The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-03-08 22:12:34

Eksotisme Gumuk Pasir Antologi Esai

by Herry Mardianto (editor)

Keywords: by Herry Mardianto (editor),Eksotisme Gumuk Pasir Antologi Esai ,cerpen

Selain itu, penggunaan HP android tanpa kenal waktu, me-
nyebabkan remaja lalai dengan kewajiban beribadah dan ke-
wajiban sekolah. Akibatnya, banyak remaja mengalami krisis
keimanan,prestasi sekolah menurun. Kenyataannya, banyak
remaja yang tidak bisa lepas dari HP dalam melakukan aktivitas
sehari-hari, seperti belajar, makan, nonton televisi, dan lain-lain.
Mereka baru meletakkan HP setelah mendapat teguran dari
orang tua (ayah atau ibu). Muncul pameo bahwa antara remaja
dan HP bagai surat dan prangko, selalu menempel di mana pun
berada.

Remaja adalah generasi penerus,harus membuka diri ter-
hadap perkembangan zaman. Diperlukan sikap waspada dalam
mengikuti perkembangan tersebut, terutama dalam hal peng-
gunaan HP android. Remaja akan menjadi pengendali bangsa pada
masa yang akan datang, oleh karena itu perlu dipersiapkan sejak
dini dalam menghadapi berbagai kemungkinan. Akan lebih baik
jika remaja dapat mem-filter diri dalam penggunaan HP android,
sehingga tidak terjerumus pada pengaruh negatif.

Penggunaan HP androidoleh remaja perlu pengawasan dari
orang tua agar terhindar dari penyalahgunaan. Antara orang
tua dan remaja perlu membuat kesepakatan mengenai pengguna-
an HP, misalnya, orang tua membatasi penggunaan HP android
oleh remaja yang hanya boleh digunakan saat berada di ruang
tamu atau ruang keluarga dan tidak dibawa masuk ke kamar.

138 Eksotisme Gumuk Pasir

SEBUAH PILIHAN….

Budiningsih
SMP Negeri 1 Pleret

Hidup adalah keyakinan untuk menang
bukan untuk disia siakan ….

Asap rokok yang memenuhi ruangan, kembali mengingat-
kanku pada peristiwa tahun 1986. Asap yang membunuh semua
harapan, asap yang telah merubah cerita hidup dari seorang
pemuda Sumatra bernama Oco Basah Manggar. Dia teman satu
kelas di IKIP Sanatha Dharma. Pilihan hidup telah membawanya
ke pintu akherat. Aku selalu mengingatnya karena setiap langkah
kakinya sebenarnya ada gejolak penyesalan yang tak dapat kau
sampaikan karena sebuah pilihan. Pilihan yang kau sendiri masih
bimbang. Kubawa catatan hidupmu dalam kehidupanku untuk
mengajari kebenaran pada manusia-manusia kecil di sekelilingku.

Setiap aku bertemu dia, pandangan yang kosong, pasrah
tanpa harapan sedikit pun, seperti angin yang mengembara tiada
arah. Badannya kurus kering, kulit tubuhnya tak terawat, tampak
kusam di usia yang masih cukup muda. Selalu duduk sendiri
sambil sesekali tangannya yang semakin kurus mempermainkan
sebatang rokok, mengisapnya berkali-kali sampai tak tersisa.
Pandangan matanya jauh menerawang menembus batas cakra-
wala, membius harapan yang mungkin tidak pernah ditulis dalam
hidupnya. Dia biarkan jejak langkahnya menjadi serpihan-
serpihan penyesalan.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 139

Siang itu kuhampiri dia di sudut taman. Aku ingin tahu apa
yang dia inginkan dalam hidup ini. Aku melangkah pelan, asap
rokok mengepul menembus napasku, hingga aku harus sedikit
menahan batuk. Aku duduk agak jauh darinya, kutawarkan per-
men mint kesukaanku, dia menolaknya. Hisapan rokok semakin
dalam menembus jantung, paru, dan membuyarkan harapan.
Aku berusaha mengorek kehidupannya karena rasa kepedulian-
ku. Sudah lama aku mengamati sikap-sikapnya yang menurutku
terlalu cuek, masa bodoh, dan apatis. Yah, kalau dia kuliah di
jurusan seni, pantas-pantas sajalah. Tapi, ini kan keguruan? Pan-
taskah seorang calon guru bersikap seperti itu? Bagaimana dengan
anak didiknya nanti? Pikiran pikiran itu selalu saja berkecamuk
dalam batinku. Kugeser dudukku, tapi belum sempat aku ber-
bicara, tanpa kusadari, dia telah meninggalkan aku sendiri di
bangku taman. Selalu saja seperti itu.

Beberapa hari kemudian, aku kembali melihat Oco asyik
dengan kepulan asap rokok yang memenuhi ruangan. Tidak
pernah sekali pun aku melihat dia melepas rokok dari jari-jarinya,
kecuali dia sedang mengikuti kuliah. Jika diperhatikan, tetap
saja ada kegelisahan di lekuk-lekuk di matanya yang kusam.
Pagi itu iseng-iseng aku menawarkan makan pada Oco.

“Co sudah sarapan belum? Ayo kita ke kantin!” kataku sam-
bil ngobrol dengan teman-teman.

Dengan entengnya dia menjawab, “Apalah makan, sebatang
rokok bagiku itulah sarapan,” sambil menikmati isapan demi
isapan yang entah keberapa kalinya. Lingkaran-lingkaran asap
semakin memenuhi ruangan kelas mengisi sudut-sudut harapan
yang kosong. Baginya, sebatang rokok lebih berarti dari sepiring
nasi. Itu menjadi catatan hidupnya yang sudah tidak dapat
diubah lagi.

Mata kuliah Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) 2 sudah
semakin dekat. Kebetulan kami satu kelompok di SMP Sang
Timur, dia satu-satunya laki-laki di kelompok kami. Dia berusaha
disiplin mengikuti bimbingan mengajar di SMP Sang Timur.

140 Eksotisme Gumuk Pasir

Pernah ketika kami wajib mengikuti upacara bendera setiap hari
Senin, Oco malas-malasan mengikuti kegiatan tersebut. Waktu itu,
dia berada di deretan kedua tepat di sebelahku. Beberapa saat
setelah peserta selesai menyanyikan lagu Indonesia Raya, tiba-tiba
Oco berbisik kepadaku, “Bud tolong aku, aku sudah tidak kuat,”
aku segera menoleh padanya, wajahnya pucat pasi, keringat me-
ngucur mengikuti garis-garis wajahnya yang menegang.

Saat itu aku bingung, belum sempat beranjak dari tempat
berdiri, tubuh Oco limbung ke kiri, untung aku segera menahan-
nya agar tidak jatuh. Beberapa guru laki-laki segera membopong-
nya ke ruang UKS. Kusuruh beberapa teman mengikutinya,
sedangkan aku berusaha tetap tenang dan kembali konsentrasi
mengikuti upacara bendera, meski pikiran dan rasaku berke-
camuk tidak karuan. Sungguh pemandangan yang kurang me-
ngenakkan bagi kami sebagai mahasiswa. Siangnya ketika kami
pulang, aku lihat Oco menunggu bus kota jalur Timoho, wajah-
nya tetap pucat, tapi yang aku herankan jari-jarinya masih saja
memainkan sebatang rokok yang asapnya tampak berbaur
dengan kebisingan jalanan. Aku dekati dia, tanpa menoleh dia
meloncat masuk ke dalam bus. Hanya lambaian tangan yang
tersisa dan mengambang.

Beberapa hari ini aku sempat berbincang dengan Oco, dia
sebenarnya tahu dan paham betul apa yang telah dia lakukan.
Dia tidak menutup mata sama sekali akan hal tersebut. Akan
tetapi, pernyataan-pernyataannya membuatku rishi, “Hah,
orang mati itu sudah ada yang ngatur, bukan hanya karena rokok.
Lihatlah Safi, Soleh, dia juga mati muda, tapi apakah karena
rokok? Lihat juga Robi, dia pecandu rokok berat, tapi kenapa
sampai hari ini dia masih segar bugar? Ah, Mas bodoh, biar orang
mau ngomong apa terserah sajalah.” Dia nampak uring-uring-
an, sesekali batuknya memecah kesunyian. Dia berjalan menjauh
dan tubuhnya tampak limbung. Kupandangi tubuhnya yang se-
makin menjauh, sampai pada titik yang samar. Sesaat kemudian,
aku beranjak pergi meninggalkan kampus.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 141

Kuambil sisa bungkus rokok yang tergeletak di atas meja
kantin, sesaat bayangan tubuh yang kurus kering tak berdaging
mengantarku pada sebuah keresahan. Kubaca dan kuamati
gambar-gambar yang tertera. Sebuah kehidupan telah ditawar-
kan, entahlah, aku sendiri merasa heran dengan keputusan-ke-
putusan yang dipilih hanya dengan rasa. Hidup menjadi sebuah
perdebatan yang tak ada ujungnya. Wajarlah jika timbul per-
tanyaan, sudah begitu bodohkah manusia itu? Memilih tindakan
yang berujung pada kehancuran menjadi sebuah kebanggaan.
Ataukah itu hanya sebuah ketakutan untuk mengakui sebuah
kesalahan? Anehnya, tindakan bodoh pun selalu dianggap se-
bagai suatu tindakan yang cerdas. Mereka memimpikan surga
khayalan, memimpikan anggapan-anggapan yang mendatangkan
pujian hingga dapat menenggelamkan akal sehat. Keramaian kan-
tin membuyarkan lamunanku. Segera kubuang bungkus rokok
ke tempat sampah sudut kantin, aku segera menghabiskan se-
mangkuk soto dan segelas es jeruk yang tinggal setengah.

“Aku tidak sakit, aku sehat! kenapa kalian menyuruhku ke
dokter?” kata-kata itu selalu keluar jika teman-teman Oco me-
nyarankan untuk memeriksakan ke dokter.

Pernah satu hari penuh, dengan sisa uang yang tidak se-
berapa, dia hanya minum air putih dan memilih membeli se-
bungkus rokok dari pada sebungkus nasi. Dengan bangganya
dia memamerkan keadaan tersebut di depan teman-temannya.
Tak ada yang respon memang, karena semua tahu bahwa nasihat
mereka tak pernah didengarkan. Tanpa disadari, kebiasaan-ke-
biasaan tersebut menjadi sebuah karakter yang sulit dihapus.

“Kita ingin agar kau tidak jatuh sakit Co, sebentar lagi kita
akan menempuh ujian, kau mau lulus kan?”

“Lihat Co, teman-teman sayang kamu, mereka ingin kita
semua lulus tahun ini.”

Oco hanya diam memandang satu-satu temannya, Tubuhnya
disandarkan pada tepian meja.

142 Eksotisme Gumuk Pasir

“Jangan pikirkan aku, aku telah nyaman dengan hidupku
yang sekarang,” dia melangkah pergi sambil menahan batuk.
Tubuhnya terhuyung hampir menabrak pintu. Dia menyeret lang-
kahnya meninggalkan kami yang berdiri terpaku. Entah apa lagi
yang harus kami lakukan untuk memberi kekuatan kepada Oco.
Dia seperti menutupi kekalahan yang diciptakannya sendiri.

Sore itu, ketika aku baru selesai membersihkan kamar, ketuk-
an pintu terdengar samar-samar. Aku bergegas keluar, tidak
biasanya teman kuliah datang pada jam-jam seperti ini.

“Edward? Silahkan masuk.”
Edward bergegas masuk sambil menatapku gelisah.
“Bud…, Oco telah dipanggil Tuhan tadi pukul setengah lima,
dia masuk rumah sakit Betesdha kemarim malam, batuk darah.”
Aku rasanya belum percaya sama sekali pada apa yang
dikatakan Edward. Sampai di sinikah Oco bisa bertahan? Edward
segera meneruskan bicaranya, “Besok pagi akan diadakan sem-
bahyang doa, aku sudah kabari teman-teman semuanya.”
Setelah Edward pulang, aku ambil sebatang rokok milik
adik iparku, kunyalakan, kemudian kuletakkan di sudut teras.
Asap mengepul mencari celah-celah yang ada, mencari kebenaran
yang hilang dhempas angin.
Aku bergegas menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang
sungguh asing bagiku, suasana sepi membuat degup jantungku
terasa berat. Kucari setiap sudut kamar, belum juga kutemukan
ruangan itu. Beberapa saat kemudian, di ruangan paling ujung,
sayup-sayup terdengar doa dan nyanyian gereja. Aku melang-
kah, memasuki ruangan yang tidak terlalu besar. Harum bunga
dan minyak wangi menyusup lewat celah-celah kesadaranku.
Teman-temanku sudah banyak yang hadir, tampak beberapa
keluarganya duduk di sisi jenazah. Aku menyalami satu persatu.
Kemudian kami dipersilahkan melihat dan mendoakan jenazah.
Wajah Oco nampak pucat, tubuh kurusnya tertutup jas hitam
dan beberapa ikat bunga warna ungu menghias dadanya yang
rapuh. Ingin aku mendoakan dengan caraku, tetapi mungkin ini

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 143

akan sia-sia. Selamat jalan Oco, semoga diampuni dosa-dosamu
dan mendapat tempat yang terbaik. Amin. Hari ini jejak lang-

kahmu menjadi pelajaran berharga, menjadi pelajaran bagi manu-
sia yang tidak pernah mau mengakui kesalahan, menjadi pelajaran
bagi mereka yang menjalani pilihan hidup yang sia-sia.

