The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ipitzulfan, 2019-05-08 22:15:15

mereka dan BANG SAHALA

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

Editor:
i
Justito Adiprasetio, Yus Ariyanto
Penerbit:
IKA Jurnalistik FIKOM Unpad dan Cenel Aura Media


ii


mereka dan BANG SAHALA 2019
Penerbit:
IKA Jurnalistik FIKOM Unpad dan Cenel Aura Media
iii


Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (10 dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iv
mereka dan BANG SAHALA
Editor: Justito Adiprasetio, Yus Ariyanto Desain Sampul: Hagi Hagoromo
Foto Sampul Muka: Rayi Nurdjaman Desain Tata Letak/Layout: Ipit Zulfan
CETAKAN 1, 2019
ISBN 978-602-61786-7-1
Penerbit:
IKA Jurnalistik Fikom Unpad
bekerja sama dengan CV Cenel Aura Media
beberapa Ilustrasi diambil dari www.Freepik.com dengan beberapa perubahan


Harmoko (kartunis, wartawan, yang kemudian menjadi Ketua Umum Golkar, Menteri Penerangan, Ketua DPR RI, dan Ketua MPR RI), sewaktu menjadi Menpen, seusai seminar di Bandung. Pak Sahala Tua Saragih (dosen Fikom Unpad, wartawan Suara Pembaruan), bareng-bareng dengan mahasiswanya mewawancarai tokoh orba itu. Aku hanya bengong di belakangnya. Di mana ya? Kasihan, nyaris nggak nampak. :D [Foto: koleksi Ready Susanto] (sumber: laman Facebook Tian Arif Jurnalistik 1990) https://web.facebook.com/photo. php?fbid=10154110057855197&set=t.1166451446&type=3&theater)
v


vi
Sambutan
Ketua IKA Jurnalistik
Hagi Hagoromo
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1990.
DIA BERNAMA SAHALA
NAMA LENGKAPNYA SAHAT SAHALA TUA SARAGIH. Dia adalah dosen di kampus saya, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Ia juga lulusan almamater saya itu, angkatan 1973.
Dari namanya, tentu kita tahu, ia berasal dari Sumatera Utara. Walaupun begitu, karena sudah lama tinggal di Bandung, ia piawai menggunakan Bahasa Sunda lemes. Artinya, Bahasa Sunda yang halus dan sopan. Hanya saja, logat aslinya tak jua hilang. Jadi meski berbahasa Sunda, logat Bataknya tetap kentara.
Yang paling saya ingat dari Abang --begitu ia ingin dipanggil oleh mahasiswa dan juniornya-- adalah ucapannya di suatu waktu, circa 1994, di ruang Jurusan Jurnalistik, di Kampus FIKOM Unpad, Jatinangor.
Saat itu adalah masa perwalian. Ya, Abang adalah dosen wali saya. Dan waktu itu ia bertanya, mengapa banyak mata kuliah saya, terutama yang berhubungan dengan penulisan, nilainya tak ada yang lebih baik dari C. Beberapa malah harus


mengulang, karena tidak mencukupi standar penilaian. Saya bilang kepadanya, tak begitu meminati kajian tulis
menulis. Dan spontan ia menukas, “Wah, kalau begitu, Anda salah jurusan.”
Abang memang terbilang dosen program studi Jurnalistik yang melegenda. Setiap mahasiswa Jurnalistik Unpad yang pernah ikut kelas Abang, pasti punya testimoni yang hampir senada. Dan saat Abang masuk masa pensiun, sejumlah teman menginisiasi pembuatan buku berisi testimoni tentang Abang dari para mantan mahasiswanya, yang kini Anda baca.
Kenapa? Kenapa Bang Sahala? Kenapa Ikatan Alumni Mahasiswa Jurnalistik Unpad tergerak untuk ikutan menerbitkan buku ini?
Pertama, sejak buku Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya [JJS] terbit di 2013, belum ada lagi kumpulan tulisan teman-teman Jurnalistik yang dibukukan dan jadi persembahan untuk almamater.
Kedua, sejak ditetapkan sebagai dosen pada 1 Januari 1987, hingga 17 Maret 2018, Abang tercatat sudah 31 tahun mengabdi ke kampus, dan menorehkan banyak ilmu di kelas yang diampunya untuk mahasiswa-mahasiswa --yang rata-rata kini sudah menempati posisi bagus di media.
Dan ketiga, ini adalah cikal bakal bagi IKA Jurnalistik Unpad punya penerbitan sendiri yang bisa jadi wadah untuk melahirkan buku-buku lain yang berkualitas --seperti yang pernah dan akan dihasilkan mahasiswa-mahasiswa Abang yang sudah mentas.
Kembali ke ucapan Abang tentang salah jurusan, ternyata
oh ternyata, kuliah di Jurnalistik Unpad sempat membuat vii


saya disorientasi. Jurnalistik ternyata tak semudah dan semenyenangkan seperti yang pernah saya bayangkan. Saat itu, saya nggak tahu lagi, mau jadi apa selepas lulus nanti. Dan Abang --yang terkenal paling rajin menggembleng mahasiswa untuk menguasai penulisan-- adalah batu ujian saya yang cukup besar.
Saat kuliah, memang saya tak terlalu dekat dengan Abang. Hubungan kami ya sebatas mahasiswa dan dosen wali. Sesekali bertemu di ruang kuliah. Karena ada rasa jengah saat mesti ikut perkuliahan Abang, jika kita tak siap dengan materi yang akan dipresentasikan di kelas.
Menariknya, yang seperti itu, di angkatan kami, ternyata bukan cuma saya. Di angkatan lain, Abang boleh dibilang cukup berhasil menarik minat mahasiswa untuk terus rajin mengikuti perkuliahan yang diampunya. Tetapi untuk angkatan saya, mohon maaf, sepertinya Abang tidak terlalu sukses. Di sejumlah kelas yang diampunya, mahasiswa dari angkatan saya mayoritas tak antusias. Sebagian memilih untuk jarang ikut kuliah. Dan sialnya, saya termasuk dalam kelompok mereka. Kami, kalau boleh mengklaim seperti itu, lebih gemar nongkrong di kantin, ketimbang masuk kelas yang diampu Abang.
Pernah suatu kali, kami sedang duduk-duduk di pelataran kampus, waktu masih di Sekeloa. Saat itu kami sedang menunggu jadwal kuliah berikutnya: kelas Abang. Dari kejauhan, tampak Abang berjalan menuju kampus. Entah, siapa yang memulai, tanpa dikomando, kumpulan mahasiswa yang sedang duduk-duduk itu, langsung bubar.
viii Sebagian lantas menuju kantin, sementara sebagian lagi entah


ngabur ke mana. Hahaha. Kami kan mahasiswa. Tapi kenapa kelakuannya jadi kayak anak SMA ketemu guru BP, ya?
Karena banyak yang mabal [istilah Bahasa Sunda untuk nggak masuk kelas], tentu saja peserta kuliah hanya sedikit. Biasanya mereka yang di kelas termasuk anak baik-baik, hahaha. Boleh jadi karena tadi Abang sempat lihat kelebatan mahasiswa yang bubar saat ia melintas, maka Abang minta tolong ke salah satu mahasiswa di kelasnya untuk pergi ke kantin dan menyuruh kami masuk kelas. Duh euy, jadi nggak enak gini. Akhirnya, para mahasiswa yang AWOL ini, masuk kelas. AWOL adalah istilah dalam ketentaraan, kependekan dari Absent With Out License. Singkatnya ya tadi, m-a-b-a-l.
Mahasiswa Jurnalistik Unpad memang istimewa. Macam- macam ulahnya. Tapi rasanya, tak ada yang tak mengakui bahwa Abang cukup piawai mengajak mahasiswanya mengasah pisau analisis saat membedah masalah. Dan itu yang saya buktikan dengan menduduki kursi pemimpin redaksi, lima tahun sejak lulus kuliah. Yang tercepat di angkatan, kalau saya tidak salah data. Duduk di kursi panas itu saya peroleh dengan merambat dari posisi junior reporter, sesuatu yang tak pernah saya maui dulu saat kuliah. Selain untuk orangtua, tentu saja, titel editor in chief yang saya capai itu juga saya dedikasikan untuk Abang.
Yang membanggakan saya adalah ketika mendengar
kabar bahwa Abang beberapa kali pernah membawa
fotokopian artikel-artikel dari majalah yang saya pimpin
untuk dibahas di kelasnya. Walaupun bukan saya yang
menggarap tulisan-tulisan itu, tapi teuteup, kan saya yang
ngeditnya juga, hehehe. ix


Sejak lulus, saya dan Abang memang jarang ketemu. Tapi kami masih terus berkontak lewat jejaring media sosial, atau lewat layanan pesan instan. Abang pernah mengundang saya untuk datang ke pernikahan anaknya. Menyesal, saya tak bisa datang ke perhelatan itu, karena bentrok dengan acara lain yang tak bisa saya tinggalkan.
Yang saya kagum dari Abang adalah kesungguhannya dalam mengampu mata kuliah dan membimbing mahasiswa menjadi calon jurnalis yang tangguh. Banyak sudah jurnalis sukses dari Jurnalistik Unpad yang sempat mengecap ilmu dari Abang. Semoga Abang senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam hidup.
Yang tak akan saya lupa adalah saat berkunjung kembali ke kampus untuk jadi pembicara di acara orientasi mahasiswa di tingkat jurusan, pada 2017 lalu. Saya bertemu lagi dengan Abang, dan ia mengajak berswafoto. Sambil ngobrol, ia menawarkan saya kopi. Tak pernah saya duga, Abang sendiri yang membuatkan segelas kopi kental untuk saya. Duh Bang, terimakasih banyak. Buat bimbingannya, buat kopinya, dan buat semuanya..
Tangerang Selatan, 30 Maret 2018 ***
x


