The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

kumpulan puisi joko pinurbo

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by PERPUSTAKAAN PUSPANEGARA, 2023-08-24 21:55:18

puisi joko pinurbo

kumpulan puisi joko pinurbo

Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku. Terima kasih atas segala pemberianmu, mohon lagi kemurahanmu: sekadar mobil baru yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya agar aku bisa lebih cepat mencapaimu. Sementara aku masuk ke rumahmu, kau malah pergi ke kantor pos kecamatan, mengambil jatah santunan seratus ribu. Berbekal kartu tanda miskin, kau rela antri berjam-jam hingga bajumu yang masih baru langsung luntur oleh cucuran peluhmu. Kau sempat menangis dan pingsan karena uang yang dengan susah payah kaudapatkan langsung amblas dirampas orang. Kulipat dan kusimpan baju sembahyangku di bawah bantal supaya tenang tidurku. Di saku kirinya terselip kartu tanda miskinmu, di saku kanannya kutemukan uang seratus ribu. (2005) Aceh, 26 Desember 2004 Gema lonceng Natal masih bergetar di kaca jendela ketika Aceh meleleh di kelopak mataku, menetes deras ke dalam gelas di atas meja perjamuanmu. (2005) Harga Duit Turun Lagi Mengapa bulan di jendela makin lama makin redup sinarnya? Karena kehabisan minyak dan energi. Mimpi semakin mahal, hari esok semakin tak terbeli. Di bawah jendela bocah itu sedang suntuk belajar matematika. Ia menangis tanpa suara: butiran bensin meleleh dari kelopak matanya. Bapaknya belum dapat duit buat bayar sekolah. Ibunya terbaring sakit di rumah. Malu pada guru dan teman-temannya, coba ia serahkan tubuhnya ke tali gantungan. Dadah Ayah, dadah Ibu….


Ibucinta terlonjak bangkit dari sakitnya. Diraihnya tubuh kecil itu dan didekapnya. Berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kemiskinan kami…. (2005) Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita? Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkraman luka. (2005) Himne Becak Dua puluh tahun yang lalu aku melihatmu sedang melamun di dalam becak yang kauparkir di depan warung makan Sabar Menanti. Petugas ketertiban kota datang menggarukmu: becak dan si tukang becak diangkut mobil patroli. Sepuluh tahun kemudian aku melihatmu sedang mengantuk di dalam becak yang kauparkir di depan rumah makan Sabar Menanti. Petugas ketertiban kota datang menggarukmu: becak segera diangkut mobil patroli, si tukang becak dipersilakan pulang berjalan kaki. Dan malam ini, sayang, aku melihatmu sedang mendengkur di dalam becak yang kauparkir di depan restoran Sabar Menanti. Petugas ketertiban kota mengayuh becakmu, membawamu pergi ke tempat yang sepi sambil tetap membiarkanmu dininabobokan mimpi. Tidurmu begitu manjur sampai kau tak tahu bahwa becakmu sedang parkir di depan kuburan. Aku tinggal rintik-rintik hujan ketika subuh datang, ketika kau menggeliat dan berbisik lantang sepanjang azan, dan becakmu dicari-cari penumpang. (2005)


Sajak-sajak 2005 Malam Insomnia Tenang saja, tak usah khawatir. Aku berani pergi sendiri ke kamar mandi. Aku akan baik-baik saja. Tak ada hantu yang perlu ditakuti. Oh tidak, aku tidak akan bunuh diri di kamar mandi. Aku akan segera kembali. Dari tempatku terbaring sayup terdengar suara bocah sedang menjerit-jerit ketakutan. Kemudian hening. Setelah itu ia tertawa nyaring. Bu, aku sudah selesai mandi. Di kamar mandi aku sempat berjumpa dengan gembong sepi nan gondrong rambutnya. Bagus. Nyalakan matamu. Segera tuliskan kata-katamu dengan sisa-sisa sakitmu sebelum aku goyah, berderak, rebah karena tak sanggup lagi menampung gelisah tidurmu yang semakin parah. Baiklah. Doakan menang ya, Bu. Aku akan duel dengan harimau merah yang sering merusak tidurku. (2005) Pesan dari Ayah Datang menjelang petang, aku tercengang melihat Ayah sedang berduaan dengan telepon genggam di bawah pohon sawo di belakang rumah. Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam sebab Ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian. “Jangan ganggu suamiku,” Ibu cepat-cepat meraih tanganku. “Sudah dua hari ayahmu belajar menulis dan mengirim pesan untuk Ibu. Kasihan dia, sepanjang hidup berjuang melulu.” Ketika pamit hendak kembali ke Jakarta, aku sempat mohon kepada Ayah dan Bunda agar sering-sering telepon atau kirim pesan, sekadar mengabarkan keadaan, supaya pikiranku tenang. Ayah memenuhi janjinya. Pada suatu tengah-malam telepon genggamku terkejut mendapat kiriman pesan dari Ayah, bunyinya: “Sepi makin modern.” Langsung kubalas: “Lagi ngapain?” Disambung:


“Lagi berduaan dengan ibumu di bawah pohon sawo di belakang rumah. Bertiga dengan bulan. Berempat dengan telepon genggam. Balas!” Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan, lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu dan membaringkannya di ranjang Ibu. (2005) Pohon Cemara Di depan rumahmu ia betah berjaga mengawal sepi, dari jauh terlihat tenang dan tinggi. Jaman berubah cepat, andaikan nasib bisa diralat, dan pohon cemara masih saja serindang mimpi. Pada dahannya masih tergantung sepotong celana: gambar panah di pantat kanan, gambar hati di pantat kiri; dicumbu angin ia menari-nari. Burung bulan suka bersarang di ranting-rantingnya, bulunya berhamburan di tangkai-tangkainya. Aku pulang di malam yang tak kauduga. Halo, itu celana kok sudah beda pantatnya: panah telah patah, hati telah berdarah; darahnya kausimpan di botol yang tak mudah pecah. (2005) Winternachten, 2002 Magrib memanggilku pulang ketika salju makin meresap ke sumsum tulang. Pulang ke hulu matamu agar bisa mencair dan menjadi airmatamu. Musim tidak berbaju, badan dimangsa hujan, dan magrib mengajakku pulang. Pulang ke suhu bibirmu agar bisa menghangat dan menjadi kecupkenyalmu. Menggigil adalah menghafal rute menuju ibukota tubuhmu. (2005)


Rambutku adalah Jilbabku Dua gunting gila menari-nari di atas rambutnya. Anda ingin model yang mana? Mendongak ragu, ia berkata, “Rambutku adalah jilbabku.” Tujuh warna muda melintas-lintas membujuk matanya. Anda ingin warna yang mana? Mengangkat dagu, ia berkata, “Rambutku adalah jilbabku.” Senja yang sedang bingung mondar-mandir di atas keningnya kemudian tertidur di alur alisnya. Tersentuh waktu, rambutnya serupa rumpun putrimalu. (2005) Mobil Merah di Pojok Kuburan Mobil merah di pojok kuburan menderam-deram menyambut malam. Lampu dinyalakan, klakson dibunyikan. Di remang sunyi kembang jepun berguguran. Lelaki tua sibuk berdandan, di kaca spion wajahnya terlihat tampan. Rambutnya harum, licin mengkilat, lalat yang hinggap bakal terjerembab. Kadang ia bersiul, dasi dan jas ia rapikan. Rokok dihisap, asap dikepul-kepulkan. Telepon genggam tak juga bilang kapan si dia bakal muncul dari seberang. Tiba-tiba ia terpana, pandangnya heran: ada gadis kecil lewat, bersenandung pelan, mendaki bukit, menyunggi bulan, sekali-sekali menoleh ke belakang. Mobil merah di pojok kuburan serupa mobil-mobilan yang dulu hilang. Musik dihidupkan, mata dipejamkan. Di terang sepi kembang jepun bermekaran. (2005) Sehabis Sembahyang


Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku. Terima kasih atas segala pemberianmu, mohon lagi kemurahanmu: sekadar mobil baru yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya agar aku bisa lebih cepat mencapaimu. Sementara aku masuk ke rumahmu, kau malah pergi ke kantor pos kecamatan, mengambil jatah santunan seratus ribu. Berbekal kartu tanda miskin, kau rela antri berjam-jam hingga bajumu yang masih baru langsung luntur oleh cucuran peluhmu. Kau sempat menangis dan pingsan karena uang yang dengan susah payah kaudapatkan langsung amblas dirampas orang. Kulipat dan kusimpan baju sembahyangku di bawah bantal supaya tenang tidurku. Di saku kirinya terselip kartu tanda miskinmu, di saku kanannya kutemukan uang seratus ribu. (2005) Aceh, 26 Desember 2004 Gema lonceng Natal masih bergetar di kaca jendela ketika Aceh meleleh di kelopak mataku, menetes deras ke dalam gelas di atas meja perjamuanmu. (2005) Harga Duit Turun Lagi Mengapa bulan di jendela makin lama makin redup sinarnya? Karena kehabisan minyak dan energi. Mimpi semakin mahal, hari esok semakin tak terbeli. Di bawah jendela bocah itu sedang suntuk belajar matematika. Ia menangis tanpa suara: butiran bensin meleleh dari kelopak matanya. Bapaknya belum dapat duit buat bayar sekolah. Ibunya terbaring sakit di rumah. Malu pada guru dan teman-temannya, coba ia serahkan tubuhnya ke tali gantungan. Dadah Ayah, dadah Ibu….


Ibucinta terlonjak bangkit dari sakitnya. Diraihnya tubuh kecil itu dan didekapnya. Berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kemiskinan kami…. (2005) Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita? Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkraman luka. (2005) Himne Becak Dua puluh tahun yang lalu aku melihatmu sedang melamun di dalam becak yang kauparkir di depan warung makan Sabar Menanti. Petugas ketertiban kota datang menggarukmu: becak dan si tukang becak diangkut mobil patroli. Sepuluh tahun kemudian aku melihatmu sedang mengantuk di dalam becak yang kauparkir di depan rumah makan Sabar Menanti. Petugas ketertiban kota datang menggarukmu: becak segera diangkut mobil patroli, si tukang becak dipersilakan pulang berjalan kaki. Dan malam ini, sayang, aku melihatmu sedang mendengkur di dalam becak yang kauparkir di depan restoran Sabar Menanti. Petugas ketertiban kota mengayuh becakmu, membawamu pergi ke tempat yang sepi sambil tetap membiarkanmu dininabobokan mimpi. Tidurmu begitu manjur sampai kau tak tahu bahwa becakmu sedang parkir di depan kuburan. Aku tinggal rintik-rintik hujan ketika subuh datang, ketika kau menggeliat dan berbisik lantang sepanjang azan, dan becakmu dicari-cari penumpang. (2005)


Sajak-sajak 2007 Jalan Sunyi Ada jalan kecil menuju kebunmu: ada hujan mungil merayap pelan ke liang kuburku. (2007) Gambar Hati Versi Penyair Seperti dua koma bertangkupan. Dua koma dari dua kamus yang berbeda dan tanpa janji bertemu di sebuah puisi. (2007) Puisi Telah Memilihku Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang. (2007) Sajak Panjang Apa nama jalan menuju judul, sajakku? Namanya jalan panjang, penyairku. (2007) Beethoven: Minuet in G Major Ucapkan selamat tidur kepada matamu. Matamu sebentar lagi jadi kunang-kunangku.


(2007) Di Kalvari SalibMu tinggi sekali. Ya, lebih baik kaupanjat tubuhmu sendiri. (2007) Gaun Tidur Gaun tidurku menyembunyikanmu. Seperti doa yang ganas, kau merasuk ke panas darahku. Gaun tidurku basah olehmu. (2007) Bangkai Banjir Rumahku keranda terindah untuknya. (2007) Penjahat Berdasi Ia mati dicekik dasinya sendiri. (2007) Jalan ke Surga Jalan menuju kantorMu macet total oleh antrean mobil-mobil curianku. (2007)


Kambing Hitam Kambing hitam sebentar lagi akan disembelih untuk korban persembahan. Kepada tukang jagal yang akan menggorok lehernya ia berkata: “Ketika lahir, buluku warnanya putih.” (2007) Taman Hiburan Negara Ini tempat umum, bung. Dilarang melamun sembarangan di sini. (2007) Seribu Kunang-kunang di Jakarta Gadis kecil jalan seorang dengan payung hitam. Tangannya gemetar menjinjing bulan dalam keranjang. (2007) Mata Rindu Kelopak matamu pelan-pelan terbuka, mekar menjadi kupu-kupu, hinggap di kuncup mataku. (2007) Malam Pemadat


