meninggi, burung-burung cemara yang melebarkan sayap di
angkasa berbisik, “Dinar kembali...”
Danang mengatupkan jemarinya. Keriduannya semakin
terpapar jelas. Meskipun ia yakin, perempuan itu akan kembali.
Ia pasti kembali membawa kesetiaan. Ia pasti kembali bersama
hati yang kutitipkan. Tapi ia tak sanggup melukiskan apa yang
tengah dikerjakan Dinar sekarang. Ia datang lebih lama dari
yang Danang kira.
Desiran angin, menyapu awan yang berjajar di atasnya.
Terlukis sepasang mata yang tak asing bagi Danang. Disusul
sebuah hidung yang menjulur panjang ke depan, senyum yang
mengembang dan lubang di kedua pipi. Dinar. Ia bergegas
bangkit dan menajamkan diri pada ayunan di seberang.
Dipejamkan kedua matanya untuk memperkuat keyakinan
cinta sucinya, gadis itu hadir.
Senyum Danang mengembang dahsyat, air mata setia
sudah menunggu dalam jendela kelopak matanya. Sebentar lagi
jatuh. Namun perlahan tatapan dan senyumnya menghambar.
Ilusi yang terlalu kuat bersama jalinan rindu di hatinya. Dinar
tak benar-benar hadir. Dinar hanya hadir dalam ingatan.
Nafasnya mengalun pasrah. Terdengar sepatah nada putus asa
dari wajahnya. Tapi ia harus tetap kuat dengan pendiriannya.
Menunggunya kembali.
Ia menyadari jika Dinar gadis berbeda. Orang-orang
sering memanggilnya gadis indigo. Tidak dengan Danang,
baginya Dinar tetaplah Dinar kekasihnya. Bukan seorang
kekasih yang memiliki indera ke enam dan diandalkan banyak
orang. Bukan. Sejak lahir Dinar telah berbeda, itulah takdir. Ia
melihat hal-hal yang tak bisa Danang lihat. Semua hal,
termasuk isi hatinya. Itulah sebabnya Dinar dapat menembus
kepada si penculik itu, dan membawa Danang kembali.
Danang tak pernah bisa memangkas rasa khawatirnya
acap kali ditinggal pergi berkelana atau entahlah untuk
menuruti firasatnya. Ia hanya mencoba berfikir, ke manapun
perempuan itu terbang melintasi seluruh tempat-tempat yang
tak bisa Danang ketahui, ia harus tetap mengemban kesetiaan.
Hanya kesetiaan. Karena itulah satu-satunya alasan Danang
bertahan untuk menunggunya hinga sekarang.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 31
Dinar setia, ia yakin dan ia tahu akan hal itu. Tapi,
setelah sekian lama Dinar tak kembali jua masihkah ia setia?
Dalam sisa-sisa embun pagi usai hujan mereda, ia menitip
pesan. Sebersit kepastian yang ia harapkan akan terjadi
demikian. Tersampaikan kepada sang malaikatnya, dan
disimpannya dalam-dalam agar digenggamnya untuk jadi
tanda peringatan. Ia berbisik kepada tumpukan embun, kepada
sibakan angin dan aliran sungai yang terdengar deras
percikannya.
“Yakinkan dia setia, hingga saat bersamanya tiba. Ia
pasti kembali membawa kesetiaan. Ia pasti kembali bersama
hati yang kutitipkan.”
Tak ada komunikasi di antara mereka. Dinar hanya
berangkat seorang diri. Meskipun ia tahu, mungkin saja Dinar
bergabung dengan relawan Indonesia yang juga berada di sana.
Namun setidaknya, ia mendapat kabar atau sekedar
mendengar suara Dinar. Danang merindukan segalanya.
Apakah Dinar merasakan hal yang sama. Merasakan kerinduan
yang menyulut hebat.
Tiba-tiba awan kembali menutup. Langit berkabut
tebal, menghitam menyisakan gerimis berkejatuhan. Danang
segera bangkit dan membangunkan gitar dari pangkuan
manisnya. Di bawah teduhan pohon-pohon tua melingkupi
taman, ia melantunkan beberapa syair kerinduan terhadap
sosok Dinar. Ia ingin menjadi hujan, mengalir ke tepian,
kedalam relung hati bidadarinya yang bermuara pada pelukan
hangatnya. Melepas kerinduannya. Ia masih berharap, ia masih
menunggu. Bergeming di setiap detiknya.
Ia pasti kembali membawa kesetiaan. Ia pasti kembali
bersama hati yang kutitipkan.
32 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Surya dan Luna
Maulida Fadhila
Mendung masih menggelayut manja di atas langit.
Rintikan hujan menyapa alam dengan santun. Membasahi bumi
tanpa pamrih. Menghidupkan kembali kehidupan yang pernah
layu. Membawa hawa sejuk dan pengap silih berganti.
Ia turun dengan penuh keyakinan tanpa peduli sumpah
serapah manusia yang jengkel karena tidak bisa beraktifitas
atau tidak bisa melakukan sesuatu untuk menyumpal perut
lebih tepatnya. Ah, aku selalu iri dengannya, aku ingin juga
seperti hujan. Tetap memberi arti kepada makhluk lain meski
ia harus berpisah dengan awan, meski harus turun ke bawah.
Ia rela merendahkan diri demi sebuah tugas mulia dari
pencipta. Acuh tak acuh kepada insan yang lapar akan
kehidupan duniawi.
Di mataku, hujan adalah pembawa misi yang sempurna.
Aku mempercayai hujan. Hingga tidak jarang, aku sering
berbicara dalam sunyi kepadanya, menitipkan perasaan yang
tiada terbendung. Perasaan yang sungguh rahasia. Hanya
penjaga langit saja yang mungkin memahaminya. Aku
membidikkan panah-panah rindu pada rintikan hujan. Aku
mengisi setiap butirannya dengan gema harapan. Aku
memenuhi hujan di malam itu dengan rasa bahagia lalu
berganti gundah dan berakhir dengan sebuah doa. Hujan
menangkap semuanya, mengiyakan semua kesah yang tak
terkatakan. Sehingga aku merasa, hujan di malam itu teramat
indah. Karena ia menyatukan semua rahasia perasaanku.
Ia berjanji kepadaku akan menyampaikannya kepada
seseorang. Menceritakan semua rahasia hati dalam setiap
tetesnya. Aku tidak meragukannya, sungguh hanya hujan saja
yang mampu mengirimkan pesan dengan sempurna, tidak
lebih dan tidak kurang, ideal.
Sesaat kemudian, hujan berhenti. Dengan penuh harap
aku menatap langit, semoga pesanku telah sampai kepadanya.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 33
Semoga dia bisa merasakan apa yang aku rasakan. Kalau benar
begitu, semoga hujan bisa mempertemukan kerinduan kita dan
menghapus segala duka. Mengganti lara dengan suka.
Kalaupun tersipu juga tak mengapa, mungkin engkau yang ada
di sana ingin mengingat kembali pertemuan pertama kita.
Sebuah perjumpaan yang tidak biasa, menjadi awal dari kesan
yang mendalam. Memintal kasih dan merajut cinta antara
engkau dan aku.
Di dalam otakku, pertemuan itu sangatlah membekas.
Di sebuah sanggar musik, kau dengan muka memerah
mendekatiku.
“Sudah lama latihan di sini?” ucapmu membuka
percakapan.
“Lumayan” jawabku dengan suara enggan.
“Kok aku belum pernah lihat kamu sebelumnya?” Kau
menimpali dengan bersemangat.
“Mungkin beda jadwal” kataku dengan singkat.
“Kalau tidak keberatan, boleh tahu namamu?”
“Untuk apa?”
“Supaya enak kalau manggil.”
“Luna.”
“Kau tidak ingin tahu namaku?” tanyamu dengan penuh
harap.
“Simpan saja namamu. Mungkin suatu saat aku ingin
tahu.”
Aku berlalu dengan penuh rasa kemenangan. Kala itu,
kau pasti merasa jengkel atau minimal menganggapku angkuh.
Biarkan saja, memangnya aku peduli. Mimik mukamu sungguh
menggemaskan. Menggugah kembali kerinduanku padamu.
Ingin aku kembali melihat ekspresi wajah itu di hadapanku
saat ini juga.
Pertemuan itu sungguh lucu, tanpa aku duga bahwa
kelucuan itu akan bermuara pada sebuah penantian yang
panjang. Aku pun masih mengingat detik-detik saat kita akan
berpisah dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Saat jurang
perpisahan akan hadir di antara kita, hujan kembali
menangkap engkau dan aku dalam sebuah perjumpaan.
Di sebuah tempat yang teduh, dalam pengapnya hawa,
engkau menyandarkan kepalamu di atas pangkuanku. Lama
34 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
sekali kita saling berdiam. Roman mukamu mengguratkan
kegelisahan. Aku bisa menangkapnya. Hati kita telah terpaut
satu sama lain, apa yang engkau rasakan sudah pasti aku juga
ikut merasakannya. Kau menghembuskan nafas dengan berat.
“Luna, aku selalu pengen lihat kamu bahagia.”
“Iya Mas. Terima kasih.” Dengan lembut kau
menyentuh pipiku. Aku menatapmu dan mengelus rambutmu
yang basah terkena guyuran hujan.
“Aku ingin kita punya hubungan yang resmi.” Belum
sempat aku memberi respon atas keinginanmu, kau sudah
lebih dulu melanjutkannya.
“Aku ingin mencari sebuah kehidupan yang lebih layak
untuk kita nanti.”
Aku hanya tersenyum tipis tanda mendukung
keinginanmu yang membuatku tersanjung. Aku semakin yakin
kalau kau adalah pria yang bertanggung jawab.
“Kemarin sore pamanku datang. Dia menawariku untuk
tinggal bersamanya di Singapura. Anak tunggalnya bekerja di
Inggris. Jadi paman hanya tinggal berdua dengan bibi. Aku
boleh tinggal di sana selama yang aku mau. Bunda juga sudah
mengijinkanku.”
“Kau menerimanya lalu meninggalkanku sendirian?”
tanyaku lirih, hampir terisak.
“Tidak, Sayang. Aku menerimanya bukan untuk
meninggalkanmu, tapi untuk berjuang agar kita bisa hidup
enak nanti. Aku ingin bekerja di perusahaan besar dan kembali
untuk mempersuntingmu.”
“Berapa lama kau di sana?”
“Sampai aku merasa kau tidak akan kekurangan jika
hidup denganku.”
“Kau adalah pelengkap hidupku. Bagaimana aku
merasa kekurangan jika aku bersamamu?”
“Aku tahu itu, Luna. Tapi hidup sekarang menuntut kita
untuk bisa memenuhi kebutuhan. Aku sangat tidak sanggup
kalau aku harus melihat kamu hidup susah kelak. Kau mengerti
kan ?”
Aku mengangguk pelan. Menahan isak. Perlahan kau
bangun dari pangkuanku dan mengecup keningku dengan
lembut. Lalu menghilang seiring berhentinya hujan. Aku
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 35
mengamati punggungmu yang berangsur-angsur lenyap dalam
kejauhan. Kesedihan dan kerinduan datang bergantian tatkala
aku mengingatmu. Aku tidak tahu apakah takdir yang memang
tidak mengijinkan kita untuk bersama ataukah Tuhan sedang
menguji kesetiaan kita. Menguji apakah kita layak hidup
bersama atau tidak.
Kita baru merasakan kebersamaan seumur jagung. Tapi
kita telah dipisahkan. Dipisahkan oleh keinginanmu akan
kehidupan yang lebih baik. Tetapi ingatan akan kebersamaan
kita yang telah lalu tidak akan terpisah dari jiwa ini. Masih
tergambar jelas dalam imajiku ketika kita usai selesai latihan
musik bersama di suatu pagi yang sejuk. Kau berjalan
mendekatiku dan menggodaku
“Udah pengen tahu namaku belum ya?”
“Hahaha... kau masih ingat itu rupanya.” Aku terkekeh,
kau mencubit manja hidungku.
“Namaku Surya kalau kamu mau tahu.”
“Sudah tahu, Sayang.” Aku membelai pipimu yang
hangat.
