Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi bagi mereka,
bahkan aku tidak mungkin bisa menemani anakku Ine datang
ke rumah tunangannya. Memang aku bisa ke manapun yang
aku mau, tapi aku tidak bisa berbuat apapun untuk yang aku
mau. Entah apa yang harus aku lakukan, jika kau mempunyai
saran silahkan sampaikan kepadaku. Tapi jangan dalam tulisan
pada kayu yang kau tancapkan di tanah, karena itu awal
kesedihanku, lebih sedih dari pada orang-orang berbaju hitam
yang membaca syair di atas gundukan.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 131
132 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Ujung Langit
Kesatria Kertas di
Ujung Langit
Rasya Swarnasta
Semua berawal dari salahku, menjadikan adikku
sendiri seorang pemimpi. Ini dari salahku sebenarnya, tetapi
salah Wildan, aku jadi menceritakan salahku itu setiap harinya.
Wildan selalu menjelma sebagai pendengar yang baik setiap
aku menceritakan dongengku, dongeng yang kukarang sendiri.
Wildan memercayainya. Wildan masih terlalu kecil untuk
mempelajari suatu perasaan bernama curiga.
Sehari sebelum Ayah tewas karena kecelakaan, Wildan
mengingat semuanya.
“Wildan, Ayah hanya ingin pergi sebentar,” aku
akhirnya bersuara setelah beberapa lama memikirkan tentang
kalimat apa yang harus aku keluarkan.
“Nggak mau!” Wildan masih menangis meraung-raung.
Aku melirik menatap Ayah, yang hanya menggaruk-garuk
kepalanya, sudah kehabisan kata-kata.
Saat itu sebenarnya Ayah hendak pergi ke luar kota,
urusan pekerjaan. Aku dan Ayah pikir, cara supaya Wildan
membolehkan Ayah untuk pergi adalah dengan memberinya
iming-iming. Namun ternyata itu tidak bisa membuat Wildan
luluh begitu saja. Dia tetap ngotot mau ikut. Karena tidak ada
jalan lain, akhirnya Ayah sepakat untuk pergi bersama Wildan
membeli mobil-mobilan, kemudian pulang ke rumah
menurunkan Wildan, kemudian baru menyelesaikan
urusannya. Itu ribet, sebenarnya. Namun, tidak ada cara lain
yang lebih simpel dari ini untuk memuaskan Wildan.
Di hari saat Ayah kecelakaan. Saat itu, hari Sabtu, dan
TK Wildan libur Sabtu-Minggu. Ayah kecelakaan. Bersama
Wildan di dalam mobilnya. Ayah meninggal saat itu juga.
Wildan terluka di bagian kepalanya. Setidaknya, masih untung
nyawanya bisa diselamatkan. Meskipun ternyata resikonya
cukup merepotkan.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 135
Otak bagian lobe temporal-nya rusak berat,
mengganggu kemampuan otak untuk mengkonversi ingatan
jangka pendek ke ingatan jangka panjang permanen saat tidur.
Kondisi seperti ini disebut juga anterograde amnesia, atau bisa
dikatakan juga sebagai amnesia jangka pendek.
Aku yang baru bersiap-siap berangkat sekolah (karena
aku mengikuti sekolah siang) nyaris limbung seketika, begitu
diberitahu oleh para tetangga.
Singkatnya, ingatan Wildan hanya sampai pada hari
ketika Ayah berniat untuk pergi, dan mengatakan bahwa beliau
mengajaknya ikut serta membeli mobil-mobilan. Berkat ini,
Ayah bisa tetap hidup selamanya di dalam kehidupan Wildan.
Itulah yang kupikirkan.
Butuh waktu lama bagiku untuk memutuskan harus
menceritakan kepadanya atau tidak. Lagipula kalau
mengatakan kepadanya, bagaimana cara mengatakannya?
“Ng.. jam berapa sekarang?” Wildan menggosok
matanya, keluar dari kamar. Dia harus tahu bahwa
kebiasaannya tiap pagi pada saat itu membuatku seakan
terkena serangan jantung.
“Jam dua belas,” aku menjawab. Lalu sebelum Wildan
bertanya lebih lanjut, aku langsung berbicara cepat kalimat
yang sudah tercatat di benakku. “Oh, Ayah sudah berangkat
duluan ke luar kota. Wildan tidur siang dulu, sih.”
Wildan tertegun. Matanya membelalak. “Hah?”
“Ssst,” aku mencoba menenangkannya. “Jangan
khawatir, pasti pulang kok.”
“HUWEE! Kok, Wildan ditinggal?”
Untunglah, saat itu Paman dan Bibi datang. Bibi
menenangkan Wildan, sementara aku menceritakan kepada
Paman bagaimana kronologisnya. Paman hanya mengatakan
bahwa lebih baik Wildan tidak perlu tahu, hanya untuk
sementara saja.
“Bagaimana jika suatu hari Wildan bangun dan melihat
dirinya di pantulan cermin kemudian menyadari bahwa ia
sudah lebih tinggi sepuluh senti daripada ‘kemarin’?”
“Tidak perlu sampai selama itu, Pit,” Paman
menenangkanku. “Suatu hari nanti kita semua akan
memberitahunya. Yang jelas, kamu harus mulai membiasakan
136 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
diri tinggal sendiri, karena Paman dan Bibi tidak mungkin ada
di sini, kan? Mungkin kami akan datang pagi-pagi sekali,
kemudian pergi saat Wildan bangun.”
Aku berusaha mencerna kata-kata Paman. Untungnya
Wildan selalu mengira ini hari Sabtu, sehingga Paman dan Bibi
hanya perlu mengatakan kepada sekolah bagaimana kondisi
Wildan, tanpa perlu menjelaskan kepada Wildan seandainya
Wildan justru merengek ingin masuk sekolah.
Kebiasaan demi kebiasaan baru mulai terbentuk sejak
hari itu. Aku tetap pada kebiasaanku mengenai sekolah siang,
hanya saja aku sering terlambat apabila Wildan bangun
kesiangan. Jika dia bangun di atas jam sepuluh, maka aku harus
menenangkan dia yang menangis selama satu jam. Itu artinya,
aku akan terlambat masuk sekolah karena sekolahku masuk
jam sebelas.
Apalagi, aku harus tetap memakai seragam hari Sabtu,
dan baru ganti seragam dengan seragam hari itu di kamar
mandi masjid.
“Ng.. jam berapa sekarang?”
“Jam sepuluh. Oh, Ayah sudah berangkat duluan ke luar
kota. Wildan kesiangan, sih.”
“Hah?”
“Jangan khawatir, pasti…”
“HUWEE!”
Wildan menangis, dan aku menenangkannya, sambil
membatin, sampai kapan ini akan berakhir. Terus seperti itu.
Aku hanya perlu terus berbohong, aku hanya perlu terus
membual setiap harinya.
Suatu hari.
“Ng.. jam berapa sekarang?”
“Jam..”
“Lho, Mbak, kok nggak siap-siap sekolah?”
“Hm?” saat itu, aku agak kaget juga dengan rutinitas
yang tidak sesuai dengan biasanya. “Kan sekarang hari Ming..”
Aku menutup mulutku refleks. Ups. Celaka.
Saat itu kebiasaan baruku yang lain adalah terus
memakai seragam dan berangkat sekolah meskipun itu hari
Minggu. Namun, ada satu hal yang membuatku menjelma
menjadi pendongeng setiap malam. Pendongeng yang selalu
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 137
menceritakan dongeng yang sama. Ayah selalu mendongeng
untuk Wildan sebelum ia tidur, karena itulah aku harus
melakukan hal yang sama, meskipun esok hari aku ada ujian
semester atau semacamnya.
“Ayo, Mbak, cerita! Kata Ayah, hari ini mau cerita yang
‘Ksatria Kertas’?”
Sungguh, sampai sekarang, aku tidak tahu apa yang
Ayah maksud, atau apa yang Ayah sebenarnya mau ceritakan
kepada Wildan. Pada malam pertama aku disuruh
menceritakannya, aku benar-benar bingung bukan main.
“Ng.. yah. Jadi, di Kerajaan Kertas, ada seorang ksatria.
Dia ksatria yang gagah berani, jika berperang selalu ada di
garis depan. Lalu pada suatu hari, ada perang besar di...”
“Langit!”
“…di langit,” aku mengikuti saja apa mau Wildan,
karena pikiranku benar-benar buntu. “Ya, di langit. Ksatria itu
satu-satunya utusan dari Kerajaan Kertas. Makanya dipanggil
Ksatria Kertas. Dia ke langit untuk menyelesaikan perang besar
yang terjadi. Bersambung. Dilanjut besok, ya,” kataku diam-
diam jahil. ‘Dilanjut besok’ itu sama saja artinya dengan tidak
pernah dilanjutkan lagi, karena toh, aku setiap hari akan
menceritakan cerita ini terus.
Wildan tidak segampang itu untuk langsung patuh.
“Kata Ayah, Ayah ada di dalam cerita?”
“Hah?” aku melongo sendiri. Kemudian aku berdehem,
mulai berlagak mengetahuinya. “Iya. Eng.. Ayah adalah kstaria
kertasnya,” kataku dengan nada dibuat ceria, namun
sebenarnya asal saja.
“Wow!” Wildan takjub. “Jadi, sekarang Ayah
sebenarnya sedang di langit?”
Uh-oh, kalimat itu sebenarnya mengandung arti yang
sangat dalam, jika dianggap sebagai ungkapan. Aku menggigit
bibir, kemudian melanjutkan lagi. “Iya, tapi ini rahasia.
Makanya Wildan tidak ikut,” aku akhirnya mengatakan hal itu.
“Jadi, Ayah sekarang sedang ke langit, ke ujung langit,
menghadapi segala rintangan di langit.” Akhirnya, aku dapat
ide untuk menenangkan Wildan yang menangis setiap siang.
Karena itulah, setiap aku pulang sekolah, Wildan sedang
bermain pesawat kertas, mengatakan bahwa ksatria kertas ada
138 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
di dalamnya. Wildan suka menerbangkan pesawat itu sambil
berteriak, “Ayah si Ksatria Kertas terhebat di langit!” dan aku
bisa mendengarnya sekalipun aku masih di luar rumah. Setiap
hari.
