Aku yang Kau Tuju
Pada Bangku Kayu Dalam
Naungan Senja
Meutia Zulfa Arianti
Mulai saat kami bertemu lagi dalam fase yang baru, hari
itu, dia selalu berkata bahwa cinta bukanlah sesuatu yang
pantas untuk dijadikan tempat bersandar. Terikat hubungan
yang memerlukan komitmen tinggi dengan seorang pria
bukanlah hal yang sulit untuk dijalaninya. Kenapa? Karena dia
pikir hal yang dibutuhkan untuk membangunnya hanyalah
komitmen, bukan cinta, bukan perasaan. Lebih-lebih karena
gadis itu memiliki sifat sedingin Mesosfer. Namun diam-diam
dia ingin merasakan apa yang disebut dengan cinta. Juga ingin
mengetahui bagaimana cinta itu bekerja. Itulah mengapa kuse-
but dia munafik.
Namanya Amba Saraswati. Mendengar namanya sekali,
pedalang-pedalang mungkin akan menyerukan keras-keras
bahwa dia seperti tokoh di kitab Mahabarata. Namun Amba
yang ini adalah seorang wanita cerdas, mandiri, dan seorang
guru TK. Dia memilih profesi itu karena katanya dia suka anak-
anak kecil yang lugu dan polos. Dia juga orang yang
mempunyai jiwa nasionalis yang tinggi dan amat mencintai
negerinya. Amba juga orang yang terlalu banyak menyimpan
luka hati dan menelan bulat-bulat segala kesedihannya.
Kali ini aku melihatnya menangis di dapur, tapi dia
tidak tahu aku berdiri di sini. Jendela terbuka. Aku memang
rabun jauh tapi aku tahu itu karena selambu kuning yang
terbuka setengah menari-nari tertiup angin, seperti rambut
hitam legam miliknya. Aku tidak suka melihatnya menangis.
Satu-satunya alasan mengapa aku benci melihatnya seperti itu
adalah karena aku terlalu lemah, terlalu takut untuk
menghiburnya karena baginya aku hanyalah orang asing dan
mungkin akan selamanya begitu. Malam gelap gulita. Dengan
helaan nafas kuputuskan untuk meninggalkannya sendiri,
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 83
meratapi nasibnya di bawah remang-remang cahaya lampu
karena aku yakin aku tidak akan bisa memperbaiki apapun
sekarang.
Pagi menjelang. Sebelum pergi ke kantorku sendiri aku
selalu mengantar Amba ke TK tempatnya bekerja. “Pulangnya
hati-hati ya, Mba.” Aku tak pernah lelah mengatakan itu dan
balasan yang selalu dia berikan adalah menganggukkan kepala
lalu keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ketika aku pulang ke rumah sorenya, aku mendapati
bahwa lampu beranda belum dinyalakan. Pintu masih terkunci,
untungnya aku membawa kunci cadangan. Hatiku tidak tenang,
satu-satunya hal yang kupikirkan adalah di mana Amba
sekarang? Ini sudah hampir malam dan dia tidak pernah
pulang sesore ini. Apa terjadi sesuatu dengannya? Tepat saat
aku membuka ponsel dan bersiap meneleponnya, terdengar
langkah sepatu dari luar.
“Mba, kenapa baru pulang? Dari mana saja?” tanyaku
ketika dia masuk ke dalam rumah.
“Aku tadi bertemu dengan seseorang,” jawabnya. Nada
bicaranya terdengar sangat gembira dan dia tersenyum padaku
dengan lepas, tidak biasanya.
“Oh ya? Temanmu?” Aku bertanya lagi karena
perubahan sikapnya yang lebih ramah padaku.
“Iya. Dia adalah orang yang sangat baik!” Ujarnya lalu
masuk ke dalam kamar.
Aku senang karena Amba senang. Namun di sisi lain
aku cemburu pada orang itu, juga pada semua orang, karena
mereka bisa membuat Amba merasa menjadi dirinya sendiri,
sedangkan aku sering gagal dalam membuatnya seperti itu.
Bahkan senyuman atau tawa tulus yang dia munculkan
untukku masih bisa dihitung dengan jari. Dan mulai senja di
hari itu, Amba sering pulang terlambat. Dia jadi lebih sering
tersenyum padaku dan itu berarti senyuman tulusnya tidak
bisa lagi dihitung dengan jari. Saat aku bertanya dari mana dia,
Amba selalu menjawab bahwa dia bertemu dengan temannya.
Aku penasaran siapa teman Amba yang selalu membuatnya
bahagia seperti ini. Lalu akhir-akhir ini, pertanyaan itu berubah
menjadi lebih kompleks lagi dan selalu muncul di benakku
84 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
ketika melihat Amba pulang, apakah temannya laki-laki atau
perempuan?
Kupikir, pasti perempuan karena Amba tidak mungkin
bertemu dengan laki-laki. Dia bilang sendiri padaku bahwa
cinta itu tidak dapat dipercaya. Hei. Kenapa aku bisa berpikir
bahwa teman yang ditemuinya tidak mungkin berjenis kelamin
laki-laki? Perkataan Amba padaku akan terdengar tidak logis
jika kubuat sebagai alasan karena dia bertemu dengan
‘temannya’ dan bukannya dengan ‘cintanya’. Tapi, bisa jadi dia
berubah pikiran kan? Bagaimana kalau dia benar-benar jatuh
cinta dengan pria lain? Dengan ‘orang itu’?
Hari ini adalah rekor tertelat Amba. Jam dinding sudah
menunjukkan pukul tujuh malam dan dia belum pulang juga.
Aku makin tidak percaya bahwa yang ditemuinya adalah
temannya. Dugaanku benar ketika sebuah mobil masuk ke
pekarangan rumah kami dan Amba turun setelah seorang
lelaki membukakan pintu mobil. Aku langsung pergi ke dapur
dan melupakan apa yang kulihat barusan sembari menyeduh
teh dan mengaduk gulanya seperti orang kesetanan.
“Hai.” Mendengarnya aku hampir saja menumpahkan
teh panas itu ke wajahku. Aku berbalik dan Amba berdiri di
ujung meja makan dengan sumringah.
“Hai.” Balasku canggung. Kami memang selalu
canggung!
“Apa yang kamu buat? Apa kamu sudah makan
malam?” tanyanya.
“Tumben sekali kamu bertanya?” Senyum di wajahnya
memudar perlahan. Aku berdehem dan sangat menyesali
perkataanku barusan. Aku berbalik ke posisi semula dan
meminum tehku sampai habis dalam sekali teguk.
“Apa?” Amba baru meresponnya. Aku meletakkan gelas
di tempat cuci piring dan tersenyum padanya sebentar.
“Tidak, kurasa itu bukan urusanku ya?” kataku tanpa
humor lalu meninggalkannya. Seharusnya aku sadar bahwa
untuk kebahagiaannya aku tidak boleh merasa cemburu atau
iri sedikit pun pada ‘teman’ pria yang menjadi ‘cintanya’.
Aku mengalihkan pandang dari bukuku ke arah pintu
kamar yang dibuka tiba-tiba. Amba! Berbagai perasaan
berkecamuk di dadaku, marah, kesal, merasa bersalah, bahkan
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 85
cemburu yang semenjak tadi sudah berusaha kutumpas habis
muncul dalam skala yang lebih besar.
“Ada apa?” tanyaku berusaha bersikap ramah dan
biasa, lengkap dengan senyum yang kusunggingkan dengan
paksa. Dia tidak membalas sepatah katapun dan berjalan
mendekat padaku. Aku langsung berdiri dan menjauhinya
beberapa langkah. Dia mendekat padaku dan aku mundur lagi,
dia maju selangkah, aku mundur tiga langkah, sampai pada
akhirnya dia berteriak.
“Cukup! Kumohon, aku perlu berbicara denganmu!”
Akhirnya aku berhenti dan menatapnya. Amba yang dulu
kembali lagi ke hadapanku. Dengan tatapan mata sendu,
nestapa, menyimpan kesedihan yang mendalam. Ada apa
dengannya? Dengan kami? Dengan Tuhan? Mengapa Dia
mengatur agar kami menjalin hubungan ini padahal Amba
tidak mencintaiku sama sekali? Aku tidak tahan.
“Katakan saja!” Balasku tak kalah kencang. Air mata
mengalir ke pipinya. Dia terisak dan aku semakin merasa tidak
karuan. “Cepat katakan padaku kalau kamu memang ingin
bersama dengan ‘dia’!” Dia menatapku tajam.
“Iya! Iya, aku mencintai Bisma dan dia juga
mencintaiku. Aku mencintainya!”
Aku membuang nafas dan menatap ke luar jendela
ketika tangisnya semakin menjadi. Amba? Bisma? Jadi pada
akhirnya hidup kami tak lebih dari sebuah bualan konyol
Mahabarata? Lalu siapa aku? Prabu Salwa? Atau Wicitrawirya?
Permainan macam apa ini?
“Maaf… Maafkan aku…” Katanya lirih, dadaku semakin
terasa sesak, tapi aku diam saja. “Awalnya aku menolak semua
ini Arka, tapi rasa itu semakin menggebu. Lalu, baru kusadari
bahwa, aku jatuh cinta padanya. Tolong maafkan aku. Maafkan
aku,” jelasnya tersendat-sendat. Lalu kurasakan bibirku
bergetar dan bergerak. Ingin menumpahkan seluruh isi hatiku
padanya.
“Baik. Kita memang harus berakhir! Aku memang
mencintaimu, tapi kamu mencintainya. Kurasa bukan
keputusan bijak jika aku atau kita berdua memaksakan
hubungan ini tetap berlanjut. Aku mengerti. Sekarang
keluarlah.” Aku mematung dengan tangan mengepal.
86 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Arka, aku…”
“Keluar kamu!!!” Aku tidak tahan dan berteriak
padanya.
Tidak seperti sebelumnya, perasaanku tidak lagi ragu
saat berteriak padanya. Aku merasa puas. Terutama saat dia
keluar dari kamarku dengan sedih. Namun itu tidak bertahan
lama. Hanya beberapa menit setelahnya aku merasa menjadi
seorang pria yang benar-benar brengsek! Amba mencintai
orang lain, dia menghampiriku dan meminta hubungan kami
berakhir, aku berteriak padanya, aku masih mencintainya tapi
aku tidak mungkin sanggup melihatnya menderita bila
bersamaku, lalu aku hancur. Tamat! Apakah ada yang lebih
menyedihkan, menyesakkan, sekaligus menjijikkan daripada
semua yang kulalui ini?
Paginya saat aku hendak berangkat ke kantor, Amba
sudah tidak ada di rumah. Secercah perasaan takut
menghantuiku. Cepat-cepat aku masuk ke kamarnya dan
kulihat semua barang masih tertata rapi di tempatnya. Aku
menghela nafas lega. Untungnya dia tidak melarikan diri ke
rumah pria itu. Sepulang kerja dia juga belum ada di rumah.