Tentang Hagi Hagoromo:
Hagi pernah memimpin redaksi Tabloid Bintang Milenia, Majalah MTV Trax, Majalah FourFourTwo Indonesia, Majalah Alhamdulillah it’s Friday, Intuisi Publishing, Media Online Ghiboo, berpartisipasi dalam penerbitan majalah Playboy Indonesia, dan mengepalai MacroAd LINIKINI, sebuah platform digital out of home untuk KRL Commuterline dan kereta ekspres Railink Bandara. Saat ini hagi yang menjabat Ketua Ikatan Alumni Jurnalistik FIKOM Unpad 2016 - 2020 tengah menjalankan bisnis kuliner dan konsultan media.
xi


xii
Sambutan Editor
Justito Adiprasetio, Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 2006 & Yus Ariyanto, Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1990
Setiap alumni Jurnalistik FIKOM UNPAD biasanya memiliki memori kolektif tentang masa kuliah. Tidak hanya di dalam satu angkatan, ingatan kolektif itu bekerja dalam perbincangan anak-anak jurnalistik antar angkatan. Memori kolektif yang menyeret perbincangan nostalgia tentang pahit- manis perkuliahan pada satu sosok, pada satu nama: Sahala Tua Saragih. Narasi tentang Sahala yang biasanya muncul dalam reuni-reuni angkatan, narasi yang berada bersama dengan pertanyaan dari sosok Senior pada Junior mahasiswa yang masih duduk di bangku kuliah “Sahala masih ngajar?” hingga kenangan terpendam akibat satu, dua atau banyak pengalaman bersama Sahala, adalah hal yang berusaha dipadatkan dalam buku yang digarap berbareng ini.
Sahala, adalah pengait mereka yang pernah berkuliah pada rentang tahun 1986 hingga 2018. Salah satu hal yang dapat kita pungut dari identitas Sahala selama rentang waktu mengajar lebih dari tiga dekade itu adalah soal dedikasi. Satu kualitas yang tidak banyak dimiliki oleh pengajar cum praktisi di Indonesia atau bahkan di bidang lain. Kualitas yang membuat nama Sahala tetap berada dalam ceruk


ingatan mahasiswa yang sempat diajar oleh dirinya. Kualitas yang membuat sekesalapapun kita pada tugas, pada metode mengajarnya, pada Sahala, selalu ada rasa hormat yang telah dan akan kita berikan pada sosoknya.
Namun, tentu seperti manusia biasa lainnya Sahala memiliki berbagai sisi, selalu bermetamorfosa, dan menua, ia bukanlah sosok yang sempurna. Kita bisa berdebat panjang tentang perbedaan pandangan etika Jurnalisme dengan Sahala, kita juga bisa mengritik metode mengajar Sahala yang cenderung monolog, namun tak sedikit yang merasa berhutang pengetahuan dan disiplin pada Sahala. Putih
– hitam identitas Sahala dalam memori kolektif kita yang membuat Sahala menjadi sosok yang barangkali akan terus muncul dalam perbincangan tentang kenangan dan masa lalu di FIKOM UNPAD.
Buku ini tidak ditulis sebagai epos kolosal yang menceritakan tentang sosok Sahala di FIKOM UNPAD, lebih-lebih buku ini adalah upaya kami untuk menyusun puzzle terkait narasi tentang Sahala. Namun tentu saja kami paham, sebanyak apapun yang pada akhirnya berkontribusi mengumpulkan keeping-keping puzzle hingga bisa dijelentrehkan dalam suatu narasi, kami tetap tidak bisa secara utuh meringkus identitas Sahala. Keutuhan itu memang bukan menjadi target mengapa buku ini ditulis. Buku ini ditulis semata untuk menghormati dedikasi Sahala dalam periode
xiii


pengajarannya, di kelas maupun di luar kelas.
Mereka yang membawa keping puzzle hingga bisa tersusun menjadi buku ini berasal dari angkatan lintas
generasi. Merentang dari mereka yang pernah mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan Sahala, saat kampus Jurnalistik Fikom berada di Dago Pojok – angkatan 1980-an, mereka yang berada pada masa peralihan dari kampus Dago ke kampus Jatinangor – angkatan 1990-an awal, dan mereka yang hanya mengalami diajar Sahala di Jatinangor.
Selain para mahasiswa Sahala, kontributor buku ini adalah para kolega pengajar di Prodi Jurnalistik, FIKOM UNPAD. Mereka yang berbagi meja dengan Sahala, dan menjadi saksi perilaku, dedikasi, metode mengajar bahkan kejenakaannya. Siapa yang tidak tahu, bahwa Sahala memiliki lelucon bahasa yang kadang-kadang absurd? Anda bisa membacanya di dalam buku ini.
Kita bisa melihat paparan setiap orang dalam buku ini walau sebagian memiliki benang merah satu sama lain, walau tidak benar-benar seragam, masing-masing menghadirkan perspektif tentang Sahala dalam narasinya. Perspektif
yang tidak hanya memanusiakan penulisnya, namun juga memanusiakan Sahala. Bahwa, kami menganggap relasi kami dengan Sahala lebih jauh dari sekadar guru dengan murid, namun lebih sebagai sahabat yang resiprokal, antara ketulusan manusia dengan manusia.
Kundera suatu kali dalam novelnya Ignorance menjelaskan bahwa nostalgia berasal dari dua kata yaitu “Nostos” dan “Algos”. “Nostos” dalam bahasa Indonesia padan
xiv dengan frase ‘kembali pulang’, sedangkan ‘Algos’ berarti


‘penderitaan’. Hal tersebut menjadi alasan mengapa kita bisa sedih ketika mendengar lagu patah hati, maupun mengenang- ngenang cinta pertama di Kampus FIKOM UNPAD yang ternyata dinikahi orang lain. Hal tersebut pula yang membuat kita bisa merasa rindu pada masa-masa perkuliahan di FIKOM UNPAD, di mana di dalam ingatan tersebut ada sosok Sahala, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sosok Sahala adalah bagian dari memori di masa lalu dan situasi tertentu yang kita rindukan.
Akhir kata, buku ini dihadirkan berkat kontribusi
oleh banyak orang sejak awal hingga akhir, sejak inisiasi, pengumpulan tulisan, pengeditan hingga kemudian memadat menjadi buku yang bisa kita pegang bersama. Buku ini didedikasikan untuk Sahala yang sudah memasuki masa pensiun sebagai Dosen Prodi Jurnalistik FIKOM UNPAD.
Salam hormat, Bang Sahala!
Semoga buku ini bisa menjadi monumen nostalgia untuk kita semua.
xv


Daftar Isi
1980-an
Bang Sahala dalam Hidup dan Karir Kepenulisan Saya: Dari Penulis Diary Menjadi Penulis Media Massa
Santi Indra Astuti (1)
Sosok Ideal Seorang Dosen
Deddy H Pakpahan (6)
Sahala
Priyantono Oemar (9)
Dari Kepaksa
ke Obsesif Kompulsif Rahim Asyik (17)
1990-an
Pak Sahala
Feby Indirani (22)
SSTS
Salman Aristo (26)
Dosen yang Dingin, Kawan yang Hangat Wendiyanto Saputro (29)
• Pengantar Ketua IKA Jurnal FIKOM Unpad (vi) • Pengantar Editor (viii) • Daftar Isi (x)
xvi


Kertas Tugas Sahala: “BW tanggal sekian... sekian...” Yuyuk Andriati (36)
Kolega
Mauliate Godang
Abang Sahala
Rinda Aunilllah Sirait (43)
Untuk Guruku, Bapak Sahat Sahala Tua Saragih
Nunik Maharani Hartoyo (48)
Belajar Sepanjang Semester
Maimon Herawati (56)
Sang Legenda yang Mengesankan Dandi Supriadi (58)
Sahala Tua Saragih: Guru, Orang Tua, juga Teman Ipit Zulfan (63)
Nama yang Paling Sering Disebut
Andika Vinianto (69)
Sebuah Koma
antara Pak Sahala dan Saya Abie Besman (71)
Tugas Apresiasi Abang
Rana Akbari Fitriawan (78)
Pak Sahala, Sang Legenda Jurnalistik yang Humanis Nuryah Asri Sjafirah (81)
Abang yang Satu ini Memang Beda
Henny Srimulyani (85)
Sahala Tua Saragih,
Sang Legenda Jurnalistik Dian Wardiana Sjuhro (87)
Sahala Tua,
Manusia Antarbudaya Deddy Mulyana (91)
Sahala:
Disiplin dan Komitmen Basith Patria (93)
Abang Sahala
yang Suka Bobo Cantik Sandi Jaya Saputra (97)
xvii