“Kamu lebih ramah sekarang. Dulu juteknya minta
ampun,” ucapmu sambil memajukan bibirmu, kau kembali
mengejekku.
“Aku jutek bukan berarti benci sama kamu. Aku hanya
gugup saat itu.”
“Gugup kenapa?” tanyamu dengan nada penasaran.
“Karena aku diajak bicara sama orang yang diam-diam
aku sukai.”
Aku tersipu. Kau mengangkat alismu seakan tidak
percaya dan tersenyum hangat memandangiku. Lalu kita
berpelukan, memanaskan dinginnya udara yang membelenggu
pagi. Kau berbicara setengah berbisik di telingaku, “Kadang
aku tidak mengerti akan skenario hidup. Tuhan merancangnya
dengan sempurna. Aku tidak menyangka kita bisa bercinta
seperti ini dan aku ingin kita terus bersama.”
Aku memejamkan mata dan jantungku berdegup
kencang ketika aku mendengarnya. Rasa cinta yang
membuncah dan rasa kekhawatiran berlomba mengaduk
emosiku. Aku mengkhawatirkan masa depan hubungan kita.
36 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Akankah kebahagiaan ini sirna dalam sekejap? Akankah
kebersamaan ini menjadi mustahil kelak?
Aku adalah Luna, rumahku adalah kegelapan.
Sementara kau surya, sinar adalah kebanggaanmu. Aku
menikmati kasihmu dari sudut gelapku dan kau memberiku
arti dengan cahayamu. Gelap dan terang tidak akan bisa
bersatu.
Aku membenci kenyataan ini. Tapi Tuhan menciptakan
sebuah masa di mana gelap dan terang bisa saling beriringan
yaitu saat hujan. Hujan membuka tabir di antara kita. Ia
menelanjangi batas yang memisahkan kau dan aku. Ia akan
terus menjadi pengingat bahwa kita bisa saling bersama. Aku
gembira saat hujan turun bukan hanya karena ia pembawa
pesan yang menakjubkan. Tetapi karena hujan mampu
meluluhlantakkan segala kemustahilan di antara kita. Ia
membawaku dalam pelukanmu. Hujan pasti akan
mengingatkanmu tentang janji yang pernah terucap, kau harus
kembali kepadaku menepatinya.
Selepas kau pergi, angin tidak membawa kabar
tentangmu. Awan tidak membawa isyarat perihal dirimu.
Bintang membisu tak memberikan jawaban atas keadaanmu.
Maka aku hanya berharap kepada hujan. Karena hanya ia yang
mampu menceritakan setiap titik dari perasaanku. Semoga kau
mau membaca pesan darinya. Ketika ia turun lagi membasahi
bumi, semoga ada balasan atas pesanku. Aku tidak mau semua
bermuara pada air mata. Aku hanya mau sepotong berita
darimu. Titik.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 37
Pertanda Lukisan Rama
Shofi Nurul Fath
26 Januari 2015
Saat langit tak pernah berhenti menangis.
Pukul 8 pagi, matahari begitu semangat menyapa para
insan yang tengah sibuk memulai aktivitasnya di hari Senin.
Aku masih saja terbaring tak berdaya memegang erat
selimutku yang masih membungkus tubuhku. Begitulah
kebiasaan yang sudah beberapa bulan ini kulakukan. Apa yang
bisa kuperbuat di rumah besar nan megah, tanpa seorang adik
laki-laki ataupun perempuan juga seorang kakak yang ganteng
ataupun cantik? Ah aku hanya bisa melakukan kebiasaan dan
itu lebih dari cukup untuk membuat kebahagiaan dalam hari-
hariku. Orangtuaku sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai
penasehat hukum, ibu dan ayah harus setiap hari berpindah
dari negara yang satu dengan negara yang lain. Naik pesawat
satu ke pesawat yang lain. Stagnan, tak ada yang berubah dan
tak ada yang menarik. Hanya suara mbok Asih yang merajalela
di telingaku setiap pagi.
“Non Rin, bangun, sudah hampir pukul sembilan, Non
harus kuliah.” Mbok menarik selimutku.
“Iya iya Mbok, sebentar lagi.” Aku kembali menarik
selimut dari tangan mbok.
“Non, kapan Non akan berubah kalau begini terus, tidak
akan ada pangeran yang akan melamar Non nantinya.” Mbok
mencoba merayuku. Aku mengabaikan Mbok. Kembali
menutup mata yang terlanjur terbuka.
Mbok akhirnya membuka seluruh gorden di kamarku,
merapikan pakaianku yang berserakan dan keluar dari kamar
kembali ke dapur. Aku akhirnya berusaha tidak memanjakan
mataku. Hari itu aku harus berangkat kampus mengingat
jadwal pertemuanku dengan dosen pembimbing untuk
memeriksa proposalku. Ya, dua tahun aku kuliah di Fakultas
38 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Hukum Universitas Tadulako, dua tahun pula aku harus
menahan diri, menahan kebosanan, dan ketidaksukaaanku
terhadap hukum. Itu yang membuatku merasa malas
beraktifitas di kampus. Meski aku sangat tidak suka dengan
dunia hukum, aku sering mendapat pujian dari dosen dan
teman-teman karena sering memberi pendapat ketika diskusi
kelas berlangsung. Bahkan aku banyak mengahapal teori-teori
hukum. Ya itu sebenanarnya aku tak pernah mmepelajarinya,
hanya saja orangtuaku yang kadang mnegadakan pertemuan
dengan kliennya di rumahku membuatku harus mendengar
pembicaraan yang cukup membosankan bagiku.
Setelah mandi dan sarapan, tepat pukul setengah
sepuluh, aku beranjak ke kampus dengan mobil sedan biru
yang sering kupakai. Sebenarnya aku hendak tak ingin naik
mobil, tetapi cuaca di luar sedang hujan, aku memutuskan
untuk naik mobil. Sebelumnya aku lebih suka naik angkot yang
kebetulan lewat di sekitaran rumahku. Aku termasuk tipe
wanita yang sederhana dan tak suka merepotkan orang lain.
Aku juga suka naik angkot karena angkot yang kunaiki sering
melewati rute di mana para seniman jalanan menjual dan
melukis di pinggir jalan.
Awalnya aku memang tak tertarik. Melihat penampilan
mereka yang biasa-biasa saja dan tak sesuai dengan tipe diriku
yang mudah bosan dengan sesuatu. Namun, ada satu pelukis
yang membuatku tertarik. Penampilannya yang cukup
sederhana, rambut pendek dan lurus namun rapi, kemeja biru
lengan panjang serta celana biru, serta alis tebalnya
membuatku tertarik. Buka apa-apa, di antara enam pelukis
jalanan itu, hanya lelaki itu yang terlihat muda. Ya, dia
seumuran denganku. Usianya sekitar 21 tahun. Kira-kira
semester enam bila dia duduk di bangku perkuliahan. Aku tahu
semua itu karena tiap kali lewat, sopir angkotku berhenti
untuk membeli lukisan kaligrafi yang di salah satu pelukis itu.
Bulan demi bulan berlalu, aku terus naik angkot tiap ke
kampus. Dan lagi melewati rute yang sama dengan angkot yang
sama. Lagi, pelukis-pelukis itu tiap hari mengadu nasib dengan
lukisan yang belum tentu laku satupun dalam sehari. Namun
tidak dengan pelukis yang selalu kuperhatikan, lelaki
berkemeja biru itu bukan melukis kaligrafi. Bukan pula melukis
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 39
rumah, bunga, pemandangan, ataupun binatang peliharaan.
Lukisan-lukisan yang ia gambar adalah sosok seorang wanita
berkemaja merah dengan rok setengah panjang berwarna
hitam yang sedang duduk memangku tangan. Rambutnya
panjang dan beralis tebal. Gambar dengan latar belakang
kosong, membuatnya tak nampak wanita sedang apa dan di
mana.
Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu, inspirasi dari
mana sehingga gambar itu terlihat membuatku penasaran.
Bukan hanya satu, tapi semua kanvasnnya berisi lukisan yang
sama. Aku hanya memperhatikannya dari jarak cukup dekat
karena sopir angkotku berhenti tepat di depannya.
***
Mobil sedan biruku melaju pesat di rute biasa kulewati
saat naik angkot. Hari itu, matahari tiba-tiba enggan
menyengati bumi, mungkin mendung sudah tak sabar
menganggantikan posisi matahari. Rumahku cukup jauh untuk
sampai ke kampus. Rute yang biasa ku lewati adalah jarak
tempuh yang paling dekat, sekitar satu setengah jam. Selang
beberapa menit ketika matahari menghilang, awan akhirnya
tak sanggup untuk menampung air matanya, hingga kembali
membuat bumi bersedih.
Saat itu, aku melewati tempat para pelukis itu. Aku
tiba-tiba teringat dengan pelukis misterius yang membuatku
penasaran dengan lukisannya. Aku penasaran, apakah ia masih
melukis lukisan yang sama hari ini? Wanita dengan kemeja
merah dan rok setengah panjang berwarna hitam. Dan benar
saja, saat aku berhenti sejenak tidak jauh dari jalan itu, lagi-lagi
lukisannya sama. Tapi, kali itu bukan kemeja merah ataupun
rok, kemeja berwarna merah muda dengan celana panjang
hitam serta poisisi rambut yang dikuncir.
“Lalu kali ini apa? Siapa sosok wanita di lukisan itu?”
Aku bertanya dalam hati.
Aku kembali menginjak gas, aku akan terlambat bila
berlama-lama di tempat itu. Hujan sepanjang pagi itu mmbuat
jalanan penuh air dan lalu lintas cukup lengang hingga aku
lebih leluasa mengendara. Aku terlambat sepuluh menit,
dosenku lebih dulu menungguku di ruang senat hukum. Pagi
40 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
itu selain aku harus bimbingan proposal aku juga harus
menjadi MC di acara pertemuan para guru besar Universtas
Tadulako. Ya, aku memang sosok yang pendiam dan cukup
cuek, tetapi keahlianku sejak aku duduk di bangku SMP
membuat aku punya pekerjaan kecil-kecilan. Menjadi MC.
Awalnya memang hanya untuk hobi. Tetapi, hobi ternyata bisa
mendatangkan uang. Mungkin begitu juga dengan para pelukis
jalanan itu. Hobi yang bisa mendatangkan uang.
***
Hari semakin sore, dan hujan masih tetap tak ada
tanda-tanda berhenti. Aku bergegas naik ke mobil. Lalu
kembali ke rumah. Hujan saat itu, kembali mengingatkanku
pada pelukis itu. Lelaki berkemaja biru.
“Hujan begini, apa ia tetap di sana?” gumamku dalam
hati. Pelukis itu membuatku semakin tak ingin absen dari rute
saut setengah jam itu.
***
Sesampainya di sana, ternyata tak ada satupun pelukis
kulihat. Hanya bekas cat kanvas yang berserakan di jalanan
akibat dibawa arus air. Kumemutuskan untuk kembali ke
rumah dengan rasa penasaran yang masih bergelimang dalam
hati. Belum juga sampai di depan pintu gerbang, kulihat
bingkisan coklat besar segi empat bersnadar I gerbang
rumahku. Kuambil bingkisan itu dan mengecek alamatnya,
tidak ada. Tetapi di pingggir atas lukisan itu ada sebaris tulisan
kecil bertinta hitam.
Tanpa kata, tanpa senyuman, satu setengah jam tak
kulewatkan.
“Apa maksud tulisan ini?” Aku bertanya dalam hati.
Kulihat di sekitarku tak ada siapapun. Aku akhirnya membawa
masuk lukisan itu dan menaruhnya di kamarku. Aku makin
penasaran. Aku mencoba membuka lukisan itu. Aku sangat
kaget, ketika membuka lukisan itu dan ternyata luisan itu
sosok wanita yang sedang berkendara mobil sedan biru. Aku
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 41
bergumam dalam hati dan meyakini bahwa itu adalah sosok
diriku. Tapi kenapa harus aku?
***
Keesokan harinya, tepat hari Sabtu. Tak ada jadwal
perkuliahan. Pagi-pagi sekali, aku berusaha bangun lebih awal
untuk kembali melewati rute satu setengah jamku. Untuk
memastikan pelukis dan lukisan tanpa nama yang dikirim ke
rumahku. Aku tidak yakin apakah pelukis itu ada di sana,
karena saat itu hujan tengah turun sangat deras.