Dia pulang pukul sembilan malam. Apa saja yang dia lakukan
bersama ‘kekasihnya’? Lalu hari-hari kami lalui tanpa pernah
bertegur sapa lagi. Dan aku mulai merindukan Amba. Aku tidak
tahu apa yang ada di benaknya tapi aku tidak pernah
mendapatinya menangis lagi. Mungkin dia memang tidak
menyesali keputusannya. Dia pasti sangat bahagia.
Lama sekali. Aku lelah menghitung hari, mungkin
beberapa bulan telah berlalu sejak pertengkaran kami.
Hidupku benar-benar terasa hampa. Beberapa kali aku
mengintip dari balik jendela saat deru mesin mobil terdengar
dari luar ataupun mencuri dengar ketika Amba berbicara
dengannya di telepon. Siapa yang tak merasa sakit hati? Kami
tidak bercerai, tidak akan sanggup karena itu pasti akan
membuat Ayah dan Ibuku merasa sedih untukku. Semua orang
pasti akan menghina Amba, berkata bahwa Amba memang
orang yang tidak tepat! Tapi tidak. Dialah wanita yang kucintai.
Yang benar-benar menjadi bagian dari hidupku walaupun
kenyataannya aku dan dia berada dalam pusaran air yang
berbeda.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 87
Sore hari di musim hujan. Aku merasa jenuh dengan
segala yang kupikirkan dan pergi ke taman. Aku dan Amba
sebenarnya adalah teman SMP, lebih dari itu kami berpacaran
tapi aku memutuskannya. Entah karena apa, aku lupa
alasannya. Lalu kami bertemu lagi saat dewasa dan mengikat
diri dengan hubungan ini, dan beginilah akhirnya. Amba
membalas perbuatanku. Dan pergi kemari, memandangi
pepohonan dan bunga-bunga yang basah oleh butiran air hujan
membuatku merasa seperti bocah remaja yang duduk bersama
gadis itu di bangku kayu ini dengan tas di punggung dan tangan
yang saling bertautan. Tapi itu hanya ilusi. Hanya sebuah
kenangan. Sekarang kami sudah berakhir!
Aku menunduk. Setelah puas menenangkan diri, aku
mendongakkan kepala dan menoleh ke samping. Seorang gadis
duduk di bangku kayu lain tidak jauh dariku dengan rambut
yang tergerai menutupi separuh wajahnya. Sepertinya dia
sedang menangis. Aku menyipitkan mata dan melihat baik-baik
gadis itu. Amba? Apa yang dia lakukan di sini? Mengapa dia
menangis? Dan berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku.
Tanpa terasa aku bangkit dan berjalan mendekatinya.
Sesaat aku berteriak pada diriku sendiri, apa yang kulakukan?
Tapi aku mengacuhkan pikiran itu dan tetap melangkah.
“Amba.” Namanya keluar dari mulutku dengan sangat
halus. Dan saat dia mendongakkan wajahnya untuk menatapku
dengan matanya yang besar, berair, penuh kekecewaan,
kesedihan, dan perasaan-perasaan lain yang tidak dapat
kudefinisikan, bumi seakan berhenti berotasi.
“Arka?” Suaranya bergetar, aku kehilangan kata-kata.
“Arka, aku bodoh dan gila. Maafkan aku.” Katanya lalu
menangis lagi. Dadaku ikut sesak lalu aku duduk di
sampingnya.
“Amba, apa yang terjadi denganmu?”
“Dia pergi, Ka. Bisma pergi. Dia bohong padaku, dia
tidak mencintaiku sama sekali.” Aku terkejut.
“Apa yang terjadi?”
“Dia punya wanita lain. Aku tak berarti apapun. Aku
mohon maafkan ak…“ Sebelum dia selesai berbicara aku
memeluknya erat-erat.
88 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Lupakan dia, Amba. Lupakan pria itu. Tetaplah
bersamaku. Kumohon, tetaplah bersamaku. Aku sangat
mencintaimu, Amba,” tangisnya masih terdengar.
“Mengapa kamu mau menerimaku kembali?” tanyanya.
“Karena aku mencintaimu dan kamu satu-satunya
Amba dalam hidupku. Akulah Prabu Salwa, kamu memilihku
lebih dulu dan bukannya Bisma!” Air mataku meleleh.
“Kamu bukan Prabu Salwa.”
“Ya, aku bukan Salwa. Aku Arka! Dan aku adalah orang
yang benar-benar mencintaimu! Kumohon kembalilah, Amba.
Kita bisa memulai lembaran baru.” Biarlah aku memohon-
mohon padanya seperti seorang pecundang. Jauh di dalam
hatiku aku berharap bahwa ini akan berhasil. Namun harapan
hanyalah sebuah harapan ketika Amba tak kunjung menjawab.
“Amba?”
“Arka… Maafkan aku.” Dan kalimat itu membuat hatiku
mencelos. Kulepas pelukanku darinya. Namun sedetik
kemudian dia balas merengkuhku dengan cepat. Aku nyaris
tersentak.
“Maafkan aku karena aku adalah orang bodoh yang
menyia-nyiakan cintamu. Tapi kumohon, maafkan segala
kesalahanku padamu dan izinkan aku menjadi bagian
hidupmu.” Kekecewaan itu pergi lagi. Aku tersenyum.
“Tentu Amba, tentu! Kau akan selalu menjadi bagian
hidupku.”
Seperti sebuah kisah cinta di negeri dongeng dan
bahkan deburan ombak kebahagiaanku jauh lebih indah
daripada kicauan burung di langit. Dalam senja yang
melingkupi alam, matahari tenggelam dalam khi’mat, di
bangku kayu ini aku menemukan kebahagiaanku kembali
bersama belahan jiwaku, Amba. Dan hanya aku tempat yang
berhak dia tuju!
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 89
Rapal Doa Kesebatangkaraan
Yulis Mariasih
“Sejak pertama kali bertemu dengannya, engkau sudah
tahu bahwa ia bukanlah tipe lelaki yang akan mengijinkan
perempuan biasa tanpa suatu keistimewaan apa-apa:
mencintainya.” (N. Anggraini)
Engkau mengatakannya juga, padahal wanita itu tak
mengharapkannya. Aku melihat air mata membelah pipinya,
bukankah kau juga melihatnya?
“Apa yang sudah menjadikan kau seperti ini?” Kira-kira
begitu batin wanita itu. Aku bangga padamu Han!
***
Nama perempuan itu Anggraini, cantik dan anggun.
Kabar buruknya, dia telah kalah dalam permainanmu. Dia
menjatuhcintaimu dengan segala resiko yang akan ia tanggung
dengan tak mudah.
“Gadis mana tak tertarik padaku.” Gumammu di Telaga
Kalimati, saat wajahmu yang bersih terpantul di dasar kolam.
Ah, sebaiknya aku tinggalkan wajahmu tetap di dalam kolam
jika aku mampu melihat masa depan. Tapi Anggraini bukan
aku, dia melihatmu akan seperti ini tapi mengambil jalan
berbeda.
Anggraini tahu engkau memperhatikannya sejak tadi,
tapi ia tetap asik dengan bonangnya. Tapi yang tidak pernah
engkau tahu ia telah menyiapkan jawaban atas pertanyaanmu.
Dalam benaknya namamu sudah menari jauh sebelum engkau
duduk di sampingnya, Burhan.
“Mengapa kau memperhatikan aku, Han?” Iya kan dia
memanggilmu, aku tak pernah berbohong padamu. Tapi
mungkin, ah sudah pasti, engkau tidak memperhatikan kalimat
itu. Telingamu terlalu lahap mengunyah suara Anggraini yang
renyah. Matamu asik dirajahi yang engkau sendiri sebut cinta.
90 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Tidak baik jika dulu aku bertemu denganmu, sudah aku
katakan tidak baik, maka kamu jangan menyalahkan aku
mengapa semua takdirmu berjalan sampai saat ini. Semua yang
terjadi padamu sudah berjalan sebagaimana alurnya. Tapi hari
ini aku tak betah melihat polahmu, maka akan aku katakan
padamu rahasia Anggraini. Teriaklah saat engkau tak kuat lagi.
Engkau ingat hari itu?
“Sejak kapan bisa main gamelan?” Cih kau mulai
mendekatinya.
“Kau mau memainkannya?” tawar Anggraini.
“Lu lu ma lu ma nem... begitu baca notnya.” Itu saat
pertama kalian mengobrol. Pengamatanmu tidak salah kau
tertarik pada permainan bonangnya dan dia terus
memainkannya hingga engkau mendekat. Rahasia Anggraini,
bonang. Saat dia memainkan boning, maka ia akan melihat
masa depan. Dia tahu segala yang menjadi masa lalu dan masa
depanmu. Lalu dia melihatmu di masa depannya. Segalanya
termasuk sekarang engkau mencintai seorang gadis. Maaf aku
menyebutnya mencintai. Aku hanya ingin menegaskan
perasaanmu, itu saja.
***
Di hari pernikahanmu.
“Engkau bahagia?” Seharusnya bukan pertanyaan itu
yang muncul. Engkau tahu ayahnya tidak datang, bagaimana
seorang anak perempuan akan baik-baik saja dan bahagia di
hari pernikahannya dalam keadaan itu. Tapi dia melihatmu di
masa depannya. Itu yang tidak bisa dia katakan pada siapapun,
keyakinannya ada penglihatannya, atau mungkin dia takut
disebut gila.
“Aku bahagia, tapi aku akan menangis.” Kalimat itu
tentu kau ingat. Dia akan menangis, bukan menangi
kebahagiaan kalian tapi menangis selayaknya anak kepada
bapaknya. Dan mulai saat itu istrimu hanya milikmu.
Aku tak pernah berpikir mau menjadi ayah istrimu itu.
Membesarkan anaknya dengan penghidupan yang baik. Lalu
menyerahkannya padamu. Seorang playboy yang nyaris tak
dapat dipercaya. Ketampanan dan kekayaan bukan jaminan
bahagia bagi para mertua, begitupun mertuamu. Itu sebabnya
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 91
pernikahan Anggraini tanpa restu. Dia menghilangkan
statusnya sebagai anak untuk menjadi Istrimu. Istrimu
bertaruh untukmu, apa kau pantas?
***
Di hari anak pertamamu lahir.
Siapa namanya? Oh engkau tak perlu mengingatkan
aku. Aku tukang cerita saat ini. Dahana Arum Dewaning Surya.
Aku masih ingat, nama itu adalah nama yang ia peroleh dari
bonang. Nama yang hadir bersaman dengan dia melihatmu
kembali, kembali, dan kembali padanya. Apa engkau pernah
bertanya apa maknanya? Atau istrimu telah menjelaskan?
Tidak. Mungkin engkau sudah terlalu sibuk untuk mengurus
hal ini. Ketidakpedulianmu itu menjadi nada minor dalam
gending hidup kalian. Engkau bermartabat, terpandang,
disegani, lalu termaafkan semua. Sudah jadi resiko jika
siapapun yang berada di sampingmu akan menjadi merasa
berselisih dengan lingkunganmu. Itu alasanmu, kau buat
sendiri pembenaran. Tapi hari ini akan aku katakan tentang
nama itu.
