dongeng buat anak-anaknya. Anak-anak sekarang lebih difasi-
litasi dengan berbagai media elektronik: televisi, handphone, dan
berbagai peralatan modern lainnya. Anak-anak setiap hari
disuapi/dibuai oleh tontonan benda-benda mati tanpa terkontrol
dengan baik. Hal tersebut menyebabkan, dalam perkembangan-
nya, anak sulit diatur. Hal ini terutama disebabkan karena
kurangnya kedekatan hubungan anak-anak dengan orang tua
mereka; anak-anak lebih asyik bercengkerama dengan perangkat
moderen yang selalu disanding.
Gambaran ini membuat tugas guru semakin berat, artinya
sekolah bukan hanya sekedar sebagai tempat mentransfer ilmu,
melainkan juga sebagai pembentuk karakter anak agar mereka
mudah diatur dan dinasihati.
***
“Hajah ancil lama hemnya nya emnya nya nya henya…!”
“Ibu…!”
Aku tersentak kaget membuka mata mendengar teriakan
putri kecilku. Rupanya begitu mengantuknya aku karena pang-
gilan rutinitas seharian, dongeng “Kancil dengan Gajah” untuk
putriku lama-lama menjadi tidak jelas lafalnya, aku ngelantur
tak karuan.
***
Daftar Pustaka
Tim Redaksi Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
38 Eksotisme Gumuk Pasir
GURUKU IDOLAKU
Bekti Sukendri
SMP Negeri 2 Kasihan
Hampir semua orang mempunyai tokoh idola dan hal itu
merupakanhak setiap orang. Seorang idola, siapa pun dia, adalah
seseorang yang istimewa. Sosok itu bisa seorang artis, pengajar,
pengusaha, dan lain-lain. Idola adalahseseorang yang mem-
punyai sisi menarik,dapat menginspirasi, sekaligus memotivasi
dalam setiap langkah hidup pengagumnya.
Dalam tulisan ini,diceritakan bagaimana seorang murid
mengenal dan mencontoh seorang guru sampai dia menganggap
guru tersebut merupakan segalanya dalam hidup dan kehidupan-
nya. Sosok guru benar-benar hidup dalam angan dan napasnya,
sampai kapan pun. Semua orang bisa menjadi idola bagi orang
lain.Pertanyaannya adalah,”Apakah kita mampu menjadi idola
bagi orang lain?”Sebaiknya kita tidak usah bermimpi menjadi
idola bagi orang lainkarena masing masing orang telah diberi
tokoh idola oleh Tuhan.
Ini adalah cerita sewaktu Niken duduk di bangku SMP.
Niken, seorang siswi yang cerdas di kelas. Kecerdasannya di-
wariskan dari bapakdan ibunya yang merupakan pegawai di
sebuah bank swasta yang sedang mengalami masalah. Masalah
itu membuat kedua orang tuanya mengalami pemutusan hubung-
an kerja.
“Akhir-akhir ini kamu banyak melamun, Nak!” kata Bu
Sandra mengejutkan Niken yang sedang duduk di teras depan.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 39
“Ah, tidak kok,Bu,” jawab Niken dengan pelan dan kepala-
nya tertunduk.
Keduanyapun kemudian diam dalam pikirannya masing–
masing.
Rintik hujan di awal bulan April menyisakan harapan-harap-
an yang kadang muncul tenggelam. Apakah hari di depan sana
masih ada harapan? Niken tidak tega mau meminta sesuatu ke-
pada ibunya karena dia tahu betul kedua orang tuanya sedang
menghadapi masalah keuangan.
“Ken, apakah tugas resensimu sudah selesai?” tanya Pak
Marjuki sambil menepuk pundak Niken.
Niken tersipu. Sebenarnya hari itu Niken tidak ingin berang-
kat sekolah, karena dia tahu akan ada pertanyaan seperti itu.
Sementara ia tidak siap memberikan jawaban. Ada perasaan
takut, malu dan sedih bercampur aduk dalam pikirannya. Takut
kalau Pak Marjuki marah dan malu karena resensinya tidak
diketik. Juga sedih karena ingat orang tuanya.
“Coba, Bapak lihat.Pasti bagus, kamu kan pintar menulis,”
kata Pak Marjuki yang menjadikan Niken semakinmerasa ber-
salah. Hatinya semakin berdebar-debar ketika resensinya dibaca
Pak Marjuki.
“Maaf Pak, saya tidak punya mesin ketik.Dan saya...,” kata–
katanya tercekat di tenggorokan. Ia tak melanjutkan karena bel
masuk berdentang keras. Kami segera masuk ke kelas dan Pak
Marjuki pun segera menuju meja guru. Beberapa menit kemudian
kelas tenang menunggu kalimat-kalimat PakMarjuki yang terasa
sangat berwibawa dan sangat kami rindukan.
Dua pelajaran yang sangat mendebarkankarena satu persatu
siswa dipanggil ke depan kelas ditanyai mengenai proses pe-
nyusunan resensi, termasuk kesulitan yang terjadi ketika me-
ngerjakan tugas tersebut.Banyak siswa yang menjawab per-
tanyaan beliau dengan asal-asalanatau sembrono,sehingga ke-
tahuan oleh beliau jika tugas itu tidakdikerjakan secara mandiri.
Banyak siswa diminta mengerjakan ulang karena tugas tersebut
40 Eksotisme Gumuk Pasir
hanya mencontek pekerjaan teman. Hampir saja Pak Marjuki
putus asa mengetahui banyak siswa yang tidak jujur.
Sampai pada akhirnya Pak Marjuki membaca pekerjaan
Niken. Beliau diam beberapa saat. Raut wajahnya yang teduh
itu sekilas dihiasi senyuman. Beliau berdiri tegak di depan kelas.
Dengan nada tegas dan berwibawa memandang Niken yang
duduk di bangku paling belakang.
“Inilah karya yang bagus di antara sekian pekerjaan kalian,
anak-anakku. Kalian telah mengerjakan tugas sesuai dengan
kesepakatan, walaupn hasilnya belum memuaskan. Karya Niken,
meskipun tidak diketik, tetapi hasilnyasangat bagus. Saya akan
minta tolong seseorang untuk mengetikkan dan akan saya ikut-
kan lomba.”
Kata-kata Pak Marjuki itu selalu terngiang dalam pikiran
Niken. Masuk dalam pikiran bawah sadarnya. Dibawanya
kedalam mimpi kata-kata pujian itu sampai kapanpun dan di
manapun. Di mata Niken, Pak Marjuki seperti tetesan embun
yang menyejukkan. Niken bisa tersenyum diantara banyak
kesedihan yang dia rasakan.Di teras rumah, dia akan bercerita
banyak hal kepada ibu dan bapaknya. Dia akan melewati hari
hari dengan penuh semangat dan percaya diri karena ternyata
dia bisa membuat guru bahasa Indonesia senang dan memujinya.
Lain kisah Niken, lain pula kisah Murni.
Murni seorang siswi yang sangat tidak suka dengan
gurunya. Menurut Murni, guru itu sangat membosankan. Se-
benarnya tidak hanya Murni yang merasakan bosan, tetapi se-
luruh siswa yang diajar oleh guru tersebut.Mengapa sampai se-
mua siswa bosan? Murni mengatakan bahwa guru tersebut jika
mengajar terasa monoton, kaku dan terkesan formal.Ada yang
mengatakan suaranya terlalu lembut, cenderung halus dan nyaris
tak terdengar. Beliau tidak pernah marah kepada siswanya,
walaupun siswa tidur di kelas saatbeliau mengajar.Bisa dipasti-
kan, kalau pelajaran sejarah dan gurunya Pak Tono, banyak siswa
bermimpi. Pelajaran sejarah seperti cerita menjelang tidur. Aneh-
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 41
nya, Pak Tono tidak pernah berhenti bercerita sampai bel tanda
pelajaran berakhir.
Ketika jam istirahat kedua berbunyi, di kelas Murni tidak
ada satu pun siswa yang ke luar kelas. Mereka asyik dengan
mimpinya masing masing.
“Enak sekali tidurku, lebih enak daripada tidur di rumah,”
kata Murni.
“Huu, memang kamu tukang tidur!” celetuk Joko sambil
merapikan rambutnya yang acak acakan,”Tetapi sebenarnya aku
kasihan sama Pak Tono,” lanjutnya.
“Mengapa?” tanya siswa yang lain.
“Pak Tono sebenarnya seorang yang pandai dan cerdas.
Beliau juga seorang yang sangat sabar, sederhana dan jujur.
Kekurangan beliau adalah tidak menggunakan cara atau metode
mengajar yang menyenangkan dan membuat semangat siswa-
siswinya. Coba kalau metode mengajarnya menggunakan dis-
kusi, menyanyi, dan drama, pasti kita tidak tertidur di kelas,”
kalimat Joko begitu lancar mengalir seperti guru bahasa Indo-
nesia.
“Bagaimana kalau kita usul pada kepala sekolah agar diganti
saja dengan guru lain?” kata Siska.
“Jangan, besok kita tidak bisa tidur nyenyak lagi,”tolak
Murni. Kalimat Murni ini disambut dengan tawa riuh.
Demikianlah, hari–hari belalu dengan celoteh siswa-siswa
yang merasa diuntungkan dengan gaya mengajar Pak Tono.
Hingga pada suatu hari, ada kabar yang mengatakan bahwa
Pak Tono tidak masuk sekolah karena sakit.Beliau menderita
radang paru-paru cukup parah. Kami menduga penyakit beliau
disebabkan terpaan angin yang setiap hari mengenai tubuhnya.
Semua warga sekolah tahu bahwa rumah beliau jaraknya cukup
jauh dari sekolah, kira-kira 60 kilometer. Jarak yang cukup jauh
itu beliau tempuh menggunakan sepeda motor. Bisa dibayang-
kan, berapa jam angin menerpa tubuhnya yang sudah tidak muda
lagi.
42 Eksotisme Gumuk Pasir
“Pak Tono inilah yang bisa disebut pahlawan tanpa tanda
jasa,” kata Murni tiba tiba, membuat teman-teman melihat ke
arahnya. Murni masih melanjutkan kalimatnya,”Kesehatannya
dinomorduakan, bahkan entah dinomorberapakan, demi pe-
kerjaannya. Aku jadi merasa bersalah karena aku sering tidur
ketika pelajaran sejarah. Sekarang aku baru merasa bahwa beliau
sangat menyenangkan dan saya menyesal mengapa kurang
menghargai beliau.”
“Sudahlah, sekarang kita mendoakan Pak Tono supaya cepat
sembuh dan mengajar kita lagi,”kata Joko dengan nada serius
dan bijaksana.
Murni mengangguk–anggukkan kepala. Tak terasa airmata-
nya yang sejak tadi dicoba dibendung, tumpah bersama rasa iba,
sayang dan penyesalan.
Murni ingat bagaimana Pak Tono selalu sabar dan tekun
menjelaskan kepada siswa yang bertanya.Tidak pernah marah,
jujur, dan sederhana. Kata-kata Pak Tono satu per satu muncul
dalam ingatan Murni.Kata-kata penuh maknayang pernah di-
ucapkan beliau berseliweran dalam pikirannya.
Pak Tono pernah mengatakan di depan kelas,”Bukan men-
jalani yang kita senangi,tetapi menyenangi yang kita jalani.”
Masih menurut beliau,orang muda sekarang sangat sedikit yang
mau hidup prihatin. Mereka hanya ingin hidup serba enak, serba
instan, dan jarang menggunakan hati dalam bertindak. Mereka
ingin pencitraan saja, sehingga hidup kurang bermakna dan
dangkal.Padahal hidup itu menghadapi bermacam peristiwa
yang tidak selalu menyenangkan. Apabila sudah terbiasa hidup
prihatin, pasti orang bisa memahami apa yang harus dijalani
dalam hidup.
Pak Tono di mata Murni yang pada awalnya membosankan,
ternyata menyimpan mutiara yang sangat cemerlang dan mem-
banggakan yang mungkin tidak dimiliki oleh guru lainnya.
Beliau seorang guru yang setia mengajar walaupun jarak antara
rumah dan sekolah teramat jauh; walau di kelas kadang ditinggal
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 43
tidur,walau siswanya merasa tidak senang dan walau-walau
yang lain.
Banyak di antara kita menjadi guru yang hanya sebatas me-
menuhi kebutuhan hidupatau bahkan sekadar mencari status.
