The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ipitzulfan, 2019-05-08 22:15:15

mereka dan BANG SAHALA

Sahala Tua Saragih bukan dosen biasa. Banyak mantan mahasiswanya di Jurnalistik FIKOM Unpad yang berterima kasih atas gemblengan pria kelahiran Pematang Siantar itu. Padahal, ketika masih kuliah, tak sedikit dari mereka mengeluhkan tugas yang berjibun dan ‘kerewelan’ Sahala tentang sejumlah hal – misalnya penggunaan bahasa.

Ajaran-ajaran tersebut merembes bukan hanya buat mereka yang menjadi jurnalis. “Ajaibnya, tiga tahun terakhir saya tidak lagi berprofesi sebagai jurnalis namun prinsip dan nilai yang ditanamkan oleh Pak Sahala masih saja relevan dalam keseharian saya bekerja. Kali ini bukanlah detail tentang titik koma namun ketelitian, disiplin, dan konsistensi yang dia ajarkan menjadi pedoman saya,” tulis seorang mantan mahasiswanya.

Sahala memasuki masa pensiun. Buku ini merupakan bunga rampai dari mantan mahasiswa dan kolega untuk mengantarnya memasuki fase baru kehidupan. Cerita-cerita yang terhimpun bukan upaya glorifikasi, melainkan ikhtiar untuk merenungkan perjalanan diri.

Pak Sahala,
Sang Legenda Jurnalistik yang Humanis
Nuryah Asri Sjafirah
Kepala Program Studi Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad, mahasiswa FIKOM Unpad angkatan 1994
Dulu sewaktu duduk di bangku SMA, saya sempat bercita-cita menjadi jurnalis dan diplomat. Ternyata takdir mengantarkan saya menjadi dosen di
Prodi Ilmu Jurnalistik, tempat para calon jurnalis menimba ilmu. Saat itu, tahun 2004, pertama kali saya mengenal sosok Pak Sahala. Berdasarkan desas desus-yang beredar, dan diperkuat pernyataan Pak Sahala sendiri, pada awalnya beliau termasuk yang menolak saya masuk menjadi staf pengajar di jurusan Jurnalistik, mengingat S1 saya bukan dari Jurnalistik. Seiring perjalanan waktu dan kebersamaan kami di kampus, sikap Pak Sahala banyak berubah. Kami menjadi rekan kerja yang sering terlibat dalam diskusi tentang berbagai topik seperti isu-isu nasional yang sedang hangat, sejarah, riset, keluarga, kebijakan kampus, atau seputar buku-buku yang baru terbit dan lainnya.
Kami dekat bukan saja dalam relasi pekerjaan. Masih teringat jelas saat bapak saya sakit dalam jangka waktu lama dan seringkali harus dirawat di rumah sakit, beberapa kali Pak Sahala membesuk dan memberikan dorongan moril untuk
81
mereka dan BANG SAHALA


82
saya dan keluarga. Sampai akhirnya bapak pergi menghadap Yang Maha Kuasa, Pak Sahala datang takziah ke rumah saya. Beliau datang sendiri karena ketinggalan rombongan dosen lain, padahal jarak rumah saya dan rumahnya cukup jauh. Kepergian almarhum Bapak adalah saat yang berat untuk saya dan keluarga.
Di kampus Pak Sahala selalu memotivasi saya untuk tetap kuat dan bersabar. Saat saya menikah, Pak Sahala dan istri
ikut berbahagia dan hadir dalam resepsi, berseragam batik merah muda bersama teman-teman dosen Jurnalistik. Saya juga mengingat dengan baik bagaimana dukungan Pak Sahala saat saya berjuang menyelesaikan studi S3.
Ada hal lain yang berkesan. Saat itu Alya, putri saya sudah menginjak usia 3 tahun, tiba-tiba Pak Sahala memberikan amplop berisi uang dan saya pun kebingungan menanyakan maksudnya. Kata dia, itu buat Alya, karena dulu belum sempat memberikan kado saat Alya lahir. Akhirnya sore itu pulang dari kampus, uangnya saya belikan sepeda warna pink untuk Alya... hehe.. Jadilah Alya memiliki sepeda pertamanya.
Saya sudah menganggap dan menghormati Pak Sahala sebagai orang tua sendiri, sampai rasanya tidak kuasa untuk menyapanya dengan sapaan “abang” sebagaimana teman-teman dosen atau mahasiswa menyapanya. Sejak dulu sampai sekarang saya tetap menyapanya dengan “Bapak” atau “Pak Sahala”, dan pak sahala tetap menyapa saya dengan sapaan “Teh Nonon”, ini mengingatkan pada sapaan almarhum Bapak saya untuk anak perempuan satu-satunya. Kalau saya selesai menguji di pasca atau mengikuti rapat dan mendapatkan dus makanan kecil, biasanya saya akan bawa ke ruangan prodi dan memberikannya untuk Pak Sahala, mengingat beliau seringkali masih di kampus sampai larut. Jadi sambil membaca atau mengetik, beliau punya camilan hehe...
Dukungan dan kepercayaan Pak Sahala terkadang membuat saya terkejut. Saat Pak Sahala studi S2, saya dimintanya menjadi salah satu penelaah tesis bersama dosen-dosen senior lain.
Jujur saat itu saya bingung mendapatkan SK tugas menelaah
dan menguji tesis Pak Sahala, sang legenda jurnalistik.
Kolega


Pada sisi lain saya bersyukur bisa ikut mengantarkan sang legenda memperoleh gelar master komunikasinya. Beberapa tahun kemudian beliau mendaftarkan diri untuk studi S3 di Pascasarjana FIKOM Unpad. Tentu saja saya senang sekali mendengar kabar itu dan melihat semangatnya mengikuti
studi S3. Seringkali kami diskusi tentang topik risetnya, proses pembimbingan di S3, dan pernak-pernik studi lain. Tiba-tiba salah seorang promotornya sakit, dan di luar dugaan, saya kembali mendapatkan kejutan dengan menjadi salah satu promotor beliau. Saya bertanya kepada Pak Sahala mengapa memilih saya dalam setiap perjalanan studinya, Pak Sahala menjawab, “Saya percaya Teh Nonon.” Tentu saya sangat terharu mendapatkan kepercayaan seperti itu. Perjalanan studinya kemudian tersendat karena beliau sakit dan harus menjalani tahapan penyembuhan yang cukup lama. Semoga Pak Sahala tetap semangat untuk menyelesaikan studinya.
Hal lain yang berkesan, sejak saya menjadi ketua tim TPBK FIKOM Unpad sampai sekarang selalu menjadi penengah para mahasiswa yang memiliki masalah dalam konteks akademik dengan Pak Sahala. Pak Sahala dikenal sebagai dosen yang memiliki disiplin dan tuntutan tugas yang tinggi, dan beberapa mahasiswa yang tidak bisa mengikuti aturan main di kelasnya harus menelan pil pahit, dan biasanya tugas saya melakukan mediasi antara mahasiswa dan Pak Sahala. Hehe... Ini jadi pengalaman diplomasi saya dengan Pak Sahala.
Perjalanan waktu mengantarkan kami pada pemilihan Ketua Prodi di Prodi Jurnalistik. Tidak perrnah terbersit sedikit pun dalam benak saya menjadi seorang Kaprodi, tapi goresan takdir mengantarkan saya harus mengemban amanah tersebut. Pak Sahala menjadi sosok yang mendorong dalam setiap langkah dan keputusan yang saya ambil. Saat orang lain mempertanyakan kapasitas saya, Pak Sahala membela saya dan meyakinkan saya dengan kata-katanya “Teh Nonon bisa, Teh Nonon harus didukung, dan lain-lain...”. Pernah pada suatu waktu saya mengambil keputusan untuk mundur sebagai Kaprodi, keputusan saya saat itu sudah bulat, surat pun sudah diserahkan kepada Dekan. Tiba saat rapat pengunduran diri di
83
mereka dan BANG SAHALA


tingkat prodi, saya harus mendengarkan suara kolega-kolega dalam rapat tersebut, dan di antaranya suara Pak Sahala yang dengan berbagai penjelasan meminta saya untuk tidak mundur. Saya tercenung dan menitikkan air mata, batin pun kembali
“bergulat dan akhirnya saya menarik kembali surat pengunduran diri tersebut.
Pak Sahala yang saya kenal adalah sosok
yang humanis, pekerja keras, tekun“
Pak Sahala membina dan mengayomi juniornya di kampus dan tidak segan memberikan arahan dan dorongan. Membaca adalah aktivitas yang sangat dicintainya. Seringkali apa yang dibacanya menjadi bahan diskusi kami saat rehat di ruangan prodi. Saya terkadang mengintip koleksi bukunya hehe... lalu meminjam buku-bukunya. Ketekunan membaca membuat pemikirannya luas dan kritis. Lalu di sela-sela waktu mengajarnya Pak Sahala selalu produktif dengan karya tulisnya yang tersebar di berbagai media cetak.
Saya beruntung diberikan kesempatan mengenal Pak Sahala, bergaul dalam keseharian di kampus. Terima kasih untuk segenap perhatian, dorongan, ilmu yang sudah diberikan, Pak. Terima kasih sudah berbagi suka dan duka berjuang di dunia pendidikan. Dedikasi Pak Sahala tak akan lekang oleh waktu.
***
, memiliki idealisme dan dedikasi luar biasa dalam
mendidik mahasiswanya.
84
Kolega


Abang yang Satu ini Memang Beda
Henny Srimulyani
Lulusan FMIPA Unpad, Dosen Program Studi Ilmu Jurnalistik, Mengajar sejumlah mata kuliah terkait Statistik di FIKOM Unpad
Saat pertama diterima di FIKOM Unpad sebagai tenaga pengajar dan ditempatkan di jurusan Jurnalistik, awalnya saya memang tidak terlalu memperhatikan rekan kerja karena pada umumnya hanya datang ke kampus pada saat jadwal mengajar, jadi ketemu rekan kerja se-jurusan juga seringnya dengan rekan yang sama jadwal hari mengajarnya termasuk dengan Abang Sahala Tua Saragih jarang ketemu, padahal kita se-home base.
Tapi dengan berjalannya waktu rasa kekeluargaan itu tumbuh juga. Dalam mengampu mata kuliah kita juga berbeda kalau Abang mengajar mata kuliah yang khas jurnalistik sementara saya mata kuliah yang tidak banyak disuka oleh mahasiswa.... Statistik.
Abang yang satu ini punya karakter disiplin yang kuat pada anak didiknya dan menurut mahasiswa, di antaranya: mahasiswa tidak boleh terlambat lebih dari 15 menit kalau mau ikut mata kuliahnya, banyak tugas dan beragam, harus tepat waktu, dan masih ada yang lainnya...
Untuk penugasan dalam memberikan mata kuliah selama ini rasanya saya belum pernah satu team dengan abang, tapi
85
mereka dan BANG SAHALA


dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat rasanya kita pernah bersama, ke Pangandaran, tapi itu duluuu banget.... Begitu juga dalam penelitian, rasanya saya belum pernah satu kelompok dengan Abang karena memang ketertarikan kita pada fokus penelitian berbeda. Satu hal yang saya pernah
jalani bersama dengan Abang ketika pada 2013 ternyata saya, Abang Sahala dan Abah Teddy diterima sebagai mahasiswa doktoral di FIKOM Unpad. Perbedaannya bila Abang memilih izin belajar sementara saya dan abah Teddy memilih tugas belajar. Kita kuliah bareng selama dua semester ya bang... Ternyata banyak cerita yang bisa dikenang selama perjalanan kuliah di usia 50-an antara idealisme dan realitas terkadang harus ada yg mengalah. Antara idealisme, daya pikir tenaga dan waktu yg terbatas selalu ada yang harus dinomorduakan. Unik memang.
Doa saya untuk Abang semoga di tahun ini berbarengan dengan tahun masa pensiun, Abang tetap semangat untuk dapat menuntaskan Program Doktoralnya. Tidak lupa doa khusus: semoga di masa purna bakti di Prodi Jurnalistik, Abang tetap sehat dan panjang umur.
Aamiin.
***
86
Kolega


