kosong baginya. Selama lima tahun ia tersesat dalam
kehampaan dan ia mulai lelah menghadapi semua ini.
Sejak awal ia tahu semua ini adalah kesalahannya.
Untaian dusta ini ia sendiri yang menciptakan. Jadi biarlah ia
tanggung semua beban ini sendiri. Madu menginjak gas
mobilnya mencapai kecepatan maksimum. Ia menghela napas
panjang lalu mencengkram erat kemudi dan bersiap-siap
menempuh perjalanan panjang ini.
Entah mengapa jantungnya berdebar kencang sekarang
dan ia tiba-tiba teringat pada hari kutukan itu, di mana ibunya
mengusir ia dari rumah 5 tahun silam dengan segala sumpah
serapah yang menyakitkan hatinya.
Aku berani bersumpah, Bu, bahwa semua ini berawal
darimu.
Saat itu jugalah Madu memutar kemudinya dengan
kencang, sampai kemudian ia melihat sebuah cahaya silau
menusuk matanya. Oh, aku hampir sampai, Andrea! Tunggu
aku!
***
Madu tersadar ketika tiba-tiba ia berada di sebuah
ruangan bercat putih dengan bau obat-obatan yang meyengat.
Ia berusaha mengumpulkan ingatannya namun semuanya
terasa hampa dan kosong, yang ia ingat adalah ia telah mati
akibat kecelakan ekstrem ciptaannya. Lalu bagaimana ia bisa
ada di rumah sakit? Apakah ini berarti ia masih hidup? Namun
kemudian ia terkejut ketika melihat Andrea berdiri di
sampingnya sambil memasang senyum cantik.
Madu menatap nanar sekelilingnya dan ia mendapati
ibu, ayah, dan Andrea, sedang duduk di hadapan seorang
dokter yang sedang menjelaskan sesuatu, apa yang mereka
bicarakan? Mengapa mereka terlihat begitu serius? Tapi
tunggu dulu jika yang sedang duduk itu adalah Andrea, lalu
yang berdiri di sampingnya ini siapa? Ia segera menoleh dan
mencari-cari sosok itu namun yang ia dapatkan hanyalah
kekosongan. Madu kemudian menyentuh pundak ayahnya
dengan lembut, namun ia sangat terkejut karena sentuhan itu
tidak sampai pada apapun. Ia menatap tangannya dengan ragu,
jadi ia memang telah mati.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 181
"Kondisi ginjal Andrea semakin memburuk. Kami
membutuhkan donor ginjal secepatnya, namun seandainya
mengambil ginjal di antara kalian pun akan berdampak buruk
mengingat kondisi tubuh kalian yang tidak stabil. Kami
membutuhkan donor yang sempurna!"
"Itu artinya harapan kita satu-satunya hanyalah Madu,"
ucap Ibu lirih.
"Tidak, Bu! Aku tidak akan pernah mau mengorbankan
Madu lagi. Aku lebih baik mati daripada harus melihatnya
makin menderita. Selama ini aku menahan diri setiap kali
melihat perlakuan Ibu yang pilih kasih, aku tidak tahan ketika
melihat Madu memberontak hanya untuk mendapatkan
perhatian darimu. Dia telah berkorban banyak, tidakkah itu
cukup bagimu? Biar saja aku mati dimakan penyakit, itu jauh
lebih baik!" Teriak Andrea gusar.
Seketika itu juga Madu memekik keras, sejak kapan
Andrea menderita penyakit ginjal dan mengapa ia tidak tahu
apa-apa tentang kondisi seburuk ini? Bagaimana bisa mereka
menyimpan bangkai ini begitu lama? Dan betapa bodohnya
Madu karena tidak pernah menyadari semua ini. Jadi inikah
maksud dari ucapan ayahnya hari itu. "Ada atau tidak adanya
kecelakaan itu, Andrea memang akan menemui hari
penutupannya!" Sebab tanpa kecelakaan pun Andrea memang
akan meninggal karena penyakitnya. Oh Tuhan. Untaian dusta
apalagi yang sedang Kau tunjukkan padaku? Mengapa baru
sekarang semua ini terungkap.
Madu langsung jatuh terduduk di sana dengan berurai
air mata kebencian. Benci karena menyadari betapa ia begitu
menghinakan, semuanya terpampang begitu jelas sekarang.
