rn a-pa nfilma s~gi , Pang.lima Sal;ti XXU Mukirn adalah yang
terhinub. la berkeduduk<111 juga sebagai Patih (Mantri yang
tcrutama be:;ur) yang mcmangku pemerintal1an scbelum dilantik-
nya raja baru. st:telah raja yang lama meninggal. Para pejabat
tinggi ker.ijaan sering diberi sel>utan orang kuya atau orang besar.7 1
Dari uraian tt:rst:hut di atas nampak bahwa Sultan sebagai
pt:nguasa pusat dihormati olch para panglima sagi. Namun di
dalam melaksanakan pemerintahan daerah para panglima sag.i
mempunyai kekua~n besar. Demi.kian pula para hulubalang
yang mengcpalai distrik-distrik di dalam sagi tic.lak kecii penga-
ruhnya di wilayah mere.lea masing-masing. Kecuali rasa hormat
mereka terhadap Sultan. hubungan antara hulubalang daerah
dengan Sultan diwujudkan juga dengan pengirirnan sebagian dari
basil bumi maupun hasil pajak daerah ke istana.
3. Sfallm Penggantian Tahta
Pat.la dasarnya pengganti raja yang meninggal adalah putra
lab-laki ·rcija yang lahir dari istri perlama. Umumnya yang
111engganti adalah putra yang sulung, nan1w1 a.pabila haJ tcrscbut
ti_dak mungkin, dapat diambilkan dari putra laki-laki y1tng lain .
Dalam keadaan <li mana tidak ada pengganci lakHaki yang
pantas, seorang putri atau kemenakan adakalanya ditunjuk
sebagai pt:ngganti raja. Apabila putra yang naik tahta masih di
bawah umur, pemerintahan sementara dapat juga clipegang okh
ibu tl;:in pamannya, sampai saat anak tersebut menjadi dewasa
untuk memerintah sendiri. Beberapa fakta mengenai itu dapat
dikemukakan sebagai ilustrasi. Waktu Sultan Ali Ri 'ayat Syah
meninggal pada tahun 1607 kemanakannya yang bcrnama Maha-
raja Danna Wangsa Tun Pangkat diangkat sebagai penggantiny:-i
dengan nama Sultan lskandar Muda. 72 Sultan lskandar Muda yang
meninggal pada tahun 1636 diganti oleh putra angkatnya. yalah
yang kcmudian bernama Sultan Jskandar Thani AlaudJin Mugha-
yat Syah. 73 Waktu Sultan Iskandar Thani meninggaJ pada tahun
71 L W.C.Van den Berg, Op.Cit., 411 - 4'1 .
"12 Hoen·in Djuj~diningrat . "C ritische ovcnicht '"" don 1'.faleische werken verv•lle
gejevens over de gc.~haedenis van hett Suelt•na~t van '\ IJch ... BK/, L XV . 19 l 1 .
175
73 lbi.:i . IS3
38
1641 , karena menunjuk putra sebagai pengganti tidak mungkin ,
maka yang menggantikan sebagai raja bahkan istrinya yang
bernama Putri Sri Alam Permaisuri. Setelah menjadi raja ia
berganti nama Sultan Tajul'alam Safiatuddin Syah. la adalah
putri dari Sultan Iskandar Muda almarhum.74 Waktu Sultan
Tajul'alam meninggal pada tahun 1675, ia diganti oleh seorang
wanita lagi yang tidak jelas asalnya. Raja baru ini bernama Sri
Sultan Nurul' alam Nakiatuddin Syah.'5 Pada tahun 1678 ia
digantikan oleh puterinya yang bernama Puteri Raja Setia. Sultan
Alauddin Muhammad Syah yang meninggal pada tahu n 1795
digantikan oleh putranya yang masih kecil bernama Husein .
Sebelum ia menjadi dewasa, pemerintahan kerajaan dipegang oleh
ibunya dan pamannya. 76
Bebcrapa fakta tersebut di atas menu11Jukkan, bahwa sistirn
penggantian raja agak longgar. tidak selalu putra laki-laki, tetapi
dapat juga putri, kernerlakan ataupun istri dari raja yang
meninggal. Dalarn pengangkatan raja baru, peranan para panglirna
sagi sangat besar, terutama Panglima Sagi XXII mukim . Sebagai
contoh rnisalnya pada waktu Sultan Jauharul'alam meninggal
pada tahun 1823. Menurut test<UTien, yang ditunjuk sebagai
penggantinya adalah putranya yang baru berumur kira-kira tujuh
tahun. Panglima Polim dari Sagi XX.II mukim tidak men yetuj ui
dan tidak mau mengakui raja baru menurut yang ditunj uk dalam
testamen. Kemudian dipilihnya putra yang lain dari Sultan
alrnarhum bernama Tuanku Da,rid.77 Pclantikan raja baru disaksi-
kan oleh para ularna istana dan ulama kerajaan terkemuka , para
panglima sagi dan pembesar-pembesar kerajaan (orang ko.ya)
lainnya.
4. Penghasilan Kera;aan 1
Penghasilan kerajaan terutama di dapat dari penarikan pajak
atau cukai. Penarikan pajak dilakukan oleh pejaba t-pejabat
kerajaan urusan pajak. Ada bermacarn-macam pajak yang di-
bebankan pada rakyat , baik orang bumiputra mau pun penduduk
74 Ibid. . ta7.
75 I b I d 189.
76 Hoese in Djajadininrat, Op.Cit., 206.
77 I b Id., 211.
39
asing. Orang-orang yang mempunyai t:.rnah ladang d1kenaka1\
pajak tanah t wase ranah ). sedang untuk barang-barang yang
diperjual-belikan di pasar-pasar dipungut pajak pasar (adat
peukan). Di daerah-daerah di mana terdapat muara sungai, di situ
terdapat rumah cukai. Pejabat-pcjabat ..cukai mengawasi ke luar
masuknya perahu-perahu di muara. Perahu-perahu yang a.kan
memasuki muara itu diharuskan membayar cukai muara (wase
kuaiaf!8 · Selain itu1barang-barang dagangan yang akan diexport.
waktu melalui muara tersebut juga dipungut pajak, dengan tarif
menurut macamnya barang dagangan. Dengan demikian terdapat
berbagai macam pajak, seperti pajak lada (wase Jada), wase
pinang dan juga ada pajak hasil hutan (wase uteuen). Di dalarn
jual-beli lada kecuali di tarik pajak lada, juga dipungut wang
h a r e u k a t. 79
Kepala-kepala daerah kecuali mempunyai penghasilan dari
hasil sawah clan kebun-kebun yang dimilikinya, juga mempunyai
penghasilan banyak dari penarikan pajak-pajak dan cukai, seperti
piijak penjualan candu dan cukai bandar mau pun cukai barang
dagartgan. Sudah disinggung di rnuka bahwa sebagian dari
penghasilan daerah, baik beNpa hasil bumi maupun basil
penarikan pajak, sebagian harus diserahkan ke istana.
D. KERAJAAN - KERAJAAN BALI
1. Wilayah Kerajaan
Di Bali terdapat sejumlah kerajaan yang mempunyai raja
dan pemerintahan sendiri, yalah: kerajaan-kerajaan Buleleng,
Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Mengwi, Tabanan,
Jembrana dan Bangli. Namun raja-raja Bali mengakui raja
Klungkung sebagai raja tertingai, disebabkan ka.rena asal-usw
keturunan maupun kedudukan raja Klungkung sebagai Dewa
Agung. Daerah kekuasaan tiap-tiap kerajaan terbagi dalam ba-
gian-bagian wilayah yang masing-masing dikepaJai oleh raja
bawahan, pamade atau bangsawan keluarga dekat dari raja.
Sebagai contoh misalnya: kerajaan Buleleng dibagi dalam wi-
78 C . Van Volle~n . Op.Cit.. I 64 .
79
I b Id.
40
layah-wilay ah Singaraja. Tejakula dan Banjar . kerajaan Badung
dibagi menjadi tiga wdayah yalah Den Pasar, Pamecutan dan
Kesiman.
Ada juga pembagia11 yang didasarkan pada ba tas alam.
seperti kerajaan Klungkung yang dibagi dalam d ua bagian, yalah
wilayah yang berada di sebelah timur dan di sebelah barat Tukad
Unda. Kera1aan Karangasem di bagi <lalam J ua bagian. yalall
wilayah di sebdah timur dan di sebelah barat bu kit Peny u. Untuk
mengurusi Jaerah-daerah bagian ini raja bawahan atau pun
pomade dibantu o leh pcjabat-pejabat terte ntu. Nama-nama jabat-
an tersebut berbeda-beda antara kerajaan satu dengan yang lain
dan akan <liurai kan lebih lanjut di belakang.
2 Kedudukan Raja dan Rumahtangga !stana
Raja-raja di Bal i memakai gelar anak agung. cu kvrda . ida
cvkorda atau lainnya. Di wilayah kerajaanny a. raja dihormati
scbagai penguasa tertinggi. Kekuasaanny a di dapat ka rena hak
keturunan. Raja-raja tersebut masing-masi ng bertempartinggal di
dalam istana (puri) bersama-sama <lengan kduarga <lekat dari raja.
Di d;ilam 11uri tersimpan benda-benda pu:>aka dan benda upacara.
Bebcrapa buah keris tua Ji antara benda pusako dikatakan berasal
dari Majapa hit. Di dalam puri. raja mempunyai abdi-abdi yang
diberi tugas-tugas tertentu. Pada saat-saat diaclakan upacara resmi
dalam istana, raj11 <lihadap oleh para punggawa kerajaan , 'haik
yang berada di kota kerajaan mau pun yang berada di daerah-
<laerah.
Di beberapa kerajaan di Bali terdapat juga upacara semacam
grebeg di kcrajaan Jawa. Ji mana raja mcnyaksikan parade
pasukan be rsenjata yang ter<liri dari para kaula. Di kerajaan
Badung dan Mengwi upacara seperti itu dise but ngarebeg. Apa bi la
di Baclung upacara llgarebeg jatuh pacla hari Kemis Sungsang, di
kerajaan Mengwi jatuh pada hari Jum 'at Dungulan '. Di dalam
puri terdapat abdi-abdi yang mempunyai keahlian di bidang
seni 80 seperti petugas ~ngging yang ahli dalam ukir-mengukir
dan membuat patung. Ia ditugaskan menghias puri dan rumah-
rumah bangsawan keluarga raja. Para undagt druwe mendapat
80 Di dalam &bad Buleleng disebutk.an adanya pert u njukan wayang yang
dilakukan oleh d1dang Ki Pun Guiyang. berrempat d i puri Ki Gust i Agung
Paha n& . Periksa P . J.Wo~fey . Ba bad Bulele'1g, The Hag ue, 19 72 l 91.
41
lugas membuat b<ingun-bangunan J<1n barang-bara ng dari kayu.
seperti misaln ya yang terdapat di puri kerajaan Klungkung. Di
puri Gianyar terdapat kelompok abdi pangentenga11 yang diberi
tugas mernbuat genteng untuk keperluan pun. Kelornpok-
kelompok petugas tersebut masing-masing dikepalai oleh pre-
bekel. Di dalam puri terdapat pula kelornpok dari prebekel gong
yang diserahi tugas yang mengenai alat-alat garnelan dalam istana ;
kel ompok dari prebekel pangobatan bertugas mengurusi obat
senjata api: kelommpok prebekel pangawin dengan tugas mem-
bawa tombak wakru mengiringkan raja; kelompok prebekel luput
senapan ditugaskan sebagai pengiring raja dengan bersenjatak.an
senapan'. Selain itu masih terdapat kelompok·kelompok petugas
Jain Ji dalam puri.
Para abdi yang bekerja untuk keperluan dalam puri biasanya
disehut pangayah sa/roning ancak saji. Di samping itu terdapat
para abdi yang bekerja di luar puri yang disebut truna manca ·
jabaning ancak sa,'f. l)j 1fori Krambitan kelompok abdi ini kecuali
ditugaskan bckerja untuk keperluan luar puri, juga diberi tug3$
b~kerja di puri raja atasannya di Tabanan. Kelompok pekerja
dalam puri yang di beberapa kerajaan juga disebut panjeroan
mempunyai tempattinggal di sekitar puri dan mendapat kebutuh-
an hidup sehari-hari (pecatu ) dari puri. Masih perlu pula disebut
abdi raja yang menjadi pangayah kadalem yang diberi tugas
untuk menjaga pasanggrahan raja. Sebagai penghasilan, mereka
juga mendapat sebidang tanah sebagai tanah pecatu. Pangayah
kadalem diberi tugas juga untuk rnenjaga rurnah-rumah raja dan
para pembesar kerajaan.
3. Sistim Penggantian Raja
Sistim penggantian raja-raja di Bali didasarkan pada hak
k~ena keturunan. Biasanya pengganti raja yang meninggal adalah
putra laki-laki tertua atau satu-satunya putra laki-laki yang lahir
c.lari pennaisuri yang berasal dari golongan bangsawan (ksatriya) .
Adakalanya apabila putra laki-laki lebih dari seorang, raja
memili.h putra yang dicintai dan dianggap cakap sebagai calon
penggantmya. Adalah adat-kebiasaan di Bali. bahwa putra mah-
kota baru aktif menjadi raj a setelah upacara pem bakaran jenazah
dari raja yang rneninggal selesai. Apabila putra mahkota yang
menggantikan menjadi raja tersebut masih di ba wah umur.
42
biasanya c.liwakili oleh ibunya atau salah seorang bangsawan yang
dipilih oleh para pu;zggawa pedanda istana.
Dapat pula terjadi berhubung putra mahkota belum dewasa.
dibent uk suatu dewan perwalian yang terdiri dari para bangsawan
dan punggawa istana. Di kerajaan Bangli pemah pula terjadi yang
menggantikan sebagai raja adalah saudarc1 dari raja yang mening-
gal. Di sam ping itu pernah pula terjadi, berhubung putra mahkota
masih kecil kekuasaan · kerajaan untuk sementara dipegang oleh
suatu dewan perwalian yang anggotanya terdiri dari lima orang
paman dari raja yang meninggal. Teranglah bahwa rr.t>.Sbpun
penggantian raja yang meninggal dapat dilakukan dengan pelbagai
cara, namun pemegang kekuasaan baik yang tetap maupun yang
sementara selalu terdiri dari bangsawan keluarga dekat rari ntja.
4. Sistim Pemerintahan dan Susunan Biro krasi Kerajai:ln
Untuk menjalankan pemerintahan di seluruh wilayah ke-
rajaannya, raja dibantu oJeh para pejabat pemerintahan yang
secara hierarkis menduduki fungsi tertentu dalam birokrasi
kerajaan. Sebagai pusat pemegang kekuasaan adalah raja, yang di
dalam mengambil kebijaksanaan dalam pemenntahan di dampingi
oleh sebuah Dewan Kerajaan (Pasarnuan Agung). Tugas pokok
dari Pasamuan Agung adalah tnemberi nasehat dan pertirnbangan
pada raja dalam memecahkan persoalan-persoalan sulit yang
dihadapi oleh pemerintah kerajaan dan ikut mem bantu dalam
penyusunan undang-undang kerajaan. Di samping itu Pasamuan
Agung juga diserahi tugas untuk menguruSI hubungan dengan
penguasa-penguasa di luar kerajaan. Di kerajaan Bangli Pasamuan
Agung sekaligus berfungsi sebagai Dewan Keluarga Raja: Di
sementara: kerajaan lain di samping raja terdapat juga penguasa
pembantu raja yang mengurusi pemerintahan di daerah tertentu
di wilayah kerajaan dan mempunyai punggawa dan pejabat
manca sendiri. Di beberapa kerajaan penguasa pem bantu raja
tersebut disebut made atau pamade. Kerajaan Tabanan pemah
RYempunyai seora.ng penguasa pembantu seperti itu yalah I Gusti
Ngurah Made Kaleran.
Di dalarn melakukan pekerjaan sehari-hari raja dibantu oleh
seorang Bagawanta. Di bawah raja terdapat jabatan patih,
prebekel atau pambekel kota dan punggawa-punggawa daerah. Di
kerajaan Badung di bawah raja terdapat jabatan patih yang juga
merangkap tugas sebagai jaksa atau sedahan gede. Jabatan yang
terakhir ini juga sering disebut panyarikan gede. Adakalanya JUg..l
merangkap sebagai panguiun subak. Sesuai dengan pem bagian
wilayah kerajaan , punggawa-punggawa dikuasakan oleh raJa
untuk memerintah di daerah-daerah dan membawahkan pejabat-
pejabat pemerintahan bawahan sampai di tingkat desa. Pungga-
wa-punggawa ini kedudukannya setingkat dengan kepala distrik.