Tetapi, aku tak berpikir panjang, kutarik gas mobilku
dengan kecepatan tinggi. Dan dugaanku kali ini salah. Pelukis
satu-satunya yang bertahan di tengah hujan deras itu adalah
lelaki berkemeja biru. Dia menggunakan payung berukuran
sedang. Kali ini ia tidak duduk melukis. Hanya bingkisan di
tangannya yang berukuran seperti lukisan. Bingkisan yang
sama dengan yang dikirim ke rumahku. Mobil sedanku tepat
berhenti di depan lelaki itu. Aku menatapnya sejenak. Lelaki itu
hanya terus menatapku di tengah tengah hujan saat itu.
Akhirnya aku beranikan diri untuk menemui lelaki itu. Tanpa
peduli hujan aku begitu yakin untuk turun dan berbasah-
basahan.
“Hei, apakah kau yang mengirimkan lukisan itu padaku
kemarin?” tanyaku.
Lelaki itu hanya tersenyum tanpa menjawab
pertanyaanku. Ia memberikan padaku lukisan yang ada di
tangannya. Aku tak bertanya kembali dan langsung membuka
lukisan itu. Dan benar saja, tulisan yang sama di lukisan itu
tempo hari kembali ada di lukisan yang ia berikan padaku. Dan
sosok lukisan yang sama, kemeja merah serta rok panjang,
sosok wanita yang tengah duduk di angkot. Ya, itu adalah aku.
Sosok wanita yang selama ini ada di lukisan lelaki itu.
“Hei, apakah ini aku? Kenapa kau melukisku?” Aku
tanpa peduli memegang tangan lelaki itu. Ada sesuatu yang
kurasakan saat kali pertama melihat lelaki itu. Tapi, aku sama
sekali tak menyangka dengan lukisan-lukisannya itu. Lelaki itu
tak satupun mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Ia
kemudian melepas tanganku. Lalu memberikan secarik kertas
yang ia tarik dari kantong bajunya. Aku tak mengerti. Belum
42 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
sempat aku membacanya ia langsung berlari pergi dariku.
Tulisan di kertas itu membuatku ingin meneteskan air mataku.
Kau wanita pertama yang menghampiriku sepanjang
aku melukis di pinggiran jalanan ini. Kau wanita pertama yang
setiap kali menatapku dari kejauhan. Dan kau wanita pertama
yang menanyaiku pada sopir angkotmu. Terimakasih telah
membuatku hidup kembali. Dan terimakasih kau sudah
membuat hidupku berubah. Maaf aku tak ingin berlama-lama di
hadapanmu. Aku hanya ingin mendengar suara sekali ini saja.
Agar menjadi rinduku selamanya. Aku ke Eropa untuk waktu
yang entah sampai kapan. Lukisanku dibeli oleh salah satu
pencinta seni. Dan lukisan itu adalah lukisan sosok dirimu.
Terimakasih. Aku mencintaimu, wanita satu setengah jamku.
Aku Rama.
Aku menangisi, aku terjatuh dari tegaknya berdiriku.
Aku tak menyangka sama sekali. Dan saat itu hujan menjadi
saksi, dia menjadi rindu pertama dan terakhirku. Apakah kau
mengingatku sama seperti aku mengingatmu saat ini? Saat
langit tak berhenti menangis.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 43
Hujan Pagi Ini
Eunike Leonita Putri Natanael
Sepertinya, aku harus mengucap syukur pada Tuhan,
karena aku masih bisa membuka mata pagi ini. Atau tidak.
Adalah dilema bagiku untuk menghadapi satu hari lagi
kenyataan di dunia yang menyakitkan ini. Tapi, apa aku punya
pilihan? Semua orang tahu jawabannya. Apa? Jangan tanya aku.
Karena itu terlalu menyakitkan. It's simply too hurt for me to
say.
Realita adalah salah satu hal yang terkejam di dunia.
Aku menyadari hal itu pagi ini, ketika Rum membangunkanku,
ketika dia mengguncang lenganku, atau bahuku, entah yang
mana di antara keduanya, dan menyebut namaku dengan
sedikit panik, seperti kemarin.
“Yan! Yan! Ian!” Suara yang keluar dari bibirnya yang
kering dan pucat karena terlalu lama berada di tempat maksiat
ini untuk menunggui diriku sungguh menyakitkan hati. Hm.
Sebenarnya, aku sudah lama tahu kalau realita itu kejam, dan
menyedihkan. Aku tahu, itu tampak jelas. Aku hanya baru
mengakuinya pagi ini.
Hujan. Hari ini hujan. Pagi ini, sewaktu langit masih
mati, air mulai turun dari lagit, mengguyur yang merana dan
berbeban berat dengan harapan dan juga mimpi, menyapa
dengan lembut atau mengetuk pintu hati yang dingin dan
hancur lalu menawarkan tempat untuk berhenti, bersandar,
dan bersembunyi. Ada seseorang yang kukenal yang selalu
mengatakan hal yang sama padaku, bahwa hujan, ia membawa
harapan, juga impian besertanya. Karena begitu hujan berlalu,
datang pelangi. Orang itu sangat menyukai pelangi, mungkin
karena itu dia melambangkannya sebagai harapan. Huh,
perempuan bodoh itu. Aku tidak akan teringat akan dia lagi
kalau bukan karena hujan pagi ini. Dia lagi...
Kenapa? Selalu itu yang ada dalam benakku. Kenapa?
Kenapa hujan harus turun? Kenapa pelangi tak muncul tanpa
44 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
hujan? Kenapa daun-daun di balik jendela itu bernapas dan tak
keberatan berderai karena angin, kedinginan dan kuyub oleh
hujan? Kenapa dia lagi...
Aku tidak butuh, tidak. Kenapa? Tapi, siapa mampu
menjawabku? Menjawab semua pertanyaan yang sia-sia ini.
Kenapa aku harus berada di sini? Kenapa? Aku punya
mimpi. Aku memegang pelangiku sendiri bahkan sebelum
hujan sempat turun. Lalu hujan turun dan menghapus semua
warna yang kupunya, semuanya. Semua harapan dan impian
yang kukantongi hilang, lenyap, seolah harapan dan impian-
impian itu tidaklah nyata, hanya ada dalam khayalan atau
mimpiku. Aku hanya manusia dan itu terasa sangat
menyakitkan. Aku tidak bisa menerima realita yang
menggelikan itu, tapi aku harus, aku dipaksa.
Mara. Semua berawal dari satu kata itu, satu nama.
Mara Kinanthi. Dia adalah satu-satunya yang mampu
membuatku tersenyum dan tertawa walaupun ingin sekali aku
menyiksa diriku ketika melihat pedihnya dunia selama hampir
7 tahun terakhir, sejak aku mengenalnya. Dia adalah satu-
satunya yang tahu hampir semua ceritaku dan tetap berkeras
mau tinggal dan menjadi sandaran bagiku, menemaniku dan
dengan sedia memberi tangan ketika aku butuh digenggam. Dia
adalah satu-satunya. Tapi, dia juga adalah satu-satunya orang
yang tidak kuinginkan melihatku sekarat seperti ini.
Kenapa? Sekali lagi, kenapa? Dan kenapa? Kenapa
hujan harus turun? Kenapa pelangi tak muncul tanpa hujan?
Kenapa daun-daun di balik jendela itu bernapas dan tak
keberatan berderai karena angin, kedinginan dan kuyub oleh
hujan? Bisakah aku mendapat jawaban, sekali ini saja.
Dia lucu. Mara selalu bisa membawa dirinya menjadi
orang yang selalu dirindukan keberadaannya dan dibutuhkan
suaranya dalam keadaan apapun. Orang akan tersenyum dan
tertawa ketika bersama Mara, karena begitulah dirinya. Dia
lucu. Ocehannya, yang walaupun pedas dan blak-blakan
mengomentari apa yang tidak sesuai dengan hatinya, selalu
cerdas dan mampu menyalurkan kehangatan di antara sebuah
meja pertemuan. Aku tidak selalu hadir di setiap kesempatan
dalam hidupnya, karena aku punya hidupku sendiri, tapi aku
tetap tahu semua itu, karena begitulah dirinya, dan aku tidak
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 45
mau melihatnya sedih atau terbebani atau apalah itu karena
diriku, lebih baik aku mati saja, itu sebabnya aku tidak
memberitahu dia, dan tidak pernah berniat memberitahunya.
Glioblastoma multiforme adalah salah satu jenis tumor
otak primer yang muncul dan berkembang di sel glial otak dan
merupakan jenis tumor otak yang paling umum dan juga paling
agresif. Apa yang mungkin timbul dalam benakmu jika aku
mengatakan hal itu? Apa? Apa kau akan berteriak amit-amit
dalam hatimu? Apa kau akan meringis atas kemirisan hidup
orang-orang yang mendapat tumor itu? Apa kau akan memberi
jawaban "no comment" padaku karena perkataanku sama
sekali tidak menyentuh hatimu? Or, do you even have a heart at
all? Aku tidak mau apa-apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana
responmu. Karena, 4 bulan yang lalu aku divonis tumor itu. No
comment? Okay. Fine. Aku hanya ingin memberitahu hal itu
pada seseorang karena satu-satunya orang yang ingin
kuberitahu sebaiknya tidak kuberitahu, karena aku terlalu
mengasihinya. Atau, apa aku harus mengatakan kalau aku bisa
mati kapanpun sejak satu minggu yang lalu?
Masih segar dalam ingatanku ketika aku membawa
Mara pergi di hari ulang tahunnya. Itu 2 tahun lalu. Kami pergi
ke pantai selatan, lalu makan siang di Taman Safari Indonesia II
di Prigen. Malam itu, kami bahkan masih menyempatkan diri
memberi kejutan ulang tahun untuk Rum. Itu adalah
perjalanan yang gila melelahkannya. Tapi, aku tahu aku tidak
akan mudah melupakannya, bahkan setelah sel otakku rusak
seperti sekarang. Itu yang kucari, suatu kenangan yang bisa
menggores hatiku dan jiwaku yang sepi.
Ada satu kejadian lucu yang berhasil menjelikkan
mataku tentang Mara hari itu. Dia menantangku untuk foto
sambil menggendong seekor bayi orang utan. Dia tahu aku
tidak suka bersentuhan dengan hewan, tapi dia membuatku
harus melakukannya untuknya. Lalu orang utan yang bernama
Mitsy itu mencium pipiku dengan tiba-tiba. Bayangkan, betapa
terkejut dan ngerinya aku saat itu. Aku germaphobia. Namun,
begitu aku mendengar tawa yang keluar dari mulut Mara, aku
merasa semua tidak penting lagi. Aku tidak peduli kalau aku
fobia pada kuman, hal-hal kotor, dan bakteri berlebihan, dan
kalau Mitsy sangat mungkin membawa itu semua pada dirinya.
46 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Aku jatuh cinta untuk kali yang kedua pada Mara hari itu, tepat
setelah gelak tawanya sesaat setelah aku menggendong Mitsy
menyentuh kalbuku. Dan saat itu, siapa yang peduli dengan
glioblastoma?
Aku tak pernah tahu alasan sesungguhnya dia
menerimaku sebagai kekasihnya. Mara selalu berkata, kalau
aku bertanya bagaimana dia bisa menyukaiku, dan dia selalu
menjawab, “Haruskah ada alasan untuk seseorang menyukai
orang lain atau sesuatu hal? Tidak.” Gosh. She always left me
speechless.
Tapi, aku dan dia, kami berbeda, tentu saja benar, tidak
ada manusia yang sama dan serupa di bumi ini, tapi bukan itu
maksudku. Kehidupan yang kujalani sangat berbeda, jauh
berbeda dari yang dijalani Mara. Aku bisa bilang, aku bukan
lelaki yang paling beruntung di dunia, tapi setelah aku bertemu
Mara, semua pikiran itu hilang. She flipped my world upside
down. Aku bahkan tidak peduli lagi kalau Mara adalah anak
konglomerat dan aku hanya seorang putra yang tidak
diinginkan. Aku bahkan tidak peduli lagi kalau nanti dia akan
menjadi pengacara sukses setelah lulus S2 di Australia dan aku
hanya berharap menjadi seniman jalanan yang hanya butuh
tempat untuk pulang, walaupun aku tahu sekarang jika
harapan yang rendah itu tidak akan pernah terwujud. Aku
tidak peduli. Aku hanya tahu kalau aku mencintainya, aku jatuh
untuknya. Mara Kinanthi.