Anakmu adalah sengkalan tahun saat pertama kali
engkau akan mencampakkan keluargamu. 1993, saat ini.
Istrimu telah tahu, lalu di benakmu sekarang pasti bertanya,
“Jika dia tahu mengapa dia menikah denganku?” Itu adalah
pertanyaan yang sama dengan apa yang aku pikirkan, tapi
sudah aku katakana, Anggraini mengambil jalan berbeda. Lalu
kau takut sekarang, lalu berpikir, “Apakah dia juga tahu aku
memiliki seorang yang…” Iya, dia tahu Burhan.
Walaupun ternyata lidahmu kelu, bahkan di alam
bayanganku pun kau tak bisa mengaku. Engkau mencintai
gadis itu, tapi aku tidak akan membahas cintamu pada gadis
itu. Maaf aku memihak istrimu, tapi bukan berarti aku akan
menghalangi takdir kalian.
Jika aku adalah Anggraini, aku tak sanggup. Melihat
bocah yang mengingatkan hari kesebatangkaraanku. Aku
mungkin tidak akan memanggilnya dengan nama itu. Tapi lagi-
lagi Anggraini bukan aku, dia selalu mengambil jalan berbeda.
“Kau resah?” tanya Angraini pada laki-laki di
sampingnya.
92 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Aku?” jawab Burhan.
“Akhir-akhir ini sering keluar, sedang sibuk apa?”
Mungkin kau tak punya jawaban atau malah sedang merangkai
kata yang pas. Tapi aku tunggu kau tak mengeluarkan seanak
kata pun. Lalu situasi menjadi diam hingga saat ini kau berdiri
di hadapanku.
Sekarang tahun 2000, jangan kaget. Cukup lihat saja
yang aku tunjukkan.
“Surya, apa ini? Apa Ibu mengajarimu?” Anggraini
menangis, ia peluk anaknya itu.
“Maaf Ibu, Surya tidak mau sekolah lagi kalau Ibu tidak
minum obat.” Anak laki-laki itu menghambur dari pelukan
ibunya lalu pergi, entah bersebunyi di mana. Tidak banyak
ruang dalam rumah itu, kalaupun bisa disebut rumah. Dalam
bayangan Burhan, tempat itu tidak lebih dari penampungan
barang bekas yang lusuh. Kotor dan penuh sesak peralatan
rumah. Sementara, burhan melihat seorang wanita yang mirip
istrinya sedang meratap di lantai. Memeluk rupiah dengan
tangis yang meraung.
“Duh Gusti, aku terlalu mengikuti nafsuku. Maafkan Ibu,
Nak. Andai...” Anggraini terisak lantas diam, dia mengingat
suaminya. Orang yang menikahinya, ada raut penyesalan
dalam wajahnya.
“Apa mungkin dia menyesaliku?” Guman Burhan.
Ya, benar Burhan, dia menyesalimu. Dia menyesal
menikah denganmu. Dia menyesali bahwa ia berpura baik-baik
saja jika nanti saatnya engkau meninggalkannya. Sekarang dia
merasakan apa yang menjadi kekhawatiran bapaknya dulu.
Tapi Anggraini tetap yakin pada matanya, ia masih melihatmu
di masa depan. Keyakinan itu yang membuatnya bangkit lagi
dari penyesalan. Ini jalan yang ia pilih bersamamu.
“Itu anakku?” tanyanya kembali. Ya, itu anakmu.
Tenang saja, dia mendapat pendidikan yang baik dari istrimu.
Dia masuk sekolah ternama. Kau tahu biayanya? Tiga perempat
dari upah mencari barang bekas di hadapanmu ini. Jangan
bayangkan apa yang mereka makan setiap hari. Kau akan
menangis. Dan benar, sekarang kau menangis.
“Obat? Apa Anggrainiku sakit?” Engkau terlau banyak
bicara Burhan. Lihatlah mata istrimu itu, apa dia terlihat
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 93
seperti perempuan yang baik-baik saja? Terlalu banyak debu
yang ia hirup di jalanan. Paru-parunya infeksi. Anakmu
sungguh mendapat didikan baik darinya. Setiap pulang sekolah
Surya pergi ke peron kereta, menyapu lantai kereta dan
meminta upah seperti pengamen. Anggraini marah. Akan
tetapi, dia harus memperpanjang nafasnya untuk
menungggumu.
Dia harus memperpanjang nafasnya untuk
menunggumu. Dia harus memperpanjang nafasnya untuk
menunggumu. Dia harus memperpanjang nafasnya untuk
menunggumu.
Tiba-tiba suara itu menggema di telinga Burhan.
Burhan berteriak panjang.
“Mas... Mas....” Anggraini menepuk tubuh suaminya.
Sementara Burhan masih gusar, kehilangan akal untuk sesaat.
Lupa ingatan untuk adegan ini, pikirannya masih meraba-raba
alam bawah sadarnya. Berusaha masih ingat.
“Anggraini,” Burhan menatap istrinya, meneteskan sisa
air mata yang masih bisa keluar. Mengingat pertanyaan
istrinya yang ia abaikan semalam. Kau resah, akhir-akhir ini
sering keluar, sedang sibuk apa.
“Apa kau bahagia?” Kalimat tanya yang sama seperti
saat mereka masih pengantin baru.
“Tentu.”
“Bagaimana jika aku meninggalkanmu?”
“Anak kita akan membuat aku mampu menunggumu
lagi, lagi, dan lagi.” Jawab Anggraini.
“Tidurlah Mas, sebentar lagi pagi.”
“Anggraini. Aku akan mengaku padamu. Tapi, jangan
engkau hakimi aku sebelum selesai aku bicara. Apa kamu
bisa?” Pinta Burhan. Lalu dibalas anggukan.
“Aku jatuh cinta, pada seseorang gadis. Selama ini aku
tak mengakui perasaan itu karena aku sadar perasaan itu tidak
pantas. Aku sebahagia bersamamu dulu ketika aku
bersamanya, Anggraini. Tapi Anggraini, aku tidak akan
melepaskanmu atau meninggalkanmu. Maka tolong aku,
lepaskan aku dari cinta ini.” Burhan masih menangis, terisak
dan berlutut pada istrinya. Anggraini hanya terdiam. Kaget. Dia
tidak melihat adegan ini pada bonangnya.
94 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Bicara apa kau, Mas?” jawab Anggraini. Ia berlaku
seperti tak tahu apa-apa dan nyatanya memang semua sejarah
masa depan ini sangat berbeda dengan apa yang ia lihat dahulu
saat memainkan bonang. Ini tahun 1993. Seharusnya suaminya
akan berkata ingin meninggalkannya tapi nyatanya suaminya
berkata ia tidak akan meninggalkannya.
“Anggraini, tetaplah di sampingku apapun yang terjadi.
Jangan pernah pergi, jangan bawa Surya kita keluar dari rumah
ini. Jangan pernah berada di luar rumah terlalu lama, kau tahu,
asap dan debu aku haramkan engkau hirup mulai saat ini.
Jangan marah dan meninggalkanku, bahkan ketika aku jatuh
cinta lagi. Aku akan mengatakan padamu dan jangan marah
jika aku memintamu untuk melepaskan aku dari rasa-rasa itu.
Buat aku jatuh cinta padamu lagi setiap harinya, dan aku akan
menjagamu sampai nanti.”
Anggraini, untuk pertama kali keyakinannya runtuh.
Dia benar-benar melihat Burhan di masa depannya. Bukan lagi,
lagi, dan lagi kembali. Tetapi selalu di masa depannya.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 95
96 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Kota Ini
Seorang Gadis, Kota dan
Kenangan
Yuditeha
Kepalanya pusing dan wajahnya pucat, sepucat senja
yang sinar jingganya disaput mendung. Tiba-tiba perutnya
mual. Apa yang dia makan tadi siang rasanya ingin
dimuntahkan.
Menjelang malam, bus yang dia tumpangi memasuki
kota yang dituju. Sebuah kota dimana dia mendapat tugas baru
sepekan tiap bulannya.
Gadis itu mulai menyiapkan bawaannya, bersiap turun.
“Halte depan, Pak,” dia memberi pesan pada kondektur.
Di halte dekat pertigaan, sebelum jembatan
penyeberangan, dia turun dari bus. Selanjutnya berjalan
terburu-buru dan malam yang tak ramah telah menelannya di
balik tikungan gang.
Ada apa denganmu? Apa kamu ingin pergi dariku?
Pertanyaan dari kenangannya menggema ketika dia hendak
membuka kamar kosnya, seiring menderunya angin malam.
“Aku rindu,” bisiknya.
Kenangan memang gampang membuat rindu.
“Badanku drop.”
Segera istirahat, biar besok dapat kembali fresh, dan
bisa menjalankan tugasmu dengan baik, saran dari kenangan.
“Aku tahu benar diriku, dan kini aku sedang tidak bisa
istirahat,” begitu dia bergumam.
Selesai mandi, pusingnya belum juga reda, tubuhnya
bergetar dan akhirnya muntah beneran.
Ya ampun, kamu muntah? Ah, andai saja aku dapat
menemanimu di sana.
“Terima kasih. Ah, andai aku juga bisa menghilang,
sedetik ini juga aku pasti telah ada di Surabaya,” bisiknya.
Dia sms temannya : Aku muntah.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 99
Dan temannya menjawab : Cepatlah minum obat dan
istirahat.
Meski dia baru saja tiba di kota itu, tapi jika kondisinya
begitu, rasanya dia ingin segera kembali ke Surabaya. Kembali
ke rumah. Kembali ke tempat di mana bersemayam sebagian
besar kenangannya. Kenangan yang menjadikan dia ingin
selalu pulang.
Aku ingin selalu menemanimu di manapun kamu berada.
Kuharap di sini kamu kuat. Kenangan memang indah tapi kamu
juga harus tahu bahwa hari ini dan kelak juga tidak kalah indah.
Suara yang menggema dari sela-sela rongga kenangan itu.
Ya. Semoga aku kuat, tapi aku tetap rindu Surabaya.
Aku setuju denganmu, tentang hari ini dan kelak juga tidak
kalah indah, terutama untuk pagi tadi, siang tadi dan sore tadi,
waktu aku masih di Surabaya, tapi tidak untuk malam ini,
batinnya.
Hp-nya berbunyi. Ternyata telepon dari temannya tadi.
“Halo,” sapanya.
"Gimana keadaanmu?" tanya temannya di seberang.
“Kau pernah bilang, hidup itu seperti sayur. Harus ada
bumbunya jika hidupku ingin dibilang enak. Dan kau juga
katakana, jika hanya seperti ini, belum bisa dikatakan aku
menikmati hidup. Maksudnya?”
“Jangan monoton.”
“Apakah harus kisah besar untuk menandai bahwa aku
telah menjalani hidup?”
“Cari wawasan biar pikiran menjadi luas.”
“Begitukah? Ya sudahlah. Aku ingin cepat tidur. Bukan
karena aku ingin segera besok, tapi aku ingin malam yang tidak
nyaman ini segera berlalu.”
