The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

kumpulan puisi joko pinurbo

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by PERPUSTAKAAN PUSPANEGARA, 2023-08-24 21:55:18

puisi joko pinurbo

kumpulan puisi joko pinurbo

“Aku minta sedikit waktu lagi buat tamasya ke dalam cemas. Malam sudah hendak menjemputku di depan pintu.” Keningnya ia rapatkan pada kaca. Pandangnya ia lekatkan pada cahaya. Ia menatap. Ia melihat pada bola matanya segerombolan pemburu beriringan pulang membawa bangkai singa. Senja semakin senja. Kupu-kupu putih hinggap di pucuk payudara. Tangannya meremas kenyal yang surut dari sintal dada. Dan ia ingin mengatakan: “Dada, kau bukan lagi pegunungan indah yang dijelajahi para pendaki.” Ia mulai tabah kini justru di saat cermin hendak merebut dan mengurung tubuhnya. “Serahkan. Kau akan kurangkum, kukuasai seluruhnya.” Ia ingin masih cantik di saat langit di dalam cermin berangsur luruh. Hatinya semakin dekat kepada yang jauh. (1995) Malam Pembredelan Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya. Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore bersiap menyaksikan kematiannya. Malam sangat ngelangut, seperti masa muda yang harus bergegas ke pelabuhan, meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan. Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai menghadapi detik-detik akhir kehancuran. Ia mengenakan pakaian serba putih


dengan rambut disisir rapih dan wajah amat bersih. Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi di cangkir ungu sambil bersiul dan sesekali berlagu. “Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata, suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti tetapi sebenarnya tidak saya miliki.” Ia berdiri di ambang pintu. Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu. Mereka gemetar dan memandang ragu. “Maaf, kami agak gugup. Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira. Kami melihat kata-kata berbaris gagah di sekitar bola mata Anda.” “Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar dan pura-pura menghibur saya. Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata akan balik menyerang Saudara.” “Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela. Sedapat mungkin kami akan membinasakannya.” “Ah, itu kan hanya kata-kata. Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata.” Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang. Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang lenyap ditelan malam dan hujan. Sementara di atas seratus halaman majalah yang seluruhnya kosong dan lengang kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman. Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah: “Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga, adalah bunga-bunga yang berebut warna, adalah warna-warna yang berebut cahaya, adalah cahaya yang berebut cakrawala, adalah cakrawala yang berebut saya.” Lalu ia tidur pulas. Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya.


(1995)


Bukan Si Anak Hilang Sitor Situmorang Paris la Nuit / Paris di Waktu Malam Forum Jakarta-Paris & Komunitas Bambu, 2002 lxiv + 262 halaman ————————————- Membicarakan perpuisian Sitor Situmorang, orang mungkin segera teringat sajaknya “Malam Lebaran”, sajak-sebaris yang cuma berbunyi Bulan di atas kuburan. Sajaknya yang juga sangat populer adalah “Si Anak Hilang”. Selain karena kekuatan bentuk pengucapannya, sajak ini pun dianggap mewakili kecenderungan tematik perpuisian Sitor. Sajak ini bercerita tentang anak yang pulang ke kampung halamannya dari pengembaraannya di “dingin Eropa”. Kepulangannya cuma fisik belaka, lantaran jiwanya masih terpaut di seberang sana. Dalam kata-kata A. Teeuw (1980), “kembali tapi tidak pulang”. Ironi semacam inilah yang disebut-sebut sebagai salah satu daya pikat puisi Sitor. Kedua sajak tersebut tidak dapat dijumpai dalam antologi dwibahasa (Indonesia dan Perancis) yang memuat 102 sajak Sitor ini. Tampaknya buku ini memang tidak diniatkan sebagai koleksi sajak-sajak terbaik Sitor. Ia lebih dimaksudkan untuk menghimpun sajaksajak Sitor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Di samping sajak-sajak yang dapat dijumpai dalam berbagai kumpulan puisi Sitor sebelumnya, terdapat pula sajak-sajak yang tampaknya belum pernah diterbitkan sebagai buku. Sebagai penyair, Sitor tergolong cukup produktif. Di antara sekian banyak sajaknya, sajak-sajak terindahnya – seperti dikemukakan Wing Kardjo dalam pengantarnya– muncul pada periode-periode awal kepenyairannya, yaitu periode Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), dan Wajah Tak Bernama (1955). Adalah menarik bahwa sajak-sajak terkuat Sitor justru sajak-sajak yang digubah dalam bentuk terikat yang ketat, yang bersumber pada pola-pola persajakan lama seperti pantun dan syair. Selain dalam “Si Anak Hilang”, kecenderungan ini dapat dilihat, misalnya, dalam “Lagu Gadis Itali”, “Angin Merendah”, “La Ronde”, dan tentu saja “Cathedrale de Chartres” yang memukau itu. Sajak-sajak itu gemerlap bahasanya, segar dan lincah imajinya. Dalam perkembangan selanjutnya Sitor banyak menulis sajak yang lebih cair bentuk dan gaya pengungkapannya, meskipun tetap dalam kerangka estetika puisi lirik yang memang merupakan habitatnya. Ciri lain yang juga muncul: tidak banyak lagi ditemukan sajak yang masing-masing menampilkan kesatuan dan keutuhan yang kukuh sebagaimana sajak-sajak yang disebutkan di atas. Yang lebih banyak muncul adalah rangkaian puisi atau bahkan kerumunan puisi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat dalam banyak sajaknya Sitor cenderung melakukan semacam snapshot, bukan pengolahan suatu tema secara utuh dan tuntas. Sajak-sajak semacam ini lebih dapat dinikmati dalam hubungannya atau rangkaiannya dengan sajak-sajak lain, dan terasa kurang gregetnya bila dinikmati secara lepas-lepas.


Pernah, dalam satu periode, yaitu periode Zaman Baru, Sitor ikut-ikutan latah menggubah sajak-sajak “kerakyatan” yang kualitasnya tidak mencerminkan kecerdasan puitiknya. Atau, Sitor telah tidak memanfaatkan kecerdasan puitiknya untuk menggarap tema yang sebenarnya tidak haram itu. Kecenderungan makin mencairnya puisi Sitor ternyata diikuti dengan menjinaknya semangat petualangan si aku-lirik. Pada akhirnya si aku-lirik benar-benar ingin kembali ke kampung halamannya, sebab di negeri kembara ia hanyalah “tamu”, “musafir”, “penumpang”. Simaklah baris-baris sajak “Harianboho” ini: ‘Ku yakin menemukan jalan selalu/kembali padamu,/jalan pulang ke lembah landai/di tepi danau/sepanjang pantai.//‘Ku yakin selalu padamu kembali/di akhir nanti,/saat kembara berakhir,/tiba sadar pada musafir.//Di ladang dan gerbang/negeri-negeri ramah, tapi asing,/kau pun terkenang.//Betapa sering,/puluhan tahun di negeri orang,/ jadi tamu ragam cinta,//namun penumpang jua./Karena ketentuan masalalu,/tak dapat diulang,/lahir sekali di pangkuanmu. Dengan sajak ini si aku-lirik seakan telah menyelesaikan konflik batinnya, meredakan gairah “keisengan”-nya di antara dua kutub rindu: “Harianboho” dan “Paris”. Ada paradoks –atau mungkin ironi– di sini: di satu sisi kita bisa melihat munculnya kearifan hidup, di sisi lain –meminjam kata-kata Teeuw– hilangnya misteri puisi Sitor. Dalam peta perpuisian Indonesia, secara estetik, Sitor, penyair-pengembara itu, sesungguhnya memang bukan “si anak hilang”. Estetika perpuisiannya dapat dengan mudah dilacak jejaknya dalam tradisi perpuisian yang tumbuh di negeri ini. Dan dalam masa bakti kepenyairannya yang panjang ia agaknya tidak tergerak untuk menjelajah dan merambah khasanah estetik lain seperti yang dicoba oleh, misalnya, Rendra. Toh intensitasnya menggulati problematik manusia-pengembara dan kecerdasan artistiknya mendayagunakan unsur-unsur dan pola-pola persajakan lama telah menempatkannya sebagai salah seorang penyair terpenting di negeri yang berkelimpahan puisi ini. Yogyakarta, 28 Maret 2002 Joko Pinurbo TEMPO No. 10/XXXI 06 Mei 2002


Sesuatu Sapardi: Anda Bahagia Menulis Puisi? Oleh Hasan Aspahani SAYA mengenal nama penyair Sapardi Djoko Damono dan puisi-puisinya dalam buku DukaMu Abadi. Ada sebuah toko buku di Balikpapan yang sering saya kunjungi sepulang sekolah. Mengambil gaya Chairil Anwar, saya pernah mencuri buku di sana. Buku Sapardi itu saya beli, tidak saya curi. Waktu itu saya masih kelas 1 SMA. Puisi-puisi dalam buku tipis itu waktu itu sangat memikat saya. Kesannya bagi saya waktu itu, eh ternyata mudah sekali membuat puisi tapi hasilnya bukan puisi yang gampangan. Sebuah kesan yang salah, tapi ini kesalahan yang menguntungkan saya. Waktu itu saya merasakan ada sesuatu dalam puisi Sapardi itu yang pasti nanti saya mengerti. Sampai sekarang ternyata sesuatu itu belum juga saya mengerti. Tapi, saya tidak merasa sia-sia. Saya jadi terus-menerus mencari sesuatu dalam puisi siapa saja dengan membacanya. Saya hanya ingin mencari, seperti pada sajak Sapardi, saya tidak kecewa kalau tidak ketemu apa-apa. Dan saya pun akhirnya terus-menerus belajar menyimpan sesuatu di dalam puisi-puisi yang saya tulis. Dari sastrawan Kurnia Effendi, yang membacakan puisi di Aceh bersama Sapardi, Juni lalu, saya dapat bocoran nomor telepon genggam penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940 itu. “Di Aceh nomornya tidak aktif. Besok beliau kembali ke Jakarta. Semoga lekas bisa ngobrol dengan beliau,” pesan Kurnia Effendi. SMS pertama Jumat, 30 Juni 2006, akhirnya dijawab keesokan harinya oleh Sapardi. Lalu mengalirlah sejumlah tanyajawab. Saya menambahi dengan sejumlah catatan dan kutipan, supaya lebih bermanfaat. Berikut ini dialog tanya jawab itu: HASAN ASPAHANI (HASAN): Pak Sapardi, selamat pagi. Boleh saya ganggu dengan sejumlah SMS? Maaf, saya dapatkan nomor Anda dari Pak Kurnia Effendi. SAPARDI DJOKO DAMONO (SAPARDI): Sila. HASAN: Paul McCartney cemas dengan usia 64. Anda sudah melewati usia itu. Apa yang paling Anda cemaskan sekarang? SAPARDI: Saya kuatir nanti menyusahkan keluarga dan orang lain kalau sakit berkepanjangan. Sapardi adalah kolektor piringan hitam The Beatles. Lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh Paul McCartney itu berjudul When I Am Sixty Four dalam album Sgt Pepper Lonely Heart Club Band. Dalam sajak “Pada Suatu Magrib” (Ayat-ayat Api, Pustaka Firdaus, 2000) penyair ini menulis tentang kerepotan usia tua. “Susah benar menyebarang di Jakarta ini;/hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib./Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,/astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip//.


