The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ipitzulfan, 2019-05-08 22:15:15

mereka dan BANG SAHALA

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

menimbang permasalahan dan menghindarkan diri dari praktik jurnalisme ludah atau talking news.
Tanpa pengetahuan memadai, wartawan bisa dikelabui narasumber, baik dari kalangan pejabat pemerintahan, politikus, direksi BUMN, hingga pengurus asosiasi. Misalnya, tanpa memahami konsep sekuritisasi, Anda bisa terhasut omongan narasumber yang menyebut sekuritisasi adalah penjualan aset negara. Anda juga menilai operator pelabuhan tidak becus menekan angka dwelling time bila tak tahu proses itu mandek di kepabeanan.
Pisau analisis, menurut saya, perlu terus diasah karena tren bidang kehumasan saat ini sudah bisa menghasilkan kualitas siaran pers yang amat baik dengan data pendukung meyakinkan. Rilis kinerja ini terutama dibuat oleh emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), baik perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara.
Di samping itu, era media sosial yang menyediakan panggung bagi para penggaung (buzzer) membuat sumber informasi menjadi variatif. Twitter, misalnya, telah menjadi lahan bagi semua kalangan untuk menyampaikan pendapat, mulai dari kritikus multisektor, menteri, eksekutif BUMN, hingga presiden. Ini juga menjadi tantangan bagi wartawan masa kini untuk bisa menimbang informasi secara bernas.
Selain Twitter, Whatsapp juga telah menjelma menjadi wahana penyebaran informasi yang populer, mulai dari foto, video, hingga dokumen rahasia. Derap jurnalisme daring yang cepat juga jadi tantangan agar tidak menanggalkan akurasi. Di kelas, Abang kerap mewanti-wanti agar kami menyimak dengan saksama dan memuat laporan yang akurat. Akurasi, akurasi, dan akurasi.
**
“Gue harus pake EYD gah sih kalau mau ngomong sama pak Sahala?” pertanyaan ini meluncur dari seorang kawan sebelum dia menghadap Abang untuk pertama kalin. Dia mengaku gugup karena reputasi Abang yang masyhur sebagai “Polisi Bahasa” membuatnya harus bicara dengan tata bahasa
131
mereka dan BANG SAHALA


132
yang baik.
Seorang teman angkatan 2007 mengaku mulai belajar
Bahasa Indonesia sesuai kaidah setelah Abang memberikan komentar tulus. Teman seangkatan itu menulis di facebook, 18 Mei 2009 “jadi inget pa sahala, “b indonesia kmu dapet nol besar dari saya”
Abang memang menekankan logika bahasa dan penggunaan Bahasa Indonesia sesuai kaidah agar menjadi modal berharga saat berkarya. Penggunaan bahasa yang centang perenang selalu menjadi topik di kelas. Di luar kelas, Abang bahkan suka bergurau; “Dek, sudah makan siang?”
“Sudah, Bang.”
“Lho, memang siang bisa dimakan?”
Topik yang sering bikin gemas adalah perbedaan di- sebagai
kata depan dan imbuhan; disambung atau dipisah. Di kalangan umum, penggunaan di- sebagai kata sambung sering salah kaprah meski sebagian sudah menggunakan dengan tepat sesuai fungsinya.
Pengunaan bahasa yang tidak apik juga menjadi salah satu penyebab tugas-tugas kami harus direvisi. Kami memang belajar bahasa sekaligus ketabahan. Kami tabah karena acapkali tidak kapok meski sudah direvisi masih juga salah dan harus direvisi lagi.
Kritik adalah konsultasi gratis dan wartawan bukanlah sosok malaikat yang suci. Saya menilai, sikap Abang yang suka mengkritik turut menguji kami agar tidak anti terhadap pendapat orang lain.
Abang juga mendorong kami untuk menyampaikan kritik maupun gagasan lewat artikel opini. Dulu, di jurusan jurnalistik ada majalah dinding khusus yang memajang artikel opini mahasiswa yang sudah terbit. Sekarang, Abang juga suka posting karya mahasiswa maupun karya Abang sendiri di halaman facebooknya.
Kritik Abang tidak melulu disalurkan lewat artikel. Abang juga pernah masygul terhadap pejabat teras kampus di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM).
Kemasygulan itu muncul sejalan dengan wacana Unpad
2000-an


menjadi World Class University (WCU). Ternyata, pejabat teras kampus juga terjangkit apa yang disebut oleh Remy Sylado “keminggris”. Abang lantas mengubah WCU menjadi UKD, Universitas Kelas Dunia dalam sebuah judul buletin.
Pada medio 2010, saya dan dua teman lain memang diminta Abang untuk bergabung di Warta LPPM, sebuah buletin terbitan LPPM Unpad. Di Warta LPPM yang oleh kami bertiga disebut Rolling Stones Unpad--, Abang didapuk menjadi Pemimpin Redaksi. Untuk pekerjaan yang mendapat imbalan, Abang adalah Pemred pertama saya.
Penerbitan buletin yang hanya--dan bersifat nirlaba-- mengandalkan biaya operasional dari kampus terkadang seret. Satu hal yang amat berkesan bagi saya, Abang tak segan untuk menalangi ongkos liputan awak redaksi.
**
Pada awal Februari 2018, saya mendengar kabar dari rekan di kampus; Abang hendak pensiun. Kabar itu sesungguhnya tidak mengagetkan. Sebelum Abang pensiun pun, Abang sudah jadi legenda hidup di jurusan jurnalistik.
Abang kini telah pensiun, tapi apa yang diajarkan saya yakin akan tetap kekal, selama jurnalisme tetap hidup. Menurut Abang, pekerjaan wartawan sesungguhnya abadi walau platform media cetak perlahan mulai bergeser dan diramal akan tergantikan digital.
Merujuk pada survei Nielsen1, media cetak masih mampu mempertahankan posisinya dengan penetrasi pembaca 8% dan dibaca 4,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 83% membaca koran karena nilai berita yang dapat dipercaya.
Survei Nielsen yang dilakukan di sebelas kota itu mewawancarai 17.000 responden dengan populasi sebanyak
54 juta. Survei juga menunjukkan, media massa harus mulai mempertimbangkan digitalisasi untuk menarik generasi Z yang berusia 10-19 tahun. Nielsen menyebut, Generasi Z adalah konsumen masa depan.
1 http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2017/MEDIA-CETAK-MAMPU- MEMPERTAHANKAN-POSISINYA.print.html
133
mereka dan BANG SAHALA


Abang yang sudah mengajar sejak 1987 sudah menyemai benih dan sebagian telah berbuah di dunia jurnalisme dan bidang lain. Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Masa pengabdian Abang mencakup rentang tahun kelahiran Generasi Y dan Generasi Z sekaligus.
Mereka yang pernah menjadi anak didik Abang, saya yakini menjadi insan yang menggerakkan roda zaman di masa kini dan di masa depan. Atas pelajaran yang telah diberikan oleh Abang, saya mengucapkan mauliate godang.
***
134
2000-an


Pemahat Ulung
Deandra Syarizka
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2008. Penggiat Teater. Jurnalis Harian Ekonomi Bisnis Indonesia.
Seringkali saya dihadapkan pada pertanyaan “Apa
yang membuatmu jadi jurnalis?” atau “Mengapa
tertarik menjadi jurnalis?”. Dan setiap kali itu pula,
saya selalu memberikan jawaban pragmatis, yaitu
karena saya ingin bekerja sesuai keilmuan dan
kompetensi yang saya punya. Sesederhana itu. 135
Namun sejauh ini, belum ada yang bertanya “Siapa
yang mendorongmu menjadi jurnalis?” atau “Siapa yang menginspirasimu menjadi jurnalis?” Bila mendapatkan pertanyaan itu, saya sudah memiliki jawabannya, salah satunya adalah Sahala Tua Saragih, atau yang akrab disapa Bang Sahala.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengecilkan peran dosen- dosen lain yang berjasa dalam membentuk spirit jurnalis dalam diri saya, seperti Bu Titin, Bu Nonon, Pak Dadang, Pak Dekan, Pak Dandi, Pak Rana, Pak Abie, Pak Deddy Mulyana, Pak Aceng, dan masih banyak lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu per satu. Setiap dari mereka adalah pemahat andal, yang memiliki karakter tersendiri dan perannya masing-masing dalam membentuk saya yang seperti tanah lempung ini untuk menjadi seorang jurnalis.
Dan tentu saja Bang Sahala tidak menitahkan secara
mereka dan BANG SAHALA


136
langsung kepada saya untuk menjadi jurnalis ketika lulus. Bahkan barangkali beliau pun sukar mengingat pribadi saya, karena saya bukanlah seorang mahasiswa jurnalistik yang istimewa saat kuliah (2008-2013). Apalagi bila mengingat aktivitas saya saat itu yang jauh lebih banyak berkecimpung di kesenian, khususnya teater.
Nyatanya, memang pahatan Bang Sahala terpatri cukup dalam dan membekas dalam diri saya. Hal ini saya sadari seiring dengan perjalanan karir saya yang menginjak tahun kelima menggeluti profesi ini. Beberapa ajaran atau idealisme yang mengundang tanda tanya saat di bangku kuliah, perlahan terjawab ketika saya menjalani dunia jurnalisme yang nyata.
Maka izinkanlah saya membuat tulisan ini sebagai tanda terima kasih saya pada Bang Sahala, sekaligus refleksi pribadi atas pengalaman menjadi jurnalis selama lima tahun terakhir. Terlebih saya menulis ini dalam suasana peringatan Hari Pers Nasional (HPN) atau hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Padang pada Februari 2018.
**
Salah satu ajaran Bang Sahala yang paling saya ingat dan saya coba selalu terapkan adalah, “Jangan menjadi wartawan POLTAK alias Polos Tak Berotak.” Saat itu, menerapkan riset dalam setiap tugas jurnalistik bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, apalagi dengan adanya mesin pencari google yang sangat memudahkan. Lagipula, tugas jurnalis yang saat itu terasa berat, toh ternyata tidak seberat beban kerja menjadi jurnalis.
Namun kondisinya berbeda ketika dalam praktiknya saat ini, jurnalisme seringkali adalah soal mengejar target harian, soal bagaimana memenuhi target berita dalam rapor Key Performance Indicator (KPI), di mana rata-rata setiap jurnalis diwajibkan mengirim 6-10 berita setiap harinya, di mana jurnalis sangat ketergantungan pada agenda liputan. Cara pandang yang mengedepankan kuantitatif ketimbang kualitatif ini, dalam hemat saya, telah mengubah iklim dan cara kerja jurnalisme dalam banyak hal.
2000-an


Maka jurnalis tak ubahnya turun kasta menjadi penjahit, yang sekadar menyambungkan kata-kata narasumber, membuat berita-berita “talking news” untuk mengejar klik dan pageviews agar klien sudi beriklan dalam portal berita tempat kita bekerja. Kadangkala bahkan untuk berita-berita spesifik seperti ekonomi yang mengandung banyak istilah khusus, tak jarang saya temukan berita yang ditulis oleh jurnalis yang tak sepenuhnya paham apa yang ia tulis.
Idealnya---dan Bang Sahala memang selalu mengajarkan yang ideal—riset menjadi hal yang tetap mutlak dilakukan, tetapi pada praktiknya sulit dan kadang abai diterapkan manakala nafas jurnalis terengah-engah mengejar target. Riset pun digantikan dengan diskusi usai liputan dengan sesama rekan media yang meliput hal yang sama, sambil menarikan jemari di tuts keyboard atau layar sentuh gawai. Toh ternyata produksi berita yang dihasilkan tak jauh berbeda.
“Ah, bagaimana ini Bang?”
Untuk beberapa kasus tertentu, memang jurnalis tetap berperan sebagai desainer, yang merancang sendiri isu yang akan ditulis. Biasanya ini berlaku untuk jurnalisme dengan nafas yang cukup panjang, seperti majalah, atau liputan khusus, atau dalam Bisnis Indonesia --media tempat saya bekerja-- adalah untuk headline surat kabar pada Senin yang disiapkan sejak sepekan sebelumnya. Dalam kasus ini, riset dan koneksi dengan narasumber menjadi dua bekal utama untuk mencapai keberhasilan penulisan.
Ini baru soal riset. Belum lagi kalau bicara soal integritas. Selama 4,5 tahun kuliah jurnalisme, saya sudah terlampau kenyang dicekoki Bang Sahala, dan dosen jurnal lain soal integritas jurnalis, soal bagaimana mempertahankan idealisme, karena hanya itulah satu dari sedikit “kemewahan” yang dimiliki profesi ini.
Namun kenyataannya? Alamak, godaannya sungguh luar biasa melawan sistem yang terlanjur korup ini. Saya paham bahwa dilema semacam ini dapat terjadi di hampir setiap profesi, dan jurnalis tak terkecuali. Karena memang dunia ini
137
mereka dan BANG SAHALA