Pilin dan padatkan aku menjadi sebatang candu, hisap dan bakarlah sampai berkobar di tubuhmu. Jika habis kopimu, seduh dan minumlah abuku sampai menguap di pori-porimu. (2007) Cermin Aku bercermin pada wajahmu: airmataku berkilauan di kristal matamu. (2007) Mata/Bulan Bulan tak akan meminta kembali cahaya yang telah dicurahkannya ke matamu supaya bila redup atau tertutup awan ia masih bisa melihat kecantikannya yang tak pernah padam. (2007) Rambut Di rambutmu diam-diam tumbuh seutas rambutku yang kelak akan jadi uban terakhir di kepalamu. (2007) Panta Rei Aku mengalir, kau gemercik sampai ke hilir. (2007)


Jeritan Bayi di Dasar Jurang merontokkan semua huruf “a” dalam doaku yang bawel dan manja. (2007) Teringat Masa Kecil Saat Bermain Bola di Bawah Purnama Seperti bola pingpong memantul-mantul di atas kening, bergulir pelan ke tebing tidurku yang hening, melenting, menggelinding…. (2007) Pemalu Gadungan Ada apa di balik matanya yang tampak pemalu? Ada lampu kecil yang terus menyala. Ada buku hijau yang selalu terbuka. (2007) Rambut Curian Aku beruntung bisa mencuri sehelai rambutmu dan menanamnya di tubuhku sampai tumbuh subur dan lucu. Mungkin kata-kata juga seperti rambut. Hitam di kamu, bisa jadi pirang di aku. (2007) Rumah Horor Hiii…, Aku merinding masuk ke rumahmu: semua dindingnya penuh dengan fotomu!


(2007) Rumah Parkir Seluruh bagian rumahmu sudah jadi tempat parkir sampai tak ada lagi ruang untukKu. (2007) Celana Mimpi Senja membuatkanku celana mimpi. Saat kucoba warnanya jingga, saat kupakai berubah jadi hitam sekali. (2007) Sukabumi Jika nanti aku tamat, kibarkan celanaku yang dulu hilang di atas makamku. (2007) Susu Rindu buat Akmal Nasery Basral Ada seseorang di kepalamu yang mirip ibumu. Setiap subuh ia teteskan susu rindu ke kuncup kecil kata-katamu. (2007) *Akmal Nasery Basral menulis cerpen “Ada Seseorang di Kepalaku yang bukan Aku” (2006)


Koruptor Di jidatnya tertera rajah tulisan “Dilarang Mencuri”. (2007) Kaki Negara Kakiku telah kaujadikan kaki kursimu. Jangan duduk terlalu lama, nanti kakiku patah, kursimu rebah, pantatmu pecah. (2007) Aku Tak Pergi Ronda Malam Ini Aku doakan semoga aman-aman saja. Kalau nanti bertemu maling, ajak dia ke rumahku. Hasil curiannya bisa kita bagi bertiga. (2007) Duel Ayo, buku, baca mataku! (2007) Insomnia Mata tak pernah mati sebab ada mata-mata yang mondar-mandir antara mata kanan dan mata kiri. (2007)


Pagi Sehabis Hujan Pertama Bayi matahari yang baru lahir merangkak pelan ke hijau pipimu, memungut embun merah jambu di sudut matamu. (2007) Terang Bulan Di bawah jembatan layang bocah lima tahun berkelahi dengan bayangannya sendiri. Uh! Ia mengerang. Perutnya yang kembung kena tendang. (2007) Mendengar Bunyi Kentut Tengah Malam Sepi meletus. Suaranya yang lucu mengagetkan tato macan yang sedang mengaum di tubuhmu. (2007) Seorang Februari “Aku sedang bersama hujan, kedinginan. Bisa jemput aku? Aku mendapat nomormu dari teman dekatku, telepon genggam.” “Bukankah engkau seorang februari? Aku sedang menggigil di tubuhmu.” Padahal mereka belum pernah bertemu. (2007)