Kita lupa bahwa yang kita hadapi adalah pribadi-pribadi unik
yang perlu sentuhan kasih dan perhatian tulus.Guru pada dasar-
nya adalah pelayan. Seorang pelayan harus bisa melayani dengan
baik, tulus dan menyenangkan. Jadi, guru mempunyai kewajiban
menyenangkan anak didik, seperti halnya Pak Tono, tidak meng-
ajari untuk sembrono. Beliau mengajar dengan cara hura-hura,
nyanyi-nyanyi dan sebagainya, dengan tujuan siswa tidak me-
ngantuk. Beliau mewajibkan setiap kata yang keluar dari bibirnya
diperhatikan siswa.Beliau mengajar siswa dengan materi yang
sungguh sungguh dipersiapkan, sehingga siswa bertambah
wawasan, berkarakter dan unggul. Cara mengajar yang monoton
mengapa dianggap tidak bagus? Bukankah mengajar seperti itu
juga membuar siswa dapat berlatih kesabaran, kesetiaan, ber-
karakter, dan melawan rasa kantuk?
44 Eksotisme Gumuk Pasir
SERPIHAN KEHIDUPAN
SEORANG PENSIUNAN
Haryanta
SMP Negeri 2 Srandakan
Kehidupan seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) sejak dulu
hingga sekarang terbilang serba pas-pasan. Tidak terkecali ke-
hidupan Pak Suto, seorang pegawai negeri yang terbilang kaya
juga tidak, melarat juga tidak, tapi menurut para tetangga ter-
dekatnya, dia tidak pernah mengeluh, sebaliknya justru sering
membanggakan keluarganya.
Hal itu tidak mustahil karena dari pekerjaannya, beliau bisa
menghidupi seorang istri dan ketiga anaknya dengan baik. Tidak
hanya tercukupi kebutuhan pokok mereka, tapi juga kebutuhan
kesehatan dan pendidikan. Hanya saja, sebagai pemeluk agama
Islam, ia kurang rajin beribadah. Bahkan ketika suatu hari men-
dapati anaknya mengaji di masjid, ia langsung memanggil dan
memarahinya.
Meski terbilang keras dalam mendidik anak, beliau tetap
disegani di lingkungan masyarakat karena sebagai guru ia tetap
dipandang sebagai orang yang berilmu dan tidak banyak yang
menyamai ilmunya. Oleh karena itu, dalam acara apa pun yang
berkaitan dengan hajatan, kegiatan keagamaan, dan musyawarah
kampung, pastilah beliau dilibatkan dan selalu didengar pen-
dapatnya. Pernah suatu ketika dalam musyawarah dusun, beliau
memiliki pendapat yang nyleneh, tidak masuk akal, sehingga di-
sanggah oleh para tokoh masyarakat sehingga terjadi perdebatan
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 45
sangat panas dan mengarah ke masalah pribadi. Perdebatan itu
berujung ia diasingkan oleh masyarakat sampai beberapa tahun
lamanya. Akhirnya ia menyadari kesalahannya dan dalam suatu
pertemuan rutin dusun, Pak Suto menyampaikan permohonan
maaf dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Dalam perjalanan hidup, dari pengalaman pernah diasingkan
oleh warga, membuat Pak Suto sangat tekun dalam mendidik
anak-anak. Meskipun istrinya hanya seorang ibu rumah tangga
tulen, terbatas ilmu pengetahuannya, tidak memiliki tambahan
penghasilan, keluarga ini bisa sukses mengantarkan pendidikan
anak sampai ke jenjang lulus perguruan tinggi negeri. Tidak
hanya itu, begitu lulus dan wisuda dari perguruan tinggi, anak-
anaknya langsung mendapatkan pekerjaan.
Pekerjaan anak-anaknya membuat para tetangga angkat topi
dan mengacungkan jempol kepada keluarga Pak Suto. Betapa
tidak, si sulung, seorang perempuan, saat wisuda sarjana men-
dapat predikat cumlaude dan langsung diterima menjadi PNS
sebagai guru di sebuah SMA. Anak tengah, seorang pria, meski-
pun pada waktu kecil dilarang ngaji oleh ayahnya, tapi diam-
diam ia selalu belajar ngaji, terutama saat diindekosan dan di
kampus. Hal ini membuat ia aktif mengajar ngaji bagi anak-anak
TPA di masjid dekat rumah. Di kampusnya ia dijadikan asisten
dan belakangan diangkat sebagai dosen setelah mendapat gelar
S.Si. Sementara si ragil, seorang sarjana perempuan, menjadi guru
SMP.
Setelah usia Pak Suto semakin tua dan uzur, istrinya meng-
idap komplikasi berbagai penyakit dan harus berobat secara rutin
ke rumah sakit. Beberapa tahun kemudian, tubuh istrinya ke-
lihatan makin payah dan layu, makin pucat dan kurus. Hingga
suatu malam harus dilarikan ke rumah sakit dan opname untuk
beberapa waktu lamanya.
Perstiwa itu tidak membuat tetangga kaget karena istri Pak
Suto memang kerap keluar masuk rumah sakit, terlebih kondisi-
nya semakin memprihatinkan. Selama di rumah sakit, keluarga-
46 Eksotisme Gumuk Pasir
nya tampak pontang-panting, terutama Pak Suto yang selalu
ingin dekat istrinya. Ia berharap istrinya segera sembuh. Meski
dengan usaha yang maksimal, baik secara medis maupun non-
medis, Tuhan berkehendak lain. Pada suatu malam, istri Pak
Suto dinyatakan meninggal dunia. Malam itu juga jenazah di-
bawa pulang untuk prosesi pemakaman.
Pagi harinya, kesibukan mewarnai rumah keluarga Pak Suto.
Ada yang memasang tenda, menyiapkan susunan acara, membuat
surat lelayu, dan sebagainya. Pukul 13.30 upacara prosesi pe-
makaman dimulai. Peti jenazah dikeluarkan oleh para pemuda
berpakaian serba hitam. Pukul 14.00 upacara prosesi pemakaman
dimulai, terdengar isak tangis dari anak atau cucu almarhumah.
Sekitar 30 menit kemudian upacara selesai dan jenazah diberang-
katkan ke makam berjarak sekitar 150 meter dari rumah duka.
Saat pemberangkatan, terdengar isak tangis yang semakin me-
milukan. Tidak lama kemudian, rombongan jenazah memasuki
makam dan rois melantunkan azan dan doa-doa lainnya. Setelah
itu, jenazah dimasukkan ke liang lahat berikut perlengkapannya,
kemudian ditimbuni tanah. Sebelum meninggalkan makam, sekali
lagi rois menyampaikan doa-doa. Selanjutnya, satu persatu
pelayat meninggalkan makam, pulang ke rumah masing-masing.
Semenjak ditinggal istrinya, Pak Suto tampak seperti orang
kebingungan, beliau hanya ditemani oleh keluarga anak ragilnya
yang mempunyai anak balita usia 3 tahunan. Beliau tampak
gelisah dan terkadang berbicara tidak jelas, kurang fokus, pan-
dangan dan pendengaranya sudah jauh berkurang, maklum usia-
nya sudah memasuki 70-an tahun. Enam bulan setelah istrinya
meninggal, gantian Pak Suto sakit-sakitan dan berujung opname
di rumah sakit sekitar satu minggu. Berkat semangat hidupnya,
dia sembuh.
Rupanya ia mulai menerima kenyataan setelah ditinggal mati
istrinya, meskipun tetap masih uring-uringan jika anaknya tidak
meladeni dengan baik, ia mengomel tidak karuan. Hampir setiap
hari ada saja bahan untuk diomelkan. Sampai suatu hari sempat
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 47
ribut dengan menantu ragilnya, hingga sang menantu mening-
galkan Pak Suto.
Setelah beberapa hari ditinggalkan oleh keluarga ragilnya,
Pak Suto mulai sakit-sakitan meskipun tidak sampai opname. Ia
mengurung diri di rumah. Oleh karena kesibukan anak-anaknya,
maka anak sulungnya mencarikan pengasuh perempuan untuk
merawat Pak Suto. Perempuan itu berumur sekitar 50-an dan
masih ada hubungan keluarga. Perempuan dengan status janda
beranak satu ini begitu senang mendapat tugas baru karena
imbalan yang dijanjikan melebihi dari pekerjaan hariannya se-
bagai buruh nyuci. Dengan begitu, ia bisa menghidupi anaknya
yang masih sekolah.
Beberapa hari kemudian Pak Suto berangsur-angsur sembuh
dan mulai ke luar rumah bersosialisasi dengan tetangga sekitar.
Menurut cerita para tetangga, Pak Suto sudah benar-benar sehat
kembali. Bicaranya jelas, pandangan oke, dan semangat hidupnya
tumbuh kembali. Kabar ini membuat gembira anak-anaknya,
mereka tidak merasa khawatir lagi meninggalkan Pak Suto saat
bekerja.
Hari-hari selanjutnya, Pak Suto seperti menemukan dunia
baru karena rona wajahnya selalu ceria dan sesekali ia berpakaian
rapi dan parlente. Ia makin akrab saja dengan pembantunya. Perem-
puan itu juga makin enjoy saja melayani tuannya yang telah
memberikan rezeki. Melihat keakraban keduanya, karuan saja
tetangga mulai bergosip. Rerasanan itu sampai ketelinga Pak Suto,
ia tidak mempedulikannya. Suatu ketika para tetangga men-
dengar kabar bahwa Pak Suto merasa cocok dengan pembantu-
nya dan akan menikahinya. Semua anak Pak Suto tak ada yang
menyetujui, bahkan meminta agar rencana itu dibatalkan. Terjadi
pertengkaran hebat antara Pak Suto dan anak-anaknya yang pada
akhirnya berujung pengusiran terhadap perempuan itu. Be-
berapa hari kemudian, Pak Suto jatuh sakit. Anehnya, setelah
pelayan perempuan itu diminta kembali merawat Pak Suto,
pensiunan itu berangsur-angsur membaik. Peristiwa ini terjadi
48 Eksotisme Gumuk Pasir
berulang kali, sehingga pada akhirnya semua anak-anak Pak Suto
menyetujui pernikahan ayahnya. Anak-anak Pak Suto merasa
sangat repot karena jika ayahnya tidak bersama perempuan, se-
lalu sakit-sakitan dan suka merajuk seperti anak kecil. Persetujuan
ini diberikan dengan harapan Pak Suto lebih terawat, kesehatan-
nya terjaga, dan bisa berumur panjang.
Hari pernikahan Pak Suto ditentukan, anak-anaknya mem-
persiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya agar pada
hari H semua berjalan lancar. Meski pernikahan sederhana, tapi
para kerabat dan tetangga berdatangan menjadi saksi atas per-
nikahan kakek-nenek tersebut. Para tamu sesekali tersenyum
geli melihat dua sejoli tua itu bersanding laksana raja sehari.
Ternyata dua sejoli itu memang berjodoh, kesetiaan keduanya
tercermin setiap harinya. Pak Suto semakin sehat dan semangat
hidupnya benar-benar tumbuh, merasa muda lagi. Kini keduanya
hidup rukun, damai, dan dalam bersosialisasi dengan tetangga
sangat baik, meskipun hanya sebatas bertegur sapa.
Bantul, 25 April 2016
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 49
RIHAT
Mudyastuti Wiraningrum
MTs Negeri Wonokromo
Aku terhenyak ketika salah satu anak didik berceletuk di
tengah-tengah keasyikanku mengontrol hasil diskusi kelompok
pada pagi hari ini.
“Bu, istirahat dulu! Capek dari tadi mikir terus….”
