The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ipitzulfan, 2019-05-08 22:15:15

mereka dan BANG SAHALA

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

macet dan jarak kampus yang jauh? Percuma! Karena di antara penumpang yang berdesakan di dalam bis kota Damri, yang saban hari mondar-mandir dari Bandung ke Jatinangor itu, Pak Sahala adalah salah satunya. Sebagai dosen yang juga menjalani profesi wartawan, Pak Sahala cukup bersahaja menggunakan bus kota seperti juga kebanyakan mahasiswa. Jadi kalau dia bisa tiba tepat waktu untuk mengajar, tak ada alasan bagi mahasiswanya datang terlambat.
Sebagai wartawan, penampilan Pak Sahala jauh berkebalikan dari yang dipersonalisasikan anak-anak Jurnalistik tentang sosok pemburu berita. Dia selalu mengenakan pantalon kain ketimbang celana jeans belel dan lusuh. Kemejanya selalu rapi, dengan bagian bawah dimasukkan ke dalam celana. Bahkan kalau mengenakan kemeja lengan panjang, bagian ujung lengannya selalu terkancing di pergelangan tangan, tak pernah digulung.
Dari sela kancingan lengan panjang bajunya, sesekali terlihat menyembul arloji logam. Entah Seiko atau Citizen. Yang pasti selera orang tua seumuran Pak Sahala.
Alas kakinya adalah sepatu pantofel dengan kulit hitam mengkilap. Sepanjang jadi mahasiswa Jurnalistik, saya belum pernah melihatnya mengenakan sneaker atau sepatu kets. Sehingga saat melangkah di lorong atau meniti tangga gedung perkuliahan, derap sol sepatunya beradu dengan lantai keramik bisa terdengar cukup jelas. Terutama saat jadwal perkuliahan berlangsung siang hari, ketika kampus relatif lebih sepi. Ditambah lagi, cara jalan Pak Sahala selalu bergegas. Setiap langkahnya tegas, tak pernah terlihat gontai.
Semakin langkah itu terdengar kencang pertanda si empunya makin dekat ke ruang perkuliahan, rasa deg-degan kami para mahasiswanya yang sudah lebih dulu di dalam ruangan, semakin bertambah. Yang sudah siap dengan tugas atau usulan, selalu ada keraguan bahwa pekerjaannya akan diterima dengan mulus. Apatah lagi yang setengah siap. Sesaat kemudian langkah itu terhenti sesaat, handel pintu ruang perkuliahan pun berderit pelan hingga pintunya terbuka. Sesosok laki-laki paruh baya menunjukkan mimik serius,
31
mereka dan BANG SAHALA


32
dengan setangkai kacamata yang tertahan di puncak hidung. Itulah Sahat Sahala Tua Saragih.
Dalam mengajar, saya melihat Pak Sahala sebagai sosok yang dingin. Tak ada toleransi buat kesalahan, juga kelalaian. Semua harus akurat, termasuk ketika menyangkut objek yang detail. Sekali waktu dalam perkuliah Liputan Mendalam (in-depth reporting), saya mengangkat liputan soal kios-
kios penjual rokok kaki lima yang berhimpun dalam sebuah koperasi.
Saya tertarik mengangkat liputan tersebut, karena ada kontroversi di situ. Yakni pada satu sisi pemerintah mendorong perkembangan koperasi, tapi pada sisi lain keberadaan pedagang kaki lima dianggap sebagai pengganggu keindahan dan ketertiban kota. Bagaimana pemerintah Kota Bandung menyikapi dilema ini?
Untuk laporan liputan mendalam itu, saya mengambil judul “Nasib Kelabu Kios-kios Biru”. Saya merasa judul itu sudah keren, karena kata-katanya mengandung rima. Selain itu, dalam pengamatan saya, kios-kios rokok kaki lima yang saya temui memang berwarna biru. Namun Pak Sahala menolak judul itu, dan meminta saya memastikan lagi ke lapangan bahwa banyak juga kios rokok kaki lima yang tak berwarna biru. Di matanya, fakta bahwa tak semua kios yang saya maksud berwarna biru, tak bisa dipungkiri semata-mata untuk mengejar keindahan judul yang berima.
Lain lagi kisah seorang kawan, Iwan Yulistiawan. Mahasiswa Jurnalistik angkatan 2000 itu, menuturkan kisah ini ketika saya sama-sama bekerja di tvOne. Saat kuliah Liputan Mendalam, dia mengangkat topik soal Pekerja Anak-anak di Industri Sepatu Cibaduyut. Ketika pembahasan hasil liputan, Iwan diminta Pak Sahala kembali ke lapangan. Hal itu harus dilakukan ulang, demi mendapatkan deskripsi detail dan mendalam soal bagaimana beratnya anak-anak bekerja di industri sepatu Cibaduyut.
“Saya harus nongkrongin anak-anak itu bekerja siang- malam. Saya ada di tengah-tengah mereka,” kisahnya. Semua tahapan pengerjaan tugas kuliah, memang tak luput dari
1990-an


perhatian dan bimbingan Pak Sahala. Mulai dari usulan liputan, perencanaan, hingga penulisannya. Dan itu berlaku untuk semua mahasiswanya di setiap angkatan, tanpa kecuali.
Itulah dinginnya Pak Sahala. Menyangkut fakta dan akurasi, tak ada kompromi baginya. Semuanya serba hitam-putih, benar- salah. Apalagi jika menyangkut kaidah bahasa dan tanda baca. Ibaratnya setiap titik koma, tak akan luput dari koreksinya jika memang salah. Keteguhan Pak Sahala berbahasa yang baik dan benar, belakangan saya cermati, juga konsisten dilakukannya di media sosial.
Sekali waktu seorang kawan diingatkan karena menggunakan diksi “Kids zaman now” yang memang saat itu sedang ngetren. Di akun Facebook-nya, Pak Sahala mengoreksinya dengan “Anak zaman sekarang”.
Selain itu, Pak Sahala tahu benar bahwa tulisan yang baik lahir sebagai buah karya dari orang yang punya kebiasaan membaca yang baik. Itulah di setiap perkuliahannya,
selalui diawali dengan mengulas buku yang menjadi bahan pengantar kuliah. Mahasiswa pasti mendapat tugas awal untuk merangkum, mengulas, membuat resensi atau sejenisnya. Hasilnya tak sekedar dikumpulkan, tapi dipaparkan di depan kelas.
Pemaparan tugas itu sudah merupakan ujian mental tersendiri. Di sesi-sesi paparan inilah Pak Sahala dikenal dengan kritik tajamnya, “Apresiasi Anda terlalu dangkal!” Kalimat itu, serta kritik dan masukan lainnya, tak pernah disampaikan dalam nada kalimat yang mencela atau dengan tekanan kemarahan. Namun tensi kalimat yang dingin itu sudah cukup bikin grogi kebanyakan mahasiswanya.
Namun di luar perkuliahan, sosok karakter yang dingin itu saya rasakan berbalik 180 derajat. Kali pertama kesan itu saya temukan, ketika berjumpa Pak Sahala di sebuah liputan. Saat itu, saya menjalani job training di Harian Ekonomi Bisnis Indonesia. Jika di kampus dia bersikap sebagai dosen yang dingin, saat
itu Pak Sahala muncul sebagai sosok kawan sesama wartawan yang hangat. Padahal, wartawan-wartawan senior umumnya memandang dengan sebelah mata wartawan baru. Apalagi anak
33
mereka dan BANG SAHALA


34
magang alias yang sedang menjalani job training.
Sebagai anak magang Bisnis Indonesia, saya hanya sesekali
liputan tandem dengan wartawan Bisnis Indonesia, yakni di masa-masa awal saja. Setelahnya saya diberi penugasan liputan sendiri, dan sekali waktu untuk pertama kalinya bertemu Pak Sahala, di liputan PT Telkom Indonesia. Memang di antara kami sudah saling mengenal di kampus, yakni dalam relasi dosen-mahasiswa. Namun di liputan, saya merasa Pak Sahala menempatkan dirinya sebagai kawan sejajar saya di dunia liputan.
Kehangatan itu terus berlanjut, ketika saya dan mahasiswa- mahasiswanya satu per satu lulus dan meninggalkan kampus. Dosen yang dulu dingin itu, senantiasa hangat saat berjumpa
di kegiatan liputan atau acara kampus. Dia juga selalu menjalin komunikasi dengan mahasiswa-mahasiswa yang kini telah menjadi koleganya, melalui media sosial Facebook. Pak
Sahala sangat rajin mengunggah foto-foto pertemuan dengan bekas mahasiswanya dulu. Demikian juga jika mendapati mahasiswa atau bekas mahasiswanya meraih prestasi atau hal yang membanggakan, dia pasti selalu mengabarkan di akun Facebooknya.
Saya memahami, itu suatu bentuk kebanggaan terhadap anak-anak didiknya. Juga secara tak langsung sebuah pujian, hal yang sejauh saya rasakan semasa perkuliahan, hampir tak pernah diungkapkan Pak Sahala. Mungkin menurutnya, “Sudah kemestian seorang wartawan bekerja baik dan menghasilkan karya jurnalistik terbaik. Pujian yang patut dan terhormat tentulah dari khalayak pembaca tulisan itu.”
Soal kehangatan Pak Sahala berkomunikasi di Facebook, ada suatu masa ketika cukup lama saya tak pernah menengok akun Facebook saya sendiri. Sampai suatu ketika saya mendapati Pak Sahala mengucapkan selamat ulang tahun di inbox Facebook saya. Itu saya temukan ketika ulang tahun saya sudah lewat sekian bulan yang lalu. Saya jadi tak enak hati, karena tak segera merespons balik ucapan selamat ulang tahun tersebut. Ucapan ulang tahun sebenarnya hal biasa saja, tapi terasa menjadi istimewa karena diucapkan Pak Sahala, dosen
1990-an


yang dingin tapi kini telah menjadi kawan yang hangat. ***
35
mereka dan BANG SAHALA


36
Kertas Tugas Sahala:
“BW tanggal sekian...
sekian...”
Yuyuk Andriati Iskak
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1991, Kepala Bagian Pemberitaan dan PUBLIKASI Divisi Hubungan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Berinteraksi dengan wartawan ‘zaman now’ kadang membuat saya jengah dan sesekali juga ingin tertawa ngakak sambil bergumam...”Reporter ini pasti tidak pernah mendapatkan tugas kuliah yang dicoret-coret dengan tulisan BW tanggal sekian...sekian...” Tentu yang pernah menjadi mahasiswa Pak Sahala Tua Saragih (mahasiswa sekarang akrab memanggilnya dengan “abang”, tapi angkatan saya-Jurnalistik 91- tak bisa berubah memanggil Pak Sahala) tak asing lagi dengan coretan tangan di setiap tugas-tugas penulisan seperti penulisan feature maupun penulisan pelaporan mendalam (in depth reporting).
Begitu melekatnya ingatan pada coretan tugas mata kuliah Pak Sahala, sampai saat bekerja dan harus mengedit beberapa tulisan, saya hampir saja menuliskan tanggal deadline yang sama untuk revisi tulisan dari anggota tim. Saya banyak belajar dari coretan itu, bagaimana seorang jurnalis harus bisa menjaga ritme pekerjaannya. Menyelesaikan bukan saja satu tulisan, tentu perlu manajemen waktu yang saksama, sama saja saat waktu dulu kuliah banyak tugas yang mesti diselesaikan dan beberapa bahkan dalam waktu bersamaan.
Bermitra dengan jurnalis menjadi salah satu tugas saya
1990-an


saat ini di bagian hubungan masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hampir dua tahun, saya harus menjadi penganti sementara juru bicara KPK, Johan Budi, yang mengakhiri tugas di KPK dan menjadi juru bicara kepresidenan. Tugas juru bicara membuat saya harus bekerja sama dengan wartawan dari 34 provinsi di Indonesia dan juga reporter dari luar negeri.
Derasnya arus pemberitaan KPK tak pelak lagi harus membuat saya siap bekerja 24 jam dan 7 hari dalam seminggu untuk melayani seluruh kebutuhan informasi wartawan. Beruntung sudah mencicipi menjadi jurnalis di beberapa media selama 10 tahun, saya mengerti bagaimana tuntutan reporter di lapangan.
Perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia sejak saya lulus kuliah pada 1996 sampai sekarang begitu pesat. Saya tergolong mengikuti arus perubahan itu. Begitu lulus kuliah saya menjadi reporter di media cetak, sebuah majalah berita mingguan. Apa yang saya pelajari dalam kuliah saatnya diterapkan dalam dunia kerja. Mulai dari teknik wawancara hingga menulis beberapa jenis laporan, mulai dari reportase, membuat straight news, feature, dan in depth reporting.
Saya tak pernah lupa, Pak Sahala dulu selalu menekankan pada detail untuk memperkaya tulisan dan penggambaran yang menarik untuk bisa membuat tulisan lebih ‘basah’ (ini istilah
di kalangan teman-teman TEMPO). Saya ingat bagaimana
dulu tugas kuliah saya untuk penulisan feature dicoret sana-
sini karena kurang penggambaran detail. Ini berulang ketika saya menjadi reporter junior dan harus menuliskan feature tentang pertunjukan musik. Alamak! Pengetahuan saya begitu cekak tentang musik dan saat itu yang harus saya tulis adalah pertunjukan musik klasik. Alhasil setelah berupaya sedemikian rupa untuk bisa menulis, tulisan saya itu dibongkar semua oleh redaktur. Tak ada coretan BW tanggal sekian sekian seperti yang saya terima dari Pak Sahala, karena memang tulisan saya tak terpakai!
Menulis memang butuh jam terbang, kekuatan untuk terus belajar, dan banyak membaca agar tulisan-tulisan yang kita hasilkan menjadi lebih kaya. Pengalaman saya menjadi jurnalis,
37
mereka dan BANG SAHALA