Kepada Cinta kado buat Iyut & Jamila Menarilah di atas tubuhku, cinta hingga bangkitlah kata-kataku yang mati muda. (2007) Kepada Helen Keller Mataku berhutang kepada matamu. Mataku sering meminjam cahaya matamu untuk menulis dan membaca ketika tubuhku padam dan gelap gulita. (2007) Pembangkang Ia termenung sendirian di gardu gelap di ujung jalan. Tidak jelas, ia peronda yang kesepian atau pencuri yang kebingungan. Dari arah belakang muncul seorang pengarang yang kehilangan jejak tokoh cerita yang belum selesai ditulisnya. “Kucari-cari dari tadi, ternyata sedang melamun di sini. Ayo pulang!” Dari pada harus pulang, ia pilih lari ke seberang. (2007) Selamat Malam, Jenderal Ia punya tato jenderal di tubuhnya. Selamat malam, jenderal. Aku mau tidur. Dengan sigap jenderal kecilnya segera berkeliling memeriksa tubuhnya. Kau tak tersiksa tiap malam kuinjak-injak? Tidak tersiksa, jenderal, malah terhormat.


Dan tidurlah ia, sementara jenderal rindu yang lucu dan perkasa itu tetap berjaga sebab siapa tahu berandalan sepi datang mengobrak-abrik tubuh tuannya. (2007) Puasa kepada penyair Haspahani Saya sedang mencuci celana yang pernah saya pakai untuk mencekik leher saya sendiri. Saya sedang mencuci kata-kata dengan air mata yang saya tabung setiap hari. Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puisi. (2007) Doa Sebelum Tidur : Hudan Berkatilah birahi kami agar bisa kami cecap sabda yang sudah menjadi daging ini. Agar bisa kami nyalakan lagi sunyi yang mudah mati oleh tubuh yang bising ini. (2007) Angkringan Lapar mengajak saya ke warung angkringan di pinggir jalan. Tuan pedagang angkringan sedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang, kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.


Saya makan dua bungkus nasi kucing. Saya bikin kopi sendiri, ambil rokok sendiri. Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannya untuk Tuan saja,” kata saya dalam hati. Lalu saya pamit pulang. “Selamat tidur, pejuang.” Tuan pedagang angkringan terbangun. “Tunggu, jangan tinggalkan saya sendirian!” Setelah semuanya ia bereskan, ia paksa saya segera naik ke atas gerobak angkringan. ”Berbaringlah, Tuan. Saya antar Tuan pulang.” Amboi, saya telentang kenyang di atas gerobak angkringan yang berjalan pelan menyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam. Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringan menuju rumah impian nun di seberang. Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibu sedang meninabobokan anaknya dalam ayunan: Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang…. (2007) Tukang Potret Keliling Cita-citanya tinggal satu: memotret seorang pujangga yang ia tahu tak pernah suka diambil gambarnya. Ia ingat bual seorang peramal: “Kembaramu akan berakhir pada paras seorang penyair.” Demikianlah, dengan tangan gemetar, ia berhasil mencuri wajah penyair pendiam itu dengan tustelnya. Ia bahagia, sementara sang pujangga terpana: “Ini wajahku, wajahmu, atau wajah kita?” Tak lama kemudian tukang potret keliling itu mati. Tubuhnya yang sementara terbujur di ruang yang dindingnya penuh dengan foto-foto karyanya. Ada foto penyair. Tapi tak ada foto dirinya. Kerabatnya bingung. Mereka tidak juga menemukan potretnya untuk dipajang di dekat peti matinya. “Sudah, pakai foto ini saja,” cetus salah seorang