Tubuhku yang terasa sangat penat, seperti disadarkan oleh
anak didikku. Ya…rihat! Bukankah itu hak setiap orang? Me-
ngapa aku tak menghentikan sejenak kegiatan belajar mengajar
(KBM) ini agar anak didik dapat mengistirahatkan sejenak otak
mereka, tubuh mereka, yang barangkali penat setelah satu jam
lebih terus duduk di bangku yang tak berpelapis busa. Seperti-
nya, aku telah menjadi orang yang sangat egois ketika lontaran
permintaan rihat itu meluncur dari mulut anak didikku dengan
penuh harap dan kejujuran. Kupandang sekilas wajah-wajah anak
didik yang kuyu karena rasa lelah menyelimuti mereka, baik
fisik maupun pikiran. Aku terpaku sejenak. Aku juga merasakan
betapa penatnya tubuh ini karena dari tadi terus berputar dari
satu kelompok ke kelompok lain memberikan penjelasan pada
mereka. Mengapa aku tidak duduk sebentar? Mengapa aku harus
terus berputar tanpa henti demi kesuksesan anak didikku? Tanpa
kusadari, telah sembilan puluh menit tanpa henti membimbing
anak didik. Rasa penat tubuhku terkalahkan oleh tuntutan tang-
gung jawab terhadap kesuksesan anak didik. Dalam relung hati
50 Eksotisme Gumuk Pasir
ada rasa bersalah jika kulihat angka-angka yang dihasilkan oleh
anak didik sangat rendah. Selalu terpuruk pada angka-angka,
padahal yang paling utama sebenarnya adalah pemahaman. Tapi
apalah arti pemahaman jika yang dibutuhkan hanya angka-angka
yang tinggi? Kadang pemahaman tak sebanding dengan angka-
angka karena berbagai faktor.
Tanpa aku hiraukan lagi, tubuh ini akan terus melemah jika
tidak kupaksa duduk sebentar. Aku terus berputar mengontrol
hasil diskusi anak didik, memberikan penjelasan hal-hal yang
mereka rasakan kesulitan dalam memahami soal untuk mencari
jawaban yang tepat. Aku lupa bahwa aku butuh rihat sejenak
setelah 90 menit bekerja. Paling tidak, aku bisa duduk sebentar
agar tubuh kembali bugar, kepala tidak terasa kadang berputar.
Tapi, demi melihat semangat anak didik yang terus berdiskusi,
aku lupakan kata rihat. Aku lupakan segala penat yang kurasa-
kan. Aku lupa, bahwa tiap orang mempunyai daya tubuh yang
berbeda-beda, termasuk anak didikku. Kuhela napas dengan
pelan, aku berjalan menuju bangku. Sambil tersenyum kutanya-
kan pada mereka, “Ada di antara kalian yang merasa lelah atau
lapar?”
“Saya, Bu!” seru Aziz penuh semangat.
“Mengapa?” tanyaku datar.
“Tadi malam ngaji sampai malam, tadi nggak sempat sarap-
an, Bu!” jawabnya mulai melemah.
Ini baru satu jawaban. Ada beberapa jawaban lagi yang se-
rupa dari anak pondok seperti Aziz. Anak-anak pondok itu,
mereka harus memikirkan diri mereka sendiri semuda itu. Mulai
dari bangun tidur hingga kembali tidur, tidak ada yang mem-
bantu menyiapkan sarapan atau keperluan lain. Aku pun mulai
menyela pelajaran dengan obrolan santai bersama mereka. Aku
bertanya tentang hal-hal ringan seputar kehidupan mereka,
sampai pada kisah cinta monyet yang membuat suasana berubah
menjadi tawa dan ceria. Paling tidak, otak mereka bisa sedikit
rileks. Tidak terus diperas berpikir berat. Setelah suasana kem-
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 51
bali santai dan rasa lelah mereka sedikit berkurang, aku kembali
berdiri dan meminta mereka berdiskusi.
Kupandangi anak didik yang dengan khusyuk membaca
baris demi baris kalimat yang ada di hadapan mereka. Kalimat-
kalimat itu bukanlah kalimat-kalimat yang mudah dicerna.
Kalimat-kalimat yang mereka baca adalah kalimat-kalimat yang
membutuhkan pemahaman dan pemikiran untuk dapat menge-
tahui jawabannya. Sebagai pendidik, aku hanya menang waktu
sehari dari mereka. Aku telah membaca semua yang mereka
baca saat ini. Waktuku membaca pun adalah waktu ketika aku
merasa fit, saat tidak terbebani oleh pikiran-pikiran yang mem-
beratkan—ketika aku merasa bahwa waktu rihat telah cukup,
otakku dapat kupergunakan untuk berpikir secara jernih dan
maksimal—aku mengerjakan semua soal itu. Itu pun diselingi
dengan meneguk secangkir susu hangat dan camilan kentang
kering pedas-manis kesukaanku. Ada kipas yang setia menghem-
buskan angin segar penghilang rasa gerah tubuhku karena panas-
nya suhu udara akhir-akhir ini. Sedangkan mereka, anak didikku,
harus membaca kalimat-kalimat itu dalam ruangan berukuran 7
x 8 meter, dengan 30 siswa beraroma nano-nano. Hanya ada satu
kipas kecil menempel di atap ruangan, tanpa minuman dan camil-
an. Itu pun sebelum aku masuk ke ruangan mereka, mereka telah
mendapat pelajaran matematika, pelajaran yang butuh pemikiran
lebih ekstra dibandingkan mata pelajaran yang aku ampu, bahasa
Indonesia. Sedangkan aku, tinggal menanyakan apa jawaban dari
hasil diskusi mereka, kemudian baru menerangkan bagian jika
mereka berbeda pendapat. Kelelahanku tidaklah sebanding
dengan mereka. Itu yang membuat aku lupa, atau bahkan tak
menghiraukan, bahwa mereka butuh rihat.
Bel istirahat berbunyi, ada rasa lega di hati. Aku dapat meng-
istirahatkan sejenak tubuh dengan duduk agak santai, sembari
menikmati teh manis yang sudah dingin, tentunya. Rasa apa
pun dari teh itu, yang pasti kini tenggorakanku telah tersiram
air, layaknya tanah kering tersiram hujan. “Alhamdulillah,” ucap-
52 Eksotisme Gumuk Pasir
ku pelan. Kubuka bekal, meski agak begah, namun kusantap
juga agar tubuhku merasakan asupan karbohidrat, berharap
energi kembali muncul. Sembari mengunyah sesuap nasi yang
ada di mulut, kuperhatikan polah anak-anak didikku di luar
ruangan. Mereka seperti sangat menikmati waktu rihat yang
diberikan. Sedikit pun mereka tak mau menyia-nyiakan waktu.
Mereka berlarian ke kantin, kudengar suara bising dari kantin.
Mereka berebut ingin lebih dulu dilayani. Setelah selesai, mereka
mengambil tempat duduk di bawah pohon rindang di antara
ruang kelas dan perpustakaan, tepat di seberang pintu ruang
guru. Mereka makan bersama, sesekali tertawa riang, seolah
melepaskan segala kepenatan yang menerpa mereka. Asyik
sekali mereka di waktu rihat.
Pihak madrasah memang membuat jadwal terinci lengkap
dengan waktu rihat yang disediakan untuk mereka, atau dalam
bahasa Inggris disebut dengan school recess atau school break, yaitu
periode waktu tertentu para siswa berhenti sejenak dari tugas-
tugasnya, seperti telah dicetuskan pertama kali oleh Amos Bron-
son Alcott, seorang pendidik berkebangsaan Amerika kelahiran
tahun 1799. Saat inilah waktu rihat, kami memilih kegiatan sendiri
untuk mengisi waktu rihat.
Ketika bel masuk berbunyi, aku melanjutkan kegiatan belajar
mengajar yang sempat terputus oleh rihat. Waktu rihat itu seolah
kurang bagi anak didik karena ketika aku telah berada di kelas,
masih ada beberapa anak yang belum tampak, mereka tergopoh-
gopoh menuju kelas, tangan mereka masih memegang es teh
dan jajanan. Kupersilakan mereka menghabiskan jajanan di luar.
Mungkin mereka “kalah” dalam antrean di kantin, sehingga baru
bisa dilayani saat bel sudah berbunyi; atau mereka bermain dulu
dan sengaja jajan pada kesempatan terakhir.
Aku kembali meminta anak didik untuk berdiskusi. Meski
aku merasa bahwa waktu rihat sudah cukup dan sudah berakhir,
namun sudah semestinya aku memberikan waktu rihat sejenak,
dengan senam ringan sekedar menggoyangkan tubuh, meng-
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 53
gerakkan kepala, tangan dan kaki mereka, agar tubuh mereka
kembali bugar untuk memulai pelajaran. Sebenarnya aku juga
memilih metode pembelajaran yang tidak memberatkan mereka.
Kupilih diskusi karena metode ini lebih banyak santainya.
Suasananya pun tidak membosankan seperti metode ceramah,
mereka bisa saling sharing. Dari segi sosial dan emosional juga
lebih bagus di tengah rasa was-was mereka menghadapi Ujian
Nasional (UN) yang akan berlangsung. Selain membahas materi,
kadang mereka juga membahas hal-hal lain di seputar kehidupan
mereka. Sebenarnya aku telah memberikan sedikit kelonggaran
bagi mereka untuk rihat sejenak dengan selingan diskusi yang
mereka ciptakan sendiri. Hal yang mungkin aku lupakan adalah
bahwa karakter seseorang dengan orang lain itu berbeda. Bagi
kelas kelompok pintar, mereka tidak mau menggunakan waktu
KBM dengan sia-sia. Mereka begitu disiplin mengikuti apa yang
aku perintahkan, dengan tidak mengindahkan kebutuhan akan
rihat mereka. Mereka tidak mau membicarakan hal-hal di luar
pelajaran. Sebentar saja mereka tidak pernah mau beranjak dari
tempat duduk. Mereka telah memahami bahwa jadwal harus
dipatuhi. Ada jadwal kapan mereka harus belajar dan kapan
mereka bisa rihat sejenak.
Tidak demikian halnya dengan kelas kelompok yang me-
merlukan perhatian khusus. Dari sepuluh menit waktu diskusi
mereka, lima menit mereka berdiskusi mengenai hal-hal diluar
pelajaran. Terkadang tawa mereka lepas, berjalan kesana kemari.
Tak jarang mereka minta izin ke luar untuk ke kamar kecil, tetapi
ketika kembali ke kelas, mulut tertutup rapat, sesekali me-
ngunyah “harta karun” yang mereka simpan di mulut. Tangan
mereka sibuk membersihkan sisa-sisa remah yang berlepotan
di seputar mulut. Setelah habis “harta karun” dalam mulut, me-
reka izin untuk minum. Seolah di paruh waktu mereka berada
di madrasah, itu adalah waktu rihat yang tak boleh ditawar-
tawar lagi. Setiap waktu adalah rihat bagi mereka. Entah berapa
kali dalam sehari mereka pamit “ke belakang”, meski sudah ada
54 Eksotisme Gumuk Pasir
waktu khusus rihat bagi mereka. Ada saja alasan yang mereka
buat. Entah berapa anak didikku yang telah pamit ke luar. Di
kelas inilah, gantian aku yang harus ekstra energi. Bukan hanya
lelah raga, tetapi lelah pikiran pun menghampiri jiwaku. Mengajar
dua jam pelajaran di kelas ini, sama seperti mengajar enam jam
pelajaran mengajar di kelompok pintar. Kalau di kelas pintar,
aku seolah tak membutuhkan waktu rihat, sedangkan di kelas
ini, kepalaku mulai terasa berat, pandanganku agak kabur dan
berputar. Apalagi waktu mengajar di kelas ini tepat pada jam
terakhir. Aku mulai mengingat baris-baris lirik lagu Avenged
Sevenfold Tension bagian reff, meski aku tak dapat menyanyi-
kannya.
I need a moment ’cause I’ve spread myself to thin
We all need a moment in our live
Works hard, the days too long
And that’s just where it begins
(Aku butuh istirahat karena aku terlalu memaksakan diri
Kita semua butuh istirahat dalam hidup ini
Bekerja itu hal yang berat, waktu terasa terlalu lama
Dan di situlah semuanya dimulai)
Rasanya cocok sekali dengan kondisiku saat ini. Rihat! Ya,
aku butuh rihat! Apalagi kemarin, hari Minggu, waktu libur yang
sangat kunanti-nantikan setelah enam hari bekerja, kugunakan
untuk mengikuti raker. Mulai dari sebelum fajar, itulah saat kapan
aku mulai beraktivitas tanpa henti. Hanya ketika salat, aku bisa
merasakan tubuhku bugar. Aku ingin, setiap salatku, bisa ku-
gunakan untuk olah rohani yang dapat melahirkan ketenangan
jiwa. Aku juga berharap dalam tiap gerakan salatku, ada anuge-
rah terindah yang dapat kurasakan bagi kesehatan jasmani, meski
aku tahu, betapa sulitnya itu. Minggu yang kelabu karena aku
harus menghabiskan waktu dengan duduk diam menyimak sam-
butan-sambutan, pidato pertanggungjawaban, dan penyusunan
program kerja. Baru pukul 15.30 aku bisa bernapas lega karena
rangkaian rapat berakhir. Itu artinya, aku bisa kembali ke rumah,
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 55
membaringkan tubuh yang terlalu lelah. Sejenak kupejamkan
mata, meski tak bisa tidur. Aku berharap dapat tidur sejenak
agar semua fungsi tubuh terisi/diperbaharui kembali. Waktu
rihatku yang telah kunanti-nanti selama enam hari, terlewatkan,
justru kepenatan yang kudapat di hari Minggu. Aku telah men-
dzolimi diriku sendiri dengan mengabaikan waktu rihat.
