Kesatria Kertas di
Ujung Langit
Antologi Cerpen Negeri Kertas
Fileski
Rasya Swarnasta
dkk.
Kesatria kertas di Ujung Langit
Antologi Cerpen Negeri Kertas
-Jogjakarta ; Raditeens Publisher, 2015
xvi + 196 hlm ; 14 x 21 cm
Cetakan Pertama, Mei 2015
Penulis : Fileski, Rasya Swarnasta, dkk
Pemerhati Aksara : Risky Fitria Harini
Tata Letak : Risky Fitria Harini
Desain Cover : Abu Haeri
Facebook : Raditeens Publisher
Website : www.raditeens.com
Twitter : @raditeens_good
Handphone : 087757691882
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku tanpa izin penerbit.
Dicetak Oleh :
CV. Alif Gemilang Pressindo
Isi di luar tanggung jawab percetakan
ii | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah. Terucap syukur yang begitu dalam
kepada Allah SWT, pada akhirnya penggarapan buku ini tuntas
diselesaikan. Buku bertemakan lagu-lagu Fileski (Negeri
Kertas) ini menceritakan tentang pemaknaan yang dalam dari
setiap lirik dan penggambaran utuh nuansa hati tatkala
menikmati setiap baitnya.
Terima kasih kepada semua penulis yang telah
mengapresiasi lagu-lagu Fileski, lagu yang erat dengan jiwa
penciptanya, pelantunnya, semoga semua kisah yang telah kita
ciptakan ini bisa menjadi penyampai pesan dan semangat
kepada pembaca.
Terakhir, semoga Allah selalu memberikan berkah atas
setiap karya-karya kita semua. Menjadikan manfaat untuk
setiap untaian kalimat yang kita tulis, dan melekatkan kesan
pada setiap pembaca.
Terimakasih kepada para penulis, kepada Fileski yang
telah berkenan membagi inspirasi lewat karyanya, dan
utamanya kepada pembaca sekalian.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Penyelenggara Event Kepenulisan,
Raditeens Publisher
Kesatria Kertas di Ujung Langit | iii
iv | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Penulis Tamu
Emosi Jiwa (Gagah Prahadhita) vii
Cinta Yang Mana? (Fileski) xii
Bangkitlah
Selesai Sebelum Berakhir 1
Arti Sebuah Kegagalan 7
Merajut Mimpi 13
Hujan
Terima Kasih Hujan 21
Memeluk Hujan 27
Surya dan Luna 33
Pertanda Lukisan Rama 38
Hujan Pagi Ini 44
Hujan dan Ingatan Nayla 56
Cinta, Aku Harus Bagaimana? 63
Pertemuan 68
Kristal Suci
Inayah 75
Aku yang Kau Tuju
Pada Bangku Kayu Dalam Naungan Senja 83
Rapal Doa Kesebatangkaraan 90
Kesatria Kertas di Ujung Langit | v
Kota Ini
Seorang Gadis, Kota dan Kenangan 99
Senin Yang Berwarna Merah di Antara Hujan 104
Bulan Desember
Lebih dari Cintamu
Save Our Soul 111
Bagaimana Harusnya 116
Sia-sia
Monyet-Monyet Sedang Berpesta 125
Ujung Langit
Kesatria Kertas di Ujung Langit 135
Terang 140
Mimpi, Harapan, Dan Sebuah Cinta 145
Disebut Cinta
Lompatan Sang Pangeran 153
Langkah Pertama
Langkah Pertama 163
Tak Nampak Terasa Nyata 168
Jiwaku Melayang
Untaian Dusta 177
Senandung Di Atas Angin 184
Menjadi Indonesia
Indonesiaku Dijambret 193
vi | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Emosi Jiwa
Gagah Prahadhita
MASA laluku, yang menurutku kelam itu, masih kuingat
betul. Masa ketika aku merasa jatuh dan tersungkur ke jurang
yang paling dalam, dan tak seorang pun yang mampu
menolongku. Hinaan dan cacian senantiasa menghampiriku,
hingga aku sempat putus asa. Melangkah dengan tertatih-tatih
untuk menggapai sebuah harapan.
“Sudahlah! Aku bosan mendengar keluhmu yang tak
pernah engkau mau menghentikannya sendiri,” marahku
dalam hati, ketika asa di dalam dadaku mulai ikut
menyumpahi.
Cacian itu adalah nyanyian yang pernah bersenandung
dalam hidupku. Bukan hanya dari dalam diriku, namun juga
dalam kehidupan nyata yang terlontar dari ribuan mulut
orang-orang di sekitarku.
“Namanya kere, ya tetap saja kere. Kau tak usah muluk-
muluk dengan keinginan dan cita-citamu itu,” ucap Wak Yadi,
pamanku. Waktu itu, kalimat yang terucap dari mulutnya
terdengar sangat menyakitkan. Apalagi ketika itu aku masih
sebagai seorang remaja dengan emosi yang masih labil.
Hampir saja aku membunuhnya, meskipun niat itu
hanya setengah. Aku menilai sikap adik kandung ayahku itu
hanya iri. Hal itu juga membuatku heran, mengapa Wak Yadi
begitu tega denganku, keponakannya sendiri.
Aku pun sempat berpikir jika Wak Yadi tak ingin kalau
aku lebih bernasib bagus daripada anak-anaknya, Danang dan
Danu. Sebab aku tahu, Danang dan Danu orangnya terbilang
pemalas. Parahnya, kedua sepupuku itu juga tamatan SMP, dan
memilih tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Padahal, aku yakin dengan kondisi kemapanan hidup keluarga
pamanku waktu itu masih sanggup untuk membiayai sekolah
anak-anaknya.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | vii
Aku masih ingat betul dengan masa laluku yang lebih
kelam, ketika itu. Bukan hanya kelam, namun sangat pahit
kurasakan. Hal yang tak pernah kuduga dalam hidupku. Wak
Yadi menuduhku telah mencuri kalung emas milik istrinya. Aku
pun membantah tuduhan itu, karena aku merasa tak
melakukannya.
“Bagaimana kau masih bisa mengaku tidak
melakukannya. Lantas, bukti ini apa namanya? Apakah kau
mau aku laporkan ke polisi? Hah!” Hardik Wak Yadi dengan
mata melotot, setelah menggeledah seisi rumahku dan
menemukan kalung emas milik istrinya di dalam tas sekolahku.
Hampir saja aku meledak. Emosiku memuncak. Apalagi
Wak Yadi mengancamku akan melapor ke polisi. Yang
menyedihkan, pamanku itu juga mengundang beberapa warga
tetanggaku untuk datang sebagai saksi atas penggeledahan di
rumahku. Bahkan, ibuku yang sudah menjanda sempat
memohon untukku agar Wak Yadi tidak melaporkan ke polisi.
Waktu itu, kulihat senyum sinis Wak Yadi dan kedua
anaknya seperti menghakimiku. Aku pun menjerit dan
bersumpah kepada ibuku, bahwa aku tidak melakukan
perbuatan yang memang tak pernah aku lakukan.
Seandainya ketika itu ayah masih ada, aku berharap
kondisinya tidak akan seperti itu. Kami diusir dari rumah
peninggalan almarhum ayah. Semudah itu kami dibodohi
dengan kelicikan pamanku, yang kemudian kutahu itu hanya
akal busuk Wak Yadi yang mengambil alih tanah warisan
almarhum ayah.
Jika bukan karena ibu yang selalu menghalangi untuk
tidak melawan Wak Yadi, entahlah, mungkin aku sudah
menghabisi pamanku itu.
Aku dan ibu kemudian tinggal di rumah kakek yang
juga ayah ibuku. Lokasinya masih satu kota kabupaten dengan
tempat tinggalku sebelumnya. Cuma beda kecamatan.
Ironisnya, ibuku yang tinggal di rumahnya sendiri, justru
seperti seorang babu bagi saudara dan ipar-iparnya. Itu terjadi
setelah tiga tahun kakek meninggal. Namun ibu mencoba
bertahan demi aku, anaknya.
Setamat SMA, aku memohon restu ibu untuk
mewujudkan cita-citaku. Doa dan restu ibu mengantarkanku
viii | Antologi Cerpen Negeri Kertas
hingga lulus dari Akademi Kepolisian. Aku mendapatkan
penempatan tugas sebagai perwira pertama di Medan,
Sumatera Utara. Dua tahun kemudian, aku mendapat kabar
bahwa ibu telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Aku sempat izin
terbang ke kampung halaman, dan berdoa di depan pusara
ibuku. Bila kuingat masa itu, betapa sedihnya aku ditinggal
orang yang paling kucintai di dunia ini.
Namun, doa ibu adalah sepanjang masa dalam hidupku.
Doa ibu pula yang selalu mengantarkanku untuk setia
menjalankan tugas negara. Berkat doa ibu pula aku selalu
bangkit dalam keterpurukan masa lalu, sampai kemudian aku
menemukan seorang wanita cantik tambatan hatiku, Reina,
yang kini jadi istri dan ibu dari dua putraku.
Suatu ketika, turun telegram rahasia dari pimpinan,
yang mengabarkan adanya mutasi tugas. Tak kusangka, setelah
hampir dua puluh tahun sebagai perwira polisi dan berpindah-
pindah tugas dari satu tempat ke tempat lain di bumi pertiwi
ini, dan kini aku dengan pangkat ajun komisaris besar polisi,
aku ditugaskan ke kota kelahiranku di Jawa Timur. Tentu saja
aku merasa senang.
Belum genap sebulan aku memangku jabatan sebagai
Kapolres, bawahanku yang bertugas sebagai Kasatnarkoba
melaporkan adanya penangkapan terhadap seorang tersangka
pengedar sabu-sabu. Aku pun mendatangi ruang pemeriksaan
di Satnarkoba. Kulihat seorang laki-laki berperawakan kurus
dengan mengenakan kaos oblong orange dan celana pendek
hitam, duduk dengan wajah menunduk di hadapan anggotaku
yang menginterogasinya.
Sebelum aku bertanya lebih lanjut, kubaca lembaran
hasil interogasi awal terhadap tersangka. Tertera nama Danang
Mulyadi. Aku tersentak demi membaca nama tersangka itu.