Sahala Tua Saragih,
Sang Legenda Jurnalistik
Dian Wardiana Sjuchro
Kepala Program Studi Manajemen Produksi Media D4 Terapan FIKOM Unpad, Dosen Program Studi Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad
Sebagai Dosen Prodi Jurnalistik, saya punya dua cita- cita terpendam yang tidak akan pernah terlaksana. Kedua-duanya berkaitan dengan masalah asisten dan meng-asisteni. Sejak awal, saya ingin menjadi asisten bagi Noor Achirul Layla, mantan Ketua Jurusan Jurnalistik yang melegenda. Saya ingin ‘mencuri’ Ilmu Broadcasting yang beliau punya, serta ingin menulis buku pengantar broadcasting buat pegangan mahasiswa. Harapan saya kandas karena Noor Achirul Layla dipanggil Tuhan dan tidak sempat mewariskan ilmunya secara leluasa. Obsesi saya yang lain adalah menjadi asisten bagi Sahala Tua Saragih, dosen legenda lainnya. Meskipun Sahala berumur panjang, kendala tetap ada. Beliau berpangkat lebih rendah, sehingga meng-asisteni Sahala hanya mimpi belaka. Padahal saya ingin menimba ilmu mengajar yang baik, mengelola kelas dengan efektif, dan mencerdaskan mahasiswa. Apalagi kemudian saya tahu, Sahala Tua Saragih segera pensiun sebagai dosen.
87
mereka dan BANG SAHALA


88
Sahala Tua Saragih, mengawali kariernya sebagai wartawan Sinar Harapan. Kiprahnya sebagai jurnalis tercatat dengan
baik di ingatan para jurnalis yuniornya. Paling tidak hal itu terungkap dari pembicaraan para alumni FIKOM Unpad yang berkiprah di dunia tulis menulis. Sahala dikenang sebagai wartawan yang gigih mencari sumber berita, menuliskan hasil temuannya dengan teliti, serta mampu menyajikan sudut pandang berita yang orsinal. Nursyawal, mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung menilai Sahala sebagai wartawan idealis yang “cerewet” dengan karya Jurnalistik, teristimewa dari sisi bahasa.
Pengalamannya sebagai jurnalis kemudian menuntun Sahala masuk ke dunia akademik sebagai dosen di Prodi Jurnalistik FIKOM Unpad, sejak tahun 1987. Sebagai dosen muda (ketika itu), Sahala kemudian disegani oleh kawan dan lawan karena idealismenya dalam membimbing para mahasiswa. Dia adalah dosen bertipe ditakuti sekaligus disayangi mahasiswanya. Hal ini barangkali karena kerja kerasnya men-drill mahasiswa dengan berbagai tugas di lapangan, serta sangat terkenal pelit memberikan nilai akhir.
Dari para mahasiswa yang pernah diajar Sahala, saya tahu apa penyebabnya. Sahala barangkali satu-satunya dosen yang mampu bertahan di kelas selama 150 menit (3 SKS) tanpa henti. Dia mengajarkan berbagai pengetahuan jurnalistik secara teoritik dan praktik sekaligus. Sahala juga membebani mahasiswa dengan berbagai literatur, serta mendorong mereka untuk terjun ke lapangan mempraktikkan ilmu yang diperoleh di kelas.
Ada banyak cerita tentang cara mengajar Sahala
yang dikenang oleh para alumni. Tugas-tugas dari Sahala menyebabkan mahasiswa bekerja keras, mencari sumber berita dan menuliskannya dengan baik. Ketika hasil pekerjaan mereka diserahkan, mahasiswa harus siap-siap dikritisi, kebanyakan disuruh kembali ke lapangan dan menulis ulang hasil tulisannya. Beberapa mahasiswa bahkan putus asa, atau terpaksa masuk rumah sakit karena terkuras tenaga dan sumber dananya.
Dengan teknik mengajar seperti itu, Sahala sangat dikenang
Kolega


oleh murid dan mantan muridnya yang sekarang bekerja di berbagai media massa nasional. Pengalaman belajar dari Sahala, ternyata menjadi bekal yang sangat berharga bagi pekerjaan mereka sebagai seorang wartawan.
Di tengah cerita “galaknya” Sahala sebagai dosen, terselip kisah unik tentang idealisnya Sahala sebagai dosen pengamat bahasa. Sahala terkenal sangat cerewet bila menghadapi logika bahasa dan ejaan bahasa. Sahala tak akan pernah segan menghardik siapapun yang dia nilai salah menerapkan kaidah bahasa, baik bagi dosen maupun mahasiswa. Tabiat Sahala tersebut cukup membuat gentar bila saya bicara di depan umum, karena saya takut dikritik bila salah menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Minatnya yang tinggi dalam mengamati bahasa, mendorong Sahala untuk menulis tesis tentang penggunaan bahasa di surat kabar. Saya diberi kehormatan sebagai pembimbing tesis, bersama senior saya, Dr. Betty Soemirat (alm). Di tengah bimbingan, saya dan Bu Betty terperangah karena tesis Sahala mencapai hampir 700 halaman. Sangat tebal, seperti bantal. Saya kemudian sepakat dengan Bu Betty untuk meluluskan Sahala karena tesisnya terlalu sulit untuk dibaca. Tak lupa, ketika sedang ujian tesis, naskahnya saya upload ke Facebook dan mendapat komentar yang mencengangkan dari teman-teman FB saya.
Saya beroleh kabar, Sahala Tua Saragih sebentar lagi pensiun sebagai Aparat Sipil Negara (ASN). Hati saya menangis, karena kita akan kehilangan seorang dosen idealis yang telah melegenda di kalangan sejawat dan alumni. Namun saya tidak percaya Sahala akan pensiun dalam arti yang sebenarnya. Saya yakin Sahala masih akan tetap mendarmabaktikan ilmunya bagi FIKOM Unpad yang sangat dia sayangi. Saya sangat yakin Prodi Jurnalistik masih akan meminta kesediaannya menjadi Dosen Luar Biasa, terutama untuk mata kuliah tertentu yang sampai sekarang belum ada kader penggantinya.
Kalau dihitung, 7 tahun berikutnya saya juga akan menyusul pensiun. Berbeda dengan Sahala Sang Legenda, saya hanya bercita-cita menjadi begawan, mengasingkan diri dari
89
mereka dan BANG SAHALA


keriuhan birokrasi perguruan tinggi yang serba menekan dan lebih mendalami agama yang selama ini banyak saya lupakan. Selamat menjalami pensiun, Sahala Tua Saragih, jasa-
jasamu akan selalu dikenang oleh sahabat, sejawat, teman, dan lawan.
***
90
Kolega


Sahala Tua,
Manusia Antarbudaya
Deddy Mulyana
Guru Besar FIKOM Unpad,
Dekan FIKOM Unpad Periode 2008-2016
Kemahiran Pak Sahala Tua menulis artikel sudah
mumpuni. Cara mengajarnya pun disukai mahasiswa
karena sangat membumi. Namun hal paling
mengesankan buat saya adalah kepribadian dan
caranya berkomunikasi. Pak Sahala punya sikap
santun dalam kesehariannya, tenang saat berbicara,
dengan pilihan kata yang cermat, mirip dengan 91 caranya menuangkan gagasan dalam tulisan. Ia
pandai bergaul dengan orang lain, antara lain karena pembawaannya pun humoris.
Selama mengenalnya lebih dari 30 tahun, saya tak pernah melihat Pak Sahala berbicara keras, apalagi marah. Padahal
ia berasal dari suku Batak yang sering distereotipkan sebagai “kasar” oleh orang di luar sukunya, apalagi oleh orang Sunda. Yang namanya stereotip sering keliru, meski mengandung setitik kebenaran. Lagi pula penganut stereotip lazimnya etnosentrik, merasa bahwa budayanya, termasuk cara berkomunikasinya, sebagai standar terbaik untuk mengukur budaya dan cara berkomunikasi orang lain.
Pak Sahala mengingatkan saya pada konsep “Manusia Antarbudaya” (Gudykunst & Kim, 1984), yakni seseorang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antarbudaya yang kognisi, afeksi dan perilakunya tidak terbatas, namun terus
mereka dan BANG SAHALA


berkembang melampaui parameter psikologis suatu budaya.
Ia peka secara budaya dan mampu berempati dengan orang yang berbeda budaya. Dalam literatur orang seperti ini dikenal juga sebagai manusia multibudaya, manusia universal, manusia internasional, warga dunia, atau kadang disebut manusia pluralis, meski konsep terakhir kadang berkonotasi negatif.
Bahwa Pak Sahala itu manusia adaptif secara budaya jelas terlihat dari penguasaan bahasa Sunda-nya yang halus. Saat orang-orang mendengar Pak Sahala berbicara dalam bahasa Sunda, mereka tak akan menyangka bahwa ia sebenarnya bukan orang Sunda. Dalam banyak hal Pak Sahala lebih “nyunda” daripada sebagian orang Sunda yang tidak menguasai bahasa Sunda dan perilakunya pun kadang kebarat-baratan. Itulah karakter Pak Sahala.
***
92
Kolega


Sahala:
Disiplin dan Komitmen
Basith Patria
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad, Mahasiswa Jurusan Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 2007
Sampai hari ini, saya baru mengenal dua orang
dengan nama Sahala. Sahala pertama adalah sahabat
di organisasi kepemudaan ketika saya masih tinggal
di Blitar, Jawa Timur. Sahala kedua adalah dosen
yang namanya sudah nyaring saya dengar jauh
sebelum saya mengikuti mata kuliah yang ia ajar. 93 Saya menghormati beliau sejak pertama bertemu
sampai sekarang. Tidak hanya karena perbedaan usia,
tapi karena sikap disiplin dan komitmennya dalam
mengajar.
Bang Sahala, begitu ia akrab disapa, adalah salah satu
dari sekian dosen yang berhasil meletakkan dasar jurnalisme begitu kuat dalam diri saya. Mulai dari sikap disiplin, kejujuran, kegigihan, sampai soal idealisme. Itu bekal berharga saat berkarier sekitar 10 tahun di industri media. Kuliah Bang Sahala, memang indah untuk dikenang. Tapi berdarah-darah ketika dijalani. ☺
Siapa pun yang pernah menjadi mahasiswanya, pasti kenyang dengan urusan mengapresiasi buku, datang terlambat tidak diperbolehkan mengikuti kelas, praktik lapangan
yang menantang, tugas tidak boleh melebihi tenggat, sampai perkuliahan yang tak pernah menyisakan waktu. Full! Rasanya
mereka dan BANG SAHALA