Mungkin inilah yang dirasakan anak didikku saat ini. Me-
reka hampir satu bulan diperas otaknya mengikuti rangkaian
ujian tanpa ada jeda. Hanya ada libur di hari Minggu. Hanya
ada sekali waktu mereka untuk out bond. Sekarang, menghadapi
detik-detik penentuan nasib, mereka harus mengikuti rangkaian
materi blok Ujian Nasional. Aku jadi ingat, aku pernah membaca
satu artikel yang membahas tentang waktu rihat bagi anak
sekolah di negara Finlandia. Di sana, setiap 45 menit siswa
belajar, mereka berhak mendapat rihat 15 menit karena mereka
meyakini bahwa kemampuan terbaik siswa untuk menyerap ilmu
baru yang diajarkan justru didapatkan setelah mereka meng-
istirahatkan otak. Ini sangat efektif untuk meningkatkan kemam-
puan fokus sekaligus kesehatan siswa. Lain halnya di Indonesia,
yang masuk sekolah rata-rata pukul 07.00, rihat setelah 2,5—3
jam belajar. Waktu rihat pun hanya 15 menit, padahal kemampu-
an fokus otak hanya berkisar 90–120 menit; selebihnya butuh
istirahat selama 20–30 menit agar otak lebih produktif tanpa
harus kelelahan.
Mengingat hal itu, aku jadi merasa serba salah menyikapi
polah anak didik yang merasa tak jenak ketika sudah satu jam
pelajaran atau empat puluh menit berlalu, hingga mereka harus
“menipuku” dengan berpamitan “ke belakang”, tetapi berbelok
arah ke kantin. Kalau toh mereka jujur berpamitan akan ke
kantin, mungkin aku tak akan mengizinkannya, karena aku juga
harus menghormati dan mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
Dilematis, tapi itulah imbas dari kurikulum yang harus dipatuhi
dan dijalani. Mungkin aku hanya bisa menyikapinya dengan
mengubah metode mengajarku, mencari waktu yang pas untuk
56 Eksotisme Gumuk Pasir
anak didik agar mereka mendapatkan hak rihat di tengah-tengah
KBM berlangsung, tanpa memberi kesempatan pada mereka
mencari-cari alasan ke belakang, tetapi berbelok ke kantin. Pem-
belajaran berbasis rihat, suatu pembelajaran tanpa menge-
sampingkan hak rihat otak dan jasmani anak.
Daftar Pustaka
http://www.anakku.net/seberapa-penting-sih-istirahat-di-
sekolah.html
http://www.infodikdas.com/2015/12/Catat-Pelajar-Finlandia-
Sekolah-Cuma-5-Jam-Tetap-Cerdas-Ini-Ulasannya.html
http://karomahabil.blogspot.co.id/2013/06/terjemahan-lirik-
lagu-avenged-sevenfold.html
KBBI.web.id
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 57
SINDEN
Mujiyem
SMP Negeri 1 Pundong
Aja turu sore kaki
Ana dewa nganglang jagad
Nyangking bohor kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bageyanipun
Wong melek sabar narima
(Asmarandana Jakalola)
Suarane nurut usuk, pujiku dalam hati. Hingga kini sesekali
aku masih bisa mendengar lantunan tembang yang sangat indah
itu. Seperti malam ini, aku terbangun dari tidur lelap. Suara
sayup menembus dinding rumah. Oh, itu suara Bu Sinden yang
amat kukenal. Lembut, merdu, mendayu. Jiwaku melayang, ter-
bang jauh ke masa silam. Empat puluh tahun yang lalu, sinden
manis, tetanggaku, memang layak jadi pujaan. Manis paras
wajahnya, ikal rambutnya, dan lugu orangnya. Dia cermin wanita
desa yang bersahaja. Dia adalah pejuang budaya Jawa, pelantun
tembang sarat makna.
“Bulik…,” sapaku pada Bu Sinden.
“Apa Nduk?” jawab Bu Sinden.
“Apa boleh saya pinjam kebaya, Bulik?”
“Mau buat apa Nduk?”
58 Eksotisme Gumuk Pasir
“Buat peringatan hari Kartini.”
“Oh, boleh Nduk. Pilih yang mana?”
“Apa besok pagi ke sini saja. Tak dandani!” saran Bu Sinden.
“Nggih, Bulik,” jawabku riang.
Pagi-pagi sekali aku ke rumah Bu Sinden. Rumah kami me-
mang berdekatan, bahkan halaman rumah kami berhimpitan. Ia
menyambutku dengan gembira.
“Sini, kusanggul dulu,” kata Bu Sinden mulai menyisir ram-
butku.
Rambutku disasak terlebih dahulu. Dengan cermin yang di-
letakkan di depan, aku bisa melihat bagaimana cara menyasak
rambut. Kuperhatikan sisir yang digunakan untuk menyasak,
ternyata berbeda dengan sisir biasa. Sisir sasak bentuknya lebih
kecil dan bagian ujungnya tidak rata. Beberapa saat kemudian
rambutku jadi kusut, mengembang, dan berantakan.
“Pejamkan mata. Aku akan semprotkan hair spray ke rambut-
mu,” kata Bu Sinden.
Aku memejamkan mata tanpa sempat menjawab perkata-
annya. Rambutku mulai disisir. Wow rapi sekali. Bu Sinden se-
gera memasang sanggul. Selesai sudah sanggulku, kini giliran
untuk di make up.
“Tipis saja ya Bulik,” pintaku.
“Iya, tenang saja,” jawab Bu Sinden.
Cepat sekali Bu Sinden menyungging wajahku, hasilnya
wajahku tampak lebih cantik dari biasanya. Kain dan kebaya
pun segera dikenakan. Kebaya hijau muda melekat sudah di
tubuhku, walau terasa kebesaran. Maklum tubuhku tergolong
kurus, apalagi aku masih duduk di kelas 1 SMP. Bu Sinden me-
lengkapi penampilanku dengan selendang warna merah. Pagi
itu, aku berangkat ke sekolah dengan hati berbunga.
Waktu terus berjalan. Bu Sinden yang manis ini semakin
dikagumi. Pangung demi panggung dijelajahi. Gelap dan dingin-
nya malam mengiringi langkah-langkahmu. Kerlap-kerlip bintang,
remang cahaya bulan mengantarmu menuju ke tempat kerja. Ke-
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 59
hadiranmu selalu ditunggu. Bila bunyi gamelan menggema me-
wartakan simponi kehidupan, tembang-tembang pun mengalun:
Mijil, Kinanthi, Asmarandhana, Pangkur, atau mungkin Gambuh.
Merdu, merayu, menyiram hati semua orang yang mendengar-
nya. Suara Bu Sinden kadang syahdu, mendayu-dayu, kadang
juga melengking, meliuk, menikung tajam, bahkan mendaki hingga
ke puncak sunyinya malam.
Malam itu tak seperti biasanya, desaku hiruk-pikuk. Te-
tanggaku ada yang hajatan dan dimeriahkan dengan drama
tradisional kethoprak. Malam yang begitu memesona bagiku.
Lentera berjajar dimana-mana. Ada yang menyala di atas tambir
penjual kacang. Ada yang di tempat penjual mainan anak-anak,
ada pula lentera di tempat penjual es lilin. Pagar bambu yang
melindungi kampungku tampak lebih indah karena pantulan
cahaya lentera. Tak hanya itu, para pedagang pun berdatangan
mengais rezeki. Bagaimana tidak, tontonan yang hanya sesekali
ada di desaku itu memang sangat kami tunggu. Panggung yang
diterangi lampu petromaks tampak megah di tengah malam yang
gelap. Penonton mulai berkerumunan, tak terkecuali aku. Gen-
ding pembuka diperdengarkan, suaranya membakar rasa baha-
gia. Gending kedua giliran Bu Sinden melantunkan suara emas-
nya. Luar biasa: bening, merdu, teduh dan sejuk. Rasa ayem ten-
trem merasuki hati kami yang menyaksikan.
Pada malam pertunjukkan itu, Bu Sinden tampil total dengan
suara bagus dibarengi penampilan yang anggun. Kebaya dan
kondenya tampak amat serasi dengan wajah manisnya. Wajar
saja kalau Bu Sinden menjadi buah bibir para pemuda. Di tengah
ekonomi masyarakat yang belum mapan, Bu Sinden telah menik-
mati hidup layak, lebih dari yang kami rasakan.
Roda kehidupanmu bergulir dari malam ke malam. Malam
ini rembulan tampak bulat penuh, memancarkan sinar merah
saga, membagi bahagia kepada seisi dunia. Lambat namun pasti,
Bu Sinden melangkah meninggalkan rumahnya. Kali ini tidak
ditemani sepeda onthel-nya, rekan seprofesi menjemputnya, sebut
60 Eksotisme Gumuk Pasir
saja Pak Wiyaga. Mereka berboncengan, tak ada yang curiga
karena Pak Wiyaga tetangga kami juga.
Malam-malam berikutnya pun mereka sering berangkat dan
pulang bersama. Tiada yang mengira sesuatu bakal terjadi. Bu
Sinden yang dikagumi banyak orang itu tengah mengandung.
Mengandung buah cinta terlarang. Melati suci itu perlahan layu
terhempas dahsyatnya gelombang malam yang sanggup me-
runtuhkan kokohnya iman. Senyumnya terhapus seketika. Rasa
malu, bersalah, menyesal campur aduk jadi satu. Mungkin benar
kata orang, witing tresna jalaran saka kulina. Bu Sinden mencintai
pria yang bukan semestinya. Pria itu telah beranak dan beristeri.
Kini ia harus menanggung rasa malu pada diri sendiri, keluarga,
sahabat, juga pada Tuhan.
Apa hendak dikata, buah cinta di rahimnya kian hari kian
tumbuh. Seisi rumah tersedu pilu. Malam tak lagi berbintang,
bulan pun enggan tersenyum. Dingin beku menusuk kalbu. Pil
yang amat pahit pun harus ditelan juga. Bu Sinden harus rela
menjadi isteri kedua. Cercaan, hinaan terus melanda, Bu Sinden
tak kuasa membendung air mata.
Pada bulan yang ke sembilan, jabang bayi buah cinta kasih
mereka pun lahir, seorang anak laki-laki. Cakep, sehat, lucu,
menggemaskan. Senyum Bu Sinden mengembang lagi. Buah hati-
nya menukar air mata dengan bahagia. Tuhan Maha pemberi
karunia pada siapa saja.
Beberapa tahun kemudian isteri tua Pak Wiyaga hamil pula.
Namun sungguh malang, kehamilannya tak diakui suaminya.
Bagai disambar petir hati isteri tua, luluh segala asa, hancur ber-
keping-keping rajutan mimpinya. Tak hanya itu, suami tercinta
menggugat cerai dirinya. Pasrah, itulah yang bisa dilakukan.
Setelah bayi yang dikandungnya lahir, bercerailah mereka. Sang
suami masih boleh berbangga, ia hidup bersama Bu Sinden, isteri
mudanya, yang lebih manis dan mapan ekonominya.
Karir Bu Sinden yang sempat surut, mulai mencuat kembali.
Tawaran job datang silih berganti, baik di panggung maupun
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 61
tampil di televisi (TVRI). Ia sangat bahagia, Tuhan memang Maha
Penyanyang. Selanjutnya Bu Sinden dikarunia putera kedua,
bahagia tiada terkira hatinya. Sesekali kudengar Bu Sinden ber-
senandung meninabobokkan putera tercintanya.
Belasan tahun kemudian putera Bu Sinden tumbuh dewasa.
Putera yang pertama pergi ke Jakarta mencoba peruntungannya.