HASAN: Bagaimana dengan puisi? Anda cemas kalau ada yang masih ingin Anda capai? SAPARDI: Tidak. Tapi sulit cari waktu menulis puisi. Saya lantas teringat sajak “Yang Fana adalah Waktu” (Perahu Kertas, Balai Pustaka, 1983, 1991). Katanya, “waktu itu fana, kita abadi. Kitalah yang memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa”. HASAN: Kapan saat Anda sangat subur menulis puisi? SAPARDI: Tidak tentu. HASAN: Maksud saya pada usia berapa? SAPARDI: Usia likuran (dua puluhan, red) paling subur. HASAN: Puisi siapa saja yang Anda baca sekarang? Menemukan apa saja dari sajak di negeri kita sekarang? Kabar baik atau kabar buruk? SAPARDI: Banyak baca puisi siapa saja, tapi jarang yang ingat nama. Beberapa serius. Kebanyakan tidak berniat menciptakan bahasa khas. Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, Sapardi menyampaikan bahwa pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keotentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun. HASAN: Khusus saya tanya tentang Joko Pinurbo. Di buku pertamanya Anda bilang dia layak dapat perhatian kita. SAPARDI: Itu jelas. Dia bikin “bahasa baru”. Buku puisi pertama Joko Pinurbo, Celana (Indonesia Tera, 1999) diberi kata penutup oleh Sapardi. Ia menyimpulkan bahwa sajak-sajak yang terkumpul dalam buku itu mempergunakan teknik pengungkapan yang mungkin disebut surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita. Nyaris tak ada pujian. Kecuali sebuah kalimat pendek yang menutup kata penutup itu: “Ia berhak mendapat perhatian kita.” HASAN: Jadi yang penting penyair menemukan bahasanya sendiri, bukan kritikus yang menemukan penyair? SAPARDI: Hanya kritikus yang benar yang tahu masalah pembaruan bahasa. HASAN: Masih menerjemahkan puisi luar negeri, kan? SAPARDI: Menerjemahkan itu latihan menulis. HASAN: Kalau tak salah tangkap, Nirwan Dewanto menandai ada “faktor Sapardi”, penyair baru menjadikan sajak Anda sebagai pijakan untuk menemukan bahasa sendiri.


SAPARDI: Itu wajar. Chairil cari puisi dunia dan menerjemahkannya untuk bikin bahasa sendiri. HASAN: Nirwan menulis itu dengan nada cemas. SAPARDI: Dia cemas mungkin lantaran tidak ada yang “mengubah” bahasa saya. Joko Pinurbo ada usaha ke situ. HASAN: Sajak-sajak jenazah yang disukai A Teeuw itu sebenarnya siapa yang wafat? Orang yang dekat sekali dengan Anda? SAPARDI: Tidak semua yang saya tulis ada hubungannya dengan sesuatu. Saya mengandalkan imajinasi. Tiga sajak yang diulas tuntas oleh A Teeuw ada pada buku DukaMu Abadi (Pustaka Jaya, 1969, 1975; Bentang 2002, 2004). Tiga sajak itu adalah “Saat Sebelum Berangkat” (Waktu seorang bertahan di sini/di luar para pengiring jenazah menanti), “Berjalan di Belakang Jenazah” (…angin pun reda/jam mengerdip/….tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya), dan “Sehabis Mengantar Jenazah” (pulanglah dengan payung di tangan, tertutup/anak-anak kembali bermain di jalanan basah/….barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya). “Dalam arti ini sajak Sapardi adalah sajak yang indah, yang malahan membebaskan hati saya sambil menjadikannya sedih,” tulis Teeuw. HASAN: Imajinasi dan sesuatu di masa lalu? Kenangan? Masa kecil? SAPARDI: Sumbernya apa saja tapi andalan saya imajinasi. Ada buku baru tentang saya di Grasindo. Coba baca. HASAN: Saya pasti akan beli dan baca. Eh, sering merasa kecolongan atau cemburu pada puisi penyair lain? SAPARDI: Tidak pernah. HASAN: Saya suka dengan apa yang Anda yakini dengan permainan makna. Makna tidak jadi beban. Tidak jadi amanat yang harus diburu oleh pembaca. Begitukah? SAPARDI: Anda benar. HASAN: Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat? SAPARDI: Berbuat baik pada sesama lewat puisi. HASAN: Kalau Anda diminta menderet sepuluh puisi terbaik, maka yang teratas yang mana? SAPARDI: Puisi siapa? HASAN: Puisi Anda. Adakah puisi penyair lain yang sangat Anda sukai?


SAPARDI: Wah, ya banyak. Sulit lewat SMS. HASAN: Saya minta satu sajak yang menurut Anda harus saya baca. SAPARDI: “Topeng”. HASAN: “Topeng”? (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994). Saya pasti sudah baca. Yang ada nama Danarto di bawah judulnya itu, kan? Boleh saya hubungkan sajak itu dengan topeng Danarto untuk pementasan teater Oedipus Rendra? SAPARDI: Tentu boleh. HASAN: Artinya Anda memainkan imajinasi dari situ? Itu yang dinamakan momentum puitik? SAPARDI: Saya tak pasti. Baru setelah selesai saya ingat Danarto. Ini adalah sajak panjang ukuran rata-rata sajak Sapardi. Sajak bertarikh 1985 ini terdiri atas 27 larik terbagi atas tiga bagian. Bait pertama di penggal pertama sajak itu begini: Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya / wajahnya sendiri satu demi satu / dan digantungkannya di dinding. “Aku / ingin memainkannya,” kata seorang sutradara. HASAN: Perlukah Indonesia tiap tahun menobatkan semacam poet laureatte? Setahu saya itu ada di Amerika. SAPARDI: Tak perlu. Nanti jadi arisan. Yang perlu adalah hadiah sastra. HASAN: Pada usia sekolah menengah Anda menulis puisi, Anda kok tidak terjangkit wabah puisi cinta ya? SAPARDI: Ya, ada. Tapi tidak penting. HASAN: Yang paling bikin saya penasaran itu sajak Anda “Tuan”. Saya baca tafsiran Sutardji Calzoum Bachri. Lumayan. Tapi saya ingin sekali, Anda sendiri yang buka rahasia tentang sajak itu. SAPARDI: Itu sajak yang sangat sederhana tentang tamu dan tuan rumah yang tolol. He he he. HASAN: Ha ha ha. Terima kasih saya ingin menyimak lagi tanya jawab ini. Nanti saya ganggu lagi. Masih boleh ya? SAPARDI: Sila. Saya kira sajak “Tuan” adalah sajak paling pendek yang pernah ditulis Sapardi. Cuma sebait dua larik. Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, / saya sedang keluar. Begitu saja. Tahun 1984, Sutardji Calzoum Bachri mengurai kertas kerja dalam sebuah Temu Kritikus dan Sastrawan di Jakarta. Secara khusus Sutadji membahas sajak-sajak Sapardi dari buku Perahu Kertas (Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 1993). Ia menulis:


“Setelah keluar dari dunia sajak Sapardi, mengambil jarak dengan jaraknya, barulah pemahaman dari sajaksajaknya bisa lebih mudah didapat. Kita lebih mungkin mendapatkan makna dari sajak-sajak itu, mendapatkan arti atau memberikan arti akan sajak-sajak itu. Sutardji mengambil contoh sajak “Tuan” dan menyebutnya sebagai sajak yang cukup penting dalam hubungan pemahaman yang berjarak itu.” HASAN: Semalam saya ingat “Dalam Doa”, membaca-bacanya sebagai doa untuk Anda. …”Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu.” SAPARDI: Terima kasih. HASAN: Ini imajinasi, kalau waktu bisa dipaket. Saya akan kirim sebagian waktu saya untuk Anda. Supaya Anda bisa terus dan terus menulis puisi. He he he. SAPARDI: Ha ha ha. Terima kasih buaanyak. HASAN: Hasif Amini menyebut “Pada Suatu Hari” (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994) sebagai contoh puisi tentang puisi dari Anda. Saya membacanya sebagai rangkuman citacita dari seluruh puisi Anda. … dalam bait-bait sajak ini, kau akan terus-menerus kusiasati. SAPARDI: Semua tafsir memperkaya sajak. HASAN: Dan sajak yang baik mengundang tafsir yang kaya? SAPARDI: Itu intinya. HASAN: Puisi bukan milik penyairnya, tapi milik siapa yang menggunakannya. Saya kutip ini dari percakapan Pablo Neruda dan tokoh utama novel Il Postino-nya Antonio Scarmeta. Kita harus ikhlas begitu? SAPARDI: Anda benar. Bahkan harus juga ikhlas ketika puisi saya “Aku Ingin” (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994) dikatakan karya Kahlil Gibran di televisi tempo hari. Ha ha ha. HASAN: Ha ha ha. Ada juga yang mencantumkan “Aku Ingin” di undangan perkawinan, tanpa mencantumkan nama Anda. SAPARDI: Ya, saya ikhlas saja. Sajak “Hujan Bulan Juni” bisa dimaknai sebagai sebuah keikhlasan memberikan segalanya kepada seseorang yang dicintai. Sajak ini menjadi luar biasa justru karena menyebutkan keinginan untuk mencintai dengan sederhana. HASAN: Sekarang, saya minta nasihat untuk menuliskan puisi. Tiga butir saja. SAPARDI: Wah, nggak ada resepnya. Nulis saja setiap kali Anda pengen nulis.