Sahala
dan Hal-hal yang Sederhana Teguh Wicaksono (152)
2010-an
2000 Kata
untuk Bang Sahala Ilman Alanton Sudarwan (156)
“Bang Sahala
Masih Ngajar?”
Dimas Jarot Bayu (165)
Abang Sahala
bukan ‘Munsyi’ Pertama bagi Saya
Azmi Nur Aisyah (169)
Mengulang Kisah Mingguan
Wibi Pangestu Pratama (178) • Penutup Ketua HMJ (184)
2000-an
Catatan Kecil
untuk Abang Besar Ahmad Faisal Adnan (102)
Antara Saya,
Bang Sahala, dan
Ejaan yang Disempurnakan Priska Siagian (110)
“Mengapa, bukan Kenapa”
Feri Alamsyah (117)
Oemar Bakrie bernama Sahala Noveri Maulana (122)
Abang, Orang Batak Paling Sunda
Rivki Maulana (128)
Pemahat Ulung
Deandra Syarizka (135)
Legenda yang Berintegritas dan Penuh Dedikasi Syahdino Saputra (141)
Tugas (Tidak) Penting dari Pak Sahala
Yasir Ahmad Saputra (179)
xviii


xix


xx
1980-an


Bang Sahala dalam Hidup dan Karir Kepenulisan Saya: Dari Penulis Diary Menjadi Penulis Media Massa
Santi Indra Astuti
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1989, Staf Pengajar FIKOM Unisba
Zaman SMA dahulu, saya adalah anak IPA dari sebuah SMA yang IPS-nya cuma satu kelas, sementara 12 kelas sisanya adalah IPA. Percaya atau nggak, saya memilih Jurnalistik sebagai pilihan terakhir tanpa referensi apapun. Dasarnya satu: saya suka menulis. Oh, jangan bayangkan saya adalah anggota ekskul pers, buletin kelas, atau mading sekolah. Pengurus OSIS saja enggak. Saya adalah penulis
kelas diary alias buku harian. Kompetensi saya ya menulis diary, secemen-cemennya dan sealay-alaynya jaman itulah. Yah, nggak jauh-jauh dari eranya Dilan, hehe... (ini beneran lho ☺) Saya nggak menyadari bahwa curhat via diary ternyata menjadi basis saya menulis.
Bang Sahala adalah sosok yang membangkitkan potensi saya untuk menulis. Jelas beliau tak tahu kalau saya punya diary setumpuk. Tetapi gara-gara ‘dipaksa’ untuk ikutan mata kuliah beliau, mulai dari Komunikasi Pembangunan, Penulisan Artikel dan Penulisan Feature, skill menulis saya pun terasah. Sebagaimana mahasiswa lain, motivasi saya untuk menulis
itu sederhana saja: ingin dapat nilai A. Yah, begitulah janji Bang Sahala untuk mahasiswa: barang siapa menulis, dan dimuat di media massa, nilai A sudah di tangan. ‘Algojo’ alias
1
mereka dan BANG SAHALA


2
juri penulisan di media massa, bagi Abang, bukanlah dosen, melainkan sidang redaksi yang mewakili pembaca yang menjadi segmennya. Di tangan mereka sebuah tulisan diloloskan kepada publik karena dianggap mewakili visi media dan memenuhi kriteria keterbacaan. Di tangan mereka, nilai saya (dan mahasiswa lain) berada.
Apa hubungannya menulis diary dengan menulis artikel? Nah, begini ceritanya. Penyakit penulis pemula (atau mahasiswa peserta mata kuliah penulisan) di mana-mana sama saja. Macet, nggak punya ide, mati gaya. Kejadian ini bisa di awal, di tengah, atau menjelang penutup tulisan. Pokoknya, di mana saja-lah sesuka-sukanya mood itu datang. Ketika saya kebingungan berhadapan dengan writer’s block ini, Bang Sahala cuma bilang, “Apa susahnya sih menulis? Nulis diary aja bisa berlembar- lembar gitu kok. Pikirkan kamu mau ngomong sama siapa.” Udah gitu aja. Saya bengong campur dongkol, sorry ya Bang, hehe. Kek gampang sekali gitu mengatasinya. Sekali lagi, Bang Sahala nggak tahu saya punya diary 23 biji semasa hidup saya sampai jadi mahasiswa. Tetapi, resepnya tepat: visualisasikan siapa yang mau diajak bicara. Tulisan pun mengalir lancar. Resep sederhana, tetapi ternyata jitu banget buat saya!
Tentu saja pelajaran menulis yang menempel di ingatan saya bukan cuma itu. Kalau ingin tulisan dimuat, kata Abang, harus sesuai dengan momennya. Menulis sesuai momen bukan hanya memfokuskan tulisan kita pada sebuah tema spesifik. Namun, lebih dari itu, akan membuka peluang yang lebih besar untuk dilirik redaksi. Abang lalu menunjukkan tanggal-tanggal penting yang bisa membuka peluang untuk dimuat. Waktu itu minggu pertama bulan April, dan momen nasional terdekat ya apalagi kalau bukan Hari Kartini. Abang memberikan daftar media (cetak) yang bisa dikejar. Dan kami sekelas pun dibikin pusing tujuh keliling. Lah, sudah diberi kemudahan, masih bingung juga? Ya iya-lah, koran cuma sedikit, sementara yang mau masukin tulisan ada 40 orang dengan tema yang sama. Oh ya, dan semua kepala di kelas Penulisan Artikel ini ingin dapat nilai A.
Saya berpikir keras, tulisan tentang Kartini macam apa yang
1980-an


bisa membuat redaksi berkenan memuat tulisan saya. Saya pun menetapkan dua strategi. Pertama, menyingkirkan media papan atas, dan memilih media ‘pertengahan’. Ya, saya mesti tahu
diri dong, hehe. Namanya juga penulis pemula. Maka, media- media kondang macam Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, Media Indonesia, saya singkirkan. Saya pilih yang lain. Kedua, menetapkan sudut pandang yang unik. Nah, ini tantangan
yang sangat sulit. Topik tentang Kartini akan selalu berbicara tentang perempuan dari sudut pandang yang extraordinary, karena Kartini adalah perempuan istimewa. Nggak mungkin- lah ngomongin yang nggak spesial di hari Kartini. Tapi apa yang terbayang oleh saya adalah semua orang akan bicara tentang emansipasi wanita, kesetaraan gender, kemerdekaan perempuan, hal-hal macam begitu-lah. Redaksi akan menerima ribuan tulisan tentang peran ganda perempuan, bias gender, perjuangan perempuan, domestikasi perempuan. Semua akan menekankan pentingnya membebaskan perempuan dari ranah privat, menuju ranah publik. Semua akan menyuarakan peran perempuan di ruang publik, dan pentingnya mendukung perempuan berkarier dan dihargai secara profesional di ruang kerja. Hari-hari seperti itu, jelas nggak bakal ada yang bicara soal perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga.
Di Hari Kartini, harinya emansipasi perempuan, nggak bakal ada yang bicara soal perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga. Ralat: Nggak akan ada yang bicara soal pentingnya perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga. Kecuali saya. Begitulah, topik telah saya temukan. Di Hari Kartini, 21 April 1991, Bang Sahala masuk kelas membawa dua buah koran. Salah satunya adalah harian Jayakarta yang kini sudah almarhum. Lembar opini memuat tulisan saya: Ibu Rumah Tangga sebagai Profesi. Itulah tulisan pertama saya. Ingin loncat rasanya saya ketika itu. Bang Sahala telah berhasil memoles penulis diary profesional ini menjadi penulis artikel beneran. Terima kasih, Abang!
Saya bersyukur, di tahun-tahun berikutnya, pada mata kuliah Bang Sahala, tulisan-tulisan saya dimuat di surat kabar. Mata kuliah Penulisan Feature memuat tulisan saya tentang Grafologi dan sosok psikolog senior Prof. Dr. John
3
mereka dan BANG SAHALA


4
W. Nimpoeno, Dipl., Psych. Kalau dipikir-pikir, gila juga. Mahasiswi semester lima datang ke ruang dosen Fapsi Unpad minta janji wawancara dengan salah satu pakar grafologi ternama di Indonesia. Saya ingat selama seminggu ampun- ampunan baca-baca tentang grafologi. Zaman belum ada Internet lho! Setelah jumpa, Pak Nimpoeno nggak langsung mau diwawancara: beliau mengecek dulu persiapan saya macam apa, kadar bacaan saya tentang grafologi itu seperti apa. Setelahnya, beliau baru mau diwawancarai. Saya bersyukur dikerasin Bang Sahala untuk bikin persiapan lengkap sebelum terjun ke lapangan: riset, riset, dan riset. Terbukti
saya bisa ‘menaklukkan’ Prof Nimpoeno yang konon susah diwawancarai— bahkan oleh wartawan senior! Eh, belakangan saya baru tahu bahwa beliau bersedia diwawancara saya berhubung bacaan saya tentang grafologi berasal dari sumber yang salah! “Kalau bacaanmu macam begitu, kamu bakal bikin grafologi jadi ilmu ramal-meramal, dan kami-kami ini jadi ahli nujum!,” kata beliau. Alamak. Tulisan ini dimuat di Suara Pembaruan. Saya senang sekali karena bisa ‘naik kelas’, bukan sekadar dapat A.
“A” saya yang beneran sebagai penulis, bukan nilai A dalam makna akademis, baru saya dapatkan bertahun-tahun kemudian, tepatnya 10 tahun setelah lulus dari kampus.
Saya menulis lagi-lagi tentang perempuan. Tulisan berjudul “Mengapa Ibu Harus Kembali ke Rumah?” sebagai tanggapan terhadap Gerakan Kembali ke Rumah yang dicanangkan oleh MUI pada Hari Ibu tahun 2004, dimuat oleh Kompas pada 2 Desember 2005 di Rubrik SWARA. Saya ingin kabarkan pada Abang bahwa saya berhasil ‘naik kelas’. Tetapi, niat itu saya urungkan. Malu.
Tahu-tahu, setahun berikutnya, seorang mahasiswa FIKOM Unpad menghubungi saya. Bisa dibilang dia adalah adik kelas saya, walaupun nggak pernah saya Ospek. Dia bilang mau mewawancarai saya sebagai penulis untuk tugas mata kuliah Penulisan Artikel yang (masih) dipegang oleh Bang Sahala. Penasaran, saya tanya bagaimana tugas ini diselenggarakan soalnya jaman saya kuliah dulu nggak ada ceritanya tugas
1980-an


mewawancarai penulis. “Begini, Bu, Bapak tulis nama-nama para penulis. Nama Ibu ada di sana. Kata Bapak, cari Bu Santi dosen FIKOM Unisba. Bu Santi, kata Bapak, adalah mahasiswa Bapak yang tetap menulis, dan satu di antara sedikit perempuan penulis yang berhasil menembus Kompas.” Buat saya, penghargaan paling besar dan membikin saya meleleh bukan pada prestasi menembus koran papan atas. Bukan. Kenyataan bahwa Bang Sahala tetap mengikuti kami, menyimak karya kami, dan memperhatikan kami bertahun-tahun setelah kami lulus, sungguh sangat menyentuh. Bagi saya, perhatian adalah sebentuk doa bagi kami semua. Sampai sekarang.
Kini, memasuki masa pensiun, produktivitas Bang Sahala tak pernah surut. Dukungan Abang juga tetap saya dapatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial tempat kami kini terhubung dengan akrab. Saya adalah orang yang beruntung mendapatkan sentuhan ilmu dan pengasuhan beliau. Beliau menjadi teladan saya—teladan kami semua. Terima kasih, Bang Sahala. Terima kasih telah membuka sebuah dunia intelektual yang penuh dengan orang-orang hebat seperti Abang. Terima kasih telah menyalakan api kepenulisan di antara kami. Sampai kapan pun, api itu tetap ada dan akan terus saya pelihara. Tabik dan salam hormat penuh kasih.
***
5
mereka dan BANG SAHALA


