu-sipu. “Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.” Cinta seperti penyair berdarah dingin yang pandai menorehkan luka. Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya. Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja yang masih megap-megap oleh ciuman senja. “Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium menjadi bekas. Betapa curangnya rindu. Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.” Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap. Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak dalam gemuruh ombak. (2003) Baju Bulan Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru, tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang, sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam? Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan, mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri rela telanjang di langit, atap paling rindang bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang. (2003) Kepada Puisi Kau adalah mata, aku airmatamu. (2003) Cita-cita Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: ingin bisa sampai di rumah saat masih senja supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela. Ah cita-cita. Makin hari kesibukan makin bertumpuk, uang makin banyak maunya, jalanan macet, akhirnya pulang terlambat. Seperti turis lokal saja, singgah menginap di rumah sendiri buat sekedar melepas penat. Terberkatilah waktu yang dengan tekun dan sabar membangun sengkarut tubuhku menjadi rumah besar yang ditunggui seorang ibu. Ibuwaktu berbisik mesra, “Sudah kubuatkan sarang senja di bujur barat tubuhmu. Senja sedang berhangat-hangat di dalam sarangnya.” (2003) Penjual Bakso
Hujan-hujan begini, penjual bakso dan anaknya lewat depan pintu rumahku. Ting ting ting. Seperti suara mangkok dan piring peninggalan ibuku. Berulang kali ting ting ting, tak ada yang keluar membeli bakso. Tak ada peronda duduk-duduk di gardu. Semua sedang sibuk menghangatkan waktu. Aku tak ingin makan bakso, tapi tak apalah iseng-iseng beli bakso. Aku bergegas mengejar tukang bakso ke gardu ronda. Bakso! Terlambat. Penjual bakso dan anaknya sedang gigih makan bakso. Airmata penjual bakso menetes ke mangkok bakso. Anak penjual bakso tersengal-sengal, terlalu banyak menelan bakso. Kata penjual bakso kepada anaknya, “Ayo, Plato, kita habiskan bakso kita. Kasihan ibumu.” Mereka yang makan bakso, aku yang muntah bakso. (2004) Dengan Kata Lain Tiba di stasiun kereta, aku langsung cari ojek. Entah nasib baik, entah nasib buruk, aku mendapat tukang ojek yang, astaga, adalah guru Sejarah-ku dulu. “Wah, juragan dari Jakarta pulang kampung,” beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah. “Bapak tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?” Nyaman sekali rasanya diantar pulang Pak Guru sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah. Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan. Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet, beliau sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja. Di teras rumah Ayah sedang tekun membaca koran. Koran tampak capek dibaca Ayah sampai huruf-hurufnya berguguran ke lantai, berhamburan ke halaman.
Tak ada angin tak ada hujan, Ayah tiba-tiba bangkit berdiri dan berseru padaku, “Dengan kata lain, kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu!” (2004) Telepon Tengah Malam Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja. Sudah sering aku terima telepon dan bertanya “Siapa ini?”, jawabnya cuma “Ini siapa?”. Ada dering telepon, panjang dan keras, dalam rongga dadaku. “Ini siapa, tengah malam telepon? Mengganggu saja.” “Ini Ibu, Nak. Apa kabar?” “Ibu! Ibu di mana?” “Di dalam.” “Di dalam telepon?” “Di dalam sakitmu.” Ah, malam ini tidurku akan nyenyak. Malam ini sakitku akan nyenyak tidurnya. (2004) Celana Ibu Maria sangat sedih menyaksikan anaknya mati di kayu salib tanpa celana dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah. Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawakan celana yang dijahitnya sendiri. “Paskah?” tanya Maria. “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya, Yesus naik ke surga. (2004) Selepas Usia 60 Selepas usia 60 saya sering terdiam di muka jendela, mengamati tingkah anak kecil yang lucu-lucu. Saat sekecil mereka saya baru fasih mengucapkan nana, maksudnya celana, dan saya belajar keras memakai celana dan sering keliru: kadang terbalik, kadang seliritnya menjepit dindaku. Ibu curang: diam-diam mengintip lewat celah pintu. Baru setelah ananda terjengkang karena dua kaki masuk ke satu lubang, ibu buru-buru menyayang-nyayang pantatku: Jangan menangis, jagoanku. Celana juga sedang belajar memakaimu. Kasihan ibu, sering didera kantuk hingga jauh malam, menjahit celana saya yang cidera. Sampai sekarang kadang tusukan jarumnya, auw…, masih terasa di pantat saya. Saya masih berdiri di muka jendela, memperhatikan seorang bocah culun, dengan celana bergambar Superman, sedang ciat-ciat bermain silat. Tiba-tiba ia berhenti. Bingung. Seperti ada yang tidak beres dengan celananya. Oh, gambar Superman-nya rontok. Ia cari, tidak ketemu. Lalu ibunya datang menjemput. Senja yang dewasa mulai merosot. Tubuh yang penakut mendadak ribut. Yeah, ini celana diam-diam mau melorot. Saat mau tidur baru saya tahu: hai, ada gambar Superman di celanaku. (2004) Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita? Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkraman luka. (2005)
Kepada Cium Seperti anak rusa menemukan sarang air di celah batu karang tersembunyi, seperti gelandangan kecil menenggak sebotol mimpi di bawah rindang matahari, malam ini aku mau minum di bibirmu. Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi yang masih hangat dan murni, seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri pada luka lambung yang tak terobati. (2006) Terompet Tahun Baru Aku dan Ibu pergi jalan-jalan ke pusat kota untuk meramaikan malam tahun baru. Ayah pilih menyepi di rumah saja sebab beliau harus menemani kalender pada saat-saat terakhirnya. Hai, aku menemukan sebuah terompet ungu tergeletak di pinggir jalan. Aku segera memungutnya dan membersihkannya dengan ujung bajuku. Kutiup berkali-kali, tidak juga berbunyi. Mengapa terompet ini bisu, Ibu? Mungkin karena terbuat dari kertas kalender, anakku. (2006) Di Perjamuan
Aku tak akan minta anggur darahMu lagi. Yang tahun lalu saja belum habis, masih tersimpan di kulkas. Maaf, aku sering lupa meminumnya, kadang bahkan lupa rasanya. Aku belum bisa menjadi pemabuk yang baik dan benar, Sayang. (2006) Jalan Sunyi Ada jalan kecil menuju kebunmu: ada hujan mungil merayap pelan ke liang kuburku. (2007) Gambar Hati Versi Penyair Seperti dua koma bertangkupan. Dua koma dari dua kamus yang berbeda dan tanpa janji bertemu di sebuah puisi. (2007) Malam Pemadat Pilin dan padatkan aku menjadi sebatang candu, hisap dan bakarlah sampai berkobar di tubuhmu. Jika habis kopimu, seduh dan minumlah abuku sampai menguap di pori-porimu. (2007) Penjahat Berdasi Ia mati dicekik dasinya sendiri.