Di Buleleng punggawa tersebut <lisebut pambekel gede, sedang di
Buleleng~ dahulu hanya cukup disebut pambekel. Mereka ke-
banyakan mempunyai darah keturunan raja dan juga mendiam i
rumah tempattinggal yang disebut puri. Di Buleleng dan Jem-
brana jabatan pambekel adalah sebagai kepala antara tingkat
distrik dan desa, sedang wakil-wakil punggawa ya ng bertugas di
desa disebut klilan manca.
Pejabat yang menghubungkan raja dengan masyarakat
pengairan adalah Kepala Pengairan atau yang disebut sedahan
gede, sedahan agung, juga sering disebut panyarikan gede. Di
bawah jabatan ini terdapat jabatan sedahan tembuku yang
bertugas mengawasi pengaliran air ke sawah-sawah dan menerima
pajak pemakaian air. -Di bawahnya lagi terdapat jabatan klian
subak yan g ditugaskan langsung mengatur pengaliran air ke
sawah-sawah dan rnengurusi administrasi pemasukan uang dari
pemakai. Karena masalah pcngairan_ini mtinyangkut kebutuhan
masyarakat desa, maka pada hari-hari tertentu diadakan rapat
untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang timbul. Biasanya
rapat semacam itu diadakan pada tia.p 35 hari sekaJi yang
dijatuhkan pada hari Anggara Kasih atau Buda Kliyon. Apabila
ada warga dcsa yang tidak datang pada rapat tersebut , ia
dikenakan denda.
Di beberapa daerah, kepala desa disebut prebeke/. Di dalam
menjalankan pemerintahan desa, prebekel didampingi cltih de-
wan orang-orang tua yang disebut duluan desa. Di beberapa desa
yang bertindak sebagai pengurus desa adalah sejumlah warga desa
yang cukup tua. Dua orang di antaranya yang usianya lebih lanjut
dari lainnya dipilih sebagai rama desa atau prewayah. Dalam
menjalankan tugas, rama desa dibantu antara lain oleh kubayan ,
bau, singgukan, pangabin dan pangenem. Beberapa desa inerupa-
kan suatu banjar yang dikepalai oleh seorang k/ian banjar. sering
juga disebut panyarikan. Klian Banjar ini dipilih dari dan oleh
44
anggota masy arakat banjar. Dalam mengurusi kepentingan masya-
ra kat ba njar, klian banjar dibantu oleh be bera pa j uru aralt ata u
saya yang terutama hcrtugas sebagai pesuru h untuk men ya mpa i-
kan perintah-perintah atau pcmberitahuan dari k liat1 kepada
anggota masyarakat banjar. Apabila di desa ::.cring aJ a pcrtemuan
yang dise but pasangkepan ciesa. demi kian p ul a di wilayah banjar
pada wa ktu-waktu tcrtentu <liadakan perte muan y ang disebur
pasangkepan banjar . Pasangkepan banjar juga diadakan pada tia p
35 hari sekali dan biasanya dijatuhkan pada hari A nggara Kasih
dan Saptu Kliyon
Peja bat-pejabat kerajaan seperti telah dJ.Scbut di atas secara
hierarkis mcli ntas dari atas ke bawah lian masing-masing meng-
urusi tugas-tugas yang scsuai dengan wewenangnya. T crliha tlah
adanya d ua jalur hicrarki c.lari atas ke ba wah. yalah di satu arah
menuju ke masyarakat dcsa dan di lam arah menuju ke
rn asyarakat pcngairan. Masing·masing arah c.l1 pe rlengkapi c.lengan
susunan biro krasi yang sesuai dengan wewenangnya. Pejabat-
pejabat terse but diangkat oleh raja atau wakilnya yang diberi
wewenang un tuk melakukannya atas nam a raja. Kecuali tugas-
tugas administra tif para punggawa, prebekel dan seda han juga
bertanggu ngja wab atas pcnjagaan kcamanan J i wilayah men~ka .
Schcna rn ya para kepala tersebut hanya men!!a wasi <la n mengatur
saja. karena pada dasarnya penjagaan kearn anan umum adalah
langsu ng menja<li tanggungjawab dari seluruh rakyat.
Di batas-batlils dcsa terdapat rumah-rnm ah penjagaan ·(i1a-
gebagan) guna menertibkan dan mengawas1 orang-orang yang
keluar-masuk dari dcsa satu ke desa yang lam._Dalam peraturan
mengenai banjar tercantum juga ketentuan mengenai penjagaan
tcrhada p tahanan atau tawanan (magebagan bebandan ). Di
tiap-tiap desa tenlapat kentongan desa (kulkul) yang c.lipukul
pada wak tu akan mengumpulkan penduduk desa. Dari jenis
pukula n pa<la kulkul terscbut pcndu<luk desa dapat mengetahui
pcristiwa apakah yang sedang terjadi, seperti ada pembunuhan,
pencurian, ke bakaran atau ada peristiwa kawin lari. Apabila
mendenga r kulk ul berbunyi penduduk desa terutam a orang
laki-laki d iwaji hkan kc luar rumah dan bersama-sam a mengatasi
bahaya te rsebu t. Barangsiapa tidak mau datang berku mpul , oleh
dcsa dijatuhi hukuman. Hukuman itu akan lebih berat apabila di
antara pen<luduk desa ada yang menjadi korban wakt u turut
menga tasi bahaya tersebut.
45
Penjagaan k~amanan juga dilakukan <li dacrah pcngairan .
Untuk keamanan tersebut mak:t pengawasan dan penjagaan
(tilikan) pa<la subak merupakan keharusan. terutama guna
rnencegah a<lanya pencurian air. Di tlesa-desa daerah Jem brana
tenlapat kt.:lompok penjaga keamanan (pecaiang) khusus untuk
ternak, se<lang di Karangascm tcrdapat kelompok penjaga ke-
amanan hutan yang disebut langlang alas. Sek.aha gulungan yang
terdapat di Jaerah Nusa Penida adalah semacam polisi ternak
yang berhak rnengadili apabila terjadi pencurian temak dari
pcnduduk desa.
Tugas kepolisian untuk keamanan seJuruh wilayah kerajaan
tidak hanya menyangkut hal-haJ yang berhubungan deng;.m
kt::jahatan. tctapi juga yang menyangkut politik. Dalam hubungan
ini raja-raja dan para pembesar dalam ker.tjaan-kerajaan Bali
mempunyai petugas mata-mata yang disebut du/up atau pat:alung.
Pctugas-pctugas ini disebar ke daerah-daerah untuk mengawasi
kemungkinan timbulnya penent4ngan terhadap raja atau pun
hal-hal yang membahayakan kerajaan. Petuga~ khusus semacam
im d1 kerajaan Tabanan disebut pan~ruruh atau jejeneng.
Sifat rcligius dari penduduk Bali sangat tebal . Oleh karena-
nya kedudukan para pendeta agama baik Siwa at4u pun Buda
sangat terhonnat. Di dalam kerajaan-kerajaan di Bali tugas-rugas
yang bersifat keagamaan menduduki tempat yang penting puJa.
Di puri-puri t~rdapat pedanda-pedanda yang ditugaskan memim-
pin upacara-upacara keagamaan. seperti pt:lantikan raja baru,
pem bakaran jenazah raja dan keJuarganya. upacara pal.la hari-hari
besar keagamaan dan pemujaan pada dewa-dewa. Raja mempu-
nyai tempat-tempat pe1rmjaan dengan pendeta-pendeta khusus
ya ng mengurusinya. Pendeta-pendeta tidak hanya terdapat di
pusat-pusat kerajaan, tetapi tersebar di daerah-daerah sampai
pada kesatuan wilayah kel:il tingkat desa. Dapat dikatakan bahwa
ti3 p-tiap desa di Bali mempunyai tempat pemujaan yang diurusi
oieh pendeta beserta pembantu-pembantunya.
5. Kekuasaan Raja dan Penghasi/an Kerajaan
Sebagian besar tenaga-tenaga yang dipekerjakan di dalam
pu ri adalah tenaga-ten:iga para kauia yang mendapat tugas istana
tpaleisJ11:11sto1 l. \1engcnai pi.:ngcrahan t enaga kaul a untuk kepen-
46
tingan kerajaan terutama nampak jelas pada bidang kemiliteran.
Kekuatan militer kerajaan-kerajaan di Bali tidak tergantung pada
prajurit profesionil, tetapi pada pengerahan para kaula untuk
mengangkat senjata secara mi/ilia. Kekuasaan raja cukup besar
untuk dapat mengumpulkan pasukan rakyat bersenjata di dalam
keadaan perang. Sudah disebutkan bahwa di dalam keadaan
damai untuk memelihara _loyalitas rakyat terhadap raja, di Bali
ada suatu tradisi yang clisebut ngarebeg. Di dalam upacara
ngarebeg penduduk laki-la.ki di wifayah kerajaan datang berkum-
pul di kota kerajaan dengan membawa senjata mereka masing-
masing dan mengadakan parade pasukaJJ bersenjata di hadapan
raja dan para pembesar kerajaan. Tra · · ini kecuali untuk
menumukkan kekuasaan raja juga dimaksudkan untuk memeli-
ha.ra perasaan tai:iggungjawab_rakyat terhadap keselamatan keraja-
an.
Kekuasaan raja juga nampak di bi g lain, seperti pada
pengerahan tenaga rakyat untuk memperbaiki bendungan. Di Bali
masalah pengairan merupakan masalah penting bagi kerajaan.
Pengaturan pengaliran air untuk tanah persawahan dengan sistim
subak menyangkut segi kehidupan pokok dari rakyat Bali. Di
Badung pengaliran air untuk sawah-sawah di seluruh wilayah
kerajaan tergantung dari lirna buah bendungan besar, yalah
bendungan Kadewatan, Marnbal, Praupan, Ongan, yang semua-
nya di Tu kad Ayung, dan bendungan Pegat yang ada di Tukad
Yeh Pegat. Tiga di antara bendungan-bendungan tersebut terletak
di luar batas kerajaan Badung, sebaliknya dua bendungan lainnya
yang terletak di wilayah kerajaan tidaklah hanya mengaliri
sawah-sawah di kerajaan Badung, narnun juga mengaliri tanah-
tanah persawahan di kerajaan Gianyar dan Mengwi. Jel_aslah
bahwa dalam urusan pengairan diperlukan kerjasama antara
kerajaan satu dengan kerajaan lainnya.
Apabila ada bendungan yang rusak, maka raja-raja yang
berkepentingan mengumumkan gebug gumiyan kepada seluruh
rakyat mereka. Meskipun pengertian gebug gumiyan adaJah
semacam " dalam keadaan perang", namun dalam hubungan ini
dapat diartikan bahwa kerajaan dalarn keadaan bahaya. Setelah
ada pe ngumuman tersebut seluruh rakyat laki-laki diwajibkan
berkumpul untuk secara gugur gunung memperbaiki bendungan
tersebut. Meskipun bekerja dalam rang ka gebug gumiyan ini
merupakan tugas untuk kepentingan umwn dengan pengerahan
47
pcndutluk banjar-hanjar desa l kcrja .1L1.wJT:aJa11 l. na111 un karena
tugas tersebut mcnyangkut pula kcsdamatan kerajaan. maku dari
sudut ini ayahan gebug f(ltmiya11 juga bersifat tugas wajih
kcra_jaan. Di kcrajaan Karnngascm ayahan lcrschut discbut
uyaha11 laku semhall. set.Jang di kcrajaan Ba dung d isebut a_rnlwn
~ehug g11miFa11 atau a.rn/w11 haba11jara11
Kekuasaan raja juga nampak dalam situasi perang. Apabila
raja mengui'lumkan pcrang, maka pcn<luduk laki-laki di sl'luruh
wilay~h kerajaan yang masih ku:it diw:ijibkan <latang <lengan
membawa senjata mcrcka masing-masing. Mereb dimasul,;kan
dalam kelompok-kdompok pasukan di bawah pimpinan kL'pala-
kepala pasukan yang ditunjuk oleh raja . Pcngerahan tcnaga dari
rakyat juga sering dilukukan untuk kt:perluan upacarn-upacura
kebesaran yang diadakan olc:h ra.ia atau olch kelu<.1rga r;.i_fa .
Adakalanya juga diadakan pcngcrahan tenaga untuk mcmh;.intu
kelancaran upacara keagamaan St:perti pitruyad11.1·a. Dcngan
melihat hal-hal terst!but di atas tcranglah bahwa kckuas<wn raja
tcrhadap rakyatnya adalah cukup bcsar. Dalam bidang politik
raja berkuasa. untuk mcngambil keputusan-k.:putusan . sl.'.pert i
m~ngadakan pcrjanjian J1::ngan kerajaan lain at<.1u pun kt:kuasa<tn
luar. mengumumkan perang dan damai. di sarnping kekuasaannya
untuk mengangkat, memin<lah atau pun mcmccat pcjabat-pejabat
birokrasi kerajaan.
Pi:nghasilan kerajaan terutama di dapat <lari pajak-p<.ija.k
yang dipungut dari rakyat. Bc-bcrapa macam paj<.ik <1kan dikt:-
mukakan sebagai contoh. Di Bali Ut<.1rn di s;.imping pajak hasil
padi yang disebut suwinih. juga tcrdapat pajak tunah yang biasu
diseb_ut tigasan carik. Untuk barang-barang dagangan yang dipcr-
juat-:belikan di pasar oleh para pedagang juga .<likcnakan pajak.
yang di Bali Sela tan disebut dudukun 11eken. Di dal.!rail krscbu t
juga ada pajak atau cukai yang Jipungut pada perahu-perahu
yang akan pindah ke sungai lain. Kalangan tempat penyabungan
ayam juga dipungut pajak yang disebut p<Jieg tetaje11 atau 11ajeg
keklecan desa. Di setrientara daerah terdapat juga pelbagai macam
pajak yang dikenakan pada penanaman pohon, seperti pajak
penanamari pohon kelapa (pajeg sal.aran), penanama.n pohon
kapas (pajeg kapas), dan kemudian juga penanaman pohon kopi
(pajeg kopi). Bagi rakyat yang mempergunakan air dari aJiran air
subak diwajibkan membayar uang pungutan pemakaian ;.iir (upetin
48
10 ~ u ). Dt J;il'rah puntai unruk pcr... hu-pe n hu yang berada d1
bandar d1kenakJ11 cuka1 bwuiar atau subal/(Jar. yang antar<.i lain
termasuk ~ ukai bnlabuh yang c.lisebut 111 ltn fJw;wanw1 atau
labuh beau Un tu k p1::11<m kan pa.i... k-p;JJak d i dJcrah pedesa;Jn
dilOJkukan ult'h pt'lugas-pctugas pcn... nk p.i ak dari pem enntah
ktrajaa n } ang <lisebar kc dacrah-daerah . U1 uk pt'naribn rajak
da n cu"a i di daerah hanc.lar ditugaskan pa l 1 peja bat-pe1a bat d1
c.Jm as {labeu11 ball(Jur.
Perlu d ikemukakan bahwa ada tanah-ta ..: h -; awah ya ng okh
pemerin tah kerajaan dibebaskan dari pajak yaitu tanah-tan ah
sawah kep u nyaan pedanda. 1>unggawa. sedah 111 agu.ng. ka11 ca da n
bcbcra pa pejabat lainnya . Pembebasan paj ak juga bt'rlaku hag1
sawah-sawah dari para seniman dan pekerja erajia.nan yang hasi l
karyanya d isum bangkan untuk kcpcrluan pacara-upacara ke-
agamaan. Sawah-sawah yang baru saja dibu a sdama masa tiga
tahun masih belum <.likenakan pajak. Di sam ping tarikan pajak
untuk kas kerajaan . rnasih acla uang pungLtan lain yang lebih
bersifat sumbangan dari rakyat krpada para petugas-petugas di
desa, sepcrti biaya administrasi (biaya panulzs) dan biaya meme-
riksa ( biaya p1.mde}ldeg). Se lain itu pengur s desa jug.a serillll
m cncrima pcrnbcria11-pcmbcria11 apabila ada upacara pcrkawinan.
6 Susuna11 Jfa.syarakut
Mcski p un tidak setajam pcmbagian kasta tli India . di Bali
terdapat juga penggolongan penduduk m enjadi l!nipat kasta
(caturwarna. caturwangsa. atau catttrjanma ) yalah kas ta·kasta
brahman.a, k."'-'triya, wesya d<Jn sudra. Tenn as uk golongan hrah-
mana adalah para resi. baik dari agama Siwa atau pun Buda.
golongan ksatriya meliputi raja, para bangsawan dan keturunan-
nya ; golongan wesya mencakup para petani terhormat yang
mru;ih keturunan kebayan dan para seniman ; golongan sudra
termasuk di dalamnya para petani kecil, pedagan, rentenir.
nclayan dan lainnya.