94
setiap mahasiswanya pasti mengenang soal itu.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengenang sisi lain dari
Bang Sahala. Dosen Prodi Jurnalistik, yang semasa kuliah dulu, aktif mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Resimen Mahasiswa (Menwa) dan salah satu anggota tim sepak bola Unpad. Bahkan bersama timnya, ia pernah melawat ke Malang untuk bertanding sepakbola secara “profesional”. Ya, profesional. Penonton bayar tiket untuk dapat menyaksikan pertandingan itu.
Saya juga meneladani kisah perjuangan hidupnya.
Ia lahir dari anak petani di tepi Danau Toba, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, sebelum akhirnya ke Bandung untuk menempuh pendidikan tinggi.. Bang Sahala pernah menceritakan kegemarannya membaca koran sejak sekolah. Di Bandung, ia dan saudara-saudaranya, harus berjuang sendiri untuk biaya hidup dan biaya kuliah. Menjadi fotografer amatir untuk kegiatan ospek kampus menjadi jalan untuk mengejar cita-cita tanpa merepotkan orang tua di kampung. Dari kisah yang disampaikan Bang Sahala di kelas inilah, saya mendapat tambahan semangat untuk menghadapi kendala yang hampir serupa ketika menjadi mahasiswanya.
Lima tahun terakhir, sampai tiba masa purna bakti Bang Sahala di Kampus Unpad tercinta, saya berkesempatan mendampingi beliau mengajar untuk mata kuliah Reportase, Penulisan Artikel dan Tajuk Rencana, Penulisan Berita Khas, dan Penulisan Berita Mendalam di Prodi Jurnalistik FIKOM Unpad.
Sejak kuliah sampai hari pertama mendampingi Bang Sahala mengajar, saya berpikir jika tugas dosen relatif mudah dibanding mahasiswa. Dosen tinggal suruh-suruh mahasiswa mengerjakan tugas. Biarlah mahasiswa yang pontang-panting. Eh, nyatanya tidak juga. Bang Sahala mengajarkan untuk memberi feedback pada setiap tugas yang dikerjakan mahasiswa, sebagai bentuk penghargaan dan pembelajaran bagi mahasiswa. Jadi mulai saat itu anggapan saya berbalik. “Jadi mahasiswa enak, cukup mengerjakan satu tugas dan selesai urusan. Sementara, dosen harus memeriksa setiap tugas yang dikerjakan
Kolega


mahasiswa, satu per satu”. Sementara kelas Bang Sahala, setiap minggu ada tugas. Bisa dibayangkan kan? Dan beliau melakukan itu sejak puluhan tahun lalu.
Soal ketepatan waktu memulai dan mengakhiri kelas, saya tertarik dengan yang Bang Sahala lakukan. Sampai saya pernah menirunya untuk mata kuliah lain. “Itu berat. Saya tak sanggup. Biar Abang saja”, mungkin begitu jika meminjam sepenggal percakapan yang populer dalam film Dilan 1990. Berat, karena bukan hanya mahasiswa yang harus lari mengejar waktu kuliah, saya sebagai dosen juga sama.
Bang Sahala dalam setiap kuliah selalu memberikan motivasi-motivasi kepada mahasiswa. Meskipun caranya berbeda-beda. Salah satunya melalui catatan dalam tugas mahasiswa, “Apresiasi Anda dangkal!!”. Kalimat sakti yang mampu melecut semangat mahasiswa untuk belajar lebih giat.
Ingatannya sangat tajam. Bang Sahala masih dapat mengingat dengan jelas nama-nama mantan mahasiswanya serta bagaimana selama ia di kelas. Meski sudah lulus kuliah cukup lama, Bang Sahala mampu mengingat mereka dengan sangat baik. Saya pun tak mampu melakukannya.
Bang Sahala mengaku jika sampai hari ini masih menyimpan nilai-nilai kuliah semua mahasiswanya dari awal sampai sekarang. Ia selalu mendokumentasikan dengan baik. Sehingga, jika suatu hari dibuka, kita akan tahu nilai-nilai kuliah dari beberapa bos media yang dulu pernah menjadi mahasiswa Bang Sahala.
Sebagai kolega, saya mengenal Bang Sahala sebagai sosok yang hangat dan perhatian. Meski sebagai senior, beliau tak segan menyapa terlebih dulu. “Sugeng enjing, Bas!”, itu sapaan yang Bang Sahala sering ucapkan ketika bertemu pagi hari di ruang Prodi Jurnalistik. Menggunakan bahasa Jawa, meski ia bukan orang Jawa. Sebagai orang yang lahir dan besar di Jawa Timur, mendengarnya saya merasa sangat terhormat dan dekat. Bisa jadi ini juga konsep “proximity” yang biasa diajarkan dalam kelas-kelas jurnalistik.
“Bas, sampun dahar?” itu di antara kalimat yang membuat saya merasa beliau perhatian. Sebuah kalimat pertanyaan yang
95
mereka dan BANG SAHALA


lagi-lagi diucapkan dalam bahasa Jawa. Meski pertanyaan sudah makan atau belum itu, juga diucapkan kepada rekan yang lain, tapi saya tetap merasa ucapan Bang Sahala spesial. Di Jawa Tengah atau Timur, kalimat itu hanya diucapkan kepada orang yang lebih tua.
Meski telah lama pensiun dari profesi wartawan, namun Bang Sahala tak pernah berhenti sebagai penulis. Artikelnya hampir setiap bulan kita bisa saksikan di berbagai media massa cetak di Jawa Barat dan nasional. Kepada saya, Bang Sahala juga sering memotivasi untuk ikut menulis artikel di koran. Jika lama tak menulis, Bang Sahala yang rajin menagih. Sampai saya akhirnya menulis lagi.
Sahala Tua Saragih sudah menjadi sebuah energi di kampus ini. Darinya kita belajar soal kedisiplinan dan komitmen
dalam mengajar. Menjadi dosen memang bertanggung jawab melaksanakan tridharma. Tapi mengajar dan “mengurus” mahasiswa adalah yang paling utama. Menanamkan nilai dan mengantarkan mahasiswa ke pintu sukses.
Bang Sahala boleh saja pensiun, tapi semangatnya akan tetap hadir dalam setiap proses belajar di kampus ini. Bang, kami menunggu karya-karya hebatmu selanjutnya! Berharap segera terbit buku ajar jurnalistik yang Abang yang “sedap”, karena ditulis berdasarkan pengetahuan serta pengalaman puluhan tahun di lapangan dan di dalam kelas. Salam hormat.
***
96
Kolega


Abang Sahala
yang Suka Bobo Cantik
Sandi Jaya Saputra
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad, Mahasiswa Jurusan Jurnalistik FIKOM Unpad angkatan 2004
Sebenarnya saya bingung mau menulis kenangan apa tentang Bang Sahala. Dalam hal ini saya sepertinya tidak perlu menjelaskan kenapa saya memanggil Abang atau Bang, karena menurut beliau, bila menyingkat sesuatu harus diawali dengan keterangan lengkap lalu menyingkat dan menjelaskannya, ahhh udah lah yah. Lagian Abang ga akan periksa tulisan ini. Kan buku ini dibuat untuk memberi kejutan untuk Abang. Jadi saya tidak akan mengunakan kaidah penulisan yang baik seperti yang Abang ajarkan di kelas, bukan berarti Abang tidak berhasil mendidik saya, tetapi ini adalah bukti kalau Abang berhasil mendidik saya. Laaaah nyambungnya di mana? Hal ini dikarenakan saya masih bingung mau menulis
apa tentang Abang. Saya mencoba mengingat- ngingat kesan apa yang menarik untuk ditulis mengenai Abang, apa yang selalu saya ingat adalah kenangan mengerjakan semua tugas mata kuliah Abang, yang katanya sulit dan menguras energi. Ko saya merasa biasa aja yah, tidak ada yang sulit. Saya mengerjakannya dengan suka cita dan penuh rasa tanggung jawab, boong deeeng...duh nulis apa yaah.
97
mereka dan BANG SAHALA


98
Menulis kebingungan di saat menulis adalah trik untuk memperpanjang tulisan, agar terlihat bertutur dan jumlah katanya menjadi banyak, sebenarnya emang “dangkal”. Seperti yang sering Abang tulis di lembar tugas saya, “tulisan Anda masih dangkal”. Sebaliknya saya merasa bahagia apabila saya diapresiasi oleh Abang, meskipun “dangkal”! setidaknya Abang baca tulisan saya, ketimbang dosen lain, yang tidak memberikan tanggapan mengenai tugas yang bersangkutan, lalu nilai saya A. Saya tidak bisa terima soal itu. Eeyah.
Masih Bingung! Yang ada saya hanya monolog. Oke,
nah tepat pada 19 Februari ada pengumuman mengenai
nasib Kontrak Kinerja Individu (KKI). Dosen Unpad pasti paham. Yang tidak tahu, ya cari tahu. Jangan mau disuapin!
Itu yang diajarkan Abang ke saya saat mata kuliah reportase. Pada tanggal tersebut dosen mendapatkan pengumuman perpanjangan pengajuan kontrak kinerja, oke saya harus nulis. Karena menulis di buku poin capaiannya besar, itu pula yang diajarkan Bang Sahala. Hampir setiap semester Abang tidak pernah mengisi KKI, alasannya karena Abang sebagai dosen sudah menjalankan sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Seperti mengajar, meneliti, dan mengabdi. Pada soal penelitian, Abang rajin menulis di media massa dalam setiap semester meskipun poinnya kecil, ketimbang jurnal ilmiah. Padahal tulisan-tulisan Abang lebih banyak dibaca khalayak, ketimbang jurnal-jurnal yang tampak seperti menara gading, dan bikin ngatuk kalau dibaca.
Ngantuk
Sejak menjadi mahasiswa Bang Sahala, saya selalu duduk paling depan. Biasanya saya duduk tepat di depan meja dosen, karena biasanya Abang berdiri tepat di tengah lorong tempat duduk, antara kiri dan kanan. Saya memilih duduk di tempat tersebut karena Abang jarang melihat tempat tersebut, dengan alasan kalau saya tidur tidak ketahuan. Sebenarnya di setiap mata kuliah pun saya salalu tertidur di sela-sela perkuliahan. Tetapi di mata kuliah Abang, saya selalu terlelap. Biasanya sampai 10-15 menit.
Kolega


Pilihan duduk di tempat tersebut kadang kala harus saya rolling, kadang di kanan, atau tengah. Tapi di depan meja dosen ada tempat paling aman untuk “bobo cantik”. Misi tersebut tidak selalu berhasil, beberapa kali saya disuruh cuci muka. Saat saya bobo cantik, saya tidak mendengkur, tapi mulut saya kadang tidak bisa dikontrol untuk tidak mangap berlebihan, hal tersebut yang mengundang tawa teman-teman kelas dan akhirnya ketahuan.
Selain tertidur di kelas, saya hampir 2-3 kali terlambat dan terlewat kelas. Nah hal ini dikarenakan saya mengerjakan tugas sampai pagi hari, lalu di saat antre untuk mandi, saya tertidur sampai siang. Karena di zaman itu toilet di dalam kamar relatif jarang, sebagai kelas menengah ngehe saya memilih kostan yang toiletnya di luar dan berbagi dengan yang lain. Karena sisa dari pembayaran kostan lumayan untuk “pt-pt” beli jamu.
Tepat 19 Februari di mana saya memutuskan untuk menulis tentang kenangan tentang Bang Sahala, jam menunjukkan pukul 16.00. Abang sedang membaca Koran Tempo dan sesekali ‘bobo cantik.’ Tempat duduk saya berdekatan dengan tempat duduk Abang, jadi saya selalu melihat aktivitas Abang selama
di Program Studi Jurnalistik. Untuk pekerjaan intelektual, saya pikir tidak perlu dibagi di sini. Tidak perlu kita ragukan lagi soal dedikasi, baik sebagai pengajar atau penulis. Satu hal yang saya kagumi dari Abang menulis adalah saat menekan keyboard yang hampir bunyinya seperti menekan mesin ketik, dan ajib-nya Abang mengetik dengan sebelas jari.
Saya bergabung resmi dengan civitas Unpad pada 2014,
di saat itulah saya sering melihat Abang ‘bobo cantik’ di singgasananya. Pada awal-awal saya melihat Abang ‘bobo cantik’ setelah jam perkuliahan, pada akhir-akhir ini kadang setiap waktu, malah di saat saya datang pagi-pagi Abang terlelap dan tetap sambil memegang buku. Ah, ternyata Abang seperti kabanyakan orang, baca buku lalu tertidur. Mengutip teman saya yang komentar di Instagram story ketika saya motret Abang sedang tidur: “Ternyata dia Batak tulang lunak juga kaya gw.” Maklum, teman saya Batak dan demen tidur.
99
mereka dan BANG SAHALA