(2007) Taman Hiburan Negara Ini tempat umum, bung. Dilarang melamun sembarangan di sini. (2007) Pembangkang Ia termenung sendirian di gardu gelap di ujung jalan. Tidak jelas, ia peronda yang kesepian atau pencuri yang kebingungan. Dari arah belakang muncul seorang pengarang yang kehilangan jejak tokoh cerita yang belum selesai ditulisnya. “Kucari-cari dari tadi, ternyata sedang melamun di sini. Ayo pulang!” Dari pada harus pulang, ia pilih lari ke seberang. (2007) Gaun Tidur Gaun tidurku menyembunyikanmu. Seperti doa yang ganas, kau merasuk ke panas darahku. Gaun tidurku basah olehmu. (2007) Angkringan Lapar mengajak saya ke warung angkringan di pinggir jalan. Tuan pedagang angkringan sedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang, kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.
Saya makan dua bungkus nasi kucing. Saya bikin kopi sendiri, ambil rokok sendiri. Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannya untuk Tuan saja,” kata saya dalam hati. Lalu saya pamit pulang. “Selamat tidur, pejuang.” Tuan pedagang angkringan terbangun. “Tunggu, jangan tinggalkan saya sendirian!” Setelah semuanya ia bereskan, ia paksa saya segera naik ke atas gerobak angkringan. ”Berbaringlah, Tuan. Saya antar Tuan pulang.” Amboi, saya telentang kenyang di atas gerobak angkringan yang berjalan pelan menyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam. Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringan menuju rumah impian nun di seberang. Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibu sedang meninabobokan anaknya dalam ayunan: Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang…. (2007) Tukang Potret Keliling Cita-citanya tinggal satu: memotret seorang pujangga yang ia tahu tak pernah suka diambil gambarnya. Ia ingat bual seorang peramal: “Kembaramu akan berakhir pada paras seorang penyair.” Demikianlah, dengan tangan gemetar, ia berhasil mencuri wajah penyair pendiam itu dengan tustelnya. Ia bahagia, sementara sang pujangga terpana: “Ini wajahku, wajahmu, atau wajah kita?” Tak lama kemudian tukang potret keliling itu mati. Tubuhnya yang sementara terbujur di ruang yang dindingnya penuh dengan foto-foto karyanya. Ada foto penyair. Tapi tak ada foto dirinya. Kerabatnya bingung. Mereka tidak juga menemukan potretnya untuk dipajang di dekat peti matinya. “Sudah, pakai foto ini saja,” cetus salah seorang
dari mereka sambil diambilnya foto pujangga. “Lihat, mirip sekali, nyaris serupa. Ha-ha-ha….” Penyair kita tampak di antara kerumunan pelayat yang berdesak-desakan memanjatkan doa di sekeliling peti almarhum. Ada seorang ibu yang dengan haru mengusap foto itu: “Hatinya pasti manis. Di akhir hayatnya wajahnya keren abis!” (2007) Kredo Celana Yesus yang seksi dan murah hati, kutemukan celana jinmu yang koyak di sebuah pasar loak. Dengan uang yang tersisa dalam dompetku kusambar ia jadi milikku. Ada noda darah pada dengkulnya. Dan aku ingat sabdamu: “Siapa berani mengenakan celanaku akan mencecap getir darahku.” Mencecap darahmu? Siapa takut! Sudah sering aku berdarah, walau darahku tak segarang darahmu. Siapa gerangan telah melego celanamu? Pencuri yang kelaparan, pak guru yang dihajar hutang, atau pengarang yang dianiaya kemiskinan? Entahlah. Yang pasti celanamu pernah dipakai bermacam-macam orang. Yesus yang seksi dan rendah hati, malam ini aku akan baca puisi di sebuah gedung pertunjukan dan akan kupakai celanamu yang sudah agak pudar warnanya. Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya. Di panggung yang remang-remang sajak-sajakku meluncur riang.
