dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu saat bercukur sebelum tidur. (1999) Pulang Mandi Lama minggat ke Jakarta dan tak pernah ada kabar-beritanya, tahu-tahu ia muncul di depan pintu dan berseru: “Ayo kita mandi!” Wajah yang penuh jahitan, tubuh yang hampir rombengan nyaris tak terbaca kalau tak ia tunjukkan sepasang tato di pantatnya. “Berbahagialah orang yang berani mandi,” aku bersabda, “sebab ia akan menemukan tubuhnya sendiri.” Maka dalam bahagia mandi ia kelupas karat waktu pada tekstur hidupnya, kerak kenangan pada tipografi nasibnya. “Sakit!” ia menjerit. “Berdarah!” Mungkin sedang ia lepaskan pakaian kotor yang lengket dengan tubuhnya. Kamar mandi kemudian sunyi. Ia menghambur keluar, berjingkrak-jingkrak seperti kanak-kanak dapat bingkisan di hari Lebaran. “Aduh cakepnya,” aku menggoda, dan ia memelukku sambil berkata riang: “Mandiku sukses sekali, abang sayang.” Lama ia tidak mandi. Tapi sekali mandi ia langsung mencopot tubuhnya yang usang dan menggantinya dengan yang baru, yang mutakhir modelnya dan, tentu saja, tahan lama. “Tidak tertarik ke Jakarta?” ia membujukku sambil memamerkan tubuhnya yang trendi. Ah ya, mungkin perlu juga aku minggat ke Jakarta agar suatu saat dapat pulang mandi dengan bahagia. (1999)
Perahu : YBM Air danau makin meninggi. Entah sudah berapa desa tenggelam di sini. Setelah sembahyang dan menghitung cahaya lampu di kejauhan, pada tengah malam ia memutuskan pergi ke seberang. Di sana anak-anak sudah tak sabar menunggu dan ingin segera mendapat oleh-olehnya: buku tulis, pinsil dan kisah-kisah petualangan yang biasa ia dongengkan dengan jenaka di gedung sekolah darurat yang tentu tidak tertib kurikulumnya. “Hati-hati, Pak Guru, hujan tampaknya segera turun,” kata orang-orang kampung yang membantu mendorong perahunya. “Tenanglah,” timpalnya sambil tersenyum, “saya sudah terlatih untuk kalah.” Meskipun agak gentar sebenarnya, ia meluncur juga bersama sarung dan capingnya. Air danau makin meninggi. Entah sudah berapa rumah tenggelam di sini. Sebelum sampai di seberang, ia memutuskan mundur ke tengah. Seluruh kawasan telah dijaga aparat dan cukup sulit mendapatkan tempat mendarat. Sambil menunggu situasi, ia tiduran saja di atas perahu dan, kalau bisa, bermimpi. Menjelang subuh, perahu mendarat di tujuan. Mereka menyambut girang: “Pak Guru sudah datang!” Pak Guru memang sudah datang. Sayang ia tak juga bangun dan tak akan bangun lagi. Tapi anak-anak, yang ingin segera mendapat oleh-olehnya, tak akan mengerti batas antara tidur dan mati. Beberapa aparat memeriksa tubuhnya yang masih hangat dan menemukan sesobek surat: “Pak Petugas, tolong sampaikan pinsil dan buku tulis ini kepada anak-anakku yang pintar dan lucu. Saya mungkin tak sempat lagi bertemu.”
Ada di antara mereka yang berkata: “Kandas juga ia akhirnya.” Memang ia kandas, dan tenggelam, ke lembah maria. Seperti hidup yang karam ke dalam doa. Barangkali ia sendiri sebuah perahu. Yang dimainkan anak-anak piatu. Yang berani mengarungi mimpi dan menyusup ke belantara waktu. (1999) Pohon Perempuan Pohon perempuan itu masih berdiri anggun di tengah kota walau sudah sangat tua umurnya. Teman-temannya sudah tumbang dan roboh semua tapi ia masih tegar di sana. Aku ingin mencicipi sepasang buahnya yang indah yang selalu tampak segar dan basah. Tapi kata orang itu buah keramat dan tak seorang pun boleh memetiknya. Pohon keramat itu selalu ramai dikunjungi peziarah yang datang untuk memohon berkah dan tuah. Dan kata orang, hanya yang kudus dan bersih hidupnya boleh ke sana. Sedang aku seorang pendosa yang ketika lahir saja sudah tega menyiksa dan melukai seorang wanita. Tadi siang aku melihat seorang tiran ditangkap, ditelanjangi, diarak keliling kota kemudian digantung di pohon itu sampai melet lidahnya dan mendelik matanya. Sebelum nyawanya oncat ia sempat mendengar pohon perempuan itu berkata: “Minumlah tetekku, hai anak durhaka.” (1999)
Di Sebuah Lukisan Menjelang usia lima puluh kristal waktu di matanya masih juga utuh. Seperti dua butir bulan menyala di kerlap kerling. Seperti dua butir mimpi menyembul di bawah kening. Seperti dua butir maut? “Bukan!” sergahnya sambil berpaling. Pelukis itu sudah lelah sebenarnya. Sudah dibujuknya ia ke sebuah taman, duduk tenang di bangku panjang dengan latar langit mendung sebentar lagi hujan. Tapi perempuan di dalam lukisan itu bilang: ”Beri dong langit yang garang, yang merah cemerlang.” Apa yang lebih merah selain darah? “Brengsek ah,” pelukis itu berkesah. Diirisnya urat darah, diratakannya merah pada langit di atas bukit. Ke sana burung-burung terbang mencari arah. Dari sana sayap-sayap malam akan merendah. “Hatiku damai sekarang,” kata perempuan itu riang. Ia pun memandang ke seberang, ke tempat anak-anak bermain layang-layang di atas kuburan. Ada juga liuk sungai di kejauhan, merayap pelan memasuki hutan. Pelukis itu ingin rebah sebenarnya. Tapi masih ada sedikit ruang di sudut kanvas belum terjamah. “Biarkan tempat itu tetap suwung,” perempuan itu meminta, “ke sana ku akan nyemplung.” (1999) Perburuan Unggun api masih marak di atas ranjang. Dua pengelana saling merapat menghangatkan badan. “Berapa jauh lagikah kita berjalan?” “Berapa lama lagikah sampai tujuan?” Langit makin malam. Malam makin mendung. “Tampaknya kita tersesat.” Lidah api menjilat-jilat. Mereka kemudian memasang tenda, melanjutkan perburuan. “Sudah kutempuh perjalanan panjang di rimba ranjang
dan hanya gigil yang kudapatkan.” “Sudah kurambah seluruh kilometer tubuhmu sampai ke gua-guanya yang paling dalam dan tebing-tebingnya yang paling curam dan hanya labirin yang kutemukan.” Ketika bangun, tenda sudah rubuh, unggun sudah padam. “Kapan hujan turun?” “Kapan kita pulang?” Waktu mengkerut di seonggok pakaian. (1999) Tahanan Ranjang Akhirnya ia lari meninggalkan ranjang. Lari sebelum tangan-tangan malam merampas tubuhnya dan menjebloskannya ke nganga waktu yang lebih dalam. “Selamat tinggal, negara. Aku tak ingin lebih lama lagi terpenjara. Mungkin di luar ranjang waktu bisa lebih luas dan lapang.” Ranjang memang sering rusuh dan rawan kekuasaan. Penuh horor dan teror. Di sana ada psikopat gentayangan sambil mengacung-acungkan pistol dan berteriak: “Tiarap. Kau akan kutembak.” Kemudian ada yang balik mengancam sambil membentak: “Angkat tangan. Pistolmu tak bisa lagi meledak.” Ada yang lari meninggalkan ranjang. Ada yang ingin berumah kembali di ranjang. Pada kelambu merah ia baca tulisan: “Ini penjara masih menerima tahanan. Dijamin puas dan jinak. Selamat malam.” (1999) Selimut
Selimut telah dilipat. Dongeng perlu juga tamat. Cepatlah berangkat walau nafasmu masih tersengal tersendat. Musim panas telah datang mengepak-ngepakkan sayapnya yang lunglai. Datang pula gagak mencabik-cabik sprei, mencari-cari sumber air di balik bongkahan guling dan hanya menemukan ular yang meringkuk melingkar di bawah bangkai bantal yang terlantar terbengkalai. Terdengar juga lengking rusa yang terkapar terbantai. Pemburu liar mondar-mandir mengitari ranjang, mencari suara di balik belukar. Dan ketika angin berhembus kencang semak-semak itu pun terbakar. (1999) Kepada Penyair Hujan : SDD Lembut sayap-sayap hujan menggelepar di antara pepohonan dan rumput liar di remang sajakmu. Seperti kudengar kepak sayap burung dari khasanah waktu yang jauh. Matahari sebentar lagi padam. Senja hanya diam mengagumi selendang panjang warna-warni yang menjuntai di atas sungai yang hanya terdengar suaranya; malam sesaat lagi akan meraih dan melipatnya. Hujan yang riang, yang melenyap pelan dengan derainya yang bersih, makin lama makin lirih dan akhirnya lengang. Tapi kudengar juga hujan yang risau dan parau. Seperti kudengar seorang musafir