Yang hampir membuatku tak percaya, Danang Mulyadi itu
adalah benar-benar orang yang kukira setelah membaca
namanya yang tertera dalam lembaran interogasi itu.
Ya, tersangka itu adalah saudara sepupuku. Ketika
melihatku, Danang pun bersimpuh di kakiku, mohon
pengampunan. Selintas aku jadi teringat almarhumah ibuku,
yang ketika itu bersimpuh di kaki Wak Yadi, memohon
pengampunan untukku karena dituduh mencuri kalung emas.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | ix
Keesokan harinya, aku berkunjung ke rumah Wak Yadi.
Laki-laki itu tampak rapuh di kursi rodanya. Salah seorang
anggota yang menyertaiku lebih dulu mengatakan kepada Wak
Yadi tentang kedatanganku sebagai Kapolres. Namun Wak Yadi
sepertinya tak menyangka kalau Kapolres yang datang ke
rumahnya adalah aku, keponakannya yang pernah diusir dari
rumahnya sendiri, dua puluh lima tahun silam.
Aku miris melihat kondisi pamanku itu. Selain karena
sering sakit-sakitan, kudengar cerita darinya bahwa istrinya
pun sudah lama meninggal. Begitu juga ketika kutanya tentang
Danu, Wak Yadi tiba-tiba menangis. Seorang anggotaku yang
bertugas di Satnarkoba, yang juga ikut menyertaiku, menyela
dan mengatakan bahwa Danu juga sudah meninggal dunia
karena kecanduan sabu-sabu, beberapa tahun silam.
Mendengar semua itu, ada yang terasa berat menyesaki
rongga di dalam dadaku. Namun aku juga harus bisa bersikap
tegas, ketika Wak Yadi memintaku untuk tidak balas dendam
terhadapnya, dan minta membebaskan Danang.
“Wak, ini bukan masalah balas dendam. Namun, hukum
harus ditegakkan. Aku sudah melupakan masa lalu itu.
Almarhumah ibu tidak pernah mengajariku untuk balas
dendam. Tapi, kasus yang menimpa Danang itu adalah
persoalan hukum,” ucapku memberikan pejelasan.
Wak Yadi hanya menundukkan kepala ketika aku
panjang-lebar menjelaskan tentang kasus Danang.
“Masalah ini memang berat, Wak. Tapi hukum tetap
harus ditegakkan. Coba Wak bayangkan, berapa banyak orang
yang jadi korban pemakai narkoba gara-gara Danang sebagai
pengedar sabu-sabu. Jadi, maafkan aku kalau tidak bisa
membantu lebih banyak. Dan, yang Wak harus ingat, bahwa
hukuman terhadap Danang nantinya bukan karena dendam
masa lalu. Sama sekali bukan!” pungkasku.
Setelah menjelaskan semua itu, aku berpamitan kepada
Wak Yadi. Dalam perjalanan kembali ke kantor, kuperintahkan
sopir pribadiku berhenti sejenak, namun aku tidak turun dari
mobil dinas. Dari balik kaca jendela mobil, kulihat halaman
bekas rumah masa laluku, yang kini berubah jadi sebuah
rumah mewah berlantai tiga. Melihat itu, aku tersenyum getir,
x | Antologi Cerpen Negeri Kertas
dan kemudian kuperintahkan sopir melanjutkan perjalanan ke
kantor.
***
Kesatria Kertas di Ujung Langit | xi
Cinta yang Mana?
Fileski
“Aku akan berangkat besok,” ucapnya dalam telepon.
“Apa? Besok? Kau bercanda?”
“Ya, mungkin kabar ini begitu terburu-buru buatmu,
Sayang. Tapi, semua ini adalah tuntutan.”
“Ya, kalau begitu hati-hati ketika di sana. Jangan lupa
telepon aku jika ada waktu senggang,” ucapku lirih. Meski sakit
hati tak bisa diuraikan dalam bentuk kata-kata, aku masih
punya sedikit kekuatan untuk tidak menangis.
Senja telah pulang ke peraduannya, sedang dermaga itu
masih seperti sedia kala. Tak ada orang di sana. Sepi.
Pertanyaan-pertanyaanku seolah ombak yang membentur
karang. Keras namun bisu. Meski bertubi-tubi tanya di dalam
tempurung otak, namun tak ada jawab sedikit pun. Dari situ
aku merasa sedikit gelisah.
Banyak kemungkinan yang kuimajinasikan, meski aku
sudah mempercayai Kelvin sepenuh jiwa. Segala ujian dunia
akan menerjang langkah kita.
***
Udara di Sampit saat itu sangat terik. Bahkan sangat
dirasakan oleh Kelvin, kulitnya berubah gelap hanya dalam
waktu beberapa menit di bawah sinar matahari. Ia sangat rajin
dan semangat bekerja. Tim redaksi koran tempatnya kerja pun
semua terbilang ramah. Hal itu membuatnya betah meski jauh
dari Brina, kekasihnya.
“Sudah makan, Vin?” tanya Mbak Friska, tim editornya.
“Ya, sebentar lagi akan makan. Mbak duluan saja,” ucap
Kelvin sembari membuka ponselnya.
Ada satu pesan masuk. Sebuah pesan dari seseorang
yang tak asing baginya. Semua seolah cepat dan mudah
terjalani, batinnya.
xii | Antologi Cerpen Negeri Kertas
From: Lina
Kelvin, kamu ada si Sampit, kan? Ayo nanti
malam kita jalan.
Bibir lelaki itu tersenyum. Ia rupanya telah terlena oleh
cinta. Bahkan ia tak sadar kalau ia punya Brina di Jawa. Ia
hanya terbuai oleh kecantikan Lina yang bahkan sebenarnya
jauh lebih cantik Brina.
“Oke, nanti malam aku akan jalan sama Lina.
Karenanya, sekarang aku harus telepon Brina biar dia nggak
marah,” gumamnya sembari menimbang segala kemungkinan.
Diambilnya ponsel yang berada di atas meja, dan segera
dihubungi nomor Brina.
“Halo.”
“Ya, Sayang? Bagaimana di sana?”
“Lancar, semua kerjaan selesai sebelum jam empat tadi.
Kurasa aku akan betah di sini.”
“Syukur deh kalau kamu bisa betah di sana. Semoga
kamu bisa tahan kangen sama aku, hehe,” ucap Brina dengan
nada bercanda. Kelvin hanya tertawa dalam hati. Ia
menertawai keadaan dirinya sendiri yang sampai hati
menyakiti Brina berhubungan dengan Lina.
***
Malam telah menyulam bintang dan rembulan di langit
Sampit. Semuanya terasa indah ketika Lina telah siap dengan
tampilan yang cantik di depan sebuah resto. Kelvin berjalan
menghampiri Lina dengan setelan jas yang dipadu-padankan
dengan celana jeans selaras.
“Sudah lama menunggu?”
“Lumayan,” ucap Lina yang kemudian diajak Kelvin
untuk masuk ke dalam resto.
Beberapa pelayan reso menghampiri tempat duduk
mereka sembari membawa daftar menu. Kelvin membaca
daftar menu yang harganya hampir tiga kali lipat harga
makanan di pulau Jawa. Ia sempat terbelalak tak percaya, satu
porsi nasi goreng bisa dipatok ratusan ribu rupiah.
“Resto ini keren,” ucap Kelvin lirih.
“Apa?” tanya Lina.
“Emm... nothing.”
Kesatria Kertas di Ujung Langit | xiii
Setelah memilih menu yang cocok dengan lidahnya,
Kelvin mengembalikan daftar menu itu kepada pelayan resto.
Si pelayan pun segera meninggalkan mereka berdua.
“Vin!”
“Hem?” Kelvin hanya berdehem.
“Apa kau mencintaiku?”
“A-apa?”
“Aku bertanya, apakah kau mencintainku?”
“Tentu,” ucap Kelvin sembari menenggak segelas
anggur.
“Dulu aku menyimpan banyak keraguan di dalam
hatiku mengenai dirimu. Kamu, lelaki yang baru kukenal
setahun yang lalu. Ya, ketika kau pertama kali kerja di redaksi
di sini, aku mulai memperhatikanmu. Hatiku mulai menaruh
perasaan padamu. Meski jarak kita jauh, tapi aku yakin aku
sudah tepat menempatkan pilihanku.”
“Ya, kau mungkin beranggapan begitu, Lin. Tapi aku
mencintainya lebih dari cintamu, namun tak pernah bisa ku
berpaling darimu. Itu sebabnya aku memilih untuk menjalani
kedua hubungan ini. Entah sampai kapan. Sampai waktu yang
belum ditentukan.
“Vin? Kamu melamun?”
“Eh, tidak. Maaf, mungkin aku lelah.”
“Ckck, sampai makanan datang pun kamu tak
menyadarinya. Baiklah, sebaiknya kamu makan dulu. Mungkin
kamu kecapekan seharian kerja.”
Kevin mulai memegang sendok dan garpunya dengan
ragu-ragu. Ia mulai sulit menelan makanannya karena
pikirannya telah terpancang pada satu nama, Brina.
Ia merasa bersalah pada gadisnya itu. Brina yang tak
salah apa-apa menjadi korban pelampiasan hasratnya. Ia
merasa sangat bersalah dan penyesalan selalu datang di akhir.
“Kurasa aku selesai makannya. Aku mau balik ke
kontrakan. Nanti kamu pulang naik taksi, ya? Bisa, kan?”
“Lho? Kelvin, kenapa harus buru-buru gitu sih.
Sekarang masih pukul sepuluh.”
“Sekali lagi aku minta maaf, Lina. Kurasa kepalaku
sedikit pusing, aku harus istirahat sejenak. Setidaknya bisa
mengurangi rasa sakit ini.”
xiv | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Kalau begitu, baiklah. Kamu cepat sembuh, ya. Telepon
aku setibanya di kontrakan.”
“Oke.”
Kelvin keluar restoran namun tidak bermaksud balik
ke kontrakannya, ia justru pergi ke sebuah taman. Di sana ia
menjernihkan otaknya. Ia tak ingin semuanya berakhir dan
berantakan. Semua cintanya telah berbumbu khianat.
“Brina....”