38
ketika lama ‘terjebak’ untuk terus menulis straight news, kita akan betul-betul merasakan kerinduan dan kebutuhan untuk menulis yang lebih panjang, lebih bercerita, lebih banyak penggambaran dan bisa dinikmati pembaca.
Perasaan seperti ini yang sering saya obrolkan dengan teman-teman “wartawan zaman now” yang sehari-hari nongkrong di kantor saya bahkan hampir 24 jam juga. Sebagian besar dari mereka bekerja di media online dan berita yang mereka buat adalah berita singkat paling banyak 4 paragraf, sisanya bisa copy-paste dari berita sebelumnya.
Saya bertanya, apakah mereka punya kerinduan yang sama dengan saya, ingin menulis dengan ritme yang tidak terburu- buru, lebih bisa menikmati proses menulis yang indah, detail dan penyampaian ide kreatif yang bisa menginspirasi pembaca.
“Tapi tuntutan kantor lain, Mbak..satu kalimat yang mbak ucapkan atau WA-kan harus naik jadi berita,” kata mereka.
Rutinitas semacam itu yang terus menggerus waktu teman- teman wartawan, terutama media online, sehingga mereka perlu menyelipkan waktu khusus untuk membuat tulisan panjang.
Dalami Fakta, Hindari Hoaks
Perkembangan jurnalistik saya ikuti karena memang saya terlibat langsung di dalamnya. Setelah menjadi reporter di beberapa majalah berita mingguan, saya sempat bekerja di media online dan berakhir di koran harian. Mulai dari desk politik, ekonomi, hingga gaya hidup sempat saya cicipi. Saya menjadi saksi jatuhnya krisis ekonomi bangsa ini pada 1998. Di saat krisis ekonomi itulah saya justru mendapat keuntungan.
Ya, keuntungan bisa belajar banyak tentang ekonomi karena setiap hari terpapar dengan berita dan narasumber yang berbicara tentang keruntuhan ekonomi saat itu. Menunggu narasumber hingga larut malam untuk mendapatkan satu atau dua statement, menunggu rapat-rapat petinggi yang mengurusi ekonomi dan keuangan menjadi menu keseharian saya.
Dulu belum ada aplikasi whatsapp, paling banter juga SMS. Tak ada kemudahan bagi wartawan untuk bisa melakukan wawancara lewat whatsapp dan menuliskannya begitu saja.
1990-an


Kalau dulu saya berjam-jam menunggu, saya amati, wartawan saat ini bisa dengan mudah mengutip narasumber dari respon melalui whatsapp. Saya merasakan sendiri, ada perbedaan makna antara bahasa lisan dengan bahasa tulisan aplikasi percakapan, sehingga tak jarang kutipan itu salah.
Selain kemudahan mendapatkan kutipan narasumber, saya berpendapat beberapa media tidak akurat menyajikan fakta. Salah satu sebabnya adalah ketergesaan karena mengutamakan kecepatan penayangan berita. Dalam teori jurnalistik yang pernah kita pelajari di bangku kuliah, akurasi berita dan fakta adalah hal yang tidak dapat ditawar. Berita bukan ditulis berdasarkan asumsi, tetapi berdasarkan fakta.
Dalam perjalanan menjadi juru bicara, beberapa kali saya merasa ‘tersandung’ karena berita yang ditulis tak berdasarkan fakta. Selain tak berdasarkan fakta, juga tak ada konfirmasi dari narasumber. Menurut saya, ini kesalahan yang tak termaafkan dalam dunia jurnalistik. Saya diminta memberikan tanggapan (lewat whatsapp lagi-lagi) atas ‘asumsi’ yang dibuat oleh reporter itu.
Saat itu, KPK sedang memeriksa salah satu saksi pejabat yang masih aktif dan memang pemeriksaan berlangsung sehari penuh, lebih dari 8 jam. Selama pemeriksaan, informasi yang beredar di kalangan wartawan begitu banyak. Sebut saja tentang kondisi pejabat yang sedang diperiksa maupun kemungkinan apakah pejabat ini akan langsung ditahan atau masih bisa pulang.
Seorang wartawan online menanyakan kepada saya, apakah benar bapak X pingsan saat diperiksa KPK karena memang waktu pemeriksaan cukup panjang. Saya menyatakan tidak benar bapak X pingsan saat diperiksa, karena memang seperti itulah faktanya. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Muncul
berita dengan judul, “Diperiksa KPK puluhan jam, X pingsan.” Rasanya jadi saya yang ingin pingsan setelah membaca berita tak berdasar fakta itu.
Dosen STF Driyarkara, Karlina Supelli, pernah menyatakan bahwa orang-orang yang tak menerima fakta, cenderung menciptakan fakta alternatif. Di sinilah hoaks muncul! Karena
39
mereka dan BANG SAHALA


40
fakta alternatif itu menciptakan disinformasi. Berita itu menguar menjadi hoaks karena memang faktanya tak ada. Saya sepakat dengan Karlina, bahwa manusia perlu mengolah akal budi yang pada akhirnya juga bisa mengontrol emosi dengan lebih baik. Bahkan, wartawan perlu menekan emosi untuk mengurangi disinformasi. Emosi itu muncul salah satunya dari tuntutan redaksi untuk mengejar kecepatan berita dan juga keinginan untuk memunculkan berita eksklusif. Tapi kalau tak berdasarkan fakta, itu bukan berita!
Kita pernah belajar dari Pak Sahala bahwa fakta adalah persyaratan mutlak bagi berita. Panduan menulis berita dan ungkapan pengalaman menulisnya yang selalu saya ingat hingga saat ini. Pak Sahala bisa memberikan bayangan yang nyaris mendekati kerja wartawan yang sebenarnya. Memotivasi mahasiswa yang terseok-seok karena harus merevisi tugas penulisan beberapa kali pasti tak pernah terlupakan dan baru merasakan manfaatnya ketika kita sudah terjun di dunia kerja.
Piawai Menulis dan Terus Membaca
Kalau mengingat masa kuliah, saya sebenarnya minder dengan kepiawaian sahabat-sahabat saya masa itu. Sahabat- sahabat saya ini sudah terlihat passion menulisnya bahkan ketika masih menjadi mahasiswa. Sedangkan saya, masuk jurnalistik FIKOM Unpad dengan bekal “cekak”, pernah jadi pemred majalah sekolah zaman SMA.
Sahabat-sahabat saya juga mampu melewati tantangan yang selalu diberikan Pak Sahala kepada kami semua, memperbaiki tulisan yang menjadi tugas mata kuliahnya sampai bisa terbit
di surat kabar lokal. Menyebut nama Nigar Pandrianto, sahabat saya seangkatan yang orangnya ‘nyastra’ banget. Saat itu dia sudah menulis beberapa artikel dan cerpen yang dimuat di beberapa media. Ada juga Mahansa Sinulingga dengan banyak pemikiran yang serius juga menghasilkan tulisan-tulisan serius yang dimuat di media saat itu. Andry Tjitra bahkan sudah bekerja di majalah MATRA saat kami masih kuliah dulu.
Saya sering banget sok-sokan ikut Nigar untuk reportase atau melihat dia berproses mengetik cerpen-cerpennya. Tapi
1990-an


saya tetep tak melahirkan tulisan apapun! Tugas-tugas mata kuliah Pak Sahala sering banyak revisinya dan rasanya saya tak mampu menggenapi revisian itu dengan sempurna. Capaian saya pas-pasan banget untuk beberapa mata kuliah seperti Penulisan Mendalam dan Feature.
Di depan kelas, Pak Sahala selalu memotivasi mahasiswanya untuk terus membaca. Membaca koran itu wajib! Saya bersyukur kebiasaan ini melekat hingga kini, saya belum bisa berangkat tidur kalau koran hari ini belum selesai dibaca. Meski sekarang koran beralih menjadi koran digital, saya merasa lebih sreg membalik lembar demi lembar koran. Kecintaan pada koran membuat saya sangat mengapresiasi upaya apapun untuk menjaga kebiasaan membaca koran ini. Beruntung sekolah
anak saya (SD swasta di daerah Tangerang Selatan) mewajibkan muridnya membawa koran setiap awal pekan dan melakukan kegiatan membaca koran bersama. Kemudian mereka berdiskusi mengenai berita yang dibaca.
Membaca koran dan membaca buku, kata Pak Sahala waktu itu, bisa memperkaya kosa kata dan tentu menambah referensi. Menulis butuh ‘bensin’ dan ‘bensin’ itu didapat dari referensi bacaan, tontonan dan hasil wawancara. Keharusan membaca buku membuat saya sering menyambangi Pasar Palasari.
Jangan mengaku pernah kuliah di Bandung kalau tak pernah
ke Palasari! Di situlah kami dulu mencari buku-buku untuk referensi kuliah Pak Sahala dan mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Pak Sahala telah mengisi separuh kepala mahasiswa FIKOM Unpad tentang jurnalistik, tidak saja teori tentang jurnalistik dan cara kerja wartawan. Lebih dari itu, Pak Sahala juga selalu menekankan bagaimana wartawan harus selalu kritis, tak bisa disetir oleh pemodal atau pemilik uang, mental yang kuat dan berintegritas. Konsisten apa yang diajarkan di kelas dengan sikap keseharian membuat dia jadi teladan. Siapa pun yang pulang ke FIKOM Unpad pasti akan mencari Sahala, meski tak lagi sambil membawa kertas tugas bertuliskan BW...tanggal sekian..sekian...
Selamat purnatugas, Pak Sahala...
***
41
mereka dan BANG SAHALA


42
Kolega
Kolega


Mauliate Godang Abang Sahala
Rinda Aunillah Sirait
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 1998. Mengajar Mata Kuliah Penulisan Bersama Bang Sahala 2006-2009 dan 2013-2018. Dosen Mata Kuliah Penulisan dan Hukum Etika Pers di Prodi Jurnalistik FIKOM Unpad.
Tak pernah sekalipun menyangka Drs. Sahat Sahala
Tua Saragih, M.Ikom, dosen legendaris Prodi
Jurnalistik Fikom Unpad, pada akhirnya menjadi
kolega sekaligus pemberi semangat bagi saya. Dulu, 43 saya berupaya keras selalu menyelesaikan tugas yang diberikan Pak Sahala di mata kuliah Wawancara,
Penulisan Feature, Penulisan Artikel, dan Pelaporan Mendalam. Motivasi saya satu, enggan mengulang perkuliahan yang dihiasi aneka macam tugas dan enggan bertemu dosen yang selalu menyerang dengan rentetan kritik.
Layaknya jodoh, kembalinya saya ke kampus beberapa tahun terakhir membawa saya pada pertemuan dengan
sosok Bang Sahala. Sebagai asisten di mata kuliah Penulisan Berita Khas dan Penulisan Artikel Opini-Tajuk Rencana, saya kembali menikmati aneka tugas dari sosok yang kini hanya bersedia dipanggil Abang. Bila dahulu sayalah yang berjibaku mengerjakan tugas, kali ini saya membantu Abang mengoreksi tugas-tugas mahasiswa.
mereka dan BANG SAHALA