Makin lama tubuhku terasa menyusut dan lambat-laun menghilang. Tinggal celanamu bergoyang-goyang di depan mikrofon, sementara sajak-sajakku terus menggema dan aku lebur ke dalam gema. “Hidup raja celana!” Hadirin terkesima. Kelak akan ada seorang ibu yang menjahit sajak-sajakku menjadi sehelai celana dan celanaku akan merindukan celanamu. (2007)
Mas Kota telah memberikan segala yang saya minta, tapi tak pernah mengembalikan sebagian hati saya yang ia curi saat tubuh saya dimabuk kerja. Saya perempuan cantik, cerdas, bertato, sukses, dan kaya. Semua sudah saya raih dan miliki kecuali diri saya sendiri. Ah, akhir pekan yang membosankan. Ingin sekali saya tinggalkan kota dan pergi menemuimu, mas. Pergi ke pantai terpencil yang tak seorang pun bisa menjangkaunya selain kita berdua. Saya ingin bersamamu duduk-duduk di bangku panjang yang menghadap ke laut. Akan saya bacakan sajak-sajak seorang penyair yang tanpa sengaja menyampaikan cintamu kepada saya. Wah, mas sudah lebih dulu tiba. Ia tampak gelisah dan mondar-mandir saja di pantai. Saya segera memanggil dan mengajaknya duduk di bangku. “Duduklah, mas, jangan mandir-mondar melulu. Ini kubawakan sepotong cokelat dan sebotol anggur merah tua.” Mas mendekat ke arah saya dan saya menyambutnya. “Mas boleh pilih, mau duduk di sebelah kiri atau di sebelah kanan saya.” Ia agak terperangah. “Apa bedanya?” timpalnya. “Kiri: bagian diri saya yang dingin dan suram. Kanan: belahan jiwa saya yang panas dan berbahaya.” Diam-diam mas mendekapnya dari belakang dan berbisik di telinganya: “Kalau begitu, aku duduk di pangkuanmu saja. Aku ingin lelap sekejap sebelum lenyap ke balik matamu yang hangat dan sunyi. Sebelum aku tinggal ilusi.” Perempuan itu merinding dan menjerit: “Maaasss….” Pantai dan bangku mendadak fana dan tak seorang penyair pun dapat menolongnya. Senja yang ia panggil mas telah sirna. Ah, begitu cepat ia rindukan lagi kota. (2008)
Kredo Celana Celana Ibu Maria sangat sedih menyaksikan anaknya mati di kayu salib tanpa celana dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah. Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawakan celana yang dijahitnya sendiri. “Paskah?” tanya Maria. “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira. Mengenakan celana buatan ibunya, Yesus naik ke surga. (2004) Kredo Celana Yesus yang seksi dan murah hati, kutemukan celana jinmu yang koyak di sebuah pasar loak. Dengan uang yang tersisa dalam dompetku kusambar ia jadi milikku. Ada noda darah pada dengkulnya. Dan aku ingat sabdamu: “Siapa berani mengenakan celanaku akan mencecap getir darahku.” Mencecap darahmu? Siapa takut! Sudah sering aku berdarah, walau darahku tak segarang darahmu. Siapa gerangan telah melego celanamu? Pencuri yang kelaparan, pak guru yang dihajar hutang, atau pengarang yang dianiaya kemiskinan? Entahlah. Yang pasti celanamu pernah dipakai bermacam-macam orang.
Yesus yang seksi dan rendah hati, malam ini aku akan baca puisi di sebuah gedung pertunjukan dan akan kupakai celanamu yang sudah agak pudar warnanya. Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya. Di panggung yang remang-remang sajak-sajakku meluncur riang. Makin lama tubuhku terasa menyusut dan lambat-laun menghilang. Tinggal celanamu bergoyang-goyang di depan mikrofon, sementara sajak-sajakku terus menggema dan aku lebur ke dalam gema. “Hidup raja celana!” Hadirin terkesima. Kelak akan ada seorang ibu yang menjahit sajak-sajakku menjadi sehelai celana dan celanaku akan merindukan celanamu. (2007)
Tragedi Sedekah Ibu tua itu tewas sehabis berjuang keras mendapatkan sedekah dari seorang juragan yang amat pemurah. Ia terjatuh terinjak-injak sewaktu berdesak-desakan, sesaat setelah diterima oleh uang dua puluh ribu rupiah. “Hanya demi uang sialan itu ia harus setor nyawa,” cetus seorang pelayat. “Jangan-jangan itu uang haram.” Uang berkata, “Maafkan saya, Bu. Saya tidak sengaja.” Toh ibu kita yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci pakaian itu wajahnya bersih bercahaya seperti habis dicuci dengan sabun terbaik yang terbuat dari serbuk airmata. Sesal dan tangis hanya menambah kecantikannya. “Sudahlah. Dengan dua puluh ribu rupiah ibu ini bisa beli tiket kereta api ekspres. Beliau akan mudik dengan sukses,” ujar seorang penyair yang oleh teman-temannya dipanggil Plato karena nun di jidatnya terdapat sebuah tato. Kereta hampir berangkat. Uang yang naas tampak ikhlas dan pasrah dalam genggaman tangan almarhumah. Uang yang tak seberapa ini kemudian disimpan baik-baik oleh cucu ibu yang gigih itu dan kelak akan ia berikan kepada entah siapa yang pantas menerimanya. (2003) Sumber: Buku Puisi Kekasihku (2004) Penjual Bakso Hujan-hujan begini, penjual bakso dan anaknya lewat depan pintu rumahku. Ting ting ting. Seperti suara mangkok dan piring peninggalan ibuku. Berulang kali ting ting ting, tak ada yang keluar membeli bakso. Tak ada peronda duduk-duduk di gardu. Semua sedang sibuk menghangatkan waktu.