***
Kesatria Kertas di Ujung Langit | xv
xvi | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Bangkitlah
Selesai Sebelum Berakhir
Hudy Majnun
Sangat jelas terlihat, awan-awan hitam berbondong-
bondong ke arah utara. Bulan sesekali hilang ditelan awan
gelap. Malam itu, gerimis mulai berjatuhan. Ragu rasanya
melangkahkan kaki, menuruti keinginan hati. Takut kalau pada
akhirnya harus terguyur hujan, cuaca yang dingin akan
semakin dingin jika terguyur hujan. Namun, Lufi dan Eri
meyakinkannya untuk berangkat, menonton pertunjukan.
“Angin cukup kencang, tak mungkin turun hujan,” ucap
Eri.
“Bintang-bintang mulai terlihat dan semut-semut juga
tak terlihat berkeliaran,” Lufi menambahkan keyakinannya.
Mereka bertiga berangkat menonton pertunjukan itu.
Sesampainya di lokasi, ternyata acara sudah
berlangsung. Sesi pertama tinggal menit-menit terahir. Kubu
kuning menang tipis. Pertunjukan masih berlangsung seru,
sorak penonton membuat pertunjukan semakin panas. Ada
yang menyoraki dengan provokasi, “Pukul yang keras. Kenakan
kepalanya.”
Ada juga penonton yang memaki, “Pemain goblok!
Keluar saja kau!”
Sesekali ia memperhatikan sekeliling. Wajah-wajah itu
memang tak asing, hanya saja ia tak mengenali mereka
semuanya. Mereka adalah orang-orang di kampung Soir,
mereka sangat antusias menonton pertunjukan itu.
Pengadil pertunjukan itu adalah teman akrabnya waktu
SMP, ia anak pak Kades. Sebut saja si Nades, Anak Kades.
Nades sangat jeli memimpin pertunjukan, tidak ada
pelanggaran yang tidak dia temukan. Sekecil apapun
pelanggaran yang dilakukan, pasti Nades mengetahuinya. Lalu
dia menghentikan pertunjukan sejenak untuk memperingati si
pelanggar. Dia hanya mengingatkan, bukan menghakimi dan si
pelanggar hanya akan mendapat teguran bukan hukuman.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 1
Karena ini memang sebuah permaianan, bukan seperti
permainan pemerintahan. Kalau di pemerintahan, yang
melanggar akan dihukum dan pengadil yang menentukan
hukuman. Dalam permainan ini, pemain tidak bisa menyogok
pengadil, mungkin kalau di pemerintahan pengadil masih bisa
menjual keadilannya.
Si Nades memang sangat menguasai pertunjukan ini.
Dulu waktu SMP dia merupakan pemain andalan sekolah, jika
ada kejuaraan seperti itu. Meskipun dia sangat ahli, sekolahnya
tidak pernah lolos untuk pertunjukan selanjutnya. Itu pasti
karena patnernya yang lain tak se-ahli dia. Ya, teman Soir itu
memang ahli, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa kalau tak ada
teman-teman yang tidak ahli lainnya. Dulu dia sempat
mengajari Soir melakukan pertunjukan seperti itu, tapi ia tak
berminat untuk melakukannya. Soir lebih suka melihat saja,
sebagai penonton. Tanpa resiko mendapat cacian dari
penonton.
Sebagai penonton yang baik, ia tidak mengikuti
penonton lain yang bersorak dengan cacian atau pujian itu.
Sesekali ia hanya bertukar komentar dengan kedua temannya.
Sok pintar mengomentari jalannya pertunjukan, tapi paling
tidak mereka tidak menggunakan komentar-komentar yang
bersifat buruk. Soir sempat dipelototi penonton yang bersorak
dengan cacian. Orang itu melototinya karena Soir melototinya
lebih dulu. Orang itu pikir pandangannya seperti sebuah
tantangan, padahal ia hanya keheranan melihat tingkahnya
seperti itu. Maklum saja, mungkin penonton itu sedang emosi
karena pertunjukan itu tak sesuai keinginannya. Soir mengalah,
tak lagi meladeni pelototannya. Pandangannya dialihkan ke
penonton yang lain, yang tidak tahu kalau ia sedang
memperhatikannya.
Soir tak lagi fokus melihat pertunjukan, karena baginya
perilaku penonton yang demikian lebih seru dibandingkan
dengan pentunjukan di lapangan. Pandangannya terhenti di
dekat stand komentator pertunjukan. Di sana ada seorang
wanita yang sedang memperhatikannya. Wajah wanita itu
sepertinya tidak asing. Lama Soir bertukar pandang dari
kejauhan dengan lampu yang sedikit remang. Sedikit demi
2 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
sedikit ia mulai mengingat wanita itu. Ya, wanita itu pernah
hidup di masa lalunya.
Soir sekarang ingat, yang paling jelas adalah
tatapannya. Ia adalah kekasihnya dulu. Tatapannya masih sama
persis ketika dulu Soir sering menggodanya. Tatapan yang
sedikit nakal. Aku yakin, tak hanya Soir yang tertarik ketika
mendapatkan tatapan itu.
Pertunjukan pertama usai, semua pemain pertunjukan
bersalaman, setelah lebih dari 1 jam saling serang. Teman Soir
yang jadi pengadil digantikan orang lain yang sama sekali tak
dikenal. Aku sedikit ragu dengan kemampuan pengadil asing
ini. Penampilan dan dandanannya pun tidak seperti teman Soir
tadi. Tapi yasudahlah, itu tak berpengaruh apa-apa bagi Soir.
Semua pemain pertunjukan inti mulai masuk lapangan. Soir
heran ketika temannya yang jadi pengadil tadi juga ikut
menjadi pemain pertunjukan. Memang sia-sia jika
kemampuannya hanya digunakan untuk jadi pengadil saja.
Kemampuannya tidak sebagus dulu, sekarang dia sudah
lumayan tua, tenaganya sedikit berkurang. Tak sekuat dulu,
perutnya pun tak se-seksi dulu. Dia sekarang seperti wanita
hamil 4 bulanan, perutnya buncit. Mungkin akibat makan enak
terus, jadi dia lupa diet.
Pertunjakan inti dimulai. Pikiran soir masih dihantui
wanita masa lalu yang kini sesekali memperhatikannya.
Daripada penasaran dengan nasibnya sekarang, lebih baik aku
tidak menghampirinya, aku menanyakan ke Lufi saja, perasaan
Soir menggugah.
“Itu si Ila ya?”
“Yang mana?”
“Itu, di dekat stand komentator,”
“Owh, iya. Itu suaminya lagi main.”
“Hah??”
Lufi menunjuk lurus si Nades. Soir tiba-tiba seperti
terkena sengatan listrik, seperti ada sesuatu yang membuat
badannya langsung memanas. Mungkin ia sedikit cemburu,
atau tidak terima, mungkin karena lelaki itu tak pantas
untuknya, atau wanita itu tak pantas untuknya. Lufi mungkin
bercanda, karena dia sedikit mengerti dengan masa lalu Soir
dan Ila.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 3
Soir dan Ila adalah sepasang kekasih kontroversi,
dulunya. Soir pernah dihakimi ayah Ila, karena ada orang yang
memberitahu kepada ayahnya tentang hubungan mereka.
“Kalian masih kecil, jadi tolong jangan main pacar-pacaran
dulu,” begitu kata ayah Ila. Ayahnya baik, meskipun Soir
bersalah telah mencuri hati anaknya ia tidak marah, tepatnya
ia memberi nasihat. Soir dihakimi ketika ada pengajian
bersama ayahnya, disitu ia disaksikan teman-temannya.
Seandainya si Nades mengerti tentang masa lalu wanita
itu, mungkin ia akan berpikir lagi untuk menikahinya. Apalagi
mengerti kalau ia adalah kekasih Soir, dulunya. Tapi, mungkin
Nades dan Ila sekarang sedang dibuai asmara, hingga muncul
perjanjian antara mereka untuk tidak pernah mengungkit masa
lalu.
Kupikir Nades juga memiliki masa lalu yang tak begitu
baik juga. Tidak hanya dia, kita semua pasti pernah memiliki
masa lalu yang buruk bukan. Tapi, bukan berarti kita harus
mengulanginya. Kalau kita mengulanginya, berarti kita selalu
jatuh di lubang yang sama. Masih banyak lubang di dunia ini,
kau bisa memilihnya sesuka hati sebagai tempat terjatuh. Cinta
memang bisa membutakan semuanya, logika pun bisa lumpuh
kalau cinta sudah dirasa. Semoga itu salah.
Pertunjukan itu berakhir dengan mengecewakan,
lampu mati sebelum pertandingan selesai. Pemenangnya entah
yang mana, kupikir masih seri. Karena sebelum lampu mati
masih berjalan babak kedua, dan mata Ila masih liar. Lampu
mati, tatapan itu pun hilang ditelan kerumunan. Suara keluhan
pononton terdengar seperti suara balapan motor, saling suang
suing. Mereka sama kecewanya dengan Soir.
“Panitianya payah, nggak niat!” suara dari penonton
yang ditelan gelap. Entah pada siapa mereka mengucapkan itu,
yang jelas kepada panitia penyelenggara bukan pada penjual
kacang atau penjual yang menumpang rejeki.
Wanita itu hilang begitu saja, mungkin ia sedang
bersama si Nades, berpelukan dalam gelap, karena wanita itu
takut gelap, Soir sangat mengerti itu. Sebab, dulu Soir dan
wanita itu pernah berada dalam gelap dan ia memeluk erat
tubuh Soir.
4 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Aku takut gelap,” kata wanita itu. Soir membalas
pelukan itu, semakin lama semakin erat, lama-lama pelukan itu
bukan saja pelukan ketakutan, tapi pelukan penuh hasrat. Aku
tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, yang jelas mereka bebas
melakukan apapun di tempat yang hanya ada mereka berdua.
Dalam sekejap tempat itu menjadi sepi, tidak ada lagi
sorakan ataupun cacian dari penonton. Hanya tersisa nyala
lampu dari penjual kacang dan penjual kopi yang berharap
lampu menyala lagi, agar rupiah bisa mereka kumpulkan.
Namun sayang, penonton sudah tidak ada lagi, mereka pun
berkemas dengan kekecawaan yang lebih mendalam daripada
para penonton.