***
Pagi harinya. Sinar matahari menyelinap di sela jendela
nako. Tandanya beraktivitas harus segera dimulai. Aku baru
saja selesai mandi. Saat ini kenyataan telah di depan mata, dan
aku segera harus menjalani apa yang seharusnya aku jalani.
“Namaku Violis.”
“Violis? Bukankah itu nama alat musik?” kata salah satu
kenalanku dulu.
100 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Begitulah.” Dan kami tertawa bersama.
Lalu siapakah aku? Orang sering mengatakan aku
adalah gadis kecil yang sebenarnya belum pantas menerima
tanggung jawab besar. Tapi pada kenyataannya aku adalah
gadis kecil yang telah mengemban tanggung jawab besar.
Riwayatku, dari TK hingga SMA, selalu mendapat ranking di
kelas. Ketika di Perguruan Tinggi jurusan Seni Musik pun, aku
lulus tercepat di antara teman seangkatan. Mungkin karena
itulah, mereka buru-buru memberiku pekerjaan.
Begitu lulus S1, dan belum genap usiaku 22 tahun, aku
direkomendasikan menjadi dosen. Dan tak lama dari itu,
sebuah lembaga pendaftaran beasiswa dari Jerman, bernama
Evangelischer Entwicklungsdienst, telah meluluskan
permintaan beasiswaku.
Kaiserslautern, adalah sebuah kota kecil yang terletak
di sebelah selatan Jerman. Di kota itulah aku akan
memperdalam ilmuku. Kabarnya kota itu indah karena berada
di pinggir hutan Pfalz. Tapi akhir-akhir ini, ada perasaan berat
jika harus pergi ke sana. Lagi-lagi hanya karena alasan
kenanganku. Bagiku kenangan selalu indah dan aku tidak ingin
berpisah dengan kenangan itu. Kenangan di kota Surabaya.
Kota yang banyak menyimpan kisah sejarah heroik para
pendahulu. Mungkin karena itulah, Surabaya tumbuh menjadi
kota yang berwibawa. Terlepas dari itu, karena sebagian besar
kenanganku ada di kota Surabaya itu, maka ke Surabaya-lah
aku ingin selalu kembali.
Aku lebih suka berada di Surabaya, karena sebagian
besar kenanganku ada di sana. Kenangan yang membuatku
selalu merindu. Ibarat sebuah baterai, jika aku di kota lain,
baterai itu gampang habis, dan kadang tahu-tahu menjadi drop.
Tapi jika aku sedang ada di Surabaya, baterai itu menjadi tahan
lama, padahal tingkat pemakaiannya sama-sama lamanya. Kini
aku harus menjalani tugas dan berpisah sementara dengan
kenanganku. Biarlah rasa rindu ini jadi asa yang nanti kembali.
Yang tidak benar-benar kenal aku, sering mengatakan
aku adalah gadis hebat. Bahkan ada satu orang yang sangat
mengagumiku. Aku menjadi tidak nyaman dengan
kekagumannya. Aku merasa tidak pantas, tapi dia keras kepala.
Dan dialah si Kenangan itu.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 101
“Adakah syarat tertentu dari seseorang untuk pantas
dikagumi?” tanyanya suatu kali.
“Aku tidak tahu, aku hanya merasa belum cukup pantas
untuk kamu kagumi.”
“Menurutmu, apa yang menjadi ukuran dari seseorang
untuk pantas dikagumi?”
“Aku tidak tahu.”
“Aku rasa kamu yang ngeyel dalam hal ini.”
“Aku tidak berani membantah, aku hanya merasa
belum pantas. Itu saja.”
Juga tentang wajahku, dia mengatakan wajahku cantik.
Aku tidak tahu dia menilai apanya. Dia bilang mataku indah.
Aku tidak percaya. Masak mata sipit begini bisa indah? Bagiku
mata indah adalah mata yang beningnya terlihat. Seperti
sebuah cermin atau seperti sebuah danau. Dengan begitu
seakan-akan kita bisa berkaca di sana bahkan mungkin
berenang di sana. Tapi mataku? Bahkan aku jadi seperti tidak
punya mata jika sedang tertawa. Tapi dia malah mengatakan
mataku tajam. Bagaimana bisa? Katanya, bentuk mata sipit
seperti bentuk belati. Belati sama dengan tajam. Tajam bisa
menembus. Dan dia berdarah, katanya. Ah, ada-ada saja.
“Jika menurutmu mataku begitu, biarlah aku berusaha
menjaga agar tidak melukaimu. Aku tidak ingin kamu
berdarah-darah. Atau kau ikuti saja saranku, jangan lihat
mataku!” Gurauku dulu, suatu malam di kota Surabaya.
***
Di awal sudah dikatakan, ini kisah tentang seorang
gadis, kota dan kenangannya. Dan jika kau ingin mengharapkan
kisah lebih dari itu, mungkin tidak akan kau temui di sini.
Bahkan pada akhir cerita inipun hanya diakhiri gadis itu begitu
gembira menyambut hari ini. Meski tugas jam mengajar hari ini
jelas-jelas nyata begitu banyaknya, tetapi semua itu tidak
mengurangi kegembiraannya. Semua itu tidak dianggapnya
beban berat, karena ini adalah akhir pekan dan sore nanti
selepas dia mengajar, dia akan kembali ke Surabaya. Kembali
ke rumah, kembali ke tempat di mana bersemayam sebagian
besar kenangannya. Kenangan yang menjadikan dia ingin
selalu pulang.
102 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Dari sejak naik bus, wajahnya sudah bersinar. Hingga
bus memasuki kota Surabaya, wajahnya tidak berubah. Terus
bersinar, selaras dengan lampu merkuri yang dinyalakan di
tiap sudutnya. Dan malam itu, meski Surabaya sedang gerimis
tapi hatinya tetap bersemangat. Justru gerimis itu
menjadikannya cepat mengembalikan kenangannya kembali ke
permukaan.
***
“Gimana kabar kamu sekarang?" Pertanyaan dari
kenangannya menggema ketika pagi yang baru di Surabaya.
Gimana ya? Yang jelas tidak sedang sedih, tidak sedang
kecewa, tidak sedang resah, dan juga tidak sedang takut. Justru
ada kegembiraan dan perasaan tidak sabar ingin segera besok
pagi.
Jika begitu, kapan kamu merasa sedih, kecewa, resah,
dan takut dalam hidup ini?
Aku akan merasa sedih jika disalahmengerti, aku akan
merasa kecewa jika tidak dapat melakukan sesuatu dengan
baik, aku akan merasa resah jika tiba-tiba ada urusan tugas
mendadak, dan aku akan merasa takut jika orang-orang
terdekatku pergi.
Apa yang membuatmu merasa begitu terpuruk?
Mungkin pada saat orangtuaku meninggal. Oya, kadang
aku juga merasa takut jika kamu marah, sebab selama ini aku
belum pernah tahu kamu marah.
Aku tidak akan marah. Mungkin aku akan marah
kepada orang yang berani menyakiti kamu.
Aku jadi merasa dilindungi, terasa aman dan mungkin
tidak ada yang akan menyakitiku karena ada kamu.
Kalau berkenan, aku akan menemanimu selalu meski
aku tidak selalu di dekatmu.
Terima kasih.
Aku ingin menjagamu, selayaknya aku dijaga dunia yang
belum habis.
Hmm.
Kau diam? Kau bergeming. Kau tidak bisa ngeyel lagi
atas kata-kata itu. Speechless, ya?
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 103
Senin yang Berwarna Merah
di Antara Hujan Bulan
Desember
Muhammad Dihlyz Yasir
“Lelaki yang kau maksudkan itu, dia seorang yang tidak
bisa dibeli.” Ana menimpali selusin teori tentang mukjizat
kekuasaan yang kututurkan padanya di sepanjang jalan hanya
dengan sebuah kalimat pendek yang menjengkelkan. Aku
heran, apa benar-benar masih ada beberapa dari sekian orang
di Indonesia ini yang tidak tunduk dengan uang? Kekuasaan?
Wanita? Jujur saja sebenarnya aku melihat lelaki itu secara
tidak sengaja. Perjumpaan yang bisa dibilang amat singkat,
pada suatu malam di Malioboro.
Wajahnya kusut, lesu. Matanya lebam, tubuhnya kurus
dengan tulang pipi yang cekung. Sudah 2 bungkus rokok
selama 3 jam ini. Aku mengamatinya, sesekali dia mendongak
memandang langit yang basah, kemudian tersenyum-
tersenyum sendiri seperti teringat sesuatu. Rambutnya sebahu,
dengan warna kemerahan. Aku mendekatinya, basa-basi
meminjam korek, lalu kami berbicara banyak, mulai soal
filsafat-filsafat ekstrem yang membuat seseorang menjadi
atheis, soal politik di negeri ini yang saling terkam, hingga
masalah lembut dan lunglai seperti cinta.
Aku sendiri sampai saat ini tidak terlalu percaya
dengan cinta sejati. Cinta sejati itu seperti halnya dongeng,
sesuatu yang diada-adakan demi membuktikan kebenaran
sebuah teori.
“Cinta itu seperti hantu, banyak orang bisa merasakan
kehadirannya, tapi hanya sedikit yang bertemu,” ucapnya.
“Kau sendiri bagaimana?”
“Oh, hidupku penuh dengan cinta, aku bahagia di sini,
rindu selalu ada ketika aku membutuhkannya. Jogja begitu
ramah, budayanya masih kental,” senyumnya yang dingin
104 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
muncul, asap terhembus dari lubang hidungnya.
Kulihat ia mengeluarkan note book, ada kelender di
belakang cover sampulnya. Ia mengamati tanggal-tanggal itu,
matanya menerawang, tatapannya nyaris kosong, kemudian
tersenyum kembali.
“Orang ini gila.” Pikirku.
Sebagai mahasiswa jurusan psikologi, aku tertantang
untuk mengenal karakter dan makhluk aneh di depanku ini.
Kepribadiannya menunjukkan bahwa ia sosok yang sangat
dingin, acuh. Perawakannya mirip orang jalanan yang tak
punya rumah, hidupnya luntang-luntung, ketika kutanya
pekerjaannya, ia hanya tersenyum, lalu menjawab dengan
setengah malu bahwa ia bekerja sebagai tukang cuci piring di
warung Gudeg di depan pasar Beringharjo.
Setelah bertanya sana-sini, basa-basi luar dalam, tak
ubahnya seperti seorang wartawan yang mewawancarai
narasumbernya, akhirnya aku temukan kesimpulan, ada yang
ia sembunyikan dari sikap dingin dan perawakannya itu.
Kucoba mengajaknya membahas soal sejarah, dia
bercerita panjang lebar. Mulai babad tanah Jawa versi
Darmaghandul, soal sabda palon yang membuat kawah di
Mahameru agar tanah Jawa stabil, dia juga bercerita tentang
kapal nabi Nuh yang ditemukan sisa-sisa fosilnya di puncak
gunung Ararat, tentang kebenaran banjir bandang di era Nuh,
karena ditemukan lumut dan batu laut pada puncak Mount
Everest, kuburan tertinggi di dunia, dimana banyak mayat yang
telah membusuk dan tulang tengkorak berserakan. Juga soal
mitologi mesir, mitologi skandinavia, sampai nama nama
dewa-dewi Yunani lengkap berdasarkan silsilah dan garis
keturunannya. Kali ini ia terlibhat lebih mirip sebagai sarjana
yang terkena Droup Out.