138
tak sehitam-putih itu, ia selalu menyisakan ruang abu-abu. Yang saya tak menyangka—dan sempat membuat saya
terkejut pada awalnya—adalah bahwa upaya mempertahankan integritas jurnalis itu seolah membuat saya berada dalam dunia paralel, di mana salah menjadi benar, benar menjadi salah.
Simbiosis antara humas—baik korporasi maupun kementerian—dan jurnalisme, di mana humas telah sangat terbiasa mengalokasikan anggaran liputan atau transportasi bagi jurnalis, membuat kami, jurnalis yang berusaha mempertahankan idealismenya, seperti ikan salmon yang berenang melawan arus deras. Melelahkan.
Justru kamilah yang menjadi tidak enak menolak amplop, di depan teman-teman jurnalis lain yang menerimanya. Sebagian karena memang diperbolehkan oleh medianya, sebagian lainnya memang sembunyi-sembunyi.
Setiap kali dihadapkan pada situasi seperti itu, saya sering terbayang wajah Bang Sahala di depan kelas, dengan suaranya yang meneduhkan, mengimbau kami mahasiswanya, “Saudara, jangan pernah menjadi wartawan amplop,” sambil menepuk- nepukkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Sesekali membetulkan letak kaca mata di hidungnya.
Terima kasih, Bang.
Satu hal lain yang saya coba duplikasi dari Bang Sahala adalah semangat untuk membaca dan berkarya. Rasanya setiap mahasiswa jurnal yang dididik oleh beliau pasti tahu rasanya mengerjakan tulisan apresiasi satu buku dalam satu minggu. Saat itu, rasanya sungguh menjemukan dan terbebani, karena memang saya tidak hobi membaca.
Namun dari keterpaksaan itulah akhirnya tumbuh kebiasaan dan minat baca saya. Bang Sahala seolah sadar betul ia tengah menanam bibit pohon yang akan berbuah di kemudian hari. Jurnalisme dan teater, dua hal yang saya geluti sejak di masa kuliah hingga sekarang, sama-sama menuntut saya banyak membaca buku.
Tanpa saya sadari, sesungguhnya Bang Sahala memperkenalkan saya dengan karya-karya yang sangat keren,
2000-an


dan belajar mengapresiasi sekaligus mengkritisinya. Beliaulah yang mengenalkan saya pada karya investigatif monumental (alm.) Bondan Winarno berjudul Bre-X, pada keindahan dan ketajaman kata Linda Christanty, pada sikap anti-feodalisme Mochtar Lubis, dan masih banyak lainnya.
Dan Bang Sahala pula satu dari sedikit orang yang pertama kali membuka mata saya akan pentingnya kesetaraan gender. Dari tugas yang diberikannya, saya sempat berlangganan Jurnal Perempuan dan mendalami lebih jauh mengenai gerakan perempuan dalam skripsi saya.
Kecintaan Bang Sahala terhadap buku selalu terpancar dari raut wajahnya yang berbinar-binar setiap kali mendapat kiriman buku karya anak muridnya. Kecintaan yang kini menular pada diri saya. Meskipun saat ini saya belum mampu menulis buku saya sendiri, namun paling tidak tulisan ini menjadi langkah a“wal saya untuk memulainya.
Sekarang saya justru merind“
ukan masa- masa menghabiskan satu buku dalam
seminggu, Bang.
139
Abang bukanlah manusia setengah dewa. Barangkali ada banyak hal dari praktik jurnalisme saat ini yang tidak seideal yang Abang ajarkan dulu. Mau tak mau, jurnalisme telah ikut terdisrupsi oleh perkembangan teknologi yang begitu cepat di era revolusi industri keempat ini. Barangkali pendidikan jurnalisme memang membutuhkan penyegaran.
Ketika mendengar kabar bahwa Bang Sahala memasuki masa pensiun, saya memaknainya hanya sebagai masa purnakarya beliau sebagai PNS dan dosen, tetapi saya
yakin Abang akan tetap berkarya selama ia sanggup, entah memproduksi buku, novel, atau menulis artikel seperti yang biasa ia lakukan.
**
mereka dan BANG SAHALA


Abang, barangkali saya belumlah menjadi apa-apa, belum menjadi sosok jurnalis yang berdampak signifikan. Saya masih jauh dari Ronan Farrow, yang menulis tulisan investigasi mengenai pelecehan seksual di Hollywood, yang kemudian melahirkan gerakan #metoo sebagai simbol gerakan anti pelecehan seksual di Amerika Serikat.
Abang, entah sampai kapan saya akan bertahan pada profesi ini. Namun satu hal yang pasti, menulis telah menjadi bagian dari jati diri saya. Dan di setiap goresan pena yang saya torehkan, akan selalu ada hasil didikan Abang di dalamnya.
Terima kasih, Bang Sahala... ***
140
2000-an


Legenda
yang Berintegritas dan Penuh Dedikasi
Syahdino Saputro
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2008. Kasubbid Lembaga Media dan Pers, Bidang Humas Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri.
Ospek Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Unpad menjadi momen pertama saya “mengenal” sosok dosen Ilmu Jurnalistik bernama Sahat Sahala Tua Saragih. Kenapa saya tulis dengan tanda kutip? Karena memang perkenalan itu hanyalah momen selintas dan terjadi begitu saja: tak ada yang istimewa. Kebetulan memang hari itu materi Ospek fakultas diisi dengan sesi perkenalan Jurusan yang terdapat di lingkungan FIKOM. Masing-masing fakultas diberi waktu untuk memperkenalkan secara lebih jelas tentang jurusannya.
Saat tiba giliran Jurnalistik, saya agak serius menyimak dan mendengarkan. Saya yang berada di barisan belakang tidak bisa melihat dengan jelas wajah dosen-dosen yang diperkenalkan panitia melalui pelantang. Saya hanya bisa menduga-duga. Begitu panitia menyebutkan nama-nama dosen, sayup-sayup yang saya dengar cuma “Saragih”. Spontan yang terlintas
di benak saya adalah sesosok wartawan senior yang sering menghiasi layar kaca. “Oh, ini wartawan senior Media Indonesia itu, kali yah???” Saat itu saya merasa, FIKOM Unpad pasti diisi
141
mereka dan BANG SAHALA


142
oleh orang-orang hebat dan telah menjadi pesohor. Terus terang sebelum masuk Unpad hanyalah nama Jalaludin Rahmat yang saya ketahui. Ternyata tebakan saya salah. Meski sama-sama senior belakangan saya menyadari, Saragih yang saya maksud itu adalah Elman Saragih, wartawan senior Media Indonesia, sedangkan yang mengajar saya adalah Sahat Sahala Tua Saragih.
Selepas Ospek fakultas, bisa dibilang hampir tidak ada pertemuan ataupun terlibat percakapan langsung dengan
Bang Sahala. Hingga awal tahun 2009, tepatnya pada sesi awal semester II resmi dimulai, pertemuan dan perkenalan yang lebih lanjut dengan Abang Sahala bermula. Saat itu, kelas kami, Ilmu Komunikasi (Ilkom) C, mendapatkan mata kuliah Pengantar Ilmu Jurnalistik (PIJ) dengan dosen pengampu Sahat Sahala
Tua Saragih, dan didampingi oleh Nyimas Dian. Sontak saya bergumam, “Oh, ini toh orang yang beberapa hari belakang ramai dipergunjingkan oleh anak-anak.”
Memang pada minggu-minggu sebelumnya, pada saat pengisian Kartu Rencana Studi (KRS), rekan-rekan sekelas
saya kasak-kusuk membicarakan segala hal yang berhubungan dengan mata kuliah PIJ ini. Entah karena antusias, entah karena ngeri. Namun, yang menjadi fokus perbincangan bukan pada mata kuliah, melainkan sosok dosen yang mengampunya. Dosen ini seakan telah menjelma menjadi seorang legenda. Saya penasaran terhadap sosok beliau sebenarnya.
Topik seputar sosok dosen legendaris ini menjadi topik hangat yang diperbincangkan dengan berbagai bumbu yang seolah berisi ‘kegetiran’. Dari mulut ke mulut beredar informasi soal latar belakang Bang Sahala dengan segenap atribusi-atribusi yang dilekatkan padanya. Saklek. Suka memberi banyak tugas, dan lain-lain yang tidak bisa saya ingat satu per satu.
“Selamat. Nikmati aja tugas-tugas dari dia,” demikian kata para senior setiap saya ceritakan tentang dosen yang akan mengisi mata kuliah PIJ dengan gaya meledek.
Saya tidak tahu apa motivasi mereka menyampaikan hal itu kepada kami. Yang jelas sebagai anak baru kami hanya bisa mendengarkan sambil menunggu realita yang akan terjadi. Dalam hati saya bilang, “Ah, belum tentu benar. Mereka
2000-an


kan bukan anak Jurnal. Kalaupun iya, ya sudah hadapi saja,” demikian cara saya menghibur dan meyakinkan diri sendiri bahwa informasi yang mereka sampaikan sama sekali tidak benar.
Begitupun bila ada teman yang bercerita tentang Sahala, hal pertama yang saya tanyakan adalah, “Lu tau dari siapa?” “Yang cerita ke elu anak Jurnal, bukan?”. Lagi-lagi itu cara meyakinkan diri agar tidak termakan “psywar” yang dilancarkan para senior yang seolah-olah meraih kemenangan dengan mem-bully kami lewat cara tersebut.
Tugas Pada “Pandangan” Pertama
Begitu masuk pada sesi pertama perkuliahan dengan
Bang Sahala, suasana Ilkom C mendadak dingin. Tak seriang biasanya. Seisi ruangan yang biasanya riuh tiba-tiba hening dan kaku. Belakangan, banyak yang mengaku deg-degan, ngantuk, lelah, dan sebagainya.
Tidak begitu dengan saya. Sesi awal-awal perkuliahan PIJ bagi saya biasa saja. Dimulai dengan perkenalan, cerita seputar pengalaman beliau di lapangan semasa menjadi wartawan, dan nasehat bagaimana menjadi mahasiswa yang semestinya. Hingga saat yang dinanti di pengujung pertemuan pertama
itu tiba. Teman-teman mulai kasak-kusuk sekaligus tampak antusias. Seakan-akan tengah menunggu momen yang telah lama dinanti.
Dan benar saja, begitu pengumuman tugas dibacakan oleh Bang Sahala, beberapa orang berdehem serentak. Mereka tampaknya ceria sekali. Bagi mereka, ini bagaikan perayaan kemenangan. Karena dengan demikian, gosip yang menjadi kasak-kusuk selama ini akhirnya mutlak terbukti. Begitulah kira-kira kesan pertama. Selanjutnya, stereotip tentang Jurusan Jurnalistik sebagai jurusan yang dipenuhi tugas-tugas mulai dilanggengkan.
Memang selama mengikuti kelas dengan Bang Sahala, setiap pekan hampir tidak pernah luput dari tugas-tugas. Ada saja tugas yang diberikan, kebanyakan berupa apresiasi buku, artikel, dan lain sebagainya. Menurut saya, pesan moral dari
143
mereka dan BANG SAHALA