Penjual itu bukan mengaharapkan suatu hiburan,
melainkan mengharap rupiah dari hiburan itu. Dengan muka
yang sedikit murung penjual itu pergi, tanpa keluhan dari
mulut mereka. Tapi keluhan itu benar-benar terlihat jelas di
wajah mereka, wajah mereka bisa berbicara. Mungkin seperti
ini, “Rupiahku lenyap ditelan gelap.”
Pertunjukan tidak berujung, semuanya selesai tanpa
tahu bagaimana akhirnya. Itu seperti cerita yang mengambang.
Berakhir sebelum titik akhir, selesai sebelum usai. Sama
seperti tatapan mata wanita itu, hilang sebelum kumengerti
arti tatapannya. Memang tatapan itu sudah pernah Soir
rasakan, itu sudah lama sekali. Dan hubungan Soir dengan
wanita itu belum sepenuhnya berakhir. Mereka tidak pernah
mengakhiri hubungan mereka secara resmi. Mereka hanya
hidup masing-masing dan di tempat masing-masing. Soir
memang tidak mengharapkan wanita itu lagi, tapi bagaimana
dengan kesepakatan yang pernah mereka buat dulu? Siapakah
yang saat ini mengingkari?
Tapi, kupikir wanita itu sudah lupa dengan
kesepakatan mereka dulu. Itu memang sudah terjadi sekitar 5
tahun yang lalu. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi di antara
mereka. Mungkin saja wanita itu bosan menunggu Soir, hingga
dia menerima lelaki lain. Atau Soir sendiri sudah tidak peduli
dengan wanita itu, hingga dia merelakan wanita itu untuk
orang lain. Sekarang semuanya sudah terjadi, wanita itu telah
menjadi milik temannya sendiri. Jadi, sisa rasa yang mereka
miliki tidak perlu dihiraukan lagi.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 5
Sekarang wanita itu sudah banyak berubah,
dandanannya pun sudah seperti wanita dewasa, tepatnya
seperti ibu rumah tangga. Soir memang sedikit pangling
dengan wajahnya, tapi tidak dengan tatapannya. Tatapan tajam
dan liar. Soir pergi keluar kota seminggu setelah ia dihakimi
oleh ayahnya, dan mulai saat itu Soir tidak pernah bertemu lagi
dengannya. Dan waktu itu belum ada kesepakatan antara Soir
dan Ila untuk mengakhiri hubungan mereka. Jadi mereka
berpisah begitu saja dan kupikir hubungan mereka tetap
menjadi sepasang kekasih, karena belum ada kesepakatan
untuk mengakhiri. Tapi, kini kekasih itu telah menjadi istri
orang lain. Mau tidak mau Soir harus menerima kenyataan itu.
Kekasihnya adalah istri temannya. Hubungan suami istri lebih
kuat dari pada hubungan Soir dan wanita itu.
Pernikahan itu dilindungi hukum dan agama, jadi tak
bisa diakhiri begitu saja. Berbeda dengan hubungan cinta
monyet yang dialami Soir, mereka hanya terikat oleh rasa dan
perjanjian biasa. Itu dapat berakhir dan diakhiri kapan saja dia
mau.
Tapi kau tahu, Tuhan dan hamba tidak pernah
mempunyai hubungan formal seperti suami istri. Tetapi
seorang hamba yang sangat cinta kepada Tuhannya tidak bisa
dipisahkan oleh apapun. Itu memang sangat berbeda, Tuhan
bukan manusia, dan manusia bukan Tuhan. Tapi ada kata-kata
seperti ini, Tuhan ada di mana-mana. Mungkin saja di dalam
tubuh Soir atau Ila, atau di dalam dirimu. Itu hanya
perkiraanku saja, dan ini belum tentu benar.
Soir dan 2 temanya pulang sebelum pertunjukan belum
benar-benar berakhir. Pikiran tentang wanita itu seperti hantu
penasaran. Dalam perjalanan pulang awan hitam sudah tidak
terlihat lagi, bulan sudah muncul dengan sempurna, tanpa
dihantui awan-awan. Berikut nasib wanita dan hubungan itu,
sudah bukan menjadi rahasia lagi. Kini nasibnya sudah pasti
dengan lelaki itu, dan kupikir nasib hubungan cinta monyet
Soir sudah jelas. Berakhir.
“Selamat kekasih lamaku,” dalam hati Soir.
6 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Arti Sebuah Kegagalan
Vena Annisya Ramadhani
Suasana begitu hening walaupun banyak orang yang
sedang duduk di sini. Tak terdengar sedikitpun ocehan yang
biasanya mereka lontarkan satu sama lain, semuanya berusaha
untuk diam agar tak melewatkan satu patah kata yang
dikatakan oleh juri perlombaan. Dan lagi-lagi Vera duduk
terdiam dengan perasaan yang sama perasaan gugup di mana
jantung ini berdetak sangat cepat. Vera tak dapat bernafas
dengan lega, ingin rasanya Vera memaksa juri lomba itu untuk
berbicara dengan cepat dan langsung mengatakan siapa
sebenarnya pemenang lomba ini.
“Setelah membaca dan menilai tiap-tiap naskah,
akhirnya kami memutuskan bahwa pemenang-pemenang
lomba menulis cerpen dalam rangka hari pahlawan nasioal ini
adalah…” Vera masihharap-harap cemas. “Juara ke tiga diraih
oleh Martalia Hernata!”
“Juara ke dua diraih oleh Juna Mahendra dan juara
pertama diraih oleh Alissya Silfa! Untuk para pemenang
silahkan naik ke atas panggung!” kata juri tersebut.
Mendengar pengumuman juri itum kini Vera malah
tidak dapat bernafas dengan lega, ia merasa sangat kecewa
karena akhirnya ia gagal lagi memenangkan lomba. Para
peserta yang lain membubarkan diri dan meninggalkan aula
perlombaan, tapi Vera terhenti ia tak mampu berjalan. Dengan
langkah berat, ia berusaha tersenyum dan menahan air mata
yang akan jatuh dari matanya.
“Jangan cengeng! Sudah, tidak apa-apa, tidak masalah.
Jangan menangis!” Semua kata-kata itu terus terulang dalam
hatinya ia berharap kalimat itu dapat membuatnya ikhlas
dengan semua ini dan tersenyum, ia terus berusaha
memikirkan hal-hal lucu untuk menghibur hatinya tapi itu
percuma, hatinya terlalu sakit serasa jatuh tenggelam di jurang
yang dalam.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 7
“Assalammu’alaikum,” Vera memasuki rumahnya.
“Wa’alaikumussalam, gimana lombanya?” tanya ibu.
Namun melihat ekspresi Vera yang tertunduk dan lesu itu
memberi isyarat pada ibu Vera bahwa kali ini anaknya gagal
lagi. Vera memasuki kamarnya tanpa menjawab pertanyaan
ibu, ia menutup rapat pintu kamarnya agar tiada siapapun yang
mendengar tangisannya yang tersedu-sedu.
“Kapankah nama Vera akan dipanggil sebagai
pemenang?” tanyanya dalam hati. “Kenapa begitu sulit
mendapatkan sebuah trophy dan selembar piagam yang
selama ini kuimpikan?” Ia kembali bertanya pada dirinya
sendiri, semua pertanyaan itu membuat Vera kembali bersedih.
Ia tahu kalau seharusnya ia sadar bahwa dirinya harus
melupakan impiannya untuk menjadi pemenang.
Tiba-tiba ibu masuk membawakannya segelas air putih,
ibu mendekati Vera yang duduk di tempat tidurnya, perlahan ia
mengelus rambut dan pundak Vera untuk menenangkan anak
pertamanya ini. Ibu segera berbicara untuk menenangkan
Vera.
“Sudahlah Nak, tidak ada gunanya kamu menangis.
Tidak apa-apa, anggap saja itu pengalaman. Sabar, Tuhan tidak
tidur, pasti ada suatu saat dimana aku jadi pemenangnya.
Sudahlah Bu, aku sudah tahu Ibu akan mengatakan hal itu lagi.
Aku tahu semua itu, percuma Ibu bilang seperti itu!” Sahut
Vera memotong kata-kata ibu.
“Kamu itu seharusnya bersyukur, jangan menangisi
kegagalanmu! Ingatlah kisah Thomas Alva Edison, kamu
bahkan belum pernah gagal sebanyak dirinya,” jawab ibu
berharap kata-katanya dapat memotivasi Vera lagi. Ibu
meninggalkan Vera yang terdiam di kamarnya, dan menutup
pintu.
“Ya Tuhan, kenapa Engkau tidak mengizinkan anakku
menggapai impiannya? Aku mohon biarkanlah ia menggapai
impiannya,” doa ibu Vera yang ikut menangis pilu melihat
kesedihan anaknya.
“Ibu tak pernah memaksamu untuk jadi pemenang,
Nak. Ibu hanya berharap kamu dapat berbahagia ikut
berpartisipasi dalam perlombaan,” batin ibu.
8 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Pagi yang ramai dan bising seperti biasa, banyak teman
Vera yang berlalu lalang bertanya kesana kemari mencari
jawaban PR yang diberikan guru matematika tiga hari yang
lalu. Bel masuk berbunyi yang mengakhiri kegiatan contek
menyontek mereka. Menanti guru datang memberi pelajaran.
“Vera, kamu kenapa dari tadi diam saja? Kamu harus
semangat! Kemarin itu cuman hari buruk, bukan hidup yang
buruk, ayo senyum,” pinta Lulu sahabat Vera. Mendengar itu
Vera hanya tersenyum sinis.
“Juna Mahendra, namanya selalu terngiang sebagai
pemenang lomba. Tuhan itu adil ya, Lulu? Ke mana jawaban
doa-doaku?” tanya Vera lemas.
Mendengar hal itu Lulu terdiam karena ia tidak tahu
harus berkata apa untuk menjawab pertanyaan Vera.
Sementara Vera kembali bersikap dingin, ia merasa tidak
memiliki harapan lagi ataupun untuk berharap lagi. Ia sudah
lelah selalu kalah dalam mengikuti lomba.
Saat teman-teman Vera saling bersenda gurau dan
cekikikan, Vera hanya diam. Ia yang biasanya ceria dan
humoris, sama sekali tidak geli mendengar candaan mereka. Ia
merasa tak semangat hari itu, suara langkah kaki perlahan
terdengar dari luar kelas semua orang terdiam ketika melihat
guru matematika itu memasuki kelas.