Pagi itu di perpustakaan, Edward memberiku selembar ker-
tas yang tersisa di kamar Oco, beberapa baris kalimat tertulis,
meskipun ada sebagian baris-baris yang hilang karena basah

oleh hujan yang mengguyur, membekas hitam seperti peta buta.
Sebuah coretan yang ditulis seadanya, mungkin hanya keluhan-
keluhan yang tidak ada arti baginya, atau bisa jadi sebuah peng-

akuan hidup yang selalu kami pertanyakan Aku baca berkali-
kali, sebuah pengakuan yang telah disembunyikan

Lelah aku hidup dikitari bayangan semu
Lelah aku hidup penuh rayu
Lelah aku dengan pilihanku…lelah..lelah…lelah, aku
ingin?
aku tahu itu
asapku …temanku…hidupku…
mungkin mengantar pada kematian
kematian cinta
kematian rasa

Setelah kubaca, aku lipat kembali. Inilah hidup, ada banyak
permasalahan yang tak dapat terselesaikan. Kuserahkan kembali
kertas itu pada Edward.

Benarkah seperti permainan dadu, manusia dipaksakan
untuk menentukan pilihan hidup. Dia tidak tahu apakah pilihan
hidupnya berakhir dengan kemenangan ataukah kekalahan?
Tetapi secara akal sehat, tentu saja pilihan yang baiklah yang
akan kita ikuti untuk mempertanggungjawabkan kepada Tuhan
maupun masyarakat di sekitar kita. Semua ini dibutuhkan
kesadaran yang dilandasi keluhuran hati dan pikir.

Hari ini, setelah tiga puluh tahun sejak peristiwa itu, aku me-
mantapkan kaki mengikuti jalur profesiku sebagai guru. Inilah
pilihan hidupku. Pilihan hidup yang jauh dari kekuasaan dan

144 Eksotisme Gumuk Pasir

kekayaan. Pengalaman teman-temanku telah memberiku bekal
yang sangat berarti. Sudah kumulai hidupku dari sini.

Langkah kakiku terasa ringan memasuki kembali gerbang
sekolah, di sinilah aku mengukir hidup dengan banyak perjuang-
an. Wajah polos anak-anakku, senyum dan sapa mereka membuat
semangatku muda kembali. Tet…tet…tet…! Bel masuk pelajaran
pertama dimulai. Aku bergegas memasuki ruangan kelas VIII
C. Belum sempat kami berdoa, sudah banyak anak-anak yang
mengadukan berbagai kejadian di kelas.

“Bu, Salsa nggak mau piket!”
“Bu, aku mau mengumpulkan tugas!”
“Bu…Bu…kemarin Adib bolos les lho!”
Sedang Riska dengan suara lantang juga ambil bagian, “Bu,
kemarin Candra ngrokok di wahana lho, Bu!”
Suara-suara itu bagiku sudah melekat di telinga. Itulah salah
satu ekspresi spontan dari mereka, meskipun aku sedikit ter-
ganggu dengan suara lantang Riska. Kalimat Riska membuat
pikiranku kembali terganggu. Yah… kepulan asap kembali ter-
bayang. Tidak! Aku harus bisa memberikan pilihan hidup yang
baik bagi anak-anakku. Pilihan hidup yang mengantar pada
dunia yang sesungguhnya, sebelum semuanya terlanjur.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 145

TERSENYUMLAH DENGAN HATI

RR. Suwasiati
SMP Negeri 1 Bambanglipuro

Tetes-tetes hujan pagi sudah semakin mengabur. Udara sejuk
pun mulai memudar. Sang mentari mulai memunculkan cahaya-
nya. Bau tanah yang khas tertimpa air hujan, menghilang terbawa
hembusan angin.

Kehidupan mulai menggeliat.Kulangkahkan kaki mengikuti
jalan setapak menuju tempat berkumpulnya roda kehidupan.
Suara orang bercakap-cakap pun mulai terdengar. Tawar-me-
nawar barang yang dibawa dan dijajakan. Aku terkesiap melihat
dari kejauhan seorang bapak tua yang tertatih-tatih membawa
pikulannya. Usianya sudah tidak muda lagi. Garis-garis kerasnya
kehidupan terlihat jelas di wajahnya. Napas agak tersengal-sengal
tidak teratur mengiringi langkah kakinya yang tertatih-tatih.

Penglihatanyasudah tidak begitu awas lagi. Karena beberapa
kali kulihat kakinya tersandung batu di jalan yang tidak rata.
Kadang terhuyung-huyung sambil menahan pikulan yang ber-
goyang-goyang kesana-kemari mengikuti gerak kaki yang tidak
sempurna lagi.

Beberapa barang plastik tergantung di pikulannya. Gayung
plastik, saringan teh, centong nasi, serok sampah, tambal panci,
beberapa ikat tali kenur,dan serbet kotak-kotak warni-warni
tersembul dari bungkusan plastik yang sedikit terkoyak, se-
hingga berkibar-kibar tertiup angin.

146 Eksotisme Gumuk Pasir

Dia lemparkan pandangan mencari tempat strategis untuk
menjajakan dagangan. Di pojok pasar, dia melihat ada sedikit
celah untuk menempatkan pikulannya. Bergegas dia hampiri
tempat itu.Tinggal beberapa langkah lagi sampai ke tujuan, “Hei,
Pak Tua jangan di situ, ini tempat parkir, bukan tempat untuk
jualan, jangan di sini!” ujar Centeng pasar.

“Sebentar saja, Nak. Saya hanya mau sedikit bernapas dan
melepas lelah,”jawab Bapak Tua.

“Ya, sudah. tapi betul hanya sepuluh menit saja!” jawabnya
sambil berjalan menjauhi Pak Tua. Dia senderkan pikulan per-
lahan karena lutut sulit untuk dilipat, sehingga beberapa menit
diperlukan untuk menyandarkan pikulan dan tubuhnya.

Dia tatap panasnya mentari yang mulai menyengat, sambil
mengeluarkan botol minuman air putih bekas. Beberapa teguk
air mengaliri kerongkongannya yang kering. Topi lusuh dikibas-
kibaskannya untuk menghilangkan gerah yang menyelimuti tubuh.

Belum ada satu barang dagangan pun yang laku, “Mungkin
rezeki belum datang hari ini, sabar, sabar, hidup memang harus
selalu sabar,”gumamnya dengan suaralirih.

Tergopoh-gopoh dua orang ibu muda menghampiri dagang-
annya. Wah, rezeki datang sambutnya, “Silakan Ibu, pilih yang
mana?” tanya Pak Tua.

“Pak, saya ambil saringan teh, dua centong nasi, sama tiga
tambal panci.Berapa harganya Pak?” tanya ibu berbaju merah
bata.

“Semuanya lima belas ribu rupiah, Bu,” jawab Pak Tua.
Ibu itu pun berkata,”Tiga belas ribu rupiah saja ya, Pak!”
Temannya menyenggol lengan Ibu itu sambil berkata, “Alah,
pakai ditawar-tawar segala, hanya dua ribu rupiah terpautnya.
Kenapa sih?”
“Kalau belanja di mall langsung ambil, langsung bayar, tidak
pakai tawar-tawar,” lanjutnya
“Mumpung bisa ditawar gitu lho,”jawab ibu berbaju merah
bata.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 147

“Ya Allah,hari gini masih ada orang yang sulit ngluarin uang
dua ribu rupiah untuk membantu orang lain. Heh, keuntungan
dua ribu tidak akan membuat bapak ini jadi kaya, Neng!

Ia masih melanjutkan, “Uang dua ribu rupiah juga tidak akan
membuat kamu jatuh miskin. Hayo! Betul tidak?” jelasnya.

“Ya. Betul kamu, nilainya seratus. Ini uangnya lima belas
ribu. Saya ikhlas kok, Pak,” tukas ibu berbaju merah bata.

“Terima kasih Ibu-ibu, semoga ini akan membuka berkah rezeki
bagi Ibu dan pembuka rezeki bagi saya,” ujar Pak Tua.

“Aamin.Ya Rabbal Alamin!” jawab serempak kedua orang ibu
itu.

Peristiwa itu sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Betul juga apa yang dikatakan teman ibu berbaju merah bata
itu. Tidak usah ditawar-tawar kalau membeli di pasar. Karena
keuntungan mereka—penjual—tidak akan membuat kita, pem-
beli, jatuh miskin. Mereka, para penjual tidak akan menjadi kaya.
Bentuk keikhlasan itu yang kita perlukan. Kejadian ini membuat
saya teringat dengan sebuah kisah yang membuka insprirasi di
dalam diri saya. Kejadian yang berkaitan dengan keikhlasan itu
terjadi di Jerman.

Di awal kisah, ada seorang ibu rumah tangga warga negara
Indonesia yang bermukim di Jerman. Dia tinggal bersama suami
dan ketiga orang putranya dalam rangka menyelesaikan kuliah.
Kelas terakhir yang dia ikuti adalah sosiologi. Sang dosen mem-
beri tugas kepada siswa untuk tersenyum kepada tiga orang asing
yang dijumpai dan siswa diminta mendokumentasikan reaksi
mereka. Tugas ini diberi nama ‘Smilling’.

Setelah menerima tugas tersebut, dia bergegas menemui
suami dan anaknya yang sudah menunggu untuk pergi keresto-
ran Mc Donald yang berada di sekitar kampus. Ketika dia sedang
antremenunggu giliran dilayani, tiba-tiba setiap orang yang ber-
ada di sekitar dia menyingkir, dan barisan yang berada dibe-
lakangnya juga menyingkir. Perasaan aneh menyelimuti dirinya,
lalu dia berbalik melihat ke belakang karena tercium bau badan

148 Eksotisme Gumuk Pasir

yang menyengat, ternyata tepat di belakangnya berdiri dua
orang lelaki tunawisma yang sangat dekil. Dia bingung dan tidak
mampu bergerak sama sekali.

Dia lalu menundukkan kepala. Tidak sengaja dia melihat
laki-laki yang bertubuh pendek yang bermata biru berdiri tepat
di dekatnya sedang menatap dirinya sambil tersenyum. Lelaki
ini berucap, “Good day!” sambil menatap dengan pandangan yang
memancarkan kasih sayang,seolah-olah berharap agar dia dapat
menerima kehadirannya. Dia melakukan itu sambil menghitung
koin yang disiapkankan untuk membayar makanan yang akan
dipesan. Secara spontan, ibu tadi membalas senyumannya dan
dia teringat tugas yang diberikan dosen kepadanya.

Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan
aneh. Setelah dia amati dengan seksama, ternyata lelaki itu men-
derita defesiensi mental. Lelaki yang bermata biru itu adalah
penolongnya. Dia sangat “prihatin” melihat antrean,kini hanya
tinggal dirinya dan dua laki-laki itu. Tiba-tiba antrean sudah
sampai di depan counter. Ketika wanita muda petugas counter
menanyakan apa yang akan dipesan, dia mempersilakan kedua
lelaki itu untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera
memesan, “Kopi saja, satu cangkir, Nona!” Ternyata hanya itulah
yang mampu mereka membeli.

Sudah menjadi aturan di restoran, jika ingin duduk di dalam
restoran dan menghangatkan tubuh, maka pelangganharus mem-
beli sesuatu. Tampaknya kedua lelaki itu hanya ingin meng-
hangatkan badan. Tiba-tiba saja dia diserang rasa iba yang mem-
buat dirinya terpaku beberapa saat lamanya. Sambil dia meng-
ikuti langkah kedua lelaki itu untuk mencari tempat duduk yang
jauh terpisah dari pengunjung lain. Hampir semuapengunjung
mengamati mereka. Saya baru menyadari bahwa sekarang se-
mua mata juga tertuju pada dirinya dan pasti melihat semua
tindakan yang dia lakukan.

Dia baru tersadar setelah petugas di counter menyapa untuk
yang ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin dia pesan. Dia

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 149

tersenyum dan minta dibuatkan dua paket makan pagi di luar
pesanannya dalam nampan terpisah. Setelah membayar semua
pesanan, dia minta bantuan petugas lain yang ada di counter
mengantarkan nampan pesanan saya ke meja atau tempat duduk
suami dan anaknya. Sementara dia membawa nampan lainnya,
berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua
lelakitunawisma tersebut.

