The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

kumpulan puisi joko pinurbo

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by PERPUSTAKAAN PUSPANEGARA, 2023-08-24 21:55:18

puisi joko pinurbo

kumpulan puisi joko pinurbo

Mampir Tadi aku mampir ke tubuhmu tapi tubuhmu sedang sepi dan aku tidak berani mengetuk pintunya. Jendela di luka lambungmu masih terbuka dan aku tidak berani melongoknya. (2002) Penyair Kecil untuk Nur Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai-rangkai kata dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya. “Kita belum punya rumah kan, Bu. Nah, Ibu tidur saja di dalam rumah buatanku. Aku akan berjaga di teras semalaman dan semuanya akan aman-aman saja.” Ketika kau bangun di subuh yang hening itu, kau tertawa melihat penyair-kecilmu tertidur kedinginan di teras rumahnya, ditunggui Donald dan Bobo, pengawal-pengawalnya yang setia. (2002) Penjual Celana Konon ia seorang veteran, bekas pejuang kemerdekaan, sehari-hari bergiat sebagai pedagang celana di sebuah pasar di dekat kuburan di pinggiran kota. Orang-orang sangat suka membeli celana bikinannya karena terjamin kwalitetnya, sangat enak dipakainya, terkenal sejak 1945. Mentang-mentang pakai celana serdadu, penjual celana itu tiba-tiba menjadi sombong dan pura-pura lupa sama aku. “Anda dari kampung ya?” ejeknya ketika aku sibuk mencoba-coba berbagai celana dan tidak juga membelinya.


“Semua celana itu palsu. Yang asli cuma ini,” katanya sembari menunjuk-nunjuk celananya sendiri. Ia tertawa hebat ketika aku berniat membeli celana antik yang dipakainya, berapa pun harganya. Ia bertahan: “Jangan. Ini celana perjuangan.” Ketika sekian tahun kemudian kami bertemu lagi di sebuah rumah sakit jiwa di dekat kuburan di pinggiran kota, bekas serdadu itu mengaku bahwa celana loreng yang dibanggakannya itu sebenarnya palsu dan ia menyesal mengapa dulu tidak menjualnya ke aku. Celana itu sudah dibeli seorang kolektor kaya yang gemar mengumpulkan berbagai macam benda pusaka. (2002) Bolong Bahkan celana memilih nasibnya sendiri: ia pergi ke pasar loak justru ketika aku sedang giat belajar bugil dan mandi. “Selamat tinggal pantat. Selamat tinggal jagoan kecil yang tampak pemalu tapi hebat.” Entah berapa pantat telah ia tumpangi, berapa kenangan telah ia singgahi, sampai suatu hari aku menemukannya kembali di sebuah kota, di sebuah kuburan. “Pulang dan pakailah celana kesayanganmu ini,” kata perempuan tua penjaga makam. Sampai di rumah, kupakai kembali si celana hilang itu dan aku terheran: “Kok celanaku makin kedodoran!” Aku termenung melihat seorang bocah di dalam cermin sedang sibuk mencoba celana yang sudah bolong di bagian tengahnya. (2002) Tanpa Celana Aku Datang Menjemputmu


untuk Wibi Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau di saat kau masih hijau. Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!” Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu. Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu: “Jemputlah aku malam Minggu, bawakan aku celana baru.” Di kamar mandi yang remang-remang itu kau masih suntuk membaca buku. Kaulepas kacamatamu dan kau terpana melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu dan seluruhnya kurelakan untukmu. “Hore, aku punya celana baru!” kau berseru. Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu. (2002)


Sajak-sajak 2002-b Telepon Genggam Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan perempuan yang kebetulan menghampirinya. Mata mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu yang tembus pandang. Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak. Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati. Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya. Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan. Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya. Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan. Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati? Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya. Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung


berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya. Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya memancarkan gambar gerimis mengguyur senja. Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak perkasa. Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tibatiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya. Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu. (2002) Ibu yang Tabah Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam negara untuk dijadikan kelinci dalam percobaan sistem keamanan. Sampai sekarang belum dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya cuma pemberani yang lugu dan kadangkadang nekat. Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu, meskipun menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran. Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit. Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis. Bila anak-anaknya bertanya, “Mengapa Ibu tidak pernah menangis?”,


jawabnya, “Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.” Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber- di sekolah partikelir yang hidup enggan mati tak mau. Sebagian besar muridnya bodoh dan berandal, tapi ya bagaimana lagi, mereka tetap harus dicintai. Ia rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi menangis, menghadapi kegagalan. “Berlatih gagal itu penting,” pesannya berulang-ulang. Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang sudah agak pucat gambarnya. Dan ia penggemar televisi yang baik. Ia bisa sangat terharu menyaksikan kisah yang menyayat hati, misalnya kisah tentang pejuang yang digugurkan negara dan jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut trenyuh dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam mengusap airmata. “Jangan menangis!” bentak ibu yang tabah itu tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?” (2002) Mataair Di musim kemarau semua sumber air di desa itu mengering. Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan. Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing, pecah di padang-padang gersang. Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah-buncah, menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang. Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba, langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya. (2002) Anak Seorang Perempuan Hingga dewasa saya tak pernah tahu saya ini sebenarnya anak siapa. Sejak lahir saya diasuh dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang lelaki yang biasa disebut ayah. Ibu


pernah mengaku bahwa dulu ia memang suka kencan dengan banyak lelaki, tapi tak bisa memastikan benih lelaki mana yang tercetak di rahimnya, kemudian terbit menjadi saya. Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang, dan bagi anak seperti saya yang mengalami kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh tidak penting-penting amat. Dan ketika seorang teman penyair iseng-iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati atau cinta birahi, hasil hubungan terang atau hubungan gelap, saya menganggap dia bukanlah pernyair cerdas. Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya, “Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?” Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-ngaku sebagai ayah saya. Masingmasing menyatakan perihal cintanya yang tulus kepada wanita yang kemudian melahirkan saya. Mereka juga merasa bangga terhadap saya. Sayang, saya tak membutuhkan pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya tetap menjadi milik rahasia. Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit. Kondisi tubuhnya makin hari makin lemah. Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Entah mengapa, beberapa saat sebelum beliau wafat saya sempat lancang bertanya: saya ini sebenarnya anak siapa? Saya bayangkan ibu yang penyayang itu akan hancur hatinya. Tapi, sambil mengelus kepala saya, ia menjawab hangat: “Anak seorang perempuan!” (2002) Rendezvous Kau sudah tak sabar menungguku di halaman rumah berdinding putih itu. Di atas bangku di bawah pohon cemara duduk seorang wanita setengah baya sedang suntuk membaca dan sesekali tertawa. Nah, perempuan itu mengangkat kaki kirinya, kemudian menumpangkannya ke yang kanan. Pahanya tersingkap, clap, kau terkejap: kaususupkan cerlap cahayamu ke celah-celah itu dan aku cemburu. Maka aku pun segera berderai lembut di atas parasmu. Aku berdebar ketika perempuan itu melonjak girang: “Ah, gerimis senja telah datang.” Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela berebut bianglala dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya. Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan,


dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan cepat-cepat masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus jejaknya. (2002) Tikus Banyak orang begitu jijik dan benci pada tikus, tapi perempuan lajang yang tinggal sendirian di rumahnya yang besar itu justru merasa tentram bersahabat dengan tikus-tikus yang mencericit terus tiada hentinya. Entah berapa tikus berumah di rumahnya. Dan setiap hari ada saja tikus mati, lalu dengan sedih ia buang ke selokan. Sebelum tidur, sambil mengantuk, ia sempatkan membaca buku Hidup Bahagia bersama Tikus sementara konser tikus berlangsung terus sampai jauh malam, juga ketika ia sudah nyenyak bermimpi bertemu kekasih yang selama ini ia sembunyikan dalam ingatan. Malam itu ia tidur berselimutkan sarung cap tikus, dan ada tikus besar dari kuburan mondar-mandir di sekitar tubuhnya, mengendus-endus sakitnya. Saat bangun ia menjerit mendapatkan tikus-tikus mati berkaparan di ranjang. Sialan, kau dapat cericitnya, aku bangkainya! (2002)


Sajak-sajak 2003-a Laki-laki Tanpa Celana Ini Januari, bulan yang rajin mandi. Di sebuah gang lengang di sudut Januari saya berpapasan dengan seorang perempuan muda, wajahnya milik trauma. Kepalanya agak tunduk, matanya sedikit sembab seperti habis menangis. Saya urung menyapanya dengan selamat pagi karena ia tampak cuek sekali. Ia biarkan serbuk hujan bertaburan di atas rambutnya yang diikat begitu saja, mengguyuri baju putih lengan panjang, celana blue jeans yang sedikit pudar warnanya, dan sepatu tok-tok kecoklat-coklatan. Seakan ia ingin bilang Selamat tinggal kecantikan! Saya terkesima: rasanya saya pernah melihatnya entah di mana. Sebelum saya sempat mengingatnya, tubuhnya keburu lenyap ditelan tikungan. Malamnya saya bermesra-mesraan dengan demam setelah seharian banyak minum hujan. Dalam demam saya tergoda untuk menjumpai para penyair kesayangan saya. Buat orang semelankolis saya, membaca puisi sering lebih mujarab dari minum obat dan saya berusaha tidak telat minum puisi sebab akibatnya bisa gawat. Nah, itu dia. Saya terhenti lama di sebuah sajak Sapardi Djoko Damono, “Pada Suatu Pagi Hari”: Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. Intuisi saya mengatakan bahwa perempuan yang berpapasan dengan saya di gang lengang pagi tadi adalah perempuan dalam sajak Sapardi. Saya akan menanyakannya ke yang bersangkutan suatu saat nanti. *** Atas petunjuk seorang teman, akhirnya saya jadi menempati rumah besar yang letaknya agak terpencil di pinggir sungai, meskipun banyak orang menganjurkan jangan karena rumah itu angker, ada jinnya, dan memang setiap orang yang pernah tinggal di situ cuma tahan sebentar, lalu pergi mencari rumah kontrakan lain yang lebih aman. Konon rumah itu ditunggui seorang laki-laki tanpa celana yang suka muncul malammalam ketika penghuninya terjaga, dan ia paling suka mencegat orang yang sedang tergopoh-gopoh ke kamar mandi. Oleh seorang penyair saya disarankan cepat-cepat telanjang bila ia datang, lalu katakan selamat malam. Maka, setelah mengucapkan Terima kasih Nona, ia akan segera pamit dan menghilang. Beberapa bulan tinggal di rumah itu, saya tidak pernah mendapat gangguan apa-apa selain serbuan tikus-tikus yang cericitnya membuat keheningan terasa makin menggema sehingga saya bisa dengan tenang menulis novel yang sudah lama saya idam-idamkan. Kecurigaan baru muncul ketika suatu hari saya jatuh sakit. Dalam sakit saya sering mendengar suara orang batuk di kamar mandi, kadang disertai jeritan Sakit euy!