44
Menjadi Mahasiswa Pak Sahala
Seingat saya, pertemuan pertama kami terjadi saat saya menginjak semester tiga sekitar 1999. Berbagai kabar tentang Pak Sahala kerap saya dengar dari bisik-bisik senior ataupun teman seangkatan. Dosen killer; tugasnya banyak; kalau kuliah sama Pak Sahala, otak kudu diisi dulu; jangan asbun; pakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar! Semua itu menghantui saya bahkan sebelum pertemuan pertama di kelas.
Alhasil, pertemuan pertama saya dipenuhi doa. Saat
sholat subuh saya berdoa Tuhan melembutkan hati Pak Sahala, supaya saya tak kena tegur. Saat itu pula saya berdoa Tuhan memberikan perlindungan agar saya tidak ceroboh dan menyebabkan Pak Sahala menegur. Saat memasuki ruangan kelas, saya segera berdoa diberikan kekuatan dan kemampuan untuk mengikuti perkuliahan dengan baik. Saat itu saya berdoa agar diberi kemampuan untuk menjawab pertanyaan bila Pak Sahala bertanya. Saat perkuliahan berlangsung pun saya masih memanjatkan doa, “Tuhan, jangan sampai Pak Sahala melihat ke arah saya dan memberikan pertanyaan!”
Duh ingin rasanya tak terlihat...
Saya berhasil melewati pertemuan pertama dengan baik. Selanjutnya saya segera larut dalam dinamika perkuliahan yang unik, mahasiswa selalu menjadi bagian dari penyampaian materi. Selalu ada pertanyaan yang memaksa kami memutar otak. Kepala sering terasa pening saat Pak Sahala melontarkan pertanyaan yang menelisik sejauh mana logika bahasa kami. Doa selalu saya panjatkan, “Tuhan, jangan sampai saya diberi pertanyaan.”
Jangan berpikir apa yang saya lakukan sepanjang perkuliahan yang diampu Pak Sahala menunjukkan beliau
jahat atau melakukan perundungan. Doa yang dipanjatkan sebenarnya bentuk ketidakpercayaan diri mahasiswa menghadapi dosen yang memiliki kemampuan dan pengalaman luar biasa. Saya minder.
Bagi saya dan teman-teman Jurnalistik Angkatan 1998, urusan tugas menjadi perkara yang tak mudah. Perkuliahan
Kolega


yang diampu Pak Sahala selalu memadukan tugas apresiasi buku, laporan baca media cetak dan praktik penulisan. Tak pernah terbersit sekali pun untuk mengeluh, semua kami jalani bahkan tanpa terasa kami berkompetisi. Kompetisi menemukan usulan topik terbaik, kompetisi menemui narasumber yang paling bergengsi, bahkan kompetisi menghasilkan tugas dengan layout paling rapi.
Aroma kompetisi kerap terasa saat kami bercengkrama
di sekretariat Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ). Kami saling pamer, tak lupa diselingi sindiran kelemahan tugas orang lain. Diam-diam Pak Sahala telah membentuk kami menjadi sosok wartawan yang tak mau kalah.
Menjadi Kolega Bang Sahala
Perasaan menjadi kolega Bang Sahala pertama kali saya rasakan saat beliau menjalani akhir masa kerja di Suara Pembaruan, kemudian pindah menjadi wartawan Media Indonesia Biro Bandung sekitar 2001. Meskipun jarang bertemu di lokasi liputan, saya merasa Abang adalah sosok wartawan senior yang menghargai wartawan muda. Tak jarang kami bertukar informasi tentang kegiatan yang akan berlangsung.
Menjadi asisten Bang Sahala di kampus memberikan pengalaman tersendiri. Tumpukan tugas yang kerap menenggelamkan saya saat duduk di meja kerja menjadi pemandangan khas. Bila perkuliahan lain memberikan
sekitar empat sampai enam tugas saja per semester, tugas yang diberikan di mata kuliah yang diampu Bang Sahala bisa mencapai 28 tugas. Tugas-tugas itu terdiri atas apresiasi buku (berkode T), laporan baca dan praktik lapangan (berkode PL). Perkembangan menulis pun dipantau secara berkala melalui sekitar tiga atau empat kali tugas latihan (berkode L) yang dikerjakan di kelas.
Suasana perkuliahan di dalam kelas melatih saya selalu siap memandu diskusi. Abang agaknya sengaja memberikan kesempatan bagi para asisten untuk menangani kelas melalui metode ini. Inilah bentuk penggemblengan bagi generasi dosen muda yang mengelola mata kuliah penulisan. Terima kasih,
45
mereka dan BANG SAHALA


46
Bang.
Banyaknya tugas dan suasana perkuliahan yang sarat
diskusi tak jarang memberikan tekanan tersendiri bagi mahasiswa. Abang memang cenderung meningkatkan jumlah tugas dalam lima tahun terakhir, tugas inilah yang lalu
menjadi bahan diskusi kelas. Kasarnya jika mahasiswa tidak mengerjakan tugas, dia akan sulit mengikuti materi perkuliahan di dalam kelas.
“Mahasiswa sekarang malas membaca dek, makanya kita harus paksa mereka untuk membaca melalui tugas,” tutur Abang.
Dalam situasi ini, asisten Abang merangkap sebagai jembatan antara Abang dengan mahasiswa. Para asisten
Abang perlu mengkontekstualisasikan pembicaraan atau bahkan penugasan yang diberikan. Para asisten Abang pun bertindak sebagai penyambung lidah mahasiswa yang sungkan mengekspresikan diri di hadapan sang dosen. Ini bukan soal karakter Abang yang keras. Ini tentang menyambungkan dua generasi, antara senior dengan kids jaman now.
Tantangan terbesar bagi para asisten Abang adalah mengoreksi tugas mahasiswa. Sebagai asisten, saya mengakui kerap kali tugas mengoreksi ini tertunda, alhasil di akhir semester menghadapi tumpukan tugas yang perlu diberi nilai. Saya mengaku bang, beberapa kali saya bahkan mengirimkan tugas-tugas mahasiswa ke Malang. Itu tandanya saya sudah tak tahan ingin segera mudik. Tugas mahasiswa pun menempuh perjalanan 792,8 km sebelum saya koreksi.
Penyemangat
Tak pernah terbayangkan Abang menjadi salah seorang penyemangat dalam kehidupan saya. Tak terhitung beragam pengalaman hidup, filosofi Batak, petunjuk menghadapi kerasnya profesi yang kami pilih bahkan terkait kabar perkembangan kesehatan. Semuanya selalu diakhiri dengan ungkapan yang menyemangati saya.
“Teruslah kau menulis, Dek.”
“Jangan cuma menulis di media lokal, coba kirim tulisanmu
Kolega


ke media lain yang jangkauannya lebih luas.”
“Jangan hiraukan omongan orang, teruslah berupaya
dengan jalan yang telah Tuhan gariskan.”
“Anakkon hi do hamoraon di au (anakku permata dalam
hidupku). Itulah semangat orang Batak yang perlu terus kau pegang”
“Dek, Abang maulah jadi pendamping wisudamu kelak jika kau lulus S2.”
Saya akui, baru sekarang menyadari semua kritik dan saran dari Abang membentuk saya menjadi seseorang yang selalu memperbaiki kualitas karya jurnalistik. Gaya mengajar yang kritis terhadap mahasiswa membuat saya selalu waspada, berupaya meminimalisasi kesalahan. Pengalaman yang dibagi di ruang kelas pun mempengaruhi saya untuk menjadi sosok wartawan yang pantang menyerah dan haus karya eksklusif.
Jangan salah, Abang tak melulu mengkritik mahasiswa ataupun juniornya. Sejumlah pujian kerap dilayangkan kepada orang-orang di sekitarnya. Tak akan saya lupa pertemuan di dalam angkutan kota sekitar 2004. Saat itu Abang menyatakan bangga membaca sejumlah karya jurnalistik saya di Bisnis Indonesia yang mengulas perkembangan PT Dirgantara Indonesia. Tak terperi rasa bangga dipuji oleh sosok yang selama ini selalu kritis menyoroti tugas saya. “Tulisan-tulisanmu bagus, saya suka membacanya,” kata dia.
Hingga saat ini Abang memang memantau perkembangan mahasiswanya melalui publikasi di berbagai media cetak maupun media online. Seringkali Abang memuji di depan kelas mahasiswa yang karyanya dimuat, bahkan tak jarang menunjukkan kliping karya mereka.
Tak terasa pada 2018 Abang memasuki masa pensiun. Berat rasanya ditinggalkan seseorang yang selama ini memberikan bimbingan dan arahan. Ah Abang, menuliskan kesan tentangmu memang mengaduk-aduk perasaanku. Terima kasih atas bimbinganmu Bang, maafkan saya yang belum banyak memenuhi harapan Abang. Mauliate godang.
***
47
mereka dan BANG SAHALA


Untuk Guruku,
Bapak Sahat Sahala Tua Saragih
Nunik Maharani Hartoyo
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 1999. Mengajar Mata Kuliah Kajian Jurnalistik dan Media di Prodi Jurnalistik FIKOM Unpad.
Kuching, Februari 2018.
Salam Sejahtera,
Selamat petang, Pak Sahala. Apa kabar, Pak? Semoga Bapak dan keluarga selalu sehat, bahagia, dan senantiasa dalam berkat lindungan Tuhan. Saya dan keluarga di sini pun bersyukur selalu karena semua sehat dan tak kurang suatu apa. Pak Sahala, tepat 17 Maret tahun ini, Bapak akan memasuki masa yang berbahagia dan mengharubiru. Dalam imajinasi
saya, masa pensiun pasti masa yang dinanti-nanti, masa menikmati buah kerja keras di masa muda, meluangkan lebih banyak waktu dengan keluarga serta mengisi hari untuk lebih banyak melayani Tuhan dan sesama. Di saat yang sama, saya membayangkan tentu tidaklah mudah mengucapkan salam perpisahan pada rutinitas yang berpuluh tahun telah mewarnai hidup. Ah, selamat memulai babak baru kehidupan ya Pak.
Melalui surat ini, izinkan saya membagikan beberapa hal 48 berkesan selama saya mengenal Bapak. Siapa tahu, surat saya
Kolega


dapat sedikit mengobati kerinduan akan aktivitas kampus suatu saat kelak. Surat ini sebetulnya juga ditujukan kepada diri saya sendiri, agar menjadi pengingat kerja-kerja baik Bapak yang dapat saya teladani.
Tahukah Bapak, bahwa hampir semua mahasiswa baru
di Fikom Unpad akan dengan segera mendengar berbagai cerita dan berita tentang siapa Bapak dan kuliah-kuliah
Bapak? Sebagai mahasiswa baru pada 1999, saya pertama kali mendengar nama Sahala Saragih dari beberapa senior. Saya mendengar berbagai cerita betapa tugas-tugas kuliah Bapak selalu berat. Bapak selalu menantang mahasiswa untuk mencari tema-tema sosial yang unik, berlelah-lelah ke sana ke mari mencari data, informasi dan sumber-sumber relevan, dan setelah semua itu, biasanya semua naskah karya mahasiswa selalu dikembalikan dengan dihiasi berbagai kritik dan catatan bertinta merah sebagai bahan perbaikan. Intinya, dari sekian banyak cerita yang saya dengar saat semester 1 dan 2, hampir semua menggambarkan perkuliahan yang Bapak ampu
sebagai mata kuliah yang sulit namun entah bagaimana sosok Bapak justru sangat populer. Kisah-kisah ini pada gilirannya membentuk persepsi dan harapan saya atas Bapak, bahkan sebelum saya memilih menjadi mahasiswa Jurnalistik.
Saat akhirnya saya memilih jurusan Jurnalistik dan mengikuti mata kuliah yang Bapak ampu, seringkali saya memilih untuk bersembunyi di balik pena saat Bapak
mulai mengajukan berbagai pertanyaan dalam sesi diskusi
yang menurut saya selalu sulit untuk dijawab. Sulit, karena pengetahuan saya yang sempit dan dangkal, serta dilengkapi tingkat kemalasan yang tinggi untuk membaca koran. Apalagi, bertahun-tahun kami dididik dalam sistem belajar yang hampir tidak memberi ruang untuk berdiskusi. Saya terlalu takut untuk mengungkapkan pendapat karena khawatir salah, atau lebih buruk lagi, dinilai teman-teman sebagai mahasiswa yang mengganggu kepentingan bersama..hahaha... Sejak mengikuti perkuliahan Bapak, saya mulai akrab mendengar ulasan betapa dangkalnya tulisan kami para mahasiswa. “Naskah Anda dangkal, Saudara,” adalah ulasan yang singkat, tepat, dan tidak
49
mereka dan BANG SAHALA