Jadi selama ini ibunya selalu pilih kasih karena tahu jika
Andrea tidak akan bertahan lama, dan selama itu juga ia selalu
berburuk sangka pada kakaknya tanpa tahu betapa kakaknya
itu mempedulikannya.
Oh Tuhan, dusta apa yang telah aku untai.
Madu terus merutuki dirinya sendiri atas penyesalan
tersebut.
Kau manusia paling hina di muka bumi ini, sepanjang
hidupmu yang kau lakukan hanyalah memintal dusta dan dosa.
Ia berteriak putus asa. Selama ini ia hidup dikelilingi untaian
182 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
dusta yang sekarang kian melilit tubuhnya. Manusia macam
apa aku?
Madu masih meraung kesakitan akan semua kenyataan
ini, namun tiba-tiba ia melihat sebuah tangan terulur ke
arahnya, yang ternyata itu berasal dari Andrea yang kini
sedang menatapnya sambil tersenyum lembut. Sungguh ia
merasa malu pada dirinya sendiri, dan ia tidak sanggup ketika
menatap wajah bersih kakaknya yang suci itu sangat jauh
berbeda dengan dirinya yang hitam tertupi dusta penghinaan.
Tanpa pikir panjang lagi ia segera menerima uluran
tangan itu. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju
sebuah pintu cahaya yang sepertinya telah menanti mereka.
Inilah jalan yang akan ia tempuh sekarang, sebuah kebebasan
jiwa yang abadi.
Bisakah aku hidup tenang setelah ini, Andrea? Madu
menoleh ke arah kakaknya dan tersenyum lembut ketika
menyadari kebersamaan mereka. Aku ingin kembali suci tanpa
terikat untaian dusta yang menghinakan.
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 183
Senandung di Atas Angin
Yadi Karyadipura
Kebungkamannya telah dimulai pada hari ini. Suaranya
telah lenyap ditelan kegaduhan kota. Bahkan gesekan dari
dawai biolanya hanya mengambang di udara yang pekat.
Orang-orang mengabaikan senandung yang ia mainkan.
Kecuali Nayla, dan telinga-telinga yang merindukan
keheningan, yang mampu mendengar—menyerap kejernihan
dari senandung yang mengalun lewat biola Darwis.
Hidup di kota industri yang riuh dengan deru mesin
pabrik dan sesak oleh asap polusi, mendapati seseorang
memilih jalan hidup sebagai pemain biola merupakan sesuatu
yang janggal. Orang-orang tertegun menyadarinya. Kening
mereka berkerut beberapa jenak, sebelum mulutnya mulai
menggunjing, “Dasar pemalas!”
Orang-orang seperti merasa wajib menggunjing
seseorang yang memilih jalan berbeda. Bukan jalan kuli pabrik,
pedagang kecil, atau pelayan toko. Pergunjingan kian
menggejala ketika Darwis merunuti jalanan. Bergaul dengan
anak jalanan, preman, calo angkot, kuli panggul pasar, dan
pengamen. Darwis pun dipersamakan sebagai kelompok
manusia yang putus asa, bebal, dan tak memiliki harapan akan
masa depan.
Seperti juga kelompok marginal, Darwis pun memiliki
cara untuk bertahan hidup. Lelaki setengah abad itu menjadi
pengamen biola. Bergabung dengan pengamen lain ketika
ngamen di angkutan umum atau toko-toko. Namun Darwis
lebih sering tampil solo di sudut alun-alun, di lorong stasiun
kereta, di bawah jembatan layang, dan jika beruntung, ia
ditawari bermain biola di café.
Keadaan itu tidak berubah setiap harinya. Selalu ada
uang receh, tampikan pedas, senyum pendengar, tepuk tangan,
hingga pujian dari pujaan hati, “Aku suka penampilanmu yang
tadi.”
184 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Hanya yang tadi?” Darwis mengaitkan tali wadah
biola. Memilih berjalan kaki menuju rumah Nayla akan
membuat tangannya pegal jika harus terus menjinjing biola.
“Semuanya! Semua senandung yang kau mainkan selalu
membuat hatiku tenang.” Nayla melingkarkan tangannya di
lengan Darwis. Sedikit merapatkan jarak. Dinginnya udara
malam telah menyentuh tengkuknya. Supermarket tempatnya
bekerja tutup lebih awal karena demo pedagang kaki lima.
Nayla beruntung bisa mendapat waktu luang melihat Darwis
bermain biola di Café. “Kenapa tidak tiap hari kau main di
café?”