HASAN: Juga di saat marah? He he. Buku Apa Kabar Hari Ini, Den Sastro? itu bukan yang terakhir, kan? SAPARDI: Bukan. HASAN: Pablo Neruda dan TS Eliot juga tidak mau memberi nasihat puisi. Tapi Rilke menulis surat untuk penyair muda. Senang sekali kalau Anda seperti Rilke. SAPARDI: Begitulah. HASAN: “Ayat-ayat Api” adalah amarah yang tak bisa lagi dibendung setelah Anda menahan marah sekian lama. Kenapa menahan marah? Pilihan sikap hidup? Menyair juga bersikap? SAPARDI: Ya, tentu. Orang marah hanya bisa demo, nggak bisa nulis puisi. Ha ha ha. HASAN: Masa depan sastra Indonesia ada pada wanita, kata Anda beberapa waktu lalu. Ini peringatan atau ramalan? Atau lecutan? SAPARDI: Sindiran. HASAN: Kapan terbit sajak lengkap Sapardi Djoko Damono? Saya menunggu itu. SAPARDI: Beberapa tahun lagi, Insya Allah. HASAN: Anda tidak terlalu ikut-ikut angkatan-angkatan sastra itu ya? SAPARDI: Nggak ikut angkatan, takut sama angkatan bersenjata. Ha ha ha. HASAN: Ini yang terakhir, beri saya empat kata untuk saya tulis jadi puisi. SAPARDI: Anda bahagia menulis puisi? HASAN: Ya, saya bahagia. He he. BEGITULAH, seorang Sapardi ternyata bukan hanya sesuatu yang satu. Ia bisa serius dan melucu. Dia menyair dengan amat bersungguh-sungguh, tetapi bila perlu juga menyikapi kepenyairan dan sajaksajaknya dengan santai. Dia menulis puisi, kritik ulasan, menerjemahkan, menulis cerita pendek dan yang tak sempat saya tanya dia juga mengulas sepakbola. Baiklah, saya akhiri saja dialog ini dengan memenuhi janji menulis puisi dengan modal empat kata darinya: Anda Bahagia Menulis Puisi? Maka datanglah padanya sebuah dusta. Memintanya. “Sebutkan aku dalam puisimu,” katanya. “Sebentar,” jawabnya. Lalu dituliskannya beberapa kalimat. “Itu bukan aku,” kata dusta. “Nah, dengan demikian


maka sudah kujelaskan siapa dirimu, bukan?” katanya. Dusta pun berlalu. Tinggal dia sendirian. Dan satu pertanyaan: “Apakah Engkau bahagia menulis puisi?” Lalu datanglah padanya sebuah tanya. Mendesaknya. “Keluarkan aku dari dalam puisimu,” katanya. “Tunggu,” jawabnya. “Sejak kapan kau ada di dalam sana?” Lalu dilepasnya kunci, dikuaknya pintu. “Keluarlah,” katanya. “Ah, mungkin lebih baik aku di sini saja,” kata tanya. Dia pun pasrah. “Terserahlah,” katanya. Tanya pun berdiam saja. Di dalam puisi. Tak juga bisa menjawab: “Apakah Engkau bahagia menulis puisi?” Batam, 7 Juli 2006 Hasan Aspahani lahir di Sei Raden, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim, 9 Maret 1971 pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa. Sekolah di SMAN 2 Balikpapan, sambil jadi kartunis lepas di Surat Kabar Manuntung (Sekarang Kaltim Post). Lalu diundang lewat jalur PMDK di IPB, dan kuliah sambil diam-diam terus mencintai puisi. Setelah berupaya memberdayakan ijazah sarjana di beberapa perusahaan, lalu akhirnya kembali ke dunia tulis menulis lagi, maka sekarang bekerja sebagai Pemimpin Redaksi di Posmetro Batam. Di kota ini menjalani hidup bersama Dhiana (yang disapanya Na’) dan Shiela dan Ikra (yang memanggilnya Abah). Beberapa puisinya pernah terbit di Jawa Pos (Surabaya), Riau Pos (Pekanbaru), Batam Pos (Batam), juga termaktub dalam beberapa antologi seperti Sagang 2000 (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2000) Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, Jakarta 2002), dan Dian Sastro for President 2 #Reloaded (AKY, Yogyakarta, 2003). Puisi “Huruf-huruf Hatta” terpilih sebagai salah satu dari 10 puisi terbaik lomba puisi 100 Tahun Bung Hatta (KPSP, Padang, 2002), dan Les Cyberletress (YMS, 2005). Tinggal di Batam. Riau Pos, Minggu, 16 Juli 2006


Sajak-sajak 1996 Kisah Semalam Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya surat terakhir yang sudah dibaca berulang. “Aku pasti pulang pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik yang kauberikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu: ‘Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini, di rumah yang terpencil di sudut kenangan.’” Belum sudah ia bereskan resahnya. Tapi malam buru-buru mengingatkan: “Kau sudah telanjang, kok belum juga mandi dan berdandan.” Maka ia pun lekas berdiri dan dengan berani melangkah ke kamar mandi. “Aku mau bersih-bersih dulu. Aku mau berendam semalaman, menyingkirkan segala yang berantakan dan berdebu di molek tubuhku.” Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan yang dikira bakal cepat sirna: kota tua yang porak poranda pada wajah yang mulai kumal dan kusam; langit kusut pada mata yang memancarkan cahaya redup kunang-kunang; hutan pinus yang meranggas pada rambut yang mulai pudar hitamnya; padang rumput kering pada ketiak ang kacau baunya; bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang susut kenyalnya; pegunungan tandus pada pinggul dan pantat yang mulai lunglai goyangnya; dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha. Benar-benar pemberani. Tak gentar ia pada sepi dan gerombolannya yang mengancam lewat lolong anjing di bawah hujan. Ada suara memanggil pelan. Ada cermin besar hendak merebut sisa-sisa kecantikan. Ada juga yang mengintip diam-diam sambil terkagum-kagum: “Wow, gadisku yang rupawan tambah montok dan menawan. Aku ingin mengajaknya lelap dalam hangat pertemuan.” “Ah, dasar bajingan. Kau cuma ingin mencuri kecantikanku. Kau memang selalu datang dan pergi tanpa setahuku. Masuklah kalau berani. Pintunya sengaja tak aku kunci.”


Tak ada sahutan. Cuma ada yang cekikikan dan terbirit-birit pergi seperti takut segera ketahuan. “Baiklah, kalau begitu, permisi. Permisi cermin. Permisi kamar mandi. Permisi gunting, sisir, bedak, lipstik, minyak wangi dan kawan-kawan. Aku sekarang mau tidur, ngorok. Aku mau terbang tinggi, menggelepar, dalam jaring melankoli.” Sesudah itu ia sering mangkal di kuburan, menunggu kekasihnya datang. Tentu dengan setangkai kembang plastik yang dulu ia berikan. (1996) Gadis Malam di Tembok Kota untuk Ahmad Syubannuddin Alwy Tubuhnya kuyup diguyur hujan. Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam. Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang seperti ingin memamerkan kecantikan: wajah ranum yang merahasiakan derita dunia; leher langsat yang menyimpan beribu jeritan; dada montok yang mengentalkan darah dan nanah; dan lubang sunyi, di bawah pusar, yang dirimbuni semak berduri. Dan malam itu datang seorang pangeran dengan celana komprang, baju kedodoran, rambut acak-acakan. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran. “Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian, yang tawanya ngakak membikin ranjang reyot bergoyang-goyang, yang jalannya sedikit goyah tapi gagah juga. Selamat malam, Alwy.” “Selamat malam, Kitty. Aku datang membawa puisi. Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri yang penuh pekik dan basa-basi.” Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar mencecar bunga-bunga layu yang bersolek di bawah cahaya merkuri. Dan bila situasi politik memungkinkan,


tentu akan semakin banyak yang gencar bercinta tanpa merasa waswas akan ditahan dan diamankan. “Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku. Ledakkan puisimu di nyeri dadaku.” “Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty. Aku tak pandai meradang, menerjang.” Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda, leher hangat, dan bibir lezat yang terancam kelu. Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka yang menyerahkan diri kepada sembilu. “Aku sayang Mas Alwy yang matanya beringas tapi ada teduhnya. Yang cintanya ganas tapi ada lembutnya. Yang jidatnya licin dan luas, tempat segala kelakar dan kesakitan begadang semalaman. Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, mesti kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar di puncak risau. Maaf, aku tak punya banyak waktu buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang dari Amerika cuma untuk jadi penghibur di negeri orang-orang kesepian?” “Terima kasih, gadisku.” “Peduli amat, penyairku.” (1996) Jauh Jauh nian perjalanan di atas ranjang padahal resah cuma berkisar dalam pusaran arus gelombang. Kaudaki puncak risau dalam galau malam namun selalu kandas dihadang konspirasi kecemasan. Memang harus sabar dan tawakal meniti birokrasi kematian.