Entah apa yang tetangga-tetanggaku pikirkan, pada
awalnya aku masih khawatir perihal itu. Namun lama-
kelamaan, aku tidak peduli lagi. Tidak perlu peduli apa yang
mereka katakan, apa yang mereka pikirkan, yang jelas, aku
adalah kakak yang buruk, setiap hari membuali adikku seperti
ini.
Wildan menerbangkan pesawat kertasnya sambil
berteriak, “Ayo terbang, Ksatria Kertas!” dan melompat
kegirangan melihat pesawat kertasnya melayang di udara
cukup lama. “Terbang! Hadapi segala rintangan, jangan pernah
menyerah!”
Aku memandang adikku itu.
Sampai kapan dia akan terus bermimpi, ya?
Tok-tok-tok.
Ibu-ibu, tetangga sebelah rumah. Kelihatannya hanya
mampir untuk menanyakan sesuatu, karena beliau saja masih
memakai mukena. Terlihat jelas beliau baru saja dari masjid
dan dalam perjalanan pulang ke rumah. Sekedar
mengunjungiku, ingin menanyakan pertanyaan yang
sebenarnya aku sudah tahu apa kalimat yang akan terlontar.
“Pipit, hari peringatan empat puluh hari Pak Rahmat
habis adzan dhuhur ini, kan?” Tuh, kan. Aku menggigit bibir
diam-diam. “Iya,” jawabku singkat.
Aku sebenarnya merasakan, bahwa sebagai tetangga,
pasti terbesit rasa penasaran. Rasa ingin tahu bersembunyi
dalam kalimat basa-basi itu. Namun, aku berpura-pura tidak
menyadarinya. Aku menutup pintu, dan kulihat Wildan berlari-
lari kecil menghampiriku.
“Mbak, bukan Ayah, ya?”
“...”
“Mbak?”
“Tidak mungkin, dong,” aku tertawa. “Ayah, kan, Ksatria
Kertas, jadi sekarang masih perang,” di ujung langit, batinku
menambahkan dengan pahit. “Wildan sabar, ya.”
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 139
Terang
Nur Lailifitriana
“Siapa cinta pertamamu?”
“Kamu, mimpimu!”
Aku memandang mata itu. Enam tahun berlalu, dan
sekarang masih sama. Mata yang menelanjangiku hingga tak
tersisa. Bahkan, mimpiku terasa terlucuti tak berbaju. Hanya
saja, senyuman itu berubah, makin lebar.
“Ternyata setelah enam tahun, aku masih sangat
mencintai mimpimu itu.” Dia tertawa.
“Mimpiku telah berubah, seperti semesta yang
mengembang.” Aku tersenyum.
Tawa yang akrab, yang kurindukan bertahun-tahun.
Suara yang kubutuhkan, bahkan jika itu adalah sebuah cacian.
Enam tahun lalu, sebuah pertemua tak disengaja di tempat
yang tak biasa. Perkuburan umum. Dia terluka, tapi tak
menangis. Mata kami bertemu, sepersekian detik dan aku
mulai jatuh cinta dengan mata itu. Harum bunga yang menguar
bercampur bau tanah sehabis hujan. Menghipnotis seperti
kelopak putih bunga kamboja yang luruh.
Namanya seindah bulan musim kemarau. Terang, indah
dan sangat nyata. Benderang namun tak angkuh untuk berbagi
langit malam bersama bintang kecil sepertiku.
“Apakah menjadi bulan tak membuatmu kesepian?”
tanyaku.
“Langit tak akan pernah sepi,” jawabmu setegas
purnama yang telah sempurna.
***
Kriiing...
Jam berdering, aku tergagap mengumpulkan seluruh
emosi yang tertinggal dalam semesta mimpi. Pukul empat pagi
buta dan aku sudah tersuruk-suruk menjalani hari. Bulan
masih terang. Sepi sunyi menguasai, memenuhi ruang pandang
140 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
dan memoriku. Hanya denging komputer yang tertangkap
telinga.
Hari pertama namun bukan berarti perdana. Aku telah
kenyang dengan hari-hari seperti ini. Naskah ditolak, upah
terbit yang terlambat. Dua hal paling wajar yang terjadi pada
penulis tak berpangkat sepertiku. Hari pertama, penanggalan
pertama bulan ini, entah tahun yang ke berapa, aku masih
begini-begini saja. Di saat orang lain telah melakukan lompatan
terjauhnya, aku masih belajar merangkak, menstabilkan kedua
lututku agar tak terjadi termor.
Sesekali menangis, menyesali mimpiku yang terlanjur
kugantungkan tinggi-tinggi. Tanpa tahu bahwa menggapainya
begitu sulit. Kenapa aku bermimpi menjadi penulis, bukan
bankir atau pengacara. Kapasitas otakku sangat sanggup untuk
karir semacam itu. Lugunya, aku memilih menulis. Bercita-cita
menjadi legenda yang romannya menembus panjangnya masa.
“Saudari Lintang, honorium cerpen bisa diambil di
bagian administrasi.”
Aku melangkah dengan rileks, melemaskan bahu yang
sudah bermalam-malam kaku akibat duduk mengetik di atas
kursi tak standart. Perempuan berparas cantik itu tersenyum
seperti biasa. Memberikan amplop tipis, tersenyum lagi.
Senyuman yang seharusnya memang diberikan kepadaku yang
menyedihkan.
“Terimakasih,” kataku, dan itu bukan basa-basi. Karena
hal remeh seperti inilah yang membuatku bertahan dengan
mimpiku.
***
Hujan di luar masih deras. Imajinasiku mengambang
seperti perahu kertas kanak-kanak yang bercerita pada dewa
laut.
“Kenapa nggak cari kerja yang sesungguhnya sih?
Malah begadang tiap malam, pelototin komputer. Tawaran jadi
bankir kemarin itu kenapa ditolak? Gara-gara mimpimu yang
nggak realistis itu. Hari gini mau jadi penulis? Nulis apa?
Perang dunia udah selesai, udah nggak jamannya lagi nulis
roman kawin paksa,” Mamaku, yang berusia hampir setengah
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 141
abad masih sanggup berpajang lebar membahas ini itu tentang
mimpiku.
“Ini mimpi Lintang.”
“Iya, ini mimpi kamu. Tapi risih aja Mama lihat kamu
tiap hari bangun kesiangan gara-gara begadang. Nggak
menghasilkan pula.”
“Bukannya Mama yang bilang kalau sukses nggak
diukur dari materi?”
“Mama pernah bilang gitu?”
“Iya.”
Aku bosan dengan adegan yang terus berulang hampir
tiap malam dengan bahasan yang sama. Aku tak tahan lagi, aku
harus bertemu kamu secepatnya. Di mana sebenarnya kamu.
Bersembunyi di lipatan ketiak galaksi mana? Dunia tak begitu
luas, tapi aku tak bisa menemukanmu.
***
Aku memandang banner itu sekali lagi. Aku terhipnotis
dengan judulnya. Jejak semesta yang disebut mimpi, itu kamu.
Aku menghela napas. Hembusan napasku yang
mengartikan merelakan honorku yang sedikit itu raib untuk
judul seminar yang tak kutahu akan membahas apa dan siapa
pembicaranya.
Dengan canggung aku melangkah memasuki aula yang
penuh sesak dengan pemimpi-pemimpi yang begitu
sombongnya beranggapan bisa menodai semesta dengan
jejaknya, mencari-cari kursi kosong yang tampak tak terlalu
mencolok. Anggap saja aku tak ada di sini, karena aku tak ingin
terlibat, hanya ingin menonton. Aku menyapu seluruh ruangan,
berhenti pada wajah yang kukenali sebagai seorang teman
enam tahun lalu.
Sudah enam tahun, tapi dia masih sama. Hanya saja,
sekarang dia semakin terang berdiri di hadapan ratusan
pendengarnya yang terhipnotis. Betapa dia melompat begitu
jauh, meninggalkan aku yang sekarang belajar berjalan karena
bosan merangkak. Dia mengangguk, padaku? Tidak mungkin!
***
142 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Ternyata setelah enam tahun, aku masih sangat
mencintai mimpimu itu.” Kamu tertawa.
“Mimpiku telah berubah, seperti semesta yang
mengembang.” Aku tersenyum.
Tawa yang akrab, yang kurindukan bertahun-tahun.
Suara yang kubutuhkan, bahkan jika itu adalah sebuah cacian.
Seperti aku telah kecanduan dengan bahasamu.
“Bagaimana itu seperti semesta yang mengembang?”
tanyamu.
“Mimpiku meledak seperti supernova di kejauhan
semesta, kehabisan nuklir. Begitu keras, tapi tak ada yang
mendengar. Berakhir seperti nebula aneh yang berkabut.”
“Jadi?”
“Aku sudah menyerah.”
“Kapan?”
“Hari ini. Kuputuskan untuk menyerah hari ini.”
“Bahkan setelah bertemu denganku?”
“Justru karena bertemu kamu hari ini, aku memutuskan
menyudahinya.”
“Jangan!”
“Kenapa?”
Kamu terdiam, mungkin menimbang, menakar,
layakkah alasanmu untuk kamu katakan padaku. Katamu
memang mimpi tak perlu terdengar indah, tak usah terdengar
hebat. Tapi, akhir perjalanan ini semakin meragukan. Bahkan
ragu itu hampir hilang, lenyap. Menjadi hampa.
Masih terdiam, barangkali mengukur dalamnya rasa
kecewaku karena mimpi yang kupilih. Tidak, jangan mengukur,
karena kamu tak akan pernah mendapatkan hasil yang pas.
Bukan karena satuan yang berbeda, karena aku sendiri pun
belum bisa memastikan apakah aku mesti kecewa atau
berbangga. Kamu benar, selamanya benar. Karena kamu adalah
bulan dan aku bintang kecil. Kamu memang berbagi langit
denganku, tapi orang-orang selalu melihatmu, bukan aku.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
“Karena mimpimu adalah fantasi pertamaku tentang
cinta. Perkenalanku dengan rasa cemburu. Kelahiran tawaku,
yang bertumbuh menertawakan dunia yang menertawaiku.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 143
Aku terseok mengikutimu, bahkan ketika kamu tak pernah
tahu aku di belakangmu.”