Golongan brahmana adalah golongan yang terhonnat dalam
masyara kat Bali. Golongan ini dapat dibagi menjadi dua . yalah
para brahmana Siwa dan brahmana Buda. Dari segi silsilah.
golongan brahmana siwa dianggap masih keturunan dari pcndeta
Nirarta, seo rang anak dari Dangiyang Asmaranata dalam zaman
Bah Kuna. Ada pun para brahmana Buda d1anggap mai;ih
49
~- . ·~:rnn~1:1 c!..: n D ::;.1.~i yan,; Asmaranata juga , melalui ga ns ke-
turunan DangiyJng Astapaka_ Di banding deng:m yang menu run-
kan para brahmana Siwa, Dangiyang yang menurunkan para
brahmana Buda lebih muda satu derajat -keturunan. Dangiyang
Astapaka <likatakan bertempat tinggal di Budak.ling di daerah
Karangasem. Ada pun Dangiyang Asmaranata dianggap masih
keturunan dari Empu Barada.
Pendeta Nirarta yang juga disebut Bagawan Dwijendra atau
Padanda Sakti Wau Rawuh mengada.kan perkawinan dengan
putri-putri dari . beberapa dangiyang dan menurunkan cabang-
cabang keturunan, yang mempunyai sebuatan sesuai dengan
naina krnpattinggalnya. Oleh karenanya golongan brahmana
Siwa di Bali dibedakan menurut cabang nenekmoyang yang
rnenurunkannya, seperti Brahmana Kamenuh, Brahmana Ka-
niten, Brahmana Manuaba, Bruhmana Mas dan Brahmana Antap-
an. Brahmana yang masih belum menjalani pe!antikan (madiksa ,
mapadgala, mawinten) disebut brahmana welaka, sedang setelah
dilantik rnenjadi pendeta atau pedanda mendapat sebutan brah-
mana Sl!linggih atau sang gede. Keturunan dari brahmana
menggunakan sebutan Ida. Apabila anak itu lahir dari istri yang
berasal dari golongan brahrnana ia rnendapat sebutan ida bugus
dan apabila putri menggunaka.n _sebutan ida ayu atau ida11u.
Menurut urutan kelahiran, anak laki-laki tersebut mendapat
sebutan panggilan : ida wayan, ida nyoman, ida made clan ida
kctut. Sebutan ida made, ida nyoman dan ida ketut juga
digunakan untuk anak-anak brahmana yang lahir dari istri dari
kasta yang lebih rendah.
Golongan ksatriya dapat dibedakan dalam tiga tingkatan,
yalah golongan ksatriya dalem, golongan predewa dan golongan
pangakan, prebagus atau presangiyang. Anak laki-laki dari ksatri-
ya dalem yang lahir dari istri dari kasta atas apabila menjadi raja
ia mendapat gelar cokorda. Anak-anak lainnya yang tidak dipilih
menjadi raja terrnasuk golongan predewa. Apabila anak itu
laki-laki memperoleh sebutan i dewa dan apabila wanita men-
Japat i dewa ayu. Anak-anak dari cokorda yang lahir dari istri
padmi jllga memakai gelar cokorda, sedang anak-anak yang lahir
dari istri selir (panawing) memakai gelar i dewa atau anak agung
Selanjlltnya anak dari i dewa yang lahir dari istri padmi juga
bergelar i dewa, sedang yang lahir dari istri panawing memakai
50
gelar anak agung. Golongan ksatnya ualem ~ang Kawm o..:ngan
wanita dan kasta rendah apa bila mempu yai a1ldk tennasuk
golongan pangakan, prcbagus atau presangi i ng. Ana k-anak dari
golongan tm apabila laki-laki mendapat s' butan dewa /J:igus.
bagus ata u kagus. pangakan atau ngakan, da 1 sang tetapi apabila
wanita m endapat sebutan dewa ayu, desak ayu atau yayu. dan
sang ay u.
A pa yang diu raikan di atas ada1ah ke t..irunan dari ks:itriya
dalem yang masih mempun yai asal ketu runa n dari Sri Kr~sna
Kepakisan , seorang Bupati yang diangkat ol r:h Maha Patih Gajah
!vfada untuk memerintah di BaLi Di sarr'1ing itu masih :.ida
golongan ksatriya keturunan ksatriya ber sal dari Jawa, yang
dise but para arya. Para arya ini datang di Bali setelah Bali
ditaklukkan oleh Gajah Mada pada tah uh un 1343 . Mereka
seterusnya bertempattinggal me nyebar di pe bagai daerah di Bali.
Ketu runan para arya in i memakai gelar gusti i gusti atau Id gusti.
Kedud ukan arya sebagai golongan ksatriya di Bali tidak begitu
mantap.• bahkan keturunan mereka ada yang kemudian termasuk
golongan wesya.
Golongan wesya dapat dibedakan dalam tiga tingkatan,
yalah golongan pregusti, golongan dari keturunan arya Jawa dan
keturunan tiga orang wesya dari Jawa yang datang di Bali
bersama-sama para arya Jawa. Para pregusti mi dikatakan masih
keturunan dari Arya Damar, Arya Gajah Para dan Arya
Wangbang. Golongan pregusti yang laki-Jaki memakai sebutan i
gusti, sedang yang wanita menggunakan sebutan ni gusti ayu.
Golongan wesya keturunan arya dari Jawa yang laki-laki
mema kai seb utan gusti, sedang yang wanita dengan sebutan gusti
ayu atau sayu. Keturunan dari wesya Jawa memakai sebutan
gusti atau si untuk laki-laki dan ni /uh untuk wanita: Para wesya
Jawa yang dahulu datang di Bali tersebut bemama Tan Kuwur,
Tan Mundur dan Tan Kober.
Golongan sudra terdiri dari rakyat bawahan. Golongan ini
juga dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, yalah: mereka yang
mendapat anugerah .dari raja; mereka yang oleh raja diangkat
menjadi prebekel; sudra tingkat bawah yang juga disebu t sudra
jati, tani kelen atau panegen. G olongan sud ra juga sering disebu t
wong jaba ata u wong kesamen , sedang mereka yang mendapat
anugerah dari raja sering clisebut ku/a wisuda. Di daerah
Klungkung terdapat orang-orang sudra tingkat atas yang men-
51
d:..p..it sebuLrn prd7:J/i. l\krekJ adabh 111a:-.1li kt!turunan d:.rn
pcngawal-pt!ng~1wa l pnbadi Sri Kresna Kepaki~an. Gulongan ~udr;.i
yang menJapat anugerah raja (kuia wisuJa) memakai sebutan
gusi. si, /JUfu . gecle. fro. nengah dan wargi di depan namanya.
Kedudukan mereka sederajat dengan para keturunan wesya Jawa .
Di bawah golongan-golongan caturwama atau caturwangsa
tt:rsebut masih krdapat juga para budak. yang disebut sepangan
untuk yang laki-laki dan sepangan luh untuk wanita. Masih perlu
juga disebut adanya para tetunggon (pancleling}, yalah orang-
orang yang kehilangan kebebasannya karena terikat oleh tuannya
akibat tidak dapat membayar hutang.
Untuk membedakan golongan satu dengan yang lain, kecuali
gelar atau sebutan yang dipa.kai juga antara lain dapat diketahui
dari bentuk komplex rumah tempattinggal. penggunaan bahasa
dan tingkah laku. 81 Mengenai tempattinggal dapat dibedakan
misalnya antara rumah ksatriya dengan rumah wesya. Di Tabanan
rumah-rumah ksatriya biasanya mempunyai halaman yang di-
kelilingi dengan benteng berpintu gapura. yang diberi hiasan
bingkai mahkota (kroon/ijst). Gapura <lari tempattinggal orang
wesya hanya diberi ornamen biasa di bagian atasnya. Terhadap
golongan ksatriya golongan kasta bawah biasa melakukan sem-
bah, sedang bahasa yang digunakan oleh golongan bawahan
terhadap atasan adalah bahasa hormat. Di clalam upacara atau
pertemuan-pertemuan, golongan sudra tidak diperkenankan du-
duk lebih tinggi dari golongan brahmana, ksatriya dan wesya
(golongan triwangsa).
7. Kedudukan dan Kehidupan Masing-masing Golongan daiam
Masyarakat
Sepintas di muka telah dikemukakan urutan pembagian
kasta dari atas ke bawah yang masing-masing menunjukkan
tingkat kedudukannya di dalam masyarakat. Mengingat sifat
religius dari penduduk Bali, adalah semestinya bahwa golongan
brahmana menduduki tempat yang penting di dalam masyarakat.
Upacara-upacara keagamaan diadakan baik di tingkat istana, di
81 Berburu di hut•n merupakan ke1em.ran para b1ng:saw•n Bali. D•l•m &bad
BuU.l~ng disebutkan, bahwa di se~lah timur Angon Liman at•u B;ingun Liman
terdapat hutan , tcmpat Sri Panji Sakti biasa berburu (abuburo). Periks11
P.J.Worsley, Op.Cir., 167.
52
:.;t'ran-dacra11. t~:il.'·.~:,-. '·- ....
l'...ti k tiari ;.igam a Siwa a t:E. pu ;i Suda memeg:rng r ranan per.t ing
J al.1m upacara pancay11d nya . yai tu : Je wayaJn 111, _ upacara
yang dipersem bahkan pa<la dewa-tiewa; pitrayadnya, upacara
untuk arwah nenek-moyang ; man1,1say adnya , upacara-upacara
yang diadakan pada tingkat-tingkat hidup manusia (inisiasi);
rsiyadnya, dipersembahkan kepada para resi ya ng menegakkan
agama ; bhutayadnya, - upacara untuk makhluk-m akhluk - halus
penjaga alam.
Di dalam upacara kematian, baik pedanda Siwa maupun
Buda bertugas untuk menyelamatkan jiwa almarhum. Masing-
masing pedanda tersebut berdiri di sebelah kanan ·ctan kiri
jenazah, pedanda Siwa berada di sebelah kanan dan pedanda
Buda di sebelah kiri. Pedanda Siwa mengucapkan mantraweda
dengan memercikkan tirta pengentas dan tirta pabresihan. Se-
telah bertukar tempat berganti pedanda Buda mengucapkan
mantraweda sambil memercikkan tirta panglukatan. Dengan
upacara tersebut arwah almarhum diharapkan telah dilepaskan
dari segala dosa. Pada kesempatan kemudian pedanda tersebut
memberikan bisikan (pawisikan) kepada arwah almarhwn agar
dengan mudah dapat naik ke sorga. ·
Tiap-tiap pendeta mempunyai wilayah keagam aan sendiri-
sendiri. Pendeta Siwa mempunyai wilayah penganur yang disebut
masiwa-kasiwa. sedang pendeta Buda mempunyai wdayah masiwa
kaboda. Tiap orang diwajibkan mengambil air suc1 dari masiwa-
nya sendiri. Mengingat bahwa sebagian besar penduduk Bali
hidup dari pertanian. maka upacara keagamaan juga diadakan
untuk menghormat dewa-dewa yang ada hubungannya dengan
pertanian. seperti Dewa Tanah, Dewa Air dan Dewa Padi. Dalam
upacara-upacara semacam itu pendeta diserahi tugas untuk
memimpinnya. Tempat-tempat pemujaan (pura ) tersebar di
daerah-daerah dan di dalam upacara-upacara yang diadakan,
pirnpinan dipegang oleh pendeta-pendeta daerah setempat. Meng-
ingat pentingnya kedudukan para pendeta dalam masyarakat
Bali, adalah wajar bahwa mereka diberi pengecualian-pengecuali-
an dari pemerintah kernjaan. Pengecualian itu antara lain berupa
pembebasan pajak bagi tanah-tanah milik mereka Tanah dari
komplex pura (labapura) juga dibebaskan dari pajak. Hasil dari
tanah tersebut sebagian besar digunakan untuk biaya pemelihara-
an pura dan sebagian dipakai untuk bfaya hidup pengurus pura.
53
seperti pemangku dan para pembantunya. Adakalanya pemangku
mendapat tanah jabatan dari pemerintah kerajaan. Para pendeta
juga dibebaskan dari kerjawajib kerajaan atau pun kerjawajib
wilayah. Di dalam soal perkawinan, di Bali masih dipegang tegu h
perkawinan secara endogami. Orang-orang dari golongan brah-
mana diwajibkan kawin dengan orang di lingkungan kast.1
mereka. Perkawinan dengan orang dari kasta yang lebih renda h
dapat berakibat penurunan orang brahmana tersebut dari kasta-
nya. Kemurnian kasta brahmana dijaga antara lain dengan adanya
larangau perkawinan yang disebut asu pundung, yalah larangan
bagi orang laki-laki dari kasta ksatriya. wesya dan sudra kawi n
dengan wanita atau gadis dari orang kasta brahmana. 81
Golongan ksatriya juga mempunyai kedudukan terhormat di
dalam masyarakat. Kerabat raja dan para bangsawan lainnya
mendapat fasilitas-fasilitas dari pemerintah kerajaan, seperti
pemt>erian tanah-tanah apanage (tanah bukti). Hubungan antara
golongan ksatriya dengan golongan brahmana sangat erat. Erat-
nya hubungan tersebut dikarenakan kecuali tingkat kasta mereka
langsung berdekatan, juga karena kedudukan mereka sebagai
penguasa di bidang keduniawian sangat erat hu,bungannya dengan
kekuas:i.an para brahmana di bidang keagamaan. Dalam pelantik-
an raja baru, pentahbisannya dilakukan oleh pedanda-pedanda
istana. Meskipun dalam sistim kasta tersebut brahmana lebih
tinggi tingkatannya daripada golongan ksatriya, namun dalam
beberapa hal kekuasaan raja melebihi brahmana. Para pedanda
istana baik dari agama Siwa atau pun Buda berada dalam lingkup
birokrasi kerajaan dan tunduk pada peraturan kerajaan. Pelan-
tikan brahmana welaka menjadi pendeta atau brahmana sulinggih
harus mendapat izin dari raja. .Dapat dikatakan bahwa golongan
ksatriya sebagian besar mempunyai kegiat~ dalam bidang politik
kerajaan. Di dalam masa perang biasanya merekalah yang
diangkat menjadi panglima-panglirna perang. Di dalam soal
perkawinan urnumnya orang-orang dari kasta ksatriya kawin
dengan orang sekasta. Dengan adanya larangan perkawinan
aJangkahi karang ulu, maka tidak memungkinkan golongan wesya
l l Penpruh para brabmana cukup kuat di daer111h tin1kat dlstrik, seperti apa yang
dapat dll!hat di distrlk Bllnjar, yan1 terletak di sebelah barat ibukota kerajaan
Sin1araja. Adanya brahmana-brahmana Y•n& tln11al di distrik tersebut. mem -
bawa aklbat besarnya penpruh dlstrlk tersebut pada distrik -dlstrik sekitarn ya .
Perlksa "De Expedltle naar Bali in I 565". Milltair Ti;d1chrlft 1873 . 125
54
' -·•·· ~'' rJ !i:2wi~1 'i:.: ·'::<Jr, _.;o '. u:·;~· an ksarriy a
Meskipun <lari segi k:l~ta, golonga n-golongan tersebut se-
akan-akan tertutup satu-sama-lain, namun dalam masyarakat
seringkali batas tersebut tidak lalu nampak. Misalnya dalam
matapencaharian adakalanya golongan wesya melakukan bidang
usaha yang sama dengan yang dilakukan oleh orang dari golongan
ksatriya. Hal ini disebabkan karena tidak seluruhnya orang dari
golongan ksatriya dapat menduduki fungsi yang penting dalam
birokraSi kerajaan. Banyaknya orang-orang dari golongan ksatriya
dari derajat kelab.iran agak bawah. maka kehidupan mereka
hampir tidak berbeda dengan orang dari kasta bawahnya.
Demikian pula halnya orang dari golongan wesya dengan golong-
an sudra. Orang dari golongan wesya tingkat bawah hampir tidak
berbeda dalarn masyarakat dengan orang dari golongan sudra
derajat atas. Bahkan petani-petani dari golongan sudra . yang
kemudian beruntung dalarn usaha pertanian. kehidupannya dapat
lebih baik dari pada orang-orang keturunan arya Jawa yang
menurut kastanya dalam desa memang leblh terhonnat.
Hal yang demikian itu menunjukkan, bahwa sampai
derajat t ertentu kekayaan juga mempengaruhi status orang dalam
masyarakat Bali. Orang dari kasta atas yang kurar.f! ma.mpu.
sedikit banyak mcnurunkan derajat prestisenya dalam masyara-
kat. Agak qerbeda halnya dengan orang-orang dari kasta brah-
mana. Penghormatan masyarakat kepada mereka lebih didasarkan
pada pandangan religius. Kesucian dan kebaikan sifat dan
tingkah-laku, di sarnping kemampuannya dalam soal agamalah
yang menyebabkan rnereka terpandang di dalam masyarakat.