Lantas laut mencampakkan kau ke pelabuhan. Kauseret bangkai kapal yang terbakar ke pantai gersang. Kau terhempas kembali ke dataran lengang, menyusuri rute panjang kelahiran. Kau mengambang, melayang seperti bayi terlelap dalam ayunan ranjang. (1996) Ranjang Putih Ranjang telah dibersihkan. Kain serba putih telah dirapihkan. Laut telah dihamparkan. Kayuhlah perahu ke teluk persinggahan. Sampai di seberang tubuhmu tinggal tulang-belulang dan perahumu tertatih-tatih sendirian pulang ke haribaan ranjang. Ranjang telah dibersihkan. Laut telah disenyapkan. Ombak telah diredakan. Tapi kau tak kunjung pulang. Mungkin tubuhmu enggan dikubur di kesunyian ranjang. (1996) Pulang Malam Kami tiba larut malam. Ranjang telah terbakar


dan api yang menjalar ke seluruh kamar belum habis berkobar. Di atas puing-puing mimpi dan reruntuhan waktu tubuh kami hangus dan membangkai dan api siap melumatnya menjadi asap dan abu. Kami sepasang mayat ingin kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang. (1996) Keranda Ranjang meminta kembali tubuh yang pernah dilahirkan dan diasuhnya dengan sepenuh cinta. “Semoga anakku yang pemberani, yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan, menemukan jalan untuk pulang; pun jika aku sudah lapuk dan karatan.” Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara. Kalaupun sesekali datang, ia datang hanya untuk menabung luka. Dan ketika akhirnya pulang ia sudah mayat tinggal rangka. Bagai si buta yang renta dan terbata-bata ia mengetuk-ngetuk pintu: “Ibu!” Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar memeluknya erat: “Aku rela jadi keranda untukmu.” (1996) Korban


Darah berceceran di atas ranjang. Jejak-jejak kaki pemburu membawa kami tersesat di tengah hutan. Siapakah korban yang telah terbantai di malam yang begini tenang dan damai? Terdengar jerit lengking perempuan yang terluka dan gagak-gagak datang menjemput ajalnya. Tapi perempuan anggun itu tiba-tiba muncul dari balik kegelapan dan dengan angkuh dilemparkannya bangkai pemburu yang malang. “Beginilah jika ada yang lancang mengusik jagad mimpiku yang tenteram. Hanya aku penguasa di wilayah ranjang.” (1996) Elegi Bantal, guling, selimut berpamitan kepada ranjang. “Ibu yang penyayang, sudah sekian lama kami membantu Ibu mengasuh anak-anak terlantar dan sebatang kara, memberi mereka tempat terindah buat bercinta, dan merawat mereka ketika sudah pikun dan tak berdaya. Kini saatnya kami harus pergi meninggalkan kisah yang penuh misteri.” “Memang sekali waktu kita perlu istirah. Aku sendiri pun sangat lelah. Aku akan pergi juga, ziarah ke asal-muasal kisah cinta yang melahirkan dongengan panjang penuh rahasia.” Demikianlah di subuh yang hening itu kami pergi ke pelabuhan, melepas ranjang kami yang tua berangkat berlayar ke laut yang luas dan terang. Waktu dan usia seperti perjalanan sebuah doa ketika ranjang kami yang reyot dan renta bergoyang-goyang bagai tongkang, bagai keranda. Terhuyung-huyung dan terbata-bata mencari tanah pusaka yang jauh di seberang sana.


(1996) Celana, 1 Ia ingin membeli celana baru buat pergi ke pesta supaya tampak lebih tampan dan meyakinkan. Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Bahkan di depan pramuniaga yang merubung dan membujuk-bujuknya ia malah mencopot celananya sendiri dan mencampakkannya. “Kalian tidak tahu ya aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan.” Lalu ia ngacir tanpa celana dan berkelana mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan: “Ibu, kausimpan di mana celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?” (1996) Celana, 2 Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut, bahkan terhadap nasib kami sendiri.


Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri. Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi tentang hal-ihwal yang di dalam celana: ada raja kecil yang galak dan suka memberontak; ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi rahasia alam semesta; ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma; ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa dan pendoa. Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana. (1996) Celana, 3 Ia telah mendapatkan celana idaman yang lama didambakan, meskipun untuk itu ia harus berkeliling kota dan masuk ke setiap toko busana. Ia memantas-mantas celananya di cermin sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya pantat tepos yang sok perkasa. “Ini asli buatan Amerika,” katanya kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca. Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih yang menunggunya di pojok kuburan. Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.” Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang bertengger di dalam celana. Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!” Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung


yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana. (1996) Catatan: Dalam buku Di Bawah Kibaran Sarung versi 2001 bait terakhir sajak tersebut berbunyi: Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan raja kecil yang selama ini disembahnya tunduk tak berdaya. Boneka, 1 Setelah terusir dan terlunta-lunta di negerinya sendiri, pelarian itu akhirnya diterima oleh sebuah keluarga boneka. “Kami keluarga besar yang berasal dari berbagai suku bangsa. Kami telah menciptakan adat istiadat menurut cara kami masing-masing, hidup damai dan merdeka tanpa menghiraukan lagi asal-usul kami. Anda sendiri, Tuan, datang dari negeri mana?” “Saya datang dari negeri yang pemimpin dan rakyatnya telah menyerupai boneka. Saya tidak betah lagi tinggal di sana karena saya ingin tetap menjadi manusia.” Keluarga boneka itu tampak bahagia. Mereka berbicara dan saling mencintai dengan bahasa mereka masing-masing tanpa ada yang merasa dihina dan disakiti. Lama-lama si pembuat boneka itu merasa asing dan tak tahan menjadi bahan cemoohan makhluk-makhluk ciptaannya sendiri. Ia terpaksa pulang ke negeri asalnya dan mencoba bertahan hidup di dunia nyata. (1996) Boneka, 2 Rumah itu sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Ia minggat begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa pun kepada boneka-boneka kesayangannya.


“Mungkin ia sudah bosan dengan kita,” gajah berkata. “Mungkin sudah hijrah ke lain kota,” anjing berkata. “Mungkin pulang ke kampung asalnya,” celeng berkata. “Jangan-jangan sudah mampus,” singa berkata. “Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan,” monyet berkata. “Siapa tahu ia tersesat di tanah leluhur kita,” yang lain berkata. Mereka kemudian sepakat mengurus rumah itu dan menjadikannya suaka margasatwa. Pemilik rumah itu akhirnya pulang juga. Ia masuk begitu saja, namun boneka macan yang perkasa dan menyeramkan itu menyergahnya. “Maaf, Anda siapa ya?” “Lho, ini kan rumahku sendiri.” “Bercanda ya? Rasanya kami tak mengenal Anda. Mungkin Anda salah alamat. Sebaiknya Anda segera pergi sebelum kami telanjangi dan kami seret ke alam mimpi.” (1996) Boneka, 3 Boneka monyet itu mengajakku bermain ke rumahnya. Di sana telah menunggu siamang, orangutan, simpanse, gorila, lutung dan bermacam-macam kera lainnya. “Kenalkan, ini saudara-saudaramu juga,” monyet berkata. “Kita mau bikin pesta kangen-kangenan sambil arisan.” Aku ingin segera minggat dari rumah jahanam itu, tapi monyet brengsek itu cepat-cepat menggamit lenganku. “Jangan terburu-buru. Kita foto bersama dululah.” Kami pun berpotret bersama. Monyet menyuruhku berdiri paling tengah. “Kau yang paling ganteng di antara kami,” siamang berkata. “Siapa yang paling lucu di antara kita?” monyet bercanda. “Yang di tengah,” lutung berkata. “Ia tampak kusut dan murung karena bersikeras hidup di alam nyata,” gorila berkata. Mereka semua tertawa. (1996)


Humor Serius Joko Pinurbo, Telaah Singkat Kumpulan Puisi Celana Oleh Hikmat Darmawan Latar belakang Saya langsung tertarik untuk menelaah kumpulan puisi Celana karya Joko Pinurbo yang diterbitkan oleh IndonesiaTera pada 1999 ini karena tergelitik oleh nada humor pada beberapa puisi di dalamnya yang sempat kami baca selintas. Perkenalan lebih jauh dengan puisi-puisi tersebut menyingkapkan sesuatu yang lain, yaitu ternyata Joko Pinurbo adalah seorang penyair yang sangat serius. Joko Pinurbo, atau biasa dipanggil Jokpin, mengaku dalam buku kecil ini telah menyair sekitar 20 tahun (dihitung pada 1999). Tepatnya, Jokpin mengaku dalam kata pengantarnya, “Sudah sekitar 20 tahun saya belajar menyair”[1] (cetak miring dari kami). Untuk kurun 20 tahun (belajar) menyair, tentu saja 44 buah puisi dalam 65 halaman adalah terhitung sedikit. Jika Jokpin adalah penyair produktif selama 20 tahun tersebut, maka itu berarti kumpulan ini merupakan hasil seleksi yang sangat ketat. Sebaliknya, jika selama 20 tahun tersebut Jokpin tidak produktif, kemungkinan ia sendiri memang sangat selektif terhadap karya-karya yang hendak ia tampilkan/terbitkan. Kedua kemungkinan itu mengindikasikan bahwa Jokpin adalah seorang penyair yang memandang serius proses penerbitan puisi-puisinya, sehingga ia hanya mau mengeluarkan sedikit saja (tapi yang, kemungkinan, ia yakini sebagai terbaik di antara yang lain). Pada saat yang sama, Jokpin mencuat ke permukaan sastra Indonesia justru karena humor-humor dalam puisi-puisinya. Sapardi Djoko Damono, dalam catatan penutup untuk buku ini, menyoroti hal ini. Penyair senior sekaligus pengajar sastra di Universitas Indonesia ini mengawali sorotannya dengan mengungkap pembacaan puisi Jokpin suatu malam pada 1997 di Teater Utan Kayu. Dalam acara pelisanan puisi tersebut, banyak penonton tertawa. Sapardi menulis bahwa banyak alasan orang tertawa atas pelisanan sebuah puisi. Bisa jadi karena gaya atau cara melisankan puisi sang penyair, bisa juga karena pelisanan itu dirancang dalam sebuah pertunjukan yang akan memancing tawa. Semua tawa itu tak ada hubungannya dengan isi puisi itu sendiri. Namun dalam pelisanan puisi-puisi Jokpin, orang-orang malam itu tertawa karena isi puisi itu sendiri. Sapardi mencatat, kemungkinan karena kata-kata dalam puisi Jokpin semacam “Celana (3)” memang menggali bahan lelucon yang agak saru (porno) di masyarakat kita: masalah burung dalam celana. Sapardi kemudian melanjutkan ulasannya, bahwa kita bisa curiga puisi ini tak sepenuhnya tentang celana, atau tentang “burung” di dalam celana. Menurut Sapardi, Jokpin menyandingkan lelucon itu dengan latar kuburan yang membuat pembaca terbawa pada sebuah imaji kematian atau kemuraman. Sapardi juga mengaitkan hal ini dengan