“Ada yang bisa mengerjakan soal-soal ini?” tanya guru
itu setelah menulis beberapa soal matematika di papan tulis.
“Vera, kamu tidak maju? Bukannya soal itu keahlianmu
kan?” tanya Lulu.
“Tidak ah Lulu, tidak ada gunanya. Aku tidak
bersemangat hari ini,” jawab Vera. Sebenarnya Lulu cukup
merasa greget melihat tingkah laku Vera, ia ingin sekali
membuat temannya yang periang ini ceria lagi. Ia tahu bahwa
kegagalannya dalam lomba kemarin amat menyakiti hati Vera.
“Padahal Vera sudah semangat dan antusias sekali saat
hendak mengikuti lomba itu. Pasti Vera merasa kecewa, huft…”
pikir Lulu menghela nafas melihat Vera.
Vera masih saja lemas hari itu, karena itu Lulu pergi ke
kantin sendirian sepanjang perjalanan di koridor sekolah. Lulu
melihat sebuah pengumuman lomba di mading. Segera Lulu
pergi menghampiri Vera, namun percuma.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 9
“Aku tidak mau kecewa lagi Lu, aku tidak ikut,” jawaban
Vera membuat Lulu semakin prihatin dengan Vera.
“Biasanya dia tidak pernah merasa sedih selama ini?
bagaimana caranya menghibur anak ini?” gumam Lulu.
Waktu berlalu, setiap pelajaran sekolah berakhir
biasanya Vera akan meminta dijemput di sekolah. Tapi hari ini
ia memutuskan untuk jalan kaki, ia tidak mau merepotkan dan
menyusahkan ibunya. Vera tahu ia bersikap keterlaluan kalau
terus dingin pada orang-orang terdekatnya.
Dalam perjalanan ia melihat seorang pria buta sedang
meminta-minta. Ia mendekati pria itu untuk memberikan uang
sakunya masih utuh. Ia menyadari kalau pernyataan ibu benar,
ia seharusnya bersyukur. Ia merasa bersalah karena
menganggap Tuhan itu tidak adil, setelah melihat keadaan pria
itu, Vera tahu dirinya lebih beruntung dan tidak berhak
menganggap kalau Tuhan itu tidak adil. Vera pulang dan
membuka sebuah buku pelajaran yang dipinjamnya kemarin, ia
ingin belajar lebih giat lagi. Ia membaca lembar demi lembar
hingga sampai pada akhir bab pelajaran itu, di situ tertulis
sebuah kata-kata.
Jika aku masih berusaha dan tidak
menyerah, aku tidak dapat dikatakan
gagal! Semangat Juna!
Juna Mahendra
Vera terkejut melihat tulisan di buku itu. Kata-kata
yang ditulis Juna sungguh menyentuh benak Vera yang selama
ini sudah putus harapan dan menyerah. Ia sadar kalau selama
ini dia tidak gagal, ia semakin yakin bahwa dirinya harus
bangkit menjadi orang yang sukses dan membahagiakan
orang-orang tercintanya.
Esok paginya, Vera bangun dengan semangat segera ia
pergi kesekolah dan menuju mading tempat pengumuman
lomba. Vera mengeluarkan buku kecil di tasnya untuk
mencatat informasi penting lomba itu. Tiba-tiba saja Juna
berdiri di samping Vera yang juga melihat lomba itu.
Pandangan Vera yang sebelumnya iri pada Juna menjadi kagum
karena kata-kata yang tertulis di buku pelajarannya.
10 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Kamu mau ikut juga?” tanya Vera.
“Kamu juga ya? Yakin mau ikut? Nanti kalah lagi, dan
lemas seharian seperti kemarin.” Juna berbalik nanya, ia
meninggalkan Vera yang masih terdiam memikirkan jawaban
dari pertanyaan Juna.
“Kalau aku gagal lagi, apa aku bisa bangkit ya? Apa aku
sanggup menerima kekalahan lagi, huft…” batin Vera.
“Hai Lulu! Tadi aku lihat ada lomba puisi juga, kamu
ikut kan?” kata Vera ketika melihat Lulu tiba di kelas.
“Iya, kita kan harus bangkit! Ingat?” jawab Lulu senang
melihat Vera ceria lagi.
“Bangkit? Aku tidak bisa dicap gagal jika aku tidak
menyerah. Aku yakin bisa! Aku harus semangat! Aku mau
membahagiakan mereka, aku yakin pasti suatu saat semua
mimpiku akan tercapai. Aku akan ikut lomba. Aku harus
buktikan pada semua orang kalau aku bisa.” tekad Vera.
“Ibu, ada lomba menulis cerpen di sekolah Vera,” cerita
Vera.
“Kamu mau ikut kan? Itu bagus! Semangat ya! Ibu
dukung kamu. Ibu senang kamu bisa bangkit lagi,” kata ibu,
“Tapi waktunya cuman dua minggu,” keluh Vera.
“Pasti bisa! Kalau sudah niat dan doa pasti ada
kemudahan,” saran Ibu. Hal itu membuat Vera semakin
bertekad untuk berhasil dan menang kali ini. Segera ia
menghidupkan laptopnya dan mulai menulis naskah cerita. Ia
juga menulis beberapa outline jalan ceritanya agar tak keluar
dari tema.
“Juna kamu ikut lomba cerpen juga?” tanya Lulu
memastikan.
“Kenapa? Vera juga ikut? Kamu sudah ingatkan Vera
kalau dia harus mempersiapkan diri kalau dia kalah lagi,”
jawab Juna.
“Kamu tidak perlu berkata seperti itu, aku yakin Vera
itu kuat,” jawab Lulu dengan nada tinggi. Mendengar itu Juna
terdiam dan kembali ke tempat duduknya. Vera yang melihat
semua itu semakin bertekad untuk bangkit.
Ia sering memikirkan ide-ide segar, memikirkan jalan
cerita cerpennya. Sebenarnya ia cukup resah karena masa
tenggang waktu lomba hanya dua minggu, sementara panjang
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 11
cerita harus 15-25 halaman. Berhari-hari ia mengetik naskah
untuk mengejar deadline lomba, selama berhari-hari ini cukup
sulit baginya. Mulai dari laptopnya yang tiba-tiba mati karena
kehabisan baterai dan membuat Vera harus mengetik ulang,
tugas sekolah yang menumpuk. Apalagi banyak ulangan karena
mereka hampir mendekati akhir semester. Semua itu sangat
melelahkan baginya, ia bahkan sering tidur malam untuk
belajar dan mengetik naskah.
“Ya Tuhan, hamba mohon permudahkanlah jalan
hamba,” doa Vera setiap kali ia hendak mengetik naskahnya.
Hingga tibalah hari yang telah ditentukan, hari
pengumpulan naskah. Banyak sekali murid-murid sekolah lain
yang membawa naskahnya sedang mengantri dan berbincang,
termasuk teman sekelasnya, Juna. Tibalah giliran Vera
memberikan naskahnya. Ia menutup matanya beberapa saat,
terlihat ia sedang berdoa lalu mengumpulkan naskahnya pada
panitia.
“Vera, tadi aku lihat kamu berdoa. Memang doamu
apa?” tanya Lulu penasaran.
“Aku berdoa, ya Tuhan jika aku kalah lagi maka
kuatkanlah aku dan jangan biarkan diriku menangis,” jawab
Vera. Lulu terkejut mendengarnya, ia pikir Vera berdoa agar
lomba kali ini dapat dimenangkannya, namun ternyata bukan
itu. Lulu yakin pasti Tuhan sedang melihat Vera dan
menyiapkan waktu yang tepat di mana nanti Vera yang akan
jadi pemenangnya.
“Sekarang aku tahu, hidup ini bagaikan roda yang terus
berputar. Mungkin saat ini aku sedang berada di bawah, aku
jatuh dan gagal, namun bukan berarti aku akan semakin
tenggelam dan terpuruk. Aku harus tetap bangkit dan
semangat karena jalanku masih panjang, bahagia pasti
menantiku dan dalam jatuhku selalu ada doa pada Tuhan yang
senantiasa mengiringi hidupku dalam semangat dan
bangkitku,” kata Vera pada Lulu di sebuah bangku taman di
bawah pohon rindang yang menyejukkan lagi menenangkan
jiwa dan raga.
12 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Merajut Mimpi
Vie Zebex/ Putri Hevi Mayang Wulan
“Tok, tok, tok,” jantungku berdebar, diakah itu? Oh
Tuhan, dia kembali malam ini. Kutatap sosok tinggi tegap
berdiri di ambang pintu, jaket kulit hitam menambah keseksian
tubuhnya. Tapi, sorot mata itu tetap seperti kemarin, hampa.
“Peluk aku,” lirihnya. Aku tercekat. Tidak, tidak untuk
saat ini.
“Lusi…” Serak dia memanggilku.
Aku terpejam, kuharap dia tidak pergi lagi, tapi aku tak
menginginkannya seperti itu. Kudengar suara langkah kaki
menyeret ke arahku, pelan tapi pasti, semakin mendekat.
Nafasku sesak, dia mendekapku erat. Detak jantungnya
berdegup kencang, dengan hembusan nafas bergemuruh,
berucap sedikit tertekan.
“Maaf Sayang, aku harus pergi sekarang, kau tahu aku
ada bisnis besar malam ini.”
Berlahan aku membuka mata, kudapati wajah tirusnya
menatapku sendu. Aku mengangguk lemah, kurasakan kecupan
hangat di keningku.
“Aku selalu menunggumu, Zen.”
***
Gerimis, mengingatkanku akan kepergian Zen tadi
malam. Belakangan ini, banyak perubahan pada sikap Zen,
tatapannya hampa, tak ada cinta dan rindu bersemayam di
sorot matanya, tak ada pujian bahkan gairah meredah, jelas
terlihat berbeda.
“Lusi, apa kabar, Zen? Akhir-akhir, kau jarang
berkencan dengannya, kenapa?”
“Biasa Mih, dia lagi sibuk banyak kerjaan yang harus
dia selesaikan,” jawabku menutupi, yang sebenarnya aku juga
tidak tahu apa sebabnya.