Aku tak ingin makan bakso, tapi tak apalah iseng-iseng beli bakso. Aku bergegas mengejar tukang bakso ke gardu ronda. Bakso! Terlambat. Penjual bakso dan anaknya sedang gigih makan bakso. Airmata penjual bakso menetes ke mangkok bakso. Anak penjual bakso tersengal-sengal, terlalu banyak menelan bakso. Kata penjual bakso kepada anaknya, “Ayo, Plato, kita habiskan bakso kita. Kasihan ibumu.” Mereka yang makan bakso, aku yang muntah bakso. (2004) Sumber: Buku Puisi Kekasihku (2004) Penumpang Terakhir untuk Joni Ariadinata Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka. Entah mengapa aku sering kangen dengan becaknya. Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya. Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan. Aku akan menabur kembang di atas makam nenekmoyang. Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang. Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang. Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang. Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang buat ongkos pulang ke perantauan. Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan, batuknya mengamuk, pandang matanya
berkunang-kunang, aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak. Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.” Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan, sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin bermimpi di dalam becaknya sendiri. Sampai di kuburan aku berseru bangun dong Pak, tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya. Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan di atas makam nenekmoyangku atau di atas tubuh bang becak yang kesepian itu. (2002) Sumber: Buku Puisi Pacarkecilku (2002)
Sajak tentang Puisi Kepada Puisi Kau adalah mata, aku air matamu. (2003) Matakata Matakata menyala melihat tetes darah di matapena. (2004) Aku Tidak Bisa Berjanji Aku tidak bisa berjanji akan datang ke dalam pesta di mana akan kaupertemukan aku dengan sajak-sajakku, seperti mempertemukan dua anak rantau yang lama memendam rindu tapi pura-pura sungkan bertemu. Sajakku hanya sisa tangis seorang bocah yang ditinggal ibunya pergi cari obat dan tidak juga kembali, sementara panas tubuhnya terus meninggi. “Cepat pulang, Bu!” Bocah itu tampak bahagia duduk bersamamu di pesta. Tapi aku tidak bisa berjanji akan datang ke sana. (2004) Puisi Telah Memilihku Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang. (2007)
Gambar Hati Versi Penyair Seperti dua koma bertangkupan. Dua koma dari dua kamus yang berbeda dan tanpa janji bertemu di sebuah puisi. (2007) Sajak Panjang Apa nama jalan menuju judul, sajakku? Namanya jalan panjang, penyairku. (2007) Pembangkang Ia termenung sendirian di gardu gelap di ujung jalan. Tidak jelas, ia peronda yang kesepian atau pencuri yang kebingungan. Dari arah belakang muncul seorang pengarang yang kehilangan jejak tokoh cerita yang belum selesai ditulisnya. “Kucari-cari dari tadi, ternyata sedang melamun di sini. Ayo pulang!” Dari pada harus pulang, ia pilih lari ke seberang. (2007)
Puasa dan Puisi Puasa kepada penyair Haspahani Saya sedang mencuci celana yang pernah saya pakai untuk mencekik leher saya sendiri. Saya sedang mencuci kata-kata dengan air mata yang saya tabung setiap hari. Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puisi. (2007) Baju Bulan Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru, tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang, sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan. Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam? Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan, mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri rela telanjang di langit, atap paling rindang bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang. (2003) Sumber: Buku Puisi Kekasihku (2004)
Pacar Puisi Pacar Senja Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai. Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli. Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk, setengah saja, pacar senja tersipu-sipu. “Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.” Cinta seperti penyair berdarah dingin yang pandai menorehkan luka. Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya. Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja yang masih megap-megap oleh ciuman senja. “Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium menjadi bekas. Betapa curangnya rindu. Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.” Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap. Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak dalam gemuruh ombak. (2003) Pacarkecilku untuk Anggra Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman, menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya di kulkas sepanjang hari, dan malamnya ia lihat di botol itu gumpalan cahaya warna-warni. Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya. Ketika bangun ia berkata: “Tadi kau ke mana? Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.” Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga
di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan pelan-pelan membuka matanya. Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati yang akan ia taburkan di atas jasadku nanti. (2001)
Mata Bola Ia baru saja menunaikan pertandingan sepakbola. Hatinya memar dan lara. Ia dapatkan tiga peluang emas untuk mencetak gol, semuanya terbuang percuma. Bola yang ditembaknya dengan penuh perhitungan melambung di atas mistar gawang. Satu mendarat di pelukan penjaga gawang. Satu lagi membentur tiang gawang, kemudian memantul deras menghantam jidatnya tersayang. Dengan terpincang-pincang ia tinggalkan gelanggang. Kakinya yang gigih agak rusak digasak lawan. Bola yang dingin dan angkuh dibawanya pulang dan dihajarnya dengan beringas. “Ampun, bang,” rintih bola, “bukan saya yang bikin naas. Kaki abanglah yang kurang cerdas.” Dipandanginya mata bola yang menatapnya penuh iba. Sekonyong-konyong muncul bayangan ayahnya yang tewas dalam kerusuhan penonton saat menyaksikan pertandingan bola. Dengan sesal dibelai-belainya bola dan didekapnya. “Aduh, badanmu panas sekali, bola. Kau demam ya? Kau pasti capek diajak berlari ke sana kemari.” Bola terpejam. Dan dari balik mata bola ia dengar suara ibunya yang telah tiada: “Kakimu cedera ya, nak? Sini ibu pijitin biar tambah sakit. Jangan sedih. Ibu selalu menyertaimu di dalam bola.” Nah, ia akan mencoba cara baru menceploskan bola ke mulut gawang: ia akan menendangnya sambil terpejam. (2008)
Proverbia Latina Nescire quaedam magna pars sapientiae est. Tidak mengetahui beberapa hal itu merupakan sebagian besar dari kearifan. Terjemahan bebas: orang yang sungguh arif justru akan mengatakan bahwa dia tidak mengetahui semuanya. Nescis, mi fili, quantilla prudential mundus regatur. Anakku, engkau tidak tahu bahwa dunia ini diatur oleh kearifan-kearifan kecil. Qui studet optatam cursu contingere multa tulit fecitque puer. Orang yang ingin naik sampai ke puncak yang tertinggi, haruslah orang yang di masa mudanya banyak menderita dan banyak berbuat. Nihil lacrima citius arescit. Tidak ada yang lebih cepat mongering ketimbang air mata. Ridendo dicere verum. Sambil tertawa mengatakan yang benar. Veritatis simplex oratio est. Bahasa kebenaran itu sederhana. Sumber: B.J. Marwoto dan H. Witdarmono, Proverbia Latina: Pepatah-pepatah Bahasa Latin (Penerbit Buku Kompas, 2004)
Tribute Pengarang, engkau sungguh sabar menunggu ide yang tanpa kabar. Dirimu sangat percaya diri meskipun karyamu tidak banyak terbeli. … (Paska Wahyu Wibisono, “Pengarang”, Bobo, 27 November 2003)
Jalan Sunyi Ada jalan kecil menuju kebunmu: ada hujan mungil merayap pelan ke liang kuburku. (2007)
Sajak-sajak 1980-1991 Layang-layang Dulu pernah kaubelikan aku sebuah layang-layang pada hari ulang tahun. Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak tapi hanya sejenak. Sebab layang-layang itu kemudian hilang, entah ke mana ia terbang. Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang dan kembali kutemu. Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu. Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan selain dibasahkuyupkan di bawah hujan. Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan meskipun tanpa benang dan tinggal robekan. Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang. (1980) Pohon Bungur : anno 1968 - 1973 Pohon bungur di puncak bukit dalam naungan senja. Bunga-bunganya berceceran dihirup angin selatan. Pohon bungur di puncak bukit dalam belaian usia. Kuingat selalu bunga merahnya yang ranum diguyur hujan menjelang malam turun. (1990)
Penyair Tardji Tardji minta bir buat pesta di malam buta. “Sampai tuntas pahit-asamnya. Sampai pecah ini botolnya.” Dalam mabuk ia minta tuak dari jantungMu. “Mana kapak? Biar kutetak leher panjangMu.” Sampai huruf habislah sudah. Sampai nganga luka dibelah. “Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau darah.” (1986) Tengah Malam Badai menggemuruh di ruang tidurmu. Hujan menderas, lalu kilat, petir dan ledakan-ledakan waktu dari balik dadamu. Sesudah itu semuanya reda. Musim mengendap di kaca jendela. Tinggal ranting dan dedaunan kering berserakan di atas ranjang. Hening. Waktu itu tengah malam. Kau menangis. Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian. (1989) Bulu Matamu: Padang Ilalang Bulu matamu: padang ilalang. Di tengahnya: sebuah sendang. Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir datang bertapa untuk membuktikan apakah benar wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang.