144
tugas-tugas tersebut adalah agar para mahasiswa terbiasa untuk membaca buku dan mengapresiasi karya tulis orang lain.
Menurut saya hampir tidak ada kendala bagi para mengerjakan tugas-tugas dari beliau. Hanya memang kemampuan untuk mengelola waktu antara tugas kuliah dengan bermain, mutlak dimiliki oleh mahasiswa yang mengikuti perkuliah beliau. Satu hal yang harus menjadi catatan adalah, tugas Abang Sahala tidak boleh terlambat. Harus dikumpulkan tepat waktu. Tugas-tugas beliau yang selalu ditandai dengan kode T1 sampai T “sekian” itu akan menjadi salah satu faktor penilaian di pengujung semester.
Memasuki pengujung Semester II, tibalah saatnya mahasiswa Ilkom mesti memilih satu dari tiga jurusan yang ada di Fikom. Seluruh jurusan menampilkan kelebihan masing-masing. Namun tidak berlaku bagi Jurusan Jurnalistik. Mahasiswa Ilkom bukannya disuguhi hal-hal menarik, tapi ditakuti dengan tugas-tugas segunung yang akan menanti bila memilih Jurusan Jurnalistik. Di antaranya tugas dari Abang Sahala. Kemudian, ditambah lagi dengan pertunjukan salah satu senior berwajah garang yang mengaku jarang mandi selama menjadi mahasiswa Jurnalistik. Saya tidak tahu apakah kampanye model demikian masih berlaku. Namun, bagi angkatan saya hal itu tampaknya sangat berpengaruh.
Pasca sosialisasi jurusan tersebut, saya melakukan survei kecil-kecilan terhadap teman-teman di Ilkom C tentang preferensi jurusan yang akan diambil. Alhasil, hampir 95 persen lebih mereka tidak tertarik dan tidak akan memilih Jurusan Jurnalistik. Lagi-lagi alasannya karena tidak begitu berminat dengan tugas-tugas yang dihadapi nantinya. Ditambah alasan lainnya karena “takut” dengan tugas-tugas dari Abang Sahala. Tampaknya sosok dosen legendaris ini sangat berpengaruh terhadap preferensi anak-anak Ilkom C dalam memilih jurusan. Akhirnya, dari sekitar 40 orang yang tergabung di kelas Ilkom C, hanya dua , yakni saya dan Reta Yudistyana yang akhirnya memilih Jurnalistik. Selebihnya masuk ke jurusan non- Jurnalistik.
Perkenalan saya dengan Abang Sahala berlanjut setelah
2000-an


saya memilih Jurusan Jurnalistik. Di sini saya mulai mengamati karakter beserta metode pengajaran yang dia terapkan. Seringkali mahasiswa diminta untuk mengapresiasi tulisan- tulisan beliau yang telah dimuat di berbagai media massa. Detik-detik menegangkan bagi sebagian besar teman-teman
di kelas yaitu saat beliau memilih secara acak nama-nama mahasiswa untuk membacakan hasil apresiasi masing-masing. Terkadang antara enak dan tidak enak, segan, malu, dan terasa kurang mendalam. Apalagi jika di penghujung pembahasan ditutup dengan kata-kata, “Analisis Saudara masih dangkal.” demikian kata-kata yang seakan telah menjadi trade mark
dan begitu familiar di kalangan mahasiswa Jurnalistik. Atau
di lain waktu dengan gayanya yang khas sambil kedua tangan terkepal dan mempertemukan kedua kepalan itu, beliau berujar: ”Saudara sudah semester 7 tapi masih dangkal”. Alhasil, di
luar kelas gaya khas tersebut menjadi viral, dan ditirukan
oleh banyak mahasiswa yang mengikuti kelas beliau untuk digunakan saat meledek rekan-rekannya.
Namun yang paling menarik dari kelas Abang Sahala adalah beliau sering memancing mahasiswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar pengetahuan umum, seperti sejarah, isu-isu aktual, dan tokoh-tokoh ternama. Terkadang beliau sengaja menyisakan kalimat-kalimat yang tidak selesai. Maksudnya agar mahasiswa yang menyambung kalimat tersebut dengan jawaban sesuai yang ada di kepalanya. Hal
itu sekaligus sebagai upaya beliau menguji seberapa jauh pengetahuan umum mahasiswanya. Menurut beliau, mahasiswa Jurnalistik harus banyak tahu akan segala hal, karena jurnalis adalah spesialis yang generalis.
Sosok Dosen Berintegritas dan Penuh Dedikasi
Satu hal lain yang saya pelajari dari sosok Abang Sahala adalah soal konsistensi dan integritas, serta dedikasi. Hal
itu adalah amat mudah diamati. Biasanya di awal semester perkuliahan akan selalu dimulai dengan kontrak belajar. Segala hal disepakati bersama dalam sesi ini. Satu hal yang tidak boleh terjadi yaitu, terlambat masuk kelas dan telat mengumpulkan
145
mereka dan BANG SAHALA


146
tugas. Pokoknya begitu beliau sudah berada di dalam kelas dan memegang daftar hadir, maka tidak akan ada toleransi, apapun alasannya. Biasanya mahasiswa akan tahu diri dan langsung balik kanan. Ya, hitung-hitung mengambil “jatah” absen.
Jika mahasiswa terlambat, tugas boleh dititipkan ke teman yang di dalam kelas. Kesannya tugas lebih dihargai ketimbang kehadiran. Walaupun tidak sepenuhnya benar, karena maksimal ketidakhadiran seingat saya adalah 4 kali. Kalau lewat batas,
ya wasalam. Dengan berat hati harus mengulang tahun depan. Hal ini pula yang membuat mata kuliah Abang Sahala terasa berat, karena seluruh mata kuliah yang beliau pegang saling
kait mengait, dan disusun secara berurutan. Saya ingat, mata kuliahnya dimulai dari Wawancara, Penulisan Berita Khas, hingga Penulisan Berita Mendalam (Indepth Reporting). Jika gagal di mata kuliah Wawancara maka tahun depan harus mengulang mata kuliah yang sama, dan seingat saya tidak diperkenankan untuk mengambil mata kuliah Penulisan Berita Khas. Begitu seterusnya.
Sementara itu, untuk keterlambatan ini memang menjadi cobaan bagi mahasiswa. Apalagi jika perkuliahan dengan Abang Sahala dijadwalkan pagi hari. Kesulitan semasa mahasiswa adalah bangun pagi dan masuk kelas tepat waktu. Namun, kadang hal itu bisa saja disiasati dengan berbagai cara, terutama bagi prokrastinator seperti saya.
Satu hal yang menjadi kebiasan buruk bagi kebanyakan teman sekelas saya yaitu mengerjakan tugas-tugas dengan Sistem Kebut Semalam (SKS). Namun harus diakui, seringkali mood menulis itu memang baru muncul pada saat-saat menjelang deadline. Tak heran bila tugas-tugas yang diberikan satu minggu sebelumnya, justru baru benar-benar selesai saat menjelang jadwal perkuliahan dimulai. Mungkin ini pula yang menjadi faktor kenapa banyak mahasiswa Jurnalistik jarang yang telat hadir di perkuliahan Abang Sahala. Karena mereka benar-benar tidak tidur semalaman demi menyelesaikan tugas- tugas.
Kembali pada sosok Abang Sahala, selama saya menjalani perkuliahan dengan beliau, bisa dikatakan beliau tidak pernah
2000-an


absen mengajar, kecuali benar-benar ada tugas lain dari Jurusan atau Fakultas. Seakan panggilan untuk mengajar mengalahkan segalanya. Sepengetahuan saya, beliau sangat enggan mendelegasikan tugas mengajarnya kepada asisten atau dosen tandemannya.
Hingga satu waktu, di Whatsapp Grup Jurnal 08 teman- teman menyebarkan informasi tentang penyakit yang beliau derita. Saat itu infonya beliau untuk sementara akan off dari perkuliahan, setidaknya hingga kondisinya dinyatakan pulih. Tentu ini kabar yang sangat menyedihkan bagi saya pribadi dan rekan lainnya. Saya langsung membayangkan siapa sosok yang akan mengambil tugas-tugas beliau sementara untuk mengajar mata kuliah penulisan tersebut. Bagaimana nasib adik-adik yang belum mengecap pengalaman kuliah dengannya. Rasanya jurusan Jurnalistik belum memiliki pengganti yang pas.
Namun, saya yakin betul, di tengah kondisi saat itu beliau pasti “gemas” dengan keadaan dan ingin secepatnya untuk kembali mengajar. Untuk itu, kami dari jauh selalu berdoa untuk kesehatan beliau, agar kembali seperti sediakala dan segera kembali ke kampus, menunaikan tugas-tugas mengajar.
Candaan dan Logika Bahasa
Persentuhan saya dengan beliau tidak hanya terjadi
di dalam kelas. Saya pernah diajak untuk terlibat dalam pengelolaan buletin LPPM, di mana beliau menjadi pimpinannya. Abang Sahala adalah sosok yang hangat dan senang bercanda. Banyak hal yang terekam dalam ingatan. Candaan beliau sangat khas, selalu berisi jebakan-jebakan, khususnya soal logika berbahasa.
Biasanya, saat nongkrong-nongkrong di belakang Gedung 1 Fikom, Bang Sahala sering menyambangi Kami untuk melemparkan candaan khas beliau.
“Kalian sedang apa?” tanya beliau.
“Lagi nunggu kelas, Pak,” jawab yang lain.
“Anda ini bagaimana, masa kelas ditunggu,” celetuk beliau. Atau di lain kesempatan, pada saat cuaca mendung, tiba-
tiba beliau melemparkan joke-joke dengan gaya khasnya.
147
mereka dan BANG SAHALA


“Dek, kira-kira kalau-kalau cuaca seperti ini terus, hujan tidak?” demikian caranya membuka gurauan dengan pertanyaan “garing” seraya telunjuknya menunjuk pada gumpalan awan yang kiat hitam pekat.
“Pasti hujan, Bang,” sergah teman lainnya.
Spontan dia kembali menjawab dengan maksud mengoreksi jawaban tersebut, “Ya, kalau cuaca seperti ini terus ya tidak akan hujan,” tandasnya.
Sontak kami berusaha mencerna dulu apa maksud kata- katanya. Setelah sekian menit dan beliau telah berlalu dari hadapan kami, barulah Kami memahami maksud kata-katanya.
“Oh, maksudnya, kalau cuaca kayak gini terus ya ga hujan dong. Kan ga turun-turun airnya kalau gini terus,” salah satu dari kami coba menjelaskan.
Ya, seperti itulah cara-cara beliau bercanda dan menjalin hubungan keakraban dengan mahasiswa. Beliau sosok yang tegas tapi juga cair terhadap mahasiswa. Dalam berbagai kesempatan, tak jarang beliau mendorong saya agar menjadi wartawan setelah menamatkan pendidikan di Unpad, meski akhirnya tidak terwujud. Tetap, bagi saya Bang Sahala adalah sosok yang menginspirasi untuk terus belajar menulis dan memperhatikan logika berbahasa. Hingga saat ini bekal itu menjadi modal penting, walaupun bukan sebagai seorang wartawan. Untuk hal ini, saya berutang banyak pada beliau.
Tak terasa, semua skenario hidup sudah diatur sedemikian rupa. Semua yang berjalan dalam lintasan waktu pasti akan menemukan ujungnya. Semua yang sudah ditorehkan akan tercatat dalam sejarah, sosok panutan yang berintegritas dan penuh dedikasi. Kelak, akan dirindukan sekaligus dikenang. Semoga pensiun bukan akhir segalanya. Tetaplah berkarya dan tularkan semangat untuk terus belajar kepada kami, anak, dan cucu. Cerahkan kami dengan tulisan-tulisan bernasmu. Sehat selalu, Bang!
***
148
2000-an


Tugas (Tidak) Penting dari Pak Sahala
Yasir Ahmad Saputra
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2003. Staff Komisi Pemilihan Umum Kota Banda Aceh.
“Kang, numpang ngetik.”
Itulah mantera yang selalu saya lafalkan di pagi kelam setelah subuh kepada pemilik salah satu kamar di rumah kos tempat saya tinggal saat kuliah. Si Akang empu-nya selalu membukakan pintu kamarnya untuk saya. Barangkali dia kasihan. Ya, saya tidak punya komputer. Begitulah mahasiswa rantau zaman old.
Selama kuliah saya memang acap kali melafalkan mantera itu. Hanya saja mantera itu harus ditabalkan lebih kuat saat menempuh mata kuliah yang diajar Pak Sahala. Maklum, Pak Sahala selalu memberikan tugas membaca, merangkum, dan menganalisis karya-karya jurnalistik setiap hari per minggu sesuai mata kuliah yang diajarnya pada semester tersebut, bisa saja mata kuliah Penulisan Feature (Berita Khas) Media Massa Cetak, Penulisan Artikel, atau pun Penulisan Berita Mendalam. Sekali lagi, tugas-tugas itu harus dilakukan setiap hari per minggu.
Meski begitu, tugas harian ini tetap saya rapel per-minggu, sekali seminggu, ba’da subuh. Berbeda dengan tugas Praktik Lapangan (PL) yang harus disusun jauh-jauh hari karena menghabiskan berkodi-kodi lembar kertas, tugas harian ini
149
mereka dan BANG SAHALA