“Seandainya bisa begitu,” hembus pengharapan di
kesunyian malam, terlihat menguap seperti udara panas yang
keluar di lubang hidung naga. Darwis mendongak sesaat,
melihat bulan bersinar sempurna. Malam telah beranjak ke
puncak. Manager café memintanya memperpanjang
penampilan, yang membuatnya harus pulang terlambat.
“Tadi aku lihat para pengunjung menikmati
penampilanmu. Aku pun seperti tidak ingin beranjak. Meski
kau tahu apa yang terjadi jika aku pulang malam bersamamu.”
Darwis bungkam. Rumah Nayla selemparan batu lagi di
depannya. Nayla kian merekatkan tubuhnya. Dan setibanya di
depan rumah, Nayla sempat memeluk Darwis, sebelum
bentakan sang ayah meleraikan pelukannya.
***
Terkadang biola itu mampu melemparkan Darwis pada
keterasingan. Terusir dari kegaduhan dunia. Tidak ada
penanda kehidupan sekalipun berada dalam kesibukan yang
memadat pada keriuhan jalan raya. Nayla menjadi satu-
satunya alasan yang membuat Darwis merasa biola mampu
mengisi jiwanya. Nayla menjadi penjernih keraguan yang
menyerang keyakinan Darwis atas setiap kegagalan yang
dialaminya. Nayla mampu menopang raganya yang terkulai
karena beratnya beban hidup. Nayla bisa membuat Darwis
berlari kembali setelah lututnya meloncer.
Namun malam itu, takdir seolah merenggut satu-
satunya penyemangat hidup Darwis. Mata Pak Darmono seolah
dicolok rangka baja panas melihat anaknya berpelukan di
depan rumah. Pemandangan tersebut bagi bapak tambun itu,
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 185
sungguh merusak matanya yang seketika membuat
penglihatannya kabur. Pak Darmono tidak bisa melihat apa
pun selain kegelapan. Beliau langsung mengurung Nayla, dan
tidak mengijinkannya keluar. Nayla bahkan tidak
diperbolehkan bekerja. Meski pun di supermarket, Nayla
bukanlah pekerja rendahan.
“Kau tidak perlu lagi bekerja. Kau akan menikah
dengan Baskoro, anaknya Pak Sugeng, teman Ayah! Dia punya
banyak bisnis, hidupmu akan bahagia bersamanya. Jadi kau
jauhi gembel tak tahu malu itu!” Begitu kata Pak Darmono
ketika Nayla terus-terusan menggedor pintu kamarnya yang
sengaja di kunci dari luar.
Ibu Nastiti pun bereaksi. Sebagai penyuka gosip,
pemilik tusuk konde berlapis emas itu menyebarkan kebencian
orang-orang terhadap Darwis. Kolektor perhiasan mutiara itu
mulai menghasut teman-teman selevelnya dalam acara arisan,
saat ngerumpi di café, berbelanja di mall, bahkan saat sengaja
lewat di hadapan ibu-ibu yang sedang memilih sayuran.
“Ibu-ibu, kota ini sudah modern, sudah beradab. Kok
masih ada ya yang pakai pengasihan. Itu anak saya, sampai
tergila-gila sampai gelandangan. Kalau saya sama
kampungannya dengan orang-orang miskin di kota ini, ya saya
datangi paranormal untuk mengusir pengaruh negatif dari
orang tidak jelas itu. Tapi ibu-ibu tahu sendiri kan, saya
orangnya beradab. Tidak mungkin saya pakai klenik. Saya
masih cukup waras pakai logika untuk menjauhkan anak saya
dari gelandangan itu.” Kalimat itu diucapkan berulang-ulang
oleh Ibu Nastiti saat dalam acara arisan, ngerumpi di café,
belanja di mall, atau bertemu ibu-ibu yang sedang memilih
sayur di gerobak pedagang.
Selentingan itu tentu saja mampir di telinga Darwis.
Selentingan yang menambah beban yang menggayuti
perasaannya. Namun Darwis tetap melangkah. Berjalan di
antara mereka yang mencelanya.
