The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ipitzulfan, 2019-05-08 22:15:15

mereka dan BANG SAHALA

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

mengisi buku kuning serta target studi di semester itu (yang kemudian terus berulang tiap perwalian, namun tak pernah sekalipun target tercapai). Setelah pertemuan itu, saya tidak pernah mengobrol lagi dengan Abang. Beberapa bulan setelah itu, saya berpapasan dengan Abang di kampus. Tanpa saya duga, Abang menyapa saya, menyebutkan nama saya sambil berbicara Bahasa Sunda. Saya kaget sekaligus bahagia, saya diingat oleh dosen yang baru sekali bertemu dan mengobrol, itu pun tidak lama.
Produktivitas Abang tentu mempunyai andil atas baiknya daya ingat Abang. Di kampus, tiap berpapasan dengan mahasiswa Abang selalu menyapanya dan sedikit mengobrol. Di jurusan pun Abang sering tampak sedang membaca koran atau buku. Abang pun kerap terlihat sedang asyik menatap layar komputer di ruangannya. Membaca berita daring atau menggunakan Facebook, sambil memutar lagu-lagu melalui YouTube. Abang pun produktif menulis opini-opini di surat kabar. Cukup produktif dibanding dosen-dosen lain. Dapat dilihat di majalah dinding prodi, banyak kliping opini Abang yang tertempel di sana. Produktifnya Abang dalam menulis ini diniliai sebagai salah satu alasan kuatnya ingatan Abang.
“Tapi tahun kian kelabu. Makna gugur satu-satu, dari pengetahuanku, dari sleuruh pandanganku, pendengaranku, penilaianku.”
Saya yakin bukan saya sendiri yang merasa lesu saat menjalani mata kuliah Abang, tahun demi tahun. Semakin akhir target saya semakin rendah, sebatas mengumpulkan
tugas dengan kualitas apa adanya dan tidak bangkar (absensi melebihi batas). Pokoknya tidak sampai harus mengulang,
itu saja. Semakin hari pun semangat saya membaca buku
yang menjadi tugas Abang makin pudar. Padahal buku yang disuguhkan semakin ke sini semakin menarik (setelah saya baca ulang, setelah melewati semua matkul Abang). Saya dan kawan- kawan pun sebenarnya sudah diwanti-wanti bahwa semua buku, semua materi, semua tugas akan memberi manfaat tersendiri di
181
mereka dan BANG SAHALA


182
kemudian hari, namun tetap saja sulit.
Sempat suatu waktu di meja bundar para mahasiswa
membahas metode perkuliahan Abang. Metode apresiasi- presentasi-materi-revisi dirasa monoton apabila dilakukan terus menerus. Namun kami pun menyadari lewat cerita yang pernah disampaikan Abang bahwa baginya metode ini merupakan metode yang berhasil meningkatkan kualitas mahasiswa Jurnalistik sebelumnya (saya lupa persisnya angkatan berapa), sehingga metode ini terus digunakan Abang. Tentu tidak ada metode pengajaran yang sempurna. Tidak semua mahasiswa merasa pas dengan metode ini. Meskipun begitu, saya pribadi mengapresiasi metode ini, karena memang sangat menekan kami untuk melatih kemampuan membaca, analisis dan menulis. Serius. Ini bukan argumentasi untuk terlihat baik di mata dosen wali.
Saya sendiri sering merasa menyesal tidak membaca buku- buku yang ditugaskan Abang pada waktunya. Kalau saja saya membaca buku itu lebih awal, saya yakin kualitas tugas saya tidak akan ripuh, dan isi kepala saya akan lebih ‘canggih’ saat membaca buku-buku lain, setelahnya.
Terlepas dari berbagai macam pandangan terhadap metode kuliah Abang itu, salah satu bahasan kami di meja bundar adalah siapa yang dapat meneruskan Abang setelah ia pensiun. Tentu akan ada dosen pengampu baru di mata kuliah Abang itu, tapi penamaan “Mata Kuliah Abang” itu sendiri bukan semata- mata karena Abang dosennya, dan akan menjadi “Mata Kuliah Usenk” apabila diganti oleh Pak Sandi. Metode pengajaran dan nilai yang diajarkan Abanglah yang membuat itu menjadi “Mata Kuliah Abang”. Dikhawatirkan nilai dari perkuliahan itu tidak diturunkan seperti bagaimana Abang menurunkannya.
Tanpa bermaksud mengglorifikasikan Abang, saya yakin para mahasiswa Jurnalistik atau siapapun yang tahu bagaimana Abang mendidik mahasiswanya akan sepakat, bahwa Abang berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai fundamental kepada mahasiswanya. Abang membentuk para calon jurnalis untuk memegang teguh ideologi jurnalisme, berpedoman pada 10 elemen jurnalisme dan menjunjung tinggi etika. Abang
2010-an