puisi-puisi Jokpin lain dalam buku ini. Jokpin, menurut Sapardi, menggunakan “…teknik surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita.”[2] Sapardi meyakini bahwa pendekatan yang memanfaatkan ilmu psikologi, khususnya teori tentang analisis mimpi dari Freud akan banyak gunanya dalam membaca sajak-sajak Jokpin ini. Saya akan mencoba mengulas lebih jauh sajak-sajak tersebut, sambil memanfaatkan semiotika sebagaimana yang diuraikan A. Teeuw dalam buku pengantarnya akan ilmu sastra.[3] Namun kami hanya akan menerapkan pendekatan ini secara sederhana, karena makalah ini hanyalah sebuah analisa atau telaah sederhana dan bukan sebuah penelitian sastra lengkap seperti yang diidealisasikan oleh A. Teeuw dalam buku tersebut. Sastra dan bahasa sehari-hari: masalah pertama Celana Ada sebuah pandangan lazim dalam pembacaan sastra yang membedakan karya sastra dengan yang bukan sastra dari segi pemakaian bahasanya. Dengan kata lain, ada anggapan yang cukup banyak diikuti bahwa bahasa sastra berbeda dari bahasa bukan sastra. Anggapan ini agak tertantang ketika kita membaca beberapa puisi Jokpin dalam kumpulan ini. Kesan umum adalah puisi-puisi ini “enteng”, menggunakan bahasa seharihari, dan karena itu berbeda dari karya sastra lazimnya. Patut kita selidiki, dari mana kesan “enteng” tersebut timbul. Sebab pertama adalah dari kesengajaan Jokpin menggunakan kosa kata sehari-hari atau bahasa lisan yang sering kita gunakan dalam keseharian kita. Jokpin tidak mengharamkan kata-kata semacam “kok”, “nampang”, “sewot”, “ngacir”, “celana kolor”, “Emoh”, “Saya”, dan semacamnya. Kehadiran kata-kata sehari-hari ini mengurangi unsur defamiliarisasi dalam pilihan kata yang biasanya menjadi ukuran nilai kesastraan sebuah puisi. Namun bukan hanya masalah kosa kata saja yang membangun kesan “enteng” atau “bermain-main” dalam puisi-puisi Jokpin ini. Sebab, di samping kosa kata keseharian itu, Jokpin kerap juga menggunakan kata-kata yang tidak biasa kita temukan dalam percakapan sehari-hari. Misalnya, kata “cabar”, “cerau”, “galau”, atau “pasai” (contohcontoh ini dapat kita temukan dalam puisi “Tuhan Datang Malam Ini”, halaman 47). Sering juga Jokpin menggunakan istilah-istilah yang tak lazim, seperti “mosak-masik” (Dalam “Kisah Seorang Nyumin”), “konspirasi kecemasan” dan “birokrasi kematian” (“Ranjang (3)”). Istilah-istilah tersebut memang kadang terasa berlebihan. Misalnya istilah “konspirasi kecemasan” dan “birokrasi kematian” tersebut. Kesan berlebihan ini justru menganulir kesan sastrawi puisi ini. Seakan kita dituntun untuk curiga bahwa Jokpin bukan sedang menciptakan sebuah keluhungan tapi lebih sedang bermain-main dengan konvensi sastra.


Di samping itu, ada kecenderungan lain pada pilihan istilah-istilah dalam kumpulan puisi ini: Jokpin tampak tak keberatan menggunakan kosa kata dan istilah-istilah puitis yang telah klise dalam puisi Indonesia. Misalnya, kata “sembilu”, “sudut kenangan”, “nyeri”, “sunyi”, “ngilu”. Kecenderungan ini turut membangun kesan bermain-main dan santai dalam puisi-puisi Jokpin ini. Ada satu lagi unsur yang menyumbang pada kesan “enteng” dan “bermain-main” puisipuisi ini, yakni susunan kalimat. Jokpin seperti mengabaikan kelaziman berpuisi dengan menyusun kalimat dalam berbagai aturan yang ketat. Untuk jelasnya, mari kita lihat beberapa kutipan berikut: “Kalian tidak tahu ya aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan.” (”Celana (1)”) Sudah sekian tahun mayatku hilang Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang. “Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan, nonton komedi manusia di kebun binatang.” Begitu ia dulu pamitan. (”Di Sebuah Entah”) Baik jika kita membaca kedua contoh di atas dalam hati, maupun dengan dilisankan, tetap timbul sebuah kesan bahwa puisi di atas sungguh “enteng” dan bermain-main. Jika kita telusuri, kemungkinan kesan ini timbul karena Jokpin memang meminjam struktur kalimat dalam percakapan sehari-hari untuk puisi-puisi tersebut. Jika saja susunan tertulis kalimat-kalimat di atas diurutkan secara menyamping seperti prosa, dan tidak dipatahkan demi membentuk baris-baris yang menjadi kelaziman puisi, maka kalimat-kalimat itu akan terbaca lancar sebagai sesuatu yang prosaik sekaligus terasa akrab kita jumpai dalam percakapan sehari-hari. Dengan kata lain, susunan kalimat-kalimat di atas tidak mementingkan metrum, rima, efek bunyi, dan langgam-langgam puisi lazimnya. Puisi-puisi tersebut seperti ingin dengan santai menyampaikan sebuah cerita yang aneh. Memang, kita bisa segera merasakan juga betapa puisi-puisi ini menyajikan sebuah keadaan yang aneh. Dalam contoh pertama, keanehan terletak pada pengisahan si “aku” yang sedang mencari celana yang “paling pas dan pantas/ buat nampang di kuburan”. Apakah ada celana yang pas untuk nampang di kuburan? Apakah memang ada kegiatan “nampang di kuburan?” Dalam contoh kedua, lebih-lebih lagi terasa situasi aneh itu. Pertama, sang narator mengaku “sudah sekian tahun mayatku hilang”. Jika mayat si narator hilang, mengapakah sang narator masih bisa menuturkan kisah pada kita? Lebih aneh lagi, setelah mengungkap keheranannya soal ke mana saja si mayat itu “ngelayap”, si narator


mengisahkan bagaimana si mayat dulu pamit: iseng, ingin cari hiburan. Seakan tak cukup aneh, puisi ini lanjut mengisahkan bahwa si mayat ingin nonton “komedi manusia di kebun binatang.” Dari dua contoh tersebut, kita bisa melangkah pada sebuah dugaan bahwa segala kebermainan dan kesan “enteng” puisi-puisi Jokpin tersebut adalah sebuah kesengajaan si penyair dalam rangka menyembunyikan (atau menghaluskan?) sesuatu yang lebih serius dan subversif sifatnya. Tapi apa sesungguhnya yang ingin ia ungkapkan? Humor sebagai “logika bengkok”: siasat metafor Celana Jadi kita telah tiba pada dugaan bahwa kebermainan dan kesan “enteng” puisi-puisi Jokpin ini adalah sebuah kesengajaan untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih serius. Berikut ini adalah pendekatan lebih jauh tentang aspek yang segera menonjol dari puisipuisi dalam kumpulan ini, aspek yang juga disoroti oleh Sapardi Djoko Damono: aspek humor puisi-puisi Jokpin. Cukup bermanfaat untuk meminjam pengertian humor yang sederhana dari Arswendo Atmowiloto[4], bahwa humor hakikatnya tak lain dari “logika bengkok”. Pengertian logika bengkok sendiri hampir mirip dengan plesetan yang diterapkan di tingkat makna. Contohnya adalah: dalam kenyataan, muka yang ditendang kuda pastilah akan terasa sakit, malah mungkin ada tulang-tulang yang patah; namun dalam humor, muka penyok ditendang kuda adalah sesuatu yang tak menyakitkan tapi menerbitkan kesan apes dan konyol belaka. “Logika bengkok” ini bisa diterapkan baik pada humor-humor slapstick (humor-humor yang bersifat fisik, dan sering dianggap jenis humor paling rendah) hingga ke humorhumor situasi yang canggih. Di tingkat yang canggih, seperti dalam episode-episode Mad About You atau kartun-kartun Far Side Gallery karya Garry Larson, “logika bengkok” dapat memiliki kualitas metaforik atau simbolik. Agaknya, potensi humor inilah yang ditangkap dan diolah Jokpin. Mari kita ambil contoh sebuah humor yang barangkali paling banyak diingat oleh para penggemar puisi-puisi Jokpin, yakni idiom “burung dalam celana”. CELANA (3) Ia telah mendapatkan celana idaman yang lama didambakan, meskipun untuk itu ia harus berkeliling kota dan masuk ke setiap toko busana. Ia memantas-mantas celananya di cermin sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya pantat tepos yang sok perkasa. “Ini asli buatan Amerika,” katanya kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.


Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih yang menunggunya di pojok kuburan. Ia memamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.” Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang bertengger di dalam celana. Ia sewot juga. “buka dan buang celanamu!” Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana. Dalam puisi itu, terasa benar humor saru seputar soal perkelaminan. Jokpin dengan nakal mengambil bulat-bulat sebuah idiom yang sangat umum di masyarakat, yakni penyebutan kelamin lelaki dengan kata “burung”. Dalam kenakalan ini, Jokpin seperti mengingatkan bahwa pada hakikatnya, ungkapan “burung” adalah kegiatan bermetafor yang sangat dasar. Dan Jokpin mengangkat metafor yang menggelikan ini ke aras yang selama ini dianggap “luhung”, yakni puisi. Dan dengan ini, Jokpin memberi kita sebuah kepastian makna yang menggelikan sekaligus menggoyahkan kepastian itu. Di satu sisi, pembaca Indonesia umumnya tahu pasti bahwa “burung” yang dibicarakan Jokpin adalah kelamin lelaki (dan karena itu kita merasa geli). Di sisi lain, bagaimanakah bisa “burung” tersebut “kabur entah ke mana”? Tentu sukar kita menerima bahwa ini adalah sebuah ungkapan harfiah. Dengan demikian, kita melihat bahwa Jokpin mengembalikan idiom “burung” (atau tepatnya “burung dalam celana”) ke dalam kapasitas metaforiknya. Tapi masih tersisa pertanyaan, lantas apa sebetulnya yang dibicarakan Jokpin dalam puisi tersebut? Alam Mimpi Freudian: Kata-kata Kunci dalam Celana Memang benarlah saran Sapardi, bahwa psikoanalisa Freudian bisa sangat membantu pemahaman kita terhadap kumpulan puisi Celana ini. Tanpa terlalu membenam pada persoalan teoritis psikoanalisa, kita bisa memusatkan perhatian pada salah satu unsur terpenting teori ini, yakni bahasan tentang analisa mimpi. Asumsi dasar psikoanalisa Freud adalah adanya dinamika hubungan antara alam sadar dan alam bawah sadar yang menentukan perilaku serta kepribadian seseorang. Freud percaya bahwa untuk dapat menganalisa kepribadian seseorang, kita harus mengeluarkan apa yang tersembunyi dalam alam bawah sadar itu. Pada masa sebelum Freud, cara yang lazim digunakan untuk mengorek alam bawah sadar tersebut adalah dengan hipnotis. Freud menampik hipnotis, dan meyakini bahwa pembongkaran alam bawah sadar itu harus dilakukan dalam keadaan sadar. Metode yang dikembangkan Freud adalah analisis mimpi dan asosiasi bebas. Dalam metode analisis mimpi, Freud berasumsi bahwa alam mimpi mengandung simbolsimbol dari pengalaman di alam sadar yang disublimasi ke alam bawah sadar. Dalam metode asosiasi bebas, Freud percaya bahwa tanggapan spontan atas kata-kata tertentu