Dengan demikian kekayaannya tidal< banyak mempengaruhi
besar kecilnya penghonnatan masyarakat pada seorang dari
golongan brahmana.
Dalam hubungan dengan kekayaan masih perlu disebut
golongan minoritas asing yang tinggal di Bali, terutama golongan
Cina. Kebanyakan di antara mereka mem punyai matapencaharian
sebagai pedagang, baik pedagang besar maupun pedagang kecil.
Di samping adanya pedagang-pedagang golongan Cina yang kaya
berkat keuntungan yang mereka dapat dari perdagangan
dalarn partai besar, seperti perdagangan hasil bumi, ikan dan
sebagainya, terdapat pula orang-orang Cina yang mem buka toko
atau pun warung-warung. Oleh karenanya di beberapa daerah di
Bali ada se butan wong toko untuk orang Cina. Seringkali mereka
55
juga disebut babah, singkeh atau wong Cina. Golongan minoritas
Cina ini mempunyai daer.ili tempat tinggal tersend.iri dan
melakukan adatnya sencliri .
Seperti halnya di daerah-dacrah lain di Indonesia. di dalam
kota-kota bane.Jar ter<lapat perkampungan pcdagang-pedagang.
seperti pedagang Makasar, Bugis dan lainnya. Pcdagang-pedagang
tersebut di samping membeli hasil bumi dan ha.;il kerajinan Bali
untuk diex.port ke luar dengan mcnggunakan perahu-pcrahu
sendiri atau perahu-perahu pedagang langganan dari kepulauan
lain, juga bertindak sebagai penerima barang-harang import dan
pedagang-pedagang yang datang ke Bali. Dalam abad ke l 7 ·
perdagangan budak di Bali cukup ramai. Perahu-perahu Belanda
datang ke bandar-bandar Bali untuk mengangkut budak-budak
dan dijual di lain pulau. Pedagang-pedagang Jawa dalam abad
terscbut biasanya seinggah di Bali dalam perjaJanan ke Maluk u
untuk menjuaJ beras: Di Bali mereka membeli barnng-barang
kerajinan, kain batik dan lainnya untuk selanjutnya dijual ke lain
pulau yang dilaluinya.
Gambaran di atas menunjukkan ramainya perdagangan laut
<li Bali. Sud.ah te11tu hal tersebut berakibat adanya mac.:am -
macam sukubangsa di kota-kota bandar, baik scbagai penghun i
tetap a.tau pun sebagai penghuni musiman. Hubungan antara
penguasa kerajaan dengan golongan pedagang sukubangsa lain
. tidak mengaJami kesukaran. Demikian pula perbedaan agama
tidak merupakan rintangan dalam mengadakan hubungan . Di
samping budak, golongan orang-orang yang kehilangan kebebas-
annya karena tidak dapat membayar hutang (pandeiing) masih
banyak terdapat di BaJi. Di pandang dari segi kasta. mereka
tennasuk golongan bawahan. Dalam hubungan dengan perbudak-
an di Bali, perlu dikemukakan, bahwa tidak semua bu<lak adalah
dari golongan kelas rendah. Tawanan-tawanan perang a.tau hasil
tawan karang adakalanya terdiri dari orang-orang kasta atas.
Budak-budak yang memang berasal dari kelas rendah dalam
pandangan masyarakat berbeda dengan budak-budak karena
tawanan perang. Umumnya mereka yang belakangan ini lebih
dihargai. Bud.ak-budak, baik yang laki-laki (sepangan) maupun
yang perempuan (sepangan /uh) hidup di rumah tuannya dengan
dijamin makannya. Para pande/ing yang di Bali sering disebut
tetunggon bekerja di rum ah tuannya sebagai angsuran hutang
sampai mereka dibebaskan kembali.
56
BAB II
Pt.RKl:."MBANGAN EKONOMI INDONl:."S!A
DALAM .tBA D KE 19
A. SISTIMSEWATANAH(l811 - 1830)
I. Pc•ndalluluan
Tidak lama setelah kepergian Gubernur J enderal Daendels
dari lndond>ia. Jawa diduduki oleh lnggris dalam tahun 1811 .
Zaman pendudu.kan lnggris ini hanya ·berlangsung selama lima
tahun. yaitu antara tahun 181 l dan 1816. akan tetapi selama
waktu ini tclah dilctakkan dasar-<lasar kebijaksanaan ekonomi
yang sanga& mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaannya
pcmcrintahan kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 meng-
ambil-alih kembali kekuasaan <lari pemerintahan kolonial Inggris.
Az.ls--azas pemerintahan sementarn Inggris ini ditentukan
oleh Letnan Gubemur Raffles. yang sangat dipengaruhi oleh
pcngalaman lnggris di India. Pada hakekatri ya Raffles ingin
menciptaka n suatu sistim ckonom i di Jawa yang bebas dari segala
unsur paksaan yang uahulu melekat pada istim penyerahan
paksa dan pekcrjaan rodi yaniz dijalankan oleh Kompeni Bclanda
(VOC) dala m kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. Secara
konkrit Ra ffles ingin menghapus segala pen yerahan wajib dan
pckerjaan rodi yang selama iaman voe selalu dibebankan
kcpada rakyat. khususnya pant petani. Kepada para petani ini
Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan
berusaha.
JdasJah kiranya bahwa Raffles dalam ha l ini telah dipenga-
ruhi olch ci ta-t:ita revolusi Perancis dcni;a n scmboyannya
mcngcnai 'kchcbasan . persamaan dan persau<laraan • bagi setiap
warga. wala upun ia tcntu mcnyadari pula bahwa dalam konstclasi
keadaan yang bcrlaku di Jawa, tidak dapat se penuhnya mewujud-
kan dta-dta tcr~bu t . Dalam hal ini panda nga n Raffles dalam
banyak hal sama dengan pandangan seorang pejabat Belanda dari
akhir zaman VOC yang bernama Dirk va n Hogendorp. Van
Hogendorp ini telah menarik kcsimpu1an dari pengamatannya di
Indonesia hahwa sistim feodal yang terdapat di Indonesia pada
waktu itu dan yang telafi dimanfaatkan oleh OC telah memali-
57
kan ~egala daya usaha rakyat Indonesia. Oleh karena itu ia
menganjurkan agar kekuasaan, khususnya hak kuasa atas tanah
para bupati atas rakyat, dibatasi. Seperti diketahui, untuk
mencapai tujuannya memperoleh hasil-hasil bumi Indonesia VOC
telah mempergunakan raja-raja dan para. bupati sebagai alat dalam
kebijaksanaan dagangnya. Sebagai pengganti sistirn paksa yang
berlaku hingga waktu itu, van Hogcndorp menganjurkan agar
para petani diberikan kebebasan penuh dalam menentukan
tanaman-tanaman apa yang hendak ditanarn mereka maupun
dalam meJ)lnentukan bagaimana basil panen mere.lea hendak
dipergunakan. Di bawah sistim VOC kebebasan ini tidak ada.
Raffles sendiri menentang sistim VOC karena kayakinan-ke-
yakinan politiknya, yang sekarang dapat disebut liberal, maupun
karena berpendapat bahwa sistim exploatasi seperti yang telah
dipraktekkan oleh VOC tidak menguntungkan. Apa yang dj-
kehendakinya sebagai pengganti sistim voe adalah suatu sistim
pertanian di mana para petani atas kehendak sendiri menanam
tanaman dagangan (cash crops) yang dapat diexport ke luar negri.
Dalam hal ini pemerintah kolinial hanya berkewajiban untuk
menciptakan segala prasarana yang diperlukan guna merangsang
para petani untuk menanarn tanaman-tanarnan export yang
paling menguntungkan.
2. Sistim Sewa Tanah
Dalarn usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan
kolonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga -azas :
Pertama, segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun
pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan
kepada rakyat untuk menentukan jenis tanarnan apa yang hendak
ditanam tan·pa unsur paksaan apa pun juga. Kedua, peranan para
bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggan-
tinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintahan
kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan
azas-azas pemerintah:.i.n di negri-negri Barat. Secara konkrit hal ini
berarti bahwa para bupati dan kepala-kepala pemerintahan pada
tingkat rendahan harus memusatkan perhatiannya kepada pro-
yek-proyek pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejah-
teraan penduduk. Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa pemerin-
tah kolonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang
58
mc:ngg:.ira p tanah dianggap sebagai penyewa tenant) tana h miJik
pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini pa a petani diwajibkan
mt:mbayar sewa tanah (land-rent) atau paJak atas pamakaian
ranah pcmerintah . Sewa tanah inilah selanjut nya dijadikan dasar
kebijaksanaan ekonomi pemerintahan Inggris di bawah Raffles
dan kemudian dari pemerintahan Belanda sam pai tahun 1830.
SistJm sewa tanah ini, yang kemudian iikenal dengan nama
landelijk stelsel bukan saja diharapkan dapat memberikan ke-
bebasan dan kepastian hukum kepada para petani dan merang-
sang mereka untuk menanam tanarnan dagangan, akan tetapi
dapat juga menjarnin arus pendapatan negara yang mantap.
Pelaksanaan sistim sewa tanah mengandung konsekwensi-
konsekwensi yang jauh sekali atas hubungan antara pemerintah
kolonial di satu pihak dan rakyat Indonesia dengan penguasa-
penguasan ya di lain pihak. Perubaha.11 yang dipertimbangkan itu
malahan dapat dikatakan revolusioner. ka.rena mengandung per-
ubahan azasi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas rakyat dan
digantikannya dengan suatu sistim di mana hubungan ekonomi
antara pemerintah di satu pihak dan ra kyat di lain pihak
didasarkan atas kontrak yang diadakan secara sukarela oleh
kedua belah pihak. Jadi perubahan ini pada dasarnya bukan
merupakan perubahan ekonomi semata-mata tetapi lebih penting
Jagi merupakan suatu perubahan sosial-budaya yang mengganti-
kan ikatan-ikatan adat yang tradisionil de ngan ika tan kontrak
yang beJum pernah dikenal. Dengan dem ikian maka dasar
kehidupan masyarakat Jawa yang tradision I hendak digantikan
dengan dasar kehidupan masyara.kat seperti yang dikenal di
negara-negara Barat. Demikian pula ekono"Tii masyarakat Jawa
yang tradisionil dan feodal itu hendak digantikan dengan sistim
ekonomi yang clidasarkan atas lalulintas pertukaran yang bebas.
3. Pelaksanaan Sisfim Sewa Tanah.
Sistim sewa tanah tidak meliputi s .luruh pulau Jawa.
Misalnya. di daerah-daerah sekitar Jakart a, pada wak ru itu
Batavia, mau pun di daerah-daerah Parah1yangan sistim sewa
tanah tidak diadakan, karena daerah-daerah sekitar Jakarta pada
umumnya adalah milik swasta, sedanglcan di daerah Parahiyangan
59
pemerintah kolonial bcrkebcratan untuk menghapus sistim tanam
wajib kopi yang memberi keuntungan yang besar. Jelaslah
kiranya. bahwa pemerintah kolonial tidak bersedia untuk me-
ne.rapkan azas-azas ·tieberal secara konsisten jika hal ini mengan-
dung kerngian materiil yang besar. Olch karena itu daerah
Parahiyangan tidak pernah mengenal suatu fasc mcnengah yang
agak bebas di antara dua masa yang dicirikan oleh unsur paksaan
dalam kehidupan ekonomi. scperti telah dikenal oleh daera.h-
daerah lain di Jawa. melainkan daerah ini terus-menerus hanya
mcngenal sistim tra<lisionil tlan feodal sampai pda tahun 1870.
Mengingat hahwa Raftlt!s hanya bt!rkuasa untuk waktu yang
singkat di Jawa. yaitu lima tahun, dan mengingat puJa terbatas-
nya pegawai-pegawai yang lA!kap dan <lana-tlana keuangan. tidak
mengherankan bahwa Raffles akhimya tidak sanggup melaksana-
kan segala peraturan yang bcrtali<rn dcngan sistim scwa tanah itu.
Meskipun demikian gagasan-gagasan Raffles mengenai kebijaksa-·
naan ekonomi kolonial yang baru, terutama yang bertalian
dengan sewa tanah, telah sangat mempengaruhi pandangan dari
pejabat-pejabat pemerintahan Bdan<la yang <lalam tahun 18 I6
mengambil-alih kembali kekuasaan politik atas puh1u Jawa dari
pemerintahan lnggris.
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kebijaksarrnan
Raffles pada umumnya diteruskan oleh pemerintahan kolomal
Belanda yang baru, pertarna-tama di bawah Komisaris Jenderal
Elout, Buyskes, dan Van der Capellen (1816 - 1819), dan
kemudian di bawah Gubernur Jenderal Van dcr Capclkn ( 1819 -
1826) dan Komisaris Jendcral <lu Bus de Gisignies ( 1826
1830). Sistim sewa tanah baru dihapuskan dengan kedatangan
sorang Gubernur Jenderal yang baru, Van den Bosch. dalam
t.ahun 1830 yang kemudian menghidupkan kem bali unsur-unsur
paksaan dalam penanaman tananaman-dagangan dalam bentuk
y~ng Jebih keras dan cfisien dari pada <li bawah VOC. Akan tetapi
masalah itu baru akan dibahas dalam bab yang berikut.
Untuk menilai pelaksanaan sistim sewa tanah, perlu ditinjau
tiga aspek dari sistim ini, yaitu : pertama, pcnyelenggaraan suatu
sistim pemerintahan atas dasar-dasar modern (haca : Barat)
kedua, pelak.sanaan pemungutan sewa tanah; ketiga, penanaman
tanaman dagangan untuk diexport.
Mengenai aspek yang pertama. apa yang dimaksud oleh
Raffles dengan pernerintahan yang modem ::idalah penggantian
60
pemerin tahan - pemerintahan yang tid ak langsung dahulu dise-
lenggarakan melalui raja-raja dan kepala-ke pala tradisionil dengan
suatu pemerintahan yang langsung. Hal ini berarti bahwa ke-
kuasaan tradisionil raja-raja clan kepala-kepala tradisionil sangat
dikurangi dan bahwa sumber-sumber penghasilan mereka yang
traclis.ionil dihilangkan. Fungsi fungsi pemerintahan yang mereka
tunaikan sampai waktu itu, sekarang dilaJcukan oleh pegawai-
pegawai Eropa, yang jumlahnya bertambah banyak. Oleh Raffles
diadakan fungsi asisten-residen, yang bertugas untuk mendam-
pingi dan mengawasi para bupati, dan 'pengawas penghasilan
yang diperoleh dari tanah' (opzieners der landelijke inkomsten)
yang kemudian disebut pengawas pamongpraja (controleur van
het Binnenlands Bestuur).
Dengan makin bertambahnya pengaruh pejabat-pejabat
bangsa Eropah, pengaruh para bupati pribumi makin berkurang.
Malahan di antara pejabat-pejabat Eropa · bul piJciran untuk
menghilangkan samasekali jabatan bupati. Tidak mengherankan
bahwa perkembangan ini sangat mengge hkan para bupati.
yang se belum Raffles mempunyai kekuasaan dan gengsi sosial
yang amat besar.
Pada waktu Van der Capellen menerirna jabatan sebagai
Gubernur Jenderal dalam pemerintahan Belanda yang telah
dipulihkan, pengaruh para bupati sudah sangat berkurang diban-
ding dengan zaman VOC. Namun Van der Capellen menyadari
bahwa mereka mempunyai pengaruh tradisionil yang besar atas
rakyat dan ia menyadari pula bahw.a pejabat-pejabat Eropa tidak
pernah bisa menggantikan kedudukan sosial mereka dalam
masyarakat Jawa. Oleh karena itu ia menempuh. kebijaksanaan
yang menghonnati kedudukan sosial para bupati dan berusaha
pula untuk menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk
tujuan-tujuan pemerintah kolonial. Meskipun demik.ian tidak
dapat Clihindarkan bahwa secara lam bat-laun kekuasaan efektif
telah bergeser dari para bupati ke pejabat-pejabat Eropa.
Hal ini jelas kelihatan dalam hubungan kekuasaan para
bupati atas tanah. Sejak dahulu kala untuk jasa-jasa mereka para
bupati diberikan tanah. Bukan saja tanah yang mereka peroleh,
akan tetapi menurut kebiasaan adat mereka dapat pula menuntut
penyerahan wajib hasil-hasil pertanian rnaupun pekerjaan rodi
dari penduduk yang tinggal di atas· tanah itu. Di bawah Raffles
kebiasaan ini dihapus dan para bupati kemudian mulai diberi gaji
61
dalam bentuk uang untuk jasa-jasa mereka pada pemerintah
kolonial. Dengan putusnya hubungan antara para bupati dan
tanah. lenyaplah puJa kewajiban rakyat untuk melakukan pen ye-
rahan wajib dan pekerjaan rodi untuk para bupati.