Dia letakkan nampan berisi makanan di atas mejanya dan
meletakkan tangan dinginnya di atas tangan lelaki bermata biru
itu sambil berucap, “Makanan ini telah saya pesan untuk kalian
berdua.”

Kembali mata biru menatap dalam ke arahnya. Kini mata
itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata,”
Terima kasih banyak, Nyonya.” Dia mencoba tetap menguasai
dirinya, sambil menepuk bahunya dan berkata, “ Sesungguhnya
bukan dia yang melakukan ini untuk mereka, tetapi Tuhan juga
berada di sekitar sini dan telah membisikan sesuatu di telinganya
untuk menyampaikan makanan ini kepada mereka.”

Mendengar ucapan itu, si Mata Biru tak kuasa menahan haru
dan dia memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin
sekali dia merengkuh kedua lelaki itu. Dia sudah tidak dapat
menahan tangis ketika berjalan meninggalkan meja mereka dan
bergabung dengan suami dan anaknya. Ketika dia duduk, suami-
nya mencoba meredakan tangisnya sambil tersenyum dan ber-
kata, “Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu
menjadi istriku.Yang pasti untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi
diriku dan anak-anakku.”

Keduanya saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat
itu dia benar-benar bersyukur dan menyadari bahwa hanya
karena bisikanNya mereka dapat berbuat sesuatu bagi orang
lain yang sangat membutuhkan. Ketika mereka sedang menyan-
tap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran
dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu per satu
menghampiri mejanya untuk sekadar ingin ‘berjabat tangan’

150 Eksotisme Gumuk Pasir

dengan keluarganya. Salah satu diantaranya, seorang bapak
memegang tangannya sambil berkata,” Tanganmu ini telah
memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada
di sini. Jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNya, maka
akan saya lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi
kepada kami.”

Sambil tersenyum, dia hanya bisa berucap,”Terima kasih.”
Sebelum beranjak meninggalkan restoran, dia sempatkan
melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada ‘magnet’ yang
menghubungkan batin mereka. Spontan keduanya langsung
menoleh ke arahnyasambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan
tangan ke arah keluarga ibu tersebut.
Dalam perjalanan pulang, dia merenungkan kembali apa
yang telah dia lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi.
Kejadian itu benar-benar ‘tindak’ yang tidak pernah terpikirkan
olehnya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepadanya betapa
‘kasih sayang’ Tuhan itu sangat hangat dan indah sekali! Dia
kembali ke cottage.
Pada hari terakhir kuliah, ada ‘cerita’ ini di tangannya. “Ter-
senyumlah dengan ‘hatimu’, dan kau akan mengetahui betapa
‘dahsyat’ dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.” Dengan
caranya sendiri, Tuhan telah menggunakan dirinya untuk me-
nyentuh hati orang-orang yang ada di McDonald. Suami, anak-
anak, guru dan semua siswa menghadiri kuliah padamalam
terakhir bagi dia sebagai mahasiswa. Dia lulus dengan satu
pelajaran terbesar yang tidak pernah dia dapatkan di bangku
kuliah manapun, yaitu ‘penerimaan tanpa syarat,’ dan “siapa
yang mencintai sesama dengan memanfaatkan sedikit harta
benda yang dimiliki dan bukannya mencintai harta benda yang
bukan miliknya dengan memanfaatkan sesama.”
Sebuah keikhlasan bisa terjadi di mana saja, di belahan bumi
manapun selama hati manusia masih terpaku kepada nurani.
Tuhan akan membuka pintu rahmat dan berkah bagi siapa yang
Dia kehendaki. Amin Ya Rabbal Alamiin!

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 151

Daftar Pustaka

Alya, Qonita. 2008. Kamus Bahasa Indonesia untuk Pendidikan
Dasar. Bandung: PT Indahjaya Adipratama.

152 Eksotisme Gumuk Pasir

GURU BAHASA INDONESIA
UJUNG TOMBAK LITERASI SEKOLAH?

Siska Yuniati
MTs Negeri Giriloyo

Mengopi dan membaca merupakan dua hal yang menjadi
aktivitas favorit bagi banyak orang yang tidak begitu suka meng-
habiskan waktu di luar rumah. Anggaplah orang-orang yang
demikian adalah merekayang irit waktu dan biaya. Sekali teguk,
dua atau tiga informasi didapatkan, begitulah kira-kira. Saya
kadang memasukkan diri ke dalam golongan ini. Maka, di tengah
hiruk-pikuk pekerjaan, saya menyempatkan melakukan dua akti-
vitas tersebut.

Suatu sore, ketika asyik menyeruput kopi, saya dikejutkan
oleh satu artikel di Koran Tempo edisi 16-17, April 2016, berjudul
”Terpuruknya Peringkat Literasi Kita”. Membaca lembar lain,
saya sampai geleng-geleng kepala mendapati kabar dari World’s
Most Literate Nations pada Maret laluyang mengumumkan tentang
peringkat literasi dunia. Dari data yang disusun oleh Central
Connecticut State University tersebut dinyatakan bahwa Indonesia
berada diurutan ke-60 dari 61 negara dalam bidang literasi.

Posisi itu menempatkan Indonesia berada di bawah negara-
negara Asia lain, seperti Korea Selatan (peringkat 22), Jepang
(peringkat 32), Singapura (peringkat 36), Tiongkok (peringkat
39), Malaysia (peringkat 53), serta Thailand (peringkat 59).
Informasi tersebut menunjukkan tidak adanya perubahan yang

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 153

berarti akan kondisi literasi negara kita. Sebut saja dari hasil
studi Programme for International Student Assesment (PISA) untuk
tahun 2000, 2003, 2006 yang dilansir oleh laman Litbang
Kemdikbud. Organisasi yang berkedudukan di Paris Perancis
tersebut menjelaskan posisi Indonesia dalam prestasi literasi
membaca. Tahun 2000 Indonesia menempati peringkat ke-39 dari
41 negara, tahun 2003 berada di posisi 39 dari 40 negara, dan
tahun 2009 menempati posisi 48 dari 65 negara yang disurvei.
Pada tahun 2012, Indonesia mendapatkanskor 396, sementara
rata-rata dunia adalah 496. Itu artinya, nilai Indonesia di bawah
rata-rata dunia. Dengan nilai tersebut, tahun 2012 Indonesia
hanya mampu menempatkan diri pada posisi 60 dari 65 negara
(Schleicher, 2013).

Tidak puas dengan data tersebut, saya mencoba rujuk silang
dengan hasil studi Progress in International Reading Literacy Study
(PIRLS), yakni sebuah program yang berusaha mengungkap
prestasi literasi anak kelas empat. Progam ini dijalankan oleh
Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang berpusat di
Amsterdam dengan komando Ina V.S. Mullis and Michael O.
Martin dari Boston College. Ternyata, studi PIRLS juga me-
nunjukkan bahwa Indonesia selalu berada pada posisi di bawah
rata-rata dunia (Foy, 2013).

Ah ya, semestinya saya tidak perlu gusar, wong nyatanya
pemerintah sudah ambilbagian dalam meningkatkan minat baca
masyarakat Indonesia. Tahun lalu pemerintah sudah membuat
gerakan untuk meningkatkan minat baca anak. Sebagai langkah
awal, Menteri Pendidikan Anis Baswedan menyampaikan bahwa
gerakan minat baca akan dilakukan dalam ranah sekolah dengan
nama Gerakan Literasi Sekolah. Ada yang menarik dari Gerakan
Literasi Sekolah ini, yaitu diwajibkannya siswa membaca buku
nonpelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai.

Membayangkan kegiatan tersebut saya bersorak, tentu akan
mengasyikkan. Mau tidak mau, siswa akan membaca. Sebagai
guru Bahasa Indonesia, saya akan merasa sangat terbantu,

154 Eksotisme Gumuk Pasir

khususnya dalam hal pengenalan kosakata. Selain itu, gerakan
ini sedikit banyak tentu akan menjadikan anak lebih doyan
membaca sehingga akan lebih mudah memahami isi bacaan.
Maklum saja, siswa saya memang kurang berminat dalam urusan
membaca. Hal ini terlihat manakala saya menanyakan judul-judul
novel yang sedang ngetren, mereka tidak bisa menjawab. Bahkan
ada yang dengan lantangmengatakan memang tidak suka mem-
baca.

Di sisi lain, sebagai seorang penyuka buku, saya ingin anak
didik terjangkiti virus gemar membaca. Saya berharap anak didik
saya akan mengetahui manfaat membaca buku, bahkan sampai
mereka kecanduan membaca. Berpikir tentang hal ini, saya mem-
bayangkan di antara anak didik saya ada yang menjadi R.
Sardjono seperti dikisahkan Joni Ariadinata dalam bukunya Aku
Suka Nulis Fiksi.

Joni menuliskan bahwa dalam mengisi liburannya, R. Sarjono
membaca banyak buku hingga ketika kembali ke sekolah, ia mampu
bercerita mengenaibanyak hal. Sementara teman-temannya
bercerita tentang liburannya di desa, berdarmawisata, serta ber-
kunjung ke rumah nenek, R. Sarjono justru mengaku berkunjung
ke Afrika, Jepang, Mesir, Balkan, Yunani, Tiongkok, Rusia,
Amerika, Inggris, Australia, dan berakhir di pedalaman Sumatra.
“Kunjungan” tersebut ternyata dilakukan R. Sarjono melalui
novel Warisan karya Himunyanga-Phiri, Daerah Saljukarya
Yasunari Kawabata, Lorong Midaqkarya Naquib Mahfouz, Perang
dan Damaikarya Leo Tolstoy, serta Harimau! Harimau!karangan
Mochtar Lubis.

Jika tidak seperti R. Sarjono, siswa saya barangkali akan
seperti Buya Hamka yang rela menghabiskan uangnya, bahkan
berhutang, lantaran saking banyaknya buku yang dibeli ketika
suatu kali Hamka berada di Jakarta. Jika tidak pula seperti
Hamka, seperti Taufiq Ismail pun tidak mengapa. Taufiq Ismail
sejak kecil suka membaca dan setiap hari pergi ke perpustakaan-
perpustakaan untuk meminjam buku. Kadang kala Taufiq Ismail

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 155

sampai harus pergi ke kota untuk numpang baca di kedai-kedai
penjual buku loak.

Membayangkan saja saya sudah bahagia. Jika siswa saya
seperti tokoh-tokoh tersebut, maka mereka akan menjadi gene-
rasi cerdas. Tidak saja akan meningkatkan posisi Indonesia di
kancah literasi dunia, namun mereka akan menguasai dunia karena
pengetahuan yang dimiliki.

Hanya saja, saya tercenung dengan program wajib baca buku
nonpelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Pro-
gram yang elok tersebut akan menuai kendala dalam hal penye-
diaan buku bacaan. Taruhlah di sebuah sekolah pinggiran, seperti
di tempat saya mengajar. Dengan jumlah siswa hampir empat
ratus anak, maka koleksi perpustakaan tidak akan mampu me-
nyuplai kebutuhan siswa. Jika pelaksanaan program tersebut
bergantian antarkelas, itu juga merepotkan, sebab buku yang dibaca
akan berganti dari hari ke hari sehingga untuk capaian pemaham-
an kurang maksimal. Demikian juga jika dipaksakan buku yang
dibaca adalah buku yang sama hingga tamat. Bayangkan, jika se-
lama 15 menit siswa hanya mampu menyelesaikan satu halaman,
sementara untuk menuntaskan novel setebal dua ratus halaman
saja, maka dibutuhkan dua ratus hari efektif.

Maka, untuk program membaca berjamaah, saya lebih me-
nyetujui jika bahan baca yang diberikan bukan berupa buku,
melainkan artikel ringan. Hal tersebut lebih memungkinkan
untuk disediakan dan cukup sekali baca. Di sampingitu, akan
menghindarkan siswa dari rasa “malas” sebelum membaca. Ya,
karena padadasarnya memang sudah tidak menyukai buku,
lantas disodori sebuah buku dan dipaksa untuk membacanya,
saya rasa kurang bijaksana.

Hal tersebut mengingatkan saya pada Prof. Burhan
Nurgiyantoro dalam sebuah kuliahnya. Untuk membuat anak
senang membaca, kenalkan pada bacaan yang ringan-ringan
dahulu. Kalau anak-anak menyukai komik, biarkan saja ia mem-

156 Eksotisme Gumuk Pasir

baca komik. Seiring waktu, ia akan mengganti bacaannya dengan
cerpen, novel, hingga merambah pada buku-buku nonfiksi.

Oleh alasan tersebut, saya teringat langkah kecil yang pernah
saya lakukan. Kala itu saya mencoba membagikan sebuah artikel
kepada siswa setiap kali saya mengajar. Sebelum memberikan
materi pelajaran, saya meminta siswa untuk membaca artikel
tersebut. Setelahnya, kami mendiskusikan isi dan kosakata yang
tidak dimengerti.