50
perlu disangkal. Yang meski disampaikan dengan senyuman, kalimat tersebut tetap terasa pahit dan menohok; membuat kami semua yang berada di dalam kelas, tak peduli angkatan berapa, saling lempar pandangan diiringi senyum-senyum kecut. Oh, betapa kisah-kisah dari para senior itu tidak terlampau jauh dari kebenaran.
Meski begitu, setiap kali Bapak mengembalikan tugas- tugas saya, saya tidak pernah menemukan catatan dan kritik untuk perbaikan sebagaimana cerita-cerita yang selama ini
saya dengar dari kakak-kakak senior. Bagaimana mungkin
saya membuat perbaikan kalau saya tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya? Saya resah setiap kali mendapati naskah
saya bersih dari coretan sementara pada pekan berikutnya
harus mengumpulkan versi yang telah direvisi. Pertama kali membawa pulang naskah yang harus direvisi namun nir-coretan tersebut, saya berkali-kali menekuri naskah. Saya berupaya membuat perbaikan-perbaikan kecil, namun dalam hati kecil saya tahu bahwa saya tidak tahu bagaimana cara menemukan jalan keluar dari kedangkalan. Akhirnya, saya dan beberapa teman memberanikan diri dan sepakat untuk menemui Bapak sepulang kuliah dengan membawa naskah tugas kami dan memaksa bapak menguliti tulisan kami habis-habisan di sana, saat itu juga. Saya bahkan sudah mempersiapkan spidol merah kalau-kalau diperlukan. Ternyata, Bapak selalu siap sedia pena warna-warni all-in-one di saku baju dan spidol merah itu pun tak pernah saya tawarkan pada Bapak. Momen tersebut adalah jalan pembuka banyak hal baik yang saya dapatkan dari Bapak. Saya belajar menerima dan menghargai kritik, belajar jujur dan apa adanya, serta belajar untuk lebih bersabar dalam belajar. Namun, sejak saat itu pula, Bapak mengenal dan mengingat nama saya, dan sia-sialah usaha saya kemudian untuk tetap bersembunyi di balik pena dalam sesi-sesi diskusi berikutnya.. hahaha...
Pak Sahala, salah satu hal terpenting yang saya pelajari
dari Bapak adalah semangat dan dedikasi Bapak dalam menularkan semangat belajar berbahasa Indonesia dengan baik. Sejak saya mengenal Bapak hingga kini, Bapak terus menerus
Kolega


memperbaiki tata bahasa dan kosa kata kami. Saya amati, hampir semua mahasiswa dan alumni Jurnalistik memiliki sensitivitas yang baik dalam berbahasa. Dalam berbagai situasi, saya menemukan kami saling memperbaiki kalimat dan pilihan kata yang tidak tepat. Persis seperti saat Bapak memperbaiki struktur kalimat dan diksi kami di kelas atau bahkan di ruang rapat! Hahaha... Bahkan, beberapa kawan yang berasal dari luar lingkungan FIKOM Unpad, seringkali protes secara terbuka setiap kali saya memperbaiki kalimatnya. Tak sekali dua kali saya dituding sebagai grammar Nazi atau diktator tata bahasa. Namun, karena didikan Bapak pula, biasanya saya menanggapi kritik tersebut dengan rasa humor dan diiringi permintaan maaf, hahaha... Bapaklah yang membuat sebagian alumni Jurnalistik pernah memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau setidaknya mahasiswa Jurnalistik masa kini mengenal dan mungkin mengakrabi KBBI daring; mengoleksi (dan mungkin membaca) buku-buku Gorys Keraf. Bapak pula yang mengenalkan saya pada Japi Panda Abdiel Tambayong sebagai Alif Danya Munsyi. Perkenalan ini yang menuntun
saya memaklumi kegemarannya menggunakan kosa kata yang sudah jarang dipakai dalam berbagai novel yang ditulis atas nama Remy Sylado. Saya ingat, KBBI menjadi buku setia yang menemani saya saat membaca Parijs van Java. Tanpa KBBI, jelas saya akan gagal paham sejak lembar-lembar pertama..hahaha...
Pak Sahala yang baik, tahukah Bapak bahwa tumbuh dalam keluarga yang tidak berfungsi baik menyebabkan saya menjadi pribadi yang pahit dan kompetitif? Sejak kecil, saya selalu diminta untuk menjadi yang terbaik agar dapat menjadi contoh yang baik bagi adik saya dan dapat menjadi kebanggaan keluarga. Namun, setelah semua upaya terbaik saya, tak jarang saya menerima kritikan, cibiran, dan berbagai label negatif yang tentu saja menggerogoti harga diri dan mempengaruhi cara saya memandang kehidupan dan memperlakukan sesama. Itulah sebabnya saya selalu memberikan usaha terbaik saya dalam apapun yang saya lakukan karena saya selalu didorong hasrat untuk membuktikan diri pada dunia bahwa saya adalah manusia berharga. Selama saya menjadi mahasiswa, kritik
51
mereka dan BANG SAHALA


52
dan ulasan Bapak selalu menjadi pelecut untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas diri. Namun demikian, cara
Bapak menyampaikan kritik sangatlah saya hargai. Terbuka,
apa adanya dan tidak ada kesan mengecilkan atau menyakiti. Mengingat saya dibesarkan dalam keluarga yang banyak berkomunikasi dengan cara-cara pasif-agresif, cara Bapak terasa asing untuk saya di masa itu. Tak jarang, saya menyaksikan Bapak memberikan apresiasi positif kepada siapa saja secara proporsional, baik di muka umum, maupun dalam kesempatan- kesempatan lain. Jujur saja, siapa yang tidak senang dipuji? Saya tentu saja senang tak terkira setiap kali Bapak menyampaikan apresiasi positif sekecil apapun itu. Bertahun kemudian, perilaku-perilaku semacam ini menginspirasi saya untuk selalu berusaha adil, memperlakukan kritik dan pujian sebagai dua hal yang sama pentingnya dalam melaksanakan tugas dan menjalin hubungan yang konstruktif. Lebih dari itu, kini saya mengetahui dan merasakan bahwa memberikan pujian tulus itu ternyata sama membahagiakannya dengan menjadi pihak yang menerima pujian. Wow!
Setelah nasib mengantarkan saya bergabung dalam keluarga pengajar di Jurusan (sekarang Program Studi/Prodi) Jurnalistik, saya menghabiskan beberapa semester belajar lebih banyak dari Bapak. Saya yang nirpengalaman bekerja di media, ditugaskan menjadi asisten Bapak. Di sinilah awal mula saya meyakini untuk tidak pernah berhenti menjadi pembelajar. Desain dan suasana perkuliahan yang mewajibkan seluruh peserta kuliah untuk berdiskusi, membuat saya harus terus mengembangkan wawasan. Dengan peran sebagai fasilitator, saya harus terus membaca semua buku yang akan didiskusikan dan buku-
buku lain yang terkait, mengikuti berbagai perkembangan berita dan informasi terbaru, termasuk memamah sebanyak mungkin informasi dalam ranah budaya populer dalam rangka merangsang diskusi yang lebih hidup. Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan Bapak mulai mempercayakan setengah perkuliahan untuk saya laksanakan secara mandiri, dengan Bapak hanya membuka perkuliahan dan meminta saya melanjutkan sesi diskusi. Dalam masa-masa ini, saya
Kolega


mendapatkan tantangan berharga ketika mahasiswa merasa tidak puas, tidak bergairah mengikuti perkuliahan. Sebabnya? Salah satunya adalah ketiadaan Bapak di depan kelas pada setengah sesi perkuliahan dan rasa bosan karena pekan demi pekan mahasiswa diwajibkan untuk membaca, mengapresiasi buku menyerahkan laporan serta mendiskusikannya di kelas. Tantangan ini membuat saya harus terus bereksperimen mencari metode yang pas: sesuai dengan gaya dan kepribadian saya, sesuai dengan desain dan tujuan perkuliahan, serta
dapat diterima mahasiswa. Dengan berbagai improvisasi dan keterbatasan, saya menggunakan kesempatan tersebut sebagai sarana praktik dan eksperimen berbagai literatur mengenai metode pendidikan orang dewasa. Kesempatan dan tantangan berharga seperti ini, sejatinya adalah tangga-tangga kecil yang pelan-pelan membantu saya menemukan diri saya sendiri. Untuk itu, saya senantiasa bersyukur dan berterima kasih.
Pak Sahala, Bapak senantiasa mengingatkan bahwa banyak membaca adalah prasyarat untuk menghasilkan karya tulis yang berkualitas. Selama mengenal Bapak, saya menyaksikan bagaimana Bapak menghabiskan sebagian besar waktu untuk membaca dan menulis. Siapa pun yang pernah berkunjung ke rumah Bapak pasti mengingat deretan rak buku dan tumpukan koran di berbagai sudut. Tak cukup di rumah, di ruang kantor Prodi pun koleksi buku dan koran Bapak menghabiskan ruang yang cukup luas. Tidak hanya memenuhi beberapa lemari dan rak kantor, pernah ada suatu masa ketika tumpukan koran
dan tugas-tugas mahasiswa memenuhi seluruh ruang makan
di kantor Prodi. Praktis, ruang tersebut selama beberapa waktu tidak dapat difungsikan sebagai ruang makan! Banyaknya koleksi buku dan kliping pribadi Bapak di ruangan Prodi sebenarnya selain untuk membantu memudahkan Bapak dalam bekerja, juga sering dipinjamkan pada mahasiswa dan kolega yang memerlukan. Ironisnya, Bapak selalu tertawa setiap kali diingatkan peribahasa yang menyatakan bahwa hanya orang bodoh sajalah yang meminjamkan bukunya pada orang lain (karena pasti tidak kembali).. hahaha...
Pak Sahala yang baik, Bapak adalah bagian penting dalam
53
mereka dan BANG SAHALA


54
memori kolektif keluarga besar Jurnalistik FIKOM Unpad. Namun lebih dari itu, Bapak telah menjadi bagian penting dalam kehidupan saya. Bapak selalu meluangkan waktu menanyakan kabar saya, mendengarkan cerita dan asa sambil tak lupa terus meniupkan semangat dan dukungan dalam setiap langkah saya. Sejak saya bergabung sebagai staf pengajar di Fikom Unpad, Bapak selalu mendorong saya mengejar cita- cita. Memaklumi saat saya memilih meninggalkan kampus sementara untuk mulai membangun keluarga. Menyambut dengan suka cita saat saya kembali aktif di kampus. Memahami saat saya kembali harus memprioritaskan keluarga yang harus pindah ke tempat baru. Tidak pernah satu kali pun Bapak mencela keputusan-keputusan saya. Saya yakin, pendekatan dan perlakuan yang humanis ini pasti Bapak berikan pada seluruh keluarga besar Jurnalistik FIKOM Unpad.
Sikap positif dan suportif yang secara konsisten Bapak tunjukkan pada semua orang membuat Bapak tidak hanya dihormati dan disegani, namun juga dicintai mahasiswa, alumni dan para kolega. Teman-teman mahasiswa, misalnya, membuat berbagai cenderamata HMJ dengan menampilkan gambar
diri atau kalimat khas Bapak. Disampaikan dengan humor sebagai olok-olok pada diri sendiri, namun lebih dari itu, hal ini menunjukkan penghormatan dan kecintaan yang mendalam. Bapak pun tak pernah berkeberatan. Setiap kali saya bertemu teman-teman alumni, di mana pun mereka, tak peduli angkatan berapa, mereka tak pernah absen menanyakan kabar Bapak. Bahkan, bila mereka sedang ada waktu untuk berkunjung
ke kampus, banyak yang sengaja meluangkan waktu untuk menemui Bapak. Tidak hanya basa-basi dan puja-puji kosong penuh kesantunan palsu; penghormatan dan kecintaan yang demikian dalam dan mewujud dalam perbuatan tulus inilah yang patut menjadi teladan sesungguhnya.
Tidak ada manusia yang sempurna. Hampir 20 tahun saya mengenal Bapak, di mata saya Bapak adalah sosok Guru yang inspiratif, pendidik yang tulus berkarya, teladan dalam banyak hal. Tidak hanya ilmu, pengetahuan dan keterampilan saya bertambah, namun saya juga memetik nilai-nilai penting
Kolega


dari keteladanan Bapak. Ucapan terima kasih saja tentu
tidak akan cukup menggambarkan betapa banyak jasa Bapak tidak hanya untuk saya, namun juga bagi dunia jurnalistik di Indonesia. Meski demikian, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan, izinkan saya dengan tulus menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya bila ada perilaku yang kurang berkenan atau kata-kata yang tidak pas selama saya menjadi murid Bapak. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih dan rasa penghargaan setinggi-tingginya atas segala ilmu, didikan dan kebaikan Bapak selama ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kontribusi tulus Bapak, melindungi dan memberkati Bapak beserta keluarga, memberikan kesehatan dan usia panjang agar dapat terus melayani Tuhan dan senantiasa bermanfaat bagi sesama. Amin.
Tampaknya surat saya sudah terlampau panjang, semoga Bapak tidak menjadi bosan karenanya. Jika terlanjur bosan, mungkin Bapak bisa mengambil pena merah dan mulai berikan catatan di sana-sini seperti yang biasa Bapak lakukan dulu... hahaha... Maaf, Pak, saya hanya bercanda. Satu hal yang saya yakini, kampus dan Prodi Jurnalistik tidak akan sama tanpa Bapak. Kami akan selalu mengingat dan merindukan Bapak.
Selamat memulai hari yang baru, Pak Sahat Sahala Tua Saragih.
Tuhan memberkati. Salam hormat. ***
55
mereka dan BANG SAHALA