150
hanya beberapa butuh helai dan bisa dikebut dalam beberapa jam saja!
Tidak heran tugas sederhana ini sering diabaikan. Saya pun beberapa kali melewatkannya. Namun diakui atau tidak, tugas ‘tidak penting’ ini justru merupakan batu asah bagi pisau analisis mahasiswa Jurnalistik FIKOM Unpad dalam ‘membaca’ karya-karya jurnalistik. Saya barangkali salah seorang di antaranya.
Tugas (tidak) penting ini menuntut saya untuk membaca karya-karya jurnalistik sesuai dengan mata kuliah pada semester itu. Dari bacaan tersebut, saya harus menganalisis kesesuaian judul dengan isi, penulisan, me-resume isinya, dan menyimpulkan lengkap dengan kritik serta saran atas karya jurnalistik tersebut. Sebuah pola terbentuk: baca, analisis, simpulkan, kritik, dan saran.
Tugas ini dilakukan sepanjang semester. Di satu sisi, tugas dari Pak Sahala ini terasa menjemukan karena hanya mengulang-ulang pekerjaan sebanyak tujuh kali dalam satu tugas. Tidak jarang, saya menyalin (copy-paste) analisis pada karya jurnalistik satu ke analisis karya jurnalistik selanjutnya. Sebab analisis satu dengan analisis lainnya tidak akan jauh berbeda.
Hanya pada kesimpulan yang sedikit beragam sebab jelas sekali tidak ada tulisan yang ‘sama’. Bisa saja kesimpulannya, “Tidak berbobot”, “Dangkal”, “Sampah”, atau pun “Penulis sepertinya salah jurusan”. Tapi tentu saja itu tidak saya tuliskan pada simpulan tugas harian saya.
Namun di sisi lain, tugas ‘remeh’ ini pula yang menjadi model bagi saya dalam menyusun karya-karya jurnalistik yang menjadi tugas Praktik Lapangan (PL) dari Pak Sahala mau pun tugas-tugas dari dosen lainnya. Saya harus menyusun judul yang tepat agar mewakili isinya. Isi tulisan dari pembuka hingga penutup harus mengalir agar enak dibaca. Di dalam tulisan perlu diselipkan selingan menghibur atau mengejutkan agar mudah diingat dan selalu dikenang oleh pembaca. Ya, semacam itulah.
Akhirnya, pekerjaan berulang-ulang yang dilakukan
2000-an


terus menerus ini kemudian tertanam lalu berurat berakar di alam bawah sadar saya. Sejak itu hingga kini, kebiasaan saya menganalisis produk-produk jurnalistik tak pudar pupus oleh waktu. Setiap karya jurnalistik yang saya baca-dengar-tonton tak pernah luput dari analisis judul, isi, simpulan beserta kritik dan saran. Lengkap sudah saya menjadi Alumni Jurnalistik FIKOM Unpad.
“B*go nih editornya”, “G*blok reporternya” atau “Sampah!”
Itulah mantera baru saya yang terselip di antara kritik dan saran. Lalu istri saya biasanya memarahi saya. Ahhh....inilah dia. Jangan jadi Anak Jurnal. Jadi Anak Jurnal itu berat. Biar saya saja.
Terima kasih kepada Pak Sahala yang menjadikan hidup saya berat karena menjadi Anak Jurnal. Hidup Jurnalistik! Jurnalistik! Jurnalistik!! Jurnalistik!!!
***
151
mereka dan BANG SAHALA


152
Sahala
dan Hal-hal yang Sederhana
Teguh Wicaksono
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2005. Founder Sounds from the Corner, dan Brand & Editorial Manager Netflix.
Saat penat akan rutinitas, belakangan ini saya sering memejamkan mata membayangkan momen di masa lampau yang nyaman dan menenangkan. Lalu muncul kilatan-kilatan memori hidup di Jatinangor, saat semuanya lugas dan sederhana.
Kumpulan adegan yang menyeruak di ingatan biasanya tak jauh-jauh dari perjalanan bersama Jurnal 2005, Orientasi Jurnalistik, dan kegilaan-kegilaan lain yang tak ada habisnya. Lucunya, dari semua itu hanya kelas-kelas Pak Sahala yang menyangkut di kepala. Melihat ke belakang, tampaknya ilmu yang diajarkan beliau terus-menerus merasuk ke dalam prinsip bekerja saya.
Saat iseng riset, menurut kamus bahasa Batak, arti kata Sahala adalah: kemuliaan, karisma, khidmat, kesaktian, dan wibawa. Memang benar, nama adalah doa.
Nama dan imej Pak Sahala memantul-mantul seperti mitos di dinding kampus FIKOM, jauh sebelum saya menjebak diri sendiri dengan sukarela ke jurusan jurnalistik. Bagaimana tidak, dalam setiap tahun, Anda akan berjumpa dengan Pak Sahala dalam format penderitaan yang berbeda-beda. Dalam senyum dan keramahannya, Pak Sahala menggempur mahasiswa
2000-an


dengan tugas harian, mingguan, dan tugas pamungkas di akhir perjalanan.
Dalam konteks ruang kelas, satu hal yang dia selalu tunjukkan dengan konsisten adalah perbedaan antara rasa
takut dan hormat. Sepanjang mengikuti kelas Pak Sahala dan mengerjakan tugas-tugas beliau, tidak pernah sekali pun saya merasa takut terhadap beliau. Sebagai seorang pendidik, Pak Sahala adalah pribadi bersahaja, ramah, bahkan jenaka. Namun, itu jebakannya: beliau pengajar dengan karakter baik dengan standar jurnalistik yang “jahat”.
Tak pernah saya menemukan pengajar dengan keteguhan dan konsistensi setinggi beliau, dibungkus kepribadian yang rendah hati namun tegas.
Ada yang lebih mencekam lagi: Anda tidak akan punya alasan untuk membenci pribadi Pak Sahala. Untuk setiap perasaan putus asa yang Anda alami dari kelas Sahala, rasa itu tertuju kepada diri sendiri. Rasa frustasi yang dirasakan, murni karena Anda frustasi terhadap diri sendiri. Dalam standar yang sangat tinggi, Pak Sahala mengajarkan ilmu yang lebih berharga dari sekadar tulis menulis: bertanggung terhadap diri sendiri. Memandang ke belakang, sengsara akibat tugas Pak Sahala kini terasa konyol karena hidup ternyata tak sesederhana jejeran mata kuliah penulisan yang Ia gawangi.
Saat bekerja jadi jurnalis, ajaran beliau adalah satu-satunya ilmu praktis yang implementasinya nyata di keseharian saya menjadi wartawan. Sifat perfeksionisnya yang dulu jadi momok di dalam kelas, berubah jadi karunia saat berhadapan dengan realita. Saya ingat momen ketika pertama kali tulisan saya diedit oleh editor dan dia bergumam di samping saya, “Wah ini lumayan rapi, not bad for a fresh graduate.”
Saya hanya tersenyum, namun berkata dalam hati, “Iyalah, muridnya Sahala”.
Ajaibnya, tiga tahun terakhir, saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin dan konsistensi yang dia ajarkan jadi pedoman saya.
153
mereka dan BANG SAHALA


Yang Ia ajarkan bernas tidak hanya dalam koridor jurnalistik, namun jauh lebih luas dan konseptual.
Jurusan Jurnalistik FIKOM Unpad memberikan kawan, kenangan, dan pelajaran yang lekat ke dalam diri dan kepribadian namun sampai sekarang saya masih belum yakin apakah hal itu adalah keputusan terbaik, atau terburuk di hidup saya. Love and hate relationship, kata orang-orang.
Apa yang saya yakini, Pak Sahala sukses memberikan rona yang tak tergantikan bagi diri saya, dan mungkin banyak orang lain yang ada di dalam kelas-kelasnya. Selamat jalan, Pak Sahala Tua Saragih, terima kasih banyak atas semua pengabdian dan ilmu yang diturunkan ke kami. Terima kasih sudah mendidik kami menjadi manusia yang lebih baik.
***
154
2000-an


2010-an
155
mereka dan BANG SAHALA


156
2000 Kata
untuk Bang Sahala
Ilman Anton Sudarwan
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2012. Jurnalis Harian Ekonomi Bisnis Indonesia, sedang menempuh pengabdian di Manado.
“Saya menemukan pertanyaan yang cukup menarik dari teman kita, Ilman. Dia bertanya, kenapa media memutuskan untuk membuat berita tersebut?”
“...”
“Kalau saya boleh meminjam bahasa Perancis, jawaban untuk Anda adalah: Ah, Teuing Atuh!”
Selarik kalimat tersebut langsung membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Dari sekian banyak lawakannya,
saya harus mengakui yang terjadi di kelas Penulisan Berita Mendalam ini akan selalu saya ingat. Bukan karena malu, justru karena saya malah ikut tertawa lepas ketika disindir seperti itu. Karena jujur saja, entah mengapa, kalimat ‘ah, teuing atuh’ yang diucapkannya terdengar begitu lucu.
Dari sekian banyak dosen, saya harus mengakui dia adalah satu-satunya dosen yang paling teguh berusaha membuat orang tertawa. Sayangnya, sering kali guyonan dia seperti dinoasurus, benar-benar tua dan tak menarik sama sekali. Pada akhirnya, para mahasiswa memang tertawa, tapi bukan karena lucu, tawa seikhlasnya itu hanya bentuk penghargaan.
“Sudah makan siang?”
2010-an


“Sudah, Bang!”
“Siang kok dimakan?”
Permainan logika bahasa ayah dua anak ini memang terlalu
kuat dan berbahaya. Saking kuatnya, kemampuan otak kami tak sanggup mengimbangi. Belakangan, saya baru menyadari humor yang sebenarnya dari permainan logikanya yang membingungkan itu: Lelaki itu memang tak pandai melawak. Untuk beberapa kasus, lawakannya memang berhasil jadi senjata pembunuh kantuk dan bosan para mahasiwanya. Tetapi boleh dibilang kesempatan itu seperti super blue blood moon alias benar-benar jarang terjadi.
Ketika kuliah dulu, saya pikir hanya ada dua pilihan yang tersedia ketika masuk kelas Abang: tidur, atau benar-benar memperhatikan gerak-geriknya. Bagi saya, melihat setiap detail gestur, mimik muka, suara, dan nadanya ketika berbicara selalu menyenangkan. Karena setelah itu, saya punya sesuatu yang baru untuk dipraktikkan di depan teman-teman yang lain. Entah ada atau tidak mahasiswa lain yang punya kemapuan yang sama, tetapi saya bisa jamin jika ada kompetisi meniru gaya bicara Abang, saya pasti jadi juara pertama.
“Saudara kenapa mengulang?”
“Untuk mendapatkan nilai yang lebih baik, Bang”
“Nilai Anda tadinya apa?”
“C”
“Ah, kalau ‘C’ sudah baik dan Anda ingin mendapat nilai
yang lebih ‘baik’, berarti Anda harus dapat nilai D” Lebih dari sekadar guyonan yang membosankan,
permainan logika bahasa darinya sebenarnya membawa pesan yang lebih substanisal tentang penulisan berita dan jurnalisme cetak. Menulis tak ubahnya matematika, penuh logika dan kalkukasi dalam menyusun kalimat. Jika hitung-hitungannya salah maka penggunaan kata dalam kalimat hanya akan membingungkan pembaca. Hal ini yang saya ingat darinya: logika bahasa harus benar ketika menulis berita, jangan sampai membuat pembaca bingung.
Sikapnya yang menuntut kesempurnaan berbahasa membuatnya jadi sosok yang disegani bahkan ditakuti
157
mereka dan BANG SAHALA