“Ah, tampangmu tidak bisa dibohongi, hati-hati Lus,
cowok ganteng dan kaya seperti Zen banyak ular yang
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 13
memikat, hihihi…” Mamih terkekeh, tapi justru membuat aku
takut. Ada benarnya, siapa aku ini sebenarnya yang harus Zen
pertahankan, harusnya aku di ‘campakkan’ itu lebih tepatnya.
Siapapun yang mengenalku, pasti akan mencibirku
sepanjang hidup. Ah, sudahlah aku tak mau kembali terpuruk
memikirkan masa lalu.
“Mamih, kalau aku tidak bertemu dia lima tahun yang
lalu, mungkin aku masih seperti teman-temanku saat ini,
mengais rezeki dengan jalan yang salah dan terjerat di
dalamnya.” Mamih terdiam, tawa jahilnya seketika lenyap di
bibir merahnya yang cerewet.
“Lusi, kau memang beruntung. Mamih ikut senang
dengan kebahagiaan yang kau dapat dari Zen. Semua orang
punya jalan hidupnya masing-masing yang ia pilih.” Mamih
melanjutkan, “Tapi, kau juga harus waspada Lusi, di mana
tempat tinggalmu sekarang? Ini ibu kota, jangan mudah
percaya dengan siapapun, apalagi Zen masih menunda untuk
melamarmu.” Kali ini, ucapan Mamih begitu tegas, tak sering
kudengar Mamih seserius ini.
“Aku yakin Zen tak akan meninggalkanku.” Kataku
percaya diri, aku nggak mau Mamih masih menaruh curiga
padaku tentang perubahan Zen. Setidaknya itu harapanku.
“Yah sudah, nanti Mamih cari yang lain sajalah, yang
lebih montok, hehe.” Mamih kembali menggodaku. Tiba-tiba
dia ingat sesuatu yang wajib diberitahunya padaku.
“Lusi, sekarang Mamih banyak dapat bonus. Itu, Mamih
dapat anak luar, kulitnya putih bersih, mulus, bermata indah
dan, yang pasti menarik banyak para pejabat dan bos-bos kaya,
Kau? Lewaaat.. Hihi, istimewa.” Dengan gaya Cerrybell, Mamy
menari bahagia. Mendapatkan ayam luar seperti mendapat
durian runtuh.
“Itu masa laluku!” Cetusku bengis!
***
Duhai malam,
Bintangmu berkelip indah,
Seperti malam itu
Di mana aku terpesona akan
Pandangan pertama,
Sedikit aneh tapi menorehkan Cinta…
14 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Ah, kenangan itu, awal pertemuanku yang aneh, tapi
karenanyalah, kehidupanku mengharuskanku untuk berubah.
Mengubah status burukku berprofesi sebagai Wanita Hotel,
kegiatan yang menyedihkan memang. Lima tahun yang lalu
begitu banyak kenangan bersamanya, hampir setiap waktu
kami lalui bersama, tak ada kata terpisah di antara kami.
“Lusi kan?”
“Iya, nama tak penting untukmu,”
“Oh, tentu tapi melihatmu saat ini, sangat disayangkan.”
“Apa maksudmu ?” alisku bertaut, apa maksud pria ini?
“Kau tak pantas di sini.”
“Apa maksudmu?” tanyaku semakin jengkel.
“Santai, panggil saja aku Zen dan ini kartu namaku.”
“Untuk apa?” aku semakin dibuat tak mengerti. Zen tak
menjawab, bersilang tangan menjauh dariku, kemudian berdiri
di ambang jendela kamar yang terbuka. Angin malam menyapu
rambut halusnya, langit hitam bertabur bintang.
“Lusi, kemarilah, lihat banyak bintang memakiku di
sana, kamu tahu Lus? Mereka bilang, para bebintang iri
melihatku, berada di satu tempat bersama bidadari cantik,
Lusi.”
Aku tersenyum geli, bisa-bisanya dia merayu di saat
aku dalam kebingungan. Pelan aku melangkah, menghampiri di
mana Zen berdiri tegak melihat langit bertabur bintang. Zen
tersenyum, menoleh ke arahku.
“Zen, kau mau memulainya?” tanyaku pelan, hampir tak
terdengar.
“Aku tak pernah bercinta Lus…” bisik Zen serak, tepat
di daun telingaku.
Tak pernah? Kenapa dia ada di sini sekarang? Apa
mungkin dia hanya mencari hiburan tanpa menginginkanku?
Ah sudahlah terserah apa maunya.
“Lus, boleh aku istirahat di sini? Mungkin aku terlalu
lelah, ehm, sebelumnya maaf, mungkin kamu heran dengan
sikap dan kenapa aku memilih ruanganmu. Jujur aku hanya
butuh teman malam ini, dan kamu terlihat baik.” Itu ungkapan
tulus, tak ada emosi dan tak ada kata yang seakan-akan
dibuatnya. Sorot matanya yang sendu, bibirnya yang sensual,
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 15
dan senyumnya yang menawan. Aku hampir tak berkutik
dibuatnya. Aku mengangguk pelan.
Di pagi hari kudapati secarik kertas merah jambu di
atas meja riasku.
Lusi, terima kasih.
Boleh aku datang kembali ?
Aku ingin mengenalmu lebih dekat..
Zen Zhu
Kehadirannya telah merubahku.
***
“Hallo Lus, kamu dengar aku?” tanya Zen di seberang
telepon.
“Iya, aku dengar,” jawabku singkat.
“Lus, besok aku akan ke luar kota, mungkin hanya dua
bulan, maaf jika nanti malammu sepi.” Rasa takut menyelimuti,
pikiran negatif selalu menghantui, Zen ingin pergi ke luar kota.
Tentu untuk urusan pekerjaan, tapi, kenapa hati gelisah?
“Lus, kamu diam aja, aku pasti merindukanmu.”
“Hati-hati,” cuma itu yang keluar dari bibirku. Cepat
kututup gagang telepon.
Telepon berdering kembali. Ragu kuangkat telepon.
“Halo,” sapaku pelan, tak ada sahutan. Siapa ini?
“Lusi, Sayang, sebelum pergi aku ingin bertemu besok,
ada hal penting yang ingin kusampaikan.” Suara Zen, ehm
sepenting itukah?
Tuhan, jangan biarkan dia pergi.
***
Ke mana nyanyian rindu itu berlabuh, sunyi tak
bertabuh. Jangan biarkan cinta mengikis, melecuti jiwa-jiwa
miris. Di tempat ini, di tempat biasa kami memandang bintang,
memandang hamparan langit luas, aku menunggu Zen, tak
sabar ingin dekap erat.
“Lusi,” Zen memanggilku lembut, suara yang
kurindukan.
16 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Zen,” seruku senang. Aku menyerbunya. Tangan
kokohnya pun sigap menyambutku.
Zen menuntunku di sisi ranjang, di mana tempat biasa
kami ngobrol panjang dan beristirahat. Kamar ini legenda
cintaku dan Zen, semua terasa bahagia, lenyap sudah
kegamangan di hati, dan kesunyian di pagi hari.
“Lusi, apa menurutmu tentang aku selama ini?”
pertanyaan yang aneh menurutku, Zen agak telihat gugup
menunggu jawabanku.
“Cukup baik untuk akhir-akhir ini, Zen.” Jujur
kukatakan yang sebenarnya.
“Maafkan aku” Lirih, Zen menatapku sayu.
“Zen, untuk apa minta maaf, bukankah kita kenal cukup
lama? Biarlah kamu begitu asal jangan pergi dariku,”
“Aku tak bisa bersamamu lagi, Lus,” ucap Zen lemah.
Aku tercekat. Tak percaya apa yang baru saja kudengar. Oh
Tuhan, ini tidak mungkin.
“Zen,” parau kupanggil namanya, tangisku pecah,
jiwaku remuk seketika, harapanku untuk selalu di sampingnya
pupuslah sudah. Asa itu telah pergi.
“Lusiana, aku mencintaimu, tapi aku juga nggak bisa
meninggalkannya.” Kali ini Zen tersedu, menunduk dalam di
hadapanku. Ada beban berat di hatinya.
“Siapa maksudmu Zen? Kenapa kamu baru jujur
sekarang? Tanpa kamu jelaskan saat ini, aku sudah mengerti
aku sudah tahu, Zen. Aku memang tak layak untuk
dipertahankan.”
“Lusi! Kamu salah. Aku memang benar-benar sayang
kamu, kamu perempuan yang kuat, tegar dalam kehidupan.
Kamu telah mengisi hari-hari yang indah dalam hidupku, kamu
beda Lus, kamu sangat berarti!”
“Lalu, apa alasan perpisahan ini?” Aku menjerit histeris.
“Karena dia yang pertama bersamaku, karena
keluargaku menginginkannya, bukan aku!”
Tidak! Kenapa ini harus terjadi? Zen mengkhianati
ketulusan dan kesetiaanku selama ini. Kenapa di penghujung
mimpiku, tiba-tiba lepas, menyisakan luka yang dalam. Aku
membeku, rahangku mengeras, gigiku menggelutuk. Emosi
yang memburu, hangus membakar.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 17
“Zen, di hatiku, hanya ada cinta. Aku tak ada hal apapun
yang dapat kutunjukkan, agar kamu tetap mempertahankanku,
tapi setidaknya, kamu lelaki yang bertanggung jawab atas
cintamu sendiri, bukan keinginan orang lain, siapapun itu…”
“Maafkan aku Lus, aku memang salah, aku tak ada
pilihan Sayang, mungkin aku akan mati karena cintaku sendiri,
tapi kamu tetaplah bangkit, merajut mimpi. Lupakan aku.”
***
Hidup adalah pengorbanan, ada banyak hal yang harus
kita cintai, tapi juga harus kita korbankan. Pilihan dalam hidup
ada di tangan masing-masing, tinggal memilih jalan mana yang
ingin kita tuju. Baik, buruk, halal, dan haram. Rela berkorban
demi cinta abadi yang diraih, cinta Sang Penguasa.
Tak ada cinta yang kekal selain cinta-Nya. Ada banyak
cinta yang harus dikorbankan, cinta kepada harta, yang wajib
kita korbankan untuk rakyat jelata. Dan untuk fisabilillah, cinta
sesama, yang harus kita bagi rata tanpa membeda. Dan cinta
kepada pasangan hidup serta orangtua, kita rela berkorban
demi kebahagiaan dan pilihannya. Semua kan kembali pada-
Nya.