6
Sosok Ideal
Seorang Dosen
Deddy H Pakpahan
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1988, Editor in Chief Jktproperty.com
Di mata saya, Sahala Tua Saragih --saya dan kawan- kawan Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1988 biasa memanggilnya Pak Sahala-- adalah sosok dosen yang ideal. Bahkan terlalu ideal. Mengapa saya katakan ideal? Karena Pak Sahala-lah salah satu dosen di
era itu yang punya hubungan sangat manis dengan mahasiswanya. Cara mengajarnya pun sangat baik dengan komunikasi yang sangat santun terhadap mahasiswa-mahasiswinya.
Pak Sahala mampu menjembatani antara teori dan ilmu jurnalistik dengan praktik jurnalistik, melalui mata kuliah seperti penulisan berita atau in depth reporting. Kebetulan waktu itu Pak Sahala, selain sebagai dosen, juga menjadi koresponden koran sore Suara Pembaruan. Jadi dia benar-benar bisa “memindahkan” teori jurnalistik ke dalam praktik jurnalistik.
Kebetulan juga ketika mengikuti mata kuliah Penulisan Berita yang diampu Pak Sahala, saya sudah menjadi wartawan desk olahraga harian GALA – yang saat itu manajemennya diambil Media Indonesia. Jadi semakin terasah kemampuan menulis berita. Lebih menyenangkan lagi, di semua mata kuliah Pak Sahala, saya mendapat nilai A.
Pada mata kuliah in depth reporting yang saya ikuti,
1980-an


Pak Sahala menantang mahasiswanya untuk mengusulkan topic tulisan. Mereka yang tulisannya dimuat di media massa (kebetulan Pak Sahala mengirimkannya ke Suara Pembaruan) akan memperoleh nilai A.
Saya masih ingat saya mengusulkan tulisan “Partisipasi Politik Gelandangan dan Pengemis dalam Pemilu 1992”. Saya melakukan peliputan bagainana gelandangan dan pengemis
di Bandung sebelum hari H Pemilu dilokalisir, dibagikan kaos dan diberikan kebutuhan pokok untuk menusuk partai yang berkuasa di masa Orde Baru. Sempat dikejar-kejar juga oleh gelandangan yang pada mangkal di Sungai Cikapundung. Tapi senangnya ketika tulisan mendalam yang saya buat tampil di halaman 1 Suara Pembaruan dan bersambung dua halaman full di halaman dalam. Setelah itu beberapa tulisan depth reporting saya selalu muncul di halaman 1 Suara Pembaruan.
Pak Sahala itu orang yang humble. Satu saat dia pernah datang ke tempat kos saya di kawasan Sekeloa, Bandung.
Dia bicara soal seminar teknologi sepakbola yang pernah diselenggarakan di ITB. Pak Sahala sudah berkali-kali menulisnya di Suara Pembaruan. Tapi entah mengapa tidak dimuat. Akhirnya bahan-bahan seminar teknologi sepakbola itu diberikan ke saya untuk ditulis ulang. Saya tulis dan kirim ke Suara Pembaruan. Beberapa hari kemudian tulisan itu dimuat. Saya sudah senang melihat senyum Pak Sahala, karena memang materinya bagus, yakni bagaimana teknologi mampu meningkatkan prestasi sepakbola di Tanah Air.
Satu hal yang saya tak akan lupa adalah ketika Pak Sahala harus mengajar dan ada liputan yang bagus. Dia pasti akan tanya apakah saya meliput acara itu? Kalau ya dan pastinya saya membolos mata kuliah Pak Sahala, sore-sore saya datang ke kantor biro Suara Pembaruan untuk membawakan bahan- bahannya. Ada semacam kolaborasi antara dosen yang juga wartawan dengan mahasiswa yang berprofesi juga sebagai wartawan.
Banyak yang bisa diceritakan tentang Pak Sahala. Saya yakin semua cerita itu adalah cerita indah. Saya tidak bisa membalas apa yang sudah Pak Sahala beri, tapi saya tahu Tuhan
7
mereka dan BANG SAHALA


yang sangat menyayangi bapak yang akan membalas segenap kebaikan itu.
Salam hormat saya, Pak Sahala. ***
8
1980-an


Sahala
Priyantono Oemar
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1987, Wartawan Republika
Hari itu saya datang dengan mengajak Hilman Hidayat. Di tempat acara kami bertemu wartawan lain, dan juga S Sahala Tua Saragih, dosen kami di kampus yang juga merangkap sebagai koresponden harian sore.
Usai acara, staf humas lembaga industri strategis yang mengundang itu lalu mendekati kami yang sedang duduk berdua. Sahala dan wartawan lain sudah memisahkan diri. Staf humas itu menyodorkan dua amplop untuk saya dan Hilman, dengan pengantar teman-teman wartawan lain sudah menerima.
Karena Hilman datang tanpa undangan, ia banyak diam. Saya yang harus berbicara dengan humas itu, sampai pada kalimat, ‘’Kami akan merasa dihargai kalau mas-mas mau menerima amplop yang sudah kami sediakan, karena sudah dianggarkan.’’
Saya langsung tersinggung. ‘’Kami juga akan merasa dihargai jika mas tidak memaksa kami untuk menerima amplop,’’ jawab saya dengan nada meninggi. Tapi suasana sudah sepi, karena wartawan lain sudah tidak ada. Si humas terdiam, saya menjadi kasihan, karena sebelumnya ia bilang akan dimarahi atasannya jika amplop tidak diberikan kepada wartawan yang telah diundang. Suasana tidak enak diakhiri dengan perginya si humas meninggalkan kami.
9
mereka dan BANG SAHALA


10
Tetapi, tiga bulan berikutnya, ketika lembaga ini mengadakan acara lagi, saya tak diundang. Saya tetap datang bersama Hilman –yang kini menjadi kepala perwakilan korannya di Bandung-- yang kali ini mendapat undangan. Tetapi, setelah acara, tak ada lagi sodoran amplop kepada kami. Selidik-selidik, staf humas yang tiga bulan lalu memaksa kami menerima amplop dipindah ke bagian lain.
Sebagai wartawan baru, saya selalu teringat diskusi-diskusi di kelas Sahala. Sahala tak pernah menyebut amplop itu haram bagi wartawan, tapi ia membuka peluang munculnya berbagai sudut pandang dalam diskusi. Lantas jika bekas mahasiswa Sahala yang menjadi wartawan ada yang doyan amplop dan anti amplop tentu bukan salah Sahala karena tak memberikan sikap tegas dalam diskusi.
Ada cerita teman, yang ditugaskan di kota kabupaten. Tiap pagi di rumah kontrakannya sudah ada amplop di bawah pintu. Amplop itu berisi rilis berita sekaligus uang, dan tentu saja
ia tak bisa menolak secara langsung. Ia kumpulkan uang rilis itu selama ia bertugas di kota kabupaten itu yang kemudian ia salurkan kepada yang berhak.
Setiap berdiskusi, segala argumen yang muncul dari mahasiswa ia mentahkan dengan pertanyaan-pertanyaan pendek baik yang pro maupun yang kontra, untuk mendorong mahasiswa melontarkan jawaban dan menemukan sikap yang mereka perlukan.
Diskusi, hingga kini masih ia lakukan. Selain membahas buku, juga membahas tugas yang dibuat para mahasiswa. Mahasiswa diberi tugas, kesimpulan yang dibuat mahasiswa kemudian didiskusikan di kelas.
Jika memberi tugas, selain ia memberikan koreksian detail, ia juga akan melemparkan ke kelas untuk mendiskusikan setiap tugas yang masuk kepadanya. Sahala memang bukan tipe dosen yang lebih banyak monolog di kelas, yang memutuskan apa yang ia katakan harus diikuti oleh mahasiswa untuk dijadikan jawaban di kesempatan ujian. Tidak. Sahala bukan tipe dosen seperti itu. Jika musim ujian tiba, Sahala mempersilakan mahasiswanya membawa buku rujukan ke kelas untuk dijadikan
1980-an