dari mereka sambil diambilnya foto pujangga. “Lihat, mirip sekali, nyaris serupa. Ha-ha-ha….” Penyair kita tampak di antara kerumunan pelayat yang berdesak-desakan memanjatkan doa di sekeliling peti almarhum. Ada seorang ibu yang dengan haru mengusap foto itu: “Hatinya pasti manis. Di akhir hayatnya wajahnya keren abis!” (2007) Mengenang Jengqy Saya berkenalan dengan Jengqy sepuluh tahun lalu di sebuah senja yang kelabu. “Saya keturunan Amerika, lahir dan besar di Jakarta,” katanya dengan malu-malu. Mungkin karena sudah jodoh, dalam waktu singkat kami merasa sudah dekat. Tanpa ragu ia ikut saya. Kami pun bergandengan dalam hangat. Sungguh saya beruntung punya teman sebaik Jengqy. Ia lembut dan murah hati. Ia pandai membaca pikiran dan perasaan saya. Ia bisa mengerti mimpi-mimpi saya. Ia selalu sabar menyertai hari baik dan hari naas saya. “Suka dan duka kita santap bersama,” ujarnya. Kadang saya mengajaknya ke medan perang untuk menghadapi serangan para gerilyawan sepi yang mengancam kedaulatan hati. Ia sempat terluka dan saya jahit lukanya. Ia juga sering menemani saya memasuki gua gelap kata-kata untuk menaklukkan keangkeran hantu kata-kata. Dasar nasibnya baik, lama-lama ia lebih tenar dari saya. Kadang orang mengenali saya karena mengenali Jengqy. Ketika saya bertandang ke seorang teman, misalnya, ia menyambut saya dengan berseru, “Halo Jengqy, ke mana saja kamu?” Ah Jengqy, kamu ada di mana-mana. Pernah kami bentrok hebat gara-gara ia terlalu cerewet mengenai kesehatan saya. “Sembuhkan dulu sakitmu, baru kerja lagi. Jangan sok heroik, merasa bisa berkarya dengan dahsyat kalau lagi sakit hebat.” Tanpa ampun ia tega meringkus kedua kaki saya dan melarang saya pergi.


Senja itu saya biarkan Jengqy termenung sendirian di ruang belakang. Ia tampak galau dan gundah dan saya tidak berani mengusiknya. Saat saya pulang dari beli rokok, saya dapatkan Jengqy sudah tak ada. Saya ingat Jengqy pernah berkata, “Sayang, aku tak akan tahan melihatmu sekarat dan mati sunyi. Lebih baik aku pergi.” Saya tidak tahu apakah Jengqy –demikian nama celana kesayangan saya itu— telah dipungut oleh pemulung atau oleh seseorang yang diam-diam menginginkannya. Selamat jalan, Jengqy. Di serat-seratmu meresap bau rinduku. (2007) Kredo Celana Yesus yang seksi dan murah hati, kutemukan celana jinmu yang koyak di sebuah pasar loak. Dengan uang yang tersisa dalam dompetku kusambar ia jadi milikku. Ada noda darah pada dengkulnya. Dan aku ingat sabdamu: “Siapa berani mengenakan celanaku akan mencecap getir darahku.” Mencecap darahmu? Siapa takut! Sudah sering aku berdarah, walau darahku tak segarang darahmu. Siapa gerangan telah melego celanamu? Pencuri yang kelaparan, pak guru yang dihajar hutang, atau pengarang yang dianiaya kemiskinan? Entahlah. Yang pasti celanamu pernah dipakai bermacam-macam orang. Yesus yang seksi dan rendah hati, malam ini aku akan baca puisi di sebuah gedung pertunjukan dan akan kupakai celanamu yang sudah agak pudar warnanya. Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya.


Di panggung yang remang-remang sajak-sajakku meluncur riang. Makin lama tubuhku terasa menyusut dan lambat-laun menghilang. Tinggal celanamu bergoyang-goyang di depan mikrofon, sementara sajak-sajakku terus menggema dan aku lebur ke dalam gema. “Hidup raja celana!” Hadirin terkesima. Kelak akan ada seorang ibu yang menjahit sajak-sajakku menjadi sehelai celana dan celanaku akan merindukan celanamu. (2007) Celana Senja Daun-daun celana berguguran di senja tersayang. Di senja tersayang daun-daun celana berguguran. Merah, kuning, hijau, biru bertaburan di halaman. Hitam, putih, jingga, ungu dicumbu angin dan hujan. Angin dan hujan menerpa pohon celana tercinta. Pohon mimpi. Pohon luka Pohon rindu. Pohon kenangan. Di bawah pohon cinta daun-daun celana bertebaran. Dipungut ibu, dimasukkan dalam keranjang. Daun-daun celana berguguran di senja tersayang. Di senja tersayang daun-daun celana berguguran.


(2007)


Click to View FlipBook Version