Dalam menilai keberhasilan perubahan yang diadakan dalam
kedudukan para bupati, c.lapat dikatakan bahwa secara marginal
rnemang terjadi pembatasan dalam kekuasaan para bupati. Hal ini
misalnya kentara dari bebempa pengaduan yang telah dilakukan
oleh rakyat terhadap kepala-kepala mereka jika mereka meng-
alami apa yang mereka rasakan sebagai tindakan sewencing-wenang.
Akan tetapi pada umurnnya kebiasaan-kebiasaan yang tradisionil
maupun respek yang tradisionil dari rakyat terhadap kepala-
kepala mcreka tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan
keputusan-keputusan dari orang-orang asing, meskipun orang-
orang yang. terakhir ini mempunyai kekuasaan politik yang
efektif. Hal ini misaJnya terlihat dalam kewajiban rakyat untuk
melakukan pekerjaan paksa atau rodi untuk kepala-kepala me-
reka. Meskipun pemerintah kolonial secara resmi telah meng-
hapu~ kebiasaan ini, narnun kebiasaan tradisionil ini tetap
· diteruskan.
4. Sewa (Pajak) Tanah.
Selama zaman Voe 'pajak' berupa beras yang harus dibayar
oleh rakyat Indonesia kepada VOC ditetapkan secara kolektif
untuk seluruh desa. Dalaln mengatur pungutan wajib ini para
kepala desa oleh -voe diberikan kebebasan penuh untuk me-
netapkan jumlah-jumlah yang harus dibayar oleh masing-masing
petani. Sudah barang tentu kebebasan ini mengakibatkan tindak-
an-tindakan sewenang-wenang yang sering merugikan rakyat. ,
Sebagai seorang liberal Raffles menentang kebiasaan ini.
Berdasarkan keyakinannya bahwa penduduk Indonesia harus
dapat menikmati kepastian hukum maka ia mempertimbangkan
penetapan pajak secara perorangan. Pcraturan mengenai penetap-
an pajak berupa pajak tanah yang harus dibayar oleh perorangan
dan bukan lagi oleh desa sebagai keseluruhan dikeluarkan dalam
tahun 1814. Daerah pertama yang terkena peraturan ini adalah
Banten .
62
Akan te tapi tidak lama kemudian ternyata bahwa pelaksana-
an pemungutan pajak secara perorangan mengalami banyak
kesulitan. Salahsatu faktor yang penting dalam hal ini adalah
tidak tersedianya bahan-bahan keterangan yang baik dan dapat
dipercayai untuk penetapan jumlah pajak yang harus dibayar
oleh tiap-tiap orang. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa
penetapan pajak tidak .dilakukan dengan tepat, sehingga sering
malahan memperberat beban pajak untuk rakyat, dan bukan
memperingankannya seperti yang dimak~udkan oleh Raffles.
Kesulitan-kesulitan ini mengakibatkan bahwa dalam tahun
18 16, sewa.ktu kekuasaan atas pulau Jawa telah dikembalikan
kepada Belanda, para Komisaris-J enderal meninggalkan penetap-
an paja.k secara perorangan dan kembali lagi ke penetapan pajak
secara kolektif untuk tiap-tiap desa sebagi keseluruhan.. Sudah
barang tentu dengan penggunaan prosedur pemungutan pajak
cara ini penetapan pajak secara sewenang-wenang muncul kem-
bali, walau pun tidak sehebat exses-exses vang terjadi selama
zaman voe.
5. Penanaman Tanaman Dagangan untuk Export.
Aspek ketiga dari sistim sewa tanah adalah promosi pe-
nanaman tanaman-tanaman perdagangan untuk export. Sampai
seberapa jauh pelaksanaan sistim sewa tanah berhasil memctjukan
penanaman tanaman-dagangan untuk diexport ke luar negeri?
Pengalaman menunjukkan bahwa pada umumnya experirnen ini
telah mengalami kegagalan. Penanaman kopi, ~isalnya, yang
pada awal abad ke sembilanbelas merupakan tanaman perda-
gangan yang terpenting di Jawa, di bawah sistim sewa tanah
mengalami kemunduran yang berarti. Perkem bangan yang sama
juga terlihat pada tanarnan-dagangan Jainnya, seperti gula dan
lain-lain. Salahsatu sebab dari kegagalan im adalah kekurangan
pengalaman para petani dalam menjuaJ tanaman-tanam~ rnereka
di pasaran bebas, sehingga sering penjuaJan in1 diserahkan kepada
kepala-kepala desa mereka. Hal ini mengakibatkan bahwa
kepala-kepala desa sering menipu petani itu sendiri atau sipem-
beli, sehingga akhirnya pemerintah kolonial terpaksa carnpur-
tangan lag:i dengan rnengadakan lagi penanaman paksa bagi
tanaman-tanaman perdagangan.
63
6. Kesimpuian
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama masa sistim
sewa tanah berlaku, baik selama pemerintahan sementara lnggris
di bawah Raffles mau pun selama pemerintahan Belanda di
bawah para Komisaris Jenderal dan Gubemur Jenderal Van dc!r
Capellen menunjukkan bahwa usaha untuk mengesampingkan
para bupati dan kepala-kepala desa tidak berhasil. Tcrnyata mau
tidak mau struktur feodal yang berlaku di masyarakat tradisionil
Jawa, 'khususnya gengsi sosial yang dimiliki para bupati da n
kepala-kepala desa, perlu dimobilisasi lagi oleh pemerintah
kolonial jika mereka mau mencapai tujuan mereka untuk
mendorong penduduk menanarn tanaman-perdagangan yang di-
inginkan. Oleh karena itu gambaran yang diperoleh mengenai
pelaksanaan sistim tanah ini tidak merata (uneven). Kadang-
kadang di beberapa tempat memang terdapat penanaman secara
bebas, akan tetapi lebih sering lagi penanaman bebas ini hanya
fonnalitas belaka. Sedangkan dalam kenyataan terdapat pe-
nanaman secara paksa.
Sistim sewa tanah rnemang mengakibatkan bahwa pengaru h
politik maupun pengaruh sosiaJ sampai batas tertentu meresap
lebili dalarn ke dalam masyarakat Jawa, terutama oleh karen1:1
usaha untuk mengesampingkan para bupati dan langSung ber-
hubungan dengan para petani sendiri. Namun kita melihat bahwa
haJ ini tidak sepenuhnya berhasil dan bahwa daJam berbagai hat
sarnaikatan-ikatan tradisionil masih perlu difaedahkan. WaJaupun para
bupati dapat dikesampingkan, haJ yang tidak dapat dilaku-
kan dengan kepala-kepala desa, yang harus dikerahkan untuk
pemungutan pajak tanah. Oleh karena itu usaha sistim sewa tanah
untuk mengadakan hubungan langsung dengan para produsen
tanaman-dagangan itu sendiri tidak berhasil.
\ j Ditinjau dari tujuan untuk meningkatkan tingkat kemak-
muran penduduk di Jawa dan merangsang produksi tanaman-
dagangan, sistim sewa tanah dapat dikatakan telah menernui
kegagalan. Usaha-usaha untuk menghapus struktur masyarakat
yang tradisionil (feodal) dan memberikan kepastian hukum yang
lebih besar kepada penduduk pun tidak berhasil.
Dalam menyelidiki sebab-sebab kegagalan ini. kita perlu
menyelidiki lebih jauh pertimbangan-pertimbangan atau motif-
motif Raffles yang mendorong pejabat lnggris ini untuk mengi n-
64
trodu ksi sistirn sewa tanah di Jawa. Dalam halaman sebelumnya
sudah disi nggung bahwa dalam menggarisb n kt!bijaksanaann ya
Raffles sangat dipengaruhi oleh azas-azas ke bijaksanaan ko lon ial
lnggris yang telah ditempuh di India. Kesalah an-kesalah an Rames
adalah bahwa ia mungkin telah mel ebih lebihkan r ersamaan-
persarnaan yang menurut ia terdapat an tara India dan fawa.
sedangkan se benamya terdapat perbedaan-perbedaan ya ng besar.
dalarn susu nan masyarakat maupun dalam tmgkat perkem bangan
ekonomi. Pada umumnya dapat dikata ka1 bahwa tingka t pcr-
kembangan ekonomi India adalah lebih tinggi daripada di Jaw a.
India, m isalnya, sudah mengenal ekonom i uang (money econo-
my) sejak abad keenarnbelas. Demikian pula anta ra herbagai
daerah India terdapat Jalulintas perdagangan yang ramai. yang
menunjukkan bahwa desa-desa di India bukan merupakan desa-
desa yang hanya dapat mencukupi kebu tuhan-kebutuhan mereka
sendiri. Bahkan India juga m engenal perdagangan export yang
cukup ramai.
Diban ding dengan India maka gambaran ekonomi Jawa pada
awal abad kesembilanbelas masih menunju kkan garnbaran ekono-
mi desa yang belum diintegrasikan dalam iat u kesatuan ekonomi
yang menyeluruh. Bahkan sebali.knya yang terlihat. yaitu desa-
desa yang pada umumnya h.anya memenulu kebutuhan-kebut!Jh-
an sendiri tan pa banyak mengadakan perdagangan, apalagi
perdagangan export.
Selain kopi ·yang diperoleh dari penanaman~paksa, Jawa
pada awal abad kesembilan belas hanya mengexport beras dalam
jumlah. yang terbatas dan beberapa barang lainnya yang tidak
begitu berarti, yang pada umumnya diexport ke kepulauan
Maluku.
u .raian di atas t elah memperlihatkan m engapa kebijaksanaan
Raffles, yang kemudian diteruskan oleh pemerintah Hindia
Belanda sampai tahun 1830, telah mengalami kegagalan. Berlain-
an dengan Rakyat India, penduduk di Jawa tidak biasa untuk
m enghasilkan tanarnan-dagangan untuk diex port atas usaha dan
prakarsa m ereka send.iri. Jika mer~ka tidak mendapat perintah
dari atasan mereka, mereka tidak akan menanam tanaman-
dagangan yang rnenguntungkan sekalipun , melainkan hanya
tanarnan-makanan. Hal ini sesuai dengan sifat ekonom i desa di
Jawa yang bersifat memenulti kebutuhan St!ndiri (self-sufficient) .
65
B. S ISTI~f TAr\AM -·PAKSA (CULTUURSTELSEL).
Pendahuluan
Dalam bab pertama kita telah melihat hahwa sistim pajak
tanah, · yang telah diintroduksi oleh Raffles dan kemudian
diteruskan oleh para Komisaris Jenderal, van der Capellen dan du
Bus de Gisignies, telah mengalami kegagalan, antara lain dalam ,
merangsang para petani untuk meningkatkan produksi tanaman-
tanama.'1 perdagangan untuk export.
Daiam tahun 1830 pemerintah Belanda telah mengangkat
Gubernur Jenderal yang baru untuk Indonesia, yaitu Johannes
van den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan
produksi tanaman export yang tidak terjadi selama sistirn pzjak
tanah berlangsung. Dalam membebankan Van den Bosch dengan
tugas yang . tidak mudah ini, pemerintah Belanda terutarna
terdorong oleh keadaan parah dari keuangan negeri Belanda. Hal
ini disebabkan. karena budget pernerintah Belanda dibebani
hutang-hutang yang ·besar yang perlu dikembalikan lagi. Oleh
karena masalah gawat ini tidak dapat ditansgulangi oleh negeri
Belanda seildiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di
koloni-koloninya di Asia, yaitu di Indonesia. Hasil daripada
pertimbangan-pertimbangan ini adalah gagasan sistim tanam
paksa yang diintroduksi oleh van den Bosch sendiri.
Pada dasarnya sistim tanarn-paksa ini, yang selarna· zaman
Belanda terkenaJ dengan nama Cultuurstelse/, berarti pemulihan
sistim exploatasi berupa pe.nyeraban-pcmyerahrul wajib y ang
pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Raffles telah mencoba
untuk mendorong para petani di Jawa untuk meningkatkan
produksi tanaman-export mereka dengan jalan membebaskan
mereka dari penyerahan-penyerahan wajib dan dengan memberi-
kan mereka perangsang-perangsang positif, yaitu setelah mereka
melunasi kewajiban pem bayaran pajak tanah (land rent) maka
mereka dapat memperoleh hasil bersih dari pen.jualan hasiJ-hasil
pertanian mereka sendiri. Kegagalan sistim pajak tanah telah
meyakinkan Van den Bosch bahwa pcmulihan sistim penyerahan
wajib adalah perlu sekali untuk memperoleh hasiJ tanaman-
dagangan yang dapat diexport ke Juar negeri. Lagi pula, penga-
laman selama sistim pajak tanah berlaku telah memperlihatkan
bah wa pemerint a.h kolonial tidak dapat menciptakan hubungan
66
!~;-igsung dengan para petani yang secara e ektif:<lapat menjamin
arus tanaman export dalam jurnlah ya g dikehendak.i tanpa
menpdakan hubungan lebih dahulu de gan para bupati dan
kepala-kepala desa. Artinya, ikatan-ikatan feodal dan tradisionil
yang berlaku di daerah pedesaan masih perlu dimanfaatkan jika
hasil-has1l yang diharapkan ingin diperoleh
Sistim tanam-paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk
menanam tanaman-tanaman perdagang· untuk- diexport ke
pasaran dunia. Waiau pun antara sistim exploatasi voe dan
sistim tanam paksa terdapat persamaan, k.hususnya dalam hal
penyerahan wajib, namun pengaruh sistun tanam paksa atas
kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam dan jauh lebih
menggoncangkan dari pada pengaruh voe selama kuranglebih
dua abad. Di halaman-halaman berikutnya sistim tanam paksa
clan akibat-akibatnya atas penduduk di J awa akakan . dibahas
lebih lanjut.
Latarbe/akang dart Sistim Tanam-Paksa
Ciri utama dari sistim tanam-paksa yang diintroduksi oleh
Van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk
memb/yar pajak mereka dalarn bentuk barang, yaitu hasil-hasil
pertanian mereka clan bukan dalam bentuk uang seperti yang
mereka telah lakukan selama sistim pajak tanah masih berlaku.
Diharapkan oleh Van den Bosch bahwa dengan pungutan-pungut-
an pajak dalam natura ini tanaman-dagangan bisa diperoleh dalam
jumlah yang besar, yang kemudian dapat dikirimkan ke negeri
Belanda · untuk dijual di sana kepada pem beli-pem beli dari
Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan yang besar bagi
pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda.
Selama sistirn pajak tanah masih berlaku antara tahun 18 l 0
dan 1830 penanaman dan penyerahan wajib telah dihapus
terkecuali untuk daerah Parahyangan di Jawa Barat. Di daerah ini
ra.kyat Parahyangan diwajibkan untuk menanarn kopi, khususnya
di daerah-daerah pegunungan yang masih kosong. Pajak yang
mereka wajib membayar kepada pemenntah kolonial adalah
dalam bentuk kopi yang mere.lea hasilkan, sedangkan mereka
dibebaskan dari segala macam bentuk paJak Jainnya, terkecuali
yang mereka bayarkan secara tradisionil kepada para bupati.
67
Dalarn sistim tanam-paksa, azas yang diterapkan di daerah
Parahyangan ini ingin diterapkan di seluruh pulau Jawa. Khusus-
nya diharapkan bahwa sistim penanarnan paksa ini dapat mening-
katkan produksi tanaman-dagangan di seluruh pulau Jawa sampai
tingkat yang dicapai di daerah Parahyangan, yaitu yang rata-rata
dapat menghasilkan f;S per satu rumah tangga. 1
Dalam salal1satu prasaran yang telah ditulis Van den Bosch
sebelum ia dikirirn ke Indonesia terdapat suatu perkiraan bah wa
produksi tanaman-eksport dapat ditingkatkan sebanyak kurang-
lebih F .15 sampai f. 20 juta setiap tahun, jika sistim tan am paksa
yang dipraktekkan di Parahy.angan juga diintroduksi di daera.h-
daerah lainnya. Van de Bosch ya.kin bahwa paksaan seperti yang
voedijalankan oleh
adalah cara yang terbaik untuk memperoleh
tanarnan-dagangan untuk pasaran Eropa. karena ia menyangsikan
bahwa perkebunan-perkebunan Eropa yang mempekerjakan te-
naga~tenaga kerja yang bebas dapat bersaing dengan perkebunan-
perkebunan di pulau-pulau Karibia, Hindia Barat, yang meng-
gunakan tenaga-tenaga budak. Di lain pihak van den Bosch
berkeyakinan bahwa penghapusan sistim pajak tanah dan peng-
gantian sistirn ini dengan penyerahan-wajib juga akan mengu n-
tungkan para petani, karena dalarn kenyataannya pajak tanah
yang perlu dibayar oleh para petani sering mencapai .,jumlah
sebanyak sepertiga sampai separoh dari nilai hasil pertanianny J.