Benar juga, setelah beberapa tahun kemudian hidupnya mulai
tertata. Betapa riangnya hati Bu Sinden ketika anak yang tertua
pulang membawa calon isteri. Akhirnya berhelatan besar pun
digelar. Tak lama kemudian bu Sinden dianugerahi seorang cucu.
Hidup terus berjalan, suka, duka datang silih berganti, be-
gitu juga kehidupan Bu Sinden. Cucu tercintanya ternyata tak
tumbuh seperti harapan. Obesitas mungkin menjadi penyebab
si orok susah untuk berjalan. Selebihnya aku tak tahu, karena
sejauh ini aku jarang melihat putera sulungnya pulang, bahkan
di hari lebaran.
Manusia berencana, Tuhanlah yang menentukan. Suami Bu
Sinden berpulang ke rahmat Allah. Bu Sinden hidup bersama
putera keduanya. Seiring bertambahnya usia, karir Bu Sinden
mulai surut. Di samping itu, keberadaan seni tradisional tak lagi
digandrungi. Budaya Jawa yang sangat luhur kini mulai tergeser.
Musik-musik populer lebih mengena di hati para remaja. Pang-
gung-panggung kethoprak tak ada lagi. Musik dangdut digelar
dimana-mana.
Bu Sinden jarang manggung. Seperti alur cerita, setelah
klimaks maka akan terjadi peleraian. Meskipun demikian, Bu
Sinden bukanlah orang yang senang berpangku tangan. Kebetul-
an, adik sepupunya memiliki warung gado-gado yang cukup
banyak pelanggannya. Ia membantu adiknya, dan mendapatkan
penghasilan. Hidup adalah perjuangan, barangkali itulah
ungkapan yang cocok, Bu Sinden harus berjuang menempuh jarak
belasan kilometer untuk sampai ke warung gado-gado. Pagi ia
berangkat dan sorenya pulang. Begitulah, roda kehidupan terus
62 Eksotisme Gumuk Pasir
berputar, seperti roda sepeda onthel Bu Sinden yang terus ber-
gulir menemani segala aktivitasnya.
Suatu sore menjelang asar, di perjalanan kulihat Bu Sinden
pulang dari tempat sepupunya.
“Bulik, baru pulang?” tanyaku sembari merapatkan motor
ke sepeda Bu Sinden.
“Iya, ini lumayan gasik, Nduk,” jelas Bu Sinden.
Obrolan kami sangat asyik. Kami berjalan beriringan.
“Dari mana Nduk, kok dari utara?” tanya bu Sinden.
“Dari workshop di Sewon, Bulik,” jawabku.
“Mau gado-gado ta, Nduk?” tanyanya pendek.
“Mau, Bulik,” jawabku serta merta.
Bu Sinden menghentikan sepedanya. Aku pun ikut berhenti.
Sebungkus gado-gado kuterima. Aku merasakan ketulusan hati-
nya. Sesuatu yang mulia, yang tak ternilai harganya baru saja
kuterima, yakni ketulusan hati.
Bu Sinden sebenarnya sudah bisa merdeka karena putera-
nya yang kedua sudah membangun rumah tangga. Namun Tuhan
masih menguji kesabarannya. Menantu yang kedua belum juga
dikaruniai keturunan, meskipun usia pernikahan mereka sudah
hampir genap dua tahun.
Malam tujuh belasan di kampungku, kami masih bisa menik-
mati suara emas Bu Sinden. Di tengah hingar bingarnya musik
dangdut yang merajai setiap desa, kampungku menggelar seni
tradisional kethoprak. Meski tidak pakerm, pertunjukkan ini
mampu mengobati rasa rindu kami pada seni budaya jawa yang
hampir tak terdengar lagi gaungnya. Semua terlibat. Gending
pembuka telah diperdengarkan, disusul adegan demi adegan,
senyum kami mengembang sepanjang pertunjukkan. Maklumlah,
semua pemain dan penabuh gamelan adalah warga desaku juga.
Tak terasa pertunjukkan yang berlangsung satu setengah
jam itu cepat berlalu. Gemuruh tepuk tangan penonton meng-
gema, para pemuda berhasil mengangkat kembali citra budaya
tradisional jawa.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 63
Catatan:
*Aja turu sore kaki
Ana dewa nganglang jagad
Nyangking bohor kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bageyanipun
Wong melek sabar narima
(Asmarandana Jakalola)
Tembang tersebut mengandung makna nasihat bagi para pe-
muda agar bisa memanfaatkan waktu untuk selalu bekerja keras
dan berdoa, sehingga mampu meraih segala cita-cita. Orang yang
bekerja keras akan memperoleh rezeki lebih dari yang lainnya.
Tembang ini juga mengisyaratkan agar kita selalu sabar dan ber-
syukur (menerima segala yang telah dianugerahkan Tuhan
kepada kita dengan ikhlas).
* Suarane nurut usuk: suaranya sangat bagus, suaranya sangat
merdu.
* Mijil, Kinanthi, Asmarandana, Pangkur, dan Gambuh
adalah jenis tembang macapat.
* Witing tresna jalaran saka kulina: cinta itu bisa muncul
karena terbiasa berdekatan.
Daftar Pustaka
Muttaqin, Ilham Inki. 2014. Pinter Nembang Macapat - Kumpulan
Tembang Macapat. Yogyakarta: Media Pressindo.
64 Eksotisme Gumuk Pasir
SOPAN SANTUN
YANG TERLUPAKAN
Murdaningsih
SMP Negeri 2 Pandak
Masih terbesit dalam ingatankku, suasana desaku yang
tenang, damai, terdengar burung berkicau, kokok ayam ber-
sautan di pagi hari. Semilir angin, udara yang sejuk belum ter-
polusi asap kendaraan motor. Suara alam sangat akrab bagiku.
Suara hembusan angin dan gemericik air mengalun merdu meng-
alir di beningnya air sungai. Terlihat jalan-jalan masih lengang.
Sepeda merupakan barang mewah saat itu. Bisa dipastikan
sepeda hanya dimiliki oleh pemuka desa dan pegawai negeri.
Tidak mengherankan, banyak warga yang berjalan kaki untuk
sampai ke tempat kerja. Kondisi ini menciptakan kerukunan
antarwarga, mereka hidup damai saling hormat, saling mem-
bantu, saling sapa, peduli dengan warga lain.
Disiplin merupakan perbuatan yang telah ditanamkan
padaku dan kedua saudaraku sejak kami masih kecil. Bangun
pagi menjadi kebiasaan kami. Sedari sekecil kami sudah akrab
dengan tugas yang diberikan oleh orang tua. Aku dan dua
saudaraku diberi tugas berbeda. Kakakku bersama ayah, mem-
bersihkan halaman depan, sedangkan aku harus menjaga adik.
Kami melakukan tugas dengan rasa tanggung jawab. Ibuku se-
orang ibu rumah tangga, pekerjaannya di dapur menyiapkan
segala sesuatu untuk sarapan walau hanya makan sekadarnya,
yaitu bubur atau ubi. Menanak nasi hanya dilakukan pada siang
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 65
hari. Apa pun itu, aku sangat menikmati makanan yang disiapkan
oleh ibu. Ayah seorang guru SD dengan gaji yang kecil, hanya
cukup untuk membiayai kebutuhan selama satu bulan.
Teringat dengan jelas, saat itu aku masih SD. Aku dan teman-
teman berangkat bersama-sama berjalan kaki menempuh jarak
sekitar satu kilometer. Tanpa sepatu kami telusuri jalan bebatuan
dengan penuh keceriaan. Kulihat di kanan kiri jalan pepohonan
dengan daun yang rimbun. Sesekali aku berpapasan dengan orang
kampung yang mengambil air, ibu-ibu membawa klenting berisi
air. Mereka selalu menyapa kami dan kami pun membalasnya
dengan senang hati. Jika di perjalanan bapak atau ibu guru men-
dahului kami, kami selalu menyapa dengan mengucapkan “Se-
lamat Pagi”, ini kami lakukan secara rutin dan menjadi kebiasaan.
Hal yang paling mengesankan saat sampai di sekolah apabila
kami sudah meletakkan tas di kelas dan bermain di luar kelas.
Kalau bapak/ibu guru datang, kami berebut menyambut dan
membawakan tas ke dalam kantor. Ada juga yang menuntunkan
sepeda Pak Guru, diletakkan di tempat sepeda.
Orang tua dan bapak/ibu guru sangat mengutamakan sopan
santun dalam mendidik putra putrinya di segala hal. Kami pun
merasakan manfaatnya, melakukan sesuatu dengan kesadaran
sendiri tanpa harus disuruh orang tua atau bapak/ibu guru.
Waktu kecil, kami sering bermain bersama teman-teman.
Permainan tradisional yang banyak memberi pelajaran sopan
santun pada kami, misalnya permainan petak umpet. Permainan
ini diawali dengan hompimpa atau pingsut untuk menentukan
yang jaga, disebut sebagai “kucing” yang harus mencari teman-
teman lain yang bersembunyi. Si “kucing” atau yang jaga akan
menghadap ke tembok atau ke pohon atau ditutup matanya deng-
an tangan sendiri, mulailah menghitung. Siapa yang lebih dulu
menyentuh, maka teman yang mati bisa bersembunyi kembali.
Permainan ini terus berlangsung sampai “kucing” menemukan
lawannya. Nah, dari permainan petak umpet ini anak-anak di-
latih mematuhi aturan yang sudah dibuat sebelumnya, memiliki
66 Eksotisme Gumuk Pasir
rasa tanggung jawab, dan sanggup menerima kekalahan. Per-
mainan lain seperti lompat tali, dakon, engkling, permainan kele-
reng, semua ada aturannya untuk dipatuhi oleh semua pemain.
Lagu-lagu dolanan, dulu sering dinyanyikan anak-anak saat
terang bulan. Lagu dolanan banyak mengandung sopan santun
dan pembelajaran bagi anak-anak. Kita ambil saja lagu “Gundhul-
Gundhul Pacul” dengan syair seperti ini,
Gundul-gundul pacul-cul,
Gemblelengan
Nyunggi-nyunggi wakul kul
Gemblelengan
Wakul ngglimpang, segane dadi sak ratan
Wakul ngglimpang segane dadi sak ratan
(Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul, besar kepala yang
berarti sombong, angkuh.
Membawa bakul dengan gayanya yang besar kepala (sombong/
angkuh).
Bakulnya jatuh, nasinya tumpah.
Berantakan di jalan (tidak bermanfaat lagi).
Lagu dolanan “Gundul-gundul Pacul” menggambarkan sifat
sombong dan perilaku tidak bertanggung jawab. Dari sifat dan
perilaku yang buruk itu menyebabkan diri tidak mampu bekerja
dengan baik sehingga melakukan hal yang sia-sia. Tembang ini
mengandung pesan bahwa menjadi orang tidak boleh merasa
dirinya paling pintar dan hebat. Orang seperti itu akan bersikap
sombong serta ceroboh, hanya menyebabkan kegagalan dan ke-
sia-siaan. Orang yang sombong dan ceroboh tidak akan mampu
mengemban amanah yang menjadi tanggung jawabnya (Farida
Nugraheni, 2012).
Berbeda dengan kehidupan anak sekarang yang berangkat
sekolah diantar orang tua. Anak jarang bermain bersama-sama,
tidak mengenal lagi lagu-lagu dolanan atau lagu anak yang sarat
pitutur luhur. Anak-anak masa kini jarang memperhatikan sopan
santun, misalnya di dalam kelas saat dilaksanakan diskusi kelas.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 67
Ada seorang anak datang terlambat, tanpa mengetuk pintu dia
langsung masuk dan duduk.
“Hai, Iza! Kok tidak permisi dulu,” ucap salah seorang teman
yang sedang mengikuti diskusi.
“Iya, Bu Guru selalu mengingatkan kepada kita kalau masuk
ke ruangan atau melewati orang, harus permisi dulu,” sahut teman
yang lain.
“Ya, ya, ya! Besok tidak akan aku ulangi,” jawab Iza.