“Selain rutinitas membaca, saya juga sering mendengar lagu pilihan Abang. Sambil membaca, dan akhirnya terlelap. Abang
sering memutar lagu Ebiet G. Ade, Iwan
Fals, lagu-lagu Batak, Abah Iwan,“
dan yang lebih ajaib, akhir-akhir ini Abang
sering dengerin lagu Rihanna.
Saya tidak paham apakah mitos atau memang benar adanya hal yang menyangkut kondisi psikologis manusia, bahwa kita akan kembali pada masa kanak-kanak. Kalau begitu, tenang, Bang. Kapan-kapan kita akan lebih sering nongkrong di lapo atau menikmati secangkir junkie juice karya racikan istimewa alumni kita sambil bercerita soal Jurnalistik yang semakin millennial ini.
Jatihandap, 26.02.2018.
***
100
Kolega


2000-an
101
mereka dan BANG SAHALA


102
Catatan Kecil untuk
Abang Besar
Ahmad Faisal Adnan
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2001. Jurnalis di Kantor Berita Antara dan rutin bermusik bersama Orchest Stamboel dan Matter Halo.
Sungguh menyenangkan saat mengetahui bahwa saya mendapatkan kesempatan untuk ikut berbagi kisah di sini. Saya membayangkan bahwa benang merah dalam tulisan-tulisan bagus di dalam buku ini menghasilkan sebuah simpul kuat: sosok yang mestinya disepakati sebagai orang hebat yang penuh dedikasi membaktikan diri dalam profesinya.
Saya memulai tulisan ini dengan senyuman.
Emmm...
Tidak, tidak tepat seperti itu–
Saya mesti mengakui bahwa saya tersenyum sepanjang proses pembuatan tulisan ini. Roda-roda di dalam pikiran saya berderak cepat, memutar kembali memori belasan tahun silam, saat kali pertama memutuskan memilih Jurnalistik sebagai korps saya.
Sejujurnya, kala itu saya sama sekali tidak tergerak menjadi anak kuliahan. Sejak SMA, ketertarikan saya adalah musik: menjadi seorang musisi rock ‘n roll. Dus, saya menyelesaikan soal-soal Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, UMPTN. Ketika nama saya terpampang di sebuah harian nasional sebagai
2000-an


salah satu calon mahasiswa FIKOM Unpad, saya tercenung cukup lama.
Walaupun saya mulai menyukai kehidupan di kampus, minat saya terhadap dunia pendidikan masih kalah bila dibandingkan dengan mimpi jadi musisi. Saya ke kampus hanya untuk bercengkerama dengan teman-teman, nongkrong di kantin, mengagumi cantiknya gadis-gadis, dan bermain sepakbola, lalu semuanya beres– pulang ke kosan. Namun surga dunia itu mendadak lenyap menginjak tahun kedua di Jatinangor, ketika teman-teman saya rajin mempergunjingkan sebuah nama.
Sahat Sahala Tua Saragih.
Ini pasti menyeramkan, pikir saya waktu itu. Dari namanya saja sudah terdengar angker.
Sebelum menjatuhkan pilihan pada Prodi Jurnalistik, saya tahu persis cerita-cerita yang muncul mengenai Sahat Sahala Tua Saragih. Gambaran umumnya bernada menakutkan, cenderung sarkas, dan menguburkan impian setiap mahasiswa untuk dapat lulus dalam jangka waktu cepat.
Toh, saya tetap memilih Prodi Jurnalistik dengan pertimbangan utama: gagal jadi musisi, setidaknya dengan menjadi jurnalis saya akan memiliki akses untuk bisa bertemu langsung dengan musisi idola. Sesungguhnya agak kurang masuk akal dan terkesan dipaksakan, namun itulah yang ada di dalam celah otak saya zaman itu.
Bagaimana dengan nada-nada minor yang menggaungkan kedigdayaan para dosen angker di Prodi Jurnalistik? Masa bodoh, pikir saya. Mau galak, kek, seram, kek, toh mereka juga sama-sama manusia dan tidak akan menerkam saya. Sahat Sahala Tua Saragih seharusnya masih mengonsumsi nasi dan bukannya obor pawai Olimpiade, kan?
Uniknya, ‘kenyataan pahit’ tersebut tidak hanya mewarnai keseharian saya dan rekan-rekan Jurnalistik, tetapi juga menjadi bahan perbincangan teman-teman mahasiswa dari jurusan lain. Betapa standar penilaian sang ‘dosen ajaib’ Sahat Sahala Tua Saragih, membuat mayoritas teman saya di luar Prodi Jurnalistik bergidik. Hal ini tidak dapat dimungkiri.
103
mereka dan BANG SAHALA


104
“Pasti mendapatkan banyak tugas berat, ya?”
“Membuat tulisan dengan deadline-nya hanya tiga hari?” “Dosen killer itu? Tentu saja saya tahu!”
“Nyesel, kan masuk Jurnalistik?! Rasakan!”
Nah!
Kalimat-kalimat di atas adalah impresi paling umum
terhadap Sahat Sahala Tua Saragih. Benar, beliau memang gemar memberikan tugas-tugas ‘ajaib’ kepada mahasiswanya. Tidak tanggung-tanggung, tenggat waktu penyerahan tugasnya pun kadang mengganggu pikiran setiap kali saya hendak beranjak ke peraduan.
‘Killer’? Sepenuhnya saya setuju. Beliau tipikal dosen yang tidak pernah ragu menorehkan tinta merah di atas tumpukan kertas tugas anak-anak didiknya. Sahat Sahala Tua Saragih adalah orang yang paling merasa gerah bahkan cenderung iritasi terhadap kegagalan berbahasa mahasiswa. Beliau termasuk satu dari sedikit dosen yang paling peduli terhadap kaidah penulisan dasar jurnalistik. Ketaksaan atau ambiguitas dalam sebuah tulisan adalah musuh besarnya – terlebih lagi bila hal tersebut bersemayam nyaman di alam pikiran mahasiswa.
Masih teringat dalam ingatan saat beliau begitu bawel
akan penggunaan kalimat Menerangkan-Diterangkan dan Diterangkan-Menerangkan, kata-kata serapan, penempatan kata sambung, salah kaprah, atau penggunaan titik-koma. Benar- benar detail!
“Perempuan Presiden atau Presiden Perempuan, mana yang benar?”
“Efektivitas atau keefektifan?”
“Di antara atau diantara? Dikontrakan atau dikontrakkan?” “Setiap, tiap-tiap, atau masing-masing?”
Sahat Sahala Tua Saragih adalah dosen yang sangat
rajin. Seingat saya, beliau jarang sekali tidak hadir di kelas, kebiasaannya lebih awal datang ke ruang kelas. Bila berencana tidak hadir, beliau mengirimkan pesan singkat terlebih dahulu kepada salah seorang perwakilan mahasiswanya. Sepengetahuan saya, ia juga konsisten dalam membuat tulisan, menyuarakan pendapatnya lewat artikel di berbagai media massa cetak. Sosok
2000-an


dosen yang langka.
Belakangan saya sadari, meski memiliki kesan angker, gaya
bertutur beliau sesungguhnya sangat mengasyikkan, tegas, tanpa basa-basi tetapi lentur. Ah, teman-teman saya di prodi lain pastilah mengalami paranoia!
Bila dicermati lebih jauh, sesungguhnya tugas-tugas kuliah dari Sahat Sahala Tua Saragih selalu menarik, seru, plus penuh tantangan –ya bolehlah kalau mau dibilang agak menyusahkan. Pada masa itu, beliau mengampu empat mata kuliah yaitu Wawancara, Artikel, Pelaporan Mendalam, dan Penulisan Feature Cetak.
Beliau pernah mewajibkan mahasiswanya untuk membuat laporan baca artikel opini harian selama sepekan. Maka, saya pun melewati satu minggu dengan beberapa artikel opini mengenai Zio-Nazisme Israel, Pemilu dan transisi demokrasi, serta Amerika Serikat dan Israel sebagai superpower-nya dunia, yang muncul di Media Indonesia pada akhir Maret-April 2004.
Mungkin tugas tersebut terbaca sepele. Tetapi untuk seseorang yang pada awalnya sama sekali tidak berniat untuk menjadi mahasiswa seperti saya, menganalisis tujuh buah artikel opini per pekan jauh lebih sulit dari sekadar menebak warna dasar binatang Zebra. Hitam atau putih?
Menyikapi segala macam tugas kuliah, saya segera berkawan akrab dengan suratkabar. Persoalan akses mendapatkan koran memang cukup pelik. Sebagai mahasiswa Jurnalistik, intensitas dengan medium ini merupakan keniscayaan. Membelanjakan uang untuk membeli suratkabar setiap hari –bagi mahasiswa picisan seperti saya, rasanya nyaris sama seperti memikul tugas suci dari persekutuan semut pembawa gula: berat tetapi harus!
Saya paling sering menumpang baca koran di kios yang ada di gerbang Unpad atau perpustakaan Prodi Jurnalistik. Pilihan lainnya adalah meminjam koran jatah milik himpunan mahasiswa, HMJ, yang tentunya juga menjadi favorit bagi rekan-rekan saya lainnya. Terkadang, koran tersebut tiba di tangan saya dalam kondisi menyedihkan. Entah seperti apa perlakuan orang-orang terhadap koran tersebut.
105
mereka dan BANG SAHALA


106
Mata kuliah Artikel juga mengharuskan mahasiswa
untuk membuat usulan topik atau biasa disingkat Ustop. Sahat Sahala Tua Saragih seolah tidak mau tahu: mahasiswanya
mesti membiasakan diri untuk membuka cakrawala wawasan, mengenali gejala-gejala atau anomali, menggunakan berbagai ‘pisau’ analisis, sembari mencari solusi paling tepat dari sebuah masalah. Pencapaian tertinggi dari mata kuliah ini adalah ketika opini mahasiswa yang bersangkutan nangkring di kolom artikel koran, utamanya koran berskala nasional.
Jelas, bukan perkara honor tetapi honour. Tidak saja bangga tetapi bisa jadi jumawa. Teman saya, anggap saja bernama Asep, pernah berhasil melakukannya. Artikel opininya sempat dimuat di harian Pikiran Rakyat. Asep –yang saya kenal biasanya bersikap urakan dengan jins kusam dan sepatu kets butut, kerap melepaskan humor berselera kacangan bahkan cenderung kotor dan slapstik, tiba-tiba berseliweran di kampus dengan aksi barunya. Teman saya itu mulai rajin mengenakan setelan kemeja rapi dan wangi, perlente, serta tanpa canggung menghampiri gadis-gadis cantik yang tengah antre membeli lotek. Asep tidak segan menyapa saya dan yang lainnya dengan kalimat baku yang kaku, terdengar seperti ensiklopedia berjalan.
Astaga, ke mana perginya Asep yang beraroma matahari sekaligus agak sinting? Saya nyaris tidak mengenalinya lagi. Pikiran saya mengembara secara liar: pastilah Asep tidak menuliskan sendiri artikelnya. Mustahil!
Ah, betapa sebuah mata kuliah memiliki dampak demikian hebat bagi kepribadian seseorang. Tidak, tidak! Saya tidak menyalahkan Sahat Sahala Tua Saragih sebagai dosen mata kuliah Artikel. Pun, saya enggan mencibir perubahan karakter Asep. Saya hanya mampu mengelus dada, merasa amat dungu, melewatkan kesempatan untuk bisa bercengkerama dengan banyak gadis sambil menikmati sajian lotek khas Fikom Unpad. Kenapa sih, saya nggak bisa menulis artikel hebat?
Selain Artikel, mata kuliah Pelaporan Mendalam juga membutuhkan ketekunan tinggi. Sahat Sahala Tua Saragih mengisyaratkan agar setiap mahasiswa membuat beberapa tulisan panjang – seingat saya tiga atau empat rangkai tulisan,
2000-an