“Tidak, kamu hilang dalam terang. Dan aku kehilangan
arahku, kamu.”
“Barangkali kita berdua menghilang bersama-sama dan
tersesat. Kemudian berpulang dalam do’a panjang tengah
malam. Berjingkat melalui fajar, tak bersuara menapaki hari,
tersungkur mencium malam.” Kamu membuat kata itu makin
indah.
“Jadi?”
“Jangan menyerah.”
“Beri aku alasan! Jika bagus, aku akan
mempertimbangkannya.” Tantangku.
“Aku, cukup aku alasanmu untuk tidak menyerah.”
Aku tertegun, sebuah kata yang tak kuprediksi. Sebuah
taruhan yang rumit dan berani, mempertaruhkan diri dalam
ajang bernama hidup.
“Terimakasih sudah memberiku jawaban itu. Lagipula,
langit begitu luas. Di mana ujungnya siapa yang tahu,” aku
mengangkat bahu dan tertawa.
Bahkan ketika kita kembali tertawa, kamu tetap
menguasai langit itu. Meskipun kamu terus berbagi,
melapangkan tempatku, tetap saja kamu lebih benderang.
Bukan hanya aku yang terlambat mengambil langkah, sejak
awal aku hanyalah teman. Kawan kecil di langit yang berwarna
abu tua. Karena namamu telah seindah bulan musim kemarau.
Terang, indah dan sangat nyata. Bahkan jika diintip dari ujung
langit, seandainya langit memiliki tepian. Namun, kamu tak
perlu tahu itu semua. Agar kita bisa terus berbagi langit,
berbagi mimpi.
144 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Mimpi, Harapan,
dan Sebuah Cinta
Rahmi Rahayu (Julianrayo)
Hembusan angin sore ini terasa beda. Semilirnya
seperti membenarkan kelelahan dan kejenuhanku yang sedari
satu minggu yang lalu berlatih keras untuk menghadapi
kerasnya lima hari di Semarang. Tunggu dulu, ini bukan
persiapan perang laiknya para prajurit kemerdekaan yang
melawan tentara Jepang pada tanggal 15-19 Oktober 1945 di
Semarang. Ini adalah persiapan pelajar SMA/SMK dari kota
gaplek1, yaitu kota Wonogiri, untuk menghadapi salah satu
lomba tingkat provinsi.
Viola, begitulah orang-orang di sekitarku menyebut
namaku. Selama seminggu ini waktuku tercurahkan penuh
pada pelatihan tari, pembuatan barang daur ulang, pembekalan
materi, pelatihan pidato, presentasi, dan antek-antek lomba
yang lainnya. Bahkan rutinitasku sebagai seorang siswa yang
belajar di kelas sering aku tinggalkan. Tentunya bukan karena
aku malas masuk ke kelas, tapi karena terkadang saat masuk
kelas ada saja guru yang memanggilku untuk latihan. Baiklah,
rasa-rasanya aku akan kerja rodi mengejar ketertinggalanku
setelah lomba ini berakhir.
Sebenarnya bukan hanya aku yang menjadi perwakilan
dari Wonogiri. Ada tiga orang lagi yang masing-masing berasal
dari sekolah yang berbeda. Sebut saja Tiwi. Dia adalah contoh
cewek perfect, pinter, solehah, cantik, dan berbakat. Nilainya
selalu bagus, bahkan biaya sekolahnya yang tergolong sebagai
salah satu sekolah elit di kotaku selalu ia penuhi dengan
beasiswa. Setidaknya, itulah info yang aku dapat dari salah satu
teman dekatku sedari SMP yang tidak lain adalah pacarnya
1 Singkong kering
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 145
Tiwi. Ya, teman dekat yang diam-diam suka sama aku tapi
selalu aku ignore.
Beda halnya dengan Reza atau yang sering dipanggil
Eja. Dia perwakilah dari SMA putra. Kalau dari penglihatanku,
Eja ini antara otak dan penampilan sama sekali tidak sepadan.
Bahkan mungkin akan banyak orang, termasuk aku, yang
menyepelekkan otak cerdasnya karena penampilan culunnya
itu. Namun kenyataannya, aku harus memberikan empat
jempolku untuk kemampuan Eja dalam bidang akademis. Dia
benar-benar anak yang luar biasa.
Lalu apa kabar dengan perwakilan SMK putra. Inilah
yang aku hindari. Namanya sudah sering aku dengar dari
teman-temanku.
“Eh, tadi aku ketemu sama Gio loh. Dia ganteng banget,
pinter lagi. Ya ampun keren banget ya,” ungkap teman-
temanku setiap bertemu atau melihat perwakilan SMK putra
itu.
Ya, namanya Gio. Dia siswa dari jurusan otomotif di
salah satu SMK teknik di kotaku. Namanya sudah santer
terdengar apalagi di kalangan para cewek. Aku dengar dia
punya wajah yang ganteng ditambah dengan segudang
prestasinya baik di bidang akademik maupun non akademik
seperti pramuka, paskibraka, maupun kesenian. Aku bisa
membayangkan betapa kuatnya karisma yang ia miliki. Namun,
rasa penasaranku sebagai seorang cewek normal sama sekali
tidak muncul. Apalagi dengan adanya kompetisi seperti ini.
Rasanya aku tidak ingin bertemu dia di Semarang nanti.
Namun, ternyata doa yang kupanjatkan sama sekali
tidak terkabul. Karena di tengah-tengah latihanku di H-15 ada
sms masuk.
Hai, kenalin aku Gio, anak SMK Nusa Bangsa.
Aku merasa kaget, takut, seneng, girang, khawatir.
Semua perasaan bercampur aduk. Entah harus senang karena
dihubungi langsung sama salah satu cowok keren atau harus
takut karena mungkin bakal kalah saing di perlombaan nanti.
“Hai Gio, aku Viola, anak SMK Matahari. Ada apa ya?”
balasku kemudian disertai rasa penasaran yang mulai muncul.
146 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Oke salam kenal ya, kata guruku kamu yang mewakili
SMK putri buat lomba ke provinsi nanti ya? Boleh nanya-nanya
masalah lomba itu nggak? Soalnya aku baru dikasih tahu ni
kalau aku yang bakal jadi wakil SMK putra,” balas Gio.
Rupanya rasa takut dan khawatir lebih mendominasi
pikiran dan perasaanku. Bahkan aku mulai berpikir untuk
mengatur strategi agar ide-ide dan rencanaku aman. Salah satu
caranya adalah dengan mengatakan, “Aku nggak tahu, Yo.”
Tapi, respon Gio selalu baik. Namun, itu tetap tidak mengubah
kecurigaanku pada Gio.
Namun, takdir pun rupanya berusaha membuatku
harus mengenal cowok otomotif itu. Karena, pagi ini aku
dengan anehnya aku bisa bertemu dia di bis. Padahal
sebelumnya aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya.
Skenario macam apa ini? Tapi aku mah apa atuh, cuma
manusia biasa. Dia menyapaku seolah sudah kenal lama
denganku. Anehnya lagi, aku bisa langsung nyambung dengan
semua ucapan dia. Aduh, jangan sampai aku terkena penyakit
rasa penasaran ala cewek normal.
Sesampainya di sekolah, aku coba menanyakan sistem
penjurian lomba yang sebentar lagi aku hadapi. Ternyata
sistem penjuriannya tidak seperti yang selama ini aku pikirkan.
Ternyata, juara diambil dari empat kategori, yakni SMA putra,
SMA putri, SMK putra, dan SMK putri. Berarti aku tidak perlu
lagi takut kalah saing dengan cowok dengan tinggi 172 cm itu.
Berita ini langsung aku sampaikan ke Gio. Dan inilah jawaban
yang ia berikan, “Gue udah tau keleus, hahaha.”
Mulai saat itulah aku mulai sering bertukar pikiran
dengannya. Mulai dari masalah lomba seperti tari, presentasi,
pidato, barang daur ulang, sampai ke masalah pribadi seperti
kebiasaan dan keadaan di rumah masing-masing. Tak
mengejutkan kalau kami sudah sangat akrab saat
dipertemukan saat pembekalan oleh salah satu staff di dinas
pendidikan. Bahkan Tiwi dan Eja pun juga berkomentar
mengenai keakraban kami.
“Yaelah, ini duo SMK kompak amat ya...” ungkap Tiwi
sambil menyenggol Eja yang sedang asik dengan
handphonenya, berharap Eja akan sependapat dengannya.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 147
“Tiwi apaan sih, biasa aja, Wi. Namanya juga temen
baru. Apalagi dapetnya temen super cerewet kaya ni orang,”
jawabku sambil melirik ke arah Gio.
“Enak aja ye, di mana-mana yang cerewet itu dari pihak
cewek,” saut Gio secepat kilat.
“Hemmm, pada ngomongin apaan sih?” tanya Eja
menyela dengan muka polos tak berdosa.
“Aduh Eja.” Serentak kami menghela nafas panjang
untuk Eja.
Hari H pun datang. Kami berangkat bersama menuju
Semarang dengan diantar oleh salah satu guru dari sekolahku.
Selama kurang lebih lima hari kami berjuang untuk
mendapatkah hasil yang terbaik. Hingga saat yang paling
mendebarkan pun datang, yakni saat pengumuman pemenang.
Sayang sekali Tiwi dan Eja belum berhasil mendapatkan gelar
juara.
Berbeda dengan duo SMA, aku dan Gio berhasil
menyabet juara satu. Sungguh hal yang luar biasa bagiku saat
berada di momen langka seperti ini. Karena, saat seperti inilah
aku bisa melihat wajah senang dan sedih dalam satu waktu.
Rasanya seperti suatu keajaiban. Namun, sebenarnya restu
Tuhan atas usaha dan doalah yang melatarbelakangi keajaiban
itu.