Suatu malam, ketika sedang terhuyung-huyung ke kamar mandi untuk buang sakit, saya dihadang seorang laki-laki tanpa celana dengan darah mengucur dari kelaminnya. Seketika saya ucapkan selamat malam sambil saya tatap wajahnya yang meringis kesakitan, dan seketika pula ia menghilang sebelum saya sempat telanjang. Saat itulah samar-samar saya melihat bayangan wajah ayah saya yang di suatu pagi buta, dulu, dijemput beberapa orang tak dikenal berwajah seram dan sejak itu saya tak pernah lagi melihatnya. Saya mengingatnya sayup-sayup saja karena waktu itu saya baru enam tahun. Konon ayah saya seorang penyair yang berani, meskipun karyanya tidak hebathebat amat. Saya tidak tahu bagaimana persisnya, tapi saya pernah mendengar cerita orang-orang tentang seniman dan demonstran yang diculik kemudian disiksa, bahkan katanya ada yang sampai dikerat kemaluannya. Terbayang wajah laki-laki tanpa celana, saya segera teringat sebuah puisi Sapardi Djoko Damono yang sangat saya hafal salah satu baitnya: Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. Berkali-kali saya keluar-masuk puisi itu dan akhirnya saya yakin bahwa laki-laki tanpa celana yang meringis kesakitan itu adalah laki-laki yang saya jumpai dalam sajak Sapardi. Semula saya berniat menanyakan hal ini langsung kepada penyairnya, tapi lalu saya pikir untuk apa, sebab Sapardi pasti akan mengatakan bahwa pengarang telah mati. *** Sebagai wartawan yang boleh dibilang agak kurang kerjaan, saya sering menyempatkan diri menelusuri jejak perempuan itu. Belakangan saya tahu bahwa ia tinggal sendirian di sebuah rumah angker di pinggir sungai. Saya sering pura-pura lewat di depan rumahnya hanya untuk memastikan bahwa ia memang tinggal di sana. Kadang-kadang saya melihat ia berdiri lama di depan jendela, bercakap-cakap dengan senja. Saya memutuskan untuk menemui perempuan misterius itu karena memang ada hal penting yang ingin saya tanyakan. Saat itu sedang berlangsung demonstrasi besar-besaran menentang kenaikan harga bahan bakar minyak yang diikuti dengan makin anjloknya harga manusia. Saya melihatnya di tengah kerumunan demonstran sedang mengacungacungkan tangan sambil meneriakkan kata-kata yang tidak bisa saya dengar jelas bunyinya. Saya dekati dia, saya ajak ke tempat yang agak sepi untuk, katakanlah, semacam wawancara. “Non, sepertinya saya pernah melihat Non dalam sajak Sapardi, ‘Pada Suatu Pagi Hari’.” Ia tampak bingung dan tidak mengerti apa yang saya katakan. “Mengapa pagi itu Non kelihatan habis menangis? Sepertinya baru pulang dari kuburan. Siapa yang meninggal, Non?” Ia makin bingung dan tampak mulai curiga dengan kesehatan jiwa saya. Setelah minta maaf kalau-kalau kelakuan saya telah melukai perasaannya, saya katakan bahwa Sapardi titip salam untuknya (padahal cuma akal-akalan saya saja).


“Sapardi? Pangeran dari mana? Saya nggak kenal tuh.” Tanpa permisi, cepat-cepat saya tinggalkan dia. *** Saya mengasingkan diri ke rumah ini, meninggalkan ibu dan saudara-saudara saya, karena saya tak ingin terpenjara dalam kepedihan masa lalu saya. Toh setiap akhir pekan saya sempatkan pulang ke rumah Ibu, menghirup kehangatan dan kedamaiannya. Saya tidak pernah bercerita kepada Ibu bahwa alasan utama saya pergi menyendiri adalah karena ingin menulis sebuah kisah, bukan karena tak bisa berdamai dengan rumah. Ketika novel yang sedang saya tulis mulai terancam macet, laki-laki tanpa celana itu muncul lagi. Ia sering datang lewat tengah malam ketika saya sudah lelap di pembaringan. Ia duduk di kursi yang biasa saya duduki, mencelupkan pena pada darah yang menyembul dari kelaminnya, lalu menuliskan kata-kata di atas halaman-halaman buku yang terbuka di atas meja kerja saya. Sesekali, saat terjaga, saya dengar ia mengerang, Sakit euy! Ah, laki-laki tanpa celana itu, dengan caranya sendiri, telah ikut menyelesaikan novel saya. Banyak orang heran dan tak habis pikir, bagaimana mungkin perempuan selembut saya (padahal sebenarnya saya agak cerewet dan keras kepala) bisa betah dan tenang-tenang saja tinggal di rumah terpencil yang menurut mereka sangat menakutkan. Mereka kemudian menyebut saya perempuan sakti karena dianggap mampu mengusir jin laki-laki tanpa celana yang konon sudah menelan banyak korban. Ada yang bahkan meminta saya menyembuhkan penyakit aneh yang bersarang di tubuhnya. Oh ya, tentu saya tahu bahwa laki-laki yang berpapasan dengan saya di gang lengang itu diam-diam suka memantau keberadaan saya. Tampaknya dia memang wartawan yang agak kurang kerjaan karena sering mencari-cari kesempatan hanya untuk memperhatikan atau minta perhatian saya. Seperti tidak ada bahan berita saja. Jangan-jangan dia naksir saya tapi tidak berani atau malu berterus terang. Gombal ah! *** Setelah beberapa lama tidak mengikuti jejaknya, tiba-tiba saya mendapat undangan untuk menghadiri malam peluncuran novel perdananya: Laki-laki Tanpa Celana. Sayang sekali saya datang agak terlambat. Ketika sampai di tempat acara, saya lihat perempuan itu sedang sibuk menjawab pertanyaan orang-orang yang tanpa membaca karyanya terlebih dulu sudah berani menyatakan diri sebagai penggemarnya. Gila, perempuan itu mengenakan semua yang ia kenakan saat berpapasan dengan saya di gang lengang itu: baju putih lengan panjang, celana blue jeans yang sedikit pudar warnanya, dan sepatu tok-tok kecoklat-coklatan. Rambutnya pun diikat begitu saja. Dan matanya sangat kenangan. Saya memperhatikannya dari jauh dan diam-diam mengagumi keindahan bicaranya.


Saya hampir tak percaya melihat Sapardi duduk manis di samping perempuan itu, memberikan komentar sambil membolak-balik halaman-halaman buku Laki-laki Tanpa Celana yang disebutnya memikat antara lain karena tokohnya luar biasa. Sesekali mereka berdua terlihat berbincang akrab sambil ketawa-ketawa, padahal dulu perempuan itu mengaku tidak mengenalnya. Saya tidak tahu apakah mereka diam-diam bersekongkol untuk menghancurkan mental saya. Mudah-mudahan cuma kebetulan saja. Mungkin sudah menjadi suratan nasib saya, ketika saya hendak menyodorkan buku novelnya dan minta tanda tangannya, perempuan itu seakan-akan tidak mengenal saya, bahkan menjauh menghindari saya. Entah mengapa tiba-tiba saya merasa sangat nelangsa. Dan, sebagaimana tersabdakan dalam sajak Sapardi, malam itu saya ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong yang gelap. Saya ingin malam itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar saya bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. (2002/2003) Selamat Tidur Telepon genggam mau tidur. Capek. Seharian bermain monolog. Banyak peran. Konyol. Enggak nyambung. Paling pusing bicara dengan bahasa siluman. Serba akronim dan singkatan. Maunya hemat waktu. Enggak hemat pikiran dan perasaan. Sok cerdas. Pemalas. Paling seru bisa ngakak-ngakak sendirian. Ha ha ha. Atau mengumpat. Bangsat. Brengsek. Prek. Asu. Gombal. Kere. Pengkhianat. Jahanam. Rasain. Mampus. Paling berat bikin rayuan. Ayo sayang. Enggak marah kan? Aduh cakepnya. Mabuk yuk. Sip. Paling senang sebelum tidur bisa memainkan beragam musik yang semuanya sesungguhnya hanya variasi dari suara tangis pertama seorang bayi. Beethoven, telepon genggam mau tidur. Boleh dong pinjam telingamu yang tuli untuk menampung bunyi! (2003) Panggilan Pulang Bangun tidur, ia langsung menghidupkan telepon genggam: mudah-mudahan ada pesan. Masih ngantuk. Masih ada kabut mimpi di matanya. Masih temaram.


Sebenarnya apa perlunya pagi-pagi menyalakan telepon genggam? Paling-paling cuma dapat pesan ringan. Bagaimana tidurmu semalam? Sarungnya enak kan? Lupa sama saya ya? Tadi saya nunggu lama di kuburan. Adzan subuh berkumandang. Penuh hujan. Ia buka telepon genggam. Tumben, ayah kirim pesan: Ibu sakit. Kangen berat. Nenek sudah tiga hari hilang. Makam kakek belum sempat dibersihkan. Sarung ayah dicuri orang. Utang stabil. Pohon nangka di samping rumah tumbang. Bisa pulang? Bisa minta ijin telepon genggam? Pesan berakhir. Musik. Telepon genggam menyanyikan The Beatles: Mother…. (2003) Laut Sekali-sekali telepon genggam perlu juga diajak piknik atau jalan-jalan. Ke pantai, misalnya. Supaya makin luas pandangannya. Makin lepas jangkauannya. Di pantai ia jatuh cinta pada laut. Ia memanggil-manggil nama laut, tapi suaranya lenyap ditelan laut. Aku tiduran di atas pasir, sementara telepon genggam sibuk memotret awan dan air, merekam derai dan desir. “Silakan kau latihan mati,” katanya. “Aku ingin begadang, mendengarkan bisikan-bisikan laut.” Sekarang, bila aku sakit, telepon genggam suka menggodaku dengan suara angin dan ombak. Lalu ia perlihatkan profil bulan yang malu-malu. Profil ajal yang diutus waktu. “Ingat, kau sudah latihan mati di pantai,” bisiknya. Tiba-tiba aku mendengar gemuruh laut. (2003) Selamat Tinggal Ia tidurkan telepon genggamnya di kuburan, lalu ia buang ke laut. (2003) E-Mail Tengah Malam


Tugas rutinnya tiap tengah malam adalah membuka dan mengirim e-mail. Ia sering heran sendiri untuk apa repot-repot mengirim e-mail hanya untuk mengucapkan selamat tidur kepada orang yang sudah tidur. Sungguh enggak lucu. Sama enggak lucunya dengan membuka sekian e-mail dari sekian orang yang makin dibaca makin menambah perasaan ngelangut saja. Klik. Kali ini ia mendapat kiriman e-mail yang tidak biasa. Bukan kata-kata. Bukan kalimat-kalimat bego yang enggak ngerti logika dan gramatika. Tapi gambar seorang lelaki yang sedang tergesa-gesa meninggalkan kamar mandi. Lelaki itu tampak ketakutan sekali, seakan ada peri yang ingin segera mencicipi luka yang menganga di tubuhnya. Telepon genggam menyela. Dari seberang seorang perempuan bicara: “Aku kirim gambar bagus, sudah sampai belum?” “Gambar apa?” “Gambar lelaki sedang tergopoh-gopoh mengenakan celana karena ketakutan sendirian di kamar mandi.” “Sudah. Barusan kubuka. Tapi lelaki itu sudah enggak ada. Yang ada cuma celananya, teronggok di lantai kamar mandi. Biru kan celananya?” “Benar, biru. Tapi menghilang ke mana lelaki lucu itu?” “Sudah kuhapus.” “Lho, kenapa?” “Habis dia mirip aku!” “Ha ha ha ….” Ia sudah selesai melakukan tugas rutin tengah malam: membuka e-mail. Tapi kali ini ia tidak tertarik membalas e-mail. Ia ingin sekali kencing, tapi tidak berani ke kamar mandi. Padahal kamar mandi cuma bersebelahan dengan ruang kerjanya. (2003) Jam Satu-satunya barang berharga yang masih tersisa di rumahnya adalah jam. Jam dinding peninggalan kakeknya yang sengaja ia pasang di ruang tamu supaya setiap orang yang datang bertandang bisa ikut mengagumi waktu. Tiap jam dua belas malam jam itu berdentang dua belas kali. Ia sangat sayang kepada jamnya hingga mati-matian mempertahankannya meskipun sudah banyak orang ingin membelinya. Setiap meninggalkan rumah, ia tak pernah lupa pamitan, “Jam, aku pergi dulu ya!” Dan hanya jamnya yang ia rindukan bila ia pergi jauh dan lama ke luar kota. Teringat jam, ia teringat almarhum kakeknya yang punya hobi bongkar-pasang jam sampai matanya minus delapan. Mewah sekali rasanya duduk santai di bawah jam di malam hujan sembari merokok dan baca koran, mendengarkan dua belas dentang jam, mengenang yang telah silam, membayangkan yang bukan-bukan sambil senyum-senyum (dan, kalau perlu, menangis) sendirian, kemudian tertidur di sandaran kursi sampai saat terdengar kumandang adzan.