membedah pokok persoalan secara menyeluruh dan tuntas. Tema Pelaporan Mendalam saya mengenai regenerasi tim sepakbola Persib Bandung. Selama beberapa hari, saya
menghabiskan waktu di Lapangan Tegalega untuk mencermati kompetisi internal Persib, mewawancarai beberapa pemain muda termasuk legenda tim seperti Yusuf Bachtiar, Risnandar- Sunaryono Soendoro, dan Max Timisela. Kala itu, tim Maung Bandung ditukangi pelatih Juan Antonio Paez yang berasal dari Cile. Selain wawancara, hasil perburuan saya selama berkutat di lapangan Tegalega adalah satu potong jaket, sepasang sandal beraksara Cina, dan tas punggung tanpa merek berwarna hijau gelap. Tentu saja barang-barang second!
Meski awalnya mengalami kesulitan, lama-kelamaan saya merasa kerasan dengan tugas-tugas yang diberikan oleh Sahat Sahala Tua Saragih. Sungguh, saya serius! Tanpa menafikan eksistensi dosen lainnya, rasanya berat untuk melangkahkan kaki menuju kampus bila tidak ada mata kuliah beliau dalam satu semester. Maka muncullah ungkapan ‘Para Penyembah Sahala’ bagi mereka yang hadir ke kampus hanya untuk
sang dosen. Untunglah idiom itu tidak serius sehingga tidak seorangpun yang menahbiskan diri sebagai nabinya – saya berandai-andai Asep berdiri di atas Gedung Dekanat sembari meneriakkan nubuat.
Ironisnya, persinggungan terakhir saya dengan Sahat Sahala Tua Saragih cenderung menyebalkan, berdasarkan versi saya sendiri. Bagaimana tidak: saat tengah mengajar, beliau melontarkan ide penelitian soal pembreidelan sebuah suratkabar. Awalnya, saya tidak terlalu memerhatikan karena asyik duduk di bagian sayap kelas dengan seplastik kuaci.
“Saudara-saudara, tentu akan sangat menarik bila Anda bisa meneliti nasib koran Sinar Harapan. Selama ini sudah terlalu banyak penelitian mengenai hubungan sebab-akibat, pengaruh X terhadap Y, dan lainnya. Coba Saudara-saudara cari hal menarik lainnya di luar kebiasaan. Pembreidelan Sinar Harapan ini contohnya,” ungkapnya antusias.
Saya menelan potongan kuaci terakhir, menyeka mulut seraya membatin, Kenapa tidak? Cepat lakukan saja sebelum ide
107
mereka dan BANG SAHALA


108
ini diambil orang, Bodoh!
Selepas pertemuan di kelas, saya segera menghadang Sahat Sahala Tua Saragih ketika beliau hendak naik ke ruang Prodi Jurnalistik di Gedung II.
“Pak, saya akan mencoba melakukan penelitian seperti yang Bapak utarakan di kelas tadi,” papar saya penuh percaya diri.
“Bagus, bagus! Cobalah! “angguk Sahat Sahala Tua Saragih.
“Tapi dengan satu syarat–“sergah saya. “Bapak harus menjadi dosen pembimbing saya!”
Sejenak beliau seolah berpikir, kemudian tersenyum lalu berujar, “Tentu, tentu. Kita akan atur nanti. Saya akan usahakan.”
Voila!
Selepas pertemuan itu, saya pergi ke rumah seorang sahabat di Bandung, menginap di sana selama berhari-hari dan menyenangkan hati dengan bermain game konsol. Skripsi? Saya bahkan tidak merasa perlu memikirkannya. Tenang– Sahat Sahala Tua Saragih ada di pihak saya: siapa yang mampu mengalahkan kekuatan kami?
Inilah poin yang menyebalkan: Sahat Sahala Tua Saragih tidak benar-benar menjadi dosen pembimbing saya! Apa mau dikata, papan informasi di ruang Prodi Jurnalistik menegaskan hal tersebut. Mental saya runtuh seketika, mungkin juga dengan iman saya –sebab saya sempat mengumpat dengan memuntahkan banyak sekali kata kotor waktu itu.
Padahal, rencana di kepala saya begitu istimewa: saya akan giat mendatangi Sahat Sahala Tua Saragih di manapun beliau berada untuk mendapatkan pencerahan, siap merevisi, siap bergadang demi kelancaran proses pembuatan skripsi, berharap tidak terkatung-katung. Lagipula, mahasiswa mana yang tidak bertepuk dada memiliki dosen pembimbing sehebat beliau?
Mengapa saya merasa amat kehilangan? Jawabannya jelas: Sahat Sahala Tua Saragih adalah orang yang paling mengerti perkembangan kasus pembreidelan Sinar Harapan pada 9 Oktober 1986. Saat itu beliau masih menjadi bagian dari koran sore tersebut. Bahkan, belakangan muncul informasi dari beberapa orang narasumber yang saya wawancarai bahwa
2000-an


salah satu tulisan Sahat Sahala Tua Saragih turut berkontribusi sehingga Sinar Harapan menemui ajalnya!
Istimewa, bukan?
Sungguh sedih mendapati kenyataan bahwa dosen favorit batal menjadi pembimbing utama tugas akhir saya. Kendati demikian, kegelisahan tersebut menguar cepat karena saya mendapatkan dosen pembimbing utama yang tidak kalah membanggakan: Prof. Deddy Mulyana M.A., Ph.D. Mustahil mahasiswa ilmu komunikasi tidak membaca karya-karya briliannya! Saat itu beliau baru kembali ke Tanah Air setelah berlanglangbuana sekian lama di Eropa. Lewat tangan dingin beliau-lah, serta bimbingan tambahan dari (Alm.) Drs. Jaja Udjaja Padmawidjaja, saya sukses mengantongi ijazah sarjana.
Sebagai penutup tulisan, saya tidak segan menghujani Sahat Sahala Tua Saragih dengan berondongan doa, harapan, dan penghormatan. Walau fenomenal, sosoknya tentu tidak lepas dari kesalahan. Mudah-mudahan setiap pengajarannya berbuah nilai-nilai kebajikan dan menjadi ladang amal. Beliau adalah katalis positif dan tanpanya kuliah saya mungkin berantakan, bertahan sebagai nihilis dungu, melahirkan skripsi yang biasa- biasa saja, dan rekan saya Asep tidak akan pernah memacari seorang gadis pun di kampus.
Sahala: El Phenomenon!
***
109
mereka dan BANG SAHALA


Antara Saya, Bang Sahala, dan Ejaan yang Disempurnakan
Priska Siagian
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2000. Sempat bekerja di beberapa media nasional. Penulis Lepas.
“Siagian Priska? Nama kamu ini salah penulisannya, tidak sesuai EYD (Ejaan yang Disempurnakan). Seharusnya nama kamu Priska Siagian. Jadi saya akan selalu memanggil kamu sesuai aturan. Sesuai EYD!” ” demikian Pak Sahat Sahala Tua Saragih saat memanggil saya pertama kali.
Saya senyum-senyum saja mendengar “kuliah” pertama dari salah seorang dosen Jurnalistik FIKOM Unpad yang akrab dipanggil Pak Sahala itu. Memang jauh sebelumnya, penulisan nama saya sudah sering menimbulkan pertanyaan, tapi baru kali itu ada yang menganalisisnya dari aturan penulisan EYD.
Masuk semester tiga, kami mulai penjurusan. Sebagai anak FIKOM yang memilih jurusan Jurnalistik, nama Pak Sahala cukup sering dibicarakan. Mengapa? Karena hampir semua mata kuliah dasar “menjadi wartawan” mulai dari wawancara, Penulisan Artikel, Penulisan Feature, sampai Pelaporan Mendalam diajar oleh dia.
Pak Sahala juga terkenal sangat menggembleng mahasiswanya untuk menulis dengan kesempurnaan ejaan bahasa. Saya ingat betul ketika Pak Sahala mengembalikan
110 tugas teman yang judulnya menggunakan tiga tanda seru.
2000-an


“Mengapa harus ada tiga tanda seru? Fungsi tiga tanda seru ini apa? Menurut saya ini berlebihan!”
Tidak heran juga kalau di awal perkenalan dengannya, penulisan nama saya tentu menarik perhatiannya. Apalagi nama saya berada di urutan teratas pada daftar hadir, K1A00002.
Saya membayangkan, saat Pak Sahala menerima daftar hadir mahasiswa baru jurusan Jurnalistik angkatan 2000, ia langsung menandai nama saya untuk wajib dikomentari.
Tidak hanya menjadi legendaris karena begitu teliti memeriksa kesempurnaan ejaan bahasa dalam tulisan-tulisan mahasiswanya, Pak Sahala juga terkenal selalu menuntut semua mahasiswanya berpikir kritis. “Wartawan harus lebih banyak tahu dari narasumber, karena itu harus banyak baca. Membaca tidak hanya membuka wawasan tapi juga menajamkan logika.”
Terbayang dong suasana kelas akan seperti apa ketika Pak Sahala mulai mengambil salah satu kertas dari tumpukan tugas yang dikumpulkan. Sepi dan tegang sampai kemudian kertas yang dipilih itu berbuntut penyebutan nama. Meninggalkan kelegaan pada mahasiswa yang namanya tidak disebut, tapi tidak untuk pemilik nama dalam kertas. Pemilik nama harus ke depan dan membawa semua amunisi logika untuk menghadapi komentar Pak Sahala yang menguliti tulisannya.
Gaya mengajar Pak Sahala yang begini tidak lantas menciptakan jarak dengan mahasiswa. Memang ada tegang- tegangnya, apalagi kalau jawaban yang kita berikan justru melahirkan pertanyaan baru dari Pak Sahala. Lalu keluar keringat dingin kalau kita semakin kelabakan untuk menjawab. Apalagi gaya bicara Pak Sahala ketika mengkritisi sering dengan ekspresi muka yang yakin sekali, sampai kadang-kadang curiga jangan-jangan dia punya “mata-mata” saat kita menggali fakta dan data di lapangan.
Tanpa disadari, kebiasaan Pak Sahala yang menuntut berpikir kritis ini membuat kami datang ke lapangan dengan segala “kecurigaan” yang ada. Curiga dengan logika yang kuat. “Jangan sekadar jadi penampung ludah narasumber,” begitu biasanya Pak Sahala berkomentar kalau mahasiswanya kurang tajam menulis.
111
mereka dan BANG SAHALA