Komunikasiku dengan si Cowok Otomotif itu tak
berhenti saat perlombaan sudah berhenti. Bahkan kami kadang
sering curhat dari masalah A-Z. Tak dapat aku pungkiri bahwa
aku sudah mulai terjangkit penyakit penasaran itu. Semakin
banyak hal yang ingin aku tahu tentang kehidupannya. Namun,
sepertinya aku tidak bisa membiarkan penyakit itu menguasai
hati dan pikiranku. Karena, sesungguhnya dia sudah memiliki
seseorang yang spesial. Seseorang yang aku pikir jauh lebih
baik jika dibandingkan dengan diriku.
Ya, ternyata hatinya sudah ada yang memiliki. Ada
sedikit rasa penyesalan karena telah mengijinkan rasa
penasaran itu tumbuh. Namun, ada rasa senang karena aku
pernah mengenalnya. Bahkan kalau boleh berharap, aku ingin
rasa penasaran itu terus tumbuh. Aku pun tak peduli akan yang
terjadi sekarang. Karena aku masih percaya akan adanya
keajaiban takdir.
148 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Kini, aku ingin fokus pada impian dan cita-citaku. Aku
harap dia pun begitu. Sekali lagi, aku tidak menyesal telah
mengenalnya. Karena dia telah mengenalkanku akan artinya
sebuah pengharapan dan cinta. Ya, pengharapan pada sosok
cowok otomotif yang dulunya sangat aku hindari. Selain itu,
kedatangannya telah menghantarkanku pada kenyataan bahwa
mimpi, harapan, dan kisah cintaku masih harus terus
kuperjuangkan.
Waktu pun berganti. Sudah tiga tahun aku dan Gio tidak
saling jumpa. Meskipun kadang dia masih menghubungiku,
namun rasanya tetap jauh. Aku dengar dia sudah mulai bekerja
di sebuah perusahaan swasta. Aku rasa dia suddah mulai dekat
dengan impiannya.
“Sekarang kamu sudah lebih dekat dengan impianmu.
Meskipun aku tak tahu harapan dan kisah cintamu, aku harap
kau pun lebih dekat dengan dua hal itu,” kataku dalam hati
sambil memandang lalu lalang mobil dari dalam bus kota.
Terdengar senandung lagu Fileski yang berjudul Ujung
Langit di telingaku yang sedari tadi aku sumpal denga headset.
Mimpi, harapan, dan sebuah cinta
Yang kan membuatmu hidup slamanya
Tak perlu dengar kata mereka
Hanya bicara dengan bualan
Teruslah berjalan, hadapi rintang menghadang
Reff:
Langkah, paculah hingga ujung langit
Hingga sampai tercapai semua mimpimu...
Headsetku ditarik oleh seorang lelaki.
“Gio....?”
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 149
150 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Disebut Cinta
Lompatan Sang Pangeran
Sari Hardian
Aku terus melompat tanpa henti menyeret jejakku
mengikuti bayangnya. Mall ini terlalu besar dan ramai bagiku.
Tak jarang banyak yang mengetahui keberadaanku dan
mencoba membunuhku. Namun dengan tetap berpegang teguh
pada keyakinan atas nama cinta, aku memberanikan diri. Lagi
pula aku seorang pangeran di dinastiku, dan sebentar lagi akan
dinobatkan sebagai raja menggantikan ayahku. Oleh sebab itu
aku tak boleh mudah menyerah, lebih-lebih menyangkut cinta
dan kesetiaan. Meski cinta itu kini seperti membawaku untuk
mengarungi ajalku di tempat penuh rintangan ini.
Maka hari ini aku akan terus melompat, melompat, dan
melompat mengejar cintaku. Tapi tunggu dulu, di mana sang
pujaan hatiku, aku tak dapat melihat sepatu biru toskanya
berpijak elok di lantai. Pasti ini gara-gara si Ibu Berginju Merah
tebal yang mencoba membunuhku itu. Sial! Aku kehilangan
jejak, dan ini tidak boleh terjadi. Bagaimana jika si Brengsek itu
menyakiti hatinya lagi hingga membuatnya menangis untuk
kesekian kalinya. Aku tak bisa membiarkan matanya yang bulat
nan indah itu mengeluarkan cairan yang sangat aku benci: air
mata. Maka aku harus terus melompat, melompat, dan
melompat, sejauh yang kubisa hingga aku menemukannya—
pujaan hatiku.
Tiba-tiba teriakan seorang balita perempuan
menghentikan lompatanku. Ia mengarahkan jari telunjuknya
ke arahku sambil merengek ketakutan pada ibunya. Sang ayah
tak tinggal diam, diseranglah aku dengan tongkat bisbol di
tangannya yang masih terlihat baru. Aku terus melompat
sejauh yang kubisa. Tak kupedulikan lagi di mana lompatanku
berpijak. Yang ada di pikiranku saat ini hanya satu: pujaan
hatiku.
Saat itu juga tempat ini menjadi gaduh. Manusia-
manusia sok suci yang kulewati itu mencoba menghindar agar
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 153
secuilpun dari tubuh mereka tidak bersentuhan dengan ragaku
yang mereka anggap ‘menjijikan’ ini. Lengkingan teriakan tak
merdu pun mulai terdengar. Kini mereka berada pada satu
tujuan, yakni membunuhku. Beberapa pukulan pun kudapati.
Namun, aku tetap tak boleh menyerah. Aku hanya dapat
berharap agar Tuhan memberikanku keselamatan dari
serangan beruntun ini. Jikalau nyawaku memang tak dapat
terselamatkan, aku berharap agar pujaan hatiku dapat melihat
jasadku untuk yang terakhir kalinya.
***
Aku hidup di sawah. Tubuhku kecil dan gempal dengan
kaki kuat dan otot yang besar, setidaknya bagi bangsaku,
bangsa kodok. Namun bagi bangsa manusia, aku tak ubahnya
hewan kecil, lemah, dan menjijikan yang perlu dibasmi.
Aku terlahir dalam Dinasti Kodok Hijau yang cukup
terkenal di dunia perkodokan. Sebab kami dituntut untuk
menjadi kodok yang berpendidikan. Maka setiap malam, kami
akan keluar dari markas menuju rumah penduduk terdekat. Di
dekat markas ada rumah penduduk yang jendela terluar
rumahnya berhadapan langsung dengan televisi. Si pemilik
rumah bernama Pak Yogi yang setiap malam selalu menonton
berita—acara yang paling kugemari—sehingga bisa dibilang
akulah kodok dari dinastiku yang paling pintar dan
berwawasan luas.
Namun aku selalu sebal jika Bu Yogi sudah merebut
remot televisi, sebab ia menggemari sinetron yang selalu
mengangkat kisah percintaan. Aku benci semua hal
menyangkut cinta. Menurutku cinta hanya milik manusia.
Hewan liar seperti kami tak pantas merasakannya. Baiklah, itu
dulu, sebelum aku mengenal seorang gadis dari bangsa
manusia.
Kemarin, sepulang dari rapat besar Dinasti Kodok
Hijau, dijebaklah kami—yang akan mengungsi ke rawa-rawa
setelah mendapat informasi mengenai penangkapan paksa
oleh sebuah perusahaan pengekspor daging kodok hijau—oleh
para manusia dengan jaring-jaring yang diletakkan di tepi
sawah. Kami terjebak dan tak bisa apa-apa, sebab sejatinya
manusia memang jauh lebih kuat dibandingkan kami.
154 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Dibawalah kami ke sebuah ruangan di perusahaan itu bersama
ribuan kodok hijau yang belum siap merenggang nyawa.
Setelah berdiskusi dengan kodok hijau lainnya, sampailah kami
pada kesimpulan bahwa tak ada jalan lagi bagi kami untuk
menyelamatkan diri. Aku tak sependapat. Aku berpikir jika
harus merenggang nyawa di tempat ini, bagaimana nasib
perkawinanku dengan puteri dari Dinasti Kodok Rawa,
mengingat datangnya musim penghujan yang sekaligus
merupakan musim kawin bagi bangsa kodok. Aku harus
memiliki keturunan. Karena itulah aku tak tinggal diam. Aku
melompat menuju pintu yang tertutup itu dan mengintip dari
celah sempit di bagian bawahnya untuk mencari informasi.
Siapa tahu aku mendapat ide agar segera bebas dari tempat ini.
Tak berselang lama, kulihat sepasang kaki yang berjalan
menuju pintu.
“Pa, Gista minta satu kodoknya, ya.” Sepertinya itu
suara si Pemilik Kaki itu, pikirku.
Dibukalah pintu itu dan tangan si Pemilik Kaki tadi—
Gista—langsung mengangkat ragaku tanpa melapisi tangannya
sehingga aku bisa merasakan langsung kelembutan tangannya.
Gista tak seperti manusia pada umumnya yang merasa ‘jijik’
dengan bangsa kodok. Kulirik para kodok hijau yang masih
mengadakan rapat di pojok ruangan. Tak ada yang menyadari
kepergianku. Tak apa, aku lebih dulu memiliki cara
membebaskan mereka.
“Hai, kodok, selamat beristirahat, ya. Mm, sebenarnya
aku sedih ngungkapinnya, tapi aku benar-benar minta maaf,”
ucap Gista—tiba-tiba. Setelah menculikku, Gista membawaku
ke kamarnya dan ditaruhlah aku ke dalam wadah tertutup
yang telah dibolongi sekitarnya sebagai jalan masuk udara
untuk membantuku bernapas.
“Pasti kamu belum mengucapkan selamat tinggal
kepada keluargamu, kan? Kamu tahu, ini malam terakhirmu
untuk dapat bernapas. Sebab besok, seluruh bagian tubuhmu
akan digunakan sebagai bahan praktikum,” lanjutnya. Ternyata
diculik oleh gadis ini malah memperburuk keadaan. Pasalnya
aku akan dibunuh juga. Kesimpulanku selama ini mengenai
‘semua manusia adalah jahat’ ternyata benar dan tidak
terpeleset sedikitpun.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 155
“Eh, tapi bukan aku, lho, yang akan membedah
tubuhmu. Aku, kan, anak IPS. Hehee.” Aku selalu benci melihat
manusia tertawa, sebab tawa mereka melukiskan damainya
hati mereka di atas penderitaan hewan yang telah ditindasnya.