kurus dan sakit-sakitan batuk terus sepanjang malam dengan suara serak dan berat, berjalan terbata-bata menyusuri jalan setapak yang licin meliuk-liuk, mencari tempat yang teduh dan hangat. Musafir itu bikin unggun di atas sajakmu. Aku akan menemaninya. (1999) Surat Malam untuk Paska Masa kecil kaurayakan dengan membaca. Kepalamu berambutkan kata-kata. Pernah aku bertanya: “Kenapa waktumu kausia-siakan dengan membaca?” Kau jawab ringan: “Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan yang tak terhingga banyaknya.” Kau memang suka menyimak hujan, bahkan dalam kepalamu ada hujan yang meracau sepanjang malam. Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja dan bertanya minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang: “Kasih saja saya beragam bacaan, yang serius maupun yang ringan. Jangan bawakan saya rencana-rencana besar masa depan. Jangan bawakan saya kecemasan.” Kumengerti kini: masa kanak adalah bab pertama sebuah roman yang sering luput dan tak terkisahkan, kosong tak terisi, tak terjamah oleh pembaca, bahkan tak tersentuh oleh penulisnya sendiri. Sesungguhya aku lebih senang kau tidur di tempat yang bersih dan tenang. Tapi kau lebih suka tidur di antara buku-buku, berkas-berkas, yang berantakan. Seakan mereka mau bicara: “Bukan kau yang membaca kami, tapi kami yang membaca kau.” Kau pun pulas. Seperti halaman buku yang luas. Dalam kepalamu ada air terjun, sungai deras di tengah hutan. Aku gelisah saja sepanjang malam, mudah terganggu suara hujan. (1999)
Topeng Bayi untuk Zela Melihat kau tersenyum dalam tidurmu aku ingin kasih topeng bayi yang cantik untukmu. Kau pernah bertanya: “Cantikkah saya waktu bayi?” Sayang, aku tak sempat membuat foto bayimu. Padahal kau sangat lucu dan tak mungkin aku melukiskannya. Di sebuah desa kerajinan aku bertemu seorang pembuat topeng yang sangat aneh tingkahnya. Ia suka menjerit-jerit saat mengerjakan topeng-topengnya. “Anda masih waras kan?” aku bertanya. “Masih. Jangan khawatir,” jawabnya. “Saya hanya tak tahan menahan sakit dan perih setiap memahat dan mengukir wajah saya sendiri.” Aku sangat kesepian setiap melihat kau asyik bercanda dengan topeng bayimu. Kok wajahku cepat tua dan makin mengerikan saja. Tapi kau berkata: “Jangan sedih, Pak Penyair. Bukankah wajah kita pun cuma topeng yang tak pernah sempurna mengungkapkan kehendak penciptanya?” (1999) Toilet (1) Ia sangat mencintai toilet lebih dari bagian-bagian lain rumahnya. Ruang tamu boleh kelihatan suram, ruang tidur boleh sedikit berantakan, ruang keluarga boleh agak acak-acakan, tapi toilet harus dijaga betul keindahan dan kenyamanannya. Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci, tempat merayakan yang serba sakral dan serba misteri. Bertahun-tahun kita mengembara mencari wajah asli kita, padahal kita dapat dengan mudah menemukannya, yakni saat bertahta di atas lubang toilet. Karena itulah, barangkali, kita mudah merasa waswas dan terancam bila melihat atau mendengar kelebat orang
dekat toilet, karena kita memang tidak ingin ada orang lain mengintip wajah kita yang sebenarnya. Demikianlah, ketika saya bertandang ke rumahnya tanpa saya tanya ia langsung berkata: “Kalau mau ke toilet, terus saja lurus ke belakang, putar sedikit ke kiri, kemudian belok kanan.” Mungkin ia bermaksud memamerkan toiletnya yang memang mewah. Begitu saya keluar dari toilet, ia bertanya: “Dapat berapa butir?” Butir apa? (2) Nah, ia terbangun dari tidurnya yang murung dan gelisah. Dengan meringis dan bersungut-sungut ia berjalan tergopoh-gopoh ke toilet. Keluar dari toilet, wajahnya tampak sumringah, langkahnya santai, matanya cerah. “Merdeka!” Sambil senyum-senyum ia kembali tidur. Tidurnya damai dan pasrah. Terus terang saya suka membayangkan yang bukan-bukan kalau ia berlama-lama di toilet. Apalagi tengah malam. Apalagi mendengar ia terengah, mengerang, mengaduh, sesekali menjerit lalu berseru: “Edan!” Seperti sedang melepaskan rasa sakit yang tak tertahankan. O ternyata ia sedang bertelur. Dan ia rajin ke toilet malam-malam untuk mengerami telur-telurnya. Bertahun-tahun ia bolak-balik antara kamar tidur dan toilet untuk melihat apakah telur-telur mimpinya dan telur-telur mautnya sudah menetas. (1999) Naik Andong Kehujanan Andong terguncang-guncang di bawah hujan. Hujan mengguyur malam, melecut kudaku yang kecapaian. (Andong: keranda indah yang membawa kita tamasya keliling kota. Kling klong kling klong.) Andong: kudanya kurus kering tinggal tulang-belulang, terseok-seok mendaki jalanan licin berkelok-kelok. “Hoya! Hoya!” teriak kusir sambil menyabet-nyabetkan pecutnya.
Kusirnya gundul, gendut dan gendeng. Enak-enak merokok, minum bir, makan apem. “Hoya! Hoya!” hentaknya garang sambil dipecutnya kudaku yang kelaparan. Andong tertatih-tatih di bawah hujan, membawa sepasang pengantin ke sebuah kondangan. Kudanya kurus kering tinggal tulang-belulang, terengah-engah mendaki jalanan gelap dan basah. “Hoya! Hoya!” teriak penumpang membentak kusir yang ketiduran. Penumpangnya pakai topeng, banyak tingkah, pecicilan. Yang satu mabuk, yang lain kesurupan. “Nikmat juga euy naik andong kehujanan,” kata penumpang edan sambil enak-enak minum bir, makan lemper, dan dangdutan. Andong berhenti di kuburan. Pesta kawinan sudah disiapkan. Dan sudah ada pertunjukan jaran kepang. “Selamat datang Pengantin,” sambut seorang arwah penjaga gerbang. Kudaku ketakutan. Melesat minggat sendirian. Kusir dan penumpangnya ditinggalkan. (Andong: keranda kosong yang melaju kencang mencari penumpang. Kling klong kling klong.) Andong meluncur di bawah hujan. Hujan mengguyur malam, melecut kudaku yang kesakitan. “Hoya! Hoya!” gertak kudaku kesetanan, ngebut menembus malam. (1999) Naik Bus di Jakarta untuk Clink Sopirnya sepuluh, kernetnya sepuluh, kondekturnya sepuluh, pengawalnya sepuluh, perampoknya sepuluh. Penumpangnya satu, kurus, dari tadi tidur melulu; kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali. Sampai di terminal kondektur minta ongkos: “Sialan, belum bayar sudah mati!” (1999) Malin Kundang Malin Kundang pulang menemui ibunya yang terbaring sakit di ranjang. Ia perempuan renta, hidupnya tinggal menunggu matahari angslup ke cakrawala. “Malin, mana isterimu?” “Jangankan isteri, Bu. Baju satu saja robek di badan.” Perempuan yang sudah tak tahan merindu itu seakan tak percaya. Ia menyelidik penuh curiga. “Benar engkau Malin?” “Benar, saya Malin. Lihat bekas luka di keningku.” “Tapi Malin bukanlah anak yang kurus kering dan compang-camping. Orang-orang telah memberi kabar bahwa Malin, anakku, akan datang dengan isteri yang bagus dan pangkat yang besar.” “Mungkin yang Ibu maksud Maling, bukan Malin.” “Jangan bercanda, mimpiku telah sirna.” Walau sakit, perempuan itu memberanikan diri bertanya: “Ke mana saja engkau selama ini?” “Mencari ayah di Jakarta.” Lalu kata ibu itu: “Ayahmu pernah pulang dan aku telah sukses mengusirnya.” “Benar engkau Malin?” Ibu itu masih juga sangsi. Dan anak yang sudah lelah mengembara itu pun bicara: “Benar, saya Malin. Malin yang diam-diam telah menemukan ayahnya dan membunuhnya.” Sambil memejamkan mata, perempuan itu berkata: “Bila benar engkau Malin, biar kusumpahi ranjang dan tubuhku ini menjadi batu.” Tapi ranjang tidak menjadi batu, dan perempuan itu pun masih di situ, seakan ada yang masih ditunggu.
(1999) Utang Orang miskin itu memberanikan diri bertamu ke sahabatnya yang dulu miskin tapi sekarang kaya raya. Tak ada jeleknya menghibur orang kaya, pikirnya. Orang kaya toh sering kesepian juga. Baru saja melangkah ke ambang pintu, tuan rumah langsung menyergapnya: “Kau ke sini cuma mau menagih utang kan? Utang lama kan? Waktu aku masih miskin kan? Aku akan lunasi sekarang, sekian lipat dari yang kupinjam. Paham?” Sambil menepuk-nepuk bahu tuan rumah yang pemberang tamu itu menjelaskan: “Jangan berburuk sangka. Saya ke sini cuma mau bilang bahwa utang itu sudah saya ikhlaskan. Besok saya mungkin sudah mati. Paham?” Tuan rumah terpana dan merasa utangnya makin bertambah saja. Tamu miskin itu sekarang berdiri di dalam cermin di hadapan saya. Ia mengucapkan hallo, dan saya merasa tertusuk oleh senyumnya. (1999) Uban Pasukan uban telah datang memasuki wilayah hitam. Hitam merasa terancam dan segera merapatkan barisan. “Putih lambang kematangan, hitam harus kita lumpuhkan.” “Hitam lambang kesuburan, putih harus kita enyahkan.” Tiap malam pasukan putih dan pasukan hitam bertempur memperebutkan daerah kekuasaan sampai akhirnya seluruh dataran kepala berhasil dikuasai masyarakat uban. “Hore, kita menang. Kita penguasa masa depan.” Tapi uban jelek di lubang hidungmu memperingatkan: “Jangan salah paham. Putih adalah hitam yang telah luluh dalam derita dan lebur dalam pertobatan.”