mencerminkan sesuatu yang tersimpan di alam bawah sadar kita. Dengan kata lain, psikoanalisa Freudian memercayai sepenuhnya fungsi simbol dan arti penting kata. Kita bisa menerapkan pendekatan ini untuk mencoba memahami kumpulan puisi Celana. Dalam kumpulan ini, kita menemukan ada beberapa kata yang menjadi motif (muncul berulang-ulang) yang kami anggap sebagai kata-kata kunci dalam kumpulan puisi ini. Misalnya, tentu saja, kata “celana”. Paling tidak, ada 5 puisi dalam kumpulan ini yang menggunakan kata “celana”: “Celana (1)”, “Celana (2)”, “Celana (3)”, “Boneka Dalam Celana”, dan “Terkenang Celana Pak Guru”. Kata ini berkait dengan beberapa kata atau istilah kunci lain: “burung”, “seluk-beluk yang di dalam celana”, “boneka di dalam celana”, dan sebagainya. Dalam salah satu puisi, Jokpin dengan jenaka menggambarkan beberapa “penghuni di dalam celana”: “Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi tentang hal-ihwal yang di dalam celana:/ada raja kecil yang galak dan suka/ memberontak/ ada filsuf tua yang terkantukkantuk/merenungi rahasia alam semesta/ada gunung berapi yang menyimpan/sejuta magma” (”Celana (2)”). Bahkan dalam puisi itu digambarkan betapa “Columbus/ pun akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana/ dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.” (”Celana (2)”) Bukan hanya mengacu pada kelamin pria, idiom ini juga terkait dengan kelamin perempuan. Misalnya, “gua garba yang diziarahi/para pendosa dan pendoa”, atau “lubang sunyi, di bawah pusar, yang dirimbuni semak berduri”. Jelaslah dari kata-kata dan idiomidiom kunci ini, masalah perkelaminan, dan dengan demikian juga masalah ketubuhan, adalah hal sangat penting dalam puisi-puisi Jokpin. Apakah Jokpin sedang mengemukakan keyakinan yang sama dengan Freud bahwa seks adalah intisari masalah manusia, hakikat dasar yang menyebabkan kepribadian timbul? Tubuh memang bisa sangat mengungkung jiwa seseorang. Seks, lebih-lebih di zaman modern yang serba terbuka tentang masalah ini, menjadi kenyataan baru yang bisa sangat mengungkung. Sebelum “celana”, Jokpin banyak mengolah kata “ranjang” (dalam kumpulan ini, ia membuat 12 puisi berjudul Ranjang yang diberi nomor urut 1-12). Tapi dalam puisi-puisi ranjang tersebut, Jokpin mengaitkannya dengan kata kunci lain: “kematian” dan “mayat”. Dua kata kunci ini juga muncul di seantero kumpulan ini. Misalnya: Kami sepasang mayat ingin kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang. Atau: Darah berceceran di atas ranjang. Jejak-jejak pemburu membawa kami tersesat di tengah hutan.


Dari sini kita bisa lihat bahwa soal-soal seksualitas pada puisi-puisi Jokpin galibnya tersangkut dalam peliknya soal ketubuhan; dan selanjutnya, soal ketubuhan itu sendiri, ternyata terkait dengan soal yang eksistensial bagi manusia: bagaimana seseorang menghadapi persoalan maut, menghadapi kenyataan akan kefanaan dirinya. Upaya Jokpin menggeluti masalah eksistensial ini diwujudkan dalam pengungkapan sebuah dunia mimpi. Puisi-puisinya mengambil gaya bertutur, atau bersifat naratif, dengan bahasa yang tak terlalu di-“berat-beratkan”, dalam rangka mengungkap alam mimpi tersebut. Ada semacam kehendak sang penyair untuk menyiasati soal menakutkan ini (kematian) dengan metafor-metafor humoristis. [1] Joko Pinurbo, Celana, Penerbit IndonesiaTera, Yogyakarta, 1999. [2] Idem. [3] A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, cetakan kedua, Pustaka Jaya dan Girimurti Pasaka, Jakarta, Jakarta, 1988. [4] Pengertian humor ini pernah ditulis Arswendo dalam sebuah rangkaian tulisan tentang humor di Majalah Hai pada 1980-an. Sayangnya, kami tak berhasil menemukan edisi yang memuat tulisan tersebut. Sumber: http://www.hikmatdarmawan.multiply.com/


Sajak-sajak 1997 Boneka dalam Celana Kau pusing seharian keluar-masuk toko mainan hanya untuk mendapatkan boneka lucu yang akan kaugantung di atas ranjang. Padahal di dalam celana ada boneka paling jenaka : boneka kecil yang sering tiba-tiba menjelma raksasa. Kau bilang boneka mungilmu suka keluyuran ke kebun binatang, ke suaka margasatwa, ke hutan yang banyak hewan liarnya, katanya untuk bermain dengan teman-temannya. Kau sudah memanjakannya dengan berbagai model celana yang mahal harganya tapi ia selalu lolos dan tak pernah krasan tinggal di dalamnya. “Sumpek dan penuh aturan,” katanya. Konon raksasa kecil itu telah menjadi seorang tiran. Telah diproklamasikannya sebuah republik dan kau sendiri rela dinobatkan sebagai pengawalnya. “Siapkan pasukan!” kata sang tiran. “Akan kuserbu musuh-musuh yang merongrong kekuasaan.” “Siap Paduka,” timpal pengawal. “Akan hamba tumpas para perusuh yang mengancam kedaulatan.” Di republik celana tiran yang sangat kejam dan pendendam itu sekarang telah menjadi raja telanjang yang tua-renta dan sakit-sakitan. Sehari-hari ia cuma duduk terkantuk-kantuk di kursi goyang sambil mulutnya komat-kamit dan kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri


tapi batuknya masih dianggap sakti. Pengawal: “Kalau Paduka sudah lelah dan hendak istirah, silakan. Hamba bersedia menggantikan Paduka duduk di tampuk kekuasaan.” Di sebuah toko mainan kaudapatkan juga boneka lucu yang kauinginkan; kaugantungkan di atas ranjang sehingga kau tidak lagi kesepian. Dan boneka jenaka di dalam celanamu cemburu karena merasa telah mendapatkan saingan. (1997) Terkenang Celana Pak Guru Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas. Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk, kemudian terkulai di atas meja. Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk sambil mengucapkan: “Selamat pagi, Bapak Guru.” Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya seakan mau mengatakan: “Bapak sangat lelah.” Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya. Kami baca di papan tulis: “Baca halaman 10 dan seterusnya. Hafalkan semua nama dan peristiwa.” Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman. Hanya rits celananya yang setengah terbuka seakan mau mengatakan: “Bapak habis lembur semalam.” Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai gundulnya sambil berkata: “Kasihan kepala yang suka ikut penataran ini.” Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam di bekas lahan sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan. “Silakan,” katanya.


“Dia Pak Guru kita itu!” temanku berseru. “Kau ingat rits celananya yang setengah terbuka?” “Tenang. Jangan mengusik ketenteramannya,” aku memperingatkan. “Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih dan tenang,” kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya. “Kelak aku juga ingin dikubur di sini,” sambungnya. “Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan,” timpalku. Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam mengawasi kami dari balik pohon kamboja. (1997) Januari untuk NAF Januari yang lusuh datang padaku dengan wajah putih kelabu. “Beri aku tempat perlindungan. Musim begitu rusuh. Bahaya mengancam dari segala jurusan.” Hujan yang basah kuyup tubuhnya kuungsikan ke dalam botol bersama kilat, guruh dan ledakan-ledakan petirnya. Angin yang menggigil kedinginan kusembunyikan ke dalam gelas bersama desah, desau dan desirnya. Semoga sekalian kata dan makna yang kuziarahi bertahun-tahun lamanya ikhlas menerima cobaan yang tiada putusnya sebab memang begitu jauh jarak perjalanan di antara mereka. Semoga sekalian luka dan sembilu yang tak henti-henti meruyaknya tidak saling sayat dan sakit hati justru karena demikian dalam percintaan di antara keduanya.