Hari itu ia pulang dari kelilang-keliling di luar negeri: cari uang, cari pacar, cari gengsi, cari pengalaman, dan katanya sih cari tujuan. Ia membawa oleh-oleh banyak sekali, termasuk beberapa arloji; semuanya untuk dirinya sendiri. Sungguh parah kangennya hingga begitu membuka pintu ia langsung berseru, “Jam, aku pulang!” Sayang, jam tidak bisa terharu. Ia malah bingung: “Sebetulnya siapa yang lebih pengembara: kamu atau aku?” Toh tiap jam dua belas malam ia tetap berdentang dua belas kali. (2003) Foto Ia bangga sekali bisa memasang fotonya yang lumayan keren di dinding ruang kerjanya, persis di bawah jam. Berhubung ia sering melaksanakan tugas-tugas negara di luar kantor, foto itu dianggapnya dapat mewakili cintanya yang resmi kepada instansi yang dipimpinnya serta pegawai-pegawainya yang patuh-setia. Tiap hari ada saja pegawai yang datang terlambat. Tanpa sungkan-sungkan pegawai langsung menuju ke ruang kerjanya dan menghormat fotonya: “Maaf bos, saya telat. Kena macet.” Pegawai yang suka ngacir lebih dulu juga tidak malu-malu minta pamit kepada fotonya: “Saya ijin membolos ya bos. Mau buang sebel di kafe.” Setelah beberapa hari tidak menjenguk kantor, siang itu ngapain bos nongol. Pura-pura tampak berwibawa, ia meluncur ke ruang kerjanya untuk menghadap fotonya: “Selamat siang bos. Apa kabar? Lama tidak kelihatan.” Para pegawai berpandang-pandangan penuh keheranan. “Foto itu sudah gila!” seru salah seorang dari mereka. (2003) Anjing Rumahku dijaga dua anjing cerdas: anjing sungguhan dan anjing-anjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet dan sok polisi: sepi berkelebat sedikit saja ia sudah panik lalu menyalak keras sekali. Anjing-anjingan sungguh kalem lagi pemalu: maklum, tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu. Entah mengapa malam lebih takut pada anjing-anjingan ketimbang pada anjing sungguhan sehingga anjing sungguhan jadi cemburu. “Aku yang sibuk menjaga rumah ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!” kata anjing sungguhan kepada anjinganjingan.


Aku sering terbangun dari tidurku mendengar dua ekor anjing bertengkar hebat di depan pintu. Dari suaranya aku bisa tahu bahwa anjing sungguhan makin lama makin frustrasi. Aku baru sadar bahwa anjing-anjingan bisa lebih anjing dari anjing sungguhan. Tapi kalau tidak ada anjing sungguhan, anjing-anjingan pasti akan sangat kesepian. Bisakah kalian berdamai, hai anjing-anjingku? (2003) Ojek Di pertigaan jalan yang selalu ramai itu terdapat pangkalan ojek yang dikuasai oleh kirakira dua puluh laki-laki berseragam hitam. Mereka siap mengantar siapa saja ke tempat terpencil yang tak terjangkau kendaraan umum. Untuk menunjukkan kekompakan, mereka memakai helm berwarna jingga, warna yang sangat mudah dikenali oleh pengguna jasa mereka. Bagi saya yang baru pertama kali akan naik ojek dari sana, tidak mudah membedakan mana tukang ojek yang ramah dan mana yang suka marah sebab wajah mereka sama dinginnya. Karena sudah larut petang, kendaraan yang menuju ke tempat yang akan saya datangi sudah tidak jalan. Tidak ada cara lain, harus naik ojek. Begitu turun dari bus, saya langsung disergap oleh seorang tukang ojek bermata garang. Semula ia tampak asing dengan alamat yang saya sebutkan. Baru setelah saya bujuk-bujuk dengan ongkos yang jauh lebih tinggi, dengan senang hati ia bersedia mengantar saya. “Kita cari saja, pasti ketemu,” ujarnya. Diam-diam saya merasa was-was mendapat tukang ojek yang sangat mencurigakan. Sepanjang perjalanan saya berdebar-debar seraya tak henti-hentinya berdoa memohon keselamatan. Apalagi jalanan gelap dan sepi, naik-turun penuh tikungan. Saya jadi teringat berita di koran tentang tukang ojek gadungan yang merampok dan kemudian menghabisi penumpangnya sendiri. Ketakutan saya makin berlipat ganda karena sepanjang perjalanan si tukang ojek diam saja, menjalankan sepeda motornya juga seenaknya, tidak mau tahu bahwa penumpang adalah raja. “Syukur alhamdulillah, selamat juga akhirnya!” Itulah yang segera diucapkan si tukang ojek begitu sampai di tempat tujuan. Lho, seharusnya kan saya yang mengucapkan itu? Tidak saya duga, tukang ojek itu pun berdebar-debar sepanjang perjalanan karena ia teringat temannya sesama tukang ojek yang tewas mengenaskan setelah dirampok dan dianiaya oleh penumpangnya sendiri. Wah, draw kalau begitu. Tapi saya tetap merasa rugi karena diam-diam saya dicurigai sebagai pencoleng berlagak penumpang. Indah sekali kompleks perumahan yang saya kunjungi ini. Terletak di atas sebuah bukit, dari ketinggiannya yang hening dan asri saya bisa menyaksikan gugusan cahaya warnawarni di bawah sana. “Itu kota saya,” kata saya. Kemudian saya masuk gerbang, mencaricari rumah mungil tempat sahabat saya yang baik hati sedang beristirahat. Ia mati dengan


sederhana dalam perjalanan naik ojek menuju desa kelahirannya setelah sekian lama hidup makmur dan sejahtera di kota, tapi konon gagal total dalam petualangan cinta. Tukang ojek yang mengantarnya pulang terkena serangan jantung mendadak; sepeda motornya terkejut, kehilangan keseimbangan, kemudian meluncur ke dalam jurang bersama penumpangnya. “Tunggu sebentar ya, saya mau bicara dengan teman saya,” pinta saya kepada tukang ojek. Tanpa berpikir panjang, tukang ojek yang penakut itu cepat-cepat ngacir setelah sebelumnya berkata, “Kalau tahu mau ke kuburan, saya tidak akan sudi mengantarkan!” Wah, tukang ojek itu tidak tahu bahwa jika suatu saat nanti saya tiba di surga, hal pertama yang akan saya lakukan adalah naik ojek keliling kota, bersenang-senang menikmati tabungan. (2003) Koma Menjelang dinihari pengarang itu mati. Kepalanya terkulai di atas meja, batuknya serasa masih menggema, sementara rokok yang belum habis dihisapnya masih menyala di atas asbak. Tubuhnya babak belur sehabis semalaman duel seru melawan komplotan kata: duel satu lawan satu maupun satu lawan dua, lima, sepuluh, pokoknya banyak. Di layar komputernya tertera tulisan: Kutunggu lagi kalian besok malam. Boleh satu lawan satu, boleh keroyokan. Besoknya ia datang lagi ke gelanggang. Ia pikir malam itu ia akan berhadapan dengan komplotan kata yang lebih preman. Tak tahunya cuma ditantang sebuah tanda koma yang berani-beraninya muncul sendirian. Ah, itu sih kecil. Sekali pukul saja pasti terpental. Wow, ia salah duga. Koma ternyata sangat perkasa. Sudah bertarung semalam suntuk, belum juga ia takluk. Malah makin mbeling saja. Bukan main cerdiknya. “Belajar silat di mana, dik? Di sekolah ya?” tanya pengarang. “Ah, tidak. Saya otodidak saja,” jawab koma. Antara mabuk dan mengantuk, pengarang berusaha keras mengeluarkan jurus-jurus jitu untuk melumpuhkan koma. Sebab hanya yang mampu menguasai koma yang layak menyebut diri jagoan. Dan tahukah, pengarang, koma pula yang setia menungguimu saat kau mati menjelang dinihari? Ketika pengarang terbangun dari mati, koma memberi kabar bahwa judul sedang sakit sehingga tidak bisa datang. “Dia memang tidak tahan banting. Manja!” ujarnya. “Lantas siapa yang menggantikannya?” timpal pengarang. “Sudah jelas saya, masih nanya!” kata koma. (2003)


Mandi Mereka tiba di kamar mandi menjelang tengah malam ketika langit terang dan bulan sedang cemerlang. Pemimpin rombongan segera angkat bicara: “Hadirin sekalian, malam ini kita berkumpul di sini untuk mengantar mandi salah seorang saudara kita. Mari kita sakiti dia agar sempurnalah mandinya.” Korban segera diseret ke kamar mandi dan diperintahkan berdiri di depan. Wajahnya tertunduk pucat, tubuhnya gemetar, dan matanya seperti kenangan yang redup perlahan. Belum sempat pemimpin rombongan menanyakan tanggal lahir dan asal-usul korban, orang-orang yang sudah tak sabar menyaksikan sekaratnya berseru nyaring: “Mandikan dia! Mandikan dia!” Tubuh tak bernama yang terlampau tabah menerima cambukan waktu yang gagah perkasa. Mandikanlah dia. Mulut tanpa kata yang tak perlu lagi mengucap segala yang tak terucapkan kata. Mandikanlah dia. Hati paling rasa yang tak pernah usai memburu cinta di rimba raga. Mandikanlah dia. Mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka. Pembantaian sebentar lagi dimulai. Hadirin segera pergi setelah masing-masing menghunjamkan nyeri ke ulu hati. Korban dibiarkan terkapar di kamar mandi. Sepi yang tinggi besar melangkah masuk sambil terbahak-bahak. Korban diperintahkan berdiri. Mandi!” bentaknya. Dengan geram diterkamnya tubuh korban dan kemudian dikuliti. Lihatlah, korban sedang mandi. Mandi dengan tubuh berdarah-darah. Bahkan bulan tak berani bicara; dengan takut-takut ia melongok lewat genting kaca. Sepi makin beringas. Ia cengkeram tubuh kurus korban, ia serahkan lehernya kepada yang terhormat tali gantungan. Krrrkk! Sepi melenggang pergi sambil terbahak-bahak, meninggalkan korban berkelejatan sendirian. Lalu, di hening malam itu, tiba-tiba terdengar seorang bocah menjerit pilu: “Ibu, tolong lepaskan aku, Ibu!” (2003) Mandi Malam