begitu telaten membentuk para mahasiswanya.
Saya berharap nilai-nilai yang diajarkan Abang dapat
terus mengalir dari generasi ke generasi, dan diteruskan oleh para pengajar di Prodi Jurnalistik. Pewarisan nilai tersebut merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi Abang. Pun buku ini, yang ditulis untuk Abang sebagai bentuk apresiasi kami, yang pernah digodok di kawah candradimuka oleh Abang. Saya merasa senang dapat menjadi bagian dari antologi ini, karena saya berkesempatan untuk menuliskan kisah Abang yang legendaris di Jurnal ini.
Selain buku ini, saya ingin mengusulkan satu saran kepada Prodi Jurnalistik. Sebagai bentuk penghargaan kepada Abang, mungkin salah satu ruangan di prodi dapat diberi nama menjadi “Ruang Sahala Tua Saragih”. Di dalamnya disimpan koleksi buku Abang serta galeri merchandise HMJ yang bergambarkan wajah Abang. Dan di salah satu sisi ruangan dituliskan mural besar bertuliskan:
“Apresiasi Anda dangkal, saudara!”
***
183
mereka dan BANG SAHALA


Kolega
184
Penutup: Ketua Himpunan Mahasiswa Jurnalistik
RIzki Maulana
Ketua Himpunan Mahasiswa Jurnalistik FIKOM Unpad Periode 2018/2019
Sahala adalah Legenda.
Namanya memang sudah menjadi legenda di FIKOM UNPAD. Hampir di setiap jurusan mengenal tokoh yang sering disebut oleh mahasiswanya dengan panggilan “Abang Sahala”. Sampai-sampai pedagang di kantin pun mengenalnya. Saya pernah mendapatkan cerita dari salah satu pedagang mengenai pengalamannya bersama Bang Sahala. Saat itu tokonya masih menjual koran dan Bang Sahala menjadi salah satu pelanggan setia koran tersebut. Katanya untuk dibaca dan dijadikan tugas untuk “adik-adiknya”.
Koran atau lebih tepatnya media cetak memang melekat pada dirinya, hampir setiap mata kuliah yang diampu olehnya menggunakan surat kabar untuk dijadikan tugas. Mulai dari Reportase, Penulisan Berita Khas (PBK), Penulisan Artikel
dan Tajuk Rencana (PA-TR), dan Penulisan Berita Mendalam (PBM). PA-TR sekiranya menghasilkan 200-an tugas dalam satu semester, itu termasuk laporan baca, apresiasi buku, ujian akhir semester, latihan dan liputan. Jika dihitung-hitung jumlahnya sangat banyak untuk satu semester, tentu hal tersebut selalu menjadi kenangan sendiri bagi para mahasiswa.
Hampir di setiap angkatan pasti mengeluhkan bagaimana