Januari yang lusuh datang padaku seperti doa yang rela bersekutu dengan sekalian kata dan ucapan yang sering gagap dan gagu. (1997) Ziarah Masih ada sebuah rumah di sana yang tak pernah mengharap seseorang datang mengunjunginya. Masih ada dinding-dinding kusam, ruang bersih terang, jendela-jendela putih tempat senja berpendaran dengan rambutnya yang keemasan. Masih ada si kecil lagi asyik menggambar pada tembok penuh coretan. “Semalam hujan singgah sebentar, dan setelah meninggalkan riciknya di kulkas itu ia pun berangkat ke sebuah kota yang jauh.” Ingin kupeluk dan kucium parasnya yang lucu, tapi tak ingin dunia kecilnya kusintuh. “Lihat, aku sedang melukis laut, gerimis dan perahu oleng yang dikayuh nelayan kecil menuju pantai yang teduh.” Masih. Masih ada seseorang sedang duduk membungkuk di bawah redup cahaya, khusyuk membaca berkas-berkas tua. “Semalam si mayat datang dengan baju baru. Ia titipkan salam manisnya untukmu.” Ingin kutrima batuknya dalam paru-paruku tapi tak ingin kusintuh kantuknya, rindunya sebab hatinya lebih tegar dari waktu. “Maaf, aku sedang membaca surat-surat yang telah lama kutulis, tapi tak pernah kukirim karena tak kutahu alamatmu.” (1997)


Poster Setengah Telanjang untuk AM Si kecil yang suka makan es krim itu sudah besar dan perawan, sudah tidak pemalu dan ingusan. Ia gemar melucu dan pintar juga menggodamu. “Kau penyair ya? Kutahu itu dari kepalamu yang botak dan licin seperti semangka.” Kau tergoda dan ingin lebih lama terpana ketika matanya mengerjap dan bulan muncrat di atas rambutnya yang hitam pekat. Malam heboh sekali. Orang-orang mulai resah menunggu kereta. “Perempuan, kau mau ikut?” “Emoh ah,” katanya. Kereta sudah siap. Para pelayat berjejal di dalam gerbong sambil melambai-lambaikan bendera. “Perempuan, ikutlah bersama kami. Kita akan pergi menyambut revolusi.” “Ah, revolusi. Revolusi telah kulipat dan kuselipkan ke dalam beha.” “Lancang benar ia. Berani menantang kita dengan senyumnya yang sangat subversif. Ia sungguh berbahaya.” Lonceng terakhir telah selesai menyanyikan “Sepasang Mata Bola”. Tinggallah malam yang redam, langit yang diam. Tinggallah airmata yang menetes pelan ke dalam segelas bir yang menempel pada dada yang setengah terbuka, setengah merdeka. (1997) Perempuan Pulang Pagi untuk kartu pos S


Rumah yang ditinggalkan semalaman masih menyala terang benderang, sebab ia ingin setiap orang yang lewat di depannya bilang: “Lihat, perempuan kita masih mencangkung di depan jendela, menghadap langit, menghadap waktu, menghadap usia. Ia pulang dinihari sehabis hujan dan angin pergi. Ia tendang pintu yang pura-pura membisu. Dan kepada cermin yang bergoyang di pojok ruangan ia bicara: “Tadi selusin lelaki mau menciumku, tapi kuterkam saja dengan geramku, semuanya lari tunggang langgang.” Ia pulang dinihari ketika bulan belum mau pergi. Ia menyanyi, ia menari, dan sambil berlenggok masuk ke kamar, gemetar melihat seseoerang sedang mendengkur dengan gempar. “Bukankah kau yang semalam kucumbu di kuburan? Sialan. Ternyata kau mendahuluiku terkapar di ranjang yang tak lama lagi akan terbakar.” Lantas ia berhias dan bergegas ke sebuah cemas. “Kau istirahat dulu ya, mayat. Santai-santai saja di sini. Aku ada dinas sebentar ke rumah sakit jiwa. Kalau nanti terbangun dan takut sendirian, teleponlah aku secepatnya.” (1997) Malam Itu Kita Kondangan Malam itu kita pergi kondangan. Naik andong kehujanan, kudanya lari kencang: kling klong kling klong. Malam sudah sangat larut. Sudah sangat panas pestanya. Di dalam rumah banyak tamu asing lagi asyik main kuda lumping. Pengantin mengenakan topeng monyet, duduk mengangkang di pelaminan. “Selamat kawin, saudara kembar,” kita ucapkan salam.


“Selamat datang, calon jerangkong,” sambutnya riang. Kau terkekeh dan lalu terkenang melihat potretmu di dinding ruang lagi meringis dalam gendongan. “Dia si anak hilang,” pengantin menjelaskan. Malam itu kita kondangan. Naik andong kehujanan, kudanya lari kencang: kling klong kling klong. Kita melaju, melenggang dalam sengkarut ingatan. (1997) Di Sebuah Entah untuk ND Sudah sekian tahun mayatku hilang. Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang. “Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan, nonton komedi manusia di kebun binatang.” Begitu ia dulu pamitan. Pernah kutanyakan pada petugas jawatan penculikan: “Di manakah mayat saya disimpan?” Jawabnya: “Mayatmu masih kami sekap dalam sebuah dokumen rahasia negara.” “Bolehkah saya bicara dengannya sebentar?” “Tidak bisa. Dia tak akan kami lepas sebelum melengkapi berkas-berkas identitas: surat, kartu, dan asal-usul yang jelas.” Ada juga yang bilang: “Lho, ‘kan mayatmu sedang jalan-jalan. Mondar-mandir mencari jejakmu. Mengapa kau selalu menghindar dan menjauh dari kenangan?” Demikianlah, ceritanya, kami saling kehilangan. Selalu bersilang langkah, berselisih jalan


di simpang ingatan di sebuah entah yang senisbi waktu dan selindap ruang. Sampai suatu malam seseorang datang dalam kuyup hujan, membuka pintu, menyibak bayang. “Mayatmu kutemukan di sudut halaman koran yang teronggok di bak sampah di depan kantor departemen pembredelan.” “Siapakah engkau, perempuan?” aku bertanya. “Aku seseorang atau sesuatu dari masa silam.” Setelah menyerahkan mayatku ke dalam pelukan, ia pun menghilang ke balik halusi. Tapak-tapak kakinya, jejak-jejak darahnya seakan adalah sakramen: perjalanan panjang sonyaruri ke sebuah getsemani. “Coba ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Siapa sesungguhnya perempuan yang mengantarmu ke sini?” “Jangan. Jangan sekarang. Aku masih dalam intaian mata-mata yang bersembunyi di sini, di bekas luka ini.” Kudekap ia, kubaringkan dalam album keluarga. “Jangan nakal. Tidurlah dengan sopan sampai tiba saatnya nanti kaukisahkan semua ini.” (1997) Tuhan Datang Malam Ini untuk GM Tuhan datang malam ini di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus dan celoteh sepi. Ia datang dengan sebuah headline yang megah: “Telah kubredel ketakutan dan kegemetaranmu. Kini bisa kaurayakan kesepian dan kesendirianmu dengan lebih meriah.” Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai di atas halaman-halaman yang hilang dan rubrik-rubrik terbengkelai. Malam menebar debar. Di sebuah kolom yang rindang, kolom yang teduh


ia kumpulkan huruf-huruf yang cerai-berai dan merangkainya menjadi sebuah komposisi kedamaian. Namun masih juga ia cabar: “Kenapa ya aku masih kesepian. Seakan tak bisa damai tanpa suara-suara riuh dan kata-kata gaduh.” “Mungkin karena kau terlampau terikat pada makna yang berkelebat sesaat,” demikian seperti telah ia temukan jawaban. Begitulah, ia hikmati malam yang cerau dan mencoba menghalau galau dan risau. Dibetulkannya rambut ranggas yang menjuntai di atas dahi nan pasai. Dibelainya kumis kusut dan cambang capai yang menjalar di selingkar sangsai. Sementara di luar hujan dan angin berkejaran menggelar konvoi kemurungan. Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka dan ditulisnya: Saya ini apalah Tuhan. Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir pada serial catatan pinggir; sisa aroma pada seonggok beha; dan bau kecut pada sisa cinta. Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan. Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar yang habis terbakar; sekeping puisi yang terpental dilabrak batalion iklan. Dan Tuhan datang malam ini di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni cericit tikus dan celoteh sepi. Ia datang bersama empat ribu pasukan, lengkap dengan borgol dan senapan. Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru: “Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi. Kami cuma orang-orang kesepian. Kami ingin bergabung bersama Anda di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang. Kami akan kumpulkan senjata dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan. Sesudah itu perkenankan kami sita dan kami bawa


semua yang Anda punya, sungguhpun cuma berkas-berkas tua dan halaman-halaman kosong semata.” Tuhan, mereka sangat ketakutan. Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang. (1997) Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem untuk Linus Suryadi AG Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk di bawah cahaya lampu remang-remang. Demam mulai merambat ke leher, encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang. Dan angin pantai Jepara yang kering berjingkat pelan di alis yang tenang; di pelupuknya anak-anak kesunyian ingin lelap berbaring, ingin teduh dan tenteram. “Terimalah salam damaiku lewat angin laut yang kencang, dinda. Resah tengah kucoba. Sepi kuasah dengan pena. Kaudengarkah suara gamelan tak putus-putusnya dilantunkan di pendapa agung yang dijaga tiang-tiang perkasa hanya untuk mengalunkan tembang-tembang lara? Kaudengarkah juga derap kereta di jauhan datang melaju ke arah jantungku.” Kereta api hitam berderap membelah malam, melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu. Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula, di belakangnya perempuan-perempuan pemberani berduyun-duyun mengusung matahari. “Perahu-perahu kembara, dinda, telah kulepas dari pantai Jepara.


Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara. Berlayarlah ke negeri-negeri jauh, ke Nederland sana. Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon dan Stella: ingin rasanya aku menembus gerbang cakrawala.” Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk di bawah cahaya lampu remang-remang. Tangan masih menyurat di atas kertas. Hati melemas pada berkas-berkas cemas. Angin merambat lewat kain dan kebaya. Dingin merayap hingga sanggulnya. Dan anak-anak kesunyian bergelayutan pada bulu matanya yang sayup, yang mengungkai cahaya redup. “Sering kubayangkan, dinda, perempuan-perempuan perkasa berbondong-bondong menyunggi matahari, menggendong bukit-bukit tandus di gugusan pegunungan seribu menuju hingar-bingar pasar palawija di keheningan langit Jogja. Kubayangkan pula ladang-ladang karang dirambah, disiangi kaki-kaki telanjang dengan darah sepanjang zaman.” Kereta api hitan berderap membelah malam, membangunkan si lelap dari tidur panjang. Jari masih menulis bersama gerimis, bersama angin dan kenangan. Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh tak terjangkau. “Badai, dinda, badai menyerbu ke atas ranjang. Kaudengarkah kini biduk mimpiku sebentar lagi karam di laut Rembang?”


Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk di bawah cahaya lampu remang-remang. Demam membara, encok meruyak pula. Dan sepasang alap-alap melesat dari ujung pena yang luka. (1997)


Sajak-sajak 1998 Goyang Ranjang bergoyang sepanjang malam. Mungkin sepasang nyawa, sepasang singa sedang tempur. Atau sepasang maut sedang perang. Ranjang bergoyang sepanjang malam. Padahal cuma ada sepasang celana teronggok putih di bantal hitam. (1998) Taman Pada suatu petang ia datang ke taman yang terhampar hijau di atas ranjang. Ia mencopot baju, menyalakan lampu kemudian membaca buku di atas makam. “Ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno di sini,” kata seseorang dari balik nisan. Ia lari tunggang langgang sebelum sempat mengenakan kembali pakaian. Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa Adam dan menghabisinya di atas ranjang. (1998) Daerah Terlarang Tiba di ranjang, setelah lama menggelandang, ia memasuki daerah terlarang.