Mandi malam sangat rawan. Banyak ancaman. Kalau tidak siap dan kuat, bisa-bisa pulang telanjang. Ia pun pergi mandi membawa pisau. Pisaunya tajam berkilau. Awas, kuhabisi kau kalau coba-coba mengacau! Masuk kamar mandi, langsung berkelahi. Pisau bicara. Mati satu, mati semua. Sampai akhirnya terdengar suara menghiba: Ampun. Menyerah. Mandi telah dilaksanakan. Sukses. Wajahnya belepotan darah. Darah siapa? Tahu gelagat, sepi cepat-cepat menjawab: Darahnya sendiri! (2003) Buku Hadiah terindah yang kudapat dari buku ialah ingatan: pacar terakhir yang selalu membujukku agar tidak mudah mati dalam kehidupan, hidup dalam kematian. Aku teringat sebuah buku yang pernah kulihat dua puluh tahun lalu. Buku kecil yang aku lupa-lupa ingat judulnya. Berkat jasa baik seorang pemulung bukulah akhirnya bisa kutemukan buku itu di sebuah kios buku loak yang letaknya ternyata tidak jauh-jauh amat dari rumahmu. Memang buku lama. Tapi apa bedanya lama dan baru jika aku belum pernah membacanya? Ah, buku tua itu tidak sanggup lagi memamerkan keangkuhannya. Seluruh halamannya sudah kuning kecoklat-coklatan. Bagian pinggirnya sudah geriwing digerogoti waktu. Foto pengarangnya pun sudah pudar, bahkan keropos dan sebentar lagi hancur. Malang benar nasibmu, pengarang. Fotomu yang jelek kautampangkan dengan penuh kebanggaan hanya untuk merana dan mungkin tak pernah digubris orang. Dan ngomong-ngomong, sudah mendapat bayaran atau belum, wahai pengarang budiman? Buku itu isinya sederhana saja: berkhotbah tentang bagaimana sebaiknya membaca buku. 1. Jangan sok pintar dan sok tahu. Jangan belum-belum sudah bilang: ah, kalau cuma begini aku juga mampu. 2. Jangan cepat merasa bodoh kalau tidak juga paham apa maunya buku. Apa yang tak kaupahami suatu saat toh akan membukakan diri. 3. Jangan terlalu lugu. Tahu kan batas antara lugu dan dungu sering tidak jelas-jelas amat? Kau bisa saja mengganti kata-kata dalam buku dengan kata-katamu. 4. Jangan sok filsuf: membaca buku sambil mengernyitkan dahi dan mengerutkan mata, apalagi pakai ketok-ketok jidat segala. Santai saja, supaya tidak penat. Kalau penat, katakata yang kaubaca tidak akan bebas menari-nari dalam otakmu. Alkisah, setelah sekian lama berpacaran dengan buku-buku, temanku seorang macan buku akhirnya menikah juga dengan pacarnya yang sungguhan, yang sama-sama


pencandu buku. Karena tak biasa kasih kado, aku berikan saja buku tua itu sebagai kado pernikahannya. Ngakunya bulan madu, baru sehari ia sudah meneleponku. Kukira mau mengucapkan terima kasih, tak tahunya cuma mau memaki-maki. “Brengsek kau! Gara-gara buku rombeng pemberian kau, program malam pertamaku jadi kacau-balau.” “Maksud kau?” “Ya aku jadi lebih sibuk membaca buku daripada membaca istriku.” “Terus?” “Ia rebut buku itu, lalu ia tamparkan ke jidatku.” “O, bagus itu. Seperti awal-awal orang belajar mencintai buku kan?” “Bagus matamu! Tahu nggak, gara-gara buku sialan itu istriku belum-belum sudah ngomongin cerai segala?” “Ah, kau juga bego sih. Sudah sekian tahun jadi pembaca buku, belum juga tahu cara belajar membaca istrimu.” “Ala, sok tahu lu. Kawin aja belum.” “Belum atau sudah kawin kan aku sendiri yang lebih tahu. Lugu amat lu!” Malang dapat ditolak, untung dapat diraih. Sekian tahun kemudian secara kebetulan aku bertemu pasangan pencinta buku itu di sebuah pesta buku. Mereka tampak bahagia (setidak-tidaknya di depanku). “Kok sendirian?” sapa istri temanku. “Dia bujang lapuk!” bisik temanku ke telinga istrinya, dan sialnya, istrinya menganggukangguk saja. “Terima kasih ya untuk bukunya dulu itu,” ujar istri temanku. “Salam untuk istri tercinta.” Istri? Tercinta? Aku terbengong lama. “Wah, bego juga lu,” tukas temanku. “Ya buku-bukumu itu istrimu!” Aku pilih melengos pergi sambil berkata dalam hati: ah, tampaknya mereka sudah pintar membaca buku. (2003) Selamat Ulang Tahun, Buku Selamat ulang tahun, buku. Makin lama kau makin kaya saja. Tambah cerdas pula. Aku saja yang tambah parah dan sekarang mulai pelupa. Maaf, aku tidak bisa kasih hadiah apa-apa selain sejumlah ralat dan catatan kaki yang aku tak tahu akan kutaruh atau kusisipkan di mana. Sebab kau sudah pintar membaca dan meralat dirimu sendiri.


Kau bahkan sudah tidak seperti dulu ketika aku berdarah-darah menuliskanmu. Dan aku agak curiga jangan-jangan kau (pura-pura) pangling dengan saya. Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja aku kekasih atau pacar naasmu. Panjang umur, cetak-ulang selalu! (2003) Kanibal yang Malang Sudah tujuh hari tujuh malam kami menjaga makam almarhum, namun apa yang kami takuti tidak juga terjadi. Semasa hidupnya almarhum dikenal sebagai tokoh terhormat dan menjelang wafat sempat menyatakan ingin bertobat karena katanya beliau sebenarnya juga penjahat yang diam-diam suka menyantap nasib orang-orang yang hampir tidak pernah merasakan hidup lezat. Kami ditugaskan untuk menjamin keamanan dan kehormatan jasad almarhum karena di daerah kami sedang gentayangan seorang kanibal yang suka mencuri mayat orang yang baru dikuburkan dan favoritnya adalah mayat tokoh terhormat semisal juragan atau pejabat. Kanibal kita tinggal bersama ibunya di sebuah rumah yang tidak bisa dibilang rumah, sedangkan ayah dan saudara-saudaranya pergi mencari makan entah di mana. Jangankan makan sekolahan, bisa makan makanan pun bagi kanibal kita sudah merupakan kemewahan. Ibunya hanya bisa nelangsa bila anak lelakinya itu bertanya, “Mengapa kita harus lapar, Bu?” atau “Hari ini ada yang bisa dimakan nggak, Bu?” Dan bila pertanyaannya meningkat menjadi “Siapa yang bisa dimakan ya, Bu?”, ibunya langsung merinding karena ia tahu apa yang sedang berkelebat dalam pikirannya. Sampai sejauh ini sudah ada tujuh mayat orang terhormat yang menjadi korban keganasannya dan mayat almarhum yang sedang kami jaga konon termasuk yang paling diincarnya. Mayat-mayat itu disayat-sayat dan dipotong-potongnya, dibikin tongseng atau sate, atau kalau sudah tidak kuat menahan lapar ya diganyang begitu saja. Tulangtulangnya dipendam di kebun atau dibuang ke sumur; khusus tulang yang bagus ia sisakan untuk dijadikan mainan atau hiasan, misalnya pedang-pedangan. Sedangkan tengkoraknya ia pakai untuk menakut-nakuti dirinya sendiri. Berita terakhir yang kami terima sungguh di luar dugaan. Kanibal kampung yang telah membuat penduduk tidak berani keluar malam itu ternyata sudah tewas dimangsa kanibal lain yang lebih buas. Sisa-sisa tubuhnya ditemukan di sebuah kamar hotel. Kepalanya krowak, kedua matanya lenyap, demikian pula jantung, hati, bahkan kemaluannya. Kaki dan tangannya tersisa sebagian. Diantar beberapa petugas, ibu kanibal yang malang datang mengambil sisa-sisa tubuh anaknya itu. Menurut kabar-kabur yang cepat tersiar, kanibal kita dimangsa oleh kanibal kesayangan almarhun yang mengganggap almarhum sebagai pelindung yang baik hati karena semasa


hidupnya banyak memberikan rejeki. Dari pada mayat almarhum dimakan kanibal, lebih baik kanibal itu disantap lebih dulu. Hebat benar almarhum ini. Sudah mati pun masih bisa bikin orang mati. (2003) Mata Ada tiga mata bertemu di kafe itu: matasenja, matakata dan matangantuk. Matasenja lekas terpejam karena hujan bilang pertemuan ini memang jatahnya malam. Matakata minus delapan karena katakata waduh mabuk berat dihajar kenangan. Matangantuk merah merindu melihat botol bir makin penuh dengan airmatamu. (2003) Selamat Malam, Kanibal Kita datang ke perjamuan seperti pernah kita janjikan. Kau sangat lapar, aku ingin kenyang. Selamat makan. Hujan sangat kanibal: ia habiskan derau hujan sebelum sempat kita cicipi harum hujan. Ayo minum. Matamu sangat kanibal: mereguk mataku sepenuh ambigu sebelum mataku meneguk matamu. Apa lagi yang akan kausantap, hai kanibal, bila senja yang belum matang juga lenyap dilahap malam? Oh ya, masih ada anggur darah. Kita muntah-muntah. Kau muntah rindu, aku muntah waktu. Kita pulang membawa sesal. Selamat malam, kanibal! Kau melenggang ke kiri, aku menghilang ke kanan. Kita berpisah sebelum sempat saling menghabiskan.


(2003) Kecantikan Belum Selesai Sudah selesai. Sudah kucoba semua warna. Sekarang bersiaplah kau di ruang ganti busana. Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir pada rambut, mata dan bibir agar melihatku adalah melihat kecantikan yang belum selesai. Perlukah, manis, kuoleskan darah pada bibirmu yang skeptis agar semua yang mendamba kau sangsai: apakah kecantikan sudah/belum selesai? Ditemani dua orang perias wajah, penyanyi itu tercenung lama di depan kaca, memandang senja di ufuk mata: melihat elang mengitari mambang. Ia berjalan pelan ke arah panggung. Petugas kecantikan segera mengatur tubuhnya sebagaimana mereka mengatur ruang dan cahaya. Konser dimulai. Hadirin bersorak-sorai. Selamat malam. Dua jam bersama kecantikan. Menjelang lagu terakhir penyanyi itu terkulai. Ambruk sebelum usai. Sudah selesai, ia menangis. Belum! mereka histeris. Kecantikan belum selesai! (2003) Lebih Dekat dengan Engkau Tidak mudah mendapatkan waktu yang baik untuk menjumpai engkau. Pagi engkau masih tidur. Malam engkau sibuk menyendiri dan melukis. Secara kebetulan saja aku bisa bertemu engkau. Ketika aku tiba di rumahmu, engkau sedang mandi. Engkau penggemar mandi tampaknya. Mandimu lama dan riang sekali. Kudengar engkau bersenandung. Senandungmu menjangkau relung yang telah lampau. Aku terdiam di ruang tamu. Termangu. Melihat-lihat kau dalam pigura: sedang duduk berdua dengan senja di halaman rumah yang rindang, wajahmu gemilang oleh kemilau mambang.


Lama ditunggu, mandimu selesai juga akhirnya. Kau melongok ke ruang tamu. “Selamat siang! Maaf ya, tadi terlambat bangun. Semalam melukis sampai pagi.” Lalu kau minta ijin untuk mengeringkan rambut yang habis dicuci. Lalu kau muncul bersama hitam: hitam bajumu, hitam celanamu, hitam rambutmu, hitam kopimu. “Ayo minum. Mumpung masih hitam,” kata kau, lalu kaupersilakan aku bicara. “Tapi jangan lama-lama. Sebentar lagi aku harus melukis. Selagi masih bisa berdamai dengan warna.” *** Engkau biasa bangun siang? Ya, itu hobi. Lebih tepatnya pilihan. Entah mengapa aku tidak suka melihat terbitnya matahari. Engkau penggemar mandi? Mandi adalah senang-senang. Bagi orang lain mandi mungkin tugas atau pekerjaan. Atau kontemplasi. Atau melankoli. Untukku mandi adalah pembebasan. Maaf, tampaknya engkau suka berlama-lama mandi. Tergantung suasana hati. Kalau hati senang, mandi juga senang. Dan lama. Kalau hati sedih, mandi adalah penghiburan. Dan bisa lebih lama. Apakah kau suka mandi sambil menyanyi dan menari? Ya itu tadi, tergantung suasana hati. Bisa diperagakan? Ah, kau norak sekali! Adakah hubungan perilaku mandi dengan masa kecil seseorang? Aku pernah membaca buku psikologi mandi. Konon mandi bisa merupakan pelampiasan perasaan-perasaan terpendam yang erat kaitannya dengan memori dan pengalaman masa silam. Bohong! Mandi ya mandi. Titik. Engkau tidak sedang menyembunyikan diri, bukan? Ah, seperti psikolog saja. Memang pernah bercita-cita jadi psikolog, tapi entah mengapa tersesat jadi wartawan. Wah, kalau begitu rugi dong bicara dengan orang tersesat. Aku memang tersesat dalam kepedihan matamu. Gombal! ***