Pada lain kesempatan, saya mencoba membawakan buku-
buku yang saya baca ke dalam kelas dansedikit bercerita akan
isinya. Saya paling sering membawa novel, mulai karya Tere
Liye, Habiburrahman El Shirazy, Hanum Salsabila Rais, Andrea
Hirata, Ahmad Fuadi, hingga Iwan Setyawan. Tujuannya agar
siswa termotivasi untuk membacanya. Seperti yang kita ketahui
bahwa novel-novel itu banyak menceritakan kisah heroisme anak
muda dalam mengejar cita-cita.

Langkah kecil saya tidaklah segampang yang saya inginkan.
Tatkala siswa diminta untuk membaca artikel, pada awalnya
siswa mau membaca. Akan tetapi, pada hari-hari selanjutnya se-
bagian siswa membiarkan artikel tersebut. Mereka lebih asyik
bisik-bisik dengan temannya atau meletakkan kepalanya di atas
meja. Hanya sebagian kecil siswa yang tertarik dengan artikel
yang saya bawakan untuk selanjutnya mendiskusikannya secara
singkat. Jadi, pada akhirnya saya bertahan hanya pada kelas
tertentu yang siswanya memang mau membaca.

Untuk novel, lain lagi kisahnya. Provokasi membaca novel
saya rasa lebih mengena. Saya tidak meminta siswa membaca
novel, melainkan sekadar membawanya ke ruang kelas dan me-
letakkannya di meja guru. Kadang-kadang menyinggungnya
dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan cara demikian, ter-
nyata siswa menjadi penasaran. Beberapa siswa kemudian diam-
diam meminjam novel-novel yang pernah saya bawa dari per-
pustakaan. Kemudian, saya menjumpai mereka menaruh novel-
novel tersebut di laci meja atau membawa-bawanya saat istirahat

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 157

tiba. Kadang saya menyapa mereka, menanyakan sampai halam-
an berapa mereka membaca. Mereka cukup senang dengan men-
jawab pertayaan saya. Indikasinya dari binar mata dan senyum
mereka ketika bertutur.

Rupa-rupanya setelah membaca novel, satu siswa akan ber-
cerita kepada siswa lain. Hal ini menjadikan rasa penasaran kian
menjalar. Kondisi inilah yang secara tidak langsung menjadikan
beberapa siswa suka membaca novel.

Hanya saja, luapan kebahagiaan saya sedikit tergeser karena
keluhan beberapa guru. Dengan terang-terangan ada guru yang
tidak suka anak-anak membaca novel saat pelajaran berlangsung.
Saya mencoba netral. Tidak ada yang salah dengan aktivitas
membaca, hanya waktunya memang tidak tepat. Maka ketika
saya masuk kelas, saya mengingatkan para siswa untuk tidak
membaca atau menggunakan buku atau novel yang tidak ada
kaitannya dengan pelajaran.

Kali lain, keluhan yang datang berupa siswa lebih senang
membaca novel tinimbang belajar untuk ujian. Sebuah kalimat
yang masih saya ingat yakni, “Sekarang di dalam tas anak-anak,
isinya juga novel, padahal sudah mau ujian. Lha mbok belajar
daripada baca novel!”

Untuk komentar tersebut, saya tidak menanggapinya. Saya
yakin siswa akan dapat memilah kapan waktu untuk belajar dan
kapan waktu untuk menuntaskan novelnya. Bukankah ini kabar
bagus untuk meningkatkan daya baca siswa? Kalau memang
novel bukanlah bacaan yang “cocok”, bagaimana kalau guru yang
tak menyukai novel memprovokasi siswa dengan bacaan lain.
Semisal, guru Ilmu Pengetahuan Sosial sering menenteng buku
yang berkenaan dengan masalah sosial. Dengan demikian guru
dapat melakukan pengalihan bacaan, bukan sekadar melarang
siswa membaca.

Alhasil, saya menyadari bahwa untuk meningkatkan minat
baca siswa bukan semata tanggung jawab guru Bahasa Indonesia.
Usaha mendongkrak minat baca siswa perlu dukungan dari ber-

158 Eksotisme Gumuk Pasir

bagai pihak dan menjadi tanggung jawab bersama. Orang tua
dari rumah bisa menciptakan kultur membaca pada diri siswa
sejak dini. Masyarakat juga berperan dalam menyediakan akses
bacaan yang mudah dan turut memberi penguatan pada siswa.
Di sekolah, Gerakan Literasi Sekolah dapat dijadikan program
dengan melibatkan semua komponen.

Dengan dukungan semua pihak, Gerakan Literasi Sekolah
akan lebih mudah diwujudkan. Hanya saja, sampai tulisan ini
dibuat, saya belum mendengar sosialisasi gerakan tersebut
masuk ke madrasah saya. Sembari menunggu realisasi gerakan
tersebut, saya berpikir siapa yang akan menjadi motor peng-
geraknya? Apakah para guru Bahasa Indonesia yang dipandang
mempunyai peran strategis? Bisa jadi itu menjadi alternatif terkait
membaca merupakan salah satu keterampilan yang harus di-
kuasai siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Benarkah guru bahasa Indonesia menjadi ujung tombak
Gerakan Literasi Sekolah? Ah, itu sah-sah saja. Kalaupun demi-
kian, maka haruslah menjadi ujung yang tajam. Caranya adalah
kembali kepada diri sendiri untuk mengasah ketajaman dalam
membaca. Guru yang gemar membaca niscaya melahirkan siswa
yang senang membaca pula. Mengambil pepatah “Guru kencing
berdiri, murid kencing berlari”.

Selain itu, secara teknis guru juga bersiap untuk menyediakan
bahan bacaan yang sesuai dengan kondisi siswa. Jika artikel yang
digunakan untuk melaksanakan program membaca 15 menit
sebelum pelajaran dimulai, maka artikel yang dipilih dapat
bervariasi. Artikel bisa berisi motivasi belajar, gaya hidup,
wirausaha, dan lain sebagainya. Tentu dengan mempertimbang-
kan aspek psikologis siswa, yakni artikel bukan melulu tulisan
serius, melainkan dapat berupa artikel yang lucu namun tetap
berhikmah. Dengan strategi ini, saya berharap akan mengurangi
kebosanan siswa dalam membaca.

Aih, apakah itu kerja yang merepotkan? Barangkali benar.
Akan tetapi, itu adalah andil kecil kita untuk membentuk gene-

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 159

rasi yang lebih baik. Tidak saja untuk unjuk diri dalam literasi
dunia, tetapi agar tercipta Indonesia yang raya.

Pada kesempatan lain, masih dalam suasana sedang menye-
ruput kopi, saya menemukan puisi “Rajawali Bukanlah Burung
Gereja, Tuan!”. Puisi yang dipublikasikan oleh Evi Idawati dalam
antologi 9 Kubah(2013)itu demikian menyentil saya. Pikiran saya
kembali tertuju pada pekerjaan besar kita akan literasi. Mem-
budayakan siswa gemar membaca adalah tugas besar yang me-
merlukan kerja kerasbanyakpihak.

RAJAWALI BUKANLAH BURUNG GEREJA, TUAN!

Burung-burung kecil memang berceloteh pagi dan sore hari,
mereka bukan aku, seperti katamu. Burung kecil hanya
bermimpi kecil, hinggap di tanah, mencari biji dan cacing,
lalu
pulang ke dahan, berdiam. Menikmati matahari, begitu
setiap
hari, hingga waktu mati.

Maka kau dan aku berbeda!

Burung gereja bukanlah rajawali, yang mau merentangkan
Sayap dan berani bermain dengan angin. Ia bisa menukik
dengan
cepat, lalu berbalik dan menelusup lambat. Sesekali ia
mengepak, tetapi lebih sering membentangkan sayap dan
mengangkat paruhnya. Jika lapar, ia berburu, mengasah
cengkeraman kuku pada batu. Kalau tak ada mangsa, ia
puasa.
Rajawali menyukai ketinggian, burung gereja beremah tanah.
Itulah mengapa, melihat dari rimbun daun, berbeda jika
Memandang berpijak awan.
Masihkah engkau bertanya mengapa mimpi kita tidak sama?
Rajawali, bukanlah burung gereja dan jangan menjadikan-
nya sama, Tuan!

160 Eksotisme Gumuk Pasir

Daftar Pustaka

Anonim. 2011. PISA (Programme for International Student
Assessment) dalam Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.http://
litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-
pisa, diakses 2Mei 2016.

Ariadinata, Joni. 2016. Aku Bisa Nulis Fiksi. Yogyakarta: Diva
Press.

Foy, P. 2013. TIMSS and PIRLS 2011 User Guide for the Fourth
Grade Combined International Database. Chestnut Hill: Boston
College.

Idawati, Evi. 2013. 9 Kubah. Yogyakarta: Isac Book.
Schleicher, Andreas. 2013. “PISA 2012 Results in Focus” dalam

Programme for International Student Assessment. http://
www.oecd.org/pisa/keyfindings/ pisa-2012-results-
overview.pdf, diakses 2Mei 2016.
Tarigan, Mitra. 2016. “Terpuruknya Peringkat Literasi
Kita”,Koran Tempo edisi 16-17 April.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 161

JALANLAH DI JALANMU

Siswahyudi
SMP Negeri I Pajangan

Gelap. Hening. Ditambah rasa gerah di sekujur badan me-
nemani malam itu. Tepat pukul 20.00 di jalanan yang aspalnya
mulus tanpa ada sedikit pun lubang. Hal yang lumrah dapat
ditemui karena jalan itu adalah jalur hilir mudiknya para pejabat
publik pemerintah daerah yang notabene adalah kalangan elit
dalam masyarakat. Berbanding terbalik dengan jalan ekonomis
yang setiap harinya dilewati lalu-lalang kendaraan berat. Truk
pengangkut pasir, bus-bus yang menebar asap ataupun mobil
sejenis yang sudah tidak layak pakai, menjadi pemandangan
yang biasa di jalan-jalan umum. Jalan yang biasanya tiap setahun
sekali baru mendapat perawatan atau perbaikan.

Mungkin benar apa kata temanku. Sambil menyetir kendali
mobil Panther, ia mengatakanbahwa untuk urusan umum seperti
kondisi jalan,akan dipikirkan menjelangakhir tahun. Hal ini
sebagai bentuk pertangungjawaban sekaligus “menghabiskan”
anggaran.

Kata “menghabiskan”anggaran merupakanobrolan pem-
buka ketika aku dan temanku, Nuryahya, melaju di jalanan yang
mulus tanpa lubang sedikit pun. Padahal malam itu adalah saat
pertama kali aku memegang setir mobil. Mulanya aku tidak be-
rani sama sekali berlatih memenyetir mobil. Akan tetapi, malam
itu benar-benar terpaksa aku harus pegang kendali setir Panther.

162 Eksotisme Gumuk Pasir

“Udah, sekarang kamu setir mobil ini,” kata temanku,
”Diingat ya, pijakan gas paling kanan, rem di tengah, dan kopling
paling kiri,” tambahnya.

“Wah aku ndak berani, Pak kalau langsung terus suruh
menyetir,” kataku.

“Kapan kamu bisa kalau tidak berani?” sanggahnya.
Aku diam sesaat sambil berpikir panjang. Kilauan bintang
dan remangnya sinar bulan—malam itu bukan tanggal lima belas
hitungan jawa,menambah pikiranku menerawang jauh mencari
sumber munculnya keberanian. Lantas aku berpikir, kalau aku
tidak berani,kapan aku bisa memenyetir mobil? Kapan aku bisa
membahagiakan anak istri? Kapan aku memanjakan mereka?
Kapan aku bisa antar-jemput bapak berdagang di tiap-tiap pasar-
an? Pikiranku mulai mengurai satu persatu. Lalu aku mulai meng-
gabungkan semuanya menjadi satu untuk menemukan jawaban-
nya. Seketika itu aku teringat wejangan mursyid-ku bahwa ke-
wajiban seorang anak laki-laki adalah membahagiakan kedua
orang tua kandung dan anak istrinya. Berbeda dengan seorang
perempuan yang sudah bersuami, maka kewajibannya adalah
mengabdi pada suami.
“Sudah, ayo jalan pelan-pelan,” kata temanku mengagetkan.
Tanpa aba-aba, aku mulai menjalankan mobil itu pelan,pelan
sekali. Bukan karena apa-apa. Malam itu pertama kali aku lang-
sung memenyetir mobil. Sepertinya aku membawa sesuatu yang
sangat besar.
“Pak, ini terus gimana?” kataku.
“Sudah, pokoknya jalan saja,” sahutnya.
“Sebentar Pak,” jelasku.
“Lho, kenapa berhenti?” tanya temanku.
“Itu Pak, ada motor di depan,” jawabku.
“Ya,biar saja, jaraknya masih jauh. Terlebih, motor itu lewat
di jalannya sendiri,” jelasnya.
“Oo, begitu,” seakan mengiyakan jawaban temanku.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 163

Aku mulai menginjakkan kaki kanan pada gas mobil sambil
kaki kiri memainkan kopling. Mobil Panther malam itu benar-
benar sudah berjalan dalam kendali setirku. Jalanan yang tidak
lagi ramai oleh hilir-mudik kendaraan, mengarahkan kendali
setirku untuk melajukan mobil berada di tengah-tengah tanda
garis putih di jalan. Sesekali aku melihat kaca spion mobil untuk
mengawasi kendaraan yang berada di belakangku. Mataku terus
menatap ke depan, fokus pada jalanan yang aku lewati. Teman
yang duduk di sampingku hanya diam sambil melihat ke depan,
persis seperti yang aku lakukan. Kami hanya terdiam dalam
dekapan malam yang makin larut dalam kegelapan.