Jika kewajiban pembayaran pajak tanah ini diganti dengan
kewajiban untuk menyediakan sebagian dari waktu kerjanya
untuk menanam tanaman-dagangan, misalnya 66 hari dalam
setahun, maka kewajiban ini akan lebih ringan daripada kewajib-
an membayar pajak tanah.
Ketentuan-ketentuan Pokok Sistim Tanam..Paksa
Ketentuan-ketentuan pokok dari Sistim Tanam-Paksa tn·
tera dalam Staarsblad (Lembaran Negara tahun 1834, no . 22.
jadi beberapa tahun setelah Sistim Tanarn-paksa mulai dijalankan
di pulau Jawa, berbunyi sebagai berikut :2
J.S. Furnivall. Nt!therlands India, Cambridge University Press , 1961. bab 5, "Tho
Culture -System; 1830 - 1850 .. , l 1 S.
:2 .' Suatu pembahasan yang leng kap mengenai ketentuan-ke;entuan pokok d.in
S1stim Tanam-Paksa ditn penge trapannya dalam praktek ddpat di bacll ,faidrn
buku : G.Gonggri1p, Schets tt'ler economische geschiecJenis van .'lfederlands fn"'.e
ce1akan ke11ga. Haarlem, 1949 . bab 4, 107 - !B .
68
I . Persetujuan-persetujuan akan diadakan de ngan penduduk di
rnana mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk
penanaman tanaman-dagangan yang <lapat dijual di pasaran
Eropa ;
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk
untuk tujuan ini tidak diperbolehkan m elebihi seperlima
dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa;
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk m enanam tanaman-
dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan
untuk menanarn padi;
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuJ<. menanam tanam-
an-dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah;
5. Tanaman-dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang
disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia
Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman-dagangan yang ditak-
sir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka
selisih posjtifnya harus diserahkan ke!)ada rakyat;
6. Panen tanaman-dagangan yang gagal harus dibebankan
kepada pemerintah, sedikit-sedikitnya Jika kegagalan ini
tidak disebabkan oleh kekurangan kerajinan atau ketekunan
pada pihak rakyat;
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah-tanah mereka di
bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pe-
gawai-pegawai Eropa hanya akan m ern ba tasi diri pada
pengawasan apakah pembajakan tanah, panen, dan pengang-
kutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat
pada waktunya.
Di atas kertas ketentuan-ketentuan di atas memang kelihat-
an tidak terlampau menekan rakyat, walau pun orang pada
prinsip dapat mengajukan keberatan-keberatan mengenai unsur
paksaan yang terdapat dalam sistim tanam -paksa itu. Dalam
praktek ternyata bahwa pelaksanaan sistim tanam-pa ksa sering
sekali jauh menyimpang dari ketentuan-ketcn tuan pokok, se-
hingga rakyat banyak dirugikan. Di bawah ini pelaksanaan sistim
tanam-paksa akan ditinjau lebih lanjut.
Pelaksanaan Sistim Tan:zm-Paksa
Tclah disebut bahwa dalam pelaksanaa n-1y a sistim tanam-
pJksa 3auh mcny impang dari kctentuan-ketent uan pokok, kecuali
69
1J: ·.rng !-.i :1 ~ • .,; L:-tc: ra d.:!l ..i: i ketc:1tuan-keten tuan no. 4 Jan '
krsebut di at..ts.
Persetujuan-persetujuan dengan rakyat :
Menurut ketentuan dalam Leml5aran Negara tahun 1834 no.
22 maka setiap persetujuan yang diadakan pemerintah Hindia
Belanda dengan rakyat mengenai pemakaian sebagian dari tanah
pertanian mereka untuk penanaman tanaman-dagangan harus
gidasarkan atas kerelaan dari pihak rakyat tanpa rnereka d1-
dorong oleh unsur-pa.ksaan atau unsur ketakutan . Akan tetapi
dalam kenyataan ternyata bahwa seluruh pelaksanaan s1stim
tanam-paksa didasarkan atas unsur paksaan. J elaslah kiran ya
bahwa dalarn hal ini pernerintah kolonial menggunakan atau lebih
tepat menyalah-gunakan kekuasaan tradisioni1 dari para bupati
clan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar rnereka
menyerahkan sebagian dari tanah mereka untuk tujuan sistim
tanam-paksa.
Salahsatu akibat yang penting dari sistim tanarn-paksa
adalah meluasnya bentuk rnilik tanah bersarna (milik kcm unal ).
Hal ini disebabkan karena para pegawai pemerintah kolonial
cenderung untuk rnernperlakukan desa dengan semua tenaga
kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dirniliki penduduk
desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan
mereka dalam menetapkan tugas penanaman-penanaman paksa
yang dibebankan pada tiap desa. Jika para pegawai pemerintahan
kolonial misalnya harus mengadakan persetujuan-persetujuan
yang terpisah dengan tiap-tiap petani yang memiliki tanah untuk
rnemperol~h seperlima dari tiap-tiap bidang tanah mereka,
maka hal ini sangat mempersulit pekerjaan mereka. Jauh lebih
mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh
masing-masing desa sebagai satu keseluruhan.
Dibanding dengan penyerahan wajib (contlngenteringen)
yang dipaksakan voe kepada penduduk, maka sistim tanam-
paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak rakyat.
Jika selama Zaman VQC pelaksanaan penyerahan wajib diserah-
kan kepada para kepala rakyat sendiri, maka selama sistim
tanam-paksa para pegawai Eropa dari pemerintahan kolonial
langsung melaksanakan dan rnengawasi penanaman paksa ter-
sebut. Hal ini sering berarti peningkatan "efisiensi" dari sistim
70
t.... _.,1-pa1'.:-..;, J_i.m! ..lrta....iu bah\vJ hasi produksi tanaman-
c.bgc:r.gan Ja p :.i t J 1tingk3tkan berkJt penga wasan dan campur-
tangan langsung dari pegawai Belanda terse but. Di lain pihak
peningka tan "efisiensi" ini tentu berarti penambahan beban yang
harus dipikul rakyat.
Untu k menjamin bahwa para pegawai Belanda maupun para
bupati dan kep ala desa menunaikan " tugas ' mereka dengan baik,
maka pem erintahan kolonial memberikan perangsang finansiil
kepada mereka yang terkenal dengan naf'1 a cultuurprocenten.
yang di berikan kepada mereka di samping pendapatan biasa
mereka. Cultuurprocenten ini merupakan pernentase tertentu dari
penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman
export tersebut yang diserahkan kepada para pegawai Belanda
dan para bupati dan kepala-kepala desa Jika mereka berhasil
dalam ·mencapai atau melampaui target produksi yang dibcban-
kan kepada tiap-tiap desa. Cara-cara ini tentu saja menim bulkan
banyak penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan
rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda maupun para bupati dan
kepala-kepala desa mempunyai vested interest dalam usaha untuk
mening.kat kan produksi tanaman-tanaman perdag"" '1gan untuk
export.
D1 samping ini cara penanaman paks yang hanya dapat
dijalan kan dengan unsur kekerasan ditinja u dari segi ekonomis
tidak efisien karena banyak pemborosan tenadi dalam pengguna-
an tenaga k_erja untuk penanaman paksa. Hal ini dapat dirnenger-
ti, karena pemerintah kolonial dengan mu dahnya saja dapat
mengerah.kan . tenaga-tenaga kerja yang diperlu.kan dengan cara
komando lewat para kepala rakyat. Andaikata pemerintah
kolonial hanya dapat memperoleh tenaga kerja yang diperlukan
dengan cara 'membeli' jasa-jasa mereka di pasaran tenaga kerja
yang bebas, artinya jika mereka harus mem bayar upah untuk
jasa-jas tenaga kerja yang dipekerjakan, maka sudah barang tentu
pemborosan tersebut di atas sedapat mungkin dihindarkan karena
merugikan pemerintah sendiri.
Penyerahan seperlima dari tanah rakyat
Menurut ketentuan resmi mengenai istim tanam-paksa
maka tanah-tanah milik rakyat yang haru. disediakan untuk
tanaman paksa hanya boleb meliputi seperli.M a dari tanah-tanah
71
milik penduduk desa. Dalam praktek temyata bahwa angka ini
sering dilampaui, sehingga sering mencapai separoh atau lebih
dari tanah-tanah milik ra.kyat. Hal ini tentu sangat merugikan
rakyat. dan bukan ini saja. tetapi juga membahayakan kehidupan
mereka. Jika penduduk desa dikerahkan untuk menanam tanam-
an untuk export, maka mereka tentu saja tidak mempuny ai
cukup waktu atau tenaga untuk mengerjakan tanah mereka yang
disediakan untuk penanaman tanaman bahan makanan.
Angka-angka di atas. kelihatan tingg.i sekali, namun untuk
memperoleh peng~rtian yang lebih dalam mengenai sistim ta-
nam-paksa, perlu diperhatikan bahwa sebenarnya sistim tanam-
paksa bukan merupakan sistim dalam arti yang lazim, tetapi lebih
banyak terdiri atas berbagai pengaturan lokal (local arrange-
ments) yang dia<lakan oleh pegawai-pegawai pemerintah kotonial
untuk mengusahakan produksi tanaman-dagangan. 3 Pengaturan-
pengaturan setempat ini berbeda dari tempat ke tempat, atau dari
desa ke desa.
Waktu Van den Bosch kembali ke negeri Belanda unt uk
menerima jabatan Menteri Kalani, maka ia memang berusaha
untuk tetap memusatkan kekuasaan exekutif mengenai penanam-
an paksa dalam tangannya sendiri, akan tetapi dalam usaha ini ia
tidak berhasil. Apa yang kemudian terjadi adalah suatu perkem-
bangan di mana para pegawai setempat dari pemerintah kalanial
memperaleh makin banyak kekuasaan untuk mengatur aperasi
sistim tanam-paksa di desa-desa yang berada di bawi!h wewenang
mereka. Keadaan ini mendorong terjadinya penyalah-gunaan
kekuasaan dari pegawai-pegawai seternpat, yang dengan bantuan
kepala-kepala rakyat berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkat-
kan hasil produksi tanaman-dagangan untuk keuntungan mereka
sendiri.
Kita telah melihat di atas bahwa para pegawai Belanda dan
para kepala rakyat memperoleh persentase dari hasil penjualan
tanaman-dagangan (cultuurprocenten), sehingga ma.kin tinggi
export tanaman dagangan yang diwajibkan itu makin tinggi
jumlah pendapatan yang mereka peroleh dari cultuurprocenten.
Dalam keadaan demikian penyelewengan-penyelewengaan dan
penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan-ketentuan semula
3. Robert V1lll Niel , " Measunmeot of Chailge undM tbe C ultiYatioft Sytkm ift JaY& .
1837 - 1&S11 " , /ndmtuia . 1972 , no . I• (Okto~r) , Cornell M01101'n lndon~ia
Project , 9 I .
makin senng terjadi. dan pekerjaan yang dibeban kan kepada
raky at makin banyak. Waiau pun Van de n Bosch selama masa
jabatannya sebagai Gubernur Jenderal tela mendirikan Kantor
Urusan Tanaman-dagangan untuk me ngawas1 dan mengatur pro-
du ksi tanaman-dagangan scrta melind ungi akyat terhadap ti n-
dakan se wenang-wenang dari pihak pegawai Belanda dan para
kepala mereka sendiri, namun dalam praktek ternyata bahwa
Kantor ini makin tidak dihiraukan oleh ang belakangan ini .
Tanpa perJindungan efektif dari pihak pemerintah kolonial
maupun dari para kepala mereka sendiri. rakyat di Jawa makin
ditekan untu k bekerja untuk kepentingan kepentingan pribact i
dari para pegawai pamongpraja dan para kepala mereka.
Dalam pada itu perlu diperhatikan juga bahwa wala u pun di
desa-desa yang tennasuk dalarn sistim tanam-paksa, tanah-tanah
pertanian yang harus disediakan .untuk tanam an-dagangan sering
melebihi seperJima dari seluruh tanah pertanian desa, nam un
diam bil sebagai keseluruhan, seluruh jumlah tanah yang disedia-
kan uittuk penanaman paksa di Jawa hanya merupakan bagian
yang relatif kecil dari seluruh tanah pertanian di Jawa. Misalnya,
dalam tahun 1845 penanarnan paksa dijalan kan di tanah-tanah
ya ng hanya meliputi 86.000 bahu atau seperdelapan-belas dari
seluruh tanah pertanian yang terdapat di Jawa pada waktu itu . 4
Penelitian kwantitatif yang dilakukan oleh Van Niel menun-
jukkan bahwa selarna sistim tanam-paksa berlaku, tanah-tanah
yang dikenakan sistim tanam-paksa rata-rata meliputi hanya lima
persen dari seluruh tanah pertanian di Jawa. 5 Angka ini tidak
jauh berbeda dari taksiran Gonggrijp. Malahan Van .Niel berpen-
dapat bahwa lirna persen ini mungkin merupakan taksiran yang
terlampau tinggi. Di lain pihak persentase keluarga-keluarga
petani yang terlibat dalam sistim tanam ·paksa tinggi sekali.
Selarna sistim tanam-paksa berlaku, maka persentase keluarga-
keluarga petani yang terlibat dalarn sistim tanam-paksa mencapai
jumlah yang melebihi 70 persen dari seluruh jumlah keluarga-
keluarga petani di Jawa. 6 Angka-angka di atas ini mem beri kesan
bahwa banyak tenaga kerja dikerahkan untuk penanaman paksa
di bidang-bidang tanah yang relatif terba tas.
4 G .Gonurljp, Op.Ci r.. I I I.
s Robert van Niel, Op.Cir.. '!8 .
6 Ibid , 98.
73
Pekeriaan untuk penar..aman puksa tidak boieh m elebih1
pekerjaan penanaman padi.
Dalam praktek tanam paksa temyata bahwa dalam ke-
banyakan hal ketentuan ini tidak dipegang. Para petani umumnya
dipaksa untuk bekerja jauh lebih lama untuk penanarnan paksa
dari pada untuk tanaman bahan makanan mereka sendiri.
Tekanan atas rakyat memang berbeda dari tempat ke tempat dan
dari tanaman ke tanarnan lain, namun pada urnumnya ra.kyat
memang dipaksa untuk bekerja jauh lebih lama untuk penanaman
paksa daripada untuk nafkah rnereka sendiri. Upah yang mereka
terirna untuk penanaman paksa sangat rendah pula.
Tekanan yang paling berat atas rakyat terdapat di daet~
daerah tanarnan indigo, terutama di daerah Parahyangan. Misal-
nya setelah indigo diintroduksl di sana, maka orang-orang
laki-laki dari beberapa desa di distrik Simpur dipaksakan untuk
bekerja di perkebunanan-pekerbunan indigo selama waktu tujuh
bulan terus-menerus, jauh dari tempat kediaman mereka. Jika
akhimya mereka kembali ke kampung-halaman, mereka menda-
pati bahwa sawah-sawah mereka tidak terurus samasekali. Hal ini
tidak dap~t dihindarkan, karena tenaga-tenaga kerja di perkebun-
an indigo dilarang keras untuk meninggalkan pekerjaan mereka.
Pembebasan dari pajak tanah.
Menurut ketentuan resmi maka tanah yang disediakan
untuk tanaman-paksa dibebaskan dari pajak tanah. Dalam prak-
tek ternyata bahwa pelaksanaan penanaman paksa tidak begitu
banyak menyimpang dari ketentuan semula, berbeda dengan
ketentuan-ketentuan yang disebut lebih dahulu. Meskipun demi-
kian petani-petani harus menanggung dua macam beban, yaitu
pekerjaan paksa untuk menanam tanaman-tanaman export dan
pembayaran pajak tanah. Malahan penerimimaan pemerintah
kolinial yang diperoleh dari pajak tanah terus meningkat . seperti
ternyata dari angka-angka berik ut
74
Penerimaan dari pajak tanah. 7
Tah u n Pen erimaan
1829 f. 3 305 .698
1835 f. 7 b79.359
1840 f. 9 364.90 7
Angka-angka di atas ini menimbulkan dugaan bahwa <ialam
praktek bukan orang-orang yang melakukan tarutm-paksa yang
clibe baskan dari pembayaran pajak tanah, akan tetapi tanah yang
disecliakan untuk penanarnan paksa. Hal ni· memang sesuai
dengan ke tentuan sernula. T etapi haJ ini JUga berarti bahwa
jwnlah rakyat yang bear yang terlibat daJarn ststim tanarn-paksa
masih tetap diharuskan untuk membayar pajak tanah . Kita telah
mclihat di atas bahwa tanah-tanah yang· disediakan untuk
menanam paksa relatif kecil sekali clibandmg dengan seluruh
tanah pertanian di Jawa. Di lain pihak jumlah o rang yang terlibat
dalam sistim tanam-paksa jauh lebih tinggi. Hal inl sangat
mungkin merupakan sebab dari kenaikan tetap dari penerimaan
pajak tanah selama sistim tanam paksa berlaku
Penyerahan selislh positif antara nilai tanamdn-tanaman
export dan pajak tanah kepada rakyat.