“Menurutmu, kenapa hujan turun?” Mara satu kali
bertanya. Aku dan dia masih SMA saat itu. Dia mengajakku pergi
ke Junrejo untuk mengunjungi makam neneknya. Tapi, hujan
datang dan kami harus berhenti untuk berteduh di teras sebuah
rumah tua yang tak berpenghuni karena lupa membawa jas
hujan.
“Karena ia memang harus turun?”
“Entahlah. Mungkin kau benar.” Dia menggelengkan
kepalanya, tampak berpikir keras tentang sesuatu. “Ada yang
berkata, hujan harus datang agar kita dapat melihat pelangi.”
Itu pertama kalinya aku mendengar pandangannya
tentang hujan. “Tapi pelangi tidak selalu muncul setelah hujan.”
“Well, kita hanya terlalu terpaku pada hujan untuk bisa
melihatnya.”
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 47
“Mara,” panggilku setelah hening beberapa saat. “Aku
menyukaimu.”
Sebuah senyuman manis muncul menghiasi wajahnya.
“Benarkah? Aku juga.”
“Yan.”
Aku menoleh dari kaca jendela yang tidak lagi
berembun karena hujan yang mulai mereda. Rum baru datang.
Gadis itu kelihatan lesu sekali. Aku sangat jahat padanya
karena telah membuatnya melakukan semua ini. Tapi, aku
tidak pernah memintanya. Secara kasar, dia hanya
menungguku mangkat dari dunia yang terlalu lembab dan
menyesakkan ini. Tapi, Rum tetaplah sahabatku. Mungkin dia
tidak membutuhkan aku sebagaimana aku membutuhkannya.
Tapi, tetap, dia tinggal untukku, di sini, sampai nanti.
“Apa kau akan tetap duduk di sana sampai aku
menyeretmu pergi?”
“Aku tidak bersemangat untuk apa pun.”
“Kalau begitu, kenapa kau tidak mati sekarang saja?”
“Kau benar. Tapi, aku juga tidak tahu kenapa.”
Rum mendengus. Dia menarik troli berisi makanan
untukku pagi ini yang ditinggalkan seorang perawat laki-laki
setelah Rum memintanya. Jangan heran. Gadis tomboi ini
adalah cucu pemilik rumah sakit ini. Mereka memberikan
apapun yang dia minta.
Huh. Dunia ini sungguh adil! Lelaki busuk sepertiku
malah berakhir di tengah orang-orang seperti Rum dan Mara.
Memang, setelah kupikir-pikir, Mara jauh lebih pantas
menjalani hidupnya yang berada di antara gula kapas dan emas
bersama Hans sialan itu. Walau aku masih tetap mencintainya.
Tapi, bukankah cinta tidak harus saling memiliki? Well, kupikir,
Mara tidak akan bahagia hidup selamanya bersamaku.
Maaf saja, aku baru bisa berpikir jernih dan lebih
masuk di akal setelah aku benar-benar menjauh dari Mara dan
pesonanya yang memabukkan, dan sakit hingga hampir mati.
Tapi, benar, secara logis, 86% kemungkinan yang ada adalah,
jika aku tidak pernah mengidap tumor lalu memutuskan untuk
menikahi Mara, gadis bodoh itu tidak akan bahagia. Mara hidup
dalam suatu keyakinan prinsip yang tidak kumiliki. Sebelum
melakukan apapun, dia sudah harus mempunyai visi dan misi
48 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
yang jelas, di mana aku hanya mengandalkan perasaan semata
untuk menghadapi kejutan dalam hidup yang pasti datang
setiap detiknya. Aku kedengaran cengeng, ya. Sudah pasti! Pria
mana yang seperti diriku? Tapi, sudah kubilang Mara dan aku
sangatlah berbeda. Dan, kalau ada orang bilang menikah tidak
penting dengan orang yang berduit, semua bisa asal saling
mencintai, that's bullshit! Makan 'tuh cinta!
“Ini, makanlah," kata Rum setelah dia menata rantang-
rantang dan mangkuk di atas meja di dekatku duduk. Lalu Rum
pergi berdiri di dekat jendela, menatap hujan dan awan gelap
yang membuatnya bergidik.
Aku tidak memakan sebagian besar dari makanan yang
diberikan untukku. Aku tidak bisa lagi mengecap seperti
manusia dan aku tidak pernah lapar lagi. Toh nanti aku juga
akan memuntahkannya keluar. Aku tidak perlu semua ini.
“Aku bertemu dengannya pagi ini saat aku
meninggalkanmu dan pulang.”
“Siapa?” Aku bertanya.
“Mara.”
“Oh.”
“Dia bertanya tentang kau. Dia kira aku tahu di mana
kau dan apa yang kau lakukan.”
“Begitu. Apa yang kau katakan untuk menjawabnya."
“Aku tidak benar-benar menjawabnya. Aku
mengalihkan pembicaraan pada Hans.”
“Hans bersamanya?”
“Aku berpapasan dengan mereka di supermarket dekat
rumah.”
Ada banyak hal yang tidak kuinginkan hadir dalam
hidupku yang tak kusangka singkat ini. Misalnya glioma busuk
ini, lalu ketika Mara mulai melangkah menjauhiku. Sebenarnya,
yang terakhir itu adalah karena kebodohanku sendiri, tapi aku
tidak bisa menahannya, aku ingin sekali menyalahkan orang
lain. Tapi, bisakah aku?
Dan aku masih belum pernah menyesal mencintai
Mara. Aku pernah melakukan suatu hal yang amat bodoh
sampai aku ingin menghajar diriku sendiri. Aku terlalu egois
dan ayah Mara, orang yang paling dicintai orang yang kucintai,
meninggal dunia. Aku bahkan tidak tahu apa yang
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 49
menyebabkan kematiannya, tidak sampai sekarang, dan aku
tidak di sana untuknya, aku yang selalu berkata kalau aku
mencintainya.
Setelah itu, semua hal bergeser dari harapan dan
keharusan. Aku melihat keluarga Mara menjauhkanku darinya
dengan membawa Hans ke dalam hubungan kami. Apa yang
bisa kulakukan? Apa? Aku marah pada diriku sendiri. Tapi, lalu,
glioma ini datang dan menyerang batin dan pikiranku lebih dan
lebih dari yang mampu kuterima. Aku putus asa dan semua
tidak pernah menjadi sama lagi. Aku berubah, Mara berubah,
dan kami berakhir. Itu adalah satu hari terindah sekaligus
paling menyedihkan seumur hidupku.
“Mara, kau pantas mendapat yang lebih dari ini.
Maafkan aku karena tidak bisa menjadi yang lebih dari ini.”
Aku berkata padanya setelah berusaha keras memberikan
kenangan terakhir yang paling menyenangkan untuknya. Itu
terakhir kali aku berbicara dengan Mara dan dia tidak akan
pernah tahu permasalahanku dengan glioblastoma.
“Apa kau masih ingin kubawa berkeliling di tengah
hujan begini?”
“Kalau kau tak keberatan.”
“Aku tidak pernah merasa keberatan untuk ini,” Rum
berkata pelan, berlalu untuk mendekatkan kursi roda yang
terdampar di ujung ruangan padaku dengan sabar.
“Maaf, aku selalu merepotkanmu,” kataku saat aku yang
rentan ini dipegangnya untuk berpindah dari kursiku ke kursi
roda.
Rum tertawa pelan, mendorong kursi roda yang
kutempati keluar dan menyusuri koridor yang cukup ramai
karena semua orang terjebak di gedung ini karena hujan. “Aku
tidak pernah menyangka kau akan berkata seperti itu.”
“Aku juga.”
Rum sangat polos dan tak segan berteman dengan
siapapun. Dia tomboi dan kami sudah berteman sejak kami
sama-sama kelas 2 di SMAN 4 Malang. Aku dan Mara sering
menghabiskan waktu bersamanya. Rum dan Mara berteman
cukup akrab ketika bertemu denganku. Rum adalah orang
pertama yang kuberitahu tentang perasaanku pada Mara. Dia
seperti buku harian yang bisa berjalan dan merespon.
50 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Walaupun kelihatan seperti anak kecil dan manja, dia
adalah orang yang bisa bicara tentang banyak hal ketika
seseorang memulainya. Rum adalah satu-satunya yang mampu
membuatku bicara tentang kondisiku yang sebatang kara,
bahkan sebelum Mara tahu apapun. Dia seolah mampu
menyihir mulutku untuk bergerak dan mencurahkan semua
yang telah kukubur dalam-dalam dan kutimbun dengan banyak
rongsokan yang menyamarkan. Itu alasan kenapa dia adalah
orang pertama yang kucari setelah aku mendapat diagnosa
untuk sakitku, dan bukan Mara. Aku sangat bersyukur memiliki
teman seperti Rum. Tak ada yang lebih setia dari dirinya yang
selalu bersemangat ini.
Kami tidak menemukan tempat yang baik untuk
dikunjungi dalam cuaca seperti ini, dan belum 15 menit kami
meninggalkan ruangan, Rum mendorongku kembali ke kamar.
Dia sudah memaksaku menempati ruangan kelas 1 yang
kosong ini. Aku sempat menyesal karena itu. Tapi, sudahlah...
“Rum. Aku ingin berbaring. Aku lelah.”
“Apa? Apa kau…”
“Mungkin tidak. Aku hanya ingin berbaring dan itu
saja.” Aku mencoba untuk berdiri, tapi dia sudah memegangiku
sebelum aku sempat goyah dan baru melepasku ketika aku
sudah di bawah selimut tipis bergaris yang membosankan ini.
“Ada beberapa hal yang ingin sekali kutahu
jawabannya. Terima kasih karena kau ada di sini, tapi, bisakah
kau menjawab pertanyaan-pertanyaan itu untukku? Apapun,
jawab saja. Aku hanya ingin memperkatakannya dan
mendengar seseorang berkata everything's gonna be alright
padaku. Sekali ini saja, aku ingin menjadi anak kecil yang
banyak tanya.”
“Baiklah,” jawab Rum saat dia duduk di sebuah kursi di
sampingku. Matanya yang lelah dan kemerahan memandangku
dengan bosan.
Aku memejamkan mata, memerhatikan kegelapan yang
menggantung di balik mataku yang memudar. Aku berusaha
tenang, tapi, jantungku berdebar kencang. Antisipasi yang
berlebihan untuk sekadar menanti beberapa jawaban yang
tidak pasti kebenarannya. “Bisakah kau mendengarku?”
“Mungkin jika kau berbicara lebih keras.”
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 51
“Seperti ini?”
“Ya.”
“Rum?” Aku mengucapkan namanya dengan lidah kelu.
“Kenapa kau masih di sini?”
“Apa maksudmu? Katamu, kau ingin berbicara.”
Aku menyela, “Bukan. Maksudku, kenapa kau masih
mau datang dan melihat mukaku?”
“Bukankah, bukankah sudah jelas?” Dia menjawab
dengan gugup.
Aku menoleh lalu menatapnya lekat. “Apa?”
Sebuah seringai palsu muncul di wajahnya yang mulai
berminyak. “Huh, Ian Fannani, apa yang sebenarnya kau
bicarakan?”
“Rum, jawab saja. Aku juga tidak benar-benar tahu apa
yang kubicarakan. Aku hanya ingin ada yang menjawab
pertanyaan-pertanyaan di benakku,” ujarku, merasa sedikit
kesal dan tidak sabar.
Dia diam, matanya terarah pada kaca jendela yang
menampakkan hujan yang datang kembali bahkan sebelum ia
benar-benar pergi. Mataku berair. Tidak. Aku tidak menangis.
Keduanya hanya tiba-tiba berair, atau berlendir lebih tepatnya,
lendir yang lebih mirip air, tapi ini bukan air. Pandanganku
kabur dan kepalaku terasa luar biasa sakit sampai aku tidak
ingin mengeluh lagi. Aku hanya ingin ini cepat berakhir.