bahan jawaban.
Sejak awal ia mengajar sebagai asisten dosen pada 1986
hingga menjelang pensiun 2018, cara yang ia terapkan itu tak berubah. Ada yang hilang, tentu karena banyaknya mahasiswa di kelas dia ketika minat memilih prodi jurnalistik sangat tinggi. Di angkatan 87, misalnya, ada 45 mahasiswa tapi di tahun 2000- an, kelas jurnalistik tiap angkatan di atas 100 orang. Koreksi tugas tak lagi detail dan tak lagi satu per satu di bahas di kelas. Tak cukup waktunya, seperti ketika mahasiswa jurnalistik masih di bawah 50 orang.
Saya membayangkan, jika Sahala monolog di kelas selama mengajar, para mahasiswa pasti tertidur semua karena gaya bicaranya yang tidak menarik. Ia tak selihai Jalaluddin Rakhmat ataupun Wasito Poespoprodjo. Jalal mengajar Retorika dan Psikologi Komunikasi, Poespo mengajar Filsafat dan Logika. Buku Jalal berjudul Psikologi Komunikasi, dan buku Poespo berjudul Filsafat Moral dan Logika Sientifika, tak hanya
dibaca oleh mahasiswa komunikasi. Berada di kelas Jalal dan Poespo, mahasiswa akan betah menyimak kata-kata mereka, hingga tiba masa sesi tanya jawab yang juga selalu banyak yang mengacungkan tangan untuk bertanya.
Sahala tak memakai gaya mereka. Sahala menerapkan diskusi, sehingga buku bacaan untuk mata kuliah yang ia ampu cukup banyak. Beban tugas jangan lagi ditanya. Selalu saja ada tugas yang harus dikerjakan dengan cara mengetik. Jadi harus sedia mesin ketik, pita tik, kertas, dan tipex. Tetapi jika banyak yang salah ketik, tipex menjadi tak berguna, karena pilihan akhir adalah ganti kertas.
Kebiasaan ini yang di tahun-tahun berikutnya ketika mesin ketik sudah ditinggalkan, diwajibkan untuk pengerjaan tugas di masa praorientasi jurnalistik bagi mahasiswa baru jurnalistik. Tak jarang beberapa mahasiswa baru kemudian membungkus jarinya dengan tansoplas karena terluka akibat terjemurus masuk sela-sela huruf mesin ketik.
Menulis memang sudah diajarkan sejak mula masuk jurusan Jurnalistik. Maka, di kelas Sahala sering menyesalkan jika ada lulusan Jurnalistik hidupnya susah. Kemampuan
11
mereka dan BANG SAHALA


12
menulis dan belajar ilmu komunikasi, menurut dia menjadi bekal kuat untuk bisa hidup, karena ada banyak profesi yang bisa digeluti, meski tidak menjadi pekerja kantoran. Sahala membuktikan sendiri, dari menulis opini semasa kuliah, ia bisa membiayai kuliahnya. Hingga menjelang pensiun, ia masih rajin menulis opini berbagai tema.
Mereka yang menggeluti fotografi, bahkan sejak mahasiswa sudah bisa mencari uang dari fotografi itu. Mereka yang serius menggeluti tulis-menulis juga bisa mencari uang dari menulis resensi buku, resensi film, menulis opini, ataupun menjadi koresponden media. Yang menekuni keterampilan berorganisasi bahkan juga bisa mencari uang dari menjadi penyelenggara kegiatan.
Saya termasuk wartawan yang berangkat dari menulis opini. Ketika menjadi wartawan, banyak teman-teman wartawan non- Jurnalistik yang berangkat dari menulis opini sejak mahasiswa memasukkan opini dalam berita mereka. Di kelas Penulisan Berita, Sahala menjelaskan tidak perlunya memasukkan opini wartawan ke berita yang ia tulis. Sampai hari ini, saya masih menemukan tulisan berita yang dipenuhi opini dari wartawan- wartawan baru.
Saat itu, di saat beberapa teman memilih menjadi koresponden media, saya memilih menjadi penulis opini setelah mengikuti mata kuliah Penulisan Opini. Sebulan dua kali tulisan dimuat di Harian Terbit, setelah bersusah-payah berlaih menulis resensi buku. Selain mendapat honor dari media yang memuat resensi saya, saya juga senang mendapat kiriman buku dari penerbit sekelas Obor. Saya bisa memilih judul yang saya inginkan.
Bukan usaha mudah bagi saya untuk bisa menghasilkan dua tulisan opini dalam sebulan, belum lagi tulisan lain yang dikirim ke media lain. Di Republika, tulisan saya dimuat setelah mengikuti nasihat Sahala, membuat tulisan untuk menanggapi tulisan orang lain.
Sebelumnya , tulisan yang dikirim sering dikembalikan. Tapi, Sahala sering memberi contoh banyaknya penolakan yang diterima oleh penulis-penulis lain. Nanik Saiman misalnya,
1980-an


cerpenis yang juga senior di kampus, adalah contoh yang gigih mengirim karya. Enam puluh empat kali mengirim karya ke majalah Gadis, 64 kali pula naskahnya dikembalikan. Baru naskah yang ke-65 yang ia kirim dimuat di majalah Gadis.
Selain menulis opini di koran, saya juga menyumbang tulisan untuk Radio Mara.Di radio ini ada Mbak Ea, panggilan akrab untuk almarhumah Noor Achirul Layla, yang dulu mengajar mata kuliah Jurnalistik Radio dan Filsafat Komunikasi merangkap sebagai general manager Radio Mara. Ini radio perintis jurnalisme warga yang dijadikan benchmark oleh Radio Suara Surabaya.
Pada mulanya, saya menyumbang tulisan ke Mara untuk mengasah kemampuan menulis, agar bisa menulis opini untuk koran. Kemampuan menulis memang terasah, tapi selain itu juga mendapat imbalan yang sebelumnya tak saya harapkan diberikan sebulan sekali.
Di Radio Mara ini ada juga teman yang bergabung, yaitu Nursyawal, sekaligus membantu Lembaga Produksi Siaran (LPS) PRSSNI. Hanya PRRSNI Jawa Barat yang memiliki program berita digawangi oleh Mbak Ea dan Muhammad Sunjaya –penyiar Mara dan aktor senior Studiklub Teater Bandung (STB). Siaran berita PRSSNI Jawa Barat ini di-relay oleh radio-radio swasta di Jawa Barat.
Liputan Nuryawal tentang demo menolak Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB), membuat pengelola siaran berita LPS PRSSNI Jawa Barat ditegur penguasa. Sunjaya sebagai pemred pun diskors oleh pengurus PRSSNI Jabar.
Saat itu, Nursyawal sedang mengamalkan ilmunya yang didapat dari kelas Sahala dan Ea, menyampaikan suatu hal yang penting dengan cara yang menarik perhatian. Ia merekam suara para demonstran saat berdemo sedang meneriakkan takbir, lalu rekaman itu disiarkan pukul 16.00. di kemudian hari, Nursyawal berkesempatan mengembangkan karier jurnalistik radinya di Deutsche Welle, Jerman, kemudian menjadi anggota KPID Jabar.
Menyumbang tulisan untuk Mara, saya juga sedang mengamalkan ilmu yang saya dapat dari kelas Penulisan Opini
13
mereka dan BANG SAHALA


14
yang diampu Sahala. Saking inginnya segera bisa menulis opini, saya sampai harus ambil mata kuliah ini yang di tahun itu jatahnya diikuti oleh angkatan kakak kelas.
Sahala cukup mahir memilih tema-tema tulisan dengan sudut pandang yang berbeda. Karena itu, banyak mahasiswa akhir yang meminta tema skripsi kepadanya. Pengalamannya di luar kampus sebagai koresponden media nasional ia transfer di kelas jurnalistik.
Saya cukup terkesan dengan cara dia mencari sudut pandang suatu isu untuk bisa ditulis. Ia, misalnya, pernah bercerita tentang kebiasaan karyawan IPTN yang selalu berhenti bekerja ketika ada tamu negara berkunjung di ITPN. Tamu akan berkeliling setidaknya 30 menit melihat pesawat dibuat di IPTN. Ia berpikir ada berapa waktu yang hilang tiap tahun jika setiap ada tamu para karyawan berhenti bekerja?
Ia lantas menanyakan hal itu ke BJ Habibie, yang membawahi IPTN. Agak kaget Habibie menerima pertanyaan itu saat mengantar tamunya hendak terbang ke Jakarta, Habibie lantas menjawab santai. Ia tak mempermasalahkan itu karena pekerja paling hanya berhenti 5-10 menit saat tamu menghampiri mereka.
Tetapi, rupanya, Habibie memikirkan pertanyaan Sahala itu. Di kesempatan berikutnya saat Sahala meliput kembali IPTN, ia mendapati pengumuman di tiang-tiang di pabrik IPTN yang mengimbau karyawan tetap bekerja ketika ada tamu berkunjung.
Ia jeli dan detail melihat masalah. Itu yang ia tularkan kepada mahasiswanya. Ia misalnya juga mengajak mahasiswa membahas kasus korupsi dari sudut pandang lain. Mungkinkah bisikan istri simpanan di kamar tidur mempengaruhi suami kuat hasratnya untuk melakukan korupsi? Begitu ia mengajukan pertanyaan. Saat itu, anggaran negara disebut Soemitro bocor 30 persen. Dan kini, ketika KPK rajin menangkap pejabat korup, beberapa istri simpanan pejabat ikut terseret kasus.
Pertanyaan pendek ‘’apa pentingnya” dan “apa menariknya’’ sering keluar dari mulut dia untuk menguji usulan liputan
dari mahasiswa. Dua pertanyaan itu sering membuat banyak
1980-an