158
mahasiwa. Sosoknya semakin ngeri dengan jumlah beban tugas yang selalu lebih banyak dari dosen lain. Saya sempat berpikir bahwa memilih masuk ke Prodi Jurnalistik dan harus bertemu dengannya hanyalah pilihan yang membawa sengsara. Kehidupan kuliah hanya akan dipenuhi dengan tidur teratur, gelas-gelas kopi hitam, dan kepulan asap rokok yang bisa bikin kami mati di usia dini.
Akibat kengerian sosoknya saya juga termasuk salah satu yang pernah mengurungkan niat masuk Prodi Jurnalistik. Saya tak yakin apakah saya akan bisa lulus dari kelas-kelas yang diampunya dengan sehat wal afiat sampai akhirnya menjadi sarjana, sekali lagi saya takut mati tak syahid karena tugas Sahala. Selain itu, saya juga tidak yakin bisa menulis sesuai dengan standar dan keinginannya. Saya takut tak mampu menyelesaikan tumpukan tugas yang naudzibillah banyaknya.
Namun, keraguan itu perlahan hilang ketika saya berbincang dengan Rana Fitriawan yang kala itu menjadi
dosen pendamping di mata kuliah Pengantar Ilmu Jurnalistik. Ketika saya bilang, saya ingin jadi jurnlalis tapi takut masuk Prodi Jurnalistik karena merasa tak bisa menulis, Rana justru mengatakan ke pada saya untuk tidak perlu khawatir soal
itu. Menurutnya, justru sang dosen legendarislah yang akan membuat saya bisa menulis. “Itu urusan Abang untuk membuat kamu bisa menulis,” kata Rana
Meski masih setengah percaya apakah benar orang yang dimaksud Rana akan membuat saya bisa menulis atau tidak, saya akhirnya memutuskan masuk ke Prodi Jurnalistik. Semoga saja, apa yang disebutkan Rana adalah benar. Akan ada sang juru selamat yang bisa membuat saya menulis dengan baik dan benar untuk keperluan Jurnalistik ataupun non-jurnalistik. Saya jadi penasaran benar seperti apa sosoknya sebenarnya.
**
“Saya lahir di dekat danau Toba, dari kecil saya sudah dekat dengan air,”
Kalimat pembuka tersebut masih teringat jelas dalam ingatan saya ketika bertemu pertama kali dengannya di kelas
2010-an


mata kuliah Wawancara. Di gedung yang sekarang digunakan oleh Fakultas Hukum tersebut, dia begitu ramah dan rendah hati mengisahkan jalan kehidupannya. Dari mulai masa kecilnya di Sumatera Utara, sampai cerita heroiknya menjadi wartawan untuk harian Sinar Harapan.
“Pernah ada mahasiswa yang membuat skripsi soal tutupnya Sinar Harapan dengan menggunakan metode historis. Judulnya ‘Pemberedelan Sinar Harapan’. Skripsinya bagus sekali, saya menyarankan skripsi itu untuk dijadikan buku”
Dia pernah bercerita tentang bagaimana cerdiknya dia mendapatkan dokumen berharga untuk jadi bahan berita. Dia juga sering menceritakan keberaniannya membuat pemberitaan bernada kritik terhadap mantan menteri penerangan Harmoko dan presiden Soeharto dulu. Semuanya selalu diselingi dengan sisipan guyonan khas yang saya bilang tidak pernah benar-benar lucu tersebut.
“Jadi wartawan harus ‘Batak’ alias banyak taktik”
Lalu di mana kecanggihannya membuat mahasiswa bisa menulis? Semuanya dimulai dengan perkataan, “Silakan buka buku catatan Anda, T1 Wawancara, Apresiasi Diktat...”. Beberapa lembar kopian diktat pengantar mata kuliah Wawancara yang dibuat olehnya sendiri itu jadi awal tumpukkan tugas-tugas selanjutnya. T1, T2, T3, PL1, L1, dan lain sebagainya. Semua tugas itu berkelindan di kepala setiap mahasiswa setiap hari, bahkan ketika mengerjakan tugas mata kuliah lain sekalipun.
Mau tidak mau, tugas-tugas itu kami lahap semampunya. Setiap mahasiswa punya cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikannya. Yang rajin, biasa mengerjakannya pelan- pelan dari jauh-jauh hari, sementara yang kurang rajin biasanya mengerjakan hanya beberapa jam sebelum tenggat waktu pengumpulan tiba. Ada pula yang cuma membaca bacaan yang ditugaskan tanpa membuat rangkuman, apresiasi, simpulan dan pertanyaan yang diminta.
“Kerjakan tugas dengan sungguh-sungguh atau tidak sama sekali”
Rutinitasnya selalu sama setiap pekan. Kami bergadang sampai pagi, lalu masuk kelas dengan muka lusuh belum mandi,
159
mereka dan BANG SAHALA


160
mengumpulkan tugas yang kami buat, kemudian ikut berdiskusi kalau sanggup, atau tidur sembari berkamuflase di pojokan kelas. Hanya kelompok IPK 3,5 ke atas saja yang mampu tetap melek dalam situasi seperti ini. Dan tentunya, saya bukan salah satunya.
Bukan hanya oleh kami, rutinitas yang sama juga dilakoninya setiap pekan. Masuk kelas, menerima berkas tugas, membuka kuliah, memeriksa dengan berkas tugas dengan cepat, memberi coretan, memandu diskusi di kelas, dan mengembalikan tugas yang penuh coretan kepada kami. Setelah itu, kami merevisi apa yang dimintanya, dikirimkan lagi pada sore hari, biasanya pukul 15.00 WIB. Tak boleh ada keterlambatan sama sekali. Telat sama halnya tidak membuat tugas sama sekali.
Tetapi, tenggat waktu pengumpulan revisi tugas yang
ketat itu juga tetap punya celah yang cukup menguntungkan. Biasanya saya dan beberapa teman baru mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh justru ketika mengerjakan revisinya. Di kelas mata kulah lain kami lebih banyak menyibukkan diri dengan merevisi tugas-tugasnya. Beberapa dosen lain sempat kesal atas tingkah kami yang seperti demikian.
“Kalau misalkan? Kalau atau misalkan?”
Akal bulus untuk menyelesaikan berbagai tugas itu tak habis dengan hanya mengakali tenggat waktu pengumpulan. Kami juga bermain-main dengan bagi-bagi rangkuman,
meski tak sering saya pernah melakukan hal itu. Kami cukup menunggu kedermawanan kaum rajin untuk mengerjakan rangkuman lebih dulu lalu membiarkan kami menyalinnya. Kadang berhasil, kadang pula gagal total. Sekali kena, harus rela bertemu kembali bertemu dengannya di tahun berikutnya.
Serangkaian prosesi rutin nan menjemukan ini adalah inti dari proses membuat orang pandai menulis. Dengan terbiasa membaca, menulis, mengapresiasi kami otomatis tahu mana tulisan yang baik dan yang buruk. Tulisan siapa dan seperti apa yang layak ditiru, dan mana yang harus dibuang jauh- jauh. Meski buat beberapa orang cara ini terbilang kuno dan
2010-an


membosankan, buat saya caranya ampuh. Saya bisa berkenalan dengan gaya menulis jurnalis top seperti Linda Christanty
atau Andreas Harsono karena dia. Meski tak dijamin bisa jadi seperti mereka berdua, setidaknya saya jadi mau menulis dan membaca.
**
Apresiasi Anda dangkal!
Perlu saya akui, generasi kami memang punya cara pandang yang agak berbeda terhadap sosok Abang. Jika dulu mungkin dia dianggap sebagai legenda yang menakutkan, bagi kami sosoknya lebih mirip seperti ayah atau kakek yang melegenda. Kami tetap menaruh hormat, tetapi tak canggung untuk bercanda atau mengajukan permintaan aneh sekalipun, seperti saat kami meminta izin membuat kaus bergambar wajah dan ungkapan legendarisnya.
Ide awalnya sebenarnya berangkat dari keisengan salah
satu teman satu angkatan saya yang membuat ilustrasi wajah abang dari salah satu foto yang bisa dengan mudah Anda temui di internet ketika menuliskan namanya di mesin pencarian Google. Desain tersebut kami anggap sangat berpotensi menghasilkan uang apa bila dijual dalam bentuk baju. Terlebih lagi, kami memang sedang butuh uang untuk menyelenggarakan acara HMJ. Kami pun sepakat memproduksi kaus tersebut dan menjualnya.
Sewaktu hendak meinta persetujuannya, sempat ada perasaan tak yakin apakah dia akan menerima permohonan kami. Bisa saja dia malah merasa tersinggung dengan desain yang kami buat, segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Aneh dan ajaib, ketika kami mengutarakan niatan tersebut, dia menyambutnya dengan sangat terbuka. Dia justru memberi kometar yang semakin melegitimasi rancangan kami.
“Kalau bisa, coba bubuhkan ucapan yang sangat khas dari saya, misalnya ‘Apresiasi Anda dangkal’”
Sikapnya kadang memang tak terduga, bahkan sering kali menggemaskan dengan segala kepolosannya sebagai orang tua. Misalnya, ketika melihat dia membuka akun facebook
161
mereka dan BANG SAHALA


162
dari komputer Teh Desi (staf Prodi). Bukannya memanfaatkan mouse untuk men-scroll tampilan layar ke bawah, dia memilih memencet tombol panah ke bawah pada keyboard. Semakin menggemaskan ketika dia melakukan itu dengan telunjuknya, secara perlahan dan sangat hati-hati. Matanya selalu memastikan terlebih dulu tombol yang akan dipencetnya. Dari mata turun ke telunjuk.
Atau ketika dia sedang belajar menggunakan aplikasi Whatsapp di ponsel pintar miliknya. Kami memerhatikan ketika dia mendengarkan dengan saksama apa ucapan dari Usenk yang membantunya mengenal teknologi pengantar pesan tersebut. Mudah-mudahan dia sekarang sudah tidak lagi mengirimkan pesan pendek “Horas, Dina! Sampaikan salam kepada teman- teman yang lain, ya! Terima kasih! Horas!” lewat fitur SMS.
Soal kemauannya mengakrabkan diri dengan teknologi barangkali punya pesan yang lebih mendalam lagi tentang belajar dan memperbaiki diri. Cerita soal Whatsapp hanya sebagian kecil perwujudan kemauan belajarnya yang tinggi. Di usia senja dia juga tetap bersemangat untuk mencapai gelar master dan doktor. Meski pengajarnya kadang adalah bekas mahasiswa atau adik kelasnya di kampus dulu, dia tak keberatan. Pria ini berhasil menawan hati kami dengan kepolosan dan kemauan belajarnya yang mengagumkan.
Unik juga sebenarnya dia baru mengejar gelar doktornya justru ketika sudah mendekati masa pensiun. Kontras dengan dosen-dosen muda yang giat mencari ilmu sampai ke luar negeri di usia 30-an. Tetapi saya yakin, dia mengejar gelar akademik bukan demi demi jabatan atau kepentingan politis birokrasi kampus. Meski tak sepenuhnya yakin, tetapi saya pikir dia memang hanya ingin belajar, memuaskan hasratnya mencari ilmu meski sudah jadi pengajar.
**
“Siapa yang belum absen?”
“Sudah absen semua, Bang!”
“Ah, kok bisa? Berarti kosong dong kelas ini? Semuanya
absen?”
2010-an


Saya merasa termasuk beruntung dapat bertemu dan mencuri ilmu darinya. Meski mungkin tak bertemu dengan versi paling prima dirinya sebagai dosen, tetapi saya telah bertemu dengan sosok terbaik yang bisa diharapkan dari dosen di manapun. Darinya saya mendapatkan lebih dari cukup sebagai mahasiswa. Tak pernah bisa saya membayangkan Prodi Jurnalistik tanpa kehadirannya.
Sosoknya tak dapat dan tak akan pernah tergantikan. Bukan hanya karena tidak ada yang mampu, tetapi juga karena tidak ada orang yang mau menjalani menjalani kehidupannya yang membosankan. Siapa yang mau setiap hari pergi ke loper koran, membeli beberapa koran berbeda, pergi ke mejanya
yang bertumbuh buku dan berkas, mengajar, memeriksa
tugas, membagikan pengalamannya, membaca koran-koran yang dibelinya tadi, sesekali bercanda sambil lalu, mengoreksi penggunaan bahasa orang lain, membuat orang bingung dengan permainan logika bahasa dsb. secara rutin dan berulang-ulang?
Hanya Abang Sahat Sahala Tua Saragih yang bisa. Tak ada lagi yang bisa, saya jamin itu. Sialnya, sebentar lagi gilirannya untuk pamit dari dunia akademik akan segera tiba. Mungkin segala lawakannya yang membosankan itu tak akan lagi menggema di telinga mahasiswa. Mungkin tak akan ada lagi orang yang dibuat pusing oleh permainan logika bahasanya. Mungkin tak akan ada lagi mahasiswa tipes karena mengerjakan T1-T12 Wawancara.
“Kalian sudah baca buku ini?”
“Sudah, Bang!”
“Bagiamana bisa kalian baca buku ini? Ini kan buku saya,
kalau yang Anda baca kan buku milik saudara”
Tetapi semua wejangan, guyonan, warisannya akan terus
abadi. Menjadi wartawan ataupun tidak urusan belakangan. Menjadi kritis, jujur, sederhana, disiplin, giat belajar, tak pernah puas, banyak taktik seperti yang selalu diucapkannya adalah nubuat yang harus dijaga dan tetap dibuat abadi dalam tingkah dan laku.
Selamat memasuki masa pensiun, Bang!
Tenang saja, meski kami selalu bebal mengumpulkan
163
mereka dan BANG SAHALA