Belajar
Sepanjang Semester
Maimon Herawati
Dosen Program Studi Ilmu Jurnalistik, Mahasiswa Jurusan Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1992.
Saya yakin saya bukan satu-satunya yang merasa terbebani dengan tugas baca dan apresiasi buku saat kuliah dulu dengan Bang Sahala. Pagi menjelang perkuliahan, berharap Abang tidak hadir di kelas. Biasanya menunggu dengan teman-teman di tangga Gedung 3 FIKOM Unpad.
Satu-satu, mahasiswa akan kena giliran mempresentasikan tugas. Cepat atau lambat setiap orang akan berdiri di depan kelas. Maka, dengan mudah, akan ketahuan siapa yang membaca dan merangkum dengan baik, siapa yang melakukan mutilasi.
Akan tetapi, walaupun berat, buku-buku itu tetap terpaksa dibaca. Berbeda dengan mahasiswa masa sekarang yang dimanjakan mesin pencari. Mahasiswa masa 90-an tidak punya akses pada blog senior yang menampilkan tugas-tugas tahun lalu. Mau mencontek, mencontek ke mana? Jadi, mengantuk atau tidak mengantuk, walau sudah meminum beberapa gelas kopi, tugas apresiasi dengan berat terus dikerjakan.
Lulus dengan nilai D mata kuliah Bang Sahala (selain mata kuliah Pak Poespo), pada masa itu dianggap cukuplah. Jika ada waktu, akan diulang, Jika tidak, anggap saja huruf D itu pemanis
56 transkrip nilai.
Kolega


Ketika sudah kuliah di Skotlandia, saya baru merasakan manfaat ‘keterpaksaan’ apresiasi buku-buku berat itu. Menjalani master degree by research, artinya diberikan daftar bacaan dan tema yang harus dikuliti dengan bacaan-bacaan itu. Sebagian bacaan dalam bahasa sangat asing, misal Latin. Apapun juga caranya, pada waktu yang ditentukan, harus mempresentasikan hasil riset terkait tema itu di depan profesor. Berat? Sangat.
Tanpa latihan sekian semester dalam mata kuliah asuhan Bang Sahala, saya tidak yakin bisa lulus dengan baik dan tepat waktu saat itu. Apalagi kuliah full time itu dijalani sambil mengasuh dua batita; satu bayi empat bulan, satu lagi anak usia 2 tahun... tanpa pengasuh, tanpa penolong rumah tangga... hanya saya dan suami yang juga kuliah full time. Alhamdulillah.
Sekarang pelajaran hidup itu saya jalani tiap semester
Berdiskusi bersama di kelas adalah momen berbagi. Ada satu diskusi yang sulit saya lupakan. Saat itu, isu LGBT sedang ramai-ramainya. Beberapa mahasiswa mengangkat hal itu di dalam diskusi kelas. Saya memimpin diskusi seperti biasa. Abang duduk tak jauh.
Saya pribadi menganggap perilaku LGBT sebagai tindakan yang melanggar nilai agama Islam. Karena mengajar tidak sekadar memindahkan ilmu pengetahuan, tapi juga transfer nilai dan moralitas, saya menyampaikan dengan berhati-hati pandangan yang saya percayai.
“Bang, mohon maaf. Boleh tahu? Kalau dalam Injil, apakah ada larangan jelas, Bang?” tanya saya pada beliau.
Beliau berdiri, seperti biasa jika akan menanggapi sesuatu.
“Ah, tidak usah melihat ke dalam kitab suci segala,” terang Bang Sahala dengan wajah tenang seperti biasa. “Binatang saja tahu kalau kawin dengan siapa. Kucing jantan kalau mau kawin pasti cari betina. Masa manusia kalah sama binatang?”
Saya tercengang. Sungguh. Tidak mengira jawaban seperti ini beliau sampaikan dengan lugas di depan kelas.
Terus belajar bahwa menyampaikan kebenaran kadang bisa
57
selugas ini.
***
mereka dan BANG SAHALA


58
Sang Legenda yang Mengesankan
Dandi Supriadi
Dosen Program Studi Ilmu Jurnalistik, Mahasiswa Jurusan Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 1993
Sebagai mahasiswa Jurnalistik angkatan 1993, saya kurang ingat apakah ada mata kuliah yang diampu Pak Sahala di semester pertama saya kuliah di FIKOM Unpad. Rasanya saya tidak merasa pernah bertemu beliau, padahal semester pertama biasanya mudah saya ingat. Seperti diketahui bersama, semester pertama tahun 1993 cukup istimewa karena bertepatan dengan semester terakhir kampus FIKOM berlokasi di Jalan Sekeloa Bandung. Maka, semua yang terjadi pada saat itu cukup terekam di kepala. Sayangnya, saya tidak merekam adanya pertemuan di kelas bersama Pak Sahala, walaupun nama dan reputasi beliau sudah langsung saya dengar dari awal sejak saya pulang dari kegiatan pra-OJ dan OPSPEK Fakultas.
Memori saya tentang beliau dimulai ketika angkatan 1993 memasuki semester 2 di kampus baru, yaitu Jatinangor. Mata kuliahnya bernama Wawancara. Pak Sahala bukan dosen utama kala itu. Kalau tidak salah pengampu utamanya adalah almarhumah Ibu Betty RFS Soemirat. Namun dari awal, seingat saya, Pak Sahala yang selalu masuk kelas.
Kelas pertama bersama Pak Sahala ini memberikan saya pengalaman baru dalam hal belajar di kelas, yang menurut saya
Kolega


merupakan cerminan dari sistem pembelajaran orang dewasa yang sebenarnya. Pertama adalah adanya keharusan untuk membaca sendiri materi kuliah, untuk didiskusikan di minggu berikutnya. Selain diharuskan membaca, mahasiswa diminta menulis resume tentang buku tersebut. Kedua, perkuliahan pada umumnya bersifat diskusi, di mana topik diskusinya berasal dari mahasiswa yang telah meresume buku yang ditugaskan. Ketiga adalah kebebasan untuk mahasiswa bersikap terhadap mata kuliah ini, tanpa terlalu banyak ada pemaksaan atau instruksi yang bersifat pedagogic, atau dengan kata lain: risiko ditanggung sendiri.
Namun demikian, entah bagaimana Pak Sahala memiliki sesuatu pada nada bicaranya, yang membuat mahasiswa merasa bahwa membaca dan membuat resume itu adalah kewajiban hakiki sebagai umat manusia. Beliau tidak menggunakan metode ancaman atau bentakan seperti guru yang galak. Sebaliknya, Pak Sahala menggunakan suara yang rendah,
tidak memaksa, tapi terasa ketegasannya yang membuat kita memikirkan konsekuensi apabila tidak melaksanakan tugas membaca.
Sepertinya, yang membuat mahasiswa merasakan urgensi dari penugasan itu adalah karena pengaruh kredibillitas Pak Sahala. Semua mahasiswa tahu bahwa Pak Sahala adalah wartawan aktif Suara Pembaruan (pada saat itu) yang memiliki banyak pengalaman, banyak membaca, banyak bertemu orang, dan yang pasti, sangat mengerti isi dari buku yang ia tugaskan untuk dibaca oleh mahasiswa. Pengetahuan ini yang membuat mahasiswa merasa setiap penugasan beliau adalah cerminan pekerjaan wartawan di dunia nyata, serta merupakan syarat utama apabila ingin jadi praktisi jurnalistik. Mata kuliah Wawancara bersama pak Sahala memberikan kenangan tersendiri bagi saya. Kuliah ini merupakan pengalaman pertama saya dan teman-teman berhadapan dengan sistem penyuntingan tulisan berita seperti layaknya di surat kabar sebenarnya. Pak Sahala memiliki kemampuan untuk membaca dan memeriksa semua tugas dengan teliti, sehingga banyak mahasiswa harus menulis ulang atau bahkan ke lapangan lagi
59
mereka dan BANG SAHALA


60
untuk memperbaikinya. Hal ini semakin berkesan buat saya, karena pada saat evaluasi tugas lapangan, tugas saya menjadi tulisan pertama yang lolos langsung diterima tanpa revisi! Hal itu sangat membanggakan pada masa itu, dan membuat kepercayaan diri naik beberapa ratus persen. Pak Sahala juga membuat saya percaya bahwa saya memiliki kemampuan menulis yang bagus.
Di luar pengalaman di kelas yang mengesankan, sebenarnya ada satu hal yang menjadi ciri khas Pak Sahala
yang sepertinya tidak akan dipercaya oleh mahasiswa angkatan setelah saya. Hal ini terjadi setidaknya di dua semester
pertama saya bertemu beliau. Ciri khasnya adalah: datang terlambat! Sungguh tidak dapat dipercaya, bukan? Tapi ini benar terjadi di masa lalu, di mana Pak Sahala akan datang sangat terlambat, namun hampir tidak pernah tidak datang.
Hal ini diakibatkan pada saat itu Pak Sahala harus bertugas dulu di ruang berita Suara Pembaruan di Bandung. Pada saat itu, semua mahasiswa memaklumi hal tersebut, apalagi di kelas Pak Sahala membuktikan kemampuannya sebagai wartawan senior. Yang membuat mahasiswa bete pada saat itu adalah perkuliahan tetap berlangsung 3 SKS penuh! Akibatnya, kuliah yang dimulai terlambat menjadi berakhir terlambat pula. Hal itu sangat mungkin terjadi karena pada masa itu, mata kuliah kelas Pak Sahala selalu ditempatkan terakhir, sehingga tidak ada kelas lain yang akan terganggu apabila kuliah beliau selesai melewati jadwal. Perlu diketahui, pada masa itu kuliah terakhir adalah sekitar pukul 14. Jadi sudah terbiasa bagi kami menjadi mahasiswa terakhir di kampus setelah perkuliahan bersama Pak Sahala.
Namun masa-masa terlambat hadir tersebut tidak dipertahankan lebih jauh oleh Pak Sahala. Seiring berkurangnya tugas beliau di ruang berita, ditambah komitmen sebagai pengampu utama mata kuliah yang semakin tinggi, Pak Sahala menjadi pengajar yang sangat sukar untuk dimintai kelonggaran waktu. Beliau selalu hadir sesuai jadwal mengajar, bahkan lebih awal, dan mengakhiri kuliah secara penuh pula. Satu-satunya waktu kami terbebas dari jadwal masuk kelas adalah saat
Kolega


melakukan penugasan lapangan.
Ciri khas lain dari Pak Sahala adalah keteguhannya
dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kemampuannya untuk mengoreksi penggunaan Bahasa Indonesia dalam percakapan sungguh luar biasa, seakan-akan beliau sudah mencetak sendiri Kamus Besar di otaknya. Saking teguhnya beliau dalam berbahasa baku, sampai-sampai dalam beberapa kali kesempatan beliau sukses membuat percakapan yang sedang seru dan penuh canda menjadi berakhir canggung karena candaan yang terkadang keluar dari konteks bahasa baku kemudian dikomentari dan dikritik. Namun demikianlah gaya bercanda Pak Sahala, yang sepertinya tidak akan pernah ada bandingannya di FIKOM Unpad.
Metode mengajar beliau yang mendekatkan mahasiswa
ke dunia kewartawanan yang sesungguhnya membuat Pak Sahala melegenda di antara alumni Jurnalistik FIKOM Unpad. Walaupun pada masa kuliah banyak yang menggerutu, namun pada umumnya, semua mengakui manfaat metode tersebut terutama di dunia kerja. Metode beliau sekarang menjadi inspirasi bagi para pengajar muda yang menjadi asistennya, atau yang mengajar mata kuliah praktis lainnya. Namun, walaupun pengajar lain mencoba mengikuti apa yang beliau lakukan, hanya ada satu Pak Sahala yang melegenda. Yang muncul berikutnya adalah istilah Sahalawan dan Sahalawati untuk menyebut dosen yang mengikuti metode pengajaran beliau.
Karena keinginannya yang perfeksionis dalam menciptakan lulusan Jurnalistik berkualitas, apa yang beliau lakukan dengan metode mengajar tersebut seringkali melebihi tuntutan tugas yang sebenarnya dari sistem SKS di perguruan tinggi. Beliau harus mau memeriksa tulisan setiap mahasiswa satu persatu, dengan ketelitian seorang editor surat kabar, dan memberikan masukan-masukan pada setiap tulisan yang beliau sunting. Itu saja sudah membutuhkan banyak waktu dan tenaga yang tidak dapat dibandingkan dengan penghargaan yang diterima sebagai dosen di perguruan tinggi negeri.
Di masa FIKOM semakin diminati, mahasiswa menjadi semakin banyak, sehingga Pak Sahala harus dibantu oleh dosen
61
mereka dan BANG SAHALA


lain untuk melakukannya. Sebuah tugas yang berat bagi para dosen yang mendampingi beliau, karena mahasiswa akan menuntuk kualitas yang sama seperti Pak Sahala. Namun, teladan yang diberikan Pak Sahala kepada para dosen muda dari semasa bertindak sebagai pengajar sampai menjadi rekan kerja sungguh luar biasa, sehingga membuat semua yang bekerjasama dengan beliau mengerti standard kualitas seperti apa yang harus dipenuhi. Tanpa disadari, mahasiswa yang pernah menjadi murid Pak Sahala sudah terlatih untuk memiliki kemampuan mendekati kualitas sang guru.
Kini masa pengabdian Pak Sahala sebagai Pegawai Negeri Sipil telah berakhir. Namun demikian, legenda beliau yang disertai tuntutan pencapaian kualitas karya jurnalistik yang mumpuni dari mahasiswa Jurnalistik FIKOM Unpad tidak akan pernah hilang. Saya, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad angkatan 1993, merasa beruntung dan bangga karena pernah mengalami langsung gemblengan Pak Sahat Sahala Tua Saragih, dan semakin merasa diberkahi karena pernah menjadi rekan kerja dalam waktu yang cukup lama.
Salam hormat, Sang Legenda. Akan kami lanjutkan keinginanmu untuk menciptakan generasi jurnalis sejati yang mampu menggali kebenaran, sehingga pengabdian dan pengorbananmu tidak akan pernah sia-sia.
***
62
Kolega