“Demikianlah sabda uban,” sindir uban-uban pengecut yang tiap hari minta didandani dengan semir hitam. (1999) Kacamata Baru tiga puluh tahun menyair, ia sudah pakai kacamata. Biar tampak bijak dan matang. Biar dikira banyak mikir dan merenung. Biar lebih kebapakan. Kalau lagi kencan dengan kata-kata, ada-ada saja tingkahnya: mencopot kacamata, membersihkannya, menerawangnya, kemudian mengenakannya kembali sambil pura-pura batuk dan pilek. Biasa, cari perhatian. Biar kelihatan berwibawa. Biar dikagumi topeng yang nampang di hadapannya. Dan ia sudah punya bermacam-macam kacamata. Tapi ia masih harus mencari matakaca yang bisa membuatnya tidak grogi menerima teluh cinta kata-kata; yang bisa menjadikannya tidak nyeremimih dan ingah-ingih saat menghadap yang mahamakna. (1999) Tetangga Ada baiknya sekali-sekali main ke tetangga. Sekadar mengobrol, minum kopi, main kartu, mabuk bareng, pamer utang, atau saling mencabuti uban sambil merencanakan kapan bisa duel untuk saling mengalahkan. Biasanya tetangga lebih cermat mengamati keadaan rumah kita. Siapa tahu ia juga bisa menyumbangkan gagasan cemerlang tentang cara batuk yang sopan supaya tidak mengganggu tetangga yang sedang tidur atau makan. Kita suka menunda-nunda waktu untuk main ke tetangga. Kita suka bilang sibuk atau pura-pura ingin saling menjaga privasi, padahal sebenarnya cuma takut dan malu mendengar gunjingan orang tentang (keburukan) kita.
Saya baru sadar bahwa saya punya tetangga yang baik dan penuh perhatian. Rumahnya cuma di seberang. Saya sering melihatnya baca koran atau main catur semalaman sambil bersiul-siul sendirian. Kadang ia main pantomim di halaman tanpa seorang pun menghiraukan. Setiap saya pergi dan pulang kerja ia selalu menyapa: “Mampir!” “Terima kasih, kapan-kapan,” jawab saya tanpa pernah mampir sungguhan. Sialan. Tetangga saya itu rupanya sering mengintip saya. Suatu saat kami bertemu di jalan dan ia mengatakan: “Aku tahu apa yang kausembunyikan di balik baju dan celanamu. Aku tahu apa yang paling kaubanggakan dari tubuhmu. Kau tak tahu diam-diam aku sering mabuk dan berjoget di bugil badanmu.” Malam itu ia coba-coba mengintip lagi. Saya cepat-cepat membuka jendela, hendak mendampratnya. Tapi ia segera menghilang ke rumahnya yang suram dan tak terawat di bawah pohon kemboja. “Kapan-kapan saya mampir,” kata saya sambil menutup jendela. (1999) Misbar Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar. Mereka duduk berdesakan menyaksikan pertunjukan film layar lebar dengan bintang-bintangnya yang cantik dan segar. Suasana begitu hingar. Suara-suara begitu bingar. Setiap orang bebas bicara dan bertingkah, bikin gosip, kabar kabur, colak-colek, clapclup, cicitcuit, berteriak cabul, tanpa menghiraukan benar cerita yang sedang diputar. Ada yang memilih mojok di bawah pohon beringin sambil minum cendol dan bersayang-sayangan. Ada yang lebih suka ajojing sambil mabuk dan menjerit-jerit kesetanan. Ada yang main kartu, perang mulut, ribut dan akhirnya gelut. Ada yang menyetel radio keras-keras dan serius amat mendengarkan pidato presiden. Ada yang bercakap-cakap dengan topeng. Ada yang menyinden. Ada yang main kuda lumping, mengamuk, kemudian terpelanting. Ada yang sesenggukan membaca sepucuk surat dari pacarnya yang minggat.
Ada yang bertengkar memperebutkan laki-laki hidung belang. Ada yang mencopet dan mengutil, kemudian dihajar habis-habisan. Ada yang jual tampang, pamer pamor, menjaring iseng, dengan wajah menor-menor. Ada yang kencing sembarangan di bawah pohon pisang. Ada juga yang menjajakan berbagai mayat orang hilang yang gambarnya sering terpampang di koran. Penyair adalah penjual rokok yang duduk terkantuk-kantuk di sudut yang remang, yang sambil klepas-klepus memperingatkan: “Merokok dapat merugikan kesehatan.” Yang menyimak segala hingar dan segala bingar sambil mendengar yang tak terdengar. Yang berani menduga siapa di antara orang-orang yang sibuk tertawa itu yang melengos pulang kemudian menggantung diri di kamar karena diam-diam merasa sangat kesepian. Tontonan makin seru. Kacau bukan soal. Tiba-tiba terdengar letusan. Banyak yang ngacir. Kocar-kacir. Lintang pukang. Tunggang langgang. Maling berteriak maling. Spiker melengking-lengking. Ada yang lari terkencing-kencing. Lalu datang orang berseragam, mengamankan keadaan. “Tenang. Situasi dapat dikendalikan. Pertunjukan dapat dilanjutkan.” “Jakarta memang asyik euy,” kata penjual rokok itu yang sambil klepas-klepus memperingatkan: “Merokok dapat merugikan kemiskinan.” Kemudian turunlah gerimis, pertunjukan pun bubar. Misbar. Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar. Suatu saat akan aku temui penjual rokok itu. Siapa tahu ia saudara kembarku. (1999) Veteran Sehabis merumput di atas kepalaku, selalu ia tanyakan: “Mau dicukur rambut yang lain?” “Jangan,” aku katakan, “nanti tak ada lagi rambut yang saya banggakan.”
Ia seorang veteran, tukang cukur yang intelek dan cekatan, yang membiarkan rambutnya tumbuh panjang tak beraturan. “Tukang cukur sejati tak akan memangkas rambutnya sendiri,” katanya pasti. Ia sudah bertahun-tahun di sana, di bawah pohon beringin yang rimbun daunnya, di sebuah sunyi di sudut kotanya. Ia sangat berpengalaman menangani berbagai macam kepala, hafal merek dan isinya. “Hanya di kepala bisa tumbuh berbagai jenis rambut,” katanya, “sebab memang hanya kepala yang punya otak dan pikiran.” Sambil membabat rumput liar di kepalaku ia lanjutkan: “Ada sebuah tempat nun di pusat pergolakan di mana rambut hanya bisa semrawut. Sebab makhluk yang berdiam di sana memang tidak punya otak dan pikiran, hanya bisa diperintah dan melaksanakan tindakan.” Di meja kerjanya yang antik kulihat album besar berisi koleksi berbagai model rambut dan kepala. Ada gambar Yesus yang mulai botak kepalanya. Ada gambar presiden yang tampak cabul kepalanya. Ada pula gambar penyair yang kelihatan brutal rambutnya. Malam itu aku datang lagi hendak menertibkan si kepala, tapi ia tak ada di tempat tugasnya. “Ke mana tukang cukur saya?” tanya saya kepada seseorang di situ. “Katanya pergi sebentar hendak bercukur,” jawab orang berkepala sederhana itu yang ternyata seorang mata-mata. Di jalan pulang kulihat tukang cukur itu sedang diangkut mobil patroli bersama seluruh peralatan kerjanya. “Selamat malam Veteran,” aku menghormat. Dan sang veteran tersenyum sambil memiring-miringkan telunjuk tangannya di atas jidatnya. (1999) Di Bawah Kibaran Sarung Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka. Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung. “Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.
“Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam, yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano, piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,” hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam. Di bawah kibaran sarung rumah adalah kampung. Kampung kecil di mana kau bisa ngintip yang serba gaib: kisah senja, celoteh cinta, sungai coklat, dada langsat, parade susu, susu cantik dan pantat nungging yang kausebut nasib. Kampung kumuh di mana penyakit, onggokan sampah, sumpah serapah, mayat busuk, anjing kawin, maling mabuk, piring pecah, tikus ngamuk, timbunan tinja adalah tetangga. “Rumahku adalah istanaku,” kata perempuan itu sambil terus memainkan pianonya, piano tua, piano kesayangan. “Rumahku adalah kerandaku,” timpal lelaki itu sambil terus meletupkan batuknya, batuk darah, batuk kemenangan. Dan seperti keranda mencari penumpang dari jauh terdengar suara andong memanggil pulang. Kling klong kling klong. Di bawah kibaran sarung kutuliskan puisimu, di rumah kecil yang dingin terpencil. Seperti perempuan perkasa yang betah berjaga menemani kantuk, menemani sakit di remang cahaya: menghitung iga, memainkan piano di dada lelaki tua yang gagap mengucap doa.