sulitnya menyesuaikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan rentetan tugas yang diberikan Bang Sahala. Kopi dan berbagai pelengkap lainnya setia menemani di kala tangan saling beradu untuk menghasilkan paragraf demi paragraf tugas Bang Sahala.
Sebagai mahasiswa Jurnalistik kadang ada rasa iri
hati kepada teman-teman yang bisa menghabiskan malam minggunya dengan bersenang-senang seperti menonton pertandingan sepak bola di warung kopi dengan menyantap bakwan berbalut minyak atau sekedar menonton series favorit di layar laptop dengan ditemani bantal kesayangan. Semua itu berbanding terbalik dengan kami mahasiswa Jurnalistik. Setiap malam minggu seakan menjadi momok di mana kami harus melewatkan malam yang dapat dikatakan menjadi malam penuh pergolakan dengan tugas Bang Sahala. Tujuannya tentu satu yaitu tidak mengulang matakuliah yang diampunya dan tentu saja tidak mendapatkan tulisan “apresiasi Anda dangkal saudara”.
Bagi beberapa orang kerja keras dalam mengerjakan tugas Bang Sahala saja tidak cukup. Sudah susah-susah menahan kantuk tetapi pada hari H telat kelas dan tugas tidak bisa dikumpulkan. Belum lagi sebelum berangkat ke kampus harus menuju gerai percetakan dan terkadang bertemu dengan teman seperjuangan yang sedang tergesa-gesa mengejar waktu
185
mereka dan BANG SAHALA


agar tidak terlambat. Namun apakah semua perjuangan yang dilakukan itu sepadan?
Banyak pantangan kata-kata yang keluar dari mulut Bang Sahala ketika mengajar di kelas. Seperti, kata “toilet” yang sebenarnya “jamban”, “kalau misalnya”, dan masih banyak lainnya. Acap kali dengan tidak sengaja mahasiswa menerapkan itu dalam kehidupan sosialnya.
Segala sesusatu yang berkaitan dengan Bang Sahala dapat diambil manfaatnya. Dalam lingkup HMJ pun dampak itu sangat dirasakan. Saat rapat kerja HMJ saya tidak sengaja mengucap kata yang haram diucapkan saat mengikuti kelas Bang Sahala, yaitu “Kalau Misalnya”. Lalu para pengurus HMJ kompak menyambut dengan gelak tawa atas apa yang saya ucapkan. Hal kecil tersebut tentu saja menandakan bahwa ilmu yang ada di dalam kelas Bang Sahala diaplikasikan juga dalam berorganisasi. Selain itu, pada saat pengurus inti HMJ sedang rapat bulanan di sekre, ada yang izin ke toilet dan lagi-lagi beberapa pengurus inti menimpali perkataannya dengan ciri khas seperti Bang Sahala. Tentu saja hal tersebut memancing gelak tawa dan mencairkan suasana.
Divisi Kewirausahaan HMJ pun sudah pernah membuat merchandise khusus yang bertemakan Bang Sahala. Tentunya dengan karikatur wajah Bang Sahala sambil memegang kertas
186 dan kata-kata khas yang sering beliau lontarkan. “Apresiasi Anda
Kolega


Dangkal Saudara”. Tahun ini HMJ akan kembali mengeluarkan merchandise yang bertemakan Bang Sahala, tentunya, besar harapan saya dan rekan-rekan HMJ lainnya agar hal tersebut tetap mengingatkan kita para anggota HMJ dengan bakti beliau selama mengajarkan para mahasiswanya.
Suatu ketika saat beberapa rekan HMJ sedang berbincang santai dengan Bang Sahala di Prodi, Beliau mengungkapkan keresahannya. Ia mengatakan. “Saya heran mengapa mahasiswa sekarang hanya beda tingkat satu atau dua tahun saja, manggilnya “Kang” atau Teteh”.
“Kalau di zaman saya kuliah, memanggil dengan nama saja itu sudah cukup walaupun perbedaan usia sampai 7 tahun. Hal tersebut membuat kita menjadi lebih akrab”
Mendengar perkataan tersebut saya mencoba mencerna baik-baik apa yang dimaksudnya. Mungkin saja Bang Sahala ingin kita para mahasiswanya lebih akrab satu sama lain. Umur tidak menjadi sekat atau jarak untuk bisa saling mengakrabkan diri. Tentunya hal tersebut sesuai dengan apa yang tercantum di Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD ART) HMJ, dimana azas dari HMJ adalah kekeluargaan.
***
187
mereka dan BANG SAHALA


188
Kolega


189
mereka dan BANG SAHALA


Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar
itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.
Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang
dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.
Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.
190
Penerbit:
IKA Jurnalistik FIKOM Unpad dan Cenel Aura Media
mereka dan
BANG SAHALA 2019
Kolega


Click to View FlipBook Version