“Lalu, kenapa? Kenapa kau masih di sini?”
Rum menghela napas panjang. “Sederhana, karena aku
masih melihatmu.”
“Melihatku?”
“Aku selalu memperhatikanmu. Tapi, rupanya, hanya
Mara yang memenuhi penglihatanmu.”
“Maaf. Tapi, kurasa, apa yang kau katakan itu benar,
dan akan tetap seperti itu.”
Dia mendengus. “Bodoh.”
“Aku memang bodoh. Menurutmu, apa Mara masih
mungkin melihatku?”
“Aku tidak tahu.”
“Apa kau marah karena hanya Mara yang kulihat?”
“Sedikit. Tapi, aku cukup bersyukur masih bisa
melihatmu sampai detik ini.”
52 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Jangan. Kau akan menyesal dan nanti kau akan
berbuat di luar akal saat aku mati.”
“Kita tidak tahu itu. Tanya yang lain saja. Hibur aku
sekali-sekali. Kau tidak pernah membuatku senang.”
“Well, kita tahu itu tidak benar. Tapi, Rum, apa kau
punya setitik ide kenapa aku berada di sini sekarang?”
“Kau harus menjalani takdirmu?”
“Aku tahu itu. Tapi, kenapa, atau bagaimana? Kadang,
aku masih belum bisa menerima semua ini.”
“Bolehkah aku mengatakan sesuatu tentang itu?”
“Tentu saja. Katakanlah.”
“Aku tidak pernah menerima kenyataan bahwa kau
bersama dengan Mara.”
“Apa? Bahkan setelah 7 tahun?”
“Bahkan hingga aku menyatakannya padamu.” Rum
mengiyakan. "Aku menyukaimu. Kukira itu tampak jelas.
Rupanya hal itu hanya ada di pikiranku. Ya, aku tidak pernah
menerima kebersamaan kalian. Tapi, aku juga tidak melakukan
apapun, karena itu kau, dan karena Mara adalah teman
dekatku. Aku hanya melihat dan diam. Aku tidak merasa perlu
melakukan apapun, karena kupikir, untuk apa. Beberapa bulan
terakhir, aku bahkan berpikir kalau sebenarnya aku tidak
menyukaimu sedalam itu, atau aku justru tidak benar-benar
menyukaimu, tidak sama sekali dan hanya iri pada Mara. Huh.
Gadis itu selalu mendapatkan apapun.”
Dia tersenyum sedih. Sayang, aku tidak lagi mampu
merasa kasihan ataupun bersalah. Entah. “Tapi, tidak. Aku
memang menyukaimu sedalam itu, atau aku tidak akan berada
di sini sekarang.”
“Kadang,” Rum menghela napas panjang. Aku seolah
mampu melihat air mata berkumpul di sudut matanya, tapi dia
keburu mengerjap dan melenyapkan jejak kepedihan yang
digoreskan hidup itu sebelum aku memastikannya. “Sebagai
manusia, yang bisa kita lakukan adalah tidak ada, atau
menerima kalau kita hanya punya pilihan untuk diam dan
melihat, kalau tidak menerima dan menelan semua dengan hati
lapang, berharap masih ada cukup ruang di dalam sini.” Dia
menepuk bagian tengah dadanya pelan.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 53
Aku menatapnya cukup lama sebelum aku menemukan
kekuatan dalam diriku sendiri untuk sekadar mengangguk
untuknya.
“Tidak ada yang menyuruh kita untuk menerima ini
atau itu atau apapun. Kita bisa diam. Tapi, aku yakin tidak ada
orang sebodoh aku yang mau tetap berdiam dan berdiam. Aku
hanya butuh waktu sampai sesuatu berubah, badai ini berhenti,
atau petir semakin sambar menyambar.”
Aku mengulum senyum pahit. Benar. Rum benar. Apa
lagi yang ingin kukatakan?
“Apa ada hal lain yang ingin kau katakan? Aku mau
keluar sebentar dan membeli cola.”
“Aku bisa melanjutkan ini untuk nanti. Tak apa, kau
pergilah. Aku akan tetap di sini.”
“Ian, apa kau akan baik-baik saja?”
Aku tersenyum untuknya. “Tentu. Aku baik. Jangan
khawatir. Pergilah.”
“Aku tidak akan lama. Tunggu aku.”
“Kau ini... Sudah, sana beli cola-mu!”
“Tunggu aku, berjanjilah.”
“Tentu.”
Suara langkah kakinya menjauh hingga aku tidak bisa
menjangkaunya lagi, dan dia meninggalkanku seperti ini. Aku
kelelahan. Tapi, apa aku akan mengatakan padanya kalau aku
lelah? Aku tidak mau menjadi manusia seperti itu.
Napasku semakin memburu setelah benakku
memproduksi pikiran itu, tepat setelah Rum menutup pintu di
balik punggungnya. Aku kelelahan. Aku tidak lagi merasakan
sakit. Tidak. Karena, apa sebenarnya sakit itu? Apa sakit kau
rasakan ketika kau jatuh dari sepedamu setelah hilang
keseimbangan? Apa sakit kau rasakan saat aku mencubit
lenganmu dan kau tahu kalau semua ini nyata dan tidak hanya
ada dalam kepalamu? Apa sakit kau rasakan setelah kau
menyadari bahwa tidak ada yang mengharapkan kelahiranmu
sehingga kau merasa tidak bisa berbuat apapun untuk
membahagiakan siapapun? Apakah itu sakit? Aku tidak benar-
benar mengenalnya.
Tanpa sadar, mataku memandang pada dunia yang
menangis di balik jendela. Hujan. Hujan deras sekali.
54 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Kenapa? Kenapa hujan harus turun? Kenapa pelangi tak
muncul tanpa hujan? Kenapa daun-daun di balik jendela itu
bernapas dan tak keberatan berderai karena angin, kedinginan
dan kuyub oleh hujan? Kenapa, hujan?
Aku menghela napas, melepaskan semua pada hujan,
seolah hujan bisa menghapus semuanya.
Hari ini, ketika Rum mendorongku melewati pelataran
tengah rumah sakit, aku melihatnya bersama Hans, aku melihat
Mara. Aku tidak ingin tahu kenapa dia bisa ada di sini.
Lagipula, apa yang bisa kulakukan? Aku hanya melihatnya dari
kejauhan dan diam-diam melepas air mata yang telah
berkumpul di dada. Itu sakit, tapi aku percaya, tidak lama
sampai semua sakit itu pergi, dan aku tetap mencintainya
sampai nanti. Ini sepadan dengan apa yang tidak harus
dirasakannya jika Mara tetap di sini, menunggu hujan ini
sepenuhnya reda. Itulah sakit di mataku, yang telah kukenal
sejak aku belum mampu untuk mengingat apapun.
Hujan,kenapa kau datang, dan kenapa kau tidak pergi,
supaya aku bisa melihat pelangi dan mendapatkannya untuk
kusimpan selamanya? Hujan.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 55
Hujan dan Ingatan Nayla
Yadi Karyadipura
Lampu taman belum padam. Pertanda masih
tertutupnya cahaya matahari yang menjadi pemantik tombol
saklar otomatis bagi lampu-lampu yang berada di taman yang
selalu menghijau dan berbunga. Cahaya dari lampu-lampu
taman berpendar di antara gemericik hujan yang turun pagi ini.
Rinai yang menggelincir di ujung daun itu perlahan menderas.
Dedaunan yang telah menua pun tak sanggup menahan
siraman hujan lebat, lantas berguguran di taman sebuah rumah
mewah.
Selagi menatap halaman yang sedang kuyup diguyur
hujan lebat, Nayla sering terlihat tersenyum sendiri. Terkadang
Nayla tertawa terbahak-bahak seperti sedang menonton
komedi yang penuh adegan lucu. Namun pada akhirnya Nayla
selalu menangis sesenggukan. Seperti merasakan sakit yang
teramat dalam.
Tangis dan tawa Nayla saat menatap hujan selalu
mengantarkan ingatannya pada Darwis. Di suatu pagi yang
selalu terkenang, Darwis ada di samping Nayla. Keduanya
terduduk sambil menatap hujan. Di sana, sebuah gazebo yang
menjorok ke taman. Kala itu keduanya membiarakan hal-hal
yang indah. Darwis berjanji akan menikahinya, sebelum pria
yang dicintai Nayla itu pergi merantau.
Terdengar derit engsel. Pintu kamar terbuka. Ibu
Nastiti berdiri di ambang pintu. Perempuan paruh baya itu
masuk dengan memakai mantel dan syal.
“Ya Tuhan, tak seharusnya kau selalu seperti ini,”
katanya sembari mengambil pakaian hangat dan syal yang
tergeletak di atas kasur.
Meski pun tidak menggubris kehadiran seseorang yang
baru saja masuk ke kamarnya, namun tangisan Nayla seketika
terhenti. Punggung tangannya lantas berayun menyeka sisa air
mata yang masih mengalir di pipinya.
56 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Nayla,” katanya lagi. “Sadarlah, anakku…! Pakailah ini!
Udaranya sangat dingin!” Ibu Nastiti berjalan mendekati Nayla.
Memakaikan mantel di badan Nayla, lalu melingkarkan syal di
lehernya. Ibu Nastiti memeluk Nayla dari belakang.
“Bu, Darwis kehujanan!” Nayla menunjuk jalanan yang
terlihat di balik kaca jendela kamarnya. “Kasihan, Bu. Darwis
basah kuyup. Tolong biarkan dia masuk!”
“Tidak ada siapa-siapa di sana, Nayla,” jawab Ibu Nastiti
sambil membelai rambut Nayla. “Bagaimana kalau kita
membuat cokelat panas? Kita taburkan sedikit krim dan cherry
di atasnya.”
“Apa Ibu tidak kasihan padanya?” nada suara Nayla
meninggi dengan tetap menunjuk keluar. “Biarkan Darwis
masuk dulu. Sebentar saja, Bu!”
“Tidak ada siapa-siapa, Nayla! Tidak ada!” Nada suara
yang menjawab itu tidak kalah tinggi. Lalu seketika hening
menyergap. Keduanya lantas terdiam.
Nayla bangkit berdiri. Berjalan menuju kursi dekat
jendela. Nayla lantas terduduk di kursi itu. Pandangannya tetap
mengarah keluar jendela. Sedikit pun tidak melirik ibunya yang
duduk termangu di atas tempat tidur.
“Sampai kapan kau seperti ini, anakku?” ujar
perempuan paruh baya itu. “Tolong kasihanilah ibumu ini,
Nak!” Perempuan yang mulai beruban itu pun mengisak.
Namun patahan suaranya tidak mengusik keheningan.
Sedikit pun tidak ada kata untuk menjawab. Wajah
Nayla kembali mendung, lalu air mata kembali menghujani
wajahnya. Seperti mengerti keinginan anaknya, perempuan
paruh baya itu meninggalkan kamar Nayla yang selalu
menebarkan wangi yasmin.
Rona wajah Nayla kembali bersinar setelah ibunya
meninggalkannya sendirian. Beranjak dari kursi, lantas berdiri
dekat teralis yang menjadi pigura jendela. Begitu syahdu
menatap hujan yang menjadi kesenangannya dalam beberapa
hari terakhir ini. Ya, Nayla sangat menyukainya, sebab dengan
cara seperti itu batinnya bisa menyerap kesegaran air yang
berjatuhan di langit, kesegaran yang bagi Nayla mampu
menentramkan hati dan pikirannya yang selalu bergejolak.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 57
“Hujan pagi ini sangat indah,” Nayla bergumam dalam
hati. Embus napasnya mengembun di permukaan kaca.
Telunjuknya menggambarkan bentuk hati di kaca yang
mengembun. Menatap gambar itu, seperti menerawang
keadaan Darwis di ujung sana.
Di luar, dinginnya udara telah mengubah embun
menjadi kabut. Pandangan rintik hujan pun sedikit terhalang.
Kabut kian menebal, lalu menjuntai menyentuh tanah.
Perlahan, kabut pun menutupi Bunga-bunga yang tumbuh di
halaman. Nayla kini menatap kabut. Dalam pekatnya kabut ia
semakin merasakan kesendirian setelah kepergian Darwis.