‘Apresiasi-apresiasi dangkal’ setiap pekan, kami tak pernah dangkal mengapresiasi jasa Abang sebagai pengajar, sebagai orang tua, sebagai ayah, sebagai kakek, dan sebagai orang yang selalu mengatakan hal yang sama setiap kali salah satu dari kami jadi sarjana.
“Kalau nanti jadi wartawan, usahakan agar tidak jadi wartawan media partisan.”
***
164
2010-an


“Bang Sahala Masih Ngajar?”
Dimas Jarot Bayu
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 2011. Jurnalis Katadata.co.id.
Barangkali kalimat itu yang kerap saya dengar ketika bertemu dengan senior dari Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran berbagai angkatan, baik ketika melakukan magang maupun “terjun” ke dunia kerja. Tidak hanya di satu pos peliputan saja rasanya kalimat itu dilontarkan, melainkan di berbagai lokasi -Istana, DPR, KPK, Pengadilan Negeri, Kementerian, hingga beberapa LSM. Bukan hanya bagi mereka yang bekerja sebagai jurnalis, namun juga humas, pengusaha, hingga aparatur sipil negara. Bahkan, kalimat itu pula melintas tatkala ketika saya melakukan wawancara kerja.
Saya ingat betul, pertengahan 2017, ketika saya memutuskan pindah ke salah satu media massa digital sektor ekonomi, hal pertama yang ditanyakan dalam wawancara
kerja oleh Redaktur Pelaksananya adalah perihal Bang Sahala. Seolah, hal tersebut menjadi standar bagi kami sesama “anak Jurnal” -sebutan bagi mahasiswa dan lulusan Jurnalistik FIKOM Unpad- untuk membuka percakapan lebih jauh.
Rasanya, kami punya berbagai alasan mengapa nama Sahat Sahala Tua Saragih, dosen pengampu mata kuliah teknis,
165
mereka dan BANG SAHALA


166
seperti Wawancara, Reportase, hingga Penulisan Berita Cetak, Berita Khas, Artikel, dan Berita Mendalam ini kerap kami perbincangkan, bahkan setelah lulus kuliah. Barangkali yang pertama akan selalu diingat adalah soal bagaimana Bang Sahala menerapkan disiplin dalam setiap mata kuliah yang diampunya.
Selama Bang Sahala mengajar, tak boleh ada kata terlambat, titip presensi, bolos kuliah, ataupun plagiasi. Jika hal tersebut dilakukan, walah, bisa-bisa harus menambah kuliah satu tahun. Pasalnya, mata kuliah yang diampu Bang Sahala adalah mata kuliah wajib. Apabila mahasiswanya melakukan hal-hal yang disebutkan di atas, nilainya instan menjadi E. E = tidak lulus. Tidak lulus maka mengulang tahun depan. Dengan begitu, waktu kuliah standar 4-5 tahun bisa naik menjadi 6 atau 7 tahun. Otomatis, uang yang harus dikeluarkan untuk kuliah akan terus bertambah. Rugi besar kalau sudah begini.
Namun itu hanya pantangan-pantangan yang tidak
boleh dilakukan selama mengikuti mata kuliah yang diampu Bang Sahala. Pantangan, belum tantangan. Saya beritahu tantangannya: melakukan apresiasi terhadap buku, majalah, atau berita. Di satu waktu mungkin hanya beberapa berita yang saya apresiasi. Itu mah perkara mudah.
Akan tetapi di waktu lainnya, jangankan satu buku, kadang dua buku dengan tebal ratusan halaman juga harus “dilahap”. Tenggatnya sepekan. Ini belum dihitung dengan tugas-tugas dari mata kuliah lainnya ditambah kegiatan ormawa dan aktivitas di himpunan. Kalau sudah begini, ya mau tidak mau, mahasiswa Jurnal, termasuk saya, tidak tidur. Sedia kopi sebelum tugas apresiasi, yang banyak, jangan tanggung. Itu sebabnya mungkin anak-anak Jurnal setiap mata kuliah Bang Sahala, akan selalu datang dengan mata sembab ke kampus. Juga lusuh, sebab kalau mandi setelah begadang itu bikin badan meriang.
Sudah berhasil menunaikan tugas tersebut? Jangan senang dulu. Belum tentu nilai yang keluar bakal memuaskan kalau cuma selesai mengerjakan tugas apresiasi. Tiap mahasiswa harus pula berlomba memasukkan berita atau artikelnya ke media massa ternama. Bukan, tujuannya bukan mencari eksistensi
atau tambahan finansial. Ini cuma sekadar dapat tambahan
2010-an


nilai untuk mata kuliah Bang Sahala (nilainya juga belum tentu bagus, sih).
Bagi saya, “penderitaan” selama diajar Bang Sahala masih terus berlanjut, meski mata kuliah yang diampunya sudah tuntas. Ketika semester 8, Bang Sahala menjadi pembimbing utama skripsi saya. Alhasil saya harus bertemu dua kali setiap pekannya selama tiga bulan pertama masa pengerjaan skripsi. Bang Sahala pernah bilang, tujuannya pertemuan tiap dua kali sepekan itu untuk mempercepat pengerjaan skripsi. Namun kenyataannya, skripsi saya baru rampung sekitar satu tahun, hehe.
Pada triwulan kedua dan ketiga masa pengerjaan skripsi, saya merasa seperti ‘buron’. Setiap ke kampus, selalu ada
teman yang bilang, “Rot, lo kemana aja? Dicariin Abang tuh”. Waktu itu, skripsi saya memang agak sedikit terhambat karena narasumber dari salah satu media massa yang menjadi objek penelitian enggan diwawancara. Karena hal itu pula, saya memutuskan untuk tidak bertemu Bang Sahala dulu hingga semua proses pelaksanaan penelitian saya rampung. Hanya saya tidak menyangka kalau Bang Sahala terus mengejar saya sesuai tenggat yang disepakati. Karena itu saya dan Bang Sahala seperti kejar-kejaran terkait skripsi itu. Bang Sahala, maafkan saya.
Bagaimanapun juga, semua ‘penderitaan’ akibat Bang Sahala itu pula yang rupanya membuat saya bisa lebih disiplin. Tugas apresiasi juga yang membuat saya sekarang ini lebih senang dan rajin membaca. Hal ini jadi berguna pula ketika saya memutuskan melanjutkan kuliah.
Disiplin yang ditularkan Bang Sahala ketika mengajar
ini juga erat kaitannya dengan bagaimana penerapan etika jurnalistik. Mungkin kalau mengenai ilmu-ilmu teknis penulisan, rasanya saya bisa belajar secara dari lapangan, sebagaimana teman-teman wartawan lain dari jurusan berbeda. Namun soal etik, hal ini yang mampu membedakan kami, lulusan Jurnalistik FIKOM Unpad dengan banyak wartawan lain - meski tidak semua.
Saya diajarkan Bang Sahala bagaimana jurnalis hendaknya tak punya kepala kosong ketika melakukan peliputan, tidak
167
mereka dan BANG SAHALA


168
mengambil gratifikasi, tidak melakukan plagiasi, serta harus rajin melakukan upaya verifikasi. Prinsip-prinsip dasar ini kerap ditanamkan Bang Sahala tatkala kami bertemu dalam mata kuliah yang hampir tiap semester diampunya.
Selain hal-hal serius di atas, saya juga senang mengingat guyonan a la Bang Sahala. Guyonan yang agak jayus dan kerap dilontarkan lantaran kami salah berlogika bahasa, seperti ini contohnya:
“Sudah makan siang?”
“Siang kok dimakan? Hehe.”
Bagaimana? Jayus-kan? Angkatan saya juga beberapa
angkatan bawah yang saya kenal kerap menirukan gaya Bang Sahala ketika mengajar dan melontarkan guyonannya yang khas itu di kelas. Tiap ada yang menirukannya, rasanya saya geli sekaligus malu juga, hahaha.
Tetapi di balik guyonan jayusnya itu, saya mampu memahami bagaimana menggunakan dasar logika bahasa dalam penulisan. Ini pula yang mempermudah saya ketika melakukan pekerjaan sebagai jurnalis. Pengalaman pribadi saya ini bisa
saja berbeda dengan rekan-rekan Jurnalistik lainnya, tapi saya kira setiap kita punya hal masing-masing yang cukup melekat dengan Bang Sahala. Dosen legenda ini punya banyak hal yang mampu menjadi bekal para mahasiswanya kelak. Tak hanya itu, Bang Sahala juga yang saya rasa menjadi “penghubung” bagi kami lulusan Jurnalistik Fikom Unpad lintas-angkatan untuk bisa saling berbincang, meski tak benar-benar saling kenal.
Maka ketika Bang Sahala nanti sudah tidak mengajar, rasanya akan banyak yang merindukan jawaban atas pertanyaan, “Bang Sahala masih ngajar?” dan pertanyaan-pertanyaan lanjutan setelahnya. Kami ingin tahu kabar Bang Sahala, begitu pula gaya dan apa saja yang diajarkannya ketika di kampus, sambil melakukan romantisme ketika dulu. Mungkin nanti, perbincangan soal Bang Sahala akan semakin pudar seiring waktu, namun saya yakin jasanya akan terus dikenang sebagai salah satu dosen terbaik FIKOM Unpad.
***
2010-an


Abang Sahala
bukan ‘Munsyi’ Pertama bagi Saya
Asmi Nur Aisyah
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 2013. Penulis Kreatif dan Pegiat Film.
“Jadi...”
“Eits. Jadi itu simpulan. Jangan kau taruh di awal.” “Ehm, oke. Begini, kalau misalnya saya...”
“Eits. Kalau ya kalau. Misalnya ya misalnya. Pilih salah satu!”
Guyonan ‘kepekaan berbahasa Indonesia’ seperti itu mendadak populer semenjak saya dan rekan seangkatan Jurnalistik 2013 memasuki semester empat perkuliahan. Kalau tidak salah, pertemuan pertama kelas saya dan Abang Sahala terjadi di mata kuliah Penulisan Berita Khas (PBK). Sedikit terlambat, berbeda dengan kelas sebelah yang sudah bertemu Abang sejak satu semester sebelumnya. Itulah mengapa Jurnalistik angkatan 2013 baru kompak menjadikan sentilan ‘kepekaan berbahasa’ sebagai bahan guyonan pada semester empat.
Daripada disebut sebagai guyonan, kepekaan Abang dalam berbahasa lebih pantas disebut sebagai suri teladan. Semenjak duduk di mata kuliah yang diampu oleh Abang, semua mahasiswa jurnalistik mendadak terkena virus peka berbahasa seperti Abang. Kalau Abang diibaratkan seorang nabi, maka kami mahasiswa jurnalistik ini adalah sahabat-sahabatnya. Bagaimana tidak, semenjak bertemu Abang, di mana pun dan kapan pun kami menemukan orang yang bilang ‘kalau misalnya’,
169
mereka dan BANG SAHALA