Ia tak percaya, maka ia menyelam. Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus mahadalam. Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam. Bulu matamu: padang ilalang. (1989) Tukang Cukur Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur di kepalaku. Ia membabat rasa damai yang merimbun sepanjang waktu. “Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel, dan restoran. Tentunya juga sekolah, rumah bordil, dan tempat ibadah. Ia menyayat-nyayat kepalaku. Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku. “Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu. Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.” Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku. (1989) Hutan Karet in memoriam: Sukabumi Daun-daun karet berserakan. Berserakan di hamparan waktu. Suara monyet di dahan-dahan. Suara kalong menghalau petang. Di pucuk-pucuk ilalang belalang berloncatan. Berloncatan di semak-semak rindu.
Dan sebuah jalan melingkar-lingkar. Membelit kenangan terjal. Sesaat sebelum surya berlalu masih kudengar suara bedug bertalu-talu. (1990) Pada Lukisan Monalisa Di rambutmu burung-burung membuat sarang. Burung-burung yang terbang dari khasanah senja; yang sudah berapa lama terkurung dalam himpian Hawa. Burung-burung yang memintal benang-benang cahaya dengan kepak lembut sayap-sayapnya yang luka. Burung-burung yang menggurat padang langit hijau dengan cakar-cakar perih dan kicau-kicaunya yang parau. Dan engkau adalah pohon yang dahan-dahannya menjulur lentur karena adalah kenangan. Yang akar-akarnya menjuntai ke wilayah malam. Yang ranting-rantingnya lembut karena adalah igauan. Yang daunnya rimbun menghalau kobaran jaman. Yang pucuk-pucuknya menjulang karena adalah jeritan. (1990) Senandung Becak Ada becak melenggang sendirian di sebuah gang. Pemiliknya, katanya, telah mati di tiang gantungan. Ada becak hanyut di sungai. Sungainya keruh, mengalir ke laut yang jauh. Orang-orang berkumpul di atas jembatan, mengira si pemiliknya telah mati tenggelam. Tapi ada yang berbisik kepada saya: “Akulah yang menghanyutkannya dan ternyata kalian amat suka menontonnya.”
Ada juga yang berkata: “Sesampainya di laut, becak itu akan menjelma menjadi sebuah perahu yang harus bertarung sendirian melawan badai, ombak dan malam.” (1990) Di Kulkas: Namamu Di kulkas masih ada gumpalan-gumpalan batukmu mengendap pada kaleng-kaleng susu. Di kulkas masih ada engahan-engahan nafasmu meresap dalam anggur-anggur beku. Di kulkas masih ada sisa-sisa sakitmu membekas pada daging-daging layu. Di kulkas masih ada bisikan-bisikan rahasiamu tersimpan dalam botol-botol waktu. (1991) Ranjang Kematian Ranjang kami telah dipenuhi semak-semak berduri. Mereka menyebutnya firdaus yang dicipta kembali oleh keturunan orang-orang mati. Tapi kami sendiri lebih suka menyebutnya dunia fantasi. Jasad yang kami baringkan beribu tahun telah membatu. Bantal, guling telah menjadi gundukan fosil yang dingin beku. Dan selimut telah melumut. Telah melumut pula mimpi-mimpi yang dulu kami bayangkan bakal abadi. Para arwah telah menciptakan sendang dan pancuran tempat peri-peri membersihkan diri dari prasangka manusia.
Semalaman mereka telanjang, meniup seruling, hingga terbitlah purnama. Dan manusia terpana, tergoda. (1991) Perjalanan Pulang Kadang ingin sangat aku pulang ke rumahmu. Setidaknya kubayangkan suatu senja aku datang ke ambang jendelamu, melongok wajah seseorang yang sedang melukis matahari di telapak tangan. Halte. Aku terdampar di sebuah halte. Menunggu bus yang sebenarnya telah lama lewat. Mengulur-ulur waktu agar tidak cepat sampai ke arah jantung atau erangan bisu. Lihatlah, setiap orang memasang halte di tempat persinggahan. Menunggu dan menanti tak henti-henti. Mengangankan masih ada bus yang bakal datang membawanya pulang atau mungkin pergi jauh sekali. Demikianlah musafir: kita takut menjadi tua namun juga tak pernah bisa kembali menjadi bayi, menjadi kanak-kanak kecuali bila kita ciptakan lagi kelahiran di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan. Rindu. Aku ini memang selalu rindu untuk pulang tapi saban kali juga tak betah. Petualang sekaligus pencinta rumah. Di saat lelap sering kulihat bayangan tubuhmu berjalan terbungkuk-bungkuk dengan gaun putih, menyibak dan menutup kembali kelambu mimpi. Halte. Aku ingat sebuah halte di ujung kota yang entah. Perhentian tempat penantian dikekalkan dan sekaligus diakhiri. Alamat kepada siapa kaukirimkan aduhan bernama surat. Rendezvous yang kepadanya kautujukan persediaan waktu. Tak bosan-bosan. Jendela selalu membukakan dirinya untuk dimasuki dan ditinggalkan.