Hari makin beranjak siang. Rumahmu terasa lengang. Makin lengang, makin luas dan ngiang oleh alunan Mozart yang timbul-tenggelam. Engkau minta ijin untuk rehat dulu. Engkau masuk kamar. Kau bilang mau masuk kanvas sebentar. Mau mengaduk warna. Membetulkan garis-garis senja. Dengan wajah berbinar-binar engkau muncul kembali bersama hitam: hitam bajumu, hitam celanamu, hitam rambutmu, hitam lengkung langit matamu. *** Engkau tidak takut sekian lama tinggal sendirian? Engkau tidak pernah kesepian? Oh tidak. Mungkin malah sepi yang takut dengan kesendirianku. Bisa engkau jelaskan? Kesendirian bisa sangat berbahaya jika ia tegar dan kuat. Sepi akan limbung, lalu merasa kehilangan alasan kehadirannya karena tidak mendapatkan antagonisnya. Wah, agak berbau filsafat juga. Harus! Supaya kau bingung. Supaya aku menang. (Engkau tertawa ngakak dan aku senang.) Sejak tadi aku mendengar cericit tikus di rumah ini. Engkau suka memelihara tikus? Tikus-tikus itu dipelihara sepi untuk melawan kesendirianku. Tapi cericit tikus justru membelaku. Engkau tinggal di rumah ini dalam rangka menyendiri atau melarikan diri? Apa bedanya? Menyendiri itu menyepi atas kemauan sendiri. Melarikan diri itu minggat atas paksaan sendiri. Enggak lucu! Keduanya salah. Aku cuma ingin berdamai dengan diri sendiri. Aku benci bunuh diri. Aku dengar rumah ini ditunggui laki-laki tanpa celana yang suka muncul malam-malam dengan darah mengucur dari kelaminnya. Kapan aku bisa bertemu dengannya? Stop! Engkau jahat. Engkau mulai memasukiku. Maaf. Satu lagi. Besok engkau ulang tahun. Keberapa? Enam puluh. Oke. Selamat ulang tahun ke-60. Dirgahayu! ***


(Wawancara imajiner selesai. Pelukis itu termenung di depan kanvas. Berpikir keras bagaimana caranya menempatkan sosok hitam perempuan itu di tengah lanskap senja tanpa mengganggu panorama warna.) (2003) Lupa Pekerjaan yang paling mudah dilakukan adalah lupa. Tidak butuh kecerdasan. Tidak perlu pendidikan. Hanya perlu sedikit berpikir. Itulah sebabnya, banyak orang tidak suka kalender, jam, dan tulisan. Menghambat lupa. Padahal lupa itu enak. Membebaskan. Sementara. *** Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa ialah kapan-kapan. Kapan dan kapankapan ternyata sering kompak juga. *** Ia sudah selesai berdandan. Keren sekali. Pakai jas baru. Dasi warna-warni. Sepatu mengkilat. Minyak rambut. Deodoran. Parfum. Wangi. Sampai di depan pintu tiba-tiba lupa. Sebenarnya mau pergi ke mana? Berpikir sebentar. Memejamkan mata. Oh iya. Tadi itu rencananya kan mau ke kamar mandi! Apa salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan segala pernik-perniknya? Anggap saja simulasi. Untuk? Memasuki rumah sakit jiwa. *** Mandi lupa membawa handuk atau celana untuk ganti itu biasa. Mandi lupa telanjang mungkin saja terjadi. Tapi mandi lupa membawa topeng? Bisa berabe. Untuk apa topeng diajak mandi? Untuk menakut-nakuti sepi. Untuk menemani wajah sendiri. *** Aku sedang melamun di ruang tamu. Memperhatikan daun-daun dipetik hujan, disebarkan ke halaman. Hampir petang. Kring kring. Ada becak datang. Becak diparkir di depan pintu. Bang becak nyelonong masuk ke ruang tamu. Duduk santai. Merokok. Hap! Aku tergagap. Siapa dia? Aku merasa tidak pesan becak.


“Lupa ya?” Ia senyum-senyum. Aku bingung. Terpana. “Lupa ya?” Ia bertanya lagi. Tersenyum lagi. Tiba-tiba aku ingat bahwa aku memang pernah bertemu orang yang mirip dia di rumah sakit, tapi bukan dia. “Anda lupa ya bahwa Anda belum pernah bertemu saya? Mengapa harus mengingatingat?” “Ikut saya yuk! Gratis.” Ia mengajakku ke kota dengan becaknya. Aku menolak. Kapankapan saja. Ketika aku sibuk mengamati daun-daun dipetik hujan, ia ngeloyor begitu saja dengan becaknya tanpa sempat kuperhatikan arahnya. Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak melintas di jalan atau diparkir di halaman karena suatu saat nanti, jika aku hendak pergi ke kota, akan ada bang becak yang menjemput dan mengantarku. Lumayan. Nyaman. Sederhana. Tidak tergesa-gesa. *** Adakah yang benar-benar habis digerogoti lupa? Lupa: matawaktu yang tidur sementara. (2003) Sudah Saatnya Sudah saatnya jam yang rusak diperbaiki. Kita pergi ke bengkel jam dan kepada pak tua penggemar jam kita meminta, “Tolong ya betulkan jam pikun ini. Jarumnya sering majumundur, bunyinya sering ngawur”. Semoga tukang bikin betul jam tahu bahwa ia sedang berurusan dengan penggemar waktu. *** Sudah saatnya kita periksa mata. Kepada dokter mata kita bertanya, “Ada apa ya dengan mata saya, kok sering terbalik: tidak melihat yang kelihatan, malah melihat yang tak kelihatan?” Mudah-mudahan dokter mata paham: ya memang begitulah jika mata kita pejamkan. *** Sudah saatnya celana yang koyak direparasi, pantat yang congkak didisiplinkan lagi. Kita temui ahli filsafat celana, kita tanyakan, “Mengapa celana dan pantat sering tidak dapat bekerja sama; ada kalanya celana bikin eksis pantat, ada kalanya pantat benci celana?” Dapat diduga bahwa jawabannya tidak terduga, misalnya: “Kita perlu menciptakan situasi nircelana.”


*** Sudah saatnya jiwa yang janggal diselidiki. Kita konsultasi ke pakar psikologi: “Saya bingung. Saya sering mengalami situasi di mana saya tidak tahu pasti apakah sedang berada di masa lalu, masa depan atau masa kini. Tapi saya masih waras. Sungguh. Awas kalau berani menganggap saya gila.” Jika ia memang ahli, seharusnya ia mengerti: ya begitulah jika tubuh kena teluh puisi.” *** Sudah saatnya kata-kata yang mandul kita hamili; yang pesolek ngapain dicolek, toh lama-lama kehabisan molek. Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi. (2003) Pelajaran Puisi Ia sering bingung: apa yang harus ia lakukan untuk murid-muridnya saat ia memberikan pelajaran puisi. Susah-susah amat. Ia bentangkan saja puisi di papan tulis atau di dinding kelas. “Puisi itu hutan rimba,” ia memulai pelajaran. “Kalian mau jadi anak rimba?” Meskipun sebagian besar muridnya anak-anak kota, mereka ternyata mau mencoba menjadi anakanak rimba. “Kota juga rimba,” cetus pak guru yang pandang matanya seluas rimba. Setelah menunjukkan beberapa celah untuk masuk rimba, ditambah sedikit penjelasan tentang peta rimba, ia meminta murid-muridnya segera menjelajahi rimba. Semula ada yang takut-takut, namun setelah dilecut-lecut akhirnya berani juga. Ada pula yang belumbelum sudah bergidik: “Kalau ada ular, bagaimana?” Pak guru merasa geli: “Jangankan di hutan, di kamar mandi pun kadang ada ular.” Ribut sekali. Mereka berhamburan ke dalam rimba sambil bersorak-sorak: “Rusa jantan berlari masuk hutan….” Kemudian ada yang menimpal: “Curang! Memangnya hanya rusa jantan yang bisa berlari masuk hutan? Rusa betina juga bisa. Ayo balapan!” Guru puisi itu tampak tenang-tenang saja, tapi waspada. Ia sudah sangat sering masuk hutan dan tahu rahasia rimba. Ia sibuk berjaga-jaga, siap memberikan pertolongan darurat bila, misalnya, ada muridnya yang linglung atau tersesat. Tiba-tiba suasana berangsur senyap. Tak terdengar lagi derai tawa dan suara bernyanyi bersahutan. Ia mulai panik. Jangan-jangan mereka benar-benar tersesat. Jangan-jangan ditelan gelap. Jangan-jangan ada yang masuk jurang. Jangan-jangan ada yang digigit ular.


Ia ingin sekali mencari dan menemukan mereka, tapi sama sekali tak ada sinyal suara. Malah ia sendiri tiba-tiba takut tersesat. Takut pada yang tak terlihat. Ia masih tercenung gundah ketika murid-muridnya satu persatu muncul dari dalam rimba. Ada yang pakaiannya kusut dan kotor. Ada yang wajahnya belepotan tanah. Ada yang lecet-lecet, bahkan luka-luka. Ada yang pantat celananya jebol. Ada yang kehilangan tas dan kamera. Ada yang pura-pura kesurupan dan sakit jiwa. Setelah semuanya berkumpul kembali, dengan nada murung ia berkata: “Maafkan saya ya, tadi cuma menunjukkan jalan masuk rimba, tapi tidak memberi tahu jalan keluar rimba. Aku ingin menjemput kalian sebenarnya, tapi khawatir kalian merasa dikira anak manja.” Seorang murid yang rambutnya jadi mirip rimba menukas: “Jangan terlalu sensi(tif) dong Pak. Kami baik-baik saja. Lihat nih, kami masih utuh.” Tiba-tiba matanya berbinar-binar kembali. Lalu ia agak kewalahan mendengarkan celoteh murid-muridnya. Tadi saya hampir terperosok ke jurang lho Pak. Saya berpapasan dengan ular. Saya malah sempat mandi di pancuran. Saya ketemu pelangi di sungai. Tadi ada monyet naksir saya lho Pak. Saya terjatuh tanpa sebab. Saya terguling di tebing. Saya anak rimba! Bel berbunyi. Bubar. Pelajaran puisi (untuk sementara) selesai. “Terima kasih ya Pak.” “Lho, jangan berterima kasih kepada saya. Berterima kasihlah kepada puisi.” Ia baru sadar bahwa tadi ia tidak sempat sarapan sehingga perutnya kembung. Agak terburu-buru ia meninggalkan ruang kelas. Langkahnya kelihatan goyah. Tubuhnya kelihatan ringkih. Tapi ia adalah raja rimba. Ia kepalkan dan acungkan tangannya: “Hidup puisi!” Gerimis berderai membasuh rambutnya yang keperak-perakan. Gerimis siang. Seperti ribuan diksi dan imaji berhamburan dari pohon hayat yang rimbun dan tinggi. Seperti ribuan morfem dan fonem bertaburan dari pohon waktu yang tak pernah mati. Dan ia berjalan tergesa dengan perut lapar dan kembung. Nun di belakang sana murid-muridnya berdiri dan bernyanyi: “Rusa jantan berlari masuk kantin ….” (2003) Justru Salahnya sendiri, suka usil bermain kata, merakitnya menjadi boneka yang seringainya justru membuat ia takut setengah mati, kemudian bersembunyi di kamar mandi, padahal di kamar mandi ada dedengkot boneka yang lebih rumit seringainya, yaitu tubuhnya sendiri. (2003) Masa Kecil


Masa kecil seperti penjaga malam yang setia. Ia yang membuka dan menutup pintu setiap kau masuk dan keluar kamar mandi. Sementara kau sibuk mandi, ia duduk manis di sudut sepi, membaca cerita bergambar sambil ketawa-ketawa sendiri. Jangan suka lihat orang mandi, nanti sakit mata! Ia langsung menutup wajahnya dengan buku, seakan geli atau malu melihat tokoh komiknya yang (tidak) lucu. (2003) Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan mereka harus pergi cari kerja sendiri. (2003)


Sajak-sajak 2003-b Pacar Senja Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai. Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli. Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk, setengah saja, pacar senja tersipu-sipu. “Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.” Cinta seperti penyair berdarah dingin yang pandai menorehkan luka. Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya. Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja yang masih megap-megap oleh ciuman senja. “Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium menjadi bekas. Betapa curangnya rindu. Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.” Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap. Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak dalam gemuruh ombak. (2003) Perjamuan Petang Dua puluh tahun yang lalu ia dilepas ayahnya di gerbang depan rumahnya. “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Jangan pulang sebelum benar-benar jadi orang.” Dua puluh tahun yang lalu ia tak punya celana yang cukup pantas untuk dipakai ke kota. Terpaksa ia pakai celana ayahnya. Memang agak kedodoran, tapi cukup keren juga. “Selamat jalan. Hati-hati, jangan sampai celanaku hilang.” Senja makin menumpuk di atas meja. Senja yang merah tua. Ibunya sering menangis memikirkan nasibnya. Ayahnya suka menggerutu, “Kembalikan dong celanaku!” Haha, si bangsat akhirnya datang. Datang di akhir petang bersama buku-buku yang ditulisnya di perantauan. Ibunya segera membimbingnya ke meja perjamuan.