Ya, kutuliskan puisimu kulepaskan ke seberang seperti kanak-kanak berangkat tidur ke haribaan malam. Ayo temui aku di bawah kibaran sarung di tempat yang jauh terlindung. (1999) Rumah Persinggahan untuk SS “Aku sekarang bisa pulang ke rumah,” kata temanku dengan wajah berbinar-binar. Lalu ia tunjukkan rumahnya yang baru, rumah yang besar, yang halamannya luas tak berpagar. “Bukan pulang, tapi singgah,” aku berkilah, “sebab hanya kalau larut malam kau berumah, sedang sebagian besar waktumu, jadwal hidupmu kauhabiskan di sekian banyak entah.” “Iyalah,” ia mengalah, dan dengan takjub kukagumi arsitektur rumahnya yang langka dan spesial, tampak sederhana tapi menggoda. “Bertahun-tahun aku menabung kemiskinan untuk membangun rumah ini,” kata temanku. “Bukan kemiskinan, tapi kematian,” aku menyanggah. “Iyalah,” ia kembali mengalah. Ketika itu Jakarta hampir punah. Seluruh pelosok telah habis dijarah petualang-petualang kampung dari berbagai daerah. Di mana-mana orang bikin gedung, pabrik, hotel, toko, salon, kesenian, pemerintahan, panti pijat, warung gaul sehingga untuk mukim kau harus cari kapling di kompleks perumahan bawah tanah. Temanku beruntung bisa bikin rumah besar di sebidang tanah bekas kuburan Cina yang konon banyak jinnya.
Kujelajahi rumah temanku yang ada kolam renang dan kolam ikannya. Dinding-dindingnya penuh lukisan dan topeng. “Jin tidak berani gentayangan di sini,” sindir temanku, “sebab jin takut topeng, apalagi topengnya lebih ganteng dari kamu.” Wah, rumah temanku banyak benar kamarnya. Di bagian depan, misalnya, ada kamar khusus untuk tamu-tamu miskin dari luar kota yang datang untuk sekadar numpang mandi, tidur, dan, tentu saja, makan. Persis di bagian tengah tersedia sel tahanan, lengkap dengan terali dan cahaya remang-remangnya. “Siapa tahu ada seniman kriminal tiba-tiba mengamuk di sini,” jelasnya. Nun di pojok belakang ada kamar gelap yang dijaga sepasang jerangkong, dirancang untuk kuburan. “Kau anak jadah, sebatang kara. Kalau suatu saat kau mati di Jakarta, biar kukubur kau di sini,” temanku bercanda. Aku merinding, dan ia tunjukkan nisan coklat yang belum diberi nama. Masih banyak ruangan lain yang entah untuk apa. Ada, konon, ruangan dingin buat bercinta, tapi aku tak tahu di sebelah mana. Ah, kurang apa rumah temanku. Sayang si empunya jarang pulang, eh singgah. Kalaupun singgah, ia lebih suka mendekam dan menulis di dalam sel dan tak seorang pun bisa mengusiknya. “Bahkan topeng pun tidak berani menggangguku,” katanya. Seperti puisi, mungkin juga cinta, rumah temanku jauh dan tersembunyi. Tidak mudah menemukan alamatnya. Kalaupun sampai, kemudian kubuka pintunya, bisa saja aku lantas tersesat dan terkurung dalam keluasannya. Tapi aku selalu ingin singgah ke sana. Teman, aku datang naik andong. Kling klong kling klong. (1999)
Tamu Suatu malam roh musafir itu singgah, hendak menginap di tubuhku. Tubuh yang sudah beberapa lama terbaring sakit menggeliat terperanjat. “Aku tidak siap menerima tamu,” ucapnya lirih. “Tuan, saya kemalaman,” tamu itu berkata. “Bolehkah hamba numpang tidur dan istirah sebentar?” “Tentu saya senang bisa mempersilakan Tuan bermalam di tubuh hamba,” jawabku. “Tapi maaf, hamba tak bisa kasih tempat yang nyaman. Tubuh hamba sedang bobrok dan berantakan.” “Jangan terlalu meninggikan hamba,” timpalnya. “Bisa sekedar berbaring saja sudah cukup membuat bahagia.” Di tubuh yang sumpek dan temaram tamu itu merapal doa sepanjang malam. Doanya mencengkeram meremas-remas jantung sampai darahku bergolak dan tubuhku tersentak: “Aku takut mati!” Tapi doanya tambah deras dan dencar sampai tubuhku gemetar dan urat-urat darahku bergetar. Sesudah itu tubuhku hening hingga tiap denyut darah terdengar nyaring. Pagi-pagi sekali tamu itu pamitan, hendak melanjutkan perjalanan. “Tidur hamba nikmat sekali semalam,” ia berkata. “Terima kasih,” jawabku. “Saya harap suatu saat Tuan berkenan singgah lagi di tubuh hamba. Hamba berjanji akan sediakan tempat yang lapang dan nyaman.” Lama aku menunggunya. Tapi ia tak kunjung datang. (1999)
Sajak-sajak 2000 Sehabis Tidur Sehabis tidur lahan tubuh kita terus berkurang. Kita belum sempat bikin rumah atau tempat perlindungan, diam-diam sudah banyak yang merambah masuk, bermukim di jalur-jalur darah, di kapling-kapling daging, di bukit-bukit sakit, di ceruk-ceruk kenangan, di kuburan-kuburan mimpi, di jurang-jurang ingatan, di gua-gua kata, di sumber-sumber igauan. Berdesakan, berebut ruang, sampai kita kehabisan tempat, sampai harus mengungsi ke luar badan. (2000) Meditasi Celana tak kuat lagi menampung pantat yang goyang terus memburu engkau. Pantat tak tahan lagi menampung goyang yang kencang terus menjangkau engkau. Goyang tak sanggup lagi menampung sakit yang kejang terus mencengkram engkau. Telanjang tak mampu lagi melepas, menghalau Engkau. (2000) Di Sebuah Mandi Di sebuah mandi kumasuki ruang kecil di senja tubuhmu. “Ini rumahku,” kau menggigil. Rumah terpencil.
Tubuhmu makin montok saja. “Ah, makin ciut,” kau bilang, “sebab perambah liar berdatangan terus membangun badan sampai aku tak kebagian lahan.” Ke tubuhmu aku ingin pulang. “Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,” kau bilang. “Di tubuh sendiri pun aku cuma numpang mimpi dan nanti mungkin numpang mati.” Kutelusuri peta tubuhmu yang baru dan kuhafal ulang nama-nama yang pernah ada, nama-nama yang tak akan pernah lagi ada. “Ini rumahku,” kautunjuk haru sebekas luka di tilas tubuhmu dan aku bilang: “Semuanya tinggal kenangan.” Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta di senja tubuhmu. Pulang dari tubuhmu, aku terlantar di simpang waktu. (2000) Doa sebelum Mandi Tuhan, saya takut mandi. Saya takut dilucuti. Saya takut pada tubuh saya sendiri. Kalau saya buka tubuh saya nanti, mayat yang saya sembunyikan akan bangun dan berkeliaran. Saya ini orang miskin yang celaka. Hidup saya sehari-hari sudah telanjang. Kerja saya mencari pekerjaan. Tubuh saya sering dipinjam orang untuk menculik dan membinasakan korban. Mereka bisa dengan mudah dihilangkan tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan. Tuhan, mandikanlah saya agar saudara kembar saya bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya. (2000)
Mei : Jakarta, 1998 Tubuhmu yang cantik, Mei telah kaupersembahkan kepada api. Kau pamit mandi sore itu. Kau mandi api. Api sangat mencintaimu, Mei. Api mengucup tubuhmu sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi. Api sangat mencintai tubuhmu sampai dilumatnya yang cuma warna yang cuma kulit yang cuma ilusi. Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei adalah juga tubuh kami. Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami dengan membakar habis tubuhmu yang cantik, Mei Kau sudah selesai mandi, Mei. Kau sudah mandi api. Api telah mengungkapkan rahasia cintanya ketika tubuhmu hancur dan lebur dengan tubuh bumi; ketika tak ada lagi yang mempertanyakan nama dan warna kulitmu, Mei. (2000) Perempuan Jakarta Memang tampak cantik ia dengan celana merah menyala. Senja berduyun-duyun mengejar petang mengejar malam. Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan dengan airmata yang disembunyikan.
Di jalanan para demonstran pesta pora mengibarkan kata mengibarkan celana. “Ayo kita sergap dia!” “Ayo tangkap saya!” ia menantang sambil ia pamerkan pantatnya yang matang. Mereka lalu mengepungnya, ingin meraih wajahnya, meraih sakitnya. “Rebutlah aku!” ia merayu dan mereka siap menyerbu. Perempuan pengembara. Aku telah lihat ia punya rahasia. Aku telah lihat tailalat kecil di teteknya, tailalat besar di pantatnya. Aku telah lihat luka yang dalam dan kekal di sentral tubuhnya. Memang tambah cantik ia dengan anggur darah di tangannya. Kota akan kehilangan dia bila ia tak lagi di sana. (2000) Luas Semalam sehektar ranjang. Setahun sejengkal badan. Kutempuh kau di hektar-hektar mimpi. Di hektar-hektar sakit kau kujelajahi. Tubuhmu jauh, menikung, curam. Tubuhmu lebih luas dari ranjang. (2000) Kain Kafan Kugelar tubuhku di atas ranjang seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan.