Aku bertutur soal politik, ia dengan semangat sekali
membahas sistem negara ini yang rapuh karna terlalu banyak
serangga yang menggerotinya dari dalam. Bedanya serangga-
serangga ini sakti, tuturnya. Dan konon dilengkapi dengan
persenjataan mutakhir yang lebih canggih dari senapan,
meriam, bahkan bom atom, yaitu kursi kekuasaan.
Ketika berbincang soal agama, ia berkata bahwa dalam
Islam, dzikir dibagi tiga macam. Yang pertama, dzikir wilayah
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 105
lafadh, lalu dzikir wilayah hati, dan dzikir wilayah ruh.
Ketiganya memiliki prosedur sendiri-sendiri, wilayah lafadh
adalah sebagaimana kita berdzikir dengan menyebut lewat
bibir. Dzikir wilayah hati, sama saja dengan lafadh, hanya letak
dzikirnya berada di dalam hati. Yang berbeda hanyalah dzikir
wilayah ruh, itu dzikir para waliyulloh, katanya.
Setelah mendalami syariat, lalu beranjak ke thoriqoh,
hakikat, pada akhirnya setelah mencapai maqom ma’rifat,
seseorang akan berdzikir dengan ruhnya. Ruhnya akan
bertemu dengan dzat Tuhannya. Itulah mengapa ayat di Al
Quran berbunyai “wadzkur robbaka”, bukan “wadzkur isma
robbika”, ternyata memang ada hal semacam ini, dan ini terjadi
tak putus-putus, sekalipun orang itu sedang tidur.
Dari sekian jam aku bercakap-cakap dengannya, yang
terlihat aneh hanyalah ketika aku mengajaknya berbincang,
menanyai pengalamannya soal cinta, ia hanya tertunduk,
kemudian mendongak memandang langit, lalu tersenyum
sendiri lagi. Sebagai pengamat psikologi yang akan segera
menjadi sarjana beberapa bulan lagi, aku telah berhasil
menemukan pokok masalah orang ini, ia ada sedikit masalah
soal cinta dan masa mudanya, entah apa, segalanya berhasil ia
tutupi dengan rapi.
Malam bertambah malam, tiba-tiba lelaki ini
memandang jam tangan, lalu terburu-buru membuka kembali
kalender yang ada di note booknya itu seperti teringat sesuatu.
Saat ini pukul 23.50, hampir tengah malam pikirku. Siapa yang
akan ditemuinya malam-malam begini? Kawan? Pacar? Atau
kalau dilihat dari perawakannya, tidak menutup kemungkinan
ia hendak mengunjungi wanita-wanita malam di Pasar
Kembang. Namun daripada terus berprasangka, akhirnya
perhatianku teralih pada note book di pangkuannya. Kuamati
kalender itu, seluruh tanggal mulai bulan Juli dilingkari dengan
spidol warna hijau. Apa maksdunya? Aku masih mengamati,
mencoba memahami lingkaran-lingkaran spidol di setiap
tanggal itu baik hari libur, tanggal merah maupun hari biasa.
Aku kaget, seperti ada yang tidak beres. Sekarang bulan
Desember hari Minggu malam, seperti kebiasaan di tanggal-
tanggal biasanya, seluruhnya dilingkari dengan dengan spidol
hijau, kecuali hari Senin besok. Tunggu! Senin besok di
106 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
kalendernya berwarna merah, padahal kalender nasional tidak
menunjukkan adanya tanggal merah yang jatuh di hari Senin
pada bulan Desember.
Sambil terdiam, kupandang raut wajahnya, kulihat
gerak-gerik gesture tubuhnya. Seluruh metode pengamatan
mulai yang kutemui di buku-buku hingga metode yang
dikisahkan dengan bagus dalam serial film barat “Lie To Me”
kususun kembali, kutelusuri, kuingat-ingat, dan kusesuaikan.
Tapi hasilnya nihil. Tanda tanya besar masih bermukim di
kepalaku.
Angin berhembus, lalu lalang kendaraaan mulai surut.
Lonceng jam di tugu depan stasiun tempat kami menyeduh
kopi ini berdentang. Pertanda tengah malam sudah tiba. Laki-
laki itu tiba-tiba berdiri, ia memandang rembulan, senyumnya
terbuka sedikit lebar dari biasanya. Dipejamkannya matanya
beberapa menit, lalu dibukanya kembali, kemudian mendongak
lagi memandang langit. 10 menit kubiarkan ia terdiam, lalu ia
kembali duduk di sebelahku.
“Tanggal itu kenapa janggal?” Aku menunjuk
kalendernya.
“Tidak ada yang janggal, itu hanya pikiranmu.”
“Lalu kenapa tanggal Senin tidak dilingkari hijau? Dan
kenapa ia berwarna merah, bukannya tidak ada hari libur
besok?”
“Memang tidak ada.”
“Lantas?”
“Ini sebuah penghormatan.”
“Untuk?”
“Untuk menghormati.”
“Iya menghormati apa?” Aku semakin jengkel dengan
lelaki aneh ini.
“Menghormati anugerah dalam sebuah peristiwa.”
Aku semakin tak mengerti, dia menyulut rokoknya lagi.
“Sebenarnya peristiwa apa yang akan terjadi besok?
Kamu bisa meramal? Apa besok ada sesuatu yang
mengguncang jogja? 10.000 hari wafatnya mbah Marijan?
Merapi meletus lagi? Atau jangan-jangan ratu laut kidul ada
perayaan di Parangtritis?”
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 107
“Kamu pikir aku dukun?” ia tertawa sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Ia menghela nafas panjang.
“Tidak, ini bukan soal Jogja,” timpalnya, “Ini soal sebuah
tempat jauh di Jawa Timur sana, di sebuah kota, di sebuah
daerah, di sebuah kenangan, di sebuah jalinan cinta-kasih yang
pernah tercipta, di sebuah keindahan, di sebuah anugrah, dan
di sebuah sejarah yang pernah terukir dua puluh satu tahun
yang lalu pada tanggal yang sama.” Senyumnya melebar, air
matanya meleleh perlahan.
Kupandang lelaki ini beberapa menit. Dadaku gemetar.
Aku hanya bisa tersenyum. Kali ini kubiarkan ia larut dalam
pikirannya, imajinasinya. Aku tidak akan memberondongkan
pertanyaan lagi, karna kini aku sudah mengerti, alasan
mengapa ia selalu menolak membahas persoalan cinta, dan
misteri tentang tanggal merah janggal di hari Senin itu.
108 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Lebih dari Cintamu
Save Our Soul
Triana W.D
“Key...” Suara yang sudah sangat kau hafal terdengar di
telingamu. Membuat sedikit gerakan respon tubuhmu. Kau
menolehkan sedikit kepala yang sedari tadi mendongak
menatap langit. Menatap gadis di belakangmu dengan tatapan
bertanya.
Gadis berambut coklat madu itu berjalan mendekat ke
arahmu. “Sebentar lagi hujan. Tidakkah kau ingin masuk ke
dalam?” tanya gadis itu dengan suara khasnya yang beberapa
tahun ini selalu kau dengar.
Kau tidak bergerak sedikit pun dari posisimu,
setidaknya sampai dia berdiri tepat di belakangmu dan
menyentuh punggungmu dengan jemari lentiknya. Kau tak
pernah melupakan betapa halusnya permukaan kulit tangan
itu. Menyadari tak ada respon yang kau berikan, dia kembali
bersuara. “Key?”
Kau memasukkan kedua tanganmu ke dalam saku
calana blue jeans yang kau kenakan. Kau berjalan tenang
melewati gadis itu-seolah dia tak ada. Gadis dengan warna
rambut coklat madu itu bingung, tapi dia mengikuti langkahmu
masuk ke dalam gedung.
Begitu kau dan dia sudah sampai ke dalam gedung,
gadis itu-Jovanka memaksamu berhenti. Bola mata onyx
hitammu yang pekat bertemu dengan caramel kecoklatan
miliknya. Tatapan penuh energi yang sangat kau sukai.
“Adakah sesuatu yang tidak kuketahui?” Jovanka
membuka suara setelah beberapa menit bertatapan dalam
diam. Kau mengukir senyum di bibir tipismu. Meyakinkan
gadis itu bahwa semua baik-baik saja.
***
Pip pip pip…
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 111
Alarm peringatan terdengar di markas mereka. Di
sebuah ruangan dengan gaya modern yang dilengkapi fasilitas
tercanggih abad ini. Kau menatap layar hologram di
hadapanmu dengan kening berkerut. Layar itu berubah
menjadi hitam.
One virus is detected. Seluruh manusia yang ada di
ruangan itu bergerak panik. Kau melirik Jovanka yang duduk di
sampingmu. Ekspresi gadis itu sama dengan yang lain. Hanya
saja dia tetap fokus pada monitor di depannya. Tangannya
dengan cekatan menelusuri jejak si peretas.
Kau tampak tenang menghadapi situasi ini. Meskipun
tidak ada yang tahu bahwa jantungmu ikut berdebar tak
karuan. ‘SOS’ adalah nama virus yang berhasil menembus
jaringan yang kau rancang dengan pengamanan tingkat tinggi.
Virus ini adalah jenis virus pollymorphic yang bisa mencuri
data. Kode yang diberikan membuat keningmu berkerut. Ada
yang kau ingat dengan permainan masa kecilmu. Bukankah itu
kode yang populer dalam dunia bajak laut?
Dua menit waktu berlalu. Sebagai detektif muda kau
sudah mendapatkan kepercayaan berada di tim utama.
“We lost old data.” Suara Carl, salah satu rekanmu
membuat semua menatapmu dengan wajah yang
mengisyaratkan ‘lakukan sesuatu’. Kau bergeming dari tempat
dudukmu.
“Mereka mencoba meretas jaringan kita. Kurasa yang
mereka cari adalah file Black Eyed Pass,” Jovanka memberikan
petunjuknya.
“How?” Yuki yang duduk di sebelahnya kurang yakin.
“Pertama, mereka log in langsung huruf B karena kita
memberi sandi pada setiap file. Meskipun ada BLx dan BIO tapi
ptx keduanya ditinggalkan. Ke dua, hanya BEP yang masih
memiliki sisa anggota,” jelasnya. “Itu pertanda kebangkitan
kelompok mafia itu.”
***
Selama tiga hari ini kau tidak pernah tidur penuh setiap
malam. Menghabiskan waktu hingga tengah malam dengan
berkas-berkas di tanganmu. Kau meneguk Americano yang
112 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
sudah tak mengepul. Mengusir kantuk yang kini mulai
menyerangmu.
Kau membaca dengan teliti berkas mantan kelompok
mafia terbesar di dunia-Black Eyed Pass. Kelompok yang sudah
lama masuk dalam berkas final itu kembali. Mereka bermaksud
melenyapkan berkas yang mungkin akan menghambat aksinya.