Berpuluh pasang mata melucuti Darwis seperti sabetan
belati yang mengupas kulit nanas. Tersimpan rasa penasaran
untuk tahu daging halus di dalam kulit kasar. Sesuatu seperti
apa yang begitu gigih dipertahankan oleh Darwis? Kerutan di
kening mereka menggambarkan kekosongan benak pada
186 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
alasan atas apa yang selama ini Darwis lakukan. Alasan mereka
membuang Darwis karena perbedaannya. Darwis membiarkan
mereka menjawab sendiri teka-teki yang mereka buat. Mereka
akan menemukannya dalam kebungkaman yang dilakukan
Darwis.
Nayla, kerutan itu juga nampak di keningnya. Namun
terdapat lipatan halus yang meragukan. Terkurung di kamar
sendiri dengan disesaki sumpah serapah, tentunya
memberikan sesuatu yang bisa mengubah pikiran Nayla.
“Pergilah, Darwis! Nanti Ayah melihatmu.” Sorot mata
kuyu itu sama sekali tidak melihat Darwis. Tekanan batin
nampak di wajahnya. Nayla lebih membutuhkan udara segar
dari pada obat-obatan. Mungkin itu alasan Nayla ingin
diperiksa di rumah sakit dari pada meminta dokter datang ke
rumahnya.
“Aku bukan seperti yang kau pikirkan.” Darwis
mengembalikan keyakinan yang diberikan Nayla padanya.
Darwis Ingin membentengi telinga Nayla dari suara-suara yang
merusak pendengarannya dari senandung jernih yang selama
ini ia banggakan. “Biarkan mereka terus bicara.”
Sorot mata kuyu itu pun mengerek ke arah Darwis.
Nampak di bola mata itu. ada sinar keberanian yang
terkalahkan oleh ketidakberdayaan, “Lalu apa yang harus
kulakukan?”
Darwis pun tertunduk. Darwis ingin membuat Nayla
hanya harus mengerti satu hal; cinta Nayla menjadi harapan
terbesar yang menghuni relung hati Darwis yang paling dalam.
Tangan Nayla dipegangnya. Tatapan mata Darwis berusaha
meyakinkan Nayla untuk tetap berdiri dalam hantaman badai.
Darwis berbisik, memberi keyakinan yang juga coba
ditanamkan, “Biarkan aku coba bertahan.”
Air mata Nayla menetes. Terasa hangat butiran
kesedihan itu ketika Darwis menyekanya untuk tidak
membasahi wajah Nayla, perempuan yang tetap cantik meski
tidak berpoles kosmetik. Darwis menuntun Nayla untuk
bersandar ke pelukannya. Darwis merasakan kegaduhan dalam
hati Nayla untuk dilema yang terjadi.
***
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 187
Alangkah gembiranya Darwis saat Nayla
mendatanginya yang sedang menggesek dawai di lorong
stasiun kereta. Nayla nampak bugar. Ia berdandan cantik
lengkap dengan gaun bercorak bunga. Senyum di wajahnya
menggambarkan kebahagiaan saat Nayla meminta sesuatu
pada Darwis, “Aku ingin kau bermain biola di hari ulang
tahunku.”
“Apakah ayahmu mengijinkannya?”
“Tentu saja. Ayah akan mengadakan pesta ulang tahun,
dengan mengundangmu sebagai bintang tamunya.”
Dan seperti yang dibayangkan oleh Darwis. Matanya
melihat Nayla begitu cantik. Senyum Nayla menjadi yang
sesutau yang paling indah yang Darwis lihat di sepanjang
hidupnya. Darwis pun mulai memainkan biola. Tak hanya
senyum, ada pukau di mata Nayla yang membangkitkan
kembali semangat Darwis yang hampir melesap. Riuh tepuk
tangan mengudara di pesta yang digelar di taman depan rumah
Pak Darmono.
Darwis membawakan tiga lirik. Di antara tiga lirik itu,
Darwis menyisipkan sajak untuk Nayla. Hingga setelah lirik
terakhir selesai, Darwis memberikan kado ulang tahun. Semua
yang diberikan Darwis membuat Nayla bahagia. Nayla beranjak
dari tempat duduknya. Berjalan menghampiri Darwis.
Memeluk Darwis. Memberinya kecupan. Demi Tuhan, perasaan
bahagia ini membuat Darwis merasa sudah berada di surga
meski pun ia belum mati.
Meski adegan itu berlangsung sesaat, namun Darwis
akan mengenangnya. Pesta pun mengarah pada acara
berikutnya. Pak Darmono memanggil Darwis. Bapak bertubuh
tambun itu nampak sedikit ramah kali ini.