“Yang membedah tubuhmu adalah cowok spesial yang
sangat aku cintai. Kamu baik-baik, ya, sama dia, soalnya dia
takut sama kodok.” Aku selalu heran, mengapa masih ada
manusia yang menakuti hewan. Jika takut dengan harimau,
singa dan sejenisnya, sih, aku tak heran. Namun ini kodok yang
notabene hewan lemah dan tak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki manusia. Sekali
diinjak pun mungkin kami langsung mati oleh mereka.
Keesokan harinya, dibawalah aku oleh Gista menuju
sekolahnya. Sebelumnya sudah diucapkan kata perpisahan
padaku sebelum berangkat ke sekolah. Aku menarik
kesimpulan bahwa Gista adalah sosok pecinta binatang.
Karenanya aku menarik alibiku selama ini mengenai semua
manusia adalah jahat.
Dia telah membuatku merasakan apa yang tak harus
kurasakan—mencintai seorang manusia. Ada keinginan yang
terselip di benakku untuk memilikinya. Ah, andai saja kisah
Pangeran Kodok yang berubah menjadi manusia tampan di
sinetron yang pernah ditonton Bu Yogi berlaku padaku.
Dengan sedikit kecupan dari Gista, maka menjelmalah aku
menjadi sesosok pria tampan. Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan.
Hasratku untuk memiliki Gista membuatku berandai-andai
tentang apa yang mustahil terjadi.
Setelah beberapa jam terkurung di laci meja,
dikeluarkanlah aku hingga aku dapat melihat keramaian
tempat ini. Mereka mengenakan pakaian yang serupa.
Berwarna hijau bermotif batik. Aku suka warna hijau.
Kemudian dibawalah aku menuju sebuah ruangan. Entah apa
yang terjadi setelahnya, Gista membawaku berlari hingga
terjadi guncangan hebat di wadah tempatku berada. Sesekali
aku mendengar isakannya. Ia sedang menangis. Entah apa yang
membuatnya menangis. Andai saja aku bisa, aku ingin
menghapus air matanya.
Malam harinya, Gista tak henti-hentinya menangis.
Mata bulatnya menjadi sembab dan hidungnya memerah.
156 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Dion jahat! Dion jahat! Hiks...” Isak tangisnya tak kunjung
henti. Sudah berpuluh kali ia menyebut nama ‘Dion’ dengan
gelar ‘jahat’.
“Kodok, kamu lihat sendiri kan tadi si Dion mesra-
mesraan sama Citra di Lab Biologi? Padahal, kan, pacarnya
Dion itu aku! Dia jahat, Dok! Dion jahat!” Gista menghampiriku
dan mengguncang-guncangkan wadah plastik tempatku
berada.
“Aku bodoh, ya, Dok. Kenapa aku diam saja melihat
Dion bersama Citra. Padahal, kan, aku punya hak buat
melabrak mereka! Aku bodoh, Dok. Aku terlalu cinta sama
Dion.” Gista terus saja bercerita padaku. Aku tak kuasa
menahan hasratku untuk memeluknya.
Sudah dua hari Gista mengurung diri di kamar dan
tidak masuk sekolah. Sudah dua hari pula waktu berlalu
menyisakan luka. Menggoyahkan keinginan untuk
menggapainya—menggapai cinta yang mustahil. Orang tua
Gista sepertinya terlalu sibuk dengan bisnis kodok mereka
sehingga kurang memerhatikan Gista. Pembantunya sudah
biasa menjumpai Gista dalam keadaan seperti ini. Dan yang
paling membuatku geram, yang membuat Gista kerap
menangis dan mengurung diri ialah Dion—pria brengsek yang
sok tampan itu.
Aku masih terkurung di dalam wadah plastik ini.
Kadang ketika turun hujan, kunyanyikan lagu untuk Gista.
Meski nyanyianku hanyalah nyanyian kodok pada umumnya.
Tiba-tiba Gista beranjak dari tempat tidur dan
menghapus kasar air matanya setelah mendapat pesan singkat.
Ia kemudian membuka penutup wadah dan menumpahkan
isinya—aku—ke atas tanah dari balik jendela kamarnya.
“Selamat tinggal, Kodok. Sekarang kamu boleh pergi ke
manapun kamu mau. Terima kasih, ya, sudah mau
mendengarkan curhatku beberapa hari ini. Dan berkat
nyanyianmu aku dapat tertidur pulas.” Gista melepasku.
Seharusnya aku senang, dengan begitu aku dapat berjumpa
dengan kodok hijau yang masih disekap dan membebaskannya
semampuku. Nyatanya aku sedih. Terbesit dalam angan untuk
tetap bersama Gista. Ya, aku harus tetap bersama Gista, sebab
Dion mengajaknya bertemu esok sore. Itulah mengapa Gista
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 157
sebahagia ini. Dan harus kupastikan bahwa pria brengsek itu
tidak menyakiti tambatan hatiku lagi.
***
Kulihat Gista dan Dion di balik kaca kedai kopi. Aku
berhasil mengelabui gerombolan manusia itu dengan
bersembunyi di balik tong sampah, hingga sampai ke sini.
“Jadi selama ini kamu tidak menganggapku sebagai
pacarmu?” Kudengar isak tangis Gista. Benar dugaanku, si
brengsek itu kembali melukai hati sang pujaan hatiku.
“Memangnya kapan kita berpacaran? Bukannya aku
memintamu sebagai teman dekatku saja? Kamu saja yang
kebanyakan berharap.” Aku melihat tangisan Gista semakin
menjadi-jadi. “Gara-gara kamu tidak masuk sekolah tanpa
alasan beberapa hari ini, aku dipanggil ke ruang BK. Dan
akulah yang disalahkan oleh para guru dan teman-teman
kamu!”
“Aku minta maaf. Aku tidak menyangka kamu sampai
dipanggil ke ruang BK gara-gara aku.” Bisa-bisanya Gista
meminta maaf setelah apa yang dilakukan Dion terhadapnya.
“Aku sayang kamu, Dion. Tidak masalah kalau kamu
tidak menganggapku, aku hanya butuh perhatian kamu lagi
seperti dulu.” Telingaku terasa panas mendengarnya.
Dion tersenyum miring. Rasanya ingin kurobek
mulutnya sekarang juga. “Sayangnya aku sudah tidak tertarik
lagi dengan kamu! Citra lebih segala-galanya dari kamu!”
Aku sudah tidak tahan lagi melihat pujaan hatiku
disakiti. Kuingat bahwa Dion menakuti kodok, langsunglah aku
melompat menuju bahunya. Dion langsung menghempaskanku
dan berteriaklah ia sehingga para pengunjung menatapnya
terheran-heran.
“Gista, singkirkan kodok sialan ini!” teriak Dion sambil
berusaha menghindar dariku. Namun aku tetap melompat-
lompat ke arahnya. Ini semua kulakukan untuk Gista, untuk
membalas apa yang sudah dilakukan si Brengsek ini kepada
pujaan hatiku.
Kulihat Gista menghampiriku yang tengah
bergelantungan di lengan kemeja Dion. Dihempaskannya
tubuhku dengan kasar. Sejurus kemudian kurasakanlah sakit
yang teramat sangat. Gista melindasku hingga keluarlah cairan
158 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
dari tubuhku. Samar-samar kudengar pelayan kedai mencoba
menghentikannya, namun Gista bilang ia akan melakukan
apapun demi melindungi Dion. Tak apa, semua manusia
memang ingin menggapai cinta hingga butakan hatinya. Sedikit
demi sedikit kurasakan tubuhku melayang semakin tinggi.
Sebelum nyawaku benar-benar lenyap, aku berharap agar Gista
dapat memahami apa yang disebut cinta. Apa yang damaikan
jiwa. Hingga tak lagi butakan mata dan hatinya. Semoga Tuhan
segera mengirimkannya seorang pangeran yang mencintainya
dengan tulus lebih dari cintaku.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 159
160 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Langkah Pertama
Langkah Pertama
Desy Dwi Rachmawati
Perkenalkan, namaku Grafit. Aku salah satu kesatria
Negeri Kertas. Tugasku memastikan semua cerita
di Negeri Kertas memiliki akhir.
Sudahkah aku memberitahumu, kalau apa yang kau
tulis akan menjadi sebuah kisah di Negeri Kertas? Belum?
Duduklah dengan manis, buat dirimu nyaman. Akan
kuceritakan kisahnya.
Cerita ini kuambil dari kisahku beberapa tahun lalu,
saat aku baru saja lulus dari Akademi Kesatria Negeri Kertas
dan ditempatkan sebagai pegawai administrasi di
perpustakaan kota. Tiba-tiba saja, angin topan menghantam
gedung perpustakaan dan memporak-porandakan semuanya.
Orang-orang berlari ketakutan dan berteriak-teriak histeris.
Termasuk aku? Ah, tentu saja tidak. Aku hanya berlindung di
balik meja.
Kalau kau ada saat itu, maka kau bisa melihat betapa
mengerikannya angin itu. Dan dia terlihat sangat kesal dan
marah. Marah? Ya, marah. Kau pikir dia tidak memiliki emosi?
Tentu saja dia punya. Melihat keanehan itu, aku memberanikan
diri keluar dari persembunyianku dan bertanya pada angin itu.
“Hei, Angin! Kenapa kau menghancurkan kota? Kau
tahu, kau akan membahayakan semua orang.” Teriakku pada
angina itu. Angin itu menjawabnya dengan geraman
mengerikan. Suaranya menggemuruh sampai ke pelosok
negeri.
“Aku menginginkan akhir ceritaku! Aku tidak mau
hanya berhembus kesana kemari, tidak tahu apa yang harus
kulakukan,” jawabnya kesal. Saat itu, aku bertanya-tanya dalam
hati apa maksud angin itu. Hingga seorang lelaki tua
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 163
memberitahuku bahwa angin itu merupakan perwujudan dari
cerita yang ditulis oleh manusia dan ceritanya belum selesai.