Kau kembali teringat dengan nama kode peretas itu. ‘SOS’.
Seperti ada kerinduan yang muncul.
Dua belas tahun waktu berjalan. Kini kau menemukan
kembali kupu-kupu indah yang menari di atas kepalamu. Kau
sangat yakin dengan perasaanmu. Ini bukan tentang kode etik
pemecahan masalah. Tapi naluri hatimu yang tumbuh dewasa.
“Green Avenue, Valeerie Steet Kv. 543 Mansion Park,
New York.” Setelah beberapa hari beberapa hari menelusuri
jejak si pengirim virus, kau mengungkap markas baru
kelompok itu pada rapat siang ini. Bersama tim penyidik dari
kepolisian juga petinggi pemerintahan mereka akan
menangkap kelompok yang merugikan negara itu.
“Jadi tunggu apa lagi? Segera lakukan tugas kalian!”
Perintas tegas dari inspektur berbadan tegap itu. Semuanya
mengemasi berkas masing-masing.
“Jo, I want you stay.” Kau menatap dalam iris caramel
indah itu.
“Why?” Gadis itu mengerutkan alisnya. Sebuah
senyuman. Itulah jawabanmu.
***
Ketika belahan bumi lain mengalami fase siang New
York mengalami fase malam. Di kota teramai dunia inilah kau
menghabiskan malammu menatap langit. Kau menghirup
aroma caramel machiato yang ada di tanganmu lalu
meminumnya. Kau melihat Carl, pemuda bermata sipit
keturunan Inggris-China yang sudah menjadi patner kerjamu
selama beberapa tahun itu sedang bermain bowling. Pemuda
yang terkesan kekanakan itu mengajakmu bermain.
Kau dan Carl akhirnya bersandar pada dinding ketika
lelah bermain. Tak terasa waktu sudah lewat tengah malam.
“It’s interesting.” Kau mengusap keringat di dahimu.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 113
“We have to rest. Tomorrow will be wait,” Carl menepuk
pundakmu sebelum masuk ke kamar dan beristirahat. Ya,
hanya tinggal beberapa jam lagi kau akan menemukannya.
Kau menatap bangunan tinggi bergaya Eropa klasik itu
di depanmu. Rekan-rekanmu sudah lebih dulu memasukinya.
Aroma tembakau tercium dari ujung lorong rahasia yang kau
lewati. Kau menduga di depan sana adalah gudang tembakau
murni. Yuki yang ikut bersamamu berusaha membobol sandi
pintu masuk. Ketika pintu terbuka, alarm berbunyi disertai
suara tembakan saling bergantian. Di saat yang bersamaan kau
menyeret Yuki menuju lift. Pintu lift terbuka dan menunjukkan
jembatan penghubung gedung. Yuki terlihat bingung dengan
sikapmu yang membawanya menjauhi musuh.
Setelah sampai di gedung sebelah kau menunjukan
sebuah pintu. “Hack the code, Yuki!” Perintahmu yang membuat
Yuki semakin bingung tapi dilakukannya juga.
Kau menemukan lorong yang sangat panjang dan gelap.
Tidak ada alarm di sini. Kau dengan Yuki di belakangmu
memasukinya dengan hati-hati. Sebuah cahaya merah
menyilaukan matamu tapi kau berhasil melewatinya, jika tidak
rencanamu akan gagal. Ternyata di dalam terdiri dari beberapa
ruangan.
“Where’s the room?” Kau tampak memejamkan matamu
sejenak. Mencoba mengingat ‘SOS’ dengan permainan masa
kecilmu. Jika sampai di sini seharusnya analisismu tidak salah.
Seseorang dengan balutan gaun biru muda dan rambut
yang tergerai indah adalah pemandangan yang pertama kali
kau lihat ketika memasuki ruangan itu. Yuki sudah siap dengan
pistol ditangannya tapi kau memberi isyarat untuk diam.
“Long time no see, Key.” Sungguh kau tak tahu perasaan
apa ini. Hatimu berdesir mendengar suara yang sudah lama
meninggalkanmu. Gadis itu, Krystal Park, sekarang adalah
pemimpin musuhmu. Teman kecilmu yang menghabiskan
waktu untuk menggambar gunung di bangku TK. Sekarang dia
tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Krystal berjalan
mendekat padamu memberikan senyuman indanya. Dia
menggandengmu untuk duduk.
114 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Where have you been? I miss you so bad.” Kenapa harus
sekarang dia mengatakannya? Krystal menatapmu dengan
mata bonekanya. Di ruangan sang pemimpin tidak ada
siapapun bahkan penjagaan pun tidak seperti biasanya. Sangat
berbeda dengan penjahat pada umumnya. Mungkin dia sudah
mempersiapkan ini.
“Tangkap dia!” Suara inspektur menggema di depan
pintu.
***
Sipir tahanan mengantarmu ke sebuah gedung terpisah
yang berisi beberapa sel. Jovanka yang sedari tadi mengamit
lengan kananmu berhenti di pintu masuk. Dia memberikan
senyuman khasnya yang akan selalu kau lihat. Di sinilah kau
sekarang di depan sebuah sel yang cukup luas. Manusia satu-
satunya di dalam sana tersenyum melihatmu.
“You must be strong, Krystal.” Kau berusaha mengatur
suaramu agar tetap normal. Krystal tersenyum lagi. Tapi
sekarang terlihat mengerikan.
“Save our soul.” Dia merapalkan kata itu berulang kali.
Permainan masa kecil kalian yang tidak akan pernah kau
lupakan. Permainan yang indah tapi tidak untuk sekarang.
Tahun terus berganti.
Kau sudah memilikinya. Seseorang yang tidak bisa kau
tukar dengan sebuah permainan. Walaupun kau punya
debaran yang sama dari karya indah Tuhan ini untukmu, kau
tidak akan pernah mengkhianati kepercayaannya untukmu.
Jika saja Tuhan mau memberikanmu sedikit kekuatan untuk
mengatakan ‘lebih dari cintamu’ .
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 115
Bagaimana Harusnya
Ang Pick/Taufik Rohim
Rendi melihat Vina bagaikan bidadari. Bagi Dia, Vina
adalah impian masa depannya. Dia disebut sebagai mahasiswa
yang rajin kuliah. Bukan karena apa-apa tapi karena Vina.
Ibarat pemuda kecanduan narkoba. Setiap waktu Dia butuh
melihat wajah Vina. Vina memang tidak terlalu populer. Tapi
kesederhanaannya membuat Renci mencintainya. Namun
perasaannya tak pernah Ia tunjukkan dengan cara memberinya
bunga, mentraktir makan, atau sekedar mengajaknya bicara.
Bisa disebut juga Rendi adalah pengagum rahasianya. Memang
sangat tidak enak menjadi pengagum rahasia. Perasaannya
menjadi sakit ketika orang yang sayanginya bicara dengan
orang lain. Awalnya memang biasa saja namun akhirnya
hatinya merasa sakit. Dan Rendi pun memberanikan diri
perlahan-lahan mengenal Vina lebih dekat.
Dear Diary,
Vina, aku... aku... aku... Oh, mengungkapkan dengan
tulisan saja susah. Berat sangat berat. Apalagi bicara langsung
dengannya.
Vina, kau bagiku adalah... adalah... Oh, memang sulit.
Tanpa keberanian tidak ada kemenangan. Harusnya
Rendi hafal dengan istilah itu agar dia benar-benar berani.
Karena semakin dia takut maka semakin sakit pula hatinya jika
ketepatan melihat Vina bicara dengan orang lain. Tapi
walaupun bagaimana rencananya itu dia urungkan untuk
sementara ini karena belum berani.
Kantin Kampus. Jam Istirahat.
Bakso yang sedang Rendi makan hampir habis.
Rupanya pagi tadi Dia belum sarapan. Hingga kalau
diperhatikan Dia makannya sangat lahap.
116 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Hey,” sapa Sherly dari belakang Rendi dengan
menepuk pundaknya. Dia mengagetkan Rendi yang sedang asik
makan.
“Uhuk!” Rendi terbatuk. Segera Ia mengambil air putih
yang di depannya. “Aduh. Hati-hati dong. Kaget tahu. Tidak
melihat orang lagi makan yah?”
“Serius sekali. Mau dong. Pesen satu lagi ya. Tapi
bayarin.”
“Enak saja. Bayar sendirilah.”
“Yah begitu. Pelit. Sama kan aku juga lapar nih.”
“Kalau lapar ya makan. Terus kenapa pula harus
dibayarin?” Rendi masih asik makan baksonya. Wajahnya
merah mungkin kepedesan. Matanya Fokus ke mangkok. Sama
sekali ia tak menatap wajah Sherly. Lapar memang bisa
merubah orang.
“Ada perasaan apa kau dengan Vina?”
“Uhuk uhuk,” batuknya keras dan berkali-kali. Sontak
semua orang melihatnya. Mereka kaget dengan kelakuan
Rendi. Rendi juga pastinya lebih kaget pada apa yang dikatakan
Sherly dengan secara spontan. Kenapa bisa tahu perasaannya
yang belum dia ceritakan kepada siapapun.
“Maksudnya?” tanya Rendi.
“Pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu? Terus
kenapa pakai batuk segala? Kaget ya?” sindir Sherly
menanggapi kepura-puraan Rendi yang kurang perfect itu.
Rendi memang tak pintar akting.
“Aku ulangi ya pertanyaannya. Ada perasaan apa kau
deng...”
“Sst,” Rendi langsung memotongnya. “Kok tahu?” lanjut
Rendi penasaran.
“Haha, ya tahu dong.”
“Seingatku, aku tak pernah cerita ke siapapun tentang
Vina.”
“Kecuali diarymu,” cegat Sherly tanpa memberi
kesempatan Rendi bicara.
“Wah, Sherly. Kamu membaca diaryku?”
“Sedikit.”
“Ah, tidak sopan!”
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 117
“Ya tidak apa-apa kan? Lagian wajar kalau laki-laki
normal menyukainya. Mau aku bantu selesaikan masalahnya?”
“Maksud kamu?”
“Kamu suka kan sama Vina?”
“Husss, tapi kan...”
“Ayo, ngaku. Ok, kalau setuju. Kamu harus berani bicara
langsung dengan Vina. Ungkapin perasaan kamu. Jangan takut.
Laki-laki itu harus mengungkapkan perasaannya dan tugas
perempuan hanya mengatakan iya atau tidak. Pikirkan itu.
Daah. Sampai ketemu besok.” Sherly pergi begitu saja.
Perkataan terakhirnya membuat Rendi berfikir.
“Eh, Sherly. Nanti dulu. Sherly!” Rendi masih kurang
puas. Tapi Sherly acuh saja. Dan meninggalkan Rendi sendirian
dengan fikiran menggantung. Makan baksonya dilupakan.
Entah sampai ronde ke berapa. Mungkin tinggal finishingnya
saja. Rendi kini berpikir lagi. Berfikir tentang apa yang
dikatakan sahabatnya tadi.
Besoknya. Di tempat yang sama. Kantin penuh rencana.