Nayla bergumam dalam hati, “Semoga kau di sana merasa
seperti yang kurasa.”
Merasakan udara dingin yang menghujam hingga ke
dasar hati. Nayla membayangkan kehangatan saat Darwis ada
bersamanya. Memeluknya saat turun hujan.
Mata Nayla melihat kubangan air yang bermunculan di
halaman. Senyumnya kembali terbit, memperindah wajah yang
cukup lama tidak dipulas berbagai kosmetik. Namun pada saat
yang hampir bersamaan, bayangan yang penuh luka dan rasa
sakit berkelebat kembali, menari-nari dalam ingatannya.
Seketika, hinggap di benak Nayla ingatan kandasnya
impian yang sudah hampir diraihnya di depan mata. Rasa rindu
yang bergulung dengan penantian pada seorang lelaki yang
telah pergi.
“Aku akan pergi ke Bandung. Di kota itu, aku punya
banyak teman, dan ada banyak tempat untuk berkarya.” Begitu
katanya saat mendatangi Nayla untuk terakhir kalinya, di pagi
hari yang diguyur hujan.
Nayla meyakini jika keputusan itu dibuat berdasar
pada rasa sakit atas perlakuan buruk yang diterima dari
ayahnya, Pak Darmono. Dan seketika, ingatan yang muncul
berganti pada ayahnya yang telah tega memisahkannya dengan
seseorang yang dicintainya. Pak Darmono tidak menginginkan
menantu seorang seniman.
“Lupakan, dia! Dia tidak cocok buat kamu, juga akan
sulit diterima oleh Keluarga Besar Mangun Kusumo.”
“Ayahmu benar, Nak! Sebaiknya kau berdandan
sekarang. Malam ini kita diundang makan malam di hotel milik
58 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Pak Sugeng Mangun Waluyo. Baskoro, anaknya Pak Sugeng
ingin berkenalan denganmu.” Ibu Nastiti menyela sembari
memilih tusuk konde untuk sanggul yang akan dipakainya
malam ini.
Di usia yang menjelang kematangan inilah, Nayla untuk
pertama kalinya merasakan kebencian pada ibunya sendiri.
Ketamakan telah mengubah petuah sang ibu yang menjadi
hasutan yang menyesatkan siapapun. Termasuk suaminya
sendiri. Ketamakan yang mengganti kasih sayang dengan
arogansi. Ibu Nastiti melangkah terlalu jauh ke ranah kebijakan
politik. Ketamakan dan arogansi itu pada akhirnya menjadi
bencana bagi keluarga. Pak Darmono dipenjara karena
menerima suap dari Pak Sugeng untuk sejumlah proyek.
Sementara Baskoro yang digadang-gadang sebagai calon suami
Nayla, malah masuk panti rehabilitasi karena penyalahgunaan
narkoba.
Nayla kembali terduduk. Tubuhnya seolah tidak kuasa
menahan segala beban yang menghimpit hidupnya. Dirinya
merasa terkurung sepi di rumahnya sendiri. Hujan semakin
membekukan kerinduannya. Turun semakin deras, dan
semakin banyak genangan di tamannnya. Genangan yang
lantas mengalir seperti anak sungai yang tiba-tiba muncul.
Nayla seolah ingin tercebur dalam aliran sungai hujan.
Mungkin dengan cara seperti itu sungai bentukan hujan bisa
membawanya pergi. Nayla meyakini aliran sungai hujan ini
bermuara di pelukan Darwis.
Nayla ingin sekali bersandar di pelukan Darwis.
Merasakan kehangatan yang menetramkan kegaduhan dalam
dadanya. Nayla ingin sekali mengaduh betapa berat ia
menjalani hidup. Nayla akan berkata jujur jika ia nyaris gila
saat mengingat Darwis yang berdiri di tepi jalan, melambaikan
tangan pertanda perpisahan ketika turun hujan deras. Nayla
merasa ingatan itu seperti bayang-bayang kematian yang
membunuh kesadarannya saat ia lengah.
Kepergian Darwis tidak meninggalkan jejak apa pun. Di
mana Darwis tinggal, alamat mana yang ia tuju. Nayla merasa
khawatir karena ia hanya bisa merindukan Darwis saat hujan
turun di pagi hari. Maka tak ada yang dilakukan Nayla saat pagi
harinya terasa berbeda oleh hujan. Nayla hanya mematung
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 59
dekat jendela, memandang hujan. Ketiadaan jejak itu membuat
Nayla ingin menyampaikan pesan rindunya pada Darwis.
Hujan masih mengguyur. Lampu taman masih menyala,
dan Nayla tetap menatap hujan yang menjadi pengiring setiap
kejadian yang dialaminya. Nayla menanti saat Darwis kembali.
Kesetiaannya tidak berubah. Lewat pesan hujan ini, Nayla ingin
meyakinkan Darwis untuk setia hingga saat bersamanya tiba.
60 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Jangan Hari Ini
Cinta, Aku Harus Bagaimana?
NieshaYasmin
Suatu sore berselimut mendung pekat, di sebuah
bangku panjang sudut café Veranda, sebuah café yang terletak
di jalan Hayam Wuruk, Denpasar, Bali. Café sore ini terlihat
lengang, hanya ada aku dan beberapa karyawan café.
Sepanjang hari pekan ini aku terlalu sibuk dengan berbagai
masalah kantor. Terlebih ketika aku ditugaskan ke Denpasar
demi menggantikan manajerku yang sedang cuti honey moon
ke negeri sebelah, Singapura.
“Mbak!” teriakku memanggil salah satu waiters dari
sudut café.
“Mbak… Woy…!” tangan kiriku melambai ke arah
waiters yang paling cantik.
“Iya, Pak, mau pesan apa? Ini menunya.” Menyodorkan
list menu
Sekilas aku menatap wajah sendunya. “Cantik,” hatiku
kagum berbisik.
“Jangan panggil Pak, saya masih dibawah 30 tahun. 29
tahun lebih 8 bulan.”
“Hmm, baik, Bli. Tapi wajah Bli lebih cenderung mirip
om saya.” Dia tersenyum tipis kemudian mengangguk tanda
hormat.
“Whats wrong with my face, God??? Gue dibilang mirip
om-nya. Nggak cantik, udah gue telen idup-idup Lo.” Bisikku
sembari memilih menu yang cocok.
“Ini aja, nggak pakai lama dan nggak pake ngatain saya
mirip om Mbaknya.” Jari kiriku menunjuk salah satu menu.
Waiters cantik itu pun berlalu dengan senyum
menawannya. Senyumnya itu mengingatkanku pada sosok
wanita yang… Ah sudahlah. Kurang lebih mirip Chelsea Islan.
Andai saja saat ini aku tidak sedang menyelesaikan deadline
demi amanah dari manajer, pasti sudah kubawa ke KUA dan
kunikahi dia.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 63
Nampak dari layar monitor Macbook Air, keningku
mengerut. Berusaha fokus pada analisa data dan rencana
strategis yang akan kukerjakan 2 minggu di kota Dewata ini.
Tangan kananku menyangga kepala yang terasa semakin berat.
Tangan kiriku sibuk bekerja sesuai tugasnya, mencatat.
Plakkk!
Sebuah tangan mulus menepuk pundakku.
“Astaghfirullah… “ Kataku secara spontan. Plukk.
Bolpoin yang tadinya kupegang terjatuh. Tag name card-ku
juga terjatuh. Terpampang namaku Jalaluddin Rummi. Aku
segera mengaisnya. Kemudian aku menatap bergantian antara
waiters dan bolpoin yang terkulai di atas lantai. Dan aku tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti sebuah film klasik,
aku dan waiters cantik itu seolah saling berlomba untuk
memungut bolpoin tersebut.
“Ini, Bli. Maaf, sudah mengagetkan.” Tuturnya dengan
sopan dan senyum manisnya. “Oh Tuhan, bidadari surgakah
yang kau kirim saat ini?” hatiku berbisik.
“Um, oke.” Jawabku singkat. Bukan karena jaga image,
tapi berusaha menyimpan wajahku yang mulai nerveous.
Selang beberapa lama, adzan reminder di ponselku
menyuara. Aku segera membereskan semua yang ada di atas
meja. Bukan karena aku ingin menjadi orang yang baik. Tapi
inilah pesan terakhir ibuku sebelum beliau hijrah ke dimensi
lain.
“Nak, sesibuk apapun kamu, setinggi apapun jabatanmu,
sehebat apapun dirimu, jangan lupa Allah. Jangan lupa sholat.”
Aku menuju kasir untuk membayar, kemudian
bergegas ke Bali Rama Hotel, tempat inapku selama di
Denpasar.
Aku dan kamu kehilangan arah cinta. Dering nada lagu
Jangan Hari Ini-Fileski, dari ponsel di atas meja ruang kamarku.
Future Wife Ratri memanggil, dilayar ponsel.
“Iya, Halo Sayang? Calon ibunya anak-anakku, Abang
baru saja selesai ibadah.”
“Syukurlah, Abang makin solehah aja ya.”
“Solehah? Soleh, yang bener. Abang kan cowok.”
Kami mengobrol cukup lama. Dia adalah teman satu kampus
dan satu fakultas waktu kuliah di Jakarta dulu. Aku sudah lama
64 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
menjalin hubungan spesial dengannya. Selain cantik, dia juga
cerdas. Pantas menjadi rebutan para kumbang jantan jaman
itu. Sampai sekarangpun, pesonanya tetap memukau tiap
adam, tak terkecuali diriku. Besok adalah hari terakhirku di
Denpasar, kemudian aku akan kembali ke Jakarta dan kami pun
akan kembali LDR (long distance relationship). Aku
memanfaatkan sebaik mungkin selama di Denpasar. Bertemu
dia, keluarganya, menghabiskan sisa waktu kantorku
menemaninya. Paling sederhana, aku meneleponnya atau
sebaliknya, hanya untuk berbagi cerita dan melepas rindu.
Minggu pagi yang cerah, Denpasar begitu terik dan
menarik hati. Hari ini adalah hari terakhirku. Bagian
administrasi kantor sudah memesankanku tiket pesawat
secara online, kemudian men-forward konfirmasi ke inbox
emailku. Aku hanya melihatnya sekilas untuk memastikan jam
keberangkatan.
Tak lama, aku sudah sampai di depan rumahnya.
Kemudian aku masuk ke halaman. Aku tidak begitu canggung
bertemu orangtuanya, karena kami sudah lama kenal. Hampir
7 tahun aku mengenal Ratri dan keluarganya. Karena selama di
Jakarta, orangtuanya menitipkan Ratri di rumah tanteku. Jadi
tidak heran jika kami sangat akrab.
“Nak Rummi, ayo masuk. Ratri dan Ami sudah lama
menunggu. Ingin membicarakan masa depan kalian.” Ibu Ratri
tersenyum lebar, terlihat kebahagiaan di raut wajahnya.
“Pagi, Nak Rummi. Gimana hari ini? Kata Ratri, hari ini
terakhirmu di sini?” tanya Ayah Ratri.
“Iya, Pak. Nanti ba’da maghrib saya terbang lagi ke
Jakarta.” Jawabku sewibawa mungkin.
Ayah Ratri melirik Ibu Ratri seakan memberi isyarat
entah apa. Tak berapa lama, Ratri keluar dengan senyum
khasnya. Namun seperti ada yang berbeda dengan senyumnya
kali ini. Senyum yang entah bahagia karena kami akan
membicarakan masa depan, atau senyum sedih karena aku
akan kembali ke Jakarta. Entahlah…
Aku duduk bersebelahan dengan Ratri, dan berhadapan
dengan orangtuanya. Ternyata sudah disiapkan berbagai
makanan khas Bali yang pastinya makanan halal menurut
agamaku. Aroma hidangan lezat mulai memasuki rongga
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 65
hidung tanpa izin. Ratri mengambilkanku nasi. Nampaknya
makanan apapun akan selalu lezat jika dimakan bersama dia.
“Makasih, Sayang. Nggak sabar ingin halalin kamu.”
Celetukku
“Ehem.” Suara dehem Ayah Ratri.
“Enak, masakan Ibu, Nak Rummi?” tanya Ibu.
“He’em.” Aku mengangguk, menjawab sekedarnya.