112
Meski begitu cara mengajarnya, banyak juga mahasiswa yang berkonsultasi tambahan demi “mencuri” pengalaman di lapangan yang dimiliki Pak Sahala. Saya, misalnya, saat Pak Sahala menugaskan kami untuk menulis profil, memilih Kepala Observatorium Bosscha sebagai bahan tulisan. Jujur saja saat mengajukan nama itu di antara beberapa pilihan nama yang saya tawarkan, sebenarnya khawatir juga kalau benar-benar harus mewawancarai Kepala Observatorium Bosscha. Menulis artikel profil bukan berarti kita hanya menulis ulang perjalanan karirnya tapi juga harus menemukan kebaruan dari apa yang sedang dikerjakannya. Bayangan saya, Kepala Observatorium Bosscha tentu lebih banyak berbicara tentang penelitian perbintangan dan sepertinya topik ini kurang menarik perhatian banyak orang.
Saya pun kemudian memberanikan diri untuk “terlihat bodoh” di depan Pak Sahala. Kok terlihat bodoh? Iyalah masa memilih tokoh untuk diwawancarai tapi tidak yakin apa yang mau digali dari tokoh itu. Kan bisa di-Google? Pada masa
itu, internet belum seperti sekarang, tempat semua orang mendapatkan jawaban.
Maka minta petunjuklah saya pada Pak Sahala, apa yang bisa saya lakukan untuk membuat tulisan profil tentang Kepala Observatorium Bosscha ini tak sekadar bercerita tentang peneliti dengan judul penelitiannya yang rumit-rumit itu, tapi juga punya news value yang membuat orang tidak hanya melihat Bosscha itu sebagai tempat menyimpan teropong bintang.
Respons Pak Sahala di luar dugaan. Dia malah menyakinkan saya bahwa penting untuk menulis tentang peneliti-peneliti seperti Kepala Observatorium Bosscha ini. Mereka dengan sepenuh hati meneliti meski publik sering
tak menyadari apa yang diteliti itu sangat bermanfaat untuk kehidupan. “Coba nanti kamu tanyakan, apa yang menjadi kendala Bosscha saat ini, baik dalam hal keterbatasan teknologi atau kondisi di sekitar Bosscha?”
Dari pertanyaan sederhana itu, Kepala Observatorium Bosscha bercerita banyak sekali. Bahwa ternyata maraknya pembangunan di sekitar Bosscha membuat peneliti kesulitan
2000-an


melakukan peneropongan karena polusi cahaya dari lingkungan yang semakin padat. Padahal salah satu manfaat riil dari observatorium terbesar di Indonesia ini adalah untuk penetapan kalender Islam. Jadi sangat penting menjaga lingkungan di sekitar Bosscha selalu optimal untuk kegiatan peneropongan bintang.
Saya tentu puas sekali bisa bertanya begitu ke narasumber karena tidak hanya membuat pembaca menyadari pentingnya keberadaan Bosscha tapi juga membuat saya tidak terlihat bodoh di hadapan narasumber. Ya. terlihat bodoh di depan Pak Sahala ternyata tidak terlalu memalukan juga karena masukan yang diberikan justru mengembalikan rasa percaya diri saya untuk melakukan wawancara dengan baik.
Meski semua sudah merasakan tulisan dikuliti Pak Sahala, ikatan emosional yang terbentuk adalah pertemanan. Interaksinya seperti senior yang ber murah hati membagikan pengalaman kepada wartawan-wartawan yang baru terjun ke lapangan. Kedekatan secara emosional itu terasa saat kami, Jurnalistik 2000, sepakat memberi kejutan pada hari ulang tahun Pak Sahala.
Kami membiarkan dia mengajar seperti biasa. Tapi menjelang akhir kuliah, salah seorang teman keluar kelas lalu masuk kembali dengan membawa kue ulang tahun lengkap dengan lilin yang menyala. Di luar bayangan kami, Pak Sahala menangis! Kami semua tidak pernah melihat ekspresi ini dari Pak Sahala. Suasana campu aduk, antara kaget dan bingung.
“Saya benar-benar tidak menyangka. Setelah sekian lama mengajar, baru sekarang dapat kejutan seperti ini,” kata Pak Sahala sambil melepaskan kaca mata dan menyeka air mata yang merembes di pipi. Suasana haru pun memenuhi ruang kelas sampai kemudian salah seorang teman berkomentar, “Heuk siah, Pak Sahala ceurik,” yang sedetik kemudian memicu suara tawa riuh memenuhi kelas. Kami semua lalu menyalami Pak Sahala yang matanya masih berkaca-kaca.
**
Setelah lulus kuliah, interaksi dengan Pak Sahala berlanjut
113
mereka dan BANG SAHALA


114
di ruang media sosial Facebook. Pak Sahala sangat rajin menuliskan ucapan selamat ulang tahun di dinding linimasa saya atau melalui layanan pesan di Facebook. Begini kira-kira ucapannya, “Abang mengucapkan....”
Yup, Pak Sahala meminta mantan mahasiswanya untuk memanggil dia dengan Abang atau Bang Sahala. Awalnya saya tidak terbiasa, tapi lama-kelamaan saya merasa ini adalah cara dia untuk menghapus jarak antara dosen dengan mahasiswa. Dia ingin interaksi yang terjadi di luar kampus lebih cair ketimbang saat masih menjadi mahasiswa-dosen.
Toh tetap saja setelah bertahun-tahun tak main ke kampus Jatinangor, komentar Bang Sahala masih sama: “Siagian Priska, yang benar itu Priska Siagian.”
Kami pun lanjut bertukar cerita. Dia bercerita tentang mahasiswa yang semakin banyak dan membuat dia sedikit kewalahan untuk membaca tugas satu per satu. Saya bilang,“Wah mereka nggak seberuntung saya dong, ngerasain tulisannya dikulitin.” Lalu kami tertawa.
Bedanya, tawa saya lebih kepada bangga karena pernah dibimbing langsung oleh dosen legendaris Jurnalistik dengan komentar yang menyengat nalar. Sedangkan nada tawa Bang Sahala ketika itu menyimpan rasa pilu karena tak dapat membaca tugas-tugas itu secara khusyuk seperti yang biasa dilakukan sebelumnya. Sepertinya, buat Bang Sahala, salah satu bentuk penghargaan kepada mahasiswa adalah sepenuh hati menganalisis hasil tulisan mereka.
“Terus sekarang kamu sedang sibuk apa?” tanya Bang Sahala melanjutkan sesi tukar cerita kami saat itu. Saya kemudian bercerita tentang ketertarikan saya sebagai wartawan kesehatan hingga menerbitkan dua buku non-fiksi dengan tema yang berkaitan dengan kesehatan. “Wah hebat kamu sudah menerbitkan dua buku,” ujar dia.
Bahagia bener rasanya mendengar seorang Sahat Sahala Tua Saragih mengapresiasi saya dengan kata ‘hebat’ hahaha... Saya sampai terharu ketika dia berkali-kali berkali-kali mengingatkan agar mengirimkan buku-buku yang sudah saya terbitkan itu.
Alhasil ketika memutuskan untuk menjadi penulis penuh
2000-an


waktu dengan menerbitkan novel pertama, saya pun antusias menceritakan momen itu dan mengirimkan novel tersebut
ke Bang Sahala. Begitu menerima, Bang Sahala langsung mengunggah foto novel tersebut ke Facebook, lengkap dengan kata-kata motivasi: “Kami nanti karya-karya tulismu berikutnya! Salam jurnal dan salam sono pisan dari kampus asri Jatinangor.”
Buat saya, tulisan motivasi di dinding linimasa itu sangat berkesan, karena pada saat itu sebenarnya Bang Sahala juga sedang menjalani proses pengobatan kanker nasofaring. Tetap terbuka menceritakan penyakitnya dan masih bisa menyemangati mantan mahasiswa untuk terus menghasilkan karya-karya baru, membuat saya melihat Bang Sahala sebagai guru yang konsisten membimbing anak didik.
Niatnya mengkritisi setiap hasil tulisan kami di dalam kelas, sama positifnya dengan motivasi yang dituliskan
secara pribadi untuk mantan mahasiswanya yang sedang membentuk pencapaian diri di luar kelas. Meski intensitas pertemuan tidak sesering dulu, konsistensi Bang Sahala dalam mengamati setiap pencapaian mantan mahasiswa dicatatnya dengan penuh rasa bangga di linimasa Facebook-nya. Buat saya pribadi, Bang Sahala tidak hanya mengantarkan saya
agar lebih percaya diri ketika terjun sebagai wartawan dengan segala bekal pengalaman-pengalamannya di lapangan, tapi juga mematangkan perjalanan saya sebagai penulis.
Setiap prestasi yang diraih oleh anak didik, sebenarnya juga sebuah pencapaian setiap pendidik yang telah meletakkan pijakan pertama untuk anak didiknya melenting sempurna. Karena itu, melalui tulisan yang personal ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bang Sahala yang telah membentuk arsiran penting dalam perjalanan saya sebagai wartawan dan penulis.
Saya percaya, meski telah memasuki tahapan baru, yaitu purna karya sebagai pengajar di prodi Jurnalistik FIKOM Unpad, Bang Sahala akan terus berkarya melalui tulisan-tulisan yang berkualitas. Karena menulis tak sekadar menjadi bakat yang sudah terasah tapi telah menjadi legenda pribadi Bang Sahala. Teruslah merayakan hidup melalui tulisan-tulisanmu,
115
mereka dan BANG SAHALA


Bang Sahala. Tuhan memberkati. ***
116
2000-an


“Mengapa, bukan Kenapa”
Feri Alamsyah
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2000. Sempat menjadi jurnalis di beberapa media penyiaran. Staff Pengajar di Universitas Pakuan.
Bagi mahasiswa ‘nekat’ seperti saya, mendapat dosen seperti Pak Sahala bukan hal menyenangkan. Saya jelaskan dulu mengapa saya termasuk mahasiswa ‘nekat’. Masuk FIKOM Unpad sungguh prestisius, passing grade yang tinggi plus jumlah peminat juga besar. Saat SMA, saya bukan siswa berprestasi, boro- boro mendapat ranking, bisa naik kelas aja sudah syukur banget. Nilai buku raport, angkanya selalu “kebakaran.” Warna merah bisa tujuh angka. Jadi hampir 80 persen nilai saya “merah”. Karena itu, bisa masuk FIKOM Unpad seperti mukjizat buat saya.
Dengan masuk FIKOM saja saya patut bersyukur. Namun, saat masuk penjurusan saya malah “nekat” masuk jurusan Jurnalistik. Ini seperti ‘bunuh diri’. Senior yang terkenal
super galak, jumlah SKS yang super banyak, dosen-dosen menyeramkan, plus tugas-tugas kuliah yang super berat. Sudah tahu seperti itu, lalu mengapa saya tetap masuk jurnalistik? Alasannya sederhana: teman-teman. Ya, sebagian besar mereka masuk Jurnalistik. Maka, rasanya akan lebih menyenangkan jika melewati mata kuliah bersama teman-teman yang sudah
117
mereka dan BANG SAHALA


118
saya kenal baik. Walaupun sebetulnya saya juga bingung mau pilih jurusan apa yang paling tepat. Dari tiga jurusan yang ada, saya tidak punya pengetahuan khusus, Mankom itu apa? Humas itu apa? Sementara, saya tidak tahu untuk mengembangkan keterampilan diri harus ke jurusan yang mana. Nah daripada bingung, ya ikut teman saja. Bukan hal baik untuk dicontoh... hehehe... Tapi faktanya memang demikian.
Kuliah dengan Pak Sahala
Mitos soal Pak Sahala yang sungguh galak menjadi momok menakutkan bagi setiap mahasiswa FIKOM Unpad yang baru mengambil jurusan Jurnalistik. Terus terang, saya baru mengetahui dia setelah satu semester kuliah di jurusan Jurnalistik. Maklum, saya memang kurang perhatian pada segala hal yang berbau perkuliahan.
Ketika mengetahui semester depan akan menghadapi mata kuliah Pak Sahala, dalam hati gentar rasanya. Testimoni dari kolega sejawat sangat mengintimidasi -- kolega sejawat adalah sebagian besar teman seangkatan yang sudah mengambil mata kuliah Pak Sahala. Saya memang telat karena ada masalah dengan Indeks Prestasi dan mata kuliah dia yang bersyarat. Kembali ke testimoni, Sahala Tua Saragih adalah dosen dengan tingkat “horor” yang melegenda. Dalam tugas tidak ada kata terlambat. Sudah tidak boleh telat, tugasnya cukup berat, seperti menganalisis isi koran harian selama seminggu, merangkum buku, bertemu narasumber, dan membuat tulisan. Absensi
tiga kali tidak masuk berturut-turut tanpa keterangan berarti mengulang di semester depan.
Pak Sahala menjalankan itu semua dengan konsisten. Masuk kelas tepat waktu, memberi tugas tiap minggu, dan lain- lain, sesuai dengan cerita ‘horor’ yang dialamatkan padanya. Satu hal saja yang tidak terbukti: ternyata dia tidak galak, tapi memang tidak kompromi. Mahasiswa yang telat memberi tugas, tidak ada kesempatan kedua.
Setiap pertemuan, Sahala pasti membahas tugas tersebut. Ketika memeriksa, ia selalu “sok” detail, perkara redaksional dibahas, dan setiap mahasiswa dibahas satu per satu. Kata dia,
2000-an