“Terima kasih telah membuat anakku bahagia.” Satu
tangan Pak Darmono menepuk bahu Darwis. Satu tangannya
lagi melambai pada seseorang. Seorang pria dengan pakaian
perlente. Pria itu berjalan mendekat. “Kau harus mendapatkan
imbalan untuk ini.”
“Ayah benar. Penampilanmu sangat mengesankan. Ini
untukmu,” pria necis itu memberikan segepok uang dalam
amplop cokelat. Setelah amplop tebal itu diterima Darwis, ia
pun melanjutkan, “Bulan depan aku dan Nayla akan menikah.
188 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Jika tidak keberatan, aku ingin mengundangmu untuk
menghibur tamu.”
“Ya, gunakan uang itu untuk membeli pakaian yang
pantas. Pernikahan Nayla akan digelar di hotel berbintang, dan
mengundang banyak orang penting.” Sambung Pak Darmono.
Seringai dan kerling penuh kebencian kembali muncul di
wajahnya.
“Ayo, Ayah! Jangan halangi pemain biola ini untuk pergi
meninggalkan Nayla.”
Tangan Darwis gemetar. Nyaris saja kehilangan tenaga
yang membuatnya bisa menjatuhkan biola dan segepok uang di
tangan. Kesenyapan menyergap seiring dengan derap langkah
Baskoro dan Pak Darmono yang meninggalkan Darwis
sendirian di sudut pesta.
Sebelum pergi, Darwis masih sempat melihat Nayla
yang tersenyum bahagia di antara para tamu. Darwis seperti
menapaki kehancuran saat berjalan meninggalkan rumah
Nayla. Kaki itu melangkah menuju tempat sunyi. Langkah yang
terasa melayang. Sepanjang jalan, ingatan Darwis berputar saat
kesunyian menyergapnya dalam keterasingan. Darwis
merenungi semua yang terjadi. Ya, semua terjadi karena
keputusannya.
Tak terasa ujung kakinya telah menapaki punggung
bukit. Darwis melihat pantulan bayangannya seperti pendosa
yang menanggung sendiri kayu salib yang akan mengakhiri
hidupnya. Hingga akhirnya, tapak kakinya telah sampai di
puncak bukit. Darwis pun berteriak lantang menantang angin,
“Biar kusendiri tebus beban ini. Di hari saat aku menerima
takdir, tiba waktunya bagiku menyeka luka dan rasa sakit.
Akan kudapatkan kembali semua yang telah hilang.”
Setelah cukup merasa puas memuntahkan beban
perasaannya, maka mulailah Darwis menggesek biolanya.
Memainkan nada-nada seirama dengan suara yang muncul di
kedalaman hatinya. Darwis menikmati alunan musik dari
biolanya. Hingga ia merasa jiwanya melayang bersama
senandung yang diterbangkannya bersama hembusan angin.
***
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 189
190 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
Menjadi Indonesia
Indonesiaku Dijambret
Haryani Syakieb
Indonesia, negeri penuh anugerah. Banyak yang
bangga, jika sempat meletakkan jiwa dan raganya di sana. Tak
ubahnya Londo dan Nippon. Betapa bangganya mereka
tercatat dalam sejarah Indonesia dan sejarah dunia. Jajahan
tiga setengah abad, dilanjut dengan jajahan tiga setengah
tahun. Rakyat pun sudah jenuh, hatinya merapuh, para tamu
tak kunjung pulang. Londo dan Nippon pun sangat betah
bertamu di Indonesia, hingga mereka lupa jika sedang
bertamu. Hendak hati ingin kuasai negeri, tapi mimpi tak
pernah nyata dalam tidur setiap malam.
“Apa itu Indonesia? Negara jajahanku! Mau apalagi
Indonesia?!? Tak mungkinlah mereka bisa menyamai
majikannya! Hahahah,” koarnya terkekeh-kekeh.
Lawan bicaranya pun membalas kesombongannya,
“Negeri mahal itu! Otak mereka berharga triliunan rupiah.
Kalau otak tiap orang Indonesia dijual, benar-benar makmur
tuh negeri!”
“Meski makmur pun, tetap saja nggak bakalan
semakmur negeri kita! Bisa apa mereka dengan pola pikir
semacam itu?”
“Bisa jadi jajahan kita kembali!”
“Dasar! Kamu kemana saja? Indonesia seutuhnya sudah
jadi milikku! Hahahahah.”