Sahala Tua Saragih: Guru, Orang Tua, juga Teman
Ipit Zulfan
Mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad angkatan 1995. Mengajar mata kuliah Jurnalistik Visual, Jurnalistik Foto, Jurnalistik dan Kewirausahaan, Jurnalistik Konvergensi di Prodi Jurnalistik FIKOM Unpad
Tak mudah menggambarkan sosok dosen yang
menjadi favorit sekaligus ditakuti sebagian besar
mahasiswa Program Studi (sampai tahun 2015 masjh
berupa jurusan) Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi 63 Universitas Padjadjaran (Prodi Jurnalistik FIKOM
Unpad). Satu yang pasti, hampir semua mahasiswa Fikom Unpad mengetahui siapa Sahala Tua Saragih yang akrab dipanggil Abang ini.
Saya mulai tahu nama dosen ini ketika memasuki perkuliahan di akhir 1995 atau permulaan 1996, ketika dihadapkan pada kenyataan harus memilih salah satu jurusan di FIKOM Unpad pada semester tiga, yang ketika itu masih terbagi menjadi Jurusan Jurnalistik, Jurusan Humas, dan Jurusan Penerangan (kini Mankom). Cerita yang kerap datang terkait Abang Sahala adalah sesosok dosen mengerikan, killer, galak, tegas, yang tak jarang menimbulkan korban sakit tyfus dikalangan mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya.
Mata kuliah yang diampunya menjadi tantangan maut yang harus dilalui. Bagaimana tidak maut, bertemu Abang menjadi keharusan di tiga semester berturut-turut. Celakanya, semua
mereka dan BANG SAHALA


64
mata kuliah bersyarat. Tak lulus salah satu mata kuliahnya berarti bencana, tidak bisa mengambil mata kuliah Abang
di semester selanjutnya. Walhasil, tak sedikit mahasiswa bergelimpangan dengan nilai tak karuan. Yang lebih perih lagi, tak bisa lulus tepat waktu (hahaha... meskipun pada waktu itu belum musim lulus tepat waktu). Kelulusan S1 harus tertunda karena mengulang mata kuliah Abang ini. Alhamdulillah,
dari semua mata kuliahnya Abang, tak satu pun saya harus mengulang. Lulus dengan memuaskan..hehehe, meskipun tetap lulusnya gak tepat waktu juga.
Penulisan Artikel dan Tajuk Rencana, Penulisan Karangan Khas (feature) dan Pelaporan Mendalam (Depth Reporting) adalah tiga mata kuliah Abang yang mau ga mau, suka gak
suka harus diambil (wajib bagi semua mahasiswa Jurnalistik). Hasil nilai 2-A 1-B cukuplah untuk melewati ujian kuliah di Jurnalistik ini. Perjuangan membaca buku wajib tiap minggu, membuat resume, dan presentasi buku tiap minggu, membuat jantung berdebar keras setiap masuk di kelas Abang, sepertinya menjadi sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan. Satu kata ketika menuliskan setiap mata kuliah yang diampu Abang di KRS adalah TIDAK BOLEH TIDAK LULUS!!! Penderitaan mahasiswa Jurnalistik tidak hanya pada saat mengajukan usulan topik liputan, tapi juga pada saat mengirimkan tugas-tugas
mata kuliah ke “kantor Abang” yang satu lagi, kantor redaksi koran Suara Pembaruan di Jalan Patuha Bandung. Gimana tidak menderita, kuliah di Jatinangor, liputan kadang di Jatinangor kadang di Bandung, kadang harus ke luar kota karena mengejar narasumber, menulisnya (baca: mengetik dengan mesin
tik analog) dan mengantarkannya ke Jalan Patuha. Satu hal yang harus diingat: Tidak Boleh Terlambat Mengumpulkan, melebihi batas waktu yang ditentukan! Keterlambatan berarti tugas bernilai NOL. Tugas tidak masuk berarti nilai suram, mengulang mata kuliah Abang di tahun depan sepertinya menjadi keharusan. Deadline benar-benar terasa efeknya, bukan sekadar kata-kata. Terlambat berarti “mati”.
Liputan malam hari karena efek salah menuliskan usulan topik, dikejar satpol PP, dikejar sama om-om/mba-mba
Kolega


bencong, ditolak narasumber padahal sudah membuat janji, ditolak wawancara karena buat tugas mata kuliah, makan sepiring berdua-bertiga, kehujanan kepanasan, berbagi antrean mesin tik, periksa ke puskesmas dan dokter karena sakit dan kelelahan mengejar deadline bahkan beberapa sampai dirawat, pinjam duit ke teman untuk mengejar narasumber, ide yang tak kunjung muncul saat deadline sudah mepet, Sekelumit pengalaman sewaktu mengerjakan tugas-tugas Abang. Teringat kata-kata teman seangkatan dulu, “krn tugas banyak itu, sy jadi banyak orderan, hehehe...” namanya minta gak disebutkan alias off the record.
Bagi sebagian besar mahasiswa (sepertinya semua) yang pernah diajari oleh Abang Sahala adalah coretan tinta merah
di lembaran tugas. Bukan hanya pola kalimat, tapi juga tanda baca, tidak pernah luput dari incaran mata Abang. Jika minim tinta merah berarti prestasi. Jika banyak coretan berarti harus ke lapangan lagi. “Logika Anda Dangkal!” adalah sebaris kalimat yang langsung “jleb” menusuk hati dan membuat sekujur
badan ini lemes. Bagaimana tidak lemas, itu artinya harus ke lapangan lagi, kadangkala topik harus diganti, mengetik lagi, dan menyerahkannya lagi ke “Patuha”. Jleb!! Mengikuti semua perkuliahan Abang harus memiliki modal (keberanian) yang kuat dan Totalitas! Karena mengulang mata kuliah Abang itu pahit, jenderal...
Tidak heran kalau kemudian anak-anak Jurnalistik menganugerahi Abang Sahala ini dengan predikat “legend”. Seingat saya, pola pengajaran Abang, dari mulai saya menjadi mahasiswa dan mengambil mata kuliahnya dulu pada saat menjadi mahasiswa, hingga sekarang, tidak banyak berubah. Usulan Topik, membaca buku wajib setiap minggu, membuat resume dari buku-buku yang dibaca, presentasi, tugas lapangan, dan penyerahan tugas, dan revisi tugas dengan tetap dibubuhi tinta merah. Perbedaannya dulu dengan sekarang, jaman saya kuliah, Abang mengajar dan memeriksa tugas dengan tidak dibantu oleh asisten dosen (karena mungkin mahasiswanya juga sedikit, 30-40 mahasiswa dan cuman satu kelas), kini Abang sudah ditemani asisten dosen, seiring dengan bertambahnya
65
mereka dan BANG SAHALA


66
jumlah mahasiswa dan jumlah kelas mahasiswa di Program Studi Jurnalistik Fikom Unpad.
Sikap konsistensi Abang dalam menulis (di media massa) buat saya bukan hanya “legend” tapi juga juara. Mengutip salah satu teman sejawat dosen di Prodi Jurnalistik, Om Zen Al Faqih, Abang Sahala dalam menulis juga mengajar merupakan “teladan senior bagi junior” setidaknya teladan bagi saya. Terbukti, Abang pernah beberapa kali menjadi dosen paling produktif menulis di media massa. Bahkan hingga kini pun, menjelang masa purna tugasnya, Abang masih produktif menulis di berbagai media massa, baik media massa daerah maupun media massa nasional.
Ketika menuliskan kisah ini, saya meminta beberapa testimoni dari beberapa kawan seangkatan saya, Jurnalistik ’95, di antaranya:
“Sampai sekarang, setiap ingat beliau, saya merasa tulisan saya masih layak untuk dicoret-coret.” Ade Pepe, Produser TV One
“Menginspirasi setiap merangkai aksara menjadi sebuah pesan yang berkekuatan...”
Dr. Wisnu Widjanarko, Dosen/Staf Ahli Rektor Universitas Jenderal Soedirman
“Kuliah Pak Sahala adalah kuliah yang paling lekat di ingatan. Bener-bener diajarin gimana wartawan terjun ke lapangan, mewawancarai nara sumber dan juga mengolah data setelahnya. Dan hasil tulisan yang layak dibaca itu gimana prosesnya. Nggak lupa juga tugas yang harus diketik pakai mesin tik. Bunyinya cetak cetuk mesin tik sampai tengah malam ngerjain tugas pak sahala juga keingetan. Terima kasih, pak!” Vieny Mutiara, Bekasi
“Ada dua guru yg selalu saya kangenin karena ilmunya sangat berharga bagi saya. Salah satunya Pak Sahala.
Kolega


Hatur nuhun, Pak.” ~ Yenti Aprianti, pegiat konten digital, mantan wartawan KOMPAS.
“Pak Sahala menyebabkan saya: Harus rajin membaca, Mesti update berita, Tidak Menulis tergesa2. Maaf Pak Sahala, Saya belum membalas jasa. Tapi saya berdoa, semoga selalu sehat sejahtera.” Hilman, Redaktur www.101dokter.id
“Yg keinget: dikasih nilai A utk in depth reporting ttg akulturasi masyarakat Tionghoa di Bandung. Heheh.” Tina Rakhmatin, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Fikom Unpad.
“Tidak hanya mengajarkan konsep.. namun juga memberikan pengalaman mempraktekkan ilmu jurnalistiknya kepada siswanya. Tugas liputan, hunting foto pelengkap liputan dari Pak Sahala itu ... kebawa dalam mimpi saya.”
Mariana R Siregar, Dosen Universitas Pakuan Bogor
“Ingat Pak Sahala, ingat tugas. Karena tugas yg banyak itulah sy belajar dan terus belajar. Selamat purna tugas pak, terima kasih atas ilmunya” Yandi N. Rofiyandi, Redaktur beritagar.id
Kuliah Abang lah yang menyelamatkan saya ketika bekerja sebagai pengelola media internal ketika dulu bekerja di Bandung Supermall. Harus membuat tema liputan, wawancara narasumber, me-layout, hingga mendistribusikannya. Mata kuliah yang dulu terpaksa saya ambil, namun kemudian menyelamatkan karir pekerjaan saya. Terima kasih, Bang!
2005 adalah tahun ketika Abang yang dosen saya
hingga kini, bertambah predikatnya, tidak hanya dosen, tapi juga sekaligus guru, orang tua, teman, juga kolega di Prodi Jurnalistik Fikom Unpad, tempat saya bekerja dan mengabdi. Pembelajaran setiap hari selama 13 tahun menjadi kolega
67
mereka dan BANG SAHALA