Seakan seseorang selalu siap di atas ampunan, menerima dan melepaskan salam. Seperti juga telapak tanganmu: selalu terbuka untuk dilayari dan disinggahi. Mengapa kita takut pada ketakutan? Mengira tak ada yang bisa diabadikan? Tengah malam kita sering terbangun lalu berdiri di depan cermin. Merapikan rambut yang kusut. Membelai wajah yang membangkai. Memugar mata yang nanar. Andaipun langit memperpendek batas, tak berarti jangkauan begitu saja lepas. Siapa tahu tatapan malah meluas, memburu sinyal-sinyal baru yang memberitakan atau menyembunyikan pesanmu. Tergambar jelas di potret lama: wajah yang dingin dihangati usia. Burung-burung pipit mengurung senja, matahari beringsut pada lingkaran biru. Kemudian malam terlipat di pelupukmu dan sebuah himne menggema di lintasan alismu. Berapa lama kata-kata berbincang tentang artian? Uban-uban tak mau bicara tentang ketuaan. Almanak tak menyiratkan tanggal dan bulan. Garis-garis tangan tak menuliskan suratan. Dinding-dinding tak membatasi ruang. Berapa lama ucapan tak mau bungkam? Ah padang pasir. Panasmu ingin menghanguskan perkemahan. Kau pikir para pengungsi mau dilumat kelaparan? Lihatlah, sungai itu tetap saja hijau. Kematian dienyahkan ke bukit-bukit karang, kanak-kanak bermain terompet di lubang persembunyian. Katakan pada ibu, si buyung mau lebih lama merantau. Rumah itu mungkin akan selalu menanyakan kepulangan, pintu-pintu minta kiriman kisah petualangan. Aduh sayang, jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.
Hari itu jam bergerak lambat. Malam mengingsut seperti siput mengusut kabut. Di jauhan anjing-anjing bertengkar berebut kucing. Kalender menangis melengking-lengking. Apakah waktu sudah sangat bosan menghuni jam dinding? Aduh sayang, detik-detik berjatuhan ke lantai dingin, diserbu semut-semut hitam untuk pesta persembahan. Lalu kau merapat ke kaca almari: mengganti baju, menyempurnakan kecantikan. Matamu menyala serupa lilin. Keningmu berkobar dibantai sinar. Apakah kau sedang berkemas ke kuburan? Alamak, beri aku sedikit waktu. Nyawaku tertinggal di rumah sakit. Baju usang yang kusayang tergantung riang di tali jemuran. Sudah rapuh, sudah kumal, sudah pula penuh jahitan. Seperti kujahit leher yang retak, leher yang koyak dirobek-robek kemiskinan. Salam bagimu peziarah muda. Hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil yang dilupakan dunia. Ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari. Lonceng gereja mengepung rindumu di malam buta, membangunkan si sakit dari ranjang beku di kamar-kamar mati. Salam bagimu pasien abadi. Suatu hari aku ingin mengajak si mayat berburu singa di hutan purba. Melacak jejak sejarah nenek moyang yang melahirkan nama-nama. Merunut silsilah gelap dari mana aku datang ke mana aku pulang. Senja hampir layu. Burung-burung berarak pulang menuju lingkaran biru. Gaun siapa tertinggal di bangku taman, dibawa kupu-kupu ke pucuk cemara? Musim bunga tergesa-gesa pergi diburu musim yang kehilangan cuaca. Jika benar air mancur itu tak ingin tidur, barangkali bisa kutitipkan kebosanan padanya. Angin dan angan menyurutkan malam, menyibakkan tirai pagi sebelum surya ungu berayun di ambang pintu: mengabarkan saat kematian dunia waktu.
Halte. Aku terdampar kembali di sebuah halte. Melupakan bus yang tak akan lewat atau sudah lama lewat. Memilih saat terbaik untuk pulang ke rumah, ke dunia entah. Untuk datang ke ambang jendelamu, melongok wajah seseorang yang sedang melukis matahari di telapak tangan. Seperti pada saat keberangkatan. (1991) Penyanyi yang Pulang Dinihari Ia melewati jalan yang sudah bosan menghitung langkahnya. Rambutnya menyimpan kunang-kunang. Matanya ingin menggapai bintang-bintang. Tak ada yang benar-benar mengenalinya selain angin yang masih menyebutnya perempuan. Perempuan itu tak mau menangis. Air matanya sudah hanyut di sungai. Dan meskipun sungai berulangkali meriuhkan keperihan, arus air tak mau kembali mengulang detak jam. Malam sekarat di balik gaun transparan dan sisa waktu dilumatkan di ujung lengan. Letupkan penyanyi, letupkan nada terakhir yang belum sempat dihunjamkan. Siapa tahu dada montok itu masih merindukan jeritan. Tersaruk-saruk ia menyeret bayangan tubuhnya. Gerimis hitam mengguyur wajahnya yang beku sehingga bedak dan lipstik luntur melumuri gaunnya yang putih. Rambut coklatnya meleleh pekat. Tapi singa luka itu tak mau pedih. Mungkin hatinya merintih. Maka kunang-kunang menggeremang di rambutnya, bintang-bintang berkerlapan di matanya. Ia menyanyi dan menari dan pinggulnya yang hijau mengibaskan bayangan hitam orang-orang mati. Tersuruk ia di sebuah tikungan dan para peronda mau membawanya ke gardu.
Tapi singa luka itu menggeram nyalang dan para lelaki dihardiknya pergi. Hai perempuan, rumah mana bakal kautuju? Awas hati-hati, di ujung jalan banyak polisi. Ah sialan, dasar pemberani, sudah luka masih juga menggoda. Tampaknya ia percaya sebuah rumah setia menanti. Seperti tamu asing, ia berhenti di depan pintu besi. Plat nomor telah rusak, tak lagi mencantumkan angka. Ia ragu apakah benar itu rumahnya. Tapi ia masih ingat beha usang yang tergantung di atas pintu, tanda sebuah dunia atau sepenggal kehidupan masih menunggu. Pintu besi telah mengunci diri, menutup hati bagi tamu yang ingin singgah. Daripada kaku dibalut embun pagi, dipanjatnya pagar halaman berduri. Seekor anjing menyalak nyaring menggonggongi bau keringatnya yang asin. Kembali ia termangu. Ia ragu membuka pintu. Ia takut pada pintu. Baru setelah diketuk tujuh kali, pintu hitam membukakan diri. “Bukankah ini rumahmu? Apakah engkau takut atau lupa samasekali?” “Ya, ini memang rumahku. Saban kali aku meninggalkannya, saban kali pula harus mengenalinya kembali.” Ia tertegun. Dadanya mengkerut disepak dentang lonceng jam tiga pagi. “Ah pintu, engkau lebih mengenal rumahku ketimbang aku sendiri yang saban waktu merindukannya dan kemudian meninggalkannya. Barangkali studio-studio suara dan panggung-panggung hiburan telah membuatku jadi pelupa, jadi serba alpa.” Perlahan ia melangkah ke ambang pintu. Angin jahat menyingkap ujung gaunnya yang tipis. Kakinya yang lembab melekat di lantai dingin.