Kejadian tersebut sering kita jumpai di sekolah, di masya-
rakat, atau di tempat lain. Ini menunjukkan bahwa sopan santun
mulai luntur. Ada lagi peristiwa yang terjadi saat istirahat. Dua
orang anak disuruh Bapak Guru mengumpulkan buku tugas ke
kantor guru. Mereka langsung masuk menuju meja guru yang
memberi tugas. Padahal, di kantor banyak guru. Kedua anak
itu langsung masuk menuju meja yang dimaksud dan langsung
keluar kantor tanpa menegur guru yang ada di situ, apalagi
mengucapkan terima kasih, tidak mereka lakukan.
Contoh lain yang menunjukkan ketidakpedulian anak-anak
terhadap kesantuanan, makan minum sambil berdiri atau sambil
jalan. Saat bertemu bapak/ibu guru tidak menyapa. Tidak ter-
biasa mengucapkan terima kasih saat menerima sesuatu dari
orang lain, tidak terbiasa meminta maaf jika bersalah, dan tidak
mengucapkan permisi saat lewat di depan orang lain.
Dalam bertutur kata sering juga kita temukan anak-anak
berkata kasar, tidak homat pada yang lebih tua. Ini terjadi saat
istirahat, seorang anak menyapa Bapak Guru yang masih muda
dengan sebutan “Bro, Pa kabar Bro!” Anak melakukan dengan
senang seakan tidak ada jarak antara murid dan guru.
Ketika guru menasihati anak yang melanggar peraturan se-
kolah, si anak acuh tanpa menghiraukan apa yang diucapkan guru.
Bahkan si anak justru grudelan. Itulah beberapa kejadian yang
sering kita temukan keseharian di sekolah, sopan santun sudah
mulai luntur di kalangan anak-anak sekarang.
68 Eksotisme Gumuk Pasir
Apa yang menyebabkan lunturnya sopan santun pada diri
anak-anak sekarang? Apa yang harus kita lakukan untuk meng-
atasinya? Keluarga sebagai pusat pendidikan pertama, sangat
besar pengaruhya terhadap perkembangan anak dan juga ber-
peran penting dalam pembentukan budi pekerti dan perkem-
bangan sopan santun anak. Hal ini karena anak pertama kali
mendapat pendidikan sopan santun dari kedua orang tuanya.
Keluarga adalah tempat pendidikan yang utama karena keluarga
merupakan dasar bagi pendidikan budi pekerti selanjutnya. Jika
orang tua menginginkan anaknya menjadi orang baik dan ber-
guna di kemudian hari, maka jadikanlah keluarga sebagai ling-
kungan yang paling baik bagi anak.
Anak sekarang cenderung dimanjakan oleh orang tua,
mungkin karena orang tua terlalu sayang. Anak tidak lagi dilatih
berdikari, anak selalu dibantu dalam mengerjakan sesuatu. Anak
dimanja, apa pun yang diminta selalu diberikan. Orang tua me-
rasa kasihan jika anak harus bekerja, alasannya anak sudah se-
harian belajar di sekolah. Orang tua akan senang jika anaknya
mau belajar. Akibatnya, anak tidak tahu apakah yang dilaku-
kannya benar atau salah dan cenderung semaunya sendiri.
Perilaku anak dipengaruhi oleh lingkungan sebaya karena
mereka sering bergaul, sehingga sedikit demi sedikit, anak akan
terpengaruh oleh perilaku teman sebayanya. Dalam pertemanan,
biasanya mudah untuk saling memahami dan memberikan pe-
nanaman suatu perbuatan ke teman lainnya dan menganggapnya
sebagai hal yang benar. Misalnya, si A berjalan di depan orang
yang lebih tua yang sedang duduk, dia tidak memberi hormat,
tidak membungkukkan badan atau mengucapkan salam. Lalu
teman dekatnya bertanya, “Mengapa kamu tidak memberi hormat
dan tidak menyapa orang tua itu?” si A mengatakan bahwa kita
tidak perlu menghormat, kita kan sama-sama manusia, mengapa
perlu menghormat dan mengucapakan permisi?
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 69
“Jika kita hormat pada orang lain, itu merupakan perbuatan
anak jadul, tidak modern. Kita kan hidup di zaman serba canggih
gak perlu membungkukkan badan untuk orang lain.”
Temannya pun percaya pada si A, sehingga pada situasi dan
kondisi yang sama, dia tidak menyapa dan menghormati orang
tua.
Kecanggihan teknologi berpengaruh kuat terhadap ter-
kikisnya nilai sopan santun. Di era globalisai sekarang ini, banyak
anak-anak yang memanfaatkan teknologi dengan tidak semesti-
nya, menggunakan HP atau laptop untuk melihat hal-hal yang
terlarang. Kecanggihan teknologi seperti facebook, line, twitter
membuat anak-anak terbiasa berkomunikasi tanpa bertatap
muka secara langsung, akibatnya anak-anak terbiasa menulis
status tanpa menghiraukan kepantasan dari tulisan yang di-
ungkapkan. Berbeda bila anak-anak terbiasa berkomunikasi se-
cara tatap muka, maka dia lebih menghargai lawan bicaranya.
Televisi saat ini bukan lagi merupakan alat elektronik mewah,
hampir semua keluarga di kota dan di kampung memiliki kotak
ajaib itu. Banyak tayangan televisi yang hanya mengejar rating
dari pada memikirkan nilai-nilai moral yang terkandung di
dalamnya. Dari tontonan itu, anak-anak menirukan perilaku tokoh-
tokoh yang diidolakan, biasanya yang dicontoh anak adalah
perilaku yang menyimpang, jauh dari perilaku sopan santun.
Tayangan sinetron “Anak Jalanan” ditonton oleh anak SD, pada-
hal sebenarnya sinetron ini bukan tayangan untuk anak-anak.
Nah, setelah menonton sinetron tersebut, anak–anak berkumpul
dengan temannya yang masing–masing mempunyai sepeda dan
mereka membuat geng anak jalanan. Ketika bermain, mereka
menirukan tokoh dalam sinetron, mereka naik sepeda dengan
kecang di jalan desa, melintasi halaman rumah penduduk. Di
sinilah sikap sopan anak berkurang, saat ada orang tua berada
di pinggir jalan, mereka tetap ngebut tanpa mempedulikan orang
lain, tingkah mereka menirukan perilaku geng anak jalanan di
sinetron yang mereka tonton. Kondisi ini menunjukkan betapa
70 Eksotisme Gumuk Pasir
kuatnya pengaruh televisi bagi perilaku anak. Lalu bagaiman
cara untuk mengatasi lunturnya sopan santun di kalangan anak?
Hendaklah adab sopan santun anak itu dibentuk sejak kecil
karena ketika kecil mudah membentuk dan mengasahnya, belum
dirusakkan oleh adat kebiasaan yang sukar ditinggalkan(Hamka)
Anak kecil adalah peniru, maka jika sejak dini diberi contoh
sopan santun yang baik, secara otomatis akan terekam dengan
sendirinya. Dari contoh-contoh yang dilihatnya, anak akan men-
coba mengaplikasikan sopan santun yang baik. Dari mencoba
secara terus-menerus, akan berubah menjadi suatu kebiasaan.
Kebiasaan anak berperilaku sopan santun akan terus terbawa
sampai ia dewasa. Jadi, secara tidak langsung, kebiasaan ber-
perilaku sopan santun akan menjadi sifat tetap bagi anak hingga
ia dewasa.
Sopan santun diberikan ke anak lewat pembiasaan dan tin-
dakan nyata dari orang tua. Dalam pembiasaan ini diperlukan
kedisiplinan sesuai dengan usia mereka dengan memberi contoh
mana hal yang baik dan hal yang tidak baik.
Untuk mengatasi hilangnya sikap sopan santun di era glo-
balisasi ini, maka kita perlu membiasakan anak-anak agar:
1. Menghormati orang tua dan orang yang lebih tua.
2. Berkata sopan di mana pun berada.
3. Meminta maaf jika bersalah dan mau memaafkan orang lain.
4. Meminta izin saat meminjam sesuatu dari teman.
5. Mengucapkan “permisi” ketika lewat di depan orang yang
lebih tua.
6. Mengucapkan kata “tolong” dan “terima kasih” kepada
orang yang membantu.
7. Memuji orang lain, menghindari sikap meremehkan orang
lain.
8. Membantu orang lain dalam suka maupun duka.
9. Meningkatkan iman dan takwa kepada Allah sebagai filter
agar terhindar dari perbuatan yang menyimpang dari norma.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 71
Sikap, tingkah laku yang ramah terhadap orang lain dapat
kita tunjukkan di mana saja dalam situasi apa pun. Kita meng-
hargai orang lain dengan tidak menganggap diri kita lebih baik
dari orang lain; sesuatu yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk
dilaksanakan.
Daftar Pustaka
“Mari Belajar Beretika dan Bersopan Santun kepada Orang Tua”,
id-id.facebook.com/notes/zheng-ming...
Tutorial Corel Graphic. 25 April 2012. Anak Janaka.blospot.com
2012/04/log...
Aji, Afnan Seno. 2014. Kumpulan Naskah Pidato Upacara Setahun
Penuh. Yogyakarta: Araska.
72 Eksotisme Gumuk Pasir
KABUT DI PAGI HARI
Ngatijah
SMP 2 Kretek
Kabut pagi mengantarkan Dodi menapaki kegiatan sehari-
hari menimba ilmu di SMP Negeri Batur. Dodi siswa kelas VIII
SMP Batur bertubuh kecil, tinggi, bermata sipit, berpenampilan
sederhana. Ibunya bekerja sebagai pedagang asongan di daerah
wisata tempat tinggalnya. Sedang ayahnya adalah penambang
pasir yang penghasilannya tidak menentu. Dodi memiliki tiga
adik. Adik pertama kelas VI SD, adik kedua kelas III SD, sedang-
kan adik yang ketiga masih berumur tiga tahun.
Hari demi hari dilalui Dodi dengan bekerja keras, rajin
belajar, dan membantu kedua orang tuanya. Setiap azan subuh
bergema, Dodi sudah bangun, bahkan satu jam sebelumnya, ia
belajar mengulang pelajaran dari bapak atau ibu guru, kemudian
membantu ibunya menyiapkan dagangan sehari-hari (merebus
pisang, kacang, dan makanan lainya).
Tidak seperti biasanya, ibu Dodi merasa tidak enak badan
sehingga Dodi harus menggantikan pekerjaan ibunya menyiap-
kan sarapan buat adik-adiknya. Dodi jadi terlambat sekolah,
biasanya pukul 06.30 ia sudah tiba di sekolah, tapi hari itu ia
sampai sekolah pukul 07.20. Peraturan sekolah SMP Negeri Batur
menetapkan setiap siswa terlambat upacara harus berdiri di
barisan tersendiri. Saat itu yang terlambat ada empat siswa
dengan permasalahan berbeda.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 73
Setelah upacara selesai, siswa menuju kelas masing-masing,
bapak-ibu guru pun masuk ke ruang guru. Ibu Nina selaku guru
BK memerintahkan keempat siswa yang terlambat berdiri di ruang
guru, tepatnya di depan tempat duduk bapak-ibu guru, “Bapak-
Ibu tolong diamati, inilah siswa-siswi Bapak-Ibu yang bandel,
semaunya sendiri,” kata Bu Nina dengan nada lantang.
Bel pelajaran jam kedua berdering, siswa dan guru masuk
kelas.
“Masuk kelas, ikuti pelajaran dengan baik!” tegas Bu Nina.
“Ya, Bu,” jawab keempat siswa.
“Nanti istirahat buat surat pernyataan tidak akan meng-
ulangi keterlambatan lagi,” tambah Bu Nina.
“Ya, Bu,” jawab keempat siswa serempak.
Waktu istirahat datang, siswa pun segera keluar kelas. Ke-
empat siswa yang terlambat adalah Dodi kelas VIII A, Rona
VIII B, Novi, dan Nila kelas VIII D.
Rona adalah tipe siswa yang agresif, ia menemui Dodi, Novi,
dan Nila. Rona membuka Pembicaraan, “Bagaimana menurut
kalian tindakkan Ibu Nina tadi?” Novi dan Nila menjawab dengan
senyuman karena mereka merasa sering terlambat tanpa alasan
yang jelas.
Berbeda dengan jawaban Dodi, “Menurut aku kurang tepat,
mengapa Ibu Nina cara menangani permasalahan seperti itu,
mengapa kita tidak diajak ke ruang BK, mungkin di ruang ter-
sendiri kita bisa curhat.” Rona pun mengangguk-angguk tanda
setuju dengan pendapat Dodi.