Siapa yang tidur di atas kain putih ini semalam? Kutemukan bercak-bercak darah: gambar wajah yang kesakitan dan luka lambung yang belum disembuhkan. Kulipat tubuhku di atas ranjang seperti kulipat kain kafan yang kaujadikan selimut tadi malam. (2000) Sakramen Tubuhmu kandang hewan tempat seorang perempuan singgah melahirkan anaknya yang malang. Tubuhmu bukit tandus tempat kausalibkan Kristus dan kaubiarkan ia mengalahkan ajal sendirian. Tubuhmu gua batu tempat jasadnya kaumakamkan dan kauwartakan: “Di tubuhku Tuhan bersemayam.” Kau lama tak tahu, tak juga paham pada hari ketiga kuburnya sudah kosong dan tubuhmu telah ia tinggalkan. Kau kini sibuk mencari ia di luar badan. (2000) Perempuan Senja Perempuan itu telah berjanji bertemu senja di kuburan. Ia terlambat datang. Senja baru saja pergi dan hanya meninggalkan dedaunan kering dan kotoran burung di atas nisan. Ia melamun saja, mencari-cari wajah senja di cakrawala. “Senja telah menyerahkanmu ke pelukanku,” tiba-tiba malam menepuk punggungnya dan hendak menciumnya.
Perempuan itu menjerit dan serta merta ditepisnya tangan malam yang hendak merebut wajahnya. Ia bergegas pulang dan malam menguntitnya terus dengan gerimisnya yang cerewet dan nakal. Pagi mendapatkan tubuhnya yang telanjang di ranjang. “Malam telah kubunuh di kuburan. Kau milikku sekarang.” Tapi perempuan itu masih nyenyak tidurnya: mungkin ia sedang bermimpi dicium senja di makam. (2000) Kucing Hitam Kucing hitam yang ia pelihara dengan kasih sayang kini sudah besar dan buas. Tiap malam dihisapnya darah lelaki perkasa itu seperti mangsa yang pelan-pelan harus dihabiskan. “Jangan anggap lagi aku si manis yang mudah terbuai oleh belaianmu, hai lelaki malang. Sekarang akulah yang berkuasa di ranjang.” Lelaki perkasa itu sudah renta dan sakit-sakitan. Tubuhnya makin hari makin kurus, sementara kucing hitam yang bertahun-tahun disayangnya makin gemuk saja dan sekarang sudah sebesar singa dan ngeongnya sungguh sangat mengerikan. Si tua yang penyabar itu lama-lama geram juga. Tiap malam si hitam gemuk mengobrak-abrik ranjangnya dan melukai tidurnya. “Sebaiknya kita duel saja,” si kurus menantang. “Boleh,” jawab si gemuk hitam. “Nanti tulang-belulangmu kulahap sekalian.” “Ayo kita tempur!” “Ayo kita hancur! “Jahanam besar kau!” “Jerangkong hidup kau!” Parah. Tubuh lelaki itu telah berwarna merah, wajahnya bersimbah darah. Gemetaran ia berdiri dan diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi.
“Hore, aku menang!” teriaknya lantang, lalu disepaknya bangkai kucing maut itu berulang-ulang. “Jahanam besar kau!” (2000)
Sajak-sajak 2001 Antar Aku ke Kamar Mandi Tengah malam ia tiba-tiba terjaga, kemudian membangunkan Seseorang yang sedang mendengkur di sampingnya. Antar aku ke kamar mandi. Ia takut sendirian ke kamar mandi sebab jalan menuju kamar mandi sangat gelap dan sunyi. Jangan-jangan tubuhku nanti tak utuh lagi. Maka Kuantar kau ziarah ke kamar mandi dengan tubuh tercantik yang masih kaumiliki. Kau menunggu di luar saja. Ada yang harus kuselesaikan sendiri. Kamar mandi gelap gulita. Kauraba-raba peta tubuhmu dan kaudengar suara: Mengapa tak juga kautemukan Aku? Menjelang pagi ia keluar dari kamar mandi dan Seseorang yang tadi mengantarnya sudah tak ada lagi. Dengan wajah berseri-seri ia pulang ke ranjang; ia dapatkan Seseorang sedang mendengkur nyaring sekali. Jangan-jangan dengkurMu yang bikin aku takut ke kamar mandi. (2001) Di Tengah Perjalanan Di tengah perjalanan antara kamar tidur dan kamar mandi kami bertemu setelah sekian lama saling menunggu. Ia pulang dari mandi, aku sedang berangkat menuju mandi. Langkahnya mendadak terhenti, pandangnya ragu dan aku tertegun antara gugup dan rindu. “Hai, apa kabar?” kami sama-sama menyeru. Kami bertubrukan, berpelukan di bawah cahaya temaram. Ketika itu tengah malam. Rumah seperti kuburan. Lolong anjing bersahutan. Jam dinding menggigil ketakutan. “Jangan ke kamar mandi. Di sana tubuhmu akan dikuliti. Ikutlah aku pulang ke kamar tidur. Sakitmu akan kuhabisi.”
“Tapi kamar tidur sudah hancur. Di sana kau akan dimusnahkan. Mari ikut aku pesiar ke kamar mandi. Sakitmu akan kuhabiskan.” Kami bersitegang seperti seteru ingin saling mengalahkan. “Bangsat kau. Sekian lama aku menunggu di kamar tidur, kau enak-enak bertapa di kamar mandi.” “Keparat kau. Sekian lama aku menanti di kamar mandi, kau enak-enak mengeram di kamar mimpi.” “Bagaimana kalau kita gelut di kamar tidur?” “Ah, lebih seru berkelahi di kamar mandi.” Di tengah perjalanan antara kamar tidur dan kamar mandi kami tak tahu siapa akan mampus lebih dulu. (2001) Atau Ketika saya akan masuk ke kamar mandi, dari balik pintu tiba-tiba muncul perempuan cantik bergaun putih menodongkan pisau ke leher saya. “Pilih cinta atau nyawa?” ia mengancam. “Beri saya kesempatan mandi dulu, Perempuan,” saya menghiba, “supaya saya bersih dari dosa. Setelah itu, perkosalah saya.” Selesai saya mandi, perempuan itu menghilang entah ke mana. Saya pun pulang dengan perasaan waswas: jangan-jangan ia akan menghadang saya di jalan. Apa dosa saya? Saya tidak pernah menyakiti perempuan kecuali saat saya dilahirkan. Ketika saya akan masuk ke kamar tidur, dari balik pintu tiba-tiba muncul perempuan gundul bergaun putih menodongkan pisau ke leher saya. “Pilih perkosa atau nyawa?” ia mengancam. Saya panik, saya jawab sembarangan: “Saya pilih ATAU!” Ia mengakak. “Kau pintar,” katanya. Kemudian ia mencium leher saya dan berkata: “Tidurlah tenang dukacintaku. Aku akan kembali ke dalam mimpi-mimpimu.”
(2001) Bangunkan Aku Jam Tiga Pagi Sebelum tidur ia selalu berdoa: Bangunkan aku jam tiga pagi. Jam tiga pagi mimpi mungkin sudah kembali ke nol lagi. Ia ingin dengar bagaimana ranjang menyanyikan tubuhnya dan tubuh menyanyikan sakitnya. Bahkan aku sudah tiba sebelum jam tiga pagi. Sudah lama aku menempuhmu, naik-turun di sengal nafasmu, dan kini aku akan berjaga di tapal batas tubuhmu. Ia terpejam saja. Menggeliat. Seakan waktu sedang sekarat. Tubuh besarku tambah riuh dan tak tersembunyikan lagi. Tubuh kecilku terlindung jauh di relung yang tak terjelajahi. Ada, selalu, yang akan datang jam tiga pagi, menyalakan waktu di unggun tubuhmu, menghabiskan seluruh sisa sakitmu. Bahkan sebelum kau sempat membangunkanKu. (2001) Pacarkecilku untuk Anggra Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman, menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya di kulkas sepanjang hari, dan malamnya ia lihat di botol itu gumpalan cahaya warna-warni. Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya. Ketika bangun ia berkata: “Tadi kau ke mana? Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.” Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan pelan-pelan membuka matanya.
Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti. (2001) Kebun Hujan (1) Hujan tumbuh sepanjang malam, tumbuh subur di halaman. Aku terbangun dari rerimbun ranjang, menyaksikan angin dan dingin hujan bercinta-cintaan di bawah rerindang hujan. Subuh hari kulihat bunga-bunga hujan dan daun-daun hujan berguguran di kebun hujan, bertaburan jadi sampah hujan. (2) Kudengar anak-anak hujan bernyanyi riang di taman hujan dan ibu hujan menyaksikannya dari balik tirai hujan. Pagi hari kulihat jasad-jasad hujan berserakan di kebun hujan. Airmataku berkilauan di bangkai-bangkai hujan dan matahari datang menguburkan mayat-mayat hujan. (2001; salam untuk cerpen “Hujan” Sutardji) Bertelur Dengan perjuangan berat, alhamdulillah akhirnya aku bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat, warnanya hitam pekat. Aku ini seorang peternak: saban hari mengembangbiakkan kata, dan belum kudapatkan kata yang bisa mengucapkan kita. Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini.
Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan. Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku suka meloncat, memantul-mantul di lantai, kemudian menggelinding pelan ke toilet, dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang. Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya dari ranjang mereka. Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga. Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah. Itu bukan telurku! (2001) Penjual Buah Setiap pagi penjual buah itu lewat di kampung kami, keluar masuk gang sambil melantunkan kata-kata hafalan: Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya. Dara-dara remaja senang sekali mendengarnya; mereka cepat-cepat berdiri di depan cermin dan menyaksikan bahwa pohon waktu mulai berbuah. Ibu-ibu muda dengan gembira merubungnya dan merasakan betapa pohon cinta sedang lebat buahnya. Hanya perempuan-perempuan tua suka tersenyum kecut dan kadang ada yang menangis sambil merengek manja: Kembalikan buah saya kembalikan buah saya. “Pisangnya masih, Pak Adam?” demikian ibu-ibu setengah baya suka bertanya, dan sambil tersenyum bangga penjual buah itu menggoda: “Aduh, kok pisang lagi yang diminta!” Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya. Kata-kata ini terus saja diulangnya meskipun segala buah yang dijajakannya sudah terbeli semua.
Sudah seminggu ini Pak Adam tak muncul di kampung kami. Kata seorang nenek yang diam-diam mengaguminya, penjual buah itu tampaknya sudah mendapatkan buahnya buah yang belum tentu manis rasanya, yang mungkin pahit rasanya. “Bukan buah sembarang buah,” ujar seorang perawan tua sambil menikmati apel yang tampak merah dagingnya. (2001) Utan Kayu untuk Godot Suatu malam di Utan Kayu tak kujumpai engkau, tak kujumpai siapa-siapa selain kursi-kursi berjungkiran di atas meja. Kedai sudah tutup. Malam tinggal sisa. Kudengar tikus-tikus bermain musik bersama piring, gelas, sendok. “Kusaksikan tadi pertunjukan besar,” saudara kucing melaporkan. Di mana engkau? Biasanya engkau duduk manis di pojok, minum angin, merokok. Engkau terlonjak girang bila aku datang: “Hai, dari mana saja engkau?” Ternyata engkau sedang termenung di ruang pertunjukan. Engkau sedang mengumpulkan kembali kata-kata yang berceceran. Engkau sedang menangis, mencopot wajah di ruang ganti pakaian. Malam berikutnya tak kulihat lagi engkau di bangku penonton. Engkau tak muncul lagi di panggung permainan. “Hai, ke mana saja engkau?” Kupanggil engkau berulang-ulang. (2001) Dangdut (1)
Sesungguhnya kita ini penggemar dangdut. Kita suka menggoyang-goyang memabuk-mabukkan kata memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut. (2) Para pejoget dangdut sudah tumbang dan terkulai satu demi satu kemudian tertidur di baris-baris sajakmu. Malam sudah lunglai, pagi sebentar lagi sampai, tapi kau tahan menyanyi dan bergoyang terus di celah-celah sajakmu. Kau tampak sempoyongan, tapi kau bilang: “Aku tidak mabuk.” Mungkin aku harus lebih sabar menemanimu. (2001) Obituari Bambang Bambang adalah teman yang periang dan cerdas. Ia pandai menghibur kita hanya dengan kesederhanaan wajahnya. Ia cepat memahami isi hati dan pikiran kita tanpa harus bertanya dan berkata-kata. Ia selalu tertawa dalam suka maupun duka. Bila kita menghardik, bahkan mencaci-makinya, ia hanya meringis dan tersipu sehingga kita malah terharu olehnya. Kita sering sedih dan menyesal melihat wajah cepat tua, sementara ia tetap saja awet muda. Bambang memang teman yang luar biasa. Sejak kepergiannya, rumah seperti kehilangan jiwa. Tak ada lagi yang menemani kesendirian dan ketakutan kita saat kita bersolek di depan kaca. Tak ada lagi yang menggantikan wajah kita bila kita bosan melihat wajah yang maya. Bambang, topeng kita yang pendiam itu, mungkin sudah dibuang atau disembunyikan oleh entah siapa di antara kita yang tidak sanggup lagi bersaing dengan keluguannya. (2001) Pesan Uang
Ketika aku akan merantau buat cari penghidupan, uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam terhadap kemiskinan.” Sekian tahun kemudian aku pulang sebagai orang kaya. Aku bangun daerah baru di atas perkampungan lama. Hore, aku telah mengalahkan kemiskinan. Aku tak butuh lagi masa depan. Kemudian aku jatuh miskin. Hartaku amblas, harga diriku kandas. Kekayaanku tinggal hutang-hutangku. Ketika aku akan merantau lagi buat cari kekayaan, uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan kauhabis-habiskan kemiskinan. Kalau tak punya lagi kemiskinan, bagaimana bisa mati dengan kaya?” (2001) Sepasang Tamu Di ruang tamu ini, sekian tahun silam, saya menerima seorang pemuda kurus kering yang datang menawarkan akik. Saya tidak suka akik. Lebih tidak suka lagi pada bualannya tentang kesaktian akik. Seberapa pun hebatnya, akik hanya akan melemahkan iman. Tanpa basa-basi saya minta anak muda yang tampak kelaparan itu segera angkat kaki. Ia pun pamit dengan penuh ketakutan dan sambil pergi matanya tetap memandang sayu kepada saya. Tentu bukan karena akik kalau rumah itu terpaksa saya jual kepada seseorang dan orang itu kemudian menjualnya kepada seseorang yang lain, demikian seterusnya. Rumah itu memang angker, tidak pernah bikin tenteram penghuninya. Kini sayalah yang duduk terlunta-lunta di ruang tamu ini. Wah, mewah benar bekas ruang tamu kesayanganku. Ada pendingin udaranya, ada cermin besarnya, ada pula lukisan tidak jelas yang pasti sangat mahal harganya. Cukup lama saya menunggu, tapi si empunya rumah
tidak juga keluar menemui saya. Saya bermaksud menawarkan obat kuat yang dibuat khusus untuk orang kaya. Dengan jengkel saya mengintip ke ruang tengah. Wah, si empunya rumah sedang sibuk bergoyang-goyang mengikuti irama musik yang ia bunyikan keras-keras. Setelah saya panggil berulang-ulang dengan suara lantang, barulah ia sudi menemui saya. Tidak salah lagi, dia adalah si bekas pedagang akik yang dulu menghiba-hiba di hadapan saya. Sayang ia pura-pura tidak pernah kenal saya. “Masih jualan akik, Pak?” saya coba memancing reaksinya. Ia menjawab ketus: “Jangan bicara akik dengan saya. Akik hanya akan melemahkan iman.” Setelah menimang-nimang seluruh jenis obat yang saya bawa, dengan sinis ia berkata: “Maaf, tidak ada yang cocok dengan kapasitas saya.” Kemudian ia memerintahkan saya segera angkat kaki dan sebelum saya sempat pamitan ia sudah buru-buru masuk ke ruang tengah untuk melanjutkan kesibukannya. Suatu hari saya mendengar kabar bahwa si bekas penjual akik yang mulai sombong itu sedang terkapar di rumah sakit, terkena penyakit berat yang entah apa namanya. Saya menyempatkan diri menjenguknya. Duh, kasihan juga melihat ia terbaring lemah dengan mata kadang terpejam kadang terbuka. Ketika di kamar sakitnya hanya tinggal kami berdua, saya bisikkan di telinganya: “Rasain lu!” Serta-merta matanya membelalak dan dengan gagah ia menimpal: “Prek lu!” Cukup lama kami beradu pandang, dan kami sama-sama berusaha tidak tertawa atau malah mengeluarkan air mata. (2001) Rumah Kontrakan untuk ulang tahun SDD
Tubuhku adalah rumah kontrakan yang sudah sekian waktu aku diami sampai aku lupa bahwa itu bukan rumahku. Tiap malam aku berdoa semogalah aku lekas kaya supaya bisa membangun rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman, syukur dilengkapi taman dan kolam renang. Tadi malam si empunya rumah datang dan marah-marah. “Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara aku butuh biaya untuk memperbaiki rumah ini.” “Maaf Bu,” aku menjawab malu, “uang saya baru saja habis buat bayar utang. Sabarlah sebentar, bulan depan pasti sudah saya lunasi. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri.” Pada hari yang dijanjikan si empunya rumah datang lagi. Ia marah besar melihat rumahnya makin rusak dan berantakan. “Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara aku butuh biaya untuk merobohkan rumah ini.” Dengan susah payah akhirnya aku bisa melunasi uang kontrak. Bahkan diam-diam si rumah sumpek ini kupugar-kurombak. Saat si empunya datang, ia terharu mendapatkan rumahnya sudah jadi baru. Sayang si penghuninya sudah tak ada di sana. Ia sudah pulang kampung, kata seorang tetangga. “Orgil, aku tak akan pernah merobohkan rumah ini. Aku akan tinggal di rumahmu ini.” (2001) Memo Celana untuk Iqbal Belum lama pindah rumah, kau sudah terserang gundah. Tidur selalu gelisah, mimpi tak pernah indah. Seperti ada yang hilang, yang menggapai-gapai ingatan. Itu dia. Tiba-tiba kau teringat sepasang celana usang, celana kesayangan, yang tertinggal di tali jemuran. Malam-malam kau datang ke bekas rumahmu dan berkata kepada penghuni baru: “Maaf, kami mau menjemput sepasang celana yang tertinggal di halaman belakang. Kami lupa mengajak mereka sebab waktu itu
kami tergesa.” Kaujelaskan ciri-cirinya: warna pudar, pantat koyak, dengkul sobek, enak dipakainya. Dengan pandang mencurigakan orang baru itu berkata, “Saya pernah melihat mereka berpelukan dan berdansa riang di tali jemuran, tapi setelah itu mereka entah ke mana. Saya pikir, diam-diam Anda telah mengambilnya.” Sudahlah. Mungkin celanamu sudah terbang jauh bersama angin dan hujan. Terbang ke langit-langit kenangan. Kadang, dalam doamu, samar-samar kau melihat bayangan sepasang celana sedang bergoyang-goyang di tali jemuran. Lalu telepon genggammu tiba-tiba bicara: “Apa kabar, celana?” Kau menyahut: “Kau bertemu mereka?” Ia diam saja sebab tak ingin mengganggu kekusyukan doamu. Kadang, tengah malam, sambil mengigau kau ngeloyor ke halaman belakang, ingin mencoba bagaimana rasanya tergantung di tali jemuran, sendirian dan kehujanan. Sekian tahun kemudian kau bertemu dengan si penghuni bekas rumahmu di sebuah acara di kuburan. Dengan pandang mencurigakan ia menjabat tanganmu dan berkata lantang: “Hai, kita sudah sama-sama sukses ya!” Kemudian ia bercerita bahwa sepasang celana yang dulu kautanyakan malam-malam sebenarnya ia simpan dan sampai sekarang masih baik keadaannya. “Anda masih memerlukannya?” ia bertanya dengan wajah tanpa dosa. Kau terpana dan hanya bisa berkata: “Sampaikan salam rindu kami kepada mereka.” (2001) Mudik Mei tahun ini kusempatkan singgah ke rumah. Seperti pesan ayah: “Nenek rindu kamu, pulanglah!” Waktu kadang begitu simpel dan sederhana: Ibu sedang memasang senja di jendela. Kakek sedang menggelar hujan di beranda.