mahasiswa gelagapan mempertahankan proposal peliputan mendalam yang diajukan kepadanya. Di kelas mata kuliah Peliputan Mendalam, ia selalu memberi tugas kelompok untuk membuat liputan. Yang lolos dari pertanyaan ini, di kemudian hari bisa melihat karyanya dimuat di koran-koran nasional Jakarta, setelah berkali-kali mengalami revisi.
Dengan dua pertanyaan pendek itu, Sahala ingin tahu apa sebenarnya nilai berita yang terkandung dalam tiga tema yang diajukan oleh setiap kelompok. Jika menurut Sahala tidak penting dan tidak menarik, ia akan meminta kelompok mahasiswa itu mengajukan lagi usulan baru di luar tiga usulan yang sudah ia tolak itu.
Sahala dan Ea menjadi dosen muda yang inspiratif bagi kami, mahasiswa Jurnalistik saat itu. Dari Sahala saya mendapat cara mencarai sudut pandang dan menemukan gaya menulis yang menarik, dari Ea saya mendapat peneguhan bahwa jurnalisme perlu dibebaskan dari tendensi.
Sahala dan Ea adalah lulusan Jurnalistik ketika Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad masih bernama Fakultas Publisistik. Saya masuk ketika Fakultas Publisistik Unpad sudah berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi.
Kata Adinegoro, jurnalistik adalah kepandaian yang praktis, publisistik adalah kepandaian yang ilmiah.Sebagai kepandaian, jurnalistik disebut Adinegoro juga sebagai kesenian. Alasannya, ‘’Sewaktu reporter merumuskan berita, ... yang keluar adalah style, langgam, lenggok-lenggang, tari jiwa masing-masing yang berdasarkan kepribadian masing-masing.’’
Sahala, berbekal pengalaman dan berbagai buku, berhasil mengajari mahasiswanya menemukan gaya menulis. Ia pun selalu menjaga komunikasi dangan bekas mahasiswanya. Ia selalu member ucapan selamat kepada bekas mahasiswa yang mendapat hadiah Adinegoro atau Husni Thamrin atau hadiah lomba jurnalistik lainnya. Ketika masih menjadi koresponden, Sahala juga sering memenangi lomba jurnalistik.
Tetapi Sahala tak selamanya sempurna. Ledakan bom di Antapani, pada Ahad, 24 Desember 2000, membuatnya harus berhenti sebagai koresponden di media yang sudah ia
15
mereka dan BANG SAHALA


jalani sejak 1987. Lulus kuliah pada 1982 ia telah menjadi koresponden koran di Jakarta, tetapi Koran itu dibreidel pemerntah pada 1986, sehingga ketika pengelolanya menerbitkan koran baru pada 1987 ia bergabung kembali sebagai koresponden.
Statusnya tetap koresponden hingga akhir 2000 itu,
saat usianya sudah 47 tahun. Protes yang ia ajukan perihal pengangkatan tak juga kunjung berbuah. Sebagai koresponden yang dibayar per tulisan, ia merasakan betapa yang dituntut kepadanya adalah melulu kewajiban, minus hak sebagai karyawan. Entah karena persoalan ini, sehingga ia mengabaikan peristiwa bom menjelang Natal yang lokasinya sangat dekat dengan tempat tinggalnya itu.
Saya tak pernah menanyakan perihal ini kepadanya, tetapi secara tak sengaja mendapat penjelasan dari redaktur daerah koran tempat ia bekerja. Ia diberhentikan dari koresponden karena ia menolak penugasan peliputan peristiwa bom itu –hal yang sangat dibenci redaktur di mana pun. Mungkin saat itu, Sahala tak mau kekhusyukannya merayakan Natal diganggu. Entah.
***
16
1980-an


Dari Kepaksa ke Obsésif- Kompulsif
Rahim Asyik
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1987, Direktur Pemberitaan AyoBandung. com
Izinkan saya curcol di sini dengan semena-mena. Ada alasannya. Pertama, dengan tanpa bermaksud baper, akutu capé kalo melulu mesti nulis dengan tertib. Baru bérés ngetik satu kalimat, mata udah langsung ngecék struktur subjék, prédikat, dan objéknya, udah bener belom. Terus meriksa lagi, kata yang dipakénya udah oké dengan vérsi kamus apa kagak. Belom lagi kalo kepéngén kalimatnya merdu berima, ada nonjoknya segala, mesti jangan paké kendor mépét tésaurus. Udah kelar? Belumlah. Lalu ngerasa kurang sreg, lalu ganti ini-itu, lalu baca lagi, lalu kurang sreg lagi, lalu ganti lagi, gitu terus sampé Indonésia bubar 2030.
Semua itu sebenernya gegara Pak Sahala, iya, Pak Sahala panutanque yang dosen jurnal itu. Pak Sahalanya sih mungkin enggak ngerasa udah bikin gara-gara. Gpp juga kan masing- masing punya perasaan. Dia mikirnya kali émang digaji
negara buat nyorat-nyorét tugas mahasiswa, enggak lebih. Tapi dampak digajinya itu kerasa sampé sekarang. Liat kelebihan satu spasi kosong aja panasnya nyampé ke ubun-ubun. Gitu juga urusan kata. Padahal udah hakulyakin, yang bener itu paké ”menahbiskan”, tapi penasaran kali aja ”menisbahkan”, atau malah ”menasbihkan”? Begitu tau yang bener yang pertama,
17
mereka dan BANG SAHALA


18
akhirnya kzl sendiri, ngabis-ngabisin waktu aja bolak-balik buka kamus.
Dulu, karena enggak mau téngsin tugasnya dicorat-corét, kepaksa baca-baca buku éjaan yang disempurnakan. Eh, lama-lama malah kecanduan, akhirnya jadi rada-rada obsésif- kompulsif. Pratandanya jelas: dikit-dikit searching KBBI, dikit-dikit mirit tésaurus. Mémang ada bagusnya juga sih. Ogah kesiksa sendirian, akhirnya ikut-ikutan ngebully orang dengan cara yang sama: kritik-kritik bahasanya, nyuruh rajin-rajin buka dictionary. Biar enggak dirampatin dengan jomblo nestapa yang merana sendiri di bumi datar ini.
Alasan kedua, kata Pak Sahala nih, cara bertutur dan berbahasa seseorang mencerminkan siapa dan bagaimana dia, juga cara berpikirnya. Orang yang bahasanya serampangan,
ini kata saya, pikirannya semrawut seperti PKL di Ténabang (maaf, bukan mau ngritik kinerja gabener). Sebagai cébong bin bani taplak yang aslinya random banget, pikirannya lompat sana ménclok sini, rasanya enggak adil kalo dicap bener hanya lantaran tulisannya udah seturut kaidah pedoman umum éjaan bahasa Indonésia. Dengan kata lain, tulisan ini mencoba merépréséntasikan saya yang gabut dan merawak agar tak dituduh Rocky Gerung produsén hoaks.
Dua kali saya menyebut nama Pak Sahala. Lengkapnya sebenernya Sahat Sahala Tua Saragih, dosén légénd yang berkhidmat di Fikom Unpad yang which is sesuatu banget buat anak jurnal. Dulu, dari mulai ngampus di sela-sela kesibukan pingpong di Sékéloa taun 1987, sampai sidang di Jatinangor (kurang lebih 15 seméster. Bangga?), mahasiswa memanggilnya Pak Sahala. Denger-denger baru taun 2003 panggilannya jadi Bang Sahala. Enggak ngerti juga kenapa bukan Bung seperti Bung Karno, Bung Hatta atau Bung Tomo yang lebih sakral. Kenapa juga bukan Kaka atau malah Bro. Soalnya, dari empat arti kata ”abang” menurut KBBI, enggak ada yang bener-bener pas untuk disandingkan dengan nama dosén. Arti pertama kata ”abang” misalnya, adalah kakak laki-laki atau saudara laki-laki yang lebih tua. Saya yakin, Pak Sahala enggak punya adik yang kuliah di Fikom. Abang juga panggilan istri kepada suami (arti
1980-an


ketiga). Arti keempat, abang itu sebutan untuk kang sayur, penjual ikan, dan kang bécak. Yang paling deket ya arti kedua, panggilan ke lelaki yang lebih tua atau enggak dikenal. Soal ”lebih tuanya” bolehlah (jangan baper, Pak!), tapi soal ”enggak dikenalnya” pastilah keleru.
Walaupun saya lebih umuran dari mahasiswa sekarang
dan selisihnya dengan Pak Sahala enggak jauh-jauh amat (fyi: ada mahasiswa jurnal yang kurang ajar nebak saya seangkatan Pak Sahala, sebut saja namanya Bunga), tetaplah sulit buat
saya untuk ngebiasain nyapa langsung dengan panggilan
Bang Sahala. Tiap kali nyoba, lidah kayak keseléo. Orang lain mungkin enggak denger, tapi saya denger ada pitchy sedikit dalam pelafalannya seperti nyanyian Bianca Jodie di Indonésian Idol 2018 (maaf Brisia Lovers, tak ada maksud. Lain kali, mungkin).
Kekagokan itu terjadi mungkin karena pemahaman saya akan kata “abang” ya seperti yang di kamus itu. Bisa jadi juga karena takut kualat. Atau mungkin lantaran saya pernah kepergok Pak Sahala sedang makan bubur ayam Pak Zaénal di Pasar Simpang Dago. Apa hubungannya? Enggak ada. Mohon jangan sléding saya karena itu.
Begitu membekasnya bayangan tugas yang dicorat-corét sampé titik komanya itu sampé saya ngerasa kalo Pak Sahala itu dosén bahasa Indonésia dan bukan dosén dépth réporting. Belakangan setelah saya jadi pejabat, wahai rakyatku, perasaan kalo Pak Sahala itu dosén bahasa Indonésia mulai memudar. Mungkin karena berjarak, pikiran saya jadi lebih jernih memandang Pak Sahala. Saya kira Pak Sahala adalah dosén... bahasa Sunda.
Tunggu, jangan émosi dulu. IQ sekolam 200 yang bisanya cuma bang bong bang bong, mana ngerti soal begituan. Mesti keluar kolam butek kalo mau paham. Lagi-lagi ada alasannya kenapa saya ngomong gitu. Entah kapan belajarnya, Pak Sahala tau-tau mahir bahasa Sunda. Disebut mahir karena bahasa Sundanya lengkap dengan undak-usuknya. Dulu saya jipér ketemu Pak Sahala karena takut bahasa Indonésia saya dikoréksi. Saking jipérnya sampé mikir, jangan-jangan koran
19
mereka dan BANG SAHALA