Hari Kamis, Dodi lebih bersemangat karena hari itu ada
jadwal pelajaran matematika, pelajaran yang sangat disukai Dodi.
Menurutnya matematika itu mudah, apalagi bapak gurunya
masuk ranking idolanya. Di hati Dodi, Pak Madi guru yang tegas,
empati pada siswa, dan tidak pilih kasih. Apabila menemui ke-
sulitan materi pelajaran matematika, Dodi segera mencari refe-
rensi di pepustakaan. Ia malu apabila belum bisa menemukan
jawaban, itulah gengsi Dodi kepada guru penyemangat hatinya.
74 Eksotisme Gumuk Pasir
Tanggal 2 Mei merupakan hari Pendidikan Nasional bangsa
Indonesia. Sudah menjadi kebiasaan pada setiap hari bersejarah,
sekolah Dodi selalu memperingatinya, terlebih bertepatan dengan
hari Senin tanggal 2 Mei. Untuk mencapai hasil yang baik, pe-
tugas upacara yang telah ditunjuk, dilatih oleh OSIS di bawah
bimbingan pembina OSIS dan guru BK. Dodi berlatih sebagai
pemimpin upacara. Dengan suara yang lantang bernada tegas,
Dodi mengucapkan aba-aba dalam upacara. Viko, teman Dodi,
memandang sebelah mata prestasi Dodi. Ia berencana membuat
ulah dengan tujuan menjatuhkan Dodi.
Tanggal 2 Mei, pukul 06.00 pagi, Dodi siap berangkat ke
sekolah. Viko yang biasanya berangkat agak mepet dengan waktu
bel, tumben berangkat lebih pagi menghampiri Dodi. Viko me-
mulai aksinya berpura-pura bersikap baik, di jalan bercanda
dengan Dodi. Pukul 06.15 sampailah di sekolah, di depan pintu
gerbang sudah tampak guru-guru berjabat tangan dengan siswa.
Pukul 06.20 Viko masuk kelas lebih dahulu dengan tujuan
mencelakakan Dodi. Viko menuangkan tinta warna hitam di
tempat duduk Dodi. Waktu itu Dodi masih di luar kelas. Segera
Viko memanggil Dodi segera masuk kelas. Dengan ramah Viko
memberikan sepotong kue donat untuk dimakan bersama. Dodi
pun dengan wajah ceria menerima kue donat pemberian Viko,
kemudian Dodi duduk di kursi menikmati kue pemberian Viko.
Di tengah-tengah menikmati kue donat, ada rasa aneh di pantat
Dodi, serasa ada air. Dodi pun melihat ke atas atap, mungkin
ada atap bocor karena semalam hujan. Dodi pun segera beranjak
sambil meraba celana bagian belakang, ternyata di telapak tangan-
nya menempel tinta hitam. Dodi kemudian mencari Viko.
“Viko....Viko....Gimana ini celanaku terkena tinta. Bagai-
mana aku bisa melaksanakan upacara dengan kostum kotor
seperti ini, padahal harus menjadi pemimpin upacara. Sanksi apa
yang akan aku terima apabila harus berhadapan dengan Ibu
Nina?”
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 75
Dengan pura-pura berhati pahlawan, Viko mendekati Dodi
dan memberikan saran, “Tenang-tenang Dodi, ini namanya kece-
lakaan, tak usah disesali.”
Waktu menunjukkan pukul 06.30 Dodi memberanikan diri
menghadap Bu Nina.
“Ada apa Dodi, pagi-pagi sudah ada masalah,” sambut Ibu
Nina dengan nada kurang menyenangkan.
“Bu, saya mohon dispensasi tidak bisa melaksanakan tugas
sebagai pemimpin upacara karena celana saya terkena tinta. Dodi
memperlihatkan celana bagian belakang.
Ibu Nina naik pitam, “Mengapa kamu malah mainan tinta?
Sengaja ya tidak mau melaksanakan tugas? Dasar anak ceroboh!”
Bel berbunyi dan seluruh warga sekolah siap melaksanakan
upacara. Semua peserta upacara berkumpul di halaman sekolah,
termasuk petugas upacara, kecuali Dodi sang pemimpin upacara.
Pembina OSIS, Pak Madi, mengecek kesiapan petugas upacara,
ternyata pemimpin upacara belum berada di tempat. Dalam hati
Pak Madi bertanya, mengapa Dodi belum datang? Ada apa ya?
Waktu menunjukkan pukul 06.50, dengan langkah sigap Pak
Madi segera menunjuk Rona sebagai pemimpin upacara, dan
upacara dimulai.
Dodi terpaksa tidak bisa mengikuti upacara seperti teman-
temanya. Dodi diberi sanksi oleh Ibu Nina membersihkan ruang
BK. Dodi melaksanakan dengan berat hati. Setelah selesai, Dodi
menuju ke kelasnya menanti pelaksanaan upacara selesai.
Di sepanjang penantian pelaksanaan upacara, Dodi meratapi
nasibnya. Diungkapkan isi hatinya, ia teringat pada buku anto-
logi puisi terbitan Balai Bahasa Yogyakarta.
Niat Hati
Kepada Pemimpin Rakyat
Kalau niat telah terpateri
Akan berkurban memimpin rakyat
76 Eksotisme Gumuk Pasir
Tentu tuan tidak akan mundur
Walau bertubi uzur
Kalau hanya suka dicita
Tidak sungguh akan berbakti
Datang senang bangsapun lupa
Datang susah tuanpun lari
Niat hati laksana biji
Apa yang ditanam itu yang tumbuh
Coba tanamkan biji kenari
Tidakkan jadi sepohon sauh
(Oleh Sumadi dengan gubahan seperlunya)
Dengan menulis puisi yang diingatnya, hati Dodi menjadi
tegar. Puisi ini akan Dodi kirim ke mading sekolah SMP Batur
tercinta.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 77
LENTERA YANG TERSISA
DARI PERJUANGAN TKW
Niken Catur Dewi Risetyawati
SMP Muhammadiyah Bantul
Berawal dari mimpi.
“Yan, kenapa bajumu kau coret-coret seperti itu?” tanyaku pada
jam ketiga pelajaran Bahasa Indonesia. Teman-teman satu kelas
terbahak dan saling menyahut,
“Mimpi Bu, ingin jadi tentara!” teriakan siswa.
Ya memang di atas saku bajunya tertulis US ARMY. Alvian
Rizky Ramadhan nama siswa itu. Sering dia mengatakan mimpi-
mimpinya bahkan tentang mobil mewah “Pajero” yang selalu
diplesetkan teman-temannya dengan panas njobo njero. Olok-olok
teman-temannya tak pernah membunuh mimpinya.
Pernah ia berkata padaku, “Pakde bilang pada saya, Bu, kalau
badan saya bagus, tinggi dan tegap, pantas untuk jadi tentara,”
aku hanya mengangguk waktu itu.
Pada kesempatan lain, ia mengatakan lagi mimpi ter-up date-
nya, ingin mempunyai sepeda Downhill. Setiap di parkiran, Alvian
selalu menatap lekat-lekat sepeda Pak Latif sambil berjongkok.
“Yan, edan lo nek nganti ra kelakon !” teriak Dian, cewek yang
selama ini ditaksirnya.
“Ngopo to kae, kok liat sepeda Pak Latif sambil komat-kamit?”
bisik Irul pada Dian.
78 Eksotisme Gumuk Pasir
“Eh, lihat.... Ian muter pedal sepeda Pak Latif!” lanjut Irul
lagi, “Padahal pedalnya saja mahal harganya, kalau rusak mana
dia mampu menggantinya. Dasar Alvian.”
Ia merenung terus menatap sepeda di depannya. Memang
Pak Latif adalah idola Alvian. Guru yang taat, tertib, dan keras.
Justru keras dan tertib itulah yang menjadi daya tarik bagi
Alvian, sesuai dengan cita-citanya jadi tentara.
Alvian sangat berkeinginan memiliki sepeda seperti punya
Pak Latif. Teman-temannya berpikir, Alvian sudah mendekati
gila. Hugghh...gimana mau beli sepeda seperti milik Pak Latif?
Harga sepeda Pak Latif lebih dari harga sepeda motor vario
edisi terbaru.
“Mimpi kamu, Yan!” seru Irul, “Kalau mau beli sepeda
seperti punya Pak Latif, kamu minta dong sama ibumu, pasti
dikirim dari Arab Saudi!”
“Ha…ha...ha...” teman-teman tertawa mendengar omongan
Irul.
Yah, Alvian bermimpi terlalu tinggi menurut teman-teman-
nya. Sepeda yang ia miliki hanya Wim Cycle, harganya tak sampai
satu juta. Harga yang sama hanya untuk membeli sock sepeda
gunung Pak Latif. Wah...benar-benar mimpi. Gila bener harga
sepeda Downhill.
Semua sama, siapa yang selalu mengidolakan seseorang
pasti selalu up date mengenai apa yang dilakukan idolanya. Begitu
juga Alvian terhadap Pak Latif. Tak hanya itu saja, karena dekat
dan selalu ketemu di sekolah, semua info tentang idolanya mu-
dah didapat, dan Alvian paling taat pada Pak Latif. Tak heran,
semua guru yang kurang berkenan pada kelakuan Alvian di
kelas selalu mengancam akan melaporkan pada Pak Latif, ter-
masuk saya juga.
“Pak, hari Minggu kemarin njenengan bersepeda kemana?”
tanya Alvian ketika bertemu Pak Latif.
“Kemarin ke Selarong, piye?” jawab Pak Latif.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 79
“Eh..anu, Pak. Saya ingin ikut bersepeda dengan Pak Latif,”
jawab Alvian.
“Lha ayo, kapan. Rasah isin, rapopo nek pingin melu,” Pak Latif
menyemangati.
“Tapi, Pak, sepeda saya jelek cuma Wim Cycle.”
“Rapopo, sing penting karepmu kuwi. Pit iso dipikir mburi,” lanjut
Pak Latif.
Sejak itu Alvian rajin mengikuti kegiatan bersepeda Pak
Latif. Teman-teman mulai maklum, tak lagi bergunjing tentang
mimpi-mimpi Alvian.
“Semalam Alvian bersepeda keliling Bantul, Bu,” kata Pak
Latif membuka percakapan denganku.
“Niatnya kuat sekali untuk mengikuti jejak saya bersepeda,”
lanjutnya.
“Tapi, Pak, sepeda njenengan sepeda Downhill lho, sedangkan
sepeda Alvian hanya sepeda Wim Cycle, sepeda biasa,” sahutku,
“Tak jarang teman-temannya mengejek.”
“La niku. Jane mesakke lo, Bu. Ibunya itu jadi TKW,” Pak Latif
berusaha membuka cerita.
“Bapaknya kerja apa ?” tanyaku.
“Bapaknya itu kerja serabutan, paling sering jadi tukang kayu.
Itu pun tidak setiap hari ada pesanan. Maka dari itu ibunya
memutuskan mengembara menjadi TKW. Dan selama ini ibunya
yang selalu pontang-panting memenuhi kebutuhan rumah
tangga.”
“Kalau jadi TKW-kan gajinya besar, Pak!” selaku.
“Inggih, Bu. Tapi alhamdulillah, gaji ditransfer lewat kelu-
arga yang dipercaya karena takut di salahgunakan. Dan keluarga
yang dipercaya itu menggunakan uang transferan untuk mem-
bangun rumah Alvian,” jelas Pak Latif.
“Apa belum punya rumah?”
“Sudah, Bu, tapi belum layak dan sekarang rumahnya sudah
lumayan, layak untuk ditinggali, meski dalamnya masih mlom-
pong, belum ada isisnya,” tambah Pak Halim.
80 Eksotisme Gumuk Pasir
“Terus tentang sepeda tadi?” aku penasaran.
“Saya ikutkan ke kategori lain, Bu. Biar keinginannya bisa
tersalur. Saya kasihan kalau dia ikut di kelas Downhill, harus
membeli sepeda yang harganya tidak murah,” jelas Pak Halim.
“Alhamdulillah,” sahutku, “Semoga bisa membuka jalan untuk
Alvian.”
Beberapa hari setelah percakapan kami, Alvian diikut-
sertakan dalam lomba oleh Bapak Latif yang kebetulan merupa-
kan salah satu pengurus Ikatan Sport Sepeda Bantul. Pak Latif
mengakui bahwa stamina Alvian sangat kuat. Beliau bahkan
sempat tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Start awal Alvian
berada di belakang, namun dengan kekuatannya, ia mampu
menyalip beberapa sepeda yang start di awal.