Di kamar penuh kenangan, sayup-sayup kudengar
lantunan lagu yang belum kudengar sebelumnya. Tapi begitu
menyentuh, seakan ingin memberi kekuatan jiwaku yang
rapuh, lagu yang mengalun dari DVD kenangan, pemberian
terakhir dari Zen, koleksi lagu kesukaannya. Agar aku tak
kesepian, lagu-lagu penyemangat pilihan darinya untukku.
Bangkitlah, bangkitlah. Ingatlah mimpimu
Bangkitlah. Masa depan yang indah menantimu.
Jalan masih panjang. Bahagia menantimu di sana.
Jangan ragu, yakin pasti bisa.
Ini bukanlah akhir kisahmu. Ini bukanlah takdir
hidupmu. Tuhan tak pernah batasi doamu.
18 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Hujan
1
Terima Kasih Hujan
Irzami Hawa
Hujan, pagi ini menyapa
daun-daun yang berderai dalam temaram cahaya
Meski tiada kau di sini, seperti pagi yang telah lalu
***
Gadis itu tersenyum sembari memeluk sebuah boneka
rilakkuma. Gadis itu menghela nafas panjang lalu mulai
beranjak menuju ke arah pintu utama rumahnya, masih dengan
mendekap erat sebuah boneka rilakkuma miliknya. Perlahan
dengan tubuh bergetar, ia membuka pintu utama rumahnya
dan hawa dingin langsung terasa menusuk permukaan
kulitnya.
Ditatapnya dengan nanar tetesan-tetesan air yang
cukup lebat itu. Lalu dengan sangat berat, ia melangkah
perlahan berusaha menghapus jarak antara dirinya dengan
dunia luar yang saat ini sedang menyambutnya.
Tiba-tiba saja muncul seorang wanita paruh baya yang
berstatus sebagai ibu dari dalam, “Kamu pasti bisa Sayang.
Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau.”
“Hujan punya hak atas dirimu,” bisik ibu Dina lagi.
Dina menghela nafas, “Dan hujan juga punya hak atas
Bisma?”
Afra yang berstatus sebagai ibu dari Dina tersenyum
lalu mempererat rangkulannya. “Tentu saja. Hujan selalu
merengkuhmu dan Bisma. Lalu saat Bisma tak dapat
menikmati rengkuhan itu lagi, kenapa kamu harus ikut
berhenti menikmatinya?”
Dina menatap hujan yang masih belum mereda, lalu
beralih menatap Afra yang segera mengangguk lalu
melepaskan rangkulannya. Afra mundur beberapa langkah,
membiarkan Dina semakin dekat dengan rengkuhan hujan.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 21
Dengan sepercik keberanian yang Dina miliki, ia
melangkah perlahan menembus derasnya hujan. Dan
senyumnya mengembang begitu merasakan tetesan lembut air
hujan membasahi tubuh mungilnya.
***
Dalam pekat kabut kuberharap
Semoga kau di sana merasa seperti yang kurasa
Saat kau ada di sini memelukku di bawah hujan
***
Masih dengan boneka rilakkuma dalam dekapannya,
Dina berlari menembus derasnya hujan. Senyumnya semakin
merekah. Ia tertawa riang sembari berputar-putar, menikmati
rengkuhan hujan.
“Hujan, terima kasih tak membuatku kehilangan
sebuah rengkuhan terakhir yang kumiliki. Rengkuhan yang
selalu nyata. Rengkuhanmu.”
Setelah menjerit riang, Dina menghentikan lajunya lalu
tertawa puas. Tubuhnya berputar-putar dengan wajah
menengadah ke atas, menikmati setiap tetes air hujan yang
menerpa wajah cantiknya.
Tiba-tiba saja terlihat kilatan cahaya disusul oleh suara
gemuruh. Suara petir yang menggelegar sama sekali tak
membuat Dina takut. Ia justru tersenyum riang lalu kembali
menyusuri jalanan kompleks.
“Aku tidak takut, karena aku tahu itu bukan amarahmu
kan hujan? Itu hanya luapan kebahagiaan kamu. Seperti yang
selama ini selalu Bisma bilang.”
***
Hujan bawalah aku pergi bersama aliran sungaimu
Yang bermuara di peluknya
Sampaikanlah pesanku kepadanya
***
Masih dengan kondisi tubuh basah bersama sebuah
boneka dalam dekapannya, Dina memasuki taman di kompleks
perumahannya yang sangat sepi.
22 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Begitu tiba di tengah taman, Dina duduk dengan santai
lalu yang lebih mengejutkan lagi, ia justru berbaring tanpa
memperdulikan bajunya yang mungkin saja kotor terkena
lumpur di sana.
“Kenapa harus takut untuk bahagia? Hanya karena
tubuhmu kotor, kamu tidak akan terbunuh kan?” ucapan
seorang pemuda kembali terlintas di benak Dina. Membuatnya
tanpa ragu merentangkan tangannya.
“Dan seperti yang selalu kamu bilang Bis, hujan punya
cara tersendiri untuk membuat kita bahagia.”
Dina memejamkan matanya, berusaha menikmati
belaian lembut dari air hujan yang terus menerus
membasahinya, berusaha merengkuhnya, “Sama seperti kamu
Bis, yang selalu punya cara tersendiri untuk bisa
membahagiakan aku.”
***
Dalam pekat kabut kuberharap
Semoga kau di sana merasa seperti yang kurasa
Saat kau ada di sini memelukku di bawah hujan
***
“Hujan itu pilihan, pilihan untuk dicintai. Hujan punya
jutaan hal istimewa yang akan membuat kita merasa menjadi
lebih istimewa. Hujan merengkuh setiap manusia, tanpa
terkecuali.”
Dina membuka matanya, dilingkarkan kedua tangannya
pada pinggang pemuda yang tengah berbaring di sisinya
dengan sebuah boneka rilakkuma di antara keduanya. “Kenapa
sih kamu suka sama hujan?”
Bisma membuka matanya lalu menatap teduh pada
Dina yang sudah basah oleh derasnya air hujan, sama seperti
tubuhnya yang sudah basah oleh rengkuhan hujan. “Karena
hujan menyimpan semua cerita indah, tentang kita.”
Perlahan senyum Dina mengembang. Teringat jelas
saat awal pertemuannya dengan Bisma di tengah derasnya
hujan. Saat itu Dina tengah berlari dari jalanan depan kompleks
untuk pulang karena lupa membawa payung, dan tanpa
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 23
sengaja ia bertabrakan dengan Bisma yang tengah berlari dari
arah berlawanan.
“Dulu aku cuma sekedar tertarik sama butiran-butiran
kecil ini tanpa pernah sedikit pun berusaha untuk lebih dekat
lagi dengannya,” Bisma mengangkat sebelah tangannya,
menadahkan tetesan hujan itu sehingga berkumpul di atas
telapak tangannya. “Sampai akhirnya setelah kenal kamu, aku
punya teman untuk merasakan rengkuhan hujan ini. Kamu dan
hujan, menjadi awal dari kisah indahku.”
Dina membuka matanya, mengingat kenangan
indahnya bersama Bisma di tempat yang sama. Di taman ini,
taman sederhana di kompleks rumah mereka. Taman yang
menjadi saksi bisu, tentang cinta Dina dan Bisma.
***
Hujan bawalah aku pergi bersama aliran sungaimu
Yang bermuara di peluknya
Sampaikanlah pesanku kepadanya
***
Setelah puas berbaring di taman, Dina mulai bangkit
dan kembali melangkah dengan hujan yang masih
mengiringinya. Masih dengan senyum yang menghiasi
bibirnya, Dina kembali melangkah riang keluar dari taman
tersebut menuju blok G yang berada di bagian belakang
kompleks perumahan mereka.
Dina berusaha mempercepat langkahnya begitu hujan
mulai mereda, menyisakan titik-titik air yang menetes
bersamaan seolah tetap berusaha merengkuh Dina dengan sisa
kekuatan yang mereka punya.
Begitu merasakan titik-titik air yang semakin mengecil,
Dina berlari cepat menuju ujung jalan dan berbelok ke kanan.
Ia tak mau melangkah sendiri tanpa hujan yang menemaninya.
Saat sebuah tanah kosong dengan rimbunan pohon di
sekelilingnya sudah terlihat, Dina mempercepat larinya dan
berhenti tepat di depan tanah kosong tersebut.
Senyum Dina mengembang begitu melihat seorang
pemuda berbaring di tengah lapangan kosong itu. Ia bergegas
24 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
melangkah mendekatinya dengan senyuman yang belum
memudar, “Hei, apa kabar?”
Hening, tak ada jawaban apa pun.
Senyum Dina memudar seiring tak satu pun air yang
jatuh dari langin menyentuh permukaan kulit mulusnya. Hujan
telah berhenti, dan hanya Dina yang tersisa di sini. Bersama
sesosok pemuda yang terbaring dalam diam di hadapannya.
***
Yakinkan dia setia
hingga saat bersamanya tiba
***
Dina menyeka air matanya dengan kasar. Setelah itu
tanpa diduga Dina jatuh berlutut, semua yang terjadi tidak
senyata imajinasinya. Tidak ada sesosok pemuda pun yang
berbaring di sana. Tidak ada satu tubuh pun yang dapat ia
rengkuh. Hanya ada sebuah makam berukirkan nama indah
yang selama ini selalu ia rindukan. BISMA KARISMA.
Isakan Dina semakin terdengar memilukan, Bisma yang
berstatus sebagai kekasihnya memang sedang terbaring di
hadapannya. Terbaring bersama timbunan tanah yang
membuat Dina tak dapat merengkuh tubuh tegap itu lagi.
Rengkuhan inilah yang selalu Dina rindukan, selain rengkuhan
hujan. Hangat dekapan Bisma yang tak mungkin bisa ia rasakan
lagi.
“Karena hujan menyimpan semua cerita indah, tentang
kita.”
“Dan saat hujan pergi, ia juga membawa pergi semua
cerita indah itu,” Dina berucap lirih kala teringat ucapan Bisma
saat itu.