Ranjang telah dikelilingi pagar kawat berduri dan ada anjing galak siap menghalau pencuri. “Kawasan Bebas Seks,” bunyi sebuah papan peringatan. Tak terdengar lagi cinta. Tak terdengar lagi ajal yang meronta pada tubuh yang digelinjang nafsu dalam nafas yang mendesah ah, melenguh uh. Memang ada yang masih bermukim di ranjang: merawat ketiak, mengurus lemak, dan dengan membelalak ia membentak: “Pergi! Tak ada seks di sini!” “Kau kalah,” katanya. “Dulu kautinggalkan ranjang, sekarang hendak kaurampas sisa cinta yang kuawetkan.” “Tunggu pembalasanku,” timpalnya. “Suatu saat aku akan datang lagi.” “Kutunggu kau di sini,” ia menantang, “akan kukubur jasadmu di bawah ranjang.” Ia pun pergi meninggalkan daerah terlarang dengan langkah seorang pecundang. “Tunggu!” teriak seseorang dari dalam ranjang. Tapi ia hanya menoleh sambil mengepalkan tangan. (1998) Kalvari Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang. Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ sudah bubar, bubar bersama para serdadu yang mengalungkan kawat berduri di lehernya dan membuang tubuhnya tadi siang. Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang berkerudung kain kafan dan menggelarnya bagi raga yang capai. “Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai.”


Hanya ia yang tawakal menemani ajal, menyiapkan pembaringan buat tidur seorang pecundang: warga tanpa negara, tanpa agama. Hanya ia yang mendengar sekaratnya. “Telah kuminum anggur dari darah yang mancur. Telah kucecap luka pada lambung yang lapa. Di tubuh Tuhan kuziarahi peta negeri yang hancur.” Maut sudah kosong ketika mereka hendak menculik mayatnya. Hanya ada seorang perempuan sedang membersihkan salib di sudut ranjang. “Ia sudah pergi ke kota,” katanya, “dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.” (1998) Ketika Pulang Ketika pulang, yang kutemu di dalam rumah hanyalah ranjang bobrok, onggokan popok, bau ompol, jerit tangis berkepanjangan, dan tumpukan mainan yang tinggal rongsokan. Di sudut kamar kulihat Ibu masih suntuk berjaga menjahit sarung dan selimut yang makin meruyak koyaknya oleh gesekan-gesekan cinta dan usia. “Di mana Ayah?” aku menyapa dalam hening suara. “Biasanya Ayah khusyuk membaca di bawah jendela.” “Ayah pergi mencari kamu,” sahutnya. “Sudah tiga puluh tahun ia meninggalkan Ibu.” “Baiklah, akan saya cari Ayah sampai ketemu. Selamat menjahit ya, Bu.” Di depan pintu aku berjumpa lelaki tua dengan baju usang, celana congklang. “Kok tergesa,” ia menyapa.


“Kita mabuk-mabuk dululah.” “Kok baru pulang,” aku berkata. “Dari mana saja? Main judi ya?” “Saya habis berjuang mencari anak saya, tiga puluh tahun lamanya. Sampeyan sendiri hendak ngeluyur ke mana?” “Saya hendak berjuang mencari ayah saya. Sudah tiga puluh tahun saya tak mendengar dengkurnya.” Ia menatapku, aku menatapnya. “Selamat minggat,” ujarnya sambil mencubit pipiku. “Selamat ngorok,” timpalku sambil kucubit janggutnya. Ia siap melangkah ke dalam rumah, aku siap berangkat meninggalkan rumah. Dan dari dalam rumah Ibu berseru: “Duel sajalah!” (1998) Pasar Sentir Pasar sentir. Tempatnya di bawah pohon beringin di alun-alun kota kami yang kecil dan tenang. Saya suka iseng main ke sana mengamati tingkah seorang lelaki yang sering datang menemui perempuan gembrot yang tawanya ngakak dan mata-kucingnya selalu tampak membelalak di antara kerumunan nyala lampu, jerit radio, dan gemeremang suara orang-orang kesurupan. Ia lelaki misterius. Kadang mengaku paranormal. Kadang menyebut dirinya pelukis besar. Tapi banyak yang bilang ia penyair yang gagal. Ia suka minum, meracau, dan kalau mabuk tubuhnya yang tambun terhuyung-huyung kemudian ambruk di pangkuan perempuan gembrot yang selalu sabar mendengarkan bualan-bualannya yang gombal. Malam itu ia bawa uang lima ribu buat beli jas merah sebab ia akan pesiar ke tempat yang indah. “Jas ini memang pas untukmu. Cocok buat membajul atau cari gandengan,” kata perempuan antik itu setengah menggoda, tapi lelaki nyentrik itu pura-pura tak tergoda.


Terang bulan. Dengan jas bekas dan celana kolor hitam ia bersiap pergi jalan-jalan cari hiburan. “Malam sangat dingin, Pangeran. Mau melancong ke mana?” “Aku mau cari jangkrik di kuburan.” Sampai keesokan paginya lelaki itu masih tertidur pulas di antara batu-batu nisan dengan bir di tangan sambil mendengarkan bunyi jangkrik yang krakkrik-krakkrik dalam celananya yang kedodoran. Di lain tempat perempuan itu masih terbaring nyenyak di atas tumpukan barang-barang dagangannya, sementara lampu sentirnya masih menyala. Malamnya ia sudah mangkal lagi di sana. Dan perempuan bawel yang sangat kemayu itu menyambutnya dengan senyum rahasia. “Bunyi jangkrikmu terdengar juga dalam tidurku.” Pasar sentir. Saya selalu kangen untuk mampir. Saya anak jadah, calon penyair. Saya tidak bilang bahwa lelaki tambun itu mungkin ayahku dan perempuan gembrot itu mungkin ibuku. (1998) Minggu Pagi di Sebuah Puisi Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah ketika hari masih remang dan hujan, hujan yang gundah sepanjang malam menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi berbasah-basah ke sebuah ziarah. Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara di sepanjang via dolorosa. Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara. Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan) berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata. “Ibu hendak ke mana?” Perempuan muda itu menyapa. “Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya: tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu sambil menunjukkan potret anaknya.


“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya: surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh. Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa. Lalu katanya: “Ia telah menciumku sebelum diseret ke ruang eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata telah menjarah perempuan lemah ini. Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina; pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk; pada liang luka, pada ceruk yang remuk.” Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah ketika hari mulai terang, kata-kata telah pulang dari makam, iring-iringan demonstran makin panjang, para serdadu berebutan kain kafan, dan dua perempuan mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan? (1998) Patroli Iring-iringan panser mondar-mandir di jalur-jalur rawan di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap komandan melihat kelebat seorang demonstran yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan. Pasukan disiagakan dan diperintahkan untuk memblokir setiap jalan. Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika. Komandan berteriak: “Kalian sembunyikan di mana penyair kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu? Pena yang baru diasahnya sangat tajam dan berbahaya.” Seorang peronda memberanikan diri angkat bicara: “Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi di sana.” “Sialan!” umpat komandan geram sekali, lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli. Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya. “Lega,” katanya. Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak bersorak dan merapatkan diri ke posisi semula. Di kejauhan terdengar letusan, api sedang melahap dan menghanguskan mayat-mayat korban.


(1998) Kurcaci Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan. Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah sementara pena yang dihunusnya belum mau patah. (1998)


Sajak-sajak 1999 Tubuh Pinjaman Tubuh yang mulai akrab dengan saya ini sebenarnya mayat yang saya pinjam dari seorang korban tak dikenal yang tergeletak di pinggir jalan. Pada mulanya ia curiga dan saya juga kurang selera karena ukuran dan modelnya kurang pas untuk saya. Tapi lama-lama kami bisa saling menyesuaikan diri dan dapat memahami kekurangan serta kelebihan kami. Sampai sekarang belum ada yang mencari-cari dan memintanya kecuali seorang petugas yang menanyakan status, ideologi, agama, dan terutama harta kekayaannya. Tubuh yang mulai manja dengan saya ini saya pinjam dari seorang bayi yang dibuang di sebuah halte oleh perempuan yang melahirkannya dan tidak jelas siapa ayahnya. Saya berusaha merawat dan membesarkan anak haram ini dengan kasih sayang dan kemiskinan yang berlimpah-limpah sampai ia tumbuh dewasa dan mulai berani menentukan sendiri jalan hidupnya. Sampai sekarang belum ada yang mengaku sebagai ibu dan bapaknya kecuali seorang petugas yang menanyakan asal-usul dan silsilah keluarganya. Tubuh yang kadang saya banggakan dan sering saya lecehkan ini memang cuma pinjaman yang sewaktu-waktu harus saya kembalikan


tanpa merasa rugi dan kehilangan. Pada saatnya saya harus ikhlas menyerahkannya kepada seseorang yang mengaku sebagai keluarga atau kerabatnya atau yang merasa telah melahirkannya tanpa minta balas jasa atas segala jerih payah dan pengorbanan. Tubuh pergilah dengan damai kalau kau tak tenteram lagi tinggal di aku. Pergilah dengan santai saat aku sedang sangat mencintaimu. (1999) Bercukur sebelum Tidur Bercukur sebelum tidur, membilang hari-hari yang hancur, membuang mimpi-mimpi yang gugur, memangkas semua yang ranggas dan uzur, semoga segala rambut segala jembut bisa lebih rimbun dan subur. Lalu datang musim dalam curah angin menumpahkan air ke seluruh dataran, ke gunung-gunung murung dan lembah-lembah lelah di seantero badan. Jantungku meluap, penuh. Sungai menggelontor, hujan menggerejai di sektor-sektor irigasi di agrodarahku. Malam penuh traktor, petani mencangkul di hektar-hektar dagingku. Tubuhku hutan yang dikemas menjadi kawasan megaindustri di mana segala cemas segala resah diolah di sentra-sentra produksi. Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor dari berbagai penjuru. Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali, daerah baru yang terberkati. Lalu tubuhku bukan siapa-siapa lagi. Tubuhku negeri yang belum diberi nama,


Click to View FlipBook Version