Ayah sedang menjemputku entah di stasiun mana. Siapa di kamar mandi? Terdengar riuh anak-anak sedang bernyanyi. Nenek sedang meninggal dunia. Tubuhnya terbaring damai di ruang doa, ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya. “Hei, bajingan kita pulang!” seru boneka singa yang tetap tampak perkasa, dan menggigil saja ia saat kubelai-belai rambutnya. Ayah belum juga datang, sementara taksi yang menjemputku sudah menunggu di depan pintu. Selamat jalan nek, selamat tinggal semuanya. Baik-baik saja di rumah. Salam untuk bapak tercinta. Di jalan menuju stasiun kulihat ayahanda sedang celingak-celinguk di dalam becak, wajahnya tampak lebih tua; becak melaju dengan sangat tergesa. Dari jendela taksi aku melambai ke ayah, sekali kukecup telapak tanganku, kulambaikan; ia pun mengecup tangannya lalu melambai ke aku sambil berpesan hati-hati di jalan ya. Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu butiran waktu sedang meleleh dari mataku. “Almarhumah nenekmu kemarin masih sempat menumpang taksi ini,” ujar pak sopir yang pendiam itu, yang ternyata bekas guruku. (2001) Pengamen Sepuluh orang pengamen menyerbu bus yang sedang lapar karena hanya diisi seorang penumpang. Ia orang bingung, duduk gelisah di pojok belakang membaca peta yang sudah kumal dan penuh coretan. Para pengamen yang tampak necis dan gagah bergiliran memetik gitar dan menyanyi lantang kemudian memungut uang dari penumpang lalu duduk berurutan. Setelah semua mendapat bagian, gantian si penumpang berdiri di depan lantas bernyanyi dan bergoyang.
Bahkan para pengamen berwajah seram terheran-heran lantas bertepuk tangan karena penumpang itu ternyata dapat menyanyi lebih merdu dan menghanyutkan. Selesai melantunkan beberapa tembang, ia memungut uang dari para pengamen lalu berteriak stop kepada sopir kemudian melompat turun sambil melepaskan pekik kemenangan: “Hidup rakyat! Hidup penumpang!” (2001) Penagih Utang Penagih utang itu datang tengah malam. Ia duduk dengan sopan, kedua tangan ditangkupkan, baju batiknya yang murahan tampak terlalu kedodoran untuk tubuhnya yang kurus dan kusam. “Langsung saja, ada perlu apa?” aku menghentak. Ia terperangah, badannya mengkerut, dan kopiahnya yang longgar seakan bergeser dari letaknya. “Maaf, kalau tidak salah ini sudah jadwalnya.” “Jadwal bayar utang, maksudnya? Sabarlah, saya sedang banyak keperluan. Bapak lihat sendiri brankas saya sedang ludas, kolam renang belum selesai saya perbaiki, toilet baru akan saya lapisi emas, isteri belum sempat saya tambah lagi. Mohon pengertian sedikitlah!” Tamu itu berkali-kali minta maaf, kemudian permisi. Sebelum meninggalkan pintu, ia sempat berbisik di telingaku: “Tidak bikin keranda emas sekalian Pak?” “Dasar rakyat!” dalam hati aku mengumpat. Entah mengapa, setiap kali melayat orang meninggal aku selalu melihat penagih utang itu menyelinap di tengah kerumunan. Ia suka mengangguk, tersenyum, namun saat akan kutemui sudah tak ada di tempatnya. Tahu-tahu ia muncul di kuburan, melambaikan tangan, dan ketika kudatangi tiba-tiba raib entah ke mana. Dan orang kaya yang banyak utang itu akhirnya mati mendadak persis saat sedang mencoba keranda emas yang baru saja selesai dibuat oleh ahlinya. Mewakili para pelayat, bapak tua berbaju batik itu tampil menyampaikan kata-kata belasungkawa.
Dalam sambutan singkatnya antara lain ia mengatakan bahwa kematian tragis almarhum tetap tidak dapat menebus utang-utangnya. Namun ia mengajak hadirin untuk mendoakan arwahnya, memaafkan segala salahnya, syukur-syukur bersedia ikut menanggung utang-utangnya. (2001) Loper Koran Pagi-pagi sekali loper koran itu sudah nongol di depan pintu, menaruh koran di pangkuanku seraya berpesan: “Jangan percaya koran. Koran cuma bohong-bohongan.” Dan setiap akhir bulan, saat menerima uang langganan, ia tak pernah lupa mengingatkan: “Jangan percaya koran. Koran cuma bohong-bohongan.” Suatu siang loper koran yang tak pernah membaca koran itu mati ketabrak mobil wartawan. Tubuhnya digeletakkan di pinggir jalan dan hanya ditutupi selembar koran. Banyak yang pura-pura sibuk mengurusnya dan, tentu saja, ada yang diam-diam mengincar dompetnya. Aku tak tahu siapa yang mengantar pulang jasadnya, tapi setiap membaca koran aku seperti sedang mengantar jenazah loper koran yang malang itu, menyusuri gang demi gang di tengah perkampungan kata-kata yang bising dan pengap, dan setelah muter-muter seharian akhirnya kutemukan sedikit tempat untuk menguburkannya. Setiap Lebaran aku menyempatkan diri ziarah ke makamnya, menyusuri lorong-lorong gelap di tengah kuburan kata-kata yang luas dan lengang dan kudapatkan nisan kecilnya hampir tertutup ilalang. Tak ada bulan di atas kuburan. (2001) Hampir Ada sepasang pengemis buta suatu hari datang ke rumah. Sebelum minta sedekah, mereka bertanya dulu:
“Apakah Tuan sudah kaya?” Aku menimpal: “Hampir!” Dengan halus mereka mohon diri, kemudian menuju ke tetangga sebelah yang mungkin saja hampir sisa hartanya. Kini aku merasa benar-benar sudah mampu. Telah kusiapkan rapelan sedekah bagi sepasang pengemis buta itu. Mereka muncul juga akhirnya, tapi langsung menuju ke tetangga sebelah tanpa minta sedekah dulu ke aku. Ketika mereka lewat di depan rumahku, samar-samar aku mendengar suara: “Tidak usah ngemis ke tuan yang satu ini. Kasihan, dia hampir miskin. Besok saja kalau dia hampir mati.” (2001) Ronda Beberapa hari terakhir ini kampung kami sering dilanda gangguan keamanan. Pencurian mulai merajalela, bahkan telah terjadi perampokan disertai penganiayaan. Kepala kampung memerintahkan agar kegiatan ronda digalakkan karena tidak mungkin berharap sepenuhnya kepada petugas keamanan. Malam itu Pak Aman hendak melaksanakan tugas ronda. Ia warga kampung yang rajin dan setia, meskipun tubuhnya yang kurus dan tua kurang mendukung gelora semangatnya. Kalau ronda ia suka memakai topi ninja berwarna hitam, mungkin untuk sekadar gagah-gagahan. Tapi malam itu ia tidak mengenakannya karena topi kebanggaannya itu hilang dicuri orang ketika sedang dijemur di depan rumahnya. Nah, ia memukul-mukul tiang listrik, memanggil-manggil teman-temannya, namun yang dipanggil-panggil tidak juga menampakkan batang hidungnya. Sambil bersiul-siul Pak Aman berjalan gagah ke gardu ronda. Ia terperangah melihat di gardu ronda sudah ada beberapa orang pencoleng sedang bermain kartu sambil terbahak-bahak dan meneriakkan kata-kata yang bukan main kasarnya. Bahkan ia jelas-jelas melihat salah seorang pencoleng dengan enaknya mengenakan topi ninja kesayangannya. “Ada musuh!” seru seorang pencoleng dan kawanan pencoleng segera bersiaga untuk meringkusnya. Secepat kilat Pak Aman melompat dan bersembunyi di sebuah rumpun bambu.