170
kami pasti langsung bertindak tegas.
“Kalau ya kalau, misalnya ya misalnya,” cecar kami,
terinternalisasi virus Abang.
Teman yang kami potong omongannya tentu akan langsung
terheran-heran. Kami kerap lupa, tidak semua lawan bicara kami pernah belajar di kelas Abang. Mereka belum tentu tahu mengapa kalau tidak bisa bersanding dengan misalnya. Saat- saat seperti inilah yang membuat kami benar-benar harus menjadi perpanjangan tangan Abang, memberi kuliah setengah SKS tentang ‘mengapa kalau tidak berjodoh dengan misalnya’. Lumayan kan, berbagi ilmu dan nambah pahala. Giliran saya deh mencari seseorang yang bisa menjelaskan ‘mengapa saya tidak berjodoh dengan si dia’. Kira-kira Abang mau jadi mentor saya tidak, ya?
Ah, sebentar.
Saya baru ingat, rupanya pertemuan pertama kelas saya dan Abang bukan di semester empat. Abang sempat menjadi dosen tamu pada semester satu atau dua. Jujur, satu-satunya
hal yang saya ingat dari kelas itu adalah guyonan ‘makan pagi’ Abang yang begitu melegenda. Saya benar-benar tidak ingat hal lainnya, bahkan mata kuliahnya saja saya tidak ingat.
“Kalian sudah makan pagi?” tanya Abang kala itu. “Sudah, Bang.”
“Memangnya pagi bisa dimakan?”
Hening.
Beberapa detik kemudian beberapa mahasiswa tertawa, sisanya lagi tetap kebingungan sambil garuk-garuk kepala.
Serius, guyonan itu benar-benar melegenda. Pada pertemuan mingguan pers mahasiswa dJatinangor, seorang senior bahkan sempat bertanya kepada saya soal ini.
“Sudah ketemu Abang Sahala?” tanya senior itu.
“Sudah, tapi beliau cuma jadi dosen tamu,” jawab saya. “Sudah ditanyain soal makan pagi belum?”
Baiklah, ternyata guyonan ‘makan pagi’ memang sepopuler
itu, kawan. Benar-benar legenda! Saya membayangkan, senior dari senior saya itu pun mempertanyakan hal serupa setahun yang lalu. Dua tahun yang lalu, senior dari seniornya senior saya
2010-an


mungkin juga mempertanyakan hal yang sama. Begitu pun tiga tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Pusing? Mungkin ini yang dinamakan makanpagiception.
Tunggu. Saya yakin, kalau Abang membaca tulisan saya ini, dahi Abang pasti berkerut. Batin beliau bergejolak sambil bertanya, “Makanpagiception? Bahasa dari mana itu?”
Memang, selain peka dalam berbahasa Indonesia, Abang juga terkenal anti-nginggris. Selama bisa dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia, Abang tidak akan menggunakan istilah berbahasa Inggris dalam satu kalimat berbahasa Indonesia. Di titik inilah angkatan kami patut berbangga hati bisa berkuliah
di jurusan jurnalistik dan berkesempatan belajar di kelas Abang. Kami merasa dipertemukan dengan Remy Sylado bercampur Ivan Lanin versi Unpad.
Sikap anti-nginggris Abang kemudian menginspirasi saya dan dua rekan seangkatan untuk membuat gerakan bernama ‘Seruan Berbahasa Indonesia’ yang diakronimkan menjadi Serbahasa. Gerakan ini dibuat dalam rangka mengikuti lomba kajian media bertema budaya populer di Universitas Indonesia pada pertengahan 2016. Selain menginspirasi, Abang juga menjadi sponsor terbesar kami dalam menyusun makalah riset. Dari beliaulah kami mendapat pinjaman buku-buku kritik penggunaan bahasa Indonesia karya Ajip Rosidi dan Remy Sylado.
Harus saya akui, pengaruh Abang cukup besar bagi kami mahasiswa Jurnalistik. Virus ‘peka berbahasa Indonesia’ yang Abang tularkan terinternalisasi dalam diri kami, menjadi virus terkuat dibandingkan virus-virus sebelumnya. Mengapa? Sebelum kuliah kami belajar bahasa Indonesia selama dua belas tahun di bangku sekolah, tapi sebagian besar dari kami masih bingung membedakan “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai imbuhan. Virus Abang seolah menjadi tamparan yang menyisakan pertanyaan, “Belajar apa saja kami selama ini?”
Meskipun memberi pengaruh kuat bagi sebagian
besar mahasiswa jurnalistik di angkatan saya, virus Abang bukanlah virus terkuat bagi saya. Abang bukan guru bahasa paling berkesan dalam hidup saya. Abang bukan orang
171
mereka dan BANG SAHALA


172
pertama yang menampar saya dengan fakta ‘kalau’ tidak bisa bersanding dengan ‘misalnya’. Beliau bukan orang pertama yang mengenalkan istilah munsyi–sang guru bahasa–kepada saya. Bagi saya, beliau bukan pula wujud munsyi pertama yang muncul tepat di depan mata.
Bagi beberapa kawan seangkatan, mungkin ‘munsyi’ yang juga memberi pengaruh besar adalah Bu Lina, dosen bahasa Indonesia semasa kuliah semester pertama. Beliau memang dosen dari fakultas sastra, salah satu yang ikut menyusun modul pembelajaran bahasa Indonesia untuk mahasiswa Unpad. Soal-soal ujian yang beliau siapkan cukup sulit, tidak banyak mahasiswa yang bisa lulus dengan nilai memuaskan.
Namun, lagi-lagi tidak bagi saya. Dalam hal kepekaan berbahasa, di mata saya baik Abang maupun Bu Lina bukan yang pertama. Biar pun guyonannya melegenda, sebagai ‘guru’ bahasa Indonesia, Abang tidak cukup istimewa bagi saya. Saya sudah tahu Remy Sylado jauh sebelum saya mengenal Abang. Saya pun sebelumnya sudah pernah digembleng soal bagaimana menyerap bahasa asing ke bahasa Indonesia. Bagi saya, orang pertama yang menampar saya dengan sisi ‘peka berbahasa Indonesia’ adalah orang lain. Dia adalah Bu Betty, guru bahasa Indonesia di tempat bimbingan belajar (bimbel) semasa duduk di bangku sekolah menengah atas.
“Sewaktu Ibu rapat, saya marahi pemimpin rapatnya,” cerita Bu Betty pada satu pertemuan bimbingan bahasa Indonesia, lebih dari empat tahun lalu. Iya, saya tentu masih ingat namanya.
“Masa dia bilang menejmen (management)? Yang betul kan ma-na-je-men. Kita lagi rapat pakai bahasa Indonesia, ya dibaca sesuai kaidah bahasa Indonesia dong,” lanjutnya.
Biarlah Abang menjadi ‘guru bahasa’ yang melegenda di hati mahasiswa jurnalistik lain. Bagi saya, ada alasan lain yang membuat Abang menjadi seorang legenda. Abang mengajarkan saya untuk tidak mudah percaya pada ujaran tanpa dasar; ujaran orang lain maupun diri sendiri.
Saya menyadari hal ini dari semua tugas apresiasi karya tulis yang Abang berikan sepanjang masa perkuliahan. Baca,
2010-an


buat ringkasan, beri komentar dan apresiasi. Kalau ada hal yang membuat kami tidak setuju, sebutkan dan jelaskan mengapa. Namun, jangan asal berkomentar. Harus ada landasan yang menjadi dasar argumen tersebut, dan sebutkan dari mana sumbernya. Apakah sumbernya kami dapat dari buku, internet, atau bahkan pengalaman pribadi? Sebutkan.
Apa yang Abang tanamkan membuatku tak pernah
lupa konsep frame of referene (FOE) dan field of experience (FOR) yang kami pelajari dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi pada semester pertama. Setiap orang punya FOE dan FOR yang kompleks dan berbeda-beda. Keduanya bisa diperkaya, dan salah satu caranya dengan banyak membaca. Ah, saya tahu ini terdengar omong kosong, tapi setidaknya itulah yang saya rasakan.
Biar saya beri contoh sederhana. Suatu hari saya dilanda masalah jerawat cukup parah. Seorang kawan menyarankan saya memakai jeruk nipis dicampur madu untuk dijadikan masker. Katanya, percampuran keduanya bisa mengempeskan jerawat meradang.
“Kata siapa?” tanya saya kepadanya. “Sumber informasinya bisa dipercaya?”
Intinya, saya jadi tidak mudah percaya pada suatu informasi tanpa tahu darimana sumbernya dan sejauh mana sumber tersebut dapat dipercaya. Saya juga jadi tidak bisa asal berbicara, berpendapat, atau berargumen sebelum saya tahu bahwa apa yang saya ucapkan dapat dipertanggungjawabkan.
Oh iya, soal tugas apresiasi itu sendiri, saya punya sedikit pengakuan. Selama tiga semester saya menjalani kuliah di kelas Abang, tidak semua tugas apresiasi saya kerjakan dengan sepenuhnya jujur. Tidak, saya tidak mencontek plek tugas apresiasi orang lain. Ketidakjujuran saya tidak sebegitunya. Sejak memiliki bejibun kesibukan di organisasi kampus, saya memutar otak bagaimana caranya menerapkan konsep usaha- minimal-dengan-hasil-maksimal dalam tugas apresiasi buku setiap minggu yang Abang berikan. Jawabannya: membentuk grup diskusi.
Grup diskusi ini kalau tidak salah terdiri atas enam orang.
173
mereka dan BANG SAHALA


174
Tiap orang mendapat tugas apresiasi buku, kami membagi jumlah bab sama rata, sesuai dengan jumlah anggota grup. Setiap anggota harus membaca dengan saksama, merangkum, dan mencatat poin-poin yang harus diapresiasi. Selanjutnya kami mempresentasikan bagian bacaan kami masing-masing, sampai anggota lain paham semua bagiannya. Proses presentasi dilakukan lewat sambungan telepon atau obrolan di grup Line. Sehari sebelum pengumpulan tugas kami melakukan apresiasi buku berdasarkan poin-poin apresiasi yang sudah didiskusikan sebelumnya.
Pada hari pengumpulan tugas, kami adalah pelaku kecurangan paling tenang. Kami mampu mempresentasikan rangkuman isi buku. Kami juga mampu menjabarkan apresiasi atas buku tersebut. Kami paham isinya, meski tidak membaca keseluruhan bukunya. Tujuan saya di awal pembentukan grup diskusi ini pun tercapai; usaha minimal dengan hasil maksimal. Ide tentang grup diskusi ini cukup cerdas, bukan?
Namun, tentu saja tidak semua buku kami apresiasi dengan cara curang seperti ini. Hanya beberapa buku yang kami rasa terlalu tebal di saat masing-masing dari kami sedang benar- benar disibukkan dengan organisasi. Saya sendiri punya satu buku bacaan favorit selama mengerjakan tugas apresiasi: Saksi Kunci karya Metta Dharmasaputra. Saya membaca keseluruhan isi buku itu sampai terbawa emosi. Saya masih ingat betul, Saksi Kunci menghasilkan tugas apresiasi buku paling tebal sepanjang empat tahun saya menjalani kuliah. Kalau tidak salah, nyaris tiga puluh halaman kertas HVS A4.
Baiklah, saya cukupkan pengakuan dosa sampai di sini. Mumpung sudah jadi alumni dan ijazah sudah dicetak, saya merasa lebih bebas mencurahkan isi hati, hehehe. Jika Abang membaca pengakuan saya tadi, saya harap Abang memaafkan kelakuan kami. Nah, kalau selama ini Abang merasa ada oknum-oknum mencurigakan yang sepertinya-mencontek-tapi- tidak-mencontek tugas apresiasi, setidaknya Abang jadi tahu metode curangnya seperti apa.
Kembali lagi ke pengaruh tugas apresiasi buku, saya juga merasakan efeknya dalam pengerjaan skripsi. Saat menulis
2010-an


bagian pembahasan, saya merasa seperti melakukan tugas apresiasi. Serupa tapi tidak persis. Mungkin itulah mengapa ketika saya merasa menulis bagian pembahasan tidak seberat yang saya kira sebelumnya. Saya sudah terbiasa mencari rujukan dari beragam sumber untuk kemudian saya jadikan pisau analisis bagi temuan dalam skripsi. Bahkan, sampai saat ini saya masih tidak percaya saya bisa menyelesaikan skripsi. Saya masih ingat kalimat pertama yang keluar di kepala saya tatkala kalimat terakhir pada bab empat selesai saya tulis: “Loh, ini selesai toh?”
Saking besarnya pengaruh tugas apresiasi buku, saya sempat terinspirasi untuk menjadikan apresiasi buku sebagai mas kawin pernikahan saya nanti. Ada beberapa buku dan ayat kitab suci yang ingin saya pastikan dibaca dan diapresiasi oleh calon pasangan saya sebelum kami bersama. Terdengar ngawur memang, makanya saya hanya bilang ‘sempat terinspirasi’. Belum tentu saya jadi menerapkannya.
Terakhir dan yang paling klise, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kalau bukan karena pengaruh tugas-tugas Abang, saya mungkin tidak akan menjadi saya yang sekarang.
Oh iya, sesungguhnya sepanjang menulis testimoni
saya sedikit takut kalau-kalau diksi, tanda baca, dan konten tulisannya membuat Abang sakit kepala. Semoga tidak ya, Bang.
Sehat selalu Abang Sahala idolaku! ***
175
mereka dan BANG SAHALA