K,eten tuan lain dari sistim tanarn-paksa menentukan bahwa
selisih positif antara nilai yang ditaksir dari tanaman-dagangan
yang dih.asilhn dari penanamanpaksa dan jumlah pajak tanah
yang harus clibayar oleh rakyat akan digunakan untuk kepenting-
an rakyat. Ketentuan ini kedengarannya bagus akan tetapi d~lam
kenyataan rakyat samasekali tidak memperoleh keuntungan dari
ketentuan ini. Kelemahan dari ketentuan ni terletak dalam
perumusan kata-kata " nilai yang ditaksJ " dari tanaman-
dangangan. Dalam praktek hal ini berarti bahwa taksiran menge-
nai nilai tanaman-dagangan yang dihasilkan oleh rakyat di bawah
paksaan d ilakukan oleh pegawai-pegawai pemerintah kolonial
7 Oiambil dari G.Gongiriip,Op.Cir., I 14
75
se ndiri. Sudah barangte11tu taksiran ini ti C:..:k sesu.i1 ckngJn nilai
tu kar yang dap at diperoleh di pasarm bebas. ::ikan tetap! jauh dr
bawah nilai tukar ini. Dengan demikian rakyat tidak memperoleh
keuntungan apa pun dart ketentuan ya ng kelihatan bagus di atas
kertas.
Kerugian-kerugia,n yang diderita akibat kegagalan panen
ditanggung pemerintah.
§eperti juga halnya dengan ketentuan-ketentuan lain, maka
peratura.J? lni... tidak pernah dituruti, artinya segala kerugian yang
diderita akiba'l Jcegagalan panen dibebankan kepada rakyat. Di
samping segala pekerjaan yang harus dilakukan rakyat untuk
penanaman paksa, mereka juga masih harus melakukan segala
macam pekerjaan rodi baik untuk pemerintah kolonial rnaupun
untuk kepala-kepala mereka sendiri. Kebiasaan pekerjaan rQdi lni
memang sudah berasal dari zarnan sebelum sistim tanarn-paksa,
akan tetapi ditambah .dengan pekerjaan yang wajib dilakukan
untuk penanaman paksa, beban yang diletakkan atas pundak
rakyat menjadi ma.kin berat.
Luasnya penanaman paksa
Di atas telah disinggung bahwa ditinjau dari segi luas tanah,
maka tanah yang disediakan untuk penanaman paksa diambil
sebagai persentase dari seh.iruh luas tanah pertanian di Jawa tidak
begitu besar. Dalam tahun 1833 luas seluruh tanah pertanian
rakyat berjumlah kuranglebih 964,000 bahu. Dari 964,000 bahu
ini ~a-kira 56,000 bahu dipergunakan untuk penanaman wajib,
sedangkan dalarn tahun 1861, jadi sewaktu penanarnan paksa
lambat laun sudah mulai ditinggalkan, angka ini berjumlah
kira-kira 53,000 b°ahu. 8
Jadi dalam tahun 1833 hanya satu seperdelapanbelas dari seluruh
tanah pertanian di Jawa diperuntukkan penanaman wajib, se-
dangkan dalam tahun 1861 persentase ini lebih kecil lagi. Untuk
jelasnya di bawah ini disajikan perincian pembagian tanah untuk
penanaman wajib menurut jenis tanaman-tanaman wajib :
8 D.H. Burger, Sejarah Eko nom/$ - So.rtologis lndone:ria (t ~riem•h•n Prof. Prajudl
Atmosudirdjo), Jakarta. 1957, 207.
76
Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menumt
jenis tanaman dalam tahun 1833.9
Jeni.s tanaman luas tanalz ( a/am balzu)
Gula 3 2 72 2
Nila (indigo) 22 141
Teh 3 24
Tembakau
Kay u Manis 286
Ka pas 30
5
Di sarnping tanaman yang disebut di atas, masih terdapat
j uga beberapa tanaman Iain yang artinya lebih kecil lagi dari
kapas. Angk.a-angka di atas jelas memperlihatkan bahwa kedua
tanaman export yang terpenting adaJah gula dan nila (indigo).
Akan tetap1 pcrlu diperhatikan di sini bahwa angka-angka di atas
samasekali tidak menyinggung arti dari penanaman kopi, yang
merupakan tanaman export terpenting sclama abad ke sembilan-
belas. Ji ka kopi diperhitungkan juga, maka gambaran mengenai
penanamsn paksa meajadi berlainan sekali. Nam un demikian. ada
beberapa sebab mengapa kopi mengambil tempat tersendiii
sebagai tanarnan export yang terpenting dari pulau Jawa.
Di daerah-daerah penanaman gula di Jawa luas tanah sawcih
seluruhnya berjumlah sekitar 484.000 bahu, dari rnana kurang-
lebih 40. 500 bahu dipergunakan untuk penanaman gula. Jadi
tanah sawah yang disediakan untuu penanaman gula dalarn tahun
1833 hanya merupakan 1/ I 2 dari seluruh tanah rakyat di
daerah-daC(ilh gula di Jawa.
Jauh sebelum penanaman paksa diadakan oleh van den
Bosch, di daerah Parahiyangan sudah terdapat penanaman paksa
kopi di Jawa, khususnya di daerah Parahiyangan, yang tefah
dirnulai oleh VOC. Bagi daerah-daerah tersebut penanaman paksa
yang telah dijalankan oleh van den Bosch bukanlah hal yang
baru, tetapi hanya berarti kelanjutan dari sistim penanam an yang
telah dikenal dari dahulu.-
9 lb; d. 207.
77
T~:;1amJ!i-d.ig..111g.J11 tcr~k11t 111g yang Jitanam sclama s1~tim
tanam-paksa berlaku. Jc!:.ilJh kcipi. gula. d;m nila (indigo I.
P~ntingnya kdiga tanaman mi tidak hanya ternayt<1 dari luas
tanah yang disecliakan untuk ketiga tanaman ini. tetapi juga dari
jumlah orang yang terlibat daJam pcnanaman ketiga tanaman mi.
Misalnya, dalam tahun 1858 tidak kurang tlari 450.000 orang
terlibat dalam penanaman kopi, dan kuranglebih 300.000 orang
dalam penanaman gula . dan kira-k.ira 110.000 orang dalarn
pcnanaman nila
D"lam pacla itu terdapat suatu perbedaan dalam pengaruh
scntuh (impllcl) dari pc11<1naman kopi di satu pihak dan penanam-
an _gula dan nila di lain pihak. Jika kopi di tanam di tanah-tanah
yang bdum digarap okh rakyat untuk pertanian, maka gula clan
nila dit:inam di tanah-tanah pertanian rakyat. Dengan demik.ian
maka sci..:arn relatif pcnanaman kopi tidak membawa pengaruh
ya ng begitu mendalam atas kchi<lupan masyarakat petani di.-
banding dengan penanaman ~ula dan nila.
Tamima11 musiman Jun lahunan
Dalam menganalisa pengaruh sentuh (impact) penanaman
tanaman-dagangan se.:arn paksa. Geertz mengadakan perbedaan
a~tara tanarnan mus1man tannuals) dan tanarnan tahunan . 10
Tanaman musiman , seperti gula. njJa dan tern b:l.kau, dapat
<litanam di tanah-tanah sawah bcrsdingan (rotasi) dengan padi
dalam jangka waktu satu tahi.m. .Berbt!<la · dengan hmaman
musiman yang memerlukan waktu bertumbuh kurang dari satu
tahun, maka tanaman tahunan memerlukan waktu bertumbuh
lebih dari satu tahun. Tanaman tahunan meliputi tanaman-tanam-
an seperti lada, kopi. teh. karet. dan lain-lain, dan berbeda pula
dcngan tanaman musiman, rnaka tanaman tahumm ini tidak
dapat bertumbuh berselingan waktu dengan padi.
Oleh kan.:na ciri-dd pertum buhan yang berbeda, maka
pengaruh sentuh tanaman mu:;iman atas masyarakat sekdilingnya
berbeda <lengan pengaruh sentuh tanaman tahunan . Dalam ha1
t:rnaman musiman. sistim yang mengusahakan tanaman-tanaman
ini mengembangkan su::itu hubungan dengan masyarakat petani
Ill {'tiffo r.J l;•.:t>rl1 A~·ricultu,.al lnwlJ11tiun. U nf\:ersity of Ci1hforn1a Pr('~S . 19 63
54
se kclilingn ya yang oleh Geertz disebu t h ubungan timbal-balik
(mutualistic relationship) . Di lain pihak c1ri-ciri pertumbuhan
tanaman tah unan yang khas tidak mengizin ka n perkem hangan ke
arah hubungan timbal-balik, tetapi justru menghendaki suatu
hu bungan terpisah a tau terlepas (insular relationship) dari sistim
penanaman padi di sawah-sawah . Tanaman-tanaman tahunan
di tanam di daerah-dacrah yan g masih kosong dan yang ti dak
ditanam di daerah-daerah yang yang meru pa ~ an pertania n ra kyat .
Pada um um nya tanaman tahunan, seperti ~ o pi , teh da n lai nn ya
terdapat di daerah-daerah pegunungan atau daerah kehu tanan
yang belum digarap dan dapat dengan dem1 kian sering merupa-
kan semacam enclave dalam sistim pertanian Indonesia pada
umumnya.
Di atas kita telah melihat bahwa kedua tanaman-dagangan
utama selama sistim penanaman paksa adala h kopi dan gula ;
u tama, j_ika dilihat kepada luas tanah yang diperlukan untuk
penanaman kedua tanaman ini, jumlah tenaga kerja yang dipeker-
jakan, laba yang diperoleh dari penjualan 'edua tanarnan ini di
pasaran export, dan pengaruh sentuh atas masyarakat petani di
Jawa Karena gula merupakan tanaman musiman dan kopi
merupakan tanaman tahunan, maka ked ua tanaman ini merupa-
kan contoh yang baik sekali untuk menehti saarnpai seberapa
jauh terdapat perbedaan antara pengaruh sentuh tanaman musim -
an dan tahunan atas masyarakat petani.
Seperti juga halnya dengan padi, maka gula memerlukan
tanah yang di irigasi. Dengan demikian maka dapat dimengerti
bahwa kemudian tanah sawah dipergunakan untuk penanarnan
tebu. Para pemilik sawah diharuskan un tuk menyerahkan se-
bagian dari sawah-sawahnya untuk penanaman tebu menurut
suatu skerna rotasi tertentu dengan penanam an padi. Untuk tiap
desa ditentulcan bagian dari luas tanah ya.ng harus diserahkan
untuk. penanaman tebu. Di samping ini penduduk desa juga
diharuskan untuk melakukan pekerjaan W&Jib, seperti menanarn ,
memotong, mengangkut tebu ke pabrik-pabrik gula dan bekerja
di pabrik-pabrik itu sendiri.
Pekerjaan-pekerjaan wajib ini merupakan beban berat bagi
penduduk desa. Kadang-kadang seluruh penduduk desa dikera h-
kan bekerja untuk kepentingan pemerintahan kolonial maupun
79
untuk kepentingan pejabat-pejabat dan kcpala-kepala itu sen<liri.
Hal yang terakhir ini terutama dilakukan dalam bentuk {>t!kerjaan
rodi, untuk pemerintahan kolonial maupun untuk kepala-kepala
rakyat itu sendiri. Di samping pekerjaan rodi ini. penduduk desa
juga masih dibebani dengan tugas-tug11s pek.erjaan untuk desa
mereka sendiri.
Menurut Gonggrijp. selama duapuluh tahun pertama dari
Sistim Tanam-Paksa, yaitu antara tahun 1830 dan 1850 dan
sewaktu beban penanaman paksa justru menekan dengan dcngan
paling berat atas punggung rakyat. malahan pekcrjaan rodi untuk
pemerintahan kolonial dan para kepala rakyat bertambah lagi. 11
Pekerjaan rodi untuk pemerintah kolonial pada umumnya m'-'-
liputi pembangunan dan pemeliharaan umum, seperti jalan-jalan
raya, jembatan-jembatan, tcrusan-terusan, dan waduk-waduk. Di
samping ini rakyat juga dikerahkan untuk pembangunan dan
pemeliharaan rumah-rumah dan pesanggrahan-pesanggrahan u~
tuk pegawai-pegawai pemerintahan kolonial dan untuk pekerja-
an-pekerjaan seperti mengangkut surat-sur.st dan barang-barang;
menjaga gedung-gedung pemerintah kolonial. dan lain-lain. De-
ngan dcmikian rakyat dikerahkan untuk melakukan berbagai
macarn pekerjaan untuk kepentingan pemerintah kolonial mau-
pun untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai Eropa dan
kepala-kepaJa rakyat itu sendiri.
Yang paling menekan rakyat adalah pekerjaan rodi untuk
mem bangun dan memelihara benteng-benteng untuk tentara
kolonial. Untuk pekerjaan ini penduduk dari tempat-tempat yang
jauh dikerahkan. Karena pekerjaan rodi ini sangat berat dan
perawatan kesehatan pekerja-pekerja ini sangat kurang, maka tiak
mengherankan bahwa ribuan penduduk mati karena penyakit,
kekurangan milin. dan lain-lain. Akan tetapi justru karena
begitu banyak orang mati sclama mereka meJakukan pekerjaan di
benteng-benteng ini, akhirnya praktek kerjaan rodi di benteng-
benteng ini dihentikan oleh pemerintatah koloniaJ.
Kenai/um pruduksi pertanian
Kenaikan produksi hasil-hasil tanaman-tanaman perdagang-
an yang pesat yang diakibatkan oleh penanarnan paksa sejak
tahun 1830 antara lain nyata dari angka-angka export hasil-hasil
11 G. (~nn,.g rijp . Op Cit I 21
80
l'crp11,1a: 'l
ek1oratl'l•,1: ·1
cm! ir:aan l t• ii .,:. ·
~· • () 1 1, (},} I
pertaman di bawah ini. Misalnya salarr tahµn 1830 sewaktu
penanaman paksa barn dimulai, maka export kopi berjumlah
288 ri bu pikul, sedangkan export gula berjumlah I 08 ribu pikul
dan export nila berjumlatl 42 ribu pound dalam tahun 1831. 12
Sepuluh tahun kemudian, yaitu daJam tahun 1840. export
kopi dari Jawa sudah meningkat samp1u 1.13 2 ribu pikul dan
l!Xport gula telah meningkat sampai l .032 ribu pikul, sedang
export nila telah meningkat dengan lebih pesat lagi, yaitu 2. 123
ribu pound.
Kenaikan dalam volume export ketiga tanaman perdagangan
yang terpenting selama Sistim Tanam-paksa berlangsung, di-
barengi dengan kcnaikan dalam nilai export ketiga barang
dagangan ini. Jika dalam tahun 1830 export kopi dari Jawa
berjumlah f. 4.577 ribu, maka dalam tah un 1840 nilai ini sudah
mencapai jumlali f. 37.368 ribu, export gula dalarn tahun .1830
bcrjurnlah f. l. 558 ribu, dan dalam tahun 1840 berjumlah
f.13. 782 ribu, sedangkan nilai export nila dalam tahun 1830 hanya
bcrjumlah f.' 48 ribu dan dalam tahun 840 te lah rncningkat
sampai f. 6. 371 ribu. 13
. Di sarnping ketiga tanaman utama im, pemerintah kolonial
telah mengadakan pula penanarnan paksa tern bakau dan teh,
akan tetapi dibanding dengan keberhasilan yang dicapai dcn).!an
penanaman kopi, gula, dan nila, penanaman paksa teh dan
tern bakau tidak begitu berhasil. Meskipun demikian, kenaikan
export tern bakau dan teh dari Jawa cukup mengesankan juga jika
kita memperhitungkan pula export teh dan tern bakau hasil
pertanian rakyat, artinya yang tidak diusahakan karena Sistim
Tanarn-paksa. Misalnya, export tembakau dalam tahun 1830
berjumlah f. 180.000, tetapi dalarn tahun 1840 telah meningkat
menjadi f. I. 2. juta dan dalam tahun 184 S mencapai jurnlah f.
2,3 juta. Demikian pula, produksi teh meningkat secara mantap
sehingga mencapai volume I .95 juta pound daJam tahun 1861.