“Jadi begini, Nak Rummi kan sudah lama kenal Ratri
dan kami,” kata Ayah Ratri
“He’em,” anggukanku tanda setuju.
“Apa orangtua Nak Rummi setuju kalau menikah
dengan Ratri?” tanya beliau lagi
“He’em,” aku kembali mengangguk.
“Syukurlah,“ sergah Ibu.
“Kalian sudah saling kenal lama. Sudah cocok. Sudah
saling nyaman. Sudah tahu keadaan masing-masing. Dan
mungkin inilah saatnya,” kata Ayah Ratri.
“He’em,” kali ini anggukanku semakin antusias.
“Mungkin inilah saatnya kalian berpisah, berpisah demi
kebaikan masing-masing.”
“Uhukk!! Ap… ap... apaaah?” tanyaku dengan raut wajah
bingung.
“Terima kasih atas kebaikan Nak Rummi selama ini.
Kami sekeluarga sudah sangat menyayangi Nak Rummi.
Apalagi Ratri? Dia yang jauh lebih sayang.”
“Ta.. ta.. tapi kenapa, Pak, Bu? Ratri, Rat… tolong jelasin
ke Abang.” Pintaku dengan nada cemas.
“Maafkan aku dan keluargaku, Bang. Aku sungguh
nggak ada niat untuk menyakiti Abang. Namun semakin jauh
kita menjalin hubungan ini, semakin jauh pula aku dari
Tuhanku, Bang. Aku memang bukanlah orang suci, tapi aku
terlahir dengan kepercayaan berbeda dari Abang.” Jelas Ratri.
“Apa ini juga masalah kasta?” tanyaku tegas.
Ruangan begitu hening, hanya isak tangis Ratri dan
ibunya yang bisa kudengar saat ini. Dahiku mengkerut,
mencoba menelaah keadaan.
“Aku sudah lama menduga akhirnya seperti ini. Aku
tidak menyalahkan siapapun. Aku pun tidak ingin menyalahkan
Tuhan mengapa kita terlahir berbeda. Kalian pasti tahu dan
66 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
paham, perasaan ini begitu berkecambah, tumbuh mengakar,
bahkan ibarat tanaman sudah tumbuh dedauan. Tapi kemudian
dicabut hidup-hidup. Kalian pasti tahu rasanya seperti apa.
Terima kasih juga selama ini telah menerimaku,” kataku gugup
menjelaskan.
“Ma… maafkan aku, Abang…” kata Ratri dengan
terbata-bata.
“Aku akan berusaha mencoba memahami. Tapi kenapa
baru sekarang? Saat perasan ini sudah begitu indahnya, Ratri?”
tanyaku. Tangan kiriku mengusap air mata yang hampir saja
meluap. Aku ingin terlihat tegar di depan Ratri dan
keluarganya.
“Aku pamit, baik-baik di sini. Di manapun. Dan dengan
siapapun nanti.” Aku beranjak dan mencium telapak tangan
orangtua Ratri.
Aku memustuskan untuk segera ke hotel dan bergegas
ke bandara. Aku memesan tiket lebih awal dan ingin segera
sampai di Jakarta. Tempat ini rasanya sudah tak layak lagi,
meski sekedar untuk disinggahi.
Aku dan kamu kehilangan arah cinta.
Dering nada lagu Jangan Hari Ini-Fileski. Sudah
berulang kali panggilan dari Ratri. Aku sengaja tidak
menjawabnya.
Kurang 15 menit lagi pesawat DPS-CGK take off. Aku
mematikan ponsel. Memejamkan mata. Air mata tumpah
mengairi pipi.
Plakk!!
Ada yang menepuk bahu kananku. “Kenapa, Bli?” tanya
seorang gadis.
“Kamu? Waitersnya Café Veranda, kan? Mau ke mana?”
“Alhamdulillah, mau mudik ke Jakarta.” Senyum
simpulnya memikat hati.
“Oohh…” jawabku sekedarnya.
“Mau dengar ini? Lagu enak buat nunggu.” Dia
memasangkan earphone ke telingaku.
Aku tak mau kita terpisah hari ini, saat ini
Mungkin selamanya mungkin juga sementara
Tapi jangan hari ini”
Fileski
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 67
Pertemuan
Rahadika Indra Permana
Sore itu langit berwarna oranye, suasana khidmat tiba-
tiba menjelma dibatas antara siang dan malam. Dari atap
gedung bertingkat, Rika sedang mengarahkan kameranya ke
segala penjuru, mencari sudut yang paling pas untuk
mendapatkan lanscape yang ia inginkan. Suasana di sore hari
memang selalu mengandung magnet magis tersendiri bagi Rika
untuk mengabadikan setiap momennya.
Tanpa sengaja kamera Rika menangkap sesosok lelaki
sedang berdiri di salah satu sisi gedung, memandang pada
kejauhan. Sebelumnya Rika juga tidak menyadari jika ada
seseorang di sampingnya, sedikit terkejut Rika mencoba
mendekat.
“Permisi.” Sapa Rika sembari mendekati lelaki itu.
Lelaki itu tampak tidak terkejut dengan kehadiran Rika
di sebelahnya. Ia tak bergeming.
“Permisi!” ulang Rika sedikit meninggikan suaranya
agar lebih terdengar.
Lelaiki itu menoleh ke arah Rika, “Tak apa, tak usah
pedulikan saya, saya hanya ingin menikmati langit sore ini.”
Sambil tersenyum, lelaki itu menambahkan, “Kalau kamu
terganggu dengan kehadiran saya, kamu bisa cari tempat lain.”
Mendengar hal semacam itu dari orang asing yang baru
pertama kali ia temui, sedikit membuat Rika jengkel. Dan apa
maksud dari senyuman itu? Namun akal sehat Rika masih
dapat menahannya untuk tidak menghamburkan emosi pada
lelaki itu. Tanpa berkata sepatah kata pun, Rika bersiap
berbalik, meninggalkan lelaki misterius yang masih asik
dengan duniannya sendiri. Namun belum sepenuhnya Rika
beranjak dari situ, tiba-tiba lelaki itu dengan sigap memanjat
tembok pembatas gedung, dan sekarang ia berdiri tepat di tepi
gedung tanpa ada apapun yang menghalanginya dengan tanah
yang berjarak 100 meter di bawahnya.
68 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Sontak melihat pemandangan seperti itu, Rika secara
intuitif meletakkan kamerannya dan berlari menghambur ke
arah lelaki itu.
“Hey, mau apa kamu!”
Gubrak!
Keduanya terjatuh di sisi yang lain, dan hanya
menghasilkan dua sosok tubuh terlentang bersebelahan
menghadap ke arah langit sore berwarna oranye.
“Kamu gila ya?” hardik Rika tanpa ada jeda. “Kalau mau
bunuh diri jangan libatin aku dong, emang kamu pikir aku suka
jadi saksi kematianmu?”
Di luar dugaan, lelaki itu justru malah tertawa lepas,
seperti ia telah mendapat suatu kemenangan. Rika dibuat
bingung, mungkin juga kesal oleh kelakuan lelaki itu.
“Kamu yang gila, gimana kalau tadi kita jatuh ke sisi
yang salah? Bisa jadi double suicide kita. Lagi pula, siapa yang
mau bunuh diri,” jawab lelaki itu tanpa beban.
Rika berdiri sambil membersihkan celana yang sedikit
ada pasir di bagian lututnya.
“Dengar ya, aku ke sini cuma mau hunting
pemandangan aja, bukan mau terlibat dalam kisah tragis
seorang lelaki aneh yang aku sendiri nggak tahu siapa.”
“Resa.”
“Apa?” tanya Rika memastikan apakah lelaki itu
mengatakan sesuatu sebelumnya.
“Nama saya Resa.”
Dan dari situlah awal Rika mengenal sebuah nama.
***
Nama yang sebulan lalu merupakan kosakata asing
dalam benak Rika, kini menjadi sebuah kata yang tak pernah
lepas dari ingatan dan hatinya. Resa adalah seorang melankolis
sejati, namun sedikit pun tak ada hal yang romantis dalam
dirinnya, malah cenderung dingin. Entah apa yang membuat
Rika tertarik pada sosok Resa.
“Rika, menurutmu apa setiap orang itu sama?”
“Ya nggak lah, kalau semua orang sama, kehidupan kita
nggak akan seperti yang sekarang kita jalani ini. Ada tukang
siomay, ada pemadam kebakaran, ada pegawai. Satu-satunya
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 69
hal yang sama ya kita semua ini sama-sama manusia, yang
menjalani kehidupan ini.”
“Aku nggak sangka kalau kamu ternyata punya
pemikiran sedalam itu tentang manusia.” Resa tersenyum
mendengar jawaban Rika.
“Justru kamu itu yang sukanya remehin orang, hati-hati,
sifat seperti itu bisa bikin kamu jumawa, tahu.” Rika
menasehati.
“Siapa bilang aku remehin kamu, aku justru terkesan,”
jawab Resa memberi penjelasan. “Kamu emang bener, kita
semua sama sebagai manusia. Aku harus berusaha sama
kerasnya dengan orang lain jika aku ingin meraih sesuatu yang
aku impikan.”
Entah mengapa, semenjak Rika mengenal sosok Resa,
mereka cukup sering membicarakan topik-topik yang
cenderung berat dan filosofis. Namun Rika tidak merasa hal
tersebut membosankan, justru setiap percakapan dengan Resa,
tak jarang Rika mendapati kehangatan dari setiap tutur Resa,
dan terkadang waktu berlalu tanpa ia sadari.
“Nah, itu baru namanya semangat,” timpal Rika sambil
menepuk punggung sahabatnya sekaligus seseorang yang
tanpa sepengetahuan Rika telah mencuri hatinya. “Memangnya
kamu punya mimpi apa?”
“Saya ingin melamar seorang gadis dalam waktu dekat
ini.” Resa tersenyum kepada Rika.
Seketika itu juga aliran darah di tubuh Rika
kesemuanya menuju ke arah otak, mendengar pernyataan Resa
yang demikian membuat konsentrasi Rika buyar, ia nge-blank,
wajahnya memerah. Rika merasakan bahagia yang luar biasa
saat itu, namun itu tidak berlangsung lama. Rika berhasil
meraih kesadarannya kembali, ia berfikir jernih.
O iya, aku kan belum tahu siapa gadis yang Resa
maksud. Rika, Rika, jangan bodoh ya kamu, mendadak
kegirangan hanya karena denger Resa mau ngelamar cewe.
Rika mengatur nafas, “Wah, selamat ya, siapa gadis
yang beruntung itu? Kapan-kapan kenalin dong.”
“Pasti, nggak lama lagi kamu juga bakal tahu siapa
orangnya. Dia itu orang yang deket banget sama aku.”
70 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Harapan Rika kembali diangkat tinggi ke langit. Detak
jantungnya kembali memburu.
Resa bego! Kenapa sih kamu nggak ngomongnya to the
point aja, pake acara muter-muter segala. Kamu mau bunuh aku
pelan-pelan, ha? Tau nggak sih kamu kalau jantungku udah mau
copot rasanya. Aku tu sayang sama kamu!
***
Suasana riuh dan gembira memenuhi setiap sudut
ruang bola pada malam itu. Suasana yang sakral sekaligus
gegap gempita mengisi langit malam yang memesona dengan
taburan bintang dan purnama. Dua insan yang tengah
berbahagia duduk di atas pelaminan, siap untuk mengarungi
bahtera kehidupan berdua. Bak Raja dan Ratu yang bertahta
atas langit malam, keduanya memancarkan aura yang sangat
cemerlang.
Tanpa disadari air mata Rika menetes membasahi
pipinya, diusapnya berkali-kali peluh yang sempat menetes
hingga ke dagunya. Ia tak ingin memperlihatkan air matanya
kepada orang lain di hari yang penuh dengan kebahagiaan
seperti hari ini, hari ulang tahunnya. Terutama di depan sosok
yang sebentar lagi akan berhadapan dengannya.
Rika berada di barisan para tamu undangan yang juga
ingin memberikan selamat kepada kedua mempelai dan
keluarganya.
Sekali lagi Rika mengusap air mata yang jatuh ke
pipinya, ia tak ingin menampakkannya kepada seseorang yang
sebentar lagi akan ada di hadapannya. Resa.