“Kenalkan, ini jagoanku.” Ia tersipu-sipu. Saudara-saudaranya mencoba menahan tangis melihat kepalanya berambutkan gerimis. “Hai, ubanmu subur berkat puisi?” Ia tertawa geli. Di atas meja perjamuan jenazah ayahnya telentang tenang berselimutkan mambang. Daun-daun kalender beterbangan. “Ayah berpesan apa?” Ia terbata-bata. “Ayahmu cuma sempat bilang, kalau mati ia ingin mengenakan celana kesayangannya: celana yang dulu kaupakai itu.” Diciumnya jidat ayahnya sepenuh kenangan. Tubuh yang tak butuh lagi celana adalah sakramen. Celana yang tak kembali adalah testamen. “Yah, maafkan aku. Celanamu terselip di tetumpukan kata-kataku.” (2003) Dua Orang Peronda Hanya ada dua orang peronda datang ke gardu itu. Mereka duduk berhadapan, mengobrol ke sana kemari, bercerita tentang kekasih masing-masing dengan wajah berapi-api. Peronda tua membanggakan isterinya yang cintanya penuh misteri. Peronda muda memuji-muji ibunya yang cintanya tak terbeli. Sesekali mereka terdiam, beradu pandang, membiarkan hujan mengoceh sendiri. “Kau menantangku?” Tiba-tiba mereka bersitegang karena masing-masing tersinggung oleh sorot mata yang penuh kebencian. Hujan bubar menjelang dinihari dan sepi tak perlu lagi ditemani. “Bosan, nggak ada penjahat. Kita pulang saja.” Pulang ke gardu lain yang lebih hangat. Sampai di teras rumah, mereka berebut membuka pintu. Peronda tua tak mau kalah: “Biar kubuka pintu ini dengan kunciku. Kunci yang kaubawa itu palsu!” Kucing meluncur menuju dapur. “Bu, tuan-tuan pulang!” kucing mengiau kepada perempuan yang sedang terkantuk-kantuk di depan kompor, menjerang air dan airmata, mau bikin kopi buat lelaki-lelaki tercinta. Dua lelaki berjabat tangan erat-erat, saling mengucap selamat istirahat. “Selamat tidur di ranjang palsu ya, Pak,” ujar lelaki muda dengan wajah sinis bercampur bangga. Palsu? Perempuan yang sedang terkantuk-kantuk di depan kompor itu tiba-tiba tersentak. Dua butir airmatanya jatuh berdenting. Ia teringat bagaimana dulu ia bertempur di atas ranjang,


melahirkan anaknya persis saat suaminya sedang termenung sendirian di gardu ronda di malam hujan. (2003) Malam Pertama Malam pertama tidur bersamamu, aku terkenang saat-saat manis bersama ibuku ketika dengan lembut dan jenaka ia mengajariku mandi dan memakai celana hingga kurasakan sentuhan ajaib tangan-tangan cinta tanpa bisa kuucapkan terima kasih padanya selain tersenyum dan tertawa. Lalu ibu menjebloskanku ke sekolah. Bertahun-tahun aku belajar bahasa yang baik dan benar hanya untuk bisa mengucapkan cinta monyet dengan lugu dan malu-malu tanpa menyadari bahayanya. Setelah dewasa aku paham bagaimana menyatakan cinta tanpa harus mengatakannya. Kini aku harus menidurimu. Tubuhmu pelan-pelan terbuka dan merebaklah bau masam dari ketiakmu. Aku gugup. Tapi tak mungkin kupanggil almarhumah ibuku untuk mengajariku membaca halaman-halaman tubuhmu sebagaimana dulu dengan tekun dan sabar ia mengajariku membaca kalimat-kalimat sederhana: ini ibu budi; budi minum susu; ini susu ibu. Malam pertama tidur bersamamu, buku, kulacak lagi paragraf-paragraf cinta ibuku di rimba kata-katamu. Apakah kata-kata mempunyai ibu? Aku mencoba mengingat-ingat lagi apa kata ibu. Aku sering lupa dulu ibu suka berkata apa. Aku gemetar. Tubuhmu makin cerdas dan berbahaya. Ibukata, temanilah aku. (2003) Surat Surat-surat datang silih berganti, semuanya minta dijawab, segera, kalau bisa hari ini. Konon menulis surat bisa membasmi sepi. Padahal hanya kalau sepi aku bisa dengan tenang menulis surat agar jangan sampai kata-kataku menyakiti. Surat ayah: Ayah menang, habis tempur melawan utang. Surat ibu: Ibu sedang menjahit senja yang terluka oleh rinduku. Surat istri: Telah kupanen putih dari rambutmu. Surat teman: Teman, batukmu meletus dalam dadaku. Surat penggemar: Salam manis buat iblis.


Ada pula surat dari masa kecil, datang di malam eksil, ah pasti ditulis dengan pinsil. Kubuka amplopnya yang warna-warni, isinya: Ayo duel kalau berani! Suratan nasib: tersimpan rapat di laci meja dan tak akan pernah kubuka. (2003) Koran Pagi Koran pagi masih mengepul di atas meja. Wartawan itu belum juga menyantapnya. Ia masih tertidur di kursi setelah seharian digesa-gesa berita. Seperti biasa, untuk melawan pening ia menepuk kening. Lolos dari deadline, ia terlelap. Capeknya lengkap. Tahun-tahun memutih pada uban yang letih. Entah sudah berapa orang peristiwa, berapa ya, melintasi jalur-jalur waktu di kerut wajah. Ke suaka ingatan mereka hijrah. Almarhum bapaknya sebenarnya tak suka ia susah-susah jadi reporter. Lebih baik jadi artis yang kerjanya diuber-uber wartawan. Ibunya berharap ia jadi dokter agar dapat merawat tubuhnya sendiri yang sakit-sakitan. Siang itu, bersama teman-teman sekelasnya, ia sedang berlatih mengarang. Sementara kawan-kawannya sibuk bermain kata, ia bengong saja sambil menggigit-gigit pena meskipun bu guru berkali-kali mengingatkan bahwa cara terbaik untuk mulai menulis adalah menulis. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terjadi kebakaran. Bu guru dan murid-muridnya segera berhamburan keluar. Belakangan beredar kabar bahwa gedung sekolahnya sengaja dibakar komplotan perusuh berlagak pahlawan. Saat itu situasi memang sedang rawan, penuh pergolakan. Tanpa menghiraukan bahaya, bocah bego itu malah sibuk mencari-cari pena yang terjatuh dari meja. Bu guru nekad menyusulnya, sementara api makin berkobar dan semua panik: jangan-jangan mereka ikut terbakar. Setelah pensiun, bu guru yang pintar itu sibuk mengurus kios koran kebanggaannya. Sedangkan muridnya yang suka bengong kini sedang lelap di kursi, matanya setengah terbuka. Koran pagi masih mengepul di atas meja. (2003) Tiada Tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah, bahkan jika rumahnya hanya ada di balik iklan yang ia baca di perjalanan.


Tiada rumah yang tak merindukan seorang ibu yang murah berkah, bahkan jika ibu tinggal ada di bingkai foto yang mulai kusam. Lebih baik punya ibu daripada punya rumah, kata temanku yang rumahnya konon baru enam sementara sosok ibunya belum juga ia temukan. Ya lebih baik punya keduanya, kata saya, dan entah mengapa airmatanya leleh perlahan. (2003) Rumah Cinta buat Wien & A’an Aku datang ke dalam engkau, ke rumah rantau yang melindap di antara dua bukit di mana senja mengerjap-ngerjap dalam kerlap birulangit. Ada sejoli celana berkibar-kibar di balik jendela: Hai, kami sedang belajar bahagia. Ada buku masih terbuka di atas meja dan ada ayat rahasia: Miskin mungkin bencana, tapi kaya juga cuma karunia. Aku pulang ke dalam engkau, ke rumah singgah yang terlindung di antara dua kubah di mana ia datang berkerudungkan bulan, merapikan tubuh yang berantakan dan berkata: Supaya tidurmu makin sederhana. (2003) Celana Tidur Walau punya bermacam-macam celana tidur, ia lebih suka tidur tanpa celana. Supaya celana bisa tidur di luar tubuhnya. Supaya tidurnya tidak rusak oleh celana. (2003) Teman Lama Ia muncul begitu saja di ambang pintu setelah lama


tidak bertemu. Matanya terkejut, kepalanya bergoyang kena hantam dentang jam di dinding ruang tamu. “Maafkan aku, kawan. Sekian tahun tak jumpa, aku mampir ke rumahmu hanya untuk numpang ke kamar mandi. Boleh, kan?” Petang itu saya sedang melamun di halaman koran. “Silahkan,” jawab saya singkat. Lalu ia meluncur cepat ke kamar mandi. Entah apa yang ia perbuat. Dari jauh berkali-kali saya mendengar ia mengumpat, meneriakkan bangsat, jahanam, keparat. Usai bergiat di kamar mandi, wajahnya dibalut misteri. “Setelah menjadi bintang panggung yang sukses, aku merasa ngeri dengan topeng culun di dinding kamar mandimu. Wajahnya sinis, dan aku tersinggung: kok tampang kami tampak makin akur saja.” Bukankah dia sendiri yang dulu menghadiahkan topeng itu kepada saya? Saya periksa si culun, wajahnya tetap saja begitu: dingin, menggoda, pemalu. Jangan-jangan tampang waktu memang bisa tampak berbeda-beda, tergantung siapa yang melihatnya, tergantung siapa yang dilihatnya. (2003) Dokter Mata Belakangan ini saya banyak mendapat gangguan mata. Apa dan siapa yang saya lihat sering tampak bergoyang. Bahkan mata saya kadang salah sangka. Saat bercermin, misalnya, saya merasa bahwa tuan yang sedang mengagumi saya adalah kenalan lama saya. Ternyata ia lupa dan mengajak kenalan ulang. Selain salah lihat, mata saya sering dianggap salah baca. Saya baca buku, buku bilang salah, baca lagi, salah lagi. Tak terkecuali buku-buku yang saya tulis sendiri. Malam ini sakit mata saya makin akut: nyeri, pusing, berdenyut-denyut. Maka datanglah seorang dokter mata: “Selamat malam, pasien.” Tanpa bicara ia periksa mata saya. “Dokter, apakah saya harus pakai kacamata?” “Tidak perlu kacamata. Hanya perlu dicungkil.” Dicungkil? Saya tidak dapat membayangkan mata saya harus diganti dengan mata buatan atau bekas mata orang lain. Saya diminta berdoa dan tidur tenang sementara ia akan menggarap mata saya. Subuh hari saya terbangun. Dokter mata sudah pergi. Aneh, semua terasa nyaman dan normal kembali. Saya segera mendatangi cermin langganan saya dan saya terkejut tiba-tiba bertemu dengan dokter mata itu. “Dokter, apakah Anda telah mengganti mata saya?” “Ah enggak. Aku cuma membersihkan dan merendam