“Coba cermati masalah redaksi, imbuhan di- yang menyatakan tempat itu pasti dipisah”. Ini juga, bukan “kenapa tetapi mengapa”, karena kalau kenapa berarti kena apa.”
Cara dia membahas tugas, terutama soal redaksional itu, membuat hampir semua orang tertawa, termasuk saya. Saat itu, mungkin bagi kami memang terasa jenaka. Karena persoalan ‘remeh’ yang tidak substansial, dan selalu diulang-ulang pada setiap pertemuan. Dalam pembahasannya itu, meski setiap pertemuan diulang, pasti ada mahasiswa yang melakukan kesalahan serupa. Karena itu, kami suka sedikit terkekeh ketika mendengar apa yang dia koreksi.
Pembahasan yang hampir sama setiap minggu, membuat saya dan teman-teman terkadang membuat lelucon. Dalam obrolan sehari-hari misalnya, ketika teman “curhat” tetiba mengeluarkan frasa “kenapa”, tanpa basa-basi saya dan teman lain yang ikut mendengarkan langsung mengoreksi seraya sedikit berteriak “mengapa, bukan kenapa”. Kami semua kontan tertawa.
Sejujurnya saya agak lupa masa kuliah dengan dia yang sudah lewat sekitar 15-16 tahun lalu. Tapi, sepanjang saya kuliah, untuk mata kuliah Pak Sahala rasanya tidak pernah mengulang. Mungkin tidak semua nilai A, tapi alhamdulillah saya berhasil melewati tanpa harus bertemu dengannya di semester berikut dalam mata kuliah yang sama. Padahal di mata kuliah yang lain, yang mungkin kadar beratnya tidak seekstrem Pak Sahala, saya mengulang dua atau tiga kali.
Meneladani Pak Sahala
Dari cara mengajar bapak berdarah Batak ini, paling tidak, ada beberapa hal yang bisa saya pelajari dan sangat berpengaruh dalam kehidupan saya, terutama di bidang jurnalistik yang menjadi kompetensi dia. Pertama adalah soal disiplin. Di bidang jurnalistik, jika tidak punya kesadaran untuk disiplin, akan sulit sekali kita menjadi jurnalis andal. Contohnya seperti mengejar tenggat waktu. Masalah tenggat waktu di bidang jurnalistik adalah “Tuhan”. Kalau tidak bisa mengejar, repot sudah.
Kedua, presisi. Ini salah satunya berkaitan dengan koreksi
119
mereka dan BANG SAHALA


120
redaksional yang sering dilakukan Pak Sahala hingga jadi bahan lelucon. Ketika kita menulis, yang paling perlu diperhatikan adalah redaksional, penulisan yang tepat seperti menulis nama orang, nama tempat, gelar, dan lain-lain. Masalah presisi juga melingkupi kroscek sumber dan informasi agar tepat dan akurat.
Berikutnya adalah soal menghargai proses. Di setiap
mata kuliah yang Pak Sahala ajar, dia selalu melibatkan proses sebagai salah satu komponen penilaian. Proses secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah perjalanan dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Saya kira, penekanan Pak Sahala dalam pengajarannya adalah seperti
ini: ia tidak menginginkan perubahan secara cepat, tapi dalam waktu yang lama dan pelan-pelan. Sehingga perkembangan mahasiswa lebih optimal. Di dunia jurnalis profesional, proses adalah hal sangat penting. Dari pengalaman saya, tidak ada satu pun jurnalis yang langsung piawai pada hari pertama. Semua butuh proses, terutama dalam daya analisis atau memahami topik liputan, dan mempunyai narasumber kunci atau kompeten. Oleh sebab itu, pola dalam profesi jurnalis, semakin lama seorang individu menjadi jurnalis, maka semakin mahir dia di bidangnya.
Keempat, soal konsistensi. Ini lekat sekali dengan fokus seorang jurnalis. Di dalam kelas, misalnya di mata kuliah Penulisan Artikel, fokus atau tujuan mata kuliah adalah membentuk mahasiswa agar bisa menulis artikel. Dari awal hingga akhir perkuliahan, Pak Sahala selalu menunjukkan, untuk bisa menulis, harus banyak membaca dan berlatih menulis. Di wilayah jurnalis, konsistensi juga sangat penting. Saat menulis, banyak sekali hal yang berpotensi membelokkan arah tulisan kita. Konsistensi sangat dibutuhkan untuk menjaga fokus tulisan.
Terakhir, tentu saja kerja keras. Soal yang satu ini, pasti seluruh jurnalis akan mengakui betapa beratnya menjadi jurnalis. Karena itu kerja keras bagi jurnalis adalah keniscayaan. Dikaitkan dengan tugas Pak Sahala di masa kuliah dulu, mana ada yang ringan? Hampir 100 persen berat. Merangkum buku
2000-an


dalam waktu satu atau dua minggu, menganalisis berita di media massa, dan lain-lain.
Jadi, bagi saya, apa yang diajarkan Pak Sahala adalah bekal untuk masa profesional saat menjadi jurnalis. Saya kira kita akan sangat setuju, ketika menjadi jurnalis ‘betulan’, kita tidak akan merasa terlalu berat karena telah terlatih di kelas Pak Sahala.
***
121
mereka dan BANG SAHALA


Oemar Bakrie bernama Sahala
Noveri Maulana
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2006. Staf Pengajar PPM Manajemen dan Founder Talkactive.id.
“Apa kesan pertama kamu ketika mendengar nama Sahala?” tanya seorang teman pada suatu ketika.
“Seram!” Begitu jawabku seadanya.
Tapi memang, pertama kali mengetahui sosok dosen yang bernama Sahala di FIKOM Unpad, saya banyak mendengar rumor yang tidak begitu baik mengenai beliau. Menakutkan, menyeramkan, minim empati, dosen killer, pelit nilai, dan masih banyak kata lainnya. Tapi nyatanya, di balik semua rumor tak baik itu, sosok Sahala justru menjadi dosen yang paling banyak dikenang oleh para lulusan Jurnalistik Unpad.
Jika ada anak Jurusan Jurnalistik Unpad tahun 1990 hingga 2018 ini yang tak kenal Sahala, mungkin patut dipertanyakan keabsahan ijazahnya. Sahat Sahala Tua Saragih, begitu nama lengkapnya. Dosen legendaris ini seakan menjadi wujud nyata dari penggambaran lagu Oemar Bakrie, lagu yang bercerita tentang perjuangan seorang guru yang tak kenal lelah dalam mendidik anak muridnya. Dan Sahala, di balik semua kesan menakutkan itu, adalah sosok yang tak kenal lelah dalam membimbing kami, para mahasiswanya.
“Tas hitam dari kulit buaya....” begitu awal lirik lagu 122 gubahan Iwan Fals itu.
2000-an


Ya, lagu Oemar Bakrie seakan-akan bisa menggambarkan bagaimana sosok Sahala di mata saya. Setiap hari Sahala menuju kampus FIKOM Unpad untuk menunaikan kewajiban sambil menenteng tas hitam, yang bukan dari kulit buaya. Sahala dengan sederhananya menuju kampus Unpad dengan kendaraan umum. Bahkan tak jarang kami berpapasan dengan beliau ketika berjalan dari gerbang kampus menuju gedung perkuliahan. Sahala adalah sosok sederhana yang tampil apa adanya. Bahkan di saat mahasiswanya pergi kuliah mengendarai motor dan juga mobil mentereng, Sahala masih setia dengan kendaraan umum atau terkadang berjalan kaki.
Sosok Sahala adalah pribadi yang ramah, suka senyum,
dan menyapa ketika bersua. Bahkan, dia merupakan satu dari sedikit dosen yang berupaya keras untuk menghafal nama mahasiswanya. Tapi, jangan coba-coba, di dalam kelas, wajah ramah, senyum, dan sapaannya itu tidak serta merta akan bisa mengubah pendiriannya ketika menelisik hasil tugas mahasiswa.
“Tulisan Anda dangkal, minim data, dan mengada-ada!” Itulah beberapa kalimat yang sering saya dengar ketika Sahala mulai mengoreksi hasil tulisan mahasiswa. Sebagai dosen yang mengampu mata kuliah penulisan berita, Sahala ibarat pisau yang siap menyayat tiap barisan kalimat yang tertulis. Urusan nilai? Ya, Anda butuh berjuang keras untuk mendapatkan pujian dari beliau. Standar nilai yang ditetapkan cukup tinggi. Bagi kami waktu itu, lulus saja dari mata kuliah beliau sudah menjadi anugerah yang luar biasa! Namun sayangnya, tidak sedikit pula dari teman saya yang harus mengulang mata kuliahnya.
Sahala mendedikasikan hidupnya sebagai tenaga pendidik di FIKOM Unpad sejak 1987 silam. Praktis, durasi mengajar Sahala sebanding dengan usia yang saya injak sekarang. Berganti zaman bertukar masa, tapi Sahala masih seperti dulu kala. Semangatnya untuk dunia pendidikan tak pernah diragukan. Ketajaman berpikirnya juga tak perlu disangsikan. Sahala adalah figur yang tepat untuk mendidik manusia kritis calon pewarta berita.
Sahala bukanlah dosen yang hanya tahu teori semata. Hingga saat ini, saya masih rutin melihat tulisan dan artikelnya
123
mereka dan BANG SAHALA


124
di berbagai media massa. Sahala juga sering diundang menjadi pembicara atau dewan juri terkait kompetisi penulisan artikel dan berita. Pemikirannya tajam, kritis, dan juga tak kenal basa- basi. Tulisan Sahala selalu enak untuk dinikmati, tajam dalam mengkritisi, tapi tetap lembut dalam pemilihan diksi.
Sahala dan “Apresiasi Buku”
Apresiasi adalah kata yang paling mendebarkan ketika mengikuti kelas Sahala. Memang, makna apresiasi adalah sesuatu yang positif, patut diberi pujian. Namun, dalam konteks perkuliahan Sahala, apresiasi merupakan pekerjaan rumah yang begitu mendebarkan. Betapa tidak, dalam tiap
sesi pertemuan, Sahala selalu memberi pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan pada pertemuan berikutnya. Malangnya, jarak antar satu sesi ke sesi lain hanya rentang hari atau paling lama satu minggu. Sudah tentu, deadline akan menjadi hal yang menakutkan.
Tugas apresiasi yang paling berkesan bagi saya ialah ketika diminta Sahala untuk melakukan apresiasi buku. Ketika Sahala meminta Anda untuk melakukan apresiasi, bukan berarti serta merta Anda bisa bilang buku ini bagus atau tidak, bukunya menarik atau membosankan, tapi lebih dari sekadar itu.
Sahala menginginkan kita untuk membaca, memahami, dan memberikan kritisi atas karya yang kita baca. Hasil apresiasi harus diketik dengan format tertentu dan memiliki batasan halaman pula.
Bagi mahasiswa tahun kedua yang masih cukup labil, tentu tugas yang datang bertubi-tubi di setiap sesi, praktis membuat kami lebih emosional. Namun, apa daya, Sahala bukanlah dosen yang bisa diajak negosiasi. Urusan tugas dan perkuliahan, he is truly the grand master! Tidak ada diskusi, tidak ada negosiasi. Semua kumpulkan sesuai deadline yang diberikan atau Anda bisa mengulang kelas kembali pada tahun berikutnya. Tentu, masih akan bertemu Sahala. Hmm, aturan simpel yang menakutkan.
Walau kadang ada rasa keterpaksaan, tetapi kami tetap melaksanakan tugas yang Sahala berikan. Tiap sesi saya tak
2000-an