Melaju dengan kecepatan sangat pelan, tidak membuat aku
lengah untuk selalu mawas diri pada kendali setir. Tangkai setir
mobil yang bulat itu aku pegang dengan penuh kehati-hatian.
Sedikit saja aku lengah, dapat membahayakan diriku dan teman
yang duduk di sampingku.

Aku sadari betul bahwa kami adalah seorang PNS atau Pega-
wai Negeri Sipil. Jika sudah diterapkan aturannya, maka kami
akan menjadi ASN atau Aparatur Sipil Negara. Seperti halnya
memegang kendali setir malam itu di jalan yang penuh dengan
resiko karenatidak paham dan baru belajar,sama persis seperti
profesi kami sebagai seorang guru. Kesalahan dalam memegang
kendali pada siswa dapat berakibatfatal. Diperlukan kesadaran,
kelembutan, dan kasih sayang untuk dapat memegang kendali.

Aku ingat betul ketika tiba-tiba membelokkan mobil dan
menghentikan setirku. Temanku dengan kagetnya bertanya,
“Lho, ngapain lagi?Kok terus belok dan berhenti?” katanya.

“Sorotan lampu mobil depan itu terlalu terang, Pak. Terlalu
silau, jadinya penglihatanku kabur,” jawabku.

“Kamu kasih tanda ganti dengan pijaran lampu kotamu.
Kalau masih saja mobil tadi tidak ada tanda-tanda atau bahkan
mengubah sorotan lampunya, berarti bisa jadi lupa atau tidak
tahu.Atau memang disengaja,” ujar temanku.”Itu wajar, namanya
saja di jalan. Banyak yang asal-asalan cara mengemudikan mobil-

164 Eksotisme Gumuk Pasir

nya. Mau belok, kadang-kadang ada yang mendadak ngasih
tanda atau perilaku-perilaku yang tidak mematuhi aturan di jalan
raya,” tambahnya.

“Wah gawat juga kalau kita tidak hati-hati ya, Pak?” tanya-
ku.

“Ya jelas. Ini kan sama saja dengan perilaku kendaraan roda
dua. Sebenarnya sihperilaku pengendara roda duamalah lebih
parah. Kamu sendiri aja kadang ngejar lampu yang sebenarnya
adalah tanda untuk berhenti, justru melaju dengan kecepatan
tinggi biar tidak terjaring lampu merah to? Itu bukti nyata,”
jelasnya dengan semangat.

Sambil menyembunyikan rasa malu, aku mengiyakan pen-
jelasan temanku. Semangat dan keberanian temanku pantas
kuacungi jempol. Walaupun masih terlalu kaku bahkan kadang-
kadang aku harus menghentikan laju mobil dengan mendadak,
tetapi dia tetap tenang. Guratan-guratan wajahnya tidak ber-
pengaruh pada semangat dan keberaniannya. Dia tetap tenang
duduk di sampingku tanpa ada rasa was-was sedikit pun.

“Nah, seperti ini jalankan mobil. Tenang, konsentrasi aja
pada arah lajur jalanmu,” seloroh temanku.

“Iya, Pak.” jawabku. Lagi-lagi di depanku terlihat sorotan
lampu sebuah truk melaju kencang dariarah berlawanan. Aku
kaget dan berteriak, “Pak, Pak, ini gimana?” tanyaku.

“Sudah, kamu tenang aja tidak usah panik dan grogi,” tukas
temanku.

Obrolanku berlanjut sambil aku mulai menjalankan mobil
Phanter temanku. Seperti kata temanku, aku harus mengemudi-
kan penuh dengan kehati-hatian, keberanian, konsentrasi, dan
tak kalah penting aku harus taat pada peraturan di jalan—walau-
pun malam itu sama sekali tidak ada polisi. Aturan atau peraturan
dibuat bukanlah untuk dilanggar karena keteraturan atau ke-
patuhan pada aturan akan membawa pada keselarasan hidup.
Sama juga dengan berkendaraan di jalan raya. Apabila semua
pengendara, baik sepeda motor atau mobil, sama-sama menjaga

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 165

keteraturan, maka sama saja mereka atau kita ikut andil dalam
menjaga keberlangsungan hidup yang penuh aturan di jalan raya.

“Jangan kamu lewati garis putih pembatas jalan. Selagi kamu
masih ada di jalanmu, tenang aja. Tidak usah khawatir atau panik.
Kemudikan saja pada jalanmu. Tidak usah kamu hiraukan sepeda
motor atau mobil yang ada di depan dan belakangmu.Toh ketika
meraka akan nyalip kamu, pasti akan memberi tanda. Kamu juga
harus paham dan memberi jalan agar orang lainbisa nyalip kamu,”
jelasnya padaku.

“Iya Pak, insya Allah aku paham,” jawabku.
“Di jalan,kamu harus lebih paham tanda atau simbol-simbol,”
tegasnya padaku.
“Maksudnya gimana,Pak?” tanyaku.
“Begini, sebenarnya untuk aturan di jalan, khususnya untuk
mobil, lebih banyak saling menghargai. Contoh, ketika mobil di
belakang kita akan mendahului atau kita mau meminta jalan
kepada mobil di depan, maka akan memberi tanda dengan me-
mainkan lampu. Secara otomatis pengemudi lainnya pun akan
memberi peluang untuk mendahului atau memberikan jalan.
Dengan demikian,prinsip dasar yang harus kamu tanamkan su-
paya cepat lihai dan berani dalam mengemudi adalah berada
pada jalanmu. Itu saja!” tambahnya.
“Jadi tidak usah takut, harus berani,gituPak? tanyaku sambil
melanjutkan pertanyaanku, “Terus katanya juga harus paham
tanda dan simbol, maksudnya gimana, Pak?” tanyaku karena
masih kurang paham.
“Iya, intinya kalau kamu tetap berada di jalanmu, yakinlah,
tidak usah khawatir atau takut,” tuturnya. Kemudian dengan
gaya bicaranya ia mempertegas lagi, “Untuk tanda dan simbol,
maksud saya kamu juga harus ngerti kalau ada tanda dari mobil
yang berlawanan maupun dari arah belakang memberi sinyal
dengan sorotan lampu. Sedangkan simbol, ya bentuk-bentuk
aturan di jalan yang harus dipatuhi. Ini kan sama sebenarnya
dengan mengambil pilihan hidup. Kamu harus berani serta hati-

166 Eksotisme Gumuk Pasir

hati dan tetap pada jalan hidupmu. Ingat, ada aturan dalam jalan
hidup kamu. Sama,kan?” katanya.

“Iya.Kok terus kayak ceramah agama saja,” selorohku.
“Lho, ini betul. Banyak yang belajar menyetir mobil sampai
satu bulan baru bisa. Tetapi ada pula, bahkan banyak juga, yang
hanya belajar selama satu hari sudah lihai. Ini soal keyakinan
dan keberanian. Kalau kamu sendiri sudah tidak yakin dan tidak
berani, ditambah lagi takut serta khawatir akan ini dan itu, maka
sulit akan bisa. Andaipun bisa, perlu waktu lama,” katanya penuh
semangat.
Aku menganggukkan kepala sambil memegang kendali setir
sebagai bentuk tanggung jawab bahwa aku benar-benar me-
mahami perkataan temanku. Gambaran tentang sesuatu yang
sangat sulit telah musnah dalam pikiranku. Singkatnya, malam
pertama aku belajar menyetir mobil dan malam itu pula dengan
keyakinan dan keberanian, dapat dikatakan aku telah berhasil
mengemudikan mobil.
Namun, selepas belajar menyetir mobil malam itu, aku terus
berpikir tentang kata-kata temanku. Aku ingat betul perkata-
annya. Tak disangka kata-kata itu terus berputar-putar di kepala-
ku, layaknya putaran jarum jam yang mencari arah yang tepat
sehingga berdetak loncengnya. Ucapan temanku tentang berjalan
di jalanmu, keyakinan, dan keberanian, benar-benar telah me-
rasuk dalam pikiranku.
Mungkin dengan kesengajaan atau tanpa sengaja, dia telah
memilih pilihan kata yang begitu tepat. Kata yang begitu singkat,
jelas, dan mudah.Kata-kata yang sanggup memperdaya ingatan-
ku. Dia, entah sengaja atau tidak sengaja, telah membiusku
dengan kata-kata.
Berawal dari kata berjalan di jalanmu, keyakinan, keberani-
an, tanda dan simbol, telah menumbangkan rasa was-wasku.
Aku mendapatkan sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup.
Sesuatu yang lebih berharga dari hanya sekadar belajar menyetir
mobil.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 167

Kekuatan kata-kata itu memberi dorongan kuat dalam
benakku. Melaluinya, aku mampu menemukan sebuah prinsip
hidup yang begitu sederhana tetapi penuh makna. Kata-kata itu
telah menjelma sebagai lentera. Tanpa dirasa telah menyingkap
tabir was-was, kegalauan ataupun kegaduhan jiwa.

Lentera itu tak lain adalah tetap berpegang teguh pada jalur
jalan yang benar dengan keyakinan yang mantap, sekaligus berani
dalam mengambil pilihan hidup.Perlambang, simbol, ataupun
tanda adalah manifestasi dari pribadi-pribadi yang berkarakter.

Sebuah pelajaran hidup dari kata-kata yang terlontar tulus
dari seorang teman—yakinlah berani jalan di jalanmu—meng-
ingatkan tentang perkataan seorang sufi Islam ternama,Imam
Al-Ghozali. Dalam buku berjudul “Mempertajam Mata Batin”,
dikatakan bahwa keyakinan tidak akan menimbulkan keraguan.
Ia memberikan sinyalemen tentang sesuatu yang nyata.

Aku tundukkan kepala dan semakin termenung dalam
pancaran cahaya dari kata-kata tulus ikhlas temanku. Bagiku,
kata-kata itu akan terus tersimpan dalam pelajaran hidupku
bahwa kita harus yakin, berani, dan tetap dijalan kita.

168 Eksotisme Gumuk Pasir

JALAN TERJAL
MERAIH ASA DAN CINTA

Sumirah
SMP Putratama Bantul

Malam itu begitu sunyi, hanya desiran angin dan kesunyian
yang menemaniku. Seisi rumah sudah terlelap dalam tidurnya
masing-masing, kecuali diriku yang masih belum tidur karena
belum merasakan kantuk. Meskipun begitu, aku segera ke kamar
merebahkan badan setelah seharian kerja. Sebelum kulangkahkan
kaki untuk tidur, kutengok sebentar buah hatiku yang sudah
tertidur lelap. Kupandangi wajahnya yang polos, dan tiba-tiba
anganku kembali ke masa 35 tahun silam.

Saat itu aku masih berusia 15 tahun, aku hidup dari keluarga
yang sederhana. Meskipun kami orang desa, tetapi masalah pen-
didikan sangat di utamakan oleh orang tuaku. Aku mempunyai
dua kakak perempuan dan kami selalu hidup berbahagia. Ayah
dan ibuku hanyalah seorang petani biasa, meskipun begitu, me-
reka selalu berjuang keras agar kami bertiga dapat sekolah se-
tinggi-tingginya.

Selepas SD, aku melanjutkan sekolah di SMP swasta yang
pada tahun 1983 merupakan sekolah favorit di kota kecilku. Aku
begitu bangga dan bahagia karena bisa melanjutkan sekolah di
SMP yang aku idam-idamkan dan aku harapkan. Hari pertama
masuk SMP, aku begitu bahagia karena banyak teman yang tidak
hanya berasal dari lingkungan tempat tinggalku, akan tetapi ber-
asal dari daerah lain. Di SMP inilah kujalani masa remaja bersama
taman-teman.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 169

Dua tahun tanpa terasa, kunikmati indahnya masa remaja
bersama sahabat-sahabat sesama peggurus OSIS, seperti Titik,
Indah, Yanti, Yana, Hanranto, dan Putra. Kami sering bertemu
dalam kegiatan OSIS karena kami penggurus organisasi tersebut.
Di sini kami belajar bertanggung jawab, belajar bekerja, dan
belajar berkreasi. Persahabatan kami penggurus OSIS semakin
lama semakin akrab. Kami sering berkumpul merencanakan ke-
giatan yang akan kami lakukan. Canda dan tawa mewarnai ke-
gembiraan kami saat melakukan kemping, ziarah, mengadakan
berbagai lomba dalam peringatan 17 Agustus, berdarmawisata
dan masih banyak kegiatan yang kami lakukan.