Rendi dan Sherly siap membahasnya apa yang direncanakan
keduanya menyambung obrolan kemarin.
“Aku tak seberani yang kau pikirkan. Aku semalaman
menghafal apa yang hendak aku katakan hari ini kepada Vina.
Aku sudah hafal baik-baik bahkan aku sangat-sangat lancar.
Tapi mungkin situasinya beda kalau aku ada di depannya.
Hafalan yang aku hafal mungkin akan hilang. Blank.” Ungkap
Rendi pada temannya. Rendi sangat serius dan sudah
memikirkannya matang-matang.
“Jadi kalau begitu, kau tidak mau kalau Vina
mengetahui perasaanmu. Sia-sia saja kau semalaman berusaha
kalau sampai akhirnya dibatalkan. Kalau kau tidak berani maka
kau akan merasa sakit seterusnya karena perasaanmu.”
“Tapi aku gugup. Aku juga tidak menyerah begitu saja.
Bagaimana kalau aku coba pakai surat?”
“Apa? Ini tahun modern. Sudah 2015. Perempuan yang
kau sukai itu ada di kampus ini dan bukan di luar negeri. Setiap
hari kau bertemu dengannya. Apa tidak ada keberanian
sedikitpun? Tapi itu sih terserah kalau itu keputusan
terbaikmu.”
118 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Rendi merogoh tasnya. Dia mengeluarkan amplop kecil
berwarna merah. Berbentuk love. Walau Dia penakut tapi
sebenarnya romantis juga. Sherly melihatnya. Dia menarik
nafas.
“Kamu laki-laki yang benar-benar tidak punya
keberanian,” batin Sherly.
“Kita pakai cara ini saja dulu,” kata Rendi dengan
memberikan surat kepada Sherly.
“Ada namamu di dalam?”
“Tidak ada,”
“Rendi. Rendi. Bagaimana bisa dia tahu ini surat
darimu?” Huh, Sherly menarik nafas panjang. Ia merasa Rendi
sangatlah sangat penakut sekali.
“Tapi...”
“Ya sudah. Jadi tinggal aku kasih saja ini kepada Vina
tanpa bicara apapun. Dan tak memberitahunya kalau ini
darimu?”
“Ya.”
“Okey,”
Pertemuan itu selesai. Mereka masuk lagi kedalam
kelas untuk mengikuti satu mata kuliah lagi. Hingga jam
setengah satu siang mereka pulang ke rumah masing-masing.
Hey, aku bertanya apa kabarmu? Aku baik juga.
Kau sederhana. Punya hati putih seperti salju. Aku
suka caramu bicara. Dan berjalanmu sungguh
terlihat anggun. Bolehkah aku memperkenalkan
diriku? Aku adalah seseorang yang selama ini
mengagumimu. Memperhatikan setiap apa yang kau
lakukan. Tapi aku bukan mata-mata melainkan
hanya pelindungmu.
Hey, bolehkah aku memanggil namamu? Sekali saja.
Hanya sekali, Sherly? Hey Sherly.
Sherly kaget. Nama yang dipanggil Rendi dalam surat
itu adalah dirinya. Berarti tidak salah jika dia tidak langsung
memberikannya kepada Vina. Sherly menganggap mungkin
Rendi salah menuliskan nama. Tapi mana mungkin salah. Jika
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 119
salah menyebutkan nama seseorang yang disayanginya maka
dia tidak benar-benar menyayanginya. Karena penasaran
Sherly melanjutkan membacanya.
Hey, Sherly. Saat kau baca surat ini. Mungkin kau
akan kaget karena aku salah menuliskan nama. Tapi
jujur, yang aku tuliskan adalah benar namamu. Aku
sudah siap menanggung resikonya andai kau
memberikan surat itu pada Vina. Dan jika kau
membacanya sebelum kau berikan kepada Vina
berarti tebakanku benar. Kau cemburu padaku yang
mengungkapkan perasaanku tentang Vina. Terima
kasih sudah membaca diaryku. Tanpa itu aku tak bisa
mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika aku berani
mengungkapkan perasaan ini hanya lewat surat. Jika
tidak keberatan, malam ini temui aku jam delapan di
tempat biasa aku nongkrong. Aku tunggu. Aku ingin
menyampaikan perasaanku langsung jika kau
bersedia
Thanks
Rendi yang ingin selalu melindungimu
Tepat pukul sembilan malam. Telat satu jam jadi waktu
yang ditentukan. Mereka sudah ada di tempat yang dijanjikan.
Rendi menatap wajah Sherly. Dan Sherly pun membalas
menatapnya. Mereka berdua tersenyum. Rendi memegang erat
tangan Sherly. Keduanya merasa gugup.
Sisi lain dari sikap Rendi yang penakut itu dia
tunjukkan pada malam itu. Dia rupanya mempunyai sikap yang
sangat romantis. Rendi mengulangi kata yang sama persis
seperti apa yang dituliskannya di surat itu tanpa satu kata yang
dilupakan. Moment itu menjadi hari yang spesial bagi mereka.
Cintanya bersemi tanpa dugaan. Mereka sebenarnya adalah
sahabat yang saling mencintai. Namun tak ada satupun dari
keduanya berani untuk mengungkapkan.
Tercatat pada hari itu juga mereka resmi menyatukan
hati mereka menjadi satu. Jika sebagiannya sakit, maka akan
terasa sakit pula bagian hati yang lainnya. Bulan juga telah
120 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
menyaksikan bahwa Rendi adalah benar-benar jiwa yang
romantis.
Matahari begitu cerah seakan memberitakan malam
kemarin ada sesuatu yang indah. Walau matahari tidak tahu
mungkin dia bertanya pada bulan yang menyaksikannya. Hari
itu benar-benar berbeda. Rendi sudah bangun sejak pagi-pagi
sekali. Dia bersiap-siap berangkat kuliah dan tak sabar
menemui Sherly. Dia memakan pakaian terbaiknya begitupun
Sherly. Mereka seakan baru merasakan namanya cinta. Hati
masing-masing merasa bungah. Sungguh indah memang
rencana mempersatukan mereka.
Setelah datang di kelas mereka berpapasan di depan
pintu. Keduanya tampak cerah. Tapi hari ini mereka tidak bisa
merayakan hari bersamanya dengan menghabiskan waktu
berdua. Karena hari ini Rendi harus pulang cepat. Kemarin
orang tuanya membutuhkan bantuannya berjualan di pasar.
Pulang kuliah dia langsung mandi dan berangkat ke
pasar. Sebelum berangkat ke pasar dia membuka tasnya. Tak
sengaja dia menemukan surat. Ia penasaran dengan isi surat
itu. Dia membukanya dan membacanya.
Rendi. Aku mendengarkanmu bicara dengan Sherly di
kantin saat kau membicarakanku. Jika berani kenapa kau tidak
langsung ungkapkan saja perasaanmu padaku. Aku
menunggumu di samping lapangan olah raga siang ini.
Dari Vina
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 121
122 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Sia-sia
Monyet-Monyet Sedang
Berpesta
Hudy Majnun
Beberapa saat yang lalu aku masuk rumah sakit, kata
dokter hanya kurang istirahat. Tapi yang kurasakan juga sesak
nafas. Mungkin ada penyakit lain yang tidak bisa terdeteksi
oleh dokter. Untung istriku baru saja datang dari luar negeri,
sebagai TKI. Jadi aku tak perlu bingung memikirkan biaya
rumah sakit. Istriku datang setiap 3 tahun sekali, tergantung
majikannya memberi cuti atau tidak.
Anak pertamaku menjadi guru kontrak di SD dekat
rumah, namanya Lufi. Anak keduaku perempuan, namanya Ine,
menjadi pengangguran setelah lulus SMA. Ia tak betah jika
bekerja jauh dari rumah, sempat sekali ia bekerja jauh dari
rumah. Hanya berselang 2 minggu, ia pulang ke rumah dengan
air mata, “Aku tidak tahan jauh dari rumah,” sambil menangis
Ine mengatakan itu. Oleh sebab itu, sampai sekarang ia tetap
menjadi penjaga rumah.
Aku sedikit prihatin dengan anak keduaku ini. Entah
aku salah mendidiknya ketika masih kecil, atau karena
pergaulannya. Aku tidak mengerti dengan kondisi psikologis
anak keduaku ini. Sangat jauh berbeda dengan Lufi, ia sangat
gigih kuliah dan bekerja. Lufi sekarang sudah sarjana, tapi
belum diangkat menjadi PNS. Lufi berharap sekali menjadi PNS
-meskipun bagiku, PNS bukanlah jalan terbaik-agar bisa
memperbaiki ekonomi keluarga dan agar ibunya tak kerja di
luar negeri lagi. Apalagi akhir-akhir ini banyak kasus tentang
penganiayaan TKI. Jadi aku sarankan kepadamu, jika punya
anak, didiklah anakmu untuk menjadi seorang yang pemberani,
laki ataupun perempuan. Agar tak bernasib sama dengan anak
keduaku, Ine. Dan jika kamu punya istri, jangan biarkan ia
bekerja di luar negeri, apalagi menjadi TKI.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 125
Dua bulan yang lalu Lufi juga menambah pekerjaannya,
setelah dari pagi sampai siang ia mengajar di SD, sore sampai
malam ia menjaga apotek milik saudaranya. Ia semakin sibuk
sekarang, jarang sekali ada di rumah, berbeda dengan Ine. Aku
hanya bisa menjadi imamnya ketika solat subuh. Setelah
sarapan pagi ia langsung berangkat. Datang siang, lalu
berangkat lagi, pulang lagi malam. Aku hanya bisa
membekalinya dengan do’a. Aku berharap, aku tidak menjadi
beban untuk mereka, juga istriku. Setiap hari aku pergi ke
sawah, merawat tanaman yang hampir siap panen.
Suatu malam Lufi tiba-tiba memarahiku. “Sudah aku
bilang, Bapak tidak perlu ke sawah lagi. Biar aku nyuruh orang
saja,” kata Lufi dengan nada marah bercampur sedih. Semua
keluargaku tiba-tiba menjadi baik, setelah aku pulang dari
rumah sakit itu. Aku bahagia melihat mereka seperti itu. Tapi
aku tidak suka dilarang-larang untuk beraktivitas berlebihan.
Aku tidak menjawab apa-apa ketika Lufi memarahiku. Aku
takut Lufi tambah emosi. Aku tahu dia capek sekali setelah
bekerja seharian, di sekolah dan di apotek. Kami tidak sempat
ngobrol dengannya sampai larut malam, karena ia butuh
istirahat.
Satu bulan yang lalu ada rombongan keluarga datang
ke rumahku. Rombongan itu datang bermaksud untuk
melamar Ine. Aku tidak dapat menghalangi niat baik orang itu.
Aku menerimanya, Ine tunangan dengan lelaki yang kupikir
cukup alim itu. Ia lulusan dari pesantren yang cukup bagus.
Tapi aku kurang mengerti tentang pekerjaannya. Aku yakin ia
lelaki yang bertanggung jawab. Minggu depan, tepatnya hari
Rabu, keluarga kami ingin membalas lamaran lelaki itu. Di
desaku tradisi lamaran memang seperti itu. Pertama, pihak
laki-laki datang ke pihak perempuan, kemudian pihak
perempuan datang ke pihak laki-laki, dengan segala jenis kue.