matamu dalam airmataku, kemudian mengembalikannya seperti semula. Kau pangling dengan matamu?” “Terima kasih, Dokter.” Dan dokter mataku tampak ingin menangis, tapi ia tidak ingin aku melihat airmatanya. (2003) Sedekah Ibu tua itu tewas sehabis berjuang keras mendapatkan sedekah dari seorang juragan yang amat pemurah. Ia terjatuh terinjak-injak sewaktu berdesak-desakan, sesaat setelah diterima oleh uang dua puluh ribu rupiah. “Hanya demi uang sialan itu ia harus setor nyawa,” cetus seorang pelayat. “Jangan-jangan itu uang haram.” Uang berkata, “Maafkan saya, Bu. Saya tidak sengaja.” Toh ibu kita yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci pakaian itu wajahnya bersih bercahaya seperti habis dicuci dengan sabun terbaik yang terbuat dari serbuk airmata. Sesal dan tangis hanya menambah kecantikannya. “Sudahlah. Dengan dua puluh ribu rupiah ibu ini bisa beli tiket kereta api ekspres. Beliau akan mudik dengan sukses,” ujar seorang penyair yang oleh teman-temannya dipanggil Plato karena nun di jidatnya terdapat sebuah tato. Kereta hampir berangkat. Uang yang naas tampak ikhlas dan pasrah dalam genggaman tangan almarhumah. Uang yang tak seberapa ini kemudian disimpan baik-baik oleh cucu ibu yang gigih itu dan kelak akan ia berikan kepada entah siapa yang pantas menerimanya. (2003) Baju Bulan Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru, tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang, sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan. Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam? Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan, mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri rela telanjang di langit, atap paling rindang bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang. (2003) Kekasihku


untuk Efaen Pacar kecil duduk manis di jendela, menemani senja. Senja, katanya, seperti ibu yang cantik dan capek setelah seharian dikerjain kerja. Ia bersiul ke senja seksi yang tinggal tampak kerdipnya: Selamat tidur, kekasihku. Esok pagi kau tentu akan datang dengan rambut baru. Kupetik pipinya yang ranum, kuminum dukanya yang belum: Kekasihku, senja dan sendu telah diawetkan dalam kristal matamu. (2003) Ibuku Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku. Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu. Aku pun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat yang belum kukenali. Ketika bangun, kurasakan basah di celana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda. Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal dan bodoh, jangan membantah guru dan menyanggah buku. Ibu hanya mengecup jidatku: Buka hidupmu dengan buku. Pada saatnya beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru. Sambil menahan airmata, ibu memeluk dan menciumku: Pergilah. Terbanglah. Aku pun terbang bersayapkan buku ke antah-berantah yang bagiku sendiri masih entah. Ketika suatu saat aku pulang ke rumah ibu, ibu sudah menjadi buku yang tersimpan manis di rak buku. (2003) Rok Mini untuk Nenek Malam ini nenek bulan tampak kucel dan kusam. Langit seperti kain bekas yang dipakai untuk mengusap wajah seorang pesolek yang sedang muram. Pelukis kecil sedang gelisah di malam mungil. Gundah melihat neneknya yang dekil. “Tunggu sebentar ya, Nek, kubikinkan sesuatu untukmu.” Dengan pinsil warna-warni dirajutnya raut mimpi yang masih murni. “Kok seperti gambar rok mini?” Nenek bulan tersenyum geli. “Ini rok mini untukmu, Nek. Harganya mahal sekali. Pakailah supaya kau tampak seksi.”


Berdua mereka tertawa. Lupa waktu, lupa derita. “Sudah. Nenek pulang dulu. Belajarlah. Nanti ibumu marah. Besok kau harus sekolah.” Pelukis kecil sudah ngantuk dan lelah, lalu tertidur sebelum sempat merampungkan banyak pekerjaan rumah. (2003) Di Bawah Pohon Cemara Di bawah pohon cemara gadis kecil itu sejak tadi duduk termenung. Ia ingin datang ke pesta ulang tahun temannya, tapi malu dengan bajunya yang rombeng dimakan waktu. Matanya menerawang memandang kerlap-kerlip lampu di dinding gereja. Seorang sahabatnya datang mendekat, bajunya putih gemerlap. Sambil makan permen mereka berbincang hangat. “Pergilah ke pesta. Kau bisa memakai bajuku dan aku tak akan malu memakai bajumu.” Di bawah pohon cemara mereka bertukar baju. Pulang dari gereja, ia tak melihat lagi sahabatnya padahal ia ingin mengembalikan bajunya. Hanya ada bungkus permen bertebaran di bawah pohon cemara. Tiba-tiba, “Hai, aku di sini!” Ia mendongak ke langit. Ia terpana melihat bintang Natal memamerkan bajunya. “Itu bajuku!” ia berseru dalam hati. Dengan mata berkaca-kaca dilambaikannya tangannya ke atas sana. Di bawah pohon hujan gadis kecil itu sejak tadi duduk berteduh. Ia kesepian menunggu temannya yang tadi ia pinjami bajunya. Daun-daun hujan berguguran sepanjang subuh. (2003) Penjual Kalender Pawai tahun baru baru saja dibubarkan sepi. Sisa suara terompet berceceran, sebentar lagi basi. Lelaki tua berulang kali menghitung receh di tangan, barang dagangannya sedikit sekali terbeli. “Makin lama waktu makin tidak laku,” ia berkeluh sendiri. Anaknya tertidur pulas di atas tumpukan kalender yang sudah mereka jajakan berhari-hari. Lelaki tua membangunkan anaknya. “Tahun baru sudah tiba, Plato. Ayo pulang. Besok kembalikan saja kalender-kalender ini kepada pengrajin waktu.”


Perempuan itu masih setia menanti ketika dua orang pejuang pulang dinihari. “Selamat tahun baru, tuan-tuan!” Tuan besar segera mampus dihajar kantuknya. Tuan kecil segera ingin menyambung tidurnya. Ibunya menepuk pantatnya: “Kau telah dinakali waktu, Buyung? Kok tubuhmu terhuyung-huyung?” Ia ibu yang pandai merawat waktu. Terberkatilah waktu. Dengan sabar dibongkarnya tumpukan kalender itu. Ha! Berkas-berkas kalender itu sudah kosong, ribuan angka dan hurufnya lenyap semua. Dalam sekejap ribuan kunang-kunang berhamburan memenuhi ruangan. (2003) Cita-cita Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: ingin bisa sampai di rumah saat masih senja supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela. Ah cita-cita. Makin hari kesibukan makin bertumpuk, uang makin banyak maunya, jalanan macet, akhirnya pulang terlambat. Seperti turis lokal saja, singgah menginap di rumah sendiri buat sekedar melepas penat. Terberkatilah waktu yang dengan tekun dan sabar membangun sengkarut tubuhku menjadi rumah besar yang ditunggui seorang ibu. Ibuwaktu berbisik mesra, “Sudah kubuatkan sarang senja di bujur barat tubuhmu. Senja sedang berhangat-hangat di dalam sarangnya.” (2003) Kepada Puisi Kau adalah mata, aku airmatamu. (2003)


Sajak-sajak 2004 Celana Ibu Maria sangat sedih menyaksikan anaknya mati di kayu salib tanpa celana dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah. Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawakan celana yang dijahitnya sendiri dan meminta Yesus untuk mencobanya. “Paskah?” tanya Maria. “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira. Mengenakan celana cinta buatan ibunya, Yesus naik ke surga. (2004) Selepas Usia 60 Selepas usia 60 saya sering terdiam di muka jendela, mengamati tingkah anak kecil yang lucu-lucu. Saat sekecil mereka saya baru fasih mengucapkan nana, maksudnya celana, dan saya belajar keras memakai celana dan sering keliru: kadang terbalik, kadang seliritnya menjepit dindaku. Ibu curang: diam-diam mengintip lewat celah pintu. Baru setelah ananda terjengkang karena dua kaki masuk ke satu lubang, ibu buru-buru menyayang-nyayang pantatku: Jangan menangis, jagoanku. Celana juga sedang belajar memakaimu. Kasihan ibu, sering didera kantuk hingga jauh malam, menjahit celana saya yang cidera. Sampai sekarang kadang tusukan jarumnya, auw, masih terasa di pantat saya. Saya masih berdiri di muka jendela, memperhatikan seorang bocah culun, dengan celana bergambar Superman, sedang ciat-ciat bermain silat. Tiba-tiba ia berhenti. Bingung. Seperti ada yang tidak beres dengan celananya. Oh, gambar Superman-nya rontok. Ia cari, tidak ketemu. Lalu ibunya datang menjemput. Senja yang dewasa mulai merosot. Tubuh yang penakut mendadak ribut. Yeah, ini celana diam-diam mau melorot. Saat mau tidur baru saya tahu: hai, ada gambar Superman di celanaku. (2004) Penjual Bakso


Hujan-hujan begini, penjual bakso dan anaknya lewat depan pintu rumahku. Ting ting ting. Seperti suara mangkok dan piring peninggalan ibuku. Berulang kali ting ting ting, tak ada yang keluar membeli bakso. Tak ada peronda duduk-duduk di gardu. Semua sedang sibuk menghangatkan waktu. Aku tak ingin makan bakso, tapi tak apalah iseng-iseng beli bakso. Aku bergegas mengejar tukang bakso ke gardu ronda. Bakso! Terlambat. Penjual bakso dan anaknya sedang gigih makan bakso. Airmata penjual bakso menetes ke mangkok bakso. Anak penjual bakso tersengal-sengal, terlalu banyak menelan bakso. Kata penjual bakso kepada anaknya, “Ayo, Plato, kita habiskan bakso kita. Kasihan ibumu.” Mereka yang makan bakso, aku yang muntah bakso. (2004) Buah Bulan Duduk sendirian di bawah pohon cemara, peri waktu yang kesepian menimang-nimang buah bulan yang hijau muda. Buah bulan ditaruh di atas meja, dikupas, dibelah-belah, lalu dimakannya. Dari jendela kamar lantai tiga belas perempuan itu hanya bisa menggerutu, “Bangsat benar itu bangsat. Tak secuil pun ia sisakan. Padahal itu buahku.” (2004) Ranjang Ibu Ia gemetar naik ke ranjang, sebab menginjak ranjang serasa menginjak rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang. Dan bila sesekali ranjang berderak atau berderit, serasa terdengar gemeretak tulang ibunya yang sedang terbaring sakit. (2004) Telepon Tengah Malam Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja. Sudah sering aku terima telepon dan bertanya “siapa ini?”, jawabnya cuma “ini siapa?”. Ada dering telepon, panjang dan keras,


dalam rongga dadaku. “Ini siapa, tengah malam telepon? Mengganggu saja.” “Ini Ibu, Nak. Apa kabar?” “Ibu! Ibu di mana?” “Di dalam.” “Di dalam telepon?” “Di dalam sakitmu.” Ah, malam ini tidurku akan nyenyak. Malam ini sakitku akan nyenyak tidurnya. (2004) Aku Tidur di Remang Tubuhmu Aku tidur di remang tubuhmu sampai kau lelap dalam ombak dan deru. Saat ombak surut dan waktu terbungkus kabut, mimpi baru setengah jadi. “Ayo melaut lagi!” Melautlah lagi. Aku sedang mati. (2004) Hijrah Setelah tugas-tugas di ranjang kubereskan, badai kuredakan, aku hijrah ke jauh tubuhmu, menyusuri jalan setapak yang terjal berliku, melintasi daerah-daerah berbahayamu, sebelum sampai di perhentian terakhir di mana aku disalibkan di sebuah ujung dan tubuhmu tinggal raung. (2004) Batuk Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu untuk menggempur limbah waktu yang membatu di rongga dadaku. (2004) Matakata Matakata menyala melihat tetes darah di matapena. (2004) Penyair Panggung