Lama-kelamaan, aku dekat dengan Putra karena kebetulan
Putra ketua OSIS dan aku sekertaris OSIS, sehingga kami selalu
bekerja sama di setiap kegiatan. Putra terlahir dari keluarga
mampu, ayahnya bekerja di Pemerintah Daerah, sementara ibu-
nya mempunyai rumah makan yang terkenal di kota Bantul.
Putra memiliki delapan saudara dan dia adalah anak lelaki yang
paling tua, sehingga tanggung jawab untuk menyelesaikan segala
tugas sudah tertanam dari kecil. Putra sangat lincah dan cekatan,
meskipun usianya masih muda, 15 tahun kala itu. Dia sudah bisa
bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang diadakan
sekolah kami. Hari-hari kami lalui bersama dan tanpa terasa
aku dan Putra bersahabat sangat akrab. Aku jadi teman setia
Putra, selalu mendengarkan keluh-kesahnya tentang keluarga,
teman-teman, dan hal-hal lainnya.

Waktu terasa cepat berlalu. Pagi itu kami penggurus OSIS
mengadakan acara perpisahan, kami berencana pergi ke pantai
Parangtritis. Dengan menyewa sebuah mobil, kami menuju
Parangtritis didampingi beberapa guru. Sementara teman-teman
asyik bermain pasir di tepi pantai, aku dan Putra berjalan mene-
lusuri pantai sambil sesekali kami berlari menepi saat tiba-tiba
gelombang menerpa kami.

Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir kami, kami hanya
diam dan membisu sambil menyaksikan indahnya gelombang
pantai. Sesaat kemudian Putra berkata,

170 Eksotisme Gumuk Pasir

“Besok jangan lupakan aku ya kalau kita sudah lulus!”
“Iya,” jawabku pelan, “Kamu mau melanjutkan kemana?”
tanyaku.
“Entahlah, aku belum tahu mau melanjutkan kemana, masih
bingung,” jawab Putra.
Sambil berjalan, kami terus membisu, tidak ada kata-kata
lagi yang bisa kami ucapkan. Kami menyadari bahwa inilah
terakhir kali bertemu, karena besok kami sudah akan berpisah
untuk melanjutkan cita-cita. Kami akan belajar dan berjuang untuk
meraih mimpi, belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Tanpa terasa kami berjalan semakin jauh dari teman-teman.
Dari kejauhan terdengar suara teman-teman berteriak
memanggil kami agar bersiap pulang.
“Hai Putra, ayo kita pulang, sudah sore!” teriak teman-teman
dari kejahuan.
“Ya sebentar, “ sahut Putra dengan suara keras.
Akhirnya kami mengikuti jejak teman-teman untuk segera
pulang. Itulah pertemuan kami yang terakhir sebelum lulus SMP.
Setelah lulus SMP, aku menikmati libur sekolah, libur yang
melelahkan dan menegangkan. Menegangkan karena aku belum
mendapatkan sekolah. Aku berencana melanjutkan ke sekolah
kejuruan dengan harapan setelah lulus aku dapat bekerja. Aku
tidak ingin membebani orang tua untuk melanjutkan kuliah. Saat
itu pertengahan 1983, aku bersama teman-teman mencoba men-
daftar di sekolah kejuruan negeri. Di saat aku mencari sekolah,
sempat pula menikmati indahnya gerhana matahari total. Feno-
mena alam yang benar-benar indah, itulah kali pertama aku me-
nyaksikan keindahan alam yang luar biasa. Saat itu bertepatan
dengan penggumuman sekolah di mana aku dan teman-teman
mendaftar. Tapi sayang, aku gagal masuk sekolah negeri. Gagal
masuk sekolah negeri tidak mematahkan semangatku mendaftar
ke sekolah swasta. Beruntung aku diterima di sekolah swasta
yang merupakan sekolah favorit dan merupakan sekolah swasta
terbesar.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 171

Hari pertama masuk tentu saja membuat aku senang. Lebih
dari 160 siswa baru berkumpul di lapangan mengikuti upacara
pembukaan bagi siswa baru. Saat upacara pembukaana, aku
begitu terkejut karena kulihat Putra berada di tengah lapangan
mewakili siswa baru menerima lencana sebagai simbol dimulai-
nya Ospek. Dalam hati, aku bahagia karena bakal bertemu dengan
Putra lagi. Ternyata benar, pada saat jam-jam luang Putra selalu
mencariku. Dia tahu kalau aku juga sekolah di sini.

Saat pembagian kelas, aku dan Putra tidak satu kelas. Putra
di kelas A dan aku di kelas C, kebetulan ruang kelas kami ber-
dekatan sehingga aku dan Putra sering bertemu. Begitu akrab-
nya aku dan Putra, hampir tiap hari selalu bersama meski kami
tidak pacaran. Aku tahu, begitu banyak teman-teman yang me-
naruh hati pada Putra. Sebenarnya dalam hati kecilku pun, aku
begitu menyukai dan mencintai Putra. Tetapi tidak ada keberani-
an dalam diriku menyatakan cinta pada Putra. Hanya aku pen-
dam dalam hati dan aku tahu diri. Mungkin Putra tidak mencintai
aku karena begitu banyak gadis yang menaruh hati padanya.
Keadaan ini terus berlangsung selama satu tahun dan mungkin
Putra hanya menggangap aku sebagai teman biasa. Aku sendiri
tidak tahu apakah Putra mencintaiku atau tidak. Selama ini Putra
tidak pernah menyatakan cinta kepadaku meskipun ia begitu
memperhatikan aku.

Satu tahun tanpa terasa terlewati. Ada wajah-wajah cemas,
sedih, bahagia, suka dan duka, itulah wajah-wajah sahabatku
yang menanti pembagian rapor. Hal itu terjadi karena kenaikan
kali ini sekaligus penjurusan. Bagi siswa yang nilai rata-rata 7,
pasti akan masuk jurusan akuntasi. Sementara bagi siswa yang
nilai rata-rata di bawah 7 akan masuk jurusan tataniaga. Saat
pembagian rapor, aku tidak begitu khawatir karena yakin masuk
jurusan akutansi. Akhirnya aku memang masuk jurusan akutansi.
Ada 3 kelas akutansi dan 3 kelas tataniaga atau pemasaran.
Suasana bahagia mewarnai hati kami. Tampak dari kejahuan Putra
dan teman-temannya begitu bahagia. Aku yakin, Putra pasti naik
kelas juga. Begitu Putra melihatku, dia langsung menghampiri.

172 Eksotisme Gumuk Pasir

“Bagaimana nilaimu, baguskan?” tanyanya.
“Ya bagus, aku masuk jurusan AK 2,” jawabku.
“Oh ya, sama, berarti kita satu kelas dong,” kata Putra bahagia.
Dia begitu bahagia mengetahui bahwa kami satu kelas di
AK 2.
Hari pertama di kelas 2, kami begitu canggung karena me-
miliki teman-teman baru lagi. Tapi suasana itu tidak begitu lama
terasa karena kami semakin akrab satu dengan lainnya. Ke-
dekatanku dengan Putra semakin bertambah, terlebih kami jadi
satu kelas. Di sinilah benih-benih cintaku mulai tumbuh, meski-
pun cinta itu hanya kupendam dalam-dalam. Aku masih ragu,
apakah cintaku akan terbalas ataukah hanya bertepuk sebelah
tangan? Aku tahu banyak gadis-gadis yang menaruh hati pada
Putra. Anehnya, jika di antara gadis-gadis itu ada yang mengirim-
kan surat, pasti Putra akan datang kepadaku untuk membaca
surat-surat itu. Ada lima gadis yang selalu mengirimkan surat
pada Putra. Putra selalu dan selalu datang kepadaku untuk
membalas surat-surat itu. Sebenarnya sakit hatiku kala membaca
surat-surat itu, tapi aku tidak berani untuk menolak kehadiran
Putra bersama surat-surat itu, dia sudah terlalu baik kepadaku.
Aku sendiri sampai bingung, sebenarnya apa yang ada di dalam
hati Putra, dia tidak pernah menyatakan cinta kepadaku, tetapi
dia begitu perhatian terhadap aku. Setiap hari selalu menjemput
dan mengantarkan sekolah. Dia akan marah jika ada laki-laki
yang mengoda aku. Dia selalu ada jika aku membutuhkan per-
tolongan, tetapi dia tidak pernah bilang atau mengatakan bahwa
kami berpacaran. Keadaan ini semakin lama semakin rumit.
Dengan enaknya Putra mengatakan padaku bahwa si Titin meng-
ajaknya main. Si Lina minta ditemani membeli buku, dan masih
banyak cerita-cerita gadis lain yang mengajak jalan Putra. Dengan
hati pedih, kudengarkan cerita-cerita Putra, sampai pada akhir-
nya aku tidak tahan karena rasa cemburu yang begitu dalam.
Diam-diam aku menjauh dari Putra. Ia tahu kalau aku marah
padanya. Hingga pada suatu hari dia bilang padaku,

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 173

“Ya sudah, aku akan meninggalkan gadis-gadis itu jika kamu
tidak berkenan,” kata Putra.

Benar saja, keesokan paginya Putra membawa 5 pucuk surat
yang isinya memutuskan kelima gadis tersebut. Aku begitu
senang dan bangga karena Putra mengerti keinginanku. Tapi
lagi-lagi aku bersedih karena meskipun Putra memutuskan
kelima gadisnya, Putra tidak langsung menyatakan cintanya ke-
padaku meskipun dia tetap memperhatikan dan melindungi aku.
Hal yang paling aku suka adalah dia benar-benar mengisi masa
remaja hanya bersamaku, membolos sekolah hanya demi me-
nonton film Gita Cinta dari SMA, menonton film Sex Education
yang saat itu merupakan film yang disukai anak muda. Jika hari
libur, Putra mengajakku jalan-jalan ke pantai. Semua kami laku-
kan sampai lulus dari sekolah, tanpa ada kata cinta dari Putra.

Akhirnya perjalanan persahabatan kami dipisahkan oleh
waktu dan kegiatan kami masing-masing. Setelah lulus SLTA
ternyata orang tuaku menginginkan aku kuliah. Agar tidak me-
ngecewakan orang tua, aku mendaftarkan di salah satu uni-
versitas di Yogyakarta dan diterima di Falkutas Keguruan. Ku-
jalani hari-hari tanpa Putra, aku sibuk dengan kuliah, sibuk dengan
kegiatan kampus. Sampai pada suatu ketika Putra datang ke
tempat aku kos. Dia bercerita kalau mau mendaftar di kantor
tempat bapaknya bekerja, kebetulan ada lowongan untuk orang
dalam. Aku hanya bisa berdoa, mudah-mudahan Putra diterima.
Pada suatu ketika Putra datang kepadaku menyampaikan bahwa
dia diterima di Pemda Bantul.

“Selamat ya, kau bernasib baik, baru tiga bulan lulus lang-
sung diterima sebagai pegawai negeri,” ujarku sambil mengulur-
kan tangan pada Putra.

“Terima kasih,” jawab Putra bahagia, “Tapi SK-nya baru
turun satu tahun lagi,” jelas Putra,

“Enggak apa-apa, yang penting Putra sudah diterima,”
timpalku.

Sejak saat itu aku dan Putra bertambah akrab. Keseriusan
Putra semakin kurasakan. Kini dia mulai memperhatikan aku

174 Eksotisme Gumuk Pasir

dengan seksama. Putra berani menyatakan cintanya dan meng-
utarakan maksud ingin hubungan kami sampai ke jenjang per-
nikahan. Semakin lama kami semakin dekat dan hubungan kami
sudah diketahui oleh orang tua masing-masing. Tapi suatu saat
Putra mengatakan bahwa ibu dan beberapa saudaranya tidak
menyetujui hubungan kami dengan alasan yang tidak jelas.
Hanya bapaknya yang merestui hubungan kami. Meskipun be-
gitu, aku dan Putra tidak patah semangat dan tetap menjalin
hubungan dengan baik. Sebenarnya orang tuaku juga melarang
aku berhubungan dengan laki-laki karena belum selesai kuliah
dan kedua kakakku belum menikah. Hubungan kami terus
berlanjut, meskipun ada rintangan dari orang tua kami masing-
masing. Memasuki tahun ketiga, kami resmi pacaran, Putra
benar-benar ingin menikah denganku.