Aku senang menyaksikan itu, artinya aku akan mempunyai
menantu, keluargaku akan bertambah. Ine juga mencintai laki-
laki itu.
“Mohon doa restunya, Ayah,” lembut Ine setelah
rombongan pihak laki-laki pulang.
Mulai hari Minggu, kami menyicil segala keperluan
untuk lamaran. Mulai dari kue-kue yang akan di bawa, orang-
126 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
orang yang akan ikut dan segala perlengkapan yang
dibutuhkan. Semua itu diurus oleh Lufi. Lufi memang anak
yang sangat bisa diandalkan. Sampai hari Senin pagi segala
persiapan sudah mencapai 75%. Kue sudah dipesan ke tukang
kue, kendaraan sudah bayar DP, tinggal menentukan siapa saja
yang ikut dan jam berapa harus berangkat.
Untuk menentukan pemberangkatan lamaran harus
mencari waktu yang baik. Kami percaya pada hitung-hitungan
seperti ini. Ini dilakukan demi lancarnya acara lamaran dan
demi nasib baik di masa depan anak-anak. Untuk mencari
waktu yang baik, aku percayakan hal ini pada guru ngajiku
dulu, ia sudah sangat sepuh namun kepandaiannya dalam
mencari waktu baik masih bisa diandalkan. Akhirnya ia
menentukan jam berangkat, yaitu Rabu, jam 1 siang. Kurasa itu
memang yang terbaik. Tapi cuaca saat itu sedang musim
penghujan, jadi jam 12 siang sampai jam 4 sore sangat rawan
hujan. Sepulang dari tempat guruku, semua keluarga langsung
kuberitahu mengenai hasil keputusan jam pemberangkatan.
Semua setuju saja, karena semua pihak keluarga juga percaya.
Seperti biasa Senin pagi aku masih harus ke sawah
untuk mengurusi tanaman yang hampir panen. Mengenai
tanaman itu, aku menanam jangung dan lombok. Harga lombok
yang tidak stabil kadang memberi keuntungan besar untukku,
tapi kadang memberi kerugian yang cukup besar pula. Kau
pasti merasakan juga jika harga lombok mahal, coba saja beli
gorengan di warung-warung, pasti warung itu tidak
menyediakan lombok gratis untukmu.
“Lombok mahal, Mas,” ibu atau bapak penjual gorengan
pasti bilang seperti itu. Setiap waktu harus kusempatkan untuk
melihat tanaman itu, karena banyak hama yang mengganggu.
Bahkan monyet-monyet pun sangat sering mencuri jagung-
jagung, tapi tidak untuk lombok. Dasar monyet sialan, pikirku.
Masih Senin itu. Sepulang dari sawah aku sedikit
merasa pusing, kurebahkan saja badan di ruang tamu. Kupikir
aku tertidur lelap, aku tidak tahu sedang bermimpi apa. Ketika
bangun tubuhku sudah dipenuhi kabel-kabel, dan lenganku
tertancap jarum infus. Ya, aku tidur di ruang tamu tapi bangun
di rumah sakit. Aku tidak tahu apa yang terjadi, mungkin aku
berjalan saat tidur dan dalam perjalanan itu aku tertabrak
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 127
mobil, kemudian seseorang yang baik membawaku ke rumah
sakit.
Waktu bangun tidur, Lufi sedang solat tepat di sebelah
tempat aku berbaring. Ia berada di bawah, seperti sedang
menyembahku, tapi tentu tidak. Ia mengerti apa yang harus ia
sembah. Dia terlihat khusuk, aku yakin dia mempunyai
harapan dan permintaan yang besar pada Tuhannya. Semoga
Tuhan mengabulkan segala macam permintaannya.
“Bapak sudah bangun?” Sambil tersenyum Lufi
menyapaku. Selanjutnya ia bercerita banyak tentang
bagaimana aku bisa berada di rumah sakit. Katanya aku
pingsan di ruang tamu, padahal aku hanya tidur seperti
biasanya. Setelah itu ia langsung membawaku ke rumah sakit.
Dan kau tahu, aku pingsan sampai setengah hari, katanya.
Selama di rumah sakit aku tidak pernah diperbolehkan untuk
merokok, minum kopi, dan pergi ke sawah mengusir monyet-
monyet itu. Makan pun aku hanya diberi bubur yang sangat
tidak enak itu. Aku merasa seperti bayi. Atau orangtua yang
sakit parah, padahal aku tidak merasakan sakit apa-apa, hanya
saja kadang sesak nafas.
Selasa pagi aku sudah merasa segar, tidak sesak nafas,
dan tidak merasakan sakit apapun. Jadi kuputuskan untuk
pulang. Tapi kau tau, dengan berbagai alasan dokter
melarangku untuk pulang waktu itu. Mungkin dokter itu masih
kurang untuk menguras uangku. Kamar yang kutempati sangat
mahal, sehari saja aku harus membayar 300 ribu, hampir sama
dengan hotel-hotel berbintang. Uang segitu bisa buat makan
berhari-hari, atau bisa buat membeli cadangan rokok selama
sebulan lebih, bisa juga untuk yang lain-lain, selain hanya
untuk tempat berbaring. Aku kalah dalam perdebatan itu,
dokter itu bisa menang untuk perdebatan kali ini. Tapi, takkan
kubiarkan ia menang pada kesempatan perdebatan lainnya. 1-
0 untuk kemenangan dokter itu, tapi ingat, masih ada babak
selanjutnya setelah ini. Aku sedikit tidak terima dengan hasil
ini, tapi apa daya anak dan istriku tidak ada yang berpihak
padaku.
Yang kutahu pada hari Selasa itu, bahwa aku sudah
sangat sehat dan siap untuk mengusir para monyet-monyet di
sawah. Satu hal lagi, selasa itu pikiran tentang membalas
128 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
lamaran yang diterima Ine selalu membayangiku. Aku tidak
sabar untuk mengetahui tempat lelaki yang melamar anakku
itu. Mereka juga pasti akan sangat bahagia dengan kedatangan
kami nantinya. Seharian itu aku hanya bisa membayangkan
dan memikirkan hal-hal yang biasanya aku lakukan. Seharian
itu berlalu tanpa aku tahu bagaimana matahari bergerak dari
timur ke barat. Aku tidak tau apakah monyet-monyet sedang
berpesta memakan tanamanku. Aku yakin monyet-monyet itu
pasti bahagia melihat keadaanku. Aku tidak bisa mengusiknya
lagi memakan jagung-jagung itu. Berbahagialah para monyet,
selagi aku masih di sini, tapi tunggu besok.
Setelah lamaran selesai kita akan bertengkar lagi,
kalian pasti kalah karena takut dengan batu-batu yang sering
kulemparkan ke arahmu.
“Sudah magrib Pak, aku solat dulu,” kata Lufi. Waktu itu
aku juga tidak tahu kenapa petang sudah berlalu. Selesai Lufi
sholat, ia membasuh mukaku dengan handuk basah. Padahal
kupikir aku bisa melakukan itu sendiri, bahkan aku bisa pergi
sendiri ke kamar mandi kemudian berlama-lama di atas kloset
sampai sebatang rokok habis. Sebagai bapak yang baik, aku
tidak akan menolak kebaikan anakku.
Beberapa menit kemudian, sesak nafasku kumat,
jantungku berdebar cukup kencang, lebih kencang daripada
ketika kau berada di dekat wanita/lelaki kesayanganmu. Atau
ketika kau akan mengutarakan cinta pada wanita/lelaki
pujaanmu.
Dokter datang, kemudian memberikan suatu sentuhan
untukku. Aku kembali tertidur. Aku bermimpi sangat indah,
berpetualang ke mana-mana, bahkan aku bisa ke mana-mana
tanpa naik kereta atau naik kendaraan lainnya. Ya, aku bisa
terbang seperti peri-peri dalam film Harry Potter atau seperti
Peterpan. Aku terbang sangat tinggi, melebihi tingginya Monas,
bahkan lebih tinggi daripada impian-impianmu. Aku bisa tidur
di atas awan, bermain dengan meteor-meteor, atau menjadi
salah satu dari bintang-bintang. Aku bisa melihat semua yang
ada di bumi, bahkan aku bisa melihatmu sedang mencari-cari
seseorang yang kau suka pada beranda akun facebookmu,
sambil sesekali mengintip tulisan ini. Kau tak senang bukan,
ketika ada sesuatu yang tak kau sadari sedang
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 129
memperhatikanmu melakukan sesuatu yang sangat rahasia. Itu
dapat kulakukan kali ini, jadi hati-hatilah.
Ketika aku sedang melihat-lihat keadaan di bumi, aku
tertarik untuk mendekati kerumunan orang berbaju hitam.
Mereka sedang mengelilingi gundukan tanah yang bertabur
bunga. Banyak dari mereka yang menangis, entah karena apa.
Di lain sisi, monyet-monyet sedang berpesta untuk merayakan
suatu yang sangat membahagiakan bagi mereka.
Aku tidak tahu apa yang sedang mereka tangisi dan apa
yang membuat monyet-monyet itu sangat berbahagia. Semakin
dekat aku mendekati kerumunan itu. Aku membaca sebuah
tulisan pada kayu yang dibentuk indah tertancap di ujung
gundukan tanah itu.
Suarna binti Nejo. Lahir Kamis Pon, 6 Maret 1978, wafat
Selasa Kliwon, 08 September 2014.
Itulah yang kubaca pada kayu itu. Aku teringat banyak
hal setelah membaca itu, aku kembali dari terbang panjangku
ke tempat aku terbaring. Di sana sudah tidak ada apa-apa,
hanya ruang kosong yang sangat rapi dan wangi. Aku tidak
tahu kemana aku harus kembali. Seketika aku sadar, nama
pada kayu itu mirip sekali dengan namaku. Tidak hanya nama,
tanggal itu juga mirip dengan kelahiran dan waktu aku tidur.
Aku kembali terbang mendekati kerumunan orang tadi,
tapi tempat itu sudah sepi. Hanya ada tiga orang tersisa. Dua
wanita dan satu lelaki sedang membaca sebuah buku/kitab.
Sesekali aku mendengar mereka tersedu-sedu, sambil
meneruskan membaca. Aku mencoba duduk tepat di depan
mereka, tapi mereka tak menghiraukan keberadaanku, mereka
tetap saja terus membaca. Mereka sangat tidak asing bagiku.
Ketika selesai membaca syair-syair itu, pandangan mereka
tertuju pada tulisan di kayu. Kali ini aku dapat melihat jelas
wajah mereka. Mereka adalah anak-anak dan istriku. Aku
menyapa mereka, tapi sedikitpun mereka tak menghiraukanku.
Bahkan aku mengantarkan mereka pulang ke rumah, namun
sama saja, mereka tak lagi menganggapku. Ini merupakan
kesedihan yang sangat mendalam, yang tak pernah kurasakan.
130 | Antologi Cerpen Negeri Kertas