Abang, saya dapatkan bukan melalui lembaran-lembaran tugas yang diberikan, tapi melalui etos kerja dan komitmen yang beliau perlihatkan. Seringkali Abang menjadi orang pertama yang datang ke ruangan kerja dan orang yang terakhir kali meninggalkan ruangan prodi Ilmu Jurnalistik. Beruntung saya bisa belajar terus dari beliau. Sepertinya takkan cukup waktu untuk menyerap semua ilmu yang dimiliki beliau. Tak cukup waktu untuk bisa menyandingi beliau sebagai dosen “legend”. Kini, waktu yang membatasi beliau untuk purna tugas di almamater tercinta ini. Berat rasanya bagi saya untuk melepas beliau, karena tempatnya sepertinya tidak mungkin tergantikan oleh yang lain. Abang adalah legenda hidup bagi saya. Abang adalah guru saya. Abang adalah sahabat bagi saya.
Terima kasih atas ajaran-ajaran dan pendidikan yang Abang berikan. Semoga saya bisa mencontoh etos dan komitmen kerja Abang dalam mengajar. Satu hal yang masih saya rindukan adalah goresan-goresan tangan Abang dalam bentuk buku-buku yang diterbitkan. Semoga Abang diberkahi kesehatan, rezeki yang banyak, juga umur yang panjang. Horas!
***
68
Kolega


Nama yang Paling Sering
Disebut
Andika Vinianto
Staff Pengajar di Prodi Jurnalistik FIKOM Unpad, mengajar mata kuliah Jurnalisme Televisi di Prodi Jurnalistik FIKOM Unpad.
Nama Pak Sahala pertama kali saya dengar pada
2001, saat saya masih berstatus sebagai mahasiswa
baru. Ketika diharuskan untuk memilih jurusan,
kami mendapatkan banyak masukan dari para senior.
Masih teringat dengan jelas ketika itu, satu-satunya
nama dosen yang paling sering disebut adalah Pak 69 Sahala. Mereka tanpa henti menyebut kelas Pak
Sahala adalah yang paling berkesan dan bermanfaat ilmunya. Mereka tanpa ragu menyebut Pak Sahala sebagai dosen yang selalu memberi keteladanan dalam komitmennya untuk memajukan mahasiswanya agar menjadi akademisi yang berwawasan luas, bersikap baik dan berperilaku jujur serta mempunyai cita-cita untuk tidak menjadi orang “pas-pasan”. Secara tidak langsung, terbentuklah citra bahwa kehadiran Pak Sahala adalah alasan untuk memilih jurusan Jurnalistik. Saya pikir sampai saat ini, tidak banyak dosen yang begitu disegani sekaligus dikagumi oleh mahasiswanya selain Pak Sahala.
Walaupun pada akhirnya saya tidak pernah merasakan duduk di kelasnya, merupakan sebuah kehormatan bagi saya untuk kemudian bisa berada dalam satu keluarga besar
mereka dan BANG SAHALA


bersamanya sehingga dapat menyerap ilmu, cara pandang, dan keteladanannya sebagai dosen Unpad yang disegani. Walaupun saya tidak berlatar belakang Jurusan Jurnalistik, tapi saya
sangat setuju dengan banyak pendapat mahasiswa bahwa Pak Sahala adalah salah satu icon Jurnalistik Fikom Unpad. Saya juga sepakat bahwa hampir tidak ada satu skripsi mahasiswa Jurnalistik yang tidak mengucapkan terima kasih kepada Pak Sahala atas ilmu yang mereka peroleh selama berkuliah di Jurnalistik. Pasti banyak hal yang istimewa yang dimiliki oleh Pak Sahala. Walaupun saya sepertinya satu-satunya dosen Jurnalistik yang selalu merasa canggung menyapa Pak Sahala dengan panggilan Abang, tapi saya dapat merasakan keramahan dalam keseriusannya dan ketulusan dalam tutur sapa. Dalam kesehariannya Pak Sahala seorang pribadi yang hangat, responsif, egaliter, terbuka, supel dan memiliki rasa empati yang tinggi terhadap siapa pun.
Selamat Pak Sahala yang telah sempurna berbakti. Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan kesehatan lahir batin sehingga masa pensiun tidak diartikan sebagai akhir pengabdian. Secara formal administratif masa pengabdian Pak Sahala sebagai pegawai negeri sipil di Unpad memang sudah berakhir. Tetapi, pengabdian seseorang tidak dibatasi oleh ketentuan formal administratif. Pengetahuan teoritis maupun praktis Pak Sahala di bidang jurnalistik masih sangat dibutuhkan mahasiswa. Begitu pula dengan gagasan dan pemikiran Pak Sahala yang masih sangat diperlukan; tidak hanya diperlukan oleh Unpad tetapi masyarakat luas pada umumnya. Teruslah berkarya, Pak! Respect!
***
70
Kolega


Sebuah Koma antara Pak Sahala dan Saya
Abie Besman
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2000. Produser Eksekutif KOMPAS TV. Mengajar Mata Kuliah Jurnalisme Televisi di Prodi Jurnalistik dan Prodi TV dan Film FIKOM Unpad.
Saatnya sudah tiba, akhirnya waktu juga yang mengakhiri pengabdian seorang Sahala Tua Saragih di Prodi Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran. Saya mungkin bukan mahasiswa yang baik karena
tak pernah menyebut Sahala Tua Saragih sebagai “abang”, panggilannya (yang juga diinginkan oleh Sahala) di lingkungan Fikom Unpad. Pak Sahala, begitulah saya selalu menyebutnya sejak tahun
2000, atau sejak pertama kali mengenal sosoknya di lingkungan kampus. Sejak saya menjadi mahasiswa baru, prodi (jurusan) Jurnalistik memang identik dengan Pak Sahala, rumor beredar ketika itu, adalah jika mahasiswa Jurnalistik sering mengalami tingkat stres yang tinggi, menderita mata merah kurang
tidur, dan setidaknya mengalami beberapa hubungan percintaan yang kandas. Mulai dari hal logis sampai hal yang bersifat terawangan, selama itu berhubungan dengan penderitaan mahasiswa Jurnalistik, hal itu dengan mudah bisa disangkutpautkan dengan tugas- tugas Pak Sahala.
71
mereka dan BANG SAHALA


Sebagai mahasiswa Junalistik, saya mendapatkan beberapa mata kuliah penulisan di kelas Pak Sahala, saya bisa sebutkan dengan format mata kuliah saat itu adalah mata kuliah Penulisan Artikel, Penulisan Feature, Penulisan Tajuk Rencana dan Penulisan Berita Mendalam. Satu mata kuliah bersama Pak Sahala terasa seperti satu semester penuh yang melelahkan, karena tugas tugas kuliahnya selalu mendominasi semester itu. Jika dalam satu semester saja bertemu dengan Pak Sahala dalam 14 pertemuan, saya bisa sebut paling tidak ada lebih dari 8 tulisan, dengan tema berbeda tiap minggunya. Penulisan Artikel adalah pertemuan pertama dengan Pak Sahala, dan cukup pertemuan pertama sebelum akhirnya tugas hadir silih berganti. Salah satu teman saya yang kebetulan berbadan besar sempat membuat pantun yang cukup aneh dengan membandingkan tugas Pak Sahala dengan hujan, lengkap dengan karikatur Pak Sahala di loose leaf miliknya, saya coba mengingat dahulu, k“urang lebih isinya seperti ini:
Hujannya kecil tapi tem“
annya banyak Sahalanya mungil, namun tugasnya
“buyatak”
Mungkin teman saya itu protes karena waktu untuk nge- barbel berkurang karena diganti dengan waktu nge-word alias mengetik cantik.
Tapi memang untuk anak-anak yang baru saja melepas seragam putih abu, tugas Pak Sahala sangat berat, sangat spartan, analitik, dan menghabiskan waktu. Untuk yang terakhir bisa saya sebut seperti itu, karena saya juga mengorbankan banyak hal untuk mengerjakan tugas mata kuliah penulisan. Masa hura-hura mahasiswa Jurnalistik sering beradu kepentingan dengan tugas penulisan Sahala - catat tulisan saya ini, saya yakin tak ada yang keberatan karena memang sudah
72 1 *buyatak = (tumpah/berleleran)
1
Kolega


faktanya seperti itu.
Dari serentetan hari bersama Pak Sahala, ada hal yang
menarik dalam ingatan saya, suatu waktu, saya sebagai mahasiswa berdebat terkait penggunaan sebuah koma
dalam sebuah judul tulisan. Sebagai mahasiswa, saya merasa mempertahankan idealisme saya terhadap sebuah judul tulisan adalah sebuah kewajiban, perlu diingat saat itu memang belum banyak jurnalisme“click-bait” digunakan. Untuk saya, judul yang menggigit dan sensasional adalah mutlak sebagai nilai jual sebuah tulisan media populer, apalah arti sebuah tulisan jika tidak ada yang baca? Untuk seorang Sahala, argumen saya kurang tepat karena untuk takaran saya saat itu, ia mengajarkan bagaimana menulis, bukan bagaimana menjual sebuah tulisan, karena jika seseorang wartawan sudah belajar mengenal uang tanpa terlebih dahulu mengenal kemampuannya sendiri, sebenarnya ia sudah membawa ilmunya ke arah yang salah.
Sebuah koma kerap mengubah isi keseluruhan sebuah pesan, sebuah koma juga menjadi pembeda dalam setiap tulisan. Pak Sahala selalu menekankan pentingnya memahami konteks sebuah peristiwa. Menurutnya setiap tulisan mempunyai
nyawa, nyawa ini menentukan mau dibawa ke mana pesan
yang dimuat dalam sebuah tulisan. Bahasa menurut Sahala adalah medium sempurna dalam menyampaikan sebuah pesan. Ketidakmampuan seseorang dalam menyampaikan kata-kata akan menyebabkan pesan terhenti, dan terhentinya pesan adalah sebuah akhir dari sebuah proses jurnalistik. Jika masa kini seseorang yang kerap gatal dan membenahi struktur penulisan orang lain disebut sebagai “Grammar Nazi” maka hadapkanlah orang itu pada Pak Sahala, dia akan berhadapan dengan Die Fuhrer sesungguhnya dalam hal struktur penulisan jurnalistik berbahasa Indonesia. Pak Sahala tak sungkan memberikan kritik terbuka jika ada penggunaan kata yang tidak tepat
dan langsung di muka orang yang bersangkutan. Pak Sahala menjawab dengan enteng terkait hal ini: perkara malu adalah masalah pribadi, perkara benar adalah sesuatu yang jangan dinanti-nanti.
73
mereka dan BANG SAHALA


74
Debat penggunaan koma tak berhenti di sana. Debat-debat lain, tentunya dalam konteks positif dan konstruktif selalu
hadir dalam setiap kuliah Pak Sahala. Tentunya saya beruntung karena pernah merasakan pertukaran argumentasi. Ada saja rekan angkatan saya yang menderita demam Sahala, yang sejak awal merasa berat untuk masuk ke ruang kelas bersama Sahala, ini bisa diartikan sebagai berat secara akademik, maupun berat secara waktu. Sahala selalu memilih jam kuliah pertama, dan ini sangat merepotkan mahasiswa yang tinggal di Bandung seperti saya saat itu. Bandung-Jatinangor memang tidak jauh, hanya sekitar 30 km, dan dengan moda transportasi saat ini bisa dicapai dalam waktu 30-60 menit. Tapi jangan tanyakan bagaimana cara sampai di Kampus Jatinangor pada awal 2000- an, untuk masuk jam 07.00, saya terbiasa berangkat dari rumah jam 05.00, dan itu pun sudah berebutan slot berdiri di dalam bus dengan tukang sayur di pangkalan Bus Damri Non-AC Elang-Jatinangor. Itu baru perjalanannya, belum lagi hitung macetnya, mulai dari antrean putar balik Soekarno-Hatta, Lingkar Jahanam Cibiru, Riuhnya Pasar Cileunyi, Kampus
Praja STPDN sampai angkot ‘ngetem’ bisa melipatgandakan waktu perjalanan seorang Mahasiswa Jurnalistik ke ruang kelas Sahala. Saya yakin banyaknya angka ketidaklulusan mahasiswa Jurnalistik juga disumbang kondisi lalu lintas saat itu, karena Pak Sahala selalu menerapkan prinsip, “tidak ada mahasiswa yang masuk setelah saya, dan tiga kali saya masuk duluan, kamu mengulang tahun depan”.
Saya menulis tentunya bukan bagian seram seramnya
saja, walaupun kenyataannya memang seram, ada juga bagian yang selalu menginspirasi saya hingga saat ini -- bagian ini
saya sebut sebagai sesi pencabut gigi. Saat itu, Pak Sahala selalu berulang kali menyebut dirinya adalah bukan dosen pintar, tapi dosen berpengalaman, karena menurut Sahala pintar tanpa pengalaman akan terasa mudah bagi seorang wartawan. Saat seorang wartawan melakukan wawancara atau mengajukan pertanyaan, Pak Sahala selalu memberikan wejangan, bahwa menjadi wartawan bukan untuk mengadu kepintaran, melainkan memaksa kepintaran atau bahkan kebodohan
Kolega