Export tanaman-dagangan yang dise but di atas mengalarni
kemunduran setelah tahun 1840, akan te tapi setelah tahun 1850
export tanaman-tanaman ini meningka t lagi secara mantap
sebagai akibat kenaikan produksi pertanian pada umumnya.
Bukan saja produksi tanaman-dagangan meningkat dengan pesat.
12 Furnivall, Op.Cit, 129.
13 Furnivall, Ibid, 129 .
81
tetapi juga produksi padi. Hal ini bahkan terjadi di behen pJ
daerah di Jawa Timur di mana penanaman padi dan guta
dilakukan silih-berganti di atas tanah yang sama. Perbaikan irig:isi
bukan saja menguntungkan produksi gula tetapi juga padi.
Namun demikian, gambaran di atas mengenai peningkatan
produksi padi tidak berlaku secara um um , tetapi hanya unt;.ik
beberapa daerah seperti di Jawa Timur. Keadaan yang sebaliknya
justru pada umumnya dapat dijumpai. yai tu di mana parn pegawai
pemerintah kolonial hanya mementingkan penanaman tanaman-
dagarl'gan yang Jaku di pasaran dunia, sedangkan penanaman padi
diabaikan. Karena selama sepuluh tahun pertama dari Sistim
Tanam-paksa perkembangan produksi dan export tanaman-
dagangan berjalan dengan baik. orang pada mulanya tidak begitu
memperhatikan bahwa perkembangan ini juga mengandung ke-
lemahan-kelemahan yang serius, seperti beban pekerjaan yang
berat yang diletakkan di atas pundak rakyat, penanaman tanam-
an-tanaman di atas tanah yang kurang cocok, dan sebagainya.
Bahwa keadaan e.konomi tidak begitu baik seperti disangka
orang mula-mula terlihat di daerah Cirebon dalam tahun J843
sewaktu pemerintah kolonial berusaha untuk mengexport pula
beras yang dihasilkan para . petani. Suatu perusahaan yang
ditunjuk pemerintah kolonial ditugaskan untuk memungut pajak
dari para petani yang harus dibayar dalam bentuk beras. Karena
penanaman padi di daerah Cirebon memang relatif sedikit
dibanding dengan penanaman tanaman-dagangan, seperti kopi,
gula, nila, dan teh, ma.ka pemungutan pajak tambahan dalarn
bentuk beras merupakan beban yang sangat mem beratkan pen-
duduk daerah Cirebon. Keadaan menjadi parah sekali sewaktu
dalam tahun 1843 panen padi di berbagai daerah pantai utara
Jawa gagal. Kegagalan panen ini dan beban ·pajak beras yang
sangat berat mengakibatkan bahaya kelaparan di daerah Cirebon,
sehingga ribuan keluarga terpaksa mengungsi daerah lain tersebut.
Banyak orang yang terlampau lemah untuk turut mengungsi,
mati di pinggir jalan.
Tragedi yang serupa terjadi pula dalam tahun 1848 di
D_emak sebagai akibat kegagalan panen dan dalam tahun-tahun
1849 dan 18 50 di daerah Grobogan. Pengaruh yang dahsyat <lari
kegagalan panen dan wabah kelaparan jelas nampak dari jumlah
penduduk daerah-daerah tersebut yang telah turun dengan rt·~J t
82
sebagai akibat pengungsian dan kematian s~ bagian besar dari
penduduk terscbut. Jumlah penduduk Demak, misalnya, lelah
turun dari 336.000 sampai 120.000 sedangkan jumlah penduduk
Grobogan t urun dengan lebih banyak lagi, yaitu dari 89.5000
sampai 9.000. 14 Di daerah-<laernh lain d~ Jawa Tengah jumlah
penduduk banyak berkur.mg pula karena mati kelapanm dan
wabah penyakit.
Kejadian-kejadian di atas merupakan titikbalik dalam se-
jarah Sistim Tanarn-paksa. Jelaslah kiranya bahwa batas-batas
kemampullD Sistim Tanam-paksa untuk mengexploatasi para
petani Jawa telah tercapai sekitar tahun 1840. Antara tahun
1845 dan 1851 di bawah Gubernur J enderal Rochussen pe-
nanaman nila maupun penanaman-penanaman paksa lainny ~
mulai dikurangi sehingga beban-beban berat yang dil~takkan atas
pundak rakyat agak diringankan.
Sebagai suatu mekanisme untuk rnengexploatasi ptnduduk
di Jawa demi kemakmuran negeri Belanda. maka Sistim Tanarn-
paksa mem pcrlihatkan keunggulannya selarn a jangka waktu ·1830
dan 1840. Namun demikian , kejadian-kejadian sctelah tahun
1840· jelas memperlihatkan bahwa rakya t di Jawa tidak dapat
dipera.s teru~menerus tanpa akibat-ak.ibat fa tal bagi kescjah tera-
aan ·; akyat. ' Menurut penila.ian Furnivall, Sistirn Tanam-paksa
setelah tahun 1840 sebenarnya sudah menjad i usang .karena tidak
sesuai lagi dengan perkembangan-perkembangan politik dan
ekonomi y ang terjadi setelah tahun .1840. 1!'i
Perkembangan-perkembangan setelah·tahun J850
Pada umurnnya rakyat Belanda tidak tahumena11u mengenai
kemelaratan dan penderitaan yang dipik ul rakyat di Jawa yan g
di akibatkan oleh Sistim Tanarn-paksa, yang JUstru telah berhasil
untuk meningkatkan tingkat kemakmuran rakyat Belanda. Meng-
ingat bahwa jaringan pengangkutan dan kon unikasi di Jawa pada
waktu itu m asih jauh dari memadai dibandmgkan dengan wakt u
se karang, maka kekurangan pengetahuan pada pihak ra ky at
Belanda rncngenai keadaan sosial dan sosi!il-e konomi pend uJuk
14 G .G onurijp , Op.Cir, 12 11 .
IS Furninll. Op.Cir., 145 .
83
di koloni-koloni mereka yang jauh, tidaklah begitu mengheran-
kan. Lagi pula, pada waktu itu mass-media seperti suratkabar juga
beIum begitu berkernbang.
Keadaan ini mulai berubah setelah tahun 1850, sewakru
rakyat Belanda lamabat-laun memperoleh berita-berita mengenai
keadaan sebenarnya yang terdapat di Pulau Jawa di bawah Sistim
Tanam-paksa, khususnya berita-berita tentang tindakan-tindakan
sewenang-wenang dari pegawai-pegawai pernerintah kolonial <lan
beban-beban. berat yang harus dipik.ul oleh penduduk. Berita-
berita mengenai malapetaka seperti yang terjadi di Cirebon ,
Demak, dan Grobogan juga larnbat-laun mengalir ke Negeri
Belanda dan mulai menggoncangkan hati-nurani rakyat Belanda.
Antara tahun-tahun 1850 clan 1860 perdebatan mengenai
kegunaan Sistirn Tanam-paksa menjadi hangat di Negeri Belanda.
Keraguan mengenai Sistim ini terutarna dicetuskan oleh rangkai-
an malapelaka-malapetaka scperti yang telah terjadi di J awa
Tengah dan pula stagnasi dalam produksi pertanian yang merupa-
kan pertanda yang jefas bahwa batas-batas kemampuan Sistim
Tanarn-paksa untuk memperoleh hasil produksi pertanian yang
lebih banyak dari rakyat teJah tercapai. Di samping ini per-
kembangan-perkembangan sosial-ekonomi clan politik di Negeri
Belanda sendiri menimbulkan keraguan pada rakyat Belanda
ten tang faedahnya untuk meneruskan Sistim Tanam-paksa. Per-
kembangan ini erat bertalian dengan timbulnya aliran liberlisme
setelah pertengahan abad ke sembilanbelas yang mulai menjalar
di seluruh Eropa Barat termasuk Negeri Belanda. Pada pokoknya
paham liberlisme ini rnenghendaki bahwa ·segala kegiatan eko-
nomi diserahkan kepada usaha swasta tanpa campurtangan dari
pemerintah. Menurut paham ini pernerintah hendaknya menjauh-
kan· diri dari peranan aktif dalam kehidupan ekonomi dan
sebaiknya hanya membatasi diri pada pemeliharaan ketertiban
umum dan penciptaan sarana~sarana hukum dan administratif
yang memungkinkan usaha swasta imtuk mengembangkan diri
dengan baik
Sudah barangtentu para penganut paham liberlisme tidak
dapat menyetujui Sistim Tanam-paksa sebagai suatu sistim
ekonomi yang dikendalikan oleh pemerintah kolonial. Usaha
swasta di negeri Belanda, yang merupakan pendukung utama dari
paham liberlisme, setelah tahun 1850 makin berkembang di
84
Ncgeri Belanda scndiri dan siap-sedia untuk mengem bangkan
sayapnya ke koloni-koloni Belanda, khususn ya Indonesia. Sambil
menunjuk kepada keuntungan-keuntungan 1ang makin merosot
yang diperoleh dari Sistim Tanam-paksa, usaha swasta Belanda
dan pendukung-pendukung politiknya mengemukakan bahwa
sebaiknya Indonesia dibuka saj a untuk usah swasta yang pasti
lebih rnampu untuk mengembangkan ekonom Indonesia.
Pada hakekatnya apa yang dikehendaki golongan yang
menjadi sernakin kuat ini adalah untuk mem peroleh keuntungan-
keuntungan dari exploatasi sumber-sumber r:e kay..aan Indonesia
yang sebegitu jauh hanya jatuh ke tangan pemerintah Belanda.
Sementara ini usaita swasta Belanda tidak saja menginginkan laba
yang hingga kini diperoleh pemerintah Belanda, tetapi mereka·
yakin puJa bahwa berkat keungguJan efisiensi, mereka dapat
memperbesar Jaba yang bakal ·diperoleh dari exploatasi sum ber-
sumber kekayaan Belanda.
Dalam pada itu bcberapa tokoh Beland a yang menentang
exses-exses Sistim Tanam-paksa· dan menganjurkan pem bukaan
Indonesia untuk usaha swasta, seperti Baron ·an Hoevell. Vitalis,
dan lainnya, berkeyakinan bahwa perkem bangan usaha swasta
Belanda akan meningkatkan tingkat kem· uran rakyat In<lo-
nesia. Di samping itu dalarn tahun 1860 oposis1 di Negeri Belanda
terhadap Sistim Tanam-paba mendapat angin karena dua pener-
bitan yang sececara jelas mengungkapkan penderitaan penduduk
di Jawa yang diseoabkan oleh penyelewengan-penyele wengan dan
penyalahgunaan kekuasaan di bawah Sist4fl Tanam-paksa. Kedua
tulisan tersebut adalah buku Max Havelaar yang ditulis oleh
seoran,g bekas pegawlii pemerintah kolomal yang bernama
Douwes Dekker dan yang telah rnenulis buku di atas dengan
nama samaran MuJtatull, sedangkan tulisan I · ya adalah sebuah
pamflet y ang berjuduJ Suiker Contracten ( Kontrak-kontrak gula)
yang ditulis oleh seorang pemilik perkebunan besar yang bernama
Frans van de Putte. 16 ·
Kedua tulisan tersebut di atas merupakan senjata yang
arnpuh yang diperguna.kan secara efektif oleh aliran liberlisme
yang semakin kuat di Negeri Di bawah topeng rasa humanisme
dan perhatian yang mendalam terhadap nasib bangsa lndone!ia,
aliran liberlisme makin mendesak l'emerintah Belanda untuk
16. Ibid, 16l.
85
membuka Indonesia untuk modaJ swasta Belanda. Setelah per-
juangan yang cukup lama akhimya dalam tahun 1872 aliran
liberlisme telah mencapai kemenang-.m politik yang menentukan
di Negeri Belanda.
Dalaln pada itu di Jawa sendiri penanaman paksa untuk
herbagai tanaman-dagangan setelah tahun 1860 lambat-laun
mulai dihapuskan. Penanaman paksa untuk lada dihapuskan dalam
cahun 1860 dan penanaman paksa untuk nila dan teh dihapuskan
dalam tahun 1865. Seperti telah clikemukakan di atas, peng-
hapusan penanaman-penanaman paksa ini akhirnya memang
tidak terelakkan lagi karena setelah tahun 1840 terbukti tidak
begitu menguntunglcan lagi. Di sampine ini gerakall liberalisme.di
Negeri BeJanda yang makin kuat juga rnemegang peranan yang
pokok dalani usaha penghapusan Sistim Tanam-paksa sekitar
tahun 1870. Namun dernikian, untuk beberapa tanamarHbgang-
an, khususnya kopi, . penanaman paksa masih dipertahankan
sampai akhir abad kesem bilanbelas, bahkan di beberapa daerah
sampai aw'aJ. abad keduapuluh. Misalnya. penanaman kopi secara
paKsa di daerah Parahlyangan yang sebenarnya telah berlangsung
sejak zaman voe·baru dihapus secara resrni dalarn tahun 1911.
Menjelang tahun 1920 sisa-sisa penanarnan paksa lainnya sama-
sekali terhapus dari bumi Indonesia.
.".·
Keun~ungan-keuntungan yang dipero!eh dari Sistim Tanam-
paksa
Ciri pokok dari Sistim Tanam-paksa adalah pemungutan
pajak <lari rakyat Indonesia daJam bentuk hasil-hasil pertanian
rakyat. Dalam pada itu pos terpenting dal~m anggaran belanja
pemerintah koJqnial Hindia Belanda adalah pos penutup, yaitu
pos yang menutupi jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran
pemerintah kolorrial. Jika sebelum tahun 1830, yaitu tahun
dimulainya Sistim Tanam-paksa, pemerintah kolonial tcrus-
mem:rus mengalami defisit, maka terhitung mulai tahun 1831
defisit dalam anggaran pemerintah mengalami suatu surplus
sebagai akibat berhasilnya Sistim Tanam-paksa un tuk memper-
oleh penerimaan pemerintah yang melcbihi pengeluaran pemerin-
tah kolonial. Pos penutup yang positif ini kemudian dijadikan
patokan dan tujuan bagi berhasilnya Sistim Tanam-paksa sebagai
suatu pengaturan kehidupan ekonomi di Indonesia yang dise le ng-
86
garakan untuk menunjang dan meni ngkatkan t 1gk:tt kc in Jl\:111 ctr-
an negeri Belanda. Pos atau saldo penutup yang positit im tib.;bur
batig slo t Belanda di Indonesia. khususnya ·e bijaksanaa n pe-
merintah kolonial selama Sistim Tanam-paksa 1erla.ngsung an tara
tahun-tahun 1830 dan 187G
Bahwa Sistirn Tanam-paksa pada umum 1ya amat bcrhastl
dalam memperoleh batir; slot (saldo untun l.() ) Pg besar terbukH
dari angka-angka yang berikut. Misalnya , an ara tahun tahun
1832 dan 1867 saldo untung ini mencapai ji..mlah total f. 96 7
juta. dan untuk 10 tahun berikutnya. artinya an tara tahun-tahun
1867 dan 1877, mencapai jumlah total f. _87 juta. Dengan
demikian m aka jumlah total dari batig slot yang diperoleh negeri
Belanda dari Sistim Tanam-paksa selama kurang lebih empat dasa
warsa mencapai angka f. 784 juta, suatu angka yang tinggi sekali
untuk masa itu. 17
Walaupun kebanyakan tanaman paksa sebenamya sudah
ctihapuskan dalam tahun 1867, sisa-sia penanaman paksa yang
masih berlaku untuk beberapa tanaman perdagangan seperti kopi
di beberapa daerah, antara lain Parahiyangan, menyebabkan
rnengapa selama masa 10 tahun setelah tahun 1867 pemerintah
kolonial masih memperoleh jumlah saldo untung yang begitu
tinggi.
Saldo untung yang begitu tinggi bukan sa1a disebabkan oleh
jumJah penerimaan yang tinggi yang diperoleh pemerintah
kolonial, tetapi juga oleh u~a pemerintah kolonial untuk
berhemat sekali .dalam mengadakan pengeluaran-pengeluaran
yang mcmberatkan anggaran belanjanya. Hal ini antara lain
dilakukan dengan mengerahkan rakyat untuk membangun pra-
sarana seperti pembangunan jalan-jalan raya dan jembatan-
jembatan. Organisasi pekerjaan rodi ini merupakan sebab menga-
pa misalnya dalam anggaran belanja pemerintah kolonial untuk
masa itu tidak terdapat pos pengeluaran untuk pem bangunan
prasarana.
Pos pengeluaran terbesar dalam anggaran belanja pemerintah
kolonial malahan adala11 pos untuk perdagang.i.n dan penanaman .
Hal ini berarti bahwa pemerintah kolonial rr engadakan penge-
luaran-pengeluaran yang langsung berfaedah untuk dirinya sen-
diri, yaitu pengeluaran-pengeluaran yang be t alian dengan pe-
I7
Burger, Op.Cit., 229
87