“Hujan memang berhak atas kamu Bis, maka dari itu
hujan membawa kamu pergi sebagaimana kamu adalah
miliknya.”
Dengan sisa kekuatan yang tersisa, Dina mendekat dan
langsung ambruk di atas makam Bisma. Didekapnya dengan
erat timbunan tanah yang menelan raga seseorang yang
dicintainya. Raga seseorang yang mengenalkannya, pada hujan.
“Setelah satu bulan ini aku nggak pernah
mengikhlaskan kepergianmu, dan selalu membenci datangnya
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 25
hujan, aku rasa aku sudah bisa merelakan semua yang telah
terjadi. Hujan, tolong yakinkan dia setia hingga saat
bersamanya tiba. Terima kasih hujan, terima kasih Bisma.”
26 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Memeluk Hujan
Izzatun Nada/I Nada
Tidak pernah ia menemukan alasan mengapa Danang
begitu mencintai gadis berparas Jawa-Pinang itu. Gadis yang
menjelajah separuh hidupnya. Gadis yang kini jauh dari
dekapannya. Di bawah rintikan air-air kecil dari badan langit,
Danang bersimpuh. Ia duduk di atas rerumputan yang
menghijau, sembari memainkan dawai-dawai gitar yang
dipangkunya. Tetes demi tetes yang membasahi kelopak
matanya, pipinya, hingga seluruh raganya, membawanya dalam
kerinduan yang telah lama disimpan.
Tatapannya lurus ke depan, tatapan nanar ke sebuah
ayunan yang terbuat dari sebatang pohon tumbang.
Kerinduannya semakin kuat, pelukan dan senyuman yang
membubuhi kala hujan musim kemarin. Kehadiran Dinar yang
membawa aroma kehangatan bagi nalurinya. Gadis yang
sempurna.
Danang merubah posisi menatap sang biru, ia
memainkan imajinasi. Dunia yang paling disukainya, ketika
dibelit kesenyapan yang tak berujung seperti ini. Kepalanya
bersandar di atas tarian rumput yang tidak begitu lebat
merayap. Dipeluknya gitar yang sedari tadi dimanjanya. Ia
merindukan Dinar, kekasihnya yang menjauh. Bukan, Dinar
bukan menjauh, tapi dia menjalankan sebuah misi yang akan
sulit dipahami oleh siapapun. Termasuk Danang sendiri.
***
Awalnya ia tak bersuara, ia justru terdiam ke dalam
sepasang mata di depannya.
“Aku bermimpi bertemu anak itu. Ia membawaku ke
Palestina. Kupikir aku harus ke sana.” Singkat Dinar. Ia
menepuk bahu Danang yang kian memberat untuk
melepasnya. Duduk di atas pohon tumbang di bawah hujan
yang ringan berjatuhan. Dari rintik-rintik menimpali bumi,
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 27
hingga hujan memberat menghujam tubuh kedua insan yang
menghangatkan diri pada pelukan. Sama halnya Danang,
semakin banyak Dinar berucap semakin berat ia melepasnya.
Melepas separuh hatinya, tidaklah semudah melepas piaraan
dari kandangnya. Hatinya tak akan berfungsi dengan
sempurna. Dan itu benar.
“Anak di mimpimu sebelumnya? Anak yang mengaku
sebagai anak kita di masa depan? Anak yang sama? Itu hanya
mimpi.” Genggaman Danang meleset. Dinar justru beranjak
dari duduknya dan memandang awan yang mulai menghitam
penuh. Langkahnya berat, wajah Dinar merunduk, jari-jarinya
saling bertemu dan dimainkan begitu saja. Jelas kegundahan
menikap separuh tubuhnya, dan ia tersesat dengan
jawabannya.
Pelan-pelan Dinar meyakinkan Danang melalui bisikan
yang mendesah geli di telinga. Berat rasanya meninggalkan
kekasih yang begitu dicintainya. Mengingat langkah mereka
untuk merajut ke masa depan tak lagi hanya teori belaka.
Mereka akan menikah. Ya, itulah pokok persolan yang
menggunjing hati mereka. Jadi, bagaimana jika Dinar tiba-tiba
menghilang dan tidak kembali?
“Anak itu memang di dalam mimpiku. Ia hadir tiga kali
berturut-turut. Tapi aku merasa dia nyata. Aku tidak pernah
melawan firasatku. Memang keputusan yang berat. Tapi,
tidakkah kau mengerti? Aku pasti kembali.”
Keduanya terdiam. Dinar mengambil nafas agak
panjang, dan menghembuskannya panjang pula. Nafas yang
begitu berat untuk mengambil sebuah keputusan. Danang tetap
tak berkutik. Ia berpikir jauh akan hubungan mereka. Banyak
kemungkinan-kemungkinan yang tak ingin ditanggungnya
sendiri. Palestina tidaklah sedekat Bandung-Jakarta. Tak
sedamai di desa Burik tempat Danang berasal. Palestina
bahkan santer dikabarkan dalam peperangan di jalur Gaza.
Dinar tak lagi bergulat dengan orang-orang yang dihuni
misteri atau sarang penyakit. Ia akan bergulat dengan
serangan-serangan ganas yang mungkin saja akan
menghancurkan raganya dalam sekejap. Membuatnya lenyap,
dan itu yang ia takutkan. Danang berada di persimpangan, ia
28 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
tidak berani berbelok. Ia masih ingin di tengah-tengah,
memeriksa jalur mana yang akan membawa gadisnya kembali.
Perasaannya meruah, diasahnya dengan tajam agar
Dinar tak terluka nantinya. Meskipun Danang yakin,
kekasihnya itu tak akan menyakitinya. Apalagi melukai hatinya.
Ia pasti kembali membawa kesetiaan. Ia pasti kembali bersama
hati yang kutitipkan.
Dengan suara setengah basah, akibat air hujan yang tak
sengaja menjalar ke dalam mulutnya, Dinar kembali berkata.
“Aku tidak akan lama.”
“Aku yakin kau akan kembali. Tapi setidaknya sisakan
satu hal untuk kurindukan.” Desahnya.
Dinar membisu, ia menerka satu hal yang akan
membawa Danang dalam kepastian. Perlahan ia berfikir dan
menekankan, “Kesetiaan. Aku akan kembali, dan semuanya
tetap terasa sama. Aku akan kembali dengan kesetiaan.”
Senyumnya mengukir dua lubang tipis di kedua pipinya.
Senyuman malaikat kedamaian bagi Danang. Dinar
memeluknya begitu erat, pelukan hangat yang tak akan pernah
dilepasnya, jika bisa. Bekasnya akan selalu menawar hidupnya.
Tiba-tiba Danang merubah perkataannya, ia belum merelakan
malaikatnya lepas.
“Katakanlah padaku, kau tidak akan pergi. Percayalah,
untuk kali ini mimpimu hanya bunga tidur. Dan kau pasti akan
pulang lebih lama dari yang kukira.”
“Kau meragukanku atau mengkhawatirkanku, Mas?”
Dinar meninggi. Bukan itu. Bukan begitu, Sungguh. Tak lagi bisa
ia mencari cela. Ia teramat mencintainya, meskipun ia
menyadari keyakinannya bahwa ia pasti kembali membawa
kesetiaan. Ia pasti kembali bersama hati yang kutitipkan.
Ia sama sekali tak meragukan Dinar. Perempuan
sesempurna dirinya adalah istemewa di mata Tuhan. Ia
berbeda. Danang tahu, ia tak akan pernah lupa. Sosok malaikat
yang menjelma sebagai gadis dewasa. Perempuan yang di
cintainya. Dinar, hanya Dinar. Ia tak lupa terus bersyukur
dipertemukan kepada malaikatnya itu sepuluh tahun yang lalu.
Di tempat yang berbeda, suasana berbeda, orang-orang
berbeda. Mereka bertemu dalam dunia yang berbeda. Memori
lamanya kembali disimak.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 29
***
“Entah siapa yang menculikku. Aku hanya merasa
terbang dibawa makhluk yang tak berupa, tak berkaki, tapi ia
bersayap. Sepasang matanya menggantung keluar dari pusar,
penuh darah segar bewarna merah kehitaman, baunya busuk.
Lebih buruk dari zombie. Tubuhnya hitam arang, ototnya
menggila, punggungnya berlubang, besar sekali. Setiap
berkeringat yang keluar cacing-cacing hitam dan kerumunan
ulat menjijikkan. Ia berbicara padaku tapi aku tak mengerti.
Aku tidak tahu dimana mulutnya. Seluruh badannya bergerigi
tajam, lebih tajam dari taring hiu. Aku hanya bisa
menyebutnya, dia bukan manusia. Aku dibawa berkelana dari
gelap dan kegelapan yang tak kutahu petanya. Tapi untunglah
kau datang. Kuharap kita bisa bertemu kembali.”
“Siapa namamu?”
“Apakah kau manusia, sama sepertiku?” Danang
tersadar bahwa ia baru saja bercakap seorang diri.
Perempuan yang sedari tadi mengulas mimik datar di
wajahnya tak mendengar. Perempuan yang entahlah,
sepertinya ia tengah berbicara dengan penculik itu. Danang
menghela penuh harap. Kemudian perempuan itu melangkah
dengan senyap mendekati Danang. Tiada kebisingan dalam
hembusan nafasnya, sekalipun kegelapan itu begitu tenang. Ia
berjilbab putih, berjubah putih, berparas putih dan membawa
Danang lalu menghilang dalam sebuah titik putih jua. Entahlah,
begitu tersadar Danang telah berada di atas ranjang rumahnya.
Dan kini ia bertemu perempuan itu lagi. Perempuan yang
diyakini akan membawa seperdua nyawanya.
***
Tubuhnya rebah ke samping. Danang menggugurkan
lamunannya, ia kembali menerka bentangan awan yang
kembali mencerah. Meskipun udara dingin mencekam saraf-
saraf tubuhnya. Ia mengigil dan bibirnya hampir membiru,
namun kerinduan yang membelenggunya menepis dingin yang
menusuk hingga ke dalam sukma.
Rerumputan yang ia tindih, seakan berbisik. Pohon-
pohon disekeliling ikut berbisik, pagar-pagar besi yang
30 | Antologi Cerpen Negeri Kertas