”PR” yang tiap pagi dianter ke rumah Pak Sahala juga habis dicorat-corét. Sekarang saya jipér bahasa Sunda saya yang dikoréksi.
Bagaimana enggak jipér kalo tiap ketemu diajak ngomong bahasa Sunda halus. Belum ketemu aja, baru baca WhatsAppnya saja, bahasa Sundanya udah menéror. Gini contonya: ”Wilujeng énjing, Him! Nembé abdi nyuhunkeun tulung Tito (dosén jurnal Fikom Unpad). Anjeunna angkatan 2006. S2-na ti
UGM (magister kom sareng magister filsafat). Tésisna gé
tos dibukukeun ku penerbit Jogja. Skripsina gé sejarah pérs Indonésia. Anjeunna nuju maos tésisna Rahim. Abdi tos masihan no hp-na Rahim. Tos diwartosan ku abdi, éta tésis
badé dibukukeun ogé. Diantos wé, nya, Him, masukan ti Tito. (Abang)”.
Saya bingung antara mau ngejawab, ”Thanks, Bro” atau cukup ”Oké” aja. Akhirnya saya ketik, ”Wah, saé pisan, Pak. Hatur nuhun sateuacanna.” Bukan apa-apa, tapi mémang karena hanya itu-itunya kalimat bahasa Sunda halus yang saya kuasai dengan fasih. Btw, kurang ajar juga ya Tito. Angkatan 2006
kok magisternya dua. Miris ngebayangin temen seangkatan
saya yang enggak akan disebut namanya di sini untuk menjaga muruahnya, jangankan S-2 dobel-dobel gitu, S-1 singel aja mesti nunggu ditendang-tendang pas cuci gudang.
Alasan ketiga, Pak Sahala mesti tau, bahasa yang dipaké di sini adalah bahasa yang lazim dipaké mahasiswa-mahasiswanya sekarang di médsos. Kalo setelah tahu Pak Sahala bisa menjalani pensiun dengan tenang, ya, syukur alhamdulillah. Kalo tidak, kembali ke syukur alhamdulillah.
Sebagai penutup, saya sebenernya terobsési nulis buku tentang jurnalistik duét dengan Pak Sahala. Cuma, akutu malu ngomongnya mesti gimana.
***
20
1980-an


1990-an
21
mereka dan BANG SAHALA


Pak Sahala
Feby Indirani
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1997, Penulis yang kini melanjutkan studi di University College London, Inggris
Nama Pak Sahala sudah tersebar luas, jauh sebelum saya akhirnya memilih jurusan Jurnalistik dan mengikuti kelasnya. jurusan Jurnalistik sendiri jadi ‘angker’ bagi banyak teman seangkatan saya yang ketika itu sedang menimbang jurusan apa yang akan dipilih. Masuk Jurnalistik artinya siap dengan tugas kuliah yang menumpuk dan dosen yang ketat, dan Pak Sahala lah nama yang paling banyak disebut dalam konteks tersebut.
Buat saya ketika itu sih, tidak ada pilihan lain selain jurusan Jurnalistik (ehem).
Saya sempat mengalami di mana suasana belajar mengajar terlalu santai di FIKOM Unpad. Dosen yang kerap absen, bahan kuliah yang difotokopi dan diwariskan turun-temurun entah sudah untuk berapa semester, kelas yang lagi-lagi ditiadakan dan berakhir dengan nongkrong di kantin. Begitu seringnya kelas kuliah tergantikan acara musik atau pertandingan basket dadakan. Jangan salah, saya suka sekali musik, juga nonton basket. Itu seru, asyik, dan menyenangkan. Tapi kalau bisa beberapa kali dalam satu bulan, saya jadi bertanya-tanya ini kampus atau sekadar tempat main? Tak heran kala itu sampai ada plesetan kepanjangan Fikom menjadi Fakultas Ilmu
22 Olahraga dan Musik.
1990-an


Tapi mungkin saya saja yang nerd dan kurang gaul. Tentu saja ada teman-teman yang senang dengan keadaan kampus yang sangat santai itu.
Maka ketika waktunya memilih jurusan, Jurnalistik adalah pilihan yang paling masuk akal. Reputasi sangar Pak Sahala tidak menghentikan langkah saya.
Kenyataannya betul, beliau memang sangar.
Hehe..bercanda. Pak Sahala justru tidak pernah marah. Nada suaranya tidak pernah tinggi. Beliau selalu santun dan murah senyum. Yang membuat kelasnya menjadi sangar memang karena tugas yang ‘banyak’ dan Pak Sahala memang mengampu beberapa mata kuliah. Banyak di sini sebetulnya kan relatif lebih banyak daripada tugas mata kuliah lain.
Tapi setelah dipikir-pikir, banyaknya tugas tersebut memang merupakan konsekuensi logis dari mata kuliah tersebut yang memang semuanya menuntut banyak latihan. Dalam mengikuti mata kuliah Penulisan Feature misalnya, mau tidak mau ya kita memang harus banyak menulis.
Tidak ada jalan pintas.
Tugas-tugas dari mata kuliah yang diampu Pak Sahala memang membuat saya mau tidak mau turun ke ‘lapangan’ untuk liputan, mengamati, mewawancara narasumber, selain tentu saja banyak membaca dan berlatih menulis. Menjadi mahasiswa di kelas-kelas Pak Sahala ini di kemudian hari sangat berguna untuk saya menjalani karier sebagai jurnalis di media nasional. Dalam proses mengerjakan tugas-tugas kuliah itu, tanpa saya sadari saya sedang memulai jam terbang sebelum betulan masuk ke dunia kerja.
Ketika bekerja di salah satu media nasional di Jakarta, seorang teman reporter saya -- seorang lulusan salah satu universitas terbaik di Indonesia dengan nilai IPK yang tinggi-- pernah sampai mengalami stres dan jatuh sakit. Setelah digali lebih dalam, ternyata kesulitan yang dihadapinya adalah karena ia merasa tegang dan tertekan bila berhadapan dengan narasumber. Saat mendengar cerita itu saya terkejut, karena tidak pernah menyangka bisa ada kasus seperti itu. Karena bagaimanapun wawancara adalah bagian tak terpisahkan
23
mereka dan BANG SAHALA


24
dari kerja jurnalistik. Kalau teman saya itu begitu takutnya melakukan wawancara, bagaimana ia bisa bertahan?
Tapi wawancara memang merupakan tantangan tersendiri.
Bagi yang belum pernah menjalaninya, mungkin menganggap wawancara adalah kerja yang mudah, cuma nanya-nanya saja kan? Padahal sebetulnya wawancara adalah kerja yang serius dan membutuhkan banyak persiapan,
baik pengetahuan dan kerap juga mental. Karena siapapun narasumber yang kita hadapi, kita mesti siap mengajukan pertanyaan yang tepat. Kita juga mesti siap memposisikan diri setara dengan mereka. Bayangkan misalnya ketika kita sebagai jurnalis akan mewawancarai presiden atau pengusaha legendaris atau seorang aktor ternama. Waktu mereka biasanya sempit
dan kita mesti bisa memilih pertanyaan yang paling pas untuk memancing jawaban yang bermutu. Atau bayangkan ketika kita mesti mewawancarai seorang terpidana mati, bagaimana kita mesti bersikap kepadanya?
Semakin banyak saya melakukan wawancara, saya semakin menyadari bahwa bertanya sungguh bukan pekerjaan yang boleh diremehkan. Karena hanya dengan pertanyaan yang baguslah maka pengetahuan dan pengalaman narasumber
bisa tergali maksimal, sehingga publik juga bisa mendapatkan informasi yang terbaik.
Maka kalau ada wartawan baru yang gugup dalam mewawancarai narasumber, itu tentu hal yang manusiawi. Latihan-latihan yang diberikan Pak Sahala itu membuat kita bisa mulai berlatih untuk menghadapi berbagai narasumber dengan karakter dan latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun kita kemudian tidak memilih menjalani profesi sebagai wartawan latihan wawancara tetap berguna karena membiasakan kita berhadapan dan berinteraksi secara berkualitas dengan orang lain.
Pak Sahala juga memberikan perhatian terhadap detail seperti typo, sesuatu yang selintas mungkin dianggap remeh oleh banyak orang.
“Hati-hati, salah ketik satu huruf saja maknanya bisa berbeda sekali,” demikian ia selalu mengingatkan. Kata ‘di’
1990-an


dan ‘ke’ yang disambung untuk menunjukkan kata depan atau dipisah karena menunjukkan tempat tak akan pernah luput dari koreksinya.
Beliau juga memberikan teladan yang sangat penting, yaitu tidak pernah terlambat. Bukankah wartawan (dan semua profesi lain pun) mesti menepati tenggat? Untuk bisa masuk kelasnya, toleransi telat maksimal adalah 15 menit. Dan itu membuat saya beberapa kali tidak bisa masuk kelasnya. Tapi tenggat adalah tenggat yang mau tidak mau mesti ditepati.
Pak Sahala dengan dedikasinya yang tinggi pada dunia pendidikan telah menetapkan standar bagi jurusan Jurnalistik Unpad, sesuatu yang terus berjejak pada diri saya juga ribuan mahasiswanya selama puluhan tahun masa baktinya.
Pak Sahala sejak saya kenal hingga baru-baru ini masih seorang penulis yang produktif dengan tulisannya yang tersebar di berbagai media massa. Setiap saya melihat tulisannya di media, saya selalu teringat tentang sosoknya yang tidak pernah lelah berkarya dan memberikan yang terbaik untuk dunia pendidikan. Sesuatu yang saya percaya tetap akan beliau lakukan dengan atau tanpa institusi formal.
Selamat memasuki babak baru, Pak Sahala. Tidak ada kata pensiun untuk Pendidik Sejati seperti Anda.
***
25
mereka dan BANG SAHALA