Mengulang Kisah Mingguan
Wibi Pangestu Pratama
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 2012. Jurnalis Harian Ekonomi Bisnis Indonesia.
“Tik-tok jam. Dering alarm. Pagi tak terhindarkan. Tik-tok jam. Dering alarm. Impian pudar perlahan. Diam-diam, pagi tak terhindarkan.”
Lagu Balada Harian dengan lirik pembuka tadi dirilis Silampukau, kelompok musik asal Surabaya pada 2015. Meski lagu tersebut bercerita tentang kehidupan urban, sebagian liriknya cukup relevan untuk menggambarkan kehidupan mahasiswa Jurnalistik yang sedang menjalani perkuliahan bersama Abang Sahala. Bagi angkatan 2012, di tahun rilisnya lagu tersebut kami berjibaku dengan mata kuliah Penulisan Artikel dan Tajuk Rencana.
Bercerita tentang mata kuliah yang diampu Abang Sahala memang ibarat menyanyikan lagu lama. Pola pengajaran yang cenderung sama dari waktu ke waktu (berdasarkan pengamatan saya melalui obrolan-obrolan dengan senior lintas angkatan) menghasilkan cerita yang memiliki kesamaan. Meskipun begitu, tentu tiap angkatan memiliki kisahnya masing-masing.
Pertemuan dengan Abang Sahala sebenarnya berawal dari mata kuliah Pengantar Ilmu Jurnalistik (atau Lingkup Jurnalistik di kurikulum teranyar), namun mata kuliah ini tidak termasuk
176 ke dalam ‘matkul Sahala’ (begitu para mahasiswa menyebutnya
2010-an


-- tentu Abang tidak akan suka dengan struktur kalimat yang kacau ini) yang membuat lagu Balada Harian tadi jadi relevan. Kisah per-Sahala-an dimulai pada mata kuliah Wawancara, sampai akhirnya bertemu ‘raja terakhir’, Penulisan Berita Mendalam.
Minggu-minggu matkul Sahala selalu diawali dengan mahasiswa rajin atau ketua kelas yang menaruh master buku atau bahan yang menjadi tugas. Angkatan saya biasanya menaruh master ini di tempat fotokopi samping gerbang
Ciseke Besar. Mang-mang fotokopi menyediakan wadah khusus bertuliskan “Jurnalistik” untuk menaruh tumpukan fotokopian. Saya ingat, minggu pertama menjalani mata kuliah wawancara saya mengambil fotokopian tugas tepat di hari tugas itu diberikan, dengan niatan untuk langsung dikerjakan. Nyatanya? Tebak sendiri aja lah ya.
Percakapan di grup Line kemudian mulai ramai, bertanya “pada ngerjain di mana?”. Tugas Abang memang lebih enak dikerjakan berjamaah, dengan harapan bisa saling memotivasi untuk menyelesaikan tugas. Berkumpulah jurnal-jurnil di beberapa titik, biasanya tempat kost, atau café bagi mereka yang mampu. Membicarakan sulitnya tugas atau menggosipkan dosen ternyata selalu lebih menarik saat berkumpul ketimbang mengerjakan tugas itu sendiri. Alhasil itu membuat tugas se“makin lama selesai. Semakin malam, larut.
177
Tik-tok jam. Kubayangkan, hari begitu panjang. Tik-tok jam. Lalu-lalang, “
derum dan bising jalanan. Ku berbaring, membayangkan hari pasti ‘kan panjang.
Subuh menjelang. Mereka yang masih terjaga terus mengetik, menyelesaikan tugas sembari mengeluh “kenapa enggak gue cicil sih ini,” keluhan yang tiap minggu terus diucapkan. Saya sendiri selalu memilih untuk tidur terlebih dahulu, lalu bangun saat subuh untuk meneruskan tugas.
mereka dan BANG SAHALA


178
Sialnya, di subuh yang dingin ucapan Abang Sahala soal tugas selalu terngiang di kepala saya. “Tugas itu harus dikerjakan atau tidak sama sekali, jangan setengah-setengah.” Rayuan setan teramat kuat, opsi kedua sering jadi pilihan.
Saat hari semakin cerah, adrenalin semakin meningkat. Deadline makin dekat tapi tugas belum beres. Anehnya, ide-ide, analisis kritis dan segumpal pemikiran yang akan menunjang kualitas tugas muncul di saat seperti ini, namun tentunya tidak akan sempat diketik semua. 15 menit sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa harus menentukan pilihan: segera berangkat ke kampus lalu mencetak tugas atau mengorbankan absensi untuk mengumpulkan tugas di penghujung perkuliahan. Meskipun begitu ada saja mahasiswa yang memilih opsi ketiga, tidak kuliah dan tidak mengumpulkan tugas. Sarékeun, sob :)
Jika memilih untuk berangkat ke kampus, hal yang niscaya ditemukan ialah mahasiswa jurnal berkantung mata hampir mendekati kepunyaan SBY yang sedang mengantre di tempat fotokopi untuk mencetak tugas. Kebanyakan belum mandi. Obrolan basa-basi “udah mandi belum? Gimana tugasnya? Apre pakai buku apa aja?” muncul dengan tujuan untuk saling menenangkan diri, bahwa yang tugasnya asal-asalan bukan hanya dia seorang. Saya biasa mencetak tugas di dua tempat, di fotokopi Ciseke Kecil atau di fotokopi Fakultas Keperawatan.
Suatu waktu salah seorang teman saya mencetak tugas Abang di tempat fotokopi Fakultas Keperawatan. Saat itu
FKep masih berada di samping FIKOM, di Gedung yang kini ditempati Fakultas Hukum. Tempat fotokopi di sana kurang begitu nyaman, tempat kecil, komputernya lemot, antreannya pun panjang selalu. Tapi karena tempat itu buka sejak pagi dan paling dekat ke Fikom, banyak mahasiswa yang akhirnya pergi ke sana. Teman saya dengan tergesa-gesa mencetak tugasnya
di sana. Ia antre, selang beberapa menit mendapatkan giliran, mencetak, lalu mengambil hasil cetakan itu dan kemudian bergegas masuk kelas. Ia mengumpulkan tugas tepat waktu. Saat tugas tersebut diperiksa, Abang tiba-tiba mengangkat salah satu tugas lalu berbicara panjang lebar. Ternyata teman saya itu salah mengambil cetakan. Halaman pertama tugasnya memang benar
2010-an


milik dia, namun berlembar-lembar sisanya ternyata tugas milik anak keperawatan.
Kelas saya seringkali mendapat jadwal perkuliahan
Sahala di pagi hari. Ini tentu sangat menyulitkan bagi saya
yang termasuk kaum-kaum mepet deadline. 15-10 menit sebelum perkuliahan dimulai biasanya kelas masih sepi, hanya mahasiswa-mahasiswa rajin yang siap duduk manis sambil bercengkerama dan mengunyah kudapan. Mereka pun biasanya sudah mandi. Menjelang 5 menit sebelum mulai, barulah mahasiswa-mahasiswa lain berdatangan. Beberapa berjalan santai karena sudah mengukur waktu sejak keberangkatan. Saat waktu perkuliahan dimulai, ketukan pintu kerap terdengar. Abang memberi toleransi keterlambatan 15 menit untuk mengikuti perkuliahan. Di waktu ini mahasiswa yang masuk kelas dapat dipastikan ngos-ngosan setelah berlari, takut kesiangan, dan tentunya belum mandi.
Setelah 15 menit batas toleransi Abang akan menutup pintu kelas, tanda mahasiswa sudah tidak diperbolehkan lagi memasuki kelas. Salah seorang teman saya pernah tiba di kampus dalam masa injury time tersebut. Dari tempat parkir
ia berlari kencang menuju kelas. Setibanya di lorong kelas ia melihat bahwa pintu kelas masih terbuka, ia cukup tenang. Namun saat semakin dekat dengan kelas, ia melihat pintu tersebut perlahan bergerak. Ia pun berlari sekencang The Flash atau Quicksliver dan dengan tepat waktu ia menahan pintu yang ditutup Abang Sahala itu. Ia menatap wajah Abang dan tanpa bicara banyak ia langsung masuk kelas. Pemberani.
Saat perkuliahan dimulai biasanya para mahasiswa akan memperhatikan orang-orang di kelas, melihat apakah kawan- kawannya sudah berada di kelas atau belum. Mata kuliah Sahala yang bersyarat membuat setiap mahasiswa tidak boleh gagal, karena dapat berdampak pada semester-semester selanjutnya. Mahasiswa yang berada dalam kondisi repot (absensi mendekati batas akhir) biasanya sudah dihubungi di masa batas toleransi kehadiran, apakah ia akan masuk, mengumpulkan tugas, atau akan mengikhlaskan waktunya untuk mengulang di kemudian hari.
179
mereka dan BANG SAHALA


180
Meskipun ada batas toleransi kehadiran, mahasiswa menggunakan teknik tersendiri untuk bisa masuk kelas Abang dengan tugas di tangan, salah satu yang familiar ialah dengan menyimpan tas terlebih dahulu di dalam kelas. Saya termasuk sering menggunakan teknik ini. Saya datang lebih awal ke
kelas untuk menyimpan tas, lalu pergi ke tempat fotokopi
untuk mencetak tugas. Kalau batas toleransi kehadiran sudah lewat, mahasiswa akan masuk kelas dengan muka datar (poker face) seolah-olah ia sudah hadir sebelum perkuliahan dimulai namun izin untuk keluar kelas terlebih dahulu. Teknik ini seringkali berhasil, khususnya jika Abang dalam mood yang baik atau sedang fokus memeriksa tugas. Namun dalam beberapa waktu terakhir, Abang sudah geram dengan teknik ini. Pernah
ia berbicara dengan nada agak tinggi agar mahasiswa tidak melakukan itu lagi, yang kemudian Abang mengucapkan kerjakan tugas dengan baik atau tidak sama sekali.
Teknik tadi pun kerap gagal karena Abang memiliki ingatan yang baik. Pernah beberapa mahasiswa yang masuk kelas sambil memasang muka datar diberhentikan oleh Abang. Ia ditanya kenapa baru masuk dan habis dari mana, mahasiswa tersebut mulai bersandiwara bahwa ia habis dari toilet atau mengungkapkan alasan lain, namun dengan tegas Abang menjawab bahwa Abang tahu dia belum masuk kelas. Mahasiswa itu pun dilarang masuk dan dinyatakan absen.
Bicara soal ingatan, saya mengakui bahwa ingatan Abang memang sangat baik. Saat itu, di masa awal saya menjadi mahasiswa saya mendapat pengumuman bahwa dosen wali saya adalah Sahat Sahala Tua Saragih. Saya tidak mencari tahu siapa beliau ini, apa yang dikerjakannya, dan hal-hal lain. Saya hanya tahu bahwa beliau adalah dosen Jurnalistik. “Oh, pas kalau gitu,” pikir saya, yang sejak awal memang ingin memilih Jurnalistik. Pertemuan pertama dengan Abang Sahala terjadi di ruangan pojok tempat Abang biasa duduk, saat perwalian. Abang bertanya-tanya sedikit tentang saya, dan saat tahu tempat asal saya, Abang pun berbicara dengan Bahasa Sunda.
Tidak banyak yang kami obrolkan saat itu, Abang hanya bertanya latar belakang dan rencana studi. Setelah itu saya pun
2010-an


Click to View FlipBook Version