“Baiklah, aku akan membantumu! Tapi tolong jangan
hancurkan kota ini. Kau mendengarku?” Balasku dengan
berteriak untuk melebihi suaranya. Dijawab angin itu dengan
geraman panjang, dan kemudian dia mengecil dan akhirnya
menghilang.
Akhirnya dibantu laki-laki tua itu, aku pergi ke dunia
manusia menggunakan portal teleportasi. Baru kusadari di
kemudian hari, laki-laki tua itu adalah penasihat Negeri Kertas.
Ngomong-ngomong, kau tahu bagaimana cara menuju
duniamu? Aku harus melewati portal itu yang di dalamnya
terasa begitu sesak dan menegangkan. Yah, walaupun
menyenangkan juga. Karena kita bisa kilasan-kilasan berbagai
kota di dunia. Kuakui dunia manusia memang indah, penuh
warna, dan ramai sekaligus.
Akhirnya aku pun sampai di dunia manusia, tepatnya
mendarat di sebuah meja dengan seorang anak manusia
menundukan kepalanya di sana. Di dekat kepalanya kulihat
beberapa sobekan kertas dengan coretan-coretan tidak jelas.
Gumpalan kertas yang diremas berserakan di bawah kursinya.
Bahkan di atas kasurnya pun berserakan banyak kertas. Aku
tertarik pada satu-satunya kertas berwarna di tengah-tengah
serakan kertas. Saat kudekati dengan penuh susah payah-
karena tubuhku menyusut menjadi seukuran telunjuk orang
dewasa-aku bisa melihat kertas itu bertuliskan ‘Aku dan
Angin’. Sepertinya ini judul cerita yang menyebabkan angin itu
mengamuk.
Kembali dengan susah payah, aku memanjat meja
tempat anak itu tertunduk. Kulihat sobekan-sobekan kertas di
atasnya. Semuanya bertuliskan kalimat-kalimat yang
sepertinya merupakan kelanjutan dari kisah ‘Aku dan Angin’.
Sepertinya anak manusia ini kehilangan inspirasi sehingga dia
tidak bisa meneruskan ceritanya.
Aku pun berpikir keras bagaimana untuk
membantunya. Dia jelas tidak bisa melihatku, juga tidak bisa
mendengarku. Aku melihat ke sobekan kertas di mejanya dan
tiba-tiba muncul ide di pikiranku. Ah, kugunakan saja sobekan-
sobekan kertas itu. Kuambil pensil yang selalu ada di sakuku—
164 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
itulah kenapa aku dipanggil Grafit—dan kutuliskan besar-besar
satu kata yang terlintas di pikiranku saat itu, yaitu kata,
BANGKIT.
Lalu kutusuk sikunya menggunakan pensilku, yang
membuat dia berteriak kaget dan melihat ke arah kertas yang
kutuliskan. Ideku memang simple saja. Aku berencana untuk
menuliskan satu kata tiap saat untuknya sepanjang hari ini.
Jadi dia bisa mendapatkan inspirasi dari kata-kata yang kutulis.
Hebat bukan?
Ah, aku melantur. Kembali ke manusia tadi. Wajahnya
terlihat sangat terkejut saat melihat tulisanku. Tapi berangsur-
angsur kembali menjadi biasa saja. Justru kertas yang berisi
tulisanku dia remas dan buang ke sudut kamarnya. Duh! Tapi
aku tidak boleh menyerah. Ini demi si Angin tadi.
Kemudian anak manusia itu beranjak menjauhi meja
dan mendekati sofa kecil di dekat jendela. Tentu saja, aku tidak
ketinggalan. Aku berpegangan pada bajunya sehingga bisa
mengikutinya tanpa perlu bersusah payah. Saat dia asyik
membaca, aku pun kembali menuliskan kata di helai kertas
buku yang dia baca. Kali ini kutuliskan, MULAILAH. Sepertinya
anak manusia ini sudah melihat tulisanku, karena kudengar
gumaman-gumaman seperti, aku hanya berhalusinasi, itu
semua tidak ada, aku hanya mengkhayal dan sebagainya. Aku
hanya bisa menatapnya heran.
Anak manusia tadi beranjak mendekati kaca besar di
kamarnya. Tentu saja aku juga ikut bersamanya. Di depan kaca,
dia kembali berkomat-kamit mengatakan dia berhalusinasi,
mulai gila, dan lain sebagainya. Untung saja pensil yang ku
bawa bisa digunakan untuk menulis dimana saja. bisa ku lihat
matanya yang melotot memperhatikan tulisanku. Kali ini ku
tuliskan tiga kata, WALAUPUN TAK MUDAH.
“HANTUUUUUUUUU!” teriaknya tepat ketika aku selesai
menulis. Aih, dan anak manusia itu langsung melarikan diri
keluar kamar.
Dengan susah payah, aku mencari keberadaannya.
Kutemukan dia duduk melamun di atas ayunan di halaman
rumahnya. Sepertinya ini akan berat. Waktuku sudah hampir
habis, aku hanya bisa berada di dunia manusia selama satu
hari. Selebihnya, aku tidak akan bisa kembali ke Negeri Kertas.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 165
Jadi, usahaku yang terakhir dengan menuliskan beberapa
kalimat di atas daun. Kali ini, kutuliskan ‘GAPAI MASA DEPAN,
MULAI DENGAN LANGKAH PERTAMA’.
Kujatuhkan daun yang sudah kutulisi ke atas
pangkuannya. Kulihat anak manusia itu perlahan membacanya
dan kemudian tersenyum. Setelah itu dia beranjak turun dari
ayunan, masuk ke dalam rumah. Tentu saja, aku kembali
mengikutinya dengan berpegangan pada rambutnya. Dan
lihatlah! Saat kembali ke kamar, dia kembali menulis.
Syukurlah, sepertinya si Angin akan senang dan usahaku tidak
sia-sia. Usaha keras tidak pernah berkhianat bukan?
Sebelum pergi, aku sempatkan untuk melihat paragraf
yang sedang dia tulis. Coba tebak apa yang dia tulis. Ternyata
dia menulis seperti ini,
“Karena aku mencintai angin, tidak berarti aku ingin
menjadi persis seperti angin. Aku hanya ingin menjadi diriku
sendiri yang mengambil satu sifatnya, yaitu berhembus
kemana pun dia suka. Ya, aku ingin menjadi seperti angin,
bebas. Aku ingin menjelajah ke banyak sudut di dunia,
meneruskan langkahku yang tertunda.”
Berkat petualanganku itu, aku diangkat menjadi kesatria.
Wah, itu kebanggaan tersendiri untukku. Dan kau tahu apa
yang membuatku tambah bahagia? Pakaiannya! Luar biasa
keren! Bentuknya adalah jubah berwarna putih dengan
sulaman benang emas dan gesper di depannya yang terbuat
dari emas dan rubi.
Duh, lagi-lagi aku melantur. Maafkan aku ya? Tapi dari
lubuk hatiku yang paling dalam, kuakui terlepas dari hadiah
yang ku dapatkan, aku merasa bahagia karena bisa membantu
anak manusia itu. Aku tahu, dia pasti akan melahirkan cerita-
cerita baru dengan ciri khasnya yang unik. Bahkan beberapa
tokoh dalam ceritanya bisa ku kenali saat aku berjalan-jalan di
kota. Sepertinya dia sudah menjadi penulis terkenal sekarang.
Oh ya, tentang dimana letak portal teleportasi kami?
Hmm, coba kau buka halaman terakhir buku ceritamu. Kau
lihat tanda titik di kalimat terakhir bukumu? Ya, itulah portal
teleportasi kami. Selama masih ada buku, kami bisa pergi
kemana pun yang kami suka.
166 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Saat aku kembali ke dunia manusia beberapa waktu yang
lalu, anak manusia yang dulu kubantu—baru kutahu namanya
Airan—dia berhasil menuliskan sebuah antologi cerpen
dengan judul ‘Aku dan Angin’ dan laku keras. Di bagian akhir
bukunya tertulis,
“Terimakasih Grafit untuk langkah pertamamu yang
membantuku meneruskan langkahku yang selanjutnya.”
Hei, dari mana dia tahu namaku ya?
Perkenalkan, namaku Grafit. Aku salah satu Kesatria
Negeri Kertas. Tugasku memastikan semua cerita di Negeri
Kertas memiliki akhir.
.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 167
Tak Nampak Terasa Nyata
Reni Permatasari
Saat satu mimpimu telah terwujud, lanjutkan mimpi
berikutnya-Asma Nadia
Quote yang selalu menari-nari di pikiran saat ini,
mengingat satu mimpiku telah terwujud. Kembali asa bermain
petak umpet, berharap aku menemukan mimpi yang dapat
menjadi tabungan di akhirat.
Setelah mencari lama, kutemukan satu asa yang sesuai
pengharapan, walaupun bertolak belakang dengan
pendidikanku yang berasal dari kesehatan. Tetap optimis,
apapun tak ada yang mustahil, saat keyakinan sudah teguh di
hati. Tak ada salahnya untuk dicoba.
Minimnya ilmu membuatku memeras otak lebih keras
untuk memulai segalanya, yang paling memungkinkan dan
masih bisa kujamah hanya melalui buku-buku dan internet
untuk belajar menjadi seorang penulis.
Bermodal wawasan yang kupunya sekarang, hanya bisa
menjadikan sebuah cerpen mini di awal karya. Ini membuat
bahagia, setidaknya aku telah memulai dengan tindakan, bukan
hanya ide yang mengantung di pikiran.
"Terlalu banyak kesalahan di kata, penulisan kalimat
langsung menggunakan tanda kutip, pelajari lagi EYD!"
komentar pertama pada kiriman cerpen mini di jejaring sosial
facebook, membuat hati berdebar.
"Serangan kata ‘aku’ terlalu banyak, inti cerita belum
tersampaikan, tulisanmu terlalu datar," kata-kata yang
menyulut semangat. Komentar dari teman facebook menjadi
acuhan untuk terus belajar, mencari kesalahan yang ada dan
merevisi kembali karya.
***
Hari demi hari diisi dengan menulis apa saja yang ingin
kusampaikan, berpotensi memberi manfaat untuk sesama.