pernah lupa untuk mengumpulkan. Dan, takjubnya lagi, semua tugas itu dibaca dan dikoreksi secara teliti oleh Sahala. Jujur, kami begitu salut dengan konsistensi beliau. Bahkan, pernah suatu waktu, ada seorang teman yang melakukan copy-paste dari tugas yang dikumpulkan, dan Sahala mengetahui itu dengan jeli.
Tapi, saya patut berterima kasih, berkat tugas apresiasi buku inilah saya mendapatkan inspirasi luar biasa. Suatu ketika, Sahala bercerita mengenai buku yang berisi kumpulan tulisan dari beberapa tokoh, orang ternama, dan juga pejabat negara. Judulnya Bukuku Kakiku, bercerita mengenai perjalanan hidup para tokoh dan interaksinya dengan buku. Dan, Sahala begitu membanggakan buku ini sehingga patut kami baca. Tentu saja, jika ada buku atau artikel yang ia singgung dalam kelas, maka sudah pasti buku tersebut harus kami baca dan apresiasi.
Awalnya saya begitu malas untuk memulai apresiasi atas Bukuku Kakiku. Namun perlahan saya coba mulai baca lembar demi lembar, mengisi waktu kosong di kamar kos-kosan. Tapi, tiap lembar yang saya baca mengandung segudang makna. Perlahan saya mulai tenggelam dalam cerita dan tanpa sadar saya menghabiskan seluruh bagian buku yang bercerita dengan sempurna. Buku ini memuat banyak kisah inspiratif. Saya begitu tersentuh oleh kisah Prof. Azyumardi Azra yang belajar membaca dari sobekan koran di rumahnya. Saya juga membaca bagaimana kisah seorang Franz Magnis-Suseno yang berkawan dengan buku dalam perjalanan spiritualnya. Ada juga kisah Yohanes Surya yang menularkan kepintarannya melalui buku kepada anak Indonesia. Memang benar kata Sahala, Bukuku Kakiku membawa simbol bahwa buku bisa menjadi kaki yang siap membawa kita ke mana saja.
Dan, dari sekian banyak tugas Sahala yang saya kerjakan, apresiasi buku untuk Bukuku Kakiku ini adalah tugas yang paling saya kenang hingga saat ini. Mungkin, tanpa cerita
asyik Sahala di depan kelas dan tanpa desakan deadline-nya pula, tentu saya tak akan pernah baca buku sebagus ini hingga sekarang. Memang kadang, sesuatu yang berguna memang perlu dipaksakan pada mulanya.
125
mereka dan BANG SAHALA


126
Berharap Pujian Sahala
Jika Anda mendapatkan pujian dari Sahala, maka itu adalah sebenar-benarnya pujian. Sahala bukanlah tipikal orang yang gampang memberi pujian. Apresiasi yang dia berikan kadang tak terucap lewat kata. Jika suatu waktu Anda dipuji Sahala di depan umum, maka Anda patut berbangga.
Saya pernah mendapatkan kehormatan luar biasa itu. Dari empat tahun saya menjalani perkuliahan, Sahala memberikan satu pujian terbaiknya ketika saya melakukan sidang kerja praktik yang beliau turut hadir untuk menguji hasil laporan saya.
Sebelum menulis skripsi, mahasiswa diwajibkan untuk melakukan kerja praktik atau magang di media massa. Beruntungnya, permohonan saya untuk melakukan magang di Koran Kompas Biro Bandung diterima dan saya adalah satu- satunya anak magang di Kompas pada periode itu. Mendengar saya diterima magang di Kompas Biro Bandung, Sahala memberikan senyum terbaiknya. Bahkan, dengan bangganya beliau menyanjung saya sebagai salah satu mahasiswa terbaiknya yang pantas magang di Kompas. Padahal, saya hanya memperoleh nilai B untuk mata kuliah yang beliau ajar. Namun, apresiasi itu seakan melebihi capaian nilai yang tertulis pada transkrip nilai saya. Tiada terkira betapa bangganya saya saat itu dengan pujian luar biasa dari seorang Sahala.
Pun begitu, ketika sidang kerja praktik digelar, saya
masih ingat ketika itu saya disidang Sahala bersamaan dengan beberapa teman lain. Kami menyerahkan laporan hasil kerja praktik, dan juga menunjukkan beberapa berita hasil tulisan kami. Karya teman-teman saya banyak mendapat kritik dari Sahala. Bahkan, beberapa teman yang magang di media lokal, mendapat pertanyaan yang cukup sengit saat itu. Namun, ketika beralih kepada saya, Sahala seakan berubah menjadi pribadi yang berbeda. Beliau hanya manggut-manggut sambil menunjukkan beberapa karya tulisan saya yang sempat menjadi headline untuk Kompas Biro Bandung.
“Ini contoh yang baik. Karya anak magang tapi bisa masuk halaman utama. Kamu hebat!” ujar Sahala memuji. Saya begitu
2000-an


bahagia.
Sahala dan Legenda
Kini, Sahala memasuki masa penisunnya. Sebuah dedikasi luar biasa yang patut kita apresiasi dari 30 tahun pengabdiannya. Jika dulu semasa mahasiswa kadang ada unsur keterpaksaan dalam memberi apresiasi, maka yakin dan percayalah, apresiasi yang kami tulis saat ini adalah nyata dan benar adanya. Sahala adalah sosok yang akan terus melegenda, menjadi saksi dalam perjalanan hidup kami, para mahasiswanya. Jika Oemar Bakrie menciptakan banyak menteri, maka Sahala juga telah berhasil mendidik mahasiswanya menjadi pekerja media yang kadang ditakuti para menteri. Tak salah jika Sahala kita sebut sebagai wujud Oemar Bakrie masa kini, tokoh peduli pendidikan yang patut diapresiasi.
***
127
mereka dan BANG SAHALA


128
Abang,
Orang Batak Paling Sunda
Rivki Maulana Priatna
Mahasiswa Ilmu Jurnalistik FIKOM Unpad Angkatan 2007. Jurnalis Harian Ekonomi Bisnis Indonesia.
“Halo, Ki! Kumaha damang? Nuju dinas di mana ayeuna teh? Iraha tiasa ngiring magang di Jurnal? Parantos ngiring S2, Ki?
Rentetan pertanyaan itu dikirim oleh Sahat Sahala Tua Saragih atau Abang di kolom pesan facebook, 22 November 2012.Dalam pesan itu, Abang bertanya soal kabar saya dan di mana saya bekerja. Abang juga ingin tahu ihwal kapan saya magang di jurusan dan apakah saya melanjutkan sekolah ke jenjang pascasarjana.
Saya sengaja menyingkap kolom pesan di facebook yang sudah jarang dibuka untuk mengingat kembali pesan yang dikirim enam tahun silam itu. Pesan di facebook seketika mengingatkan pada sesuatu yang ajek dilakukan Abang ke saya, menyapa dalam Basa Sunda dengan tutur kata yang halus.
“Tos nya, sakantenan ku abdi,” ujar Abang suatu hari saat secara tidak sengaja kami berdua menumpang bus yang sama ke Jatinangor. Saat itu, Abang membayarkan ongkos bus.
Pengalaman itu membuat saya terkadang merasa, Abang-- yang lahir di Hutaimbaru, Sumatera Utara-- itu lebih Sunda ketimbang saya. Saya pun sering bergurau, Abang adalah orang Batak paling Sunda yang saya kenal.
2000-an


Saya mendengar nama Pak Sahala di pekan pertama menginjakkan kaki di Kampus FIKOM Unpad Jatinangor, hampir dua belas tahun lalu. Seorang teman satu pondok
di bilangan Hegarmanah saat itu bilang dengan nada memperingatkan; “Masuk FIKOM? Nanti sama Pak Sahala dong. Galak lho dia.” Alamak, setahun sebelum penjurusan pun, sudah ada peringatan dosen galak.
Selama lima tahun belajar dengan Abang --di kelas dan juga dosen wali-- kesan galak itu cuma isapan jempol. Abang bukan dosen galak, melainkan tegas. Barangkali ini yang jadi salah kaprah di kalangan orang awam yang mengenal Abang sebagai dosen galak.
Ketegasan Abang dalam mengajar dimulai dari aturan kehadiran. Empat kali absen di kelas berarti kartu merah, tidak lulus mata kuliah, dan harus mengulang di tahun berikutnya. Abang mengajar mata kuliah berjenjang, tidak lulus satu mata kuliah berarti tidak bisa mengikuti mata kuliah lain.
Dahulu, ketegasan itu saya rasakan hanya sebagai aturan main. Sekarang, saya sadar ketegasan itu mengajarkan saya untuk disiplin dan komitmen terhadap diri sendiri. Disiplin adalah salah satu kunci dalam bidang kehidupan apapun, termasuk menjadi jurnalis yang lekat dengan deadline.
Selama saya kuliah, tugas mata kuliah Abang adalah yang paling melelahkan sekaligus membanggakan. Tugas dari Abang kadang menjadi bahan pamer bahwa kami adalah mahasiswa yang sibuk --meski tak lupa juga untuk bersenang-senang--. “Nugas Sahala dulu nih.” atau “Ada liputan Sahala” adalah dua ungkapan yang kerap digunakan untuk memamerkan kesibukan itu.
Tugas yang paling sering dikeluhkan, termasuk juga
oleh saya adalah tugas apresiasi buku yang dikerjakan satu pekan. Membaca buku hingga tandas dalam satu pekan bukan perkara mudah, apalagi memberikan apresiasi dalam format rangkuman, apresiasi, simpulan, dan pertanyaan.
Saat tugas dikumpulkan, Abang akan mengulas beberapa tugas yang terkumpul. Untuk tugas berkualitas rendah, Abang akan bilang dengan lugas; “Apresiasi saudara dangkal!”. Kalimat
129
mereka dan BANG SAHALA


130
itu adalah kritik. Memang pahit terdengar tapi menjadi pelecut untuk belajar bagi siapa pun yang melihat kritik sebagai konsultasi gratis. Maka, Abang suka bilang “Jangan dimasukkan ke hati, tapi dimasukkan ke otak”.
Saya membongkar berkas tugas yang masih saya simpan dalam kotak sebesar mesin fotocopy di rumah. Arkian, saya baca satu per satu; ada yang bagus dan tak sedikit bertanda revisi. Revisi biasanya muncul karena “Apresiasi saudara, dangkal!”. Revisi demi revisi di kemudian hari menempa diri menjadi seorang yang tabah. Itu yang saya rasakan saat ini.
Saya baru menyadari tugas apresiasi dan gaya mengajar Abang sesungguhnya baru terasa hasilnya setelah lulus dan bekerja. Tugas apresiasi saya rasakan menjadi resep dalam membentuk ketekunan dan keterbukaan. Perlu ketekunan dan energi ekstra yang saya yakin tak cukup ditopang menu Hipotesa untuk bisa membaca buku dalam satu minggu.
Di lapangan, saya tak punya kemewahan waktu satu minggu untuk membaca statistik perbankan, laporan keuangan bank, atau nota anggaran. Sumber informasi itu harus dipahami kemudian diolah menjadi laporan hanya dalam satu hari. Di sektor finansial yang sarat dengan istilah teknis yang bikin kening berkerut, ketekunan adalah kunci.
Di harian ekonomi yang khusus, rentang sub-bidang amat luas. Bisnis Indonesia, misalnya, punya 17 rubrik sub bidang ekonomi, mulai dari makro, pasar modal, hingga sektor riil yang diwakili perdagangan, transportasi, dan energi. Tanpa sikap terbuka untuk mau belajar bidang baru, pemahaman wartawan atas suatu bidang menjadi tumpul.
Menurut Abang, menjadi wartawan tidak boleh poltak alias polos tak berotak karena “kualitas jawaban ditentukan kualitas pertanyaan”. Di era semua hal bisa ditelusuri lewat mesin pencari Google, tugas wartawan menjadi ringan karena riset amat mudah dilakukan. Jadi memang tidak ada alasan untuk mengelak dari keharusan riset sebelum bertanya.
Pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu masalah itu pada akhirnya menjadi bekal penting dalam membangun sikap kritis. Pemahaman yang baik adalah pisau analisis untuk
2000-an


Click to View FlipBook Version