***
“Jambret! Lagi-lagi aku kejambretan! Indonesiaku
dijambret orang! Kenapa aku baru sadar sekarang!
Indonesiaku dijambret? Tolong, tolong, tolong!!”
Kuteriaki lautan. Hanya angin yang mengiyakan.
Dinginnya malam gigilkan tubuhku. Kulawan gemeretak gigi-
gigi dengan teriakkan lagi, “Jambret! Indonesiaku dijambret!
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 193
Bangunlah laut!!! Seret dia bersama ombakmu, biar kuhabisi
penjambret itu!”
Baru kali ini aku benar-benar merasa Indonesiaku
dijambret seutuhnya. Dahulu, aku tak pernah merasa Indonesia
terjambret, meski buku sejarah catatkan peristiwa
penjambretan berlangsung selama tiga setengah abad
berbonus tiga setengah tahun.
Aku benar-benar merdeka sejak dulu. Tak pernah
merasa terjambret negeriku. Aku juga nggak tahu, kenapa buku
sejarah Indonesia catatkan sejarah masa lalu yang begitu tragis
dan kelam. Anak-anak diceritakan semacam itu, hanya akan
membuat mental tempe-lento sejak dini.
Mimpi apa aku? Jika saja pendidikan diubah dan
sejarah diubah, seperti halnya sejarah Indonesia yang tertanam
dalam benak dan sanubariku. Indonesia tak pernah dijambret
sebelum tahun 1945. Sungguh! Indonesia makmur, terhormat,
berwibawa, dan berkarakter serta karismatik. Membayangkan
Indonesia, merasakan keindahan dalam lubuk hatinya.
Makmurnya luar biasa. Pada masa kerajaan, semua
hormat pada Indonesia. Negeri yang paling disungkani oleh
para negeri di punjuru dunia. Negeri yang menyimpan
segudang ilmu. Banyak dari mereka yang mencuri kitab, tak
jarang pula yang membakar pustaka-pustaka cakrawala masa
depan. Kini mereka jambret segalanya. Lebih sadis dari
pembakaran!
Aku teriak, “Jambret!! Jambret!!”
Tak ada yang peduli. Bahkan saudaraku sendiri,
sepupu, keponakan, kemenakan, orang tua, kawan, dan
sahabatku dijambret! Indonesia beserta isinya dijambret!
Mereka kurang apalagi setelah berhasil mencatatkan diri pada
buku sejarah. Mereka perlu apalagi setelah berhasil mencuri
tiga pusaka kerajaan. Hidup dalam kemewahan, bergelimang
harta, tanpa masalah berarti. Semua serba canggih, teknologi
tinggi, bahkan selalu dibangga-banggakan negeri lain. Benar-
benar makmur sudah rakyatnya. Ya. Itu semua karena tiga
pusaka kerajaan negeri Indonesia yang mereka jambret.
***
194 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
“Tiga pusaka abadi penuh kejayaan milik negeri
surgawi itu ada di tanganku! Tak perlulah kau susah payah lagi
untuk negeri kita tercinta ini!”
“Pusaka yang dikenal pada masa Kerajaan Majapahit?”
“Pintar kau! Pusaka itu termaktup dalam kitabnya yang
juga berhasil kucuri!”
“Licik sekali Anda!” Memuji.
“Hahahahah... Indonesia kupastikan tak akan mampu
berjaya kembali. Pusaka-pusaka ini akan selamanya di sini.”
“Di mana Anda sembunyikan pusaka-pusaka abadi lagi
jaya itu?” tanyanya penasaran berharap mengetahui tempat
rahasia itu.
“Di negeri kita tercinta. Yang tak seorang pun tahu, di
mana pusaka-pusaka itu berada,” mencondongkan wajahnya
ke wajah lawan bicaranya, melanjutkan, “Termasuk kau!!
Hahahah.”
***
“Jambret! Lagi-lagi aku kejambretan! Indonesiaku
dijambret orang! Kenapa aku baru sadar sekarang!
Indonesiaku dijambret. Tolong, tolong, tolong!!!”
Di mana pusaka-pusaka itu harus kucari? Lautan
kembali kutanya, jawabnya sama. Hanya nada-nada ombak
yang sayup, hampir tak terdengar dan tak terlihat. Hanya
aroma laut bersama pasir putih yang tenggelam. Terseok-seok
keong melangkahkan kaki-kaki kecilnya, berharap kutemu.