Kucari teman-teman yang memungkinkan untuk dicuri
168 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
ilmunya. Kutemukan dua orang kakak, dengan keyakinan besar
dapat membantuku berkembang. Pertama bernama Lia,
orangnya cantik, karya yang dihasilkan sungguh indah,
permainan diksinya luar biasa.
Kakak kedua berwajah tampan dipanggil Richie, aku
menjulukinya tong sampah bolong karena dia selalu
menampung semua keluh-kesah yang kuberikan.
Berbekal semua ilmu dan orang-orang terpilih tersebut,
kubangkitkan imajinasi yang telah lama terkubur. Baru saja
mau menulis, kulihat lampu hijau Kak Richie menyala pada
kolom temen facebook yang sedang online. Kulayangkan
bertubi-tubi curahan hati yang telah mengganjal hati, "Kak,
boleh curhat?"
"Boleh, bayar sewu mangatus!"
"Hahaha, bentar tak kirim, Kak," telah kusiapkan foto
berisi uang seribu lima ratus rupiah untuk membayarnya. Aku
paham betul kebiasaan yang selalu dipinta sebelum curhat.
"Lanjut!"
"Aku sakit hati, komentarku tidak ditanggapi, hanya
temen-temen yang telah dia kenal saja digubris. Padahal niatku
baik, biar bisa sama-sama belajar, dari pada temennya
komentar tidak jelas, ngawur. Rasa tidak dihargai diri ini."
"Sabar saja, ingat loh, sebelum mutusi jadi penulis
terkenal harus siap dibanting, ditempah, biar kuat mentalnya.
Semuanya butuh proses sama seperti bayi berjalan, mesti
melewati tahapan merangkak, merayap sampai akhirnya bisa
berjalan bahkan berlari. Sekarang pembuktiannya ada di kamu,
akan tetap bertahankah atau menyerah begitu saja dalam
menggapai impian."
"Iya, jadi ingat kembali aku tujuan sebenarnya mimpi
jadi seorang penulis itu apa. Terima kasih, Kak. Oh ya, Kak, bagi
tips nulis dong!" Dengan semangat baru berkobar di dada
kuhantarkan lagi pertanyaan.
"Saran buat kamu, banyakin baca dan terus menulis.
Nanti dengan sendirinya makin berkembang. Pengalaman yang
akan menempah dan membentuk jati diri pada karyamu."
"Siap, Kak. Aku off dulu ya. Mau nulis lagi. Sekali lagi
terima kasih."
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 169
Facebook keluar, kembali lagi pada tulisan berupa
puisi, dongeng dan cerpen anak untuk diikutsertakan dalam
project di grup facebook yang digawangi oleh wanita pemilik
percetakkan di Jogja. Atas saran Mbak Lia, aku masuk ke dalam
grup yang berpotensi mengangkat namaku lebih dikenal.
***
Tiba waktu pengumuman project. Lia Zaenab, nama
pertama yang kucari untuk memberi tahu kabar gembira,
"Mbak Li, aku masuk jadi nominasi dari ketiga kategori yang
aku ikutkan project."
Tak lama ada satu pesan masuk, dari Mbak Lia,
"Selamat ya, Dik. Mbak sudah yakin atas kerja kerasmu itu.
Semangat terus nulisnya, setahu Mbak, kalau kita aktif di grup
itu nanti bisa dipilih menjadi salah satu orang yang akan diberi
kesempatan membuat karya tunggal untuk dicetak, gratis."
"Beneran? Asyik tu, kalau ada project atau event di
sana kasih tahu aku ya, Mbak?"
"Bener, Dik. Insya Allah ya. Ni Mbak Li kasih link lomba
Sayembara Antologi Cerpen Negeri Kertas."
"Sip, Mbak. Aku baca dulu, kalau temanya pas di hati
tak ikuti," link terbuka, kubaca teliti tiap baris persyaratannya,
file berisi lirik lagu telah terunduh. Entah mengapa aku suka
pada lirik lagu 'Bangkitlah', mata terus menatap layar mencari
lagu Bangkitlah-Fileski untuk didengar. "Mbak Li, aku jatuh
cinta pada pendengaran pertama pada lagu Bangkitlah."
"Ya udah, ikutin aja lombanya!"
"Insya Allah, Mbak. Cari ilham dulu."
"Oke! Semangat ya, Dik."
"Iya, Mbak. Terima kasih."
Dengan banyak pertimbangan, kuputuskan mengikuti
sayembara ini. Walaupun waktu akan terkuras habis karena
pengerjaannya berbarengan dengan akademi menulis yang aku
ikuti di grup facebook lainnya. Kulakukan stimulasi pemberi
semangat diri sendiri kalau kesempatan tak datang dua kali,
saat Allah telah membuka peluang untuk berkembang.
Kukepakkan sayap untuk terus terbang melaju.
***
Akademi menulis ini merupakan ajang tahunan yang
diadakan pada grup sepasang penulis suami istri yang
170 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
namanya telah berkibar. Kuasa penuh akademi diberikan
kepada salah satu orang kepercayaan mereka. Tahap awal
dipilih 40 orang yang akan lolos dalam pemberkasan, dan
namaku ada di dalam urutan itu. Tahap selanjutkannya
membutuhkan kerja keras karena untuk menuju 20 besar
harus membuat enam materi, di antanya: empat karya berupa
quote, puisi, cerpen dan fiksi mini, dua lagi berisi biodata
narasi dan surat perjanjian.
Laptop menjadi teman sehari-hari sejak kuputuskan
mengikuti akademi dan sayembara bersamaan. Kunikmati
setiap prosesnya, selayak meminum segelas cappucino yang
selalu menemani di meja kerja.
Prioritas jatuh pada deadline yang semakin mendekati
hari, kukerjakan semampuku seluruh tugas dari akademi
dengan diselingi mengetik cerpen negeri kertas.
***
Keesokkan harinya kukirim file tugas akedemi yang
telah selesai. Fokus sekarang jatuh pada kelanjutkan naskah
cerpen negeri kertas. Sebelum memulainya kuistirahatkan
sejenak pikiran dengan berlayar ke dunia maya. Betapa
terkejutnya saat kulihat pemberitahuan yang menyatakan
project selanjutnya telah dimulai kembali. Mbak Lia menjadi
tempat tujuan, "Mbak Li, mau bintang di atas kepalaku tidak?"
"Loh, kenapa lagi, Dik?"
"Baru kelar di akademi menulis, mau ngelanjut
sayembara, udah ada lagi project."
"Hahaha, nikmati saja, Dik. Masak kalah sama naskah.
Lupa lagi sama tujuannya ya?"
"Hehehe, iya. Masih ingat aku? Terima kasih, Mbak."
Fokus hari ini kuselesaikan 3 cerpen sekaligus. Entah
apa jadinya, sekarang intinya bertindak. Proses editing nanti
bisa kurombang lagi isi cerita kalau tidak sesuai dan
menjadikannya karya baru. Setelah membaca artikel tentang
tips menulis, sejak itu aku selalu mengendapkan tulisanku
beberapa hari sebelum penyempurnaan dilakukan.
***
Pagi yang cerah kulayarkan kembali pandangan ke
dunia maya. Terlihat kiriman seseorang di beranda yang berisi
pemuatan karya di media masa. Jiwaku kembali tertantang
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 171
mendapati itu. Teringat teman akrab di akun facebook lama
pernah memposting informasi tentang pengiriman naskah ke
media masa, pesan langsung tertuju padanya meminta link
informasi itu.
***
Harapan besar berkibar di hati, kubuka lagi facebook
pagi ini untuk melihat balasan pesannya. Namun tak
kutemukan apa-apa. Kembali pesan itu kulihat, betapa kaget
saat kolom pengiriman pesan sudah tak bisa diakses. Aku
diblokir olehnya.
"Mbak Li, aku diblokir sama Arief." Emosi sedih
menghiasi.
"Kok bisa diblokir sama dia?"
"Aku tidak tahu, Mbak. Waktu buka pesannya lagi
sudah tidak bisa diakses."
"Entar Mbak Li cari tahu. Jangan sedih lagi, ah!"
"Bagaimana tidak sedih, Mbak. Aku tidak tahu
penyebab pemblokiran itu, dan tak bisa lagi melihat ilmu yang
dibagikannya."
"Iya, sabar adikku cantik."
***
Bulan bersinar terang di luar, aku hanya bisa
memandang dari balik jendela kamar, sampai terlihat ada
setitik merah di layar. Pesan masuk dari Mbak Lia. "Dik, Mbak
sudah tanya sama Arief, katanya dia sakit hati gara-gara kamu
maki terus diblokir."
"Ya Allah, aku tidak pernah maki dia, aku hanya berkata
jujur, itu juga nulisnya dipikirin dulu dan disematkan kata maaf
kalau kata-kataku itu salah. Untuk blokir tidak pernah, akun
facebook lama sudah aku tutup. Ini akun aku satu-satunya,
Malaika Az Zahra."
"Kayaknya kalian ini salah paham. Tunggu ya! Mbak
bilang Arief dulu," sejenak menunggu, selang beberapa menit
masuk kembali pesan. "Bener kan salah paham, dikiranya
kamu ngeblokir dia, dan juga Arief baru tahu ini akun barumu,
jadi langsung diblokir karena masih sakit hati."
Ada satu pesan masuk, dari Arief, membuat hati jadi
gembira. "Mbak Li udah dibuka lagi blokirnya, dikirimi juga
link pengiriman naskah ke media masa."
172 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
"Syukur deh kalau udah baikan, jadi ikut seneng liat
adik-adik Mbak pada akur."
"Hehehe, terima kasih lagi sudah membantu aku, Mbak.
Peluk cium dari jauh. Muachh."
"Linknya sudah didapat, terus berkarya jangan takut
salah. Salah itu hal yang lumrah terjadi, kehidupan berproses
sampai akhirnya proeses itu membentuk jati diri di karyamu.
Mbak tetap berjuang di puisi, kamu bangunlah imajinasi di
cerpen."
"Siap, Mbak."
"Kirim naskah ke media masa, sekali ditolak, coba lagi.