Terasa dunia jadi lain, terasa dunia jadi lain. Di dinding hitam sebuah topeng terkekeh-kekeh, menyeringai menertawakan tamu asing yang bertandang ke rumahnya sendiri. Apakah ada malaikat yang selalu membawa anak kunci? Kamar sudah menganga sebelum ia buka pintunya. Dan di atas meja rias yang porak poranda sebuah boneka masih menari-nari. Astaga, ranjang hitam menggoyang-goyangkan diri. Kelambu telah habis dibakar mimpi. Sebuah radio tertidur pulas di bantal biru, tak henti-hentinya mengigau dan meracau. Wah, tampaknya ia tengah bercumbu dengan orang mati yang menciptakan gelombang siaran dinihari. Ah perempuan, yang merindukan kebangkitan musim semi, kini tubuhmu tegak di hadapan cermin retak. Bibirmu hangus dan mengelupas. Berdarah. Berdarah-darahlah leher hijau yang diterkam musim panas. Kau mengaduh. Aduh. Kepada siapa kau mengaduh? Kepada tatapan yang hancur luluh? Kepada cermin yang tak lagi utuh? Wah, jidatmu yang legam dilayari kupu-kupu hitam, diarungi cicak-cicak hitam. Serba hitam. Perempuan itu samasekali tidak gila. Tidak lupa pada jagad kata yang dihuninya seorang diri tanpa cinta. Tidak sangsi dan benci pada janji-janji baik yang diucapkan para kekasih yang mengurungnya dalam lingkaran ilusi. Ia tidak gila. Hanya sepi berkepanjangan, barangkali. Dan ia benar-benar perempuan. Terbukti ia tabah, tidak mudah menyerah pada keinginan murahan untuk mencekik leher, memotong urat nadi. Memang ia mengambil pisau dari laci almari, tapi bukan untuk bunuh diri. Ia cuma ingin menyembelih bayangan-bayangan hitam yang berbondong-bondong di dinding legam. Sebuah kamar bisa menjadi salon kecantikan. Di sana ia bersolek, mengganti model rambut, alis dan bulu mata agar setiap orang tergoda untuk pura-pura
tak mengenalnya sehingga ia bisa mendapatkan cinta baru di atas kecantikan lama. Demikian pula para lelaki akan mendapatkan kejantanan kembali pada tatapan yang sesilau kerlip api setelah sekian lama dunia mereka miliki sendiri. Ah lelaki, wajahmu tersipu malu disambar rayuan baru. Lalu ia menyanyi di depan kaca almari. Lagu-lagu lama disenandungkan kembali. Kadang lebih merdu dari yang dinyanyikan di masa lalu, lebih baru dari lagu-lagu terbaru. Perempuan, kau memang hanya berlomba dengan waktu. Tak usah ditunda lebih lama. Bibir pedas sudah siap menerima lumatan. Dan jika dada kenyal itu menggembung mengempiskan hasrat-hasrat terpendam, kamar sempit siap menampung gemuruh topan dan lalu badai kehampaan. Tapi tak ada saat untuk menangis menggigit-gigit tangan. Penyanyi, jangan meraung memukul-mukul dinding. Ranjang hitam sudah menggeliat minta dekapan. Cermin retak sudah kembali berdandan. Tanggalkan gaun usang, cobalah menggelinjang. Dentang lonceng jam tiga pagi tergelak-gelak menyaksikan tubuhmu, sakitmu, yang telanjang. (1991)
Anjing Di depan rumah saya ada sebuah rumah kosong yang dinding sampingnya berbatasan langsung dengan gang. Dinding rumah itu tak pernah sepi dari coretan. Kemarin baru saja dicat putih dalam rangka menyongsong 17 Agustus-an, malamnya sudah belepotan lagi dengan berbagai macam coretan berisi umpatan. Ada coretan puitis berbunyi “asu” yang ditulis besar-besar dengan cat semprot berwarna merah. Itu pasti kelakuan Kasbulah, seorang remaja kampung yang hobinya mencoreti tembok rumah tetangga. Kasbulah adalah bajingan kecil yang rajin membolos sekolah dan memalak temantemannya. Bahkan bapaknya, seorang guru Sekolah Dasar (merangkap tukang ojek) yang tekun dan gigih, sering diperasnya pula. Ia suka meminta uang dengan ancaman tak akan masuk sekolah kalau permintaannya tidak dikabulkan. Pernah permintaannya tidak dipenuhi dan ia marah besar. Diam-diam ia menghunus spidol besar, kemudian menodai saku belakang celana bapaknya dengan tulisan “pelit”. Saya sedang membaca dengan seksama coretan-coretan nakal di dinding rumah kuno itu ketika seekor anjing cerdas lewat. Melihat tulisan “asu” di tembok bercat putih itu, si anjing mendadak berhenti, kemudian menggonggong lantang tak henti-henti dan gonggongannya membuat orang-orang berhamburan keluar. Anjing itu melotot ke arah saya – mungkin ia mengira sayalah yang membubuhkan kata “asu”. Segera saya tutup pintu, takut ia menyerang saya. Aha, anjing keren itu malah tersenyum manis kepada saya, kemudian melanjutkan perjalanannya entah ke mana. Hampir tengah malam, Kasbulah baru pulang dari keluyuran. Dengan gaya seorang jagoan ia berjalan gagah sambil bersiul-siul menyusuri gang gelap menuju rumahnya. Dari arah berlawanan muncul seekor anjing besar, tinggi dan hitam. Kasbulah berlagak tenang dan terus melangkah ke depan. Si hitam besar mencoba meruntuhkan mental bajingan kecil itu dengan meletuskan lolongannya dan lolongannya sungguh sangat mengerikan, seperti suara maut dari lembah kegelapan nun jauh di seberang. “Biarkan Kasbulah berlalu, anjing tetap menggonggong,” kata si anjing dalam hati. Belum sampai berpapasan, mental Kasbulah sudah rontok. Sambil gemetar ia segera berlari berbelok arah, mencari jalan lain menuju rumah bapaknya. Dengan girang si hitam besar mengejarnya. Kasbulah berhasil mencapai rumahnya saat lawannya hampir saja menerkamnya. Sebelum Kasbulah menutup pintu rumahnya, si hitam besar berhasil meraih saku belakang celananya dan merobek-robeknya. Ayah Kasbulah sedang duduk manis di depan televisi, menonton siaran pertandingan sepak bola sambil merokok dan minum kopi