SSTS
Salman Aristo
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1994, Sutradara dan penulis skenario
Tepat seminggu yang lalu dari tulisan ini dibuat,
di kelas workshop skenario, saya masih mengutip omongan dosen favorit saya Sahat Sahala Tua Saragih. Ini 2018. Saya mengenal beliau ketika masuk kuliah pada 1994. Hitungan Anda betul, 24 tahun kemudian, saya masih mengutip Pak Sahala sebagai sumber inspirasi saya. Tunggu, 24 tahun kemudian dan saya mengutipnya di kelas workshop skenario? Apa hubungannya dengan dosen jurusan jurnalistik itu?
Begini,
Pada 1994, saya sampai di Jatinangor. Di dinginnya Papandayan dan bentakan-bentakan palsu para senior di tengah kehangatan Ospek Pra-OJ jurusan jurnalistik, beberapa senior membisikkan: “Hati-hati nanti dengan SSTS.” Saya
jadi penasaran karena napas bisikannya beraroma ‘horor’. Begitu masuk perkuliahan, saya paham itu akronim dari
nama Pak Sahala. Dan saya mengerti kenapa SSTS dibuat jadi ‘menakutkan’.
Perkuliahan beliau ternyata begitu menuntut, minimal pada saat itu. Beliau mengatur kelas seperti laiknya ruang redaksi. Lengkap dengan disiplin tenggat yang kejam tanpa ampun.
Beliau tidak peduli muridnya masih kinyis-kinyis bebas 26 dari umur ABG dan belum pandai menata prioritas dan
1990-an


tanggung jawab. Tugas buruk, dikembalikan dengan coretan khas pemimpin redaksi kepada jurnalis profesional. Belum lagi penciumannya yang bagai anjing pelacak buat ‘kutipan’ tulisan para murid yang putus asa akibat tak sanggup menembus sumber.
Saya, walau waktu SMA aktif di pers Abu-Abu, ikut kelimpungan. Jungkir balik berhadapan dengan narasumber persis seperti wartawan betulan berjibaku dengan kelakukan sumber beritanya. Macam-macam. Dari mulai dipasangi weker kecil sepanjang wawancara, sampai belajar sabar mendengarkan orang yang baru kena stroke bicara selama dua jam penuh untuk enam pertanyaan.
Salah satu puncaknya adalah ketika ada satu tugas perkuliahan yang membuat saya harus mengorek data kecelakaan selama lima tahun di Bandung demi tulisan soal efektifitas UU Lalu Lintas saat itu. Sebuah usulan tugas yang dengan sok tahunya saya usulkan di kelas dan disambut Pak Sahala dengan antusias. Seminggu saya jalani tanpa hasil, sebab jelas itu data yang ditutupi oleh semua pihak formal yang saya dekati.
Saya pun mengambil jalur personal. Berkeluh kesah dengan Pak Sahala sekaligus merayu ganti tugas. SSTS cuma memajang senyum khas yang sampai sekarang masih menempel di ingatan. Dengan suara yang buat saya terlalu lembut untuk orang Batak kebanyakan, dia bilang: “Kamu lebih memilih jalur informal sama saya dibanding cari jalur informal buat beritanya?”
Touche. Jleb, kalau kata milenal sekarang. Saya pun
putar otak. Anak muda kok ditantang begitu. Akhirnya saya mendapatkan data lewat para Polwan pendengar setia radio tempat saya magang pada saat itu. Saya memanfaatkan semua trik yang saya bisa. Setumpuk tebal data sulit berhasil saya dapatkan. Bangga sekali rasanya. Nilai saya buat mata kuliah itu? B. Karena deadline-nya lewat beberapa hari. Sadis.
Lihat bagaimana saya masih bisa mengingat semuanya dengan gembira? Karena sekarang, semua itu, saya ingat sebagai salah satu modal utama saya menjadi pekerja film saat ini. Nasib membawa saya masuk industri perfilman nasional. Awalnya
27
mereka dan BANG SAHALA


menjadi penulis skenario lalu produser dan sutradara. Itulah kenapa saya punya kelas workshop skenario. Dan
yang saya ajarkan salah satunya adalah disiplin terhadap tenggat yang saya dapatkan dari godokan SSTS. Tak cuma itu, mentalitas riset dan kegigihan menggali materi juga jelas saya dapatkan dari dosen Saragih ini.
Soal kegigihan dan riset, dengan metode jurnalistik yang sudah mendarah daging, saya jadikan itu sebagai skill khas yang membedakan saya dari penulis lain. Bahkan saya tidak pandang bulu, sedang menggarap cerita remaja, komedi romantis, atau drama sejarah, semua saya sikapi dengan ketajaman yang sama.
Juga urusan menghadapi revisi ber-draft-draft dalam proses penulisan skenario. Saya menjalaninya nyaris tanpa kaget dan drama apa pun juga sejak awal karir. Nggeus biasa.
Satu yang lebih penting lagi, integritas terhadap apa yang kita tulis. Walau pun saya lebih banyak bergelut dengan fiksi, tapi tanggung jawab terhadap apa yang mau disampaikan lewat tulisan, disuntikkan Pak Sahala di awal masa young adult saya dan masih mengalir dalam darah saya saat ini, lalu saya tularkan ke setiap peserta workshop saya.
SSTS. Singkatan yang sedap dengan rima yang nyaris puitis. Sekarang saya dengar, beliau mau pensiun. Dalam hati saya membantah: Mana mungkin?! Ajarannya masih terus bakal mengalir. Lintas dunia, lintas profesi. Dan sudah jelas, saya bukan murid beliau satu-satunya yang terinspirasi macam begini.
Jadi, saya tidak ingin mengucapkan selamat beristirahat. Selamat membuka bab baru, SSTS!
***
28
1990-an


Dosen yang Dingin, Kawan yang Hangat
Wendiyanto Saputro
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1993, Pemimpin Redaksi KumparanBISNIS
Sahat Sahala Tua Saragih. Namanya sudah saya dengar sejak hari-hari pertama masa orientasi kampus di Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Padjadjaran (Unpad). Banyak kabar beredar soal Pak Sahala, begitu dia disapa, tapi tak satu pun yang menyenangkan dan menenangkan.
“Dosen killer,” begitu salah satu kabar yang beredar dari mulut ke mulut. “Kalau tak siap dengan usulan tugas yang bagus, lebih baik enggak usah ikut perkuliahannya,” kabar
lain yang berembus dari para senior di jurusan. “Harus siap mental, karena setiap detail akan ditelaah. Kesalahan kecil saja, berarti tugas harus direvisi,” kabar yang lain lagi, seperti hendak menyempurnakan kegentaran para mahasiswa baru.
Beberapa cerita yang beredar soal Pak Sahala, seperti merusak kenyamanan hari-hari awal berkuliah di Kampus Sekeloa. Hingga 1993, mahasiswa FIKOM masih menikmati punya gedung kuliah di tengah kota, di kawasan Sekeloa, tak jauh dari Kampus Unpad di Jl. Dipati Ukur, Bandung. Ini berbeda dengan anak-anak FISIP, Sastra, atau Pertanian dan Peternakan yang sudah lebih dulu hijrah ke Kampus Jatinangor.
Apalagi Kampus Sekeloa, tak jauh dari tempat tinggal saya. Bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Saya pun ingin tak percaya dengan semua kabar tentang sosok Pak Sahala itu.
29
mereka dan BANG SAHALA


30
Setidaknya dengan begitu, saya tak perlu menakutkan sesuatu yang belum benar-benar dihadapi dengan mata kepala sendiri. Apalagi saya dan semua mahasiswa Jurnalistik, tak punya pilihan lain kecuali pada waktunya harus berhadapan dengan Pak Sahala.
Soalnya, mata kuliah yang dipegang Pak Sahala merupakan mata kuliah wajib jurusan. Terlepas dari itu, apalah jadinya lulusan Ilmu Jurnalistik tanpa mata kuliah yang dipegang
Pak Sahala? Sebut saja di antaranya adalah Penulisan Berita, Wawancara, Penulisan Karangan Khas (Feature), Penulisan Artikel, dan Penulisan Laporan Mendalam (In-depth Reporting).
Masa pembuktian pun tiba, ketika kami mahasiswa Jurnalistik angkatan 1993 untuk pertama kalinya mendapat mata kuliah yang dipegang Pak Sahala: Wawancara. Celakanya, mata kuliah pertama bersama Pak Sahala itu kami terima di semester II, yang mulai kami jalani di Kampus Jatinangor.
Kampus lama FIKOM di Sekeloa dengan Jatinangor, terpisah jarak sekitar 25 kilometer. Untuk menjangkaunya, anak-anak Bandung harus menggunakan bis kota Damri. Saat itu masih sedikit mahasiswa yang menggunakan sepeda motor, apalagi mobil. Termasuk saya.
Dengan bis kota Damri, jarak sejauh itu plus macet, rata- rata harus ditempuh selama 1 hingga 1,5 jam. Belum lagi,
dari pangkalan bus kota Damri di Jatinangor, masih harus menyambung menggunakan Angkot untuk sampai ke kampus Unpad.
Selain jarak yang jauh dan waktu tempuh yang lama dari kawasan Dipati Ukur, Kampus FIKOM di Jatinangor pada masa itu masih gersang. Tak terlalu jauh berbeda dengan area fakultas lain, yang sudah lebih dulu menempati kampus di Jatinangor ini. Mendapatkan mata kuliah dari dosen yang bikin gentar,
di tengah suasana kampus yang enggak asyik itu, tentulah “sesuatu” banget.
Namun tak ada alasan bagi peserta mata kuliah Pak Sahala, untuk datang terlambat. Hal itu sudah dia wanti-wanti di pertemuan pertama perkualiahannya. Mau pakai alasan
1990-an


Click to View FlipBook Version