Sampai jatah gagal itu habis dan karyamu dimuat di media
masa. Event dan lomba-lomba tetap ikuti, jadikan semuanya
langkah awalmu mengibarkan nama agar dikenal semua orang.
Semoga impianmu cepat terwujud Sayang, menjadi penulis
terkenal, menebar kebaikkan lewat tulisan.
"Aamiin, terima kasih atas semuanya. Mbak orang
terbaik yang kukenal walaupun hanya sebatas maya."
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 173
174 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Jiwaku Melayang
Untaian Dusta
Viano Sapta
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah
menganggapmu sebagai anggota keluarga ini lagi, entah itu
sebagai putriku, maupun darah dagingku. Kau tidaklah lebih
dari seorang pembunuh paling keji yang pernah aku tahu!” Ia
menatap ibunya sekilas, betapa kata-kata itu telah menusuk
seluruh nadinya, dan ia bisa melihat tatapan sinis itu kembali.
Oh, tatapan itu masih sama seperti 5 tahun silam,
begitu dipenuhi amarah dan dendam. Kini tangannya mulai
gemetaran dan dipenuhi peluh yang menyiksa, ia terus
meremas jarinya sambil menggigit bibir bawahnya dengan
frustasi. Dari kejauhan ia bisa melihat ayahnya yang kini
sedang menatapnya dengan prihatin. Oh Tuhan, betapa aku
ingin memeluknya untuk merasakan kehangatannya.
“Sekali lagi aku minta maaf, Bu. Tidak hanya untuk
kejadian 5 tahun silam, tapi juga untuk semua kelakuanku
selama ini. Akan kupastikan kau tidak akan melihat wajah
putrimu yang pembunuh ini lagi.”
Ia segera berlari keluar rumah dengan segala perasaan
hina yang menggelayutinya, tujuannya kembali ke rumah ini
adalah untuk memperbaiki masalah. Ia pikir waktu 5 tahun
sudahlah cukup untuk mencairkan es yang mengeras di antara
mereka, namun kemudian ia mulai sadar jika sampai bumi
runtuh pun es itu tidak akan pernah mencair.
Ia kembali mengusap air matanya dengan kasar dan
terus berlari tergesa-gesa menuju mobilnya, namun tiba-tiba ia
merasakan sentuhan halus di pundaknya. Ia segera menoleh
dan melihat ayahnya tengah berdiri sambil tersenyum, itu
adalah senyuman paling miris yang pernah ia lihat. Untuk
beberapa saat ia hanya diam membeku, namun kemudian ia
langsung memeluk ayahnya dengan erat, tidak peduli dengan
apa yang akan terjadi nanti. Lagipula ini ayahku, dia milikku,
jadi aku bebas memeluknya kapan pun aku mau.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 177
"Maafkan Ayah, Nak, karena Ayah tidak bisa melakukan
apapun untuk melindungimu. Satu hal yang perlu kau tahu
Madu, ada atau tidak adanya kecelakaan itu Andrea memang
akan menemui hari penutupannya," ucap ayahnya sambil
mengusap lembut rambut putrinya yang tergerai panjang.
Untuk saat ini, tidak ada yang Madu butuhkan selain
ayahnya, ia menenggelamkan wajahnya semakin dalam,
kembali menangisi hidupnya yang begitu buruk. Meskipun
dalam hati ia bertanya-tanya apa maksud ucapan ayahnya
barusan, namun ia tidak ingin memikirkannya sekarang. Madu
memeluk ayahnya semakin erat, sadar jika ini akan menjadi
pertemuan terakhir mereka.
***
Madu menghela napas dengan berat, ia menatap pedih
tempat ini. Hatinya meringis merasakan rasa perih yang
menggigit seluruh tubuhnya, ia mengangkat kepalanya dengan
frustasi berusaha menghirup udara bersih yang masih tersisa.
Sepertinya hujan sore ini membuatnya berfikir betapa langit
juga menangisi segala penderitaan hidupnya. Semua ini terasa
memilukan dan dramatis namun inilah adanya.
Madu terus melangkahkan kakinya yang terasa berat
agar tetap maju. Selama 5 tahun ia tidak pernah mengunjungi
tempat ini dan kini dadanya terasa sesak ketika kembali
mengingat untaian dusta yang ia pintal di masa lalu. Kakinya
terasa semakin bergetar ketika sampai di depan batu nisan
tersebut. Di sinilah kakaknya bersemayam, kakak yang paling
ia sayangi namun ia bunuh secara tragis 5 tahun silam. Andrea
Anderson, pada 25 Mei 2002. Seketika itu jugalah
pertahanannya hancur, ia jatuh terduduk di depan makam itu
dan ia merasa seperti bumerang telah menikam seluruh
tubuhnya.
Madu mencengkram kuat rerumputan yang
mengelilingi makam kakaknya dengan putus asa. Ia berusaha
menghindari ingatan tersebut. Sebab ia tahu betapa kejadian
itu masih jelas tersimpan utuh dalam memorinya. Tak ada satu
detik pun yang terlewatkan. Ia berusaha melupakan semua itu
namun sekuat apapun ia mencobanya, tangan kotor ini selalu
berhasil menunjukkan kebenaran bahwa ia tidak bisa lari dari
kenyataan. Bagaimanapun juga, untaian dusta ini akan terus
178 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
melilitnya. Madu kembali menatap batu nisan di hadapannya
dengan segala penyesalan yang merayapi tubuhnya. Nafasnya
tersengal-sengal karena menahan tangisan yang tak
tertahankan.
Tubuhnya mulai meronta kedinginan karena terus
diguyur air hujan. Ini sungguh menyiksa namun tidak akan
sebanding jika dibandingkan dengan derita kakaknya.
"Maafkan aku, Andrea! Maafkan adikmu yang ceroboh
ini!" Madu terus menggumamkan kalimat tersebut layaknya
mengucapkan mantra keajaiban. Namun secara tiba-tiba
ingatan itu kembali menyeruak setelah sekian lama diabaikan.
Semua ini terasa berdentam-dentam di kepalanya dan bagai
sebuah kaset kini semuanya terpampang secara nyata di
hadapannya.
(5 tahun silam)
"Ibu tahu betul apa yang aku mau, tapi kenapa justru ini
yang aku dapatkan?" Madu membanting kotak hadiah di
tangannya dengan kasar.
Sungguh di luar dugaannya, ia berharap akan mendapat
miniature gitar sebagai hadiah natal. Namun apa yang terjadi?
Ia justru melihat sebuah novel sialan yang tidak pernah ia
inginkan. Dadanya mulai meradang sekarang, jelas ibunya tahu
apa yang dia mau dan ibunya juga tahu jika ia benci novel.
Madu semakin geram ketika mengetahui rupanya
Andrea yang mendapatkan benda impiannya selama ini. Ia
langsung menatap kakaknya penuh dendam kemudian
memberikan pandangan jijik yang menghinakan pada ibunya.
Sebuah kesalahan besar karena telah mengharapkan keadilan
dari ibunya meskipun ia sudah tahu itu hanya akan menjadi
kemustahilan. Sedari dulu memang selalu Andrea yang
diutamakan, yang dengan mudahnya bisa mendapatkan apapun
yang dia mau. Sedangkan ia harus berjuang mati-matian untuk
semua itu, ia tahu setangguh apapun ia bertarung, ia selalu
kalah. Dan sekuat apapun ia berusaha, posisinya hanyalah
sebagai nomor dua dan ia tidak bisa menghilangkan gelar itu.
"Ambil ini jika kau mau, lagipula aku tidak
membutuhkannya," ucap Andrea seraya menyerahkan kotak
hadiahnya, ingat itu, kotak hadiahnya bukan kotak hadiahku.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 179
Madu segera menerimanya lalu memandangnya sejenak,
kemudian ia langsung membantingnya dengan keras sampai
suaranya menggema ke seluruh penjuru ruangan. Ia
memandang kakaknya dengan mata berapi-berapi, ingin
rasanya aku mencekikmu sampai mati, teriaknya dalam hati.
Namun kau harus ingat Madu, dia kakakmu, dia saudaramu,
camkan itu.
Madu segera keluar rumah dengan segala emosi yang
merajai otaknya. Dan tanpa pikir panjang lagi, ia langsung
mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi.
Usianya baru 18 tahun saat itu dan ia sama sekali tidak
punya pengalaman dengan mobil, namun untuk apa pula ia
memikirkannya? Madu terus menginjak gas mobilnya menuju
kecepatan maksimum dan ia sangat terkejut ketika tiba-tiba
melihat Andrea berdiri tidak jauh di depannya sambil
merentangkan tangan lebar-lebar. Seketika itu juga Madu panik,
ia langsung menginjak rem sekuat tenaga, namun mobil itu
tidak jua berhenti. Ia berusaha memutar-mutar kemudi namun
tidak dapat merubah haluan. Sedangkan jarak mereka semakin
dekat sekarang dan tanpa disangka-sangka semuanya terjadi
begitu cepat dan tak terkendali. Menghacurkan segalanya.
***
"Kau tahu apa yang membuatku seperti ini, Andrea!
Dan kuharap kau tidak pernah menyesal memiliki adik
sepertiku. Jangan tanya seperti apa tanggapanku. Sebab aku
beruntung memiliki kakak sepertimu!" Madu segera beranjak
berdiri dengan badan yang limbung dan untuk pertama kalinya
ia tersenyum di hadapan makam itu. Sejenak ia mengangkat
kepalanya untuk menatap langit yang suram dengan hujan
sebagai pelengkapnya. Terima kasih karena telah ikut bersedih
bersamaku.
Madu segera menjalankan mobilnya meninggalkan
pemakaman itu.
Mungkin ini akan menjadi kunjungan terakhirku,
Andrea! Karena aku telah menentukan jalan apa yang akan
kutempuh sekarang.
Lagipula apalagi yang bisa ia lakukan, semuanya telah
pergi menjauh dan ia tidak lagi memiliki apapun untuk diraih,
apa pula yang bisa ia capai? Kebahagiaan? Itu hanyalah omong
180 | Antologi Cerpen Negeri Kertas