“Selamat ya Resa, aku doakan semoga kalian berdua
bahagia selamannya, langgeng dan diberi banyak momongan
yang lucu-lucu.”
“Terima kasih Rika kamu udah menyempatkan datang
di pesta pernikahan kami. Seperti janjiku, aku akan
memberikan kado yang paling berkesan dan nggak akan
pernah bisa kamu lupain,” jawab Resa sembari memberi
senyum tulus kepada Rika.
“Terima kasih ya Rika, kamu udah dateng, aku cariin
kamu dari tadi tapi kamunya baru dateng setelah 1 jam resepsi
dimulai, aku sempet khawatir kamu nggak bisa dateng, sekali
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 71
lagi thanks ya Rika.” Timpal Anna, sang mempelai wanita yang
kini berdiri di hadapan Rika dan berada di samping kiri Resa.
Akhirnya Resa menikahi Anna, sahabatnya sejak kecil.
Setelah menuruni tangga pelaminan, Rika tak mampu
lagi membendung air matanya dan langsung menuju ke arah
pintu keluar, ingin secepatnya meninggalkan ruangan yang itu.
Di hari di mana usianya menginjak 25 tahun, Rika
mendapatkan kado yang tak pernah ia sangka sebelumnya,
sebuah pesta pernikahan dari seorang yang ia cintai. Resa.
72 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Kristal Suci
Inayah
Yuni Utami
Senyumnya mendadak menciut. Tangan kanannya, Ia
sembunyikan dalam saku rok abu-abu kesukaannya. Aku tetap
memandangnya. Bahkan, dalam keadaan seperti ini, aku tetap
mengakui dia adalah seorang bidadari kahyangan. Sungguh
memesona. Rona wajahnya, bibir mungilnya, mata bulat
dengan pupil hitam, hidung mancungnya, serta rambut hitam
panjang tergerai indah.
Aku terus memandang wanita yang tertunduk malu itu.
Baru saja, aku mengetahui sesuatu yang telah
disembunyikannya. Meski saat ini aku tahu dia adalah wanita
paling kejam, tapi aku masih bisa membayangkan lembut
tangannya menyentuh jemari ini. Sungguh ciptaan Tuhan yang
paling indah, Inayah.
Aku membalikkan badanku. Mengingat apa yang telah
dia lakukan. Aku yang pergi berharap kembali untuk
meminang pujaan hati. Sungguh perih menerima kenyataan
pahit. Pergi karena keinginannya untuk aku memiliki
pekerjaan yang layak, kini musnah. Aku teringat senyumnya
yang meneduhkan hati saat dinginnya langkah ini untuk
meninggalkannya sementara. Aku berjalan maju
membelakanginya, menatap ombak-ombak kecil yang dibuat
oleh air laut, “Inayaaah!” ungkapan lisan saat aku tidak dapat
berkata lagi saat ini.
Aku masih mengingat, saat aku melepas tangan
kanannya yang halus itu. Berjalan masuk ke gerbong kereta.
Pagi itu aku dikejar waktu untuk sampai tepat waktu di
Lampung. Aku akan bekerja di sana, meninggalkan kekasih hati
yang sudah 5 tahun aku menjalani hubungan pacaran
dengannya. Hati ini mulai goyah, belum pasti untuk pergi ke
Lampung. Tapi, kehendaknya aku turuti demi menikahinya
ketika aku pulang. Kata-katanya yang membuat aku semangat
hingga aku bisa lulus kerja di Lampung.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 75
Meski jauh, aku tetap menjaga komunikasi padanya.
Aku menaruh kepercayaan penuh pada wanita yang sangat aku
cintai itu. Yanto menawarkan diri untuk selalu membantu Ina.
Aku mengangguk mengisyaratkan setuju. Aku berpesan pada
sahabatku Yanto untuk membantu kesulitannya dalam
menjalani skripsi. Lega hati aku meninggalkannya sementara.
Aku setiap hari tidak luput dari satu pesan untuk membuatnya
semangat meski jauh dari pandangan. Dia pun begitu. Rasanya
indah, saat jauh pun rasa ini semakin mendalam.
Inayah menyentuh pundakku, aku tetap dalam posisi
membelakanginya. Sayup karena suara ombak kecil laut, aku
mendengar tangisannya.
“Maafkan Ina, Kak. Sungguh, Ina menyesal terbuai
olehnya. Ina memang wanita kejam, tapi sungguh, ingatlah ini.
Ina sungguh menyesal, jika waktu dapat kembali. Ina akan
memilih Kakak dan tidak membiarkan Kakak pergi kerja jauh.”
Rasa amarah ini sungguh besar, rasanya sulit aku
bendung. Ingin aku tumpahkan sekali lagi ke wajah laki-laki
yang telah merebut Ina dariku. Laki-laki yang selama ini
makannya pun aku yang menanggung. Yanto. Kejam, dua orang
yang sangat aku percaya kini mengkhianati. Terlebih Ina,
wanita yang semuanya telah aku berikan rela meninggalkan
aku demi laki-laki yang hanya memberikannya sentuhan lebih,
bukan materi.
Aku menghempaskan kedua tangan ke angin. Sekali lagi
menarik nafas dan melepaskan tangannya dari pundakku.
Hancur, aku tidak dapat merasakan perasaan lain karena hati
yang aku gunakan untuk merasakan kini hancur. Hampa,
seperti kristal suci yang dihempaskan ke bumi.
“Apa yang kamu inginkan dari laki-laki macam Yanto?”
Aku memulai berbicara setelah beberapa waktu kuhabiskan
untuk memendam. Aku membalikkan badan, menatapnya
sekali lagi. Tetap, sama rasa ini. Sekali lagi, aku memikirkan
pengakuanku beberapa menit yang lalu saat menatapnya, dia
adalah bidadari dari kahyangan, sungguh, sekarang hanyalah
iblis terbalut gaun indah sang bidadari.
“Maafkan Ina, semua terjadi begitu saja. Mas Yanto
menemani hari-hari Ina saat Kak Zeno pergi ke Lampung.
Sungguh, semua terjadi begitu saja. Ina tahu, sesungguhnya
76 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Mas Yanto hanya ingin membantu Ina, namun hati ini berkata
lain. Entah, bagaimana terjadi. Ina telah mengungkapkan
perasaan padanya, begitu saja. Berada di dekatnya, lebih
nyaman. Maaf Kak.” Ina menyeka air matanya sekali lagi.
“Silahkan, memang kalian dua manusia terkutuk. Aku
sangat tidak habis pikir dengan jalan pikir Yanto yang selama
ini aku kirim uang untukmu, ternyata digunakan untuk hal
yang sangat menjijikkan bagiku. Berhenti memanggilnya Mas
Yanto di hadapanku, membuat hati ini semakin jijik
membayangkan kalian berdua tertawa saat aku menyeka
keringat ketika bekerja!” Jawabku dengan nada keras. “Kapan?!
Kapan semua ini terjadi, perlihatkan sekali lagi jari manismu
itu! Aku sudah mengetahuinya, berhenti untuk
menyembunyikannya dan ceritakan kapan kalian melakukan
pernikahan terkutuk ini!” sambungku.
“Minggu pagi saat Ina mengatakan bahwa Ina sangat
sibuk sehingga tidak dapat dihubungi, begitu pula dengannya,”
Ina menjawab dengan tangis yang semakin jadi. Aku terbayang,
ternyata dua minggu sebelum aku memutuskan untuk
mengambil cuti dari pekerjaan semuanya ini terjadi.
Pukul 10:15 saat aku melirik jam tangan hitam
pemberiannya saat aku mendatangi rumahnya pagi tadi. Aku
tidak menyangka, membayangkan pun tidak terlintas. Bertemu
dengan adik laki-lakinya, mengatakan bahwa Ina sedang
berlibur ke pantai. Aku menyusulnya.
Aku berlari dan langsung memeluk mesra Ina di depan
Yanto. Senyum rindu aku lontarkan padanya saat mendatangi
keberadaan mereka berdua di pantai ini, sangat jauh saat itu
pikiran bahwa mereka telah menikah. Mendapati wanita yang
semua harapan kulabuhkan padanya serta laki-laki bertubuh
lebih pendek dariku berduaan memandangi indahnya laut pagi
itu. Aku masih ingat setiap rinci kejadian hari ini, hingga aku
bisa berdiri di sini membahas semua yang terjadi. Aku masih
berpikir positif saat itu.
Aku meraih tangan kirinya menjelajahi pantai yang
indah kala itu. Sesekali aku melirik Yanto yang langsung saja
membuang wajah. Hingga makan siang tiba, aku melihat Ina
tanpa sengaja mengeluarkan tangan kanannya yang sedari tadi
dia sembunyikan dalam saku rok abu-abunya. Bergetar, cincin
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 77
emas melengkung indah mengikuti jari manisnya yang putih
bersih. “Cincin baru, siapa yang beli?” Pertanyaan lugu dan
bodoh yang pernah aku lontarkan di hadapan mereka berdua.
Ina terkejut. Mereka saling memandang. Terkuak sudah
semuanya, kulabuhkan amarah ini dalam tangan kanan yang
menggumpal di wajah Yanto. Yanto menjelaskan apa yang
terjadi, namun terlambat sudah, rasanya sudah percuma. Aku
menarik tangan kanan Ina menjauhi Yanto, hingga kami berdiri
di sini. Di tempat yang sama dengan rencanaku untuk
melamarnya. Kandas sudah, kini hanya angan-angan yang tetap
bersarang dalam pikiran ini.
Entah mengapa, pantai kala itu sungguh mendukung
rencana yang sudah matang aku pikirkan semenjak di
Lampung. Namun, aku harus mengubur rencana ini. Rencana
yang kandas oleh perasaan labil seorang wanita dan laki-laki
yang tidak berperasaan. Mengkhianati persahabatan demi
wanita, aku tidak mungkin memaafkannya terlebih kepada
wanita itu. Masih teringat akan janjinya yang setia menunggu
aku kembali untuk menikahinya, menemui kedua orangtuanya
meminta restu. Aku mendadak memunculkan wajah yang
sangat sinis ketika mengingatnya.
Aku memandang Ina, padahal aku telah
membayangkan, hari ini akan menjadi hari bersejarah untukku
dan Ina. Seharusnya saat ini kami berpelukan dengan pantai
dan sekitarnya menjadi saksi bisu hari bahagia yang mulai
akan kami jalani. Namun kini, hanya hati hancur yang aku
perlihatkan pada pandangan kosong ke arahnya. Ina mulai
mendongakkan pandangan ke arahku, air matanya tetap
terlihat deras mengalir. Aku tidak menyampingkan perasaan
yang telah aku jaga 5 tahun ini. Bagiku, wanita di hadapanku
sekarang hanyalah wanita kejam yang bermain di belakangku
seolah tidak ada masalah. Membagi waktu dengan laki-laki lain,
menghabiskan uang kirimanku untuk modal pernikahan.
Kejam, sungguh, aku mungkin tidak akan memaafkan wanita
itu.
“Kak, bisakah kita tetap berteman meski tidak bisa
menyatukan hati seperti dahulu?” Ucapnya membuyarkan
pikiranku.
78 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Hiduplah berbahagia dengan laki-laki yang kau pilih,
aku akan menetap di Lampung. Anggap saja, uang
pemberianku selama ini adalah hadiah pernikahan terkutuk
ini. Aku ikhlas untuk masalah uang, namun, hati ini tidak akan
pernah ikhlas untuk memaafkan apa yang telah terjadi. Cinta
dan persahabatan yang lama terjalin, kandas saja dalam
beberapa bulan, bahkan telah sampai ke pelaminan.
Hahahaha,” aku tertawa menghibur diri.
Aku berjalan meninggalkannya dengan perasaan yang
masih panas kurasakan. Aku mendengar Ina memanggil
namaku diiringi kata maaf. Aku benar-benar tidak dapat
berpikir saat ini. Yang aku tahu, Yanto sahabatku dan Ina
cintaku, telah berkhianat dan aku tidak dapat memaafkannya.
Terlebih wanita pernah aku sangat cintai itu, Ina, Inayah
namanya.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 79
80 | Antologi Cerpen Negeri Kertas