Tiba-tiba, terlintas dalam benak. Keong kecil itu, arungi
petualangan yang bagaimana terjalnya untuk sampai di sini
agar dapat menemuku di sini. Baginya, yang bertubuh kecil,
pastilah banyaknya butiran pasir ditambah deburan ombak
yang menghantam tubuhnya adalah petualangan yang luar
biasa. Lalu, aku yang merasa kejambretan Indonesia. Apakah
aku harus diam saja di hadapan lautan. Jujur, aku malu
denganmu, keong.
Kupungut keong itu diam-diam, penuh kebanggaan
akan dirimu. Di sana kutemui malumu. Kuajak bercanda.
Kehembuskan nafas dari rongga mulutku. Haahh... Haaahh...
Haaahh... Sepertinya dia mulai kepanasan karena uap ababku.
Dia pun menunjukkan kepalanya, menyambutku dengan penuh
Kesatria Kertas di Ujung Langit | 195
semangat. Lalu, kuperkenalkan diriku padanya. Begitu juga dia
yang berganti, mengenalkan dirinya padaku.
“Hei, kau anggota dari lautan ini ya? Mengapa kau ingin
bertemu denganku. Apakah kau ingin menjawab pertanyaanku
atau kau ingin memperingatiku sebab teriakanku amatlah
mengganggumu dan kawan-kawanmu? Atau apakah kau
menyetujuiku dan ingin mendukungku?”
Keong kembali ke dalam rumahnya. Tubuh mungilnya
disembunyikannya dalam-dalam. Rapat-rapat, dia tutup
segalanya. Meski tak ada jendela, pintu, dan kelambu, ia tak
mau dengarkanku, melihatku kembali. Kucoba beri sengatan
kehidupan, ia tak sadar, tak jua siuman.
Jambret! Teman baruku kembali dijambret! Mereka
racuni segalanya! Tak hanya sahabat dan kerabat. Fauna pun
juga disikat. Flora pun dihabiskan kehidupannya. Jambret!
Mereka jambret semua tentang Indonesiaku! Kumohon,
kembalikan Indonesiaku duluuuu!
“Jambret! Lagi-lagi aku kejambretan! Indonesiaku
dijambret orang! Kenapa aku baru sadar sekarang!
Indonesiaku dijambret!! Tolong, tolong, tolong!”
Kuteriaki lautan. Hanya angin yang mengiyakan.
Dinginnya malam gigilkan tubuhku. Kulawan gemeretak gigi-
gigi dengan teriakkan lagi, “Jambret! Indonesiaku dijambret!
Bangunlah laut!!! Seret dia bersama ombakmu, biar kuhabisi
penjambret itu!”
Nenek moyangku seorang pelaut. Bangunlah, Nenek!
Lautmu sedikit demi sedikit akan dijambret nyawanya oleh
mereka. Selamatkanlah anggotamu.
***
“Negeri ini hanya perlu sebuah cinta, cita, dan harapan.
Sebenarnya aku tak pernah mati. Hanya bersembunyi dalam
keresahanmu. Aku akan seolah mati selamanya untukmu, jika
kau tak punya hati yang diisi cinta, cita, dan harapan tulus demi
negeri ini.” Keong melanjutkan bicaranya, “Indonesia perlu
pemikir sepertimu! Rebut kembali pusaka-pusaka itu, demi
Indonesia! Jangan biarkan Indonesia kejambretan selamanya.”
196 | Antologi Cerpen Negeri Kertas
KATALOG
Allah Ada di Archive Bumi Orang
Mana? Rp27.000 Sembrono
Rp36.000 Rp38.000
Fatih Sang Dream Before Lelakiku
Penakluk Death Rp48.500
Rp35.000 Rp49.000
Pemesanan Ketik :
Judul_Nama _Alamat Lengkap_Jumlah_No.Hp
Kirim Ke 087 757 691 882
Terbitkan bukumu sendiri di :
www.raditeens.com
Raditeens Publisher at Facebook
@raditeens_good at Twitter
Raditeens Tube at Youtube
Dan bergabunglah di Grup Facebook :
Grup Kepenulisan
“Write With Love”
untuk mengikuti event-event kepenulisan menarik
dan berkenalan dengan para penulis dari
seluruh Indonesia
Email: [email protected]
Telp : 087 757 691 882