Tubuhnya menggigil demi melihat wajah sangar para pencoleng sampai ia terkencing-kencing di celana. Tidak lama kemudian muncul serombongan petugas patroli, hendak memeriksa keadaan. “Bagaimana situasi malam ini?” tanya seorang petugas. “Aman!” seru orang-orang di gardu ronda yang sebenarnya adalah para bajingan. Meskipun ketakutan, Pak Aman tidak kehilangan akal. Ia punya keahlian menirukan suara binatang, dan ia paling fasih menirukan suara anjing. Maka mulailah ia menggongong dan melolong. Para pencoleng yang merasa sangat terganggu oleh suara anjing serempak mengumpat: “Asu!” Tapi gonggongan dan lolongan itu makin menjadi-jadi sampai beberapa orang kampung mulai berhamburan keluar. Menyadari ada ancaman, kawanan pencoleng yang sedang menguasai gardu ronda segera lari tunggang langgang. Dengan terkekeh-kekeh Pak Aman keluar dari tempat persembunyian dan teman-temannya yang sudah hafal dengan kelakuannya serempak berseru: “Asu!” (2001) Di Pojok Iklan Satu Halaman Di pojok iklan satu halaman lelaki itu duduk mencangkung sepanjang hari, menunggu perempuan yang pernah ia temui di sebuah mimpi. Kutunggu kau di sudut taman ini. Ia suka menengadah ke langit, menyaksikan ribuan pipit mencecar senja dalam cericit, meringkas waktu ke dalam jerit. Ia mencangkung saja sepanjang hari, lalu tertidur sampai pagi, sampai seorang perempuan datang membangunkannya. Aku ingin memperkosamu di taman yang hening ini. (2001) Serdadu
Ketika kau tidur, ada seorang serdadu duduk-duduk di atas tubuhmu, merokok, main gitar, dan dengan suara sumbang menyanyikan lagu selamat malam. Di atas tubuhmu ada serdadu sedang tiduran, menjilat darah pada pisau, bersiul, kemudian berdiri sambil mengacungkan senapan. “Hidup revolusi!” pekiknya lantang. Ketika kau tidur, Sayang, ada serdadu mencari-cari jejakku di bilur-bilur merah di mahasakit tubuhmu. (2001
Sajak-sajak 2002-a Bunga Kuburan Gadis kecil itu suka sekali memetik mawar putih dari kuburan, kemudian menanamnya di ranjang. “Bunga ini, Bu, akan kuncup dalam tidurkuku.” Ibunya sangat sedih setiap melihat bunga itu mekar di ranjang dan harumnya memenuhi ruangan. “Trauma, anakku, menjulurkan wajahnya lewat bunga indah itu.” Ia lalu mencabutnya dan membuangnya ke halaman. Gadis kecil itu menangis tersedu-sedu; ia sangat mencintai bunga itu sebab, “Bunga ini secantik Ibu.” Ia tidak tahu bahwa ibunya sangat membenci kuburan itu. Kuburan itu terletak agak jauh di luar desa, disediakan khusus untuk mengubur mayat para pencoleng, pembunuh, pemerkosa, dan macam-macam penjahat lainnya. Dulu pernah datang seorang petualang, menyatakan cintanya, kemudian diam-diam memperkosanya. Suatu hari petualang itu datang lagi, diringkus dan dikalahkannya. Gadis kecil itu suka sekali memetik mawar putih dari kuburan dan ibunya tidak sampai hati mengatakan: “Buah hatiku, sesungguhnya engkau anak si pemerkosa itu.” (2002) Di Sebuah Vagina Di sebuah vagina peziarah-peziarah kecil terbaring damai, belajar mendengarkan arus sungai, kecipak ombak di pantai. Vaginamu menyembulkan matahari, menjulurkan bianglala. Vaginamu menyemburkan debur laut, menghamburkan senja. Di sebuah vagina musafir-musafir kecil bersorak gembira, menggiring matahari ke cakrawala: “Selamat tidur ya cahaya.”
Vaginamu kini sunyi dan gelap gulita, vaginamu porak poranda sejak para serdadu memasuki relung-relungnya. Di sebuah vagina peziarah-peziarah kecil terbujur hancur sebelum sempat kauberi nama. (2002) Tempat yang Jauh dan Indah Sekian lama aku mencari, sekian tempat kujelajahi, belum juga kutemukan saudaraku yang hilang dan entah di mana kini. Tiba-tiba seseorang berkabar dalam mimpi: “Ada sebuah tempat di sebuah lembah yang jauh dan indah, namanya vagina. Barangkali saudaramu bermukim di sana.” Bertahun-tahun berkelana, akhirnya kutemukan juga tempat rahasia itu yang ternyata sebuah gua. “Siapa di dalam?” aku menyeru. Samar-samar kudengar suara menggema: “Silakan masuk!” Aku pun masuk, menyusuri jalan setapak yang gelap berliku. Nun di sebuah ceruk ada seorang pertapa sedang duduk bersila membaca kitab di remang cahaya. “Hai, ketemu lagi!” ia menyapa. Lalu ia tunjukkan lorong kecil di balik sana. “Ini jalan menuju ibu,” katanya. Ketika suatu hari, di rembang petang, aku datang lagi, tempat itu sudah menjadi sebuah kuburan. Kulihat seorang tua berambut putih sedang duduk di sana, di bawah pohon cemara yang rindang daunnya. (2002) Perias Jenazah Untuk terakhir kali perempuan cantik itu akan merias jenazah. Setelah itu selesailah. Ia sangat lelah setelah sekian lama mengurusi keberangkatan para arwah .
Kini ia harus merias jenazah seorang perempuan yang ditemukan tewas di bawah jembatan, tidak jelas asal-usulnya, serba gelap identitasnya, tidak ada yang sudi mengurusnya, dan untuk gampangnya orang menyebutnya gelandangan atau pelacur jalanan, toh petugas ketidakamanan bilang ah paling ia mati dikerjain preman-preman. Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya. Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya jenazah perempuan malang itu. “Biar kurias parasmu dengan air mataku hingga sempurna ajalmu.” Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggal dunia dan tak ada yang meriasnya. Jenazahnya tampak lembut dan cantik, dan arwah-arwah yang pernah didandaninya pasti akan sangat menyayanginya. Kadang perias jenazah itu diam-diam memasuki tidurku dan merenungi wajahku. Seakan ia tahu bahwa aku yatim piatu, tidak jelas asal-usulnya, serba gelap identitasnya. Kulihat wajah cantiknya berkelebatan di atas ranjang kata-kataku. (2002) Jurang Berputar-putar di rimba ranjang, mencari jalan setapak menuju tubuhmu yang terjal dan curam, sementara hari mulai gelap dan hujan sebentar lagi datang, awas ada penjahat siap menghadang, akhirnya aku tersesat dan terperosok ke dalam jurang. Tubuhmu terlindung jauh di luar ranjang. (2002) Doa Mempelai Malam ini aku akan berangkat mengarungimu. Perjalanan mungkin akan panjang berliku dan nasib baik tidak selalu menghampiriku
tapi insyaallah suatu saat bisa kutemukan sebuah kiblat di ufuk barat tubuhmu. (2002; kado buat Ade & Fajar) Gadis Enam Puluh Tahun Gadis enam puluh tahun berdiri di ambang jendela, berbincang-bincang dengan senja. Senja menggerayangi wajahnya, dan ia merasa sorot senja sangat menyilaukan matanya. “Ngapain ngeliatin gue melulu? Ntar gue colong mata lu!” Senja meredup, kemudian angslup ke pelupuknya. Demikianlah, setiap berangkat bermain layang-layang di kuburan, aku melihat gadis buta itu sedang berdiri di ambang jendela, berpacaran dengan senja, dan sorot senja memancar dari kelopak matanya. (2002) Penjaga Malam Penjaga malam itu masih setia menjaga rumah besar yang tak pernah dihuni pemiliknya. Ia sangat mencintai rumah kosong itu, bahkan merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya. Suatu malam ia berhasil menangkap seorang penjahat yang berusaha masuk ke rumah itu tanpa seizinnya. Ia tidak rela rumah itu diganggu karena, ya itu tadi, ia merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya. Keesokan harinya penjaga malam itu tak kelihatan lagi batang hidungnya. Ia sudah ditangkap polisi karena telah menghajar pemilik rumah yang dijaganya. (2002)
Aku Tidur Berselimutkan Uang Aku tidur berselimutkan uang. Ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang. (2002) Penumpang Terakhir untuk Joni Ariadinata Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka. Entah mengapa aku sangat suka tamasya dengan becaknya. Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya. Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan. Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang. Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang. Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang. Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang. Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang buat ongkos pulang ke perantauan. Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan, batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang, aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak. Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.” Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan, sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin bermimpi, di dalam becaknya sendiri. Sampai di kuburan aku berseru bangun dong pak, tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya. Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan di atas makam nenek moyangku atau di atas jenazah bang becak yang kesepian itu.
(2002) Lukisan Berwarna untuk Andreas dan Dorothea Hujan beratus warna tumpah di hamparan kanvas senja. Pohon-pohon bersorak gembira sebab dari ranting-rantingnya yang sakit kuncup jua daun-daun beratus warna. Burung-burung bernyanyi riang, terbang riuh dari dahan ke dahan dengan sayap beratus warna. Dua malaikat kecil menganyam cahaya, membentangkan bianglala di bawah langit beratus warna. Airmata beratus warna kautumpahkan ke celah-celah sunyi yang belum sempat tersentuh warna. (2002) Bayi Mungil di Kamar Mandi Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya menyusup jauh ke relung tidurku. Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku. Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku. (2002)