“Wah, Bu, kalau saya berada di posisi start Alvian, tidak
mungkin saya bisa menyalip peserta di depan saya. Mungkin
kalau berada di posisi Alvian saat itu, bisa saja penyakit typus
saya kambuh, he...he..,” kata Pak Latif.
Patut disyukuri, Alvian menang lomba dengan 3 kategori
sekaligus, yaitu: juara II kategori BMX POPDA DIY, juara III
kategori MTB, dan juara III di kategori Roadbike. Semua di-
sabetnya dalam 3 hari berturut-turut.
“Ini, Bu, tiga buah piala yang dipersembahkan untuk sekolah
kita,” kata Pak Latif sambil menunjukkan 3 buah piala tanda
kemenangan Alvian.
“Alhamdulillah,” bapak ibu guru lainnya bersyukur.
Tak lupa, sebagai pembimbing, Pak Latif share melalui WA
grup sekolah yang selalu digunakan sebagai media dan infor-
masi di sekolah. Berbagai ucapan selamat terus mengalir, me-
macu semangat untuk Alvian.
Sudah menjadi kebiasaan di sekolah, semua prestasi dan
penghargaan yang diterima siswa yang mewakili sekolah selalu
disampaikan dalam upacara, begitu juga prestasi yang diraih
Alvian. Dengan tepuk tangan yang meriah dan siulan, tibalah
waktu pengumuman tentang prestasi siswa. Tentu saja ucapan
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 81
selamat, khusus dari ibu kepala sekolah pun disampaikan dalam
upacara bendera itu.
“Anak-anakku yang ibu cintai dan banggakan, hari ini kita
patut bersyukur bahwa salah satu teman kalian telah mewakili
sekolah dan telah mengharumkan nama sekolah kita dengan
mempersembahkan 3 piala sekaligus. Ini sebagai contoh untuk
kalian bahwa prestasi tidak melulu bisa dicapai dengan ke-
mampuan tinggi di bidang akademik. Contoh yang nyata, teman
kalian sudah membuktikannya. Jangan pesimis, tekunilah apa
yang menjadi keinginan kalian. Sekali lagi, selamat buat Alvian,”
kata ibu kepala sekolah.
Tepuk tangan meriah dari siswa-siswa peserta upacara ber-
gema. Ya, kami, bapak-ibu guru yang telah hampir tiga tahun ini
mendidik Alvian tahu benar kemampuannya di bidang aka-
demik. Sesungguhnya bila lebih rajin dan telaten, dia juga luma-
yan secara akademik. Hanya saja ia sudah memiliki hasrat lain
yang ingin lebih digelutinya.
Selain mendapat duplikat piala, sekolah juga memberikan
uang pembinaan, jumlahnya cukup lumayan bagi anak seusianya,
700 ribu rupiah.
“Wah, lumayan juga uang pembinaan yang diterima Alvian,”
kataku kepada pembimbing sekaligus pendamping lomba se-
peda, “Semoga ditabung untuk persiapan masuk SMU ya, Pak!”
lanjutku.
“Tidak, Bu, rencananya saya arahkan untuk membeli onder-
dil sepedanya yang rusak,” jawab Pak Latif, sang pendamping
lomba sepeda.
“O, begitu. Jadi untuk modal lomba berikutnya, Pak?” tanyaku.
Sang pendamping lomba hanya mengacungkan jempolnya.
Di antara bapak-ibu guru ada yang bergumam, “Alhamdu-
lillah, ya. Prestasi yang diraih Alvian semoga bisa menjadi obat
dari rasa sedih karena ditinggal ibunya.”
Memang baru dalam hitungan hari, ibunya Alvian me-
ninggal dunia. Raut sedih masih jelas terlihat di wajahnya. Namun,
82 Eksotisme Gumuk Pasir
tepukan meriah teman-temannya mampu membuat ia tersenyum
bahagia. Kami, bapak-ibu guru tidak menyangka atas prestasi
yang diraih di tengah suasana masih berduka ditinggal sang
ibunda tercinta.
Baru kemarin rasanya dia menceritakan selalu tidur di
rumah sakit. Baru kemarin juga dia bercerita bahwa selama ini
dialah yang selalu menjaga ibunya di rumah sakit. Dan seperti
baru kemarin dia saya tegur kenapa selalu terlambat masuk
mengikuti PPU (Pendalaman Persiapan Ujian). Memang pernah
saya tegur di suatu pagi, “Yan, kenapa kamu terlambat 30 menit.”
“Maaf, Bu, saya terlambat karena tadi saya mencari nomor
ujian,” jawabnya.
Tak tega juga bila ingat dia baru saja menjadi anak piatu.
Kudekati dia, “Besok lagi, Bu Niken nggak mau kamu terlambat
datang. Nanti kamu rugi waktu. Bila terlambat alasanmu mencari
nomor, langsung berangkat saja dan temui Bu Niken. Nanti biar
ibu belikan nomormu yang ketinggalan itu,” kataku dengan suara
pelan.
Memang sudah menjadi peraturan di sekolah kami, untuk
membiasakan kedisiplinan siswa yang tidak membawa nomor
ujian dan tidak mengenakan seragam sesuai harinya, diberi
hukuman denda sebagai infak 2 ribu rupia, peraturan itu lumayan
berhasil dalam meningkatkan kedisiplinan.
Pagi kemarin aku masuk kelas Alvian jadwal materi khusus
untuk 4 bidang studi yang jadi materi Ujian Nasional (Mate-
matika, Bahasa Indonesia, IPA, dan Bahasa Inggris). Seperti
biasa, Alvian kurang semangat mengikuti hampir di semua mata
pelajaran. Setiap soal aku minta mengerjakan nomor 1 sampai
nomor 25, kemudian setiap siswa menjawab satu persatu. Tibalah
giliran Alvian.
“Kenapa sepertinya kurang bersemangat, Yan?” tanyaku.
Jawabannya benar-benar aneh, “Saya akan bersemangat bila
dicium Ellen, Bu!”
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 83
Kontan saja seisi kelas tertawa keras dan saling bersahutan.
Ellen, siswa kelas IX A yang dia taksir. Sebelumnya dia taksir
Dian, teman sekelasnya, tapi bertepuk sebelah tangan. Saya kira
Ellen pun tak mau karena selain cantik, Ellen juga ada di kelas
favorit, sedangkan Alvian duduk di kelas IX E.
Pada waktu istirahat kuhampiri dia.
“Yan selamat atas prestasimu di bidang sepeda. Ibu berharap
semua bisa menjadi modal bagimu meraih cita-cita jadi tentara.”
“Nggak kok, Bu. Sekarang saya ingin jadi atlet sepeda,”
jawabnya.
“Waduh, kok begini jadinya?”
“Menjadi atlet sepeda untuk sekarang ini merupakan cita-
cita saya, Bu,” jawabnya.
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Saya hanya berharap
semoga prestasi yang telah digenggamnya dapat menjadi pijakan
dan jalan untuk meraih cita-citanya menjadi tentara. Terlintas
lagi di benak saya pengorbanan ibunya yang menjadi TKW untuk
memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga, bapaknya yang
kurang bertanggung jawab, dan begitu tulus dan sayangnya
Alvian pada adiknya, dan baktinya pada ibunya selama di rumah
sakit. Kulihat pada diri anak itu, cahaya dari lentera pengorbanan
ibu yang pernah menjadi TKW. Tugas kami untuk mendidik
dan membimbingnya akan segera berakhir. Semoga siswa-siswa
yang pernah kami didik, menapaki perjalanan hidupnya dengan
baik.
GLOSARIUM
Us Army : tentara Amerika
Panas njobo-njero : panas luar dalam
Pakde : kakak dari ayah/ibu
Downhill : lereng, jenis olah raga sepeda me-
nuruni lereng
Edan lo nek nganti ra kelakon : gila kalau sampai tidak terwujud
Ngopo to kae : kenapa sih itu
84 Eksotisme Gumuk Pasir
Up date : mengikuti, terkini
Njenengan : kamu, Anda (untuk lebih memper-
Rasah isin halus)
Rapopo nek pingin melu : tidak perlu malu
Sing penting karepmu kuwi : tidak apa-apa kalau ingin ikut
Pit dipikir mburi : yang penting niatmu itu
La niku : sepeda dipikirkan belakangan
Jane mesakke : itu dia
Inggih : sebetulnya kasihan
Share : iya
: membagi
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 85
EUFORIA LINGKUNGAN
Ninditya Ikawati
SMP Negeri 3 Pajangan
Dunia berubah….
Dunia dan isinya selalu mengalami perubahan.Entah di bumi
belahan mana, namun dunia pasti berubah. Detik waktu yang
telah aku habiskan, sudah tidak bisa dikalkulasikan lagi. Menye-
butkan segala perubahan yang dialami selama hidup, mungkin
satu rim kertas pun tak mampu menampung perubahan-per-
ubahan yang telah terjadi. Boleh dikatakan,perjalananwaktu se-
lalu diikuti olehperubahan. Semakin panjangumurku, semakin
banyak pula hal-hal yang berbeda dengan hidupku dulu. Sekali-
pun itu disepadankan saat aku berumur sama dengan adikku
sekarang ini, tentu aku tidak menerima beberapa hal yang di-
terimanya.
Sebab-akibat pun masih berlaku. Perubahan yang terjadi
tidaklah terjadi begitu saja, pasti ada hal yang menyebabkan.
Tindakan diperlukan dalam menghadapi perubahan atas ketidak
pastian zaman.
Ya, dunia berubah….
Ketika gelar sarjana telah aku dapatkan pada akhir tahun
lalu,kesempatan untuk bertemu kawan lama pun semakin ter-
buka lebar. Acara reuni, bermain bersama atau sekedar ber-
kumpul untuk saling bertukar cerita, bukan hal yang sulit lagi.
Setelah hampir 4 tahun tidak dipertemukan, acara reuni dilak-
86 Eksotisme Gumuk Pasir
sanakan. Saat itu pula aku menginjakkan kaki pertama di halaman
sekolah setelah aku dinyatakan lulus empat tahun lalu. Waktu
itu aku tak ragu melangkahkan kakimemasuki halaman sekolah.
Tidak asing, namun beberapa langkah kemudian aku berhenti.
“Senang, bangga, dan heran!” kataku sambil memincingkan
mata sebelah.
Senang bisa berkumpul dan mengingat masa-masa sekolah
dulu. Bangga melihat sekolah berubah menjadi istana megah.
Siapa yang bersekolah disini,pastilah nyaman dan betah.
Aku tiba-tiba merasa dejavu. Beberapa waktu lalu, aku pernah
mengambil laporan hasil belajar adikku disalah satu sekolah
ternama di kota. Bangunan elit bagaikan hotel, banyak pepohon-
an yang meneduhkan mata, tata taman yang indah, lingkungan
serta ruang yang bersih dan rapi. Tak ketinggalanterdapat tem-
pat cuci tangan di setiap depan kelas. Sekolah yang berkelas pikir-
ku. Ternyata sekolah itu, dua tahun yang lalu memperoleh peng-
hargaan sebagai sekolah sehat dan sedang menuju sekolah Adi-
wiyata.
Hal itu juga yang aku rasakan ketika memasuki lebih jauh
ke halaman sekolahku. Aku meneruskan langkah yang sempat
terhenti di lobby sekolah.
“Kalau sudah lulus pasti bangunan dan fasilitas sekolah se-
makin bagus!” gumamku dalam hati.
Fenomena bangunan sekolah dimana pun, terutama di kota,
seperti ada perlombaan pembangunan gedungnya,seolah-olah
bersaing satu dengan yang lain. Aku pun tak pernah mengerti
dengan pembangunan gedung dan penambahan fasilitas yang
dilakukan tanpa henti. Bisa saja karena ingin menarik pasaran
(penerimaan siswa)?Atau guna meningkatkan potensi warga
sekolah?Atau hanya mengejar prestise?
Itulah yang terjadi di sekolahku dan di sekolah adikku.
Bukan hanya gedungnya yang terus dibangun, tetapi juga pem-
buatan tamanisasi dan banyak lambang UKS atau lambang sehat
yang betebaran,lambang yang menandakan bahwa sekolah ini
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 87