“Tapi bagaimana dengan ibu dan saudara-saudaramu?”
“Kita jalani saja dulu, suatu saat mereka pasti setuju juga!”
kata Putra menyakinkan aku.
“Tetapi aku takut mengatakan hal ini pada orang tuaku,
sampai saat ini dua kakakku belum juga menikah.”
“Itu nanti aku yang bilang ke Bapak dan Ibu kamu,” sahut
Putra.
Awalnya aku ragu dan takut membicarakan hal ini pada
keluargaku. Pertama, aku belum selesai kuliah dan yang kedua,
dua kakakku belum menikah. Tetapi Putra selalu mendesak dan
menyakinkan aku. Benar saja, dengan kenyakinannya, Putra bisa
menyakinkan kedua orang tuaku. Akhrinya kami menikah
meskipun tanpa restu dari ibu dan saudara-saudaranya. Hari
Selasa, 9 Februari 1988, aku dan Putra menikah, pernikahan yang
membahagiakan bagi kami berdua. Mimpi kami terwujud dan
kami benar-benar menikah menjadi pasangan suami-istri. Pada
awal pernikahan, aku dan Putra bingung mau tinggal di mana.
Tinggal di rumah Putra, aku tidak nyaman dengan ibunya.
Tinggal di rumahku, kami tidak enak dengan kakakku. Akhirnya
kami di tempat kosku di Jogja. Terkadang kami wira-wiri, kadang

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 175

di rumahku, kadang di rumah Putra—meskipun aku sering
merasa tidak nyaman jika berada di rumah Putra.

Satu tahun kemudian aku melahirkan anak laki-laki, hal ini
menambah kebahagiaan bagi kami. Sejak anakku lahir, aku
memutuskan tinggal di rumah orang tuaku. Awalnya Putra me-
nolak, tapi aku meyakinkan bahwa ini adalah pilihan yang terbaik
karena anak kami merupakan cucu satu-satunya dari keluargaku,
sehingga aku tidak tega jika harus tinggal di tempat lain, terlebih
orang tuaku dan kakak-kakakku begitu menyanyangi anakku.
Hari-hari kami lalui tanpa ada persoalan berarti. Aku menikmati
peranku sebagai istri dan sebagai ibu. Aku tetap melanjutkan
kuliah. Aku tidak menghiraukan lagi ibu mertuaku yang tidak
peduli kepadaku. Aku selalu berpesan pada suamiku agar selalu
menjenguk ibu karena bagaimanapun dia adalah orang tua yang
harus dihormati. Sampai pada akhirnya, aku dan suami bisa mem-
bangun rumah di samping rumah orang tuaku. Meskipun kecil,
kami bahagia bisa mewujudkan mimpi memiliki rumah sendiri
dengan jerih payah sendiri. Saat kunikmati kebahagiaan, tiba-
tiba kami mendapatkan kabar bahwa bapak mertuaku mengalami
kecelakaan dan meninggal dunia. Kami benar-benar sedih, orang
yang selama ini mendukung kami, telah berpulang. Sepeninggal
bapak, kami tetap melanjutkan kehidupan. Persoalan baru mun-
cul dalam kehidupan kami, ada orang ketiga ingin menghancur-
kan penikahan kami. Namanya Danik, ia teman sekantor suami-
ku. Aku tidak menyangka bahwa ternyata di balik kebaikannya
ada niat jahat di hatinya. Awalnya dia hanya berteman biasa,
tapi lama-kelamaan dia mencintai suamiku, padahal dia tahu kalau
Putra telah memiliki istri dan satu anak. Untunglah suamiku
tidak menanggapi cinta Danik, meskipun Danik terus saja me-
ngejar suamiku. Cinta telah menghilangkan akal sehatnya,
dengan segala cara, Danik mengejar suamiku. Pernah suatu ketika
Danik mendatangi aku, meminta aku meninggalkan Putra. Sudah
benar-benar gila, sampai akhirnya suamiku menghadap Bapak
Kepala Dinas meminta pindah dari kantor tersebut dengan

176 Eksotisme Gumuk Pasir

alasan sudah tidak nyaman bekerja lagi karena dikejar-kejar terus
oleh Danik. Permohonan tidak dikabulkan, tetapi justru Danik
yang dipindahtugaskan. Hati kami lega karena Danik dipindah.
Meskipun begitu Danik tidak putus asa, dia membuat siasat baru.
Danik mendekati ibu mertuaku dengan cara makan di rumah
makan mertuaku. Dia mendekati ibu, merayu ibu, menghasut
ibu dengan harapan bisa melanjutkan keinginannya menikah
dengan Putra. Dan benar, ibu mertuaku termakan rayuan Danik.
Pada suatu ketika aku disuruh datang ke rumah ibu mertua tanpa
sepengetahuan suamiku. Di sana Danik dan ibu telah menunggu-
ku.

“Ada persoalan apa, Bu?”
“Pokoknya kamu harus meninggalkan Putra atau memberi
izin Putra menikah siri dengan Danik,” kata ibu mertuaku dengan
lantang. Bagaikan tersambar petir, aku shok, binggung dan tidak
bisa berkata-kata. Dengan berlinang air mata, kutinggalkan ibu
dan Danik tanpa ada jawaban apa-apa dariku. Aku pergi tanpa
pamit dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku benar-
benar bingung. Akhirnya persoalan ini aku sampaikan kepada
suamiku. Sama dengan diriku, suamiku juga bingung menghadapi
ibu dan Danik. Belum menemukan jalan pemecahan masalah,
tiba-tiba ibu meminta Putra datang ke rumah.
“Pasti ada hubungannya dengan masalah Danik,” kataku
pada Putra.
“Mungkin saja,” jawab Putra.
“Tapi Bapak harus sabar lho, menghadapi Ibu!” pesanku.
“Iya,” jawabnya.
Akhirnya suamiku menemui ibu, dan menanyakan apa se-
benarnya yang ibu inginkan. Di luar dugaan, ternyata ibu me-
minta Putra memilih antara aku atau Danik.
“Kalau kamu memilih istrimu, berarti kamu kehilangan ibu,
tetapi jika kamu memilih Danik, berarti kamu harus menceraikan
istrimu,” kata ibu sambil mengancam.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 177

“Tidak bisa seperti itu Ibu, aku tidak mungkin meninggalkan
anak dan istriku,” ujar Putra.

“Tidak…aku beri kamu waktu satu minggu untuk berpikir,”
jelas Ibu.

Setelah kejadian itu, aku dan Putra benar-benar binggung.
Apa yang harus kami lakukan untuk menyadarkan kesalahan
ibu? Akhirnya kami membuat keputusan, mudah-mudahan tidak
salah. Tujuan kami hanya ingin agar ibu menyadari kesalahannya.
Setelah satu minggu, Putra mendatangi Ibu dan mengatakan
bahwa suamiku lebih memilih anak dan istrinya. Kemarahan
Ibu semakin menjadi dan kami, terutama suamiku tidak akan
dianggap anak lagi. Kami menghadapi persoalan ini dengan
kepala dingin, karena yakin ini adalah hasutan Danik. Untuk
menghindari kemarahan ibu, kami memutuskan untuk sementara
tidak akan menemui ibu. Kurang lebih lima bulan, kami benar-
benar tidak menemui ibu, semata-mata demi meredam amarah
ibu. Saat lebaran, kami memberanikan diri menemui ibu. Meski-
pun marah, ibu tetap menerima kami. Kami yakin, lambat-laun
amarah ibu akan mereda.

Sejak saat itu Danik menghilang dari kehidupan kami.
Meskipun begitu, dia tetap masih menemui ibu mertuaku. Satu
tahun berlalu, kehidupan kami aman-aman saja. Sampai suatu
saat suamiku sakit kepala dan tak sembuh-sembuh. Kurang lebih
tiga bulan, penyakit suamiku tetap tak kunjung sembuh. Sakitnya
aneh, kadang datang dan kadang menghilang, ditambah lagi
dibagian tangan tidak bisa digerakkan. Untuk memastikan pe-
nyakitnya, suamiku berobat ke RS Panembahan Senopati dengan
melakukan cek seluruh tubuh, rekam otak, sampai terapi selama
sepuluh hari. Dokter menyatakan tidak ada penyakit sama sekali.
Pernyataan dokter membuat kami bingung, sampai-sampai jika
ada orang menyuruh ini-itu, kami lakukan, dan penyakit suamiku
tetap tak kunjung sembuh. Sampai suatu pagi saat di kantor,
penyakit itu datang dan teman-teman suamiku tidak tega me-
lihatnya. Satu di antara teman suamiku tanpa berpikir panjang

178 Eksotisme Gumuk Pasir

mengajak suamiku berobat. Suamiku di bawa ke rumah Mas
Gebes, abdi dalem kraton Yogyakarta yang bekerja mengurusi
pusaka kraton. Dari Mas Gebes diketahui bahwa suamiku terkena
santet. Mulanya aku tidak percaya. Untuk mengambilnya ada
beberapa syarat. Setelah semua persyaratan terpenuhi, Mas
Gebes memulai pengobatannya. Aku menyaksikan dari dalam
tubuh suamiku keluar pecahan kaca dan benda-benda aneh lain-
nya. Tiga bulan berlalu, suamiku sembuh. Tapi tidak berapa lama
kemudian, aku merasakan tidak sehat, dihinggapi penyakit se-
perti yang menimpa suamiku. Kami menemui Mas Gebes untuk
berobat. Kali ini dari kepalaku keluar batu kerikil. Aku benar-
benar tidak percaya, meski ini benar-benar terjadi. Setelah peris-
tiwa itu, kami bersyukur karena bisa sembuh dari penyakit. Mas
Gebes berpesan kalau kami harus berhati-hati dan lebih men-
dekatkan diri pada Tuhan agar penyakit itu tidak datang lagi.
Mas Gebes sempat bertanya, apakah penyakit kiriman itu di-
kembalikan pada yang mengirim? Kami tidak menginginkan itu,
kami tidak akan membalas. Sebenarnaya kami tahu dari Mas
Gebes, siapa yang mengirim, tapi kami berusaha melupakan itu.
Biarlah Tuhan yang memberi balasan.

Sepenggal roda kehidupan telah kami lalui bersama, meski-
pun terkadang jalan yang kami lalui berkelok, berliku-liku, dan
bergelombang, tetapi dengan kekuatan cinta yang kami miliki,
kami menjalani semua dengan ikhlas.

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 179

KOPERASI SEBUAH SOLUSI

Sumiyati
SMP Negeri 2 Pandak

Dhog dhog dhog, krek krek krek krek kruek. Irama itu dimulai
setelah subuh. Bagai musik di pagi hari yang mengiringi ayam
berkokok bersahut-sahutan, membangunkan orang untuk me-
mulai aktifitasnya. Irama itu juga mengiringi keindahan wajah
sang fajar yang mulai muncul dari ufuk timur. Itulah musik yang
dimainkan para buruh pembuat emping melinjo.

Terbuat dari apakah alat musik yang dimainkan para buruh
pembuat emping melinjo itu? Iramanya cukup keras tetapi indah.
Cukup untuk membangunkan orang yang tertidur nyenyak.
Inilah cara membuat emping melinjo.

Mula-mula memanaskan pasir dalam wajan di atas tungku
atau kompor minyak tanah. Kemudian memasukkan melinjo kira-
kira dua atau tiga irus batok. Agar melinjo matang merata dibolak
balik memakai irus tadi. Inilah yang menimbulkan musik krek
krek krek krek kruek. Setelah melinjo matang ambil sepuluh sampai
dengan dua puluh melinjo. Melinjo ditiriskan dan dikupas kulit-
nya. Pengupasan melinjo ini sedikui demi sedikit agar tidak ke-
buru dingin. Kalau dingin sulit dipipihkan menjadi emping. Pro-
ses memipihkan ini yang menimbulkan irama dhog dhog dhog.
Irama ini ditimbulkan oleh suara pemukul emping yang terbuat
dari besi. Besi yang bawah dibuat pipih dilapisi plastik botol
bekas oli. Berat besi ini antara dua sampai dengan tiga kilo gram.

180 Eksotisme Gumuk Pasir

Melinjo yang sudah dikupas diletakkan di atas tlasaran yang
diberi alas plastik agak tebal. Tlasaran terbuat dari cor-coran semen
persegi. Panjang, lebar, dan tebal tlasaran sesuai selera. Ke-
banyakan 0,5 m X 0,5 m dengan tebal 15 cm.

Alat-alat pembuat emping melinjo tersebut dapat disediakan
para juragan atau milik sendiri. Jika alat itu milik sendiri maka
para buruh tidak terikat dengan juragan tertentu saat mengambil
melinjo. Tetapi jika pinjam dari juragan maka mau tidak mau
mereka harus mengambil melinjo dari mereka.

Dalam pembuatan emping melinjo ini mereka kebanyakan
menggunakan kayu bakar. Karena harga minyak tanah sangat
mahal. Kayu bakar satu ikat seharga Rp 8.000,00 dapat digunakan
untuk melinjo 15 kg. Dari 15 kg melinjo menghasilkan kira-kira
5 sampai denga 6 0ns emping.