Sajak-sajak 1994-1995 Kisah Seorang Nyumin Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar. Juga gerak, teriak, gegap, gejolak. Tak ada lagi karnaval. Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman. Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya. Tak ada lagi karnaval. Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya koran-koran bekas, berserakan, kedinginan diinjak-injak sepi. Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa Nyumin masih setia bertahan, sendirian. Lima peleton pasukan mengepungnya. “Sebutkan nama partaimu.” “Saya tak punya partai dan tak butuh partai.” “Lalu apa yang masih ingin kaulakukan? Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?” “Diam, itu yang saya inginkan.” “Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan. Kami akan pulang, mengemasi senjata, mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah yang teduh tenang.” Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara, menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara. Dan para demonstran bersorak: “Hidup Nyumin!” Suasana serasa senyap, sesungguhnya. (1992) Kisah Senja Telah sekian lama mengembara, lelaki itu akhirnya pulang ke rumah. Ia membuka pintu, melemparkan ransel, jaket,
dan sepatu. “Aku mau kopi,” katanya sambil dilepasnya pakaian kotor yang kecut baunya. Isterinya masih asyik di depan cermin, bersolek menghabiskan bedak dan lipstik, menghabiskan sepi dan rindu. “Aku mau piknik sebentar ke kuburan. Tolong jaga rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri masuk mengambil buku harian dan surat-suratmu.” Tahu senja sudah menunggu, lelaki itu bergegas masuk ke kamar mandi, gebyar-gebyur, bersiul-siul, sendirian. Sedang isterinya berlenggak-lenggok di cermin, mematut-matut diri, senyum-senyum, sendirian. “Kok belum cantik juga ya?” Lelaki itu pun berdandan, mencukur jenggot dan kumis, mencukur nyeri dan ngilu, mengenakan busana baru. Lalu merokok, minum kopi, ongkang-ongkang, baca koran. “Aku minggat dulu mencari hidup. Tolong siapkan ransel, jaket, dan sepatu.” Si isteri belum juga rampung memugar kecantikan di sekitar mata, bibir, dan pipi. Ia masih mojok di depan cermin, di depan halusinasi. (1994) Bayi di Dalam Kulkas Bayi di dalam kulkas lebih bisa mendengarkan pasang-surutnya angin, bisu-kelunya malam dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman. Dan setiap orang yang mendengar tangisnya mengatakan: “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil dan membeku bersamamu.” “Bayi, nyenyakkah tidurmu?” “Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang ke langit ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.” “Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi. Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”
Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah di matanya, ketika Ibu menjamah tubuhnya yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan. “Biarkan aku tumbuh dan besar di sini, Ibu. Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.” Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri di hadapan mulut yang mengucapkannya. (1995) Di Salon Kecantikan Ia duduk seharian di salon kecantikan. Melancong ke negeri-negeri jauh di balik cermin. Menyusuri langit putih biru jingga dan selalu pada akhirnya: terjebak di cakrawala. “Sekali ini aku tak mau diganggu. Waktu seluruhnya untuk kesendirianku.” Senja semakin senja. Jarinya meraba kerut di pelupuk mata. Tahu bahwa kecantikan hanya perjalanan sekejap yang ingin diulur-ulur terus namun toh luput juga. Karena itu ia ingin mengatakan: “Mata, kau bukan lagi bulan binal yang menyimpan birahi dan misteri.” Ia pejamkan matanya sedetik dan cukuplah ia mengerti bahwa gairah dan gelora harus ia serahkan kepada usia. Toh ia ingin tegar bertahan dari ancaman memori dan melankoli. Ia seorang pemberani di tengah kecamuk sepi. Angin itu sayup. Gerimis itu lembut.
Ia memandang dan dipandang wajah di balik kaca. Ia dijaring dan menjaring dunia di seberang sana. Hatinya tertawan di simpang jalan menuju fantasi atau realita. Mengapa harus menyesal? Mengapa takut tak kekal? Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal? Kecantikan dan kematian bagai saudara kembar yang pura-pura tak saling mengenal. “Aku cantik. Aku ingin tetap mempesona. Bahkan jika ia yang di dalam cermin merasa tua dan sia-sia.” Yang di dalam kaca tersenyum simpul dan menunduk malu melihat wajah yang diobrak-abrik tatawarna. Alisnya ia tebalkan dengan impian. Rambutnya ia hitamkan dengan kenangan. Dan ia ingin mengatakan: “Rambut, kau bukan lagi padang rumput yang dikagumi para pemburu.” Kini ia sampai di negeri yang paling ia kangeni. “Aku mau singgah di rumah yang terang benderang. Yang dindingnya adalah kaki langit. Yang terpencil terkucil di seberang ingatan. Aku mau menengok bunga merah yang menjulur liar di sudut kamar.” Ada saatnya ia waswas kalau yang di dalam cermin memalingkan muka karena bosan, karena tak betah lagi berlama-lama menjadi bayangannya lalu melengos ke arah tiada. Lagu itu lirih. Suara itu letih. Di ujung kecantikan jarum jam mulai mengukur irama jantungnya.