narasumber itu keluar dengan sendirinya. Sahala mencontohkan sebuah analogi yang ia sebut didapatkan dari jurnalis senior Panda Nababan saat itu. Analogi ini disebut analogi pencabut gigi, di mana wartawan yang baik bukan wartawan yang
gemar mencabut gigi narasumber dengan mengeluarkan
segala jurusnya, wartawan yang baik adalah wartawan yang bisa memaksa narasumber untuk mencabut giginya sendiri dan memberikannya. Saya menyadari segmen hidup saya
yang paling penting adalah saat Sahala mengucapkan hal ini, bahwa untuk bertahan hidup sebagai seorang wartawan, teknik persuasif lah yang paling dibutuhkan, pintar itu bisa dipelajari, namun bermain hati muncul dari dalam diri.
Sahala juga adalah salah satu sosok di Jurusan Jurnalistik ketika itu yang mendorong saya untuk menjadi wartawan
aktif di media sembari terus mengajar di Fikom Unpad. Ketua Jurusan saat itu, Ibu Herlina Agustin dan Pak Sahala mendorong saya untuk menempati sudut ‘minim pengemudi’ di gerbong pengajaran Televisi di Fikom Unpad, yang saat itu hanya diampu oleh Pak Dede Mulkan. Saya cukup heran, karena dengan keilmuan yang Sahala miliki, tentunya sebuah dorongan untuk menjadi dosen mata kuliah televisi adalah hal yang mahal. Bentuk dorongan dari Pak Sahala adalah kemewahan yang tak semua orang bisa dapatkan, dan saya pernah mendapatkannya, dan semoga akan terus mendapatkannya.
Saya juga menjadi saksi bagaimana perjuangan Pak Sahala dalam melawan kanker, di saat yang bersamaan, ayah mertua saya, juga menderita kanker, jenis kankernya kalau tidak salah sama, yaitu kanker Nasofaring, yaitu kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung. Pada saat yang sama, dua orang yang saya hormati berjuang melawan kanker, sungguh sebuah tahun yang berat. Saya pernah menyempatkan diri untuk menengok Pak Sahala saat tengah menjalani perawatan kemoterapi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, saat itu pula saya menyaksikan berat badan Pak Sahala sudah turun drastis: kanker dan segala macam metode pengobatannya menggerogoti tubuh Pak Sahala. Namun di balik perjuangannya, Sahala masih terlihat bersemangat saat berbicara soal dunia jurnalisme, pertanyaan
75
mereka dan BANG SAHALA


76
pertanyaan kritis seputar perpolitikan Indonesia dilontarkannya di ruang tunggu pasien, hidupnya seakan tak pernah lepas dari jurnalisme.
Meski penganut Kristen Protestan, Sahala juga adalah orang yang paling rajin mengingatkan dosen dosen muda Jurnalistik untuk shalat Jumat, saya bicara apa adanya, karena rupanya semangat injury time kerap menghinggapi dosen-dosen muda Jurnalistik untuk berangkat Shalat Jumat tepat waktu. Saya
sulit membayangkan jika seruan seruan dari Pak Sahala tak
lagi terdengar dari meja di pojok itu. Bicara soal meja pojok, mungkin ini juga adalah salah satu keunikan Pak Sahala, saya kerap melihat kesulitannya karena dirinya tergolong dosen gagap teknologi alias gaptek. Tapi ini bukan sebuah sindiran, tapi merupakan sebuah kekaguman, gagapnya beliau terhadap teknologi tidak menghilangkan kemampuan dirinya untuk mengikuti isu sekaligus memberikan analisis dengan cerdas.
Sebagai dosen muda yang kebetulan mejanya bersebelahan dengan Pak Sahala, kegagapan teknologi Pak Sahala mungkin sangat terlihat dari beberapa pilihan gawai yang digunakannya. Monitor komputer berbentuk tabung, CPU yang masih berada dalam seri intel jadul dan sebuah telepon pintar yang tak pantas disebut pintar karena jika dibuka isinya sesak dengan aplikasi iklan dan spam yang berjejalan. Saya seringkali kebagian tugas membenahi beberapa gawai milik Pak Sahala, tentu saja bukan karena saya pintar, tetapi karena meja saya dekat dan sepertinya Pak Sahala menganggap saya cukup gape dalam memainkan gawai.
Saat ini Pak Sahala sudah memasuki masa pensiun, terhitung kurang lebih puluhan tahun generasi Jurnalis maupun ilmuwan sudah dilahirkannya. Jarang saya lihat seorang imuwan mendapatkan admirasi baik dari kalangan akademisi maupun praktisi. Pak Sahala adalah salah satu golongan yang langka
ini, keilmuan dan pengalamannya menembus batas dua ranah itu. Pengakuan akan kemampuannya lekat di setiap pembelajar ilmu jurnalistik, dan keunikannya, itu diceritakan melalui mulut ke mulut, bukan melalui buku. Sebuah anomali bagi seorang dosen untuk bisa meraih reputasi nasional tanpa karya buku.
Kolega


Sebuah karya bagi Sahala adalah mahasiswanya, yang dibentuk sedemikian rupa menjadi tangguh, trengginas dan kritis dalam segala situasi dan kondisi.
Pekerjaan rumah bagi Prodi Jurnalistik saat ini adalah mencari pengganti Pak Sahala untuk mata kuliah penulisan, saya bisa dihukum push-up sekian seri oleh Ikatan Alumni Jurnalistik karena menggunakan diksi “pengganti”. Sahala tidak mungkin tergantikan, kesan dan pesan positif senantiasa dituliskan oleh mahasiswanya di laman facebook Sahala Tua Saragih, dari angkatan zaman baheula sampai angkatan zaman now. Untuk menggantikannya adalah hal yang bisa dibilang sulit, namun izinkan kami kini memikul beban Pak Sahala yang sudah berada di pundaknya selama 30 tahun lebih. Kami, yang pernah dan selalu menjadi mahasiswa Pak Sahala, sudah berjanji akan terus menegakkan tiang Prodi Jurnalistik Unpad dan menghasilkan lulusan yang bisa memberikan dampak positif bagi bangsa dan almamater, sebagaimana yang selalu diceritakannya dalam setiap prolog kuliah.
Ah saya yakin, tulisan ini pun akan beliau sunting
jika menjadi sebuah tugas mata kuliah penulisan, lengkap dengan coretan coretan kasar di setiap ujung paragraf. Betapa sebenarnya saya sangat merindukan hal itu, tetapi untuk kali ini saya beranikan diri untuk bicara “Pak, sudahlah, tulisan ini hanya sebuah koma, untuk menunjukkan bapak bisa menghentikan saya untuk memberikan penghormatan berupa rasa terima kasih yang tak terhingga”.
Dari pemegang nilai “A” untuk semua kuliah Pak Sahala, Salam Jurnal!
“Now somewhere, there stands the man His duty over and won
The world will never forget him
To him we say, ‘Well done.’”
(Gene Autry, 1951)
***
77
mereka dan BANG SAHALA


78
Tugas Apresiasi Abang
Rana Akbari Fitriawan
Mengajar Mata Kuliah Penulisan di Prodi Jurnalistik FIKOM Unpad 2007-2011. Saat ini Staff Pengajar Telkom University.
MALAM itu, 30 November 2017, semua mata tamu yang hadir di Aula Gedung Sate tertuju pada sosok pria di atas panggung. Sahala Tua Saragih, pria itu, tengah membacakan penilaian atas karya-karya jurnalistik yang masuk ke meja dewan juri. Mewakili dewan juri, Bang Sahala, atau cukup Abang – begitu biasa kami menyapa sosok yang satu ini, memaparkan sejumlah hal tentang karya yang dinilainya.
Sambil mengawali dengan kata “punten”, orang Batak yang sudah lama tinggal di Tanah Pasundan ini melontarkan sejumlah kritik kepada peserta (dan juga pemenang) atas kualitas karya yang jauh dari ideal. “Sebagian karya miskin data, padahal banyak hal yang masih bisa diungkap untuk menjadikan karya-karya ini layak menjadi juara,” begitu kira-kira salah satu penilaian dari dewan juri, yang juga beranggotakan Kang Enton Supriyatna Sind (saat itu Pimpinan Redaksi Harian Galamedia) dan Mas Sapto Hp (Kepala Biro Kantor Berita Antara Jawa Barat).
Abang memang tidak sedang basa-basi. Mengritik karya jurnalistik sudah menjadi makanan dia sehari-hari. Kritik adalah bagian dari apresiasi, dan itu yang kerap dia ajarkan
Kolega


kepada para mahasiswanya. Maka, mengapresiasi karya jurnalistik atau buku-buku menjadi tugas mingguan mahasiswa Prodi Jurnalistik.
Saya hapal betul tugas yang diberikan Abang karena selama hampir lima tahun saya diberi kesempatan untuk menemani Abang di kelas saat mengampu beberapa mata kuliah. Istilah di Unpad, saya menjadi “dosen magang”.
Selain memeriksa tumpukan tugas mahasiswa, di kelas saya punya kesempatan menyimak semua yang disampaikan oleh mantan jurnalis Suara Pembaruan itu. Jika durasi mata kuliah itu dua jam setengah, maka Abang tanpa henti akan berbicara di kelas sekitar dua jam. Setelah itu saya diberi kesempatan untuk mengulas tugas-tugas mahasiswa dan menambahkan sedikit materi.
Abang tidak pernah sekali pun memaparkan materi kuliah menggunakan media pembelajaran LCD proyektor atau white board. Perkuliahan yang sudah selesai kerap meninggalkan papan tulis dalam kondisi putih bersih tanpa satu pun coretan spidol! Akibatnya, mahasiswa berupaya menahan kantuk karena harus menyimak paparan Abang tanpa bantuan visualisasi sedikit pun.
Jika mahasiswa tak menyimak dengan baik, hasilnya mudah ditebak dari tugas mereka. Apresiasi yang mereka tuliskan
pada pertemuan berikutnya jauh panggang dari api. Apalagi
jika mereka diberi kesempatan memaparkan hasilnya di depan kelas. Maka, akan terdengar komentar Abang: ”Apresiasi Anda dangkal, Saudara!”
Komentar ini kemudian kerap menjadi perbicangan di antara Jurnal-Jurnil, istilah untuk mahasiswa dan mahasiswi jurnalistik Unpad. Saya beberapa kali menjadi wadah curhatan mereka yang merasa “tersiksa” oleh tugas-tugas Abang. “Saya udah begadang, Kang. Udah berusaha keras. Tapi hasilnya kok cuma segini,” ujar salah satu jurnal.
Saya tentu mencoba menyemangati mereka. “Kalian masih beruntung hanya mengerjakan satu tugas setiap minggu. Kalau saya, paling tidak ada empat puluh tugas setiap minggu yang harus dikoreksi. Jika ada tiga kelas berarti ada 120 tugas, kan?”
79
mereka dan BANG SAHALA


Saya yakin Abang bukan tidak tahu tentang keluhan mereka. Tapi bagi Abang, menugaskan apresiasi setiap pekan merupakan metode yang tepat untuk melatih mahasiswa menulis. Alih-alih “kasihan kepada mahasiswa”, Abang malah mencontohkan menulis yang benar itu seperti apa. Caranya, ya Abang pun rajin menulis artikel dan mengirimkannya ke surat kabar baik lokal, regional, maupun nasional. Maka karya-karya Abang bertebaran di berbagai media. Belakangan, karya yang sudah dimuat disimpan oleh Abang di dinding Facebooknya.
Tugas menulis apresiasi ini ternyata memang mujarab. Sejumlah karya mahasiswa dimuat di media, bahkan sebelum mahasiswa itu lulus kuliah. Sebagian lain terlihat dari kualitas mereka saat menjadi jurnalis selepas lulus. Kualitas mereka sebagai reporter televisi, penyiar, atau jurnalis media cetak dan online, tampak di atas rata-rata.
Tentu tanpa mengurangi peran dosen pada mata kuliah lain, hasil ini tak lepas dari tugas apresiasi yang diberikan oleh Abang. Jurnal-jurnil menjadi contoh nyata bahwa mereka bisa karena biasa.
Satu saja yang menggelikan terkait tugas apresiasi ini. Kadang Abang tak menyadari ketika mengambil contoh dari jaman old, semisal nama penyanyi pop atau nama lagu yang terkenal pada jamannya. Padahal mahasiswa yang ada di hadapannya berasal dari jaman now.
Akibatnya, tidak jarang saya melihat mahasiswa kebingungan, celingukan, atau bertanya pada kawan di sebelahnya yang juga hanya bisa cengar-cengir kurang paham.
***
80
Kolega


Click to View FlipBook Version