Berapa kilo melinjo yang mereka ambil dari juragan dan
harus selesai dalam berapa waktu? Tidak ada aturan dalam hal
ini. Namun mereka mengambil 10 kg untuk empat hari jika di-
kerjakan sendiri. Jika dikerjakan berdua bisa hanya dua hari saja.
Tentu saja upah untuk 1 kg melinjo tidak ajeg tergantung harga
emping di pasaran. Saat ini upah untuk 1 kg melinjo Rp 3.000,00.

Penghasilan bersih para buruh setelah dikurangi harga kayu
bakar tidaklah banyak. Bahkan jauh untuk dapat sekedar mem-
bantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut salah satu
buruh rata-rata penghasilan per hari Rp 13.000,00. Upah sebesar
itu didapatkan selama 10 jam.Betapa murahnya tenaga mereka.

Para buruh ini kebanyakan perempuan. Ada yang sudah
berkeluarga ada yang masih gadis. Bagi yang sudah berkeluarga
upah tersebut memang jauh dari cukup. Walaupun mereka hanya
membantu suami. Apa lagi yang masih mempunyai anak balita.
Membuat emping melinjo sambil mengasuh anak tidak akan
mendapatkan hasil yang diharapkan.

Kemiskinan dapat terlihat jelas pada para buruh ini. Peng-
hasilan yang tidak seberapa itu tidak bisa didapatkan setiap hari.
Mereka membuat emping tergantung musim. Jika musim kema-

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 181

rau mereka dapat bekerja tiap hari. Emping yang dihasilkan cepat
kering. Bahkan tanpa harus dijemur di bawah terik matahari.
Emping cukup diangin-anginkan saja.

Namun jika musim penghujan mereka tidak dapat membuat
emping. Kalau dipaksakan demi meraih penghasilan maka em-
ping tidak kering. Bahkan bisa berjamur. Hal ini dapat membuat
juragan marah. Jika empingnya berjamur juragan akan merugi.
Karena emping tidak laku dijual. Juragan akan memotong upah
mereka sebagai ganti rugi. Besar potongan sesuai jumlah emping
yang berjamur. Jadi saat hujan tiba mereka tidak berpenghasilan
sama sekali.

Ada perbedaan saat Hari Raya Idul Fitri. Para juragan mem-
berikan tunjangan hari raya. Besar tunjangan tergantung pada
lamanya para buruh bekerja pada mereka. Semakin lama mereka
bekerja pada juragan semakin besar tunjangan yang didapat.

Tunjangan hari raya dapat berupa uang dapat berupa
barang. Kalau berupa uang berkisar antara Rp 50.000,00 sampai
dengan Rp 200.000,00. Biasanya barang yang digunakan untuk
tunjangan adalah kain baju atau sembako. Harga barang sama
jika diwujudkan uang.

Tunjangan hari raya ini dapat menghibur hati mereka. Mereka
dapat bersenang-senang sedikit pada saat itu. Namun setelah
hari raya usai kegiatan rutin akan terulang kembali. Bayangan
kemiskinan terngiang-ngiang lagi.

Bagaimanakah caranya agar para buruh pembuat emping
tersebut dapat meningkat penghasilannya dan lebih sejahtera
hidupnya? Perlu uluran tangan dari pemerintah dan orang-orang
yang peduli untuk membantunya. Salah satu caranya adalah
dengan didirikan sebuah koperasi.

Koperasi yang cocok untuk para buruh pembuat emping
melinjo ini adalah kopersai serba usaha. Koperasi ini tidak hanya
bergerak dalam bidang simpan pinjam semata. Koperasi ini dapat
melayani usaha produksi, konsumsi, dan jasa. Bahkan anggota-

182 Eksotisme Gumuk Pasir

nya tidak terbatas para buruh pembuat emping melinjo. Masya-
rakat lain dapat menjadi anggota.

Simpan pinjam yang dikelola koperasi ini dapat mencegah
adanya praktik lintah darat. Apa lagi mereka yang terlanjur
pinjam pada juragan. Mereka tidak diperbolehkan mengambil
melinjo dari juragan lain. Upah mereka digunakan untuk mem-
bayar pinjaman.

Untuk Membentuk Koperasi yang anggotanya perorangan
ini dibutuhkan minimal 20 orang. Mereka diberi tahu cara-cara
dan syarat-syarat mendirikan koperasi. Bagaimana modal se-
bagai simpanan pokoknya? Inilah tugas pemerintah untuk me-
nyuntikan dana bagi mereka.

Modal awal ditentukan oleh rapat para anggota. Modal awal
inilah yang disebut dengan simpanan pokok. Karena bentuk
koperasinya serba uasaha maka tidak saja diperlukan uang se-
bagai modal tetapi juga bahab baku untuk produksi emping.
Sebagai modal awal cukup 15 kg untuk tiap anggota. Modal
sebesar itu cukup untuk menjalankan roda koperasi dan tidak
memberatkan aanggota.

Dengan dibentuknya koperasi inilah mereka dapat me-
ngembangkan usahanya tanpa campur tangan juragan lagi. Kope-
rasi inilah yang akan menggerakkan perekonomian mereka atas
dasar azas kekeluargaan. Hal ini sesuai dengan harapan bahwa
koperasi adalah soko guru perekonomian nasioanal.

Koperasi inilah yang akan menyediakan bahan baku melinjo
dan alat-alat pembuat emping. Koperasi ini juga yang akan me-
masarkan emping melinjo. Para buruh tidak perlu kwatir lagi
dengan upah mereka. Karena merekalah yang menentukan harga
melinjo dan harga emping melalui koperasi. Koperasi yang akan
menggerakkan dari anggota oleh anggota dan untuk anggota.
Tidak ada istilah juragan dan buruh lagi. Kedudukan mereka
sama.

Tentu saja kiprah koperasi tidak hanya sekedar menyedia-
kan melinjo dan memasarkna emping saja. Melalui koperasi ini

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 183

pula dapat dikembangkan usaha pembuatan emping dengan ber-
bagai rasa dan bentuk.

Emping dapat dibentuk mulai dari yang kecil hingga yang
besar. Emping kecil setiap memipihkan cukup satu melinjo.
Emping besar setiap memipihkan bisa sampai sepuluh melinjo.
Saat memipihkan ada yang cukup sekali pukul ada yang sampai
tipis. Semua ini tergantung pada selera pasar.

Emping dapat diberi rasa manis, gurih, pedas, asam pedas
dan lain-lain. Semua rasa ini dibubuhkan pada emping sebelum
proses penjemuran. Bahkan emping berbagai rasa ini dapat diberi
warna sesuai selera. Semua ini dilakukan untuk menarik pembeli.
Emping yang demikian ini tentu harganya lebih mahal.

Di samping itu juga kemasan emping dapat dibuat lebih me-
nawan. Kalau biasanya mengemas emping hanya dengan plastik
kresek hitaam, dapat dipermanis dengan plastik putih yang agak
tebal. Plastik kemasan dapat diberi label nama koperasi. Kemasan
tidak hanya diklip untuk merapatkan plastik. Tetapi dapat di-
rekatkan dengan alat tertentu sehingga lebih rapi dan lebih rapat.
Tentu saja lebih menawan pembeli.

Melalui koperasi ini pula lapangan pekerjaan dapat tercipta.
Koperasi akan membutuhkan karyawan untuk berbagai bidang.
Mulai dari pelayan sampai distributor. Semua ini dapat berjalan
dengan baik jika semua anggota bekerja dengan jujur.Koperasi
dijalankan berdasarkan aturan yang telah disepakati.

Dengan dibentuknya koperasi ini para juragan tidak perlu
kwatir dengan penghasilannya. Mereka tidak akan dirugikan
karena mereka bisa bekerja sama dengan kopersasi tersebut.
Mereka dapat menanamkan modal pada koperasi tersebut. Per-
saingan tidak terjadi mana yang kuat dan mana yang lemah.
Semua bekerja sesuai bidangnya masing-masing. Yang lemah
mendapat uluran tangan sehingga dapat berdiri tegak. Yang
kuat mengulurkan tangannya untuk membantu yang lemah.
Tidak ada lagi yang paling berkuasa atas harga melinjo dan harga
emping.

184 Eksotisme Gumuk Pasir

Jika koperasi dapat terwujud roda perekonomian para buruh
akan menggelinding baik. Bayang-bayang kemiskinan semakin
menghilang. Pancaran wajah ceria terlihat nyata. Hal ini
berdampak pada kesejahteraan mereka.Tidak ada lagi hutang
pada juragan.

Daftar Pustaka

Habibi,Maksum Drs dkk. 1983. Ekonomi dan Koperasi Untuk SMP
Jilid 2.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ruslan,S.Pd. 2007. Melinjo Phon Serbaguna. Yogyakarta: Analisa.
Sunarto, Hatta Ir. 1994. Budidaya Melinjo dan Usaha Produksi

Emping. Yogyakarta : Kanisius.
Undang – Undang Koperasi Republik Indonesia Nomor 25 Tahun

1992 Tentang
Perkoperasian ,Tangkas Terampil Perkoperasian Tahun 2015.

Pemerintah Kabupaten Bantul . Dinas Perindustrian
Perdagangan Dan Koperasi.
http://wargaksusejahtera.blogspot.co.id/
2012_07_09_archive.html

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 185

DUNIANYA BUKAN DUNIAKU

Suparman
SMP Negeri 3 Pleret

Dunia perdagangan adalah sesuatu yang sangat meng-
giurkan bagi orang awam. Hal ini selalu akan meninabobokan
setiap orang yang melihat hasil dari jerih payah seseorang men-
cari nafkah melalui prosesi jual beli. Pada umumnya orang hanya
melihat sisi keberhasilan, bukan proses perjuangan seseorang
dalam mencapai keberhasilan tersebut. Orang tidak pernah me-
lihat para pedagang yang gagal dengan taruhan rumah atau
pekarangan mereka. Biasanya yang dipandang adalah kesukses-
an seseorang mendapatkan laba yang melimpah ruah. Seseorang
yang semula tidak mempunyai rumah, dalam kurun waktu ter-
tentu dapat mempunyai rumah megah, seseorang yang semula
menggunakan sepeda tiba-tiba bisa membeli mobil.

Bila kita bandingkan grafik pertumbuhan ekonomi masya-
rakat petani yang menggarap sawah seluas 1 hektar dengan pe-
dagang menengah, maka selisihnya sangat jauh. Aku mempunyai
seorang saudara bernama SMR. Dia berdomisili satu desa dengan
saya, yaitu di desa PTR, wilayah kabupaten Purworejo bagian
barat. Dia adalah seorang pengusaha sukses dalam bidang
material bangunan (kapur gamping, batu koral, usuk, blandar,
dan bahan bangunan yang lain). Sebelum ia terjun ke dalam bidang
perdagangan, ia adalah petani kecil, menggarap sawah seluas
2.400 meterpersegi, termasuk golongan keluarga prasejahtera.

186 Eksotisme Gumuk Pasir

Hidup dengan 3 orang anak dengan penghasilan pas-pasan,
nyaris tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya.

“Mas SMR bagaimana Anda bisa mempunyai tekad untuk
memulai usaha berdagang material bangunan hingga sukses?”

“Saya percaya diri, punya perhitungan yang cermat, dan
mampu membangun komunikasi dengan rekanan dan para pe-
kerja, sehingga saya mempunyai cabang di kota lain. Penge-
lolaannya saya serahkan kepada orang lain, yang penting harus
saling percaya.”

“Terus untuk pemenuhan modal bagaimana, Mas?”
“Masalah modal tidak ada kendala, sudah disediakan oleh
bank, Dik. Namun harus borg sertifikat tanah sebagai jaminannya.
Kita harus ingat bahwa uang adalah pedang, jika digunakan
dengan perhitungan yang masak akan mendatangkan keuntung-
an, tetapi kalau salah perhitungannya akan mendatangkan ben-
cana. Jika salah perhitungan, maka tanah sebagai anggunan akan
disita.”
Waktu aku berumur 14 tahun, duduk di bangku SMA Panca
Marga Bakti kelas X, sudah mulai tertarik untuk berkarya. Ada
dua hal yang aku tekuni, yaitu pengolahan tanah pertanian dan
pengumpulan modal. Aku menyimpulkan bahwa sebaiknya
tanah diolah dengan cara dibajak dan dibiarkan terkena sinar
matahari sekitar satu minggu. Alhasil dengan teknik tersebut
para petani bisa meningkatkan hasil sampai 20%.
Untuk mengumpulkan modal, aku berusaha dalam bidang
pertanian dengan menanam jeruk buah. Untuk memulai usaha
tersebut, aku mengontrak tanah 900 meterpersegi dan menanam
110 batang jeruk dengan jarak tanam 2x3 meter. Di antara
tanaman jeruk, ditanami padi. Dari hasil bersih tanaman padi
ternyata dapat digunakan untuk menutup biaya kontrak lahan.
“Bagaimana Dik, katanya tertarik untuk berdagang ?”
“Ya Mas, ini baru persiapan sambil mencari tambahan ilmu
agar dapat menggunakan pedang.”

Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 187


Click to View FlipBook Version