untuk Landung Simatupang Tubuhnya lebih dari puisi, penuh getar dan getir bunyi. Sekali ia menyentuh panggung, waktu seakan linglung dihajar tenung. Di remang ruang tubuhnya menyala sehingga sunyi terlihat jelas posturnya. (2004) Bola Permainan sudah selesai. Perburuan tak akan usai. Kostum, bendera, spanduk bertebaran di pinggir arena. Ribuan penonton telah pulang meninggalkan stadion, tempat yang kalah dan yang menang bertukar celana. Maafkan kami yang tak juga paham rahasia bola. Di tengah lapangan Maradona masih menari di atas bola: bulatan nasib yang selembut doa; buntalan daging yang membalut kandungan bunda, tempat janin kudus mengarungi hari-hari agung penciptaan; puisi pengembara yang ditenun dari benang-benang aksara. Aku ingin masuk ke dalam bola, ingin meringkuk di sana. (2004) Dengan Kata Lain Tiba di stasiun kereta, aku langsung cari ojek. Entah nasib baik, entah nasib buruk, aku mendapat tukang ojek yang, astaga, adalah guru Sejarah-ku dulu. “Wah, juragan dari Jakarta pulang kampung,” beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah. “Bapak tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?” Nyaman sekali rasanya diantar pulang Pak Guru sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah. Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan. Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet, beliau sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja. Di teras rumah Ayah sedang tekun membaca koran. Koran tampak capek dibaca Ayah sampai huruf-hurufnya berguguran ke lantai, berhamburan ke halaman. Tak ada angin tak ada hujan, Ayah tiba-tiba bangkit berdiri dan berseru padaku: “Dengan kata lain, kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu.”


(2004) Satu Celana Berdua untuk Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto Dua anak jalanan bertemu di bawah jembatan di malam hujan. Setelah berkenalan, berbagi dingin dan lapar, mereka tidur berdua dalam satu celana. Suatu hari mereka berpisah juga, mencari jalan hidup sendiri-sendiri. Siapa sangka mereka akan jadi bintang. Mereka berjumpa kembali di atas panggung, sekian tahun kemudian. Yang satu pandai menirukan suara bermacam-macam orang, yang lain pintar memainkan beragam bunyi dan bunyi-bunyian. Sejak itu kami sering berburu bunyi dan berburu suara bersama. Bila kami bertemu pengamen kecil di bawah jembatan, kami suka bersitegang. “Dia mirip kamu,” kata saya. Dia balik menuding: “Kamu yang mirip dia.” Kami sendiri masih merasa seperti gelandangan kecil yang berkeliaran di jalanan, mengamen siang malam, untuk mencari tahu siapa ibubunyi dan ibusuara yang telah mempertemukan kami di sebuah celana. (2004) Februari yang Ungu Februari yang ungu berderai pelan sepanjang malam, menyirami daun-daun kalender yang mulai kering. Aku melangkah ke dinding, membetulkan penanggalan yang tampak miring. “Jangan gemetar. Aku baik-baik saja. Tua cuma perasaan,” kata kalenderku yang pendiam. Kuhitung berapa tanggal telah tanggal, berapa pula tinggal tangkai. Sambil menggigil kalenderku berpesan, “Jangan mau dipermainkan angka. Tua cuma pikiran.” Kalenderku suka tertawa membaca catatan yang kutulis dengan tinta merah jingga: Ah, bulan terlambat datang. Ah, bulan datang terlambat. Oh, datang bulan terlambat. Februari yang ungu kuncup mekar sepanjang malam pada tangkai-tangkai kalender yang mulai gersang. (2004) Kosong


Rumah masih saja terasa hampa walau sudah kuisi dengan berbagai macam barang berharga. Kamar tamu terasa sepi walau kau tahan menunggu dalam rinduku. Kamar tidur terasa mati walau kau rajin mendengkur dalam tidurku. Kamar mandi terasa sunyi walau kau suka menggigil dalam mandiku. Aku sering bengong dan pusing memikirkan apa yang membuat rumahku terasa kosong dan asing. Mudah-mudahan bukan karena aku terlampau banyak memasang fotoku di hampir semua dinding. (2004) Rumah Sakit Rumah adalah rumah sakit yang paling nyaman dan murah, sebab, kalau mau, kau bisa sakit sepuasmu. Ada perawat seksi yang, meskipun bawel, tak pernah bosan menemanimu, sangat sabar mengasuh sakitmu supaya makin kuat dan dewasa dan makin mengasihimu. Sementara nafasmu terengah-engah dan nyerimu bertambah parah, enak saja ia bicara, “Hanya orang lemah yang tak mau sakit.” Bahkan ia suka menantang, “Kalau mau sakit, jangan setengah-setengah.” Perawat yang satu ini selalu hadir di setiap sudut rumah. Di album foto yang banyak bercerita tentang masa kecil kurang bahagia. Di almarhum kalender yang cuma bisa meninggalkan sekian banyak rencana. Di ruang tidur yang penuh dengan insomnia. Di kamar mandi yang saat kau mandi pintunya tetap kaukunci walau kau cuma sendirian di rumah — entah kau takut atau malu pada siapa. Di robekan celana yang kaujahit malam-malam sambil tersedu-sedu sehingga kau malah menjahit jarimu. Bila tak ada lagi obat yang kauanggap mujarab, dengan lembut dan hangat perawatmu mencium jidatmu: “Minumlah aku, telanlah aku, makanlah aku.” (2004) Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu untuk lukisan Jeihan Di kotakata masih ada mata yang hening pandang. Matawaktu, matasunyi: memanggil, menelan. Seperti gua yang menyimpan hangat di dalam. Ceruk cinta yang haus warna. Ceruk perempuan. Malam ini aku akan tidur di matamu.


(2004) Bunga Azalea Bunga azalea tumbuh liar di bawah jendela. Mekar, segar, dan bercahaya. Bunga paling pacar, paling disayang waktu. Bunga yang kubawa dari lembah Maria. Bunga azalea tumbuh liar di rimbun aksara. Mekar, segar, dan bersahaja. (2004) Aku Tidak Bisa Berjanji Aku tidak bisa berjanji akan datang ke dalam pesta di mana akan kaupertemukan aku dengan sajak-sajakku, seperti mempertemukan dua anak rantau yang lama memendam rindu tapi pura-pura sungkan bertemu. Sajakku hanya sisa tangis seorang bocah yang ditinggal ibunya pergi cari obat dan tidak juga kembali, sementara panas tubuhnya terus meninggi. “Cepat pulang, Bu!” Bocah itu tampak bahagia duduk bersamamu di pesta. Tapi aku tidak bisa berjanji akan datang ke sana. (2004)


Sajak-sajak 2005 Malam Insomnia Tenang saja, tak usah khawatir. Aku berani pergi sendiri ke kamar mandi. Aku akan baik-baik saja. Tak ada hantu yang perlu ditakuti. Oh tidak, aku tidak akan bunuh diri di kamar mandi. Aku akan segera kembali. Dari tempatku terbaring sayup terdengar suara bocah sedang menjerit-jerit ketakutan. Kemudian hening. Setelah itu ia tertawa nyaring. Bu, aku sudah selesai mandi. Di kamar mandi aku sempat berjumpa dengan gembong sepi nan gondrong rambutnya. Bagus. Nyalakan matamu. Segera tuliskan kata-katamu dengan sisa-sisa sakitmu sebelum aku goyah, berderak, rebah karena tak sanggup lagi menampung gelisah tidurmu yang semakin parah. Baiklah. Doakan menang ya, Bu. Aku akan duel dengan harimau merah yang sering merusak tidurku. (2005) Pesan dari Ayah Datang menjelang petang, aku tercengang melihat Ayah sedang berduaan dengan telepon genggam di bawah pohon sawo di belakang rumah. Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam sebab Ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian. “Jangan ganggu suamiku,” Ibu cepat-cepat meraih tanganku. “Sudah dua hari ayahmu belajar menulis dan mengirim pesan untuk Ibu. Kasihan dia, sepanjang hidup berjuang melulu.” Ketika pamit hendak kembali ke Jakarta, aku sempat mohon kepada Ayah dan Bunda agar sering-sering telepon atau kirim pesan, sekadar mengabarkan keadaan, supaya pikiranku tenang. Ayah memenuhi janjinya. Pada suatu tengah-malam telepon genggamku terkejut mendapat kiriman pesan dari Ayah, bunyinya: “Sepi makin modern.” Langsung kubalas: “Lagi ngapain?” Disambung:


“Lagi berduaan dengan ibumu di bawah pohon sawo di belakang rumah. Bertiga dengan bulan. Berempat dengan telepon genggam. Balas!” Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan, lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu dan membaringkannya di ranjang Ibu. (2005) Pohon Cemara Di depan rumahmu ia betah berjaga mengawal sepi, dari jauh terlihat tenang dan tinggi. Jaman berubah cepat, andaikan nasib bisa diralat, dan pohon cemara masih saja serindang mimpi. Pada dahannya masih tergantung sepotong celana: gambar panah di pantat kanan, gambar hati di pantat kiri; dicumbu angin ia menari-nari. Burung bulan suka bersarang di ranting-rantingnya, bulunya berhamburan di tangkai-tangkainya. Aku pulang di malam yang tak kauduga. Halo, itu celana kok sudah beda pantatnya: panah telah patah, hati telah berdarah; darahnya kausimpan di botol yang tak mudah pecah. (2005) Winternachten, 2002 Magrib memanggilku pulang ketika salju makin meresap ke sumsum tulang. Pulang ke hulu matamu agar bisa mencair dan menjadi airmatamu. Musim tidak berbaju, badan dimangsa hujan, dan magrib mengajakku pulang. Pulang ke suhu bibirmu agar bisa menghangat dan menjadi kecupkenyalmu. Menggigil adalah menghafal rute menuju ibukota tubuhmu. (2005)


Rambutku adalah Jilbabku Dua gunting gila menari-nari di atas rambutnya. Anda ingin model yang mana? Mendongak ragu, ia berkata, “Rambutku adalah jilbabku.” Tujuh warna muda melintas-lintas membujuk matanya. Anda ingin warna yang mana? Mengangkat dagu, ia berkata, “Rambutku adalah jilbabku.” Senja yang sedang bingung mondar-mandir di atas keningnya kemudian tertidur di alur alisnya. Tersentuh waktu, rambutnya serupa rumpun putrimalu. (2005) Mobil Merah di Pojok Kuburan Mobil merah di pojok kuburan menderam-deram menyambut malam. Lampu dinyalakan, klakson dibunyikan. Di remang sunyi kembang jepun berguguran. Lelaki tua sibuk berdandan, di kaca spion wajahnya terlihat tampan. Rambutnya harum, licin mengkilat, lalat yang hinggap bakal terjerembab. Kadang ia bersiul, dasi dan jas ia rapikan. Rokok dihisap, asap dikepul-kepulkan. Telepon genggam tak juga bilang kapan si dia bakal muncul dari seberang. Tiba-tiba ia terpana, pandangnya heran: ada gadis kecil lewat, bersenandung pelan, mendaki bukit, menyunggi bulan, sekali-sekali menoleh ke belakang. Mobil merah di pojok kuburan serupa mobil-mobilan yang dulu hilang. Musik dihidupkan, mata dipejamkan. Di terang sepi kembang jepun bermekaran. (2005) Sehabis Sembahyang


Click to View FlipBook Version